Ceritasilat Novel Online

Sengketa Tiga Potong Peta 1

Pendekar Rajawali Sakti 145 Sengketa Tiga Potong Peta Bagian 1


Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Sengketa Tiga Potong Peta
1 Udara pagi ini terasa cerah, meski di ujung mata memandang kabut masih terlihat
menyelimuti. Dinginnya hari bercampur sinar matahari, membuat angin menggeliat
seperti kegelian. Sesekali hawa dingin berhembus, kemudian kembali senyap. Kicau
burung bersahutan ketika melintasi cakrawala mbil menunjukkan keahlian
terbangnya. Seorang gadis berambut panjang dan bermata indah tampak betul-betul menikmati
suasana hari ini di atas punggung kuda putihnya. Sesekali lari kuda dipercepat,
lalu kembali berhenti.
Bibirnya langsung tersenyum cerah melihat pemuda yang tadi bersamanya tertinggal
jauh. "Apakah Dewa Bayu kini menjadi pemalas, Ka-kang" Coba lihat! Dia seperti habis
berlari mengitari separo jagad!" ejek gadis berbaju biru sambil tertawa kecil,
begitu seorang pemuda berbaju rompi putih sampai di dekatnya.
Pemuda berwajah tampan berambut panjang itu hanya tersenyum kecil.
"Apakah kudamu hendak mengadu lari dengan Dewa Bayu, Pandan?"
"Jangan, main-main, Kakang! Melawan kudamu, sama saja bohong!" kata gadis
berbaju biru yang memang Pandan Wangi.
Sedangkan pemuda yang menaiki kuda berbaju hitam mengkilat itu sudah pasti
Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Mungkin kau malu...," kata Rangga.
"Malu pada siapa?" tanya Panda Wangi.
"Malu pada Dewa Bayu."
"Huuu, enak saja!" rungut Pandan Wangi.
Pemuda itu masih tersenyum lebar.
"Kakang Rangga...?" panggil Pandan Wangi.
"Hm...."
"Kudengar berita burung itu...."
Pandan Wangi sengaja tidak melanjutkan kata-katanya dan menunggu perubahan sikap
Rangga. "Kabar burung apa...?" tanya Rangga, menanggapi.
"Ketika Kakang berada di selatan beberapa waktu yang lalu...."
"Oh, ya. Lalu, kenapa?" tanya Rangga sama sekali, tidak menunjukkan
keterkejutannya. Dan agaknya, Itu membuat Pandan Wangi sedikit kesal.
"Aku tidak suka!" rungut Pandan Wangi terdengar ketus dan agak marah.
Seketika, Rangga memalingkan muka seraya menatapnya heran.
"Pandan! Kau bicara tentang apa" Aku hanya sekadar membereskan persoalan
biasa...," kata Rangga.
"Tapi tidak harus bersama-sama gadis itu, bukan?"
Rangga terpaku sejenak, lalu tersenyum dan Idul baru dimengerti, apa yang
membuat perubahan "Ikap kekasihnya.
"Tertawa! Senang, ya"!" dengus Pandan Wangi, dengan wajah ditekuk terbakar api
cemburu. "Baiklah. Kalau aku salah, maafkan...."
"Memang Kakang salah!"
"Ya, ya...."
"Nanti pasti akan diulang lagi!"
"Tidak. Aku janji. Tidak..., ketika itu kau sendiri "alah juga.
Kenapa saat kuajak, tidak mau. Padahal telama di perjalanan aku selalu
memikirkanmu...," Rangga mencoba berkilah, sambil berusaha menyenangkan hati
Pandan Wangi. "Huh...!" Pandan Wangi hanya mencibir mendengar kata-kata Rangga yang bernada
merayu. Rangga jadi tersenyum lebar.
"Lagi pula, mana mungkin aku terpikat gadis lain. Selama ini, belum pernah aku
bertemu gadis secantikmu...," lanjut Rangga, merayu.
Pandan Wangi kembali mencibir, tapi hatinya berbunga-bunga.
"Betul! Entah juga kalau aku bertemu bidadari lari Swargaloka, mungkin...."
"Mungkin langsung kepincut! Betul, kan"!"
Wajah Pandan Wangi semakin kesal saja.
"Yaaah, mungkin saja...!" sahut Rangga enteng.
"Dasar mata keranjang!" umpat gadis itu.
Lagi-lagi Rangga tersenyum lebar. Namun....
"Heh"!"
Mendadak senyum pemuda itu hilang ketika pendengarannya yang tajam menangkap
sesuatu. "Ada pertarungan di depan sana! Kudengar suara anak kecil yang berteriak
ketakutan. Hm. Mari kita cepat ke sana!" kata Pendekar Rajawali Sakti. Langsung
saja Rangga menghela kudanya dengan cepat, meninggalkan Pandan Wangi yang masih
terselimut cemburu.
Sementara meskipun kesal, tapi gadis itu agaknya tak ingin tertinggal. Segera
saja kuda putihnya dihela.
*** Seorang lanjut usia bertubuh kurus terbungkus pakaian compang-camping tengah
berhadapan dengan beberapa orang berpakaian serba merah. Tubuh laki-laki itu
penuh luka bacokan, pertanda sudah bertarung selama puluhan jurus.
Sepasang matanya menatap tajam dan garang penuh kemarahan ke arah para
pengeroyoknya. Gerahamnya bergemeletuk dan tubuhnya bergetar hebat Tangan
kanannya yang sudah menggenggam tongkat kayu, ragu-ragu diayunkan ketika salah
seorang dari pengeroyok menyandera bocah perempuan berusia tujuh tahun dengan
golok menempel di leher.
"Cepat berikan peta itu! Atau, kepala bocah ini menggelinding!" ancam salah
seorang pengeroyok, seorang laki-laki berhidung besar dan berkulit hitam.
Mulutnya tampak menyeringai lebar.
"Keparat kau, Tunggul Ijo! Lepaskan dia. Bocah itu tidak tahu apa-apa dengan
urusan ini!" desis orang tua itu geram.
"He he he...! Wiranata! Kau kira aku bodoh, heh" Aku tahu, kau berniat hendak
mewariskan pusaka itu padanya!" sahut laki-laki bernama Tunggul Ijo sambil
menyeringai lebar.
"Sudah! Babat saja leher tua bangka itu, kalau tidak menyerahkan peta?" teriak
salah seorang kawan Tunggul Ijo menggenggam sebilah parang.
Wajah laki-laki itu tampak geram, penuh nafsu membunuh.
Sementara tiga orang lainnya mulai tidak sabar, ingin menghabisi orang tua itu.
Senjata mereka sudah diayun-ayunkan dengan sikap mengancam dan wajah menyeringai
lebar. "Kakek, tolong aku...! Tolong, Kek. Aku takut..," rintih bocah itu dengan suara
pilu dan ketakutan.
"He he he...! Kau dengar itu, Tua Bangka Peot"! Sekali gorok saja, maka lehernya
akan putus. Dan kau akan kehilangan dia!
He he he.... Ayo, serahkan peta itu!" hardik Tunggul Ijo disertai tawa mengejek.
"Tunggul Ijo! Kau benar-benar Manusia Keparat! Apakah kebisaanmu hanya mengancam
anak kecil" Ayo, hadapilah aku kalau kau memang benar tidak takut!" geram kakek
yang dipanggil Wiranata.
"Phuiih! Jangan mengalihkan perhatian, Wiranata! Siapa yang takut pada manusia
semacam kau"! Dengan sekali hantam, kau akan hancur berkeping-keping!" dengus
Tunggul Ijo. "Lalu kenapa tidak kau lakukan?"
"He he he...! Dasar Tua Bangka Goblok. Aku masih membutuhkan peta yang ada
padamu itu. Kalaupun kau katakan hilang, berarti pernah ada padamu. Dan kau
boleh mengingatnya, lalu menggambarnya kembali untukku. Cepat,
Tua Bangka! Aku tidak banyak waktu untuk mendengar ocehan-mu!" ancam Tunggul
Ijo. "Tunggul Ijo! Berapa kali harus kukatakan, aku sama sekali belum pernah...."
"Setan!"
Kata-kata Wiranata mendadak terhenti ketika Tunggul Ijo membentak garang.
Sepasang biji matanya seperti hendak mencelat keluar dari sarangnya.
"Kau mau mengulur-ulur waktu, heh"! Ayo, berikan peta itu!
Atau anak ini bakal mampus! Kuhitung sampai tiga!" lanjut laki-laki berhidung
besar ini. Mata golok langsung ditempelkan lebih dekat di leher si bocah itu.
"Kakek..." Anak perempuan itu merintih lirih dengan tubuh gemetar. Keringatnya
mengucur deras dan wajahnya sepucat mayat.
"Satu...!"
Ki Wiranata kebingungan dengan hati geram.
"Dua...!"
Tunggul Ijo agaknya mulai tidak sabar ketika belum juga melihat tanggapan orang
tua itu. Dan....
"Kisanak! Hanya pengecut yang bisanya menakut-nakuti bocah tidak berdaya...!"
Mendadak terdengar suara sahutan. Nadanya pelan, namun cukup menusuk telinga
Tunggul Ijo. "Heh"!"
Tunggul Ijo berpaling. Demikian juga keempat kawannya.
Dan tahu-tahu sepasang anak muda-mudi telah berada di tempat itu di atas
punggung kuda masing-masing. Yang
pemuda menunggang kuda hitam, sedang gadis berbaju biru menunggang kuda putih.
"Siapa kalian"!" hardik Tunggul Ijo geram.
"Malaikat dari langit yang akan menghukum perbuatanmu!"
sahut gadis berbaju biru itu dengan wajah bersungguh-sungguh, seraya melompat
dari punggung kudanya.
Tindakannya diikuti oleh pemuda yang menunggang kuda hitam.
"Setan! Kau kira bisa menakut-nakuti kami, heh" Sebaiknya lekas pergi. Dan,
jangan mencampuri urusan orang!"
"Kalau tidak, kenapa rupanya...?" ejek gadis itu, seperti menantang.
"Kepala kalian akan menggelinding!" ancam Tunggul Ijo dengan wajah dibuat seram.
"Hi hi hl..! Lucu .sekali. Ada beberapa ekor kambing dungu yang hendak berlagak
dihadapan dua ekor harimau!"
"Keparat!"
Bukan main geramnya Tunggul Ijo mendengar kata-kata gadis berbaju biru ini. Dia
sudah hendak melompat dan menerjang, namun seorang kawannya mencegah.
"Tenang, Tunggul. Biar gadis ini bagianku. Ingin kulihat sampai di mana
kehebatannya...," kata laki-laki tinggi kurus itu seraya melangkah mendekati
disertai senyum kecil.
Lalu laki-laki itu berhenti saat berada dua langkah di depan gadis berbaju biru
ini. Bibirnya menyeringai lebar, sambil mengusap-usap dagunya.
"Hm.... Belum pernah kutemukan gadis secantikmu. Pasti kau bidadari dari
Kahyangan yang turun khusus menjemputku.
Mari, Cah Ayu...!" lanjut laki-laki tinggi kurus ini sambil menjulurkan tangan
hendak menggapai.
Uluran itu kelihatannya biasa saja. Namun gerakannya cepat sekali disertai
tenaga dalam kuat. Agaknya orang ini tidak ingin coba-coba. Dan dalam
perkiraannya, kedua anak muda itu baru turun gunung yang terlalu yakin dengan
kepandaiannya. Sehingga, laki-laki itu perlu memberi pelajaran pada mereka.
Tapi hasilnya, ternyata gadis itu bertindak tak kalah cepat Tahu-tahu saja,
tangan gadis itu bergerak menepis.
Plakkk! Dan belum sempat disadari apa yang terjadi...
Desss! "Aaakh...!"
Bukan main kagetnya laki-laki itu manakala kaki gadis berbaju biru ini cepat
terayun dan menghantam dadanya.
Seketika tubuhnya terpental beberapa langkah ke belakang sambil menjerit
kesakitan. "Betul! Kedatanganku ke sini untuk menjemput nyawa busukmu!" seru gadis itu
langsung menyerang ganas ke arah laki-laki tinggi kurus yang mencoba
menyusutnya. Melihat pertarungan telah dimulai, segera yang lainnya bergerak cepat, untuk
membantu laki-laki tinggi kurus itu. Dan mereka langsung memapaki serangan gadis
itu. "Pandan Wangi, hati-hati kau!" teriak pemuda berbaju rompi putih mengingatkan.
"Jangan khawatir, Kakang! Mereka hanya kecoa-kecoa busuk yang sok jual lagak!"
sahut gadis yang ternyata Pandan Wangi alias si Kipas Maut
Pemuda berbaju rompi putih yang memang Pendekar Rajawali Sakti tersenyum kecil,
segera didekatinya Tunggul Ijo.
"Berhenti! Kalau tidak, bocah ini akan mampus!" ancam Tunggul Ijo membentak
garang. Rupanya setelah melihat sepak terjang gadis berbaju biru itu, Tunggul
Ijo sempat dibuat sedikit kaget Dan dia tidak menyangka gadis itu mampu berbuat
demikian. Maka tentu saja laki-laki berhidung besar itu punya dugaan bahwa
pemuda ini dapat berbuat lebih hebat.
Rangga tersenyum. Dan saat itu terdengar jeritan kesakitan dari dua orang lawan
Pandan Wangi. Keduanya terjungkal muntah darah dengan senjata terpental. Sebuah
golok nyaris mengenai Rangga, namun cepat ditangkap dengan dua buah jari tangan
kanannya. "Pandan! Jangan terlalu galak!" teriak Pendekar Rajawali Sakti. "Paling tidak,
kau boleh robek mulut mereka agar tidak banyak bicara!"
*** "Kakang! Kalau itu yang kau kehendaki, tentu saja akan kuturuti!" sahut Pandan
Wangi sambil tersenyum lebar.
Tubuh si Kipas Maut meliuk bagai tengah menari, menghindari senjata lawanlawannya yang berkelebat cepat menyambar.
Wuttt! "Mampus kau, Gadis Liar!" geram salah seorang lawan disertai babatan golok ke
pinggang. Pandan Wangi hanya tertawa dingin. Tubuhnya lantas jungkir balik ke belakang.
Namun, seorang lawannya lagi telah menyambut dengan tebasan golok ke tubuhnya.
Cepat bagai kilat, Pandan Wangi mencabut kipas mautnya yang terselip di
pinggang. Lalu ditang-kisnya golok itu hingga terpental
Trakkk! Belum juga orang itu berbuat banyak, ujung kipas Pandan Wangi langsung menyambar
dada lawannya. Brettt! "Aaakh...!"
Orang itu menjerit kesakitan dengan tubuh terhuyung-huyung ke belakang. Sebelum
orang itu jatuh ke tanah, Pandan Wangi telah kembali berkelebat dengan sambaran
kipasnya ke arah satu orang lawannya lagi.
Brettt! "Ugh...!"
Kembali terdengar jerit kesakitan, ketika satu orang lawan tersambar kipas maut
Pandan Wangi pada dadanya. Keduanya langsung membekap luka masing-masing.
"Siapa yang mau mampus" Ayo cepat ke sini!" hardik Pandan Wangi sambil
menggerak-gerakkan kipasnya.
Kedua orang yang baru saja dijatuhkan Pandan Wangi pucat ketakutan, ketika gadis
itu melangkah mendekati. Sementara dua lawan yang pertama sama sekali tidak
berani berkutik.
"Hm.... Kalau begitu, biarlah kutebas leher kalian semua...,"
gumam si Kipas Maut, enteng
Empat orang itu terkejut dengan wajah semakin pucat. Telah nyata kalau gadis ini
bukanlah orang sembarangan yang bisa mudah dijatuhkan. Dalam waktu singkat saja,
mereka sudah dibuat tidak berkutik. Apalagi, mereka amat mengenal senjata yang dikeluarkan
gadis itu. "Hei! Bukankah dia, Ki..., Kipas Maut! Kau..., kau si Kipas Maut yang terkenal
itu?" tanya salah seorang, tergagap.
"Baru terbuka matamu, heh"!"
"Eh! Kami..., kami...."
Orang itu tergagap dan tidak mampu bicara lagi. Namun...
"Persetan dengan si Kipas Maut segala! Berani kau melangkah, maka bocah ini akan
kugorok lehernya!" bentak Tunggul Ijo mengancam.
Mendengar itu Rangga memberi isyarat pada Pandan Wangi untuk menahan diri.
Padahal, si Kipas Maut hendak melompat dan menghajar Tunggul Ijo.
"Kisanak! Apakah kau masih sayang jiwamu" Aku tidak menakut-nakuti. Tapi, kau
boleh menguji kecepatan golok yang kupegang ini. Belum sempat tanganmu bergerak
menggorok leher bocah itu, maka golok ini akan lebih cepat menembus batok
kepalamu...," ancam Pendekar Rajawali Sakti sambil menimang-nimang golok yang
masih berada di tangannya.
"Huh! Kita lihat saja...!" tantang Tunggul Ijo.


Pendekar Rajawali Sakti 145 Sengketa Tiga Potong Peta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tunggul Ijo, hentikan...! Kau tidak tahu, siapa pemuda ini"!"
teriak kawannya mencegah.
"Huh! Apa peduliku dengannya"!"
"Gadis itu adalah si Kipas Maut. Dan berarti, pemuda itu adalah Pendekar
Rajawali Sakti! Dia tidak main-main dengan kata-katanya!" teriak kawan Tunggul
Ijo mengingatkan.
"Pendekar Rajawali Sakti..."!"
Bukan main terkejutnya Tunggul Ijo mendengarnya.
Langsung dipandanginya pemuda itu dengan seksama. Dia mencoba meyakinkan diri,
apakah pemuda itu memang benar Pendekar Rajawali Sakti.
"Lepaskan bocah itu, Kisanak! Dan kalian boleh pergi dengan tenteram...," ujar
Rangga dengan nada datar.
"Eh...!"
Wajah Tunggul Ijo tampak gelisah dan mulai ragu. Matanya langsung memandang Ki
Wiranata yang sejak tadi terdiam, dan berharap bocah perempuan itu selamat. Lalu
perhatiannya kembali dialihkan pada Rangga.
"Tunggul Ijo, turuti kata-katanya! Kau tidak akan selamat bila berbuat nekat!"
teriak kawan Tunggul Ijo kembali memperingatkan, ketika goloknya belum lagi
dilepaskan di leher gadis itu.
Tunggul Ijo memang berwatak keras dan tidak suka dipandang enteng. Apalagi dalam
keadaan seperti ini. Kalau menyerah maka harga dirinya akan ambruk. Lagi pula,
mana mungkin pemuda itu mampu menghalangi niatnya. Maka....
"Ingin kulihat, apa yang bisa kau perbuat padaku...!" dengus Tunggul Ijo.
Langsung laki-laki itu bergerak hendak menggorok leher bocah perempuan itu..
Tapi.... Wuttt! Cepat bagai kilat Rangga mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Pendekar Rajawali
Sakti memang tidak mau menanggung akibat buruk, kalau kalah cepat dengan gerakan
Tunggul Ijo. Maka golok di tangannya sudah melesat bagaikan kilat. Lalu....
Crasss! "Aaakh...!"
Sebelum Tunggul Ijo sempat menggorok leher anak itu, golok yang dilemparkan
Rangga melesat cepat dan menebas pangkal lengannya. Laki-laki berhidung lebar
ini menjerit kesakitan. Darah mengucur deras dari pangkal lengannya.
Rangga terus melompat. Langsung dikirimnya tendangan keras, karena Pendekar
Rajawali Sakti takut Tunggul Ijo masih mampu berbuat sesuatu untuk mencelakakan
anak itu. Dukkk! "Aaakh...!"
Tunggul Ijo kembali memekik tertahan. Tubuhnya kontan terjengkang -dua tombak
disertai muntahan darah segar. Rasa sakit yang diderita akibat lengannya putus,
kini ditambah tendangan keras yang membuat isi dadanya terasa remuk.
Agaknya, Tunggul Ijo tidak mampu lagi. Orang itu langsung tidak sadarkan diri!
Begitu terbebas dari cengkeraman Tunggul Ijo, bocah perempuan itu langsung
memburu Ki Wira-nata dengan perasaan haru. Orang tua itu sendiri menyambutnya
dengan senyum lega.
"Kau tidak apa-apa, Diah...?"
"Aku... aku takut, Kek...," keluh bocah yang dipanggil Diah dengan suara masih
tersendat bercampur isak tangis.
"Sudahlah. Mereka telah mendapat balasannya kini...," bujuk Ki Wiranata seraya
memeluk Diah Kumitir dan mengusap-usap rambutnya.
Sementara itu, Rangga mendekati salah seorang anak buah Tunggul Ijo.
"Kisanak, bawalah kawanmu itu. Dan, pergilah dari sini...,"
ujar Pendekar Rajawali Sakti,
"Eh, iya. Ba..., baik...," sahut orang itu cepat sambil mengangguk-anggukkan
kepala. Tanpa banyak bicara lagi, mereka segera memanggul tubuh Tunggul Ijo dan segera
berlalu dari tempat itu.
Rangga dan Pandan Wangi memandang sekilas, lalu mendekati Ki Wiranata.
"Kisanak, kau tidak apa-apa...?" tanya Pendekar Rajawali Sakti lembut.
Orang tua itu membungkukkan tubuh, sambil memeluk bocah perempuan di dekatnya.
"Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut... Aku, Wiranata, menghaturkan banyak
terima kasih atas pertolongan kalian Kalau tidak, entah apa yang terjadi pada
kami...." "Jangan berkata begitu, Kl Sudah selayaknya sebagai manusia kita harus saling
tolong-menolong...," kata Rangga, merendah.
"Apa sebenarnya yang mereka inginkan dari kalian...?" tanya Pandan Wangi heran
Pertanyaan itu amat beralasan Sebab melihat
penampilannya, Ki Wiranata itu, pastilah bukan orang berharta yang bisa
dirampok. Dan kalau untuk menculik si bocah, sungguh keterlaluan dan tidak masuk
akal. Mereka menyandera bocah dan mengancam kakek ini, pasti ada sesuatu yang
diinginkan. Begitu kesimpulan Pandan Wangi!
"Eh! Itu karena...."
"Ki Wiranata! Jangan diceritakan kalau itu memang rahasia...," sahut Rangga,
cepat menimpali ketika melihat nada bicara Ki Wiranata terdengar ragu.
"Bukan begitu, Kisanak. Aku percaya kalau kalian bukanlah orang tamak. Tapi
justru karena aku ingin...."
"Ingin apa, Ki?" desak Pandan Wangi.
"Aku jadi malu hati...:"
"Ki Wiranata! Katakanlah, jika ada sesuatu yang ingin kau katakan pada kami,"
kata Rangga. "Kalian telah menolong kami Dan..., aku ingin mengharapkan pertolongan kalian
kembali...;"
"Hm. Pertolongan apa yang bisa kami berikan?" tanya Rangga.
Ki Wiranata terdiam sesaat.
"Tentang sebuah pusaka...," sahut orang tua itu.
"Pusaka" Pusaka apa, Ki?" tanya Rangga dengan dahi berkerut.
*** 2 "Pada zamannya, Ki Sendang Bodas adalah seorang tokoh persilatan berkepandaian
tinggi. Karena ada suatu masalah, dia kemudian berkelana meninggalkan istri dan
putranya, hingga sekian tahun tidak pernah terdengar lagi beritanya. Hanya saja,
Itini orang tahu kalau Ki Sentanu yang menjadi Ketua Perguruan Naga Jenar serta
Ki Mugeni, Ketua Perguruan Arghaloka, memiliki beberapa jurus ilmu silat yang
konon merupakan bagian dari ilmu silat milik Ki Sendang Bodas. Orang pun mulai
menduga, kalau keduanya mempunyai kaitan erat dengan keluarga tokoh itu," tutur
Ki Wiranata, membuka ceritanya.
Sementara Rangga dan Pandan Wangi mulai mendengarkan dengan penuh perhatian.
Sedikit pun mereka tak ingin menyelak.
"Sesungguhnya Ki Sendang Bodas pemah memiliki seorang anak angkat yang selalu
mengikuti ke mana saja pergi. Dan dia juga bukan orang pelit dalam menurunkan
kepandaiannya pada anak angkatnya. Tapi dia terlalu jemu dalam menunggu anak
angkatnya berlatih. Sehingga lama kelamaan, anak angkatnya menjadi bosan dan
berhenti mengikutinya," lanjut laki-laki tua itu.
Sebentar Ki Wiranata menarik napas, sekaligus mencari kata-kata yang tepat untuk
meneruskan ceritanya.
"Lama sekali baru Ki Sendang Bodas menyadari kekeliruannya selama ini. Dan dia
hanya mementingkan diri sendiri tanpa mempedulikan keluarganya. Kehidupannya
selama ini hanya untuk ilmu silat dan kesaktian, serba sibuk mencari tokoh-tokoh
sakti untuk menguji kepandaian. Dan ketika kembali ke rumah menemui anak
istrinya, mereka telah tiada. Kampung itu telah hancur berantakan, tanpa ada
seorang pun yang tersisa. Konon Ki Sendang Bodas betul-betul merasakan
kepedihan. Dan, menurut dugaannya anak istrinya telah tewas. Namun di lain saat,
dia berharap keduanya masih hidup. Mereka sudah dicari ke mana-mana, tapi
setelah sekian lama tetap belum ditemukan. Maka Ki Sendang Bodas menetap di
suatu tempat yang tidak ada seorang pun tahu. Di sana, dia menulis sebuah kitab
pelajaran ilmu silat, yang konon akan diwariskan pada keturunannya jika memang
masih ada."
Ki Wiranata menghentikan ceritanya. Matanya langsung memandang kedua anak muda
di depannya sambil menghela napas lega. Dia yakin, kedua anak muda ini telah
mengerti jalan cerita yang diuraikan barusan.
Tapi, rupanya Rangga dan Pandan Wangi masih belum mengerti. Dahi keduanya
berkerut dengan wajah bingung.
"Apa hubungan ceritamu itu dengan bantuan yang kau harapkan dari kami, Ki?"
tanya Rangga, akhirnya.
"Apakah kalian belum mengerti?"
Rangga menggeleng. Sementara Pandan Wangi tersenyum geli memandang orang tua ini
Ki Wiranata sendiri seperti mengingat-ingat, lalu menepuk-nepuk keningnya
sendiri. "Ah! Tentu saja kalian tidak mengerti, karena aku belum mengatakannya!"
"Apa itu, Ki?" tanya Rangga.
"Diah Kumitir ini adalah cucuku. Sedang kakekku adalah putra satu-satunya dari
Ki Sendang Bodas!" jelas Ki Wiranata.
"Lalu...?"
"Rangga, tidak enak rasanya menjadi orang lemah di zaman yang kacau begini. Aku
hanya menanggung derita dan duka yang berkepanjangan. Kedua orangtua cucuku ini
telah tewas dibunuh tiga orang perampok ketika Diah Kumitir baru lahir.
Dan aku berhasil menyelamatkan dan membesarkannya dengan kasih sayang. Namun,
kusadari kalau itu tidak cukup sebagai bekal hidupnya. Diah Kumitir harus mampu
menjaga dirinya sendiri dari bahaya. Tapi aku tidak mungkin mampu
mengajarkannya. Saat itulah, aku teringat potongan peta yang diberikan seorang
pengemis yang pernah kutolong. Di situ,
terdapat denah jalan menuju tempat kediaman Ki Sendang Bodas. Barang siapa
mengetahui tempat itu maka sudah jelas akan mewarisi pusaka kakek buyutku itu,"
jelas Ki Wiranata.
"Lalu...?"
"Itulah yang menjadi masalah. Sebab, peta itu tidak lengkap.
Menurut pengemis itu, masih ada dua peta lainnya yang harus digabungkan menjadi
satu. Barulah peta itu bisa terbaca...,"
jelas Ki Wiranata.
"Lalu, di mana kedua sobekan lainnya?" tanya Rangga, sambil manggut-manggut.
"Aku tidak tahu pasti. Namun bukan mustahil kalau Ki Sentanu dan Ki Mugeni
menyimpannya."
"Hm, kenapa kau mencurigai mereka?"
"Banyak alasannya. Pertama, mereka seperti berusaha menjauhkan diri. Mereka juga
membantah jika orang menuduh memiliki kaitan dengan Ki Sendang Bodas. Ini
dimaksudkan agar orang lain tidak mencurigai. Sebab, konon pusaka kakek buyutku
ini mulai menarik perhatian tokoh-tokoh persilatan lainnya. Dan kedua, mereka
paling giat mencari sisa potongan peta yang ada di tanganku ini...."
"Ya, ya.... Kau ingin kami membantumu mencarikan kedua potongan peta itu,
bukan?" tanya Rangga sambil tersenyum.
Sepertinya, Pendekar Rajawali Sakti bisa menduga apa yang diinginkan orang tua
itu. Ki Wiranata tersenyum sambil mengangguk pelan.
"Begitulah kira-kira...," desah orang tua itu.
"Hm, baiklah. Kami akan membantumu. Namun harus diingat, Ki. Kami belum tentu
sepenuhnya percaya. Jika
ternyata kau berdusta, aku akan menghukummu!" ujar Rangga, terus terang.
"Rangga, mana berani aku mendustai orang sepertimu! Kau boleh potong leherku
jika ceritaku hanya mengada-ada!"
"Baiklah. Lalu, ke mana kami harus memulai?"
"Bukan kami, tapi kita. Sebab aku tidak mgin berpangku tangan saja. Kita akan
coba mendatangi kedua perguruan yang kukatakan tadi Mudah-mudahan mereka berkata
jujur...."
Rangga berpikir sejenak sebelum mengangguk setuju.
*** Empat orang berkuda tampak melarikan tunggangannya perlahan-lahan. Berkuda
paling depan adalah seorang gadis berwajah manis. Kulitnya bersih, agak
kecoklatan. Rambutnya yang panjang sebahu diikat pita kuning. Melihat tersandang
sebilah pedang di punggungnya bisa diduga kalau gadis ini tidak bisa dianggap
enteng. Apalagi, melihat garis wajahnya yang sedemikian rupa. Sehingga,
mengesankan seorang gadis galak dan cepat naik darah.
Tiga orang laki-laki yang berada di belakang gadis itu, agaknya tidak begitu
banyak bicara. Sejak tadi mereka lebih banyak diam seperti menahan kesal, entah
pada siapa. Mereka bersenjatakan sebilah pedang yang tersandang di punggung.
Dengan ikat kepala warna kuning bisa dilihat kalau itu adalah ciri khas
Perguruan Naga Jenar yang diketuai Ki Sentanu. Dan memang ketiganya adalah murid
perguruan itu. Sedangkan si gadis adalah putri Ki Sentanu, Ketua Perguruan Naga
Jenar. Mereka kini berhenti ketika berada tidak jauh di depan berdiri tegak seorang
pemuda berpakaian rapi sambil mengembangkan sebuah kipas yang terbuat dari baja
di tangan kiri sedangkan tangan kanannya memegang sebilah tombak
pendek sepanjang lengan. Sambil tersenyum-senyum pemuda itu mengipas-ngipasi
tubuhnya. "He he he...! Agaknya Perguruan Naga Jenar betul-betul penasaran soal peta itu,
sehingga mesti mencarinya terus setiap hari...," oceh pemuda itu seperti pada
diri sendiri. Gadis berambut panjang itu agaknya mengerti, apa yang dibicarakan pemuda ini.
Melihat paras wajahnya yang langsung berubah garang, jelas hatinya merasa tidak
senang. "Setiaji, menepilah. Jangan ganggu perjalanan kami kalau tidak ingin celaka!"
ujar gadis berambut panjang.
"Tuan putriku yang cantik, silakan berlalu! Siapakah yang hendak
menghalangimu...?" sahut pemuda bernama Setiaji sambil membungkukkan tubuhnya.
Sebelah tangannya diayunkan seperti seorang hamba kepada tuannya.
Tapi meski pun begitu, pemuda bernama Setiaji tetap tidak beranjak dari
tempatnya berpijak Dan itu membuat gadis ini menjadi jengkel.
"Huh! Sungguh bodoh, sehingga harus bicara dengan orang tuli!" bentak gadis
putri Ki Sentanu kesal.
"Aduhai. Sungguh baru kuketahui sekarang, kalau tuan putri sangat bodoh!" sahut
Setiaji dengan wajah terkejut dengan bibir tersenyum-se-nyum kecil.
Gadis itu agaknya tidak dapat lagi menahan kejengkelannya.
Buktinya, pemuda ini tidak bisa diusir secara halus. Berpikir begitu, pedangnya
langsung dicabut.
Sring! "Setiaji, minggir kau! Atau, pedangku yang akan bicara!"
"Sri Kuning! Biar aku yang menghadapi pemuda itu!" selak salah seorang murid
dari Perguruan Naga Jenar, sebelum
Setiaji sempat menyahut. Langsung dia melompat dari punggung kuda dengan gerakan
indah. Semula Sri Kuning ingin menahannya. Namun murid itu mengangkat sebelah tangan,
sebagai isyarat agar maksudnya jangan dihalangi. Bahkan kakinya sudah melangkah
mendekati Setiaji.
"Hei, Monyet Buduk! Mau apa kau ke sini"! Ayo, pergi!
Pergi!" hardik Setiaji garang.
"Setiaji! Jaga mulutmu! Kalau tidak memandang ayahmu Ki Mugeni, sudah kuhajar
kau!" sahut murid Perguruan Naga Jenar dengan wajah geram.
"He he he...! Jadi kau memandang muka ayahku, he"! Nah, kalau begitu pergilah
dari hadapanku! Aku muak melihat wajahmu!" balas Setiaji.
"Anak Keparat! Agaknya kau perlu diberi pelajaran agar mulutmu tidak sembarangan
bicara!?" desis orang itu, semakin geram. Seketika dia melompat menyerang
Setiaji. "Huh! Kau kira bisa berbuat apa padaku" Perguruan Naga Jenar tidak ada seujung
kuku dibanding kami! "dengus Setiaji seraya mengibaskan kipas di tangannya,
menyambar tubuh murid Ki Sentanu.
"Uts!"
Bet! Bet! "Hiiih!"
Murid itu tampak terkejut, karena gerakan Setiaji demikian cepat. Dalam
perkiraannya, dia akan mampu mengecoh.
Namun kenyataannya, pemuda itu tidak mudah tertipu.
Tendangan dapat dielakkan Setiaji dengan mudah. Bahkan anak dari Ki Mugeni ini
balas menyerang Ketua Perguruan
Arghaloka menggunakan kipasnya. Murid Perguruan Naga Jenar itu cepat melompat ke
belakang. Kepalanya langsung didongakkan, dengan tubuh sedikit dimiringkan untuk
menghindari sambaran senjata. Namun pemuda itu tidak berhenti sampai di situ.
Tombak pendeknya langsung diayunkan ke dada. Akibatnya sungguh hebat, murid
Perguruan Naga Jenar itu harus pontang-panting menyelamatkan diri.
"Hup!"


Pendekar Rajawali Sakti 145 Sengketa Tiga Potong Peta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Laki-laki berikat kepala warna kuning itu ke belakang, hendak membuat jarak Pada
saat yang sama, Setiaji pun meluruk ke arahnya dengan sambaran tongkat
pendeknya. Maka begitu laki-laki berikat kepala kuning itu sedikit bergerak menjejakkan
kakinya, tongkat Setiaji lebih cepat menyambar dadanya.Brettt! "Aaakh!"
Murid Perguruan Naga Jenar itu menjerit tertahan begitu tersambar tongkat
Setiaji. Dadanya kontan tergurat sepanjang satu jengkal. Tidak banyak darah yang
keluar. Lukanya pun tidak terlalu dalam, namun cukup perih. Dan yang lebih utama
adalah, penghinaan baginya. Sebab disadari sendiri, jika pemuda itu bersungguhsungguh, niscaya lukanya akan lebih parah!
*** "Hm. Agaknya hanya sampai di situ saja kemampuan murid-murid Perguruan Naga
Jenar " ejek Setiaji sinis sambil menggerak-gerakkan kipasnya.
"Keparat! Kau kira sudah bisa menjatuhkanku, he"!"
Murid Ki Sentanu itu tambah geram bukan main. Dia bermaksud hendak menyerang
kembali, namun....
"Sumanta, menepilah. Biar kuhadapi anak sombong ini!"
Sri Kuning langsung melompat dari punggung kudanya, setelah memberi isyarat pada
laki-laki yang dipanggil Sumanta untuk mundur.
"Sri Kuning...."
"Jangan khawatir. Anak ini memang sudah sepatutnya diberi pelajaran agar tidak
besar kepala...," tukas Sri Kuning cepat, langsung mencabut pedang.
Sringng! "Setiaji, bersiaplah. Ingin kulihat, sampai di mana kehebatan jurus-jurusmu!"
dengus Sri-Kuning dingin.
Setiaji tersenyum.
"Oh! Kau hendak mempermalukan dirimu sendiri rupanya"
Hm, mulailah. Dan, tunjukkan' kehebatan jurus-jurus kalian...!"
Tanpa banyak bicara, gadis itu melompat menyerang disertai ayunan pedangnya.
"Hiyaaa...!"
Seketika itu pula Setiaji meluruk sambil membabatkan kipasnya
Trakk! Wuttt! Kipas Setiaji berhasil menangkis pedang Sri Kuning. Bahkan tombaknya langsung
menyodok ke arah lambung. Cepat bagai kilat, Sri Kuning berputar ke kanan. Tapi
rupanya pemuda itu
tidak memberi kesempatan pada Sri Kuning. Langsung dikirimkannya serangan
susulan ke arah leher gadis itu.
"Putus lehermu!" sentak Setiaji sambil mengayunkan kipasnya menyambar pangkal
leher. "Setan!" maki Sri Kuning seraya, langsung menundukkan kepalanya. Dan pedangnya
cepat dibabarkan ke arah perut Setiaji.
Namun, putra Ki Mugeni ini tak kalah sigap Seketika tongkat di tangan kirinya
digerakkan melintang ke depan perut, Trak! Trakk!
"Hiiih!"
Setiaji terkejut bukan main ilmu pedang yang dimainkan gadis ini kelihatan
berubah, dan mengincar setiap kelemahannya. Meski bisa ditangkis dengan tombak
kecilnya, namun ujung pedang Sri Kuning begitu terasa menyengat kulitnya. Dan
ini mau tidak mau, dia semakin kerepotan saja
"Huh! Baru kau rasakan jurus 'Pedang Membelah Angin' dari perguruan kami Ingin
kulihat, sampai di mana kaumampu bertahan!" dengus Sri Kuning sinis.
"Yeaaa...!"
Disertai bentakan keras, Setiaji melompat ke belakang membuat jarak sejauh dua
tombak. Sementara Sri Kuning cepat menyusulnya seperti tidak ingin memberi
kesempatan sedikit pun pada lawannya untuk mengatur napas. Namun begitu menjejak
tanah, agaknya pemuda itu telah siap dengan jurus barunya.
Begitu ujung pedang gadis itu menyambar tenggorokan, Setiaji cepat menangkis
dengan kipasnya.
Trakkk! Tubuh pemuda itu kemudian bergulingan, hendak
menyambar kedua kaki gadis ini dengan tombaknya.
Sri Kuning terkejut Cepat kakinya menjejak ke atas. Pada saat itu juga, Setiaji
melenting, mengejar gadis itu dengan sambaran kipasnya.
Sambil berputaran di udara, Sri Kuning berusaha memapak serangan yang mengincar
perutnya. Baru saja Sri Kuning menangkis kipas, tongkat pendek di tangan Setiaji menyambar
pinggangnya. Padahal, dia baru saja menjejakkan kakinya di tanah. Terpaksa gadis
itu melompat ke samping kanan. Dan sebenarnya tindakan itu sangat tidak
menguntungkan. Karena dengan gerakan cepat, Setiaji berbalik. Tombaknya cepat
diayunkan ke arah dada gadis itu.
Hingga.... Brettt! "Aouw...!"
Sri Kuning terkejut disertai jeritan kecil. Baju bagian dadanya kontan terbelah
dari atas ke bawah, sepanjang dua jengkal.
Sehingga dalam beberapa saat, terlihat dadanya yang membusung menyembul keluar.
Buru-buru tangan kirinya mendekap dadanya yang menantang. Wajahnya kontan
berubah pucat Sementara, Setiaji kembali telah melompat mengejar, ketika Sri
Kuning mundur ke belakang beberapa langkah.
"Yeaaa...!"
Keadaan Sri Kuning saat ini benar-benar terjepit Sedangkan ketiga murid
Perguruan Naga Jenar agaknya tidak akan sempat menyelamatkan gadis itu. Mereka
hanya terpaku tanpa tahu harus berbuat apa. Dan....
Trang! Trakk! "Uuuhh...!"
Dalam keadaan yang gawat, mendadak berkelebat sesosok bayangan, langsung
menangkis serangan. Setiaji terkejut ketika serangannya gagal. Perhatiannya
langsung tertumpah pada sosok yang memapak serangannya. Maka saat itu pula, dia
menyerang dengan tombak pendeknya.
Trakk! "Heh?"
Bukan main terkejutnya pemuda itu ketika tombaknya seperti menghantam benda
keras. Bahkan senjatanya sampai teriepas dari tangan.
Pemuda itu bersiap akan serangan susulan, namun orang yang baru muncul agaknya
tidak melanjutkan serangan Dan ketika mengetahui siapa sesosok tubuh yang tibatiba menolong Sri Kuning, Setiaji jadi geram bukan main.
"Ki Sentanu, huh pantas saja...!"
"Setiaji! Jangan buat keributan. Dan, jangan menyulut permusuhan. Pulanglah!
Kelakuanmu betul-betul telah kelewat batas!" ujar seorang laki-laki berusia
sekitar lima puluh tahun.
Tangannya tampak menggenggam pedang. Agaknya senjata itulah yang membuat tombak
Setiaji terpental.
Pemuda itu tahu diri, siapa yang dihadapi saat ini. Disadari betul, dia tidak
akan mungkin mampu menandinginya.
"Huh, baiklah! Tapi, ingat! Persoalan di antara kita tidak akan pemah selesai!"
dengus Setiaji.
Setelah berkata demikian, pemuda itu segera berbalik dan berlalu dari tempat
ini. Sementara Sri Kuning bermaksud mencegat dengan wajah geram penuh dendam.
Namun, laki- laki setengah baya yang ternyata Ki Sentanu cepat menahannya.
"Ayah! Dia telah berbuat kurang ajar padaku! Orang itu mesti diberi pelajaran
agar tidak berbuat seenaknya pada orang lain!" sentak gadis itu kesal.
"Sudahlah. Kita tidak perlu memperpanjang u-rusan. Mari kita pulang...," sahut
Ki Sentanu menyabarkan anak gadisnya yang kesal bukan main.
Sri Kuning bersungut-sungut, meski menuruti apa yang dikatakan orangtuanya.
Mereka segera berlalu meninggalkan tempat itu. Dan Sri Kuning telah menghela
kudanya kencang-kencang, mendahului yang lain.
*** 3 Ki Sentanu, Sri Kuning, dan tiga orang muridnya tiba di pintu gerbang Perguruan
Naga Jenar. Dan di situ, mereka telah ditunggu beberapa orang yang sama sekali
tidak dikenal Ki Sentanu.
Yang seorang adalah pemuda berwajah tampan. Bajunya rompi putih, membawa pedang
bergagang kepala di punggung.
Di dekatnya terlihat seorang gadis cantik berbaju biru, bersenjatakan pedang
pendek dan kipas baja yang terselip di pinggang. Lalu, seorang lagi adalah lakilaki berusia lanjut Dia didampingi seorang bocah perempuan berusia sekitar tujuh
tahun. Wajah Sri Kuning langsung geram melihat gadis berbaju biru.
Melihat senjata kipas yang terselip di pinggangnya, gadis putri Ki Sentanu sudah
langsung menduga kalau mereka berasal dari Perguruan Arghaloka.
"Bagus! Setelah tadi putra gurumu mengacau, kini datang lagi tiga orang dari
kalian. Huh! Aku tidak akan memberi ampun lagi!" dengus Sri Kuning melompat
menyerang pemuda berbaju rompi putih itu.
Sikap Sri Kuning tentu saja membuat pemuda berbaju rompi putih yang tak lain
dari Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti jadi bingung. Namun pada saat itu juga
gadis berbaju biru yang sudah pasti Pandan Wangi, sudah langsung melompat
memapak serangan Sri Kuning.
"Hiyaaa...!"
Plakk! Sri Kuning terkejut setengah mati. Kepalan tangannya ternyata ditangkap Pandan
Wangi yang langsung menariknya ke bawah. Sri Kuning kontan terjerembab ke bawah
karena tidak menyadari tenaga gadis berbaju biru itu begitu tinggi.
Namun begitu menjejak tanah dia masih mampu mengirim tendangan keras ke arah
perut Tapi Pandan Wangi tidak kalah sigap. Tangan kanannya cepat menangkis dan cepat
sekali menangkap kaki Sri Kuning.
Dan tiba-tiba saja tubuh putri Ki Sentanu itu terpental jauh ke belakang
Tap! Manis sekali Sri Kuning membuat gerakan berputar, lalu mendarat indah di tanah.
"Setan! Kau boleh mampus sekarang juga!" maki Sri Kuning geram. Gadis itu
langsung mencabut pedang dan siap menyerang kembali.
Sring! "Sri Kuning, tahan seranganmu...!" bentak Ki Sentanu tiba-tiba.
Tapi gadis itu agaknya telah dibakar amarah. Maka tidak dipedulikannya bentakan
ayahnya. Tubuhnya terus mencelat menyerang si Kipas Maut.
"Yeaaa...! Mampus...!" desis Sri Kuning geram seraya memainkan jurus 'Pedang
Membelah A-ngin'.
Pandan Wangi hanya mendengus dingin, lalu melompat ke samping kiri. Kepalanya
cepat ditundukkan untuk menghindari sabetan pedang lawan. Kaki kanannya cepat
menghantam ke arah perut Sri Kuning terkesiap. Namun dengan geram pedangnya
segera dikibaskan. Dan dia bermaksud menebas kaki Pandan Wangi.
Wutrt! Tapi siapa sangka kalau serangan itu hanya tipuan belaka.
Sebab tiba-tiba Pandan Wangi menarik pulang tendangannya.
Dan dengan berpijak pada kaki kiri, tubuhnya mencelat ke atas sambil berputar
bagai gasing. Lalu cepat bagai kilat Pandan Wangi meluruk, melepaskan pukulan
telak ke dada. Desk! "Ikh...!"
Disertai jeritan keras, Sri Kuning terjungkal ke belakang sambil mendekap
dadanya yang terasa remuk terkena hantaman keras. Cukup keras pukulan Pandan
Wangi barusan. Walau tak dialiri tenaga dalam, namun cukup membuat dada Sri Kuning terasa
nyeri. "Sri Kuning, cukup...," hardik Ki Sentanu, langsung melompat untuk mencegah anak
gadisnya yang hendak menyerang kembali dengan amarah meluap-luap.
"Ayah, minggirlah. Aku masih mampu menghadapi orang-orang celaka ini!" desis Sri
Kuning geram. "Cukup Anakku! Mereka bukanlah orang-orang Arghaloka.
Kau salah alamat..!" jelas Ki Sentanu dengan suara keras.
"Mustahil! Senjata kipas gadis itu telah cukup membuktikan kalau mereka dari
Perguruan Arghaloka!" bantah Sri Kuning, tak mau kalah.
"Sri Kuning! Sedikit banyak aku mengerti ciri-ciri jurus mereka. Dan, gadis ini
sama sekali tidak memperlihatkan jurus-jurus Perguruan Arghaloka!"
Sri Kuning terdiam, walau masih tetap memandang sinis pada gadis berbaju biru
muda itu. Sementara Ki Sentanu melangkah mendekati mereka.
"Nisanak, maafkan atas sikap kasar putriku. Aku Sentanu, Ketua Perguruan Naga
Jenar. Adakah sesuatu yang bisa kubantu untuk kalian?" sapa orang tua itu
disertai senyum kecil.
Pandan Wangi hanya bersikap tidak acuh. Namun Rangga cepat membalas salam hormat
Ki Sentanu. "Ki, namaku Rangga. Dan ini Pandan Wangi. Sedangkan orang tua ini adalah Ki
Wiranata, dan cucunya bernama Diah Kumintir. Maafkan juga kesalahan kawanku
tadi. Dia terlalu menuruti amarahnya saja...," ucap Rangga setelah menjura
membalas penghormatan Ki Sentanu.
"Tidak apa, Rangga Silakan mampir ke gubuk kami!"
"Terima kasih...!"
Ki Sentanu kemudian mengajak mereka memasuki bangunan utama Perguruan Naga
Jenar. Kecuali Sri Kuning, mereka pun segera melangkah. Ketua Perguruan Naga
Jenar itu berjalan paling depan.
Sementara, Sri Kuning agaknya masih tetap tidak mau bertemu mereka. Gadis itu
masih merasa kesal, meski menyadari kalau dialah yang seharusnya salah dan
terlalu gegabah.
*** "Nah, Rangga. Kalau boleh kutahu, apa yang menyebabkan kedatanganmu di tempatku
ini...?" tanya Ki Sentanu, ketika mereka telah duduk di ruang penerimaan tamu.
"Sebenarnya bukan aku yang mempunyai keperluan denganmu, Ki. Tapi, Ki Wiranata
yang me-merlukanmu. Ada sesuatu yang ingin ditanyakannya padamu...," jelas
Rangga. "Oh, begitu" Ki Wiranata, apa gerangan yang ingin kau tanyakan padaku?"
"Eh! Begini, Ki Sentanu Soal..., pusaka peninggalan Ki Sendang Bodas...," sahut
Ki Wiranata. "Ki Sendang Bodas, ah iya! Aku tahu. Belakangan ini, soal itu memang santer
sekali dibicarakari. Lalu, apa yang ingin kau tanyakan?"
"Ki Sentanu, aku adalah keturunan langsung dari Ki Sendang Bodas. Dan oleh sebab
itu, aku memiliki hak atas warisannya yang berupa sebuah kitab pelajaran ilmu
silat dan sebuah senjata sakti bernama Kyai Tunggul Manik. Kedua pusaka itu
berada di suatu tempat tersembunyi, dan hanya bisa ditemukan lewat petunjuk
sebuah peta. Yang menjadi masalah, kini peta
itu dipotong menjadi tiga bagian. Aku harus mencari dua potong peta itu lagi,
namun tidak tahu harus ke mana mencarinya. Mungkin Ki Sentanu bisa membantu
menunjukkan, di mana kedua potongan peta itu berada...?" tutur Ki Wiranata.
Mendengar itu wajah Ki Sentanu tampak berubah sesaat. Air mukanya terlihat
kaget, namun buru-buru menguasai diri dan kembali bersikap wajar.
"Ki Wiranata, aku hanya ketua sebuah perguruan silat biasa dan jarang
berhubungan ke dunia luar. Murid-muridku saja, sudah cukup membuat waktuku
banyak tersisa. Memang pernah berita itu kudengar. Namun sayang sekali, aku
tidak tahu kelanjutannya...."
"Ki Sentanu. Kudengar kau pernah punya hubungan dengan orang-orang terdekat Ki
Sendang Bodas...?" pancing Rangga.
"Ah! Berita itu terlalu dilebih-lebihkan, Rangga. Mana mungkin aku mendapat
kehormatan begitu besar untuk menyangkutkan nama beliau yang terhormat dengan
namaku!" tampik Ki Sentanu seraya tersenyum lebar.
"Sayang sekali...," desah Rangga sambil menggeleng dan tersenyum hambar.
"Sebenarnya Ki Wiranata hendak mewariskan pusaka itu pada cucunya, namun kini
mengalami jalan buntu. Sekarang, dapatkah kau memberitahukan, siapa kira-kira
yang menyimpan kedua potong peta yang tersisa, Ki?"
"Hm. Bagaimana kalau kalian coba tanyakan pada Ki Mugeni" Siapa tahu dia
mengetahuinya...."
"Ki Mugeni Ketua Perguruan Arghaloka...?" Rangga mencoba meyakinkan.
Ki Sentanu mengangguk cepat.
"Hm.... Terima kasih, Ki. Mungkin kami akan ke tempat itu nanti...," ucap
Rangga. "Ah! Kenapa mesti buru-buru" Hari telah menjelang senja.
Dan sebentar lagi malam tiba. Kalian boleh bermalam di sini kalau suka...!"
Rangga tersenyum, langsung memandang ke arah Ki Wiranata. Orang tua itu tidak


Pendekar Rajawali Sakti 145 Sengketa Tiga Potong Peta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu, apa yang harus dikatakan.
Hatinya telah keburu kecewa atas jawaban tuan rumah.
Baginya, kata-kata Ki Sentanu seperti penuh basa-basi. Dan hari kecilnya
mengatakan, Ketua Perguruan Naga Jenar itu telah berdusta. Ingin rasanya
keinginan Ki Sentanu yang hanya basa-basi itu, ditolak. Namun melihat keadaan
Diah Kumitir yang kelihatan letih dan terkantuk-kantuk, dia tidak tega untuk
meneruskan perjalan"Rangga, kalian tentu lelah seperti juga Diah Kumifir. Dan tawaran Ki Sentanu
rasanya sulit sekali ditolak...," kata Ki Wiranata.
"Aku pun tengah memikirkannya. Baiklah. Kalau kau pun setuju, rasanya kami tidak
bisa menolak...," sahut Rangga.
Wajah Ki Sentanu tampak gembira. Bibirnya
mengembangkan senyum mendengar jawaban tamu-tamunya.
"Syukurlah, aku gembira sekali bisa menyambut kalian. Dan murid-muridku akan
memberitahukan kamar kalian masing-masing...!"
Setelah berkata begitu, Ki Sentanu menepuk tangan dua kali.
Maka tak lama, tiga orang muridnya segera datang ke dalam ruangan itu.
"Coba kalian tunjukkan kamar bagi tamu-tamu kita ini...."
"Baik, Guru...!"
"Nah, Rangga, Ki Wiranata, dan kau Pandan Wangi. Silakan.
Anggaplah seperti di rumah sendiri...!" lanjut Ki Sentanu.
"Terima kasih," sahut Rangga dan yang lain seraya tersenyum kecil.
Mereka pun segera mengikuti ketiga murid Ki Sentanu, keluar dari ruangan ini.
Ki Sentanu tersenyum kecil menatap kepergian tamu-tamunya. Lalu setelah beberapa
saat, dia menepuk tangannya sekali. Tak lama seorang muridnya segera menghadap,
langsung menjura hormat
"Kemari...!"
Orang itu mendekat. Dan Ki Sentanu segera membisikkan sesuatu di telinganya.
"Mengerti..."!"
"Mengerti, Guru!"
"Bagus. Sekarang juga, kirim dua orang kawanmu untuk mengkhabarkan ini pada
mereka!" "Baik, Guru!" sahut murid itu cepat segera berlalu dari ruangan.
Dan baru saja Ki Sentanu hendak keluar ruangan, Sri Kuning muncul dengan wajah
cemberut. Gadis itu segera duduk seenaknya di depan orang tua itu. Dipandanginya
Ki Sentanu sekilas, lalu mendengus dingin seraya mengalihkan pandang.
"Jangan bersikap seperti itu, Sri. Kita wajib menghormati tamu...," ujar Ki
Sentanu, segera melangkah mendekati putrinya dan duduk di sebelahnya.
"Huh, peduli amat dengan mereka!"
Ki Sentanu tersenyum kecil.
"Bagaimanapun, kau harus menjaga sikap terhadap tamu kita. Mereka pembawa
keberuntungan!" kata Ki Sentanu.
"Keberuntungan apa?" tanya Sri Kuning, seperti asal keluar saja suaranya.
"Kita tidak perlu repot-repot lagi mencari sepotong peta yang selama ini raib
entah ke mana!" jelas orang tua itu.
Mendengar hal ini wajah gadis itu tampak penuh perhatian.
"Benarkah"!"
Ki Sentanu mengangguk.
"Ayah bermaksud memintanya pada mereka?"
Tanpa menjawab, orang tua itu tersenyum lebar.
"Ki Wiranata adalah keturunan langsung Ki Sendang Bodas.
Dan kedatangan mereka ke sini justru menanyakan kedua sobekan peta yang
tersisa...."
"Lalu?"
"Hei" Apa kau kira ayah akan menyerahkan yang sepotong itu pada mereka" Susah
payah kita mencari sobekan peta itu ke mana-mana, lalu tiba-tiba saja datang
sendiri melalui perantara. Mana mungkin akan kita biarkan begitu saja!"
"Ayah akan merebutnya?"
"Apa kau kira ada cara lain untuk mendapatkannya dari orang tua itu?"
"Ayah! Bila hal ini diketahui berbagai kalangan, maka nama perguruan kita akan
cemar...," sahut Sri Kuning khawatir.
"Itulah sebabnya, kita akan buat kalau kejadian ini bukan dilakukan perguruan
kita!" sahut Ki Sentanu cepat, seraya tersenyum penuh arti.
Sri Kuning menghela napas pelan, kemudian bangkit dari duduknya.
"Terserah ayah saja...," desah gadis itu pendek, langsung meninggalkan ruangan
ini. Ki Sentanu tersenyum-senyum sendiri, membayangkan rencananya yang menari-nari di
benaknya! *** Ki Wiranata memang
kecewa, namun Rangga terus
menghiburnya. Sejak keluar
dari bangunan Perguruan
Naga Jenar dia tidak banyak
bicara. Kecurigaannya tentang
sikap Ki Sentanu
diungkapkannya pada
pemuda itu di tengah
perjalanan. Namun, Rangga
menanggapinya sambil
tersenyum. "Kita tidak bisa menuduh
orang sembarangan, Ki...."
"Sikapnya sangat mencurigakan, Rangga. Dan senyumnya terasa menyimpan sesuatu
yang tidak boleh diketahui siapa pun. Perasaanku mengatakan, orang itu tahu
banyak mengenai apa yang kita cari. Dan itu tidak mengherankan...," tegas Ki
Wiranata. "Apa maksudnya...?"
gan ini, banyak or
"Belakan ang yang mengincar pusaka
kakekku!" "Dan kau menduga, bahwa Ki Sentanu juga sama seperti mereka?"
"Kenapa tidak" Orang tua itu belakangan gencar sekali menyebar murid-muridnya
untuk mencari tahu, di mana peta itu berada!" tandas Ki Wiranata.
Rangga terdiam memikirkan kata-kata Ki Wiranata.
"Kakang, kurasa tidak ada salahnya kita waspada...," Pandan Wangi yang
menyahuti. "Benar, aku sependapat. Kita lihat, apa yang ingin dilakukan orang tua itu
terhadapmu...," sahut Rangga pendek.
"Maksudnya?" tanya Pandan Wangi.
"Kalau dia menginginkan peta itu, dia akan mengejar kita.
Dan bisa jadi, merampasnya dari tangan Ki Wiranata," jelas Rangga.
"Perguruan mereka selama ini terhormat Apakah mungkin mereka melakukan perbuatan
demikian?" tanya Pandan Wangi.
Rangga tersenyum, langsung memandang Ki Wiranata.
"Kisanak, dari mana kau tahu kalau murid-murid Perguruan Naga Jenar berkeliaran
mencari peta yang ditinggalkan Ki Sendang Bodas...?" tanya Pendekar Rajawali
Sakti. "Soal itu aku tidak tahu pasti. Namun banyak pihak yang curiga kalau perguruan
mereka giat betul mencari peta itu, di samping Perguruan Arghaloka...."
"Dan kalau menurut perkiraanmu, apakah kedua sobekan peta itu berada di tangan
Ki Sentanu?" tanya Rangga lagi.
"Aku yakin, dia hanya menyimpan satu...."
"Dan satunya lagi di tangan Ki Mugeni, Ketua Perguruan Arghaloka itu?"
Ki Wiranata mengangguk.
"Dari mana kau bisa begitu yakin?"
"Sudah sepuluh tahun belakangan ini, kedua belah pihak tidak akur dan saling
bermusuhan. Kita bisa melihat, putrinya begitu membenci pada perguruan yang
memiliki senjata kipas dan tombak kecil itu. Sehingga begitu melihat senjata
Pandan Wangi, sudah langsung menduga kalau kita dari Perguruan Arghaloka," sahut
Ki Wiranata mantap.
"Hm.... Bisa jadi demikian...," Rangga mengangguk pelan.
Kuda-kuda mereka kini dibelokkan ke simpang jalan, menuju ke arah kanan. Sebab,
jalan itu lebih dekat ke arah Perguruan Arghaloka, tempat yang akan dituju saat
ini. Namun baru saja mereka berbelok, pada saat itu melayang beberapa sosok tubuh
bertopeng hitam.
"Berhenti...!"
Sosok-sosok tubuh bertopeng itu langsung menghadang, membuat Rangga, Pandan
Wangi, dan Ki Sentanu
menghentikan laju kudanya. Tujuh orang bersenjata pedang kini telah mengurung
dengan senjata terhunus. Salah seorang yang bertubuh agak besar maju dua
langkah, seraya menudingkan ujung pedang ke arah Ki Wiranata.
"Orang tua, berikan peta itu pada kami...!"
"Peta" Peta apa yang kau maksudkan...?" tanya Ki Wiranata, disertai senyum
sinis. "Setan! Kau kira bisa mengelabui kami, he"! Berikan peta itu, atau kutebas
batang lehermu!" ancam si orang bertopeng ini.
"Perampok hina! Siapa kalian he"!" bentak Pandan Wangi garang.
"He he he...! Gadis cantik! Sebaiknya, kau tidak usah ikut campur urusan orang.
Atau, kau akan celaka sendiri!" dengus orang bertopeng itu dengan kerawa sinis.
"Phuiih! Segala perampok picisan mau berlagak di depanku.
Hm aku ingin lihat, pengecut mana yang bersembunyi di balik topeng itu!"
"Hm.... Agaknya kau cari penyakit sendiri!" dengus orang bertopeng itu seraya
memberi isyarat pada kawan-kawannya.
"Bereskan mereka!"
"Yeaaa...!"
Empat orang bertopeng langsung mencelat menyerang. Dua orang menghadapi Pandan
Wangi, dua orang lagi menyerang Rangga. Sedang dua orang yang tersisa, mencoba
menculik bocah perempuan yang berada di belakang Pandan Wangi.
Sementara, orang yang bertindak sebagai pimpinan, langsung melompat menyerang Ki
Wiranata. Srakkk! Pandan Wangi cepat mencabut kipas mautnya. Tubuhnya terus melompat dari punggung
kuda. Di-tahgkisnya senjata-senjata orang bertopeng itu sambil mendekap Diah
Kumitir. Trak! Trakk! Bocah perempuan itu tampak ketakutan sekali. Mukanya pucat dan tubuhnya gemetar.
Pandan Wangi bukannya tidak tahu hal itu.
"Diah, peluk kakak kuat-kuat, ya" Tenang saja mereka tidak akan mampu
melukaimu," kata Pandan Wangi membesarkan hati bocah itu.
Diah Kumitir mengangguk. Namun, wajahnya masih tetap pucat dalam gendongan
Pandan Wangi. Plak! Duk! "Aaakh...!"
Terdengar jeritan keras dari tempat lain. Tampak dua orang terjungkal dengan
senjata terpental jauh. Keduanya berusaha bangkit, namun kembali terjungkal.
Rupanya, Pendekar Rajawali Sakti baru saja menjatuhkan dua lawannya.
"Bagus, Kakang Rangga...!" puji Pandan Wangi disertai tawa girang.
Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak mempe-dulikan pujian Pandan Wangi. Dan dia
sudah langsung menyerang dua orang lawan Pandan Wangi.
"Hati-hati! Pemuda ini lebih ganas dibanding yang perempuan..!" desis salah
seorang bertopeng memperingatkannya.
Yang diperingatkan mengangguk. Mereka langsung mengibaskan pedang sedemikian
rupa, sehingga terkesan tengah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk
menyerang Rangga.
"Yeaaa...!"
Bet! Bettt! "Uts!"
Tubuh Rangga bergerak dengan kelitan-kelitan
mengagumkan, menghindari tebasan kedua lawannya. Dan mendadak saja, Pendekar
Rajawali Sakti mencelat setinggi satu tombak ke atas. Namun, salah seorang
lawannya menyusul.
Sedangkan seorang lagi menunggu di bawah. Melihat hal ini Rangga tersenyum
kecil. Maka begitu tubuhnya meluruk mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah
Mega', lawan-lawannya hanya mampu terkesiap. Dan...
Dukk! Tapp! "Aaaakh...!"
Cepat sekali ujung kaki Pendekar Rajawali Sakti menghantam pergelangan tangan
lawannya yang terdekat.
Pedang di tangan orang itu teriempar ke udara. Dan dengan gerakan mengagumkan,
Pendekar Rajawali Sakti kembali melenting menyambar pedang itu. Begitu pedang
telah berpindah tangan, Rangga segera mengayunkannya sekaligus ke arah lawanlawannya. Cras! Brettt! "Aaakh...!"
Dua orang langsung menjerit kesakitan. Tubuh mereka terhuyung-huyung ke belakang
sambil mendekap dada.
Penutup wajah mereka pun tersambar ujung pedang yang berhasil dirampas Pendekar
Rajawali Sakti,"Hei"!"
"Cepat kabur...!"
Dua orang yang masih selamat terkejut Sementara seorang dari mereka memberi
isyarat pada kawan-kawannya yang lain sebelum melesat kabur lari dari tempat
itu. "Suiiitt...!"
*** 4 Pandan Wangi mendengus. Si Kipas Maut ini langsung melesat mengejar ketika
ketujuh orang itu berusaha melarikan diri, setelah mendengar suitan panjang
salah seorang kawannya. Setelah tubuhnya melenting dan berputaran di udara, Pandan Wangi
mendaratkan kakinya di hadapan mereka.
"Huh! Mau coba-coba kabur, heh"! Kalian datang dengan mudah, namun tidak gampang
pergi begitu saja!"
"Heh"!"
Ketujuh orang itu terkejut, karena tahu-tahu Pandan Wangi telah menghadang di
depan. Mereka hendak berbalik, namun Rangga telah menunggu dengan tangan
terlipat di depan dada.
Mata Pendekar Rajawali Sakti memandang tajam pada mereka.
"Hm, kukira siapa wajah-wajah di balik topeng itu, ternyata orang-orang yang
pernah kukenal...!" kata Pendekar Rajawali Sakti.
Mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti, ketujuh orang bertopeng itu
terkejut yang terlihat dari pancaran bola mata mereka. Sedang dua orang di
antaranya kelihatan gelisah, karena wajah mereka jelas terlihat, setelah
topengnya terbabat pedang yang direbut Pendekar Rajawali Sakti. Sebenarnya
Rangga berkata demikian, hanya alasan belaka dari kecurigaannya. Padahal, Rangga
sama sekali tidak kenal mereka.
"Kalian akan kuberi tanda mata. Beritahu ketuamu, agar tidak sembarangan
bersikap licik pada orang! Dan dia sendiri akan mendapat bagiannya dariku!"
dengus Pandan Wangi lebih galak
Ketujuh orang tampak bertambah gelisah. Mereka kini tahu, bahwa sepasang anak
muda itu tak bisa dianggap enteng.
"Siapa yang menyuruh kalian"!" bentak Ki Wiranata garang, ketika ketujuh orang
itu terdiam di tempatnya.
Tak seorang pun yang buka mulut. Beberapa orang malah saling pandang.
"Sial! Kalau begitu mulut kalian harus kurobek dulu, heh"!"
hardik Ki Wiranata garang.
Ketujuh orang ini sama sekali tidak takut dengan bentakan Ki Wiranata. Bahkan
dari sorot mata si pemimpinnya, terlihat berkilatan karena hawa amarah mendengar
bentakan orang tua itu.
Ki Wiranata mulai geram melihat sikap mereka. Namun sebelum orang tua itu
bertindak suatu apa pun....
"Orang tua busuk, serahkan peta itu padaku...!"
Mendadak terdengar bentakan nyaring, yang disusul oleh berkelebatnya dua sosok
bayangan. Ki Wiranata terkejut. Sementara dua sosok bayangan itu telah bergerak cepat ke
arahnya dari sisi yang beriawanan.
Wajah orang tua itu pucat dan tubuhnya mulai goyah. Jelas serangan itu tidak


Pendekar Rajawali Sakti 145 Sengketa Tiga Potong Peta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan mampu dielakkan. Tapi, saat itu juga Rangga bertindak cepat. Langsung
dipapakinya kedua serangan itu.
Plak! Plak! "Uhh...!"
Kedua sosok kontan mengeluh pelan, ketika tangan-tangan mereka beradu dengan
tangan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka langsung berjumpalitan ke belakang, lalu
berdiri tegak dengan kedua bahu terangkat dan napas terengah-engah. Sedang
Rangga sendiri tidak mendapat pengaruh apa-apa dan hanya berdiri tegak sambil
melipat tangannya di dada.
"Bocah! Jangan campuri urusan orang lain! Pergilah kau sebelum celaka!" hardik
salah seorang. Ternyata dia adalah seorang wanita berusia sekitar lima puluh tahun.
Kelihatannya wanita itu hanya bertangan kosong saja. Namun melihat selendang
hitam yang melilit di pinggangnya, baru diketahui kalau dia adalah Nyai Gendang
Lurik, seorang tokoh wanita berkepandaian tinggi.
Sementara seorang lagi adalah laki-laki bertubuh tinggi kurus, berusia sekitar
tiga puluh tahun. Sepasang matanya agak menyipit. Dan di pinggangnya terselip
sebuah senjata kapak bergagang agak panjang.
"Hm, Nyai Gendang Lurik dan Ki Danang Anyar...!" gumam Rangga dingin ketika
mengenali dua orang itu. "Angin apakah yang membawa kalian jauh-jauh datang ke
sini?" Sebaliknya kedua orang itu sedikit terkejut ketika mengetahui, siapa pemuda yang
telah menahan serangan mereka. Wajah pemuda berbaju rompi putih ini tak asing
lagi bagi keduanya.
"Pendekar Rajawali Sakti! Pantas ada orang yang mampu menahanku...," sahut Nyai
Gendang Lurik disertai senyum kecil.
"Rangga, di antara kita tidak ada persoalan. Maka sebaiknya tak usah mencampuri
urusan orang lain!" sahut Ki Danang Anyar lebih tegas, dibanding kawannya.
"Hm, begitu" Kau telah menyerang orang tua itu secara mendadak. Padahal, dia
adalah kawan seperjalanan denganku.
Maka sudah pasti, keselamatannya menjadi tanggung jawabku!" sahut Rangga mantap.
"Apakah kau menginginkan peta itu juga?" tanya Ki Danang Anyar, menyelidik.
"Peta apa yang kau maksudkan?" Rangga balik bertanya.
"Hi hi hi...! Danang Anyar! Kau hanya membuang-buang waktu bicara dengannya.
Sudah jelas dia ingin menguasai sendiri pusaka itu. Kenapa ditanyakan segala?"
sahut Nyai Gendang Lurik diiringi tawa mengejek.
"Oh! Jadi kalian mengingjnkari peta yang menunjukkan di mana pusaka Ki Sendang
Bodas berada"!" sahut Rangga, seperti memancing.
"Tentu saja! Apa kau kira kami tolol"!"
Mendengar itu Rangga terkekeh kecil.
"Kakang, kau salah alamat Mereka bukan mencari peta itu, tapi peta yang
menunjukkan jalan ke neraka!" Kali ini Pandan Wangi yang menyahuti
"Kau pasti si Kipas Maut! Hm.... Hati-hati bicaramu!" Wajah Nyai Gendang Lurik
mulai tidak senang, namun masih mampu menahan diri. Jika saja di situ tidak ada
Pendekar Rajawali Sakti, niscaya gadis itu akan dihajarnya.
*** Ketujuh orang bertopeng itu terkejut bukan main, begitu mengetahui siapa
sebenarnya pemuda berbaju rompi putih ini Tapi begitu melihat kehadiran dua
tokoh lainnya di tempat ini, diam-diam mereka meninggalkan tempat ini. Tak ada
yang memperhatikan kepergian meteka.
Sementara, mendengar kata-kata Nyai Gendang Lurik, Pandan Wangi bukannya diam
malah makin melotot
"He, syukur.... Ternyata kau tahu siapa aku! Pergilah kalian.
Jangan bermimpi untuk memiliki peta itu. Dia akan jatuh ke tangan yang berhak!"
sahut si Kipas Maut, semakin galak.
Nyai Gendang Lurik mendengus sinis. Namun Ki Danang Anyar agaknya tidak bisa
menerima kata-kata gadis itu.
"Kipas Maut! Apakah kau sudah merasa hebat di kolong jagat ini" Hati-hati
bicaramu, karena lidah tidak bertulang. Dan kehebatan tidak ditentukan oleh
bicaramu, tapi di ujung pedang!"
"Kenapa tidak kau buktikan" Cabutlah senjatamu!" tantang Pandan Wangi.
"Lebih baik pergunakan senjata kipas yang menjadi andalanmu. Ingin kulihat,
sampai di mana kehebatanmu yang menghebohkan orang banyak!"
"Ki Danang Anyar! Aku tidak ingin terjadi keributan di antara kita. Tapi kau
terlalu memaksa...," sentak Pendekar Rajawali Sakti.
"Kakang Rangga! Jangan coba-coba halangi aku! Orang ini perlu diberi pelajaran.
Agaknya dirinya sudah merasa hebat, sehingga bisa berbuat sesuka hatinya!" desis
gadis itu, seraya menyerahkan Diah Kumitir pada Ki Wiranata.
Sementara itu Nyai Gendang Lurik sebenarnya sudah sungkan untuk meneruskan
niatnya merebut sobekan peta yang dimiliki Ki Wiranata. Terutama ketika
mengetahui bahwa Pendekar Rajawali Sakti ada di tempat itu. Bahkan dia sudah
ingin segera berlalu.
"Rangga, aku pergi dulu. Kuharap, lain waktu kita bisa bertemu kembali. Urusan
Ki Danang Anyar, bukanlah urusanku!"
"Nyai Gendang Lurik. Apakah kau demikian pengecutnya, sehingga perlu takut pada
mereka?" ejek Ki Danang Anyar sinis.
Wanita tua itu tersenyum kecil, sebelum meninggalkan tempat itu.
"Danang! Kau mungkin hebat. Nah, hadapilah mereka...!"
ujar wanita tua itu singkat seraya berkelebat cepat Ki Danang Anyar kembali
berpaling pada Pandan Wangi dengan sorot mata tajam.
"Tidak usah sungkan-sungkan, ayo tunjukkan kehebatanmu padaku...!" kata Ki
Danang Anyar, terasa amat merendahkan gadis itu.
Pandan Wangi tidak banyak bicara lagi. Langsung kipas mautnya dicabut dan
melompat menyerang.
"Hiyaaa...!"
Desir angin tajam menyambar ketika kipas maut Pandan Wangi berkelebat Ki Danang
Anyar terkejut, langsung pontang-panting menyelamatkan diri. Tapi, agaknya gadis
itu memang sudah kalap. Dia telah menyerang, tanpa memberi kesempatan sedikit
pun. Wuttt! "Hiiih!"
Kaki kanan Pandan Wangi menendang ke perut, namun Ki Danang Anyar cepat
bergulingan. Perkiraannya, jika melenting ke atas, kipas maut lawannya akan
menunggu. Namun perhitungannya ternyata meleset. Sebab entah bagaimana caranya,
tiba-tiba saja gadis itu berputar sambil merendahkan tubuhnya. Langsung
dilepaskannya tendangan pancingan lagi, sehingga membuat Ki Danang Anyar
kelabakan. Cepat dia bangkit, dan terus melompat ke belakang. Tapi saat itu juga
senjata Pandan Wangi menyambar cepat.
Brettt! "Aaakh...!"
Ki Danang Anyar menjerit kesakitan begitu dadanya tersambar kipas Pandan Wangi.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang mengucurkan
darah. Tapi Pandan Wangi memang bertindak tidak kepalang tanggung. Begitu kena
merobek dada lawannya, tubuhnya berbalik. Dan sebelum Ki Danang Anyar menyadari,
satu tendangan keras telah menyusuli.
Desss...! "Ugh...!"
Laki-laki itu jatuh berdebuk keras di tanah. Dia berusaha berdiri tertatihtatih, sambil memandang si Kipas Maut dengan sorot mata tajam penuh dendam.
"Ayo, bangkit! Tunjukkan kehebatanmu!" desis Pandan Wangi belum hilang
amarahnya. Ki Danang Anyar menyadari kesalahannya, yang terlalu menganggap rendah. Sehingga
ketika serangan Pandan Wangi menghebat, dia tidak kuasa melakukan perubahan
jurus. Dan pengalaman pahit ini harus ditelannya. Namun bukan hanya sekadar itu.
Paling tidak, dia menyadari kalau gadis ini memang memiliki kepandaian tinggi.
Kalau tidak, rasanya tidak mungkin mampu melakukan gerakan cepat yang bertenaga
dalam tinggi seperti tadi.
"Kenapa diam saja" Ayo, tunjukkan kegaranganmu tadi!"
bentak Pandan Wangi semakin kesal saja.
Ki Danang Anyar bangkit perlahan-lahan dengan wajah berkerut menahan sakit
"Kipas Maut! Hari ini aku mengaku kalah padamu. Tapi persoalan ini tidak selesai
begitu saja. Suatu saat, kita akan bertemu lagi. Dan saat itu, kau akan
merasakan pembalasannya...," kata Ki Danang Anyar.
"Huh banyak omong! Pergilah kau dari hadapanku. Dan kutunggu pembalasan darimu,
sampai kapan pun!" desis gadis itu geram.
Tanpa banyak bicara lagi, Ki Danang Anyar segera berkelebat cepat dari tempat
itu. Begitu bayangannya lenyap, Pandan Wangi berbalik.
"Huh! Orang-orang asing! Berani benar kalian mengotori tempat ini!" Tiba-tiba
terdengar bentakan menggelegar.
*** Semua yang ada di tempat itu terkejut. Demikian juga Pandan Wangi. Gadis itu
memandang ke sekeliling. Dan tahu-tahu di tempat itu telah dikurung tak kurang
dari lima puluh orang bersenjata. Berdiri paling depan adalah seorang pemuda
berpakaian rapi. Dia memegang sebuah kipas yang terbuat dari bala. Bibirnya
tampak tersenyum sinis sambil melangkah mendekati Pandan Wangi, Rangga, dan Ki
Wiranata yang menggendong cucunya.
"Hm. Suatu pertunjukan yang menarik sekali. Barusan kalian bertarung di wilayah
kami. Pasti sedang memperebutkan sesuatu yang istimewa...!" kata pemuda itu
sinis. "Kisanak! Maafkan kalau kami mengganggu
ketenteramanmu. Kami sekadar mempertahankan diri dari begal-begal ini. Namaku,
Rangga. Dan yang ini adalah kawan-kawanku...," kata Pendekar Rajawali Sakti
berusaha ramah.
"Siapakah kau. Dan, ada apa gerangan membawa sejumlah orang yang begitu banyak?"
"Kalian telah memasuki tanah Perguruan Arghaloka, dan membuat keributan. Mana
mungkin kami bisa membiarkannya begitu saja" Hm.... Aku Setiaji, putra Ki Mugeni
Ketua Perguruan Arghaloka. Kalian harus ikut kami, untuk menghadap
ayahku untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang kalian lakukan di sini!" ujar
pemuda yang tak lain Setiaji, bernada jumawa.
Kata-kata yang diucapkan Setiaji membuat Pandan Wangi menjadi muak dan sebal.
Gadis itu langsung berkacak pinggang dan menuding sinis.
"Hei, Bocah Bau Kencur! Lagakmu selangit dan penuh kesombongan. Seolah-olah,
dirimu adalah raja yang berkuasa.
Kau tidak ada hak untuk memerintah kami!" dengus Pandan Wangi geram.
"Pandan Wangi, sudahlah. Lebih baik kita turuti keinginannya. Bukankah
kedatangan kita ke sini untuk bertemu guru mereka?" selak Rangga
"Tidak, Kakang! Orang ini sombong sekali dan patut mendapat pelajaran supaya
tidak besar kepala!" bantah gadis itu.
"Phuiih! Hei, Perempuan Liar! Kau kira bisa berbuat apa padaku, he"! Agaknya kau
belum merasakan pahitnya dihina orang. Hem... kalau kau punya kepandaian,
majulah! Biar kuajarkan padamu, bagaimana seharusnya bersikap pada orang!"
dengus Setiaji garang.
Dan demi mendengar kata-kata Setiaji, Pandan Wangi tidak lagi bisa menahan
amarah. Padahai, Rangga berusaha menyabarkannya.
"Tidak, Kakang! Aku ingin sekali merobek mulutnya yang sombong itu!" dengus
Pandan Wangi. Gadis itu langsung melangkah mendekati Setiap dengan sorot mata tajam.
"Tunjukkan padaku kehebatanmu, Kisanaki"
"Huh, Gadis Sombong! Kau akan menyesal nantinya!"
dengus Setiaji, langsung bersiap dengan satu jurus serangan.
Setiaji memang betul-betul menganggap remeh si Kipas Maut. Meski dia tahu gadis
itu tidak kosong belaka, namun hatinya terlalu yakin untuk dapat mengalahkannya
dengan mudah. Berpikir begitu, Setiaji memberi isyarat pada orang-orang yang tak
lain murid Perguruan Arghaloka, untuk tidak bertindak sebelum mendapat
perintahnya. Sementara itu, Rangga sendiri menjadi tidak enak hati.
Urusan menjadi kacau sebelum segalanya beres. Bahkan mereka belum sempat bertemu
Ki Mugeni untuk menanyakah urusan peta itu. Dan kini, tiba-tiba saja putra dan
sekian banyak muridnya telah mengurung. Bahkan melihat gelagat yang tidak
menguntungkan, agaknya putra Ki Mugeni ini tidak bisa diajak berpikiran dingin.
Dan lebih-lebih lagi, Pandan Wangi yang sudah naik darah melihat dan mendengar
kelakuan Setiaji.
"Pandan, biarkan aku bicara dengannya...!" Rangga berusaha mencegah tindakan
gadis itu. "Kakang, percuma saja...."
"Tidak!" potong pemuda itu. "Coba tahan amarahmu iebih dulu, dan biarkan aku
bicara dengannya!"
Pandan Wangi hanya bisa memberengut mendengar perintah Pendekar Rajawali Sakti.
"Ketahuilah Setiaji. Kedatangaan kami ke tempat ini sebenarnya ingin bertemu
ayahmu. Ada sesuatu yang ingin kami bicarakan...!" kata Rangga bernada datar dan
suara sedikit keras.
"Biar kutebak! Pasti urusan peta itu, bukan"!" potong Setiaji.
"Hm. Agaknya semua dinding kini telah bertelinga...,"
gumam Rangga tersenyum kecil.
"Tidak aneh, Kisanak. Sudah banyak orang yang datang ke tempat kami, dan
persoalannya tetap sama. Dan kami sudah bosan menghadapinya. Ayahku ingin
tenang, tidak mau diganggu soal itu!" desis Setiaji.
"Apakah ayahmu tidak tahu-menahu soal peta itu"
Dengarkan, Setiaji! Aku tidak kemaruk soal peta itu, tapi pewarisnya yang syah,
wajib mendapatkannya. Dan orang itu berada di dekatku ini...."
"Tidak! Ayahku tidak tahu menahu soal itu...!"
"Baiklah. Kalau demikian, kami permisi saja...," sahut Rangga pelan. Dan
Pendekar Rajawali Sakti bermaksud mengajak Pandan Wangi serta yang lain
meninggalkan tempat ini Tapi baru saja Rangga berbalik.
"Hei"! Mudah bagi kalian untuk datang ke sini, namun tidak semudah itu bisa
pergi begitu saja...!" dengus Setiaji tajam bernada mengancam.
"Apa maksudmu...?" tanya Rangga kembali berbalik. Wajah pemuda itu kelihatan
mulai sedikit jengkel melihat kesombongan Setiaji.
"Kalian telah membuat kerusuhan di daerah kami. Maka, kalian harus ditahan di
tempat kami!" tegas Setiaji.
"Apa kataku, Kakang! Orang ini terlalu sombong dan berbuat sesuka harinya.
Dikira, dirinya raja," dengus Pandan Wangi geram.
"Tangkap mereka...!"
Setiaji tidak mempedulikan. Dia sudah langsung memberi perintah pada anak
buahnya untuk meringkus.
*** 5 Murid-murid Perguruan Arghaloka bagai tanggul jebol, langsung menyerang Rangga,
Pandan Wangi, dan Ki Wiranata yang masih menggendong Diah Kumitir. Namun agaknya
Setiaji mengerti betul apa yang dicarinya. Tidak heran kalau anak buahnya
dikerahkan untuk mencecar Ki Wiranata. Mereka berusaha menahan Rangga dan Pandan
Wangi untuk tidak melindungi orang tua itu.
"Hentikan tindakan konyol ini, Setiaji. Jangan membuat urusan menjadi susah!"
teriak Rangga memperingatkan.
"Banyak mulut! Kalian yang membuat urusan ini menjadi sulit Menyerahlah, sebelum
kalian dicincang sampai mampus!"
bentak Setiaji.
"Keparat! Dia kira kita apa, heh"! Kakang, tidak usah banyak bicara. Lebih baik
Sastrawan Cantik Dari Lembah Merak 5 Jodoh Rajawali 16 Penobatan Di Bukit Tulang Iblis Badai Di Selat Karimata 2

Cari Blog Ini