Ceritasilat Novel Online

Istana Maut 1

Pendekar Rajawali Sakti 80 Istana Maut Bagian 1


http://duniaabukeisel.blogspot.com
ISTANA MAUT oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Istana Maut 128 hal.1; 12 x 18 cm
1 Siang ini udara sangat cerah. Tiupan angin semilir, menebarkan kesejukan bagi penghuni mayapada. Langit tampak bersih, tanpa awan sedikit pun
menggantung. Sinar matahari yang terik, tak terasa la-gi karena tersapu hembusan
angin. Dalam suasana
seperti ini, rasanya enggan untuk melakukan kegiatan.
Orang akan lebih senang bermalas-malasan di bawah
pohon, sambil menikmati keindahan alam.
Suasana seperti ini tidak dilewatkan begitu saja
oleh seorang pemuda berwajah tampan berbaju putih
tanpa lengan. Dia duduk bersandar di bawah sebatang
pohon beringin yang berdaun rindang, menaungi dirinya dari sengatan matahari. Bibirnya tersenyumsenyum menyaksikan dua ekor burung bangau saling
berebut katak yang terdapat di tengah sawah. Pikiran
iseng seketika terlintas di benaknya. Dipungutnya sebutir kerikil di dekatnya, lalu dengan kuat dilemparkan ke arah dua ekor bangau
yang sedang berebut
makanan. "Ha ha ha...!" pemuda itu tertawa terbahakbahak kesenangan melihat burung bangau begitu terkejut dan terbang tinggi meninggalkan makanan yang
diperebutkan. Kembali tubuhnya disandarkan di pohon. Tapi
belum sempat memejamkan mata, mendadak terasa
ada sesuatu yang menimpa kepalanya. Pemuda itu meraba kepalanya, ada sesuatu yang lembek di situ.
"Heh..."!" dia terkejut begitu melihat tangannya sudah penuh kotoran burung.
Cepat-cepat kepalanya didongakkan. Kembali
terlihat sesuatu jatuh ke arahnya. Maka buru-buru
kepalanya ditarik ke samping.
"Sial...!" rutuk pemuda itu mendengus. Lebih gusar lagi begitu melihat jauh di
atas kepalanya, ada dua ekor burung bangau tengah beterbangan berputar-putar.
Pemuda itu mengambil kerikil, dan langsung dilemparkan ke arah dua burung bangau
putih itu. "Jangan pergi kau...!" teriak pemuda itu geram.
Tapi begitu melihat burung-burung itu malah sengaja
mempermainkannya, dia malah jadi tertawa terbahakbahak. Pemuda itu jadi teringat kalau tadi telah menjahili burung itu. Yaaah..., ternyata binatang juga
punya naluri yang begitu tajam. Bahkan mampu membalasnya. Pemuda berbaju rompi putih itu berlari menuju sungai yang tidak jauh di depannya. Langsung
kepalanya dicuci di air sungai yang nampak jernih.
Tapi begitu hendak kembali ke tempatnya, hatinya jadi tertegun karena di bawah pohon itu sudah
duduk seorang laki-laki tua bertubuh kurus yang
mengenakan baju kumal seperti gembel. Dia mendengus, tapi tidak mengusir orang tua itu. Malah diambilnya tempat lain. Namun dia
jadi terkejut, karena orang tua itu bangkit dan menghampirinya.
Boleh aku duduk menemanimu di sini, Anak
Muda?" pinta laki-laki tua itu sopan.
"Silakan," sahut pemuda itu singkat
'Terima kasih," ucap laki-laki tua itu.
Laki-laki berpakaian kumal itu menyandarkan
tubuhnya di pohon, lalu menjulurkan kakinya ke depan sambil menghembuskan napas panjang. Sedangkan pemuda di sampingnya hanya melirik saja. Pada
saat yang sama, laki-laki tua itu juga melirik ke arahnya. "Boleh ku tahu
namamu, Anak Muda?" pinta laki-laki tua itu lagi.
Sikapnya masih tetap sopan. Bahkan suaranya
begitu lembut dan ramah meskipun terdengar sedikit
serak. Pemuda itu hanya diam saja. Tapi keningnya
sedikit berkerut, seakan-akan permintaan orang tua
itu terasa aneh terdengar di telinganya.
"Oh, maaf. Jika aku ingin mengetahui seseorang, tentunya terlebih dahulu memperkenalkan diri,"
kata orang tua itu lagi, tetap sopan suaranya terdengar. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih di
sampingnya tetap saja diam membisu. Entah apa yang
ada dalam pikirannya saat ini. Yang jelas, dia sedang mengamati dan mendugaduga, siapa laki-laki tua ini.
"Orang-orang biasa memanggilku si Tua Gila,"
laki-laki tua itu memperkenalkan dirinya.
"Hhm...," pemuda itu hanya menggumam kecil
saja. "Aku sendiri sudah tidak tahu lagi, siapa na-maku yang sebenarnya,"
sambung si Tua Gila itu lagi.
Sedangkan pemuda tampan berbaju rompi putih di sampingnya masih tetap diam membisu, seakanakan enggan berbicara. Pandangannya malah lurus ke
depan, merayapi hamparan sawah yang nampak gersang, bagai lama tak terjamah tangan para petani.
"Kau pasti tidak percaya kalau aku digelari si
Tua Gila, Anak Muda," kata laki-laki tua itu lagi.
"Aku percaya," sahut pemuda itu pelan.
"Kalau begitu, kau bersedia memperkenalkan
dirimu, bukan?"
Pemuda itu tersenyum. Memang lucu juga lakilaki tua ini. Caranya mendesak begitu aneh. Dan bibir yang keriput hampir
tertutup kumis itu selalu menyunggingkan senyuman lebar, seakan-akan ingin
memperlihatkan giginya yang sudah keropos dan hitam. "Panggil saja aku Rangga," sahut pemuda berbaju rompi putih yang ternyata
adalah Pendekar Rajawali Sakti. "He he he...," si Tua Gila malah terkekeh.
"Kenapa tertawa" Apakah ada yang lucu?"
Rangga jadi tidak senang juga.
"Jangan tersinggung, Anak Muda. Aku tertawa
karena senang. Ternyata apa yang kucari selama ini
terlaksana juga," kata si Tua Gila.
"Kau mencariku" Untuk apa...?" Rangga terpe-ranjat. Pemuda berbaju rompi putih
itu memandangi si
Tua Gila dalam-dalam. Sungguh hatinya sangat terkejut begitu mendengar laki-laki tua ini memang sedang
mencarinya. Untuk apa" Sedangkan selama ini mereka
belum pernah berjumpa. Bahkan baru kali ini bertatapan muka. "Cukup sulit juga mencarimu, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi usahaku ternyata tidak sia-sia. Sang Hyang Widi rupanya
mengabulkan juga keinginanku,"
ungkap si Tua Gila.
"Untuk apa kau mencariku, Ki?" tanya Rangga menghormati orang tua ini, karena
memanggilnya dengan sebutan "Ki".
"He he he...," si Tua Gila malah terkekeh.
*** Rangga jadi semakin heran, karena si Tua Gila
tidak menjawab pertanyaannya. Bahkan malah bangkit
berdiri dan melangkah pergi. Rangga ikut bangkit berdiri dan mengikutinya. Langkahnya disejajarkan di
samping orang tua aneh ini.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Ki," kata Rangga menagih jawaban.
"Sebaiknya ikut saja denganku, Pendekar Rajawali Sakti," kata si Tua Gila. Kali ini suaranya terdengar serius.
"Ke mana?" tanya Rangga.
"Nanti juga akan tahu," sahut si Tua Gila kalem. "Hm.... Kau membuat teka-teki,
Ki," gumam Rangga.
"Hanya sedikit permainan saja, Pendekar Rajawali Sakti."
"Untuk apa?"
"He he he...," lagi-lagi si Tua Gila terkekeh.
Rangga tidak bisa lagi mendesak. Meskipun penasaran, tapi rasanya tidak mungkin mendesak orang
tua itu. Mereka terus berjalan berdampingan tanpa bicara lagi. Memang tidak ada yang perlu dibicarakan la-gi. Dan Rangga semakin
bertanya-tanya saat mengenali jalan yang kini dilaluinya. Jelas, jalan ini menuju Hutan Jabung. Sebuah
hutan yang sangat lebat, terletak di lereng Bukit Jabung. Hanya ada satu perkampungan di sekitar bukit ini, tapi sudah tidak ada penghuninya lagi. Entah
kenapa, Rangga sendiri tidak tahu. Dia tadi sempat melintasi perkampungan itu.
Sama sekali Pendekar Rajawali Sakti tidak tertarik, karena memang sering menemukan perkampungan kosong yang ditinggalkan penduduknya. Terlalu
banyak alasan yang diberikan orang-orang untuk pindah dari satu tempat ke tempat lain. Dan mereka biasanya menjarah tempat baru untuk mendapatkan hidup yang lebih layak lagi.
Mereka terus berjalan mendekati hutan yang
sudah terlihat keangkerannya, meskipun belum memasukinya. Hutan ini seperti tidak pernah terjamah
tangan manusia. Pepohonan yang tumbuh begitu rapat, seakan-akan tidak memberi kesempatan bagi siapa saja yang ingin menjamah. Begitu rapatnya, sehingga sinar matahari tidak dapat menembus menyinari
tanah. Begitu menginjakkan kakinya di tepi hutan itu, mendadak saja sebuah benda
berwarna kemerahan
meluncur deras ke arah mereka berdua. Rangga
yang sejak tadi memang sudah waspada, langsung melentingkan tubuhnya sambil berseru memperingatkan
si Tua Gila. Tapi sungguh tidak disangka sama sekali. Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu si Tua Gila sudah menangkap benda itu dengan kedua jarinya.
Rangga yang baru saja menjejakkan kakinya di tanah,
langsung menghampiri.
"Rupanya mereka sudah menunggu kita di sini,
Rangga," jelas si Tua Gila seraya menunjukkan benda yang ditangkapnya.
Benda itu berbentuk bulat panjang seperti sebatang ranting berwarna merah. Kedua ujungnya
runcing, dan panjangnya tidak lebih dari sejengkal sa-ja. Rangga mengambil benda
itu dari tangan si Tua Gila, dan sebentar mengamati. Ternyata benda itu terbuat dari logam yang sangat keras.
"Siapa mereka, Ki?" tanya Rangga.
"Partai Naga," sahut si Tua Gib.
"Siapa itu Partai Naga?" tanya Rangga lagi.
Tapi belum juga pertanyaan Pendekar Rajawali
Sakti terjawab, mendadak saja dari dalam hutan bermunculan orang-orang berbaju hitam yang ketat. Pada
bagian dada terdapat gambar seekor naga. Mereka berjumlah sekitar sepuluh orang, dan berpenampilan
hampir mirip. Yang lain pada tubuh mereka hanyalah
di bagian lengan. Mereka menggunakan gelang yang
tidak sama jumlahnya.
Delapan orang memakai gelang satu buah. Tapi
dua orang lagi memakai gelang berjumlah dua dan tiga
buah. Dua orang itu berdiri paling depan, sedangkan
delapan orang lagi berada di belakang. Mereka semua
membawa sepasang tongkat pendek berwarna merah.
