Ceritasilat Novel Online

Pulau Kematian 1

Pendekar Rajawali Sakti 129 Pulau Kematian Bagian 1


" To help personalize content, tailor and measure ads, and provide a safer experience, we use cookies. By clicking or navigating the site, you agree to allow our collection of information on and off through cookies. Learn more, including about available controls: Policy.
129. Pulau Kematian Bag. 1
October 8, 2014 at 10:16am
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Pulau Kematian Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1? ? ? "Kakang...! Kakang Rangga...!"
"Aku di sini, Pandan...!"
Seorang pemuda berwajah tampan yang dipanggil Rangga menyembulkan kepalanya dari ba?tik bongkahan batu besar di tepi sungai, tepat di saat gadis yang dipanggil Pandan Wangi melompat naik ke atas batu itu.
"Auh...!"
Pandan Wangi jadi terpekik, melihat Rangga yang dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti tanpa pakaian di balik batu itu. Cepat gadis itu melompat turun, dan langsung berbalik membelakangi batu besar ini. Rangga juga jadi terkejut, dan langsung menenggelamkan tubuhnya kembali ke dalam air. Pemuda itu benar-benar tak sadar kalau tubuhnya belum berpakaian.
"Cepat berpakaian, Kakang. Ada yang ingin kubicarakan!" seru Pandan Wangi sambil tersenyum geli, melihat Rangga tadi tidak berpakaian sama sekali.
Sementara di balik batu, Rangga bergegas mengenakan pakaiannya kembali. Tak lama, dia keluar dari balik batu besar itu. Pandan Wangi tersenyum-senyum saja melihat Pendekar Rajawali Sakti masih mengencangkan tali yang mengikat pedang ke punggungnya.
"Ada apa kau tersenyum-senyum" Senang ya. mengintip orang mandi...?" rungut Rangga.
"Siapa yang ngintip..." Aku tidak sengaja tadi." dengus Pandan Wangi, membela diri.
Rangga melangkah menghampiri kudanya yang tertambat di pohon, bersama kuda Pandan Wangi. Dipasangnya pelana kuda hitam yang terbuat dari kulit berlapis perak itu. Sedangkan kuda putih tunggangan Pandan Wangi sudah berpelana. Pandan Wangi sendiri masih tetap berdiri sambil menyandarkan punggungnya di batu sebesar kerbau ini. Gadis itu hanya memperhatikan Rangga yang sedang menyiapkan kudanya.
"Kau akan mengatakan apa tadi?" tanya Rangga setelah selesai memasang pelana kudanya.
"Kau tentu ingin tahu. apa yang kutemukan ini, Kakang...," kata Pandan Wangi sambil melemparkan sebuah selongsong bambu ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Tangkas sekali Rangga menangkap selongsong bambu itu. Tapi Pendekar Rajawali Sakti agak ter?kejut juga. Tangannya seketika agak bergetar, begitu selongsong bambu berhasil ditangkapnya. Langsung ditatapnya Pandan Wangi dengan bola mata mendelik lebar. Pandan Wangi jadi terkikik geli. Sengaja tadi sedikit tenaga dalamnya disalur-kan pada lemparannya. Dan ini sama sekali tidak diduga Rangga, hingga terasa tangannya jadi bergetar tadi.
"Buka tutupnya, Kakang," ujar Pandan Wangi masih tersenyum geli, bisa mempermainkan Pende?kar Rajawali Sakti.
Rangga segera membuka tutup yang terbuat dari sabut kelapa ini. Kelopak matanya jadi menyipit, melihat di dalam selongsong bambu itu terdapat segulung kulit binatang yang sudah dikerat tipis dan dikeringkan. Diambilnya gulungan kulit tipis itu, dan dibukanya lebar-lebar. Sesaat diamati lembaran ku?lit kering itu. Kemudian, matanya yang masih menyipit menatap Pandan Wangi.
"Dari mana kau dapatkan ini...?" tanya Rangga sambil menggulung lembaran kulit itu kembali, dan memasukkannya ke dalam selongsong bambu kem?bali.
Pendekar Rajawali Sakti lalu melangkah meng?hampiri gadis cantik berbaju ketat berwarna biru muda yang dikenal berjuluk si Kipas Maut ini. Dan diserahkannya kembali selongsong bambu itu. Pandan Wangi menerima, dan langsung diselipkan ke ikat pinggang sebelah kanan. Sementara, Rangga sudah kembali melangkah menghampiri kudanya. Dan tanpa bicara lagi, pemuda itu langsung melompat naik ke punggung kuda hitam yang bernama Dewa Bayu. Pandan Wangi bergegas melangkah menghampiri kuda putihnya. Dengan gerakan indah sekali, gadis itu melompat naik ke punggung kuda putih tunggangannya. Beberapa saat mereka terdiam, belum menggebah kuda masing-masing. Dan sejenak mereka saling bertukar pandangan.
"Tunjukkan, di mana kau temukan itu, Pan?dan," pinta Rangga meminta, setelah beberapa saat dia terdiam.
"Hiyaaa...!"
Pandan Wangi langsung saja menggebah keras kudanya. Seketika kuda putih tunggangannya meringkik, sambil mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi ke atas. Lalu bagaikan sebatang anak panah yang dilepaskan dari busur, kuda putih itu melesat cepat meninggalkan tepian sungai ini.
"Yeaaah"!"
Rangga segera menggebah kudanya, mengikuti gadis itu. Kudanya segera dipacu dalam kecepatan tidak penuh. Sehingga, dia tetap berada di belakang kuda putih yang ditunggangi Pandan Wangi.
? *** ? "Hooop...!"
Pandan Wangi langsung melompat turun daripunggung kudanya, begitu menarik tali kekang ku?da putih yang terbuat dari perak itu. Sungguh indah dan ringan gerakannya. Sehingga, sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak rerumputan di dalam hutan ini. Rangga yang sejak tadi mengikuti, juga melompat turun dari punggung kuda hitam tunggangannya. Dihampirinya Pandan Wangi yang tetap berdiri dekat dengan kudanya. Tanpa bicara sedikit pun juga, gadis itu menunjuk ke ujung jari kakinya.
"Di sini...?" tanya Rangga.
"Iya! Aku menemukannya di sini," sahut Pandan Wangi.
Sebentar Rangga mengamati rerumputan di ujung jari kaki si Kipas Maut itu. Kemudian pandangannya beredar ke sekeliling. Sesaat keningnya jadi berkerut, dengan kelopak mata terlihat agak menyipit. Pandan Wangi yang sejak tadi memper?hatikan, keningnya jadi berkerut juga. Sementara Rangga sudah melangkah, mendekati segerumbul semak yang berada tidak jauh di sebelah kanannya.
Dengan sepotong cabang pohon yang dipu-ngutnya dari tanah, Rangga menyibak ranting itu. Pandan Wangi yang sejak tadi memperhatikan se?gera mendekati, begitu terlihat sesosok tubuh tergeletak dalam semak belukar dalam keadaan sudah tidak bernyawa.
Beberapa saat mereka terdiam, memperhatikan mayat laki-laki berusia sekitar empat puluh tujuh tahun itu. Seluruh tubuhnya berlumur darah dari luka yang menganga begitu banyak. Bahkan kepalanya hampir saja terpisah dari leher. Pandan Wangi segera membalikkan mayat itu sambil menghembuskan napas panjang.
"Aku tidak tahu kalau ada mayat di sini, Ka?kang," kata Pandan Wangi pelan, seraya meng-hembuskan napas panjang.
"Aku kenali pakaian yang dikenakannya, Pan?dan. Dia seorang utusan dari Kadipaten Balakarang. Lihatlah ikat pinggang yang dikenakannya..?" kata Rangga juga pelan suaranya.
Pandan Wangi berpaling sedikit ke belakang. Dia memang melihat kalau mayat laki-laki itu me-ngenakan sabuk berwarna kuning keemasan, de?ngan kepala bergambar lambang Kadipaten Bala?karang. Gadis itu kembali berbalik.
"Apa mungkin dia hanya seorang diri saja, Kakang?" tanya Pandan Wangi pelan, setelah be?berapa saat terdiam.
Aku kenal betul Adipati Krasana. Dia selalu mengirim utusan hanya seorang diri saja, tanpa pengawal sama sekali. Dan utusan yang dipilihnya, bukan orang sembarangan. Selain pandai menunggang kuda, tingkat kepandaiannya juga tidak bisa dipandang ringan," jelas Rangga.
"Kalau begitu, kemana Adipati Krasana me?ngirimkan utusan yang membawa peta ini, Ka?kang?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Tidak ada sepucuk surat pun terlampir pada peta itu," sahut Rangga agak mendesah, seakan bicara pada diri sendiri. 'Tapi, aku merasa kalau peta itu harus disampaikan pada seseorang yang sangat penting."
"Kakang! Apa sebaiknya kita ke Kadipaten Ba?lakarang saja, dan mengembalikan peta ini pada Adipati Krasana...?" usul Pandan Wangi.
"Aku belum mengenal wataknya, Pandan. Ju?ga aku tidak mau mengambil bahaya yang besar, hanya untuk selembar peta," kata Rangga seraya berbalik, dan melangkah menghampiri kudanya lagi.
"Lalu, apa yang akan kau perbuat?" tanya Pan?dan Wangi tidak mengerti kata-kata yang diucapkan Pendekar Rajawali Sakti barusan.
Rangga hanya diam saja. Kembali Pendekar Rajawali Sakti naik ke punggung kuda hitam Dewa Bayu. Sedangkan Pandan Wangi tetap berdiri memandangi kekasihnya yang kini sudah berada di atas punggung kudanya kembali. Rangga juga memandangi gadis itu tanpa mengeluarkan suara se?dikit pun juga.
"Apa lagi yang kau tunggu, Pandan. ?" tegur Rangga seperti tidak sabar.
Pandan Wangi tidak menyahut. Kakinya malah melangkah menghampiri kudanya, dan mengambil tali kekang kuda putih yang terbuat dari perak itu. Tapi, gadis itu belum juga naik ke punggung kuda putih tunggangannya.
"Aku mau kembalikan ini pada pemiliknya, Kakang," kata Pandan Wangi, langsung melompat naik ke punggung kuda putih itu. "Hup! Yeaaah...!"
"Pandan...!"
Rangga jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba Pandan Wangi menggebah kudanya dengan cepat sekali. Sehingga dalam waktu sebentar saja, si Kipas Maut itu sudah jauh meninggalkan Pendekar Raja?wali Sakti.
"Pandan, apa yang kaulakukan...?" seru Rang?ga kuat-kuat.
Tapi Pandan Wangi sudah terlalu jauh untuk bisa mendengar seruan Pendekar Rajawali Sakti. Kudanya terus dipacu cepat, menembus pepohon-an yang cukup rapat ini. Sementara Rangga masih diam, belum juga menggebah kudanya.
"Huh! Cari kesulitan saja anak itu...!" dengus Rangga. "Hus! Shyaaa...!"
Rangga cepat menggebah kudanya.
"Susul Pandan Wangi, Dewa Bayu," perintah Rangga.
Kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu meringkik keras. Dan seketika itu juga, Dewa Bayu melesat bagai anak panah terlepas dari busur. Begitu cepat larinya, hingga yang terlihat hanya bayangan hitam dan tubuhnya saja yang berkelebat di antara pepohonan rapat ini.
"Hiya! Yeaaah. .!"
Rangga terus menggebah kudanya semakin cepat, membuat Dewa Bayu hitam itu berlari bagaikan angin saja. Seakan-akan, keempat kakinya tidak la?gi menyentuh tanah. Debu dan daun-daun kering pun beterbangan, tersepak kaki-kaki kuda yang bergerak begitu. Namun, tiba-tiba saja Rangga menghentikan lari kudanya.
"Hooop...!"
"Hieeegkh. !"
Dewa Bayu meringkik keras, langsung meng-angkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Sigap sekali Rangga mengendalikan kuda hitamnya, hing?ga cepat berhenti. Langsung pandangannya beredar ke sekeliling.
"Hm... Seharusnya dia sudah terkejar"," gu-mam Rangga yang merasa kudanya sudah dipacu begitu jauh.
Tapi sepanjang jalan yang dilalui, Rangga tidak melihat Pandan Wangi. Bahkan bayangannya pun tidak terlihat. Entah kenapa, mendadak saja terselip rasa kecemasan dalam hati Pendekar Rajawali Sakti.
"Gegabah! Bikin susah orang saja...!" dengus Rangga menyesali tindakan Pandan Wangi yang ti?dak berpikir lebih dulu.
Beberapa saat Rangga masih mengedarkan pandangan ke sekeliling namun tidak juga bisa melihat bayangan Pandan Wangi bersama kuda?nya. Hanya pepohonan saja yang terlihat di seke-lilingnya.
"Ayo, Dewa Bayu. Kita langsung saja ke Kadipaten Balakarang," ujar Rangga pada kudanya.
Kuda hitam itu mendengus, dengan kepala terangguk sekali. Seakan ucapan Pendekar Raja?wali Sakti bisa dimengerti.
"Yeaaah...!"
? *** ? Kadipaten Balakarang, bukanlah sebuah kadi?paten besar. Letaknya di sebuah lembah yang di-kelilingi bukit-bukit yang berjajar bagai sebuah benteng. Meskipun tidak besar, tapi kadipaten ini begitu indah. Bahkan kehidupan rakyatnya juga terlihat di atas rata-rata dari kehidupan rakyat biasa.
Rumah-rumah penduduk kadipaten ini begitu teratur rapi, berada di kiri dan kanan jalan yang penuh simpangan. Semua jalan di kadipaten ini tidak ada yang kecil, sehingga bisa dilalui dua gerobak pedati bersimpang dengan leluasa. Dan saat itu matahari sudah condong ke arah barat. ketika Rangga bersama Dewa Bayu yang ditungganginya sampai di Kadipaten Balakarang ini.
Rangga melihat jalan di seluruh kadipaten ini masih tetap ramai, walaupun matahari sudah hampir tenggelam di balik bukit sebelah barat. Cahaya matahari yang keemasan, menambah keindahan Kota Kadipaten Balakarang ini. Namun, semua keramaian dan keindahan itu sama sekali tidak dapat dinikmati Rangga. Pikirannya selalu tertuju pada Pandan Wangi, yang belum juga diketemukan sepanjang jalan yang dilalui menuju kadipaten ini.
"Kalau dia terus memacu kudanya tanpa henti tentu sudah sampai di kadipaten ini. Hm.... Apakah aku langsung saja ke kadipaten...?" gumam Rang?ga, bicara sendiri dalam hati.
Rangga terus mempertimbangkan segalanya, sambil menjalankan kudanya perlahan-lahan. Setiap orang yang dilintasi, selalu memandangnya sebentar. Namun mereka tidak lagi peduli pada Pendekar Rajawali Sakti. Mereka kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sementara, Rangga terus menjalankan kudanya perlahan-lahan menelusuri jalan tanah yang lebar dan bersih ini.
"Sudah hampir malam. Sebaiknya aku ke peninginapan Nyai Jumirah saja," gumam Rangga lagi dalam hati.
Setelah mengambil keputusan, Pendekar Raja?wali Sakti langsung menuju sebuah rumah pengi-napan yang paling besar di kota ini, dan terletak tepat di depan istana kadipaten. Sebuah istana yang dikelilingi pagar tembok tinggi, dan selalu terjaga ketat oleh prajurit-prajurit kadipaten.
"Hup!"
Rangga langsung melompat turun dari pung?gung kudanya, setelah sampai di rumah penginapan Nyai Jumirah. Kudanya dituntun memasuki halaman depan rumah penginapan yang cukup luas ini. Seorang anak laki-laki berusia sekitar sebelas tahun, dengan tubuh gemuk bertelanjang dada berlari-lan kecil menghampiri dari arah samping rumah pengi?napan itu. Rangga tersenyum, dan langsung menyerahkan tali kekang kudanya pada bocah itu.
"Beri dia makan dan minum yang kenyang, ya...," pinta Rangga.
"Baik. Den." sahut bocah itu sambil tersenyum lebar.
Rangga lantas memberi sekeping uang perak, yang membuat kedua bola mata bocah itu jadi terbeliak lebar menerimanya. Rangga hanya mengusap kepala bocah itu, dan terus saja melangkah menuju pintu depan rumah penginapan yang paling besar di Kota Kadipaten Balakarang.
Pemuda itu berhenti sebentar, begitu kakinya menginjak ambang pintu yang selalu terbuka lebar ini. Sejenak pandangannya beredar ke sekeliling. Tidak ada seorang pun yang dikenalnya. Rangga terus saja melangkah masuk, menghampiri sebuah meja panjang yang ada di sudut ruangan besar ini. Tak lama, seorang perempuan bertubuh gemuk itu, duduk di belakang meja itu membelakanginya. Rangga langsung menepuk punggung wanita ber?tubuh gemuk ini.
"Eh.. "!"
Wanita itu tersentak kaget, dan langsung ter-lompat turun dari kursinya. Dan saat berbalik, ke?dua bola matanya langsung membeliak lebar, begi?tu melihat seorang pemuda berbaju rompi putih sudah ada di depannya.
"Den Rangga ," desis wanita gemuk itu.
"Aku lihat penginapanmu ini semakin besar dan ramai saja. Nyai," ujar Rangga dengan senyum lebar merekah di bibir.
"Ah! Dari dulu tetap saja begini. Den," sahut wanita bertubuh gemuk yang ternyata Nyai Jumi rah, pemilik rumah penginapan ini.
"Aku pesan satu kamar, Nyai," kata Rangga langsung meminta. "Yang biasa?"
"Satu ..."!"
Kening Nyai Jumirah berkerut mendengar permintaan tamu yang sudah dikenalnya ini.
"Iya. Satu... Kenapa, Nyai?"
"Biasanya yang dipesan dua kamar, Den. Kenapa sekarang hanya satu" Apa adikmu tidak ikut?"
"Tidak," sahut Rangga agak ditahan suaranya.
Dari pertanyaan Nyai Jumirah barusan, Rangga langsung sudah bisa tahu kalau Pandan Wangi tidak singgah dulu di rumah penginapan ini. Nyai Jumirah memang sudah kenal Pandan Wangi. Dan yang diketahuinya, Pandan Wangi adalah adik Pendekar Rajawali Sakti ini.
Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi sudah beberapa kali singgah di Kadipaten Bala?karang ini. Dan setiap kali singgah, mereka selalu menginap di rumah penginapan Nyai Jumirah. Tidak heran kalau perempuan gemuk pemilik ru?mah penginapan itu sudah sangat mengenalnya.
"Sebentar aku siapkan kamarnya, Den," kata Nyai Jumirah.
"Siapkan saja, Nyai. Aku ingin makan dulu," kata Rangga.
"Tidak makan di kamar saja, Den...?"
"Tidak, Nyai. Biar di sana saja," sahut Rangga sambil menunjuk sebuah meja yang berada tepat dekat jendela besar yang terbuka lebar.
Nyai Jumirah hanya tersenyum saja. Sementara, Rangga sudah melangkah mendekati meja bun?dar dari kayu jari. Dan tubuhnya dihempaskan di sana, langsung menghadap ke jendela. Dari tempatnya ini, Rangga bisa langsung memandang ke jalan. Sengaja tempat ini yang dipilihnya, kalau-ka?lau nanti melihat Pandan Wangi melintas di jalan itu.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notes by Pendekar Rajawali Sakti
s ? 2017 " . 129. Pulau Kematian Bag. 2
8. Oktober 2014 um 10:18
2 ? ? Sampai malam menyelimuti seluruh wilayah Kadipaten Balakarang ini, Rangga belum juga bisa bertemu Pandan Wangi. Dan ini membuat kegelisahan hatinya semakin bertambah. Namun Pende?kar Rajawali Sakti tidak ingin menduga buruk terlebih dahulu. Dia yakin kalau kekasihnya bisa mengatasi segala masalah yang dihadapinya. Pan?dan Wangi yang sekarang, bukan lagi Pandan Wa?ngi yang dulu, ketika pertama kali mereka bertemu. Kini kepandaian yang dikuasai gadis itu semakin bertambah sempurna saja. Bahkan Pandan Wangi sudah benar-benar bisa menguasai Pedang Naga Geni yang dulu sama sekali tidak pernah bisa digunakan.
