Ceritasilat Novel Online

Putri Randu Walang 1

Pendekar Rajawali Sakti 148 Putri Randu Walang Bagian 1


" . 148. Putri Randu Walang Bag. 1 dan 2
11. Dezember 2014 um 08:04
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Putri Randu Walang
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1? ? Hari belum terlalu senja ketika dua orang penunggang kuda mulai memasuki halaman luas sebuah bangunan kokoh terbuat dari kayu hutan. Daerah sekitar tempat ini agak gersang. Sedikit sekali pepohonan yang tumbuh. membuat matahari yang sudah berwarna jingga dengan leluasa menciptakan bayangan panjang.
Pada bagian sebelah kiri bangunan itu, terlihat bangunan lain yang bertingkat dua. Atapnya dari ijuk. Sedangkan bangunan utamanya langsung berhubungan dengan pintu depan.
"Berhenti...!"
Mendadak terdengar bentakan seseorang. Lalu dari atas atap melayang dua sosok tubuh wajahnya ditutupi kain hitam. Mereka langsung menghunuskan sebilah golok ke arah kedua penunggang kuda itu.
"Hieee...!"
Karena terkejut, kedua hewan itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Untung saja penunggangnya cepat menguasai keadaan. Sehingga dalam waktu singkat mereka berhasil menenangkan kuda-kuda itu.
"Siapa kalian"! Dan, apa maksud kalian datang ke tempat ini"!" bentak salah seorang dari dua orang bertopeng.
"Kami utusan Kanjeng Gusti Ayu Rara Ning?rum! Dan kedatangan kami untuk bertemu dengan Gendoruwo Samber Nyawa!" sahut salah satu penunggang kuda.
"Mana tanda pengenal kalian?"
"Ini!"
Salah seorang mengeluarkan lencana kerajaan. Langsung ditunjukkannya pada kedua orang berto?peng itu.
"Hm, baiklah. Silakan masuk. Ketua kami telah menunggu kedatangan kalian!" kata seorang ber?topeng seraya mempersilakan kedua penunggang kuda itu masuk ke dalam bangunan.
Setelah berkata demikian, kedua manusia ber?topeng itu mencelat ke tempat semula Sebentar saja, mereka telah menghilang di belakang bangun?an.
Kedua penunggang kuda itu memperhatikan sekilas. Mereka menghela napas dan saling berpandangan, kemudian dia menggebah kudanya memasuki halaman bangunan itu. Mereka turun da?ri punggung kuda dan menambatkannya di sebuah pohon yang tidak jauh dari situ. Suasana sepi, membuat mereka curiga dan merasa tak enak. Tidak seorang pun terlihat di tempat ini. Segalanya hening. Dan bangunan yang kumuh serta berkesan reot itu menambah suasana di tempat ini menjadi menyeramkan.
Krieeet...! Terdengar derit pintu terbuka, ketika kedua orang itu membuka pintu bangunan ini, mereka segera melongok ke dalam. Ruangan itu tampak sepi.
"Sampurasun...." ucap salah seorang.
"Silakan masuk. Ketua telah menunggu ka?lian!"
Terdengar sebuah suara menyahuti, membuat keduanya memandang sekilas. Dan tahu-tahu me?reka melihat seorang laki-laki tegap bertelanjang dada serta memakai ikat kepala lebar warna hitam, muncul begitu saja bagai sebuah bayangan.
"Eh, jalan mana yang kami lalui...?" tanya seorang yang bertubuh agak kecil.
"Hm, masuk sajalah. Di situ kalian akan menemui sebuah terowongan. Kemudian masuk dan turuni anak tangga tanpa ragu-ragu. Di sana, akan ada yang menyambut kalian!" sahut orang itu menjelaskan.
Apa yang dilihat kedua orang utusan Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum dalam ruangan ini hanya suasana remang-remang yang diterangi cahaya matahari dari celah-celah di dinding-dinding. Kini di dalam ruangan terdapat tiga buah pintu yang berukuran berbeda.
Dengan diantar laki-laki tegap tadi, keduanya segera menuju pintu yang ditunjukkan. Dan mereka segera membukanya dengan mudah. Terlihat sebu?ah undakan anak tangga yang menuju ke bawah. Sebelum melaluinya, keduanya sempat melirik. Orang bertubuh tegap tadi ternyata telah lenyap dari tempatnya. Entah ke mana!
Kedua utusan Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum melangkah ragu. Baru saja dua anak tangga dilalui, pintu kecil itu menutup cepat. Mereka tersentak kaget. Salah seorang cepat memburu dan berusaha membuka. Namun baru disadari kalau ternyata bagian dalam daun pintu itu terbuat dari baja. Padahal yang mereka lihat dari luar hanya terbuat dari kayu lapuk.
'Terkunci dan keras sekali!" desis orang itu seraya memandang ke arah kawannya dengan wajah cemas.
Laki-laki yang satu lagi tercenung. Kemudian dia menghela napas dan mengajak untuk terus menyusuri anak tangga. Lebih dari dua puluh undakan telah dilalui sebelum tiba di bawah. Dan di sana te?lah menyambut seorang lelaki bertopeng hitam dan bertelanjang dada. Dia hanya mengenakan celana pangsi dengan sarung melilit pinggang.
"Mari ikuti aku! Ketua telah menunggu keda?tangan kalian!" kata orang bertopeng hitam itu datar.
Kedua utusan Kanjeng Gusti Ayu Rara Ning?rum mengikuti orang bertopeng itu dengan langkah ragu seraya memperhatikan keadaan sekeliling. Yang terlihat hanya cahaya remang-remang dari obor yang terpancang di dinding lorong ini.
Ketika membelok ke kiri sepanjang lebih kurang sepuluh tombak, ketiganya memasuki sebuah ru?angan yang cukup luas. Di situ banyak ditemukan orang bertelanjang dada dan bercelana pangsi dengan pinggang terlilit sebuah sarung bercorak kotak-kotak. Entah apa yang mereka lakukan. Na?mun sepertinya tak seorang pun yang mempedulikan kedua orang asing itu.
"Silakan masuk. Dan katakan, berita apa yang kau bawa...!"
Tiba tiba terdengar suara bernada kasar. Pada?hal saat itu mereka baru saja memasuki sebuah kamar. Bahkan belum lagi, melihat siapa yang berada di dalamnya.
? *** ? Cahaya di dalam ruangan ini tampak suram dan pengap. Ada kepulan asap yang menggantung, memenuhi ruangan. Sehingga, menambah sesaknya pernapasan. Beberapa orang berdiri sambil bersedekap. Dua di antaranya mengapit sebuah kursi yang berukuran lebar. Di situ, duduk seorang laki-laki berusia setengah baya. Rambutnya yang lebat, dilepas begitu saja hingga berkesan awut-awutan. Wajahnya tidak terlihat jelas, diselimuti keremangan. Tapi seperti yang lain, dia pun bertelan?jang dada. Celananya pangsi hitam dengan sebuah sarung kotak-kotak melilit pinggang. Tubuhnya ter?lihat tegap. Dan dalam kegelapan, sepasang matanya nyalang laksana mata seekor kucing di kege?lapan.
"Lekas katakan maksud kalian!" sentak seseorang, ketika kedua utusan Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum masih diam terpaku.
"Eh, ya...?? Tapi, apakah kami tengah ber?hadapan dengan Gendoruwo Samber Nyawa?" sahut seorang utusan meyakinkan dugaannya.
"Kalian tengah berhadapan dengannya!"
"Oh, iya.... Namaku, Pangkita. Dan ini, Selora. Kami membawa pesan dari Kanjeng Gusti Ayu Ra?ra Ningrum. Beliau membutuhkan bantuan untuk mewujudkan keinginannya," sahut utusan yang mengaku bernama Pangkita.
"Hm... imbalan apa yang bisa diberikan padaku?" tanya laki-laki yang duduk di hadapan kedua utusan ini.
"Apa yang Tuan inginkan akan dpenuhinya. Asal..."
"Ha ha ha...! Segala yang kuinginkan"!" potong laki-laki yang memang Gendoruwo Samber Nyawa.
"Be..., betul.... Tapi..."
"Aku mengerti! Tapi dia akan merasa berat mengabulkan apa yang kuinginkan," kata Gendo?ruwo Samber Nyawa tersenyum sinis.
"Asal hasilnya memuaskan, Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum tidak memikirkannya!"
"Hm, begitu?"
"Iya! Begitulah pesan beliau!" sahut Pangkita cepat seraya mengangguk.
"Hm, baiklah. Aku akan mengabulkan keingin?annya."
"Oh! Beliau pasti akan gembira mendengar berita ini!" seru Pangkita girang.
Wajah Pangkita tampak berseri. Demikian pula Selora. Sementara itu pandangan mereka mulai terbiasa oleh keremangan ini. Sehingga, mereka mampu memperhatikan wajah wajah yang berdiri memenuhi ruangan. Mereka tampak kaku. Bahkan berkesan menggiriskan. Tak ada senyum sedikit pun, membiaskan jiwa penuh kebengisan. Dan meski keduanya berusaha bersikap ramah, tidak urung tetap saja merasa kecut.
"Eh! Kalau begitu, tidak ada lagi yang bisa kami bicarakan. Dan kami mohon pamit."
"Ha ha ha...! Kenapa buru-buru" Apakah ka?lian sudah begitu bosan di sini, sehingga harus cepat-cepat pergi?" tanya Gendoruwo Samber Nya?wa.
"Kami harus cepat melaporkannya pada Kan?jeng Gusti Ayu," sahut Pangkita.
"Rasanya tidak perlu. Sebab, beliau akan mendapat pesan langsung dari kami."
"Oh! Kalau begitu, bagus sekali!"
"Ha ha ha...! Kami terbiasa bekerja dengan rapi. Begitu pula pekerjaan ini. Segalanya akan ber?jalan rapi dan lancar!"
"Kanjeng Gusti Ayu memang tidak salah pilih. Kalian adalah orang-orang hebat. Mudah-mudahan rencana beliau berjalan mulus."
"Hua ha ha...! Tentu saja. Di tanganku, segalanya akan berjalan mulus. Dan yang terpenting, tak ada seorang pun yang akan tahu hal ini. Tak ada seorang pun!"
Gendoruwo Samber Nyawa langsung mendekatkan wajahnya pada kedua utusan itu seraya me?nekankan kata-kata terakhirnya.
"He he he...! Tentu. saja kami percaya," ujar Pangkita dan Selora terkekeh.
"Bagus! Kalau demikian, kalian pun mengerti. Lebih sedikit yang tahu soal ini, maka semakin baik. Maka, kalian harus mengalah!"
"Eh! Apa..., apa maksud kata-katamu itu..."!"
Pangkita terkejut setengah mati. Baru disadari kalau kata-kata orang itu terdengar masih menduga-duga.
Gendonjwo Samber Nyawa menyeringai lebar.
"Kalian terlalu banyak tahu tempat ini. Dan itu tidak baik bagi kami. Siapa pun orangnya, jika bukan anak buahku, tidak boleh mengetahuinya. Dia harus mati!"
Begitu habis kata-kata Gendoruwo Samber Nyawa habis, salah seorang yang berada di tempat itu langsung mencabut golok.
Wajah kedua utusan tampak pucat pasi bagai mayat. Bulu kuduk mereka meremang. Nyali mere?ka langsung terbang. Dan sebelum kedua utusan itu sempat menyadari apa yang akan terjadi, golok itu telah menebas kedua leher mereka.
"Ehhh..."!"
Srak! Cras! "Hokh!"
Terdengar keluhan pendek tertahan yang diikuti cipratan darah segar! Kedua utusan itu ambruk. Dan seketika, lantai ruangan ini bersimbah darah!
"Buang dan berikan bangkai bangkai ini ke rawa!" perintah Gendonjwo Samber Nyawa.
Orang-orang bertelanjang dada itu langsung mengerjakan perintah. Sedang Gendoruwo Samber Nyawa sendiri bangkit, lalu berlalu dari ruangan ini. Dan berjalan ke sebuah pintu yang berada di sebelah kiri kursinya.
? *** ? Seorang pemuda mengendarai kudanya di jalan sepi, yang seperti jarang dilalui manusia. Di sekelilingnya banyak terlihat pepohonan dan semak belukar. Tempat ini memang mirip hutan, meski di beberapa sudutnya masih terlihat satu atau dua buah gubuk kecil.
Pemuda itu menghela kudanya pelan seraya mengawasi keadaan di sekelilingnya. Meski matahari bersinar garang, namun udara di tempat ini terasa sejuk. Angin yang bertiup sepoi-sepoi dan kerimbunan pepohonan, membuat sengatan matahari tak terasa secara langsung.
"Ugkh! Ugkh...!"
Terdengar suara batuk-batuk beberapa kali. Dan di depan pemuda itu kini tampak seorang wanita tua yang terbungkuk-bungkuk. Dia tengah mengangkat beban ranting kayu di punggung. Be?berapa kali langkahnya terhenti. Kemudian setelah itu kembali berjalan pelan.
"Nek, mari kubantu...!"
Pemuda itu turun dari punggung kudanya. Segera dibantunya si nenek.
"Ah! Anak muda yang baik. Terima kasih atas bantuannya. Aku masih kuat mengangkatnya!" tolak si nenek, halus.
'Tidak mengapa, Nek! Biar kudaku yang membawanya," tandas pemuda itu, tidak peduli. Langsung diangkatnya beban yang dipikul wanita tua itu.
"Eh, terima kasih," ucap nenek ini.
"Masih jauhkah rumah nenek dari sini?"
'Tidak. Sudah dekat. Di seberang sungai kecil yang ada di depan sana," tunjuk nenek itu, seraya menuding ke depan.
"Hm..."
Pemuda itu menoleh ke arah yang ditunjuk si nenek.
Dari tempat mereka berada memang sudah terlihat sebuah sungai kecil agak ke sebelah kanan. Sebuah jembatan bambu yang agak lebar menghubungkan kedua tepi sungai itu. Nenek ini melangkah tertatih. Sementara pemuda itu mengikuti di belakangnya.
"Siapa namamu, Nak...?" tanya si nenek.
"Rangga."
"Rangga" Hm, ya. Apakah kau pun ingin mengikuti sayembara itu?" tebak si nenek bertanya lagi.
"Sayembara" Sayembara apa?" pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti balik bertanya.
"Aneh kalau kau tak tahu. Semua pemuda di Kerajaan Cadas Walang ini pasti tahu. Siapa yang tak terpikat oleh kecantikan Putri Randu Wa?lang..."!" gumam si nenek.
"Nek, aku orang baru di sini. Jadi, sama sekali tidak tahu menahu soal sayembara itu. Kedatanganku ke sini hanya kebetulan saja. Aku seorang pengembara. Dan tujuanku hanya mengikuti ke mana langkah kakiku saja," jelas Rangga.
"He he he...! Pantas saja kau tidak tahu."
"Siapa sebenarnya Putri Randu Walang yang Nenek sebutkan itu. Dan, sayembara apa yang di maksudkan"!"
"Gusti Prabu Arya Turangga Waskita yang merupakan Penguasa Negeri Cadas Walang mengadakan sayembara untuk mencari calon suami bagi putrinya," jelas si nenek singkat.
"Gusti Prabu Arya Turangga Waskita" Jadi dia penguasa negeri ini?"
"Benar...."
"Hm.... Mendengar namanya, pastilah beliau seorang yang arif lagi bijaksana!"
"He he he...! Beliau memang arif. Dan..., mungkin juga bijaksana," ujar si nenek menimpali, tapi bernada sinis.
"Kenapa mungkin" Apakah Nenek tidak merasakan kebijaksanaan beliau selama ini?"
"Beliau bijaksana. Tapi, terlalu lemah dan tidak punya pendirian tegas. Dengan demikian, sering menjadi makanan empuk bagi selir kesayangannya demi kepentingan pribadi. Tidak banyak yang tahu kalau sesungguhnya dia itu wanita telengas! Hatinya busuk, dan sering menyimpan niat-niat buruk. Sayang...! Satya Anggada tidak mau mendengar kata-kataku. Bocah itu terlalu menuruti hawa mudanya. Padahal, apa untungnya mengikuti sayembara itu"!"
"Eh! Siapakah yang kau bicarakan itu, Nek?" tanya Rangga, semakin tertarik.
"Siapa lagi kalau bukan cucuku si Satya Ang?gada! Dia betul-betul kepincut pada putri saja. Bahkan suka bermimpi akan menjadi raja suatu hari kelak!" sahut si nenek dengan perasaan kesal.
"Kurasa itu hal yang wajar. Nek. Setiap anak muda pasti punya impian dan harapan. Bukankah itu tidak salah?" Rangga coba memancing.
"Kalau saja yang diinginkannya gadis biasa dan dari keluarga baik-baik, maka aku tidak akan sejengkel ini! Putri Randu Walang, huh! Apa yang bi?sa diharapkannya dari perempuan angkuh itu"!" dengus si nenek.
"Perempuan angkuh" Dari mana Nenek bisa menduga seperti itu?"
"Kenapa tidak" Aku pernah menjadi dayang-dayang di Kerajaan Cadas Walang selama bebe?rapa tahun. Waktu itu. Putri Randu Walang masih kecil. Tapi sifatnya yang sombong dan angkuh su?dah terlihat. Dia tidak bisa diatur. Dan maunya ha?nya menuruti keinginan sendiri!"
Rangga tersenyum mendengar wanita ini ber?cerita dengan wajah kesal.
"Lalu, apakah karena sifatnya itu. Nenek akhirnya berhenti?"
'Tentu saja! Aku mendapat tugas menjaga sang putri. Dan suaru hari, sang putri lolos dari penjagaan. Semua sibuk mencari ke seluruh pelosok istana kerajaan. Raja langsung murka. Dan saat itu, aku menggigil ketakutan. Hukuman berat tentu akan menimpaku. Saat itu juga, aku diusir dari ke?rajaan. Beberapa hari kemudian baru aku menda?pat kabar kalau sebenarnya sang putri tidak hilang. Dia hanya bermain agak jauh dari lingkungan is?tana. Anak itu memang nakal dan susah diatur. Dia lebih suka bermain di luaran, daripada di istana kerajaan yang luas dan mewah!"
"Bukankah itu hal yang bagus, Nek" Dengan begitu kelak dia akan menjadi putri yang mengerti akan kemauan para rakyatnya. Atau barangkali bila kelak sang raja mangkat, maka dia bisa menjadi ra?tu yang lebih adil serta bijaksana," kata Rangga, coba menyanggah.
"Negeri ini tidak pernah diperintah oleh wanita. Dan selamanya, hal itu belum pernah terjadi. De?mikian pula dengan peraturan kerajaan yang berlaku. Seorang putri raja tidak akan menggantikan kedudukan ayahandanya. Kecuali, kalau dia bersuami. Maka suaminya yang bisa menggantikan kedudukan raja yang hendak turun tahta. Tetapi...."
"Tetapi apa, Nek?"
"Bila sang putri mangkat atau tidak berjodoh atau bahkan melepaskan haknya, maka putra selir raja yang akan menggantikan kedudukan sang raja."
"Itukah sebabnya, maka Gusti Prabu mengadakan sayembara ini?"
"Apa lagi maksudnya kalau bukan itu"!"
"Dan berarti, cucumu mempunyai cita-cita yang tinggi. Semestinya Nenek mendukung!" tandas Rangga.
"Dasar anak muda! Di mana-mana sama saja!" umpat si nenek pendek seraya menekuk mukanya.
Rangga tertawa saja. Sedang si nenek terdiam sampai mereka menemukan sebuah gubuk kecil. Pendekar Rajawali Sakti melirik ke samping gubuk. Dan di situ terlihat beberapa potong ranting yang tersisa. Tanpa banyak bicara Rangga meletakkan ranting yang dibawanya ke tempat itu. Setelah itu Rangga menghampiri kudanya yang berbulu hitam berkilat.
"Sudilah kau mampir dulu, Anak Muda?" si nenek menawarkan.
"Maaf, Nek. Aku harus melanjutkan perjalanan."
"Ah! Kau baik sekali. Sekali lagi terima kasih. Terima kasih atas bantuanmu!"
"Lain kali jangan bawa kayu sebanyak itu, Nek! Aku pergi dulu! Oh ya! Bila aku bertemu cucumu, pesan apa yang hendak kau sampaikan padanya?" kata Rangga seraya melompat ke atas punggung Dewa Bayu.
"Katakan padanya! Dia lebih pantas berladang dan membuka hutan, daripada terus bermimpi...!" teriak si nenek.
Rangga tersenyum. Setelah melambaikan tangan, kudanya digebah kencang, meninggalkan tempat itu.
? *** ? 2? ? ? "Hormat kami, Kanjeng Gusti! Gusti Prabu te?lah menunggu di dalam sana!" ucap seorang penjaga pada seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun. Yang baru saja melewatinya, menuju se?buah balairung pribadi.
Wajah wanita ini lonjong dengan sepasang ma?ta sedikit sipit. Namun tidak mengurangi kecantikannya. Kulitnya kuning langsat, hidungnya kecil agak mancung dengan bibir tipis agak lebar. Bentuk tubuhnya indah dan ramping, pada saat berjalan dengan langkah gemulai. Namun begitu, tak seo?rang pun yang berani mengangkat muka untuk melirik barang sekilas. Semua orang yang ada di situ menunduk sambil membungkukkan tubuh.
Sementara seorang penjaga lainnya, memberi salam hormat dengan membungkukkan tubuh. Wa?nita itu merapikan pakaiannya untuk sesaat, setelah tadi langkahnya terhenti.
"Apakah Kanjeng Gusti Prabu seorang diri?"
"Ampun, Kanjeng Gusti! Beliau bersama bebe?rapa orang pengawal!"
"Hm, terima kasih," ucap wanita cantik yang dipanggil Kanjeng Gusti ini.
Wanita itu lantas melanjutkan langkahnya pelan memasuki ruangan yang serba mewah. Di dalamnya, penuh barang barang indah yang nilainya tiadatara. Kursi dan permadani yang mahal serta hiasan dinding yang bernilai tinggi. Persis agak ke tengah dinding yang berhadapan dengan pintu masuk, duduk seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun lebih. Kumisnya tipis, kepalanya memakai mahkota terbuat dari emas bertatahkan permata in?dah berwarna-warni. Dia duduk di sebuah kursi me?wah berukir indah. Dan dia memang Penguasa Ke?rajaan Cadas Walang ini. Siapa lagi kalau bukan Gusti Prabu Arya Turangga Waskita.
"Hormat hamba, Kanjeng Gusti Prabu...!"
Wanita itu menghaturkan hormat seraya merangkapkan kedua tangan dengan kepala menun?duk.
"Hm... Kuterima hormatmu, Dinda" Silakan duduk!" ujar lelaki gagah itu dengan nada halus.
Wanita itu mengambil tempat di samping kiri Gusti Prabu Arya Turangga Waskita, lalu duduk dengan santun.
"Ada apa gerangan, Dinda Rara Ningrum" Kau memintaku untuk bertemu dan bicara tentang be?berapa hal penting. Apakah gerangan yang hendak Dinda bicarakan?" tanya Gusti Prabu Arya Turang?ga Waskita.
"Ampun. Kanjeng Gusti Prabu! Sebelum ham?ba mengutarakan maksud ada baiknya kita harus mengingat, dalam keadaan bagaimana suatu pembicaraan dilangsungkan. Bila menyangkut ketatanegaraan, maka sudah selayaknya di hadapan para pejabat kerajaan yang berwenang. Namun bila itumenyangkut urusan keluarga, maka sepatutnya orang sendiri yang hadir," kata wanita yang ternyata Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum, sambil menatapi para pejabat yang ada di ruangan ini.
"Hm...."
Gusti Prabu Arya Turangga Waskita menepuk tangan dua kali. Maka, empat orang pengawal yang berada dalam ruangan ini segera membungkuk hor?mat, lalu berlalu.
"Nah! Kini hanya ada kita berdua. Hal apa yang hendak Dinda sampaikan padaku?" lanjut laki-laki setengah baya itu setelah para pengawal pergi meninggalkan ruangan ini.
"Terus terang, Kanda. Hamba ingin menanyakan, apakah Kakanda masih ingat ketentuan kerajaan dalam hal ahli waris?" tanya Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum.
"Kenapa Dinda membicarakan hal itu?" Gusti Prabu Arya Turangga Waskita balik bertanya.
"Hamba khawatir Kakanda akan lupa "
"Tentu saja tidak!"
"Kalau demikian, tolonglah yakinkan hamba!"
Raja Cadas Walang ini menarik napas panjang. Kemudian bibirnya tersenyum kecil.
"Dinda... Pewarisku haruslah seorang anak laki-laki. Dan karena yang ada hanya wanita, maka suaminyalah yang kelak harus memegang tampuk pemerintahan. Oleh karena itu, kita harus tahu lebih dulu kecakapannya. Maka untuk itulah sayembara ini kubuat," sahut laki-laki ini singkat.
"Kakanda lupa. Bukankah Kakanda memiliki seorang putra yang cakap, lagi bisa diandalkan sebagai pengganti Kakanda dalam memimpin negara ini?"
"Maksudmu, Sodong Palimbanan?" tanya Gusti Prabu Arya Turangga Waskita, seperti ingin meyakinkan. Dahinya tampak berkerut tajam.
"Apakah ada yang lain?"
"Dinda.... Bukan aku tidak ingat, atau sengaja melupakannya. Tapi kau pun harus mengerti kalau dia tidak bisa."
"Apakah karena dia putra seorang selir?" potong Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum.
"Hm.... Mudah-mudahan kau mengerti."
Wajah wanita yang merupakan selir Gusti Prabu Arya Turangga Waskita ini berubah masam. Dia menghela napas yang terasa sesak. Tersiratlah perasaan hatinya yang kesal. Namun begitu Gusti Prabu Arya Turangga Waskita berusaha menghiburnya dengan kata-kata lembut dan senyum kecil.
"Dinda.... Aku tidak pernah membedakan di antara anak-anakku. Hanya dalam soal ini, agaknya yang sedikit istimewa. Karena. ini menyangkut kepentingan kerajaan. Dari dulu, peraturannya de?mikian. Dan bila berubah, maka rakyat akan menuntut. Bahkan bisa menimbulkan kekacauan. Dan itu pun akan dimanfaatkan para pemberontak," desah laki-laki itu coba memberi pengertian.
Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum terdiam be?berapa saat seraya menundukkan kepala.
"Bila Ananda Randu Walang menolak calonnya, apa yang hendak Kakanda lakukan?" tanya wanita cantik itu kemudian dengan nada lirih.
"Dia tidak punya pilihan lain. Ananda Randu Walang harus menerimanya!" tegas Gusti Prabu Arya Turangga Waskita.
"Kalau satria yang memenangkan sayembara itu tidak kuasa bersanding...?"
"Apa maksud Dinda...?" dahi Gusti Prabu Arya Turangga Waskita makin dalam berkerut.
"Aku mencemaskan nasib Ananda Randu Wa?lang. Dia akan berbuat apa saja, bila dipaksa melakukan sesuatu yang tidak disukainya."
"Dia tidak akan melakukan hal yang buruk. Percayalah. Meskipun bukan ibu kandungnya, tapi aku percaya kalau kau memang menyayanginya. Dia anak baik. Dan pasti mau menuruti kata-kata orangtuanya."
"Ya, mudah-mudahan saja segalanya berjalan lancar. Aku pun turut berdoa. Rasanya tidak ada yang ingin kubicarakan lagi. Aku mohon diri Kanda!" pamit Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum, langsung menghaturkan sembah.
"Baiklah. Silakan...!" ujar Gusti Prabu Arya Tu?rangga Waskita.
? *** ? Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum melangkah lesu ke kamarnya. Dia lantas duduk termenung sesaat di tempat tidur. Tak lama, seseorang meng?hampiri dari arah pintu yang sedikit terbuka. Diliriknya sekilas. Ketika mengetahui siapa yang datang, wanita itu diam saja.
"Ada apa gerangan, Ibunda" Apakah Ayahanda tidak merubah keputusannya?" tanya seorang pemuda tampan berpakaian indah.
Wanita itu mengangkat wajah. Kemudian dipandangnya pemuda berusia dua puluh dua tahun di hadapannya itu lekat-lekat. Terbias sinar amarah yang bergejolak di hatinya pada wajah cantik itu. Dia mendengus geram seraya menggeleng pelan.
"Huh! Kalau begitu, apa boleh buat! Barangkali kita harus memakai segala cara!" lanjut pemuda itu ikut menggeram.
"Anakku Sodong Palimbanan. Jangan khawatir! Segalanya akan kuperbuat, agar kau bisa mencapai cita-citamu!" kata Kanjeng Gusti Ayu Ra?ra Ningrum, tandas.
"Aku telah mendapatkan pasukan dalam jumlah banyak! Bila waktunya tiba, mereka akan bergerak!" desis pemuda yang dipanggil Sodong Pa?limbanan.
"Tidak, Anakku! Itu terlalu berbahaya. Kera?jaan penuh prajurit tangguh yang gagah berani. Keadaanmu akan lebih parah nantinya bila berusaha merebutnya dengan jalan kekerasan," tolak Kan?jeng Gusti Ayu Rara Ningrum.
"Bukankah itu usul Ibu juga?" tanya Sodong Palimbanan, seperti ingin mengingatkan.
"Benar. Namun tidak sekarang dilaksanakannya."
"Latu menunggu sampai kapan, Bu"!"
Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum terdiam sejurus lamanya dengan pandangan kosong ke de?pan. Pikirannya melayang seperti mengingat sesuatu.
"Apakah kedua pengawal yang pergi kemarin sudah kembali...?"
"Belum."
"Hm... Seharusnya mereka sudah kembali sore atau semalam. Apa yang terjadi" Apakah mereka menemui hambatan...?" gumam wanita itu seperti bicara pada diri sendiri.
"Apa yang ingin Ibu lakukan sehingga menyuruh dua orang kepercayaan kita?"
"Bukankah telah Ibu katakan sebelumnya. .?"
"Astaga! Jadi Ibu benar-benar ingin melibatkan Ki Torogongan dalam persoalan ini"!" seru So?dong Palimbanan kaget.
"Tiada jalan lain, Anakku," desah Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum.
"Tidakkah Ibu sadari kalau orang itu memiliki watak kejam dan tidak pandang bulu pada siapa pun"! Dia berbahaya bagi kita kelak. Bahkan bisa berbalik menjadi musuh!" kata Sodong Palimbanan, mengajukan keberatannya.
"Tenanglah, Sodong. Sampai saat ini dia dan anak buahnya masih yang terbaik. Kita memerlukan bantuannya untuk mewujudkan keinginanmu. Lagi pula, mana mungkin dia mengkhianati kita. Ki Torogongan adalah saudara sepupuku. Berarti, dia masih kerabat kita pula. Jadi, mana mungkin dia mengkhianati kita kilah Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum.
"Ibu.... Aku tidak yakin akan hal itu. Cerita mengenai dirinya amat buruk. Dia bahkan tidak peduli pada saudara sendiri," pemuda itu coba membantah.
"Itu tidak benar!"
"Heh"!"
Anak dan ibu itu terkejut. Mereka cepat berpaling ke arah satu suara yang tiba tiba menyahuti kata-kata Sodong Palimbanan. Pemuda itu cepat mencabut golok dan bermaksud menyerang orang yang tidak dikenalnya.
Sepasang matanya merah menyala bagai saga. Kumis dan jenggotnya awut-awutan, seperti rambutnya yang terlihat tidak pernah terurus. Dia mengenakan celana pangsi hitam, dengan sarung kotak-kotak melilit di pinggang. Orang ini memang mirip begal!
'Tenanglah, Anakku. Kau harus belajar kenal dulu!" sergah Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum, langsung mencekal lengan putranya sambil tersenyum kecil.
"Ibu, ada apa" Aku tidak mengenalnya. Dan dia juga bukan pegawai istana. Orang itu menyelundup, atau mata-mata. Dia perlu dihajar!" dengus Sodong Palimbanan geram.
Tenang saja. Dia tidak berbahaya pada kita Nah! Coba salami pamanmu. Dialah orangnya yang tengah kita bicarakan!"
"Apa"!"
Sodong Palimbanan terkejut. Langsung dipandangnya orang tua bertelanjang dada di hadapannya.
"Paman... Aku Sodong Palimbanan, menghaturkan hormat padamu!" ucap pemuda itu dengan nada ragu seraya membungkukkan tubuh.
"He he he...! Jadi kaukah orangnya" Tidak buruk! Kau memang pantas menjadi seorang raja. He he he...!" sahut laki-laki bertelanjang dada ini.
"Kakang Torogongan, selamat datang ke tempatku! Apakah kehadiranmu diketahui orang?" sambut Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum.
"He he he...! Kau meragukan kemampuanku, Rara Ningrum" Bila Gendoruwo Samber Nyawa muncul, maka tak ada seorang pun yang boleh mengetahuinya. Kecuali,bila diinginkannya!"
'Hm... Bagus, Kakang! Tidak sia-sia aku mem-percayaimu!" puji Kanjeng Gusti Ayu Rara Ning?rum.
"Kau boleh katakan, apa yang bisa kubantu!" tanya laki-laki bernama Ki Torogongan, alias Gen?doruwo Samber Nyawa.
"Sabarlah dulu, Kakang. Tidak usah terburu-buru. Kau pasti lelah. Nanti akan kusiapkan hidangan untukmu. Dan sementara itu, ada baiknya kalau kita menunggu hidangan muncul dengan berbincang-bincang!" ajak Kanjeng Gusti Ayu Rara Ning?rum seraya memberi isyarat pada putranya.
Sodong Palimbanan segera keluar dari ruangan ini, setelah menjura hormat. Sedangkan Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum beserta Ki Torogongan melangkah ke ruangan lain. Sebuah ruangan khusus yang berhubungan langsung dengan kamar ini.
? *** ? Seorang pemuda tersentak kaget di sebuah jalan yang menuju kotaraja Kerajaan Cadas Wa?lang, ketika melihat banyak orang desa berbondong-bondong ke satu arah.
"Mau ke mana mereka" Apakah hendak ke pasar untuk menjual hasil ladang" Tapi begini pagi?" gumam pemuda itu tidak habis piker.
Dia melompat turun. Kemudian dihampirinya kuda hitamnya yang tertambat tidak jauh dari cabang pohon yang tadi digunakannya sebagai tempat beristirahat.
"Ayo, Dewa Bayu! Kita ikuti mereka !" ajak pemuda berbaju rompi putih yang memang Rang?ga, alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Heeeh!"
Rangga cepat menaiki kuda hitam bernama De?wa Bayu. Digebahnya kuda itu pelan. Hari masih kelewat pagi. Bahkan masih terlihat gelap. Kini Dewa Bayu melangkah pelan, membuntuti orang-orang yang berbondong.
"Hendak ke mana pagi-pagi begini, Ki?" sapa Rangga pada salah seorang laki-laki setengah baya yang berada di dekatnya.
"Eh, sampai kaget! Oh, ada apa" Eh, iya... Hari ini ada keramaian di kotaraja. Apakah kau ti?dak tahu?" sahut laki-laki itu setelah tersentak kaget, seraya mendekap dada kirinya dengan sebelah tangan.
"Keramaian apa?" tanya Rangga lagi.
"Sayembara! Hei"! Kulihat, kau bukan penduduk sini. Apakah kau hendak mengikuti sayembara ini?" tanya laki-laki setengah baya itu balik ber?tanya.
"Oh, sayembara itu" Ah, tidak. Kebetulan hanya melihat lihat saja di tempat ini. Eh! Maksudku, ingin melihat sayembara itu berlangsung," jawab Rangga.
"Sayang sekali. Wajahmu tampan. Dan kau pun kelihatannya gagah. Apalagi membawa-bawa pedang segala. Paling tidak, kau pasti memiliki ilmu olah kanuragan. Kenapa tidak ikut saja" Konon, sayembara itu berupa adu ketangkasan!"
"Adu ketangkasan bagaimana maksudmu, Ki?" tanya Pendekar Rajawali Sakti mulai tertarik.
"Entahlah. Aku sendiri tidak tahu pasti. Mung?kin semacam ketangkasan menunggang kuda, perkelahian, atau semacam itu."
"Hm, memang menarik juga kedengarannya."
Laki-laki berusia setengah baya itu tertawa , kecil. Wajahnya tampak riang sekali.


Pendekar Rajawali Sakti 148 Putri Randu Walang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tentu saja! Apalagi bagi pemenangnya. Wah! Setelah mendapat gadis cantik, maka dia akan dinobatkan pula sebagai putra mahkota. Apakah kau sama sekali tidak tertarik''
Pemuda itu tersenyum.
"Pemuda sepertiku, mana pantas mengikuti sa?yembara segala macam. Aku hanya pengelana. Dan hidupku lebih pantas di alam terbuka."
"Hei, sayembara ini boleh diikuti siapa saja. Rakyat jelata ataukah para bangsawan. Baik miskin, kaya, maupun tua muda. Tidak ada batasan apa pun!" jelas orang tua itu bersemangat.
"Apakah kedatanganmu juga untuk mengikuti sayembara?"
"He he he...! Bisa saja kau. Aku hanya ingin menonton seperti yang lain. Lagi pula aku telah punya dua cucu!"
Pemuda itu ikut ikutan tertawa.
"Eh! Siapa namamu, Anak Muda?"
"Rangga, Ki."
"Hm, Rangga. Dari namamu saja, kau amat pantas menjadi raja. Benarkah kau tidak berminat mengikuti sayembara itu?"
Rangga menggeleng, dan kembali tersenyum.
"Sayang sekali. Padahal bila saja kau ikut, aku tentu akan mendoakanmu."
Rangga kembali tersenyum.
Iring-iringan ini bertemu iring-iringan penduduk dari desa lain. Kemudian, mereka bergabung, lalu berjalan bersama-sama. Di antara mereka mulai ribut saling bicara lantang sayembara yang dikatakan. Bahkan beberapa pemuda tampak gelisah. Mereka tersenyum-senyum sendiri membayangkan bila ikut sayembara, lalu menang dan bersanding bersama seorang putri jelita.
Menjelang matahari pagi muncul, mereka tiba di pinggiran kotaraja. Di sana, telah banyak pula orang berkumpul dari segala penjuru.
Di antara kerumunan itu, terlihat beberapa pemuda menunggang kuda perlahan-lahan. Mereka tidak terlihat sekaligus, tapi satu persatu. Yang seorang berbaju mewah seperti bangsawan dengan menunggang kuda yang bagus. Di pinggang belakang tampak terselip sebilah keris. Kemudian seo?rang pemuda bertubuh tegap berwajah kasar. Di pundaknya tersandang sebuah busur panah. Selanjutnya adalah laki-laki setengah baya dengan pedang di pinggang. Dan yang lain, rata-rata membawa senjata serta menunggang kuda. Orang-orang melirik. Dan mereka merasa yakin kalau mereka adalah peserta sayembara.
Apa yang mereka duga memang sebagian benar. Orang-orang berkuda itu kini memasuki sebuah gelanggang yang besar dan lebar yang berada tepat di depan pintu gerbang utama istana kerajaan. Satu persatu mereka berbaris. Kemudian, satu persatu pula turun dari kudanya untuk memberi penghormatan kepada raja serta beberapa kerabat kerajaan.
Rangga yang hadir di antara sekian banyak penonton, memperhatikan dengan seksama. Seperti kekaguman orang-orang terhadap putri raja yang duduk di sebelah kanan Gusti Prabu Arya Turangga Waskita, demikian pula yang dirasakannya.
"Hm, dia memang cantik...!" puji Rangga tanpa sadar, terlontar begitu saja.
'Ya, dia memang cantik. Tapi sayang, Putri Randu Walang tampak sedih. Apa gerangan yang membebani pikirannya," ujar seseorang yang ber?ada di dekatnya.
"Apakah kau tidak tahu?" tanya yang lainnya.
"Tahu apa?"
"Konon sang putri tidak menyukai diadakannya ini!"
"Ah. masa'..."!"
"Eh, tidak percaya! Bahkan katanya pula, dia belum berminat untuk bersuami."
"Ah, mana mungkin!"
"Kenapa tidak mungkin" Selama ini tidak ada tanda-tanda ke arah itu. Dan..., tiba-tiba saja sayembara ini diadakan."
"Ah! Itu bisa-bisamu saja! Yang jelas, Gusti Prabu merasa bahwa putrinya sudah pantas ber?suami. "
"Uh! Tidak percaya, ya sudah!"
Rangga mendengarkan sekilas. Kemudian kepalanya kembali berpaling ke arena gelanggang luas di hadapannya.
Sayembara pertama mulai berlangsung, setelah seorang prajurit membacakan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Lalu setelah mendapat izin raja, para peserta menunjukkan kebolhannya.
Lomba pertama yang dilakukan adalah ketang?kasan berkuda. Peserta sayembara satu persatu menunjukkan kebolehannya menunggang kuda mengitari arena, yang disambut sorak-sorai penonton. Ada yang mendecah kagum karena melihat seorang peserta yang demikian tangkas, juga ada yang bersorak karena geli melihat peserta terjungkal karena tunggangannya mengamuk. Tapi ada juga mencemooh melihat peserta yang sombong. Ternyata setelah mencoba, tidak lama kemudian dia terjatuh dari punggung kudanya.
Tidak heran bila beberapa peserta langsung gagal dalam lomba yang pertama ini. Sebab kuda yang ditunggangi memang khusus dipersiapkan untuk acara ini. Kuda-kuda itu masih liar, yang ditangkap beberapa hari lalu dari hutan dan belum dijinakkan!
Meski begitu, di antara sukacita penonton serta kerabat kerajaan, terdapat seseorang yang tak per?nah tersenyum. Diam mematung dan tidak peduli keramaian ini. Wajahnya cantik, mengenakan pakaian bagus dari sutera halus warna hijau, merah, dan biru. Sinar kecantikannya yang seperti mampu menerangi tempat itu, kelihatan suram. Namun begitu, tetap saja semua mata lelaki menuju pada?nya. Mereka tahu. wanita inilah yang menjadi bintang dalam perlombaan.
"Ah! Putri Randu Walang yang jelita...! Kalau saja aku bisa memilikimu...," desah setiap orang, penuh harap.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 148. Putri Randu Walang Bag. 3 dan 4
11. Dezember 2014 um 08:07
3 ? Malam ini tampak sepi. Bulan sepotong yang sedikit bersinar, terhalang awan hitam yang mulai bergerumbul. Sesekali terlihat kelelawar dan burung malam melintasi angkasa. Namun, keadaan seperti itu tidak mengusik orang-orang yang berada di bawahnya. Serta yang sedang terlelap dalam tenda-tenda kecil tidak jauh dari istana kerajaan.
Di sekitar tenda banyak prajurit kerajaan yang berjaga-jaga. Sebagian berdiri, lalu berjalan mondar-mandir. Beberapa di antaranya duduk menekur, menghadapi nyala api yang dijadikan penerangan sekaligus penghangat di malam yang cukup dingin ini. Namun tidak kurang pula yang terlelap sambil mendengkur keras!
Kawasan dan tenda-tenda kecil itu sengaja di-peruntukkan bagi para peserta sayembara. Segala kebutuhan serta keamanan mereka dipenuhi pihak kerajaan. Masing-masing dari mereka dilayani tiga orang prajurit. Sehingga dengan demikian Gusti Prabu Arya Turangga Waskita berharap mereka merasa puas dan tidak memiliki keluhan saat maju ke arena pertandingan.
Wajah-wajah mereka tampak letih setelah hampir seharian tadi mengikuti perlombaan pertama. Esok, mereka akan maju ke perlombaan kedua.
Adu ketangkasan! Ini lebih menentukan. Bila siang tadi banyak yang gugur. maka adu ketangkasan besok akan lebih seru. Sebab pertandingan ini menitik beratkan pada perkelahian. Mungkin akan lebih banyak lagi yang kalah. Sebagian besar peserta tampak tidak tenang dalam tidurnya. Semua memikirkan apa yang akan terjadi esok hari. Dan bisakah menjadi pemenang" Di tengah ketegangan mere?ka....
"Wuaaa...!"
"Heh"!"
Suasana di sekitar tenda-tenda kecil yang berjejer rapi itu tiba-tiba saja terang benderang. Dalam sekejap semua penghuninya keluar dengan wajah kaget begitu mendengar teriakan menyayat" di Sebuah tenda yang berada agak di sudut terbakar! Seketika beberapa orang keluar untuk membantu orang yang berada di dalam tenda itu. Sementara yang lain berusaha memadamkan api. Tapi saat itu juga, mencelat beberapa sosok tubuh berpakaian serba hitam yang langsung menyerang tanpa basa-basi.
"Yeaaat...!"
"Awaaas! Ada serangan gelap!" teriak seseorang memperingati.
Bret! Trang! "Aaa...!"
Dalam sekejap terjadi pertarungan sengit antara sosok-sosok berpakaian serba hitam yang tertutup topeng hitam, dengan para peserta sayembara dan para prajurit yang ditugasi menjaga. Suara beradu?nya senjata dan jerit kematian segera mewarnai tempat itu. Beberapa orang peserta sayembara ambruk dan tewas seketika dengan tubuh bersimbah darah. Namun ada juga yang sempat membawa senjata saat keluar tadi, dan langsung menangkis serangan-serangan lawan lalu balik menyerang de?ngan gencar.
"Suiiit!"
Mendadak terdengar suitan panjang yang nyaring. Orang-orang yang berpakaian serba hitam itu tahu-tahu melesat cepat bagai lesatan anak panah. Dan mereka langsung menghilang di kegelapan malam.
"Kurang ajar! Mari kita kejar mereka...!" teriak seseorang, langsung mengejar.
Beberapa orang lain cepat bergerak mengikuti. Tidak berapa lama mereka mengejar orang-orang bertopeng itu, muncul prajurit-prajurit kerajaan yang dipimpin seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dan bercambang bauk lebat. Dia memperhatikan keadaan di sekitarnya dengan wajah geram. Terutama ketika mendapati mayat-mayat prajurit kerajaan yang ditugaskan mengawal dan melayani kebutuhan para peserta sayembara. Semuanya bergelimpangan dengan luka menganga lebar.
"Kurang ajar! Siapa yang telah berbuat seperti ini"!"
Laki laki itu menggeram. Sepasang matanya mendelik lebar dengan wajah berkerut penuh amarah.
"Menyebar ke seluruh tempat ini. Dan, perketat penjagaan! Aku memastikan kalau kawasan ini te?lah dimasuki pengacau. Tangkap dan bawa kemari setiap orang-orang yang mencurigakan!" lanjut la?ki-laki bercambang bauk itu, memberi perintah.
"Siap, Panglima...!" sahut prajurit-prajurit ber?kuda itu, serempak.
Kemudian salah satu prajurit berteriak keras mengumpulkan prajurit-prajurit lain untuk menjalankan perintah Panglima Kerajaan Cadas Walang. Sementara panglima itu sendiri bersama tiga prajurit lainnya kembali ke istana kerajaan.
Setiba di pintu gerbang istana yang memang tidak jauh dari situ, panglima itu berhenti sesaat.
"Kau! Kembalilah ke sana. Dan, temui peserta sayembara itu. Katakan bahwa aku ingin bertemu mereka sebentar lagi...!" perintah panglima itu pada salah seorang prajurit yang menyertainya.
"Baik, Panglima!"
Prajurit itu bergegas berbalik dan segera memacu kuda. Sebentar saja, dia tiba di sana. Sementara para peserta sayembara telah kembali. Wajah-wajah mereka tampak lesu, kesal, dan marah.
Kawasan yang tadinya lengang, dalam sekejap berubah ramai oleh keributan itu. Para rakyat yang sore tadi memutuskan bermalam dengan mendirikan tenda-tenda, berkumpul ramai-ramai untuk melihat apa yang telah terjadi.
? *** Sementara itu, pada saat terjadi serangan mendadak, Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi menonton adu ketangkasan dan ikut bermalam ber?sama para penduduk lain, memutuskan untuk me?ngejar seorang laki-laki berbaju serba hitam dan bertopeng. Namun tidak seperti yang lainnya. Pemuda itu telah terjaga sejak tadi, dan mendengar keributan dari kawasan bermukimnya peserta sa?yembara. Dia menyelinap dan ikut mengejar tanpa diketahui yang lainnya. Tidak mengherankan bila mereka tidak mampu mengejar dan pulang dengan tangan hampa. Orang-orang bertopeng itu me?mang memiliki ilmu peringan tubuh cukup hebat dan larinya pun amat cepat. Lagi pula mereka tidak berlari berkelompok, melainkan berpencar satu persatu.
Wuuut! Pendekar Rajawali Sakti mengempos semangatnya, dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna. Sesaat kemu?dian tubuhnya melayang ringan, mengejar salah satu sosok orang berpakaian serba hitam. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh Pendekar Rajawa?li Sakti. Sehingga dalam sebentar saja, dia sudah hampir menyusul. Lalu dengan satu lentingan in?dah ke depan, tubuhnya berputaran di udara. Dan....
"Hentikan langkahmu, Kisanak!" bentak Rang?ga, begitu kakinya menjejak dua tombak di depan orang yang dikejar.
Orang bertopeng itu agaknya tidak mempedulikan peringatan Pendekar Rajawali Sakti. Tubuh?nya terus meluruk, langsung mengayunkan kepalan tangan kanan menghantam ke dada.
"Hiiih!"
"Uts!"
Cepat bagai kilat Rangga bergerak ke kiri sambil mengibaskan tangan untuk menangkis pukulan. Bersamaan dengan itu, orang bertopeng langsung mengirimkan tendangan menghantam ke perut. Namun Rangga telah melejit ke atas.
Orang bertopeng ini ternyata tidak mau peduli apakah penghadangnya bisa menghindari serangannya atau tidak. Yang jelas, dia langsung mencabut golok. Segera ditebasnya perut Pendekar Raja?wali Sakti.
Srak! Bet! "Kurang ajar...!" dengus Rangga geram.
Pendekar Rajawali Sakti segera bergerak lincah menghindari setiap tebasan golok. Kemudian tiba-tiba saja tubuhnya merunduk, lalu bergerak cepat menyodok ke arah orang bertopeng ini. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
"Yaaat!"
Plak! Duk! "Uhhh ...!"
Tahu-tahu saja, pergelangan tangan orang ber?topeng yang memegang golok itu kena kibasan ta?ngan Rangga. Dan ini, membuat senjatanya terpental jauh. Dan belum lagi sempat berbuat apa-apa, satu hantaman keras dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti, hingga tepat mengenai dada. Diiringi jerit kesakitan, orang bertopeng ini jatuh bergulingan. Dari sudut bibirnya tampak menetes darah kental. Dia terkejut dan mengusapnya. Saat itulah dia sadar kalau topengnya lepas.
"Siapa kau..."!" bentak orang itu garang de?ngan mata melotot lebar.
"Aku hanya salah seorang penonton adu ke?tangkasan siang tadi. Dan siapa pula kau" Kalian telah mengacau. Membunuhi para prajurit dan pe?serta sayembara itu," jelas Rangga dengan suara ditekan.
"Phuih! Budak kurang ajar! Mungkin kau salah satu anjing kerajaan yang ingin menjilat pantat majikannya! Kau tidak periu tahu siapa aku! Pergi! Dan, jangan campuri urusan ini!" bentak orang berbaju serba hitam ini.
"Maaf, Kisanak. Aku bukan anjing. Dan oleh karenanya, kau tidak bisa mengusirku. Kau akan kubawa ke istana kerajaan, dan kuserahkan pada prajurit yang berkepentingan untuk menghukummu!" sahut Rangga menegaskan.
"Kurang ajar! Rupanya kau belum tahu siapa aku, he"!" dengus orang berbaju serba hitam, kembali mendelik garang.
"Katakanlah, siapa kau ini. Mungkin setelah mengenalmu, siapa tahu aku takut...," ejek Rangga disertai senyum sinis.
"Ketahuilah. Aku adalah anak buah Gendo?ruwo Samber Nyawa, yang ditakuti semua orang di lima kawasan!" kata orang itu sambil menepuk dada dan menunjukkan wajah angkuh.
"Gendoruwo Samber Nyawa" Hm, pastilah orang itu berwajah seram. Demikian pula wataknya. Boleh jadi dia amat ditakuti," gumam Rangga, enteng.
"Nah! Masih ada kesempatan untukmu pergi dari sini! Dan, ingat! Jangan coba-coba mencampuri urusan orang lain!" lanjut orang yang ternyata anak buah Gendoruwo Samber Nyawa dengan berkacak pinggang. Wajahnya tampak semakin jumawa saja.
"Hm.... Kau terlalu cepat memotong pembicaraan. Maksudku, mungkin saja orang-orang akan takut dengannya. Tapi mendengar nama itu, sungguh membuatku geli. Gendoruwo Samber Nyawa" Hm, dia pasti sebangsa pelawak yang lucu!" sahut Pendekar Rajawali Sakti tenang.
"Seten! Rupanya kau sengaja cari mati, he"!"
Dengan penuh amarah, anak buah Gendoruwo Samber Nyawa ini melompat. Langsung diterjangnya Pendekar Rajawali Sakti kembali tanpa mempedulikan pergelangan tangan kanannya yang nyeri dihantam Rangga tadi.
"Heaaa!"
Wuuut! Pendekar Rajawali Sakti cepat berkelit dengan membungkuk. Lalu tubuhnya segera berputar ke samping. Dan tahu-tahu, dia telah berada di belakang lawannya.
Tapi orang berbaju serba hitam ini pun tidak kalah sigap. Dia segera melompat ke depan dengan berjungkir balik.
Pada saat yang sama, ternyata si Pendekar Rajawali Sakti langsung jungkir balik, mengejar. Be?gitu kakinya menjejak tanah, Rangga langsung melepaskan dua pukulan berturut-turut ke arah perut dan dada. Begitu cepat gerakan Rangga, sehingga tak mampu dihindari lawannya. Dan...
Duk! Des! "Aaakh...!"
Disertai jerit kesakitan, orang berbaju serba hitam terjungkal ke tanah dengan dada terasa sesak dan perut terasa mual. Dan dia hanya mampu mendelik, ketika Pendekar Rajawali Sakti meluruk ke arahnya hendak mencengkeram.
"Huh! Sekarang akan kubuat kau mengaku di hadapanku...!" desis Pendekar Rajawali Sakti. Ta?pi...
Entah dari mana, tahu-tahu melesat dua bayangan kecil sebesar kepalan tangan orang dewasa ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Wuuut! Wuuut! Rangga cepat menyadari. Seketika dua buah benda yang telah mengancamnya, menghantam ta?nah begitu Pendekar Rajawali Sakti melesat ke atas.
Dum...! "He, kurang ajar...!" maki Rangga kesal.
Saat itu juga terjadi ledakan kecil yang disertai gumpalan asap tebal yang sangat pekat dan ba?nyak. Sehingga untuk beberapa saat, Rangga tidak bisa melihat apa-apa ketika kakinya menjejak ta?nah.
"Heaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti membentak keras. Kedua telapak tangannya cepat diputar ke depan. Seketika terasa angin kencang berputar menghalau gumpalan asap serta debu dan dedaunan yang ber?ada di sekitarnya. Ketika gumpalan asap itu lenyap, maka Pendekar Rajawali Sakti langsung berpaling pada lawannya tadi. Namun orang berbaju serba hitam itu telah lenyap!
"Huh. brengsek! Pasti kawan-kawannya telah menyelamatkannya!" dengus Rangga dengan hari jengkel.
Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dengan wajah bersungut kesal, ka?kinya segera melangkah meninggalkan tempat ini.
? *** ? Tok! Tok! "Siapa...?"
Terdengar suara ketukan pintu di salah satu kamar indah di dalam Kerajaan Cadas Walang. Se?mentara, sosok di dalamnya cepat menyahuti, dengan kening berkerut.
"Ibu, Nak..."
"Oh, Ibu! Sebentar...!"
Sosok bertubuh ramping milik seorang gadis ini kemudian beringsut dari ranjang. Dengan langkah gemulai, dihampirinya pintu kamar ini.
Wajah gadis itu memang begitu sempurna. Rambutnya panjang dan hitam legam. Sepasang matanya bulat dengan deretan alis tebal sedikit melengkung. Hidungnya kecil dan agak mancung. Bibirnya merah merekah. Kulitnya putih bersih de?ngan bentuk tubuh indah. Bila tersenyum, maka akan mengguncangkan hati setiap lelaki. Namun, saat ini wajahnya tampak muram. Bola matanya tampak sayu. Malah dia tadi cukup lama termenung di atas ranjang, sampai terdengar ketukan halus di pintu tadi.
Ketika pintu dibuka, tampaklah seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun telah berdiri di ambang pintu. Wanita itu tersenyum lebar. Wajah?nya cantik, meski sedikit dihiasi kerutan. Rambut?nya yang panjang dan digelung ke atas, ditutupi se?buah selendang sutera warna ungu. Baju yang dikenakannya agak panjang. Dan di bagian dalam mulai dari pinggang, dibalut kain panjang berwarna dasar coklat.
"Apa yang tengah kau pikirkan, Anakku?" ta?nya wanita setengah baya ini ramah, seraya meng?ikuti gadis yang kembali duduk di tepi tempat tidurnya.
'Tidak ada apa-apa, Ibunda," sahut gadis can?tik itu.
Wanita itu tersenyum. Kemudian dibelainya rambut gadis itu sesaat.
"Hati seorang Ibu tidak akan bisa dibohongi bila anaknya gelisah atau mengalami kesusahan.
Seperti juga yang Ibu rasakan hari ini. Sejak tadi, kau terus gelisah. Bahkan sudah beberapa hari ini kau jarang sekali keluar dari kamarmu. Apa gerang?an yang merisaukan hatimu, Anakku..." Katakanlah. Siapa tahu Ibu bisa menolongmu!" desah wa?nita setengah baya yang rupanya ibu dari gadis itu.
Gadis itu tidak langsung menjawab. Malah dia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan-lahan. Kemudian kepalanya menoleh pa?da ibundanya.
"Bagaimana perasaan Ibu bila dijodohkan de?ngan orang yang tidak kita sukai. Padahal telah ada tambatan hati yang hendak dipilih...?" gadis itu malah mengajukan pertanyaan.
"Tentu saja hati kita akan sakit, Nak."
Gadis itu terdiam kembali. Sekali lagi dipandangnya wanita itu lekat-lekat untuk sejurus lamanya.
"Kurasa demikianlah keadaanku sekarang ini, Bu...," lanjut gadis itu lirih.
"Hm. Ibu mengerti sekarang. Lalu, kalau boleh Ibu tahu, siapa gerangan tambatan hatimu itu" Mungkin bila ayahandamu tahu, dia akan melihat apakah pemuda itu pantas atau tidak. Baru setelah itu, ditentukan langkah selanjutnya."
"Ini agak sulit dijelaskan, Bu..."
"Anakku Randu Walang... Sedemikian sulitkah, sehingga kau tak mampu menceritakan pada Ibundamu?"
Gadis yang ternyata Putri Randu Walang ini kembali terdiam. Berat rasanya untuk menceritakan persoalan ini, meski kepada ibundanya sendiri. Tapi berpikir lebih lanjut, bila tidak diceritakan, maka sayembara itu akan terus berlangsung. Dan pasti ada pemenangnya. Padahal setelah diperhatikan dengan seksama, tak ada seorang pun yang berkenan di hatinya.
"Beberapa malam di bulan yang lalu, Ananda bermimpi bertemu seorang pemuda. Wajahnya tampan rambutnya agak panjang. Dia menyandang pedang di punggungnya. Pemuda itu memakai baju rompi putih dan menunggang kuda hitam lbunda, dia tersenyum padaku. Dan aku melihatnya gagah sekali!" sahut Putri Randu Walang menceritakan persoalannya dengan wajah berseri-seri.
"Kau suka padanya?" tanya wanita setengah baya ini.
"Entahlah... Dia seperti melekat di hatiku dan sulit sekali kulupakan. lbunda, apakah aku tidak dianggap gila bila menginginkan pemuda itu sebagai pendamping hidupku" Semula, aku berharap dia ada di antara peserta sayembara. Namun kuperhatikan satu persatu, ternyata tak ada seorang pun yang mirip dengan gambaran pemuda dalam mimpiku," sahut Putri Randu Walang gundah.
"Anakku, terkadang hal-hal seperti itu bisa saja terjadi. Namun kita harus menyadari kalau mimpi adalah sekadar bunga tidur. Jangan terlalu berharap banyak. Hal itu biasa terjadi pada setiap orang. Dan, tidak ada yang menganggapmu gila," hibur ibundanya.
'Tapi apakah salah bila aku terlalu berharap?"
'Tidak, Anakku. Apakah kau demikian yakin kalau pemuda itu ada dalam kenyataan?"
"Entahlah, Bu. Aku tidak yakin. Tapi, telah kukirim dua orang pengawal kerajaan yang bisa kupercaya, untuk mencari pemuda itu dengan memberitahukan ciri-cirinya."
Wanita permaisuri Raja Cadas Walang ini tersenyum kecil. Kembali dibelai-belainya bahu putrinya.
"Ibu akan bicarakan hal ini pada ayahmu nanti. Mudah-mudahan beliau bisa mencarikan jalan."
"Ibu...!" seru Putri Randu Walang dengan wajah cemas.
"Ada apa, Anakku?"
"Aku khawatir ayahanda marah dan tidak menggubrisnya," keluh Putri Randu Walang.
'Tidak usah khawatir. Ayahmu bisa mengerti. Lagi pula, dia sayang padamu. Beliau tentu akan mencarikan jalan bagi kebahagiaanmu," hibur wa?nita itu.
"Bagaimana dengan sayembara ini?" Permaisuri ini belum sempat menjawab, ketika sekelebat bayangan melesat ke arah kamar. Dan tahu-tahu sesosok tubuh tegap bertelanjang dada, menerobos masuk dan berdiri di hadapan mereka. Bagian kepalanya ditutupi kain hitam. Dan hanya pada bagian mata terlihat dua buah bolongan kecil. Tubuh orang bertopeng itu melesat cepat, dan lang?sung menuju tempat tidur kedua ibu dan anak yang sedang berbincang-bincang itu.
"Ouw! Si... siapa kau..."!" sentak permaisuri itu dengan hati kecut dan wajah pucat.
Sementara, Putri Randu Walang langsung memeluk ibundanya erat-erat. Wajahnya tidak berani dipalingkan. Mukanya pucat dan tubuhnya gemetar. Tulang-tulangnya seperti copot dari setiap persendian.
"Minggir!" sentak orang bertopeng ini.
"Aouw!"
Wanita ini tersentak dan menjerit keras. Tahu-tahu tubuhnya terjungkal, begitu orang bertopeng ini menyentak tangannya.
Begitu menyentak permaisuri, orang bertopeng itu langsung menangkap pergelangan tangan Putri Randu Walang dan menotoknya. Begitu cepat kejadiannya, tahu-tahu sang putri telah berada dalam bopongannya. Dan seketika itu pula, orang berto?peng itu kembali melesat ke arah datangnya tadi. Lalu tubuhnya menghilang di kegelapan malam.
"Pengawal, tolooong! Tolooong...! Putriku di?culik! Putriku diculik!" teriak wanita itu, kalap.
Beberapa pengawal langsung mendobrak pin?tu, dan mendapati permaisuri junjungan mereka berteriak-teriak sambil menunjuk ke arah jendela yang terbuka lebar.
"Kanjeng Gusti Ayu! Ada apa?" tanya seorang pengawal.
"Putriku diculik orang! Cepat kejar! Tangkap penculik itu sampai dapat! Cepat...!"
"Baik, Kanjeng Gusti Ayu!" Pengawal kerajaan ini cepat bertindak. Dua orang keluar lewat pintu kamar untuk memberitahukan kawannya. Sementara tiga lainnya langsung mengejar lewat jendela yang terbuka tadi.
? *** ? 4? ? ? Terjadinya penculikan terhadap Putri Randu Walang, langsung membuat semua prajurit kerajaan menjadi kalang kabut. Ketiga prajurit yang pertama mengejar, sempat melihat si penculik. Namun bukan main kagetnya mereka, ketika melihat apa yang dilakukan penculik itu. Meski samar-samar di kegelapan malam dan berada agak jauh tapi jelas kalau penculik itu tidak melompati tembok istana yang tinggi. Tapi"
"Astaga! Dia berjalan di muka tembok!" desis seorang prajurit.
"Gila! Orang itu pasti memiliki ilmu 'Cecak'...!" timpal kawannya.
"Heh"! Apa pedulinya"! Meski berilmu setinggi langit, kita harus mengejar dan menangkapnya. Orang itu telah menculik Putri Randu Walang!" sergah prajurit yang seorang lagi.
"Ah, iya! Hampir saja dia membuat kita lupa. Ayo, kumpulkan yang lain. Kita tangkap dia bersama-sama!" seru kedua prajurit yang tadi terpaku, kini seperti tersadar.
Salah seorang dari mereka segera berteriak. Maka lebih dari tiga puluh prajurit berkuda langsung keluar dari gerbang istana untuk mengejar penculik Putri Randu Walang.
Tiga puluh prajurit kerajaan tidak bisa dianggap sembarangan. Mereka merupakan prajurit terlatih yang rata-rata memiliki ilmu olah kanuragan cukup hebat. Mereka mendapat perintah langsung dari Panglima Kurata.
"Heaaa...!"
Derap langkah kaki kuda bergemuruh laksana ribuan pasukan besar yang tengah menuju medan laga. Malam ini. demikian kisruh dan amat menjengkelkan. Baru saja terjadi kehebohan di kemah-kemah para peserta sayembara, kini dikejutkan oleh hilangnya Putri Randu Walang. Dan sudah barang tentu yang amat geram adalah Gusti Prabu Arya Turangga Waskita.
Pasukan itu dipimpin tangan kanan Panglima Kurata, yairu Ki Srengseng. Mereka bergerak ke utara, di mana tiga orang anak buahnya telah me?lihat penculik itu lari ke arah sana. Kuda-kuda dipacu kencang, sampai tiba di tepi sebuah hutan.
"Berhenti...!" teriak Ki Srengseng, tiba-tiba.
Laki-laki tegap berusia sekitar tiga puluh delapan tahun itu memberi isyarat pada anak buah?nya, ketika melihat dua orang tengah bertarung. Salah seorang terlihat memondong tubuh ramping, yang tak lain Putri Randu Walang. Ki Srengseng langsung memberi perintah untuk mengepung.
"Tangkap mereka berdua!"
"Yeaaa...!"
Mendengar teriakan para prajurit kerajaan, kedua orang yang tengah bertarung tersentak. Sesaat mereka menghentikan pertarungan langsung menoleh ke arah datangnya teriakan tadi. Namun justru kesempatan itu digunakan seorang yang memakai penutup kepala hitam serta memondong Putri Randu Walang di pundaknya, untuk melemparkan sesuatu.
"Hiiih!"
Pemuda berbaju rompi putih yang menjadi lawannya tersentak kaget. Namun, dia cepat me?lompat ke atas menghindari.
Dum! Seketika benda yang dilempar meledak menimbulkan asap tebal, menghalangi pandangan.
Pada saat kaki pemuda itu mendarat kembali di tanah, melesat beberapa utas tambang ke arahnya dan langsung membelitnya.
Set! Set! "Huh!"
Pemuda itu berusaha menyentak saat kedua tangan dan kakinya terbelit. Empat sosok tubuh mendadak melayang. Bukannya mereka terbanting karena sentakan, melainkan meminjam tenaga sentakan untuk membelit lebih erat dengan saling berpindah di antara mereka sendiri. Sehingga dengan sendirinya, dalam waktu singkat dan tanpa disadari, keempat orang itu berhasil membekuk pemuda itu.
Dan ketika asap mulai sirna, kini terlihat siapa yang tertinggal. Para prajurit kerajaan telah mengepung tempat itu. Empat di antaranya meringkus pemuda berbaju rompi putih. Sedangkan lawannya yang mengenakan topeng dan memondong Putri Randu Walang di punggung, lenyap entah ke mana!
"Hih! Siapa kau"! Dan, apa yang kau kerjakan di sini"! Mengakulah! Kalau tidak akan kuhukum berat!" bentak Ki Srengseng, galak.
"Kisanak! Namaku Rangga. Aku hanya se?orang pengembara. Tujuanku tidak buruk. Hm... Melihat dari seragam yang dikenakan, pastilah kalian prajurit Kerajaan Cadas Walang. Lalu kenapa kalian diamkan saja orang tadi dan malah menangkapku" Kulihat, dia keluar dari istana dan membawa seseorang. Tindakannya mencurigakan. Se?hingga, dia kuikuti. Aku bermaksud mencari tahu. Namun, orang itu ternyata bermaksud buruk. Kare?na, dia langsung menyerang. Kemudian aku ber?maksud meringkusnya, sampai kalian merusak ren-canaku," jelas Rangga, dengan sikap tenang.
"Dusta! Kalian telah bersekongkol menculik Putri Randu Walang! Sekarang katakan, ke mana kawanmu itu pergi"!" bentak Ki Srengseng, galak.
"Kisanak... Aku bicara apa adanya. Kau boleh percaya atau tidak."
"Kurang ajar! Penculik busuk! Kau akan merasakan akibatnya atas sikap keras kepalamu! Penga?wal! Bawa dia...!"
"Tunggu!"
Keempat pengawal yang tadi meringkus menggunakan tali, bersikap hendak mengikatnya dengan kuda. Pemuda itu jelas akan diseret menuju istana. Tapi niat mereka terhenti, ketika mendengar bentakan itu. Sepasang mata pemuda yang memang Rangga mendelik garang. Wajahnya berubah sinis, saat menatap tajam ke arah Ki Srengseng.
"Kisanak! Aku telah bicara yang sebenarnya padamu. Kau boleh percaya atau tidak. Tapi membawaku ke istana dengan cara seperti ini" Hm, tidak bisa!"
? *** ? Setelah berkata begitu, Rangga mendengus geram. Kemudian dia membentak keras seraya me?lompat ke atas.
"Heaaat...!"
Tes! Tes! "Uhhh...!"
Keempat prajurit kerajaan itu terkejut. Mereka berusaha menahan, namun sentakan itu demikian keras. Tali yang melilit di tubuh Pendekar Rajawali Sakti putus, membuat keempat prajurit melayang. Mereka berusaha menahan keseimbangan tubuh, namun Rangga telah lebih dulu meluruk menye?rang.
Duk! Buk! "Aaakh...!"
Para prajurit itu kontan terpental disertai jerit kesakitan. Mereka jatuh bergulingan. Dan sebelum bangkit, pemuda itu telah berdiri tegak, tepat di hadapan Ki Srengseng.
"Kau boleh katakan pada rajamu! Aku tiada urusan dengan penculik putrinya. Tapi bila kalian mau bekerjasama, aku bersedia membantu!" tegas Rangga.
"Huh! Apa derajatmu berani mengaturku"! Kau harus tunduk pada perintahku, karena selama ini tak ada seorang pun yang boleh membantah apa yang kukatakan!" dengus Ki Srengseng.
Setelah berkata begitu, laki-laki tegap ini lang?sung memberi perintah pada semua anak buahnya untuk meringkus Pendekar Rajawali Sakti.
"Ringkus dia sampai dapat...! Kalau melawan, kalian boleh bertindak keras!"
"Yeaaa...!"
Semua prajurit yang mengurung tempat ini serentak maju menyerang. Untuk sesaat Rangga terkesiap. Namun selanjutnya, Pendekar Rajawali Sakti mendengus geram, langsung melompat dan mencabut pedangnya.
Sring! "Heaaa...!"
"Heh"!"
Para prajurit itu terkejut. Dalam kegelapan ini, mereka melihat cahaya terang berwarna biru yang terpancar dari batang pedang pemuda itu. Namun hanya sekejapan mata saja. Sebab, selanjutnya ca?haya itu bergerak amat cepat ke arah mereka.
Trasss...! Kembali para prajurit itu dibuat kaget. Tanpa bisa berbuat apa-apa, senjata para prajurit putus dibabat Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Bahkan lebih dari lima belas orang langsung terjungkal sambil menjerit kesakitan terkena kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti yang berkelebat cepat. Sisanya yang tersentak dan berusaha melawan dengan balas menyerang atau menghindar, agaknya hanya menunggu waktu saja.
Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat. Dan dalam keadaan marah seperti ini, dia bertindak ti?dak kepalang tanggung. Semua lawan yang berada di dekatnya ambruk tanpa bisa melakukan perlawanan berarti. Dalam waktu singkat, semua prajurit kerajaan yang senjatanya telah dilucuti itu jatuh bangun dihajarnya.
"Pergilah kalian. Dan carilah si penculik itu!" ujar Pendekar Rajawali Sakti, setelah menjatuhkan lawan terakhirnya. Dan berdiri tegak memandang kepala pasukan prajurit kerajaan ini.
"Huh! Kau kira bisa berbuat semaumu"! Kau belum menang, Kisanak! Kau akan kutangkap de?ngan kedua tanganku!" dengus Ki Srengseng.
Setelah berkata demikian, Ki Srengseng me?lompat. Langsung diterjangnya Pendekar Rajawali Sakti dengan pedang terhunus.
Sret! "Hiiih!"
Pedang di tangan kepala pasukan prajurit itu berkelebat cepat menyambar bagian leher, dada, dan pinggang. Namun Pendekar Rajawali Sakti ha?nya mendengus kecil. Kemudian pedang diputar menangkis senjata Ki Srengseng.
Tras! "Heaaa!"


Pendekar Rajawali Sakti 148 Putri Randu Walang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pedang Ki Srengseng kontan putus dibabat senjata Pendekar Rajawali Sakti. Namun itu sama sekali tidak membuatnya kaget. Bahkan malah me?nyodok dada Rangga dengan hantaman telapak ta?ngan kiri.
Plak! Wuuut! Rangga mulai jengkel melihat keadaan ini. Cepat dia bergerak ke kanan, lalu menangkap pergelangan tangan Ki Srengseng, kemudian melesat ke belakang sambil menelikungnya.
Ki Srengseng agaknya tidak tinggal diam. Dia berusaha melepaskan diri, dengan membanting pemuda itu ke depan. Bersamaan dengan itu, tangan kanannya menyambar ke pinggang Pendekar Rajawali Sakti. Tapi sebelum hal itu dilakukannya, Rangga telah lebih dulu mendorongnya ke depan.
Ki Srengseng terhuyung-huyung, namun cepat berbalik hendak menyerang. Dan saat itulah Pen?dekar Rajawali Sakti mengayunkan tendangan tepat ke perut.
Begkh! "Ugkh..!"
Ki Srengseng terjungkal keras. Dia berusaha bangkit, namun satu tendangan berikutnya telah menghantam dada. Tangan kanan Panglima Kurata itu menjerit lebih keras. Kali ini, dia tidak cepat bangkit. Telapak kirinya mendekap dada. Wajahnya tampak berkerut menahan sakit yang hebat.
"Maaf, Kisanak. Aku tidak bermaksud mencelakaimu. Tapi karena kau memaksa, maka aku ha?rus membela diri...!" ujar Rangga seraya menyarungkan pedang.
"Selama ini, telah banyak kudengar kehebatan orang-orang persilatan. Namun begitu, tidak ada yang mampu semudah itu menjatuhkanku. Kau tentu bukan orang sembarangan. Kalau boleh kutahu, siapa sebenarnya nama besarmu...?" tanya Ki Srengseng datar.
"Kisanak... Aku tidak mempunyai nama besar. Rasanya, hal itu tidak perlu. Dan karena di antara kita tidak ada urusan lagi, maka aku mohon diri...," sahut Rangga.
Ki Srengseng mencoba mencegah, tapi pe?muda itu tidak mempedulikannya. Pendekar Ra?jawali Sakti terus saja melangkah tanpa seorang pun yang berniat mencegahnya. Para prajurit hanya mampu menatap dengan wajah penuh tanda tanya.
? *** ? Wajah Gusti Prabu Arya Turangga Waskita be?gitu berang, penuh amarah dan amat murka. Hari ini di balairung utama terlihat banyak oranq. Selain Permaisuri Kembang Sari juga hadr selir beliau, yaitu Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum. Mereka didampingi putra dan putrinya. Hadir juga para selir lain, bersama putra-putri mereka. Juga tidak ketinggalan seluruh pejabat penting di kerajaan ini.
"Hari ini, kita telah mengalami kejadian yang sungguh tidak enak dan sekaligus membuatku marah. Putri Randu Walang diculik orang semalam. Kita tidak tahu siapa dan untuk apa. Tapi, ini mencoreng muka kerajaan. Dan tindakan keras harus kita lakukan terhadap orang itu, serta orang-orang yang berada di belakang semua ini!" tandas Gusti Prabu Arya Turangga Waskita dengan suara berat, tertahan.
"Ampun, Gusti Prabu Bolehkah hamba bicara?" ujar seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun.
"Silakan, Paman Patih Gora...!"
"Menurut hamba, kerajaan dalam keadaan aman. Dan prajurit-prajurit kita pun amat terlatih dalam segala hal. Bila karena sayembara ini sehing?ga suasana menjadi ramai lalu menimbulkan kelalaian, rasanya masih mustahil seseorang mampu masuk ke keputren yang dijaga ketat para prajurit pilihan. Kecuali bila hal ini didalangi orang dalam," kata seorang laki-laki tua berusia sekitar enam puluh lima tahun.
"Paman Patih" Apakah menurutmu ada orang dalam yang berkomplot menculik putriku..."!" tanya Permaisuri Kembang Sari yang kelihatan masih amat berduka, coba meyakinkan kata-kata orang tua itu.
"Ampun, Kanjeng Gusti Ayu. Hamba tidak bisa mengatakan secara pasti sebelum terbukti. Itu hanya dugaan belaka...," ucap Patih Gora.
Wajah Permaisuri Kembang Sari tampak cemas. Wanita itu memandang kepada suaminya.
"Gusti Prabu... Apakah itu bukan merupakan petunjuk" Kita harus menyelidikinya sampai tuntas. Putri Randu Walang tidak ketahuan nasibnya. Aku amat cemas memikirkannya. Kanda harus memeriksa semua orang yang dicurigai di kalangan istana. Mungkin apa yang dikatakan Paman Patih memang benar...!" ujar Permaisuri Kembang Sari, tandas.
"Sabarlah, Dinda. Bukan hanya kau saja yang merasa cemas atas hilangnya Putri Randu Walang. Aku serta semua orang di kerajaan ini merasakan hal yang sama. Namun kita harus bisa berpikir jernih, agar tidak kesalahan tangan dalam menuduh. Percayalah.... Aku bertanggung jawab, dan akan kutemukan putriku meski di ujung dunia sekali pun!" tukas Gusti Prabu Arya Turangga Waskita.
"Kakak Kembang Sari.... Apa yang dikatakan Gusti Prabu benar. Kita tidak bisa sembarang tuduh, sebab nanti ada yang menjadi korban. Ada baiknya kita mencari jalan lain. Kebetulan, aku mempunyai sebuah usul," timpal Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum.
"Benarkah" Usul apa gerangan, Dinda Rara Ningrum?" tanya Permaisuri Kembang Sari bersemangat.
"Namun, hamba harus memohon dulu pada Gusti Prabu. Sebab, bila Gusti Prabu tidak memperkenankan hamba bicara, mana bisa hamba bicara selancang itu di tempat ini," sahut Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum, seraya melirik Gusti Prabu Arya Turangga Waskita.
"Dinda Rara Ningrum, silakan kemukakan usulmu. Jika kuanggap baik, maka akan kulaksanakan."
"Terima kasih, Gusti Prabu. Seperti kita ketahui, saat ini tengah diadakan sayembara untuk mencari calon suami Ananda Putri Randu Walang. Namun karena kejadian semalam, maka semuanya menjadi berantakan. Berita ini tidak bisa ditutupi, dan telah menyebar ke mana-mana dalam waktu singkat. Para peserta sayembara mulai gelisah. Apa?lagi setelah kejadian yang menimpa mereka sema?lam. Keadaan menjadi tidak jelas lagi. Nah! Hamba mengusulkan, agar tidak menimbulkan keresahan serta memperjelas keadaan mereka, maka rubahlah acara sayembara itu," jelas Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum.
"Merubah acara bagaimana maksudmu?" ta?nya Gusti Prabu Arya Turangga Waskita.
"Suruhlah mereka mencari sang putrid. Dan yang menemukannya, akan berjodoh dengan sang putri. Hamba yakin, mereka akan lebih bersemangat karena ini penuh tantangan. Dan selain itu, kerahkan semua prajurit pilihan ke segala penjuru. Kalau perlu, biarkan mereka menyamar. Pasang mata dan telinga tajam-tajam. Sehingga dengan demikian, bila mendengar berita tentang si penculik, mereka akan cepat bergerak meringkusnya," lanjut Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum bersemangat.
Gusti Prabu Arya Turangga Waskita terdiam. Demikain juga yang lain. Belum ada seorang pun yang membantah usul Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum. Sepertinya, mereka tengah mempertimbangkan baik buruknya usul selir Gusti Prabu Arya Turangga Waskita yang paling mendapat perhatian itu.
"Bagaimana, Gusti Prabu" Apakah usul hamba buruk untuk dijalankan?"
"Ampun, Kanjeng Gusti Prabu...!" ujar Patih Gora menghaturkan hormat sebelum Gusti Prabu Arya Turangga Waskita bicara.
"Ada apa, Paman Patih?"
"Pada dasarnya usul Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum memang baik. Namun. hamba kurang setuju bila harus mengerahkan semua prajurit pilihan," jelas laki laki tua itu.
"Ada apa, Paman Patih" Apakah kau tidak menginginkan Putri Randu Walang kembali"!" ujar Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum, dengan wajah tidak senang.
"Hamba tidak mempunyai pikiran seburuk itu. Namun mengorbankan semua prajurit guna men?cari Putri Randu Walang, adalah ancaman bagi ke?rajaan. Sebab dengan demikian, kerajaan akan kosong. Dan hal itu bisa dimanfaatkan orang-orang yang dengki untuk menggulingkan Gusti Prabu. Maafkan hamba atas penolakan usul itu. Namun, segalanya kembali kepada Gusti Prabu," tutur Patih Gora.
"Maafkan hamba, Gusti Prabu! Putri Randu Walang, adalah masa depan kerajaan ini. Kita harus mencarinya sampai dapat! Ada pun tentang kecurigaan Paman Patih memang beralasan. Tapi, coba perhatikan baik-baik! Semua yang ada di balairung ini adalah orang-orang terdekat di lingkungan kera?jaan, serta orang-orang yang terpercaya dan senantiasa setia pada Paduka. Mungkinkah mereka berkhianat, bila Gusti Prabu menginginkan agar kita semua tutup mulut" Sedangkan, nasib Putri Randu Walang entah ke mana rimbanya. Oleh sebab itu, amat perlu sekali kita mengerahkan semua prajurit terlatih dan menugaskan mereka diam-diam dengan menyamar sebagai rakyat biasa!" sahut Rara Ningrum, berapi-api.
Ruangan itu kembali sepi. Kata-kata Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum masih terus mengiang-ngiang di telinga.
"Kurasa apa yang dikatakannya memang be?nar. Maka aku memutuskan untuk mengadakan pencarian besar-besaran terhadap putriku!" sambut Gusti Prabu Arya Turangga Waskita.
Raja Cadas Walang telah memutuskan untuk menyerujui usul Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum. Termasuk, soal perubahan sayembara itu. Bebe?rapa orang yang hadir dalam ruangan ini mengangguk setuju. Dan mereka merasa, tindakan yang dilakukan Gusti Prabu Arya Turangga Waskita be?nar serta sudah tepat. Namun begitu, beberapa orang lain diam saja, pertanda mereka patuh pada keputusan Gusti Prabu Arya Turangga Waskita, meskipun belum tentu menyetujuinya!
Anak Pendekar 22 Joko Sableng Ratu Pemikat Bandar Hantu Malam 2

Cari Blog Ini