Dan di pinggang masing-masing tergantung sebilah
pedang yang gagangnya berbentuk kepala seekor naga.
"Sudah kuduga, kau pasti akan datang lagi,
Tua Gila!" kata salah seorang yang mengenakan gelang tiga buah.
"Aku memang akan datang lagi untuk menumpas kalian!" dengus si Tua Gila dingin.
Sepuluh orang itu tertawa terbahak-bahak,
tanpa sedikit pun memandang sebelah mata pada pemuda yang berdiri di samping si Tua Gila agak ke belakang sedikit. Sementara itu, Rangga hanya diam saja memperhatikan. Dia tidak
tahu, siapa sepuluh orang
ini, dan apa hubungannya dengan si Tua Gila.
Trek! Orang yang memakai gelang tiga buah pada
pergelangan tangan kanannya, membenturkan dua
tongkat yang dipegangnya. Seketika juga delapan
orang yang berada di belakangnya segera berlompatan
maju ke depan. Mereka serentak menyilangkan kedua
tongkatnya di depan dada. Sedangkan si Tua Gila tenang-tenang saja. Bahkan bibirnya malah menyunggingkan senyuman tipis.
"Serang...!" tiba-tiba saja orang yang memakai gelang tiga buah itu berteriak
lantang memberi perintah.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaa...!"
Serentak delapan orang yang hanya mengenakan gelang sebuah itu berlompatan sambil berteriakteriak keras. Mereka langsung menyerang si Tua Gila
dengan sepasang tongkat yang berkelebat cepat
"Hup." Yeaaah....!
Cepat sekali si Tua Gila mengibaskan tangannya sambil cepat memutar tubuhnya seraya mendorong dada Rangga ke belakang hingga terdorong ke belakang. Si Tua Gila bergerak cepat dengan meliukliukkan tubuhnya menghindari setiap serangan gencar. Malah sesekali juga memberi serangan balasan.
*** Sementara Rangga hanya dapat menyaksikan
saja pertarungan yang tidak seimbang sama sekali.
Seorang tua dikeroyok delapan orang bersenjata sepasang tongkat berwarna merah menyala. Kedua ujung
tongkat itu sangat runcing dan pipih. Tapi tampaknya


Pendekar Rajawali Sakti 80 Istana Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

si Tua Gila mampu menghadapi keroyokan lawanlawannya. Bahkan kini orang tua berjubah kumal itu
mampu mendesak. Beberapa kali pukulan dan tendangannya berhasil disarangkan ke tubuh lawanlawannya. Akibatnya, mereka berjumpalitan dan bergelimpangan di tanah sambil mengaduh kesakitan, tapi
cepat bangkit. Bahkan kembali menyerang ganas. Sepasang tongkat merah mereka tetap merupakan ancaman yang berarti bagi si Tua Gila.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja si Tua gila berteriak keras menggelegar. Dan bersamaan dengan itu, tubuhnya melenting ke udara, kemudian cepat sekali menukik ke bawah sambil melontarkan beberapa pukulan cepat
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Saat itu juga terdengar beberapa jeritan melengking tinggi, disusul bertumbangannya beberapa
tubuh yang langsung menggelepar di tanah. Tampak
dari mulut mereka keluar darah segar. Mereka bergelimpangan sambil merintih kesakitan.
Sementara lima orang lainnya begitu terkejut
melihat kejadian yang cepat dan tidak terduga sama
sekali. Namun sebelum menyadari apa yang terjadi, si
Tua Gila sudah kembali bergerak cepat bagai kilat. Dilontarkannya beberapa
pukulan bertenaga dalam tinggi. Kembali terdengar jeritan melengking tinggi saling sambut. Maka lima orang
itu jatuh menggelepar di tanah sambil merintih kesakitan.
"Keparat..!" geram orang yang memakai gelang tiga buah.
Seketika orang itu melompat menerjang si Tua
Gila. Sambil berteriak melengking tinggi, dilepaskannya dua pukulan sekaligus ke arah dada si Tua Gila.
Namun laki-laki tua itu rupanya lebih cepat lagi mengibaskan tangannya ke depan. Sehingga, benturan dua
pasang telapak tangan tidak bisa dihindari lagi.
Blarrr.... Ledakan keras menggelegar terdengar ketika
dua pasang telapak tangan beradu di udara. Tampak si
Tua Gila maupun orang berbaju hitam yang memakai
tiga buah gelang itu terpental jauh ke belakang. Mere-ka kini sama-sama
bergulingan di tanah, namun cepat
bisa bangkit berdiri. Mereka kembali bersiap melakukan pertarungan.
Sementara itu, delapan orang yang tergeletak di
tanah, tidak ada yang bergerak lagi. Tewas dengan tubuh membiru. Darah yang keluar dari mulut semakin
banyak, dan kini berubah menjadi kehitaman, juga
sangat kental. Saat itu si Tua Gila dan orang bergelang tiga buah sudah bersiap
melakukan pertarungan kembali. "Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Hampir bersamaan mereka berlompatan menerjang ke depan. Dan pada saat yang sama pula, orang
yang bergelang dua yang sejak tadi hanya diam saja,
segera melakukan serangan. Cepat-cepat tangan kanannya dikibaskan setelah memindahkan tongkatnya
ke tangan kiri. Saat itu terlihat sebuah benda merah
sepanjang jengkal melesat bagai kilat ke arah si Tua
Gila. Rangga yang menyaksikan kecurangan orang itu,
tidak bisa tinggal diam begitu saja.
"Hup! Hyeaaa...!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melemparkan benda yang masih berada di tangannya. Sebuah benda yang sama dengan yang dilempar orang
bergelang dua buah itu. Seketika kedua benda yang
bentuk dan ukurannya sama persis itu saling beradu
di udara, langsung hancur jadi debu karena samasama dilontarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Orang yang menggunakan gelang dua buah itu
jadi terkejut bukan main melihat senjata rahasianya
hancur sebelum mencapai sasaran. Bahkan kini si Tua
Gila sudah menyerang orang berbaju hitam yang bagian dadanya bergambar naga.
Sambil memperhatikan orang bergelang dua
itu, Rangga juga memperhatikan jalannya pertarungan. Dan tampaknya si Tua Gila memang berada jauh
di atas lawannya. Terbukti baru beberapa jurus saja
pertarungan itu berlangsung, si Tua Gila berhasil
mendesak lawan-lawannya. Bahkan beberapa kali berhasil menyarangkan pukulan bertenaga dalam tinggi.
Hal ini membuat lawan semakin kewalahan menghadapi laki-laki tua itu.
Hingga suatu ketika, satu pukulan si Tua Gila
berhasil bersarang di dada orang bergelang tiga itu.
Akibatnya, orang itu terjajar ke belakang. Dan belum
sempat lawan menyentuh tanah, si Tua Gila sudah
kembali melompat sambil berteriak keras menggelegar,
dibarengi pukulan bertenaga dalam tinggi sekali.
"Hiyaaat...!"
Desss! "Aaa...!" orang bergelang tiga itu menjerit melengking tinggi.
Pukulan pamungkas si Tua Gila tepat menghantam dada lawan hingga melesak masuk ke dalam.
Orang itu memuntahkan darah kental berwarna kehitaman, lalu ambruk tewas seketika.
Si Tua Gila membalikkan tubuhnya menghadap
satu orang lagi. Tapi belum juga bertindak, orang itu sudah berbalik cepat,
langsung melarikan diri masuk
ke hutan. Cepat sekali gerakannya, sehingga sekejap
saja sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Si Tua Gila hendak mengejar, tapi
Rangga cepat mencegahnya.
"Tunggu...!"
Si Tua Gila mengurungkan niatnya untuk mengejar satu orang yang berhasil lolos itu. Tubuhnya
kembali berbalik, disertai sorot mata yang tajam menatap Pendekar Rajawali
Sakti. Sedangkan Rangga tajam
pula membalas tatapan itu.
"Tidak ada gunanya mengejar, Ki!" tegas Rang-ga.
"Dia akan memberi tahu yang lain, Rangga.
Dan ini bisa menyulitkan kita," dengus si Tua Gila.
"Maaf, Ki. Aku tidak melihat ada kesulitan apaapa. Barangkali mereka hanya penyamun-penyamun
kecil yang lagi sial nasibnya," ujar Rangga mencoba berolok. "Ini bukan waktunya
berolok, Rangga!" sentak si Tua Gila kesal.
Rangga menelan ludahnya sendiri mendengar
sentakan laki-laki tua itu. Sungguh tidak disangka kalau, sikap si Tua Gila ini
begitu cepat menganggapnya orang dekat. Bahkan seperti sudah bertahun-tahun
mengenal Pendekar Rajawali Sakti.
"Ayo, kita jalan lagi!" ajak si Tua Gila.
"Ke mana?" tanya Rangga.
"Kau ternyata terlalu banyak tanya, Rangga.
Apakah kau tidak bisa melihat adanya bahaya besar
menghadang di depan"! Suatu malapetaka besar akan
terjadi dan akan menghancurkan dunia ini!" agak keras suara si Tua Gila itu.
"Heh..."! Aku tidak mengerti maksudmu..."
Rangga terhenyak tidak mengerti.
Sungguh sulit bagi Pendekar Rajawali Sakti
memahami maksud si Tua Gila ini. Semua perkataannya membuat Pendekar Rajawali Sakti kebingungan
sendiri. Sedangkan si Tua Gila sudah kembali melangkah memasuki hutan.
"He...! Tunggu...!" seru Rangga seraya mengejar.
Si Tua Gila terus saja berjalan cepat memasuki
Hutan Jabung yang sangat lebat dan terlihat angker
itu. Rangga mensejajarkan langkahnya di samping laki-laki tua aneh itu. Ingin rasanya Pendekar Rajawali Sakti bertanya. Tapi
begitu melihat raut wajah tua di sampingnya selalu memberengut, niatnya segera
diurungkan. Benaknya terus dipenuhi berbagai macam
pertanyaan. Hal itu membuat Rangga jadi semakin penasaran, ingin segera mengetahui jawabannya.
Mereka meneruskan perjalanan tanpa banyak
bicara lagi. Semakin jauh berjalan, semakin rapat hutan ini. Dan perjalanan pun semakin terasa sulit, sehingga mereka harus menyibakkan semak dan pepohonan kecil. Bahkan terkadang harus memutari pohon
besar yang tidak bisa dipeluk oleh sepuluh orang dewasa yang saling berpegangan tangan merentang sekalipun. "Ke mana tujuan kita sebenarnya, Ki?" tanya Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti tidak betah hanya
membisu saja begitu. Terlebih lagi, dirinya kini diliputi berbagai macam
pertanyaan atas sikap si Tua Gila
yang dirasakan sangat aneh. Namun saat ini si Tua Gila belum juga menjelaskan tujuannya pada Pendekar
Rajawali Sakti.
"Ki, ke mana tujuanmu sebenarnya...?" Rangga jadi tidak sabaran.
"Sudah kubilang, jangan banyak tanya!" bentak si Tua Gila.
"Kalau begitu, lebih baik aku tidak mengikutimu!" dengus Rangga gusar.
