Ceritasilat Novel Online

Rahasia Gordapala 2

Pendekar Rajawali Sakti 66 Rahasia Gordapala Bagian 2


sehingga hanya terlihat sedikit lubang bulat berada tepat di atas kepala.
Sehingga, cahaya matahari tak sanggup menerobos masuk menerangi ruangan yang
tidak begitu besar ini.
"Tempat apa ini...?" gumam Pandan Wangi
bertanya pada diri sendiri.
Tidak ada yang bisa menjawab. Dan memang, mereka semua tidak tahu tempat ini.
Mereka juga tidak tahu sekarang berada di mana. Sementara Rangga sudah memeriksa
dinding batu yang
mengelilingi ruangan berukuran tidak begitu besar ini
Sedangkan Cempaka menyandarkan punggungnya ke dinding. Tapi mendadak saja....
"Eh..."!"
Cempaka terkejut sambil melompat
"Ada apa, Cempaka?" tanya Rangga seraya
bergegas menghampiri.
"Dinding ini seperti bergerak," sahut Cempaka seraya memandangi dinding yang
tadi disandarinya.
Rangga cepat menghampiri dinding itu. Tangannya meraba-raba. Tidak ada yang
aneh. Dinding ini sama dengan yang lainnya. Tapi saat memandang ke bawah, kening
Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut dalam. Memang, dinding ini tadi bergerak
sedikit. Ada segaris debu terlihat di lantai batu yang keras dan dingin ini.
"Hep. .!"
Rangga mencoba mendorong dinding batu yang kelihatannya berat Sedikit demi
sedikit, mereka berhasil mendorong dinding batu itu, hingga akhirnya mereka
menemukan pintu. Ketujuh pendekar muda itu bergegas keluar dari ruangan ini.
"Lorong...," desis Cempaka begitu berada di luar ruangan batu itu.
"Tingkatkan kewaspadaan kalian. Kita telusuri lorong ini," kata Rangga, agak
berbisik suaranya.
Mereka mulai melangkah menyusuri lorong batu ini. Rangga berjalan paling depan,
diikuti Danupaksi, Cempaka, dan Liliani. Sedangkan Pandan Wangi berada di
belakang kedua gadis itu, diikuti Banara dan Sarala. Mereka melangkah begitu
hati-hati. Lorong ini cukup terang, karena setiap jarak tiga tombak terdapat obor yang
terpancang di dinding.
Tampaknya, lorong ini cukup panjang, dan penuh belokan berliku.
Hingga akhirnya, mereka sampai di depan pintu yang terbuat dari besi, setelah
melewati satu tikungan yang cukup tajam. Mereka berhenti berkumpul di depan
pintu besi yang sudah karatan ini. Rangga memeriksa sisi pintu, kemudian
mengetuk-ngetuk seluruh bagian pintu itu.
"Dobrak saja, Kakang," usul Danupaksi.
"Silakan!" ujar Rangga menyetujui.
Danupaksi segera bersiap-siap. Kemudian, Rangga meminta yang lainnya untuk
menyingkir menjauhi pintu ini. Lalu Pendekar Rajawali Sakti juga melangkah
mundur beberapa tindak. Sementara, tinggal Danupaksi yang masih berdiri tegak di
depan pintu besi yang sudah karatan itu.
"Hati-hati, Danupaksi," desis Rangga berbisik memperingatkan.
Saat itu Danupaksi sudah bersiap hendak menghancurkan pintu besi itu. Kakinya
direntangkan agak lebar. Lalu, kedua lututnya ditekuk, hingga tubuhnya merendah.
Kedua tangannya terkepal berada di samping pinggang. Tatapan matanya begitu
tajam tertuju lurus ke pintu besi di depannya.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak nyaring, Danupaksi menghentakkan kedua tangannya ke depan,
dengan seluruh jari-jari mengembang terbuka. Secercah sinar terang, menyemburat
keluar dari kedua telapak tangan pemuda itu. Lalu....
"Yeaaah...!"
Cepat sekali Danupaksi melompat menghantam pintu besi itu dengan keras sekali.
Seketika itu juga, terdengar ledakan keras menggelegar. Akibatnya, seluruh
dinding dan atap lorong ini jadi bergetar, bagaikan hendak runtuh. Tampak
Danupaksi ter- pental ke belakang, dan jatuh bergulingan beberapa kali di lantai batu lorong
ini. Bergulingnya baru berhenti setelah menyentuh kaki Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti membantu Danupaksi berdiri. Mereka kemudian menatap
pintu besi yang sudah hancur terkena pukulan dahsyat yang dilancarkan Danupaksi
tadi. Debu masih mengepul di sekitar pintu yang sudah hancur itu. Perlahan
Rangga dan Danupaksi menghampir, diikuti yang lainnya.
"Edan...!" desis Danupaksi begitu berada di ambang pintu.
*** Semua pendekar muda itu berjejalan di ambang pintu. Mereka jadi mengeluh, begitu
di depan terlihat hanya ada kubangan lumpur panas yang mendidih dan berwarna
merah. Uap berbau belerang tercium menyengat lubang hidung. Baru disadari kalau
sekarang ini mereka berada di dalam perut Gunung Tangkup. Dan kolam lumpur
mendidih itulah yang membuat mereka jadi mengeluh. Tak ada lagi jalan keluar
dari tempat ini.
Dengan tubuh lemas, mereka menjauhi pintu itu.
Sementara, Rangga dan Danupaksi masih tetap berdiri di ambang pintu. Mereka
merayapi sekitarnya.
Batu-batu yang ada semuanya berwarna merah membara seperti terbakar. Sesekali,
terlihat semburan api dari dalam kubangan lumpur yang bergolak mendidih itu.
"Bagaimana sekarang, Kakang?" tanya Danupaksi.
Rangga hanya diam saja.
"Apa mungkin ada jalan lain keluar dari sini...?"
tanya Danupaksi lagi, seperti untuk diri sendiri. Dan
nada suaranya jelas terdengar mengeluh menghadapi kenyataan ini.
"Mungkin. Dugaanku, jalan keluar hanyalah memanjat dinding batu ini, Danupaksi,"
kata Rangga seraya mendongak ke atas.
"Mustahil, Kakang. Lihat saja batu-batu ini semuanya panas terbakar. Mana
mungkin bisa melewatinya...?" keluh Danupaksi.
Mereka kembali terdiam. Memang sangat kecil kemungkinannya untuk bisa keluar
dari tempat ini, meskipun memanjat dinding batu di sekitar kubangan lumpur yang
bergolak mendidih ini.
"Kakang, apa tidak mungkin kalau memanggil Rajawali Putih?" usul Danupaksi.
Rangga menatap adik tirinya ini, kemudian berpaling ke arah tiga putra Elang
Maut. Kini Danupaksi baru bisa mengerti. Memang sulit bagi Rangga untuk
memanggil Rajawali Putih, karena ada orang lain di antara mereka. Kalau hanya
ada dirinya, Pandan Wangi, dan Cempaka, tidak ada persoalan bagi Pendekar
Rajawali Sakti untuk memanggil burung rajawali raksasa tunggangannya. Karena,
mereka semua tahu. Tapi yang menjadi persoalan adalah ketiga putra Elang Maut
itu. Mereka belum tahu kalau Rangga mempunyai tunggangan seekor burung rajawali
raksasa, yang bisa dipanggil dengan siulan sakti.
"Sebaiknya, kita cari dulu jalan keluar yang lain, Danupaksi," kata Rangga
merasa keberatan terhadap usul adik tirinya tadi.
"Aku mengerti, Kakang. Maaf...," ucap Danupaksi
"Sudahlah," Rangga menepuk pundak Danupaksi seraya tersenyum.
Mereka kemudian berbalik, dan melangkah menghampiri yang lain. Rangga tahu, mereka semua kini mulai dihinggapi perasaan
putus asa. Ini bisa terlihat dari raut wajah dan sinar mata yang begitu lesu
menghadapi kenyataan seperti ini. Terkurung di dalam perut Gunung Tangkup, tanpa
ada jalan keluar yang bisa ditemukan. Hanya Pandan Wangi yang kelihatannya tetap
tabah. Si Kipas Maut itu masih tetap percaya kalau ada jalan keluar dari tempat
ini. Ketabahan Pandan Wangi bisa terbentuk, karena sudah begitu sering menghadapi
hal-hal yang tak terduga seperti sekarang ini. Dan dia percaya, kalau bisa
menemukan jalan keluar. Persoalannya hanya tergantung dari keuletan serta
ketabahan diri masing-masing dalam menghadapi kejadian seperti ini.
"Ayo, kita telusuri lagi lorong ini," ajak Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti langsung saja melangkah menyusuri lorong ini melalui
jalan yang sama. Pandan Wangi mengikuti, dan mensejajarkan langkahnya di samping
Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan yang lain hanya bisa mengikuti di belakang
kedua pendekar muda yang sudah berpengalaman dalam menghadapi segala macam
persoalan dan kejadian yang tidak terduga.
"Mereka sepertinya putus asa, Kakang," ujar Pandan Wangi berbisik perlahan.
"Ya, aku tahu," sahut Rangga.
"Kita harus segera menemukan jalan keluarnya, Kakang. Sebelum mereka benar-benar
putus asa,"
kata Pandan Wangi lagi, tetap pelan suaranya.
Rangga hanya diam saja. Memang, keikutsertaan tiga putra Elang Maut sebenarnya
menjadi beban bagi mereka berdua. Tapi baik Rangga maupun Pandan Wangi tidak
bisa lagi menolak keinginan mereka untuk ikut serta dalam memburu Raden
Gordapala. Tapi, semuanya memang sudah terjadi. Dan mereka berdua harus bisa menemukan
jalan keluar dari tempat ini secepatnya, sebelum terjadi sesuatu yang bisa
membuat mereka semua semakin kehilangan semangat
*** Pendekar Rajawali Sakti berhenti melangkah begitu sampai di depan pintu ruangan,
tempat mereka tadi terperosok masuk ke dalam perut Gunung Tangkup ini. Sebentar
matanya merayapi keadaan ruangan itu, kemudian kembali melangkah menyusuri
lorong ini, diikuti yang lain. Lorong yang arahnya berlawanan dengan yang
dilalui tadi. Mereka semua terus berjalan menyusuri lorong yang cukup terang oleh obor
terpancang di dinding, tanpa ada seorang pun yang membuka suara.
Sementara, Pandan Wangi terus mendampingi Pendekar Rajawali Sakti dengan bibir
terkatup. Gadis ini memandangi setiap jengkal dinding yang dilewati.
Seperti lorong yang dilalui tadi, lorong ini juga cukup panjang dan banyak
terdapat tikungan cukup tajam dan berliku. Tapi, mereka merasakan kalau lorong
ini menanjak, meski tidak ada satu pun undakan ditemui. Jalan yang menanjak naik
ini semakin terasa setelah mereka melewati lima buah tikungan yang cukup tajam.
Hingga akhirnya, mereka kembali menemui sebuah pintu yang juga terbuat dari
besi. Tapi, pintu ini tidak tertutup rapat. Sehingga, mudah sekali Rangga membukanya.
Pendekar Rajawali Sakti jadi tertegun, karena di balik pintu ini terdapat sebuah ruangan
yang berukuran cukup besar. Mereka kemudian melangkah memasuki
ruangan itu. "Seperti sebuah gelanggang, Kakang," bisik Pandan Wangi yang masih tetap
mendampingi Rangga di sampingnya.
Memang, ruangan ini merupakan sebuah
gelanggang. Sekelilingnya terdapat undakan-undakan batu yang melingkar
menyerupai tempat duduk. Ada beberapa pintu yang tertutup jeruji besi. Sedangkan
atap ruangan ini terbuat dari batu yang melingkar seperti stupa candi yang
sangat besar ukurannya.
Saat mereka tengah memandangi sekitarnya, tiba-tiba saja....
Brakkk! Semua jadi terkejut! Tiba-tiba saja, pintu yang dimasuki tadi tertutup dengan
sendirinya. Danupaksi cepat melompat ke pintu itu, dan mencoba
membukanya. Tapi, pintu itu sudah terkunci kuat dan sulit dibuka lagi. Danupaksi
jadi mendengus mengeluh.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara tawa keras menggelegar dan menggema. Suara tawa
yang mereka dengar ketika terperosok masuk ke dalam tanah yang terbelah di depan
bangunan Istana Hantu.
Kini suara tawa itu kembali terdengar menggema di ruangan yang bentuknya seperti
sebuah gelanggang pertandingan.
"Selamat datang di gelanggang istanaku,
Pendekar-pendekar Gagah!"
"Heh..."!"
Kembali mereka terkejut, begitu tiba-tiba di atas mimbar sudah berdiri seorang
pemuda berwajah tampan. Bajunya berwarna merah muda, dan terbuat dari bahan
sutera halus. Indah sekali. Pemuda itu
didampingi dua orang gadis cantik, seorang perempuan tua membawa cambuk ekor
kuda, dan seorang laki-laki tua berjubah merah membawa tongkat berkepala
tengkorak. Pada saat itu seluruh ruangan ini jadi terang benderang, begitu atap batu di
atas mereka membelah terbuka lebar. Tampak langit biru yang berawan tipis
berarak di atas sana. Matahari pun terlihat bersinar cerah. Dan di sekeliling
mereka, sudah terlihat puluhan orang, bahkan mungkin ratusan orang yang membawa
senjata berbagai macam bentuk. Mereka menempati undakan-undakan tangga bagian
atas, seperti hendak menyaksikan suatu pertunjukan di tengah-tengah gelanggang
ini. "Kita masuk perangkap Raden Gordapala, Kakang Rangga," bisik Banara yang tahutahu sudah berdiri di samping kiri Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga hanya diam saja, menatap lurus pemuda tampan yang berdiri di atas mimbar
kehormatan gelanggang ini. Dia tahu, pemuda itu adalah Raden Gordapala. Memang,
mereka sempat bertemu dan bertarung di depan bangunan Istana Hantu di Puncak
Gunung Tangkup. Sedangkan yang mendampingi si Jago dari Alam Kubur itu adalah
Iblis Tongkat Merah, Dewi Cambufr Maut, dan kedua gadis berjuluk Dewi Naga
Kembar. Dan ratusan orang bersenjata yang berkeliling di sekitar bagian atas
gelanggang ini sudah pasti para pengikut si Jago dari Alam Kubur itu.
"Ternyata tidak terlalu sulit menggiringmu ke sini, Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi, aku tidak menyangka kau membawa orang lain yang sama sekali tidak
kubutuhkan," lantang sekali suara Raden Gordapala.
"Apa yang kau inginkan dariku, Gordapala?" tanya
Rangga tidak kalah lantang suaranya.
"Kenapa mesti bertanya begitu..." Seharusnya kau sudah tahu apa yang kuinginkan.
Pendekar Rajawali Sakti!" agak menggeram nada suara Raden
Gordapala. "Kalau kau menginginkan pisau emas itu, aku sudah meleburnya kemarin. Tidak
mungkin kau bisa mendapatkannya lagi," kata Rangga, tetap lantang suaranya.
"Bedebah...! Jangan coba-coba mempermainkan aku, Pendekar Rajawali Sakti!" geram
Raden Gordapala jadi berang.
"Aku tidak main-main. Lihat saja ini...!"
Rangga mengeluarkan sebuah lempengan logam berwarna kuning keemasan yang
berkilat dari balik sabuk pinggangnya. Kemudian benda itu dilemparkannya begitu
saja, jauh ke depan. Melihat lempengan emas itu, bola mata Raden Gordapala jadi
terbeliak lebar. Begitu juga para pendampingnya.
Mereka terkejut setengah mati melihat lempengan emas yang dilemparkan Pendekar
Rajawali Sakti.
"Setan keparat..! Kau benar-benar membuatku marah, Pendekar Rajawali Sakti! Kau
harus mampus! Juga Kerajaan Karang Setra yang kau bangga-banggakan itu harus hancur...!"
Raden Gordapala tidak bisa lagi menahan
kemarahannya, melihat lempengan emas yang dilemparkan Rangga. Wajahnya memerah
bagai besi yang terbakar dalam tungku pembakaran. Geraham-nya bergemeletuk, dan
matanya berkilatan merah bagai sepasang bola mata api yang hendak meng-hanguskan
apa saja yang dilihat. Sementara, Rangga tetap kelihatan tenang. Bahkan bibirnya
menyung-gingkan senyum tipis.
*** Ketika tiba-tiba Raden Gordapala mengangkat tangannya ke atas, mendadak saja
dari dalam tanah bersembulan jeruji-jeruji besi baja hitam yang terlihat kokoh.
Rangga yang melihat terlebih dahulu cepat melompat menghindar, hingga terpisah
dari yang lain.
Dan jeruji besi baja itu cepat sekali menyembul keluar begitu tinggi dan rapat,
sebelum pendekar-pendekar muda itu sempat menyadari. Sehingga, mereka jadi
terkurung jeruji besi baja hitam yang begitu rapat dan kuat. Hanya Rangga yang
tidak terkurung, karena tadi sempat melompat.
"Ha ha ha...!" Raden Gordapala tertawa terbahak-bahak.
Dan memang inilah yang diinginkan si Jago dari Alam Kubur itu. Memisahkan Rangga
dengan yang lain. Jadi, hanya sekali saja bertindak, keinginannya itu sudah bisa
terlaksana. Sekarang Rangga berhasil dipisahkan dari yang lain. Sedangkan
Pendekar Rajawali Sakti itu jadi terkejut begitu menyadari akal licik dari Raden
Gordapala. Bergegas dia bangkit berdiri dan hendak menghampiri rekan-rekannya.
Tapi belum juga sampai, kurungan besi baja itu sudah cepat terangkat naik. Dan
enam pendekar muda itu kini terkurung berada jauh di atas tanah.
Rangga hanya bisa memandangi saja. Sementara, Raden Gordapala terus tertawa
terbahak-bahak.
Begitu keras menggelegar suara tawanya. Sedangkan Rangga hanya memandangi saja
tiang besi baja yang menopang kurungan berisi enam pendekar muda itu.
"Licik...!" desis Rangga seraya memutar tubuhnya, menghadapi Raden Gordapala
lagi. "Itu baru permulaan, Pendekar Rajawali Sakti.
Sebentar lagi, kau akan menghadapi suatu kematian yang begitu indah.... Kau akan


Pendekar Rajawali Sakti 66 Rahasia Gordapala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghadapi kematianmu secara perlahan-lahan. Ha ha ha...!"
Rangga hanya bisa mendesis geram. Memang
tidak ada yang bisa dilakukannya, selain menghadapi semua rencana yang ada di
benak Jago dari Alam Kubur itu. Apa pun yang akan terjadi, memang sukar diduga.
Tapi yang pasti, tidak akan mungkin menguntungkan Pendekar Rajawali Sakti. Dan
ini sudah dipikirkannya dalam menghadapi keadaan semacam ini.
"Buka pintu pertama...!" seru Raden Gordapala tiba-tiba.
Rangga cepat berpaling saat mendengar suara berderak dari sebuah pintu jeruji
besi yang berada tepat di sebelah kanannya. Hati Pendekar Rajawali Sakti jadi
terkesiap, begitu dari dalam pintu itu keluar sesosok tubuh tinggi besar bagai
raksasa. Tingginya dua kali dari ukuran manusia biasa. Seluruh tubuhnya hampir
tertutup rambut-rambut halus yang ikal menghitam. Makhluk raksasa itu menyandang
sebuah gada berduri tajam berkilatan yang ukurannya sama dengan paha orang
dewasa. "Manusia apa ini...?" desis Rangga dalam hati.
"Ghraaagkh...!"
Bumi jadi bergetar saat makhluk raksasa itu menggerung keras menggelegar sambil
mengangkat gadanya tinggi-tinggi ke atas kepala. Sedangkan Rangga melangkah
mundur perlahan-lahan beberapa tindak. Dari atas mimbar, terdengar suara tawa
keras menggelegar. Sementara, enam pendekar muda yang terkurung di atas hanya
bisa menahan napas saja melihat Rangga harus menghadapi manusia raksasa
yang begitu liar ini.
"Hadapi jagoku ini, Pendekar Rajawali Sakti! Ha ha ha...!"
Sementara itu, si manusia raksasa sudah bergerak mendekati Pendekar Rajawali
Sakti. Dan sambil menggeram dahsyat gadanya diayunkan ke atas kepala pemuda
berbaju rompi putih itu. Begitu kuat ayunan gadanya, sehingga menimbulkan suara
angin yang menderu bagai badai topan.
"Hup...!"
Rangga cepat melenting ke belakang menghindari hantaman gada baja berduri itu.
Bumi seketika bergetar ketika gada baja berduri itu menghantam tanah tempat
Rangga berdiri tadi. Manusia raksasa itu menggerung keras. Matanya yang besar,
memerah marah melihat lawannya berhasil lolos dari hantaman gadanya.
