Pendekar Rajawali Sakti 21 Sepasang Rajawali Bagian 2
bagian. Walaupun udara sekitarnya
terasa dingin, tapi terlihat adanya titik keringat pada wajah laki-laki gemuk
itu. "Kau tidak apa-apa, Paman?" tanya Rangga seraya merayapi wajah dan tubuh Patih
Giling Wesi. Dia teringat keadaan kamar sewaan laki-laki gemuk itu, dan noda
darah yang rnelekat pada lantai serta dinding.
"Hanya letih," sahut Patih Giling Wesi mencoba tersenyum.
"Aku cemas kau mendapat luka," ujar Rangga polos.
'Terima kasih, tapi aku masih mampu mengatasinya,"
ucap Patih Giling Wesi. "Kau sudah tahu apa yang terjadi?"
"Sudah.. Paman Walaka yang menceritakannya," sahut Rangga.
"Mereka sangat tangguh. Aku benar-benar kewalahan menghadapinya. Itu baru kroco,
belum lagi biangnya.
Hhh...! Aku tidak tahu lagi, apa jadinya Kerajaan Galung kalau mereka terus
bercokol di sana," nada bicara Patih Giling Wesi terdengar mengeluh. "Ini semua
gara-gara anakku!"
Rangga hanya diam saja karena tidak tahu lagi, harus
berkata apa. Semua yang terjadi di Kerajaan Galung sudah didengar. Bukan hanya
dari Patih Giling Wesi, tapi juga dari Paman Walaka, pemilik rumah penginapan.
Bahkan banyak rakyat Galung yang mengeluh seperti itu. Mereka menyesali perbuatan Intan
Kemuning, sehingga Kerajaan Galung menjadi neraka bagi banyak orang.
Memang, tindakan Intan Kemuning terlalu ceroboh. Tapi Rangga tidak dapat
menyalahkan begitu saja. Dalam dunia persilatan, tidak ada salahnya menantang
tokoh-tokoh lain untuk menguji tingkat kepandaian. Hanya saja yang
dilakukan Intan Kemuning berakibat fatal. Bukan saja bagi diri dan keluarganya
sendiri, tapi juga bagi seluruh rakyat Kerajaan Galung!
"Dia bukan saja telah mencoreng mukaku, tapi juga telah mengakibatkan ibunya
meninggal di tangan iblis-iblis keparat itu!" suara Patih Giling Wesi bernada
gusar. "Paman..."
"Intan Kemuning bukan lagi Intan yang dulu, yang kupuja dan kubanggakan! Dia
kini jadi gadis liar, haus akan ilmu kesaktian. Intan..., Intan. Apakah tidak
kau pikirkan dulu" Mengapa tidak kau rundingkan dulu denganku...?"
keluh Paman Patih Giling Wesi.
Rangga benar-benar bungkam. Dia hanya diam
memandang dengan perasaan iba pada laki-laki gemuk ini.
Lidahnya serasa kelu, sukar untuk diajak bicara. Otaknya pun beku, tidak mampu
melahirkan kata-kata untuk
menghibur. Bahkan untuk mengambil sikap pun sulit. Apa yang terjadi pada Patih
Giling Wesi, memang di luar
kemampuannya sebagai seorang pendekar.
"Ah! Maafkan aku, Rangga. T idak seharusnya aku
mengeluh demikian rupa kepadamu," ucap Patih Giling Wesi tersadar.
"Tidak mengapa, Paman," hanya itu yang bisa diucapkan Rangga.
"Aku sekarang tidak peduli lagi padanya. Hanya satu yang harus kulakukan
sekarang, yaitu mengembalikan
Istana Galung pada Gusti Prabu," ujar Patih Giling Wesi.
"Dan mungkin aku juga tidak akan berkecimpung di dalam kepatihan lagi. Sudah
kuputuskan untuk menjadi pertapa."
"Paman putus asa?"
"Tidak! Tapi hanya itu yang bisa kulakukan. Tidak ada lagi yang kumiliki
sekarang. Semuanya hancur!"
"Paman masih punya Intan Kemuning."
Patih Giling Wesi menatap Rangga dalam-dalam. Katakata Pendekar Rajawali Sakti itu sungguh mengejutkan
hatinya. Namun Rangga sendiri jadi blingsatan. Baru
disadari, kalau kata-katanya meluncur tanpa dipikirkan lebih dahulu! Dia sendiri
heran, kenapa bisa berkata
seperti itu" Saat ini pun Rangga tidak tahu nasib Intan Kemuning sesungguhnya.
Bahkan selama berada di
Kerajaan Galung ini, belum pernah menjumpainya.
"Maaf, Paman. Aku hanya merasa yakin kalau Intan Kemuning masih hidup. Dan
mungkin kini tengah
menyesali perbuatannya," ucap Rangga buru-buru.
"Kau yakin?"
"Entahlah."
"Rangga. Meskipun kusesali perbuatan Intan Kemuning, tapi aku tetap
menyayanginya. Bagaimanapun juga dia
anakku! Apa yang dilakukannya adalah tanggung jawabku juga. Terus terang. Dalam
hati kecilku, aku masih berharap Intan tetap hidup dan berada di suatu tempat,"
Patih Giling Wesi mengemukakan perasaan hatinya.
"Aku juga merasa begitu, Paman."
"Rangga. Setelah mereka bisa terusir dari istana, aku bertekad untuk mencari
anakku! Setelah itu baru aku akan bertapa mengisi sisa hidupku. Kau bersedia
membantuku, Rangga?" pinta Patih Giling Wesi penuh harap.
'Tentu saja, Paman. Pasti akan kucari Intan Kemuning
sampai dapat. Paman bisa beristirahat, sementara aku
mencari Intan," sahut Rangga.
"Terima kasih, Rangga."
* ** 5 Pagi-pagi sekali, di saat matahari baru menampakkan
diri, Rangga sudah beranjak dari tempat tidurnya. Tempat yang tidak layak, namun
cukup untuk beristirahat
menghilangkan rasa penat. Ranting yang terbakar sudah padam, hanya sisa asap
tipis yang mengepul bercampur
kabut. Cahaya matahari pagi yang hangat mulai menguak kabut di sekitar Hutan
Krambang. "Paman...!" Rangga tersentak kaget begitu menyadari Patih Giling Wesi sudah
tidak berada di tempatnya lagi.
Bergegas Pendekar Rajawali Sakti itu beranjak bangkit.
Sebentar dia memandang ke sekeliling, menembus kabut
yang mulai memudar. Semalam tidurnya memang nyenyak
sekali, sehingga tidak mendengar suara apa pun. Rangga mulai diliputi kecemasan.
Semalam Patih Giling Wesi
mengatakan akan ke Istana Galung, hendak mengusir
orang-orang berhati iblis yang kini menguasai istana itu.
"Celaka, kalau dia datang sendiri ke sana!" gumam Rangga dalam hati.
"Paman...! Paman Patih...!" teriak Rangga memanggil.
Tapi tidak ada sahutan. Suara Rangga yang keras
disertai pengerahan tenaga dalam sempurna itu menggema menyelusup ke seluruh Hutan Krambang ini.
Beberapa kali Rangga memanggil, tapi tetap tidak ada
sahutan. Rangga semakin cemas, kemudian bergegas
meninggalkan tempat itu.
"Hutan ini cukup jauh dari Kerajaan Galung. Mungkin satu harian penuh baru
sampai di sana," gu-mam Rangga berkata sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti itu memandang berkeliling.
Tempat dia berada sekarang ini cukup terbuka, meskipun tidak seberapa luas.
Paling tidak cukup untuk pendaratan Rajawali Putih. Rangga bersiap-siap
mengerahkan siulan saktinya untuk memanggil burung rajawali raksasa itu.
"Sui it...!"
Satu siulan melengking tinggi bersuara kecil, namun
bernada aneh itu terdengar dari mulut Pendekar Rajawali Sakti. Cukup lama juga
Rangga menunggu dengan kepala
menengadah ke atas. Dan pada siulan yang kedua kali,
terlihat satu titik kecil di angkasa. Semakin lama titik kecil itu semakin jelas
bentuknya. "Khraghk...!"
"Rajawali Putih, ke sini...!" seru Rangga keras. Burung rajawali raksasa
berwarna putih keperakan itu meluruk turun, dan mendarat tepat di depan Rangga.
Kepalanya langsung disodorkan ke depan. Tanpa membuang-buang
waktu lagi, Rangga segera melompat naik ke punggung
Rajawali Putih. Dan tanpa diminta lagi, burung raksasa itu membumbung tinggi ke
angkasa! "Langsung ke Kerajaan Galung, Rajawali," kata Rangga sedikit keras.
Rajawali Putih kembali berseru keras. Dikepakkan
sayapnya dengan cepat, sehingga terbangnya bagaikan
kilat membelah angkasa. Angin terasa menderu-deru
memekakkan telinga. Rangga terpaksa harus berpegangan erat pada leher Rajawali
Putih, agar tidak terlempar oleh hempasan angin.
Dalam waktu tidak berapa lama, Rajawali Putih sudah
berada di atas Istana Galung. Burung raksasa itu berputar-putar dengan
ketinggian yang sukar dilihat dari bawah oleh mata biasa. Rangga menggunakan aji
'Tatar Netra' untuk melihat ke bawah agar lebih jelas. Keningnya agak
berkerut juga menyaksikan s uasana di sekitar Istana
Galung kelihatan sepi-sepi saja. Bahkan tampaknya tidak ada satu kejadian pun di
sana. Rangga mengamati setiap jengkal tanah sekitar istana
megah itu. Tidak terlihat seorang pun yang berpakaian prajurit di sana. Orangorang yang terlihat berjaga-jaga di pos penjagaan, semuanya mengenakan pakaian
biasa seperti layaknya kaum rimba persilatan.
"Rajawali Putih, barangkali Paman Patih Giling Wesi belum sampai ke sini," kata
Rangga. "Kreeekhgh...!"
"Kau menduga dia tidak ke sini" Lalu, ke mana
perginya?" Rangga seperti bisa mengerti saja arti suara Rajawali Putih.
"Khraghk!"
Rajawali Putih segera melesat cepat bagaikan kilat
menuju ke arah Barat. Rangga tidak ingin menghalangi. Dia yakin kalau tujuan
yang ditempuh Rajawali Putih akan
membawanya pada Patih Giling Wesi, atau setidaknya
sesuatu yang bermanfaat dalam menyelesaikan kemelut
ini. Cepat sekali Rajawali Putih terbang, sehingga dalam waktu tidak berapa lama
telah melintasi batas Kerajaan Galung sebelah Barat. Sekarang burung raksasa itu
meluruk turun pada suatu dataran luas berumput. Manis sekali dia mendarat di
pinggiran dataran rumput itu. Dan Rangga pun segera melompat turun dari punggung
Rajawali Putih.
"Rajawali...."
Belum lagi Rangga bisa meneruskan ucapannya,
mendadak sebuah bayangan hitam melesat cepat di atas
kepalanya. Seketika itu pula, Rajawali Putih melesat naik mengejar. Begitu
cepatnya dia terbang tahu-tahu sudah berada di depan bayangan hitam yang
ternyata adalah
seekor burung rajawali raksasa berwarna hitam.
Rajawali Hitam sangat terkejut melihat ada Rajawali
Putih menghadang terbangnya. Dia langsung berhenti,
dengan sayap mengepak pelahan-lahan. Sebentar kedua
burung raksasa itu saling berhadapan, lalu sama-sama
bergerak turun. Di punggung Rajawali Hitam bertengger seorang bertubuh ramping.
Bajunya ketat berwarna hitam pekat Di punggungnya menyembul gagang pedang
berwarna hitam berbentuk kepala burung.
Rangga yang berada di bawah, tertegun sejenak begitu
melihat dua burung raksasa mendarat pelahan-lahan
secara bersamaan, tidak jauh darinya. Tapi sebentar
kemudian Rangga melangkah menghampiri Rajawali Putih.
Orang yang berada di punggung Rajawali Hitam melompat turun dengan manis. Kini
dua orang saling berhadapan
dengan dua ekor burung raksasa yang juga berhadapan.
Sesaat lamanya tidak ada yang membuka suara.
* ** Baik Rangga maupun orang berbaju hitam itu saling
memandangi dua burung rajawali raksasa yang saling
berhadapan dan melempar pandangan. Sikap kedua
burung raksasa itu kelihatan kaku, seolah-olah sudah
sekian lama tidak pernah berjumpa lagi dan tahu-tahu kini saling berhadapan.
Terlihat jelas kalau kedua burung
raksasa itu sama-sama menjaga diri.
Rajawali Hitam mendekam dengan sayap terpentang
lebar ke samping. Sementara Rajawali Putih kelihatan
diam, dan tampak ragu-ragu. Tapi akhirnya dia bergerak menghampiri Rajawali
Hitam. Dan pada saat itu, Rangga teringat akan tulisan dalam kitab yang
dibacanya dalam goa Lembah Bangkai. Tulisan yang dituangkan oleh
Pendekar Rajawali seratus tahun lalu.
"Hup!"
Rangga bergegas melompat, dan langsung berdiri di
tengah-tengah kedua burung rajawali raksasa itu. Rajawali Putih langsung
berhenti bergerak mendekati Rajawali
Hitam. Sebentar dipandanginya Rangga, kemudian beralih pada Rajawali Hitam yang
sudah berdiri kembali dengan kedua kakinya yang kokoh dan besar.
"Rajawali Putih! Apa yang akan kau lakukan?" tanya Rangga.
"Krekh...," Rajawali Putih bersuara pelan.
"Tidak! Kau tidak boleh mengajaknya bersama-sama lagi. Kau harus menjauhinya!
Dia bukan pasanganmu
karena akan menjerumuskanmu ke dalam kubangan
lumpur dosa!" kata Rangga seperti mengerti jawaban Rajawali Putih.
"Graghk...!"
Rajawali Hitam berteriak nyaring melengking. Sepasang bola matanya yang merah menyala, menatap
tajam ke wajah Rangga. Sepertinya bisa dimengerti kata-kata Pendekar Rajawali
Sakti itu. Sepasang sayapnya
terpentang lebar agak tertekuk ke bawah. Sikap yang
menunjukkan kemarahan dan ketidaksenangan pada
pemuda berbaju rompi putih itu.
"Sadarlah,
Rajawali Putih.
Dia diciptakan untuk
menyeretmu ke dalam lumpur dosa dan nista untuk
selama-lamanya! Jangan mudah terpancing. Dia bukan
diciptakan untukmu! Sadarlah, Rajawali Putih," ujar Rangga mencoba menyadarkan
Rajawali Putih.
Rajawali Putih kelihatan bimbang. Sebentar dia
menatap pada Rangga, sebentar kemudian menatap pada
Rajawali Hitam di depannya. Rangga yang sudah
mengetahui kalau Rajawali Putih adalah titisan Dewa
Wisnu, tidak akan membiarkan sahabat sekaligus gurunya terjerumus akibat
hadirnya Rajawali Hitam yang sengaja diciptakan oleh Dewa Angkara Murka untuk
menggagalkan tugas suci di dunia ini.
"Apa pun yang akan terjadi,
aku tetap akan menghalangi bersatunya kalian," tegas Rangga.
"Graghk...!"
Rajawali Hitam meraung keras. Bola matanya semakin
merah menyala, pertanda benar-benar memuncak kemarahannya. Dan kemarahannya tidak bisa dibendung
lagi. Digerakkan kepalanya dengan cepat hendak mematuk Rangga. Namun dengan
Pendekar Rajawali Sakti 21 Sepasang Rajawali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gerakan yang gesit, Rangga
berhasil mengelakkan serangan Rajawali Hitam. Tentu saja hal ini membuat
Rajawali Hitam semakin bertambah
murka. Dengan gerakan yang sangat cepat luar biasa, Rajawali Hitam melompat sambil
mengepakkan sayapnya ke arah
Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan kali ini pun Rangga
berhasil mengelakkannya dengan melompat mundur ke
belakang beberapa langkah. Tapi belum juga kakinya bisa menjejak tanah, sebelah
sayap Rajawali Hitam telah
menyambar tubuhnya dengan cepat.
"Akh!" Rangga memekik tertahan.
Kibasan sayap Rajawali Hitam yang keras dan tidak
terduga itu membuat tubuh Rangga terpental cukup jauh, lalu membentur sebatang
pohon ara tua yang cukup besar.
Pohon itu kontan tumbang, hanc ur berantakan terbentur tubuh Pendekar Rajawali
Sakti. Namun dengan cepat,
Rangga mampu bangkit kembali.
Melihat anak muda yang menjadi penghalang maksudnya masih mampu bangkit tanpa kurang satu apa
pun, Rajawali Hitam semakin bertambah berang. Sambil
berteriak keras menggeletar, dia melompat cepat bagai kilat C akarnya
terkembang, siap mencabik-cabik tubuh pemuda itu.
"Hiya...!"
Rangga melentingkan tubuhnya ke atas, lalu bersalto
dua kali di udara. Dilewati tubuh Rajawali Hitam yang meluruk deras dengan cakar
terkembang. Manis sekali
Pendekar Rajawali Sakti itu menjejak tanah, langsung
berbalik sambil melontarkan pukulan jarak jauh yang
bertenaga dalam sangat sempurna.
"Yaaa...!"
"Khraghk...!" Rajawali Hitam memekik keras dengan suaranya yang parau.
Hanya sedikit saja tubuhnya terdorong, dan sekejap
saja mampu melesat kembali menerjang Rangga. Begitu
cepatnya dia melesat, sehinga membuat Rangga terperangah. Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa lagi
menghindari terjangan burung hitam raksasa itu. Kembali Rangga terlontar jauh ke
belakang, lalu menabrak
sebongkah batu besar dan hitam berlumut. Batu itu hancur berkeping-keping
terlanda tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Khraghk!"
Rajawali Hitam cepat meluruk deras hendak menerjang
Rangga yang sedang berusaha bangkit berdiri. Namun
ketika paruh yang sudah terbuka lebar itu hendak
mencaplok kepala Rangga, Rajawali Putih melesat cepat menyambar tubuh Rangga
dengan cakarnya. Langsung
tubuh Rangga dibawa -terbang tinggi menembus awan.
"Graghk...!" Rajawali Hitam berteriak keras disertai kemarahan memuncak.
"Hitam! Tunggu...!" seru orang berbaju hitam yang sejak tadi hanya diam
memperhatikan saja.
Rajawali Hitam yang sudah akan melesat mengejar,
langsung mengurungkan
niatnya. Kepalanya sedikit
tertekuk menoleh pada orang berbaju serba hitam itu. Dia mengkirik pelahan
dengan kepala setengah ditundukkan.
"Kita masih punya persoalan yang lebih penting lagi.
Urusan ini bisa diselesaikan nanti."
"Khrighk...!"
"Aku tahu, aku juga s udah membaca buku tentang
riwayatmu. Tapi yang penting sekarang, kita harus
menggempur dulu Istana Galung, dan menghancurkan
mereka." Setelah berkata demikian, orang berbaju serba hitam
itu segera melompat naik ke punggung Rajawali Hitam.
Sambil berkaokan keras, Rajawali Hitam membumbung
naik ke angkasa. Cepat sekali lesatannya, sehingga dalam sekejap saja sudah
begitu tinggi me-layang di udara.
"Khraghk...!"
"Langsung ke Istana Galung, Hitam!"
"Khraghk!"
* ** Saat itu, Rajawali Putih yang membawa Rangga di
cakarnya, meluruk turun di balik Gunung Kilasan. Dia
mendarat lunak di sebuah dataran rumput yang cukup
luas. Rangga bergulingan beberapa kali setelah Rajawali Putih melepaskan
cengkeramannya, lalu bergegas bangkit dan membersihkan rumput kering yang
melekat di tubuhnya. "Seharus nya kau jangan membawaku kabur, Rajawali Putih," dengus Rangga tidak
senang. "Krrr...!" Rajawali Putih hanya mengkirik lirih.
"Jangan bodoh, Rajawali Putih. Dia bukan pasanganmu!
Dan kau tidak boleh merasa berbelas kasih, apalagi
menyukainya. Dia diciptakan hanya untuk menjerumuskanmu. Kau harus menyadari hal itu, Rajawali Putih," kata Rangga
berusaha menghilangkan perasaan suka Rajawali Putih pada Rajawali Hitam.
Rajawali Putih hanya diam saja sambil mendekam
dengan kepala tertunduk dalam. Sepasang bola matanya
memancar sayu tanpa gairah kehidupan.
Rangga melangkah menghampiri dan memeluk leher burung
raksasa itu. "Aku menyayangimu, Rajawali Putih. Aku tidak ingin kehilanganmu.
Aku mencintaimu. Sungguh! Aku mencintaimu, Rajawali Putih...," pelan suara Rangga.
"Krrrkhg...!" Rajawali Putih mengkirik lirih.
Rangga melepaskan pelukannya pada leher burung
raksasa itu. Sesaat lamanya dia menatap langsung ke bola mata yang sayu dan
redup itu. Dirasakan betapa sulitnya Rajawali Putih menentukan sikap. Waktu
seratus tahun bukanlah waktu yang pendek. Dan selama itu mereka
berpisah setelah masing-masing saling menyukai. Memang, perpisahan itu mesti terjadi demi kelangsungan hidup mereka.
Kini Rangga punya kewajiban yang sangat berat. Harus
dikuatkan hatinya untuk memisahkan Sepasang Rajawali
itu. Memang berat, tapi itu harus dilakukan. Di dunia ini tidak ada rajawali
raksasa hidup sepasang. Dan kalau hal itu terjadi, Sepasang Rajawali akan pupus
kembali ke asalnya. Bukan hanya itu saja, Rajawali Putih akan tersiksa selamanya dan
terbuang dari kalangan Dewa di Nirwana.
Rangga ingin mengatakan sesuatu, tapi tiba-tiba saja
bumi serasa bergetar. Kini terdengar suara ber-gemuruh dari kejauhan. Suara itu
semakin lama semakin terdengar jelas. Tampak debu mengepul di udara, di arah
Selatan. Sejenak Rangga memandangi debu yang mengepul tebal
itu, kemudian bergegas melompat naik ke punggung
Rajawali Putih.
"Cepat, Rajawali! Ada orang berkuda menuju ke sini,"
ujar Rangga. "Khraghk!"
Rajawali Putih melesat cepat, naik membumbung tinggi
ke angkasa. Dan pada saat itu, terlihat serombongan orang berkuda cepat
melintasi tempat Rangga dan Rajawali Putih berada tadi.
"Prajurit Kerajaan Galung...," desis Rangga setelah mengenali pakaian seragam
prajurit yang dikenakan orang-orang berkuda itu.
Dan Rangga pun mengenali salah seorang yang
berkuda paling depan. Dua orang laki-laki. Yang seorang berperawakan gemuk, dan
seorang lagi sudah berusia
lanjut, namun masih terlihat gagah. Kedua orang itu tidak lain dari Prabu Galung
dan Patih Giling Wesi. Hanya Patih Giling Wesi yang dikenalnya. Sedangkan di
belakangnya terlihat enam orang berpakaian panglima dan puluhan
punggawa serta ratusan prajurit bersenjata lengkap.
Mereka semua memacu cepat kudanya menuju arah
Kerajaan Galung.
"Ikuti mereka, Rajawali," kata Rangga agak keras.
"Khrrr...!"
Rajawali Putih membumbung tinggi di udara, dan
bergerak searah dengan ratusan orang berkuda di
bawahnya. Rangga yang berada di punggung rajawali
raksasa itu tidak berkedip memandang ke bawah. Dia agak heran juga terhadap
Patih Giling Wesi yang kini sudah bergabung bersama rombongan prajurit Kerajaan
Galung. Padahal sebelumnya dia mengatakan tidak tahu, di mana para prajurit dan Prabu
Galung berada. "Kita cegat mereka di tepi Hutan Krambang itu, Rajawali Putih," kata Rangga.
"Khraghk!"
Rajawali Putih segera melesat cepat menuju arah yang
ditunjuk Rangga. Begitu cepatnya rajawali raksasa itu bergerak, sehingga dalam
waktu sebentar saja sudah
menukik turun ke tepi Hutan Krambang. Rangga segera
melompat turun sebelum kaki Rajawali Putih menjejak
tanah. Dan burung raksasa itu segera melesat kembali
membumbung tinggi ke angkasa.
"Hup!"
Rangga melompat ke sebuah pohon yang cukup tinggi.
Sedangkan Rajawali Putih berputar-putar sangat tinggi di angkasa. Pandangan mata
Rangga tidak berkedip ke arah kepulan debu yang bergerak mendekati arahnya.
"Hiyaaa...!"
Rangga melompat turun ketika rombongan berkuda itu
melintas di bawahnya. Patih Giling Wesi dan Prabu Galung terkejut sekali.
Bergegas mereka meng-hentikan lari
kudanya, di kuti para punggawa dan prajurit. Rangga
berdiri tegak sekitar lima batang tombak di depan
rombongan berkuda itu.
"Rangga...," desis Patih Giling Wesi.
"Paman Patih, siapa anak muda itu?" tanya Prabu Galung mendengar desisan Patih
Giling Wesi. "Ampun, Gusti Prabu. Pemuda ini bernama Rangga yang bergelar Pendekar Rajawali
Sakti. Dialah yang menolong hamba ketika membebaskan Intan Kemuning dari tangan
Bidadari S ungai Ular," cerita Patih Giling Wesi tentang Rangga.
"Hm..., jadi pemuda itu yang kau ceritakan padaku kemarin?" pelan suara Prabu
Galung. "Benar, Gusti," sahut Patih Giling Wesi.
Prabu Galung turun dari punggung kudanya. Patih Giling Wesi juga bergegas
turun pula. Mereka berjalan
menghampiri Rangga yang tetap berdiri tegak menghadang. Dua orang penting dan utama dari Kerajaan Galung itu berhenti tepat
di depan Pendekar Rajawali Sakti.
Jarak mereka tinggal beberapa langkah lagi.
Untuk beberapa saat lamanya mereka bertiga saling
berdiam diri. Rangga menatap agak tajam pada Patih Giling Wesi, sedangkan yang
ditatap hanya membalas dengan
bibir menyunggingkan senyum. Pendekar Rajawali Sakti
melangkah tiga tindak ke depan.
"Kau yang bernama Rangga si Pendekar Rajawali
Sakti?" Prabu Galung membuka suara lebih dulu.
"Benar,"
sahut Rangga tanpa mengalihkan pandangannya dari Patih Giling Wesi. Dia memang tidak mengenali siapa yang
bertanya padanya barusan.
"Rangga, ini Prabu Galung," Patih Giling Wesi
memberitahu. Rangga agak tersentak juga mendengarnya. Buru-buru
dia membungkuk memberi hormat. Prabu Galung hanya
tersenyum dengan tangan mengelus-elus janggutnya yang putih panjang.
"Maaf, hamba tidak mengenali Gusti Prabu," ucap Rangga merendah.
"Tidak mengapa, Anak Muda. Aku tahu tentang dirimu.
Kehadiranmu memang sangat kuharapkan. Hanya kau
yang dapat kuandalkan untuk menghadapi mereka," kata Prabu Galung bijaksana.
"Hm...," Rangga bergumam tidak jelas. Dari sudut ekor matanya, diliriknya Patih
Giling Wesi. "Ampun, Gusti Prabu. Boleh hamba bicara berdua saja dengan Rangga?" pinta Patih
Giling Wesi seraya memberi hormat.
"Silakan, Paman Patih."
"Hamba, Gusti."
Patih Giling Wesi menjura memberi hormat dengan
merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada.
Tubuhnya sedikit membungkuk, lalu melangkah menghampiri Rangga. Kedua orang itu berjalan menjauh.
Mereka baru berhenti setelah berada di bawah sebatang pohon yang cukup rindang.
Pendekar Rajawali Sakti 21 Sepasang Rajawali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara para panglima
memerintahkan prajurit-prajuritnya
untuk beristirahat Prabu Galung sendiri kemudian beristirahat, duduk di
bawah pohon rindang beralaskan permadani tebal berbulu halus.
*** 6 "Aku tahu, apa yang akan kau tanyakan padaku,
Rangga," kata Patih Giling Wesi mendahului.
"Kau mempermainkan aku, Paman," agak dingin suara Rangga.
"Sama sekali tidak, Rangga."
"Lantas, mengapa berpura-pura tidak tahu tentang Prabu Galung?"
"Aku memang tidak tahu sama sekali di mana Prabu Galung berada ketika itu,"
tenang suara Patih Giling Wesi.
"Mustahil!"
rungut Rangga seraya mengalihkan pandangannya pada Prabu Galung.
"Kau berhak untuk marah, Rangga. Kau memang patut marah karena aku
meninggalkanmu tanpa memberitahu
lebih dulu."
Rangga diam saja.
"Pagi-pagi sekali, saat kau belum bangun, aku sudah berjalan-jalan mencari
makanan untuk kita. Di saat itu, kulihat seseorang merunduk-runduk di antara
semak belukar. Aku memergokinya, dan ternyata dia Panglima
Jamali. Dari Panglima Jamali lah aku tahu di mana Prabu Galung berada. Saat itu,
Panglima Jamali juga tengah
berburu. Maaf, kalau aku tidak sempat memberitahukanmu lebih dahulu. Karena...."
"Kenapa?" desak Rangga.
"Aku terlalu gembira mendengar Prabu Galung masih hidup bersama dua ratus
prajurit, panglima, dan
punggawa. Serta para pembesar kerajaan lainnya yang
sempat melarikan diri begitu Istana Galung jatuh. Aku jadi lupa denganmu,
Rangga. Maaf...," ada nada penyesalan pada suara Patih Giling Wesi.
Rangga menatap pada laki-laki gemuk itu, kemudian
tersenyum memaklumi. Perasaan kesal yang diawali
dengan kecemasan, langsung pupus seketika.
"Kau memaafkan aku, Rangga...?" ucap Patih Giling Wesi berharap.
"Lupakan saja," sahut Rangga seraya tersenyum.
"Terima kasih."
"Paman, kulihat tampaknya sudah siap tempur. Apakah memang...."
"Benar, Rangga," Patih Giling Wesi memutuskan kata-kata Pendekar Rajawali Sakti.
"Kami memang telah bertekad untuk merebut kembali Istana Galung. Hampir seluruh
prajurit yang tercecer sudah berkumpul kembali. Memang masih banyak juga yang
belum diketahui nasibnya. Tapi aku yakin, pasti mereka akan segera bergabung di
Kerajaan Galung."
Rangga terdiam. Dipandangi para prajurit yang sedang
beristirahat, kemudian pandangannya beralih ke arah
Prabu Galung yang sudah bangkit berdiri. Laki-laki tua yang selalu
mengenakan jubah putih itu melangkah menghampiri Patih Giling Wesi dan Pendekar Rajawali
Sakti. Patih Giling Wesi dan Rangga segera memberi
hormat. "Apakah sudah selesai pembicaraan kalian, Paman
Patih?" tanya Prabu Galung lembut.
"Ampun, Gusti Prabu. Perjalanan ini agak terhambat sedikit," ujar Patih Giling
Wesi bersikap penuh hormat.
"Tidak mengapa, Paman Patih. Dan kau, Rangga.
Sungguh kuharapkan bantuanmu untuk
bergabung bersama kami semua," Prabu Galung beralih menatap pada Rangga.
"Dengan senang hati. Tapi hamba tidak bisa berangkat bersama-sama," sahut Rangga
hormat. "Aku maklum, Rangga. Dan sebelumnya kuucapkan
terima kasih atas kesediaanrnu."
"Silakan, jika Gusti Prabu hendak
meneruskan perjalanan ini."
Patih Giling Wesi melambaikan tangannya. Dua orang
prajurit menghampiri sambil menuntun dua ekor kuda.
Prabu Galung dan Patih Giling Wesi segera melompat naik ke punggung kudanya
masing-masing, diikuti para prajurit, panglima, serta punggawa. Rangga bergerak
ke samping memberi jalan. "Sampai bertemu lagi di Istana Galung, Pendekar
Rajawali Sakti!" ucap Prabu Galung memberi salam.
Rangga hanya membungkukkan tubuhnya sedikit.
Prabu Galung menghentakkan tali kekang kudanya.
Kuda putih dengan kaki hitam itu meringkik nyaring,
kemudian berlari cepat. Patih Giling Wesi segera
menggebah kudanya, di kuti oleh para prajurit Kerajaan Galung. Debu berkepul
kembali di udara, tersepak kaki-kaki kuda yang berjumlah ratusan itu. Sementara
Rangga masih tetap berdiri di tempatnya, memandangi ratusan
prajurit yang mengiringi rajanya.
"Sui it..!" Rangga bersiul nyaring bernada aneh. Rajawali Putih yang memang
masih menunggu di atas, langsung
menukik turun. Pada saat itu, rombongan Prabu Galung
sudah tidak terlihat lagi. Rajawali Putih mendarat tepat di depan
Rangga. Kepalanya terangguk-angguk,
dan sayapnya mengepak beberapa kali.
"Ada apa?" tanya Rangga seraya mendekati.
"Khraghk!" Rajawali Putih menunjuk ke arah Kerajaan Galung dengan kepalanya.
"Jelaskan lagi," pinta Rangga mencoba untuk mengerti.
Rajawali Putih membuat gerakan-gerakan
menggunakan kepala dan sayapnya. Rangga memperhatikan dengan kening berkerut dalam.
"Kau melihat Rajawali Hitam di sana?" Rangga ingin memastikan.
"Khraghk!" Rajawali Putih menganggukkan kepalanya.
"Aneh..., mau apa dia di sana...?" Rangga bertanya-tanya sendiri.
"Khraghk...!"
"Baik. Secepatnya kita ke sana sebelum Prabu Galung sampai."
Pendekar Rajawali Sakti itu segera melompat naik ke
punggung Rajawali Putih. Dan seketika itu, rajawali raksasa itu melesat naik
membumbung tinggi ke angkasa.
Suaranya begitu keras memekakkan telinga. Lesatannya
bagaikan kilat menuju Kerajaan Galung.
"Lebih cepat lagi, Rajawali Putih!" seru Rangga keras.
"Khraghk...!"
* ** Sementara itu Prabu Galung, Patih Giling Wesi, dan para prajuritnya telah sampai
di perbatasan Kerajaan Galung.
Dua orang penjaga gerbang perbatasan, tewas tersambar anak panah yang dilepaskan
salah seorang prajurit.
Ratusan orang berkuda itu, terus memacu cepat kudanya memasuki Kotaraja Kerajaan
Galung. Derap kaki kuda yang dipacu cepat, menimbulkan suara
bergemuruh bagai gempa. Bumi Kerajaan Galung bagai
bergetar dengan debu mengepul tinggi ke angkasa.
Seluruh rakyat Galung yang mengetahui kalau itu adalah Prabu Galung dan para
prajuritnya, langsung berhamburan keluar. Laki-laki tua dan muda serentak
bergabung membawa senjata seadanya.
Prabu Galung tidak dapat menahan keharuannya
melihat semangat rakyatnya yang begitu besar, meskipun hanya membawa senjata
seadanya. Mereka tidak peduli,
siapa yang akan dihadapinya. Pekik dan sorak-sorai
pembangkit semangat bergemuruh bagai hendak mengguncang langit siang ini. Tanpa disadari, setetes air bening menitik dari
sudut mata Prabu Galung.
"Gusti...," tegur Patih Giling Wesi pelan.
"Oh...!" Prabu Galung buru-buru menghapus
air matanya. "Ada apa, Paman Patih?"
"Rakyat semakin banyak memas uki barisan," kata Patih Giling Wesi.
"Hhh...! Sudah c ukup lama mereka menderita, Paman Patih. Aku tidak bisa
mencegah mereka untuk mengangkat senjata demi mempertahankan Kerajaan Galung
ini," agak tersendat suara Prabu Galung.
"Tapi itu akan memakan banyak korban sia-sia, Gusti,"
debat Patih Giling Wesi.
"Lihatlah, Paman Patih! Mereka begitu bersemangat, tanpa mengenal takut! Bisa
kurasakan kobaran api
semangat mereka untuk keluar dari lembah penderitaan.
Biarkan mereka mengangkat senjata, Paman Patih.
Biarkan mereka merasakan ikut memiliki Kerajaan Galung ini, yang memang milik
mereka. Aku bangga dengan
rakyatku," kata Prabu Galung demikian tegas.
"Gusti...."
"Jangan halangi mereka, Paman Patih. Mata kita jangan buta terhadap kenyataan
yang ada. Tanpa rakyat, kita
bukanlah apa-apa," sergah Prabu Galung cepat.
Patih Giling Wesi diam seketika. Kata-kata Prabu Galung yang bernada tegas itu,
memang tidak dapat dibantah lagi.
Tanpa rakyat, mereka memanglah bukan apa-apa. Dan
sekarang rakyat telah bangkit semangatnya untuk
mengusir orang-orang berhati iblis yang kini masih
menguasai seluruh Kerajaan Galung. Meskipun Patih Giling Wesi tidak ingin rakyat
ikut bertempur, tapi rasanya sulit untuk mencegahnya.
Semakin dalam memasuki kotaraja, semakin banyak
saja rakyat yang ikut dalam barisan ini. Tapi mereka patuh terhadap perintah
panglima yang mengaturnya untuk
berada dalam barisan di belakang para prajurit. Memang hanya itu yang dapat
dilakukan untuk mencegah jatuhnya korban sia-sia, meskipun hal itu sangat sulit
untuk dihindarkan. Rombongan yang kini berjumlah ribuan itu, tiba di
depan pintu gerbang Istana Kerajaan Galung. Pintu yang terbuat dari kayu jati
tebal dan kokoh, masih tertutup rapat. Di atas benteng tembok yang tinggi tebal,
terlihat orang-orang dengan panah siap dilesatkan.
"Mundur...!" seru Prabu Galung keras.
Saat itu juga dari atas tembok benteng, meluncur anak panah berjumlah ratusan
bagai hujan. Rakyat dan prajurit yang berada di sekitar benteng istana itu
serentak berlarian mundur. Tapi beberapa di antaranya tidak sempat lagi menyelamatkan
diri. Anak panah yang bertaburan
bagai hujan itu, segera minta korban para prajurit dan rakyat yang berbaur
menyelamatkan diri.
'Tahan...!" teriak Patih Giling Wesi keras, berusaha mengalahkan teriakan panik
dan jerit kematian.
Para prajurit yang sudah berada dalam jangkauan
panah, segera berhenti berlari. Mereka pun melindungi rakyat yang berada di
bagian belakang. Prabu Galung dan Patih Giling Wesi berada di punggung kudanya,
bersama beberapa panglima. Mereka memandang ke arah benteng
istana, namun hujan panah sudah tidak terlihat lagi.
"Bagaimana, Paman Patih" Kelihatannya mereka sudah siap menyambut kita," kata
Prabu Galung meminta
pertimbangan. 'Tidak mudah mendekatinya, Gusti Prabu," sahut Patih Giling Wesi setengah
bergumam. "Kalau begitu, perintahkan seluruh prajurit untuk mengepung.
Kita tunggu saat yang tepat untuk menyerang," perintah Prabu Galung.
Patih Giling Wesi membagi tugas kepada para panglima
perang yang kemudian segera dilaksanakan tugas itu
untuk mengatur pengepungan. Sebuah tenda besar
didirikan untuk tempat beristirahat Prabu Galung. Memang kalau melihat kokohnya
benteng istana, dan ditambah
orang-orang yang siap dengan panah di atasnya, tidak
mudah untuk masuk ke dalam benteng istana itu.
Sementara para panglima perang sibuk mengatur
prajurit mengepung benteng istana itu. Patih Giling Wesi sendiri segera
menghampiri tenda besar tempat Prabu
Galung beristirahat di situ. Namun belum juga kakinya sampai di depan pintu
tenda, entah kenapa kepalanya
mendongak. Dan pada saat itu terlihat dua bayangan hitam dan putih saling sambar
di udara. Patih Giling Wesi
tertegun menyaksikan dua bayangan itu.
"Hm..., apa itu...?" gumamnya dalam hati.
*** Dua bayangan hitam dan putih yang berkelebatan saling
sambar di angkasa tinggi itu, memang sukar untuk dikenali bentuknya.
Patih
Pendekar Rajawali Sakti 21 Sepasang Rajawali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Giling Wesi sampai tertegun menyaksikannya, hingga tidak menyadari kalau Prabu
Galung sudah keluar dari dalam tenda ikut memandang ke atas juga. Keningnya
langsung berkerut dalam begitu
melihat kelebatan dua bayangan bagai kilat di angkasa.
"Apa itu, Paman Patih?" tanya Prabu Galung.
"Oh! Gusti...," Patih Giling Wesi terkejut. "Entahlah...."
"Hm...," Prabu Galung menggumam tidak jelas. Diam-diam dikerahkan satu ajian
untuk melihat jarak jauh. Ajian yang dinamakan 'Sepasang Mata Dewa' itu memang
ampuh, dapat melihat dalam jarak yang sangat jauh.
Bahkan dapat mengenali satu gerakan yang sangat cepat sekalipun. Aji 'Sepasang
Mata Dewa' memang hampir mirip dengan aji 'Tatar Netra' ataupun aji 'Mata Dewa
Elang' yang dimiliki Rangga. Namun aji 'Sepasang Mata Dewa' hanya bisa untuk
melihat jarak jauh dengan jelas dan
menajamkan penglihatan saja.
"Sepasang Rajawali...," desis Prabu Galung begitu melihat jelas bayangan yang
berkelebatan di angkasa itu.
"Apa, Gusti...?" tanya Patih Giling Wesi.
"Dua burung rajawali raksasa. Yang satu berwarna putih keperakan, dan satunya
lagi hitam pekat. Hm...," kelopak mata Prabu Galung agak menyipit.
"Ada apa, Gusti?" tanya Patih Giling Wesi lagi.
"Sukar dipercaya...," Prabu
Galung menggeleng- gelengkan kepalanya.
"Gusti...."
"Apakah Rangga yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti itu mempunyai tunggangan
burung rajawali raksasa,
Paman Patih?" tanya Prabu Galung.
"Hamba tidak mengerti maksud Gusti Prabu."
"Rangga ada di atas burung rajawali putih," pelan suara Prabu Galung, seperti
tidak percaya dengan perkataannya sendiri.
"Rangga..."!" Patih Giling Wesi terperanjat tidak percaya.
"Kau pimpin pasukan di sini!" perintah Prabu Galung tiba-tiba.
"Gusti...!"
Tapi Prabu Galung sudah melesat cepat ke arah
Selatan. Pada saat itu, dua bayangan hitam dan putih di angkasa sudah lebih
dahulu melesat ke arah yang sama.
Tampak kalau bayangan hitam berada di depan.
Sementara Patih Giling Wesi hanya terpaku tanpa mampu berbuat sesuatu.
Prabu Galung kini sudah tidak terlihat lagi bayangannya, bertepatan dengan
menghilangnya dua bayangan di
angkasa ke arah Selatan. Patih Giling Wesi menoleh ke sekitarnya. Dia agak kaget
mendapatkan para panglima
juga melihat kejadian aneh di angkasa tadi.
"Panglima Jamali," panggil Patih Giling Wesi.
"Hamba, Gusti," seorang laki-laki setengah baya bergegas menghampiri.
"Sementara kau ambil alih pimpinan. Jangan melakukan sesuatu sampai aku
kembali." "Gusti...."
"Ini perintah!"
"Hamba, Gush."
Patih Giling Wesi tidak banyak bicara lagi, lalu segera melompat cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh
yang cukup tinggi tingkatannya. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja
sudah jauh menuju arah Selatan.
Sementara Panglima Jamali dan panglima lainnya hanya
bisa saling pandang.
* ** Sementara itu, apa yang dilihat Prabu Galung memang
benar. Dua bayangan yang melayang di angkasa adalah
Sepasang Rajawali. Rajawali Putih ditunggangi Rangga, sedangkan Rajawali Hitam
ditunggangi seseorang yang
selalu mengenakan baju hitam dan cadar hitam pula.
"Dia turun ke padang rumput sana, Rajawali Putih!" seru Rangga keras. Tangannya
menunjuk Rajawali Hitam yang
menukik ke arah padang rumput di tengah-tengah Hutan
Krambang. "Khraghk...!"
Rajawali Putih segera menukik turun mengejar Rajawali Hitam. Dan kedua burung
raksasa itu kini mendarat ringan di tengah-tengah padang rumput yang sangat
luas. Mereka saling berhadapan, dan penunggangnya melompat turun
ke depan. "Aku tidak tahu, apakah kau berpihak pada mereka atau tidak. Tapi yang jelas kau
telah menghalangi
maksudku, dan membiarkan rakyat Galung terbantai!"
dingin nada bicara orang berbaju serba hitam itu. Jelas itu suara seorang
wanita. "Nisanak, siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga agak terkejut juga mendengar katakata wanita itu.
"Aku Putri Rajawali Hitam!" jawab wanita itu tegas.
"Lalu, apa hubunganmu dengan Kerajaan Galung?"
desak Rangga. "Itu bukan urusanmu, Pendekar Rajawali Sakti.'"
"Kau berurusan dengan Kerajaan Galung, itu berarti juga berurusan denganku."
Wanita berbaju serba hitam yang bernama Putri
Rajawali Hitam itu terdiam beberapa saat. Dari lubang cadar yang menutupi
sebagian wajahnya, terlihat sepasang bola mata bening berkilat menatap wajah
Pendekar Rajawali Sakti.
"Kenapa kau selalu memburuku, Pendekar Rajawali
Sakti?" Putri Rajawali Hitam malah balik bertanya.
"Bukan dirimu, tapi Rajawali Hitam tungganganmu!"
sahut Rangga tegas.
"Ha ha ha...!" Putri Rajawali Hitam malah tertawa terbahak-bahak.
"Hey! Kenapa tertawa"!" sentak Rangga sengit.
"Kau bodoh, Pendekar Rajawali Sakti. Sukar dipercaya kalau kau begitu bodoh!"
"Bukan saatnya berolok-olok, Nisanak!" rungut Rangga.
"Aku kenal siapa dirimu, dan tidak lagi terkejut dengan Rajawali Putih
tungganganmu itu. Aku tahu banyak tentang dirimu, dan Rajawali Putih, serta
hubungannya dengan
Rajawali Hitam. Benar-benar mengagumkan.... Pendekar
digdaya yang ternama dari sukar dicari tandingannya
begitu bodoh, tidak bisa melihat kenyataan," kata Putri Rajawali Hitam seraya
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Nisanak, apa maksudmu berkata seperti itu?" Rangga jadi tambah penasaran.
"Maaf, tidak ada waktu untuk menjelaskan. Aku harus segera kembali ke Istana
Galung. Aku tidak ingin melihat darah membasahi bumi Kerajaan Galung dari orangorang tidak berdosa," kata Putri Rajawali Hitam tegas.
"Hey, tunggu...!"
Tapi Putri Rajawali Hitam sudah lebih dulu melompat
naik ke punggung Rajawali Hitam tunggangannya. Dan
dengan cepat, burung rajawali raksasa itu melesat naik ke angkasa, langsung
menuju ke Istana Kerajaan Galung.
Sebentar Rangga diam tertegun. Dia baru melompat naik ke punggung Rajawali Putih
setelah kepala burung itu
mendorong punggungnya.
Tapi belum juga Rajawali Putih itu membumbung tinggi
ke angkasa, dari arah Utara muncul Prabu Galung. Rangga tidak sempat lagi
memerintahkan Rajawali Putih untuk
terbang. Sedangkan Prabu Galung begitu terpana melihat seekor burung raksasa
dengan seorang pemuda berada di punggungnya. Dia sampai berhenti lalu berdiri
terpaku dengan mulut menganga lebar.
"Rangga...," desis Prabu Galung hampir tidak percaya.
Rangga melompat turun dari punggung Rajawali Putih,
lalu melangkah menghampiri Raja Kerajaan Galung itu.
Prabu Galung masih berdiri terpaku memandang burung
raksasa, karena masih belum percaya dengan penglihatannya. Seumur hidup, baru kali ini melihat seekor burung sebesar itu!
"Maaf, Gusti Prabu. Kita harus cepat ke Istana Galung,"
ajak Rangga. Prabu Galung masih belum bisa mempercayai dirinya.
Rangga segera menarik tangannya, lalu dengan cepat
mereka melompat naik ke punggung Rajawali Putih. Prabu Galung berada di depan,
dan sesaat kemudian ia hampir menjerit begitu Rajawali Putih membumbung ke
angkasa. * ** 7 Sementara itu di dalam benteng Istana Galung, orangorang yang menguasai istana itu menjadi kalang-kabut
mendapat gempuran dahsyat dari seekor burung hitam
raksasa. Putri Rajawali Hitam mengamuk sambil mengibas-ngibaskan pedangnya yang
bergagang kepala burung dan
berwarna hitam di atas punggung Rajawali Hitam. Pedang itu menyambar-nyambar
cepat, sehingga, orang-orang di dekatnya kocar-kacir berusaha menyelamatkan
diri. "Khraghk...!"
Tiba-tiba saja di angkasa terdengar suara keras serak memekakkan telinga. Tampak
seekor burung Rajawali
Putih raksasa meluruk turun, langsung membantu Rajawali Hitam. Rangga dan Prabu
Galung bergegas melompat
turun dari punggung Rajawali Putih. Kedatangan Rangga dan Prabu Galung yang
menunggang burung Rajawali Putih raksasa, membuat suasana di dalam benteng
istana itu semakin kacau. "Hiyaaat...!"
Sambil berteriak nyaring, Rangga mencabut Pedang
Rajawali Sakti. Dan dengan cepat dia melompat ke arah pintu benteng yang kokoh.
Pedang berwarna biru berkilau itu berkelebat cepat menghajar pintu benteng itu.
Glarrr...! Sebuah ledakan keras membuat pintu benteng dari
kayu jati tebal itu hancur berkeping-keping. Rangga
membalikkan tubuhnya, maka terlihatlah Putri Rajawali Hitam telah turun
dari punggung Rajawali Hitam
tunggangannya. Dia mengamuk bagai singa betina terluka.
Setiap orang yang berani mendekati, tewas terbabat
pedang hitam bergagang kepala burung itu.
Sementara Prabu Galung pun telah bertarung menggunakan pedang berwarna keperakan yang berkelebat cepat bagai kilat. Setiap kibasannya pasti mengambil nyawa. Tidak
terhitung lagi, berapa tubuh yang ambruk bersimbah darah. Saat itu dari luar
terdengar teriakan-teriakan bergemuruh. Ternyata berasal dari orang-orang berpakaian
seragam prajurit yang menyerbu masuk melalui pintu benteng yang sudah jebol
berantakan. Tampak Panglima Jamali memimpin para prajurit Kerajaan Galung.
Denting senjata, teriakan pertempuran, dan jerit
menyayat berbaur menjadi satu, membuat seluruh
angkasa Kerajaan Galung bagai terbelah. Tubuh-tubuh
bersimbah darah, ambruk bergelimpangan tak bernyawa.
Saat itu, Rangga yang tengah bertarung dengan
beberapa orang, sempat melihat empat perempuan tua
yang berjuluk Empat Bayangan Iblis Neraka berdiri di
tengah istana bersama seorang pemuda berwajah tampan, namun sorot matanya
terlihat bengis.
Rangga segera melesat begitu melihat Putri Rajawali
Hitam sudah melompat cepat ke arah Empat Bayangan IUis Neraka dan Kalaban.
Hampir bersamaan, Putri Rajawali
Hitam dan Pendekar Rajawali Sakti menjejak tepat di
depan tangga istana. Mereka berdiri berjajar dengan
pedang sama-sama menyilang di depan dada.
* ** Bukan hanya Rangga, tapi juga Empat Bayangan Iblis
Neraka dan Kalaban pun terperanjat kaget. Sikap Putri Rajawali Hitam begitu sama
dengan sikap Pendekar
Rajawali Sakti dalam hal memegang pedang.
Dan belum lagi hilang rasa terkejut mereka semua, Putri Rajawali Hitam sudah
melompat menyerang. Rangga
langsung tersadar dari rasa kaget dan herannya. Dia pun segera melompat
menyerang lima orang yang menjadi
pangkal kerusuhan di Kerajaan Galung ini.
Rangga yang menghadapi Kalaban, masih sempat
melihat Putri Rajawali Hitam yang bertarung melawan
Empat Bayangan Iblis Neraka. Hampir tidak dipercaya
kalau wanita itu, menggunakan jurus-jurus dari rangkaian
'Lima Jurus Rajawali Sakti'. Tentu saja Rangga mengenali jurus-jurus itu, karena
juga memilikinya.
Hal ini menjadikan Pendekar Rajawali Sakti terpecah
perhatiannya. Sungguh tidak dilihat kalau Kalaban
melepaskan senjata rahasia dengan cepat. Rangga
terperangah sejenak, lalu buru-buru melompat menghindar. Namun gerakannya terlambat.
Senjata rahasia berupa ruyung kecil itu menancap di bahu kiri.
"Ugh!" Rangga mengeluh pendek.
Tubuhnya sedikit terhuyung ke belakang. Ruyung kecil
yang menancap itu ternyata mengandung racun yang
sangat kuat. Dan itu sangat dirasakan Rangga. Bergegas dikerahkan hawa murni
dari pusat tubuhnya, kemudian
dicabutnya ruyung itu. Darah kental kehitaman mengucur dari luka di bahu
kirinya. "Hup, yaaah...!"
Disertai teriakan nyaring, Rangga melompat sambil
mengibaskan pedang pusakanya ke arah leher Kalaban.
Pendekar Rajawali Sakti 21 Sepasang Rajawali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun pemuda tampan berhati telengas itu mampu
berkelit menghindari tebasan pedang itu. Bahkan masih mampu pula memberikan satu
sodokan bertenaga dalam
cukup tinggi ke arah perut Pendekar Rajawali Sakti.
"Uts!" Rangga menarik perutnya ke belakang, lalu dengan cepat dihentakkan tangan
kirinya memapak
sodokan tangan kanan itu.
"Akh!" Kalaban terpekik tertahan begitu tangannya berbenturan dengan tangan kiri
Rangga. Tenaga dalam yang dimiliki Kalaban memang berada di
bawah Pendekar Rajawali Sakti. Tidak heran kalau harus memekik saat tangannya
beradu dengan tangan Rangga.
Sambil melompat mundur, Kalaban melontarkan tiga
senjata rahasianya.
"Hiya, hiya, hiyaaa...!"
"Hup!"
Rangga berkelit dengan melompat ke atas. Dua kali dia berputar di udara,
kemudian meluruk deras ke arah
Kalaban sambil mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah
Sukma'. Serangan Pendekar Rajawali Sakti begitu cepat dan tidak terduga sama
sekali, sehingga Kalaban tak
sempat menghindar lagi. Tidak ada pilihan lain baginya.
"Hup, hiyaaa...!"
Kalaban mencabut senjatanya yang berupa tongkat
pendek yang kedua ujungnya berbentuk tengkorak kepala manusia. Cepat sekali
diayunkan tongkat pendek itu untuk memapak Pedang Rajawali Sakti.
Trang! "Akh...!" Kalaban memekik keras.
Pemuda itu sampai terlontar jauh ke belakang. Dan
senjata kebanggaannya terpotong menjadi dua bagian.
Seluruh tubuhnya bergetar. Lebih-lebih tangannya yang serasa mati, sukar
digerakkan lagi.
"Mampus kau! Hiyaaa...!" pekik Rangga keras.
Kalaban hanya bisa terperangah melihat Rangga sudah
melompat sambil mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik
Menyambar Mangsa'. Pedangnya berputar cepat membuat
lingkaran biru yang menyilaukan mata. Rangga meluruk
deras bagai anak panah lepas dari busurnya. Begitu
cepatnya serangan Rangga, sehingga kali ini Kalaban sulit untuk berkelit.
Dan pada saat ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti
hampir menebas leher Kalaban, satu bayangan merah
berkelebat cepat memapak laju pedang itu.
Tring! "Akh!"
terdengar satu pekikan keras, disusul terpentalnya bayangan merah itu.
Rangga juga melompat ke belakang beberapa tindak,
sedangkan pedangnya menyilang di depan dada. Saat itu Kalaban bergegas mundur
begitu nyawanya selamat dari
maut. Tapi tidak jauh dari pemuda itu terlihat Rara Merah menggelepar dengan
perut sobek mengucurkan darah
segar! Rupanya waktu memapak serangan Pendekar Rajawali
Sakti, posisi Rara Merah terlalu dekat. Akibatnya, ujung pedang Rangga berhasil
merobek perutnya setelah
mematahkan tongkatnya. Kalaban yang melihat salah satu dari gurunya menggelepar
dengan perut sobek, semakin
merah padam wajahnya. Gerahamnya bergemeletuk
menahan geram. "Keparat! Kau harus membayar nyawa guruku!" geram Kalaban.
Kematian Rara Merah ternyata juga membuat tiga dari
Empat Bayangan Iblis Neraka marah. Mereka serentak
berlompatan menerjang Pendekar Rajawali Sakti tanpa
mempedulikan Putri Rajawali Hitam. Kini Rangga harus
menghadapi empat orang yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi. "Setan! Rupanya mereka lebih tertarik pada Rangga...!"
gerutu Putri Rajawali Hitam.
Putri Rajawali Hitam hanya bisa diam menyaksikan
pertarungan itu. Dari sinar matanya terpancar sesuatu yang sukar
diartikan. Bahkan sampai tidak berkedip memandangi setiap gerakan Pendekar Rajawali Sakti.
Pandangannya beralih ketika mendengar suara pekikan
serak menggelegar dari angkasa.
Tampak dua ekor burung rajawali raksasa tengah
berkelebatan cepat menyambar anak buah Kalaban. Dan
ini membuat prajurit-prajurit Kerajaan Galung jadi
menganggur. Mereka hanya jadi penonton, menyaksikan
Sepasang Rajawali membantai orang-orang rimba persilatan golongan hitam. Lebih-lebih Prabu Galung yang berdiri didampingi para
panglimanya. Dia masih juga belum percaya penuh dengan yang disaksikannya kini.
"Khraghk!"
"Grahk...!"
Orang-orang yang merasa tidak mampu menghadapi
Sepasang Rajawali itu berusaha melarikan diri. Tapi para prajurit yang memang
sudah siaga penuh,
tidak membiarkannya begitu saja. Mereka yang mencoba
melarikan diri, tak pelak lagi terbantai senjata prajurit Kerajaan Galung.
Sementara itu Rangga masih bertarung melawan empat
orang yang menggempurnya dengan kemarahan meluap
dalam dada. Jurus-jurus yang digunakan pun sudah
mencapai tingkat tinggi Yang terlihat kini hanya bayangan-bayangan berkelebat
cepat saling sambar. Tapi bagi Putri Rajawali Hitam, setiap gerakan pertarungan
itu dapat dilihat jelas. Matanya tidak berkedip memandangi Rangga yang kelihatannya masih
mampu menghadapi empat orang
lawannya itu. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti itu mampu memberi
serangan balasan yang tidak terduga. Entah sudah berapa jurus dilewati, namun
pertarungan masih kelihatan sengit.
Sementara Sepasang Rajawali telah menyelesaikan
pertarungannya. Tidak ada seorang pun pengikut Empat
Bayangan Iblis Neraka dan Kalaban yang dibiarkan hidup.
Mereka yang lolos dari Sepasang Rajawali, pasti tewas di tangan para prajurit.
"Hm..., aku yakin. Pendekar Rajawali Sakti tidak butuh bantuan. Tapi mereka
musuhku. Tidak pantas rasanya
kalau diam menonton tanpa berbuat sesuatu...," gumam Putri Rajawali Hitam dalam
hati. Saat itu memang Rangga berada di atas angin.
Serangan-serangannya begitu cepat dan tajam. Empat
Bayangan Iblis Neraka yang kini tinggal tiga orang
ditambah Kalaban, seperti tidak berdaya menghadapi
Pendekar Rajawali Sakti yang menggunakan jurus 'Seribu Rajawali'. Mereka selalu
terkecoh dan mendapat serangan balasan yang tidak terduga.
Berapa tidak" Gerakan Rangga demikian cepat, seolaholah tubuhnya terpisah-pisah menjadi seribu banyaknya.
Hal ini tentu saja membuat lawan-lawannya menjadi
kebingungan. Setiap kali mereka menyerang, selalu hanya menemui bayangan
Pendekar Rajawali Sakti saja. Karuan saja mereka jadi tidak percaya diri.
Pada saat itu pula, Putri Rajawali Hitam masuk dalam
kancah pertempuran. Pedang hitamnya berkelebat cepat
membabat ke arah dada Rara Biru. Serangan Putri Rajawali Hitam yang cepat dan
tidak terduga itu membuat Rara Biru tidak sempat lagi berkelit..
"Akh...!" Rara Biru memekik keras tertahan.
Ujung pedang Putri Rajawali Hitam menggores dalam di
dada Rara Biru. Darah pun segera mengucur deras dari
luka yang panjang dan dalam itu. Rara Biru terhuyunghuyung ke belakang. Dan selagi terhuyung, satu tendangan menggeledek yang
dilepaskan Putri Rajawali Hitam, telak menghantam dadanya.
"Aaa...!" Rara Biru memekik keras melengking.
Seketika tubuhnya terlontar beberapa tombak ke
belakang. Keras sekali tubuhnya membentur dinding
tembok benteng istana, hingga tembok yang tebal itu
hancur berkeping-keping. Hanya sebentar Rara Biru
meregang nyawa, kemudian diam tidak bergerak-gerak
lagi."Keparat...!" geram Kalaban.
Kalaban cepat melompat menerjang Putri Rajawali
Hitam yang masih memandangi Rara Biru. Terjangan
Kalaban begitu cepat, sehingga tidak diduga sebelumnya.
Kaki kanan Kalaban mendarat telak di punggung Putri
Rajawali Hitam. Wanita yang wajahnya selalu ditutupi oleh cadar hitam itu
terjungkal keras.
Beberapa kali Putri Rajawali Hitam bergulingan di tanah, tapi cepat bangkit
kembali walaupun dengan tubuh
limbung. Dua kali wanita itu memuntahkan darah kental kehitaman. Pandangan
matanya pun berkunang-kunang.
Sementara Kalaban sudah bersiap-siap hendak menyerang kembali.
"Mampus kau! Hiyaaa...!" teriak Kalaban keras.
"Khraghk...!"
* ** "Akh!" Kalaban memekik terperanjat.
Rajawali Hitam tanpa diduga dengan cepat menyambar
tubuh Kalaban, sehingga pemuda itu terlempar jauh
beberapa tombak. Segera dia bangkit kembali dan berdiri tegak.
"Khraghk...!" pekik Rajawali Hitam keras. Trak!
Kalaban mencabut sebatang tongkat pendek berwarna
perak dari balik ikat pinggangnya. Dipegangnya ujung-ujung tongkat itu, lalu
ditarik hingga panjangnya sama dengan rentangan tangan. Kalaban memutar-mutar
tongkatnya bagai baling-baling. Dan pada saat itu, Rajawali Hitam sudah meluruk deras ke
arahnya sambil berkaokan keras memekakkan telinga.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak nyaring, Kalaban mengebutkan
tongkatnya disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi.
Ujung tongkat yang berbentuk bulat itu memancarkan
cahaya merah jingga.
"Khraghk...!"
Satu pekikan keras terdengar dari Rajawali Hitam.
Tongkat Kalaban bersarang telak di dada Rajawali
Hitam, sehingga burung raksasa itu terjajar ke belakang.
"Rajawali.... Oh, tidak...!" pekik Putri Rajawali Hitam histeris.
Putri Rajawali Hitam bergegas memburu burung rajawali raksasa miliknya itu.
Burung raksasa itu menggeletak di tanah sambil menggerung lirih. Putri Rajawali
Hitam memeluk kepala burung itu, dan memeriksa dada yang
terkena pukulan tongkat Kalaban tadi.
"Ha ha ha...!" Kalaban tertawa terbahak-bahak.
"Iblis! Kubunuh, kau!" geram Putri Rajawali Hitam.
Kalaban masih tertawa terbahak-bahak sambil menyandang tongkatnya di pundak. Sementara Putri
Rajawali Hitam telah bangkit
berdiri. Gerahamnya bergemeletuk menahan marah. Bola matanya bernyalanyala bagai hendak membakar pemuda itu. Sementara
Rajawali Hitam mendekam dengan kepala tertunduk.
Sementara itu, Rajawali Putih pun menghampiri, dan
mematuki dada Rajawali Hitam. Entah apa yang diperbuat Rajawali Putih. Yang
jelas, Rajawali Hitam membuka
kembali matanya seraya mengangkat kepalanya.
Pada saat itu Putri Rajawali Hitam sudah melompat
menerjang Kalaban. Pedang yang berwarna hitam pekat
dalam genggamannya, berkelebat cepat membentuk
putaran. Kalaban memang sudah siap menghadapi wanita
berbaju hitam dengan cadar menutupi wajahnya itu.
"Mampus kau, setan! Hiyaaat...!" teriak Putri Rajawali Hitam keras. "Haiti"
Kalaban mengibaskan tongkatnya memapak serangan
pedang Putri Rajawali Hitam. Dan dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa,
Kalaban melontarkan satu
tendangan keras dan langsung mendarat di perut wanita itu. Putri Rajawali Hitam
memekik tertahan. Tubuhnya
terdorong beberapa langkah ke belakang.
Tapi wanita itu kembali menerjang dengan ganas.
Sementara di tempat lain, Pendekar Rajawali Sakti masih bertarung melawan dua
orang perempuan tua yang
berjuluk Empat Bayangan Iblis Neraka. Dan di sekitar arena pertarungan
itu. Prabu Galung yang didampingi panglimanya, berdiri memperhatikan. Sedangkan di pihak lain para prajurit tetap
berjaga-jaga. * ** 8 Meskipun menghadapi dua tokoh sakti berilmu tinggi,
Rangga masih sempat membagi perhatiannya pada
pertarungan Kalaban melawan Putri Rajawali Hitam. Dia agak cemas juga melihat
Putri Rajawali Hitam tampak
kewalahan menghadapi Kalaban.
"Aku harus cepat mengakhiri pertarungan ini," gumam Rangga dalam hati.
Saat itu juga, Pendekar Rajawali Sakti merubah
jurusnya. Langsung dikeluarkan jurus andalannya, yaitu
'Pedang Pemecah Sukma'. Memang dalam beberapa
gebrakan saja, kedua tokoh hitam itu kewalahan
menghadapi jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Untungnya
mereka masih bisa mengimbangi. Bahkan kini pertarungan kembali seimbang. Rangga
tidak punya pilihan lain lagi, dan....
Pendekar Rajawali Sakti 21 Sepasang Rajawali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!" teriaknya keras. Dengan cepat Pendekar Rajawali
Sakti itu menggosok telapak
tangannya ke mata pedang. Maka cahaya biru pun
menggumpal di ujung Pedang Rajawali Sakti itu. Namun
dengan cepat, dimasukkan pedang ke dalam warangkanya.
Kini cahaya biru itu menggumpal di kedua telapak
tangannya. "Hiyaaa...!"
Rangga langsung melompat bagai seekor burung
rajawali hendak menerkam mangsa. Tepat sekali telapak tangannya menangkap tangan
kedua perempuan tua itu.
Rara Kuning dan Rara Hijau berusaha melepaskan cekalan itu. Namun semakin kuat
mereka mencoba, semakin sukar untuk melepaskannya. Bahkan mereka merasakan kalau
tenaganya kini tersedot keras.
Cahaya biru yang memancar dari tangan Rangga mulai
menyelimutj tubuh Rara Kuning dan Rara Hijau. Kedua
wanita tua itu masih menggeliat-geliat
berusaha melepaskan diri. Namun semakin kuat mereka mengerahkan tenaga, semakin keras tenaga tersedot.
Hingga pada satu saat, Rangga menghentakkan tangannya ke depan. Hasilnya tubuh
kedua wanita tua itu terlontar menyatu.
Cring! Secepat kilat ditarik pedangnya ke luar. Dan kini dengan cepat pula Pedang
Rajawali Sakti berkelebat menebas
tubuh kedua wanita itu sekaligus. Tak ada lagi suara
terdengar. Tubuh kedua wanita tua itu kontan ambruk ke tanah dengan tubuh hampir
terpisah! Pada saat yang sama, Kalaban berhasil mendaratkan
tongkatnya ke tubuh Putri Rajawali Hitam. Wanita itu
memekik keras, lalu tubuhnya limbung ke belakang
Kesempatan ini tidak disia-siakan Kalaban. Satu
tendangan bertenaga dalam tinggi dengan cepat dilayangkan ke dada Putri Rajawali Hitam.
"Akh...!" Putri Rajawali Hitam memekik keras. Wanita berbaju serba hitam itu
terlontar deras ke belakang, dan hampir menabrak tembok benteng. Untung saja
Rajawali Hitam cepat merentangkan sayapnya yang lebar. Putri
Rajawali Hitam terdampar di sayap yang berbulu lebat dan lunak itu. Tampak dari
cadar yang menutupi wajahnya,
merembes darah kental.
"Oh...," Putri Rajawali Hitam merintih lirih.
"Kalaban! Akulah lawanmu!" seru Rangga keras seraya melompat ke depan pemuda
itu. "Bagus! Rupanya kau juga ingin menyusul pa-sanganmu ke neraka!" sambut Kalaban
pongah. Rangga sempat melirik Putri Rajawali Hitam yang
menggeletak merintih di samping Rajawali Hitam tunggangannya. Sementara di samping Rajawali Hitam,
mendekam pula Rajawali Putih yang tidak lepas-lepas
memandangi pasangannya. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti itu tidak dapat berlamalama memperhatikan Sepasang
Rajawali dan Putri Rajawali Hitam, karena Kalaban sudah menyerang ganas.
"Hup, hiyaaa...!" seru Rangga menghadang se-rangan Kalaban, langsung dengan aji
'Bayu Braja*. Seketika itu juga tubuh Kalaban terlontar jauh ke
belakang begitu kedua tangan Rangga menghentak ke
depan. Kalaban berlompatan beberapa kali di udara, dan masih dapat mendarat
dengan kedua kakinya. Namun
tubuhnya terlihat limbung. Pemuda itu menggelenggelengkan kepalanya sesaat. Sebentar dipandangi empat gurunya yang sudah
terbujur tak bernyawa lagi.
Ada sedikit kegentaran dan perasaan dendam di hati
Kalaban. Disadari kalau Pendekar Rajawali Sakti bukanlah lawannya. Tapi melihat
empat gurunya tewas, Kalaban
tidak lagi peduli. Segera dihimpun kekuatannya dan
bersiap-siap untuk menyerang kembali.
"Haitt Yaaah....!"
teriak Kalaban keras. Sambil mengibaskan tongkatnya beberapa kali, Kalaban melompat deras menerjang Rangga. Sementara Pendekar
Rajawali Sakti pun sudah siap dengan 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Tebasan
tongkat Kalaban berhasil ditangkis dengan tangan kiri, lalu dengan cepat
disodoknya dada pemuda itu.
Buk! "Akh!" kembali Kalaban memekik Belum lagi Kalaban bisa berbuat sesuatu, kembali
satu pukulan telak jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali' menghantam dadanya.
Seketika itu juga tubuh Kalaban terpental jauh ke
belakang. Dan Rangga yang langsung mencabut pedangnya kembali, melompat cepat seraya mengibaskan
pedangnya ke arah leher.
"Hiyaaa...!"
Slap! Mendadak satu bayangan berkelebat cepat menyambar
tubuh Kalaban, sehingga tebasan pedang Rangga hanya
menghantam tempat kosong. Begitu cepatnya bayangan itu berkelebat, sehingga
dalam sekejap mata saja, tubuh
Kalaban telah lenyap tidak ketahuan bekasnya.
"Khraghk...!" Rajawali Hitam berkaokan keras.
Bagaikan kilat, burung raksasa. itu melesat ke angkasa sambil menyambar tubuh
Putri Rajawali Hitam yang masih tergeletak tak sadarkan diri.
"Hey...!" Rangga terperanjat kaget.
"Rangga! Tunggu!" seru Prabu Galung tiba-tiba.
Rangga yang akan melompat ke atas punggung
Rajawali Putih, mengurungkan niatnya. Prabu Galung
berlari-lari kecil menghampiri. Rangga berdiri tegak di samping
Rajawali Putih yang sudah lebih dulu menghampirinya.
* ** Pada saat yang sama seekor kuda berpacu cepat
memasuki halaman istana. Ternyata penunggangnya
adalah Patih Giling Wesi. Setelah menghentikan kudanya, dia melompat turun, dan
segera bersujud di depan Prabu Galung.
Namun Prabu Galung segera menyentuh pundaknya, lalu mengajaknya bangkit berdiri.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba tidak bermaksud
melepaskan tanggung jawab. Hamba pergi menyusul Gusti Prabu karena khawatir akan
keselamatan Gusti," ucap Patih Giling Wesi.
"Sudahlah, Paman Patih. Keadaan sudah teratasi,"
sahut Prabu Galung bijaksana.
"Ampunkan hamba, Gusti... "
"Aku mengerti, Paman Patih."
Prabu Galung kembali mengalihkan perhatiannya pada
Rangga yang masih diam saja. Patih Giling Wesi yang baru mengangkat wajahnya,
kontan terlonjak kaget begitu
melihat seekor burung rajawali raksasa berada di samping Pendekar Rajawali
Sakti. Untung saja tidak ada yang
memperhatikan. Tapi, pandangan Patih Giling Wesi tidak berkedip ke arah burung
raksasa itu. "Aku tidak tahu, apa yang harus kuberikan padamu. Aku benar-benar berhutang budi
padamu...," ucap Prabu Galung.
"Itu sudah kewajibanku, Gusti Prabu," jawab Rangga merendah.
"Tapi kau telah berjasa besar, dan itu patut diberi hadiah."
"Terima kasih. Hanya saja tidak bisa kuterima karena masih ada tugas yang harus
kuselesaikan," tolak Rangga halus.
"Aku mengerti. Sebagai seorang pendekar, tugasmu cukup banyak. Tapi...."
"Gusti. ljinkan aku segera pergi. Kalaban menghilang dan harus kucari. Terus
terang, aku pun masih harus
mencari keterangan tentang Putri Rajawali Hitam dan
burung tunggangannya itu."
"Jadi..., kau tidak tahu siapa dia..."!" Prabu Galung tidak percaya. Selama ini
dia menganggap kalau Rangga dan
orang misterius itu adalah berpasangan.
Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Gusti. Hamba pun juga mohon diri," selak Patih Giling Wesi.
"Paman Patih, kau akan ke mana?"
"Ampun, Gusti. Hamba harus mencari Intan Kemuning.
Bagaimanapun juga, dia anak hamba satu-satunya.
Kalaupun Intan Kemuning masih hidup, hamba harus
menemukannya. Dan kalau sudah mati, harus ada
mayatnya. Ampunkan hamba, Gusti."
"Paman Patih, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Tapi perlu kau ketahui,
Kerajaan Galung sangat membutuhkan sumbangan tenaga dan pikiranmu," ucap Prabu
Galung pelan. "Ampun, Gusti Prabu. Rasanya masih banyak tenaga muda yang dapat diandalkan.
Hamba sudah bertekad
untuk mencari Intan Kemuninq sampai dapat."
Prabu Galung hanya bisa mendesah berat.
"Hamba pamit,
Gusti," ucap Patih Giling Wesi
berpamitan. "Baik, hati-hatilah. Dan kumohon, kembalilah dulu jika sudah bertemu dengan
anakmu," pesan Prabu Galung.
Memang hanya itu yang bisa diucapkannya.
Patih Giling Wesi memberi hormat, kemudian bergegas
naik ke punggung kudanya. Hanya sekali gebah saja, kuda itu sudah berpacu cepat
meninggalkan halaman Istana
Galung. Prabu Galung hanya bisa memandangi dengan
mata berkaca-kaca. Dan dia baru menoleh begitu teringat pada Rangga. Tapi Prabu
Galung jadi celingukan, karena Pendekar Rajawali Sakti dan burungnya sudah tidak
ada lagi. Dia mendongak, maka tampaklah di angkasa burung rajawali raksasa
tengah melayang berputar-putar.
"Selamat jalan,
Rangga...," desis
Prabu Galung melambaikan tangannya.
"Khraghk...!"
Rajawali Putih itu langsung melesat cepat meninggalkan Istana Galung. Sementara
para prajurit telah sibuk
mengangkuti mayat-mayat. Sementara itu, Prabu Galung
pun memerintahkan beberapa panglima agar menjemput
para pembesar dan keluarganya untuk kembali ke istana.
Demikian pula dengan keluarga istana yang masih berada di
tempat pengasingan. Prabu Galung kemudian melangkah menaiki anak-anak tangga istana.
* ** Saat itu di angkasa, Rajawali Putih terbang menembus
awan. Rangga yang berada di atas punggung-nya,
memandang ke bawah. Sempat dilihatnya Patih Giling Wesi yang memacu kudanya
dengan cepat menembus Hutan
Krambang. Sementara Patih Giling Wesi mencari anak
gadisnya, Rangga juga harus bisa mengetahui siapa
sebenarnya orang yang kini menguasai Rajawali Hitam.
Siapa sebenarnya dia" Bagaimana luka-lukanya" Dan
siapa yang telah menyelamatkan Kalaban dari hadapannya"
Untuk mengetahui kelanjutannya, ikutilah kisah Pendekar Rajawali Sakti dalam episode:
"SABUK PENAWAR RACUN".
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Pendekar Rajawali Sakti 21 Sepasang Rajawali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Convert : Abu Keisel
Editor : Deeemart86
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode-episodenya yang menarik
1. IBLIS LEMBAH TENGKORAK
2. BIDADARI SUNGAI ULAR
3. KITAB TAPAK CENI
4. SEPASANG WALET MERAH
5. PRAHARA GADIS TUMBAL
6. NAGA MERAH 7. PERTARUNGAN DI BUKIT SETAN
8. IBLIS WAJAH SERIBU
9. MANUSIA BERTOPENG HITAM
10. PENGANTIN BERDARAH
11. JAGO-JAGO BAYARAN
12. RAHASIA FURI MERAH
13. ASMARA MAUT
14. API DI KARANG SETRA
15. DURJANA PEMETIK BUNGA
16. RAHASIA KALUNG KERAMAT
17. PERAWAN RIMBA TENGKORAK
18. DARAH PENDEKAR
19. PENYAIR MAUT
20. PUTRI KERUDUNG HIJAU
21. SEPASANG RAJAWALI
Tiraikasih Website
Dendam Empu Bharada 32 Rajawali Sakti Dari Langit Selatan Lanjutan Sin Tiauw Hiap Lu Karya Sin Long Tamu Dari Gurun Pasir 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama