Ceritasilat Novel Online

Titah Sang Ratu 1

Pendekar Rajawali Sakti 204 Titah Sang Ratu Bagian 1


. 204. Titah Sang Ratu Bag. 1 - 4
14. Juni 2015 um 08:42
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Titah Sang Ratu
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 Desa Maja saat ini kelihatan ramai. Umbul-umbul di sepanjang jalan utama sampai alun-alun terpasang berwarna-warni. Para penduduk sudah sejak tadi berkerumun, memadati setiap penjuru alun-alun. Ini merupakan minggu ketiga dari bulan ketujuh. Hari inilah waktu yang ditentukan sebagai ajang tanding dari beberapa padepokan silat yang ada di desa itu. Kebiasaan ini telah berlangsung puluhan tahun yang lalu, dan masih dilestarikan hingga kini. Bahkan bukan hanya padepokan silat yang ada di Desa Maja saja, melainkan padepokan silat yang berada di luar desa pun boleh ikut serta. Karena sifat pertandingan adalah persahabatan, sehingga para peserta tidak dibenarkan membunuh lawannya.
Seperti biasa, beberapa tokoh tua di desa itu duduk sebagai juri. Mereka tidak terikat padepokan-padepokan silat yang ada di Desa Maja ini, sehingga penilaian mereka bisa dipertanggungjawabkan.
Gong...! Gong berbunyi. Seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun berdiri dan berjalan ke tengah alun-alun. Diumumkannya nama-nama padepokan yang kali ini ikut serta.
"... Dan untuk kali ini pula, akan ditambahkan satu pertandingan menarik, berupa pertandingan perorangan. Dengan demikian diharapkan acara ini akan lebih meriah. Siapa saja yang merasa punya kemampuan, boleh menjajal lawan. Meski begitu, syarat-syarat mesti dipenuhi seperti biasa!"
Prok! Prok! Prok...!
Penonton bertepuk tangan. Dan masing-masing siap menjagokan tokoh yang dibanggakannya.
"Kali ini Padepokan Buaya Ireng akan menjuarai pertandingan!" kata salah seorang penonton, yakin.
"Ah, mana bisa"! Aku yakin Padepokan Camar Emas yang akan juara!" sergah penonton lainnya.
"Huh! Kedua padepokan itu tidak ada apa-apanya. Aku yakin, Padepokan Garuda Merah yang akan menguasai semuanya!" sahut yang lainnya, bernada meremehkan.
"Hei, jangan lupa! Padepokan-padepokan dari luar desa kita pun tidak kalah tangguh. Konon kabarnya murid-murid mereka terkenal ke seantero wilayah selatan ini!"
"Jangan membesar-besarkan padepokan luar desa kita, Gedeng! Siapapun tahu, Desa Maja gudangnya tokoh-tokoh silat!" sergah seorang pemuda berbaju hitam dengan wajah tak suka.
"Kau macam-macam saja, Gedeng! Orang-orang dari seantero negeri datang ke sini untuk belajar di padepokan-padepokan yang ada di desa kita. Itu menunjukkan kalau desa kita ini gudangnya tokoh-tokoh silat!" timpal yang lain.
"Entahlah... Aku hanya mengingatkan. Meski desa kita gudangnya ilmu silat, tapi jangan sampai meremehkan lawan-lawan dari desa lain...," desah pemuda kurus yang dipanggil Gedeng dengan suara pelan.
Percakapan mereka berhenti, karena laki-laki setengah baya yang berbicara di tengah alun-alun telah kembali ke tempatnya setelah mengumumkan pihak-pihak yang akan bertanding lebih dulu.
Sesaat kemudian muncul dua orang pemuda ke tengah tempat pertandingan yang disambut tepuk tangan para penonton. Yang berbaju serba hitam adalah murid Padepokan Buaya Ireng. Sedang yang memakai baju kuning keemasan murid Padepokan Camar Emas.
"Wah! Ini bakal seru! Mereka pernah bertemu tahun lalu!" seru seorang penonton.
"Ya! Dan kalau tak salah, murid Buaya Ireng kalah."
"Tapi belakangan ini, Ki Suralaga menggembleng murid-murid Buaya Ireng dengan keras. Mereka bertekad untuk memenangkan kejuaraan ini."
"Hm.... Pertandingan ini pasti akan seru!"
Pertarungan telah berlangsung. Murid Padepokan Buaya Ireng menyerang ganas. Sebaliknya murid Padepokan Camar Emas menghadapinya dengan tenang, namun penuh kelincahan.
"Hup!"
Plak! Satu tendangan keras meluncur ke perut murid Padepokan Camar Emas. Namun dengan manis dapat ditepisnya dengan kebutan tangan kiri. Bahkan kepalan tangan kanannya tiba-tiba bergerak cepat ke muka murid Padepokan Buaya Ireng.
"Hiih!"
Murid Padepokan Buaya Ireng terkejut. Dia melompat ke belakang, tapi murid Padepokan Camar Emas terus mengejar dan mendesak.
Plak! Plak! Benturan tangan terjadi. Masing-masing terjajar beberapa langkah. Namun sekejap kemudian, pemuda murid Padepokan Camar Emas memutar tubuhnya, seraya melepas tendangan setengah lingkaran yang begitu cepat tak terduga. Sehingga....
Des! "Akh!"
Tendangan itu telak menghantam dada murid Padepokan Buaya Ireng, hingga jatuh terjengkang di tanah.
"Brengsek!"
Murid Padepokan Buaya Ireng menggeram seraya bangkit berdiri. Wajahnya meringis menahan nyeri. Dibuatnya beberapa gerakan dengan jurus-jurus andalan. Kemudian kembali dia menyerang. Tubuhnya meluruk, seraya melepas suatu hantaman tangan.
"Yeaaa...!"
Sambil menggeser tubuhnya ke kiri, murid Padepokan Camar Emas mengibaskan tangan kanannya.
Plak! Kembali terjadi benturan. Namun sekejap kemudian, murid Padepokan Buaya Ireng menyusuli dengan tendangan. Namun, murid Padepokan Camar Emas cepat mengegos ke samping sambil membungkuk. Lalu tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas sambil mengayunkan tendangan. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Desss...! ?"Akh...!"
Untuk kedua kalinya, murid Padepokan Buaya Ireng terjungkal roboh sambil mengeluh tertahan terhantam tendangan telak.
"Sapta, maju!" seru Ketua Padepokan Buaya Ireng yang bemama Ki Suralaga.
Murid yang kalah segera menyingkir. Dan kedudukannya diganti seorang pemuda berbadan tegap bernama Sapta.
Melihat hal ini, Ketua Padepokan Camar Emas tidak mau kalah. Buru-buru dia memberi isyarat pada murid di sebelahnya.
"Badar! Gantikan Sukma!"
"Baik, Guru!"
Setelah memberi isyarat pada pemuda bernama Sukma, Badar langsung mencelat ke tengah. Dan dia langsung berhadapan dengan Sapta dari Padepokan Buaya Ireng.
Keduanya langsung mengadakan pertarungan dalam tempo cepat. Melihat cara berkelahi, akan kelihatan kalau masing-masing memiliki tingkat yang lebih tinggi dibanding kedua saudara seperguruan mereka tadi. Namun bila diamat-amati lebih seksama, maka segera dapat diketahui kalau murid Padepokan Camar Emas memiliki gerakan lebih ringan. Sedangkan murid Padepokan Buaya Ireng lebih lambat, namun terkadang cukup gesit pada saat-saat tertentu.
"Yiaaap!"
Sapta menyodokkan kaki kanan ke perut. Namun Badar cukup memiringkan tubuhnya sedikit, lalu melompat ke atas. Begitu berada di udara kaki kanannya mencelat, melepaskan tendangan.
"Uts...!"
Sapta segera merendahkan tubuhnya, seraya mengangkat kaki kanannya menuju daerah terlarang milik Badar.
"Uts!"
Badar terkesiap, namun cepat tanggap. Cepat kakinya yang satu lagi menahan kaki Sapta.
Plak! Dan dengan meminjam tenaga benturan, Badar bersalto ke belakang. Begitu mendarat, murid Padepokan Camar Emas kembali meluruk.
"Heh"!"
Sapta yang baru saja menegakkan tubuhnya terkesiap, melihat Badar yang telah begitu cepat menyerangnya kembali. Mau tak mau terpaksa ditangkisnya serangan dengan mengibaskan tangannya.
Plak! Benturan tangan terjadi, Sapta terjajar. Sementara Badar telah memutar tubuhnya melepas tendangan menggeledek yang begitu cepat tak tertahankan. Hingga....
Desss...! "Aaakh...!"
Tendangan Badar tepat menggedor dada, membuat murid Padepokan Buaya Ireng terjungkal roboh. Hampir menimpa beberapa penonton yang menyorakinya.
"Wah, payah! Buaya Ireng dari dulu begitu terus. Payah! Payah sekali...!"
"Iya, ya! Padahal, katanya Ki Suralaga telah melatih dengan keras."
