Ceritasilat Novel Online

Ranah Tiga Warna 5

Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi Bagian 5


jadi bentrok fisik. Apa yang membuat negara Kanada berbeda"
Mereka tidak pernah mengklaim atau membuat lirik lagu
bahwa mereka adalah bangsa yang ramah dan penuh senyum.
Aku ingin sekali mendapatkan jawaban penting ini selama
tinggal di Quebec. Malam itu, berlembar-lembar halaman diary aku tulis tentang diskusi di meja makan tadi. Apakah aku akan menjadi
saksi sejarah lahirnya sebuah negara baru dalam beberapa
bulan ke depan, kalau referendum dimenangkan orang
Quebec" Aku bertanya-tanya, apa yang membuat sebuah bangsa memilih jalan damai daripada kekerasan ketika mereka
berbeda pendapat. Siapa yang mengajarkan mereka untuk
lebih memilih jalan damai diplomasi" Bukankah pada abad
ke-16 sampai dekat abad ke-20 bangsa Eropa menjajah banyak
negara di dunia dengan kekuatan dan kekerasan senjata api"
Kenapa sekarang cara kekerasan mereka tinggalkan, sementara
319 negara bekas jajahan mereka masih bergelut kekerasan" Apa
yang salah dengan bangsaku sendiri" Apa yang bisa aku
pelajari di sini" Banyak tanda tanya besar aku goreskan di diary-ku. Lalu
aku menyuruk ke bawah selimut wol yang tebal. Aku lirik
termometer besar yang dipasang di luar jendela kaca. Musim
dingin tampaknya sudah mulai mengetuk-ngetuk di depan
pintu. Malam ini suhu telah melorot sampai ke 2 derajat
Celcius. Aku tarik selimut sampai ubun-ubun.
320 Michael Jordan vs Biri-biri
emakin hari semakin terasa semua headline koran Le
Soleil, TV, dan radio dibanjiri berita dan polemik hangat
seputar referendum. Pertanyaan besar semua orang: apakah
referendum pada 30 Oktober 1995 ini akan memecah Kanada
dan menghasilkan sebuah negara baru"
Sebagai mahasiswa jurusan Hubungan Internasional, semua
rentetan kejadian ini membukakan mataku. Rupanya tidak
hanya di negaraku, bahkan isu pemisahan diri atau separatisme
terjadi di negara maju juga. Tapi yang menarik, separatisme tidak
selalu dianggap negatif dan ternyata bisa dikumandangkan tanpa
harus ada pertumpahan darah dan konflik fisik, cukup dengan
diplomasi dan debat pemikiran. Aku mulai mempertimbangkan
referendum dan separatisme Quebec sebagai bahan skripsiku
beberapa semester lagi. Referendum ini mungkin peristiwa terbesar dalam sejarah
Kanada, setelah mereka merdeka. Dan aku akan menyaksikan
sendiri kejadian langka ini. Aku coba memutar otakku
agar bisa menggunakan momen ini untuk merebut medali
emas yang diiming-imingkan oleh Sebastien. Medali hanya
diberikan kepada peserta yang punya karya yang unik dan
berpengaruh bagi kota kami. Tekadku ingin mengalahkan Rob
yang menyebalkan, bagaimanapun caranya.
321 Hmm, mungkin aku bisa membuat sebuah berita khusus
tentang referendum untuk stasiun TV-ku. Tapi tidak cukup
unik, karena media lain juga melakukan hal yang sama. Aku
melakukan survei dan wawancara dengan masyarakat di SaintRaymond. Biasa saja. Hei, kenapa tidak mewawancarai khusus
tokoh utama di belakang referendum" Ada dua kubu yaitu
tokoh antiseparasi Daniel Janvier, dan Jacques Paquet, tokoh
proseparasi. Tapi mungkinkah" Mereka kan sibuk. Bagaimana
caranya" Aku belum tahu caranya. Tapi yang aku tahu, kalau
ini berhasil, aku cukup yakin medali emas pasti jatuh ke tanganku.
Walau tampaknya sulit diwujudkan, aku memberanikan
diri untuk mengajukan usulku kepada Stef dan Franc untuk
membuat wawancara khusus tokoh referendum. Tidak ada
salahnya aku mencoba. Toh menurut pengalamanku, tidak
pernah rugi punya impian tinggi untuk mengejar medali yang
kudambakan. "Apa" Kamu ingin mewawancarai tokoh-tokoh besar
itu" Sangat bagus, tapi bagaimana caranya" Kita hanya TV
lokal kecil dari sebuah kota kecil," kata Stef sangsi. Matanya
mengawasiku agak terpicing, mungkin tidak percaya.
"Mereka pasti lebih peduli pada media besar di kota-kota,"
timpal Franc. Aku belum mau menyerah.
"Kita tidak tahu kalau kita belum mencoba. Aku punya
ide, bagaimana kalau kita kontak tim kampanye mereka untuk minta wawancara khusus" Kalau tidak berhasil, kita mempelajari jadwal mereka berkampanye. Yang dekat dari SaintRaymond sini kita datangi. Supaya mereka merasa penting
322 untuk kita wawancarai, kita perlu jelaskan berapa besar potensi
para calon pemilih di sini. Dan berapa banyak pemirsa TV
kita," usulku berapi-api.
Stef dan Franc mulai tertarik mendengar ideku. "Baik, aku
akan hubungi tim kampanye mereka sekarang," kata Stef.
"Dan kami berdua akan pelajari agenda kunjungan mereka,"
sambutku. "Aku juga bisa riset tentang potensi pemilih dan besarnya
pemirsa kita untuk menjadi pertimbangan mereka," kata Franc
tidak mau kalah. Beberapa menit kemudian, kepala Stef muncul dari balik
pintu. Aku dan Franc penasaran ingin mendengar kabar baik.
Tapi kepala Stef menggeleng lemah. "Kata staf Daniel Janvier
dan Jacques Paquet, mereka sedang tur keliling Quebec. Dan
untuk sementara tidak punya waktu untuk wawancara dengan
TV komunitas kecil seperti kita. Maaf ya, tampaknya belum
bisa." Aku dan Franc hanya berpandang-pandangan dengan lesu.
Tapi dalam hati aku berjanji tidak akan menyerah. Menurutku
ini hanya soal waktu, kalau dicoba terus pasti bisa. Dan orang
yang akan kami wawancarai sesungguhnya berkepentingan
juga untuk diliput. Tanpa sepengetahuan Stef, sejak hari itu, setiap pagi aku
mengirimkan faks ke kantor dua tokoh ini. Minta waktu wawancara. Aku berhasil menghasut Franc untuk menuliskan
surat resmi dengan bahasa Prancis yang baik dan aku yang
mengirimkannya setiap pagi.
323 Stephane dengan telaten telah mengajari aku dan Franc
teknik menggunakan kamera untuk liputan dan VTR untuk
mengedit hasil shooting kami. Kini bahkan kami telah bisa
memproduksi acara sendiri, yaitu Youth in Action, yang berisi
rupa-rupa kegiatan kami para peserta pertukaran di SaintRaymond.
"Hei, kalian sudah lihat ramalan cuaca hari ini?" tanya Stef
suatu pagi. "Menurut berita TV, hari ini cerah," jawab Franc. Sejak
tinggal di Saint-Raymond aku baru tahu kalau ramalan cuaca
adalah acara yang paling banyak ditonton, khususnya masa
pergantian musim seperti sekarang. Dalam sehari, suhu bisa
berubah cepat, tergantung angin dan awan. Siang belasan
derajat, malam bisa meluncur sampai di bawah nol derajat Celcius. Aku pernah dua kali salah kostum. Aku pikir hari akan
panas, ternyata dinginnya minta ampun karena angin bertiup
kencang. Sebaliknya aku pernah mengira akan dingin, tahunya
panas. Karena inilah setiap orang merasa perlu mengetahui
suhu dan kondisi angin melalui acara M"t"o. Ramalan cuaca.
"Kalau memang cerah, ayo kita berangkat ke pinggir kota.
Hari ini kesempatan bagus untuk meliput puncak musim gugur,
ketika semua daun dalam titik tertinggi warna cemerlangnya.
Sekalian kita bisa liputan ke peternakan di luar kota," kata
Stef sambil berkemas. Aku pernah membaca, di puncak musim gugur, banyak
324 daun tidak lagi dialiri klorofil atau zat hijau daun sehingga
berubah warna sesuai jenis pohon. Misalnya daun pohon american smoke menjelma jadi oranye, white oak menjadi marun,
sassafras menjadi merah, dan autumn purple jadi lembayung,
dan tentunya maple menjadi merah menyala-nyala.
Kami meluncur ke arah utara, ke pinggir kota yang
berbukit-bukit, melewati jalan kecil yang berliku-liku dan
menyusuri pinggir sungai dan danau. Stef meminta kami
mengambil berbagai footage54 di hutan, sungai, dan terakhir di
sebuah peternakan sapi perah dan biri-biri bernama Ferme55
Beaumont. Kami mewawancarai pemiliknya, Pierre Beaumont,
pria separuh umur bercambang lebat, tentang pengaruh musim
terhadap ternaknya. Selesai wawancara, aku beristirahat di pagar kayu peternakan, sambil menggigit apel merah bekal dari rumah. Dari
kejauhan aku bisa melihat kesibukan beberapa pekerja di
peternakan yang luas ini. Tampak seorang peternak muda kurus
terhuyung-huyung mengangkat jerami yang sudah dipadatkan
dalam bentuk kubus-kubus. Pekerjaan fisik diteruskannya
dengan menyekop tumpukan kotoran sapi ke dalam tong
sampah. Napasnya terengah-engah, celana dan sepatu
botnya belepotan tanah dan kotoran. Sambil beristirahat, dia
membuka topi koboi yang bersisi lebar dan dari tadi menutupi
mukanya. Ya Allah, kenapa dari tadi aku tidak sadar. Peternak muda
Footage: bahan mentah video yang belum diedit
Ferme: tanah pertanian dan peternakan
325 kurus itu kawanku sendiri, Rusdi. "Hooi, orang Kalimantan!"
teriakku sambil membentuk kedua tanganku seperti corong.
Dia celingak-celinguk sebentar sebelum melambai ke arahku
dan Franc. Dia berlari kecil ke arah kami dengan senyum
lebar. "Bonjour, Alif dan Franc, aduh senangnya melihat kalian
ada di sini. Ckk" ckk" gaya kali bawa kamera segala,"
katanya sambil membersihkan beberapa batang jerami kering
yang menempel di baju dan celananya.
"Kau juga gaya, seperti koboi asli," jawabku membesarkan
hatinya. Dalam hati aku prihatin juga dengan nasibnya
menjadi peternak di Ferme Beaumont ini.
"Gaya apaan" Jauh-jauh aku datang dari Banjar ke luar
negeri, kok ya masih kayak di kampungku dulu, menggembala
ternak?" dia mengeluhkan nasibnya. "Bayangkan, setiap hari
aku hanya bergaul dengan biri-biri dan sapi. Untunglah sudah
mulai musim dingin, jadi kerja di luar sudah jarang. Seandainya
aku masih bisa ganti kerja," katanya sambil menekuk jarijarinya sampai berbunyi patah-patah. Walau awalnya Rusdi
sudah pasrah, tapi tampaknya sampai hari ini dia masih belum
bisa menerima kenyataan ini sepenuhnya.
Aku menghela napas bisa merasakan kesedihannya. Franc
juga tampak prihatin. Aku tidak mengira pekerjaannya di sini
seberat ini. Aku pikir dia menangani bagian penjualan atau
marketing. Dalam perjalanan pulang, aku dan Franc memutar otak
bagaimana supaya bisa membantu Rusdi mendapatkan tempat
kerja yang lebih menyenangkan. "Kalau tidak dibantu, jangan326
jangan dia bisa depresi. Tentu tidak bagus membaca kepala
berita di koran sini berbunyi: "Seorang Anak Kalimantan
Mengalami Depresi di Kanada"," kata Franc, ikut prihatin.
Dalam rangka menyelamatkan mental Rusdi yang rusuh,
aku mengundang semua anak Indonesia berkumpul di Caf"
Qu"b"cois di Rue Saint-Joseph hari Sabtu menjelang siang.
Mungkin dengan ramai-ramai begini, Rusdi bisa terhibur.
Dan siapa tahu kami bisa sekalian mencari solusi untuk nasib
Rusdi. Sambil menyendok pancake56 tiga lapis yang berkuah sirup
maple, senyum tidak lepas dari mulut Rusdi. Baru saja kami
duduk melingkar di sebuah meja, Rusdi telah memilih dirinya
sendiri untuk mendapat giliran pertama bercerita tentang
suka duka dia selama di Saint-Raymond. Karena lokasi peternakannya yang jauh di luar kota, dia memang paling jarang
bertemu dengan kami satu grup. Tidak heran dia memang
butuh teman curhat. "Haduh, senangnya akhirnya bisa bicara lagi dalam bahasa
Indonesia," katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Kami semua menggangguk-angguk setuju. Selalu bicara dalam
bahasa Prancis dan Inggris kadang-kadang bikin capek lidah
dan pikiran. Makanan yang berbentuk bundar, tipis, dan terbuat dari adonan tepung.
Sejenis serabi. Dimakan dengan campuran keju, es krim, sirup dan lainnya.
Sebagai menu makan pagi sering dimakan bersama telur mata sapi
327 "Bayangkan, aku bangun pagi membersihkan kandang biribiri, sapi, dan kuda, lalu memberi mereka makan. Agak
siang aku membantu memerah susu. Kemarin waktu musim
tanam, aku ikut membajak tanah pertanian, untung semuanya
peralatan modern. Tapi aku merasa tidak adil disuruh jadi
petani. Di Kalimantan petani, di Kanada masih petani juga.
Kapan merdekanya?" Kami semua mengangguk-angguk simpati, tidak berani memotong Rusdi yang bercerita dengan menggebu-gebu.
"Tolonglah kalian bantu aku pindah kerja. Aku sudah coba
lapor tapi belum dikabulkan."
"Nanti kita bicara rame-rame ke Kak Marwan ya, semoga
ini jadi perhatian," kata Raisa.
