Pendekar Rajawali Sakti 107 Titisan Anak Setan Bagian 2
kepalanya itu berhenti melangkah, setelah jaraknya
tinggal sekitar lima tindak lagi di depan bocah laki-laki
berusia sekitar sepuluh tahun ini. Sementara anak itu
tetap berdiri tegak, tidak bergeming sedikit pun.
"Wicana, keluar kau! Jangan kau rusak tubuh
bocah tidak berdosa ini!" keras sekali suara orang tua
berjubah putih ini.
"Ghrrr...! Kau tidak bisa lagi memerintahku, Eyang
Bendowo. Tidak seperti dulu lagi! Ghrrr...!"
"Selama aku masih bisa bernapas, jangan harap
bisa bebas terus-menerus menghancurkan bumi ini,
Wicana," desis orang tua berjubah putih yang ternyata
bernama Eyang Bendowo itu, tegas.
"Ghrrr....! Malam ini kau akan mampus, Eyang
Bendowo!" "Tidak akan, sebelum kau lenyap untuk selamanya, Wieana."
"Ghrrr! Bersiaplah, Eyang Bendowo!"
"Hap!"
Bet! *** 5 Eyang Bendowo langsung melompat ke kanan,
sambil mengebutkan tongkat kayunya ke arah perut
bocah kecil yang dirasuld iblis ini. Tapi dengan gerakan sangat manis dan indah, Wicana berhasil
menghindari sabetan tongkat laki-laki tua berjubah
putih itu. Sementara, Rangga sudah duduk bersemadi di
bawah pohon, untuk memulihkan tenaga setelah
pertarungannya tadi. Tidak lama Pendekar Rajawali
Sakti bersemadi, kini sudah bangun lagi. Dia langsung
melihat Wicana ini tengah bertarung sengit melawan
seorang laki-laki tua berjubah putih. Oi dalam
semadinya tadi, sayup-sayup Rangga masih bisa
mendengar pembicaraan mereka tadi. Tapi dia tidak
tahu, siapa orang tua berjubah putih itu. Dan, apa
hubungannya dengan Wicana..."
Namun semua pertanyaan yang bergayut dalam
kepala Pendekar Rajawali Sakti hanya tinggal beban
saja. Dia sendiri tidak bisa berbuat apa-apa, karena
tidak mungkin ikut terjun dalam pertarungan itu.
Rangga hanya bisa diam saja dan terus menyaksikan
pertarungan yang semakin meningkat dahsyat.
Memang sangat aneh. Seorang laki-laki tua bertarung
menyabung nyawa dengan seorang anak kecil berusia
sepuluh tahun. "Ghraugkh...!"
Sambil menggerung keras, tiba-tiba saja anak kecil
itu melesat tinggi ke atas. Dan tubuhnya langsung
menukik dengan kecepatan bagai kilat, sambil
mengibaskan tangannya yang kurus kecil itu ke
kepala orang tua ini.
"Haiiit..!"
Namun dengan tangkas orang tua berjubah putih
itu berkelit menghindar. Dan pada saat itu juga
tubuhnya dimiringkan ke kiri, hingga tangan kirinya
menyentuh tanah. Dan secepat kilat dilepaskannya
satu tendangan ke atas dengan kaki kanan.
"Yeaaah...!"
Diekh! Di saat berada di udara, memang sulit bagi Wicana
untuk bisa menghindar serangan balasan itu. Maka
tak pelak lagi, tubuhnya jadi melambung tinggi
terkena tendangan kaki kanan yang begitu keras dan
menggeledek ini.
"Ghrauuugkh...!"
Namun bocah berusia sepuluh tahun itu cepat bisa
menguasai keseimbangan tubuhnya. Beberapa kali
tubuhnya berputaran di udara. Lalu manis sekali
kakinya menjejak tanah kembali. Dan pada saat itu
juga, tangen kiri Eyang Bendewo masuk ke dalam
lipatan jubahnya. Begitu keluar, di dalam genggaman
tangan itu terlihat sebuah benda berupa batu
berbentuk segitiga yang memancarkan cahaya
kehijauan. "Aaargkh...!"
Wicana kontan menjerit dan menutupi wajah
dengan kedua tangannya yang kecil, begitu melihatnya. Dia seperti tidak sanggup
menantang cahaya
kehijauan yang terpancar dan batu segitiga di tangan
kiri orang tua berjubah putih itu.
"Ghrauuugkh...!"
Sambil menggerung dahsyat, Wicana tiba-tiba saja
melesat cepat luar biasa sekali, meninggalkan tempat
itu. "Hey! Jangan lari kau...!" bentak Eyang Bendowo.
Tapi, lesatan Wicana begitu cepat sekali. Hingga
belum sempat Eyang Bendowo melakukan sesuatu,
bocah kecil itu sudah lenyap ditelan gelapnya malam.
"Setan...! Cepat sekali dia kabur...!" gerutu Eyang
Bendowo, tampak kesal.
Orang tua itu memasukkan kembali batu segitiga
berwarna kehijauan itu ke dalam lipatan jubah
putihnya yang panjang dan agak longgar ini.
Kemudian, kakinya lalu melangkah hendak pergi. Tapi
baru saja terayun tiga langkah, dia berhenti lagi.
Langsung tubuhnya diputar berbalik. Dan pandangannya lagsung tertuju pada
Pendekar Rajawali Sakti
yang masih tetap berdiri tegak memandangi.
Beberapa saat mereka terdiam dan hanya salingberpandangan saja. Dan perlahan
kemudian, mereka
sama-sama melangkah mendekati. Kini mereka
berhenti pada jarak sekitar tiga langkah lagi.
"Terimalah salam hormatku, Eyang," ucap Rangga
seraya menjura memberi hormat
"Jangan bersikap begitu padaku, Anak Muda," ujar
Eyang Bendowo, seraya mengangkat tangan kanannya yang memegang tongkat sedikit
Rangga kembali menegakkan tubuhnya.
"Aku tahu siapa dirimu, Anak Muda, Tidak perlu
kau jelaskan, kenapa kau bisa bentrok dengan bocah
setan itu," kata Eyang Bendowo langsung.
Rangga agak terkejut juga, karena orang tua itu
seperti sudah tahu tentang dirinya. Namun, dia tidak
mau berpikir lebih jauh lagi.
"Maaf, apakah Eyang tahu siapa dia...?" tanya
Rangga, dengan nada hati-hati.
"Aku mengenalnya. Dan sudah bertahun-tahun aku
mengejarnya. Tapi setiap kali berhasil mengalahkannya, dia selalu saja dapat
menyelamatkan diri dengan
meninggalkan raganya. Dan sekarang, dia menggunakan tubuh seorang bocah. Hhh!
Perbuatannya sudah
keterlaluan. Sama sekali tidak lagi menghargai
sesama makhluk hidup!" jelas sekaii terdengar nada
kekesalan pada suara Eyang Bendowo.
"Aku tidak mengerti maksud kata-katamu, Eyang,"
ujar Rangga. "Sulit dimengerti, Ariak Muda. Tapi bagimu yang
sudah terkenal dengan julukan Pendekar Rajawali
Sakti, rasanya persoalan apa pun bisa dimengerti,"
sahut Eyang Bendowo.
Rangga kembali tertegun, karena orang tua ini
sudah mengetahui dirinya. Padahal sama sekaii
namanya belum diperkenalkan, Tapi, Eyang Bendowo
sudah mengetahuinya lebih dulu. Dan kembali
Rangga tidak mau lagi memikirkannya. disadari kalau
dirinya sudah sangat kondang. Maka tak heran kalau
orang akan langsung bisa mengenali, dengan hanya
melihat penampilannya. Memang tidak ada lagi
pendekar di kolong langit ini yang menggunakan baju
rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung
bertengger di punggung. Yang ada hanya Pendekar
Rajawali Sakti!
"T?long jelaskan siapa dia, Eyang. Dia sudah
menimbulkan banyak korban di desa ini. Dan
perbuatannya harus bisa kuhentikan," pinta Rangga
tegas. "Dia bukan siapa-siapa bagiku, Pendekar Rajawali
Sakti," ujar Eyang Bendowo, kini terdengar pelan
suaranya. "Maksud, Eyang...?"
"Hhh...!"
Eyang Bendowo menarik napas panjang-panjang
dan menghembuskannya kuat-kuat. Seakan, dia
begitu berat untuk mengatakannya. Sementara,
Rangga terus menunggu penjelasan orang tua ini
dengan sabar. Tapi, Eyang Bendowo malah terdiam
seperti merenung. Tampak jelas sekail kalau raut
wajahnya jadi berselimut mendung yang sangat tebal.
Sehingga, membuat kening Pendekar Rajawali Sakti
jadi berkerut. "Kau ada hubungan keluarga dengannya, Eyang?"
tebak Rangga, langsung.
"Tidak...," sahut Eyang Bendowo sedikit mendesah.
"Lalu?"
"Dia muridku."
"Murid..."!"
*** Rangga jadi terbeliak kaget tidak mengerti.
Dipandanginya orang tua berjubah putih yang seperti
pertapa ini. Sungguh belum bisa dipercaya kalau
Wicana itu murid Eyang Bendowo ini. Dan sama sekali
tidak ada bayangan dalam pikirannya.
"Ceritanya sangat panjang. Aku sendiri menyesal,
karena telah mengangkatnya menjadi murid. Dan
sekarang, dia membuatku susah. Sehingga aku
terpaksa meninggalan pertapaanku, kembali mengarungi kehidupan dunia," terdengar lirih dan
perlahan sekali suara Eyang Bendowo.
Sedangkan Rangga hanya diam saja. Dia tidak
tahu, apa yang harus dikatakan lagi. Rasanya sulit
sekali menggerakkan lidah, mengucapkan kata-kata
untuk orang tua ini. Bisa dirasakan, bagaimana sakit
hatinya kalau orang yang sudah dipercaya dan
dibekali ilmu-ilmu, ternyata mengkhianatinya. Terlebih
lagi, bagi seorang pertapa seperti Eyang Bendowo ini.
"Dia seorang anak malang. Dia kupungut, ketika
tempat tinggalnya dihancurkan gerombolan perampok. Kedua orang tuanya, juga saudarasaudaranya mati terbunuh. Juga seluruh
penduduk desa itu. Tidak ada yang hidup lagi, kecuali Wicana
saja. Itu juga dalam keadaan terluka yang sangat
parah. Semula aku sendiri sudah hampir tidak
sanggup menyembuhkannya. Tapi, rupanya Sang
Hyang Widi berkehendak lain. Wicana bisa bertahan
hidup, dan kembali sehat. Kemudian aku mengajarkannya ilmu-ilmu olah kanuragan
dan ilmu-ilmu kedigdayaan...," Eyang Bendowo mulai bercerita.