"Ghraaagkh...!"
Wukkk! Kembali si manusia raksasa itu menghantamkan gadanya dengan kuat sekali. Dan
lagi-lagi Rangga melentingkan tubuh ke belakang. Sehingga hantaman manusia
raksasa itu lagi-lagi hanya menemui tanah kosong. Dan begitu kakinya menjejak
tanah, Rangga cepat melesat tinggi ke udara. Lalu, dia meluruk deras sambil
mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Begitu cepatnya gerakan
yang dilakukan, sehingga manusia raksasa yang bergerak lamban itu tidak bisa
menghindari dupakan kaki Rangga yang bergerak cepat luar biasa.
Plakkk! "Ghraaagkh...!"
"Hup!"
Cepat-cepat Rangga melompat ke belakang begitu
berhasil mendaratkan tendangan di kepala manusia raksasa itu. Tapi dia jadi
mendengus heran. Ternyata manusia raksasa itu tidak mengalami luka sedikit pun
di kepalanya. Dan begitu berbalik, cepat sekali Rangga melepaskan satu pukulan
keras bertenaga dalam sangat tinggi dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
"Hiyaaa...!"
Begkh! "Aaargkh...!"
Makhluk raksasa itu meraung keras begitu
pukulan Rangga mendarat telak di dadanya. Begitu kerasnya pukulan yang
dilepaskan, sehingga manusia raksasa itu terhuyung-huyung ke belakang sambil
menggerung marah. Rangga tidak lagi menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Kembali
Pendekar Rajawali Sakti melompat cepat sambil melepaskan satu pukulan keras
disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.
"Yeaaah...!"
Desss! Untuk kedua kalinya pukulan Pendekar Rajawali Sakti menghantam telak dada
makhluk raksasa dengan keras sekali. Begitu kerasnya pukulan yang dilepaskan,
sehingga membuat makhluk raksasa itu terbanting ke tanah. Akibatnya, tanah di
sekitar gelanggang ini jadi bergetar hebat bagai terguncang gempa. Tapi, makhluk
raksasa itu bisa cepat bangkit kembali. Bahkan langsung meluruk deras ke arah
Rangga yang baru saja menjejakkan kakinya di tanah.
Deras sekali gadanya yang besar dan berduri tajam itu diayunkan.
"Graaagkh...!"
"Hup! Yeaaah...!"
6 Rangga cepat-cepat menjatuhkan diri begitu gada baja besar dan berduri melayang
deras ke arah kepalanya. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti bergulingan di
tanah, lalu cepat bangkit berdiri.
Langsung dia melompat cepat bagai kilat sambil mencabut pedang yang selalu
tersimpan dalam warangkanya di punggung. Cahaya biru terang berkilau, seketika
menyemburat begitu Pedang Rajawali Sakti keluar dari warangkanya.
"Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat sambil mengecutkan
pedangnya ke arah leher manusia raksasa itu. Begitu cepat tebasannya, sehingga
manusia raksasa itu tidak dapat lagi menghindar.
Cras! "Aaargkh...!"
Rangga cepat-cepat melompat ke belakang begitu pedangnya berhasil mengoyak
tenggorokan manusia raksasa itu. Tapi, makhluk raksasa itu masih mampu berdiri.
Bahkan mampu mengayunkan gadanya beberapa kali, meskipun darah terus mengucur
deras dari lehernya yang terkoyak cukup lebar.
"Hiyaaat...!"
Cepat sekali Rangga melompat ke udara. Lalu bagaikan kilat, pedangnya
dihunjamkan hingga terbenam dalam di dada manusia raksasa itu. Sambil melepaskan
satu tendangan keras menggeledek,
Pendekar Rajawali Sakti melenting ke belakang mencabut pedangnya yang terbenam
di dada makhluk itu. Cras! "Aaargkh...!"
Pedang Pendekar Rajawali Sakti berhasil
mengoyak tenggorokan manusia raksasa itu. Tapi hebatnya, makhluk raksasa itu
masih mampu berdiri!
Bahkan masih mampu mengayunkan gadanya
beberapa kali. Manusia raksasa itu menggerung-gerung dahsyat, lalu ambruk menggelepar di tanah.
Cukup lama juga makhluk raksasa itu menggelepar meregang nyawa, lalu diam
meregang kaku tak berkutik-kutik lagi.
Begitu banyak darah yang keluar dari dada dan lehernya. Sementara Rangga sudah
berdiri tegak, dengan Pedang Rajawali Sakti masih tergenggam erat di tangan
kanannya. Tatapan matanya begitu tajam, tertuju lurus kepada Raden Gordapala
yang tampak memerah geram melihat jagonya tewas di tangan Pendekar Rajawali
Sakti. "Kakang...!"
Rangga cepat berpaling, mendongak ke atas begitu terdengar suara keras
memanggilnya. Dia tahu, yang berteriak memanggilnya tadi adalah Pandan Wangi.
Geraham pemuda berbaju rompi putih itu jadi menggeretak melihat Pandan Wangi dan
yang lain terkurung tak berdaya. Cukup tinggi juga tiang besi baja yang
menyangga kurungan besi itu. Tapi, masih bisa dijangkau dengan hanya sekali
lompatan saja. Bahkan masih bisa terjangkau oleh orang yang berkepandaian
lumayan. "Menyingkir kalian...!" seru Rangga keras. Mereka semua yang terkurung langsung
bergerak menyingkir
ke sisi lain, begitu mendengar teriakan Rangga.
Tanpa menunggu waktu lagi, tiba-tiba saja....
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat
cepat, melambung tinggi ke angkasa. Begitu cepat gerakannya, sehingga belum ada
yang bisa menyadari lebih dulu. Dan kini, Rangga sudah berada dekat di jeruji
besi baja yang mengurung enam orang pendekar muda itu.
"Yeaaah...!"
Cepat sekali Rangga mengebutkan pedangnya yang memancarkan sinar biru berkilau
ke jeruji besi baja yang mengurung enam pendekar muda itu.
Wukkk! Trang! "Hap!"
Rangga langsung melunak turun begitu pedangnya berhasil menghancurkan jeruji
besi baja yang mengurung enam orang pendekar muda itu. Manis sekali gerakannya,
sehingga tak ada sedikit pun suara yang terdengar saat kakinya menjejak tanah.
"Ayo, cepat keluar...!" teriak Rangga begitu sudah berdiri lagi di tanah.
Mereka yang terkurung, segera berlompatan keluar dari kurungan besi itu. Enam
pendekar muda itu adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi.
Sehingga bukan suatu hal yang sulit untuk melompat dari ketinggian seperti ini.
Sementara Raden Gordapala, Iblis Tongkat Merah, Dewi Cambuk Maut, dan Dewi Naga
Kembar yang berada di atas mimbar kehormatan, jadi terkejut setengah mati
melihat tindakan Rangga yang tidak pernah diduga sama sekali. Pedang di tangan
Pendekar Rajawali Sakti itu mampu menghancurkan
jeruji besi baja hanya sekali tebas saja!
"Serang...! Bunuh mereka semua!" seru Raden Gordapala lantang menggelegar.
Seketika itu juga, orang-orang yang berada di sekeliling gelanggang pertarungan,
langsung berhamburan meluruk turun sambil berteriak-teriak dan mengayun-ayunkan
senjata masing-masing.
Sementara Rangga, Pandan Wangi, Danupaksi, Cempaka, dan tiga putra Elang Maut
segera bersiap menghadapi orang-orang yang jumlahnya ratusan itu.
"Kita tidak mungkin bisa menghadapinya, Kakang.
Jumlah mereka begitu banyak," desis Pandan Wangi yang berada tepat di samping
kanan Pendekar Rajawali Sakti.
"Gunakan saja aji 'Bayu Bajra', Kakang," usul Danupaksi yang berada agak ke
belakang di sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan Rangga hanya diam saja. Sinar
matanya tajam merayapi orang-orang yang terus berlarian cepat memasuki
gelanggang pertarungan ini. Memang, jumlah mereka tidak sebanding. Tujuh orang
harus menghadapi ratusan orang. Jadi, sama saja mereka harus menghadapi satu
pasukan penuh sebuah kerajaan. Bahkan bukannya tidak mungkin, orang-orang ini
berkepandaian lebih tinggi dari para prajurit. Karena, mereka sudah tentu
berpengalaman dalam berbagai macam pertarungan.
Baru saja Rangga membuka mulutnya hendak
menyuruh mereka berlindung di belakangnya, tiba-tiba saja dari atas bangunan
gelanggang pertarungan ini berhamburan ratusan anak panah yang langsung
menghujani para pengikut Raden Gordapala. Dan seketika itu juga, jeritan-jeritan
panjang melengking tinggi terdengar saling sambut, disusul berjatuhannya
tubuh-tubuh tertembus anak panah.
*** "Kakang, lihat...!" seru Pandan Wangi sambil menunjuk ke atas.
Mereka semua mendongak, memandang ke arah yang ditunjuk Pandan Wangi. Tampak di
atas tembok batu yang mengelilingi gelanggang, sudah dipenuhi orang berseragam
prajurit. Tentu saja mereka mengenali, karena para prajurit itu mengenakan
seragam prajurit Karang Setra. Prajurit-prajurit itu kini tengah menghujani
orang-orang Raden Gordapala yang jadi kalang-kabut karenanya.
"Seraaang...!"
Tiba-tiba saja terdengar perintah keras menggelegar. Seketika itu juga, dari
atas tembok yang mengelilingi gelanggang ini berhamburan para prajurit
bersenjata tombak dan pedang. Mereka meluncur turun melalui tambang, dan
langsung menyerang orang-orang Raden Gordapala yang sudah kalang-kabut
kehilangan kendali lagi. Pertempuran pun tak dapat dihindari lagi. Jeritanjeritan panjang melengking tinggi, kini bercampur denting senjata beradu.
Sementara Danupaksi, Cempaka, dan ketiga putra Elang Maut sudah terjun ke dalam
pertempuran. Tinggal Rangga dan Pandan Wangi yang masih tetap diam memperhatikan pertarungan
yang terjadi di sekitarnya. Tapi, perhatian Rangga cepat berubah.
Ditatapnya mimbar kehormatan yang berada di sebelah Timur gelanggang ini. Tapi,
di sana tidak ada lagi Raden Gordapala dan para pembantunya.
Mimbar itu sudah kosong, tanpa seorang pun terlihat
di sana. "Pengecut..!" desis Rangga menggeram.
"Ada apa, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
Rangga tidak menjawab pertanyaan si Kipas Maut itu, tapi malah cepat melompat.
Ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf kesempurnaan dikerahkan.
Pandan Wangi sempat memperhatikan sejenak, lalu bergegas melesat mengikuti
Pendekar Rajawali Sakti, begitu melihat ke arah mimbar yang sekarang sudah
kosong tak ada seorang pun di sana.
Sementara itu, Rangga sudah berada di atas mimbar itu. Pendekar Rajawali Sakti
mendengus melihat di mimbar kehormatan itu terdapat sebuah pintu yang terbuka
lebar. Bergegas kakinya melangkah ke pintu itu. Tapi belum juga melewati pintu,
tiba-tiba saja....
Wusss! "Uts!"
Cepat Rangga menarik tubuhnya ke belakang, begitu tiba-tiba dari balik dinding
pintu meluncur dua batang tombak yang lewat di atas kepalanya. Dan begitu tombak
ditarik kembali, dari balik pintu itu melesat dua orang laki-laki setengah baya
meng-hunus tombak, yang langsung dihunjamkan kembali ke dada Pendekar Rajawali
Sakti. "Hup!"
Cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan, menghindari hunjaman dua batang
tombak yang meluruk deras mengancam dadanya. Dan sebelum dua orang penyerangnya
bisa menarik tombaknya pulang, cepat sekali Rangga memutar tubuhnya sambil
melepaskan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi pada salah seorang. Lalu
disusul lagi dengan satu pukulan keras menggeledek dengan
jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' kepada orang satunya lagi.
Dua laki-laki setengah baya itu seketika menjerit keras melengking begitu
serangan balasan yang dilancarkan Rangga tidak dapat dihindari lagi. Begitu
keras tendangan dan pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga
kedua orang laki-laki separuh baya itu terpental deras ke belakang.
Tubuh mereka langsung meluncur turun dari mimbar ini.
Rangga sempat melirik ke arah dua penyerangnya yang sudah tergeletak tak
bernyawa lagi di atas batu gelanggang ini. Pada saat itu, Pandan Wangi sudah
sampai di atas mimbar, tepat di saat Rangga melangkahkan kakinya memasuki pintu
ini. Pandan Wangi bergegas mengikuti di belakang Pendekar Rajawali Sakti. Mereka
terus melangkah cepat anak-anak tangga batu di sebuah lorong yang cukup besar.
Mereka terus melangkah cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Hingga
akhirnya, mereka tiba di depan sebuah pintu yang tertutup rapat.
Rangga tidak mau lagi gegabah. Cepat dilontarkannya satu pukulan jarak jauh yang
mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna.
"Yeaaah...!"
Glarrr...! Pintu itu hancur seketika disertai ledakan dahsyat menggelegar. Di sela-sela
ledakan itu, terdengar jeritan panjang melengking tinggi.
"Hup!"
Rangga cepat melesat melewati pintu yang sudah hancur itu. Tampak dua orang
berbaju merah menggeletak di dekat pintu dengan tubuh penuh tertusuk kepingan
kayu dari pintu yang hancur
terkena pukulan jarak jauh Pendekar Rajawali Sakti tadi. Tepat ketika kakinya
menjejak tanah, tiba-tiba saja melesat sebuah bayangan kuning yang meluruk deras
ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Awas, Kakang...!" seru Pandan Wangi yang baru saja melewati pintu yang hancur.
"Uts!"
Rangga cepat merundukkan tubuh ke depan,
begitu merasakan adanya hembusan angin halus dari arah belakang. Terjangan
bayangan kuning itu lewat sedikit saja di atas kepala pemuda berbaju rompi putih
ini. Dan begitu tubuhnya ditegakkan sambil berbalik, tahu-tahu di depannya sudah
berdiri seorang perempuan tua berbaju kuning. Sebuah cambuk berbentuk buntut
kuda tampak tergenggam di tangan kanannya.
*** "Kau harus mampus, Pendekar Rajawali Sakti! Kau sudah menghina junjunganku!"


Pendekar Rajawali Sakti 66 Rahasia Gordapala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

desis wanita tua yang tak lain Dewi Cambuk Maut itu dingin.
Setelah berkata demikian, Dewi Cambuk Maut cepat mengecutkan cambuknya yang
berbentuk buntut kuda.
Ctar! "Ups!"
Rangga cepat melompat mundur sambil menahan napasnya. Kebutan cambuk itu
menimbulkan asap hitam, selain menyebarkan bau busuk yang tidak sedap. Sehingga
membuat perut langsung bergolak mau muntah.
"Pandan, cepat menyingkir...!" seru Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau kebutan cambuk
wanita tua itu mengandung asap racun yang berbahaya sekali bila terhisap.
Sedangkan Pandan Wangi yang mendapat perintah untuk menyingkir, segera saja
berlompatan menjauh. Gadis itu juga langsung menyadari kalau kebutan cambuk
buntut kuda itu mengandung racun berbahaya dan
mematikan. "Hep! Hsss...!"
Rangga cepat memindahkan pernapasannya ke perut. Meskipun dirinya kebal terhadap
segala jenis racun, tapi tetap saja tidak ingin untung-untungan dalam menghadapi
senjata yang mengandung racun.
"Mampus kau! Hiyaaat..!"
Sambil berseru lantang menggelegar, Dewi
Cambuk Maut cepat melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Cambuk buntut
kudanya dikebutkan beberapa kali, mengincar bagian-bagian tubuh Rangga yang
mematikan. Tapi lincah sekali Pendekar Rajawali Sakti berlompatan menghindari
serangan yang dilancarkan lawan. Bahkan tubuhnya meliuk-liuk indah, mengikuti
gerakan kakinya yang begitu lincah.
Rangga langsung mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
Jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' memang seringkali digunakan Pendekar Rajawali
Sakti dalam menjajaki tingkat kepandaian yang dimiliki lawan. Dan jurus itu
memang luar biasa, meskipun tidak bersifat menyerang. Tapi, tidak mudah bagi
lawan untuk mematahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Bahkan lawan bisa jadi
kehilangan kendali, karena serangan-serangannya sama sekali tidak membawa hasil.
"Hup! Yeaaah...!"
Rangga cepat melentingkan tubuh ke udara, begitu Dewi Cambuk Maut mengecutkan
cambuk buntut kudanya ke arah kaki. Pada saat itu, Dewi Cambuk Maut cepat melompat ke atas
mengejar Rangga yang sudah lebih dulu melayang di udara. Cepat sekali wanita tua
itu mengecutkan cambuknya ke tubuh Rangga.
Menghadapi serangan itu, Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak gugup.
Tubuhnya segera meliuk-liuk menghindari kebutan cambuk buntut kuda yang
mengeluarkan asap beracun itu. Dan begitu serangan Dewi Cambuk Maut melonggar,
cepat sekali Rangga merentangkan kedua tangannya ke samping. Lalu sepasang
tangan Pendekar Rajawali Sakti cepat bergerak mengebut, seperti sepasang sayap
burung rajawali. Rangga saat ini memang tengah
mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
"Hiyaaa...!"
"Uts...!"
Dewi Cambuk Maut jadi kelabakan setengah mati menghindari kibasan-kibasan kedua
tangan Rangga yang merentang dan bergerak cepat. Lalu, cepat-cepat tubuhnya
melenting berputar ke belakang, dan meluruk deras turun kembali ke tanah. Pada
saat itu juga, Rangga segera merubah jurusnya menjadi jurus
'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
"Yeaaah...!"
"Heh..."!"
Dewi Cambuk Maut jadi terkejut setengah mati.
Buru-buru cambuk buntut kudanya dikebutkan ke atas, untuk melindungi kepalanya
dari incaran kedua kaki Rangga yang bergerak begitu cepat. Tapi tanpa diduga
sama sekali, Rangga malah memutar
tubuhnya berbalik. Dan tiba-tiba saja, dilepaskannya satu pukulan keras ke arah
dada Dewi Cambuk Maut yang benar-benar kosong tak terlindungi. Gerakan
Rangga yang begitu cepat dan tak terduga itu, benar-benar membuat Dewi Cambuk
Maut jadi terperangah setengah mati. Tapi, perempuan tua itu tidak sempat lagi
menghindar. Sehingga....
Desss! "Aaakh...!"
Pukulan yang dilepaskan Rangga, memang
sungguh keras. Sehingga, tubuh wanita tua itu terpental deras ke belakang. Hanya
sebentar saja Dewi Cambuk Maut bergulingan di tanah, lalu cepat bangkit berdiri,
meskipun dalam keadaan limbung.
Tampak dari sudut bibirnya menetes darah agak kental.
"Phuih!" Dewi Cambuk Maut menyemburkan
ludahnya yang bercampur darah.
Setelah melakukan beberapa gerakan, perempuan tua itu cepat melompat kembali
menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa kali cambuknya dikebutkan, tapi
Rangga berhasil menghindarinya dengan gerakan-gerakan tubuh yang begitu indah
dan manis. "Hup!"
Begitu ada kesempatan, Rangga cepat melompat keluar dari lingkaran serangan yang
dilancarkan Dewi Cambuk Maut. Lalu, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti
melompat ke belakang. Kemudian, pedang pusaka yang selalu berada di balik
punggungnya segera dicabut
Sret! Cring! Seketika cahaya biru berkilau menyemburat terang begitu Rangga mencabut keluar
pedang pusakanya.
Hati Dewi Cambuk Maut seketika terkesiap melihat pamor pedang Pendekar Rajawali
Sakti yang begitu dahsyat luar biasa. Tapi, dia tidak bisa lama-lama
tertegun. Apalagi lawannya sudah melompat menyerang sambil mengecutkan pedangnya
seperti membentuk lingkaran.
"Hup! Yeaaah...!"
Dewi Cambuk Maut cepat-cepat melompat ke
belakang beberapa tindak. Lalu, langsung disiap-kannya jurus baru yang lebih
dahsyat lagi. Sedangkan Rangga mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah
Sukma'. Satu jurus andalan yang begitu dahsyat dan jarang sekali digunakan di
dalam pertarungan.
Gerakan-gerakan yang dilakukan Rangga, sungguh cepat luar biasa. Sedangkan
pedangnya berkelebat cepat mengurung seluruh ruang gerak Dewi Cambuk Maut.
Akibatnya perempuan tua itu benar-benar tidak mampu lagi melakukan perlawanan.
Terlebih lagi, perhatiannya terasa jadi terpecah.
Sedangkan jiwanya terasa tercabik-cabik, sehingga tidak mampu lagi menguasai
keadaan. Dewi Cambuk Maut tidak menyadari kalau pikirannya sudah terpengaruh
jurus 'Pedang Pemecah Sukma' yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaah...!" tiba-tiba Rangga berteriak keras.
Bet! Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti menusukkan pedang ke arah Dewi Cambuk Maut.
Begitu cepat gerakan yang dilakukannya, sehingga membuat Dewi Cambuk Maut tidak
dapat lagi berkelit menghindar.
Dan tak pelak lagi, Pedang Rajawali Sakti menghunjam dadanya hingga tembus ke
punggung. Crab! Tak ada suara jeritan sedikit terdengar. Dewi Cambuk Maut hanya berdiri terpaku
mematung dengan kedua bola mata terbeliak lebar. Sementara Rangga sudah menarik
pedangnya, dan melompat ke
belakang beberapa tindak. Dan Pedang Rajawali Sakti segera dimasukkan kembali ke
dalam warangka di punggung.
Pada saat itu, Dewi Cambuk Maut sudah limbung.
Dan sebentar kemudian, tubuhnya ambruk ke tanah tak bernyawa lagi. Darah
seketika menyembur dari dada yang tertembus pedang.
*** 7 "Hhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang.
Sementara itu, Pandan Wangi sudah berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti.
Sejenak mereka memandangi mayat Dewi Cambuk Maut yang tergeletak di depannya.
Darah semakin banyak menggenang dari luka tusukan pedang di dadanya.
Kemudian, kedua pendekar muda ini saling berpandangan.
Sedangkan di dalam gelanggang, masih terdengar suara-suara pertarungan. Itu
berarti pertarungan di dalam gelanggang masih terus berlangsung sengit.
Tapi, Rangga yakin kalau para prajurit Karang Setra mampu menumpas gerombolan
Raden Gordapala.
Karena, mereka dibantu Danupaksi, Cempaka, dan tiga orang pendekar muda putra
Elang Maut "Ayo, Pandan. Kita kejar Raden Gordapala," ajak Rangga.
"Ke mana...?" tanya Pandan Wangi.
Rangga yang baru saja melangkah dua tindak, langsung berhenti mendengar
pertanyaan si Kipas Maut itu. Tubuhnya berbalik memutar dan langsung menatap
Pandan Wangi yang masih berdiri
memandanginya. "Maaf, Kakang. Tidak seharusnya aku bertanya seperti itu," ucap Pandan Wangi
baru menyadari.
"Tidak. Kau benar, Pandan. Saat ini Raden Gordapala mungkin sudah jauh. Dan lagi
kita memang tidak tahu, ke mana harus mengejarnya,"
kata Rangga juga baru menyadari.
Pertanyaan Pandan Wangi tadi seakan-akan mem-bangunkan mimpi buruknya. Sungguh
Rangga tidak sadar kalau hatinya sudah dikuasai nafsu amarah dan duniawi. Kini
baru disadari, tidak sepatutnya seorang pendekar bertindak seperti ini, walau
dalam keadaan marah sekalipun. Dia harus dapat
mengendalikan diri agar tidak terpancing amarahnya.
Pada saat itu muncul Danupaksi dan seorang laki-laki setengah baya berpakaian
panglima perang Kerajaan Karang Setra. Mereka langsung menghampiri Rangga dan
Pandan Wangi yang sudah berpating memandanginya. Laki-laki separuh baya yang
mengenakan pakaian panglima perang itu, segera membungkukkan tubuh memberi
penghormatan pada Rangga. Sedangkan Rangga sendiri hanya membalas dengan
membungkukkan tubuhnya sedikit saja.
"Rupanya kau yang memimpin prajurit, Panglima Rakatala," ujar Rangga lebih
dahulu membuka suara.
"Benar, Gusti Prabu. Ampunkan hamba yang telah bertindak di luar perintah,"
sahut Panglima Rakatala.
"Kau bertindak cepat dan tepat pada waktunya, Panglima Rakatala," kata Rangga,
sama sekali tidak marah ataupun tersinggung atas tindakan yang dilakukan
panglima perangnya ini. "Aku justru berterima kasih padamu."
"Hamba, Gusti Prabu."
Panglima Rakatala membungkukkan tubuh menerima pujian dan ucapan terima kasih dari Pendekar Rajawali Sakti yang juga
rajanya di Kerajaan Karang Setra.
"Tapi, bagaimana kau bisa tahu kalau kami semua ada di sini, Panglima," tanya
Rangga. "Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Secara diam-diam hamba memang mengikuti, dan
menyebar telik sandi untuk terus mengawasi ke mana saja Gusti Prabu dan
rombongan pergi. Hal ini hamba lakukan atas perintah langsung dari Gusti
Danupaksi," sahut Panglima Rakatala.
Rangga langsung menatap Danupaksi yang berdiri di samping Panglima Rakatala.
Danupaksi cepat-cepat membungkukkan tubuh seraya merapatkan kedua tangan di
depan hidung. "Kenapa kau lakukan itu, Danupaksi?" tanya Rangga meminta penjelasan.
"Maaf, Kakang Prabu. Hamba hanya merasa kalau lawan yang dihadapi sangat licik
dan berbahaya. Itu sebabnya, kenapa hamba memerintahkan para telik sandi untuk
tetap mengawasi. Dan juga memerintahkan Paman Panglima Rakatala mengikuti dari
jarak yang cukup jauh. Hamba hanya berjaga-jaga dari segala kemungkinan, Kakang
Prabu," sahut
Danupaksi menjelaskan dengan sikap seperti layaknya seorang adik raja.
"Aku tidak menyalahkan tindakanmu, Danupaksi.
Tapi apakah sudah kau pikirkan keamanan di kotaraja sendiri" Bukankah dengan
begitu jumlah prajurit yang ada jadi berkurang," kata Rangga lagi.
"Hamba sudah pikirkan semua itu, Kakang Prabu.
Dan jika terjadi sesuatu, maka seorang telik sandi akan datang memberi tahu.
Atau, mereka akan memberi tanda dengan asap merah ke udara," sahut Danupaksi
menjelaskan lagi. "Terlebih lagi jika Raden Gordapala dan orang-orangnya datang
ke kotaraja, Kanda Prabu. Kita semua pasti bisa cepat
mengetahui. Bahkan sebelum mereka sampai di gerbang kota."
Rangga tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dalam hati, Pendekar
Rajawali Sakti begitu kagum dan bangga akan sikap dan tindakan adik tirinya ini.
Sungguh suatu sikap dan tindakan yang patut mendapat pujian serta penghargaan,
sebagai seorang abdi yang begitu setia dan berpikiran luas.
Danupaksi mampu mengambil tindakan yang tepat, tanpa harus mempertaruhkan banyak
korban sia-sia.
"Panglima Rakatala...."
"Hamba, Gusti Prabu," sahut Panglima Rakatala cepat memberi hormat.
"Selesaikan urusan di sini segera, lalu secepatnya bawa pulang prajurit ke
kotaraja. Aku tidak ingin mereka yang di sana kehilangan pemimpin sepertimu,"
perintah Rangga.
"Segera hamba laksanakan, Gusti Prabu," sahut Panglima Rakatala.
Setelah memberi penghormatan, Panglima
Rakatala bergegas masuk kembali ke dalam
gelanggang pertarungan. Masih terdengar teriakan-teriakan pertempuran, dan
jeritan-jeritan melengking tinggi mengiringi kematian yang diwarnai denting
senjata beradu. Setelah Panglima Rakatala tidak terlihat lagi, Rangga
menghampiri Danupaksi.
Langsung ditepuk-tepuknya pundak adik tirinya ini dengan lembut dan senyum
terulas di bibir.
*** Rangga memacu kudanya perlahan-lahan sambil
mengarahkan pandangan ke depan. Sementara Pandan Wangi yang berkuda di samping
Pendekar Rajawali Sakti, seringkali mencuri pandang ke wajah tampan di
sampingnya. Tapi bukan ketampanan
wajah Rangga yang diperhatikan, melainkan raut wajah yang tampak muram itu yang
menjadi perhatiannya. Memang, sejak meninggalkan Puncak Gunung
Tangkup, Rangga lebih banyak diam dan muram.
Wajahnya benar-benar terselimut mendung yang begitu tebal. Pandan Wangi tahu,
kemuraman Pendekar Rajawali Sakti karena telah gagal memburu Raden Gordapala.
Mereka hanya berhasil menumpas para pengikutnya, ditambah satu orang pembantu
utama Jago dari Alam Kubur itu. Memang tinggal mereka berdua saja yang terakhir
meninggalkan Puncak Gunung Tangkup. Sedangkan Danupaksi, Cempaka dan ketiga
pendekar muda putra Elang Maut, bergabung dengan para prajurit yang dipimpin
Panglima Rakatala kembali ke Kotaraja Kerajaan Karang Setra. Dan mereka semua
nanti akan berkumpul di Balai Sema Agung Istana Karang Setra.
Tapi, tampaknya Rangga sama sekali tidak bergairah untuk kembali ke istana,
sebelum berhasil menumpas Raden Gordapala yang menjadi ancaman berbahaya bagi
keutuhan Kerajaan Karang Setra.
"Pandan! Apa kau bisa perkirakan, di mana Raden Gordapala berada sekarang ini?"
tanya Rangga perlahan seraya berpaling menatap gadis cantik yang berkuda di
sebelahnya. "Sulit, Kakang," sahut Pandan Wangi. "Tapi aku yakin, sekarang ini Raden
Gordapala pasti sedang merencanakan untuk menyerang Karang Setra. Dan mungkin
tidak jauh dari kotaraja."
"Seluruh pengikutnya sudah habis. Jadi, hanya tinggal tiga orang lagi yang
mendampinginya. Rasanya tidak mungkin dia bisa menyerang Karang Setra, Pandan,"
kata Rangga, membantah perkiraan Pandan
Wangi. "Kemungkinan juga, dia melakukannya sedikit-sedikit, Kakang."
"Itu yang menjadi beban pikiranku saat ini. Kalau dia bertindak seperti tikus,
sangat sulit bagi kita untuk bisa mendapatkannya. Sedangkan dia begitu tangguh,
dan sukar dibinasakan. Kecuali, bila kita bisa mendapatkan rahasia
kelemahannya," kata Rangga lagi.
"Yang pasti, kematiannya ada pada kedelapan pisau emas itu, Kakang," kata Pandan
Wangi. "Memang benar. Tapi, tidak mudah untuk me-musnahkannya, Pandan. Sudah dua orang
ahli pembuat emas yang kuminta melebur pisau itu, tapi mereka semua tewas saat
mengerjakannya. Pisau itu seperti bernyawa," sahut Rangga, masih tetap pelan


Pendekar Rajawali Sakti 66 Rahasia Gordapala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suaranya. "Kenapa kita tidak tanyakan saja pada Banara dan adik-adiknya, Kakang?" usul
Pandan Wangi. "Percuma saja, Pandan. Mereka juga tidak tahu kelemahan Raden Gordapala. Aku
sudah tanyakan hal itu pada Banara, dan dia sendiri belum mengetahui
rahasianya," sahut Rangga.
"Hm... Kalau begitu, harus mencari orang yang mengetahui tentang Jago dari Alam
Kubur itu, Kakang," gumam Pandan Wangi.
Rangga menggeleng-gelengkan kepala mendengar gumaman Pandan Wangi yang begitu
perlahan seperti bisikan.
"Kau tahu, Pandan" Lebih dari seratus tahun lalu, Raden Gordapala sudah ada. Dan
hingga sekarang, dia masih bisa muncul dalam bentuk tubuh yang tegap dan muda.
Rasanya tidak ada lagi orang yang mengetahui rahasianya. Kalaupun ada, pasti
sudah lama meninggal," bantah Rangga.
Pandan Wangi jadi terdiam. Memang tidak mudah memecahkan rahasia kelemahan Raden
Gordapala. Kedua pendekar muda itu jadi terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tapi,
tiba-tiba saja Rangga menghentikan laju kudanya. Sedangkan Pandan Wangi segera
mengikuti, menarik tali kekang kudanya hingga berhenti.
"Kau pergi dulu ke istana, Pandan. Ada sesuatu yang akan kukerjakan sendirian,"
kata Rangga. "Apa yang akan kau lakukan, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Aku ada jalan yang baik untuk memecahkan rahasia Raden Gordapala, Pandan. Tapi
sayang, aku tidak bisa mengajakmu," jelas Rangga lagi.
"Kenapa...?"
"Aku tidak bisa menjelaskannya, Pandan. Dan sebaiknya tidak perlu bertanya
alasannya. Maaf...,"
tegas Rangga. Pandan Wangi mengangkat bahunya sedikit. Dia tahu, bila Rangga sudah berkata
seperti itu, tidak mungkin bisa didesak lagi. Setelah memandangi Pendekar
Rajawali Sakti beberapa saat, Pandan Wangi kemudian memacu cepat kudanya menuju
Kotaraja Karang Setra. Sedangkan Rangga masih tetap berada di punggung kuda,
kemudian baru melompat turun setelah kuda yang ditunggangi Pandan Wangi tidak
terlihat lagi. "Kau juga kembali ke istana, Dewa Bayu," kata Rangga sambil menepuk punggung
kuda hitam itu.
Tanpa diminta dua kali, kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu langsung berlari
kencang menuju arah yang sama dengan Pandan Wangi. Sebentar Rangga memandangi,
kemudian mendongakkan kepala ke
atas. "Hanya Eyang Guru Pendekar Rajawali yang bisa mengetahui kelemahan Raden
Gordapala. Hm.... Aku harus bertanya padanya," gumam Rangga perlahan.
Sebentar Rangga menarik napas dalam-dalam.
Lalu.... "Suiiit..!"
Siulan panjang melengking bernada aneh
terdengar menggema ke segala penjuru mata angin.
Rangga masih berdiri tegak dengan kepala mendongak memandang langit. Beberapa
saat dia menunggu, kemudian bibirnya tersenyum begitu melihat satu titik
melayang di angkasa. Dan perlahan-lahan, titik itu semakin membesar. Lalu,
terlihat seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan tengah melayang
cepat bagai kilat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Khraaagkh...!"
"Cepat ke sini, Rajawali...!" seru Rangga seraya melambaikan tangan.
"Khraaagkh!"
Manis sekali burung rajawali raksasa itu mendarat tidak jauh dari Rangga. Dan
pemuda berbaju rompi putih itu bergegas menghampiri, lalu melompat naik ke
punggung Rajawali Putih.
"Antarkan aku ke Lembah Bangkai, Rajawali. Ada yang ingin kutanyakan pada Eyang
Guru," pinta Rangga.
"Khraaagkh...!"
"Iya, nanti akan kukatakan juga padamu di perjalanan. "
"Khragkh!"
Sekali kepak saja, Rajawali Putih cepat mem-bumbung tinggi ke angkasa. Lalu,
burung raksasa itu
melesat cepat bagai kilat membawa Rangga yang berada di punggungnya. Memang
sungguh luar biasa kecepatan terbang burung raksasa itu. Sehingga, tidak mudah
diikuti pandangan mata biasa. Dalam waktu sekejapan mata saja, burung rajawali
raksasa itu sudah tidak terlihat lagi, menghilang di balik awan.
*** Rangga duduk bersila di depan seorang laki-laki yang sebenarnya telah berusia
lanjut namun wajahnya masih muda dan tampan, semuda dan setampan Pendekar
Rajawali Sakti. Laki-laki berjubah putih itu berdiri mengambang di atas lubang
makam bercungkup. Di belakang Pendekar Rajawali Sakti, terlihat seekor burung
rajawali raksasa mendekam dengan kepala sedikit tertunduk. Laki-laki itulah yang
dianggap Rangga sebagai gurunya. Dialah Pendekar Rajawali yang hidup lebih dari
seratus tahun lalu.
Di depan gurunya ini, Rangga menceritakan semua yang telah terjadi di Kerajaan
Karang Setra. Juga ditunjukkannya kedelapan pisau emas, di mana yang tujuh bilah
diambil dari dalam tubuh Raden Gordapala. Tak ada yang dikurangi atau
dilebihkan. Rangga menceritakan seluruh kejadian dari awal hingga akhir secara lengkap.
Sampai Rangga selesai bercerita, Pendekar Rajawali masih tetap diam memandangi
muridnya. "Jadi kau tidak bisa melenyapkannya, Anakku?"
tanya Pendekar Rajawali setelah cukup lama berdiam diri.
"Benar, Eyang," sahut Rangga seraya memberi hormat dengan merapatkan kedua
telapak tangan di depan hidung.
Pendekar Rajawali mengangguk-anggukkan
kepala. "Aku tahu, memang sulit melenyapkan Raden Gordapala. Dia memang sudah hidup
ratusan tahun yang lalu di dunia ini. Bahkan sebelum aku lahir lebih dari
seratus tahun lalu pun, sudah ada. Hhh...!
Sayang sekali! Selama aku hidup dulu, belum pernah sekali pun bertemu dengannya.
Hingga akhirnya, aku menyendiri di sini dan meninggal," jelas Pendekar Rajawali.
"Jadi, Eyang sendiri juga tidak tahu rahasianya?"
tanya Rangga. Pendekar Rajawali tersenyum, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Dulu, aku pernah berhadapan dengan orang seperti itu. Tapi bukan Raden
Gordapala. Dia juga menggunakan sebuah benda untuk kehidupan dan kesempurnaan
ilmunya. Rasanya, pengalamanku tidak jauh berbeda denganmu. Beruntunglah kau
bisa mengambil benda kehidupan dan kesempurnaan ilmunya, Anakku. Itu sudah suatu
langkah yang baik untuk melenyapkan selama-lamanya. Dan berarti, tidak sulit
lagi bagimu untuk membunuhnya, Anakku.
Karena, dia tidak lagi memiliki kekuatan yang bisa diandalkan untuk hidup
kembali. Semua kekuatannya kini telah kau miliki," jelas Pendekar Rajawali lagi.
"Oh.... Jadi, sebenarnya rahasia kekuatannya tertumpu pada kedelapan pisau emas
ini?" "Benar. Tanpa benda-benda itu, dia tidak memiliki kekuatan sama sekali. "
"Lalu, bagaimana dengan kuda ajaibnya" Kuda tunggangannya itu bisa mengeluarkan
api dari mulutnya, Eyang," kata Rangga lagi.
"Kuda itu akan musnah jika Raden Gordapala
sendiri sudah mati. Memang, kuda itu adalah satu bagian dari dirinya. Bahkan
kuda itu juga salah satu kekuatannya. Tapi kau tidak perlu memikirkannya.
Binatang siluman itu akan musnah dengan sendirinya kalau kau bisa membunuh
penunggangnya. Tapi jangan khawatir, Anakku. Rajawali Putih tahu apa yang harus
dilakukan, untuk memudahkan kau menghadapinya nanti. Biarkan Rajawali Putih yang
akan membereskannya. "
"Baik, Eyang. Terima kasih," ucap Rangga.
"Tapi ingat kau tidak akan bisa membunuh Raden Gordapala dengan Pedang Pusaka
Rajawali Sakti,"
kata Pendekar Rajawali.
"Kenapa...?"
"Kau pernah menggunakan padanya, bukan...?"
Rangga mengangguk.
"Jika saat itu kau langsung menghunjamkan sepotong besi biasa saja ke dadanya,
dia pasti tidak akan bisa bangkit lagi. Itulah pengalaman yang pernah kudapat.
Dan bangkitnya Jago dari Alam Kubur itu, mungkin karena kekuatan yang ada pada
pedang pusakamu terserap ke dalam tubuhnya.
Biasanya, siluman macam itu memang bisa menyerap kekuatan benda-benda pusaka.
Itu sebabnya, kenapa dia tidak pernah mau berhadapan dengan orang biasa yang
menggunakan senjata dari bahan biasa.
Tidak heran bila dia lebih senang berhadapan dengan orang-orang berkepandaian
tinggi, yang memiliki senjata pusaka berkekuatan tinggi pula. Karena, semakin
banyak tubuhnya menerima hunjaman senjata pusaka berkekuatan tinggi, semakin
besar pula kekuatan senjata itu terserap ke dalam tubuhnya," lagi-lagi Pendekar
Rajawali menjelaskan.
"Jadi, aku harus menghadapinya dengan pedang
biasa, Eyang?"
"Benar. Karena ibarat api dengan air, salah satu akan terkalahkan. Jika api
dilawan oleh api, akan bertambah besar. Begitu pula jika air dilawan air, yang
akan menimbulkan malapetaka. Maka, api itu harus dihadapi dengar air untuk
memadamkannya. Kau mengerti maksudku, Rangga?"
"Mengerti, Eyang."
"Bagus."
"Wejangan ini akan berharga sekali, Eyang. Aku akan menggunakannya nanti."
"Aku rasa sudah cukup, Rangga. Pergilah secepatnya, sebelum dia benar-benar
menghancurkan kerajaanmu. "
"Pamit, Eyang."
Rangga merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Pada saat itu, asap
putih tipis mengepul menyelubungi seluruh tubuh Pendekar Rajawali. Dan perlahanlahan, tubuh laki-laki berjubah putih itu menghilang. Sementara gumpalan asap
putih itu merembes masuk ke dalam lubang kuburan yang menganga lebar. Lalu
perlahan-lahan, lubang kuburan itu bergerak merapat.
Rangga kembali merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung, setelah kuburan
gurunya kembali seperti semula. Kemudian, dia bergegas berdiri. Lalu diambilnya
pisau-pisau emas yang tergeletak di tanah.
"Tinggalkan benda-benda itu di sini, Rangga...!"
terdengar suara lembut menggema.
"Baik, Eyang," sahut Rangga langsung mengetahui kalau itu suara gurunya.
Rangga kemudian meletakkan pisau-pisau emas berjumlah delapan itu di sisi makam
gurunya. Kemudian, cepat dihampirinya Rajawali Putih yang sudah berdiri menunggu. Dengan
gerakan ringan sekali, Rangga melompat naik ke punggung burung rajawali raksasa
itu. "Langsung ke Karang Setra, Rajawali," ujar Rangga seraya menepuk leher Rajawali
Putih. "Khraaagkh...!"
Wusss...! *** 8 Rangga melompat turun begitu Rajawali Putih mendarat tidak jauh dari perbatasan
sebelah Utara Kotaraja Karang Setra. Tapi baru saja Pendekar Rajawali Sakti
hendak berbicara dengan burung rajawali raksasa itu, tiba-tiba saja jadi
tersentak ketika mendengar suara-suara ribut dari sebuah pertarungan. Dan suara
itu ternyata datangnya dari gerbang perbatasan Utara kotaraja.
"Edan...! Mereka benar-benar sudah bertindak...!"
desis Rangga tidak menyangka.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat cepat.
Dia berlari kencang mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai
tingkat kesempurnaan. Pada saat yang sama, Rajawali Putih juga melesat tinggi ke
angkasa. Tapi burung rajawali raksasa itu tidak kembali ke Lembah Bangkai,
melainkan meluncur ke arah perbatasan kotaraja. Diikutinya Rangga yang terus
berlari kencang mempergunakan ilmu
meringankan tubuh yang telah sempurna.
Begitu cepatnya Rangga berlari, sehingga dalam waktu singkat saja sudah sampai
di perbatasan Utara Kotaraja Karang Setra. Dan apa yang didengar Rangga, memang
benar. Para prajurit Karang Setra tengah bertempur melawan empat orang tokoh
persilatan yang selama ini menjadi beban pikiran Pendekar Rajawali Sakti.
Tepat saat Rangga muncul, dari arah kotaraja juga datang Danupaksi, Cempaka,
Pandan Wangi, dan tiga
orang putra Elang Maut yang disertai para panglima perang Kerajaan Karang Setra.
Mereka semua langsung terjun ke dalam kancah pertempuran.
Bahkan Danupaksi justru malah memerintahkan para prajurit menyingkir dari kancah
pertarungan. "Ha ha ha...! Ternyata kalian semua berkumpul di sini. Bagus...! Aku bisa
menghancurkan kalian tanpa susah-susah!" Raden Gordapala tertawa terbahak-bahak.
"Aku yang akan menghancurkanmu, Raden
Gordapala!" sambut Rangga lantang.
"Pendekar Rajawali Sakti...," desis Raden Gordapala begitu melihat Rangga tahutahu sudah ada di tempat ini juga.
Cepat-cepat tokoh siluman itu melompat turun dari punggung kudanya. Sementara
itu, Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi serta ketiga putra Elang Maut sudah
menghadang Iblis Tongkat Merah dan Dewi Naga Kembar. Tempat pertarungan kini
sudah terkurung rapat oleh para prajurit dan Panglima Kerajaan Karang Setra.
"Mampus kau, Keparat! Hiyaaat...!"
Cepat sekali Raden Gordapala melompat
menyerang Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi sudah siap menghadapinya. Dan
begitu Raden Gordapala menyerang, cepat sekali pemuda berbaju rompi putih itu
menghentakkan kedua tangannya ke depan. Lalu, dengan cepat kedua tangannya
ditarik kembali. Langsung dilepaskannya satu pukulan keras bertenaga dalam
tinggi dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Rangga mengerahkan jurus itu pada tingkat yang terakhir, sehingga kedua kepalan
tangannya berwarna merah membara seperti besi terbakar
dalam tungku. Raden Gordapala terkejut melihat jurus dahsyat Pendekar Rajawali
Sakti itu, tapi serangannya sudah tidak bisa ditarik lagi. Sehingga....
Plak! Glarrr...! Satu ledakan menggelegar terdengar dahsyat membelah angkasa begitu pukulan yang
dilepaskan Raden Gordapala beradu dengan pukulan Pendekar Rajawali Sakti. Tampak
si Jago dari Alam Kubur itu terpental deras ke belakang sambil menjerit
melengking tinggi. Sedangkan Rangga sendiri hanya terdorong dua langkah saja ke
belakang. "Hiyaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat cepat menerjang Raden Gordapala yang
tengah terhuyung-huyung menguasai keseimbangan tubuhnya. Maka serangan Rangga
yang begitu cepat, tidak dapat dielakkan lagi.
Desss! "Aaakh...!
Satu pukulan yang dilepaskan Rangga dari jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali' berhasil mendarat telak di dada Jago dari Alam
Kubur itu. Begitu kerasnya pukulan itu, sehingga membuat Raden Gordapala
terpental jauh ke belakang. Lalu, keras sekali tubuhnya terbanting ke tanah, dan
bergulingan beberapa kali.
"Hup!"
Raden Gordapala cepat bangkit berdiri, dan membuat beberapa gerakan. Dia
menggereng kuat dan dahsyat sekali. Kedua bola matanya memerah, bagai sepasang
bola api membara, menyimpan kemarahan yang amat sangat Sementara Rangga sudah
mulai bersiap kembali menggunakan jurus lain.
Pendekar Rajawali Sakti melirik ke kanan dan ke kiri.
Seketika terngiang lagi kata-kata wejangan gurunya."Hm...," sebentar Rangga menggumam. Lalu....
"Hup!"
Begitu cepatnya Pendekar Rajawali Sakti melompat dan menyambar sebilah pedang
yang tergenggam di tangan seorang prajurit. Tahu-tahu, Rangga sudah kembali
berdiri tegak sekitar enam langkah di depan Raden Gordapala. Pedang dari bahan
biasa yang tergenggam di tangan Rangga, membuat Jago dari Alam Kubur itu
menggereng geram.
"Ghrrr...! Yeaaah...!"


Pendekar Rajawali Sakti 66 Rahasia Gordapala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hup! Hiyaaa...!"
*** Pertarungan yang terjadi antara Pendekar Rajawali Sakti melawan Jago dari Alam
Kubur berlangsung begitu sengit dan dahsyat. Jurus demi jurus berlalu cepat.
Pertarungan yang begitu dahsyat dan indah, membuat semua orang yang ada di
sekitar pertarungan jadi ternganga takjub menyaksikannya.
Bahkan Danupaksi, Cempaka, Pandan Wangi, dan tiga putra Elang Maut yang sudah
berhadapan dengan Iblis Tongkat Merah dan Dewi Naga Kembar, jadi terkesan dengan
pertarungan itu. Mereka seperti lupa, dan berhenti bertarung. Kini, mereka telah
menyaksikan pertarungan dua tokoh tingkat tinggi itu tanpa berkedip.
Entah sudah berapa jurus berlalu, tapi pertarungan itu masih terus berlangsung
semakin sengit.
Serangan Rangga tidak berubah, terus menggunakan rangkaian lima jurus rajawali
yang digabung- gabungkan antara satu dengan lain. Sehingga, jurus itu menjadi puluhan jurus
yang dahsyat dan sukar ditandingi. Dan ini membuat Raden Gordapala semakin
bertambah kelabakan saja.
Beberapa kali Raden Gordapala harus menerima pukulan maupun tendangan Rangga
yang selalu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi, Jago dari Alam Kubur
itu memang benar-benar tangguh.
Semua pukulan dan tendangan yang bersarang di tubuhnya tidak menjadikannya
gentar. Hanya saja, dia selalu menghindari pedang yang berada di dalam genggaman
tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan hal ini membuat Rangga merasa kesulitan
untuk mem-babatkan pedangnya ke tubuh pemuda yang berjuluk Jago dari Alam Kubur
itu. "Akan kugunakan jurus 'Pedang Pemecah
Sukma'...," dengus Rangga dalam hati. "Hiyaaat...!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti merubah jurusnya. Dan kini, seluruh
kekuatannya dipusatkan pada pedang yang diambil dari salah seorang prajurit
Karang Setra. Gerakan-gerakan yang dilakukan Rangga begitu cepat dan luar biasa.
Pedangnya berkelebat bagai kilat, mengurung setiap jengkal ruang gerak Raden
Gordapala. "Awas kepala...!" seru Rangga tiba-tiba, begitu keras.
Wuk! Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti mengecutkan pedang ke arah kepala Raden
Gordapala. Sesaat Jago dari Alam Kubur itu terperangah, lalu cepat-cepat
merundukkan kepalanya. Sehingga, tebasan pedang Rangga lewat sedikit di atas
kepala Jago dari Alam Kubur itu.
Tapi tanpa diduga sama sekali, Rangga memutar
tubuhnya sambil melayangkan satu tendangan berputar yang begitu cepat dan luar
biasa. Dan ini tidak bisa lagi dihindari Raden Gordapala. Sama sekali tidak
disangka kalau Rangga bisa melakukan dua serangan beruntun begitu cepat, di saat
serangan pertamanya belum lagi berakhir.
Desss! "Akh...!" Raden Gordapala menjerit keras.
Tendangan Rangga tepat mendarat di dada Jago dari Alam Kubur itu. Seketika
tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang terkena
tendangan keras bertenaga dalam tinggi itu.
Pada saat itu juga, Rangga sudah melompat cepat sambil mengecutkan pedang yang
diambil dari seorang prajurit Karang Setra.
"Hiyaaat..!"
Bet! "Uts!"
Raden Gordapala berusaha menghindar dengan menarik-tubuhnya ke kanan. Namun
sungguh di luar perhitungan, ujung pedang itu bergetar hebat dan meliuk begitu
cepat ke arah gerakan tubuh Jago dari Alam Kubur itu. Hingga akhirnya....
Crab! "Akh...!" Raden Gordapala menjerit tertahan.
Pedang itu berhasil merobek bahu kanan Raden Gordapala. Darah seketika mengucur
deras dari bahu yang sobek cukup lebar. Kembali Raden Gordapala terhuyung-huyung
ke belakang sambil mendekap bahunya yang berlumuran darah.
"Saatmu sudah tiba, Raden Gordapala...!" desis Rangga agak menggeram.
"Huh!" Raden Gordapala mendengus berat
"Terimalah kematianmu! Hiyaaat..!"
Rangga langsung melompat dengan ujung pedang tertuju lurus ke depan. Maka Raden
Gordapala cepat-cepat melentingkan tubuh ke udara. Sehingga, hunjaman pedang
Pendekar Rajawali Sakti tidak mengenai sasaran. Dan pada saat itu pula,
terdengar ringkikan seekor kuda yang begitu keras menyakitkan telinga.
Tiba-tiba saja, seekor kuda hitam melompat cepat menerjang Rangga yang tengah
meluncur deras di atas tanah. Begitu cepatnya serangan binatang itu, sehingga
Rangga tidak bisa lagi menghindar.
Plakkk! "Akh...!" Rangga terpekik agak tertahan.
Depakan kaki kuda hitam itu membuat tubuh Pendekar Rajawali Sakti terguling
beberapa kali di tanah. Dan begitu Rangga melompat bangkit, kuda hitam itu
menyemburkan api dari mulutnya. Maka cepat-cepat tubuhnya dibanting ke tanah dan
bergelimpangan beberapa kali. Secepat itu pula Pendekar Rajawali Sakti bangkit
berdiri sambil menyilangkan pedang di depan dada.
"Khraaagkh...!"
Semua orang yang ada di perbatasan Utara
Kotaraja Kerajaan Karang Setra jadi terperangah begitu tiba-tiba saja terdengar
suara keras menggelegar dari angkasa. Dan sebelum mereka bisa terbebas dari rasa
terkejutnya, mendadak saja dari angkasa meluncur seekor burung rajawali raksasa.
"Khraaagkh...!"
Rajawali Putih yang memang sejak tadi memperhatikan pertarungan dari angkasa,
langsung saja meluruk menyerang begitu melihat Rangga mendapat serangan dari
kuda aneh yang bisa menyemburkan api dari mulut itu. Begitu cepat serangan yang
dilakukan Rajawali Putih, sehingga kuda hitam bernama Jaran Geni itu tidak dapat
lagi menyadari.
Dan tahu-tahu, Rajawali Putih sudah mendaratkan paruhnya di punggung kuda hitam
itu. Keras sekali Rajawali Putih menghajar punggung, sehingga Jaran Geni meringkik
keras dengan semburan api dari mulutnya. Seketika darah mengucur dari punggung
Jaran Geni yang berlubang.
Dan sebelum ada yang sempat menyadari, Rajawali Putih sudah menyambar leher kuda
itu dengan cakar-cakamya yang kuat dan besar. Burung raksasa itu langsung
melesat ke angkasa, sedangkan Jaran Geni mencoba bertahan. Tapi justru kepalanya
malah tidak bisa dipertahankan lagi. Maka seketika itu juga kepalanya buntung.
Kuda hitam itu menggelepar di tanah dengan kepala terpisah dari leher. Darah
berhamburan ke segala arah. Sementara dari atas, kepala kuda hitam itu melayang
turun, dan jatuh bergelimpangan tidak jauh di depan kaki Raden Gordapala.
"Setan keparat..!" geram Raden Gordapala.
Matanya langsung terbeliak lebar melihat kuda kesayangan dan belahan jiwanya
tewas oleh seekor burung rajawali raksasa yang tiba-tiba saja muncul dari
angkasa. *** Raden Gordapala seketika menggeletar tubuhnya.
Memang, seketika itu juga sebagian dari jiwa kehidupannya terasa telah lenyap,
bersamaan dengan tewasnya Jaran Geni. Disadari kalau dirinya tidak akan mungkin
lagi bisa hidup jika sampai terbunuh kali ini. Terlebih lagi, tampaknya Rangga
memang sudah mengetahui kelemahan kehidupannya. Dan itu bisa diketahuinya dari
cara Rangga yang menggunakan pedang biasa, bukan pedang pusaka miliknya sendiri.
Memang, justru senjata yang tidak memiliki kekuatan, dan terbuat dari bahan
biasa yang menjadi pangkal kematiannya.
"Setan...! Aku harus pergi dari sini...," dengus Raden Gordapala langsung
menyadari keadaan dirinya yang terdesak.
Mendapat pikiran demikian, cepat sekali Jago dari Alam Kubur itu melompat hendak
kabur. Tapi Rangga yang memang sudah sejak tadi terus memperhatikan, tidak akan
melepaskan begitu saja. Dengan cepat sekali dilemparkannya pedang yang berada
dalam genggamannya, disertai pengerahan seluruh kekuatan tenaga dalamnya yang
sudah mencapai taraf kesempurnaan.
"Hiyaaa...!"
Wusss...! Jleb! "Aaa...!"
Raden Gordapala langsung terpental. Tubuhnya kontan terguling begitu pedang yang
dilemparkan Rangga menembus punggung, hingga ujungnya menyembul keluar dadanya.
Hanya sebentar saja Jago dari Alam Kubur itu menggelepar, kemudian diam tak
bergerak-gerak lagi. Rupanya rahasia yang diberikan Pendekar Rajawali kepada
Pendekar Rajawali Sakti tepat sekali. Dan itu memang dari pengalaman Pendekar
Rajawali yang hidup seratus tahun lalu, dalam menghadapi makhluk jenis ini.
Melihat junjungannya tewas, Iblis Tongkat Merah dan Dewi Naga Kembar, langsung
mengambil langkah seribu.
"Jangan dikejar...!" seru Rangga melihat adik-adik tirinya dan Pandan Wangi
hendak mengejar.
Tapi para prajurit Karang Setra yang sudah begitu marah atas tindakan tokohtokoh sesat itu, langsung saja melemparkan tombak dan melepaskan anak-anak panah
ke arah mereka. Hunjaman tombak dan anak panah yang meluncur cepat bagai hujan,
membuat keinginan tokoh-tokoh sesat itu untuk kabur jadi terhambat. Dan mereka
jadi kerepotan menghalau senjata-senjata yang menghujaninya.
"Mereka harus dibasmi, Kakang!" seru Pandan Wangi. "Hiyaaat...!"
Cepat sekali Pandan Wangi melompat sambil mengecutkan kipas mautnya ke arah
Untari yang sedang sibuk menghalau anak panah yang
menghujani tubuhnya. Pada saat yang bersamaan, ketiga putra Elang Maut,
Danupaksi, dan Cempaka juga sudah berlompatan menyerang orang-orang kepercayaan
Raden Gordapala itu. Sedangkan Rangga sudah tidak bisa lagi mencegah.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
Wukkk! Cepat sekali kebutan kipas Pandan Wangi,
sehingga Untari tidak sempat lagi berkelit menghindar. Gadis itu menjerit keras
melengking tinggi begitu dadanya robek tersabet kipas baja putih yang terkenal
membawa hawa maut itu. Pada saat yang bersamaan, Cempaka juga berhasil
menyarangkan pedangnya ke tubuh Legini, dibarengi tebasan pedang Sarala ke leher
gadis itu. Sedangkan Danupaksi masih kerepotan menghadapi Iblis Tongkat Merah. Tapi begitu Banara dan Liliani ikut membantu, Iblis
Tongkat Merah tidak bisa lagi berbuat banyak. Terlebih lagi, Cempaka dan
Sarala segera berlompatan ikut menyerangnya. Tentu saja hal ini membuat Iblis
Tongkat Merah benar-benar kewalahan dikeroyok pendekar-pendekar muda yang ratarata berkepandaian tinggi. Hingga akhirnya....
"Mampus kau! Yeaaah...!"
Crab...! Bres...! Iblis Tongkat Merah tak mampu lagi bersuara, begitu pedang para pendekar muda
itu menghunjam tubuhnya. Dan tokoh sesat itu langsung ambruk tak bernyawa lagi
dengan tubuh berlumuran darah tertembus beberapa pedang dari para pendekar muda
ini. Rangga yang menyaksikan itu semua hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saja.
Pendekar Rajawali Sakti tahu, mereka semua memang masih muda. Jelas, mereka
tidak bisa mengendalikan nafsu amarah yang meluap, melihat kekejaman Raden
Gordapala dan orang-orangnya.
Terlebih lagi, mereka memang begitu mendendam atas peristiwa yang dialami akibat
jebakan Raden Gordapala di perut Gunung Tangkup. Itulah rupanya yang membuat
mereka tidak bisa lagi mengendalikan amarah dan dendam. Para pendekar muda itu
menghampiri Rangga yang sudah didampingi Pandan Wangi.
"Jangan bicara apa-apa, nanti saja di istana," kata Ranggai langsung, sebelum
ada yang membuka suara.
Mereka semua jadi terdiam. Tapi, Cempaka
mendekati Pendekar Rajawali Sakti dan melingkarkan tangannya. Langsung
dipeluknya lengan pemuda berbaju rompi putih ini.
"Maaf. Kakang...," ucap Cempaka pelan sekali.
"Sudahlah.... Ayo, kembali saja ke istana," ujar Rangga
"Oh, ya. Apakah pisau-pisau emas itu benar-benar sudah dilebur?" tanya Cempaka,
karena takut kalau Raden Gordapala hidup lagi. Memang, gadis ini paling ceriwis
di antara yang lain, terutama persoalan Raden Gordapala.
"Belum," sahut Rangga enteng.
"Belum" Lalu...?" Cempaka tampak begitu
khawatir. "Batangan emas yang kulempar waktu itu memang bukan dari leburan pisau-pisau
emas milik Raden Gordapala. Tapi, ah! Sudahlah. Yang penting, Raden Gordapala
tak akan bangkit lagi. Percayalah!"
"Kau yakin!"
"Yakin sekali."
Kemudian, mereka berjalan beriringan menuju Istana Karang Setra yang megah dan
indah itu. SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (fujidenkikagawa)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Sumpah Palapa 11 Tembang Tantangan Karya S H Mintardja Kisah Para Penggetar Langit 7

Cari Blog Ini