"Iya, aku sudah capek meminta. Aku pun sudah beri
dia pantun-pantun penderitaan, tapi belum juga dikabulkan
dengan alasan belum ada tempat bekerja baru yang bersedia
menampungku," katanya. Aku menepuk-nepuk punggungnya
memberi semangat dan berjanji akan memperlihatkan
video hasil liputan kami kemarin kepada Kak Marwan dan
Sebastien. Puas mencurahkan isi hatinya kepada kami semua, Rusdi
tampak lebih tenang. Kami ngobrol ngalor-ngidul sambil
menikmati sarapan menjelang siang dengan pancake gemukgemuk yang menggiurkan selera. Pancake hangat ini dimandikan dengan sirup maple segar, sebongkah krim, dan dilengkapi
telur mata sapi. "Kalau aku senang sekali, khususnya dengan orangtua
328 angkat. Mereka orang berada, rumahnya besar, lengkap dengan
kolam renang. Kalian boleh loh kalau mau berenang di sana,
pakai air hangat kok," cerita Dina. Kami berdecak kagum.
"Cuma sempat tidak enak ketika awal sampai di sini.
Karena malam-malam WC mampet dan banjir gara-gara aku
pakai tisu terlalu banyak. Habisnya kan di sini tidak ada air
buat bersih-bersih. Semua pakai tisu. Mana tahan aku," lanjut
Dina malu-malu. Kami melongo dan menutup mulut antara geli dan jijik.
Membayangkan WC banjir di tengah makan pancake itu sungguh tidak mudah.
"Terus?" "Ya, aku kerja bakti bersih-bersih. Dan orangtua angkatku
menggedor-gedor sebuah toko yang menjual alat sedot yang
sebetulnya sudah tutup malam itu. Makanya, kalian semua
hati-hati ya, biasakan pakai tisu atau siapkan air di botol."
"Aku juga punya cerita nih. Yang paling berkesan adalah
ketika aku diajak keluarga angkatku ke Toronto. Aku diajak
menonton pertandingan NBA di stadion milik Toronto
Raptors," celetuk Raisa.
"APAAA" Kamu menonton NBA langsung" Emangnya
kamu suka" Kamu bahkan nggak main basket!" teriak Sandi
yang tinggi besar dan atlet bola basket andalan kampusnya
selama ini. Bahkan dia selalu bangga dengan koleksi jersey57


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

basketnya. Kaus tim yang sering jadi bahan koleksi
329 "Hmmm bagiku basket biasa-biasa saja sih, tapi keluarga
orangtua angkatku gila basket, jadi aku diajak mereka nonton,"
jawab Raisa dengan senyum tak berdosa.
Wajah Sandi meradang. Dia merasa mungkin dialah yang
lebih berhak dapat anugerah menonton olahraga favoritnya
itu. Tapi kehormatan itu malah jatuh ke Raisa yang tidak
terlalu peduli dengan basket.
"Emangnya kamu tahu yang main siapa?" sergahnya kurang
senang. "Ya tahulah, aku lihat langsung pemain hitam yang hebat
itu... Aduh siapa ya namanya. Joran, Jogan.... gitulah..."
"Ya ampun. Maksud kamu Jordan" Jadi kamu nonton
Michael Jordan dari Chicago Bulls" Ada Dennis Rodman,
Scottie Pippen, dan pelatih Phil Jackson juga pasti. Ya Allah,
beruntungnya kamu, Raisa. Kita tukeran orangtua angkat
yuk." "Iya, iya, Jordan. Hebat banget tuh orang, bisa masukin
bola dari posisi mana aja," jawab Raisa. Sandi hanya bisa
melipat-lipat mukanya kesal.
Aturan di program ini, kami baru bisa keluar kota kalau
diajak orangtua angkat. Kalau tidak diajak, ya tidak bisa ke
mana-mana. "Tapi nggak apa-apalah. Boleh deh aku belum
nonton NBA, tapi aku sudah nonton Cirque du Soleil dengan
lakon Alegria. Tahu nggak kalian apa yang aku ceritakan"
Inilah grup sirkus terbaik di dunia, berasal dari Quebec."
"Apa bedanya sih, semua sirkus di mana-mana sama. Badut,
binatang, lompat-lompat tali, gitu aja kan?" tanya Ketut.
330 "Beda sekali. Ini seperti nonton sirkus dicampur drama dan
teater. Ada live music, seluruh pertunjukan diiringi oleh suara
penyanyi, kostum panggung seperti orang main teater, dan
teknologi panggung yang luar biasa. Masak panggungnya bisa
miring, dilipat, berputar sesuka mereka. Ah, pokoknya kalian
nggak bisa membayangkan deh kalau tidak melihat langsung.
Dan itu hanya bisa dilakukan Cirque du Soleil," sambung
Sandi dengan suara berapi-api.
Aku dan teman-teman lain menatap Sandi dan Raisa iri.
Aku sendiri tidak punya banyak cerita. Bahkan aku belum
pernah diajak Mado dan Ferdinand ke luar kota kecil kami.
Tempat paling jauh yang aku kunjungi adalah danau di pinggir
kota, ketika kami menyewa kano menyusuri sisi danau dan
masuk ke sebuah sungai yang tenang dan jernih.
"Kalian semua beruntung sekali. Nasib kalian dan nasibku
itu bagai membandingkan Michael Jordan dan biri-biri. Jauh
sekali. Tapi untunglah orangtua angkatku cukup baik, mereka
sangat menghargai kerja kerasku selalu," kata Rusdi sendu.
"Rus, kiaiku dulu mengajarkan untuk man shabara zhafira.
Artinya siapa yang sabar akan beruntung. Jadi selama kamu
sabar, hanya soal waktu, keberuntungan ini akan hadir cepat
atau lambat," aku coba hibur dia.
Dia manggut-manggut merapalkan man shabara zhafira,
kata mutiara dari bahasa Arab yang aku pelajari dulu di Pondok Madani.
Setelah sejenak terdiam seperti sedang memahami pesanku,
mulutnya sekarang bergerak. Tangannya terentang ke depan,
331 45 derajat. Aku tahu arti gerakan itu, dia akan menerbitkan
pantun terbarunya. Daun maple menggantung di dahan
Menunggu salju datang mendera
Hamba akan teguh bertahan
Mengambil inti man shabara zafira
Suaranya sudah lebih lantang. Dagunya diangkat tinggi,
tampak Rusdi berusaha menegar-negarkan diri. Kami semua
menepuk punggungnya santai. Antara senyum dan prihatin.
Aku berjanji akan membantu dia sebisaku. Sekuatku, wahai
Kesatria Berpantun! Sebelum berpisah, aku menggamit lengan Rusdi.
"Bagaimana hubunganmu dengan Rob" Entah kenapa aku
merasa dia agak aneh."
"Emangnya kenapa" Rob itu memang orangnya ambisius
dan emosional. Tapi ada sisi baiknya juga."
"Sepertinya dia arogan. Mentang-mentang bule. Masak
hanya gara-gara pemadam kebakaran kemarin dia mengamuk.
Kalau dia tahu kamu pelakunya bisa berantem tuh."
"Aku sudah bicara baik-baik kalau itu salahku."
"Oh ya" Pasti dia menyemprot kamu habis-habisan."
"Awalnya kami sama-sama marah. Dia sampai mendiamkan
aku berhari-hari. Aku juga tidak mau kalah. Tapi kemudian
dia bercerita bahwa keluarganya sejak kakeknya dulu adalah
pemadam kebakaran. Memadamkan api telah menjadi misi
332 hidup keluarganya. Ayahnya tahun lalu meninggal ketika
bertugas memadamkan api. Walau dia bisa depresi dan trauma
dengan api, Rob memilih tidak begitu. Dia malah bercitacita jadi anggota korps pemadam kebakaran mengikuti jejak
kakek dan ayahnya. Membantu orang memadamkan api di
mana saja. Sejak itu aku lebih mengerti kenapa Rob sangat
perhatian kepada kebakaran. Itu mengalir dalam darahnya.
Sejak itu, alhamdulillah kami lebih dekat."
Aku hanya bisa termangu-mangu. Don"t judge a book by its
cover, kata orang bule. Aku telah berlaku tidak adil dengan
berprasangka buruk kepada Rob. Padahal yang dia alami sama
denganku, ditinggal ayah sendiri. Bahkan pengalamannya
mungkin lebih perih lagi. I am sorry Rob for misjudging you.
"Rus, boleh tanya, apa proyek si Rob untuk perlombaan
mendapat medali penghargaan?"
"O, kalau itu dia sangat serius. Hampir setiap hari dia
pulang malam, katanya sedang membuat perkumpulan relawan
pemadam kebakaran dari anak-anak sekolah. Dia datang ke
berbagai sekolah untuk merekrut relawan. Pokoknya semangat
sekali dia itu." Hmm, lawanku berat juga. Tapi aku tidak boleh kalah.
Fastabiqul khairat kata Kiai Rais. Berkompetisilah untuk kebaikan.
333 Sang Kelinci Berlari agi-pagi sekali aku sudah sampai di kantor. Yang aku
lakukan pertama hari ini adalah mengirimkan kaset video
VHS berisi rekaman suasana kerja Rusdi di peternakan ke Kak
Marwan yang tinggal di Quebec City. Kilat khusus. Semoga
dengan melihat video ini dia semakin yakin bahwa Rusdi
perlu dipindahkan dari pekerjaannya yang amat berat itu.
Lalu, seperti biasa, aku kembali menyiapkan surat permohonan
wawancara dan aku faks ke kantor dua pihak yang terlibat
referendum. Sudah berminggu-minggu aku lakukan setiap hari
kerja tanpa pernah dijawab sekali pun. Tapi aku bertekad
tidak hendak berhenti mengirim. Man jadda wajada dan man
shabara zhafira, itu tekadku.
Tiba-tiba tanganku terhenti ketika akan memijit tombol
"send". Mataku melihat selembar faks balasan di atas baki
penerima kertas faks. Kop suratnya membuat jantungku
berdegup. Dari kantor Daniel Janvier. Isinya, mereka akan
mengabari sebelum jam 12 siang ini apakah ada waktu buat
kami mewawancarai Janvier. Memang jadwal acara mereka
akan lewat di daerah Saint-Raymond, jadi besar kemungkinan
kami bisa punya waktu. Hore, paling tidak faks yang bertubitubi dikirimkan setiap hari mengusik mereka juga.
Aku mengetuk-ngetuk meja kantor. Siku Franc bertelekan
334 ke meja, dua telapak tangannya menopang dagu. Kami melihat
tajam ke mesin faks yang dari tadi diam saja. Mendengkur
atau mendenging sedikit pun tidak. Aku sampai berkalikali mengecek sambungan kabelnya, jangan-jangan tidak
nyambung dengan listrik dan telepon. Oke, terkoneksi dengan
baik. Tapi kok diam saja?" Sudah lebih dari setengah jam kami
menongkrongi mesin hitam ini. Sudah lewat jam 12 siang.
Apakah mereka ingkar janji"
Aku terlonjak dari duduk ketika mesin hitam ini mulai
berdenging dan dengan malas memuntahkan sepucuk surat.
Ini dia, the moment of truth, batinku. Aku renggut kertas itu
dengan cepat. "Untuk TV Saint-Raymond. Kami baru buka
dan siap menerima pesanan pizza dan gratis minum. Dari
Quebec Pizza" Ada gambar pizza besar yang berasap-asap,
membuat perutku ikut keroncongan, karena memang sudah
jam makan siang. Tapi bukan ini yang aku tunggu-tunggu. Aku mengharapkan
faks dari kantor tokoh antiseparasi Daniel Janvier. Faks
berdenging lagi. Kami melonjak lagi. Keluar pelan-pelan
selembar kertas yang kali ini disambar Franc. "Undangan
untuk meliput kegiatan lomba nyanyi Panti Jompo". Franc
melempar kertas itu ke meja.
Berikut ada lagi faks yang masuk. Kali ini bunyinya unik,
"Ikuti berburu moose58 kami di Alaska". Ada gambar rusa
besar bertanduk seperti kembang, lagi-lagi bukan yang kami
tunggu. Sejenis rusa besar di daerah dingin
335 Drama faks ini berakhir satu jam kemudian. Yang kami
tunggu-tunggu muncul. Kertas dengan kepala surat kantor
perdana menteri pelan-pelan muncul dari perut mesin faks.
Kami berpegangan bahu, harap-harap cemas apa isi surat
jawaban mereka. Hanya butuh beberapa kerjap, tangan kami
lalu lunglai. Surat ini mengabarkan kunjungan ke arah SaintRaymond dibatalkan. Artinya tidak ada waktu wawancara
buat kami. "Mungkin dia tidak mau diwawancarai," gerutu Franc.
"Nggak mungkin, dia butuh publikasi untuk memenangkan
referendum," tukasku mencoba meyakinkan diri sendiri.
"Lalu kenapa sudah berminggu-minggu baru sekarang menjawab. Itu pun batal?"
"Akan datang waktunya. Semoga dia melihat keseriusan
kita. Mungkin karena kita TV lokal yang kecil, mungkin mereka mengutamakan jaringan TV yang luas jangkauannya,"
celotehku sok tahu dan menghibur diri. "Franc, daripada
mengharapkan politisi itu, yuk kita bikin liputan lain saja.
Kita cari yang unik, siapa tahu cukup hebat untuk memenangkan medali dari Sebastien," kataku.
"Ah semuanya biasa buatku di sini," jawab Franc malasanmalasan.
Tanganku membolak-balik kertas faks yang berdatangan
tadi. Pizza, panti jompo, dan hei, ini sebetulnya cukup baik,
paling tidak menurutku. Aku mengangkat kertas ini di depan
muka Franc. "Ini menarik, aku ingin sekali melihat bagaimana orang di
336 sini berburu," kataku sambil mengentakkan jari berkali-kali ke
kertas ini. Mukanya maju sedikit. "Hmmm biasa saja, berburu moose,
setiap tahun juga begitu."
"Tapi lihat ini, di bawah foto ini ada yang lebih menarik.
Pemandu berburu moose adalah orang aboriginal, penduduk
asli dari suku Indian. Aku ingin ketemu orang Indian. Selama
ini hanya melihat di komik dan film koboi." Ingatanku terbang
ke waktu kecilku dulu bersama Randai. Kami selalu memburu
ayam jantan milik tetangga di kampung. Begitu berhasil kami
tangkap, kami mencabut bulu ekor ayam itu untuk jadi hiasan
kepala. Seperti orang Indian di komik kami.
"O ya?" Franc mulai memperlihatkan perhatian. "Wah,
aku juga belum pernah. Di Kanada banyak kota yang dinamai
dengan nama Indian. Tapi aku juga belum pernah bertemu
bangsa aboriginal yang sudah hidup di sini ribuan tahun,
bahkan sebelum bangsa Eropa datang. Padahal di sini hidup
suku asli seperti Indian dan Inuit yang ada di daerah kutub."
Rasa penasaranku melompat-lompat. Bagaimana rasanya
bertemu orang Indian yang sebenarnya" Selama ini ceritacerita suku Indian begitu memesonaku. Misalnya hikayat
persaudaraan hebat antara Winnetou dari suku Apache dan
Old Shatterhand seorang koboi yang ditulis oleh Karl May
pada abad ke-19. Atau kisah The Last of the Mohicans yang aku
baca dalam bentuk komik Album Cerita Ternama. Apakah
mereka benar berkulit merah" Memakai mahkota dari bulu
burung elang" Naik kuda dengan gagah dan bersenjata kapak
perang bernama tomahawk"
337 Daripada memikirkan jadwal wawancara dengan politikus
yang tidak jelas, siang ini kami berdua menyeberang Rue
Saint-Joseph menuju biblioth"que atau perpustakaan kota. Kami
menumpuk buku-buku, kliping, dan microfiche tentang Indian
Kanada dan perburuan kemudian membacanya satu per satu.
Yang mengejutkan aku adalah ketika membaca buku Indian
Tribes of North America pada bab tentang mitos kuda orang
Indian. Menurut buku itu, foto-foto dan film tentang orang
Indian yang sejak dulu mahir menunggang kuda kurang tepat.
Masalahnya, orang Indian sebetulnya baru mengenal kuda
setelah orang Spanyol membawa kuda ke Amerika pada abad
ke-16. Waktu itu banyak orang Indian yang ketakutan melihat
makhluk bernama kuda dan mereka tidak punya nama untuk
binatang ini. Akhirnya orang Indian menyebut kuda dengan
nama "anjing besar". Maklum, kawan berburu mereka sebelum
kuda dibawa orang Eropa, ya hanyalah anjing.
Ternyata berburu di Kanada merupakan sebuah budaya dan
olahraga bagi sebagian masyarakat. Mereka biasa memburu
berbagai binatang seperti beruang, karibu, kijang, dan moose.
Bagiku makhluk bernama moose ini paling menarik. Penampilannya tinggi besar, bahu kekar, seperti kijang kelebihan
vitamin, dan mahkota di kepala jantannya seperti kol yang
mengembang subur. Para pemburu harus mengantongi izin berburu dan hanya
diizinkan berburu di tempat yang telah dialokasikan supaya
tidak merusak ekosistem. Biasanya, mereka masuk jauh ke
pedalaman untuk menemukan populasi buruan. Untuk membantu para pemburu ini, ada seorang pendamping ahli yang
338 khatam medan liar. Orang itu, di dalam brosur ini, adalah
keturunan Indian, bernama Lance Katapatuk dari suku
Algonquin Anishinabeg, sebuah suku yang sejak dulu disegani
sebagai pemburu ulung di padang-padang rumput Amerika.
Aku juga menemukan beberapa buku yang membahas sejarah suku Indian di benua Amerika. Diperkirakan mereka
telah mendiami benua ini sejak ribuan tahun silam. Di Kanada
sendiri, orang Indian tergolong dalam kelompok First Nations,
bersama bangsa Inuit yang mendiami daerah kutub dan Metis59.
Dulu mereka merajai seantero benua Amerika, tapi dengan
kedatangan bangsa Eropa dengan peralatan dan senjata modern,
bangsa asli Amerika ini terdesak dan semakin punah. Populasi
mereka kini sekitar 1 juta orang saja di Kanada.
Setelah berjam-jam riset tentang Indian, Franc dan aku
menjadi lebih bersemangat menggarap liputan tentang Indian
ini. "Saya yakin banyak orang Kanada tidak tahu cerita tentang
sosok Lance Katapatuk dan seni berburu moose ini. Ayo


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita wawancarai dia," katanya. Aku sangat setuju. Kenangan
membaca buku Karl May membuat aku ingin sekali bertemu
orang Indian. Kami kembali ke kantor untuk mempersiapkan wawancara
ini. Franc langsung mendekatkan gagang telepon ke kupingnya
sambil mendengus, "Seharusnya tidak sulit untuk minta waktu
bertemu Lance." Telepon tersambung, Franc bicara, lalu berhenti, bicara lagi, terhenti lagi. Mukanya tertekuk dan diam
seperti sedang mendengar ceramah.
Orang berdarah campuran Eropa dan penduduk asli
339 Orang di ujung telepon berbicara semakin keras. Bahkan
aku bisa mendengar dari kejauhan. "Saya tidak tertarik wawancara, tidak ada gunanya!" hardik sebuah suara di telepon.
Franc tidak bisa berkata-kata lagi. Beberapa menit kemudian
dia hanya bisa diam dan akhirnya meletakkan gagang telepon
dengan lesu. "Heran, kenapa dia tidak mau cerita tentang budayanya
sendiri. Ini kan cerita menarik buat kita semua," kata Franc
sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Tapi kita tidak boleh menyerah," kataku.
Franc hanya diam. Rumahnya tegak di tengah rerimbunan pinus dan maple
yang memerah kuning, di bibir danau kecil. Percik-percik
kilatan matahari yang mengenai permukaan danau memantul
ke dinding rumah kayu. Di depan rumah menjulang tiang
kayu yang berukir dan berwarna-warni, tiang totem. Aku dan
Franc berdiri tepat di muka rumah Lance Katapatuk.
Aku mengetuk pintu dengan berdebar. Lance Katapatuk
mencari orang untuk dia temani berburu moose, tapi tidak
bersedia kami wawancarai. Tapi aku meyakinkan Franc bahwa
kami harus mencoba mendatanginya. Siapa tahu, kalau bertatap muka, hatinya melunak
Bagaimanakah rupa orang yang akan keluar nanti. Berbadan
liat, berkulit gelap merah, dan memakai bulu di kepalakah" Di
340 pintu kayu ini tergantung hiasan berbentuk lingkaran yang
diisi jaring seperti sarang laba-laba. Bibir lingkaran dihiasi
berbagai bulu burung yang menjuntai. Menurut buku yang
aku baca di perpustakaan, barang berbentuk bundar ini adalah
asabikeshiinh, alat yang dipercaya orang Indian bisa menangkap
mimpi baik, dan menolak mimpi buruk karena akan tersangkut
di jaring laba-laba tadi.
Tiba-tiba bulu-bulu burung itu bergetar. Pintu terkuak
dengan bunyi berderit. Sesosok muka pria yang dingin muncul
dari balik pintu. Dia berkacak pinggang. Warna kulitnya
lebih gelap dari kulit orang bule. Mata agak sipit dan alis
tebal melingkupi mata tajam seperti mata elang. Rambutnya
panjang, tersisir rapi, dan diikat ke belakang. Bajunya kemeja
khaki yang dipadu celana jins dan sepatu boot kulit. Jauh dari
sosok Winnetou yang aku bayangkan ketika membaca buku
Karl May. Aku mengangguk ragu-ragu dan mengulurkan tangan, "Je
suis Alif. Saya dari Indonesia." Tidak ada reaksi dari tangan
Lance. Matanya melihat ke arah Franc yang membawa kamera,
tangannya segera bergerak hendak menutup pintu. "Tunggu","
kataku. Aku segera menurunkan ransel, mengeluarkan sebuah
wayang kayu Sunda, memainkan beberapa gerakan, dan
menyerahkan kepadanya. "Sebuah hadiah spesial dari saudara
dari ujung dunia." Ragu-ragu dia menerima dan mematutmatut wayang itu. Mata Lance mulai bersinar. Aku rogoh lagi
ransel, dan aku keluarkan sebuah foto, sebuah pemandangan
danau dan hutan yang luas dengan beberapa orang tampak
berlari ditemani anjing. "Begini kami berburu di Indonesia."
341 Mukanya mengendur. "Kalian juga berburu di Indonesia?"
tanya dia penuh semangat.
Aku mengangguk-angguk layaknya beo. "Kami ke sini ingin
berbagi pengalaman tentang berburu, baik di Kanada maupun
di Indonesia," kataku asal mencari topik. Kali ini tidak cuma
matanya tapi mulut Lance juga terkembang. Sangat lebar
sampai sebagian gigi gerahamnya yang putih terlihat.
"Pijagsig. Itu artinya "selamat datang" dalam bahasa kami.
Saya Lance Katapatuk," katanya dengan suara ramah sambil
menyalami kami. Ah, akhirnya aku bisa juga menyentuh
kulit orang Indian. "Maaf ya, tadi saya pikir kalian hanya
ingin menyalah-nyalahkan pemburu. Menganggap kami sebagai pengacau alam liar. Makanya saya segan untuk diwawancarai."
Interior rumah kayu ini dipenuhi berbagai ornamen dan
hiasan yang terbuat dari bulu berang-berang, bulu elang, dan
anyaman kayu. "Sedikit-sedikit saya harus bisa berbagai bahasa. Sebagai
pemandu berburu, tamu saya datang dari berbagai negara,"
katanya sambil menyeduh teh buat kami. Setelah kamera dan
mikrofon terpasang, kami berbincang panjang-lebar dengan
Lance. Dia berkisah tentang suku-suku Indian dengan penuh
semangat. Yang menyenangkan bagiku, ternyata Lance begitu
terpelajar. Dia lancar berbahasa Inggris. Jadi mudah untuk
mewawancarainya. "Dulu kami adalah bangsa pemburu, hidup berpindahpindah di prairie, padang rumput luas, mengikuti perpindahan
342 kawanan bison yang kami buru sebagai sumber makanan. Tapi
sejak abad ke-19 kami diminta untuk menetap di tanah yang
sudah disediakan pemerintah, atau yang disebut reserve.
"Saya lahir dan besar di sebuah reserve bernama Kitigan
Zibi atau "Sungai Taman" di utara Ottawa. Walau kini kami
bekerja di berbagai bidang seperti layaknya warga lainnya,
tapi berburu tetap bagian penting dari budaya kami. Sejak
kecil saya terbiasa hidup dengan alam liar hutan dan padang
rumput Amerika. Berburu adalah hidup saya, mengalir di
setiap tetes darah. Karena itu, pekerjaan jadi guide ini bagi
saya sangat menyenangkan. Bagai menjalankan hobi. Bukan
pekerjaan." "Saya baca kalau orang Indian punya nama julukan asli.
Apa Anda punya juga?" tanyaku. Dia tergelak.
"O, ada, saya digelari "Kelinci Berlari", mungkin karena itu
saya jadi lincah berlari pada saat berburu."
"Dengan semakin sedikitnya populasi suku Indian, bagaimana bahasa suku Anda sekarang?" timpal Franc. Lance melayangkan pandangan menembus jendela, menuju danau yang
membiru. Mukanya mendung.
"Ada suku yang semakin punah bahasanya karena semakin
sedikit anggotanya. Satu per satu ada bahasa yang mati karena
tidak ada penerusnya," katanya tercekat. Sejurus kemudian
dia bertanya dengan suara yang lebih semangat, "Tapi kami
tidak akan menyerah untuk melestarikan budaya kami. Eh,
tahukah kalian banyak nama di Kanada ini berasal dari bahasa
Indian?" 343 Aku dan Franc menggeleng tidak tahu.
"Bahkan nama negara ini sendiri. Kanada itu berasal dari
bahasa suku Wendat Huron, artinya pemukiman. Ontario
artinya danau indah, Toronto artinya tempat bertemu. Dan
nama provinsi ini juga. Quebec berasal dari bahasa suku
Algonquin berarti selat," katanya bangga.
"Bisa Anda ceritakan mengenai perburuan moose?"
"Moose adalah rusa terbesar di dunia, tinggi, dan kekar.
Binatang ini hanya boleh diburu oleh pemburu yang telah
mendapatkan lisensi dari pemerintah. Tugas saya mengajak
para pemburu untuk mencari jejak moose di lokasi-lokasi yang
sudah ditentukan untuk berburu," katanya sambil menunjuk
kepala moose yang dikeringkan yang tergantung di dinding
rumahnya. Besarnya tidak kurang dari lima kali kepala orang
dewasa. Sedangkan tanduknya terentang lebar sampai lebih
dari satu meter. Melihat aku ternganga membayangkan besarnya kepala hewan ini, Lance menambahkan, "Tanduk moose
jantan mencapai puncak pertumbuhannya pada masa tagwagi
atau musim gugur, yang juga antara lain masa yang baik untuk
berburu. Moose dengan kepala bertanduk lebar merupakan
yang paling dicari orang. Dagingnya enak dan kulitnya bisa
dipakai untuk membuat berbagai kerajinan."
Franc yang mengaku penyayang binatang tampaknya masih
belum terlalu mengerti konsep berburu. Dia memberi pertanyaan yang menukik. "Bagaimanapun, berburu itu kan untuk kesenangan. Bukan untuk kebutuhan seperti orang Indian
zaman dulu. Apa rasanya menemani para pemburu ini setiap
hari, membunuh hewan?"
344 Lance terdiam sejenak, mukanya terkejut dan memandang
kami dengan tajam. Aku berfirasat jelek bahwa Lance akan
membatalkan wawancara. Tapi dia segera menguasai diri dan
menjawab, "Tugas saya memastikan pemburu datang ke tempat yang diizinkan. Di lokasi-lokasi ini populasi hewan sudah melebihi daya tampung sebuah kawasan alamiah. Kalau
populasi terlalu padat bisa menjadi hama. Selain itu saya
juga mengajarkan pemburu untuk menghormati alam. Semua
makhluk hidup punya ruh. Jadi kalau berburu, pastikan
prosesnya cepat dan tidak menyakiti hewan buruan kita.
