Pendekar Rajawali Sakti 67 Perangkap Berdarah Bagian 1
PERANGKAP BERDARAH Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Herros
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa Izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Perangkap Berdarah
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Awan hitam bergulung-gulung menyelimuti seluruh permukaan bumi Karang Setra. Angin bertiup
kencang, menebarkan debu dan daun-daun kering ke
angkasa. Sesekali, terdengar guntur menggelegar memekakkan telinga. Sedangkan
titik-titik air mulai jatuh menghantam bumi. Namun, alam yang seakan murka
itu tidak membuat seorang pemuda berbaju rompi putih harus menghentikan langkah kaki kudanya.
Pemuda berwajah tampan itu terus mengendalikan kuda hitamnya, mendekati sebuah bangunan batu berbentuk candi. Dengan gerakan ringan, dia melompat turun dari punggung kudanya. Pemuda itu berlari-lari kecil meniti anak-anak tangga batu yang mulai dibasahi titik-titik
air. Langkahnya terhenti sebentar begitu sampai di depan pintu. Seorang gadis
cantik berbaju biru muda tampak sudah menunggu di dalam
bangunan berbentuk candi itu.
"Maaf, aku terlambat," ucap pemuda itu seraya melangkah masuk ke dalam.
Saat itu, di luar mulai turun hujan. Bagaikan
ditumpahkan dari langit, hujan turun begitu deras.
Sehingga, menimbulkan suara gemuruh yang mengiriskan hati. Kini di tengah-tengah ruangan yang cukup besar di dalam bangunan
berbentuk candi, dua anak
muda tadi telah duduk bersila saling berhadapan. Seorang pemuda tampan berbaju
rompi putih, dan seorang gadis cantik berbaju biru muda.
"Apa maksudmu meminta ku datang ke pesanggrahan ini, Pandan?" terdengar pelan dan lembut sekali suara pemuda berbaju
rompi putih itu.
Sedangkan gadis cantik berbaju biru muda
yang ternyata memang Pandan Wangi, hanya diam saja
tanpa menjawab pertanyaan itu. Malah, dipandanginya wajah tampan di depannya.
Pemuda berbaju rompi putih itu tak lain adalah Rangga, yang di kalangan
persilatan lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
Beberapa saat mereka terdiam, hanya saling pandang
saja. "Kau punya persoalan, Pandan?" tanya Rangga lagi. "Mungkin...," sahut
Pandan Wangi, terdengar agak mendesah suaranya.
"Mungkin..."! Jawabanmu sama sekali tidak ku
mengerti, Pandan. Lagi pula, tidak biasanya kau meminta ku datang ke sini. Kalau ada masalah yang ingin kau katakan, aku bersedia
mendengarkannya," kata Rangga jadi heran atas sikap Pandan Wangi yang tidak
biasanya ini. "Aku ingin pamit, Kakang," begitu pelan sekali suara Pandan Wangi, sampai hampir
tak terdengar di
telinga Rangga.
"Kau jangan macam-macam, Pandan. Ingin
pamit ke mana...?" Rangga semakin heran tidak mengerti. "Aku akan pergi," tetap
pelan suara Pandan Wangi. "Ke mana...?"
Pandan Wangi tidak menjawab, tapi malah
memandangi wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti.
Seakan-akan, ada ganjalan yang begitu berat di dalam dadanya, dan seperti sukar
untuk mengatakannya.
Sedangkan Rangga membalas tatapan gadis itu dengan
sinar mata penuh rasa keheranan.
Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak mengerti atas sikap Pandan Wangi yang begitu aneh dan
tidak biasanya ini. Rangga menduga, pasti ada sesuatu yang terjadi pada diri
gadis itu. Tapi hal itu tidak bisa ditebak sekarang ini. Terlalu cepat kalau
menebak sekarang. Sedangkan Pandan Wangi sendiri seperti berat untuk mengatakan,
apa yang menjadi ganjalan dalam
hatinya saat ini.
"Sudah begitu lama kita saling mengenal dan
selalu bersama-sama. Dan kau tidak pernah menyembunyikan sesuatu dariku. Tapi, kenapa sekarang seperti merahasiakan sesuatu padaku, Pandan?" tanya Rangga mendesak.
"Aku tidak ingin kecewa lagi, Kakang. Sudah
terlalu banyak kekecewaan yang kuterima selama ini,"
masih terdengar pelan nada suara Pandan Wangi.
"Kecewa " Siapa yang membuatmu kecewa,
Pandan" Apa kau kecewa padaku" Atau, pada peraturan kerajaan yang tidak mengizinkan kita bersatu sebelum asal-usulmu
diketahui...?"
"Bukan.... Bukan itu, Kakang."
"Lalu...?"
Pandan Wangi kembali terdiam. Perlahan kepalanya tertunduk, menekuri permadani merah muda
yang menjadi alas lantai bangunan pesanggrahan berbentuk candi ini.
"Katakan, Pandan. Ada persoalan apa sebenarnya?" desak Rangga lagi.
Pandan Wangi tetap terdiam. Dan Rangga semakin tidak mengerti melihat sikap gadis ini. Duduknya digeser semakin dekat.
Lalu, perlahan-lahan diangkatnya wajah gadis itu dengan ujung jarinya. Kini mereka kembali bertatapan.
"Aku ingin kau merelakan aku pergi, Kakang,"
kata Pandan Wangi, begitu perlahan sekali suaranya.
"Kau ingin meninggalkan ku, Pandan?" suara
Rangga juga terdengar pelan.
"Untuk sementara," sahut Pandan Wangi sambil menjauhkan jari tangan Pendekar
Rajawali Sakti dari dagunya. "Lalu, ke mana kau akan pergi?"
Pandan Wangi tidak menjawab. Perlahan gadis
itu bangkit berdiri dan melangkah mendekati pintu
yang terbuka lebar. Suara gemuruh air hujan yang
menghantam tanah, terdengar bagai gemuruh hati
Pandan Wangi saat ini. Sementara Rangga masih tetap duduk bersila beralaskan
permadani tebal berwarna
merah muda yang menutupi seluruh lantai ruangan
pesanggrahan ini.
"Kau ingin pergi dariku. Maka, tentu ada alasannya, Pandan," desak Rangga, masih tetap duduk bersila pada tempatnya.
"Untuk kali ini aku minta pengertianmu, Kakang. Aku tidak bisa mengatakannya sekarang. Hanya
kuminta, kau merelakan kepergianku untuk sementara. Percayalah..., aku pasti kembali lagi ke sini padamu, Kakang" kata Pandan
Wangi seraya memutar tubuhnya berbalik.
Gadis itu melangkah perlahan dan kembali duduk di depan Pendekar Rajawali Sakti. Untuk beberapa saat mereka kembali
terdiam. Dan Rangga terus memandangi wajah cantik itu. Sepertinya, dia ingin
mencari jawaban dari semua sikap aneh Pandan Wangi sekarang ini. Tapi, sama sekali tidak ditemukan jawaban yang diinginkannya. Wajah
Pandan Wangi begitu mendung, semendung langit di luar sana.
"Aku mohon padamu, Kakang...," ujar Pandan Wangi berharap.
"Kau bersungguh-sungguh ingin pergi, Pandan?" tanya Rangga seperti belum percaya pada keinginan gadis ini.
Pandan Wangi hanya mengangguk saja.
"Untuk berapa lama?" tanya Rangga bernada menyerah.
"Aku tidak tahu pasti," sahut Pandan Wangi, masih perlahan suaranya.
Rangga mengangkat bahunya sambil menghembuskan napas panjang. Terlihat, ada kesungguhan
dalam sinar mata si Kipas Maut itu. Dan dia tahu, kalau Pandan Wangi
menginginkan begitu, tidak akan
mungkin bisa menghalangi lagi. Meskipun dengan hati berat, Rangga harus bisa
meluluskan permintaan Pandan Wangi yang tidak pernah diduga selama ini.
Rasanya memang sukar bisa diterima. Masalahnya, sudah begitu lama mereka bersama-sama dalam mengarungi ganasnya rimba persilatan. Malah,
sudah berbagai macam persoalan dihadapi bersama.
Namun sekarang ini, tiba-riba saja Pandan Wangi hendak meninggalkannya dalam
waktu yang tidak bisa dipastikan. Meskipun tadi si Kipas Maut sudah mengatakan hanya sementara, tapi masih juga Rangga merasakan begitu berat. Namun, Pendekar Rajawali Sakti
memang tidak bisa berkata lain lagi, selain meluluskan permintaan gadis yang
sangat dicintainya ini. Walaupun, dengan hati yang begitu berat.
"Kapan kau akan berangkat?" tanya Rangga, agak mendesah suaranya.
"Setelah hujan berhenti," sahut Pandan Wangi.
"Cepatlah kembali kalau persoalanmu sudah
selesai," pinta Rangga.
"Terima kasih, Kakang. Aku berjanji...," ucap Pandan Wangi.
"Aku akan selalu menunggumu di sini. Karang
Setra selalu membuka pintu untukmu, Pandan," ujar
Rangga. Pandan Wangi hanya terdiam saja. Tidak ada
lagi yang bisa diucapkan. Dan Rangga juga terdiam
memandangi wajah cantik yang kelihatan berselimut
kabut ini. Tidak ada yang berbicara lagi. Sementara, hujan masih turun deras
sekali menyirami seluruh
permukaan bumi Karang Setra.
*** Rangga berdiri di depan pintu pesanggrahan
yang berbentuk candi ini, memandangi kepergian Pandan Wangi yang menunggang kuda putih. Pendekar
Rajawali Sakti masih berdiri tegak tanpa berkedip,
meskipun Pandan Wangi sudah tidak terlihat lagi, tertelan lebatnya pepohonan.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti baru menuruni anak-anak tangga pesanggrahan ini, setelah tidak lagi mendengar derap kaki
kuda yang membawa Pandan Wangi pergi. Tapi, ayunan langkahnya jadi terhen-ti
begitu telinganya kembali mendengar langkah kaki kuda yang dipacu cepat menuju
ke pesanggrahan ini.
Rangga cepat mengalihkan pandangan ke arah bunyi
kaki kuda yang didengarnya semakin jelas.
Tak berapa lama kemudian, terlihat seekor kuda yang dipacu cepat oleh seorang gadis cantik mengenakan baju warna merah muda.
Kening Rangga jadi
berkerut, melihat Cempaka memacu kuda begitu cepat
menuju ke arahnya. Gadis itu langsung melompat turun, begitu sampai di dekat Pendekar Rajawali Sakti.
"Kak Pandan mana, Kakang...?" Cempaka langsung bertanya dengan napas agak
tersengal. "Baru saja pergi," sahut Rangga.
"Aduh! Celaka...!" sentak Cempaka.
"Heh..."! Ada apa ini...?" tanya Rangga jadi kebingungan.
"Kenapa kau biarkan Kak Pandan pergi...?"
Cempaka malah bertanya, menyesali Pendekar Rajawali Sakti yang membiarkan si Kipas Maut pergi.
"Dia sudah pamitan denganku. Dan aku tidak...." "Kenapa diizinkan" Seharusnya kau menahannya supaya tidak pergi,
Kakang," potong Cempaka cepat.
"Kenapa kau kelihatan cemas sekali, Cempaka"
Ada apa sebenarnya dengan Pandan Wangi?" tanya Rangga tidak mengerti.
Cempaka tidak menjawab. Dikeluarkannya lipatan daun lontar dari balik kantung bajunya. Lalu, dis-erahkannya pada Pendekar
Rajawali Sakti. Dengan
masih keheranan, Rangga mengambil lipatan daun
lontar itu, lalu membukanya.
"Baca saja, Kakang. Aku menemukannya di
kamar Kak Pandan," kata Cempaka.
Kening Rangga jadi berkerut dalam, saat membaca kalimat-kalimat yang tertera pada lembaran daun lontar itu. Sebentar
kemudian ditatapnya Cempaka,
sambil melipat kembali lembaran daun lontar itu. Lalu, dimasukkannya ke dalam
saku ikat pinggangnya.
"Kenapa tidak dari kemarin kau berikan ini padaku, Cempaka?" ujar Rangga seperti menyesali.
"Aku baru menemukannya tadi. Itu sebabnya,
aku langsung ke sini," sahut Cempaka tidak mau dis-alahkan.
"Kau pulang saja, Cempaka," kata Rangga seraya melangkah mendekati kudanya.
Dengan gerakan ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung kudanya. Seekor kuda hitam yang gagah, dan dikenal bernama Kuda Dewa Bayu. Sementara Cempaka masih berdiri saja
sambil memegangi tali kekang kudanya. Dan kini
Rangga sudah memutar kudanya. Dia mendecak perlahan, menyuruh kudanya melangkah menghampiri
gadis itu. "Kau langsung kembali ke istana. Jangan mengikutiku," pesan Rangga tegas.
Dia tahu watak Cempaka yang haus dengan petualangan. Dan ketegasan Pendekar Rajawali Sakti,
membuat Cempaka langsung terdiam. Memang, tadinya gadis itu bermaksud ingin ikut kakak tirinya ini.
Tapi belum juga dikatakan, Rangga sudah menyuruhnya kembali ke istana dengan tegas. Dan Cempaka tidak bisa berbuat lain, kecuali mengangguk lesu.
"Hiya...!"
Rangga langsung menggebah cepat kudanya.
Maka kuda hitam Dewa Bayu melesat cepat bagai anak
panah lepas dari busur. Tanah memang basah habis
terguyur hujan, sehingga tidak menimbulkan kepulan debu. Cepat sekali Kuda Dewa
Bayu berlari, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah lenyap dari pandangan
Cempaka. Sementara, gadis itu masih tetap berdiri mematung sambil memegangi tali
kekang kudanya,
memandang ke arah kepergian Pendekar Rajawali Sakti. Sementara Rangga terus memacu cepat kudanya. Dikerahkannya aji 'Tatar Netra' untuk mengimbangi lari kudanya, dalam
memperhatikan jejak-jejak kaki kuda yang masih tertera begitu jelas di tanah
yang basah berlumpur. Dia tahu, itu adalah jejak-jejak tapak kaki kuda yang
ditunggangi Pandan Wangi.
"Hooop...!"
Pendekar Rajawali Sakti 67 Perangkap Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba Rangga menarik tali kekang, sehingga
membuat kudanya meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi ke udara. Seketika, kuda hitam Dewa Bayu
berhenti berpacu. Dengan gerakan begitu ringan, Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari punggung kuda. Keningnya jadi berkerut memperhatikan jejak-jejak tapak kaki kuda yang
berhenti di tempat ini.
Heh..."!"
Rangga jadi tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar ringkikan seekor kuda yang begitu keras. Dan hatinya semakin terkejut
saat seekor kuda putih yang amat dikenalinya, tiba-tiba muncul dari dalam semak
belukar. Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat
menghampiri. Dikenalinya betul kalau itu kuda Pandan Wangi. Tapi, kuda itu tidak membawa Pandan
Wangi di punggungnya.
"Putih, ke mana Pandan Wangi?" tanya Rangga begitu bisa memegang tali kekang
kuda putih ini.
Kuda berbulu putih bersih itu hanya mendengus-dengus sambil menghentakkan kaki depannya ke
tanah yang becek dan berlumpur. Rangga mengedarkan pandangan berkeliling. Tidak ada tanda-tanda kalau Pandan Wangi berada di
sekitar tempat ini. Sejauh mata memandang, hanya pepohonan saja yang terlihat
begitu lebat. Kemudian, dipanggilnya Kuda Dewa Bayu yang langsung menghampiri
begitu melihat isyarat
tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau bawa putih ke istana, Dewa Bayu," pinta Rangga.
Kuda Dewa Bayu mendengus pendek sambil
menganggukkan kepala, seakan-akan mengerti apa
yang diucapkan Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian
tanpa diminta dua kali, Kuda Dewa Bayu mengiring
kuda putih milik Pandan Wangi meninggalkan tempat
itu. Sementara Rangga masih tetap berdiri tegak mengedarkan pandangan
berkeliling. Dan kini dua ekor
kuda itu sudah jauh meninggalkannya. Arah yang dituju dua ekor kuda itu, jelas menuju Istana Karang Setra.
"Ke manapun perginya, pasti belum jauh dari
sini. Aku harus segera mengejar sebelum terlambat,"
gumam Rangga bicara sendiri.
Tapi belum juga Pendekar Rajawali Sakti bergerak tiba-tiba saja....
Slap! "Heh..."! Uts!"
Rangga jadi terbeliak setengah hati, begitu tibatiba dari atas meluncur sebuah bayangan hitam yang
begitu cepat. Untung saja tubuhnya cepat mengegos,
sambil menarik kaki ke belakang beberapa tindak. Sehingga, dia tidak sampai
terkena terjangan bayangan hitam yang muncul begitu tiba-tiba dari atas pohon.
"Hap...!"
Ringan sekali Pendekar Rajawali Sakti melenting, berputaran beberapa kali ke belakang. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun,
kakinya menjejak tanah yang basah oleh air hujan. Kini, di depan Pendekar
Rajawali Sakti sudah berdiri seorang laki-laki berusia muda. Dia mengenakan baju
warna hitam ketat. Tampak dua buah gagang pedang menyembul tersilang di
balik punggungnya.
Sret! Cring...! Slap! Bersamaan tercabutnya dua bilah pedang oleh
laki-laki muda berbaju serba hitam itu, tiba-tiba saja dari balik pepohonan dan
dari atas dahan pohon di sekitar Pendekar Rajawali Sakti, bermunculan orangorang berpakaian serba hitam. Mereka semua menyandang dua bilah pedang di punggung. Dan sebentar saja, Rangga sudah terkepung tidak kurang dari
delapan orang laki-laki berusia sebaya dengannya.
"Hm...," Rangga menggumam perlahan, sambil merayapi delapan orang yang berdiri
mengepungnya dengan rapat sekali.
"Sebaiknya kembali saja ke istanamu, Rangga.
Tidak ada gunanya kau mengikuti Pandan Wangi," ujar pemuda berbaju serba hitam
yang muncul pertama
kali. "Siapa kau dan kalian semua?" tanya Rangga, agak dalam nada suaranya.
"Aku Wadagari. Dan mereka semua saudarasaudaraku," sahut pemuda berbaju serba hitam itu memperkenalkan diri. "Perlu kau
ketahui, Rangga.
Kami semua ditugaskan untuk menghalangimu dalam
mengikuti Pandan Wangi. Biarkan dia menyelesaikan
urusannya sendiri tanpa campur tanganmu."
"Siapa yang menyuruh kalian?" tanya Rangga.
"Kau tidak perlu tahu, Rangga. Sebaiknya, segeralah kembali ke istanamu. Tidak ada gunanya ikut campur dalam urusan pribadi
Pandan Wangi," tegas Wadagari.
"Mungkin aku akan kembali ke istana, jika kau
bersedia menjelaskan persoalannya," pinta Rangga kalem. "Sayang sekali. Aku
tidak bisa menjelaskannya padamu, Rangga," tolak Wadagari tegas.
"Kalau begitu, aku tetap pada pendirianku. Dan kalian tidak bisa menghalangiku,"
tegas Rangga. "Itu berarti kau harus melewati kami dulu, Pendekar Rajawali Sakti."
Bat! Tring! Wadagari langsung mengebutkan pedang, dan
menyilangkan di depan dada. Pada saat itu, tujuh pemuda lain yang juga
mengenakan baju ketat serba hitam segera mencabut pedang yang masing-masing
menghunus dua bilah. Pedang yang tergenggam di
tangan kanan dan kiri itu disilangkan di depan dada.
Sorot mata mereka begitu tajam, tertuju lurus pada .
Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau akan menyesal, Rangga," desis Wadagari memperingatkan.
"Aku khawatir kalian yang akan menyesal telah
menghalangiku," balas Rangga tidak kalah dingin.
"Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti.
Hiyaaat...'' Bagaikan kilat, Wadagari melompat menerjang
Pendekar Rajawali Sakti. Kedua pedangnya dikebutkan cepat sekali. Gerakannya
bergantian, menggunting ke arah beberapa bagian tubuh pemuda berbaju rompi
putih itu. Namun dengan gerakan manis sekali, Rangga berhasil mengelakkan setiap serangan yang dilakukan Wadagari.
Pendekar Rajawali Sakti segera mengerahkan
jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Satu jurus yang seringkali digunakan untuk menjajaki tingkat kepandaian lawan. Namun Pendekar Rajawali Sakti tidak bi-sa bertahan lama dengan
jurus 'Sembilan Langkah
Ajaib', begitu pemuda-pemuda berbaju serba hitam
lainnya berlompatan membantu Wadagari menyerangnya. Rangga terpaksa berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang dari delapan arah secara
bergantian dan cepat sekali.
Dalam beberapa jurus saja berlalu, Rangga sudah bisa merasakan kehebatan jurus-jurus delapan
orang lawannya ini. Setiap kebutan pedang mereka,
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi
sampai sejauh ini, Rangga belum juga menggunakan
pedang pusakanya yang terkenal dahsyat. Pendekar
Rajawali Sakti masih menggunakan rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti' yang cepat berganti-ganti.
"Uts! Yeaaah...!"
Manis sekali Rangga meliukkan tubuhnya,
menghindari sabetan satu pedang lawannya. Dan seketika itu juga, tubuhnya dirundukkan sedikit. Lalu, dilepaskannya satu pukulan
keras dari jurus 'Pukulan
Maut Paruh Rajawali' dalam tingkatan terakhir. Begitu cepat serangan balasannya,
sehingga satu lawan yang hampir saja membelah tubuhnya dengan pedang, tidak
dapat lagi menghindari. Tangan Rangga yang sudah
berubah menjadi merah bagai terbakar itu benar-benar mengancam jiwanya.
Desss! "Aaakh...!"
Pukulan yang dilepaskan Rangga memang dahsyat bukan main. Sehingga, pemuda berbaju serba hitam itu tidak dapat lagi bertahan. Tubuhnya seketika terpental deras ke belakang
sambil menjerit nyaring melengking tinggi.
"Hiyaaat...!"
*** 2 Sebelum ada yang menyadari, Rangga sudah
bergerak kembali. Kini, dipadukannya jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dengan
jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega'. Dua jurus yang begitu dahsyat dan
sudah mencapai tingkat kesempurnaan, membuat lawan-lawannya jadi kelabakan menghindari.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak
demikian cepatnya, sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Terlebih lagi
Rangga berlompatan begitu cepat, langsung menyerang lawan-lawannya secara
bergantian. Hal ini semakin membuat lawan kelabakan menghindari serangan balasan
Pendekar Rajawali Sakti.
"Jebolll !" teriak Rangga tiba-tiba. "Yeaaah...!"
Bat! Diegkh! "Aaakh...!"
Satu orang lagi terpental ke belakang sambil
menjerit keras melengking tinggi begitu pukulan yang dilepaskan Rangga berhasil
bersarang di dada. Dan sebelum jeritan itu menghilang dari pendengaran, kembali Rangga sudah melesat cepat. Langsung dilepaskannya satu kebutan yang disertai pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna pada
salah seorang lawan.
"Yeaaah...!"
Bet! Des! "Akh...!" satu orang lagi kembali terguling di tanah yang becek habis tersiram
hujan. "Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Rangga melentingkan tubuh ke
udara. Lalu bagaikan kilat, tubuhnya meluruk deras
dengan kedua kaki bergerak cepat bagai berputar. Saat itu Rangga mengerahkan
jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', yang merupakan satu dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti' yang tidak kalah dahsyatnya. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan
Rangga kali ini, sehingga dua orang lawan tidak bisa lagi menghindari. Mereka
menjerit, dan bergelimpangan di tanah begitu kedua kaki Rangga menghantam
kepala tanpa dapat dicegah.
"Hap!"
Manis sekali Rangga menjejakkan kaki kembali
di tanah Dia berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, dan tangan
melipat di depan dada. Pandangannya begitu tajam merayapi Wadagari dan dua orang
lagi yang masih bisa bertahan berdiri. Sedangkan lima orang lainnya sudah
tergeletak tak bergerak-gerak lagi.
Tampak jelas sekali di wajah mereka terbersit kegentaran melihat kedigdayaan
Pendekar Rajawali Sakti.
Dalam beberapa jurus saja, Rangga sudah berhasil merobohkan lima orang dari mereka. Dan sekarang, tinggal tiga orang lagi. Perlahan Rangga menggeser kakinya mendekati
Wadagari yang didampingi
dua orang yang sudah kelihatan gentar menghadapi
Pendekar Rajawali Sakti.
*** "Kau masih ingin menghalangiku, Wadagari...?"
desis Rangga, begitu dingin sekali nada suaranya.
"Kau memang tangguh, Rangga. Tapi bukan berarti kau bisa lewat begitu saja," desis Wadagari tidak kalah dingin.
"Aku hargai tekadmu, Wadagari. Tapi aku lebih
suka kalau kau menyingkir dan tidak mencoba menghalangiku lagi."
Bet! Wuk! Wadagari tidak banyak bicara lagi. Cepat kedua
pedangnya digerak-gerakkan, lalu berhenti dengan salah satu pedang berada di
atas kepala. Sedangkan pedang yang tergenggam di tangan kanan tertuju lurus
ke depan, mengarah ke dada Pendekar Rajawali Sakti.
Dua orang yang berada di kanan kirinya juga segera
melakukan gerakan-gerakan yang sama, meskipun dari sinar mata mereka rasa kegentaran masih belum bi-sa terhapus. Sedangkan lima
orang dari mereka, masih tetap tergeletak di tanah tak bergerak-gerak lagi.
"Hiyaaat...!".
Sambil berteriak keras menggelegar, Wadagari
cepat melompat bagai kilat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Dua orang lain segera berlompatan membantunya. Pada saat itu, Rangga segera melenting ke udara, menghindari enam
bilah pedang yang berkele-batan cepat mengincar tubuhnya. Pada saat berada di
udara, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti mencabut pedangnya. Lalu, tubuhnya
meluruk deras sambil
mengebutkan pedang yang memancarkan cahaya biru
berkilau menyilaukan mata itu.
"Hiyaaa...!"
Bet! Bet...! Trang! Desss! Memang sungguh cepat gerakan Rangga kali
ini. Sehingga, sulit diikuti pandangan mata biasa. Dalam berapa gebrakan saja,
sudah terlihat dua orang berjumpalitan sambil memekik keras melengking tinggi.
Manis sekali Rangga kembali menjejakkan kaki di tanah, sambil memasukkan pedang
kembali ke dalam
warangka di punggung. Cahaya biru berkilau terang
seketika lenyap begitu Pedang Rajawali Sakti kembali berada di dalam
warangkanya. "Bagaimana, Wadagari...?" desis Rangga sambil
tersenyum, melihat Wadagari tampak kelabakan melihat tinggal dia seorang yang masih bisa berdiri tegak.
Wadagari tidak bisa lagi berkata-kata. Dirayapinya teman-temannya yang sudah tergeletak tidak
bergerak-gerak lagi. Tak ada setetes darah pun yang terlihat. Tapi, tujuh orang
pemuda berbaju serba hitam itu sama sekali tidak bergerak di tanah yang basah
tersiram hujan tadi.
"Mereka tidak perlu dikhawatirkan, Wadagari.
Hanya pingsan saja," kata Rangga memberi tahu, seakan-akan bisa membaca
kecemasan yang tersirat dari
sorot mata Wadagari.
Sedangkan Wadagari hanya diam saja. Ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata yang
begitu sulit diartikan. Tapi raut wajahnya, seakanakan tidak lagi semangat untuk melanjutkan perta
Pendekar Rajawali Sakti 67 Perangkap Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rungan. Baru disadarinya kalau Pendekar Rajawali
Sakti memang bukan tandingannya. Terlalu tinggi
tingkat kepandaian yang dimiliki pemuda berbaju
rompi putih itu.
"Kau harus menjaga mereka, Wadagari. Hutan
ini banyak binatang buasnya," ujar Rangga.
"Apa yang kau inginkan dariku, Pendekar Rajawali Sakti?" ujar Wadagari bernada pasrah.
Wadagari benar-benar mengakui tidak akan
mampu menandingi Pendekar Rajawali Sakti lagi. Dengan lemas, pedangnya dimasukkan kembali ke dalam
warangka di punggung. Sedangkan Rangga terlihat
mengulas senyum sambil melangkah perlahan mendekati pemuda berbaju serba hitam ketat itu.
"Tunjukkan, ke arah mana Pandan Wangi pergi?" pinta Rangga dengan suara sudah berubah lembut kembali.
"Ke sana," sahut Wadagari seraya menunjuk ke arah Selatan.
"Aku percaya padamu, Wadagari. Tapi jika
mengelabui ku, tidak akan ada lagi maaf untukmu,"
ujar Rangga bernada mengancam.
"Kau ikuti saja jalan ke arah Selatan. Di sana, kau akan menemui sungai kecil.
Lalu, telusurilah aliran sungai itu. Maka, kau akan menemui Pandan
Wangi di sana," jelas Wadagari.
Sebentar Rangga merayapi wajah Wadagari, kemudian tanpa berbicara lagi, segera melesat meninggalkan tempat itu menuju arah yang ditunjuk Wadagari. Begitu tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali
Sakti, sehingga dalam sekeja-pan mata saja bayangan tubuhnya sudah tidak
terlihat lagi. Wadagari bergegas menghampiri tubuh-tubuh
yang bergelimpangan di tanah. Diperiksanya satu persatu. Kemudian napas lega
berhembus dari hidungnya
setelah mengetahui mereka semua memang hanya
pingsan saja. "Hm.... Kenapa dia tidak membunuh..." Kenapa
hanya dibuat pingsan saja...?" desah Wadagari men-gumam, bicara pada diri
sendiri. Memang Wadagari tidak mengerti sikap yang dilakukan Rangga. Tak ada satu pun yang terluka parah.
Mereka semua hanya dibuat pingsan saja. Padahal, ta-di Pendekar Rajawali Sakti
bertarung dengan jurusjurus yang begitu dahsyat sekali. Bahkan terlalu sukar diukur tingkatannya.
Inilah yang membuat Wadagari
jadi tidak mengerti. Tapi, memang tidak mudah baginya untuk bisa mencari jawabannya sekarang ini.
*** Sementara itu Rangga yang mencari jejak kepergian Pandan Wangi, sudah tiba di tepi sungai yang ditunjukkan Wadagari
padanya. Pendekar Rajawali
Sakti berhenti sebentar memandangi alur sungai yang tidak begitu besar ini Cukup
deras juga alirannya. Kemudian pandangannya diarahkan ke depan, mengikuti
aliran air sungai ini.
"Auuum...!"
Tiba-tiba saja Rangga dikejutkan suara mengaum yang begitu keras dari arah belakang. Pendekar Rajawali Sakti jadi
terkesiap, begitu tubuhnya memutar. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu tidak
jauh dari tempatnya berdiri sudah ada seekor harimau yang berbadan begitu besar,
seperti anak lembu.
"Ghraaau...!"
Rangga menggeser kakinya ke belakang beberapa langkah. Sedangkan harimau itu mendekam
sambil terus mengaum, seakan-akan ingin memamerkan baris-baris giginya yang bertaring tajam. Tatapan matanya begitu tajam
memerah, menusuk langsung ke
bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Kemunculan harimau itu memang mengejutkan sekali. Dan binatang
yang selalu disebut Raja Rimba ini, memang mempunyai keistimewaan tersendiri. Setiap langkahnya begitu ringan, sehingga sulit
diketahui kehadirannya. Buk-tinya, Rangga sendiri sampai tidak mengetahui
kehadirannya. Mungkin karena seluruh perhatiannya tadi
tercurah pada Pandan Wangi yang sampai saat ini belum diketahui keberadaannya.
"Auuum...!"
Tiba-tiba saja harimau itu mengaum keras sekali, membuat bumi yang dipijak bagai bergetar. Lalu, mendadak saja Raja Rimba
itu melompat cepat. Cakar-cakarnya tampak terkembang, siap mencabik seluruh
tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaaah...!"
Rangga cepat-cepat melompat ke samping sambil menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Beberapa kali tubuhnya bergulingan di tanah
dekat sungai itu, lalu
bergegas melompat bangkit berdiri. Namun, kembali
harimau itu melompat hendak menerkamnya dengan
kecepatan yang luar biasa sekali.
"Hap! Hiyaaa...!"
Rangga segera melentingkan tubuh ke udara.
Tepat ketika harimau besar itu berada di bawahnya,
secepat itu pula Pendekar Rajawali Sakti melepaskan satu pukulan keras
menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepatnya pukulan
yang dilepaskan, sehingga harimau itu tidak mungkin lagi
bergerak menghindar. Dan....
Begkh! "Ghrauuugkh...!
Harimau sebesar anak lembu itu menggerung
dahsyat. Si Raja Rimba jatuh bergulingan beberapa
kali di tanah yang berbatu dan basah bekas kena air hujan itu. Namun ternyata
binatang itu cepat bisa
bangkit berdiri sambil menggerung-gerung marah.
Rangga yang sudah menjejakkan kakinya kembali di
tanah agak berbatu di tepian sungai ini, jadi tertegun melihatnya. Padahal, tadi
tenaga dalam yang dikerahkan dalam pukulannya sudah cukup tinggi. Dan biasanya, kalau hanya binatang saja yang terkena pukulan seperti itu pasti sudah ambruk tak bisa bangun la-gi. Tapi, harimau itu
malah bisa cepat bangkit Dan
tampaknya, sudah kembali bersiap menyerang.
"Kuat juga kau...," desis Rangga. "Baik! Aku ingin tahu, sampai di mana
kekuatanmu."
