Ceritasilat Novel Online

Pedang Kilat Buana 1

Pendekar Rajawali Sakti 201 Pedang Kilat Buana Bagian 1


. 201. Pedang Kilat Buana ~ Bag. 1-3
29. Juni 2015 um 14:14
1 ? "Hajar!"
"Bunuh Pendekar Belalang!"
Suara-suara teriakan penuh hawa amarah terdengar keras, tertuju pada seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya tegap terbungkus pakaian ketat serba putih. Dia dikelilingi oleh laki-laki berpakaian serba hitam dengan lambang bergambar tengkorak di punggung. Dengan senjata terhunus, para pengepung siap melenyapkan laki-laki berpakaian serba putih yang dipanggil Pendekar Belalang.
"Kalian jangan bertindak tolol! Jangan membabi-buta. Percayalah! Apa yang kalian inginkan tidak ada padaku. Apakah jawabanku kurang jelas?" kilah Pendekar Belalang.
"Lidah tidak bertulang, Pendekar Belalang. Siapa percaya bualanmu?" sahut seorang laki-laki berusia setengah baya kepala botak, namun jenggotnya begitu lebat.
"Baiklah! Agaknya kalian sukar diajak bicara baik-baik. Kalau itu yang kalian inginkan, aku akan membuka jalan darah demi menyelamatkan selembar nyawaku!" jawab Pendekar Belalang.
"Pendekar Belalang! Aku Sura Medal. Dan aku adalah manusia yang suka memegang janji. Jika kau serahkan senjata itu padaku, maka kau akan kubiarkan pergi!" bujuk laki-laki botak yang berjenggot panjang.
"Huh...! Sudah kukatakan, warangkanya saja aku tidak punya. Apalagi senjatanya!" bantah Pendekar Belalang.
"Omong kosong! Bunuh dia...!" teriak laki-laki berjenggot panjang bernama Sura Medal.
Perintah itu ternyata sangat berpengaruh bagi sepuluh orang laki-laki berbaju hitam lainnya. Serentak mereka menerjang Pendekar Belalang dengan berbagai jenis senjata di tangan.
"Hiyaaa...!"
"Haiiit!"
Disertai teriakan-teriakan keras, mereka segera menghujani Pendekar Belalang dengan babatan maupun tusukan senjata. Namun, agaknya laki-laki berpakaian putih itu tak bisa dianggap sembarangan. Dengan loncatan-loncatan tubuhnya yang seperti belalang, semua serangan berhasil dihindari.
Setelah berhasil menghalau serangan-serangan, kini giliran Pendekar Belalang yang melakukan serangan balik. Akibatnya tentu sangat berbahaya bagi orang-orang berpakaian serba hitam ini. Mereka berpelantingan terkena hantaman Pendekar Belalang.
"Mampus kalian semuanya! Hiyaaa...!" teriak pemuda berbaju putih itu.
Dengan gerakan-gerakan sangat aneh lagi kacau, Pendekar Belalang menerjang ke arah para pengeroyok. Kedua tangannya meluncur deras ke depan menghantam ke dada lawan-lawannya yang terdekat.
Des! Des! "Aaa...!"
Dua orang berpakaian serba hitam dengan gambar tengkorak di punggung langsung terpelanting roboh. Tenggorokan mereka berlubang, terkena ujung jari Pendekar Belalang. Sedangkan bagian dada mereka amblas.
Melihat kenyataan ini laki-laki botak berjenggot panjang yang jadi pimpinan menjadi sangat marah. Senjatanya yang berupa tombak pendek dengan mata dari baja lengkung seperti bulan sabit. Seketika senjata itu dikibaskan ke bagian perut Pendekar Belalang.
Namun pemuda itu segera melenting ke udara seraya berjumpalitan. Ketika tubuhnya meluncur deras ke bawah, kedua tangannya menghantam punggung Sura Medal.
Desss! "Herkh...!"
Laki-laki botak itu jatuh tunggang langgang. Tulang punggungnya patah. Dan lebih mengerikan lagi, Pendekar Belalang yang telah mendarat telah meluncur dengan kaki terjulur ke arahnya. Sementara, pimpinan orang-orang berpakaian hitam itu yang masih jatuh telungkup, tidak sempat lagi menghindari. Dan.... Krak!
"Huaagkh...!"
Disertai teriakan kesakitan, Sura Medal meregang nyawa. Dari hidung, mulut serta bagian telinganya, meneteskan darah. Tidak lama kemudian, tubuhnya terdiam untuk selama-lamanya.
"Huh! Untuk orang-orang yang tidak tahu urusan yang sebenarnya, memang tidak ada yang lebih baik selain kematian!" dengus Pendekar Belalang.
Melihat pimpinannya tewas, sisa orang-orang berpakaian serba hitam tak ada yang berani menyerang lagi. Perlahan-lahan, mereka mundur teratur, lalu berbalik melarikan diri.
Sementara Pendekar Belalang menghela napas lega. Kemudian perjalanannya yang sempat tertunda dilanjutkan.
Senja baru saja jatuh di ufuk barat. Matahari tak lagi menampakkan kegarangannya, setelah sejak tadi pagi menunaikan tugasnya menyinari mayapada ini. Sinar merah jelaga di kaki bukit sebelah barat, tak menyurutkan langkah-langkah orang yang hendak berkunjung ke kota Kawunganten.
Kota ini memang tampak selalu ramai, karena memang bisa disinggahi dari empat penjuru. Banyak kaum pedagang singgah di sini bila ingin melanjutkan ke kotaraja. Maka tak heran kalau di kota ini banyak pula kedai makan, serta rumah penginapan. Bahkan kaum persilatan biasanya singgah barang satu atau dua malam bila sedang bepergian jauh.
Sementara itu di sudut kota, tampak sebuah kedai besar yang ramai oleh pengunjungnya. Rupanya pelayan kedai yang terdiri dari gadis-gadis cantik merupakan daya tarik tersendiri bagi para tamu.
Saat ini di dalam warung, tepatnya di sudut belakang tampak seorang gadis berbaju merah tengah menikmati tuak keras yang tersedia di atas meja. Ada sepuluh bumbung tuak dan semuanya sudah kosong. Mata gadis itu sendiri telah berwarna merah dan agak sayu, pertanda sudah mulai mabuk.
Apa yang dilakukan gadis berikat kepala kain merah ini memang hampir tidak masuk akal. Sebab, laki-laki dewasa saja bila telah menghabiskan satu bumbung tuak keras, pasti akan mabuk. Jangankan lagi sampai sepuluh bumbung. Pemilik kedai sendiri tampak tercengang, melihat cara gadis baju merah minum tuak yang kelihatannya seperti minum air putih saja!
"Hei..., anak-anak manis! Tolong disediakan lima bumbung lagi. Mungkin sebentar lagi aku kedatangan tamu. Dan semua tamuku orang gila. Hi hi hi...!" ujar gadis itu disertai tawa.
Pelayan langsung menghidangkan apa yang dipesan gadis berbaju merah ini. Begitu pesannya datang segera disambarnya. Lalu....
Gluk! Gluk...! "Hi hi hi...! Semakin banyak minum, badanku semakin ringan. Aku seperti terbang melayang-layang di angkasa biru! Hi hi hi...!" kata gadis baju merah itu tertawa sendiri.
Tentu saja ulah gadis ini menjadi pusat perhatian para pengunjung kedai. Namun sikapnya terlihat acuh saja.
Baru saja gadis ini menghabiskan satu bumbung tuak, muncul orang laki-laki tua berambut putih berjenggot hitam. Segera dihampirinya meja gadis berbaju merah. Kemudian tanpa bicara apa-apa, diambilnya sebumbung tuak yang terletak di atas meja.
Gluk! Gluk! Gluk!
"Enaaak..., ha ha ha...! Enak. Hmm.... Benar-benar nikmat...!" kata laki-laki tua itu sambil menyeka mulutnya yang basah oleh cairan tuak keras.
"Enak ya" Apalagi kalau tuak itu hasil mencopet milik orang lain. Kau memang tua bangka kurang ajar, Raja Pencopet!" dengus gadis berbaju merah itu sewot.
Namun lucunya gadis itu terus tertawa-tawa sambil meneguk tuaknya. Dan yang diejek pun ternyata tidak marah. Malah, ikut tertawa pula seperti orang gila.
"Kau sudah mabuk, Dewi Pemabuk. Kalau aku membantumu supaya mabuk juga, kurasa tidak ada salahnya. Jadi, kita sama-sama mabuk!" celoteh Raja Pencopet disertai tawa.
"Huh! Kau tidak pantas menjadi seorang pemabuk. Wajahmu kulihat hanya menjanjikan rasa putus asa. Tampangmu tidak meyakinkan. Kau hanya pantas menjadi Raja Copet! Hi hi hi...!"
"Jangan begitu, Dewi Pemabuk. Nanti ku kemplang kepalamu!" dengus Raja Pencopet.
"Coba kalau kau mampu! Aku jadi ingin lihat, apakah semakin tua kau tidak semakin pikun?" ejek gadis baju merah yang ternyata berjuluk Dewi Pemabuk.
"Lihatlah! Heaaa...!"
Disertai desisan lirih, Raja Pencopet melompat ke depan. Tangannya terjulur meliuk-liuk bagaikan ular. Di lain saat tangannya telah menarik lepas ikat kepala gadis.
Namun diawali liukan yang serampangan, Dewi Pemabuk menggerakkan salah satu bumbung tuak yang masih penuh. Isinya tertuang di mulut Dewi Pemabuk, sedangkan ujung bumbung mengancam kepala Raja Pencopet. Kalau Dewi mau, tentu kepala Raja Pencopet sudah berantakan terhantam bumbung tuak.
"Bagaimana" Apakah kau masih ingin mencoba?" leceh Dewi Pemabuk.
"Ha ha ha...! Kita masih tetap seimbang. Kita tidak perlu pamer kehebatan. Sebaiknya, kita duduk-duduk saja. Mungkin kita akan kedatangan tamu," ujar Raja Pencopet.
"Itukah tamu yang kau maksudkan?" tanya Dewi Pemabuk sambil melirik dengan sudut matanya.
Di depan pintu ternyata telah berdiri seorang laki-laki tua berbaju hitam penuh tambal-tambalan. Wajahnya kusam berselimut debu. Sorot matanya terlihat letih. Tangannya memegang sebuah tongkat hitam berkilat Bibirnya yang tertutup kumis serta jenggot, hampir tanpa senyum sama sekali.
*** "Mau pesan apa, Kisanak?" tanya seorang gadis pelayan kedai pada laki-laki tua berpakaian hitam penuh tambalan.
"Aku ingin berpesan padamu, agar kedua gembel yang sedang mabuk itu diusir dari kedai ini!" jawab laki-laki tua berpakaian tambalan, begitu mengejutkan.
Gadis itu terkesiap. Disadari, siapa laki-laki berpakaian tambal-tambalan ini. Laki-laki tua yang tidak lain Dewa Pengemis ini adalah pelanggan kedai ini. Di pihak lain dia juga menyadari siapa kakek dan gadis yang sedang menikmati tuaknya. Mereka semua pelanggan di kedai ini dan juga sama-sama mempunyai kepandaian tinggi.
"Aku tidak berani melakukannya, Kisanak!" tolak gadis pelayan dengan suara bergetar.
Perlahan laki-laki tua berikat kepala hitam ini memandang tajam pada gadis pelayan itu. Matanya tampak bengis. Ini cukup mengejutkan bagi gadis itu karena pada hari-hari sebelumnya Dewa Pengemis tidak pernah bersikap seperti itu.
"Kau bilang tidak bisa mengusir kedua kucing kurap itu" Biar kutunjukkan bagaimana caranya!" dengus Dewa Pengemis.
Sekarang perhatian laki-laki tua berbaju serba hitam itu tertuju pada Raja Pencopet dan Dewi Pemabuk. Lalu tanpa kelihatan sama sekali, kakinya menjejak lantai di bawah meja.
Duk! Apa yang dilakukan Dewa Pengemis sangat pelan. Namun keanehan di meja Dewi Pemabuk segera terjadi. Bumbung-bumbung tuak di atas saja tiba-tiba terangkat tinggi-tinggi. Kemudian satu demi satu bumbung-bumbung itu melayang meninggalkan meja.
"Weit! Gila betul! Bumbung-bumbung milikmu dibawa pergi oleh tuyul, Dewi! Rupanya tuyul itu tidak punya uang untuk mabuk, sehingga melarikan tuak milikmu!" leceh Raja Pencopet disertai senyum.
"Ini pemandangan indah. Ada bumbung terbang. Aih! Sungguh hebat!" desis Dewi Pemabuk, bernada meremehkan.
Wanita ini menggeleng-gelengkan kepalanya. Hebatnya, bumbung-bumbung yang mengambang di udara ikut bergoyang ke kiri dan kanan. Jelas, Dewi Pemabuk mengerahkan tenaga dalamnya saat menggelengkan kepalanya tadi.
"Wah, semakin hebat saja! Bumbung-bumbung itu bisa menari-nari. Rupanya tuyul suka menari, Dewi," kata Raja Pencopet.
Laki-laki tua ini tiba-tiba menggerakkan kakinya. Seketika angin kencang melesat dari telapak kaki Raja Pencopet. Dan secepat kilat gelombang angin itu menghantam delapan bumbung tuak yang mengambang di udara.
Prak! Baik bumbung-bumbung yang masih berisi maupun yang sudah kosong hancur berantakan terkena hantaman yang tidak terlihat tadi. Laki-laki tua berpakaian tambal-tambalan tadi tampak tercekat Sedangkan Dewi Pemabuk hanya tersenyum. Tapi, tatapan matanya berubah dingin.
"Tuyul biasanya berkepala gundul. Namun tuyul yang kulihat sekali ini tuyul kurang ajar dan sudah ubanan lagi! Apa keinginannya sehingga mengganggu ketenangan orang lain"!" dengus Dewi Pemabuk.
Ucapan Dewi Pemabuk membuat merah wajah Dewa Pengemis.
"Mulutmu kelewat tajam, Ararini. Kau pikir sedang bicara dengan siapa?" sahut kakek berbaju hitam.
"Hi hi hi...! Jika yang tua bangka tidak tahu peradatan, mengapa yang lebih muda harus bersikap hormat?" balas Dewi Pemabuk yang bernama asli Ararini tidak kalah sengit.
"Dewa Pengemis! Kau tidak biasanya mengganggu kesenangan orang lain. Mengapa sekarang suka usilan?" tegur Raja Pencopet.
"Hm.... Sebenarnya aku bukan membenci gadis pemabukan. Hm.... Kalau kau mau tahu, sebetulnya aku sebal melihat tampangmu!"
"Karena aku pencopet?"
"Ya...!" jawab Dewa Pengemis singkat
"Apa urusanmu" Pekerjaanmu sendiri lebih hina. Menadahkan tangan itu adalah pekerjaan yang sangat memalukan, dan dicemooh orang. Aku sendiri tidak pernah usil dengan urusan orang lain!"
"Jangan berbohong padaku. Aku tahu, apa yang telah kau lakukan. Dan kuharap, kau mengerti apa maksudku?"
Baik Raja Pencopet maupun Dewi Pemabuk sama-sama tercengang mendengar kata-kata Dewa Pengemis yang tidak ketahuan ujung pangkalnya.
"Kau bicara seperti orang gila. Merepet seperti kampret! Orang yang betul-betul gila sekalipun pasti tidak tahu arah ucapanmu!" cibir Raja Pencopet.
"Rupanya kau tetap berpura-pura tidak mengerti sebelum aku membuka kedokmu!" desis Dewa Pengemis. "Kau tentu kenal Empu Wasila bukan?"
"Tentu saja aku kenal. Orang tua terhormat itu telah menciptakan beratus-ratus jenis senjata yang sangat ampuh. Lalu, kenapa?" tanya Raja Pencopet.
Dewa Pengemis tidak langsung menjawab. Melainkan berdiri tegak dari atas bangku yang didudukinya. Matanya menatap tajam ke arah Raja Pencopet, seakan ingin melihat isi hatinya.
? *** "Seseorang telah melihatmu datang ke rumahnya, sebelum dia ditemukan tewas terbunuh!" jelas Dewa Pengemis.
"Aku tidak percaya Empu Wasila tewas. Siapa yang telah begitu tega membunuhnya?" desis Raja Pencopet tegang.
"Aku datang mewakili orang segolongan untuk bertanya padamu! Empu Wasila adalah orang yang paling berarti bagi semua golongan. Dia sahabatku. Itu sebabnya aku harus tahu, apa betul kau telah ke rumahnya semalam?"
"Sudah hampir satu purnama ini aku tidak ke rumahnya. Bagaimana bayangan sampai ke sana" Atau kau hanya mengada-ada, Dewa Pengemis?" tukas Raja Pencopet.
"Kurang ajar! Aku tidak sembarangan bicara. Dua hari lagi pembakaran mayatnya segera dilakukan. Satu hal yang harus dilakukan untuk menyatakan apakah kau bersalah atau tidak, kau harus mencari pembunuh Empu Wasila. Dan perlu kau ketahui juga, Raja Pencopet. Pedang Kilat Buana milik Empu Wasila hilang!"
"Gila! Pedang hilang, Empu Wasila tewas, mengapa jadi aku yang dibebani dalam mencari pembunuhnya?"
"Tentu saja. Sebab, jika pembunuhnya tidak didapatkan, maka kau akan digantung tokoh-tokoh dunia persilatan!" sahut Dewa Pengemis tegas.
"Menurutmu bagaimana, Dewi Pemabuk" Apakah ini adil?" tanya Raja Pencopet.
"Menurutku jelas tidak adil! Tua gembel itu dapat kabar dari siapa?" tanya Dewi Pemabuk.
"Aku mana tahu. Tanya saja sendiri padanya?" tukas Raja Pencopet seenaknya.
"Semua golongan di rimba persilatan ini mempunyai mata-mata. Aku tentu saja mengetahui kehadiranmu di rumah Empu Wasila dari mata-mata yang tidak pernah berpihak pada siapa pun!"
Kiranya Dewa Pengemis mendengar ucapan Dewi Pemabuk tadi. Sehingga disahutinya dengan suara keras.
"Raja Pencopet! Tampaknya tugasmu akan menjadi sangat berat. Ah, kasihan sekali. Tetapi terus terang, jika kau tidak berhasil menemukan orang yang telah mencuri Pedang Kilat Buana dan pembunuh Empu pandai besi, aku tidak akan membiarkan kau digantung oleh orang-orang dunia persilatan! Ha ha ha...!"
"Aku menyanggupi permintaanmu dalam mencari pembunuh Empu Wasila! Sekarang pergilah kau, Dombleh!" ujar Raja Pencopet.
"Baik. Kau harus datang ke Bukit Buana pekan yang akan datang!" ujar Dewa Pengemis sambil melangkah pergi.
? *** ? 2 ? "Berhenti!"
Dua puluh orang penunggang kuda berpakaian serba hitam dengan punggung berlambang tengkorak tersentak kaget, saat tiba di luar batas kota Kawunganten terdengar bentakan keras menggelegar. Di depan mereka telah berdiri seorang laki-laki berbaju serba putih dengan kepala memakai caping bambu. Tali kekang kuda mereka langsung ditarik, dan berhenti.
"Siapa kau"! Berani benar menghentikan kami"!" bentak penunggang kuda yang berada paling depan.
"Kalian sendiri siapa?" laki-laki bercaping bambu malah balik bertanya sambil bertolak pinggang. Wajahnya sebagian tertutup kain hitam, yakni pada bagian hidung sampai mulut.
"Huh! Rupanya kau tidak pernah melihat tingginya gunung di depanmu. Namaku Sentot Prawara, pemimpin perjalanan ini. Kami datang dari Padepokan Umbul Perkasa!" sahut laki-laki tegap yang duduk di atas punggung kuda dengan gagah.
Wajah di balik kain hitam itu tampak berubah kejam. Ada amarah membakar hatinya. Dan ini membuat geraham bergemeletukan.
"Jadi kalian murid-murid Padepokan Umbul Perkasa yang kesohor itu" Pantas, orang-orang begitu menaruh hormat pada kalian. Aku pun harus menghormati pada kalian!" kata laki-laki itu.
Apa yang dilakukan orang bercaping kemudian memang benar-benar seperti orang yang sedang menghaturkan sembah. Tubuhnya membungkuk. Sedangkan tangannya memegangi penatnya. Karena dalam keadaan membungkuk, tentu tak seorang pun yang tahu kalau laki-laki berbaju putih ini sedang mengambil sesuatu dari balik bajunya.
"Hiaaa...!"
Disertai teriakan keras, laki-laki bercaping itu menegakkan tubuhnya seraya mengibaskan tangannya ke depan. Seketika, tiga leret sinar biru, merah, dan kuning melesat menebas kaki-kaki kuda di depannya. Sedemikian cepat gerakannya, sehingga sulit diikuti oleh mata.
"Hieeekh...!"
Bruk! Bruk! Bruk!
Disertai ringkikan panjang sepuluh kaki kuda pada bagian depan terbabat putus oleh senjata di tangan orang bercaping itu.
Trek! Sebelum para murid Padepokan Umbul Perkasa sempat melihat bagaimana dan senjata apa yang dipergunakan laki-laki bercaping, senjata itu telah masuk kembali ke dalam warangka.
"Bangsat! Kau telah memotong kaki tunggangan kami! Apa kesalahan yang telah kami lakukan kepadamu?" tanya Sentot Prawara yang nyaris terpelanting dari atas punggung kudanya, namun cepat melenting dan mendarat ringan di tanah.
"Hik hik hik...! Kesalahan kalian, mengapa harus berguna pada Umbul Perkasa" Perlu kalian ketahui, guru kalian memiliki dosa-dosa kepadaku sebanyak buih ombak di lautan. Kalian harus menanggung semua kesalahan Umbul Perkasa dulu!" dengus laki-laki bercaping.
"Kau manusia gila! Guru kami orang yang sangat baik kepada siapa saja. Mustahil dia mempunyai dosa padamu!" bantah Sentot Prawara tidak senang.
Sementara itu, sembilan belas orang murid Padepokan Umbul Perkasa telah mengepung laki-laki yang wajahnya di balut kain hitam itu dari seluruh penjuru.
"Nanti jika telah kucukur semua koreng di badan gurumu, baru tahu siapa Umbul Perkasa!" dengus laki-laki bercaping itu geram.
Sentot Prawara jelas semakin berang saja mendengar ucapan laki-laki bercaping bambu ini. Apalagi penghinaan itu menyangkut diri guru mereka yang selama ini sangat dihormati. Tanpa banyak bicara lagi, segera diberinya isyarat pada adik-adik seperguruannya untuk menyerang laki-laki bertopeng kain itu.
"Heyaaa...!"
Disertai teriakan keras, lima orang murid segera menerjang ke depan. Tentu saja serangan mereka ini cukup berbahaya, karena terarah ke bagian-bagian tubuh yang mematikan. Apalagi, mengingat serangan tersebut datang secara bersamaan dan sangat cepat!
"Ciaaat!"
Tiba-tiba saja dengan gerakan cukup gesit namun terlihat aneh, orang bercaping telah melenting ke udara. Sehingga, serangan para murid padepokan itu saling menghantam sesamanya.
Brak! Kelima murid itu jatuh tunggang langgang. Masing-masing tangan mereka yang saling membentur hingga membengkak. Sambil menggeram marah, serentak mereka berdiri. Kemudian secara bersamaan pula melakukan serangan kembali.
Melihat kenekatan lawan-lawannya, laki-laki bercaping bambu ini segera memutar tubuhnya yang begitu cepat. Sehingga dalam waktu sekejap saja, dia telah lenyap dari pandangan. Ketika para pengeroyok terkesiap, laki-laki itu segera berkelebat cepat dengan tangan terjulur. Dan....
Tuk! Tuk! "Heh..."!"
Sentot Prawara terkejut bukan main. Lima orang saudara seperguruannya tahu-tahu berdiri tegak dengan badan kaku terkena totokan.
"Orang gila! Buka penutup wajahmu. Aku akan mengadu jiwa denganmu!" teriak Sentot Prawara.
Sebelum Sentot Prawara sempat bergerak, empat belas orang saudara seperguruannya yang lain telah menyerbu ke depan. Laki-laki bercaping bambu segera melompat mundur. Secepat kilat, dilepaskannya caping itu kemudian dilemparkan ke arah lawan-lawannya.
*** Sentot Prawara makin tersentak kaget, ketika tahu-tahu sebuah caping bambu telah melesat membelah udara, menimbulkan suara mendesing menyakitkan telinga. Lalu....
Cras! Crasss! "Aaa...!"
Caping bambu langsung merobek bagian perut serta dada para murid Padepokan Umbul Perkasa. Seketika, terdengar jeritan-jeritan menyayat hati. Darah menyembur dari luka-luka yang cukup mengerikan. Sementara caping bambu itu terus melayang-layang mencari sasaran.
Crok! "Aaa... Kembali terdengar suara jerit kematian di sana-sini yang disertai berpelantingannya tubuh-tubuh terluka.
Tetapi sebagai pimpinan perjalanan, kiranya Sentot Prawara tidak tinggal diam. Melihat saudara-saudara bergelimpangan roboh, laki-laki berbadan gemuk ini langsung mencabut senjatanya. Begitu melompat pedang bermata ganda ini langsung dikibaskan ke arah caping bambu yang meluncur deras ke arah kawan-kawannya.
Ternyata laki-laki yang menutupi sebagian wajahnya ini mempunyai tenaga dalam sempurna. Terbukti dengan sedikit menggerakkan tangannya saja, caping yang melayang-layang di udara melesat ke samping. Dan kali ini bukan menebas perut ataupun leher, tapi menotok urat gerak lawannya.
Tuk! Tuk! "Aagkh...!"
Beberapa pemuda berpakaian hitam dengan gambar tengkorak di punggung ini langsung kaku dan tidak dapat berbuat apa-apa. Melihat kenyataan ini, Sentot Prawara berusaha membebaskan kawannya. Namun, ternyata usahanya sia-sia saja. Bahkan caping itu telah melesat balik ke arah pemiliknya, lalu hinggap di kepala.
"Akan segera kau lihat, semuanya akan kujadikan patung yang tidak berarti sama sekali! Hiyaaa...!"
Diiringi teriakan merobek angkasa, laki-laki berpakaian putih itu melompat ke arah Sentot Prawara.
Sementara itu, Sentot Prawara segera mengibaskan pedangnya ke dua arah sekaligus. Maka seketika cahaya putih yang keluar dari pancaran pedang melesat ke arah laki-laki bercaping.
"Hup!"
Secepat kilat, laki-laki bercaping berguling-guling menyelamatkan diri. Karena Sentot Prawara tampaknya memang bermaksud membunuhnya. Maka seketika capingnya kembali dilemparkan ke arah Sentot Prawara.
Sing! Caping bambu itu meluruk, siap menghantam kepala. Namun, Sentot Prawara dengan gesit menangkisnya.
Trang! Terjadi benturan sangat keras, antara pedang dengan caping bambu.
Sentot Prawara mengeluh tertahan. Badannya terhuyung-huyung. Sedangkan tangannya seperti kesemutan. Hebatnya, caping bambu sama sekali tidak hancur atau terbelah. Pertanda laki-laki berkedok kain hitam ini telah mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi caping bambunya yang telah melesat dan kembali bertengger di kepalanya.
Sentot Prawara yang sempat merasakan kehebatan lawannya segera bersiap-siap melakukan serangan kembali. Tetapi sebelum sempat bertindak, laki-laki bercaping bambu itu telah terlebih dahulu menyerangnya.
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
Melihat kaki lawannya meluncur cepat ke bagian dada, Sentot Prawara segera menghantamkan pedangnya ke kaki. Namun secara tidak terduga, laki-laki berbaju putih itu menarik balik kakinya. Dan secepat kilat tangannya menotok pergelangan Sentot Prawara, dan disusul totokan pada bagian lainnya.
Tak! "Aaakh...!"
Sentot Prawara kontan menjerit keras. Selain tidak dapat menggerakkan tubuhnya, ternyata dari ujung rambut sampai bagian kakinya seperti ditusuk ribuan batang jarum.
Begitu mendarat, laki-laki berbaju putih dan bercaping bambu ini tampak bertolak pinggang sambil tersenyum dingin.
"Bagiku, kalian adalah kucing kurap yang tidak berarti sama sekali. Apalagi dengan adanya Pedang Kilat Buana di tanganku!" dengus laki-laki bercaping.
Mendengar orang itu menyebut Pedang Kilat Buana, sadarlah Sentot Prawara kalau laki-laki bercaping bambu inilah yang telah membunuh Empu Wasila.
Memang, sebenarnya Sentot Prawara dan murid-murid Padepokan Umbul Perkasa lainnya, ditugasi oleh guru mereka untuk mencari pembunuh Empu Wasila. Ketua Padepokan Umbul Perkasa sebenarnya juga punya hubungan baik dengan empu pembuat pedang yang dikenal sebagai Pedang Kilat Buana.
Begitu mendengar Empu Wasila tewas terbunuh dan Pedang Kilat Buana hilang, Umbul Perkasa segera mengutus beberapa muridnya. Namun setelah sekian lama, tak seorang murid pun yang kembali, walau hanya sekadar bertanya saja. Maka, Ketua Padepokan Umbul Perkasa kembali mengutus murid-murid yang dipimpin Sentot Prawara. Sampai akhirnya, mereka bentrok dengan laki-laki bercaping bambu itu.
"Hm.... Jadi kau yang telah mencuri pedang itu. Sungguh orang-orang rimba persilatan tidak mungkin sudi mengampuni jiwamu!" dengus Sentot Prawara.
"Ha ha ha...! Aku tidak pernah minta ampun siapa pun. Dan semua orang tidak akan pernah tahu, siapa yang telah mencuri Pedang Kilat Buana atau membunuh Empu Wasila!" sahut laki-laki bercaping bambu tersebut.
Kemudian tanpa menghiraukan ucapan Sentot Prawara, laki-laki bercaping itu menghampiri beberapa ekor kuda yang terkapar. Diambilnya beberapa gelung tali. Setelah itu, dibuatnya beberapa simpul tali.
"Aku merasa bangga pada kalian. Tali-tali ini akan menjerat leher kalian satu demi satu!" dengus laki-laki bercaping, setelah menyelesaikan pekerjaannya.
"Keparat kau! Lebih baik bunuh saja kami!" teriak Sentot Prawara mulai kalap.
"Pada akhirnya, permintaanmu itu memang kupenuhi. Tetapi sebelum itu, kalian harus merasakan siksaan yang akan kulakukan!"
"Kau bajingan busuk! Apa salah kami?" teriak salah seorang saudara seperguruan Sentot Prawara.
"Kesalahan kalian baru nanti diketahui setelah berada di alam kubur!" sahut laki-laki bercaping bambu seenaknya.
Laki-laki bercaping lantas menghampiri sebatang pohon yang banyak cabangnya. Bagian tali-tali itu diikatkan pada cabang pohon. Sedangkan bagian lainnya untuk menjerat leher para murid Padepokan Umbul Perkasa.
Satu demi satu, para murid itu menerima perlakukan yang teramat mengerikan. Mereka digantung. Ada yang dijerat lehernya, ada pula yang diikat kaki ke atas dan kepala di bawah.
"Ha ha ha...! Sekarang, kepada siapa kalian meminta tolong?" desis laki-laki berbaju putih ini dingin.
Laki-laki ini segera mengambil sebuah pisau. Dihampirinya Sentot Prawara yang kepalanya tergantung menghadap ke tanah.
"Kurang ajar kau! Kalau mau bunuh, jangan siksa kami dengan cara begini rupa!" teriak pemuda itu.
Buk! "Akh...!"
Sebuah tendangan keras menghantam kepala Sentot Prawara, sehingga membuatnya menjerit kesakitan.
"Pertama-tama akan kugores urat lehermu. Kemudian, matamu kucungkil. Sebelum kau melihat kegelapan di alam kubur, maka menjelang kematianmu kau sudah tidak dapat melihat apa-apa!" ancam laki-laki bercaping.
Sebelum Sentot Prawara sempat berkata apa-apa, pisau di tangan orang bercaping telah berkelebat
Crok! Crok! "Wuaagkh...!"
Sentot Prawara kembali menjerit. Tubuhnya menggeliat Pada saat itulah pisau yang telah berlumuran darah menghujam dan menyayat-nyayat tubuhnya. Darah mengucur deras dari luka-luka di tubuhnya. Tidak lama kemudian laki-laki itu tewas.
Perhatian laki-laki bercaping bambu ini segera beralih pada korban lainnya. Apa yang terjadi pada Sentot Prawara terjadi juga pada saudara-saudaranya yang lain. Sampai akhirnya tidak seorang pun yang tersisa. Dan pemandangan di situ tidak ubahnya seperti tukang jagal saja.
*** Beberapa hari kemudian seluruh tokoh rimba persilatan dikejutkan oleh pembantaian yang dihadapi. Namun hingga sampai saat ini, mereka memang tidak dapat berbuat banyak. Karena, mereka harus mengikuti upacara pembakaran jenazah Empu Wasila.
Pagi-pagi sekali Bukit Buana yang biasanya dalam keadaan sunyi, tampak ramai dipenuhi orang-orang penting dari rimba persilatan.
Di antara mereka yang hadir, terlihat Dewa Pengemis dan anggota kaum pengemis berjumlah tidak kurang dari lima belas orang. Kemudian terlihat pula murid-murid Padepokan Umbul Perkasa. Jumlah mereka lebih banyak dibanding yang lain-lainnya. Umbul Perkasa sendiri tidak berada di antara murid-muridnya. Dia memang turun langsung mempersiapkan upacara.
Dalam upacara itu hadir pula Dewi Pemabuk dan Raja Pencopet. Selain mereka, masih ada lagi beberapa orang sesepuh desa terdekat mewakili rakyatnya.
Tidak kurang dari sepemakan sirih lamanya, jenazah Empu Wasila yang terbungkus kain putih telah digotong keluar dan kemudian diletakkan di atas tumpukan kayu bakar. Seorang pendeta segera memberkati acara pembakaran mayat. Sampai akhirnya, api dinyalakan oleh seorang pemuda tampan berbaju putih.
Sekejap api segera membesar. Semakin lama api bertambah besar dan melahap apa saja yang terdapat di atasnya. Selain suara bergemeretaknya kayu bakar dan tulang-belulang yang mulai hancur, tidak terdengar suara apa-apa lagi.
Bau daging terbakar mulai menyengat hidung. Namun tidak seorang pun yang menghiraukan semua itu. Setiap wajah tampak tertunduk Beberapa saat setelah itu, api pun padam. Seorang pemuda berbaju putih segera mengambil guci. Abu jenazah Empu Wasila dikumpulkan, lalu dimasukkan ke dalam guci tadi.
Setelah itu pemuda berbaju putih berdiri tegak, tidak jauh dari tempat pembakaran mayat tadi. Pandangan matanya menyapu pada semua yang hadir di Bukit Buana.
"Kepada sesepuh dunia persilatan segolongan, dan juga pada saudara-saudara sekalian yang ikut menghadiri upacara ini. Aku, Pendekar Belalang, mewakili almarhum guruku Empu Wasila mengucapkan terima kasih atas kehadirannya. Kematian gunaku tentu membekas di hati kalian semua. Yang menyakitkan, dia dibunuh hanya karena pembunuh biadab itu menginginkan Pedang Kilat Buana. Sebuah pedang keramat yang betapa berbahayanya bila sampai jatuh ke tangan orang salah...!"
"Benar!" sahut salah seorang hadirin. Dia tidak lain adalah Umbul Perkasa. "Menurut Tri Gata Bayu, hari ini pembunuh Empu Wasila juga telah ditentukan. Kami jadi ingin melihat, siapa orangnya yang telah begitu tega membunuh orang yang sama-sama kita hormati!"
Suasana berubah menjadi hening. Dewi Pemabuk tampak gelisah. Sementara, laki-laki tua yang berada di sebelahnya telah mengeluarkan keringat dingin.
?"Kami ingin tahu, siapa orangnya. Dia harus digantung secepatnya di tempat ini juga!" sahut yang hadir, hampir bersamaan.
"Tenang, Saudara-saudara!" ujar Umbul Perkasa. "Empu Wasila adalah orang tua yang paling dekat dengan diriku! Mustahil aku berdiam diri melihat kematian orang yang telah kuanggap sebagai saudaraku sendiri! Pendekar Belalang pasti segera mengatakan pada kita, siapa orangnya!"
Perlahan Umbul Perkasa menoleh pada Pendekar Belalang, yang kemudian menganggukkan kepalanya.
"Aku tidak melihat langsung siapa yang telah membunuh guruku. Seseorang yang sangat kupercaya mengatakan padaku bahwa pembunuh dan pencuri Pedang Kilat Buana adalah seorang laki-laki tua berambut putih berjenggot hitam. Begitu berhati-hatinya dia sehingga tidak mau menyebut namanya!" jelas Pendekar Belalang, yang bernama asli Tri Gata Bayu.
Semua yang hadir di situ menjadi sangat terkejut Terkecuali, Dewa Pengemis. Karena orang dengan ciri-ciri yang seperti disebutkan Pendekar Belalang, itu berarti menuding pada Raja Pencopet!
? *** ? 3 ? Perhatian semua orang yang hadir di Bukit Buana sekarang terpusat pada Raja Pencopet yang berdiri di sebelah Dewi Pemabuk.
"Cepat katakan yang sebenarnya jika tidak ingin mampus digantung, Tukang Copet!" bisik Dewi Pemabuk dengan suara perlahan.
"Aku tidak melakukan apa-apa" Bagaimana orang-orang ini bisa menggantungku"!" tukas Raja Pencopet.
"Kau tolol sekali. Mungkin ada orang yang memfitnahmu. Atau, memang nasibmu lagi sial. Cepat bicara!" perintah gadis bernama Ararini ini tidak sabar lagi.
Sementara itu, Dewa Pengemis telah melompat ke tengah-tengah lapangan luas. Dia tampak bicara sebentar pada Pendekar Belalang, setelah itu berpaling pada Raja Pencopet.
"Raja Pencopet! Seperti yang pernah kukatakan padamu, kau harus mencari pembunuh Empu Wasila. Kau telah menyangkal tidak membunuh ahli pembuat senjata itu. Dan sekarang, ternyata kau tidak dapat menangkapnya. Karena, memang kau lah pembunuh Empu Wasila!" tegas Dewa Pengemis.
"Ucapanmu tidak beralasan," bantah Raja Pencopet. Selanjutnya matanya menatap nyalang pada Pendekar Belalang. "Tri Gata Bayu! Aku ingin bicara dengan orang yang telah mengatakan padamu, bahwa akulah orangnya yang telah membunuh Empu Wasila!"
Tri Gata Bayu menggelengkan kepalanya.
"Hari ini, dia tidak bisa datang kemari karena ada keperluan penting di Kartasura!" kilah Pendekar Belalang.
"Kalau begitu, aku tidak bisa percaya padamu! Boleh jadi memang ada orang lain yang sengaja memfitnahku!" bantah Raja Pencopet.
"Yang bicara padaku adalah saudaraku sendiri. Aku tahu hatinya. Mustahil dia berdusta!" tandas Pendekar Belalang.
"Saudara Umbul Perkasa! Kami tidak sabar menunggu keputusanmu. Kau orang yang paling berpengaruh di daerah timur ini, dan menjadi penentu setiap hukuman. Apa keputusanmu"!" selak Dewa Pengemis.
Umbul Perkasa mengelus-elus jenggotnya yang panjang. Tampaknya otaknya sedang berpikir keras untuk menentukan apa yang harus dilakukannya.
"Patut disayangkan kalau saudara dari Pendekar Belalang tidak ada di tempat Namun, segala-galanya cukup jelas. Sudah banyak korban yang berjatuhan karena Pedang Kilat Buana. Raja Pencopet memang bersalah!" tegas Umbul Perkasa.
"Lalu...?" tanya salah seorang sesepuh desa yang hadir.
"Dia pantas dihukum gantung!" tegas Umbul Perkasa memberi keputusan.
Raja Pencopet terkejut sekali mendengar keputusan itu. Matanya terbelalak dengan mulut ternganga lebar. Sekarang, mengertilah dia bahwa dirinya hanya korban fitnah seseorang. Tetapi, siapa yang telah begitu tega melakukannya"
"Kalian benar-benar bertindak tidak adil!" bentak Dewi Pemabuk dengan suara keras.
"Mengapa kau berkata begitu, Gadis Pemabukan?" tanya Umbul Perkasa, melecehkan.
"Raja Pencopet belum tentu bersalah. Jika saudara dari Pendekar Belalang tidak dapat dihadirkan, keputusan kalian terang-terangan kutolak! Dan aku akan menentang kalian semuanya demi menegakkan keadilan!" tegas Ararini.
"Bocah bau ingus! Kau tidak tahu apa-apa. Pengalamanmu baru seujung kuku. Kalau tidak mengingat nama besar Setan Pemabuk gurumu, mulutmu memang pantas ditampar!" bentak Dewa Pengemis geram.
Memang, Setan Pemabuk adalah tokoh dari wilayah barat Orang tua itu telah mengasingkan diri dari rimba persilatan. Dia disegani oleh lawan maupun kawan-kawannya, karena kepandaiannya yang sulit dijajaki.


Pendekar Rajawali Sakti 201 Pedang Kilat Buana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku bicara yang sebenarnya!" sergah Dewi Pemabuk.
"Kalau begitu, semua orang yang berada di sini akan membunuhmu!" tegas Umbul Perkasa.
"Siapa takut mati"! Kalian bunuh sekalipun sampai sepuluh kali, aku tidak takut!" balas Ararini lantang.
Melihat pembelaan Dewi Pemabuk, Raja Pencopet merasa terharu. Namun gadis itu tidak mungkin dibiarkan terseret dalam urusannya.
"Baiklah! Kalau kalian menginginkan kematianku, aku tidak mau melakukan perlawanan. Agar kalian puas! Tetapi jika aku sudah mati di tiang gantungan dan ternyata nanti Pedang Kilat Buana masih tetap berkeliaran memakan korban, maka arwahku akan mengutuki kalian semuanya. Sekarang tunggu apa lagi"!" putus Raja Pencopet, tegar.
"Goblok! Mengapa kau menyerah begitu saja"! Kalau kau tidak bersalah, jangan menyerah walau sampai mati!" maki Dewi Pemabuk kesal.
"Jangan campuri urusanku!" ujar Raja Pencopet, tegas.
?"Apa"! Jadi kau rela mati, Raja Pencopet"! Lehermu akan dijerat tali. Apakah kau pikir enak" Sungguh tidak enak, Tolol!" gerutu Ararini gusar.
"Mereka menghendaki begitu!" sahut laki-laki tua itu pasrah.
"Tangkap dia!" Dewa Pengemis memberi aba-aba.
Pendekar Belalang yang dibantu beberapa orang pengemis dan juga murid-murid Umbul Perkasa, serentak mengurung Raja Pencopet Dewi Pemabuk yang memang bermaksud membela segera melompat ke depan. Tetapi, Raja Pencopet sendiri malah mencegah tindakannya.
*** "Sudah kukatakan jangan campuri urusanku. Mereka nanti bisa menyulitkan dirimu!" ingat Raja Pencopet.
Dewi Pemabuk membanting-banting kakinya. "Aku benci melihat manusia pengecut sepertimu, Raja Pencopet! Kau dengar kata-kataku ini..."!" dengus Ararini.
"Benar seperti yang dikatakannya! Hendaknya kau tidak usah ikut mencampuri urusan orang lain!" timpal Pendekar Belalang mengingatkan.
"Begitu" Tapi, awas! Aku akan menyelidiki masalah ini. Jika ternyata nanti Raja Pencopet tidak bersalah, kau harus menyerahkan lehermu kepadaku!" ancam Dewi Pemabuk.
Pendekar Belalang sama sekali tidak menghiraukan kata-kata Ararini. Dia dan yang lain-lain segera mengikat tangan Raja Pencopet yang sama sekali tidak melakukan perlawanan. Laki-laki tua itu kemudian digiring menuju tali gantungan. Semua mata menyaksikan kejadian ini dengan perasaan tegang.
Pendekar Belalang segera menutup mata Raja Pencopet dengan kain hitam. Setelah itu, diperintahkannya Raja Pencopet untuk berdiri di atas sebuah bangku tinggi. Seutas tali besar segera dikalungkan ke lehernya.
"Bagaimana, Paman Umbul Perkasa" Aku tidak berhak melakukannya. Karena, masih ada orang yang lebih tua dariku!" tanya Tri Gata Bayu.
Umbul Perkasa segera mendekati tiang gantungan. Setelah itu, tali-tali yang lainnya mulai dilepaskan secara perlahan. Tiba-tiba kursi yang dipijak Raja Pencopet ini ditendang oleh Umbul Perkasa. Sehingga....
Sret! Begitu kursi terguling, tubuh Raja Pencopet tergantung. Dewi Pemabuk hampir menjerit melihat semua itu. Namun pada saat-saat nyawa lelaki ini terancam bahaya, dari arah timur berkelebat bayangan putih yang langsung membabat putus tali yang menggantung Raja Pencopet.
Tesss! Begitu tali itu putus sosok bayangan putih segera melesat pergi membawa Raja Pencopet Melihat kejadian yang berlangsung begitu singkat, membuat semua orang yang berada di atas Bukit Buana terkesiap. Umbul Perkasa yang segera menyadari keadaan yang sebenarnya langsung berteriak....
"Kejar! Bangsat itu telah menyelamatkan Raja Pencopet!"
"Keparat!" dengus Pendekar Belalang.
Laki-laki bernama Tri Gata Bayu itu segera melakukan pengejaran. Yang lain-lainnya pun segera menyusul. Sehingga, di atas bukit itu hanya tinggal Dewi Pemabuk sendirian.
"Yang Maha Adil pasti selalu memberi perlindungan pada orang tidak bersalah," gumam Dewi Pemabuk, seraya mengambil bumbung tuaknya yang tergantung di punggungnya.
Gluk! Gluk! Gluk!
"Hm... Baru nyaman! Sekarang aku harus menemukan Raja Pencopet. Aku harus tahu, siapa yang telah menyelamatkannya. Tetapi...!" Ararini tiba-tiba menjadi ragu. "Apa benar orang tua pikun itu diselamatkan" Bagaimana jika dibunuh di suatu tempat dengan alasan tertentu. Sial! Urusan bisa runyam kalau begini!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, akhirnya Dewi Pemabuk segera melakukan pengejaran.
*** Sementara itu di sebuah tempat yang cukup jauh dari Bukit Buana, sebuah bayangan putih terus melesat cepat. Di bahunya terpanggul seorang laki-laki yang dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Di sebuah tempat yang dianggap aman bayangan putih yang ternyata seorang pemuda berbaju rompi putih menghentikan langkahnya.
"Gila! Begini banyak orang terbunuh dengan cara yang sangat mengerikan! Mata dicungkil, kaki digantung ke atas dan tubuh mereka disayat-sayat!" desis pemuda dengan senjata sebuah pedang bergagang kepala burung di punggung. Dia tidak lain dari Pendekar Rajawali Sakti.
Tanpa menghiraukan bau busuk yang sangat menusuk, Rangga memeriksa mayat-mayat itu satu persatu. Sementara sosok di bahunya yang tak lain Raja Pencopet, tetap belum sadarkan diri.
"Kurasa mereka ini murid-murid Umbul Perkasa. Pakaian mereka sama dengan yang kulihat di atas bukit tadi. Jadi, inilah korban Pedang Kilat Buana. Yang pertama harus kulakukan adalah, membuat laki-laki tua malang ini sadar!" gumam Rangga.
Sekejap Pendekar Rajawali Sakti berlari kembali mencari tempat yang tersembunyi. Kebetulan tidak jauh dari mayat-mayat tadi, dia menemukan sebuah tempat yang terlindung.
Begitu sampai, Rangga meletakkan Raja Pencopet di atas rerumputan kering. Diperiksanya bekas tali yang sempat menjerat leher Raja Pencopet tadi. Ada bekas luka membiru pada lingkaran leher orang yang ditolongnya. Segera disadari sejak tadi rupanya jalan darah di tubuh Raja Pencopet sempat kacau. Sehingga Rangga terpaksa mengurut beberapa urat di pangkal leher laki-laki itu. Beberapa saat kemudian....
"Oh.... Di manakah aku" Apakah aku sudah mati" Mengapa di alam kubur banyak pohon-pohonnya juga?" desah Raja Pencopet.
"Syukurlah kalau kau sudah sadar, Ki...!" sambut Rangga sambil menarik napas lega disertai senyum.
"Heh..."!"
Raja Pencopet tersentak kaget, langsung memperhatikan pemuda berompi putih dengan heran.
"Apakah kau malaikat" Jangan kau siksa aku. Kesalahanku di dunia hanya mencopet saja! Tidak pernah membunuh orang. Aku mati karena dibunuh orang-orang gila!" desis Raja Pencopet ketakutan.
"Raja Pencopet! Kau masih di alam nyata. Kau belum mati, karena aku telah membebaskanmu dari tiang gantungan!" jelas Rangga, meyakinkan.
? *** Raja Pencopet bangkit berdiri. Dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti dengan penuh rasa terima kasih yang tidak terucapkan.
"Oh! Jadi aku telah kau selamatkan" Siapakah namamu?" tanya Raja Pencopet, lugu.
"Aku Rangga. Kau harus menceritakan padaku, mengapa Umbul Perkasa, Pendekar Belalang, dan Dewa Pengemis hendak membunuhmu?"
"Namaku Malim Seta. Mereka ingin membunuhku, karena aku tidak dibolehkan hidup lebih lama lagi di dunia ini!" jelas Raja Pencopet. Kemudian secara panjang lebar laki-laki tua yang bernama asli Malim Seta menceritakan tentang masalah besar yang dituduhkan kepadanya. Termasuk juga tentang Pedang Kilat Buana milik Empu Wasila yang hilang dilarikan orang.
"Kalau tidak bersalah, mengapa mau saja dihukum gantung, Ki?" tanya Rangga, heran.
"Aku tidak mungkin mengelak. Karena, mereka adalah orang-orang yang punya pengaruh cukup besar. Lagi pula, orang yang bernama Ki Dombleh itu memang sudah membenciku sejak dahulu. Jadi, aku mau bilang apa?"
"Ha ha ha...! Kau ini lucu, Ki. Tidak bersalah tapi bersedia digantung. Toh jika mau, kau bisa mencari orang yang telah membunuh Empu Wasila?" tukas Pendekar Rajawali Sakti.
"Kawanku yang pemabukan juga bicara begitu. Masalahnya, bukan kematian Empu Wasila itu saja yang menjadi pokok persoalan. Pedang Kilat Buana itulah yang jadi pangkal utamanya!" sergah Raja Pencopet dengan perasaan tidak enak.
"Maksudmu bagaimana?"
"Sejak dulu, Pedang Kilat Buana memang selalu menjadi incaran orang-orang di dunia persilatan. Pedang itu memang milik Empu Wasila. Hanya saja, orang tidak berani bertindak gegabah, mengingat begitu banyak tokoh persilatan di wilayah timur ini yang berpihak pada Empu Wasila. Aku tidak tahu, bagaimana seseorang bisa menyelinap di tempat kediaman Empu Wasila. Jika dia orang luar, tentu akan sulit. Karena pada malam hari, Empu Wasila tidur di suatu tempat yang sangat rahasia," jelas Malim Seta.
"Lalu, siapa Pendekar Belalang?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Pendekar Belalang adalah murid tunggal Empu Wasila. Dia mempunyai jurus-jurus "Kalajengking Mabuk" yang hebat. Tapi herannya, mengapa dia sampai tidak tahu ketika Empu Wasila dibunuh oleh orang lain?"
"Jadi yang menuduh mu sebagai pembunuh Empu Wasila dan melarikan Pedang Kilat Buana siapa?" desak Pendekar Rajawali Sakti.
"Saudara dari Pendekar Belalang," jawab Raja Pencopet.
"Kau pernah melihatnya, Ki?"
"Tidak! Bahkan sampai menjelang saat aku digantung!" sahut Malim Seta, tegas.
Rangga tertegun. Tampaknya, ada sesuatu yang tidak beres di balik semua peristiwa yang terjadi. Inilah yang membuatnya, semakin merasa tertarik.
"Kalau begitu, kita harus memulainya dari Pendekar Belalang, Ki. Mungkin dia tahu sesuatu, tapi tidak berani mengatakannya kepada orang banyak. Sehingga untuk mempermudah semuanya, dia memfitnah mu!" tebak Rangga.
Raja Pencopet menggelengkan kepala.
"Pendekar Belalang adalah orang jujur. Pembunuh Empu Wasila tentu punya alasan kuat, selain hanya untuk mendapatkan pedang yang dapat menimbulkan angkara murka!"
"Benarkah begitu?"
"Tentu saja! Aku berani menjamin dia tidak mungkin tega menyengsarakan hidup orang lain."
Pendekar Rajawali Sakti akhirnya terdiam. Jika benar apa yang dikatakan Malim Seta, berarti kecurigaannya pada Pendekar Belalang pupus begitu saja. Mungkin memang ada orang luar yang sengaja mencuri pedang itu. Tapi siapa"
"Rangga! Jika kau memang berniat membantuku, sebaiknya kita mulai mencari pencuri Pedang Kilat Buana. Sebab, menurutku pedang itu hanya akan menebar darah di muka bumi ini!" kata Raja Pencopet.
"Sudah, Ki. Dugaanmu tidak meleset, sebab tidak jauh dari sini, kulihat murid-murid Umbul Perkasa digantung hingga tewas," sahut Rangga.
"Bagaimana kau tahu mereka murid-murid Umbul Perkasa?" tanya Raja Pencopet terheran-heran.
"Dari pakaiannya," jawab Rangga.
"Mari kita pergi!" ajak kakek tua berambut putih berkumis hitam ini sambil mengayunkan langkahnya.
Pendekar Rajawali Sakti tanpa berkata-kata lagi segera mengikutinya.
*** Pengejaran terhadap orang yang telah melarikan Raja Pencopet ternyata tidak membuahkan hasil. Dengan perasaan kesal, Umbul Perkasa mengirimkan murid-muridnya. Sedangkan dia sendiri bersama Pendekar Belalang kembali ke Bukit Buana.
Lain lagi halnya Dewa Pengemis. Laki-laki tua ini memerintahkan tidak kurang lima belas anggotanya untuk meneruskan pencarian. Sedangkan dia sendiri kembali ke kota Kawunganten.
Kelima belas anggota kaum pengemis itu selanjutnya meneruskan perjalanan menuju tenggara. Keputusan itu diambil karena mereka menemukan korban-korban lain yang tampaknya menuju jalan yang dilewati.
Selepas senja mereka sampai di sebuah daerah berawa-rawa. Daerah ini memang sangat jarang dilewati orang. Karena selain angker dan banyak buaya berdiam di sana, juga banyak rawa-rawa penghisap. Konon menurut orang-orang yang selamat, daerah yang bernama Rawa Pening ini dihuni peri-peri cantik yang selalu menggoda kaum laki-laki.
"Kita tidak mungkin meneruskan perjalanan dalam keadaan gelap seperti sekarang ini," kata laki-laki tua pengemis berbaju kuning penuh tambal-tambalan. Matanya yang tajam menusuk memandang ke depan, di mana terdapat hutan rawa yang luas menyimpan teka-teki.
?"Lalu apa yang kita lakukan, Ki Rayud" Bermalam di sini?" tanya yang berbaju putih berambut kelabu.
"Benar, Ki Gombret!" sahut laki-laki tua berbaju kuning yang dipanggil Ki Rayud.
Laki-laki yang dipanggil Ki Gombret itu hampir tanpa senyum dalam hari-hari hidupnya. Sebagaimana dua orang laki-laki yang seusianya, dia sangat lihai memainkan toya. Hanya saja, tenaga dalamnya lebih tinggi. Juga, pukulan-pukulannya mengagumkan.
"Memang sebaiknya kita bermalam di sini!" usul laki-laki tua memakai baju merah hitam kedodoran. Wajahnya agak pucat, namun selalu tersenyum. Ilmu olah kanuragannya juga tinggi.
"Kau tahu, apa nama tempat ini, Ki Dileng?" tanya Ki Gombret.
"Kita ini golongan pengemis. Selama bertahun-tahun, kita tidak pernah menghiraukan di mana harus tidur. Mengapa sekarang tempat ini menjadi masalah?" jawab laki-laki tua berbaju hitam yang bernama Ki Dileng.
"Kita berada di Hutan Rawa Pening!" jelas Ki Gombret yang tampaknya lebih memahami keadaan.
Ki Dileng memang tidak tahu, betapa angkernya Hutan Rawa Pening. Dia langsung duduk di bawah sebatang pohon. Tanpa menghiraukan yang
[pb] lain-lainnya, matanya segera dipejamkan. Sebentar saja, terdengar suara dengkur nafasnya yang teratur.
? *** ? ? Selanjutnya Bagian 4-6
? Pedang Kilat Buana
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 201. Pedang Kilat Buana ~ Bag. 4-6
29. Juni 2015 um 14:15
4 ? Ki Rayud dan Ki Gombret hanya dapat menggeleng. Ki Dileng memang orang yang mudah tertidur. Apalagi bila habis melakukan perjalanan jauh.
Ki Gombret terpaksa mengalah. Segera diperintahkannya pada anak buahnya yang rata-rata masih muda untuk melakukan penjagaan secara bergantian. Tidak lama mereka segera mempersiapkan tempat seadanya untuk melewati malam yang teramat dingin. Dan sebentar saja, ketiga pemimpin rombongan pengemis ini terlelap dibuai mimpi.
Lebih kurang lima orang pemuda pengemis tampak berjaga-jaga. Mereka duduk mengelilingi perapian yang telah berubah menjadi bara. Sesekali, salah seorang menambah kayu bakar. Sehingga, api membesar kembali.
"Malam ini terasa dingin sekali," kata salah seorang pemuda untuk memecah kebisuan yang terjadi.
"Ya.... Suasana lebih dingin bila dibandingkan di kota Kawunganten. Aku jadi ingat istriku!" sahut pemuda yang satu lagi.
"Kurasa api ini lebih hangat bila dibandingkan istrimu!" kata yang lain menimpali.
Sekejap kemudian terdengar derai tawa para pengemis. Lalu suasana berubah sunyi kembali.
"Hm.... Aku mencium bau wangi seorang perempuan," kata pemuda yang berbaju putih. Cuping hidungnya kembang-kempis seperti sengaja mengendus-endus sesuatu.
Empat orang lainnya tersentak kaget. Serentak mereka mengedarkan pandangan, memperhatikan di sekeliling.
Ternyata bukan hanya yang bicara itu saja yang mencium bau harum seorang wanita. Empat pemuda lainnya pun mencium bau yang sama. Tanpa terasa tengkuk mereka meremang berdiri.
"Coba lihat ke sana!" seru salah seorang tiba-tiba.
Serentak mereka memandang ke arah yang dimaksudkan kawannya tadi. Seketika mereka terkesiap. Karena dari balik kegelapan, tampak berdiri tegak lima orang gadis berbaju hijau. Mereka segera menghampiri lima pemuda pengemis yang sedang melakukan penjagaan. Sehingga semakin lama wajah mereka semakin jelas.
Dalam penerangan api unggun, ternyata wajah mereka cukup cantik. Rambut mereka panjang sebahu. Sedangkan dada mereka agak tersembul, karena pakaian yang dikenakan begitu rendah.
?"Siapa kalian?" tanya salah seorang pemuda pengemis itu heran.
"Kami adalah orang-orang yang tersesat di Hutan Rawa Pening ini. Sudah dua hari kami tidak menemukan jalan keluar. Apakah kalian berlima mau menolong kami!" tanya salah seorang gadis yang mempunyai paras paling cantik.
Para pengemis yang berjaga malam ini pada umumnya baru berusia dua puluh lima tahun. Mendapat tawaran seperti itu, sulit rasanya untuk menolak.
"Pertolongan apa yang dapat kami berikan?" tanya salah seorang.
"Besok pagi, tolong carikan jalan keluar bagi kami. Tempat tinggalku tidak jauh dari sini. Orang tua kami pasti kehilangan, jika kami tidak kembali secepatnya!" kata gadis yang berbadan agak jangkung.
"Kalau itu keinginan kalian, tentu pimpinan perjalanan tidak keberatan melakukannya," sahut pengemis yang berbaju putih, memberi harapan.
Kelima gadis berpakaian serba hijau itu melonjak kegirangan.
"Aku dan keempat kawanku belum mandi. Ketika hendak ke sini tadi, aku melihat ada sebuah sungai di balik pohon itu. Apakah kalian mau mengantarkan kami?" bujuk yang berwajah paling cantik.
?"Apakah kalian tidak malu?" tanya pemuda pengemis berbaju hitam.
"Mengapa harus malu" Bukankah sekarang malam hari" Kalian tentu tidak dapat melihat tubuh kami. Atau kalian mau coba-coba mengintip" Hi hi hi...!"
Tawaran yang sangat menggoda ini tentu tidak disia-siakan kelima pemuda pengemis. Mereka segera mengantarkan gadis-gadis itu ke sungai.
Begitu berada di pinggir sungai dalam jarak tidak kurang dari batang tombak, kelima gadis itu tanpa malu-malu lagi langsung menanggalkan pakaian yang melekat di tubuh. Sampai akhirnya, mereka ini benar-benar dalam keadaan telanjang bulat!
Kelima pemuda kaum pengemis ini tampak membelalakkan matanya. Walaupun suasana agak remang-remang, tapi dengan jelas mereka dapat melihat betapa mulusnya gadis-gadis itu. Dan para pengemis ini dengan leluasa dapat menikmati keindahan lekuk-lekuk tubuh yang tanpa benang sehelai pun. Darah muda mereka pun mendidih. Bukan oleh amarah, melainkan karena terbakar nafsu birahi. Dengus napas mereka kian tersengal dengan mata melotot bagai serigala liar melihat domba gemuk.
"Hi hi hi...! Apakah kalian tidak ikut mandi?" tanya salah seorang gadis itu, seperti menawarkan.
?"Jangan malu-malu. Kita sama membutuhkan. Mendekatlah kemari!" ajak gadis yang bertubuh sintal dan berdada montok seraya melambaikan tangannya.
Satu demi satu pengemis yang ditugaskan berjaga malam ini mendekati. Hingga akhirnya, mereka berpasang-pasangan. Mereka bukan lagi mandi, melainkan saling berpelukan. Wajah masing-masing pasangan merapat, dengan bibir saling bersentuhan.
"Sebaiknya kita bercinta di dalam sungai saja...!" bisik gadis-gadis itu di sela-sela desahan napas yang tersendat-sendat.
Tidak ada alasan bagi para pengemis ini untuk menolak. Apalagi, mereka berada di tempat seperti ini dengan suasana yang mendukung.
Byur! Byur! Tanpa dapat dicegah lagi, mereka langsung tercebur ke dalam sungai. Permukaan air sungai langsung bergolak oleh tingkah polah mereka yang berguling-gulingan sambil berpagutan. Tapi...
? *** Sesuatu yang tidak diharapkan tiba-tiba terjadi. Tubuh gadis-gadis itu mendadak membesar. Bahkan pada bagian punggung tumbuh pula ekor yang panjang mirip bergaji. Keanehan yang terjadi begitu cepat. Bagian kepala gadis-gadis itu telah pula berubah menjadi kepala buaya! Bahkan tampak dengan buasnya, gadis jadi-jadian itu kemudian mencabik-cabik tubuh para pengemis. Bukan di dalam sungai seperti yang tadi terlihat, melainkan di dalam rawa-rawa!
"Tolong!" teriak kelima pengemis yang mendapat serangan secara bersamaan.
"Wuaaagkh...!"
Jerit kesakitan segera terdengar di sana-sini. Tentu saja mereka yang sedang tertidur lelap jadi tersentak kaget. Ki Rayud, Ki Dileng, dan Ki Gombret langsung bangkit berdiri. Mereka bertiga langsung memeriksa ke tempat anak buah mereka yang sedang berjaga-jaga. Ternyata, kelima penjaga sudah tidak berada di tempat!
"Aaa...!"
Kembali terdengar teriakan menyayat. Lalu, suasana berubah sunyi kembali. Ketiga laki-laki tua ini saling berpandangan.
"Bukankah itu tadi suara mereka?" tanya Ki Dileng cemas.
"Tidak salah! Lalu?" tukas Ki Gombret.
"Kita harus menolong mereka!" tegas Ki Dileng.
"Sebaiknya jangan lakukan, kalau tidak ingin kita semua celaka. Kita tidak tahu, apa yang terjadi di depan sana. Sudah kukatakan, daerah ini rawan. Dan kalian tetap tidak mempercayainya!" dengus Ki Gombret marah.
"Sebagai pimpinan, masakan kita tinggal diam. Sedangkan anak buah kita di sana menentang maut!" Ki Rayud menimpali.
"Aku yakin mereka telah melakukan kesalahan. Ada apa mereka malam-malam begini kelayapan sampai ke sana?" duga Ki Gombret
Baik Ki Rayud maupun Ki Dileng memang tidak bisa membantah. Dewa Pengemis telah memutuskan, Ki Gombret sebagai pimpinan tertinggi. Sehingga orang-orang ini hanya dapat menunggu sampai datangnya pagi.
*** Matahari bersinar cerah. Setelah alam di sekitarnya berubah terang, Ki Gombret, Ki Rayud, Ki Dileng, dan anggota perkumpulan pengemis sisanya, segera mencari lima orang yang hilang. Tetapi mereka tidak menemukan apa-apa. Kelima pengemis yang berjaga malam tadi seakan lenyap ditelan bumi. Sejauh-jauh mata memandang, hanya rawa-rawa yang membentang luas seakan tidak bertepi.
"Anggota kita hilang. Kehidupan terus berjalan. Dan kita harus mencari Raja Pencopet yang dilarikan sosok berbaju rompi putih itu!" geram Ki Dileng.
"Kurasa kita bisa melewati rawa-rawa ini," kata Ki Rayud.
"Tidak bisa!" bantah Ki Gombret.
Laki-laki tua berbaju putih itu kemudian mengambil sebatang kayu yang masih basah sepanjang dua batang tombak. Kayu itu segera dilemparkannya ke tengah rawa.
Byurrr! Kayu yang dilemparkan Ki Gombret tadi langsung amblas ke dalam lumpur. Dan hanya dalam beberapa kejap saja, telah lenyap dari pandangan mata.
"Itulah yang akan terjadi pada kita bila coba-coba menyeberanginya...!" jelas Ki Gombret
"Lalu, bagaimana?" tanya Ki Rayud.
"Kita ambil jalan memutar. Jauh sedikit tidak apa, asalkan semuanya selamat!" jawab Ki Gombret.
Tidak seorang pun yang membantah usul Ki Gombret. Mereka segera berjalan memutar. Namun baru beberapa langkah berjalan, di depan telah berdiri sosok tubuh berpakaian serba putih. Wajahnya tertutup kain hitam. Hanya bagian matanya saja yang terbuka. Dia juga memakai caping bambu.
"Kalian tentu anggota pengemis yang dipimpin Dewa Pengemis, bukan?" tanya orang bercaping itu dingin.
"Benar," sahut Ki Rayud, pendek.
"Dewa Pengemis dulu telah ikut membunuh ayah dan ibuku. Saudaraku yang tertua bahkan dibunuhnya. Sekarang, kalian harus mati di tanganku...!" desis orang itu.
"Gila! Siapa kau sebenarnya"!" dengus Ki Gombret.
"Mengenai siapa aku, tidak begitu penting. Heyaaa...!"
Sambil berteriak keras, tiba-tiba saja laki-laki berbaju serba putih itu melemparkan caping ke arah anggota perkumpulan pengemis.
Zing...! Caping bambu melesat ke arah sasaran disertai suara mendesing yang cukup membuat sakit telinga.
Serentak anggota perkumpulan pengemis itu menggerakkan tongkatnya untuk menangkis serangan yang tidak terduga-duga. Sehingga, benturan keras pun terjadi.
Tresss! "Heh..."!"
Sambaran topi caping bambu membuat putus tongkat-tongkat milik lawannya. Dan apa yang terjadi ini tentu sangat mengejutkan sekali.
*** Caping bambu telah kembali ke pemiliknya. Sementara rasa kaget para anggota perkumpulan pengemis itu tidak berlangsung lama. Karena saat itu juga, laki-laki memakai penutup wajah ini telah melemparkan capingnya kembali.
Melihat serangan mendadak ini, beberapa orang berusaha menghindarinya. Namun, caping itu terus meliuk-liuk seakan mempunyai mata! Lalu....
Cras! Crasss! "Aaaeekh...!"
Tiga orang anggota perkumpulan pengemis itu terjengkang roboh disertai jeritan cukup keras, ketika caping bambu itu menghantam dada dan leher.
Kemudian serangan berikutnya menyusul. Kenyataan ini membuat Ki Dileng, Ki Gombret, dan Ki Rayud menjadi berang. Mereka segera mengambil tindakan untuk menyelamatkan anak buahnya. Namun....
Crak! Crak! Crakkk!
"Aaa...!"
Tindakan mereka ternyata kalah cepat dengan serangan caping yang dilemparkan lelaki berkedok kain hitam itu. Sehingga, empat orang kembali tersungkur roboh dengan nyawa tidak tertolong lagi.
"Setan biadab! Siapa kau!" bentak Ki Gombret, marah bukan main.
Sebagai jawabannya tanpa disangka-sangka laki-laki berkedok kain hitam itu menyerang dengan jurus-jurus berbahaya.
Ki Gombret dan dua orang kawannya segera melompat mundur. Kemudian tongkatnya diputar begitu cepatnya, sehingga menimbulkan angin menderu-deru. Itulah jurus "Pengemis Sakti Tadahkan Tangan" salah satu jurus perkumpulan pengemis yang sangat hebat.
Hampir bersamaan, Ki Gombret dan kedua kawannya menghantamkan tongkat ke arah lawannya. Masing-masing menyodok perut, dada, serta tenggorokan. Gerakan serentak dan beruntun ini tentu sangat sulit dilakukan. Namun, sulit pula dihindari lawannya.
Laki-laki yang berkedok kain hitam itu jelas dalam keadaan terancam bahaya. Tetapi hebatnya, dia masih sempat melompat ke belakang. Serangan Ki Gombret bisa dihindarinya. Namun serangan Ki Rayud masih sempat membeset pinggangnya.
Bret! "Eeekh...!"
Laki-laki berbaju putih itu sempat terhuyung-huyung. Segera ditotoknya beberapa urat darah di tubuhnya agar darah tidak banyak yang mengalir keluar. Setelah itu, tiba-tiba dia melakukan gerakan sangat cepat! Badannya berguling guling. Sedangkan kedua tangannya menghantam ke kiri dan kanan.
Ki Gombret juga tidak tinggal diam. Dengan dibantu kedua orang kawannya, segera dibalas serangan. Ketiga laki-laki tua ini tiba-tiba menerjang ke depan secara bersamaan. Tongkat di tangan mereka meluncur menghantam pinggang, samping kepala, juga punggung.
Duk! "Huagkh...!"
Laki-laki berkedok kain hitam itu jatuh terguling-guling terkena hantaman tongkat di tangan Ki Rayud. Dan sambil menggeram secepatnya dia bangkit berdiri.
"Hm.... Ternyata kalian adalah orang-orang yang cukup berisi juga! Bagus! Itu artinya, kalian harus mampus di tanganku! Hiyaaa...!"
Dengan teriakan keras, laki-laki berkedok kain hitam ini membentangkan kedua tangannya, kemudian sejajar bahu. Setelah itu, tubuhnya berputar dengan kaki bergerak berpindah-pindah. Tiba-tiba dia melompat ke depan sambil meraba pinggangnya. Di lain kesempatan, sinar putih telah berkelebat secepat kilat mengancam ketiga lawannya. Ketiga anggota perkumpulan pengemis ini tidak tinggal. Mereka segera membabatkan tongkat memapak.
Tras! Tras! Tras!
Saat sinar putih membentur, maka tongkat-tongkat itu terbabat menjadi tiga bagian. Dan tiba-tiba, laki-laki berbaju putih itu berbalik. Lalu dengan kecepatan berlipat ganda pula, sinar putih ini telah bergerak menebas.
Ki Gombret dan Ki Rayud sudah tidak sempat menghindari lagi. Sinar putih yang bersumber dari senjata pedang di tangan orang berkedok itu menyambar pinggang dan leher. Sehingga.
Cres! Creesss! "Aaa...!"
Ki Rayud menjerit keras ketika pedang itu membabat putus pinggangnya. Sementara Ki Gombret langsung terjengkang roboh. Begitu menyentuh tanah, kepala Ki Gombret menggelinding ke tanah. Badannya yang tanpa leher mengucurkan darah.
Ki Dileng terkejut melihat kejadian yang berlangsung sangat cepat ini. Justru kelengahannya yang cuma sesaat harus dibayar sangat mahal.
"Heaaa...!"
Laki-laki berkedok kain hitam ini telah menerjang. Sinar putih dari mata pedang kembali meluncur ke arah perut Ki Dileng yang tidak terelakan lagi.
Jrosss! "Huaakh...!"
Pedang menembus perut Ki Dileng hingga tembus ke punggung. Darah langsung mengucur dari luka di bagian perut. Ketika orang berkedok hitam menarik lepas senjatanya, robohlah Ki Dileng untuk selama-lamanya.
Trek! Secepat orang bengis ini mencabut, maka secepat itu pula senjatanya masuk kembali ke dalam warangkanya. Dengan sinar mata dingin, dia memandangi mayat-mayat anggota para pengemis ini. Kemudian tubuhnya berkelebat pergi, meninggalkan Hutan Rawa Pening yang kembali sunyi seperti tak pernah terjadi apa-apa.
*** "Rasanya usaha kita hanya sia-sia saja, Rangga! Aku sendiri tidak tahu di mana saudara dari Pendekar Belalang berada!" keluh Raja Pencopet, setelah beberapa hari usaha mereka tidak menghasilkan apa-apa.
"Mengapa kau menjadi manusia yang begitu mudah putus asa, Ki" Kalau Pendekar Belalang memang mempunyai saudara, tentu kita akan menemukannya. Tetapi jika Pendekar Belalang berbohong, aku yakin rahasia kematian Empu Wasila dan hilangnya Pedang Kilat Buana ada di tangannya!" sahut Rangga, pelan.
"Sudah kukatakan, Pendekar Belalang adalah orang jujur. Mustahil dia membohongi tokoh-tokoh di dunia persilatan hanya untuk kepentingan diri sendiri!" sergah Raja Pencopet, yakin.
"Kita tidak tahu isi hati setiap manusia, Ki. Terkadang, kita bisa saja bersikap baik. Namun, hati kita busuk. Atau boleh jadi sebaliknya. Korban semakin bertambah banyak, Ki. Kalau kita menghentikan pencarian ini, tentu Pedang Kilat Buana akan terus meminta korban lebih banyak lagi. Aku yakin, di balik kematian Empu Wasila dan hilangnya Pedang Kilat Buana, ada dendam di dalamnya!" duga Rangga, mantap.
Raja Pencopet terkejut juga mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti. Dia berusaha mengingat-ingat sesuatu, namun setelah cukup lama berpikir tidak menghasilkan apa-apa.
"Bagaimana kau bisa berkata begitu, Rangga?" tanya Malim Seta, kemudian.
Rangga tersenyum. Matanya memandang jauh ke depan. Di sana, dia melihat hamparan rumput yang sangat luas.
"Aku hanya menduga. Tetapi kalau Pendekar Belalang tidak tahu apa-apa dalam persoalan yang menimpa gurunya, tentu kuncinya ada pada Umbul Perkasa atau Dewa Pengemis!" kata Rangga lagi, tetap menduga.
"Aku semakin bingung, Rangga. Persoalan yang kita hadapi begitu rumit. Jika aku tidak menemukan pembunuh itu, maka orang-orang dunia persilatan akan mengejar-ngejar ku terus," keluh Raja Pencopet.
"Kau tidak perlu ragu, Ki. Aku akan terus mendampingimu selama persoalan ini belum selesai!" janji Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku merasa berhutang nyawa kepadamu, Rangga!" desah Raja Pencopet merasa terharu.
Rangga hanya tersenyum saja mendengar kata-kata laki-laki tua berambut putih ini. Sulit dibayangkan, apa yang terjadi dengan Malim Seta ini jika Pendekar Rajawali Sakti tidak muncul pada saat-saat gawat waktu itu.
"Ha ha ha...! Di cari ke mana-mana, tidak tahunya bersembunyi di sini. Kalian berdua tidak mungkin dapat menyelamatkan diri dari tali gantungan!"
Mendadak terdengar sebuah suara yang disusul munculnya, seorang laki-laki tua berbaju hitam penuh tambal-tambalan. Tangannya memegang tongkat hitam mengkilat. Bibirnya yang tertutup kumis berwarna putih hampir tanpa senyum sama sekali. Tatapan matanya letih. Namun, menyorot tajam.
? *** ? 5 ? Pendekar Rajawali Sakti sendiri merasa pernah melihat orang tua berpakaian hitam penuh tambal-tambalan ini.
"Orang hitam jelek yang berdiri seperti kayu terbakar itu bernama Dewa Pengemis. Dari dulu dia memang membenci ku tanpa kuketahui apa sebabnya. Kepandaiannya cukup tinggi. Mungkin lebih tinggi dariku. Kita harus berhati-hati dalam menghadapinya!" bisik Raja Pencopet, mengingatkan.
"Apa yang kalian bicarakan"!" dengus Dewa Pengemis dingin.
"Tidak ada! Kubilang pada kawanku ini, kumismu cukup bagus. Dan, ilmu serta kesaktianmu segudang. Kau termasuk penjilat yang memusuhi aku tanpa sebab! Ha ha ha...!" elak Raja Pencopet disertai tawa mengekeh.
"Keparat! Kau manusia busuk yang pantas mati. Tapi sebelum itu, kau harus menjelaskan padaku. Siapa pemuda yang telah menyelamatkanmu?"


Pendekar Rajawali Sakti 201 Pedang Kilat Buana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Amarah Pedang Bunga Iblis 5 Pendekar Mabuk 060 Dendam Selir Malam Kampung Setan 10

Cari Blog Ini