Ceritasilat Novel Online

Dendam Pendekar Gila 1

Pendekar Rajawali Sakti 157 Dendam Pendekar Pendekar Gila Bagian 1


" . 157. Dendam Pendekar-Pendekar Gila Bag. 1, 2 dan 3
7. Januar 2015 um 23:54
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Dendam Pendekar-Pendekar Gila
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 ? "Kemari kau...!"
Terdengar bentakan seorang gadis cantik berpakaian ketat warna merah muda. Tangannya menuding ke arah seorang pemuda yang terbungkuk-bungkuk maju dengan kepala tertunduk dan wajah pucat.
"Ampun.... Aku hanya ikut-ikutan! Ampuni aku, Nisanak...!" ratap pemuda bertampang menyebalkan.
Sementara, tiga orang pemuda lainnya tampak merapat ketakutan.
Namun, salah seorang ada yang mencoba beringsut ke belakang. Dan tiba-tiba saja bola mata gadis berbaju merah muda itu mendelik garang.
"Jangan coba-coba kabur! Atau, jiwamu akan ke neraka sekarang juga! Tunggu giliranmu nanti!" bentak gadis itu lantang.
"Kami berjanji tidak akan berbuat seperti itu lagi, Nisanak! Sungguh! Kau boleh pegang kata-kataku...!" ujar pemuda yang hendak kabur dengan nada memohon dan muka agak memelas.
"Siapa sudi percaya pada kata-kata anjing busuk sepertimu"!"
"Sungguh, aku berjanji! Aku dan kawan-kawanku tidak akan mengulangi perbuatan kami...!" lanjut pemuda itu seraya mendekat terbungkuk-bungkuk.
Keempat pemuda itu memang tengah kena batunya. Mereka dikenal sebagai biang kerok di Desa Tegal Sari yang suka membuat resah. Dan ketika mencoba menggoda seorang gadis, baru mereka merasakan akibatnya. Kini mereka dibuat babak belur dihajar gadis berbaju merah muda yang ternyata berkepandaian tinggi. Ada yang putus tangan kirinya dan ada yang kehilangan kedua belah telinganya. Namun, gadis ini agaknya tidak mau menyudahinya begitu saja. Meski, para pemuda ini telah memohon berulang kali.
Bahkan tiba-tiba kaki gadis itu melayang, tepat menghantam dagu salah seorang pemuda.
Duk! "Aaakh...!"
Pemuda yang sebenarnya bernama Bakil kontan memekik kesakitan. Beberapa buah giginya tanggal, dan mulutnya berkumur darah.
"Jangan memohon padaku seperti anjing. Kau tahu, derajatmu lebih rendah ketimbang anjing! Satu-satunya hukuman yang pantas buatmu adalah kematian!" desis gadis itu.
"Oh, tidak! Jangan.... Ampuni aku! Ampuni aku...!" ratap Bakil. Wajahnya semakin pucat. Dan dia cepat menghampiri, lalu bersimpuh di kaki gadis berbaju merah muda ini.
"Brengsek! Kau semakin membuatku muak saja!" desis gadis itu seraya mengayunkan pedang.
Sekali tebas, leher Bakil akan menggelinding. Sementara ketiga kawannya menahan napas. Demikian pula para penduduk yang tadi mengintip dari balik pintu dan jendela rumah di sepanjang jalan utama desa ini.
Sedikit lagi pedang itu menemui sasaran, mendadak satu bayangan berkelebat Langsung dipapaknya laju senjata pedang gadis berpakaian merah muda ini.
Trang! ? *** Bukan main terkejutnya gadis berbaju merah muda itu. Menyadari ada yang menggagalkan tebasan senjatanya terus dikelebatkan. Kali ini bukan untuk memenggal kepala Bakil, melainkan ke arah sesosok tubuh yang menggagalkan rencananya.
Sosok itu bergerak menghindar dengan lincah. Namun gadis berbaju merah muda ini tidak kalah gesit mengejar. Dia kelihatan gusar sekali pada orang yang berani mencampuri urusannya.
Wut! "Tahan seranganmu, Dewi...!" sentak sosok itu tiba-tiba.
Tubuh orang itu melompat ringan, menjauhi si gadis. Dan dia berdiri tegak pada jarak sembilan langkah.
Bola mata gadis itu menatap tajam. Dan wajahnya jadi berkerut menahan geram melihat sesosok pemuda berusia sekitar dua puluh delapan tahun yang masih menggenggam pedang di tangan kanannya. Senjata itu yang agaknya dipergunakan untuk menangkis pedangnya tadi.
"Bocah busuk! Apa kau Bosan hidup berani mencampuri urusanku"!"
"Dewi, maaf.... Aku sama sekali tidak bermaksud mencampuri urusanmu. Tapi membunuh orang sembarangan, tentu saja tidak bisa dibenarkan...."
Mendengar jawaban itu, gadis yang dipanggil Dewi ini semula hendak marah. Namun dia menarik napas panjang, lalu tersenyum seraya mendekati pemuda di depannya.
"Ya, ya.... Betul juga katamu. Untung kau mengingatkanku. Aku patut berterima kasih. Siapa namamu, Bocah" Dan, dari padepokan mana asalmu?" tanya Dewi ramah dengan wajah manis.
"Aku Jaka Lola, dari Padepokan Ulat Sutera...."
"Oh, murid Dewa Subrata, he?"
"Benar, Dewi...!"
"Hm.... Kau memanggilku Dewi. Apakah kau tahu, siapa aku?"
"Tentu saja. Siapa yang tidak kenal Bidadari Tangan Api!" sahut pemuda yang ternyata bernama Jaka Lola.
"Bagus! Kalau begitu, kau tahu juga kalau aku paling tidak suka urusanku dicampuri!" dengus Dewi yang berjuluk Bidadari Tangan Api, mendadak berubah geram.
Bahkan tiba-tiba saja wanita itu melompat sambil menghunuskan pedang. Langsung diserangnya Jaka Lola dengan ganas.
"Hups!"
Trang! Jaka Lola sempat menangkis sambil melompat ke samping. Lalu dia terus mencelat ke atas, ketika pedang Bidadari Tangan Api terus mengejar dengan sambaran kilat.
"Yeaaa...!"
"Dewi, tunggu! Jangan salah paham...!"
"Kau yang salah paham menilaiku, Bangsat Kecil! Kau kira dengan menyandang murid Ulat Sutera, bisa leluasa mengatur orang"! Huh! Biar Dewa Subrata melihat anak didiknya terkapar di sini!"
Jaka Lola mengeluh dalam hati berkali-kali. Meski mampu menangkis serangan, bukan berarti mampu pula menahan serangan Bidadari Tangan Api berikutnya. Apalagi, wanita ini memiliki kepandaian setingkat dengan gurunya. Untung saja, dia murid terpandai di padepokannya. Dan lebih dari itu, Jaka Lola lebih memiliki banyak pengalaman bertarung setelah menamatkan pelajarannya di Padepokan Ulat Sutera. Tapi menghadapi wanita galak ini, mungkinkah dia bisa mengungguli"
"Dewi, dengarlah. Aku sama sekali tidak ingin bentrok. Kulakukan tadi sekadar untuk mengingatkanmu, bahwa kau tidak pantas meladeninya. Hanya penjahat teri. Kelas kampung! Mana bisa disejajarkan denganmu. Kau tidak pantas mengurusi orang seperti mereka!" bujuk Jaka Lola.
"Tutup mulutmu! Aku tak peduli, apakah mereka penjahat teri atau maling kurap sekalipun. Tapi siapa saja yang mengusikku dan membuatku tidak senang, boleh mampus! Termasuk kau...!" desis Bidadari Tangan Api.
"Celaka...!" Jaka Lola merutuk kesal.
Kalau saja tahu begini akibatnya, tentu pemuda ini tidak akan ikut campur dan lebih baik menghindar. Tapi nasi telah menjadi bubur. Dan keadaan agaknya tidak bisa diperbaiki lagi. Mau tidak mau, Jaka Lola terpaksa harus mempertahankan diri dari serangan-serangan.
Pada saat Bidadari Tangan Api dan Jaka Lola tengah terlibat dalam pertarungan seru, Bakil menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Sayang, orang tidak menyadari siapa wanita itu. Padahal meski tengah bertarung begini. Bidadari Tangan Api tidak berlaku lengah. Sebilah pedang pendek lainnya yang masih terselip di pinggang langsung dicabutnya. Dan seketika tangannya mengebut ke arah Bakil, melepaskan pedang pendek. Dan....
Bles! "Aaa...!"
Bakil memekik keras begitu pedang Bidadari Tangan Api meluncur, menancap, di punggung kiri sampai menembus dada. Tubuhnya langsung tersungkur, dan tewas beberapa saat kemudian dengan mata melotot lebar.
"Heh"!"
Ketiga kawan Bakil terkejut setengah mati melihat kejadian itu. Dua orang yang tadi ingin mengikuti jejak Bakil, seketika mengurungkan niatnya.
"Huh! Kalian kira bisa kabur seenaknya dariku?" dengus Bidadari Tangan Api, langsung mencelat ringan meninggalkan Jaka Lola yang menjadi lawannya.
Bidadari Tangan Api menghampiri mayat Bakil. Segera dicabutnya pedang yang masih tertancap di punggung pemuda itu. Dan secepat itu pula, kembali diserangnya Jaka Lola yang terbengong-bengong menyaksikan kehebatan gerak wanita itu.
"Sekarang giliranmu. Bocah Tengik!" sentak Bidadari Tangan Api.
Mendapat serangan mendadak, Jaka Lola berusaha menangkis sebisa-bisanya.
Trang! "Uhhh...!"
Pemuda itu jadi mengeluh tertahan ketika terjadi benturan senjata. Dan belum juga getaran pada tangannya hilang, Bidadari Tangan Api kembali menyerang. Cepat bagai kilat, Jaka Lola melompat ke belakang. Tapi, ke mana pun bergerak, wanita ini agaknya tak memberi kesempatan dan terus mengejar. Sehingga pemuda itu tak bisa berkutik. Dia sendiri bahkan tidak tahu, apakah bisa selamat dari incaran senjata Bidadari Tangan Api ini.
Memang, Bidadari Tangan Api bukanlah tokoh sembarangan. Kepandaiannya cukup hebat Terutama, ilmu meringankan tubuh dan permainan sepasang pedang pendeknya yang terbuat dari perak. Hingga, meski Jaka Lola telah mengerahkan segenap kemampuan, tetap saja tidak mampu terus bertahan. Bahkan melewati empat jurus, pemuda itu mulai terdesak hebat.
Trang! Bet! "Uhhh...!"
Ujung pedang di tangan kiri Bidadari Tangan Api bergerak menyambar ke leher. Dengan gerakan cepat Jaka Lola berusaha menangkis. Namun, wanita itu mendadak menarik serangannya. Bahkan dengan tubuh berputar Bidadari Tangan Api mencelat ke samping hendak memapas pergelangan tangan pemuda itu.
Jaka Lola terkejut. Dia berusaha menghindar sebisa mungkin, namun pedang Bidadari Tangan Api telah memapak pedang hingga terlepas dari genggaman.
Trang! Belum hilang rasa terkejut pemuda itu, Bidadari Tangan Api telah melanjutkan serangan. Jaka Lola bergegas melompat ke belakang, namun gerakan wanita itu lebih cepat. Sehingga....
Bret! "Aaakh...!"
? *** Jaka Lola menjerit keras begitu paha kirinya tersambar pedang Bidadari Tangan Api. Kakinya terpincang-pincang, ketika mendarat di tanah. Dan sebelum dia sempat menguasai diri, pedang si Bidadari Tangan Api yang satu lagi telah berkelebat lagi.
Crab! "Aaa...!"
Murid Padepokan Ulat Sutera itu tersungkur bermandikan darah, begitu pedang Bidadari Tangan Api menembus perutnya. Setelah meregang nyawa sesaat, Jaka Lola terdiam kaku. Mati.
"Oh...!"
Tiga pemuda kawan Bakil hanya berseru kaget. Namun mereka cepat menunduk saat wanita itu menoleh sinis.
Sementara para penduduk Desa Tegal Sari yang sejak tadi mengintip semua kejadian di tempat ini dari celah-celah dinding rumah, semakin ketakutan saja. Gadis itu tidak bisa dibilang Dewi Penolong. Wataknya kejam dan tidak berperikemanusiaan. Bukan tidak mungkin dia akan menggantikan kedudukan Bakil dan kawan-kawannya dalam mengacau di desa ini!
Bidadari Tangan Api membersihkan batang pedangnya yang masih berlumur darah, kemudian menyarungkannya kembali. Matanya memandang dingin, lalu memberi isyarat dengan tangannya.
"Sini kau!" sentak Bidadari Tangan Api.
"Eh, ya... tapi....," sahut salah satu pemuda yang ditunjuk wanita itu.
Pemuda itu menggigil. Wajahnya pucat penuh ketakutan.
"Ke sini kataku!" sentak Bidadari Tangan Api dengan mata melotot garang.
"Eh, iya... iya!"
Pemuda itu beringsut, menghampiri dengan terburu-buru. Kedua tangannya dirangkapkan.
"Ampuni aku, Nisanak! Ampuni...! Kasihanilah selembar nyawaku! Apa pun yang kau perintahkan pasti akan kuturuti...!" sahut pemuda itu, meratap.
"Siapa namamu"!" tanya Bidadari Tangan Api dingin.
"Waskita...."
"Dengarkan baik-baik, Waskita! Akan kuampuni jiwamu. Dan sebagai gantinya, bunuh kedua kawanmu!" ujar Bidadari Tangan Api, enteng.
"Apa"!"
Pemuda bernama Waskita terkesiap. Matanya terbelalak lebar. Dipandangnya wanita itu, kemudian beralih pada kedua kawannya berkali-kali.
"Gunakan pedang ini!" lanjut wanita itu, tak peduli seraya menendang pedang Jaka Lola yang berada di dekatnya.
Tang! Tap! Dengan gesit Waskita menangkap pedang itu. Namun tubuhnya tidak juga bergerak. Dipandanginya senjata itu agak lama, lalu memandang Bidadari Tangan Api.
"Nisanak, aku...."
"Kau mau mati lebih dulu?" potong wanita itu cepat.
"Tentu saja tidak!"
"Kalau begitu, penggal kepala mereka! Atau, kau yang akan menggantikannya."
"Tapi, Nisanak...."
"Kurang ajar!" Bidadari Tangan Api mendelik garang, lalu mencabut pedangnya. "Kalau begitu kau yang harus mati untuk menggantikan mereka!"
"Eh, ampun! Ampun, Nisanak! Baiklah, akan kuturuti keinginanmu...!" sahut Waskita cepat.
Waskita menjura hormat dua kali, kemudian melangkah pelan mendekati kedua kawannya.
"Waskita! Apa yang kau lakukan"! Kau hendak membunuh kami"!" desis salah seorang kawan Waskita yang tadi kehilangan sebelah lengannya.
"Tidak! Kau tidak boleh lakukan itu!" timpal seorang lagi yang kehilangan dua daun telinganya.
"Maaf, Sobat. Aku memang tidak tega melakukannya. Tapi aku pun perlu hidup. Tidak ada jalan lain...," sahut Waskita hampa.
Tanpa banyak bicara lagi. Waskita mengayunkan pedangnya ke leher kedua kawannya.
Wut! "Terkutuk kau, Waskita...!" bentak pemuda yang kehilangan sebelah lengan, berusaha melompat menghindar. Demikian pula yang seorang lagi.
Mereka memaki-maki tidak karuan. Namun, Waskita yang semula tidak tega membunuh semakin beringas.
"Yeaaa...!"
Waskita membentak garang. Pedang di tangannya terus berkelebat semakin ganas mengancam kedua kawannya.
Pada dasarnya mereka memang tidak memiliki kepandaian hebat. Kalaupun ada, tingkatannya tidak seberapa. Dan rata-rata seimbang. Pada saat ini Waskita bersenjata. Sedang kedua kawannya tidak. Bila Waskita mendapat dukungan dari si Bidadari Tangan Api, sedangkan kedua kawannya bukan saja telah terluka, tapi juga telah kendor semangat sejak dihajar wanita itu. Sehingga tidak heran bila dalam waktu singkat Waskita berhasil mendesak. Bahkan....
Pedang Waskita berkelebat Langsung dipapasnya kaki salah seorang kawannya yang terdesak.
Bret! "Akh!"
Orang itu mengeluh kesakitan. Kaki kirinya putus sebatas lutut, dan langsung tersungkur.
Waskita tidak menyia-nyiakan kesempatan. Pedangnya langsung bergerak cepat.
"Waskita, ampun...!"
Meski sempat berteriak memperingatkan dengan wajah memohon belas kasihan, tetap saja Waskita tidak mengurungkan niat Dan....
Bles! "Aaa...!"
Orang itu terpekik begitu pedang Waskita menghujam jantungnya. Tubuhnya tegang sesaat, lalu melenguh pelan saat pedang yang menghujam jantungnya dicabut dengan paksa. Tubuhnya terkulai, dengan nyawa melayang.
? *** ? 2 ? Waskita ternyata benar-benar memenggal leher kawannya yang telah mati!
"Waskita! Apa yang telah kau lakukan" Oh, kau sungguh biadab! Kau betul-betul telah menjadi budak wanita iblis itu!" desis kawan Waskita yang seorang lagi, tak percaya.
"Diam kau, Parta! Kau akan mendapat giliran sekarang juga!" sentak Waskita.
"Biadab! Kita memang jahat. Tapi, kita tidak pernah membunuh kawan sendiri!"
"Banyak mulut! Heaaa...!"
Waskita langsung menerjang kawannya yang kehilangan dua daun telinganya dan bernama Parta. Pedangnya semakin lincah mengancam keselamatan Parta. Waskita memang seperti kesurupan. Dia terus mencecar dengan penuh nafsu membunuh.
Parta yang berusia dua puluh tujuh tahun itu melompat ke belakang, ketika Waskita terus mencecar. Gerakannya sudah tak gesit lagi, karena rasa sakit hebat pada kedua telinganya. Sementara Waskita sendiri semakin bernafsu.
Pada satu kesempatan, kaki kiri Waskita sempat menghajar punggung. Parta berbalik, dan bermaksud bergerak ke samping untuk menghindari tendangan berikutnya. Namun gerakan Waskita ternyata hanya tipuan belaka. Karena tahu-tahu ujung pedang Waskita lebih cepat menyambar leher Parta. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Bres! "Ugkh...!"
Parta tidak sempat mengelak. Bahkan dia hanya bisa menjerit tertahan ketika pedang Waskita menebas lehernya. Kepalanya kontan menggelinding bersama tubuhnya yang ambruk dan tewas seketika!
Setelah berhasil membunuh kedua kawannya. Waskita berbalik menghadap Bidadari Tangan Api.
"Bagus. Kau telah melakukan tugasmu dengan baik. Kemarilah.... Ada hadiah untukmu!" ujar wanita itu.
"Eh! Sebenarnya aku tidak mengharapkan hadiah apa-apa. Kau telah mengampuni jiwaku. Dan itu sudah cukup...," sahut Waskita gugup.
"Apakah kau akan menolaknya?" tanya Bidadari Tangan Api mengerling genit disertai senyum memikat.
"Aku... aku...."
Waskita jadi salah tingkah dibuatnya. Jantungnya berdegup kencang dan cuping hidungnya kembang-kempis. Didekatinya gadis itu sambil mesem-mesem.
"Pedang ini amat mengganggu...," ujar Bidadari Tangan Api, manja.
Wanita itu segera meraih pedang dalam genggaman Waskita. Kemudian dipeluknya pemuda itu erat-erat. Karuan saja. Waskita jadi kelabakan, tidak menyangka. Apalagi ketika wanita ini menciuminya. Dia hanya terpana. Dan sesaat pikirannya melayang entah ke mana. Rasanya seperti mimpi. Namun....
Bles! "Hugkh...! Kau... kau...."
Waskita terkejut. Tahu-tahu sebuah benda tajam menembus punggung kirinya, membuat rasa sakit hebat. Seketika dia berusaha melepaskan pelukan, segera diperiksanya kedua tangannya. Ternyata, telah dipenuhi bercak darah. Bola matanya melotot garang. Kontan dipandangnya wanita itu dengan wajah tak percaya. Namun tidak lama. Sebab kemudian Waskita mengeluh panjang dan ambruk tak berdaya.
Tangan kanan Bidadari Tangan Api mengacungkan pedang yang masih berlumur darah. Dengan senjata ini, agaknya dia merenggut nyawa Waskita.
"Huh! Kau kira bisa bernasib baik ketimbang kawan-kawanmu" Jangan mimpi!" dengus wanita ini, dengan menyeringai lebar.
Kemudian wanita itu mencampakkan begitu saja pedang tadi. Dan kakinya mulai melangkah dengan wajah angkuh. Bola matanya memandang ke sekeliling. Sementara penduduk yang sempat bertatapan mata secara tidak sengaja, buru-buru berpaling.
"Hei, penduduk desa ini! Keluarlah kalian! Sekarang, kalian lihat! Pengacau-pengacau itu telah menemukan ganjaran setimpal atas perbuatan mereka selama ini...! Ayo, keluar! Apakah kalian tidak ingin menyambutku"!"
Tak ada seorang pun yang menyahut. Semua penduduk bersembunyi di dalam rumah dengan ketakutan. Mereka khawatir, bila keluar dan menampakkan diri maka gadis itu akan membunuh!
"Kurang ajar! Inikah rasa terima kasih kalian padaku"! Huh! Dasar kerbau-kerbau tolol! Mungkin setelah dipaksa baru kalian mau menunjukkan batang hidung di depanku!" dengus Bidadari Tangan Api.
Setelah berkata begitu. Bidadari Tangan Api menghantam salah satu rumah yang berada di dekatnya.
"Yeaaa...!"
Bruak...! Rumah gubuk itu kontan hancur berantakan. Maka seketika itu pula empat orang penghuninya yang terdiri dari sepasang suami istri berusia lanjut beserta dua orang anak laki-lakinya terkejut. Mereka bertiarap, lalu tegak berdiri ketakutan memandangi rumahnya yang tidak karuan. Kemudian mereka memandang Bidadari Tangan Api bergantian.
"Ke sini kalian!" bentak wanita itu galak.
"Eh, kami... kami...," sahut seorang laki-laki tua, kepala keluarga rumah ini. Tubuhnya gemetar. Suaranya tercekat di kerongkongan.
Itu saja sudah cukup membuat wanita itu semakin berang. Dia melompat dan bermaksud menghabisi mereka sekaligus. Namun sebelum niatnya terlaksana, mendadak....
"Nisanak! Kurasa cukup sudah tindakanmu! Kau telah melewati batas!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar.
"Hm...!"
? *** Wanita itu menoleh ke arah asal suara di belakangnya. Matanya disipitkan, melihat seorang pemuda tampan berbaju rompi putih berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di dada. Pemuda dengan sebilah pedang bergagang kepala burung menyembul dari balik punggungnya itu melangkah dan mendekati Bidadari Tangan Api. Lalu dia berhenti saat jarak mereka terpaut lima langkah.
"Siapa kau, Bocah"! Apa kau bosan hidup, sehingga berani mencampuri urusanku"!" desis Bidadari Tangan Api lantang dan garang.
"Kau tak perlu tahu siapa aku. Yang jelas, aku bukan anak kecil yang mesti dipanggil bocah. Dan aku hanya ingin kau menghentikan tindakanmu yang kelewat batas...," sahut pemuda berbaju rompi putih ini, kalem.
"Kurang ajar! Hei, buka matamu lebar-lebar. Dan, lihat ke sekelilingmu!" tuding Bidadari Tangan Api geram, sambil menunjuk mayat-mayat yang bergelimpangan.
Tapi pemuda itu hanya tersenyum dingin menanggapi ocehan wanita ini. Namun begitu, sama sekali matanya tidak ingin melirik. Agaknya dia sekadar menunjukkan kalau gertakan wanita ini tidak membuatnya takut.
"Aku tak peduli pada mereka. Dan aku hanya minta kau tidak keterlaluan. Cukup sudah mereka yang menjadi korbanmu. Jangan ditambah lagi. Apalagi terhadap penduduk desa tak berdosa," sahut pemuda itu tenang.
"Dasar lancang! Hei! Agaknya kau belum tahu siapa aku"! Pergilah, sebelum kau menjadi korbanku berikutnya!" bentak Bidadari Tangan Api, lantang.
"Aku juga tak peduli, siapa dirimu. Yang jelas, tindakanmu membuatku harus mencegahmu!" sahut pemuda itu enteng.
"Kurang ajar! Rupanya kau betul-betul ingin mampus! Baik kalau itu yang kau inginkan!" dengus wanita itu. Lalu....
Sring! Bidadari Tangan Api langsung mencabut sepasang pedang pendeknya. Seketika diserangnya pemuda berbaju rompi putih yang tak lain adalah Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaa...!"
Wuk! Kelebatan sepasang pedang Bidadari Tangan Api terlihat cepat. Dan bagi mata orang awam rasanya tidak akan mampu melihatnya. Namun begitu, Pendekar Rajawali Sakti tenang-tenang saja. Begitu kedua senjata itu meluncur dekat, tubuhnya meliuk indah seperti tengah menari. Sudah tentu hal itu membuat Bidadari Tangan Api mengamuk sejadi-jadinya.
"Hm, pantas! Agaknya kau sedikit punya kemampuan yang hendak dipamerkan di depanku. Huh! Kau akan merasakan pelajaran pahit. Bocah!"
"Kepandaianku memang belum seberapa. Dan aku memang butuh pelajaran baru darimu...," balas Rangga, tetap tenang.
"Huh, Bangsat! Kau boleh mampus sekarang juga!" desis Bidadari Tangan Api semakin geram.
Kembali wanita itu menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan menambah kecepatan dan tenaga dalamnya. Gerakannya mulai berbeda dan penuh gerak tipu. Agaknya, dia mulai mengeluarkan kepandaiannya yang paling tidak untuk menjatuhkan Pendekar Rajawali Sakti secepatnya. Tapi, Rangga sama sekali tidak kelihatan terdesak. Bahkan sejauh ini bukan saja mampu mengimbangi, tapi juga mulai balas menyerang.
"Heaaa...!"
Wut! Set! Kedua pedang Bidadari Tangan Api mencoba mengurung. Tapi dengan mudah Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas sambil berputar bagai kitiran. Bahkan cepat mengayunkan satu tendangan keras ke wajah.
Wuk! "Uhhh...!"
Bidadari Tangan Api terkesiap. Gerakan pemuda itu lebih cepat daripada dugaannya semula. Kalau saja tidak mencelat ke belakang, bukan mustahil wajahnya remuk terhantam tendangan.
"Yaaat...!"
Pendekar Rajawali Sakti kembali mengejar. Meski si Bidadari Tangan Api coba bertahan dengan mengibaskan sepasang pedangnya, tetap saja tidak mampu mengimbangi gerakan Rangga.
Mendadak serangkum angin kencang menerpa pipi kiri Bidadari Tangan Api. Wanita itu menoleh sambil mengibaskan pedang. Dan tahu-tahu, serangkum angin yang berasal dari kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti lurus terarah ke dada. Buru-buru Bidadari Tangan Api menjatuhkan diri, bermaksud bergulingan untuk menghindarinya.
Di luar dugaan. Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya sambil melepaskan satu tendangan setengah melingkar ke pinggang. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Begkh! "Aouw...!"
Sekali lagi Bidadari Tangan Api harus mengakui keunggulan pemuda itu dalam bergerak. Pinggangnya kena dihajar. Sambil mengeluh kesakitan, wanita itu terus bergulingan untuk menghindari serangan berikutnya.
Namun, ternyata Pendekar Rajawali Sakti masih tetap tegak di tempatnya. Dan sampai Bidadari Tangan Api kembali bangkit berdiri. Rangga tetap belum melanjutkan serangan. Seolah pemuda itu ingin menunjukkan kalau mampu bersikap ksatria dan tidak menyerang wanita itu selagi lawan belum bersiap.
"Huh! Jangan dikira sudah menang. Bocah! Kau akan merasakan hajaranku, Bangsat!" dengus Bidadari Tangan Api dengan wajah berkerut geram.
"Nisanak! Kau masih muda. Bahkan kepandaianmu cukup hebat. Alangkah baiknya jika kepandaianmu digunakan untuk membela kebenaran ketimbang berbuat ugal-ugalan...," ujar pemuda itu menasihati.
"Jangan berkhotbah di depanku. Bangsat!" desis Bidadari Tangan Api.
Wajah wanita berpakaian merah muda ini berkerut setelah menyelipkan pedangnya kembali di pinggang. Kedua tangannya menyilang di dada dengan jari membentuk cakar. Kedua kakinya tegak membentuk kuda-kuda kokoh. Sesaat ditariknya napas panjang. Kemudian kedua tangannya yang membentuk cakar berubah sedikit kemerahan laksana bara.
Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum. Sama sekali tidak terlihat kekhawatiran pada wajahnya.
"Hm, aji "Tangan Api"...," gumam Pendekar Rajawali Sakti.
"Bagus! Kini kau telah tahu, siapa aku. Huh! Tak ada waktu lagi untuk menyesali diri. Kau akan mampus seperti yang lain. Keparat!" dengus Bidadari Tangan Api. "Heaaat...!"
Diiringi bentakan nyaring tubuh Bidadari Tangan Api melesat, menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan gerakan jungkir balik. Begitu menjejak tanah, kedua tangannya langsung dihentakkan.
"Heaaat...!"
Saat itu juga, selarik cahaya merah kekuningan laksana lidah api, mencelat ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Namun, Rangga tak kalah sigap. Dengan gesit dia melenting tinggi. Akibatnya, sinar merah kekuningan itu terus meluncur. Dan....
Blar...! Sebuah rumah kontan hancur terbakar oleh pukulan jarak jauh Bidadari Tangan Api. Penghuninya langsung berlarian ke sana kemari sambil berteriak-teriak kebingungan.
"Kurang ajar! Wanita ini agaknya sudah keterlaluan...!" dengus Rangga dingin, begitu menjejak tanah kembali.
? *** ? Wajah Pendekar Rajawali Sakti berkerut, menandakan hatinya yang geram bukan main. Niat di hatinya hendak mencegah tindakan sewenang-wenang wanita ini kepada penduduk desa. Dan secara tidak sengaja, justru perbuatannya telah membuat wanita itu kalap. Sehingga, yang dirugikan akhirnya penduduk desa juga.
"Heup!"
Pendekar Rajawali Sakti kini menekuk kedua kakinya dalam kedudukan sedikit melebar. Lalu kedua tangannya terkepal di pinggang. Dari gerakannya bisa diketahui kalau Rangga tengah mengerahkan jurus "Pukulan Maut Paruh Rajawali". Apalagi ketika melihat kedua tangannya yang sudah berubah menjadi merah bagai bara, ketika mengerahkan tenaga dalamnya.
Pada saat yang bersamaan. Bidadari Tangan Api siap menggelar aji "Tangan Api" yang telah ditunjukkannya tadi.
"Heaaat..!"
Seketika nyala api itu menjulur cepat ke arah Rangga, ketika Bidadari Tangan Api menghentakkan tangan kanannya.
Dan Pendekar Rajawali Sakti juga menghantamkan telapak tangan kanannya ke depan. "Hih!"
Saat itu juga, melesat selarik cahaya merah ke arah juluran api milik Bidadari Tangan Api.
Wup! Cahaya merah itu langsung menggulung lidah api yang dilepaskan Bidadari Tangan Api.
Plas! Dalam sekejap mata, lidah api itu lenyap. Bahkan cahaya merah dari jurus "Pukulan Maut Paruh Rajawali" terus menghantam dan tak mampu ditahan.
"Aaakh...!"
Wanita itu memekik kesakitan. Tubuhnya kontan terlempar beberapa langkah ke belakang. Dan dari sudut bibirnya menetes darah segar ketika dia berusaha bangkit dengan susah-payah.
"Aku belum menghendaki kau celaka lebih parah. Sebab, siapa tahu kau masih bisa bertobat. Pergilah. Dan, jangan sampai aku melihatmu melakukan perbuatan tidak terpuji...," ujar pemuda itu tenang.
"Hm.... Aku pernah kenal pukulan itu. Tapi, lupa di mana. Kau hebat bisa menjatuhkanku. Dan aku tidak perlu malu bila mengetahui kalau orang yang mengalahkanku adalah pendekar besar...," kata Bidadari Tangan Api, lemah suaranya.


Pendekar Rajawali Sakti 157 Dendam Pendekar Pendekar Gila di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nisanak, kau salah. Aku bukan pendekar besar, aku hanya seorang pengelana biasa...."
"Kau tidak bisa berdusta padaku, Kisanak! Meski bicaramu merendah, tapi aku bisa merasakannya. Katakanlah... Jangan biarkan aku penasaran bila tidak mengetahui siapa yang telah menjatuhkanku," desah Bidadari Tangan Api.
"Apa gunanya?"
"Bidadari Tangan Api tidak boleh dikalahkan begitu saja tanpa membalas! Aku harus tahu, kepada siapa dendamku kelak harus terbalas!" sahut wanita itu berterus-terang.
Rangga menggeleng lemah. Dia menduga wanita ini akan bertobat setelah kena batunya. Tapi, agaknya sia-sia saja. kenyataannya, wanita satu ini begitu keras kepala. Tidak akan menerima kekalahannya begitu saja.
"Baiklah kalau kau memaksa...," sahut pemuda itu, seraya menghela napas panjang.
Bidadari Tangan Api memandangnya, menunggu pemuda itu melanjutkan kata-katanya.
"Orang menyebutku.... Pendekar Rajawali Sakti."
"Pendekar Rajawali Sakti"! Ah! Dugaanku tidak jauh beda rupanya. Hm, pantas. Pantas sekali bila aku dijatuhkan olehmu!" seru wanita itu, kagum.
Bidadari Tangan Api memandangi pemuda itu sejurus lamanya, sambil tersenyum-senyum kecil. Sulit diduga, apakah dia kagum yang sebenarnya, atau sekadar mengingat kalau telah mengetahui kepada siapa kelak harus membalaskan dendamnya.
"Nisanak! Kejadian ini sebenarnya tidak harus terjadi. Kau terlalu keras dan memaksaku. Lebih dari itu, aku tidak bisa membenarkan tindakanmu membunuh orang seenaknya...."
"Kau katakan seenaknya" Huh! Keempat orang itu adalah pengacau. Tanyakan pada semua penduduk desa ini. Maka, kau akan tahu sendiri. Orang-orang seperti itu sudah sepatutnya mati. Hukuman tidak akan membuat mereka jera!"
"Dan pemuda satu itu?" tunjuk Rangga.
Wanita itu tersenyum dingin.
"Dia murid Padepokan Ulat Sutera. Salahnya sendiri. Dia terlalu ikut campur urusan orang. Bagiku, siapa saja yang mencampuri urusanku, maka harus mati. Kau adalah pengecualian. Sebab, saat ini aku tidak mampu menepati janjiku sendiri. Tapi, bukan berarti kau akan hidup tenang. Ke mana pun kau pergi, bila saatnya tiba, maka aku akan membayar hutang hari ini. Berikut bunganya. Pendekar Rajawali Sakti!" tandas Bidadari Tangan Api mantap.
"Hm.... Hatimu diliputi dendam, Nisanak. Kau hanya menyiksa diri. Aku sama sekali tidak takut ancamanmu. Aku hanya menyayangkan, bahwa kau akan menghabiskan umurmu hanya karena soal dendam...," sahut Rangga kalem.
"Aku tak peduli segala petuahmu! Tak seorang pun boleh mengatur hidupku! Aku menentukan sendiri, apa yang patut kukerjakan dan mana yang tidak. Kalau kau takut, boleh membunuhku sekarang juga!" ujar wanita itu, lantang.
Rangga kembali menggeleng. Hela napasnya terasa panjang dan berat.
"Nisanak, pergilah. Kau boleh bawa dendammu. Aku akan menunggu, sampai kau bisa membalaskan dendammu. Tapi, ingatlah. Sesungguhnya aku lebih suka kau menghabiskan sisa usiamu untuk berbuat kebaikan dengan kepandaianmu. Itu lebih berguna dan amat terpuji...," ujar Rangga, tetap bersikap tenang.
"Sudah kukatakan, aku yang menentukan jalan hidupku sendiri. Bila itu keputusanmu, maka tunggulah saatnya. Aku akan datang menagih nyawamu!" desis Bidadari Tangan Api.
Setelah berkata demikian, wanita itu berbalik. Dan seketika itu pula tubuhnya melesat kencang meninggalkan desa ini.
Pendekar Rajawali Sakti hanya bisa menggeleng lemah memandangnya dengan wajah kasihan. Tak ada yang bisa diucapkannya, selain menyesalkan sikap wanita itu yang keras kepala.
? *** ? 3 ? "Maling-maling...! Ayo, kejar! dia menuju pinggiran telaga yang dekat hutan sana!"
Terdengar teriakan keras membahana, menyeruak ketenangan Desa Tegal Sari. Sebentar saja, orang-orang desa itu sudah cepat berkumpul sambil mengacungkan segala jenis senjata tajam. Kemudian, mereka menyusul yang lain untuk mengejar seseorang yang kini menjadi buronan.
"Kejar.... Jangan sampai lolos!"
"Hajar! Pecahkan kepalanya...!" teriak yang lain menimpali.
Hampir semua lelaki penduduk desa itu mengejar sosok yang diteriaki maling. Jumlah mereka tidak kurang tiga puluh lima orang.
Sementara itu orang yang dikejar adalah laki-laki berusia sekitar dua puluh enam tahun. Wajahnya lebar. Tubuhnya berukuran luar biasa. Bila ada orang yang bertubuh tinggi dan berbadan besar, tak ada apa-apanya dibanding tubuh lelaki itu. Maka ketika berlari kencang begitu, bumi laksana bergoncang oleh derap kakinya.
"Nah, nah...! Dia mulai kelabakan!" seru salah seorang penduduk desa ketika laki-laki bertubuh raksasa ini terjebak di pinggiran Telaga Maut.
Telaga itu sendiri lebar dan cukup dalam. Selama ini, penduduk Desa Tegal Sari jarang ada yang berani mendekatinya. Konon, telaga ini memang angker. Beberapa orang yang jatuh dipastikan akan tenggelam dan tak akan tertolong lagi. Ketika mendekati telaga, semula mereka ragu. Namun amarah yang membakar hati, membuat mereka menguatkan diri dan terus mengejar buruan hingga terdesak.
"Mau ke mana kau, Buto Ijo"! Hari ini tamat riwayatmu! Tidak ada lagi pencurian ternak. Tidak akan ada lagi perusakan sawah ladang. Bila kau mati, maka segalanya akan berakhir!" dengus yang lain.
Orang yang barusan berkata tampak gemas. Sikapnya terlihat garang. Goloknya yang tergenggam di tangan kanan sesekali dimain-mainkan dengan sikap mengancam.
Sementara, para penduduk yang lain pun agaknya bersikap sama. Kelihatan mereka begitu geram dan mendendam pada pemuda bertubuh raksasa satu ini.
Para penduduk sebenarnya kenal laki-laki bertubuh raksasa bernama Darmo Angkor ini, sebab memang masih penduduk desa ini juga. Walaupun tempat tinggal Darmo Angkor yang dijuluki Buto Ijo agak jauh dari perkampungan penduduk. Dari dulu kedua orang tua pemuda bertubuh raksasa itu memang jarang berbaur dengan penduduk lainnya. Entah kenapa. Namun, sikap penduduk pun memang kelihatan enggan. Sebab, mereka menduga kalau kedua orangtua Darmo Angkor adalah dukun sakti yang amat jahat.
Semula memang tidak ada persoalan di antara mereka. Apalagi, kedua orangtua Darmo Angkor yang dicurigai sebagai dukun jahat itu tidak pernah mengusik.
Sejak pemuda itu tumbuh besar dengan nafsu makan yang semakin menjadi-jadi, sementara orangtuanya tidak mampu mencukupi, maka mulailah perkampungan dijarahnya. Dan sejak itu, penduduk dibuat jengkel. Setiap hari ada saja yang kehilangan ternak. Baik ayam, kambing, maupun yang lainnya. Bahkan sawah ladang pun tidak luput dari kerusakan. Buah-buahan yang hendak dipetik, raib tak bersisa. Demikian pula padi-padian yang belum dipanen. Hilang tak berbekas!
Semula, kecurigaan penduduk tidak tertuju pada pemuda bertubuh raksasa ini. Tapi suatu saat, salah seorang penduduk sempat memergoki Darmo Angkor yang tengah melahap ternak hasil curian. Maka, kecurigaan terhadapnya sejak itu semakin menjadi-jadi. Beberapa orang penduduk pernah mendatangi orangtuanya dan melaporkan kejadian itu. Namun suami istri dukun sakti itu tidak bisa terima. Mereka marah dan mengusir penduduk yang datang. Karena tidak ada jalan lain, mereka segera meringkus Darmo Angkor untuk dimintai pertanggungjawabannya.
"Sudah, Ki Soma! Bereskan saja Buto Ijo ini sekarang juga!" teriak salah seorang penduduk.
Orang yang dipanggil Ki Soma berusia lima puluh tahun lebih. Tubuhnya agak kurus, sehingga tulang dadanya terlihat menonjol. Namun begitu, sorot matanya terlihat tajam penuh wibawa. Orang-orang segan kepadanya. Maka tidak heran bila dia dipercaya memangku jabatan Kepala Desa Tegal Sari.
"Ya! Kita akan menghukumnya sekarang juga...," sahut orang tua itu dingin.
Baru saja selesai kata-kata Ki Soma, saat itu juga melompat beberapa orang pemuda dengan golok terhunus menyerang Darmo Angkor.
"Yeaaa!"
"Mampus kau, Buto Ijo...!"
Pemuda bertubuh raksasa itu tampak pucat ketakutan. Secara tidak sengaja, kedua tangannya disilangkan untuk melindungi muka dari sambaran golok. Dan....
Tak! Pletak! "Heh"!"
Kedua pemuda desa itu terkejut. Golok mereka sama sekali tidak mampu melukai kulit tubuh Darmo Angkor. Sekali lagi mereka menebas bagian lain yang lunak. Namun, hasilnya tetap sama.
Sementara, Darmo Angkor sendiri hanya meringis menahan sakit. Namun begitu, pemuda yang kelihatan tolol ini tidak berusaha membalas. Dia malah tetap berdiri dengan wajah bingung, saat kedua pemuda desa ini terheran-heran.
"Ki Soma! Apa yang harus kita lakukan"! Buto Ijo ini ternyata kebal terhadap senjata tajam!" teriak seorang pemuda yang menyerang.
"Biar aku yang membereskannya. Minggir kalian!" sahut orang tua itu, langsung melompat mendekati Darmo Angkor.
Dan lagi-lagi, kekaguman penduduk desa semakin bertambah ketika melihat kehebatan orang tua ini. Ki Soma ternyata mampu berkelebat ringan, menggunakan ilmu meringankan tubuh yang cukup hebat.
"Darmo Angkor, bersiaplah.... Kau akan menerima hukuman atas perbuatanmu selama ini. Orangtuamu sudah tidak mau tahu lagi. Sehingga kau harus mempertanggungjawabkannya sendiri!" desis Ki Soma, begitu berdiri di depan Darmo Angkor.
Orang tua itu menarik napas panjang. Kedua tangannya menyilang di dada, bersiap menghantam pemuda bertubuh raksasa itu dengan tenaga dalam kuat. Dengan sekali hajar, agaknya diyakini, kalau Darmo Angkor akan terjungkal dan tenggelam ke dasar telaga di belakangnya. Namun sebelum pukulan Ki Soma terlepas....
"Tahan...!"
Mendadak terdengar bentakan keras, membuat terkejut semua orang yang ada di situ.
? *** ? Ki Soma menahan gerakannya. Seketika, kepalanya berpaling ke arah asal suara. Tampak sosok tubuh sudah mencelat ringan ke depannya. Mereka adalah sepasang suami istri bertubuh kurus. Yang lelaki berusia hampir sama dengan Ki Soma. Tubuhnya pun kurus serta kecil, dibalut pakaian serba hitam. Kepalanya memakai semacam blangkon hitam. Giginya hitam dan kotor. Beberapa buah terlihat tanggal ketika menyeringai lebar.
"Ayahhh...!" seru Darmo Angkor girang.
Wajah pemuda bertubuh raksasa itu langsung berseri-seri seperti bocah yang mendapatkan mainan kesukaannya. Dengan tergesa-gesa, dihampirinya suami istri itu. Lalu, dipeluknya satu persatu. Kemudian dia bersembunyi di belakang dua sosok yang ternyata orangtuanya.
"Kau hendak melindungi anakmu, Bungkelen?" sinis nada suara Ki Soma.
"Huh! Bila kau memiliki anak, sementara anakmu dalam bahaya, apakah kau akan berdiam diri"!" dengus orangtua laki-laki Darmo Angkor yang bernama Ki Bungkelen.
"Aku tidak pernah punya anak. Dan kalaupun ada, anakku tidak sebengal anakmu," sahut Ki Soma enteng.
Kata-kata Ki Soma terasa perih didengar dan amat menusuk perasaan hati. Tentu saja membuat suami istri itu berang bukan main.
"Siapapun adanya kalian semua, jangan coba-coba menyentuh anakku! Kalian boleh langkahi mayatku lebih dulu!" teriak Nyai Bungkelen ibu dari Darmo Angkor lantang seraya mencabut keris yang terselip di pinggang belakang.
Wajah wanita tua itu garang, membuat penduduk desa lain menjadi ciut nyalinya. Namun tidak demikian halnya Ki soma. Orang tua itu tersenyum sinis.
"Ki dan Nyai Bungkelen! Apa mau kalian" Apakah hendak melindungi anakmu yang kurang ajar dengan menakut-nakuti kami" Berapa kali kami telah memberi peringatan pada kalian. Tapi kalian tidak peduli. Dan kini ketika kemarahan penduduk tidak dapat dibendung lagi, kalian mencoba melindunginya. Padahal, dia nyata-nyata bersalah...," tuding Ki Soma.
"Siapa pun tidak akan rela melihat anaknya dibunuh di depan batang hidung sendiri!" sentak Ki Bungkelen.
"Boleh saja kami tidak membunuhnya. Tapi, dia harus mendapat hukuman setimpal atas perbuatannya selama ini," sahut Ki Soma tenang.
"Aku bisa mengajar anakku tanpa campur tangan kanan. Biar aku yang akan memberi hukuman padanya!" kali ini Nyai Bungkelen yang menyahuti.
"Hukuman apa yang akan kalian berikan padanya" Lakukan sekarang agar kami bisa menilai, apakah itu setimpal dengan perbuatannya selama ini!"
"Tiada hakmu untuk ikut campur dalam soal ini!"
"Kau boleh berkata begitu. Tapi, aku kepala desa di sini. Aku punya kewajiban menenteramkan penduduk yang resah, karena ulah anak kalian. Panen mereka sering gagal karena dirusak anak kalian. Sehingga, mereka tidak punya sesuatu untuk dimakan. Ternak lenyap dicuri Darmo Angkor sehingga mereka tidak bisa membajak. Tidak bisa memerah susu, juga tidak bisa mengambil dagingnya untuk dimakan. Mereka kelaparan dan hidup sengsara. Lebih dua puluh keluarga menjadi korban ulah anak kalian. Kini masihkah kalian berusaha melindunginya" Atau barangkali sengaja membiarkan perbuatannya"!" sentak Ki Soma, lantang.
Ki Bungkelen diam. Dia pandang istrinya, lalu kepada anaknya. Sementara Darmo Angkor menundukkan kepala. Wajahnya meringis seperti bocah tak berdosa.
"Kuberi kalian kesempatan untuk memikirkannya. Dan sesudahnya, berikan jawaban memuaskan untuk kami. Kalau tidak, maka biarkan kami yang memutuskan hukuman apa yang tepat bagi anak kalian...!" lanjut Ki Soma.
Ki Bungkelen hanya melirik sekilas. Lalu matanya memberi isyarat pada anaknya. Darmo Angkor mendekat dan berlutut di depan ayahnya. Meski begitu tinggi, Ki Bungkelen tidak mampu menyamai tinggi tubuhnya.
"Darmo! Kau anakku satu-satunya. Apa pun perbuatanmu, aku dan ibumu akan melindungimu. Mereka akan berbuat kasar. Dan mungkin kami akan tewas nantinya. Bila kami binasa, maka pergilah kau. Selamatkan dirimu. Bila perlu, lawanlah mereka! Kau punya kelebihan. Nak. Bukan saja tubuhmu yang besar dan tenagamu yang kuat, tapi juga kebal senjata tajam. Kau bisa membunuh mereka bila bisa memompa keberanian dalam dirimu...," ujar Ki Bungkelen memberi wejangan pada putranya.
Darmo Angkor hanya menunduk. Dia tidak mengerti sepenuhnya, apa yang diucapkan ayahnya. Pemuda itu memang bodoh, dan pikirannya agak terbelakang. Dia hanya memandangi wajah ayahnya, kemudian-tidak menunjukkan tanggapan apa-apa. Juga saat Ki Bungkelen berdiri tegak berhadapan dengan Ki Soma.
"Silakan langkahi mayatku bila kalian hendak menghukumnya!" ujar orang tua itu mantap.
"Hm.... Itu berarti kau benar melindunginya. Tak ada jalan lain. Kau harus ikut bertanggung jawab."
"Tidak usah banyak bicara. Lakukan saja apa maumu!" sentak Ki Bungkelen.
"Baiklah...," desah Ki Soma.
Kemudian Kepala Desa Tegal Sari mencabut golok yang terselip di pinggangnya. Lalu tubuhnya berputar ke kanan sedikit dengan mengibas-ngibaskan senjatanya. Demikian pula halnya Ki Bungkelen. Dengan kerisnya dia bersiap mengincar titik kelemahan lawan. Kemudian pada saat yang tepat kedua orang tua itu bergerak bersamaan.
"Heaaat...!"
Trang! Bet! ? *** ? Pertarungan tidak dapat dielakkan lagi. Sementara para penduduk telah menyingkir agak jauh untuk membuat ruang gerak.
Sampai sejauh ini, para penduduk semakin kagum saja pada kepala desa itu. Lama mereka hanya mendengar keangkeran Ki Soma, tapi belum bisa membuktikannya secara langsung. Kali ini adalah kesempatan langka. Dan mereka menontonnya dengan mulut ternganga dan wajah kagum.
Permainan golok Ki Soma amat mengagumkan. Bukan saja mampu menangkis setiap serangan Ki Bungkelen yang terus merangseknya, tapi juga mampu balas menyerang.
Pertarungan mereka sendiri berlangsung cepat Masing-masing mempunyai ciri khas berbeda. Bila Ki Bungkelen begitu bernafsu untuk menjatuhkan lawan secepatnya, sebaliknya Ki Soma begitu tenang. Dia tidak terpancing oleh amarah Ki Bungkelen. Namun begitu, justru gerakannya sangat berbahaya. Bahkan beberapa kali Ki Bungkelen nyaris terserempet goloknya.
"Haaat! Yeaaap...!"
Golok Ki Soma berkelebat menyapu leher. Ki Bungkelen cepat berkelit ke samping dan memiringkan kepala. Namun kepala desa itu juga melompat ke samping. Tubuhnya cepat dibungkukkan serendah mungkin, lalu menyambar bagian bawah tubuh Ki Bungkelen. Dengan agak terkesiap, Ki Bungkelen mengkelebatkan kerisnya, menutup ruang gerak golok itu.
Trang! "Huaiiit!"
Begitu golok Ki Soma kena ditangkis Ki Bungkelen, secepat itu tubuhnya bergulingan dan menebas betis kiri. Melihat serangan ini, Ki Bungkelen segera mencelat ke atas. Tapi bersamaan dengan itu pula Ki Soma melenting ke atas, senjata di tangan berkelebat Begitu cepat gerakan kepala desa itu, sehingga Ki Bungkelen tak sempat menyadarinya. Dan....
Bret! "Aaakh...!"
Ki Bungkelen berteriak kesakitan ketika perutnya berhasil dirobek golok Ki Soma. Dengan susah payah orang tua itu berusaha menjaga keseimbangannya ketika kakinya menjejak tanah dengan tangan kiri mendekap perut.
"Kakang Bungkelen...!" teriak Nyai Bungkelen, cemas.
Wanita itu coba menolong suaminya, namun Ki Soma lebih cepat lagi bergerak. Begitu menjejakkan kaki, kembali tubuhnya mencelat Langsung dikirimkannya satu tendangan menggeledek yang tak mampu ditahan Ki Bungkelen.
Duk! "Aaakh...!"
Byar...! Tubuh Ki Bungkelen terpental dan jatuh tepat ke dalam telaga. Tak ada seorang pun yang mampu menolongnya, ketika orang tua itu tenggelam seperti batu tercebur di air.
"Ayaaahhh...!" Darmo Angkor terkejut, berusaha menggapai ayahnya.
Hampir saja pemuda raksasa ini ikut jatuh ke dalam telaga itu kalau saja ibunya tidak menarik kedua kakinya. Masih untung Darmo Angkor tidak berusaha berontak. Sebab bila terjadi, niscaya ibunya tidak akan mampu menahan kekuatan tenaganya.
"Hentikan perbuatan tololmu itu! Ayo bangun!" sentak Nyai Bungkelen.
"Tapi, Bu...."
"Jangan cengeng! Ingat pesan ayahmu yang terakhir. Kau harus membalaskan dendamnya!" ujar Nyai Bungkelen, tegas.
"Ayah tidak berkata begitu. Dia hanya menyuruhku lari...," sahut pemuda itu polos.
"Dasar anak tolol! Tidakkah kau sadari bahwa kau memiliki kelebihan dibanding orang-orang lain" Ayo, pergunakan itu untuk membantu ibumu. Kita hajar mereka! Mereka hendak membunuhmu. Maka sebelum itu, kita harus membunuh mereka lebih dulu!" sentak wanita itu lagi.
Setelah itu. Nyai Bungkelen mencabut keris yang terselip di pinggang. Dan dia langsung melompat menerjang Ki Soma.
"Binatang keparat! Kau akan menebus nyawa suamiku dengan jiwa busukmu!" desis Nyai Bungkelen.
"Heup!"
Ki soma cepat berkelit dengan melompat ke belakang. Lalu tubuhnya bergerak ke samping dan cepat membungkuk, ketika senjata wanita itu menyambarnya. Bahkan golok di tangannya yang masih berlumuran darah cepat dikelebatkan, menyambar ke perut.
Wanita itu melompat ke atas dengan gesit. Namun, Ki Soma mengikutinya sambil membabatkan goloknya. Tidak seperti suaminya, wanita itu lebih cerdik dan cepat menduga siasat yang digunakan Ki Soma. Dan dia tidak mau terpancing karenanya.
"Hup!"
Tubuh Nyai Bungkelen berputar bagai kitiran. Sebelah kakinya cepat menghantam ke muka, sehingga membuat Ki Soma terkejut. Namun, itu tidak mengurangi kegesitannya untuk mencelat ke belakang. Dengan sekali menjejak bumi, Ki Soma kembali melesat menerjang wanita itu.
"Heaaat...!"
Mengandalkan kecepatan bergerak, kepala desa itu berusaha mengecoh. Ujung kakinya disodorkan ke dada. Dan pada saat wanita itu memapasnya, tendangannya ditarik. Tubuh Ki Soma lantas berputar sembari mencelat ke atas, dan kembali melakukan tendangan. Gerakannya tidak lurus, melainkan membuat lengkungan. Sehingga, gerakan tendangannya menyapu dari kanan ke kiri.
Nyai Bungkelen terkesiap. Sungguh tidak diduga kalau laki-laki itu mampu bergerak cepat begitu rupa. Sebisanya dia melompat ke belakang untuk menjaga jarak.
"Heaaat...!"
Namun, Ki soma tidak tinggal diam. Goloknya seketika itu pula dilepaskan tanpa mampu dicegah lagi, senjata itu melesat bagai kilat. Dan....
Crab! "Aaa...!"
Golok Ki Soma menancap tepat di dada kiri Nyai Bungkelen. Wanita itu kontan memekik keras. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.
"Hiyaaa...!"
Melihat kesempatan ini, Ki Soma tak menyia-nyiakannya. Tubuhnya langsung berkelebat mendekati, dengan sedikit berputar. Lalu langsung disambarnya wanita itu dengan satu tendangan menggeledek berisi tenaga dalam tinggi.
Duk! "Aaagkh...!"
Byur...! Seperti nasib suaminya. Nyai Bungkelen terjungkal. Tubuhnya jatuh ke dalam Telaga Maut dan tak tertolong lagi.
"Ibuuu...!"
Darmo Angkor terkejut. Pemuda itu berusaha menolong, namun tiba-tiba pikiran waras berkelebat dalam benaknya. Dalam sekejapan mata, tubuh kedua orangtuanya ditelan Telaga Maut. Dia tidak akan bisa menolong, karena akan langsung tenggelam. Kecuali, kalau ingin mati bersama. Tapi dengan begitu, orangtuanya akan mati percuma. Karena, tak ada yang membalaskan kematian mereka.
Berpikir begitu, Darmo Angkor berbalik. Dia tegak berdiri, memandang Ki Soma. Bias ketakutan yang tadi menghiasi wajahnya, berubah cepat Yang ada saat ini hanya kerut-merut penuh dendam, dan sorot mata galak dipenuhi hawa nafsu amarah.
"Orang tua! Kau telah membunuh ayah ibuku! Kau harus mati di tanganku!" dengus Darmo Angkor dengan suara sedikit parau.
Seperti raungan gajah yang terluka, Darmo Angkor menerjang Ki Soma.
"Heaaa...!"
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 157. Dendam Pendekar-Pendekar Gila Bag. 4, 5 dan 6
7 ?"?"?" 2015 ?"?" 23:57 ".
4 ? Plak! Ki Soma menepis serangan Darmo Angkor. Bahkan saat itu juga dilepaskannya satu pukulan geledek ke dada pemuda itu.
Bugkh! "Heh"!"
Betapa terkejutnya kepala desa ini. Bukan saja pukulannya tidak membawa hasil, tapi juga tangannya sendiri yang bergetar. Bahkan dia sampai terpekik kaget. Ki Soma jadi penasaran, seketika dilepaskannya satu tendangan dengan tenaga dalam penuh.
Deb! "Uhhh...!"
Sekali lagi orang tua ini dibuat penasaran. Tendangannya yang berisi tenaga dalam tinggi ternyata sama sekali tidak berpengaruh terhadap Darmo Angkor. Pemuda itu menggeram, memperlihatkan kemarahannya. Tangannya cepat dikibaskan. Seketika itu pula, Ki Soma menangkis.
Plak! Lagi-lagi Ki Soma merasakan tangannya linu bukan main.
"Gila! Orang ini agaknya bukan manusia...!" desis orang tua itu.
"Ki Soma! Biar kita bereskan dia sama-sama!" teriak seseorang.
"Ya! Kita bereskan dia! Ayo, biar tidak ada lagi perusuh di desa kita!" sambut yang lain bersemangat.
"Heaaat...!"
Ki Soma tidak menyahut, seperti menyetujui tindakan penduduk desa untuk mengeroyok Darmo Angkor.
"Goaaarrrgkh...!"
Mendadak saja Darmo Angkor menggerung mengerikan. Tubuhnya menggeliat dengan sorot mata buas menakutkan. Beberapa senjata tajam berhasil memapas tubuhnya. Namun tidak satu pun yang berhasil melukainya. Padahal, mereka lakukan berulang-ulang.
Dan kini Darmo Angkor mulai balas menyerang. Sekali tangannya dikibaskan, dua atau tiga orang lawannya terpelanting saling tubrukan.
Plak! Prak! "Aaa...!"
Tulang-belulang mereka patah. Bahkan beberapa di antaranya terpental dengan kepala remuk. Sementara pemuda bertubuh raksasa itu terus mengamuk dahsyat!
"Yeaaat..!"
Kali ini disertai teriakan keras, Ki Soma berusaha mendesak Darmo Angkor ke dalam telaga dengan tendangannya.
Des! "Uhhh...!"
Tendangan orang tua itu tepat mengenai dada Darmo Angkor. Hingga mengeluh tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung sedikit ke belakang.
"Terus, Ki! Terus...! Desak dia ke telaga! Ceburkan Buto Ijo ke sana!" teriak yang lain memberi semangat.
Orang tua itu bergerak lincah. Begitu menjejakkan kaki, tubuhnya kembali mencelat melakukan tendangan menggeledek.
"Hiyaaa...!"
Tap! Wut! Tidak seperti tadi, kali ini Darmo Angkor berhasil menangkap kaki Ki Soma dan dia bermaksud akan membantingnya. Masih untung Ki Soma berhasil melepaskan diri. Darmo Angkor tidak diam begitu saja. Pemuda bertubuh raksasa itu terus mengejar. Sementara beberapa pengeroyok lain tidak begitu dihiraukannya.
"Heaaa...!"
Ki Soma segera bergulingan menyelamatkan diri. Sementara, Darmo Angkor sepertinya tak ingin memberi kesempatan sedikit pun. Tubuhnya langsung mencelat, dengan kaki terjulur ke arah dada Ki Soma. Dan....
Jder...! Tubuh kepala desa nyaris hancur luluh kalau saja tidak cepat menghindar dengan terus bergulingan. Tanah bekas hantaman kaki Darmo Angkor tampak berlubang dalam. Bahkan bumi di sekitarnya bergetar hebat membuat kaget para penduduk.
Setelah bergulingan, Ki Soma cepat melenting bangkit berdiri. Kemudian tubuhnya melesat, melakukan tendangan kembali ke perut. Darmo Angkor yang masih celingukan mencari-cari lawannya, tak sempat lagi mengelak ketika tubuh Ki Soma meluncur datang. Hingga....
Buk! "Uhhh...!"
Tubuh Darmo Angkor terhuyung-huyung ke belakang begitu tendangan kepala desa itu telak mendarat di sasaran. Namun, belum juga tumbang. Melihat keadaan Darmo Angkor, Ki Soma segera mengerahkan tenaga dalam ke arah ayunan goloknya. Yang jadi sasaran adalah perut pemuda bertubuh raksasa ini.
Tak! "Sial...!"
Kepala desa itu menggerutu geram. Goloknya ternyata tidak berhasil melukai kulit Darmo Angkor. Dan sekali lagi hal itu dilakukan, hasilnya tetap sama.
Darmo Angkor hanya mengeluh kesakitan. Juga ketika beberapa buah senjata tajam lainnya menghujani, pemuda itu berteriak agak keras. Namun begitu tidak mampu melukai kulitnya. Darmo Angkor menggerung geram, lalu mengamuk sejadi-jadinya. Kedua tangannya bergerak ke kanan dan kiri. Sementara kakinya sibuk menendang orang-orang yang berada di dekatnya.
Duk! Prak! Begkh!
"Aaa...!"
Beberapa pengeroyok berhasil menghindar. Namun, yang lainnya menjadi korban. Mereka menjerit kesakitan. Di antaranya menderita patah tulang ketika diinjak Darmo Angkor. Bahkan ada juga yang kepalanya remuk.
"Heaaat...!"
Tengah pemuda itu mengamuk, sekonyong-konyong Ki Soma menendangnya dari belakang yang tak mampu dihindari lagi.
Begkh! "Uhhh...!"
Kali ini Darmo Angkor terjerembab setelah terhuyung-huyung ke depan. Maka seketika itu pula orang-orang desa itu langsung mengerubutinya. Kali ini mereka menghujani batu-batu besar, sehingga membuat Darmo Angkor kebingungan. Beberapa kali dia berteriak-teriak kesakitan sambil mengibas-ngibaskan kedua tangan untuk melindungi bagian mukanya.
Ki Soma menggunakan kesempatan itu untuk menghajar. Seketika dilepaskannya tendangan ke selangkangan Darmo Angkor.
Tak! "Aaakh...!"
Pemuda itu menggerung setinggi langit menahan rasa sakit yang hebat. Sedang Ki Soma mendengus geram, sambil memandang sinis. Kali ini, orang tua itu mengetahui kelemahan lawannya. Dan dengan sekali hajar lagi disertai pengerahan seluruh tenaga dalam diyakini pemuda itu segera menemui ajalnya.
"Pencuri busuk! Kau boleh mampus sekarang juga!" desis Ki Soma seraya mengayunkan tendangan. Dan sedikit lagi tendangan itu mendarat...
"Hiyaaa...!"
Mendadak saat itu juga terdengar bentakan nyaring. Akibatnya, niat orang tua itu terhenti.
? *** ? Belum juga hilang gema teriakan tadi, tahu-tahu melesat sosok bayangan merah darah dengan gerakan cepat bukan main. Lalu....
Bret! "Aaa...!"
Beberapa penduduk desa tahu-tahu memekik kesakitan. Mereka ambruk dan tewas seketika dengan luka sabetan senjata tajam,
"Keparat!"
Ki Soma mendengus geram, begitu melihat sosok yang tengah mengamuk dahsyat. Dengan golok terhunus, langsung diterjangnya sosok yang ternyata seorang gadis cantik berbaju merah muda ini.
Trang! Bet! "Uhhh...!"
Golok Ki Soma menghantam senjata yang digunakan gadis berbaju merah muda itu. Tapi, justru tangannya yang bergetar. Dia mengeluh pendek. Dan belum lagi sempat menguasai diri, sekonyong-konyong terasa angin tajam menyambar pinggang. Cepat bagai kilat Ki Soma berkelit dengan melompat ke belakang seraya mengibaskan golok.
Trang! Orang tua itu berhasil menangkis senjata gadis berpakaian merah muda ini. Namun secara tak terduga gadis itu berputar, kembali mengkelebatkan senjatanya. Begitu cepatnya, sehingga tidak mampu dielakkan.
Cras! "Aaakh...!"
Ki Soma menjerit kesakitan begitu pinggangnya robek lebar tersambar senjata gadis itu. Darah tampak mengucur deras dari lukanya.
"Hiyaaat...!"
Dan belum sempat Ki Soma berbuat apa-apa, gadis itu telah kembali menyerang dengan cepat dan ganas. Karena untuk menghindar sudah tak mungkin lagi, terpaksa goloknya dikelebatkan untuk memapak senjata gadis berbaju merah muda ini.
Trang! Begitu habis memapak, Ki Soma terpaksa membuang diri ke samping. Karena saat itu pula, satu sambaran senjata yang lain mengancam ke leher. Agaknya baru disadari kalau gadis ini memiliki sepasang senjata untuk menghadapinya.
"Haiiit!"
Baru saja tubuh Ki soma bergulingan, gadis itu telah memutar tubuhnya. Tepat saat orang tua itu baru saja bangkit, gadis itu telah berkelebat sambil melepaskan satu tendangan geledek.
Des! "Akh...!"
Tak ayal lagi, satu tendangan keras menghantam dada Ki Soma. Orang tua itu memekik keras. Tubuhnya terjungkal dan ambruk ke dalam telaga.
Byur...! "Ouf, tolong...! Tolo... ng...!"
Teriakan Ki Soma hanya sesaat. Karena saat tubuhnya mulai bergerak, lumpur dasar telaga itu cepat menyedotnya ke bawah. Tubuhnya terus tenggelam. Tamatlah riwayatnya.


Pendekar Rajawali Sakti 157 Dendam Pendekar Pendekar Gila di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang-orang desa memang tidak sempat memberi pertolongan. Karena kejadian itu begitu singkat dan cepat. Mereka masih terkesima melihat kehadiran gadis berbaju merah muda.
"Yeaaat!"
Belum tuntas keterkejutan para penduduk, kembali dikagetkan teriakan lainnya. Tampak seorang gadis cantik berpakaian merah muda dengan kedua pedang di tangan, mengamuk hebat membantai para penduduk. Gadis yang tadi menjatuhkan Ki Soma itu membunuh orang-orang desa dengan mudah seperti membalikkan telapak tangan saja. Beberapa orang tewas. Sementara yang lainnya menyusul dengan cepat.
Pekik kematian dan mayat-mayat ambruk dalam keadaan mengerikan tak dapat dihindari lagi. Akibatnya para penduduk yang masih selamat menjadi ciut nyalinya melihat keganasan gadis itu. Dan mereka yang tersisa langsung kabur tunggang-langgang menyelamatkan diri.
"Hm...."
Gadis berpakaian merah muda itu menggumam sinis tanpa mempedulikan mereka. Dia membersihkan pedangnya yang berlumuran darah menggunakan baju mayat-mayat yang menjadi korbannya. Sempat matanya melirik sekilas orang-orang desa yang tinggal segelintir itu. Dalam sekejapan mata, bayangan mereka sudah tidak terlihat lagi. Kini gadis itu melangkah mendekati Darmo Angkor yang tegak berdiri memandanginya dengan wajah takjub.
"Siapa namamu...?" tanya gadis itu, dingin.
"Eh, Darmo.... Darmo Angkor! Siapakah Kakak ini" Hebat sekali! Dalam sekejap mampu membuat mereka kabur ketakutan...!"
"Namaku Dewi Tanjung Putih. Tapi, orang-orang menyebutku sebagai Bidadari Tangan Api...."
"Bidadari Tangan Api" Oh! Apakah Kakak berasal dari swargaloka" Jadi..., jadi tangan Kakak bisa mengeluarkan api"!" tanya Darmo Angkor dengan mata membelalak lebar dan wajah keheranan.
Gadis yang ternyata Bidadari Tangan Api tersenyum kecil. Dipandanginya wajah pemuda bertubuh raksasa ini. Kelihatan polos, seperti bocah di bawah sepuluh tahun.
"Ya, aku dari swargaloka. Tanganku bisa mengeluarkan api, tapi tidak boleh sembarangan digunakan. Hanya untuk menghukum orang-orang jahat...," sahut Bidadari Tangan Api yang bernama asli Dewi Tanjung Putih, enteng.
"Seperti orang-orang tadi?" tanya Darmo Angkor, lugu.
"Ya...."
Tiba-tiba saja pemuda bertubuh raksasa itu termenung memandangi permukaan telaga. Kemudian kakinya melangkah pelan dan berhenti tepat di tepinya. Dipandanginya untuk beberapa saat seperti hendak menembus telaga yang kelihatan dangkal.
"Kenapa kau sedih...?" tanya Dewi Tanjung Putih.
"Orangtuaku.... Mereka berada di dasar telaga ini. Bisakah Kakak menolong untuk mengeluarkan mereka?" tanya Darmo Angkor dengan wajah lesu.
Dewi Tanjung Putih tersenyum, lalu melangkah mendekati Darmo Angkor.
"Mereka tengah beristirahat. Dan kau tidak boleh mengganggunya lagi...," sahut gadis berjuluk Bidadari Tangan Api ini, sambil menepuk-nepuk pinggang pemuda itu.
"Tapi, tapi.... Mereka adalah pelindungku. Kalau mereka beristirahat, lalu siapa yang melindungiku" Orang-orang itu ingin membunuhku. Mereka membenciku...!" ujar Darmo Angkor, masghul.
"Kenapa harus bingung" Apakah kau tidak mau menganggapku sebagai kakakmu" Aku akan melindungimu dari orang-orang jahat itu...," tandas Dewi Tanjung Putih cepat.
"Oh, benarkah"! Aku suka sekali kalau kau sudi menjadi kakakku"!" sahut pemuda itu seraya berlutut dan merangkapkan kedua tangan.
Wajah Darmo Angkor tampak gembira dengan senyum mengembang lebar.
"Ya, mulai hari ini kita akan mengikat saudara. Kau menjadi adikku dan aku menjadi kakakmu. Sebagai seorang adik, kau harus patuh dan turut pada yang kukatakan."
"Tentu saja! Aku akan patuh dan menuruti semua kata-katamu. Tapi...."
"Ada apa, Darmo?"
"Perutku lapar. Kak...," sahut Darmo Angkor, lirih.
"Ayo berdiri! Kita ke desa itu dan cari makanan. Kau akan makan sepuas-puasmu!"
"Tapi, tapi.... Mereka akan membunuh kita nantinya..."!"
"Apakah kau tidak percaya kalau aku akan melindungimu" Ayo, bila mereka berani mengusik, akan kutebas lehernya!" sahut si Bidadari Tangan Api bersemangat.
? *** ? "Siapa lagi yang bisa kau andalkan kini. Orang Tua" Serahkan putrimu. Dan kau boleh bebas pergi dengan nyawa utuh," ujar seorang pemuda tampan berpakaian baju jubah panjang dan tampak resik. Pada tangannya tergenggam sebuah suling. Rambutnya yang panjang digelung ke atas, diikat pita merah.
"Bajingan terkutuk, langkahi mayatku jika kau inginkan putriku!" dengus seorang laki-laki tua sambil mendekap seorang gadis berusia sekitar enam belas tahun.
Memang meski pemuda itu tampan, namun tidak membuat gadis ini menjadi senang. Malah tubuhnya menggigil ketakutan merapat ke tubuh laki-laki tua yang ternyata ayahnya. Bola matanya melirik sekilas pada mayat-mayat yang bergeletakan di sekitar mereka. Jumlahnya ada enam orang. Mereka tewas dengan cara mengerikan.
"Hm.... Jadi kau menginginkan mati ketimbang menyerahkan putrimu baik-baik?" tanya pemuda itu, masih dengan sikap tenang.
"Huh! Terkutuklah kau! Orang sepertimu seharusnya tidak boleh hidup di dunia ini!" desis orang tua berpakaian indah itu.
"Ha-ha-ha...! Begitukah menurutmu" Orang tua! Seharusnya kau merasa bangga karena anakmu berjodoh denganku. Aku Kamajaya, adalah orang terpandang. Berapa banyak gadis yang mengejar-ngejar, namun tak seorang pun yang berkenan di hatiku...," kata pemuda yang ternyata bernama Kamajaya.
"Siapa yang peduli segala omong kosong itu"!"
"Hm!"
Senyum Kamajaya seketika sirna mendengar kata-kata orang tua itu. Wajahnya berkerut Dan kelihatannya dia mulai tidak sabar menghadapi orang tua yang keras kepala ini.
"Aku telah cukup bersabar dan berbaik hati padamu. Tapi kau tidak juga mengerti niat baikku. Orang sepertimu agaknya harus dipaksa agar mengerti niat baik seseorang!" desis Kamajaya geram.
"Persetan dengan segala ocehanmu! Berani kau menyentuh putriku, maka pedang ini akan menebas lehermu!" ancam orang tua itu seraya menyilangkan pedang ke wajah.
"Pedang itu" Kau hendak menghadapi Pendekar Suling Emas" Huh! Kau boleh mimpi. Tolol! Tak seorang pun yang bisa menolak dari keinginanku. Tidak juga kau!" sentak Kamajaya, yang berjuluk Pendekar Suling Emas.
Baru saja selesai berkata begitu, tubuh Kamajaya mencelat. Orang tua itu terkesiap, berusaha mengibaskan pedang. Namun senjatanya hanya menebas angin. Bahkan tiba-tiba saja tubuhnya terdorong ke samping oleh satu tenaga kuat. Dan bersamaan dengan itu....
"Ayaaah...!"
Terdengar jeritan gadis yang tadi mengkeret dalam pelukan orangtuanya.
"Anakku...!" jerit laki-laki tua itu kaget.
Bola mata orang tua ini melotot garang. Darahnya tersirap sampai ke ubun-ubun ketika mengetahui kalau putrinya telah berada dalam pelukan Kamajaya. Pemuda itu sendiri tersenyum-senyum mengejek.
"Sekarang apa yang bisa kau lakukan" Dia dalam genggamanku, maka berarti milikku. Aku bisa berbuat apa saja terhadap milikku...," ejek Kamajaya.
"Bedebah! Lepaskan putriku! Lepaskan dia...!" geram si orang tua.
Sambil menghunus pedang, laki-laki tua berpakaian indah ini mengejar penuh nafsu. Namun, ringan sekali gerakan Kamajaya saat melompat menghindar. Dan untuk kedua kalinya, senjata itu hanya menebas angin. Dan sebelum laki-laki tua itu bermaksud menyerang lagi....
"Berhenti, Orang Tua! Kalau tidak, aku tidak akan segan memecahkan batok kepala putrimu ini!" bentak Kamajaya, membuat gerakan laki-laki tua ini berhenti.
Laki-laki tua berpakaian indah ini terkesiap, melihat pemuda itu mengangkat sulingnya tepat di atas kepala putrinya. Memang, agaknya suling itu tidak bisa dianggap main-main. Buktinya tadi para pengawal orang tua ini binasa, terhajar suling yang kelihatannya aneh ini.
"Syukur kau tahu gelagat. Nah, sekarang jangan ganggu lagi...," lanjut pemuda itu sambil menyeringai lebar.
"Tunggu dulu! Mau kau bawa ke mana putriku?" tahan laki-laki tua ini sebelum Kamajaya melangkah meninggalkan tempat itu.
"Kau tidak perlu tahu, sebab sekarang bukan urusanmu lagi. He-he-he...! Jangan coba bertindak bodoh. Dan aku tidak segan-segan memecahkan kepala putrimu ini!" sahut Kamajaya, seraya menyeret gadis yang berusaha berontak sambil berteriak-teriak ketakutan.
Wajah gadis itu pucat. Tubuhnya tampak menggigil. Suaranya serak di kerongkongan. Laki-laki tua itu bisa merasakan ketakutan yang dialami putrinya. Dan, dia tidak mampu berbuat apa-apa karena takut ancaman pemuda bernama Kamajaya. Namun....
"Serahkan gadis itu pada orangtuanya!"
Terdengar bentakan nyaring menggelegar, mengejutkan semua orang yang ada di tempat ini.
? *** ? 5 ? Kamajaya terkesiap. Tahu-tahu saja di tempat ini muncul seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Entah dari mana datangnya. Tampak sebilah pedang bergagang kepala burung bertengger di punggungnya. Di belakangnya, terlihat seekor kuda berbulu hitam mengkilat.
"Kisanak! Lepaskan gadis itu. Dan, jangan berbuat macam-macam kepadanya!" ulang pemuda yang baru muncul ini.
"Huh! Apa urusanmu" Hei, lebih baik menyingkir! Kalau tidak, aku betul-betul akan memecahkan batok kepala gadis ini!" ancam Kamajaya alias Pendekar Suling Emas.
Mendengar itu, orangtua gadis ini semakin ketakutan saja. Dia mencoba memohon agar pemuda yang berbaju rompi putih itu tidak ikut campur dalam urusan ini.
"Tenanglah, Ki. Dia tidak akan berani melakukannya...," ujar pemuda yang tidak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Dia akan melakukannya. Anak Muda! Kau lihat mayat-mayat itu" Mereka adalah korban kekejamannya!" sahut orang tua ini masih dengan wajah khawatir.
"Percayalah padaku. Dia tidak akan berani melakukannya...," bujuk Pendekar Rajawali Sakti.
"Tutup mulutmu! Barangkali kau ingin melihat kepala gadis ini remuk, he"!" ancam Kamajaya, berang.
Rangga senyum-senyum mendengar ancaman Pendekar Suling Emas.
"Sempat kudengar kalau kau ternyata Pendekar Suling Emas. Hm.... Seorang tokoh yang kukenal amat mengagumkan. Hebat, dan jarang tandingannya. Tapi hari ini, orang-orang akan menertawaimu karena menyandera seorang gadis. Bahkan berani mengancamnya. Padahal, gadis itu sama sekali tak memiliki kepandaian. Itu dilakukannya karena takut menghadapi seorang gembel sepertiku...!"
Si Racun Dari Barat 2 Keris Pusaka Nogopasung Karya Kho Ping Hoo Pedang Medali Naga 1

Cari Blog Ini