"Ke mana dia..." Apakah langsung menemui Adipati Krasana...?" Rangga jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti kelihatan gelisah sekali di dalam kamar yang disewanya. Sejak masuk ke dalam kamar itu matanya tidak pernah lepas mengawasi jalan dari jendela yang dibuka lebar-lebar. Tapi sampai gelap datang menyelimuti sekitarnya, tidak juga Pandan Wangi terlihat melintasi jalan ini. Bahkan pintu gerbang istana kadipaten tetap tertutup rapat, dan terjaga empat orang prajurit. Tidak ada seorang pun yang keluar atau masuk istana kadipaten itu.
"Sebaiknya aku lihat saja sendiri. Apa memang Pandan Wangi sudah sampai lebih dulu, dan lang?sung menemui Adipati Krasana...?" gumam Rangga lagi, bicara sendiri dalam hati.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti mengamati keadaan sekitarnya yang sudah sunyi, tanpa seo?rang pun terlihat lagi berada di luar. Bahkan penginapan ini juga sudah begitu sunyi.
"Hup!"
Dengan gerakan yang begitu ringan, Rangga melompat keluar dari dalam kamar penginapannya. Dan dia terus melesat, berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna. Begitu cepat larinya, sehingga hanya dalam waktu sekejapan mata saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah tiba di sisi pagar tembok yang membentengi istana kadipaten sebelah timur.
Suasana yang sunyi dan gelap, membuat ge?rakan Rangga lebih leluasa. Tapi, tubuhnya tetap dirapatkan pada dinding pagar tembok yang cukup tanggi dan tebal ini. Sesaat diamatinya keadaan sekitarnya. Kemudian...
"Hup!"
Seperti segumpal kapas tertiup angin, Rangga melesat begitu ringan ke atas. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga, kakinya menjejak bibir tembok yang membentengi bangunan istana kadi?paten ini. Rangga cepat merebahkan diri, hingga merapat pada bagian atas bibir pagar tembok batu ini, ketika terlihat dua orang prajurit penjaga lewat di bagian bawahnya.
Tidak lama Rangga menunggu, kedua prajurit itu sudah jauh dan hilang di bagian depan. Namun, Rangga masih tetap mengamati keadaan bagian da?lam istana sejenak. Kemudian, dia melompat turun dengan gerakan cepat dan ringan sekali. Sehingga tidak terdengar suara sedikit pun juga yang ditimbulkan, saat kedua kakinya menjejak tanah.
"Hup!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi. Rangga cepat melesat ke atas, dan langsung hinggap di atas atap bangunan istana kadipaten yang sangat megah ini. Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan, Rangga bergerak cepat dan sangat ringan. Sehing?ga, dia seperti seekor kucing yang berjalan di atas atap tanpa suara sedikit pun yang ditimbulkannya.
Sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti sudah berada tepat di bagian atas dari kamar peristi-rahatan Adipati Krasana. Segera tubuhnya dirapatkan di atas bangunan istana ini. Dan langsung dikerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara', sebuah ilmu kesaktian yang bisa mempertajam pendengaran. Bahkan bisa memilih-milih suara yang diinginkannya. Begitu tajamnya, hingga suara semut pun akan terdengar begitu jelas.
"Hm..."
Rangga menggumam dalam hati, begitu men-dengar suara percakapan dari dalam kamar peris-tirahatan Adipati Krasana. Begitu jelas suara per?cakapan yang terjadi di dalam kamar itu. Dan dari suaranya, Rangga tahu kalau mereka yang sedang berbicara itu adalah Adipati Krasana sendiri, ber?sama Ki Balungkat. Rangga tahu, Ki Balungkat bukan hanya penasihat kadipaten, tapi juga merupakan orang kepercayaan Adipati Krasana sendiri.
"Tidak kau temukan peta itu di sana, Ki?" terdengar suara Adipati Krasana bertanya.
"Tidak..."
Rangga yang mendengar semua pembicaraan itu jadi berkerut keningnya. Dan pemuda itu sema?kin ingin tahu, hingga terus mendengarkan semua pembicaraan dengan mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'
? *** ? "Aku temukan jejak dua ekor kuda di sana, Gusti Adipati," kata Ki Balungkat memberi tahu.
"Hm...," Adipati Krasana hanya menggumamsaja.
"Setelah kutelusuri jejak itu, ternyata menuju ke sini," sambung Ki Balungkat.
"Ke sini...?"
"Benar, Gusti "
"Lalu...?"
"Tapi anehnya, mereka berpisah setelah sam?pai di luar hutan. Yang satu tetap menuju kadipaten ini, sedangkan yang satunya lagi terus menuju utara," jelas Ki Balungkat.
"Kalau begitu, kau hadang dia di perbatasan, Ki."
"Tidak mungkin, Gusti."
"Kenapa tidak mungkin...?"
"Dia pasti sudah masuk ke dalam kota ini "
"Jadi...?"
"Tidak mungkin bisa mencegatnya lagi di per?batasan. "
"Kalau begitu, cari siapa saja yang baru masuk sepanjang siang sampai malam ini."
"Semua sudah kujalankan, Gusti. Bahkan pu-luhan prajurit telah dikerahkan. Hanya ada tiga orang yang baru datang."
"Siapa saja?"
"Anaknya Ki Somal, Nyai Wasibi, dan seorang lagi pemuda asing yang menginap di rumah pengi?napan Nyai Jumirah," jelas Ki Balungkat.
"Yang dua orang jelas tidak masuk dalam hitungan, Ki Balungkat. Maka sebaiknya awasi saja orang asing yang baru datang itu," kata Adipati Krasana memberi perintah.
"Aku sudah tempatkan sepuluh orang untuk mengawasi rumah penginapan itu, Ki. Dan dalam semalam, ada tiga kali pergantian," jelas Ki Balung?kat.
"Bagus...! Rupanya semua permintaanku sudah kau lakukan tanpa menunggu lagi perintah dariku, Ki Balungkat. Aku senang. Kau semakin tahu saja segala isi hati dan pikiranku "
"Aku hanya menjalankan tugas, dan mempelajari semua kebiasaan Gusti Adipati. Baik dalam pikiran, maupun dalam tindakan," kata Ki Balung?kat bernada bangga.
"Kalau begitu, semua persoalan ini kuserahkan padamu, Ki. Dan kuminta secepatnya peta rahasia itu didapatkan. Kalau sudah dapat, langsung bawa peta ke Pulau Kematian," perintah Andika Krasana lagi.
"Aku laksanakan semua perintah, Gusti Adi?pati. "
"Pergi. Aku ingin istirahat dulu."
Tidak ada lagi pembicaraan yang didengarRangga dari atas atap ini. Yang ada hanya suara langkah kaki yang terayun begitu ringan meninggalkan kamar peristirahatan adipati itu. Sementara, Rangga masih tetap rebah di atas atap ini. Dan Pendekar Rajawali Sakti baru bangkit, setelah tidak terdengar lagi suara apa-apa.
"Hm... Pandan Wangi tidak pergi ke sini. Kemana dulu dia..?" gumam Rangga dalam hati.
Setelah menunggu beberapa saat, Rangga bergegas meninggalkan atas bangunan istana kadi?paten ini. Tubuhnya bergerak begitu cepat dan ringan, hingga tidak ada seorang prajurit penjaga pun yang bisa mengetahuinya. Bahkan sampai Pen?dekar Rajawali Sakti kembali berada di luar benteng bangunan istana kadipaten tetap saja tidak ada yang tahu.
"Hap...!"
Rangga langsung saja melesat pergi, kembali ke rumah penginapannya. Gerakannya begitu cepat dan ringan, hingga sebentar saja sudah berada kembali di dalam kamarnya. Dan jendela kamar ini baru ditutup setelah dia sampai.
"Untuk apa Pandan Wangi pergi ke utara...?" tanya Rangga dalam hati.
Memang tidak ada seorang pun yang tahu alasannya. Dan Rangga sama sekali tidak menyangka tindakan Pandan Wangi. Pergi begitu saja, tanpa pamit pada Rangga. Semua ini membuat Rangga semakin sulit untuk memejamkan matanya. Semen?tara, malam terus merayap semakin bertambah larut saja.
? *** ? Pagi-pagi sekali Rangga sudah menyiapkan ku?danya di samping rumah penginapan Nyai Jumirah. Namun baru saja Pendekar Rajawali Sakti naik, dari pintu samping keluar Nyai Jumirah. Perempuan bertubuh gemuk bagai tong air itu menghampiri Pendekar Rajawali Sakti yang sudah berada di punggung Dewa Bayu.
"Jadi juga kau berangkat hari ini. Den?" tanya Nyai Jumirah.
"Benar, Nyai," sahut Rangga.
"Tapi sewa kamar sudah dibayar selama dua pekan," kata Nyai Jumirah.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Baiklah, Den. Aku tidak akan memberi kamar itu pada orang lain selama dua pekan," kata Nyai Jumirah lagi.
Rangga hanya mengangkat bahunya saja sedi?kit, kemudian menggebah kudanya perlahan. Seketika Dewa Bayu benalan perlahan-Iahan, mening?galkan rumah penginapan itu. Rangga tidak menyadari kalau sejak tadi terus diawasi beberapa prajurit yang ada di sekitar jalan di depan rumah pengi?napan ini. Prajurit-prajurit itu terus mengawasi, sam?pai Rangga jauh. Kemudian salah seorang bergegas masuk ke dalam istana kadipaten.
Sementara, Rangga terus menjalankan kuda?nya perlahan-lahan melintasi jalan tanah berdebu yang bersih dari kotoran sampah. Masih belum disadari kalau dirinya terus diawasi prajurit prajurit kadipaten yang selalu ada di setiap persipangan jalan. Hingga akhirnya, Pendekar Rajawali Sakti sampai di perbatasan kota. Baru di sini dia dihadang sepuluh orang prajurit yang semuanya membawa senjata tombak panjang. Tampak pula satu orang punggawa yang menyandang pedang di pinggang ikut menghadang.
Punggawa itu melangkah, ketika Rangga sudah dekat dengan perbatasan sebelah utara ini. Langkah kaki kudanya segera dihentikan saat pungga?wa penjaga perbatasan menghampirinya. Namun Rangga tetap berada di punggung kuda hitam tunggangannya.
"Kau yang menginap di rumah penginapan Nyai Jumirah semalam...?" tegur punggawa yang masih berusia muda itu, langsung.
"Benar," sahut Rangga heran. Keningnya terli?hat berkerut.
"Kalau begitu, kau harus kami tanyai lebih dulu sebelum meninggalkan kadipaten ini," tegas pung?gawa itu.
"Untuk apa...?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Dengar, Kisanak. Namaku Punggawa Ajibara. Aku mendapat perintah langsung dari Gusti Adipati Krasana, untuk menanyaimu," kata punggawa bernama Ajibara dengan nada suara tegas dan berwibawa.
"Hm.... Apa yang kalian inginkan dariku?" ta?nya Rangga terdengar agak menggumam nada suaranya.
"Kejujuranmu "
"Kejujuranku..." Apa maksudmu, Punggawa?"
"Dengar, Kisanak. Kedatanganmu ke sini tentu ada maksudnya. Katakan dengan jujur. Untuk apa datang ke kadipaten ini...?" tanya Punggawa Aji?bara langsung.
"Hanya kebetulan saja aku lewat. Dan kebe-tulan juga malam sudah datang. Jadi terpaksa menginap di sini," sahut Rangga tegas.
"Tidak ada maksud lain?" tanya Punggawa Aji?bara seakan masih belum percaya.
"Dengar, Punggawa. Kalau aku punya maksud buruk di sini, sudah tentu tidak akan meninggalkan kadipaten ini. Aku sekarang ingin pergi, dan tidak akan kembali lagi ke sini. Karena bukan tujuanku datang ke sini," tegas Rangga.
"Baiklah. Aku bisa menerima alasanmu, Kisa-nak. Tapi kalau boleh, aku ingin tahu namamu," ujar Punggawa Ajibara.
"Rangga," sahut Rangga, menyebutkan nama-nya.
Punggawa Ajibara tersenyum, kemudian menggeser kakinya ke samping. Lalu dipersilakannya Pendekar Rajawali Sakti untuk melewati perbatasan kota kadipaten ini. Rangga langsung menggebah kudanya, dan menganggukkan kepala sedikit pada punggawa yang masih muda usianya. Sementara Punggawa Ajibara membalas dengan anggukan sedikit.
Dan Rangga pun terus menjalankan kudanya perlahan-lahan, sampai melewati perbatasan yang dijaga sepuluh orang prajurit bersenjata tombak.
Setelah dirasakan cukup jauh, Rangga baru menggebah cepat kudanya. Sehingga, debu-debu dan daun-daun kering beterbangan menghalangi kuda hitam yang membawa Pendekar Rajawali Sakti bagai berlari di atas angin ke arah utara.
? *** ? Di sebuah pantai yang berpasir putih, terlihat Pandan Wangi berdiri tegak di atas gundukan batu karang di tepi pantai. Sedangkan kuda putih tung?gangannya tidak terlihat di sekitar pantai ini. Entah, sudah berapa lama gadis cantik berbaju biru ketat yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu berdiri di sana memandang lurus ke tengah laut.
"Tidak ada satu perahu pun di sini. Bagaimana aku bisa menyeberang...?" gumam Pandan Wangi bicara pada diri sendiri.
Sebentar Pandan Wangi mengedarkan pan-dangan ke seluruh pantai berpasir putih ini. Me-mang, tidak ada satu perahu pun terlihat di sekitar pantai yang sangat indah ini. Pandan Wangi me?langkah menuruni batu karang yang cukup tinggi ini. Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, gadis itu terlihat ringan sekali menu?runi batu karang ini. Lalu begitu manis kedua kaki?nya menjejak pasir putih yang menghampar di se?kitar pantai ini.
Pandan Wangi terus mengayunkan kakinya mendekati garis bibir pantai. Dan gadis itu berdiri tegak mematri matanya ke tengah laut kembali, lalu beredar ke sekitarnya. Sunyi sekali pantai ini. Tidak terlihat seorang pun di sekitarnya. Pandan Wangi memutar tubuhnya ke kanan lalu kakinya terayun melangkah perlahan-lahan.
Namun baru saja benalan beberapa langkah mendadak saja...
Brol! "Heh..."!"
"Hup!"
Pandan Wangi jadi terbeliak dan langsung melompat berputar ke belakang, begitu tiba-tiba di depannya melesat sesosok tubuh dari dalam pasir di pantai ini. Dan begitu kedua kaki si Kipas Maut menjejak hamparan pasir putih ini, dari dalam pasir kembali bermunculan sosok-sosok tubuh yang lang?sung mengepung.
Sret! Melihat gelagat yang tidak menguntungkan, Pandan Wangi segera mencabut senjatanya berupa kipas dari baja putih yang sudah terkenal keampuhannya. Senjata kipasnya langsung dikembangkan di depan dada. Kedua bola matanya beredar, memandangi orang-orang yang bermunculan dari dalam pasir pantai yang sudah mengepungnya.
Semua pengepung adalah laki-laki berusia rata-rata masih muda, bertubuh kekar dan berotot. Me?reka semua mengenakan pakaian ketat warna hi?tam, sehingga memetakan bentuk tubuhnya yang kekar dan berotot. Dan mereka semua menggenggam senjata golok yang seluruhnya berwarna hitam. Golok bergagang tanduk kerbau berwarna hitam berkilat, yang bagian ujungnya dibiarkan runcing itu siap mengancam Pandan Wangi.
"Apa maksud kalian mengepungku?" tanya Pandan Wangi dengan nada suara dingin.
Tidak satu pun dari orang-orang berbaju serba hitam itu yang menjawab. Mereka semua diam, dengan tatapan tajam memancarkan nafsu membunuh yang begitu besar. Hal ini membuat Pandan Wangi jadi bergidik saat menentang tatapan mata mereka. Tapi gadis itu bisa cepat menguasai dirinya, hingga kelihatan tenang.
Perlahan Pandan Wangi berputar, dengan kaki berbentuk lingkaran pada pasir putih di pantai ini. Sementara orang-orang berbaju hitam yang jumlahnya cukup banyak ini juga sudah mulai bergerak memutari gadis ini. Dan...
"Seraaang...!"
"Hiyaaa ...!"
"Yeaaah .!"
Bersama terdengarnya suara memerintah yang begitu keras menggelegar, seketika orang-orang berbaju serba hitam ini serentak berlompatan me-nyerang. Sesaat Pandan Wangi jadi bingung juga menghadapi serangan yang bersamaan dari segala arah. Namun.
"Hup! Yeaaah...!"
Cring! Bet! Wut! Sambil melenting ke atas, Pandan Wangi langsung mencabut Pedang Naga Geni. Dan bagaikan kilat pedang itu dibabatkan ke depan, sambil me-ngebutkan kipasnya ke samping untuk menangkis sabetan golok yang datang dari sebelah kanannya.
Tring! "Yeaaah...!"
Tangkisan Kipas Maut berhasil menghentikan serangan golok. Tapi sambaran Pedang Naga Geni, berhasil dihindari lawannya. Saat itu juga, Pandan Wangi cepat berputar dan langsung mengebutkan kedua senjatanya sambil cepat berlompatan menyambar lawan-lawannya.
"Hiya! Yeaaah...!"
Dengan Pedang Naga Geni yang memancar-kan cahaya merah bagai api dan Kipas Maut yang menjadikan gadis ini terkenal di kalangan rimba persilatan, Pandan Wangi bergerak begitu cepat menyambar setiap lawan yang mendekat. Begitu cepat gerakannya, hingga orang-orang berbaju serba hi?tam itu sulit untuk bisa mengimbanginya.
Dan dalam waktu tidak begitu lama, sudah terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi, disusul ambruknya beberapa orang saling menyusul dengan tubuh bersimbah darah. Dalam beberapa gebrakan saja, Pandan Wangi sudah berhasil mengurangi jumlah lawan-lawannya. Dan tubuhnya terus saja berkelebatan, membabatkan pedang pusakanya dengan kecepatan begitu tinggi, disertai kebutan Kipas Maut yang tidak dapat lagi terbendung kedahsyatannya. Sehingga jeritan-jeritan me?lengking mengiringi kematian semakin sering ter?dengar saling sambut. Dan tubuh-tubuh bersimbah darah pun terus berjatuhan di pantai yang berpasir putih ini.
"Munduuurrr...!"


Pendekar Rajawali Sakti 129 Pulau Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras menggelegar memberi perintah. Dan sebelum suara teriak?an itu lenyap dari pendengaran, orang-orang berba?ju serba hitam ini cepat berlompatan menjauhi si Kipas Maut. Namun mereka masih tetap mengepung, walaupun jumlahnya kini sudah berkurang hampir setengahnya.
Sementara Pandan Wangi sendiri tetap berdiri tegak, dengan Pedang Naga Geni tersilang di depan dada. Kipasnya lalu disimpan di balik ikat pinggangnya yang terbuat dari emas.
"Hm..."
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " 129. Pulau Kematian Bag. 3
8 ?"?"?"" 2014 ". " 10:19
3 ? ? Pandan Wangi menggumam kecil, ketika dari tumpukan batu karang yang membukit tak jauh di depannya melesat seseorang berbaju hitam. Gerakannya begitu indah dan ringan. Lalu tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga kakinya menjejak, tepat sekitar lima langkah di depan si Kipas Maut. Saat itu, Pandan Wangi baru bisa melihat jelas, kalau orang berbaju serba hitam yang baru muncul itu adalah seorang lelaki berusia muda. Wajahnya tampan seperti putra mahkota. Sebilah pedang bergagang hitam seperti tanduk kerbau tergantung di pinggangnya.
Baju warna hitam yang dikenakan pemuda itu begitu ketat, hingga membentuk lekuk tubuhnya yang tegap dan berisi. Bahkan otot-ototnya terlihat jelas dari balik bajunya. Beberapa saat Pandan Wa?ngi memandangi, seakan hendak menilai sampai di mana tingkat kepandaian yang dimiliki pemuda tampan berbaju serba hitam ini.
"Siapa kau, Nisanak" Untuk apa datang ke pantai ini..."!' pemuda itu langsung saja melon-tarkan pertanyaan.
Sesaat Pandan Wangi tidak menjawab. Dia merasa, nada suara pemuda itu demikian dingin. Se?hingga sedikit pun tidak terdengar adanya tekanan pada nada suaranya. Dan tatapan matanya juga terlihat begitu tajam, lurus ke bola mata gadis cantik di depannya.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Nisa?nak," ujar pemuda itu meminta jawaban dari per-tanyaannya yang belum terjawab tadi.
"Kenapa kau ingin tahu urusanku.?" Pandan Wangi malah balik bertanya dengan suara ketus.
"Setiap orang yang datang ke sini selalu mem?buat persoalan. Dan aku tidak ingin lagi ada ma?nusia-manusia kotor yang membuat keonaran di sini," tegas pemuda itu dingin.
"Jaga mulutmu, Kisanak!" bentak Pandan Wa?ngi langsung tersinggung. "Kau kira aku manusia kotor, heh..."! Sekali lagi kata-kata itu keluar, aku tidak segan-segan merobek mulutmu!"
"Hm..."
Pemuda itu jadi bergumam kecil, mendengar bentakan ketus gadis cantik ini. Kedua bola mata?nya jadi menyipit. Sedangkan Pandan Wangi malah memasang wajah angker, dengan tatapan mata be?gitu tajam menusuk.
"Siapa kau sebenarnya, Nisanak?" tanya pe?muda itu kali ini suaranya terdengar lembut.
"Pandan Wangi," sahut Pandan Wangi.
"Apa tujuanmu datang ke sini?"
"Hanya kebetulan lewat saja. Tapi, orang-orangmu ini langsung menyerangku. Maaf, kalau aku terpaksa membela diri," sahut Pandan Wangi tegas.
'Ke mana rujuanmu?"
"Itu urusanku, Kisanak. Tidak ada perlunya kau tahu, ke mana aku akan pergi," tegas Pandan Wa?ngi.
"Baiklah, Nisanak. Kalau hanya sekadar lewat silakan lanjutkan perjalananmu. Tapi kalau sampai kau melakukan sesuatu yang bisa mengotori pesisir pantai ini, akan tahu sendiri akibatnya "
Pandan Wangi hanya mencibirkan bibirnya sa?ja. Dimasukkannya kembali Pedang Naga Geni ke dalam warangka di punggung. Sebentar dipan-danginya orang-orang yang masih mengepungnya. Dan mereka langsung bergerak cepat ke belakang pemuda berbaju serba hitam ini.
Gadis berjuluk si Kipas Maut itu menatap pemuda tampan berbaju serba hitam ini sesaat. Ke-mudian tubuhnya berbalik, dan terus melangkah tanpa bicara sedikit pun juga. Sedangkan pemuda berbaju serba hitam itu terus memandangi sampai si Kipas Maut ini jauh. Pandan Wangi sendiri terus saja melangkah, tanpa berpaling lagi ke belakang.
Dan tubuhnya lenyap setelah sampai di hamparan batu-batu karang bertumpuk bagai sebuah bukit kecil di pesisir pantai ini. Sementara, pemuda ber?baju serba hitam itu baru meninggalkan pantai ini, setelah Pandan Wangi benar-benar sudah tidak ter?lihat lagi. Tapi, sebenarnya Pandan Wangi justru yang kini mengamati mereka dari balik batu karang yang cukup besar.
"Hm... Siapa mereka" Kenapa mereka seperti melindungi pantai ini...?" gumam Pandan Wangi jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Pandan Wangi memang tidak sempat mena-nyakan perihal orang-orang berpakaian serba hitam itu. Tapi gadis itu terus mengamatinya dari balik batu karang ini. Sampai mereka lenyap ditelan hutan yang membatasi pantai ini dengan daratan, Pandan Wangi baru keluar dari balik batu karang itu. Dan dengan pengerahan ilmu meringankan tu?buh yang sudah hampir sempurna, gadis itu berlari begitu cepat mengejar orang-orang berpakaian serba hitam itu. Sebentar saja, bayangan tubuh si Ki?pas Maut itu sudah lenyap tak berbekas lagi. Bahkan jejak tapak kakinya juga tidak terlihat di atas hamparan pasir putih sepanjang pantai ini.
? *** ? Malam baru saja turun menyelimuti sebagianpermukaan bumi. Rangga tampak berkuda perla?han-lahan memasuki daerah pantai berpasir putih yang sunyi ini. Terpaan angin yang begitu kuat, membuat rambut panjang Pendekar Rajawali Sakti berkibaran. Rangga menghentikan langkah kaki kudanya, begitu tiba di pantai yang berpasir putih bagian hamparan butir mutiara ini. Dengan gerakan ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari punggung kuda hitamnya
"Ada apa, Dewa Bayu?" tanya Rangga, ketika tiba-tiba saja kuda hitam tunggangannya ini meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.
Kuda hitam bernama Dewa Bayu itu mende-ngus-dengus sambil mengangguk-anggukkan kepa?la. Sejenak Rangga memandangi kuda hitam itu.
"Kau merasakan sesuatu, Dewa Bayu.'' Tunjukkan padaku," pinta Rangga.
Kuda hitam itu meringkik kecil, kemudian lang?sung berlari meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti. Cepat sekali kuda hitam itu berlari, mendekati hutan yang di sebelah selatan pantai ini. Sebentar Rangga masih tetap diam memandangi, kemudian cepat berlari mengejar kuda hitam tunggangannya de?ngan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna. Sehingga, sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti sudah berada dekat di belakang kuda hitam tunggangannya.
"Putih"," desis Rangga, ketika di tepi hutan ini melihat seekor kuda putih yang begitu dike-nalinya.
Bergegas Rangga menghampiri kuda putih yang memang tunggangan Pandan Wangi. Sedangkan Dewa Bayu sudah berada di depan kuda putih ini. Dan kedua kuda itu mendengus-dengus dengan kepala bergerak terangguk-angguk, seakan-akan sedang berbicara.
Kuda hitam Dewa Bayu langsung menyorongkan kepala pada Rangga yang baru sampai. Rangga tahu, apa maksudnya. Dan tanpa bicara lagi, Pen?dekar Rajawali Sakti segera melompat naik ke punggung kuda hitam tunggangannya. Saat itu juga, kuda putih tunggangan Pandan Wangi langsung berlari cepat menembus lebatnya hutan yang gelap terselimut malam.
"Hiyaaa...!"
Rangga langsung menggebah kudanya, mengi-kuti kuda putih itu. Dia tahu, kuda tunggangan Pandan Wangi tentu akan membawanya pada gadis itu. Namun dalam hati Pendekar Rajawali Sakti, terbetik berbagai macam pertanyaan dan dugaan mengenai diri kekasihnya yang sampai saat ini belum juga diketahuinya. Rangga hanya bisa berharap, tidak terjadi sesuatu pada diri gadis itu.
? *** Sementara itu, Pandan Wangi sudah tiba di daerah yang seperti sebuah perkampungan. Tapi dia melihat keanehan, karena semua orang yang ada di perkampungan ini mengenakan baju serba hitam. Bentuk dan potongan pakaian mereka pun sama persis.
Pandan Wangi mengayunkan kakinya perlahan-lahan, memasuki perkampungan yang dira-sakannya aneh ini. Dia tahu, semua orang selalu memandanginya dengan sinar mata memancarkan kecurigaan dan ketidaksenangan atas kedatangannya. Tapi, gadis itu tidak mau peduli. Namun demikian sikapnya tetap waspada, berjaga-jaga dari segala kemungkinan yang bisa terjadi.
Namun ketika Pandan Wangi sampai di tengah-tengah perkampungan yang merupakan se?buah tanah lapang, tiba-tiba saja orang yang se-muanya berpakaian serba hitam itu sudah mengepungnya dari segaia penjuru. Dan mereka langsung bergerak perlahan-lahan. mendekati gadis cantik berbaju biru ini.
Pandan Wangi jadi tersentak kaget setengah mati, begitu menyadari dirinya sudah terkepung puluhan orang berpakaian serba hitam dari segala arah. Bahkan mereka semua sudah menghunus go?lok masing-masing.
Saat itu muncul seorang pemuda berwajah tampan berbaju ketat warna hitam, keluar daridalam sebuah rumah yang berada tepat di depan Pandan Wangi berdiri. Pemuda itu melangkah men?dekati gadis ini, didampingi enam orang laki-laki berusia setengah baya dengan golok terselip di pinggang. Hanya pemuda tampan ini saja yang menyandang pedang di pinggangnya. Dan memang mereka sudah pernah bertemu sebelumnya di pantai.
"Aku sudah menduga, kau pasti punya maksud tertentu datang ke pesisir pantai ini, Nisanak," terasa begitu dingin nada suara pemuda berbaju serba hitam ketat ini.
"Maaf. Aku tidak tahu apa perkampungan di sini. Aku hanya kebetulan lewat saja," sahut Pan?dan Wangi mencoba mencari alasan.
"Kau bisa berkata begitu, Nisanak. Tapi, sinar matamu tidak bisa membohongiku," desis pemuda berbaju hitam itu semakin dingin nada suaranya.
Pandan Wangi jadi terdiam. Pandangannya lantas beredar ke sekeliling, merayapi orang-orang yang kini sudah mengepungnya dengan rapat. Ti?dak ada celah sedikit pun yang bisa dijadikan jalan keluar. Bahkan kecil sekali kemungkinannya untuk bisa lolos. Pandan Wangi jadi menggerutu sendiri. Hatinya menyesal telah berani masuk ke dalam perkampungan aneh yang tidak dikenalnya seorang diri saja.
"Baiklah. Aku berterus terang"," kata Pandan Wangi akhirnya. "Aku memang mengikuti kalian sampai ke sini... "
Pemuda itu tidak tersenyum sedikit pun juga mendengar pengakuan gadis ini. Bahkan raut wa-jahnya terlihat begitu datar. Sinar matanya masih tetap menyorot tajam, menatap gadis cantik yang berjuluk si Kipas Maut.
Pandan Wangi jadi terdiam. Dia tidak tahu lagi, apa yang harus dikatakan untuk menjelaskan pada pemuda berbaju serba hitam ini. Sementara itu, dia melihat salah seorang pengawal pemuda itu berbisik di telinganya. Tampak kepala pemuda berwajah tampan itu terangguk-angguk perlahan. Lalu kembali menatap wajah cantik di depannya.
"Kenapa kau mengikuti kami. Nisanak?" tanya pemuda itu tetap dingin dan datar nada suaranya.
"Aku penasaran." sahut Pandan Wangi kalem.
"Penasaran" Penasaran pada siapa?"
"Pada sikap kalian."
Kening pemuda itu jadi berkerut mendengar jawaban si Kipas Maut barusan.
"Sikap kalian sangat aneh. Sehingga membuatku jadi pensaran ingin tahu. Kalian tiba-tiba saja menyerangku lalu begitu mudah meninggalkanku di pantai seorang diri. Aku sudah bertemu begitu banyak tokoh persilatan di dunia ini, tapi tidak ada yang bersikap seperti kalian, ltu sebabnya, kenapa aku jadi penasaran, lantas mengikuti kalian sampai di sini," jelas Pandan Wangi.
"Lalu, apa yang kau inginkan dari kami, Ni?sanak?" tanya pemuda itu lagi.
Pandan Wangi tidak menjawab. Bahunya ha?nya diangkat saja sedikit. Tapi dalam kepalanya, dia terus berpikir dan mempertimbangkan sesuatu yang begitu sulit untuk diutarakan.
"Dengar, Nisanak. Kau sudah mengganggu ke-tenteraman kami semua di sini. Dan kami punya peraturan yang selalu ditaati. Kau tinggal pilih. Menantang salah seorang dari kami, atau harus menjalani hukuman yang akan ditentukan pada pengadilan pemuka adat kami," kata pemuda itu lagi.
"Hm...," Pandan Wangi jadi berkerut kening?nya.
Gadis berjuluk si Kipas Maut itu pernah mende?ngar adanya peraturan seperti ini. Dan di perkam?pungan ini, juga berlaku peraturan yang membuat dirinya begitu sulit memilih. Apa pun pilihannya, tidak akan menguntungkan bagi dirinya sendiri.
"Apa untungnya kalau aku menantang salah satu dari kalian?" tanya Pandan Wangi.
"Kau boleh bebas, jika menang. Tapi, kau ha?rus menjalankan satu tugas yang akan diberikan padamu. Setelah tugas itu dilaksanakan, baru kau bisa bebas pergi dari sini," jelas pemuda tampan yang rupanya adalah pemimpin dari kelompok perkampungan aneh ini.
"Baik.... Aku akan memilih yang pertama," ka?ta Pandan Wangi tegas.
"Bagus. Pilihlah, siapa di antara kami semua ini yang kau tantang "
"Kau..."
Pandan Wangi langsung menunjuk pemuda itu.
"Keparat...! Kau menghina junjungan kami"!" bentak salah seorang pengawal yang berada di sebelah kanan pemuda itu" Kau harus diberi pe-lajaran, Nisanak!"
Hampir saja laki-laki berusia setengah baya itu mencabut golok, kalau saja pemuda tampan berba?ju hitam itu tidak segera merentang tangannya se?dikit. Pilihan Pandan Wangi memang membuat me?reka semua jadi tidak senang. Mereka merasa di rendahkan. Bahkan menganggap Pandan Wangi terlalu menganggap enteng, dengan menantang pemimpin mereka semua.
"Biarkan dia memilih sesukanya, Paman Kei-nginannya akan kulayani," kata pemuda itu.
"Tapi. Gusti... "
"Menyingkirlah kalian...!" perintah pemuda itu tegas, tidak mempedulikan pengikut-pengikutnya yang kelihatan tidak menyukai pilihan yang diambil Pandan Wangi.
Mendapat perintah tegas begitu, tidak ada seorang pun dari mereka yang berani membantah. Dan mereka segera menyingkir menjauh, memberi peluang pada kedua orang ini untuk saling menguji kepandaian. Dan di tengah lapangan yang cukup luas, kini berdiri saling berhadapan antara Pandan Wangi dan pemuda berbaju serba hitam.
"Kisanak! Sebelum pertarungan ini dimulai, aku ingin tahu dulu namamu," kata Pandan Wangi mengajukan permintaan.
"Arya Bangal," sahut pemuda itu, menyebut-kan namanya.
"Dan aku Pandan Wangi," balas Pandan Wa?ngi juga memperkenalkan namanya.
Entah kenapa, mereka sama-sama tersenyum. Tapi kemudian, pemuda tampan berbaju serba hi?tam yang bernama Arya Bangal itu langsung men?cabut pedangnya yang tergantung di pinggang.
Cring! "Hm" "
Pandan Wangi agak terkesiap juga, begitu me?lihat pedang yang dicabut Arya Bangal memiliki pamor dahsyat. Udara malam yang tadi terasa dingin mendadak saja jadi panas, bersama tercabutnya pedang yang memancarkan cahaya putih keperakan itu. Sementara, Pandan Wangi tetap tidak mencabut satu pun senjatanya. Gadis itu tetap ber?diri tegak dengan mata menyorot tajam, menatap lurus ke bola mata pemuda tampan itu.
"Mulailah, Nisanak. Kupersilakan kau memulainya lebih dulu," pinta Arya Bangal.
"Baik. Bersiaplah " sambut Pandan Wangi dingin. "Hiyaaat...!"
Sambil membentak nyaring, Pandan Wangi langsung saja melompat cepat sekali. Seketika satu pukulan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi dilepaskan, tepat di kepala lawannya
"Haiiit" !"
Bet! "Hap!"
Tepat di saat Arya pangal mengebutkan pe-dangnya untuk mencoba menghalau serangan cepat sekali Pandan Wangi menarik pukulannya pu-lang. Dan dengan kecepatan bagai kilat, Pandan Wangi meliukkan tubuhnya berputar, sambil melepaskan satu tendangan menggeledek yang begitu cepat sehingga, membuat kedua bola mata Arya Bangal jadi terbeliak kaget setengah mati, tidak menyangka kalau gadis ini akan berbuat seperti itu.
"Hap! Yeaaah"!"
Arya Bangal cepat memutar tubuhnya ke bela-kang. Maka tendangan yang dilepaskan Pandan Wangi tidak sampai menghantam tubuhnya. Na?mun baru saja kakinya menjejak tanah yang ber?pasir ini, Pandan Wangi sudah berputar. Kakinya langsung terayun begitu cepat bagai kilat, mengarah ke kaki pemuda lawannya ini. Begitu cepat serangan si Kipas Maut ini, hingga membuat Arya Bangal jadi terperanjat setengah mati.
"Hup!"
Cepat-cepat Arya Bangal melenting ke atas, menghindari sepakan kaki gadis ini. Namun pada saat itu juga, tanpa diduga sama sekali Pandan Wa?ngi mencabut kipasnya yang langsung dikebutkan ke perut pemuda tampan lawannya ini, sambil berteriak keras menggelegar.
"Yeaaah...!"
Bet! "Heh" "!"
Pemuda itu terkejut setengah mati mendapat serangan mendadak seperti ini. Namun...
Wut! Arya Bangal cepat-cepat mengebutkan pedangnya ke depan perut. Sehingga"
Tring! "Hup!"
"Hap!"
Mereka sama-sama berlompatan ke belakang, begitu senjata mereka beradu keras sekali, hingga menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke segala arah. Secara bersamaan pula mereka menjejakkan kaki dengan jarak sejauh satu batang tombak. Begitu manis dan ringan, kedua kaki mereka menjejak tanah berpasir ini tanpa suara sedikit pun.
Sementara semua orang yang menyaksikan pertarungan itu jadi menahan napas. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau gadis cantik yang kelihatannya lembut ini memiliki kepandaian yang begitu linggi. Sehingga gadis itu mampu bertahan menghadapi pemimpin mereka dalam lima jurus yang berlangsung begitu cepat.
Sementara, mereka berdua saling menatap dengan sinar mata begitu tajam menusuk. Seakan, mereka sama-sama saling mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki. Dan secara bersamaan, kaki mereka bergeser ke samping, dengan arah berlawanan.
"Lihat pedang! Shaaa..
Tiba-tiba saja Arya Bangal membentak keras menggelegar, membuat semua orang yang ada di lapangan itu jadi tersentak kaget. Dan pada saat itu juga, tubuh pemuda itu melesat begitu cepat bagai kilat, menerjang Pandan Wangi. Dan si Kipas Maut yang memang sudah siap sejak tadi, tidak terpengaruh sedikit pun oleh bentakan lawannya.
"Hiyaaa...!"
Bet! Wut! Trang! Kembali senjata mereka beradu keras sekali di udara, hingga menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke segala arah. Dan mereka berdua sama-sama berputaran ke belakang, menjaga jarak. Dan begitu menjejak tanah, kembali mereka ber?lompatan menyerang dengan kecepatan begitu tinggi. Sehingga, gerak mereka sulit diikuti pandangan mata biasa. Begitu cepatnya sampai yang terlihat hanya dua bayangan saling berkelebatan menyambar. Dan...
Trang! Bet! Cras! "Aaakh...!"
Semua orang yang ada di lapangan itu jadi ter-sentak kaget begitu tiba-tiba terdengar dua senjata beradu keras sekali, disertai berpijarnya bunga api ke segala arah. Dan saat itu juga, terdengar pekikan keras agak tertahan diiringi berkelebatnya dua sosok tubuh yang saling menjauhkan diri.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
?"?"?"" Pendekar Rajawali Sakti
? 2017 " To help personalize content, tailor and measure ads, and provide a safer experience, we use cookies. By clicking or navigating the site, you agree to allow our collection of information on and off through cookies. Learn more, including about available controls: Policy.
129. Pulau Kematian Bag. 4
October 8, 2014 at 10:20am
4 ? ? Mereka sama-sama menjejak kakinya dengan kokoh di atas tanah berpasir putih ini, dengan senjata tersilang di depan dada. Ada sekitar satu setengah batang tombak jarak mereka. Namun ti?dak lama kemudian, terlihat darah menetes di tanah berpasir, tepat di ujung kaki Arya Bangal.
'Gusti Arya Bangal terluka"!'
Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras, mem?buat semua orang jadi tersentak kaget, bagai mendengar dentuman petir yang membelah angkasa di malam gelap tanpa bintang dan bulan menghiasi.
Mendengar kata-kata itu, semua orang lang?sung bergerak maju mendekati Pandan Wangi. Tapi belum juga bisa mendekat, Arya Bangal sudah berteriak mencegahnya.
"Mundur kalian semua...!" Seketika itu juga, mereka berhenti melangkah dan langsung menatap pada pemimpinnya. Tampak darah terus mengalir keluar dari dada sebelah kiri pemuda itu. Cukup besar luka sayatan ujung Kipas Maut di dada pemuda itu. Dan darah pun begitu banyak mengucur keluar. Sementara Pan?dan Wangi tetap berdiri tegak, dengan Kipas Mautnya tetap terkembang di depan dada.
"Kau terluka, Arya Bangal"," ujar Pandan Wangi datar.
'Ya! Kau menang," sahut Arya Bangal pelan.
"Biar kuhentikan cucuran darahmu," kata Pandan Wangi, menawarkan.
Tanpa meminta persetujuan lagi, gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu langsung saja melangkah menghampiri. Dan tanpa bicara lagi, langsung diberikannya beberapa totokan di sekitar luka yang menganga cukup lebar di dada kiri pemuda ini. Dan seketika itu juga, darah berhenti mengalir walaupun luka itu masih tetap menganga lebar. Arya Bangal melihat sebentar pa?da lukanya, kemudian tersenyum sambil mengangkat kepalanya. Ditatapnya Pandan Wangi yang su?dah melangkah mundur beberapa tindak.
"Kau menolongku Pandan" Kau bisa saja membunuhku tadi," kata Arya Bangal.
"Tidak ada alasan untuk membunuhmu, Arya Bangal. Dan lagi, antara kita tidak ada persoalan yang membuat kita harus saling bunuh," sahut Pan?dan Wangi.
"Mulia sekali tutur katamu, Panda." puji Arya Bangal tulus.
"Ah...," Pandan Wangi jadi tersipu.
"Kau tentu bukan gadis sembarangan. Aku tahu, kau pasti seorang pendekar tangguh yang berkepandaian tinggi." tebak Arya Bangal lagi.
Pandan Wangi hanya diam saja, tidak menyambut kata-kata pemuda itu. Hanva dipandangi saja Arya Bangal sambil menyimpan kembali senjata Ki?pas Mautnya. Sementara para pengawal Arya Ba?ngal sudah berada kembali di belakang pemuda itu. Mereka kelihatan cemas melihat luka yang menga?nga di dada pemimpinnya. Sebenarnya, mereka ingin menghajar Pandan Wangi. Tapi, tidak ada yang berani sebelum mendapat izin dari pemimpin?nya.
Sedangkan Pandan Wangi sendiri tahu, semua orang yang masih mengepung ini memandang de?ngan mata memancarkan ketidaksenangan. Bahkan sepertinya mereka ingin membunuh. Namun, Pan?dan Wangi bisa merasa tenang. Karena, Arya Ba?ngal yang menjadi pemimpin tidak memerintahkan untuk menyerangnya. Dan dia percaya. pemuda itu memiliki sikap yang sangat bijaksana.
"Kau menjadi tamuku, Pandan. Mari?" kata Arya Bangal tiba-tiba.
"Gusti...!"
Salah seorang pengawal yang berada di sebelah kanan Arya Bangal tersentak kaget, mendengar keputusan pemuda itu. Tapi dia tidak dapat berbuat apa-apa, begitu melihat tangan pemuda itu terentang sedikit. Sedangkan Pandan Wangi tetap diam, tidak melangkah sedikit pun juga. Hatinya seakan masih ragu mendapat kebaikan pemuda ini. Pandan Wangi merasa, perubahan sikap pemuda itu demikian cepat. Sehingga, membuat hatinya terselip rasa curiga.
"Jangan ragukan itikad baikku ini, Pandan. Kau sekarang menjadi tamu kehormatanku. Mari, kita bicara di dalam pondokku," ajak pemuda itu lagi, seakan tahu keraguan di hati si Kipas Maut itu.
Tanpa berkata-kata lagi, Pandan Wangi me?langkah mendekati, begitu melihat tangan kanan pemuda itu terentang lebar. Dan tangannya diren-tangkan sedikit, setelah sampai di depan pemuda ini. Mereka kemudian berjalan bersisian, menuju sebuah pondok yang tidak begitu besar ukurannya. Enam orang pengawal Arya Bangal segera mengi?kuti dari belakang. Sementara orang-orang yang membelakangi pondok itu segera menyingkir mem?beri jalan. Mereka langsung membungkukkan tu?buh, memberi hormat begitu Arya Bangal melewatinya. Pandan Wangi melihat sikap orang-orang ini pada Arya Bangal, seperti hamba sahaya terhadap seorang raja saja.
Dan mereka kemudian duduk di bagian dalam pondok itu. Pandan Wangi mengamati sebentar bagian dalam pondok yang tidak begitu besar. Hanya ada satu ruangan besar, yang ditempati mereka sekarang ini. Kemudian ada sebuah kamar lagi yang tertutup rapat pintunya yang langsung menuju halaman belakang. Pintu itu terbuka sedikit, hingga Pandan Wangi bisa melihat ada dua orang penjaga di samping kiri dan kanannya.
Enam orang pengawal Arya Bangal ikut masuk ke dalam ruangan ini. Dan mereka duduk bersila di lantai yang terbuat dari belahan papan kayu. Sedangkan Arya Bangal dan Pandan Wangi duduk di kursi kayu. Sebuah meja bundar tampak sebagai pembatas antara mereka berdua.
"Tidak kau balut dulu lukamu, Arya Bangal...?" tegur Pandan Wangi, melihat Arya Bangal seperti tidak mempedulikan lukanya.
Arya Bangal tersenyum. Dipanggilnya salah se?orang pengawalnya, hanya dengan lambaian ta?ngan saja. Pengawal yang berusia sekitar empat puluh delapan tahun itu segera menghampiri de?ngan sikap begitu hormat. Dan dia berdiri di samping pemuda ini.
"Panggil Nini Suri. Katakan padanya, bawa pembalut dan obat-obat untuk lukaku ini," pinta Arya Bangal.
"Hamba kerjakan, Gusti," sahut pengawal itu seraya membungkuk memberi hormat.
Tanpa diperintah dua kali, pengawal itu segera meninggalkan ruangan ini melalui pintu belakang.
Sementara, Pandan Wangi melirik sedikit pada lima orang pengawal yang masih tetap berada di dalam ruangan yang berukuran tidak begitu besar ini. Sedangkan Arya Bangal menuangkan arak ke da?lam dua buah cangkir yang terbuat dari perak, lalu meletakkan satu cangkir di depan Pandan Wangi.
"Silakan, Pandan. Kau tentu haus setelah ber-tarung tadi," kata Arya Bangal mempersilakan de?ngan lembut.
"Terima kasih," ucap Pandan Wangi, sambil memberi senyum sedikit.
Pandan Wangi hanya meminum sedikit saja. Sedangkan Arya Bangal meneguk habis semua arak di dalam cangkirnya. Lalu diisinya cangkir yang sudah kosong itu dengan arak manis dan harum ini.
Ketika beberapa saat mereka terdiam, datang pengawal yang tadi disuruh Arya Bangal. Dia diiringi seorang gadis muda berkulit agak kecoklatan dengan wajah manis, membawa sebuah keranjang kecil dari bambu.
Tanpa diperintah lagi, gadis itu langsung mengobati luka di dada Arya Bangal. Tanpa sedikit pun mengeluarkan kata-kata. Kerjanya cekatan sekali. sehingga luka itu terbalut dengan rapi. Sedangkan Pandan Wangi memperhatikan dengan kagum. Rapi sekali pekerjaan gadis ini, seperti seorang tabib saja dalam mengobati luka seseorang. Arya Bangal kembali mengenakan pakaiannya, setelah luka di dadanya terbalut rapi. Dan dia kembali meneguk araknya, sampai tandas.
? *** ? Pandan Wangi masih belum bisa mengerti perubahan sikap Arya Bangal yang begitu mendadak ini. Di perkampungan aneh yang semua penduduknya mengenakan baju warna hitam dengan bentuk dan potongan sama ini, sudah dua hari Pandan Wangi berada di sana. Dan dia semakin merasa aneh melihat semua keganjilan yang dijumpainya di perkampungan ini. Semua orang memperlakukan Arya Bangal seperti seorang raja saja. Tidak ada seorang pun yang menentang segala perintahnya.
Dan malam ini, Pandan Wangi tidak dapat lagi menahan rasa keingintahuannya melihat semua ke ganjilan di perkampungan ini. Dan kebetulan sekali, malam ini gadis itu bisa menemui Arya Bangal sedang duduk menyendiri di atas sebongkah batu ka?rang, memandang ke tengah lautan lepas yang bagaikan tidak bertepi. Debur ombak yang menghantam batu-batu karang di pantai, seakan merupakan sebuah alunan tembang yang begitu indah bermain di telinga.
"Boleh aku menemanimu di sini, Arya Bangal...?"
"Oh..."!"
Arya Bangal tampak terkejut, begitu tiba-tiba terdengar suara lembut dari belakang. Cepat kepalanya diputar ke belakang, dan langsung memberikan senyum begitu melihat Pandan Wangi yang menegurnya dari belakang. Tanpa diminta lagi, Pandan Wangi langsung mengambil tempat, duduk di sebelah kiri pemuda ini. Sedang Arya Bangal menggeser duduknya sedikit, hingga ada jarak antara mereka berdua.
"Sejak tadi kuperhatikan, kau selalu memandang ke tengah laut. Apa ada kenangan dengan lautan...?" ujar Pandan Wangi membuka suara lebih dulu.
"Yaaah?" panjang sekali desahan Arya Bangal dalam menyahuti dengan hembusan napasnya.
"Tentu kenangan yang tidak bisa terlupakan," kata Pandan Wangi lagi, langsung menebak.
Arya Bangal hanya diam saja. Dan pandangannya tertuju lurus ke tengah laut yang hitam. bermandikan cahaya rembulan. Riak gelombangnya membuat pantulan cahaya bulan bagai ribuan mutiara yang terhampar saja. Angin yang bertiup kencang, membuat rambut mereka berdua tergerai.
"Arya Bangal, sudah dua hari aku tinggal di sini. Dan ini malam ketiga. Tapi, kau belum juga memberiku tugas hukuman yang harus kujalani. Aku sudah mengalahkanmu. Aku ingin secepatnya meninggalkan tempat ini." kata Pandan Wangi langsung mengutarakan keinginannya.
"Terlalu berat, Pandan... Rasanya, aku tidak bisa membawamu ke sana"," desah Arya Bangal pelan, dengan nada suara terdengar begitu berat.
"Kau punya persoalan, Arya Bangal?" tanya Pandan Wangi langsung, begitu merasakan adanya ganjalan dalam hati pemuda ini.
Arya Bangal hanya diam saja, tidak menjawab pertanyaan si Kipas Maut barusan. Seakan hatinya begitu berat untuk mengatakannya. Sementara Pandan Wangi memandangi wajah tampan pemuda itu dalam-dalam. Hatinya begitu yakin, ada sesuatu yang mengganjal dalam dada pemuda itu. Sesuatu yang begitu berat untuk diungkapkan.
Saat itu juga Pandan Wangi langsung bisa menyadari kalau apa yang dikatakan sebagai hu?kuman untuk dirinya, bukanlah sebuah hukuman yang sebenarnya harus dijalankan. Dan hukuman itu sebenarnya tidak ada. Karena, memang Pandan Wangi tidak melakukan kesalahan apa-apa pada orang-orang berpakaian serba hitam yang dirasakan begitu aneh segala sikap dan perbuatannya. Dan itu sebenarnya hanya sebuah siasat saja, untuk mengirim Pandan Wangi menyelesaikan persoalan yang mengganjal dalam dada pemuda ini. Per?soalan yang tampaknya begitu berat untuk ditanggungnya.
"Aku tahu, kau menyimpan satu persoalan yang tidak bisa diselesaikan, Arya Bangal. Dan aku juga tahu, apa yang terjadi pada diriku hanya karanganmu semata. Kau sebenarnya sedang mencari seseorang yang bisa diandalkan untuk menyelesaikan masalah yang kau hadapi sekarang ini...," kata Pandan Wangi langsung pada pokok persoalannya.
Arya Bangal menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat. Perlahan kepala-nya berpaling, dan langsung menatap wajah cantik si Kipas Maut yang duduk tepat di sebelahnya. Be?berapa saat dipandanginya wajah cantik itu, kemu?dian terdengar desahan napasnya yang panjang. Dan kembali matanya memandang lautan lepas yang bagaikan tidak bertepi ini. Pandan Wangi sendiri terus memandanginya tanpa berkedip sedikit pun juga. Ditunggunya jawaban dari pertanyaannya tadi.
"Katakan saja, Arya Bangal. Apa yang harus kulakukan untuk mengurangi beban yang kau tanggung ini," kata Pandan Wangi setengah mendesak.
Beberapa saat Arya Bangal masih terdiam.
"Hhh...!"
Kembali pemuda itu menghembuskan napaspanjang, dan terasa begitu keras. Sementara Pan?dan Wangi masih menunggu dengan sabar.
"Kau memang tangguh, Pandan. Tapi terus te-rang saja, rasanya aku ragu untuk membawamu ke sana...," ujar Arya Bangal pelan.
"Ke mana kau akan mengirimku?" desak Pan?dan Wangi kembali.
"Ke pulau, tempat tinggalku dulu bersama se-luruh rakyatku," sahut Arya Bangal tetap pelan sua?ranya.
"Pulau...?"
Kening Pandan Wangi terlihat berkerut, dengan kelopak mata agak menyipit. Terus dipandanginya wajah tampan yang kini kelihatan terselimut mendung itu. Dan Pandan Wangi semakin yakin kalau ada sesuatu yang mengganjal dan tersimpan dalam dada pemuda ini. Maka dia pun semakin ingin tahu.
"Terus terang saja, Pandan. Sebenarnya aku dan sebagian rakyat serta beberapa pengawalku, adalah pelarian untuk menyelamatkan diri. Lalu kami membuat perkampungan di sini, sambil me-nyusun kekuatan untuk merebut kembali pulau yang menjadi negeri kami. Tapi kini, pulau itu kami sebut sebagai Pulau Kematian. Semua orang yang mencoba untuk ke pulau itu, tidak akan pernah kembali lagi. Bahkan namanya saja tidak pernah terdengar. Sudah beberapa orang yang kami jerat sepertimu, dan dikirim ke sana. Tapi, tidak ada seorang pun yagn bisa kembali lagi. Hm... Hanya satu yang bisa kembali, tapi itu juga tidak langsung ke sini. Dan dia sudah mati, begitu sampai di pantai dengan luka-luka di seluruh tubuhnya," Arya Ba?ngal mulai menjelaskan dengan suara pelan dan terdengar amat dipaksakan.
Sementara Pandan Wangi hanya diam saja mendengarkan. Sedikit pun dia tidak membuka suara, dan terus memandangi wajah tampan pemu?da itu. Beberapa saat Arya Bangal terdiam, dengan pandangan terus tertuju ke tengah laut.
? *** ? "Kau seorang raja, Arya Bangal?" tanya Pan?dan Wangi, setelah cukup lama terdiam.
"Begitulah...," sahut Arya Bangal pelan, de?ngan suara agak mendesah.
Pandan Wangi kembali terdiam.
"Raja kecil dengan rakyat yang tidak banyak. Bahkan aku hanya memiliki dua ratus prajurit. Tapi kini, yang tinggal hanya sekitar tiga puluh orang saja. Dan mereka semua yang ada di sini adalah sisa-sia rakyatku. Sedangkan yang lainnya.... Entah bagaimana nasib mereka di sana," kata Arya Bangal masih terdengar pelan suaranya.
"Sebenarnya, apa yang terjadi terhadap kera?jaanmu?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Seseorang datang ke sana dan langsung me-nguasainya dengan kekuatan sukar ditandingi. Dia datang membawa kekuatan yang berjumlah besar. Aku dan sedikit prajurit-prajuritku berusaha mempertahankan. Tapi, mereka terlalu besar dan kuat. Terlebih lagi pemimpinnya. Sulit untuk ditandingi kesaktiannya. Maka aku terpaksa meninggalkan pu?lau itu bersama tiga puluh orang prajurit dan sebagian kecil rakyatku yang bisa diselamatkan," jelas Arya Bangal lagi, masih dengan suara pelan. Dan kini, malah terdengar agak parau.
Sementara Pandan Wangi jadi terdiam. Dan tiba-tiba saja gadis itu teringat lembaran kulit yang melukiskan sebuah peta. Cepat diambilnya selong?song bambu yang berisi lembaran kulit itu. Namun mendadak saja, kedua bola mata Arya Bangal jadi terbeliak melihat selongsong bambu itu di tangan Pandan Wangi. Malah tiba-tiba saja Arya Bangal cepat merebutnya. Tindakan itu membuat Pandan Wangi jadi tersentak kaget setengah mati.
"Dari mana kau dapatkan ini"!" tanya Arya Bangal agak tinggi nada suaranya.
"Kutemukan di jalan," sahuta Pandan Wangi.
"Kau tahu apa isinya?"
"Hanya selembar kulit yang bergambar peta Tapi, aku tidak tahu apa maksudnya. Aku hanya tahu, peta itu seperti menunjukkan laut. Hanya itu," jelas Pandan Wangi.
"Kau tahu, Pandan. Ini milikku yang paling berharga...," kata Arya Bangal agak bergatar sua?ranya.
"Milikmu...?"
Pandan Wangi jadi tidak mengerti. Selongong bambu yang berisi selembar kulit bergambar peta itu secara tidak sengaja ditemukannya. Dan tidak jauh dari tempat di mana selongsong itu ditemukan, terdapat mayat seorang utusan khusus dari Kadi?paten Balakarang. Hanya itu saja yang diketahui Pandan Wangi. Dan sama sekali tidak disangka ka?lau selongsong bambu yang berisi lembaran kulit peta itu milik Arya Bangal.
"Kau tahu, Pandan. Benda ini hilang ketika, kami diserang sepasukan prajurit yang tidak kukenal. Tadinya aku akan menjauhi daerah pantai ini dan akan mendirikan perkampungan sementara di balik bukit itu. Tapi sebelum sampai di sana, se?pasukan prajurit sudah menyerang. Kami terpaksa kembali menyingkir sampai ke pesisir pantai ini, lalu mendirikan perkampungan di sini. Peta itu hilang di saat penyerangan terjadi," kata Arya Bangal menjelaskan.
Pandan Wangi hanya memandang barisan bu?kit yang memanjang dan melingkar seperti sebuah cincin raksasa itu. Dia tahu, di balik bukit itu letak Kadipaten Balakarang. Namun gadis itu langsung bisa mengetahui, kalau prajurit-prajurit yang dimaksudkan Arya Bangal tentu dari Kadipaten Bala?karang. Itu terbukti dari selongsong bambu yang berada pada salah seorang utusan Adipati Krasana yang menguasai kadipaten Balakarang. Hanya saja timbul satu pertanyaan yang tidak bisa dimengerti. Kenapa Adipati Krasana justru memerintahkan utusannya membawa selongsong bambu yang beri?si peta ini..." Dan ke mana utusan itu akan membawanya pergi..." Pertayaan itu terus berkecamuk da?lam benak Pandan Wangi. Namun, sulit untuk bisa dijawab saat ini.
Pahlawan Harapan 12 Badai Awan Angin Pendekar Sejati (beng Ciang Hong In Lok) Karya Liang Ie Shen Pedang Pembunuh Naga 13

Cari Blog Ini