Pendekar Rajawali Sakti menghentikan langkahnya, dan malah duduk di atas akar yang menyembul keluar dari dalam tanah. Maka mau tak mau si
Tua Gila berhenti juga. Dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Ada tersirat kegusaran pada
sinar matanya, tapi Rangga tidak peduli. Bahkan malah merebahkan tubuhnya bersandar pada batang pohon itu. "Baiklah, akan ku jelaskan," kata si Tua Gila akhirnya menyerah juga.
"Itu lebih bagus," sambut Rangga seraya tersenyum.
*** 2 Si Tua Gila mengambil tempat, lalu duduk di
depan Pendekar Rajawali Sakti. Wajahnya masih kelihatan kesal, karena tidak menyenangi keadaan ini.
Suatu keadaan yang sangat terpaksa sekali, tapi harus diceritakan juga pada
Pendekar Rajawali Sakti.
"Nah! Ceritakanlah, kenapa dan untuk apa kau
mencariku?" desak Rangga.
"Aku mencarimu karena ada perlu," sahut si
Tua Gila. "Bisa kau jelaskan, bukan?"
"Huh! Sebenarnya aku paling tidak suka kepepet begini. Tapi karena kau terus mendesak, ya terpaksa." Rangga diam saja. Senyuman tipis penuh ke-menangan tersungging di
bibirnya. Tapi diakuinya kalau si Tua Gila itu cukup sulit untuk didesak.
'Terus terang, sebenarnya aku paling tidak suka mendapat tugas seperti ini," kata si Tua Gila memulai.
"Tugas..." "Rangga mengerutkan keningnya.
"Aku diberi tugas untuk mencari dan membawamu pada mereka. Karena, mereka semua berkeyakinan kalau kaulah yang mampu menghadapinya saat
ini. Tidak ada seorang pendekar pun yang sanggup.
Sudah banyak yang mencoba, tapi semua gagal. Bahkan mereka tewas tanpa ada yang bisa melihat mayatnya lagi" "Siapa yang memberimu tugas mencariku?"
tanya Rangga. "Semua orang," sahut si Tua Gila.
"Apa maksudmu dengan semua orang?" Rangga
tidak mengerti.
"Ya mereka itu! Sudah lama mereka tidak menyukaiku. Dan sekarang, begitu mendapat kesulitan,
mereka memberiku tugas seperti ini. Huh! Sungguh
menjengkelkan!"
"Kenapa mereka tidak menyukaimu, Ki?" tanya Rangga ingin tahu. Padahal, Pendekar
Rajawali Sakti sendiri belum tahu, siapa yang dimaksudkan si Tua
Gila ini. "Mereka selalu menganggapku gila! Bahkan tidak ada seorang pun yang
suka mendekatiku," sahut si Tua Gila.
"Lalu, siapa mereka yang kau maksudkan itu,
Ki?" tanya Rangga lagi.
"Ah!' Nanti kalau sudah sampai di sana kau juga akan tahu," sahut si Tua Gila.
Rangga mengangkat bahunya. Meskipun belum
begitu jelas, tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa bertanya lebih jauh lagi,
karena si Tua Gila sudah berdiri dan kembali berjalan. Terpaksa pemuda berbaju
rompi putih itu ikut berdiri dan melangkah di samping laki-laki tua ini. Hati
Pendekar Rajawali Sakti semakin penasaran, karena si Tua Gila tadi mengatakan
kalau sudah banyak para pendekar yang tewas tanpa diketahui lagi mayatnya.
Rangga menduga tentu ada sesuatu yang sangat gawat, sehingga laki-laki tua ini jauh-jauh mencarinya. Tapi peristiwa apa"
Pertanyaan ini yang belum
terjawab, karena si Tua Gila tampaknya tidak ingin
mengatakan hal itu. Dan pertanyaan itu terus terbawa
dalam perjalanan ini.
*** Perjalanan yang diperkirakan si Tua Gila akan
menemukan banyak rintangan, ternyata meleset. Kalau toh menemukan rintangan, itu tidak berarti sama
sekali. Paling-paling hanya dicegat orang-orang berbaju hitam dengan gambar
seekor naga pada bagian dadanya. Itu pun hanya tiga kali. Dan setiap kali Rangga
menanyakan siapa mereka dan apa maksudnya, si Tua
Gila hanya menjawab, anggota Partai Naga. Hanya itu
yang dikatakan si Tua Gila, tidak lebih.
Setelah menempuh perjalanan selama dua hari
dua malam, akhirnya mereka sampai di bagian lereng
Bukit Jabung sebelah Timur. Keadaannya sungguh
jauh berbeda dengan di sebelah Barat. Pemandangannya sangat indah, dan tidak berkesan angker.
Rangga memandangi sebuah bangunan besar
yang seluruh dindingnya terbuat dari batu. Bangunan
itu bentuknya seperti istana. Namun jika melihat keadaannya, seperti sudah lama tidak pernah dihuni lagi.
Pohon-pohon rambat menjalar sampai ke bagian atap.
Dan keadaannya begitu kotor. Di sekelilingnya tumbuh
subur rerumputan liar, serta batang-batang pohon mati. "Ayo...," ajak si Tua Gila.
Rangga menuruti saja, lalu berjalan di samping


Pendekar Rajawali Sakti 80 Istana Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

laki-laki tua aneh ini. Mereka berjalan menuju bangunan besar bagai istana itu. Tapi si Tua Gila mengajaknya memutar begitu dekat
dengan batang-batang pohon mati. Dan sepertinya, pohon-pohon itu memang
sengaja diletakkan untuk membatasi daerah sekitar
bangunan besar dari batu itu dengan daerah luar.
Mereka kemudian sampai di bagian belakang
bangunan itu. Sama sekali Rangga tidak melihat
adanya makhluk hidup di sekitarnya. Jangankan manusia, binatang pun tidak ada sama sekali. Keadaan
seperti ini membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi bertanya-tanya. Bangunan apakah itu" Dan, ke mana
penghuninya" Namun pertanyaan Rangga terjawab juga ketika sampai di tepi sebuah sungai. Di situ, tampak seorang tukang rakit seperti sudah menunggu kedatangan mereka, yang kemudian langsung menyongsong dengan rakitnya yang siap berangkat.
Tak ada percakapan sedikit pun selama menyeberangi sungai dengan rakit bambu. Setelah sampai di
seberang, mereka kembali melanjutkan perjalanan,
yang kali ini menanjak. Mereka menaiki undakan dari
tanah yang di kanan dan kiri terdapat batu-batu dan
pepohonan lebat. Setiap langkah perjalanan, Rangga
mengamati sekitarnya.
Kening pemuda berbaju rompi putih itu berkerut begitu sampai pada sebuah lembah yang tidak begitu besar. Seluruh permukaan lembah itu dipadati
rumah, dan ditambah sebuah bangunan besar yang
dikelilingi pagar tembok dari batu cukup tinggi.
'Si Tua Gila datang...!"
Terdengar seruan keras dari arah lembah. Saat
itu juga muncul orang-orang dari dalam rumah dan
sekitar lembah. Sebentar saja tempat itu telah dipenu-hi orang, yang kemudian
berhamburan menghampiri si
Tua Gila dan Pendekar Rajawali Sakti. Tentu saja dua
orang itu jadi kebingungan, karena tadi tidak melihat seorang pun di sekitarnya.
Dan sekarang, bermunculan orang-orang begitu mereka datang.
Rangga semakin tidak mengerti dan menjadi
bingung melihat semua orang mengerumuninya. Bahkan mereka saling berebut mengajukan berbagai pertanyaan, karena pertanyaan yang datang begitu beruntun dan sukar ditanggapi.
"Minggir! Minggir...!"
Terdengar bentakan keras dari belakang kerumunan orang itu. Seketika semua langsung menyingkir. Dan bagai diatur, mereka membentuk jalan. Tampak sekitar dua puluh orang berpakaian seragam bagai
prajurit mengapit seorang laki-laki muda berwajah
tampan dan berbaju indah dari bahan sutera halus.
Pemuda itu melangkah tenang menghampiri si Tua Gila dan Pendekar Rajawali Sakti.
"Lama sekali kau pergi, Ki," kata pemuda itu.
Suaranya terdengar lembut dan halus bagai
suara wanita bangsawan. Si Tua Gila berlutut dan menundukkan kepalanya dengan kedua telapak tangan
merapat di depan hidung.
Melihat sikap si Tua Gila begitu hormat pada
pemuda itu, Rangga langsung menduga kalau pemuda
tampan berpakaian indah itu tentu sangat dihormati
dan berpengaruh besar di sekitar lembah ini. Dalam
hati Pendekar Rajawali Sakti bertanya-tanya, tempat
apakah ini" Kalau disebut sebuah desa, rasanya kurang cocok, meskipun keadaan di sekitarnya tidak lebih dari sebuah desa besar. Namun orang-orang berpakaian prajurit, dan pemuda tampan ini..." Tampaknya pakaiannya lebih mirip seorang raja, atau setidaknya seorang putra mahkota.
"Ampunkan hamba, Raden. Tidak mudah menemukan orang yang kita perlukan sekarang ini," jelas si Tua Gila, penuh rasa
hormat. 'Tapi kau berhasil, bukan?" tetap lembut nada
suara pemuda tampan itu.
"Benar, Raden. Inilah orangnya yang kita perlukan," si Tua Gila menunjuk Pendekar Rajawali Sakti yang tetap berdiri di
sampingnya. Pemuda tampan berbaju indah dari bahan sutera halus itu mengamati Rangga dari ujung rambut
sampai ke ujung kaki. Keningnya agak berkerut, seakan-akan tidak percaya kalau pemuda yang berusia tidak berbeda jauh dengannya ini adalah yang dicari.
"Raden, inilah yang bernama Pendekar Rajawali
Sakti," jelas si Tua Gila, seakan-akan bisa mengerti ke-raguan pemuda itu.
"Aku tidak bisa menentukan di sini. Yang lebih
berhak menentukan adalah Ayahanda Prabu," lanjut pemuda itu.
Setelah berkata demikian, pemuda tampan itu membalikkan tubuh, lalu berjalan pergi. Si Tua Gila menjawil lengan Rangga, kemudian
melangkah di belakang pemuda berbaju indah itu. Rangga mengikuti di samping
si Tua Gila. Tampak dua puluh orang berseragam prajurit mengawal mereka dari belakang. Juga orang yang
tadi berkerumun, berbondong-bondong mengikuti.
Namun mereka semua begitu tertib, walaupun tidak
ada yang mengatur. Mereka menuju bangunan besar
yang dikeliling pagar tembok tinggi bagai benteng pertahanan.
Dua orang berseragam prajurit yang menjaga
pintu gerbang, segera membuka pintu. Hanya pemuda
itu, dan si Tua Gila saja yang masuk. Sedangkan yang
lain menunggu di luar benteng. Dua penjaga menutup
kembali pintu gerbang benteng itu, mencegah orangorang yang berkerumun ikut masuk. Tak ada seorang
pun yang mencoba mendorong ingin ikut masuk, dan
hanya menunggu dengan tertib sekali.
Sementara si Tua Gila dan Rangga yang ikut
masuk bersama pemuda tampan tadi, sudah tidak terlihat lagi oleh mereka. Entah apa yang terjadi di dalam sana, tak seorang pun
tahu meskipun di wajah mereka
tersirat suatu harapan dan kecemasan.
*** Rangga mengamati keadaan dalam bangunan
yang tidak begitu besar ini, namun memiliki penataan
ruangan yang begitu indah dan sedap dipandang mata.
Persis seperti istana kecil. Beberapa orang berseragam prajurit terlihat di
ruangan ini, bersikap berjaga-jaga.
Pendekar Rajawali Sakti ikut duduk di lantai
beralaskan permadani tebal berbulu halus, saat si Tua Gila duduk di situ. Pemuda
tampan yang bersama mereka juga duduk di depan si Tua Gila. Mereka semua
menghadap sebuah kursi dengan sandaran tinggi terbuat dari kayu jati berukir sangat indah. Kursi itu masih kosong. Di dinding
belakang kursi terukir sebuah
lambang, yang seperti lambang kerajaan.
Semua orang di ruangan itu menundukkan kepalanya ketika seorang laki-laki setengah baya datang dari pintu samping. Dia
didampingi seorang wanita
cantik yang mengenakan baju biru muda. Laki-laki setengah baya itu duduk di kursi berukir indah, sedangkan wanita yang mendampinginya di sebelah kanan
agak ke depan. Seketika semua orang mengucapkan
salam sembah. Dan kini Rangga baru tahu, ternyata
ini adalah sebuah kerajaan kecil. Dan laki-laki itu adalah rajanya.
'Kau sudah kembali, Tua Gila?" tanya laki-laki
setengah baya yang ternyata bernama Prabu Yudanegara. "Hamba, Gusti Prabu," sahut si Tua Gila seraya
memberi sembah dengan merapatkan kedua tangan di
depan hidung. "Lalu, bagaimana tugas yang kau jalankan?"
tanya Prabu Yudanegara lagi.
"Hamba sudah melaksanakannya dengan baik,
Gusti Prabu," sahut si Tua Gila masih bersikap hormat. "Bagus! Lalu, mana
orangnya?"
"Di sebelah hamba ini, Gusti Prabu."
Prabu Yudanegara memandang pemuda berbaju rompi putih yang duduk di samping si Tua Gila. Kepalanya mengangguk-angguk dan bibirnya menyungging senyuman. Lalu kembali dipandangnya si Tua Gila.
Sedangkan laki-laki tua itu hanya cengar-cengir saja
tanpa sebab. Seketika hilang semua ketegangannya.
"Pemuda ini bernama Rangga, Gusti Prabu.
Hamba yakin, dialah yang disebut Pendekar Rajawali
Sakti," tegas si Tua Gila.
"Gusti Prabu...," selak pemuda tampan yang
duduk bersimpuh di depan si Tua Gila tiba-tiba.
"Ada apa, Sambung Wulung?" terdengar lembut suara Prabu Yudanegara.
"Ampun, Gusti Prabu. Apakah tidak sebaiknya
dibuktikan terlebih dahulu, barangkali saja dia bukan Pendekar Rajawali Sakti"
usul pemuda yang dipanggil
Sambung Wulung itu.
"Benar, Gusti Prabu. Kita semua belum tahu,
dan belum pernah bertemu Pendekar Rajawali Sakti.
Untuk lebih meyakinkan, sebaiknya diuji dahulu,"
sambung seorang laki-laki tua berjubah putih yang seluruh rambutnya sudah memutih.
Prabu Yudanegara memandangi laki-laki tua
berjubah putih itu lekat-lekat. Sedangkan yang dipandangi buru-buru memberi sembah, lalu berdiri di
samping kanan singgasana bersama yang lainnya.
Rangga melirik laki-laki tua itu sedikit, dan langsung menduga kalau laki-laki
itu pasti seorang pembesar
kerajaan atau paling tidak memegang suatu jabatan
penting di kerajaan ini.
"Hm..,, bagaimana cara mengujinya," tanya
Prabu Yudanegara setengah bergumam.
"Gusti Prabu, kita semua sering mendengar sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti, tapi belum pernah melihat secara langsung. Banyak cara untuk
membuktikannya," celetuk Sambung Wulung cepat.
"Baiklah. Kuserahkan pengujiannya padamu,
Sambung Wulung. Dan aku minta dengan cara sewajarnya, tanpa harus mengada-ada," kata Prabu Yudanegara. "Baik, Gusti Prabu."
Sambung Wulung memberikan sembah, kemudian bangkit berdiri. Sebentar ditatapnya si Tua Gila dan Rangga bergantian,
kemudian melangkah meninggalkan ruangan ini. Semua orang memandangnya, tidak tahu apa yang akan dilakukan pemuda tampan
itu. Tidak berapa lama kemudian, pemuda itu sudah kembali lagi. Kini di pinggangnya tergantung sebilah pedang. Dan di
tangannya memegang sebatang
tom-bak panjang yang bagian ujungnya berbentuk seperti keris. Tubuhnya dibungkukkan untuk memberi
hormat pada Prabu Yudanegara. Saat itu si Tua Gila
berdiri dan berjalan ke tepi ruangan. Demikian pula
orang-orang yang tadi duduk di lantai tengah ruangan.
Tinggal Pendekar Rajawali Sakti yang masih berada di
tengah ruangan ini.
Pemuda berbaju rompi putih itu berdiri dengan
sikap tenang tanpa sedikit pun tersinggung atas sikap
pemuda yang bernama Sambung Wulung itu. Malah
Rangga memberi penghormatan dengan sedikit anggukan kepala. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti membungkukkan badannya memberi hormat pada Prabu
Yudanegara. "Aku harap, kau bersedia menerima pengujian
ini, Kisanak," kata Sambung Wulung.
"Silakan," jawab Rangga tenang.
Sambung Wulung menggeser kakinya perlahan
memutari tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri
tegak di tengah-tengah ruangan. Dengan sudut ekor
mata, diamatinya setiap gerakan yang dilakukan Sambung Wulung. "Yeaaah...!" tiba-tiba Sambung Wulung berteriak keras.
Cepat sekali pemuda itu melompat ke depart
Pendekar Rajawali Sakti sambil menusukkan ujung
tombaknya ke arah perut. Namun Rangga hanya
menggeser kakinya sedikit saja sambil memiringkan
tubuh, sehingga tusukan tombak itu hanya menyambat angin kosong di depan perut Pendekar Rajawali
Sakti. Tetapi tanpa diduga, Rangga mengibaskan tangannya dengan cepat sebelum Sambung Wulung bisa
menarik pulang senjatanya.
"Yeaaah...!"
Trak! Semua orang yang berada di ruangan itu terlongong melihat tombak Sambung Wulung patah jadi
dua, hanya sekali pukul oleh tangan kosong saja. Bahkan Sambung Wulung sendiri jadi terpana, sehingga
tidak sempat lagi menghindar ketika tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti mendorong dadanya.
Sambung Wulung terjajar ke belakang, dan terhuyung-huyung. Untung Rangga hanya mendorongnya, sehingga pemuda itu tidak mengalami luka sedikitpun. Tapi Sambung Wulung malah mendengus, dan
membuang potongan tombaknya.
Sret! Sambung Wulung mencabut pedang yang tergantung di pinggang. Pedang itu berkilatan menyilang di depan dada. Kakinya
cepat digeser menuju ke arah
Pendekar Rajawali Sakti. Pedangnya lurus ke depan
bergerak-gerak bergetar ke kiri dan ke kanan. Sedangkan Rangga tetap berdiri tegak sambil mengamati gerakan ujung pedang pemuda itu.
"Hiyaaat...!"
"Hap!"
Cepat sekali Rangga merapatkan kedua telapak
tangannya di depan dada begitu ujung pedang Sambung Wulung hampir menyentuh dadanya. Ujung pedang itu terjepit kuat-kuat oleh telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hih!"
Sambung Wulung berusaha menarik pedangnya yang terjepit di kedua telapak tangan Rangga, namun usahanya hanya sia-sia. Walaupun sudah mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya, tapi tetap
saja pedang itu tidak bergeming. Merah padam seluruh
wajah pemuda itu. Sekali lagi dihentakkan pedangnya


Pendekar Rajawali Sakti 80 Istana Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam
yang dimiliki. Namun apa yang terjadi..."
Trak! "Ah...!" Sambung Wulung tersentak kaget. Tubuh pemuda itu terpental ke belakang
ketika pedang- nya patah jadi dua bagian.
Pemuda itu jatuh terduduk di lantai. Kembali
suara mendengung terdengar di ruangan ini. Mereka
semua terkejut melihat Sambung Wulung dua kali terpedaya. Saat itu Rangga cepat melompat, dan langsung
mengulurkan tangannya pada Sambung Wulung. Pemuda itu memandangi Pendekar Rajawali Sakti, kemudian menyambut uluran tangan itu. Dengan sekali
hentak saja, Sambung Wulung sudah berdiri. Mereka
kemudian menghadap Prabu Yudanegara dan membungkukkan badan memberi hormat.
Prabu Yudanegara tersenyum-senyum dan
mempersilakan Sambung Wulung untuk meninggalkan
tempat ini. Pemuda itu kembali memberi hormat, kemudian melangkah ke samping, mendekati laki-laki
tua berjubah putih yang berdiri di sebelah kanan Prabu Yudanegara. *** Sambung Wulung duduk mencangkung di bawah pohon yang cukup rindang di belakang bangunan
yang dijadikan tempat tinggal Prabu Yudanegara. Matanya melirik ketika seorang wanita muda dan cantik
menghampirinya. Wanita itu mengenakan baju ketat
berwarna merah muda, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan sedap dipandang mata.
Wanita itu duduk di sebelahnya sehingga Sambung Wulung harus menggeser sedikit duduknya,
memberi tempat pada wanita itu. Untuk beberapa saat
mereka berdiam diri saja. Terdengar tarikan napas
panjang disertai hembusan kuat dari hidung Sambung
Wulung. "Kenapa Kakang murung di sini" Semua orang
sedang berpesta di istana," tanya wanita itu, lembut suaranya.
"Aku malas, Arsih!" kata Sambung Wulung.
"Aneh..., biasanya Kakang paling senang kalau
Ayahanda Prabu mengadakan pesta."
"Tapi kali ini aku tidak menyukai pesta itu!"
"Kenapa" Apa karena Kakang dikalahkan Pendekar Rajawali Sakti?"
"Huh!" Sambung Wulung mendengus.
"Seharusnya Kakang tidak melakukan pengujian itu. Dia Pendekar Rajawali Sakti atau bukan, itu urusannya. Lagi pula kalau
memang digdaya, tentu
orang-orang Partai Naga bisa dikalahkan."
"Aku ingin mempermalukan si Tua Gila itu, Arsih!" 'Tapi malah Kakang sendiri yang dipermalukan, bukan...?"
Kembali Sambung Wulung mendengus. Hatinya
begitu kesal karena dapat dikalahkan pemuda berbaju
rompi putih yang mengaku bernama Rangga. Dan semua orang kini menyanjung dan menghomatinya, seperti tamu agung saja. Dan kini, tidak ada seorang pun yang mempedulikan dirinya
lagi. Padahal dia adalah
menantu Prabu Yudanegara, suami dari Rara Ayu Arsih, putri tunggal penguasa Kerajaan Mandalika ini.
"Arsih, apakah Ayahanda Prabu marah padaku?" tanya Raden Sambung Wulung.
"Kenapa Kakang tanyakan itu?" Rara Ayu Arsih malah balik bertanya.
"Aku hanya ingin tahu saja, Arsih."
"Kelihatannya Ayahanda Prabu biasa-biasa saja, Kakang," jelas Rara Ayu Arsih setengah menggumam. "Hhh...! Dia memang
tangguh. Tapi aku yakin, dia pasti akan tewas seperti yang lainnya. Tidak ada
seorang pun yang mampu mengalahkan Partai Naga,
apalagi masuk ke dalam istana maut itu. Hm.... Pendekar Rajawali Sakti...," Raden Sambung Wulung
menggumam, seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Apa yang kau katakan, Kakang"!" Rara Ayu
Arsih terkejut mendengar gumaman suaminya ini.
"Ah, tidak! Aku hanya bicara sendiri saja," sahut Raden Sambung Wulung.
"Huh! Kakang sudah ikut ikutan si Tua Gila!
Bicara sendiri seperti orang gila!" rungut Rara Ayu Arsih.
Raden Sambung Wulung hanya tersenyum.
Tangannya dilingkarkan di pinggang ramping wanita
itu. Rara Ayu Arsih jadi manja. Maka tubuhnya dirapatkan dan kepalanya diletakkan di bahu suaminya
ini. Sesaat mereka terdiam, tak ada yang mengeluarkan suara. Saat itu terdengar suara orang tertawa, kemudian bernyanyi dan tertawa lagi. Raden Sambung Wulung dan Rara Ayu Arsih melepas pelukannya, dan
sama-sama berpaling ke arah suara itu. Tampak si Tua
Gila berjalan gontai sambil tertawa-tawa membawa seguci arak. Sambung Wulung bangkit, lalu berkacak
pinggang sambil memasang wajah angker.
"Hei...!" bentak Raden Sambung Wulung keras.
Si Tua Gila terkejut, langsung berhenti mengoceh. Buru-buru badannya dibungkukkan begitu melihat Raden Sambung Wulung bersama istrinya ada di
halaman belakang istana kecil ini. Raden Sambung
Wulung menghampiri, matanya mendelik memandangi
si Tua Gila yang tampaknya mabuk, kebanyakan minum arak. "He he he..., Raden. Maaf, hamba tidak tahu
kalau Raden dan Gusti Ayu ada di sini," ucap si Tua Gila seraya terkekeh, sambil
melirik Rara Ayu Arsih
yang juga menghampiri dan berdiri di samping suaminya. "Mau apa kau ke sini" Memata-mataiku, ya"!"
bentak Raden Sambung Wulung keras.
"Ah, tidak...! Tidak, Raden. Maaf, kalau Raden
dan Gusti Ayu merasa terganggu," sahut si Tua Gila seraya terkekeh.
Laki-laki tua berjubah lusuh itu meneguk
araknya, lalu menyeka mulutnya dengan punggung
tangan. Tetesan arak membasahi jubahnya yang sudah
berwarna pudar, kotor, penuh debu. Raden Sambung
Wulung mendengus melihat tingkah si Tua Gila ini. Sikap laki-laki tua itu seakan-akan tidak menghormati
sama sekali. Bahkan sedikit pun tidak memandang sebelah mata padanya, tapi terlihat begitu hormat pada
Rara Ayu Arsih.
"Pergi sana!" bentak Raden Sambung Wulung
yang merasa muak melihat sikap si Tua Gila ini.
"He he he.... Maaf, Raden. Aku sedang mencari
udara segar, rasanya sumpek di dalam terus," sahut si Tua Gila seenaknya.
"He! Apa kau bilang..."!" Raden Sambung Wulung langsung geram bukan main mendengar si Tua
Gila hanya menyebut dirinya dengan aku saja, bukan
dengan sebutan hamba yang biasanya dilakukan orang
lain. "He he he...," si Tua Gila hanya terkekeh.
Tanpa mempedulikan kemarahan Raden Sambung Wulung, si Tua Gila malah duduk di bawah pohon kemuning yang sedang berbunga. Raden Sambung
Wulung semakin gusar melihat tingkah laki-laki tua
itu. Sambil mendengus marah, dihampiri dan langsung
dilayangkannya satu tendangan keras ke tubuh si Tua
Gila. Tapi sungguh tidak disangka sama sekali, si Tua
Gila malah bergulingan. Padahal, tendangan Raden
Sambung Wulung tidak mengenai tubuhnya. Tentu saja hal ini membuat pemuda itu semakin geram.
"Kakang, sudah...!" cegah Rara Ayu Arsih begitu suaminya hendak menendang lakilaki tua itu lagi.
"Dia sudah berlaku kurang ajar padaku, Arsih!"
dengus Raden Sambung Wulung.
"Sudahlah, jangan dilayani lagi," bujuk Rara Ayu Arsih, lembut.
Raden Sambung Wulung memandang bola mata wanita cantik itu, kemudian menatap si Tua Gila
yang masih tenang-tenang saja duduk di bawah pohon
menikmati araknya. Bahkan kini bernyanyi-nyanyi kecil menembangkan kidung yang tidak jelas arti dan kata-katanya. 'Ki! Kau bisa meninggalkan tempat ini, bukan"
Cobalah cari tempat lain yang lebih indah dari sini,"
kata Rara Ayu Arsih lembut membujuk.
"Hamba, Gusti Ayu...," sahut si Tua Gila seraya memberi hormat dengan merapatkan
kedua tangannya
di depan hidung.
Dengan sikap penuh hormat, si Tua Gila bangkit dan berjalan meninggalkan halaman belakang istana kecil ini. Sikapnya pada Rara Ayu Arsih membuat
Raden Sambung Wulung semakin muak saja.
"Huh!"
*** 3 Siang ini udara begitu panas. Terik sinar matahari seakan-akan hendak membakar seluruh permukaan bumi. Tak ada angin yang berhembus mengusir
panas barang sedikit. Udara yang demikian panas, bukanlah penghalang bagi laki-laki tua berjubah kumal
yang berjalan gontai menyusuri tepian sungai.
Sebatang tongkat dari ranting kering dikibaskibaskan ke rerumputan sekitarnya. Sesekali diteguknya arak dari guci tanah liat. Laki-laki tua berjubah kumal yang ternyata si Tua
Gila itu berhenti tepat di tepi sungai. Dipandanginya sebuah bangunan besar
seperti istana yang tidak dikelilingi benteng. Sekeliling bangunan istana itu
hanya berupa padang rumput
luas, dan pepohonan mati yang bertumpuk tak beraturan. Slap! Tiba-tiba saja sebuah benda berwarna merah
melesat bagai kilat ke arahnya. Si Tua Gila langsung
memutar tubuhnya sambil mengibaskan ranting kering
yang tergenggam di tangannya.
Trak! Benda merah itu mental terkena sabetan ranting kering di tangan si Tua Gila. Tapi ranting itu pun hancur, jadi debu seperti
terbakar. Si Tua Gila melempar ranting yang sebagian sudah hancur.
"Setan! Siapa berani main-main denganku,
heh"!" geram si Tua Gila1 jengkel.
Tapi begitu laki-laki tua itu melirik ke arah
benda merah tertancap dalam pada pohon, bola matanya membeliak lebar. Ternyata benda merah itu berbentuk batangan sepanjang jengkal tangan. Warnanya
merah, dan kedua ujungnya runcing. Tampak salah
satu ujungnya tertancap dalam pada pohon.
"Partai Naga...," desis si Tua Gila pelan. Dan belum sempat laki-laki tua itu
melakukan sesuatu, mendadak dari balik semak dekat sungai bermunculan
orang-orang berbaju hitam yang terdapat gambar naga
pada bagian dada. Mereka semua memakai gelang berjumlah tiga buah pada pergelangan tangan kanan. Si
Tua Gila memutar tubuhnya mengamati orang-orang
berbaju hitam yang sudah mengepungnya. Mereka semua juga mengenakan ikat kepala warna hitam, dan
berjumlah sekitar lima belas orang.
Satu di antara mereka memakai gelang berjumlah lima buah. Dan si Tua Gila tahu kalau orang yang
memakai gelang sejumlah itu telah memiliki kemampuan tinggi. Memang, semakin banyak memakai gelang, semakin tinggi tingkat kepandaian maupun kedudukan dalam partai.
"He he he...!" si Tua Gila terkekeh, meredakan perasaan tidak menentu dalam
dadanya. "Kau sudah terlalu banyak ikut campur persoalan ini, Ki Sara Denta! Aku tidak tahu, berapa banyak yang sudah kau ketahui
tentang Partai Naga," kata orang yang memakai gelang berjumlah lima buah.
Orangnya masih terlihat muda, padahal usianya sudah
sekitar tiga puluh lima tahun. Dan lagi, wajahnya juga terbilang tampan. Namun,
sorot matanya begitu tajam
menusuk, memancarkan cahaya kebengisan dan kekejaman. Bibir yang tipis, tidak pernah menyunggingkan
senyum. "Kau tahu nama asliku" Siapa kau sebenarnya?" agak kaget juga si Tua Gila, karena orang itu menyebut nama aslinya yang
sudah lama dilupakan
orang. "Aku Parang Kati yang ditugaskan untuk mem-bungkam kegiatanmu, Ki Sara
Denta!" tegas kata-kata orang itu seraya memperkenalkan dirinya.
"Hm..., dari mana kau tahu tentang diriku?"
tanya Ki Sara Denta yang lebih dikenal dengan si Tua
Gila. "Kau tidak perlu tahu, dari mana aku mengetahui tentang dirimu, Ki Sara
Denta. Yang perlu diketahui adalah, sekarang juga kau harus mati!" dingin sekali nada suara Parang Kati.
"He he he...!" Ki Sara Denta atau si Tua Gila hanya terkekeh saja.
"Bersiaplah untuk mati, Ki Sara Denta!"
Setelah berkata demikian, orang yang mengaku
bernama Parang Kati itu menjentikkan ujung jarinya.
Maka empat orang langsung melompat ke depan Ki Sara Denta sambil mencabut sepasang tongkat pendek
dari balik sabuk. Begitu tangkasnya mereka memamerkan kebolehan dalam permainan sepasang tongkat
pendek. "He he he...!" Ki Sara Denta hanya terkekeh.
Laki-laki tua itu seperti mendapatkan suatu
tontonan yang mengasyikkan, seolah-olah bukan sedang menghadapi bahaya. Bahkan dia malah duduk di
tanah, seraya meneguk arak dari guci yang dibawa.
Tapi baru sekali teguk saja, arak itu sudah habis.
"Huh! Kenapa tadi aku tidak membawa yang
baru..?" dengus si Tua Gila.
Sama sekali si Tua Gila tidak mempedulikan
sekelilingnya. Hal ini membuat mereka yang mengepung dengan senjata terhunus di tangan jadi meringis.
Masalahnya, orang yang dikepung malah tenangtenang saja. Bahkan malah mengoceh sendiri sambil
mencakar-cakar tanah.
"Serang...!" perintah Parang Kati yang gusar melihat tingkah si Tua Gila.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Empat orang yang memang sudah memamerkan jurus-jurusnya, langsung berlompatan menyerang


Pendekar Rajawali Sakti 80 Istana Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

si Tua Gila. Tampak beberapa pasang tongkat berkelebatan cepat mengurung laki-laki tua itu. Namun sungguh sulit dipercaya, ternyata si Tua Gila malah meliuk-liukkan tubuhnya seperti
orang mabuk, masih dalam
posisi duduk di tanah.
Yang lebih mengherankan, serangan keempat
orang itu tidak mampu mendesak lawan. Bahkan tidak
satu pun serangannya yang berhasil mengenai sasaran. Mereka tidak saja keheranan, tapi juga geram dan penasaran sekali.
"Semua! Serang si Tua Gila itu...!" teriak Parang Kati geram.
Seketika itu juga yang lain berlompatan menyerang si Tua Gila. Namun belum sempat menjarah tubuh laki-laki tua itu, si Tua Gila sudah cepat melentingkan tubuhnya, lalu berjumpalitan di udara beberapa kali. Maka secepat itu pula, Parang Kati mengibaskan tangannya ke arah si
Tua Gila. Slap! Seketika terlihat sebuah benda merah sepanjang jengkal meluncur berputar ke arah si Tua Gila.
Sungguh mengejutkan, benda yang dilempar Parang
Kati itu lenyap dalam putaran tubuh si Tua Gila. Dan
sebelum orang bergelang lima buah itu sadar akan apa
yang terjadi, mendadak benda merah yang dilepaskannya tadi kembali meluncur deras ke arahnya. Bahkan
lebih cepat dari lemparannya tadi.
"Setan! Hup...! Hyaaa...!"
Parang Kati cepat mengegoskan tubuh, sehingga senjatanya lewat sedikit di samping tubuhnya, dan
menancap di tanah hingga tak terlihat lagi. Pada saat itu si Tua Gila meluncur
deras ke arah Parang Kati, la-lu mendarat ringan di depan orang bergelang lima
buah itu. Namun sebelum laki-laki tua berkumis tebal
dan berjubah kumal itu melakukan sesuatu, mendadak dari arah belakang berlompatan orang-orang Partai Naga. Mereka langsung cepat menyerang dengan
sepasang tongkat merahnya. Ki Sara Denta cepat memutar tubuhnya sambil mengibaskan tangan ke arah
para pembokongnya itu.
"Aaa...!"
"Aaakh!"
Dua kati terdengar jeritan melengking tinggi,
maka dua orang berbaju hitam bergambar naga pada
dadanya menggelepar bersimbah darah. Tampak lehernya terkoyak, bagai terkena cakaran seekor harimau buas. Ki Sara Denta kembali cepat memutar tubuhnya menghadap Parang Kati. Seketika itu juga tangannya digerakkan cepat mengarah ke wajah laki-laki
berbaju hitam yang bergelang lima itu.
"Hup!"
Buru-buru Parang Kati melompat mundur, sehingga serangan jari-jari tangan si Tua Gila tidak mengenai wajahnya. Namun
belum lagi lawan bisa berdiri
tegak, Ki Sara Denta sudah melompat kembali menerjang. Kedua jari-jari tangannya terkembang menegang
kaku, siap mencakar tubuh lawan.
"Hiyaaa...!"
Secepat kilat Parang Kati mencabut senjatanya
berupa sepasang tongkat pendek berwarna merah dari
balik sabuk pinggangnya. Dan, secepat itu pula dikibaskan ke arah kedua tangan Ki Sara Denta yang
mengembang kaku, bagai sepasang cakar burung
elang, "Hap...!"
Ki Sara Denta cepat menarik pulang tangannya.
Pada saat itu mereka yang tadi sempat terancam, langsung berlompatan menyerangnya dengan ganas lagi.
Terpaksa Ki Sara Denta mengalihkan perhatiannya pada orang-orang yang mengeroyoknya. Kali ini mereka
benar-benar tidak memberi kesempatan bagi si Tua Gila untuk lolos dari kepungan. Mereka menyerang secara bergantian dan tidak pernah berhenti.
Ki Sara Denta kali ini kewalahan juga, karena
serangan yang datang dari segala penjuru sangat gencar. Belum lagi habis satu serangan, datang serangan
berikut yang kemudian disusul serangan-serangan lain
yang tidak kalah dahsyat. Rata-rata mereka memang
memiliki kepandaian yang cukup tinggi, sehingga tidak heran kalau si Tua Gila
begitu kelabakan menghadapinya. Terlebih lagi, kali ini Parang Kati ikut
menyerang, membantu yang lain sambil berteriak-teriak
memberi semangat.
"Modar...!"
Tiba-tiba secepat kilat Parang Kati menghentakkan tongkatnya ke arah kepala si Tua Gila, disusul satu tendangan keras
menggeledek ke arah perut. Bersamaan dengan itu, Ki Sara Denta tengah
menghindari sebuah serangan yang datang dari arah samping kanan. Akibatnya tidak mungkin lagi baginya menghindari serangan yang dilancarkan Parang Kati.
"Uts!"
Ki Sara Denta mencoba menghindari tebasan
tongkat yang mengarah ke kepalanya, namun tidak bisa lagi menghindari tendangan kaki Parang Kati yang
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Desss! "Akh!" Ki Sara Denta memekik keras agak tertahan. Si Tua Gila itu terjajar ke
belakang sejauh dua
tombak. Seketika itu pula, salah seorang yang berada
di belakang menghantamkan tongkat ke punggungnya.
Akibatnya laki-laki tua itu kembali terpekik, dan tersungkur jatuh mencium
tanah. Belum juga Ki Sara
Denta sempat melakukan sesuatu, datang lagi satu serangan tongkat yang cepat, menusuk ke arah lambung.
Namun Ki Sara Denta sempat bergulingan, sehingga
terhindar dari tusukan tongkat merah sepanjang lengan itu. Tapi belum sempat bangkit, satu tendangan keras mendarat di tubuhnya.
Akibatnya si Tua Gila kembali bergulingan sambil mengaduh keras. Pada saat
yang cepat, Parang Kati mengibaskan tangannya. Maka
sebuah batangan kecil logam merah yang di kedua
ujungnya runcing, kembali melesat ke arah si Tua Gila yang masih bergulingan di
tanah. "Yeaaah...!"
Begitu cepat Ki Sara Denta memutar tubuhnya,
lalu melenting ke atas menghindari senjata rahasia
berwarna merah itu. Namun Parang Kati tidak membiarkannya lolos dari tangannya begitu saja, Maka, cepat-cepat dia melompat
sambil mengibaskan kedua
tongkatnya ke tubuh laki-laki tua itu.
"Hiyaaa...!"
Bret! "Akh!" Ki Sara Denta memekik keras. Salah sa-tu ujung tongkat pendek Parang Kati
berhasil merobek
bahu kanan laki-laki tua itu. Seketika darah langsung mengucur deras dari bahu
yang terkoyak cukup besar.
Ki Sara Denta kembali terjatuh bergulingan di tanah.
Dua orang dari Partai Naga berlompatan seraya menghunjamkan tongkatnya ke tubuh si Tua Gila itu. Namun, rupanya laki-laki tua ini sangat gesit. Dengan
cepat sekali tubuhnya berkelit sambil melayangkan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi.
*** "Aaa...!"
Satu jeritan melengking tinggi terdengar, disusul terpentalnya satu orang yang hampir membuat
tubuh si Tua Gila terpanggang.
Dan sebelum seorang lagi bisa melakukan sesuatu, si Tua Gila sudah kembali melompat bangkit
sambil melontarkan satu pukulan keras bertenaga dalam sangat tinggi. Dan memang, orang itu tidak mampu lagi mengelak, sehingga dadanya terkena pukulan
bertenaga dalam tinggi.
"Aaa...!"
Kembali terdengar satu jeritan panjang melengking tinggi, disusul terpentalnya satu tubuh ke
angkasa, lalu terbanting keras ke tanah. Orang itu tewas seketika sebelum
menyentuh tanah. Kejadian yang
begitu cepat ini membuat yang lain terkejut bukan
main. Mereka memang tidak menyangka kalau lakilaki tua ini masih mampu menghindar dalam keadaan
yang sulit sekalipun. Bahkan sekarang kembali memberi perlawanan ganas bagaikan seekor beruang marah, karena sarangnya dirusak.
"Berhenti...!" Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar, sehingga membuat
mereka yang sedang bertarung langsung berhenti. Entah dari mana
datangnya, tahu-tahu di belakang mereka sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan. Pakaiannya rompi berwarna putih bersih. Kakinya begitu kokoh berdiri tegak dengar tangan
terlipat di depan dada.
"Rangga...!" desis Ki Sara Denta, gembira melihat kedatangan Pendekar Rajawali Sakti.
Bergegas dihampirinya Rangga tanpa menghiraukan orang-orang Partai Naga yang bergerak menjauh, begitu melihat kedatangan Pendekar Rajawali
Sakti. Parang Kati merentangkan tangan kanannya
meminta semua tetap di tempat. Ditatapnya pemuda
berompi putih yang kini berdiri di samping Ki Sara
Denta. "Siapa kau"!" bentak Parang Kati tajam.
"Apakah mereka orang-orang Partai Naga, Ki?"
Rangga malah bertanya pada Ki Sara Denta. Sedikit
pun tidak dipedulikan pertanyaan orang berbaju hitam
yang bergelang lima buah itu.
"Benar," sahut Ki Sara Denta seraya menatap Parang Kati.
"Hm.... Mengapa mereka mengeroyokmu, Ki?"
tanya Rangga lagi.
"Entahlah. Aku sendiri tidak tahu, karena tibatiba saja mereka datang dan langsung menyerangku,"
sahut Ki Sara Denta lagi.
Rangga menatap laki-laki berusia sekitar tiga
puluh tahun yang mengenakan gelang lima buah pada
pergelangan tangan kanannya. Sedangkan yang dipandangi, malah membalas tajam sekali. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, seraya memberi isyarat pada yang lain untuk bersiap
menyerang jika diperintahkan.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Kisanak"
dingin dan datar sekali nada suara Parang Kati, menagih jawaban dari pertanyaannya tadi.
"Aku Rangga, sahabat orang tua yang kalian
keroyok secara pengecut," sahut Rangga tidak kalah dingin. "O.... Jadi, kau
ingin membela tua bangka keparat itu, heh" Boleh! Kau akan tahu, bagaimana rasanya berhadapan dengan anggota Partai Naga," terdengar ketus suara Parang Kati.
Setelah berkata demikian. Parang Kati menjentikkan ujung jari tangan kanannya. Maka serentak mereka yang berada di sampingnya langsung berlompatan
membuat lingkaran mengepung dua orang itu. Sambil
tersenyum tipis, Rangga mengamati dengan sudut ekor
matanya. Dari cara melompat saja, sudah bisa diukur
sampai di mana tingkat kepandaian orang-orang Partai
Naga ini. "Aku tidak ingin bertarung dengan kalian. Sebaiknya, kalian pergi saja se belum aku mengambil
tindakan!" dengus Rangga.
"Phuih! Serang keparat itu!" teriak Parang Kati setelah meludah, mengungkapkan
kesengitannya. Seketika itu juga, orang-orang Partai Naga
langsung berlompatan menyerang sambil berteriak keras menggelegar. Rangga yang sudah memperhitungkan semua ini, langsung menarik tangan si Tua Gila.
Segera dibawanya orang tua itu melesat cepat ke udara lalu manis sekali mendarat
di bagian luar kepungan.
Mereka yang serentak berlompatan menyerang, jadi
bengong. Ternyata sasarannya begitu cepat menghilang. Dan sebelum mereka menyadari akan apa yang
terjadi, mendadak saja Rangga menghentakkan tangannya ke depan.
"Yeaaah...!"
Seketika itu juga tercipta badai yang sangat
dahsyat, sehingga orang-orang Partai Naga terkejut
bukan main. Mendadak tubuh mereka berhamburan
tersapu angin badai yang diciptakan Pendekar Rajawali Sakti. Tidak hanya itu
saja, mereka pun beterbangan
bagai daun kering jatuh dari tangkainya. Bahkan ada
yang jatuh sampai ke seberang sungai yang tidak begitu besar. Demikian pula yang terjadi pada Parang Kati.
Pemuda bergelang lima buah itu juga terpental ke udara, dan tersangkut pada cabang pohon di seberang sana. Namun dia cepat melompat turun, tepat saat
Rangga menghentikan ajiannya. Suatu aji kesaktian
yang tidak berbahaya, tapi mampu mengobrak-abrik
seratus orang prajurit sekaligus! Dan inilah yang digunakan Pendekar Rajawali
Sakti untuk mengusir orangorang yang tidak dikehendakinya.
"Ha ha ha...!" si Tua Gila tertawa terbahak-bahak melihat lawan-lawannya tadi
berjumpalitan di
udara. Bahkan ada yang bergelimpangan di seberang
sungai. "Kisanak! Tunggu pembalasanku...!" teriak Parang Kati berang.
Parang Kati mengacungkan kepalan tangannya
ke arah Pendekar Rajawali Sakti, tapi hanya dibalas
dengan senyum saja. Sedangkan Ki Sara Denta masih
tertawa terbahak-bahak. Laki-laki tua itu seolah-olah tidak mempedulikan luka di
bahunya walau masih
mengucurkan darah.
Orang-orang Partai Naga cepat bergerak pergi.
Sementara Rangga memandangi kepergian mereka
yang menuju bangunan besar bagai istana tak terpakai
lagi itu. Mereka lenyap setelah memutari bangunan istana itu. Rangga segera mengalihkan pandangannya
pada si Tua Gila yang baru berhenti tertawa.
"He he he...! Untung kau cepat datang, Rangga


Pendekar Rajawali Sakti 80 Istana Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kata si Tua Gila, diiringi suara tawanya yang terkekeh,
"Aku memang sengaja mencarimu, Ki," sahut
Rangga. "Oh, ada perlu?"
"Bukan aku, tapi Prabu Yudanegara," sahut
Rangga. "Mau apa mencariku" Bukankah tugas yang
diberikan padaku sudah selesai?" si Tua Gila seperti bertanya pada dirinya
sendiri. "Mana aku tahu, Ki. Cepatlah kau temui," sahut Rangga seraya mengangkat bahunya.
"Ada apa lagi, sih..."!" dengus si Tua Gila seraya melangkah.
"Ki...," panggil Rangga seraya mengejar.
"Kau terluka, sebaiknya kau obati dulu lukamu." "Hanya luka kecil, dan aku sudah menghentikan darahnya," sahut si Tua Gila.
Luka di bahu laki-laki tua itu memang sudah
tidak mengucurkan darah lagi. Rangga melihat kalau
luka itu tidak terlalu berbahaya, dan tidak lama juga akan mengering. Terlebih
lagi, bagi seorang macam si
Tua Gila ini, luka seperti itu tidak berarti baginya.
Mereka terus berjalan menuju lembah, yang sekarang dijadikan pusat kerajaan. Bagi Pendekar Rajawali Sakti sendiri, adanya kerajaan di lembah kecil itu merupakan suatu
pertanyaan besar. Sayangnya, kesempatan untuk bertanya belum ada. Sedangkan Si
Tua Gila, jika ditanya selalu saja mengelak dan selalu saja mengatakan, nanti
juga tahu sendiri....
*** 4 Ki Sara Denta menghampiri Rangga yang menunggu di bawah pohon, di luar benteng bangunan Istana Kerajaan Mandalika ini. Dengan wajah muram
langsung dijatuhkan dirinya, duduk di samping pemuda berbaju rompi putih ini.
"Ada apa, Ki" Apa yang dikatakan Prabu Yudanegara padamu?" tanya Rangga yang keheranan melihat mimik wajah laki-laki tua
ini. Tidak seperti biasanya, wajah si Tua Gila ini selalu cerah, kini tampak murung. Itu terjadi setelah dia keluar dari istana.
Bahkan beberapa kali dia mendengus, menarik napas panjang dan menghembuskan
kuat-kuat. "Huh! Mengapa semua orang membenciku"
Bahkan Gusti Prabu sendiri jadi tidak menyukaiku lagi..! keluh Ki Sara Denta.
"Ada apa, Ki?" tanya Rangga sabar.
"Prabu Yudanegara menyuruhku agar ikut denganmu," sahut Ki Sara Denta seraya menatap Pendekar Rajawali Sakti.
"Ikut denganku...?" Rangga jadi tidak mengerti
"Benar. Aku, harus selalu menyertaimu."
"Memang apa yang harus kulakukan" Lagi pula
aku tidak tahu, kenapa kau bawa aku sampai ke sini.
Aku tidak melihat ada sesuatu yang harus kukerjakan
di sini, selain urusanmu dengan orang-orang yang menamakan dirinya Partai Naga," tegas Rangga.
"Bukan urusanku, tapi mereka sengaja melibatkan diriku!" dengus Ki Sara Denta, agak sengit na-da suaranya.
"Kau selalu bermain teka-teki denganku, Ki.
Sebaiknya ceritakan saja persoalannya padaku. Dengan begitu kita bisa cepat menyelesaikannya," kata Rangga lembut.
"Inilah yang membuatku merasa aneh, Rangga.
Gusti Prabu menyuruhku mencari dan membawamu
ke sini, tapi sampai sekarang kau belum tahu apa tugasmu," kembali Ki Sara Denta mengeluh.
"Prabu Yudanegara memang tidak mengatakan
apa maksudnya padaku, Ki. Kenapa tidak kau saja
yang mengatakannya padaku?"
"Aku tidak berhak. Lagi pula, aku sudah dilarang untuk tidak banyak bicara padamu."
"Siapa yang melarangmu?" tanya Rangga jadi
semakin penasaran.
"Gusti Prabu sendiri," sahut Ki Sara Denta.
"Kenapa?"
"Aku tidak tahu."
"Aneh...," desis Rangga bergumam.
Ki Sara Denta tidak diizinkan untuk mengatakan apa-apa, sedangkan Prabu Yudanegara sendiri tidak mau mengatakan apa-apa sampai sekarang ini.
Jadi untuk apa sebenarnya si Tua Gila ini mencari
Pendekar Rajawali Sakti. Keanehan memang sangat terasa sekali sejak Rangga menginjakkan kakinya di
lembah ini. Bahkan sejak pertemuannya dengan lakilaki ini. Saat mereka sedang berdiam diri dalam kebingungan, Raden Sambung
Wulung menghampiri bersama dua orang pengawal. Ki Sara Denta maupun Rangga diam saja, duduk memandangi pemuda itu.
"Aku datang hanya menyampaikan pesan dari
Gusti Prabu Yudanegara untuk kalian berdua," kata Raden Sambung Wulung tanpa
basa-basi lagi.
"Katakan saja," ujar Ki Sara Denta serasa enggan menanggapi.
Raden Sambung Wulung mendelik gusar pada
laki-laki tua ini. Tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Sikap si Tua Gila ini memang
tidak pernah berubah. Sedikit
pun tidak ada rasa hormat meskipun di depan Prabu
Yudanegara, sikap Ki Sara Denta pada pemuda ini tetap saja begitu.
Dan ini menjadi perhatian Rangga sejak semula. Namun Pendekar Rajawali Sakti tidak mau ambil
peduli. Dia hanya menduga, tentu di antara mereka
terjadi sesuatu, sehingga si Tua Gila tidak pernah
punya rasa hormat pada Raden Sambung Wulung, walaupun pemuda itu adalah menantu Prabu Yudanegara. "Gusti Prabu meminta kalian berdua berangkat
sekarang juga," kata Raden Sambung Wulung.
Setelah berkata demikian, Raden Sambung Wulung berbalik dan melangkah pergi. Ki Sara Denta
hanya mendengus saja. Dia melirik tajam pada pemuda yang berjalan dikawal dua orang prajurit itu.
"Huh" Ki Sara Denta mendengus.
"Kita harus berangkat ke mana, Ki?" tanya
Rangga. "Ke neraka!" sahut Ki Sara Denta, sengit.
"Ha ha ha...!" Rangga tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban yang dianggapnya
hanya lelucon itu. Tapi mendadak saja tawa Pendekar Rajawali
Sakti itu terhenti begitu melihat si Tua Gila ini diam saja dengan wajah muram.
"Yuk, Ki...," ajak Rangga seraya menepuk pundak si Tua Gila.
Rangga bangkit dan menggerak-gerakkan tubuhnya, menghilangkan rasa pegal. Ki Sara Denta ikut
bangkit walau tampak lesu.
"Ayo, kita pergi," ajak Rangga lagi.
"Ke mana?" tanya Ki Sara Denta.
"Katanya ke neraka..." Ayolah, sebelum malam
datang." Rangga masih juga berolok-olok. Sedangkan Ki
Sara Denta hanya mendengus saja. Kakinya diayunkan
mengikuti langkah Pendekar Rajawali Sakti.
*** Kening Rangga berkerut ketika Ki Sara Dent
membawanya ke bangunan besar yang tampak tidak
terurus lagi. Dipandanginya bangunan itu dalamdalam. Entah kenapa, Pendekar Rajawali Sakti merasakan adanya sesuatu yang menyelimuti bangunan
itu. Sesuatu yang dirasakan seperti menyimpan misteri. Sementara Ki Sara Denta hanya terdiam saja
sampingnya. Wajah laki-laki tua itu kelihatan menegang, sepasang bola matanya tidak berkedip memandangi istana tua yang berdiri kokoh di depannya. sejenak mereka hanya saling
pandang saja, tidak berbicara sedikit pun.
"Untuk apa kita ke sini, Ki?" tanya Rangga.
"Di sinilah nerakanya, Rangga," sahut Ki Sara Denta. Rangga mengerutkan
keningnya memandangi
Tua Gila itu dalam-dalam. Benar-benar sulit dimengerti apa yang dimaksud Ki Sara Denta barusan. Pendekar Rajawali Sakti mengalihkan pandangannya pada
bangunan di depannya.
"Sudah banyak yang mencoba, tapi mereka tidak pernah kelihatan keluar lagi. Entah bagaimana
nasib mereka di dalam sana," kata Ki Sara Denta, agak mengeluh nada suaranya.
"Siapa yang kau maksudkan, Ki?" tanya Rangga. "Para pendekar yang diundang oleh Prabu Yudanegara," sahut Ki Sara Denta.
Rangga terdiam. Perasaannya yang tajam, langsung menduga kalau di dalam istana ini terjadi sesuatu. Suatu misteri yang menantang Rangga untuk segera menyingkapnya. Misteri yang sudah terasakan
olehnya ketika pertama kali melihat istana itu. Apakah ini yang dinamakan istana
maut itu" Rangga bertanya-tanya dalam hati. Hal itu memang sudah didengarnya
dari orang-orang di lembah sana, kalau istana itu merupakan istana maut yang sudah banyak meminta
korban nyawa. Tapi sampai saat ini Pendekar Rajawali Sakti
tidak tahu, bagaimana caranya istana ini bisa meminta korban manusia. Keadaannya
memang sungguh men-gerikan, dan terkesan angker. Tapi tidak terlihat seorang pun
yang tinggal di dalam istana ini. Suasananya begitu sunyi, tak ada tanda-tanda
kehidupan, baik di
luar maupun di dalam.
"Aku akan melihat ke dalam, Ki," kata Rangga ingin tahun.
"Kau akan mati begitu berada di dalam, Rangga," sergah Ki Sara Denta.
"Bagaimana kau bisa memastikannya, Ki" Sedangkan tidak ada seorang pun yang bisa mengetahui
datangnya kematian. Kau tidak ingin ikut masuk?"
Rangga tersenyum.
"Tidak," sahut Ki Sara Denta tegas.
"Kenapa?"
"Kalau aku masuk ke sana, dan kemudian mati, maka tidak ada lagi yang bisa disuruh untuk mencari pendekar-pendekar oleh Prabu Yudanegara," sahut Sara Denta lagi.
"Hm.... Jadi selama ini kau selalu berkelana
untuk mencari para pendekar, dan kemudian menyuruh mereka masuk ke dalam istana ini. Begitu?" tebak
Rangga langsung bisa menangkap.
Ki Sara Denta tidak menjawab.
"Sudah berapa pendekar yang kau undang dan
masuk ke sana?" tanya Rangga, agak tajam nada suaranya. "Entahlah. Aku tidak
pernah menghitung," sahut Ki Sara Denta setengah mendesah.
"Semua, kau yang mengundangnya?" Tanya
Rangga lagi. Kembali Ki Sara Denta terdiam, dan hanya
menganggukkan kepala saja.
"Hhh...!"Rangga menghembuskan napas panjang. Pendekar Rajawali Sakti jadi berpikir keras.
Sungguh tidak diduga kalau Ki Sara Denta sudah begitu banyak mengundang pendekar. Dan mereka disuruh masuk ke dalam istana ini tanpa diketahui maksudnya. Dan sekarang giliran Pendekar Rajawali Sakti
mengalami hal yang serupa. Dia diminta masuk ke dalam istana itu, tanpa diketahui maknanya.
"Jelaskanlah padaku, Ki. Kenapa kau mengundang para pendekar dan menyuruhnya masuk ke istana itu?" desak Rangga meminta penjelasan.
"Bukan aku yang mengundang, Rangga. Tapi,
Gusti Prabu. Beliau jugalah yang meminta mereka masuk ke istana itu. Aku hanya menjalankan tugas saja,
diperintah untuk mencari para pendekar. Dan yaaah..., hanya itu yang kuketahui,
Rangga," keluh Ki Sara Denta menjelaskan kedudukannya.
"Hm..., lalu apakah kau sudah pernah mencoba
masuk ke sana?" tanya Rangga.
"Belum," sahut Ki Sara Denta terdengar ragu-ragu. "Kenapa?" tanya Rangga ingin
tahu. "Aku belum ingin mati, Rangga," sahut Ki Sara Denta. "Kau belum pernah masuk ke
sana, bagaimana kau tahu akan mati?" desak Rangga jadi curiga.
"Mereka yang masuk ke sana tidak pernah keluar lagi. Dan setiap kali mereka masuk, aku selalu
mendengar jerit kesakitan, lalu tidak terdengar suara apa-apa lagi. Aku selalu
menunggu di sini sampai beberapa hari. Kemudian utusan Gusti Prabu Yudanegara datang, dan memerintahkan aku untuk mencari
pendekar lagi," jelas Ki Sara Denta.
"Kemudian kau pergi, lalu datang lagi ke sini
bersama pendekar-pendekar yang selanjutnya disuruh
masuk ke istana itu. Begitu?" selak Rangga cepat.
Ki Sara Denta hanya menunduk tidak menjawab. Dari raut wajahnya jelas terlihat penyesalan atas apa yang telah
dilakukannya selama ini. Dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam,
seakan- akan meminta pengertiannya atas apa yang telah dikerjakannya selama ini. Sementara Rangga hanya
menggelengkan kepala tanpa berkata apa-apa.
"Sebenarnya aku tidak suka melakukan pekerjaan mi, Rangga. Tapi itu tidak bisa kutolak, dan itu harus kulakukan.
Karena..., ah...!" Ki Sara Denta tidak melanjutkan kata-katanya lagi.
"Teruskan, Ki," pinta Rangga. "Kenapa perintah.
itu tidak bisa kau tolak, padahal kau sendiri tidak ingin melakukannya?"
"Aku.... Aku tidak bisa menolak perintah Gusti
Prabu, Rangga."
Rangga kembali menarik napas dalam-dalam
memandangi laki-laki tua di depannya ini. Sungguh tidak diduga kalau ada orang yang begitu setia, sehingga tidak bisa menolak suatu
perintah, meskipun hatinya
menolak. Dan, Pendekar Rajawali Sakti memang belum
bisa memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi di
sini. Semuanya masih terselimut misteri dan belum bisa diungkapkan secara dini. Sedangkan laki-laki tua
ini tidak mau mengatakannya secara gamblang dan terus terang, karena dirinya sendiri juga tidak mengerti apa yang sedang
dilakukannya saat ini.
Sementara senja sudah merayap turun ke pe

Pendekar Rajawali Sakti 80 Istana Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lukan bumi, tapi Pendekar Rajawali Sakti sampai saat
ini belum bisa memecahkan misteri yang mengganjal
hatinya. Sedangkan Ki Sara Denta sudah tidak bisa lagi didesak untuk mengatakan yang sebenarnya. Memang, laki-laki tua yang selalu dipanggil si Tua Gila itu sudah bersumpah kalau
dirinya tidak tahu apa-apa.
Dia hanya menjalankan perintah saja dari Prabu Yudanegara. Matahari sudah condong di belahan Barat Dan
sinarnya yang semula terik, kini tidak terasa lagi menyengat kulit. Suasana di
sekitar pelataran istana tua itu jadi remang-remang, karena sinar matahari
semakin meredup. Keindahan rona jingga matahari yang
hampir tenggelam di balik peraduannya, tidak ternikmati oleh dua orang yang masih terpaku di depan bangunan istana itu.
"Aku akan masuk ke sana, Ki," kata Rangga setelah berpikir beberapa saat
lamanya. "Rangga..."!" Ki Sara Denta tampak terkejut mendengar keputusan Pendekar
Rajawali Sakti itu.
Sedangkan Rangga hanya tersenyum saja, lalu
menepuk lembut pundak si Tua Gila itu. Sebentar kemudian kakinya melangkah mendekati istana tua yang
tidak terurus itu. Sementara Ki Sara Denta hanya bisa menyaksikan dengan wajah
diliputi kecemasan yang
amat sangat. Sungguh, laki-laki tua itu tidak menginginkan adanya korban lagi di dalam bangunan istana
itu. "Rangga...!" panggil Ki Sara Denta keras.
Rangga berpaling tanpa membalikkan tubuhnya. Pada saat itu berkelebat secercah cahaya kemerahan ke arah si Tua Gila. Pendekar Rajawali Sakti terkejut bukan main.
"Awas...!" teriak Rangga keras. "Hup! Yeaaah...!"
Seketika itu juga Rangga melesat ke arah datangnya cahaya kemerahan yang mengancam tubuh Ki
Sara Denta. Secepat kilat laki-laki tua itu menjatuhkan dirinya bergulingan di
tanah beberapa kali. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti yang mencoba menghentikan
arus benda berwarna merah itu, terlambat sedikit.
Akibatnya, benda itu terus meluncur ke arah si Tua
Gila yang sedang bergulingan di tanah.
Meskipun sudah berusaha sekuat daya, namun
benda berwarna merah itu masih juga menyambar bagian paha kiri si Tua. Gila.
"Akh...!" Ki Sara Denta menjerit keras agak tertahan. "Ki...!" seru Rangga
terkejut. Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti meluruk
memburu Ki Sara Denta yang sedang bergulingan di
tanah. Tampak sebuah benda merah menancap pada
bagian paha kirinya. Ki Sara Denta berusaha bangkit,
namun kembali jatuh bergulingan sambil memekik keras agak tertahan.
"Ki...,"Rangga langsung menghampiri dan me-nyanggah tubuh laki-laki tua itu.
"Ugkh! Kakiku...," keluh Ki Sara Denta seraya memegangi paha kirinya yang
tertancap sebuah senjata berwarna merah sepanjang satu jengkal.
Rangga merasakan tubuh si Tua Gila ini mendadak jadi panas, dan keringat menitik deras di keningnya. Betapa terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti
begitu melihat wajah Ki Sara Denta mendadak membiru dan seluruh bola matanya memutih.
"Oh...!" desis Rangga terkejut. Pendekar Rajawali Sakti langsung mengetahui
kalau Ki Sara Denta
terkena senjata beracun yang kerjanya sangat cepat.
Cepat-cepat tubuh laki-laki tua itu direbahkan, lalu di-cabutnya senjata
sepanjang jengkal berwarna merah
yang menancap di paha kiri si Tua Gila. Darah berwarna merah kehijauan langsung menyembur keluar
dari luka di pahanya.
"Akh!" Ki Sara Denta memekik tertahan. Rangga membuang senjata beracun itu,
kemudian menekan
luka di paha Ki Sara Denta. Tekanan yang begitu kuat, membuat laki-laki tua itu
menjerit keras sambil menggeliat-geliat kesakitan. Sedangkan Rangga terus menekan kuat-kuat luka di paha itu dengan telapak tangan
kanannya. Tampak asap tipis mengepul dari sela-sela jari
tangan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara si Tua Gila terus menjerit-jerit
kesakitan sambil menggeliat-geliat, seperti ayam yang disembelih lehernya.
Tampak dari mulutnya mengeluarkan darah kental kehitaman yang
bercampur cairan hijau kekuning-kuningan. Dari luka
yang ditekan Rangga juga mengucurkan darah bercampur cairan hijau kekuning-kuningan.
"Hih!"
Rangga menekan keras luka di paha si Tua Gila
itu, kemudian menepak-nepaknya, lalu melepaskan
tangannya dari luka itu. Seketika darah merah segar
muncrat keluar. Cepat-cepat diberikannya dua totokan
pada sekitar luka, maka darah berhenti mengalir seketika itu juga. Sementara Ki Sara Denta sudah terkulai tidak
sadarkan diri. Terlalu berat penderitaan yang dideritanya saat ini. Pendekar Rajawali Sakti menghembus
kan napas panjang sambil menjatuhkan diri, duduk di
samping si Tua Gila itu. Sebentar dipandanginya lakilaki tua yang menggeletak tidak sadarkan diri. Kemudian pandangannya beralih pada istana di depan.
"Hhh...!"
*** Malam telah menyelimuti sekitar istana tua
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan 4 Pendekar Naga Geni 20 Berakhir Di Ujung Fajar Sepasang Naga Penakluk Iblis 1

Cari Blog Ini