Ceritasilat Novel Online

Memburu Rajawali 2

Pendekar Rajawali Sakti 209 Memburu Rajawali Bagian 2


"Terima kasih! Kalau begitu aku ke sana dulu!"
"Hei, jangan lupa bagian untukku!" teriak Ki Demong melihat Rangga berkelebat sambil menggandeng Malini
"Beres! Akan kumintakan sepuluh botol untukmu!" sahut Rangga, berteriak.
"Dasar tolol! Buat apa banyak-banyak. Kau kira aku mau berjualan obat pelet, apa"!"
Rangga terkekeh.
"Apakah Kakang bersungguh-sungguh?" tanya Malini di sela-sela kibaran rambutnya yang digelung ke atas.
"Apa maksudmu?"
"Minyak pelet itu..."
Gadis ini agak geli sendiri ketika menyebutkan kata-kata itu.
Rangga tersenyum.
"Kakang mempercayainya?" cetus Malini, bertanya.
"Bagaimana menurutmu sendiri?" Rangga ba?tik bertanya.
"Itu kebohongan! Tidak benar ada minyak yang bisa mengguna-gunai perempuan," tegas Ma?lini.
"Akupun berpikir begitu."
"Lalu mengapa sekarang kita mengejarnya" Seandainya benar ada minyak pelet, kurasa Kakang tak memerlukannya."
"Mengapa?"
"Kakang sudah cukup tampan." Malini memalingkan muka ketika mengatakan hal itu. Sebaliknya, Rangga memandanginya de?ngan tersenyum lebar.
"Benarkah begitu?" tanya Rangga, tanpa kebanggaan sama sekali. Wajahnya biasa-biasa saja.
"Kenapa Kakang tidak berhenti, lalu mencari sebuah sungai yang bening dan berkaca di permu?kaan airnya?"
"Itu usul yang baik. Nanti setelah urusanku selesai dengan orang asing itu, akan kita coba mencari sungai," sahut Rangga.
"Kakang masih berhasrat menemui orang asing itu?" tanya Malini lagi.
"Tentu saja. Kenapa tidak?"
"Untuk sebotol minyak pelet?"
Rangga tertawa. "Tentu saja tidak. Itu hanya alasanku agar Ki Demong tidak banyak tanya lagi...," jelas Pendekar Rajawali Sakti.
"Ada urusan penting kiranya. Apakah Kakang kenal dengan orang asing itu?"
"Tidak."
Sebenarnya banyak yang hendak ditanyakan, namun Malini merasa sungkan. Gadis itu takut kalau-kalau Rangga menganggapnya usil. Makanya segera berdiam diri saja dan tak lagi mengajukan pertanyaan. Namun dia cukup mengerti kalau pe?muda itu bukan mengejar barang konyol seperti mi?nyak pelet!
Rangga memang tak bermaksud mencari mi?nyak pelet. Yang lebih diutamakan adalah apa yang diceritakan Ki Demong tadi. Rajawali Raksasa tunggangannya tengah diburu orang asing. Dan pasti orang itu memiliki kepandaian hebat.
*** ? "Lapar?" tanya Rangga, ketika mereka telah tiba di Desa Kaliasin.
Malini yang berjalan di sebelahnya tersenyum.
"Kita cari sebuah kedai kecil yang tak terlalu ramai orang. Asalkan makanannya lezat...," cetus Rangga.
Malini belum menyahut ketika perhatian Rang?ga beralih pada kerumunan orang di satu tempat. Tampak seorang pemuda yang berada di tengah-tengah berteriak-teriak meneriakkan sesuatu.
"Kita ke sana sebentar!" ajak Rangga.
"Orang asing itu?" tanya Malini, minta penegasan.
"Entahlah. Tak ada salahnya melihat"
"Jangan-jangan Kakang berubah pikiran dan mencari minyak pelet!" goda Malini.
"Ah, bisa saja kau!"
Malini masih terkikik. Dan Rangga cengar-cengir karena merasa geli sendiri.
Ketika dekat, Rangga menyibak kerumunan para penonton. Malini pun ikut menyelinap di sampingnya. Tepat saat itu si penjual obat melihat ke arahnya.
"Nah! Barangkali gadis cantik ini mau mencoba! Ayo, jangan malu-malu! Silakan mencoba!"
Malini terperangah. Apalagi saat pemuda tukang obat menghampirinya. Seketika penonton yang lainnya menoleh ke arah mereka.
"Gadis ini cantik seperti bidadari. Dan dia akan kita sulap menjadi bidadari sesungguhnya. Nisanak! Maukah kau membantuku membuat pertunjukkan barang sebentar?" pinta penjual obat.
"Aku..., aku...."
Malini tak berani menjawab. Kepalanya meno?leh pada Rangga.
Melihat gelagat itu pandangan tukang obat ini berpindah kepada Rangga.
"Tuan, sudikah kau mengizinkan kekasihmu membantuku barang sebentar?" pinta pemuda itu.
Rangga melirik sebentar. Kemudian pandangannya beralih ke tengah-tengah. Pemuda penjual obat ini kelihatannya akan memamerkan sebuah sulapan, dan minta bantuan Malini. Ini bisa berarti menyenangkan, atau sebaliknya. Dan karena dia merasa tak berhak mewakili gadis itu, maka keputusannya diserahkan pada Malini.
"Nah, Nisanak! Kekasihmu telah memberi izin untuk menentukan putusanmu sendiri. Maukah kau membantuku?" tanya penjual obat seraya mengulurkan tangan menyambut Malini.
Wajah Malini memerah, karena dua kali disebut kekasih pemuda di sebelahnya ini. Entah karena merasa jengah disebut begitu, atau karena senang bisa diajak bermain sulap. Yang jelas, kepalanya mengangguk.
"Nah! Saksikanlah saudara-saudara sekalian!" celoteh tukang obat seraya membawa Malini ke tengah arena. "Bukan sulap, bukan sihir. Ini anugerah dari Hyang Widhi kepadaku. Kalian pun bisa mendapatkannya dengan petunjuk dariku. Namun sebelumnya, mari kita lihat pertunjukan ini!"
Penjual obat itu menutupi tubuh Malini dengan kain hitam sehingga yang terlihat hanya mata kakinya saja. Beberapa saat kemudian, dia membaca mantera. Tiba-tiba disingkapnya kain penutup. Kini terlihat pakaian Malini berubah menjadi merah muda, terbuat dari sutera halus. Rambutnya lepas tergerai. Tampak sebuah mahkota bertahtakan intan berlian di atas kepalanya. Sehingga Malini benar-benar berubah seperti layaknya seorang putri raja. Atau mungkin juga bidadari yang turun dari kah?yangan!
"Nah, lihatlah! Ini salah satu karunia yang kukatakan tadi. Ini semua bisa terjadi apabila kita memiliki hati bersih lagi suci! Dengan latihan-latihan teratur dan selalu mengingat akan kekuasaan Hyang Widhi, maka saudara-saudara semua bisa melakukannya!" teriak penjual obat.
Penjual obat itu membungkus tubuh Malini kembali. Dan sesaat setelah membaca mantera, kain hitam itu disingkap kembali. Dan kini, pakaian serta perhiasan yang tadi dikenakannya lenyap dari pandangan. Malini mengenakan pakaian yang tadi dikenakannya!
Penonton bertepuk tangan. Dan gadis itu kem?bali menghampiri Rangga, setelah mendapat ucapan terima kasih dari pemuda penjual obat.
Rangga yang merasa tak ada gunanya berlama-lama di tempat ini segera meraih tangan Malini.
"Kita cari kedai yang punya makan enak. Perutku sudah minta diisi!"
Malini tersenyum. Diikutinya langkah pemuda itu. Mereka kini melangkah ke sebuah kedai.
? *** ? "Mereka mengagumimu...," ucap Rangga lirih, setelah memesan makanan dan duduk di tengah-tengah ruangan. Karena hanya tempat ini yang masih kosong, tak heran kalau Malini jadi pusat perhatian.
"Benarkah" Menurutmu kenapa?" tanya Mali?ni.
"Karena kau cantik...," sahut Rangga datar. Malini tersenyum. Diperhatikannya para pengunjung satu persatu.
"Sayang, tak seorang pun yang tampan...," gumam Malini sambil tersenyum sinis.
"Apa maksudmu?" tanya Rangga, jadi geli me?lihat tingkah gadis ini.
"Kukatakan, tak seorang pun di tempat ini yang setampan penjual obat tadi. Siapa namanya" Ah, sayang sekali! Tidak sempat kutanyakan," sahut gadis ini.
"Kenapa" Kau tertarik pada tukang obat itu?"
"Hmm...! Dia kelewat tampan untuk tidak diperhatikan," puji Malini sambil membayangkan se?suatu.
Entah apa yang ada di benak gadis ini. Tapi, Rangga melihat kelakuan Malini aneh. Padahal ketika pertama kali jalan bersama, Malini tak pernah bersikap segenit sekarang. Bahkan amat sopan dan menghormati Rangga.
"Kau bisa menanyakan namanya...," kata Rangga.
"Oh, benarkah"!" Malini tersenyum lebar. 'Pa?dahal aku ingin lebih dari itu. Berkenalan, lalu..., berada di dekatnya. Kau tentu tidak keberatan, bukan?"
"Kau tahu, aku hanya menganggapmu sebagai adik. Kau bebas berbuat apa saja yang kau sukai."
"Ah, benar! Benar sekali. Tiba-tiba selera makanku hilang. Dan..., aku mesti ke sana! Menanya?kan namanya. Dan..., mungkin lebih dari itu. Selamat tinggal!" ucap Malini.
Gadis itu buru-buru bangkit, bergegas keluar tanpa menoleh lagi.
Rangga menghela napas sambil menggeleng lemah. Namun hatinya berdetak curiga ketika dua pengunjung kedai pun ikut keluar. Tampang mere?ka seram, dan kelihatan kalau bukan orang baik-baik. Apalagi ketika mereka sempat menyeringai mengejek.
Rangga diam saja. Namun otaknya terus berpi?kir. Dan kecurigaannya makin menjadi-jadi.
'Tuan..., Hidangan yang Tuan pesan telah tersedia...!" kata laki-laki tua pelayan kedai seraya meletakkan hidangan di meja.
"Berapa harga makanan ini?"
"Dua keping perak, Tuan."
"Hmm...!" .'.
Tanpa banyak bicara pemuda itu mengeluar?kan sejumlah uang yang dimaksud. Makanan yang tersaji di meja untuk berdua. Dan serakus-rakusnya, rasanya tak mungkin Rang?ga menghabiskan semua makanan yang terhidang. Apalagi saat ini rasa laparnya tertindih oleh persoalan lain yang tengah dipikirkan.
Sambil menyantap, mata Pendekar Rajawali Sakti tak lepas memandang ke arah pemuda pen?jual obat yang tak seberapa jauh dari kedai.
Penjual obat itu tampak gembira melihat Malini kembali bergabung. Namun baru saja hendak menjadikan Malini sebagai sasaran permainan sulapnya, dua laki-laki bertampang kasar yang tadi keluar dari kedai menarik lengan gadis itu dengan kasar.
"Hei"! Dia tak boleh ikut!" kata laki-laki yang bertubuh gemuk.
"Hei, apa-apan ini"! Lepaskan aku! Lepaskan...!" teriak Malini coba berontak.
"Diam! Kau di bawah kekuasaan Sanggeni dan Ruwekso, tahu"!" bentak lelaki bertubuh kecil dengan kepala bulat. Wajahnya dipenuhi bopeng. Dialah yang bernama Sanggeni.
"Kisanak! Apa-apaan ini" Lepaskan gadis itu. Dan biarkan dia bergabung denganku. Kalau tidak berhak mengaturnya!" hardik pemuda penjual obat.
"Hei, Tukang Obat! Lekas pergi dari sini! Atau, kuobrak-abrik daganganmu!" tuding Sanggeni de?ngan mata melotot garang. Dan, wajahnya berubah merah seperti orang yang sedang bangun tidur.
Mendengar gertakan itu penjual obat ini tenang-tenang saja. Tak sedikit pun terbersit rasa takut di wajahnya. Sebaliknya para penonton bubar satu persatu, sampai tak seorang pun yang tersisa. Mereka menyadari akan terjadi sesuatu. Dan agar tidak kena getahnya, maka lebih baik menyingkir!
"Mengobrak-abrik daganganku" Lihatlah! Ka?lian telah melakukannya. Mereka lari ketakutan dan tak mau beli obatku. Semua ini salah kalian! Kalau kau tak mau ganti maka...."
"Maka apa"!" sentak Ruwekso yang tengah menelikung Malini. Di pinggang Ruwekso terselip sebilah kapak be?sar. Sedangkan senjata khas Sanggeni adalah seuntai rantai besi yang melilit di pinggang. Keduanya amat dikenal penduduk desa ini sebagai pembuat onar. Jarang ada yang berani, apalagi menentang mereka. Selain berkepandaian lumayan, mereka pun galak. Bahkan tidak segan-segan main kasar pada orang yang tidak disukai.
Buktinya, kini Sanggeni langsung maju. Kepalan tangan kanannya cepat terulur ke muka pen?jual obat itu.
Wit! Penjual obat itu mengegos sedikit ke samping, dan tangan kanannya menepis.
Plak! "Hiih!"
Bersamaan dengan itu, kaki kanan penjual obat mengait lutut Sanggeni bagian dalam. Tak ampun lagi....
Bruk! Sanggeni jatuh berdebuk keras di tanah. Wa?jahnya kontan berubah garang.
"Maaf.... Aku tak bermaksud berbuat kasar padamu! Mari kutolong berdiri...!" ucap penjual obat ini seraya mengulurkan tangan dengan wajah takut-takut.
"Huh!"
Sanggeni mendengus geram. Matanya mendelik kasar. Di hatinya terbersit niat untuk menarik kuat-kuat tangan pemuda penjual obat ini agar kedudukan jadi satu-satu!
Tap! "Hiih!"
*** ? 6 ? Namun niat Sanggeni lenyap begitu saja ketika tahu-tahu tubuhnya tertarik dan mengapung ke atas. Bukan main geramnya Sanggeni. Maka ketika hinggap di tanah setelah mematahkan luncuran, dia langsung bersiap. Jari-jari tangannya membentuk seperti cakar, siap mencengkeram.
"Oh, maaf! Aku tak bermaksud menerbangkanmu, Kisanak!" ucap pemuda penjual obat itu dengan lagak seperti orang ketakutan.
"Mampuslah kau!" desis Sanggeni.
"Aduh, ampun! Ampun...!"
Pemuda itu berteriak-teriak sambil memegangi kepalanya dan berputar-putar di sekitar tempat itu. Namun gerakannya membuat serangan Sanggeni menemui tempat kosong. Dan dengan amarah meledak-ledak di dalam dada, laki-laki kurus itu kembali melompat menerjang laksana seekor serigala menerkam mangsa.
"Ampuuun...! Aku menyerah, aku menyerah...!" teriak pemuda penjual obat sambil berlutut dengan tubuh membungkuk. Akibatnya, serangan Sanggeni kembali nyeplos ke tempat kosong.
"Setan! Kau mau mempermainkan ku, he"!" dengus laki-laki kurus itu geram, setelah berbalik.
Sring! Sanggeni meloloskan rantai yang melilit ping?gang, kemudian memutar-mutarnya. Wajahnya kelihatan bengis. Dan sepertinya, siap menghabisi nyawa penjual obat itu.
"Aduh, ampun Tuan! Ampun...! Aku belum mau mati sekarang!" ratap penjual obat sambil berlutut. Kedua tangan dirangkapkan ke dada. Mukanya kelihatan sedih mengharapkan belas kasihan.
"Akan kuampuni setelah kepalamu copot!" desis Sanggeni seraya mengibaskan rantai. Ujungnya mencelat lurus ke tenggorokan.
Siuutt! Wut! Plos! "Aduh, copot! Copot, copooot..!" teriak pemu?da penjual obat sambil menunduk. Tubuhnya membungkuk, seperti batang pohon roboh. Dan akibatnya, ujung rantai hanya menyambar angin kosong.
"Hiih!"
Sanggeni menarik rantai. Maka ujung rantai yang melengkung kembali mengancam leher pen?jual obat yang tengah berteriak-teriak sambil memegangi lehernya.
"Ampun, Tuan...! Ampuni aku...!" teriak pe?muda penjual obat sambil bergulingan mendekati Sanggeni. Rantai tak menemui sasaran. Sementara, sebelah kaki pemuda penjual obat telah melayang deras ke perut Sanggeni. Dan....
Desss! "Hugkh!"
Demikian kuatnya tendangan itu, membuat la?ki-laki kurus ini ambruk beberapa langkah ke be?lakang. Sanggeni bangkit pelan-pelan sambil menahan nyeri di perutnya.
"Setan! Rupanya kau sengaja mempermainkan kami, he"!" dengus Ruwekso geram. Dilepaskannya Malini. Lalu dicabutnya kapak.
"Heaaa...!" Disertai teriakan keras, Ruwekso meluruk sam?bil membabatkan kapaknya.
"Eee..., tunggu dulu! Mau apa kau" Apakah kau menghukumku seperti dia?" Penjual obat itu masih berlagak pilon. Wajah?nya. terus menunjukkan ketakutan. Namun Ruwek?so tak mempedulikan.
Wut! Bet! Kapak itu menyabet ke dada, namun pemuda penjual obat itu menarik tubuhnya ke belakang. Dan tiba-tiba sebelah kakinya melayang menghantam pergelangan tangan Ruwekso.
Plak! "Aduh...!".
Ruwekso menjerit kesakitan. Kapaknya terpental dari genggaman. Begitu kuat papakan barusan, membuat tubuhnya terhuyung-huyung ke bela?kang.
"Maafkan aku, Kisanak! Aku sama sekali tak bermaksud melukaimu!" ucap pemuda penjual obat dengan nada terdengar memelas.
Namun pada saat itu tubuh pemuda penjual obat sudah melesat dengan kedua kaki bergerak ke perut dan dada.
Duk! Des! "Wuaaakh...!"
Ruwekso terpelanting ke belakang disertai jerit kesakitan. Dari mulutnya menyembur darah segar. Dan dengan tertatih-tatih, dia berusaha bangkit Matanya nyalang penuh dendam memandang pen?jual obat itu.
"Jangan kira persoalan ini akan selesai begitu saja! Kau akan mendapat balasan setimpal atas perbuatanmu ini!" dengus Ruwekso dengan amarah membludak. Hatinya tersaput dendam membara.
Penjual obat itu mengiba ketakutan dengan tu?buh gemetar.
"Aduh ampunilah aku! Tolong, jangan sakiti aku, Tuan...!"
"Setan alas!" maki Sanggeni sambil meludah.
Memang orang bodoh pun tahu kalau penjual obat itu mengejek dengan tingkahnya yang memuakkan. Jelas-jelas kedua begundal itu begitu mudah dijatuhkan. Tapi, masih juga dia berteriak-teriak minta ampun dengan suara ketakutan. Padahal sulit bagi orang biasa menjatuhkan mereka berdua. Apalagi dalam waktu singkat.
Bisa ditebak kalau orang yang mampu menja?tuhkan mereka tidak bisa dianggap sembarangan. Gerakan pemuda itu cepat dan gesit meski kelihatannya ayal-ayalan. Demikian pula tenaga dalamnya. Buktinya, kedua jagoan desa itu cepat mengambil langkah seribu.
"Nah! Sekarang tak ada lagi yang mengganggumu...!" kata penjual obat itu sambil menghampiri Malini dengan senyum lebar. "Kau aman di dekatku sekarang."
"Hebat! Hebat betul! Dalam segebrakan saja kau berhasil menghajar mereka!" puji Malini. Bola matanya menyiratkan kekaguman luar biasa. "Sia?pa namamu?"
"Namaku Malin Sani, bergelar Sutan Mudo Pangikek Mato."
Malini tertawa mendengar pemuda penjual obat menyebut namanya.
"Gelarmu lucu sekali!"
"Apalah arti sebuah gelar" Yang penting, 'kan orangnya. Nah! Mau ke mana tujuanmu seka?rang..., eh! Aku belum tahu siapa namamu?" tanya Malin Sani.
"Malini. Aku..., aku tak tahu tujuanku akan ke mana. Tapi kalau tak keberatan, aku mau ikut kau saja," kata gadis yang perangainya telah berubah ini.
"Kebetulan sekali! Aku memang tak punya ka?wan seperjalanan. Senang sekali bisa jalan bersama gadis secantikmu," puji Malin Sani.
"Benar aku cantik?" tanya Malini, seakan tak percaya.
"Kau cantik sekali, Malini! Seperti bidadari!" kembali Malin Sani memuji tak kepalang tanggung.
Mendengar pujian itu bukan main senangnya Malini. Bibirnya menyunggingkan senyum manis. Sementara, Malin Sani kini bergerak lincah mengemasi barang-barang dagangannya.
"Ayo, kita berangkat!" ajak Malin Sani setelah selesai mengemasi.
Kini mereka berjalan beriringan.
"Aku nginap di suatu tempat. Kau boleh ikut bila suka!" kata Malin Sani alias Sutan Mudo Pangikek Mato.
"Aku suka! Di mana"!" sambut Malini berseri-seri.
"Tidak jauh dari sini. Kalau berlari, kita akan cepat sampai!"
"Kalau begitu kenapa kita tidak berlari saja"!"
"Kau mau?"
"Mau!"
Secepat jawaban Malini, maka secepat itu pula Malin Sani segera berlari. Dan gadis itu mengikutinya dari belakang sambil tertawa-tawa.
? *** Tempat yang dituju Malin Sani dan Malini ada?lah sebuah penginapan kecil di pinggiran desa. Se?buah gubuk kecil yang masih memadai untuk dihuni. Pemiliknya tinggal di rumah besar yang ada di dekat gubuk itu.
"Nah! Di sinilah istanaku sementara!" kata Malin Sani masuk ke gubuk itu. Dicampakkannya barang-barang dagangannya ke kolong tempat tidur.
Malini masuk ke dalam. Matanya beredar ke sekeliling, memandangi ruangan ini dengan sorot iba.
"Ke sinilah, Malini!" ujar Malin Sani. Gadis itu segera melangkah dan duduk di dekat Malin Sani.
"Ini baru permulaan. Tapi setelah usahaku berjalan lancar, maka keadaan pun akan berubah! Aku akan membangun istana. Dan..., kau ikut bersamaku di dalam istana!" kata pemuda itu dengan mata menerawang jauh..
"Aku menjadi apa?" tanya Malini
"Menjadi apa"! Tentu saja menjadi permaisuriku! Kau setuju, 'kan"!" sahut Malin Sani, seraya menatap gadis ini.
Malini tersenyum. Namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya.
"Ayo katakan, kau setuju, 'kan"!" desak pemu?da itu.
Lagi-lagi Malini hanya tersenyum dan tak men?jawab. Malin Sani terus memandangi dengan tajam. Seolah-olah dari pandangan matanya keluar tenaga gaib yang membuat gadis itu mengangguk.
"Nah! Begitu lebih baik. Kelak kau jadi permaisuriku. Dan sebagai permulaannya..., kita resmikan hubungan itu," sambut Malin Sari dengan sorot mata penuh kegembiraan.
Malin Sani mendekat. Kepalanya mendekat. Bibirnya hendak menyentuh bibir gadis ini. Namun, Malini menghalangi dengan jari-jari sebelah tangan.
"Kenapa" Kau tak suka padaku?" tanya Malin Sani, agak kecewa.
"Suka, tapi...."
"Tapi apa" Katakan," potong Malin Sani "Apakah kau masih menyukai kekasihmu itu?"
Malini terdiam. Pikirannya mengambang entah ke mana. Tapi ketika Malin Sani mengucapkan kata-katanya yang terakhir.
"Kekasih...?" desah Malini, tak sadar.
"Ya! Pemuda berbaju rompi putih itu. Kau masih mengingatnya" Dia tak mempedulikanmu! Dia mendiamkan saja saat aku membawamu. ltukah yang pantas disebut kekasih"!" cibir Malin Sani.
Malini terkesiap. Dia seperti ingat sesuatu. Bayangan wajah seseorang yang amat dekat di ha?tinya. Seketika dia berdiri. Namun, Malin Sani cepat mencekal lengannya. Pemuda itu berdiri, memegangi pundak gadis ini. Matanya menyorot tajam, menusuk ke bola mata Malini.
"Lihat mataku! Lihat mataku...! Setelah ini, kau akan turuti keinginanku...!" desis pemuda ini dengan suara lirih bernada tajam.
Malini terdiam. Matanya menatap kosong ke depan seperti mayat.
"Kau membencinya, bukan" Dia menyia-nyiakanmu!" lanjut Malin Sani, penuh kekuatan gaib.
"Ya," jawab Malini, di luar kesadarannya.
"Kau tak boleh mengingatnya lagi!"
"Ya."
"Kau hanya boleh mengingat aku seorang! Kau mengasihiku, dengan sepenuh hati! Kau mencintaiku dengan sepenuh jiwa!"
"Ya."
"Karena itu kau mesti membuktikannya! Bukalah bajumu! Buka semua...!" desis Malin Sani.
"Ya."
Malini mengikuti perintah Malin Sani yang terakhir. Perlahan-lahan bajunya mulai dibuka. Na?mun sebelum hal itu terjadi....
"Hentikan!!"
Mendadak terdengar bentakan keras, yang di keluarkan lewat pengerahan tenaga batin kuat. Se?hingga, bukan saja membuat Malin Sani kaget, tapi juga membuat Malini terkejut dan hampir terlompat.
"Kurang ajar! Siapa di luar"!" bentak Malin Sani.
Cepat pemuda ini melompat ke pintu. Di bukanya pintu dengan sikap siaga, siap menghadapi segala kemungkinan.
"Hmm! Kau rupanya!" gumam Malin Sani.
Di ambang pintu tegak berdiri seorang pemuda berbaju rompi putih berambut panjang dalam sikap memunggungi. Terlihat pedang bergagang kepala burung tersandang di punggung.
"Kau memintanya baik-baik untuk dijadikan peramai sulapmu. Tetapi, kenapa mendadak berniat busuk?" gumam pemuda yang tak lain Rangga.
"Aku tak bicara pada orang yang membelakangiku!" sungut Malin Sani.
"Aku tak ingin memandang wajah manusia penipu sepertimu!"
"Huh! Kau tak diperlukan di sini! Pergilah!"
"Hanya karena telah mempecundangi dua jawara desa, kau merasa bisa berbuat seenaknya?" gumam Rangga dengan senyum dingin.
"Aku bisa mengulangi kejadian itu terhadapmu kalau kau tidak lekas-lekas pergi!" ancam Malin Sani.
"Aku jadi ingin tahu," sambut Rangga, tenang.
Merasa ditantang,. Malin Sani berpikir untuk memberi pelajaran. Maka dengan menghempos tenaga kuat-kuat, tubuhnya melesat kencang melayangkan tendangan.
"Hiih!"
*** "Yeaaa...!"
Rangga mencelat ke samping, membuat ten?dangan Malin Sani hanya menebas angin kosong. Untuk mematahkan luncuran tubuhnya, Malin Sani jungkir balik. Begitu berbalik kembali diserangnya Rangga dengan kedua kaki yang dirapatkan. Dan kali ini Rangga menangkis lewat kibasan tangan.
Plak! Plak! "Huh...!"
Malin Sani mendengus geram dengan tubuh terpental ke belakang. Dia bersalto beberapa kali. Begitu menjejak tanah, tubuhnya cepat meluruk. Kepalan tangannya langsung dihantamkan berun?tun mengarah perut, dada, dan leher.
Pendekar Rajawali Sakti cepat meliuk-liuk seperti menari dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Sehingga semua serangan dapat dikandaskan. Bahkan tiba-tiba kakinya mengibas sambil berbalik.
"Hup!"
Malin Sani terkesiap. Untung dia cepat berjumpalitan ke belakang. "Hiyaaat...!"
Dengan mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', Pendekar Rajawali Sakti melayang cepat. Kedua tangannya terpentang lebar ke samping. Sementara kedua kakinya mengibas-ngibas.
Malin Sani tercekat. Tubuhnya cepat merunduk ketika kaki Pendekar Rajawali Sakti menyambar kepala. Namun mendadak Rangga menggulingkan tubuhnya di udara, lalu meluruk dengan tangan mengibas ke tengkuk. Begitu cepat gerakannya. Se?hingga....
Des! "Uhh...!"
Malin Sani mengeluh tertahan ketika tengkuknya terhantam kibasan tangan Pendekar Raja?wali Sakti. Tubuhnya terhuyung-huyung dengan pandangan kabur. Kepalanya pusing bukan main.
"Brengsek!" maki Malin Sani geram.
"Aku hanya minta kau menyadarkan gadis itu kembali. Atau, kita lanjutkan pertarungan ini," gertak Rangga, begitu mendarat di tanah.
"Kurang ajar! Kau kira aku sudah kalah"!" de?ngus Malin Sani, geram. Dan yang lebih-lebih mem?buatnya geram adalah karena Pendekar Rajawali Sakti terus membelakanginya seperti tadi. Seolah-olah memandang rendah padanya.
"Brengsek! Agaknya dia tahu kalau aku bisa mempengaruhinya lewat pandangan mata. Itu sebabnya dia membelakangiku. Dan berarti, dia ber?tarung dengan mengandalkan pendengarannya. Luar biasa bagi seseorang yang masih melihat!" puji Malin Sani dalam hati, sekalipun memendam ge?ram. "Aku mesti mengecohnya dengan bunyi-bunyian!"
Berpikir begitu, Malin Sani berkelebat cepat ke dalam pondok. Sebentar saja, dia telah keluar kem?bali, membawa beberapa buah gelang yang berbentuk kincringan Alat itu sering juga digunakannya kalau tengah berdagang untuk memikat pengunjung.
"Sekarang kau tahan seranganku!" bentak Malin Sani.
Pemuda itu segera membunyikan kincringan, bermaksud agar Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau dia membawa kincringan.
"Heaaa...!"
Malin Sani melempar dua buah kincringan hingga melayang ke atas. Dua benda itu berputar-putar, menimbulkan bunyi gemerincing. Kincringan itu sama sekali tidak ditujukan ke arah Rangga, melainkan dilewatkan di kiri dan kanannya. Dan bersamaan dengan itu Malin Sani melompat, menyerang dari belakang.
Apa yang diduga memang benar. Rangga menyadari kalau sorot mata Malin Sani mengandung daya sihir. Kalau saja lengah, maka dirinya terpengaruh. Makanya, Rangga harus menghindari pandangan langsung ke mata Malin Sani ketika bertarung.
Dan kalau menyangka bisa menipu dengan kincringan, Malin Sani boleh kecewa. Sebab, Rang?ga sama sekali tak terpengaruh. Begitu datang se?rangan dari tengah, dia langsung menjatuhkan diri. Kedua kakinya cepat berputar sambil menyambar bergantian.
Wut! Bet! Malin Sani menghindari benturan. Tubuhnya mengelak ke samping sambil membungkuk. Dan mendadak dia berbalik, seraya melayangkan tendangan.
"Hiih...!"
Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan tangan kiri menangkis. Dan ketika Malin Sani melanjutkan serangan lewat tendangan kaki yang satu lagi, Rangga membungkuk. Lalu mendadak tubuhnya berbalik seraya menghantam lutut penjual obat itu di bagian belakang.
Duk! "Uhh...!"
Kuda-kuda Malin Sani kontan goyah. Dan belum lagi dia sempat berbuat apa-apa, lutut kiri Pendekar Rajawali Sakti masuk ke perut.
Desss! "Aaakh...!"


Pendekar Rajawali Sakti 209 Memburu Rajawali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malin Sani menjerit tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, lalu ambruk menghan?tam gubuknya sendiri.
"Cukup! Aku menyerah kalah...!" teriak Malin Sani ketika melihat Pendekar Rajawali Sakti akan menyerang lagi.
Pendekar Rajawali Sakti menarik serangannya. "Jangan mengakaliku!" bentak Rangga.
"Sungguh! Aku betul-betul menyerah...," sahut Malin Sani seraya bangkit tertatih-tatih.
"Kalau begitu, kau harus mengembalikan ingatannya!"
"Ya, ya...! Tapi sabar dulu. Tenagaku banyak terkuras. Tunggu sampai aku agak pulih."
"Aku tak bisa menunggu untuk tipuanmu yang lain!"
"Hei, kau ini bagaimana sih"! Baru kenal saja sudah menyangka penipu!"
"Kau penipu! Dan aku tak perlu kenal lama untuk menuduhmu seperti itu!"
"Atas dasar apa" Mana buktinya"!" tantang Malin Sani.
"Aku ke sini bukan hendak berdebat. Sembuhkan Malini, atau akan kubuat kau lebih parah"!" ancam Rangga, menggetarkan.
"Iya, iya...! Aku sudah menyanggupi. Tapi, jangan seenaknya menuduhku penipu!" gerutu Matin Sani.
Pemuda itu segera masuk ke dalam. Dan Rang?ga mengikuti sampai ke ambang pintu. Sama sekali Pendekar Rajawali Sakti tak mau menatap mata pemuda itu secara langsung.
"Ayo, masuk dan duduk seadanya!" ujar Malin Sani.
Namun Pendekar Rajawali Sakti diam saja, pura-pura tak mendengar.
"Yaaah, terserahmulah! Aku sudah berbaik hati menyuruhmu duduk. Tapi, ternyata kau lebih suka berdiri. Silakan saja! Mudah-mudahan kau lebih tinggi dari sekarang nantinya."
"Jangan cerewet! Lekas sembuhkan dia!" hardik Rangga.
"Iya, iya...!"
*** ? 7 ? "Ohh.... Di mana aku" Tempat apa ini" Dan kau..., bukankah kau tukang obat itu?" ucap Malini dengan wajah kaget lalu buru-buru menjauh ketika telah disadarkan Malin Sani. "Apa yang kau lakukan padaku" Apa yang telah kau lakukan terhadapku"!"
Wajah gadis ini tampak curiga. Kemudian dicobanya merasakan adakah sesuatu yang ganjil te?lah terjadi pada dirinya" Dan dia tidak merasa ada perubahan apa-apa. Meskipun begitu, dia tak mau percaya begitu saja. Matanya melotot garang memandangi Malin Sani.
"Apa yang kau lakukan padaku"! Kalau kau melakukan sesuatu yang merusak kehormatanku, akan kuadukan hal ini pada kakang ku! Dan kau akan terima hukuman berat!" bentak Malini, ga?rang.
"Malini, kau tak apa-apa?"
"Oh, siapa kau?"
Gadis itu yang tak menyadari kehadiran Rang?ga di tempat itu cepat berpaling. Wajahnya berubah gembira ketika mengetahui siapa yang bicara meskipun membelakanginya.
"Kakang,..! Oh, syukurlah kaupun ada di sini! Orang ini.., dia hendak berbuat sesuatu padaku. Kau mesti menghajarnya sampai kapok!" seru Malin sambil berlutut dan merangkapkan kedua tangan di dada.
"Ya. Dan dia telah menerimanya...," sahut Pendekar Rajawali Sakti,
"Kakang telah menghajarnya"!" seru Malini tak percaya seraya bangkit berdiri.
"Kita tak perlu berlama-lama di sini. Mari pergi!" ajak Rangga, tanpa maksud menyombongkan diri dengan menjawab pertanyaan Malini
"Tapi, Kakang.... Bagaimana aku bisa berada di sini?" tanya Malini
"Bukankah ini kemauanmu sendiri?"
"Kemauanku" Tidak! Aku ingat Kakanglah yang menyerahkan jawaban ketika dia memintaku membantu sulapannya."
"Ya, ya.... Aku memang menyerahkan jawaban kepadamu sendiri, karena kuanggap kau harus punya hak. Aku tak bermaksud mengekang mu...," sahut Rangga.
"Ya! Mungkin juga kemauanku sendiri, maka?nya aku berada di sana...," desah Malini.
"Waktu di kedai tadi, kau meninggalkan ku begitu saja...," jelas Rangga.
"Benarkah"!" tanya Malini, terperangah.
"Kalau tidak, bagaimana mungkin kau bisa ber?ada di sini."
"Jadi aku mengikutinya dengan suka rela?"
"Dengan senang hati!"
"Oh, tidak! Pasti ada sesuatu, sehingga aku berbuat seperti itu. Tak mungkin aku melakukannya!" bantah Malini
"Ya, memang. Dia mempengaruhi mu dengan tenaga batinnya. Itulah sebabnya aku tak mau memandang matanya," jelas Rangga.
"Kakang juga terpengaruh olehnya?"
'Tidak. Tapi untuk berjaga-jaga saja...."
Mereka lantas keluar dari gubuk. Sementara Malin Sani kesal sendiri. Dia mondar-mandir di gubuknya, lalu menendang benda apa saja untuk melampiaskan kesal. Matanya nyalang ketika melihat kedua orang itu terus melangkah pergi menaiki kuda. Entah mengapa, tiba-tiba dia keluar.
"Kalian mau ke mana"!" teriak Malin Sani, bertanya.
"Malini! Jangan pandang matanya!" ingat Rangga ketika mereka berbalik.
Malini hanya mengangguk dengan kepala ter?tunduk.
"Tipu daya apa lagi yang hendak kau perlihatkan?" tukas Rangga, kalem.
"Aku tahu! Kalian tengah mencari seseorang, 'kan"!" tebak Malin Sani sambil tertawa kecil
"Itu bukan urusanmu, Kisanak!"
Malin Sani tersenyum.
"Kalian mencari laki-laki berkulit hitam, berhidung mancung, dan bertelanjang dada! Orang itu memakai sorban di kepalanya!" teriak Malin Sani.
Mendengar teriakan itu Rangga yang sudah berbalik dan hendak melangkah, kembali menghadap Malin Sani. Hampir saja matanya menatap mata penjual obat itu, kalau tak ingat betapa bahayanya seandainya Malin Sani mampu menguasainya.
"Apa yang kau tahu tentangnya?" tanya Rang?ga, dingin.
"Banyak!"
"Dan kau tak akan memberitahukannya pada?ku, 'kan?"
"Tergantung keadaan. Kalau sikapmu bersahabat, tentu saja dengan senang hati aku mengatakannya," sahut Malin Sani tersenyum-senyum penuh kemenangan.
"Kau salah menilai orang!" sahut Rangga, langsung melenyapkan senyum Malin Sani. Pendekar Rajawali Sakti cepat berbalik dan menuntun Malini yang mengikutinya.
"Eee..., apa maksudmu"!" teriak Malin Sani ketika melihat Rangga berkelebat cepat. "Maksudku baik. Paling tidak kita bisa menjadi seorang sahabat!"
"Aku tak butuh sahabat untuk saat ini!" teriak Rangga di kejauhan.
"Kau harus belajar mempercayai seseorang!" teriak Malin Sani.
Rangga tak peduli. Bersama Malini, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat.
*** ? Menjelang sore, Pendekar Rajawali Sakti tiba di kaki Gunung Karacak. Di situ terdapat hamparan rumput luas di atas sebuah lembah yang cukup permai. Dan tak jauh dari situ terdapat pula sebuah anak sungai yang mengalir dari perut gunung. Airnya jernih dan kelihatan segar. Rangga mengajak gadis itu untuk beristirahat sebentar. Rangga duduk bersandar di bawah pohon. Dia menghela napas panjang.
"Malini, ada satu hal perlu kubicarakan padamu...," kata Rangga menarik napas, sambil memandang sekilas.
Malini mengangkat kepalanya, menatap Rang?ga.
"Kau tak perlu mengikutiku terus. Kau berhak menentukan jalan hidupmu," lanjut Rangga.
Malini kembali tertunduk, diam seribu bahasa.
"Aku tak bermaksud mengusirmu. Tapi kalau terus mengikutiku, maka kau juga yang akan susah. Hidupku banyak petualangan, dan sering menyerempet bahaya. Tidak selamanya aku bisa melindungimu. Dan yang paling penting, akan sulit bagi laki-laki mendekatimu, karena dikira kau adalah kekasihku...." Kata-kata terakhir yang diucapkan Rangga pelan dan hati-hati.
"Apakah..., apakah Kakang Rangga tak menghendaki kehadiranku lagi?" tanya Malini, tersendat.
"Bukankah sudah kukatakan" Bukan itu soalnya! Ini demi masa depanmu sendiri. Apakah kau ingin bersamaku terus tanpa tujuan jelas" Apa kata orang-orang nanti" Dan..., mungkin yang terpen?ting...."
Rangga tak melanjutkan bicara. Entah apa yang dipikirkannya. Tapi itu membuat Malini mendongak dan memandangnya penasaran.
"Kenapa, Kakang" Apa yang amat memberatkan...?" desak gadis itu.
"Aku tak ingin kekasihku mengira aku menyeleweng...," sahut Rangga berat.
"Tapi bukankah kita tak melakukan apa-apa?" kilah Malini
"Benar. Namun dia tak tahu. Dan biasanya tak mau tahu," papar Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku akan jelaskan padanya!"
"Dia tak akan mengerti."
"Aku akan terangkan bahwa aku tak bermak?sud merebut Kakang dari sisinya!"
Rangga menghela napas.
Malini memandangnya putus asa. Lalu tubuh?nya disandarkan pada batu besar di belakangnya dengan kepala tertunduk.
"Aku tak tahu ke mana harus pergi. Datang ke tanah Jawa ini pun dibawa ibuku ketika berusia li?ma tahun dari Benggala di tanah India. Kami ber?maksud mencari ayah yang pergi bertahun-tahun dan tak pernah kembali. Sampai di sini, kami te?lantar. Untunglah ada Adipati Sangkaran. Dia memungut kami dan mengawini ibuku. Namun, ibuku tak lama hidup didera penderitaan. Adipati Sang?karan itu manusia bejat tukang kawin. Ibuku meninggal setahun setelah menikah dengannya...."
Malini menghentikan ceritanya sebentar. Rang?ga bisa melihat air mata menitik dari kedua kelopak matanya.
"Sejak itu aku diasuh dayang-dayang di kadipaten, karena Adipati Sangkaran masih menganggapku sebagai anaknya. Namun menjelang dewasa, aku mulai takut berdekatan dengannya. Setiap kali berdekatan, matanya memandangku penuh nafsu. Bahkan sering mencuri-curi kesempatan untuk masuk ke kamarku...," lanjut gadis ini, memelas.
Air mata gadis itu menetes semakin deras. Dan Rangga merasa ikut terhanyut. Perasaan kesal di hati karena diikuti terus oleh Malini, kini berganti rasa iba. Dia tak bermaksud mengusik. Dibiarkannya saja gadis itu menumpahkan isi hatinya.
"Aku menyuruh beberapa dayang-dayang un?tuk menemaniku tidur. Namun suatu hari yang kutakutkan datang juga. Adipati Sangkaran memberi perintah pada semua dayang untuk pergi ke suatu tempat. Maka dengan leluasa, dia masuk ke kamar dan memaksaku untuk melakukan perbuatan tak senonoh. Aku menolak dan berusaha menyadarkannya. Namun sia-sia saja. Dia memaksaku de?ngan kekerasan, sampai aku tak berdaya melindungi kehormatanku...!"
Isak tangis Malini semakin kencang seiring air matanya yang bercucuran deras. "Dan hal itu ternyata tidak sekali. Namun dilakukannya berulang-ulang setiap kali ada kesem?patan, sampai aku mengandung bayinya. Adipati Sangkaran pura-pura marah di depan orang-orang, lalu menyuruh seseorang menggugurkan kandungan ku...," rintih Malini. "Setelah itu dia menyuruhku untuk menjadi penari istana yang bertujuan untuk membunuhmu...."
Yang terdengar saat itu cuma isak tangis, diiringi alunan lembut dari angin yang bertiup sepoi-sepoi.
"Maaf, aku tak tahu cerita itu...," ucap Rangga.
Malini diam membisu. Isak tangisnya telah berhenti. Tinggal sekali-sekali.
"Adipati keparat itu mestinya mendapat ganjaran berat atas segala perbuatan terkutuknya!" dengus Rangga. "Suatu saat kalau bertemu de?ngannya, tidak akan kubiarkan dia hidup sebelum mendapat hukuman darimu!"
'Terima kasih atas perhatianmu, Kakang...," sahut Malini. "Benarkah kau akan mencari dan membalaskan sakit hatiku padanya?"
"Tenangkahlah hatimu. Doakan saja agar aku berhasil membawanya padamu. Dan setelah itu, kau boleh tentukan hukuman apa yang bakal dijatuhkan padanya."
"Terima kasih, Kakang...!"
"Ada hal yang tidak ku mengerti. Setelah mengetahui kebejatannya, mengapa kau tidak lekas-lekas pergi dari tempat itu?"
"Tidak Tidak bisa...," sahut Malini lirih setelah diam sejenak. "Sejak kecil, ibu selalu mengajarkan kalau mesti balas budi terhadap orang yang berbuat baik terhadap kita. Itulah yang dinamakan jalan hidup dan selalu melekat kuat di hatiku. Aku dibesarkan oleh Adipati Sangkaran. Dan kini kuanggap segalanya telah impas. Dia telah merenggut sesuatu yang amat dibanggakan gadis sepertiku...."
"Aku turut prihatin...," desah Rangga.
"Apakah..., apakah kau tak merasa jijik padaku setelah mendengar ceritaku, Kakang?" tanya Malini tiba-tiba.
"Itu adalah penderitaan umat manusia. Dan segalanya telah digariskan. Jadi, tidak semestinya aku merasa jijik. Aku prihatin dan ikut berduka terhadapmu. Sekaligus, geram terhadap manusia bernama Sangkaran itu."
Malini terdiam, Entah dia percaya atau tidak dengan kata-kata Rangga. Tapi sesudah itu Rangga tampak bangkit berdiri.
"Hari hampir malam. Kita harus cari tempat istirahat..."
Dan Malini mengikuti tanpa banyak bicara.
? *** ? Malini tak membantah ketika Rangga mengajaknya mendaki lereng Gunung Karacak. Udara semakin bertambah dingin. Dan tubuh gadis ini mulai gemetar. Siang tadi dia tak sempat makan. Tak heran kalau perutnya mulai keroncongan.
Rangga terus membawa gadis itu ke suatu tem?pat yang agak luas di lereng gunung ini. Pada suatu tempat, mereka berhenti. Dan pemuda itu mendo?ngak ke atas. Kelihatan langit mulai gelap. Burung-burung pun beterbangan kembali ke sarang masing-masing. Sementara kelelawar dan binatang malam lainnya keluar dari sarang untuk mencari makan.
"Setelah nanti aku bersuit, berpegangan pada tanganku yang kuat!" perintah Rangga.
"Kakang! Kau..., kau mau apa?" tanya Malini heran.
"Ada sesuatu yang mungkin mengejutkanmu. Tapi itu pun kalau dia mau turun...."
Rangga tak mempedulikan ketidakmengertian gadis ini. Pendekar Rajawali Sakti sudah memasukkan ujung jarinya ke dalam mulut. Lalu....
"Suiiittt...!"
Suara suitan Pendekar Rajawali Sakti terdengar nyaring, melengking tinggi karena dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam. Terus menembus ang?kasa, bergema ke mana-mana.
Pandangan Rangga menerawang jauh. Mata?nya dipertajam untuk melihat-lihat sesuatu.
"Suiiittt...!"
Rangga kembali bersuit nyaring. Sampai-sampai Malini menutup telinganya rapat-rapat, karena jantungnya berdetak lebih kencang. Bahkan tubuh?nya gemetar panas dingin mendengar suitan itu. Teringat perintah Rangga, Malini memegang tangan Rangga kuat-kuat.
Pendekar Rajawali Sakti menunggu beberapa saat sampai terlihat setitik hitam di angkasa luas. Titik hitam itu terlihat samar. Namun kelihatan kalau titik hitam itu menukik turun dan semakin besar. Pada batas pandangan manusia akan terlihat kalau titik hitam tadi menjadi sebuah bentuk yang bersayap lebar. Seekor rajawali raksasa!
Rajawali raksasa itu berputar-putar di angkasa pada jarak tertentu, kemudian membubung lagi ke angkasa. Padahal Rangga sudah memanggilnya turun.
"Ada apa, Rajawali Putih" Apakah dia tak mau turun karena kehadiran Malini"!" desis Rangga menatap rajawali raksasa yang tak lain Rajawali Putih.
Kebingungan pemuda itu agaknya tak lama, karena berikutnya mulai mendapat jawaban ketika mendengar....
"Suiitt...!"
Terdengar suitan dari arah lain di tempat ini.
"Suitan siapa itu" Jangan-jangan...."
Dan belum lagi Pendekar Rajawali Sakti men?dapat jawaban atas kekhawatirannya, terlihat raja?wali raksasa di atas sana menukik turun.
Siuutt! "Rajawali Putih! Lekas pergi! Pergiii...!" teriak Rangga dengan suara menggelegar.
Suara yang dikerahkan lewat penyaluran tena?ga dalam kuat itu sempat menggoyahkan terbang Rajawali Putih. Dia berhenti, dan sayapnya terkepak mengangkat tubuhnya naik. Tapi saat itu ju?ga...
"Suiittt"
Kembali terdengar suitan keras.
"Rajawali, lekas pergi! Ayo, pergi...! Jangan hiraukan suara itu!" bentak Rangga sambil melompat dan mendekati arah suitan tadi.
Namun suitan tadi menggema dahsyat, membuat Rangga geram. Lebih geram lagi ketika melihat rajawali raksasa itu menukik turun ke satu tempat tanpa bisa dicegahnya.
Pendekar Rajawali Sakti berlari kencang, tak mempedulikan Malini yang sejak tadi mengkeret ketakutan. Tujuannya cuma satu. Ke tempat raja?wali raksasa itu turun.
"Kurang ajar! Itukah orang asing yang diceritakan Ki Demong"!" dengus Pendekar Rajawali Sakti.
Saat itu Rangga melihat seorang lelaki kurus berkulit hitam memakai sorban putih. Hidungnya bagai paruh betet dengan sepasang mata celong. Bertelanjang dada, serta memakai celana pendek yang dibuat dari sehelai kain putih panjang dikebat demikian rupa.
Tidak jauh dari tempat orang itu berdiri, terlihat Rajawali Putih bertengger di atas batu. Sementara laki-laki bertubuh kurus itu mendekat sambil tertawa mengekeh.
"Hi hi hi...! Akhirnya kau menyerah juga padaku setelah selama ini kita main kucing-kucingan!" kata laki-laki yang tak lain Penyihir Sakti Dari Benggala.
Rajawali Putih tampak memandang makhluk di depannya dengan sorot mata tajam. Kedua sayap?nya hendak di kepakkan. Namun tenaganya seperti lenyap untuk mengangkat tubuhnya ke atas.
"Hi hi hi...! Kau hendak melarikan diri dariku" Tidak mungkin! Tak seekor makhluk pun yang bisa lolos setelah terpengaruh sihir ku. Meskipun kau hewan luar biasa, tapi tetap seekor hewan. Dan hewan tak mungkin membantah perintahku! Hi hi hi...!"
Grkhhh...!"
Bulu-bulu di sekujur tubuh Rajawali Putih bergetar tanda pemberontakan. Namun tak ada yang bisa dilakukannya lebih dari itu. Sementara, Banghadur Gupta mulai melambai-lambaikan ta?ngan ke depannya.
"Aku Banghadur Gupta! Raja dari raja sihir yang memerintahkanmu tunduk padaku! Tundu?uuk...!" bentak Penyihir Sakti Dari Benggala de?ngan suara garang.
"Kisanak! Kau salah memilih sasaran! Rajawali ini bukan milikmu!"
"Hei"!"
Terdengar suara dari arah lain, membuat Bang?hadur Gupta tersentak.
? *** ? 8 ? Banghadur Gupta terkesiap melihat seorang pemuda tampan memakai rompi putih tengah tegak berdiri di atas sebuah baru yang terletak di ketinggian. Di punggungnya tersandang sebilah pedang bergagang kepala burung.
"Hi hi hi...! Apa katamu, Bocah" Kau ingin menyerakahi buruanku"!" leceh Banghadur Gupta.
"Rajawali itu bukan milikmu! Lepaskan dia!" bentak pemuda itu.
"Lepaskan"! Hi hi hi...! Gila! Susah payah aku mengakalinya, tiba-tiba datang bocah tolol menyu?ruh lepaskan! Hi hi hi...! Bocah! Jangan campuri urusan orang. Pergilah kau sebelum aku naik darah! Biasanya aku tak pernah mengampuni orang. Tapi kali ini hatiku sedang senang. Pergilah sebelum aku berubah pikiran!"
"Lepaskan rajawali itu, maka aku tidak akan mengusikmu!" gertak pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Bah! Setan alas! Ternyata otakmu degil juga! Rupanya perlu memberi pelajaran padamu, he"!"
Selesai kata-katanya, seketika Banghadur Gup?ta menghentakkan sebelah telapak tangannya yang terkembang ke depan.
Wuusss...! Seketika melesat cahaya kuning menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan ganas.
"Hup!"
Rangga melompat ke samping, namun aneh! Cahaya kuning itu berbelok mengikutinya. Begitu juga ketika Rangga mencelat ke atas. Ke mana saja Rangga bergerak menghindar, cahaya itu terus mengikutinya.
"Sial! Hup...!"
Rangga bersalto ke belakang beberapa kali untuk membuat jarak.
"Ha ha ha,..! Kau kira bisa melarikan diri" Cahaya itu akan mengejar ke mana pun kau pergi. Meski ke akhirat sekali pun!" teriak Banghadur Gupta sambil tertawa keras.
Begitu menjejak tanah, Rangga memasang kuda-kuda kokoh. Kedua tangannya cepat digosok-gosok, lalu diletakkan di sisi pinggang. Begitu sinar kuning itu mendekat, cepat kedua tangannya menghentak ke depan.
"Aji 'Guntur Geni'...! Heaaa...!"
Seketika dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti melesat cahaya merah, memapak cahaya ku?ning yang menyerangnya.
Blarrr! "Uhh, kurang ajar!"
Banghadur Gupta murka seraya melompat ke belakang ketika terdengar ledakan. saat sinar kuningnya terpapak. Kali ini Penyihir Sakti Dari Beng?gala meluruk tajam, melepaskan hantaman.
Siuuttt! Namun sambil memutar tubuhnya, Pendekar Rajawali Sakti cepat mengibaskan tangannya.
Wuuutt! "Sial!"
Sambil memaki, Banghadur Gupta melompat seraya menjatuhkan diri. Dan Rangga tak memberi kesempatan. Langsung dicecarnya laki-laki itu.
"Gila! Brengsek...!" Banghadur Gupta terus memaki sambil menghindari terjangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Suiiittt...!"
Sambil menghindar, tiba-tiba saja Penyihir Sak?ti Dari Benggala bersuit nyaring. Seketika terjadi keanehan. Rajawali Putih yang. sejak tadi diam memperhatikan, mulai menggetarkan bulu-bulunya. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti, sudah meng?hentikan serangannya.
"Ayo! Kau kuberi kesempatan padamu mengabdi padaku! Serang dia...!" teriak Banghadur Gup?ta.
"Kriegkh...!"
Rangga tersentak, melihat Rajawali Putih menggetarkan bulu-bulunya semakin kencang. Dan perintah Banghadur Gupta pun belum terlihat hasilnya.
"Serang dia...! Kau berada di bawah perintahku! Ayo, serang dia...!" bentak Penyihir Sakti Dari Benggala sekali lagi.
"Rajawali! Jangan dengarkan kata-katanya! Pergilah selagi masih ada kesempatan! Jangan dengar kata-katanya...!" teriak Rangga.
"He he he...! Kau kira dia akan menurut padamu?" leceh Banghadur Gupta.
"Kau tidak berhak menguasainya, Kisanak!"
"Hi hi hi...! Aku Banghadur Gupta! Raja penyihir yang amat sakti. Apa pun yang kuinginkan akan tercapai. Tidak akan kubiarkan bocah sepertimu menggagalkannya!"
"Kau boleh berbuat apa saja. Tapi menguasai burung ini jangan harap bisa! Aku akan menghalanginya!"
"Kau tak cukup kuat untuk menghalangiku, Nak..!" ejek Banghadur Gupta.
Begitu selesai kata-katanya, Raja Penyihir Dari Benggala bersiul beberapa kali. Dan....
Wherrr...! "Hei, apa ini"!" desis Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti benar-benar heran saat telinganya mendengar banyak sekali suara berkelebat dari berbagai arah. Tubuhnya cepat berputar, mencoba melihat apa yang terjadi.
"Astaga...! Sihirkah ini"!" desis Rangga kaget.
? *** ? Di sekitar Pendekar Rajawali Sakti kini dipenuhi belalang dari berbagai macam bentuk, kalajengking, kelabang berbisa, dan segala jenis binatang yang ada di gunung ini. Serentak mereka menyerang pe?muda itu.
Wuut! "Uhh...! Sialan...!"
Rangga kerepotan mengibaskan tangannya ke sana kemari. Beberapa ekor belalang dan burung berpentalan terbabat tangannya. Namun karena jumlah mereka ratusan, maka sulit baginya untuk menghalau semua serangan. Tubuhnya mulai sakit-sakit dipatuk hewan-hewan itu. Masih untung tu?buhnya kebal racun. Kalau tidak, dia akan mati kejang sejak tadi.
"Nih! Ku tambahkan kalau masih kurang!" seru Banghadur Gupta seraya melambaikan sebelah ta?ngan.
Seketika dari segala penjuru keluar berbagai macam hewan. Semua itu sebenarnya hanya sihirnya belaka untuk merepotkan Pendekar Rajawali Sakti.
Dan....., memang Rangga sedikit termakan!
Dalam keadaan kacau-kacau seperti sekarang, pikiran Pendekar Rajawali Sakti tidak terpusat ke satu masalah. Hewan-hewan sihir ciptaan Bangha?dur Gupta membuatnya harus bekerja lebih keras untuk menghindar. Padahal serangan segala hewan itu hanya tipuan belaka.
Sementara Banghadur Gupta tertawa-tawa. Betul-betul menikmati pemandangan itu.
"Hi hi hi..,! Ingin kulihat sampai di mana tenagamu. Apa kau mampu menghadapi mereka semua" Ayo, kerahkan seluruh tenagamu sampai kau mati lemas! Hi hi hi...!" teriak Penyihir Sakti Dari Benggala.
"Hiyaaa...!" Rangga menggeram marah.
Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat mundur untuk mencari tempat kosong. Begitu menjejak tanah, kedua tangannya menghentak ke arah Banghadur Gupta.
"Aji 'Bayu Bajra'! Heaaa...!" bentak Rangga nyaring.
Wuerrr...! Dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti seketika menderu angin dahsyat laksana badai topan. Tujuan utamanya sudah jelas, pengaruh sihir Banghadur Gupta!
"Eits! Kunyuk buduk! Hebat juga kau, ya!" umpat Banghadur Gupta seraya berkelit ke bela?kang.
"Hiyaaa...!"
Rangga kembali menghentakkan kedua ta?ngannya, membuat Penyihir Sakti Dari Benggala pontang-panting. Pada saat yang sama, hewan-hewan itu terus menyerangnya.
"Hi hi hi...! Ayo kuras kemampuanmu!" ejek laki-laki dari India itu, masih sempat-sempatnya mengejek.
Selesai berkata begitu, Banghadur Gupta ber?suit nyaring.
"Suiittt..!"
Saat itu juga satu persatu hewan-hewan yang tadi mengerubuti Rangga kembali ke tempat masing-masing.
Kini mereka berdua saling berhadapan. Bang?hadur Gupta berada di samping Rajawali Putih sam?bil tersenyum-senyum.
"Kau akan berkelahi dengannya!" tunjuk Bang?hadur Gupta, membuat Rangga terkesiap.
"Ketika kau tengah kerepotan menghadapi anak buahku, aku telah berhasil menguasainya. Kini kau akan melihat sendiri kehebatannya!"
Setelah berkata begitu, Banghadur Gupta menoleh pada Rajawali Putih tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Ayo, serang dia! Perlihatkan padaku kehebatanmu! Serang dia!" perintah Penyihir Sakti Dari Benggala.
"Kraaagkh...!"
Rajawali raksasa itu memandang tajam ke arah Pendekar Rajawali Sakti sambil berteriak nyaring. Kemudian kedua sayapnya cepat mengepak.
Wuutt...! Sekali kepak, Rajawali Putih melesat cepat. Kedua kaki kokoh ini hendak menyambar Rangga.
"Uts!"
Bukan main kagetnya Pendekar Rajawali Sakti melihat keadaan itu. Buru-buru dia menjatuhkan diri, sehingga tubuhnya luput dari cengkeraman. Begitu bangkit, Pendekar Rajawali Sakti masih terpana melihat Rajawali Putih terpengaruh oleh daya sihir. Sebelum keterpanaannya lenyap, Raja?wali Putih telah menukik deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Rajawali, hentikan! Hentikaaan...!" bentak Rangga garang.
Suara Pendekar Rajawali Sakti bergema nya?ring disertai pengerahan tenaga dalam kuat. Bahkan Banghadur Gupta pun sampai kaget.
Sementara itu Rajawali Putih yang menukik, mendadak membelok ke angkasa. Dia berputar-putar seperti kebingungan karena tak tahu harus berbuat apa.
"Rajawali! Kau adalah orangtua keduaku...! Tidak mungkin kau menyerangku! Jangan biarkan orang lain mempengaruhimu!" lanjut Rangga.
Tapi Banghadur Gupta pun tidak tinggal diam melihat keadaan itu. Dia memandang tajam ke arah Rajawali Putih.
"Ayo, serang dia! Seraaang...! Kau ada di bawah pengaruhku! Serang dan habisi dia...!" teriak Banghadur Gupta.
"Kreaaagkh...!"
Rajawali Putih mengeluarkan suara memekakkan telinga, dan masih berputar-putar kebingungan.
"Ayo, serang dia..,!"
'Tidak! Kau tidak bisa menyerangku! Kau adalah jiwaku, Rajawali Putih,. Meskipun aku mati, mestinya kau tidak menyerah. Apalagi saat ini aku tidak menyerah. Kau tak boleh kalah, Rajawali Putih! Dengar kata-kataku! Kau tak boleh tunduk padanya!" teriak Rangga, disertai pengerahan tenaga batin yang kuat.
"Kreaaagkh...!"
Rajawali Putih mendadak menjerit. panjang melengking, sebelum Banghadur Gupta berteriak mempengaruhinya. Lengkingannya tajam, menggetarkan sukma. Bahkan lengkingan itu seperti khusus ditujukan pada Banghadur Gupta sampai-sampai tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan kedua tangan mendekap telinga.
"Kreaaagkh,,.!"
Rajawali. Putih kembali berteriak melengking. Dan secepat kilat tubuhnya. meluncur turun. Seketika disambarnya tubuh Banghadur Gupta. Rupanya ikatan batin dengan Rangga, membuat Rajawali Putih tersadar dan bebas dari pengaruh sihir Pe?nyihir Sakti Dari Benggala.
Tap! *** Banghadur Gupta terkesiap sungguh tak di sangka kalau burung itu bisa membebaskan diri dari pengaruh sihirnya. Dia berusaha menghindar. Na?mun kedua cakar hewan itu lebih cepat mencengkeram tubuhnya kemudian membawanya terbang ke angkasa.
"Aaa,... Grr..., tolong...! Turunkan aku! Turunkan aku binatang tolol! Turunkan...!"teriak Bang?hadur Gupta, geram.


Pendekar Rajawali Sakti 209 Memburu Rajawali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun bukannya turun, Rajawali Putih malah membawa tubuhnya terbang semakin tinggi ke atas.
"To..., tolong...! Toloong..," teriak Banghadur Gupta dengan tubuh gemetar ketakutan.
Penyihir Sakti Dari Benggala makin pucat ketika melihat puncak gunung di bawah menjadi se?makin kecil. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti bagaikan menjadi titik kecil. Meski memiliki ilmu meringankan tubuh kelas tinggi, tidak nantinya bakal selamat bila dilempar dari ketinggian sekarang.
"Hei, turunkan aku! Tolong turunkan aku!"
Saran Banghadur Gupta tidak lagi garang se?perti tadi, meski masih menyimpan keangkuhan. Namun Rajawali Putih seperti tak mempedulikan. Dia terus melesat pada ketinggian yang membuat Banghadur Gupta lemas tak berdaya karena kehilangan semangat hidup. Dalam ketinggian seperti sekarang, kalau tubuhnya dilepaskan, maka tak ada kesempatan lagi untuk hidup.
Sementara itu Rangga memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan sahabatnya.
"Rajawali Putih tengah mengamuk! Dia tentu akan menghabisi orang asing itu karena telah coba mempengaruhinya...," gumam Rangga, pelan.
"Tolong.... Tolong selamatkan dia...."
"Hei"!"
Rangga cepat menoleh ketika terdengar suara dari belakangnya.
"Malini" Aduh, maaf! Aku sampai melupakanmu. Kenapa kau" Habis menangis lagi?"
Rangga buru-buru menghampiri. Tampak pipi sosok yang ternyata Malini masih basah oleh air mata. Gadis ini tadi memang segera mengikuti Rangga, setelah ditinggal dalam keadaan ketakut?an. Dan dia cepat bersembunyi, ketika melihat Rangga bertarung dengan hewan-hewan yang dikendalikan seorang laki-laki setengah baya.
"Kakang Rangga, tolonglah. Kau tak boleh membiarkannya mati. Tolong, Kakang Rangga! Ja?ngan biarkan dia mati!" ratap Malini, membuat kening Pendekar Rajawali Sakti berkerut.
"Malini, apa maksudmu" Dia hendak mempe?ngaruhi sahabatku. Dan sekarang burung itu marah, lalu akan balas dendam. Apa maksudmu" Kau kasihan padanya?" tanya Rangga.
"Lebih dari itu...," keluh Malini.
"Apa?"
"Dia..., dia ayahku...," sahut Malini sambil menunduk. Suaranya terdengar lirih. "Tadi aku sempat memperhatikannya di tempat persembunyian...."
"Kau yakin" Waktu itu kau masih kecil. Dan...."
"Ciri-ciri ayahku masih tetap kuingat, Kakang!" potong gadis itu. "Ayahku memang ahli sihir. Dan yang terpenting..., dia menyebutkan namanya. Kalau tak salah, Banghadur Gupta...."
Rangga tak tahu mesti berkata apa. Dia menghela napas, lalu mendongak ke atas. Lalu....
"Suiittt...!"
Suitan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam kuat seperti menggema, menembus angkasa dan sampai ke telinga Rajawali Putih.
Saat itu juga terlihat Rajawali Putih menukik turun dengan deras sekali. Banghadur Gupta yang setengah sadar sampai-sampai menutupkan mata karena ngeri. Tahu-tahu...
Bruk! Pada jarak dua tombak, tubuh Banghadur Gupta dilemparkan begitu saja ke dekat Rangga. Pendekar Rajawali Sakti memberi isyarat dan Ra?jawali Putih kembali melesat ke angkasa.
"Oh..!, oh...!"
Banghadur Gupta menarik napas panjang. Lega. Lalu kepalanya mendongak ketika melihat se?orang gadis tegak berdiri di depannya. Perlahan-lahan dia bangkit dengan wajah terkesima.
"Mayang Putih"! Kaukah itu" Astaga! Apakah aku tidak bermimpi"!"
Banghadur Gupta mengucek-ngucek matanya beberapa saat. Namun gadis di depannya masih ju?ga terlihat.
"Tidak! Tidak mungkin! Ini pasti sihir! Kau bu?kan Mayang Putih istriku!" teriak Penyihir Sakti Dari Benggala sambil mundur beberapa langkah.
"Syukurlah.... Jadi kau masih mengenali Ibu...," desah Malini.
"Apa katamu" Ibu?" tukas Banghadur Gupta.
"Mayang Putih adalah ibuku. Dan ayahku ada?lah, Banghadur Gupta," jelas Malini seraya menggigit bibir menahan agar air matanya tidak tumpah lagi
"Kau.... kau Malini" Kau Malini"!" Banghadur Gupta meyakinkan.
"Benar, Ayah. Aku Malini, putrimu yang kau tinggalkan waktu berusia sekitar lima tahun...," sahut Malini.
"Malini, Anakku...!" jerit Banghadur Gupta.
Saat itu juga, anak-dan ayah tenggelam dalam keharuan. Dan bagai ada besi semberani yang berbeda kutub, mereka sating berpelukan. Isak tangis Malini kontan meledak. Sementara penyesalan Banghadur Gupta menjelma dalam air mata yang meleleh membasahi pipi.
"Maafkan Ayah, Nak. Ayah tak bermaksud menyia-nyiakan kalian...," ucap Penyihir Sakti Dari Benggala.
Malini diam tak menjawab. Bahkan ketika mereka usai melepaskan kerinduan masing-masing.
"Wajahmu mirip sekali dengan ibumu, Ke ma?na dia sekarang?" tanya laki-laki kurus itu seraya mengangkat dagu putrinya.
Malini diam tak menjawab. Hanya air matanya yang tak berhenti meleleh. Banghadur Gupta mengusapnya dengan wajah kasih.
"Menangislah kalau memang itu baik bagimu. Ayo, kita tinggalkan tempat ini. Dan setelah itu, kau harus cerita banyak. Juga, antarkan aku pada ibumu," pinta Banghadur Gupta mengajak gadis itu menuruni lereng.
"Sebentar...!"
Malini berhenti. Kepalanya cepat menoleh ke belakang. Matanya mencari-cari sesuatu, namun tak ditemukannya.
"Pemuda itu?"
Malini mengangguk.
"Dia kekasihmu?"
Malini tak menjawab. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Namun tak ada yang bisa dikerjakannya, selain menuruni lereng gunung ini. Karena, Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat cepat meninggalkan mereka berdua.
? ? SELESAI ? ? ? PENDEKAR RAJAWALI SAKTI
Segera muncul: MISTERI WANITA BERTOPENG
? ? ? ? Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Aura PandRa
? https://www.facebook.com/pages/Dunia-Abu-Keisel/511652568860978
www.duniaabukeisel.blogspot.com
Pendekar Rajawali Sakti
?"?"?"" ?"" Pendekar Rajawali Sakti
?"?" ? 2017 Pendekar Bloon 12 Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin Peristiwa Merah Salju 12

Cari Blog Ini