Ceritasilat Novel Online

Naga Merah 1

Pendekar Rajawali Sakti 5 Naga Merah Bagian 1


Seri Pendekar Rajawali Sakti
Karya : Teguh S
dalam episode Naga Merah
Penerbit Cintamedia Jakarta
NAGA MERAH oleh Teguh S. Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta Gambar sampul oleh Henky Hak cipta dilindungi
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku
ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh S. Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Naga Merah 128 hal. ; 12 x 18 cm
Pembuat Ebook :
Scan ke Djvu : Syaugy_arr
http://hanaoki.wordpress.com
Convert & Editor text : Dewi KZ
Pdf by : Dewi KZ
http://kangzusi.com/
http://dewi-kz.info/
1 Desa Jatiwangi tidak seperti biasanya. Umbul-umbul dan macam-macam hiasan
bertebaran di seluruh desa. Tampak semarak sekali. Keceriaan tercermin di setiap
wajah penduduknya
Berbondong-bondong
mereka menuju panggung hiburan yang ada di setiap sudut desa.
Sebenarnya bukan hanya penduduk desa Jatiwangi saja yang kelihatan ceria penuh
kegembiraan. Desa-desa di sekitarnya pun juga tidak luput dari suasana ceria
itu. Tidak sedikit orang dari desa tetangga yang tumplek di desa yang penuh
dengan panggung hiburan. Tentu saja kegembiraan ini juga sangat dirasakan oleh
Kepala Desa Jati wangi.
Ki Rangkuti tersenyum bangga menyaksikan warga
desanya bergembira. Sepasang bola matanya berbinar-binar merayapi sekelilingnya.
Kepala desa yang sudah berumur lanjut tapi masih terlihat gagah itu, duduk
didampingi dua orang tamu istimewa yang diundang khusus. Yang duduk di sebelah
kanannya adalah seorang laki-laki berumur sekitar empatpuluh tahun. Wajahnya
masih kelihatan tampan dan gagah. Di punggungnya bertengger sebilah pedang
bergagang emas. Senjata itulah yang membuat dirinya dikenal sebagai Dewa Pedang
Emas. Sedangkan yang duduk di sebelah kiri Ki Rangkuti,
seorang tua berambut putih. Pakaiannya pun serba putih bersih. Matanya bercahaya
menandakan seorang yang arif bijaksana. Kelihatannya dia tidak menyandang
senjata sebuah pun. Semua orang pasti akan mengenalnya. Laki-laki tua
berpenampilan penuh wibawa ini dikenal dengan nama Bayangan Malaikat.
Pada saat itu tiba-tiba seorang laki-laki muda dengan tombak panjang di tangan
menghampiri. Pandangan mata Ki Rangkuti langsung tertuju padanya.
"Ada apa, Darmasaka?" tanya Ki Rangkuti.
"Ada seorang wanita tua ingin bertemu, Ayah," sahut Darmasaka yang ternyata
putra kepala desa itu.
"Siapa dia?" tanya Ki Rangkuti sambil mengernyitkan alisnya Sepengetahuannya dia
tidak pernah mengundang tamu seorang perempuan.
"Dia tidak mau menyebutkan namanya. Katanya Ayah pasti sudah mengenalnya," sahut
Darmasaka. "Hm...," Ki Rangkuti bergumam.
"Apakah dia menyandang senjata?" tanya Dewa Pedang Emas.
'Tidak," sahut Darmasaka cepat Pakaiannya serba biru, dan hanya membawa tongkat
berkepala ular"
"Dia menunggang kuda putih dengan garis hitam pada lehernya?" tanya Bayangan
Malaikat. "Benar!" jawab Darmasaka.
'Tidak salah lagi, pasti si Ular Betina," gumam Dewa.Pedang Emas.
"Kau mengundangnya juga, Rangkuti?" tanya Bayangan Malaikat menatap Ki Rangkuti
yang sejak tadi diam saja.
Ki Rangkuti yang sejak tadi sudah menduga siapa yang datang, hanya menggeleng
perlahan. Dia tidak menyangka sama sekali kalau si Ular Betina akan datang tanpa
diundang. Sementara Darmasaka hanya memandang tidak mengerti. Hatinya bertanyatanya melihat perubahan pada wajah Ayahnya yang seperti tidak menyukai kehadiran
perempuan tua yang berjuluk Ular Betina itu.
Saat mereka terdiam, tiba-tiba terdengar suara ringkikan dan derap kaki kuda.
Tampak seekor kuda putih yang
ditunggangi seorang perempuan tua berpakaian serba biru memasuki halaman rumah
kepala desa yang luas. Kuda itu berhenti tepat di depan serambi depan, tempat
empat orang laki laki itu berdiri.
Perempuan tua yang tidak lain adalah si Ular Betina.
Dengan tangkas dan ringan sekali dia melompat dari kudanya, seolah ingin
memamerkan ilmu meringankan
tubuh yang indah pada keempat laki-laki di depannya.
Manis sekali kakinya menjejak tanah setelah berputar di udara dua kali.
"Kau mengadakan pesta besar, kenapa tidak mengundangku, Rangkuti?" suara si Ular Betina kecil, namun terdengar nyaring
tinggi. "Maafkan kelalaianku, Ular Betina," sahut Ki Rangkuti pelan penuh wibawa. 'Tidak
seorang pun dari orang-orangku mengetahui di mana tempat tinggalmu. "
"Hik hik hik..," si Ular Betina tertawa kecil. "Aku tidak mempersoalkan orangorangmu, Rangkuti. Aku datang ke sini hanya ingin menikmati pesta besarmu." Ki
Rangkuti menarik napas panjang dan berat.
Ada sedikit kelegaan di dadanya. Jika kedatangan si Ular Betina hanya sekedar
menikmati pesta, tidak ada masalah baginya.
Hanya yang dikhawatirkan kedatangan perempuan tua itu bisa menghancurkan semua rencana yang sudah disiapkannya
berbulan-bulan dengan penuh perhitungan.
"Kau tidak mempersilakan aku duduk di kursi undangan, Rangkuti?" kata si Ular
Betina. "Silakan. Pilihlah tempat di mana kau suka," Ki Rangkuti merentangkan kedua
tangannya. Sambil tertawa mengikik kecil, si Ular Betina melangkah menaiki beranda rumah
itu. Dia kemudian duduk di
samping Dewa Pedang Emas. Ki Rangkuti masih berdiri meskipun ketiga tamunya
sudah duduk di tempat masing-masing. Masih ada delapan bangku lagj yang kosong.
Berarti belum semua undangan yang hadir. Padahal
rencananya hari ini adalah puncak semua pesta besar yang telah terlaksana.
Ki Rangkuti memberi isyarat pada Darmasaka untuk
mendekat. Tanpa membuang-buang waktu lagi, putra
kepala desa itu maju mendekati ayahnya. Dia mengangguk kecil pada ketiga tamu
undangan Ki Rangkuti. Darmasaka berdiri di samping ayahnya membelakangi Bayangan
Malaikat. "Kau urus kuda Ular Betina dengan baik, kemudian tambahkan satu kursi lagi di
sini," kata Ki Rangkuti memerintah.
"Baik, Ayah," sahut Darmasaka. Darmasaka langsung melangkah menghampiri kuda
putih milik si Ular Betina.
Kemudian dituntunnya ke belakang. Dua kuda lainnya milik Bayangan Malaikat dan
Dewa Pedang Emas, telah tertambat di sana.
"Benar-benar anak yang berbakti, Rangkuti," kata Ular Betina setelah Darmasaka
lenyap di belakang rumah.
Ki Rangkuti hanya tersenyum, lalu duduk di kursinya sendiri. Hatinya masih belum
bisa tenang dengan kehadiran si Ular Betina yang tidak diundang itu. Dia belum
bisa memperkirakan maksud kedatangan si Ular Betina yang sebenarnya. Harinya
hanya berharap benar-benar Ular Betina hanya ingin menikmati pesta besar di Desa
Jatiwangi ini Tidak lama berselang, datang satu per satu undangan.
Dari penampilan mereka, jelas kalau semuanya adalah tokoh-tokoh sakti kaum rimba
persilatan. Mereka semua adalah laki laki, kecuali si Ular Betina saja. Mereka
duduk pada tempatnya masing-masing, menghadap panggung
besar yang berdiri di tengah halaman rumah kepala desa ini.
Para penduduk pun sudah mulai berdatangan memenuhi halaman sekitar panggung.
Dalam waktu yang tidak lama, halaman rumah Kepala Desa Jatiwangi penuh sesak
dipenuhi manusia. Mereka semua ingin menyaksikan
puncak acara pesta besar itu.
*** Pesta apa sebenarnya yang tengah berlangsung di desa
Jatiwangi" Sebenarnya bukan pesta merayakan sesuatu, tapi Ki Rangkuti mengadakan
pesta ini untuk menyambut
berdirinya Padepokan Jatiwangi yang baru didirikan, dengan mengundang tokohtokoh rimba persilatan.
Tampak pada bagian kanan panggung, berdiri berjajar puluhan anak-anak muda yang
mengenakan seragam
kuning keemasan. Mereka semua menggenggam tombak
panjang. Merekalah murid pertama Padepokan Jatiwangi Pada barisan depan, duduk
lima orang guru pengajar. Dari penampilan kelima orang itu, dapat diukur kalau
mereka memiliki ilmu kepandaian yang tidak rendah.
Suara riuh penuh sorak-sorai seketika berhenti ketika terdengar suara gong
dipukul tiga kali. Ki Rangkuti berdiri dengan sikap penuh wibawa. Langkahnya
pelan dan tegap menuju ke panggung. Semua mata memandang ke arah
laki-laki tua yang penuh daya pancar pesona itu. Ki Rangkuti berdiri tegak di
tengah-tengah panggung. Sebentar matanya menyapu ke arah warga desanya.
"Saudara-saudara sekalian, saya gembira pada hari yang sangat bersejarah bagi
seluruh warga Desa Jatiwangi.
Berkat restu Yang Maha Kuasa jualah maksud luhur kita semua bisa tercapai hari
ini. Pada hari yang bahagia ini, saya selaku Kepala Desa Jatiwangi akan
meresmikan berdirinya satu-satunya Padepokan Jatiwangi di desa yang kita cintai ini," pelan
dan teratur kata-kata Ki Rangkuti, namun terdengar menggema ke seluruh pelosok.
Semua mata masih tertuju pada laki-laki yang penuh wibawa ini. Tidak ada yang
mengeluarkan suara sedikitpun.
"Pada hari ke tujuh bulan Sanga, saya atas nama seluruh warga Desa Jatiwangi
meresmikan berdirinya
Padepokan Jatiwangi!"
Suara sorak-sorai dan tepuk tangan meriah terdengar menggemuruh begitu Ki
Rangkuti menyelesaikan kata-katanya Dengan gegap-gempita semua orang yang hadir
menyambut berdirinya Padepokan Jatiwangi yang hanya satu-satunya di desa ini.
Ki Rangkuti hanya tersenyum gembira menerima
sambutan hangat seluruh warga desanya. Dadanya terasa hampir pecah menyaksikan
sambutan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Rencana mendirikan Padepokan
Jatiwangi ternyata berjalan lancar tanpa sedikit pun mendapat gangguan yang
berarti. Ki Rangkuti baru bisa bernapas lega sebentar, ketika tiba-tiba sebuah
bayangan hitam berkelebat cepat ke arah panggung.
Suara-suara menggumam terkejut terdengar begitu
bayangan hitam tadi sudah berada di atas panggung.
Ternyata seorang.perempuan tua dengan wajah penuh
keriput sudah berdiri tegak di depan Ki Rangkuti. Tangan kanannya menggenggam
sebatang tongkat hitam yang
meliuk-liuk bagai ular. Bagian kepala tongkat itu bulat tidak rata
"Iblis Tongkat Hitam...," gumam Ki Rangkuti begitu mengenali perempuan yang
berdiri di depannya.
"Hik hik hik..., rasanya tidak mudah mendirikan satu padepokan. Aku datang hanya
ingin tahu, apakah Desa Jatiwangi sudah pantas memiliki padepokan silat?" suara
Iblis Tongkat Hitam terdengar pelan, namun penuh dengan ejekan yang menyakitkan.
"Rasanya aku tidak mengundangmu, Iblis Tongkat Hitam. Satu kehormatan besar
bagiku kau berkenan
hadir pada peresmian berdirinya Padepokan Jatiwangi,"
kata Ki Rangkuti.
"Aku tidak suka acara ramah-tamah. Aku datang ke sini untuk menguji pantas
tidaknya Padepokan Jatiwangi
berdiri!" dengus Iblis Tongkat Hitam.
Panas kuping Ki Rangkuti mendengarnya. Tapi sebagai guru besar Padepokan,
sekaligus Kepala Desa Jatiwangi, dia harus bisa mengendalikan diri. Belum sempat
ia menjawab tantangan itu, tiba-tiba Dar-masaka melompat ringan. Tahu-tahu dia
sudah berdiri di depan ayahnya.
"Ijinkan aku yang memberi pelajaran kepada perempuan yang tidak tahu sopansantun ini, Ayah," kata Darmasaka.
"Hati-hatilah. Dia sangat licik dan tinggi tingkat kepandaiannya," kata Ki
Rangkuti bijaksana.
Darmasaka membalikkan tubuhnya. Kemudian dia
melangkah tiga tindak ke depan. Ki Rangkuti menuruni panggung, kembali ke tempat
duduknya semula. Meskipun bibirnya menyunggingkan senyum, tapi khawatir juga
dengan keselamatan putranya. Dia tahu kalau Iblis Tongkat
Hitam bukanlah lawan Darmasaka. Itulah sulitnya jadi guru besar padepokan. Dia
harus bisa menahan segala bentuk perasaan. Kebijaksanaan selalu menyertai dalam
setiap sikap dan tindakannya.
"He, bocah! Untuk apa kau berdiri di situ?" bentak Iblis Tongkat Hitam sengit.
"Aku akan membungkam mulutmu yang jelek!" dengus Darmasaka ketus
"Hik hik hik..., sebaiknya kau turun. Aku tak mau mengotori tangan dengan bocah
bau kencur macam-12
mu," ejek Iblis Tongkat Hitam.
"Kami tidak mengundangmu datang ke sini. Aku Juga malas mengusirmu seperti
anjing kalau kau tidak lekas-lekas minggat!" balas Darmasaka tidak kalah
sengitnya. "Bocah setan! Tajam sekali mulutmu!" geram Iblis Tongkat Hitam.
"Lebih tajam lagi ujung tombakku!" "Setan! Mampus kau!"
Iblis Tongkat Hitam tidak bisa lagi menahan amarahnya mendengar kata-kata
Darmasaka yang menyakitkan.
Seketika saja dia melompat sambil men-gebutkan tongkat hitamnya yang meliuk-liuk
bagai ular. Angin sambaran tongkat itu menderu keras di atas kepala Darmasaka
yang merunduk. Dan bersamaan dengan itu, ujung tombak
Darmasaka menyodok ke arah perut lawan.
Iblis Tongkat Hitam menarik kembali tongkatnya, dan dengan kecepatan bagai kilat
dikebutkan ke bawah.
Darmasaka tidak mau mengambil resiko dengan membenturkan tombaknya dengan tongkat hitam itu. Buru-buru ditarik tombaknya
pulang. Iblis Tongkat Hitam
menggeram sengit karena serangan pertamanya gagal total, bahkan hampir-hampir
kecolongan. Sorak-sorai bergemuruh mengelu-elukan Darmasaka
yang berhasil mengimbangi serangan pertama dari Iblis Tongkat Hitam. Tentu saja
hal ini membuat perempuan tua berbaju hitam itu semakin geram. Segera dia
menyiapkan serangan yang kedua. Matanya memerah penuh amarah
menatap Darmasaka yang hampir saja membuatnya malu.
Kali ini Iblis Tongkat Hitam tidak lagi menganggap enteng lawannya.
Meskipun masih muda, Darmasaka memiliki ilmu silat yang cukup tinggi juga.
'Terima seranganku, bocah!" teriak Iblis Tongkat Hitam.
Darmasaka menarik tubuhnya menghindari sodokan
tongkat hitam perempuan tua itu. Pemuda itu langsung berputar ke belakang. Tapi
sodokan tongkat hitam yang gagal diteruskan dengan kebutan ke arah dada. Dengan


Pendekar Rajawali Sakti 5 Naga Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

satu lentingan indah, anak muda itu berhasil keluar dari serangan beruntun Iblis
Tongkat Hitam. Baru saja ditapakkan kakinya di papan panggung,
mendadak Iblis Tongkat Hitam kembali menyerang dengan mengibaskan tongkat hitam
ke arah iga. Darmasaka yang baru saja menjejakkan kakinya, tidak bisa lagi
mengelak. Terpaksa ditangkisnya tongkat hitam itu dengan tombaknya. Trak! Darmasaka terpental dua tindak ke belakang Matanya membeliak melihat tombaknya
patah jadi dua. Sambil menggeram kesal, dibuangnya tombak patah itu ke luar
panggung. Sementara Iblis Tongkat Hitam berdiri tegak dengan sikap jumawa.
Tawanya mengikik kecil mengejek
lawannya. Suara-suara riuh dari bawah panggung memberi dorongan semangat pada
Darmasaka. "Ayo, keluarkan lagi senjatamu. Aku tidak pernah melawan orang tanpa senjata!"
seru Iblis Tongkat Hitam.
Sret! Tanpa sungkan-sungkan lagi Darmasaka mencabut
pedangnya yang sejak tadi tergantung di pinggang. Senjata itu berkilatan
tertimpa sinar matahan. Iblis Tongkat Hitam hanya mengikik menyaksikan hal itu.
Baginya sebatang pedang bukanlah hal yang patut diperhitungkan. Sudah terlalu
banyak lawan yang menggunakan pedang disikat habis olehnya.
"Majulah. Kuberi kau kesempatan menyerang," kata Iblis tongkat Hitam meremehkan.
"Phuih!" Darmasaka meludah sengit.
Sambil mengeluarkan teriakan panjang, Darmasaka
melompat deras seraya mengibaskan pedangnya ke arah leher lawannya. Masih dengan
suara mengikik, Iblis Tongkat Hitam hanya menarik sedikit bagian lehernya ke
belakang, dan ujung pedang Darmasaka lewat begitu saja di depan leher Iblis
Tongkat Hitam. Mendapati serangan pertamanya gagal, Darmasaka cepat membelokkan arah pedangnya
ke kaki lawan tanpa
menariknya lagi. Iblis Tongkat Hitam menaikkan sedikit kaki kanannya, dan pedang
itu lewat di bawah telapak kalanya. Darmasaka kembali melancarkan serangan tanpa
henti, namun Iblis Tongkat Hitam dengan mudahnya
mampu mengelak.
Sementara itu di serambi depan rumah Kepala Desa
Jatiwangi, Ki Rangkuti memperhatikan jalannya pertarungan dengan mata tidak berkedip. Hatinya semakin
diliputi kecemasan melihat putranya tidak dapat lagi mengendalikan hawa amarah
Dalam beberapa gebrakan
lagi, Darmasaka diramalkan akan kalah.
Dan baru saja Ki Rangkuti berkata begitu dalam hati Tiba-tiba Iblis Tongkat
Hitam memekik keras.
Tongkat hitamnya berkelebat cepat mengarah kepala
Darmasaka. Gerakan yang cepat dan tiba-tiba ini sangat mengejutkan anak muda
itu. Tidak mungkin lagi untuk menghindar. Terpaksa disambutnya dengan menangkis.
Trak! Tangan Darmasaka bergetar keras ketika pedangnya
menangkis tongkat hitam yang mengancam kepalanya. Dan belum sempat dia menguasai
diri, mendadak....
"Lepas!"
Iblis Tongkat Hitam melayangkan kakinya menghantam pergelangan tangan Darmasaka
yang menggenggam
pedang. Darmasaka tersentak kaget. Mendadak saja
pergelangan tangannya terasa nyeri, seperti remuk. Dia tidak tahu lagi ke mana
pedangnya mencelat.
Belum sempat Darmasaka berpikir lebih jauh, satu
tendangan keras kembali menghantam dadanya dengan
telak. Darmasaka terjengkang ambruk ke luar panggung, dan jatuh di depan kaki
ayahnya sendiri. Dari sudut bibir anak muda itu mengalir darah segar. Dia
berusaha bangkit berdiri, tapi tangan Ki Rangkuti lebih cepat menahan pundaknya.
"Semadilah, kau terluka dalam," kata Ki Rangkuti.
"Perempuan iblis itu, Ayah...," Darmasaka akan protes.
"Kau sudah kalah. Anggap saja semua ini sebagai pelajaran. Nah! Bersemadilah,"
potong Ki Rangkuti tegas.
Darmasaka beringsut bangun, lalu duduk bersila.
Dia merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada.
Kedua kelopak matanya terpejam. Dadanya masih terasa sakit, dan napasnya juga
jadi sesak. Sementara itu di atas panggung, Iblis Tongkat Hitam berdiri pongah. Sikapnya
jelas-jelas menunjukkan tantangan bagi siapa saja yang berani melawannya.
Matanya memerah, sangat tajam menatap Ki Rangkuti yang masih duduk tenang di kursinya.
"Biarkan aku yang mengenyahkan iblis itu, Rangkuti,"
kata Dewa Pedang Emas setengah berbisik.
"Jangan. Kau tamuku. Tidak pantas turun tangan," Ki Rangkuti menolak halus tanpa
menyinggung perasaan
Dewa Pedang Emas. "Lagipula dia bukan lawanmu. Kau masih jauh di atas tingkat
kepandaiannya."
Dewa Pedang Emas tidak membantah. Memang benar
apa yang dikatakan Ki Rangkuti tadi. Dalam tiga jurus saja dia mampu menundukkan
Iblis Tongkat Hitam. Dulu pun iblis itu pernah dikalahkannya hanya dalam satu
gebrakan saja. Dan dilihat dari caranya bertarung melawan
Darmasaka, tampaknya belum ada perubahan dari jurus-jurusnya.
Entah kalau dia menyimpannya untuk menghadapi lawan yang berat
"Siapa lagi jago-jago Jatiwangi" Apakah nyali kalian hanya sebesar tahi ayam?"
Iblis Tongkat Hitam menantang dengan pongahnya.
"Aku lawanmu, iblis jelek!"
Dari deretan kursi depan di samping panggung,
melompat seorang laki-laki berpakaian serba putih yang ketat Dua kali dia
berputar di udara, kemudian dengan manis kedua kakinya menapak di papan
panggung. Iblis
Tongkat Hitam terkekeh melihat lawannya yang kali ini tampak lebih tua dari
Darmasaka. Bukan itu saja kelebihannya. Tanpa memperdengarkan suara sedikitpun dalam
melompat, tahu-tahu sudah berada di atas panggung tanpa terdengar suara.
Pertanda kalau dia memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi dari Darmasaka.
"Ijinkan aku bermain-main sedikit dengan Iblis Tongkat Hitam, Kakang Rangkuti?"
"Silakan, Mahesa Jalang," sahut Ki Rangkuti seraya merentangkan tangan kanannya
ke depan. Mahesa Jalang menggeser kakinya mendekati Iblis
Tongkat Hitam. Dia berhenti setelah jaraknya kira-kira satu batang tombak lagi
di depan perempuan tua berpakaian longgar serba hitam itu.
"Berikan aku sedikit pelajaran, nenek tua," Mahesa Jalang menjura hormat.
"Hik hik hik...," Iblis Tongkat Hitam jadi risih juga dengan sikap Mahesa Jalang
yang penuh aturan dan tata-krama. "Jangan kau sungkan-sungkan. Keluarkan semua
kesaktianmu!"
"Bersiaplah!"
*** 2 Mahesa Jalang menjura sekali lagi, kemudian dengan cepat digeser kakinya maju.
Begitu cepatnya bergerak, kedua tapak kakinya sepertinya tidak menyentuh papan
panggung lagi. Kedua tangannya berkelebat cepat ke kiri dan ke kanan serta ke
depan. Iblis Tongkat Hitam sesaat tertegun melihat jurus yang digunakan Mahesa Jalang.
Gerakan-gerakannya tidak
beraturan, seperti orang mabuk saja layaknya. Tapi ketertegunan Iblis Tongkat
Hitam berubah menjadi rasa terkejut yang amat sangat, karena tiba-tiba "saja
tangan kanan Mahesa Jalang nyelonong ke arah dadanya.
"Uts!"
Iblis Tongkat Hitam langsung memiringkan tubuhnya ke kanan, sehingga tangan
Mahesa Jalang lewat di sampingnya. Belum juga perempuan tua itu membenahi posisinya, mendadak kaki
Mahesa Jalang terangkat cepat mengarah
ke perut. Iblis Tongkat Hitam cepat membabatkan tongkatnya melindungi perut.
Tentu saja Mahesa Jalang tidak mau mengambil resiko.
Buru-buru ditarik kakinya kembali. Bukan disitu saja Iblis Tongkat Hitam
bergerak. Selagi tongkatnya terayun ke bawah, dengan cepat tangan kirinya
menyentak ke depan.
Bet! Mahesa Jalang tersentak seraya menarik kepalanya ke belakang menghindari tangan
kiri yang mengancam
kepalanya. Hanya beberapa helai rambut saja kepalan tangan kiri Iblis Tongkat
Hitam melayang di depan
mukanya. "Awas kepala!" seru Mahesa Jalang tiba-tiba.
Secepat lalat tangan kanannya bergerak ke arah kepala lawan. Iblis Tongkat Hitam
merunduk sedikit, namun tangan yang hampir mencapai atas kepala itu secara tibatiba turun dengan deras. Dan meluruk cepat ke arah perut.
Buk! "Uhk!"
Iblis Tongkat Hitam terbungkuk terdorong dua langkah ke belakang. Bibirnya
meringis merasakan mual dan nyeri pada perutnya, terkena sodokan keras tangan
Mahesa Jalang. "Setan!" geram Iblis Tongkat Hitam.
Sorak-sorai menggemuruh mengelu-elukan Mahesa
Jalang. Mulut-mulut usil kembali mengejek Iblis Tongkat Hitam. Tentu saja hal
ini membuat perempuan tua itu jadi semakin geram. Segera saja diputar tongkatnya
dengan cepat. Tongkat hitam itu berputar deras bagai baling-baling.
Suara angin menderu-deru bagai angin topan. Panggung besar dan kokoh itu
berderak-derak seakan-akan hendak runtuh.
Menghadapi serangan yang dahsyat ini, Mahesa Jalang langsung mengerahkan ilmu
kesaktiannya. Dia tidak ingin menghadapinya
hanya dengan jurus-jurus yang mengandalkan kecepatan gerak dan pengerahan tenaga dalam. Dia tahu kalau Iblis
Tongkat Hitam sudah
mengeluarkan ilmu kesaktiannya yang cukup ting$.
Mahesa Jalang mengepalkan tangan kanannya, lalu
dirapatkan dengan telapak tangan kiri di pinggang kanan.
Cepat sekali dia memindahkan posisi tangannya ke
pinggang kiri. Lalu perlahan-lahan naik sampai ke dada kiri.
"Aji 'Karang Kati'...!" teriak Mahesa Jalang keras.
Seketika itu juga tubuhnya melenting deras ke arah Iblis Tongkat Hitam yang
sudah melintangkan tongkatnya ke depan. Satu ledakan keras terjadi ketika kedua
tangan Mahesa Jalang membentur tengah-tengah tongkat hitam.
Trak! "Akh!" Iblis Tongkat Hitam memekik tertahan.
"Uhk!" Mahesa Jalang melenguh pendek.
Dua tubuh yang berbenturan tadi, terdorong ke belakang sejauh dua batang tombak.
Iblis Tongkat Hitam limbung beberapa saat, kemudian kembali berdiri tegak.
Matanya membeliak merah setelah tahu tongkat hitamnya patah jadi dua bagian.
Teriakan-teriakan kembali terdengar menggemuruh dari para penduduk yang gembira
melihat Mahesa Jalang
berhasil mematahkan tongkat Iblis Tongkat Hitam.
"Bocah setan! Kau harus mati di tanganku!" dengus Iblis Tongkat Hitam geram.
Selesai berkata demikian, langsung disiapkan ilmu
kesaktiannya yang lain. Sedangkan Mahesa Jalang kembali menyiapkan aji 'Karang
Kati'. Dua orang di atas panggung itu kembali saling berhadapan dengan niat
ingin menjatuhkan satu sama lain. Keadaan kembali jadi hening, menunggu akhir adu
kesaktian itu "Aji 'Tapak Api'!" teriak Iblis Tongkat Hitam.
"Aji 'Karang Kati'!" Mahesa Jalang tidak mau kalah.
Hampir bersamaan mereka melompat ke udara. Masingmasing mendorong kedua tangan ke depan. Tampak kedua telapak tangan Iblis
Tongkat Hitam berubah menjadi merah membara. Tepat pada satu titik, dua pasang
tangan itu bertemu di udara. Kembali ledakan keras disertai percikan
bola-bola api, terdengar menggema saat dua pasang telapak tangan beradu.
Iblis Tongkat Hitam terpental ke belakang. Teriakan keras melengking keluar dari
mulutnya. Keras pula
tubuhnya terbanting di pinggir panggung. Tampak dari mulut dan hidungnya
merembes darah segar.
Sementara itu Mahesa Jalang melenting dan berputar dua kali di udara, lalu
dengan manis mendarat tepat di tengah-tengah panggung. Matanya tajam memandang
tubuh terbungkus baju hitam yang ter-golek di pinggir panggung besar yang kokoh
ini. Tubuh Iblis Tongkat Hitam menelungkup tidak bergerak-gerak. Seorang murid
dari Padepokan Jatiwangi menghampiri dan memeriksa keadaan Iblis Tongkat Hitam.
"Mati," katanya agak pelan.
Suara bergemuruh kembali terdengar menyambut
kemenangan Mahesa Jalang. Begitu mendengar kema-tian Iblis Tongkat Hitam, Mahesa
Jalang melangkah ke tepi panggung. Tapi baru saja akan turun, mendadak terdengar
suara tawa menggelegar. Disusul melompatnya sesosok tubuh dari tengah-tengah
penonton. Begitu cepatnya sosok tubuh itu melompat, tahu-tahu sudah
berdiri di atas
panggung. Mahesa
Jalang membalikkan tubuhnya. Dia tahu kalau kemenangan ini tentu akan mendapatkan
tantangan lagi dari tokoh-tokoh sakti rimba persilakan. Dan semuanya sudah
diperkirakan sebelumnya.
*** "Buto Dungkul...," gumam Mahesa Jalang mengetahui siapa yang kini berdiri dengan
sikap menantang di tengah-tengah panggung.
"Belum saatnya kau turun gelanggang, Mahesa Jalang, "
ujar Buto Dungkul. Suaranya berat dan serak.
Mahesa Jalang memiringkan kepalanya mengamati laki-laki yang hanya mengenakan
cawat saja. Di tangan
kanananya tergenggam sebuah gada penuh duri-duri tajam yang besar. Tubuh Buto
Dungkul juga tinggi besar bagai raksasa. Dadanya
penuh dengan bulu-bulu hitam.
Keadaannya sangat kotor, persis manusia hutan yang baru keluar dari pengasingan.
Bagi tokoh-tokoh sakti rimba persilatan, nama Buto Dungkul tidak asing lagi. Dia


Pendekar Rajawali Sakti 5 Naga Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah terkenal sebagai manusia rimba belantara yang menguasai Hutan Gading.
Hutan Ubat yang berada tidak jauh dari Desa Jabwangi ini Sudah tak terhitung
lagi manusia yang mati di tangannya.
Buto Dungkul tidak memiliki satu jenis ilmu silat pun. Tapi tenaganya sangat
besar dan kuat, melebihi tenaga manusia biasa.
Kelebihan yang paling utama dari tubuhnya adalah kebal terhadap segala jenis
racun. Kulit tububnya sekeras baja, sukar ditembus senjata tajam. Cara
bertarungnya juga aneh, tidak mengikuti aturan jurus-jurus silat Serampangan dan
hanya mengandalkan kekuatan otot serta kekebalan tubuh saja.
"Kau sudah mengingkari janji, Mahesa Jalang. Sekarang aku datang untuk menagih
janjimu," kata Buto Dungkul.
Mahesa Jalang hanya bergumam kecil. Dia memang
pernah berjanji pada manusia raksasa ini untuk mengadu jiwa. Tiga tahun yang
lalu, ketika masih bertugas sebagai pengantar barang-barang dari satu desa ke
desa yang lain, dia pernah melewati Hutan Gading. Di situ Mahesa Jalang
bertarung melawan Buto Dungkul yang ingin merampas semua barang-barang yang ada
di atas pedati. Enam orang
yang ikut waktu itu tewas secara mengerikan di tangan manusia raksasa ini.
Mahesa Jalan bisa menandingi, bahkan sempat melukai Buto Dungkul. Tapi keadaan
dirinya juga tidak kalah kritis.
Mereka kemudian mengadakan satu perjanjian untuk
melanjutkan pertarungan dalam
waktu tiga tahun mendatang. Dan setelah tiga tahun ini rupanya Buto Dungkul datang untuk menagih
janji. Mahesa Jalang bukan lupa akan janjinya, tapi niatnya akan dipenuhi
setelah Padepokan Jatiwangi berdiri resmi.
"Buto Dungkul, saat ini bukan waktu yang tepat untuk menyelesaikan persoalan
pribadi," kata Mahesa Jalang.
"Ha ha ha.... Kau gentar menghadapiku, Mahesa Jalang?"
"Waktu yang kita janjikan masih tujuh hari lagi. Aku akan datang tepat pada
waktunya nanti ke Hutan Gading!"
"Kau kira aku salah menghitung, heh" Hari ini tepat kau harus memenuhi janjimu!"
Mahesa Jalang tidak mengerti dengan cara perhitungan hari Buto Dungkul. Dalam
perhitungannya sendiri,
sebenarnya masih tujuh hari lagi, tapi kenapa Buto Dungkul menganggap hari ini
perjanjian itu harus terlaksana"
"Rangkuti! Kau yang jadi saksi perjanjian itu. Bagaimana bunyinya?" Buto Dungkul
menatap Ki Rangkuti.
Sebentar Ki Rangkuti menarik napas panjang. Memang pada waktu itu dia ada di
sana. Dialah yang mengusulkan supaya diadakan satu perjanjian.
Kebetulan saat itu ia sedang berburu di tepian Hutan Gading, dan mendengar suara
pertarungan. Namun ketika tiba di tempat kejadian, dua orang yang bertarung
sudah tergeletak dalam keadaan kritis. Tapi masing-masing orang itu tidak mau mengakui
kekalahannya. Lalu Ki Rangkuti pun mengusulkan agar diadakan suatu perjanjian
untuk mengulang pertempuran itu. Mereka pun akhirnya setuju.
Sejak kejadian itulah Mahesa Jalang tinggal di Desa Jatiwangi. Dia merasa
berhutang budi pada Ki Rangkuti yang tanpa sengaja telah menyelamatkan nyawanya.
Memang saat itu Buto Dungkul sudah bisa bangkit kembali sementara Mahesa Jalang
masih tergeletak lemah tanpa daya.
"Perjanjian
itu berbunyi, tiga tahun berselang, pertarungan kalian dilanjutkan sampai ada yang tewas.
Waktunya ditetapkan tujuh hari sebelum bulan purnama ketiga," lantang suara Ki
Rangkuti menyebutkan isi perjanjian antara Mahesa Jalang dengan Buto Dungkul.
"Kau dengar itu, Mahesa Jalang?" Buto Dungkul kembali menatap Mahesa Jalang.
"Aku tahu!" sahut Mahesa Jalang.
"Nah! Bukankah tujuh hari lagi bulan purnama ketiga"
Berarti hari ini kau harus menepati janjimu!"
Mahesa Jalang tidak bisa berkata lain leigi. Sungguh mati dia tidak ingat kalau
bulan purnama ketiga yang ditetapkan dikurangi tujuh hari. Kalau begitu, memang
tepat hari ini harus bertarung untuk memenuhi janji dengan manusia raksasa itu.
"Kau sudah menyalahi janji, Mahesa Jalang. Seharusnya kau datang tepat begitu
matahari terbit. Jangan salahkan aku kalau kedatanganku merusak acara besar di
sini." Ki Rangkuti mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia
memang tidak bisa menyalahkan Buto Dungkul. Dan
seharusnyalah Mahesa Jalang harus menepati janji datang
ke Hutan Gading tepat ketika matahari terbit. Ki Rangkuti tidak bisa mencegah
lagi, panggung yang sedianya untuk pertunjukan adu ketangkasan murid-muridnya
dengan beberapa padepokan yang diundang, jadi arena pertarungan pelaksanaan perjanjian.
Malah sejak awal acara peresmian Padepokan Jatiwangi sudah dirusak dengan
munculnya Iblis Tongkat Hitam.
Kejadian seperti ini memang sudah diperhitungkan oleh Ki Rangkuti dan lima orang
pembantunya di padepokan. Kini salah seorang pembantu utamanya harus
melaksanakan janji yang dibuatnya sendiri.
"Bersiaplah kau, Mahesa Jalang!" seru Buto Dungkul tiba-tiba.
Manusia raksasa itu berteriak menggelegar sambil
memutar-mutar gadanya yang besar berduri di atas kepala.
Sungguh besar tenaga yang dimilikinya. Gada sebesar paha orang dewasa itu
menderu-deru menimbulkan suara angin menggemuruh memekakkan telinga. Dengan gada
yang diputar-putar di atas kepala, Buto Dungkul berlari berat ke arah Mahesa Jalang.
Suara menderu berat terdengar keras di samping Mahesa Jalang. Gada besar berduri
itu melayang cepat mengarah ke kepala laki-laki gagah berpakaian serba putih
itu. Hanya sedikit saja Mahesa Jalang menarik kepalanya ke belakang, gada itu
lewat di depan mukanya. Angin keras yang bertiup dari gada itu membuat tubuh
Mahesa Jalang agak
terdorong. Sret! Mahesa Jalang menarik pedangnya sambil melangkah
mundur dua tindak. Pedang bercahaya keperakan itu
berkelebat cepat membabat bagian perut Buto Dungkul.
Sabetan pedang disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi itu tak dapat lagi
dielakkan Buto Dungkul.
Duk! Mata pedang perak menghantam keras perut buncit dari manusia raksasa itu. Tangan
Mahesa Jalang bergetar hebat.
Hampir saja pedangnya terlempar dari genggamananya.
Mahesa Jalang membelalak lebar melihat perut Buto
Dungkul tidak terluka sedikitpun oleh sabetan pedangnya.
Bukan cuma Mahesa Jalang yang keheranan melihat
kekebalan kulit Buto Dungkul, tapi semua orang yang hadir juga
jadi melongo. Sementara itu Buto Dungkul
menggeram keras bagai gorila lapar. Gada besar penuh duri diayunkan seperti
hendak meremukkan tubuh Mahesa
Jalang. "Uts!"
Mahesa Jalang melompat mundur saat gada Buto
Dungkul nyaris menghantam tubuhnya. Begitu derasnya hantaman gada sebesar paha
manusia dewasa itu, sehingga ketika menghantam papan panggung, langsung jebol
berantakan. Panggung berukuran besar itu bergetar hebat seolah akan rubuh.
"Gila! Orang apa gorila tuh!" seru salah seorang hadirin.
Mahesa Jalang kembali mengarahkan pedangnya, yang
kali ini mengancam leher Buto Dungkul. Kibasan pedang yang hampir bersamaan
degan hancurnya panggung, tidak bisa dielakkan manusia raksasa itu. Mata pedang
dari perak itu tepat membabat leher Buto Dungkul.
Lagi-lagi Mahesa Jalang terpental begitu pedangnya menghantam leher Buto
Dungkul. Sabetan keras disertai pengerahan tenaga dalam penuh membuat pedang
Mahesa Jalang patah jadi dua bagian. Dan dia sendiri terpental
sejauh satu batang tombak ke belakang. Mahesa Jalang bergulingan di atas
panggung, dan segera berdiri.
"Setan!" dengan kesal Mahesa Jalang melemparkan pedangnya yang buntung.
Buto Dungkul menggeleng-gelengkan
kepalanya sebentar. Leher yang terbabat pedang tidak sedikit pun mengalami luka. Kulitnya
benar-benar sekeras baja, tidak mempan oleh senjata tajam. Padahal Mahesa Jalang
sudah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
"Ghraaaghhh...! Mampus kau sekarang, Mahesa Jalang!"
Buto Dungkul menggeram bagai guruh.
Mahesa Jalang yang kini tidak lagi menggengam senjata, segera
mengerahkan kesaktiannya. Tidak tanggungtanggung lagi, langsung dikerahkan aji 'Karang Kati' yang menjadi ilmu
andalannya. Begitu Mahesa Jalang selesai mempersiapkan ajiannya, Buto Dungkul menghantamkan
gadanya dengan cepat
sambil menggeram hebat Gada besar penuh duri tajam itu melayang deras bagai
gunung runtuh. Mahesa Jalang
melompat sambil menapak senjata mengerikan itu dengan tangannya yang sudah
mengerahkan Aji 'Karang Kati'.
"Akh...!"
Mahesa Jalang memekik keras begitu tangannya membentur gada Buto Dungkul.
Bersamaan dengan pekikan keras itu, terdengar suara ledakan dahsyat Tubuh Mahesa
Jalang terlontar deras dan terbanting ke luar panggung. Darah segar muncrat
keluar dari mulutnya begitu tubuhnya menghantam tanah dengan kerasnya.
Sedangkan Buto Dungkul menggeram-geram sambil
memutar-mutar gada besarnya. Suara angin menderu-deru keluar dari putaran gada
di atas kepala manusia raksasa itu.
Semua orang yang berada di sekitar pannggung, bergegas mundur penuh kengerian.
Tak ada lagi sorak-sorai atau decak kekaguman. Yang terlihat hanya wajah-wajah
ketakutan dan kengerian menyaksikan manusia raksasa berdiri dengan tegar sambil
memutar-mutar gadanya di atas kepala.
Mahesa Jalang bangkit berdiri. Dengan ujung lengan bajunya disekanya darah yang
mengotori mulut. Dia
hampir tidak percaya kalau Aji 'Karang Kati' tidak bisa melukai Buto Dungkul,
apa lagi membunuhnya. Mahesa Jalang benar-benar putus asa menghadapi kehebatann
manusia liar ini. Sungguh tidak diduga sama sekali dalam waktu tiga tahun telah
begitu hebat. "Ilmu setan apa yang dipakainya?" gumam Mahesa Jalang bertanya pada dirinya
sendiri. "Mahesa Jalang, keluarkan semua kesaktianmu. Kita bertarung sampai ada yang
mati!" keras menggelegar suara Buto Dungkul.
"Phuih!" Mahesa Jalang menyemburkan ludahnya.
Seketika dikempos tenaganya, dan melayang kembali ke atas panggung. Tubuhnya
ringan bagai kapas, menjejak papan panggung tanpa menimbulkan suara sedikitpun
juga. Segera disiapkan kembali Aji 'Karang Kati'. Kali ini Mahesa Jalang mengerahkan
seluruh kekuatannya dan dipusatkan pada kedua telapak tangannya.
"Aji 'Karang Kati'...!" teriak Mahesa Jalang keras.
Bersamaan dengan itu, tubuhnya segera melenting
menerjang Buto Dungkul. Manusia raksasa itu mengibaskan gadanya
berusaha menghantam tubuh
Mahesa Jalang yang meluncur deras ke arahnya. Mahesa
Jalang menurunkan tubuhnya sedikit, dan gada Buto
Dungkul lewat di atas tubuhnya sedikit.
Dalam waktu yang bersamaan, kedua telapak tangan
Mahesa Jalang menerpa dada manusia raksasa itu. Suara ledakan dahsyat kembali
terdengar. Tubuh Mahesa Jalang terlontar lagi ke belakang dengan derasnya.
Sementara Buto Dungkul hanya terdorong dua langkah saja. Dia masih tetap berdiri
tegak meskipun mulutnya sedikit meringis.
Tubuh Mahesa Jalang kembali terbanting keras di
panggung. Papan panggung yang tebal dan kuat itu tergetar, kemudian hancur
berkeping-keping tertimpa tubuh Mahesa Jalang. Guru kelima Padepokan Jati-wangi
itu bergulingan setelah menghantam papan panggung di tanah. Mahesa Jalang baru
berhenti bergulir begitu sampai di pinggir.
"Hoek!" kembali dia memuntahkan darah segar dari mulutnya.
Mahesa Jalang merasakan seluruh tubuhnya seperti
remuk. Rasa nyeri menggerogoti seluruh tulang-tulang tubuhnya. Dengan susahpayah dia berusaha bangkit
berdiri. Namun belum juga sempat berdiri, mendadak lantai panggung itu bergetar
hebat. "Graaahhh...!" Buto Dungkul menggeram keras.
Kakinya yang besar dan berat berlari kencang ke arah Mahesa Jalang yang belum
juga bangkit. Buto Dungkul berlari kencang sambil mengayun-ayunkan gadanya. Dan
dengan keras dihantamkan ke punggung Mahesa Jalang.
"Aaakh...!" Mahesa Jalang menjerit melengking tinggi.
Darah langsung muncrat dari punggungnya yang
terbelah. Buto Dungkul mengangkat tubuh Mahesa Jalang yang telah tewas dengan
sebelah tangannya. Dia memutar-mutar tubuh itu, sehingga darah berceceran
kemana-mana. Dengan satu geraman mengguruh, Buto
Dungkul melemparkan tubuh Mahesa Jalang ke tengah-tengah para murid Padepokan Jatiwangi. Tubuh Mahesa Jalang yang sudah tidak bernyawa lagi itu meluncur deras, dan jatuh
tepat di tengah-tengah murid-muridnya sendiri. Seketika itu juga Desa Jatiwangi
geger dengan gugurnya Mahesa Jalang di tangan manusia raksasa itu. Suara-suara
penuh kengerian mendengung memenuhi sekitar panggung. Buto Dungkul berdiri tegak
menyandang gada berdurinya. Matanya merah menyala menatap Ki
Rangkuti yang kini berdiri dari kursinya.
"Rangkuti, giliranmu tiga purnama lagi!" seru Buto Dungkul menggelegar.
Ki Rangkuti belum bisa berkata apa-apa, Buto Dungkul sudah berbalik dan
melangkah menuruni panggung. Orang-orang pun segera menyingkir ketika manusia
raksasa itu akan lewat. Ki Rangkuti masih menatap kepergian Buto Dungkul yang
semakin jauh dengan langkah-langkah lebar dan berat
*** 3 Malam sudah amat larut. Suasana di Desa Jatiwangi sepi lengang. Beberapa obor
masih tampak menyala terang di beberapa tempat. Halaman rumah kepala desa pun
tampak senyap. Tidak ada seorang pun yang terlihat, kecuali di beranda depan.
Tampak Ki Rangkuti duduk termenung
didampingi oleh Dewa Pedang Emas dan Bayangan
Malaikat. Dua sahabat yang belum juga meninggalkan tempat
meskipun perayaan peresmian

Pendekar Rajawali Sakti 5 Naga Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdirinya Padepokan Jabwangi sudah berakhir sore tadi.
Sementara tamu-tamu undangan lainnya sudah beristirahat di kamar masing-masing yang telah disediakan oleh Ki Rangkuti.
Sejak sore tadi ketiga orang itu duduk di beranda depan tanpa banyak kata yang
terucap dari mulutnya. Ki Rangkuti seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat.
"Aku lihat kau tidak lagi gembira sejak kematian Mahesa Jalang, Rangkuti. Apakah
kau memikirkan kata-kata Buto Dungkul?" Dewa Pedang Emas membuka suara pelan.
Ki Rangkuti menarik napas panjang. Bola matanya
menatap kedua sahabatnya bergantian.
"Kau punya perjanjian dengan manusia liar itu, Rangkuti?" tanya Bayangan
Malaikat. "Ya," desah Ki Rangkuti berat. " Aku harus berhadapan dengannya tiga bulan
mendatang kalau Mahesa Jalang tewas."
"Perjanjian nekad!" dengus Dewa Pedang Emas.
"Aku melakukannya karena terpaksa, aku hanya ingin menyelamatkan nyawa Mahesa
Jalang waktu itu."
"Seharusnya kau biarkan saja Mahesa Jalang mati saat itu juga. Toh akhirnya dia
pun harus mati di tangan Buto Dungkul!" Bayangan Malaikat seolah-olah
menyesalkan sikap Ki Rangkuti.
"Aku tidak menyesali perjanjian itu," sahut Ki Rangkuti.
"Lalu, kenapa kau jadi murung?" desak Dewa Pedang Emas.
"Aku memikirkan permintaan Buto Dungkul." "Permintaan apa?"
"Buto Dungkul tidak akan membunuhku dalam
pertarungan nanti. Dia hanya ingin mengalahkan aku saja."
"Kalau cuma itu, kenapa jadi dipikirkan?"
"Bukan cuma itu, Dewa Pedang Emas. Yang jadi beban pikiranku sekarang, Buto
Dungkul meminta putriku kalau aku kalah."
Dewa Pedang Emas dan Bayangan Malaikat terkejut
setengah mati. Rasanya mereka saat itu mendengar ledakan petir yang amat
dahsyat. Tidak diduga sama sekali Ki Rangkuti mempunyai perjanjian yang berat
sekali. Mereka semua tahu bagaimana hebatnya Buto Dugkul.
Rasanya sulit bagi Ki Rangkuti mengalahkan manusia liar itu. Mereka bertiga saja
belum tentu bisa menandingi meskipun secara bersamaan menyerang. Benar-benar
perjanjian edan!
"Sekar Telasih sudah tahu perjanjian itu?" tanya Dewa Pedang Emas
"Belum," sahut Ki Rangkuti lesu.
"Aku tidak bisa bayangkan, bagaimana kalau putrimu tahu mengenai perjanjian itu"
Benar-benar sembrono sekali kau, Rangkuti," gumam Bayangan Malaikat menyesalkan.
Ki Rangkuti tidak
bisa menyalahkan kata-kata sahabatnya. Diakui kalau tindakannya sungguh ceroboh.
Padahal tidak ada untungnya sama sekali menolong
Mahesa Jalang waktu itu. Dia juga tidak kenal sebelumnya.
Mungkin karena jiwa kependekarannya saja yang tergerak untuk menolong siapa saja
yang membutuhkan meskipun harus mengorbankan apa yang dicintainya.
"Sekarang, apa yang akan kau lakukan" Tiga purnama bukan waktu yang panjang
untuk mempersiapkan diri, Rangkuti," kata Dewa Pedang Emas.
"Aku belum bisa memikirkannya," sahut Ki Rangkuti.
"Sebaiknya kau menyempurnakan ilmu-ilmu andalanmu.
Aku juga tidak akan tinggal diam begitu saja melihat kehancuranmu," kata
Bayangan Malaikat.
'Terima kasih. Kalian memang sahabat sejati," ucap Ki Rangkuti terharu.
"Ah, sudahlah. Aku juga belum tahu, apakah pedangku ini bisa merobek kulitnya,"
kata Dewa Pedang Emas.
Ki Rangkuti menatap kedua sahabatnya dengan penuh
rasa haru. Dia tidak bisa lagi mengatakan apa-apa.
Kesediaan dua sahabatnya membantu memecahkan
kesulitan yang tengah dihadapi, membuat lidahnya seakan-akan jadi kelu. Mungkin
inilah arti persahabatan sejati.
Senang sama dirasa, susah sama dipikul. Meskipun nyawa taruhannya tidak membuat
persahabatan jadi retak.
Dewa Pedang Emas menepuk pundak Ki Rang-kuti,
kemudian bangkit berdiri. Kakinya terayun menuju ke pintu masuk rumah besar itu.
Tidak lama kemudian Bayangan Malaikat menyusul untuk berisirahat. Kini di
beranda depan itu tinggal Ki Rangkuti duduk termenung sendirian.
Sungguh berat persoalan yang dihadapinya sekarang.
Bagaimana mungkin menyerahkan Sekar Telasih pada
manusia liar yang selalu hidup di tengah-tengah hutan belantara"
Saat Ki Rangkuti tengah termenung, tiba-tiba secercah sinar meluncur deras ke
arahnya, dan tepat membentur tengah-tengah meja batu pualam putih di depannya.
Laki-laki tua yang masih kelihatan gagah itu terkejut hingga terlonjak berdiri.
Seberkas sinar yang meluncur deras itu ternyata sebuah anak panah kecil yang
terbuat dari bahan logam berwarna merah menyala. Ki Rangkuti mengedarkan matanya
ke sekeliling menerobos kegelapan malam.
'Tidak ada seorang pun yang terlihat di luar sana. Hanya kegelapn saja yang
menyelimuti sekitarnya. Tidak ada suara-suara ganjil terdengar, kecuali desah
angin dan gemerisik dedaunan saja. Ki Rangkuti mengalihkan
pandangannya pada anak panah kecil yang tertancap itu.
"Hmmm...," bibirnya bergumam panjang begitu i ielihat ada gulungan daun lontar
terikat pada batang nak panah itu.
Gulungan daun lontar yang diikat dengan pita berwarna merah darah. Ki Rangkuti
melepaskannya dari anak panah itu. Matanya jadi melebar begitu membaca tulisan
yang tertera pada daun lontar itu.
"Setan!" geramnya sambil meremas daun lontar itu hingga hancur lumat
Ki Rangkuti langsung melompat ke luar dari beranda.
Dua kali berputar di udara, lalu dengan manisnya menjejak tanah. Dia berdiri
bertolak pinggang dengan bola mata nyalang beredar ke sekelilingnya. TUdak ada
seorang pun yang terlihat Keadaan sekeliling tetap sunyksepi, bahkan binatangbinatang malam pun seolah enggan untuk
memperdengarkan suara.
Cukup lama juga Ki Rangkuti berdiri di atas reruntuhan panggung yang terletak
persis di tengah-tengah halaman rumahnya. Dia seperti tidak peduli dengan
hembusan angin malam yang dingin menusuk kulit. Hatinya panas dan geram menerima
surat tantangan dari seorang yang tidak dikenal sama sekali. Kemarahan Ki
Rangkuti memuncak.
Kalimat yang tertulis tidak banyak, tapi cukup membuat hati Kepala Desa
Jatiwangi itu jadi panas. Di dalam benaknya masih tertera hangat kata-kata
"Serahkan Sekar Telasih, kau akan terbebas dari perjanjian gila. Tidak ada yang
bisa menandingi Buto Dungkul selain aku." Ini sama saja satu tantangan yang
meremehkan kemampuan Ki
Rangkuti. Pantas saja Kepala Desa Jatiwangi ini jadi panas.
Belum pernah dia menerima tantangan yang begitu
meremehkan dan menghina.
"Keluar kau. Biar kuhancurkan batok kepalamu!" geram Ki Rangkuti agak keras.
Tetap sepi, tidak ada yang menyahut. Hanya desiran angin saja yang membawa suara
Ki Rangkuti menyebar ke segala penjuru.
"Kalau kau laki-laki jantan, tunjukkan batang hidungmu!" seru Ki Rangkuti lagi.
Tetap saja tidak ada sahutan, keadaan tetap sepi. Ki Rangkuti mendengus kesal.
Dengan kaki terhentak, dia melangkah kembali ke beranda rumahnya yang diterangi
empat buah pelita di tiap pojoknya. Dengan kesal
dihenyakkan tubuhnya ke kursi. Matanya langsung
menatap anak panah berwarna merah yang masih tertancap di tengah-tengah meja.
Batu pualam putih alas meja itu kerasnya melebihi batu biasa. Dan mata anak
panah itu mampu tembus ke dalam tanpa sedikit pun merusak bagian lainnya. Dari
situ saja sudah dapat diukur ketinggian ilmu tenaga dalam yang dimiliki si pelempar.
"Siapakah si pelempar panah kecil itu" Dan apa maksudnya meminta putriku"
Darimana dia tahu aku
punya persoalan dengan Buto Dungkul?" Ki Rangkuti jadi bertanya-tanya sendiri.
*** Kegemparan kembali terjadi pagi ini. Sepuluh orang
murid Padepokan Jatiwangi yang kepandaianuya baru
seumur jagung kedapatan tewas dengan dada tertancap anak panah kecil berwarna
merah. Sepuluh orang yang tewas itu semalam mendapat tugas jaga di sekitar
padepokan. Geraham Ki Rangkuti bergemeletuk menahan "jeram.
Matanya memerah melihat sepuluh orang mayat muridnya.
Satu persatu wajah-wajah muridnya dan empat guru
pengajar yang tersisa di padepokan, dipandanginya.
Desahan napas berat terdengar keras.
"Siapa yang pertama melihat?" tanya Ki Rangkuti.
Suaranya terdengar dalam dan berat.
"Saya, Ki," sahut salah seorang dari keempat guru pengajar.
"Pandu," gumam Ki Rangkuti. "Hanya kau sendiri yang pertama melihat?"
"Bersama sepuluh orang murid," sahut Pandu.
"Ceritakan apa yang terjadi?"
"Saya tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Saya dan sepuluh orang lainnya
mendapatkan mereka sudah tewas,"
sahut Pandu menjelaskan.
"Ada di antara kalian yang mendengar sesuatu tadi malam?"
Semua menggelengkan kepalanya.
"Edan!" geram Ki Rangkuti gusar.
Ki Rangkuti tidak bisa menyalahkan mereka semua.
Orang yang melakukan ini pasti memiliki tingkat
kepandaian yang sangat tinggi, sehingga tidak seorang pun bisa mengetahui dan
mendengar apa-apa. Mungkinkah
orang itu memiliki aji sirep, sehingga mereka semua jadi terlelap tidurnya bagai
mati" "Kuburkan mereka sekarang juga," perintah Ki Rangkuti.
Semua murid Padepokan Jatiwangi membungkuk
hormat. Ki Rangkuti berbalik dan melangkah meninggalkan halaman padepokan yang
berada tidak jauh dari rumah kediamannya. Langkahnya lebar dan cepat keluar dari
tembok padepokan
Ki Rangkuti memandangi beberapa penduduk yang
berkerumun ingin menyaksikan kematian sepuluh murid Padepokan Jatiwangi. Lakilaki tua itu terus melangkah menuju rumah kediamannya. Dia baru berhenti ketika
melihat Dewa Pedang Emas dan Bayangan Malaikat berdiri di depan beranda
rumahnya. Kedua
sahabat itu menghampiri. "Aku dengar, sepuluh orang muridmu tewas. Benarkah itu?" tanya Dewa Pedang Emas
"Ya, benar. Semalam," jawab Ki Rangkuti
"Mustahil! Kita baru beranjak dari beranda menjelang pagi. Dan kau sendiri
kelihatannya tidak tidur semalaman.
Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?" Bayangan Malaikat menggeleng-gelengkan
kepalanya setengah tidak percaya.
"Aku sendiri tidak tahu. Bencana apa yang akan menimpa desaku?" Ki Rangkuti
mengeluh. Mereke bertiga terdiam. Ki Rangkuti melangkah menuju ke beranda. Dewa Pedang
Emas dan Bayangan Malaikat mengikuti dari belakang. Mereka kembali duduk di
beranda menghadapi meja marmer yang tengah-tengahnya bolong.
Dewa Pedang Emas meraba lubang di tengah-tengah meja itu.
"Dia melemparkan ini semalam," kata Ki Rangkuti seraya mengeluarkan anak panah
kecil berwarna merah yang tergeletak di atas meja.
"Hebat...," gumam Dewa Pedang Emas menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kapan ini terjadi?" tanya Bayangan Malaikat.
'Tidak lama sesudah kalian masuk "
Dewa Pedang Emas berdecak kagum.
"Aku rasa ada orang yang tidak senang atas berdirinya Padepokan Jatiwangi,"
Bayangan Malaikat menduga-duga.
"Kejadian seperti ini selalu terjadi pada padepokan silat yang baru berdiri. Ini
merupakan salah satu ujian bagi Padepokan Jatiwangi," sambung Dewa Pedang Emas.
Ki Rangkuti hanya tersenyum tipis. Dugaan-dugaan
yang dikeluarkan kedua sahabatnya hanya didengarkan saja. Dalam pikirannya
berkecamuk permasalahan yang saling tumpang-tindih. Semua dugaan itu memang ada
benarnya kalau orang yang melemparkan anak panah kecil berwarna merah ini tidak
menyertai surat penghinaan.
Bunyi surat itu yang membuat Ki Rangkuti punya pikiran lain.
Orang itu bukan hanya ingin merampas Sekar Telasih.
Tapi juga ingin menghancurkan Padepokan Jatiwangi yang seumur jagung itu.
Siapapun orangnya, yang jelas dia mempunyai kepandaian yang tinggi. Dia dapat
beraksi tanpa diketahui seorangpun! Sedangkan malam tadi, tidak kurang dari
sebelas orang tokoh-tokoh sakti rimba
persilatan menginap di rumah kepala desa itu. Tidak satu pun dari mereka
mengetahuinya. *** Satu persatu para undangan meninggalkan Desa
Jatiwangi hari itu juga. Hanya Dewa Pedang Emas dan Bayangan Malaikat saja yang
masih tinggal. Sebagai sahabat, mereka bertekad untuk membantu kesulitan yang
kini sedang dihadapi Ki Rangkuti. Bagi mereka nyawa tidaklah penting.
Persahabatan sejatilah yang paling penting dalam hidup ini.
Pada masa mudanya dulu Ki Rangkuti adalah seorang
pendekar yang selalu malang-melintang dalam rimba
persilatan. Tidak heran kalau memiliki banyak musuh, atau orang-orang yang tidak
senang dan menaruh dendam
padanya. Hal ini sangat disadari oleh Ki Rangkuti maupun kedua sahabatnya.
Pada masa tuanya Ki Rangkti memilih menetap di desa kelahirannya. Lebih-lebih
setelah mempunyai istri dan anak. Tekadnya untuk meninggalkan kehidupan yang
penuh kekerasan benar-benar dijalankan selama bertahun-tahun. Tapi sekarang ini
Kepala Desa Jatiwangi itu mau tidak mau harus menghadapi dan terjun kembali
dalam kehidupannya yang dulu. Kehidupan yang selalu dilumuri darah dan kematian.
Wusss! "Awas...!" tiba-tiba Dewa Pedang Emas berteriak.
Secercah sinar merah tiba-tiba berkelebat cepat ke arah Ki Rangkuti. Tiga orang
yang berdiri di tengah-tengah halaman
yang luas itu serentak berlompatan menyelamatkan diri. Ki Rangkuti yang menjadi sasaran sinar merah itu melenting
berputar di udara dua kali. Sinar merah itu lewat di dalam putaran tubuh Ki
Rangkuti. Baru saja lakiJaki tua yang masih kelihatan gagah itu menapak di tanah, kembali
berkelebat sinar merah
mengancam dirinya. Secepat kilat

Pendekar Rajawali Sakti 5 Naga Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Rangkuti menggerakkan tangannya, dan.... Tap!
Tangkas sekali dia menangkap kelebatan sinar merah itu.
Ki Rangkuti berdiri tegak di tengah-tengah halaman rumahnya. Sementara Dewa
Pedang Emas berada agak
jauh di kiri. Bayangan Malaikat jaraknya sekitar tiga tombak di kanan. Ki
Rangkuti melihat genggaman
tangannya yang menangkap sinar merah tadi.
"Panah merah...," desisnya begitu melihat sebatang anak panah kecil berwarna
merah darah di telapak tangannya.
Anak panah merah itu terbungkus oleh daun lontar yang diikat pita merah. Ki
Rangkuti langsung melepaskan pita merah yang mengikat daun lontar itu. Sementara
kedua sahabatnya sudah mendekati dan berdiri di samping kiri dan kanan.
"Rangkuti, kutunggu kau di Lembah Bunga Bangkai tepat tengah malam ini," gumam
Dewa Pedang Emas yang ikut membaca tulisan di sehelai daun lontar.
"Kau kenal dengan senjata itu?" tanya Bayangan Malaikat.
Ki Rangkuti tidak segera menjawab. Sejak pertama kali didapatkan senjata anak
panah kecil merah ini, otaknya selalu berputar mengingat-ingat. Barangkali saja
dia pernah bentrok dengan orang yang biasa menggunakan senjata ini.
Tapi rasa-rasanya belum pernah kenal dengan senjata ini sebelumnya.
"Kehidupan pendekar memang selalu dikelilingi musuh.
Bisa saja orang itu murid dari salah satu musuhmu," kata Dewa Pedang Emas.
"Mungkin juga, aku tidak pernah melihat senjata jenis ini sebelumnya," sahut Ki
Rangkuti setengah bergumam.
"Sekarang bagaimana" Kau akan penuhi tantangan itu?"
tanya Dewa Pedang Emas lagi.
"Bagaimana dengan Buto Dungkul?" Bayangan Malaikat seolah mengingatkan.
"Itu urusan belakangan," sahut Ki Rangkuti.
Dewa Pedang Emas dan Bayangan Malaikat saling
berpandangan. Mereka sama-sama mengangkat bahu.
Persoalan yang dihadapi Ki Rangkuti saat ini memang tidak ringan. Satu persoalan
belum juga tuntas, sudah datang lagi persoalan lain.
"Kami akan mendampingimu nanti malam," kata Dewa Pedang Emas 'Terima kasih."
*** 4 Malam gelap yang dingin menyelimuti seluruh Lembah Bunga Bangkai. Angin bertiup
sedikit keras menyebarkan aroma tidak sedap. Sepanjang hari di lembah ini selalu
tercium bau seperti bangkai. Dan setiap setahun sekali di lembah ini selalu
tumbuh sejenis bunga yang menyebarkan bau busuk selama tujuh hari. Itulah
sebabnya lembah ini dinamakan Lembah Bunga Bangkai. Tidak ada seorang pun yang
bersedia tinggal di situ. Masuk ke daerah sekitar lembah ini pun enggan.
Ki Rangkuti berdiri tepat di tengah-tengah batu besar menantang sang dewi malam
yang berada tepat di tengah-tengah atas kepala. Sudut ekor matanya melirik Dewa
Pedang Emas dan Bayangan Malaikat yang bersembunyi agak jauh dari tempatnya
berdiri. "Hik hik hik...!" tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik, menggema ke seluruh
dataran Lembah Bunga Bangkai ini.
Ki Rangkuti memiringkan sedikit kepalanya, mencoba mencari arah suara tawa tadi.
Belum juga dapat
menentukan arahnya, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan merah keluar dari
gerumbul semak belukar di depan laki-laki tua itu.
"Nyi Rongkot..!" Ki Rangkuti terkejut begitu mengetahui siapa yang kini berdiri
Iblis Sungai Telaga 1 Dewa Arak 67 Makhluk Jejadian Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 10

Cari Blog Ini