Sementara, Rangga tetap diam mendengarkan.
"Semula aku memang bangga sekali terhadapnya.
Dia amat patuh, dan cepat menangkap semua
pelajaran yang kuberikan. Tapi setelah usianya
menjelang dewasa, sikapnya jadi berubah. Dia selalu
menyendiri dan sering melamun. Kalau kutanya, tidak
pernah dijawab. Hingga suatu saat, ketika aku turun
gunung, diam-diam dia mencuri sebuah kitab pusaka
milik warisan keluargaku dan mempelajarinya secara
diam-diam. Kau tahu, kitab itu sangat berbahaya jika
tidak digunakan secara benar. Dan Wicana tidak tahu
bahayanya. Hingga pada akhir kitab, dia melakukan
kesalahan yang seharusnya tidak boleh terjadi."
"Apa yang dilakukannya, Eyang?"
"Darah mudanya tergoda. Waktu melakukan
semadi, muncul seorang wanita yang sangat cantik.
Sebenarnya, wanita itu hanya godaan saja. Tapi, dia
tidak tahu dan tidak bisa mengendalikan diri lagi.
Akhimya, Wicana masuk ke dalam perangkap. Dia
telah berbuat maksiat dengan wanita itu, yang
seharusnya tidak boleh dilakukan."
Rangga mengangguk-angguk. Langsung bisa
dimengerti, apa yang dilakukan Wicana pada wanita
jelmaan itu. "Lalu...?"
"Setelah semua itu berakhir, Wicana baru sadar.
Tapi, semuanya sudah terlambat dan harus
menanggung akibatnya. Wicana harus berubah
menjadi makhluk siluman setengah manusia dan
setengah serigala. Aku yang cepat mengetahui, tidak
ada pilihan lain lagi. Daripada dia membunuh banyak
manusia hanya untuk memuaskan dahaga saja,
maka dia harus kubunuh dengan tongkatku ini. Tapi
tindakanku sebenarnya merupakan kesalahan paling
parah yang pernah kulakukan selama hidupku. Aku
lupa, dia tidak bisa mati dengan hanya sebatang
tongkat bambu. Yang mati hanya tubuhnya saja, tapi
rohnya tetap hidup. Dia akan mencari tubuh lain
untuk membunuh setiap orang yang dijumpai. Dan
kini, dia memakai tubuh bocah kecil yang tak berdosa
sama sekali," papar Eyang Bendowo.
"Tapi dia tidak meminum darah korbannya,
Eyang," ujar Rangga.
"Memang. Dalam keadaan seperti itu, dia tidak lagi
membutuhkan darah. Dia sudah bisa hidup in. Tapi,
nafsunya untuk membunuh tidak akan pernah
padam, seperti layaknya seekor scrigala. Dia akan
Pendekar Rajawali Sakti 107 Titisan Anak Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tenis menean korbannya. Sulit untuk bisa
membunuhnya, Pendekar Rajawali Sakti. Tidak ada
satu senjata pun yang bisa membunuhnya, kecuali
pusaka peninggalan warisan kelurgaku. Senjata itu
adalah Mustika Kumala Hijau ini," Eyang Bendowo
lalu mengeluarkan batu segitiga berwarna hijau itu
dari balik jubahnya. "Tapi selama ini, aku tidak
pernah punya kesempatan untuk menggunakannya.
Dan setiap kali kukeluarkan, Wicana selalu saja
cepat bisa kabur."
"Kalau begitu, harus menggunakan cara yang lebih
tepat, Eyang," ujar Rangga.
"Ya, memang harus menggunakan cara yang tepat
Hanya saja, cara itu belum kutemukan. Sedangkan
aku hanya seorang diri saja menghadapinya," nada
suara Eyang Bendowo terdengar mengeluh.
"Sekarang kau tidak sendiri lagi, Eyang," kata
Rangga. Eyang Bendowo tersenyum.
"Eyang, kalau bertemu lagi dengan Wicana, aku
yang akan menghadapinya. Sementara, kau mencari
celah yang tepat untuk menggunakan mustika itu,"
kata Rangga. "Kau tidak akan bertahan lama menghadapinya,
Rangga. Tubuhnya kebal terhadap segala macam
pukulan dan tendangan. Bahkan dengan senjata
sekali pun. Menggores kulitnya sedikit saja, sulit
dilakukan."
"Aku akan berusaha, Eyang," ujar Rangga seraya
tersenyum. Entah kenapa, Pendekar Rajawali Sakti tersenyum.
Dia sendiri tidak tahu, kenapa bisa tersenyum.
Sedangkan wajah Eyang Bendowo berangsur cerah
kembali. Kehadiran Pendekar Rajawali Sakti, seakan
membawa titik cahaya vanq menerangi hati orang tua
ini. Eyang Bendowo serasa mendapatkan cahaya
semangat kembali. Dia yakin, dengan bantuan
Pendekar Rajawali Sakti, pasti bisa mengatasi Wicana
yang setengah siluman itu.
*** Malam terus merayap semakin larut.
Eyang Bendowo tidak bisa lagi menolak ajakan Rangga
untuk bermalam di rumah Kepala Desa Marong.
Tubuh tuanya butuh istirahat yang nyaman malam
ini, setelah begitu banyak menguras tenaga dalam
pertarungannya dengan Wicana.
Sementara itu, cukup jauh di dalam hutan, tampak
seorang anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun,
tengah duduk memeluk lututnya di depan seonggok
api yang menyala tidak begitu besar. Api itu seakanakan tidak sanggup mengusir
udara dingin yang
bertiup cukup kencang. Sehingga, anak kecil yang
ternyata Wicana itu terpaksa harus memeluk lututnya
sendiri. Tampak tubuhnya mulai menggeletar
menahan udara dingin yang semakin menusuk
menggigilkan ini.
"Hhh! Kalau saja Eyang Bendowo tidak ada"..
Hm.... Aku harus membunuh dulu orang tua itu. Dia
selalu saja jadi penghalang," desis Wicana menggumam pelan, bicara sendiri.
Tubuh bocah yang bertelanjang dada itu semakin
keras menggigil kedinginan, Namun, mendadak saja
kepalanya ditegakkan. Telinganya yang tajam,
mendengar suara rerumputan terinjak. Sebentar dia
terdiam, lalu kepalanya cepat berpaling ke kanan.
Saat itu, terlihat seorang pemuda melangkah menghampiri. Pemuda itu juga tampak
terkejut melihat di
dalam hutan ini ada seorang anak kecil, duduk
kedinginan di dekat api. Dari sebuah busur dan
sekantung anak panah yang dibawanya, bisa dipastikan kalau anak muda itu seorang
pemburu. "Sedang apa kau malam-malam di dalam hutan"
Lari dari rumah ya...?" tegur pemuda pemburu itu.
Tapi, Wicana tidak menjawab. Hanya dipandanginya saja dengan sinar mata yang agak
sayu. Sedangkan pemburu muda itu semakin dekat
saja. Tidak berapa lama kemudian, dia sudah berdiri
di depan bocah laki-laki ini.
"Boleh aku duduk di sini...?" pinta pemuda itu.
Wicana hanya diam saja.
Pemburu yang masih berusia sekitar dua puluh
lima tahun itu langsung duduk bersila di depan
Wicana. Hanya onggokan api unggun kecil saja yang
membatasi. Dibukanya tali pengikat kantung kulitnya. Lalu dikeluarkannya seekor
kelinci yang gemuk,
dengan leher berdarah seperti bekas tertembus
panah. "Kurasa ini cukup untuk mengisi perut kita berdua," kata pemburu itu lagi.
Tapi, Wicana masih tetap diam membungkam.
Hanya dipandanginya saja pemburu berusia muda itu
menguliti kelinci tangkapannya, dan memanggangnya
di atas nyala api. Dia menambahkan ranting-ranting
kering, hingga nyala api semakin bertambah besar.
Sebentar saja aroma daging kelinci panggang ini
sudah menyebar menusuk hidung, membuat perut
terasa lapar minta diisi.
"Mau...?"
Pemburu muda itu menawarkan sambil memotong
sekerat yang sudah matang. Wicana mengulurkan
tangannya perlahan, menerima keratan daging kelinci
itu dan langsung memasukkan ke dalam mulut. Tidak
ada gerakan sedikit pun pada mulutnya. Sedangkan
pemburu muda itu tidak memperhatikannya sama
sekali. Dia begitu asyik menikmati panggangan
daging kelinci hasil buruannya.
"Lagi...?"
; Pemburu itu menawarkan sekerat daging kelinci.
Wicana menerimanya dan langsung memasukkan ke
dalam mulut. Dikunyahnya daging itu sebentar, lalu
diam memandangi pemburu muda itu.
"Sejak tadi kau diam saja. Kau takut aku orang
jahat.." Jangan khawatir, Adik Kecil. Aku hanya
pemburu biasa saja, dan bukan orang jahat," kata
pemburu muda itu, "Namaku Karma. Dan kau
siapa...?"
"Wicana," sahut Wicana, singkat.
"Kenapa kau berada di sini sendirian?" tanya
pemburu muda yang memperkenalkan diri dengan
nama Karma itu.
"Aku lari."
"Dari mana orangtuamu?"
Wicana menggelengkan kepala saja perlahan.
"'Lalu...?"
"Dari guruku."
"Memangnya kenapa?"
Wicana tidak menjawab. Hanya dipandangi saja
pemburu muda itu. Kali ini sorot matanya terlihat
tajam, seakan hendak menembus langsung ke
jantung dari sepasang bola mata anak muda yang
duduk di depannya.
"Gurumu jahat?" tanya Karma lagi.
"Tidak."
"Lalu, kenapa lari?"
"Aku..., aku...," Wicana tidak melanjutkan.
"Kau kenapa, Wicana?"
"Ghrrr...!"
Wicana tidak menjawab, tapi malah menggereng
seperti binatang buas.
"Heh..."!"
Karma jadi tersentak kaget. Begitu terkejutnya,
sampai-sampai terlompat bangun dan melangkah ke
belakang dua tindak. Sementara, Wicana tetap duduk
diam memandangi dengan sorot mata begitu tajam.
Sehingga, membuat Karma jadi bergidik juga.
"Ghrrr...!"