"Mungkin hanya siasat supaya lawan waspada. Padahal, memang tidak ada apa-apanya...."
"Ssst...! Jangan bicara sembarangan kau."
"Uff! Maaf...."
Orang itu buru-buru menutup mulutnya. Apalagi ketika Ki Suralaga yang tengah dibicarakan, melirik dengan sorot mata angker.
*** ? 2 ? Hati Ki Suralaga panas bukan main. Dua muridnya dapat dikalahkan murid-murid Padepokan Camar Emas. Entah, mau dikemanakan mukanya saat ini. Apalagi mendengar cemoohan-cemoohan penonton. Untuk sesaat dia mesti menahan diri sambil menyaksikan dengan tertib acara selanjutnya.
Kali ini seorang pemuda murid Padepokan Garuda Merah yang akan menantang murid Padepokan Camar Emas tadi sudah maju ke tengah kancah pertandingan.
"Silakan, Kisanak...," ucap Badar penuh percaya diri. "Hiih!"
Agaknya murid Padepokan Garuda Merah tak mau berbasa-basi lagi. Langsung dikirimkannya sebuah serangan dengan kepalan tangan kanan ke muka.
"Uts...!"
Sambil menggeser tubuhnya, Badar menangkis dengan telapak tangan kiri.
Plak! Begitu terjadi benturan, murid Padepokan Garuda Merah langsung melanjutkan dengan tendangan. Terpaksa Badar harus menghindar dengan melenting ke belakang.
Namun baru saja Badar mendarat, murid Padepokan Garuda Merah telah mencelat mengejar, melepas serangan beruntun lewat perpaduan antara pukulan dan tendangan. Begitu cepat dan bertenaga serangan yang dilancarkannya, membuat Badar kerepotan.
Satu dua serangan berhasil dihindari Badar. Namun serangan berikutnya....
Desss...! "Aaakh...!"
Badar terjajar ke belakang sambil menjerit kesakitan, ketika sebuah hantaman mendarat di dadanya.
"Heaaa...!"
Belum sempat murid Padepokan Camar Emas itu bersiap kembali, dua buah hantaman berturut-turut telah bersarang di dadanya.
Des! Des! "Aakh...!"
Badar terpekik, dan terlempar ke arah penonton.
"Aku lawanmu, Kisanak!" seru seorang pemuda bertubuh kurus yang langsung melompat ke tengah.
"Heaaa...!"
Namun baru juga orang yang baru melompat itu memasang kuda-kuda, murid Padepokan Garuda Merah sudah meluruk seperti tak memberi kesempatan barang sedikit pun. Dilepaskannya serangan bertubi-tubi dengan sambaran telapak tangannya yang membentuk paruh garuda.
Namun pemuda bertubuh kurus berpakaian serba hijau dengan lambang bergambar kepala ular di dada itu bukan lawan sembarangan. Sebab pemuda kurus yang agaknya dari Padepokan Ular Hijau ini mampu bergerak menghindarinya dengan gesit bagaikan seekor ular hijau.
"Hup! Yeaaa...!"
Setelah meliukkan tubuhnya, pemuda kurus itu langsung balas menyerang dengan sambaran tangan yang menyerupai ular. Meski kurus, namun angin serangannya kencang. Itu menandakan kalau tenaga dalamnya cukup hebat.
"Hup!"
Namun, murid Padepokan Garuda Merah tak kalah sigap sambil melompat ke atas dipapaknya patukan tangan itu dengan tangan yang membentuk paruh.
Plak! Begitu terjadi benturan, murid Padepokan Garuda Merah langsung menyambarkan tangannya ke punggung, sambil memutar tubuhnya di udara.
"Uts!"
Untung saja pemuda murid Padepokan Ular Hijau cepat menyadari bahaya. Walau terlihat kerepotan, dia langsung menjatuhkan diri seraya bergulingan.
"Hiaaat...!"
Pemuda kurus itu cepat melenting bangkit Pada saat yang sama, murid Padepokan Garuda Merah yang telah mendarat di tanah telah meluruk dengan hantaman bertubi-tubi. Secepat kilat, pemuda kurus itu memapaki dengan geram.
Plak! Plak! "Uhh...!"
Dua kali benturan terjadi. Namun yang ketiga terdengar keluhan tertahan dari mulut pemuda kurus. Tubuhnya terjajar beberapa langkah. Kesempatan ini tidak disia-siakan murid Padepokan Garuda Merah. Kaki kanannya cepat menyodok ke ulu hati.
Begkh! "Aakh...!"
Tanpa ampun lagi, pemuda kurus murid Padepokan Ular Hijau terjungkal disertai jerit kesakitan.
"Wah, hebat! Murid-murid Padepokan Garuda Merah memang kesohor sejak dulu!" puji seorang penonton.
Yang lain menimpali dengan kesan sama.
"Siapa lagi yang bakal dihajar?"
"Wuiih! Agaknya dia yang bakal jadi juara!"
"Belum tentu! Belum tentu! Masih banyak peserta lain yang mampu menandinginya."
"Iya, iya...! Nah, lihat! Tuh, kan, masih ada yang berani menantangnya!"
Kini bola mata mereka menatap tegang ke tengah kancah pertandingan. Seperti juga yang lain, mereka kini melihat seorang gadis cantik berbaju merah. Rambutnya panjang sebahu, dengan ikat kepala warna merah pula. Agaknya dia akan menantang murid Padepokan Garuda Merah.
"Ini bakal seru!"
"Suiit...! Suiiittt...!"
"Mendingan jangan berkelahi di sini. Tapi, di kasur...!" teriak seorang penonton, geregetan.
"Hush! Jangan sembarangan ngomong kau!"
?"Lho" Memangnya kenapa?"
"Gadis itu kelihatan galak. Bisa-bisa malah "ular kasur"mu yang akan dipotongnya."
"Hiii...!"
*** ? Agaknya bukan hanya penonton yang menganggap enteng pada gadis berbaju merah. Bahkan murid Padepokan Garuda Merah yang akan menghadapinya pun hanya melirik dengan bersedekap. Wajahnya ditinggikan. Sikapnya benar-benar meremehkan.
"Sebaiknya keluar saja dari arena, Nisanak. Aku khawatir kulitmu yang halus akan lecet karena pukulanku," ujar pemuda murid Padepokan Garuda Merah.
"Hei, Bocah! Kalau kau mampu mengalahkanku dalam lima jurus, aku mengaku kalah padamu!" sahut gadis baju merah, lantang.
"Ha ha ha...! Lima jurus" Aku bahkan mampu meringkusmu kurang dari sejurus."
"Bocah sombong! Tidak usah banyak omong! Buktikanlah!"
Murid Padepokan Garuda Merah ini geram bukan main dipanggil "bocah". Saat itu juga gengsinya dibuangnya jauh-jauh bila harus menghadapi seorang perempuan yang dianggap lemah.
"Kau yang menginginkannya. Maka, rasakan akibatnya! Heaaat...!"
Disertai teriakan keras, pemuda itu meluruk seraya mengibaskan tangan. Sedikit tenaga dalam yang diperkirakan mampu menjatuhkan gadis itu segera dikerahkan.
Wussss! Dugaan pemuda ini keliru. Ternyata gadis baju merah ini hanya sedikit memiringkan kepala, maka tamparan itu hanya menyapu angin. Murid Padepokan Garuda Merah segera mengulangi tindakannya seraya dia menambah kecepatan dan tenaga. Bahkan kemudian diikuti tendangan kaki.
Wut! Bet! Tapi hanya dengan melompat ke kiri dan kanan, gadis baju merah mampu menyelamatkan diri. Bukan main geramnya murid Padepokan Garuda Merah itu. Seketika serangannya bertambah ganas.
"Huh! Hanya begitukah kepandaianmu" Kau. tak lebih dari seorang bocah yang baru belajar ilmu olah kanuragan!" ejek gadis baju merah, juga menambah kecepatan menghindarnya.
"Kurang ajar!"
Murid Padepokan Garuda Merah menggeram marah karena tak satu serangannya yang berhasil disarangkan. Perhatiannya mulai tertuju sepenuhnya, untuk menjatuhkan gadis ini secepatnya.
"Ini sudah lebih dari lima jurus. Dan kau tak mampu meringkusku. Ternyata, kau hanya omong besar, Bocah!" leceh gadis baju merah.
"Sebentar lagi aku akan menghajarmu, Gadis Liar!" sahut murid Padepokan Garuda Merah.
"Huh! Mulut besar! Kini giliranku yang menyerang!"
Gadis berbaju merah itu mendengus geram. Kalau tadi dia hanya menghindar, maka kini terlihat mulai balas menyerang. Kedua tangannya bergerak lincah silih berganti, melepaskan hantaman bertenaga dalam dahsyat.
Mendapat serangan beruntun, pemuda murid Padepokan Garuda Merah berusaha menghindar sambil menangkis. Kedudukannya jadi terdesak. Dia hanya mampu bermain mundur.
Pada satu kesempatan, gadis baju merah menyodokkan telapak tangan kanannya ke wajah dengan kecepatan tinggi.
"Uts...!"
Pemuda murid Padepokan Garuda Merah mengegos ke kiri. Namun pada kejap itu juga, tangan kiri gadis berbaju merah bergerak menyampok ke dada. Dan....
Desss...! "Aaakh...!"
Pemuda itu jatuh terjengkang, begitu sampokan gadis baju merah mendarat di dadanya. Dengan menahan rasa sakit, pemuda itu bangkit dengan wajah marah.
"Bangsat! Kau akan merasakan hajaranku yang sesungguhnya!" maki pemuda itu.
"Banyak omong!"
"Yeaaa...!"
Disertai teriakan keras, pemuda itu bergerak menyerang. Namun mendadak gadis baju merah memutar tubuh. Seketika kaki kanannya melepaskan tendangan berputar yang begitu cepat tak terkira.
Diegkh...! "Aaakh...!"
Kembali pemuda itu terjungkal roboh disertai jerit kesakitan. Dia langsung memegangi kepalanya yang terasa pusing bukan main. Tendangan itu memang tidak mematikan, tapi cukup menyakitkan. Tak heran kalau pemuda itu berguling-gulingan keluar kancah pertarungan.
?"Gila! Gadis itu ternyata tak bisa dibuat main-main!" seru seorang penonton.
"Murid padepokan mana dia?"
Tak ada yang menjawab. Semua seperti terkesima melihat penampilan gadis itu.
Sementara itu seorang pemuda berbaju ketat wama putih telah melompat ke tengah. Matanya langsung menatap tajam gadis berbaju merah.
"Namaku Supena dari Padepokan Gajah Putih...!" kata pemuda berbaju putih, memperkenalkan diri.
"Aku Sekartaji. Silakan dimulai!" sahut gadis baju merah, mantap.
"Kalau boleh tahu, dari padepokan mana kau berasal?" tanya pemuda bernama Supena.
"Aku datang atas namaku sendiri," jawab gadis yang ternyata bernama Sekartaji.
"Hm.... Kalau begitu, mungkin kau tidak keberatan menyebut nama gurumu?" gumam Supena.
"Kau mau bertarung atau ngobrol"! Kalau bertarung, silakan dimulai. Kalau ngobrol, aku tak punya waktu!" sentak Sekartaji, lantang.
"He he he...! Agaknya kau orang yang tak suka berbasa-basi. Baiklah. Lihat serangan!"
Tiba-tiba Supena mengayunkan kaki. Namun dengan tenang, Sekartaji bergeser ke kiri seraya menepis dengan tangan kanan.
Plak! Begitu serangannya gagal, Supena melanjutkan serangan. Dia maju selangkah dengan kepalan kiri menyodok ke dada.
"Uts...!"
Sekartaji kembali bergeser seraya menahan dengan telapak tangan.
Plak! Begitu terjadi benturan, kaki kanan Sekartaji melayang ke ulu hati. Sementara, Supena tersenyum mengejek. Dia cepat mencelat ke belakang. Namun, gadis itu terus menggeser sambil melayangkan tendangan berturut-turut.
*** Sambil menggumam tak jelas, Supena beberapa kali bersalto ke belakang, hingga beberapa penonton terpaksa menyingkir. Tapi sebelum kedua kakinya menyentuh tanah, mendadak Sekartaji telah bergerak amat cepat. Gerakannya membuat tokoh-tokoh silat yang hadir terkesima. Dan sebelum keterpanaan mereka lenyap, kedua tangan gadis itu telah mendarat di dada Supena.
Duk! Duk! "Aaakh...!"
Supena terjungkal ke belakang sambil menjerit kesakitan. Dia ingin segera bangkit, tapi rasa nyeri yang amat sangat menahan gerakannya.
Sementara Sekartaji hanya menatap dingin, la-lu melompat kembali ke tengah kancah pertandingan.
"Siapa lagi yang akan mencoba?" tantang Sekartaji.
Mata tajam gadis ini beredar ke sekeliling. Para penonton yang tadi memandang rendah, kini berubah kagum. Bahkan ada yang bergidik ngeri. Bagaimana jadinya kalau aturan pertandingan ini dirubah" Mungkin gadis itu bisa membunuh lawan-lawannya!
"Nisanak! Biar kujajal kepandaianmu!"
Mendadak terdengar suara. Semua mata langsung tertuju pada pemilik suara yang ternyata seorang laki-laki tua. Dengan gerakan ringan, laki-laki ini melompat ke tengah. Rambutnya pendek dan telah memutih, diikat kain warna-warni. Di pinggang kirinya terselip sebilah golok agak panjang. Dengan jubah wama kuning emas berlambang burung camar di dada, membuat penampilan orang tua itu tampak berwibawa.
?"Wah, Ki Bagas Lodra yang turun tangan sendiri!" seru seorang penonton.
"Gila! Ini pertarungan tidak seimbang!" sahut yang lain, "Yang satu Ketua Padepokan Camar Emas. Sedang lawannya hanya seorang gadis...."
"Eh, nanti dulu! Meski masih muda, tapi gadis itu memiliki kepandaian hebat. Dia pasti bisa mengimbanginya. "
"Iya. Aku yakin. Bahkan bukan tidak mungkin Ki Bagas Lodra akan ditundukinya. Kalau itu sampai terjadi, maka ini akan menjadi kejutan besar."
"Huh! Mana mungkin!"
"Kenapa tidak" Toh sehebat-hebatnya Ki Bagas Lodra, dia manusia juga. Dan pasti bisa dikalahkan!"
"Iya. Tapi siapa pun tahu, kalau Ki Bagas Lodra tokoh tidak sembarang orang bisa mengalahkannya. "
"Lebih baik kita lihat saja hasilnya."
Sementara para penonton mulai berdebar-debar melihat siapa yang menjadi lawan Sekartaji. Sebaliknya gadis itu tenang-tenang saja. Dia bukannya tidak mendengar suara-suara penonton. Tapi, wajahnya malah kelihatan cerah.
"Sepertinya kau tokoh hebat, Orang Tua. Kuharap kau bisa mengalahkanku," sambut Sekartaji.
?"Jangan percaya cerita yang tak benar. Aku hanya kagum pada kelihaianmu. Seorang gadis muda berilmu tinggi. Hm..., itu jarang sekali ada!" kata laki-laki tua yang tak lain Ketua Padepokan Camar Emas, bernama Ki Bagas Lodra.
"Silakan, Orang Tua!"
"Yeaaa...!"
Disertai teriakan seperti hendak merobek langit, Ki Bagas Lodra langsung menyerang. Telapak tangannya yang terkembang dihentakkan lurus ke depan. Seketika meluncur angin kencang yang mampu menggeser sebongkah batu sebesar kerbau. Apalagi tubuh seorang gadis seperti Sekartaji.
Tapi gadis itu sama sekali tak bergeming. Dia malah berkacak pinggang di tempatnya semula. Namun diam-diam dikerahkannya tenaga dalam di kedua kaki, membuat tubuhnya tak bergeser sama sekali. Hanya rambut dan pakaiannya yang berkibar bertiup angin.
"Hiyaaa!"
Meski kaget, namun Ki Bagas Lodra tidak menunjukkannya. Bahkan terus menyerang dengan kepalan tangan kanan menghantam ke dada. Sementara telapak tangan kirinya meluncur ke ulu hati.
"Hiih...!"
Sekartaji mengibaskan tangan kiri untuk menangkis kepalan tangan yang meluncur ke dadanya yang membusung.
Plak! Tap! Lalu gadis ini menangkap pergelangan tangan kiri laki-laki tua Ketua Padepokan Camar Emas.
Ki Bagas Lodra menyentak. Tapi cekalan gadis itu tak terlepas. Tenaga dalamnya segera ditambah. Dan seketika sambil menyentak kembali, kaki kanannya terangkat, melepas tendangan ke perut
"Hup...!"
Dengan gerakan ringan, Sekartaji melenting ke atas setelah melepas cekalan tangannya. Dan begitu mendarat, tahu-tahu berada di belakang Ki Bagas Lodra.
"Lihat serangan...!" teriak Sekartaji, seraya melepas tendangan ke belakang.
"Hei"!"
Dengan rasa terkejut, Ki Bagas Lodra berbalik seraya mengibaskan tangannya, menangkis.
Plak! Justru, tenaga tangkisan itu digunakan Sekartaji untuk menambah kekuatan tendangan susulannya yang cepat bagai kilat. Sehingga....
Desss...! "Ohhh..!"
Dengan lenguhan tertahan Ki Bagas Lodra terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dada. Sebelum dia sempat bersiap-siap, Sekartaji telah kembali meluruk. Dia seperti tak ingin memberi kesempatan sedikit pun. Kedua tangannya langsung bergerak silih berganti, ke arah dada dan perut.
Desss...! Diegkh...! "Hegkh...!"
Untuk yang kedua kalinya Ki Bagas Lodra terkena hajaran Sekartaji. Ketua Padepokan Camar Emas ini melipat tubuhnya ke depan, lalu jatuh berlutut di tanah sambil meringis kesakitan. Meski tak sampai membuatnya terjungkal, tapi wajahnya memerah menahan malu. Betapa tidak" Hanya beberapa kali gebrak, dia dikalahkan oleh seorang gadis yang sama sekali tak terkenal"
"Ki Bagas Lodra! Menepilah! Biar kuladeni gadis ini!"
Kembali terdengar suara dari kerumunan penonton. Tak lama, melompat dan mendarat di tengah kancah. Seorang laki-laki tua berpakaian dari kulit buaya. Rambutnya telah memutih, dengan ikat kepala dari kulit buaya pula.
"Hm, Ki Suralaga rupanya...."
Laki-laki berpakaian kulit buaya yang tak lain Ki Suralaga tersenyum dingin. Hatinya penasaran dan sekaligus kaget melihat Ki Bagas Lodra dapat dicundangi oleh "anak kemarin sore". Maka dia bermaksud menjajalnya.
*** ? 3 Sebelum kembali terjadi pertarungan, mendadak melompat sebuah bayangan hijau. Begitu mendarat, ternyata seorang gadis berbaju hijau dengan tubuh tegap seperti laki-laki. Namun demikian, wajahnya cukup cantik. Bahkan beberapa penonton ada yang bersuit-suit menggoda.
"Biar kuladeni dia, Sekartaji!" kata gadis berbaju hijau.
"Tanganmu sudah gatal pula, Arimbi" Baiklah. Tapi, berhati-hatilah...," ujar Sekartaji.
Ketika Sekartaji turun gelanggang, gadis bernama Arimbi memandang tajam pada Ki Suralaga yang merupakan Ketua Padepokan Buaya Ireng.
"Kisanak! Silakan dimulai!"
"Sebenarnya aku ingin berhadapan dengan gadis tadi. Tapi kalau kau memaksa, apa boleh buat?" tukas Ki Sularaga, sedikit kecewa.


Pendekar Rajawali Sakti 204 Titah Sang Ratu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia atau aku sama saja. Kau belum tentu menang!" sentak Arimbi, lantang.
"Bocah sombong! Terhadap orang lain, kau boleh menepuk dada. Tapi menghadapi Sularaga, kau harus mikir dulu tujuh turunan!"
"Banyak mulut! Lihat serangan...!"
Gadis bertubuh tegap terbungkus pakaian serba hijau ini bergerak cepat. Tubuhnya melepas tendangan terbang. Ki Suralaga masih tersenyum, menganggap enteng. Dengan tenang tangan kanannya mengibas menangkis.
Plak! "Uhh...!"
Tapi setelah merasakan tenaga dalam Arimbi, Ketua Padepokan Buaya Ireng ini mengeluh dalam hati. Tubuhnya sampai terjajar dengan tangan terasa nyeri bukan main. Dari sebelum dia bisa menghilangkan rasa sakitnya, gadis itu telah memutar tubuhnya, kembali melepas tendangan.
"Kurang ajar!"
Sambil memaki Ki Suralaga mencelat ke belakang. Jantungnya berdegup kencang dan darahnya seperti berhenti mengalir. Dalam kekagetannya, membuat orang tua itu marah.
Pada saat yang sama, Arimbi telah kembali menyerang. Tubuhnya meluncur deras dengan satu sampokan ke dada.
Laki-laki tua berpakaian kulit buaya yang baru saja mendarat, tak punya waktu lagi untuk menghindar. Seketika tangannya bergerak mengibas.
Plak! Terjadi benturan keras. Kali ini, Arimbi yang terjajar. Sementara, Ki Suralaga langsung mengangkat kaki kiri, melepas tendangan ke dada.
"Uts!"
Gadis berbaju hijau itu merendahkan tubuhnya. Sambil berputar, tahu-tahu sebelah kepalan tangannya menghantam ke pinggang.
Desss...! "Uhhh...!"
Ki Suralaga terjajar ke depan disertai keluhan tertahan. Dan kesempatan itu justru dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Arimbi. Seketika tubuhnya mencelat, dan kaki kirinya menghantam punggung.
Buk! "Aaakh...!"
Kembali Ki Suralaga mengeluh tertahan. Tubuhnya terjungkal ke depan. Dari mulutnya menyembur darah segar. Dia ingin bangkit, tapi rasa nyeri di dada membuat niatnya tak tersampaikan.
"Astaga! Hebat betul dia!" seru seorang penonton.
"Gila! Ki Suralaga bukan orang sembarangan, tapi dapat dikalahkannya dengan mudah!"
?"Sampai di mana kehebatan gadis ini"!"
"Siapa lagi yang maju menantangku"!" seni Arimbi lantang. Kedua tangannya bersedekap di depan dada.
"Akulah lawanmu, Nisanak!"
Terdengar seruan yang disusul berkelebatnya satu sosok bayangan hitam ke tengah gelanggang. Begitu mendarat, tampak seorang pemuda berpakaian serba hitam berdiri menantang. Bibirnya menyungging senyum. Namun sorot matanya tajam berkilat.
"Tolong sebutkan namamu!" ujar Arimbi, kalem.
"Aku Jatimerta!" sahut pemuda berpakaian hitam, dingin. "Kau akan rasakan, dalam lima jurus tingkahmu akan ditertawakan orang!"
"Silakan!"
"Heaaa...!"
Tanpa basa-basi lagi pemuda bernama Jatimerta menerkam Arimbi dengan kedua tangan membentuk cakar. Tapi sebelum gadis berbadan tegap itu menghindar, mendadak melesat satu sosok bayangan kuning.
"Arimbi, mundurlah! Kini giliranku...!"
"Baik, Kak Sriwangi...!"
Gadis berbaju kuning bernama Sriwangi lang-sung menangkis serangan Jatimerta.
Plak! Begitu terjadi benturan, Jatimerta langsung melabrak dengan sebuah hantaman menggeledek. Namun dengan gesit Sriwangi melompat ke atas.
Sebentar saja pertunjukan menarik terjadi. Kedua orang yang bertarung ini saling bertukar jurus. Masing-masing ingin menjatuhkan satu sama lain secepatnya.
Jatimerta terlihat menggunakan jurus aneh tapi bertenaga kuat. Serangannya gencar dan berbau maut. Kedua tangannya yang membentuk cakar sekuat besi, senantiasa mengancam keselamatan gadis berbaju kuning.
Tapi, Sriwangi tenang-tenang saja meladeninya. Bahkan berikutnya dia balas menyerang. Gerakannya lembut, namun lincah dan bertenaga kuat. Beberapa kali pemuda itu menggeram marah, karena serangan-serangannya selalu luput dari sasaran.
"Kau akan mampus di tanganku!" desis Jatimerta, seraya mengganti jurusnya.
"Hm.... Itu menyalahi aturan. Tapi meski begitu, kau tak akan mampu melakukannya, Anak Muda," sahut Sriwangi sambil tersenyum.
"Huh!"
Sambil mengayun badannya ke kiri dan kanan, kedua tangan Jatimerta menyambar ke perut secara menyilang. Tepat ketika pemuda ini bergerak ke kiri, Sriwangi cepat bergerak ke kanan. Dan ketika Jatimerta bergerak ke kanan, gadis itu telah melenting ke atas berbuat sesuatu, mendadak....
Plak! Plak! "Aaakh...!"
*** ? Jatimerta menjerit kesakitan ketika Sriwangi sambil melenting mendaratkan tamparan ke kedua pelipis pemuda ini. Meski begitu pemuda ini melepas tendangan ke atas.
"Hup!"
Sayang, Sriwangi saat itu lebih cepat mendarat. Tubuhnya langsung merendah dan berputar. Seketika dilepaskannya satu tendangan ke perut Jatimerta.
Des! "Wuaaakh...!"
Pemuda itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terlempar ke tengah-tengah penonton. Namun dia segera bangkit dan melompat ke tengah gelanggang.
Beberapa orang juri langsung memutuskan kalau Jatimerta kalah. Namun, pemuda ini agaknya tidak mau terima.
"Aku belum kalah!" teriak Jatimerta, kalap.
"Kau telah kalah, Anak Muda! Mundurlah! Beri kesempatan pada yang lain untuk menantang gadis itu!" seru seorang juri.
"Kurang ajar! Aku masih mampu untuk membunuhnya! Heaaa...!" teriak Jatimerta garang.
Begitu habis kata-katanya, pemuda itu lompat menyerang Sriwangi yang telah bersiap dengan kuda-kuda kokoh.
"Heaaa...!"
Jatimerta meluruk dengan cakaran kedua tangan bertubi-tubi. Namun, Sriwangi, tampak terlihat tenang. Dan ketika serangan itu sejengkal lagi menyentuhnya, kedua tangannya cepat bergerak mengibas.
Plak! Plak! Begitu berhasil memapak, Sriwangi mencelat ke atas. Tubuhnya berputaran beberapa kali.
Dengan sekuat tenaga, Jatimerta mengempos tubuhnya. Dia mengejar dengan kedua cakar terpentang siap mencabik gadis itu.
Dengan lincah sekali, Sriwangi menggerakkan kedua kakinya, menyapu pergelangan tangan Jatimerta.
Plak! Pemuda itu kontan terlempar ke belakang. Dan dengan gerakan manis, dia berputaran lalu mendarat di tanah.
Tapi pada saat yang sama, Sriwangi yang telah mendarat cepat meluruk sambil melepaskan gedoran ke dada. Begitu cepat gerakannya, sehingga"
Desss...! "Aaakh...!"
Jatimerta mengeluh tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan mulut menyeringai kesakitan.
"Nih, makan!"
Sambil mendengus, Sriwangi melepas tendangan menggeledek, saat Jatimerta belum bersiap. Dan....
Desss...! "Aaakh...!"
Pemuda itu kontan terlempar disertai semburan darah dari mulut sepanjang luncuran tubuhnya. Dadanya terasa nyeri bukan main.
"Kalau masih penasaran, ke sini lagi. Biar kuberi hajaran yang pantas untukmu!" ejek Sriwangi, dingin. Matanya menatap tajam pada Jatimerta yang memegangi dadanya dengan mulut menyeringai.
"Tunggu saja! Aku belum kalah! Kau akan tahu setelah ayahku ke sini!" ancam pemuda itu.
"Tidak usah ayahmu! Nenek moyangmu sekalian, suruh ke sini!" balas Sriwangi.
"Kau belum tahu! Ayahku adalah Kera Hitam Bertangan Besi. Kau tak akan selamat darinya!" desis Jatimerta.
Bukan Sriwangi yang terkejut, tapi para penonton dan beberapa juri yang kontan terjingkat. Betapa kaget mereka mendengar nama yang sudah tak asing lagi.
"Dia putra Kera Hitam Bertangan Besi"!"
"Celaka! Urusan ini akan runyam!"
Beberapa penonton memandang Sriwangi dengan tatapan iba. Sebaliknya, gadis itu tenang-tenang saja. Bahkan sama sekali tidak terlihat perubahan di wajahnya, mendengar pemuda itu menyebutkan nama ayahnya.
"Hi hi hi...! Jangankan Kera Hitam Bertangan Besi. Biang Monyet Berotot Baja pun, aku tak takut! Suruh dia ke sini!" sahut Sriwangi, lantang.
"Bedebah! Kau lihat saja nanti!"
Selesai memaki, Jatimerta segera angkat kaki.
Para penonton terpaku. Kegembiraan mereka berganti rasa cemas. Seolah-olah, ada ribuan hantu kejam yang akan muncul di desa ini. Dan arena pertandingan itu tidak lagi ramai seperti tadi. Satu persatu para penonton meninggalkan tempat itu.
"Ayo, siapa lagi yang akan menantangku"!" teriak Sriwangi, lantang.
Namun tak seorang pun yang berani tampil. Sehingga, gadis berbaju kuning ini kembali berteriak-teriak menantang.
"Nisanak! Pertandingan telah selesai. Mereka tak tertarik lagi melihatnya...," kata seorang laki-laki setengah baya, seraya menghampiri Sriwangi. Rupanya, dia adalah salah seorang juri.
"Kenapa" Aku tidak menyalahi aturan" Luka-luka kecil, bukankah hal lumrah?" tukas Sriwangi, heran.
"Bukan itu soalnya...," desah laki-laki setengah baya ini.
"Jadi apa?"
"Kekalahan pemuda tadi akan mengundang si Kera Hitam Bertangan Besi ke sini...."
"O, itu rupanya" Ada apa rupanya" Kalau dia mau melawanku, aku akan menghadapi. Jangan dia kira aku takut."
?"Nisanak.... Kau salah duga. Kalau sekadar menghadapimu, urusannya tidak akan begini. Penonton tidak akan resah. Tapi mereka tahu, lawan yang bakal kau hadapi tidak cukup sekadar menghajarmu. Bahkan akan merembet pada yang lain. Mereka akan jadi korban..." jelas laki-laki setengah baya itu, gelisah.
"Kenapa mesti begitu" Di desa ini banyak terdapat padepokan tangguh. Tidakkah kalian bisa menghadapinya" Kalaupun tidak, biar aku yang membereskannya!" sergah Sriwangi.
"Kau mungkin hebat. Tapi, si Kera Hitam Bertangan Besi itu gila. Dia haus darah. Membunuh orang demi kesenangan. Ilmunya demikian tinggi. Meski kami semua bersatu, belum tentu bisa mengalahkannya," jelas laki-laki itu lagi.
"Jangan menganggap rendah padaku, Orang Tua. Kau mungkin melihatku baru menjatuhkan seorang. Tapi siapa pun, di antara kalian yang berilmu tinggi boleh juga menghadapiku," desis gadis berbaju kuning ini.
Laki-laki setengah baya itu tersenyum. Matanya melirik sebentar pada penonton. Kelihatan sebagian dari mereka sudah bubar. Tapi, sebagian lain masih terlihat penasaran. Mereka ingin melihat, siapa gerangan yang mampu menjatuhkan gadis itu.
?"Nisanak! Bukankah kau ingin mengikuti pertarungan ini?" tanya laki-laki setengah baya tadi.
"Tentu saja! Aku ingin mencari orang yang bisa mengalahkanku!" sahut Sriwangi mantap.
"Melihat keadaannya, pertandingan ini telah selesai. Kau boleh kembali tahun depar"."
"Orang tua! Kau tidak boleh berkata begitu! Lanjutkan pertarungan. Dan, biarkan mereka menantangku!"
"Penonton telah bubar. Dan sebagian dari peserta telah meninggalkan tempat ini. Itu berarti pertandingan telah selesai. Tidak ada lagi yang bisa dikerjakan," kilah laki-laki setengah baya.
"Huh! Tidak kusangka di desa ini hanya pengecut-pengecut Tadinya kukira di tempat ini yang banyak kutemui tokoh gagah. Tapi setelah mendengar nama Kera Hitam Bertangan Besi,, nyali kalian sudah ciut!" ejek gadis berbaju kuning ini.
"Nisanak! Kau boleh berkata apa saja, sebab kau tidak mengenal orang itu...."
"Di mana orang itu tinggal?"
"Di kaki Bukit Kapur, sebelah selatan desa ini. Perjalanan ke sana memerlukan waktu dua hari perjalanan berkuda."
"Hm.... Tempat yang cukup jauh juga. Tapi, terima kasih atas keteranganmu," ucap Sriwangi seraya berbalik.
"Hei, mau ke mana kau"!" Percuma saja laki-laki setengah baya itu berteriak, karena secepat kilat Sriwangi telah berkelebat, diikuti empat orang gadis lain dari belakang.
*** ? Empat orang gadis dengan pakaian yang berbeda warna tampak berdiri menunggu di bawah pohon. Tak lama kemudian muncul, seorang gadis berbaju putih tengah menunggang kuda. Di belakangnya terlihat empat ekor kuda tanpa penunggang mengikuti.
"Hanya ini yang kudapat," kata gadis berbaju putih setelah tiba di dekat keempat gadis itu. "Kuda buruk!" cibir gadis berbaju biru "Jangan begitu, Kak Gandasari. Kak Harum Sari telah berusaha!" kata gadis berbaju hijau.
"Ya, ya...! Aku tahu, Arimbi. Tapi berapa lama perjalanan kita tiba di sana" Dan, apakah kuda ini kuat membawa kita sampai tujuan?" tukas gadis berbaju biru bernama Gandasari. "Kita akan cari di desa lain. Mudah-mudahan kita akan menemukan kuda-kuda yang lebih kuat dan kencang larinya." lanjut gadis berbaju biru.
"Lupakan sebentar soal itu. Aku punya usul yang mungkin menarik!" kata gadis berbaju kuning.
"Usul apa, Kak Sriwangi?" tanya yang lain.
"Ini berkaitan dengan tujuan kita. Selama ini, kita belum menemukan orang yang kita cari. Aku punya usul, bagaimana kalau kita saling berlomba?" jelas gadis berbaju kuning yang tak lain Sriwangi.
"Berlomba bagaimana, Kak?" tanya Arimbi, yang bertubuh tegap.
"Kita berpisah di sini. Lalu dua minggu kemudian, bertemu di tempat ini lagi dengan membawa orang yang dimaksud. Siapa yang lebih dulu membawanya, dia yang menjadi pemenang," jelas Sriwangi lagi.
"Apa ada hadiahnya?" tanya Gandasari.
"Ya, apa hadiahnya?" tuntut Harum Sari.
"Hm, hadiahnya...."
Sriwangi tak melanjutkan ucapannya, keningnya berkerut berpikir sesaat.
"Hadiahnya harus hebat. Kalau tidak, perlombaan ini tidak menarik!" cetus Arimbi.
"Hi hi hi...! Tentu saja. Akan kita buktikan, siapa di antara kita yang paling gesit, hebat, dan cerdik!" timpal Gandasari.
?"Aku tidak terlalu mementingkan hadiah. Yang terpenting, kita menyelesaikan tugas yang diberikan Ibunda!" tegas gadis berbaju merah yang tak lain Sekartaji.
"Hadiah itu perlu sebagai perangsang...," sambung Harum Sari.
"Bagaimana kalau..., takhta kerajaan"!" tawar Sriwangi.
"Takhta kerajaan" Apa maksud Kakak"!" tanya keempat gadis, yang semuanya adik kandung Sriwangi.
Wajah mereka kaget. Dahi mereka berkerut meski mengerti tujuan Sriwangi. Tapi ada rasa tak percaya di hati kalau sampai Sriwangi mempertaruhkan takhta kerajaan.
"Aku ahli waris Ibunda. Maka aku harus yang lebih hebat. Jika aku tidak hebat, maka tak ada gunanya. Jadi, kalian bisa menggantikanku asal bisa membawa orang yang dimaksud," jelas Sriwangi.
"Apakah Kakak tidak menyesal?" tanya Sekartaji.
"Itu sudah kupikirkan masak-masak," tandas Sriwangi.
"Sebenarnya tidak perlu begitu...," sesal Harum Sari.
"Tidak apa. Aku rela kalau memang kalian mampu mendapatkannya lebih cepat"
"Aku punya usul lain!" sela Arimbi.
"Usul apa?" tanya Sriwangi.
"Setelah masing-masing mendapatkan, kita lihat saja yang lebih hebat. Maka, itulah peme-nangnya!"
"Hm, usul yang bagus!" puji Sekartaji.
"Aku setuju! Itu lebih adil!" timpal Harum Sari.
"Ya! Aku pun setuju! Dengan begitu, kita akan mendapatkan orang yang tepat Dari mestinya, orang itu cukup menarik!" sambut Gandasari.
"Dasar genit! Kau selalu mencari sempurna!" semprot Harum Sari.
"Ah, jangan begitu! Kakak juga sebenarnya setuju, kan?"
"Huh!"
Gandasari tersenyum-senyum melihat kakaknya mendengus.
"Baiknya, sekarang saja kita berpisah. Kau Gandasari, apakah hendak melanjutkan tujuan ke selatan?" tanya Sriwangi.
"Hm.... Melihat gelagatnya..., aku membatalkan saja!" sahut Gandasari, tegas.
"Kenapa?"
"Orang itu pasti tua dan jelek!" sahut Gandasari sambil terkikik halus. "Aku mau cari yang muda dan..., tampan!"
"Kalau Kakak tak mau, biar aku saja!" sela Arimbi.
"Oh, kau mau" Silakan saja! Itu lebih baik, karena kau punya tujuan jelas."
"Kau sendiri mau ke mana, Gandasari?" tanya Harum Sari.
"Entahlah. Aku belum menemukannya. Tapi, itu tak lama...."
"Kau sendiri, Sekartaji?"
"Aku tak tahu. Tapi, mudah-mudahan saja cepat kutemui."
"Baiklah adik-adikku. Kita berpisah di sini. Jangan lupa, waktunya dua minggu. Berhasil atau tidak, kita berkumpul lagi di sini!" tandas Sriwangi, mengingatkan.
*** ? 4 Sudah setengah harian Gandasari berkuda, namun tetap tak berhenti. Meski wajahnya menyiratkan kelelahan, namun matanya tetap berbinar menandakan hatinya yang riang penuh semangat.
"Sebentar lagi malam. Aku mesti mencari penginapan...," gumam gadis berbaju biru ini. Dia telah cukup jauh berpisah dari saudara-saudaranya.
Di sekeliling tempat ini hanya ada pepohonan dan semak belukar. Belum terlihat sebuah rumah pun. Apalagi sebuah desa.
"Sepertinya masih jauh dari perkampungan. Dan..., kuda ini pun kelihatan letih. Dasar kuda payah! Aku mesti cari kuda yang lebih kuat."
Baru saja Gandasari berpikir begitu, tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada seekor kuda berbulu hitam berkilat yang tengah merumput di depannya.
"Hm.... Itu baru kuda hebat! Aku mesti mendapatkannya," gumam gadis berbaju biru itu.
Pelan-pelan Gandasari turun dari punggung kudanya. Lalu dia berjalan mengendap-endap, mendekati kuda hitam yang dilihatnya itu.
Kuda hitam itu seperti sadar kalau ada seseorang yang sedang mendekatinya. Dia berhenti merumput sebentar. Kedua bola matanya tampak bergerak-gerak, seiring gerakan kepalanya. Kedua telinganya pun ikut bergoyang-goyang. Tapi kemudian kembali merumput.
"Bagus! Ini akan lebih mudah...!" desah Gandasari, senang.
Jarak mereka kini terpaut kurang lebih sepuluh langkah. Gadis itu bersiap-siap melompat. Sementara kuda hitam di depannya tetap merumput dengan tenang.
"Hup!"
Tanpa mengeluarkan suara berarti, Gandasari melompat ringan menuju ke arah kuda.
"Hieee!"
Kuda hitam itu meringkik halus, lalu melompat gesit. Sehingga terkaman gadis itu meleset. Untung dia cepat membuat putaran di udara, kalau tak ingin jatuh terjerembab.
"Kurang ajar! Dia hendak mempermainkan aku rupanya!" desis Gandasari, begitu menjejakkan kakinya.
Dan yang lebih membuat gadis ini geram adalah, kuda itu tidak beranjak jauh. Hewan itu kini berada pada jarak kurang lebih tujuh langkah dari tempatnya berada. Bahkan seperti hendak mengejeknya.
"Yap!"
Kembali Gandasari melompat. Dan bersamaan dengan itu, kuda hitam di depannya mencelat menghindar. Sehingga, terkaman gadis ini luput dari sasaran.
Tapi Gandasari tidak berhenti. Dia terus mengejar, membuat kuda itu berlari kencang menghindarinya.
"Huh! Bagaimanapun, kuda itu mesti kudapatkan!" dengus Gandasari.
Kuda itu bertari semakin kencang, berputar-pu tar di tempat itu. Sehingga, membuat gadis ini se-. makin dongkol. Meskipun hebat, namun lari gadis itu pun tidak kalah hebat Bahkan ringan laksana kapas tertiup angin, dan kencang seperti anak panah melesat dari busur.
"Hup!"
Dengan perhitungan yang matang, Gandasari memutar tubuhnya di udara. Tepat ketika kuda itu berada dalam jarak jangkauannya, tubuhnya melu-. ruk deras ke punggung kuda. Lalu...
Tap! ?"Kena kau!" seru Gandasari girang.
Kali ini, Gandasari tepat duduk di punggung kuda hitam yang langsung berjingkrak-jingkrak. Kuda ini berusaha menghempaskan tubuh Gandasari. Gerakannya dahsyat dan kuat. Tubuh gadis itu berguncang-guncang dibuatnya. Kalau saja tidak berpegangan erat-erat pada leher kuda itu, niscaya akan terpelanting!
"Agaknya kau belum mau bersahabat denganku. Tapi itu tak lama, Sobat. Sebentar lagi, kau harus menurut padaku," kata Gandasari, berusaha menenangkan.
Dua buah jari tangan kiri gadis ini tiba-tiba bergerak menotok ke punggung kuda itu.
Tuk! "Hiekh...!"
Kuda ini kontan berhenti bergerak, diam seperti patung. Totokan bertenaga dalam tinggi dari gadis berbaju biru itu membuat otot-otot kuda ini tak mampu digerakkan.
"Nah, kini bisa apa kau padaku" Kalau mau bekerjasama, kau akan kujadikan sahabatku. Tapi kalau melawan, kau akan terus begini!" ancam Gandasari.
Gadis itu menunggu sesaat. Diperhatikannya kuda ini dengan seksama.
?"Aku bisa mengerti isyaratmu. Katakan setuju melalui apa pun caramu!"
Namun kuda berbulu hitam itu tak memberi jawaban apa-apa. Diam membisu seperti pertama kali ditotok.
"Hm.... Agaknya kau keras kepala juga! Bagaimana kalau kupecahkan kepalamu" Aku bisa saja kejam," ancam Gandasari.
Kuda itu tetap diam seperti patung.
"Ayo, tinggal sedikit lagi waktumu! Aku tak bisa berlama-lama. Kau jadi sahabatku dan bekerja sama, atau kubunuh"!"
Wajah Gandasari tampak geram. Tangan kanannya telah terkepal, siap dihantanjkan ke batok kepala hewan perkasa itu.
"Aku tidak main-main! Ayo, lekas katakan persetujuanmu!"
Kuda hitam itu tetap membisu. Tangan Gandasari siap menghantam. Namun....
"Nisanak! Kuda itu tidak akan menurut padamu. Jadi, tak ada gunanya kau memaksa."
"Hei"!"
Terdengar suara teguran dari samping, membuat gadis itu cepat menoleh dengan dahi berkerut. Tampak tak jauh dari tempatnya berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Sebilah pedang bergagang kepala burung rajawali tersampir di punggungnya. Kehadiran pemuda itu sama sekali tak dirasakannya. Atau, barangkali dia yang terlalu memusatkan perhatian pada kuda ini, sehingga melupakan kehadiran pemuda itu"
"Siapa kau"!" bentak Gandasari.
*** ? "Aku pengembara yang kebetulan lewat di sini...," sahut pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga. Dalam rimba persilatan, dia dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tak tanya itu. Yang kutanya, siapa namamu"!" bentak Gandasari lagi.
"Namaku" Hm.... Kau boleh memanggilku apa saja," sahut Rangga, seenaknya.
"Kau kira lucu" Huh! Aku sering menemukan orang sepertimu. Berlagak pilon uniuk mencari perhatian gadis-gadis!" cibir Gandasari.
"Terima kasih. Berarti aku hebat, ya" Bisa seperti orang-orang. Tapi, aku sama sekali tak bermaksud mencari perhatian," ucap Rangga, kalem.
?"Lalu apa maumu ke sini"!"
"Aku tengah mencari kudaku...."
"Kau boleh mencarinya ke tempat lain!"
"Sayangnya, aku telah menemukan kudaku di sini..."
"Apa maksudmu?"
"Nisanak! Kau tengah berada di punggung kudaku!" jelas Rangga, agak keras.
Wajah gadis itu tampak memerah. Dan sesaat, sikapnya jadi serba salah. Tapi sekejap kemudian, dia mampu menguasai diri. Sambil tersenyum-senyum, dia tak beranjak dari punggung kuda berbulu hitam itu.
"Huh! Jangan mengaku-ngaku, ya"! Kau pasti tertarik dengan kudaku yang bagus ini" Kau ingin memilikinya, bukan?" tangkis Gandasari.
"O, jadi ini kudamu?" tukas Pendekar Rajawali Sakti.
"Tentu saja!" terabas gadis itu.
"Kalau begitu, lepaskan totokannya. Akan kita lihat, kuda siapa itu sebenarnya."
Gadis itu tercekat. Dan dia berpikir sejurus lamanya. Akal pemuda itu memang bagus. Tapi sayang, akan merugikannya.
Gandasari sadar, kuda itu memang bukan miliknya. Kalau totokan itu dilepaskan, maka kuda itu akan mengamuk. Dan kalau benar kuda itu milik pemuda ini, dia pasti akan memanggilnya. Dan kalau kuda itu penurut, maka akan menghampirinya. Dan gadis ini akan malu sendiri.
"Itu bukan urusanmu! Kuda ini milikku. Dan orang lain tak boleh ikut campur!" desis Gandasari.
"Kalau begitu, mengapa kau totok?" tukas Pendekar Rajawali Sakti, menyudutkan. Matanya menatap tajam pada gadis ini.
"Sudah kukatakan, ini urusanku! Kenapa kau mau ikut campur"! Pergilah. Dan, jangan urusi persoalanku!" bentak Gandasari, melotot garang.
"Aku akan pergi, setelah kuda itu kudapatkan," sahut Rangga, tetap kalem.
"Hm, bandel!"
"Nisanak! Jangan suka mengambil benda yang bukan milikmu!"
"Ambillah kalau memang kuda ini milikmu!" dengus gadis berbaju biru.
"Tentu saja!"
Lalu secepatnya Pendekar Rajawali Sakti melompat mendekati kudanya. Dia bermaksud melepaskan totokan. Tapi, Gandasari tentu saja tak membiarkan begitu saja. Seketika, tangannya bergerak menepis.
Plak! Begitu habis menepis, sebelah kaki Gandasari cepat menyodok ke arah dada.
Rangga cepat mundur ke belakang sambil mengibaskan tangan guna menangkis.
Plak! "Menganggap enteng padaku, he"!" dengus gadis itu, melotot garang.
"Nisanak, jangan cari masalah...," ujar Rangga.
"Kau yang mencari masalah denganku!" bentak Gandasari, sengit.
"Hm! Aku hanya menginginkan kuda...."
"Jangan banyak mulut! Lakukan kalau mampu!"
"Hm!" gumam Rangga, tak jelas.
Pendekar Rajawali Sakti bersiap. Kakinya melangkah sedikit demi sedikit. Mendadak sebelah tangannya terjulur untuk melepaskan totokan. Dan sekali lagi, Gandasari menepis.
"Uts...!"
Namun kali ini Rangga menarik pulang tangannya. Seketika tubuhnya melenting ke atas.
Melihat kesempatan baik, Gandasari mengangkat kedua kakinya dengan kedua tangan bertumpu pada pelana kuda. Dia hendak menghajar tubuh Pendekar Rajawali Sakti.


Pendekar Rajawali Sakti 204 Titah Sang Ratu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun Rangga lebih cepat menukik turun. Begitu mendarat, tangannya terjulur cepat membebaskan totokan kuda hitam yang tak lain Dewa Bayu.
"Hieee...!"
Begitu terbebas, Dewa Bayu langsung meringkik girang. Kedua kaki depannya diangkat tinggi-tinggi. Gandasari yang hendak menunggangi kembali kontan terlempar.
"Hup...!"
Dengan satu gerakan ringan, gadis ini berhasil mematahkan luncuran tubuhnya, sehingga tidak terjerembab di tanah. Dan begitu melihat ke arah kuda hitam itu, ternyata Rangga telah duduk tenang di atas tunggangannya.
"Ayo, Dewa Bayu! Kita pergi dari sini! Heaaa...!?" teriak Pendekar Rajawali Sakti.
Dewa Bayu meringkik keras, lalu melesat kencang.
"Bangsat! Heaaa...!"
Tiba-tiba gadis berbaju biru itu menghentakkan kedua tangannya ke depan. Seketika meluruk segulung angin yang menderu tajam ke arah Dewa Bayu yang terus berlari.
Pendekar Rajawali Sakti tahu, ada angin serangan mendesir di belakangnya. Secepat kilat tubuhnya bersalto ke belakang dari punggung kuda. Begitu mendarat kedua tangannya langsung menghentak, menghadang serangan.
"Aji "Bayu Bajra"!"
Dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti, meluncur angin dahsyat bagai topan. Seketika terdengar suara berdesir keras. Angin topan yang ditimbulkannya nyaris merobohkan beberapa batang pohon di sekitar tempat itu.
"Ahh...!"
Gadis itu tersentak kaget melihat pukulan jarak jauhnya sirna begitu saja. Tubuhnya pun bergoyang-goyang seperti hendak roboh. Namun begitu, dia tetap tegak berdiri di atas kedua telapak kakinya dengan pengerahan tenaga dalam.
"Hmm, hebat!" puji Gandasari, setelah terbebas dari terpaan angin dahsyat dari aji "Bayu Bajra".
"Maaf, Nisanak. Aku tidak bisa membiarkan kau mencelakai kudaku. Dia sahabatku. Maka selama berada di dekatku, keselamatannya kupertaruhkan," ucap Rangga kalem.
"Tenagamu luar biasa. Dan..., itu membuatku tertarik. Maukah kau menunjukkan beberapa jurus-jurus yang lain?" tukas Gandasari, tak mempedulikan arah pembicaraan Rangga.
"Maaf.... Aku tak bisa mengabulkan keinginanmu. Aku mesti buru-buru!"
"Maaf, aku harus memaksamu!"
"Hm...."
*** ? "Hiaaa...!"
Gandasari langsung lompat menyerang. Kedua tangannya berkelebat. Yang kanan menghantam ke muka, sedangkan yang kiri mengancam bagian dada.
Rangga tak mau kalah. Dihadangnya serangan. Kedua tangannya juga berkelebatan, memapak.
Plak! Plak! Begitu terjadi benturan, mendadak kaki kiri Gandasari meliuk menghantam ke perut.
"Hup!"
Rangga mencelat ke atas dan berputaran beberapa kali. Namun baru saja kakinya menjejak tanah, serangan gadis itu telah tiba mengancam leher. Maka secepat kilat tubuhnya mengegos sambil mengibaskan tangannya.
Plak! "Yeaaa!"
Gandasari agaknya tak mau memberi kesempatan sedikit pun. Tubuhnya cepat berputar, seraya melepas tendangan. Dengan gerakan kilat. Pendekar Rajawali Sakti merendahkan tubuhnya, seraya berputar. Kakinya bergerak menyapu kaki gadis itu.
Plak! Bruk...! Gandasari kontan jatuh terduduk dengan mulut meringis. Matanya menatap tajam Rangga yang berdiri tegak dengan senyum dingin.
"Hm, hebat! Kecepatanmu sungguh luar biasa, Nisanak," puji Rangga, tulus.
"Selama beberapa minggu berkelana, baru sekali ini aku menemukan lawan tangguh sepertimu! Kaulah mungkin orang yang kucari," kata gadis itu seraya bangkit berdiri.
"Aku tak mengenalimu. Dan kau tak berurusan denganku," ucap Rangga, halus.
"Sombong sekali! Tahukah kau urusan apa yang tengah kukerjakan"!" sentak Gandasari.
"Aku tak peduli dengan urusanmu!"
Setelah berkata begitu, Rangga berbalik. Dia melangkah mendekati Dewa bayu, lalu melompat ke punggungnya. Tapi gadis itu cepat berkelebat, dan berdiri di depan Dewa Bayu.
?"Urusan kita belum selesai. Dan kau mesti menghadapiku!" sentak Gandasari.
"Jangan memaksaku, Nisanak," tolak Rangga halus.
"Aku memang memaksamu!" sentak gadis berbaju biru ini, melotot garang.
"Hm...! Di antara kita tak ada urusan, mengapa kau begitu penasaran?"
"Ini urusanku. Dan kau tak mau tahu, bukan?"
"Hm, kau pasti tak bersungguh-sungguh?"
"Kau boleh pergi, asal bisa mengalahkanku! Kalau tidak, aku yang akan menghajarmu!"
"Urusan apa sebenarnya yang membuatmu begitu bersemangat menantangku?" tanya Rangga, dengan senyum kecut. Hatinya sebenarnya mangkel.
"Jadi kau ingin tahu?" gadis itu malah balik bertanya.
"Ya, akhirnya...!" sahut Rangga sambil angkat bahu.
"Aku ingin ada seseorang yang bisa mengalahkanku!" jelas Gandasari, tandas.
"Buat apa?" tanya Pendekar Rajawali Sakti dengan kening berkerut.
"Untuk kujadikan suamiku."
Rangga tersenyum, penuh wibawa.
"Kenapa kau tersenyum"!" sentak Gandasan.
"Jadi kau mau cari suami" Kenapa mesti repot-repot dengan mengajakku bertarung" Asal mau saja, kau bisa mendapatkan seribu laki-laki yang pasti bersedia menjadi suamimu."
"Benarkah?" mendadak gadis itu tersenyum. Genit sekali.
"Ya."
"Kenapa kau begitu yakin?" tanya Gandasari.
"Karena... Karena, ya, kau cantik! Lalu..., ah! Pokoknya laki-laki akan suka padamu!" sahut Rangga jadi salah tingkah.
"Termasuk kau sendiri?" cecar Gandasari menyudutkan
"Hah"!" Rangga terkejut, tapi buru-buru tersenyum. "Itu soal lain."
"Kau tak menyukaiku?" tanya Gandasari, tanpa tedeng aling-aling.
"Ah, siapa bilang?" tukas Rangga.
"Kalau begitu kau menyukaiku?"
"Yaaah, tidak juga...."
"Kenapa mesti berbelit-belit"! Katakan saja. Suka atau tidak ".
"Aku tak bisa jawab...."
?"Kau katakan, semua laki-laki akan suka padaku. Sedangkan kau sendiri tak memberi jawaban suka atau tidak. Kalau begitu, apa maksudmu?" cecar gadis itu kian penasaran.
"Maksudku..., aku sering bertemu gadis cantik. Dan aku jadi bingung, karena tak tahu siapa yang kusuka," sahut Pendekar Rajawali Sakti, berdusta.
"Huh! Dasar ceriwis...!"
Rangga tersenyum kecut.
"Tapi bagaimanapun, kau harus bertarung denganku!" sentak Gandasari, berubah garang kembali.
"Kalau aku tak mau?" pancing Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku akan menghajarmu!"
"Hm, galak betul!"
"Bersiaplah!"
"Hei, tunggu dulu!" cegah Rangga berteriak.
Tapi gadis itu telah mencelat menyerang. Mau tak mau terpaksa Rangga mesti melompat seraya menepuk badan Dewa Bayu.
"Dewa Bayu! Pergilah lebih dulu! Aku menyusul belakangan!"
"Hieee...!"
Kuda berbulu hitam itu meringkik, kemudian berlari kencang meninggalkan tempat itu.
Sementara Rangga sudah jungkir balik, menghindari serangan-serangan gencar Gandasari.
"Uhh...! Kau benar-benar ingin membunuhku, Nisanak..."!" keluh Pendekar Rajawali Sakti sambil terus berkelit-kelit menghindar.
"Kalau perlu!" sahut Gandasari, terus mencecar.
"Sayang sekali, gadis secantikmu berwatak kejam....
"Itu penilaianmu. Padahal yang kuinginkan agar kau mampu mengalahkanku!"
"Mana mungkin!"
"Kenapa tidak! Kepandaianmu hebat!"
"Maksudku, mana mungkin kau bisa mengalahkanku!" lanjut Rangga sambil terus berkelit.
"Sombong...!"
Gandasari mengibaskan tangannya. Namun cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti memapak. Plak!
Benturan keras terjadi. Keduanya sama-sama terjajar mundur. Bedanya, Gandasari sampai lima langkah, sedangkan Rangga hanya selangkah saja.
*** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 204. Titah Sang Ratu Bag. 5 - 8 (Selesai)
14. Juni 2015 um 08:47
? 5 ? Gandasari berniat menyerang kembali. Tapi....
"Tahan...!" teriak Rangga, seraya mengangkat kedua telapaknya ke depan.
Rangga sadar, kepandaian gadis ini cukup hebat. Demikian pula ilmu meringankan tubuhnya dan kekuatan tenaga dalamnya. Setiap kali benturan, maka tangannya terasa linu dan kesemutan. Namun bukan berarti Pendekar Rajawali Sakti tak bisa mengunggulinya. Pemuda ini hanya tak ingin sampai menjatuhkan tangan kejam pada seorang gadis yang sebenarnya tak bermaksud membunuhnya.
"Kenapa berhenti" Kau menyerah?" tanya Gandasari.
"Bukan! Bukan begitu. Aku hanya ingin tahu, siapa namamu," kilah Pendekar Rajawali Sakti.
"Namaku Gandasari...," sahut Gandasari.
"Hm.... Nama yang bagus! Namaku Rangga."
"Hm!"
"Gandasari, sebaiknya sudahi saja permainan ini...," ujar Pendekar Rajawali Sakti halus.
?"Maaf, aku tak bermaksud melukaimu. Tapi, kau mesti mengalahkanku dengan cara apa pun. Kalau tidak, maka tak ada cara lain. Aku terpaksa menghajarmu untuk membuktikan, kalau kau tak mampu mengalahkanku!" sahut gadis ini, keras kepala. Bahkan suaranya terdengar mantap.
"Bukankah itu sama artinya mengganggu ketenangan orang lain?" tukas Rangga.
"Aku tak peduli. Yang penting, kalahkan aku dulu!" sentak Gandasari.
"Lalu setelah itu?"
"Maka kau menjadi calon suamiku!"
"Gandasari.... Tak usah dengan berkelahi pun, kau pasti akan mendapatkan suami. Laki-laki mana yang akan menolak gadis secantikmu...?" Rangga mencoba menasihati.
"Kecuali kau, ya?" selak gadis itu menyudutkan.
Rangga tersenyum kecut. Sikapnya jadi serba salah.
"Aku tak peduli apa pun alasanmu. Tapi..., apakah gadis sepertiku sama sekali tak menarik perhatianmu?" lanjut Gandasari.
"Eh! Ng..., sebagai laki-laki dewasa, tentu saja aku tertarik!" sahut Rangga, tergagap.
"Lalu..."!"
"Lalu..., ya. Lalu apa, ya...?" tanya Rangga berlagak pilon sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Sudahlah.... Jangan banyak mulut! Heaaat...!"
Disertai teriakan keras, Gandasari meluruk dengan kaki terjulur hendak menghantam perut.
"Hup...!"
Dengan gerakan indah sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat dan langsung berputaran di udara.
Tepat ketika Rangga mendarat, Gandasari yang telah berbalik langsung memutar tubuhnya, seraya melepas tendangan setengah lingkaran. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Des! "Uhh...!"
Telak sekali dada Pendekar Rajawali Sakti mendapat hantaman Gandasari. Tak ayal lagi, Rangga terjajar ke belakang disertai keluhan tertahan.
"Yiaaat...!"
Kesempatan ini digunakan Gandasari untuk menyerang kembali. Tubuhnya telah melesat dengan kecepatan penuh, membuat pemuda itu berdecak kagum.
"Gila! Gerakannya cukup hebat!"
Pendekar Rajawali Sakti langsung mengerahkan jurus "Sembilan Langkah Ajaib" untuk menghindarinya. Tubuhnya meliuk-liuk bagai orang mabuk, ditunjang gerakan kaki yang cepat bukan main. Sehingga tak satu serangan pun yang berhasil menyentuh tubuhnya.
Medali Wasiat 9 Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Setan Harpa 1

Cari Blog Ini