Ceritasilat Novel Online

Kitab Naga Jonggrang 2

Pendekar Rajawali Sakti 168 Kitab Naga Jonggrang Bagian 2


"Dari mana kau bisa memberiku benda-benda berharga sebagai gantinya?" pancing Rangga lagi.
"Orangtuaku kaya-raya! Aku anak tunggal. Dan mereka amat sayang padaku. Apa saja yang kuminta, pasti akan dikabulkan!" jelas Sancaka berapi-api.
Rangga tertawa mendengar penuturan Sancaka.
"Seberapa kaya orangtuamu" Bila aku menginginkan emas segunung, apakah bisa dikabulkan" Bila aku menginginkan kedudukan sebagai raja, apakah mampu diluluskannya?"
Sancaka terdiam. Suaranya terdengar mulai merendah.
"Kau memang telah menyelamatkanku, Kakang. Tapi kukira imbalannya tidak mesti sebesar itu...," desah pemuda gundul itu.
"Mereka hendak membunuhmu. Dan aku menyelamatkanmu. Itu berarti aku menyelamatkan nyawamu. Kuhargai nyawamu dengan imbalan tinggi. Dan itu berarti aku amat menghargaimu," kilah Rangga.
Setelah berkata begitu. Rangga berkelebat cepat pergi dari tempat ini. Sancaka terkesiap dan coba menyusulnya.
"Kisanak, tunggu...!" teriak pemuda gundul ini.
Tapi percuma saja. Pendekar Rajawali Sakti telah menghilang secepat kilat.
"Sial!" dengus Sancaka geram.
Pemuda gundul itu menghentak-hentakkan kaki. Wajahnya tampak kusut. Dan sambil melangkah, dia memukul apa saja yang ditemui di jalan.
"Siapa dia" Aku bahkan tidak tahu siapa dia. Huh! Betapa bodohnya aku!" umpat Sancaka berkali-kali.
Bam saja umpatannya habis, mendadak....
"Hi hi hi...!"
"Hei"!"
Sancaka terkesiap ketika tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan yang berkumandang ke seluruh tempat ini. Pemuda itu memandang ke segala arah, namun tidak seorang pun terlihat.
"Hup!"
Tanpa pikir panjang, Sancaka melompat dan berlari sekencang-kencangnya meninggalkan tempat ini.
"Hi hi hi...! Kau coba-coba kabur dariku, Bocah" Ayo, lakukanlah kalau kau mampu!"
Kembali terdengar suara, membuat Sancaka makin dibaluri rasa takut.
"Ohhh...!"
Sancaka terkesiap. Suara tawa itu tetap tidak jauh darinya. Kepalanya tidak berani menoleh dan terus berlari sekencang-kencangnya.
"Ayo lari! Lari sekencang-kencangnya...! Hi hi hi...!"
"Sial!"
Sancaka mengumpat geram ketika suara tawa itu belum juga jauh. Dia telah berusaha sekuat tenaga. Namun suara tawa itu masih mampu mengikuti tanpa diketahuinya. Itu menandakan kalau pemilik suara berkepandaian tinggi. Dan..., kecurigaannya cuma satu. Yaitu, tentang kitab pusaka yang diperebutkan banyak orang! Orang ini pasti mengincarnya juga!
"Hi hi hi...!"
"Hei"!"
Sancaka terkesiap dan langsung menghentikan larinya ketika tiga tombak di depannya tahu-tahu telah berdiri seorang wanita tua berbaju putih. Rambutnya panjang digelung ke atas. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat yang berlekuk-lekuk seperti seekor ular yang tengah membelit batang kayu.
Pemuda itu menarik napas panjang berusaha bersikap wajar.
"Hi hi hi...! Kau tidak berusaha kabur lagi, Bocah?" ejek perempuan tua itu.
"Kau salah duga, Nenek. Aku sama sekali tidak bermaksud kabur. Kebetulan saja, aku ingin melemaskan otot-otot kakiku," kilah Sancaka.
"Hi hi hi...! Lucu juga. Tapi, siapa yang peduli dengan segala alasanmu" Kau tentu tahu, apa keperluanku denganmu!" kata perempuan tua ini.
"Apakah kau ingin mengangkatku sebagai cucumu?" Sancaka malah berkelakar.
"Brengsek!" dengus nenek itu mulai geram.
Sancaka tersenyum.
"Nek, aku sama sekali tidak keberatan menjadi cucumu. Aku akan berusaha menjadi cucu yang baik dan penurut...."
"Bedebah! Siapa sudi mengangkatmu jadi cucu" Aku ingin kau menyerahkan Kitab Naga Jonggrang!" desis nenek ini.
"Ah, lagi-lagi kitab itu...!" keluh Sancaka, mendesah. "Tidakkah mereka mengerti kitab itu tidak ada padaku" Aku hanya korban fitnah belaka...."
"Tidak usah banyak mulut! Berikan kitab pusaka itu padaku!" bentak nenek itu lagi.
"Nenek! Apa yang harus kukatakan" Aku tidak tahu-menahu soal kitab itu...!"
"Brengsek! Berikan padaku, atau kupecahkan kepalamu"!"
"Meski kau robek isi hatiku, tetap saja kitab pusaka itu tidak akan ketemu. Sebab, aku tidak tahu-menahu sedikit pun!"
"Kalau begitu biar kurobek saja hatimu untuk makanan anjing-anjing kampung budukan!"
Nenek itu telah bersiap melompat menyerangnya. Tapi tiba-tiba....
"Nek! Ke mana kau! Neneeek...!"
Terdengar sebuah suara memanggil-manggil.
"Hm!"
Nenek itu melirik ke satu arah. Sedangkan Sancaka bermaksud menggunakan kesempatan itu untuk meloloskan diri. Tapi baru beberapa langkah, dia dibuat terkejut. Ternyata nenek itu telah berada di depannya. Entah, kapan berkelebatnya.
"Mau coba-coba kabur, he"!"
"Eh, tidak. Aku..., aku hanya ingin kencing, Nek!"
"Huh...!"
Nenek ini mendengus kecil. Dan tahu-tahu, dia telah mencengkeram baju Sancaka.
"Eee...!"
Sancaka tidak bisa berbuat apa-apa. Terpaksa diikutinya kemauan perempuan tua itu.
*** 5 ? "Nek, ah...! Rupanya Nenek di sini. Apa yang kau kerjakan di sini, Nek?"
Baru saja Sancaka terseret beberapa langkah, terdengar sebuah suara. Sancaka dan perempuan tua yang menyeretnya kontan terkejut, melihat seorang gadis yang telah berada di tempat itu. Bajunya hijau terbuat dari sutera. Di punggungnya, tersampir sebilah pedang.
"Bukan urusanmu!" dengus nenek itu.
Gadis itu memandang Sancaka. Begitu berpaling ke arah si nenek, bibirnya tersenyum dengan bola mata mengerling genit.
"Aku tahu! Nenek sedang jatuh hati dengan pemuda ini," ledek gadis berbaju hijau itu.
"Intan Sari! Tutup mulutmu! Kau kira aku gila"!" bentak perempuan tua itu, seraya melepaskan cengkeraman pada. Sancaka.
"Hi hi hi...! Kok, sewot" Julukan nenek saja si Gila Muka Bidadari. Jadi tak heran kalau sering bertingkah gila," leceh gadis yang dipanggil Intan Sari, makin keterlaluan.
"Dasar anak kuntilanak! Kalau aku mau main gila, bukan dengan bocah pendeta ini. Tapi dengan yang pantas. Kurasa dia lebih pantas untukmu!" semprot nenek yang ternyata berjuluk si Gila Muka Bidadari.
"Dengannya"!" cibir Intan Sari. "Yang benar saja, Nek. Aku bahkan mampu mencari pemuda sepertinya, lebih dari seratus orang dalam waktu singkat!"
"Tidak usah susah-susah. Kau telah mendapatkannya sekarang. Kalau kau bisa membujuknya untuk menyerahkan Kitab Naga Jonggrang, kuacungi jempol!" tantang si Gila Muka Bidadari.
"Hm.... Jadi dia yang dihebohkan memiliki kitab pusaka itu?"
"Siapa lagi!"
"Tapi..., ah! Aku tidak terlalu kemaruk dengan kitab itu. Apa kehebatannya" Apakah orang yang mempelajari kitab pusaka itu mampu mengalahkanku?"
"Dasar anak tolol! Apa kau kira tokoh-tokoh kelas satu memburu kitab itu seperti memburu pepesan kosong"! Bila kau tidak menyukainya terserah. Tapi kalau kau bisa menemukannya, maka berikan padaku!" maki si Gila Muka Bidadari.
"Nenek selalu mengajarkan, kalau mau sesuatunya, ya usaha saja sendiri. Nah, sekarang usahakan saja sendiri!" sahut Intan Sari seenaknya.
"Anak kuntilanak...!" semprot si Gila Muka Bidadari.
Intan Sari tertawa renyah. Sementara nenek itu kembali mengalihkan perhatian pada Sancaka.
"Terakhir kali kuminta padamu. Serahkan kitab itu padaku atau tidak?" desak si Gila Muka Bidadari.
"Kitab itu tidak ada padaku, Nek!" tegas Sancaka.
"Kau jangan menipuku, Bocah! Katakan, kau bersedia memberikan kitab pusaka itu atau tidak"!" desak nenek itu lagi.
"Apa yang harus kukatakan, kalau ternyata kitab itu tidak...."
Belum juga kata-kata Sancaka tuntas, si Gila Muka Bidadari telah menggerakkan tongkatnya cepat bukan main. Dan....
Begkh! "Aaakh...!"
Sancaka kontan menjerit kesakitan begitu perutnya tersodok tongkat. Tubuhnya membungkuk dengan kedua tangan mendekap perut. Wajahnya meringis kesakitan.
Dan belum juga Sancaka menegakkan tubuhnya, kaki si Gila Muka Bidadari telah meluncur cepat bagai kilat.
Duk! "Aduuuh...!"
Kali ini pantat pemuda itu yang menjadi sasaran tendangan. Sancaka langsung tersungkur ke depan.
"Ayo, bangun...!" bentak nenek ini.
"Orang tua tak tahu diri! Apakah kau beraninya hanya pada diriku yang tidak berdaya"!" dengus Sancaka, tanpa berusaha berdiri.
"Hei"! Apa kau kira aku takut dengan kakek moyangmu"! Panggil dia ke sini. Dan, akan kutendang pantatnya sepertimu juga!" damprat si Gila Muka Bidadari.
"Kau tidak akan berani melawan kakekku!" cibir Sancaka sinis.
"He he he...! Jika kau akan mengadukan aku dengan kakekmu, Bocah" Boleh saja, asal kakekmu masih tampan. Tentu dengan senang hati akan kuladeni!" balas nenek yang masih tampak genit ini.
"Kakekku sangat tampan sepertiku...!" cetus Sancaka, berbohong.
"He he he...! Kunyuk kecil, kau ternyata sombong juga. Siapa kakekmu, he"!" tanya si Gila Muka Bidadari.
"Resi Jagadni...!" sahut Sancaka menyebutkan satu julukan.
"Hi hi hi...!"
Mendengar itu si Gila Muka Bidadari tertawa terpingkal-pingkal.
"Kenapa kau tertawa" Kau pasti takut dengan kakekku"!" tanya Sancaka, heran.
"Hi hi hi...! Bocah dungu! Kau kurang jeli dalam berbohong!" seru Intan Sari, ikut-ikutan tertawa mendengar ocehan Sancaka.
"Kenapa" Apakah kalian tidak percaya" Huh! Kalau kakekku ada di sini, kalian akan mampus dibuatnya!" kata Sancaka semakin menjadi-jadi kebohongannya.
"He, bocah dungu, jelek, botak, pembohong...! Apakah kau mau tahu, siapa Resi Jagadni itu"!" cibir Intan Sari.
"Jelas dia kakekku!" sahut Sancaka, sok yakin.
"He, ketahuilah! Resi Jagadni adalah suami perempuan tua di sampingku. Yaitu nenekku ini!" tunjuk Intan Sari kepada si Gila Muka Bidadari. "Jadi kau adalah pembohong besar!"
"Hei"!" Sancaka terkejut mendengarnya.
Sungguh Sancaka tidak pernah menyangka akan begini. Dengan membawa nama Resi Jagadni, dia bermaksud menakut-nakuti. Tapi kenyataannya saat ini" Saat itu juga hatinya mulai kebat-kebit. Jantungnya berdetak lebih kencang. Bagaimana kalau ternyata Resi Jagadni tiba-tiba berada di sini" Tapi..., siapa tahu mereka pun membual"!
Berpikir begitu, Sancaka mencoba untuk bersikap sewajar mungkin. Tapi belum lagi bicara sepatah kata pun, mendadak....
"He he he...! Kita ketemu lagi di sini, Bocah Penipu!"
"Jengger Ireng dan Iblis Kembar Selatan" Ohhh...!"
Betapa lemasnya tubuh Sancaka saat ini begitu menoleh ke arah sumber suara. Tulang-tulangnya serasa dilolosi. Bahkan sepertinya dia tak mampu berdiri lagi, melihat kehadiran tiga tokoh sesat yang memburunya.
*** "Habislah aku kali ini...!" keluh Sancaka.
"Nenek Gila Muka Bidadari! Kaupun ternyata ada di sini!" sapa satu dari Iblis Kembar Selatan yang bernama Rupaksa.
"Bocah ini ada padaku. Dan dia akan memberikan kitab itu padaku!" sahut si Gila Muka Bidadari seraya mendengus kecil.
"Tapi..., Resi Jagadni telah berjanji akan membagi kitab itu pada kita semua...."
"Aku tidak peduli peraturannya! Dia ada padaku, maka kitab itu akan menjadi milikku!" sahut perempuan tua ini ketus.
"Kalian tidak perlu repot-repot mencari kitab itu, sebab telah kuberikan pada seseorang!" ujar Sancaka, coba mengalihkan perhatian mereka.
"Jangan percaya ocehannya. Dia pembohong!" dengus Rupaksi.
"Hi hi hi...! Baru saja, sebelum kalian datang, dia coba membohongiku. Bocah ini benar-benar menjengkelkan. Ingin rasanya kusobek mulutnya yang lancang itu," timpal si Gila Muka Bidadari.
"Kalau kau suka, biar aku saja yang melakukannya!" Jengger Ireng menawarkan diri.
"Siapa kau"!" desis perempuan tua ini sambil menyipitkan mata.
"Namaku Jengger Ireng. Kita telah bernasib sama, menjadi bulan-bulanan kebohongan bocah itu," sahut Jengger Ireng.
"Hi hi hi...! Kasihan. Tapi, jangan buru-buru mengatakan begitu. Mungkin kau kena dikibuli. Tapi, aku tidak. Aku malah menikmatinya dan ingin membalasnya. Mula-mula kurobek dulu mulutnya. Lalu..., perutnya. Eh, tidak! Akan kucekik dulu sampai gelagapan. Lalu setelah lemas, akan kupatahkan jari-jarinya. Dan..., hi hi hi...! Nanti akan ada pertunjukan hebat di sini!" ancam si Gila Muka Bidadari.
Sancaka bergidik ngeri mendengar ancaman itu. Diam-diam hatinya mulai kecut. Jangan-jangan nenek ini betul-betul akan membuktikan ancamannya. Dan kalau terbukti..., iiih!
"Ayo bocah, ke sini kau!" ujar si Gila Muka Bidadari seraya menjulurkan tangan.
Sancaka terdiam, mematung di tempatnya.
"Ke sini kau! Atau, perlu kubetot lehermu"!" hardik si Gila Muka Bidadari.
"Kalian akan rugi kalau aku mati. Sebab selain aku, tidak ada lagi yang tahu di mana kitab pusaka itu berada...," gumam Sancaka, mencoba menggugah hati perempuan tua di depannya.
"Dan kau akan mengatakan bahwa kitab pusaka itu akan kau berikan padaku?"
"Tentu saja. Kenapa tidak?"
"Hi hi hi...! Dan kau kira aku percaya, bukan" Hi hi hi...! Bocah sial! Aku muak dengan segala ocehanmu."
"Aku bersungguh-sungguh! Kitab itu telah kuberikan pada..., orang yang tadi menyelamatkanku!" teriak Sancaka ketika si Gila Muka Bidadari bersiap hendak menghajarnya.
"Heh, apa maksudmu?" sentak si Gila Muka Bidadari dengan kening berkerut.
"Iblis Kembar Selatan pasti tahu duduk persoalannya," sahut Sancaka, enteng. Tampak sebaris senyum menghias di wajahnya.
"Ada apa?" tanya si Gila Muka Bidadari pada si Iblis Kembar Selatan.
"Sebenarnya tadi kami telah memaksanya, tapi keburu seseorang menyelamatkannya," jelas Rupaksa.
"Siapa orang itu?" desak perempuan tua ini.
"Kami tidak tahu...."
"Memalukan!" dengus si Gila Muka Bidadari mencibir sinis.
"Orang itu memiliki ilmu tinggi...."
Rupaksa coba membela diri. Tapi nenek itu tidak mengacuhkannya. Malah perhatiannya beralih kepada Sancaka.
"Siapa orang yang telah menyelamatkanmu itu?" tanya si Gila Muka Bidadari.
"Eh! Aku sendiri tidak tahu...," sahut Sancaka tergagap.
"Kau tidak tahu"!" desak nenek itu sambil menyeringai buas.
Sancaka jadi gelagapan.
"Dia memang tidak menyebutkan nama. Tapi, aku bisa menyebutkan ciri-cirinya...!" tukas Sancaka.
"Lekas ceritakan!" desak si Gila Muka Bidadari.
"Ba..., baik...!"
Sancaka pun lalu menceritakan ciri-ciri pemuda yang tadi menyelamatkannya.
"Hm.... Sepertinya aku kenal...," gumam Rupaksa sambil mengingat-ingat ketika Sancaka selesai bercerita.
"Pendekar Rajawali Sakti!" sebut Rupaksi.
"Ya, Pendekar Rajawali Sakti!" timpal Rupaksa.
"Siapa dia" Apakah hanya cecurut yang bisa hidup di comberan?" ujar si Gila Muka Bidadari mencibir.
"Dia patut diperhitungkan. Kepandaiannya hebat. Telah banyak tokoh yang binasa di tangannya," lanjut Rupaksa.
"Ya! Aku pun pernah mendengar. Bahkan menyaksikannya sendiri beberapa kali," timpal Jengger Ireng.
"Tutup mulut kalian! Kalian ingin mengatakan kalau dia lebih hebat ketimbang aku"!" bentak nenek itu dengan mata melotot lebar dan mulut menyeringai. Kelihatan dia tidak senang bila ada yang memuji-muji kepandaian orang lain di depan batang hidungnya.
"Maaf, aku tidak bermaksud begitu...!" ucap si Jengger Ireng.
Baru saja si Gila Muka Bidadari hendak buka suara lagi, mendadak....
"Awaaas...!"
Tiba-tiba Intan Sari berteriak memperingatkan, ketika satu sosok bayangan putih berkelebat secepat kilat ke arah mereka. Begitu cepatnya, sehingga ketika bayangan itu menyambar tubuh Sancaka, belum sempat ada yang menyadarinya.
Sebentar saja bayangan putih tadi lenyap bersama Sancaka.
"Terkutuk! Siapa orang itu"!" maki si Gila Muka Bidadari geram sambil menghentak-hentakkan kaki. Wajahnya geram sambil bersungut-sungut. Tak tahu, harus kepada siapa kejengkelannya dilampiaskan.
"Mungkin Pendekar Rajawali Sakti...," gumam Jengger Ireng.
"Jahanam kau! Jangan sebut-sebut lagi nama itu!" bentak nenek itu.
"Eh! Ma..., maaf."
"Lebih baik hal ini kita bicarakan kepada Resi Jagadni saja," usul Rupaksa.
"Huh! Ini urusanku! Si tua bangka itu jangan dibawa-bawa!" semprot si Gila Muka Bidadari.
Setelah berkata begitu, si Gila Muka Bidadari segera mengajak Intan Sari untuk angkat kaki dari sini. Kemudian disusul Jengger Ireng dan Iblis Kembar Selatan yang juga meninggalkan tempat ini.
*** Bruk! "Aduuuh...!"
Sancaka meringis kesakitan ketika tubuhnya dilemparkan begitu saja seperti sebatang kayu oleh pemuda berbaju rompi putih yang telah membawanya lari dari kepungan tokoh-tokoh sesat tadi.
"Kau berhutang nyawa kembali padaku...," gumam pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tidak pernah minta pertolonganmu...!" sahut Sancaka ketus.
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum. Dalam benaknya terbersit satu rencana untuk memberi pelajaran pada Sancaka. Kebetulan saat ini Pendekar Rajawali Sakti membawanya ke pinggir telaga yang dikenal bernama Telaga Sarangan. Jadi Rangga cukup jauh juga membawa Sancaka dari kepungan tokoh-tokoh sesat tadi.
"Jadi kau memang lebih suka mati?" leceh Rangga, enteng.
"Itu bukan urusanmu!" dengus Sancaka.
Kembali Rangga tersenyum.
"Kalau kau memang ingin mati, aku telah menyiapkannya...," lanjut Rangga enteng.
Sancaka tak bergeming. Wajahnya yang menggambarkan rasa kesal, dibuang jauh-jauh.
"Kau lihat batu itu?" tanya Rangga.
Namun Sancaka tidak bergeming. Sama sekali dia tidak peduli meski pemuda berbaju rompi putih itu menunjuk ke satu arah.
Tapi tiba-tiba....
Tuk! Tuk! "Oh...!"
Sancaka hanya dapat mendesah lirih ketika tubuhnya tertotok oleh Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan tanpa banyak bicara lagi Rangga mengikat kedua tangan dan kedua kaki Sancaka dengan akar-akaran pohon yang cukup alot. Meski pemuda gundul itu berteriak-teriak, tapi Rangga tak peduli.
Rangga kemudian menghampiri sebuah batu sebesar anak kerbau. Segera batu itu pun diikat dengan akar. Lalu, ikatan itu dihubungkan dengan tali yang mengikat Sancaka.
"Apa yang mau kau lakukan padaku"!" tanya Sancaka bingung.
"Bukankah kau ingin mati?" Rangga balik bertanya.
Kemudian Pendekar Rajawali Sakti menghampiri Sancaka, untuk melepaskan totokan.
"Sial! Aku tidak mengerti maksudmu...!" kata Sancaka, setelah tubuhnya bisa digerakkan lagi, setelah totokan di tubuhnya terlepas.
"Maksudku sederhana. Begini...."
Kaki Pendekar Rajawali Sakti secepat kilat menendang batu itu hingga bergulir ke telaga. Karuan saja, tubuh Sancaka pun ikut bergulir.
Byur! Byur! Sancaka mulai mengerti apa yang akan dilakukan pemuda itu terhadapnya, ketika batu dan tubuhnya tercebur dalam telaga.
"Kau tidak bisa melakukan ini! Keparat! Hep! Hep! Phuh! Lepaskan aku! Lepaskan..,!" teriak Sancaka berulang-ulang.
Namun Rangga tidak peduli. Dengan kedua kaki terikat serta dibanduli batu besar, Sancaka tidak bisa berbuat apa-apa. Sebentar-sebentar dia megap-megap, berusaha untuk mengambil napas. Lalu, kembali dia harus berjuang agar tubuhnya jangan tenggelam.
Pendekar Rajawali Sakti tenang-tenang saja memperhatikan sambil duduk di pinggiran telaga.
"Ingin kulihat sampai, di mana daya tahan tubuhmu terperangkap di sini...."
"Hep! Hep!"
"Kau tidak bisa berbuat begini padaku! Phuh...! Lepaskan! Lepaskan aku!" teriak Sancaka.
"Aku bisa berbuat apa saja terhadapmu! Kau orang yang tidak tahu diri, Sancaka. Kau pembohong. Dan gara-garamu, Kuil Kiambang Lima hancur! Bahkan semua guru di sana binasa!" desis Rangga geram.
"Kau tidak tahu apa-apa tentangku! Kau hanya mengarang cerita bohong!"
"Kaulah yang suka mengarang cerita bohong! Kau penipu, Sancaka! Sepanjang hidupmu hanya kau habiskan untuk menipu siapa saja demi keuntungan dirimu sendiri!" sahut Rangga, tetap kalem.
"Phuih! Kau kira aku percaya dengan segala omong kosongmu"!"
"Seorang pendeta yang selamat dari pembantaian di Kuil Kiambang Lima menceritakannya padaku. Hampir saja dia menjadi sasaran tokoh jahat yang menginginkan Kitab Naga Jonggrang. Padahal, dia tidak tahu-menahu. Dia cerita banyak tentangmu. Jadi, masihkah kau anggap ceritaku omong kosong belaka" Orang sepertimu tidak layak hidup. Kau boleh mati di dasar telaga ini!" ujar Rangga dingin.
Setelah itu, Pendekar Rajawali Sakti beranjak berdiri. Lalu tubuhnya berkelebat berlalu dari tempat ini secepatnya.
"Eh, ke mana kau" Jangan tinggalkan aku di sini sendiri! Hei...! Kembali! Jangan tinggalkan aku sendiri di sini...!" teriak Sancaka berkali-kali sambil berusaha bergerak-gerak agar tidak tenggelam.
Tapi percuma saja. Sebab Pendekar Rajawali Sakti tidak mempedulikannya. Bahkan tidak menoleh sedikit pun!
*** 6 ? Tiba di kaki Gunung Mahameru yang menjulang tinggi, Pendekar Rajawali Sakti berhenti. Matanya beredar ke sekeliling memperhatikan keadaan di sekitarnya. Lalu dilepaskannya ikatan pada kedua tangan dan kaki seekor monyet yang tadi berada dalam pangkuannya.
"Dengar, Sobat. Mungkin saja kau hanya mengerti dengan isyarat tuanmu. Tapi kau pasti mengerti apa yang kuinginkan. Kau tahu, ini adalah wilayah Kuil Kiambang Lima yang tinggal puing-puing. Beberapa waktu yang lalu, kau telah membantu majikanmu untuk menyembunyikan sebuah kitab. Nah, tunjukkan padaku di mana kau sembunyikan kitab itu?" ujar Pendekar Rajawali Sakti, tak peduli apakah monyet kecil itu mengerti.
"Nguk! Nguk...!"
Monyet itu memandang Rangga sekilas, lalu menaikkan sepasang alisnya sambil menyeringai lebar.
"Tahukah kau, nasib apa yang menimpamu kalau membantah keinginanku?" kata Rangga, mengancam.
"Nguk! Nguk!"
Monyet yang bernama Cakil tidak beranjak dari tempatnya. Rangga hanya tersenyum.
"Kau betul-betul tidak mau mengambilkan kitab itu untukku?"
Dan kali ini jawaban dari monyet itu betul-betul membuatnya kesal. Sebab Cakil sama sekali tak menyahut. Bahkan malah membuang muka.
"Kalau begitu kau memang tidak berguna. Maka lebih baik mati saja!" dengus pemuda itu seraya mencengkeram gagang pedang.
Sring! Seketika Pendekar Rajawali Sakti mencabut pedang. Saat itu juga, memancar sinar biru berkilauan dari batang Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Dan begitu pedang ini siap diluruskan ke leher....
"Kaaakh...!"
Cakil menjerit panjang dengan wajah ketakutan melihat cahaya biru berkilauan di tangan pemuda itu.
"Kalau kau masih takut mati, tunjukkan padaku di mana kitab pusaka itu berada!" ancam Rangga, dingin.
"Nguk! Nguuuk...!"
Seperti layaknya manusia, monyet itu mengangguk.
"Tunjukkan dan jangan macam-macam!"
"Nguk...!"
Rangga lalu melangkah mendaki lereng gunung ini. Tiba di tempat yang banyak ditumbuhi pohon-pohon besar, monyet itu memberi isyarat dengan menunjuk ke pohon yang paling besar.
"Kalau kau merasa lebih leluasa berjalan sendiri, pergilah! Aku akan mengikutimu. Tapi jangan dikira aku tidak bisa menangkapmu. Telah kau saksikan bahwa aku bisa menangkapmu dalam keadaan apa pun!" ancam pemuda itu seraya melepaskan Cakil.
"Nguk! Nguk...!"
Set! Begitu dilepaskan, monyet itu berlari ke sebuah pohon paling besar yang batangnya tidak bisa dipeluk tiga orang dewasa. Dengan tangkas Cakil naik ke atas pohon yang berdaun lebat dan bercabang-cabang. Sementara Rangga yang mengikutinya kini menunggu di bawah. Tak lama, monyet itu sudah kembali dengan sebuah kitab di tangannya.
"Bagus! Kau memang monyet pintar!" puji Pendekar Rajawali Sakti, setelah monyet itu menyerahkan kitab kepadanya.
Rangga menyelipkan kitab itu di balik ikat pinggangnya.
"Tidak usah khawatir. Aku tidak bermaksud melenyapkan atau merampas kitab ini dari majikanmu!" ujar pemuda itu ketika Cakil memperhatikan gerak-geriknya.
Pendekar Rajawali Sakti dan Cakil kini bergerak meninggalkan tempat ini. Dituruninya lereng Gunung Mahameru ini perlahan-lahan. Namun baru saja beberapa tombak menuruni lereng, langkah Rangga terhenti. Di depannya, tahu-tahu telah berdiri dua orang laki-laki setengah baya.
"Serahkan kitab itu pada kami!" bentak salah seorang penghadang.
Rangga tersenyum. Diperhatikannya kedua penghadang itu dengan seksama. Yang seorang bertubuh pendek, dengan rompi hitam. Senjatanya berupa golok di pinggang. Sementara yang seorang lagi bertubuh besar. Kepalanya memakai ikat berwarna merah, senjatanya berupa pedang besar dalam genggaman tangan kanan yang bersender di pundak. Kulitnya hitam legam. Raut mukanya tampak beringas.
"Siapa Kisanak berdua" Dan kitab apa yang kalian maksudkan?" tanya Rangga kalem.
"Hm.... Rupanya kau belum mengenal kami. Aku Somanggala dan temanku yang kerdil itu, Dewangga. Maka sekarang kau tak perlu berpura-pura! Kami menginginkan kitab yang barusan kau peroleh!" sahut laki-laki bertubuh besar berikat kepala merah, bermaksud menakut-nakuti Rangga.
"Oh, kitab itu" Maaf, Kisanak. Itu bukan milikku. Dan tentu juga bukan milik kalian berdua!" sahut Pendekar Rajawali Sakti tetap tenang.
"Kau tidak akan sempat menyesal, Bocah! Berikan kitab itu. Atau, kupenggal kepalamu!" ancam laki-laki bertubuh besar yang bernama Somanggala.
"Wah, sayang sekali. Kepalaku hanya satu. Mungkin kalau dua, dengan senang hati aku mengizinkanmu memenggal salah satu," sahut Rangga, berusaha memancing kemarahan.
"Kurang ajar! Kau membuatku naik pitam"!" dengus Somanggala langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan babatan pedang besarnya.
"Jangan main-main dengan senjata tajam, Kisanak! Berbahaya! Uts!"
Rangga gesit sekali memiringkan tubuhnya, sehingga babatan laki-laki itu luput dari sasaran. Namun Somanggala cepat mengayunkan tendangan.


Pendekar Rajawali Sakti 168 Kitab Naga Jonggrang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hup!"
Sayang, Pendekar Rajawali Sakti telah melejit ke atas. Sehingga, tendangan itu sia-sia saja. Melihat hal ini, bukan main geramnya Somanggala. Bibirnya terkatup rapat. Rahangnya bergemeletukan menahan kesal dan amarah.
"Keparat! Kau berani mempermainkanku, he"!" dengus Somanggala marah.
"Yeaaa...!"
*** "Soma! Aku pun ingin menghajar orang sombong ini! Biar kurobek mulutnya!" teriak laki-laki cebol berompi hitam yang bernama Dewangga.
Somanggala sama sekali tidak melarang. Bahkan dia tidak merasa keberatan. Hal ini bukan karena telah kewalahan, tapi memang mereka telah terbiasa main keroyokan.
Srang! "Yeaaa...!"
Dewangga langsung mencabut goloknya, lalu meluruk hendak menebas leher Rangga.
Sementara monyet yang tadi bersama Pendekar Rajawali Sakti menjerit panjang sambil menutup matanya melihat keadaan dari tempat yang agak jauh. Padahal sikap Rangga tenang-tenang saja. Baru ketika serangan hampir menyambar, tubuhnya membungkuk. Sehingga, tebasan itu mengenai tempat kosong. Lalu Rangga melompat ke belakang, membuat dua kali gerakan jungkir balik.
"Ayo, cabut pedangmu! Atau barangkali itu hanya sekadar hiasan untuk menakut-nakuti perempuan dan anak-anak!" teriak Dewangga.
"Maaf, Kisanak! Pedangku belum saatnya kukeluarkan!" tolak Rangga.
"Huh! Kalau begitu, kau bukan orang yang kuduga selama ini!" dengus Somanggala.
"Apa maksudmu, Kisanak?"
"Melihat ciri-cirimu, semula aku yakin kalau kau Pendekar Rajawali Sakti. Tapi aku jadi tak yakin, bila kau tak membuktikannya."
Rangga menghela napas panjang. Baginya memang terasa berat bila harus memamerkan pedangnya. Dia takut hal ini akan membawanya ke arah kesombongan. Namun di sisi lain, bisa saja bila Rangga memamerkan pedangnya akan menghentikan pertarungan, sehingga tidak menimbulkan pertumpahan darah.
"Hm.... Baiklah...," desah Pendekar Rajawali Sakti, akhirnya.
Sring! "Heh"!"
Begitu Rangga mencabut pedangnya, Somanggala dan Dewangga terjingkat kaget Apalagi melihat perbawa pedang yang memancarkan sinar biru berkilauan itu.
"Jelas dia Pendekar Rajawali Sakti!" kali ini Dewangga yang membuka suara.
"Benarkah?" desah Somanggala berusaha meyakinkan. "Ah! Kalau begitu maafkan kelancangan kami...!" laki-laki bertubuh besar itu langsung menjura memberi hormat.
"Kau adalah pendekar besar. Dan tidak pantas rasanya kalau kami merendahkanmu!" ujar Dewangga, langsung menjura pula.
"Ya! Apa yang kami lakukan tadi, amat memalukan!" timpal Somanggala.
"Sudahlah. Kalau kalian bermaksud melupakannya, itu lebih baik," ujar Rangga.
"Eh! Ng..., kami tadi sempat melihat kau mendapatkan kitab itu dan mencegatmu di sini. Kalau boleh tahu, apakah kau pun hendak memiliki kitab itu?" tanya Dewangga, hati-hati.
"Apa kehebatan kitab ini aku sendiri tidak tahu...."
"Kepandaianmu telah cukup tinggi. Rasanya, untuk saat ini sulit dicari tandingannya. Dan..., kurasa kau tidak memerlukan kitab itu lagi, bukan?" cecar Dewangga.
"Kudengar kitab ini berisi pelajaran ilmu silat tinggi...," kata Pendekar Rajawali Sakti.
"Ng.... Begitulah yang kudengar...!" sahut Dewangga malu-malu.
"Aku sama sekali tidak bermaksud mempelajarinya, Kisanak...."
"Tidak"!"
Bola mata Dewangga melotot lebar. Wajahnya tampak cerah.
Sementara Rangga mengangguk.
"Kalau begitu kitab itu sama sekali tidak berguna bagimu?" timpal Somanggala.
"Tidak," sahut Rangga, pendek.
"Oh! Ng..., sudikah kau memberikannya kepada kami?" pinta Somanggala, takut-takut.
Rangga tersenyum.
"Sayang sekali, Kisanak. Aku bermaksud menyerahkan kitab ini kepada ahli warisnya."
"Siapa yang kau maksudkan?"
"Lagi-lagi beribu maaf. Sebab, aku tidak bisa mengatakan, siapa ahli waris yang kumaksudkan. Kitab ini masih menjadi rebutan, sehingga kalau kusebutkan ahli waris itu, tentu keselamatannya tidak terjamin. Karena, banyak tokoh yang akan merebut darinya," jelas Rangga.
"Kami bisa menyimpan rahasia, Pendekar Rajawali Sakti. Sekadar ingin tahu saja. Apakah kau tidak percaya pada kami?"
Rangga kembali tersenyum. Pendekar Rajawali Sakti bukan tidak mengerti keinginan mereka. Kedua orang ini jelas menginginkan kitab yang ada padanya. Tapi jelas, hal itu tidak bisa diberikan. Kedua orang ini bukan termasuk jajaran tokoh aliran lurus. Dan kalau kitab ini diberikan, maka sama artinya akan membuat kekacauan.
Rangga tengah mencari cara untuk menolak keinginan mereka dengan halus. Tapi belum lagi hal itu ditemukan....
"Pendekar Rajawali Sakti...!"
Tiba-tiba terdengar suara panggilan yang keras menggelegar.
"Hm...!"
*** Rangga menggumam tak jelas, begitu melihat kehadiran beberapa sosok tubuh yang mendekati tempat ini.
Begitu dekat makin jelas kalau yang datang adalah seorang berusia lanjut dengan rambut panjang awut-awutan tak terurus. Bajunya hitam. Di lehernya dipenuhi kalung tengkorak kepala manusia. Di dekatnya tegak berdiri dua erang yang memiliki wajah hampir sama.
Laki-laki tua itu dikenal sebagai Resi Jagadni. Sedang dua orang yang mendampinginya, tak lain Iblis Kembar Selatan.
"Kalau tidak salah aku tengah berhadapan dengan Resi Jagadni, bukan?" tebak Rangga, begitu laki-laki tua itu telah berhenti melangkah dua tombak di depannya.
"Bagus! Agaknya kau mengenalku. Dan kuharap kau juga kenal watakku?" sambut Resi Jagadni.
"Tentu saja. Bukankah kau orang yang baik budi dan welas asih?" sahut Rangga, agak menyindir.
"Kurang ajar! Jangan main-main denganku, Bocah!" dengus Resi Jagadni dengan wajah geram.
"Lupakan tentang itu. Dan, maafkan kalau tebakanku salah. Nah di antara kita tidak ada urusan apa-apa. Kalau kau tidak keberatan, aku akan melanjutkan perjalanan," ujar Rangga, kalem.
"Kau boleh pergi setelah menyerahkan kitab itu!" sahut Resi Jagadni, dingin.
"Jadi kau pun menginginkan kitab itu?" tanya Rangga, walaupun sudah bisa menduga sebelumnya.
"Itu bukan urusanmu!"
"Kalau begitu kitab ini pun bukan urusanmu!" sahut Rangga tenang.
"Pendekar Rajawali Sakti! Kau telah kuperingatkan agar jangan main-main padaku! Kau akan celaka di tanganku!" dengus Resi Jagadni kembali mengancam.
"Resi! Tidak usah mengancamku. Aku bisa menjaga diriku sendiri."
"Hm.... Agaknya kau memang harus dikasari!"
"Orang tua! Aku menghormatimu. Resi. Tapi kalau kau coba mengasariku, aku pun terpaksa membela diri."
"Ingin kulihat bagaimana caramu membela diri. Hih...!"
Setelah berkata begitu, Resi Jagadni langsung melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan kibasan tangannya yang berisi tenaga dalam penuh.
"Uts!"
Pendekar Rajawali Sakti langsung melenting ke atas. Namun secepat itu pula Resi Jagadni mengejar.
"Yeaaa...!"
Namun di luar dugaan, tubuh Pendekar Rajawali Sakti berbalik. Tubuhnya langsung meluruk memapak cecaran kepalan Resi Jagadni.
Plak! Plak! Tubuh Resi Jagadni cepat berputaran, untuk mematahkan daya dorong akibat benturan tadi. Lalu manis sekali kakinya mendarat di tanah, tepat ketika Rangga juga telah mendarat ringan.
"Keparat! Kupecahkan kepalamu...!" desis Resi Jagadni geram.
"Kau terlalu memaksaku, Orang tua. Dan aku tak ada pilihan lain lagi!" Pendekar Rajawali Sakti langsung memasang kuda-kudanya, bersiap mengerahkan jurus-jurus dari lima rangkaian jurus "Rajawali Sakti".
"Yeaaa...!"
Pada saat yang sama Resi Jagadni telah menghentakkan kedua tangannya ke depan disertai bentakan nyaring.
Wesss! Seketika seberkas cahaya putih keperakan meluncur ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan melesat ke atas dengan jurus "Sayap Rajawali Membelah Mega" Pendekar Rajawali Sakti mampu menghindarinya. Akibatnya batang pohon di belakangnya hancur berantakan dihantam pukulan dahsyat itu.
"Setan...!" Resi Jagadni menggeram melihat pukulannya luput dari sasaran.
Tepat ketika Rangga menjejak tanah, tubuh Resi Jagadni mencelat kembali menerjang, melepaskan pukulan bertubi-tubi berisi tenaga dalam tinggi.
Rangga tidak berusaha menghindar. Ditunggunya hingga serangan itu dekat. Baru ketika serangan itu hampir menghantam tubuhnya. Pendekar Rajawali Sakti cepat mengibaskan tangannya dengan tenaga dalam tinggi pula.
Plak! Plak! Terjadi benturan dahsyat, membuat tubuh Resi Jagadni terjajar beberapa langkah.
"Heaaa...!"
Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan tendangan ke ulu hati Resi Jagadni yang belum sempat memperbaiki keseimbangannya. Dengan sebisanya laki-laki itu menangkis. Namun di luar dugaan, Rangga menarik pulang tendangan. Tubuhnya langsung berputar, melepaskan sodokan kuat bertubi-tubi ke dada dan perut Resi Jagadni.
Des! Begkh! "Aaakh...!"
Orang tua itu kontan menjerit kesakitan, ketika serangan Rangga mendarat telak di tubuhnya. Resi Jagadni terjungkal ke belakang beberapa tombak.
"Bedebah...!" maki Resi Jagadni geram, seraya bangkit berdiri.
Orang tua itu menyeringai lebar, lalu membuat kuda-kuda. Dia bersiap menyerang Rangga kembali. Kedua tangannya berada di pinggang, lalu bergerak cepat ke dada. Dan tiba-tiba, kedua telapak tangannya dihantamkan ke depan.
Wesss...! Kembali dari telapak tangan Resi Jagadni melesat cahaya putih keperakan dengan kekuatan lebih dahsyat.
"Hih...!"
Rangga yang telah bersiap, juga menghentakkan kedua tangannya melepaskan pukulan jarak jauh dari jurus "Pukulan Maut Paruh Rajawali", tingkat menengah.
Wesss...! Saat itu juga dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti meluncur dua sinar merah membara, memapak sinar putih keperakan yang meluruk ke arahnya. Dan....
Blar! Blarrr...!
"Aaakh...!"
Terdengar ledakan dahsyat ketika sinar-sinar itu beradu di tengah-tengah. Sementara tubuh Resi Jagadni terpental deras ke belakang.
Sedangkan tubuh Pendekar Rajawali Sakti hanya terjajar beberapa langkah. Matanya tampak memandang tajam pada Resi Jagadni yang berusaha bangkit berdiri, walaupun tertatih-tatih.
"Keparat! Cabut pedangmu. Aku akan adu jiwa denganmu, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Resi Jagadni sambil menyeka darah yang meleleh di sudut bibirnya.
"Resi! Kuharap kau mengerti, dan tidak memperpanjang urusan. Jangan terus memaksaku!" cegah Pendekar Rajawali Sakti, berusaha mengingatkan.
"Phuih! Kau kira sudah merasa mengalahkanku, he"!" bentak orang tua itu geram, tanpa sadar kalau kekuatannya sudah berkurang.
"Tidak perlu kukatakan! Tapi, kuharap kau mau menghentikan persoalan ini."
"Serahkan kitab itu. Dan, goroklah lehermu! Dengan begitu persoalan selesai!"
*** ? Kembali ke Bagian 1-3
Selanjutnya Bagian 7-8 (Tamat)
? Kitab Naga Jonggrang
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 168. Kitab Naga Jonggrang ~ Bag. 7-8 (Tamat)
5. Februar 2015 um 07:15
7 ? Rangga menggeleng-geleng gusar. Dia tidak ingin menjatuhkan tangan kejam, namun Resi Jagadni agaknya keras kepala. Padahal seharusnya dia mengerti, kalau dari pertarungan tadi Rangga mampu menjatuhkannya. Dan itu berarti Pendekar Rajawali Sakti pun mampu membunuhnya.
Untung saja sebelum Resi Jagadni bertindak...
"Hi hi hi...! Dasar tua bangka tak tahu diri. Kau berani mendahuluiku, ya"!"
Mendadak terdengar suara nyaring yang disusul berkelebatnya tiga sosok wanita. Begitu berhenti pada jarak empat tombak baru jelas kalau mereka ternyata si Nenek Bongkok Sakti, si Gila Muka Bidadari, dan Intan Sari.
"Supini! Apa yang kau lakukan di sini"!" bentak Resi Jagadni, tak suka.
"Kau kira apa, he"!" tukas si Gila Muka Bidadari sambil melotot garang.
"Untuk urusan kitab itu?"
"Tentu saja!"
Resi Jagadni mendesah kesal. Lalu tatapannya beralih pada si Nenek Bongkok Sakti dengan sinar mata menyorot tajam.
"Eee, awas kalau kau marah pada si Nenek Bongkok Sakti! Dia betul. Kau mengajak kedua orang kembar itu, tapi tidak mengajaknya pula. Tidak heran kalau dia datang kepadaku, dan memberitahukan tujuanmu," jelas si Gila Muka Bidadari yang bernama asli Nyai Supini itu.
"Dasar wanita tak tahu diri!" umpat Resi Jagadni.
"Eee, apa kau bilang" Kau memakiku..."!" hardik Nyai Supini geram seraya menjulurkan tongkat.
"Tidak! Telingamu mungkin salah dengar...," kilah Resi Jagadni.
"Hik hik hik...! Pintar kau mengelak, Lanang. Tapi, tak apa. He, aku mau lihat sampai di mana usahamu sekarang?" sahut Nyai Supini sambil tertawa.
Si Gila Muka Bidadari menoleh kepada Pendekar Rajawali Sakti sambil mengangguk dan tertawa kecil.
"Hik hik hik...! Jadi, kaukah Pendekar Rajawali Sakti itu, Cah Bagus"! Nyalimu sungguh besar berani mempermainkan, meski aku tidak suka caramu. Padahal, bukankah kau bisa terang-terangan menunjukkan batang hidungmu padaku?" tanya si Gila Muka Bidadari.
"Aku tidak mengerti bicaramu. Nyai. Bukankah saat ini kita sudah saling menunjukkan batang hidung masing-masing?" kilah Rangga kalem.
"Bukan sekarang yang kumaksudkan. Tadi-tadi, tolol! Saat kau menyelamatkan bocah itu. Dan, jangan sekali-sekali berani menyebutku Nyai, mengerti"!" maki Nyai Supini, berapi-api.
Rangga tertawa geli mendengar ocehan nenek di depannya.
"Kenapa kau tertawa"!" hardik si Gila Muka Bidadari dengan mata melotot lebar.
"Aku harus panggil apa padamu?"
"Namaku Supini. Panggil saja begitu."
"Baiklah."
"Nah, begitu lebih baik."
"Sekarang kau telah berkumpul dengan kawan-kawanmu. Maka aku harus pergi dulu," kata Rangga.
"Eee, tunggu dulu! Enak saja pergi begitu saja...!" tukas si Gila Muka Bidadari.
"Ada apa lagi?" tanya Rangga dengan kening berkerut.
"Tinggalkan kitab pusaka yang kau bawa itu!" tunjuk Nyai Supini ke pinggang Rangga.
"Hm, kau pun menginginkan kitab ini?"
"Bukan urusanmu! Pokoknya, tinggalkan kitab itu kalau mau selamat!" ancam nenek ini lagi.
"Kalau aku menolak?"
"Dasar manusia tidak tahu penyakit! Kau lihat di sekelilingmu" Mereka semua ada di pihakku. Sedang kau seorang diri. Kalau kau macam-macam, mereka bisa menghajarmu. Tapi, aku bukan pengecut. Aku masih mampu menghajarmu seorang diri," ancam Nyai Supini, menggetarkan.
"Syukurlah. Tapi aku sama sekali tidak mau berurusan denganmu. Maka tidak ada yang perlu diributkan...," sahut Rangga, kalem.
"Kurang ajar! Kau merendahkanku, he"!" dengus si Gila Muka Bidadari dengan wajah geram.
Tanpa pikir panjang lagi, nenek itu menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan ayunan tongkatnya.
"Mampus kau...!"
Rangga cepat melompat ke samping kanan. Namun akibatnya....
Jder! Tongkat di tangan si Gila Muka Bidadari menghantam sebatang pohon di samping tempat Rangga berdiri tadi. Pohon dua pelukan orang dewasa ini kontan hancur berantakan. Rangga bisa merasakan angin sambaran tongkat nenek itu yang kuat. Jelas tenaga dalam wanita tua ini cukup hebat.
"Jangan terlalu memaksaku, Nek Supini...!"
"Kurang ajar! Kau kira aku nenekmu, he" Rasakan hantaman tongkatku ini! Heaaa...!"
Kemarahan si Gila Muka Bidadari semakin menjadi-jadi saja. Rangga langsung diserang dengan gencar. Tongkatnya berkelebat tiada henti. Dan sepertinya, pemuda ini ingin dilumatkan dalam waktu singkat.
"Kenapa kalian diam saja"! Dia telah menghinaku. Ayo, hajar dia!" teriak si Gila Muka Bidadari semakin geram ketika melihat yang lain hanya diam terpaku memperhatikan.
"Eh, apa" Oh, baiklah...," ujar Resi Jagadni, langsung melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Jangan khawatir, Supini! Aku akan membantumu...!" teriak si Nenek Bongkok Sakti, langsung melompat membantu si Gila Muka Bidadari.
"Yeaaa...!"
*** Untuk sesaat Rangga sedikit kerepotan menghadapi serangan tiga lawannya. Dia harus pontang-panting menyelamatkan diri, sebab mereka seperti ingin melenyapkan nyawanya. Bahkan seperti tidak peduli, kalau kitab pusaka yang dicari-cari ada padanya.
"Kalian terlalu memaksa. Dan, tidak memberi pilihan lain kepadaku...," desah Rangga menyesali sikap mereka.
"Tidak usah banyak mulut, Pendekar Rajawali Sakti. Kau akan mampus! Dan, tidak seorang pun yang bisa menolongmu!" dengus si Gila Muka Bidadari.
Tongkat perempuan tua itu berputar cepat menyambar sekujur tubuh Rangga. Namun dengan jurus-jurus dari lima rangkaian jurus "Rajawali Sakti", Pendekar Rajawali Sakti mampu menghindari serangan-serangan.
Melihat gencarnya serangan, Rangga merasa tak ada pilihan lagi. Begitu mempunyai kesempatan, tangannya cepat bergerak memegang gagang pedangnya. Dan....
Sriiing! "Hiyaaa...!"
Disertai bentakan nyaring, Pendekar Rajawali Sakti mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti dari warangkanya. Seketika selarik cahaya biru memancar dan berkelebatan.
"Uhhh...!"
Begitu Pendekar Rajawali Sakti mengebutkan pedangnya, lawan-lawannya langsung berlompatan mundur, tak kuasa melihat perbawa pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hei, kurang-ajar!" Nyai Supini geram, ketika tanpa disadari kalau tongkatnya telah putus tersambar pedang.
Dengan geram, si Gila Muka Bidadari membuang tongkatnya.
"Aku tidak peduli lagi. Kalau kalian terus memaksa, maka pedangku yang akan bicara!" desis Pendekar Rajawali Sakti, dingin penuh perbawa.
"Kurang ajar! Apa kau kira aku takut dengan pedang bututmu itu" Huh! Dengan tangan kosong sekali pun, aku masih mampu mematahkan lehermu!" dengus si Gila Muka Bidadari.
Perempuan tua itu lantas menoleh kepada yang lain sambil memberi isyarat.
"Ayo kita serang lagi bocah busuk ini!"
Resi Jagadni dan si Nenek Bongkok Sakti tidak langsung bergerak. Apa yang dirasakan tadi sungguh luar biasa. Senjata pemuda itu tidak bisa dipandang enteng. Dan firasatnya mengatakan kalau sangat berbahaya bila terus ngotot ingin melawan pemuda itu.
"Kenapa bengong" Ayo kita hajar dia!" sentak si Gila Muka Bidadari.
"Supini! Sebaiknya urungkan saja niatmu...," ujar si Nenek Bongkok Sakti.
"He, apa maksudmu"!" sentak si Gila Muka Bidadari.
"Kitab Naga Jonggrang mungkin berjodoh dengannya...," jelas Resi Jagadni.
"Kurang ajar! Kau hendak membelanya, he"!" hardik si Gila Muka Bidadari.
"Eh, jangan salah sangka, Supini! Bukan begitu maksudku," kilah laki-laki tua berbaju hitam ini.
"Jadi, apa" Atau barangkali kau takut menghadapinya"!"
"Supini, jangan menuduhku begitu...."
"Huh! Kalian boleh menonton kalau takut. Tapi aku, huh! Jangan harap akan menyerah begitu saja, sebelum bocah ini mampus. Setelah itu Kitab Naga Jonggrang akan menjadi milikku!" tandas si Gila Muka Bidadari.
Sebelum si Nenek Bongkok Sakti atau Resi Jagadni memberi jawaban....
"Kudengar seseorang menyebut-nyebut Kitab Naga Jonggrang"!"
Terdengar sebuah suara, membuat semua mata memandang ke asalnya. Dan mereka kini melihat kehadiran seorang laki-laki berusia lanjut berbaju kembang-kembang. Wajahnya bersih dengan kulit putih. Rambutnya putih semua, dan dibiarkan lepas begitu saja sampai ke pinggang.
Tapi bukan hanya itu yang menarik perhatian Rangga, serta yang lainnya. Sebab orang tua itu datang bersama seorang pemuda berusia sekitar lima belas tahun.
"Sancaka...," gumam Rangga pendek, seraya tersenyum.
Entah apa hubungan antara mereka berdua. Rangga tidak sempat berpikir sebab saat itu melihat monyet yang tadi bersamanya buru-buru menghampiri Sancaka sambil mencerecet ribut.
"Eyang! Pemuda itu yang telah mencuri kitabmu!" tunjuk Sancaka kepada Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm...."
Orang tua itu memandang pada Pendekar Rajawali Sakti dengan gumaman tak jelas. Sikapnya tenang sekali sambil melipat kedua tangan di dada. Sepasang matanya tajam menusuk dan bibirnya kelihatan menyungging senyum.
"Anak muda. Kaukah yang telah mendapatkan Kitab Naga Jonggrang?" tanya orang tua berwajah bersih ini.
"Betul," sahut Rangga, pendek.
"Ah! Aku amat berterima kasih sekali atas bantuanmu," ucap orang tua ini.
"Siapakah kau sebenarnya. Dan, apa hubunganmu dengan Sancaka?" tanya Rangga.
"Apakah kau tidak tahu" Akulah pewaris sah kitab itu"! Aku keturunan langsung dari Sangkakala Naga. Dan orang menyebutku sebagai Topan Prahara," jelas laki-laki tua yang mengaku bernama Topan Prahara, pewaris sah Kitab Naga Jonggrang.
"Hei" Benarkah kau Topan Prahara"!" seru Resi Jagadni, tampak kaget mendengar nama itu.
Topan Prahara hanya mengangguk dan melempar senyum.
"Dan Sancaka, apamu?" tanya Rangga, menyela.
"Dia adalah calon muridku," sahut Topan Prahara enteng.
"Kaukah yang menyuruh Sancaka mengambil kitab itu?" cecar Rangga.
"Si tua Dharmapala terlalu keras kepala. Dia tidak mau mengerti kalau kitab itu seharusnya menjadi milikku. Dan dia tidak berhak mengangkanginya seorang diri," jelas Topan Prahara.
"Setahuku, beliau bukan orang serakah. Mungkin ada maksud lain, sehingga kitab ini tidak diberikannya kepadamu," duga Rangga.
"Ah! Beliau memang pintar memutarbalikkan keadaan. Tapi begitulah yang sebenarnya. Berikanlah kitab itu. Anak Muda. Kau telah tahu bahwa aku pewaris sah kitab itu, bukan?" ujar Topan Prahara.
Rangga terdiam beberapa saat. Pikirannya mulai mencema kata-kata orang tua itu. Dipertimbangkannya, apakah kitab ini akan diserahkan atau tidak" Dia sama sekali tidak keberatan, sebab memang tidak berniat memilikinya. Tapi melihat gerak-gerik Topan Prahara, hatinya sedikit curiga. Orang tua itu kelihatan licik dan pandai berpura-pura. Cocok betul dengan calon muridnya yang bernama Sancaka itu.
Dalam keadaan begitu, mendadak....
"Rangga! Jangan serahkan kitab itu! Dia penipu dan hendak mengecohmu...!"
Terdengar suara seseorang yang sambil tergopoh-gopoh mendekati tempat ini.
"Heh"!"
Semua mata langsung berpaling ke arah asal suara.
*** Ternyata yang muncul seorang pendeta berusia sekitar empat puluh tahun. Mungkin dia salah satu pendeta yang selamat dari pembantaian sadis yang dilakukan tokoh-tokoh hitam beberapa waktu lalu.
"Ki Sembada! Kau ke sini..." Ada apa gerangan?" tanya Rangga setelah pendeta itu mendekat.
"Kau tidak boleh menyerahkan kitab itu pada mereka!" ujar pendeta yang bernama Sembada ini.
"Kenapa" Bukankah kau yang mengatakan, bahwa aku harus menyerahkannya kepada Sancaka?" pancing Rangga.
"Ya! Tapi itu sebelum kutahu, bahwa Sancaka punya hubungan dekat dengan orang tua ini," jelas Ki Sembada.
"Siapa sebenarnya orang tua ini" Benarkah dia keturunan Sangkakala Naga?" tanya Rangga, sambil melirik ke arah orang tua yang datang bersama Sancaka tadi.
"Tidak! Dia hanya pembohong busuk! Orang ini sama sekali tidak mempunyai sangkut-paut dengan Sangkakala Naga!" tegas Ki Sembada.
"Ki Sembada! Apa yang kau katakan" Kenapa kau membenciku" Dan, mengatakan hal-hal dusta" Kau tahu, aku keturunan Sangkakala Naga. Tapi, malah mendustainya!" ujar Topan Prahara dengan dahi berkerut dan raut wajah kurang senang.
"Tidak usah berdalih. Kau telah lama berusaha mencuri kitab itu, namun selalu digagalkan Wiku Dharmapala. Kemudian kau bujuk Sancaka. Kau rayu dia dengan kata-kata manis yang berbisa!" tukas Ki Sembada.
Orang tua itu tersenyum.
"Ingin kulihat, siapa sesungguhnya yang berdusta. Kau atau aku," ujar Topan Prahara pendek seraya terpaling pada Sancaka. "Sancaka! Katakan pada pendeta itu, bahwa kau ikut denganku karena sukarela dan tidak dibujuk!"
"Wahai pendeta, ketahuilah! Apa yang kau tuduhkan itu tidak benar! Kau berdusta, karena sesungguhnya aku sendiri yang datang kepada Ki Topan Prahara!" sahut Sancaka lantang.
Ki Sembada terpaku dengan wajah tidak percaya mendengar kata-kata pemuda tanggung itu.
"Sancaka! Kau memang nakal dan bandel sejak kecil. Tapi tidak seharusnya berdusta pada saat-saat yang penting...," kata Ki Sembada keras.
"Kau hanya mengada-ada! Aku sama sekali tidak berdusta!" tegas Sancaka.
Rangga menghela napas mendengar ucapan lantang anak itu. Sancaka seperti bangga, atau karena merasa ada yang melindungi, yaitu Topan Prahara. Sambil berkacak pinggang dan wajah mendengus sinis, lagaknya betul-betul menganggap rendah semua tokoh yang ada di sini.
"Rangga! Kau harus percaya padaku. Topan Prahara bukanlah keturunan Sangkakala Naga. Kau tidak boleh menyerahkan kitab itu padanya. Aku mohon, Rangga...!" desah Ki Sembada.
"Lalu harus kuapakan kitab ini?" tanya Rangga.
"Hancurkan saja!" sahut Ki Sembada, mantap.
"Hancurkan?"


Pendekar Rajawali Sakti 168 Kitab Naga Jonggrang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya! Itu perintah Wiku Dharmapala bila keadaan betul-betul gawat," jelas Ki Sembada.
Rangga berpikir beberapa saat.
"Kisanak! Tolong berikan kitab itu padaku...!" selak Topan Prahara, terus mendesak.
"Maaf, aku tidak bisa memberikannya kepadamu!" sahut Rangga, mantap.
"He, apa maksudmu"!" tanya Topan Prahara dengan dahi berkerut heran.
"Aku tidak akan memberikan kitab ini pada siapa pun!" tegas Rangga.
"Jadi kau ingin menyerakahinya sendiri?"
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum.
"Kitab ini tidak berguna bagiku. Dan aku tidak berniat memilikinya. Sebab, akan kuhancurkan...," sahut Pendekar Rajawali Sakti, enteng.
Topan Prahara memandang tajam kepada Pendekar Rajawali Sakti. Senyumnya hilang dan keramahannya pun sirna.
"Anak muda! Serahkan kitab itu padaku! Itu bukan milikmu. Dan oleh karenanya, jangan paksa aku untuk bertindak keras kepadamu!" dengus Topan Prahara.
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum. Dia tahu, apa akibatnya jika kitab itu tidak diserahkannya. Namun, sikapnya tetap bertahan untuk tidak menyerahkannya.
"Mungkin saja kau pewaris sah dari pemilik kitab ini. Tapi, jangan harap bisa memilikinya!" kata Rangga.
Topan Prahara mulai menunjukkan sikap garang. Dipandang sekalian tokoh yang ada di situ.
"Hei, kalian semua! Tangkap pemuda ini. Dan, serahkan padaku. Kalian berhutang, karena telah coba mencelakai calon muridku. Kalau kalian berani membantah, jangan harap lolos dari tanganku!" perintah Topan Prahara.
"Phuih! Aku bukan budakmu! Kau kira aku takut dengan ancaman busukmu itu, he"!" bantah si Gila Muka Bidadari.
Namun sebelum Topan Prahara menjawab....
"Jangan khawatir, Ki! Kami akan bereskan pemuda ini!" seru Resi Jagadni seraya mengajak yang lain.
"Kisanak semua! Kalau kalian memang mau diperlakukan demikian maka jangan salahkan bila aku bertindak keras!" bentak Pendekar Rajawali Sakti seraya mengangkat kitab itu tinggi-tinggi. Dan....
"Heh"!"
Kresss...! Semua orang terkejut melihat apa yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti. Kitab itu ternyata diremas dengan tangan kanan yang perlahan-lahan diselubungi cahaya kemerahan.
"Jangan! Oh, jangaaan...!" teriak Topan Prahara sambil melompat hendak merebut kitab itu dari tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Bersamaan dengan itu Resi Jagadni, si Nenek Bongkok Sakti, dan Iblis Kembar Selatan melompat pula hendak menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa...!"
*** 8 ? Rangga tidak mau menanggung bahaya terlalu besar. Sebelum para penyerangnya mendekat tangan kirinya langsung menghentak disertai jurus "Pukulan Maut Paruh Rajawali" yang berisi tenaga dalam penuh.
Wesss! Saat itu juga, meluncur sinar merah membara dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa orang berhasil menghindar dengan membuang diri. Namun malang bagi Rupaksa karena....
Blarrr! "Aaakh...!"
Tubuh Rupaksa kontan terpental ke belakang dihantam sinar merah dari tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dia tewas seketika dengan tubuh nyaris remuk.
"Rupaksa...!" jerit Rupaksi memilukan melihat keadaan saudaranya.
Untuk sesaat Rupaksi terpaku memandangi jenazah saudara kembarnya. Namun tiba-tiba tubuhnya berbalik. Langsung ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti dengan garang.
"Bedebah! Kubunuh kau! Kubunuh kau...!" bentak Rupaksi lantang sambil mencabut pedangnya.
Sring! Kitab di tangan Pendekar Rajawali Sakti hancur berantakan menjadi serpihan kecil sebelum ada yang merebutnya.
Topan Prahara dan yang lain hanya terpaku tidak percaya setelah bangkit berdiri. Namun tidak demikian halnya Rupaksi. Dan Rangga pun tidak mau bertindak setengah-setengah.
"Fruhhh!"
Sisa-sisa serpihan kitab itu mendadak dihembus oleh Pendekar Rajawali Sakti ke arah Rupaksi.
"Yeaaa...!"
Tepat ketika Rupaksi gelagapan, Rangga melompat menerjang. Dengan sebisanya Rupaksi coba memapas lewat ayunan pedang. Namun, gesit sekali Pendekar Rajawali Sakti mencelat menghindar. Begitu berada di udara, tubuh Rangga meluruk sambil melepaskan tendangan keras.
Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Rupaksi tak sempat menghindar. Akibatnya....
Prak! "Aaakh...!"
Rupaksi memekik setinggi langit begitu kepalanya terhantam tendangan Pendekar Rajawali Sakti yang berisi tenaga dalam tinggi. Tubuhnya terjungkal sepuluh tombak ke belakang dengan kepala retak. Nyawanya melayang saat itu juga setelah menggelepar.
"Huh!"
Sementara Topan Prahara diam-diam hendak menyerang Pendekar Rajawali Sakti dari belakang.
Namun sebagai pendekar yang telah banyak makan asam garam, Rangga sudah merasakan adanya desir angin halus di belakangnya. Secepat itu pula Pendekar Rajawali Sakti berbalik sambil menangkis.
Plak! Plak! Begitu kuat tenaga benturan itu membuat Topan Prahara terjajar mundur beberapa langkah.
"Hiyaaa...!"
Bahkan belum sempat orang tua itu memperbaiki kuda-kudanya, bagai seekor rajawali melayang, Rangga meluruk ke arah Topan Prahara.
Topan Prahara terkesiap, pontang-panting menyelamatkan diri. Namun Rangga tidak memberinya kesempatan.
Pada saat itu, si Nenek Bongkok Sakti coba membokong dari belakang dengan satu hantaman tongkat.
"Heaaa...!"
Dengan nalurinya yang tajam, Pendekar Rajawali Sakti cepat mencelat ke samping hingga hantaman itu luput dari sasaran. Bahkan begitu mendarat di tanah, Rangga cepat meraih gagang pedangnya. Dan....
Sriiing! "Heaaa...!"
Begitu pedangnya tercabut, Pendekar Rajawali Sakti langsung mengelebatkannya ke arah si Nenek Bongkok Sakti. Maka cepat-cepat perempuan tua itu memapaknya.
Tras! "Heh"!"
Betapa terkejutnya si Nenek Bongkok Sakti melihat tongkatnya patah jadi dua. Bahkan lebih terkejut lagi ketika pedang bersinar biru itu terus berkelebat ke dadanya. Dan...
Cras! "Aaa...!"
Terdengar teriakan menyayat si Nenek Bongkok Sakti ketika dadanya tersambar pedang. Tubuhnya langsung ambruk dengan dada hampir terbelah mengeluarkan darah.
"Heaaa...!"
Pada saat yang sama Resi Jagadni membentak nyaring dengan kedua tangan menghentak ke depan.
Wes! Wes! Saat itu juga selarik cahaya putih yang diikuti desir angin kencang melesat dari telapak tangan laki-laki tua itu ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga yang memang telah menjaga segala kemungkinan, cepat membuat beberapa gerakan tangan. Dan begitu sinar biru dari pedang mengalir ke tangan kiri, Rangga menghentakkannya ke depan.
"Aji "Cakra Buana Sukma"...!" bentak Rangga.
Selarik cahaya biru dari telapak kiri Pendekar Rajawali Sakti pun melesat, memapak cahaya putih.
Blarrr! "Aaa...!"
Resi Jagadni kontan terpekik, begitu kekuatan yang membentur, berbalik ke arahnya. Tubuh laki-laki tua itu langsung terjungkal sampai belasan langkah. Lalu ketika terhenti, tubuhnya diam tak berkutik. Perlahan-lahan tubuhnya hitam menghangus.
"Hhh...!"
Sementara Topan Prahara terkesiap melihat kehebatan pemuda itu. Namun dia berusaha menguatkan hatinya.
*** "Yeaaa...!"
Topan Prahara kembali meluruk menyerang. Namun, kali ini si Pendekar Rajawali Sakti telah waspada. Tubuhnya melejit tinggi ke atas, lalu menukik tajam, menyambar ke arah laki-laki tua ini.
Wut! Wut! Pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti berkelebat menyapu ke segala arah, seperti mengurung ruang gerak Topan Prahara, sehingga harus pontang-panting menyelamatkan diri.
Topan Prahara berusaha bergulingan menghadapi sambaran pedang Pendekar Rajawali Sakti yang bertubi-tubi. Begitu ada kesempatan, dia coba mencelat ke atas. Tapi pada saat itu, justru Pendekar Rajawali Sakti mengejarnya dengan hujaman pedangnya. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
"Hiyaaa...!"
Blesss! "Aaa...!"
Tubuh Topan Prahara yang tengah melayang di atas, memang sulit untuk menghindar. Akibatnya, tanpa dapat dicegah lagi pedang Pendekar Rajawali Sakti yang bergerak cepat langsung menembus bagian tengah selangkangannya hingga ke perut. Topan Prahara memekik menyayat. Begitu tubuhnya jatuh kembali ke tanah, langsung menggelepar. Dan diam tak bergerak. Mati!
"Guru...!"
Sancaka langsung menghambur menubruk tubuh calon gurunya yang bersimbah darah dengan wajah tak percaya. Disaksikannya calon gurunya tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Trek! Rangga menyarungkan pedang seraya memandang kepada si Gila Muka Bidadari. Sementara, Ki Sembada berjalan mendekatinya.
"Kenapa kau memandangiku" Apa kau juga hendak membunuhku"!" hardik nenek itu.
Rangga diam tak menjawab. Diliriknya sekilas Intan Sari. Tampak gadis itu duduk termangu di depan mayat Resi Jagadni. Gadis itu datang bersama si Gila Muka Bidadari. Jelas, mereka punya hubungan dekat.
"Resi Jagadni memang suamiku. Tapi, aku tidak peduli dia mati atau tidak!" ujar si Gila Muka Bidadari acuh tak acuh.
Rangga mengernyitkan dahi, ketika mengerti jalan pikiran wanita tua ini. Resi Jagadni suaminya" Dan orang tua itu mati di tangannya. Namun, nenek ini seperti tidak terjadi apa-apa saja.
Namun Pendekar Rajawali Sakti tidak mau lama-lama memikirkannya. Pandangannya diedarkan ke seluruh tempat itu. Kelihatan Somanggala dan Dewangga masih belum angkat kaki. Rupanya mereka juga menyaksikan pertarungan seru tadi sampai tuntas.
"Apakah kalian masih menuntut kitab itu padaku?" tanya Pendekar Rajawali Sakti lantang.
Tak seorang pun yang menjawab. Semua diam membisu.
"Jangan kalian salah mengira tentang apa yang kulakukan. Aku sama sekali tidak kemaruk dengan kitab itu. Kalaupun aku ikut campur, itu karena permintaan Ki Sembada. Beberapa waktu lalu, aku sempat menyelamatkannya dari kejaran tokoh-tokoh yang menginginkan kitab itu. Dia memintaku untuk merebutnya dan mengamankannya untuk diberikan kepada pewaris sah. Yaitu, keturunan Sangkakala Naga...," jelas Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti terdiam sejenak. Lalu matanya melirik sekilas kepada Sancaka.
"Dan tahukah, kepada siapa sebenarnya kitab itu akan kuberikan" Yaitu kepada Sancaka," lanjut Pendekar Rajawali Sakti, mengejutkan.
"Heh"!"
Sancaka mendongak tak percaya mendengar kata-kata pemuda itu.
"Ya! Kitab itu semula akan kuberikan kepadamu, agar kau tidak dikejar-kejar tokoh persilatan lainnya," tambah Rangga.
"Kenapa tidak kau serahkan tadi?" tanya Sancaka, masih dengan nada gusar.
"Aku akan menyerahkan kepadamu, sebelum mengetahui bahwa kau akan diangkat menjadi murid Topan Prahara," jelas Rangga lagi.
"Apa bedanya"!"
"Bedanya banyak, kalau kau mengerti."
"Kau cuma mengada-ada dan memutarbalikkan keadaan yang sebenarnya!" dengus Sancaka.
Rangga tersenyum mendengar tuduhan itu.
*** "Mungkin saja aku mengada-ada. Tapi, tolong tanyakan pada semua orang yang ada di sini. Siapakah sebenarnya Topan Prahara" Beliau adalah seorang penipu licik. Siapapun tahu, kalau dia adalah tokoh hitam yang menghalalkan segala cara, untuk mencapai maksudnya. Tidak peduli harus mengorbankan kawan sendiri!" jelas Pendekar Rajawali Sakti, meyakinkan.
"Huh! Aku tidak percaya ceritamu!" dengus Sancaka.
"Kalau demikian, maka keputusanku benar."
"Apa maksudmu"!" sentak Sancaka.
"Kau tidak pantas memiliki kitab itu!" sahut Rangga enteng. "Hatimu busuk. Dan akalmu penuh kelicikan. Lidahmu pun selalu berdusta. Jika kelak kau menguasai kitab itu, hanya akan menimbulkan malapetaka saja!"
Setelah berkata demikian. Pendekar Rajawali Sakti melangkah pergi.
"Aku berterima kasih atas bantuan yang kau berikan, Rangga...!" ujar Ki Sembada, tiba-tiba. Langsung dikejarnya Pendekar Rajawali Sakti.
"Tidak usah dipikirkan. Aku ikhlas membantu...," sahut Rangga.
"Walau begitu, budi baikmu tidak akan mudah kulupakan!"
Rangga tersenyum.
"Jagalah dirimu baik-baik, Ki. Sancaka mungkin akan berusaha membalas dendam padamu suatu hari kelak...," ingat Rangga seraya memegang kedua bahu Ki Sembada.
Pendeta itu melirik sekilas. Tampak sorot mata Sancaka penuh dendam kepada mereka.
"Ya! Aku bisa melihatnya. Hatinya penuh dendam kesumat...," sahut Ki Sembada lirih.
"Aku pergi dulu, Ki."
Ki Sembada mengangguk.
Rangga kembali melangkah pergi. Namun baru saja beberapa langkah, si Gila Muka Bidadari menghampiri.
"Ada apa, Supini?" tanya Pendekar Rajawali Sakti sambil tersenyum kecil.
Rangga tidak mau salah lagi memanggil.
"Aku mau tanya, apakah kau sudah beristri?" tanya Nyai Supini ini.
"Belum," jawab Pendekar Rajawali Sakti pendek.
"Sudah ingin beristri?"
Rangga tersenyum.
"Aku tidak mengerti maksudmu...?"
"Kau cukup gagah dan tampan, Cah Bagus. Kalau kau berniat, aku ingin menjodohkanmu dengan cucuku Intan Sari," jelas nenek ini seraya menunjuk gadis yang tak jauh dari situ.
Rangga memandang Intan Sari sejenak, lalu tersenyum kecil.
"Cantik, bukan?" goda si Gila Muka Bidadari.
"Ya, cantik juga...," sahut Rangga.
"Kau mau?"
"Hm, bagaimana ya" Aku harus tanya dulu pada orangtuaku!"
"Kau sudah besar dan pantas memutuskan sendiri."
"Memang. Tapi aku anak manja! Aku tidak mau dimarahi orangtuaku. Tapi, biasanya mereka selalu mengabulkan keinginanku."
"Tapi kau suka cucuku?"
"Mungkin. Nah! Sekarang, biar kutanya dulu pada orangtuaku. Lalu setelah itu, aku akan menemuimu...!"
"Baiklah...."
Rangga langsung berkelebat cepat sambil tersenyum-senyum sendiri. Kalau ada umur panjang dan Yang Maha Kuasa mempertemukan mereka kembali, mungkin itu sudah takdir. Tapi kalau menuruti langkah kakinya sendiri, tentu saja Rangga tidak mau. Dan yang membuatnya tersenyum adalah, dia mulai pandai mengecoh seperti.... Sancaka!
? SELESAI ? ? Serial Pendekar Rajawali Sakti selanjutnya:
DEWA MATA MAUT ? ? Scanned by Clickers
? Kembali ke Bagian 4-6
? Kitab Naga Jonggrang
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Suling Emas 1 Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Pedang Ular Mas 6

Cari Blog Ini