Pendekar Rajawali Sakti 26 Hantu Karang Bolong Bagian 2
percaya kalau hantu itu sudah musnah. Aku sendiri hampir tidak percaya waktu
Aden mengatakannya pertama kali..," kata Ki Giri ketika mempunyai kesempatan
bicara berdua bersama Rangga.
"Ki, apakah mungkin orang yang sudah mati dapat bangkit kembali?" tanya Rangga.
"Kalau percaya dengan adanya kebangkitan kembali, maka kau akan percaya
datangnya kehidupan kembali setelah manusia mati," sahut Ki Giri.
"Maksudku bukan itu, Ki," sergah Rangga.
"Kebangkitan dari alam kubur, maksud Aden?"
"Mungkin," nada suara Rangga terdengar ragu-ragu.
"Den, seumur hidupku belum pernah kudengar adanya orang mati bisa hidup kembali
setelah puluhan tahun, bahkan ratusan tahun terkubur.
Tapi.... Yah, mungkin saja hal itu bisa terjadi pada orang yang mati secara
tidak wajar, dan menyimpan dendam dalam hatinya,"
kata Ki Giri. "Dendam..."!"
"Itu juga belum pasti, Den. Banyak tokoh rimba persilatan yang tewas dalam
pertarungan. Dan yang pasti juga menyimpan dendam atas kekalahannya. Tapi toh mereka tidak
pernah muncul kembali setelah jasadnya terkubur di dalam liang."
"Ki, adakah satu ilmu yang membuat orang tidak bisa mati?" tanya Rangga.
"Ha ha ha...!" Ki Giri tertawa mendengar pertanyaan bernada ragu-ragu itu.
Sedangkan Rangga hanya tersenyum kecut.
Baru disadari kalau pertanyaan itu seperti membuatnya bodoh sekali. Pertanyaan
yang seharusnya tidak pernah terlontar dari seorang pendekar yang sangat ternama
dan disegani baik lawan maupun kawan.
"Dulu, ketika masih muda dan gagah sepertimu, aku juga sering mengembara. Selama
malang melintang di dalam rimba persilatan, belum pemah kudengar ada orang yang
mempunyai ilmu menolak kematian. Yaaah.... Memang, pernah juga mendengarnya,
tapi tidak pemah kupercayai!" kata Ki Giri.
"Ilmu apa itu, Ki?" tanya Rangga.
"Ilmu 'Batara Karang'," sahut Ki Giri.
"Ah! Sudahlah, Den. Tidak ada ilmu seperti itu. Semua makhluk
di bumi ini pasti mati. Dan itu sudah takdir yang digariskan Hyang Widi. Tidak
ada satu makhluk pun yang sanggup menentangnya."
Rangga terdiam. Tiba-tiba teringat salah satu kitab yang pernah dibacanya di goa
Lembah Bangkai, tempatnya selama dua tahun hidup bersama seekor burung rajawali
raksasa, Di dalam kitab peninggalan Pendekar Rajawali, gurunya, tertulis adanya
suatu ilmu yang bernama 'Batara Karang'. Tapi belum ada seorang pun yang sanggup
memilikinya. Meskipun ada yang mampu, tapi tidak akan mencapai kesempurnaan.
Ajal pasti merenggutnya juga.
Di dalam kitab itu juga tertulis agar Rangga tidak mempelajari ilmu terkutuk
itu, karena dapat menyesatkan orang yang mempelajarinya. Tetapi, benarkah Hantu
Karang Bolong memiliki ilmu 'Batara Karang'" Kalau memang benar, tidak mungkin
bisa terkubur selama puluhan tahun begitu. Orang yang memiliki ilmu 'Batara
Karang" tidak akan mati selama masih menyentuh tanah.
"Den, waktu makhluk itu mengubah ujud, apakah menyebutkan namanya?" tanya Ki
Giri setelah lama berdiam diri.
"Tidak, tapi hanya mengatakan satu kalimat saja. Dan itu ditujukan padaku,"
sahut Rangga. "Hm.... Dari ciri-ciri yang kau sebutkan, memang persis dengan si Hantu Karang
Bolong. Dia memang seorang pemuda yang sangat tampan.
Meskipun belum pernah bertemu dengannya, tapi sering kudengar sepak terjangnya.
Dunia benar-benar terancam kepunahan kalau memang dia bangkit kembali," jelas Ki
Giri setengah bergumam.
"Ki Giri tahu, bagaimana dia bisa terkubur?" tanya Rangga.
"Entahlah, aku tidak tahu pasti. Aku hanya mendengar dari cerita orang-orang tua
dulu saja," sahu Ki Giri tidak yakin.
"Katakan, Ki. Mungkin bisa bermanfaat,"
desak Rangga. "Dulu, Hantu Karang Bolong pernah menantang seorang pendekar tangguh yang pada
saat itu belum ada tandingannya. Mereka bertarung di sebelah Selatan Gunung
Puring, tempat Hantu Karang Bolong dikuburkan. Aku tidak tahu pasti, bagaimana
caranya pendekar itu bisa mengalahkan Hantu Karang Bolong,"
tutur Ki Giri. "Siapa nama pendekar itu, Ki?" desak Rangga lagi. Dia memang begitu berminat
untuk mengetahui lebih jauh perihal Hantu Karang Bolong itu.
"Pendekar Bayangan Dewa. Tempat tinggalnya dulu di Puncak Gunung Puring. Mungkin
sampai saat ini masih ada sisa-sisanya. Tapi telah lama tidak ada orang yang
pernah menginjak tempat itu lagi, karena harus melewati kuburan Hantu Karang
bolong. Memang ada jalan lain, tapi terlalu sulit ditempuh."
"Kenapa?" tanya Rangga ingin tahu.
"Selain daerahnya yang berbukit dan bertebing terjal, juga banyak binatang
berbisa. Belum lagi harus melewati daerah rawa berlumpur yang dapat menyedot apa
saja yang melewatinya. Lalu, juga harus melalui lebatnya padang berduri. Lain
halnya jika melewati kuburan Hantu Karang Bolong. Jalannya mudah dilewati dan
tidak ada hambatan sama sekali,"
jelas Ki Giri. "Berapa lama untuk sampai ke sana?" tanya Rangga lagi.
"Ah, Aden bercanda...," desah Ki Giri.
"Aku sungguh-sungguh, Ki."
"Sebaiknya jangan, Den. Lewat jalan mana pun juga sekarang ini, tidak akan mudah
mencapai Puncak Gunung Puring. Apalagi sekarang Hantu Karang Bolong telah
bangkit kembali. Itu pun kalau dia memang benar-benar bangkit dari kuburnya," Ki
Giri langsung bisa menebak maksud Rangga.
"Dia memang bangkit!"
Rangga dan Ki Giri terkejut begitu tiba-tiba terdengar suara lain dari arah
belakang. Serentak mereka menoleh ke belakang. Lebih terkejut lagi begitu melihat
seseorang yang berada tidak jauh di belakang. Rangga dan Ki
Giri saling berpandangan beberapa saat, kemudian sama-sama bangkit berdiri.
Sama sekali Rangga tidak menyadari kalau pembicaraannya dengan Ki Giri juga
didengar orang lain. Bahkan Ki Giri terkejut bukan main, sehingga tidak bisa
berkata apa-apa lagi. Kebisuan terjadi untuk beberapa saat lamanya.
*** "Laras! Sejak kapan kau di sini?" tanya Rangga setelah hilang rasa terkejutnya.
"Lama Juga. Yang jelas, semua yang kalian bicarakan telah kudengar," sahut
Laras. "Den Ayu! Bagaimana kau bisa begitu yakin?" tanya Ki Giri ingin tahu.
"Terus terang, sebenarnya aku takut untuk mengatakannya. Karena telah mendengar
semua pembicaraan kalian, maka kuputuskan untuk berterus terang. Aku tidak ingin
adanya jatuh korban lagi. Biarlah ayah mertuaku dan suamiku yang jadi korban,"
wajah Laras berubah mendung.
Laras melangkah menghampiri dan duduk di depan kedua laki-laki itu. Sebentar
dihirupnya udara banyak-banyak agar mendapat kekuatan untuk menceritakan semua
yang dilihatnya malam itu. Peristiwa yang selama ini disimpannya dalam-dalam.
Namun, kali ini berat rasanya untuk menyimpan beban itu. Dia tidak ingin orang
yang telah menyelamatkan dan menolongnya tewas di tangan makhluk liar itu.
"Rangga, kau ingat ketika pertama kali menemukan diriku?" tanya Laras pada
Pendekar Rajawali Sakti.
"Ingat," sahut Rangga mengangguk
"Kau juga ingat saat menemukan barang-barangku?" tanya Laras lagi.
"Tentu," lagi-lagi Rangga mengangguk.
"Apa yang kau lihat di dangau itu?"
"Tidak ada apa-apa, kecuali bercak-bercak darah. Aku tidak tahu, apakah sudah
lama atau masih baru. Dan bercak darah itu sudah bercampur air hujan dan
lumpur," sahut Rangga menjelaskan.
"Itu darah suamiku dan darah ayah mertuaku," jelas Laras agak tertahan suaranya.
Rangga terkejut mendengarnya. Ditatapnya dalam-dalam sepasang bola mata wanita
itu, seolah-olah ingin mencari kebenaran. Namun yang didapatkannya hanya
sepasang bola mata yang mendung dan agak berkaca-kaca.
"Aku berasal dari sebuah desa yang sangat terpencil, dan sudah tidak memiliki
siapa-siapa lagi sejak berusia tujuh tahun. Aku tinggal bersama seorang wanita
tua yang sangat kejam, dan memperlakukanku seperti binatang.
Aku harus patuh pada setiap perintahnya. Dia tidak segan-segan mencambuk, atau
mengurungku dalam kerangkeng kalau melakukan sedikit kesalahan. Sampai berusia
tujuh belas tahun, aku selalu hidup dalam tekanan dan penderitaan. Akhirnya,
datang seorang laki-laki tua yang membebaskanku dari wanita itu..," tutur Laras
tentang kehidupan pahitnya.
Rangga dan Ki Giri saling pandang. Mereka diam saja, mendengarkan penuh
perhatian. Baru kali inil Laras mau terbuka tentang dirinya.
"Laki-laki tua itu kemudian membawaku pergi. Aku tidak bisa memberikan apa-apa
untuk membalas jasanya. Maka ketika diminta untuk jadi menantunya, aku tidak
bisa menolak, sehingga mendapatkan seorang putra. Anak itu
kami beri nama Surya Paku. Dengan nama itu, aku berharap datangnya sinar
kebahagiaan yang selama ini tidak kunjung menyinariku. Tapi semua harapanku jadi
sia-sia, karena ternyata ayah mertuaku seorang kepala penyamun.
Akhirnya, hari naasnya datang. Seluruh anak buahnya tewas oleh pasukan kerajaan
yang dirampasnya. Kami lari, hingga sampai di Lereng Gunung Puring," kembali
Laras berhenti.
"Bagaimana mungkin kau tidak tahu pekerjaan ayah mertua dan suamimu?" tanya
Rangga. "Aku tidak pernah menanyakan setiap kali mereka pergi. Yang penting, aku hanya
berbakti saja, karena merasa berhutang budi pada mereka. Pada suatu saat,
suamiku bercerita akan pergi ke suatu tempat. Aku takut. Tapi karena sudah
terlanjur mencintainya, aku rela ikut bersamanya ke mana saja pergi"
"Kau tahu tujuannya?" tanya Rangga lagi.
"Suamiku memang memberitahu, meskipun seharusnya tidak boleh untuk diceritakan.
Dan aku harusberpura-pura tidak tahu di depan ayahnya."
"Ke mana?" desak Rangga. "Puncak Gunung Puring." "Puncak Gunung Puring.."! Apa
maksudnya kesana?" Ki Giri terperanjat.
"Menurut suamiku, di sana kami bisa bangkit kembali. Bahkan bisa lebih besar
lagi. Aku sendiri tidak mengerti, apa yang dicari suamiku di sana. Aku juga tidak mau
banyak tanya, dan hanya menurut saja."
"Lalu, apa yang terjadi saat tiba di Lereng Gunung Puring?" tanya Rangga.
"Mengerikan...!" desis Laras.
"Ceritakan," desak Ki Giri. "Kami tiba sudah malam dan hujan lebat. Ayah
mertuaku memilih sebuah dangau untuk beristirahat sambil
menunggu hujan reda. Di situ...," Laras tidak sanggup lagi meneruskan.
"Apa yang terjadi, Laras?" desak Rangga.
"Makhluk itu.... Makhluk itu tiba-tiba muncul setelah kilat menyambar kuil
kecil. Kuil itu terbakar, dan makhluk itu muncul dari kobaran api...," Laras
kembali terhenti. Ditutupi wajahnya dengan telapak tangan, tidak sanggup
membayangkan peristiwa mengerikan itu.
"Hhh...! Sudahlah, Laras," desah Rangga tidak tega.
"Aku tidak tahu lagi lalu lari...!" Laras mulai menangis.
Rangga menarik napas dalam-dalam.
Ditatapnya Ki Giri yang saat itu juga tengah menatap padanya. Sesaat kemudian Ki
Giri melingkarkan tangannya pada pundak Laras. Lalu membawanya bangkit berdiri.
Sebentar laki-laki tua itu menatap Pendekar Rajawali Sakti, kemudian membawa
Laras kembali masuk ke dalam rumahnya.
Sementara Rangga masih duduk diam di tempatnya. Di dalam benaknya, kembali
terulang cerita Laras lalu dihubungkan dengan semua yang dialaminya. Hanya satu
yang menjadi pertanyaannya. Untuk apa mereka ke Gunung Puring" Dan apa yang
dimaksudkan suami Laras dengan kebangkitan yang lebih besar"!
Rangga masih memikirkan hal itu sampai Ki Giri datang kembali, dan duduk di
depannya. Tampak raut wajah laki-laki tua itu tidak seperti biasanya yang selalu ceria,
penuh kata-kata menggoda. Rangga melirik saat mendengar desahan napas panjang
keluar dari hidung Ki Giri.
"Mungkin hari kiamat sudah dekat, Den,"
gumam Ki Giri seraya mendesah panjang.
Rangga mengangkat kepalanya, dan langsung menatap ke bola mata laki-laki tua di
depannya. Tidak dimengerti kata-kata Ki Giri barusan. Meskipun sudah menduga,
tapi belum yakin.
"Ramalan bahwa Hantu Karang Bolong bangkit kembali dari kuburannya ternyata
benar. Dan ini pertanda suatu malapetaka besar. Tidak ada seorang pun yang
sanggup menandingi kesaktiannya. Hanya...," kata-kata Ki Giri terputus.
"Hanya apa, Ki?" desak Rangga.
"Ah! Sudahlah, Den. Tidak ada gunanya dibicarakan lagi."
"Ki...," Rangga tetap mendesak.
Ki Giri menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat. Sebentar
ditatapnya dalam-dalam Pendekar Rajawali Sakti itu, kemudian kepalanya
digelengkan beberapa kali disertai hembusan napas panjang.
"Tidak ada gunanya, Den. Hantu Karang Bolong tidak mungkin bisa dikalahkan. Dia
bukan manusia, tapi jelmaan iblis neraka yang ingin menghancurkan manusia di
atas bumi ini,"
kata Ki Giri terasa berat mengatakannya.
"Tapi mengapa dia bisa dikalahkan Pendekar Bayangan Dewa?"
"Itu dulu, Den. Sekarang pendekar itu sudah tidak ada lagi."
"Pasti ada satu senjata ampuh yang dimiliki Pendekar Bayangan Dewa, sehingga
bisa mengalahkan si Hantu Karang Bolong itu. Hm...!
Dan ini tentu diketahui ayah mertua Laras ataupun suaminya. Aku yakin, mereka
menuju ke Puncak Gunung Puring untuk menemukan senjata itu. Yaaa...! Mungkin
inilah yang dikatakannya bangkit kembali yang lebih besar!" Rangga
gembira bisa menemukan jawaban dari pertanyaannya sendiri.
"Den...!" sentak Ki Giri bernada cemas.
"Aku harus ke puncak gunung itu, Ki.
Senjata Pendekar Bayangan Dewa harus kutemukan. Hantu Karang Bolong harus
dimusnahkan selama-lamanya, sebelum benar-benar menghancurkan dunia ini!" tekad
Rangga. "Jangan, Den. Berbahaya...! Lagi pula tidak ada yang tahu, di mana dan bagaimana
senjata itu. Sia-sia saja, Den. Tidak ada gunanya," cegah Ki Giri, jelas nada
suaranya begitu cemas.
"Apa pun bentuknya, senjata itu pasti ada.
Dan harus kutemukan sebelum ada yang mengetahui tentang ini, Ki. Aku yakin,
Pendekar Bayangan Dewa menggunakan senjata itu untuk mengalahkan Hantu KarangBolong. Aku yakin, Ki!" tegas kata-kata Rangga.
"Tapi...."
"Tolong jangan cegah aku, Ki," potong Rangga cepat. "Aku akan berterima kasih
sekali jika Ki Giri bersedia menerima Laras sebagai anak, dan mengijinkannya
tinggal di sini.
Kasihan dia," kata Rangga pelahan.
Ki Giri menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. Terdengar desahan panjang
dan berat. Bisa dipahami jiwa kependekaran pemuda itu. Dan jiwa itu dulu juga
ada dalam dirinya ketika masih malang melintang dalam rimba persilatan. Ki Giri
seolah-olah melihat dirinya kembali dalam diri Pendekar Rajawali Sakti.
"Baiklah, Den. Aku tidak akan mencegahmu lagi. Hanya pesanku, segeralah kembali
kalau gagal," ucap Ki Giri menyerah.
'Terima kasih, Ki."
"Masalah Laras, jangan dikhawatirkan. Dia boleh tinggal di sini sesukanya, asal
tidak bosan mengurusi laki-laki tua cerewet ini,"
gurau Ki Giri. Rangga tersenyum juga mendengar gurauan itu. "Kapan berangkat?" tanya Ki Giri.
"Besok, pagi-pagi sekali," sahut Rangga.
*** 6 Pagi-pagi sekali, sebelum matahari menampakkan diri, Rangga sudah memacu kuda
hitamnya meninggalkan rumah Ki Giri. Laki-laki tua itu mangantarkan sampai di
depan pintu rumahnya. Sebenarnya dia ingin ikut serta, tapi Rangga tidak
mengijinkan. Biar bagaimanapun, keselamatan Laras juga harus diperhatikan.
Jangan sampai wanita dan anaknya itu berada seorang diri di rumah ini. Ki Giri
hanya bisa berharap Rangga kembali dengan selamat, dan berhasil mengalahkan
Hantu Karang Bolong.
Rangga cepat memacu kudanya melintasi jalan Desa Caruban yang masih sepi
lengang. Namun mendadak lari kudanya dihentikan begitu tiba di perbatasan desa. Tampak di
depannya berdiri sesosok tubuh ramping. Di sampingnya seekor kuda putih tengah
merumput dengan tenang. Rangga melompat turun dar
Pendekar Rajawali Sakti 26 Hantu Karang Bolong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghampirinya.
"Ayu Kumala! Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Rangga begitu dekat dengan
gadis yang seperti sedang menantinya.
"Kau pikir, aku sedang apa di sini?" Ayu Kumala malah balik bertanya.
"Jangan main-main, Ayu."
"Aku serius!"
"Kau tidak bermaksud menungguku di sini, bukan?" tebak Rangga berharap meleset.
"Aku memang sengaja menunggumu," ringan sekali jawaban Ayu Kumala.
"Ayu..!"
"Jangan katakan aku wanita tidak tahu diri karena menunggu laki-laki di pagi
buta begini, Kakang!" potong Ayu Kumala cepat.
Rangga geleng-geleng kepala. Benar-benar sulit dimengerti sikap gadis satu ini.
Biasanya Rangga selalu bisa mengatasi setiap gadis yang mencoba masuk ke dalam
kehidupannya. Tapi menghadapi Ayu Kumala, Rangga seperti kehilangan akal. Sukar
baginya untuk menebak maksud yang terkandung di dalam hati gadis ini. Sikapnya
tidak pernah tetap, dan sukar sekali untuk bisa dipahami.
"Aku tahu ke mana kau akan pergi, Kakang.
Makanya aku menunggumu di sini," kata Ayu Kumala.
"Aku ada urusan penting, Ayu," jelas Rangga mencoba meminta pengertian.
"Begitu pentingkah sehingga melupakan diriku, Kakang?"
Rangga tidak bisa menjawab. Benar-benar sulit dimengerti sikap gadis ini. Tapi
dalam hatinya timbul juga kecemasan. Ayu Kumala selalu cepat mengetahui apa yang
terjadi di Desa Caruban ini. Bahkan jika setiap orang mempunyai rencana, pasti
dapat dike tahuinya.
Terlebih lagi kalau hal itu sangat diminati.
"Kita berangkat sekarang, Kakang," ujar Ayu Kumala.
"Berangkat ke mana"!" sentak Rangga terkejut. "Ke Gunung Puring," sahut Ayu
ringan. "Ayu...!"
"Kau pasti membutuhkanku, Kakang. Aku tahu jalan yang mudah ke sana. Ki Giri
sengaja tidak memberitahu kepadamu, supaya kau membatalkan semuanya. Dia terlalu
cemas dan takut kehilanganmu, celoteh Ayu Kumala lancar bagai air sungai
mengalir tanpa hambatan.
"Ayu, apa yang kau bicarakan?"
"Aku kan sudah bilang, aku tahu ke mana tujuanmu. Ayolah, nanti keburu siang."
"Tunggu dulu, Ayu!"
Ayu Kumala tidak jadi naik ke kudanya.
"Dari mana kau tahu semua ini?" tanya Rangga penasaran. Dia memang selalu
penasaran bila menghadapi gadis ini, yang sepertinya mengetahui semua kejadian
di sini. Ayu Kumala hanya tersenyum saja, kemudian melompat naik ke punggung kudanya.
Tanpa menghiraukan pertanyaan Rangga, gadis itu menghentakkan tali kekang
kudanya agar melaju.
Rangga bergegas melompat naik ke punggung kudanya, menyusul gadis itu.
"Ayu, jawab pertanyaanku! Dari mana kau tahu rencana kepergianku ini?" desak
Rangga. Ayu tetap tidak menjawab, tapi hanya tersenyum saja. Dia terus mengendalikan
kudanya. "Ki Giri yang mengatakannya padamu?" desak Rangga menebak.
"Bukan siapa-siapa," sahut Ayu tenang.
"Dengar, Ayu! Tujuanku sangat berbahaya.
Rencanaku akan kubatalkan kalau kau tidak mengatakan terus terang," ancam Rangga
jadi sengit. Ayu Kumala menghentikan langkah kudanya.
Dan Rangga juga demikian. Sebentar mereka saling pandang.
Tiba-tiba saja Ayu Kumala tertawa
terbahak-bahak, begitu renyah dan terbuka.
Rangga jadi dongkol, dan menggerutu dalam hati. Gadis ini benar-benar membuat
kepalanya berputar tujuh keliling. Baru kali ini Rangga merasa kewalahan
menghadapi seorang gadis nakal. Namun diakui, kalau Ayu Kumala benar-benar
cerdik. "Ayo, Kakang! Kita berpacu!" ajak Ayu Kumala. "Ayu.., tunggu! Kau belum menjawab
pertanyaanku!"
Tapi Ayu Kumala sudah menghentakkan tali kekang kudanya. Dan kuda putih Itu
berlari cepat bagai angin. Rangga bergegas memacu kudanya untuk mengejar gadis
itu. Dewa Bayu bukanlah kuda sembarangan, maka dengan cepat kuda putih yang
ditunggangi gadis cantik itu bisa disusul.
"Ayu, aku tidak main-main! Ini sangat berbahaya!" kata Rangga sedikit keras.
"Aku juga," sahut Ayu kalem.
"Kau benar-benar nakal!" gerutu Rangga.
"Biar, asal kau tidak mati sendirian!"
"Gila!" lagi-lagi Rangga menggerutu kesal.
"Kau akan membutuhkan orang gila, Kakang.
Percayalah!"
"Aku tidak akan percaya lagi kepadamu!"
"Oh, ya..." Lihat saja nanti."
Ayu kembali tertawa terbahak-bahak, dan terus memacu cepat kudanya mendaki
Lereng Gunung Puting. Sementara Rangga masih bersungut-sungut. Tapi, benarkah
dia akan membutuhkan gadis ini nanti" Atau sebaliknya, malah menambah kesulitan
saja. Yang jelas, Sekarang Ayu Kumala tidak bisa lagi disuruh pulang!
Untuk pertama kalinya, Rangga mengucapkan terima kasih kepada Ayu Kumala,
meskipun hanya dalam hati saja! Jalan yang dipilih Ayu Kumala memang mudah
dilalui, bahkan kuda mereka
dengan leluasa dapat berpacu kencang. Hingga matahari belum lagi sepenggalan,
ternyata sudah tiba di Puncak Gunung Puring. Mereka baru menghentikan lari
kudanya setelah sampai di tengah puncak gunung itu.
Sebentar Rangga memandangi sekitar Puncak Gunung Puring. Kabut tebal menyelimuti
seluruh permukaan puncak gunung itu. Udara dingin berhembus kencang membawa
butir-butir air bagai permata menghias dedaunan. Sungguh indah pemandangan di
sini, dan seolah-olah tidak menyimpan misteri apa pun. Namun Pendekar Rajawali
Sakti itu bisa merasakan adanya sesuatu yang ganjil, yang begitu kuat menghentak
jantungnya. Rangga tidak tahu, kekuatan yang dirasakannya saat ini. Yang jelas
dirasakan jantungnya jadi lebih cepat berdetak. Bahkan sepertinya aliran
darahnya tidak teratur.
"Hm...," gumam Rangga pelahan..
Pendekar Rajawali Sakti itu mencoba untuk menahan perasaan yang tiba-tiba saja
muncul dalam dirinya. Tapi semakin keras mencoba, semakin kuat pula daya tarik
itu terasakan. Rangga membuka aliran hawa murni dari pusat tubuhnya, dan mencoba mengalirkan ke
seluruh tubuh. Tapi, tubuhnya malah menggigil. Hawa murni itu balik menyerang
pusat kekuatannya.
Buru-buru ditarik kembali hawa murni dalam tubuhnya.
"Ada apa, Kakang?" tanya Ayu kumala.
Rupanya gadis itu memperhatikan sejak tadi.
"Tidak apa-apa. Hanya aku...," Rangga tidak melanjutkan.
"Kau merasakan ada kekuatan gaib di sini, Kakang?" tebak Ayu Kumala.
Rangga langsung menatap dalam gadis itu.
Hatinya benar-benar terkejut mendengar tebakan yang begitu tepat.
"Tidak perlu dirisaukan. Itu hanya sebuah gejala kekuatan gaib yang ada di
sekitar Puncak Gunung Puring ini. Semua orang akan merasakannya bila pertama
kali menginjakkan kakinya di sini. Nanti juga hilang sendiri,"
jelas Ayu Kumala.
Rangga tetap diam. Dan memang, dirasakan kekuatan daya tarik itu pelahan-lahan
mengendur. Dan akhirnya hilang sama sekali.
Dia jadi tidak mengerti, apa sebenarnya yang baru saja dirasakannya. Pendekar
Rajawali Sakti itu kembali menatap Ayu Kumala, seperti minta penjelasan.
"Rasanya tidak perlu dijelaskan, lagi, Kakang. Ki Giri pasti sudah mengatakannya
padamu," kata Ayu Kumala seolah mengerti arti tatapan Pendekar Rajawali Sakti
itu. "Kau sering ke sini, Ayu?" tanya Rangga menyelidik.
"Kadang-kadang," sahut Ayu Kumala enteng.
"Kau tahu, di mana letak makam Pendekar Bayangan Dewa?"
"Di sini," sahut Ayu tetap ringan suaranya.
"Kau jangan main-main. Ayu"
Ayu Kumala hanya tersenyum saja. Dituntun kudanya, dan ditambatkan di bawah
pohon beringin besar yang akar-akarnya menjuntai ke bawah. Rangga mengikuti,
lalu juga menambatkan kudanya di sana.
Kemudian diedarkan pandangannya ke sekeliling. Sama sekali tidak terlihat tandatanda kalau di sekitar sini ada sebuah makam.
Sepanjang mata memandang, hanya kelebatan hutan yang berselimut kabut cukup
tebal. Kembali ditatapnya Ayu Kumala yang tengah mengumpulkan ranting kering, dan
menumpuknya di dekat kuda mereka.
"Untuk apa itu?" tanya Rangga. "Membuat api," sahut Ayu kalem.
"Masih terlalu siang, Ayu. Untuk apa membuat api?" tanya Rangga jadi tidak
mengerti. "Kita akan bermalam di sini." Rangga menghampiri gadis yang sedang
menata ranting-ranting itu. Dipandanginya gadis itu dalam-dalam. Pendekar
Rajawali Sakti semakin merasakan adanya keanehan yang tersimpan dalam diri Ayu
Kumala. Satu misteri yang tidak mudah diungkapkan. Namun Ayu Kumala hanya
membalasnya dengan senyuman saja. Dihenyakkan dirinya, duduk di atas akar yang
menyembul dari dalam tanah.
"Kan sudah kubilang, kau akan membutuhkan diriku, Kakang," kata Ayu Kumala,
jengah juga dipandangi terus.
"Dan ini salah satu bantuanmu?" "Aku rasa masih ada yang lain. Percayalah, kau
tidak akan berhasil tanpa bantuanku. Yang dihadapi sekarang ini bukan lagi
manusia, tapi perujudan seseorang yang sudah mati puluhan tahun silam."
"Ayu! Tampaknya kau sudah tahu banyak.
Katakan, dari mana kau ketahui semua ini?"
desak Rangi tidak main-main lagi.
"Kau selalu mendesakku, Kakang. Baiklah, akan kukatakan terus terang. Tapi
kuharap jangan menyalahkan siapa-siapa. Ini semua untuk dirimu sendiri dan juga
seluruh manusia yang ada di dunia ini," kata Ayu Kumala bernada menyerah.
"Katakan, dari mana kau tahu semua ini?"
desak Rangga tidak sabar lagi.
"Baiklah. Tapi jangan tegang begitu dong...," goda Ayu masih juga bisa bercanda.
"Kunyuk!" gerutu Rangga dalam hati.
Dihenyakkan tubuhnya di rerumputan yang lembab.
"Aku tahu semua ini dari Ki Giri. Dia datang ke rumah dan menceritakan semua
rencanamu, dan semua yang kau ketahui tentang Hantu Karang Bolong...," Ayu
Kumala mengakui terus terang.
"Sudah kuduga...," dengus Rangga.
"Terus terang, tadinya juga tidak kupercayai kalau ada orang mati bisa bangkit
kembali. Tapi setelah ayahku menjelaskan semuanya, baru aku percaya. Terlebih
lagi aku memang sudah melihat sendiri. Memang menyeramkan, seperti mayat baru
bangkit dari kuburnya."
"Apa yang dikatakan ayahmu?" tanya Rangga.
"Sama seperti yang Ki Giri katakan padamu."
"Lantas, kenapa kau membantuku" Kau kan tahu pekerjaan ini sangat berbahaya."
"Ayah yang menyuruhku."
"Mustahil!" dengus Rangga tidak percaya.
"Aku berkata sesungguhnya, Kakang. Ayah begitu mengkhawatirkan dirimu. Demikian
pula dengan Ki Giri. Mereka yakin kalau kau Bdak akan berhasil tanpa bantuanku.
Kau tidak mungkin mendapatkan benda yang kau maksud di sini," kali ini nada Ayu
Kumala bersungguh-sungguh.
"Kenapa?" tanya Rangga.
"Karena yang dicari tidak ada di sini,"
tegas Ayu kumala.
Kembali Rangga menatap gadis itu dalam-dalam.
*** Waktu terus berjalan cepat. Senja mulai merayap turun menyelimuti permukaan
Gunung Puring. Matahari sudah demikian condong ke arah Barat, dan sebentar lagi
kegelapan akan menyelimuti alam ini. Sementara Ayu Kumala sudah menyalakan api
pada ranting-ranting yang tadi dikumpulkan. Rangga sendiri telah berhasil
menangkap tiga ekor kelinci gemuk yang bisa digunakan untuk makan malam.
Suasana di Puncak Gunung Puring ini semakin terasa lengang. Tak terdengar suara
binatang malam, tapi hanya desir angin saja yang mengganggu gendang telinga.
Udara semakin dingin, seakan-akan nyala api tidak sanggup mengusirnya. Semakin
gelap menyelimuti seluruh puncak, semakin senyap suasananya.
"Ayu! Kau tentu tahu tentang Hantu Karang Bolong dan Pendekar Bayangan Dewa,
bukan?" tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
"Tidak banyak, Ku pun kuketahui dari cerita Ayah dan Ki Giri," sahut Ayu Kumala.
"Pengetahuanmu tentu lebih banyak dariku."
"Tidak juga."
"Ayu, kau tentu punya alasan lain sehingga berada di sini, kan?"
Ayu Kumala tidak menjawab, tapi malah menundukkan kepalanya. Disembunyikan rona
merah yang mendadak saja menyemburat di wajahnya. Tapi Rangga sudah lebih dulu
melihat wajah yang bersemu merah dadu itu, dan ini tentu saja tidak
diinginkannya. Bisa diduga, alasan apa yang membuat Ayu Kumala berani
mempertaruhkan nyawanya di tempat sunyi penuh misteri ini.
"Kuharap, bukan karena alasan pribadi sehingga kau berada di sini, Ayu. Aku
lebih senang jika kau pertaruhkan nyawa karena menegakkan kebenaran dan
keadilan. Mengerti maksudku, Ayu?" lembut, namun sangat bermakna sekali katakata yang diucapkan Rangga.
"Aku mengerti, Kakang. Tapi apakah seseorang akan terhina jika...," Ayu Kumala
tidak melanjutkan kalimatnya. Pelahan-lahan dia mengangkat wajahnya, dan
ditatapnya lurus bola mata Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Kakang...," agak bergetar suara Ayu Kumala.
"Ah, sudahlah. Tidak pantas membicarakan masalah seperti ini dalam suasana
yang...," ucap Rangg tiba-tiba terputus.
Saat itu telinganya mendengar suara yang membuat aliran darahnya seketika serasa
berhenti mengalir. Rangga bergegas berdiri, dan melayangkan pandangan ke arah
suara yang tadi didengarnya. Suara yang begitu halus, bagai desiran angin.
"Ada apa, Kakang?" tanya Ayu Kumala.
"Ssst...," Rangga mendesis.
Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti itu melompat bagai kilat. Tubuhnya
langsung menerobos gerum bul semak yang bergerak menimbulkan suara gemerisik.
Namun begitu tubuh Pendekar Rajawali Sakti lenyap di dalam semak, mendadak saja
terdengar suara pekikan tertahan yang disusul melesatnya sosok tubuh ke angkasa
dengan cepatnya.
Tubuh itu kembali menukik keras, dan jatuh bergulingan di tanah yang berumput
lembab. Ayu Kumala memekik begitu mengenali tubuh yang
sedang berusaha bangkit berdiri itu. Buru-buru dia berlari menghampiri.
"Kakang...!" Ayu Kumala membantu Rangga berdiri.
"Ugh...!" Rangga berdahak sekali dan menyemburkan darah kental dari mulutnya.
Selagi Pendekar Rajawali Sakti itu bangkit, dari dalam semak belukar melesat
satu bayangan putih. Tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri seorang laki-laki
muda berwajah tampan, dan sorot matanya merah tajam. Laki-laki itu mengenakan
baju putih bersih agak ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap berotot.
Dia menatap tajam pada Rangga dan Ayu Kumala.
"Hhh! Menyesal memberi kesempatan hidup kepadamu!" dengus pemuda itu dingin.
"Siapa dia, Kakang?" tanya Ayu Kumala tidak lepas menatap laki-laki tampan yang
kini berada di hadapannya.
"Hantu Karang Bolong," sahut Rangga pelan.
"Oh...!" Ayu Kumala mendesah terkejut. Gadis itu tidak menyangka kalau orang
yang bernama Hantu Karang Bolong begitu tampan. Namun sorot matanya yang merah
membara bagai bola api itu.... Ayu Kumala tidak sanggup memandangnya terlalu
lama. Tengkuknya bergidik setiap kali menatap bola mata merah menyala itu.
"Menyingkirlah, Ayu," kata Rangga seraya mendorong gadis itu ke belakang.
Ayu Kumala melangkah beberapa tindak ke belakang. Tatapan matanya tidak lepas ke
arah pemuda tampan dan berwajah keras. Tatapan matanya tajam dan menusuk. Masih
belum dipercaya kalau laki-laki tampan itu adalah Hantu Karang Bolong, yang
namanya begitu ditakuti sepanjang zaman. Dan karena dia pula,
kini desanya kembali diliputi ketegangan dan kecemasan.
*** 7 Rangga menggeser kakinya ke kiri beberapa langkah. Dia ingin agar Ayu Kumala
jauh dari incaran orang liar yang sebenarnya sudah terkubur puluhan tahun lalu.
Pendekar Rajawali Sakti itu baru berhenti setelah Ayu Kumala cukup jauh dari
tempat itu. Sedikit diliriknya tempat gadis itu tadi berdiri, kemudian
Pendekar Rajawali Sakti 26 Hantu Karang Bolong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perhatiannya kembali tercurah pada laki-laki tampan yang dikenal bernama Hantu
Karang Bolong. "Sebelumnya, belum pernah aku memberi kesempatan hidup pada seseorang yang
lancang mencampuri urusanku. Tapi karena kau telah berjasa menyempurnakan
kehidupanku, maka baru kali inilah aku mengucapkan rasa terima kasih pada
manusia. Sayang, rupanya kebaikan hatiku kau sia-siakan," dingin dan datar suara
Hantu Karang Bolong.
"Terima kasih," ucap Rangga tidak kalah dingin-nya.
"Hm..., sekali ini aku rasanya masih bermurah hati lagi padamu. Dan sebaiknya,
cepat tinggalkan tempat ini sebelum aku berubah pikiran!" nada suara Hantu
Karang Bolong terdengar mengancam.
"Sayang sekali, aku ada urusan sendiri di sini," sahut Rangga.
"Aku tahu urusanmu, Anak Muda. Sayang..., terpaksa aku harus membunuhmu. Aku
tidak suka ada duri dalam diriku!"
"Begitu mudahnya kau mengatakan membunuh.
Rasanya sukar untuk kau lakukan," ejek Rangga geram.
"Ha ha ha...!" Hantu Karang Bolong tertawa terbahak-bahak. Sikapnya begitu
meremehkan, dan tidak memandang sebelah mata pun pada Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan Rangga sedikit pun tidak memandang ringan pada Hantu Karang Bolong.
Dua kali bentrok, dan sudah bisa diukur tingkat kepandaiannya. Meskipun saat itu
Hantu Karang Bolong masih berbentuk makhluk setengah mayat.
Dan Rangga belum bisa memastikan apakah akan mampu menghadapinya.
Akibat dari pukulan aji 'Cakra Buana Sukma', kehidupan Hantu Karang Bolong bisa
menjadi lebih sempurna lagi. Dan Rangga tidak bisa meramalkan, dengan ilmu apa
dia mampu menjatuhkannya. Setidaknya, sudah dicoba semua ilmu yang dimilikinya,
tapi waktu itu Hantu Karang Bolong yang belum] sempurna dalam kehidupannya malah
semakin liar saja. Bahkan kehidupannya menjadi sempurna.
"Dengar, Anak Muda. Semua ilmu yang kau miliki tidak ada seujung kuku dari yang
kumiliki. Kau memang boleh bangga dengan ilmumu. Tapi, di hadapanku kau harus
lebih banyak belajar lagi! Paling tidak, butuh waktu lima puluh tahun untuk
menyamai ku!" kata Hantu Karang Bolong pongah.
"Boleh kita coba," tantang Rangga.
"Keparat! Rupanya kau tidak bisa dikasih hati, Anak Muda!" geram Hantu Karang
Bolong. "Maaf, kau juga tidak bisa dibiarkan hidup lebih lama lagi. Tempatmu bukan di
sini. Seluruh Dewa di Kahyangan mengutuk kebangkitanmu kembali!"
"Ha ha ha...! Tidak ada satu Dewa pun yang bisa menandingi kesaktianku, Anak
Muda!" Hantu Karang Bolong semakin pongah.
"Tapi aku bisa membuatmu kembali mendekam di dalam kubur!"
"Kurang ajar! Kurobek mulutmu, bocah keparat!" Hantu Karang Bolong benar-benar
geram mendapat tantangan terbuka begitu. Dia segera berteriak nyaring, dan
melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Terjangan yang begitu cepat,
disertai lontaran dua pukulan dahsyat bertenaga dalam luar biasa.
"Hup!"
Rangga yang sudah siap sejak tadi, langsung melompat ke samping, seraya
mengirimkan satu tendangan bertenaga dalam cukup sempurna. Serangan Hantu Karang
Bolong luput dari sasaran, namun tendangan Rangga juga mengenai tempat yang
kosong. Mereka kembali saling berhadapan, dan kembali bersiap untuk melakukan
pertarungan. "Hiya...!"
"Yaaa...!"
Pertarungan tidak bisa dihindari lagi.
Masing-masing segera mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Sementara itu
di tempat yang cukup jauh, Ayu Kumala memperhatikan jalannya pertarungan itu
dengan hati diliputi kecemasan. Kepalanya menjadi pening mengikuti setiap
gerakan dua tokoh sakti itu. Sangat sukar bagi Ayu Kumala untuk mengikuti setiap
gerak pertarungan itu.
Dan memang, baik Rangga maupun Hantu Karang Bolong bertarung menggunakan jurusjurus yang sukar untuk diikuti pandangan mata biasa. Jurus-jurusnya begitu cepat
dan sangat berbahaya. Terlebih lagi suasana saat ini begitu gelap, karena malam
sudah turun menyelimuti permukaan Puncak Gunung Puring ini. Ditambah kabut yang semakin
tebal, sehingga menyulitkan pandangan.
*** Sementara pertarungan di Puncak Gunung Puring terus berlangsung. Dan di kejauhan
terlihat beberapa ekor kuda sedang mendaki Lereng Gunung Puring itu. Ada sekitar
delapan ekor kuda yang dipacu cepat. Tampak paling depan, Ki Giri bersama Kepala
Desa Caruban. Suara ledakan dan gemuruh dari puncak gunung, membuat mereka menghentikan lari
kudanya. Ki Giri dan kepala desa itu saling berpandangan sesaat. Tampak wajah
mereka begitu diliputi kecemasan. Mereka sama-sama memandang enam orang pemuda
yang berada di belakang. Mereka semua membawa senjata golok yang terselip di
pinggang. "Bagaimana, Ki Bonang?" tanya Ki Giri seolah meminta pertimbangan.
"Hm...," Ki Bonang hanya menggumam tidak jelas. Pandangannya kembali mengarah ke
puncak gunung yang kelam tertutup kabut tebal.
"Sepertinya mereka sudah bertarung, Ki,"
kata Ki Giri lagi, yang juga tengah menatap ke arah Puncak Gunung Puring.
"Hm..., mudah-mudahan kita belum terlambat membantu Pendekar Rajawali Sakti,"
ucap Ki Bonang setengah bergumam.
"Kenapa tidak kau berikan saja Besi Kuning itu pada anakmu?" tanya Ki Giri
seraya menghentakkan tali kekang kudanya.
Ki Bonang tidak menyahut. Juga digebah kudanya agar kembali berpacu cepat
mendaki lereng gunung ini. Enam orang pemuda yang mengikutinya, juga segera
memacu kudanya mengikuti dua orang laki-laki tua yang terpandang di Desa Caruban.
Delapan ekor kuda itu terus berpacu cepat menembus pekat a maiam, dan kelebatan
hutan di sekitar lereng gunung itu. Namun sepertinya mereka sudah sering
meiintasi jalan ini, sehingga tidak sukar untuk mencapai Puncak Gunung Puring
ini. Mereka tiba setelah Rangga dan Hantu Karang Bolong bertarung menggunakan
ilmu-ilmu kesaktian.
Baik Ki Giri maupun Ki Bonang begitu terkejut melihat sekitar Puncak Gunung
Puring ini porak poranda bagai baru saja diamuk puluhan ekor gajah. Sementara
agak jauh di depan, dua orang tokoh sakti dan digdaya, sedang bertarung mengadu
ilmu kesak tian.
Sebentar-sebentar terdengar suara ledakan menggelegar, disusul memerciknya bunga
api ke segala arah.
"Ayah...!" terdengar seruan halus.
"Ayu...!" sentak Ki Bonang begitu melihat putrinya berlari mengrampiri.
Ayu Kumala langsung menghambur memeluk ayahnya, lalu segera dilepaskan
pelukannya. Ditatapnya Ki Giri serta enam orang anak muda di belakang kedua laki-laki tua
itu. Ayu Kumala menoleh memandang pertarungan yang masih berlangsung sengit.
"Apakah itu si Hantu Karang Bolong, Ayu?"
tanya Ki Bonang pada anaknya.
"Benar, Ayah," sahut Ayu Kumala tanpa menoleh.
"Hm...," gumam Ki Bonang tidak jelas.
"Tampaknya mereka masih memerlukan waktu lama, Ki Bonang," kata Ki Giri yang
berada di samping kepala desa itu.
"Ya, aku tidak yakin Pendekar Rajawali Sakti mampu menandingi Hantu Karang
Bolong," sahut Ki Bonang pelan.
"Kita lihat saja dulu," sergah Ki Giri.
Sementara pertarungan antara Rangga melawan Hantu Karang Bolong, terus
berlangsung sengit. Belum ada tanda-tanda bakal ada yang terdesak. Masih samasama tangguh, dan masih berimbang. Mereka bertarung sambil bergerak terus
menuruni Puncak Gunung Puring ini. Dan nampaknya Rangga sengaja mengajak Hantu
Karang Bolong menuju ke lereng sebelah Selatan.
"Pendekar Rajawali Sakti benar-benar cerdik!" gumam Ki Giri yang mengetahui
maksud Rangga menggiring Hantu Karang Bolong ke Lereng Gunung Puring sebelah
Selatan. "Mereka ke Selatan, Ki!" seru Ayu Kumala.
"Memang itu tujuan Pendekar Rajawali Sakti," sahut Ki Giri kalem.
"Celaka! Hantu Karang Bolong pasti murka kalau tahu digiring ke sana!" desak Ki
Bonang. "Mau ke mana, Ki Bonang?" tanya Ki Giri melihat Ki Bonang sudah melangkah cepat
mengikuti pertarungan yang bergerak terus ke arah Selatan.
"Memberikan Besi Kuning ini pada Rangga,"
sahut Ki Bonang terus saja melangkah cepat.
"Jangan sekarang!" cegah Ki Giri seraya mengikuti, dan mensejajarkan langkahnya
di samping Ki Bonang.
"Kenapa?" tanya Ki Bonang yang sudah merasa bersalah, karena tidak memberikan
Besi Kuning itu cepat-cepat pada Rangga.
"Biarkan mereka sampai ke tempat yang dituju dulu. Jangan merusak rencana Den
Rangga," kata Ki Giri.
Ki Bonang menatap laki-laki tua di sampingnya, kemudian menganggukkan kepalanya.
Mereka terus berjalan mengikuti dua tokoh yang masih bertarung sengit. Dan
memang jelas kalau Rangga sengaja mundur menarik perhatian si Hantu Karang
Bolong. Sama sekali Pendekar Rajawali Sakti tidak membalas serangan lawannya,
dan hanya berkelit dan berlompatan menghindari setiap serangan yang datang.
Namun gerakannya jelas menuju ke arah Selatan Lereng Gunung Puring ini.
*** Sementara orang-orang di Gunung Puring diliputi kecemasan melihat pertarungan
Rangga melawan Hantu Karang Bolong, demikian juga di rumah Ki Giri. Di sini,
Laras juga tengah diliputi kecemasan yang amat sangat. Semua yang terjadi di
Gunung Puring, berawal dari dirinya. Wanita ini benar-benar mengutuki dirinya
yang selalu menyebabkan kesengsaraan setiap orang. Di mana dia berada, selalu
terjadi bencana.
Sudah seharian Rangga dan Ki Giri
meninggalkan rumah ini. Dan Laras tahu, ke mana tujuan mereka meskipun tidak
diberitahu. Semua percakapan Ki Giri dengan Rangga telah didengarnya dari bilik kamar.
Dirasakan, semua peristiwa di sini karena kesalahan-nya. Kalau saja dia tidak
dilahirkan, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi. Sejak pagi buta, hingga
malam, dan datang pagi lagi, Laras selalu diliputi kecemasan.
Laras tidak bisa lagi menunggu di rumah ini. Dititipkan Surya Paku pada seorang
tetangga yang selalu baik padanya, kemudian bergegas pergi menuju ke Gunung
Puring. Sedikitnya dia pernah belajar menunggang kuda ketika tinggal bersama mertua dan
suaminya. Laras pergi menggunakan kuda milik Ki Giri, dan dipacu cepat kudanya bagai
kesetanan. "Hiya! Hiyaaa...!"
Laras semakin cepat memacu kudanya begitu melewati batas Desa Caruban dengan
Gunung Puring. Tapi belum juga jauh meninggalkan batas desa itu, mendadak
kudanya meringkik keras, dan kaki depan-nya terangkat tinggi.
Laras terkejut, tidak bisa lagi mengendalikan kudanya yang mendadak saja jadi
liar. Tubuh yang ramping itu terlontar jauh, dan jatuh keras ke tanah.
Kuda coklat belang putih itu juga jatuh menggelepar di tanah. Sebatang anak
panah tertancap dalam di lehernya. Sebentar kuda itu menggelepar, kemudian diam
tidak berkutik lagi. Laras berusaha bangkit berdiri, namun sebuah kaki besar
menahan dadanya. Kedua bola mata wanita itu membeliak lebar begitu melihat
seorang laki-laki tinggi besar, dan berwajah kasar berdiri sambil sebelah kaki
menekan dadanya.
"He he he.... Kau tidak bisa lepas dariku, Manis," laki-laki tinggi besar itu
menyeringai lebar.
"Oh...!" Laras berusaha melepaskan diri.
Kaki laki-laki itu terangkat. Kesempatan ini dimanfaatkan Laras untuk beringsut
kemudian bergegas bangkit. Tapi belum juga bisa berlari, muncul tiga orang lakilaki lain. Laras tahu kalau keempat orang inilah yang dulu pernah akan
memperkosanya di tepi sungai.
"He he he...!" keempat laki-laki beringas itu terkekeh, dan bibirnya menyeringai
lebar. Empat pasang mata liar menatap Laras, dan dipenuhi hawa nafsu yang meluap-luap.
Laras jadi bergidik, dan hanya celingukan dengan
wajah ketakutan. Empat orang laki-laki itu melangkah mendekati sambil tertawa
terkekeh-kekeh.
"Hup!"
Salah seorang yang berada di belakang Laras, melompat langsung menerkam wanita
itu. Laras memekik kaget, tapi terlambat. Tangan laki-laki itu sudah memeluk tubuhnya
kuat-kuat. Laras berusaha memberontak, melepaskan diri dari pelukan laki-laki
bertampang beringas itu Dia memekik, memaki, dan berteriak meminta tolong. Tapi
suaranya tenggelam oleh derai tawa orang-orang itu.
"Setan! Lepaskan aku...! Lepaskan, keparat!" maki Laras terus memberontak.
Tapi pelukan laki-laki itu demikian kuat.
Sia-sia saja Laras memberontak, meskipun mengerahkan seluruh tenaganya.
Sedangkan tiga orang lainnya sudah mendekat. Mereka memegangi tangan wanita itu,
dan merentangkannya. Yang berada di depan berusaha memeluk dan menciumi wajah
wanita itu. "Bajingan! Lepaskan...!" pekik Laras.
Plak! "Auh...!"
Laras memekik keras ketika satu tamparan keras mendarat di pipinya. Wanita itu
langsung terkulai lemas. Pelahan-lahan kesadarannya menghilang, kemudian benarbenar terkulai tidak sadarkan diri lagi.
"Ha ha ha...!" empat orang laki-laki itu tertawa terbahak-bahak.
Mereka melepaskan cekalannya, sehingga tubuh Laras melorot jatuh menggeletak di
tanah. Kain yang dikenakannya tersingkap, sehingga menampakkan sepasang paha
yang putih gempal menggiurkan. Empat pasang mata merah menatap liar. Salah
seorang langsung menubruk,
dan buas sekali menciumi wajah serta leher Laras.
Bret! Kasar sekali orang itu merenggut bagian dada baju Laras, sehingga terbuka lebar.
Tiga orang lainnya langsung berhenti tertawa. Bola mata mereka membeliak lebar
begitu melihat bentuk tubuh yang sangat indah terbalut kulit putih bersih tanpa
noda. "Iblis...!"
Tiba-tiba saja terdengar satu bentakan keras, membuat keempat laki-laki itu
terkejut. Mereka serentak melompat berdiri, melepaskan Laras yang sudah polos tanpa
sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Bola mata mereka membeliak begitu melihat
seorang pemuda yang wajahnya dipenuhi cambang dan jenggot kasar.
"Laras...," pemuda yang wajahnya kelihatan kasar, dan bajunya robek di beberapa
bagian itu mendesis begitu melihat sesosok tubuh wanita tergolek tanpa busana
lagi. Ditatapnya empat orang laki-laki yang sudah menghunus goloknya. Satu suara
geraman terdengar. Pemuda itu cepat melompat sambil mencabut sebilah golok besar
yang salah satu bagian matanya bergerigi
"Keparat..! Mampuslah kalian! Hiyaaa...!"
Wut! Pemuda itu bagai kerasukan setan.
Dikibaskan golok besarnya dengan kekuatan penuh. Trang! Trang!
Dua kali benturan senjata terdengar, maka dua orang dari keempat laki-laki
beringas itu memekik tertahan. Golok mereka terpental jauh ke udara. Dan belum
lagi mereka bisa menyadari apa yang terjadi, senjata pemuda berwajah penuh
brewok itu berkelebat cepat.
Dua pekikan panjang terdengar saling sahut, kemudian disusul ambruknya dua sosok
tubuh tinggi besar. Mereka menggelepar, dan lehernya koyak hampir putus. Dua
orang lagi yang tersisa, jadi membeliak begitu melihat temannya tewas seketika
hanya dalam satu gebrakan saja. Dan belum lagi bisa melakukan sesuatu, golok
besar yang salah satu matanya bergerigi kembali berkelebat cepat bagaikan kilat.
"Hiyaaa...!"
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Dua orang laki-laki itu tidak mampu lagi berkelit. Golok besar bergerigi pemuda
itu langsung membabat buntung leher mereka. Nyawa pun langsung hilang sebelum
tubuh mereka menyentuh tanah. Pemuda berbaju kumal dan robek-robek itu, bergegas
menghampiri Laras yang belum sadarkan diri. Dia tampak kebingungan, kemudian
mengambil kain yang teronggok tidak jauh dari wanita itu. Meskipun banyak
Pendekar Rajawali Sakti 26 Hantu Karang Bolong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
koyaknya, tapi kain itu cukup untuk menutupi tubuh Laras.
"Laras...," pemuda itu berusaha menyadarkan Laras.
Agak lama juga Laras tidak sadarkan diri, tapi kemudian pelahan-lahan mengerang,
dan kelopak matanya terbuka. Dia memekik tertahan ketika melihat seraut wajah
penuh brewok berada tidak jauh darinya. Laras langsung beringsut, dan membenahi
kainnya. Wajahnya pucat pasi, dan tubuhnya gemetar.
"Laras, ini aku.... Anggas," pemuda itu menyebut namanya.
"Anggas...," pelan suara Laras.
Wanita itu memandangi seluruh tubuh pemuda yang mengaku bernama Anggas. Sesaat
kemudian Laras menubruk pemuda itu dan menangis. Anggas membiarkan saja wanita itu
menangis dalam pelukaan-nya. Lama juga Laras menguras air matanya. Kemudian
dilepaskan pelukan itu setelah bisa menguasai diri.
"Mana anakmu?" tanya Anggas setelah melihat Laras tenang kembali.
"Ada," sahut Laras. "Bagaimana kau bisa begini?"
"Ceritanya panjang, Laras," sahut Anggas.
Dipandangi wanita di depannya, kemudian pandangannya terarah pada empat mayat
yang bergelimpangan.
"Sudah dua kali mereka berusaha memperkosaku," kata Laras memberitahu.
"Siapa mereka?" tanya Anggas.
"Nanti kuceritakan. Yang penting, sekarang aku harus segera ke Lereng Gunung
Puring," tegas Laras langsung teringat akan tujuannya semula meninggalkan rumah Ki Giri.
"Gunung Puring..." Ada apa di sana?" tanya Anggas seraya menatap ke arah Gunung
Puring di depannya.
"Nanti kuberitahu. Ayo cepatlah, sebelum terlam
bat!" sahut Laras.
Anggas masih tidak mengerti, tapi tidak bisa lagi bertanya. Laras sudah
melangkah cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Maka, Anggas pun bergegas
melangkah juga, dan mensejajarkan dirinya di samping wanita itu.
Rasa penasaran masih menghinggapi dirinya, sehingga tidak sabaran lagi bertanya.
Laras terpaksa menceritakan semua yang terjadi pada dirinya. Juga tentang
kematian ayah mertua dan suaminya di tangan makhluk liar yang bangkit dari
kuburnya. Wanita itu tidak lupa menceritakan pertemuannya dengan
seorang pendekar muda, yang kemudian membawanya ke sebuah rumah di Desa Caruban.
"Kau sendiri, bagaimana bisa sampai di sini?" Laras balik bertanya, meminta
penjelasan setelah selesai menceritakan perjalanannya selama ini.
"Kau tahu, bahwa seluruh anak buah Paman Selong habis dibantai pasukan kerajaan.
Waktu itu aku berusaha bertahan, dan meminta Paman dan suamimu pergi
menyelamatkan diri. Aku sendiri bergegas pergi, tapi pasukan tentara kerajaan
itu terus mengejarku. Aku berhasil ditangkap, dan dijebloskan ke dalam penjara,"
tutur Anggas tentang perjalanannya.
"Bagaimana kau bisa keluar dari penjara?"
"Seorang prajurit penjaga berhasil kuperalat. Aku kemudian terus kabur setelah
membebaskan seluruh tawanan kerajaan. Dalam suasana gaduh, aku berhasil lolos
dan meninggalkan istana kerajaan itu. Karena yakin kau pasti selamat, maka aku
terus mencarimu, Laras. Sayang sekali, Paman dan suamimu tewas.
Aku menyesal...," agak pelan suara terakhir Anggas.
"Sudahlah, Anggas. Semua bukan salahmu.
Kau sudah berusaha keras menyelamatkan Ayah."
"Aku menyesal belum bisa membalas budi Paman. Sejak kecil aku dirawat dan
dibesarkan olehnya. Bahkan Kakang Pandu begitu baik, sehingga menjadikanku
seperti adik kandungnya sendiri."
Laras diam saja, dan terus saja melangkah cepat dibarengi Anggas yang berjalan
di sampingnya. Dia tahu kalau Anggas sejak kecil sudah ikut Ki Selong, dan
diangkat sebagai anak. Tidak jelas asal-usul pemuda ini. Yang Laras tahu, Anggas
adalah adik angkat suaminya.. Hanya itu saja.
*** 8 Sementara itu pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan Hantu Karang
Bolong sudah sampai di Lereng Gunung Puring sebelah Selatan. Mereka sudah berada
di sekitar reruntuhan batu-batuan yang menjadi makam Hantu Karang Bolong
beberapa puluh tahun lalu.
Menyadari berada kembali di tempat saat dirinya pernah dikalahkan, Hantu Karang
Bolong jadi geram setengah mati. Dirasakan dirinya terjebak.
"Bocah keparat...! Kau sengaja membawaku ke sini, heh!?" geram Hantu Karang
Bolong. "Di sini kau mati, di sini kau bangkit kembali. Maka di sini pula kau harus
kembali ke alammu, Hantu Karang Bolong!" kata Rangga sambil mengelakkan satu
pukulan keras bertenaga dalam tinggi dari lawan-nya.
"Kurang ajar...! Kau harus mampus, bocah!"
bentak Hantu Karang Bolong sengit.
Kemarahan orang yang seharusnya sudah mati itu, semakin memuncak tatkala setiap
serangannya kini dapat dielakkan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka sudah bertarung
satu malam penuh tanpa beristirahat sedikit pun.
Dan sekarang ini hari sudah demikian tinggi.
Sekitar tempat pertarungan itu sudah porak poranda. Matahari bersinar terik
seakan-akan hendak memanggang seluruh mayapada ini.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Rangga berteriak keras, dan tangan-nya cepat menghentak ke depan.
Satu desiran angin kuat menghempas ke arah Hantu Karang Bolong. Namun laki-laki
muda yang bermata merah bagai mata binatang buas itu, cepat bisa berkelit dengan melompat!
ke samping. Ledakan keras terdengar begitu pukulan aji 'Batara Naga' yang
dipelajari Rangga dari Satria Naga Emas, menghantam puing-puing batu bekas
kuburan Hantu Karang Bolong. Batu-batu itu terpental keras ke udara, sehingga
debu mengepul tinggi bagai memayungi sekitar tempat itu dari sengatan sinar
matahari. Tampak, bekas pukulan aji 'Batara Naga'
itu sangat luar biasa. Tanah yang terkena hantaman berlubang besar dan sangat
dalam. Cukup untuk mengubur seekor gajah dewasa yang sehat dan gemuk. Sementara itu
Hantu Karang Bolong segera bangkit dan melompat cepat sambil menjulurkan kedua
tangannya ke depan.
Rangga yang pada saat itu belum siap, tidak bisa lagi menghindar. Segera
diangkat tangannya untuk mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'. Cahaya biru
langsung memancar membentuk lingkaran pada kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti
itu. Dan pada saat itu pula, kedua tangan Hantu Karang Bolong sudah demikian
dekat. "Yaaa...!" "Hiyaaa...!"
Ledakan keras kembali terdengar begitu dua pasang telapak tangan beradu.
Seketika itu juga, terlihat dua sosok tubuh yang saling bertarung mengerahkan
ilmu kesaktian masing-masing, terpental balik ke belakang. Rangga sampai
menghantam tiga batang pohon besar berturut-turut. Sedangkan Hantu Karang
Bolong, berputaran dua kali di udara, sebelum kakinya mendarat manis di tanah.
Lain halnya yang dialami Rangga. Tubuhnya tergeletak di antara reruntuhan
pepohonan yang terlanda tubuhnya. Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas bangkit
berdiri, namun terhuyunghuyung Dari sudut bibirnya mengucur darah segar. Tangan kirinya menekap dada
yang terasa sesak, sukar untuk bernapas.
"Ha ha ha...!" Hantu Karang Bolong tertawa terbahak-bahak.
"Ugh...!" sambil terhuyung-huyung, Rangga melangkah keluar dari reruntuhan
pepohonan. "Kakang, awas...!" tiba-tiba Ayu Rumala berteriak keras.
Pada saat itu, Hantu Karang Bolong sudah melompat menerjang kembali dengan
cepatnya. Sesaat Rangga terkesiap. Buru-buru dibanting tubuhnya ke samping, dan
bergulingan beberapa kali. Terjangan Hantu Karang Bolong hanya mengenai
sebongkah batu besar, hingga hancur berantakan!
"Grrr...!" Hantu Karang Bolong menggerung geram.
Dia cepat berbalik, dan kembali mengadakan penyerangan yang lebih dahsyat lagi.
Rangga yang baru saja bisa bangkit berdiri, tidak mungkin lagi bisa menghindari
serangan itu. Sedangkan Hantu Karang Bolong sudah cepat menyerang kembali. Pada saat yang
begitu kritis, tiba-tiba saja Ki Bonang melemparkan sebuah benda berwarna kuning
keemasan yang panjangnya kira-kira satu hasta!
Benda bulat berwarna kuning emas itu melayang ke arah Rangga. Tepat pada saat
itu, Hantu Karang Bolong yang tengah menghantamkan pukulannya kearah dada lawan,
mendadak menarik pulang serangan-nya. Dia langsung melompat mundur.
"Hap!"
Tap! Rangga setengah melompat, menyongsong benda kuning yang dilemparkan Ki Bonang
padanya. Benda itu seperti tongkat, dan kedua
ujungnya berbentuk mata tombak. Kini senjata itu sudah berada di dalam genggaman
Pendekar Rajawali Sakti. Sementara itu, wajah Hantu Karang Bolong menjadi pucat
pasi melihat benda kuning keemasan telah berada di tangan lawannya.
"Gunakan senjata itu, Rangga!" teriak Ki Bonang memberitahu.
Rangga melirik pada laki-laki tua Kepala Desa Caruban itu. Ditimang-timangnya
benda keemasan berbentuk tongkat itu di tangannya.
Benda ini terasa begitu ringan, seperti tidak memiliki daya berat sama sekali.
Warnanya kuning keemasan berkilat tertimpa cahaya matahari.
"Keparat..!" geram Hantu Karang Bolong.
"Hm...," kening Rangga berkerut menatap lawannya.
Agak sedikit heran juga Pendekar Rajawali Sakti ketika wajah Hantu Karang Bolong
berubah pucat saat benda berwarna kuning keemasan berada di tangan-nya. Rangga
memutar-mutar benda itu, dan langsung ia terkejut! Ternyata putaran yang sedikit
saja menimbulkan deru angin bagai topan. Dan ini membuat Hantu Karang Bolong
menutupi muka dengan kedua tangannya.
"Cepat, Kakang! Musnahkan dia, jangan sampai hari gelap!" teriak Ayu Kumala
keras. Hantu Karang Bolong menggeram hebat mendengar suara gadis itu. Matanya tajam
menatap Ayu Kumala. Tapi begitu Rangga menggerakkan tangan yang menggenggam besi
kuning bermata dua itu, Hantu Karang Bolong langsung menutupi mukanya dengan
kedua tangan menyilang.
"Apa pun nama benda ini, tampaknya kau takut menghadapinya, Hantu Karang
Bolong," kata Rangga seraya mengulas senyuman.
"Bocah keparat..! Ayo, hadapi aku! Kita bertarung sampai mati!" tantang Hantu
Karang Bolong geram.
"Hm.", rasanya kau sudah mati, Hantu Karang Bolong," ejek Rangga.
"Kadal! Kurobek mulutmu, keparat..!"
Amarah Hantu Karang Bolong memuncak saat mendengar ejekan Pendekar Rajawali
Sakti. Sambil menggeram dahsyat bagai binatang buas, laki-laki berwajah tampan dan
memiliki sorot mata tajam itu langsung melompat menyerang.
Namun kali ini Rangga seperti mendapat tenaga baru setelah menggenggam sebentuk
senjata itu. Dia sendiri tidak tahu, untuk apa senjata ini diberikan Ki Bonang padanya.
"Hait..!"
Rangga memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri menghindari pukulan lurus Hantu
Karang Bolong. Dan dengan cepat dikibaskan senjata di tangannya ke arah perut.
Hantu Karang Bolong melenting ke atas, dan tubuhnya setengah berputar
menghindari tebasan itu. Kemudian cepat sekali kakinya melayang menyampok ke
arah pundak Pendekar Rajawali Sakti.
"Akh!" Rangga memekik tertahan begitu pundaknya kena tendangan lawannya.
Pendekar Rajawali Sakti itu sedikit terdorong kesamping, namun cepat
memanfaatkan tenaga tendangan itu untuk melesat membuat jarak. Dan begitu
kakinya menjejak tanah, dengan cepat melompat tinggi ke angkasa, lalu menukik
tajam. Kedua kakinya bergerak cepat mencecar kepala. Rangga mengulangi kembali
jurusnya yang pernah diandalkan, yakni jurus
'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
Hantu Karang Bolong menganggap remeh jurus itu. Dengan ringan sekali dielakkan
serangan dari jurus itu, bahkan kini mengirimkan satu pukulan keras begitu kaki
Rangga mendarat di tanah. Tapi tanpa diduga sama sekali, Rangga menyampokkan
senjata kuning keemasannya ke arah tangan lawan.
"Eh!" Hantu Karang Bolong terperanjat setengah mati.
Buru-buru ditarik pulang pukulannya. Tapi sabetan Rangga yang sudah direncanakan
sebelumnya memang hanya sebuah pancingan.
Dengan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' sebagai pancingan, Hantu Karang
Bolong memekik keras begitu tangan-nya terhantam senjata kuning itu.
Hantu Karang Bolong melompat mundur ke belakang, sambil memegangi tangannya yang
terhantam senjata di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Tangan yang terhantam Besi
Kuning itu, terlihat hitam membusuk. Kedua bola mata Hantu Karang Bolong
membeliak lebar melihat sebelah tangannya membusuk seperti mayat!
Lain halnya dengan Rangga yang begitu gembira setelah melihat hasilnya. Kini
baru diketahui kegunaan senjata yang diberikan Ki Bonang padanya. Rupanya
senjata yang pernah digunakan Pendekar Bayangan Dewa untuk mengalahkan Hantu
Karang Bolong beberapa puluh tahun lalu, benar-benar dahsyat
*** "Tamatlah riwayatmu sekarang, Hantu Karang Bolong!" desis Rangga.
"Kurang ajar! Monyet buduk...!" Hantu Karang Bolong menyumpah serapah menahan
kemarahan yang memuncak.
Sebelah tangannya sudah tidak bisa lagi digunakan. Tangan kanan itu cepat
membusuk, dan beberapa bagian dagingnya mulai mengelupas.
"Tusukkan saja ke arah jantung, Rangga!"
teriak Ki Bonang memberitahu.
"Tutup mulutmu, tua bangka keparat!"
bentak Hantu Karang Bolong gusar.
"Terlambat, Hantu Karang Bolong. Aku sudah tahu!" ejek Rangga.
"Setan...!"
Hantu Karang Bolong tidak bisa lagi menahan amarahnya. Sambil berteriak keras
melengking tinggi, diterjangnya Pendekar Rajawali Sakti. Namun terjang an itu
dengan mudah dapat dielakkan Rangga. Bahkan hampir saja dadanya tertusuk senjata
di tangan Pendekar Rajawali Sakti itu.
Tapi satu tendangan keras, tidak bisa dielakkan Hantu Karang Bolong. Tubuhnya
terjungkal mencium tanah, namun mampu cepat bangkit kembali. Bahkan kini
langsung menerjang kembali disertai kemarahan yang semakin memuncak. Memang
tidak mudah bagi Rangga untuk menancapkan senjata kuning itu ke dada lawannya.
Meskipun tinggal sebelah tangan yang masih berfungsi, Hantu Karang Bolong masih
cukup tangguh dan gesit menghadapi Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan saat ini, Rangga sudah kelihatan lelah karena semalaman penuh
bertarung. Dan sekarang, matahari sudah mulai condong ke arah Barat, ini berarti
waktunya tinggal sedikit lagi untuk mengalahkan Hantu Karang Bolong.
Makhluk satu ini akan berlipat ganda kekuatannya jika malam datang. Cahaya bulan
akan melipatgandakan kekuatannya. Jelas tidak
ada harapan lagi buat Rangga untuk mengalahkannya, meskipun memegang Besi
Kuning. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, Rangga mendesak Hantu Karang Bolong. Jurusjurus andalannya dikeluarkan, disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Beberapa
kali ujung senjatanya hampir menembus dada Hantu Karang Bolong, namun selalu
bisa dielakkan.
"Awas kepalamu, Hantu Karang Bolong...!
Tiba-tiba saja Ayu Kumala melompat sambil berteriak nyaring. Pedangnya terhunus,
berkelebat mengarah kepala Hantu Karang Bolong. Hal ini tentu saja membuat Ki
Giri maupun Ki Bonang terkejut setengah mati.
"Ayu...!" teriak Ki Bonang khawatir.
Dan pada saat itu, Hantu Karang Bolong mengibaskan tangannya ke arah Ayu Kumala.
Akibatnya secara tak sadar pertahanannya terbuka sedikit. Kesempatan yang hanya
sedikit ini, tidak disia-siakan Rangga. Dengan cepat dihunjamkan ujung senjata
ke dada lawannya itu.
"Aaa...!" Hantu Karang Bolong menjerit melengking tinggi.
Dan pada saat yang bersamaan, tangan kirinya berhasil menyampok tubuh Ayu
Kumala. Gadis itu memekik tertahan, dan tubuhnya terpental keras menghantam pohon.
Hampir dalam waktu yang bersamaan pula, Rangga melontarkan satu pukulan disertai
pengerahan tenaga dalam yang sempurna ke kepala lawannya.
Untuk kedua kalinya, Hantu Karang Bolong menjerit melengking tinggi. Kepalanya
retak, mengucurkan darah kehitaman berbau busuk.
Hantu Karang Bolong meraung keras, dan tubuhnya pelahan-lahan membusuk.
"Satu lagi! Htyaaa...!" teriak Rangga keras.
Pendekar Rajawali Sakti 26 Hantu Karang Bolong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seketika itu juga Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil melontarkan satu
tendangan keras. Hantu Karang Bolong terpental, dan langsung jatuh ke dalam
lubang yang terbuat akibat pukulan Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga berdiri tegak di bibir lubang itu.
Pandangannya tertuju langsung pada tubuh yang berubah menjadi sosok mayat
membusuk, menggeliat-geliat sambil meraung-raung bagai binatang buas. Pelahanlahan tubuh itu mencair, dan tidak bergerak-gerak lagi. Kening Rangga agak
berkerut begitu melihat ada dua bentuk senjata berwarna kuning tertancap pada
bagian dada. Yang satu, jelas senjata yang digunakan Rangga dari Ki Bonang Sedangkan sebuah
lagi berukuran hampir sama, tapi hanya berbentuk warangka dari senjata itu.
Rangga mencoba untuk bisa mengerti, tapi untuk saat ini otaknya belum bisa
diajak berpikir.
*** "Ayu...," desah Ki Bonang seraya membantu anaknya berdiri.
Ayu Kumala meringis, lalu bangkit berdiri dari reruntuhan pohon yang terlanda
tubuhnya akibat terkibas tangan kiri si Hantu Karang Bolong. Sementara itu
Rangga melangkah pelarian menghampiri Ki Giri yang tetap berdiri pada tempatnya.
Enam orang pemuda bersenjata golok, berada di belakang laki-laki tua itu.
Ki Giri memerintahkan enam orang anak muda itu untuk merimbuni lubang yang
berisi mayat Hantu Karang Bolong dengan batu cadas yang banyak terdapat di
sekitar tempat ini. Tanpa membantah sedikit pun, enam orang pemuda dari
Desa Caruban itu melaksanakan perintah Ki Giri.
"Hhh...! Untung belum terlambat," desah Ki Giri seperti untuk dirinya sendiri.
"Apa yang belum terlambat, Ki?" tanya Rangga tiba-tiba.
"Besi Kuning itu," sahut Ki Giri.
Sementara itu Ki Bonang menghampiri sambil memapah anaknya. Ayu Kumala masih
meringis setiap kali melangkah. Seluruh tubuhnya terasa remuk. Ki Bonang
membantu anaknya duduk di bawah pohon beringin yang besar dan rindang Demikian
pula dengan Rangga dan Ki Giri yang juga duduk di bawah pohon itu. Sementara
enam pemuda masih menimbuni batu-batuan ke dalam lubang kuburan Hantu Karang Bolong.
"Kulihat ada senjata lain yang bentuknya hampir sama di dalam tubuh iblis itu,"
kata Rangga bernada bertanya.
"Itu adalah warangka dari senjata Besi Kuning," jelas Ki Bonang.
"O...!" Rangga meminta penjelasan lebih lanjut.
"Senjata itu adalah milik Pendekar Bayangan Dewa. Sebenarnya ketika Hantu Karang
Bolong bertarung melawan Pendekar Bayangan Dewa, senjata bersama warangkanya itu
telah tertanam di dalam tubuhnya. Tapi sebelum mati, Hantu Karang Bolong
berhasil mencabut senjata Besi Kuning, dan tidak sempat mengeluarkan
warangkanya. Kalau hanya salah satu yang tertanam dalam tubuhnya, maka beberapa
puluh tahun kemudian dia akan bangkit kembali.
Itulah sebabnya kenapa dia bisa bangkit kembali. Tapi kalau keduanya berada
dalam tubuhnya, dia akan mati selamanya. Asalkan kedua senjata itu tetap berada
bersama mayatnya di dalam kubur," jelas Ki Bonang.
"Dan senjata Besi Kuning bisa diperoleh Ki Bonang tiga tahun lalu, melalui
pertapaan di Puncak Gunung Puring ini," sambung Ki Giri.
"Pertapaan...?" tanya Rangga.
"Pendekar Bayangan Dewa menghabiskan waktunya di dalam sebuah kuil di Puncak
Gunung Puring. Selama itu dia bertapa sambil menunggu kalau-kalau Hantu Karang
Bolong bangkit kembali," Ki Bonang menjelaskan.
"Dan sampai ajalnya, iblis itu tidak juga bangkit, sampai Ki Bonang mendapatkan
senjata itu," sambung Ki Giri lagi.
"Aku mengerti sekarang! Jadi, Pendekar Bayangan Dewa sengaja memiliki senjata
itu hanya untuk
menghadapi Hantu Karang Bolong...?" tebak Rangga mulai mengerti.
"Benar! Dan itu juga diperoleh melalui pertapaan yang panjang dan hampir
merenggut nyawanya,' sahut Ki Bonang.
"Nampaknya Ki Bonang tahu persis," kata Ranga.
"Itu sudah menjadi legenda bagi rakyat Desa Caruban, Rangga. Hampir semua orang,
di desa ini mengetahui hal itu. Jadi sudah bukan rahasia umum lagi," jelas Ki
Bonang lagi. "Hm...," Rangga bergumam dan kepalanya terangguk-angguk.
Desa Caruban memang tidak berapa jauh dari tempat ini. Tidak heran kalau semua
penduduknya mengetahui tentang hal ini.
Pendekar Rajawali Sakti itu menoleh ketika telinganya mendengar suara langkah
kaki. Tidak berapa lama setelah Rangga berdiri, Laras datang bersama seorang laki-laki
yang pakaiannya bagaikan seorang gembel. Laras dan lelaki muda itu bergegas
menghampiri mereka yang sedang duduk di bawah pohon beringin.
Sementara itu enam pemuda Desa Caruban sudah menyelesaikan pekerjaannya.
"Laras, mengapa kau ke sini?" tanya Ki Giri seraya bangkit berdiri.
"Maaf, Ki Aku cemas, soalnya...."
"Ah! Sudahlah, Laras. Semuanya sudah berakhir," potong Ki Giri cepat.
"Berakhir..."!" Laras kelihatan bingung.
"Benar, Kak Laras. Hantu Karang Bolong sudah musnah," celetuk Ayu Kumala yang
sudah bisa menormalkan keadaan dirinya kembali. "Oh...,"
Laras mendesah lega. "Laras...," Ki Giri menatap pada laki-laki yang berada di
samping wanita itu.
"Oh, iya! Ki, ini adik suamiku. Namanya Anggas. Kebetulan kami bertemu di
jalan," kata Laras memperkenalkan.
Ki Giri mengangguk ramah, kemudian dibalas oleh Anggas yang juga mengangguk pada
Ki Bonang. Tapi Ki Giri malah menatap agak tajam pada Laras yang hanya memakai
kain sobek-sobek, sehingga beberapa bagian tubuhnya menyembul. Laras jadi kikuk
juga. "Nanti kujelaskan, Ki," kata Laras buru-buru. "Ada sedikit kesulitan
dihadapi Kak Laras," kata Anggas membantu bicara.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Ki Giri. Ada nada kecemasan dalam suaranya. "Tidak,
Ki," sahut Laras. "Syukurlah."
"Sudah hampir malam, sebaiknya kita kembali saja," kata Ki Bonang mengingatkan.
"Hey...! Di mana..."!" tiba-tiba Ki Giri teringat pada Rangga.
Semua orang yang ada di tempat itu baru sadar
kalau Rangga sudah tidak ada lagi. Mereka celingukan mencari-cari, kemudian
saling pandang. Seakan-akan saling menanyakan satu
sama lainnya. Tapi mereka sama-sama mengangkat-bahu. Tidak-ada yang melihat
kapan dan ke arah mana Pendekar Rajawali Sakti itu pergi.
"Hhh...! Dua kali aku tidak sempat berbuat apa-apa padanya," desah Ki Bonang
bernada mengeluh!
"Seorang pendekar sejati tidak memerlukan balas jasa, Ki," tegas Ki Giri.
"Ya, aku tahu. Tapi paling tidak ucapan terima kasih harus ada."
"Ah, sudahlah. Sebaiknya segera saja kita kembali. Mudah-mudahan saja dia
kembali lagi pada kita, Ki Giri menengahi.
Memang tidak ada gunanya lagi mengharapkan Rangga muncul. Mereka segera bergerak
meninggalkan tempat itu. Tapi Ayu Kumala masih juga berdiri tanpa melangkah
sedikit pun. Raut wajahnya begitu kosong, sukar untuk diartikan.
"Ayu...!" panggil Ki Bonang
"Oh! Ya, Ayah...!"
Ayu Kumala bergegas melangkah menyusul yang lainnya. Sementara Laras diam-diam
memperhatikan, dan mensejajarkan langkahnya di samping gadis itu. Mereka
berjalan pelahan-lahan paling belakang.
"Kau mencintainya, Ayu?" tebak Laras langsung Ayu Kumala tidak langsung
menjawab, tapi malah
menatap lurus ke bola mata Laras.
Pertanyaan itu tidak mungkin dijawab saat ini juga. Dia sendiri tidak tahu,
apakah mencintainya atau tidak. Yang jelas, saat ini hatinya begitu kosong.
Seperti ada sesuatu yang hilang terbawa pergi bersama Pendekar Rajawali Sakti.
"Untuk bisa hidup bersama seorang pendekar, harus juga bisa mengerti jiwa
pendekar. Maaf, bukannya ingin mencampuri kehidupan pribadimu. Aku hanya ingin
mengatakan yang sebenarnya tentang kehidupan seorang pendekar," kata Laras lagi.
"Tampaknya Kak Laras tahu banyak tentang pendekar," kata Ayu Kumala.
"Sedikit. Tapi, paling tidak aku pernah hidup bersama seseorang yang.... Ya...,
bisa dikatakan selalu bepergian mengembara."
"Menarik sekali. Boleh aku tahu lebih banyak, Kak?" Ayu Kumala begitu berminat.
"Tentu saja."
"Terima kasih, Kak."
"Tapi dengan satu syarat."
"Apa?"
"Jangan terlalu berharap untuk bisa hidup bahagia bersama seorang pendekar."
"Ah, Kakak...."
Seketika wajah Ayu Kumala jadi bersemu merah jambu. Dia menunduk dan terus
berjalan pelahan-lahan. Sementara di dalam hatinya tetap berharap bisa berjumpa
kembali dengan Pendekar Rajawali Sakti.
Bagaimanapun juga, diakui kalau ada sekeping hatinya yang tercuri oleh Pendekar
tampan itu. Tapi..., benar juga kata Kak Laras, jangan terlalu berharap bisa
hidup berbahagia bersama seorang pendekar.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Abu Leisel
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/
Kisah Si Naga Langit 9 Pengelana Rimba Persilatan Karya Huang Yi Sukma Pedang 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama