Pendekar Rajawali Sakti 94 Pendekar Aneh Bagian 1
PENDEKAR ANEH Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Pendekar Aneh 128 hal. ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
1 Di tempat ini memang agak sepi dan teduh. Sinar
matahari pagi tampak menerobos sela-sela ranting. Ki-cau burung yang saling
bersahutan, sepertinya mengi-ringi ayunan langkah kaki seorang pemuda berambut
panjang yang tenang dan santai. Pemuda berbaju rompi putih itu sesekali menengadah ke atas sambil tersenyum kecil menyaksikan
burung-burung yang melintas dari cabang satu ke cabang pohon yang lain.
"Damai sekali kehidupan mereka.... Tanpa kemelut, yang setiap hari mewarnai
perjalanan hi-dup manusia," gumam pemuda itu.
Pemuda yang di punggungnya bertengger se-buah
gagang pedang bergagang kepala burung itu tidak lain Rangga. Dan dikenal sebagai
Pendekar Rajawali Sakti.
Di saat Rangga tengah asyik menikmati keindahan
alam beserta isinya dalam hutan ini, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan
melesat begitu cepat di depannya. Rangga terkesiap, dan seketika itu juga ayunan
langkahnya berhenti.
"Hm..." gumam Rangga.
Dan tahu-tahu, di depan Rangga sudah berdiri seseorang bertubuh tinggi kurus. Dia mengenakan baju
yang agak longgar. Sepasang matanya terlihat kecil, namun memancarkan sorotan
tajam, menusuk penuh
kebencian. Kumisnya tipis dengan kedua ujungnya
menjuntai ke bawah.
"Anak muda! Kaukah yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti?" tanyanya dengan suara
dingin. "Rangga tidak langsung menjawab.
"Hei...! Apakah telingamu tuli"!" bentak orang itu dengan sikap garang dan suara
lantang. Kedua tangan laki-laki bermata kecil yang tadi terlipat di depan dada itu, kini dilepaskannya. Tangan kiri bertolak pinggang, dan
tangan kanannya memegang
sebilah pedang yang ditudingkan tepat mengarah ke
dada Rangga. Tapi, sikap Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak peduli. Bahkan
kelihatan tenang sekali.
"Kisanak, apa maksudmu mencariku?" tanya
Rangga dengan suara terdengar begitu tenang.
"Hm.... Jadi, kau benar pendekar kondang itu"
Orang-orang menjulukiku Pedang Ular Emas. Selama
ini, tidak seorang pun yang boleh meremehkan diriku!"
kata orang itu, agak sinis nada suaranya.
"Kisanak! Aku tidak mengerti, ke mana arah pem-bicaraanmu. Kita baru bertemu
sekali ini. Bagaimana mungkin kalau tiba-tiba kau menuduhku telah meremehkan
dirimu?" sahut Rangga heran. Kelopak matanya agak menyipit, dengan kening
sedikit berkerut.
'Tidak perlu banyak bicara, Pendekar Rajawali Sakti! Namamu belakangan ini menjulang setinggi gunung.
Dan selama ini, orang telah menganggap Pedang Ular
Emas tidak ada apa-apa dibanding julukanmu. Jadi,
secara tidak langsung kau meremehkanku. Maka sekarang akan kubuktikan, julukan Pendekar Rajawali
Sakti hanya pepesan kosong belaka. Biar orang-orang persilatan terbuka matanya,
bahwa Pedang Ular Emas
tak boleh diremehkan!" terdengar lantang sekali suara laki-laki bermata kecil
yang ternyata berjuluk Pedang Ular Emas.
Pendekar Rajawali Sakti menganggukkan ke- pala.
Dia mengerti, apa yang dimaksud Pedang Ular Emas
ini. Ternyata laki-laki bermata kecil ini satu dari orang-orang persilatan yang
berpikiran picik. Orang yang selalu menganggap bahwa sebuah nama punya arti yang
besar dalam menunjang ketenaran, agar dikagumi tokoh-tokoh lainnya.
Dan memang, tidak sedikit orang-orang dari kalangan rimba persilatan yang selalu mempermasalahkan
julukan. Mereka selalu menginginkan yang paling ting-gi, dan ditakuti semua
orang. Baik dari kalangan rimba persilatan, maupun kalangan biasa. Bahkan tidak
sedikit yang berani menyabung nyawa, hanya karena ingin membuktikan kalau tingkat kepandaiannya lebih
tinggi dari yang lain.
"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang.
Terasa begitu berat hembusan napasnya. Sudah
bisa ditebak, apa yang diinginkan orang yang mengaku berjuluk Pedang Ular Emas
ini. Dan keadaan seperti
inilah yang sama sekali tidak diinginkannya.
"Pedang Ular Emas! Aku memang pernah dengar
namamu yang kesohor itu. Oleh sebab itu aku menaruh hormat padamu. Kau bukanlah tokoh golongan hitam yang telengas. Juga, bukan tokoh golongan putih yang selalu membela
kebenaran tanpa pamrih. Kau
memiliki jalan hidup sendiri, dan aku tidak bermaksud mengusikmu. Karena di
antara kita tidak ada perselisihan, maka biarkanlah aku meneruskan perjalanan,"
ujar Rangga sambil tersenyum kecil.
"Huh! Beginikah sikap tokoh yang namanya banyak dipuja orang...?" dengus Pedang
Ular Emas sinis.
"Hm.... Aku semakin tidak mengerti maksud-mu,
Kisanak. Kalau kau merasa namamu besar dan dikagumi orang, nah biarlah sekarang kukatakan kalau
aku pun kagum kepadamu," kata Rangga lagi, seraya menjura.
"Phuih! Kau pikir aku bisa menerima begitu saja, heh..."!" dengus Pedang Ular
Emas ketus. Pendekar Rajawali Sakti menghela napas. Hatinya
mulai kesal melihat tingkah orang ini. Tapi tetap saja bibirnya tersenyum.
Dicobanya untuk lebih bersabar
dan menahan diri, agar amarahnya tidak terpancing.
Walaupun, di dalam hatinya mulai tidak menyukai sikap yang ditunjukkan Pedang Ular Emas.
"Jadi, bagaimana caranya agar kau percaya bahwa aku kagum pada nama besarmu?"
tanya Rangga. Kali ini nada suaranya datar, tanpa sedikit pun tekanan.
"Melalui pertarungan hidup dan mati!" sahut Pedang Ular Emas tegas.
*** Hal itu memang telah diduga Pendekar Rajawali
Sakti sebelumnya. Namun tidak menyangka kalau Pedang Ular Emas menawarkan pilihan pertarungan hidup dan mati. Bukannya Pendekar Rajawali Sakti takut mendengar kata-kata yang menantang itu. Namun,
batinnya memang tidak bisa menerima. Dan memang,
di antara mereka tidak ada pertentangan yang mengharuskan bertarung hidup dan mati.
"Kau takut, Anak Muda..." Kalau begitu, cabut pedangmu dan gorok lehermu
sendiri," ejek si Pedang Ular Emas, terdengar begitu sinis.
"Kisanak! Jangan terlalu memaksa. Bukankah
akan lebih baik kalau masalah ini diselesaikan baik-baik?" bujuk Rangga, masih
mencoba bersikap sabar dan tenang. Padahal dalam dadanya sudah bergolak
mendidih menghadapi sikap yang terus-menerus menantang. 'Pendekar Rajawali Sakti! Kalau kau takut menghadapiku, katakan secepatnya. Biar pedangku ini yang akan menebas lehermu!"
bentak Pedang Ular Emas, sambil mencabut batang pedang yang berkilat tajam
dari warangka. Rangga cepat menarik kakinya ke belakang dua
langkah. Dia terkejut sekali melihat Pedang Ular Emas tampak begitu bersungguhsungguh hendak bertarung
dengannya. Dan belum juga bisa berpikir lebih panjang
lagi, cepat sekali laki-laki bermata kecil itu sudah melompat menyerang sambil
berteriak nyaring.
'Pendekar Rajawali Sakti! Mari kita mulai saja!
Hiyaaat..!"
"Ups!"
Rangga cepat-cepat bergerak ke samping sambil
menunduk, menghindari sabetan pedang lawan yang
bergagang kepala ular berwarna emas itu. Tapi kaki
kanan si Pedang Ular Emas rupanya telah mengikuti
gerakan pedangnya, dan langsung terayun ke lambung
Pendekar Rajawali Sakti yang bergerak menghindar.
Rangga tidak punya pilihan lain. Cepat kaki kirinya ditekuk. Kemudian dengan
kecepatan bagai kilat, kakinya terayun menangkis tendangan lawan.
Plak! "Huh! Yeaaah...!"
Si Pedang Ular Emas sedikit terkejut. Kakinya kontan terasa kesemutan akibat berbenturan dengan kaki Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi sebagai tokoh ternama, mana sudi menunjukkan kekagumannya atas kehebatan
tenaga dalam lawan. Bahkan pedang di tangannya
masih sempat menyabet kembali ke arah leher.
Wuk! "Hap!"
Rangga cepat-cepat menarik kakinya selangkah ke
belakang, dan terus melenting ke udara. Sementara itu ujung pedang lawan terus
bergulung-gulung mengejar
ke mana saja Pendekar Rajawali Sakti bergerak menghindar. Bahkan tulang keringnya nyaris terputus pedang lawan, kalau saja tidak buru-buru ditekuknya.
Kemudian ketika baru saja menjejakkan kaki, ujung
pedang laki-laki bermata kecil itu menghunjam deras ke arah jantung.
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
Pendekar Rajawali Sakti cepat menggeser tubuhnya, maka pedang itu lewat beberapa jengkal di
depan dadanya. Namun bersamaan dengan itu, kaki
kiri Rangga menghentak ke arah lambung lawan ketika tubuhnya melompat ke
belakang. Begitu cepatnya hen-takan kaki pemuda berbaju rompi putih itu, sehingga.... Dukkk! "Haiiit..!"
Pedang Ular Emas yang menangkis serangan kaki
Pendekar Rajawali Sakti jadi terkejut setengah mati.
Cepat-cepat tangan kirinya dihentakkan, begitu serangan susulan Pendekar
Rajawali Sakti yang sangat cepat kembali tiba. Sedangkan pedangnya terus menyambar cepat sekali, mengarah ke pinggang.
Tapi, tubuh Pendekar Rajawali Sakti telah mencelat
tujuh langkah di depannya. Terpaksa Pedang Ular
Emas tidak melanjutkan serangan. Pedangnya yang
berkilatan diusapnya dengan telapak tangan kiri hing-ga ke ujungnya. Sementara,
sepasang matanya semakin menunjukkan kegarangan dan sinar kebencian
yang mendalam. *** "Hm.... Tidak percuma namamu begitu digembargemborkan orang. Ternyata, ilmu silatmu memang hebat. Tapi jangan girang dulu, Anak Muda. Sekarang, coba hadapi ilmu 'Pedang
Setan Mengejar Rajawali',"
dengus Pedang Ular Emas.
"Kisanak. Kurasa cukup sampai di sini saja urusan kita. Aku tidak begitu
bersemangat mengurusi soal se-pele begini," sahut Rangga, enggan.
"Sepele katamu, heh..."! Kau tahu, Pendekar Rajawali Sakti. Untukku, persoalan
ini sangat penting! Ini
sudah menyangkut harga diri!" dengus Pedang Ular Emas ketus.
"Harga diri apa yang kau pertahankan, Kisanak"
Ku ingatkan sekali lagi, di antara kita tidak pernah punya perselisihan. Dan
kalau memang pertarungan
yang kau kehendaki sekadar mencari nama belaka, biarlah aku mengalah dan mengatakan kalau kau lebih
unggul dibandingkan denganku," kata Rangga masih mencoba bersikap lunak.
Tapi Pedang Ular Emas malah mendelik garang
mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun Rangga sudah bersikap mengalah, tapi justru
membuatnya merasa semakin terhina dan direndahkan. Pemuda yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti
ini dianggapnya sudah merendahkan dan menghina dirinya dengan bersikap mengalah seperti itu. Dan ini membuat darahnya semakin
panas bergolak.
'Pendekar Rajawali Sakti! Sudahlah, jangan banyak
mulut! Kalau memang kau tidak mengerti apa yang
kuinginkan, aku tekankan sekali lagi. Aku tidak peduli kau mau mengalah atau
tidak. Yang jelas, pedangku
akan membuat di antara kita hanya ada dua pilihan.
Kau, atau aku yang bakal mampus," lantang sekali suara Pedang Ular Emas.
Pendekar Rajawali Sakti mendesah kecil sambil
menggelengkan kepala. Sungguh, dia tidak ingin persoalan seperti ini terus
diperpanjang. Tapi, tampaknya Pedang Ular Emas tidak peduli lagi. Dan dia benarbenar menginginkan satu pertarungan hidup dan mati.
"Sungguh sayang.... Bukankah masih banyak yang bisa kau kerjakan dengan tingkat
kepandaian ilmu dan kanuraganmu yang tinggi itu, Kisanak" Misalnya,
membantu mereka yang lemah dan tertindas. Percayalah, Kisanak. Itu lebih penting. Bahkan bisa membuat namamu menjulang, kalau
benar tujuanmu sekadar
mencari ketenaran...," kata Rangga mencoba mendin-ginkan hati si Pedang Ular
Emas. "Phuih! Telan sendiri kata-kata itu untukmu, Pendekar Rajawali Sakti! Jangan
harap pikiranku berubah," bentak Pedang Ular Emas sengit" Teri-malah se-ranganku, Pendekar Rajawali
Sakti! Hiyaaat..!"
Setelah selesai berkata-kata, si Pedang Ular Emas
langsung saja melompat menyerang. Gerakannya sangat cepat, dan mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi. Ujung pedangnya meliuk-liuk menyambar tubuh Rangga seperti memiliki berpasang-pasang mata
saja. "Hiyaaat..!"
Dalam dua jurus pertama, Rangga terlihat hanya
berusaha bertahan sambil jungkir balik menghindari
serangan lawan yang semakin lama semakin gencar.
Pendekar Rajawali Sakti 94 Pendekar Aneh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Rajawali Sakti masih belum mau meladeni
atau membalas serangan lawan. Dia tahu, pertarungan ini didasari oleh alasan
yang tak masuk akal.
Tapi bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali
Sakti, ketika menyadari kalau ilmu 'Pedang Setan
Mengejar Rajawali' bukanlah suatu ilmu pedang biasa.
Sedikit saja salah menghindar, bukan mustahil senjata lawan akan mengiris-iris
tubuhnya. Meski pada awal-nya jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang dikerahkannya mampu meredamnya, tapi hal itu barangkali tidak bisa bertahan lama.
Terlihat jelas kalau gaya ilmu pedang yang dimainkan Pedang Ular Emas semakin lama bukan semakin lemah. Bahkan seiring pergerakannya, maka
akan terlihat pada tingkat selanjutnya kalau lawan
mulai membendung setiap langkah Pendekar Rajawali
Sakti. Jelas begitu sesuai dengan nama jurusnya. Ke mana pun Rangga menghindar,
pedang bergagang kepala ular berwarna emas itu selalu bisa cepat mengejar. "Ayo...! Keluarkan seluruh kemampuanmu, Pendekar Rajawali Sakti! Kalau
tidak, jangan salahkan bila aku berbuat curang. Tak peduli kau akan melawan
atau terus menghindar, aku tidak segan-segan membunuhmu!" bentak Pedang Ular Emas di tengah pertarungan.
"Hiyaaat...!"
"Hm.... Agaknya kau betul-betul menginginkan
nyawaku, Kisanak. Baiklah kalau memang niatmu begitu. Aku tidak punya pilihan, selain menghadapimu,"
sahut Rangga menggumam pelan, seperti bicara untuk
diri sendiri. Wuk! "Yeaaah...!"
*** Dalam suatu kesempatan, tubuh Rangga mencelat
tinggi. Namun demikian, pedang lawan terus mengikutinya dengan gerakan meliuk-liuk ganas. Begitu berada dua tombak di udara,
Pendekar Rajawali Sakti berputaran beberapa kali. Dan ketika kedua kakinya
menjejak tanah, saat itu pula tubuhnya kembali melesat cepat, sambil membuka
jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
"Hiyaaat..!"
"Hup!"
Siiing! Melihat Rangga mulai membalas menyerang, si Pedang Ular Emas semakin bernafsu menyerangnya. Tapi
kali ini, keadaannya tentu tidak se-mudah ketika
Rangga tidak melakukan serangan apa-apa tadi. Terlihat sikapnya mulai hati-hati
terhadap ujung tangan
dan tendangan kaki Rangga yang mampu melesat cepat menyambar batok kepala atau dadanya.
Ujung pedang si Pedang Ular Emas cepat menyambar, tapi Rangga lebih cepat lagi menarik pulang tangan dan kakinya. Kemudian
tubuhnya berputar seraya
mencari sasaran bagian tubuh yang lain.
Pertarungan pun kini berjalan semakin sengit Dan
masing-masing sudah mulai melancarkan serangan
dahsyat dan berbahaya. Sedikit saja lengah, bisa bera-kibat parah.
Pedang Ular Emas memang bukan nama kosong
belaka. Kalau saja bukan Pendekar Rajawali Sakti
yang menghadapi, belum tentu para tokoh lain mampu
menghadapi gempurannya yang dahsyat. Lebih-lebih
keahliannya menggunakan senjata pedang.
Rangga sendiri menyadari, meski menggunakan jurus-jurus 'Rajawali Sakti' pada tingkat kelima, belum tentu bisa terus bertahan
menghadapi permainan pedang lawan. Hatinya masih tidak tega dan tidak begitu
bernafsu menyakiti lawannya. Keengganan Rangga,
rupanya terbaca juga oleh Pedang Ular Emas. Maka dia cepat melompat mundur, dan
langsung menghentikan
pertarungan untuk sementara. Rangga sendiri hanya
diam saja, walaupun saat itu pertahanan si Pedang
Ular Emas sedang terbuka lebar.
"Bersungguh-sungguhlah, Pendekar Rajawali Sakti!
Karena aku tidak akan bermain-main denganmu. Nyawamu menjadi taruhannya!" teriak Pedang Ular Emas yang agaknya merasakan kalau
lawan belum sepenuhnya meladeni serangan-serangannya.
"Kisanak! Aku masih tidak tega menukar permainan ini dengan nyawa. Nyawa hanya sekali saja di-berikan oleh Hyang Widhi.
Oleh sebab itu, adalah sua-tu hal yang teramat mahal. Kalau saja hai ini
disadari, tentu kau tidak akan bertindak bodoh. Kecuali, kalau memang isi
kepalamu penuh kepicikan," sahut Rangga
tenang. "Tutup mulutmu! Sudah kukatakan berkali-kali,
aku tidak butuh nasihatmu. Kalau kau terus begini, maka lebih baik gorok saja
lehermu sendiri. Setelah itu, baru aku merasa puas!"
"Itu tidak mungkin lagi, Kisanak. Meskipun aku gi-la, rasanya lebih bagus
menggorok leher orang lain daripada menggorok leher sendiri!" sahut Rangga,
kalem. "Bagus! Nah, sekarang apa lagi yang ditunggu" Keluarkan pedangmu! Dan, tunjukkan
padaku keheba- tanmu seperti yang sering digembar-gemborkan orang!"
"Sayang, Sobat Pedang ini hanya akan keluar dari sarangnya jika keadaan amat
memaksa...."
"Kalau begitu, biarlah aku yang akan memaksanya keluar!" bentak Pedang Ular Emas
geram. "Hiyaaat..!"
"Hup! Yeaaah...!"
Pertarungan kembali berlangsung sengit. Kali ini
Pedang Ular Emas betul-betul mengeluarkan segenap
kelincahannya untuk memaksa Pendekar Rajawali
Sakti mencabut pedang. Gerakannya sulit diikuti pandangan mata orang awam. Belum
lagi, pedang di tangannya yang berdesing-desing menimbulkan suara
bercuitan halus dan berkelebat bagaikan kilat
Rangga terkejut bukan main. Untuk sesaat dia
hanya bisa menghindar sambil jungkir balik menyelamatkan selembar nyawanya.
"Gila! Orang ini betul-betul sinting!" maki Rangga perlahan, begitu kakinya
menginjak tanah setelah bersalto beberapa kali ke belakang.
'Yeaaah...!"
Namun belum lagi Pendekar Rajawali Sakti menarik napas lega, pedang di tangan lawan kembali mencecarnya. Gerakannya demikian cepat sehingga Rangga agak terkesiap. Namun sebagai tokoh nomor satu
dalam dunia persilatan, otaknya mampu bekerja cepat.
Maka segera saja dia mencelat ke belakang. Tapi..., ter-lambat Dan....
Sret! "Akh!"
Rangga terkejut. Ternyata ujung pedang lawan
berhasil menggores bahu kirinya. Untung saja dia
sempat melesat ke belakang. Kalau tidak, barang-kali pinggangnya bakal terkena
serangan susulan pedang
lawan. Tapi Pedang Ular Emas tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Tubuhnya terus bergerak ketika Rangga mencelat tadi,
melepaskan serangan maut disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Pedangnya
berkelebat cepat, siap menyambar dada Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara itu, tak ada kesempatan bagi Rangga
untuk menghindar. Maka pedang pusakanya langsung
dicabut. Seketika sinar biru memancar dari batang pedang, sehingga keadaan di
sekitarnya semakin terang benderang. Dan sambil berteriak nyaring, Rangga
memapak pedang lawan.
"Hiyaaat..!"
Wuk! Trang..! Seketika terjadi ledakan keras begitu dua senjata
beradu. Pedang Ular Emas terjajar beberapa langkah
ke belakang disertai rasa terkejut yang amat sangat.
Ternyata benturan itu harus dibayar mahal, ketika pedangnya terbabat kutung. Dan
belum lagi disadari apa yang terjadi, tiba-tiba saja seberkas sinar biru
menyambar ke arah lehernya.
Crasss! Pedang Ular Emas tidak sempat lagi berteriak ketika kepalanya terkulai layu dengan leher nyaris putus.
Darah langsung ambruk ke tanah dengan nyawa melayang dari raga. Sementara, Rangga memandang sedih sambil menyarungkan kembali pedang pusakanya.
"Maaf, Sobat Aku sebenarnya tidak bermaksud me-lukaimu. Tapi kau terlalu
memaksa, dari-pada nyawaku sendiri yang akan melayang di tanganmu...," gumam Rangga lirih, seraya
berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
*** 2 Seorang anak kecil tampak tengah asyik sekali
bermain gerobak-gerobakan. Sepertinya, dia merasakan sedang menaiki gerobak sungguhan yang ditarik
seekor kuda. Sesekali dari mulutnya terdengar suara gebahan bagai seorang kusir
menyentak kudanya yang
malas berlari kencang.
"Hush..., hush! Ayo, lari kencang! Lebih kencang lagi! Heaaa...!" teriaknya
sambil berlari-lari menarik gerobak mainannya dengan seutas tali.
Tangan kiri bocah itu sesekali menyibakkan rambutnya yang panjang terurai menutupi wajah. Sementara itu, tidak jauh di depannya terlihat beberapa
orang lelaki berpakaian serba hitam dan berwajah seram tengah menunggang kuda.
Melihat dari tampang
dan sorot mata, agaknya mereka bukanlah orang baikbaik. Lebih-lebih, di setiap pinggang mereka terselip golok berukuran besar.
Bocah itu berhenti tepat di depan mereka. Diperhatikannya orang-orang itu dengan seksama, kemudian
tertawa lucu seperti untuk dirinya sendiri.
"Hi hi hi...! Perutnya gendut seperti kerbau. Dan matanya juling seperti
maling!" kata bocah itu sambil menunjuk salah seorang di antara mereka.
Merasa diledek begitu rupa, orang itu menggeram
sambil mendelik.
"Bocah sinting! Pergi jauh-jauh dari sini sebelum mulutmu kupecahkan!" bentak
laki-laki berwajah se-ram itu dengan suara keras.
"Olalah.... Kalau sedang marah, berubah rupa seperti kambing mengembik," sahut
si bocah seperti tidak menghiraukan bentakan orang itu.
"Kurang ajar! Bocah setan, kupecahkan mulutmu
agar bisa lebih sopan pada orang tua!" bentak orang itu lagi sambil turun dari
kudanya. Namun, salah seorang temannya yang bertubuh kecil dan berambut putih segera mencegahnya.
"Sudahlah, Kusnadi! Kita harus cepat-cepat sampai di kotaraja. Untuk apa
meladeni anak kecil segala."
"Betul. Mari kita lanjutkan perjalanan," sahut salah seorang temannya yang lain.
"Betul, Kusnadi. Untuk apa meladeni anak kecil"
Salah-salah, nanti kau malah malu sendiri," sahut si bocah menimpali dengan
tenangnya. "Hei"!"
Laki-laki yang bernama Kusnadi yang sudah mulai
surut amarahnya, kembali bangkit rasa geramnya. Padahal, dia tadi bermaksud menarik tali kekang kuda
untuk mengikuti tiga orang temannya.
"Kalau belum kutampar mulutnya, bocah ini tidak akan diam sampai kapan pun!"
dengus Kusnadi sambil turun lagi dari kudanya. Langsung di-hampirinya bocah itu,
"Uts! Galak betul kerbau ini?" ejek si bocah sambil memiringkan kepala, ketika
Kusnadi mengayunkan
tangan hendak menghajar mukanya.
"Sial! Bocah keparat! Pintar juga rupanya kau berkelit, ya" Nih, makan lagi!"
dengus Kusnadi dengan tangan siap melayang ke arah bocah kecil itu.
Tapi kali ini Kusnadi tidak sudi diremehkan bocah
itu lagi. Kaki kanannya cepat digerakkan menyapu ke bawah. Dugaannya, bila bocah
itu berhasil menghindar dari tamparannya, maka akan terjerembab dihantam
sapuan kakinya. Tapi yang terjadi sungguh membuat
kesal orang berperut buncit dan bermata juling itu.
Dengan ringan, tubuh kecil itu meloncat tinggi. Dan ti-ba-tiba....
Desss! "Akh...!"
"Hi hi hi...! Kerbau goblok kalau terjatuh lucu sekali. Hus..., hus...! Ayo
bangun..., bangun!"
Kusnadi terkejut setengah mati. Bagaimana mungkin bocah itu mampu berbuat seperti tadi. Matanya di-kucek-kucek berkali-kali,
kemudian keningnya terasa berdenyut bekas tendangan bocah itu. Tak salahkah
penglihatannya" Bocah yang diperkirakan baru berusia sekitar delapan tahun, ternyata memiliki tubuh
yang ringan. Bahkan tendangannya kuat sekali!
"Keparat! Siapa sebenarnya kau"!" bentak Kusnadi garang.
"Aku, ya aku. Masa kau tidak mengenali juraganmu sendiri" Akulah pemilik
berhektar-hektar sawah di tempat ini. Dan aku pula pemilik dari seluruh istana
ini. Nah, Tukang Kuda Goblok. Ayo kembali bekerja
sebelum punggungmu kucambuk!" sahut si bocah
sambil memelototkan matanya.
Kusnadi mulai berpikir. Kalau bukan gila, pasti bocah ini terlalu berkhayal jauh. Di tempat yang gersang dan hanya ditumbuhi
ilalang ini, sejauh mata memandang tidak terdapat sepetak sawah pun. Dan lagi
pula, mana ada bangunan istana selain rimba lebat yang
jauh di belakang mereka" Tapi karena marahnya, dia
tidak memikirkan lagi siapa di hadapannya.
"Bocah kurang ajar! Terimalah hukuman dariku!"
bentak Kusnadi sambil mengayunkan kaki kanan.
Agaknya, lelaki berperut buncit itu bermaksud
menghajar si bocah dengan kejam. Paling tidak, tubuh kecil itu akan tersungkur
terkena hajaran kakinya.
Bahkan terluka parah!
Tapi yang terjadi sungguh membuatnya terkejut
dan bertambah marah. Dengan ringan, bocah itu merunduk. Bahkan langsung mengirimkan kepalan tangan yang menghajar bagian terlarang di bawah pusar
Kusnadi. "Aaa...! Kontan saja laki-laki berperut buncit itu memekik
kesakitan. Sepasang matanya mendelik menahan sakit. Bahkan tubuhnya sudah berguling-guling dengan kedua tangan memegang bagian
bawah tubuhnya. Dari
mulutnya terus terdengar erangan kesakitan yang panjang.
Tentu saja hal ini membuat ketiga orang teman
Kusnadi terperanjat. Betapa tidak" Seharusnya pukulan seorang bocah berusia
sekitar delapan tahun, tidak akan membuat Kusnadi mengerang kesakitan yang
amat sangat. Apalagi, laki-laki bermata juling itu dike-tahui memiliki ilmu olah
kanuragan yang cukup lumayan. Tapi, ternyata yang terjadi justru sebaliknya.
"Ki Gembyong! Bocah itu mungkin bukan bocah
sembarangan!" gumam salah seorang yang bertubuh kurus, kepada temannya yang
bertubuh kecil.
"Betul apa katamu, Kalino! Siapa dia sebenar-nya, ya?" dahi laki-laki kurus yang
Pendekar Rajawali Sakti 94 Pendekar Aneh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bernama Ki Gembyong berkerut.
Bersama dua orang temannya dia turun dari kuda
dan menghampiri si bocah yang masih terkekeh-kekeh
geli memandangi Kusnadi yang masih bergulinggulingan di tanah menahan sakit.
"Bocah! Siapa kau sebenarnya?" tanya Ki Gembyong dengan suara lunak.
Bocah itu menghentikan tawanya, lalu memandang
Ki Gembyong dengan dahi berkerut.
Ki Gembyong bukanlah orang sembarangan. Dia
dan temannya dalam rimba persilatan dikenal sebagai anggota Serikat Kawa-kawa
Hitam. Seperti banyak di-ketahui orang, gerombolan itu adalah mereka yang selama
ini sering memberontak terhadap pihak kerajaan.
Mereka juga banyak menimbulkan kerusuhan di masyarakat berupa, perampokan, pemerkosaan, dan penganiayaan. Ki Gembyong sendiri termasuk dalam jajaran tokoh utama dalam serikat itu. Maka sudah pasti kalau ilmu olah kanuragannya
cukup diandalkan.
Walau wajah bocah itu jelas terlihat kekanakkanakan, namun sempat membuat Ki Gembyong heran. Sebab diyakini betul kalau bocah itu bukanlah bocah sembarangan. Dia lebih
mirip pemuda dewasa
yang bertubuh dan berwajah bocah berusia delapan
tahun. Lebih-lebih ketika pandangan mata mereka beradu beberapa saat. Terasa betul kalau bocah itu memiliki tenaga dalam kuat.
Maka makin yakinlah dugaan Ki Gembyong!
*** "He he he...! Kakek, wajahmu jelek sekali. Hitam, dekil, dan rusak seperti
pantat dandang di rumahku!"
ledek si bocah sambil tertawa lucu dan menuding Ki
Gembyong. Pada dasarnya, Ki Gembyong bukan orang sabar.
Dia lekas naik darah seperti Kusnadi. Tapi kali ini Ki Gembyong masih mampu
menahan napas dan menekan hawa amarahnya mendengar ejekan itu. Urat di
pelipisnya seperti menggembung dan rahangnya terka-tup rapat.
"Bocah! Kau telah melukai seorang dari teman ka-mi tanpa sebab. Mau tidak mau,
orangtua mu harus
bertanggung jawab atas kelakuanmu ini. Antarkan
kami pada orangtua mu, biar mereka menerima hukuman karena tidak mampu mendidik anaknya menjadi anak sopan."
"Hi hi hi...! Kakek jelek, kau tahu apa tentang segala yang diajarkan orangtua
ku" Merekalah orang paling baik di dunia. Ayahku orang paling tampan, dan ibuku
orang paling cantik di dunia ini. Saat ini, memang aku sedang bersedih karena
adikku belum juga menda-patkan jodoh. Walau mereka tak menyuruh, sebagai
abang, tentu aku merasa bertanggung jawab untuk
mencarikannya. Sayang, kalian tidak memenuhi syarat. Selain jelek dan buruk rupa, kalian pun termasuk orang tidak berguna,"
sahut bocah itu seenaknya.
"Bocah! Siapa yang peduli dengan urusanmu! Cepat antarkan kami pada orangtua mu!" bentak laki-laki yang bernama Kalino mulai
tidak sabar, sambil mende-likkan sepasang matanya.
"He he he...! Apalagi rupamu! Lebih tidak memenuhi syarat. Sudah jelek, pemarah
pula. Jangankan bertemu adikku. Menjadi pelayannya pun, kau tidak pantas." "Apa katamu"!" Kalino langsung mencabut goloknya, bermaksud menggertak.
"Jelek, codet, dan lebih tampan kerbau goblok, dibandingkan monyet buduk
sepertimu!"
"Kurang ajar!"
Dalam kemarahannya itu, Kalino betul-betul tidak
bisa berpikir lebih jauh lagi. Akal sehatnya seperti tidak terpakai. Dan dalam
pandangannya, bocah itu
adalah musuh besarnya yang harus dilenyapkan saat
itu juga. "Mampus!"
Kalino langsung melompat seraya menebaskan goloknya ke arah bocah itu.
"Uts! Apa yang mampus" Kau ingin buru-buru
mampus?" ejek si bocah sambil berkelit dari tebasan golok Kalino.
Bukan main kaget dan terkejutnya laki-laki yang
memiliki codet di bawah mata kirinya itu, melihat serangannya luput. Namun hal
itu hanya sekejap. Dalam kemarahannya, kegagalannya tidak dipikirkannya lebih
lanjut. Yang ada di benaknya hanya bagaimana caranya agar bocah di hadapannya
itu mampus secepatnya. Maka tidak heran ketika serangan pertamanya
luput. Kalino lebih bernafsu melancarkan serangannya. "Yeaaah...!"
"Walah..., walah! Galak sekali kau, Monyet Buduk"
Rupanya kau betul-betul ingin mampus buru-buru.
Baiklah kalau itu keinginanmu. Aku pasti akan senang hati mengabulkannya," ucap
si bocah sambil tersenyum-senyum.
"Hiyaaa...!"
Bocah itu cepat menundukkan kepala ketika golok
Kalino menyambar. Sementara, kaki kanan-nya yang
kecil dan pendek bergerak cepat menghantam pergelangan tangan Kalino sambil berteriak nyaring.
Duk! Des! "Aaakh...!"
Kalino kontan menjerit kesakitan seraya memijitmijit tangannya. Golok di tangannya pun sudah terlepas dihantam kaki bocah itu
yang keras bukan main.
Dan belum lagi bersiaga, tiba-tiba muka laki-laki itu harus menerima hantaman
pukulan yang begitu keras
dari si bocah. Maka seketika terdengar derak tulang wajahnya yang retak. Kalino
langsung ambruk dan
menggelepar-gelepar, sambil mendekap wajahnya yang
berlumuran darah.
"Ha ha ha...! Monyet buduk, kini wajahmu lebih persis monyet korengan!" cela si
bocah sambil tertawa kegirangan melihat lawannya sekarang. Ki Gembyong
sendiri langsung bangkit amarahnya melihat kelakuan bocah yang dirasa sudah
benar-benar kurang ajar.
Sambil menggeram garang, ditudingnya bocah itu.
"Jahanam licik! Aku tahu, kau bukan anak kecil biasa. Perbuatanmu tidak bisa
dikasih hati. Mampuslah kau di tanganku!"
"Eee, siapa yang ingin mampus! Enak saja kau
berkata begitu! Bukankah temanmu yang ingin mampus! Dan sekarang, kau pula yang ingin menyusul
mampus. Jadi jangan salahkan kalau aku mengabulkannya," sahut si bocah lantang.
"Banyak mulut! Mampus!"
"Yeaaah...!"
Dari telapak tangan Ki Gembyong menderu serangkum angin kencang menyambar tubuh kecil bocah
itu. Namun dengan mudah serangan itu dapat dihindari dengan mencelat ringan ke atas. Buru-buru Ki
Gembyong mengejar sambil mengayunkan kepala n
tangan ke batok kepala, namun cekatan sekali bocah
itu menangkisnya dengan tangan kiri.
Duk! "Uts, haaa...!"
Ki Gembyong meringis kecil ketika tangannya terasa ngilu akibat benturan tadi. Diam-diam, hatinya
memuji tenaga dalam bocah ini yang telah mencapai
tingkat sempurna. Siapa nyana bocah sekecil ini telah memiliki tenaga dalam yang
demikian hebat" Maka,
semakin bernafsu saja Ki Gembyong meladeninya.
Bahkan tidak canggung-canggung menyerang si bocah
habis-habisan. Walaupun kaget merasakan tenaga dalam lawan,
tapi sebagai tokoh yang berpengalaman dalam dunia
persilatan, mana mungkin Ki Gembyong menyerah begitu saja. Bahkan sudah langsung menghajar kembali
bocah itu dengan tendangan kakinya.
"Yeaaah...!"
Bocah itu jungkir balik ke kiri, tapi Ki Gembyong
sudah langsung menyusulinya dengan tebasan golok.
Bisa dipastikan, dengan sekali sambar saja maka tubuh bocah itu akan putus menjadi dua bagian.
Tapi yang terjadi berikutnya malah semakin membuat orang tua itu geram saja. Sebab demikian lincahnya bocah itu menekuk
tubuhnya sambil melenting ke
atas. Maka tentu saja golok lawan lewat beberapa
jengkal dari tubuhnya. Namun secara tidak disangkasangka, sebelah kaki bocah itu melayang ke arah pergelangan tangan Ki Gembyong
yang sedang memegang
golok. "Hiyaaa...!"
Plak! Golok di tangan Ki Gembyong langsung ter-lempar
entah ke mana. Yang jelas, tangannya kontan terasa
linu dan nyeri. Dan belum lagi disadari apa yang terjadi barusan, tiba-tiba
bocah itu menyusuli serangannya dengan sebuah tendangan setengah lingkaran
sambil memutar tubuhnya. Dan....
Des! "Aaakh!"
Ki Gembyong menjerit kesakitan ketika dadanya
terkena hantaman kaki lawan. Orang tua itu kontan
terhuyung-huyung sambil menahan nyeri. Beberapa
tulang iganya terasa patah. Tapi pada saat yang bersamaan, tubuh bocah itu tanpa
di duganya sama sekali telah melesat sambil mengirim serangan susulan.
"Karsono, apa-apaan kau ini"!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan halus yang
membuat bocah itu menghentikan serangannya. Dan
tahu-tahu, di tempat itu telah berdiri sesosok tubuh wanita berparas cantik.
Bajunya warna-warni seperti yang dikenakan bocah itu. Rambutnya yang panjang
dan agak kemerah-merahan dibiarkan lepas begitu saja. Sebagian malah menutupi wajahnya. Sebenarnya,
kulit gadis itu terlihat putih. Namun, ada kesan kusam dan kotor. Begitu pula
pakaiannya. Agaknya, wanita
itu memang tidak pandai mengurus dirinya sendiri.
"Eee, Yatikah. Kenapa pula kau ada di sini" Ayo pulang, biar aku yang mencarikan
calon suami untukmu!" sahut bocah itu sambil mengulurkan tangan.
"Aku tidak mau dicarikan olehmu. Biarlah ku-cari sendiri!"
"Hik hik hik...! Belum ada yang memenuhi syarat...
Belum ada," sahut bocah itu berulang-ulang sambil menggelengkan kepala.
"Apakah monyet-monyet buduk ini hendak kau calonkan padaku?" tanya gadis yang dipanggil Yatikah, dengan mata melotot garang
pada bocah yang ternyata bernama Karsono.
"Phuih! Siapa sudi"! Jangankan kau. Aku sendiri saja mau muntah melihatnya!
Mereka hanya sekum-pulan monyet yang tidak berguna!"
"Bocah! Jangan sembarangan bicara! Siapa yang
sudi dicalonkan dengan perempuan dekil seperti dia!?"
sahut salah seorang di antara kawanan itu, yang sejak tadi hatinya ciut melihat
teman-temannya mudah dipecundangi.
"Apa katamu"!" sepasang mata Yatikah melotot marah. "Gadis dekil dan bocah
keparat!" "Bangsat!" maki Yatikah.
Langsung gadis itu mencelat ke arah orang itu,
mengirimkan satu serangan kilat.
Orang itu tersentak kaget. Gerakan gadis ini ternyata gesit dan cepat. Maka dengan semampunya, tubuhnya berkelit. Maka serangan itu hanya lewat di si-sinya. Kemudian goloknya
langsung dicabut dan dikibaskan ke arah pinggang ramping lawan.
'Yeaaah...!"
Plak! Namun, Yatikah tidak kalah gesit. Tubuhnya langsung melesat ke atas. Dan tanpa diduga sama sekali, kakinya melepaskan
tendangan. Dan....
"Aaakh...!"
Orang itu menjerit kesakitan ketika ujung kaki Yatikah menghantam dagunya. Bahkan langsung terhuyung-huyung dengan mulut meringis dan mengucurkan darah. "Rasakan bila berani berkata sembarangan di de-panku!" dengus Yatikah geram,
begitu telah mendarat kembali di tanah.
"Ha ha ha...! Sudahlah, Yatikah. Kau semakin
membuat wajahnya lebih buruk dari monyet buduk.
Aku sampai tidak ingat makhluk apa yang lebih jelek dari ini!" sahut Karsono
sambil tertawa-tawa.
"Biar dia tahu rasa berani menghina kita!" dengus Yatikah.
"Biarlah kita cari yang lain saja. Mari tinggalkan tempat ini!" ajak Karsono
sambil berlalu dari tempat itu. Yatikah melirik sesaat pada orang-orang itu,
kemudian sambil mendengus garang mengikuti jejak
Karsono dengan wajah masam.
Sementara itu, dari jauh terdengar suara Karsono
yang mendorong gerobak mainannya. Sedangkan saat
itu, Ki Gembyong tampak menggelengkan kepala lesu
sambil berusaha membimbing beberapa orang temannya. Mereka berlalu dari tempat itu dengan membawa
segudang dendam.
"Suatu saat, kalian akan menerima ganjaran yang setimpal. Tunggulah pembalasan
kami," geram Ki Gembyong hampir tidak terdengar, sambil mengepal-kan tangan.
*** 3 Terik siang hari ini, membuat peluh di tubuh
Rangga mengucur deras. Berkali-kali Pendekar Rajawali Sakti menyeka keringat di kening sambil mengipas-ngipaskan telapak tangannya ke wajah. Rasa haus dan lapar mulai menyerang
tenggorokan dan perutnya.
Saat matanya melihat sebuah desa di depan sana, tan-pa membuang waktu lagi
langsung dikerahkannya ilmu meringankan tubuh, berjalan cepat menuju desa
yang ternyata bernama Desa Tegalan.
Dalam waktu tidak berapa lama saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah tiba di mulut Desa Tegalan. Tapi desa itu tampak sepi sekali,
seperti sudah ditinggalkan penduduknya. Namun tak lama kemudian, Pendekar
Rajawali Sakti bisa bertemu beberapa orang. Maka kini dia bisa bernapas lega.
Untuk itu, yang pertama dica-rinya adalah sebuah kedai untuk mengisi perutnya
yang mulai berbunyi minta diisi.
Rangga melangkah pelan memasuki sebuah kedai.
Di dalamnya tampak tidak kurang dua puluh orang
mengisi meja masing-masing. Melihat dari cara tatapan mereka yang tidak
bersahabat dan menganggap rendah dirinya, Rangga berusaha setenang mungkin. Sementara, yang lainnya adalah penduduk desa biasa
yang tidak peduli oleh kehadirannya. Seorang laki-laki pemilik kedai tampak
Pendekar Rajawali Sakti 94 Pendekar Aneh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghampiri, begitu Rangga sudah mengambil tempat di kursi kosong.
'Tolong bawakan nasi dan lauk-pauknya. jangan
lupa sebumbung tuak!" pesan Rangga pada pemilik kedai.
"Hanya itu saja, Den?" tanya pemilik kedai itu.
"Itu saja," sahut Rangga.
"Baik. Sebentar, Den"
Pemilik kedai itu segera berlalu. Sambil me-nunggu
pesanannya datang, Rangga mengedarkan pandangan
ke sekeliling ruangan kedai yang cukup luas ini. Pandangan matanya kemudian
tertumbuk pada wajah seram. Sebelah matanya tampak dibalut kain hitam. Dan begitu matanya melihat
Rangga, dia mendengus sinis
sambil membuang ludah ke tanah.
Rangga yang pada dasarnya tidak ingin men-can
keributan di tempat itu, buru-buru membuang pandangannya ke arah lain. Tapi, agaknya orang bermata satu itu sudah merasa
tersinggung oleh tanggapannya tadi. Bahkan kini bangkit berdiri dari kursinya,
lalu melangkah lebar mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
Tanpa bicara lagi sedikit pun juga, langsung saja bahu Rangga dicengkeram kuatkuat. "Bocah! Aku menginginkan pedangmu!" kata laki-laki bermata satu itu sambil terus
menggenggam pedang bergagang kepala burung di punggung Rangga.
Tapi belum juga pedang itu sempat dicabut dari
warangkanya, dengan cepat Rangga mengayunkan satu tangannya ke bahu, kemudian sikut tangan yang
lain menghajar lawan tanpa menoleh ke belakang. Tapi si mata satu agaknya bukan
orang sembarangan. Ma-ka tangan kirinya langsung menangkis, sementara kepalan tangan yang lain disorongkan ke batok kepala
bagian belakang Pendekar Rajawali Sakti.
Plak! Plak! Yeaaah...!"
"Uts, shaaa...!"
Rangga menundukkan kepala sedikit Kemudian
sambil memutar tubuhnya ke kiri, tahu-tahu sudah
melesat satu tombak setelah terlebih dahulu mengirim satu serangan ke perut
lawan. Tapi, si mata satu cepat menangkisnya dengan mantap.
Plak! "Ha ha ha...! Bagus! Kalau seseorang memiliki senjata, paling tidak akan mampu
menyelamatkan senjatanya sebelum dirinya sendiri termakan," keras sekali suara orang bermata satu
ini. "Maaf, Kisanak. Aku saat ini tidak ada niat untuk bermain-main denganmu," sahut
Rangga, bernada sopan.
"Huh! Siapa yang akan bermain-main dengan-mu,
Bocah! Kau kenal siapa aku, heh..."! Namaku Bangkor, Ketua Perampok Mata Satu.
Kalau aku sudah punya
keinginan, maka tidak seorang pun bisa menghalangi.
Nah, serahkanlah pedangmu padaku"
"Kisanak! Pedangku bukan untuk kuberikan pada
orang lain. Meski buruk dan tidak berguna, tapi benda ini adalah bagian dari
diriku. Maaf, aku tidak bisa memberikannya padamu," sahut Rangga masih dengan
sikap sabar. "Bocah keras kepala! Jangan menyesal kalau aku menggunakan kekerasan padamu!"
bentak Bangkor, seraya bersuit nyaring.
Belum lagi hilang siulannya, seketika melompat lima orang yang berada di kedai itu, dan langsung mengurung Rangga. Agaknya,
orang-orang ini anak buah
Bangkor yang sejak tadi telah siap-siap menjaga segala kemungkinan.
"Pecahkan batok kepala bocah ini!" seru Bangkor
memberi perintah.
Tanpa diperintah dua kali, kelima orang itu langsung menyerang Rangga sambil mencabut goloknya
masing-masing. "Kalian benar-benar menghilangkan selera makan-ku," gumam Rangga kalem.
"Persetan! Yeaaah...!"
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
Rangga yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali
Sakti cepat melompat tinggi, nyaris bersentuhan dengan atap kedai. Kemudian,
tubuhnya dibuang ke arah
samping, untuk menghindari serangan lawanlawannya. Tapi kelima orang itu terus mengejar ke
mana pun Rangga bergerak.
Sementara Bangkor mengusap-usap jenggot-nya
yang pendek sambil mendengus sinis, menyaksikan
lima orang anak buahnya.
"Kisanak! Jangan memaksaku untuk bertindak kelewat batas. Suruh mundur anak buahmu ini!" teriak Rangga memperingatkan.
Tapi sebagai jawabannya, kelima lawannya malah
semakin garang menyerang. Dan ini membuat Rangga
jadi mendengus kesal. Tapi, tetap saja dicobanya untuk menahan kesabaran.
Walaupun terus mendapat
serangan, tapi sedikit pun Pendekar Rajawali Sakti tidak balas menyerang. Dan
tubuhnya hanya berkelit
saja menghindari serangan-serangan dari lima jurusan, menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
Tentu saja lima orang anak buah Bangkor kesulitan untuk mendesak Pendekar Rajawali Sakti. Gerakan-gerakan yang dilakukan Rangga begitu cepat. Li-ukan tubuhnya pun sangat
lentur, sehingga tidak satu serangan pun yang berhasil menyentuh tubuhnya.
"Yeaaah...!"
"Uts! Sial!" Rangga memaki geram, ketika salah satu ujung golok lawan nyaris menyambar dadanya. Untung saja dia buru-buru berkelit
menghindar. Dan tentu saja Pendekar Rajawali Sakti merasa tidak bisa terusmenerus bertahan di tempat sesempit ruangan kedai ini. Kalaupun bertahan tetap di sini,
jelas mejanya dan bangku-bangku kedai pasti akan hancur berantakan. Dan yang
paling merasa dirugikan tentu saja pemilik kedai yang sejak awal perkelahian
tadi menunjukkan wajah was-was dan cemas. Sambil berteriak nyaring, tubuh Pendekar Rajawali Sakti melesat keluar kedai.
"Hiyaaa...!"
"Kejar...!"
Bangkor serta kelima anak buahnya langsung
mengejar. Bahkan separuh dari pengunjung kedai
yang agaknya anak buah Bangkor, juga ikut-ikutan keluar. Mereka langsung saja
mengepung Rangga, membuat lingkaran tanpa sedikit pun memberi jalan keluar. Sementara itu, para penduduk desa yang sejak kedatangan Perampok Mata Satu mengunci diri dalam
rumah masing-masing, mulai keluar satu persatu menyaksikan pertarungan yang bakal terjadi. Dalam hati, mereka cemas memikirkan
pemuda berbaju rompi putih yang berani menentang kehendak Perampok Mata
Satu. Selama ini, tidak ada seorang pun yang berani membantah kehendak perampok
itu. Apalagi, gerombolan itu tidak segan-segan mencabut nyawa siapa sa-ja yang
menentang kehendaknya.
"Kasihan pemuda itu. Dia pasti menjadi korban
Bangkor. Padahal, apa salahnya jika harus disuruh
menyerahkan pedangnya daripada nyawa melayang,"
ujar salah seorang penduduk yang ingin menyaksikan
pertarungan. "Hush! Jangan sembarangan bicara. Coba lihat.
Agaknya, pemuda itu bukan sembarang orang. Kepandaiannya barangkali tidak kalah di-bandingkan si Perampok Mata Satu sendiri,"
sahut seorang penduduk lain.
'Tapi selama ini, tidak seorang pun yang mampu
mengalahkan Bangkor. Ilmu silatnya sangat tinggi. Belum lagi kesaktiannya.
Rasanya, pemuda itu hanya
mengantarkan nyawa saja bila berani menentangnya."
"Belum tentu. Siapa tahu pemuda itu justru pendekar hebat. Kalau tidak, mana
mungkin berani menentang kehendak Bangkor...."
'Tapi, siapa tahu dia belum pernah mendengar kehebatan Bangkor, sehingga berani menentang-nya?"
Tidak ada yang menyahut. Bisa jadi apa yang dikatakan orang itu benar. Bisa saja pemuda berbaju rompi putih itu belum pernah
mendengar sepak tenang
Bangkor. Dan kalaupun memiliki kepandaian ilmu
olah kanuragan, paling tidak dia baru pertama kali turun gunung dan sangat yakin
akan kemampuan yang
dimiliki. Sementara, Rangga kelihatan semakin geram saja
karena kelima orang anak buah si Perampok Mata Satu semakin bernafsu menghabisi nyawanya. Tidak ada
pilihan lain baginya, selain membalas serangan. Sambil berteriak nyaring,
Pendekar Rajawali Sakti mulai membalas serangan-serangan lima orang lawannya.
Maka.... "Hiyaaa...!"
Memang sangat luar biasa kecepatan gerak Pendekar Rajawali Sakti, hingga membuat mereka yang menyaksikan pertarungan jadi tersentak kaget. Betapa tidak..." Tiba-tiba saja dua
orang yang mengeroyok terpekik nyaring ketika tubuh pemuda itu terlihat bergerak cepat bagai kilat. Golok mereka tiba-tiba saja terpental, dengan tubuh
terpental jauh. Begitu jatuh di tanah, dua orang itu langsung menggelepar sesaat
untuk kemudian tidak bergerak lagi. Sementara, ketiga temannya yang lain
terhuyung-huyung sambil mendekap dada yang terasa nyeri terkena pukulan yang
begi-tu keras, dan cepat.
"Hah"! Keparat! Bakul-bakul nasi tidak berguna!"
maki Bangkor, seraya memberi isyarat pada anak
buahnya yang lain untuk maju menyerang Pendekar
Rajawali Sakti.
"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
Tiga orang anak buah Bangkor lainnya langsung
melesat serentak sambil mengayunkan golok ke arah
Rangga. Pendekar Rajawali Sakti yang sudah mulai
kesal melihat kelakuan mereka, tanpa membuangbuang waktu lagi langsung melesat. Dan dengan gerakan cepat bagai kilat tubuhnya berkelebat memapak
serangan. "Hiyaaa...!"
Tubuh Pendekar Rajawali Sakti tampak meliuk-liuk
menghindari sambaran golok. Sementara kedua tangannya sibuk menangkis dan menghantam pergelangan tangan lawan. Dan....
Plak! "Aaa...!"
Seorang lawan terpekik nyaring ketika pangkal lengannya dihantam pukulan Rangga. golok di tangannya
langsung terlepas. Tubuhnya langsung ambruk, tidak
dapat melanjutkan pertarungan kembali. Dan dalam
kegeramannya, Rangga langsung menangkap golok
yang terpental itu. Kemudian, tubuhnya bergerak ke
kiri dan kanan menerobos pertahanan lawan. Lalu....
Bugkh! "Ugh!"
Crass! "Aaa !"
Dua orang kembali terpekik terkena tendangan dan
tebasan golok di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka kontan ambruk tanpa bisa
bangkit lagi. Kini hanya tinggal empat orang yang tersisa. Kelihatannya, mereka mulai gentar untuk menyerang
Rangga. Tapi Pendekar Rajawali Sakti sudah kembali
bergerak begitu cepat mendahului.
"Yeaaah...!"
Rangga melesat cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh seraya mengkelebatkan golok ke masing-masing lawan.
Trak! Tras! Des! "Aaa...!"
"Aaakh...!"
Kembali terdengar pekik kematian, ketika dua
orang tertebas golok di tangan Pendekar Rajawali Sak-ti, tepat pada leher
masing-masing. Sementara, dua orang lagi terjengkang dan ambruk di tanah,
terkena sodokan tangan kiri dan tendangan kaki kanan. Seketika itu mereka semua
tewas, bersimbah darah.
"Bangsat..! Hadapilah aku, Keparat!" geram Bangkor penuh amarah melihat anak
buahnya tidak ada lagi yang bisa bangkit berdiri. "Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Perampok Mata Satu melesat cepat bagai kilat ke arah Rangga. Beberapa pukulan yang
mengandung pengerahan tenaga
dalam tinggi langsung dilepaskan beruntun, disertai tebasan-tebasan golok yang
begitu cepat. Gerakannya benar-benar sulit diikuti pandangan mata biasa.
"Hup!"
Tring! Bukan main kagetnya Bangkor ketika golok di tangannya dapat mudah ditangkis oleh golok yang berada di tangan Rangga. Padahal
senjata di tangannya bukanlah golok sembarangan, melainkan golok sakti warisan gurunya. Bahkan ketajamannya melebihi senjata biasa pada umumnya Sedangkan
golok di tangan Pendekar Rajawali Sakti hanya golok biasa yang dipakai orangorang kebanyakan. Tapi ketika terjadi benturan tadi, terlihat percikan bunga api
yang menyebabkan telapak tangannya terasa perih.
Sebaliknya. Pendekar Rajawali Sakti pun merasakan sedikit terkejut melihat golok di tangannya jadi rompal pada bagian matanya.
Padahal, pada saat benturan tadi tenaga dalamnya telah dikerahkan, walaupun tidak sepenuhnya. Hal itu terjadi karena senjata di tangan lawan memang
bukanlah golok biasa.
*** "Huh! Ternyata kau berisi juga Bocah. Tapi jangan girang dulu. Bangkor bukanlah
anak kemarin sore
yang mudah puas. Sekarang, hadapilah jurus
mautku!" dengus Perampok Mata Satu sambil merubah jurus serangannya.
"Aku sama sekali tidak bermaksud berkelahi denganmu. Tapi karena kau memaksa,
apa boleh buat.
Aku pun tidak sudi mampus begitu saja tanpa melawan," sahut Pendekar Rajawali Sakti, enteng.
'Tutup mulutmu! Hiyaaat..!"
"Hap! Yeaaah...!"
Rangga cepat melempar golok di tangannya disertai pengerahan tenaga dalam penuh, tepat mengincar jantung lawan. Dengan geram, Bangkor mengebutkan goloknya, menangkis lemparan golok Pendekar
Rajawali Sakti.
Pendekar Rajawali Sakti 94 Pendekar Aneh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Trang! Trak! Golok itu langsung terpental dan patah dua, Tapi
tangan Bangkor sendiri sempat bergetar ketika menangkis. Dan sungguh tidak dikira kalau hal itu hanya siasat Pendekar Rajawali
Sakti belaka, agar lebih leluasa menyarangkan pukulan tangan kanannya. Tapi
Bangkor bukanlah orang sembarangan yang mudah
dipecundangi begitu saja.
Tangan kiri Perampok Mata Satu cepat bergerak
menangkis. Dan belum juga dia bisa menarik napas le-ga, Pendekar Rajawali Sakti
telah menghantamkan kaki kanannya menuju ke dada. Maka dengan kalang
kabut, Bangkor melompat ke belakang. Namun justru
pada saat itulah, Pendekar Rajawali Sakti cepat melesat seraya mengirimkan
kepalan kiri yang menghantam punggung lawan. Dan...
Buk! "Akh!"
Bangkor memekik agak tertahan. Tulang pinggangnya terasa patah ketika tubuhnya terjengkang dua
tombak. Masih untung dia mampu bertumpu pada kedua kakinya, sehingga tidak sampai ambruk di tanah.
Tapi, tubuhnya masih menggeliat-geliat kesakitan
sambil memegangi tulang punggung bagian bawah
yang laksana terkena pukulan godam yang begitu berat. Pendekar Rajawali Sakti tidak meneruskan serangannya, dan malah berdiri
tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Sikapnya seperti siap menanti
serangan lawan berikutnya. Bibirnya terlihat menyunggingkan senyum. Sementara,
Bangkor mendengus geram sambil menyemburkan ludahnya.
"Kisanak! Apakah kau masih bersikeras untuk
meminta pedangku" Dan kalau bisa, aku akan menyudahi urusan hingga di sini," kata Rangga kalem.
Tapi Bangkor tidak menyahuti sedikit pun juga.
Hanya sorot matanya saja yang terlihat begitu tajam, menembus langsung ke bola
mata Rangga. Seakan-akan ingin dikoreknya jantung pemuda itu dengan sorot matanya yang tajam. Dan tanpa mengeluarkan kata-kata sedikit pun juga, mendadak saja....
"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
"Hei!"
Rangga jadi tersentak kaget setengah mati, ketika
tiba-tiba saja sisa anak buah Bangkor menerjang ke
arahnya dengan kemarahan meluap. Bukan main geram hati Pendekar Rajawali Sakti melihatnya. Maka
tanpa tanggung-tanggung lagi, langsung dihajarnya
mereka dengan satu pukulan jarak jauh.
"Hiyaaat..!"
Des! "Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi di tempat itu. Lima orang sisa anak buah Perampok Mata Satu tampak
terhuyung-huyung dihantam pukulan jarak jauh yang dilancarkan Rangga. Maka saat itu juga, tidak ada lagi yang bisa bergerak. Mereka semua tergeletak
tewas bersimbah darah.
Bukan main geramnya Bangkor melihat keadaan
itu. Tapi para penduduk yang melihatnya malah berso-rak kegirangan sambil
mengelu-elukan Pendekar Rajawali Sakti. Telah lama mereka muak melihat perbuatan Perampok Mata Satu
beserta anak buahnya yang
sewenang-wenang menindas sebagaimana layaknya raja tanpa mahkota.
"Siapa kau sebenarnya"!" bentak Bangkor garang sambil menudingkan golok di
tangannya ke arah
Rangga. "Ha ha ha...!"
Belum lagi Rangga menjawab, tiba-tiba terdengar
suara tawa yang kecil nyaring bernada kering. Suara tawa itu terdengar menggema,
seakan-akan datang da-ri segala penjuru mata angin. Akibatnya, semua orang yang
ada di halaman kedai itu jadi tersentak kaget.
Phuih!" Bangkor menyemburkan ludahnya, sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dia tahu, suara tawa bernada kering itu
ditujukan untuk dirinya. Sementara, Rangga masih tetap kelihatan tenang sekali.
Seakan dia tidak terpengaruh oleh suara tawa kering yang terus terdengar
menggema, bagai terdengar dari segala arah.
Tapi tidak lama kemudian, suara tawa itu menghilang dari pendengaran. Dan di saat kesunyian menyelimuti sekitar halaman depan kedai, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan
berkelebat begitu cepat disertai terdengarnya kembali suara yang kering dan
bernada tinggi.
"Dasar Perampok Mata Satu! Rupanya mata-mu
yang sebelah itu betul-betul tidak berguna hingga, tidak melihat seorang
pendekar hebat di depanmu!"
Di halaman depan kedai itu, tahu-tahu sudah berdiri sesosok tubuh kurus berwajah keriput Rambutnya yang panjang dan sudah
berwarna putih semua, dibiarkan meriap dipermainkan angin. Pakaian yang dikenakannya kelihatan lusuh dan compang-camping
penuh tambalan, seperti pakaian seorang pengemis.
Sementara di sebelahnya, terlihat seorang gadis
berparas jelita berbaju biru langit terbuat dari sutera halus. Di punggungnya
terlihat sebatang pedang kecil berukuran agak panjang. Sedangkan di sebelahnya
tampak laki-laki tua tengah memegang tongkat butut
sebagai penyangga tubuhnya yang agak terbungkuk.
"Pengemis Tongkat Sakti!" desis Bangkor kaget begitu melihat kehadiran orang tua
itu. *** 4 "He he he...! Ternyata matamu belum lamur mengenaliku, Bangkor. Nah, apa saja yang kau kerjakan
hingga pihak kerajaan memintaku untuk menangkapmu?" kata kakek yang dipanggil Pengemis Tongkat Sakti itu sambil tertawa kecil.
"Hm... Jadi, rupanya sekarang kau telah be-kerja untuk pihak kerajaan?"
"Kenapa tidak" Raja yang memerintah sekarang
cukup baik dan memperhatikan rakyatnya. Selain
mendapat uang, aku pun bisa menggebrak monyet busuk sepertimu!"
"Huh! Jangan harap bisa semudah itu. Meski namamu menjulang tinggi, tapi Perampok Mata Satu
pantang dihina. Langkahi mayatku dulu, baru kau bisa menangkapku."
"Ha ha ha...! Apa sulitnya melangkahi mayat-mu"
Dalam keadaan terluka begitu, kau seperti kuda dungu yang jinak!"
"Bangsat!"
"He, memaki lagi"! Betul apa yang dikatakan orang.
Kau memang tidak boleh dibiarkan hidup lama-lama!"
"Orang tua busuk, majulah! Tangkaplah aku kalau kau memang merasa mampu!" sahut
Bangkor sambil memasang kuda-kuda.
"He he he...! Soal menangkapmu itu persoalan mudah. Tapi aku takut akan dianggap
lancang, jika mendahului Pendekar Rajawali Sakti yang tengah berurusan denganmu. Biarlah kutunggu bangkaimu saja,"
balas Pengemis Tongkat Sakti sambil melirik Rangga.
"Apa maksudmu, Orang Tua" Siapa yang kau maksud Pendekar Rajawali Sakti"!" bentak Bangkor penuh tanya.
"Kenapa" Apakah nyalimu mulai ciut" Siapa lagi orangnya selain dari pemuda yang
menjadi lawanmu
tadi." "Heh"!"
Bangkor tercekat. Ditatapnya Rangga dengan dahi
berkerut. Seolah, dia tidak yakin kalau pemuda yang tadi bertarung dengannya
adalah pendekar yang namanya belakangan ini menggetarkan rimba persilatan,
karena sepak terjangnya yang telah banyak membina-sakan tokoh golongan hitam
berilmu tinggi.
"Nah, Pendekar Rajawali Sakti. Silakan diteruskan kembali permainan tadi yang
sempat tertunda. Sementara, biarlah kami menontonnya saja," kata Pengemis
Tongkat Sakti sambil tersenyum kecil.
"Paman Pengemis Tongkat Sakti, sebenarnya di antara kami tidak ada urusan apaapa, tapi karena mereka memaksa, apa boleh buat. Aku ter-paksa harus
membela diri. Tapi kalau memang di antara kalian ada urusan, tentu saja dengan
senang hati aku akan mengalah," sahut Rangga, mengelak.
Pemuda itu mengerti apa yang dikehendaki Pengemis Tongkat Sakti. Dari kata-katanya yang sepintas
tadi, tentulah dia utusan kerajaan yang ditugaskan
untuk menangkap Perampok Mata Satu. Dan dengan
dalih bahwa dia mempunyai urusan dengan Perampok
Mata Satu, tentu si Pengemis Tongkat Sakti akan cuci tangan dan mau untung
sendiri. Bagi Rangga hal itu
memang kebetulan sekali. Berarti dia tidak susahsusah lagi berurusan dengan Perampok Mata Satu.
"Huh! Dengan siapa pun aku tidak peduli. Majulah kalian semua. Tapi, jangan
harap aku akan takut.'"
dengus Bangkor sinis.
"He he he..."! Dasar perampok picisan. Biarlah aku yang tidak berguna ini akan
memberi hajaran padamu!" sahut Pengemis Tongkat Sakti sambil mencelat
mengayunkan tongkat bututnya.
"Yeaaa...!"
Bersamaan dengan itu pula Bangkor langsung bergerak menghadang.
Bangkor memang terkenal orang yang tinggi hati.
Selama ini, semua orang amat takut padanya. Hingga
tingkahnya semakin sombong dan angkuh saja. Perbuatannya semakin sewenang-wenang, karena tidak ada
seorang pun yang mampu menghalanginya. Dan hal ini
pun terdengar pihak kerajaan. Maka beberapa hari
yang lalu pihak kerajaan telah mengirim sepasukan
prajurit untuk menangkapnya. Namun tidak seorang
pun di antara para prajurit yang kembali, karena
Bangkor telah membasmi habis semuanya. Tentu saja
hal ini menimbulkan kemarahan pihak kerajaan. Maka
mereka langsung mengirim Pengemis Tongkat Sakti,
yang selama ini banyak membantu pihak kerajaan.
Pengemis Tongkat Sakti memang seorang tokoh
yang amat disegani dalam rimba persilatan. Selain berilmu tinggi, juga tidak
pernah kenal am-pun terhadap lawan. Mereka yang pernah berurusan dengannya,
tidak pernah ada yang selamat. Tak heran bila Bangkor sempat terkejut ketika
mengetahui kehadirannya. Dan bila Pengemis Tongkat Sakti sudah mencampuri suatu
urusan, bisa dipastikan akan menyelesaikan sampai
tuntas. Tapi Bangkor yang telah kepalang tanggung, dan
kini berhadapan dengan dua orang tokoh kosen yang
namanya disegani di kalangan dunia persilatan, tentu
saja tidak sudi menunjukkan rasa takutnya. Maka
dengan mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki, digempurnya si Pengemis Tongkat Sakti habishabisan. "He he he...! Bagus, Bangkor. Kerahkanlah seluruh kemampuan yang kau miliki,
sebelum mampus di tanganku!" ejek Pengemis Tongkat Sakti sambil terkekeh.
"Orang tua keparat! Kaulah yang akan mampus di tanganku!"
"Eit! Mana ada kejadian begitu" Sudah ditakdirkan kalau kau memang akan mampus
di tanganku, maka
ikhlaskanlah kepergianmu," balas Pengemis Tongkat Sakti sambil mengejek terus.
Tentu saja hal itu membuat Bangkor yang pada dasarnya gampang naik darah, semakin berang saja. Tapi meski segenap kemampuan
yang dimiliki telah dikerahkan, lawan belum juga mampu didesaknya. Kenyataannya, permainan tongkat lawan sulit dibendung goloknya. Tongkat di tangan
orang tua itu terlihat biasa saja. Namun, sebenarnya benda terbuat dari baja
hitam yang sangat langka. Dan manakala dimainkan
sambil dibarengi tenaga dalam kuat, terdengar suara desir angin menggaung yang
disusul kebutan angin serangan yang terasa perih. Bahkan beberapa kali senja-ta
mereka telah beradu, sehingga menimbulkan percikan bunga api. Dan Bangkor berkali-kali menahan rasa nyeri.
Bahkan telapak tangannya telah terkelupas akibat
benturan kedua senjata tadi.
"Yeaaa...!"
*** Pengemis Tongkat Sakti menggeram buas. Lalu
sambil mengatupkan rahang, tubuhnya melompat
tinggi. Tongkat di tangannya diputar bagai balingbaling, hingga menimbulkan suara menderu. Dan
sambil berteriak nyaring, tongkat itu dihantamkan disertai tenaga dalam tinggi.
Bangkor benar-benar terkejut melihat cepatnya serangan lawan. Maka buru-buru ditangkis dengan golok pusaka miliknya.
Trak! Tapi ternyata senjatanya terpental jauh dari tangannya. Bahkan tubuhnya terjajar dua langkah ke belakang. Dan belum lagi disadari apa yang terjadi, tiba-tiba ujung tongkat lawan
telah lebih cepat menghantam dadanya bagian kiri.
Begkh! "Aaakh...!"
Terdengar tulang iga yang patah, dan langsung
menembus jantung. Ketua Perampok Mata Satu itu
kontan menjerit keras. Tubuhnya langsung terlempar
dua tombak dan ambruk di tanah sambil menggelepargelepar kesakitan. Sepasang matanya seperti hendak keluar dari sarangnya,
sebelum nyawanya lepas dari
raga. "Huh! Dasar perampok picek tidak tahu diri! Kau pikir hanya dirimu saja yang
jago di kolong langit"!"
umpat Pengemis Tongkat Sakti.
Para penduduk yang tetap bertahan di situ, mengelu-elukan Pengemis Tongkat Sakti karena berhasil me-newaskan Perampok Mata Satu
yang selama ini menindas mereka. Bahkan karena geramnya, beberapa
orang penduduk sempat meludahi sekujur tubuh
Bangkor yang telah tidak bernyawa.
"Hidup Pengemis Tongkat Sakti!"
"Hiduuup...!"
Pengemis Tongkat Sakti sendiri seperti anak kecil
mendapat mainan baru kesukaannya Dia terkekehkekeh senang mendengar teriakan-teriakan itu.
"Sudahlah, Guru. Mari kita lanjutkan per-jalanan kembali," ajak gadis berbaju
biru yang tadi bersa-manya.
"Sebentar. Tidakkah kau merasa bangga melihat gurumu dielu-elukan orang banyak?"
"Guru memang merasa bangga. Tapi, aku merasa
pusing di sini. Apa lagi perutku lapar, sudah waktunya diisi."
"Sekar Harum! Kau ini selalu saja begitu. Ka-pan lagi gurumu dipuji begitu
banyak orang, kalau bukan sekarang" Tapi, ayolah. Kau juga benar. Perutku pun
Pendekar Rajawali Sakti 94 Pendekar Aneh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah mulai melilit minta diisi. Eh, ke mana bocah itu tadi?"
"Bocah siapa?" tanya gadis yang dipanggil Sekar Harum itu heran.
"Bocah yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti itu"!"
"Maksud Guru, pemuda yang tadi sempat bertarung melawan Perampok Mata Satu" Dia bukan bocah
lagi." "Aaah! Bagiku sama saja. Di mataku, dia masih bocah. Hanya saja, beda dengan
bocah lain. Dia memiliki banyak kelebihan. Dan..., sangat pantas kalau menjadi
jodohmu, Sekar!" goda Pengemis Tongkat Sakti sambil mengikuti langkah Sekar
Harum menuju kedai.
"Guru! Kau ini bicara apa?" rutuk Sekar Harum pura-pura acuh.
"He he he...! Tidak sukakah kau pada pemuda itu"
Wajahnya tampan dan ilmu silatnya tinggi. Bahkan
aku sendiri sangsi, apakah mampu mengalahkannya
kalau suatu saat berurusan dengannya."
"Guru jangan bicara yang bukan-bukan!" rengek Sekar Harum, tersipu malu.
Pengemis Tongkat Sakti terkekeh-kekeh melihat
murid satu-satunya yang mulai salah tingkah mendengar godaannya.
Dan memang, Pendekar Rajawali Sakti telah jauh
meninggalkan Desa Tegalan. Ketika saat-saat terakhir pertarungan antara Pengemis
Tongkat Sakti melawan
Perampok Mata Satu, Rangga bisa merasakan kalau
Pengemis Tongkat Sakti akan mampu mengatasi lawannya. Maka, di saat semua mata memusatkan perhatian pada pertarungan, diam-diam ditinggalkannya
tempat itu tanpa seorang pun yang tahu.
Dan kini, perut Pendekar Rajawali Sakti kembali
terasa lapar, karena belum sempat menyentuh makanan di kedai tadi, karena harus meladeni Perampok
Mata Satu. Tiba di sebuah pinggiran hutan yang tidak terlalu lebat, matanya
mulai mencari buah-buahan
yang sekiranya dapat dimakan. Tapi belum sempat
memetiknya, tiba-tiba melintas seekor kelinci gemuk di dekatnya. Kontan saja
Rangga tersenyum senang.
"Pucuk dicinta ulam tiba. Susah payah aku menca-ri makanan, akhirnya datang
sendiri," ujar Rangga sambil bergerak hendak menangkap kelinci itu. Tapi....
Siiing! "Hei"!"
Rangga tersentak kaget. Pendengarannya yang tajam langsung menangkap desir angin halus di belakangnya. Buru-buru dia membuang diri ke samping,
sambil terus bersalto beberapa kali untuk menghindari kemungkinan adanya
serangan gelap. Lalu....
Crasss! "Nguikh!"
Tapi yang terdengar justru lenguh kematian hewan
yang tadi diincarnya. Tubuh kelinci itu tertembus sebatang anak panah. Dan
ketika Rangga menoleh, terlihat seorang gadis belia membawa-bawa busur anak
panah di tangannya.
"Sial!" umpat Rangga kesal.
"Lho, kok marah"! Seharusnya kau berterima kasih, karena telah kubantu menangkap kelinci buruanmu itu," sahut gadis itu sambil mendekat ke arah Rangga.
Rangga diam saja tidak menyahut. Dan ketika gadis belia itu hendak mengambil kelinci buruan-nya,
Rangga melangkah pelan meninggalkannya.
"Hei, tunggu! Apakah kau tidak ingin menyan-tap daging kelinci ini?" teriak
gadis belia itu sambil berlari kecil dengan tangan kiri menenteng kelinci hasil
pana-hannya. Rangga menoleh sekilas.
"Itu hasil buruanmu, maka kau berhak memperolehnya!" 'Tidak. Aku memanahnya untukmu!"
"Untukku?"
Gadis itu mengangguk sambil mengangsurkan kelinci di tangannya ke arah Rangga.
"Nah, terimalah!"
"Adik kecil, kau baik sekali. Kebetulan, aku memang lapar...," sahut Rangga
menerima kelinci itu.
Tapi, tiba-tiba gadis belia itu menarik kembali tangannya dengan wajah cemberut.
"Siapa bilang aku adik kecilmu"!" dengus gadis itu ketus.
Rangga mengerutkan dahi, melihat tingkah gadis
belia ini Apakah kata-katanya tadi salah" Melihat dari wajahnya, gadis ini belum
lagi lima belas tahun. Dan rasanya, pantaslah bila disebut begitu.
"Aku punya nama, dan kau boleh memanggil-mu
Andini!" "Hm, Andini. Nama yang bagus dan indah. Sangat sesuai dengan orangnya yang
cantik dan rupawan,"
puji Rangga. Mendengar pujian itu, gadis belia yang bernama
Andini tampak tersipu malu. Tapi, kemudian wajahnya
kembali ketus sambil mengangsurkan kelinci itu,
"Nih! Tapi jangan coba-coba panggil aku adik kecil lagi!"
"Andini...!"
"Heh!"
*** Namun pada saat itu, terdengar seseorang berteriak memanggil gadis itu. Keduanya menoleh. Tapi,
Andini kemudian membuang muka sambil mendengus
sinis ketika melihat sesosok pemuda berwajah tampan dan berbaju indah, tengah
mendekat sambil menggeleng-gelengkan kepala.
' Apa lagi yang kau perbuat di sini" Apakah kau
mengganggu orang itu"!" bentak pemuda itu.
"Siapa yang mengganggu" Aku hanya menolongnya...!" sahut Andini ketus.
Pemuda itu menggelengkan kepala sambil menghela napas. Kemudian wajahnya berpaling pada Rangga.
"Maaf, Kisanak. Adikku mungkin telah mengganggumu. Dia memang nakal sekali...."
"Ah, tidak mengapa. Dia tidak mengganggu, bahkan membantuku menangkap kelinci ini," sahut Rangga pelan sambil menunjukkan
kelinci yang telah ada di tangannya.
"Ah, syukurlah kalau begitu. Aku hanya takut dia mengganggu orang saja. Karena,
hal itu sering sekali terjadi. Oh, ya. Namaku Kesuma Wardhana...."
"Rangga...!"
"Apakah kau seorang pengembara?" tanya Kesuma Wardhana.
"Begitulah. Kalian sendiri?"
"Kami..., eh...," Kesuma Wardhana agak ragu untuk menjelaskan siapa dirinya
sesungguhnya. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, ketika beberapa orang prajurit kerajaan muncul. Kemudian, mereka memberi hormat pada Kesuma
Wardhana dan Andini.
Bahkan salah seorang di antara prajurit itu memanggil pangeran, sehingga membuat
Rangga yakin akan dugaannya.
Nona Berbunga Hijau 3 Joko Sableng 22 Liang Maut Di Bukit Kalingga Prahara Raden Klowor 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama