Ceritasilat Novel Online

Memburu Pengkhianat 1

Pendekar Rajawali Sakti 117 Memburu Pengkhianat Bagian 1


. 117. Memburu Pengkhianat Bag. 1
29. August 2014 um 09:49
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: MEMBURU PENGKHIANAT
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 ? Siang ini matahari bersinar begitu terik, mem-buat udara di seluruh wilayah Kerajaan Pakuan terasa begitu panas menyengat. Namun panasnya sengatan cahaya matahari, tidak menghalangi seorang pemuda tampan berbaju rompi putih terus memacu cepat kudanya menerobos hutan yang tidak begitu lebat ini. Dan lari kudanya baru dihentikan setelah terlihat sebuah pondok kecil yang begitu kumuh tidak jauh lagi di depannya.
"Hup!"
Ringan sekali pemuda itu melompat turun dari punggung kuda hitam tunggangannya ini. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, hingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak tanah. Sebentar dia berdiri tegak dengan pandangan lurus tertuju ke pondok kecil tidak jauh di depannya.
"Kau tunggu di sini saja, Dewa Bayu," ujar pemuda itu seraya menepuk lembut leher kuda hitam tunggangannya.
Kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu ha-nya menganggukkan kepala sambil memperdengarkan suara mendengus kecil. Beberapa langkah binatang itu ke belakang menjauhi pemuda yang tak lain Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan pemuda itu sendiri pun berdiri tegak dengan pandangan lurus tidak berkedip ke depan. Dia tahu, pondok itu yang didatangi Panglima Widura beberapa waktu lalu. Bahkan bertepatan dengan munculnya Nyai Wisanggeni ke padepokan Ki Jumir. Dan akibatnya orang tua itu tewas. Sementara Pandan Wangi terluka parah (Untuk lebih jelasnya, baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode "Datuk Muka Hitam").
Kini perlahan lahan Pendekar Rajawali Sakti mulai mengayunkan kakinya mendekati pondok kecil yang kelihatannya sudah hampir roboh tidak terawat lagi.
"Hm... Pondok ini sepertinya masih saja tetap kosong," gumam Rangga perlahan.
Semakin dekat jaraknya dengan pondok kecil di tengah hutan ini, semakin tajam sorot mata Pendekar Rajawali Sakti mengawasi. Dan sejenak langkahnya terhenti. Pendengarannya yang memang tajam langsung dipasang dengan mempergunakan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Sebuah ilmu yang membuat telinga Pendekar Rajawali Saktj jadi semakin tajam. Begitu tajamnya, sampai suara semut jatuh dari pohon pun bisa terdengar. Kini Rangga mengarahkan pendengarannya ke pondok kecil di depan itu. Tapi tetap saja tidak mendengar adanya tarikan napas kehidupan sedikit pun juga. Pendekar Rajawali Sakti kembali mengayunkan kakinya perlahan-lahan semakin mendekati pondok kecil ini. Dan sikapnya pun semakin waspada.
"Hm..."
Namun baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak saja ayunan kakinya terhenti disertai terdengamya suara menggumam perlahan. Dan belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa berpikir lebih jauh lagi, mendadak saja....
Slap! "Hup!"
Cepat Rangga melenting berputar ke belakang, begitu tiba-tiba dari dalam pondok meluncur se-batang tombak yang cukup panjang ukurannya. Tombak itu melesat lewat di dalam lingkaran tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Hap!"
Ringan sekali Rangga menjejakkan kakinya kembali ke tanah. Matanya sedikit melirik ke arah tombak yang sudah terbenam begitu dalam ke ba-tang pohon tidak jauh di samping kanannya. Kemudian, perhatiannya cepat beralih ke pondok kecil di depannya kembali.
"Hm.... Agaknya dia memiliki kepandaian yang tidak rendah. Aku harus hati-hati menghadapinya," gumam Rangga dalam hati.
Rangga mengambil sepotong ranting kering di ujung kakinya. Dipandanginya sesaat ranting sepanjang dua jengkal itu. Kemudian pandangannya beralih lurus ke arah jendela pondok bagian depan yang terbuka cukup lebar. Dari jendela itulah tombak datang menyerangnya tadi.
"Hih!"
Sambil mengerahkan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkatan kesempurnaan, Rangga melemparkan ranting kering itu tepat ke arah jendela yang terbuka cukup lebar. Ranting kering sepanjang dua jengkal itu melesat cepat bagai kilat, seperti sebatang anak panah lepas dari busur. Begitu cepat, sehingga sulit diikuti pandangan mata biasa.
Slap! Ranting itu menerobos masuk ke dalam pondok melalui jendela yang sedikit terbuka. Tapi, tidak terdengar suara apa pun dari dalam pondok itu. Kecuali, suara seperti sebatang anak panah yang menghujam menghantam tonggak kayu.
"Hup!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat melesat ke arah pondok itu. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga hanya sekali melesat saja, dia sudah sampai di depan pintu pondok itu. Dan....
"Yeaaah...!"
Brak! Sekali tendang saja, pintu pondok yang terbuat dari papan kayu dan sudah lapuk itu hancur berkeping-keping. Dan pada saat itu juga. Pendekar Rajawali Sakti melesat masuk ke dalam. Namun begitu kakinya menjejak lantai pondok yang hanya dari tanah keras itu, seketika..
Wusss! Slap! "Heh..."! Hup!"
Cepat Rangga melenting ke belakang, kembali ke luar begitu tiba-tjba diserang puluhan anak panah di dalam pondok kecil ini. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara, kemudian dengan gerakan indah dan ringan kakinya kembali menjejak tanah.
"Hhh!"
Rangga menghembuskan napas pendek yang terasa begitu berat, setelah berada di luar pondok. Kelopak matanya jadi menyipit. melihat keadaan di dalam pondok yang begitu sunyi, tidak terlihat seorang pun di sana. Tapi, nyatanya dia sudah mendapat serangan dua kali.
"Hm.... Mungkinkah pondok ini dipasangi perangkap...?" gumam Rangga bertanya pada diri sendiri.
Memang, sepertinya pondok kecil dan reot yang sudah hampir roboh itu dipasangi begitu ba-nyak perangkap yang tidak bisa diduga sama sekali. Dan ini membuat Rangga jadi penasaran, dengan segudang pertanyaan berkecamuk dalam kepalanya. Padahal waktu itu tidak dijumpai adanya satu jebakan pun di pondok ini. Tapi sekarang, pondok itu jadi sulit didekati.
"Baiklah.... Kau boleh mencobaku, Nyai Wi-sanggeni," desis Rangga dingin.
Sebentar Rangga mengetatkan ikat kepalanya. Pandangan matanya terus tertuju tajam pada pondok kecil di depannya. Sejenak dia terdiam meman-dangi pondok itu. Kemudian, kakinya mulai terayun mendekati. Begitu ringan ayunan langkahnya, hingga sedikit pun tidak ada suara yang ditambulkan.
Rangga memungut serpihan papan kayu pintu, kemudian melemparkannya ke dalam. Dan pada saat itu juga, terlihat puluhan batang anak panah berhamburan keluar dari dinding pondok, meng-hujani serpihan papan kayu itu.
"Hup!"
Rangga cepat melompat ke depan pintu. Dan seketika pula kedua bola matanya jadi terbeliak lebar. Hampir tidak dipercayai dengan apa yang ada di depan matanya saat ini. Seluruh dinding bagian dalam pondok itu sudah terpasang puluhan batang anak panah yang siap terlontar. Bahkan tidak terhitung, berapa jumlah tombak yang terpasang dan siap melesat memangsa siapa saja yang berusaha mendekati pondok ini.
"Gila...! Benar-benar hebat perempuan itu membuat jebakan," desis Rangga hampir tidak percaya.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah ke belakang. Kemudian"
"Aku harus menghancurkan pondok ini. Hih! Hiyaaa...!"
? *** ? Tepat di saat kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti menghentak ke depan, seketika itu juga dari kedua telapaknya meluncur cahaya merah bagai api yang begitu cepat bagai kilat.
Glarrr! Satu ledakan yang begitu dahsyat tiba-tiba terjadi, menghancurkan pondok kecil di dalam hutan ini. Saat itu juga, Rangga cepat melompat ke belakang, hingga terhindar dari pecahan kayu pondok yang menyebar ke segala arah. Api lang-sung membubung tinggi ke angkasa, disertai kepulan asap hitam membentuk sebuah jamur raksasa!
"Hap!"
Manis sekali Rangga menjejakkan kakinya kembali ke tanah. Sementara, pondok di dalam hutan tempat tinggal Nyai Wisanggeni itu sudah hancur termakan api yang diciptakan dari pengerahan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Sedangkan Rangga berdiri tegak memandangi dengan mata tidak berkedip sedikit pun.
"Hhh! Terlalu berbahaya kalau pondok itu di-diamkan saja," desah Rangga seraya menghembuskan napas berat.
Perlahan Rangga melangkah mundur ke belakang beberapa tindak, kemudian berbalik. Namun saat itu juga dia jadi terperanjat. Entah dari mana dan kapan datangnya, tahu-tahu di depannya kini sudah berdiri seseorang berjubah putih longgar yang membungkus tubuh kurusnya agak membungkuk.
Namun yang membuat Pendekar Rajawali Sakti terkejut, wajah orang itu berwarna merah. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat kayu yang tidak beraturan bentuknya. Kedua bola matanya yang memerah, menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti.
"Kisanak siapa...?" tanya Rangga.
"Aku Dewa Muka Merah, saudara tua Datuk Muka Hitam yang tewas di tanganmu," kata orang bermuka merah itu.
"Aku Rangga. Memang, Datuk Muka Hitam tewas di tanganku. Lalu, apakah kau ingin membalas kematian adikmu?" tanya Rangga, seperti ingin mengetahui maksud orang yang mengaku sebagai Dewa Muka Merah itu.
"Jangan berprasangka yang bukan-bukan, Kisanak. Justru aku di sini untuk mencari adikku si Datuk Muka Hitam. Dia telah terlalu jauh terje-rumus ke dalam dunia kotor. Sebenarnya, aku ingin dia kembali. Tapi memang wataknya terlalu keras. Dan akhirnya, mati di tanganmu," desah Dewa Muka Merah.
"Aku mohon maaf, Dewa Muka Merah. Adikmu terlalu memaksaku," ucap Rangga, pelan.
"Sudahlah. mungkin memang sudah nasibnya. Oh, ya. Ada urusan apa kau menghancurkan pondok Nyai Wisanggeni?" tanya Dewa Muka Merah.
"Dia membunuh sahabatku, dan melukai kekasihku hingga parah," sahut Rangga. "Aku harus menemukan Setan Perempuan Penghisap Darah itu sebelum mengambil korban lebih banyak lagi."
"Kau tidak akan mendapatkannya di sini. Kalau mau kau bisa memancingnya dengan menangkap muridnya. Tapi, aku rasa tidak mudah. Sedangkan aku sendiri belum bisa menahannya. Dan Widura lebih berbahaya daripada gurunya sendiri si Setan Perempuan Penghisap Darah."
"Tampaknya kau tahu banyak tentang Nyai Wisanggeni, Kisanak."
"Lebih dari yang kau duga. Karena kami juga punya urusan lama dengannya. Bahkan dia juga berusaha membunuh semua murid kami. Dulu waktu muridku yang bernama Rahkapa masih kecil juga ingin dibunuhnya, dengan perantaraan Widura yang kini menjadi panglima di Kerajaan Pakuan. Dia memang ingin membunuhi siapa saja yang mempunyai hubungan dengan kami. Sayang, aku dan adikku tidak bisa bekerja sama, karena berlainan sifat. Bahkan dia yang lebih berhak mengasuh Rahkapa," jelas Dewa Muka Merah.
Rangga jadi terdiam. Diamatinya wajah Dewa Muka Merah yang merah itu. Walaupun wajah dan tubuhnya telah ringkih tapi dari sorot matanya Rangga melihat adanya sifat welas asih dalam hatinya.
"Kalau mau, kita bisa hadapi mereka bersama-sama, Kisanak," kata Dewa Muka Merah lagi mengajak.
Rangga tersenyum dan melangkah mendekati. Kemudian tangannya diulurkan. Dewa Muka Merah langsung menyambut uluran tangan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka berjabatan tangan beberapa saat.
"Panggil saja aku Rangga," pinta Rangga, setelah jabatan tangannya terlepas.
"Dan kau harus memanggilku Dewa Muka Merah. "
Mereka sama-sama tersenyum, menandakan sebuah persahabatan yang mulai terjalin dengan satu tekad dan tujuan sama, menghadapi si Setan Perempuan Penghisap Darah dan muridnya yang kini menjadi seorang panglima perang di Kerajaan Pakuan. Dan untuk beberapa saat lamanya, mereka kembali terdiam. Tanpa bicara sedikit pun juga, mereka sama-sama melangkah meninggalkan pondok Nyai Wisanggeni yang sudah hancur rata jadi debu.
"Ke mana tujuanmu sekarang, Dewa Muka Merah?" tanya Rangga setelah mengambil tali kekang kudanya.
"Entahlah... Aku sekarang tidak tahu lagi, di mana Nyai Wisanggeni sekarang berada. sahut Dewa Muka Merah tanpa menghentikan ayunan langkah kakinya.
"Hm... Ada baiknya kita berpisah di sini saja dulu. Aku masih harus menemui seseorang," kata Rangga, ketika mereka bertemu sebuah persim-pangan jalan.
"Silakan, Rangga. Aku pun harus mampir dulu ke rumah sahabatku di Kotaraja Pakuan," sahut Dewa Muka Merah.
Mereka pun berpisah. Rangga belok kanan, Dewa Muka Merah belok kiri.
*** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 117. Memburu Pengkhianat Bag. 2
29. August 2014 um 09:50
2 ? ? Malam sudah menyelimuti seluruh angkasa di atas Kerajaan Pakuan. Sementara di kediaman Panglima Widura yang sangat besar, megah, dan berhalaman luas serta dikelilingi pagar tembok berukuran cukup tinggi, terlihat terang-benderang oleh cahaya api obor terpancang di setiap sudut. Dan para prajurit berjaga-jaga di setiap sudut sekeliling rumah yang bagai sebuah istana kecil ini.
Di dalam sebuah ruangan yang berukuran sangat luas dan megah, terlihat Panglima Widura berdiri. Kedua tangannya terlipat di depan dada, menghadap seorang perempuan tua berjubah putih kumal yang duduk di sebuah kursi kayu berukir. Tidak ada orang lagi, selain mereka berdua di dalam ruangan yang tertutup ini. Bahkan tidak satu jendela pun yang terbuka. Entah sudah berapa lama mereka berada di dalam ruangan itu. Dan belum juga ada yang membuka suara.
"Aku merasakan kedudukanmu mulai teran-cam, Widura. Aku minta secepatnya susun kekuatan. Dan, rebut Pakuan dari Wiryadanta selekasnya," terdengar datar nada suara perempuan tua yang ternyata Nyai Wisanggeni, atau yang lebih dikenal sebagai si Setan Perempuan Penghisap Darah.
"Pasukanku belum cukup untuk menghadapi prajurit yang masih setia pada Prabu Wiryadanta, Nyai," sahut Panglima Widura pelan.
"Kalau menunggu jumlah yang besar, lalu ka-pan akan melaksanakannya, Widura?" desak Nyai Wisanggeni. "Kau tahu Widura. Bila Kerajaan Pakuan sudah di tanganku, maka puaslah hidupku! Ha ha ha...!"
"Hhh...!"
Panglima Widura hanya menghembuskan na-pas panjang yang terasa begitu berat. Sedangkan Nyai Wisanggeni terus tertawa, membayangkan cita-citanya yang tinggal selangkah lagi.
Panglima Widura seperti tidak sanggup mem-bantah kata-kata wanita tua itu. Tubuhnya diputar, dan berbalik membelakangi si Setan Perempuan Penghisap Darah. Tangannya bergerak membuka jendela lebar-lebar, membuat angin malam yang dingin langsung menerobos masuk menerpa wajah Panglima Kerajaan Pakuan ini.
Tidak lama berdiri menghadap jendela, Panglima Widura sudah kembali memutar tubuhnya. Dan pandangannya langsung tertuju pada Nyai Wisanggeni yang masih menyimpan senyum kebengisan.
"Nyai, boleh aku bertanya sesuatu padamu...?" terdengar ragu-ragu nada suara Panglima Widura.
"Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Kenapa Nyai memilih Pakuan" Bukankah banyak kerajaan kecil yang lebih lemah dari Pakuan ini...?" tanya Panglima Widura langsung mengemukakan ganjalan hatinya.
"Dengar, Widura. Puluhan tahun aku meng-gemblengmu hingga memiiki kepandaian yang sulit ditandingi di Pakuan ini. Dan semua itu kupersiapkan, hanya untuk menghancurkan Wiryadanta yang terlalu sombong itu. Dia terlalu menghina harga diriku sebagai seorang wanita, beberapa puluh tahun yang lalu. Dan sekarang, aku ingin kau menjadi raja di sini, Widura Dengan begitu, kita berdua bisa melakukan apa saja tanpa ada seorang pun yang berani lagi menghalangi. Jelas, Widura...?"
Kembali Panglima Widura hanya mengangguk kan kepala saja sekali.
"Widura, kenapa kau tanyakan itu?" tanya Nyai Wisanggeni dengan tatapan mata tertuju tajam ke bola mata muridnya
"Aku hanya ingin tahu saja, Nyai. Maafkan kalau pertanyaanku tadi membuatmu marah," sa-hut Panglima Widura.
"Kau hampir saja menyinggung perasaanku, Widura. Itu sama saja membangkitkan luka lamaku pada Wiryadanta."
"Maafkan aku, Nyai."
"Ah, sudahlah...."
Kembali mereka terdiam membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing yang bergalut dalam kepala. Dan beberapa kali Panglima Widura menarik napas panjang-panjang, lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Dan sesekali matanya melirik ke arah gurunya yang tetap duduk di kursi berukir dari kayu jati yang kuat dan kokoh. Sudah bisa diduga, kenapa gurunya begitu bersemangat hendak melenyapkan Raja Pakuan itu. Apalagi kalau bukan asmara.
Sementara malam terus merayap semakin la-rut. Dan angin yang berhembus pun semakin terasa dingin menggigil Panglima Widura menutup kembali jendela yang tadi dibukanya hanya untuk mencari udara segar.
"Sudah berapa orang jumlah prajurit yang kau kumpulkan, Widura?" tanya Nyai Wisanggeni, setelah cukup lama terperangkap dalam keheningan yang mencekam.
"Belum ada seratus orang, Nyai. Sedangkan jumlah prajurit Pakuan sekitar seribu orang. Masih terlalu sedikit untuk bisa menjatuhkan takhta Gusti Prabu Wiryadanta," sahut Panglima Widura menjelaskan.
"Jumlah prajurit tidak terlalu penting, Widura. Biarpun prajuritmu sekarang hanya sedikit, tapi asal dibekali kepandaian yang lebih tinggi, aku yakin kau akan berhasil nanti," kata Nyai Wisanggeni, seakan membesarkan hati murid tunggalnya.
"Kepandaian yang mereka miliki sekarang ini memang jauh lebih tinggi dibandingkan prajurit Prabu Wiryadanta, Nyai. Aku selalu menggembleng mereka agar lebih tangkas dan gesit di dalam pertarungan. Tapi... "
"Tapi kenapa, Widura?"
"Aku masih ragu. Walaupun prajurit yang kau miliki sekarang sudah terlatih, tapi aku merasa ttidak akan sanggup menghadapi seribu prajurit Prabu Wiryadanta."
"Kenapa kau jadi ragu-ragu begitu, Widura?" tegur Nyai Wisanggeni.
Terus terang saja. Nyai. Keraguanku timbul, setelah munculnya Pendekar Rajawali Sakti di sini," sahut Panglima Widura langsung berterus terang.
"Hik hik hik...! Apa yang kau takutkan dari anak muda ingusan itu, Widura...?"
"Dia bukan pendekar sembarangan, Nyai. Tingkat kepandaiannya begitu tinggi. Sehingga, sulit untuk mengukur, sampai di mana tingkat kepandaiannya," sahut Panglima Widura berterus terang lagi.
"Jangan pikirkan anak muda itu, Widura. Aku tahu, siapa dia sebenarnya. Selain pendekar ber-kepandaian tinggi, dia juga seorang raja di Karang Setra," kata Nyai Wisanggeni, agak datar nada suaranya.
"Dia seorang raja, Nyai...?"
Terbeliak kedua bola mata Panglima Widura mendengar penjelasan Nyai Wisanggeni yang me-ngatakan kalau Pendekar Rajawali Sakti juga seorang raja di Karang Setra. Sungguh tidak disangka kalau Raja Karang Setra sebenarnya ternyata seorang pendekar muda yang digdaya dan ditakuti seluruh tokoh persilatan saat ini. Dan yang lebih mengejutkan lagi, letak Kerajaan Karang Setra tidak begitu jauh dari Kerajaan Pakuan ini. Dan tentu, Raja Pakuan dan Raja Karang Setra sudah saling mengenal. Dan kalau itu memang benar, Panglima Widura tidak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi nanti. Dia tahu, bagaimana kuatnya para prajurit Karang Setra.
Panglima Widura tidak bisa memungkiri, dirinya tidak akan sanggup jika Kerajaan Pakuan ini sampai meminta bantuan Karang Setra. Sedangkan untuk menghadapi rajanya saja, sudah teramat sulit. Jadi bagaimana kalau para prajurit Karang Setra ikut campur dalam memperkuat barisan di Pakuan ini"
? *** ? Kedatangan Nyai Wisanggeni di tempat ke-diamannya, membuat Panglima Widura tidak dapat memejamkan matanya semalaman. Terlebih lagi, setelah tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti adalah Raja Karang Setra. Sudah barang tentu dia mendapatkan batu ganjalan yang tidak bisa dipandang sebelah mata untuk menguasai Kerajaan Pakuan ini. Sedangkan semua yang diimpikannya sudah direncanakan begitu matang, dan membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Memang, kemunculan Pendekar Rajawali Sakti membuatnya jadi tidak bisa tenang.
Semalaman penuh Panglima Widura tidak bisa memejamkan matanya. Sampai matahari menam-pakkan diri di ufuk timur, dia terus berlari di depan jendela memandang kosong ke depan. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Yang jelas, pikiran panglima itu begitu kalut saat ini. Dan semua kekalutan itu berawal dari kunjungan Nyai Wisanggeni ke tempat bnggalnya yang besar dan megah ini.
"Apa pun caranya, Raja Karang Setra harus bisa kujauhkan dari sini. Hhh...," desah Panglima Widura seraya menghembuskan napas panjang.
Terasa begitu berat hembusan napasnya. Perlahan Panglima Widura memutar tubuhnya berbalik. Kakinya terayun perlahan, keluar dari kamar peristirahatannya yang berukuran sangat luas dan megah ini. Dia terus berjalan tanpa menghiraukan para prajuritnya yang membungkuk memberi hormat. Panglima Widura baru berhenti melangkah setelah sampai di depan beranda depan rumahnya. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling.
"Ki Renges...!" teriak Panglima Widura me-manggil dengan suara keras.
Belum juga hilang teriakan yang keras itu dari pendengaran, sudah terlihat seorang laki-laki ber-usia lanjut yang berlari-lari kecil menghampiri panglima ini. Tubuhnya membungkuk dengan sikap sangat hormat, setelah tiba di depan Panglima Widura.
"Hamba menghadap, Gusti Panglima," ucap orang tua itu dengan sikap begitu hormat.
"Siapkan kudaku, Ki Renges," pinta Panglima Widura, tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari pintu gerbang yang dijaga dua orang prajurit bersenjata tombak panjang.
Baik Gusti Panglima. Secepatnya hamba ???????siapkan," sahut Ki Renges seraya membungkuk memberi hormat.
Laki laki tua yang tidak mengenakan baju itu bergegas berlari kecil, meninggalkan Panglima Widura yang masih tetap berdiri tegak di depan beranda depan rumahnya. Dan tidak lama kemudian, Ki Renges sudah kembali sambil menuntun seekor kuda hitam yang tinggi tegap dan gagah. Orang tua itu kembali membungkuk sambil menyerahkan tali kekang kuda yang dibawanya.
"Kau ambil kudamu sendiri, Ki Renges," kata Panglima Widura sambil menerima tali kekang kudanya.
"Baik, Gusti," sahut Ki Renges.
Kembali orang tua itu menghilang di bagian samping rumah panglima ini. Dan tidak lama, dia sudah kembali lagi sambil menuntun seekor kuda coklat berbelang putih.
Panglima Widura hanya melirik saja sedikit, kemudian melompat naik ke punggung kudanya tanpa bicara sedikit pun juga. Ki Renges bergegas mengikuc, naik ke punggung kudanya. Walaupun usianya sudah begitu lanjut, tapi gerakannya saat melompat ke punggung kuda begitu indah dan ri-ngan. Jelas, dia bukanlah orang tua sembarangan. Dan yang pasti, memiliki kepandaian yang tidak rendah.
Tanpa bicara sedikit pun juga, mereka meng-gebah kudanya ke luar dari rumah panglima yang besar dan megah bagai istana ini. Dua orang berseragam prajurit yang menjaga pintu gerbang, bergegas membuka lebar-lebar pintu yang besar dan tinggi itu. Dan mereka membungkuk hormat, begitu Panglima Widura dan Ki Renges melewatinya.
"Hiyaaa...!"
Panglima Widura langsung menggebah cepat kudanya begitu melewati pintu gerbang. Sementara Ki Renges mengikuti dengan cepat pula. Tapi, dia tetap menjaga jarak agar berada di belakang, tanpa berusaha untuk mendahului.
Mereka terus memacu kudanya dengan kece-patan tinggi, menuju bagian timur Kerajaan Pakuan. Semakin jauh meninggalkan kota, semakin jarang terlihat rumah penduduk. Hingga akhirnya, mereka tiba di tepi hutan yang kelihatannya tidak begitu rapat. Banyak jalan setapak di hutan ini. Panglima Widura menghentikan lari kudanya, dan langsung melompat turun dengan gerakan indah dan ringan sekali. Sedikit pun tidak terdengar suara, saat kedua kakinya menjejak tanah berumput di samping kudanya. Pertanda ilmu meringankan tubuhnya sudah begitu tinggi.
Panglima Widura melirik sedikit pada Ki Renges yang masih tetap duduk di atas punggung kudanya. Orang tua itu bergegas melompat turun dari punggung kudanya, dan menghampiri junjungannya sambil menuntun kudanya. Sementara, Panglima Widura sendiri sudah kembali melayangkan pandangan ke dalam hutan yang tidak begitu rapat di depannya.
"Ki Renges," panggil Panglima Widura.
"Hamba, Gusti," sahut Ki Renges, seraya men-dekat.
"Kau tahu, apa yang ada di balik hutan ini?" tanya Panglima Widura tanpa berpaling sedikit pun.
"Hutan ini menjadi batas Kerajaan Pakuan dengan Karang Setra. Gusti Panglima," sahut Ki Renges.
"Hm... Kau tahu, dari mana orang-orang Karang Setra yang masuk ke Pakuan ini?" tanya Panglima Widura lagi.
"Jelas melalui jalan di hutan ini, Gusti." sahut Ki Renges dengan kening berkerut.
Orang tua itu merasa heran juga mendengar pertanyaan yang dilontarkan panglimanya ini. Dia tahu, Panglima Widura sudah tentu mengetahui semua jawaban dari pertanyaannya yang dilontarkan tadi. Dan ini yang membuat Ki Renges jadi bertanya-tanya tidak mengerti.
"Begitu mudah mereka masuk ke Pakuan ini...," gumam Panglima Widura perlahan, seolah bicara pada diri sendiri.
Sedangkan Ki Renges tetap diam dengan kening berkerut dan kelopak mata menyipit. Sungguh sulit dimengerti, apa yang ada di dalam kepala panglima itu. Ki Renges hanya bisa diam dan terus menduga-duga di dalam hatinya. Sementara, Panglima Widura sendiri terus mengarahkan pandangan ke hutan di depan mereka. Kelihatan sunyi sekali, padahal hutan inilah yang menghubungkan antara Kerajaan Pakuan dan Kerajaan Karang Setra.
Selagi mereka berdua terdiam membisu, tiba-tiba saja terdengar suara menggemuruh yang begitu keras, hingga tanah yang dipijak jadi bergetar bagai diguncang gempa. Dan ini membuat Panglima Widura dan Ki Renges jadi terlonjak kaget setengah mati.
"Ada apa ini, Ki Renges...?" tanya Panglima Widura.
Belum lagi Ki Renges menjawab, sudah terlihat kepulan debu yang membubung tinggi di angkasa dari balik puncuk pepohonan di dalam hutan. Pandangan mereka langsung tertuju ke arah kepulan debu yang terus bergerak semakin mendekat. Dan suara gemuruh pun semakin jelas terdengar, membuat getaran di tanah semakin terasa mengguncang.
Dan tidak berapa lama kemudian...
"Oh..."!"
? *** ? Kedua bola mata Panglima Widura jadi terbe-liak lebar, begitu terlihat serombongan orang ber-kuda menembus hutan yang tidak begitu lebat ini. Tapi yang membuat mulutnya ternganga, rombongan berkuda itu tidak lain adalah para prajurit Kerajaan Karang Setra.
"Cepat pergi dari sini...!" seru Panglima Widura.
Tanpa menghiraukan Ki Renges yang masih terpana, Panglima Widura cepat berbalik dan me-lompat naik ke punggung kudanya. Langsung kudanya digebah cepat, hingga melesat bagaikan anak panah lepas dari busur. Sementara Ki Renges masih berdiri terpaku bagai patung. Dia seperti tidak tahu, apa yang harus dilakukannya. Sedangkan orang-orang berkuda yang terdiri dari para prajurit Kerajaan Karang Setra itu semakin terlihat dekat saja. Tampak berkuda paling depan adalah Raden Danupaksi, adik tiri Pendekar Rajawali Sakti yang juga Raja Karang Setra. Dan dia didampingi Panglima Lanang.
Begitu keluar dari dalam hutan, Raden Danu-paksi mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Maka ratusan prajurit yang mengikutinya di belakang, segera menghentikan lari kudanya. Panglima Lanang juga menghentikan lari kudanya. Sementara di depan mereka, masih berdiri terpaku Ki Renges yang ditinggalkan Panglima Widura seorang diri. Raden Danupaksi melompat turun dari kudanya diikuti Panglima Lanang. Mereka menghampiri Ki Renges yang masih berdiri terpaku di depan kudanya.
"Maaf, Ki. Apakah benar ini jalan masuk ke Pakuan?" Danupaksi langsung melontarkan per-tanyaan dengan sikap sopan.
"Benar," sahut Ki Renges.
"Apakah kau yang ditugaskan untuk menyam-but kedatangan kami?" tanya Danupaksi lagi.
"Oh! Tid..., tidak," sahut Ki Renges tergagap.
"Kalau begitu, siapakah kau, Ki?"
"Aku Ki Renges. Pembantu utama Gusti Panglima Widura," sahut Ki Renges, sudah bisa menguasai dirinya kembali.
"Aku Danupaksi. Dan ini, Paman Panglima Lanang. Kami datang bersama prajurit memenuhi undangan Raja Pakuan, yang meminta bantuan untuk memperkuat pertahanan prajuritnya di istana. Bisa kau tunjukkan, ke mana arah menuju Istana Pakuan, Ki...?"
"Sudah dekat. Tinggal mengikuti jalan ini saja," sahut Ki Renges memberi tahu.
"Terima kasih, Ki," ucap Danupaksi, seraya menjura memberi salam penghormatan.
Ki Renges membalasnya dengan sikap kaku sekali. Danupaksi kembali melompat naik ke punggung kudanya, diikuti Panglima Lanang. Dan sebelum mereka menggebah kudanya, Ki Renges sudah mencegah lebih dulu.
"Ada apa, Ki?" tanya Danupaksi.
"Maaf. Boleh aku tahu, untuk apa Gusti Prabu meminta Raden dan prajurit begitu banyak datang ke sini?" tanya Ki Renges ingin tahu.
"Maaf, aku tidak bisa menjawabnya, Ki," sahut Danupaksi sopan.
Setelah berkata demikian, Danupaksi segera memberi isyarat pada para prajuritnya. Dan mereka pun kembali bergerak memasuki Ibukota Kerajaan Pakuan. Sementara itu, Ki Renges tetap berdiri mematung memandangi rombongan prajurit-prajurit Karang Setra yang mulai memasuki kotaraja. Entah apa yang ada dalam kepala orang tua itu saat ini.
Ki Renges baru bergegas naik ke punggung kudanya, setelah rombongan prajurit Karang Setra yang langsung dipimpin Raden Danupaksi sudah tidak terlihat lagi dari pandangan matanya. Langsung kudanya digebah cepat, kembali ke kediaman Panglima Widura yang telah lebih dulu pergi meninggalkannya.
Sementara itu, Danupaksi dan prajuritnya semakin jauh masuk ke dalam kota. Kedatangan prajurit Karang Setra yang jumlahnya cukup besar, membuat penduduk Kota Pakuan jadi gempar. Dan mereka saling bertanya-tanya. Memang, selama ini belum pernah ada serombongan prajurit dari kerajaan lain yang datang dalam jumlah begitu besar. Dan rombongan ini pun disambut para prajurit dari Istana Pakuan, setelah hampir sampai di bangunan istana yang megah, di tengah-tengah kota.
Sementara di tempat yang jauh dari istana, Ki Renges sudah sampai di rumah kediaman Panglima Widura. Kedatangannya langsung disambut Panglima Widura yang menanti sejak tadi di depan beranda rumahnya. Orang tua itu bergegas menghampiri, dan membungkukkan tubuhnya untuk memberi hormat.
"Mereka datang dari Karang Setra, Gusti Panglima," Ki Renges langsung menjelaskan tanpa di tanya lagi.
"Berapa jumlahnya?" tanya Panglima Widura.
"Sangat banyak, Gusti. Hampir menyamai jumlah prajurit yang ada di istana," sahut Ki Renges.
"Hhh...!"
Panglima Widura hanya menghembuskan na-pas panjang saja. Terasa begitu berat hembusan napasnya. Pandangannya jauh tertuju ke depan.
Sementara, Ki Renges hanya memandangi saja wajah panglimanya yang kelihatan gundah. Dia tidak tahu, apa yang menjadi penyebab kegundahan hati Panglima Widura atas kedatangan serombongan prajurit Karang Setra dalam jumlah besar itu.
"Mereka datang atas undangan Gusti Prabu sendiri, Gusti Panglima," kata Ki Renges memberi tahu lagi tanpa diminta.
"Kau tahu, apa tujuannya?" tanya Panglima Widura lagi.
"Tidak, Gusti."
"Kau selidiki maksud kedatangan mereka di sini, Ki Renges. Aku menunggu sekarang juga," perintah Panglima Widura.
"Hamba laksanakan, Gusti," sahut Ki Renges seraya membungkukkan tubuhnya memberi hor-mat.
Panglima Widura bergegas masuk ke dalam rumahnya. Sementara, Ki Renges tetap membungkuk beberapa saat. Tubuhnya baru ditegakkan kembali setelah panglima itu tidak terlihat lagi, tenggelam di balik pintu rumahnya. Bergegas kudanya yang ditambatkan di bawah pohon dihampiri.
"Hup!"
Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Ki Renges melompat naik ke punggung kudanya, dan langsung menggebahnya ke luar dari halaman rumah kediaman Panglima Widura yang sangat luas dan indah ini. Hentakan kaki kuda yang dipacu cukup kencang membuat debu mengepul membubung tinggi di angkasa.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 117. Memburu Pengkhianat Bag. 3
29. August 2014 um 09:52
3 ? ? Hari memang masih terlalu pagi untuk menyi-bakkan kabut yang menyelimuti seluruh wilayah Kerajaan Pakuan. Matahari belum lagi penuh me-nampakkan dirinya. Hanya semburat cahayanya saja yang terlihat memerah jingga di balik gunung sebelah timur. Namun dinginnya udara dan tebalnya kabut, tidak menghalangi seorang pemuda tampan berbaju rompi putih yang menyusuri jalan setapak di kaki gunung sebelah timur Kerajaan Pakuan. Pemuda yang menyandang sebilah pedang bergagang kepala burung di punggung itu tidak lain Rangga, yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Dia berjalan perlahan sambil menuntun kuda hitam tunggangannya yang dikenal bernama Dewa Bayu.
"Mudah-mudahan Danupaksi sudah sampai di istana, Dewa Bayu," terdengar pelan sekali suara Rangga, bicara pada kudanya yang mengikuti dari belakang.
Kuda hitam itu hanya mendengus kecil sambil mengangguk sedikit seperti bisa mengerti kata-kata Pendekar Rajawali Sakti tadi. Namun riba-tiba saja Dewa Bayu berhenri berjalan. Kepalanya juga menjulur ke atas sambil meringkik keras. Rangga yang berada di depan, segera berhenti melangkah. Tubuhnya diputar sedikit Dipandanginya kuda hitam yang tiba-tba saja jadi kelihatan gelisah itu.
"Ada apa, Dewa Bayu" Kau merasakan sesua-tu?" tanya Rangga dengan kening berkerut.
Dewa Bayu kembali meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, membuat Rangga terpaksa harus melangkah menjauh dua tindak. Kuda hitam itu terus mendengus-dengus sambil menghentakkan keras kaki depannya ke tanah. Kening Rangga semakin dalam berkerut, mencoba memahami kelakuan kuda hitam tunggangannya yang tiba-tiba saja jadi berubah liar ini.
"Ada apa, Dewa Bayu?" tanya Rangga lagi.
Namun belum lagi hilang pertanyaan itu dari pendengaran, mendadak saja telinga Pendekar Rajawali Sakti yang tajam mendengar desir yang sangat halus dari arah kanannya. Dan...
"Hap!"
Tanpa berpaling lagi, Rangga cepat menarik tubuhnya ke belakang. Dan saat itu juga, terlihat sebatang ranting kering sepanjang satu jengkal melesat begitu cepat bagai anak panah, tepat di depan wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Angin desirannya begitu kuat, membuat anak rambut Rangga berkibaran. Cepat Rangga melompat ke belakang sejauh tiga langkah.
Sementara, kuda hitam Dewa Bayu tunggang-an Pendekar Rajawali Sakti sudah bergerak me-nyingkir menjauh. Dia seperti tahu ada bahaya yang mengancam pemuda berbaju rompi putih itu. Sedangkan Rangga sendiri sudah berdiri tegak, dengan kedua kaki agak tertekuk sedikit. Pandangannya begitu tajam beredar ke sekitarnya. Sedikit pun Pendekar Rajawali Sakti tidak melihat tanda-tanda ada orang lain di sekitarnya, kecuali pepohonan saja yang cukup rapat.
"Hm...," Rangga menggumam perlahan sambil terus mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti menggeser kakinya ke kanan. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga sedikit pun tidak terdengar suara, saat kakinya bergerak menggeser ke kanan. Bahkan daun-daun kering yang hampir menutupi tanah pun tidak bergerak sama sekali saat terkena pijakan kakinya. Dan baru saja Pendekar Rajawali Sakti bergerak sekitar tiga langkah, kembali terlihat sepotong ranting kering melesat cepat bagai kilat menuju ke arahnya.
"Hap!"
Namun kali ini Rangga tidak berusaha meng-hindar sedikit pun. Dan begitu ranting kering se-panjang satu jengkal jari tangan itu hampir meng-hantam wajahnya, cepat sekali kedua telapak tangannya dikatupkan di depan hidung.
Tap! Ranting kering itu tepat terjepit di antara kedua telapak tangan yang merapat di depan hidung Pendekar Rajawali Sakti. Sejenak Rangga memperhatikan ranting yang berada di dalam jepitan kedua telapak tangannya ini Kemudian"
"Hih...!"


Pendekar Rajawali Sakti 117 Memburu Pengkhianat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalam-nya yang sudah berada pada titik sempurna, Pendekar Rajawali Sakti melemparkan ranting kering ini ke arah datangnya tadi. Maka ranting itu melesat begitu cepat bagai sebatang anak panah lepas dari busur.
Srak! Tepat ketika ranting kering itu menembus se-gerumbul semak, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat, keluar dari dalam semak. Dan pada saat itu juga, Rangga melesat tinggi ke atas, mengejar bayangan putih yang muncul dari dalam semak itu.
"Hup! Hiyaaa...!"
Saat itu juga, satu pukulan keras dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Namun....
Plak! "Ikh..."!"
Rangga jadi terperanjat setengah mati, begitu pukulannya yang keras dan menggeledek seperti menghantam sebongkah batu cadas yang teramat keras. Sehingga, membuat kepalan tangannya terasa nyeri. Cepat tubuhnya melenting, dan berputaran beberapa kali ke belakang. Dan dengan manis sekali kakinya menjejak tanah.
"Hap!"
Tepat ketika kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti menjejak tanah, saat itu juga terlihat secercah cahaya merah meluruk deras ke arahnya. Rangga yang baru saja menjejakkan kakinya di tanah, jadi terbeliak melihat kilatan cahaya merah yang meluncur deras ke arahnya. Tapi dengan gerakan indah sekali, tubuhnya meliuk. Sehingga, kilatan cahaya merah itu lewat di sebelah kiri tubuhnya.
"Hup!"
Cepat Rangga melompat ke samping, begitu merasakan semburan hawa panas yang begitu menyengat di saat kilatan cahaya merah lewat di samping tubuhnya.
"Hm...!"
Pendekar Rajawali Sakti jadi menggumam kecil, begitu melihat sekitar dua batang tombak di depannya sudah berdiri seorang perempuan tua. Baju jubah putihnya sudah kumal. Sehingga wama putihnya sudah pudar menjadi kecoklat-coklatan. Sebatang tongkat kayu berbentuk seekor ular tampak tergenggam di tangan kanannya. Kulit yang sudah mengeriput, membuat wajahnya jadi tidak sedap dipandang. Kedua bola matanya bersinar merah menyala bagai sepasang bola api yang seakan-akan hendak membakar hangus seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Tidak percuma kau dijuluki Pendekar Rajawali Sakti, Anak Muda. Kau memang tangguh dan patut menyandang gelar itu," terasa begitu dingin nada suara perempuan tua yang tidak lain Nyai Wisanggeni, atau si Setan Perempuan Penghisap Darah ini
"Siapa kau, Nisanak" Kenapa kau menyerang-ku?" tanya Rangga dengan suara dibuat tenang.
"Kau tidak perlu tahu, kenapa aku menyerang-mu, Anak Muda. Yang jelas, kau harus mampus di tanganku!" sahut Nyai Wisanggeni membentak kasar.
"Seingatku, tidak ada persoalan di antara kita. Kenapa kau ingin membunuhku?"
"Karena, kau terlalu banyak mencampuri urus anku. Saatnya kau menyusul kekasihmu ke neraka, Bocah! Hiyaaat...!"
"Heh! Tunggu...!"
Tapi sentakan Rangga tidak dihiraukan sama sekali. Nyai Wisanggeni sudah lebih dulu melompat cepat sambil mengebutkan tongkatnya yang berbentuk ular, tepat mengarah ke kepala Pendekar Rajawali Sakti.
Wut! "Haiiit...!"
Namun dengan egosan kepala yang manis sekali, Rangga bisa menghindari sabetan tongkat Setan Perempuan Penghisap Darah. Dan Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat ke belakang sejauh dua batang tombak, sambil berputaran di udara dua kali. Namun sambaran angin kebutan tongkat wanita tua itu cukup membuat Rangga jadi terhuyung sedikit, begitu kakinya menjejak tanah.
"Nisanak, apakah kau yang mencelakakan Pandan Wangi?" tanya Rangga.
"Hik! Tidak perlu banyak tanya! Gadismu sudah menjadi santapan cacing tanah! bentak Nyai Wisanggeni.
"Keparat..!"
Rangga jadi menggeram marah mendengar pengakuan Nyai Wisanggeni yang secara tidak langsung itu. Kini dia tahu, wanita tua yang berada di depannya inilah yang mencelakakan Pandan Wangi, sehingga terluka sangat parah. Tapi, tampaknya Nyai Wisanggeni sudah menganggap Pandan Wangi mati. Padahal gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu masih hidup, dan sekarang berada dalam perawatan Rajawali Putih. Seekor burung rajawali raksasa yang menjadi guru, juga tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Bersiaplah untuk mati, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Nyai Wi sanggeni kembali melesat cepat laksana kilat. Dan tongkatnya langsung dikebutkan, tepat mengarah ke kepala Rangga.
Bet! "Hap!"
Cepat Rangga merundukkan kepala sedikit. Dan pada saat ujung tongkat yang berbentuk kepala ular itu lewat di atas kepala, cepat sekali tubuhnya mengegos ke kanan. Maka saat itu juga kaki kirinya cepat dihentakkan, memberi satu tendangan keras menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
"Hih!"
Wuk! Tapi tanpa diduga sama sekali, cepat sekali Nyai Wisanggeni memutar tongkatnya untuk melindungi tubuhnya dari serangan kaki Pendekar Rajawali Sakti? Begitu cepat tangkisannya, sehingga membuat Rangga jadi tersentak kaget. Maka cepat tendangannya yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempuma ditarik kembali. Dan....
"Hup! Yeaaah"!"
*** ? Sambil berteriak keras menggelegar. Pendekar Rajawali Sakti melenting tinggi-tinggi ke angkasa. Dan dengan kecepatan dahsyat tubuhnya meluruk turun disertai gerakan kedua kaki yang berputaran cepat mengarah ke kepala si Setan Perempuan Penghisap Darah. Dari gerakannya jelas sekali terlihat kalau saat itu Rangga mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
"Hap! Hiyaaa..!"
Wut! Namun, Nyai Wisanggeni sudah lebih cepat lagi bertindak. Tongkatnya langsung diputar begitu cepat di atas kepala, membuat Rangga terpaksa harus menarik serangannya dari atas. Dan secepat itu pula, Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya sehingga kepalanya di bawah. Lalu, langsung dilepaskannya satu pukulan dahsyat dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir.
"Hiyaaa...!"
"Heh..."!"
Gerakan berputar yang begitu cepat, diikuti serangan dahsyat tanpa diduga itu membuat Nyai Wisanggeni jadi terperangah setengah mati. Dan memang tidak disangka sama sekali kalau Rangga dapat merubah jurusnya begitu cepat. Terlebih dalam keadaan tubuh berada di udara seperti ini. Dan...
Begkh! "Aaakh...!"
Nyai Wisanggeni tidak dapat lagi menahan arus pukulan Rangga yang dahsyat, dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Sehingga, pukulan itu tepat menghantam dada, membuat perempuan tua itu terpental jauh ke belakang sambil mengeluarkan jeritan panjang dan melengking tinggi.
Sementara, Rangga sudah menjejakkan kakinya di tanah dengan kokoh. Saat itu, tubuh Nyai Wisanggeni yang masih melayang menghantam sebatang pohon yang cukup besar. Sehingga pohon itu hancur berkeping-keping, memperdengarkan ledakan keras bagai gemuruh.
Bruk! Keras sekali tubuh tua itu jatuh menghantam tanah, di antara kepingan reruntuhan kayu pohon yang terlanda tubuhnya. Beberapa kali Nyai Wisanggeni bergulingan di tanah. tapi cepat melesat bangkit berdiri. Sedikit tubuhnya agak terhuyung, begitu kakinya menjejak tanah. Tampak darah mengalir dari mulutnya. Kedua bola matanya semakin merah membara, menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tegak dengan senyum tersunggung di bibir.
"Kubunuh kau, Bocah Keparat !" geram Nyai Wisanggeni.
Wut! Setan Perempuan Penghisap Darah itu memu-tar tongkatnya cepat sekali dengan kedua tangan. Dari putaran tongkat itu, terdengar suara angin menderu bagai badai. Dan tidak berapa lama, Rangga sudah merasakan hempasan angin berhawa panas menyengat tubuhnya. Langsung disadari kalau Nyai Wisanggeni mengerahkan ilmu kesaktian untuk menandinginya.
"Hap!'' Tanpa menunggu waktu lagi, Rangga segera menyiapkan ilmu tandingan untuk menghadapi ilmu kesaktian yang kini dikerahkan lawannya. Kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti terentang lebar. Kedua tangannya terkepal erat di samping pinggang. Sementara, sorot matanya begitu tajam, tertuju lurus pada perempuan tua di depannya yang masih memutar tongkatnya dengan kecepatan dahsyat.
Tiba tiba saja"
"Hiyaaa. .!"
"Aji 'Bayu Bajra'. Yeaaah? !"
Tepat di saat Nyai Wisanggeni menghentakkan tongkatnya ke depan, Rangga juga menghentakkan kedua tangannya ke depan sambil berteriak keras menggelegar. Saat itu juga, secara bersamaan satu sama lain mengeluarkan hempasan angin yang begitu keras dari ilmu kesaktian yang dikerahkan.
Glarrr! Satu ledakan keras pun terjadi, saat ilmu ke saktian yang dikerahkan masing masing beradu tepat di tengah tengah. Tampak mereka sama-sama terpental ke belakang, sejauh satu batang tombak. Namun masing-masing cepat bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, hingga tidak sampai terbanting di tanah.
"Phuih!"
Nyai Wisanggeni menyemburkan ludahnya dengan sengit, melihat lawannya masih tetap berdiri tegak tanpa mendapat luka sedikit pun dari serangannya yang dahsyat tadi. Sementara Rangga sendiri sempat memuji ketangguhan perempuan tua yang menjadi lawannya. Selama dalam pengembaraannya, baru kali ini aji 'Bayu Bajra' yang dikerahkannya mendapat tandingan seimbang. Sehingga, lawan yang dihadapinya masih tetap kelihatan tegar tanpa mendapatkan luka sedikit pun juga.
Dan untuk beberapa saat, mereka sama-sama berdiri tegak saling bertatapan tajam. Seakan-akan, mereka sama-sama tengah mengukur tingkat kepandaian masing-masing. Secara bersamaan pula mereka menggeser kaki ke depan, dengan gerakan begitu ringan. Sehingga, tidak terdengar suara sedikit pun dari gerakan kaki yang terus melangkah maju saling mendekati. Dan mereka sama-sama berhenti, setelah berjarak sekitar satu batang tombak lagi.
Perlahan Nyai Wisanggeni mengangkat tongkatnya, hingga melewati kepala. Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak tidak bergeming sedikit pun juga. Hanya tatapan matanya saja yang terlihat semakin tajam, menyorot langsung ke bola mata perempuan tua di hadapannya
"Cabut senjatamu, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Nyai Wisanggeni membentak dingin.
'Tidak perlu mencabut senjata untuk meng-hadapimu, Perempuan Iblis!" sahut Rangga tidak kalah dingin.
"Phuih! Sombong ...!" dengus Nyai Wisanggeni geram, merasa diremehkan. "Jangan menyesal kalau kau mati tanpa sempat mencabut senjata, Bocah!"
Rangga hanya tersenyum saja. Sebenarnya, pedang pusakanya sudah ingin dicabut. Tapi, dia ingin mengetahui lebih dulu tingkat kepandaian perempuan tua ini. Dan lagi, Rangga tidak ingin terpancing, walaupun amarahnya sudah meng-gelegak dalam dada, setelah tahu kalau wanita tua inilah yang mencelakakan Pandan Wangi.
"Tahan seranganku, Bocah Keparat!" desis Nyai Wisanggeni menggeram dingin.
Bet! Cepat sekali Setan Perempuan Penghisap Da rah itu mengebutkan tongkatnya ke depan, sampai ujungnya yang berbentuk kepala ular itu menghantam tanah. Seketika itu juga, tanah yang dipijak jadi bergetar bagai diguncang gempa. Sementara, Rangga masih tetap diam menanti serangan datang. Dan ketika Nyai Wisanggeni mengangkat tongkatnya kembali ke atas kepala, tiba-tiba saja terdengar suara menggemuruh dari puluhan kuda yang dipacu cepat menuju ke arah pertarungan ini.
"Phuih ..!"
Nyai Wisanggeni tampak geram mendengar hentakan kaki-kaki kuda yang dipacu cepat dari belakangnya. Begitu kepalanya menoleh ke belakang, terlihat puluhan orang berkuda dengan cepat menuju ke sini.
"Setan!" geram Nyai Wisanggeni. Sejenak perempuan tua itu menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti.
"Urusan ini belum selesai, Pendekar Rajawali Sakti...," desis Nyai Wisanggeni dingin.
Setelah berkata demikian, cepat Nyai Wisanggeni melesat pergi, seraya mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna. Begitu cepat gerakannya. Sehingga dalam sekejapan mata saja, sudah lenyap bayangan tubuhnya. Tepat pada saat itu, rombongan orang berkuda tiba di tempat pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti dengan Nyai Wisanggeni tadi.
Tampak orang yang berkuda paling depan adalah Panglima Lanang. Dan di belakangnya mengikuti para prajurit dari Karang Setra dan prajurit dari Pakuan. Di sebelah Panglima Lanang, terlihat seorang laki-laki berusia setengah baya berbaju panglima dari Kerajaan Pakuan. Mereka menghentikan lari kudanya, setelah dekat dengan Rangga yang masih tetap berdiri tegak, memandang ke arah kepergian Nyai Wisanggeni tadi.
"Gusti Prabu" "
Panglima Lanang langsung membungkuk dengan kedua telapak tangan menyaru di depan dada, setelah melompat turun dari punggung kudanya. Rangga mengangkat tangannya sedikit. Dan Panglima Lanang pun kembali berdiri tegak.
"Kau sudah sampai ke Pakuan, Paman?" tanya Rangga dengan bibir mengulas senyum.
"Sudah dua hari, Gusti. Bersama Raden Danupaksi," sahut Panglima Lanang.
"Berapa prajurit yang kau bawa?"
"Lima ratus orang prajurit pilihan."
Rangga mengangguk-angguk. Pandangannya lalu beralih pada panglima dari Pakuan yang berada di sebelah kanan Panglima Lanang.
"Gusti, ini Panglima Antaraka. Panglima kedua dari Pakuan setelah Panglima Widura," kata Panglima Lanang cepat-cepat memperkenalkan.
Panglima Antaraka segera membungkuk memberi hormat. Tanpa dijelaskan lagi, Panglima Antaraka tahu kalau pemuda berbaju rompi putih ini adalah Raja Karang Setra. Dia bisa langsung mengetahui dari sikap Panglima Lanang pada pemuda yang belum dikenalnya ini. Dia jadi ingat, Raja Karang Setra memang seorang pendekar tangguh dan sering pergi mengembara meninggalkan istananya, hanya untuk menunaikan tugas sebagai seorang pendekar penegak keadilan.
Sementara itu Rangga membalas penghormat-an dengan anggukan kepala sedikit. Bibirnya masih terus menyunggingkan senyum tipis. Kini pandangannya kembali dialihkan pada Panglima Lanang.
"Maaf, Gusti. Tadi hamba melihat Gusti Prabu bertarung dengan seseorang. Kalau boleh hamba tahu, siapa lawan Gusti Prabu tadi...?" tanya Panglima Antaraka dengan sikap sopan sekali.
"Nyai Wisanggeni," sahut Rangga.
"Oh?"! Si Setan Perempuan Penghisap Darah...?" desis Panglima Antaraka terkejut.
"Benar," tegas Rangga.
"Kenapa Gusti Prabu sampai bisa bentrok de-ngannya?" tanya Panglima Antaraka lagi.
Tanpa sungkan-sungkan lagi, Rangga mence-ritakan semua peristiwa yang dialaminya selama berada di Pakuan ini sampai Pandan Wangi kini menderita luka parah. Hanya saja, Rangga tidak menceritakan kalau Pandan Wangi dirawat Rajawali Putih. Rangga juga cerita tentang Panglima Widura yang dicurigai menjadi otak dari rencana pemberontakan di Kerajaan Pakuan ini. Panglima Lanang dan Panglima Antaraka terdiam mendengarkan penuh perhatian. Tidak ada yang menyelak sampai Rangga menyelesaikan ceritanya.
"Sudah lama hamba mencurigai Panglima Widura. Ternyata, dugaan hamba tidak meleset sama sekali," gumam Panglima Antaraka pelan, seperti bicara pada diri sendiri.
"Sebelum segalanya terjadi, sebaiknya kalian amankan Panglima Widura dan semua prajuritnya. Aku sendiri yang akan menghadapi orang yang ada di belakang Panglima Widura," tegas Rangga.
"Terima kasih, Gusti Prabu," ucap Panglima Antaraka.
"Sudahlah. Sebaiknya, kau cepat berangkat sebelum Panglima Widura bertindak," ujar Rangga.
Panglima Lanang dan Panglima Antaraka sege- ra membungkuk memberi hormat. Kemudian, mereka melompat naik ke punggung kuda masing-masing. Setelah menganggukkan kepala pada Pendekar Rajawali Sakti, kedua panglima itu langsung memutar kuda dan cepat menggebahnya. Sekitar seratus orang prajurit yang menyertai, segera mengikuti kedua panglima itu. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak memandangi sampai rombongan prajurit itu lenyap dari pandangan.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 117. Memburu Pengkhianat Bag. 4
29. August 2014 um 10:01
4 ? ? Panglima Widura terkejut setengah mati, begitu menerima laporan dari Ki Renges kalau tempat tinggalnya sudah dikepung ratusan prajurit gabungan Karang Setra dan Pakuan. Maka seluruh prajuritnya segera diperintahkan untuk siap menghadapi segala macam serangan. Baginya memang tidak ada pilihan lain lagi, meskipun disadari tidak akan mungkin bisa melawan begitu banyak prajurit. Terlebih lagi, dia tahu kalau prajurit Karang Setra yang ada di Pakuan ini, kemampuannya dalam bertempur sudah tidak bisa diragukan lagi.
"Jumlah mereka sangat banyak, Gusti. Rasa-nya tidak mungkin kita menghadapinya." ujar Ki Renges, dengan wajah mencerminkan kecemasan
"Sudah kepalang basah. Lawan mereka!" sen-tak Panglima Widura geram "Siapkan semua pra-jurit!"
"Semua prajurit sudah siap, Gusti," lapor Ki Renges lagi, memberi tahu.
"Bagus! Jangan biarkan seorang pun dari mereka bisa menginjak tanah ini. Beri mereka pe-lajaran yang berharga, Ki Renges."
"Hamba, Gusti Panglima.
Ki Renges bergegas berlari-lari kecil ke luar. Diperintahkannya seluruh prajurit untuk bersiaga penuh mengadakan serangan. Sementara, Panglima Widura sendiri sudah berada di beranda depan rumahnya. Pandangannya beredar ke sekeliling, memandangi prajuritnya yang sudah siap menghadapi pertempuran.
"Hhh! Ini semua gara-gara Pendekar Rajawali Sakti. Kalau dia tidak muncul di Pakuan ini, tidak akan mungkin jadi berantakan seperti ini. Huh...!" dengus Panglima Widura, kesal.
Sementara itu, suara hiruk-pikuk di luar terus terdengar. Sehingga, membuat wajah Panglima Widura jadi memerah menahan kemarahan yang amat sangat. Rencana yang sudah disusun begitu lama, sekarang jadi berantakan. Bahkan sebelum bisa melakukan tindakan, sudah terlebih dahulu dikepung prajurit-prajurit gabungan yang sangat besar kekuatannya.
"Seraaang...!" seru Panglima Widura tiba-tiba memberi perintah dengan suara lantang meng-gelegar.
Seketika itu juga, prajurit yang berada di atas pagar berbentuk benteng, langsung melepaskan anak panah yang sejak tadi sudah terpasang di busur.
Jerit dan teriakan melengking mengantar kematian pun langsung terdengar dari luar pagar yang berbentuk benteng kokoh ini. Sedangkan prajurit Panglima Widura yang berada di atas pagar benteng, terus melontarkan anak-anak panah secara beruntun. Sementara, sebagian prajurit yang sudah siap di halaman bersikap waspada, menanti kalau kalau pintu gerbang yang tertutup rapat dapat dijebol lawan.
"Phuih!"
Panglima Widura menyemburkan ludahnya, saat melihat beberapa orang prajuritnya yang ber-ada di atas pagar mulai berjatuhan tertembus panah dan serangan balasan. Satu-persatu prajurit-prajurit itu berjatuhan, memperdengarkan suara jeritan melengking dan menyayat hati. Tanah pun tersiram darah yang muncrat dari para prajurit yang tewas terbanting akibat tertembus anak panah.
"Perkuat pintu gerbang...!" seru Panglima Widura memberi perintah, begitu terdengar pintu gerbang yang tebal dan kokoh mulai berderak.
Tampak pintu dari kayu jati bulat itu mulai bergetar, disertai suara berderak keras. Sementara jeritan-jeritan panjang terus terdengar. Sedangkan tubuh-tubuh bersimbah darah pun terus berjatuhan.
Tampak Panglima Widura mulai merasa cemas, melihat pintu gerbang semakin rapuh. kekuatannya.
Dan sudah bisa dipastikan tidak lama lagi pintu itu akan hancur. Sementara mereka yang berada di luar akan menyerbu masuk. Kalau hal ini terjadi, sulit dibendung lagi.
Brak! Belum lagi Panglima Widura bisa berpikir lebih jauh, tiba-taba saja pintu gerbang yang diperta-hankan itu hancur berkeping keeping. Dan seketika itu juga, puluhan prajurit yang berada di luar menyerbu masuk sambil berteriak-teriak mengacungkan senjata di atas kepala.
"Hadang mereka...!" teriak Panglima Widura memberi perintah.
"Hiyaaa?? !"
"Yeaaah ..!"
Pertempuran memang tidak dapat dihindari lagi. Dua prajurit yang saling bertentangan mulai bertarung sengit di halaman rumah Panglima Wi dura yang sangat luas ini. Denting senjata beradu seketika terdengar, menyertai teriakan-teriakan lantang menggelegar membangkitkan semangat pertempuran yang bercampur jeritan kematian.
Sebentar saja, tubuh-tubuh bersimbah darah sudah terlihat berjatuhan dari kedua belah pihak. Namun, prajurit Pakuan yang dibantu prajurit Karang Setra terus merangsek semakin banyak ke dalam halaman rumah panglima ini. Akibatnya, prajurit-prajurit yang bertahan semakin kewalahan saja menghadapinya. Sementara, Panglima Widura mulai menyingkir mendekati kuda hitam tunggangannya yang tertambat di bawah pohon, tidak jauh dari beranda depan rumahnya yang besar dan megah.
"Hup!"
Cepat panglima itu melompat naik ke pung- gung kudanya. Tapi belum juga kuda hitam tung-gangannya digebah, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat begitu cepat menerjang ke arahnya.
"Ups..."!"
Panglima Widura jadi kaget setengah mati. Cepat tubuhnya melenting ke atas, dan berputaran dua kali di udara. Lalu manis sekali tubuhnya meluruk turun. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kedua kakinya menjejak tanah. Saat itu, terlihat seorang pemuda berwajah tampan sudah berdiri sekitar satu batang tombak di depannya. Dari pakaian yang dikenakan, sudah dapat dipastikan kalau anak muda tampan itu adalah Danupaksi, adik tiri Pendekar Rajawali Sakti yang juga Raja Karang Setra.
"Jangan harap bisa kabur dengan mudah, Pengkhianat Busuk!" terasa begitu dingin nada suara Danupaksi.
"Phuih!"
Panglima Widura hanya menyemburkan ludahnya saja dengan sengit. Dia tahu, anak muda yang menghadangnya ini adalah Raden Danupaksi dari Karang Setra. Dan itu membuatnya tidak bisa menganggap sebelah mata pada anak muda yang usianya jauh berada di bawahnya ini.
Sret! Cring! Tanpa sungkan-sungkan lagi, Panglima Widura meloloskan pedangnya yang sejak tadi tergantung di pinggang. Sementara melihat lawannya sudah meloloskan pedang, perlahan- lahan Danupaksi mencabut pedangnya juga. Dan pedangnya langsung dilintangkan di depan dada sambil menggeser kakinya perlahan-lahan ke kanan. Sedangkan Panglima Widura mulai melangkah ke depan perlahan-lahan, sambil memainkan pedangnya di depan dada. Sorot matanya begitu tajam memancarkan nafsu membunuh penuh kebencian pada anak muda di depannya.
'Mampus kau Keparat! Hiyaaat!'
"Hup! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Panglima Widura melompat cepat bagai kilat menerjang. Pedangnya langsung dikebutkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sementara, Danupaksi sendiri sudah melesat menyambut serangan dengan menghentakkan pedangnya ke depan. Sehingga...
Tring! "Ups!"
"Ikh...!"
? *** ? Mereka sama-sama berlompatan mundur begitu pedang satu sama lain beradu keras di udara. Begitu kerasnya, sehingga menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke segala arah. Tapi mereka cepat bisa menguasai keseimbangan, dan berdiri tegak dengan pedang sama-sama tersilang di depan dada.
Beberapa saat mereka terdiam dan saling me-natap tajam. Benturan pedang yang terjadi begitu cepat dan dahsyat itu membuat mereka sama-sama menyadari akan ketangguhan masing-masing. Jelas, tenaga dalam yang mereka miliki saat ini seimbang.
"Hm... Tampaknya anak muda ini memiliki kepandaian yang setara denganku," gumam Pang-lima Widura dalam hati. "Aku harus lebih berhati-hati menghadapinya."
Perlahan Panglima Widura menggeser kakinya, menyusur tanah ke kanan. Sementara, Danupaksi tetap berdiri tegak dengan pedang masih tersilang di depan dada. Tatapan matanya begitu tajam, memperhatikan setiap gerak lawan. Sedikit tubuhnya memutar, saat Panglima Widura sudah berada agak menyamping di bagian kiri. Dan saat itu, Panglima Widura sudah berhenti menggeser kakinya, kemudian memainkan pedangnya perlahan di depan dada.
Pedang yang berkilatan tajam serasa hendak menggetarkan jantung lawan yang jauh lebih muda usianya. Tapi kelihatan jelas kalau Danupaksi tidak gentar sedikit pun melihat mata pedang yang berkilatan memantulkan cahaya matahari. Sementara di tempat lain, pertarungan masih terus berlangsung. Walaupun sudah terlihat kalau para prajurit Panglima Widura sudah tidak berdaya lagi untuk terus bertahan lebih lama. Dan kedudukannya semakin terdesak, dengan semakin banyaknya prajurit yang gugur bersimbah darah.
Sementara Danupaksi dan Panglima Widura masih tetap berdiri saling berhadapan, dengan jarak kurang dari satu tombak. Sedangkan beberapa orang prajurit Karang Setra berpangkat punggawa yang sudah tidak memiliki lawan lagi, sudah mulai mengelilingi tempat ini. Bahkan terlihat dua orang panglima dari Pakuan, serta Panglima Lanang, sudah berada di tempat itu, tidak jauh di belakang Danupaksi.
Keadaan yang tidak menguntungkan ini cepat diketahui Panglima Widura. Hatinya seketika mulai diliputi kecemasan. Terlebih lagi, saat mengetahui prajuritnya sudah tidak berdaya lagi menghadapi serangan para prajurit gabungan Pakuan dan Karang Setra. Panglima Widura cepat menyadari kalau tidak lama lagi, akan menghadapi lawan-lawannya ini seorang diri yang tidak akan mungkin dilakukannya. Sedangkan anak muda yang kini sedang dihadapinya saja memiliki kepandaian yang setara.
"Phuih!"
Panglima Widura menyemburkan ludahnya dengan sengit, menyadari keadaan yang sangat tidak menguntungkan. Kedua bola matanya yang memerah beredar tajam ke sekeliling, seperti sepasang bola api. Sedikit pun tidak ada celah baginya untuk dapat meloloskan diri. Malah, semakin banyak saja prajurit yang mengepungnya Sementara, Danupaksi semakin kelihatan tenang melihat keadaan sekelilingnya yang begitu menguntungkan. Dan kepercayaan diri yang semula sudah mulai menipis, langsung bangkit seketika.
"Sebaiknya menyerah saja, Panglima Widura. Tidak ada gunanya lagi terus bertahan," terasa begitu tenang suara Danupaksi. Tapi, terdengar begitu dingin nadanya.
"Phuih!"
Untuk kedua kalinya, Panglima Widura menyemburkan ludahnya dengan sengit. Memang tidak ada pilihan baginya. Bertahan, atau menye-rahkan lehernya untuk digantung sebagai peng-khianat dan pemberontak. Tapi bagi orang yang berkecimpung dalam rimba persilatan, lebih baik mati di ujung pedang lawan daripada harus mati di tiang gantungan! Panglima Widura mulai menegakkan pedangnya hingga sejajar tubuhnya. Dan tatapan matanya yang begitu tajam penuh nafsu membunuh, tertuju lurus pada Danupaksi yang berada kurang dari satu tombak di depan.
"Kita bertarung sampai ada yang mampus, Bocah!" bentak Panglima Widura lantang meng-gelegar. "Hiyaaat...!"
Panglima Widura benar-benar tidak mempu-nyai pilihan lain lagi. Sambil berteriak keras menggelegar, dia melompat disertai seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Lesatannya yang begitu cepat bagai kilat, hingga terasa begitu sulit diikuti pandangan mata biasa Namun, Danupaksi yang sudah siap sejak tadi, cepat pula mengibaskan pedangnya ke depan, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Bersamaan dengan itu, kakinya bergeser sedikit ke kanan, sambil meliuk hingga terlihat agak miring.
Trang! "Yeaaah...!"
Begitu pedangnya beradu, tangan kiri Danupaksi cepat melepaskan satu pukulan keras menggeledek dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, tepat mengarah ke lambung Panglima Widura.
"Ikh..."!"
Panglima Widura jadi tersentak kaget setengah mati. Tidak disangka kalau Danupaksi bisa bergerak begitu cepat, menangkis serangan yang dibarengi sebuah serangan balasan yang begitu cepat luar biasa. Untung tubuhnya cepat meliuk, hingga pukulan yang dilepaskan Danupaksi hanya mengenai angin kosong belaka.
"Hup!"
Panglima Widura cepat-cepat melompat ke belakang, menjaga jarak. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, saat itu juga Danupaksi sudah melesat cepat bagai kilat sambil membabatkan pedangnya ke arah kepala. Begitu cepat serangannya sehingga membuat Panglima Widura jadi terbeliak setengah mati.
Wut! "Ups...!"
Panglima Widura cepat menarik kepalanya ke belakang, sehingga tebasan pedang Danupaksi hanya lewaat di depan wajahnya.
"Hih! Hiyaaa...!"
Namun pada saat yang hampir bersamaan, Danupaksi melenting sedikit ke atas. Dan dengan kecepatan yang begitu sukar diikuti mata biasa, pedangnya diputar ke bawah.
"Hih!"
Wuk! Trang! ? *** ? Kembali dua pedang yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi beradu, tepat di depan perut Panglima Widura. Dan panglima itu cepat melompat ke belakang, sejauh tiga langkah. Sedangkan Danupaksi langsung menjejakkan kakinya. Lalu saat itu juga tubuhnya merunduk, hingga lututnya yang tertekuk menyentuh tanah. Seketika itu juga pedangnya cepat dikibaskan ke arah kaki lawan.
Bet! "Hup!"
Tidak ada jalan lain lagi bagi Panglima Widura untuk menghindari serangan Danupaksi yang sungguh cepat luar biasa ini, kecuali melompat ke atas. Tapi tanpa diduga sama sekali, Danupaksi justru menegakkan tubuhnya tepat di saat Panglima Widura melesat ke atas. Bahkan seketika itu juga Danupaksi melepaskan satu pukulan dahsyat dengan tangan kiri.
"Heh..."!"
Panglima Widura hanya dapat terbeliak saja melihat serangan lawannya yang begitu cepat dan beruntun. Dia berusaha berkelit dengan meliukkan tubuhnya, namun gerakannya sudah terlambat. Dan..
Begkh! "Akh...!"
Panglima Widura terpekik keras begitu pukulan tangan kiri Danupaksi yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi tepat menghantam bagian samping dadanya yang sebelah kanan. Akibatnya panglima itu terpental sejauh satu batang tombak ke belakang. Tapi keseimbangan tubuhnya cepat bisa dikuasai walaupun dada kanannya terasa begitu nyeri akibat pukulan Danupaksi tadi.
"Ukh!"
Panglima Widura mengeluh sedikit, merasakan sesak yang menyergap dadanya. Dan pandangannya pun jadi sedikit berkunang-kunang. Panglima Widura menggeleng beberapa kali, mencoba mengusir rasa pening yang tiba-tiba saja menyerang kepalanya.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 8 Jaka Sembung 13 Pertarungan Terakhir Sepak Terjang Hui Sing 6

Cari Blog Ini