Pendekar Rajawali Sakti 183 Jahanam Bermuka Dua Bagian 1
. 183. Jahanam Bermuka Dua Bag. 1 - 4
29. M?rz 2015 um 08:31
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Jahanam Bermuka Dua
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 ? "Oaaa...! Oaaa...!"
Senja yang semula hening, pecah oleh suara tangis bayi. Penghuni baru jagad raya ini telah iahir, diiringi desah kegembiraan dan kelegaan ibu sang jabang bayi.
Beberapa laki-laki yang semula tegang, tampak menghembuskan napas lega di beranda sebuah rumah kecil di Desa Klawing.
"Lihatlah anakmu, Katmani," ujar seorang laki-laki setengah baya pada laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun di sebelahnya.
"Eh! Baik Kang Danubrata!"
Tanpa banyak kata lagi, laki-laki yang dipanggil Katmani bangkit dan masuk ke dalam rumahnya. Gembira di hatinya tak tertahankan lagi. Maka dengan wajah berseri-seri dia hendak menerabas ke dalam kamar. Namun sebelum hal itu dilakukannya....
"Auuu...!"
"Hei, ada apa"! Ada apa, Nyai Kempot"!"
Katman kaget bukan main ketika tahu-tahu saja satu sosok tubuh menerjangnya. Untung dia cepat melompat ke kiri, sehingga sosok yang temyata seorang perempuan tua itu tidak menubruknya.
"Itu...! Itu...!"
Wanita tua bertubuh kurus dan kedua pipinya kempot yang dipanggil Nyai Kempot menunjuk-nunjuk ke tempat tidur. Tangannya gemetar dan mukanya pucat. Bahkan seketika dia pergi dari tempat ini membawa rasa takut yang amat sangat.
Katmani buru-buru mengikuti pandangan orang tua tadi. Segera dia masuk ke kamar, melihat apa yang ditunjuk Nyai Kempot.
"Astaga...! Tidak! Tidak mungkin...!" bentak Katmani garang. Dia benar-benar terkejut melihat apa yang ada di tempat tidur.
Katmani seperti orang gila berteriak-teriak tidak menentu sambil meremas-remas rambut. Mendengar ribut-ribut, laki-laki setengah baya yang bernama Ki Danubrata langsung masuk ke kamar segera. Ditenangkannya Katmani. Memang hanya Ki Danubrata saja yang menemani keluarga Katmani di tempat ini.
"Sabar, Katmani! Sabar...! Tenangkan dirimu....
'Tidak! Tidaaak, Kang Danubrata! Coba lihat anak itu, Kang! Coba lihat! Dia pasti bukan anak-ku!" teriak Katmani tetap saja tidak mau tenang.
Ki Danubrata berpaling. Dan dia segera melihat orok yang berada di sebelah ibunya.
Bayi itu memang berukuran??? luar batas ke-??? wajaran dari bayi biasanya. Dan mungkin hal itu saja masih bisa dimaafkan. Namun wajah bayi itu, memiliki dua muka yang bertolak belakang dan amat mengerikan! Masing-masing memiliki mulut yang lebar dengan sepasang taring kecil di sudut-sudut bibirnya. Hidungnya lebar dengan lubang besar. Tangannya tidak berjumlah dua, tapi empat. Begitu pula kakinya. Sepasang matanya bulat dengan biji mata hampir melompat keluar. Ini yang membuat Katmani dan Nyai Kempot yang menjadi dukun bayi di Desa Klawing kaget setengah mati. Bahkan si orok belum sempat dibersihkan. Tubuhnya masih penuh bercak darah.
"Astaga! Apa yang terjadi..."!"
Tanpa sadar, seruan kaget pun keluar dari mulut Ki Danubrata, yang juga tetangga dekat Katmani.
"Itu bukan anakku! Bukan anakku...!" teriakKatmani makin kalap.
Laki-laki yang baru saja mendapat putra pertama ini menghampiri wanita berusia dua puluh tujuh tahun yang tergolek lemah di tempat tidur. Sementara sang jabang bayi tergolek dengan gerakan liar di dekat kaki ibunya. Katmani membungkuk di sisi wanita yang tak lain istrinya.
"Katakan padaku, apa yang terjadi"! Anak sia-pa dia"! Anak siapa"!" bentak Katmani garang.
"Dia anak kita, Kang...," sahut wanita itu, lirih.
"Dusta! Kau berbohong padaku! Katakan yang sebenarnya! Anak siapa dia"! Meski wajahku tidak tampan, tapi tidak mungkin anakku seperti itu!"
'Ya, ampun... Nyebut, Kang.... Dia anak kita...," sahut istrinya semakin lirih.
Sebenarnya, wanita itu pun tidak kalah kaget ketimbang yang lain, sejak Nyai Kempot berteriak tadi, wanita itu sudah merasa terpukul begitu melihat bayinya. Namun sebagai seorang ibu yang merasakan penderitaan mengandung lalu melahirkan, tentu saja dia berusaha menerima meski hatinya amat sedih.
"Tidak! Itu bukan anakku! Itu bukan anakku...!" teriak Katmani seraya menghambur keluar.
"Katmani, tunggu!" cegah Ki Danubrata, seperti tersentak dari keterkejutannya.
Ki Danubrata bergegas mengejar keluar. Tampak Katmani berdiri di depan pintu seperti patung membelakangi.
"Katmani...," panggil laki-laki setengah baya ini pelan untuk tidak mengagetkan.
Katmani tak menyahut. Udara senja menjelang malam yang dingin menerpa mereka berdua. Katmani tetap membisu seperti tidak mempedulikan suasana sekelilingnya. Melihat itu pelan-pelan Ki Danubrata menghampirinya.
"Ohh!"
Baru beberapa langkah Ki Danubrata tersentak kaget ketika tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan dan tahu-tahu telah berdiri di depan mereka. Mata laki-laki setengah baya itu kontan terbelalak lebar dengan muka pucat pasi melihat sesosok tubuh tegak berdiri pada jarak tiga langkah.
Sosok itu bertubuh kurus dengan pakaian agak besar. Rambutnya yang panjang terurai kelihatan berkibar-kibar. Sebuah tongkat besar tergenggam di tangan kanannya.
"Si..., siapa kau?" tanya Ki Danubrata kaget.
Dan tak terasa kakinya mundur selangkah.
"Hi iii hi...! Kau tidak kenal aku"!"
Sosok tubuh yang telah berusia sangat lanjut itu menyeringai lebar sambil tertawa nyaring.
Suara wanita tua ini kering dan serak, namun terdengar cukup menyeramkan. Dan tatkala dia mendekat, Ki Danubrata semakin jelas melihat bentuk wajahnya yang pucat. Hidungnya panjang agak bengkok. Matanya cekung dan kedua alisnya bertaut. Senyumnya terlihat menyeramkan.
"Jangan ganggu keluarga ini! Mereka sudah ditimpa kemalangan!" bentak Ki Danubrata mem-beranikan diri.
"Hi hi hi...! Apa urusanmu" Aku hanya hendak mengambil cucuku," sahut perempuan tua ini enteng.
"Tidak mungkin!" bentak Ki Danubrata.
"Apa pun katamu, terserah. Aku hendak mengambil cucuku. Dan, tidak seorang pun yang bisa menghalanginya!" dengus wanita tua itu.
"Katmani tidak akan mengizinkannya!"
"Katmani" Siapa yang kau sebut Katmani" Le-laki tolol yang berdiri disampingmu itukah?" tunjuk perempuan tua ini sambil tertawa kecil.
Ki Danubrata berpaling pada Katmani. Digun-cang-guncangnya tubuh laki-laki yang baru dikaruniai putra itu.
"Sadarlah, Katmani! Jangan kau izinkan dia mengambil anakmul" ujar Ki Danubrata.
Aneh! Katmani sama sekali tidak memberi tanggapan apa-apa. Bergerak pun tidak. Bahkan pandangannya tampak kosong ke depan. Sepertinya ada sesuatu yang menyihirnya.
"Sadarlah, Katmani! Jangan izinkan wanita itu mengambil anakmu!" bentak Ki Danubrata sambil mengguncang-guncang tubuh Katmani lebih keras.
Namun laki-laki berusia tiga puluh tahun itu tidak bergeming sedikit pun. Ki Danubrata mulai gelisah. Apalagi, ketika matanya kembali menatap tempat perempuan tadi berdiri.
"Heh"! Ke mana dia?" desis ki Danubrata, tersentak kaget.
Ternyata, perempuan tadi sudah lenyap entah ke mana.
Didasari rasa curiga buru-buru Ki Danubrata masuk ke dalam rumah. Benar saja. Ternyata perempuan tua itu telah menggendong bayi yang baru saja dilahirkan.
"Wanita keparat! Letakkan bayi itu. Kau tidak boleh mengambilnya!" bentak Ki Danubrata sengit, sambil menuding.
"Kau tidak akan bisa menghalangiku!" dengus perempuan tua ini seraya mengibaskan tongkat secara tiba-tiba, membuat Ki Danubrata tak mampu memapak.
Bletak! "Aaakh...!"
Tongkat itu tepat menghantam tulang leher Ki Danubrata sampai patah. Karuan saja, laki-laki setengah baya itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terpental keluar ruangan ini, menabrak pintu. Begitu mencium bumi, dia tidak bergerak-gerak lagi.
"Hi hi hi...! Kau kira bisa menghalangi keingin-an Nyai Warengket"! Dasar kerbau tolol! Rasakan akibatnya!"
Setelah berkata begitu, perempuan tua ber-nama Nyai Warengket berkelebat dari ruangan ini, dan menghilang begitu cepat.
Tak seorang pun yang tahu ke mana putra Katmani dibawa pergi. Bayi itu raib seperti ditelan bumi. Katmani dan istrinya pun lebih memilih diam saat tetangga-tetangga menanyakan perihal anaknya.
Sementara Nyai Kempot yang menjadi dukun bayi sejak kejadian malam itu, mendadak menga-lami gangguan jiwa. Wanita tua itu sering melamun dan kadang ketakutan. Kadang-kadang dia berteriak-teriak sepanjang jalan dengan wajah ketakutan sambil menunjuk-nunjuk sesuatu. Orang segera tahu kalau dia gila. Nasibnya semakin mengenaskan, karena beberapa hari kemudian mayatnya ditemukan di pinggiran sawah.
? *** ? 2 ? Waktu terus berjalan tanpa ada yang bisa menghalangi. Perlahan-lahan, Penduduk Desa Klawing telah melupakan kejadian yang menimpa Katmani. Dan sampai hari ini telah genap tujuh belas tahun bayi Katmani terampas dari orang tuanya. Sebagaimana biasanya, sebagian penduduk Desa Klawing yang berdekatan dengan Hutan Kemojang, bermata pencaharian sebagai pencari kayu bakar. Mereka kerap menebangi pohon, lalu hasilnya dijual ke kota kadipaten.
Seperti juga hari ini. Dua orang laki-laki setengah baya tampak mulai memasuki kawasan hutan, seperti tanpa mengenal takut sedikit pun. Padahal, Hutan Kemojang tergolong hutan lebat dengan pohon-pohonnya yang besar-besar. Bahkan ada yang tak terpeluk oleh empat orang dewasa.
Namun baru saja memasuki hutan, langkah mereka mendadak terhenti. Kedua laki-laki ini memandang ke sekeliling dengan sinar mata bingung.
Betapa tidak" Kemarin mereka habis dari tempat ini. Namun sekarang, tempat ini telah berubah menjadi porak-poranda, Banyak pohon tumbang tak tentu arah. Bukan karena tebangan kapak. Karena kalau melihat patahan bentuknya tak karuan, patahan pohon bagai patahan yang dilakukan oleh tangan raksasa! Kalau pohon itu tumbang karena petir, jelas tak mungkin, karena yang hangus justru bagian patahan yang terietak di bagian bawah. Tapi oleh apa"
Belum sempat kedua orang itu berpikir lebih jauh, mendadak berkelebat satu sosok tubuh dan tahu-tahu telah berdiri di depan mereka sejauh tiga tombak.
"Heh"!"
Mereka kontan terperanjat, melihat sosok yang baru datang. Apa yang terlihat memang sungguh pemandangan tak lumrah. Sosok tubuh yang berdiri tegak dengan sikap mengawasi itu memiliki sepasang muka. Rambutnya tegak berdiri. Kedua telinganya lebar. Sepasang taring mencuat keluar dari sudut-sudut bibirnya. Tangannya berjumlah empat. Demikian pula kakinya. Dari keadaannya, jelas kalau makhluk ini adalah laki-laki yang paling tidak berusia sekitar tujuh belas tahun.
"Siapa kalian"! Apa yang kalian lakukan di sini"!" tanya makhluk aneh ini dengan suara berat dan kasar.
"Eh! Kami..., kami..., adalah penduduk Desa Klawing. Aku Sukmana dan temanku Bantet," sahut salah seorang pencari kayu bakar itu.
Makhluk itu mendekat. Kini jarak mereka hanya terpaut tiga langkah. Wajahnya yang menyeramkan menatap dingin pada kedua laki-laki ini.
"Kenapa kalian ketakutan?" tanya makhluk itu lagi.
"Kami tersesat!" sahut laki-laki yang mengaku bernama Sukmana, tetap berusaha memberanikan diri.
"Tersesat" Di mana rumah kalian?"
"Di Desa Klawing, tak jauh dari sini," kali ini laki-laki bernama Bantet yang menyahuti.
"Siapakah kau" Dan, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Sukmana.
"Namaku Gardika. Aku tengah berlatih," sahut makhluk bernama Gardika.
"Berlatih apa?" tanya Bantet.
"Ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan...."
"Ilmu olah kanuragan"!"
Sukmana dan Bantet saling berpandangan. Lalu bersamaan memandang makhluk itu dengan mulut ternganga.
"Ya. Kenapa?"
"Jadi, batang-batang pohon ini semua hasil perbuatanmu?" tanya Bantet, seraya menatap ke sekeliling hutan yang porak-poranda. Demikian pula Sukmana.
"Ya."
Kedua pencari kayu bakar ini mendecah ka-gum. Dan mereka kembali memandang takjub ke-pada makhluk itu.
"Apakah kalian tak percaya?"
"Eh! Tentu saja kami percaya. Tapi kedengar-annya hebat sekali. Dan...."
Belum lagi selesai kata-kata Sukmana, mendadak Gardika menghentakkan tangan kirinya yang berjumlah dua buah.
Wusss! Krakkk! Seketika dari kedua telapak tangan kirinya melesat dua larik cahaya kelabu yang langsung menghantam sebatang pohon sampai ambruk, menimbulkan suara bergemuruh.
"Wah, hebat!" desis Sukmana dan Bantet hampir berbarengan.
"Kalian mau melihat yang lainnya?" tanya Gardika.
"Tentu saja kalau kau tidak keberatan!" sahut kedua pencari kayu bakar bersamaan.
"Nah! Berdirilah di sana!" tunjuk Gardika pada tempat di dekat tumpukan batang pohon yang ro-boh.
"Eh, untuk apa?" tanya Sukmana sedikit curiga.
"Sudah. Turuti saja!" ujar Bantet.
"Aku curiga, Tet!" ungkap Sukmana berbisik
"Sudah! Jangan macam-macam. Kalau dia ma-rah, bisa berabe kita!" sergah Bantet, seraya me-langkah ke tempat yang ditunjuk Gardika.
Meski agak berat, akhirnya Sukmana menurut juga. Dia berdiri mepet di sebelah Bantet. Bahkan agak ke belakang, karena khawatir terjadi sesuatu.
"Sekarang lihat!" seru Gardika.
Bersamaan dengan itu, makhluk aneh ini membuat kuda-kuda kokoh. Karuan saja, kedua penebang kayu itu pucat pasti dan amat ketakutan.
"Eh! Ja..., jangan...."
Gardika tak peduli kedua tangan kanannya yang kini dihentakkan.
Wusss! Wusss! Dua larik cahaya kelabu langsung melesat ke arah kedua penebang kayu ini. Namun begitu, Sukmana yang semula curiga, telah melompat lebih dulu.
Des! "Aaa...!"
Bantet menjerit setinggi langit ketika salah satu cahaya kelabu menghantam dadanya. Sementara cahaya yang lain terus melesat menghantam pohon, karena Sukmana bisa menghindar. Tubuh Bantet yang pendek kekar itu kontan terpental ke belakang dengan dada remuk. Lalu dia membentur batang pohon. Dan begitu jatuh di tanah, Bantet mati saat itu juga.
"Jahanam! Kau telah membunuhnya. Apa salah kami kepadamu"!" bentak Sukmana kaget begitu bangkit dan melihat kejadian itu.
"Kalian ke sini. Dan itu satu kesalahan!" sahut Gardika enteng sambil tersenyum-senyum. "Sekarang giliranmu!"
Mendengar itu, keberanian Sukmana yang baru tumbuh, mendadak layu. Tubuhnya kontan gemetar ketakutan.
"Sekarang bersiaplah menerima giliranmu!"
"Eh! Tidak..., tidak.... Ampuni aku.... Jangan bunuh aku...," keluh Sukmana putus asa sambil bergerak mundur.
"Hi hi hi...! Aku tak peduli meski kau menangis dengan airmata darah sekalipun. Aku pasti akan tetap membunuhmu!" dengus Gardika sambil tertawa menggiriskan.
Gardika mengangkat keempat tangannya, siap menghantamkan serangan.
"Yeaaa...!"
Dan tanpa belas kasihan, Gardika melesat se-cepat kilat sambil mengibas-ngibaskan tangan-ta-ngannya bagai sebuah gurita mendapat mangsa.
"Oh, tidak! Tidak! Tidaaak.... Aaa...!"
Crab! Bret! Bret!
? *** ? Tak ampun lagi, Sukmana tewas dengan tubuh terkoyak. Isi perutnya terburai berhamburan. Dan darah menggenang laksana banjir. Tubuhnya ambruk sesaat, setelah Gardika melepaskannya.
"Ha ha ha...!"
Makhluk aneh itu tertawa keras sampai meng-getarkan dedaunan serta ranting-ranting pepohonan yang berada di sekelilingnya.
"Gardika! Apa yang baru saja kau lakukan"!"
Mendadak terdengar suara lantang dari sebelah kiri.
Gardika berpaling ke samping kiri. Dan begitu melihat sesosok wanita tua berlari ke arahnya dengan gerakan gesit, dia segera tahu siapa yang muncul.
"Nenek Warengket...!" seru Gardika sambil membungkuk sedikit.
"Hm....!"
Wanita bermata cekung dan berhidung bengkok itu menggumam tak jelas. Tangannya mem-bawa tongkat besar. Rambutnya dikonde asal-asalan. Sepasang matanya tajam memandang dua bangkai manusia yang menjadi korban kekejaman Gardika.
"Kaukah yang membunuh mereka?" tanya perempuan tua yang tak lain Nyai Warengket.
"Iya, Nek! Hebat, bukan"!" sahut Gardika bangga.
"Huh! Apanya yang hebat" Mereka bahkan lebih lemah ketimbang batang kayu yang kau jadikan kawan berlatih!" dengus Nyai Warengket meremehkan.
Gardika memandang wanita tua itu dengan wajah tak mengerti.
"Lalu, siapa yang mesti menjadi sasaran latihanku. Nek?"
"Mereka yang memiliki kehebatan hampir mirip denganmu. Bisa bergerak lincah, baik menyerang maupun menghindar. Bertenaga kuat dan berani melawan. Bukan kerbau-kerbau seperti mereka!" jelas Nyai Warengket.
"Di mana orang-orang seperti itu bisa kutemui, Nek?" tanya Gardika penasaran.
"Di luaran sana!" tunjuk perempuan tua itu jauh melewati hutan ini.
Gardika memandang arah tangan Nyai Warengket.
"Apakah di sana bentuk mereka sama seperti kedua bangkai ini, Nek?" tanya Gardika, seraya menoleh kembali ke arah neneknya.
"Ya."
"Seperti Nenek juga?"
"Apa maksudmu?"
"Punya satu muka, dua tangan, dan dua kaki?"
"Sudahlah! Jangan bertanya macam-macam! Aku tahu ke mana pertanyaanmu selanjutnya!" tukas Nyai Warengket.
"Tapi, Nek.... Siapa kedua orangtuaku" Di mana mereka?" lanjut Gardika tak peduli.
"Sudah kukatakan berkali-kali! Mereka sudah mati. Apakah kau tidak mengerti"!"
"Di mana kuburannya jika mereka telah mati?"
"Tidak ada!" sahut perempuan tua itu, kesal.
"Kenapa tidak ada. Nek?"
"Kenapa kau banyak bertanya" Orangtuamu mati ditelan banjir. Dan mayat mereka hanyut dibawa air bah entah ke mana!" sahut Nyai Warengket asal jadi.
Gardika terdiam. Kendati begitu, dia merasa belum puas. Apalagi bila menyadari keadaan tubuhnya yang aneh. Gardika yakin, kalau keadaan dirinya sebenarnya sama dengan neneknya. Punya dua kaki dan dua tangan. Namun, takdir menentukan Iain. Keadaan tubuhnya benar-benar di luar batas kewajaran.
Nyai Warengket memang pernah bercerita kalau ke dua orangtua Gardika juga manusia biasa seperti dirinya. Namun perempuan tua ini tidak suka kalau bicara soal kedua orangtua Gardika. Dia akan menjawabnya dengan ketus. Dan kalau terus didesak, dia akan marah-marah dan ngamuk.
"Nenek ingin agar aku berangkat sekarang?" lanjut Gardika mengalihkan perhatian, karena merasa sungkan pada perempuan tua ini.
"Kapan lagi" Kau sudah kubekali ilmu-ilmu kedigdayaan. Kesaktianmu hebat. Dan tenagamu kuat. Mereka tidak akan bisa mengalahkanmu!" sahut Nyai Warengket, membentak.
"Baiklah, kalau begitu aku pergi sekarang. Nek...!"
Setelah berkata begitu Gardika ngeloyor pergi. Nyai Warengket memandang kepergian Gardika sambil tersenyum senang.
"Hi hi hi...! Sebentar lagi mereka akan melihat kehadiran neraka yang kuciptakan. Baru tahu rasa orang-orang itu!" desis perempuan tua ini.
? *** ? Kehadiran makhluk aneh bernama Gardika disambut penuh rasa keterkejutan para penduduk Desa Sengon di sebelah utara Desa Klawing. Sekejap saja timbul kegemparan. Mereka yang punya nyali segera keluar, setelah menyambar golok atau senjata lainnya.
Dalam beberapa saat saja para penduduk desa telah mengelilingi Gardika sambil memandang aneh seperti melihat makhluk aneh dari negeri antah berantah.
"Coba lihat! Tangannya ada empat. Kakinya pun empat. Dan wajahnya,.., kiri..., mirip setan barong," kata seorang penduduk.
"Astaga! Jeleknya bukan main!" timpal yanglain.
"Orang ini luar biasa!"
Dan banyak lagi suara-suara sumbang yang keluar dari mulut mereka. Dan keramaian itu agaknya tidak cuma dipenuhi kaum laki-laki tapi juga kaum wanita.
"Hei" Siapa pun kau ini, bisakah mengerti ba-hasa kami?" tanya seorang wanita setengah baya berpakaian indah.
Gardika menatap perempuan itu.
"Tentu saja aku mengerti...," sahut Gardika, penuh keluguan.
"Namaku Nyi Pinah. Aku istri kepala desa ini. Siapakah namamu" Dan dari mana asalmu?" tanya perempuan yang ternyata istri Kepala Desa Sengon dan bernama Nyi Pinah.
"Namaku Gardika. Aku berasal dari Hutan Kemojang. "
"Hutan Kemojang" Itu tidak jauh dari sini. Kau tinggal bersama siapa?"
"Nenekku."
"Nenekmu" Hm.... Apakah ceritamu benar" Setahuku di antara para penebang hutan di sana tidak ada seorang wanita tua. Siapa nenekmu itu?" tanya Nyi Pinah heran.
"Nenekku bernama Nyai Warengket. Katanya, suatu saat keturunan Ki Timbal akan menanggung akibat dari pedakuannya.
Ki Timbal yang berputra Katmani yang tinggal di Desa Klawing tak begitu menanggapi kutukan itu. Namun setelah tiga tahun kepergian Nyai Warengket, kutukan itu terbukti. Nyatanya, bayi Katmani berwujud aneh, seperti bayi titisan iblis. Yang lebih menggidikkan lagi, ternyata bayi itu kemudian lenyap entah ke mana.
Katmani sendiri dulu pernah bercerita, kalau saat terjadinya peristiwa itu, dia sebenarnya sadar. Namun, tubuhnya seperti tak bisa digerakkan. Bahkan dia tahu kalau bayi itu dibawa oleh perempuan tua yang bernama Nyai Warengket. Nyatanya, perempuan tua itu memang menyebutkan namanya.
"Apa"!"
Penduduk Desa Sengon terkejut ketika mendengar nama wanita tua disebutkan Gardika. Memang, nama Nyai Warengket sudah tak asing lagi bagi penduduk desa itu. Sekitar dua puluh tahun yang lalu, Nyai Warengket adalah penduduk desa itu juga. Dia terkenal sebagai dukun santet yang cukup meresahkan. Banyak orang tewas di tangannya, hanya karena masalah sepele.
Ketika kemarahan tak terbendung lagi, akhir-nya para penduduk berniat mengusirnya. Dengan dipimpin sesepuh desa yang bernama Ki Timbal, mereka berhasil mengusir Nyai Warengket. Namun sebelum pergi, Nyai Warengket telah berumpah akan membuat petaka kembali di desa ini. Dia pun mengutuk Ki Timbal yang memimpin para penduduk desa dalam mengusirnya.
'Ya! Itu memang, Nenekku. Kenapa kalian terkejut?" tanya Gardika polos.
"Bunuh dia!" teriak seorang laki-laki tua.
'Ya, bunuh dia! Dia bukan anak Katmani! Dia anak kutukan Nyai Warengket."
"Bunuh dia...!"
Gardika terkejut mendengar jawaban yang di-dengarnya. Para penduduk begitu bersemangat. Bahkan di antaranya sudah mencabut golok serta senjata-senjata tajam lainnya.
Melihat itu tentu saja Gardika tidak bisa menerima. Amarahnya langsung naik ke ubun-ubun. Dan dengan sekali sambar, dua orang laki-laki setengah baya dicengkeramnya.
"Kalian hendak membunuhku" Huh! Aku yang lebih dulu membunuh kalian!" desisnya.
Wuuutt! Dengan sekali hajar, kedua laki-laki itu diban-ting dengan keras.
Bruk! "Aaa...!"
Begitu mencium tanah, terdengar suara ber-derak dari tulang-tulang yang patah. Kedua orang itu menjerit kesakitan, dan tidak bergerak lagi. Entah hidup, entah mati!
"Keparat! Dia telah membunuh dua orang! Hajar dia!" teriak seseorang, menyadarkan para penduduk yang terkesima melihat perbuatan Gardika.
"Bunuh dia!"
"Cincaaang...!"
Bersamaan dengan itu serentak segala macam jenis senjata meluruk deras ke arah Gardika.
Brak! "Huh!"
Gardika seketika menggerak-gerakkan keempat tangan serta kakinya, menepis senjata-senjata yang menderu keras ke arahnya. Lalu dia balas menghantam tanpa kenal ampun.
Buk! Prak! "Aaa...!"
Kepalan tangan Gardika menghantam dan me-remukkan tulang dada lawan-lawannya. Lalu di lain saat, dia menghantam batok kepala mereka sampai remuk. Dengan gerakan gesit yang ditunjang tenaga kuat, tak banyak hambatan yang dialaminya. Dalam waktu singkat, sepuluh orang tewas di tangannya.
"Gila! Orang ini sama gila dengan neneknya yang seperti setan!" teriak seseorang.
"Kita tidak bisa melawannya!" timpal yang lain.
"Huh! Lebih baik aku pergi daripada mati sia-sia!"
Maka kelompok penduduk desa itu terbagi-ba-gi. Beberapa orang melarikan diri menyelamatkan nyawa, sementara yang lain masih berusaha melanjutkan pengeroyokan terhadap Gardika.
"Sial! Jahanam ini kebal senjata tajam!" teriak seseorang ketika goloknya tidak mampu melukai tangan lawan.
Sebaliknya, Gardika malah mengayunkan ten-dangan ke dada.
Begkh! "Aaa...!"
Orang itu terjungkal dengan tulang rusuk patah, melesak ke dalam. Begitu ambruk dia tewas seketika.
Gardika kembali berbalik. Sebelah kakinya yang lain menghantam ke muka salah seorang penduduk sampai remuk. Tubuh kembali bergerak cepat, menyambar dua lawan yang berada di depan
Krak! Krak! "Aaa...!"
Sebelah tangan Gardika menghantam ke leher. Sedang tangan yang lain menyodok ke perut pe-ngeroyok yang seorang lagi. Disertai pekik kesakitan, kedua orang itu terjungkal ke belakang.
"Yeaaa...!"
Dua orang pengeroyok menyergap Gardika dari belakang. Tapi, percuma saja. Sebab Gardika dengan cepat menangkisnya. Tidak ada seorang pun yang bisa membokongnya dari belakang. Sebab dengan empat tangan Gardika bisa menangkis sekaligus melepas serangan. Maka mudah saja baginya menghajar orang-orang desa itu.
"Lariii...!" teriak seseorang. "Percuma saja melawannya. Dia tidak bisa dikalahkan!"
Mendengar itu yang lainnya langsung berhamburan menyelamatkan selettibar nyawa masing-masing.
"Huh!"
Gardika mendengus geram. Lalu seketika ke-empat tangannya dihentakkan ke rumah-rumah penduduk.
? *** ? 3
Pendekar Rajawali Sakti 183 Jahanam Bermuka Dua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
? Begitu sinar kelabu menghantam dalam waktu singkat empat buah rumah telah hancur porak-poranda. Penghuninya kontan berteriak-teriak dan berlarian keluar, karena rumah mereka bagaikan tersambar petir.
"Ha ha ha...!"
Gardika tertawa keras penuh kesenangan. Dia tidak berhenti sampai di situ. Kembali tangannya menghentak ke arah rumah-rumah lain yang belum mendapat giliran.
"Tolong...! Tolooong...!" teriak penduduk desa yang rumahnya ambruk tak berbentuk lagi.
Mereka lari serabutan tak tentu arah. Dan kesempatan itu digunakan Gardika untuk memban-tai mereka kembali. Seketika tubuhnya berkelebat cepat sambil mengibas-ngibaskan keempat tangannya.
"Hiih!"
Begkh! Duk! "Aaa...!"
Kedua tangan Gardika bergerak menghantam batok kepala para penduduk satu persatu hingga remuk. Keempat kakinya menyodok perut serta dada sempai pecah. Jerit kematian terdengar sambung-menyambung.
"Lariii...! Selamatkan diri kalian masing-masing!" teriak seseorang.
Agaknya yang lainnya pun tak perlu diberitahu. Sebab dengan sisa-sisa keberanian yang ada, mereka berusaha menyelamatkan keluarga masing-masing untuk kabur ke mana saja. Yang penting berada jauh dari pembuat bencana itu.
Sementara Gardika tenang-tenang saja melihat mereka kabur. Dan dia memang tidak perlu mengejar semuanya. Makhluk ini hanya mengejar ke arah yang dituju sebagian besar penduduk desa yang bergerak lambat. Dalam waktu singkat, Gardika telah menghadang mereka.
"He he he...! Mau lari ke mana kalian" Aku tidak akan membiarkan kalian hidup!" teriak Gardika kegirangan.
"Jahanam terkutuk! Apa maumu sebenar-nya"!" bentak salah seorang penduduk desa yang berusaha membulatkan keberaniannya.
"Membunuh kalian!" sahut Gardika dengan seringai menggiriskan.
"Dasar kutukan iblis!"
"Ha ha ha...! Aku tidak peduli apa pun yang kalian katakan yang jelas kalian akan mati di tanganku!"
Setelah berkata begjtu, Gardika langsung mengayunkan dua kakinya kepada dua orang yang berada di dekatnya.
"Uts...!"
Kedua orang itu berusaha menangkis. Tapi usaha mereka sia-sia saja karena tenaga lawan lebih kuat. Tangan mereka yang digunakan untuk menangkis seperti habis menghantam besi baja saja.
Dan belum sempat mereka berbuat sesuatu, kedua tangan Gardika telah berkelebat cepat me-nyodok perut dan dada.
Duk! Krek! "Aaa...!"
Karuan saja, keduanya terpekik dan terjungkal ke belakang tanpa bisa bangun lagi.
Melihat keadaan itu, penduduk yang lain men-jerit-jerit ketakutan. Terutama para wanita dan anak-anak. Tapi, Gardika tidak peduli. Dia langsung memperbesar jumlah korbannya tanpa ampun.
"Lari...! Lariii...!" teriak beberapa orang.
Tapi percuma saja mereka melarikan diri. Ke-lompok yang saat ini berjumlah sekitar dua puluh orang berikut wanita dan anak-anak, tidak bisa bergerak bebas. Gardika berkelebat cepat memecahkan batok kepala serta mematahkan tulang-belulang mereka.????
"Aaa...!"
Jerit kematian dan kesakitan bercampur jadi satu. Tak seorang pun saat ini yang bisa menolong. Gardika begitu leluasa menghabisi dalam waktu singkat.
"Ha ha ha...! Mampus kalian semua! Mam-pus...!" teriak makhluk aneh bertangan dan berkaki empat sambil tertawa lebar.
Sepasang mata Gardika berbinar-binar melihat mayat-mayat bergeletakan bermandi darah. Namun sesaat kegembiraannya berganti. Wajahnya sedikit murung.
"Brengsek! Nenek tentu tidak akan senang melihat hasil latihanku ini. Mereka sama saja seperti batang-batang pohon itu. Lemah tidak berdaya!" gerutu makhluk ini kesal, seraya melangkah.
Baru saja Gardika beberapa tombak melangkah....
"Jahanam terkutuk! Apa yang kau perbuat terhadap mereka"!"
Mendadak terdengar bentakan keras dari arah samping.
Gardika berhenti, dan langsung menoleh. Bibirnya yang tebal dengan taring runcing menyeringai pada seorang laki-laki bertubuh besar dan berkumis lebat. Di tangannya tergenggam sebatang golok besar. Wajahnya tampak geram penuh kemarahan, memandang tajam Gardika.
"Aku membunuh mereka. Mau apa kau"!" sahut Gardika tidak kalah garang, begitu laki-laki ini sudah berada dua tombak di depannya.
Dan laki-laki itu kontan tercekat melihat wujud Gardika yang bagaikan manusia iblis dari dasar neraka.
? *** ? Untuk sesaat, laki-laki berkumis lebat itu tidak mampu bersuara. Dia memandang makhluk?? di depannya dengan mata terbelalak.
"Siapa kau sebenarnya?"
"Namaku Gardika."
"Makhluk apa kau ini?"
"Tidak usah tanya-tanya! Mau apa kau ke sini"!"
Mendengar bentakan itu, laki-laki yang baru muncul ini terkesiap. Dan dia kembali teringat pada niat semula. Matanya memandang sekilas pada mayat-mayat yang berserakan di tanah, lalu memandang penuh kebencian kepada Gardika.
"Setahuku, kami tidak bermusuhan denganmu. Lalu kenapa kau bunuh mereka dengan biadab"!" desis laki-laki ini marah.
"Mereka hendak membunuhku. Maka sudah sepantasnya mereka kubunuh," sahut Gardika seenaknya.
"Bohong! Aku tahu, mereka tidak akan sem-barang membunuh kalau kau tidak membuat salah lebih dulu."
"Tidak usah banyak bicara. Kalau kau tidak senang, boleh maju menghadapiku untuk menuntut kematian mereka!"
"Huh, sudah tentu! Aku Legowo juga penduduk desa ini. Dan aku juga berkewajiban membantu mereka."
Setelah berkata begitu, laki-laki bertubuh kekar yang mengaku bernama Legowo ini memutar golok besarnya seraya mendekati.
"Graaakh...!"
Namun sebelum Legowo mulai menyerang, Gardika telah lebih dulu melompat menerkamnya sambil bertariak serak laksana raungan seekor harimau.
"Uts!"
Legowo cepat berkelit gesit, sehingga serangan Gardika luput dari sasaran. Namun dua kaki makhluk itu yang lain nyaris menyambar kepalanya, kalau saja tidak menjatuhkan diri.
"Ha ha ha...! Hebat juga kau. Mungkin orang seperti kau yang dikatakan nenek!" teriak Gardika sambil tertawa-tawa kegirangan.
"Huh! Aku tak peduli dengan nenekmu. Jangan harap kau bisa menyamakan aku dengan yang lain!" dengus Legowo geram, begitu bangkit berdiri.
"Ya! Kau beda dengan mereka. Tapi bukan berarti kau kubiarkan hidup. Kau akan menjadi kawan berlatihku yang cukup lumayan," sahut Gardika terang-terangan.
Setelah berkata begitu, makhluk ini menyerang lagi dengan ganas. Dan kali ini, Legowo dibuat kerepotan. Gerakan Gardika gesit dan mengandung tenaga kuat. Setiap kali angin serangannya menerpa, maka Legowo dibuat gelagapan.
"Yeaaa...!"
Laki-laki berkumis lebat itu melompat ke belakang menghindari serangan Gardika yang bertubi-tubi. Makhluk itu tak peduli dan terus mengejar. Kedua belah tangannya menyodok ke dada dan muka. Sementara kedua kaki menghantam ke perut dan pinggang.
Plak! Des! "Aaakh...!"
Legowo hanya berhasil menangkis sekali, karena selanjutnya pukulan serta tendangan Gardika bertubi-tubi menghajarnya. Sambil berteriak kesakitan, dia terjungkal ke belakang.
"Hiiih!"
Gardika tak mau membiarkannya begitu saja. Tubuhnya langsung melompat menerkam.
"Uhhh...!"
Injakan dua kaki Gardika berhasil dihindari, ketika Legowo bergulingan. Namun dua kakinya yang lain bergerak cepat, menyodok ke perut.
Desss...! "Aaa...!"
Legowo terpekik. Isi perutnya pecah. Dan dari mulutnya muncrat darah segar. Sepasang matanya melotot seperti hendak melompat keluar.
"Huh! Hanya segitu saja kepandaianmu!" dengus Gardika kesal.
Setelah mendengus beberapa kali, makhluk ini kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan Desa Sengon yang telah hampir rata dengan tanah. Dilangkahinya mayat-mayat yang berserakan.
? *** ? Kabar tentang pembantaian di Desa Sengon mulai merambah ke mana-mana, terutama di desa-desa di sekitar Hutan Kemojang. Dalam waktu satu purnama saja, seluruh desa di sekitar hutan itu telah dilanda kecemasan yang amat sangat.
Matahari baru saja terbit di ufuk timur. Sejak semalaman, Gardika tidak berhenti. Kakinya terus melangkah sambil membuat keonaran di mana saja. Menebar maut untuk sekadar memuaskan nafsu amarah!
Memasuki Desa Demban, Gardika mulai hati-hati. Dia tidak terangan-terangan menunjukkan diri. Dari pengalamannya selama ini, ternyata orang-orang kaget melihat wujudnya.
Letak desa itu tidak berapa jauh dari ibukota kadipaten. Kalau menunggang kuda ke arah timur, maka hanya memerlukan waktu kurang lebih setengah hari untuk tiba di ibukota kadipaten. Tidak mengherankan kalau desa ini cukup ramai. Penduduknya kebanyakan hidup dari berdagang. Hanya sebagian kecil saja yang hidup bertani dan membuat alat-alat kebutuhan sehari-hari.
Namun sepandai-pandainya Gardika menyem-bunyikan diri.....
"Hei, Makhluk Aneh! Enyah kau dari sini."
Tiba-tiba terdengar bentakan keras mengge-legar, ketika Gardika tengah mengendap-endap untuk menyembunyikan dirinya dari tatapan aneh penduduk.
Gardika menoleh, melihat seorang laki-laki bertubuh besar dengan kumis melintang. Baju di bagian dadanya terbuka lebar memperlihatkan otot dadanya yang kuat.
"Bukan urusanmu!" sahut Gardika.
"Kurang ajar! Kalau aku bertanya, maka kau mesti menjawab! Kalau tidak.... Hhh!"
Laki-laki itu menggeram sambil mempermain-kan gagang golok pinggangnya. Rupanya nyali laki-laki ini cukup besar juga. Dia sama sekali tidak gentar melihat perawakan Gardika yang menyeramkan.
"Aku tidak ada urusan denganmu. Tapi kalau kau mau memukulku, aku terpaksa membunuh-mu," sahut Gardika.
"Setan!"
Laki-laki yang agaknya berwatak berangasan ini menggeram murka.
"Rupanya kau ingin buru-buru mampus di tangan Sudira. Baiklah, akan kukabulkan keinginanmu!" dengus laki-laki ini dingin. Suaranya bergetar menahan marah yang semakin meluap.
? *** ? ?4 ? Srek! Secepat kilat laki-laki yang mengaku bernama Sudira mencabut golok. Dia langsung memamerkan kemahiran memainkan senjatanya yang tajam di hadapan Gardika.
"Kudengar selama sebulan ini kau telah membuat keonaran di mana-mana, Makhluk Aneh! Se-karang rasakan golokku! Telah lama dia tidak menghirup darah segar."
"Hiih!"
Sebagai jawabannya, Gardika langsung melepas tendangan kilat, membuat Sudira terkejut.
"Heh"!"
Buru-buru Sudira menyabetkan golok. Namun dengan gerakan indah sekali, makhluk aneh itu cepat menarik kakinya. Sehingga senjata Sudira cuma menebas angin. Bahkan kaki Gardika yang lain mendadak menyambar ke tengkuk, membuat Sudira tak mampu berkelit. Dan...
Duk! ??????? "Aaakh...!"
Tubuh Sudira kontan tersungkur ke depan disertai jerit kesakitan merasakan tulang lehernya yang seperti mau patah.
"Yeaaa...!"
Baru saja Sudira berhasil menjaga keseimbangannya agar tidak jatuh, Gardika telah melompat menerkamnya. Meski pandangannya agak kabur dan kepalanya pusing, tapi dia tahu nyawanya terancam. Secepat kilat laki-laki berangasan ini bergulingan sambil menyabetkan golok.
Wuuut! Gardika tidak berusaha menghindar.
Tak! Tepat ketika kaki Gardika terhantam golok, sebelah kakinya yang lain menghantam ke pergelangan tangan. Sementara, kaki yang satu lagi menyodok ke perut dengan keras.
Duk! "Aaakh...!"
Kembali Sudira memekik keras ketika isi perutnya seperti diaduk-aduk akibat tendangan itu. Namun yang lebih mengerikan lagi, tatkala makhluk aneh itu melesat ke atas. Setelah berputaran di udara beberapa kali, tubuhnya meluruk dengan keempat kakinya mengarah ke dada serta perut Sudira.
Bros! Krak! "Aaa...!"
Tulang dada Sudira remuk. Isi perutnya pecah, tatkala keempat telapak kaki Gardika meluluh-lantakkan tubuhnya. Sudira kontan terkulai lemah dengan darah menggenangi tubuhnya. Mati!
Suara-suara pertarungan tadi, rupanya meng-undang perhatian beberapa penduduk yang semula tenggelam dengan kegiatan masing-masing. Satu persatu mereka datang melihat pertarungan. Dan begitu melihat kematian Sudira yang mengenaskan, mereka benar-benar tercengang.
Betapa tidak" Sudira dikenal memiliki kepan-daian cukup tinggi. Namun hanya beberapa kali gebrak, dia tewas mengenaskan.
Jadi jelas, berita tentang makhluk aneh ini bukan isapan jempol belaka. Para penduduk yang memang sudah mendengar tentang adanya makhluk aneh itu. Dan sungguh mereka tidak menyangka kalau kesaktian makhluk itu benar-benar menggiriskan.
"Ohhh"!"
Orang-orang tampak semakin bergidik ngeri. Yang wanita menjerit-jerit ketakutan, buru-buru pergi meninggalkan tempat itu.
"Siapa lagi yang mau mengikuti jejaknya"!" teriak Gardika seperti mengejutkan mereka yang tertegun sesaat.
"Kejam...!" desis seseorang.
"Terkutuk! Kabar itu berarti memang benar. Dia makhluk keturunan iblis!"
"Jahanam! Setan berwujud manusia ini ternyata memang suka menyebar petaka di mana-mana!"
"Diam kalian!" bentak Gardika.
Makhluk aneh ini tiba-tiba berkelebat cepat dan disambarnya salah seorang penduduk yang berada di dekatnya.
Krep! Dengan tangan kiri mencengkeram leher baju, tangan kanan Gardika menghantam batok kepala orang itu.
Prak..! "Aaa...!"
Sebelum orang itu sempat berbuat apa-apa, kepalanya sudah remuk terhantam kepalan Gardika yang kokoh.
"Hei"!"
Karuan saja, para penduduk semakin ternganga. Kali ini bukan lagi karena takut, namun benci yang menyulut keberanian mereka.
"Aku tidak segan-segan membunuh kalian semua!" dengus Gardika mengancam.
"Kurang ajar! Dia tidak bisa membunuh kita semaunya. Kita mesti melawan!" teriak seseorang, memberi semangat.
"Bunuh dia!"
"Bunuh...!"
Penduduk yang lain pun segera menimpali dengan bersemangat seperti api menyambar minyak.
"Yeaaa...!"
Serentak mereka mengurung, dan langsung mengeroyok Gardika dengan senjata apa saja.
"Gerrr! Keparat! Akan kubunuh kalian semua!" desis Gardika geram dengan tatapan laksana seekor hewan buas.
Tak! Bletak! "Aaakh...!"
Keempat tangan makhluk aneh ini bergerak menangkis dan menyarangkan pukulan. Demikian pula keempat kakinya. Gardika tidak peduli lagi dengan jerit kesakitan dan pekik kematian. Dalam keadaan seperti itu, dia betul-betui haus darah dan ingin membereskan para pengeroyoknya secepat mungkin.
Duk! Des! "Aaa...!"
Korban berjatuhan di pihak pengeroyok dengan luka-luka dalam yang amat parah. Dan se-belum jatuh korban lebih banyak lagi.....
"Berhenti...!"
Mendadak terdengar teriakan bernada meme-rintah yang kebetulan sebelum teriakan itu berge-ma, para pengeroyok pun telah bersiap menyingkir untuk menyelamatkan diri masing-masing. Mereka merasa tidak ada gunannya mengantar nyawa percuma menghadapi makhluk aneh itu.
"Jahanam terkutuk! Agaknya tidak puas-puas-nya kau menebar maut di mana-mana!"
Orang yang barusan berteriak adalah laki-laki berusia lanjut, sekitar tujuh puluh tahun lebih. Rambutnya telah memutih semua. Tubuhnya tidak terlalu besar. Dan sepintas kelihatannya lemah. Namun sorot matanya tajam laksana sembilu memandang Gardika.
"Ki Gendeng Rupa! Hati-hati. Dia berbahaya sekali!" kata seorang penduduk, memperingatkan.
"Hm...!"
Laki-laki tua bernama Ki Gendeng Rupa hanya menggumam tak jelas. Laki-laki tua ini sebenarnya memang seorang tokoh persilatan yang berkepandaian cukup hebat. Tak seorang tokoh pun yang tak mengenal Harimau dari Campa. Dengan jurus-jurusnya yang dahsyat, nama Harimau dari Campa memang telah disegani oleh tokoh-tokoh persilatan.
"Orang tua busuk.! Apakah kau hendak mem-bela mereka"!" dengus Gardika.
"Entah iblis mana kau ini. Tapi kuperingatkan padamu hentikan semua kekejamanmu sekarang juga!" desis Ki Gendeng Rupa.
"Ha ha ha....! Enak saja kau melarangku. Kau kira dirimu siapa?" leceh Gardika.
"Hm.... Agaknya kau keras kepala juga. Aku bukan orang sabar meladenimu berdebat. Karena telah kudengar dan sekarang kulihat kekejamanmu. Maka jangan salahkan kalau aku bertindak keras.
Berdoalah kau, mudah-mudahan Yang Maha Kuasa mengampuni dosa-dosamu!"
"Ha ha ha...! Kau hendak berbuat apa padaku" Membunuhku"! Orang tua sinting! Kau boleh coba kalau sudah bosan hidup!"
Ki Gendeng Rupa tidak menyahut lagi. Sebagai jawabannya, tubuhnya mencelat menyerang secepat kilat.
"Yeaaa...!"
Gardika sama sekali tidak berusaha menghindar. Dua tangannya bergerak menangkis pukulan Harimau dari Campa yang bertubi-tubi mengincar batok kepala, dada, hingga perut.
Plak! Wuuttt...! Bahkan Gardika masih sempat balas menyerang dengan gerakan tidak kalah gesit.
Ki Gendeng Rupa penasaran bukan main. Maka jurus-jurus anehnya pun dikeluarkan. Sebentar-sebentar terlihat kedua tangannya mencakar. Dan di kali lain, terkepal sambil menyodok dengan tiba-tiba. Kelihatannya lemah gemulai, namun sesungguhnya mengandung serangan ganas tak terduga.
"Yeaaa...!"
Kedua tangan Harimau dari Campa yang membentuk cakar menyambar wajah Gardika. Sementara sebelah kakinya mengincar tenggorokan.
Namun, Gardika melayaninya santai saja. Ju-rusnya terlihat remah dan tidak berarti. Tapi karena yang memainkannya Gardika, maka keadaannya jadi Iain.
Keduanya tampak silih berganti menangkis dan menyerang. Sementara Ki Gendeng Rupa tampak mulai kerepotan. Kembali terlihat dia menggunakan cakar, setelah serangan pertama gagal.
Dengan nekat Gardika menahan dengan telapak tangan kiri dan sebelah kaki. Kemudian tubuhnya melenting ke atas melewati kepala Harimau dari Campa, sambil melepaskan hantaman.
Prak! "Aaa...!"
Keadaan seperti itu sama sekali tak diduga Ki Gendeng, Rupa. Dia hanya terkesiap sebentar, dan Gardika tak menyia-nyiakan kesempatan. Saat itu juga, batok kepala Harimau dari Campa remuk. Dan langsung berlelehan ke tanah. Ki Gendeng Rupa tewas tanpa disangka-sangka, begitu ambruk di tanah.
"He he he...! Siapa lagi yang mau menyusul tua bangka ini"!" tantang Gardika pada yang lain.
"Kami yang berjuluk Sepasang Petani Sakti!"
Pada saat itu juga muncul dua lelaki bertubuh sedang, memakai baju serba hitam. Masing-masing membawa arit dan cangkul. Mereka mengaku sebagai Sepasang Petani Sakti.
"Aku Gumira! Dan temanku Ajidarma!" lanjut salah seorang Sepasang Petani Sakti yang membawa cangkul, tanpa rasa ngeri sedikit pun melihat wujud Gardika.
"Kisanak! Kelakuanmu sudah keterlaluan! Kau telah menebar petaka d mana-mana! Apa sebenarnya yang kau inginkan"!" bentak laki-laki yang membawa arit.
"Mereka hendak membunuhku. Bukankah ka-lian pun melihatnya" Maka sudah sepatutnya aku balas membunuh mereka," sahut Gardika, membela diri.
"Kelakuanmu seperti maling. Mana mungkin mereka akan membiarkanmu begitu saja!" desis Gumira.
"Aku tidak mencuri apa pun dari mereka. Maka jangan menuduh sembarangan! Atau kalian akan segera menyusul si tua bangka ini.'" tuding Gardika pada mayat Ki Gendeng Rupa.
"He he he....! Boleh jadi kau bisa menepuk dada, setelah mengalahkan Harimau dari Campa. Tapi kami tidak bisa disamakan dengannya.'" sahut Gumira lagi, hendak meruntuhkan nyali Gardika.
"Benarkah"!" tanya Gardika seperti bocah yang mendapat mainan kesukaannya. "Berarti ka-lian lebih hebat darinya" Ah! Sungguh kebetulan? sekali. Ayo, mari kita bermain-main sampai salah? seorang ada yang mampus!"
Setelah berkata begitu, Gardika langsung meluruk menerjang Gumira yang jadi terhenyak karena gertakannya tadi ternyata tidak berjalan mulus. Dia berharap makhluk aneh ini ciut nyalinya. Tapi, malah kegirangan mendengar mereka lebih hebat dari Ki Gendeng Rupa.
"Hup!"
Sambil membuang tubuh ke samping menghindari terjangan tangan kanan Gumira menangkis.
Plak! Tapi serangan Gardika tidak berhenti sampai di situ. Karena tiga tangannya yang lain telah menyerang secara bergantian. Dan ini membuat Gumira harus jungkir balik menyelamatkan diri.
Serangan itu bukan saja sangat cepat, tapi juga terasa mengandung tenaga dalam kuat. Kalau saja menemui sasaran bukan tidak mungkin Gumira akan terluka dalam. Paling tidak, tulang-tulang patah.
"Gila!" desis Gumira sambil melompat jauh menghindari serangan yang bertubi-tubi.
"He he he...! Tunggu apa lagi" Ayo cabut senjatamu. Dan, ajak kawanmu itu untuk membantu!" tantang Gardika seraya menghentikan serangannya sesaat.
"Huh! Aku sendiri pun masih mampu meladenimu!" dengus Gumira dengan hati panas karena merasa direndahkan.
"Kuberi kesempatan. Dan bila kau tidak menggunakan sebaik-baiknya, maka rasakan akibatnya!" bentak Gardika, begitu menganggap enteng. "Yeaaa...!"
Kembali Gardika mencelat menyerang secepat kilat.
"Hup!"
Gumira melompat ke samping. Namun Gardika terus mengejarnya. Maka terpaksa dia menjatuhkan diri. Sambil bergulingan cangkulnya dibabatkan ke tubuh Gardika.
Wuuuttt...! Melihat lawan mengayunkan cangkul, Gardika maju tiga langkah. Langsung dipapasnya batang cangkul dengan tangan kirinya sampai patah.
Krakkk! Lalu bersamaan dengan itu, kaki kanan makhluk aneh ini menyodok ke perut.
Desss...! "Aaakh...!"
Gumira kontan menjerit kesakitan. Tubuhnya terlempar ke belakang. Sementara Gardika terus jungkir balik mengejar, untuk menghabisi sekaligus.
"Jahanam...!" desis Ajidarma geram sambil melompat menyerang Gardika untuk menyelamat-kan Gumira.
? *** ? "Hiih!"
Meski secepat apa pun gerakan Ajidarma, tetap tak akan berhasil menyelamatkan kawannya. Kedua kali Gardika lebih dulu menghantam dada Gumira.
Jrott! "Aaa...!"
Terdengar derak tulang-tulang dada Gumira yang patah dan melesak ke dalam. Satu dari Se-pasang Petani Sakti terpekik. Nyawanya melayang sesaat kemudian.
Pada saat yang sama, serangan Ajidarma me-luncur datang. Seketika Gardika mengebutkan tangannya, menangkis.
Plak! Ajidarma menyeringai ketika tangannya terasa sakit bukan main saat berbenturan. Dan belum lagi habis kagetnya, kedua tangan Gardika telah bergerak silih berganti, berusaha menyarangkan pukulan ke tubuhnya. Terpaksa dia melompat ke belakang sambil mencabut senjata kebanggaannya.
Sret! "Yeaaa...!"
"He he he...!"
Gardika malah tertawa mengekeh melihat Ajidarma menyabetkan senjata ke arahnya.
"Senjata itu tidak berguna di depanku.'" lanjut Gardika sombong.
Kesombongan Gardika memang bukan tanpa alasan. Padahal, Ajidarma telah mengerahkan segenap tenaga untuk membabatkan senjatanya. Namun lihai sekali Gardika menghindar. Bahkan serangan baliknya amat mengagetkan. Dengan tiba-tiba, sebelah tangan makhluk aneh ini mencengkeram pergelangan tangan Ajidarma yang menggenggam arit.
"Hiih!"
Sekali sentak, tubuh Ajidarma tersuruk ke arah Gardika. Namun laki-laki ini sudah nekat. Daripada mati sia-sia, dia memilih lebin baik mati bersama lawan. Maka dengan mengerahkan seluruh tenaga, tangan kirinya dikepalkan kuat-kuat dan langsung menyodok dada kiri.
Plak! Gardika membuka telapak tangan kirinya, me-nangkis serangan. Lalu bersamaan dengan itu, lutut kirinya menyodok ke lambung Ajidarma.
Duk! "Aaakh...!"
Karuan saja, laki-laki itu menjerit kesakitan. Belum cukup sampai di situ, Gardika berkelebat ke atas. Lalu tiba-tiba kedua kakinya menghantam batok kepala Ajidarma.
Prak! "Aaa...!"
Ajidarma terpekik lemah. Tubuhnya sempo-yongan sebentar, sebelum akhirnya ambruk tak berdaya di dekat mayat kawannya. Tamat sudah riwayat Sepasang Petani Sakti.
"Ohhh...!"
Orang-orang yang melihat kejadian itu dari tempat persembunyian, memandang takjub ber-campur ngeri.
"Gila! Manusia seperti apa dia" Kejam dan telengas sekali!" desis seseorang.
"Orang itu pasti keturunan iblis!" umpat yanglain.
Tapi seperti juga yang lain, mereka hanya memaki tanpa berani bertindak. Kalau saja Ki Gendeng Rupa dan Sepasang Petani Sakti binasa di tangan makhluk aneh itu, maka apa artinya perlawanan mereka"
"Siapa lagi yang mau menyusul mereka" Ayo keluar! Cepat keluar sebelum kuratakan tempat ini!" teriak Gardika garang.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
Pendekar Rajawali Sakti 183 Jahanam Bermuka Dua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
info ? 2017 " . 183. Jahanam Bermuka Dua Bag. 5 - 8 (Selesai)
29. M?rz 2015 um 08:34
? 5 ? Seorang pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung mempercepat laju kuda hitamnya ketika matahari hendak tergelincir ke barat. Siang terik telah ter-lewati. Dan bayangannya di tanah kini bertambah panjang. Sementara hutan di sampingnya belum juga habis dilewati.
"Hhh.... Sebentar lagi aku tiba di sana," gu-mam pemuda itu. "Ayo, Dewa Bayu! Percepat lari-mu. Kita mesti tiba secepatnya di sana!"
"Hieee...!"
Kuda berbulu hitam yang dipanggil Dewa Bayu meringkik halus seraya mempercepat larinya, membuat rambut panjang pemuda itu berkibar-kibar. Di samping, tampak batang-batang pohon terlihat seperti berkejar-kejaran.
Namun mendadak kuda itu menghentikan larinya ketika di depan terlihat mayat-mayat bergelimpangan. Dengan gerakan indah sekali, pemuda berbaju rompi putih itu melompat turun. Langsung dihampirinya mayat-mayat itu.
"Ohhh...!"
Terdengar erangan lemah. Rangga menoleh, melihat seorang yang bergelimpangan menggeliat. Cepat dihampirinya orang itu dan diperiksa luka-nya.
Tulang dada orang itu tampak remuk. Tubuhnya tergenang darah. Lukanya cukup parah, namun daya tahan tubuhnya hebat sekali.
"Kisanak! Apa yang terjadi" Siapa yang mela-kukan ini semua?" tanya pemuda itu.
"Makhluk itu...," sahut laki-laki berusia empat puluh tahun yang tengah sekarat.
"Siapa yang kau maksudkan?" kejar Pendekar Rajawali Sakti.
"Namanya Gardika..."
"Gardika! Makhluk bermuka dua, bertangan dan berkaki empat itu" Hm.... Jadi benarkah yang kudengar tentangnya?"
Laki-laki yang tengah sekarat itu tak kuasa menjawab. Kepalanya sudah terkulai lemah. Dan napasnya putus sudah.
Pemuda berbaju rompi putih ini menghela napas. Mayat-mayat disekitar tempat ini mempunyai luka yang hampir sama. Dada remuk dengan perut pecah. Sebagian, batok kepala mereka retak.
"Sungguh terkutuk dia!" desis pemuda ini, geram setengah mati.
Pemuda itu bangkit berdiri. Dihampirinya kuda hitamnya. Dan dengan gerakan ringan, dia melompat ke punggung kuda.
"Ayo, Dewa Bayu bawa aku secepatnya ke tempat tujuan! Heaaa...!"
Seketika, kuda itu kembali berlari sekencang-kencangnya, menerobos pinggiran hutan.
? *** ? "Aku telah tiba di rumah Balung Perkasa...," gumam pemuda berbaju rompi putih di atas punggung kuda hitam bernama Dewa Bayu.
Pemuda tampan ini memang telah berada di depan sebuah rumah berpekarangan luas. Tampak dua penjaga berdiri tegak memegang tombak mengapit pintu gerbang.
"Maaf, Kisanak! Inikah kediaman Ki Balung Perkasa?" tanya pemuda ini.
"Betul. Siapakah Kisanak" Dan, ada keperluan apa dengan Ki Balung?" tanya seorang penjaga.
"Namaku Rangga...."
"Ah! Jadi kaukah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti"!" tukas penjaga itu dengan wajah ka-get.
Pemuda tampan berbaju rompi putih yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti itu mengangguk.
"Kalau begitu silakan, Pendekar Rajawali Sakti! Majikan kami telah menunggu!" sahut penjaga itu, penuh hormat.
Pendekar Rajawali Sakti turun dari kudanya. Salah seorang penjaga mengambil tali kekang ku-danya dan membawanya ke istal. Sementara yang bicara dengan Rangga tadi membawanya ke pen-dopo utama.
Di pendopo, Rangga diperkenalkan dengan seorang abdi dalem yang menjadi pembantu Ki Balung Perkasa.
"Silakan, Pendekar Rajawali Sakti!" ucap laki-laki setengah baya berusia sekitar empat puluh lima tahun.
"Terima kasih, Paman," sahut Pendekar Rajawali Sakti, ramah.
"Beliau memang sudah menunggu bersama yang lainnya."
"Hm, beliau mengadakan semacam pertemuan para pendekar, Paman?"
"Begitulah kira-kira...."
"Berapa orang yang berada di sana?"
"Enam orang, termasuk beliau sendiri."
Rangga mengangguk.
Kini mereka telah berada di depan pintu sebuah ruangan besar yang berlantai kayu jati. Dinding di dekat pintu penuh ukiran-ukiran indah dan menarik.
"Sebentar aku ke dalam untuk memberitahu beliau," kata abdi dalem itu.
Pendekar Rajawali Sakti kembali mengangguk. Kemudian orang itu lenyap di dalam ruangan. Sementara, Rangga tampak mengagumi keadaan di sekitar tempat ini.
"Hm, aku berani bertaruh kalau Ki Balung Perkasa ini seorang kaya lagi berpengaruh. Mungkin juga pembesar kerajaan yang memilih tinggal di perkampungan sepi ini," gumam Rangga.
Tengah asyik Pendekar Rajawali Sakti mengagumi keadaan di tempat ini, abdi dalem tadi telah kembali.
"Silakan, Pendekar Rajawali Sakti. Beliau telah menunggu...," ucap laki-laki itu.
"Terima kasih."
Tanpa ragu-ragu Rangga masuk ke dalam. Dan abdi dalem tadi menutup pintu.
Rangga sedikit tercekat. Tempat yang dima-sukinya ternyata bukan sebuah ruangan besar seperti yang diduga, melainkan sebuah lorong gelap.
"Apa-apaan ini?" desis Pendekar Rajawali Sakti pelan dan agak kesal.
"Selamat datang, Pendekar Rajawali Sakti! Silakan masuk ke ruanganku!"
Mendadak terdengar satu suara, namun tidak ketahuan wujudnya. Rangga memandang berkeli-ling. Namun yang dilihatnya hanya kegelapan.
"Kenapa malu-malu Pendekar Rajawali Sakti. Silakan datang ke tempat kami!" lanjut suara tadi.
Pemuda itu tersenyum ketika mengetahui maksud Ki Balung Perkasa.
"Hm... Orang tua ini agaknya hendak menguji-ku...."
Set! Set! "Heh"!"
? *** ? Rangga tersentak ketika mendadak melesat beberapa sinar putih keperakan ke arahnya.
"Hup!"
Cepat Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas. Namun beberapa sinar putih keperakan yang tak lain adalah senjata rahasia terus menerjangnya.
Tap! Tap! Dengan mengandalkan penglihatan serta pen-dengaran yang tajam, beberapa senjata rahasia berupa pisau kecil dapat ditangkap lewat sela-sela kesepuluh jari Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiih!"
Dengan kecepatan luar biasa, Pendekar Rajawali Sakti menyentakkan pisau-pisau kecil itu ke arah datangnya tadi. Seketika terdengar beberapa orang kalang kabut menghindari serangan balik itu.
Belum lagi habis serangan gelap barusan, mendadak terasa sesuatu mendesis dari segala arah. Samar-samar Pendekar Rajawali Sakti melihat asap putih bergerak cepat mengurungnya.
"Hm...."
Rangga merapatkan kedua telapak tangannya dengan kuda-kuda kokoh.
"Aji Bayu Bajra...!" teriak Pendekar Rajawali Sakti, sambil menghentakkan kedua tangannya. Dia segera memutar tubuhnya, seraya terus mengarahkan aji 'Bayu Bajra' hingga seperempatnya.
Pendekar Pedang Dari Bu Tong 15 Pendekar Mabuk 061 Setan Rawa Bangkai Pedang Penakluk Iblis 17
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama