dari dalam tanah itu terus bergerak keluar.
Kemudian, terlihat sebentuk kepala yang kotor
penuh lumpur menyembul dari dalam tanah.
Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi terus
memperhatikan dengan mata tidak berkedip.
Hingga akhirnya, di depan mereka kini berdiri
seorang anak kecil yang berusia sekitar tiga belas
tahun. Anak itu bertubuh kurus dan kotor penuh tanah
berlumpur. Kulitnya ditumbuhi sisik seperti seekor
ular berwarna hijau kehitaman. Dia berdiri tegak di
atas tanah yang tadi ditembus. Anak itu seakanakan sesosok makhluk yang sudah mari saja.
Matanya menatap kedua pendekar muda dari
Karang Setra itu dengan sinar tajam memerah.
"Siapa kalian"! Apa maksud kalian datang
mengganggu wilayahku...?" terasa begitu dingin
dan datar suara bocah kecil itu.
"Aku Rangga. Dan ini adikku. Pandan Wangi...,"
sahut Rangga memperkenalkan diri. "Maaf kalau
kedatanganku ke sini mengganggumu. Tapi, aku
tidak bermaksud mengganggu. Aku dan adikku ini
hanya tersesat di dalam hutan ini."
Bocah kecil yang keluar dari dalam tanah itu
memandangi Rangga dan Pandan Wangi dengan
mata merah dan tajam menusuk, seakan tidak
percaya dengan alasan yang diberikan Pendekar
Rajawali Sakti barusan. Dan Rangga tahu, bocah
aneh itu tidak mempercayai keterangannya
barusan. "Baiklah. Jika ketenanganmu merasa terusik,
aku akan pergi dari sini," kata Rangga tidak ingin
lagi memperpanjang.
"Tunggu...!" sentak bocah itu sebelum Rangga
bisa melangkah pergi meninggalkannya.
Rangga yang sudah akan berbalik, jadi
mengurungkan niatnya. Sedangkan Pandan Wangi
hanya diam saja memandangi bocah kecil yang
kulit tubuhnya kotor dan bersisik seperti ular ini.
"Aku melihat kejujuran di matamu, Kisanak. Dan
kuminta, kau jangan pergi dulu," kata bocah kecil
itu, mulai terdengar ramah nada suaranya.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja
sedikit. "Kau seorang pendekar...?" tanya bocah itu.
Rangga tidak menjawab. Hanya kepalanya saja
yang mengangguk.
"Aku memerlukan seorang pendekar sejati yang
tidak pernah tergiur gemerlapnya dunia dan segala
macam benda pusaka milik orang lain. Aku yakin,
kau bisa mengerti maksudku," kata bocah kecil itu
lagi. "Maaf, pertolongan apa yang kau perlukan dariku?" tanya Rangga sopan.
"Aku tidak bisa mengatakannya di sini. Kalau
kau bersedia, ikutlah bersamaku. Nanti ayahku
yang akan menjelaskannya," sahut anak kecil itu.
"Tapi..., boleh aku tahu apa julukanmu...?"
"Untuk apa?" Rangga balik bertanya.
"Terus terang, aku sedang menunggu seorang
pendekar yang harus kubawa menghadap ayahku.
Dan aku tidak mau salah membawa orang."
Rangga terdiam sebentar memandangi bocah
itu. Sedikit matanya melirik Pandan Wangi yang
juga sejak tadi diam saja memandang ke.arah yang
sama. "Pendekar Rajawali Sakti," sahut Rangga
menyebutkan julukannya.
"Ah...! ternyata aku tidak salah. Kau memang
orang yang sedang kutunggu. Mari kuantarkan
kalian menemui ayahku. Biar nanti kalian tahu, apa
maksudnya," kata bocah kecil bersisik itu dengan
bola mata berbinar cerah.
"Hm.... Siapa ayahmu?" tanya Pandan Wangi
menyelak. "Dan kau sendiri juga belum
mengatakan namamu."
"Oh, maaf.... Aku lupa," sahut bocah kecil itu
agak tersipu. "Biasanya, aku dipanggil Putra Naga.
Dan ayahku adalah Naga Prata. Kami tinggal di
dalam Goa Naga yang ada di dalam tanah."
"Di dalam tanah...?" Pandan Wangi jadi
terbeliak. Bocah kecil bertubuh kotor dan bersisik seperti
ular yang tadi mengaku bernama Putra Naga jadi
tersenyum melihat keterkejutan Pandan Wangi.
Tapi disadari kalau memang tidak mungkin bagi
orang biasa untuk bisa bertahan lama hidup di
dalam tanah. Sedangkan dia sendiri memang sudah
sejak lahir berada di dalam tanah.
"Kau tidak perlu khawatir, Kak Pandan. Tempat
tinggalku berada tepat di bawah kakiku ini. Ayo
ikuti aku," ajak Putra Naga.
Tanpa banyak bicara lagi, bocah kecil yang
bernama Putra Naga itu langsung mengambil
tangan Pandan Wangi. Lalu dengan cepat sekali
tubuhnya melesat masuk ke dalam tanah,
membuat Pandan Wangi yang tertarik masuk jadi
tersentak kaget dan menjerit.
"Kakang...! Akh...!"
"Heh..."!"
Rangga juga jadi kaget setengah mati. Cepatcepat Pendekar Rajawali Sakti melompat masuk ke
dalam tanah yang terbuka seperti sumur itu.
Jeritan Pandan Wangi langsung tenggelam,
bersama menutupnya kembali tanah yang
berlubang. Kini tanah itu telah rapat tertutup
rerumputan dan daun-daun kering. Sementara
Rangga dan Pandan Wangi sudah lenyap masuk ke
dalam tanah mengikuti Putra Naga.
Kedua pendekar muda dari karang Setra itu
meluncur deras sekali ke dalam lereng yang
panjang seperti goa di dalam tanah ini. Mereka
tidak dapat melihat apa-apa, selain kegelapan yang
menyelimuti sekelilingnya. Tapi, Pandan Wangi
masih merasakan kalau pergelangan tangan
kanannya dipegangi jari-jari tangan kecil yang
kasar dan bersisik. Sedangkan sebelah kakinya
dipegangi Rangga yang mengikuti dari belakang.
--myrna-- "Inilah tempat tinggalku," kata Putra Naga.
"Oh...."
Pandan Wangi jadi terlongong bengong, begitu
melihat sebuah istana yang begitu megah berdiri di
dalam tanah. Lebih tercengang lagi, keadaan di
sekitarnya begitu terang seperti tengah hari saja.
Padahal, tidak terlihat adanya cahaya matahari
yang masuk. Di atas kepala mereka yang terlihat
hanya gumpalan tanah berwarna hitam pekat.
"Ayo, kita temui ayahku," ajak Putra Naga.
Rangga dan Pandan Wangi mengikuti anak kecil
itu memasuki bangunan istana yang sangat megah
ini. Namun sungguh mencengangkan, mereka tidak
melihat ada seorang pun di dalam istana ini.
Keadaannya begitu sunyi, tidak terlihat prajurit
seorang pun yang menjaga, sebagaimana layaknya
sebuah istana. Apalagi istana ini begitu megah.
Dan rasanya Rangga sendiri baru melihat sebuah
bangunan istana yang begitu megahnya. Jauh bila
dibandingkan dengan Istana Karang Setra.
"Kalian tunggu di sini. Aku panggil Ayah dulu,"
ujar Putra Naga, setelah mereka berada di dalam
sebuah ruangan yang sangat luas dan indah.
Langit-langit ruangan itu begitu tinggi, seakan
tidak berujung. Tiang-tiang yang besar, terdapat
sebuah tiang sokoguru yang berukuran sangat
besar berwarna kuning keemasan, bagai terbuat
dari emas murni. Lantainya berwarna putih bersih
dan berkilat, hingga bayangan tubuh mereka
terlihat jelas.
Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mereka
tidak bisa lagi menyembunyikan kekagumannya
melihat kemegahan istana ini.
Mereka langsung berpaling ke arah pintu yang
dimasuki Putra Naga tadi, ketika terdengar suara
mendesis yang begitu keras dari dalam pintu itu.
Dan dari dalam pintu itu, muncul Putra Naga
bersama seekor ular naga yang begitu besar
wujudnya. Ular naga itu berkulit hijau kehitaman,
dan kelihatan lemah seperti tidak ada daya lagi.
"Kakang Rangga, Kak Pandan.... Ini ayahku,"
kata Putra Naga memperkenalkan.
"Oh...!"
Pandan Wangi jadi terlenguh melihat orangtua si
Putra Naga ternyata berbentuk seekor ular naga
raksasa yang begitu besar. Pantas saja istananya
ini sangat besar dan tinggi, seperti istana yang
dihuni raksasa saja.
Sementara ular naga yang kelihatan lemah itu
melingkar diam di sudut ruangan berpermadani.
Sedangkan Putra Naga duduk di sampingnya.
Pandan Wangi dan Rangga segera mengambil
tempat, duduk bersila di depan mereka.
"Maaf, aku menerima kalian dalam wujud seperti
ini...," ucap ular naga itu dengan suara berat dan
pelan. "Oh..."!"
Lagi-lagi Pandan Wangi terlenguh kaget
mendengar ular naga itu berbicara seperti manusia.
Sedangkan Rangga hanya diam saja, memandangi
naga raksasa yang dikenalkan Putra Naga tadi
sebagai ayahnya, yang bernama Naga Prata.
"Aku tidak lagi bisa berubah menjadi manusia,
karena mustika kekuatanku hilang dicuri seorang
anak yang kuselamatkan dari kematian. Bahkan
kalian lihat sendiri, anakku juga jadi seperti ini. Dan
istana ini.... Tidak ada lagi prajurit, dan rakyatku.
Mereka semua sudah kembali berubah menjadi
ular. Mereka tidak akan bisa berubah wujud lagi,
selama mustika itu tidak berada padaku," kata
Naga Prata langsung mengemukakan kesulitannya.
"Mustika apa yang kau maksudkan?" tanya
Rangga yang sejak tadi diam saja.
"Sebuah batu mustika berwarna hijau sebesar
kuku, dan berbentuk cincin," jelas Naga Prata.
"Lalu, siapa anak yang telah mencuri mustika
kekuatanmu itu?" selak Pandan Wangi.
"Kunjang," sahut Naga Prata.
"Kunjang...," gumam Rangga mengulangi nama
pencuri mustika kehidupan Naga Prata itu.
"Ya! Namanya Kunjang asalnya dari Desa
Payakan. Waktu itu Kunjang dianiaya dan hampir
mati di dalam hutan. Untung saja aku segera
membawanya ke sini. Bahkan aku telah
mengangkat sebagai anak untuk menemani anakku
bermain. Dia kuberi pelajaran ilmu olah kanuragan
dan kedigdayaan sama dengan putraku. Tapi,
rupanya Kunjang bukan anak baik Dia tahu tentang
mustika kekuatanku, lantas mencurinya ketika aku
sedang tidur. Dengan cincin mustika itu, Kunjang
nyaris tidak akan bisa terkalahkan oleh siapa pun
juga. Bahkan bisa sangat berbahaya bagi semua
orang. Tapi, bukan itu yang kukhawatirkan...."
Naga Prata menghentikan ceritanya sebentar.
Seperti ada sesuatu yang membebani harinya. Dan
itu memang harus diungkapkannya.
"Aku mencemaskan kelangsungan hidup bangsaku. Tanpa mustika itu, bangsaku tidak akan
bisa lagi hidup di sini. Dan mereka akan menjadi
liar kembali, tanpa ada yang dapat mengendalikannya.
Bisa kau bayangkan, bagaimana kalau seluruh bangsaku yang berbentuk
ular itu sampai ke permukaan bumi. Aku rasa, tidak
akan ada seorang pun yang bisa lagi
menghalanginya. Jumlahnya lima kali lipat dari
jumlah manusia yang ada di bumi," jelas Naga
Prata lagi. "Belum lagi, ditambah ular-ular yang
memang hidup dan bebas berada di atas
permukaan bumi. Mereka akan memangsa apa saja
yang ada di bumi ini. Bahkan manusia pun, tidak
luput dari keganasan mereka. Kau harus hentikan
semua ini sebelum terjadi, Pendekar Muda. Hanya
kau yang bisa melakukannya...."
"Kenapa harus aku...?" tanya Rangga tidak
mengerti. "Aku tahu siapa dirimu, Anak Muda. Kau adalah
Pendekar Rajawali Sakti, murid tunggal Pendekar
Rajawali yang memiliki tunggangan seekor burung
Pendekar Rajawali Sakti 128 Rahasia Cincin Mustika di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rajawali. Antara gurumu dan aku, saling
bersahabat. Aku tahu kemampuan yang kau miliki.
Bahkan kau juga menjadi murid Satria Naga Emas,
yang sebenarnya saudara sepupuku. Jadi aku tidak
bisa memilih orang lain lagi selain dirimu, Pendekar
Rajawali Sakti," jelas Naga Prata.
Rangga hanya bisa diam saja, mendengar
penjelasan ular naga raksasa itu. Dia jadi teringat
ketika berada di kediaman Satria Naga Emas.
Memang, wujud Satria Naga Emas bisa berubah
menjadi seekor ular naga raksasa, selain juga bisa
berubah wujud menjadi manusia. Dan Rangga
merasa tidak aneh lagi, kalau Naga Prata bisa tahu
terang dirinya. Pendekar Rajawali Sakti sudah
sering berjumpa orang-orang aneh yang bisa
mengubah wujud dan mengetahui segalanya yang
ada di bumi ini. Dan yang pasti, Naga Prata juga
tahu nama asli Pendekar Rajawali Sakti tanpa harus
diperkenalkan lagi.
"Pergilah kalian. Cari anak itu, dan bawa ke
sini," pinta Naga Prata.
"Aku akan usahakan semampuku, Eyang Naga,"
ucap Rangga, langsung menyebut Naga Prata
dengan sebutan eyang.
Sebutan itu memang merupakan penghormatan
bagi mereka yang dianggap lebih tinggi dan
dihormati. Rangga langsung memanggilnya eyang,
setelah tahu kalau Naga Prata adalah saudara
sepupu Satria Naga Emas. Bahkan sahabat dari
gurunya sendiri, Pendekar Rajawali yang hidup
lebih dari seratus tahun yang lalu.
"Putra Naga akan mengantarkan kalian
kembali," kata Naga Prata lagi.
Setelah berkata demikian, ular naga raksasa itu
bergerak meninggalkan ruangan ini dengan
gerakan begitu lambat Sedangkan Putra Naga
segera beranjak bangkit, dan menghampiri kedua
pendekar muda dari Karang Setra ini.
"Mari, kuantarkan kalian kembali," ajak Putra
Naga sopan. --myrna-- Tidak seperti saat datang, kali ini Rangga dan
Pandan Wangi sama sekali tidak merasakan apaapa ketika meninggalkan istana megah tempat
tinggal Naga Prata. Mereka berjalan seperti biasa,
menembus lorong goa yang begitu panjang dan
gelap serta berliku. Namun, Pandan Wangi merasa
kalau goa itu terus menanjak naik.
Hingga akhirnya, mereka tiba di mulut sebuah
goa yang berada di tengah-tengah hutan. Sebuah
mulut goa yang cukup besar, terlindung semak dan
pepohonan yang cukup rapat. Sinar matahari yang
menerobos melalui rerimbunan dedaunan, membuat kulit mereka seketika jadi terasa hangat.
Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu
langsung melangkah keluar dari dalam goa ini, tapi
Putra Naga tetap berada agak jauh dari mulut goa
ini. "Kau tidak keluar, Putra Naga...?" tegur Rangga.
'Tidak," sahut Putra Naga.
"Kenapa?" tanya Rangga ingin tahu
"Sinar matahari akan membakar tubuhku. Tidak
ada lagi pelindung pada diriku. Nanti kalau kalian
sudah mendapatkan cincin mustika itu kembali, aku
baru bisa berjalan-jalan keluar," jelas Putra Naga.
Rangga hanya mengangguk-angguk saja.
Rupanya memang kehidupan mereka tergantung
dari cincin mustika itu. Tapi, kini cincin itu berada
dalam kekuasaan seorang bocah kecil yang tidak
jelas berada di mana sekarang ini.
"Baiklah, Putra Naga. Aku akan kembali lagi ke
sini dengan cincin mustika itu," kata Rangga.
"Aku tunggu kalian di mulut Goa Naga ini,"
sahut Putra Naga.
"Kami pergi dulu, Putra Naga," pamit Rangga.
"Kuda kalian ada di tepi hutan," kata Putra Naga
memberi tahu. Rangga hanya tersenyum saja. Sedang Pandan
Wangi melambaikan tangannya, yang dibalas Putra
Naga dari dalam goa itu. Kini kedua pendekar
muda dari Karang Setra ini segera melangkah
meninggalkan mulut Goa Naga. Mereka mengambil
arah selatan, langsung menuju Desa Payakan.
Tujuan utama mereka kini hanya Desa Payakan
yang menjadi petunjuk satu-satunya untuk bisa
menemukan bocah yang dikatakan Naga Patra
telah mencuri cincin mustika kekuatan dan
kehidupannya. Mereka terpaksa harus berjalan kaki menembus
hutan yang lebat dan gelap ini, walaupun matahari
bersinar cukup terik di atas awan. Dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuh, mereka
bisa lebih cepat sampai ke tepi hutan. Teriknya
cahaya matahari langsung membakar kulit tubuh
kedua pendekar ini. Dan benar saja, kuda-kuda
mereka sudah menunggu di tepi hutan ini. Bahkan
langsung menghampiri, sambil mendengus-dengus.
"Hup!"
Sepasang pendekar dari Karang Setra itu
langsung saja naik ke punggung kudanya masingmasing, tapi tidak langsung menggebahnya.
Sementara tidak seberapa jauh di depan mereka,
terlihat Desa Payakan yang tampak sunyi seperti
tidak ber-penghuni lagi. Beberapa saat kedua
pendekar muda dari Karang Setra ini memandangi
desa yang tampak sunyi itu.
"Ada apa, Kakang" Kau seperti memikirkan
sesuatu...," tegur Pandan Wangi, melihat Rangga
memandangi Desa Payakan dengan kelopak mata
agak menyipit dan kening sedikit berkerut
"Aku merasa ada kelainan di sana, Pandan,"
sahut Rangga. "Kelainan apa, Kakang" Aku tidak mengerti
maksudmu...," ujar Pandan Wangi, meminta
penjelasan. "Perhatikan, Pandan. Desa itu tampak sunyi.
Aku tidak merasakan adanya napas kehidupan lagi
di sana," sahut Rangga pelan, seolah bicara pada
diri sendiri. Pandan Wangi jadi terdiam. Dipandanginya desa
yang memang kelihatan sunyi dengan kelopak
mata agak menyipit Memang tidak terlihat seorang
pun di sana. Seakan desa itu benar-benar sudah
ditinggalkan penghuninya. Sesaat kemudian, gadis
cantik yang berjuluk si Kipas Maut itu berpaling,
memandangi wajah tampan Pendekar Rajawali
Sakti. "Ayo, Pandan. Kita lihat ke sana," ajak Rangga.
"Hiyaaa...!"
Tanpa menunggu jawaban lagi, Rangga
langsung saja menggebah kudanya dengan
kecepatan tinggi. Dan Pandan Wangi tidak mau
ketinggalan. Segera kuda putihnya digebah keraskeras, hingga meringkik dan langsung melesat
cepat sekali bagai anak panah lepas dari busur.
Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu
memacu kudanya dengan cepat menuju Desa
Payakan yang masih terbhat sunyi seperti tidak
ber-penduduk. Sebentar saja mereka sudah sampai
di desa itu. Memang tidak terlihat satu orang pun
berada di desa ini. Semua rumah yang ada, pintu
dan jendelanya tertutup rapat. Rangga memperlambat jalan kudanya. Dan Pandan Wangi
mensejajarkan langkah kudanya di sebelah kiri
Pendekar Rajawali Sakti. Mereka terus memasuki
desa itu semakin ke dalam, menelusuri jalan tanah
berdebu yang penuh daun-daun serta rerumputan
kering. "Mereka semua ada di dalam rumahnya,
Kakang. Aku bisa merasakan napas mereka," kata
Pandan Wangi pelan seperti berbisik.
"Hm...."
Rangga hanya menggumam saja sedikit.
Pandangannya beredar ke kiri dan kanan jalan
yang dilalui. Diperhatikannya rumah-rumah yang
sunyi, tanpa satu pun yang terlihat membuka pintu
maupun jendela. Tapi Pendekar Rajawali Sakti bisa
mendengar adanya tarikan-tarikan napas tertahan
dari dalam rumah-rumah di sepanjang jalan yang
membelah desa ini. Dan Rangga merasa,
kehadirannya bersama Pandan Wangi di sini
mendapat perhatian dari semua penduduk yang
bersembunyi di dalam rumah masing-masing.
Entah, apa yang membuat mereka jadi ketakutan
seperti itu, hingga tidak lagi berani keluar dari
dalam rumah. Walaupun, saat ini matahari bersinar
cukup terik membakar kulit
Mereka baru menghentikan langkah kaki
kudanya, setelah tiba di depan sebuah rumah yang
paling besar dan paling megah di desa ini. Rumah
yang berdiri.di atas hamparan tanah yang sangat
luas itu juga kelihatan sunyi, seperti tidak lagi
berpenghuni. Tapi, hanya rumah ini yang seluruh
jen dela dan pintunya terbuka. Hanya saja, tidak
terlihat seorang pun di sana. "Hup!"
Rangga melompat turun dari punggung kudanya
dengan gerakan indah dan ringan sekali. Sedikit
pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya
menjejak tanah di samping kuda hitam
tunggangannya. Pandan Wangi ikut melompat
turun dari punggung kuda putihnya, dan berdiri di
samping Pendekar Rajawali Sakti. Matanya juga
memandangi rumah besar bagai sebuah istana
kecil di tengah desa ini.
"Ini pasti rumah Ki Junggut...," gumam Rangga
pelan, seperti bicara pada diri sendiri.
"Tapi kenapa tampak sepi, Kakang" Apa rumah
ini sudah ditinggalkan penghuninya?" tanya Pandan
Wangi juga pelan suaranya.
"Kau tunggu saja di sini, Pandan. Aku akan lihat
ke dalam," kata Rangga meminta.
"Hati-hati, Kakang. Mungkin hanya jebakan
saja," Pandan Wangi memperingatkan.
Rangga hanya tersenyum saja. Kakinya terus
melangkah, mendekati pintu pagar yang terbuat
dari bambu ini. Pendekar Rajawali Sakti terus
melangkah perlahan-lahan dengan ayunan kaki
begitu ringan, memasuki halaman yang sangat luas
dan ditumbuhi rerumputan cukup tebal ini.
Sementara Pandan Wangi tetap menunggu di luar.
Gadis itu terus memperhatikan sekelilingnya,
berjaga-jaga kalau keadaan yang sunyi hanya
sebuah jebakan saja.
Kini Rangga sudah berada di depan beranda
rumah ini. Matanya memperhatikan sekeliling
beberapa saat Dan dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuh yang sudah sempurna sekali,
Pendekar Rajawali Sakti melompat masuk ke dalam
rumah ini. Begitu cepatnya, hingga dalam
sekejapan mata saja bayangan tubuhnya sudah
lenyap tidak terlihat lagi.
Cukup lama juga Rangga berada di dalam,
membuat Pandan Wangi mulai merasa gelisah.
Tapi di saat kegelisahan Pandan Wangi berada
pada puncaknya, Rangga muncul dari dalam rumah
itu seraya melambaikan tangan memanggil gadis
ini. Bergegas Pandan Wangi melangkah, menyeberangi halaman yang luas itu sambil
menuntun kuda-kuda tunggangan mereka. Gadis
itu langsung menghampiri Rangga yang menanti di
ambang pintu. "Kau dapatkan sesuatu, Kakang?" tanya Pandan
Wangi langsung begitu dekat di depan Pendekar
Rajawali Sakti.
"Mereka semua sudah mati," sahut Rangga
pelan. "Apa..."!"
--myrna-- 6 Kedua bola mata Pandan Wangi jadi terbeliak,
seakan tidak percaya melihat tubuh-tubuh yang
sudah tidak-bemyawa lagi saling tumpang tindih di
dalam sebuah kamar berukuran cukup besar di
rumah ini. Bau busuk yang tidak sedap mulai
menyebar, menyeruak ke dalam hidung. Pandan
Wangi bergegas meninggalkan kamar itu.
Sementara, Rangga beberapa saat masih
mengamati keadaan sekitarnya.
Pendekar Rajawali Sakti melihat beberapa mayat
Pendekar Rajawali Sakti 128 Rahasia Cincin Mustika di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu dikenali sebagai orang-orang yang pernah
menyerangnya di dalam hutan. Dan memang di
antara mayat-mayat ada Ki Sampulut, Ki Jampur
dan Nyai Waringki bersama orang-orang yang
pernah dibawanya. Dan di sudut kamar ini, terlihat
seorang pemuda yang sudah menjadi mayat
dengan dada berlubang besar. Siapa lagi kalau
bukan mayat Rantaki.
"Kakang...! Coba lihat ini!"
Rangga cepat berbalik, ketika tiba-tiba
terdengar teriakan Pandan Wangi. Bergegas
kakinya melangkah menghampiri Pandan Wangi
yang berada di dalam ruangan lain. Tampak gadis
cantik berbaju biru muda yang dijuluki si Kipas
Maut itu sidang memandangi guratan-guratan pada
dinding kayu ruangan ini. Rangga menghampiri,
dan berdiri di sebelah
kanannya. "Kau percaya kalau
semua ini perbuatan
binatang buas, Kakang...?"
tanya Pandan Wangi langsung. Rangga tidak langsung menjawab. Diperhatikannya
guratan-guratan
di dinding itu yang seperti cakaran seekor binatang
buas. Pada guratan itu juga terdapat noda-noda
darah yang sudah kering dan menghitam. Rangga
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Keadaan di
dalam kamar ini sungguh berantakan. Tidak ada
satu pun barang-barang di dalam kamar ini yang
masih utuh. Semuanya hancur berantakan.
"Ayo, Pandan...," ajak Rangga.
Pandan Wangi menurut saja, saat Rangga
menggamit tangannya, mengajak keluar dari kamar
ini. Mereka langsung menuju ruangan depan, dan
terus keluar dari rumah ini. Tapi mereka berhenti,
begitu sampai di beranda depan. Keadaannya
masih tetap sunyi seperti tadi. Tetap tidak terlihat
seorang pun berada di rumah. Semua orang
bersembunyi di dalam rumahnya. Entah, apa yang
membuat mereka jadi ketakutan seperti itu.
"Ada yang datang, Kakang," kata Pandan Wangi
setengah berbisik.
"Hm...."
Rangga menggumam sedikit, ketika melihat
seorang laki-laki berusia setengah baya mendatangi dengan langkah cepat dan kelihatan
terburu-buru. Wajahnya kelihatan seperti ketakutan
ketika memasuki halaman rumah ini. Kedua bola
matanya beredar ke sekeliling merayapi sekitarnya,
seakan takut ada yang melihat kemunculannya di
rumah Ki Junggut ini.
"Maaf.... Kalian siapa...?" tanyanya dengan
suara tergagap bergetar.
"Kami dua orang pengembara yang kebetulan
lewat di desa ini, Paman," sahut Rangga. "Namaku
Rangga. Dan ini adikku, Pandan Wangi."
"Aku Prakuti. Kalian boleh memanggilku Paman
Prakuti," laki-laki setengah baya yang raut wajah
memancarkan penderitaan itu juga memperkenalkan diri. "Aku Kepala Desa Payakan
ini." "Kebetulan sekali. Kami memang sedang
membutuhkan orang yang bisa diajak bicara," kata
Rangga. "Kalau kalian ingin bicara, sebaiknya jangan di
sini," kata Prakuti.
"Kenapa?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.
"Rumah ini sudah kosong. Tidak ada lagi
penghuninya."
"Memang, rumah ini sudah kosong. Tapi Ki
Junggut masih hidup. Dan sesekali dia datang ke
sini mengumpulkan orang-orangnya yang mati
dibantai setan kecil itu," jelas Prakuti.
"Setan kecil...?" kening Rangga jadi berkerut.
"Ayolah, kita bicara saja di rumahku," ajak
Prakuti. Sebentar Rangga menatap Pandan Wangi. Tapi
yang dipandang hanya mengangkat bahu saja
sedikit. Dan mereka kemudian melangkah
mengikuti kepala desa itu, meninggalkan rumah Ki
Junggut yang sudah tidak dihuni lagi ini. Sepanjang
jalan, berbagai macam pertanyaan bergelut dalam
benak Rangga maupun Pandan Wangi Mereka ingin
lebih tahu lagi mengenai keadaan Desa Payakan
yang semakin terselimut teka-teki.
--myrna-- Rumah Prakuti tidak terlalu besar, namun
terlihat nyaman dan bersih terawat Kedatangan
kedua pendekar muda dari Karang Setra itu
disambut istri dan tiga orang yang sudah besar.
Mereka semua berkumpul di ruangan depan,
hingga bisa memandang langsung ke jalan.
"Sudah berapa lama keadaan seperti ini
berlangsung?" tanya Rangga setelah mereka bicara
banyak. "Entalah, Rangga. Mungkin sudah lebih dari
sepuluh tahun. Yaaah..., sejak Ki Junggut dan
orang-orangnya datang ke sini," sahut Prakuti,
menjelaskan. "Dan selama itu, apa tidak ada yang
menentangnya?" selak Pandan Wangi.
"Dulu pernah ada yang menentang. Mereka
adalah satu keluarga yang masih ada kaitan
keluarga dengan istriku. Tapi, mereka habis
dibantai. Dan setelah itu, tidak ada lagi yiang
berani menentangnya, hingga Ki Junggut semakin
menggila saja," jelas Prakuti lagi.
"Lalu, kenapa sekarang dia tidak ada" Bahkan
rumahnya kosong, penuh mayat," kata Pandan
Wangi meminta penjelasan.
"Tiga hari yang lalu, datang seorang anak kecil
yang sangat tangguh dan digdaya. Kepandaiannya
sukar sekali ditandingi. Dia langsung mendatangi
rumah Ki Junggut, dan membunuh banyak anak
buahnya. Bahkan Ki Junggut sendiri tidak bisa
menandinginya. Tiga orang tukang pukul
kepercayaannya tewas. Bahkan anak kembarnya
juga tewas di tangannya. Hanya Ki Junggut dan Ki
Sampak saja yang bisa menyelamatkan diri. Tapi,
entah sekarang mereka berada di mana. Terkadang
Ki Junggut dan Ki Sampak memang terlihat datang
ke rumah itu mengumpulkan mayat bekas tukang
pukulnya di dalam kamar menjadi satu," jelas
Prakuti panjang lebar.
"Tiga hari...?"
Pandan Wangi jadi terkejut. Sungguh tidak
disangka kalau dia dan Rangga sudah tiga hari
berada di Istana Goa Naga. Padahal hanya
beberapa saat saja mereka berada di sana. Tapi,
ternyata di alam nyata ini sudah sampai tiga hari
lamanya. "Hm.... Kau tahu siapa anak itu, Paman?" tanya
Pandan Wangi dengan suara agak menggumam.
Sedikit Rangga melirik Pandan Wangi yang
duduk bersila di sebelahnya. Gadis itu juga melirik
sedikit padanya. Pandan Wangi tahu, apa yang ada
dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti. Sama
seperti dirinya. Tentu Rangga juga menduga kalau
bocah aneh itu adalah Kunjang yang telah mencuri
cincin pusaka kehidupan dari Istana Goa Naga.
"Tidak ada seorang pun yang tahu siapa dia,"
sahut Prakuti. "Dia datang bersama seorang gadis," selak istri
Prakuti. "Gadis..."!" kening Rangga berkerut.
"Ya! Aku tahu namanya," sahut istri Prakuti lagi.
"Siapa dia, Bibi?" tanya Pandan Wangi.
"Wulandari."
"Dia seorang gadis sebatang kara di desa ini.
Kedua orang tua dan saudara-saudaranya dibunuh
tukang-tukang pukulnya Ki Junggut Tapi, entah
sudah berapa hari ini Wulandari menghilang," jelas
Prakuti. "Kenapa kau katakan dia bocah setan, Paman?"
tanya Rangga ingin tahu.
"Tindakannya memang seperti iblis, Rangga.
Siapa saja yang mencoba menghalangi dibunuhnya. Bahkan setelah memporak- porandakan rumah Ki Junggut, dia juga membunuh
beberapa orang penduduk di sini tanpa sebab yang
pasti," jelas Prakuti lagi.
"Hm.... Tindakannya sudah di luar batas,
Kakang," gumam Pandan Wangi pelan, sambil
melirik Pendekar Rajawali Sakti yang duduk di
sebelahnya. Rangga hanya diam saja.
"Kalian kenal anak itu?" tanya Prakuti.
'Tidak," sahut Rangga cepat
'Tapi kami memang sedang mencarinya, Paman.
Dia sangat berbahaya," jelas Pandan Wangi
menyelak, tanpa peduli lirikan tajam dari Rangga.
"Oh! Kalau begitu, kalian tinggal saja di sini. Aku
yakin dia pasti akan datang lagi ke sini, karena
masih mencari Ki Junggut" kata Prakuti.
Rangga dan Pandan Wangi tidak bisa menolak
permintaan kepala desa itu. Mereka memang tidak
punya pilihan lain lagi. Dan saat itu, hari sudah
menjelang senja. Matahari sudah begitu condong
ke arah barat. Sinarnya tidak lagi terik menyengat
kulit. Hanya rona merah saja yang membias di ufuk
barat. Anak gadis Prakuti meminta Pandan Wangi tidur
di kamarnya. Sedangkan Rangga disediakan kamar
yang berada di bagian depan bersama anak lakilaki kepala desa itu. Sementara, keremangan terus
merayap menyelimuti seluruh permukaan bumi di
Desa Payakan ini. Dan suasananya juga semakin
terasa mencekam. Hawa kematian begitu terasa
dalam diri Pendekar Rajawali Sakti yang tengah
duduk mencangkung di berarida depan rumah
kepala desa itu.
--myrna-- Malam ini Rangga sengaja tidak masuk ke dalam
kamarnya. Sejak sore tadi Pendekar Rajawali Sakti
terus duduk mencangkung di beranda depan
rumah Kepala Desa Payakan ini. Sementara,
suasana di sekitarnya sudah begitu sunyi
mencekam. Kegelapan menyelimuti sekitar desa.
Tidak ada satu rumah pun yang menyalakan
lampu. Hanya rumah Prakuti saja yang kelihatan
terang. Dan keadaan ini memang disengaja
Rangga, untuk menarik perhatian.
"Sudah muncul setan kecil itu...?"
"Oh..."!"
Rangga jadi tersentak kaget, ketika tiba-tiba
terdengar suara dari belakangnya. Cepat kepalanya
berpaling, dan tersenyum sedikit melihat Prakuti
tahu-tahu sudah ada di belakangnya. Laki-laki
berusia setengah baya itu mengambil tempat di
sebelah Pendekar Rajawali Sakti.
"Belum, Paman," sahut Rangga seraya kembali
mengarahkan pandangan ke depan.
"Mungkin dia tahu kau ada di sini," kata Prakuti
lagi. "Di antara kami, belum pernah ada yang
bertemu, Paman," kata Rangga memberi tahu.
"Belum pernah bertemu..." Tapi kenapa kau
mencarinya?" tanya Prakuti.
"Panjang ceritanya, Paman. Mungkin kau tidak
bisa memahaminya," sahut Rangga, enggan untuk
mengatakan yang sebenarnya.
"Persoalan pribadi?" tebak Prakuti.
Rangga tidak menyahut Untuk memuaskan
kepala desa ini, hanya kepalanya saja yang
mengangguk Dan Prakuti tidak bertanya lagi. Dan
Pendekar Rajawali Sakti 128 Rahasia Cincin Mustika di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menduga, ada salah satu keluarga pemuda ini yang
tewas dibunuh bocah tangguh itu. Dan mereka pun
terdiam membisu. Rangga berpaling sedikit ke
belakang, melihat pintu rumah yang terbuka lebar.
Tidak terlihat seorang pun di dalam rumah ini.
"Pandan Wangi bersama ibunya anak-anak di
belakang," kata Prakuti memberi tahu tanpa
diminta. Rangga hanya tersenyum saja. Pendekar
Rajawali Sakti memang meminta Pandan Wangi
unluk menjaga keluarga ini. Sementara dia akan
menghadapi bocah tangguh yang namanya saja
baru dikenal dari Naga Prata. Rangga tidak
mengeluarkan suara lagi, dan kembali mengarahkan pandangan lurus ke depan. Seakan
matanya hendak menembus gelapnya malam yang
menyelimuti seluruh Desa Payakan ini.
"Hhh...!"
Sambil menghembuskan napas panjang yang
terasa berat, Pendekar Rajawali Sakti bangkit
berdiri. Kakinya lantas melangkah keluar dari
beranda depan rumah kepala desa ini. Dan
berhenti melangkah, setelah sampai di tengahtengah halaman yang tidak seberapa luas ini.
Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling,
merayapi sekitarnya yang masih terlihat begitu
sunyi dan mencekam. Sedangkan Prakuti hanya
diam saja memperhatikan dari beranda depan
rumahnya. "Rangga, coba lihat itu...!" seru Prakuti tiba-tiba,
sambil menunjuk ke arah selatan.
Rangga langsung berpaling memandang ke arah
yang ditunjuk kepala desa itu. Agak terkesiap juga
harinya, melihat kobaran api yang sangat besar di
selatan desa ini. Dan tanpa membuang-buang
waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung
melesat ke arah kobaran api itu. Begitu sempurna
ilmu meringankan tubuhnya, hingga dalam
sekejapan mata saja bayangan tubuhnya sudah
lenyap tidak terlihat lagi.
Sementara Prakuti masih terlongong bengong
tidak bisa berbuat apa-apa. Dan pada saat itu,
Pandan Wangi yang mendengar seruan kepala
desa ini tadi bergegas keluar dari dalam rumah.
Gadis itu langsung menatap ke arah kobaran api
yang berada di sebelah selatan desa ini.
"Mana Kakang Rangga, Paman?" tanya Pandan
Wangi. "Ke sana," sahut Prakuti.
Pandan Wangi bergegas melangkah keluar dari
beranda ini. Dan saat itu, istri serta anak-anak
Prakuti ikut keluar, tapi tidak berani jauh dari pintu.
Mereka bisa melihat dengan jelas kobaran api yang
begitu besar dari arah selatan desa ini. Sementara,
Pandan Wangi sudah berada di tengah-tengah
halaman rumah kepala desa ini. Hatinya seperti
ragu-ragu untuk menyusul Pendekar Rajawali Sakti.
Sedikit kepalanya berpaling memperhatikan Prakuti
dan keluarganya yang masih tetap berada di depan
pintu rumahnya.
"Kalian masuk saja semua. Tutup semua pintu
dan jendela. Jangan ada lampu yang dinyalakan,"
perintah Pandan Wangi.
"Kau akan ke mana, Pandan?" tanya Prakuti.
"Menyusul Kakang Rangga. Mungkin dia
membutuhkan bantuanku," sahut Pandan Wangi.
"Tunggu...! Aku ikut denganmu," kata Prakuti
langsung saja melompat keluar dari beranda depan
rumahnya. Sejenak Pandan Wangi jadi tertegun melihat
gerakan melompat kepala desa ini. Dari
gerakannya saja sudah bisa diketahui kalau Prakuti
menguasai ilmu olah kanuragan yang tidak bisa
dikatakan rendah.
Saat itu, anak sulung Prakuti yang bernama
Kelana masuk ke dalam rumah. Tapi, tidak lama
dia sudah keluar lagi membawa dua bilah golok.
Bergegas dihampiri ayahnya yang sudah berada di
sebelah Pandan Wangi.
"Ini goloknya, Ayah," kata Kelana.
Prakuti menerima golok itu, tapi matanya
memandangi golok yang sudah terselip di pinggang
anaknya. "Aku ikut dengan kalian," tegas Kelana.
Prakuti tidak bisa mencegah lagi tekad anaknya
ini. Dan Pandan Wangi juga tidak bisa menolak
mereka. Setelah memberikan pesan pada
keluarganya, Prakuti bergegas melangkah dengan
ayunan kaki cepat dan lebar-lebar meninggalkan
rumahnya. Pandan Wangi berada di sebelahnya,
diikuti Kelana di belakang.
Mereka kini berjalan cepat menembus malam
yang pekat ini. Sementara dari arah selatan sudah
terdengar suara teriakan-teriakan ketakutan dari
warga desa yang terbakar rumahnya. Dan api dari
sebelah selatan desa terlihat semakin besar saja
bagai hendak menerangi seluruh Desa Payakan ini.'
--myrna-- Sementara itu, Rangga sibuk menyelamatkan
orang-orang yang rumahnya terbakar. Dan
Pendekar Rajawali Sakti juga merobohkan
beberapa rumah, agar api tidak meluas ke rumahrumah lain yang belum terbakar. Pada saat itu,
Pandan Wangi, Prakuti, dan anaknya datang.
Mereka langsung mengumpulkan penduduk desa
yang rumahnya terbakar di tanah lapang yang
tidak jauh dari tempat kebakaran itu. Sedangkan
Rangga dibantu Pandan Wangi dan Kelana, masih
sibuk mencegah api agar tidak lebih meluas lagi.
Mereka memang tidak mungkin lagi memadamkannya, dan hanya bisa mencegah agar
tidak meluas saja dengan mengorbankan beberapa
rumah yang berdekatan. Setelah bekerja keras,
akhirnya mereka berhasil juga mencegah
meluasnya api yang ingin menghanguskan seluruh
desa ini. Rangga yang ditemani Pandan Wangi dan
Kelana segera menghampiri Prakuti, yang bersama
penduduk berkumpul di tanah lapang di sebelah
selatan Desa Payakan ini.
"Untung kau cepat bertindak, Rangga. Kalau
tidak..., sudah habis semua rumah di desa ini,"
kata Prakuti begitu Rangga dekat di depannya
"Tanyai mereka, apa yang menyebabkan
terjadinya kebakaran ini, Paman. Aku akan
memeriksa sekitar desa ini," kata Rangga tegas.
"Baik," sahut Prakuti.
Rangga menatap sebentar pada Kelana dan
Pandan Wangi. "Kalian ke arah barat. Aku ke timur. Nanti, kita
bertemu lagi di sini," kata Rangga membagi tugas.
"Aku minta kalian jangan terpisah. Dan jangan
melakukan sesuatu sendiri-sendiri."
Pandan Wangi dan Kelana hanya mengangguk
saja. Sementara, Rangga sudah melesat cepat
sekali ke arah timur. Pandan Wangi langsung
mengajak Kelana menjalankan tugas yang
diberikan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Sedangkan
Prakuti mulai menanyai penduduk desa yang
rumahnya sudah habis terbakar. Dicobanya untuk
mencari keterangan dan sebab dari kebakaran itu.
Sementara itu, Pandan Wangi dan Kelana sudah
jauh menelusuri daerah sebelah barat. Tapi, tidak
ada yang didapatkan di sini, kecuali hanya
kegelapan dan kesunyian yang mencekam saja.
Tidak terlihat seorang pun sepanjang jalan yang
dilalui. Dan begitu sampai di persimpangan jalan
yang bersimpang tiga arah, mereka berhenti tepat
di tengah-tengahnya. Pandan Wangi mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Dan ketika arah
pandangannya tertuju ke jalan yang berada di
sebelah kirinya, kelopak matanya jadi menyipit
"Ada apa, Kak Pandan?" tanya Kelana.
"Kau lihat di sana itu, Kelana?" tanya Pandan
Wangi sambil menunjuk ke arah jalan yang ada di
sebelah kanannya.
Kelana menyipitkan kelopak matanya sedikit
Tapi sesaat kemudian matanya jadi terbeliak lebar,
ketika melihat seseorang berdiri di tengah jalan
seperti ingin menghadang.
Dia adalah seorang laki-laki tua bertubuh tinggi
besar dan kekar, dengan sebilah pedang berukuran
besar dan panjang tergantung di pinggangnya. Dan
di sebelah kanan agak ke belakang, tampak
seorang laki-laki tua berjubah hitam berdiri.
Sebuah tongkat tergenggam di tangan kanan
tampak bagai menyangga tubuhnya. Entah kenapa,
mendadak saja seluruh tubuh Kelana jadi bergidik
menggigil. "Ki Junggut...," desis Kelana langsung mengenali
kedua oran tua itu.
"Hm...," sedangkan Pandan Wangi hanya
menggumam saja sedikit.
Pandan Wangi memutar tubuhnya menghadapi
dua orang laki-laki tua yang berada sekitar lima
batang tombak di depannya. Sedangkan Kelana
hanya diam saja berada di belakang si Kipas Maut
itu. Dan untuk beberapa saat mereka terdiam,
tanpa ada yang bersuara sedikit pun juga.
"Kau temui Kakang Rangga, Kelana. Cepat "
perintah Pandan Wangi dengan suara agak berbisik
pelan. "Ba.... Baik, Kak Pandan," sahut Kelana agak
tergagap. Tanpa diperintah dua kali, Kelana bergegas
berlari cepat meninggalkan gadis ini. Sedangkan
Pandan Wangi sudah melangkah beberapa tindak,
mendekati dua orang laki-laki tua yang berdiri
tegak di tengah jalan bagai sengaja menantinya.
Dan gadis itu bam berhenti melangkah setelah
jaraknya tinggal sekitar satu batang tombak lagi.
Belum ada seorang pun yang membuka suara.
Mereka hanya saling berpandangan saja dalam
kegelapan, seakan sedang mengukur tingkat
kepandaian masing-masing. Saat itu, terlihat Ki
Sampuk menggeser kakinya ke kanan, menjauhi Ki
Junggut yang tetap diam tidak bergeming sedikit
pun. Sedangkan Pandan Wangi hanya memperhatikan saja dengan tatapan tajam, tidak
berkedip sedikit pun.
"Bunuh dia, Ki Sampuk!" perintah Ki Junggut
tiba-tiba. "Baik," sahut Ki Sampuk mantap.
"Yeaaah...!"
"Eh, tunggu...!"
--myrna-- 7 Pandan Wangi mencoba mencegah serangan Ki
Sampuk. Tapi, tampaknya orang tua itu tidak
mempedulikannya sedikit pun. Tubuhnya terus saja
melesat menerjang Pandan Wangi dengan
kecepatan tinggi. Maka terpaksa gadis itu harus
melesat ke belakang dengan berputaran beberapa
kali, menghindari sabetan tongkat Ki Sampuk yang
berkelebat begitu cepat dan beruntun.
"Hap!"
Manis sekali Pandan Wangi melesat ke atas
dengan tubuh berputar beberapa kali. Dan dengan
gerakan cepat sekali, dilepaskannya satu pukulan
keras menggeledek ke arah kepala orang tua ini.
Tapi, Ki Sampuk cepat sekali melompat ke
belakang. Sehingga, pukulan gadis itu tidak sampai
menghantam kepalanya. Dan kesempatan itu pun
digunakan Pandan Wangi untuk menjejakkan
kakinya kembali ke tanah.
"Tahan...!" bentak Pandan Wangi lantang.
"Jangan hiraukan dia, Kisanak! Serang saja.
Bunuh...!" perintah Ki Junggut.
Ki Sampak memang tidak mau menghiraukan
Pandan Wangi. Kakinya sudah bergeser menelusuri
tanah berdebu yang penuh daun-daun kering ini,
mendekati gadis cantik yang dikenal berjuluk si
Kipas Maut. Sementara Pandan Wangi sendiri sudah cepat
menyadari kalau tidak mungkin lagi bisa mencegah
bentrokan ini. Segera gadis itu bersiap setelah
mencabut senjatanya yang berupa sebuah kipas
dari baja berwarna putih keperakan.
Bet!
Pendekar Rajawali Sakti 128 Rahasia Cincin Mustika di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pandan Wangi langsung membuka senjatanya di
depan dada. Ujung-ujung kipas yang runcing
seperti mata anak panah, membuat kedua bola
mata Ki Sampuk jadi terbeliak lebar. Dan geseran
kakinya jadi berhenti dalam mendekati gadis ini.
"Siapa kau, Nisanak...?" tanya Ki Sampuk, jadi
ingin tahu. "Aku si Kipas Maut," sahut Pandan Wangi
menyebutkan julukannya.
"Kau si..., si Kipas Maut..."!"
Kedua bola mata Ki Sampuk semakin terbeliak
lebar, begitu mendengar Pandan Wangi menyebutkan julukannya. Bukan hanya Ki Sampuk
saja yang terkejut. Tapi, Ki Junggut juga tersentak
kaget. Sungguh tidak disangka kalau gadis yang
dihadangnya ini adalah si Kipas Maut.
Mereka berdua tahu, siapa gadis ini. Dia adalah
seorang gadis cantik yang bukan saja menjadi
teman seperjalanan Pendekar Rajawali Sakti.
Bahkan juga kekasih pendekar muda yang sudah
terkenal kedigdayaannya. Dan di kalangan
persilatan, nama mereka begitu harum. Hingga
semua orang yang berkecimpung dalam rimba
persilatan, baik dari golongan putih maupun hitam,
sangat menyegani-nya. Jelas orang akan berpikir
seribu kali untuk mencoba bertarung melawan
kedua pendekar itu.
"Phuih! Aku tidak peduli siapa kau, Kisanak! Kau
berani datang ke sini, berarti juga berani bertarung
nyawa," dengus Ki Junggut, langsung menghilangkan kegentaran dalam hatinya.
"Kenapa kau ingin membunuh semua orang di
desa ini?" tanya Pandan Wangi.
"Mereka sudah membunuh kedua anakku. Juga,
semua anak buahku. Jadi sudah sepantasnya kalau
mereka juga harus mampus!" sahut Ki Junggut
dengan suara berang.
"Mereka tidak tahu apa-apa. Jangan kau jadikan
sasaran kemarahanmu, Kisanak. Aku tahu, siapa
orangnya yang sudah menghancurkan kekejamanmu di sini," kata Pandan Wangi.
"Keparat...! Apa yang kau tahu, heh..."!"
"Banyak," sahut Pandan Wangi kalem.
"Phuih!"
"Dan sebenarnya, kedatanganku ke sini justru
ingin menyeretmu ke kotaraja untuk diadili,"
sambung Pandan Wangi.
"Ha ha ha...!" entah kenapa, Ki Junggut jadi
tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata
terakhir Pandan Wangi barusan.
Sedangkan Pandan Wangi hanya memandangi
saja dengan tajam. Sedikit pun kelopak matanya
tidak berkedip. Dan yang paling utama,
diperhatikannya adalah Ki Sampuk yang berada
tidak seberapa jauh di depannya.
Kalau Ki Sampuk mengebutkan tongkatnya
sekali saja, ujungnya yang runcing itu bisa
merobek perutnya. Dan ini yang terus menjadi
perhatian gadis itu. Dia tidak ingin kecolongan
sedikit pun juga, yang bisa membuatnya celaka.
"Sebaiknya kau kembali saja pada kekasihmu,
Nisanak. Tidak ada gunanya di sini," ujar Ki
Junggut pongah.
"Aku tidak akan kembali, sebelum menyeretmu,"
sambut Pandan Wangi tegas.
"Phuih! Kau memang tidak bisa dikasih hati!
Bunuh dia...!" bentak Ki Junggut memberi perintah.
"Yeaaah...!"
Seketika itu juga, Ki Sampuk mengebutkan
tongkatnya lurus ke depan, cepat seperti yang
telah diduga Pandan Wangi. Namun, cepat sekali
Pandan Wangi menarik tubuhnya ke belakang,
hingga ujung tongkat yang runcing dan berwarna
hitam pekat itu lewat sedikit saja di depan
perutnya. Saat itu juga, Pandan Wangi menggeser kakinya
sedikit ke kiri. Dan dengan gerakan meliuk yang
begitu indah, tangan kanannya dikebutkan, hendak
menyambar tongkat Ki Sampuk dengan Kipas Maut
andalannya. Bet! "Hap!"
Namun, Ki Sampuk sudah lebih cepat lagi
menarik tongkatnya pulang. Sehingga sambaran
Kipas Maut gadis itu tidak sampai mengenainya.
Saat itu juga, tongkatnya cepat diputar sekali ke
atas, dan langsung dikibaskan ke arah kepala gadis
cantik yang berjuluk si Kipas Maut ini.
"Yeaaah...!"
Wut! "Heh..."!"
--myrna-- Kedua bola mata Ki Sampak jadi terbeliak kaget
setengah mati, begitu tiba-tiba Pandan Wangi
mengebutkan Kipas Maut andalannya. Dan tongkat
nya yang sudah melayang deras sekali ke arah
kepala gadis ini tidak sempat lagi ditarik kembali.
Dan.... Bet! Trak! Ujung-ujung kipas putih yang mncing seperti
mata anak panah itu menyambar tepat di bagian
tengah tongkat hitam berbentuk ular milik Ki
Sampuk. "Keparat...!"
Ki Sampuk jadi geram setengah mati, melihat
tongkatnya terpotong menjadi dua bagian. Dengan
geraham bergemeletak menahan marah, laki-laki
tua ini membuang potongan tongkatnya. Dan
langsung saja dia melompat, menerjang si Kipas
Maut. "Kubunuh kau! Yeaaah...!"
"Haiiit...!"
Dengan gerakan indah sekali, Pandan Wangi
berhasil menghindari beberapa pukulan beruntun
yang begitu cepat dilancarkan Ki Sampuk. Dan
begitu mendapat kesempatan, Pandan Wangi
langsung melompat ke belakang. Saat itu juga,
dilepaskannya satu tendangan keras disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi, di saat tubuhnya
berputar ke belakang di udara.
Begitu cepatnya tendangan si Kipas Maut itu,
sehingga Ki Sampuk tidak sempat lagi menyadari.
Dan laki-laki tua itu tidak lagi memiliki kesempatan
menghindar. Hingga....
Diegkh! "Akh...!"
Ki Sampuk jadi memekik tertahan, begitu
tendangan Pandan Wangi tepat menghantam
dadanya. Laki-laki tua berjubah hitam itu
terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi
dadanya. Sementara, Pandan Wangi sudah
menjejakkan kakinya ke tanah lagi. Dan....
"Satu lagi untukmu, Tikus Busuk! Yeaaah...!"
Sambil membentak keras, Pandan Wangi
melompat cepat menerjang orang tua itu. Dan
bagaikan kilat Kipas Maut-nya dikibaskan, tepat
mengarah ke leher. Begitu cepat serangannya,
sehingga Ki Sampuk tidak dapat lagi mengelak.
Cras! "Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi seketika
terdengar, bagai hendak membelah kesunyian
malam di Desa Payakan ini. Tampak Ki Sampuk
terhuyung-huyung dengan darah mengucur deras
dari lehernya yang dirobek ujung Kipas Maut
senjata andalan Pandan Wangi.
Sedangkan si Kipas Maut itu sendiri sudah
kembali berdiri tegak, dengan senjata terkembang
di depan dada. Sorot matanya terlihat begitu
tajam, menatap lurus Ki Junggut yang jadi terpana
melihat Ki Sampuk tergeletak dengan leher robek
berlumuran darah. Hanya dalam waktu tidak lama
saja, gadis cantik yang kelihatan lemah itu sudah
merobohkan Ki Sampuk. Padahal di Desa Payakan
ini, laki-laki tua itu tidak ada tandingannya.
"Sekarang giliranmu, Iblis...!" desis Pandan
Wangi dengan suara begitu dingin dan datar
menggetarkan. Perlahan Pandan Wangi melangkah mendekati
Ki Junggut yang sudah gentar melihat
ketangguhan gadis ini. Bahkan sudah merasa
gentar ketika Pandan Wangi menyebutkan
julukannya yang sangat terkenal di seluruh rimba
persilatan. "Kau..., kau tidak bisa membunuhku...!" bentak
Ki Junggut agak tergagap.
"Aku memang tidak akan membunuhmu. Aku
hanya akan menyerahkanmu pada semua orang di
sini, untuk diadili!" dengus Pandan Wangi dingin
menggetarkan. Ki Junggut menarik kakinya perlahan ke
belakang, mengimbangi gerakan kaki Pandan
Wangi yang terus melangkah maju mendekatinya.
"Tidak...! Mereka tidak bisa mengadiliku! Mereka
semua akan mampus...!" bentak Ki Junggut.
Pandan Wangi hanya diam saja, namun tetap
terus melangkah semakin mendekati. Dan pada
saat itu, tiba-tiba saja....
"Kau yang akan mati, Ki Junggut..!"
Terdengar suara kecil yang sangat mengejutkan.
"Oh..."! Kau...."
Pandan Wangi langsung berpaling ke kanan, ke
arah datangnya suara itu. Entah kapan datangnya,
tahu-tahu seorang bocah kecil bertubuh kurus dan
kotor sudah ada di tempat ini. Tampak kedua bola
mata Ki Junggut jadi terbeliak lebar. Bahkan
wajahnya seketika memucat bagai mayat, begitu
melihat kemunculan bocah kecil seperti gelandangan itu.
"Terimalah kematianmu, seperti kau membunuh
kedua orangtuaku!" desis bocah itu dingin.
Kedua tangan bocah itu sudah menjulur, dengan
jari-jari yang berkuku runcing mengembang kaku.
Dan ini membuat Ki Junggut semakin terkesiap,
tidak bisa lagi berbuat sesuatu. Saat itu pula,
Pandan Wangi melihat sebuah cincin berbentuk
seekor naga melingkar, yang bagian kepalanya
terdapat sebuah batu berwarna hijau, memancarkan cahaya terang berkilauan. Dan gadis
itu langsung tahu, bocah itu pasti Kunjang. Bocah
kecil yang sedang dicarinya bersama Rangga,
karena telah mencuri cincin pusaka kehidupan
semua makhluk ular penghuni Goa Naga.
"Tunggu...!" bentak Pandan Wangi tiba-tiba,
sebelum bocah itu menyerang Ki Junggut.
Bocah kecil yang tidak lain Kunjang itu
berpaling, menatap Pandan Wangi. Sorot matanya
begitu tajam, memancarkan cahaya merah
menyala bagai sepasang bola api. Saat itu Pandan
Wangi agak terkesiap juga melihat tatapan yang
sangat tajam menusuk ini. Tapi, dia bisa cepat
menguasai diri.
"Kau yang bernama Kunjang?" tanya Pandan
Wangi ingin menegaskan.
"Benar," sahut bocah itu.
"Kau boleh saja menumpahkan dendammu pada
Ki Junggut. Tapi, setelah itu kau harus ikut
denganku," ujar Pandan Wangi.
"Aku tidak kenal denganmu. Dan sebaiknya,
jangan coba-coba mencampuri segala urusanku!"
bentak Kunjang kasar.
"Heh..."! Kau ada urusan denganku, Kunjang."
"Menyingkirlah. Atau, terpaksa aku akan
membunuhmu juga kalau coba-coba menghalangi,"
ancam Kunjang tidak main-main.
Untuk kedua kalinya, Pandan Wangi jadi
berdesir darahnya. Dia ingat kata-kata Naga Prata.
Bocah ini memang bisa sangat berbahaya, kalau
tetap memakai cincin itu. Bahkan tidak mudah
untuk ditaklukkan. Sementara Kunjang sudah
Pendekar Rajawali Sakti 128 Rahasia Cincin Mustika di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali mengarahkan perhatiannya pada Ki
Junggut. "Mampus kau! Hsss...!"
Sambil memperdengarkan suara mendesis
seperti ular, tiba-tiba saja Kunjang melesat,
kecepatannya begitu tinggi. Sehingga, gerakannya
sangat sukar diikuti pandangan mata. Dan tahutahu jari-jarinya yang berkuku hitam runcing itu
sudah membenam dalam leher Ki Junggut.
"Aaa...!"
Seketika terdengar jeritan melengking tinggi.
Dan saat itu juga Pandan Wangi jadi tersentak,
seperti baru terjaga dari tidurnya. Dan seluruh
tubuhnya jadi bergidik, melihat Ki Junggut
tergeletak di tanah dengan leher masih
tercengkeram jari-jari tangan Kunjang yang kecil
dan kurus berkuku runcing itu.
Sementara dari bibir bocah itu terus
mengeluarkan desisan seperti ular. Sedangkan Ki
Junggut masih menggeliat-geliat meregang nyawa,
berusaha melepaskan lehernya dari cengkeraman
bocah ini. Tapi, usahanya hanya sia-sia saja.
Lehernya semakin terkoyak lebar. Dan darah
semakin banyak mengucur keluar.
Sementara Pandan Wangi seperti terkesima
melihat peristiwa itu. Dia hanya berdiri saja
memandangi, tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Hingga Ki Junggut tidak bergerak-gerak lagi,
Pandan Wangi masih tetap diam. Tapi ketika
melihat Kunjang menghujamkan tangan kanannya
menembus dada orang tua itu, kembali hatinya
tersentak. Dan....
"Hei...!"
Pandan Wangi jadi memekik, begitu melihat
Kunjang mengambil jantung Ki Junggut. Dan
hampir saja, jantung berwarna merah berlumuran
darah itu hendak dikunyahnya, kalau saja Pandan
Wangi tadi tidak memekik.
--myrna-- "Apa yang kau lakukan..."!" sentak Pandan
Wangi dengan tubuh bergidik.
"Hsss...!"
Kunjang hanya mendesis saja, seakan ingin
memperlihatkan baris-baris giginya yang hitam dan
bertaring tajam. Kemudian dimasukkannya jantung
yang berlumuran daran itu ke mulutnya. Dan
seketika seluruh rongga perut Pandan Wangi jadi
bergolak mual, seakan hendak tertumpah keluar
semua isinya, melihat bocah itu mengunyah
jantung Ki Junggut seperti menyantap makanan
saja. "Iblis...," desis Pandan Wangi begitu tersadar.
"He he he...! Aku kira jantungmu tidak kalah
nikmatnya dari jantung Wulandari...," kata Kunjang
sambil menyeka darah yang melekat di bibir
dengan punggung tangan, disertai suara tawanya
yang terkekeh kering.
Merah padam seluruh wajah Pandan Wangi,
mendengar kata-kata yang diucapkan Kunjang
barusan. Rupanya, bocah itu juga sudah
membunuh Wulandari, dan memakan jantungnya.
Bahkan baru saja tadi mengunyah jantung Ki
Junggut yang dibunuhnya di depan si Kipas Maut
itu. "Kau benar-benar sudah menjadi iblis,
Kunjang...," desis Pandan Wangi datar.
"He he he...! Aku akan jadi raja di dunia ini.
Tidak ada seorang pun yang bisa mengalahkan aku
lagi. Siapa pun yang mencoba menghalangi, harus
mati di tanganku...!"
Seluruh tubuh Pandan Wangi jadi menggeletar
menahan geram, mendengar kata-kata yang
memang sangat dikhawatirkan itu. Tampaknya
Kunjang benar-benar sudah menyadari akan arti
cincin yang dikenakannya. Malah sikapnya semakin
angkuh saja. Di dalam otaknya, memang sudah
temkir satu keinginan untuk menguasai dunia ini.
Dan inilah yang menjadi kekhawatiran Pandan
Wangi. Sementara, Kelana yang disuruhnya
mencari Pendekar Rajawali Sakti belum juga
kembali. Pandan Wangi merasa kalau harus menghadapi
bocah setan ini seorang diri. Maka Kipas Maut-nya
langsung dikebutkan, dan dikembangkan di depan
dada. Sementara, Kunjang kelihatan seperti tidak
menganggap sikap gadis ini. Dia terus terkekeh
memandang rendah pada Pandan Wangi.
"Aku tahu semua rahasiamu, Kunjang. Aku juga
tahu, apa yang membuatmu jadi tangguh seperti
ini," kata Pandan Wangi dingin.
"Heh! Apa katamu..."!" sentak Kunjang terkejut.
"Serahkan cincin itu, Kunjang!" bentak Pandan
Wangi. "Apa..."! Kau..., kau tahu...?"
Seketika itu juga, pucat pasi seluruh wajah
Kunjang mendengar bentakan Pandan Wangi
barusan. Seakan tidak dipercaya dengan apa yang
baru saja didengarnya. Sungguh tidak disangka
kalau gadis berbaju biru muda itu tahu semua
tentang rahasianya.
"Dari mana kau tahu semua itu...?" tanya Kun
jang dengan suara langsung bergetar.
"Tidak perlu kau tahu, dari mana aku
mengetahui semua rahasiamu itu, Kunjang. Malam
ini juga, aku harus meminta cincin itu kembali,"
tegas Pandan Wangi agak sinis nada suaranya.
"Tidak...! Tidak seorang pun yang bisa
merebutnya dariku. Cincin itu sudah jadi milikku!"
sentak Kunjang.
"Cincin itu bukan milikmu, Kunjang. Kau
mendapatkan cincin itu dari mencuri."
Seluruh tubuh Kunjang jadi bergetar, karena
rahasianya sudah terbongkar. Tapi, mendadak saja
wajah yang pucat itu berubah memerah. Dan
seluruh tubuhnya mengejang kaku. Sorot matanya
kembali tajam, menatap Pandan Wangi. Dan kini
terdengar suara mendesis seperti ular dari belahan
bibirnya yang terkatup rapat Sementara Pandan
Wangi sudah siap menghadapi segala kemungkinan
yang bakal terjadi.
"Kau harus mati...!" desis Kunjang dingin
menggetarkan. "Serahkan cincin itu, Kunjang. Kau tidak berhak
memilikinya."
"Kubunuh kau! Hiyaaat...!"
Cepat sekali Kunjang melompat menerkam si
Kipas Maut, dengan jari-jari tangannya yang
mengembang kaku. Sementara Pandan Wangi yang
memang sudah siap, segera mengegoskan
tubuhnya untuk menghindari terjangan bocah itu.
Sehingga, terjangan Kunjang tidak sampai
mengenai sasaran.
Dan ketika tubuh bocah kecil itu lewat di
samping tubuhnya, cepat sekali Pandan Wangi
menghentakkan tangan kirinya. Langsung diberikannya satu pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat
pukulannya, sehingga Kunjang tidak sempat lagi
menghindarinya.
Buk! "Ikh..."!"
--myrna-- 8 Bukan Kunjang yang memekik terkena pukulan,
tapi justru Pandan Wangi. Padahal, pukulan gadis
itu mendarat tepat di tubuh bocah ini. Cepat-cepat
Pandan Wangi melompat menjauhinya. Mulutnya
meringis merasakan sakit pada tangannya. Seakan
tulang-tulang tangannya remuk, karena seperti
menghantam sebongkah batu karang yang begitu
keras melebihi baja.
"Ha ha ha...!"
Kunjang jadi tertawa terbahak-bahak melihat
Pandan Wangi meringis merasakan sakit pada
tangan kirinya.
"Kau tidak bisa membunuhku, Nisanak!"
"Iblis keparat...!" desis Pandan Wangi jadi
geram menyadari kekutan dahsyat bocah kecil itu.
Sementara Kunjang terus tertawa terbahakbahak sambil berkacak pinggang menantang.
"Hiyaaat...!"
Pandan Wangi benar-benar kalap diremehkan
begitu. Tanpa peduli lagi kalau lawannya hanya
seorang anak berusia tiga belas tahun, gadis itu
langsung saja melancarkan serangan. Langsung
dilepaskannya pukulan tangan kanan yang disertai
pengerahan tenaga dalam penuh. Tapi Kunjang
sedikit pun tidak berusaha menghindar. Bahkan
dadanya dipasang lebar-lebar, menjadi sasaran
pukulan si Kipas Maut itu. Dan....
Derrr! "Akh...!"
Kembali Pandan Wangi memekik keras, begitu
tangan kanannya menghantam dada bocah kecil
ini. Padahal, begitu tinggi tenaga dalam yang
dikerahkan Pandan Wangi pada pukulannya ini.
Dan gadis itu jadi terpental jauh ke belakang,
termakan tenaga dalamnya sendiri. Lalu, keras
sekali tubuhnya jatuh menghantam tanah. Dia
bergulingan beberapa kali, sebelum bisa bangkit
berdiri kembali. Pandan Wangi merasakan seluruh
tulang tangan kanannya remuk. Rasa sakit yang
menyengat, membuatnya meringis. Sementara,
Kunjang tetap berdiri tegap dengan angkuhnya.
Sedikit pun dia tidak bergeming mendapat pukulan
yang dahsyat tadi.
"Kerahkan semua kemampuanmu, Nisanak,"
tantang Kunjang pongah.
"Huh!"
Pandan Wangi hanya bisa mendengus saja.
Kembali Kipas Maut-nya dikembangkan di depan
dada. Sebentar dibuatnya beberapa gerakan,
mempersiapkan jurus yang akan digunakannya.
Dan.... "Hiyaaat...!"
Sambil berteriak nyaring melengking un
pas Maut-nya cepat mengibas ke dada bocah itu
Tapi, tetap saja Kunjang tidak bergeming sedikit
pun juga, sehingga ujung-ujung kipas yang runcing
itu menghantam dadanya. Namun....
Bet! "Heh..."!"
Kedua bola mata Pandan Wangi jadi terbeliak
lebar, begitu melihat Kipas Maut andalannya tidak
bisa merobek kulit dada bocah itu. Bahkan seluruh
lengan kanannya terasa jadi bergetar, ketika ujung
kipasnya menghantam dada yang kurus kerempeng
tanpa baju itu.
"Hup!"
Cepat-cepat Pandan Wangi melompat mundur
ke belakang beberapa langkah. Memang sulit
dipercaya dengan apa yang baru saja terjadi ini.
Bocah laki-laki berusia tiga belas tahun itu sama
sekali tidak tertembus senjata di tubuhnya. Dan
semua itu memang karena pengaruh Cincin Pusaka
Istana Goa Naga yang dikenakannya. Cincin itu
benar-benar membuat Kunjang jadi manusia
tangguh yang sukar ditandingi.
"Menyingkirlah kau, Pandan Wangi..."
"Oh"! Kakang...."
Pandan Wangi jadi tersentak kaget bercampur
gembira, begitu tiba-tiba saja terdengar suara yang
sangat dikenalnya. Dan belum lagi rasa terkejutnya
lenyap, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat
cepat sekali. Dan tahu-tahu, di depan gadis itu
sudah berdiri Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda
yang selalu mengenakan baju rompi putih itu
berdiri tegak, menghadapi si bocah ajaib ini. Dan
pada saat itu, dari ujung jalan terlihat Kelana
berlari-lari menghampiri. Putra kepala desa itu
langsung menghampiri Pandan Wangi, dan berdiri
di sebelahnya dengan napas memburu.
--myrna-- "Huh! Rupanya malam ini aku terpaksa harus
mengunyah jantung lebih dari satu...!" dengus
Kunjang, begitu melihat kedatangan Pendekar
Rajawali Sakti yang disusul Kelana.
Rangga tidak menghiraukan ucapan Kunjang.
Kepalanya berpaling ke belakang, menatap Pandan
Wangi dan Kelana yang berada tepat di
belakangnya. "Menyingkirlah kalian yang jauh. Aku akan
hadapi dia," kata Rangga meminta.
Pendekar Rajawali Sakti 128 Rahasia Cincin Mustika di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pandan Wangi yang sudah tahu benar watak
Pendekar Rajawali Sakti segera menarik tangan
Kelana, dan mengajaknya menjauhi tempat ini.
Dan Rangga pun kembali memusatkan perhatian
pada bocah laki-laki yang tangguh dan digdaya
karena cincin pusaka kehidupan Istana Goa Naga.
"Berikan cincin itu padaku, Kunjang. Kau itcl.ik
berhak memilikinya. Ada yang lebih berhak dan
membutuhkannya dari padamu," kata Rangga,
mencoba menghindari kekerasan.
Kunjang hanya diam saja memandangi Pendekar
Rajawali Sakti dengan sinar mata tajam. Dan tibatiba saja, terdengar suara mendesis mirip suara
ular dari belahan bibirnya yang terkatup rapat.
Kemudian... "Yeaaah...!"
"Hap!"
Cepat sekali Kunjang melompat menerjang
Rangga. Kedua tangan menjulur ke depan, dan
jari-jari tangannya terkembang lebar seperti cakar
burung elang. Sedangkan Rangga sepertinya tidak
ada lagi kesempatan untuk menghindari. Terpaksa
disambutnya serangan itu dengan menghentakkan
kedua tangan ke depan, sambil mengerahkan
kekuatan tenaga dalamnya yang sempurna. Dan....
Jder! "Akh...!"
"Ugkh...!"
Kunjang terpental balik ke belakang sambil
memekik agak tertahan. Sedangkan Rangga
mengeluh sedikit, ketika terdorong ke belakang dua
langkah. Tampak bocah laki-laki itu bergulingan
beberapa kali di tanah, tapi dengan gerakan cepat
sekali bisa bangkit berdiri. Dan bocah itu kembali
bersiap hendak menyerang.
"Kau..., kau mampu menghadang seranganku...," terdengar bergetar suara Kunjang.
"Hm...."
Rangga hanya menggumam saja sedikit Kalau
saja Pendekar Rajawali Sakti tidak mengerahkan
tenaga dalam yang dipelajarinya dari Satria Naga
Emas, sudah barang tentu tidak bisa menghadapi
serangan bocah ini. Dan Rangga memang sudah
tahu. Bocah ini memang harus dihadapi dengan
ilmu yang juga berasal dari satu sumber. Semua
kekuatannya yang berasal dari Cincin Pusaka
Istana Goa Naga itu memang tidak bisa dihadapi
dengan ilmu-ilmu biasa, tapi harus dilawan dengan
ilmu sejenis. "Hiyaaat..!"
Kunjang kembali melompat menyerang dengan
pengerahan seluruh kekuatan yang dimiliki.
Sementara Rangga sudah siap menghadapinya.
Dan begitu tangan kanan bocah itu mengibas ke
arah kepala, manis sekali Rangga mengegoskan
sedikit. Maka serangan bocah kecil itu berhasil
dihindari. Dan pada saat itu juga, Rangga
mengibaskan tangan kanannya, menggunakan
jurus 'Ekor Naga Mengibas Gunung'.
"Yeaaah...!"
Bet! Begitu cepat serangan balik yang dil.uv .iik.in
Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Kunjung v mg
memang sama sekali belum berpengalaman d.il
an Rangga. Dan....
Diegkh! "Akh...!"
Kunjang jadi memekik keras, begitu dadanya
terkena kibasan tangan Rangga yang begitu cepat
dan keras ini. Tubuh bocah kecil itu langsung
kembali terpental ke belakang deras sekali. Dan
pada saat itu juga, Rangga melompat cepat bagai
kilat mengejarnya. Lalu....
"Yeaaah....!"
Wut! Tap! "Aaakh...!"
Kembali Kunjang memekik, begitu tangan
kanannya tersambar tangan kiri Pendekar Rajawali
Sakti. Dan belum juga bisa menyadari apa yang
terjadi, Rangga sudah mencopot cincin berbentuk
ular yang dikenakan di jari manis tangan kanan
bocah itu. Cepat Rangga menyentakkan tubuh bocah kecil
itu, lalu melesat berputar ke belakang beberapa
kali. Sementara, Kunjang terus meluncur deras
tanpa dapat terbendung lagi, sambil mengeluarkan
jeritan panjang melengking tinggi. Dan bersamaan
dengan mendaratnya kedua kaki Rangga di tanah,
tubuh bocah itu jatuh menghantam sebatang
pohon yang sangat besar.
Brak! "Akh...!"
Kembali terdengar jeritan keras yang agak
tertahan, ketika punggung bocah itu menghantam
pohon. Tampak Kunjang terjatuh ke tanah, dan
bergulingan beberapa kali. Aneh...! Bocah itu tidak
dapat bangkit berdiri lagi. Bahkan tidak bergerakgerak lagi sedikit pun juga.
Sementara, Pandan Wangi dan Kelana yang
menyaksikan semua itu jadi terlongong bengong
tidak mengerti. Sedangkan Rangga hanya diam,
berdiri tegak memandangi tubuh bocah kecil yang
sudah tidak bergerak-gerak lagi. Perlahan Pendekar
Rajawali Sakti melangkah menghampiri. Dan
Pandan Wangi juga bergerak mendekati.
Rangga langsung memeriksa bocah kecil itu.
Keningnya jadi berkerut, melihat bocah itu sudah
tidak bernyawa lagi. Dirasakan kalau seluruh tulang
di tubuh bocah itu remuk berparahan. Mungkin
akibat membentur pohon yang besar itu tadi.
Sedangkan cincin yang membuatnya jadi tangguh,
sudah tidak melingkar lagi di jari manisnya. Cincin
itu kini berada di dalam genggaman tangan
Pendekar Rajawali Sakti. Rangga kembali bangkit
berdiri sambil menghembuskan napas panjang.
"Dia mati, Kakang...?" tanya Pandan Wanql,
setelah berada di samping Pendekar Rajawali Sakl
"Ya...," sahut Rangga sambil menghembuskan
napas panjang. Pendekar Rajawali Sakti menatap Kelana
beberapa saat. "Kau beri tahu ayahmu. Katakan semua sudah
selesai. Desa ini kembali tenang," ujar Rangga.
"Baik... Baik, Kakang," sahut Kelana agak
tergagap. Bergegas Kelana berlari meninggalkan pendekar-pendekar muda itu.
"Ayo, Pandan. Kita ke Goa Naga mengantarkan
cincin ini," ajak Rangga.
"Kenapa tidak besok saja, Kakang...?" usul
Pandan Wangi. "Cincin ini sangat diperlukan di sana. Aku tidak
ingin menundanya lebih lama lagi. Aku khawatir,
rakyat Naga Prata sudah sampai ke permukaan dan
mengganas di sini," kata Rangga beralasan.
Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Dan
kakinya terus terayun mengikuti Rangga yang
sudah melangkah lebih dulu dengan mengerahkan
ilmu meringankan tubuh. Terpaksa Pandan Wangi
juga mengerahkan ilmu meringankan tubuh, untuk
mengimbangi Pendekar Rajawali Sakti.
"Kakang! Kau mudah sekali mengalahkannya.
Sedangkan aku tadi hampir tadak sanggup
menghadapinya. Ilmu apa yang kau gunakan tadi,
Kakang" Rasanya baru kulihat..," ujar Pandan
Wangi mengutarakan ketidakmengertiannya.
"Itu ilmu yang diperoleh dari Satria Naga Emas.
Memang selama ini tidak pernah kugunakan. Aku
hanya menggunakannya pada lawan-lawan yang
menggunakan ilmu-ilmu ular saja. Ilmu Satri Naga
Emas memang tidak ada yang bisa menandingi.
Karena sumbernya adalah dari ilmu segala ilmu ular
yang ada di dunia ini," Rangga menjelaskan
singkat. "O.... Pantas saja Kunjang tidak bisa
menghadapimu," desah Pandan Wangi kagum.
"Kalau saja dia bukan anak kecil dan sudah
berpengalaman dalam bertarung, tentu aku juga
akan mendapat kesulitan menghadapinya, Pandan.
Tapi dia sama sekali tidak berpengalaman. Dan aku
bisa mudah memperdayanya. Lagi pula, kekuatan
yang ada dalam dirinya belum lagi terolah
sempurna, hingga tidak bisa mengerahkan
kekuatan cincin ini sepenuhnya," jelas Rangga lagi.
"Aku baru mengerti sekarang. Kenapa Naga
Patra memilihmu, Kakang," ujar Pandan Wangi
dengan kepala terangguk.
Rangga hanya tersenyum saja. Bisa mengerti,
kenapa Pandan Wangi mengajukan pertanyaan
seperti itu. Memang selama mereka sama-sama
mengembara. Dan baru kali ini Rangga
menggunakan ilmu yang diperolehnya dari Satri
Naga Emas. Sudah barang tentu Pandan Wangi jadi
bertanya-tanya tadi, karena Pandan Wangi baru
melihatnya kali ini.
"Kakang! Kau mau mengajariku sedikit saja ilmu
itu padaku...?" pinta Pandan Wangi langsung
"Aku tidak bisa menjawabnya sekarang, Pandan.
Nanti aku tanyakan dulu pada Satria Naga Emas,"
sahut Rangga. "Tapi, waktu kau ajarkan aku pengolahan
tenaga dan pernapasan Rajawali, kau juga tidak
main izin dulu pada Rajawali Putih," kata Pandan
Wangi. "Itu karena Rajawali Putih sudah mengenalmu,
Pandan. Dan lagi, Rajawali Putih tidak keberatan.
Karena, kau selamanya akan menjadi pendampingku," sahut Rangga setengah bergurau.
"Ah, Kakang...," bersemu merah wajah Pandan
Wangi Rangga hanya tersenyum saja.
"Kakang! Kapan kau akan meminta izin pada
Satria Naga Emas?" tanya Pandan Wangi.
"Kalau kau bersedia, setelah mengantarkan
cincin ini ke Istana Goa Naga, aku bisa
membawamu sekalian ke sana. Biar kau sendiri
bisa memperolehnya langsung dari Satria Naga
Emas," sahut Rangga.
"Sungguh...?"
Rangga hanya mengangguk saja. Dan Pandan
Wangi pun jadi senang bukan main, karena bisa
memperoleh tambahan ilmu lagi dari Satria Naga
Emas nanti. Dan itu akan membuat diri gadis itu
semakin sulit dicari tandingannya. Dengan apa
yang sudah dimilikinya sekarang ini saja, sudah
sulit bagi lawan untuk menjatuhkan gadis ini. Apa
lagi, kalau ditambah ilmu-ilmu Satria Naga Emas..."
Pandan Wangi memang tidak bisa membayangkan. Dan dia memang berharap, paling
tidak kepandaian yang dimiliki tidak terpaut jauh
dengan Rangga. Paling tidak dia bisa mewakili
Pendekar Rajawali Sakti dalam menumpas segala
macam bentuk kejahatan di muka bumi ini.
SELESAI Pembuat Ebook :
Djvu : Abu Keisel
Convert & Pdf : Myrna KZ
http://kangzusi.com
http://dewikz.byethost22.com
Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 15 Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Manusia Harimau Marah 3