Pendekar Rajawali Sakti kembali bersiap. Sedangkan harimau itu kini mendekam, merapatkan tubuhnya dengan tanah berbatu. Dia menggereng-gereng
sambil menyeringai memperlihatkan taring-taringnya
yang tajam, bagai mata pisau. Seakan-akan, binatang itu ingin membuat hati
Pendekar Rajawali Sakti merasa gentar. Tapi bukan kegentaran yang diperlihatkan
Rangga, melainkan malah geseran kakinya yang semakin mendekati.
"Ghrrr...!"
Harimau itu kembali menggereng dahsyat. Kemudian tiba-tiba sekali, dia melompat cepat bagai kilat menerjang Pendekar
Rajawali Sakti. Namun dengan sa-tu gerakan tubuh manis sekali, Rangga berhasil
menghindarinya. Bahkan dengan kecepatan sungguh luar
biasa, satu pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut
Paruh Rajawali' yang mengandung pengerahan tenaga
dalam tinggi, langsung dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. "Yeaaah...!"
Begitu cepatnya pukulan yang dilepaskan
Rangga, sehingga harimau besar itu tidak dapat lagi menghindar. Maka pukulan
dari jurus 'Pukulan Maut
Paruh Rajawali' tepat dan telak menghantam tubuhnya. "Ghraaaugkh...!"
Harimau itu menggerung dahsyat sekali. Tubuhnya jatuh bergulingan di tanah, hingga menghantam sebongkah batu besar. Rangga yang sudah bersiap kembali menyerang, jadi
berhenti melihat harimau itu tidak bisa bangkit lagi. Si Raja Rimba itu kini
mengge-letak di tanah berbatu sambil menggereng-gereng lirih, seakan-akan
merasakan kesakitan akibat pukulan
yang diterimanya tadi.
Perlahan Rangga melangkah menghampiri harimau yang masih tergeletak bagai tak memiliki daya la-gi. Binatang itu terus
menggeram lirih sambil memandang Pendekar Rajawali Sakti. Sinar matanya tidak
lagi terlihat garang. Bahkan begitu redup sekali, seakan-akan ingin meminta
pertolongan pada Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Rangga semakin dekat saja.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti membungkuk begitu
dekat, ingin memeriksa keadaan luka yang diderita harimau itu akibat pukulannya
tadi. Tapi, mendadak sa-ja.... Slap!
"Heh..."!"
Rangga jadi terkejut bukan main. Cepat-cepat
tubuhnya melenting dan berputar ke belakang, begitu tiba-tiba sebuah benda
meluncur deras ke arahnya.
Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti melakukan putaran di udara, sebelum menjejakkan kakinya kembali di tanah tepian sungai yang
berbatu ini. Wusss...! "Hap...!"
Namun belum juga Rangga bisa menarik napas,
kembali terlihat sebuah benda berwarna merah menyala bagai api meluncur deras ke arahnya. Maka Pendekar Rajawali Sakti kembali melentingkan tubuh dan berputaran di udara,
menghindari benda yang berwarna merah bagai berapi itu.
Beberapa kali Rangga berjumpalitan di udara
untuk menghindari benda-benda berwarna merah bagai berapi yang berhamburan di sekitar tubuhnya. Entah berapa jumlah benda-benda
yang berhamburan
mengancam nyawanya. Dan Rangga terpaksa berjumpalitan sambil memperhatikan arah datangnya bendabenda merah bagai bola api itu. Suara-suara ledakan pun terdengar keras
menggelegar di sekitarnya, begitu
benda-benda berapi itu menghantam pohon dan bebatuan di sekitar sungai ini.
"Edan...! Hiyaaa...!"
Rangga merasa jengkel juga menghadapi keadaan seperti ini. Dan ketika kakinya menjejak tanah kembali, cepat sekali kedua
tangannya digerakkan di depan dada. Lalu begitu kedua kakinya ditarik merentang
ke samping, kedua tangannya dihentakkan ke depan. Seketika itu juga, dari kedua telapak tangannya meluncur cahaya merah yang
langsung meluruk deras
menembus lebatnya pepohonan.
Glarrr...! "Hup! Yeaaah...!"
Rangga cepat-cepat melenting ke udara, dan
melakukan beberapa kali putaran. Tepat ketika Pendekar Rajawali Sakti mendarat di tepi sungai itu, dari balik kepulan asap merah
yang bercampur debu serta
serpihan batu dan pepohonan, melesat sebuah bayangan merah ke angkasa. Lalu, tahu-tahu pada jarak dua batang tombak di depan
Pendekar Rajawali Sakti, sudah berdiri seorang perempuan muda dan cantik.
Dia mengenakan baju ketat warna merah, sehingga
membentuk tubuhnya yang ramping dan indah berisi.
*** 3 Kelopak mata Rangga jadi menyipit begitu melihat seorang gadis berwajah cantik yang berdiri tegak di depannya. Baju warna
merah yang dikenakannya begitu ketat sekali, sehingga membentuk tubuh yang
ramping dan indah. Tampak dadanya membusung.
Bahkan belahan baju bagian dada begitu rendah dan
lebar, seakan-akan ingin memperlihatkan buah dadanya yang begitu indah dipandang mata.
"Siapa kau, Nisanak?" tanya Rangga, agak dalam nada suaranya.
"Biasanya orang-orang memanggilku Nini Belang;" sahut gadis cantik itu, lembut sekali nada suaranya. "Nini Belang...?"
Rangga mengerutkan keningnya. "Benar. Dan kau tadi baru saja mengalahkan
sahabatku si Belang," sahut gadis cantik berbaju merah yang tadi mengaku bernama
Nini Belang. Rangga berpaling, menatap harimau berukuran
besar yang kini sudah mendekam diam dengan kepala
berada di ujung kedua kaki depannya. Sungguh tidak
disangka kalau harimau itu peliharaan gadis cantik
yang mengaku bernama Nini Belang. Rangga kembali
menatap Nini Belang yang berdiri anggun sekitar dua tombak di depannya.
"Aku tahu siapa kau, Pendekar Rajawali Sakti.
Dan aku juga tahu, kenapa kau berada di sini sekarang. Mengapa kau tidak bisa melepaskan Pandan
Wangi dalam waktu sebentar saja" Mengapa kau tidak
mempercayainya...?" agak dalam nada suara Nini Belang. "Maaf. Aku tidak mengerti
pembicaraanmu, Ni-ni Belang," ucap Rangga agak terkejut.
"Seharusnya kau sudah bisa mengetahuinya,
Pendekar Rajawali Sakti," desis Nini Belang.
"Kau ingin menghalangiku, Nini Belang...?" tebak Rangga langsung.
"Benar," sahut Nini Belang tegas.
"Kenapa?" tanya Rangga ingin tahu.
Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak
mengerti semua kejadian ini. Sudah dua kali ini ditemuinya orang yang mencoba
menghalanginya mengejar Pandan Wangi. Sungguh dia tidak tahu, ada apa di balik semua ini sebenarnya.
Dan mereka yang mencoba menghalangi, sepertinya memang sudah ditempatkan pada masing-masing tempatnya. Rangga merasa ada satu permainan di balik semua ini. Dan dia tidak yakin kalau Pandan Wangi
terlibat di dalamnya.
"Sebaiknya kau kembali saja, Pendekar Rajawali Sakti. Biarkan Pandan Wangi menyelesaikan urusannya sendiri, tanpa campur tanganmu," tegas Nini Belang. "Persoalan apa yang
dihadapi Pandan Wangi?"
tanya Rangga menyelidik ingin tahu.
"Kau tidak perlu tahu, Pendekar Rajawali Sakti," sahut Nini Belang, agak ketus nada suaranya. "
Dan, aku tidak bisa mengatakannya padamu, Pendekar Rajawali Sakti. Tugasku hanya menghalangimu
agar tidak terus membuntuti Pandan Wangi."
"Jawabanmu sungguh tidak mengenakkan, Nini
Belang. Dan aku harus menemui Pandan Wangi," desis Rangga, agak dalam nada
suaranya. "Itu berarti kau harus melewati ku dulu, Rangga," sambut Nini Belang tegas.
"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan
saja. "Tidak banyak orang yang dapat mengalahkan harimau peliharaanku. Tapi, itu
bukan berarti kau bi-sa mudah melewati ku begitu saja, Rangga. Dan sebelum segalanya terlanjur, sebaiknya turuti saja kata-kataku. Tidak akan terjadi
apa-apa pada Pandan Wangi. Dan sebaiknya, kau segera tinggalkan tempat ini.
Kembalilah ke istanamu di Karang Setra," ujar Nini Belang, agak mendesis nada suaranya.
"Aku hargai kesetiaanmu dalam bertugas, Nini
Belang. Tapi perlu kau ketahui. Aku tetap akan me
Pendekar Rajawali Sakti 67 Perangkap Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
langkah maju, meskipun ada sepuluh orang sepertimu
mencoba menghalangi," tegas Rangga.
"Sudah kuduga! Kau pasti tidak akan menyerah
begitu saja, Pendekar Rajawali Sakti," desis Nini Belang, agak sinis nada
suaranya. Setelah berkata demikian, Nini Belang menggeser kakinya ke kanan beberapa langkah. Tatapan
matanya menyorot begitu tajam, menusuk langsung ke
bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Tak ada lagi yang bicara. Mereka saling
menatap tajam, seakan-akan sedang mengukur tingkat kepandaian masing-masing.
"Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti.
Hiyaaat...!"
Cepat sekali Nini Belang melompat sambil melepaskan beberapa pukulan beruntun yang begitu keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi. "Hup! Yeaaah...!"
Rangga cepat menggeser kakinya ke kanan dua
tindak, lalu meliukkan tubuhnya menghindari setiap pukulan yang dilepaskan gadis
cantik itu. Beberapa
kali pukulan yang dilepaskan Nini Belang tidak sempat mengenai tubuh Pendekar
Rajawali Sakti. Dan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib' yang dikeluarkan Rangga,
memang sukar bisa ditembus. Gerakan-gerakan tubuh
Pendekar Rajawali Sakti demikian cepat, dan sukar diduga arahnya. Akibatnya
serangan yang dilakukan Nini Belang jadi mentah, tanpa dapat mencapai sasaran sedikit pun juga.
"Awas kaki...! Yeaaah...!" seru Rangga tiba-tiba.
Dan begitu cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti
merendahkan tubuhnya, lalu secepat itu pula tangan
kanannya dikibaskan ke arah kaki Nini Belang, dalam jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega'. Begitu cepat serangan baliknya, sehingga membuat Nini Belang
jadi terperangah sesaat. Lalu....
"Hup! Yeaaah...!"
Bergegas wanita itu melenting ke udara, menghindari kibasan tangan Rangga yang mengarah ke kakinya. Tapi mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti
melenting ke udara, mengikuti gerakan tubuh yang dilakukan gadis cantik berbaju
merah itu. Dan secepat itu pula....
"Hiyaaa...!"
Bet! Sukar diikuti pandangan mata biasa! Begitu
cepatnya Rangga melepaskan satu pukulan dari jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega', sehingga Nini Belang yang masih berada di udara
tidak dapat lagi menghindarinya.
Begkh! "Akh...!" Nini Belang terpekik keras agak tertahan. Begitu kerasnya pukulan yang
diberikan Rangga, dan tepat menghantam dada Nini Belang. Akibatnya
wanita itu langsung terpental ke belakang sejauh dua batang tombak.
"Ghraaauk...!"
Wusss! "Heh..."!"
*** Rangga jadi terperanjat bukan main. Cepatcepat tubuhnya berputar dan berjumpalitan ke belakang, begitu tiba-tiba harimau yang sejak tadi mendekam saja, melompat bagai kilat menerkamnya. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran ke belakang sebelum kakinya kembali
menjejak tanah dengan
manis sekali. "Ghrrr...!"
Si Belang menggereng dahsyat sambil menggaruk-garuk kaki depannya ke tanah. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri perlahan-lahan. Bola matanya yang tadi sudah kelihatan redup, kini kembali me-merah membara bagai
sepasang bola api. Sedangkan Rangga sudah bergerak menggeser kakinya beberapa tindak ke kanan. Sebentar matanya melirik Nini Belang yang kini sudah bisa
bangkit lagi, kemudian
kembali menatap tajam pada harimau belang sebesar
anak lembu itu.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
"Heh..."!"
Tiba-tiba saja Nini Belang berlompatan cepat
memutari tubuh Rangga sambil melontarkan puluhan
senjata rahasia yang begitu kecil seperti jarum berwarna merah. Akibatnya Rangga
jadi tersentak bukan
main. "Hup! Yeaaah...!"
Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti melenting
ke udara, menghindari setiap terjangan senjata-senjata rahasia yang berhamburan
di sekitar tubuhnya. Tepat pada saat itu, si Belang melompat ke belakang.
Seakan-akan dia tahu kalau senjata-senjata rahasia yang dilepaskan gadis cantik
berbaju merah itu sangat berbahaya. Begitu cepatnya Nini Belang melontarkan
senjata-senjata rahasianya, sehingga sedikit pun tak ada kesempatan bagi Rangga
untuk bisa membalas! Bahkan tak ada sedikit pun celah baginya untuk bisa keluar
dari serbuan jarum kecil berwarna merah itu.
"Edan! Hih...!" dengus Rangga jadi kesal.
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti merentangkan tangannya ke samping. Lalu sambil berjumpalitan, kedua tangannya dirapatkan di depan dada. Dan secepat itu pula....
"Aji 'Bayu Bajra'.... Hiyaaa...!"
Bersamaan dengan menjejaknya kaki Pendekar
Rajawali Sakti ke tanah, seketika itu juga tangannya merentang lebar ke samping.
Dan seketika itu juga,
berhembus angin yang begitu kencang disertai suara
menggemuruh. Rangga memang mengerahkan satu
ajiannya yang begitu dahsyat. Aji 'Bayu Bajra' memang bisa membuat keadaan
sekitarnya bagai terjadi badai topan yang begitu dahsyat.
Bumi jadi bergetar. Angin menderu-deru menerbangkan apa saja yang ada di sekitar tepian sungai ini. Bahkan air sungai
yang mengalir deras jadi bergo-lak seperti mendidih. Pepohonan mulai
bertumbangan, tercabut sampai ke akar-akarnya. Batu-batu terpecah berhamburan
seperti segumpal kapas yang tertiup angin.
Sementara itu Nini Belang berusaha bertahan
dengan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Sedangkan si Belang sendiri meraung-raung, menancapkan kuku-kukunya begitu dalam ke tanah.
Tapi, tetap saja dia terus bergeser terhempas
badai topan yang diciptakan Pendekar Rajawali Sakti dari aji 'Bayu Bajra' yang
begitu dahsyat luar biasa.
"Ghrauuugkh...!"
"Aaa...!"
Tiba-tiba saja terdengar raungan yang begitu
keras menggelegar, disertai jeritan panjang melengking tinggi. Tampak Nini
Belang dan harimau peliharaannya terpental melayang terhempas hembusan angin
topan yang begitu dahsyat tercipta dari aji 'Bayu Bajra' yang dikeluarkan Pendekar
Rajawali Sakti. Tubuh mereka
melayang tinggi ke udara, dan terus meluncur deras
melewati puncak-puncak pepohonan yang bergoyanggoyang menahan hempasan badai topan ini.
"Hap!"
Rangga segera merapatkan kedua telapak tangannya kembali di depan dada. Bersamaan dengan itu, badai topan yang
diciptakannya berhenti seketika. Pemuda berbaju rompi putih itu jadi
menghembuskan napas panjang, melihat keadaan sekitarnya porakporanda. Aji 'Bayu Bajra' yang dikerahkan tadi memang begitu dahsyat. Akibatnya, hutan yang semula
begitu indah kini jadi hancur berantakan, seperti terguncang gempa yang teramat
dahsyat. Memang aji 'Bayu Bajra' teramat dahsyat. Dan
Rangga tidak akan mengeluarkannya jika tidak dalam
keadaan terpaksa sekali. Tapi, tadi dia benar-benar kesal. Maka terpaksa ajian
yang dahsyat ini digunakan. "Heh..."!"
Tiba-tiba Rangga tersentak kaget begitu mendengar rintihan mengerang begitu lirih. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat ke
arah rintihan lirih itu. Matanya jadi terbeliak melihat tubuh Nini Belang terhimpit sebatang pohon yang sangat besar sekali. Tidak jauh darinya, terlihat
harimau peliharaan wanita ini menggerung-gerung lirih sambil mengais-ngais tanah
di sekitar pohon itu.
"Ghrrr...!"
Harimau itu menggerung begitu melihat Rangga
menghampiri. Dia seakan marah, karena majikannya
sekarang seperti sekarat terhimpit pohon akibat dari aji kesaktian Pendekar
Rajawali Sakti yang begitu dahsyat tadi. "Tenanglah. Aku akan mengeluarkannya dari
pohon ini," ujar Rangga menenangkan harimau itu.
Tanpa mempedulikan harimau itu, Rangga segera mendekati pohon yang sangat besar ini. Kemudian ditariknya napas dalam-dalam. Lalu dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna, dicobanya untuk mengangkat
pohon itu. Memang berat sekali, dan Rangga terpaksa harus mengerahkan seluruh
kekuatan tenaga dalamnya. Sedikit demi sedikit, pohon yang begitu besar itu
mulai bergerak terangkat.
"Cepat keluar, Nini...!" desis Rangga sambil menahan beban pohon ini.
'Tidak bisa. Tubuhku tidak bisa bergerak," sahut Nini Belang lirih.
Rangga menatap harimau peliharaan gadis itu.
'Tarik dia, cepat..!" perintah Rangga.
"Ghrrr...!"
Seperti mengerti apa yang diinginkan Pendekar
Rajawali Sakti, harimau yang dipanggil si Belang ini segera menghampiri
majikannya. Kemudian digigitnya
baju di bahu kanan Nini Belang. Lalu, wanita itu ditariknya perlahan-lahan
keluar dari himpitan pohon
yang sudah diangkat Pendekar Rajawali Sakti.
Sedikit demi sedikit, Nini Belang tertarik keluar.
Dan begitu seluruh tubuhnya tidak lagi berada di bawah batang pohon itu, Rangga
segera melepaskan pohon itu hingga jatuh kembali menghantam bumi.
Rangga langsung menjatuhkan diri bersandar pada batang pohon itu. Keringat bersimbah di seluruh tubuhnya. Seluruh kekuatan tenaga
dalamnya benar-benar
dikerahkan untuk mengangkat pohon yang begitu besar ini. Setelah beristirahat sebentar, Rangga bangkit
berdiri dan menghampiri Nini Belang yang masih terbaring tak berdaya, ditunggui
harimau peliharaannya.
Harimau sebesar anak lembu itu hanya diam saja,
memandangi Rangga yang langsung memeriksa keadaan tubuh gadis cantik berbaju merah ini.
"Kenapa kau menyelamatkan aku, Rangga?" tanya Nini Belang, terdengar lirih
suaranya. "Tidak layak bagi seorang pendekar melihat
kematian lawan seperti itu," sahut Rangga seenaknya.
'Tidak seharusnya kau berbuat begitu padaku,
Rangga. Biarkan saja aku mati. Aku sudah kalah bertarung denganmu," ujar Nini Belang lagi.
Rangga tidak mempedulikan kata-kata Nini Belang. Terus diperiksanya keadaan tubuh gadis ini.
Memang tidak begitu parah. Hanya beberapa tulangnya saja yang patah akibat terhimpit pohon tadi. Tapi, itu sudah membuat Nini
Belang harus terbaring sedikitnya dua hari. Hanya dengan mengerahkan hawa
murni dan sedikit perawatan saja, pasti luka-luka yang diderita gadis ini bisa
cepat sembuh. Dan Rangga tidak perlu mengkhawatirkan lagi keadaannya.
"Maaf. Tidak seharusnya tadi aku mengerahkan
ilmu kesaktian, selagi kau tidak siap," ujar Rangga menyesal.
"Di dalam pertarungan, segala cara apa pun harus dilakukan untuk menang, Pendekar Rajawali Sakti.
Dan kau telah memenangkan pertarungan tadi," kata Nini Belang jujur.
"Kau tahu, di mana tabib yang terdekat," Tanya Rangga.
'Tidak ada tabib yang dekat di sini," sahut Nini Belang. "Lukamu harus segera
disembuhkan. Tapi, kurasa kau bisa menyembuhkan sendiri. Hanya patah tulang saja. Aku yakin kau tahu cara penyembuhannya,"
kata Rangga sambil berdiri.
"Kau tetap ingin mencari Pandan Wangi, Rangga?" tanya Nini Belang melihat Rangga akan pergi meninggalkannya.
"Benar," sahut Rangga tidak jadi melangkah.
"Berjalanlah menyusuri arus sungai. Kau akan
menemukannya nanti di sana," jelas Nini Belang memberi tahu.
"Kau tahu, apa yang dilakukan Pandan Wangi?"
tanya Rangga ingin tahu.
"Sayang. Aku tidak bisa memberitahumu,
Rangga. Sebaiknya, kau ikuti saja arus sungai. Tapi ji-ka tidak mau, kau boleh
kembali ke Karang Setra," sahut Nini Belang.
Rangga hanya tersenyum saja, kemudian mengayunkan kakinya meninggalkan gadis cantik yang
masih ditunggui seekor harimau bertubuh besar peliharaannya. Rangga terus melangkah tanpa berpaling
lagi. Sementara, Nini Belang mencoba menggerakkan
tubuhnya. Tapi hatinya jadi mengeluh, karena seluruh tubuhnya benar-benar tidak
bisa digerakkan lagi. Memang sulit bergerak jika tulang punggung dan beberapa tulang rusuknya patah.
*** Sementara itu Rangga sudah kembali di tepi
sungai. Sebentar dia berhenti memandang arus sungai yang mengalir cukup deras,
kemudian kakinya melangkah terayun perlahan-lahan mengikuti arus sungai, seperti yang dikatakan Nini Belang. Bahkan sebe-lumnya, Rangga juga diberi
tahu penghadang pertamanya untuk mengikuti arus sungai ini. Dia tidak ta-hu, ada apa di balik semua
peristiwa ini. Pendekar Rajawali Sakti merasakan seperti tengah berada dalam suatu permainan yang sulit dimengerti. Dan rasanya, permainan ini merupakan suatu
perangkap baginya. Sudah dua kali dia dihadang. Dan Rangga bisa menilai kalau
penghadangnya itu seperti hanya ingin menjajal kepandaiannya saja. Tapi, hatinya
tidak yakin kalau Pandan Wangi justru yang di-jadikan umpan. Dan Pendekar
Rajawali Sakti juga belum bisa mengetahui maksud sebenarnya dari semua
permainan yang tidak mengenakkan ini.
Entah sudah berapa lama Rangga berjalan menyusuri sungai ini. Dan semakin jauh berjalan, sungai itu semakin melebar saja.
Malah arusnya pun tidak la-gi deras seperti tadi. Bahkan hampir tidak terlihat
adanya arus di permukaan sungai yang semakin lebar
ini. Tapi sampai matahari berada di ufuk Barat, belum juga tanda-tanda jejak
Pandan Wangi ditemukan.
Rangga baru berhenti melangkah saat menemukan sebuah perahu kecil yang ditunggui seorang
Pendekar Rajawali Sakti 67 Perangkap Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
laki-laki tua bertelanjang dada. Tubuhnya begitu kurus, sehingga tulangtulangnya kelihatan jelas bersem-bulan terbungkus kulit yang hitam legam karena
ter- bakar matahari.
"Ingin menyeberang, Den...?" laki-laki tua tukang perahu itu menegur lebih
dahulu. "Tidak, Ki," sahut Rangga seraya menghampiri lebih dekat lagi.
"Sebentar lagi malam. Hanya di seberang sana
yang ada desanya, Den. Kebetulan aku juga akan ke
seberang," kata tukang perahu itu lagi. Rangga memandang ke arah Barat. Matahari
memang sudah begitu condong, hampir tenggelam di balik peraduannya.
Dan memang desa yang terdekat adanya di seberang
sungai ini. Pendekar Rajawali Sakti kembali menatap laki-laki tua tukang perahu
itu. "Baiklah. Antarkan aku ke seberang, Ki," pinta Rangga seraya naik ke atas perahu
berukuran kecil
itu. Si tukang perahu hanya tersenyum dan mengangguk saja. Kemudian diambilnya dayung, lalu duduk di bagian belakang perahu ini. Sedangkan Rangga duduk di depan menghadap si
tukang perahu yang
mulai mengayuh. Perlahan perahu berukuran kecil itu bergerak ke tengah sungai
yang hampir tak terasa lagi alirannya. Perahu itu terus bergerak perlahan-lahan
semakin ke tengah.
"Ki, apakah kau melihat seorang gadis lewat si-ni tadi?" tanya Rangga mengisi
kebisuan yang terjadi sejak meninggalkan tepian sungai.
"Sejak tadi banyak orang yang menyeberang,
Den. Bahkan ada beberapa gadis menyeberang," sahut si tukang perahu.
"Maksudku gadis yang mengenakan baju biru,
dan membawa pedang di punggungnya," kata Rangga menjelaskan ciri-ciri Pandan
Wangi. "Ada, Den. Dia minta diantarkan ke seberang.
Dan...," si tukang perahu tidak meneruskan kalimat-nya. "Dan apa, Ki...?" desak
Rangga minta dite-ruskan.
"Kelihatannya dia sedang terburu-buru, Den.
Seperti mengejar sesuatu," sambung si tukang perahu.
"Lalu, dia pergi ke mana lagi setelah sampai di seberang?" tanya Rangga semakin
ingin tahu. Rangga yakin kalau yang dilihat dan diantarkan
ke seberang oleh tukang perahu itu adalah Pandan
Wangi. Dan Pendekar Rajawali Sakti semakin ingin ta-hu saja, apa yang dikerjakan
Pandan Wangi sehingga
pergi begitu tergesa-gesa bagaikan sedang mengejar
sesuatu seperti yang dikatakan si tukang perahu ini.
"Dia sudah ditunggu sebuah kereta kuda yang
begitu indah. Seperti kereta para bangsawan, Den.
Bahkan kereta itu juga dikawal enam orang pemuda
gagah. Semuanya menunggang kuda dan berpakaian
seragam seperti prajurit. Tapi, aku tidak tahu mereka prajurit dari mana.
Masalahnya, aku sering mengan-tarkan para prajurit dari Kotaraja Karang Setra
yang ingin ke seberang," jelas si tukang perahu lagi.
Rangga tersenyum dikulum, dan hampir tidak
terlihat. Untung saja si tukang perahu ini tidak mengenalinya, kalau dia adalah
Raja Karang Setra. Dalam pakaian seperti ini, memang tidak ada seorang pun
yang akan mengenalinya. Dan biasanya orang akan
mengenalnya sebagai pendekar, bukan sebagai seorang raja di Karang Setra. Dan
memang, ini yang diinginkan Rangga. Sehingga, dia bisa bergerak leluasa sekali.
"Kalau boleh ku tahu, siapa gadis itu, Den?"
tanya si tukang perahu.
"Adikku, Ki. Dia lari dari rumah," sahut Rangga seenaknya.
Si tukang perahu hanya menganggukanggukkan kepala saja. Dan mereka tidak ada yang bicara lagi. Sementara, perahu
yang ditumpangi semakin mendekati tepian seberang sungai. Rangga cepat melompat
ke darat begitu perahu sudah menepi. Setelah memberi bayaran yang cukup,
Pendekar Rajawali Sakti bergegas berjalan cepat mengikuti arah yang ditunjuk si
tukang perahu. *** Malam sudah jatuh menyelimuti sebagian permukaan mayapada. Rangga terpaksa bermalam di sebuah penginapan yang ada di Desa Karanggati. Memang, tidak mungkin perjalanannya dilanjutkan di
malam hari. Desa Karanggati sendiri merupakan sebuah desa yang cukup besar dan ramai. Hampir jauh
malam, desa ini masih saja kelihatan ramai. Dan sudah hampir seluruh pelosok desa ini dijelajahi. Bahkan sudah berpuluh orang
ditanya, tapi Rangga belum juga bisa menemukan petunjuk di mana Pandan Wangi
sekarang berada.
Tok, tok, tok...!
Rangga berpaling sedikit ketika mendengar ketukan di pintu kamar penginapannya.
"Masuk...!" seru Rangga agak keras sambil kembali mengarahkan pandangan ke luar
melalui jendela yang terbuka lebar.
Krieeet..! Terdengar suara derit pintu yang terbuka perlahan-lahan. Rangga mendengar suara langkah kaki
yang halus memasuki kamarnya, namun tetap tidak
berpaling. Kemudian, kembali terdengar derit suara
pintu yang tertutup. Dan kini tidak lagi terdengar suara sedikit pun. Rangga
yang hanya bisa mendengar tarikan napas begitu lembut di belakangnya.
"Kakang...," terdengar suara lembut sekali dari belakang Pendekar Rajawali
Sakti. Perlahan Rangga memutar tubuhnya, saat
mendengar suara seorang wanita yang begitu lembut
dari belakangnya. Dan begitu berbalik, matanya jadi terbeliak. Hampir tidak
dipercaya dengan apa yang ada di depannya sekarang ini. Sungguh tidak disangka
kalau yang masuk ke kamar penginapannya adalah seorang gadis berwajah begitu cantik. Dia mengenakan
baju warna merah menyala yang ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan indah.
Tapi bukan kecantikan dan keindahan tubuh
gadis itu yang membuat Rangga jadi terbeliak. Justru Pendekar Rajawali Sakti
tidak menyangka kalau yang
memasuki kamarnya ini adalah Mayang, seorang gadis
yang selama ini sudah dilupakan dan tak terdengar la-gi kabar beritanya.
"Kenapa kau ada di sini, Mayang...?" agak ter-sekat nada suara Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti seperti masih belum
percaya kalau yang berdiri di depannya ini adalah seorang gadis yang
mencintainya. Hanya saja, gadis itu cintanya tidak terbalas, karena Rangga tidak
menyukai wataknya yang dengki dan selalu menyimpan dendam
pada Pandan Wangi. Tapi walaupun demikian, Mayang
tidak pernah berputus asa untuk mendapatkan cinta
Pendekar Rajawali Sakti. Sudah segala macam cara dilakukan, namun tidak juga
mampu meruntuhkan ketegaran hati Rangga yang bagaikan batu karang. Tak
lebur meskipun setiap saat terhantam gelombang laut.
"Kau masih belum sudi menerima kehadiranku,
Kakang?" perlahan sekali suara Mayang, seakan-akan mengharapkan sikap yang manis
dari Pendekar Rajawali Sakti.
"Duduklah," Rangga mempersilakan.
Memang tidak ada alasan bagi Rangga untuk
membenci gadis ini. Meskipun tidak menyukai akan sifat-sifatnya, tapi tidak
mungkin bisa membencinya terus-menerus. Dan selama ini, Mayang memang tidak
pernah berbuat sesuatu yang secara langsung merugikannya. Sementara Rangga duduk di dekat jendela,
Mayang mengambil tempat di tepi pembaringan. Untuk
beberapa saat lamanya mereka tidak ada yang bicara.
Kesunyian begitu terasa menyelimuti seluruh kamar
penginapan yang tidak besar ukurannya ini.
"Dari mana kau tahu aku ada di sini?" tanya Rangga memecah kebisuan yang
terjadi. "Sore tadi, aku melihatmu masuk ke sini. Aku
sengaja menunggu sampai malam, agar tidak ada seorang pun yang melihatku masuk ke sini," sahut
Mayang. "Ada perlu denganku?" tanya Rangga lagi.
"Tidak begitu mendesak," sahut Mayang.
"Katakanlah."
"Aku tahu, kenapa kau berada di sini sendirian dan tidak bersama Pandan Wangi
seperti biasanya,"
kata Mayang, begitu bersungguh-sungguh nada suaranya. Kening Rangga jadi berkerut mendengar katakata Mayang barusan. Ditatapnya gadis itu dalamdalam dengan mata agak menyipit Sedangkan Mayang
malah bangkit dari duduknya, dan berdiri di depan
jendela. Rangga masih tetap duduk memandangi dengan sinar mata tajam dan penuh arti yang mendalam.
Entah apa yang ada di dalam benak Pendekar Rajawali Sakti sekarang ini, sehingga
tidak lagi mengucapkan sesuatu. Dan Mayang sendiri juga terdiam membisu,
memandangi rembulan yang bersinar penuh, bergelayut di langit.
"Kalau kau menyangka Pandan Wangi ada di
Desa Karanggati ini, kau salah besar, Kakang. Pandan Wangi tidak ada di desa
ini. Bahkan sama sekali tidak lewat sini," jelas Mayang mengisi kebisuan yang
terjadi untuk beberapa saat lamanya.
"Kau bicara seolah-olah mengetahui apa yang
sedang terjadi, Mayang," desis Rangga bernada curiga.
Rangga tahu betul kalau Mayang begitu membenci Pandan Wangi, karena dianggap saingannya dalam merebut cinta Pendekar Rajawali Sakti. Dan lagi, Mayang memang sudah
bertekad untuk menjauhkan
Pandan Wangi dari Pendekar Rajawali Sakti dengan ca-ra apa pun juga. Bahkan
tidak segan-segan membunuhnya kalau perlu. Dan itu pernah diucapkan
Mayang beberapa waktu lalu, sebelum menghilang dari Kerajaan Karang Setra.
"Aku sebenarnya sudah tahu kau pasti akan
datang ke sini, Kakang. Itu sebabnya, kenapa aku menunggumu sejak kemarin,"
jelas Mayang. "Kau tahu di mana Pandan Wangi, Mayang...?"
agak dalam nada suara Rangga.
Mayang tidak menjawab, tapi malah melangkah
ke pintu kamar penginapan ini. Sebentar wajahnya
berpaling menatap Pendekar Rajawali Sakti. Bibirnya yang selalu merah, terlihat
mengembangkan senyuman
yang begitu manis. Kemudian kakinya melangkah ke
luar, menutup pintu kamar ini kembali.
"Mayang, tunggu...!" sentak Rangga berseru.
Bergegas Pendekar Rajawali Sakti mengejar gadis itu. Tapi begitu sampai di depan pintu kamarnya, Mayang sudah tidak terlihat
lagi. Gadis itu sudah
menghilang, entah pergi ke mana. Rangga mengedarkan pandangan ke lorong rumah penginapan ini. Tapi
tak ada seorang pun yang terlihat. Perlahan-lahan
Pendekar Rajawali Sakti menutup pintu kamar penginapannya kembali.
Sebentar kepala Pendekar Rajawali Sakti berpaling ke kanan dan ke kiri, mengamati lorong yang tampak sepi, tanpa seorang
pun terlihat. Dengan langkah bergegas, disusurinya lorong yang di kanan kirinya terdapat pintu-pintu kamar tertutup rapat.
Rangga terus melangkah cepat menuju ke ruangan depan rumah penginapan ini. Di situ, yang ditemuinya
hanya seorang perempuan tua yang terduduk di kursi
kayu terkantuk-kantuk. Sebentar Pendekar Rajawali
Sakti menatap wanita tua itu, kemudian terus bergegas melangkah keluar dari rumah penginapan ini.
*** Semalaman ini Rangga kembali mengelilingi
Desa Karanggati mencari Mayang. Tapi, gadis itu tidak juga dijumpai lagi. Mayang
bagaikan lenyap tertelan bumi. Tak ada seorang pun yang melihat gadis ini ketika
ditanya. Bahkan ketika Rangga bertanya pada wanita tua pemilik rumah penginapan,
jawabannya sama
saja. Rangga tidak percaya kalau Mayang bisa tak
terlihat oleh siapa pun juga. Padahal ketika berada di luar rumah penginapan
itu, keadaannya masih cukup
ramai. Meskipun, sudah tidak begitu banyak orang lagi seperti tadi. Tapi tak ada
seorang pun yang melihat gadis cantik berbaju merah yang pedangnya tersampir di
punggung itu. Rangga melangkah perlahan-lahan
menyusuri jalan tanah yang sudah sepi ini. Tak ada
seorang pun yang terlihat lagi. Bahkan lampu-lampu
rumah yang berdiri di sepanjang jalan ini pun sudah tidak ada lagi yang menyala.
Keadaan begitu sunyi, seperti berada di sebuah desa mati tak berpenghuni. Begitu
cepat sekali penduduk desa ini tenggelam ke dalam rumahnya. Padahal belum lama
tadi, masih terlihat cukup ramai.
"Hm...," tiba-tiba Rangga menggumam.
Pendengarannya yang sangat tajam bisa mengetahui ada detak langkah-langkah kaki yang begitu halus mengikutinya dari
belakang. Suara langkah kaki
itu semakin terdengar dekat dan halus sekali. Rangga tahu, orang yang berjalan
di belakangnya memiliki il-mu meringankan tubuh yang tinggi. Sehingga, suara
langkah kakinya hampir tidak terdengar.
"Hup...!"
Tiba-tiba saja Rangga melompat ke atas, lalu
hinggap di salah satu cabang pohon yang cukup tinggi.
Matanya langsung ditujukan ke arah suara langkah
kaki yang tadi didengarnya. Dari kegelapan malam,
tampak seseorang tengah melangkah cepat. Namun
langkahnya begitu ringan, hingga suara yang ditimbul-kannya begitu halus. Bahkan
hampir tak terdengar telinga Pendekar Rajawali Sakti.
Kening Rangga jadi berkerut melihat orang yang
mengikutinya adalah seorang laki-laki tua bertubuh
kurus yang tidak mengenakan baju. Pendekar Rajawali Sakti mengenali betul orang
tua itu. Laki-laki berusia sekitar tujuh puluh tahun itu adalah yang mengantarkannya menyeberangi sungai. Dan kini dia berhenti tepat di bawah pohon yang
dinaiki Rangga. Laki-laki tua itu seperti kebingungan. Kepalanya menoleh ke
kanan dan ke kiri, seperti mencari sesuatu. Dan begitu men-dongak ke atas....
"Hup...!"
Bagaikan kilat, Rangga melompat turun. Gerakannya begitu cepat dan ringan sekali, hingga membuat laki-laki tua itu jadi terkejut setengah mati. Cepat-cepat dia melompat ke
belakang beberapa tindak.
Gerakannya begitu ringan dan halus, lalu manis sekali menjejakkan kakinya
kembali di tanah. Pada saat itu, Rangga sudah mendarat di tempat tadi sebelum
melompat ke atas pohon.
"Mau apa kau mengikutiku, Ki...?" desis Rangga langsung bertanya.
"Aku.... Aku tidak bermaksud buruk padamu,
Anak Muda. Percayalah. Aku tidak bermaksud apaapa...," sahut laki-laki tua itu sambil melangkah mendekati Pendekar Rajawali
Sakti. "Kalau kau tidak bermaksud buruk, kenapa
Pendekar Rajawali Sakti 67 Perangkap Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengikutiku dengan cara seperti itu?" desak Rangga.
"Aku tahu siapa kau, Anak Muda. Dan aku juga
tahu persoalan yang sedang kau hadapi sekarang ini.
Maka, aku bermaksud ingin membantumu," kata laki-laki tua itu lagi.
"Katakan, siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga dengan mata agak menyipit.
"Di desa ini, orang-orang selalu memanggilku Ki Arman. Tapi, kebanyakan orang
memanggilku si Kakek
Maut Bertangan Baja. Namun ada juga yang memanggilku si Tua Tukang Perahu. Terserah kau ingin memanggilku apa, Pendekar Rajawali Sakti," sahut laki-laki tua itu memperkenalkan
dirinya. "Dari mana kau tahu tentang diriku, Ki?" tanya Rangga agak terkejut juga, karena
Ki Arman sudah mengetahui tentang dirinya.
"Tidak ada seorang pun di dunia ini yang mempunyai pedang sakti bergagang kepala burung. Dan
orang yang mengenakan pakaian sepertimu hanya ada
satu. Kau begitu mudah untuk dikenali, Pendekar Rajawali Sakti," sahut Ki Arman yang juga berjuluk si Kakek Maut Bertangan Baja
atau juga si Tua Tukang
Perahu. "Lalu, untuk apa kau mengikutiku diam-diam?"
tanya Rangga lebih menyelidik lagi.
"Karena aku tidak ingin melihat pendekar muda
dan bijak sepertimu dipermainkan orang-orang berhati iblis seperti mereka,"
sahut Ki Arman.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Ki...," ujar
Rangga kebingungan.
"Secara tidak sadar, kau telah masuk perangkap mereka, Pendekar Rajawali Sakti. Sebuah perangkap yang akan berlumur darahmu, atau darah mereka
sendiri. Hal itu bisa kuketahui saat kau bertanya tentang Pandan Wangi," jelas
Ki Arman lagi. "Kau juga tahu tentang Pandan Wangi, Ki...?"
kali ini Rangga tidak bisa lagi menyembunyikan keter-kejutannya.
Sungguh tidak disangka kalau laki-laki tua
yang dikenal berjuluk si Kakek Maut Bertangan Baja
itu tahu banyak tentang dirinya. Bahkan juga tahu
tentang diri Pandan Wangi. Rangga jadi semakin ingin tahu, siapa sebenarnya
laki-laki tua yang belum dikenalnya sama sekali ini. Tapi, dia malah sudah
mengetahui banyak tentang dirinya.
"Kalau kau tidak keberatan, sebaiknya kita bicarakan hal ini di rumahku," ajak Ki Arman.
Rangga yang memang ingin tahu, apa sebenarnya yang sedang dihadapinya kali ini, tidak bisa lagi menolak ajakan si Kakek
Maut Bertangan Baja ini.
Dan Pendekar Rajawali Sakti terus saja melangkah
mengikuti ayunan kaki laki-laki tua yang tidak mengenakan baju ini. Mereka
berjalan perlahan-lahan tanpa berbicara sedikit pun. Sesekali, Rangga melirik
memperhatikan laki-laki tua yang berjalan di sampingnya ini. Entah berapa banyak
pertanyaan yang tidak bisa terjawab bergayut di dalam benaknya saat ini. Dan
Rangga sendiri tidak tahu, kapan semua pertanyaan
itu bisa terjawab.
"Jauh rumahmu, Ki?" tanya Rangga setelah mereka berjalan cukup lama, tapi belum
juga sampai di rumah si Kakek Maut Bertangan Baja ini.
'Tidak, sebentar lagi juga sampai. Tidak jauh
dari sungai," sahut Ki Arman.
"Dengan siapa kau tinggal?"
"Cucuku. Tapi, mungkin sekarang dia sudah tidur," sahut Ki Arman lagi.
Rangga tidak bertanya lagi. Memang, malam
sudah begitu larut. Dan sebentar lagi, pagi pasti akan datang menjelang disertai
kehangatan sinar sang men-tari. Sementara mereka terus berjalan tanpa bicara lagi. Rangga tahu, jalan yang ditempuhnya ini menuju
sungai yang secara langsung menjadi pembatas dua
buah kerajaan. Kerajaan Karang Setra dan Kerajaan
Watugaru. Dua kerajaan yang bertetangga dekat dan
memiliki hubungan yang begitu erat. Dan Rangga tahu, sekarang ini berada di wilayah Kerajaan Watugaru.
*** Seorang gadis berusia sekitar delapan belas tahun berdiri di ambang pintu yang terbuka lebar. Cahaya pelita dari dalam rumah kecil berdinding anyaman bambu itu menerangi tubuh gadis yang ramping
dan sintal ini. Sejenak Rangga memandanginya. Sementara, Ki Arman terus melangkah memasuki beranda rumah kecil tidak jauh dari tepi sungai yang dikatakan sebagai tempat
tinggalnya. "Kenapa kau belum tidur, Rinjani...?" tegur Ki Arman. "Aku menunggumu pulang,"
sahut gadis yang dipanggil Rinjani itu.
Sementara Rangga sudah sampai di depan
tangga beranda rumah berukuran kecil ini. Ki Arman
mempersilakan Pendekar Rajawali Sakti masuk. Dengan menganggukkan sedikit kepalanya pada Rinjani,
Pendekar Rajawali Sakti melangkah memasuki beranda depan rumah Ki Arman. Kemudian, dia duduk bersila beralaskan tikar lusuh setelah dipersilakan Ki Arman yang sudah lebih dulu duduk di sana.
Sementara, Rinjani masih tetap berdiri di ambang pintu yang tetap terbuka lebar.
"Sebaiknya kau buatkan minuman yang hangat, Rinjani. Lalu, cepatlah pergi tidur," kata Ki Arman.
"Aku belum mengantuk, Kek," sahut Rinjani, agak memberengut manja.
"Kalau begitu, buatkan minuman hangat untukku dan tamuku," pinta Ki Arman.
Rinjani hanya mengangguk saja, kemudian cepat sekali tenggelam ke dalam rumah. Rangga hanya
melirik sebentar sambil menyunggingkan senyuman tipis. Entah kenapa dia tersenyum. Mungkin teringat
pertemuan pertamanya dengan Pandan Wangi. Saat
itu, Pandan Wangi memang kelihatan agak liar dan
mudah sekali memberengut. Tapi di balik itu semua, di dalam jiwa Pandan Wangi
sudah tertanam jiwa seorang pendekar sejati. Meskipun, sampai saat ini segala
tin-dakannya masih juga terburu-buru dan mudah sekali
tersambar amarah. Tapi Rangga menganggapnya wajar, karena sejak kecil Pandan Wangi selalu ditempa oleh kehidupan keras.
"Itu cucuku satu-satunya, Rangga. Manjanya
bukan main...," ujar Ki Arman memperkenalkan cucunya tadi.
Rangga hanya tersenyum saja. Sementara itu
Rinjani sudah keluar lagi sambil membawa sebuah baki berisi dua gelas bambu mengepulkan uap hangat,
dan sepiring makanan kecil. Dengan sikap lembut sekali, diletakkan bawaannya itu di depan Rangga dan Ki Arman. Kemudian gadis itu
duduk tidak jauh dari pintu.
"Tidak ada yang keberatan aku menemani,
kan...?" ujar Rinjani sebelum Ki Arman sempat membuka mulutnya.
'Tentu tidak," Rangga cepat menyahuti.
Dan Ki Arman memang tidak bisa berkata lain
lagi, meskipun sedikit mendelik pada gadis itu. Tapi, tampaknya Rinjani tidak
mempedulikan. Gadis itu malah menatap wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti,
seakan-akan baru kali ini bisa melihat wajah seorang pemuda yang begitu tampan.
Tapi begitu Rangga me-natapnya, pandangannya langsung diarahkan ke arah
lain. Rinjani tetap tidak mau memandang Ki Arman
yang tampaknya tidak setuju dengan adanya Rinjani
bersama mereka sekarang ini.
"Baiklah, Ki. Katakan..., apa saja yang kau ketahui," ujar Rangga langsung pada
pokok persoalannya. "Kenapa harus terburu-buru, Rangga..." Nik-mati dulu minuman
buatan cucuku. Pasti kau tidak
akan menyukainya," kata Ki Arman sambil mencibir pada Rinjani.
Dan ejekan bergurau laki-laki tua itu hanya dibalas cibiran saja oleh gadis ini. Rangga melihat itu ja-di tersenyum saja.
Kemudian, dihirupnya sedikit minuman yang berasa rebusan air jahe itu. Memang tera-sa hangat dan nikmat sekali,
sehingga Rangga menghirupnya lagi sampai tinggal setengah gelas.
"Sungguh nikmat," puji Rangga sambil meletakkan gelas dari bambu yang diserut
halus itu. "Ah...! Minuman seperti itu apa nikmatnya,
Rangga. Paling-paling juga hanya bisa menahan rasa
kantuk sedikit," dengus Ki Arman seraya melirik Rinjani lagi.
'Tapi aku yakin, tidak akan bisa menemukan
minuman senikmat ini lagi," Rangga tetap memuji.
Dan pujian Rangga itu membuat wajah Rinjani
jadi memerah. Terlebih lagi, saat melontarkan pujian itu Rangga sempat melirik
padanya. Sehingga, Rinjani tidak bisa lagi bertahan lama dan bergegas bangkit
berdiri. Tanpa mengucapkan apa pun, gadis itu langsung masuk ke dalam rumah. Rinjani tidak munculmuncul lagi, sehingga membuat Ki Arman jadi tertawa terbahak-bahak. Sedangkan
Rangga hanya tersenyum
saja. "Kau benar-benar hebat, Pendekar Rajawali Sakti. Padahal aku sudah
mengusirnya. Tapi dengan
sedikit kata-kata saja, kau langsung mengenyahkannya dari sini," ujar Ki Arman memuji cara Rangga menyuruh Rinjani masuk ke dalam
rumah. Sedangkan Rangga hanya tersenyum saja. Dia
memang tahu kalau Ki Arman tidak ingin ada orang
lain lagi di antara mereka. Maka Pendekar Rajawali
Sakti tahu betul cara menghadapi gadis lugu seperti Rinjani. Terlebih lagi,
beberapa kali dia mendapati Rinjani selalu mencuri pandang padanya. Dan kesempatan itu dipergunakan untuk memenuhi keinginan Ki
Arman. Cara yang dilakukan Rangga memang sangat
ampuh. Rinjani langsung meninggalkan beranda ini
tanpa dapat berkata sedikit pun juga.
"Baiklah.... Sampai di mana pembicaraan kita
tadi, Rangga?" tanya Ki Arman setelah reda tawanya.
'Tentang perangkap itu, Ki," sahut Rangga.
"Oh, ya.... Perangkap yang ditujukan untukmu,
bukan...?"
Rangga hanya mengangguk saja.
"Sebenarnya aku sendiri juga kurang begitu
paham. Dan aku juga hanya mendengar dari pembicaraan orang-orang yang membutuhkan jasa penyeberangan perahuku," jelas Ki Arman memulai pembicaraan lagi. Rangga hanya diam saja mendengarkan.
"Kau tahu, Rangga..." Hampir setiap hari aku
selalu membawa berbagai macam orang ke seberang
sungai. Baik itu orang biasa maupun dari kalangan
persilatan. Dan apa yang dibicarakan, aku selalu jelas mendengar. Dan belakangan
ini, aku sering mendengar pembicaraan mengenai dirimu, juga Pandan Wangi," Ki
Arman kembali berhenti.
"Apa yang mereka bicarakan, Ki?" tanya Rangga jadi tidak sabar lagi.
*** 5 "Begitu banyak cerita mengenai dirimu, Pendekar Rajawali Sakti. Dan mereka selalu membicarakan
tentang ketangguhan ilmu kedigdayaan mu. Aku sendiri tidak tahu, apa sebenarnya yang mereka rencanakan padamu. Tapi naluriku
mengatakan, saat ini kau
tengah masuk ke dalam perangkap untuk menguji
sampai di mana tingkat kedigdayaan yang kau miliki,"
jelas Ki Arman.
"Hm.... Jadi kau sendiri juga tidak tahu tentang mereka, Ki?" ujar Rangga, agak
menggumam suaranya.
"Terlalu sulit untuk memastikannya, Rangga,"
sahut Ki Arman.
'Tapi kenapa kau mengatakan kalau aku sedang masuk perangkap?" Rangga ingin kepastian.
"Hanya naluriku saja yang mengatakan begitu,
Rangga. Dan biasanya, jika naluriku berkata begitu jarang sekali meleset," sahut Ki Arman lagi.
Rangga jadi terdiam, dan teringat kembali beberapa peristiwa yang sampai saat ini belum bisa dimengerti. Peristiwa yang
dirasakan sangat aneh ini, yang berawal dari sikap aneh Pandan Wangi. Kepergian
gadis itu katanya ingin menyelesaikan satu persoalan
yang tidak diketahuinya. Pandan Wangi memang tidak
mau mengatakan persoalan yang sedang dihadapinya.
Kemudian setelah Pandan Wangi pergi, muncul
Cempaka yang membawa selembar surat daun lontar
yang ditemukannya di kamar Pandan Wangi. Kemudian, muncul beberapa peristiwa yang tidak bisa dimengerti sama sekali. Sejak pergi mengikuti Pandan
Wangi, sudah dua kali Pendekar Rajawali Sakti dihadang tanpa alasan yang pasti. Dan tampaknya, penghadang-penghadang itu sudah mengetahui kalau dia
sedang mengejar Pandan Wangi. Dari petunjuk merekalah, hingga akhirnya Pendekar Rajawali Sakti sampai di desa ini.
Dan sekarang, seorang laki-laki tua yang mengaku bernama Ki Arman mengatakan kalau Pendekar
Rajawali Sakti sedang masuk suatu perangkap, yang
kemungkinan besar akan berlumur darah. Mungkin
juga berlumur darah si pemasang perangkap itu sendi-ri, atau juga berlumur darah
Pendekar Rajawali Sakti.
Inilah yang membuat Rangga semakin bingung dan terus bertanya-tanya dalam benaknya. Tapi, pertanyaan itu belum juga bisa terjawab
sampai sekarang ini. Dia benar-benar tidak tahu, apa sebenarnya yang sedang
terjadi sekarang ini.
Rangga juga jadi teringat dengan munculnya
Mayang. Kemunculan gadis itu kembali, memang terasa sangat aneh. Terlebih lagi bila mengingat kata-kata yang diucapkan Mayang di
kamar rumah penginapan.
Namun, Rangga belum bisa menarik suatu garis hubungan dari peristiwa yang satu dengan peristiwa lainnya. Meskipun dari semua
peristiwa itu sudah bisa terlihat suatu mata rantai yang saling berkaitan, tapi
Rangga belum bisa menghubungkannya satu sama
lain. Rangga jadi teringat baris-baris kalimat yang tertulis di atas selembar
daun lontar yang ditemukan
Cempaka di dalam kamar Pandan Wangi.
"Ki! Kau tahu, di mana letaknya Lembah Kumala...?" tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
"Tahu," sahut Ki Arman. "Kenapa kau tanyakan lembah itu, Rangga?"
"Aku merasa kalau Pandan Wangi sedang menuju ke sana. Atau, bahkan mungkin juga sudah ada
di sana," kata Rangga, agak perlahan suaranya, seperti ragu-ragu.
"Apa Pandan Wangi mengatakan tempat tujuan
perginya?" tanya Ki Arman.
"Tidak," sahut Rangga.
"Lalu, kenapa kau punya pikiran begitu?"
Rangga tidak segera menjawab. Hatinya jadi ragu-ragu untuk memberi tahu surat yang ditemukan
Cempaka di kamar Pandan Wangi. Karena, dia sendiri
tidak tahu dari mana dan kapan surat itu diterima
Pandan Wangi. Yang diketahuinya, dua hari sebelum
Pendekar Rajawali Sakti 67 Perangkap Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpamitan hendak pergi, gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu selalu termenung
sendiri. Dan di dalam surat itu, jelas tertulis Lembah Kumala.
"Tidak ada seorang pun yang mau menginjak
lembah itu, Rangga. Dan lagi, letaknya sangat jauh da-ri sini. Masih memerlukan
sedikitnya satu hari penuh menunggang kuda. Itu pun kalau tidak mendapat rintangan di jalan," jelas Ki Arman.
"Apakah lembah itu berbahaya, Ki?" tanya
Rangga jadi ingin tahu.
"Sebenarnya Lembah Kumala sangat indah. Tapi, sekarang telah dikuasai seorang tokoh persilatan berilmu tinggi. Entah sudah
berapa orang yang secara sengaja atau tidak memasuki lembah itu. Tapi, sampai
sekarang tidak lagi terdengar kabar beritanya. Hingga, lembah itu sama sekali
tidak lagi didekati," jelas Ki Arman tentang Lembah Kumala.
"Siapa orang itu, Ki?" tanya Rangga semakin ingin tahu.
Pendekar Latah 6 Pendekar Mabuk 044 Pusaka Bernyawa Iblis Sungai Telaga 18
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama