Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pedang Bayangan 1

Pendekar Rajawali Sakti 151 Pendekar Pedang Bayangan Bagian 1


" 151. Pendekar Pedang Bayangan Bag. 1 dan 2
December 21, 2014 at 7:45am
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Pendekar Pedang Bayangan
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 ? Sebuah perahu merapat perlahan-lahan ke pantai. Pada bagian depannya yang pertama kali terlihat adalah seorang pemuda berbaju hitam. Rambutnya yang panjang dikuncir agak ke belakang. Sepasang matanya sipit dan memiliki alis tebal. Bibirnya tipis seperti menyiratkan kekerasan hatinya. Menyolok sekali dengan kulitnya yang putih kekuningan, dipadu pakaian wama gelap.
Sesekali angin bertiup sedikit kencang dan mengibar-ngibarkan rambutnya. Sehingga terlihat gagang pedangnya yang agak panjang di punggung.
Perahu merapat. Dan pemuda itu melompat ke tepi dengan gerakan ringan.
"Hup!"
Pemuda itu berdiri tegak, memperhatikan keadaan sekelilingnya. Pantai ini terlihat sepi, banyak ditumbuhi pohon-pohon bakau dan api-api. Perahunya ditarik dan disembunyikan di antara aliran sungai kecil yang banyak ditumbuhi semak-semak.
Setelah merasa aman, dia merapikan pakaian-nya. Lalu dikeluarkannya sesuatu dari lipatan baju di bagian pinggang. Selembar kertas agak kekuningan yang berisi tulisan. Diperhatikannya agak lama, lalu dilipatnya. Dan kini kakinya melangkah lebar ke selatan!
Kawasan pantai ini memang agak jauh dari pemukiman penduduk. Padahal, udara di sini tidak begitu panas karena banyak ditumbuhi pepohonan yang berdaun lebat. Sehingga bila matahari tengah bersinar garang, seperti tak mampu menembusnya. Begitu rimbun dan redup. Terlebih angin laut yang berhembus, membuat siapa pun akan merasa nyaman berada di sini.
Agaknya hanya ada sesuatu yang membuat penduduk tidak betah. Tentu saja, sebab kawasan ini dihuni sekawanan perampok yang merajalela di dua tempat. Darat dan laut. Bila di laut sepi, tidak ada perahu-perahu besar yang bisa dirampok, maka mereka mengalihkan perhatian ke darat. Yaitu, ke kampung kampung terdekat. Bahkan tidak jarang melakukan perjalanan cukup jauh. Hasil rampokan dibawa ke sini, sehingga jarang sekali jejak mereka ditemukan.
Dahulu di tepi pantai ini, terdapat perumahan penduduk yang mencari nafkah dengan melaut. Namun sejak kedatangan kawanan perampok ini, satu persatu mereka meninggalkan rumah dan pergi entah ke mana. Sehingga lambat laun, perumahan itu kosong. Kemudian baru dimanfaatkan kawanan itu sebagai tempat rnggal.
Sementara itu pemuda berbaju hitam ini agaknya baru saja memasuki perkampungan kawanan perampok yang terlihat kumuh dan banyak ditumbuhi semak-semak pada setiap halamannya. Sehingga, menimbulkan kesan rumah yang jorok dan jarang diurus.
"Hm...!"
Pemuda itu mendengus pelan. Sepasang mata-nya melirik sekilas. Beberapa penghuni perkam-pungan ini tampak keluar dari rumah masing-masing, menuruni anak tangga dengan perlahan-lahan. Rata-rata di pinggang mereka terselip sebilah golok. Wajah-wajah itu kasar. Dan sebagian bermuka buruk serta bengis. Mereka tidak mirip sama sekali sebagai nelayan. Dan dengan gelagat itu, agaknya pemuda bermata sipit ini mulai curiga
Bet! Tanpa menghentikan Iangkah, apalagi meno-leh, pemuda itu mencabut pedang yang tersandang di punggung dan menggenggamnya ke tangan kanan.
Sementara itu, tujuh laki-laki bertubuh besar berdiri tegak di depannya. Sikap mereka jelas me-nantang dan sengaja ingin mencari urusan.
Yang berada di tengah, berkumis tebal Pipi kirinya tampak bercodet. Bajunya berukuran besar dengan bagian dada terbuka lebar, seperti hendak memamerkan otot-otot dadanya yang kekar. Tangan kanannya berkacak pinggang. Sedang tangan kirinya memilin-milin salah satu ujung kumis.
Pemuda itu berhenti, balas memandang mereka satu persatu. Sementara itu, disadari kalau di belakang dan di samping kanan serta kiri, dia telah terkurung. Dan jelas maksud mereka tidak baik!
"Kisanak! Berilah aku jalan!" ujar pemuda itu datar.
"Kau boleh jalan, setelah meninggalkan semua barang berharga yang kau miliki!" sahut laki-laki berkumis tebal itu, dingin.
Pemuda berbaju hitam ini memegang buntalan putih yang berada di tangan kirinya erat-erat.
"Aku tidak punya barang berharga. Buntalan ini hanya berisi pakaian," tandas pemuda ini. sinis
"Kalau begitu, kau boleh tinggalkan nyawa-mu!" sahut laki-laki berkumis tebal itu dengan suara serak, bernada mengancam.
"Siapa yang bertanggung jawab di antara kalian?" tanya pemuda itu seraya menatap laki-laki berkumis tebal dalam-dalam.
"Aku! Warok Singo, tangan kanan Wiroto Sangkar yang menjadi pemimpin Kawanan Memedi Jalang!" sahut laki-laki berkumis tebal, mantap.
"Warok Singo! Aku tidak berurusan denganmu. Beri aku jalan. Dan, jangan memperpanjang urusan."
"Kurang ajar! Dasar Wong edan! Hei, Monyet Buduk! Tahukah kau, tengah berhadapan dengan siapa" Di lima kawasan tak ada yang berani bicara selancang mulutmu!" hardik laki-laki berkumis yang bernama Warok Singo dengan mata melotot lebar.
Sehingga, biji matanya yang merah seperti hendak melompat dari sarangnya.
? *** "Aku tidak perlu tahu siapa kau! Tapi jelas, aku tidak berurusan denganmu," sahut pemuda bermata sipit itu tenang.
Sama sekali amarah pemuda ini tidak terpan-cing melihat sikap Warok Singo. Dan itu membuat tangan kanan pemimpin Kawanan Memedi Jalang ini semakin berang saja. Sambil mendengus geram, goloknya langsung dicabut.
Srak! "Mau mampus rupanya, he"!" Setelah berkata demikian, Warok Singo langsung menerjang dengan senjata terhunus.
Bet! Wuuut! Pemuda itu bergerak ke samping sedikit. Lalu badannya dibungkukkan sehingga dua tebasan Warok Singo mudah dihindarinya. Dan sebelum Warok Singo melakukan serangan, lutut kanan pemuda itu telah menghantam ke perutnya.
Duk! "Hugkh!"
Warok Singo mengeluh tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan wajah berkerut. Kedua tangannya mendekap perut menahan sakit.
"Hiyaaa!"
Pemuda itu membentak. Kemudian terlihat se-kilas cahaya berkilauan ketika tubuhnya bergerak mendekati Warok Singo. Sesaat terdengar Warok Singo memekik setinggi langit.
Sring! Crat! "Aaa...!"
Tubuh tangan kanan Pemimpin Kawanan Memedi Jalang ini ambruk begitu pemuda itu menyarungkan pedangnya. Tampak di bagian dahi sampai ke bibir terdapat guratan luka akibat tebasan pedang.
"He, Gila!" desis seorang anggota kawanan.
"Ilmu iblis...!" timpal yang lain.
"Setan keparat! Tidak peduli dia memiliki ilmu iblis. Orang ini telah membunuh Warok Singo. Dan dia patut mendapat ganjaran! Bunuh dia!" teriak salah seorang menyadarkan kawan-kawannya yang terpaku atas gebrakan pemuda itu.
"Betul! Kurang ajar! Bunuh dia...!" timpal yang lain ikut mendukung.
Sraaang...! "Heaaat...!"
Serentak kawanan perampok ini mencabut go-lok, langsung menyerang secara bersamaan.
"Huh!"
Pemuda berambut dikuncir itu hanya mende-ngus sinis. Tubuhnya masih tetap terpaku di tempatnya. Kemudian pedangnya sedikit terbuka, ketika ibu jarinya menyontek gagang. Lalu.....
Trek! Sriiing! "Heaaa...!"
Pedang pemuda sipit itu yang kelihatan tipis, tercabut dari sarangnya. Cahaya matahari tampak memantul dari batang pedang. Namun sekilas saja. Sebab, cahaya itu sudah berkelebat cepat. Dan sesaat, kemudian terlihat darah memancur diikuti pekik kesakitan.
Cras! Cras! "Aaa...!"
Lima orang pengeroyok kontan roboh dan te-was seketika dengan luka dalam memanjang dari dahi hingga ke bibir!
"Yeaaa...!"
"Haiiit...!"
Kawanan perampok yang lain seperti tidak me-lihat gelagat kalau pemuda itu memiliki kepandaian tinggi. Yang terpikir saat ini adalah, bagaimana caranya membalas dendam. Lalu, membunuh orang asing ini dengan cepat.
Pedang pemuda bermata sipit itu kembali berkelebat. Gerakannya sulit diikuti pandangan mata. Dan tahu-tahu, kembali terdengar pekik kematian.
Cras...! "Aaakh...!"
Enam orang lagi roboh dengan luka sama. Se-mentara pemuda ini kembali menggeram. Kemudian tubuhnya bergerak mendekati lawan yang berada di depan.
Sret! "Aaa...!"
Tiga orang yang dihampiri langsung terjungkal disertai memekik nyaring. Mereka tewas dengan luka sama.
"Hentikan...!"
Trek! Mendadak terdengar bentakan nyaring. Dan cepat sekali pemuda itu menghentikan serangan, dan kembali menyarungkan pedang. Lalu kepa-lanya menoleh ke kanan. Di situ, telah berdiri tegak seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Kepalanya yang lonjong ditumbuhi rambut tipis dan telah ubanan. Tubuhnya agak kurus dan sedikit bungkuk. Wajahnya kasar kehitaman dengan beberapa luka kecil menghiasi. Ketika tertawa lebar, sebuah gigi depan bagian atas telah tanggal.
"He he he...! Tidak kusangka kau cukup tang-guh, Bocah. Hm... Aku Wiroto Sangkar, Pemimpin Kawanan Memedi Jalang. Kau telah membunuh Warok Singo. Sehingga, aku merasa kehilangan dia. Padahal, Warok Singo amat membantuku. Tapi, aku akan merasa senang bila kau sudi menggantikan kedudukannya...!"
"Maaf, aku sama sekali tidak berminat!" sahut pemuda itu tegas.
"Ha ha ha...! Jangan dulu cepat-cepat memu-tuskan begitu. Tidakkah kau tahu kalau kami memiliki harta-harta yang banyak luar biasa" Dengan itu, segalanya bisa didapat. Coba pertimbangkan lagi baik-baik. Sebagai tangan kananku, maka keadaanmu akan berubah. Kau akan mendapatkan bagian Warok Singo, ditambah hasil hasil lain yang nanti akan diperoleh...!" bujuk laki-laki yang mengaku bernama Wiroto Sangkar.
Pemuda itu memandang tajam. Sama sekali bibirnya tidak terlihat menyunggingkan senyum.
"Maaf... Sekali lagi kukatakan, aku tidak tertarik tawaranmu! Suruh anak buahmu menyingkir!" sahut pemuda itu. Kali ini dengan nada yang lebih tegas.
Mendengar jawaban itu, wajah Wiroto Sangkar langsung berubah. Senyumnya yang manis, seketika hilang. Dan kini berganti dengusan sinis. Tangan kanannya makin mencengkeram kuat goloknya, pertanda hatinya amat kecewa dan geram.
"Anak muda! Tak ada seorang pun yang boleh menolak keinginan Wiroto Sangkar! Siapa yang berani, dia harus mati. Tidak terkecuali siapa pun orangnya. Apalagi, bagi pembunuh anak buah ku...!"
Wiroto Sangkar mendengus geram. Dan bersamaan dengan itu, tubuhnya langsung melompat menendang lawan.
"Hiiih!"
Golok Wiroto Sangkar berkelebat cepat, me-nyambar leher dan pinggang. Kemudian dengan cepat menusuk ke arah jantung. Langsung hendak merobek perut pemuda itu. Namun, pemuda bermata sipit ini ternyata bukanlah orang sembarangan. Bahkan dia mampu menghindar dengan mudah. Gerakannya gesit dan cepat, meski kelihatannya amat sederhana.
"Huh!"
Trek! "Hiyaaa!"
Ibu jari tangan kanan pemuda itu tiba-tiba menyentil batang pedang. Kemudian cepat sekali pedang panjangnya keluar dari warangka, lalu secepat kilat menyambar ke arah laki-laki setengah baya itu.
Sret! "Aaa...!"
Wiroto Sangkar langsung memekik keras. Tubuhnya terjungkal roboh. Dia menggelepar sesaat, kemudian diam tak berkutik. Pada dahi hingga ke bibir, darah memancur deras dari luka babatan pedang pemuda itu.
Pemuda itu mendengus sinis, dan sama sekali tidak mempedulikan mayat Wiroto Sangkar serta anak buah kawanan yang memandangnya dengan wajah kecut. Nyali mereka ciut. Tak ada seorang pun yang berani menghalangi, ketika pemuda itu meninggalkan tempat ini dengan langkah tenang.
? *** ? Lembah Sagir berada di kaki sebuah pegu-nungan yang membentang dari barat ke timur. Daerahnya subur berudara segar. Di sini bercokol seorang tokoh angkatan tua. Dalam dunia persi-latan, dia dikenal sebagai Eyang Tambak Kencana. Bila bicara tentang orang tua itu, maka tidak bisa terlepas dari Padepokan Merak Mas yang didirikannya beberapa puluh tahun lalu. Padepokan ini maju pesat. Bahkan lebih banyak menelurkan murid yang membawa harum nama padepokan. Sekaligus, membuat nama Eyang Tambak Kencana disegani kalangan persilatan.
Sejauh ini, hal itu memang terbukti. Sebab tak ada seorang pun di kalangan dunia persilatan yang tidak mengenalnya. Kebanyakan dari mereka akan berpikir seribu kali untuk membuat urusan terhadapnya.
Siang ini, orang tua itu terlihat tengah berkumpul di halaman belakang bersama beberapa orang murid serta keluarga terdekatnya. Mereka mengelilingi sebuah meja besar, berbentuk lingkaran. Di kanan dan kiri terdapat beberapa buah pohon besar yang berdaun lebat. Sehingga, meski udara panas sekalipun, suasana di tempat itu tetap saja sejuk. Terlebih, pemandangannya amat indah. Sehingga, membuat mata yang memandang tidak terasa lelah. Tidak jauh di dekatnya, terlihat sebuah kolam yang cukup luas berair bening dengan bunga-bunga teratai yang tengah mekar berwarna merah dan putih. Kemudian jauh di depannya, terlihat barisan gunung dan perbukitan berwarna biru gelap.
Orang tua berusia tujuh puluh lima tahun itu menyeruput teh di cangkirnya, kemudian meletakkannya perlahan. Lalu bibirnya tersenyum seraya memandang laki-laki tinggi yang ada di hadapannya.
"Apakah sudah keras betul niatmu mening-galkan tempat ini, Danu Umbara ?" tanya Eyang Tambak Kencana.
"Aku memikirkan masa depan Selasih, Ayah...," sahut laki-laki setengah baya berpera-wakan tnnggi besar bernama Danu Umbara.
"Apakah kau pun senang mengikuti ayahmu, Selasih?" lanjut orang tua itu pada gadis manis berbaju merah jambu yang duduk di sebelah Ki Danu Umbara.
"Entahlah. Eyang. Aku masih suka di sini. Tapi..., aku juga tidak mau jauh dari ibu...?"
Eyang Tambak Kencana tersenyum kecil men-dengar jawaban gadis yang dipanggil Selasih itu.
"Aku tidak menyalahkan. Sebab, keinginan orangtuamu baik. Mereka ingin pindah ke kota yang lebih ramai untuk berdagang. Dengan demikian, mereka berharap masa depanmu pun bisa lebih baik ketimbang di sini...."
"Tapi, Ayah. Aku masih suka di sini...!" ujar Selasih dengan nada manja, setelah menoleh pada ayahnya, Danu Umbara.
"Apakah kau tidak kasihan pada lbumu" Dia tentu akan kesepian bila kau tak berada di sampingnya," bujuk Ki Danu Umbara.
"Kenapa ibu tidak di sini saja" Ayah berangkat lebih dulu. Kemudian setelah usaha Ayah berhasil, jemputlah kami!" usul Selasih.
"Hm... Kurasa usul Selasih itu baik. Kau ber-usaha dulu di kota. Dan bila berhasil, bawalah istri dan anakmu. Dengan demikian, mereka tidak akan telantar...!" sambung Eyang Tambak Kencana.
"Baiklah. Akan kubicarakan hal ini pada Laksmi...," sahut Ki Danu Umbara pendek.
"Ibu pasti setuju dengan usul itu!" seru Selasih, girang.
"Ya, mudah-mudahan saja ibumu setuju...," lanjut Ki Danu Umbara.
Pada saat itu seorang murid padepokan meng-hampiri dengan langkah tergopoh-gopoh. Setelah memberi salam hormat, diangsurkannya sepucuk surat kepada Ketua Padepokan Merak Mas.
"Dari siapa?" tanya Eyang Tambak Kencana
"Entahlah, Guru. Aku tidak mengetahuinya. Sepertinya, pemuda itu orang asing. Cara berpakaian dan bentuk wajah serta kulitnya, berbeda dengan kebanyakan pemuda di negeri ini," jelas sang murid.
Eyang Tambak Kencana hanya bergumam pendek, kemudian membuka lembaran kertas ku-ning itu.
? Kepada Tambak Kencana, Ketua Padepokan Merak Mas. Aku mengajukan tantangan duel sore nanti, di sebelah selatan kaki pegunungan.
Akira Yamamoto, Pendekar Pedang Bayangan
? Dahi orang tua itu berkerut setelah membaca isi surat yang singkat, namun cukup mengejutkannya. Wajahnya seketika berubah. Sehingga, menimbulkan keheranan mereka yang berada di tempat ini.
Selasih menarik surat yang berada di tangan kakeknya, lalu membacanya. Wajah gadis itu pun tampak berkerut campur gemas. Kemudian Ki Danu Umbara, serta yang lainnya bergilir membacanya. Wajah mereka tampak heran menandakan kebingungan yang sama.
"Akira Yamamoto" Siapa orang itu" Apakah Ayah pernah mengenalnya" Dan, apakah Ayah mempunyai urusan dengannya?" tanya Ki Danu Umbara.
"Tidak. Baru sekali ini kukenal namanya. Aku sama sekali tidak pernah mengenalnya...," desah Eyang Tambak Kencana, menggeleng lemah.
"Kalau begitu Eyang tidak perlu datang! Ini pekerjaan orang sinting yang mau mencari gara-gara. Eyang tidak perlu meladeninya!" ujar Selasih kesal.
"Betul, Guru! Kita tidak perlu meladeni orang ini. Mungkin dia orang sinting yang ingin mencari ketenaran belaka," timpal seorang murid yang berada di dekatnya.
"Entahlah. Kita lihat saja, apa yang dimaui orang itu sebenarnya padaku ," sahut Eyang Tam-bak Kencana, pelan seraya menghela napas panjang.
? *** ? 2 ? Senja baru saja berlalu. Lampu-lampu minyak dan obor yang menerangi halaman sekitar Pade-pokan Merak Mas telah menyala. Sesekali nyala apinya bergoyang tertiup angina. Dan pada saat itu, beberapa ekor kelelawar terbang mengagetkan dengan terburu-buru keluar dari sarangnya.
Eyang Tambak Kencana duduk bersila dalam ruangannya. Kedua matanya terpejam dengan ke-dua tangan bertumpu pada kedua lutut yang bersila di lantai. Orang tua itu mengatur napas. Tidak terlihat gerakan di kedua bahunya, pertanda pernapasannya teratur dan halus sekali. Cukup lama dia bersemadi dengan memusatkan pikiran pada satu titik. Seluruh jiwa dan pikirannya, kini bersatu dengan Sang Pencipta Alam. Tak ada lagi hal-hal keduniawian. Termasuk persoalan yang tadi sore sempat mengisi benaknya.
Sementara itu di luar sana, seorang pemuda berjalan pelan mendekati pintu gerbang rumah padepokan ini dengan kedua tangan bersedakep. Tangan kanannya menggenggam sebilah pedang panjang bersarung warna hitam. Pedang itu keli-hatan biasa saja, dengan warangka sampai pada barang berbentuk polos. Hanya saja, pedang itu sedikit kecil dan lebih panjang dari ukuran pedang yang umum dipakai.
"Berhenti! Kisanak telah memasuki Padepokan Merak Mas. Sebutkan nama, dari mana, dan urusan apa datang ke sini!" cegat salah seorang murid padepokan, langsung menghadang di depan pemuda berbaju hitam dengan rambut panjang dikuncir itu.
"Aku Akira Yamamoto! Gurumu tahu, aku datang untuk apa," sahut pemuda itu dingin.
"Maaf, Kisanak. Kau harus menunggu. Kawan-ku akan menanyakan lebih dulu pada Ki Guru," sahut sang murid. Segera diberinya isyarat pada kawannya yang berada tidak jauh dari situ.
Murid itu menoleh begitu kawannya berlari-lari kecil ke dalam. Namun ketika berpaling kembali, bola matanya mencari-cari ke sekitar tempat ini dengan wajah bingung. Kakinya melangkah ke depan, lalu kembali mencari-cari di sekitarnya dengan lebih teliti. Namun, yang dicari tidak juga ditemukan. Pemuda bermata sipit tadi hilang seperti ditelan bumi!
? *** ? Sementara itu Eyang Tambak Kencana langsung bangkit begitu mendengar nama yang disebutkan muridnya dari luar kamar. Bergegas dia keluar, setelah membuka pintu. Empat orang muridnya langsung memberi hormat. Salah seorang kemudian maju mendekat.
"Pemuda itu mengaku bernama Akira Yamamoto...?" tanya Eyang Tambak Kencana, seperti ingin meyakinkan.
"Betul, Guru...!"
"Hm, baiklah. Suruh dia masuk!"
"Kau tidak perlu menyuruhku. Aku telah me-nunggumu di sini!" sahut satu suara menyahuti.
Eyang Tambak Kencana kaget. Demikian pula keempat muridnya. Orang tua itu mengintip lewat tirai yang berada di teras kamar ini. Dan di halaman depan terlihat seorang pemuda berbaju hitam membelakanginya!
Orang tua ini menghela napas panjang.
"Bawakan pedang pusaka. Dan, temui aku di bawah!" ujar Eyang Tambak Kencana pendek.
"Apakah Guru menyambut tantangannya!" tanya seorang muridnya khawatir.
"Tidak ada pilihan lain...."
"Guru, dia hanya seorang murid ugal-ugalan! Kau tidak perlu meladeninya," timpal muridnya yang seorang lagi.
Eyang Tambak Kencana menoleh dan memandang tajam kepadanya.
"Dia bukan pemuda ugal-ugalan. Aku pernah mendengar kejadian yang seperti ini...," sahut orang tua itu tenang.
"Maksud, Guru?"
"Pemuda itu berasal dari sebuah negeri yang jauh. Orang-orang menyebutnya dengan negeri Matahari Terbit. Mereka memiliki ilmu bela diri yang hebat, dan selalu merasa tidak puas dengan apa yang dimiliki. Beberapa orang malah mengembara ke negeri-negeri yang terkenal akan keahliannya dalam ilmu olah kanuragan. Mereka mendatanginya, lalu mengajaknya bertarung sampai salah seorang tewas. Pertandingan ini jujur, dan tak ada unsur-unsur lain..." jelas Eyang Tambak Kencana secara singkat.
"Jadi..., dia menginginkan pertarungan hidup dan mati?" tanya salah seorang muridnya dengan nada hati-hati.
Orang tua itu mengangguk.
"Apakah kira-kira Guru mampu mengalahkan-nya...?"
"Entahlah. Pendekar-pendekar dari negeri Matahari Terbit terkenal hebat. Terutama ilmu pukulan dan permainan pedang mereka yang aneh!"
"Apakah tidak ada cara lain untuk memba-talkan pertarungan ini, Guru?"
"Apakah kau ingin gurumu dianggap pengecut oleh tokoh-tokoh dunia persilatan, Pijan?" sahut Eyang Tambak Kencana disertai senyum.
Murid yang dipanggil Pijan terdiam seraya me-nunduk lesu mendengar kata-kata gurunya.
"Maukah kalian mendengar pesan-pesanku?"
"Pesan apa, Guru?" sahut mereka saling me-nimpali.
"Danu Umbara.... Agaknya dia tidak berminat menggantikanku. Menantuku itu keras betul niatnya untuk berniaga. Maka kau, Pijan. Sebagai murid tertua, kuangkat menjadi penggantiku bila aku tewas di tangan pemuda itu. Pimpinlah murid-murid dengan baik. Dan, jangan mendendam pada pemuda itu!"
"Guru..."!"
Wajan keempat murid itu tersentak kaget. Tapi, Eyang Tambak Kencana tidak mempedulikannya. Dan dia langsung berlalu dari tempat ini dengan langkah panjang sambil mengingatkan salah seorang muridnya.
"Jangan lupa! Cepat bawakan pedang pusaka. Dan, temui aku di bawah sana!"
? *** Wajah Ki Danu Umbara tampak cemas ketika memperhatikan Eyang Tambak Kencana yang berdiri berhadapan dengan pemuda yang mengaku bernama Akira Yamamoto dalam jarak hanya terpaut lebih kurang tujuh langkah. Demikian pula istri dan putrinya, serta seluruh murid Padepokan Merak Mas.
"Tambak Kencana! Kau tidak datang meme-nuhi tantanganku, sehingga aku harus datang ke sini! Apa pun alasanmu, maka kau harus bertarung denganku!" ujar Akira Yamamoto dengan nada menegaskan.
Orang tua itu belum sempat menjawab, ketika Selasih telah lebih dulu maju seraya menuding sengit.
"Orang asing! Eyangku tidak punya urusan denganmu! Kenapa kau datang dengan mencari gara-gara" Apakah kau sudah demikian sombongnya dengan kepandaian yang dimiliki"! Pergilah! Dan, cari orang-orang yang mau meladeni keinginanmu yang gila itu!"
Pemuda bermata sipit itu menoleh. Dipan-danginya gadis itu dengan mata tidak berkedip untuk beberapa saat. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
"Selasih! Jangan campuri urusan ini. Kau tidak tahu apa-apa...,"' kata Eyang Tambak Kencana.
"Eyang! Aku bukan menganggapmu pengecut dengan membaratkan atau mengganggu jalannya pertarungan kalian! Tapi urusan ini kuanggap tidak benar dan berbahaya. Dan pemuda gila ini ingin menyeretmu ke dalamnya. Tidakkah Eyang menyadari"!" tandas Selasih keras dengan wajah berang menahan kesal bercampur geram.
"Selasih! Apa yang kuperbuat adalah hal yang biasa. Dan, sama sekali tidak aneh..." kilah Eyang Tambak Kencana.
"Tidak! Aku tidak mau mendengar alasan-alasan Eyang! Aku tidak mau mendengarnya...!"
Selasih berteriak keras seraya mendekap wajah dengan kedua tangannya. Gadis itu berlari ke dalam. Dan mereka masih sempat mendengar isak tangisnya.
"Selasih...!" Laksmi, istri Ki Danu Umbara, berseru memanggil dan mengejar gadis itu.
Apa yang dirasakan selasih memang tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan wanita ini. Kepedihan dalam, seperti mendapat firasat buruk terhadap Eyang Tambak Kencana.
Orang tua itu hanya menoleh sekilas. Kemudian kembali memandang pemuda yang berada di hadapannya.
"Bisakah kita mulai...'" tanya pemuda bermata sipit ini.
"Silakan. Aku telah siap!"
Akira Yamamoto menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Sementara tangan kanannya yang masih menggenggam pedang dijulurkan. Matanya tajam mengawasi orang tua itu laksana seekor rajawali yang tengah mengincar mangsanya. Perlahan-lahan dia bergerak mendekati orang tua itu dengan menggeser rapak kakinya.
Dan Eyang Tambak Kencana pun agaknya telah bersiaga. Pandangan matanya pun tajam mengawasi semua gerak-gerik pemuda itu. Lalu tubuhnya berputar ke kanan pelan-pelan.
"Heaaa...!"
Akira Yamamoto berteriak dengan suara menggeledek. Kepalan tangan kanannya melesat, menimbulkan desir angin kencang. Sasarannya tepat menghantam ke arah dada kiri.
"Uts!"
"Yeaaa!"
Eyang Tambak Kencana cepat menggeser tubuhnya ke kanan. Tapi, Akira Yamamoto cepat berputar dan mengibaskan kepalan tangan kiri. Orang tua itu melompat ke atas, membuat gerakan jungkir balik ketika pemuda itu melanjutkan serangan lewat tendangan kedua kakinya silih berganti.
Tenaga dalam pemuda ini terasa kuat. Gerak-annya pun cepat meski ilmu olah kanuragannya keliharan sederhana. Perhatiannya lebih dipusatkan dengan mendesak orang tua itu lewat serangan-serangan gencar. Namun begitu, saat Eyang Tambak Kencana menemukan kesempatan untuk balas menyerang. Akira Yamamoto tidak gugup. Dia malah mampu menghindar dengan gerakan cepat.
"Yeaaa! Heaaa...!"
"Uhhh...!"
Akira Yamamoto membentak dan berteriak setiap kali menyerang. Sehingga, membuat Eyang Tambak Kencana sedikit terganggu. Dengan teriakan itu, agaknya dia tengah membangun semangat bertarungnya. Dan hal ini dirasakan betul oleh orang tua itu. Gerakan pemuda itu semakin cepat. Bahkan tenaganya seperti berlipat ganda, serta nafsu menjatuhkan lawan semakin kuat.
Pertarungan itu sendiri telah melewati sepuluh jurus. Dan sampai sejauh ini, Eyang Tambak Kencana tampak terus keteteran. Orang tua ini memang seperti tidak mampu mengimbangi gerak dan semangat tempur pemuda bermata sipit ini. Diam-diam Eyang Tambak Kencana menggeram, lalu tiba-tiba melompat ke belakang untuk mengatur jarak.
Namun Akira Yamamoto mendiamkannya saja, seperti memberi peluang bagi Eyang Tambak Kencana untuk mengatur pernapasan, serta menyiapkan jurus baru yang mungkin akan diandalkan.
"Heaaa! Yeaaat...!"
Sring! Eyang Tambak Kencana memainkan beberapa gerakan jurus ilmu silatnya sambil mendekati Akira Yamamoto. Kemudian dengan tiba-tiba, pedang pusaka yang pada warangkanya tergambar burung merak berbulu panjang berwarna keemasan dicabut.
"Inikah jurus 'Merak Mas Membuat Sarang' yang membuat namamu kesohor...?" tanya Akira Yamamoto.
"Benar! Ternyata kau tahu banyak mengenai-ku. Nah! Man kita bertarung kembali," sahut Eyang Tambak Kencana.
Akira Yamamoto tidak menyahut. Kakinya malah melangkah ke kanan dengan pandangan tajam mengawasi.
"Heaaa...!"
Disertai bentakan menggelegar, tubuh Eyang Tambak Kencana melenting sambil membuat putaran untuk menerjang lawan. Pedangnya berciuran, menyambar menimbulkan desir angin tajam. Namun pemuda itu cepat bergerak lincah, menghindari setiap serangan yang ke mana saja dia bergerak selalu saja mengurungnya dengan ketat.
Apa yang dinamakan jurus 'Merak Mas Membuat Sarang' ternyata bukan jurus kosong belaka. Melewati dua jurus dimuka, Akira Yamamoto ke-lihatan keteter. Namun begitu bukan berarti akan mudah dijatuhkan. Dan memang, Akira Yamamoto belum lagi membalas serangan. Kelihatannya dengan menggunakan jurus menghindarnya, dia ingin mengetahui sampai sejauh mana kedahsyatan jurus pamungkas lawannya.
"Yeaaa...!"
Sring! Ketika merasa banyak mengetahui kelemahan jurus orang tua itu, Akira Yamamoto melompat ke samping menghindari sabetan pedang. Dan bersa-maan dengan itu, tangannya langsung menyambut pedang seraya membentak nyaring.
Tring! Tring! Kedua senjata kontan beradu, menimbulkan percikan bunga api kecil. Pemuda itu mendesis geram. Dan serangannya terlihat semakin cepat serta mengarah pada sasaran-sasaran yang jelas.
"Yeaaat!"
Mendadak, Akira Yamamoto melesat tinggi ke udara. Setelah berputaran beberapa kali, tubuhnya meluruk dengan satu babatan. Begitu cepat gerakannya, sehingga...
Cras! "Aaa...!"
Terdengar Eyang Tambak Kencana terpekik, lalu ambruk dengan darah mengucur dari luka antara dahi hingga ke bibir!
"Guru...!"
"Ayaaah...!"
Ki Danu Umbara dan semua murid Padepokan Merak Mas berseru kaget. Mereka langsung mem-buru, mengerubungi orang tua yang terkapar tak berdaya. Pada saat itu tak ada seorang pun yang memperhatikan kalau Akira Yamamoto telah me-ninggalkan tempat ini. Pemuda itu sama sekali tidak mempedulikan kesedihan mereka yang mendalam!
? *** ? Tiga sosok tubuh tampak berusaha berlari kencang menghindari para pengejarnya. Napas mereka memburu, dengan wajah sedikit pucat. Sesekali mereka menoleh ke belakang, melihat para pengejarnya masih berusaha menangkap dengan bersemangat.
"Yeaaat!"
"Awaaas...!"
Salah seorang memperingatkan kedua kawan-nya, ketika lima sosok tubuh tiba-tiba saja menyerang dari arah depan dengan golok panjang terhunus. Ketiga orang itu melompat cepat, lalu bergulingan menghindari lemparan tombak para pengejar yang berada di belakang. Namun dari arah samping, telah siap beberapa orang lagi yang langsung membabatkan golok. Tiga orang itu terpaksa bergulingan, dan bersatu di tengah. Sementara itu, para pengeroyok telah mengurung ketat membentuk lingkaran seraya menghunuskan senjata.
"Celaka, Palaga! Tidak ada jalan keluar...!" desis seorang buruan yang berkumis tjpis.
"Tamatlah riwayat kita sekarang, Baruna!" timpal laki-laki bertubuh gemuk pendek yang di-panggil Palaga.
"Jangan putus asa! Kita harus melawan sampai tetes darah terakhir! ingat! Bila tertangkap, nasib kita tidak ubahnya seperti mati. Maka lebih baik mati setelah berjuang!" sahut yang ketiga memberi semangat.
"Betul apa yang kau katakan, Lesmana! Kita harus melawan!" kata laki-laki yang berkumis tipis yang dipanggil Baruna.
"Ringkus mereka...!" teriak salah seorang pengeroyok memberi perintah.
"Heaaa...!"
Beberapa orang melompat. Sementara yang lain menyusul, membuat serangan bertingkat. Se-dangkan beberapa orang lainnya menyiapkan beberapa buah jala.
"Hup!"


Pendekar Rajawali Sakti 151 Pendekar Pedang Bayangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Palaga, Baruna, dan Lesmana saling memung-gungi dan menghadapi para pengeroyok. Mereka saling melindungi satu sama lain. Namun begitu, agaknya mereka tidak bisa bertahan lama. Jumlah lawan cukup banyak. Sementara kemampuan para pengeroyok pun tidak bisa dianggap enteng.
Srak! Mendadak beberapa buah jala menebar. Ketiga orang itu berusaha menghindar, namun sia-sia. Mereka telah lebih dulu terperangkap dalam jala.
"Kurang ajar...!" maki Lesmana geram.
Dia berusaha melepaskan diri dengan mencoba memutuskan tali jala. Demikian pula kedua kawannya. Namun usaha mereka sia-sia saja. Sebab, tali itu demikian kuat dan tak mampu diputuskan meski telah dikerahkan seluruh tenaga.
"Yeaaa"!"
Lebih tujuh orang penghadang melompat, langsung menghantam ketiga lawannya yang tengah dalam keadaan tidak berdaya.
Duk! Begkh! Aaakh!" "Keparat! Bangsat bangsat pengecut! Lepas-kan. Akan kuhajar kalian sampai mampus!" dengus Lesmana geram dengan darah segar meteleh dari sudut bibir.
Dalam keadaan terkurung jala begitu, tak ada kesempatan bagi mereka untuk menghindar. Se-hingga pukulan dan tendangan para pengeroyok mendarat dengan empuk.
"Ini hukuman bagi mereka yang coba-coba kabur dari istana Lembah Darah!" dengus seorang berjubah merah dengan ikat kepala hitam.
"Persetan dengan Istana Lembah Darahmu itu! Kalian hanya orang-orang pengecut!" bentak Lesmana.
"Kurang ajar! Sekali lagi bicara seperti itu, kutebas lehermu!" hardik laki-laki berjubah merah itu dengan mata melotot garang.
"Phuih! Kau kira aku takut padamu"!"
"Keparat!"
Laki-laki berjubah merah ini menggeram. Dan dia segera memberi isyarat agar yang lainnya me-nyingkir.
Lesmana dan kedua kawannya megap-megap. Namun, sorot matanya memandang penuh kebencian saat laki-laki itu mendekat.
Srang! Orang ini mencabut golok dan memperlihatkan ketajaman senjatanya. Diusap-usapnya golok itu pelan-pelan dengan sentuhan tangan kiri.
"Kau akan mati penasaran, Bedebah!"
"Phuih! Aku tidak takut mati, Pengecut! Ayo, bunuh aku! Biar semua orang melihat, betapa orang-orang Istana Lembah Darah adalah kumpulan pengecut! Kalian hanya berani kepada orang-orang yang tak berdaya!"
"Setan!"
Laki-laki berjubah merah ini memaki dengan wajah geram. Goloknya terayun, namun hanya menghantam permukaan tanah dekat kaki kanan. Sementara bersamaan dengan itu, ujung kakinya melayang ke perut Lesmana.
Duk! "Aaakh...!"
Laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun dan bertubuh kurus itu memekik nyaring. Isi perutnya terasa mau meledak akibat tendangan itu.
"Kau boleh mampus sekarang juga!" desis laki-laki berjubah merah itu geram.
Golok itu terangkat cepat, dan siap menebas leher Lesmana. Tapi pada saat itu, terjadi keributan.
"Heh"!"
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notes by Pendekar Rajawali Sakti
Bahasa Indonesia
s ? 2017 . 151. Pendekar Pedang Bayangan Bag. 3 dan 4
21. Dezember 2014 um 07:49
3 ? Laki-laki berjubah merah mengurungkan niatnya, begitu melihat beberapa orang kawannya terjungkal oleh ulah seorang pemuda yang mengamuk hebat. Yang lainnya berusaha membantu dan mengepung. Namun, pemuda berbaju rompi putih itu ternyata cukup gesit dan tidak mudah ditaklukkan. Kedua tangannya menggenggam golok yang berhasil dirampasnya dari lawan. Ketika dua buah jala hendak menyergap berturut-turut, kedua golok di tangannya melayang, memutuskan kedua tali jala. Sementara pemuda itu sendiri bergulingan menghindar.
Wuuut! Tiga orang langsung memapaki dengan menga-yunkan golok. Tapi kedua kaki pemuda itu cepat bagai kilat berputar, menghantam pergelangan salah seorang lawan yang terdekat.
Plak! "Aaakh...!"
Orang itu memekik karena pergelangan tangannya remuk, setelah memapak. Goloknya terle-pas dan langsung ditangkap pemuda itu. Dengan senjara itu, pemuda berbaju rompi putih ini memerintahkan serangan kedua lawan yang lain.
Trang! "Uhhh...!"
Dua orang mengeluh kesakitan ketika senjata mereka berpapasan dengan golok di tangan pe-muda itu. Keduanya terjungkal, tendangan keras menyapu ke arah perut dan dada.
"Hentikan...!" teriak laki-laki berjubah merah.
Serentak para pengeroyok yang merupakan anak buah laki-laki berjubah merah itu menghen-tikan serangan. Dia sendiri melangkah mendekati pemuda itu seraya memperhatikan dengan sek-sama.
"Kisanak memasuki kawasan Lembah Darah. Siapapun tahu kalau tempat ini daerah kekuasaan Iblis Rambut Merah. Dan, tidak sembarang orang bisa melewatinya dengan selamat. Namaku, Bagus Ireng. Dan aku adalah seorang abdinya! Siapa kau"! Dan, apa yang kau lakukan di tempat ini?" tanya laki-laki berjubah merah yang mengaku bernama Bagus Ireng.
"Aku hanya kebetulan lewat. Dan aku tidak tahu kalau lembah ini daerah kekuasaan seseorang. Kisanak, namaku Rangga. Sampaikan permintaan maafku pada Iblis Rambut Merah kalau memang aku salah," ucap pemuda tampan berbaju rompi putih yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm, Rangga... Majikanku seorang yang baikhati. Dia tentu suka memaafkan orang. Dan kurasa, dia pun senang sekali kalau kau sudi mampir ke tempatnya...," ujar Bagus Ireng, tersenyum manis.
"Kisanak! Jangan terpengaruh omongannya! Mereka hendak menjebakmu'" teriak Lesmana memperingatkan.
Dukkk! "Hugkh...!"
Baru saja selesai ucapan Lesmana, satu tendangan keras yang dilakukan anak buah Ki Bagus Ireng menghantam dadanya. Lesmana kembali memekik. Dan kali ini, rasa sakit itu agaknya tak tertahankan. Sehingga, dia hanya bisa mengerutkan muka sambil mengerang erang.
"Ki Bagus Ireng! Apa yang telah kalian lakukan pada ketiga orang itu?" tanya Rangga, curiga.
"Mereka pencuri. Dan majikanku memerintahkan untuk menangkapnya...."
"Dusta! Kami bukan pencuri! Mereka?"
Begkh! "Aaakh...!"
Palaga, laki-laki yang bertubuh pendek dan gemuk, membantah keras. Namun belum habis perkataannya, satu tendangan keras menghantam perutnya. Palaga kontan memekik seraya mende-kap perutnya yang terasa sakit luar biasa.
"Kisanak! Seorang maling pun tidak akan mengalami siksaan seperti itu. Kalian betul-betul keterlaluan. Kalau benar mereka maling, maka katakanlah berapa nilai barang yang dicuri. Aku akan menebus mereka!" ujar Rangga mulai tidak senang.
"Maaf, Kisanak. Majikanku telah memerintah-kan kami untuk menangkap mereka dan mengha-dapkan padanya. Setiap perintahnya wajib kami taati. Maka dengan terpaksa, kami tidak bisa mengabulkan permitaanmu!" tandas Ki Bagus Ireng.
"Hm, sayang sekali. Majikanmu tentu orang baik. Dan rasanya, mustahil bersikap begitu. Tapi bagaimanapun, aku musti percaya dengan kata-katamu. Hanya saja, aku tidak bisa menerimanya. Termasuk juga, tidak bisa menerima perlakuan pada mereka," sahut Rangga tenang.
"Kisanak! Kau datang tiba-tiba, lalu mencam-puri urusan orang. Padahal saat ini, kau tengah berada di daerah kekuasaan majikan kami. Sebaiknya, jangan ikut campur. Dan, berlakulah yang sopan!" bentak Ki Bagus Ireng sedikit mengancam.
"Bagaimana aku bisa diam kalau ternyata kalian tengah menyiksa saudaraku?"
"He"! Apa maksudmu..."!" seru Ki Bagus Ireng kaget.
"Mereka adalah saudara dekatku. Bila mereka bersalah, maka akulah yang akan bertanggung ja-wab. Tapi aku tahu betul watak mereka. Sehingga tidak mungkin rasanya mereka mencuri sesuatu dari tempat kalian. Lagi pula, kenapa harus jauh jauh bila sekadar mencuri" Toh, masih banyak rumah hartawan yang bisa dicuri. Dugaanku, kau pasti mengada-ada. Maka aku tidak bisa tinggal diam melihat apa yang kau lakukan pada saudara-saudaraku!" ujar Rangga, lantang.
"Huh! Kalau begitu kau memang sengaja mencari urusan! Ingatlah! Majikanku tidak akan suka hal ini. Maka terpaksa kami harus membawamu juga secara paksa. Kau telah banyak melakukan pelanggaran di daerah ini. Dan karenanya, kau harus mendapat hukuman!" dengus Ki Bagus Ireng.
"Hm... Agaknya majikanmu merasa berkuasa menghukum seseorang"!" sahut Rangga mencibir sinis.
"Dia lebih berkuasa daripada seorang raja. Dan kau akan melihatnya segera!" balas Ki Bagus Ireng.
Bersamaan dengan itu Ki Bagus Ireng memberi isyarat. Maka sebagian besar anak buahnya langsung mengepung dengan senjara terhunus. Pemuda itu terkurung dalam waktu singkat. Dan sepertinya, tak ada jalan keluar sedikit pun.
"Ringkus...!" perintah Ki Bagus Ireng keras menggelegar.
"Yeaaat!"
? *** ? Trang! Trang! "Hup!"
Golok di tangan Pendekar Rajawali Sakti yang masih belum dilepaskan, berkelebat memapak senjata para pengeroyok mengancam keselamatannya. Orang-orang itu agaknya tidak mau bertindak kepalang tanggung. Mereka benar-benar ingin meringkus pemuda itu dengan cara apapun. Bahkan Ki Bagus Ireng menambahkan perintah untuk membunuh Pendekar Rajawali Sakti ketika melihat anak buahnya masih belum juga mampu meringkus.
"Jangan kasih hati! Bunuh saja dia...!"
"Yaaat...!"
Sing! Set! Serangan para pengikut Iblis Rambut Merah mulai terasa dahsyat. Mereka menggunakan segala cara dengan gerakan kompak. Bahkan beberapa orang telah melemparkan senjata rahasia berupa lempengan baja tipis sebesar telapak tangan bayi, berbentuk segi banyak. Malah ketika Rangga coba menghindar serta menangkis, mereka memberondongnya dengan lemparan tombak. Dan baru saja Rangga menghindari serangan, beberapa orang yang lain coba menjeratnya dengan jala.
"Sial!" rutuk Rangga kesal.
Kesabaran Pendekar Rajawali Sakti mulai hi-lang, melihat ulah para pengeroyoknya. Rangga menggeram. Kemudian tubuhnya mencelat ke belakang menghindari dua buah jala yang hendak meringkusnya. Begitu menjejak tanah, Pendekar Rajawali Sakti kembali melesat ke muka, seraya membuat gerakan jungkir balik.
"Heaaat..!"
Golok yang masih berada di tangan Pendekar Rajawali Sakti, berkelebat menyambar ke arah para pengeroyoknya.
Bet! "Aaa...!"
Dua orang memekik nyaring dan terjungkal ke belakang. Pada bagian dadanya terlihat luka menyilang, bekas tebasan golok Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga kembali melompat ke samping sambil mengibaskan golok untuk menangkis dua buah tombak yang menyambar leher dan pinggangnya.
Trak! Wuuut! Kedua pengeroyoknya mengeluh pelan. Tombak mereka nyaris terpental. Namun Rangga tidak mempedulikannya. Dan ujung goloknya terus menyambar dan merobek kedua perut lawan.
Bras! "Aaa...!"
Orang-orang itu memekik keras sambil mende-kap perut. Tubuh mereka terhuyung-huyung ke belakang.
Tiga orang lagi mencoba meringkus Pendekar Rajawali Sakti. Sementara lima kawannya menge-pung dari belakang untuk mengincar kelemahan serta kelengahan Rangga yang sejak tadi mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang dipadu dengan jurus dari lima rangkaian Jurus 'Rajawali Sakti'.
Sambil menundukkan kepala dan membung-kuk, Rangga menghindari tebasan senjata-senjata lawan. Kakinya bergeser dan sedikit memiringkan tubuh. Kemudian goloknya berkelebat.
Wut! Bret! "Aaa...!"
Tahu-tahu tiga orang yang berada di depan Rangga terjungkal bersimbah darah. Sedangkan pemuda itu bergulingan, saat lima pengeroyoknya yang berada di belakang melompat menerkam. Dan dengan gerakan cepat sekali, Pendekar Rajawali Sakti melenting sambil membabatkan goloknya. Dan...
Bret! "Aaa...!"
Kelima orang itu kontan memekik setinggi langit begitu perut mereka robek mengucur darah segar, tersambar golok yang dipegang Rangga.
Rangga melompat mendekati ketiga laki-laki yang masih terkurung dalam jala. Lalu dirobeknya jala itu dengan golok di tangan. Sementara empat orang lawan langsung menerjang. Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak kalah sigap. Seketika tebasan goloknya siap menyambut.
Trak! Trak! Dua bilah golok milik anak buah Ki Bagus Ireng terpental. Pada saat yang sama, Rangga sudah lebih cepat berkelebat dengan kecepatan dahsyat. Tahu-tahu....
Bret! "Aaa...!"
Salah seorang kembali tewas dengan pinggang robek. Sementara seorang lagi kehilangan lengan kirinya. Sedangkan kedua lawan yang lain sempat menghindar dari amukan golok Pendekar Rajawali Sakti.
"Kisanak! Kami mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Tapi kita harus cepat meninggalkan tempat ini! Mereka licik...!" ujar Lesmana mengingatkan. Suaranya terputus oleh rasa nyeri di perutnya.
"Kenapa begitu...?" tanya Rangga.
"Kalau tidak cepat meninggalkan tempat ini, kau akan celaka!"
"Kisanak, aku tidak mengerti....
Rangga memandang Lesmana beberapa saat. Wajah laki laki ini tampak cemas. Dan tiba-tiba, tangannya menunjuk sesuatu dengan muka semakin pucat ketakutan.
"Celaka! Ayo, cepat kita tinggalkan tempat ini...!" teriak Lesmana seraya mengajak kedua kawannya untuk kabur.
Rangga yang tengah bingung, menoleh. Dia melihat beberapa sosok tubuh bergerak lincah mendekati dari kejauhan. Datangnya bukan dari satu arah, tapi dari semua arah.
"Hiiih!"
Mendadak Ki Bagus Ireng melemparkan sesuatu ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Bus...! "Heh..."!"
Benda sebesar kepalan bayi itu kontan meletup, mengeluarkan asap hitam tebal. Perbuatan Ki Bagus Ireng itu diikuti beberapa anak buahnya yang lain. Sehingga hanya dalam waktu singkat, tempat itu dipenuhi asap hitam tebal yang tidak hanya menghalangi pandangan, tapi juga mengandung bius hebat.
"Uh, kurang ajar!" Rangga memaki geram.
Saat itu juga, Pendekar Rajawali Sakti menutup jalan pernapasannya, dan memindahkannya ke perut. Dan mendadak pendengarannya yang tajam menangkap gerakan halus yang tertuju ke arahnya.
"Uhhh...!"
Pemuda itu mengeluh kesal. Dan goloknya cepat berkelebat, berhasil menangkis benda keras.
Wuuuk! Tras! Belum lagi habis rasa kagetnya, kembali terasa desir angin kencang menyambar dari belakang. Pendekar Rajawali Sakti membungkuk, lalu melompat ke samping. Goloknya cepat menyambar ke satu arah, kemudian...
Cras! "Aaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti bergulingan, dan langsung melompat ke depan begitu datang serangan kilat menyambar dari samping kanan. Cepat sekali serangan-serangan itu datang silih berganti. Namun begitu, Rangga berhasil menangkis dan menewaskan salah seorang dari mereka.
Rangga memperkirakan kalau lawan yang menyerang berjumlah sekitar lima orang. Dan mereka memiliki kepandaian hebat. Paling tidak, memiliki pendengaran tajam. Sebab dalam suasana gelap dan berkabut hitam begini, akan sulit untuk membedakan mana lawan dan mana kawan.
Rangga memperkirakan, bisa meladeni serangan-serangan lawan. Namun, asap hitam ini bukan sembarangan, karena mengandung obat pembius yang ampuh. Sementara lawan-lawannya seperti tidak terpengaruh, karena memiliki obat pemunahnya. Sehingga dengan demikian, mereka leluasa menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
Bagi Rangga sendiri, tidak mungkin rasanya untuk bernapas lewat perut terlalu lama. Lambat laun dia akan celaka sendiri. Berpikir begitu, pemuda ini yang sejak tadi telah mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara', menghantamkan kedua tangannya ke depan. Seketika, timbullah desir angin kencang. Tertangkap oleh telinganya. beberapa sosok tubuh berkelebat ke arah pukulannya yang mungkin dirinya disangka tengah melompat. Maka kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya untuk melarikan diri!
? *** ? Rangga bisa merasakan kalau pengeroyoknya terkecoh oleh tipuannya. Sehingga ketika telah berada cukup jauh dari kepungan asap hitam yang tebal itu, tak ada seorang pun yang membuntutinya. Pemuda itu tidak mau ambil pusing, dan terus menjauhi Lembah Darah.
Namun langkah Pendekar Rajawali Sakti ter-henti ketika pendengarannya yang tajam menang-kap sesuatu. Bunyi gemerisik serta beberapa ranting kecil yang patah seperti terinjak. Rangga cepat melompat ke salah satu cabang pohon terdekat yang cukup tinggi, kemudian mengawasi keadaan sekitarnya. Tidak jauh dari arah timur laut, terlihat tiga orang yang tadi terkurung jala tengah berlari-lari kencang. Rangga tersenyum, lalu melompat menyusul.
"Kisanak, berhenti!" teriak Pendekar Rajawali Sakti, begitu menjejakkan kaki di hadapan mereka.
"Eeeh...!"
Ketiga orang itu tersentak kaget dengan wajah pucat. Mereka langsung menghentikan langkah. Namun ketika mengetahui siapa yang mencegat perjalanan, wajah yang pucat kembali lega.
"Ah, kukira siapa. Kiranya kau, Kisanak...," ujar Lesmana.
"Maafkan, aku telah mengagetkan. Syukurlah kalian sempat melarikan diri dan selamat dari tempat itu...."
"Sebaiknya, jangan lama-lama di sini! Tempat ini belum jauh dari Lembah Darah. Mereka mudah menemukan kita. Ayo, kita harus menyingkir sejauh mungkin!"
Ajakan Lesmana langsung diikuti kedua kawannya. Apalagi ketika dia langsung berlari meninggalkan tempat ini. Sehingga, Rangga yang coba mencegah, tidak bisa berbuat apa-apa. Terpaksa Pendekar Rajawali Sakti mengikuti mereka.
Setelah telah merasa cukup jauh, mereka menghentikan larinya. Lesmana terduduk lesu, bersandar di bawah sebatang pohon. Demikian pula kedua kawannya. Napas mereka terasa memburu dan tidak beraturan.
"Kisanak, kami bertiga mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu...," ucap Lesmana se-telah napasnya kembali teratur.
Dengan suara satu persatu, Lesmana menge-nalkan kedua kawannya pada Pendekar Rajawali Sakti. Yang bertubuh sedikit gemuk serta agak pendek bernama Palaga. Dan seorang lagi bernama Baruna.
"Sebaliknya siapakah kau Kisanak...?" lanjut Lesmana, bertanya.
"Namaku Rangga...."
"Hm, ya. Sepertinya kau orang baru di wilayah ini. sehingga tidak mengenal keangkeran Lembah Darah ..."
"Ada apa sebenarnya di tempat itu" Dan, apa yang terjadi dengan kalian?"
"Di lembah itu tinggal seorang tokoh sesat ber-nama Ki Girang Manuk. Namun, orang-orang lebih mengenalnya sebagai Iblis Rambut Merah. Dia memiliki istana serta banyak anak buah. Kepandaian mereka cukup tinggi dan sedikit mengerti ilmu sihir. Namun tidak semuanya. Hanya kaki tangannya yang terdekat saja Iblis Rambut Merah jangan ditanya lagi! Ilmu olah kanuraganya hebat. Begitu juga ilmu sihirnya. Dia menculik tokoh tokoh persilatan yang memiliki kepandaian hebat, maupun yang memiliki kepandaian biasa untuk diperbudak menjadi kaki tangannya. Mereka yang diculik, kemudian tidak pernah mau kembali pada keluarganya lagi...," jelas Lesmana.
Rangga mengangguk angguk mendengar pen-jelasan itu.
"Kalau begitu, kalian termasuk korban mereka?"
"Ya. Tapi kami berhasil lolos, sebelum mereka sempat menyihir melalui pengaruh obat dan kekuatan bathinnya."
"Apakah di antara korban-korbannya hanya kalian yang berhasil lolos?"
"Beberapa orang telah mencoba, namun tertangkap. Yang lainnya malah terbunuh. Kalau saja? kau tidak menolong, maka nasib kami tidak berbeda dengan mereka..."
"Apakah tidak ada yang berusaha mencegah kejahatan Iblis Rambut Merah?"
"Pernah beberapa pendekar mencoba merin-tanginya. Namun mereka semua binasa. Bahkan ada yang menjadi kaki tangan si Iblis Rambut Merah."
"Hm, sungguh keji perbuatannya! Apa mak-sudnya berbuat begitu?"
"Iblis Rambut Merah ingin menguasai dunia persilatan. Dengan mengumpulkan tokoh silat menjadi kaki tangannya maka impiannya akan terwujud tanpa menemui rintangan berarti."
"Orang ini benar-benar keterlaluan! Dia akan berbuat apa saja untuk mewujudkan impiannya. Iblis Rambut Merah harus dicegah!" dengus Rangga geram.
"Apakah kau akan membantu?" tanya Lesmana.
"Apa yang bisa kubantu?"
"Kami bermaksud menemui Ki Sukma Agung. Dari dia, mudah-mudahan bisa menghubungi para pendekar lain untuk bergabung menghancurkan Iblis Rambut Merah.
"Ki Sukma Agung" Apakah Pendekar Tongkat Malaikat yang kalian maksudkan?"
"Benar! Apakah kau mengenalnya?" Lesmanabalik bertanya dengan wajah terkejut.
"Tidak. Aku hanya pernah mendengar nama besar beliau..."
"Bagaimana" Apakah kau bermaksud berga-bung" Kita harus menyatukan kekuatan. Sebab bagaimanapun hebatnya kemampuan seseorang, sulit rasanya bisa menghancurkan Iblis Rambut Merah seorang diri. Orang itu licik dan banyak tipu dayanya. Lebih dari itu, kini kaki tangannya berjumlah banyak, terdiri dari tokoh-tokoh silat cukup hebat. "
Rangga berpikir sejenak sebelum menyatakan persetujuannya lewat anggukan pelan. "Baiklah..."
"Syukurlah. Sekarang lebih baik kita berang-kat!" ajak Lesmana.
Dan tiba-tiba Rangga bersuit nyaring, membuat Lesmana dan dua kawannya terkejut. Tidak berapa lama terlihat dari kejauhan seekor kuda berbulu hitam menghampiri. Kuda hitam bernama Dewa Bayu langsung meringkik pelan seraya mengusap-usapkan hidungnya ke dada Pendekar Rajawali Sakti. Dan kini, mereka sama sama pergi meninggalkan tempat ini.
? *** ? 4 ? Seorang laki laki tua duduk bersila, menatap jendela kamarnya yang sepi dan lapang, tanpa pe-rabotan apa-apa selain sehelai permadani yang terdampar di tengah-tengah lantai. Kedua bahunya turun naik beraturan. Pandangannya seperti hendak menembus ke halaman luar. Di pangkuannya tampak sebilah pedang dengan warangka berwarna hitam yang bagian ujungnya terdapat dua buah garis kuning melingkar. Gagangnya agak panjang, berbentuk biasa. Sepintas lalu, pedang ini tidak ubahnya seperti pedang biasa. Padahal, beberapa belas tahun silam sempat menggegerkan dunia persilatan di tangan pemiliknya, yaitu Ki Tadang Alang alias Malaikat Bermuka Delapan.
Kini, orang tua yang memang Malaikat Bermuka Delapan sendiri menghela napas panjang. Lalu dia bangkit dari duduknya dan beranjak keluar kamar. Di depan pintu, menunggu seorang wanita setengah baya yang terduduk lesu sambil bersimpuh di lantai. Meski tahu kalau pintu telah terbuka, namun dia tidak juga mengangkat wajah
Ki Tadang Alang kembali menghela napas be-rat.
"Aku akan berangkat sekarang, Nyai....," pamit Malaikat Bermuka Delapan, lirih Wanita tengah baya itu terdiam. "Nyai.? Kau harus mengerti. Ini soal harga diri. Dan?"
"Aku telah mendengarnya beberapa kali. Tapi, apakah Kakang tidak bisa sekali saja mendengar kata-kataku?" potong wanita itu, seraya meng-angkat wajahnya.
Ki Tadang Alang tidak tega. Dari kelopak mata istrinya tampak bergulir titik-titik airmata sehingga wajahnya terlihat basah. Suara wanita ini tercekat di kerongkongan, sehingga keluar tersendat-sendat. Namun begitu, dia berusaha menguatkan hati. Wajahnya lantas mendongak ke atas dengan perasaan pilu.
"Aku seorang pendekar. Dan darahku juga darah pendekar. Ini warisan dari keluarga turun te-murun. Bila seseorang menantang, maka tidak boleh tidak, untuk menerima tantangan ini. Musuh tidak dicari. Namun bila bertemu, tidak boleh menghindar!" tandas Ki Tadang Alang.
"Mudah bagi Kakang berkata seperti itu. Tapi, apakah Kakang bisa merasakan hati seorang istri yang ditinggal pergi selamanya?"
"Nyai! Apa yang kau katakan" Kau merendah-kanku. Bahkan telah memastikan kematianku"!" seru Ki Tadang Alang dengan wajah kaget.
Wanita yang memang istri Malaikat Bermuka Delapan terdiam, lalu menundukkan kepala lagi.
Disadari kalau kata-katanya itu tidak pantas diucapkan di depan suaminya. Tapi, kesedihan hatinya tidak bisa membendung, sehingga meluncur begitu saja dari bibirnya.
"Maafkan aku, Kakang. Tapi agar Kakang mengetahui, begitulah yang kurasakan. Aku tidak ingin kehilanganmu sambungnya lirih."
Ki Tadang Alang menghela napas, kemudian mengusap kepala istrinya disertai senyum kecil.
"Nyai, urusan maut bukan di tanganku. Juga, bukan di tangan siapa-siapa. Hanya Yang Maha Kuasa yang tahu. Kematian seseorang bukan ditentukan suatu pertarungan, tapi ditentukan oleh ajalnya!"
"Apakah berarti manusia tidak boleh menghindar dari hal-hal yang mencelakakan dirinya. Bila jelas seseorang ingin membunuhmu, apakah kita tidak patut menghindar karena percaya kalau kematian bukan ditentukan siapa pun!"
"Nyai, jangan mengajariku menjadi pengecut. Telah kupikirkan hal ini masak-masak. Dan keputusanku tidak berubah. Kuharap, kau bisa mengerti"," sahut Ki Tadang Alang lirih.
Wanita itu kembali terdiam untuk beberapa saat.
"Apakah Kakang tidak membayangkan bila suatu saat si Tidung Kelana pulang dan mena-nyakan keadaanmu" Apa yang harus kujawab, bila Kakang tewas dalam pertarungan nanti?"
"Kenapa kau persoalkan kematianku" Tidak-kah lebih baik kau memberi semangat?"
"Entahlah. Sudah tiga malam ini, aku terus bermimpi buruk. Kulihat, Kakang tergelincir ke dalam lubang dalam yang tak bertepi. Aku tidak bisa melihat, apalagi menolong. Hanya jeritanmu yang berkumandang, mengganggu perasaanku Sehingga, membuat hatiku tercabik-cabik.
"Nyai, itu hanya mimpi Jangan terlalu percaya."
"Mimpi terkadang menjadi kenyataan. Kakang! Apalagi mimpi yang berulang-ulang seperti kualami ini!"
"Sudahlah, Nyai. Tidakkah lebih baik kau mendoakanku ketimbang mencemaskanku?"
"Aku senantiasa berdoa demi keselamatan dan kesejahteraanmu, Kakang!"
"Terima kasih, Nyai. Nah! Tenangkan hatimu. Dan, relakan niatku ini. Semestinya kau bangga kalau suamimu bukan seorang pengecut. Demikian pula halnya putra kita, Tidung Kelana. Tumbuhkan rasa bangga di hatinya. Meskipun aku tewas, tapi tewas secara ksatria dalam pertarungan jujur...."
Wanita itu terdiam, lalu bangkit berdiri. Kemudian digenggamnya telapak tangan suaminya, dan diciumnya sesaat.
"Kalau sudah demikian tekadmu, pergilah. Semoga kau selamat dan pulang ke rumah tanpa kurang suatu apa pun...," ucap wanita itu.
'Terima kasih, Nyai. Aku pergi, sebelum malam terlalu larut!" ujar Ki Tadang Alang seraya mencium kening istrinya. Lalu dia melangkah pelan.
Sesaat Malaikat Bermuka Delapan menoleh dan memandang wanita itu agak lama. Lalu, dia berbalik dan melangkah lebar dengan hati mantap.
Wanita itu melangkah mendekati sebatang tiang kayu di beranda depan, dan memeluknya sambil menyandarkan wajahnya. Airmatanya meleleh pelan tak terasa. Bola matanya bening dan pandangannya mengabur. Hatinya perlahan menjauh, seperti bayangan suaminya. Terasa sakit yang menyiksa ketika suara guruh memecah kesunyian malam. Memang sebentar lagi hujan akan turun.
? *** ? Sebuah tempat yang banyak ditumbuhi pohon bamboo. Dan sejauh mata memandang, terlihat hanya pohon ini. Sehingga tidak salah bila orang-orang menyebutnya Hutan Bambu. Meski di sebe-lah timur dan agak sedikit ke selatan, banyak juga terdapat pohon dari jenis lain.
Kini, malam semakin larut. Bulan yang tadi bersinar terang, perlahan bersembunyi di balik awan hitam yang bergerak menyelimuti. Caha-yanya memudar kelam yang menyelubungi malam, bertambah pekat. Angin bertiup agak kencang, menggoyang-goyangkan batang-batang bambu, membuat ribut dedaunan yang bergesekan. Sehingga suasana saat ini bertambah seram. Jarang sekali ada yang berani melewati tempat ini pada waktu malam menjelang. Apalagi berada di sini untuk beberapa saat.
Sesekali cahaya kilat menerangi Hutan Bambu ini. Dan sekilas terlihat sesosok tubuh berdiri tegak membelakangi gerumbulan pohon bambu dengan kedua tangan terlipat di dada. Sepasang matanya tajam, laksana seekor kucing dalam kegelapan. Di tangan kanannya tergenggam sebilah pedang bergagang panjang. Warangkanya yang panjang dan sedikit kecil, membedakannya dari pedang biasa yang sering digunakan tokoh-tokoh persilatan.
Orang itu terdiam seperti patung. Tidak sedikit pun dia beranjak dan tempatnya. Lama menunggu dengan sikap demikian, tiba-tiba dia tersenyum sinis.
"Hm... Ternyata kau datang juga akhirnya...!" gumam orang itu.
Memang, dari balik semak-semak tampak me-nyeruak sosok tubuh dengan pedang dalam genggaman. Usianya sekitar lima puluh tahun lebih. Rambutnya pendek dengan pengikat kepala agak lebar berwarna hijau. Wajahnya bersih, tanpa kumis atau jenggot. Hanya sedikit kerut-merut, sebagai pertanda kalau usianya sudah tidak muda lagi.
"Aku tidak pernah menghindari setiap tantangan!" ujar orang yang baru datang, tegas.
"Bagus," sahut orang yang berdiri menunggu.
"Kaukah yang bernama Akira Yamamoto?" tanya laki-laki setengah baya ini.
"Benar!" tegas pemuda yang menunggu, yang tak lain dari Akira Yamamoto.
"Apa yang membuatmu mengirim surat tan-tangan padaku?"
"Ki Tadang Alang! Kau seorang tokoh ternama di negeri ini. Beberapa tahun silam ada seorang sahabatku yang berkunjung ke negeri ini. Dia bercerita bahwa di negeri ini terdapat banyak sekali pendekar yang memiliki kepandaian hebat. Di negeriku, mereka menjulukiku sebagai Pendekar Pedang Bayangan. Dan di sana pula terdapat banyak pendekar berilmu tinggi. Namun aku tidak tertarik menantang mereka, sebab menyadari kalau guru-guru mereka tidak akan mampu mengalahkan guruku. Ada kebiasaan di padepokanku, kalau seorang murid harus menunjukkan keperkasaannya dengan mengalahkan para tokoh silat lain. Dan itulah yang kulakukan di negerimu ini!" jelas Akira Yamamoto.
"Aku mengerti. Namun kau pun harus tahu kalau kebanyakan dari padepokan silat yang beraliran lurus di negeri ini, mempunyai kebiasaan dalam mengamalkan ilmu padi balas laki-laki setengah baya yang memang Ki Tadang Alang. alias Malaikat Bermuka Delapan
"Ilmu padi" Apa maksudnya?"
"Makin tinggi kehebatannya, maka makin ren-dah hatinya. Dan, tidak mau menonjolkan kepandaian. Kecuali, terhadap mereka yang memaksa seperti orang-orang sombong yang ingin mema-merkan kepandaiannya!" tandas Ki Tadang Alang.
"Ki Tadang Alang" Kita telah tahu kebiasaan masing-masing yang berbeda. Namun hal itu tidak menyurutkan niatku. Orang-orang di negeri kita, senantiasa memegang amanat, meski nyawa taruhannya. Dan amanat padepokan begitu. Maka, aku harus mematuhinya!"
"Kalau begitu, tunggu apa lagi" Silakan! Aku telah siap!" ujar orang tua itu lantang, seraya me-rentangkan tangan kanannya.
"Baiklah!"
Akira Yamamoto langsung membuka jurus, dan bergerak pelan mendekati Malaikat Bermuka Delapan. Kedua telapak kakinya bergeser. Sorot matanya semakin tajam seperti hendak menikam tepat di jantung laki-laki setengah baya itu.
Sementara kilat yang menjilat angkasa menerangi keduanya untuk sesaat. Dan tanda itu di gunakan Akira Yamamoto untuk mulai menyerang Ki Tadang Alang.
"Yaaa...!"
"Hup!"
Akira Yamamoto bergerak cepat merakukan satu tendangan, menyapu dari kiri ke kanan ke muka Malikat Bermuka Delapan. Namun Ki Tadang Alang tidak kalah gesit. Badannya cepat membungkuk, sehingga tendangan itu luput. Sementara, pemuda itu segera berbalik. Kaki kirinya cepat menyambar ke arah perut Malaikat Bermuka Delapan.
"Uts!"
"Yeaaa!"
Ki Tadang Alang melompat ke atas. Lalu dia membuat gerakan salto ke kanan. Sedangkan Akira Yamamoto terus mengejar lewat sodokan ujung pedangnya. Cepat-cepat orang tua itu mengibaskan pedang untuk menangkis.


Pendekar Rajawali Sakti 151 Pendekar Pedang Bayangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Trak! Trak! "Hiiih!"
Dua kali hantaman ditangkis Ki Tadang Alang. Dari sini orang tua ini bisa menduga, sampai sejauh mana kehebatan tenaga dalam pemuda itu. Dan ini membuatnya kaget. Sebab dengan usia semuda ini, Akira Yamamoto yang berjuluk Pendekar Pedang Bayangan telah memiliki tenaga dalam luar biasa. Ilmu silatnya tidaklah kelihatan hebat. Bahkan berkesan sederhana. Namun kecepatannya sulit diduga. Demikian pula arah serangannya.
Tanpa terasa, pertarungan telah memakan waktu sepeminuman teh. Dua belas jurus dilewati. Dan sejauh itu, kelihatan kalau Ki Tadang Alang mulai keteter. Dua jurus terakhir, dia hanya bisa bertahan. Dan kalau itu terus berlangsung, bukan tidak mungkin akan celaka. Maka memasuki jurus ketiga belas, Ki Tadang Alang merubah jurus.
"Heaaa" !"
Sring! Akira Yamamoto hanya tersenyum kecil ketika Ki Tadang Alang melompat ke belakang. Dibiarkannya saja orang tua itu seperti memberi kesempatan untuk mempersiapkan diri dengan jurus baru.
Malaikat Bermuka Delapan membentak nyaring, lalu melompat menyerang seraya mencabut pedang.
"Bagus! Seharusnya sejak tadi kau keluarkan permainan pedangmu yang handal. lnikah yang disebut juris 'Sayap Delapan'?" ejek Pendekar Pedang Bayangan.
"Hm. Kau memang tahu banyak tentangku, Sobat. Berhati-hatilah!"
Pendekar Pedang Bayangan mendengus sinis Kedua tangannya yang menggenggam pedang mengangsurkannya ke depan menunggu tibanya serangan Malaikat Bermuka Delapan.
"Yaaa!"
Srang! Pemuda itu membentak. Pedangnya telah ter-cabut dan sarangnya dan melempar warangkanya. Kini batang senjatanya digenggam dengan kedua tangan. Pedang panjang yang berkilat tajam itu berkelebat memapak senjata Malaikat Bermuka Delapan.
Trang! Trang! "Heaaat..!"
Beberapa kali senjata mereka beradu. Sedangkan Ki Tadang Alang berusaha menekan dengan menggunakan jurus terhebatnya, 'Sayap Delapan'. Pedangnya berciutan, membentuk serangan ke segala arah seperti mengurung lawan. Kecepatannya sungguh hebat. Dan dalam keadaan demikian, orang tua itu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Namun, kali ini si Pendekar Pedang Bayangan langsung memapaki setiap serangan. Dia tidak pernah menghindar setiap kali pedang Malaikat Bermuka Delapan membabat, tapi terus menangkisnya. Bahkan balas menyerang gencar.
Melewati jurus ketigabelas, Pendekar Pedang Bayangan melompat ke atas. Sementara Ki Tadang Alang mengikuti. Namun pemuda itu bersalto ke belakang agak ke samping kiri. Dan tubuhnya cepat sekali bergulingan, seperti melayang di permukaan tanah setinggi setengah jengkal, sambil mengayunkan pedang secepat kilat. Akibatnya"
"Yeaaa!"
Cras! "Aaa" !"
Malaikat Bermuka Delapan kontan memekik begitu pedang Pendekar Pedang Bayangan menemui sasaran. Tubuh orang tua itu terhuyung-hu-yung ke belakang dengan darah segar mengucur deras dari dahi hingga ke bibir. Nyawanya lepas begitu ambruk di tanah.
Akira Yamamoto telah memungut warangka pedangnya dan menyarungkannya kembali.
Trek! Setelah menatap mayat orang tua itu, Pendekar Pedang Bayangan meninggalkan tempat ini dengan tenang tanpa menoleh lagi!
? *** ? Seekor kuda yang ditunggangi seorang pemuda berlari kencang melewati sebuah jembatan lebar yang terbuat dari bambu. Tidak berapa lama, dia bertemu jalan bersimpang tiga. Langsung diambilnya jalan ke kiri tanpa ragu-ragu. Dari kejauhan, terlihat sebuah bangunan besar yang hanya berpagar semak-semak yang ditata rapi. Di halaman depan, terlihat beberapa orang yang berbaris rapi. Salah seorang berdiri di muka dan saling berhadapan. Orang itu menunjukkan beberapa gerakan tertentu. Kemudian secara bersamaan, yang lain mengikuti gerakannya.
"Hooo ...!"
Penunggang kuda itu berteriak, sambil ber-usaha menghentikan lari kudanya. Hal ini menarik perhatian mereka yang berada di depan bangunan besar ini dan segera menoleh. Seorang yang tadi berada di depan, menghampiri ketika penunggang kuda itu turun dari tunggangannya.
"Hormatku! Namaku Bangun Wisesa dari Padepokan Sungai Ular. Aku mendapat pesan dari guruku, untuk disampaikan kepada Ki Arga Wampu, ketua Padepokan Mega Dahana!" ujar penunggang kuda, setelah memberi salam hormat.
"Hormat kembali! Aku Jembala, murid tertua Padepokan Mega Dahana. Mari ikut denganku. Guru ada di dalam!" sahut Ki Jembala.
Mereka berdua lantas melangkah ke dalam bangunan utama, setelah Ki Jembala memberi pengarahan singkat pada murid-murid yang lain.
Murid tertua di padepokan ini segera memba-wanya masuk ke sebuah ruangan khusus. Dia mengetuk pintunya, kemudian terdengar sahutan dari dalam. Keduanya segera membuka pintu, dan segera memberi salam hormat pada seorang tua bertubuh kecil dengan rambut agak pendek.
"Guru. Aku membawa utusan dari Padepokan Sungai Ular!" lapor Jembala.
"Hm, silakan duduk!" sahut orang tua yang bernama Ki Arga Wampu.
Ketiganya kini duduk bersila di lantai yang beralaskan tikar. Lalu Bangun Wisesa memperke-nalkan diri.
"Apa gerangan yang kau bawa dari sahabatku itu?"
Murid Padepokan Sungai Ular itu mengeluarkan sepucuk surat, kemudian diberikannya pada ketua Padepokan Mega Dahana. Ki Arga Wampu membaca sesaat, lalu mengangguk.
"Siapakah orang itu sebenarnya?" tanya laki-laki tua bertubuh kecil itu setelah menyimpan su-ratnya.
"Guru sendiri tidak tahu. Dia tiba-tiba saja, muncul dan membuat kekacauan. Sudah banyak kalangan persilatan yang terpengaruh olehnya...," sahut Bangung Wisesa.
"Lalu apa yang menyebabkan gurumu tidak bisa memenuhi undangan Ki Sukma Agung?"
"Apakah di surat tadi guru tidak mengatakan-nya?"
Ki Arga Wampu menggeleng. Mengetahui ja-waban itu, murid Padepokan Sungai Ular itu terdiam beberapa saat.
"Apakah gurumu sakit?"
"Tidak."
"Lalu?"
"Sebenarnya ini rahasia. Tapi, kami tak ta-han...," suara Bangun Wisesa mulai lirih.
"Ada apa" Apakah yang terjadi terhadap gurumu?"
"Guru harus menghalangi pertarungan berat."
"Pertarungan berat" Apa maksudnya?"
"Seorang pendekar dari negeri Matahari Terbit mengirim surat tantangan untuk melakukan pertarungan jujur. Menguji kemampuan masing-masing sampai salah seorang tewas."
"Kenapa kau kelihatan bersedih" Gurumu bukan tokoh sembarangan. Dan dia tahu, apa yang harus dilakukannya!"
"Kami semua tahu. Tapi, lawan yang diha-dapinya bukan sembarangan. Dia telah menewas-kan dua tokoh ternama dalam waktu dekat ini," jelas Bangun Wisesa.
"Hm. Siapa saja yang telah tewas di tangannya?"
Wajah Ki Arga Wampu berkerut mendengar penuturan murid Padepokan Sungai Ular itu selanjutnya.
"Ki Tambak Kencana dan Ki Tadang Alang..."
?"Apa"!"
Ketua Padepokan Mega Dahana itu tersentak kaget. Untuk sesaat dia tidak percaya mendengar apa yang dikatakan Bangun Wisesa. Dipandanginya laki-laki berusia tiga puluh tahun ini agak lama. Meski mengangguk dan berusaha meyakinkan keterangannya, tetap saja Ki Arga Wampu sulit mempercayainya.
Kedua tokoh yang disebutkan itu, termasuk tokoh kelas satu. Dan, tidak sembarang tokoh lain bisa membunuh mereka. Dan bila ada yang mampu menewaskan, pastilah orang itu memiliki kepandaian hebat. Maka tidak heran bila Bangun Wisesa tampak sedih memikirkan pertarungan gurunya. Sebab, dia telah berkecil hati dan menyangka gurunya pun akan menyusul kedua tokoh yang disebutkannya tadi.
Kuda Binal Kasmaran 3 Dewa Arak 84 Nyawa Kedua Dari Langit Geger Topeng Sang Pendekar 2

Cari Blog Ini