Ceritasilat Novel Online

Ladang Pembantaian 1

Pendekar Rajawali Sakti 71 Ladang Pembantaian Bagian 1


LADANG PEMBANTAIAN Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Saki
dalam episode: Ladang Pembantaian
1 Siang itu matahari bersinar begitu terik. Udara terasa begitu panas membakar, seakan ingin menghanguskan seluruh makhluk di atas permukaan bumi ini.
Namun teriknya sang mentari, rupanya tidak menghalangi seorang gadis manis bertubuh kecil mungil, berdiri tegak di tepi jalan.
Daun pohon beringin yang tampak rindang, sedikit
melindungi gadis itu dari sengatan terik sang mentari.
Dia berdiri tegak sambil menatap lurus tak berkedip, ke arah sebuah desa yang
terletak tidak seberapa jauh lagi dari jalan-tanah berdebu ini. Sedangkan tidak
jauh dari jalan itu, terlihat sebuah sungai berair jernih. Tak ada seorang pun
terlihat. Baik di desa, maupun di
sungai. Begitu sunyi sekali, sehingga membuat deru
angin terdengar ribut mengusik gendang telinga.
"Hm... Mengapa begitu sepi" Apa mungkin ini sua-tu jebakan...?" gumam gadis itu
perlahan, bicara pada diri sendiri.
Sedikit pun gadis itu tidak berkedip, dan berpaling dari desa yang tampak sunyi
seperti tidak berpenghuni. Dan memang, sudah sejak pagi tadi sampai matahari sekarang berada di atas kepala, tak seorang pun yang terlihatnya di sana.
Apalagi terlihat melintas jalan tanah berdebu ini. Sungguh suatu pemandangan
yang tidak menyenangkan, dan mengundang berbagai macam pertanyaan.
"Baik..., boleh jadi ini jebakan. Dan ingin tahu, sampai di mana kemampuan
mereka menghadapi-ku...," kembali mulutnya bergumam pelan, bicara pada diri
sendiri. Kemudian kakinya mulai terayun mendekati desa
yang masih tetap kelihatan sunyi. Tatapan matanya
masih terlihat begitu tajam, tanpa sedikit pun berkedip. Dirayapinya keadaan
sekitarnya yang begitu sunyi dan lengang. Bahkan tak satu pun suara yang
terdengar. Hanya desir angin saja yang terdengar mengusik telinga. Perlahanlahan namun pasti, gadis itu terus melangkah semakin mendekati desa yang masih
sepi itu. Gadis itu baru berhenti melangkah setelah sampai di tengah-tengah desa yang
sepi itu. Seluruh pintu dan jendela rumah yang ada, semuanya dalam keadaan
tertutup rapat. Benar-benar sunyi. Bahkan seekor bi-natang pun tak terlihat
berkeliaran di jalan ini. Kembali kakinya diayunkan perlahan. Namun baru saja
ber- jalan beberapa langkah, mendadak saja....
Wusss! "Uts..."!"
Cepat sekali gadis berbaju putih agak ketat itu menarik tubuhnya, hingga miring ke samping, ketika tiba-tiba saja meluncur
sebatang tombak ke arahnya. Dan
belum lagi tombak itu lewat, datang lagi dua batang tombak sekaligus dari arah
yang berlawanan.
Tak ada pilihan lain lagi bagi gadis itu. Cepat-cepat dia menjatuhkan diri ke
tanah, dan bergulingan beberapa kali. Tombak-tombak itu menancap di tanah, tidak jauh darinya. Cepat-cepat tubuhnya melenting
bangkit berdiri. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, dari atas rumah-rumah
yang tampak begitu
sunyi, tiba-tiba saja bermunculan orang-orang yang
langsung menghujani anak panah ke arahnya.
"Hup! Yeaaah...!"
Sret! Bet! Cepat sekali gadis itu memutar tubuhnya, sambil
mencabut pedang yang menggantung di pinggang sejak
tadi. Dan, secepat itu pula, pedangnya berkelebat menyampok setiap batang anak
panah yang mengincar
tubuhnya. Gerakannya begitu cepat, sehingga bentuk
tubuhnya seperti lenyap. Dan yang terlihat kini hanya bayangan putih berkelebat,
bercampur kilatan cahaya keperakan dari pedang yang berkelebat menyambar
anak-anak panah yang menghujaninya.
"Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja gadis itu melentingkan tubuh ke
udara. Kemudian, dia langsung meluruk deras ke arah salah satu rumah, yang di
atapnya terdapat tiga orang laki-laki yang tengah sibuk dengan busur panahnya.
Begitu cepatnya gerakan gadis berbaju putih itu,
sehingga ketiga orang itu tidak sempat menyadari lagi.
Sementara, pedang di tangan gadis itu bergerak cepat bagai kilat.
Seketika itu juga, terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi saling
susul. Belum lagi jeritan menyayat itu lenyap dari pendengaran, tampak tiga
orang yang berada di atas atap rumah itu jatuh terguling
dengan dada terbelah mengucurkan darah segar. Saat
itu juga menghentikan hujan panahnya. Mereka tampak terkejut setengah mati, begitu melihat tiga orang sudah tergeletak tak
bernyawa lagi. Dan tampak di
atas atap rumah berdiri seorang gadis cantik berbaju putih, dengan pedang
tersilang di depan dada.
"Hup!"
Dengan satu gerakan manis sekali, gadis itu melompat turun dari atap. Begitu ringan gerakannya, sehingga, sedikit pun tidak
menimbulkan suara saat kedua kakinya menjejak tanah kembali. Dia kini berdiri
tidak jauh dari tiga sosok tubuh yang tergeletak berlumuran darah, tak bernyawa
lagi. Kini tidak ada satu
batang anak panah pun yang menghujaninya lagi. Semua orang yang berada di atas atap, seperti terpana.
Mereka bengong, seakan-akan tidak percaya dengan
apa yang baru saja terjadi.
*** "Seraaang...!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan lantang menggelegar. Kemudian, disusul berlompatannya orang-orang di atas atap. Mereka langsung
meluruk ke arah gadis
cantik berbaju putih itu dengan senjata terhunus yang bentuknya bermacam-macam
di tangan. Teriakan-teriakan keras menggelegar terdengar bagai hendak
memecahkan desa ini.
Sementara, gadis berbaju putih itu masih tetap
berdiri tegak di tengah-tengah jalan desa ini. Pedangnya masih tetap bersilang
di depan dada. Sedangkan
orang-orang yang baru berlompatan turun di atas atap terus meluruk ke arahnya,
sambil berteriak-teriak dan mengangkat senjata masing-masing ke atas kepala.
Memang, dari pakaian dan senjata yang digenggam
tampaknya mereka bukan penduduk desa biasa. Terlebih lagi, dari cara menggunakan panah tadi, serta dari cara menggenggam
senjata sekarang ini, sudah
dapat dilihat kalau mereka paling tidak memiliki kepandaian ilmu olah kanuragan.
Tapi, tiba-tiba saja gerakan mereka berhenti. Dan mereka hanya berdiri
mengepung rapat gadis itu. Teriakan-teriakan keras
pun seketika itu juga tidak terdengar lagi. Suasana mendadak saja jadi begitu
hening. Sementara, gadis
berbaju putih itu perlahan-lahan memutar tubuhnya,
memandangi orang-orang yang mengepungnya begitu
rapat, sehingga sedikit pun tak ada celah untuk dapat
keluar dari kepungan ini begitu saja.
"Siapa kalian..."!" tanya gadis itu dengan suara yang lantang.
Tak ada seorang pun yang menjawab. Gadis berbaju putih itu langsung mengarahkan tatapan mata pada seorang laki-laki berusia
setengah baya, yang tengah melangkah ke depan. Sorot matanya begitu tajam,
memancarkan kebencian yang amat sangat. Sementara, laki-laki setengah baya itu berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar
sepuluh langkah lagi dari gadis berbaju putih itu.
"Seharusnya aku yang bertanya, Nisanak! Untuk
apa kau datang ke Desa Jalakari ini?" terasa begitu dingin nada suara laki-laki
setengah baya itu.
"Hhh! Kedatanganku untuk menuntut hakku atas
desa ini! Aku harus menyelamatkan desa ini dari kese-rakahan. Aku tahu, kalian
pasti bukan penduduk desa ini," sinis sekali jawaban gadis itu.
"Aku tidak ada waktu untuk bermain-main, Nisanak!" bentak laki-laki setengah
baya itu. Sebilah golok berukuran cukup besar tergenggam
di tangan kanan laki-laki berbaju warna biru ini. Goloknya berkilatan tertimpa
cahaya matahari yang siang ini bersinar begitu terik. Kakinya kemudian melangkah
tiga tindak ke depan. Bahkan sorot matanya semakin
tajam saja. Sementara, gadis berbaju putih itu kembali mengedarkan pandangan
pada orang-orang mengepungnya.
"Hm..., tidak mungkin mereka semua kuhadapi.
Baiklah. Nanti saja siasat ku akan kujalankan. Lebih baik, aku mencari jalan
agar bisa keluar dari kepungan ini dulu," gumam gadis itu berbicara sendiri
dalam hati. "Baiklah. Tadi kau mengatakan tujuanmu datang
ke desa ini, adalah untuk meminta hakmu atas desa
ini. Pikirlah dulu, Nisanak. Jangan sampai mereka semua membuatmu jadi daging
cincang!" desis laki-laki setengah baya itu mengancam.
Laki setengah baya itu kemudian mengebutkan
tangan kirinya sedikit, maka orang-orang yang berada di belakang gadis itu
segera menyingkir. Mereka membuka jalan bagi gadis itu pergi dari desa yang aneh
ini. Sekilas, gadis berbaju putih itu melirik ke arah jalan yang sudah tersedia
untuknya. Kemudian, ditatapnya
sebentar pada laki-laki setengah baya di depannya.
Rupanya, laki-laki setengah baya itu masih memberi kesempatan pada gadis itu untuk mengurungkan
niatnya. Dia memang sudah bisa menebak, siapa gadis itu. Diakui, gadis itu
memang sudah banyak memakan
korban dari murid-muridnya. Tapi, dia tidak mau bertindak gegabah. Ada satu hal
yang perlu dipikirkannya. Dan hanya dirinya sendiri yang tahu.
"Cepat tinggalkan tempat ini sebelum pikiranku berubah, Nisanak!" sentak lakilaki setengah baya itu lantang.
Sedangkan gadis berbaju putih itu masih tetap diam. Perlahan pedangnya dimasukkan kembali ke dalam warangka di pinggang. Perlahan tubuhnya berputar, lalu mulai melangkah diiringi puluhan pasang ma-ta yang memandang penuh
kebencian padanya.
Gadis berbaju serba putih itu terus melangkah melewati orang-orang yang berada di kiri dan kanan jalan tanah berdebu ini. Tak
ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Mereka semua terdiam, dengan sorot
mata yang tajam, mengiringi ayunan langkah kaki gadis ini. Namun begitu berada di luar kepungan, tiba-tiba
saja.... "Berhenti kau!"
Gadis itu menghentikan langkahnya seketika, tapi
tidak memutar tubuhnya sedikit pun juga. Pada saat
itu, melompat seorang pemuda yang menggenggam golok di tangan kanan.
"Kau tidak boleh pergi begitu saja, Perempuan Iblis!
Hiyaaat...!"
"Walika, jangan...!" sentak laki-laki setengah baya itu. Laki-laki setengah baya
itu begitu terkejut atas tindakan pemuda yang dipanggil Walika itu. Tapi
teriakan mencegah itu sudah terlambat, karena Walika sudah
melompat sambil menebaskan cepat sekali goloknya ke arah kepala gadis berbaju
putih itu. Wuk! "Uts...!"
Hanya sedikit saja gadis cantik itu merunduk, maka tebasan golok Walika hanya lewat sedikit di atas kepala. Dan pada saat itu,
cepat sekali tubuhnya berputar, sambil menghentakkan tangan kanan. Langsung diberinya sodokan yang begitu cepat ke arah perut. Begitu cepatnya sodokan
tangan kanan itu, sehingga Walika tidak sempat lagi menghindari. Dan tahutahu saja tangan kanan gadis itu bersarang telak di perut Walika.
Des! "Hegkh...!" Walika melenguh pendek.
Tubuh pemuda itu terbungkuk, akibat tersodok
tangan kanan yang cukup keras pada perutnya. Di
saat tubuh pemuda itu terbungkuk, cepat sekali gadis berbaju putih itu
melepaskan satu pukulan keras ke
arah wajah. Begitu cepat serangan susulannya, sehingga Walika yang sedang merasakan sakit pada perutnya tidak dapat menghindari lagi.
Diegkh! "Aaakh...!" Walika terpekik keras sekali.
Kepala pemuda itu langsung terdongak ke atas,
dan tubuhnya terhuyung-huyung. Dia lalu terjerembab tergeletak menelentang di
tanah. Dua orang pemuda
lainnya segera melompat, begitu melihat Walika tergeletak dengan bibir pecah
mengeluarkan darah, akibat terkena pukulan keras tadi.
"Tahan...!" sentak laki-laki setengah baya berbaju biru, sambil melompat cepat
menghadang dua orang
pemuda yang sudah ingin menyerang gadis berbaju
putih itu. Dua orang pemuda itu menghentikan langkahnya.
Ditatapnya laki-laki setengah baya ini tajam-tajam.
Kemudian tatapannya beralih pada gadis cantik berba-ju serba putih yang masih
berdiri tegak dengan tegar sekali. Sementara, Walika sudah bisa bangkit berdiri.
Disekanya darah yang memenuhi mulutnya dengan
punggung tangan.
"Seharusnya kau cepat pergi dari sini, Nisanak.
Dan jangan kembali lagi," kata laki-laki setengah baya itu, agak ditekan
perlahan nada suaranya.
Tanpa berbicara apa pun juga, gadis cantik berbaju
putih itu memutar tubuhnya. Lalu, dia melangkah per-gi dengan ayunan kaki yang
mantap. Sementara, Walika menghampiri laki-laki setengah baya ini, diikuti dua orang pemuda yang tadi
hampir ikut menyerang. Sedangkan orang-orang yang memadati jalan itu, sedikit
demi sedikit menghampiri mereka. Sementara, gadis
berbaju serba putih itu sudah terlihat cukup jauh. Dia terus berjalan tanpa
berpaling lagi ke arah Selatan.
Padahal, tadi kedatangannya dari arah Utara. Itu berarti dia tidak kembali lagi
ke tempat tadi.
"Seharusnya kau tidak membiarkan perempuan iblis itu pergi, Ki," ujar Walika tampak tidak puas atas sikap laki-laki setengah


Pendekar Rajawali Sakti 71 Ladang Pembantaian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baya itu. "Benar, Ki Langgu. Dia pasti kembali lagi ke sini,"
sambung pemuda lain.
"Dia sudah terlalu banyak mengambil nyawa teman-teman kami, sambung pemuda satunya lagi.
"Sudah.... Kalian kembali saja ke tempat masing-masing," ujar laki-laki setengah
baya yang dipanggil Ki Langgu itu.
Memang terlihat jelas, kalau mereka semua merasa
tidak puas. Tapi, tak seorang pun yang berani menentang keputusan laki-laki
setengah baya itu. Mereka
semua terdiam. Bahkan tetap diam, saat laki-laki setengah baya yang ternyata
bernama Ki Langgu melangkah pergi. Sikapnya seperti tidak mempedulikan
ketidakpuasan mereka, dengan membiarkan gadis
berbaju putih itu pergi. Padahal, mereka semua tadi sudah siap menyabung nyawa,
asalkan gadis cantik
berbaju putih itu tewas.
Satu hal yang tak terpikirkan mereka, dan tentu
saja ini menjadi pikiran Ki Langgu. Membunuh gadis
tadi, sama saja menciptakan perang terbuka dengan
musuh bebuyutnya. Ini yang harus dihindari. Ki Lang-gu tidak ingin usahanya yang
telah susah payah dibangun, hancur berantakan.
Malam sudah cukup jauh menyelimuti seluruh
permukaan bumi Desa Jalakan ini. Sedikit pun tak
ada cahaya yang terlihat, selain cahaya bulan dan bin-tang dari kegelapan
langit. Awan yang berarak di langit, agak tebal juga malam ini. Sehingga,
membuat bulan yang bulat penuh tidak bisa leluasa memancarkan cahayanya yang
indah. Hanya sedikit saja yang sampai ke desa bumi ini.
Seluruh rumah yang berdiri di Desa Jalakan ini
tampak dalam keadaan gelap. Tapi, ada satu yang
tampak terang, meskipun tidak begitu terang keadaannya. Itu pun hanya pada bagian ruangan depannya saja, karena dipasangi lampu pelita. Cahaya api pelita itu sangat kecil,
sehingga hampir tidak sanggup menerangi seluruh ruangan yang berukuran cukup
luas ini. Di dalam ruangan itu, tampak Ki Langgu duduk
bersila didampingi Walika. Sementara di depan mereka, duduk tiga orang laki-laki yang tampaknya sebaya dengan Ki Langgu. Seorang
wanita berusia sekitar empat puluh tahun juga ada di situ. Namun, wajahnya
masih kelihatan cantik. Malah bentuk tubuhnya yang
ramping itu, masih sanggup membuat mata laki-laki
tidak berkedip memandangnya. Dari pakaian dan senjata yang disandang masing-masing, sudah dapat dipastikan kalau mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Dan yang pasti, dari kalangan rimba persilatan. "Aku gembira sekali
kalian sudi memenuhi undan-ganku untuk datang ke desa ini," ujar Ki Langgu.
"Kau sudah mengundang kami, Langgu. Tentu ada
hal yang sangat penting. Dengan mengundang kami,
pasti kau tidak bisa mengatasi masalahnya," sambut satu-satunya wanita yang
mengenakan baju warna hitam pekat.
Pada kedua tangannya tergenggam masing-masing
sebatang tongkat pendek. Pada bagian ujungnya, berbentuk bulan sabit yang sangat runcing. Tongkat itu juga berwarna hitam pekat,
seperti baju yang dikena-kannya. Dan dia dikenal dengan julukan Dewi Bulan
Hitam. "Di dalam surat mu, kau tidak jelas mengatakan
persoalan yang sedang kau hadapi, Langgu," sambung seorang laki-laki yang duduk
di samping Dewi Bulan
Hitam. Dia seorang laki-laki gagah, meskipun usianya sudah mencapai kepala lima. Baju warna kuning keemasan, dengan sebuah pedang tersampir di punggung.
Seluruh pedang itu berwarna kuning emas. Di kalangan rimba persilatan, julukannya yang terkenal adalah Dewa Pedang Emas.
Sedangkan yang dua orang lagi, hanya diam saja
dengan kepala terangguk-angguk. Yang seorang berbaju warna putih dan membawa sebuah tongkat pendek
sepanjang lengan. Dia dikenal sebagai Setan Tongkat Putih.
Sementara yang seorang lagi, tampaknya lebih muda dari yang lain. Dan mungkin lebih tua lima tahun dari Walika. Orang itu
mengenakan baju warna biru
muda yang ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang
tegap dan berotot. Tangan kanannya tidak pernah diam, memainkan kipas yang terkembang di depan dada,
dengan gambar seekor naga. Orang ini yang dikenal
dengan julukan si Kipas Naga.
Dari nama-nama yang tersandang, sudah jelas kalau mereka sangat ahli dalam menggunakan senjata
yang dibawa. Dan julukan mereka juga sudah tidak asing lagi di kalangan orangorang persilatan.
"Kau dijuluki si Golok Setan, Langgu. Katakan, apa maksudmu mengundang kami
semua ke desa ini..?"
ujar Dewi Bulan Hitam lagi.
"Aku punya persoalan penting yang tampaknya tidak bisa ku atasi sendiri ," sahut
Ki Langgu, agak pelan suaranya terdengar.
"Katakan saja, Langgu. Persoalan apa yang sedang kau hadapi?" desak Setan
Tongkat Putih. "Hhh...!" sebentar Ki Langgu menghembuskan napas panjang. "Kita semua sudah
mempunyai daerah kekuasaan masing-masing. Dan kita semua sudah
bersepakat mengikat janji, untuk saling setia dan saling membantu satu sama
lain. Aku ingin kalian semua menunjukkan rasa kesetiaan dari sumpah kita
bersama." "Apa maksudmu, Langgu?" tanya si Kipas Naga tidak mengerti maksud kata-kata si
Golok Setan itu.
"Begini, kalian kuundang ke sini bukan hanya se-kadar main-main. Tapi, untuk
menghadapi satu persoalan yang sangat penting sekali. Dan persoalan ini sudah menggangguku siang
dan malam, sehingga benar-benar sulit untuk mengatasinya," jelas Ki Langgu masih
terdengar agak pelan suaranya.
"Apa itu, Langgu?" tanya Dewi Bulan Hitam lagi.
"Desa yang memiliki kekayaan yang tak bernilai harganya ini baru ku kuasai satu
tahun. Kedatanganku kulakukan dengan kekerasan. Aku menguasainya,
tanpa ada yang bisa menghalangiku. Kepala desa ini
telah kukalahkan lewat suatu pertarungan. Dia tidak kubunuh, dan hanya kuusir
saja. Ternyata, penduduk
desa juga mengikutinya. Katanya, dia tidak akan mengusik kehidupanku, kalau aku
tidak mengganggu
anaknya. Namun, justru anaknya yang mengganggu
kehidupanku. Dia sudah banyak membunuh anak buahku. Bahkan berhasil menghasut para penduduk desa lainnya, sehingga satu persatu pergi tanpa kuketahui sama sekali. Kalian bisa
lihat desa ini sekarang benar-benar sepi. Tak ada seorang pun yang tinggal la-gi
di sini," Ki Langgu mulai mengisahkan.
"Jadi apa maksudmu yang sebenarnya?" tanya De-wi Bulan Hitam lagi.
"Aku ingin kalian ikut mengamankan desa ini. Terutama, mengusir pengacau itu," sahut Ki Langgu agak ditekan nada suaranya.
"Untuk apa, Langgu" Jika semua orang sudah meninggalkan desa ini, hancurkan saja sekalian. Untuk apa diamankan segala..."
Buang-buang tenaga saja...!"
dengus Dewa Pedang Emas.
"Desa ini sangat penting artinya bagiku, Pedang Emas," sergah Langgu.
"Apa pentingnya...?" desah Dewa Pedang Emas.
Ki Langgu tidak langsung bisa menjawab. Beberapa
saat, dipandanginya Dewa Pedang Emas. Kemudian
napasnya dihembuskan panjang-panjang sambil kepalanya didongakkan ke atas, menatap langit-langit yang berukuran cukup luas ini.
Sedangkan empat orang yang duduk bersila di depan si Golok Setan itu masih tetap diam menunggu.
Tapi tampaknya Ki Langgu tidak mau menjawab pertanyaan Dewa Pedang Emas tadi. Dan sepertinya, dia
menyimpan sesuatu yang tidak boleh diketahui orang
lain. Meskipun, pada para sahabatnya yang telah mengangkat sumpah untuk selalu
setia dan saling membantu. Cukup lama juga Ki Langgu terdiam. Kemudian....
"Desa ini sangat berarti bagi kehidupanku. Dan aku tidak akan mungkin
meninggalkannya lagi," tegas Ki Langgu terdengar pelan suaranya.
*** 2 Sementara itu, tidak jauh dari pinggiran Desa Jalakan, tampak tiga orang pemuda tengah berjalan perlahan-lahan sambil berbicara yang kelihatannya begitu penting. Suara mereka
terdengar perlahan seperti tidak ingin didengar orang lain, selain mereka
bertiga. Mereka berjalan menyusuri perbatasan desa ini. Di pinggang masing-masing tampak terselip sebilah golok.
"Aku heran. Kita sudah hampir menangkap perempuan setan itu, Ki Langgu malah membiarkannya pergi," keluh salah seorang pemuda yang mengenakan ba-ju warna biru tua.
"Benar. Padahal, rencana kita sudah matang siang tadi itu," sambung pemuda
berbaju hitam pekat. "Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan Ki Langgu."
"Kalian jangan berpikir buruk seperti itu. Aku tahu betul, siapa Ki Langgu. Dia
pasti punya alasan ter-pendiri, kenapa bertindak seperti itu," selak pemuda
lain, yang sejak tadi diam saja mendengarkan ketiga temannya berbicara. Bajunya
ketat, berwarna merah.
"Bagaimana tidak..." Kita sudah berhasil mengepung, dan sudah tiga orang teman
kita yang tewas.
Tapi, Ki Langgu tetap saja membiarkan perempuan setan itu pergi!" agak tinggi suara pemuda yang mengenakan baju hitam pekat itu
lagi. "Benar...! Sudah sepantasnya kalau Ki Langgu kita curigai. Jangan-jangan, dia
juga bersekongkol dengan perempuan setan itu," sambung pemuda berbaju biru tua.
"Hm.... Sebaiknya kumpulkan teman-teman yang Iain, lalu kita desak Ki Langgu,"
cetus pemuda berbaju merah lagi.
Ketiga pemuda itu sudah sepakat. Mereka segera
melangkah memasuki desa. Tapi belum juga mereka
berjalan jauh, tiba-tiba saja....
Slap! "Heh..."!"
"Hah..."!"
Ketiga pemuda itu, mendadak saja jadi tersentak
setengah mati. Karena tiba-tiba saja, sebuah bayangan putih berkelebat begitu
cepat. Kini, tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri seorang gadis berparas
cantik, berbaju agak ketat dan berwarna putih bersih. Tubuhnya yang kecil
terlihat begitu ramping. Tampaknya, dia juga seperti gadis-gadis lain yang
lemah. Tapi kemunculannya yang begitu tiba-tiba, membuat ketiga pemuda itu jadi terpana setengah mati.
Terlebih lagi, mereka mengenali kalau gadis cantik berbaju putih ini yang tengah
dibicarakan tadi. Dan semua orang di Desa Jalakan ini selalu menyebutnya
Perempuan Setan. Entah kenapa sebutannya begitu.
Mungkin karena memang tidak ada yang kenal,
siapa dia sebenarnya. Dan lagi setiap kali muncul, selalu saja tiba-tiba seperti
setan. Bahkan kepergiannya pun selalu mendadak, tanpa dapat diketahui arahnya
lagi. "Serang...! Bunuh perempuan setan itu!" seru pemuda berbaju biru lantang
menggelegar. "Hiyaaat...!"
Cepat sekali pemuda itu melompat menerjang gadis
berbaju putih, sambil mencabut goloknya yang terselip di pinggang. Langsung
golok itu dikebutkan ke arah
kepala. Namun dengan gerakan manis sekali, gadis itu menarik kepalanya ke
belakang sedikit sehingga tebasan golok pemuda berbaju biru itu hanya lewat saja
di depan mukanya.
"Yeaaah...!"
Sret! Bet! Pada saat yang hampir bersamaan, pemuda yang
berbaju merah sudah menyerang dengan goloknya
yang mengarah ke kaki gadis berbaju putih itu.
"Hup!"
Manis sekali gadis itu melenting ke udara, sambil
berputaran sekali. Dan begitu kepalanya berada di bawah, tiba-tiba dan cepat
sekali tangan kanannya dikebutkan ke arah pemuda berbaju merah. Begitu cepat
sekali kebutan tangannya, sehingga tidak sempat lagi dihindari lawan. Dan....
Desss! "Akh...!"
Pemuda berbaju merah itu langsung terpental ke
belakang, begitu dadanya terkena pukulan agak keras tadi. Sementara, gadis
berbaju putih itu sudah menjejakkan kakinya di tanah. Langsung kakinya dihentakkan ke belakang, tepat di saat seorang pemuda lagi
sudah menghambur hendak membokong dari belakang
dengan golok terhunus di tangan. Tapi sebelum serangannya sampai, kaki gadis
sudah mendarat telak di
dadanya. Diegkh! "Akh...!"
"Yeaaah...!"
Cepat sekali gadis berbaju putih itu memutar tubuhnya sambil melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, ke arah penyerangnya. Gerakan tangan dan tubuhnya begitu cepat,
sehingga sulit untuk pandangan mata biasa. Dan pemuda itu benar-benar tidak dapat lagi menghindarinya. Maka....
Plak! "Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar
begitu menyayat. Tampak pemuda itu terhuyunghuyung sambil memegangi kepalanya. Darah terlihat
merembes keluar dari sela-sela jari tangannya. Tak berapa lama kemudian,
tubuhnya ambruk menggelepar
di tanah sambil mengerang. Dia berusaha menahan
sakit yang amat sangat pada kepalanya yang pecah,
akibat terkena pukulan keras bertenaga dalam tinggi tadi.
Agak lama juga dia menggelepar di tanah, kemudian diam tak berkutik lagi. Darah terus mengucur deras dari kepalanya yang
pecah terkena pukulan bertenaga dalam tinggi tadi. Sementara, dua orang pemuda
lainnya jadi terpana melihat seorang temannya tewas dengan kepala pecah berlumur
darah. Dan keterpa-naan mereka langsung berubah menjadi kemarahan
yang begitu meluap tak terkendalikan lagi.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaa...!"
Secara bersamaan, kedua pemuda itu melompat
menyerang. Golok mereka berkelebat cepat, mengarah
ke tubuh gadis cantik berbaju putih ini. Namun, gadis itu memang bukanlah
tandingan mereka. Gerakan-gerakan tubuhnya begitu indah dan gesit, sehingga
dengan mudah berhasil menghindari setiap serangan
dua golok yang datang begitu cepatnya. Dan pada satu saat...
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelepar, gadis cantik


Pendekar Rajawali Sakti 71 Ladang Pembantaian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbaju putih itu memutar tubuhnya sambil melepaskan beberapa kali pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepatnya serangan ba-lasan itu, sehingga kedua
pemuda itu tidak dapat lagi menghindarinya. Maka....
Des! Begkh! "Aaa...!"
"Aaakh...!"
Dua jeritan panjang melengking tinggi, terdengar
begitu menyayat saling sambut. Tampak kedua pemuda itu terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya
yang tadi terkena pukulan gadis cantik berbaju putih ini. Kemudian mereka ambruk
menggelepar di tanah,
dengan darah mengucur deras dari kepalanya yang pecah terkena pukulan bertenaga dalam tinggi tadi. Sementara, gadis cantik itu
berdiri tegak. Matanya memandangi dengan sinar yang menyorot tajam sekali.
Beberapa orang murid Ki Langgu yang dikenal berjuluk Golok Setan seperti biasanya pergi berkeliling.
Mereka memang mendengar jeritan tadi. Dan begitu
mereka mendatangi sumber jeritan, langsung terkejut.
Kini mereka mendapati tiga orang tergeletak tewas
dengan kepala hancur berlumuran darah. Dua orang
di antaranya langsung berlari cepat, untuk memberi
tahu hal ini pada Ki Langgu. Sedangkan yang lainnya segera mengurus ketiga mayat
ini. *** Ki Langgu berdiri tegak, memandang kosong keadaan di luar dari jendela yang terbuka lebar. Di dalam ruangan yang berukuran
cukup besar itu, hanya ada
Ki Langgu dan empat orang tamunya dari rimba persilatan. Entah, sudah berapa lama mereka terdiam,
membisu. Sehingga, membuat keadaan di dalam ruangan itu jadi terasa amat sunyi. Hanya desir angin saja yang terdengar, menggesek
dedaunan di depan jendela.
"Apakah selalu begitu kejadiannya, Langgu?" Dewa Pedang Emas memecahkan
kesunyian yang terjadi di
dalam ruangan itu.
"Ya...," desah Ki Langgu panjang.
Perlahan laki-laki setengah baya itu memutar tubuhnya, dan membelakangi jendela yang masih dibiarkan terbuka lebar. Pandangannya beredar merayapi
wajah empat orang yang duduk di kursi. Sementara
yang dipandangi juga terus membalas pandangan itu.
Kejadian semalam yang merenggut tiga orang murid
Golok Setan itu, memang bukan baru sekali ini saja
terjadi. Sejak Ki Langgu dan murid-muridnya menguasai desa ini, setiap hari selalu saja ada di antara mereka yang tewas secara
mengerikan. "Sudah berapa banyak muridmu yang tewas?"
tanya Dewi Bulan Hitam.
"Aku tidak tahu lagi. Hampir setiap malam ada saja muridku yang tewas," sahut Ki
Langgu. Memang sulit bagi Ki Langgu untuk memastikan,
karena sudah begitu banyak muridnya yang tewas di
tangan gadis berbaju putih itu.
"Dari keteranganmu sebelumnya, orang yang kau
hadapi hanya gadis muda anak bekas kepala desa ini.
Dan kemarin, seharusnya sudah tertangkap. Tapi, kenapa kau malah menyuruhnya pergi begitu saja...," selak Dewa Pedang Emas.
Ki Langgu menatap pemuda berbaju berwarna serba keemasan itu. Sebilah pedang yang juga berwarna
emas, tersandang di balik punggungnya. Semua mata
memandang laki-laki tua berjubah biru itu. Memang,
tidak bisa dipungkiri lagi kalau kemarin sebenarnya Ki Langgu dan semua muridnya
sudah hampir menangkap gadis berbaju putih itu. Tapi, si Golok Setan itu malah
melepaskannya. Bahkan menyuruhnya pergi
begitu saja. Tentu hal ini membuat semua orang jadi bertanya-tanya. Padahal
tidak sedikit dari murid si Golok Setan ini yang tewas di tangan gadis berbaju
putih itu. "Aku rasa, kita hanya menghadapi seorang lawan
saja, Langgu. Itu berarti, kau bisa menghadapinya
sendiri. Dan aku yakin, tidak sedikit muridmu yang
memiliki kepandaian tinggi. Terlebih lagi keponakanmu ini," kata Dewa Pedang
Emas lagi, sambil melirik Walika yang berdiri di dekat pintu.
"Lalu, kenapa kau meminta bantuan kami?" tanya Dewi Bulan Hitam.
"Masalahnya lain," sahut Ki Langgu. Namun, nada suaranya seperti menyembunyikan
sesuatu. Untung
saja, hal itu tidak tertangkap teman-temannya.
"Kau ini aneh, Langgu...," gumam Setan Tongkat Putih, yang sejak tadi terus
memperhatikan si Golok Setan.
Ki Langgu menatap agak tajam pada Setan Tongkat
Putih, kemudian kembali memutar tubuhnya. Kini matanya memandang keluar dari jendela yang sejak tadi dibiarkan terbuka.
Sementara, matahari sudah merayap naik semakin tinggi. Sinarnya yang begitu terang, terasa sangat terik dan menyengat. Beberapa
orang murid si Golok Setan itu terlihat berkeliaran di sekitar rumah berukuran
besar, dan berhalaman luas
ini. Beberapa orang terlihat bergerombol di bawah ke-teduhan pohon.
"Kalian kuundang ke sini untuk membantuku. Dan aku juga tidak akan meminta
bantuan kalian begitu
saja. Imbalannya kalian boleh mengambil sebagian wilayah ku, jika wilayah itu
aman dari gangguan siapa pun. Tapi kuminta kalian hanya memberinya sedikit
pelajaran dan mengusirnya saja. aku tidak ingin dia sampai terbunuh," kata Ki
Langgu, begitu mantap sekali suaranya.
"Tapi dia sudah membunuh begitu banyak muridmu, Langgu...?" selak Dewi Bulan Hitam.
Jelas sekali kalau dari nada wanita setengah baya
yang masih kelihatan cantik itu terbersit keheranan atas kata-kata yang
diucapkan Ki Langgu barusan.
Sungguh suatu permintaan aneh. Dan keanehan ini
juga bukan hanya dirasakan Dewi Bulan Hitam, tapi
juga Dewa Pedang Emas, Setan Tongkat Putih, dan si
Kipas Naga. Mereka tahu betul, siapa Ki Langgu yang dijuluki si Golok Setan itu.
Tapi sekarang ini, mereka merasakan seperti bukan berhadapan dengan si Golok
Setan lagi. "Aku tidak peduli, meskipun seluruh muridku tewas. Tapi aku tidak ingin salah
satu di antara kalian ada yang membunuhnya. Membuat cedera ringan, dan
mengancam agar tidak kembali lagi ke sini padanya,
kurasa sudah cukup. Katakan, kalau kalian semua
yang sekarang menguasai seluruh daerah ini," kata Ki Langgu lagi. Terdengar
tegas sekali nada suaranya.
Dewi Bulan Hitam, Setan Tongkat Putih, Dewa Pedang Emas, dan si Kipas Naga jadi saling berpandangan satu sama lain. Mereka benar-benar tidak menger-ti oleh sikap laki-laki tua
berjubah biru yang berjuluk si Golok Setan itu. Tapi, tak ada seorang pun yang
bertanya, meskipun di dalam benak masing-masing begitu banyak pertanyaan yang
mengalir atas sikap si Golok Setan itu.
"Semua muridku yang ada di sini sudah kuperintahkan untuk mematuhi perintah
kalian semua. Juga
keponakanku..., Walika akan mematuhi perintah kalian. Dan selama ini, aku tidak ingin ada seorang pun yang menggangguku. Kalian
boleh lakukan apa saja,
asal jangan sampai membunuh gadis itu," tegas Ki Langgu lagi.
Setelah berkata demikian, Ki Langgu segera bangkit berdiri, dan terus saja melangkah meninggalkan
ruangan itu tanpa berkata apa-apa lagi. Sedangkan
empat orang sahabatnya hanya bisa diam, memandangi sampai si Golok Setan lenyap ditelan pintu yang
langsung menghubungkan ruangan ini dengan ruangan lain di rumah ini.
"Aneh...," desah Dewa Pedang Emas, seraya menggelengkan kepala beberapa kali.
"Ya! Aku merasa ada sesuatu antara Langgu dengan gadis itu," sambung Setan Tongkat Putih.
"Pasti ada sesuatu yang disembunyikannya," ujar Dewa Pedang Emas. Suaranya masih
pelan dan setengah menggumam, seakan bicara untuk diri sendiri.
"Tapi bagaimanapun juga, kalian harus memenuhi keinginannya," selak si Kipas
Naga, yang sejak tadi hanya diam saja.
"Benar...," sambut Dewi Bulan Hitam. "Dan sebaik-nya kita mulai saja dari
sekarang" *** 3 Senja sudah merayap turun menyelimuti sebagian
permukaan bumi ini. Matahari sudah begitu condong
ke arah Barat. Sinarnya yang semula begitu terik, kini terasa teramat lembut
mengusap kulit putih halus seorang gadis berbaju putih yang berdiri tegak di
atas puncak tebing. Pandangannya terasa begitu kosong,
tertuju lurus ke arah Desa Jalakan.
Entah, sudah berapa lama desa itu dalam keadaan
sunyi senyap, tanpa terlihat seorang penduduk pun.
Dan memang, desa itu sudah ditinggalkan seluruh
penduduknya, sejak Ki Langgu dan murid-muridnya
datang dan langsung menguasainya. Gadis itu memalingkan kepala ke belakang, saat merasakan ada suara-suara langkah kaki yang begitu halus di belakangnya. Perlahan tubuhnya
diputar, saat melihat tiga
orang laki-laki dan seorang wanita berjalan menuju ke arahnya.
Gadis berbaju putih itu melangkah beberapa tindak ke depan. Langkahnya berhenti, lalu berdiri tegak di situ. Sikapnya tampak
menunggu, sampai empat
orang yang menghampirinya dekat di depan-nya. Dan
mereka memang berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar satu batang tombak lagi
di depan gadis cantik berbaju putih itu. Beberapa saat mereka terdiam dengan
sorot mata memancarkan ketajaman.
"Kau yang berjuluk Gadis Baju Putih...?" tegur salah seorang yang mengenakan
baju warna kuning
keemasan. Dialah Dewa Pedang Emas, yang pedangnya
berwarna emas tampak tersampir di balik punggung.
Mereka berempat memang para sahabat Ki Langgu,
yang diberi kekuasaan untuk mengusir gadis berbaju
putih yang telah banyak menewaskan murid-murid Ki
Langgu. Hanya saja, mereka tidak boleh membunuh
gadis ini, dan hanya boleh mencederainya saja. Paling tidak, agar dia tidak
kembali lagi ke Desa Jalakan.
"Siapa kalian?" gadis cantik berjuluk si Gadis Baju Putih, namun ada juga yang
selalu menyebutnya si Perempuan Setan itu, malah balik bertanya. Sama sekali
pertanyaan Dewa Pedang Emas tadi tidak dihiraukan.
"Kami para sahabat Kepala Desa Jalakan, dan telah mendapat tugas untuk mencari
seorang gadis yang selalu mengenakan baju putih. Dan selama ini, baru
kaulah yang kami temukan, Nisanak. Dan kau juga
memakai baju warna putih. Apa kau benar gadis yang
kami cari...?" jelas Dewa Pedang Emas.
"Kalau benar, kalian mau apa..."!" ketus sekali na-da suara gadis itu.
"Kami hanya minta, agar kau tinggalkan Desa Jalakan selamanya. Dan, jangan
sekali-kali kembali lagi ke sini, jika kau masih sayang dengan nyawamu sendiri,"
si Kipas Naga yang menyahuti.
"O..., jadi itu keinginan kalian..." Maaf, aku tidak bisa memenuhi permintaan
itu. Bahkan aku akan merebut kembali desa ini dari tangan si Golok Setan itu.
Aku akan mengusirnya, dan mengusir kalian semua
dari desa ini!" tegas sekali kata-kata gadis berbaju putih itu.
Jawaban yang begitu tegas, membuat empat orang
sahabat Ki Langgu itu jadi saling melempar pandangan satu sama lain. Mereka
memang tidak menyangka kalau orang yang selama ini telah menggemparkan, ternyata seorang gadis yang masih muda usianya. Tubuh
yang kecil mungil! dan raut wajah yang cantik, sama sekali tidak memberikan
kesan kalau gadis itu mempunyai kepandaian tinggi sekali. Bahkan bisa mengacau murid-murid Ki Langgu yang dikenal berjuluk si
Golok Setan itu.
"Kami hanya bicara sekali saja, Nisanak. Kalau kau tetap keras kepala, kami
tidak segan-segan melakukan kekerasan untuk mengusirmu dari Desa Jalakan," ancam
Dewa Pedang Emas.
"Kalian semua hanya pendatang yang merusak desa kami. Seharusnya, kalian yang angkat kaki!" sentak Gadis Baju Putih itu jadi
berang. "Biar aku yang memberinya pelajaran, Pedang
Emas," selak Dewi Bulan Hitam setengah berbisik suaranya.
"Hm...," Dewa Pedang Emas menggumam pelan.
Sebentar Dewa Pedang Emas melirik Dewi Bulan
Hitam yang berdiri tepat di samping kanannya. Kemudian, kepalanya terangguk sedikit. Dewi Bulan Hitam tersenyum tipis, lalu
kakinya melangkah ke depan beberapa tindak. Dia mendekati Gadis Baju Putih yang
masih tetap berdiri tegak, tak bergeming sedikit pun juga. Sorot matanya juga
masih terasa begitu tajam.
Dewi Bulan Hitam baru berhenti melangkah, setelah
jaraknya tinggal lima langkah lagi di depan gadis cantik berbaju putih bersih
itu. Wuk! Wuk! Wuk...!
Dewi Bulan Hitam segera memutar-mutar sepasang
tongkat pendeknya yang ujungnya berbentuk bulan
sabit berwarna hitam pekat. Putarannya begitu cepat, hingga menimbulkan deru
angin keras bagai hendak
terjadi badai topan. Kening gadis baju putih jadi berkerut, memperhatikan
gerakan sepasang tongkat pendek
berujung bulan sabit itu.
"Heh...!"
Tiba-tiba saja Dewi Bulan Hitam menghentakkan
tangan kanannya ke depan. Dan seketika itu juga,
tongkat yang berada di tangan kanannya melesat cepat ke arah Gadis Baju Putih.
Wusss! "Uts!"
Cepat sekali gadis cantik berbaju putih itu memiringkan tubuh, sehingga tongkat yang berputar cepat dan melesat ke arahnya jadi
lewat di sampingnya. Namun dia jadi terkejut! Tiba-tiba saja, tongkat pendek
yang berputar cepat itu berbalik begitu mendadak, dan langsung meluruk deras ke
arahnya. "Hup...!"
Cepat-cepat Gadis Baju Putih melenting dan berputaran beberapa kali. Rupanya, dia berhasil menghinda-ri serangan tongkat yang
berputar cepat ke arahnya.
Namun begitu kaki menjejak kembali ke tanah, tongkat pendek berwarna hitam itu
sudah kembali berada dalam genggaman tangan Dewi Bulan Hitam. Wanita
yang mengenakan baju ketat serba hitam itu jadi tersenyum, melihat serangannya
dapat dihindari gadis
cantik yang usianya jauh lebih muda darinya itu.
"Bagus...! Rupanya kau memiliki kepandaian tinggi juga, Nisanak. Aku ingin tahu,
sampai di mana tingkat kepandaianmu," tantang Dewi Bulan Hitam agak mendesis
suaranya. "Hhh...!" Gadis Baju Putih hanya mendengus saja, menghembuskan napasnya.
Sementara itu Dewi Bulan Hitam sudah kembali
bersiap hendak menyerang kembali. Dan tiba-tiba saja, sambil berteriak keras
menggelegar Dewi Bulan Hitam melompat cepat bagai kilat. Kedua tongkatnya
langsung dikebutkan ke arah tubuh Gadis Baju Putih
"Hup! Yeaaah...!" Gadis cantik berbaju putih itu, cepat-cepat melenting ke


Pendekar Rajawali Sakti 71 Ladang Pembantaian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

udara. Namun Dewi Bulan
Hitam juga cepat melesat mengejar di udara. Terpaksa Gadis Baju Putih meliukliukkan tubuhnya, menghindari setiap kebutan sepasang tongkat berujung bulan
sabit hitam itu. Lalu sambil memutar tubuhnya ke belakang, manis sekali kakinya
menjejak tanah. Dan tepat pada saat itu, Dewi Bulan Hitam juga mendarat
begitu ringan dan manis di tanah. Namun, kembali cepat tongkat di tangan
kanannya dikebutkan ke arah
perut. "Heh...!"
Bet! "Uts...!"
Untung saja gadis itu cepat-cepat menarik perutnya ke belakang, sehingga kebutan pedang berujung
bulan sabit itu hanya lewat saja di depan perutnya.
Tapi belum juga tubuhnya bisa ditegakkan kembali, ti-ba-tiba Dewi Bulan Hitam
sudah kembali melakukan
serangan cepat. Langsung dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek ke arah dada, sambil memiringkan tubuh ke kanan.
"Yeaaah...!"
"Hait...!"
Gadis Baju Putih tidak ada kesempatan lagi untuk
menghindar. Dengan cepat sekali, tangannya dihentakkan untuk menangkis tendangan kaki Dewi Bulan
Hitam. Tak dapat dihindari lagi, tangan dan kaki itu beradu keras di depan dada
Gadis Baju Putih. Lalu,
mereka sama-sama melompat mundur beberapa langkah. "Hup! Yeaaah...!"
Sret! Wuk...! Bagaikan kilat, Gadis Baju Putih melompat sambil
mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang.
Dan secepat kilat pula, pedangnya dikebutkan ke arah dada Dewi Bulan Hitam yang
baru saja bisa menjejakkan kakinya di tanah.
"Heh!"
Cepat-cepat Dewi Bulan Hitam mengebutkan tongkatnya yang ada di tangan kanan, menangkis tebasan
pedang Gadis Baju Putih yang mengarah ke dada.
Trang! Bunga api seketika memercik, ketika dua senjata
beradu keras di depan dada itu. Dan pada saat yang
bersamaan, Dewi Bulan Hitam mengebutkan tongkat
yang satu ke arah perut gadis cantik berbaju serba putih itu. Namun belum juga
ujung tongkatnya mendekat, tiba-tiba saja tangan kiri gadis itu sudah mengebut cepat sekali untuk
menepak pergelangan tangan
yang menggenggam senjata tongkat berujung bulan
sabit berwarna hitam itu. Begitu cepat tepakannya, sehingga membuat Dewi Bulan
Hitam jadi terkejut. Namun dia terlambat untuk menarik pulang tangannya.
Plak! "Ikh...!"
Hampir saja tongkat di tangan Dewi Bulan Hitam
terlepas, kalau saja tidak buru-buru melenting ke belakang. Bibirnya sedikit
meringis, merasakan pergelangan tangannya jadi nyeri dan berdenyut bagai baru
tersengat kala berbisa.
"Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat, Gadis Baju Putih melompat sambil
melepaskan satu tendangan keras menggeledek, sebelum Dewi Bulan Hitam bisa menguasai keseimbangan
tubuhnya. Sehingga, tidak ada lagi kesempatan bagi
Dewi Bulan Hitam untuk menghindarinya. Tapi sedikit lagi telapak kaki gadis itu
mendarat di dada Dewi Bulan Hitam, mendadak saja....
Wusss...! "Heh..."!"
Gadis ,Baju Putih jadi terkejut setengah mati, begi-tu tiba-tiba berkelebat
sebuah bayangan kuning keemasan ke arah kakinya. Buru-buru kakinya yang sudah terulur lurus ke depan ditariknya. Dan seketika itu juga tubuhnya melenting
ke belakang beberapa
kali. Manis sekali gadis itu menjejakkan kakinya, begitu mendarat di tanah.
Di samping Dewi Bulan Hitam, kini sudah berdiri
seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun.
Bajunya berwarna kuning keemasan, dengan sebuah
pedang yang berwarna emas tersampir di punggung.
Wajahnya terlihat cukup tampan. Namun, sorot matanya memancarkan kebuasan. Terlebih lagi melihat
wajah gadis itu yang memang cantik sekali. Sehingga,
kedua bola matanya jadi berbinar penuh arti.
"Hhh! Kenapa tidak semuanya saja yang maju...?"
dengus Gadis Baju Putih terasa begitu sinis sekali na-da suaranya.
Wuk! Langsung saja pedangnya dikebutkan ke depan,
dan tersilang di depan dada. Lalu....
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali gadis cantik berbaju serba putih itu
melesat sambil cepat sekali mengebutkan pedang ke
arah Setan Tongkat Putih yang sejak tadi tidak bergeming sedikit pun dari tempatnya. Serangan Gadis
Baju Putih yang begitu cepat dan tidak terduga sama sekali, sungguh sangat
mengejutkan. Sehingga, membuat Setan Tongkat Putih jadi terbeliak.
"Hup!"
Namun dengan gerakan cepat sekali, Setan Tongkat Putih meliukkan tubuhnya menghindari tebasan
pedang gadis cantik berbaju putih itu. Namun serangan itu tidak berhenti sampai di situ saja. Dengan cepat sekali gadis itu
memutar tubuhnya, dengan pedang terus berkelebat cepat menyerang ke arah si
Kipas Na-ga yang berada tidak jauh dari Setan Tongkat Putih.
Bet! "Uts!"
Cepat-cepat si Kipas Naga mengebutkan kipasnya
yang bergambar seekor naga hitam, hingga terkembang di depan dada. Sehingga,
ujung pedang Gadis Baju Putih itu hanya menghantam kipas bergambar naga hitam yang terkembang di depan dada.
Tring! "Hiyaaa...!"
"Hup...!"
Gadis Baju Putih cepat-cepat melenting ke atas, ketika tiba-tiba saja dari arah belakang Dewi Bulan Hitam menyerang cepat dengan
kedua tongkat kembarnya, gerakan menggunting ke arah pinggang. Namun
serangan dari belakang itu tidak sampai mengenai sasaran. Memang, Gadis Baju
Putih sudah cepat mengetahui. Maka tubuhnya segera melenting ke udara,
sampai melewati atas kepala wanita berbaju serba hitam itu.
Dua kali Gadis Baju Putih melakukan putaran di
udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya di tanah. Tapi baru saja tubuhnya ditegakkan, Dewa Pedang Emas sudah melakukan serangan cepat sekali.
Pedangnya yang berwarna kuning keemasan berkelebat bagai kilat ke arah leher gadis cantik bertubuh kecil mungil itu.
"Hiyaaa...!"
"Hait...!"
Dengan hanya menarik kepala ke belakang, pedang
berwarna keemasan itu lewat di depan tenggorokan
gadis itu. Dan dengan cepat sekali pedangnya dikebutkan ke depan, membuat Dewa Pedang Emas terpaksa harus bersalto ke belakang.
Empat orang tokoh persilatan sahabat Ki Langgu
itu, kini memang tidak bisa lagi mencegah pertarungan dengan gadis cantik
bertubuh kecil mungil yang selama ini dikenal sebagai Gadis Baju Putih itu.
Karena, gadis itu memang seperti sengaja. Mereka dipaksa harus bertarung
menggeroyoknya. Dia selalu mencuri kesempatan menyerang siapa saja. Padahal,
mereka tampaknya enggan mengeroyok. Dan hal ini membuat
mereka jadi berang juga. Hingga, tidak lagi mempedulikan pesan Ki Langgu untuk
tidak sampai menewaskan gadis ini.
Mereka sekarang melakukan serangan-serangan
dahsyat, membuat gadis berbaju putih itu terpaksa harus berjumpalitan
menghindarinya. Hingga, sedikit
pun tidak lagi diberi kesempatan untuk bisa membalas serangan. Dan dia hanya
bisa berkelit, menghindari setiap serangan yang datang dari empat penjuru itu.
Beberapa kali pedangnya beradu untuk menangkis serangan masing-masing lawan.
Pertarungan sengit pun tidak dapat dihindari lagi.
Serangan demi serangan datang silih berganti dengan kecepatan begitu tinggi.
Akibatnya, gadis itu semakin kelihatan kewalahan saja menghadapinya. Beberapa
kali dia terpaksa harus menjatuhkan din dan bergelimpangan di tanah, menghindari serangan-serangan
yang datang dari empat penjuru. Bahkan sudah beberapa kali pula, terpaksa menerima pukulan maupun
tendangan keras. Akibatnya, pertahanannya semakin
kelihatan mengendur.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja, Dewa Pedang Emas melenting ke
udara. Dan secepat itu pula, pedangnya dikebutkan ke arah kepala Gadis Baju
Putih ini. Tapi, gadis cantik bertubuh kecil mungil itu cepat merunduk
menghindari tebasan pedang berwarna kuning keemasan itu. Dan pada saat yang
bersamaan, si Kipas Naga sudah melepaskan satu pukulan keras yang mengarah ke
dada. Begitu cepat pukulannya, sehingga Gadis Baju Putih
tidak sempat lagi menghindarinya. Dan....
Desss! "Akh...!" gadis itu terpekik keras agak tertahan.
Di saat tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang,
satu tendangan menggeledek dari Dewi Bulan Hitam
kembali mendarat di punggungnya. Tak pelak lagi, gadis itu langsung tersungkur
mencium tanah sambil
memekik keras sekali. Dan pada saat menggelimpang
di tanah, tiba-tiba saja Setan Tongkat Putih sudah melompat cepat sambil
berteriak keras menggelegar.
Ujung tongkatnya yang runcing, terarah lurus ke dada Gadis Baju Putih itu.
"Hiyaaa...!"
"Oh..."!"
Gadis itu hanya bisa ternganga saja. Dan memang,
dia tidak punya kesempatan lagi untuk menghindari.
Di samping dadanya masih terasa sesak akibat terkena pukulan si Kipas Naga, juga
punggungnya begitu nyeri karena terpaksa harus menerima tendangan Dewi Bulan
Hitam tadi. Dan sekarang, Setan Tongkat Putih sudah meluruk deras dari atas
dengan ujung tongkatnya yang runcing tertuju lurus ke arah dada. Namun....
Wusss...! Trak! "Heh..."!"
"Ohhh...."
Tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan putih ke
arah tongkat yang hampir menghujam ke dada gadis
berbaju serba putih itu. Akibatnya, tongkat yang berujung runcing tajam itu jadi
terpental ke udara, sehingga mengejutkan pemiliknya. Cepat-cepat Setan Tongkat Putih melenting ke udara, mengejar tongkatnya
yang melayang tinggi ke angkasa.
"Hap!"
Begitu berhasil mendapatkan tongkatnya yang terpental kembali, Setan Tongkat Putih kembali menjejakkan kakinya di tanah. Gerakannya begitu manis dilihat. Setan Tongkat Putih
langsung jadi terbeliak lebar matanya, dengan mulut ternganga. Demikian pula Dewi Bulan Hitam, si Kipas Naga, dan Dewa Pedang
Emas jadi terlongong begitu melihat seorang pemuda
tampan berbaju rompi putih tahu-tahu sudah berdiri
tegak di samping tubuh Gadis Baju Putih yang tergolek di tanah.
Memang, pemuda itulah yang tadi menggagalkan
maksud Setan Tongkat Putih untuk mengakhiri hidup
si Gadis Baju Putih ini. Sementara itu, pemuda berba-ju rompi putih yang tibatiba muncul ringan sekali
mengangkat tubuh gadis itu, dan memondongnya. Sebentar dirayapinya empat wajah yang memandanginya
seperti tidak percaya atas kemunculannya yang begitu tiba-tiba bagai setan tadi.
Kemudian.... "Hup...!"
Begitu cepat dan ringan sekali gerakannya. Sehingga hanya sekali lompat saja, pemuda tampan berbaju rompi putih itu sudah lenyap
dari pandangan mata.
Tentu saja sambil membawa si Gadis Baju Putih yang
berada di dalam pondongannya. Sementara, empat
orang tokoh persilatan sahabat Ki Langgu hanya bisa berdiri bengong, saling
melemparkan pandangan satu sama lain.
Tidak ada yang bisa mereka lakukan. Bahkan untuk mengejar pun, sudah tidak mungkin lagi dilakukan. Karena, gerakan pemuda berbaju rompi putih itu demikian cepat sekali.
Bagaikan lenyap ditelan bumi saja kepergiannya.
*** 4 Siapa sebenarnya yang menolong Gadis Baju Putih
itu" Dan ke mana perginya..."
Saat itu, malam masih cukup larut menyelimut mayapada ini. Kesunyian masih terasa begitu mencekam.
Sementara agak jauh dari Desa Jalakan, tepatnya di
tengah sebuah hutan yang cukup lebat, tampak seorang pemuda berwajah tampan melangkah agak tergesa-gesa sambil memondong sesosok tubuh ramping
yang kelihatan kecil mungil. Pemuda itu mengenakan
baju rompi putih, dengan pedang bergagang kepala burung tersampir di punggung.
Sementara yang dipondong adalah sosok tubuh mungil yang juga mengenakan baju warna putih ketat.
Pemuda itu baru menghentikan ayunan kakinya,
setelah sampai di depan sebuah gua yang berlumut
cukup besar. Tanpa menoleh ke kanan dan kiri lagi,
bergegas kakinya melangkah masuk ke dalam gua itu.
Dan dia terus berjalan tanpa memperlambat ayunan
kakinya sedikit pun, walau keadaan di dalam lorong
gua itu cukup gelap sekali. Sehingga, yang terlihat hanya baju-baju putih mereka
saja. Sedangkan selu-ruhnya tampak hitam kelam, bagai berada di dalam
tanah. "Akan kau bawa ke mana aku?" tanya gadis berbaju putih yang berada dalam
pondongan pemuda tampan ini. "Ke tempat pengasingan ayahmu. Aku tahu, kau
putri Ki Jambak Gora," sahut pemuda itu kalem.
"Siapa kau?" tanya gadis itu lagi.
Pemuda tampan berbaju rompi putih itu tidak


Pendekar Rajawali Sakti 71 Ladang Pembantaian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjawab pertanyaan itu. Kalau saja keadaan di dalam lorong gua ini terang, barang kali senyuman tersungging menghiasi bibirnya
bisa terlihat. Pemuda
tampan berbaju rompi putih itu terus melangkah cepat menyusuri lorong gua yang
cukup panjang dan banyak
liku-likunya ini.
Hingga akhirnya, mereka sampai di sebuah pintu
gua yang memiliki pintu dari belahan papan kayu jati.
Dengan ujung jari kaki kanan, pemuda itu mendorong
pintu hingga terbuka. Kemudian terus dilewatinya pin-tu yang langsung bergerak
menutup kembali. Kakinya
terus terayunkan melintasi sebuah padang rumput
yang tidak begitu besar. Sinar rembulan yang memancar dari langit, cukup membuat keadaan di padang
rumput ini jadi terang, sehingga gadis berbaju putih itu dapat melihat wajah
tampan pemuda penolongnya.
Pemuda itu baru berhenti, setelah melewati padang
rumput yang tidak terlalu luas ini. Di depannya, tampak berdiri sebuah pagar
tinggi yang terbuat dari balo-kan kayu besar, yang bagian atasnya meruncing
seper-ti sebuah benteng. Sebuah pintu yang terbuat dari belahan kayu berukuran
tebal, bergerak membuka perlahan-lahan. Pemuda itu terus mengayunkan kakinya
kembali, memasuki pagar tinggi seperti benteng ini.
Perlahan gadis ini diturunkan dari pondongannya.
Tampak di dalam benteng itu terlihat puluhan orang
yang berdiri berjajar seperti tengah menanti kedatangan mereka, dengan sinar
mata dan raut wajah memancarkan kecemasan. Mereka terdiri dari laki-laki, wanita, tua, muda, dan anakanak. Dari pakaian yang dikenakan, mereka seperti orang-orang desa yang sedang
mengungsi mencari perlindungan.
Tampak berdiri paling depan, dua orang laki-laki
dan seorang wanita muda yang cantik berbaju warna
biru muda agak ketat. Di punggungnya terlihat sebuah pedang bergagang kepala
naga berwarna hitam. Sedangkan di pinggangnya terselip sebuah kipas berwar-na
keperakan. Mereka melangkah menghampiri pemuda berbaju rompi putih yang terus mendampingi gadis cantik berbaju putih, yang
sekarang sudah tidak berada dalam pondongannya.
Di sebelah kanan gadis itu, berdiri seorang laki-laki
tua berjubah putih. Janggutnya panjang, dan semua
berwarna putih. Dia juga mengenakan ikat kepala berwarna putih, dengan sebatang
tongkat kayu tergenggam di tangan kanannya. Dan di sebelah kiri gadis
cantik itu, berdiri seorang laki-laki muda. Usianya sekitar dua puluh lima
tahun. Wajah tampan, dan di
tunjang bentuk tubuh tegap dan berotot yang terbungkus baju warna merah muda
cukup ketat, sehingga
tampak gagah. Sebilah pedang tampak tergantung di
pinggangnya. "Ayah...," desis gadis berbaju putih yang berdiri di samping pemuda berbaju
rompi putih itu.
"Sutiningsih, Anakku...," desah laki-laki tua berjubah putih itu.
Saat itu juga, mereka saling melangkah cepat. Gadis berbaju putih itu langsung berlutut di depan kaki laki-laki tua berjubah
putih ini. Sementara, gadis yang berbaju biru muda menghampiri pemuda berbaju
rompi putih yang sejak tadi berdiri saja memandangi suatu pertemuan yang begitu
mengharukan. Begitu banyak
orang berada di dalam benteng ini. Tapi, tak ada seorang pun yang mengeluarkan
suara. Mereka semua
terdiam, menyaksikan lelaki tua berjubah putih itu
membangunkan anak gadisnya, lalu memeluknya penuh kasih sayang. Benar-benar mengharukan!
Entah berapa lama mereka semua diselimuti keheningan yang begitu mengharukan. Perlahan, laki-laki tua berjubah putih itu
melepaskan pelukannya pada
gadis cantik bertubuh kecil mungil ini. Mereka sama-sama memandang pemuda
berbaju rompi putih yang
kini sudah berdiri didampingi seorang gadis cantik
berbaju biru muda yang menyandang pedang bergagang kepala naga hitam di punggungnya. Mereka
menghampiri pemuda tampan berbaju putih itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu yang telah mengembalikan putriku, Pendekar
Rajawali Sakti," ucap laki-laki tua berjubah putih itu, sambil menyodorkan
tangannya. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih yang ternyata Rangga yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, menyambut hangat uluran
tangan itu. Sedangkan gadis cantik berbaju biru muda yang berada di sampingnya,
tak lain adalah Pandan Wangi. Dan dia lebih dikenal dengan julukan si Kipas
Maut. Tapi terkadang
juga, gadis ini di panggil sebagai Pendekar Naga Geni, karena membawa Pedang
Naga Geni, dan menguasai
seluruh ilmu-ilmu yang ada di dalam Kitab Naga Geni.
Sutiningsih memang tahu kalau orang yang menolongnya adalah Pendekar Rajawali Sakti. Memang sudah lima hari Sutiningsih pergi ke Gunung Rinjani, untuk minta restu pada eyang
gurunya di padepokan Naga Ireng, lalu pergi ke Desa Jalakan. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti dan
Pandan Wangi baru dua hari berada di sini untuk suatu keperluan.
"Waktu berkeliling dekat Desa Jalakan, aku kebe-tulan saja melihat Sutiningsih
tengah dikeroyok, Ki Jambak Gora. Tapi...," Rangga menghentikan ucapannya.
Pendekar Rajawali Sakti menatap gadis cantik berbaju putih yang dibawanya tadi
ke tempat yang menyerupai benteng ini. Tampak jelas kalau wajah gadis yang
bernama Sutiningsih itu kelihatan agak memucat. Perlahan Rangga menghampiri, dan mengulurkan jari tangannya. Lalu, digenggamnya pergelangan tangan gadis itu. "Kau terluka, Nisanak,"
kata Rangga pelan.
"Aku.... Hoek...!"
Sutiningsih tidak dapat lagi menyembunyikan luka
dalam yang dideritanya. Dari mulut, langsung menyembur segumpal darah kecil berwarna agak kehitaman. Ki Jambak Gora jadi terkejut melihat putrinya langsung jatuh terduduk, dan
memuntahkan darah
kental dari mulutnya. Tapi belum juga sempat berbuat sesuatu, Rangga sudah
begitu cepat memberi beberapa totokan di tubuh gadis itu, lalu cepat
memondongnya kembali. Tampak Sutiningsih begitu lemas, lunglai tak berdaya di
dalam pondongan Pendekar Rajawali Sakti.
"Apa yang terjadi terhadap anakku, Rangga...?"
tanya Ki Jambak Gora cemas.
"Nanti ku jelaskan, Ki," sahut Rangga. "Di mana kamarnya...?"
"Di sana! Ayo kuantarkan," sahut pemuda tampan berbaju merah muda yang sejak
tadi diam saja memperhatikan.
Rangga bergegas melangkah mengikuti pemuda
yang juga anak Ki Jambak Gora ini. Namanya Jaka
Umbaran. Dia seorang pemuda tampan dan gagah, seperti seorang pangeran saja kegagahannya. Sementara itu, gumaman-gumaman
mendengung mulai terdengar
keluar dari orang-orang yang berkerumun, memadati
halaman depan bangunan besar di dalam pagar kayu
berbentuk benteng.
*** "Kau duduk di sini, Sutiningsih," ujar Rangga seraya menurunkan gadis berbaju
putih itu perlahanlahan dari pondongannya. Pendekar Rajawali Sakti
menemukan gadis itu, memang hanya mengenal dari
ciri-cirinya saja. Dan sekarang, dia sudah kenal dekat dengan gadis itu.
Pendekar Rajawali Sakti meminta Sutiningsih duduk di atas balai- balai. Kemudian, dia sendiri duduk bersila di belakang gadis
itu. Sementara Ki Jambak
Gora, Pandan Wangi, dan Jaka Umbaran mengambil
tempat di depan balai-balai bambu itu. Rangga menatap Pandan Wangi yang duduk di samping Ki Jambak
Gora. "Pandan, tolong buka pakaiannya nanti. Lalu, kau jaga hawa murniku agar tidak
keluar dari dadanya,"
ujar Rangga terus menatap Pandan Wangi.
Sebentar Pandan Wangi kelihatan ragu-ragu. Kemudian ditatapnya Ki Jambak Gora dan Jaka Umbaran. Kedua laki-laki itu sama-sama menganggukkan
kepala. Lalu, Pandan Wangi baru beranjak mendekati, dan naik ke atas balai-balai
bambu itu. Si Kipas Maut pun duduk bersila, tepat di depan Sutiningsih yang
sudah duduk bersila bersikap bersemadi. Kelopak mata gadis itu tampak terpejam rapat.
Dengan sikap ragu-ragu, kemudian Pandan Wangi
membuka baju yang dikenakan Sutiningsih, setelah
dengan sudut ekor mata dia meminta Ki Jambak Gora
dan Jaka Umbaran keluar dari kamar ini. Pandan
Wangi membuka baju yang dikenakan gadis itu setelah Ki Jambak Gora dan putranya
keluar. Kemudian kedua telapak tangannya ditempelkan tepat di dada Sutiningsih yang terbuka lebar. Sedangkan Rangga sudah membuat beberapa gerakan
dengan kedua tangannya
di depan dada. Lalu kedua telapak tangannya ditempelkan di punggung Sutiningsih yang sudah terbuka
lebar. Kedua mata Pendekar Rajawali Sakti terpejam rapat. Sementara, Pandan Wangi yang menempelkan kedua telapak tangannya di dada Sutiningsih merasakan getaran yang semakin lama
semakin keras pada telapak tangannya. Lalu dirasakannya aliran hawa panas.
"Gunakan setengah kekuatan hawa murni mu,
Pandan," ujar Rangga.
"Baik, Kakang," sahut Pandan Wangi.
Entah berapa lama Rangga dan Pandan Wangi
mengobati Sutiningsih dengan kekuatan tenaga dalam
murninya. Sementara tidak jauh dari pintu kamar itu, Ki Jambak Gora dan Jaka
Umbaran menunggu dengan
hati gelisah. Ki Jambak Gora mondar-mandir sambil
mengelus-elus janggutnya yang panjang dan sudah
memutih semuanya.
"Apa yang dilakukan mereka pada Sutiningsih di dalam, Ayah?" tanya Jaka Umbaran.
Ki Jambak Gora tidak langsung menjawab. Langkah mondar-mandirnya langsung berhenti, dan menatap anak muda yang berwajah cukup tampan itu. Sedangkan yang dipandangi jadi tertunduk, menyadari
kalau pertanyaannya sangat bodoh. Tapi dari sinar
mata dan raut wajahnya, jelas terbersit rasa kecemasan yang teramat sangat
melihat keadaan tubuh Sutiningsih tadi. "Suruh mereka semua bubar, Umbaran," perintah Ki Jambak Gora sambil menunjuk ke
arah pintu depan.
Memang dari tempat ini, mereka bisa langsung melihat keluar pintu yang terbuka lebar. Di depan sana, terlihat begitu banyak
orang berkumpul. Seakan-akan mereka ingin tahu, apa yang terjadi pada diri anak
gadis Ki Jambak Gora. Sementara, Jaka Umbaran hanya
memandangi saja orang-orang yang berkumpul di depan itu. "Suruh mereka kembali ke barak masing-masing,
Umbaran!" perintah Ki Jambak Gora lebih tegas lagi.
Jaka Umbaran agak tersentak mendengar nada suara ayahnya yang agak tinggi. Bergegas kakinya melangkah keluar, lalu berbicara dengan suara agak lantang di beranda depan rumah
berukuran cukup besar
ini. Tampak semua orang yang tadi berkumpul langsung bubar meninggalkan halaman depan rumah itu.
Sementara, Jaka Umbaran berbicara bersama beberapa orang laki-laki yang usianya tampak sebaya dengannya. Tidak lama kemudian, dia sudah kembali menemani ayahnya yang kini sudah duduk di bangku
panjang, tidak jauh dari pintu kamar Sutiningsih.
"Hhh...! Kalau saja adikmu mau menuruti nasihatku, tidak akan terjadi hal seperti ini...," desah Ki Jambak Gora.
"Maksud Ayah...?" tanya Jaka Umbaran tidak mengerti.
"Ya! Seharusnya, Sutiningsih tidak perlu membuat perhitungan ke sana. Apalagi
kita semua masih tinggal di tempat pengasingan seperti ini," masih terdengar
pelan suara Ki Jambak Gora. "Kau tahu, Umbaran....
Pemilik tempat ini hanya mau meminjamkannya selama mereka pergi. Dan itu sudah satu tahun, Umbaran.
Mereka pasti akan kembali lagi ke sini. Lalu, kita semua tidak akan punya tempat
lagi untuk berlindung.
Sadarilah itu, Umbaran. Sedangkan untuk melawan
mereka..., itu tidak mungkin."
Jaka Umbaran terdiam dengan kepala tertunduk.
Bisa dimengerti perasaan ayahnya sekarang ini. Memang tidak bisa lagi dipungkiri. Mereka tidak akan
mungkin bisa melawan Ki Langgu dan orang-orangnya.
Terlebih lagi, sekarang ini, Mereka telah mendapat ka-bar kalau Ki Langgu
dibantu empat orang sahabatnya, yang tentu memiliki tingkatan kepandaian sangat
tinggi. Jaka Umbaran jadi menyesal, karena tidak pernah bersungguh-sungguh
mempelajari ilmu-ilmu olah kanuragan dan kesaktian. Sehingga, tingkat kepandaiannya jauh di bawah tingkat
kepandaian yang dimiliki
adiknya, Sutiningsih. Dia sendiri merasa malu, karena sudah lima hari ini
Sutiningsih mencoba mengusir Ki Langgu dan orang-orangnya dari Desa Jalakan.
Desa yang sangat mereka cintai, dan pada akhirnya harus
ditinggalkan. Mereka memang tidak ingin harga dirinya diinjak-injak Ki Langgu
yang dikenal berjuluk si Golok Setan.
"Aku akan mengusir mereka dari desa, Ayah," tegas Jaka Umbaran, namun agak
perlahan suaranya.
"Apa yang akan kau lakukan, Umbaran" Kau lihat saja sendiri. Adikmu saja terluka
dalam yang cukup
parah. Sedangkan guru kalian sendiri, tewas di tangan si Golok Setan itu. Kalau
kau ke sana, sama saja me-nyerahkan nyawa sia-sia. Kau tahu itu, Umbaran...?"
Jaka Umbaran jadi terdiam membisu lagi. Memang
benar, apa yang dikatakan ayahnya barusan. Tidak
mungkin Ki Langgu dan orang-orangnya bisa ditandingi. Apalagi, sekarang ini dibantu empat orang sahabatnya dari rimba persilatan.
Sedangkan guru mereka sa-ja tewas oleh si Golok Setan itu. Dan dia sendiri,
tingkat kepandaiannya belum ada seujung kuku Ki Langgu. "Lalu, apa kita hanya akan diam saja, Ayah...?"
tanya Jaka Umbaran lagi.
"Kan sudah kukatakan, semuanya sudah kuceritakan pada Rangga. Aku yakin, Pendekar Rajawali Sakti bersedia membantu persoalan
kita, Umbaran. Aku yakin, dia pasti mampu menandingi si Golok Setan, dan
mengusirnya dari Desa Jalakan," sahut Ki Jambak Go-ra. "Jadi Sutiningsih tidak
perlu ke sana lagi. Hhh....
malah memperkeruh suasana."
Benarkah Rangga mampu menandingi kesaktian Ki
Langgu..." Jaka Umbaran jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Sedangkan yang
dilihatnya, pemuda berbaju rompi putih itu usianya tidak terpaut jauh dengannya.
Tapi keyakinan yang dimiliki hati ayahnya, membuatnya harus percaya kalau
Pendekar Rajawali Sakti mampu menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapi
sekarang ini.

Pendekar Rajawali Sakti 71 Ladang Pembantaian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** Ki Jambak Gora bergegas memburu, begitu pintu
kamar Sutiningsih terbuka. Dari balik pintu itu, muncul Pendekar Rajawali Sakti
yang kelihatan agak lemas, tapi wajahnya memancarkan cahaya kesegaran.
Jaka Umbaran juga bergegas menghampiri, dan berdiri di belakang ayahnya. Mereka
memandangi Rangga
yang menyeka keringat di leher dengan punggung tangannya "Bagaimana, Rangga...?" tanya Ki Jambak Gora, tidak bisa lagi menyembunyikan
kecemasannya. "Untung daya tahannya begitu tinggi. Lukanya
memang cukup parah, tapi akan segera pulih besok,"
sahut Rangga. "Oh, syukurlah...," desah Ki Jambak Gora.
Pada saat itu Pandan Wangi juga muncul dari dalam kamar ini. Sebentar gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu memandangi wajah
Ki Jambak Gora dan Jaka
Umbaran bergantian, kemudian menatap lurus pada
Pendekar Rajawali Sakti yang berada di sampingnya.
"Aku menyuruhnya agar bersemadi. Dia akan ku
tunggui sampai benar-benar pulih. Boleh...?" ujar Pandan Wangi.
Rangga mengangguk-anggukkan kepala. Pandan
Wangi tersenyum. Gadis itu kembali masuk ke dalam
kamar, tapi tidak jadi menutup pintunya. Dan hanya
kepalanya saja yang masih tersembul keluar dari balik pintu itu.
"Kuharap jangan ada yang masuk dulu. Dia melakukan semadi tanpa pakaian," jelas Pandan Wangi.
Gadis itu langsung menutup pintu kamar cepatcepat, sebelum Ki Jambak Gora sempat melontarkan
pertanyaan. Tampak jelas kalau hatinya begitu terkejut sekali mendengar
pemberitahuan Pandan Wangi barusan. Bahkan Jaka Umbaran hendak menerobos masuk, tapi Rangga sudah cepat mencegah pemuda itu.
"Sutiningsih terluka pada bagian dalam. Bukan
hanya di dada, tapi juga di punggung dan pada pusat hawa murninya. Dan dia harus
bersemadi tanpa ada
satu pun penghalang yang melekat di tubuhnya," kata Rangga mencoba memberitahu
keadaan gadis itu.
"Tapi kenapa harus telanjang...?" tanya Jaka Umbaran tidak mengerti penjelasan
Pendekar Rajawali
Sakti barusan. "Sutiningsih mengerahkan seluruh kekuatan tena-ga dalam dan hawa murninya di
dalam pertarungan.
Bahkan menguras habis tenaganya untuk tetap bertahan, setelah mendapat luka dalam yang sangat parah.
Hawa murni yang dimilikinya sudah mencapai batas,
namun terus memaksakan diri untuk tetap bisa bertahan. Yaaa..., seperti bayi yang baru dilahirkan kembali, dia harus memulihkan
kekuatan hawa murninya yang
telah hilang," panjang lebar Rangga memberikan penjelasan.
Ki Jambak Gora mengangguk-anggukkan kepala
beberapa kali. Bisa dimengerti penjelasan yang diberikan Pendekar Rajawali Sakti
itu. Sedangkan Jaka Umbaran tampaknya masih belum puas, tapi tidak bisa
lagi berbuat apa-apa.
Walaupun panjang lebar ayahnya sudah menjelaskan tentang Rangga yang bergelar Pendekar Rajawa-li Sakti, tapi Jaka Umbaran
masih juga menyangsikannya. Karena bila dibandingkan, usia di antara mereka hanya terpaut satu tahun
saja. Sedangkan penjelasan Rangga tadi sungguh sulit diterima. Karena, sekarang
adiknya sedang melakukan semadi tanpa pakaian selembar pun di dalam kamar.
Entah kenapa di hati Jaka Umbaran terbersit rara
kecemburuan. Dalam benaknya langsung terlintas dugaan kalau Rangga, paling tidak sudah melihat tubuh Sutiningsih yang tanpa
busana. Namun perasaan itu
ditekan dalam-dalam, mengingat Sutiningsih adalah
adiknya dan bukan kekasihnya. Tidak sepantasnya
mempunyai perasaan cemburu. Terlebih lagi, tampak
Rangga memang berniat baik. Pendekar Rajawali Sakti tampaknya benar-benar ingin
menolong menyembuh-kan Sutiningsih dari luka dalamnya, akibat pertarungannya
dengan empat tokoh persilatan undangan si
Golok Setan. "Mari kita bicara di luar. Biarkan Sutiningsih melakukan semadi ditunggui Pandan
Wangi. Kalau ada
apa-apa, Pandan Wangi akan segera memberi tahu,"
ajak Rangga, Tanpa membantah sedikit pun juga, Ki Jambak
Gora dan Jaka Umbaran mengikuti ajakan Pendekar
Rajawali Sakti. Mereka melangkah meninggalkan pintu kamar yang tertutup rapat,
dan terus melangkah menuju bagian beranda depan bangunan rumah yang berukuran cukup besar ini. Sementara beberapa orang
pemuda yang bersenjatakan golok di pinggang, tampak berjaga-jaga di sekitar
benteng ini. Mereka kemudian duduk di lantai beranda yang
beralaskan selembar tikar daun pandan. Sementara
malam terus merambat semakin larut saja. Bahkan
mungkin sudah menjelang pagi. Tapi suasana di sekitar bangunan berbentuk benteng itu masih terasa begi-tu sunyi. Hanya suara
gesekan daun-daun yang dipermainkan angin saja yang terdengar mengusik gendang telinga. Cukup lama juga mereka terdiam membisu, merayapi keadaan sekeliling yang begitu sunyi dan masih terselimuti
kegelapan. "Rangga! Siapa yang bertarung dengan anakku, Sutiningsih...?" tanya Ki Jambak
Gora memecah kebi-suan yang terjadi di antara mereka bertiga di beranda depan
ini. "Apakah mereka berjumlah empat orang?"
"Ya! Tapi aku tidak mengenal mereka semua," sahut Rangga.
"Hm..., aku tahu. Mereka pasti para sahabat Ki Langgu. Hhh...! Itu berarti
mereka benar-benar sudah berada di Desa Jalakan," desah Ki Jambak Gora. "Mereka
orang-orang yang kejam. Dan bersama Ki Langgu, mereka dikenal sebagai Lima Iblis
dari Utara."
"Mereka pasti orang-orang yang berkepandaian
tinggi, karena bisa membuat Sutiningsih seperti bayi yang baru dilahirkan
kembali," ujar Rangga juga pelan suaranya.
"Mereka memang orang-orang sakti yang berkepandaian tinggi, Rangga," Ki Jambak Gora membenar-kan dugaan Pendekar Rajawali
Sakti. "Ki! Sebenarnya apa yang terjadi di Desa Jalakan, sehingga kau dan seluruh warga
desamu sampai mengungsi dan meminjam tempat ini untuk berlindung...?"
nada suara Rangga terdengar bertanya ingin tahu.
"Hhh...!" Ki Jambak Gora menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuatkuat. Raut wajah yang sudah begitu banyak kerutnya,
semakin kelihatan bertambah saja. Kepalanya kemudian didongakkan menatap rembulan yang mengintip
dari balik awan. Kembali mereka semua terdiam membisu, tanpa mengeluarkan suara sedikit pun juga. Sementara, sudah mulai
terdengar suara ayam jantan
berkokok, menandakan sebentar lagi fajar akan segera menyingsing.
"Setahun yang lalu aku memang telah mengenalnya sejak lama. Dia seorang tokoh golongan hitam
yang telah banyak makan asam garam. Tentu saja melihat asal-usulnya, aku tidak sudi menerimanya. Agar rakyat tidak jadi korban
kebiadabannya, maka dia ku tantang bertarung dengan suatu perjanjian. Bila aku
kalah, aku bersedia meninggalkan desaku. Dan ternyata aku kalah, sehingga
bersama rakyat ku desa ini ku tinggalkan. Aku memang merasa, pasti ada sesuatu
yang menjadi tujuannya...."
*** 5 Sementara itu di sebuah rumah berukuran cukup
besar yang terletak di tengah-tengah Desa Jalakan,
tampak Ki Langgu dan empat orang tamu undangannya sedang duduk-duduk di beranda depan rumah itu.
Mereka tampaknya tengah menikmati cerahnya matahari yang bersinar siang ini. Tak terlihat seorang pun di sekitar rumah
berukuran besar dan memiliki halaman yang luas bagai alun-alun ini. Dan memang,
tidak seorang pun murid si Golok Setan itu yang kelihatan.
Bahkan keponakannya yang bernama Walika tidak kelihatan batang hidungnya.
"Ke mana murid-muridmu, Langgu" Sejak pagi tadi aku tidak melihat seorang pun,"
tanya Dewa Pedang Emas, sambil merayapi sekitarnya.
"Mereka harus bekerja," sahut Ki Langgu tidak begitu jelas artinya.
"Bekerja..." Bekerja apa, Langgu?" tanya Dewi Bulan Hitam meminta penjelasan.
Ki Langgu tidak langsung menjawab. Dipandanginya
empat wajah yang duduk bersila di depannya. Beberapa kali ditariknya napas panjang, lalu dihembuskannya kuat sekali. Sementara, mereka semua terus menunggu jawaban Ki Langgu atas pertanyaan Dewi Bulan Hitam. Dan memang, sejak pagi tadi mereka merasakan
ada sesuatu yang aneh di desa ini. Bukan karena desa ini sekarang tidak lagi
berpenghuni karena memang ditinggalkan penduduk, tapi keadaan yang begitu sunyi
ini membuat empat orang undangan Ki Langgu jadi
bertanya-tanya dalam hati.
"Langgu, terus terang saja. Aku merasa ada sesuatu yang aneh di sini. Sesuatu
yang kau sembunyikan dari kami semua," desak Dewi Bulan Hitam, memecah kesunyian
yang terjadi. "Benar. Langgu. Aku juga merasa kau menyembunyikan sesuatu. Sejak kami datang ke sini, sikapmu
terasa begitu aneh. Apa yang kau sembunyikan, Langgu...?" sambung Setan Tongkat Putih:
"Hhh...!" Ki Langgu hanya menghembuskan napas panjang saja.
Terasa begitu sulit bagi laki-laki tua berjubah biru itu untuk menjawab semua
pertanyaan para sahabatnya tadi. Dan sikap itu membuat mereka semua jadi
semakin dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang
sukar dijawab sendiri. Perlahan Ki Langgu melangkah
ke tepi beranda depan rumahnya, dengan pandangan
lurus tak berkedip ke depan. Sementara empat tokoh rimba persilatan undangan si
Golok Setan itu masih
tetap duduk memandangi, dengan sinar mata dipenuhi
berbagai macam pertanyaan yang belum bisa terjawab
semua. Namun baru saja Ki Langgu membalikkan tubuhnya, mendadak saja terdengar desir angin yang begitu halus sekali dari arah
belakangnya. Cepat-cepat laki-laki setengah baya itu memiringkan tubuhnya ke
samping. Pada saat yang bersamaan, terlihat sebatang anak panah melesat begitu
cepat bagai kilat di samping tubuhnya. Anak panah itu terus menembus ke dalam beranda, dan menuju lurus ke arah Dewi Bulan
Hitam. "Hap!"
Tap! Manis sekali Dewi Bulan Hitam mengebutkan tangan kanannya, tanpa sedikit. pun mengangkat tubuhnya dari tempat duduknya. Tahu-tahu, anak panah itu sudah berada di dalam
genggaman tangan kanannya.
Tiga orang lainnya yang duduk di dekat wanita yang
masih kelihatan cantik itu jadi terkejut melihat sebatang anak panah itu.
"Hup...!"
Tanpa membuang-buang waktu, Ki Langgu langsung melesat keluar dari dalam beranda rumah besar
itu. Dewi Bulan Hitam dan yang lain juga bergegas berlompatan mengikuti keluar
dari beranda depan berukuran besar ini. Sekejapan mata saja mereka semua
sudah berada di halaman depan yang berukuran besar
itu. Tapi tak terlihat seorang pun berada di sekitar halaman yang sangat luas
ini. Mereka sama-sama mengedarkan pandangan berkeliling, dan memasang telinga tajam-tajam. Tapi, ternyata tak terlihat apa-apa.
Juga tidak terdengar apa pun, selain desir angin yang berhembus agak kencang
siang ini. Mereka tidak lagi peduli dengan sengatan matahari yang sudah terasa
Pedang Kiri 16 Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H Bu Kek Kang Sinkang 1

Cari Blog Ini