Ceritasilat Novel Online

Pengejaran Ke Cina 3

Pendekar Slebor 08 Pengejaran Ke Cina Bagian 3


dikhawatirkannya. Dengan pengerahan tenaga dalam
penuh, kekuatan Pedang Pusaka Langit bisa membantu
Chin Chung melipat gandakan tenaga dalam, tiga belas
kali lebih kuat!
*** Sementara di luar seorang pemuda berpakaian
serba hijau dengan perasaan tak menentu di luar Goa
Sejuta Lintah. Menunggu seperti saat ini membuat
pemuda yang tak lain Pendekar Slebor itu begitu
gelisah. Dia khawatir, terjadi hal-hal yang tak diharapkan
pada diri Chin Liong di dalam sana. Untuk menyusul,
Andika' mesti berpikir ulang. Bisa jadi, dia malah
merusak rencana yang telah tersusun. Bukankah
selama ini Chin Chung tak pernah terlihat bersama
orang asing seperti dirinya" Sedangkan Chin Liong
justru hendak menyamar sebagai Chin Chung, saudara
kembarnya. Kalau Tua Bangka Tangan Api curiga,
semuanya bisa kacau!
Akhirnya, Andika hanya bisa duduk gelisah di atas
tonjolan besar batu cadas.
"Sialan! Kenapa aku tadi tak memikirkan kapan
waktunya untuk masuk ke sana," gerutu Andika pada diri
sendiri, menyesali keteledoran.
Sementara di atasnya, burung-burung walet
tampak bcrkejaran. Sesekali cicitnya terdengar ramai.
Sambil mengulum-ngulum
rumput, Andika memperhatikan binatang-binatang mungil yang cantik
itu. Sekadar untuk melepas rasa bosan dan gelisah.
Tak lama kemudian terdengar senandungnya.
O, walet kecil di atas sana.
Kau bawa ceria di angkasa
Tak mau tahu pada dunia,
yang kerap begitu durjana
O, walet kecil K
Kau bawa kehangatan pada alam
Kau bawa kehangatan pada mayapada
Kau bawa kehangatan pada....
Dan tiba-tibasaja...
Prot! Sesuatuyang lembek dan hangat tahu-tahu
menimpa kening Andika dengan telak.
"Sial! Kau boleh bawa banyak kehangatan! Tapi,
jangan kasih yang hangat satu ini ke mukaku!" maki
pemuda itu sewot ketika menyadari kalau baru tertimpa
rejeki nomplok.
"Andika...."
Sedang seru-serunya pendekar urakan itu mencak- mencak dengan kepala menengadah, terdengar panggilan lemah di belakangnya. Saat
melayang menoleh, tampak Chin Liong keluar tertatihtatih dari bibir goa. Di tangannya, tergenggam Pedang
Pusaka Langit. "Kau mendapatkannya, Chin Liong"!" sambut
Andika gembira.
"Ya," jawab Chin Liong tersendat.
Lelaki bermata sipit itu terlihat begitu lemah dan
lusuh. Di beberapa bagian tubuhnya terdapat luka
memar serta noda-noda darah. Demikian juga di
mulutnya. "Kenapa kau?" tanya Andika, tergesa-gesa meng
hampiri kawannya. Chin Liong yang menyender pada
dinding goa segera dipapahnya. "Apa ada rintangan dari
si Pandai Besi itu?"
Chin Liong menggeleng berat.
"Chin Chung," desak Chin Liong.
"Chin Chung?"
"Ya! Dan aku terpaksa membunuhnya. Dia terlalu
memaksa aku melakukannya. Padahal..., padahal aku
tetap menyayanginya," keluh Chin Liong lirih. Kepalanya
tertunduk dalam, memperlihatkan rasa penyesalan yang
menyesaki dada.
"Aku turut menyesal," tutur Andika. "Tapi kebenaran memang tidak mengenal ikatan darah. Kau tak
perlu menyesali perbuatanmu. Dia telah menentukan
pilihannya sendiri."
Perlahan-lahan keduanya mulai melangkah meniti
lereng berliku.
Belum begitu lama kedua orang itu pergi, tahutahu seseorang muncul pula di bibir Goa Sejuta Lintah.
Keadaannya sungguh mengenaskan. Tubuhnya bermandikan darah dan rupanya sudah tak karuan.
Wajahnya pucat dan kotor oleh lumpur. Seperti
wajahnya, rambut panjangnya pun dipenuhi lumpur
hitam. Laki-Iaki itu berusaha menyeret tubuhnya, untuk
keluar dari goa itu. Kira-kira tiga langkah dari bibir goa,
terdengar dia memanggil-manggil seseorang.
Dua kali dia memanggil, kemudian matanya
menjadi nanar. Diawali getaran kecil sesaat, kepalanya
pun roboh ke tanah. Dia tak mampu lagi merayap.
Seluruh kesadarannya lerbang.
Apa yang sesungguhnya telah terjadi" Tak
seorang pun tahu. Kecuali, dirinya dan lelaki Tiongkok
yang kini berjalan bersama Andika jauh di sana.
*** Pada dasarnya sebagian rencana yang disusun
Andika telah berubah. Semula, setelah mendapat
Pedang Pusaka Langit, dia dan Chin Liong bermaksud
akan menemui pimpinan pemberontak wilayah utara
kota Yingtienfu. Tujuannya, untuk menyampaikan pesan
mengenai pertukaran Putri Ying-lien dengan Pedang
Pusaka Langit pada Chin Chung.
Tapi kini, hal itu tidak perlu lagi dilaksanakan.
Karena setahu Andika, Chin Chung selaku orang yang
menyandera Putri Ying-lien, telah tewas di tangan Chin
Liong. Dan kini mereka harus menyusun rencana baru.
Pendekar tanah Jawa Dwipa itu sekarang sedang
berdiri diam memikirkannya, di bawah sebuah pohon
besar di pekarangan Kuil Peraduan Bulan. Dari
wajahnya, tampak jelas kalau sedang berpikir keras. Tak
dipedulikannya angin kecil mengusik pakaian moratmarit yang belum diganti sejak bertempur dengan Si
Pembawa Badai. Sementara itu, Chia-ceng tengah pergi dengan
Chin Liong ke pusat kota Yingtienfu untuk mencari
keperluan sehari-hari. Dengan begitu, mereka bisa tetap
tinggal di Kuil Peraduan Bulan, khususnya Andika. Ini
terpaksa dilakukan, menimbang Putri Ying-lien belum
lagi diketahui nasibnya. Apalagi, Empat Penguasa
Penjuru Angin yang begitu dekat dengan Chin Chung,
tentu tak senang jika Andika terlihat berkeliaran. Mereka
bisa saja meneruskan niat jahat Chin Chung untuk
menghabisi Putri Ying-lien.
Sedang keras-kerasnya Andika berpikir, tiba-tiba
Chin Liong datang tergopoh-gopoh. Badannya dibanjiri
keringat dan napasnya memburu.
"Ada apa, Chin Liong?" tanya Andika cepat.
"Chia-ceng...."
"Kenapa dengan dia?"
"Seseorang telah membunuhnya!" lapor Chin
liong. Andika terkesiap. Wajahnya mengeras.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Pendekar
Slebor gusar. Usai mengatur napas, Chin Liong mulai bercerita.
"Di pusat kota, aku dan Chia-ceng berpisah dalam
mencari segala kebutuhan kita. Lalu kami sepakat untuk
bertemu di satu tempat. Setelah aku kembali ke tempat
yang telah disepakati, ternyata Chia-ceng tak kunjung
muncul. Aku menjadi was-was. Lalu dia segera kucari ke
sekitar pusat kota. Sampai akhirnya aku temui orangorang berkerumun. Ternyata, mereka mengerumuni
tubuh Chia-ceng yang sudah menjadi mayat."
Chin Liong mengakhiri ceritanya bersama wajah
geram. Tak cuma lelaki Tiongkok tampan itu. Andika
"pun ikut geram atas peristiwa yang menimpa Chia-ceng
pengikut setia kerajaan.
"Menurut beberapa orang saksi mati, pembunuhnya adalah seorang lelaki berkaki baja
runcing," sambung Chin Liong menambahkan.
"Hantu Bisu Kaki Baja," simpul Andika berdesis.
"Ya! Aku pikir juga begitu," timpal Chin Liong.
"Tampaknya, anak buah Si Pembawa Badai itu
ingin menuntut balas atas kematian Chin Chung,"
gumam Andika. "Tapi, bagaimana dia bisa tahu kalau Chin Chung
sudah mati. Padahal, dia terbunuh di tempat
tersembunyi?" tanya Chin Liong, heran.
"Mungkin saja Chin Chung telah bercerita
sebelumnya kalau hendak mengambil Pusaka Langit ke
Goa Sejuta Lintah," duga Andika.
"Tak mungkin," kata Chin Liong, setengah
bergumam. "Kenapa tak mungkin?"
"Aku tahu, siapa Chin Chung. Dia orang yang
begitu bernafsu. Dengan memberitahu tentang Goa
Sejuta Lintah, berarti ada kemungkinan benda pusaka
itu akan diminta Si Pembawa Badai. Dan dia tak akan
sudi menyerahkan benda yang begitu berharga itu,"
papar Chin Liong datar.
"Lalu, apa mungkin Chin Chung masih hidup"
Atau malah sempat kembali pada rekan-rekannya, untuk
melaporkan tentang perbuatanmu padanya?"
"Entahlah. Tapi, aku yakin dia telah mati. Karena
jelas sekali aku menusukkan Pedang Pusaka Langit ke
tubuhnya."
"Kau benar-benar yakin" Apa kau telah memeriksa mayatnya?"
tanya Andika, sedikit menyudutkan. Chin Liong menggeleng ragu.
"Entahlah," desah pemuda Tiongkok itu.
*** 8 Seseorang tampak masih terbaring tak sadarkan
diri di bibir Goa Sejuta Lintah. Di tengah pingsannya,
muncul seorang wanita. Dilihat dari penampilannya,
usianya sekitar dua puluh tahun. Wajahnya cantik tanpa
tata rias. Pakaiannya sederhana dengan baju kuning
berompi kulit domba. Kesederhanaan juga terlihat pada
tataan rambutnya. Meski hanya digelung, rambut
panjang hitamnya tetap tampak menawan.
Pribadi gadis itu tampak tegar. Itu terlihat dari
caranya menghadapi orang yang bermandi darah. Bagi
banyak wanita, pemandangan itu bisa membuat amat
gugup. Tapi, tidak bagi si Gadis. Dia malah tenang
berjongkok di dekat tubuh itu. Mimik wajahnya hanya
berubah. sedikit, manakala nadi leher pemuda yang
masih tak sadarkan diri diperiksanya.
Yakin kalau orang itu belum menjadi mayat,
wanita ini segera membopongnya. Tanpa kesulitan,
diangkatnya tubuh itu ke bahu, lalu dimasukinya mulut
goa dengan langkah ringan.
*** Tiga hari waktu telah berlalu. Dan kini, Chin Liong
tersadar. Matanya tampak mengerjap-ngerjap sesaat.
Setelah pandangannya tidak lagi mengabur, tampaklah
sebuah pemandanganyang tak asing lagi. Apalagi,
ketika kepalanya berusaha menoleh ke satu arah.
Didapatinya cahaya terang yang datang dari satu tungku
raksasa. "Kenapa aku masih berada di ruangan milik Tua
Bangka Tangan Api ini?" bisik pemuda itu, bertanya
pada diri sendiri.
"Kau kutemukan sedang pingsan di bibir goa,"
sahut seseorang di dekat kepalanya.
Sambil memegangi kepala yang masih berat,
pemuda itu mendongak ke arah suara tadi. Sekarang,
didapatinya gadis yang menolongnya di bibir Goa Sejuta
Lintah tempo hari.
"Siapa kau?" tanya pemuda itu.
Bergegas, dia berusaha bangkit. Namun niatnya
tertahan ketika di bagian perutnya terasa nyeri. Dengan


Pendekar Slebor 08 Pengejaran Ke Cina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seketika tangannya pun berpindah ke bagian perut. Kini,
tangannya dapat merasakan kehalusan pembalut yang
menutup luka tusuk di perutnya.
"Kaukah yang telah merawatku?" tanya pemuda
itu. "Kenapa kau bisa sampai di tempat ini?"
Gadis yang diajak bicara mendekatinya. Tangannya tampak membawa mangkuk keramik kecil.
Setelah berada di sisi kirinya, tangan kanannya
membalutkan sesuatu dari mangkuk ke wajah Chin
Liong. "Tak apa-apa. Ini hanya ramuan untuk mengobati
memar-memar diwajahmu," kata wanita itu lembut ketika
tangan pemuda ini berusaha menahan.
Pemuda bermata sipit itu akhirnya membiarkan
saja wajahnya dijamah tangan berlumur ramuan gadis
manis. "Kau belum menjawab pertanyaanku, Nisanak,"
tegur pemuda itu beberapa saat kemudian.
"Pertanyaanyang mana" Kau begitu banyak
mengajukan padaku?" balas si Gadis seraya tersenyum
ramah. Pemuda itu menyeringai, menyadari kebodohannya. "Siapa namamu?" ulang pemuda itu lagi.
"Apa itu perlu?"
"Aku rasa, ya."
"Tapi, aku rasa tidak."
"Nisanak..., tolonglah. Aku tak ingin memanggil
orang yang telah berjasa padaku dengan sebutan
seenaknya," desak pemuda itu.
"Baik, kalau kau memang memaksa. Aku Mei-jen,"
aku si Gadis, akhirnya.
"Aku Chin Liong," balas pemuda yang ternyata
Chin Liong sambil mengulurkan tangan kanan untuk
mengajak berjabatan.
Benarkah dia Chin Liong" Lalu, siapa yang
meninggalkan Goa Sejuta Lintah bersama Pendekar
Slebor" Pemuda yang tengah dirawat oleh wanita yang
mengaku bernama Mei-jen memang Chin Liong! Dan
memang, sesungguhnya semua terjadi berada di luar
perkiraan Pendekar Slebor. Amat keliru jika orang yang
jalan bersamanya dianggap Chin Liong, orang yang
selama ini dikenalnya. Lelaki Tiongkok yang diduga Chin
Liong, sebenarnya justru Chin Chung!
Kemiripan wajah yang sukar dibedakan, dan
kelihatan Chin Chung bersandiwara, telah mampu
mengecoh Andika. Berarti, sudah telah tiga kali Chin
Chung memperdayainya begitu rupa. Dan sampai
sejauh itu Pendekar Slebor tak juga menyadari.
Bisa ditebak, kematian Chia-ceng memang
sebenarnya dibunuh oleh Chin Chung pula. Lelaki cebol
itu dibokong secara licik, saat mereka melintasi hutan
menuju pusat kota.
Tampaknya, pendekar muda tanah Jawa Dwipa
yang amat terkenal keenceran otaknya, benar-benar
hendak dijadikan boneka bulan-bulanan Chin Chung.
Kercerdikan si Pendekar Slebor ternyata telah terombang-ambing kelicikan lawan.
Chin Chung memang memiliki rencana, setelah
merasa yakin telah menghabisi saudara kembarnya
sendiri. Dengan rencana liciknya, dia hendak mencari
kepuasan mempermainkan Andika. Pendekar asing itu
hendak dibunuhnya, persis di hadapan Putri Ying-lien!
Begitu niatnya. Di samping akan menemukan kepuasan
tersendiri, sekaligus akan ditemukan kepuasan lain,
manakala Putri Ying-lien terperangah mendapati
pendekar asing andalannya mati di depan mata.
*** "Terima kasih kau menyebutkan namamu..., meski
belum kutanyakan," sentil Mei-jen.
Dan ini membuat lelaki muda di depannya kembali
menyeringai malu. Tapi tangan Chin Liong disambutnya.
"Ah, maaf. Aku lupa kalau tanganku masih penuh
ramuan ini," tutur Mei-jen, menyadari telah mengotori
tangan Chin Liong. Segera ditariknya tangan halus nan
lembut itu. "Tak apa-apa. Tapi ngomong-ngomong...," Chin
Liong mencium tangannya yang terkena ramuan dengan
wajah agak meringis.".... Ramuan apa yang kau berikan
padaku" Kenapa baunya seperti kotoran kcrbau?"
"Memangnya kau pikir ramuan apa?"
"Jadi, benar dari kotoran kerbau?" Mata Chin
Liong lerbelalak jijik.
"Aku tak bilang begitu," jawab Mei-jen tenang.
Kaki gadis itu segera melangkah ke tempatnya
berdiri semula, untuk meletakkan mangkuk ke satu rak
obat-obatan. "Ah... sykurlah," gumam Chin Liong lega. "Ng....
Boleh aku bertanya lagi padamu?"
Dengan agak susah payah, Chin Liong berusaha
bangkit. "Untuk seorang yang sudah ditolong, kau
termasuk terlalu banyak tanya. Tapi, tak mengapa,"
sahut Mei-jen jadi menoleh. Tangannya masih sibuk
mengatur kendi- kendi obat.
"Siapa kau sebenarnya?"
"Bukankah sudah kukatakan kalau aku Mei-jen."
"Maksudku, julukanmu. Dan kenapa kau bisa
berada di tempat terpencil ini?"
"Ini memang tempat tinggalku," sahut Mei-jen,
ringan. Chin Liong menggelengkan kepala.
"Jangan berbohong! Apa kau kira aku tak tahu
kalau ini tempat Tua Bangka Tangan Api?"
"Lantas, kau pikir aku ini siapa?" Mei-jen malah
balik menyudutkan Chin Liong. Dia pun berbalik mengha
dap pemuda itu.
Chin Liong mengangkat bahu. Tampak wajah
berkerut. "Ya! Siapa kau?" tanya pemuda itu tak mengerti.
"Kau boleh percaya atau tidak. Akulah si Tua
Bangka Tangan Api yang disebut-sebut orang itu."
Kerut di wajah Chin liong tampak makin dalam.
"Kau bisa main-main juga rupanya...," leceh Chin
Liong tak percaya. "Yang kutahu, Tua Bangka Tangan
Api adalah lelaki tua yang telah kutemukan hampir mati
di sini." "Dia pembantuku. Kasihan sekali. Padahal, dia
begitu setia padaku."
"Aku masih belum mengerti?"
"Memang, aku tak menyalahkan orang-orang yang
telah menyebutku seperti itu. Mungkin mereka mengira
pembantuku itulah yang telah membuat senjata pusaka
pesanan tokoh-tokoh persilatan," papar gadis itu enteng.
"Selama ini, aku memang tidak mau tahu pada orangorang yang memesan senjata padaku. Aku hanya
membuatnya. Sedang urusan pemesanan, kuserahkan
pada pembantuku."
"Lalu kenapa...."
"Kenapa dia diberi embel-embel nama Tangan
Api?" potong Mei-jen. "Ah, itu hanya ibarat. Karena
logam-logam langka terkeras, dapat dibuat mudah.
Maka julukan itu pun bertambah. Dan karena mereka
menyangka pembantuku yang membuat, mereka pun
menambahkan embel-embel itu pada namanya."
"Apa benar kau...."
Tiba-tiba ucapan Chin Liong terputus. Bicara
tentang lelaki tua itu, dia jadi teringat pada kejadian yang
menimpanya. Astaga! Kenapa aku jadi melupakan Chin Chung!
Dia bisa amat berbahaya bersama pedang itu," desis
Chin Liong dalam.
Segera pemuda itu berusaha berdiri tergesa dari
pcinharingan kayu.
"Mau ke mana?" tanya Mei-jen. "Kau belum pulih
benar. Tiga hari ini kau tak sadarkan diri. Baru saja
siuman, kau sudah ingin pergi?"
"Aku harus mencegah saudara kembarku. Tentu
dia memiliki rencana jahat pada Putri Ying-lien dan
Andika...."
"Tidak! Tak perlu kau khawatirkan dengan pedang
pusaka itu," tegas gadis yang sebenarnya dialah si
Tangan Api sambil menekan bahu Chin Liong kembali
berbaring. "Apa kau gila"! Pedang pusaka itu mampu
membuatnya amat sakti dan lebih sinting!" Chin Liong
bersikeras. "Pedang itu masih ada padaku," jegal Met jen.
"Apa"!"
"Apa kau pikir aku tak tahu riwayat benda langit
itu" Aku juga tahu keampuhannya. Apalagi, jika telah
dibentuk sebuah pedang. Lima ratus tahun yang lalu,
buyutku pun pernah membentuk benda langit itu menjadi
pedang pusaka yang gagangnya kini dipakai lagi. Dari
beliau, cerita itu turun hingga ke aku. Dan, apa kau pikir
aku akan membiarkan benda sakti itu jatuh ke tangan
orang lalim?" tutur Mei-jen.
"Jadi?"
"Aku telah membuat tiruannya," aku Mei-jen. "Dan
tiruannya itu yang telah dirampas seseorang yang kau
sebut tadi, ketika aku pergi keluar. "Aslinya tetap
kusimpan, sampai ada orang yang berhak mendapatkannya."
Chin Liong terlolong tanpa kata, antara terkejut
dan gembira. Pantas, waktu bertarung melawan Chin
Chung, dia tidak merasakan adanya kekuatan berlipat
pada saudara kembarnya. Kalau pun dia kalah, mungkin
hanya soal keberuntungan ada di pihak Chin Chung!
*** Sore telah menjelang. Cahaya meredup dalam
lembayung jingga. Di langit, gumpalan-gumpalan awan
kecil berpilin masih terlihat. Saat bumi teduh dan angin
me- nyapukan rasa damai, Chin Liong tampak telah
berjalan menuju Kuil Peraduan Bulan.
Di tangannya tergenggam Pedang Pusaka Langit,
terbungkus dalam kain berwarna keemasan. Masih
dengan jalan agak limbung, kakinya terus melangkah.
Sehari setelah siuman, dia sudah tidak bisa bersabar
lagi untuk segera keluar dari Goa Sejuta Lintah. Hal ini
karena dorongan tanggung jawabnya pada nasib Putri
Ying-lien dan sahabatnya, Andika.
Sementara si Tangan Api yang bernama asli Meijen tak bisa mencegah kehendak Chin Liong. Pemuda
itu terlalu bersikeras untuk dicegah. Dan ketika Mei-jen
yakin kalau Chin Liong benar-benar utusan kerajaan
untuk mengamankan Pedang Pusaka Langit, senjata itu
pun diserahkan pada pemuda itu.
Chin Liong masih ingat saat terakhir berpisah
dengan gadis manis itu. Entah kenapa, kala itu mata
Mei- jen ditatapnya lekat-lekat. Dia yakin, sikap itu bukan
sekadar ungkapan rasa terima kasihnya. Dan tindakan
itu, membuat Mei-jen mengembangkan senyum malu
dengan wajah bersemu merah. Dan sebagai wanita
berkepribadian tegar, sifat-sifat kewanitaannya tak
pernah pudar. Dan dia masih mampu untuk tak tersipusipu. "Sebelum pergi, boleh aku bertanya padamu?"
ungkap Chin Liong waktu sebelum pergi. "Kenapa gadis
secantikmu menyepi sendiri di tempat terpencil ini?"
"Ceritanya panjang dan menyakitkan untuk
diingat," jawab Mei-jen datar.
"Kalau aku selesai menunaikan tugas dan
selamat, boleh kudengar ceritamu. Aku ingin berbagi
rasa denganmu?" ucap Chin Liong.
Mei-jen tak menyahut, juga tak menggeleng atau
mengangguk. Dibalasnya tatapan Chin Liong dengan
sepasang mata yang bagai dua penggal bulan itu.
"Kau ingin melakukan itu, karena aku telah berjasa
padamu?" sindir gadis itu halus.
"Tidak, bukan itu. Dan aku juga tak tahu, kenapa.
Hanya aku ingin mengenalmu lebih dekat," sahut Chin
Liong. "Terima kasih.... Kau ternyata seorang yang
penuh perhatian," puji Mei-jen tulus.
"Tapi kau belum jawab pertanyaanku tadi,
bukan?" desak Chin Liong.
Mei-jen terdiam. Ditatapnya lagi pemuda tampan
di depannya.

Pendekar Slebor 08 Pengejaran Ke Cina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jika keinginanmu tulus, rasanya aku tidak bisa
menolak," tutur Mei-jen akhirnya.
Chin Liong tersenyum tipis. Senyum yang jarang
sekali tersembul di bibirnya.
'Tapi, berjanjilah padaku. Kau harus selamat dari
tugas berat ini," pinta Mei-jen, membuat relung hati Chin
Liong tersentuh.
Chin Liong mendekati Mei-jen. Digenggamnya kedua tangan gadis itu.
"Aku berjanji. Doakanlah aku," pinta Chin Liong
kembali. Sampai Chin Liong hampir tiba di Kuil Peraduan
Bulan, wajah dan pribadi Mei-jen tetap mengusik
benaknya. Selama itu pula, dia merasakan getaran lama
yang kembali hadir, setelah sekian lama terkubur.
Getaran yang pernah ada ketika begitu akrab dengan
Ying- lien. Kini kaki pemuda itu telah memasuki pelataran
kuil. Senja saat ini makin terjatuh di tepi langit. Gelap
mulai menyapu alam. Namun, masih ada sisa cahaya
yang terjaga. Dan baru saja hendak memasuki pintu
besar kuil, telinganya menangkap gerak langkah dua
orang yang datang.
Chin Liong cepat mengurungkan niat untuk
masuk. Dia bergerak sigap, untuk mencari tempat
sembunyi di balik semak-semak pelataran.
Kedua orangyang datang ternyata sosok-sosok
yang amat dikenalnya. Mereka adalah Chin Chung dan
Andika. Tubuh Chin Liong kontan menegang. Ingin
rasanya saat itu Chin Chung dihadangnya. Karena
dikira, dia akan melakukan niat jahat pada Andika atau
Chia-ceng! Tapi keinginannya segera ditekan, manakala
melihat bagaimana Chin Chung berjalan demikian
santai. "Hm.... Tampaknya dia tak begitu khawatir
kehadirannya diketahui. Lalu, kenapa dia datang?" bisik
hati Chin Liong bcrtanya-tanya sendiri. "Apakah dia
mulai bermain-main kucing-kucingan lagi" Ya! Pasti dia
hendak mempcrmainkan Andika kembali, seperti saat di
tanah Jawa Dwipa dulu!"
Chin Liong terus memperhatikan Chin Chung dan
Andika yang terus melangkah tenang.
"Baik akan kuikuti dulu permainannya! Mungkin
aku bisa mengikutinya hingga ke tempat Putri Ying-lien
disembunyikan," putus Chin Liong akhirnya.
9 Malam itu dua sosok bayangan mengendapendap dalam gelap. Hanya temaram cahaya rembulan
yang membantu kedua bayangan orang itu menerabas
onak pohon-pohon di kaki Bukit Naga sebelah timur kota
Yingtienfu. Mereka terus mendekati ke arah sebuah
bangunan besar yang tersembunyi dalam lingkaran lebat
pepohonan randu, tepat di balik bukit itu. Tak tampak
adanya kesukaran pada perjalanan mereka. Jalan
menanjak penuh semak dan tak jarangbatang pohon
tumbang, dapat mudah dilalui. Keduanya seakan
sepasang rase. Lincah dan gesit.
Sesekali dua sosok bayangan itu terlihat
melompat ringan untuk melewati mulut jurang dalam dan
lebar. Tanpa menghasilkan suara sedikit pun, kaki
mereka menjejak mantap di bibir jurang, lalu
melanjutkan langkah dengan berlari-lari kecil.
Setelah tiba di puncak Bukit Naga, mereka mulai
menuruni semacam tebing berbatu. Sekitar dua ratus
depa dari puncak bukit itulah terlihat bangunan besar
yang berdiri pada kemiringan tebing.
Dari kejauhan, bangunan yang hendak disantroni
itu tampak menjulang angker ke angkasa. Dilihat dari
bentuknya, bangunan itu seperti sebuah benteng kuno
yang tak digunakan lagi. Dindingnyayang hitam kehijauhijauan karena berlumut, terbuat dari susunan batu-batu
cadas persegi. Pada dua sisi bangunan terdapat menara
yang seakan hendak menggapai langit. Di sekitar
dinding batu sepanjang kurang lebih tiga puluh tombak,
tak satu jendela pun, kecuali satu pintu gerbang besar.
Di masing-masing menara pada sisi benteng,
tampak dua orang sedang berjaga penuh siaga. Yang
terlihat hanya setengah tubuh mereka, karena berdiri di
mulut jendela pengintai, seukuran manusia yang
terdapat di sisi utara dan selatan. Sementara dua
jendela di menara yang lain menghadap arah timur dan
barat. Para penjaga itu berseragam prajurit kerajaan,
berwarna merah dengan tutup kepala dari kain berwarna
merah pula. Memang, sebelumnya mereka adalah para
prajurit kerajaan. Tapi kini mereka telah membelot
Tangan mereka masing-masing tampak memegang
tombak panjang di depan dada.
Rupanya penjaga itu tak mampu memergoki dua
penyelusup tadi yang kelihatannya berkepandaian tinggi.
Layaknya hantu, kedua penyusup itu tiba-tiba saja telah
sampai di salah satu atap menara, setelah sebelumnya
merayap tanpa suara bagai cicak pada susunan dinding
cadas bangunan tinggi ini. Seorang dari mereka
kemudian bergerak lincah ke arah jendela, secara
bergelayut di tonjolan dinding menara. Bersamaan
dengan gerak ayunan tubuhnya menuju jendela,
ditendangnya satu penjaga.
Bruk! Berikutnya, satu totokan cepat membungkam
penjaga naas itu sebelum mulutnya sempat membikin
keributan. Sementara, penjaga yang seorang lagi pun
menyusul menerima jatah totokan. Seperti tak pernah
terjadi apa-apa, tubuh kedua penjaga yang telah kaku itu
ditegakkan di ambang jendela oleh si Penyelusup.
Kini, kedua penyusup itu mulai menuruni tangga
menara yang berliku, bersambung dengan ruang bawah
tanah benteng kuno. Beberapa ratus tahun silam ruang
bawah tanah ini pernah digunakan sebagai tempat para
tahanan meringkuk.
Memang, kedua penyusup adalah Andika dan
Chin Chung yang menyamar sebagai Chin Liong.
Sebagai bagian dari rencana liciknya, dia pun membuat
satu laporan palsu pada Andika dua hari yang lalu.
Dikatakannya, ada seorang pemberontak yang membelot membocorkan rahasia tempat penahanan
Putri Ying-lien, dan memberitahukan padanya letak
tempat itu. Andika memang termakan pancingan Chin
Chung. Makanya pemuda itu segera memutuskan untuk
mengadakan penyusupan.
Rencana lelaki licik itu tampaknya berjalan lancar.
Tapi tanpa sepengetahuan Chin Chung, ternyata ada
seseorang siap membongkar kedoknya mentah-mentah.
Tentu saja, saudara kembarnya sendiri. Chin Liong!
Sejak Andika dan Chin Chung berangkat menuju
benteng kuno, Chin Liong menguntit terus di kejauhan.
Pada saat yang menurutnya paling tepat, dia akan
memperingatkan Andika, siapa sebenarnya lelaki yang
kini bersamanya.
Sayang! Ketika baru saja hendak merayap ke atas
menara yang digunakan Andika dan Chin Chung
sebagai jalan masuk.
"Berhenti!"
Terdengar suara menggelegar yang mengejutkan.
ternyata ada beberapa orang yang memergoki Chin
Liong. Mereka bukan para penjaga yang baginya tak
begitu berarti untuk disingkirkan, tapi justru halangan
terberat yang mesti dihadapi! Empat Penguasa Penjuru
Angin! Orang yang berteriak adalah Si Pembawa Badai,
salah satu dari orang-orang yang melihat Chin Liong
lebih dulu. Sungguh sial bagi Chin Liong! Sungguh tak
biasanya keempat tokoh sesat kalangan atas Tiongkok
itu mengadakan pengawasan ke sekitar benteng kuno,
markas mereka Padahal hari-hari sebelumnya, mereka
menyerahkan pekerjaan itu pada para anak buah.
Tanpa banyak cakap, Chin Liong melompat turun
dari dinding benteng. Pedang Pusaka Langit yang masih
tersimpan dalam warangka di pinggang, digenggam
gagangnya erat-erat, siap menghadapi keadaan lebih
buruk. "Hey, siapa kau"! Wajahmu mirip Chin Chung.
Tapi, pasti kau bukan dia! Ooo, aku ingat! Kau pasti
saudara kembar Chin Chung yang tak sejalan
dengannya. Bukan begitu?" sambut lelaki tua bertubuh
kurus kering itu.
Chin Liong tak berniat menyahuti. Dia hanya
mendehem kecil. Wajahnya tetap dingin, diwarnai kilat
mata penuh siaga.
"Hm.... Tampaknya kau hendak membebaskan
junjunganmu, Putri Ying-lien nan cantik jelita itu. Huak
hak hak...!" Si Pembawa Badai mengalunkan tawa
serak, diikuti Dewi Seribu Diri di sampingnya.
Sementara, dua langkah di belakang mereka
tampak Pencuri Jantung dan Hantu Bisu Kaki Baja
berdiri dingin tanpa memperdengarkan tawa. Bahkan
sekadar seringai.
Chin Liong sadar, keadaan bahaya akan
mengancam Andika setiap saat di dalam sana. Karena,
pendekar tanah Jawa Dwipa itu tidak tahu kalau sedang
masuk perangkap. Maka Chin Liong tak ingin banyak
cincong lagi. Dalam sekali gerak, tangannya sudah
melepas Pedang Pusaka Langit dari sarungnya.
Sring...! "Kalian tentu tak akan sudi menyingkir begitu saja.
Sedangkan aku, tak punya waktu banyak untuk
meladeni mulut kalian. Karena itu, sebaiknya pertarungan dipercepat!" tantang Chin Liong tanpa
perubahan air muka.
Kini Pedang Pusaka Langit teracung tepat di
depan dada Chin Liong. Sinarnya yang merah membara,
menyapu wajah dingin Chin Liong. Sehingga, membuat
wajah lelaki muda itu tampak begitu angker.
Sementara itu keempat calon lawan Chin Liong
mendadak terpesona, menyaksikan keindahan pedang
di tangan Chin Liong. Tak hanya cahaya merah bara
memukau yang tak dimiliki pedang lain. Bentuknya pun
demikian memancing decak kagum. Gagangnya berbentuk naga terbang, perlambang kekuatan dan
kekuasaan. Sepuhannya dari emas, mengesankan
keagungan. Sedangkan bentuk batangnya memiliki
beberapa lekukan di ujungnya bagai ekor naga.
"Apakah aku tak salah lihat" Bukankah itu Pedang
Pusaka Langit yang menggegerkan dunia persilatan lima
ratus tahun yang lalu?" desis Si Pembawa Badai, tak
percaya. Mimik mukanya seperti seorang yang
menyaksikan taman firdaus di depan mata.
Sementara itu, lain lagi sikap yang diperlihatkan
Dewi Seribu Diri. Tiba-tiba saja, dia sesegukan bercucuran air mata. Sambil menyapu air mata dengan
punggung tangan, dia berbicara seperti nenek tua yang
terharu karena diberi sirih.
"Ooo, indah nian pedang itu. Alangkah bahagianya jika aku memilikmya."
Tampaknya, penyakit bawaan wanita itu mulai
kambuh kembali.
"Pedang ini memang Pedang Pusaka Langit," ujar
Chin Liong. "Kalian tentu tahu pula dari cerita rakyat,
kalau pedang ini akan meningkatkan kemampuan
seseorang berlipat ganda. Kini pedang ini ditanganku.
Maka kuperingatkan pada kalian, agar segera menyingkir dari sini!"
Mendadak saja, tiada angin tiada hujan, Dewi
Seribu Diri cekikikan meski wajahnya masih dibasahi air
mata. "Hik hik hik...! Apa kau sudah pikun, kalau kau
sedang berhadapan dengan Empat Penguasa Penjuru
Angin" Mana mungkin kami mau begitu saja diusir
seperti anjing buduk!" umpat wanita itu dengan wajah
keji. "Kalau begitu, kalian harus kusingkirkan

Pendekar Slebor 08 Pengejaran Ke Cina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

secepatnya!" tandas Chin Liong, tak ingin lebih banyak
buang waktu. Lalu dengan keyakinan dan sedikit kenekatan,
pemuda itu meluruk ke arah keempat tokoh sesat itu.
Padahal selama ini, dia tidak pernah sekalipun ingin
bermimpi untuk menghadapi. Ya, bahkan sekadar
mimpi! "Heaaa!"
Zing...! Di lain tempat, tepatnya di ruang bawah tanah
benteng kuno, Andika dan Chin Chung yang mengaku
sebagai Chin Liong, dengan mudah memberesi lima
penjaga penjara tua tempat Putri Ying-lien disekap.
Setelah mendapat
kunci, Pendekar Slebor bergegas membuka jeruji baja penjaga. Di situ, putri
mahkota kerajaan itu ditemukan dalam keadaan
menyedihkan. Wajah, tubuh, dan pakaiannya kumal.
Wajahnya yang cantik tampak memucat. Tangannya
yang terentang ke atas, terbelenggu rantai baja. Seluruh
tubuhnya tampak lemah tak berdaya. Andika yakin,
wanita itu dalam pe- ngaruh totokan.
"Putri! Kau tak apa-apa?" tanya Andika khawatir,
sesaat setelah melewati pintu penjara. Didekatinya Putri
Ying-lien untuk membebaskan tangannya dari belenggu
baja. "K.. kaukah, Andika?" tanya Putri Ying-lien, lirih.
"Ya! Ini aku," jawab Andika seraya berusaha
memapah tubuh Putri Ying-lien yang hendak terjatuh
ketika belenggunya terbuka.
Di belakangnya, Chin Chung yang mengendapendap halus, melepas pedang yang dikira Pedang
Pusaka Langit dari belakang punggung Andika.
Gerakannya begitu hati-hati. Sehingga telinga seorang
pendekar yang terlatih seperti Andika, tak mau
menangkapnya. Agaknya, siap menjemput si Pendekar Slebor.
Jarak yang demikian dekat, membuat Andika tak akan
mungkin sempat lagi menghindar, jika pedang itu
lerayun cepat. Mungkinkah nyawa Pendekar Slebor telah tiba di
ambang maut" Ternyata di luar perhitungan Chin Chung
sama sekali. sepasang telinga Putri Ying-lien yang
sudah menjadi pengganti matanya, masih mampu
menangkap desing amat halus.
"Andika! Awas di belakangmu!" sentak Putri Yinglien, memperingatkan.
Pada saat yang bersamaan, Chin Chung
mengayunkan senjatanya tepat ke tengkuk Andika.
Kalau saja yang diserang bukan Pendekar Slebor,
seorang jago tanah Jawa Dwipa yang memiliki
kecepatan siluman, sudah tentu pedang haus darah itu
akan segera menemui sasaran.
Zing...! Sekejapan sebelum mata pedang sampai di
tubuhnya, Andika telah lebih dahulu melesat ke
belakang. Langsung dilewatinya tubuh Chin Chung
sambil membopong Putri Ying-lien sekaligus.
"Kau...," geram Andika, begitu kakinya mendarat.
Kini baru disadari kalau dirinya telah termakan tipu daya
Chin Chung. "Hua ha ha...! Kau terkejut, Pendekar Bodoh"!
Sekali lagi kau terkecoh, bukan" Aku memang Chin
Chung. Terpaksa saudara kembarku kubunuh di Goa
Sejuta Lintah karena terlalu memaksaku," sesumbar
Chin Chung pongah.
Pendekar Slebor segera meletakkan tubuh wanita
yang dibopongnya ke sudut penjara. Dia harus bersiap
menerima serangan lawan, karena gelagatnya sudah
makin memburuk.
"Dan kau lihat ini, Tuan Pendekar Dungu!" Chin
Chung mengacungkan pedang tinggi-tinggi. "Inilah
Pedang Pusaka Langit! Berdoalah untuk mati! Karena
dengan pedang mi, aku mungkin bisa lebih cepat
mengirimu ke dasar neraka!"
Pendekar Slebor mengepalkan kedua tangannya
dalam geram tak terhingga. Berbareng dengan itu,
rahangnya mengejang dan matanya berkilat murka. Dia
pernah merasakan, bagaimana kehebatan tenaga lawan
yang telah diperkuat kesaktian Pusaka Langit di Danau
Panca Warna dulu (Baca kisah Pendekar Slebor berjudul: "Pusaka Langit"). Kini Pendekar Slebor tak mau
gegabah menghadapinya. Tanpa perlu menimbang lebih
lama, segera kain pusaka yang selama ini hanya
tersampir di pundaknya dilepas.
"Percayalah,
Manusia Kentut. Kau akan membayar semua nyawa orang-orang yang dekat
denganku," serapah Andika seperti menggeram. Sudut
bibirnya terangkat, menandakan dirinya sedang berada
di tepi batas kemarahan.
"Mimpi! Kau hanya bermimpi, Andika! Kau tak
akan mungkin mengalahkanku. Hua ha ha... Apa kau
pi...." "Diam!" bentak Andika menggelegar.
Seketika Chin Chung tersentak kaget, hingga
kata- katanya terputus. "
Kenapa kau tak langsung membuktikannya" Apa
kau takut dengansenjataku" He he he...," kata Andika
sambil menyeringai. "Asal kau tahu saja. Kain ku ini, biar
butut bisa dipakai membuntal manusia kentut macam
kau! Kau boleh menyebutnya buntalan kentut, tapi akan
membuatmu terkentut-kentut. Ya! Meski pun kau
berusaha takkentut. Tapi, kau pastiakan kentut...
Kentut!" Wajah Chin Chung merah padam. Tak ada
manusia waras yang sanggup menerima celaan
keterlaluan Pendekar Slebor. Dialah kini yang justru
nyaris meledak murka.
"Mampus kau, Pendekar Dungu!"
Berbarengan dengan umpatan, disambarnya
Pendekar Slebor dengan sapuan pendang ke batang
leher. Zing...! "Wait! Hia-haaa! Kau mau membabat setan
bingung?" ejek Pendekar Slebor, setelah mampu
menghindari tebasan dengan menggeser kaki dua
langkah. "Aku di sini, nih!"
"Haiiih!"
Chin Chung kembali menggempur telengas.
Serangkai sabetan beruntunnya diarahkan ke beberapa
bagian tubuh Pendekar Slebor.
Seperti tak sudi diserang terus, Andika mulai
melakukan elakan yang diimbangi serangan balasan.
Sewaktu pedang itu menusuk lurus ke ulu hatinya,
tangan kanan yang memegang kain pusaka bergerak,
membuat satu lecutan ke depan.
Cret! Trang! Saat itu juga, pedang yang dikira Pedang Pusaka
Langit terpatah menjadi tiga bagian, tertampar kain
Pusaka Pendekar Slebor. Tak diragukan lagi. Andika
telah menyalurkan sebagian inti kekuatan warisan
Pendekar Lembah Kutukan pada senjata yang jarang
digunakannya. Terbukti, seketika tercipta percikan
bunga api, manakala kain pusakanya menghancurkan
senjata lawan. Chin Chung bukan main terperangah mendapati
pedang di tangannya tak utuh lagi. Mana mungkin bisa"
Bukankah yang digenggamnya sekarang adalah pedang
pusaka terbuat dari batu langit yang keampuhannya tak
diragukan"
Dan yang terkejut ternyata bukan hanya dia.
Andika pun sampai terbelalak tak percaya dengan
penglihatannya sendiri. Mulutnya bahkan terbuka lebar
kebodoh-bodohan. Sesaat kemudian, baru disadari
kalau pedang di tangan lawan bukanlah Pedang Pusaka
Langit. "Hia hik hik..," Andika terkikik geli ingin mengejek.
"Kau salah culik pedang Chin Chung!"
Pendekar Slebor sampai memegangi perutnya
karena-menahan tawa.
"Melihat cahaya merah baranya tadi, aku sempat
yakin, lho! Tapi nyatanya... huaaa ha ha... nguk!" Andika
memajukan bibirnya. "Pedangmu hanya dari tulang
monyet! Nang, ning, ning, nang, ning, kung...."
Andika makin urakan. Tangannya malah melenggak-lenggok seperti menari ketoprak.
"Apa"!
Kau akan berkicau kalau bisa membunuhku dengan senjata bohongan itu?" lanjut
Pendekar Slebor.
Napas Chin Chung turun naik memburu.
Benaknya terasa menjadi kacau balau tak karuan.
Terbang sudah harapannya dapat menghabisi lawan
setangguh Pendekar Slebor!
"Sudah...! Lebih baik, lari saja sana. Hus! Hus!
Hus!" leceh Andika.
"Aku bukan pengecut!" bentak Chin Chung gusar.
Dibantingnya gagang pedang dari tangan. "Telanjur basah! Aku akan tetap mengadu jiwa denganmu!"
Setelah itu, Chin Chung menggenjot tubuhnya
untuk keluar dari tempat ini.
"Lho-lho-lho" Katanya mau mengadu jiwa?"
"Aku tunggu di luar!" teriak Chin Chung, membuat
keputusan. Disadari, bertempur dengan pendekar kawakan tanah Jawa Dwipa seperti Andika di ruang sempit
seperti itu, sungguh amat tak menguntungkan.
Sementara itu, Andika segera menjemput tubuh
Putri Ying-lien. Selanjutnya disuruhnya Chin Chung
keluar. *** Sementara di tempat lain, Chin Liong tengah
berada di titik tergawat menghadapi Empat Penguasa
Penjuru Angin. Sebagai orang persilatan, Chin Liong
masih tergolong hijau. Sehingga kepandaiannya masih
jauh tertinggal dalam pengalaman bertarung. Meski di
tangannya kini tergenggam senjata sakti yang mampu
melipatgandakan kekuatan dan kecepatan seperti
keperkasaan seratus gajah dan kelincah walet muda,
tetap saja Chin Liong terdesak.
Dalam empat puluh jurus saja, pemuda itu mulai
tertekan oleh barisan tempur tak terkalahkan milik
Empat Penguasa Penjuru Angin.
Sampai suatu ketika, sebuah sapuan angin puting
beliung dari kesaktian pamungkas Si Pembawa Badai,
meruntuhkan benteng pertahanan Chin Liong. Tubuhnya
jadi terhuyung limbung ke sisi kanan. Tepat pada saat
itu, Dewi Seribu Diri menyabetkan selendangnya yang
disusul oleh hantaman buntalan Hantu Bisu Kaki Baja
yang demikian cepat.
Cletar! Bugkh! "Akh!"
Dua deraan senjata lawan pada bahu kanan dan
punggung, membuat Chin Liong terlempar ke tanah
beberapa tombak disertai muntahan darah segar. Lebih
dari itu, Pedang Pusaka Langit yang jadi andalannya
terlempar tinggi ke udara.
Pada saat yang bersamaan, Chin Chung tiba.
Tubuhnya langsung melayang tinggi, menyambar
pedang sakti itu.
Tep! "Hua ha ha...! Inilah pedang yang kudambakan!"
seru Chin Chung dengan kegembiraan membludak,
setelah kakinya menjejak tanah. "Sebelum mampus, kau
boleh berkoar sepuas-puasmu, Pendekar Slebor!"
Sementara itu Andika yang baru saja meletakkan
tubuh Putri Ying-lien di tempat aman, menatap tajam ke
arah Chin Chung.
"Kau harus memastikan kalau pemuda asing itu
mati, Chin Chung! Karena, kami akan membantumu!"
timpal Si Pembawa Badai yang berdiri lima langkah di
sampingnya. "Aku ingin, kita menumpas semua
penghalang yang mencoba usil terhadap rencana kita
menguasai negeri ini!"
Tubuh Andika seketika menegang hebat. Bukan
saja harus berhadapan dengan orang yang memiliki
Pedang Pusaka Langit, tapi Pendekar Slebor juga harus
berhadapan dengan empat tokoh sesat tersakti di
daratan Tiongkok. Ini benar-benar sebuah pertarungan
habis-habisan! "Andika.... Jangan menyerah! Bantulah kami.
Hanya kau satu-satunya yang kami harapkan!" seru
Chin Liong terbata-bata sambil memegangi dadanya.
Ksatria Tiongkok itu tampak berusaha merangkak ke
arah An?dika. "Kau masih hidup, Chin Liong?" tanya Andika


Pendekar Slebor 08 Pengejaran Ke Cina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gembira mengetahui kawannya ternyata masih bernyawa. "Apa kau baik-baik saja?"
"Jangan pikirkan aku, Andika Hadapi saja
mereka!" Baru saja Chin Liong menyelesaikan kalimatnya,
Hantu Bisu Kaki Baja melepaskan senjata rahasia
berbentuk kepingan uang logam yang diambil dari
buntalannya. Wes, wes, wes...!
Bles, bles, bles. J
"Aaakh!" Chin Liong menjerit sekuat-kuatnya. Di
telinga siapa pun, jeritan tadi tertangkap laksana
dentang kematian.
Mata Andika kontan terbelalak melihat nasib yang
diterima Chin Liong. Giginya bergemelutuk keras.
Wajahnya mendadak terbakar matang. Seluruh tubuhnya bergetar hebat. Kemarahan benar-benar telah
tiba di puncaknya. Di depan mata kepala sendiri,
sahabatnya telah dihabisi secara keji!
"Chin Liong...," teriak Pendekar Slebor sejadijadinya, bersama seluruh otot di tubuhnya yang
meregang. "Akan kuhabisi kalian semuaaa!"
Amukan Pendekar Slebor tak terbendung lagi.
Lalu.... "Hiaaah!"
Pendekar Slebor langsung meluruk, melabrak
Hantu Bisu Kaki Baja sebagai orang yang mula-mula
akan dimusnahkannya.
Seluruh kesaktian yang terpendam dalam tubuhnya kini membuncah keluar,
membentuk cahaya keperakan menyelimuti tubuh.
Seketika jurus pamungkasnya langsung dikerahkan.
Suatu jurus yang pernah diciptakan di Lembah Kutukan,
'MemapakPetir Membabibuta'.
Melihat gelagat yang tak baik, empat tokoh sesat
yang tergabung dalam Empat Penguasa Penjuru Angin
cepat membentuk barisan tempur andalan. Dengan
barisan ini, mereka memang masih bisa menyelamatkan
nyawa Hantu Bisu Kaki Baja. Begitu Pendekar Slebor
mendekat, kawan-kawan Hantu Bisu Kaki Baja langsung
menyambar tubuhnya. Kemudian, mereka segera
mengurung Andika yang telah mendarat kembali di
tanah setelah berputaran beberapa kali.
Namun begitu, tak luput senjata lelaki buntung itu
terhajar tinju maut Andika. Buntalan berisi pasir baja
yang langka itu berhamburan, bagai semburan gunung
api. Puncak kekuatan Pendekar Slebor rupanya telah
membuat butir-butir pasir itu menjadi panas membara.
"Chin Chung, bantu kami!"
Tindakan Andika sungguh membuat terperangah
semua orang. Kenyataan itulah yang mendesak Si
Pembawa Badai untuk berteriak pada Chin Chung.
"Hiaaa...!"
Dengan satu teriakan membanaha, Chin Chung
melompat ke tengah pertempuran. Pedang Pusaka
Langit langsung dibabatkan ke tubuh Pendekar Slebor.
Kesaktian yang terkandung dalam senjata itu menyebabkan pedang di tangannya memancarkan
cahaya merah bara yang lebih terang dari sebelumnya.
Dan gesekan pedang dengan udara, menghasilkan
bunga api yang terpercik ke segala arah.
Zing...! Sayang yang dirangsek Chin Chung bukan anak
kemarin sore. Apalagi seluruh kesaktian Pendekar
Slebor keluar sampai pada puncaknya. Satu geseran
kecil tubuhnya saja, telah cukup menyelamatkan Andika
dari tebasan kejam Chin Chung.
Melihat serangannya gagal, Chin Chung langsung
mencecar Pendekar Slebor dengan gempuran beruntun.
"Hiah!"
Zing... wesss... zing... zing!
Berlipat gandanya kecepatan lelaki Tiongkok itu,
memaksa Pendekar Slebor berkelit semampunya. Andai
saja Chin Chung tak memegang Pedang Pusaka Langit,
gempuran seperti itu sudah pasti dapat dimentahkan
kecepatan sakti warisan Lembah Kutukan milik
Pendekar Slebor. Tapi, persoalan jadi lain jika ada
pedang itu masih di tangannya.
Empat sabetan membentuk putaran ke bawah di
sekujur tubuh dapat dihindari Andika. Namun pada
sabetan kelima yang begitu tipis jaraknya, tak bisa lagi
die- lakkan. Sehingga...
Sret! "Aaakh...!"
Bahu kiri Pendekar Slebor jadi terkoyak dalam
diiringi keluhan tertahan. Tampak bagian kulit luarnya
menghangus. Rasa sakit yang dideritanya lebih hebat
daripada sambaran petir yang pernah menggores
kulitnya, kala menjalani penyempurnaan di Lembah
Kutukan. Dan ini sangat mengganggu pusat perhatiannya. Pada saat yang tak menguntungkan, mendadak
Pencuri Jantung memanfaatkannya. Satu sambaran jari
meluncur ke dada kiri Pendekar Slebor. Seperti
julukannya, tampaknya jantung Andika hendak didongkel keluar.
Bes! Kalau saja selubung tenaga sakti di sekitar tubuh
Pendekar Slebor tidak lebih kuat daripada tohokan jari
Pencuri Jantung, entah bagaimana nasib yang akan
dialaminya. Tapi, bukan berarti Andika tak mengalami
luka. Tulang rusuk di dada kirinya saat itu terasa bagai
diremukkan dari dalam.
"Huaaa!"
Pendekar muda itu menjerit keras-keras, sehingga
bumi bagai bergetar. Lalu tubuhnya terpuruk menimpa
bumi, menimbulkan suara berdebam.
Selagi Pendekar Slebor bergulingan kesakitan di
tanah, Dewi Seribu Diri melepas sapuan selendangnya
ke perut Andika.
Cletar! Tubuh Pendekar Slebor kontan makin menggila
bergulingan di tanah. Kalau saja kekerasan hatinya
untuk membantu nasib negeri Tiongkok tidak ada, sudah
semenjak tadi kesadarannya hilang.
Sementara itu, langit di atas kancah pertarungan
mulai menebal. Arakan awan hitam bergerombol,
memekati angkasa. Musim memang baru saja berganti.
Hujan per lama akan segera membasahi bumi. Itu
sudah dapat dipastikan, karena tak lama kemudian
salakan guntur terdengar mengekori kerjap kilat di
udara. Dan kini rintik-rintik air pun mulai berlomba jatuh.
Di antara serbuan bulir-bulir air hujan, Pendekar
Slebor menerima serbuan yang lain. Suatu serbuan
telengas yang hendak merancah tubuhnya. Bagai
kawanan serigala lapar tak memiliki belas kasihan,
kelima lawannya melancarkan hantaman demi hantaman secara bergantian.
Andika terpaksa berjuang di batas hidup dan mati
dalam gelombang rasa sakit luar biasa. Penderitaan itu
menyedot kesadarannya sampai pada titik paling bawah.
Nyaris Pendekar Slebor tak sadarkan diri, sampai suatu
ketika.... Jlegarrr! Mendadak satu kilatan lidah petir menyergap
tubuh Pendekar Slebor. Tenaga geledek raksasa itu
demikian menyilaukan, memaksa kelima lawannya
terhenyak beberapa tindak ke belakang, seraya
menghindari terpaan cahaya petir yang kuat, ke mata
masing-masing. Saat itu, mereka semua sudah mengira kalau
Pendekar Slebor, penghalang terberat ini telah tutup
usia. Mana ada manusia yang bisa bertahan hidup
diganyang petir" Nyatanya mereka salah duka, karena
memang sama sekali tak pernah tahu kalau dalam
seluruh jaringan tubuh Andika tersimpan kekuatan
mukjizat dari buah langka yang pernah dimakannya di
Lembah Kutukan. Mukjizat buah itu mampu menyerap
berjuta-juta kekuatan tenaga geledek.
Jauh di luar keyakinan mereka, tubuh pendekar
muda itu tiba-tiba meregang bersama sinar menyilaukan
di sekujur tubuhnya. Dari rebahannya, Andika segera
bangkit bagai hendak meledak.
Seketika, Empat Penguasa Penjuru Angin takjub
luar biasa, menyaksikan peristiwa yang di luar
jangkauan akal itu. Maka keempatnya terbelalak lebarlebar. Seluruh keberingasan mereka mendadak terbang
entah ke mana. Tubuh Pendekar Slebor kini makin bergetar hebat.
Ketika serangkum petir menyambar tubuhnya kembali,
terdengar erangan tinggi, seakan hendak membelah
langit. Kemudian....
Crash! Dari kedua telapak tangan Pendekar Slebor
mendadak membersit larikan menyilaukan sebagai
pelepas tenaga petir yang telah terkumpul di tubuhnya.
Tak ada sekerdipan mata, Hantu Bisu Kaki Baja dan
Pencuri Jantung tersambar cahaya yang tak sempat
dielakkan itu. Tubuh mereka langsung membersit sinar
terang. Setelah sinar itu menghilang, tubuh mereka pun
tak berbentuk lagi. Kecuali, tumpukan abu hitam yang
berhamburan tertimpa rintik hujan.
Sedangkan Chin Chung hanya bisa menahan
napas. Kerongkongannya mendadak tersedak. Begitu
pula Dewi Seribu Diri dan Si Pembawa Badai.
Bagaimana mungkin lawan bisa melakukannya"
Sebelum benak mereka mampu menjawab
kejadian aneh yang baru seumur hidup disaksikan, dua
larik sinar kembali membersit dari telapak tangan
Pendekar Slebor. Kini, giliran dua anggota Empat
Penguasa Penjuru Angin yang termakan kekuatan alam
itu. Jlegar! Jlcgar!
' Aaa.... Aaakh...!"
Terdengar dua jeritan menyayat, begitu sinar putih
menghantam jubah Si Pembawa Badai dan Dewi Seribu
Diri. Kedua tokoh sesat itu kontan terjengkang dengan
tubuh hangus jadi arang.
Chin Chung makin membelalak. Seluruh tubuhnya
jadi kaku. Dia benar-bena terbelenggu keterpesonaan
dan kebingungan yang berbaur menjadi satu.
Glarrr...! Sekali lagi petir menyalak. Kini tubuh Andika
kembali menjadi sasaran.
Glar.... Glarrr...!
Sekejapan saja terlepas kembali dua larik sinar
dari telapak tangan Pendekar Slebor. Sasarannya kini
tubuh Chin Chung.
Untung saja Chin Chung memegang Pedang
Pusaka Langit di depan tubuhnya. Karena secara
kebetulan, larikan sinar tadi pun menghantam pedang di
tangannya. Seketika satu kerjapan cahaya menyilaukan
tergipta, membuat tubuh Chin Chung terguncang hebat.
Mendapati dirinya masih dalam keadaan utuh,
Chin Chung segera menyadari kalau pedang di
tangannya telah mampu menyedot kekuatan cahaya
yang hendak menghanguskan. Merasa mendapat
harapan baru, cepat Pedang Pusaka Langit diputar ke
sekitar tubuhnya.
Glarrr.... Glarrr...!
Baru satu putaran, tangan Pendekar Slebor
kembali melepas dua larik sinar. Begitu cepatnya,
sehingga langsung melabrak Chin Chung.
"Aaa...!"
Naas bagi Chin Chung. Rupanya, gerakannya
telah menjadi satu kesalahan paling parah. Pada saat
pedang itu berada di bawah, sinar petir telah lebih dulu
sampai di bagian atas tubuhnya. Maka tubuhnya pun,
seperti rekan-rekannya yang lain, hangus menjadi debu
hitam yang tercabik.
Bumi menjadi tenang, kecuali deru angin dan


Pendekar Slebor 08 Pengejaran Ke Cina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangisan hujan mengisi alam. Pendekar Slebor berdiri
bagai patung tak bernyawa, dengan pandangan
menyapu ke arah mayat lawan-lawannya. Seluruh
pakaiannya sudah tak berbentuk lagi. Sementara, air
hujan meluncur perlahan di kulit wajahnya.
Bumi makin bisu. Hujan makin menyapu basah
seluruh permukaan tanah, ketika Andika menghampiri
tubuh Putri Ying-lien.
Terdengar keluh panjang wanita cantik itu, ma
nakala Andika membebaskan totokannya. Agar tubuhnya lebih segar, pendekar muda ahli waris
Pendekar Lembah Kutukan ini menyalurkan sisa hawa
murni ke bagian punggung Putri Ying-lien.
"Bagaimana keadaan Chin Liong?" tanya Putri
Ying-lien khawatir, setelah mendapat penyaluran hawa
murni. Di depannya Andika menggeleng lamban. "Dia tak
tertolong lagi...," jawab Pendekar Slebor putus asa.
"Kau yakin?"
Andika menatap manik-manik mata Putri Yinglien. Jelas sekali kalau wanita itu meminta secara tak
langsung untuk meyakinkan keadaan Chin Liong.
Memang. Sampai saat ini, Andika belum sempat
memeriksa keadaan Chin Liong. Dia hanya berpikir,
pemuda ksatria itu telah kehilangan nyawa.
Sebelum Andika bergegas bangkit untuk menghampiri Chin Liong, sepuluh depa di belakangnya
terdengar erangan. Ternyata erangan itu keluar dari
mulut penuh darah Chin Liong. Pemuda gagah itu
berjalan menyeret langkah, tak mau menyerah dengan
keadaan dirinya yang sudah begitu memprihatinkan. Di
tangannya kini tergenggam lemah Pedang Pusaka
Langit. "Chin Liong...," sebut Putri Ying-lien, seraya
menghambur ke arahnya. Dipapahnya lelaki kepercayaan yang pernah mencintainya.
"Tuan Putri. Kuserahkan Pedang Pusaka Langit ini
kepadamu," kata Chin Liong terseret-seret.
"Sekarang, tugasku telah selesai, bukan?"
Putri Ying-lien menerima pedang pusaka itu.
Bibirnya terukir sebaris senyum lega.
"Kenapa kau berkata begitu?" tanya wanita itu.
"Karena aku ingin menepati janji dengan
seseorang...," jelas Chin Liong.
"Seorang wanita?" tukas wanita ini, menggoda.
"Masa' nenek-nenek!" sela Andika.
Kata-kata Pendekar Slebor membuat Putri Yinglien tertawa renyah. Sedangkan Chin Liong hanya bisa
menyeringai kecil.
SELESAI Pohon Kramat 5 Joko Sableng 33 Dewa Cadas Pangeran Anak Rajawali 4

Cari Blog Ini