Kembali Wicana menggereng perlahan, sambil
menyeringai memperlihatkan baris-baris gigi yang
runcing dan bertaring. Dan Karma jadi terbeliak lebar.
Bahkan pikirannya seketika jadi buntu. Dia hanya
berdiri diam terpaku memandangi bocah itu. Dan
belum lagi bisa menyadari lebih jauh, Wicana sudah
bangkit berdiri. Lalu....
"Ghiauuugkh...!"
"Heh..."!"
Karma hanya bisa terbeliak saja. Sebentar, Wicana
sudah melompat sambil memperdengarkan raungan
yang begitu dahsyat. Dan tahu-tahu, jari-jari
tangannya yang berkuku runcing sudah menghujam
begitu dalam ke leher pemburu ini.
"Aaakh...!"
Jeritan panjang dan melengking pun seketika
terdengar memecah kesunyian hutan ini. Karma
langsung jatuh terguling ke tanah. Sementara, Wicana
melepaskan cengkeramannya dan cepat melompat
ke belakang. Tampak darah mengalir dan leher
Karma yang mulai koyak.
"Ghrrraugkh...!"
Wicana kembeli menggerung, seraya melangkah
menghampiri Karma yang masih menggelepar
meregang nyawa. Kemudian, bocah itu melompat
menerkam tubuh pemburu yang malang ini. Bagaikan seekor serigala yang kelaparan,
taring-taringnya
dihujamkan ke leher yang sudah koyak berlumuran
darah ini. "Srooop!"
Wicana segera menghirup darah pemburu ini dari
lehernya. Sementara pemburu berusia muda itu
sudah tidak lagi bergerak-gerak. Mati! Sedangkan,
Wicana terus menghirup darah korbannya ini sampai
puas. Dan setelah tidak ada lagi darah setetes pun
yang tersisa, dia kemudian duduk sambil memeluk
lutut di samping tubuh yang sudah tidak bernyawa
lagi. Seakan-akan tidak dipedulikan kalau di
sebelahnya terbaring tubuh yang sudah tidak
bernyawa. "Hhh...!"
Sambil menghembuskan napas panjang, Wicana
bangkit berdiri. Dipandanginya sebentar pemburu
muda yang sudah tidak bernyawa dengan leher
terkoyak lebar tanpa setetes darah pun yang tersisa.
Wicana kembali menarik napas dalam-dalam,
kemudian melangkah perlahan-lahan meninggalkan
tempat itu. Tapi belum jauh berjalan, langkahnya
sudah terhenti lagi. Kepalanya lalu berpaling ke
belakang, memandangi tubuh yang menggeletak
tidak bernyawa. Dan sebentar kemudian, bocah lakilaki itu sudah kembali berjalan
perlahan-lahan.
Wicana terus berjalan menembus hutan yang tidak
begitu lebat, seakan tidak peduli dengan udara yang
semakin dingin menusuk tulang. Dia terus berjalan
periahan-lahan menuju Desa Marong.
"Aku yakin, Eyang Bendowo ada di Desa Marong.
Hhh! Malam ini juga dia harus mati di tanganku,"
desis Wicana periahan, bicara pada diri sendiri.
6 Sementara itu di dalam beranda depan rumah
Kepala Desa Marong, Rangga, Eyang Bendowo, dan
Eyang Rambang duduk beralaskan selembar tikar
ditemani Pandan Wangi. Mereka semua mendengarkan cerita Eyang Bendowo mengenai
Wicana yang bukan lagi manusia, tapi sudah menjadi siluman
yang haus darah. Tidak ada seorang pun dari mereka
yang membuka suara, saat Eyang Bendowo bercerita.
Mereka semua mendengarkan penuh perhatian.
Dan mereka semua masih tetap diam, walaupun
Eyang Bendowo sudah tidak lagi bercerita. Dan kini,
keadaan di beranda depan rumah kepala desa itu jadi
sunyi. Cukup lama juga mereka terdiam membisu,
sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Kalau memang dia tidak bisa dibunuh, lalu
bagaimana cara melenyapkannya...?" nada suara
Eyang Rambang seperti mengandung keputusasaan.
"Hanya Eyang Bendowo yang tahu, Ki?" sahut
Rangga sambil melirik Eyang Bendowo.
"Caranya, Eyang?" tanya Pandan Wangi yang sejak
tadi diam saja.
"Inilah yang menjadi persoalannya sejak dulu.
Keluargaku hanya mewariskan batu mustika saja.
Dan aku tidak tahu, bagaimana cara menggunakannya. Sedangkan kitab yang menjadi
petunjuk, sampai
saat ini belum ditemukan. Aku tidak tahu, di mana
Wicana menyembunyikannya," jawab Eyang Bendowo
pelan. Jawaban yang pelan namun sangat berarti itu
membuat semua yang ada di beranda depan rumah
Eyang Rambang ini jadi terdiam. Mereka saling
melemparkan pandangan satu sama lain. Eyang
Bendowo sendiri tidak tahu caia menggunakan batu
mustika pemusnah ilmu setan yang sekarang ini
dikuasai Wicana. Apa lagi yang lainnya..." Ini memang
yang menjadi persoalannya sekarang, tepat seperti
apa yang dikatakan Rangga. Harus ada cara yang
paling tepat untuk menghadapi titisan anak setan itu.
Sementara malam terus merayap semakin larut
Sementara udara di sekitar Desa Marong ini semakin
Pendekar Rajawali Sakti 107 Titisan Anak Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertambah dingin. Dan angin pun bertiup kencang,
membuat api pelita yang tergantung di tengah-tengah
beranda depan ini jadi meliuk-liuk seperti ingin
padam. Beberapa saat lamanya mereka semua
kembali terdiam membisu. Dan tepat di saat itu, tibatiba terdengar jeritan
panjang yang begitu menyayat.
"Heh! Apa itu..."!" sentak Eyang Rambang.
Sementara Rangga yang lebih dulu tanggap, langsung
melesat cepat bagai kilat. Hingga sebelum ada yang
sempat menyadari, bayangan tubuh Pendekar
Rajawali Sakti sudah lenyap tidak terlihat lagi.
Sementara, mereka semua sudah berlarian keluar
dan beranda ini.
"Mana Rangga?" tanya Eyang Bendowo. Mereka
jadi kebingungan, karena Rangga memang sudah
tidak ada lagi. Dan saat itu, Eyang Bendowo melesat
cepat bagai angin, menuju arah datangnya jeritan
yang mengejutkan tadi. Begitu tinggi ilmu
meringankan tubuh yang dikuasai Eyang Bendowo,
sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap
dan pandangan mata.
Pandan Wangi yang sudah mau mengejar, ce-pat
dicegah Eyang Rambang. Sehingga, gadis itu terpaksa
mengurungkan keinginannya.
"Tidak perlu semuanya pergi, Pandan. Kau tetap di
sini bersamaku. Menjaga segala kemungkinan," kata
Eyang Rambang. Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Namun
begitu tubuh mereka hendak berbalik, mendadak saja
terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat dari
balik sebuah rumah. Maka seketika mereka jadi
tersentak kaget. Dan tanpa bicara lagi, Pandan Wangi
cepat melesat mengejar bayangan merah yang
dilihatnya hanya sekilas itu. Eyang Rambang tidak
mau ketinggalan. Dia cepat berlari kencang
mempergunakan ilmu meringankan tubuh ke arah
lain. "Hup! Hiyaaa...!"
Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
Pandan Wangi. Sehingga hanya sekali genjot saja,
tubuhnya sudah melesat naik ke atas sebuah rumah.
Dan tubuhnya langsung melesat dan tenas
berlompatan dan satu atap rumah ke atap lainnya.
Sekilas matanya masih sempat melihat seseorang
berbaju merah melesat begitu cepat sambil
memanggul sesuatu yang kelihatannya cukup besar
dan berat Pandan Wangi mengempos seluruh kekuatan ilmu meringankan tubuhnya. Dan
tubuhnya langsung meluruk deras mengejar orang yang
semakin dekat saja jaraknya.
"Hiyaaat..!"
Dari atas atap sebuah rumah, Pandan Wangi
menggenjot tubuhnya. Hingga kini dia meluruk deras
ke arah orang berbaju merah yang masih terus berlari
cepat itu, dan bisa melewati atas kepala buruannya.
Dan.... "Berhenti...!"
"Eh..."!"
Saat itu juga, Eyang Rambang sampai di tempat ini
dan arah belakang Pandan Wangi. Rupanya, laki-laki
tua itu menghambil jalan pintas yang berlawanan.
Eyang Rambang cepat-cepat menghampiri Pandan
Wangi. Dan kedua bola matanya jadi terbeliak, begitu
melihat orang yang berhadapan dengan si Kipas Maut
itu. "Rasemi.... Apa yang kau lakukan Ini...?" desis
Eyang Rambang mengenali wanita setengah baya
yang masih kelihatan cantik itu.
"Huh! Ini semua gara-gara kau, Bocah Setan!"
dengus perempuan yang ternyata Rasemi sambil
menuding Pandan Wangi. "Kau harus mampus!
Hiyaaat..!"
Sambil melemparkan buntalan kain yang
disandangnya, Rasemi langsung melompat cepat
menerjang Pandan Wangi. Satu pukulan keras yang
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, dilepaskan
cepat ke kepala si Kipas Maut itu.
"Haiiit...!"
Namun hanya mengegoskan kepala saja, pukulan
Rasemi dapat dihindari Pandan Wangi dengan
mudah. Bahkan si Kipas Maut itu cepat menarik
tubuhnya, hingga miring ke kiri. Dan saat itu juga kaki
kanannya cepat menghentak memberi satu
tendangan keras menggeledek ke arah lambung.
"Ikh..."!"
Rasemi jadi terperanjat, tidak menyangka kalau
Pandan Wangi bisa begitu cepat melancarkan
serangan balasan. Cepat-cepat tubuhnya melenting
ke atas. Namun tanpa diduga sama sekali. Pandan
Wangi cepat menegakkan tubuhnya. Langsung
dilepaskannya satu pukulan tangan kanan ke atas
kepalanya, tepat di saat tubuh Rasemi berada di atas
kepalanya. Begitu cepat gerakan Pandan Wangi,
sehingga Rasemi tidak dapat lagi menghindarinya.
Dan.... Diegkh! "Akh,..!"
Rasemi jadi terpekik, begitu pukulan Pandan
Wangi yang cukup keras, walaupun tidak disertai
pengerahan tenaga dalam, menghantam dada. Dan
seketika wanita berusia setengah baya berbaju warna
merah muda itu jadi terpental ke atas. Lalu keras
sekali tubuhnya terbanting menghantam tanah. Saat
itu, Pandan Wangi sudah melompat sebelum Rasemi
bisa berbuat sesuatu.
"Hih!"
Jlek! "Hegkh...!"
Rasemi hanya bisa terlenguh saja, begitu telapak
kaki kiri Pandan Wangi menjejak lehernya. Sehingga
kedua bola mata wanita setengah baya itu jadi
mendelik. Dan Pandan Wangi terus menjejak leher
wanita ini. Sementara, Eyang Rambang hanya
memandangi pertarungan yang sudah jelas sekali
bakal dimenangkan Pandan Wangi. Sekali tekan saja,
pasti Rasemi tidak akan bisa melihat matahari lagi.
Namun pada saat itu, tiba-tiba saja melesat
sesosok tubuh ke arah Pandan Wangi yang masih
menjejakkan kaki kirinya ke tenggorokan Rasemi.
"Pandan, awaaas...!" seru Eyang Rambang
tersentak. "Hiyaaat...!"
Bagaikan kilat, Eyang Rambang melompat
memapak sosok tubuh yang hendak membokong
Pandan Wangi. Kemudian langsung dilepaskannya
satu pukulan yang sangat keras disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi. Hingga....
"Akh...!"
Bruk! Bumi jadi bergetar begitu orang itu jatuh keras,
setelah tubuhnya terkena pukulan yang sangat
dahsyat dan bertenaga dalam tinggi dari Eyang
Rambang. Dan kini, sekitar delapan langkah di depan
Eyang Rambang terduduk seorang laki-laki bertubuh
gemuk seperti gentong.
"Gombala.... Hhh! Kalian tidak ada kapokkapoknya, terus-menerus mengganggu dan
menyengsarakan penduduk!" desis Eyang Rambang.
Sret! Eyang Rambang langsung saja mencabut goloknya.
Sementara tampak lakl-Iaki gemuk yang hendak
membokong Pandan Wangi dan ternyata Gombala,
hanya mengkeret saja nyalinya. Perlahan Eyang
Rambang melangkah mendekati. Goloknya yang
berkilat tajam, sengaja digerak-gerakkan di depan
dadanya. Sehingga, wajah Gombala jadi memucat
"Aku bosan mengurusimu, Gombala. Sebaiknya
kau memang harus mati saja," desis Eyang Rambang
dingin. "Hih!"
Tapi tiba-tiba saja tangan kanan Gombala bergerak
cepat sekali. Dan jari tangan itu, meluncur beberapa
benda ke arah Eyang Rambang. Akibatnya orang tua
itu jadi terbeliak kaget
"Hiyaaat..!"
Trang! Bet! Cepat sekali Eyang Rambang mengebutkan
goloknya. Dan begitu bisa menangkis senjata rahasia
yang dilemparkan Gombala, Eyang Rambang
langsung memutar goloknya dengan kecepatan
sungguh mengerikan. Akibatnya Gombala yang
berada di depannya tidak dapat lagi menahan. Dan...
Cras! "Aaa...!"
Gombala menjerit keras, begitu dadanya terhantam golok. Darah kontan mengalir
keluar seperti air di sungai. Seketika itu juga Gombala ambruk
menggelepar meregang nyawa. Tapi sebentar
kemudian, tubuhnya sudah tidak bisa bergerak lagi.
Sementara saat itu Pandan Wangi masih menjejak
leher Rasemi. "Hih!"
Pandan Wangi yang sejak tadi memang sudah
tidak sabar, cepat menghentakkan kaki kirinya yang
berada di tenggorokan Rasemi. Akibatnya wanita
setengah baya itu jadi mendelik dan melenguh
pendek. Selanjutnya, seluruh tubuh Rasemi terkulai
lerhah. Dan nyawanya seketika melayang dengan
leher patah. Tampak darah mengalir dari sudut-sudut
bibirnya. *** "Setan-setan seperti mereka sudah pantas mati.
Selalu saja memanfaatkan kesempatan untuk mengeruk keuntungan sendiri. Huh!"
dengus Ki Rambang, sambil menyemburkan ludah ke wajah
Gombala yang sudah tidak bernyawa lagi.
"Mereka penduduk sini juga, Eyang?" tanya
Pandan Wangi. "Ya! Tapi, mereka juga perampok," sahut Eyang
Rambang. Pandan Wangi menganggukkan kepala. Diambilnya
buntalan kain yang tergeletak di dekat mayat Rasemi
dan diserahkannya pada Eyang Rambang.
Laki-laki tua itu menerimanya, lalu menyandang ke
pundak. "Aku akan mengembalikan barang ini, Pandan!
Kau ingin ikut?" ujar Eyang Rambang.
"Tidak, Eyang. Aku mau menyusul Kakang
Rangga," sahut Pandan Wangi seraya tersenyum.
"Baiklah. Hati-hati, Pandan," ujar Ki Rambang.
Lagi-lagi Pandan Wangi hanya tersenyum saja.
Sementara Eyang Rambang sudah melangkah cepat
meninggalkan gadis itu. Sebentar saja, tubuhnya
sudah tidak terlihat lagi. Sedangkan Pandan Wangi
segera memandangi dua sosok tubuh yang sudah
tidak bernyawa lagi. Ditariknya napas dalam-dalam,
lalu kakinya terayun hendak meninggalkan tempat ini.
Tapi baru saja terayun beberapa langkah...
"Kak..."
"Eh..."!"
Pandan Wangi jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba
terdengar suara yang begitu lirih dari belakang. Cepat
tubuhnya berbalik. Dan kedua bola matanya jadi
terbeliak lebar, begitu melihat seorang anak laki-laki
berusia sekitar sepuluh tahun tahu-tahu sudah berdiri
di bawah pohon, tidak jauh dan mayat Gombala.
"Wicana...," suara Pandan Wangi jadi agak
bergetar. Pandan Wangi jadi ingat cerita Eyang Bendowo.
Hatinya jadi terkesiap juga melihat wajah Wicana
begitu pucat, dan pandangan matanya sayu seperti
tidak lagi memiuki gairah kehidupan. Melihat
keadaannya, memang membuat hati siapa akan
tergiris. Tapi kalau mengingat anak ini sangat berbahaya tidak ada seorang pun
yang akan mendekati.
"Boleh aku bicara denganmu, Kak.... Aku perlu
seseorang yang sudi mengerti dengan keadaan diriku.
Tolong, Kak. Tolong aku...," lirih sekali suara Wicana.
Pandan Wangi hanya bisa menelan ludahnya
sendiri. Memang sulit menjawab permintaan yang
begitu memelas. Seakan, lidahnya jadi kelu seketika.
Gadis itu hanya berdiri saja memandangi bocah
bertubuh kurus seperti kurang makan ini.
"Tolong aku, Kak! Aku tidak kuat lagi terusmenerus seperti ini. Aku ingin
seperti yang lain...,"
rintih Wicana begitu lirih dan memelas.
Namun Pandan Wangi masih tetap diam membisu.
Entah, apa yang ada dalam kepalanya saat ini. Ingin
diucapkannya sesuatu, tapi lidahnya terasa begitu
kaku dan sulit diajak bicara. Sementarla wajah
Wicana semakin terlihat pucat, seperti tidak teralirkan
darah lagi. Dan sinar matanya juga semakin teriihat
meredup, tanpa adanya cahaya kehidupan di sana.
"Hhh...!"
Pandan Wangi menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya kuat-kuat. Dicobanya mencari
kekuatan pada dirinya sendiri dan berusaha untuk
bisa bersikap tenang menghadapi seorang bocah
yang dalam tubuhnya tersimpan jiwa iblis dari
seseorang yang salah menggunakan ilmu.
Pendekar Rajawali Sakti 107 Titisan Anak Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa yang kau inginkan dariku, Wicana?" tanya
Wicana dengan suara dibuat lembut dan tenang.
"Aku ingin kau membebaskan aku dari
penderitaan ini, Kak. Sudah terlalu lama aku tersiksa.
Aku ingin bebas, Kak...," sahut Wicana lirih.
"Aku tidak tahu, siapa kau sebenamya, Wicana.
Bagaimana aku bisa menolongmu..." Lagi pula, aku
tidak tahu kesulitan apa yang sedang kau hadapi
sekarang ini," kata Pandan Wangi, berusaha
mengorek keterangan.
"Aku terbelanggu, Kak. Aku tidak kuasa menolak.
Dia sangat kuat sekali...."
"Siapa yang membelenggumu?" tanya Pandan
Wangi lagi. "Ng...."
Belum juga bocah itu menjawab pertanyaan si
Kipas Maut barusan, mendadak saja kepalanya terdongak sambil memperdengarkan
suara mendengung seperti lebah. Pandan Wangi jadi terperanjat, dan melompat ke
belakang tiga langkah.
Saat itu wajah Wicana terlihat jadi memerah. Bahkan
sepasang bola matanya yang tadi kelihatan sayu
tanpa cahaya, kini jadi memerah seperti sepasang
bola api. Pandan Wangi jadi terkesiap melihat
perubahan yang begitu cepat pada wajah anak kecil
itu. "Ghrrr...!"
"Eh..."!"
Begitu terkejutnya, sampai-sampai Pandan Wangi
terlompat ke belakang sejauh lima langkah, saat
Wicana menggeram bagaikan seekor serigala buas
dan kelaparan. Sorot matanya terlihat begitu tajam,
seakah-akan hendak menembus jantung Pandan
Wangi. Akibatnya gadis yang dikenal berjuluk si
Kipas Maut itu jadi terkesiap.
"Ghrauuugkh...!"
"Oh..."!"
Kedua bola mata Pandan Wangi jadi terbeliak
lebar, saat Wicana menggerung dahsyat sambil
memperlihatkan gigi-giginya yang runcing dan bertaring tajam. Dan belum juga
Wlang rasa keterkejutannya, mendadak saja Wicana sudah melompat
menerjangnya sambil meraung keras. Dan akibatnya,
jantung gadis itu seakan-akan berhenti seketika.
Namun belum saja jari-jari tangan Wicana yang
berkuku runcing dan hitam itu bisa menyentuh leher
Pandan Wangi, mendadak saja terlihat secercah
cahaya merah meluruk deras menghantam tubuh
kecil bocah laki-laki ini. Begitu cepatnya kilatan
cahaya merah itu, sehingga sulit untuk diikuti
pandangan mata biasa. Hingga...
"Aaagkh...!"
Wicana meraung keras, begitu tubuhnya terhantam cahaya merah yang meluncur deras
bagai kilat itu. Bocah berusia sekitar sepuluh tahun itu
kontan terpental ke kanan dan jatuh keras
menghantam tanah, hingga bergulingan beberapa
kali. Namun dengan cepat dia bisa bangkit berdiri
lagi! "Ghrrr...!"
"Menyingkir kau, Pandan...!"
"Oh, Kakang...."
Pandan Wangi hanya bisa mendesis kecil begitu
melihat Rangga tahu-tahu sudah berada di tempat ini.
Rupanya cahaya merah yang tadi menghantam
Wicana, dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti ini
dalam pengunaan jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali' tingkat terakhir. Sehingga, pukulan itu bisa
dilepaskan dari jarak yang cukup jauh. Bahkan angin
pukulannya melontarkan cahaya merah bagai api!
Pandan Wangi bergegas melangkah ke belakang
menjauhi tempat itu. Sementara, Rangga mengayunkan kakinya perlahan-lahan
mendekati Wicana
yang sudah berdiri tegak di atas kedua kakinya yang
kecil dan kurus, seperti tulang terbalut kulit.
Tubuhnya terlihat sedikit membungkuk, dan kedua
tangannya yang berkuku runcing mengembang
mengerikan di depan dada.
"Ghrauuugkh...!"
Sambil menggerung dahsyat, Wicana melompat
cepat bagai kilat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi, Rangga yang memang sudah siap sejak tadi
manis sekali mengegoskan tubuhnya sedikit ke kiri.
Dan begitu tubuh Wicana dekat, tangan kanannya,
cepat sekali dihentakkan. Langsung diberikannya
satu pukulan dahsyat menggeledek dari jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir.
"Yeaaah...!"
Begitu cepat pukulan yang dilepaskan Pendekar
Rajawali Sakti, sehingga Wicana tidak sempat lagi
menghindarinya. Terlebih, tubuhnya saat itu sedang
berada di atas. Dan pukulan itu tepat menghantam
keras bagian lambungnya.
"Aaargkh...!"
Raungan yang sangat keras pun seketika terdengar memecah kesunyian malam di Desa
Marong ini. Namun Wicana yang baru saja bergulingan akibat
terhantam pukulan Pendekar Rajawali Sakti, bisa
bangkit berdiri lagi. Bahkan langsung menyerang
dengan kibasan tangan yang berkuku runcing itu.
Rangga cepat-cepat membanting tubuhnya ke
samping dan bergulingan beberapa kali, begitu
tangan kiri Wicana mengibas ke arah kepala. Lalu
dengan gerakan indah sekali, dia melompat bangldt
berdiri Sementara begitu gaga! serangannya, Wicana
kembali melesat cepat menyerang Pendekar Rajawali
Sakti. "Ghrauuugkh...!"
"Oh...!"
Rangga jadi terkesiap rnendapat serangan yang
datang begitu cepat. Padahal, pukulannya tadi
dilepaskan dengan pengerahan tenaga dalam
sempurna. Bahkan sudah mencapai pada tingkatan
terakhir. Tapi, bocah kecil itu sama sekali tidak mendapatkan luka. Bahkan kini
sudah menyerang lagi
dengan kecepatan luar biasa.
"Hapts!"
Cepat-cepat Rangga menarik tubuhnya ke kanan,
menghindari terjangan bocah ini. Tapi tanpa diduga
sama sekali, Wicana cepat menghentakkan kaki
kirinya ke dada Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepat
dan tidak terduga sama sekali, sehing-ga Rangga
sama sekali tidak menyadarinya. Dan....
Des! "Akh...!"
Rangga jadi terpekik, begitu kaki kecil Wicana
menghantam telak dadanya. Akibatnya, Pendekar
Rajawali Sakti terbanting keras ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Namun
dengan gerakan cepat dan manis, Rangga bisa bangkit berdiri, walaupun sedikit limbung.
"Ugkh...!"
Rangga jadi mengeluh merasakan dadanya begitu
sesak. Dan pernapasannya juga jadi terganggu.
Sementara Wicana sudah siap hendak menyerang
kembali. Sedangkan Rangga masih berusaha menguasai pernapasannya. Beberapa kali
Pendekar Rajawali Sakti melakukan gerakan-gerakan tangan di
depan dada. Dan begitu jalan pernapasannya kembali
seperti biasa, Wicana sudah melesat cepat bagai kilat
melakukan serangan lagi, sambil mem-perdengarkan
gerungan yang begitu keras dan dahsyat luar biasa.
"Ghrauuugkh...!"
"Hup! Yeaaah...!"
*** 7 Cepat sekali Rangga melenting ke udara, sehingga
terjangan bocah kecil berusia sekitar sepuluh tahun
itu lewat di bawah telapak kakinya. Dua kali tubuhnya
berputaran di udara, kemudian manis sekali
menjejakkan kakinya kembali di tanah. Saat itu,
Wicana sudah memutar tubuhnya berbalik. Dan dia
langsung melesat menyerang lagi dengan kecepatan
dahsyat. "Hup! Hiyaaat..!"
Kembaii Pendekar Rajawali Sakti melenting ke
udara dan berputaran beberapa kali, menghindari
terjangan bocah yang memiliki kekuatan luar biasa
itu. Dan begitu kakinya menjejak tanah lagi, Wicana
sudah menyerang kembali. Rangga juga kembali
melenting ke udara, hingga beberapa kali Wicana
hanya lewat di bawah telapak kakinya. Tindakan
Rangga yang hanya menghindar dan seperti
mempermainkannya, membuat Wicana kelihatan
geram. Dia jadi menggerung-gerung marah dengan
kedua bola mata semakin merah dan liar memandangi Pendekar Ffejawali Sakti yang
kini berdiri tegak sekitar satu batang tombak di depannya.
"Kenapa diam..."! Ayo serang aku, Anak Setan!"'
Rangga sengaja memanasi. Sedangkan Wicana
tampak semakin geram. Namun, sudut matanya
melirik Pandan Wangi yang berdiri agak jauh dan
Pendekar Rajawali Sakti. Dan ternyata, lirikan bocah
itu bisa cepat diketahui Rangga. Maka sebelum
Wicana bisa berbuat sesuatu, cepat sekali Rangga
melompat ke depan Pandan Wangi.
"Kau tidak bisa memanfaatkan gadis ini, Wicana,
Aku tahu, apa yang ada dalam kepalamu," terdengar
sinis nada suara Rangga
"Ghrrr...!"
Wicana hanya bisa menggeram, melihat rencananya memanfaatkan Pandan Wangi bisa
cepat diketahui. Dan periahan kakinya bergeser ke kanan.
Sorot matanya masih terlihat begitu tajam menaiap
langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan Rangga sendiri tidak berkedip memperhatikan setiap gerak bocah lakilaki berusia sekitar
sepuluh tahun itu.
Saat itu, muncul Eyang Bendowo dan Eyang
Rambang bersama murid-muridnya. Mereka segera
menghampiri Pandan Wangi yang berada tidak jauh di
bdakang Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga
hanya melirik sedikit saja kehadiran mereka, tapi
bibirnya terlihat menyunggingkan senyum tipis.
Sementara, Wicana tampak semakin bertambah
geram saja melihat keadaannya semakin tidak
menguntungkan. Terlebih lagi, setelah Eyang
Rambang memerintahkan murid-muridnya untuk
mengepung. Sedangkan seperti sudah diperintahkan,
rumah-rumah di sekitar tempat ini segera
menyalakan pelita. Sehingga, keadaan yang semula
begitu gelap gulita, kini jadi terang benderang oieh
cahaya lampu pelita. Hanya saja, tidak ada seorang
pun penduduk desa ini yang keluar dari dalam rumahnya. Mereka yang menaruh
pelita di beranda, bergegas masuk kembali ke dalam rumah dan mengunci
pintu rapat-rapat.
"Bersiaplah, Eyang. Aku akan menyerangnya," kata
Rangga pelan, terdengar berbisik suaranya.
"Hati-hati, Rangga," bisik Eyang Bendowo
memperingatkan.
Rangga hanya melirik sedikit pada pertapa tua itu.
Dan bibirnya memberi senyuman tipis, seperti
memberi ketenangan pada orang tua berjubah putih
itu. Dan perlahan kakinya terayun mendekati bocah
bertubuh kurus dan berlumur tanah berlumpur ini.
"Ayo, Anak Setan! Lawan aku. Kita bertarung
sampai ada yang mati,,, tantang Rangga memanasi.
"Ghrrr...!"
Wicana menggeram sedikit, dengan sorot mata
terlihat memerah tajam menatap langsung ke bola
mata Pendekar Rajawali Sakti. Dan jarak mereka juga
semakin bertambah dekat saja. Rangga baru berhenti
melangkah, setelah jaraknya tinggal sekitar enam
tindak lagi dan anak kecil itu.
"Bersiaplah, Anak Setan. Hiyaaat...!,,
Sambil berteriak keras, Rangga menghentakkan
tangan kanannya ke depan. Langsung diberikannya
satu pukulan jarak jauh dari jurus 'Pukulan Maut
Paruh Rajawali, disertai pengerahan tenaga dalam
sempurna. Rangga memang tidak mau lagi tanggungtanggung menghadapi anak kecil yang
kemampuannya sangat luar biasa ini. Pendekar Rajawali Sakti
tahu, tubuh Wicana kebal terhadap segala jenis
pukulan dan tendangan yang bertenaga dalam dahsyat sekalipun, Bahkan senjata apa
pun juga tidak akan bisa menembus kulitnya yang kebal. Maka,
pemuda berbaju rompi putih itu tidak lagi merasa
sungkan menghadapinya. Sehingga langsung dilepaskannya satu pukulan dahsyat dari
jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakKir.
"Ghrauuugkh...!"
Wicana cepat melenting ke atas, begitu seleret
cahaya merah meluruk deras ke arahnya. Dan begitu
cahaya merah itu lewat, cepat bagai kilat Wicana
meluruk sambil menjulurkan kedua tangannya ke
depan. Jari-jari tangan yang berkuku runcing hitam
sudah terkembang, mengarah ke leher Pendekar
Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaaah...!"
Namun tenang sekali, Rangga memiringkan
tubuhnya ke kanan. Dan dengan cepat, dilepaskannya satu tendangan keras
menggeledek, disertai
Pendekar Rajawali Sakti 107 Titisan Anak Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengerahan tenaga dalam penuh. Begitu cepat
tendangannya, sehingga Wicana tidak sempat lagi
berkelit. Maka....
Diegkh! Tepat sekali lambung Wicana terkena tendangan
menggeledek bertenaga dalam sempurna dari
Pendekar Rajawali Sakti.
"Ghrauuugkh...!"
Wicana terpental balik ke belakang sambil
menggeram dahsyat. Namun dengan gerakan indah
sekali, bocah berusia sepuluh tahun itu memutar
tubuhnya beberapa kali di udara. Lalu, dia kembali
meluruk deras dengan kedua tangan terjulur ke
depan. Rangga jadi agak terkesiap juga, tapi cpat
menarik kakinya ke kanan. Dan begitu hendak melepaskan pukulan ke dada, tanpa
diduga sama sekali
Wicana meliukkan tubuhnya di udara. Lalu begitu
cepat tangan kirinya dikebutkan ke samping.
"Heh..."!"
Rangga jadi tersentak kaget setengah mati. Cepatcepat tubuhnya dibuang ke tanah,
menghindari kibasan tangan kiri bocah itu. Dan tubuhnya langsung
bergulingan beberapa kali di tanah. Tapi begitu
melesat bangkit berdiri, Wicana sudah kembali
mengibaskan tangannya ke dada Pendekar Rajawali
Sakti. Akibatnya pemuda berbaju rompi putih ini jadi
terbelalak matanya.
"Haiiit..!"
Cepat-cepat Rangga rfisaompat ke belakang,
menghindari serangan yang begitu cepat dan sulit
diduga. Sementara, Wicana terus mengejar sambil
cepat mengebutkan kedua tangannya mengarah
bagian-bagian tubuh Rangga yang mematikan.
"Edan! Hih...!"
Rangga tidak dapat lagi terus-menerus berlompatan menghindar. Begitu tangan
kanan Wicana bergerak mengibas ke dada, cepat sekali tangan
kirinya menghentak. Langsung ditangkisnya kibasan
tangan kecil yang berlumpur tanah in.
Tak "Ikh...!"
Rangga jadi terpekik kaget setengah mati, begitu
tangannya beradu dengan tangan kecil bocah ini.
Sungguh tidak disangka kalau tangan kurus dan
kelihatan lemah itu bagaikan sebatang besi baja yang
teramat kuat Dan akibatnya, tulang-tulang tangannya
bagai terasa remuk. Begitu nyeri rasanya. Maka,
Rangga cepat-cepat menarik tangannya kembali, lalu
melompat ke belakang dua langkah. Tapi pada saat
itu, Wicana sudah melompat sambil melepaskan satu
tendangan yang begitu cepat dan menggeledek!
"Kakang, awaaas...!" teriak Pandan Wangi
memperingatkan.
"Upts...!"
Cepat-cepat Rangga membanting tubuhnya ke
tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Dan dengan
cepat pula, tubuhnya melenting ke udara. Setelah
berputaran beberapa kali, kakinya menjejak manis
sekali di tanah. Namun tepat pada saat itu, Wicana
sudah meluruk deras dengan kedua tangan yang
berkuku runcing bagai mata pisau mengarah lurus ke
depan, ke leher Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, kali ini
Rangga tidak bermaksud menghindarinya. Dia tetap
berdiri tegak menanti, dengan sorot mata begitu
tajam memperhatikan
jari-jari tangan yang mengembang kaku mengancam batang leher.
"Oh..."!"
"Edah! Kenapa dia tidak menghindar...?"
Mereka yang menyaksikan jadi terkesiap, tidak
mengerti apa yang dilakukan Pendekar Rajawali
Sakti. Padahal, jelas sekali mereka melihat kalau
Rangga tadi jatuh bangun menghadapi titisan anak
setan ini. Sementara, Wicana sudah semakin dekat
saja jaraknya. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri
tegak menanti. "Ghrauuugkh...!"
"Hap! Hiyaaa...!"
*** Tepat ketika jari-jari tangan Wicana yang hitam dan
runcing itu berada di depan tenggorokannya,
Pendekar Rajawali Sakti cepat memiringkan kepala
ke kanan. Dan seketika itu juga, kedua tangannya
menghentak ke depan, memberi sodokan keras disertai pengerahan tenaga dalam
sempurna. Begitu
cepat hentakan tangannya sehingga Wicana tidak
sempat lagi menghindarinya. Dan ...
Plak! "Aaargkh...!"
Wicana meraung keras dan tubuhnya kontan
terpental jauh ke belakang, begitu dadanya telak
sekali mendapat hentakan kedua telapak tangan
Pendekar Rajawali Sakti. Dan selagi tubuh bocah
kecil itu melayang di udara, dengan kecepatan
dahsyat Rangga melesat mengejar sambil melepaskan satu pukulan yang begitu keras
disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
"Hiyaaat..!"
Duk! Kembali Wicana memekik keras. Dan tubuhnya
kontan terpental tinggi ke angkasa. Sementara,
Rangga sudah menjejakkan kakinya kambali ke
tanah. Cepat kedua telapak tangannya dirapatkan di
depan dada, lalu tubuhnya dimiringkan sedikit ke
kanan dan cepat ditarik kembali ke kiri. Kemudian,
dia kembali berdiri tegak dengan kedua telapak
tangan masih merapat di depan dada. Tampak
semburat cahaya biru memancar di antara kedua
telapak tangannya.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...," desis Pandan Wangi
langsung bisa mengenali gerakan Pendekar Rajawali
Sakti. Sementara, Wicana sudah mulai menukik deras ke
bawah setelah berputaran beberapa kali di udara.
Dan pada saat itu, Rangga berdiri tegak memandang
ke atas, lalu....
"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!" Sambil
berteriak keras menggelegar Rangga menghentakkan
kedua tangannya ke atas kepala, tepat mengarah ke
tubuh kecil yang meluruk deras di atas kepalanya.
Dan seketika itu juga, dari kedua telapak tangannya
melesat sinar biru yang terang menyilaukan mata.
Begitu cepat sinar biru itu meluruk, hingga Wicana
tidak sempat lagi menghindarinya.
Ras! "Ghrauuugkh...!"
Raungan keras seketika terdengar menggelepar di
angkasa, begitu tubuh bocah kecil itu terhantam
cahaya biru yang keluar dari kedua telapak tangan
Pendekar Rajawali Sakti. Tapi Wicana terus mehincur
turun dengan deras, lalu manis sekali menjejakkan
kakinya di tanah. Dia mendarat, tepat sekitar lima
langkah lagi di depan pemuda berbaju rompi putih ini.
Meskipun seluruh tubuhnya terselimut cahaya biru,
tapi Wicana masih mampu mengendalikan duri, dan
bisa mendarat manis sekali di tanah.
Sementara, Pendekar Rajawali Sakti terus
mengerahkan aji kesaktiannya yang dahsyat itu.
Cahaya biru yang memancar keluar dari kedua
telapak tangannya semakin banyak menggumpal
menyelimuti tubuh kecil bocah laki-laki itu. Tapi tibatiba saja....
"Ghraaauuugkh...!"
Glarrr...! "Akh...!"
"Oh,.."!"
"Kakang...!"
Pandan Wangi jadi menjerit,
begitu melihat Rangga terpental ke belakang sambil memekik keras
agak tertahan. Sementara, Wicana terlihat berdiri
tegak dengan kedua tangan terangkat tinggi ke atas
kepala. Sedangkan cahaya biru dari aji 'Cakra Buana
Sukma' sudah lenyap seketika. Tampak Rangga
terbanting keras ke tanah, dan bergulingan beberapa
kali. Sebatang pohon yang terlanda tubuhnya
seketika hancur berkeping-keping!
"Ugkh...!"
Begitu berhenti, dari mulut Pendekar Rajawali
Sakti menyembur darah kental berwarna agak kehitaman. Dengan tubuh yang limbung,
Rangga berusaha bangkit berdiri. Sementara, Pandan Wangi
yang mau memburu sudah dicegah Eyang Bendowo.
Laki-laki tua itu cepat mencekal pergelangan tangan
si Kipas Maut ini.
"Jangan..."
Pandan Wangi jadi serba salah. Gadis itu melihat
Rangga terhuyung-huyung sambil menyeka darah di
mulut dengan punggung tangan. Sementara, Wicana
sudah bersiap menyerang lagi. Bocah itu melakukan
beberapa gerakan kedua tangan, dan kakinya
bergerak menggeser cepat menyusur tanah ke arah
kanan. Dan.... "Ghrauuugkh...!"
Sambil meraung dahsyat, bocah kecil berusia
sekitar sepuluh tahun itu melesat cepat bagai kilat
menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Sementara itu
Rangga masih berusaha menyeimbangkan keadaan
tubuhnya. Sehingga, dia tidak punya kesempatan
lebih banyak lagi, karena Wicana sudah menyerang
cepat dan sulit dukuti pandangan mata biasa.
"Hih!"
Sret! Cring! Cepat-cepat Rangga meloloskan pedang pusakanya. Maka seketika itu juga cahaya biru berkilauan menyemburat dan mata
Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Lalu dengan cepat pula pedangnya dikebutkan ke depan, tepat di
saat tubuh kecil kurus itu
berada dekat di depannya. Dan....
Cras! "Aaargkh...!"
Wicana jadi menjerit keras, begitu ujung mata
pedang yang memancarkan cahaya biru itu menebas
tepat di dadanya. Akibatnya, Wicana terpental balik
ke belakang dan jatuh bergulingan beberapa kali di
tanah. Sementara, Rangga cepat-cepat melakukan
gerakan-gerakan indah dengan pedang di tangan
kanan. "Hih!"
Baru saja Pendekar Rajawali Sakti hendak
menyerang, tiba-tiba saja....
"Rangga, tahan...!"
Rangga menahan langkah kakinya, begitu
terdengar bentakan Eyang Bendowo. Dan begitu
berpaling, laki-laki tua berjubah putih itu sudah
melesat ke depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Sekarang bagianku," ujar Eyang Bendowo.
"Hm.... Hati-hati, Eyang," ucap Rangga agak
menggumam. "Menyingkirlah. Kau pasti terluka dalam," kata
Eyang Bendowo tanpa melirik sedikit pun juga.
Cring! Rangga kembali memasukkan Pedang Pusaka
Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung. Maka
cahaya biru yang memancar dan pedang itu seketika
lenyap dan pandangan. Pandan Wangi bergegas
menghampiri Pendekar Rajawaii Sakti.
"Kau terluka, Kakang...?" terdengar cemas nada
suara Pandan Wangi. "Sedikit," sahut Rangga.
Sementara itu, Eyang Bendowo sudah melangkah
mendekati Wicana yang masih merintih menahan
sakit pada dadanya. Tampak dada yang kurus itu
terbelah, mengucurkan darah berwarna agak
kehitaman. Rupanya, Pedang Pusaka Rajawali Sakti
mampu juga merobek tubuh anak setan itu.
8 "Saatmu sudah tiba, Wicana. Jangan kau rusak
dirimu semakin parah. Kembalilah ke asalmu," terasa
begitu dingin nada suara Eyang Bendowo.
"Tidak, Eyang. Tidak seorang pun bisa membunuhku. Aku akan tetap hidup...,"
tegas Wicana. Suara bocah itu kali ini terdengar jelas bukan suara
anak kecil. Jelas, suara itu adalah suara orang
dewasa yang sudah terluka cukup parah. Beberapa
pukulan dan tendangan keras bertenaga dalam tinggi
yang diterima memang membuat keadaan dirinya
semakin memburuk. Terlebih lagi, luka yang
menganga di dadanya akibat tebasan pedang pusaka
Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga, keadaannya
semakin bertambah lemah saja. Tapi itu bukan
berarti Wicana bisa mudah ditaklukkan. Buktinya
kegarangannya masih terlihat jelas pada sorot
matanya yang tajam.
"Kembali, Wicana. Aku akan memaafkan semua
kesalahanmu. Tidak ada gunanya terus bertahan
seperti itu. Kau akan bertambah parah dan menyiksa
diri sendiri," kata Eyang Bendowo terus membujuk.
Pendekar Rajawali Sakti 107 Titisan Anak Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak.... Aku tidak akan takluk pada siapa pun.
Juga kau, Eyang. Maaf, aku harus membunuh...!"
deas Wicana dingin menggetarkan.
"Sadarlah, Wicana...."
"Kau harus mati, Eyang. Mati...! Hiyaaat..!" Sambii
berteriak keras menggelegar, Wicana melompat
menerjang laki-laki tua berjubah putih itu. Sementara,
Eyang Bendowo sendiri masih tetap berdiri tegak. Dan
begitu Wicana sudah dekat, cepat tangan kanannya
dikeluarkan yang sejak tadi berada dalam lipatan
jubahnya. Maka seketika itu juga, sebuah benda
berwarna hijau berbentuk segitiga sudah tergenggam
dalam telapak tangan kanannya.
"Akh...!"
Wicana jadi terpekik, melihat benda yang memancarkan cahaya hijau di tangan
Eyang Bendowo. Cepat-cepat dia melompat ke belakang sejauh satu
batang tombak dan menutupi matanya dengan kedua
tangannya. Sementara, Eyang Bendowo segera
melangkah mendekati perlahan-lahan.
"Kembali ke asalmu, Wicana. Tidak ada gunanya
terus bertahan...," ujar Eyang Bendowo terus
membujuk. "Tidak! Hiyaaat...!"
Wicana rupanya sudah tidak mau lagi menuruti
kata-kata gurunya ini. Tubuhnya langsung melompat,
tanpa mempedulikan laki-laki tua yang sudah
memegang sebuah benda. Padahal, benda itu menjadi kematian bagi dirinya! Sambil
berteriak keras
menggelegar, Wicana kembali melompat dengan
kecepatan kilat menerjang pertapa tua ini.
"Hih!"
Eyang Bendowo segera mengebutkan tangan
kanannya yang memegang benda bercahaya
kehijauan itu, dan langsung diarahkan ke dada bocah
berusia sekitar sepuluh tahun ini.
Namun dengan gerakan indah sekali, Wicana
meliukkan tubuhnya menghindari kibasan tangan
kanan pertapa tua ini. Dan tanpa diduga sama sekali
tangannya dikibaskan cepat bagai kilat. Langsung
disambarnya perut Eyang Bendowo. Begitu cepat
gerakannya, sehingga Eyang Bendowo tidak sempat
lagi menghindarinya. Dan....
Bret! "Akh...!"
Eyang Bendowo terpekik, begitu jari-jari tangan
Wicana yang berkuku runcing merobek perutnya.
Akibatnya, tubuh orang tua itu terhuyung-huyung ke
belakang, sambil memegang perutnya yang robek
terkoyak. Darah segar kontan mengucur membasahi
jubah putihnya. Saat itu juga, Wicana terlihat melesat
sambil meraung keras bagai seekor binatang buas
yang teriuka. "Ghrauuugkh...!"
Begkh! Kaki kanan Wicana telak menghantam dada Eyang
Bendowo dengan keras sekali. Akibatnya, laki-laki
pertapa tua itu menjerit dan kontan terpental deras
ke belakang. Sedangkan benda bercahaya hijau yang
tergenggam di tangan kanannya teriempar tinggi ke
angkasa. "Ghraugkh...!"
Sambil menggerung keras, Wicana melesat ke
angkasa. Cepat dikejarnya benda cahaya hijau yang
sangat ditakuti ini. Memang, hanya benda itu saja
yang mampu melenyapkan kehidupan. Tapi di saat
yang bersamaan, Rangga telah melenting mengejar
disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang
sudah sangat sempurna.
"Hiyaaat..!"
Tepat ketika berada di depan Wicana, dengan
kecepatan bagai kilat Pendekar Rajawali Sakti
menghentakkan kaki kanannya. Langsung diberikannya satu tendangan yang begitu
keras, disertai
pengerahan tenaga dalam sempurna.
"Yeaaah...!"
Tendangan yang sangat cepat dan tidak terduga
itu, tidak dapat lagi dihindari Wicana. Bocah laki-laki
berusia sekitar sepuluh tahun ini kontan meraung
keras. Akibatnya, tubuhnya terpental jauh ke
belakang. Sementara, Rangga terus meluncur tinggi
ke angkasa, mengejar benda bercahaya kehijauan
yang melayang di angkasa. Dan begitu berhasil
menggapainya, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti
meluruk turun. "Hap!"
Dengan gerakan indah sekali. Rangga menjejakkan kakinya kembali ke tanah. Dan
saat yang bersamaan, Wicana juga mendarat ringan sekali di
tanah. Namun Rangga yang sudah menggenggam
benda kematian titisan anak setan itu, cepat sekali
melesat sambil mengibaskan tangan kanannya ke
arah kepala. "Hiyaaat...!"
"Ghm..!"
Wicana cepat menggerakkan kepalanya, hingga
kibasan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti tidak
sampai mengenainya. Dan tanpa dapat dilihat mata
biasa, kaki kirinya dihentakkan, tepat ke perut
pemuda berbaju rompi putih itu.
"Haiiit...!"
Namun, Rangga sudah lebih waspada menghadapi
bocah kecil yang memiliki kekuatan luar biasa ini.
Maka dengan manis sekali tubuhnya mengegos
menghindari tendangan yang sangat keras ini. Lalu
cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang sejauh tiga
langkah. Tapi, Wicana tidak mau melepaskan begitu
saja. Sambil menggerung dahsyat, dia melompat dan
melepaskan satu pukulan keras ke arah dada.
"Ghraugkh!"
"Hap!"
Rangga yang sudah tahu kekuatan bocah ini, tidak
mau lagi mengambil bahaya. Cepat-cepat dia
melompat ke samping. Kemudian kaki kirinya cepat
dihentakkan sambil miring ke kanan dengan kecepatan penuh dan disertai
pengerahan tenaga dalam
sempurna. "Yeaaah...!"
*** "Ghrrr...!"
Sungguh sukar dipercaya, karena Wicana tidak
berusaha menghindari sedikit pun juga. Bahkan dadanya yang berlumuran darah
dibuka, membuat semua
orang yang menyaksikan pertarungan jadi tersentak
kaget setengah mau. Malah, Rangga juga tidak bisa
lagi menguasai tendangannya yang sudah terhentak
begitu cepat. Hingga....
Des! "Akh...!"
Tepat ketika telapak kaki Rangga menghantam
dada Wicana, tiba- tiba saja dada itu memancarkan
cahaya merah yang membuat seluruh tulang kaki
Pendekar Rajawali Sakti jadi nyeri seperti remuk. Dan
seketika itu juga, tubuh Rangga teriempar ke
belakang, lalu terbanting keras sekali di tanah.
"Lemparkan mustika itu,
Rangga...!" teriak
Eyang Bendowo tiba-tiba.
Tapi belum juga Rangga bisa berbuat sesuatu,
seluruh tubuh Wicana tampak memancarkan cahaya
merah. Dan tubuh bocah yang tadi kecil ini, cepat
sekali berubah menjadi besar. Bahkan besarnya
melebihi menusia biasa. Dan wajahnya juga berubah
begitu mengerikan, seperti seekor serigala hutan
yang liar dan ganas. Dari moncongnya menetes air
liur yang kental dan menyebarkan bau busuk memualkan.
"Ghraaauuugkh...!"
Perubahan itu membuat mereka semua yang ada
di tempat pertarungan ini jadi terlongong bengong.
Sementara, Eyang Bendowo yang tidak sabar melihat
Rangga hanya terpaku memandangi makhluk raksasa
berwajah serigala itu cepat melompat mendekati
Pendekar Rajawali Sakti.
"Hih!"
Begitu bisa merampas benda mustika berbentuk
segitiga yang bercahaya kehijauan dari tangan
Pendekar Rajawali Sakti, secepat kilat Eyang
Bendowo melompat menerjang makhluk raksasa berbentuk setengah manusia dan
setengah serigala itu.
"Hiyaaat...!"
"Ghrauuugkh...!"
Namun, makhluk serigala raksasa itu hanya
mengibaskan tangan kanannya saja sambil menggerung dahsyat Sementara, Eyang
Bendowo yang tidak menyangka sama sekali tidak sempat lagi
menghindarinya. Maka tangan yang besar dan berbulu dengan jari-jari berkuku-kuku
runcing itu keras
sekali menghantam dadanya. Bahkan kuku-kuku
runcing dan hitam itu langsung mengoyak dada lakilaki pertapa tua ini.
Bret! "Akh...!"
"Eyang...!"
"Keparat..! Kubunuh kau, Setan! Hiyaaat....!"
Rangga jadi geram setengah mati melihat
keganasan makhluk ini. Sambil berteriak keras
menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti melompat
disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang
sempurna. Langsung dilepaskannya satu pukulan
menggeledek yang begitu keras, sambil mengerahkan
kekuatan tenaga dalam sempurna. Begitu cepat
serangannya, sehingga makhluk setengah manusia
dan serigala itu tidak dapat lagi berkelit menghindarinya. Akibatnya, pukulan
Rangga tepat dan
keras menghantam dadanya!
Der! "Aaargkh...!"
Namun, makhluk ganas itu kelihatan masih
mampu bertahan. Tubuh yang hanya terjajar
beberapa langkah, dan langsung menyerang kembali.
"Hup!"
Rangga cepat-cepat melenting ke belakang dan
berputaran dua kali, saat tangan kanan makhluk
setengah serigala itu mengibas ke depan. Lalu,
Pendekar Rajawali Sakti mendarat di sebelah Eyang
Bendowo yang terduduk sambil mengatur pernapasannya. Tampak darah mengucur deras
sekali dari dadanya yang terkoyak.
"Jangan beri kesempatan dia lari, Rangga. Itulah
ujud aslinya. Kita harus segera mengenyahkan,
sebelum dia menghancurkan seluruh jagat ini," kata
Eyang Bendowo tersengat.
"Baik, Eyang," sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti melangkah beberapa
tindak ke depan. Lalu....
"Hiyaaat...!"
Sret! Rangga yang sudah tidak mau tanggung-tanggung
lagi, langsung saja mencabut pedang pusakanya.
Lalu, Pendekar Rajawali Sakti berlarian mempergunakan jurus 'Seribu Rajawali',
mengelilingi makhluk berwajah serigala dengan seluruh tubuh
berbulu hitam ini. Begitu cepat gerakannya sehingga
seakan-akan Pendekar Rajawali Sakti menjadi seribu
orang jumlahnya.
"Hiya! Hiya! Hiyaaat...!"
Teriakan-teriakan Pendekar Rajawali Sakti juga
jadi membahana bagai berada di sekelilingi tempat
ini, membuat semua orang yang menyaksikan jadi
kebingungan. Bahkan makhluk berwajah serigala itu
juga keihatan bingung menghadapi jurus 'Seribu
Rajawali' yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti.
Di saat itu, Rangga tiba-tiba saja melesat cepat
bagai kilat dari arah samping kiri. Langsung pedang
pusakanya yang memancarkan cahaya biru berkilauan ditebaskan ke leher makhluk
berwajah serigala ini. "Yeaaah...!"
Bet! Cras! "Aaargkh...!"
Makhluk raksasa berwajah serigala itu meraung
keras, begitu pedang Rangga menebas lehernya. Dan
belum lagi bisa berbuat sesuatu, Rangga sudah cepat
sekali berpindah. Dan pedangnya langsung dihujamkan ke perut Wicana. Gerakan
yang dilakukan dari jurus 'Seribu Rajawali' ini memang sangat
membingungkan. Rangga bisa berpindah cepat luar
biasa, hingga sulit bisa diduga dan diikuti pandangan
mata biasa. Bahkan mereka yang sudah memiliki
kepandaian tingkat tinggi pun masih sulit mengikuti
arah gerakannya. Hingga, Pendekar Rajawali Sakti
benar-benar seperti menjadi seribu orang jumlahnya.
Bres! "Aaargkh...!"
Kembali terdengar raungan yang sangat keras,
begitu ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti
Pendekar Rajawali Sakti 107 Titisan Anak Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghujam begitu dalam ke perut makhluk berwajah
serigala ini. Saat itu juga, Rangga sudah berpindah
lagi ke belakang. Dan kembali pedangnya ditebaskan
kuat-kuat ke punggung Wicana. Darah pun berhamburan keluar dari tubuh yang sudah
begitu banyak tertembus pedang pusaka Pendekar Rajawali
Sakti. Tapi, makhluk berwajah serigala dengan tubuh
ditumbuhi bulu hitam ini masih tetap berdiri tegar,
seperti tidak terpengaruh oleh luka-luka di tubuhnya
yang terus mengucurkan darah. Bahkan semakin
bertambah ganas saja, menggerung-gerung sambil
mengibaskan kedua tangan dengan gerakan tubuh
berputar. Sementara, Rangga tenis menggunakan
jurus 'Seribu Rajawali' sambil membabatkan
pedangnya berulang-ulang. Entah sudah berapa
sabetan dan hujaman pedang bercahaya biru itu, tapi
makhluk berwajah serigala ini masih tetap saja tegar.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Eyang Bendowo melompat cepat
bagai kilat, masuk ke dalam pertarungan. Tindakannya begitu tiba-tiba, membuat
Rangga jadi tersentak
kaget. Cepat-cepat serangannya dihentikan dan
melompat ke belakang dua langkah. Dan pada saat
itu, Eyang Bendowo menghantamkan tangan kanannya yang menggenggam batu mustika
berbentuk segitiga dan bercahaya hijau itu ke kepala makhluk
berwajah serigala ini, tepat pada bagian kening.
Prak! "Aaargkh...!"
Makhluk raksasa berwajah serigala kontan meraung keras sambil mengibaskan tangan
kanannya ke depan dengan keras. Langsung dihajarnya tubuh
Eyang Bendowo. Akibatnya, tubuh orang tua itu
kontan terpental ke belakang.
"Akh...!"
"Eyang...!"
Rangga jadi terpekik, dan cepat-cepat menghampiri Eyang Bendowo yang tergeletak
di tanah dengan napas tersengal memburu. Sementara,
makhluk berwajah serigala itu terus meraung-raung
keras sambil menutupi wajah dengan kedua tangannya yang besar dan berbulu. Dan
tubuhnya jatuh tersungkur ke tanah sambil terus menggerung-gerung
seperti kesakitan.
Namun, keanehan tiba-tiba saja terjadi. Seluruh
tubuh makhluk berbentuk serigala setengah manusia
itu tiba-tiba saja berselubung cahaya hijau. Dan
perlahan-lahan, tubuhnya mengecil hingga sebesar
anak kecil berusia sepuluh tahun. Seluruh bulu di
tubuhnya juga menghilang perlahan-lahan. Dan wajah
yang tadi berbentuk seperti serigala, berangsurangsur berubah menjadi wajah
seorang anak kecil
berusia sepuluh tahun kembali.
"Ohhh...!"
Bocah berusia sekitar sepuluh tahun yang tidak
mengenakan baju itu merintih lirih, lalu menggeletak
diam tidak bergerak-gierak lagi. Mati! Tampak batu
berbentuk segitiga yang bercahaya kehijauan
menempel erat, tepat di keningnya. Sementara Eyang
Bendowo yang kini sudah bisa berdiri lagi, melangkah
tertahan menghampiri bocah itu. Sebentar
diperhatikannya mayat bocah itu, kemudian berlutut
di sampingnya. Diambilnya batu bercahaya kehijauan
itu dari kening anak kecil ini. Sementara, Rangga
hanya memperhatikan saja dari belakang.
"Maafkan aku, Wicana. Terpaksa aku harus
membunuhmu...,,, ucap Eyang Bendowo lirih. "Dan
kau, Bocah. Siapa pun kau, aku sangat menyesal atas
kejadian semua ini. Tubuhmu telah menjadi wadah
roh muridku yang sesat Tapi, roh itu pun juga telah
kembali ke asalnya. Kalau saja bisa, aku pasti akan
menyelamatkanmu."
Sunyi sekali keadaan di sekeliting tempat ini. Tidak
ada seorang pun yang bersuara. Rangga yang berdiri
di belakang Eyang Bendowo memalingkan wajah
sedikit, saat mendengar langkah-langkah kaki
menghampiri. Tampak Pandan Wangi dan Eyang
Rambang melangkah cepat menghampiri, dan berdiri
di samping kanan dan kiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Eyang, sebaiknya kita makamkan saja anak ini,"
kata Rangga sambil menepuk pundak pertapa tua itu.
Perlahan Eyang Bendowo bangkit berdiri sambil
memondong tubuh bocah itu. Tubuhnya lalu berbalik
perlahan-lahan, dan kini berhadapan langsung
dengan Pendekar Rajawali Sakti.
"Akan kubawa anak ini ke pertapaan," kata Eyang
Bendowo. "Jauh pertapaanmu, Eyang?" tanya Eyang
Rambang. Tapi Eyang Bendowo hanya tersenyum tipis saja,
kemudian memutar tubuhnya perlahan. Dan dia terus
melangkah sambil memondong tubuh bocah yang
kurus itu. Kini tinggal Eyang Rambang, Rangga, dan
Pandan Wangi yang berdiri mematung memandangi.
Sementara, malam terus merambat semakin larut
saja. Periahan-lahan bayangan tubuh Eyang Bendowo
menghilang ditelan gelapnya malam. Saat itu, rumahrumah di sekitar tempat
pertarungan yang seperti
lapangan ini mulai bermunculan orang-orang yang
sejak tadi bersembunyi. Dan sebentar saja, sudah
banyak orang yang keluar dari dalam rumah masingmasing.
Namun mereka hanya memandangi Pendekar
Rajawali Sakti yang didampingi Pandan Wangi dan
Eyang Rambang. Tidak ada seorang pun yang berani
mendekati. Mereka semua memang telah melihat
pertarungan yang sangat dahsyat tadi. Entah kenapa
mereka jadi merasa begitu segan terhadap pemuda
berbaju rompi putih ini. Sedangkan Rangga sendiri
terus memandang ke arah kepergian Eyang Bendowo,
walaupun bayangan tubuh pertapa tua itu sudah tidak
terlihat lagi. "Kakang ...," tegur Pandan Wangi sambil
menyentuh sedikit pergelangan tangan Pendekar
Rajawali Sakti.
Rangga berpaling sedikit menatap gadis yang
berada di sebelahnya ini. Kemudian tatapannya
beralih, berpaling lagi memandang pada Eyang
Rambang. "Orang-orang semakin banyak. Sebaiknya kembali
saja ke rumahku dulu," ajak Eyang Rambang.
Tanpa bicara lagi, mereka segera melangkah
meninggalkan lapangan yang tidak begitu luas ini.
Sementara, semua penduduk Desa Marong mulai
menampakkan kegembiraannya. Dan malam yang
semula terasa dingin, seketika berubah hangat oleh
banyaknya orang berarak mengiringi Eyang Rambang
dan sepasang pendekar muda dari Karang Setra yang
berjalan dikawal murid-murid Eyang Rambang.
Mereka mulai mengelu-elukan, membuat keadaan
yang semula sunyi kini jadi gegap gempita dan
semarak. Namun, baik Rangga maupun Eyang
Rambang, tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Mereka
terus saja berjalan menuju rumah Eyang Rambang.
Selesai Pendekar Remaja 5 Dewi Sri Tanjung 1 Jasa Susu Harimau Pendekar Latah 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama