Pendekar Rajawali Sakti 187 Penghuni Kuil Emas Bagian 2
Dan setelah berkata begitu, sosok ramping berpakaian serba hitam berkelebat di antara kegelapan malan.
Begitu perempuan tua itu tak terlihat lagi, Denawa pun angkat kaki tak lama kemudian. Tapi mendadak langkahnya terhenti ketika mendengar suara-suara yang mencurigakannya. Segera tubuhnya menyelinap di balik sebatang pohon, yang terlindung di balik semak-semak.
"Apa yang akan kita cari di sini, Ratmi?" tanya sosok bertubuh cebol.
"Kenapa kau selalu banyak bertanya, Joko"! Sudah! Diam saja dan ikuti aku!" tukas sosok ramping yang tak lain Ratmi. Di sebelahnya adalah pemuda bertubuh cebol yang ternyata Joko Wereng.
"Tapi..., tadi kau meninggalkan aku cukup lama," kilah Joko Wereng.
"Kenapa kau ini" Kok cengeng betul seperti bocah"!"
"Tapi, Ratmi...."
"Sudah! Sudah! Aku tidak mau dengar!" potong Ratmi, sengit.
Sementara itu Denawa yang bersembunyi itu mendengus dingin ketika mengetahui siapa kedua orang itu.
"Kebetulan sekali mereka ada di sini!"
Dengan hati-hati, Denawa bergerak memutar, mendahului kedua orang itu.
"Ratmi...," panggil Joko Wereng.
"Apa lagi?" sahut Ratmi kesal.
"Aku khawatir terjadi apa-apa dengan kita...," ungkap pemuda cebol itu.
"Dasar penakut! Lebih baik kau pulang saja!" sentak Ratmi.
"Bukan begitu, tapi...."
"Kenapa sih kau ini, Joko"!" potong Ratmi, membentak.
"Maaf, Ratmi...," sahut Joko Wereng, lirih.
"Hup!"
Baru saja Joko Wereng berkata begitu, tiba-tiba melesat sesosok tubuh, dan tahu-tahu tegak berdiri di depan mereka. Kedua anak muda itu menghentikan langkah. Mereka mengamati dengan seksama. Seorang bertopeng hitam dan..., bungkuk!
"Keparat! Kau rupanya!" dengus Ratmi, geram.
"He he he...! Akhirnya kita bertemu lagi, Bocah. Hari ini jangan harap kau lolos dariku," kata Denawa, laki-laki bungkuk bertopeng hitam.
"Bungkuk terkutuk! Majulah kau untuk kupatahkan lehermu!" desis Ratmi menantang.
"Ha ha ha...! Boleh juga gertakmu. Tapi akan kulihat apakah kau bisa membuktikannya!"
Selesai dengan kata-katanya, Denawa berkelebat. Telapak tangannya dihantamkan ke depan.
Siuuut! Seketika serangkum angin kencang langsung menerpa ke arah Ratmi.
"Uts!"
Ratmi cepat melompat ke atas. Sejenak tubuhnya berputaran, lalu meluruk dengan satu tendangan menggeledek.
"Ratmi! Aku akan membantumu!" teriak Joko Wereng, langsung melompat menerjang Denawa dengan satu tendangan pula.
Laki-laki bungkuk itu terkekeh kecil. Kedua tangannya cepat bergerak mengibas untuk menangkis dua tendangan sekaligus.
Plak! Plak! Lalu Denawa berbalik melepas tendangan berputar.
"Nih, makan tendanganku!"
"Hup!"
"Yeaaa...!"
Kedua anak muda itu melompat ke belakang. Namun Denawa tak memberi kesempatan Saat itu juga tubuhnya melompat, mengejar Ratmi sambil menyodokkan tangan kiri ke dada.
Tepat ketika Ratmi mendarat, tangan Denawa telah hampir menyentuh dadanya. Tak ada waktu lagi untuk menghindar, maka cepat ditangkisnya serangan itu.
Plak! Tangan Ratmi kontan bergetar, sehabis menangkis. Dan belum lagi dia bersiap, dua jari tangan kanan laki-laki bungkuk itu bergerak cepat.
Tuk! Saat itu juga, Ratmi terkulai lesu tak berdaya begitu totokan Denawa mendarat di rusuknya. Sebelum Ratmi jatuh, laki-laki bungkuk itu telah menyambar dan membawanya kabur.
"Ratmi!" Joko Wereng terkejut dan cepat mengejar.
"Keparat kau, Bungkuk! Lepaskan dia! Lepaskaaan...!" bentak Joko Wereng, geram.
Tapi Denawa mana mempedulikannya. Laki-laki bungkuk itu menghilang di kegelapan malam. Dan Joko Wereng tak mampu mengejarnya karena ilmu meringankan tubuhnya kalah jauh. Tapi pemuda cebol itu tidak putus asa. Dia terus mengejar ke arah yang diyakininya.
Saat ini, Ki Senggono tengah mempersiapkan kuda tunggangannya ketika seorang pemuda memasuki halaman depan rumahnya. Seorang pemuda cebol dengan tampang lusuh. Tapi, bukan dia yang ingin ditemui pemuda itu. Melainkan, Pendekar Rajawali Sakti yang memang ada di depan.
"Ada apa, Kisanak?" sapa Rangga.
Pemuda itu yang tak lain Joko Wereng diam membisu dengan kepala tertunduk.
"Kau ingin menyampaikan pesan dari gadis itu?" desak Rangga.
"Tidak...," sahut Joko Wereng, pendek.
"Lalu?"
"Ratmi diculik...."
"Ratmi" Gadis bengal itukah?"
Joko Wereng mengangguk.
"Siapa yang menculiknya?"
"Orang bungkuk itu. Tadi malam...," lanjut Joko Wereng.
"Hmm...," gumam Rangga.
"Aku berusaha mengejarnya, tapi dia menghilang."
"Lalu?"
"Kisanak..., Ratmi adalah putri guruku. Guru berpesan, agar aku menjaganya dengan baik. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Dan..., Guru pasti takkan memaafkan seandainya tahu kalau putrinya diculik. Aku tidak tahu, kepada siapa harus minta tolong...," keluh Joko Wereng.
"Putri gurumu itu memang nakal dan jahil!" Nada suara Rangga terkesan memendam kejengkelan. Dan Joko Wereng merasakannya.
"Dia memang jahil, Kisanak. Tapi, sebenarnya Ratmi anak baik," kilah Joko Wereng.
"Mana bisa orang seperti itu dikatakan baik!" sentak Rangga.
"Jadi..., jadi Kisanak tak bersedia menolongnya?"
"Aku tidak berkata begitu. Tapi, juga tidak mengatakan bersedia."
"Ohh..."
Joko Wereng tertunduk lesu. Dan wajahnya semakin muram.
Sementara itu, Ki Senggono telah mendekat dan duduk di atas punggung kudanya. Matanya sempat melirik sebentar. Segera Pendekar Rajawali Sakti sudah berada pula di punggung kuda, dan langsung menggebahnya.
Joko Wereng mengangkat dagu, memandang kepergian dua orang itu dengan sinar mata sayu.
"Pemuda cebol itu yang bersama dengan gadis belia...?" tanya Ki Senggono.
"Ya," sahut Rangga, pendek.
"Ada keperluan apa?" tanya kepala desa itu.
"Gadis itu diculik."
"Si bungkuk lagi?"
Rangga mengangguk.
"Keparat! Sungguh terkutuk orang itu!" dengus Ki Senggono, geram. "Baru saja semalam dia lepas dari lubang jarum. Dan sekarang, berani lagi melakukan perbuatan bejatnya."
"Gadis itu diculik tadi malam. Mungkin setelah penculik bungkuk itu diselamatkan oleh sosok bayangan yang kuceritakan itu...."
"Benar-benar terkutuk dia!"
Sementara itu, mereka mulai mempercepat langkah kuda. Namun baru beberapa gebrakan, Ki Senggono menghentikan langkah lari kudanya. Matanya langsung memandang tajam ke satu arah. Dan Rangga mengikutinya.
Di ujung jalan desa ini, terdapat sebuah rumah sederhana. Tak ada yang istimewa, selain seekor kuda coklat yang ditambat di depan halaman rumah itu.
"Kenapa, Ki?" tanya Rangga dengan kening berkerut.
"Ada tamu di rumah Ki Danang..," sahut Ki Senggono. Tatapannya terus ke arah rumah itu. "Bukankah itu hal biasa?"
"Ki Danang memang orang ramah. Tapi selama ini dia jarang kedatangan tamu jauh."
"Dia penduduk asli desa ini?"
"Dia dan istrinya telah menetap selama lebih dari tiga puluh tahun."
"Hm.... Bukan orang baru tentunya?"
Ki Senggono mengangguk.
"Dia jarang bepergian keluar desa. Bahkan selama tiga puluh tahun ini, bisa dihitung dengan jari."
"Lalu, apa yang aneh?"
Ki Senggono tidak langsung menjawab.
"Kelihatannya tamu wanita...."
"Apanya yang aneh, Ki?"
Kepala desa itu belum sempat menjawab ketika melihat seorang laki-laki setengah baya keluar dari dalam rumah seraya melambaikan tangan. Dialah Ki Danang, pemilik rumah itu.
"Agaknya dia menginginkan Ki Senggono mampir...," ujar Rangga.
"Mau ke mana, Ki" Mampirlah sebentar!" kata Ki Danang seraya tergopoh-gopoh menghampiri kepala desa itu.
"Terima kasih, Ki Danang. Kami mesti buru-buru," tolak Ki Senggono, halus.
Saat itu istri Ki Danang keluar dari dalam rumah bersama seorang wanita setengah baya berpakaian cukup indah.
"Eh! Ini..., saudara dari jauh!" Ki Danang memperkenalkan wanita setengah baya itu.
Ki Senggono dan Rangga terpaksa turun sebentar. Mereka berjabatan tangan dengan wanita itu.
"Ini kepala desa di sini. Namanya Ki Senggono," jelas Ki Danang "Dan pemuda ini tamunya. Namanya, Rangga."
"Gendari...!"
Wanita setengah baya berusia sekitar empat puluh lima tahun itu menyebutkan nama.
"Ki Danang orang baik. Dan dia sudah kami anggap sebagai saudara sendiri. Maka, saudaranya pun adalah saudara kami...," kata Ki Senggono.
"Terima kasih, Ki Senggono. Kelihatannya buru-buru sekali," ucap wanita itu.
"Ya. Ada sedikit urusan yang akan kami kerjakan."
"Kelihatannya penting sekali...?"
"Begitulah agaknya. Maaf, Nyai. Kami tak bisa berlama-lama," kata Ki Senggono.
Setelah berkata begitu, Ki Senggono dan Rangga kembali melompat ke punggung kuda dan menggebahnya kencang-kencang.
Untuk sesaat Rangga dan Ki Senggono berdiam diri. Sesekali Pendekar Rajawali Sakti melirik dan melihat kalau wajah kepala desa itu berkerut, seperti tengah memikirkan sesuatu.
"Ada apa, Ki?" usik Pendekar Rajawali Sakti.
"Entahlah...," sahut Ki Senggono, mendesah.
"Soal wanita itu lagi?"
"Dulu kami pernah ngobrol-ngobrol. Dan katanya, Ki Danang tidak punya saudara. Begitu pula istrinya. Beliau sepasang suami istri yang yatim piatu...," jelas Ki Senggono, menggumam. "Mungkin kerabat jauh."
"Kau pun tidak mencurigainya, Rangga?"
"Aku tidak tahu banyak tentang Ki Danang. Apalagi tentang kerabat-kerabatnya. Tapi, aku yakin wanita itu bukan sembarangan orang." ungkap Pendekar Rajawali Sakti.
"Ya. Pakaiannya bagus seperti orang-orang bangsawan. Padahal, Ki Danang dan istrinya selama tiga puluh tahun hidup dalam kesederhanaan. Bahkan terkadang sering kekurangan makanan. Tidak heran kalau ada pembagian makanan, mereka mendapat bagian yang cukup banyak."
"Dari Nyai Pucuk Cemara?" duga Rangga.
Ki Senggono mengangguk.
"Agaknya bukan hanya itu, Ki...," cetus Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm."
"Wanita itu memiliki ilmu olah kanuragan yang tak rendah."
"Dari mana kau tahu, Rangga?"
"Tatapan matanya, Ki."
"Hm.... Padahal setahuku Ki Danang itu orang biasa. Dia tidak memiliki ilmu silat. Apalagi ilmu olah kanuragan."
"Tapi itu bukan alasan kalau mereka bukan saudara...."
"Entahlah. Aku hanya tak yakin kalau wanita itu kerabatnya."
"Sudahlah. Jangan dipikirkan betul soal itu. Sepulang dari kuil akan kita selidiki kebenarannya."
"Ya."
"Itukah kuil yang kita tuju?" tunjuk Rangga.
Tidak jauh di depan mereka terlihat sebuah bangunan besar dikelilingi dinding tembok luas. Dari luar kelihatan sepi. Begitu juga ketika tiba di pintu gerbang.
Seseorang membukakan pintu. Seorang wanita muda memakai jubah besar, dengan kerudung di kepalanya.
"Nyai Pucuk Cemara ada?" tanya Ki Senggono.
"Ada. Silakan masuk...," sambut wanita itu.
"Terima kasih."
Mereka menunggu sebentar di beranda depan, sebelum kehadiran tuan rumah.
Rangga memperhatikan keadaan sekeliling tempat itu. Hanya satu dua orang yang terlihat. Rata-rata wanita memakai jubah besar dan berkerudung.
"Hm, Ki Senggono kiranya!"
Terdengar sapaan seseorang dari dalam ruangan.
Seorang wanita setengah baya, tersenyum manis. Dipersilakannya kedua tamunya masuk ke dalam.
"Nyai Pucuk Cemara...," panggil Ki Senggono.
"Ada angin apa sehingga Ki Senggono berkunjung ke tempat ini?" tanya wanita yang dipanggil Nyai Pucuk Cemara ramah.
"Sebenarnya..., sebenarnya...," Ki Senggono tersenyum-senyum dan jadi salah tingkah.
Kepala desa ini tidak enak hati mengutarakan niatnya. Dan matanya malah melirik ke arah Rangga.
"Maaf, Nyai Pucuk Cemara. Sebenarnya aku yang punya sedikit kepentingan denganmu...," ucap Rangga.
"Benarkah" Urusan apa kiranya yang bisa kubantu?" tanya Nyai Pucuk Cemara ramah.
"Belakangan ini sering terjadi penculikan gadis yang dilakukan seseorang...," jelas Rangga, memulai.
"Eh, kami tidak bermaksud mencurigaimu, Nyai," potong Ki Senggono, cepat.
"Mencurigaiku" Kenapa?" tukas wanita itu.
"Tadi malam aku berhasil menangkap penculik itu. Dia mengatakan sesuatu, sebelum seseorang menolongnya," jelas Rangga.
"Apa yang dikatakannya?"
"Katanya, semua ini atas perintah Penghuni Kuil Emas."
"Hmm!"
Wajah wanita itu tampak geram. Untuk sesaat, dia berusaha menahan amarah dan menyembunyikannya rapat-rapat.
Rangga dan Ki Senggono menunggu beberapa saat, ketika Nyai Pucuk Cemara terdiam.
"Kisanak...."
"Namaku Rangga, Nyai," sambung Rangga.
"Rangga.... Dapatkah kau memberikan ciri-ciri orang itu?" pinta Nyai Pucuk Cemara.
"Yang paling khas dari dirinya adalah, punuk di punggungnya. Orang itu bungkuk. Dan usianya sekitar dua puluh lima tahun. Kalau bertemu dengannya, aku tak akan lupa wajahnya."
"Seperti yang kukatakan tadi, kami tidak bermaksud mencurigaimu, Nyai," kata Ki Senggono, merasa masih tak enak hati.
"Terima kasih, Ki. Seperti yang diketahui semua penghuni kuil ini adalah wanita. Dan aku tak pernah memaksa mereka untuk tinggal di sini. Apalagi, menculiknya. Mereka yang datang ke sini sukarela. Atau, yang membutuhkan pertolongan. Tidak ada alasan bagi kami untuk menculik wanita. Pasti ada orang lain yang hendak mencemarkan nama baik kuil ini," jelas Nyai Pucuk Cemara.
"Kalau begitu maafkan kami, Nyai. Kalau tidak keberatan, maukah Nyai menjawab dua pertanyaanku lagi" Setelah itu, kami akan angkat kaki," ucap Rangga.
"Hm, apa itu?"
"Apakah semua kegiatan di tempat ini dikerjakan wanita?"
"Ya."
"Termasuk membelah kayu dengan kapak besar?"
Rangga tadi memang melihat sebuah kapak besar masih tergeletak di samping kiri bangunan besar ini, di antara tumpukan balok kayu.
*** 6 Ki Senggono tidak berpikir sampai ke situ. Membelah kayu dengan kapak besar amat jarang dilakukan wanita. Bahkan seumur hidup belum pernah dilihatnya. Itu pekerjaan laki-laki yang membutuhkan tenaga besar.
"Apa yang aneh" Apakah wanita tidak boleh membelah kayu dengan kapak?" tanya Nyai Pucuk Cemara sambil tersenyum.
Wanita ini lantas mengajak kedua orang itu ke samping bangunan yang disebut Kuil Emas ini. Segera diletakkannya sepotong kayu besar. Kemudian diambilnya kapak dan diangkatnya tinggi-tinggi.
Prak! Kayu gelondongan di depan Nyai Pucuk Cemara terbelah dua. Wanita itu tersenyum pada dua tamunya.
"Nah! Tak ada yang aneh, bukan" Wanita-wanita di sini terbiasa membelah kayu," tukas Nyai Pucuk Cemara.
"Baiklah.... telah kami lihat semuanya, Nyai. Kami pamit dulu. Maaf, telah mengganggu ketenanganmu," ucap Rangga.
Wanita setengah baya itu mengangguk dengan tersenyum anggun melepas kedua tamunya meninggalkan tempat ini. Sesaat dia masih tegak berdiri memandang mereka yang tengah menaiki kuda masing-masing dan menggebahnya. Setelah pintu gerbang tertutup, dia berbalik dan melangkah pelan sambil bertepuk sekali.
Tak lama, muncul seorang gadis yang langsung menjura hormat.
"Nyai...!" sapa gadis yang tak lain murid Nyai Pucuk Cemara ini.
"Tolong panggilkan si Gandul. Suruh dia ke ruanganku," ujar wanita setengah baya itu.
"Banyak, Nyai."
Setelah gadis itu berlalu Nyai Pucuk Cemara melangkah lebar ke dalam bangunan rumahnya. Begitu masuk, dia melangkah menuju sebuah ruangan luas yang memiliki sejumlah tiang yang letaknya semrawut. Di salah satu pojok terdapat beberapa buah senjata dan alat-alat lain yang digunakan untuk berlatih ilmu silat.
"Nyai, hamba memenuhi panggilanmu!"
Nyai Pucuk Cemara menoleh, mendengar suara seseorang di ambang pintu.
"Masuklah Gandul," sahut wanita itu tanpa berbalik.
Orang yang dipanggil Gandul pun masuk ke dalam, dan duduk bersimpuh di dekat wanita itu.
"Tahukah kau, mengapa kupanggil ke sini?" tanya Nyai Pucuk Cemara.
"Maafkan hamba yang bodoh, Nyai. Hamba benar-benar tidak mengetahuinya."
"Baru saja aku kedatangan dua orang tamu. Mereka menceritakan tentang penculikan yang sering terjadi di desa. Kau tahu, apa hubungannya denganmu?"
"Hamba tidak mengerti, Nyai...."
"Tadi malam mereka bertemu penculik itu, dan menceritakan ciri-cirinya. Tahukah kau kalau ciri-ciri yang diceritakan persis sama dengan keadaanmu?"
"Maksud, Nyai, hambakah yang melakukan penculikan itu"!" tanya laki-laki yang juga bertubuh bungkuk dengan wajah kaget.
"Aku tidak menuduh begitu. Tapi, barangkali kau punya alasan untuk menyangkal semua itu."
"Hamba tidak melakukannya, Nyai! Sepanjang malam tadi hamba berada di kamar dan tidak keluar-keluar sedikit pun!" kilah Gandul.
"Aku ingin bertanya padamu. Dan mudah-mudahan, kau mau menjawabnya terus-terang," kata perempuan setengah baya itu.
"Pertanyaan apa gerangan, Nyai?"
"Kau membawa beberapa wanita padaku. Dari mana mereka kau dapatkan...?"
"Mereka adalah orang-orang telantar yang membutuhkan pertolongan, Nyai. Mereka datang ke sini, karena kuanggap kuil ini bisa memberi perlindungan. Aku sama sekali tidak pernah memaksa mereka ke sini, Nyai. Apalagi menculiknya! Pasti semua ini fitnah," tegas Gandul.
"Tenanglah, Gandul. Persoalan ini harus dipecahkan dengan kepala dingin," ujar Nyai Pucuk Cemara.
"Mengapa Nyai tidak mempertemukan hamba dengan kedua tamu itu, agar hamba bisa menjelaskannya dengan seksama?"
"Itu bukan tindakan tepat. Aku khawatir, mereka malah semakin menuduh."
"Tapi kenapa mereka begitu yakin kalau penculik itu ada di sini, Nyai?"
"Penculik itu sendiri yang mengatakan, sebelum seseorang menyelamatkannya."
"Nyai.... Persoalan ini mesti dibuat terang. Hamba adalah tersangka. Dan kalau hamba tidak ikut menjernihkannya, mungkin kelak persoalan akan semakin rumit. Dan pada saat itu, mungkin pembelaan hamba tidak ada lagi artinya," tandas Gandul.
"Jadi, apa maksudmu?" tanya perempuan setengah baya ini.
"Izinkan hamba untuk ikut menyelidiki persoalan ini!" pinta Gandul, penuh semangat.
"Bagaimana, Nyai?"
"Kalau mereka menangkapmu, maka nama Kuil Emas mau kutaruh di mana" Mereka tidak akan peduli dan memaksamu habis-habisan."
"Nyai jangan khawatir. Aku akan bergabung dengan mereka. Dengan demikian, mereka tak akan menuduhku...."
"Baiklah. Kalau sudah bulat tekadmu, maka aku merestuinya. Doaku bagi keselamatanmu."
"Terima kasih, Nyai."
Rangga dan Ki Senggono berkuda lambat-lambat menyusuri rerimbunan pohon. Sejak tadi belum ada yang membuka suara, seperti asyik dengan pikiran masing-masing.
"Bagaimana, Rangga?" tanya Ki Senggono, memecah kebisuan.
"Hmm," gumam Rangga.
"Masih mencurigai Nyai Pucuk Cemara?"
"Perasaanku mengatakan, kalau wanita itu menyembunyikan sesuatu...."
"Sudahlah. Buang jauh-jauh perasaan itu. Aku tidak yakin kalau mereka memiliki watak jahat."
"Aku tidak mengatakan begitu, Ki."
"Aku jadi tidak enak hati bila berhadapan dengan Nyai Pucuk Cemara dengan membawa tuduhan yang memberatkan."
"Ya, ya. Aku mengerti. Tapi..., sepertinya dia tidak ingin ikut membantu memecahkan persoalan ini."
"Maksudnya?"
"Lihat caranya membelah kayu tadi" Lengan wanita biasa tidak akan mampu mengangkat kapak besar dengan mudah dan membelah kayu sebesar itu."
"Aku memang pernah mendengar kabar kalau Nyai Pucuk Cemara memiliki ilmu olah kanuragan," ungkap Ki Senggono.
"Mestinya dia menawarkan diri untuk membantu, bukan" Sebab, rasanya kita jelas-jelas mencurigainya. Dan kalau merasa tidak bersalah, dia pasti berusaha membela diri dan mencari pelakunya dengan membantu kita," kata Rangga.
"Mungkin dia punya cara sendiri untuk itu," duga Ki Senggono.
"Ya, mungkin juga...," sahut Rangga datar.
"Lalu, apa yang mesti kita kerjakan selanjutnya, Rangga?"
"Sementara ini aku akan terus meronda setiap saat."
"Ini merepotkanmu tentunya. Aku jadi malu. Sebagai kepala desa tak bisa berbuat banyak pada warganya...."
"Jangan berkata begitu, Ki. Sebelum aku, tentu Ki Senggono telah berbuat banyak pada desa ini. Manusia tak ada yang sempurna. Suatu saat, semua orang tentu pernah merasakan tidak mampu berbuat sesuatu...."
"Ya. Kau benar, Rangga."
Pada saat ini mereka telah tiba di sebuah padang rumput luas.
"Apa yang terdapat di ujung padang rumput di depan sana, Ki?" tanya Rangga, seraya menghentikan langkah Dewa Bayu.
"Tidak ada apa-apa selain bukit-bukit kecil di kaki gunung," sahut Ki Senggono, juga menghentikan lari kudanya.
"Hmm...!"
"Ada apa, Rangga?"
"Ki Senggono.... Selama ini sudah berapa wanita yang diculik?"
"Sekitar tujuh orang...."
"Mereka tak pernah ditemukan lagi, bukan?"
"Ya."
"Apakah sudah diadakan pencarian?"
"Seluruh tempat telah kami cari. Namun, mereka tidak juga ditemukan Bahkan mayatnya pun tidak terlihat."
"Apakah kalian pernah mencarinya ke sana?" tunjuk Rangga.
"Rasanya belum.... Di sana terdapat kawanan serigala yang sewaktu-waktu dapat memangsa apa saja. Entah itu hewan atau manusia."
"Begitukah" Lalu, mengapa masih kulihat seseorang menggembalakan kambingnya di sana?"
"Apa" Benarkah"!" tanya Ki Senggono kaget.
Kepala desa itu berusaha menajamkan penglihatannya. Namun, tidak terlihat apa pun sejauh mata memandang. Hanya batas cakrawala yang menyentuh permukaan tanah.
"Aku tidak melihat apa-apa di sana, Rangga?"
"Ah, maafkan aku. Kalau begitu, maukah kau kuajak ke sana" Bagian tengah padang rumput itu agak tinggi, sehingga penglihatan Ki Senggono sedikit terhalang."
"Baiklah. Tapi..., bagaimana bila kawanan serigala itu tiba-tiba muncul?"
Pendekar Rajawali Sakti 187 Penghuni Kuil Emas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau kawanan serigala itu ada, tentu kawanan kambing itu tidak di sana," kilah Rangga.
Mereka segera sama-sama menggebah kuda masing-masing dengan kecepatan sedang.
Ki Senggono memang khawatir. Tapi dia juga penasaran karena tidak melihat kawanan kambing yang digembalakan di sana. Memang, hal itu tidak dimengerti karena Rangga menggunakan aji "Tatar Netra", sehingga mampu melihat meski dari jarak jauh.
Setelah beberapa saat berkuda, barulah Ki Senggono bisa melihat kawanan kambing yang tengah merumput. Dan ini membuatnya berdecak heran.
"Hm.... Aku tidak mengerti, bagaimana semua ini terjadi. Atau barangkali si penggembala itu begitu nekat"!" tanya Ki Senggono, heran.
"Apakah kawanan serigala itu sering memangsa ternak peliharaan?" Rangga malah balik bertanya.
Ki Senggono mengangguk cepat. "Bukan sering lagi. Bahkan ternak yang kesasar ke sana tidak akan selamat."
"Hmm...!"
Mereka berhenti. Dan Ki Senggono mengedar pandangan untuk mencari siapa gerangan si penggembala kambing yang nekat itu.
"Sebaiknya kita turun, Ki. Dan melihat-lihat keadaan...," ujar Pendekar Rajawali Sakti, seraya turun dari kudanya.
"Bagaimana jika kawanan serigala itu tiba-tiba muncul?" tanya Ki Senggono bernada khawatir.
"Jangan khawatir!"
"Baiklah," kata Ki Senggono, segera turun pula dari kudanya.
Keduanya segera menambatkan kuda lalu perlahan-lahan mendekati kawanan kambing yang tengah merumput. Tidak terlihat seorang pun di tempat itu.
"Aneh! Kambing-kambing ini tidak digembalakan!" desis Ki Senggono.
"Kambing-kambing ini jinak, Ki. Itu membuktikan kalau mereka hewan peliharaan. Si penggembala mungkin tengah beristirahat di balik bukit-bukit atau gua-gua kecil di sekitar bukit itu."
"Ya. Mungkin juga."
Baru saja Ki Senggono berkata demikian....
"Ki Senggono...! Ki Senggono...!"
Pada saat itu terlihat seseorang menghampiri dengan tergopoh-gopoh dari sebelah kiri bukit. Seorang pemuda kurus bertubuh kecil.
"Hmm!"
"Dirja! Kaukah itu"!"
Pemuda kurus yang dipanggil Dirja mengangguk-angguk dan mengatur pernapasannya sambil menunjuk-nunjuk ke balik bukit di depan mereka.
"Hei, tenangkan dirimu dulu. Setelah itu, baru ceritakan apa yang kau lihat!" ujar Ki Senggono.
"Si bungkuk! Si bungkuk ada di sana, Ki...!" cetus Dirja.
"Apa"!"
Wajah Rangga dan Ki Senggono tampak kaget.
"Ayo, tunjukkan padaku!" ajak Rangga.
Tanpa menunggu jawaban, Rangga telah menggamit lengan Dirja dan membawanya melesat cepat seperti terbang. Dirja bergidik ngeri!
"Wuiii...!"
*** Ratmi bergidik ngeri membayangkan apa yang akan terjadi padanya. Terlebih ketika laki-laki bungkuk bernama Denawa mulai membuka bajunya sambil menyeringai lebar.
"Kau membuatku gemas, Anak Manis...," desah Denawa.
"Lepaskan aku! Lepaskaaan...!" bentak Ratmi garang.
"Melepaskanmu" Gila! Aku akan melepaskanmu setelah merasakan kehangatan tubuhmu."
Ratmi melotot geram, tapi tak mampu berbuat apa-apa dalam keadaan tertotok begini.
"Mestinya sejak semalam kulakukan hal ini. Tapi beruntung majikan memanggilku, maka baru hari ini aku punya kesempatan Tentunya kau masih sabar menunggu, bukan?"
"Keparat busuk! Berani kau menyentuh, maka ayahku akan mencarimu meski kau sembunyi di lubang semut!"
"Ayahmu" Hm, aku baru ingat. Si Dewa Api itu memang hebat. Tapi, dia tidak di sini dan tak bisa menghalangi niatku."
"Terkutuk kau, Bungkuk Keparat! Aku bersumpah akan membunuhmu!"
"Membunuhku" Hm.... Kalau begitu akan kupertimbangkan, apakah sebaiknya nanti melepaskan, atau..., membunuhmu saja."
Pemuda bungkuk itu mengerutkan dahi pura-pura berpikir.
"Ah, itu masalah nanti! Yang terpenting, sekarang! He he he...!"
Denawa mendekat, kalau duduk di sisi altar batu di mana gadis itu terbaring.
"Hm.... Benar juga kataku. Kau memang cantik, dan..., montok!" gumam Denawa sambil tersenyum kecil.
Sebelah tangan laki-laki bungkuk ini merayapi betis Ratmi. Lalu, perlahan-lahan bergerak ke atas.
"Terkutuk kau, Bungkuk! Lepaskan aku! Lepaskaaan...!" teriak Ratmi dengan muka bergidik ngeri dan hati gemuruh oleh amarah.
"Ha ha ha...! Apakah kau kira ada yang membantumu dari cengkeramanku" Di sekeliling tempat ini tidak ada yang berani mendekat. Mereka takut kawanan serigala peliharaanku. Ha ha ha...! Jadi, tak ada gunanya kau berteriak. Lebih baik pasrah saja, Anak Manis," leceh Denawa.
Perasaan cemas, geram, dan tak berdaya tumpah jadi satu ketika tangan-tangan laki-laki bungkuk terus merayap ke atas. Menjamah tubuhnya dengan penuh nafsu, laksana serigala lapar yang melihat mangsa tak berdaya di hadapannya. Air liurnya menetes. Dan erangannya mulai terdengar.
Kret! "Ouuuw...!"
Ratmi menjerit, ketakutan. Bagian dada bajunya dirobek dengan gemas oleh Denawa.
"Hm.... Dadamu bagus, pertanda telah meningkat dewasa...!" puji laki-laki bungkuk dengan mata membelalak dan air liur seperti mau jatuh.
"Bangsat terkutuk! Keparat kau! Jangan sentuh aku! Aku jijik dengan tangan-tanganmu!" teriak Ratmi.
"Boleh saja kau memaki sepuasmu. Tapi, jangan harap bisa menyurutkan niatku!" desis Denawa.
Napas laki-laki ini terasa kasar. Dan matanya tak berkedip melihat dua buah bukit berbentuk bagus itu Detak jantungnya lebih cepat lima kali lipat. Dan tubuhnya meradang hebat.
"Sabarlah, Sayang. Aku tidak lama...!"
Terburu-buru Denawa melepaskan pakaian. Lalu dihampirinya gadis itu sambil tersenyum-senyum lebar.
"Nah! Sekarang kau lihat, aku telah siap, bukan" Sebaiknya kau pun bersiap-siap pula," kata Denawa sambil menggerakkan tangannya. Dan....
Bret! Bret! "Aaouuw...!"
Laki-laki bungkuk ini agaknya tak sabaran, sehingga merobek-robek sisa-sisa pakaian Ratmi dengan kasar. Karuan saja gadis itu terpekik ketakutan. Jantungnya seperti berhenti berdenyut dan mukanya pucat pasi. Seumur hidupnya belum pernah dia mengalami kejadian buruk seperti ini. Masa remaja baru direguknya beberapa saat. Dan kejadian ini, membuat pandangannya mendadak kabur. Tapi Ratmi berusaha menguatkan hati. Dan semangatnya untuk tetap sadar terus menggebu. Dia berusaha berteriak-teriak ketika dada Denawa mulai menghimpit dan menyulitkan jalan napasnya.
Di saat yang gawat bagi Ratmi, mendadak berkelebat satu sosok bayangan putih, yang langsung melepas tendangan geledek ke arah Denawa.
Duk! "Aaakh...!"
Telak sekali kaki kiri bayangan itu bergerak menghantam pinggang Denawa. Laki-laki bungkuk itu menjerit kesakitan dan terjungkal menghantam dinding gua.
"Keparat! Siapa ini"!" bentak Denawa, garang.
Laki-laki ini cepat bangkit, membuat kuda-kuda tanpa menyadari keadaan dirinya yang masih bugil. Tapi ketika mengetahui siapa sosok di hadapannya, wajahnya kelihatan pucat tak bergairah. Semangatnya mendadak runtuh. Dan kesombongannya perlahan-lahan sirna. Meski begitu, dia berusaha menyembunyikan ketakutannya rapat-rapat.
"Pakailah ini!" desis sosok bayangan yang tak lain Rangga seraya melemparkan celana Denawa dengan sebelah kakinya.
"Hup!"
Memang, tadi Pendekar Rajawali Sakti mendengar teriakan Ratmi. Begitu bisa menentukan sumber suara, Rangga cepat berkelebat dan sampai di tempat ini.
*** ? Selanjutnya Bagian 7-8 (selesai)
? Penghuni Kuil Emas
? Daftar Isi Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 187. Penghuni Kuil Emas ~ Bag. 7-8 (selesai)
12. April 2015 um 03:55
7 Dengan sigap Denawa menangkap celana dan buru-buru memakainya.
Sementara, bagian baju laki-laki bungkuk dikebutkan Rangga ke samping, untuk menutupi tubuh Ratmi yang tengah tergolek dalam keadaan menggiurkan.
"Maaf, Nisanak. Sementara ini hanya itu yang bisa menutupi tubuhmu...," kata Rangga tanpa menoleh.
"Jahanam itu telah menotokku. Bebaskan aku! Akan kuhajar dia!" bentak Ratmi lantang.
"Diamlah dulu di situ. Biar dia kuurus," ujar Rangga.
"Tidak! Dia harus mati di tanganku!" tukas gadis itu.
Rangga tidak mempedulikannya. Kakinya kini melangkah tenang mendekati Denawa.
"Hei, tulikah telingamu"! Bebaskan aku! Bungkuk keparat itu bagianku!" teriak Ratmi kalap.
"Tidakkah kau dengar dia, Kisanak" Dia hendak menghajarku. Jadi, kenapa tidak kau bebaskan saja dia dulu, agar leluasa membalaskan dendamnya padaku?" kata Denawa sambil mendengus dingin.
"Itu memang yang kau inginkan, bukan" Kau berhasil mengatasi gadis itu. Dan bila dia menyerangmu, maka kau tidak ada kesulitan melumpuhkannya. Lalu, kau jadikan tameng agar aku melepaskanmu" Huh! Siasat licikmu tak akan berhasil!" dengus Rangga.
"Hm.... Aku tak mengerti apa maksudmu. Gadis itu ingin membalas dendam padaku. Kenapa kau ikut campur urusannya?" tukas Denawa.
Rangga tersenyum dingin.
"Persoalanmu bukan hanya pada gadis ini. Tapi, gadis-gadis lain yang kau culik. Dan hari ini segalanya akan berakhir. Kau akan menerima hukuman setimpal atas perbuatan-perbuatanmu selama ini," kata Rangga, dingin.
"Keparat! Kau kira begitu mudah menangkapku" Huh!"
"Kalau begitu akan kubuktikan."
Selesai berkata demikian, Rangga bergerak cepat ke arah Denawa dengan kedua tangan membentuk cakar rajawali.
"Hiyaaa!"
"Uhh...!"
Laki-laki bungkuk itu mengeluh dalam hati, menyadari kalau pemuda di depannya tak bisa dianggap main-main. Maka ketika Rangga mendekat, dia merapat ke dinding gua seraya menghentak kedua tangannya.
"Uts!"
Jderrr...! Rangga mengegos ke samping, membuat pukulan jarak jauh Denawa hanya menghantam dinding gua. Sambil bergerak ke samping, kaki kanannya menyabet leher.
Laki-laki bungkuk itu menunduk, dan coba menangkap pergelangan kaki Rangga. Tapi sebelum hal itu dilakukannya, kaki Pendekar Rajawali Sakti yang satu lagi melesat ke arah batok kepalanya. Sehingga terpaksa dia melompat ke samping.
Tap! "Hiih!"
Luncuran kaki Rangga menyentuh dinding gua. Tapi, itu dijadikannya pijakan untuk kembali melejit menerjang Denawa yang baru saja berbalik lewat kepalan tangan kanan.
Plak! Pemuda bungkuk itu coba menangkis. Tapi berikutnya, kaki kiri Pendekar Rajawali Sakti menyodok ke dada.
Dess...! "Aaakh...!"
Denawa kontan terjungkal ke belakang sambil menjerit kesakitan.
"Uhh...!"
Meski begitu, pemuda bungkuk itu berusaha cepat bangkit. Punggungnya terasa perih membentur dinding gua yang permukaannya tidak rata. Ada yang menonjol bulat. Dan, ada juga yang runcing. Tidak heran kalau kulit punggungnya luka-luka.
"Heup!"
"Hei"!"
Dan sebelum Denawa sempat melakukan apa-apa, Pendekar Rajawali Sakti kembali berkelebat, seketika cekalan tangan kirinya telah mengancam leher laki-laki bungkuk itu yang kaget dengan mata melotot ketakutan.
"Hari ini ingin kulihat, siapa yang berani menolongmu!" dengus Rangga seraya menotok Denawa hingga tak berkutik.
Tuk! Tuk! Begitu tubuh Denawa terkulai, Rangga menghempaskannya begitu saja ke dekat Ki Senggono dan gembala bernama Dirja yang telah berada di dalam gua itu.
"Ki Senggono sebaiknya bedebah ini diikat dulu."
"Eh, iya! Dirja, coba tolong carikan tali yang kuat!"
"Baik, Ki."
"Hei, lepaskan aku!" teriak Ratmi yang masih terbaring di atas altar batu.
"Hm, hampir saja aku lupa...," Rangga tersenyum kecil seraya menghampiri gadis itu. "Hm, kasihan sekali. Gadis cantik sepertimu mesti mengalami kejadian seperti ini."
"Tutup mulutmu! Lepaskan totokanku ini!" hardik gadis itu.
"Hei" Aku bukan budakmu, Nisanak. Lagi pula, kami tidak berkepentingan denganmu. Setelah berhasil menangkap si bungkuk itu, maka kami mesti segera pergi. Mudah-mudahan kau bisa bertemu si bungkuk lainnya di tempat ini," sahut Rangga kalem.
"Kurang ajar kau! Lepaskan aku! Bungkuk keparat itu mesti mendapat ganjaran setimpal dariku...! Cepat lepaskan!" teriak Ratmi, makin kalap.
"Hm, apalagi begitu. Kau terpaksa tak bisa kulepaskan."
"Sialan! Kalau ayahku tahu, kau pasti akan dihajar habis-habisan!"
"Hm, kukira gadis secantikmu telah dewasa. Tapi, rupanya masih seorang bocah yang suka membawa-bawa nama ayahnya untuk menakut-nakuti orang lain. Aku takut, Nisanak. Oleh karena itu, izinkanlah kami pergi," kata Pendekar Rajawali Sakti ketika melihat Dirja telah kembali bersama seutas rotan kecil pengikat kedua tangan dan kaki Denawa.
"Hei, mau ke mana kalian"!" bentak Ratmi ketika melihat ketiga orang itu akan keluar.
Namun mereka tidak menoleh. Apalagi menyahut!
"Hei, jangan tinggalkan aku di sini! Hei, kembali! Lepaskan akuuu...!" teriak Ratmi.
Tapi gadis itu terpaksa merutuk-rutuk ketika ketiga orang tadi tidak juga kembali. Mulutnya memuntahkan sumpah serapah dan caci maki. Hatinya gemuruh oleh amarah dan dendam.
"Pemuda keparat! Aku bersumpah akan menghajarmu bila suatu saat bertemu lagi!" desis Ratmi.
"Tidak bisakah keangkuhanmu dibuang pada saat kau tak berdaya" Mungkin orang akan sedikit menaruh belas kasihan...."
"Heh"!"
Terdengar suara, membuat Ratmi tersentak kaget.
Ratmi mendelik garang ketika melihat siapa yang muncul.
"Kenapa kau kembali?" dengusnya sinis.
"Jadi kau lebih suka di sini?" tukas sosok yang tak lain Rangga.
Gadis itu diam membisu.
"Kalau kau mau berjanji tidak mengganggu si bungkuk, maka aku akan melepaskanmu," kata Rangga, memberi penawaran.
"Kau tahu, apa yang dilakukannya terhadapku"!"
"Ya. Aku lihat sedikit. Tapi, bukan hanya kau saja yang menjadi korbannya. Jadi kita tak bisa menghakiminya begitu saja. Orang lain mungkin tidak akan puas. Keluarga para gadis yang menjadi korban tentu akan menuntut keadilan pula. Kalau kau bunuh dia, maka kebencian mereka akan ditumpahkan padamu. Sebab, kebanyakan mereka tidak menyukaimu, setelah apa yang hendak kau lakukan terhadap Ki Jawul," jelas Rangga.
"Itu salahnya sendiri! Kenapa dia mau main hajar saja sebelum memeriksa persoalan," Ratmi coba berkilah.
"Orang tua itu kalap, karena anaknya diculik! Kalau kau jadi orang tua, maka akan merasakan betapa cemasnya perasaanmu bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada anakmu."
"Ayahku tidak pernah cemas bila terjadi sesuatu padaku!"
"Tidak mungkin. Ayahmu pasti menyayangimu. Hanya saja, mungkin kau tak tahu. Atau rasa sayangnya tidak ditunjukkan terang-terangan." Ratmi terdiam.
"Nah! Kalau kau mau berjanji, totokanmu akan kubebaskan sekarang juga."
"Baiklah...."
"Aku mempercayaimu. Maka, jangan cari akal-akalan untuk memperdayaiku."
"Tidak...."
Tangan Rangga segera bergerak cepat.
Tuk! Tuk! Begitu totokannya terbebas, buru-buru gadis itu bangkit dan menyembunyikan diri di balik batu-batu karang.
"Apakah tidak ada pakaian lain yang kau bawa?" tanya Ratmi.
"Aku ke sini bukan untuk membawa pakaian. Ini darurat. Maka pakai saja pakaianmu yang tersisa."
"Dasar bungkuk terkutuk! Aku terpaksa harus memakai bajunya!" desis Ratmi geram.
Dengan wajah bersemu merah, Ratmi terpaksa keluar memakai baju Denawa. Sedangkan untuk menutupi bagian pinggang ke bawah, digunakannya sisa-sisa pakaiannya yang masih utuh. Dililitkan begitu saja, sehingga beberapa bagian paha dan betisnya masih terlihat.
"Hm... Kau tampak lebih cantik dengan pakaian itu," ledek Rangga.
"Jangan mengejek! Kemarahanku pada laki-laki bungkuk keparat itu belum lagi sirna. Bisa-bisa kau yang akan kujadikan pengganti kemarahanku padanya."
"Siapa yang mau menerima kemarahan" Tapi sedikit elusan dan senyum, mungkin semua orang suka!" cetus Rangga sambil tersenyum, lalu beranjak keluar.
"Huuu! Maunya...!"
Pendekar Rajawali Sakti terkekeh. Dan diam-diam tanpa sepengetahuannya, gadis itu senyam-senyum juga. Tapi ketika Rangga melirik, buru-buru dipasangnya wajah cemberut.
Sementara itu Ki Senggono dan Dirja menunggu di tempat yang agak jauh. Meski tidak suka terhadap kelakuan Ratmi, tapi mereka juga tak tega meninggalkannya seorang diri di dalam gua. Itulah sebabnya ketika Rangga kembali dan bermaksud menolong, mereka tidak keberatan.
"Bagaimana kau bisa tiba di sini, Dirja?" tanya Ki Senggono ketika Rangga dan gadis itu baru saja keluar dari gua.
"Secara tidak sengaja, Ki. Seekor kambingku nyasar ke sini. Ya, mau tak mau aku terpaksa mengejarnya. Wong ini semua kambing juragan Praja. Kalau ada yang hilang, dia tentu tidak akan mempercayakan kambing-kambingnya padaku lagi. Nah, saat itu secara tak sengaja aku mendengar teriakan-teriakan gadis tadi. Diam-diam, kuikuti. Dan ternyata di dalamnya ada si bungkuk. Ketika aku pulang bermaksud memberitahu pada Ki Senggono, eh, semua kambing yang kuangon sudah di sini. Mungkin karena rumput-rumput di sini lebih segar sehingga mereka tertarik," jelas Dirja, polos.
"Ya. Mungkin juga. Tapi karena kebetulan itu justru Rangga mampu meringkus penculik ini!"
"Ya, Ki!" Dirja tersenyum bangga karena merasa berjasa.
Saat itu juga, Rangga dan Ratmi tiba di tempat itu. Lantas, mereka melanjutkan perjalanan menuju desa. Tapi sebelum itu, Ratmi berhenti. Diperhatikannya laki-laki bungkuk itu dengan wajah garang.
"Nisanak.... Kau telah berjanji tidak akan balas dendam padanya, bukan?" ingat Rangga.
"Aku memang berjanji tidak akan membunuhnya," sahut Ratmi, enteng.
"Syukurlah kalau begitu," sahut Rangga lega. "Nanti orang-orang desa yang memutuskan, hukuman apa yang setimpal baginya."
"Ya. Tapi bukan berarti aku akan diam saja."
Begitu habis kata-katanya, Ratmi melepas tendangan cepat menggeledek.
Duk! "Aaakh...!"
Tepat sekali ayunan kaki kiri gadis itu mendarat di bagian yang dibanggakan bagi kaum laki-laki.
Dalam keadaan tertotok, mana mampu Denawa menangkis. Apalagi mengelak. Dia kontan terpekik setinggi langit merasakan sakit yang hebat. Terasa seolah-olah benda kebanggaannya itu pecah. Saking hebatnya rasa sakit itu, sehingga air matanya meleleh dari pelupuk mata.
"Itu belum seberapa dibanding penghinaan yang kau berikan padaku!" dengus Ratmi geram.
"Cukup! Kau bisa membunuhnya!" tahan Rangga seraya menjauhkan gadis itu dari tawanannya.
"Kalau saja tidak ingat janjiku padamu, tentu akan kupecahkan burungnya!" dengus Ratmi sambil bersungut-sungut.
Melihat gelagat itu, Rangga tidak mau lagi berlama-lama di tempat itu. Segera diajak Ki Senggono dan Dirja untuk segera kembali ke desa. Dan Ratmi mengintili dari belakang. Mereka tidak berkuda, dan hanya menuntunnya saja.
*** Satu sosok tubuh bungkuk mengendap-endap. Kepalanya terbungkus kain dengan dua bolongan pada bagian mata. Hati-hati sekali dia berusaha mengikuti sesosok tubuh yang tadi dilihatnya bergerak lincah seperti sehelai kapas tertiup angin, tepat di depan rumah Ki Danang.
"Hm.... Diakah orangnya" Gerak-geriknya mencurigakan sekali," gumam sosok bertopeng itu.
Sosok bertubuh bungkuk itu celingukan mencari-cari, tapi tidak juga bertemu.
"Kalau tidak salah, dia tadi melompat ke sini. Tapi, ke mana?"
Sosok bertopeng ini memperhatikan keadaan sekelilingnya. Selain semak-semak, juga banyak terdapat pepohonan.
"Mungkin dia melompat ke atas dan bersembunyi di antara rerimbunan daun-daun?" lanjutnya bergumam, seraya menoleh ke atas dan mengedarkan pandangan.
"Hm, siapa yang kau ikuti, Denawa?"
"Hei"!"
Sosok bertopeng dan bertubuh bungkuk itu tersentak dan cepat menoleh ketika terdengar sapaan dari belakang. Dan kini melihat seorang wanita setengah baya tegak berdiri pada jarak lima langkah di belakangnya.
"Hm, hebat juga dia. Aku tak boleh gegabah...," lanjut sosok bertopeng yang dipanggil Denawa bergumam dalam hati.
"Siapa yang kau ikuti, Denawa?" ulang wanita itu.
"Eh! Ngg..., bukan siapa-siapa. Nyai," sahut sosok bungkuk ini, tergagap.
"Hmm!"
Wanita setengah baya itu memperhatikan seksama. Dan yang diperhatikan kelihatan rikuh. Namun, sebisa mungkin dia coba menguasai diri.
"Di mana kau sembunyikan gadis yang baru saja kau culik?"
"Gadis yang mana. Nyai?"
"Jangan berlagak pilon kau! Tunjukkan di mana dia! Atau, bawa ke sini! Aku memerlukannya sekarang juga!" bentak wanita setengah baya itu.
"Baiklah, Nyai."
Orang bertopeng itu berbalik. Tapi sebelum berlalu....
"Tunggu!" panggil wanita itu.
"Eh, ada apa lagi, Nyai?" tanya Denawa.
"Tunjukkan saja padaku, di mana kau sembunyikan dia?" desak perempuan itu.
"Biar saja kubawa dia kepadamu, Nyai," tolak Denawa, halus.
"Kenapa" Aku ingin melihatnya sendiri, apakah persembunyian itu cukup rapi?"
"Tentu saja, Nyai! Mana mungkin kulepaskan."
"Bagus! Kalau begitu, tunjukkan padaku!" pinta perempuan tua, mulai memaksa.
"Tapi, Nyai...."
"Kenapa kau ini"!" hardik wanita itu, memotong. "Apakah kau melepaskannya?"
"Eh! Tentu saja tidak, Nyai."
Wanita itu terdiam Matanya memandang penuh curiga pada laki-laki bungkuk yang dipanggil Denawa di hadapannya.
"Denawa! Tahukah kau, siapa namaku"!"
"Ah, Nyai bergurau.... Tentu saja aku tahu, Nyai!"
"Siapa?"
"Kenapa Nyai mesti menanyakan hal itu?"
"Jawab saja, Denawa! Siapa aku"!" bentak wanita setengah baya itu, garang.
Laki-laki bertopeng dan bungkuk itu jadi salah tingkah. Merasa topengnya terbongkar, secepat kilat dia berbalik dan mencoba kabur.
"Huh! Kau kira bisa semudah itu menipuku! Jelas, kau bukan Denawa!" dengus wanita itu seraya berkelebat mengejar.
Kejar-mengejar itu tidak berlangsung lama. Dan agaknya ilmu meringankan tubuh wanita itu jauh lebih tinggi. Sebentar saja wanita itu telah mencelat dan mendarat di hadapan pemuda bungkuk itu.
"Berhenti kau!"
"Hiih!"
Tapi sosok bungkuk itu tak mempedulikannya. Langsung dilayangkannya tendangan ke ulu hati. Wanita setengah baya itu menepis dengan tangan.
Plak! Baru saja terjadi benturan, wanita ini melayangkan kepalan kanannya ke dada.
Desss...! "Aaakh!"
Orang bungkuk itu kontan terpental ke belakang disertai jerit kesakitan. Hantaman tadi begitu keras dan kuat, sehingga dia memuntahkan darah segar.
"Hiih!"
Sementara wanita setengah baya itu seperti tak mau memberi kesempatan sedikit pun. Dia segera melompat dan langsung melayangkan tendangan.
Siuuut! "Uhh...!"
Si bungkuk berusaha menghindar ke samping. Tapi wanita itu telah berputar cepat seraya melepas sebuah totokan.
Tuk! "Ohh!"
Pendekar Rajawali Sakti 187 Penghuni Kuil Emas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Laki-laki bungkuk itu kontan ambruk tak berdaya. Tubuhnya terasa lemas bukan main mendapat totokan di dadanya.
"Kau harus memberitahu, siapa kau sebenarnya"!" desak wanita itu.
"Aku..., aku Denawa."
"Keparat! Kau kira bisa menipuku, heh"!"
Wanita itu bergerak, hendak melepas topeng yang dikenakan sosok yang mengaku bernama Denawa. Namun....
"Cukup sudah, Nyai Gendari.... Sandiwaramu telah tamat...."
"Heh"!"
*** 8 Wanita setengah baya yang dipanggil Nyai Gendari tersentak kaget, begitu mendengar suara teguran dari belakang. Begitu menoleh, dia melihat seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung menyembul dari punggung, tahu-tahu telah berdiri di depannya.
"Hm.... Kiranya kau, Rangga," sambut Nyai Gendari.
"Tak usah berbasa-basi lagi, Nyai...," ujar Rangga.
"Hei"! Apa maksudmu, Rangga?"
"Maksudku" Ya, tentu saja hendak menangkap penculik."
"Penculik" Penculik apa?"
"Penculik gadis-gadis desa ini, dan desa tetangga."
"Kau ini bicara apa, Rangga"!" bentak Nyai Gendari.
Pendekar Rajawali Sakti melangkah tenang, menghampiri sosok bertopeng dan bertubuh bungkuk yang tadi mengaku bernama Denawa. Segera dilepasnya topeng itu.
"Terima kasih, Gandul.... Kerjasamamu baik sekali. Tanpa bantuanmu, tak mungkin teka-teki ini terungkap...," ucap Rangga pada sosok bungkuk yang tak lain Gandul, pembantu di Kuil Emas.
Pemuda bungkuk itu memutuskan untuk bergabung dengan Pendekar Rajawali Sakti dan penduduk Sabrang Lor, guna menuntaskan masalah yang terjadi. Maka begitu Rangga berhasil membekuk Denawa yang asli, segera disusunlah suatu siasat untuk memancing keluar si otak penculik itu.
Lewat suatu tekanan yang berat, Denawa yang asli akhirnya mengaku kalau otak penculikan bukan dari Penghuni Kuil Emas, melainkan sosok lain.
"Sama-sama, Pendekar Rajawali Sakti. Aku pun sangat berterima kasih, karena dengan demikian Kuil Emas terlepas dari fitnah keji," sahut sosok bungkuk yang telah terbuka topengnya. Dia memang Gandul.
"Nah, kini aku tinggal menangkap penculiknya," kata Rangga. "Nyai Gendari, menyerahlah secara baik-baik."
"Kau menuduh sembarang orang, Rangga!" sergah Nyai Gendari.
"Kalau saja aku tidak punya bukti, mana mungkin aku menuduh sembarang orang," tukas Rangga.
"Apa buktimu?"
Rangga menepuk tangan dua kali. Dan tak berapa lama, muncul Ki Senggono memondong seorang pemuda bungkuk lain. Di dekatnya, Dirja menuntun dua ekor kuda.
"Mungkin kau kenal pemuda bungkuk ini!" kata Rangga.
"Hmm!"
Wanita setengah baya itu memperhatikan seksama.
"Aku tidak kenal orang ini!" sanggah Nyai Gendari.
"Tapi dia sangat kenal denganmu, Nyai Gendari."
"Jangan memojokkanku, Anak Muda. Kalau kau terus mendesak, aku bisa marah!"
"Wanita busuk! Kenapa kau masih berpura-pura segala"! Akui saja perbuatanmu!" bentak Ratmi yang juga berada di tempat itu.
Tapi Nyai Gendari hanya terdiam. Matanya menatap tajam Ratmi dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Wajahnya mendadak muram. Dan cahaya mata keangkuhannya meredup. Sepertinya, dia tidak marah mendengar hardikan gadis itu.
"Menyerahlah kau untuk menerima hukuman atas segala perbuatan biadabmu! Percuma saja menyembunyikannya, karena si bungkuk ini telah mengakui semuanya!" lanjut Ratmi.
Nyai Gendari tetap tidak menjawab Bahkan entah kenapa bola matanya mulai berkaca-kaca. Sepertinya gadis di hadapannya ini sangat berarti baginya.
"Apa lagi yang kau tunggu" Sudah! Cepat ringkus dia!" bentak Ratmi pada Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti terkesiap. Dia seperti terjaga dari mimpi. Wanita setengah baya itu semula begitu garang. Tapi berhadapan dengan Ratmi seperti tidak berkutik sedikit pun. Otaknya cepat berpikir. Pasti ada yang tak beres antara mereka berdua! Dan sebelum menyahut apa-apa, mendadak....
"Hm.... Kini aku tahu siapa gerangan yang bermaksud merusakkan nama baik Kuil Emas...."
"Hm!"
Semua orang yang ada di tempat ini langsung menoleh, ketika mendengar suara seseorang.
"Nyai Pucuk Cemara!"
Rangga bergumam pendek ketika menoleh. Begitu juga yang lainnya. Sedangkan Ki Senggono sempat berseru girang, mengetahui siapa yang muncul.
Sebaliknya wajah Nyai Gendari berubah garang melihat kehadiran wanita setengah baya yang tak lain Nyai Pucuk Cemara.
"Huh! Syukur kau muncul di sini, Pucuk Cemara...."
"Apa maksudmu dengan fitnah kejimu, Gendari?" tanya Nyai Pucuk Cemara, langsung.
"Aku ingin kau hancur! Hancur sehancur-hancurnya...!" desis Nyai Gendari.
"Hm, sayang. Agaknya Yang Maha Kuasa belum merestui niat busukmu. Tidak puaskah kau setelah menghancurkan hidupku?"
"Dendamku tidak akan sirna padamu! Gara-gara kau, Kakang Pranajaya berpaling. Kaulah penghancur hidupku!"
Wajah Ratmi kontan berubah, ketika nama Pranajaya disebut-sebut. Dia berpikir, jangan-jangan.... Tapi, ah! Nama Pranajaya tak cuma seorang.
"Itu tidak benar. Kalian menikah. Dan aku sempat melihat perkawinan kalian, meski dari tempat tersembunyi. Kalau bicara masalah sakit hati, mestinya aku yang paling merasakannya. Tapi, aku tahu diri. Dan aku tak bermaksud merusak kebahagiaan kalian. Itulah sebabnya aku pergi sejauh-jauhnya, hingga terdampar di sini," bela Nyai Pucuk Cemara.
"Dia meninggalkanku! Dan pikirannya terus tertuju padamu. Kau duri dalam dagingku. Kau harus mati, Pucuk Cemara! Yeaaa...!"
Nyai Gendari langsung melompat menyerang Nyai Pucuk Cemara dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang demikian hebat.
"Hmm! Hatimu terlalu dirasuki dendam kesumat, sehingga akal sehatmu mati! Peristiwa itu telah jauh berlalu. Dan aku pun enggan memikirkannya. Tapi, kau masih juga mempersoalkan."
"Tutup mulutmu!"
Dengan tangkas, Nyai Pucuk Cemara mengibaskan tangan menangkis tendangan. Nyai Gendari menggeram. Lalu serangannya dilanjutkan dengan mengayunkan kepalan tangan kanan, menyodok ke jantung dengan kekuatan penuh.
"Hup...!"
Nyai Pucuk Cemara mencelat ke samping. Namun Nyai Gendari memutar tubuh mengikutinya. Sepertinya, dia tidak mau membiarkan Pemimpin Kuil Emas itu bernapas barang sekejap. Melihat itu mau tak mau Nyai Pucuk Cemara terpaksa meladeninya. Sehingga, pertarungan di antara mereka berdua semakin seru saja.
"Rangga, bagaimana ini" Apa yang mesti kita perbuat?" tanya Ki Senggono, bingung.
"Tampaknya persoalan ini berdasar dari dendam pribadi antara mereka, Ki...," sahut Rangga setengah bergumam.
"Apa maksudnya?"
"Aku hanya mengerti sedikit-sedikit persoalan ini...."
"Lalu, tindakan apa yang mesti kita perbuat?"
"Entahlah...."
"Kita harus menghentikan mereka, Rangga?"
"Itu tidak memecahkan persoalan, Ki. Bisa-bisa mereka berdua semakin kalap dan menyerang bersama-sama. Kalau itu terjadi, kita yang celaka."
Wajah Ki Senggono semakin tegang. Berkali-kali matanya melirik ke arah pertarungan yang semakin sengit saja. Masing-masing sudah mulai mengerahkan kepandaian tingkat tinggi.
Tapi pada saat itu juga, mendadak....
"Berhenti...!"
"Heh"!"
Terdengar bentakan keras yang mengagetkan mereka semua, yang disusul berkelebatnya satu sosok berpakaian merah.
"Hmm...!"
Dan tahu-tahu seorang laki-laki setengah baya telah berdiri tidak jauh dari kejadian itu. Tubuhnya gagah terbungkus pakaian merah dan rapi. Rambutnya panjang, dikuncir ke atas. Jenggot dan kumisnya sama lebat dan sebagian telah memutih. Begitu pula rambutnya.
Sementara, pertarungan pun langsung berhenti. Kedua wanita yang berseteru pun kontan menoleh, menatap tak percaya pada laki-laki yang baru saja datang.
"Pranajaya!" seru Nyai Pucuk Cemara dan Nyai Gendari hampir bersamaan.
"Ayaaah...!" teriak Ratmi seraya menghampiri laki-laki yang baru muncul itu.
"Anak bandel! Ke mana saja kau selama ini" Berani betul pergi tanpa pamit!" desis laki-laki yang dipanggil Ayah oleh Ratmi.
"Aku..., aku tidak tahan untuk mencari Ibu. Karena Ayah tidak juga mau memberitahukannya!" sungut Ratmi dengan wajah cemberut.
Laki-laki bernama Pranajaya yang dikenal berjuluk si Dewa Api itu menarik napas panjang seraya menengadah ke atas sejenak. Kemudian pandangannya beredar ke sekeliling, menatap orang-orang yang berada di sekitar tempat itu.
Tak terasa beberapa penduduk desa pun satu demi satu berkumpul di tempat itu. Memang tidak mengherankan, karena mereka berada di ujung jalan desa. Sehingga bila satu atau dua orang desa melihat kejadian, maka segera memberitahukan penduduk yang lain. Apalagi ini menyangkut soal penculik yang menghebohkan Desa Sabrang Lor.
Terakhir, Ki Pranajaya memandang pada kedua wanita yang tengah bertikai itu.
"Kita sudah sama-sama tua.... Kenapa kalian masih juga bertengkar?" desak Ki Pranajaya.
"Tanyakanlah pada istrimu, mengapa dia mengusik ketenanganku"!" sentak Nyai Pucuk Cemara.
Ki Pranajaya memandang sekilas pada Nyai Pucuk Cemara. Kemudian wajahnya berpaling, menatap Nyai Gendari.
"Gendari.... Kenapa ini...?" tanya si Dewa Api.
"Kenapa tidak kau tanyakan pada dirimu sendiri?" dengus wanita itu sengit.
"Aku" Kenapa denganku" Aku bertanya soal urusan ini, bukan tentang urusan kita," tukas Ki Pranajaya.
"Urusan ini bermula dari urusan kita!"
"Apa maksudmu?"
"Tidak usah berpura-pura! Kakang masih mencintai si Pucuk Cemara, bukan"! Padahal, aku adalah istrimu! Istrimu yang sah. Kenapa kau tidak bisa menerima kenyataan itu"!"
Ki Pranajaya terhenyak mendengar pertanyaan itu. Dan dari wajahnya terlihat kalau dia memang merasa bersalah.
"Kakang meninggalkanku, karena ingin mengejar dia lagi, bukan" Kakang ingin kembali mengulang masa-masa muda kalian dulu!" tuduh Nyai Gendari.
"Gendari.... Itu tidak benar Kepergianku karena tak tahan melihat sikapmu. Kau sering terlihat bersama laki-laki lain dan susah kularang," kilah Ki Pranajaya.
"Itu kulakukan sekadar menarik perhatianmu, supaya kau cemburu! Supaya kau memperhatikanku! Setelah sekian lama berumah tangga, kau sama sekali tidak pernah memperlihatkan kasih sayangmu! Aku terpaksa melakukan hal itu. Tapi, aku berani bersumpah bahwa tidak pernah terjadi hubungan-hubungan di luar batas kesusilaan dengan laki-laki yang sering bersamaku. Beda halnya denganmu. Begitu bertemu kembali, kau berusaha kembali padanya!" tuding Nyai Gendari, makin keterlaluan.
"Gendari, tuduhan itu tidak benar," elak Ki Pranajaya.
"Aku melihat sendiri kau bertemu dengannya!" tukas Nyai Gendari, garang.
"Aku memang bertemu dengannya sekali itu saja. Tapi setelah itu, tidak pernah bertemu kembali Kami tahu, urusan yang lalu telah dikubur dalam-dalam."
"Lalu, apa urusanmu ke sini" Bukankah sekadar untuk berdekatan dengannya"!" tuding Nyai Gendari pada Nyai Pucuk Cemara.
"Itu tidak benar. Kedatanganku ke sini untuk mencari anakku. Ratmi.... Anakmu juga..."
"Anakku" Ratmi...?" desah Nyai Gendari kembali matanya berkaca-kaca. Naluri seorang ibu sejak melihat Ratmi, samar menggugahnya.
"Ya! Dialah anak kita yang dulu kubawa pergi sejak masih kecil," sambung Ki Pranajaya.
Perlahan-lahan wanita itu melangkah mendekati Ratmi dengan wajah haru.
"Ratmi anakku.... Mendekatlah pada Ibu, Nak. Mendekatlah...!" panggil Nyai Gendari lirih.
"Tidak! Aku tidak mempunyai ibu seorang durjana!" sentak Ratmi mendengus sinis.
"Ratmi... Mengapa kau menuduh Ibu seperti itu, Nak?"
"Tanyakan saja pada kacungmu itu, apa yang hendak dilakukannya padaku. Itu semua pasti perintahmu!" tuding Ratmi pada Denawa yang berada di dekat Ki Senggono.
Seketika wajah Nyai Gendari berubah geram ketika berpaling menatap Denawa, yang bertubuh bungkuk itu.
"Denawa! Apa yang kau lakukan pada putriku"!" bentak Nyai Gendari garang.
"Ampun, Nyai! Aku..., aku tidak tahu kalau dia putrimu!" sahut pemuda bungkuk itu ketakutan.
"Bedebah! Jawab pertanyaanku!" hardik Nyai Gendari.
"Dia coba menodaiku!" cetus Ratmi sengit.
"Bajingan keparat! Aku tidak pernah memberi perintah itu padamu! Untuk menodai gadis-gadis yang kau culik!" desis wanita itu.
Nyai Gendari tak dapat lagi menguasai diri. Secepat kilat tubuhnya mencelat, langsung mengirim tendangan kuat.
Duk! "Aaakh...!"
Tubuh Denawa yang bungkuk kontan terlempar beberapa langkah disertai muntahan darah segar. Jerit kesakitannya terdengar panjang dan memilukan hati. Dalam keadaan tertotok serta kedua tangan dan kaki terikat, tentu saja dia tak mampu melawan ataupun menangkis. Padahal tendangan yang dilakukan Nyai Gendari begitu kuat, untuk melampiaskan kemarahannya. Bisa dibayangkan, bagaimana rasa sakit yang diderita Denawa.
"Cukup, Nyai!" bentak Rangga menghalangi ketika wanita itu hendak meneruskan hajarannya.
"Minggir kau, Bocah!" hardik Nyai Gendari.
"Kau tidak berhak menghukumnya. Bagaimanapun, perbuatannya tidak lepas dari perintahmu!"
"Aku tidak pernah memerintahkannya untuk menodai gadis-gadis yang diculiknya! Gadis-gadis yang pernah diculik Denawa, kini aman-aman saja di rumah Ki Danang. Mereka berkumpul di sana, setelah aku mengancam Ki Danang untuk tidak membuka rahasia ini pada siapa pun.... Hanya..., justru anakku sendiri yang nyaris jadi korban kebejatan Denawa.... Oh..., kenapa ini harus terjadi" Kenapa malah anakku sendiri yang nyaris jadi korban nafsu bejad anak buahku...?" desah Nyai Gendari, merasa menyesal sekali.
"Ada atau tidaknya perintahmu, tapi suasananya membuat si bungkuk punya pikiran ke situ. Mestinya, kau merasa malu dan bertanggung jawab! Karena, semua kejadian ini adalah kesalahanmu!" tuding Rangga.
Nyai Gendari makin tercabik-cabik perasaannya. Apa yang dikatakan pemuda ini memang benar. Semua ini memang kesalahannya. Karena amarah dan cemburu pada Nyai Pucuk Cemara, para penduduk desa jadi korban. Bahkan anaknya sendiri yang telah belasan tahun tak pernah jumpa, juga nyaris jadi korban. Dan Denawa memang anak buahnya. Mestinya dia yang bertanggung jawab atas segala perbuatan laki-laki bungkuk itu. Karena, apa yang dilakukan Denawa tak lepas dari perintah-perintahnya juga. Hanya saja, Denawa sedikit melenceng dan mencari kesempatan demi kepentingan pribadi.
"Ya. Aku memang salah...," desah Nyai Gendari dengan suara lirih dan wajah sendu.
"Kau tak berhak cuci tangan. Meski kau bunuh dia sekalipun, tapi aib tak bisa disembunyikan. Dia telah cerita banyak tentangmu. Dan dia mengakui kalau semua penculikan itu dilakukan atas perintahmu!" sambung Rangga, mendengus sinis.
"Ya. Aku memang salah. Dari dulu aku memang selalu salah! Aku memang salah dan tak pernah benar! Aku memang salah...!" teriak Nyai Gendari berulang-ulang, seperti hendak memuntahkan semua perasaan di hati yang selama ini terpendam.
Tiba-tiba saja wanita itu mencelat kabur. Dan secepatnya menghilang dari pandangan. Dari jauh masih terdengar lapat-lapat suaranya yang terus menyesali diri.
"Aku memang salah! Aku memang selalu salah...!"
"Gendari!" seru Ki Pranajaya tertahan. Dan tanpa disadari, tubuhnya pun melesat mengikuti wanita itu.
"Ayah, tunggu...!"
Ratmi pun seketika berkelebat mengikuti jejak kedua orang itu.
Untuk sesaat tempat ini terasa lengang, meski para penduduk telah berkumpul semakin banyak.
Rangga melirik Ternyata Nyai Pucuk Cemara telah tak ada pula di sini. Dia sempat melihat wanita itu diam-diam meninggalkan tempat ini, dengan membawa serta Gandul yang tadi dihajar Nyai Gendari.
"Apa yang kita lakukan sekarang, Rangga?"
"Kurasa tugasku telah selesai, Ki. Kurasa kalian tinggal membereskan gadis-gadis yang diculik, di rumah Ki Danang. Terserah kalian, untuk memberi hukuman apa baginya. Dan tentang si bungkuk, juga terserah kalian."
Begitu habis kata-katanya, Rangga menggebah kudanya lambat-lambat. Dia sempat memperhatikan ketika penduduk desa melampiaskan kemarahannya pada Denawa.
Gandul yang kemudian tahu bahwa Denawa adalah kakak kembarnya yang sekian lama terpisah darinya akibat perceraian kedua orang tua mereka, hanya bisa pasrah melihat nasib yang menimpa saudara kembarnya. Tak disangkanya, kalau pertemuan mereka harus berakhir menyedihkan pula. Sementara Ki Senggono dan beberapa penduduk desa segera mendatangi rumah Ki Danang yang memang tak jauh dari tempat ini.
? SELESAI ? Segera menyusul:
WARISAN TERKUTUK
? ? Penghuni Kuil Emas
? Daftar Isi Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Kisah Membunuh Naga 13 Pendekar Naga Putih 62 Penculik Penculik Misterius Bangau Sakti 18
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama