Ceritasilat Novel Online

Bunuh Pendekar Rajawali 1

Pendekar Rajawali Sakti 146 Bunuh Pendekar Rajawali Sakti Bagian 1


" 146. Bunuh Pendekar Rajawali Sakti Bag. 1 dan 2
4 ?"?"?"" 2014 ". " 8:20
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Bunuh Pendekar Rajawali Sakti
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 Suatu pagi Desa Tandes, para penduduk maupun pendatang kelihatan hilir-mudik
Hari ini di setiap sudut desa ini kelihatan ramai. Seperti biasa, saat akhir pekan sekarang ini, digunakan para pedagang un-tuk berjual beli. Tidak hanya dilakukan oleh penduduk desa ini saja, tapi juga dari desa desa di sekitarnya.
Bahkan biasanya dari kerajaan yang lain pun suka berdatangan.
Dan biasanya para pedagang atau pembeli yang
berdatangan dari tempat yang jauh, membawa keun-tungan pula bagi pemilik kedai makan serta pemilik
rumah penginapan. Sebab biasa-nya, mereka jauh-jauh hari telah menunggu hari pasar ini. Di samping
itu, tidak kurang pula yang berdatangan sekadar un-tuk melancong.
Di antara lalu lalang orang yang tengah mengadu
nasib, tampak seorang pemuda berbaju rompi putih.
Dengan tenang kudanya dikendalikan sambil meman-dang ke sekeliling tempat. Pemuda berwajah tampan
dan berambut panjang ini tidak lain dari Rangga yang
di kalangan rimba persilatan dikenal sebagai si Pende-kar Rajawali Sakti. Matanya tidak lepas memandangi
seorang laki-laki berusia lanjut berpakaian penuh
tambalan. Pada punggung orang tua itu tampak se-buah keranjang berisi penuh kayu bakar. Tubuhnya
agak kurus. Rambutnya yang sebagian telah memutih,
kelihatan awut-awutan tidak terurus. Wajahnya sese-kali berkerut menahan lelah. Keringat mengucur deras
membasahi sekujur tubuhnya.
"Kek, lebih baik istirahat saja dulu," pinta seo-rang gadis belia di sebelah orang tua itu.
"Ah! Bagaimana mungkin bisa istirahat" Kita ha-rus menjual kayu bakar ini secukupnya untuk ditukar
beras. Kalau tidak, kita tidak akan makan hari ini," de-sah kakek berpakaian tambalan.
"Tapi, kakek kelihatan lelah sekali," ujar gadis
belia yang berpakaian kumal itu dengan wajah tampak
khawatir. Orang tua itu menghela napas panjang. Kemu-dian dibetulkannya letak keranjangnya. Namun saat
itu juga, tubuhnya tersungkur persis di hadapan kuda
tunggangan Rangga yang bernama Dewa Bayu.
"Kakek! Kau tidak apa-apa"!" seru gadis itu cemas. Langsung dia memburu si kakek, setelah meletakkan seikat kayu bakar yang tadi dijinjingnya.
Sementara Rangga melompat turun dari kudanya. Segera dipapahnya orang tua itu.
"Kisanak, kau tidak apa-apa?"
"Oh! Aku..., aku tidak apa-apa," keluh orang tua
ini, terduduk lesu dengan napas memburu.
"Ke mana tujuan kalian?" Tanya Rangga pada
gadis itu. "Kami hendak menjual kayu bakar ini. Sebab,
persediaan beras di rumah sudah habis."
"Hm," Rangga segera merogoh kantong di balik
pinggangnya. Lalu dikeluarkannya beberapa keping
uang perak dan segera diangsurkan pada gadis itu.
"Hari ini biarlah kalian tidak usah menjualnya.
Terimalah pemberianku ini. Dan, belikanlah beras untuk keperluan kalian."
Gadis itu terdiam seraya memandang Rangga.
Kemudian kepalanya berpaling pada kakeknya.
"Maaf, kami tidak biasa menerima pemberian
tanpa imbalan apa pun. Kakek selalu mengajarkan be-gitu," tolak gadis itu, halus.
Sementara orang tua itu kembali berusaha mengangkat keranjang berisi kayu bakar. Namun, kembali
kepalanya terduduk lesu. Tenaganya seperti terkuras
habis. "Kisanak, sekarang begini saja. Bukankah kalian
hendak menjual kayu bakar ini?"
Orang tua itu mengangguk lemah.
"Nah! Terimalah uang ini Biar kubeli kayu bakar
kalian." Orang tua itu memandangnya seraya tersenyum
kecil. "Kau hendak membeli kayu bakar kami?" Tanya
orang tua itu meyakinkan. Rangga mengangguk.
"Tapi, harganya tidak begitu mahal, Ki-sanak.
Kami tetap tidak bisa menerima kebaikanmu," to-lak kakek itu
"Kalau begitu, berapa harga kayu bakar kalian
semua?" "Hanya dua setengah kepeng," sebut orang tua
itu. "Nah, terimalah!" ujar Rangga seraya mengu-rangi jumlah uang yang disodorkannya, sehingga se-suai jumlah yang disebutkan orang tua itu.
Keduanya tidak segera menerima pembayaran
itu, tapi saling berpandang sejenak. Kemudian tatapan
mereka beralih kepada Rangga.
"Ayo, ambillah. Bukankah aku akan membeli
kayu bakar kalian" Kenapa kalian ragu" Apakah tidak
jadi menjualnya?" Tanya Rangga, sambil tersenyum.
"Kisanak, kulihat kau bukan penduduk sini. Dan
melihat pakaianmu yang penuh debu serta kudamu
yang kelelahan, tentu kau telah me-lakukan perjala-nan cukup jauh. Dan, pastilah kau seorang pengembara. Lalu, apa gunanya kayu bakar itu untukmu?"
Tanya orang tua itu, dengan wajah heran.
Rangga tersenyum.
"Untuk apa kayu bakar ini sebenarnya dibeli
orang" Tentu untuk digunakan sebagai pembakar, bukan" Nah, Kisanak. Ternyata kau cukup jeli juga. Aku
memang seorang pengembara. Tapi, pengembara yang
malas. Sebab bila kemalaman di tengah jalan dan aku
membutuhkan api, maka aku malah mencarinya. Makanya, aku membelinya dari orang-orang seperti kalian
sebagai persediaan," sahut Pendekar Rajawali Sakti
memberi alasan.
Orang tua itu tersenyum. Dan tidak punya kata-kata lagi untuk menolak
"Nah, Sarti. Bagaimana menurutmu" Bukankah
kita tidak bisa menolaknya?" Tanya orang tua itu.
Gadis yang dipanggil Sarti tersenyum seraya me-nundukkan kepala.
"Itu terserah kakek saja."
Setelah membayar harga kayu bakar itu, Rangga
menaikkannya ke punggung kuda. Sementara orang
tua dan gadis ini berdiri di dekatnya.
"Kisanak, apakah tujuanmu ke desa ini atau ke
tempat lain?" Tanya orang tua itu.
"Hm, sebenarnya aku tidak punya tujuan tetap.
Hanya mengikuti langkah kaki saja."
"Kau membawa-bawa pedang. Pastilah seorang
pendekar ternama,"
Rangga tersenyum.
"Pedang ini sekadar melindungi diri dari orang
orang yang hendak menganiaya ku, Kisanak. Dan aku
sendiri bukanlah seorang pen-dekar ternama," sahut
Rangga merendah.
"Namaku, Ki Gandi. Dan ini, cucuku Sarti Bolehkah kami tahu namamu, Nak?"
"Namaku, Rangga."
"Rangga" Hm. Sebuah nama yang bagus. Bila
kau tidak punya tujuan dan tidak terburu-buru, sudikah mampir ke gubuk kami" Aku telah terbiasa meng-hormati orang-orang yang berbuat baik padaku."
"Eh, Aku."
"Ayolah, Kakang Rangga. Kami akan sangat dihormati kalau kau sudi mampir sekadar melepaskan
dahaga," ajak Sarti, sedikit mendesak.
Rangga berpikir sejenak.
"Rumah kami tidak jauh dari sini," lanjut gadis
itu. "Baiklah."
"Terima kasih, Kakang Rangga. Dan kalau tidak
keberatan, biarlah Kakek dan Kakang pergi dahulu.
Maka, aku akan membeli beras lebih dahulu," kata ga-dis itu tanpa meminta persetujuan si pemuda dan te-rus berlalu ke pasar terdekat.
"Mari, Rangga!" ajak Ki Gandi.
Pendekar Rajawali Sakti mengikuti langkah Ki
Gandi seraya membimbing kudanya.
*** Apa yang dikatakan Ki Gandi memang benar.
Rumah mereka tidak jauh dari desa itu. Rangga terse-nyum dan dalam hari sedikit merasa kasihan melihat
kehidupan mereka. Apa yang dikatakan
orang tua itu sebagai gubuk, ternyata bukan-lah
ucapan merendah belaka. Sebab apa Kenyataannya,
tempat tinggal mereka demikian sederhana. Beberapa
bagian dinding kamar kelihatan bolong bolong. Begitu
juga bagian atapnya. Sementara perabotan di dalam-nya pun amat memprihatinkan. Gubuk terlalu kecil ini
hanya memiliki dua buah dipan reot, serta sebuah le-mari kayu berukuran kecil yang sudah keropos. Ba-gian belakang terlihat dapur yang amat sederhana. Be-gitu juga peralatan memasaknya.
"Beginilah keadaan kami. Harap maklum ada-nya. Silakan duduk," kata orang tua itu, seraya menga-jak Rangga duduk di dipan.
"Apakah kalian hanya tinggal berdua?" Tanya
Rangga. "Orang tua Sarti telah meninggal dunia sejak dia
berusia setahun. Sejak itu, akulah yang merawatnya
sampai sekarang," jelas Ki Gandi seraya menyediakan
dua cangkir minuman pada pemuda itu.
"Silakan diminum, Rangga. Apa adanya sekedar
pelepas dahaga. Maaf, kami tidak bisa menyediakan
makanan ala kadarnya."
"Ah, tidak apa."
Rangga meraih segelas cangkir yang disodorkan
kepadanya, lalu menenggaknya hingga tinggal seten-gah.
Ki Gandi tersenyum.
"Bagaimana" Segar, bukan?"
"Ah! Setelah melakukan perjalanan panjang, ten-tu saja amat menyegarkan meski hanya men-dapat air
putih." "Nah! Untuk air, kami tidak kekurangan. Kau bo-leh tambah lagi," kata orang tua itu, langsung mengisi
cangkir Rangga sampai penuh. "Oh, ya. Rangga, aku
hendak ke kamarku dulu. Aku ingin istirahat. Kau isti-rahatlah dulu di sini, sekalian menunggu Sarti dari pa-sar."
"Silakan, Ki," sahut Rangga. Ki Gandi beranjak
dari dipan. Dengan langkah perlahan, dia memasuki
kamarnya. Sementara, Rangga melepas pedangnya,
dan mulai merebahkan diri. Entah kenapa, begitu tu-buhnya rebah, Rangga merasakan matanya mengan-tuk sekali. Dan samar-samar, hidungnya mulai men-gendus bau wewangian bunga-bungaan. Belum sempat
Rangga menduga apa yang membuat kepala dan tu-buhnya terasa berat, tahu-tahu dia sudah tak ingat
apa-apa lagi. Entah tertidur entah pingsan.
? *** ? "Bagaimana keadaannya?" tanya seorang gadis
cantik, begitu memasuki gubuk sangat sederhana mi-lik Ki Gandi.
"Dia terlelap seperti bayi kekenyangan. Ha ha
ha...! Tidak ada seorang pun di dunia ini yang mampu
bertahan dari sirep 'Pelumpuh Sukma'. Apa lagi terha-dap seorang bocah bau kencur yang menamakan diri
Pendekar Rajawali Sakti ini! Hua ha ha...!" kata orang
tua yang tak lain Ki Gandi tertawa kegirangan.
"Lalu kapan dia akan melaksanakan tugas-nya?"
Tanya gadis itu.
"He he he...! Sabarlah, Sarti. Dia harus ku isi du-lu dengan berbagai macam perintah. Sehingga, dia
mengerti apa yang akan dikerjakannya," jelas Ki Gandi.
"Apakah yakin berhasil?" Tanya gadis yang tak
lain Sarti itu lagi.
"He" Kau meragukan kemampuanku"!" Bola ma-ta orang tua itu mendelik garang. Sarti tersenyum.
"Apakah ada orang lain yang menyamai keheba-tan si Tongkat Sihir Dewa Api?" kata Sarti, seperti ber-tanya pada diri sendiri.
"Nah, bagus! Sekarang bawa dia ke tempat kita!"
"Baik, Ki!"
Sarti segera mengangkat sosok pemuda yang
memang Rangga. Dalam keadaan tak sadarkan diri se-telah terkena aji sirep 'Pelumpuh Sukma', pemuda itu
dibawa ke belakang gubuk ini. Dan disana telah me-nunggu sebuah kereta kuda. Sarti segera memasukkan
Pendekar Raja-wali Sakti ke dalam kereta kuda itu.
Sementara Ki Gandi yang ternyata berjuluk
Tongkat Sihir Dewa Api berusaha menaiki kuda Rang-ga. Namun Dewa Bayu meringkik keras. Ke-dua kaki
depannya diangkat tinggi-tinggi. Sedangkan kaki bela-kangnya menendang-nendang orang tua itu, ketika
mencoba memaksa.
"Kuda keparat!" maki Tongkat Sihir Dewa Api ge-ram.
"Lebih baik jangan dipaksa, Ki. Kita ikat saja dia
di belakang kereta. Dengan mengendus bau majikan-nya, dia tidak akan berontak," kata Sarti memberi
usul. "Hm, mungkin kau benar. Kadang-kadang hewan
lebih pintar dan waspada ketimbang majikannya," sa-hut orang tua itu seraya mengikat tali kekang hewan
itu di belakang kereta kuda. Apa yang dikatakan gadis
itu memang benar. Kuda hitam itu kini tidak berontak
lagi, dan menurut saja mengikuti ketika kereta kuda di
depannya mulai bergerak.
? *** ? Entah berapa lamanya Pendekar Rajawali Sakti
terbaring. Namun ketika terjaga, kepalanya masih te-rasa sakit bukan main. Tubuhnya masih lemah seperti
tidak bertulang.
"Oh.... Di mana aku?" keluh Rangga tertahan se-raya memandang ke sekeliling.
Sekeliling ruangan itu gelap, seperti berkabut
Rangga duduk bersila ketika pandangan-nya terbentur
sepasang cahaya kecil yang bersilau tajam, laksana
mata seekor kucing di kegelapan.
"Si..., siapa kau?" Tanya Rangga.
"Aku adalah majikanmu," sahut sosok yang me-miliki mata berkilatan itu.
"Majikanku?" Tanya Rangga lagi, tercenung. Pan-dangan matanya seperti tidak ingin berpaling.
"Tahukah kau, siapa dirimu?"
"Diriku?"
Wajah pemuda itu kembali tampak bingung.
"Namamu Rangga. Dan, julukanmu Pendekar Ra-jawali Sakti," kata sosok itu.
"Rangga" Pendekar Rajawali Sakti...?"
"Ya. Tahukah kau, siapa sebenarnya hal yang le-bih penting?"
Kembali terdengar orang itu bertanya. Nada sua-ranya lirih, mendayu. Terasa datar tanpa tekanan, ser-ta bergaung-gaung di dalam ruangan ini.
Pendekar Rajawali Sakti terdiam memperhatikan
dengan wajah bingung. Dan memang, sejak terkena aji
sirep 'Pelumpuh Sukma' Rangga seperti kehilangan ke-sadaran. Bahkan dia tidak tahu, siapa dirinya yang se-benarnya.
"Kau adalah budakku!"
"Budakmu?"
"Ya. Dan sebagai seorang budak, kau wajib men-gikuti segala perintahku!" tandas sosok itu, penuh te-kanan.
"Begitukah?"
"Ya. Dan kau wajib menghormatiku. Maka, beri-lah hormat pada majikanmu!" perintah suara itu. Kali
ini nadanya terdengar agak keras.
Pemuda itu bangkit berdiri, kemudian menundukkan tubuhnya.
"Ha ha ha...! Bagus! Kini, siapkah kau menerima
perintah-perintahku?"
"Perintah apakah itu?"
"Kau harus membunuh orang-orang yang kuin-ginkan."
"Membunuh" Siapa yang harus kubunuh?"
Sosok itu bangkit dari duduknya. Kemudian ber-jalan ke satu ruangan.
"Ikuti aku!" ujar Tongkat Sihir Dewa Api.
Rangga mengikuti dengan patuh.
Ruangan yang mereka masuki tidak terlalu be-sar. Dan di dalamnya tidak terdapat apa-apa, selain
kumpulan patung manusia yang ter-buat dari kayu.
"Tahukah kau, patung-patung siapa semua ini?"
Pemuda itu memperhatikan dengan seksama.
Keningnya berkerut berusaha mengenali. Kemudian,


Pendekar Rajawali Sakti 146 Bunuh Pendekar Rajawali Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepalanya menggeleng lemah.
"Bagus! Perhatikan patung yang berada di se-belah kiri. Nah, orang ini yang pertama harus kau le-nyapkan."
"Orang ini" Di mana aku bisa menemuinya?"
tunjuk Rangga meyakinkan.
"Kau nanti akan ditemani seorang kawanmu."
"Siapa?"
"Nanti kau akan mengenalinya," kata Tongkat Si-hir Dewa Api seraya bertepuk tangan sekali.
Tak lama masuk seorang gadis belia berwajah
cantik memakai baju merah muda. Rambutnya yang
panjang, dikuncir agak ke atas. Dan di punggungnya
tersandang sebilah pedang.
Rangga memperhatikan gadis itu dengan seksa-ma. Sepertinya, dia mengenalnya. Namun, tidak tahu
entah di mana. "Namanya Sarti. Dia yang akan menemanimu
dan memberitahukan, apa yang harus kau laku-kan
Kau pun harus tunduk pada perintahnya!"
"Sarti?"
"Sarti! Katakan padanya, bahwa dia harus patuh
pada perintahmu!"
Gadis yang memang Sarti itu mengulurkan tan-gan seraya tersenyum memandang Rangga. Keti-ka
berjabatan tangan, sepasang matanya seperti menghu-jam dalam ke sanubari pemuda ini.
"Rangga. Tahukah bahwa kau harus patuh pa-daku" Ingat! Kau harus patuh pada segala perintah-ku!" "
"Aku harus patuh pada perintahmu." Pendekar
Rajawali Sakti mengulang kata-kata Sarti.
"Bagus, Rangga! Kau cepat mengerti dengan se-gala perintah majikanmu. Ha ha ha...!" timpal Tongkat
Sihir Dewa Api seraya tertawa lebar.
Rangga hanya memandang sayu pada Tongkat
Sihir Dewa Api dan Sarti secara bergantian.
"Nah, kau ingat baik-baik wajah semua patung
yang ada dalam ruangan ini. Perhatikan baik-baik! Me-reka semua harus mati di tangan-mu!" tunjuk Ki Gandi
alias Tongkat Sihir Dewa Api.
Rangga memperhatikan seksama. Lalu, dima-sukkannya wajah patung-patung itu ke dalam inga-tannya.
"Di mana mereka harus kutemui?"
"Sarti akan memberitahukannya padamu."
"Kenapa mereka harus kubunuh?"
"Kalau kau tidak membunuh mereka, maka kau
sendiri yang akan dibunuh."
"Mereka hendak membunuhku?" Tanya pemuda
itu, dengan wajah bodoh.
"Betul. Maka kau harus membunuh mereka ter-lebih dulu!"
Pemuda itu mengangguk.
"Dan ingat lagi."
Rangga mengalihkan pandang dan memandang
Tongkat Sihir Dewa Api.
"Siapa pun yang coba menghalangi niatmu, maka
mereka adalah musuhmu!"
"Musuhku?"
"Ya. Berarti mereka menginginkan kematian-mu!"
*** ? 2 "Hyaaat!"
Sebuah suara seperti suatu pertarungan, terden-gar menggelegar membelah angkasa yang masih tertu-tup kabut di pagi yang indah ini. Teriakan itu datang-nya dari seorang pemuda bertubuh tegap. Setelah ber-diri berhadapan beberapa saat, tubuhnya mencelat ke
arah laki-laki tua dengan ikat kepala warna merah.
Kepalan tangan kanannya menyodok ke arah dada kiri
orang tua berambut pendek yang telah memutih itu.
"Hup!"
Namun, orang tua itu cepat menekuk pergelan-gan tangan kirinya untuk menangkis. Dan ketika kepa-lan tangan kiri pemuda itu hendak menghantam mu-ka, tangan kanannya segera menangkis.
Plak! Bersamaan dengan itu, kaki kanan orang tua itu
terangkat dengan tubuh sedikit membungkuk. Keliha-tannya, dia hendak menahan tendangan yang dilancarkan pemuda lawannya. Tapi mendadak saja, jurus-nya dirubah. Bahkan cepat sekali sikut tangan kanan-nya bergeser sedikit ke bawah menghantam dada pe-muda itu.
Duk! "Akh!"
Pemuda itu mengeluh tertahan. Tubuhnya kon-tan terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang
sambil mendekap dadanya yang terasa nyeri akibat
terhantam sodokan sikut.
"Awasss!" teriak orang tua itu.
Belum sempat pemuda itu bersiaga, tiba-tiba
orang tua itu cepat berputar. Bahkan langsung mengi-rimkan satu tendangan keras yang tertuju ke ping-gang.
Begkh! "Ugkh!"
Tubuh pemuda itu terjerembab mencium tanah,
dan langsung mengeluh kesakitan.
"Nah! Itulah akibatnya kalau tidak waspada,"
ujar orang tua itu sambil memandangi lawannya diser-tai senyum-senyum kecil.
Rupanya, mereka bukannya bertarung, tapi se-kadar berlatih di sebuah halaman padepokan. Tampak
mengelilingi mereka beberapa murid yang nantinya
akan mendapat giliran.
"Aduh...! Pinggangku sakit sekali. Eyang terlalu
keras menendang? ku," keluh pemuda itu berusaha
bangkit sambil bersungut-sungut.
"Bila musuh yang sesungguhnya, tentu tak akan
membiarkan mu dalam keadaan begitu! Kau akan se-gera dihabisinya, Wongso! Dan tentu saja, pukulan
serta hantamannya lebih keras daripada yang kulaku-kan tadi," tandas orang tua itu.
"Tapi, Eyang kan bisa memukul perlahan-lahan,"
keluh pemuda yang dipanggil Wongso.
"Sudah! Sudah...! Aku tidak mau dengar alasan-mu. Ayo, ambil golokmu! Jangan membuat malu Pade-pokan Mega Mendung, Wongso! Aku, Pindih Daksa, tak
suka ditertawakan padepokan-padepokan lain, hanya
karena nyalimu sekeras tempe!"
"Eh, golok" Golok, Eyang...?" Tanya pemuda itu
sedikit takut. "Iya! Apa telingamu tuli, he"!" hardik orang tua
bernama Pindih Daksa, Ketua Padepokan Mega Men-dung ini.
"Eh! Ti..., tidak, Eyang!" sahut Wongso, tergagap.
"Nah! Tunggu apa lagi" Ayo, lekas ambil!"
"Ba..., baik, Eyang!" sahut Wongso seraya me-nerima sebilah golok yang diangsurkan se-orang murid
lain. Lalu dia kembali berhadapan dengan orang tua
itu dengan wajah takut-takut.
"Kenapa kau, Wongso"!" Tanya Eyang Pindih
Daksa. "Eh! Tidak apa-apa, Eyang."
"Kalau begitu, berdiri yang tegak dan mantap.
Lalu, buat kuda-kuda kokoh. Baru setelah itu, serang
aku dengan senjatamu!" perintah si orang tua.
Wongso menuruti apa yang dikatakan orang tua
itu, meski hatinya amat takut dan sedikit ngeri.
Namun baru saja Wongso membuat kuda-kuda,
seorang murid yang bertugas menjaga pintu gerbang
datang memberitahukan pada Eyang Pindih Daksa.
Dia memberitahu kalau ada dua orang tamu menung-gu di depan pintu gerbang.
Eyang Pindih Daksa segera berpaling. Dan tam-paklah seorang pemuda tampan berbaju rompi putih
dan seorang gadis berbaju merah muda. Mereka kini
mendatangi orang tua itu dari arah pintu gerbang. Ke-mudian mereka berhenti di hadapannya pada jarak li-ma langkah.
"Adakah sesuatu yang bisa kubantu pada ka-lian?" Tanya Eyang Pindih Daksa dengan suara halus
sambil tersenyum kecil.
? *** ? "Kaukah yang bernama Pindih Daksa, Ketua Pa-depokan Mega Mendung ini?" Tanya gadis merah jam-bu itu meyakinkan.
"Betul, akulah orangnya. Siapakah kalian ber-dua" Dan, ada keperluan apa mencariku?" sahut
Eyang Pindih Daksa balik bertanya dengan nada ha-lus.
Sementara murid-murid Padepokan Mega Men-dung sejak tadi sudah memperlihatkan sikap tidak se-nangnya. Karena, sikap gadis itu terlihat congkak dan
menganggap rendah. Apalagi ketika menyebutkan na-ma guru mereka begitu saja. Padahal melihat wajah-nya, usia gadis itu masih amat belia. Sekitar enam
atau tujuh belas tahun.
Gadis itu tersenyum sinis.
"Ingatkah peristiwa pada sebelas tahun lalu di
Lembah Panca Satya?" Tanya gadis itu.
"Hm.... Bagaimana mungkin aku melupakan pe-ristiwa itu" Tapi, apa hubungan kalian dengan Ki Netra
Buana?" Tanya Eyang Pindih Daksa mulai sedikit
mengerti tujuan sepasang anak muda itu ke sini.
"Kedatangan kami menagih kekalahan Ki Netra
Buana dengan kepalamu!" Desis gadis itu sinis tanpa
basa-basi lagi.
Mendengar itu Eyang Pindih Daksa tersenyum.
"Sudah kuduga. Tapi kenapa bukan dia sendiri
yang datang" Hm.... Orang itu memang tidak pernah
insaf dan sadar atas perbuatan jahat-nya. Kini, apa la-gi yang akan direncanakannya" Apakah dengan mengi-rim kalian maka persoalan-nya akan selesai?"
"Tidak usah banyak mulut! Lebih baik, bersiap-lah menghadapi kematianmu!"
Mendengar kata-kata gadis ini, semua murid
Eyang Pindih Daksa segera bersiaga, mengepung ke-dua orang itu dengan wajah tidak senang.
Eyang Pindih Daksa mengangkat sebelah tangan,
sebagai isyarat agar muridnya tidak ke-buru nafsu dan
bertindak ceroboh. Dipandangi-nya kedua orang muda
itu sambil tersenyum dan berusaha bersikap tenang.
"Nisanak dan Kisanak, lebih baik kalian kembali.
Dan, katakan pada Ki Netra Buana, segala niat buruk-nya harap segera dihentikan. Kalau tidak, maka semua
tokoh persilatan yang dulu memberi pelajaran pa-danya, tidak akan memaafkannya lagi!"
"Hi hi hi...! Kau kira semudah itu, he"! Mulai hari
ini nasib kalian telah ditentukan. Dan, kaulah orang
pertama yang akan mendapat kehormatan untuk di-pancung. Kau lihat, siapa pemuda di sampingku ini"
Dia telah berpihak pada Ki Netra Buana. Bahkan siap
mengorbankan nyawa untuk mencabut nyawa kalian
semua." "Eyang! Untuk apa ditunda-tunda lagi" Jelas ke-dua orang ini ingin mengacau. Serahkan saja pada
kami, biar mereka tahu adat!" Desis salah seorang mu-rid Eyang Pindih Daksa dengan amarah seperti tidak
bisa ditahan lagi.
"Sabarlah, Darmaji. Kita harus memberi kesem-patan pada mereka berdua untuk menyadari kekeli-ruannya," ujar Eyang Pindih Daksa.
"Hei, Orang Tua! Tidak ada gunanya berharap
seperti itu. Lebih baik, serahkan kepalamu. Dan kami
akan mengampuni semua jiwa murid-muridmu!"
"Nisanak! Kenapa kau begitu terburu nafsu" Di
antara kita tidak ada persoalan apa-apa, bukan" Ka-laupun kau murid atau cucunya, maka harus mengerti
dulu duduk persoalannya sebelum bertindak. Sadar-kah, siapa yang kau bela itu?"
"Tidak usah mencoba menerangkan karena tidak
ada gunanya sama sekali!" sentak gadis itu kemudian
berpaling pada pemuda di sebelahnya. "Rangga! Orang
ini bagianmu! Dia bukan saja musuh majikanmu, tapi
juga musuhmu. Kau lihat di sekeliling mu" Mereka
siap akan membunuh kita. Dan kalau tidak mendahu-lui, maka kita akan binasa di tangan mereka."
Mendengar kata-kata gadis itu maka wajah pe-muda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali
Sakti langsung berubah garang. Matanya memandang
tajam pada Eyang Pindih Daksa. Lalu tanpa berkata
apa-apa lagi, dia melompat menyerang. Sungguh suatu
tindakan aneh, di mana seharusnya Pendekar Rajawali
Sakti adalah pendekar berjiwa bersih kini seperti terse-limuti hawa membunuh.
"Yeaaa!"
"He, sial!"
Eyang Pindih Daksa mengumpat kesal seraya
menghindar dari serangan Rangga. Tapi gerakan pe-muda itu cepat sekali. Sehingga, membuat Ketua Pa-depokan Mega Mendung terkesiap. Dan tiba-tiba saja,
sabetan kaki Pendekar Rajawali Sakti menyambar ke
arah pinggang. Eyang Pindih Daksa mencelat ke atas. Namun
pemuda itu cepat mengejar. Dan meski orang tua itu
berjumpalitan ke belakang, Rangga terus mencecarnya. Eyang Pindih Daksa berusaha menangkis kepa-lan kiri Rangga.
Plak! Namun tiba-tiba saja, tendangan kaki kanan
Pendekar Rajawali Sakti menghantam ke dada tanpa
diduganya sama sekali. Begitu cepat tendangan Pen-dekar Rajawali Sakti, sehingga Eyang Pindih Daksa tak
mampu menghindarinya. Dan....
Begkh! "Aaakh...!"
Orang tua itu terhuyung-huyung disertai keluh
kesakitan. "Eyaaang!"
Beberapa murid Padepokan Mega Mendung lang-sung menghampiri dengan wajah cemas.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti tidak mem-pedulikan keadaan lawan yang tubuhnya sudah berke-lebat melepaskan serangan.
"Hiyaaa!"
"Kurang ajar!"
Tiga orang murid padepokan ini langsung meng-geram. Mereka bermaksud memapaki serangan pemu-da itu sekaligus menghajarnya.
Melihat tiga lawan menyerang, Rangga mengalih-kan perhatian. Sambil sedikit membungkuk untuk
menghindari serangan, tubuhnya berputar. Dan tiba-tiba saja kepalan dan tendangannya menghantam keti-ga lawan dengan telak.
Plak! Duk! "Aaa!"
Murid-murid Eyang Pindih Daksa kontan meme-kik setinggi langit. Tubuh mereka terjungkal disertai
muntahan darah segar.
"Astaga! Eyang! Mereka tewas dengan dada re-muk!" seru seorang murid ketika melihat keadaan keti-ga kawannya.
Eyang Pindih Daksa buru-buru menghampiri.
Dan dia segera memeriksa ketiga muridnya yang tewas
dengan keadaan yang menyedihkan. Perlahan-lahan
tubuhnya bangkit dan memandang kedua anak muda
itu dengan wajah kelam.
Sementara, seluruh murid Padepokan Mega
Mendung telah mencabut senjata masing-masing dan
mengurung keduanya dengan ketat. Wajah-wajah me-reka penuh amarah. Sikap mereka bagai air bah yang
siap menjebol bendungan, bila sekali saja guru pade-pokan ini memberi perintah.
"Kalian memang sama kejamnya dengan Ki Netra
Buana. Dan aku tidak bisa membiarkannya begitu sa-ja...!" desis Ketua Padepokan Mega Mendung itu.
*** "Hi hi hi...! Tua bangka tidak tahu malu. Kau ki-ra dirimu siapa berani bicara seperti itu" Tidak ta-hukah kau, siapa pemuda yang tengah berhadapan
denganmu?" ejek gadis itu dengan tawa sinis.
"Huh! Meski kalian dedemit sekalipun, jangan
harap bisa membuatku gentar!"
"Hi hi hi...! Ketahuilah, pemuda ini adalah Pen-dekar Rajawali Sakti. Nah! Setelah mengetahui siapa
dia, apakah kau dan murid-muridmu berani berting-kah?"
"Pendekar Rajawali Sakti" Mustahil!" desis orang
tua itu dengan wajah tidak percaya.
"Hm.... Kau boleh tidak percaya. Tapi, perhatikan
baik-baik. Apakah sebelumnya kau pernah? melihat
atau mendengar tentang si Pendekar Rajawali Sakti"
Nah pemuda inilah sesungguhnya Pendekar Rajawali
Sakti." Eyang Pindih Daksa memperhatikan dengan sek-sama. Dia memang pernah mendengar nama dan ciri-ciri Pendekar Rajawali Sakti. Tapi yang diketahuinya,
Pendekar Rajawali Sakti tidak gampang memberi ban-tuan, apalagi terhadap orang yang bermaksud buruk.
Tapi kini" Setahu-nya, Pendekar Rajawali Sakti adalah
tokoh persilatan golongan putih. Bahkan dia sempat
menduga kalau pemuda ini sekadar meniru-niru pe-nampilan si Pendekar Rajawali Sakti. Namun mengin-gat ciri-cirinya, dia tidak habis pikir. Terutama, pedang
yang tersampir di punggung pemuda itu.
"Mustahil!? Padepokan kami tidak ada urusan
yang membawa kepada perselisihan dengan Pendekar
Rajawali Sakti. Kau pasti penipu! Kalian hendak men-gecoh kami dengan membawa-bawa nama Pendekar
Rajawali Sakti. Hm.... Mudah-mudahan Pendekar Ra-jawali Sakti yang asli akan bertemu kalian. Dan saat
itu, baru kalian tahu bagai-mana rasanya mencatut
nama orang lain!"
"Hi hi hi...! Kau boleh percaya atau tidak, itu ter-serahmu. Tapi bukan berarti kau dan murid-muridmu
bakal selamat. Kalian semua akan mampus di tangan-nya!" sahut gadis itu seraya tertawa nyaring. "Ayo, Ka-kang Rangga! Tunggu apa lagi" Habisi mereka semua!"
Tanpa basa-basi seperti tadi, Pendekar Rajawali


Pendekar Rajawali Sakti 146 Bunuh Pendekar Rajawali Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sakti kembali melompat menyerang.
"Hiyaaa!"
"Persetan! Kau Pendekar Rajawali Sakti gadun-gan! Aku akan mengadu jiwa denganmu. Anak-anak,
ringkus gadis liar itu!" teriak Eyang Pindih Daksa,
memberi perintah pada murid-muridnya. Dia sendiri
kemudian mencelat memapak serangan Rangga den-gan mengerahkan segenap kemampuannya.
Plak! Wut! Ketua Padepokan Mega Mendung mengeluh ter-tahan ketika coba menangkis sodokan yang di-lancarkan Rangga. Dan sambil menundukkan kepala
menghindari tendangan, dengan cepat dan tidak ter-duga sama sekali, Eyang Pindih Daksa mencabut go-loknya dan memapas kaki Rangga.
"Hiiih!"
"Uts!"
Pemuda itu menarik pulang tendangannya. Ke-mudian tubuhnya berputar dua kali seraya meng-hantam bagian perut Namun, Eyang Pindih Daksa ti-dak kalah gesit. Dengan geram goloknya dikibaskan ke
arah batok kepala lawannya. Gera-kan yang dilakukan
Pendekar Rajawali Sakti ternyata tipuan belaka. Sebab
tiba-tiba saja, tubuhnya mencelat ke samping. Lang-sung dihantamnya pinggang orang tua itu dengan satu
tendangan keras.
Karena untuk menghindar tak mungkin, maka
Eyang Pindih Daksa segera menangkis.
Plak! Terjadi benturan hebat, yang membuat tulang
lengan Eyang Pindih Daksa terasa mau patah. Dan be-lum lagi rasa sakitnya hilang, cepat se-kali kaki pemu-da itu menghantam rahangnya.
Dugkh! "Ukh!"
Orang tua itu? mengeluh kesakitan. Tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang. Sementara pemuda itu
telah mengejarnya dengan serangan susulan. Sepertinya, dia tidak akan membiarkan orang tua itu untuk
bernapas barang sekejap.
Sring! "Heh"!"
Bukan main terkejutnya Eyang Pindih Daksa ke-tika melihat pemuda itu mencabut pedangnya. "Astaga!
Jadi dia benar-benar Pendekar rajawali Sakti. Pedang
pusaka itu benar-benar miliknya! Apa yang telah terja-di sehingga dia berpihak pada si Netra Buana?" keluh
orang tua itu dengan wajah terkesiap.
"Eyang, awaaas...!"
Beberapa orang murid Padepokan Mega Mendung
yang melihat kejadian itu terkejut. Mereka langsung
melompat hendak melindungi gurunya yang sedang
lengah. Tapi....
Bruesss! "Aaa!"
Tiga orang memekik setinggi langit dan ter-jungkal roboh bermandikan darah, tersambar Pedang
Pusaka Rajawali Sakti yang memancarkan sinar biru
berkilauan. "Astaga!"
Melihat kejadian ini, murid-murid lain yang ber-tarung dengan gadis itu jadi terkejut. Namun mereka
akhirnya menjadi makanan empuk lawannya.
Sing! "Mampuslah kalian semua...! Yeaaa!"
Bret! Jerit berkumandang kembali menyusul, bersama
tewasnya beberapa murid yang lain. Eyang Pindih
Daksa jadi trenyuh. Namun, dia tidak bisa berbuat
apa-apa, karena Pendekar Rajawali Sakti telah menye-rangnya lebih hebat lagi.
"Ayo, pergilah kalian dari sini! Selamatkan diri
kalian! Pemuda ini adalah Pendekar Raja-wali Sakti.
Entah, apa yang menyebabkannya berbuat segila ini.
Tapi, kalian tidak akan unggul menghadapinya!" teriak
orang tua itu pada murid-muridnya.
"Tidak, Eyang! Kami akan tetap di sini bersama
mu!" teriak beberapa orang muridnya dengan sikap ga-gah.
Namun murid-murid yang berjiwa pengecut, sudah langsung mengambil kesempatan itu untuk mela-rikan diri. Apalagi, ketika melihat kawan-kawannya
berjatuhan satu persatu dalam keadaan mengenaskan.
Siapa saja yang dekat dengan gadis berbaju merah
muda itu, akan tewas disambar ujung pedangnya. Dan
hal yang lebih gila lagi adalah, kedahsyatan pedang di
tangan Pen-dekar Raja wali Sakti. Tidak ada seorang
pun yang mampu menahannya, meski dalam tiga ge-rakan. Semua yang berusaha menolong gurunya, bisa
dipastikan tewas tersambar pedang pemuda itu.
"Hiyaaa!"
Pendekar Rajawali Sakti menggeram dan men-gamuk hebat. Pedangnya menebas dua orang yang
kembali mencoba menghalangi niatnya, hendak men-gejar Eyang Pindih Daksa. Kemudian tubuhnya me-lompat ringan dan langsung membabatkan pedangnya
dengan dahsyat Tras! Wuk! Eyang Pindih Daksa terkesiap, segera mencoba
menangkis. Namun, goloknya putus dibabat pedang
Pusaka Rajawali Sakti. Seketika tubuhnya segera ber-gulingan menghindari hantaman yang menyusul sece-pat kilat.
"Hiiih!"
Crab! "Aaa...!"
*** Pendekar Rajawali Sakti
?"?"?"" Pendekar Rajawali Sakti
? 2017 . 146. Bunuh Pendekar Rajawali Sakti Bag. 3 dan 4
4. Dezember 2014 um 08:24
3 Pindih Daksa terpekik nyaring ketika pedang
Pendekar Rajawali Sakti menghujam jantungnya.
Rangga menarik pedangnya dengan keras, dengan wajah berkerut geram. Eyang Pindih Daksa tewas, karena
tidak mampu mengimbangi kecepatan gerak Pendekar
Rajawali Sakti. Pada saat tubuhnya bergulingan tadi.
Rangga telah membayanginya dari atas, seperti tidak
memberi ruang gerak lagi padanya.
"Eyaaang"!"
Beberapa murid padepokan ini terkesiap. Mereka
langsung memburu tubuh gurunya yang berlumuran
darah. "Bagus, Kakang Rangga! Nah! Kecoa-kecoa ini bi-ar menjadi bagianku!" puji gadis berbaju merah muda
itu. "Yeaaa!"
Pedang gadis itu berkelebat bagaikan kilat. Seba-gian lawan-lawannya berhasil menangkis.
Trang! Bret! "Aaa!"
Namun empat orang tewas seketika dengan perut
koyak dirobek pedang gadis berbaju merah muda ini.
"Keparat! Kalian harus membayar kematian guru
kami, yeaaa!"
Murid-murid Eyang Pindih Daksa yang tersisa,
seketika mengamuk dahsyat. Di hati mereka hanya
ada amarah meluap untuk membalas kematian gu-runya. Namun kedua lawan yang dihadapi bukanlah
orang sembarangan. Maka mereka hanya mengantar
nyawa secara percuma. Rangga dan gadis berbaju me-rah muda itu tidak memberi am-pun. Pedang mereka
terus mencari korban dengan ganas. Pekik kematian
saling susul terdengar, ditingkahi ambruknya tubuh-tubuh dalam keadaan mengenaskan. Dalam waktu
singkat, tidak ada seorang pun dari mereka yang tersi-sa. Kecuali, beberapa murid yang tadi sempat melari-kan diri.
Trek! Kedua anak muda itu menyarungkan pedang
dengan mata memandang mayat-mayat yang bergelim-pangan.
"Huh! Can penyakit saja! Mereka kira bisa meng-halangi kita berdua!" dengus gadis itu dingin.
"Sekarang? ke mana tujuan kita, Sarti?" Tanya
Rangga. "Kita akan segera mencari yang lainnya, sesuai
perintah Ki Netra Buana," sahut gadis berbaju merah
muda yang memang Sarti.
"Kalau begitu buat apa buang-buang waktu" Ayo,
kita tinggalkan tempat ini untuk mencari mereka. Le-bih cepat selesai, maka akan lebih baik," ujar Rangga.
"Dan lebih cepat pula kita bersenang-senang!"
timpal Sarti sambil tertawa kecil. "Bukankah begitu,
Kakang?" Pemuda itu tidak menyahut, dan hanya terse-nyum kecil.
Tanpa malu-malu, Sarti menggandeng lengan
pemuda itu. Dan mereka segera melenggang dari ha-laman padepokan ini. Tapi baru beberapa langkah ber-jalan....
"Astaga! Apa yang telah terjadi di sini"!"
Mendadak terdengar seruan seseorang di pintu
gerbang Padepokan Mega Mendung, ketika melihat
mayat-mayat bergelimpangan berlumur darah. Dia
adalah laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun Ram-butnya panjang digelung ke atas. Tubuhnya tidak begi-tu besar, namun otot-otot-nya menonjol. Seketika wa-jahnya berpaling pada Rangga dan Sarti dengan sorot
mata garang. "Pasti kalian yang telah melakukan perbuatan
terkutuk ini! He, jangan harap bisa meninggal-kan
tempat ini sebelum membayar kematian mereka!" den-gus laki-laki itu geram.
"Siapa kau"!" bentak Sarti.
"Aku Saduki, putra Eyang Pindih Daksa."
"Hm.... Kebetulan sekali kau berada di sini. Men-cabut pohon harus sampai ke akar-akarnya. Heh!
Orang tua itu mampus di tangan kami. Lalu kau mau
apa"!" sahut Sarti berkacak pinggang sambil terse-nyum mengejek
"Keparat! Kalian akan bayar hutang nyawa ini...!"
dengus Saduki langsung mencabut golok di pinggang,
segera dia melompat menerjang Sarti.
"Hup!"
Sring! Gadis itu melompat sambil mencabut pedang.
Saduki terus menyerangnya dengan kalap.
Tring! "Hiiih!"
Sarti langsung memapak dengan senjatanya.
Kemudian pedangnya terus membabat ke arah le-her.
Laki-laki itu terkejut, namun cepat mengegos ke kiri.
Kaki kanan gadis itu membabat dadanya. Untung saja
Saduki segera melompat ke belakang. Namun Sarti ti-dak memberi kesempatan. Langsung dikejarnya laki-laki itu dengan gerakan ringan mengandung tenaga
dalam tinggi. "Yeaaa!"
Dengan tubuh berputaran indah, pedang gadis
itu berkelebat menyambar leher. Tapi Saduki cepat
memapaknya. Trang! Satu benturan yang mengandung tenaga dalam
tinggi terjadi. Dan ini membuat laki-laki itu bergetar
tubuhnya. Kesempatan ini tidak disia-siakan Sarti.
"Hiiih!"
Gadis itu cepat membabatkan pedangnya Dan....
Crasss! "Aaa!"
Terdengar pekikan tertahan. Tampak Saduki ro-boh dengan pinggang robek tersambar senjata mende-lik lebar.
"Huh!"
Trek! Sarti? mendengus dingin seraya menyarungkan
kembali pedangnya.
"Mari, Kakang. Kita tinggalkan tempat ini. Masih
banyak yang harus dikerjakan!" ujar gadis itu seraya
menggamit lengan Rangga.
Rangga yang sejak tadi diam saja memperhatikan
pertarungan, menurut saja seperti kerbau yang dicu-cuk hidungnya.
? *** Di sebuah pinggiran sungai, tampak dua sosok
dengan penuh perhatian tengah menunggui kailnya
disambar ikan. Yang seorang berbaju hitam. Dia du-duk dengan mata tidak berkedip. Sesekali tangannya
menggaruk rambut di kepala yang kusut masai seperti
tidak pernah dibersihkan beberapa bulan. Berkali-kali
dia menggerutu kesal ketika melihat kawannya yang
sebentar-sebentar menarik kail, dan memperoleh ikan
cukup banyak. Sedang dia, sejak pagi tadi belum juga
mendapatkan seekor ikan pun.
"He he he...! Nasibmu sedang apes, Dulaksa. Co-ba lihat! Aku dapat lagi!" seru laki-laki yang berbaju
merah sambil terkekeh girang menarik kailnya. Seekor
ikan sebesar telapak tangan tampak menggelepar di
ujung kail. "Jangan sombong kau, Dulaksi! Boleh jadi hari
ini nasibmu mujur. Tapi, ikan-ikan yang kau peroleh
semuanya kecil-kecil. Kau lihat nanti. Meski hanya
mendapat seekor, tapi paling besar!"
"He he he...! Ikan sebesar apa yang terdampar di
muara ini. Dulaksa" Kau boleh bermimpi sampai
otakmu pikun!" ejek laki-laki yang di-panggil Dulaksi.
"Sudah! Tutup mulutmu...!" bentak laki-laki ber-nama Dulaksa kesal. Sementara, Dulaksi ma-sih ter-kekeh kecil dengan nada mengejek. Tapi Dulaksa tidak
mempedulikannya.
Tiba-tiba tali kail Dulaksa terasa disentak. Dia
berdiri dan siap menarik Wajahnya tampak girang.
"Ha ha ha...! Kau lihat" Pasti ikan besar yang
menarik kailku. Ha ha ha...! Sekarang kau boleh ter-tawa sepuasmu!" seru Dulaksa kegirangan. Wajahnya
tampak bersemangat dan buru-buru menarik kailnya.
Namun wajah Dulaksa kembali kesal sambil
menggerutu tidak habis-habisnya. Ternyata yang me-nyangkut di mata kailnya bukan ikan besar, tapi sepo-tong kayu sebesar betis.
"Setan!" maki Dulaksa geram seraya melempar
kayu itu dengan kesal.
Melihat itu, tawa Dulaksi semakin terpingkal-pingkal saja.
"Ha ha ha...! Itukah ikan besar yang kau kata-kan" Kenapa kau buang" Itu perolehan mu yang seha-rusnya disimpan!" ejek Dulaksi.
"Sudah! Sudah, hentikan ocehanmu. Kau kira
lucu, he"!" geram Dulaksa kesal.
Dulaksi masih terkekeh seraya melempar kailnya
kembali ke sungai, setelah tadi seekor ikan terlepas
karena kaget saat Dulaksa me-lempar kayu.
Sebenarnya kedua orang ini bukanlah nelayan
biasa. Kehidupan mereka tidak hanya sekadar me-mancing. Melihat sebuah tongkat besi yang berujung
melengkung tajam seperti clurit di punggung mereka,
agaknya dunia persilatan akan segera mengenal. Dan
mereka memang dua orang saudara kembar. Dan sia-pa pun tahu tidak ada orang lain yang tinggal di seki-tar muara sungai ini, selain dua orang itu yang berju-luk si Kembar Muara Gamping.
Si Kembar Muara Gamping yang berusia sekitar
empat puluh tahun ini dikenal sebagai tokoh persila-tan yang disegani. Kepandaian mereka cukup hebat,
dan jarang ada tandingannya. Apa-bila keduanya maju
bersama menghadapi lawan, maka akan sukar dika-lahkan. Sebab, mereka memiliki gerakan kompak yang
saling sambung menyambung bagai aliran sungai.
Selama sepuluh tahun belakangan ini, si Kembar
Muara Gamping jarang muncul di dunia persilatan.
Banyak yang mengira kalau mereka se-dang mempela-jari sebuah ilmu sakti yang amat langka. Agaknya, hal
itu memang tidak terlalu salah. Sebelum guru mereka
meninggal dunia, sempat mewariskan sebuah kitab il-mu silat yang merupakan ciptaannya sendiri. Dan se-lama ini amat dirahasiakannya. Jurus-jurus ciptaan
guru mereka ini memang dirahasiakan, sebab bila
sampai terdengar tokoh-tokoh persilatan lain-nya,
akan menimbulkan malapetaka. Memang, siapa pun


Pendekar Rajawali Sakti 146 Bunuh Pendekar Rajawali Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu kalau Ki Sapu Jagad yang menjadi guru kedua
saudara kembar itu, terkenal sebagai tokoh sakti ber-kepandaian amat tinggi. Se-orang tokoh yang disegani
semua kalangan persilatan. Dan bila peninggalannya
tersebar ke dunia luar, maka akan banyak tokoh ber-duyun-duyun ke sini untuk memiliki kitab pusaka itu.
Namun setelah kitab ini berada di tangan, me-reka tetap merahasiakan dan mempelajarinya secara
diam-diam. Sehingga meski semua kalangan persilatan
menduga kalau mereka sedang mempelajari suatu il-mu sakti, namun tidak ada seorang pun yang bisa
membuktikannya. Itulah sebabnya, kenapa keduanya
jarang muncul di dunia luar.
"Hm.... Matahari telah tergelincir ke barat! Sudah
waktunya kita makan siang...," ajak Dulaksi sambil
membenahi alat-alat pancingnya.
"Kau sajalah! Aku belum mendapat bagian...,"
sahut Dulaksa lesu.
"Alaaah! Kenapa kau malu-malu" Ikan perole-hanku ini cukup untuk kita berdua. Sudahlah.... Nanti
sore kita mancing lagi. Siapa tahu, nanti malah kau
yang mujur!" bujuk Dulaksi seraya menghampiri.
Dulaksa masih tetap diam, dan berharap kail-nya mengena. Sementara Dulaksi duduk di samping
seraya menepuk-nepuk bahunya dan tersenyum kecil.
"Ayolah. Kau tidak pernah pelit padaku, maka
kenapa aku musti pelit padamu" Ikan perolehan-ku ini
lebih dari cukup untuk kita berdua. Perutku terlalu
kecil untuk menghabiskannya sendiri. Bagaimana ka-lau kita gulai" Atau, barangkali kita goreng" Kau suka
ikan goreng, kan"! Atau..., yang sederhana saja! Kita
bakar...!" bujuk Dulaksi kembali.
Dulaksa memandang sejenak pada saudaranya,
kemudian mengangguk sambil menghela napas pan-jang dan membereskan kailnya.
"Yaaah! Mungkin kau benar. Hari ini nasibku
apes. Kalau memang kau mau berbagi, apa lagi yang
bisa kujawab," desah Dulaksa.
"Ha ha ha...! Begitu lebih baik Nah, akan kita
apakan ikan-ikan ini?"
"Lebih baik dipanggang saja. Aku masih punya
persediaan dua guci arak. Makan ikan panggang san-gat nikmat sambil minum arak "
"He, usul yang baik! Ayo...!"
"Kenapa tidak kalian saja yang dipanggang, se-hingga kami bisa menikmatinya?"
"Heh"!"
? *** Si Kembar Muara Gamping terkesiap ketika se-seorang menimpali kata-kata mereka. Ketika berbalik,
Dulaksa dan Dulaksi melihat seorang gadis berbaju
merah berwajah cantik membawa pedang di pung-gungnya. Dia didampingi seorang pemuda tampan
memakai baju rompi putih dan membawa pedang di
punggungnya. Dulaksa dan Dulaksi tersenyum melihat kehadi-ran mereka.
"Aduhai, Anak-anak Manis. Apakah kalian hen-dak ikut berpesta makan ikan bakar bersama kami"
Masih ada bagian untuk kalian berdua!" seru Dulaksi.
"Kedatangan kami bukan hendak berpesta ikan
bakar," sahut gadis itu sambil tersenyum sinis.
"Lalu?"
"Ingin berpesta dengan kepala kalian!" jawab ga-dis itu dengan nada dingin.
"Dengan kepala kami?" Dulaksi terkesiap. Dulak-si memandang wajah saudaranya. Kemudian mereka
bersama-sama memandang kedua anak muda itu, lalu
terkekeh-kekeh.
"Kau dengar, Dulaksi" Mereka hendak bermain-main dengan kepala kita"!" kata Dulaksa.
"Ya! Aku dengar. Dan ini amat menggelikan! He
he he...!"
"Tutup mulut kalian!" hardik gadis itu garang.
"Kami membawa pesan dari Ki Netra Buana. Beliau
mengatakan, ajal kalian telah sampai hari ini!"
"Heh"!"
Seketika si Kembar Muara Gamping terkejut dan
terdiam. Bukan oleh bentakan gadis itu, melainkan
nama seseorang yang diucapkannya.
"Netra Buana" Hm.... Rupanya jahanam itu be-lum juga kapok, he"!" dengus Dulaksa geram.
"Bagus. Kalian telah sadar. Kini, terimalah ke-matian!" dengus gadis itu geram seraya berpaling pada
pemuda di sebelahnya. "Kakang Rangga, salah seorang
menjadi bagianmu. Sedang aku yang satunya. Jangan
beri ampun mereka."
Setelah berkata begitu, gadis yang tak lain Sarti
langsung melompat menyerang.
"Bocah kurang ajar! Dia kira bisa seenaknya
membuktikan ocehan gilanya. Huh! Kalian akan men-dapat pelajaran pahit dari kami!" desis Dulaksa kalap,
langsung memapak serangan gadis itu.
Sementara itu, pemuda yang? memang Rangga
sudah mengikuti apa yang diperintahkan sakti. Lang-sung diserangnya lawan yang seorang lagi.
"Dulaksi, jangan beri hati lawanmu! Bocah-bocah
edan ini harus diberi pelajaran!" teriak Dulaksa.
"Jangan khawatir Dulaksa! Mereka akan tahu
siapa kita!" desis Dulaksi.
Ucapan si Kembar Muara Gamping terdengar
bernada sombong. Hal itu memang tidak mengheran-kan. Sebab di mata mereka, kedua anak muda itu bu-kanlah tokoh hebat. Dugaan mereka, dengan beberapa
kali gebrakan, keduanya pasti bisa ditaklukkan. Na-mun bukan main geramnya si Kembar Muara Gamping
ketika merasakan kalau kedua lawannya mampu
menghindar dari tekanan jurus-jurus serangan. Bah-kan bisa membalas dengan sengit. Terutama, yang di-alami Dulaksi.
"Setan!"
Berkali-kali Dulaksi memaki ketika tangannya
berbenturan dengan Pendekar Rajawali Sakti. Terasa
isi tulangnya nyeri dan sampai ke jantung. Pemuda ini
memiliki tenaga dalam hebat, dan tidak berada di ba-wahnya. Bahkan bisa jadi beberapa tingkat di atasnya!
Thak! Wut! "Sial!"
Dulaksi berusaha menghantam dada Rangga
dengan satu tendangan tidak terduga. Namun dengan
gesit pemuda itu berkelebat ke bawah, dan balas
menghantam perutnya. Cepat-cepat Dulaksi menarik
kakinya, dan langsung ditekuk. Ini dilakukan sebagai
tameng terhadap pukulan yang meluncur ke perut.
Begitu habis memapak, Dulaksi terus melompat
ke belakang. Namun Rangga terus mengejarnya den-gan serangan susulan. Cepat-cepat Dulaksi mencabut
senjata. Langsung dibabatnya kaki pemuda itu yang
hendak menghantam punggungnya. Di luar dugaan,
Pendekar Rajawali Sakti lebih dulu menekuk kakinya
menghindari tebasan senjata Dulaksi. Kemudian tu-buhnya berputar dan balas menyambar setelah men-cabut pedangnya.
"Heh"!"
Dulaksi terkesiap kaget, ketika melihat pancaran
cahaya biru dari batang pedang Pendekar Rajawali
Sakti. Untuk sesaat wajahnya terkesima, sehingga
mengurangi kewaspadaan. Pada-hal, saat itu senjata
Rangga berkelebat bagai cahaya kilat menyambarnya.
Dan.... Bruesss! "Aaa...!"
Dulaksi kontan terpekik Tubuhnya nyaris ter-belah dua ketika senjata Pendekar Rajawali Sakti bu-kan saja membuat putus tombak di tangannya, tapi
juga merobek tulang rusuknya.
"Dulaksi...!"
Dulaksa yang saat itu tengah mendesak lawan
habis-habisan, terkejut melihat nasib saudara-nya
yang bergelimang darah. Bahkan sudah tidak berkutik
lagi begitu tersungkur ke tanah.
"Kubunuh kau, Keparat! Kurobek tubuhmu se-perti apa yang telah kau lakukan terhadap saudaraku!
Yeaaa...!"
Dengan teriakan menggelegar, Dulaksa melompat
meninggalkan lawannya. Langsung diterjang-nya
Rangga sambil mengayunkan tombaknya.
Wut! Wuk! "Hiiih!"
Ujung tombak Dulaksa yang berbentuk clurit,
menyambar pinggang. Namun pemuda itu melompat
ringan ke atas. Dan tubuhnya segera berjumpalitan ke
samping, saat senjata lawan hendak menebas leher-nya. Dulaksa tidak mau memberi kesempatan. Senja-tanya kembali menyambar ke pinggang, sebelum kaki
pemuda itu menyentuh tanah.
Sementara Rangga sama sekali tidak melihat ancaman dari serangan satu dari si Kembar Muara
Gamping. Pedangnya terus berkelebat memapak senja-ta Dulaksa hingga putus. Tapi saat itu juga, Dulaksa
menghentakkan kedua tangannya. Maka seketika
mendesir cahaya panas dari telapak tangannya. Lang-sung menghantam ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Pukulan itu terasa dan terlihat aneh, melesat ribuan
pasir-pasir halus yang bergerak saling susul-menyusul
ke arah Rangga.
"Kakang Rangga, awas! Dia mempergunakan pu-kulan mautnya...!" teriak Sarti memperingatkan.
Rangga membentak nyaring. Tubuhnya langsung
mencelat ke atas sambil bersalto beberapa kali. Kemu-dian tangan kirinya menghentak ke depan. Maka seke-tika dari telapak tangan kiri-nya melesat selarik ca-haya merah menghantam Dulaksa.
Pyarrr! Werrr! Pukulan Dulaksa kontan buyar, ketika berbentu-ran dengan pukulan Pendekar Rajawali Sakti. Namun
dia terus bertahan ketika pemuda itu telah mencelat
menyerangnya. Dulaksa menyadari, kalau pukulannya
ditarik, maka pukulan pemuda itu langsung akan
menghantamnya. Namun dengan bertahan seperti ini,
pemuda yang ter-nyata memiliki tenaga dalam lebih
kuat dari-nya, masih mampu mengadakan serangan.
Orang tua itu bingung setengah mati, memikirkan cara
untuk menyelamatkan diri. Dan belum lagi dia mene-mukannya, pedang Rangga telah berkelebat. Dulaksa
terkesiap. Cepat dia menjatuhkan diri, untuk menge-lak.
Tapi bersamaan dengan itu, Rangga telah mele-paskan pukulan jarak jauh. Sehingga....
Des! "Aaa...!"
Dulaksa terpekik. Tubuhnya kontan terjerembab,
seperti diseret seekor kuda liar sejauh beberapa tom-bak. Tubuhnya remuk dan rusak hebat, sehingga sulit
dikenali. Tampak darah berceceran ke mana-mana.
Dan nyawanya pun melayang sebelum tubuhnya ber-henti bergulingan!
"Bagus, Kakang! Hari ini tugas kita telah selesai,
Sebaiknya, kita cepat kembali dan beristirahat!" seru
Sarti girang seraya menghampiri Rangga.
Rangga segera menyarungkan pedang. Dan dia
diam saja, ketika Sarti menggamit lengannya dan men-gajaknya berlalu dari situ.
*** ? 4 Satu sosok bertubuh ramping tengah menghela
kudanya perlahan-lahan memasuki halaman sebuah
rumah. Sosok yang kira-kira berusia sekitar enam pu-luhan itu langsung turun dari kudanya, begitu dari da-lam rumah terlihat seorang laki-laki berusia sekitar li-ma puluh tahun. Laki-laki setengah baya tergopoh-gopoh keluar di-ikuti dua orang laki-laki berusia seki-tar tiga puluh tahun.
"Sudah siapkah kau, Pintur Gumelar?" Tanya
wanita tua itu.
"Hm.... Sekarang juga aku siap, Nyai Koneng!"
Sahut orang tua itu seraya melompat ke punggung ku-da yang memang telah disediakan di depan rumah.
"Nah, kalau begitu mari kita berangkat seka-rang!" Ujar wanita yang dipanggil Nyai Koneng, seraya
menaiki kudanya kembali.
"Sebentar, Nyai Koneng!" Tahan orang tua ber-nama Pintur Gumelar, ketika Nyai Koneng akan meng-gebah kudanya. Wajah laki-laki setengah baya itu ke-mudian berpaling pada dua orang yang tadi mengiku-tinya.
"Kalian jaga tempat ini baik-baik. Dan, ingat pe-sanku tadi!" tandas Ki Pintur Gumelar.
"Kami akan selalu mengingatnya, Den...!" Sahut
keduanya serempak dengan wajah tertunduk.
"Sudah. Hapus semua kesedihan kalian. Aku
pergi tidak lama. Doakan aku kembali selamat!"
Keduanya kembali mengangguk.
Ki Pintur Gumelar segera menggebah kudanya.
Dan bersama Nyai Koneng, dia menjalankan kudanya
pelan-pelan. "Hm.... Kedua abdi mu itu tampaknya sangat se-tia, sehingga mengkhawatirkan keselamatan-mu," gu-mam wanita tua berbaju serba kuning dengan sepa-sang pedang bergagang perak yang terselip di pinggang
itu. Nada suaranya datar tanpa memalingkan muka,
saat mereka telah berjalan berdampingan.
"Ya...," sahut Ki Pintur Gumelar singkat.
Nyai Koneng melirik, kemudian tersenyum kecil.
"Kenapa" Kelihatannya hatimu susah. Apakah
kau takut?" Tanya Nyai Koneng.
Ki Pintur Gumelar balas memandangnya dengan
wajah heran. "Benarkah apa yang kau katakan?" Ki Pintur
Gumelar balik bertanya.
"Apa" Soal kematian Eyang Pindih Daksa...?"
Laki-laki setengah baya itu terdiam sesaat.
"Soal Pendekar Rajawali Sakti.... Benarkah dia
yang berbuat?" tanya Ki Pintur Gumelar.
"Kenapa" Apakah kau tidak percaya dengan apa
yang telah disampaikan anak buahku?" kata Nyai Ko-neng, penuh tekanan.
"Bukan itu."
"Lalu apa?"
"Selama ini, kudengar si Pendekar Rajawali Sakti
adalah pendekar aliran lurus. Rasanya tidak mungkin
dia berbuat seperti itu," desah Ki Pintur Gumelar.
"Murid Eyang Pindih Daksa yang mengadukan
hal ini padaku. Guru mereka yakin kalau pemuda yang
dihadapinya adalah Pendekar Rajawali Sakti yang asli.
Apakah itu tidak cukup bukti?" jelas Nyai Koneng.
"Apakah Eyang Pindih Daksa telah memeriksa
secara benar?"
"Apakah dengan bukti sebilah pedang bergagang
kepala burung yang memancarkan sinar biru berkilau
tidak cukup. Dalam dunia persilatan, hanya seorang
pendekar yang memilikinya. Ya, si Pendekar Rajawali
Sakti itu Jadi mana mungkin salah" Bahkan aku sen-diri pernah melihat bocah itu!" rungut Nyai Koneng.
"Apakah tidak mungkin ada orang yang memakai
namanya untuk menjatuhkan pendekar itu?"
"Hm, rasa-rasanya kau ragu dengan apa yang
kukatakan. Tahukah kau, apa yang dilakukannya be-lakangan ini?"
Ki Pintur Gumelar menggeleng lemah.
"Dia telah membunuh si Kembar Muara Gam-ping, serta beberapa tokoh lainnya! Dan tahukah kau,
bagaimana kelakuannya saat ini" Siapa pun orangnya
yang tidak disukainya, maka bisa dipastikan binasa di
tangannya. Pemuda itu telah sinting dan sifatnya be-jad. Dia mulai diburu banyak orang. Dan, tidak sedikit
yang menginginkan kematiannya. Jumlah itu akan
bertambah terus bila perbuatannya tidak dicegah!" Jelas Nyai Koneng dengan perasaan geram.
"Tapi, bagaimana itu bisa terjadi padanya" Apa
yang menyebabkannya berbuat seliar itu?" Tanya Ki
Pintur Gumelar.
"Mungkin juga karena wanita!" Cibir Nyai Koneng
sinis. "Wanita?" Tanya Ki Pintur Gumelar tidak me-ngerti.
"Belakangan ini dia selalu bersama seorang wani-ta belia berwajah cantik. Dan bocah itu kelihatannya
patuh betul dengan segala perintahnya."
"Dari mana kau ketahui semua ini?"
"Kau kira, untuk apa aku punya banyak murid"
Mereka ku sebar untuk mencari tahu sepak terjang
bocah itu, setelah aku mendapat laporan dari mu rid-murid Pindih Daksa."
Ki Pintur Gumelar menghela napas panjang
"Aneh.... Sungguh sangat aneh..," desah laki-laki
setengah baya itu.
"Jangan persoalkan aneh atau tidak. Bocah itu


Pendekar Rajawali Sakti 146 Bunuh Pendekar Rajawali Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jelas berbahaya. Dia menjadi kaki tangan si Netra Bu-ana, Maka cepat atau lambat, dia akan memburu kita.
Maka sebelum menemui kita, bocah itu harus dihajar
adat dulu agar tidak besar kepala!" Dengus Nyai Ko-neng.
"Nyai Koneng, ku? ingatkan padamu. Pendekar
Rajawali Sakti bukanlah tokoh sembarangan. Telah
puluhan tokoh sesat berkepandaian tinggi yang binasa
di tangannya."
"Lalu, apa hubungannya" Apakah kau takut"
Kemudian kita membiarkan saja dia berbuat se-maunya, termasuk menggorok leher kita sendiri"!" sa-hut wanita itu dengan nada geram dan wajah kesal.
"Ingatkah kau ketika sebelas tahun lalu kita
menjatuhkan si Netra Buana" Dibutuhkan banyak
orang untuk menjatuhkannya. Dan kepandaian Pen-dekar Rajawali Sakti bisa disamakan dengan si Netra
Buana. Maka kita berdua, belumlah cukup untuk
memberi pelajaran pada pemuda itu," jelas Ki Pintur
Gumelar bernada khawatir.
Nyai Koneng memandang sinis setelah men-dengar kata-kata Ki Pintur Gumelar.
"Huh! Tidak kusangka bahwa kau kini hanyalah
seorang pengecut! Menyesal aku telah mengajakmu.
Baiklah. Kau boleh tidak ikut. Jangan kira aku takut
menghadapi pemuda itu seorang diri!"
Setelah berkata demikian, Nyai Koneng mengge-bah kudanya dengan kencang.
"Nyai Koneng, tunggu! Bukan begitu maksud-ku!" teriak Ki Pintur Gumelar berusaha mengejar wani-ta itu.
Tapi, Nyai Koneng sama sekali tidak mau men-gindahkannya. Wanita tua itu terus saja menggebah
kencang kudanya. Ki Pintur Gumelar yang tahu betul
watak wanita itu hanya menghela napas. Dia tidak me-lanjutkan pengejaran-nya. Percuma saja. Sekali wanita
itu telah membuat keputusan, maka tidak ada seorang
pun yang boleh membantah. Kini, perlahan-lahan Ki
Pintur Gumelar memutar haluan dan menggebah ku-danya perlahan-lahan kembali ke tempatnya semula.
? *** Matahari baru saja muncul di uruk timur, na-mun semua murid Padepokan Tapak Merah telah ban-gun dan mengerjakan tugas yang dibebankan seperti
biasa. Beberapa orang berkebun. Yang lainnya mengisi
kolam air berukuran besar. Lalu, ada yang mencari
kayu bakar, membersih-kan halaman padepokan ini
yang begitu luas, serta pekerjaan-pekerjaan lainnya.
Termasuk, untuk urusan masak memasak.
Tidak seperti padepokan silat pada umumnya.
Padepokan Tapak Merah hanya diperuntukkan bagi
para wanita saja. Ketuanya yang merangkap guru be-sar, bernama Nyai Darmi Putri. Dia adalah se-orang
tokoh persilatan ternama yang terkenal berjuluk si
Bayangan Merah. Nyai Darmi Putri sendirilah yang
mendirikan padepokan ini sebelas tahun lalu. Dan dia
menetapkan cita-cita-nya untuk hanya menerima mu-rid-murid dari kaum wanita.
Dan seperti biasa pula, setelah mengerjakan tu-gas masing-masing, murid-murid padepokan ini mulai
berlatih di bawah bimbingan beberapa murid utama.
Namun sebelum mereka membentuk baris-baris untuk
memulai latihan, salah seorang memberitahu akan ke-datangan dua orang tamu.
Di ambang pintu gerbang memang telah berdiri
seorang gadis belia berwajah cantik memakai baju me-rah muda. Dia didampingi seorang pemuda tampan be-rambut panjang berbaju rompi putih. Keduanya sama-sama membawa pedang yang tersandang di punggung.
"Kisanak... Siapakah kalian" Dan, ada keperluan
apa berkunjung ke padepokan kami?" Tanya seorang
murid utama yang bernama Kembang Ma-yang.
Beberapa orang murid yang lain, tersenyum-senyum. Sikap mereka tampak genit saat melirik pe-muda berbaju rompi putih ini.
"Namaku Sarti. Dan, pemuda ini kekasihku,
Pendekar Rajawali Sakti. Kami ingin bertemu gurumu!"
sahut gadis berbaju merah muda yang tak Iain Sarti
"Oh, benarkah"!" Tanya Kembang Mayang seraya
memperhatikan pemuda berbaju rompi putih yang
memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti dengan
seksama. "Heh"! Apa kau kira aku berdusta?" Dengus Sarti
mulai gusar. "Bukan. Maksudku, apakah Kisanak ini adalah
Pendekar Rajawali Sakti yang telah kesohor itu" Ah!
Suatu kehormatan bagi kami karena mendapat kun-jungannya. Guru kami tentu akan senang halt mene-rimanya!" Kata Kembang Mayang dengan wajah cerah.
"Maka dari itu, cepat panggil gurumu!" dengus
Sarti sinis. Dalam hati, Kembang Mayang begitu gembira
akan kedatangan seorang pendekar yang selama ini
namanya amat dikenal dalam dunia persilatan. Dan bi-la dia sudi datang ke tempat ini, tentu hendak menja-lin persaudaraan dengan gurunya. Sebab Nyai Darmi
Putri sendiri adalah seorang tokoh golongan lurus se-perti pemuda ini. Tidak dirasakan olehnya sikap Sarti
yang begitu sinis. Dan gadis itu langsung menyuruh
seorang murid untuk memanggil guru mereka.
"Pendekar Rajawali Sakti. Dan kau, Ni Sarti Sila-kan masuk ke dalam. Sebentar lagi guru kami akan
menemui kalian berdua."
"Tidak perlu. Kedatangan kami bukan untuk be-ramah-tamah dengannya!"
"Tidak beramah-tamah" Apa maksudnya?"
Wajah Kembang Mayang tampak bingung.
"Tentu kau sedang bergurau, bukan?" Tanya ga-dis itu berusaha meyakinkan sambil tersenyum.
"Tidak usah banyak bicara! Dan aku tidak se-dang bergurau!" Dengus Sarti tandas.
Mendengar ucapan gadis itu, membuat Kembang
Mayang tidak habis pikir. Dia menduga, gadis ini ber-watak sombong dan merendahkan lawan bi-caranya.
Tapi kenapa Pendekar Rajawali Sakti mendiamkannya
saja" Apakah berarti sama sekali tidak mempedulikan
sikap kekasihnya" Atau barangkali malah menyetujui
sikap angkuhnya"
"Lalu, apa maksud kedatangan kalian yang se-benarnya?" Tanya Kembang Mayang ragu.
Sebenarnya gadis ini mulai sedikit ragu kalau
Sarti dan Pendekar Rajawali Sakti bermaksud buruk
Karena selama ini siapa yang tidak mengenal Pendekar
Rajawali Sakti yang merupakan seorang pendekar ali-ran lurus. Dan rasanya, di antara mereka tidak pernah
terjadi perselisihan. Dan tidak habis pikir, kenapa si-kap gadis berbaju merah muda ini sangat tidak bersa-habat.
"Kembang Mayang, menepilah. Aku tahu maksud
mereka yang sebenarnya," sahut suara dari belakang,
sebelum Sarti sempat menjawab.
Kembang Mayang berbalik, kemudian menjura
hormat. Demikian juga murid-murid yang lain. Se-orang wanita berusia sekitar lima puluh tahun lebih
memakai baju hitam berjubah merah, berjalan pelan
mendekati kedua tamunya.
"Guru...."
"Sudahlah. Biarkan mereka menjadi urusanku,"
sahut wanita tua yang tidak lain Nyai Darmi Putri.
Ketua Padepokan Tapak Merah kemudian me-mandang Sarti dan Rangga bergantian.
"Hm, cepat sekali kalian tiba di tempatku ini. Ja-di benarkah berita yang kudengar?" Sapa Nyai Darmi
Putri halus. "Berita apa yang kau dengar?" Tanya Sarti.
"Pendekar Rajawali Sakti bersekutu dengan iblis
sesat yang menamakan dirinya Netra Buana?"
"Apa"!"
Kembang Mayang terkejut. Langsung ditatapnya
Pendekar Rajawali Sakti dan gurunya bergantian. Ra-sanya sulit dipercaya. Apalagi, gadis ini tahu betul,
siapa Ki Netra Buana. Gurunya sering bercerita men-genai tokoh sesat itu. Mungkin Pendekar Rajawali Sak-ti bersekutu dengannya" Tapi, tadi gurunya berkata
dengan suara meyakinkan. Dan agaknya, bukan dia
saja yang terkejut. Tapi juga murid-murid lain yang
mengenal siapa sesungguhnya Ki Netra Buana.
? *** "Hi hi hi...! Bagus! Agaknya tidak sulit lagi kami
menjelaskan tujuan!" sahut Sarti sambil ketawa nyar-ing.
Nyai Darmi Putri memandang tajam kepada pe-muda berbaju rompi putih itu.
"Benarkah begitu, Pendekar Rajawali Sakti?"
"Aku ditugaskan membunuhmu!" sahut pemuda
itu tandas. Wanita tua ini tersenyum kecil. Semua murid-nya yang tadi tertarik pada pemuda itu, kini terkejut
dan merasa marah karena mendengar sendiri ucapan
yang keluar dari mulut Pendekar Rajawali Sakti.
"Nah! Kau dengar sendiri kata-katanya, bukan?"
Nyai Darmi Putri tidak mempedulikan ucapan si-nis gadis itu. Dan dia tetap memandang pemuda itu
dengan tajam. "Kenapa" Di antara kita tidak ada saling permu-suhan. Lalu, apa sebabnya kau menjadi kaki tangan si
Netra Buana" Apakah kau? telah termakan bujuk
rayunya" Atau, barangkali kau sama sekali tidak men-genalnya" Atau mungkin, matamu buta disilaukan
oleh gadis ini?" kata Nyai Darmi Putri tajam.
"Tutup mulutmu, Tua Bangka! Percuma kau
mengoceh membujuknya! Dia hanya menurut pada ka-ta-kataku!" hardik Sarti garang Gadis itu langsung
menoleh pada Rangga. "Kakang, musuh ada di hada-panmu! Apa lagi yang kau tunggu" Bunuh dia sebelum
kau terbunuh olehnya!"
Begitu Sarti selesai berucap, secepat itu pula
Rangga mencelat menyerang Nyai Darmi Putri.
"Hiyaaa!"
"Hup!"
Wanita tua itu cepat mencelat ke atas. Dan tu-buhnya terus berputar ke samping, menghindari se-rangan Pendekar Rajawali Sakti. Dia tahu betul, lawan
yang sedang dihadapinya bukan-lah tokoh sembaran-gan. Bahkan dia sendiri tidak yakin, apakah mampu
mengatasi pemuda ini.
"Kembang Mayang! Bawa kawan-kawanmu, dan
ringkus gadis sombong itu!" teriak Nyai Damn Putri
memberi perintah.
"Baik, Guru!" sahut gadis itu seraya mengajak
murid-murid utama lainnya untuk meringkus Sarti.
"Hi hi hi...! Kalian kira semudah itu menang-kap
ku" Ayo, majulah. Siapa yang ingin binasa lebih dulu,
silakan!" teriak Sarti sambil tertawa nyaring seraya
mencabut pedang.
Sring! "Yeaaa!"
Tujuh orang murid utama Padepokan Tapak Me-rah serentak bergerak menyerang Sarti. Tiga orang di
antaranya menghindar dari serangan gadis itu, semen-tara empat orang menyerang dari samping kiri dan ka-nan.
Padepokan Tapak Merah terkenal karena ilmu
pedangnya. Namun, mereka juga mahir menggunakan
senjata sejenis tambang untuk meringkus lawan. Dan
agaknya, hal itulah yang saat ini hendak dilakukan.
Sarti begitu jumawa dan merasa yakin akan ke-mampuan yang dimilikinya untuk menjatuhkan dan
sekaligus membunuh lawan-lawannya. Namun akhir-nya, dia tersentak sendiri. Sebab serangan ke-tujuh
lawannya tidaklah enteng seperti yang diduga. Dalam
waktu singkat, mereka berhasil mendesaknya.
"Heaaat!"
Dengan nekat gadis itu mencelat ke atas untuk
menghindari kepungan ketujuh lawannya.
Set! Rrrt! Sarti memaki ketika seutas tambang melesat ce-pat menggulung pergelangan kakinya. Dia hendak
memapas tambang itu, namun seutas tambang lainnya
telah melibat pinggangnya. Tubuh gadis itu tersentak
deras ke bawah, ketika lawan menariknya dengan ke-ras.
"Setan...!" maki Sarti kembali? ketika tubuhnya
terjerembab keras.
"Jangan coba-coba bangkit kalau kau masih in-gin hidup!" desis Kembang Mayang seraya menu-ding
ujung pedangnya, persis di leher lawan. Sementara
yang lainnya berbuat sama mengurung gadis itu den-gan pedang terhunus.
"Buang pedangmu!" bentak seorang murid den-gan nada jengkel.
Sarti terpaksa menurut, meski hatinya mengge-rutu geram.
"Huh! Percuma saja kalian mengalahkanku.
Guru mu akan binasa di tangan Pendekar Rajawali
Sakti!" "Begitu?" cibir Kembang Mayang, sinis, "Mungkin
guru kami akan tewas. Tapi, kau akan menyusul sekejap kemudian kalau kau tidak menghentikan pemuda
itu!" Kembang Mayang langsung menekan ujung pe-dang-nya lebih kuat, membuat Sarti tergagap. Di sada-ri kalau lawan tidak main-main dengan ancamannya.
Sepasang matanya terbelalak, dan mukanya mulai pu-cat.
"Cepat perintahkan dia untuk menghentikan se-rangannya. Atau, kau akan mampus lebih dulu!" sen-tak Kembang Mayang geram, ketika melihat gurunya
mulai terdesak hebat oleh serangan si Pen-dekar Raja-wali Sakti.
"Kakang Rangga, hentikan seranganmu! Henti-kan...!" teriak Sarti.
"Huh!" dengus Rangga sinis. Sekilas dipandang-nya gadis itu. Kemudian seperti tak mempedulikannya,
dia terus menyerang Nyai Darmi Putri.
"Kakang, kau harus mendengar kata-kataku!
Hentikan seranganmu...!" teriak Sarti lebih keras.
Kali ini kata-kata gadis itu mengena. Pendekar
Rajawali Sakti segera menghentikan serangan, dan
memandang gadis itu yang kini terikat dan dipegangi
dua orang murid padepokan ini.
"Kenapa aku harus menghentikan serangan"
Apakah kau hendak menghalangi tugasku?"? Tanya
pemuda itu, datar.
"Tidakkah kau lihat keadaanku" Bila kau te-ruskan, maka mereka akan membunuhku. Kakang,
kau harus turuti kata-kataku!"
Rangga terdiam dengan sikap serba salah.
"Lepaskan aku! Bukankah sudah ku turuti ke-hendak kalian"!" Teriak Sarti sengit
Nyai Darmi Putri tersenyum, seraya menghampiri
gadis itu. Dan dia berpaling sejenak pada muridnya.
"Kembang Mayang, tindakanmu sungguh tepat..."
"Terima kasih, Guru."
"Wanita busuk! Apa lagi yang kau tunggu..! Lepaskan aku...!" hardik Sarti, geram.
"Apakah kau kira kami begitu bodoh melepaskanmu" Begitu lepas, maka kau akan melanjutkan
niatmu. Kalian akan ku hukum, setelah aku meme-rintahkan pemuda itu untuk diikat!" sahut Nyai Darmi
Putri. "Mengikatnya" Hi hi hi...! Apakah kau kira mudah?" cibir Sarti, sinis.
"Tentu saja atas perintahmu. Kulihat, dia begitu
patuh padamu. Maka, kau pasti bisa mengatakannya.
Kalau tidak, jangan harap kau akan lolos dari tangan
kami! Ancam Kembang Mayang.
"Perempuan licik!" Umpat Sarti geram.
Nyai Darmi Putri tertawa kecil "Itu masih baik
ketimbang kami membunuh kalian di sini. Nah, tidak
usah banyak bicara! Lekas perintah-kan dia agar jan-gan melawan, saat murid muridku mengikatnya!"
Sambil bersungut-sungut kesal, saat memerin-tahkan? agar pemuda itu tidak melawan, saat dua
orang murid padepokan ini hendak mengikatnya
"Sarti, apa yang kau lakukan" Kau menyalahi
aturan," kata Rangga dengan wajah heran.
"Aku tidak punya pilihan, Kakang Rangga. Turuti
saja keinginan mereka...," sahut gadis itu lesu. Maka
meski dalam hati tidak setuju, tapi Rangga tidak dapat
berbuat apa-apa. Dia diam saja ketika mereka mengikatnya kuat-kuat.
Saat itu, mendadak dari arah pintu gerbang terdengar derap langkah kuda menuju ke arah mereka.
Semua murid berpaling. Dan Nyai Darmi Putri terke-siap ketika menyadari bahwa mereka telah lengah. Karena meski hanya sekejap, kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Sarti. Gadis itu cepat menyen-takkan diri. Dan dalam keadaan terikat, tubuhnya ber-gulingan mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
"Kakang Rangga, sudah saatnya kau bertindak!
Bunuh mereka semua!" teriak Sarti.
*** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 146. Bunuh Pendekar Rajawali Sakti Bag. 5 dan 6


Pendekar Rajawali Sakti 146 Bunuh Pendekar Rajawali Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

4 d?cembre 2014, 08:35
5 Pendekar Rajawali Sakti terkesiap, namun cepat
bertindak. Dengan mengerahkan tenaga dalam yang
telah mencapai tingkat kesempurnaan, tambang yang
mengikat kedua tangan dan kaki disentaknya.
"Yeaaa!"
Tes! "Kakang Rangga, bebaskan aku!" teriak Sarti, putus asa. Dia berusaha melepaskan diri, namun tidak
juga mampu. Tambang yang digunakan untuk mengikat me-reka berdua, memang bukan dari jenis biasa. Tambang
itu terbuat dari jalinan sebuah kulit pohon yang amat
langka. Meskipun hanya sebesar jari, namun kealotannya sangat hebat Jika Pendekar Rajawali Sakti tidak mengerahkan tenaga dalam tinggi, belum tentu
tambang yang mengikatnya putus. Hal itu terbukti pada Sarti. Gadis ini memiliki tenaga dalam cukup hebat.
Namun begitu, dia tidak mampu memutuskan tali yang
mengikat kedua tangan dan kakinya.
"Yeaaa!"
Nyai Darmi Putri melompat hendak menggagalkan niat Rangga yang akan menolong Sarti Namun,
serangkum angin kencang laksana badai topan me-nyambar ke arahnya.
Werrr! "Uhhh, gila...!"
Wanita itu mendesis kaget Dan dia cepat mence-lat ke samping, menghindari terjangan pukulan jarak
jauh yang dilepaskan Rangga. Sehingga, pemuda itu
dengan leluasa membuka ikatan Sarti.
"Huh! Sekarang kau rasakan balasan kami!" den-gus gadis itu seraya bangkit dan memungut pedang-nya.
Namun sebelum Sarti bergerak menyerang, pe-nunggang kuda yang tadi mengalihkan perhatian me-reka, telah melompat dari tunggangannya.
Setan Harpa 6 Munculnya Jit Cu Kiong ( Istana Mustika Matahari) Seri Pengelana Tangan Sakti Karya Lovelydear Memburu Putri Datuk 1

Cari Blog Ini