Ceritasilat Novel Online

Pembalasan Mintarsih 1

Pendekar Rajawali Sakti 54 Pembalasan Mintarsih Bagian 1


PEMBALASAN MINTARSIH
oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode 054:
Pembalasan Mintarsih
128 hal ; 12 x 18 cm
1 "Auuung...!"
Lolong anjing menggema, menyusup ke setiap
telinga terbawa angin malam. Suara itu terdengar begitu dekat, seakan-akan tidak
jauh di belakang dua orang prajurit yang bertugas jaga malam di depan rumah
tahanan, di belakang Istana Kerajaan Karang Setra. Kedua prajurit berusia muda
itu saling berpandangan, lalu sama-sama bergerak saling mendekat
"Auuung...!"
"Tidak biasanya malam-malam begini ada lolongan anjing," bisik salah seorang
prajurit, perlahan.
"Iya. Aku jadi merinding," sambut temannya.
"Kata orang, kalau anjing melolong begini, ada setan lewat," jelas prajurit itu
lagi, sok tahu.
"Jangan ngaco, ah!" dengus temannya seraya
bergidik. Mereka tidak bicara lagi. Dan suara itu semakin sering terdengar, membuat wajah
kedua prajurit itu terlihat bertambah pucat. Beberapa kali mereka saling
melemparkan pandang, lalu menghembuskan napas panjang. Seakan-akan mereka ingin
mengusir rasa takut yang tiba-tiba saja menyelinap ke dalam hati.
"Aku ingin ke belakang dulu," kata seorang prajurit lagi.
"Heh..."! Mau ke mana..?" prajurit satunya lagi tersentak.
"Buang air. Sebentar...."
"Aku ikut"
"Yang jaga di sini nanti siapa" Pasti Gusti Prabu marah."
"Masa bodo, ah!"
Mereka hendak melangkah. Namun belum juga
kaki kedua prajurit itu terayun, mendadak saja sebuah bayangan merah berkelebat
cepat. Dan tahu-tahu, di depan kedua prajurit itu sudah berdiri seseorang
berbaju merah menyala. Wajahnya hampir tertutup rambut yang terurai panjang dan
acak-acakan. "Heh..."!"
"Ah..."!"
Kedua prajurit itu tersentak kaget. Mata mereka terbeliak lebar, dengan mulut
ternganga. Dan sebelum keterkejutan mereka bisa hilang, mendadak saja orang
berbaju serba merah itu cepat meng-gerakkan kedua tangannya.
Bet! Des! Kedua prajurit itu terpaku tak dapat bersuara lagi, kemudian ambruk ke lantai
batu yang dingin dan keras di depan pintu penjara. Kedua mata mereka terbuka
lebar, dan mulut menganga. Dari kening di antara kedua mata mengucurkan darah.
Sebuah lubang sebesar jari terlihat di kening kedua prajurit itu. Seketika
mereka tewas, tanpa bersuara sedikit pun.
Orang berbaju merah menyala itu mengambil
seikat kunci dari pinggang salah seorang prajurit, lalu bergegas menghampiri
pintu. Dengan kunci itu dia membuka pintu penjara.
"Hep!"
Cepat orang berbaju merah itu melompat masuk begitu pintu terbuka. Ayunan
kakinya ringan dan tak bersuara sedikit pun. Disusurinya lorong yang hanya
diterangi beberapa obor di dinding. Di kiri kanan lorong batu ini terdapat
pintu-pintu besi yang terdapat sedikit lubang di tengahnya.
Orang berbaju merah itu mengintip di setiap lubang pintu. Dia terus bergerak
cepat dan ringan sambil memeriksa setiap pintu besi di sepanjang kiri kanan
lorong ini. Hingga pada sebuah pintu, kakinya berhenti melangkah. Sebentar
matanya mengintip melalui lubang di pintu. Kemudian bergegas dibukanya pintu itu
dengan kunci yang diambil dari pinggang salah seorang prajurit di luar tadi.
Kriiiet! Suara derit pintu terdengar saat didorong membuka. Orang berbaju merah itu cepat
melangkah masuk. Tatapan matanya begitu tajam, lurus ke seorang pemuda berbaju
putih kotor dan berdebu.
Pemuda itu tengah duduk memeluk lutut di sudut ruangan berukuran kecil ini.
"Eh..."!"
Pemuda berwajah cukup tampan itu terkejut, lalu cepat bangkit berdiri. Namun
sebelum sempat melakukan sesuatu, mendadak saja tangan orang berbaju serba merah
itu bergerak ke dadanya. Dan begitu jari tangannya menotok, seketika pemuda itu
langsung ambruk ke lantai disertai keluhan kecil.
Tanpa berkata apa pun, orang berbaju merah itu mengangkat tubuh pemuda ini.
Lalu, dia cepat melompat ke luar. Orang berbaju merah itu terus cepat menyusuri
lorong menuju ke luar kembali. Dan begitu berada di luar penjara, cepat melesat
ke atas. Sebentar kakinya dijejakkan di atas atap penjara, lalu kembali melesat cepat.
Tubuhnya kemudian menghilang di belakang tembok bangunan penjara yang terbuat
dari batu. Sementara malam terus merayap semakin larut.
Kesunyian begitu terasa. Tak ada seorang pun yang mengetahui peristiwa di
penjara Karang Setra malam ini. Semua terjadi begitu cepat, tanpa menimbulkan
keributan sedikit pun juga. Tinggal dua prajurit penjaga yang malang tergeletak
tak bernyawa dengan kening berlubang sebesar jari.
*** Dari jendela yang terbuka lebar, Rangga mengawasi para prajurit yang sibuk di sekitar bangunan penjara. Empat orang prajurit
tengah menggotong dua prajurit yang tewas dengan kening berlubang.
Darah sudah membeku, tak lagi mengucur. Di
samping Pendekar Rajawali Sakti, berdiri Pandan Wangi. Dan di belakang mereka
terlihat Cempaka dan Danupaksi.
Perlahan Rangga memutar tubuhnya membelakangi jendela. Ditatapnya Danupaksi dan Cempaka dengan sinar mata redup.
Sedangkan yang ditatap hanya menundukkan kepala saja. Pandan Wangi ikut memutar
tubuhnya, lalu duduk di kursi yang ada di samping jendela itu.
"Peristiwa ini merupakan pukulan besar bagi kita semua," kata Rangga perlahan.
"Aku yang salah, Kakang. Di sana hanya kutempatkan dua penjaga saja," ujar
Danupaksi seraya mengangkat kepala.
"Tidak. Kau tidak perlu merasa bersalah,
Danupaksi. Kesalahan ada pada kita semua, yang tidak mau belajar pada
pengalaman. Ini suatu pelajaran. Dalam keadaan apa pun, kewaspadaan tidak bisa
diabaikan begitu saja," jelas Rangga
bijaksana. "Kalau saja kutempatkan satu regu penjaga,
peristiwa semalam tidak perlu terjadi, Kakang," kata Danupaksi, masih merasa
bersalah. "Semua yang terjadi tidak bisa diduga sebelumnya, Danupaksi. Meskipun kau
menempatkan satu
pasukan, kalau memang akan terjadi, maka tetap terjadi. Bahkan bukannya tidak
mungkin akan lebih banyak jatuh korban lagi."
Danupaksi terdiam. Kata-kata Rangga barusan memang tidak bisa dibantah lagi.
Tapi, dia tetap merasa bertanggung jawab atas peristiwa semalam yang teiah
meminta korban dua orang prajurit
"Kakang, apa mungkin Sangkala melarikan diri dan membunuh kedua prajurit itu?"
duga Cempaka yang sejak tadi diam saja.
"Sangkala sudah menyadari kesalahannya.
Bahkan telah berjanji akan selalu setia pada Karang Setra setelah masa
hukumannya berakhir," dengan halus Rangga membantah jalan pikiran adik tirinya
ini. "Tapi, kenyataannya dia kabur dari penjara, Kakang," Cempaka berusaha menguatkan
dugaan-nya. "Hm..., kau lihat luka di kening kedua prajurit itu?"
Rangga kini malah bertanya.
Cempaka hanya mengangguk saja.
"Aku seperti pernah melihat luka seperti itu, Kakang," selak Pandan Wangi.
"Kurasa, kau masih ingat peristiwa di Desa
Malimping, Pandan," ujar Rangga.
"Benar, Kakang...!" sentak Pandan Wangi seraya bangkit dari duduknya.
"Kau tahu, siapa yang membawa kabur Sangkala,
Kak Pandan?" tanya Danupaksi
"Luka seperti itu tidak ada lagi di dunia ini. Jelas, itu akibat dari jurus
'Sepuluh Jari Maut'. Aku tahu, siapa yang memiliki jurus itu," tandas Pandan
Wangi. "Siapa?" tanya Cempaka.
"Si Jari Maut," sahut Pandan Wangi.
"Jari Maut.."!" Danupaksi mendesis, seakan-akan tidak percaya.
Mereka semua jadi terdiam dan saling melemparkan pandangan. Semua yang ada di situ tahu, siapa si Jari Maut itu. Dia
adalah seorang tokoh persilatan beraliran hitam yang sukar dicari tandingannya.
Dan Pendekar Rajawali Sakti pernah bentrok dengannya di Desa Malimping. Waktu
itu, Rangga memberi kesempatan padanya untuk memperbaiki jalan hidupnya yang
salah. Memang, hanya Pendekar Rajawali Sakti yang mampu mengalahkan si Jari Maut
Tantu saja mereka tidak bisa mempercayai, karena semua tahu kalau si Jari Maut
sudah berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Dan dia akan selalu membantu
Karang Setra jika dibutuhkan. Tapi, kelihatannya Cempaka tidak sepertj yang
lain. "Aku sudah menduga, si Jari Maut pasti akan mencari kesempatan untuk membalas
dendam pada mu, Kakang," ujar Cempaka, agak mendesis suaranya.
"Jangan cepat berprasangka buruk, Cempaka,"
sergah Rangga. "Sudah terbukti, Kakang. Kedua prajurit penjaga itu tewas oleh jurus 'Sepuluh
Jari Maut'. Siapa lagi orangnya kalau bukan si Jari Maut..?" dengus Cempaka.
"Aku akan menanyakan hal ini padanya," ujar Danupaksi agak mendesis.
"Kalau kau menemui si Jari Maut, urusannya akan bertambah panjang, Danupaksi,"
kata Rangga. "Tapi, Kakang..."
Rangga cepat mengangkat tangannya. Maka
Danupaksi tidak meneruskan ucapannya. Pendekar Rajawali Sakti kembali memutar
tubuh, menghadap ke jendela lagi. Sementara para prajurit masih terlihat sibuk
di sekitar bangunan penjara.
"Danupaksi, siapkan kudaku dan kuda Pandan
Wangi. Dan kau, Cempaka. Bawakan pakaianku serta Pedang Rajawali Sakti ke sini,"
perintah Rangga tegas.
"Kakang akan pergi?" tanya Cempaka.
"Benar," sahut Rangga singkat
Tanpa membantah lagi, kedua adik tiri Pendekar Rajawali Sakti bergegas
meninggalkan ruangan ini.
Pandan Wangi sendiri segera ke luar. Gadis itu juga harus mempersiapkan diri
untuk melakukan perjalanan bersama Pendekar Rajawali Sakti. Memang dia sudah
bisa menangkap arti perintah itu.
Sementara Rangga masih berdiri terpaku di depan jendela, memperhatikan para
prajurit yang sibuk di sekitar bangunan penjara. Tak berapa lama,
Cempaka masuk kembali ke dalam ruangan itu.
Setelah meletakkan pakaian dan pedang pusaka kepunyaan Pendekar Rajawali Sakti
di atas meja, gadis itu cepat melangkah ke luar dan menutup pintunya kembali.
"Jari Maut... Hm, mungkinkah dia melarikan
Sangkala" Untuk apa hal itu dilakukannya...?" gumam Rangga bertanya pada diri
sendiri. *** Tepat di saat matahari berada di atas kepala, Rangga dan Pandan Wangi keluar
dari gerbang belakang Istana Karang Setra. Mereka menunggang kuda masing-masing
yang selalu setia menemani setiap kali pergi mengembara. Mereka memacu kuda
tidak terlalu cepat, agar tidak menimbulkan perhatian seluruh rakyat Karang
Setra. Baru setelah melewati gerbang perbatasan
sebelah Selatan, mereka memacu cepat kudanya.
Pandan Wangi menatap Pendekar Rajawali Sakti yang menunggang kuda hitam Dewa
Bayu. Gadis itu tahu kalau mereka menuju Lembah Kunir, tempat tinggal si Jari
Maut. "Kita ke Lembah Kunir, Kakang...?" agak keras suara Pandan Wangi untuk
mengalahkan suara kaki kuda yang menghentak tanah berdebu.
"Benar," sahut Rangga juga keras suaranya.
"Untuk apa ke sana?" tanya Pandan Wangi.
Tentu saja Pandan Wangi bertanya demikian,
karena sebelum berangkat tadi Rangga memberi pesan pada Danupaksi dan Cempaka
agar tidak mengusik si Jari Maut. Tapi, kenapa Rangga sendiri yang sekarang
menuju ke sana" Pandan Wangi
merasa kalau Pendekar Rajawali Sakti tidak menepati kata-katanya sendiri.
"Berhenti dulu, Kakang!" seru Pandan Wangi
seraya menghentikan lari kudanya.
Rangga cepat menarik tab kekang kudanya sampai berhenti. Wajahnya berpaling
menatap Pandan Wangi yang masih tetap berada di punggung kudanya.
Rangga memutar kudanya, lalu menghampiri gadis itu. Ditatapnya Pandan Wangi
dalam-dalam. Namun yang ditatap malah membalasnya tidak kalah tajam.
"Sejak kapan kau tidak mematuhi kata-katamu
sendiri, Kakang?" tanya Pandan Wangi. Nada suaranya terdengar mengandung
kekecewaan. "Kau kecewa karena aku hendak menemui si Jari Maut, sedangkan aku melarang
Cempaka dan Danupaksi ke sana...?" Rangga langsung bisa menebak.
Pandan Wangi hanya diam saja. Tatapan matanya tetap tajam, menusuk langsung ke
bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
"Dengar, Pandan Wangi. Aku ke sana hanya untuk mencari kebenaran saja. Kalaupun
ternyata dia tidak melakukan, aku tidak akan memperpanjang," jelas Rangga
mencoba memberi pengertian pada gadis ini.
Pandan Wangi masih diam saja.
"Aku tidak ingin terjadi salah paham, Pandan,"
kata Rangga lagi.
"Salah paham apa?" tanya Pandan Wangi tidak mengerti.
"Kalau tidak ke sana lebih dulu, aku khawatir Danupaksi atau Cempaka yang ke
sana. Dan aku tidak menginginkan terjadi kesalahpahaman di antara mereka dengan
si Jari Maut. Aku akan menjelaskan keadaan yang sebenarnya nanti. Agar kalau
Danupaksi atau Cempaka ke sana, si Jari Maut tidak tersinggung dan tidak terjadi
kesalahpahaman. Kau mengerti, Pandan?" jelas Rangga panjang lebar.
Pandan Wangi masih tetap diam beberapa saat Kemudian....
"Aku mengerti, Kakang. Maaf," ucap Pandan
Wangi. Rangga tersenyum, lalu memutar kudanya
kembali. Mereka kemudian memacu cepat kudanya lagi. Kali ini tidak ada keraguan
lagi di hati Pandan Wangi. Bahkan di dalam hati memuji tindakan
Pendekar Rajawali Sakti yang begitu bijaksana. Dia mampu berpikir jauh, dengan
segala akibat yang bisa terjadi tanpa diduga.
Kedua pendekar muda itu terus memacu kuda,
menembus hutan yang tidak terlalu lebat. Dari Istana Karang Setra ke Lembah
Kunir, memang hanya
memerlukan waktu setengah hari perjalanan ber-kuda. Dan di saat matahari sudah
condong ke arah Barat, mereka baru sampai di tepi lembah yang memiliki
pemandangan indah ini. Sudah tiga kali Pandan Wangi ke lembah ini. Dan gadis itu
selalu berdecak kagum memandangi keindahan alamnya.
Mereka memperlambat laju kudanya saat memasuki lembah ini. Sebuah pondok kecil terlihat berada di tengah-tengah lembah.
Beberapa pohon besar seakan-akan melindungi pondok itu. Juga, batu-batu besar


Pendekar Rajawali Sakti 54 Pembalasan Mintarsih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berserakan di sekitarnya. Kedua pendekar muda itu berhenti setelah dekat dengan
pondok kecil ini.
"Hup!"
Rangga melompat turun dari punggung kudanya.
Pandan Wangi cepat mengikuti. Kakinya melangkah mendekati Pendekar Rajawali
Sakti, lalu berdiri di sampingnya. Sebentar mereka memandangi pondok kecil yang
kelihatan sunyi, tanpa seorang pun terlihat.
Dan baru saja mereka melangkah beberapa tindak, mendadak saja....
Slap! "Awas...!" seru Rangga.
Dari atas sebatang pohon, meluncur bayangan merah begitu cepat ke a rah Pandan
Wangi. Begitu cepatnya, sehingga gadis itu sempat terhenyak. Tapi, tubuhnya
cepat melenting berputar ke belakang.
Bayangan merah itu lewat sedikit dari tubuh si Kipas
Maut "Hiyaaa...!"
Pandan Wangi bergegas melompat kembali
mendekati Rangga. Pada saat itu, dari balik pepohonan dan bebatuan berlompatan
tubuh-tubuh berbaju merah. Seluruh kepala mereka terselubung kain merah, dan
hanya dua lubang kecil yang membuat bola mata mereka terlihat. Sebentar saja,
sepuluh orang berbaju merah sudah mengepung kedua pendekar muda itu.
"Siapa mereka, Kakang?" tanya Pandan Wangi
setengah berbisik.
"Aku tidak tahu," sahut Rangga. "Berhatihatilah...."
Sepuluh orang berbaju serba merah itu semuanya memegang tongkat kayu berwarna
kecoklatan. Mereka bergerak perlahan-lahan memutari kedua pendekar muda itu. Tongkat di
tangan mereka bergerak berputar perlahan. Dan secara bersamaan, mereka berhenti
bergerak. Lalu, secara bersamaan pula mereka mengebutkan tongkatnya hingga
tertuju lurus ke depan, seperti menuding kedua pendekar itu.
Seperti ada yang memberi aba-aba, tiba-tiba saja mereka berlompatan cepat sambil
mengebutkan tongkat secara bersamaan ke arah kedua pendekar muda itu.
"Hiyaaat..!"
"Hup!"
"Yeaaah...!"
Rangga dan Pandan Wangi cepat melesat ke
udara, menghindari hunjaman sepuluh tongkat yang datang bersamaan. Mereka
berputaran beberapa kali di udara, lalu cepat mendarat kembali di tanah. Pada
saat itu, sepuluh orang berbaju merah membagi diri
menjadi dua kelompok. Satu kelompok menyerang Rangga, dan satu kelompok lagi
langsung menyerang Pandan Wangi.
"Hait..!"
Rangga cepat menarik tubuh ke belakang, ketika satu tongkat kayu meluruk deras
dari arah samping.
Saat tongkat itu tepat di depan dada, dengan cepat sekali Pendekar Rajawali
Sakti mengebutkan tangan kanan. Langsung disabetnya tongkat di depan dadanya
itu. Tak! "Uts!' Rangga cepat melentingkan tubuh ke belakang, setelah berhasil menghalau tongkat
itu dari depan dada. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, datang lagi satu
serangan dari arah kanan. Terpaksa Pendekar Rajawali Sakti membanting tubuh ke
tanah, dan bergulingan beberapa kali. Seketika ujung-ujung tongkat berhamburan
di sekitar tubuhnya.
"Hup! Yeaaah...!"
Rangga cepat melentingkan tubuh sambil meng-hentakkan kedua tangannya ke
samping. Lima tongkat yang menghujani tubuhnya, tersampok tangan Pendekar Rajawali Sakti
sehingga berpentalan di udara. Cepat cepat Rangga melesat ke atas.
Seketika dengan cepat disambarnya tongkat-tongkat itu. Begitu mendarat kembali
di tanah, lima batang tongkat kayu sudah berada di tangan Pendekar Rajawali
Sakti. *** 2 Lima orang berbaju merah yang tadi menyerang Rangga, secara bersamaan
berlompatan menjauhi Pendekar Rajawali Sakti. Mereka berdiri berjajar sambil
melipat tangan di depan dada. Rangga jadi tercenung, karena tak ada seorang pun
yang bergerak lagi memberi serangan. Bahkan malah memperhatikan pertarungan
antara Pandan Wangi dan lima orang lain yang juga mengenakan baju merah dan
bersenjatakan tongkat kayu.
Tampaknya Pandan Wangi juga menguasai pertarungan. Satu persatu lawan-lawannya dibuat jatuh bangun. Seketika tongkattongkat mereka berpentalan, saat gadis itu bergerak cepat sambil mengebutkan
cepat kipas baja putihnya. Begitu senjatanya terlepas dari tangan, cepat sekali
kelima orang berbaju merah itu berlompatan mundur. Lalu mereka bergabung bersama
lima orang lainnya.
Sepuluh orang berbaju merah menyala itu kini berdiri berjajar dengan tangan
terlipat di depan dada.
Pandan Wangi bergegas menghampiri Rangga.
Plok, plok, plok...!
Rangga dan Pandan Wangi bersamaan berpaling saat terdengar tepukan tangan. Di
ambang pintu pondok yang kini terbuka lebar, tahu-tahu sudah berdiri seorang
laki-laki berusia setengah baya. Dia mengenakan baju merah ketat, sehingga
membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot.
"Jari Maut..," desis Pandan Wangi langsung
mengenali laki-laki setengah baya berbaju merah itu.
Slap! Ringan sekali si Jari Maut melompat. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun,
kakinya mendarat sekitar dua langkah di depan Rangga. Tubuhnya membungkuk
sedikit, sambil merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Penghormatan
itu dibalas Rangga dengan membungkukkan tubuhnya juga.
"Maaf. Penyambutanku mungkin kurang berkenan di hatimu, Pendekar Rajawali
Sakti," ucap si Jari Maut ramah.
"Sambutan yang mengesankan," sahut Rangga
seraya melirik sepuluh orang berbaju merah.
"Kalian cepat beri hormat pada tamuku!" perintah si Jari Maut
Sepuluh orang berbaju merah itu cepat merapatkan telapak tangan di depan dada,
lalu membungkuk memberi hormat pada kedua pendekar muda itu.
Rangga dan Pandan Wangi membalas dengan membungkukkan tubuh juga.
Setelah kembali tegak, sepuluh orang berbaju merah itu melepaskan penutup
kepala. Maka kini tampaklah wajah-wajah yang muda dan belia. Mereka ternyata
gadis-gadis berusia sekitar delapan belas tahun. Tak satu pun di antara mereka
yang laki-laki.
"Mereka murid-muridku, Pendekar Rajawali Sakti,"
si Jari Maut memberi tahu.
"Hebat! Satu pasukan prajurit terlatih pun tidak akan mampu menghadapi mereka,"
puji Rangga. "Ah! Kau terlalu memuji, Pendekar Rajawali Sakti.
Mereka masih perlu bimbingan lebih lama lagi. Masih banyak kekurangan yang harus
dibenahi. Kau bisa lihat sendiri. Hanya beberapa gebrakan saja, mereka sudah kau
buat tidak berdaya," Jari Maut merendahkan diri. "Tapi aku kagum. Mereka benar-benar tangkas dan sangat berbakat," lagi-lagi
Rangga memuji. "Terima kasih," ucap si Jari Maut seraya menjura.
Rangga membalas dengan membungkukkan tubuh
sedikit "Kau datang ke sini, tentu ada maksud tertentu,"
tebak si Jari Maut tidak ingin Rangga meneruskan pujian pada murid-muridnya.
"Benar. Sesuatu yang sangat penting," sahut Rangga.
"Kalau begitu, sebaiknya bicara di dalam saja.
Mari...," ajak si Jari Maut
Rangga melangkah mengikuti laki-laki setengah baya yang sudah berjalan lebih
dulu. Sementara Pandan Wangi mengikuti di samping Pendekar
Rajawali Sakti. Sedangkan sepuluh orang murid si Jari Maut, bergegas
meninggalkan tempat itu. Mereka menuju bagian belakang pondok kecil ini.
Sementara Rangga dan Pandan Wangi, serta si Jari Maut sudah berada di dalam
pondok. Mereka duduk di lantai yang beralaskan selembar permadani ber-corak
bunga-bunga. "Bisa dijelaskan sekarang, keperluan apa yang kau bawa, Pendekar Rajawali
Sakti?" tanya si Jari Maut
"Kuharap kau tidak tersinggung setelah aku
menyampaikannya. Masalahnya ini menyangkut
nama baikmu selama ini, yang telah kau jaga dengan baik," kata Rangga memulai.
"Nama baikku..." Apakah persoalan yang kau
bawa ada sangkut pautnya dengan diriku?" tanya si Jari Maut, tidak mengerti.
"Aku sendiri tidak yakin. Tapi tampaknya memang demikian," sahut Rangga.
Si Jari Maut memandangi Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi bergantian.
Sedangkan yang dipandangi juga balas memandang. Untuk beberapa saat, mereka
hanya terdiam tanpa berkata-kata. Di benak si Jari Maut, timbul berbagai macam
dugaan dan pertanyaan yang belum tentu kebenarannya.
Sedangkan Rangga sendiri tampaknya sulit untuk mengemukakan. Pendekar Rajawali
Sakti harus mengatakannya, tapi tidak ingin menyinggung perasaan laki-laki
setengah baya berbaju merah ini.
*** "Sebenarnya aku sendiri tidak yakin. Tapi, aku harus mencari kebenarannya
sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Aku merasa hubungan baik kita
selama ini bisa terancam," kata Rangga setelah cukup lama terdiam.
"Hm.... Katakan saja, apa masalahnya, Pendekar Rajawali Sakti...?" pinta si Jari
Maut tidak sabaran.
"Semalam, sesuatu telah terjadi di Istana Karang Setra. Dua orang prajurit yang
bertugas di rumah tahanan, ditemukan tewas. Dan satu orang tahanan yang sedang
menjalani masa hukuman telah
hilang...," Rangga berhenti sebentar, lalu menarik napas panjang.
"Teruskan," pinta si Jari Maut
"Aku tidak akan ke sini jika kematian dua orang prajurit itu tidak memberi
petunjuk untukku yang menyangkut dirimu, Jari Maut," sambung Rangga.
"Petunjuk..." Apa maksudmu dengan petunjuk, Pendekar Rajawali Sakti?" Jari Maut
meminta penjelasan.
"Kedua prajurit itu tewas dengan lubang di kening,
antara kedua matanya. Lubang sebesar jari...."
Brak! Jari Maut menggebrak meja di depannya hingga bergetar. Seketika saja wajahnya
memerah seperti besi terbakar di dalam tungku perapian pandai besi.
Gerahamnya bergemeletuk, dan bola matanya
memerah berapi-api. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan.
Mereka memang sudah menduga, si Jari Maut pasti marah jika mendengar hal itu.
"Aku sudah berusaha untuk tidak berurusan lagi denganmu, Pendekar Rajawali
Sakti. Tapi aku juga tidak sudi dituduh menculik tahanan Karang Setra!"
agak tertahan nada suara si Jari Maut
"Jangan salah mengerti, Jari Maut. Aku hanya memberi tahu dan bukan bermaksud
menuduh. Luka yang membuat kedua prajurit itu tewas memang sangat mirip dengan
luka akibat jurus 'Sepuluh Jari Maut'. Tapi aku tidak langsung menuduhmu,"
Rangga mencoba meredakan amarah laki-laki setengah baya ini.
"Lalu, apa maksudmu datang ke sini?" tanya si Jari Maut.
"Mencari kebenaran," sahut Rangga.
"Phuah...! Itu sama saja mencurigaiku, Pendekar Rajawali Sakti!" sentak si Jari
Maut semakin menggeram marah.
"Kebenaran bukan berarti mencurigai atau
menuduh. Aku percaya, bukan kau pelakunya,"
Rangga masih mencoba tenang.
Sementara Pandan Wangi sudah mulai waspada.
Meskipun gadis itu masih duduk di tempatnya, namun sudah meraba kipas baja putih
yang terselip di sabuk pinggangnya. Sedangkan Rangga masih
kelihatan tenang, walaupun orang yang dihadapinya seperti sudah tidak lagi bisa
menahan amarah.
"Dengar, Pendekar Rajawali Sakti. Aku sudah bersumpah untuk tidak lagi terjun
dalam dunia persilatan. Bahkan sudah berjanji untuk membantu Karang Setra jika
mendapat kesulitan. Mana mungkin aku bisa membunuh dua orang prajurit dan
melarikan seorang tahanan..." Siapa tahanan itu?" masih terdengar sengit nada
suara si Jari Maut Meskipun dari tekanannya, kemarahannya sudah dicoba untuk
diredakan. Si Jari Maut menyadari, siapa yang ada di depannya ini. Seorang pendekar muda
dan digdaya yang pernah menaklukkannya di Desa Malimping. Di samping itu, dia
juga seorang raja yang menguasai seluruh wilayah Karang Setra. Dan Lembah Kunir
ini juga termasuk kekuasaan Karang Setra.
"Tahanan itu bernama Sangkala. Dia murid mendiang Pendeta Pohaji. Kau pasti
sudah mendengar peristiwanya, kenapa dia sampai mendapat
hukuman," sahut Rangga.
Si Jari Maut terdiam. Dia memang tahu, siapa Sangkala itu. Dan kenapa dia bisa
berada di dalam tahanan Karang Setra. Seluruh peristiwanya memang sudah
diketahuinya meskipun dia tidak terlibat langsung di dalamnya (Baca serial
Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah "Jaringan Hitam").
"Phuhhh...!" Jari Maut menghembuskan napas
kuat-kuat Wajah yang semula memerah, kini perlahan
memudar. Beberapa kali si Jari Maut menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya kuat-kuat.
Sebentar kepalanya didongakkan ke atas, lalu dirayapinya wajah Rangga dan Pandan
Wangi bergantian. "Maaf, aku...," ucap Jari Maut terputus.
"Sudahlah.... Aku bisa mengerti, Jari Maut," desah Rangga seraya tersenyum.
"Sudah hampir malam. Sebaiknya kalian menginap saja di sini. Besok, baru kalian
bisa melanjutkan perjalanan," kata Jari Maut
"Terima kasih," ucap Rangga.
*** Malam sudah cukup larut Tapi Rangga belum juga dapat memejamkan matanya.
Sebentar tubuhnya dimiringkan ke kanan. Lalu, dimiringkan lagi ke kiri.
Pendekar Rajawali Sakti kelihatan gelisah sekali malam ini. Perlahan dia bangkit
turun dari pem-baringan.
Pendekar Rajawali Sakti melangkah perlahan
mendekati jendela. Lalu membuka daun jendela lebar-lebar, sehingga angin yang
dingin malam ini menerobos masuk ke dalam kamarnya. Pada saat itu terlihat
sebuah bayangan merah berkelebat cepat, dan menghilang di balik sebatang pohon
yang cukup besar. Tanpa membuang waktu lagi, Rangga cepat melompat ke luar.
"Hup!"
Begitu kakinya menjejak tanah, kembali Pendekar Rajawali Sakti melesat ke pohon
besar tempat bayangan merah tadi lenyap. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti
mendarat di balik pohon, tapi tidak menemukan sesuatu di sini. Hanya kegelapan
saja yang dijumpainya. Sebentar pendengarannya ditajamkan sambil mengedarkan
pandangan berkeliling.
Sing! "Uts...!"
Hampir saja sebuah benda yang meluncur dari belakang, menghantam tubuhnya.
Untung saja Pendekar Rajawali Sakti segera menarik tubuhnya ke kanan. Maka benda berwarna
merah itu menghantam batang pohon yang cukup besar. Sedikit tangan Rangga
melirik ke arah benda berbentuk mata anak panah itu, kemudian cepat memutar
tubuhnya. Pada saat itu terlihat sebuah bayangan merah berkelebat cepat dari
dalam sebuah semak yang cukup jauh dari tempat ini.
"Hup! Yeaaah...!"
Bergegas Rangga melompat mengejar bayangan
merah itu. Lesatannya sungguh ringan dan cepat, karena ilmu meringankan tubuhnya
yang sudah mencapai tahap kesempurnaan dikerahkan. Namun, begitu hampir saja
menyusul, mendadak saja
bayangan merah itu berbalik, Dan....
Bet! Wusss...!

Pendekar Rajawali Sakti 54 Pembalasan Mintarsih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Uts!"
Rangga cepat mengegoskan tubuh ke kanan,
ketika tiba-tiba saja tangan orang berbaju serba merah itu berkelebat cepat.
Seketika sebuah benda merah berbentuk mata panah meluncur deras,
hampir menghantam tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Dan belum lagi Rangga menarik tubuhnya, tahu-tahu bayangan merah itu sudah
melompat cepat menerjang. Satu pukulan keras bertenaga dalam kuat cepat sekali dilepaskannya.
"Yeaaah...!"
"Hait..!"
Rangga cepat melentingkan tubuhnya, lalu
berputar ke belakang menghindari serangan orang berbaju merah itu. Dan selagi
Pendekar Rajawali Sakti berputaran ke belakang, orang berbaju serba merah itu
melesat ke udara. Lalu, kakinya hinggap di cabang pohon yang cukup tinggi.
Kembali tubuhnya melesat cepat meninggalkan tempat itu. Begitu cepatnya,
sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap ditelan kegelapan.
"Sial!" rungut Rangga.
Lagi-lagi Pendekar Rajawali Sakti kehilangan bayangan merah itu. Maka dia cepat
melesat ke atas, dan hinggap di cabang pohon yang tinggi.
Pandangannya beredar tajam, merayapi sekelilingnya yang diselimuti kegelapan dan
kabut cukup tebal.
"Hm.... Siapa dia?" Rangga jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Semalaman Rangga mengelilingi Lembah Kunir, mencari orang berbaju merah yang
membuat dirinya terus bertanya-tanya sendiri. Tapi hingga matahari timbul, tidak
juga ditemukan tanda-tanda orang aneh itu. Rangga kembali ke pondok kecil,
tempat tinggal si Jari Maut. Di depan pintu, laki-laki setengah baya berbaju
serba merah itu seperti sudah menunggu.
"Kau tidak tidur semalam, Pendekar Rajawali Sakti?" si Jari Maut langsung
menegur begitu Rangga berada dekat di depannya.
Rangga tidak segera menjawab. Dipandanginya laki-laki setengah baya itu
sebentar, kemudian tubuhnya dihempaskan di kursi panjang dari bambu yang berada
di samping pintu pondok ini. Orang yang ditemuinya semalam, mengenakan baju
merah juga. Tapi sayangnya, Rangga tidak bisa mengenali wajah orang itu. Karena, seluruh
kepala dan wajahnya
tertutup kain merah. Persis seperti yang dikenakan murid-murid si Jari Maut
"Aku tidak melihat murid-muridmu. Ke mana
mereka?" tanya Rangga, agak memancing nada
suaranya. "Setiap pagi mereka harus melatih tenaga dalam di tepi sungai," sahut si Jari
Maut. "Baru tengah hari nanti mereka kembali. Ada apa kau tanyakan
mereka?" "Semalam aku melihat seseorang menyelinap ke sini. Dia berpakaian persis dengan
murid-muridmu,"
jelas Rangga seraya menatap agak tajam pada si Jari Maut.
"Kuharap kau tidak sedang bergurau, Pendekar Rajawali Sakti," ujar Jari Maut
tidak percaya. "Selama aku tinggal di sini, tak pernah ada seorang pun yang
berani menyelinap. Sepanjang malam murid-muridku bergiliran berjaga."
"Kau membekali mereka dengan senjata rahasia, Jari Maut?" tanya Rangga lagi.
"Aku tidak pernah mengajarkan mereka menggunakan senjata rahasia apa pun juga. Mereka selalu kuajarkan untuk menghadapi
segala sesuatu secara jantan," tegas Jari Maut
Rangga bangkit berdiri, tepat saat Pandan Wangi muncul dari dalam pondok ini.
Gadis itu menghampiri Rangga, dan memandangi kedua laki-laki itu dengan kening
agak berkerut. Dia merasakan ada sedikit ketegangan di antara mereka.
"Aku mohon maaf. Mungkin kedatangan kami
dalam suasana yang tidak tepat," ucap Rangga. "Oh, ya. Berapa jumlah muridmu?"
"Sepuluh. Kenapa hal itu kau tanyakan?"
"Hanya ingin tahu saja."
"Kuharap kau tidak membuka pertentangan di
antara kita, Pendekar Rajawali Sakti," sambut Jari Maut, agak dingin nada
suaranya. "Kami mohon diri, dan terima kasih atas semua layanan yang kau berikan," ucap
Rangga berpamitan.
Sengaja Rangga cepat-cepat berpamitan sebelum darah di dalam tubuh si Jari Maut
kembali mendidih.
Kata-kata si Jari Maut yang terakhir sudah menunjukkan ketidaksenangannya,
karena Pendekar Rajawali Sakti terlalu banyak bertanya. Terlebih lagi jika
masalah pribadinya dikorek. Dan Rangga sendiri tidak ingin hubungan mereka yang
sudah berjalan baik, hancur karena persoalan yang belum jelas ini.
Jari Maut mengantarkan sampai di tempat kuda kedua pendekar muda itu
ditambatkan. Tanpa
berbicara lagi, Rangga mengajak Pandan Wangi pergi dari lembah ini. Jari Maut
terus memandangi kedua pendekar muda itu sampai keluar dari lembah.
Sementara itu Rangga dan Pandan Wangi sudah jauh meninggalkan Lembah Kunir. Dan
pada suatu tempat yang tidak begitu rapat dirumbuhi pepohonan, Rangga
menghentikan kudanya. Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari punggung kuda
dengan gerakan manis sekali. Pandan Wangi bergegas mengikuti. Gadis itu berdiri
di samping Pendekar Rajawali Sakti yang tengah memandang ke arah lembah. Dari
tempat yang cukup tinggi ini, mereka bisa leluasa memandang ke Lembah Kunir.
Seluruh lembah itu bisa terlihat jelas.
"Ada apa, Kakang" Kenapa berhenti?" tanya
Pandan Wangi. "Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan si Jari Maut," sahut Rangga perlahan
setengah bergumam.
"Maksudmu?" Pandan Wangi tidak mengerti, apa yang sedang dipikirkan Pendekar
Rajawali Sakti.
"Sikapnya...," sahut Rangga terputus.
"Aku tidak melihat ada yang aneh. Dia memang mudah sekali marah, dan cepat
tersinggung. Tapi, kulihat dia tetap menghormati kita, Kakang. Bahkan juga
berjanji akan membantu mencari Sangkala,"
sergah Pandan Wangi mengemukakan penilaiannya pada si Jari Maut.
"Mudah-mudahan penilaianmu benar, Pandan,"
desah Rangga perlahan.
Pandan Wangi memandangi wajah tampan di
sampingnya. Dia tahu kalau saat ini Rangga tengah memikirkan sesuatu. Katakatanya tadi hanya dimaksudkan untuk menyenangkan hati gadis ini saja. Dan itu
bisa dirasakan Pandan Wangi. Sedangkan Rangga sendiri masih terus memandang ke
arah lembah di depan sana, seperti ada sesuatu yang menarik dalam penilaiannya.
"Bagaimana tidurmu semalam, Pandan?" tanya
Rangga tiba-tiba seraya berpaling menatap gadis di sebelahnya.
"Nyenyak," sahut Pandan Wangi.
"Kau tidak merasakan atau mendengar sesuatu?"
tanya Rangga lagi.
Pandan Wangi tidak langsung menjawab, tapi
malah menatap Rangga dalam-dalam. Gadis itu semakin tidak mengerti dengan semua
pembicaraan Pendekar Rajawali Sakti barusan. Apalagi, sikap Rangga seperti
mencurigai si Jari Maut. Sedangkan dia tidak melihat kejanggalan pada diri lakilaki setengah baya itu.
"Kenapa kau masih mencurigainya, Kakang?"
tanya Pandan Wangi langsung.
"Sikapnya begitu mencurigakan. Dan sepertinya menyembunyikan sesuatu yang tidak
boleh diketahui.
Terus terang, aku juga tidak yakin kalau hanya ada sepuluh orang muridnya saat
ini. Dia pasti juga mengajarkan cara-cara menggunakan senjata rahasia pada
murid-muridnya," nada suara Rangga terdengar mantap.
"Kenapa kau beranggapan seperti itu, Kakang?"
tanya Pandan Wangi meminta penjelasan.
"Apa kau tidak mendengar pembicaraanku dengan si Jari Maut?" Rangga malah balik
bertanya. "Dengar," sahut Pandan Wangi.
"Seharusnya kau sudah bisa memahaminya,
Pandan. Semalam aku melihat seseorang menyelinap. Aku sempat mengejarnya,
sehingga sedikit terjadi pertarungan. Tapi dia berhasil lolos setelah
melemparkan senjata rahasia padaku. Kau lihat ini...," Rangga memperlihatkan
sebuah senjata rahasia berbentuk mata anak panah berwarna kuning keemasan.
Pandan Wangi mengambil benda itu dari tangan Rangga. Diamatinya benda itu
beberapa saat, lalu ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam.
Diserahkannya benda itu kembali pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Bagaimana menurutmu, Pandan?" tanya Rangga meminta pendapat si Kipas Maut ini.
"Aku masih tidak yakin kalau si Jari Maut bisa menggunakan senjata rahasia.
Tapi...," ucapan Pandan Wangi terputus.
"Tapi kenapa, Pandan?"
"Yang kutahu, hanya satu orang saja yang ahli dalam senjata rahasia di Karang
Setra ini, Kakang."
"Siapa?"
"Nenek Jamping," sahut Pandan Wangi
"Nenek Jamping.."!" Rangga tertegun.
"Orang yang terdekat dengan Mintarsih"
*** 3 "Mustahil...!" desis Rangga tidak percaya.
Mana mungkin Pendekar Rajawali Sakti bisa
percaya kalau Nenek Jamping bisa melakukan semua ini. Sedangkan semua orang
tahu, perempuan tua itu sudah tewas (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam
kisah "Jaringan Hitam"). Tapi Rangga tidak menyangkal kalau kemungkinan memang
Mintarsih yang melakukan semua ini. Hal ini juga pernah dilontarkan Danupaksi
padanya. Terlebih lagi, tahanan yang hilang hanya Sangkala.
Seorang pemuda yang mempunyai hubungan dengan Mintarsih, sehingga mengakibatkan
Pendeta Pohaji tewas di tangan wanita itu. Sedangkan Sangkala sendiri mencoba
membunuh Rangga, karena ter-makan hasutan Mintarsih. Katanya orang tua
Sangkala tewas di tangan Rangga.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apa mungkin Mintarsih kini menjalin hubungan
dengan si Jari Maut" Pertanyaan seperti ini tiba-tiba saja muncul di benak
Rangga. Memang sukar untuk bisa memastikan, karena semuanya masih terselimut
kegelapan. "Sebelum aku bertemu denganmu, aku pernah
bentrok melawan Nenek Jamping. Waktu itu aku tidak mengenal Mintarsih. Dalam
pertarungan itu, Nenek Jamping sangat pandai menggunakan senjata
rahasia. Aku berhasil lolos karena ditolong seorang laki-laki tua yang kusebut
kakek. Kau pasti kenal dengannya, Kakang," jelas Pandan Wangi mengingat
masa lalunya. "Kau tidak pernah cerita tentang hal itu, Pandan,"
sergah Rangga. Tentu saja Rangga kenal laki-laki tua yang dimaksudkan Pandan Wangi. Mereka
memang bertemu ketika terjadi peristiwa di Bukit Setan. Tapi, dia tidak pernah
tahu kalau Pandan Wangi pernah bentrok dengan perempuan tua yang bernama Nenek
Jamping, sekaligus orang terdekat dengan Mintarsih.
Ketika membatu Mintarsih pun, Rangga tidak melihat kalau Nenek Jamping
menggunakan senjata rahasia.
Atau, memang pada waktu itu tidak sempat meng-gunakannya" Waktu itu, pertarungan
antara Rangga dan Nenek Jamping memang berlangsung dalam
jarak yang begitu dekat. Jadi, rasanya terlalu sulit untuk melepaskan senjata
rahasia. "Bagaimana bentuk senjatanya, Pandan?" tanya Rangga ingin tahu.
"Terlalu banyak bentuknya. Dan aku tidak bisa memastikan satu persatu, Kakang.
Dia bisa menggunakan apa saja untuk dijadikan senjata rahasia.
Bahkan sehelai rumput pun bisa dijadikan senjata rahasia yang mematikan," sahut
Pandan Wangi "Apa mungkin Mintarsih bisa menggunakan
senjata rahasia?" Rangga seperti bertanya pada diri sendiri
"Kemungkinan itu selalu ada, Kakang," sahut Pandan Wangi.
Rangga kembali terdiam. Rasanya memang
semakin sulit mencari hubungan antara peristiwa yang satu dengan lainya. Memang,
ada kemungkinan Mintarsih juga mahir menggunakan senjata rahasia.
Tapi apa mungkin juga menguasai jurus 'Sepuluh Jari Maut'" Sedangkan dua
prajurit penjaga tewas dengan
kening berlubang sebesar jari. Dan luka itu sudah jelas akibat jurus 'Sepuluh
Jari Maut'. Sementara, yang memiliki jurus itu hanyalah si Jari Maut
"Pandan, apa mungkin si Jari Maut dan Mintarsih memiliki hubungan?" tanya
Rangga, agak ragu-ragu nada suaranya.
"Terlalu dini untuk bisa memastikannya, Kakang,"
sahut Pandan Wangi.
Lagi-lagi Rangga terdiam.
"Kakang, apa tidak sebaiknya kita pergi ke tempat tinggal Nenek Jamping...?"
saran Pandan Wangi.
"Ke puncak Gunung Batur Gamping?"
"Bukan ke sana, Kakang. Nenek itu mempunyai tempat tinggal yang baru setelah
turun dari pertapaannya," jelas Pandan Wangi.
"Di mana?"
"Tidak jauh dari Desa Wadas Putih."
"Desa Wadas Putih..." Untuk apa ke sana?" tanya Rangga.
"Barangkali saja Mintarsih ada di sana, Kakang,"
sahut Pandan Wangi.
"Tapi membutuhkan waktu dua hari perjalanan dari sini, Pandan," gumam Rangga.
"Memang, kalau hanya menunggang kuda."
"Maksudmu...?"
"Kau punya tunggangan yang lebih cepat, bukan?"
Rangga tiba-tiba saja tertawa terbahak-bahak. Dia tahu betul maksud Pandan Wangi
ini. Untuk mencapai Desa Wadas Putih dengan waktu singkat tidak ada cara lain
lagi, kecuali menunggang Rajawali Putih.
"Kau sudah bersumpah untuk tidak lagi menunggang Rajawali Putih, Pandan. Apa kau sanggup melanggar sumpahmu?" ujar
Rangga mengingatkan
akan sumpah Pandan Wangi.
"Sebelumnya pun aku sudah pernah melanggarnya, Kakang."
"Kau tidak takut lagi?"
"Kenapa harus takut" Toh, Rajawali Putih tidak mungkin menjatuhkan aku dari atas
awan." "Baiklah. Aku akan memanggil Rajawali Putih, dan kita pergi ke Desa Wadas
Putih." "Lebih cepat, lebih baik, Kakang. Mumpung belum terlalu siang."
Rangga hanya tersenyum saja.
*** Tidak sampai setengah hari, Rangga dan Pandan
Wangi sudah berada di pinggiran Desa Wadas Putih.
Mereka diturunkan Rajawali Putih di tempat sepi, dan cukup jauh dari pemukiman.
Setelah berpesan pada Rajawali Putih untuk menunggu, kemudian Rangga mengajak
Pandan Wangi untuk segera ke tempat tinggal Nenek Jamping yang berjarak tidak
jauh lagi. "Kapan kau terakhir ke tempat ini, Pandan?" tanya Rangga tetap cepat mengayunkan
kakinya. "Aku lupa. Tapi cukup lama juga tidak pernah ke sini lagi," sahut Pandan Wangi.
"Ada perubahan yang kau lihat?"
"Tidak terlalu banyak. Aku masih ingat letak rumahnya, kok."
Mereka terus berjalan cepat tanpa bicara lagi.
Sengaja mereka mempergunakan ilmu meringankan tubuh, agar lebih cepat sampai.
Dan jalan yang dipilih Pandan Wangi memang sepi. Tak seorang pun yang dijumpai,
sampai mereka tiba di depan sebuah rumah kecil berdinding bilik dan beratapkan
daun rumbia. Sekitar rumah itu terlihat kotor dan tidak terawat Sebentar mereka berhenti dan
merayapi sekitarnya, kemudian berjalan perlahan-lahan mendekati rumah kecil itu.
Tak terlihat seorang pun di sekitarnya. Begitu sunyi! Bahkan binatang kecil pun
tidak dijumpai. Begitu tinggal dua batang tombak lagi mereka sampai ke rumah
kecil itu, tiba-tiba saja dari bagian belakang rumah itu berlari seseorang
dengan cepat. "Hei...!" seru Rangga mencoba memanggil.
Tapi orang itu terus saja berlari seperti ketakutan.


Pendekar Rajawali Sakti 54 Pembalasan Mintarsih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka Rangga cepat melompat mengejar. Dua kali dia berlompatan, sehingga melewati
kepala orang itu.
Dan kini, tahu-tahu Rangga sudah berdiri di depannya. Orang itu terkejut, dan
langsung menghentikan larinya. Dia cepat berbalik. Tapi sebelum kakinya bergerak
untuk lari, wajahnya langsung memucat melihat Pandan Wangi sudah berdiri menghadang. "Oh! Ampuuun..., jangan bunuh aku...," rintih orang itu seraya menjatuhkan diri
berlutut "Siapa kau, Kisanak?" tanya Pandan Wangi, dingin nada suaranya.
"Aku..., aku Koler," sahut laki-laki muda bertubuh kurus itu. Suaranya terdengar
tergagap ketakutan.
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Dipandanginya bungkusan kain lusuh yang berada di dalam pelukan laki-laki bertubuh
kurus kering ini. Saat itu Rangga sudah menghampiri dan berdiri di samping
Pandan Wangi. Sebentar mereka saling berpandangan. Sedangkan laki-laki kurus
yang tidak mengenakan baju ini, masih tetap berlutut dengan kepala tertunduk dan
tubuh terbungkuk hampir menyentuh tanah.
"Bungkusan apa itu?" tanya Rangga.
"Oh! Ini.., ini..," suara Koler terputus-putus.
"Aku tanya, bungkusan apa itu"!" Rangga mengulangi dengan tegas.
"Aku mohon, jangan dirampas. Bungkusan ini
hanya berisi ramuan obat-obatan," nada suara Koler terdengar bergetar.
"Ramuan obat-obatan" Untuk siapa?" desak
Rangga. "Untuk seseorang, Tuan."
"Iya, aku tahu untuk seseorang! Masa' untuk binatang!" dengus Pandan Wangi jadi
kesal "Aku tanya, siapa yang membutuhkan obat-obatan itu..."!"
"Aku..., aku tidak tahu namanya. Aku dibayar untuk mengambil bungkusan ini dari
rumah itu."
"Laki-laki atau perempuan?" kejar Pandan Wangi.
"Perempuan."
"Di mana dia menunggumu?" tanya Pandan Wangi terus mengejar.
"Oh..."!" Koler nampak terkejut mendengar
pertanyaan Pandan Wangi.
Laki-laki berusia muda dan bertubuh kurus tanpa baju itu terdongak menatap
Pandan Wangi, lalu beralih menatap Rangga. Tubuhnya nampak menggetar seperti
menahan takut. Sedangkan tatapan Pandan Wangi begitu tajam menusuk.
"Kau boleh pergi," kata Rangga tiba-tiba.
"Oh, terima kasih...," ucap Koler langsung berseri-seri wajahnya.
Laki-laki kurus itu bergegas bangkit, lalu berlari cepat meninggalkan kedua
pendekar muda itu.
Didekapnya bungkusan kainnya, seakan-akan takut terjatuh.
"Kenapa kau membiarkannya pergi, Kakang?"
dengus Pandan Wangi tidak mengerti atas sikap Rangga.
"Kau tidak akan bisa mendesaknya, Pandan," kata Rangga kalem.
Sedikit pun Pendekar Rajawali Sakti tidak mengalihkan pandangannya, dan terus
memperhatikan Koler yang semakin jauh berlari. Sedangkan Pandan Wangi masih
tidak puas atas tindakan Rangga yang membiarkan laki-laki kurus tadi pergi
begitu saja. "Ayo kita pergi, Pandan," ajak Rangga.
"Ke mana?" tanya Pandan Wangi. "Kita belum
memeriksa ke dalam pondok itu."
"Tidak perlu."
"Heh..."! Bukankah tujuan kita ke sini untuk..?"
Pandan Wangi tidak sempat lagi meneruskan,
karena Rangga sudah melangkah cepat meninggal-kannya. Terpaksa gadis itu
bergegas mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali
Sakti. "Kau akan tahu, siapa yang menyuruh orang itu tadi," kata Rangga tanpa
menghentikan langkahnya.
"Jadi..., kau melepaskannya hanya untuk...,"
Pandan Wangi tidak meneruskan.
Rangga tidak menyahuti, dan terus melangkah cepat. Matanya terus tertuju pada
laki-laki kurus yang berjalan cepat, cukup jauh di depannya. Dan Pandan Wangi
sendiri tidak lagi banyak tanya. Gadis itu sudah bisa mengerti rencana Rangga
yang sebenarnya.
*** Sampai di depan sebuah gubuk kecil di tengahtengah kebun kelapa, laki-laki bertubuh kurus tanpa baju itu berhenti melangkah.
Wajahnya menoleh ke
kanan dan ke kiri sebentar. Lalu, dia bergegas masuk ke dalam gubuk kecil yang
kumuh itu. Ternyata di dalam sudah menunggu seorang wanita cantik
mengenakan baju biru. Dia duduk di dipan bambu yang hanya beralaskan sehelai
tikar lusuh. "Kau sudah kembali, Koler...?" suara wanita cantik itu terdengar pelan.
"Sudah, Nini," sahut Koler seraya menghampiri.
"Tidak ada yang mengikutimu, Koler?" tanya
wanita berbaju biru itu lagi.
"Tidak, tapi...."
"Tapi kenapa?"
"Aku bertemu dua orang yang mencurigakan, Nini."
"Siapa?"
"Aku tidak tahu. Mereka laki-laki dan perempuan, dan sepertinya orang-orang
persilatan. Mereka me-nahanku sebentar, lalu melepaskanku kembali, Nini."
"Hm, sudahlah. Mana ramuan obat yang kupesan?" "Ini..."
Laki-laki kurus itu duduk di samping kanan wanita berbaju biru. Diserahkannya
bungkusan kain yang sejak tadi dipeluk erat-erat. Wanita cantik berbaju biru itu
segera menerima. Tapi belum juga sempat membuka bungkusan kain itu, mendadak
saja pintu gubuk ini terbuka sendiri dari luar. Saat itu Rangga dan Pandan Wangi
menerobos masuk
Koler dan wanita cantik berbaju biru itu terkejut setengah mati. Bahkan Rangga
dan Pandan Wangi juga terkejut begitu berada di dalam gubuk kecil yang kumuh
ini. Tidak disangka kalau di dalam gubuk ini ada seorang wanita cantik yang
sudah mereka kenal.
Wanita yang tak lain adalah Mintarsih.
"Akhirnya kutemukan juga kau, Mintarsih," desis
Pandan Wangi dingin.
"Mau apa kalian ke sini"!" bentak Mintarsih seraya bangkit berdiri.
Koler bergegas berdiri juga, dan langsung ber-lindung di belakang Mintarsih.
Sedangkan wanita cantik berbaju biru itu sudah meraba ujung sabuknya yang
berwarna kuning keemasan. Sorot matanya begitu tajam, penuh kebencian pada
Rangga dan Pandan Wangi.
"Di mana kau sembunyikan Sangkala, Mintarsih?"
tanya Pandan Wangi langsung.
"Dia ada di penjara Karang Setra!" dengus
Mintarsih ketus.
"Kau sudah menculiknya dan membunuh dua
orang prajurit penjaga! Sekarang, di mana kau sembunyikan Sangkala..."!" bentak
Pandan Wangi jadi gusar.
"Aku menculik Sangkala..." Ha ha ha...!" Mintarsih jadi tertawa terbahak-bahak
mendengar tuduhan Pandan Wangi yang begitu langsung, tanpa tedeng aling-aling
lagi. "Aku tidak ada waktu main-main denganmu,
Mintarsih!" sentak Pandan Wangi berang.
"Main-main" Heh..."! Aku malah senang mendengar Sangkala bisa bebas. Bahkan telah membunuh dua orang prajurit Hebat..!
Dan kau benar-benar kecolongan, Pendekar Rajawali Sakti," terasa sinis nada
suara Mintarsih.
"Mintarsih! Aku tahu, kau dalam keadaan terluka.
Dan sebaiknya jangan menyulitkan dirimu sendiri,"
tegas Rangga dengan suara tenang.
"Aku tidak menculik Sangkala. Dan aku tidak ada hubungan lagi dengannya.
Jelas..."!" tegas Mintarsih.
"Bagaimana aku bisa percaya kata-katamu,
Mintarsih?" tanya Rangga meminta kepastian.
"Tanyakan saja pada Koler. Di mana saja aku selama ini, dan apa pernah pergi ke
Karang Setra atau tidak."
"Be..., benar. Nini Mintarsih tidak pergi ke mana-mana. Setiap hari bersemadi,
untuk menyembuhkan luka-lukanya di sini," selak Koler, agak tergagap suaranya.
"Kau dengar itu, Pendekar Rajawali Sakti...?"
Rangga dan Pandan Wangi diam saja. "Aku tahu, kalian tidak akan percaya.
Baik.... Paksa aku...!" Sret!
Mintarsih segera meloloskan sabuk emasnya.
Bet! Sekali kebut saja, sabuk berwarna kuning ke emasan itu jadi menegang kaku. Dan
kini sabuk itu telah membentuk sebilah pedang kuning keemasan.
Kemudian kakinya melangkah ke depan satu tindak.
Perlahan-lahan sabuk emas yang sudah berubah menjadi pedang itu diangkat, dan
ditujukan lurus ke arah Pandan Wangi.
"Kau yang maju lebih dulu, Pandan Wangi," desis Mintarsih dingin.
"Kau pikir aku takut, huh!" dengus Pandan Wangi.
Set! Bet! Begitu mencabut kipasnya, Pandan Wangi langsung mengebutkannya ke depan, tepat
menghantam sabuk emas yang menegang kaku di tangan
Mintarsih. Trang! "Tahan...!" sentak Rangga.
Tapi seruan Pendekar Rajawali Sakti tidak digubris sama sekali. Bagaikan kilat,
kedua wanita yang sudah berhadapan itu melesat ke atas, menjebol atap gubuk
dari rumbia ini.
Bres! *** ngga bergegas berlari keluar. Di depan gubuk kecil ini, tampak Mintarsih dan
Pandan Wangi sudah terlibat pertarungan yang cukup sengit. Masing-masing
berusaha saling menjatuhkan. Tidak mudah bagi Rangga untuk menghentikan, karena
pertarungan mereka berlangsung dalam jarak yang begitu rapat. Kalaupun
dipaksakan, bisa berakibat parah bagi kedua wanita itu. Terpaksa Rangga hanya
bisa jadi penonton saja.
Meskipun masih dalam keadaan terluka, Mintarsih masih cukup tangguh. Tidak mudah
bagi Pandan Wangi untuk cepat-cepat mengakhiri pertarungan ini.
Bahkan beberapa kali sabuk emas yang menegang kaku itu hampir membelah tubuhnya.
Walau sudah dua pukulan bersarang di tubuhnya, Mintarsih sering-kali membuat
Pandan Wangi kerepotan menghalau serangan-serangannya.
"Mampus kau! Hih...!"
Dengan kecepatan bagai kilat, tiba-tiba saja Pandan Wangi melenting ke atas.
Dilewatinya kepala Mintarsih dengan tubuh berputar. Lalu cepat sekali gadis itu
mengebutkan kipasnya, mengincar kepala Mintarsih.
Bet! "Hait!"
Mintarsih cepat mengegoskan kepala ke samping.
Langsung sabuk emasnya dikibaskan ke atas kepala.
Tak dapat dihindari lagi, dua senjata maut itu beradu keras. Akibatnya,
berpijaranlah bunga api yang
memercik ke segala arah.
Trang! "Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Pandan Wangi melenting, berputar sekali ke belakang Mintarsih. Lalu
dengan kecepatan luar biasa, si Kipas Maut itu memberi satu pukulan dengan
tangan kiri ke punggung. Serangan Pandan Wangi yang begitu cepat, tak dapat
dihindari lagi, tepat menghantam punggung Mintarsih.
Des! "Akh...!" Mintarsih memekik keras.
Wanita berbaju biru itu terpental ke depan sejauh dua batang tombak, namun cepat
berputar dua kali.
Dengan manis kakinya kemudian menjejak tanah, walaupun agak terhuyung-huyung
untuk mencoba menguasai keseimbangan tubuhnya. Tampak da rah menitik dari sudut
bibirnya. "Saatmu sudah tiba, Mintarsih...!" desis Pandan Wangi
"Tahan...!" seru Rangga tiba-tiba.
Pandan Wangi yang sudah bersiap hendak
menyerang kembali, seketika berhenti begitu Rangga tahu-tahu melompat cepat dan
berdiri di antara kedua wanita itu. Pandan Wangi mendengus melihat Rangga
mencegah pertarungannya. Sedangkan
Mintarsih hanya menatap penuh kebencian.
"Minggir, Kakang. Biar kubereskan perempuan setan ini!" dengus Pandan Wangi.
"Kendalikan dirimu, Pandan," ujar Rangga mencoba meredakan amarah Pandan Wangi
"Dia sudah membuat keonaran di Karang Setra, dan sekarang menculik Sangkala.
Perbuatannya tidak dapat diampuni lagi, Kakang," masih bemada ketus suara Pandan
Wangi. "Belum ada bukti kalau dia yang menculik
Sangkala, Pandan. Kau harus ingat tujuan kita ke sini.
Hanya untuk mencari bukti dari kebenaran yang ada."
"Huh!" dengus Pandan Wangi, kesal.
Memang sulit bagi Pandan Wangi jika harus
berdebat kata-kata dengan Rangga. Selamanya tidak bisa menang! Meskipun diakui
kata-kata yang diucapkan Rangga benar, tetap saja hatinya kesal.
Sementara itu Rangga sudah menghampiri Mintarsih yang masih mencoba menguasai
jalan napasnya dengan baik. Cukup banyak tenaga yang terkuras akibat
pertarungannya tadi. Terlebih lagi, sekarang ini keadaan tubuhnya belum sembuh
benar dari cedera akibat bertempur melawan Pendekar Rajawali Sakti.
"Mintarsih, aku tidak ingin menyulitkan dirimu. Dan sebaiknya, kau juga jangan
membuat kesulitan bagi dirimu sendiri," kata Rangga. Suaranya tenang dan lembut.
"Kalau kau menginginkan Sangkala, dia tidak ada di sini!" dengus Mintarsih
langsung memotong cepat
"Benar kau tidak membawa lari Sangkala dari penjara?" tanya Rangga ingin
menegaskan. ''Untuk apa..." Dia tidak ada gunanya bagiku!"
sahut Mintarsih.
Rangga memandangi bola mata wanita di depannya ini dalam-dalam, seakan-akan
ingin mencari kebenaran dari kata-kata yang diucapkan Mintarsih barusan.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian mengeluarkan sebuah benda berbentuk mata anak
panah berwarna kuning keemasan. Diperlihatkannya benda itu pada Mintarsih.
"Kau kenali benda ini, Mintarsih?" tanya Rangga.
"Salah satu dari senjata rahasia milik Nenek Jamping," sahut Mintarsih. Dia
memang mengenali
betul benda di tangan Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Aku tahu, Nenek Jamping mahir menggunakan
senjata rahasia seperti ini. Dan kaulah orang yang terdekat dengannya. Aku tidak
ingin menuduh kalau kau yang menggunakan senjata ini, Mintarsih. Aku hanya ingin
kau memberi tahu, siapa saja orang yang menggunakan senjata seperti ini selain
Nenek Jamping," desak Rangga, menyelidik
"Aku tidak tahu!" dengus Mintarsih ketus.
"Kedudukanmu saat ini cukup sulit, Mintarsih. Ada kemungkinan bukan hanya aku
yang mencarimu. Tapi juga pendekar-pendekar dari Karang Setra berusaha mencarimu
dan mendapatkan kembali Sangkala yang sampai saat ini masih menjalani masa
hukuman. Jika kau bersedia membantuku, aku akan menjamin
keselamatanmu. Dan kau bisa tenang menyembuhkan luka-lukamu," bujuk Rangga.
Mintarsih hanya diam saja.
"Kau tidak akan terus selamanya bersembunyi Mintarsih. Jangan berharap bisa
terlepas dari kejaran pendekar-pendekar Karang Setra. Kau harus mengingat
kesehatan tubuhmu sekarang ini. Jika kau mau menerima tawaranku, tidak ada
seorang pun yang akan mengganggumu lagi," bujuk Rangga kembali.
"Apa jaminanmu?" tanya Mintarsih setelah berpikir dan mempertimbangkan tawaran
Rangga cukup lama.
"Aku punya tempat, yang tak seorang pun bisa menemukanmu. Kecuali, aku dan
Pandan Wangi. Dan sahabatku yang terpercaya akan selalu menjaga keselamatanmu.
Kau tidak perlu khawatir. Sahabatku tidak akan kau ketahui, tapi akan menghalau


Pendekar Rajawali Sakti 54 Pembalasan Mintarsih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

siapa saja yang mencoba mendekatimu, sebelum kau
ketahui sendiri," kata Rangga memberi jaminan.
Mintarsih melirik Pandan Wangi. Sedangkan yang dilirik seperti tidak tahu, dan
malah mengalihkan pandangan ke arah lain. Kembali Mintarsih menatap Rangga yang
menunggu jawabannya. Cukup lama juga dia berpikir, mempertimbangkan tawaran
Pendekar Rajawali Sakti.
Memang pada saat ini, dirinya membutuhkan
tempat aman dan terbebas dari gangguan siapa pun untuk menyembuhkan luka-luka
yang dideritanya. Apa yang dikatakan Rangga memang tidak bisa dibantah lagi.
Sudah beberapa kali dia harus berhadapan dengan jago-jago Karang Setra, yang
masih terus memburunya. Sehingga, dia terpaksa harus ber-pindah-pindah tempat
untuk menghindari mereka itu.
Dan beberapa kali pula Mintarsih terpaksa harus bertempur, sehingga luka-lukanya
semakin bertambah parah.
"Bagaimana, Mintarsih...?" tanya Rangga meminta jawaban yang pasti dari wanita
itu. "Baiklah, aku akan bekerjasama denganmu. Tapi tunjukkan dulu, di mana tempat
yang kau janjikan,"
kata Mintarsih menerima juga tawaran Rangga.
Saat ini Mintarsih memang tidak punya pilihan lain lagi. Jika tidak menerima,
rasanya untuk menghadapi Pandan Wangi saja sudah tidak mampu lagi. Apalagi jika
harus menghadapi Pendekar Rajawali Sakti....
Tidak lebih dari lima jurus saja, pasti sudah tidak mampu bertahan lagi.
"Kau masih bisa berjalan selama dua hari?" tanya Rangga.
"Aku rasa masih bisa," sahut Mintarsih.
"Aku bisa mengatakannya dalam perjalanan, atau setelah sampai di sana nanti,"
kata Rangga. 4 Setelah mengantarkan Mintarsih, Rangga mengajak Pandan Wangi untuk segera ke
Lembah Kunir lagi.
Dua hari mereka terpaksa melupakan persoalan di Lembah Kunir. Sementara itu
Mintarsih telah memberikan nama beberapa orang yang diketahui mahir menggunakan
senjata rahasia. Saat nama si Jari Maut disebut, Rangga dan Pandan Wangi hampir
tidak percaya. Tapi Mintarsih berani bersumpah kalau si Jari Maut pernah belajar
mempergunakan senjata rahasia pada Nenek Jamping.
"Kau percaya apa yang dikatakannya, Kakang?"
tanya Pandan Wangi selagi mereka berada di
angkasa bersama Rajawali Putih.
"Kalaupun dia berbohong, paling tidak kita tahu di mana bisa menemukannya,
Pandan," sahut Rangga kalem.
"Kuharap kau tidak lagi mencegahku untuk memberi pelajaran padanya," desis
Pandan Wangi, masih kesal dengan wanita bernama Mintarsih itu.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Kraaaghk...!" tiba-tiba Rajawali Putih berseru nyaring.
"Ada apa, Rajawali Putih?" tanya Rangga.
"Khraghk...!"
Rajawali Putih menjulurkan kepalanya ke bawah.
Seketika Rangga menatap langsung ke bawah.
Matanya sedikit disipitkan begitu melihat titik-titik merah bergerak cepat,
berkelebatan di antara rimbunnya pepohonan di bawah sana. Pandan Wangi
juga memperhatikan ke bawah. Tapi, kepalanya cepat ditarik karena tiba-tiba saja
jadi terasa pening.
"Lebih mendekat lagi, Rajawali Putih...!" seru Rangga memberi perintah.
Rajawali Putih meluruk deras ke bawah, mengikuti perintah Rangga. Semakin dekat,
Rangga bisa jelas melihat Titik-titik merah itu bergerak cepat, berkelebatan di
antara pepohonan di bawahnya.
"Turun di depan sana, Rajawali Putih!" perintah Rangga lagi sambil menunjuk ke
sebuah dataran tinggi yang cukup lapang.
"Khraaaghk...!"
Bagaikan kilat, Rajawali Putih meluruk deras ke arah yang ditunjuk Rangga. Manis
sekali kakinya mendarat di tanah berumput hijau yang subur dan tebal bagai
permaidani terhampar. Rangga dan Pandan Wangi cepat melompat turun dari punggung
burung rajawali raksasa. Mereka bergegas berlari menuju ke tepi dari dataran
yang cukup tinggi ini
"Mereka seperti murid-murid si Jari Maut, Kakang,"
kata Pandan Wangi sambil memperhatikan titik-titik bayangan merah yang
berkelebatan cepat di antara kerimbunan pepohonan.
Empat bayangan merah itu terus bergerak cepat menuju Selatan. Baik Rangga maupun
Pandan Wangi tahu, mereka pasti menuju Lembah Kunir yang berada tidak seberapa
jauh lagi dari tempat ini. Dan dari tempat yang tinggi ini, mereka bisa melihat
Lembah Kunir yang memiliki pemandangan sangat indah.
Empat bayangan merah itu berhenti bergerak, lalu lenyap tak terlihat lagi.
Pepohonan yang begitu lebat, memang bisa membuat tempat persembunyian yang cukup
aman. Rangga dan Pandan Wangi terus memperhatikan dan menunggu. Tapi setelah begitu lama ditunggu, bayangan merah itu
tidak juga terlihat lagi.
"Aku akan melihat ke sana. Kau tunggu di sini, Pandan. Kalau terjadi sesuatu,
cepat datang bersama Rajawali Putih," pesan Rangga.
"Baik," sahut Pandan Wangi.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar
Rajawali Sakti bergegas berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Sementara Pandan Wangi terus memperhatikan dari tempat yang cukup tinggi ini. Saat itu,
Rangga sudah cukup jauh berlari. Pendekar Rajawali Sakti menyelusup, menembus
rapatnya pepohonan. Cepat sekali gerakannya, karena ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki sudah mencapai taraf kesempurnaan.
Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja,
Pendekar Rajawali Sakti sudah sampai di tempat empat bayangan merah tadi
menghilang. Pemuda berbaju rompi putih itu berdiri tegak, mengedarkan
pandangannya berkeliling. Tak ada seorang pun yang dijumpainya di tempat ini.
Benar-benar sunyi, sampai-sampai tak sedikit pun terdengar suara.
"Hm..., aku tidak yakin kalau mereka bisa
menghilang seperti hantu," gumam Rangga agak mendesis.
Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kakinya perlahan-lahan. Matanya terus dibuka
lebar-lebar, dan telinganya ditajamkan. Setiap jengkal yang dilalui, diteliti
dengan cermat. Diperiksanya setiap pohon dan semak belukar. Tapi tidak juga
ditemukan sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk.
Tanpa mengenal putus asa, Rangga terus mencari.
Hingga ketika tangannya menyibakkan segerumbul semak yang cukup tebal, kening
Pendekar Rajawali
Sakti jadi berkerut, karena semak ini menutupi sebuah mulut gua yang cukup
besar. Cukup untuk dilewati dua ekor kuda sekaligus. Sebentar diamati-nya
keadaan di dalam gua yang cukup gelap ini.
Kemudian kakinya terayun melangkah masuk.
Rangga mempergunakan aji 'Tatar Netra', agar bisa melihat jelas meskipun dalam
kegelapan yang pekat
*** Hati-hati sekali Rangga mengayunkan kakinya,
melangkah menyusuri lorong gua yang cukup panjang berliku dan gelap ini. Seluruh
dinding dan atap gua terbuat dari batu hitam yang licin dan berlumut tebal.
Lantainya pun terasa lembab, sedah-olah Rangga berjalan di atas permukaan lumpur
sawah. Sudah tiga belokan dilalui Pendekar Rajawali Sakti, tapi lorong gua ini
belum juga berakhir.
Sampai pada belokan yang ketujuh, Rangga baru menemui ujung lorong gua ini.
Sejenak dia tertegun melihat ujung lorong gua ternyata tertutup sebuah pintu
besi yang tebal dan tampak kokoh. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti menghampiri.
Tangannya terulur memeriksa pintu besi itu.
"Tidak ada kuncinya. Bagaimana aku bisa mem-bukanya?" gumam Rangga, bertanya
pada diri sendiri.
Sebenarnya tidak terlalu sukar bagi Rangga untuk mendobrak pintu besi ini. Tapi,
dia tidak ingin merusak. Pada saat Pendekar Rajawali Sakti tengah berpikir
keras, tiba-tiba saja pintu besi itu bergerak, memperdengarkan suara berderit
yang amat berat.
Rangga menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu cepat melompat begitu matanya melihat
sebongkah batu besar yang cukup untuk melindungi dirinya.
Saat itu pintu besi terbuka lebar. Kini terlihat dua orang keluar dari balik
pintu itu, disusul empat orang berpakaian serba merah. Yang membuat bola mata
Pendekar Rajawali Sakti terbeliak, dua orang itu adalah Jari Maut dan seorang
Panglima Perang Kerajaan Karang Setra. Rangga mengenali panglima itu. Dia biasa
dipanggil, Panglima Durangga.
"Aku di sini tinggal menunggu isyarat darimu, Panglima Durangga," ujar Jari Maut
tanpa menghentikan ayunan kakinya.
Sementara Rangga di tempat persembunyian,
terus mengamati sambil memasang telinga tajam-tajam. Pendekar Rajawali Sakti
juga memindahkan jalan pernapasannya melalui perut, agar tidak terdengar oleh
orang-orang itu.
"Aku sebenarnya cemas waktu mendengar Gusti Prabu dan Nini Pandan Wangi
menemuimu di pondok Lembah Kunir," kata Panglima Durangga.
"Tidak perlu khawatir. Semua sudah kuatasi
dengan baik. Aku tidak mungkin dicurigainya. Lihat saja nanti, aku akan membuat
dia bertarung mengadu nyawa melawan sahabatnya sendiri," si Jari Maut mencoba meyakinkan.
"Aku percaya. Selama ini semuanya berjalan
lancar," sahut Panglima Durangga. "Oh, ya. Bagaimana dengan Sangkala" Apa dia
sudah bisa diajak kerja-sama?"
"Rasanya sulit, Panglima Durangga. Aku sendiri tidak yakin kalau dia bisa
dipercaya untuk menghancurkan dari dalam. Hm.... Mengapa tidak kau saja yang
melaksanakannya, Panglima?"
"Orang-orang di Karang Setra terlalu patuh dan setia, walaupun ada juga yang
bisa kuajak kerjasama.
Makanya, aku tidak bisa bergerak bebas. Sedikit saja
melakukan sesuatu yang mencurigakan, bisa-bisa mereka langsung menutup ruang
gerakku. Paling-paling, aku hanya bisa mengerahkan prajurit-prajuritku, jika
saatnya sudah tiba," jelas Panglima Durangga.
"Kalau memang begitu, kita terpaksa menggunakan cara semula, Panglima," ujar si Jari Maut
"Aku percaya pada kemampuan empat orangmu
ini." "Mereka sudah terlatih baik, dan tidak pernah gagal melakukan tugas. Kecuali
pada malam itu.
Mereka telah gagal membunuh Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan hampir saja aku
kehilangan satu orang."
"Oh, ya. Kau bisa tahu di mana dia sekarang ini?"
tanya Panglima Durangga.
"Yang kudengar, dia mencari Mintarsih. Aku
berhasil mengalihkan perhatiannya pada Mintarsih.
Aku yakin, saat ini dia sudah jauh dari Karang Setra,"
sahut si Jari Maut.
"Bagus. Memang itu yang kuharapkan. Dengan
begitu, aku bisa leluasa bergerak. Masalah Danupaksi dan Cempaka, aku tidak
terlalu memikirkannya."
"Aku akan mengantarkanmu sampai di depan
pintu saja," kata si Jari Maut
"Baik. Memang seharusnya kau tidak terlalu sering pergi. Aku rasa kau sudah
terlalu kewalahan mengatur waktu untuk gadis-gadis itu."
Mereka kemudian tertawa terbahak-bahak, dan semakin jauh masuk ke dalam lorong
gua ini. Rangga baru keluar dari balik batu persembunyiannya, setelah mereka
tidak terlihat lagi. Pendekar Rajawali Sakti menatap ke pintu besi yang kini
terbuka lebar. Bergegas dia melompat, menerobos melewati pintu
itu. *** Sejenak Rangga tertegun begitu berada di luar
gua. Ternyata pintu gua ini berada tepat di belakang pondok kecil tempat tinggal
si Jari Maut. Suasananya begitu sepi. Tak ada seorang pun terlihat di
sekitarnya. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kakinya, melangkah
mendekati pondok kecil yang diketahui untuk beristirahat sepuluh orang murid si
Jari Maut Dari pintunya yang terbuka, Rangga dapat melihat ke dalam. Tak ada seorang pun
di dalam pondok itu.
Rangga kembali mengayunkan kakinya, mendekati pondok satunya lagi. Dia tahu
kalau pondok itu menjadi tempat tinggal si Jari Maut
"Hup!"
Tiba-tiba saja Rangga melesat ke atas. Dan manis sekali kakinya mendarat di atap
pondok. Gerakannya sungguh indah dan ringan sehingga tak menimbulkan suara
sedikit pun. Pada saat itu dari dalam pondok keluar dua orang gadis muda berbaju
merah menyala. "Hup...!"
Cepat sekali Rangga melompat turun dari atap.
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat tepat di belakang kedua gadis muda itu.
Secepat itu pula, tangan Rangga terulur hendak menotok. Namun tanpa diduga sama
sekali, kedua gadis itu cepat berbalik sambil mengebutkan tongkat kayu yang
dibawanya. Bet! "Uts...! Hap!"
Rangga bergegas menarik tangannya kembali, lalu
melenting ke belakang. Tubuhnya berputar satu kali sebelum dua ujung tongkat
yang cukup runcing menyobek perutnya. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti
menjejakkan kakinya kembali di tanah. Pada saat itu, dua orang gadis berbaju
merah menyala sudah melompat cepat sambil mengebutkan tongkat ke arah dada dan
kaki Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
"Hap!"
Rangga segera mengebutkan kedua tangannya,
menangkis dua batang tongkat itu. Dan secepat kilat, tangannya dihentakkan ke
depan. Begitu cepatnya gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga kedua gadis itu
tidak sempat lagi menghindari pukulan yang dilepaskan Rangga.
Begkh! Bugkh! Kedua gadis muda itu memekik tertahan. Tubuh mereka terpental sejauh beberapa
batang tombak ke belakang. Pada saat itu, Rangga sudah melompat cepat mengejar.
Pendekar Rajawali Sakti siap memberi pukulan yang mengandung pengerahan tenaga
dalam penuh. "Hiyaaat..!"
Plak! "Akh...!"
Hampir saja pukulan Rangga mendarat di dada kedua gadis itu. Untung saja cepat
datang sebuah bayangan merah berkelebat menghantam punggung Pendekar Rajawali
Sakti. Pemuda berbaju rompi putih itu terpekik agak tertahan. Tubuhnya
tersungkur mencium tanah, tapi cepat bangkit berdiri. Segera tubuhnya diputar
berbalik. "Jari Maut..," desis Rangga begitu melihat seorang laki-laki setengah baya tahutahu sudah berdiri sekitar dua batang tombak di depannya.
"Tidak sepatutnya kau menyakiti murid-muridku, Pendekar Rajawali Sakti," terasa
begitu dingin nada suara Jari Maut
"Aku tidak akan menyakiti, jika kau sendiri tidak memulai menyubit, Jari Maut,"
desis Rangga tidak kalah dinginnya.
"Ha ha ha...! Gurauanmu menggelitik sekali, Pendekar Rajawali Sakti."
"Cukup untuk membuatmu berpikir seribu kali, jika merencanakan menggulingkan
Karang Setra!"
"Setan...! Sudah dua kali kau menuduhku,
Pendekar Rajawali Sakti!" geram Jari Maut, langsung memerah wajahnya.
"Tuduhan yang beralasan. Dan kau tidak bisa lagi mungkir dariku!" dingin sekali
suara Rangga. "Keparat..!"
"Siapa kau sebenarnya, sehingga berani berlindung di balik nama Jari Maut.."!" bentak Rangga keras.
"Bedebah! Kau harus mampus lebih dulu,
Pendekar Rajawali Sakti!"


Pendekar Rajawali Sakti 54 Pembalasan Mintarsih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm...."
"Suiiit..!"
Tiba-tiba saja si Jari Maut bersiul nyaring. Dan belum juga siulannya hilang
dari pendengaran, mendadak saja bermunculan orang-orang berbaju merah menyala.
Mereka semua terdiri dari laki-laki muda berusia sekitar dua puluh tahun.
Rangga jadi berkerut juga keningnya melihat di sekitarnya sudah mengepung
sekitar lima puluh orang. Bahkan tidak sedikit yang bersembulan dari
atas pepohonan, dengan anak panah siap dilepaskan dari busur. Juga, beberapa
orang lagi membawa jaring hitam yang berada di atas pondok. Rangga langsung bisa
menebak, kalau jumlah mereka lebih dari seratus orang. Dan tidak mungkin mereka
semua bisa dikalahkan seorang diri, meskipun memiliki tingkat kepandaian yang
tinggi sekali. "Ha ha ha...! Kau tidak akan bisa lolos dariku, Pendekar Rajawali Sakti!" si
Jari Maut tertawa terbahak-bahak.
"Kau benar-benar licik, Setan Keparat..!" desis Rangga menggeram.
"Ha ha ha...!" si Jari Maut terus tertawa terbahak-bahak.
Jari Maut tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti memiliki tingkat kepandaian yang
sukar dicari tandingannya. Tapi setinggi apa pun tingkat kepandaian seseorang,
tak akan mampu menghadapi seratus orang dengan senjata terhunus. Terlebih lagi
dalam keadaan terkepung seperti ini. Tak ada lagi ruang gerak untuk bisa
meloloskan diri. Setiap celah sudah tertutup rapat. Dan kepungan pun semakin
bertambah rapat.
Orang-orang berbaju serba merah ini terus bergerak perlahan-lahan mendekati
Pendekar Rajawali Sakti. Berbagai macam senjata siap mengancam, dan siap
mencabik-cabik tubuh pemuda berbaju rompi putih ini. Sedangkan si Jari Maut
sudah melompat ke atas atap. Dia siap memberi perintah pada orang-orangnya yang
semakin dekat saja pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Serang...!" teriak si Jari Maut tiba-tiba.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
5 Begitu mendapat perintah dari si Jari Maut, lima puluh orang yang mengepung
Rangga langsung
berlompatan menyerang. Berbagai macam bentuk senjata, berkelebatan di sekitar
tubuh Rangga. Sehingga, pemuda berbaju rompi putih itu harus terpaksa berjumpalitan sambil
meliuk-liukkan tubuh menghindari serangan yang datang dari segala penjuru.
Setiap kali memiliki kesempatan, Rangga tidak menyia-nyiakannya. Cepat
dilepaskannya pukulan maupun tendangan yang mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi. Jeritan-jeritan melengking mulai terdengar saling sambut, disusul
bertumbangannya tubuh-tubuh berbaju merah menyala.
Memang tidak mudah menjatuhkan Pendekar
Rajawali Sakti. Bahkan untuk mendekati saja, sulit setengah mati. Pertahanan
Rangga memang kuat.
Terlebih lagi, ayunan pukulan dan tendangannya yang mengandung pengerahan tenaga
dalam tinggi. Benar benar sulit untuk dihindari. Hingga dalam waktu tidak berapa
lama saja, sudah hampir separuh pengeroyok yang ambruk bergelimpangan, tak mampu
bangkit lagi. "Mundur...!" seru Jari Maut tiba-tiba. Seketika itu juga, orang-orang berbaju
merah berlompatan mundur menjauhi Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum juga Rangga
sempat menarik napas lega, tiba-tiba saja ratusan anak panah berhamburan menghujaninya. "Setan...!" rutuk Rangga.
"Hiyaaat..!"
Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghindari serbuan anak panah yang datang
bagaikan hujan.
Kedua tangannya berkelebat cepat menghalau anak-anak panah yang berhamburan di
sekitar tubuhnya.
Serbuan anak panah itu demikian gencar, membuat Rangga sukar menarik napas.
"Lemparkan jaring...!" teriak si Jari Maut tiba-tiba.
Bet! Wuk...! Seketika itu juga, beberapa orang melemparkan jaring berwarna hitam ke arah
Rangga, tepat saat hujan anak panah berhenti. Pendekar Rajawali Sakti tidak
sempat lagi menghindar, sehingga tubuhnya seketika terbungkus jaring hitam yang
kuat dan sangat kenyal. Pemuda berbaju rompi putih itu jatuh bergulingan di
tanah, berusaha keras melepaskan diri dari belitan jaring hitam yang semakin
kuat. Namun usahanya sia-sia belaka. Jaring itu semakin bertambah kuat, membuat
gerakan Rangga jadi
menyempit. "Ha ha ha...!" Jari Maut tertawa terbahak-bahak melihat Pendekar Rajawali Sakti
tak berdaya lagi, terkurung jaring-jaring hitam.
Rangga yang merasa tidak ada gunanya melawan, langsung menghentikan usahanya
membebaskan diri dari belitan jaring di tubuhnya. Namun otaknya terus berputar,
mencari jalan agar bisa terlepas dari jaring ini. Tapi dia jadi mendengus.
Ternyata beberapa orang lagi bergegas berlompatan, dan langsung mengikat
Pendekar Rajawali Sakti dengan tambang yang sangat besar dan kuat.
"Huh! Aku harus memberi tahu Rajawali Putih, sebelum iblis keparat ini
mencincang tubuh ku,"
dengus Rangga dalam hati.
*** Sementara itu, jauh dari Lembah Kunir. Tepatnya di atas tebing yang cukup
tinggi, Pandan Wangi masih menunggu bersama Rajawali Putih. Gadis itu terus
Terbang Harum Pedang Hujan 18 Pendekar Bodoh 2 Kemelut Di Telaga Dewa Pendekar Bloon 19

Cari Blog Ini