"Dari mana Anda berasal, my friend?" tanya Lance padaku
tiba-tiba. Seperti ingin mengalihkan topik pembicaraan.
"Dari Indonesia. Pernah mendengar Indonesia?"
"O, saya pernah melihat sebuah pulau tropis bernama
Bali di TV. Pulau yang indah dengan gunung api, sawah, dan
pantai. Apakah Indonesia dekat Bali?"
"Bali itu adalah salah satu provinsi di Indonesia," aku mencoba menjawab dengan sabar.
"Oooo, maaf... saya tidak tahu," katanya dengan muka tampak memerah.
"Tidak apa. Karena Indonesia belum banyak dikenal di dunia, maka tugas saya menjelaskan."
"Saya ingin sekali melihat gunung berapi. Semoga suatu
ketika saya dapat melihat dengan mata saya sendiri api yang
keluar dari perut bumi. Mon ami60, seperti foto yang Anda
Temanku (Prancis) 345 perlihatkan tadi. Boleh bercerita bagaimana perburuan di
Indonesia?" Nah, aku harus hati-hati. Aku tidak pernah mempersiapkan
jawaban untuk pertanyaan ini. Aku tahu banyak perburuan
liar yang telah membuat banyak hewan yang dilindungi di
Indonesia terancam punah. Harimau jawa sudah punah,
harimau sumatra sudah terdesak, burung cendrawasih, penyu
hijau, dan orangutan diburu. Tapi tidak mungkin bagiku
bercerita hal-hal negatif seperti ini. Aku bisa mempermalukan
bangsa sendiri. Lalu, bagaimana aku harus menjawabnya" Aku
harus mencari satu cerita yang menarik, yang tidak malumaluin.
Lance menunggu jawabanku dengan mata dan raut muka
tidak sabar. 346 Obelix dari Maninjau elan-pelan aku hirup teh Labrador, minuman racikan
khas Indian yang dihidangkan oleh Lance. Mata aku
pejamkan seakan-akan sangat menikmati cita rasanya. Padahal aku sedang mengulur waktu, berpikir keras mencari ide
cerita. Pertanyaannya ini sebetulnya kesempatan baik untukku mendidik mereka yang tidak tahu tentang Indonesia. Tibatiba di pikiranku terlintas sebuah rekaman dari masa kecil.
"Tentu saja. Indonesia adalah negara kepulauan yang luas.
Kami punya 16 ribu pulau dan lebar dari barat ke timur sama
lebarnya dengan Kanada. Tentang berburu, saya punya sebuah
cerita berburu yang mungkin ada kesamaan dengan kebiasaan
di sini." Lance mengangguk-angguk dengan penuh minat. Kali ini
dia bertelekan satu tangan ke dagu, dengan raut penasaran.
Aku menatap jauh ke luar jendela, ke pucuk-pucuk pohon
maple yang masih menyisakan beberapa lembar daun merah.
Pikiranku tidak hinggap di daun maple itu tapi melayang jauh
ke suasana hijau khas kampungku belasan tahun silam. Ke
pucuk-pucuk daun pohon kulit manis yang merah segar di
perbatasan kampungku dengan rimba Bukit Barisan. Lalu aku
bercerita panjang-lebar. 347 Di kampungku di Bayur dan juga di kampung-kampung
selingkaran Danau Maninjau, ada olahraga dan budaya yang
sangat populer di kalangan kaum lelaki. Olahraga ini punya persatuan yang giat dan dikepalai oleh figur laki-laki
separuh umur yang berbadan kekar dan lebih tinggi dari
orang kampung rata-rata. Gelang akar bahar melingkar di
pergelangan. Beberapa cincin berbatu akik seperti berebut
tempat di jari-jarinya. Wajahnya berkulit gelap dan di dagunya tumbuh rambut yang menjalar sampai ke pinggir telinga.
Orang kampungku segan padanya. Mungkin karena dia seorang
pandeka atau ahli silat. Mungkin juga karena dia adalah Ketua
Perkumpulan Olahraga Buru Kandiak atau babi. Entah siapa
nama aslinya. Tapi gelarnya: Datuak Marajo nan Bamegomego alias Pandeka Rajo Sati.
Aku masih ingat ketika dia memasuki batas kampungku,
langkahnya bak jagoan film koboi saat masuk ke sebuah
kota kecil. Dia turun dari motor Binter-nya yang berkursi
samping. Di bahu kirinya menggantung bedil balansa61, dan di
pinggangnya tertata belati dan parang. Bajunya hitam pekat
khas pesilat Minang. Di kepalanya terbelit destar. Tangan
kanannya memegang teguh empat tali yang selalu menyentaknyentak, ditarik empat ekor anjing berbadan liat dan lincah
yang berdiri berdempetan di kursi samping motornya. Satu
berbulu hitam kelam, satu berbulu putih terang. Sedangkan
dua lagi berbadan lebih kecil berwarna kuning. Melonjaklonjak ke sana-ke sini dengan lidah menjulur-julur sambil
menyalak-nyalak. Pandeka Rajo Sati datang ke kampungku
untuk sebuah misi: memimpin perhelatan buru babi.
Senjata api rakitan laras panjang untuk berburu
348 Aku dan bocah-bocah kampung kerap mendengar dari ota62
para pemuda kampung, bahwa 4 anjingnya ini punya keahlian
yang berbeda. Yang berwarna kuning dan langsing adalah
anjing kampung yang terkenal pintar mencari jejak babi.
Sedangkan si hitam dan si putih yang berbadan lebih tegap
adalah anjing blasteran yang sigap memburu dan menangkap
babi yang sudah ditemukan si anjing kampung tadi. Kabarnya,
asal si hitam dan si putih ini dari Garut, di tanah Jawa. Keempat anjing milik Pandeka ini terkenal bagak. Berani.
Yang tidak kalah seru bagi kami anak-anak kampung yang
berbaris mengagumi Pandeka adalah ratusan "tentara" yang
datang bersamanya. Di belakangnya muncul bergelombanggelombang pemburu lain. Mereka datang ada yang naik mobil
colt berbak terbuka, bus, kereta angin, motor, dan bahkan ada
yang berjalan kaki. Asal mereka tidak saja dari selingkaran
Danau Maninjau, tapi juga dari kampung yang jauh. Bahkan
konon ada yang datang dari Riau dan Sumatra Utara. Masingmasing pemburu membawa anjing berburu, pisang, golok,
sekantong air minum, dan makan siang berupa nasi yang
dibungkus daun pisang. Ini adalah alek63 berburu babi. Mereka datang untuk membantu petani melawan hama babi atas undangan Pandeka sekaligus menyalurkan hobi berburu. Buru babi sudah jadi budaya
dan sistem untuk menyelamatkan pertanian. Kalau jumlah
babi di hutan semakin banyak, babi-babi yang kekurangan makanan di hutan akan turun ke kampung. Mereka menerabas
ota: brolan bebas (Minang)
alek: perhelatan 349 ke sawah, menyantap padi, menggali kentang dan ubi. Menggagalkan panen.
Setelah berbicara dengan para tetua kampungnya, Pandeka memanggil para pengurus penting, para muncak, lalu
memimpin doa untuk keselamatan para pemburu. Akhirnya,
Pandeka mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan dengan
suara mengguntur, berteriak sebagai tanda dimulainya perburuan. Maka bergeraklah rombongan ini dengan anjinganjing yang menyalak-nyalak senang menuju hutan di pinggir
kampung kami. Banyak pemburu terhuyung menahan tarikan
tali anjingnya yang berlari tidak sabar. Mungkin hidung para
anjing sudah membaui aroma babi dari jauh.


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di saat seperti ini, kami anak kecil meloncat-loncat bagai
menyemangati pasukan maju ke medan tempur. Selang beberapa jam kemudian terdengarlah berbagai macam bunyi,
lolongan, dan salakan anjing, letusan bedil balansa. dan teriakan
para pemburu. Ini artinya sarang babi hutan yang sering
merusak pertanian sudah dikepung. Kadang ada saja babi yang
berhasil menyelamatkan diri. Seburuk-buruknya babi yang lolos kepungan adalah babi ganas yang sudah terluka.
"Awas, induak angkang64 babi turun ka kampuang!" bunyi
teriakan pemburu bersahut-sahutan. "Pinteeeh65 sebelum masuk
kampung!" teriak yang lain.
Induak angkang adalah dedengkot, babi paling besar, babi
di atas babi. Tidak lama kemudian, aku dan teman-teman meyang paling besar, raja Hambat 350 lihat sesosok bayangan hitam menyeruak dari ladang. Besar,
hitam, berlari cepat. Taringnya menyeruak dari rahang bawah
dan menjulang meliuk ke atas. Punggungnya bagai berduri
seperti landak, penuh bulu-bulu hitam kasar. Aku bergidik
melihatnya. Punggung babi besar ini basah oleh darah. Kata
pemuda kampungku, kalau babi tua terluka, maka babi itu
menjelma menjadi hewan yang sangat ganas, menerjang siapa
saja dan apa saja tanpa takut.
Babi hutan ini berlari serabutan ke arah rumah penduduk,
menabrak anjing kampung yang terkaing-kaing. Sementara
darah segar mengucur dari punggung yang tampaknya robek
dicakar anjing. Aku dan orang kampung berlarian lintang
pukang memanjat apa saja. Aku meloncat ke atas rumah
panggung, temanku yang lain ada yang memanjat pohon
nangka. Tapi seorang kawanku, si Kaliang, terjerembap jatuh
karena tersandung akar kayu, dan tidak berhasil mencapai
tangga rumah panggung tempat aku berlindung. Ketika dia
bangkit, babi luka itu sudah terlalu dekat dengannya. Kami
berteriak-teriak ketakutan melihat babi luka ini berhenti dan
menatap tajam kepada kawanku yang kurus hitam ini. Kaki
babi ini bergeser-geser seperti mengambil ancang-ancang
untuk menghantam anak ini. Beberapa penduduk mencoba
melempar barang-barang dan batu untuk mengusir. Tapi babi
ini tampaknya sudah begitu dendam karena lukanya. Dia maju
pelan-pelan. Kaliang mencoba beringsut dari posisi jatuhnya.
Celananya basah, dia menangis menjerit. Aku menutup
mata. Bagai anak panah, babi ini berderap kencang ke arah
351 Kaliang. Gedebak-gedebuk kaki babi di tanah terdengar
nyaring, menggoyang jantungku. Aku takut nyawa si Kaliang
menjadi korban acara buru babi kali ini. Tapi entah dari
mana, tiba-tiba lari babi yang lurus ini terhenti di tengah
jalan. Aku lihat, binatang ini terpental sambil menguiknguik kesakitan. Sekelebat kami lihat di sebelah Kaliang telah
berdiri kukuh seseorang dengan rambut panjang berkibar.
Pandeka Rajo Sati. Dengan cepat dia menggendong kawanku
ini dan menaikkannya ke jendela sebuah rumah panggung.
Kini binatang ini benar-benar seperti babi buta. Dia berlari
kencang ke arah Pandeka. Pandeka menggeser kakinya dengan
ringan beberapa langkah dan serangan babi yang datang lurus
ini luput. Rambutnya yang panjang berkibar-kibar terembus
angin dari babi yang baru lewat. Babi menabrak rumpun aur
kuning sambil mendengus-dengus.
Kini Pandeka sigap mengokang bedilnya. Babi telah berputar
dan kembali melesat ke arah Pandeka dengan lebih kencang.
Pandeka tidak bergerak dari posisinya, menunggu dengan
berani, dengan bedil tertuju lurus ke kepala babi. Bukannya
menarik pelatuk, Pandeka tiba-tiba melemparkan bedilnya ke
tanah. Mau apa dia" Melawan babi hutan kesetanan dengan
tangan kosong" Pandeka tetap tegak lurus, seperti menantang. Mulutnya
yang terbenam dalam rimbunnya kumis dan jenggot komatkamit entah membaca doa apa. Tangan kanannya yang berotot memutar-mutar sepotong rantai besi. Dia mengambil posisi kuda-kuda dan merendah. Celana silat hitamnya hampir
menyentuh tanah. Dengan entakan kaki yang keras dan suara
352 menguik kencang, babi pesakitan ini kembali berderap ke arah
Pandeka. Hanya beberapa meter lagi babi akan menghantam Pandeka.
Kami berpekikan takut. Bukannya Pandeka lari menghindar,
di luar dugaan, dia melenting ke depan, menggeser kaki dengan enteng dan cepat, lalu berlari lurus ke arah babi yang
sedang berlari ke arahnya. Apa dia bermaksud menabrakkan
diri ke babi gila ini" Kami terkesiap.
Sepersekian detik sebelum tabrakan terjadi, Pandeka
melompat sedikit ke samping, sehingga dia bisa menyerang
babi dari samping. Dengan kelebatan cepat, dia melontarkan
rantai ke arah kaki belakang babi. Rantai berpemberat ini
seperti punya mata dan bergerak sendiri. Kaki sang babi
langsung terkungkung dibelit rantai.
Tidak ayal, babi besar ini tersungkur dan berdebum menghantam tanah. Moncongnya mengeluarkan uikan-uikan
nyaring. Di belakang Pandeka tampak berlari empat ekor
anjing pemburunya dan meringkus babi yang jatuh ini. Kami
bersorak-sorak seperti merayakan kemenangan tim jagoan.
Pandeka telah berhasil mengalahkan si induak angkang.
Hal seperti ini rupanya yang membuat nama Pandeka ini
terus disegani di selingkar Danau Maninjau. Bahkan ada yang
berbisik, konon dia sebetulnya menyimpan rantai babi, yaitu
semacam pusaka yang dimiliki babi jadi-jadian, yang membuat
pemegang menjadi sakti dan bahkan tahan peluru. Sejak
itu, kalau ada pencurian ternak, Pandeka diminta membantu
menangkap, kalau ada harimau turun makan ternak, Pandeka
juga yang dianggap bisa menanganinya, kalau ada perkelahian
353 antarkampung, Pandeka yang menjadi pelerai, ada wabah
anjing gila, Pandeka pula yang antara lain menjadi eksekutor
anjing liar yang berkeliaran. Yang jelas, kami anak kampung
merasa punya satu superhero lokal waktu itu.
Aku dengan menggebu-gebu menyudahi ceritaku di depan Lance dan Franc yang mengikuti ceritaku hampir tak
berkedip. "Wow! Luar biasa. Terima kasih telah berbagi cerita yang
fantastis tentang berburu di negara lain," kata Lance menepuk
pundakku. Aku tersenyum lebar. Setelah meneguk habis teh
kami, aku dan Franc pamit. "A la prochaine. Sampai ketemu
lagi," kataku melambaikan tangan di depan rumah Lance.
"Hei tunggu," dia masuk ke dalam rumahnya. Ketika muncul
lagi, di tangannya tergenggam dua helai bulu burung. "Ini
kenang-kenangan persaudaraan dari saya. Bulu burung elang
dataran Quebec, lambang keberanian dan petualangan."
Dengan senyum lebar kami terima hadiah dari Lance ini.
Franc tampaknya terkesan sekali dengan cerita buru babiku.
Sepanjang jalan pulang dia terus bertanya ini-itu. "Dalam
bayanganku, si penangkap babi di kampungmu itu seperti
Obelix ya?" Aku terbahak. Boleh juga imajinasi si Franc. Pandeka Rajo
Sati bolehlah disebut bagai Obelix dari Maninjau. Bedanya
Obelix yang satu ini tidak memakan daging babi buruannya.
Babi hasil buruan di kampungku kemudian dikubur untuk
menghindari bau busuk dan penyakit.
354 Co-Pilot Rusdi egitu wawancara kami dengan Lance Katapatuk diudarakan, telepon berdering bertubi-tubi. Banyak penduduk
Saint-Raymond yang memuji dan tidak sedikit yang minta
siaran ulang. "Bravo! Magnifique!" puji Stephane berkali-kali
sambil mengacungkan kedua jempol gemuknya. Aku pun
dengan girang mengirim fotoku dengan Lance ke dua alamat
surat: Amak dan Randai. Biar mereka tahu aku berhasil bertemu dengan orang Indian asli.
Aku dan Franc semakin bersemangat mencari dan meliput
laporan unik. Sampai-sampai kami hampir lupa dengan niat
awal, mewawancarai Janvier. Hanya karena aku selalu ingat
nasihat guruku di PM untuk melebihkan usaha dari rata-rata,
aku masih terus mengirim faks permohonan dari penyiaran
wawancara ke kantornya setiap pagi.
Rasanya, tidak ada yang menandingi keasyikanku bekerja
dan belajar hal baru di TV ini, kecuali satu hal. Tepatnya satu
orang. Raisa. Karena aku mulai terganggu dengan banyak pikiran tentangnya. Aku tidak punya pengalaman dan referensi
untuk hal seperti ini dan aku tidak tahu bagaimana cara
mengatasinya. Pengalaman yang agak mirip mungkin waktu aku bertemu
Sarah di PM dulu. Tapi pikiranku saat itu tidak sampai
355 begitu tersita. Apa lagi banyak kesibukan yang membuatku
sibuk selama di PM. Dengan Raisa, terasa tarikannya berbeda.
Bayangannya tidak gampang hilang di pelupuk mataku. Bila
aku sudah lepas dari kesibukan memproduksi acara dan editing
di studio, antara sengaja dan tidak sengaja aku menjengukkan
kepala ke luar jendela kantor. Dan di seberang sana, tampaklah
dia duduk di ruangan kantornya bersama Dominique.
Baru seminggu lalu Raisa mengajak aku makan siang bersama dengan Dominique di bangku kayu, di taman sebelah
kantornya. Betapa senang hatiku ketika Raisa terkesan dengan
pengalamanku menulis di media massa. Lalu dia bilang, "Alif,
saya ingin minta bantuan kamu untuk mengajarkan cara
menulis yang baik selama kita di Kanada ini. Mau ya?" Hatiku
serasa mekar. Tanpa berpikir panjang, aku sanggupi. "Bien sur.
Tentu saja. Kapan saja."
"Kalian sudah meliput sejumlah laporan tentang kegiatan
sosial, kesenian, dan dengan keluarga angkat. Apa lagi yang
akan kalian usulkan untuk episode-episode mendatang" Harus
lebih variatif supaya penonton tidak bosan," kata Stephane
membuka rapat redaksi mingguan.
"Bagaimana dengan wawancara dengan counterpart Kanada
dan Indonesia dan membahas dinamika mereka dalam
beradaptasi sikap, bahasa, serta budaya. Akan menarik," usul
Franc. 356 Stephane mengangguk-angguk, tapi tampaknya belum yakin.
"Aku punya usul, kita meliput semua tempat kerja temanteman Indonesia. Kita gali interaksi mereka dengan rekan dan
lingkungan kerja. Bagaimana rekan kerja melihat mereka dan
memahami budaya orang lain dan budaya mereka sendiri,"
kataku memberi usul tambahan.
"Hmm aku pikir kedua usul kalian bagus. bagaimana kalau
kita gabung saja, jadi liputan di tempat kerja baik anak
Indonesia maupun anak Kanada" D"accord" Setuju?" kata
Stephane memutuskan. "Oke, jadi semua orang akan dapat giliran diliput. Sekarang siapa yang pertama kali kita liput dulu?" tanya Franc
kepadaku. Aku duduk di ujung meja, tempat favoritku. Dari posisi
ini aku leluasa melihat ke luar jendela, dan mataku kembali
tertumbuk ke jendela kantor Raisa. Kali ini dia sedang sibuk,
mengetik atau berbicara dengan teman kerjanya. Ingin aku
katakan ke Raisa kalau aku sering melihat dia dari lantai atas
kantorku. Tapi setiap kali berniat bicara, aku malu dan belum
apa-apa muka dan kupingku merah.
"Hmmm... kenapa tidak kita mulai dari tempat paling
dekat, kantor walikota, tempat Raisa dan Dominique bekerja,"
kataku tanpa pikir panjang lagi.
357 Setiap ada kesempatan bertemu Raisa pasti aku sambut
bahagia. Dengan sigap aku pikul kamera video yang besar di
bahu. Rompiku sudah dipenuhi beberapa baterai serap dan
mik wireless. Kali ini beban berat ini terasa enteng. Franc yang
menenteng tripod cengar-cengir menuruni tangga dengan
bersiul-siul. "Alif, I know why you are so excited now!" seringainya makin
lebar, lalu mengerling penuh arti. Aku hanya melengos. Dan
setiap aku ada kesempatan bicara dengan Raisa, Franc dengan
sengaja mempermainkanku. Bahkan suatu ketika dia bilang,
"Kalau kamu suka padanya, kenapa tidak bilang langsung saja.
Ajak makan malam. Go on a date." Mungkin begini gaya anak
muda Kanada, tapi aku kan anak Maninjau. Lulusan pondok
pula. Sesampainya kami di kantor Raisa entah kenapa tiba-tiba
jantungku tidak keruan dan tanganku keringat dingin. Tanpa
suara, aku menunjuk-nunjuk pintu kantor Raisa ke Franc,
minta agar dia mengetuk. Aku takut ketahuan grogi kalau
nanti Raisa yang membuka pintu.
"Kenapa mukamu merah?" celetuk Franc sok tidak mengerti.
Untunglah dia akhirnya mau juga mengetuk pintu itu. Aku
mengatur napas supaya tidak tersedak. Dan betul. Wajah yang
muncul di balik pintu itu Raisa sendiri. "All" Franc, all" Alif,
"a va" Ada apa tiba-tiba datang nih. Ayo masuk. Masuk,"
katanya menebar senyum. Darahku terhenti beberapa detik.
"Wah, kameramu bagus sekali, Lif. Cocok nih kayaknya
kamu jadi wartawan TV dan cameraman andal," katanya.
Matanya melebar, bulat cemerlang. Bagi orang lain mungkin
358 basa-basi itu biasa saja, tapi bagiku, rasanya dadaku membeludak
bangga. Rupanya tidak sia-sia aku bawa kamera paling berat
dan besar dari kantor, jadi terlihat gagah.
"Terima kasih," jawabku sambil nyengir. Aku tidak tahu
harus menjawab apa lagi. Kami mewawancarai Dominique dan karyawan kantor walikota lainnya untuk menanyakan kesan mereka bekerja dengan
anak Indonesia. Setelah itu tiba giliran wawancara yang lebih
panjang dengan Raisa. Aku mengatur angle kamera supaya
cocok dengan penyinaran ruangan. Jariku berkeringat dan
kerongkonganku tiba-tiba kering. Terakhir aku grogi seperti
ini adalah ketika aku memotret Sarah dan keluarganya berapa
tahun lalu di Pondok Madani.
Raisa menjawab pertanyaan dengan bahasa Prancis yang
mengalir jernih dan deras, seperti air Batang Antokan dari
Maninjau. Kepribadian yang riang, hangat, wajah yang berkilau, dan bahasa Prancis yang kental. Kombinasi yang pas.
Telepon di kamarku berdering-dering memekakkan
telinga. Mimpiku yang baru berbunga kuncup dalam sekejap.
Siapa yang menelepon jauh malam begini" "All"," kataku
mengangkat gagang dengan suara serak. Tapi lawan bicaraku
di ujung sana tidak kunjung menjawab. Malah sebuah tertawa
panjang merubung kupingku. Sungguh tidak berakhlak mulia
orang ini mengganggu orang yang terbangun dari tidur dengan
tawa seperti jin ini. 359 "Hahaha, akhirnya semua menjadi lebih cerah. Cemerlang!"
akhirnya muncul juga suara yang setengah berteriak. Aku
sampai harus menjauhkan gagang telepon menjauh dari
telinga. "Aku punya pantun baru, coba dengar...."
"Tidak mau, ini waktunya tidur, ini bukan waktu berpantun,"
sergahku. "Ya sudah. Tapi kamu rugi tidak dapat berita penting
malam ini juga." Tawa Rusdi yang kental bertalu-talu terus


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membahana. "Ada apa sih" Ganggu orang saja," kataku masih bersungutsungut.
"Jangan marah kawanku yang baik. Aku punya cerita yang
indah sekali." "Indah buat kamu, mengantuk buatku."
"Dengarkan nih pantunku:
Makan durian di pinggir taman
Durian kuning masak di dahan
Orang Banjar teguh beriman
Kalau sabar tentu disayang Tuhan
Mantra yang kamu ajarkan manjur dan berhasil," katanya
"Sejak kapan aku jadi dukun. Mantra apaan?"
"Man shabara zhafira, siapa yang bersabar akan beruntung.
Itu kan kau yang mengajari aku tempo hari. Hari ini aku beruntung sangat besar."
360 "Untung apa?" aku mengulet. Mulai tertarik.
"Siapa mengira Alex, anak orangtuaku yang di Provinsi
Ontario datang berkunjung. Tau nggak datang pakai apa?"
"Ya pakai kakilah," jawabku tak sabar.
"Salah! Dia datang pakai pesawat."
"Lalu kenapa?" kataku malas lagi. Mataku kembali mulai
terpejam. "Eh, bukan pakai pesawat biasa. Tapi pesawat pribadi. Dia
sendiri yang menjadi pilot dan mendarat tepat di depan rumahku."
Aku terlonjak. Naluriku yang menyukai semua barang
yang bernama pesawat tersulut.
"Ah, yang benar saja. Bagaimana pesawat bisa mendarat di
depan rumahmu di tanah pertanian itu?" Aku kembali melek
dan kali ini meluruskan badan.
"Keluarga angkatku selama ini kan biasa saja kelihatannya.
Berkecukupan dari ladang dan peternakan yang luas, tapi
mereka tidak banyak mengumbar kekayaan. Rupanya mereka
punya lahan pertanian lain yang bahkan lebih luas di Ontario.
Saking luasnya mereka sampai perlu pesawat kecil untuk
menyiram tanaman dan untuk transportasi penting dan cepat
ke kota, karena tempatnya terpencil. Pertanian di Ontario
dikomandoi oleh anaknya yang kemarin datang itu. Langsung
pakai pesawat berbaling-baling mungilnya itu."
"Wah hebatnya...." seruku. Pikiranku menerawang. Asyik
sekali punya pesawat sendiri. Jangankan pesawat, sebatang
sepeda pun aku tidak punya.
361 "Itu belum berita hebatnya," potong Rusdi cepat.
" Apa dong, kalau begitu?" sambarku.
"Yang lebih hebat adalah Alex akan mengajakku naik
pesawat itu ke pertanian di Ontario besok. Lalu kami akan
mengunjungi Toronto. Kata Alex, dia akan mengajakku juga
ke Wonderland, taman bermain terbesar di Kanada. Orang
dewasa kok main-main, tapi aku nggak menolak."
"Wow, luar biasa. Kamu gila kalau sampai menolak ke
Wonderland. Semua orang ingin ke sana. Itu seperti Disneyland
yang ada di Amerika Serikat itu." Kebetulan aku pernah riset
hal ini untuk keperluan liputan berita.
"Ooo gitu. Iya iya deh, aku akan bilang mau. Wah bayangkan, aku anak Kalimantan kampung akan pergi ke
taman bermain dan naik pesawat langsung dari depan rumah.
Seperti co-pilot aja aku. Huahahaha...!" ketawanya kembali
menggelegar merusak gendang telingaku.
Lebih setengah jam Rusdi melampiaskan kegembiraannya,
sampai aku iri dengan nasib baiknya ini. "Boleh nggak aku
ikut naik pesawat itu?" tanyaku penuh harap.
"Wah Lif, aku harus tanya dulu, tapi yang jelas 3 kursi
sudah penuh." 362 Faks Bersejarah dan Es Tebak
"est un surprise! Kejutan besar. Lihat... lihat... lihat..."
teriak Franc dari ruang editing. Dia berlari ke studio membawa secarik kertas faks. Franc berjingkrak-jingkrak seperti
anak kampung yang berhasil menangkap layang-layang putus.
Aku dan Stef yang sedang menyiapkan kamera untuk meliput
turnamen ice hockey, terkejut.
Kami berebut melihat isi faks yang dia kibar-kibarkan
ke kami. Dari kantor partai antiseparasi. Monsieur Daniel
Janvier tokoh anti separasi akan datang ke Kota Pont Rouge
yang tidak jauh dari Saint-Raymond dan siap diwawancarai
oleh kami. Rupanya tidak sia-sia aku berkirim faks setiap pagi
selama sebulan. "Karena Alif yang mengusulkan, maka kamu akan jadi
pewawancara utama. Monsieur Janvier lancar berbahasa
Inggris kok. Saya bisa bantu menyusun pertanyaan," kata Stef,
seseorang yang fair dan percaya kepadaku. Aku malah yang
tidak pede kalau sendiri.
"Bagaimana kalau aku ditemani oleh Franc," kataku. Muka
Franc berbinar-binar dilibatkan. Stef mengacungkan jempol
tanda setuju. Dan hari bersejarah itu berjalan dengan cepat. Tahu-tahu
aku sudah berada di sudut lobi hotel di Pont Rouge. Hanya
363 ada tiga kursi, untuk aku, Franc, dan Mr. Janvier, tokoh terpenting di Kanada menjelang referendum ini. Walau udara
dingin, tapi telapak tanganku berkeringat, berkali-kali mik
berkepala busa besar merosot dari peganganku. Ini momen
besarku, aku harus lakukan dengan baik. Aku hela napas, aku
kumpulkan semua ketenangan, dan setelah baca basmalah,
aku tembakkan pertanyaan pertama.
"Monsieur Janvier, Anda seperti menentang suara hati
banyak masyarakat Quebec yang ingin berpisah dengan
Kanada. Bukankah Anda sendiri berdarah Quebec asli?"
Tidak ada jawaban. Aku pikir, bahasaku kurang jelas. Aku
ulang sekali lagi. Laki-laki ini terus diam dan menatapku
dengan setengah mata menyipit. Mungkin dia kaget dengan
pertanyaan yang langsung memburu jawaban ini. Aku menahan napas menunggu. Franc melirikku tajam. Khawatir. Stef
yang berada di belakang kamera menggeleng-geleng lemah.
Aku sebetulnya juga ketar-ketir dengan pertanyaan ini. Takut
menyinggung perasaan. Tapi sudah telanjur.
"Pertanyaan Anda tendensius?" sergahnya.
"Maafkan pertanyaan tadi, saya hanya ingin mendapatkan
jawaban untuk pertanyaan yang ada di benak banyak orang
di sini. Tapi saya pikir tidak banyak yang berani menanyakan
ini terus-terang kepada Anda." Pembelaanku meluncur begitu
saja. Dia mengangguk-angguk kecil. Senyumnya terbit.
"Anak muda, jangan khawatir bertanya. Ini negara bebas.
Justru, karena di badan saya mengalir darah Qu"b"cois asli,
saya sangat yakin bahwa tetap bersama Kanada adalah pilihan
364 terbaik untuk saya dan saudara sedarah. Akan banyak biaya
sosial dan perasaan kalau kami berpisah."
Aku mengangguk kepada Franc, mempersilakan dia untuk
bertanya. Selama setengah jam, politisi ini kami kerubuti
dengan berbagai pertanyaan. Janvier kini terlihat lebih rileks.
Apa pun pertanyaan yang kami lontarkan diterkamnya tuntas.
Alhamdulillah, tidak sia-sia aku telah berlatih mewawancarai
orang penting sejak di Pondok Madani dulu.
Pada akhir wawancara aku menyelipkan satu pertanyaan
lagi. "Monsieur Janvier, di negara saya ada praktik yang dikenal
sebagai "serangan fajar" pada hari pemungutan suara."
"Apa itu?" tanya balik Janvier.
"Pihak yang berkompetisi menggunakan detik-detik terakhir sebelum pemilih mencoblos. Mereka mendatangi rumah
para pemilih dan memberi iming-iming uang supaya memilih
mereka. Bagaimana di sini?"
"Saya berani bilang, kalau ada politisi yang melakukan
praktik itu di Kanada, dia akan kalah mutlak. Rakyat di sini
tidak akan percaya pada orang yang seperti itu. Baru akan
dipercaya oleh rakyat saja sudah menyogok. Membeli kuasa.
Bayangkan bagaimana nanti sikap penguasa seperti itu kalau
sudah menggenggam wewenang," jawabnya menutup wawancara.
Selama perjalanan ke Saint-Raymond, kami bertiga tidak
habis-habisnya membicarakan bagaimana serunya wawancara
tadi. Stef mengakui ini adalah wawancara paling prestisius yang
365 pernah dia lakukan eksklusif untuk TV lokal Saint-Raymond.
Program khusus menyambut referendum ini sampai harus kami
tayangkan tiga kali karena banyak sekali permintaan penonton.
"Kalian berhasil membuktikan yang awalnya tidak mungkin
dapat menjadi mungkin," puji Stef. Franc tidak kalah bahagia.
Dia mengirim foto dan rekaman wawancara ke ayah dan ibunya
yang tinggal di Kota Levis. Mungkin kebanggaan Franc sama
dengan anak Indonesia berhasil mendapat wawancara khusus
dengan presiden atau wapres.
Aku sangat berharap prestasi mewawancarai figur nasional
ini dianggap penting dan layak diganjar medali emas oleh Sebastien. Kalau aku menang, aku akan membuat Rob melongo.
Melayu juga bisa mengalahkan bule di kandangnya. Apa ya
kata Raisa nanti" Tidak terasa sudah beberapa bulan aku tinggal di tanah
berbahasa Prancis ini. Tanah yang dianugerahi empat musim
dan daun-daun maple yang indah. Pelan-pelan aku semakin memahami obrolanku dan famille d"accuile66 saat makan malam. Siaran berita di televisi kini bisa aku ikuti dan
judul-judul berita koran semakin ada artinya buatku. Alhamdulillah, usahaku menenteng kamus Prancis-Inggris ke manamana mulai menampakkan hasil. Aku semakin percaya diri
berkomunikasi dengan bahasa Prancis. Padahal beberapa bulan
Orangtua angkat 366 yang lalu, pengetahuanku tentang bahasa Prancis adalah nol
besar. Satu-satunya kejadian berbau bahasa Prancis yang aku
ingat adalah ketika Ustad Salman di PM menyuruh kami
membuat spanduk berbahasa negara Eropa ini. Saat itu aku
tidak mengerti satu kata pun.
Aku juga terus memaksakan diri untuk menulis diary dalam
dua bahasa setiap hari, satu halaman bahasa Inggris dan satu
halaman bahasa Prancis. Ini caraku memperkaya kosakata.
Kalau aku kesulitan, Franc dengan senang hati membantuku
dengan tata bahasa yang benar. Sejauh ini perjanjianku dan
Franc untuk saling mengajarkan bahasa yang berbeda berhasil.
Aku rajin memperbaiki bahasa Inggris-nya yang kadangkadang meleset, dan dia meluruskan Prancis-ku.
Tanda waktu yang bergegas itu adalah cepatnya musim
berganti di depanku. Waktu aku datang, Sungai Sainte-Anne
yang mengalir di sebelah rumahku masih berbunyi gemercik
dan dinaungi pohon yang rimbun dengan daun maple yang
berdominasi warna hijau. Tidak lama berselang, hanya hitungan
minggu, daun-daun itu berubah warna. Pelan-pelan, mulai
dari hijau, kuning, merah, dan akhirnya gugur satu per satu.
Hampir semua pohon meruntuhkan daunnya, kecuali cemara
dan cypress. Rumput di pinggiran sungai kini telah tertutup
dedaunan warna-warni yang gugur. Sebagian daun jatuh ke air,
terayun-ayun dihanyutkan arus sungai yang membiru ke hilir.
Beberapa minggu berselang, menurut ramalan cuaca, kami
mulai masuk ke musim dingin yang ditandai dengan turunnya suhu sampai ke level nol derajat celcius pada malam hari.
Yang jelas kini setiap aku melangkah ke luar rumah, mulut dan
367 hidungku berasap seperti naga. Sainte-Anne yang biru mulai
berubah wajah. Permukaannya yang biasanya jernih, kini
mulai dipenuhi petak-petak kecil es yang mengapung. Petak ini
semakin hari semakin banyak dan lama kelamaan menyatu satu
sama lain, membentuk lapisan kaca es di seluruh permukaan
sungai. Aku suka duduk di kursi kayu di pinggir sungai dan
dengan takjub melihat perubahan alam. Apa jadinya kalau satu
sungai ini jadi es" Mungkin bisa menjadi es balok terbesar di
dunia. Semakin hari, perlahan tapi pasti, suhu mulai turun dan
berada di kisaran nol derajat Celcius. Yang paling menyiksaku
adalah kalau ada angin, tiupan dinginnya terasa menusuk tulang. Hampir setiap hari kami keluar rumah dengan pakaian
tebal berlapis-lapis. Sarung tangan kedap udara selalu aku
pasang, begitu juga syal dan topi wol, dan yang pasti tidak
ketinggalan tutup telinga. Aku dulu tidak paham mengapa
orang menutup telinga saat musim dingin. Tapi sekarang
aku tahu, daun telingaku sangat sensitif terhadap dingin.
Kalau kena angin dingin, telingaku rasanya mengeras seperti
es, sehingga aku takut telingaku bisa beku, kemudian jatuh
dan pecah berderai ke tanah. Pernah pula beberapa kali
hidungku gatal, ketika aku garuk, darah segar menempel di
sarung tanganku. Mimisan. Kering dan dinginnya cuaca bisa
memecahkan pembuluh darah renik di hidung.
Mado yang sangat perhatian memperhatikan anak angkat
bermerk Melayu ini dengan telaten, memberitahuku untuk
menjaga diri saat musim dingin. Dia memaksaku untuk selalu
minum susu segar yang mengandung lemak dan memperbanyak
minum air atau jus jeruk.
368 "Supaya kulit tidak kering dan tidak kedinginan," katanya.
Mado juga membekali aku sebatang lip balm yang mirip lipstik.
Bahannya yang terbuat dari lapisan lilin harus dioleskan di
bibir supaya tidak pecah. Awalnya aku menolak, karena setiap
memakai lip balm aku geli sendiri, merasa menjadi laki-laki
yang memakai gincu. Pernah suatu hari aku malas minum susu dan mengoleskan
lip balm. Malam harinya, waktu aku tertawa lebar mendengar
lelucon Franc di meja makan, rasa perih muncul dari mulutku.
Aku usap bibirku dengan punggung tangan. Berdarah. Perihnya berdenyut-denyut sampai ke ubun-ubun. Mado sampai
berteriak kecil melihat bibirku meneteskan darah dan layaknya
seorang ibu, Mado segera menyorongkan obat oles dan tisu
untuk mengobati lukaku. "Nah, apa saya bilang, bibir itu
gampang kering dan pecah pada musim dingin," katanya.
Sejak itu jus, susu segar, dan lip balm adalah andalanku. Biarlah aku dianggap memakai gincu seperti perempuan asal
bibirku tidak perih merekah dan berdarah.
Sejak beberapa hari yang lalu aku dapat gelar baru dari
Franc, dia sebut aku "Mr. Electric". Awalnya kami baru sampai
di depan rumah. Aku segera memutar gagang pintu rumah.
Belum lagi membuka pintu, tiba-tiba aku sampai terlompat
ke udara karena kaget. Ada sengatan listrik menyetrum
jariku begitu menyentuh logam di pintu. "Hoi, ada listrik
korslet nih!" teriakku panik. Franc malah mengakak keras
di belakangku. "Di musim seperti ini sering ada listrik statis,
bukan cuma menyentuh bahan logam, bahkan menyentuh
kulit manusia juga begitu," kata Franc. Tanpa menunggu, dia
369 langsung menyentuh tanganku dengan jarinya. Dan brr"
sekali lagi aku terlonjak dan marah-marah sambil mengibasngibaskan tanganku yang kena setrum. Sentuhan tangannya
membawa setruman listrik juga, kecil tapi mengagetkan. Dan
aku tidak suka. Sudah beberapa hari ini aku trauma membuka
pintu dan sejak itu Franc mengolokku sebagai "Mr. Electric".
Seperti biasa setiap hari aku bangun lebih pagi dari keluarga
angkatku, sebelum matahari terbit, untuk salat Subuh. Setelah
gemetaran mengambil wudu, aku bergelung lagi tidur. Kedua
telapak tangan aku kepit di antara paha supaya ikut hangat.


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pagi ini aku lirik termometer yang menggantung di dinding.
Minus 10 derajat Celcius. Aku gulung selimut tebal di sekujur
badan, memastikan tidak ada sela yang membuat suhu dingin
mengganggu tidurku. Kebetulan ini hari Sabtu, tidak harus
bangun pagi untuk pergi kerja.
Mimpiku bubar ketika tiba-tiba telepon di sebelah ranjangku
berdering. Aku angkat telepon dengan malas. Dan di seberang
sana terdengar sebuah tawa yang keras dan panjang. Lagi-lagi
anak Kalimantan itu. "Hoi, anak Maninjau. Bersyukurlah, hari ini kita bukan
anak kampung lagi. Lihat ke jendela sekarang juga!" teriaknya
dengan gempita. Segera aku sibak gorden jendela kamar tidurku. Langit
sudah terang, tapi tidak ada matahari. Tidak ada pula langit biru, hanya ada warna putih dan kelabu di mana-mana. Mulutku
370 ternganga. Aku mengucek-ucek mata dan menjewer kupingku
sendiri. Sakit. Artinya bukan mimpi.
Dari kamarku di lantai dua aku melihat semua permukaan
tanah seperti dihampari permadani putih bersih. Aku meloncat dari ranjang menyarungkan baju kaus dan celana
panjang dengan tergopoh-gopoh. Dalam sekejap aku sudah
berdiri tegak di luar rumah, di halaman rumah yang sudah
putih semua. Bahkan pot-pot yang penuh bunga sekarang
hanya berbentuk ember-ember yang dipenuhi serbuk putih
berlimpah. Ke mana mataku memandang hanya ada bentukbentuk yang disapu salju.
Hati-hati, aku amati dengan penuh minat setiap gerombol
putih yang turun dari langit ini. Di segala penjuru awangawang mengapung ribuan cabikan-cabikan putih seperti kapas.
Cabikan ini berputar-putar dulu dimainkan angin sebelum
mendarat di tanah, pohon, atap, sungai, di mana saja. Mereka
bagai datang dari segala arah, tidak dari atas saja, juga dari
samping. Biarlah aku dianggap kampungan. Aku rentangkan kedua
tanganku ke langit, mencoba menangkap cabik-cabikan putih
itu di udara. Tidak puas, aku buka mulut lebar-lebar merasakan
salju meleleh di lidahku. Dingin seperti menyeruput serbuk es
tebak di Pasar Ateh Bukittinggi. Lambat laun, gerahamku
bergemeletukan hebat. Baju kaus dan celana panjang biasa
adalah cara sombongku menghadapi musim salju. Tiba-tiba
muncul Franc di depan teras rumah, tertawa terpingkal-pingkal
melihat aku yang gemetaran seperti diserang demam malaria.
Sambil bersidekap kedinginan aku lari berjingkat-jingkat dan
371 kembali masuk ke rumah. "Makanya, pakai baju dingin baru
main salju," godanya.
Hari ini aku menghabiskan satu rol film untuk memotret
suasana salju. Dan aku memaksa Franc untuk menghabiskan
dua lusin jepretan untuk mengabadikanku dengan berbagai
pose di salju, termasuk pose tidur di atas bukit salju. Aku akan
segera mencetak foto-foto ini. Dalam kepalaku hanya ada dua
orang yang akan aku kirimi foto ini segera. Pertama Amak.
Kedua Randai. Entahlah, kenapa aku berpikir Randai. Pamer,
salam persahabatan, atau apa" Aku bingung menerjemahkan
perasaanku. Di dalam suratku ke Randai, aku bercerita panjang-lebar
tentang hebatnya pengalamanku di luar negeri. Kira-kira
mungkin seperti gaya Randai dulu bercerita tentang keindahan
masa SMA-nya, saat aku masih di Pondok Madani. Mungkin
ini adalah kesempatanku untuk pertama kalinya berada dalam
posisi yang lebih unggul dari Randai. Selama ini dialah yang
bercerita banyak tentang apa yang aku impikan. Kali ini,
akulah yang bercerita. Dia adalah pendengar dan pembaca
pengalaman luar biasaku di sini. Dia di Bandung, aku di
benua Amerika. Dia mungkin sedang memperlancar bahasa
Sunda, aku sedang belajar bahasa Prancis. Dia mungkin sedang
kehujanan sore-sore di Tubagus Ismail, aku sedang menikmati
curahan salju pertamaku. Bagaimanakah perasaannya berada
di sisi yang berbeda dari biasanya" Dunia memang terus
berputar seperti roda pedati. Kadang kita di atas, kadang kita
di bawah. Alhamdulillah, kali ini aku berada di posisi atas.
372 Lac Sept-Iles ulan Oktober ini aku melihat dengan mata kepala
sendiri bagaimana demokrasi diamalkan dengan tulus di
Kanada. Jalanan tetap tenang, tidak terlihat iringan kendaraan
dan massa yang berkampanye hiruk pikuk di jalanan. Spanduk
politik yang merusak mata hanya terpampang satu-dua di
sudut jalan. Kehebohan lebih terasa kalau kita menonton
para komentator berdasi di stasiun TV seperti TVA, T"l"Quebec, T"l"vision de Radio-Canada yang tidak henti-henti
bersitegang. Di rumah kami, Franc yang ingin Quebec berpisah dengan
Kanada berselisih paham dengan Ferdinand. Mereka kerap
bertengkar di meja makan. "Saya tidak habis pikir, kenapa
harus egois berdiri sendiri?" tanya Ferdinand sengit.
"Karena yang terbaik adalah jika kita, Qu"b"cois67, bisa menentukan nasib sendiri, bukan diatur orang lain," balas Franc.
Aku dan Mado hanya menyumbang pendapat seperlunya.
Tapi itu pertengkaran tanpa dendam dan kesumat. Mangkuk
sup dan es krim tidak sampai tumpah. Setelah menamatkan
makan malam dan bangkit dari meja, mereka akur kembali
dan kompak menonton pertandingan Montreal Canadiens
memperebutkan juara nasional ice hockey di TV.
Sebutan untuk warga Quebec
373 Di pengujung Oktober 1995 itu, pemilih tua dan muda
datang ke tempat pencoblosan karena memang panggilan
nurani, bukan karena menggadaikan suara berkat bujuk rayu
uang kertas. Franc dan Ferdinand berangkat satu mobil ke
tempat pencoblosan walau dengan pilihan berbeda. Aku
menyaksikan sendiri, referendum yang historis bagi warga
Kanada ini berjalan aman dan damai. Selama beberapa hari
setelah itu, Franc dan Ferdinand seperti terpaku di depan
TV yang tidak henti memberitakan hasil referendum bak
sedang melaporkan pacuan kuda yang sengit. Tapi akhirnya
memang harus ada yang kalah walau setipis rambut. Sebanyak
49,42 persen warga Quebec memilih berpisah dengan Kanada,
hanya kalah 0,58 persen dari warga yang ingin terus bersama
Kanada. Franc menepuk-nepuk jidatnya berkali-kali karena
tidak percaya kubunya kalah. Walau masih bermuka masam,
dia sorongkan jabat erat kepada Ferdinand untuk kemenangan
setipis rambut itu. Hasil yang tipis ini sesungguhnya mengoyak harapan hampir separuh penduduk Quebec. Setelah pengumuman itu, meja
makan malam kami kembali normal. "Mungkin ini yang terbaik, tetap bersatu sebagai satu bangsa," kata Ferdinand.
Franc menimpali dengan nada rendah, "Alif, kamu bisa
lihat kan, apa pun hasilnya, tidak ada keributan fisik. Kami
menghargai hasil. Yang penting sudah kita usahakan. Ah
sudahlah, lebih baik kita memikirkan bagaimana mengisi hari
musim dingin ini dengan menyenangkan." Di luar sana, bagai
ditumpahkan dari langit, salju bergumpal-gumpal turun tiada
henti tanpa suara. 374 Sudah berhari-hari badai salju membungkus Saint-Raymond, sampai serbuk putih ini menumpuk setengah meter
tebalnya. Warga tidak leluasa lagi menyetir mobil karena jalan
telah berlapis es salju. Truk pembersih salju yang dilengkapi garam pelumer es hilir mudik mendorong salju ke pinggir jalan,
tapi curah salju yang besar membuat pekerjaan itu seperti
tidak akan pernah selesai.
Sabtu pagi ini Ferdinand membangunkan kami lebih awal
untuk bergotong-royong. Dengan sekop kami menggali salju
yang menutupi jalan dari tangga rumah sampai ke jalan besar.
Ferdinand dan Mado melambaikan tangan ke tetangga di kirikanan yang juga sibuk bekerja seperti kami.
Anak-anak malah berlarian ke sana-kemari dengan baju
tebal dan sepatu bot mereka. Anak laki-laki main lemparan
bola salju, sedangkan yang perempuan sibuk membangun
boneka salju setinggi tegak. Beberapa anak lain yang lebih besar mengepit papan seluncur dan mencari tanah yang menurun
untuk berseluncur sambil berteriak-teriak ceria.
Tiba-tiba pintu gudang kayu di sebelah rumah kami terbuka.
Dari dalam terdengar suara menggerung kencang berkali-kali.
Dan sesosok benda meluncur kencang ke luar gudang itu.
Bukan mobil, tapi bukan juga sepeda motor. Ferdinand dengan gagah menungganginya dan berhenti di depanku yang
terlongo-longo. Benda ini agak mirip dengan bemo, tapi berjalan di salju dengan roda rantai seperti layaknya tank. Uap
putih dan asap menggumpal-gumpal dari knalpotnya.
375 "C"est la motoneige68," katanya menepuk-nepuk badan kendaraannya yang kekar mengilat ini. "Inilah mainan orang dewasa selama musim salju. Yuk, naik segera, kita coba beberapa
putaran di Sungai Sainte-Anne yang sudah beku itu," katanya
sambil mengulurkan sebuah helm layaknya pembalap motor.
Tanpa dikomandoi lagi, aku segera melompat ke kursi
penumpang. Ferdinand menggas motoneige yang meraung
kencang mendaki bukit kecil, menuruni lurah kecil di dekat
rumah, dan langsung mengarah ke Sungai Sainte-Anne. Aku
berteriak ngeri, takut kami akan tercebur masuk air sungai
yang pasti dinginnya minta ampun. Ferdinand tidak peduli
teriakanku dan terus meluncur kencang ke bibir sungai. Angin
dingin berdesir-desir di wajahku. Wusss, kami meluncur mulus
masuk ke badan sungai. Dan" kami tidak tenggelam! Dia
malah bermanuver beberapa kali di tengah sungai yang sudah
mengeras ini, sebelum mengerem dan tertawa terbahak.
"Tenang, Lif, tadi pagi saya sudah periksa ketebalan es
yang menutupi permukaan sungai. Sudah aman untuk main
motoneige," katanya tersenyum. Hari ini Mado dan Ferdinand
sepakat mengajak kami berkeliling Saint-Raymond dengan
menunggang dua motoneige punya mereka.
"Bagi kami orang Quebec, ini bukan sekadar kendaraan,
tapi adalah hobi. Begitu ada badai salju seperti sekarang, maka
motoneige yang bisa berjalan ke mana saja, tanpa harus ada aspal.
Selama ada salju di tanah, maka motoneige bisa meluncur," jelas
Mado. Snow mobile atau kereta salju bermotor
376 "Kita ke mana?" tanyaku.
"Nikmati saja, nanti kalian akan tahu," kata Mado tersenyum. Aku dan Franc makin penasaran. Ferdinand melambai
menyuruh aku naik di bangku penumpangnya, sedangkan
Franc berboncengan dengan Mado.
Awalnya kami meluncur pelan di daerah perumahan.
Konvoi motoneige kami semakin menderu kencang begitu keluar kota. Kami mulai menembus rimba pinus yang tumbuh
makin lama makin rapat sehingga harus lincah mengelok agar
tidak tersangkut di pokok-pokok pohon besar. Ranting-ranting
pinus yang rendah dan diberati oleh onggokan salju sekali-sekali
menerpa baju dan helmku dengan cepat, menghamburkan
serbuk putih yang dingin ke udara. Lepas dari rimba, di depan
kami tampak terhampar padang luas putih menyilaukan seolah
tak bertepi. Di ujung horizon tampak Pegunungan Laurentides
yang bersusun seperti tembok-tembok tinggi bercat putih.
Kontras sekali dengan langit yang bersih dari awan dan berwarna biru terang. Mataku yang sudah disongkok kacamata
hitam rasanya masih harus mengernyit.
Ferdinand menghentikan motoneige dan menghadapkan
mukanya ke arahku. "Coba kamu tebak, jika tidak ada salju,
apa tempat kita berdiri saat ini?" dia bertanya, embun putih
bergolak-golak keluar dari kerongkongannya.
"Padang rumput?" jawabku melihat lapangnya lahan putih
di depanku. "Bukan. Kita saat ini berdiri di tengah Danau Lac Sept-Iles.
Danau Tujuh Pulau. Danau yang sudah mengeras permukaan377 nya karena musim dingin," katanya. "Oke, sekarang giliran
kamu menyetir," katanya.
Dengan bersemangat aku langsung meloncat ke kursi
depan. Aku genggam setang dan aku mainkan gas, kendaraan
ini menggerung dan bergetar. Dengan ragu-ragu, aku sebut
bismillah, dan aku pacu motoneige ini melintasi padang putih
ini. Permukaan danau yang dilapisi es ini berderak-derak
sedikit, tapi kendaraanku bisa terus melaju mulus. Setelah
puas dengan lintasan lurus dan datar, aku belokkan kendaraan
ini dan kembali masuk meliuk-liuk di hutan, antara pokok
pinus. Ferdinand tertawa-tawa melihat aku mulai berani.
"Oke, sekarang coba jalan ke arah orang-orang itu," kata
Ferdinand mengarahkan telunjuk ke titik-titik hitam di tengah padang putih ini. Semakin mendekat ke titik hitam
itu semakin jelas kalau titik itu adalah beberapa orang yang
sedang duduk di kursi plastik, sambil menyeruput segelas air
panas yang mengepul. Apa yang mereka lakukan di tengah
danau beku ini" Ferdinand menyuruhku mematikan mesin dan parkir. Dia
lalu membuka kamus kecil bahasa Inggrisnya dan mulai mengeja pelan-pelan, "I-ce fish-ing.
"Inilah salah satu cara kami melewatkan musim dingin.
Ice fishing, seni memancing ikan di air danau yang beku," kata
Ferdinand sambil mengambil sebuah tongkat yang bermata
bor dan menancapkannya di permukaan es. Lalu dia memutar
ujung tongkat itu sampai mata bor masuk jauh ke lapisan es
yang tebal. Tidak berapa lama kemudian dia berhasil membuat lubang kecil yang menembus sampai ke air danau di
378 bawah permukaan es tempat kami berdiri. Di tengah lubang
berukuran sejengkal ini tampak permukaan air danau yang
biru dan masih belum beku.
"Nah, sekarang saatnya kita memasang umpan dan menunggu rezeki kita hari ini," kata Ferdinand sambil duduk
di kursi lipat yang dibawanya dari rumah. Tidak seperti di
kampungku di Maninjau, yang menggunakan cacing tanah,
umpan di ujung pancing Ferdinand adalah ikan kecil buatan.
Betapa bodohnya ikan di Kanada karena ditipu oleh umpan
dari plastik. Aku yakin ikan di Danau Maninjau lebih pintar.
"Sambil menunggu ikan, nih chocolat chaud69 supaya kalian
tidak kedinginan," seru Mado. Dia mengulurkan cangkir yang
mengepul-ngepulkan asap dan kursi lipat. Setiap hirupan minuman ini adalah kehangatan luar biasa yang terasa mengalir
sampai jauh ke dalam perut. Melihat semua serba putih
dan dingin, aku hampir tidak percaya kalau kami sedang memancing.
Memancing" Tiba-tiba ingatanku malah melayang ke Pondok
Madani, Kiai Rais memberi petuah tentang "memancing" kepada
kami para murid yang akan lulus dari Pondok Madani. "Ingat,
anak-anakku yang aku cintai, kami tidak memberi ikan kepada
kalian, tapi kami memberi pancing, kalian sendirilah nanti
yang akan mencari ikan dengan pancing ini. Pancing ini adalah
semua ilmu, semua pengalaman, semua bahasa, semua disiplin,
semua air dan udara yang kalian hirup selama di sini. Selamat
berjuang, anak-anak. Selamat memancing yang baik-baik."
Cokelat panas 379 Trout dan Belut lala...!" Mado berteriak kaget campur senang, tali pancingnya menegang dan pelampungnya tiba-tiba tenggelam. Tergesa-gesa dia menahan joran yang melengkung dan
memutar kumparan tali pancing. Tidak lama kemudian, air di
lubang kecil bergolak, lalu sebuah kepala ikan bertotol hitam
muncul dan disusul badannya yang panjang gemuk. Ferdinand
dengan sigap menyauk tangkapan pertama kami hari ini.
"Ini ikan trout70. Wah hari yang baik. Biasanya Ferdinand
yang dapat duluan," kata Mado bertepuk-tepuk tangan. "Nanti
kita akan masak langsung biar kalian tahu daging ikan terbaik


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu adalah pada musim dingin seperti ini. Dagingnya hangat,
kenyal, dan tidak ada rasa lumpur, beda dengan ikan yang kita
tangkap selama musim panas."
Akhirnya setelah duduk tiga jam, masing-masing kami mendapatkan ikan dengan ukuran yang lebih kecil dari tangkapan
Mado pertama. Jenis ikan air tawar yang banyak ditemukan di daerah beriklim dingin
seperti Amerika Utara. 380 Resep trout Mado sungguh membikin penasaran. Ikan belum
diangkat dari oven, tapi hidungku sudah kembang-kempis
membaui aromanya. Tidak lama kemudian Mado berteriak,
?" table."71 Bagai anak kelaparan, kami bertiga segera berebut
duduk di sekeliling meja makan. Badan ikan yang padat dan
berminyak ditaburi berbagai daun rempah itu benar-benar
membuat air liurku menitik.
Belum lagi Mado mengucapkan "bon app"tit"72, kami sudah
menyantap hidangan hangat ini ditemani brokoli dan kentang
tumbuk halus. Dengan mulut masih penuh makanan, aku
mengacungkan jempol ke arah Mado. Irisan lemon kuning
dan taburan lada merah menambah kesegaran daging ikan ini.
"Tr"s delicieux. Sungguh sedap," kataku di antara kunyahan.
"Tentunya, ini memang resep turun-temurun keluarga saya," kata Mado sambil menambahkan sebongkah daging trout
lagi ke piringku. Sambil makan kami sibuk membahas berbagai pengalaman
memancing yang pernah kami lakukan. Mado dan Ferdinand
bercerita bahwa mereka sejak muda memang hobi memancing.
"Pengalaman kami yang paling berkesan, pernah mendapat
ikan bass sepanjang ini," kata Mado merentangkan tangannya
lebar-lebar. "Kalau saya malah pernah bisa menangkap ikan
salmon tanpa pancing. Ketika itu kami rombongan pramuka
Ungkapan Prancis untuk menyatakan hidangan sudah siap untuk
dimakan. Selamat makan. 381 menemukan sebuah sungai yang setengah mengering dan ada
beberapa ikan di sana."
Aku tidak mau kalah. "Saya dulu suka memancing belut sawah dengan pancing buatan sendiri. Caranya mirip ice fishing."
"Wow, belut" Mirip ular, kan?" teriak Mado dengan wajah
bergidik. "Apa persamaannya dengan ice fishing?" tanya Ferdinand
penasaran. Aku mulai bercerita. Punggung Franc aku tepuk setiap aku
butuh terjemahan yang pas dalam bahasa Prancis.
"Ketika masih SD, saya dan anak-anak kampung di pinggiran Danau Maninjau dulu suka memancing belut. Kalau
di sini lokasi memancing adalah danau beku, di sana tempat
memancing belut adalah hamparan sawah yang masih belum
kering airnya. Memancing belut adalah seni menemukan
lubang sarang belut dekat pematang sawah.
"Alat pancingnya kami bikin sendiri. Jadi bukan yang
seperti ini," kataku sambil menunjuk joran pancing kami yang
masih tersampir dekat pintu.
"Caranya saya membakar sebuah jarum jahit besar yang
biasa dipakai menjahit kasur. Setelah jarum ini membara, saya
bengkokkan dengan palu atau tang. Jadilah mata pancing. Tali
senarnya juga karya sendiri dengan bahan dasar tali rafia."
Aku memeragakan cara membuat tali senar di meja. "Tali
ini kami pilin-pilin di atas paha sampai mengeras. Supaya
tidak menyakiti kulit paha, biasanya paha kami lumasi dengan
beberapa semprotan air ludah."
382 "Apa, ludah?" tanya Mado dengan ekspresi muka yang
berubah. Aku mengangguk tanpa ragu.
Sebagai penggemar memancing, para pendengarku semakin
tertarik. "Lubang belut biasanya berisi air dan dekat dengan batas
air. Ada saja teman yang salah memilih lubang, ternyata itu
sarang ketam sawah, atau yang gawat adalah sarang ular sawah."
"Mon Dieu. Ya Tuhan...," kata Mado sambil menutup mulut
dengan kedua tangannya. "Sarang belut umumnya kecil saja, sebesar jempol atau
telunjuk. Begitu lubang kami temukan, cacing tanah kami
cantolkan di mata pancing. Sebelum dimasukkan ke lubang,
mata pancing kami ludahi ... cuh... cuh... cuh...."
"Kenapa meludah lagi?" tanya Mado mengernyitkan kening.
Aku juga bingung kenapa. Aku jawab asal saja, "Biar cacing
terasa lebih enak bagi belut. Pancing saya masukkan ke lubang
sambil diputar-putar. Pada saat yang sama, jari telunjuk kita
jentik-jentikkan ke air sawah. Dan mulut harus seperti ini..."
Aku mempertontonkan mulut dan lidah yang mengeluarkan
bunyi suara berdecak, ck" ck....
Tiga orang Kanada ini saling lirik sambil tersenyum bingung. Mungkin heran dengan teknik pancing belutku.
"Nah yang mendebarkan adalah masa belut akan menyerang. Kami tahu kapan umpan akan disambar karena selalu
ada tanda-tandanya sebelumnya?"
383 Para pendengarku tampak menahan napas.
"Yaitu bila tiba-tiba lubang itu mengucurkan air yang
berlimpah. Si belut artinya sedang bergerak menuju pancing.
Lalu tiba-tiba bagai tersedot, tali pancing akan ditarik kencang
ke dalam tanah sarang belut. Kadang-kadang tali pancing
akan berpilin-pilin mengikuti gerakan belut. Nah ini waktu
kita menarik pancing pelan-pelan. Begitu kepala belut yang
licin itu muncul ke permukaan tanah, harus segera kita piting
dengan kuat pakai jari tengah." Aku peragakan dengan cara
menaruh sebuah pulpen diapit oleh jari tengahku.
"Masa belutnya tidak licin dan melorot dari tangan?" tanya
Franc sangsi. "Tidak, kalau pitingannya tepat dengan jari tengah itu.
Coba saja tarik pulpen ini," tantangku.
Para pendengarku mengangguk-angguk. "Lalu, bagaimana
cara memasak belut itu?" tanya Mado. Naluri memasaknya
lebih kuat dari rasa takutnya.
"Sepulang memancing, saya membersihkan dan menjemur
belut di matahari sampai kering. Karena menurut saya, belut
yang paling enak memang belut yang sudah dijemur kering.
Tinggal nanti Amak saya yang memasak. Walau dagingnya
sedikit tapi cita rasanya enak sekali, Apa lagi kalau digoreng
dengan sambal balado.... Kriuk, kriuk," kataku dengan air liur
menggenang. "Apa itu sambal?" tanya Mado.
Aku mengangkat kedua tangan agar mereka bersabar. Aku
segera lari ke kamar atas, mengambil botol plastik sambal ABC
384 yang aku bawa dari Indonesia sebagai persiapan kalau makanan
di Kanada tidak enak. Bergantian mereka mendekatkan botol
ke hidung. "Jangan cuma dibaui, harus dirasakan sedikit,"
kataku. Dengan takut-takut Mado dan Ferdinand mencoba mengecap dengan ujung lidah mereka.
"Pas mal. Lumayan," kata Mado, tapi sambil mengernyitkan
kening. Aku tertawa melihat raut muka mereka yang berubah.
"Iya, rasanya memang pedas, tapi menerbitkan selera kami
orang Indonesia. Jadi banyak orang Indonesia merasa belum
makan kalau tidak pakai sambal," terangku.
Franc tidak peduli dengan keteranganku. Dia dengan santai
menuangkan sambal ke satu sendok makan dan langsung
memasukkannya ke mulut seakan-akan sambal itu es krim
vanila. "Franc, jangaaan, itu pedas..." kataku. Peringatan yang
terlambat, sambal sudah sempurna masuk mulutnya. Beberapa
saat dia bertahan dengan muka percaya diri, seakan tidak ada
masalah. Beberapa detik kemudian mukanya berubah warna
seperti kepiting rebus, air merembes dari mata dan hidungnya.
Hanya tinggal menunggu waktu sebelum dia berteriak. Dan
akhirnya, "Whoa...whoa".!" pekik Franc kencang. Dia
melompat-lompat dan berlari lintang pukang ke tempat cuci
piring dan memuntahkan semua isi mulutnya. Bibirnya megap-megap seperti ikan maskoki. "Panas... panas...." katanya
mengipas-ngipas mulutnya dengan kertas koran. Walau kasih385
an melihat penderitaannya, kami tidak kuasa menahan gelak
melihat Franc. "Hah.... pedas sekali, tapi enak sih," katanya tak mau malu,
walau dengan muka masih merah padam dan lidah menjulurjulur. Air liurnya melimpah-limpah.
386 Ode untuk Pahlawan ertemuan mingguan kami anak Indonesia di Caf"
Qu"b"cois ini selalu menyenangkan. Selain bisa menikmati pancake tiga lapisnya yang legit, kami senang bebas
dari kewajiban berbahasa Prancis dan Inggris selama beberapa
jam ke depan. Mengoceh dalam bahasa sendiri rupanya membuat lidah dan otak kami rileks.
"Aku kangen pulang," kata sebuah suara nyaring. Aku dan
teman-teman lain memutar leher mencari-cari asal suara itu.
"Iya, aku kangen dengan Indonesia," tegas Rusdi seperti
meracau di depan kami. "Baru aja jalan beberapa bulan. Kok tiba-tiba kangen kampung. Apa pasal" Biri-biri di peternakan semakin membosankan?" goda Sandi.
"Kami aja, cewek-cewek nggak kangenan begitu," tambah
Dina sambil menggamit Raisa yang mengangguk setuju.
Rusdi mengernyitkan dahi sebentar dan menggeleng. Kemudian melihat kami satu-satu. Mukanya serius.
"Begini, kawan-kawan. Beberapa bulan di Kanada ini, aku
merasa bahwa inilah yang disebut negara maju dan sejahtera.
Rakyat berkecukupan, pelayanan publik bagus, bahkan kriminalitas minim. Kalian lihat sendiri, kan" Rumah orangtua
angkat nggak dikunci?"
387 "Lalu?" tanya Topo sambil mulai memetik gitar putihnya.
"Inilah negara bertuah yang ada di pantun-pantun kita."
Dia lalu berpantun: Apakah tanda padi berbuah
Lebatlah tangkai daunnya subur
Apalah tanda negeri bertuah
Rakyatnya damai hidupnya makmur
"Bahkan saat referendum yang ketat kemarin tidak ada
keributan, darah, bakar-bakar. Semua aman dan damai, kan?"
"Iya, ini negara yang makmur. Lalu apa hubungannya
dengan kangen pulang?" tanyaku.
Dia tidak menjawab. Tapi mengangkat dagu sedikit dan
lagi-lagi berpantun: Pohon maple tumbuh di Kanada
Berdaun merah tiga sisi Walau jauh badan dari Indonesia
Makin cinta aku sama negeri sendiri
"Iya. Ini negara hebat, tapi tidak semuanya bagus. Baru
kemarin aku membantu mengajar di "cole Secondaire73 LouisJobin untuk pelajaran mengenal budaya Asia. Muridnya aktif
bertanya dan kritis. Tapi begitu jam istirahat datang, beberapa
pasang anak SMA ini saling merangkul dan mojok di sekolah
Sekolah setingkat SMA 388 tanpa risih dengan guru. Coba bayangkan, masih anak bau
kencur sudah begitu perilakunya. Dan diterima biasa-biasa
saja oleh masyarakat," katanya dengan menggebu-gebu.
Rusdi melanjutkan, "Minggu lalu orangtua angkatku mengundang teman-temannya makan malam dan main kartu di
rumah. Ketika hampir tengah malam, beberapa di antara
mereka mabuk, sehingga harus dipapah pulang. Di tengah
kemajuan negara ini, perilaku orangnya payah. Tidak cocok
dengan budaya ketimuran kita."
"Tapi, Rus, apa gunanya hidup penuh budi pekerti ketimuran
yang halus, banyak basa-basi, manis di mulut tapi belum
tentu di hati?" tiba-tiba Ketut yang pendiam menyumbang
pendapat. "Iya, udah gitu korupsi jalan terus. Masa anggaran negara
tiap tahun bocor sampai tiga puluh persen seperti taksiran
begawan ekonomi kita, Profesor Soemitro. Apa itu berbudi
pekerti?" sambar Topo sambil menggenggam kepala gitarnya.
"Indonesia-ku memang belum baik, tapi aku memilih mencintai dan berusaha memperbaiki Indonesia dari sekarang.
Kanada membuka mataku untuk mencontoh hal-hal baik, tapi
juga membuka mataku bahwa kita punya banyak kebaikan
pula. Contohnya, orang kita masih kental memegang sikap
hormat kepada orangtua, bertetangga baik, gotong royong,
dan dekat dengan agama. Belum lagi kita punya budaya
pantun, di sini cuma ada musik rap. Semua ini yang membikin
aku kangen pulang," aku Rusdi.
Sepanjang siang itu topik ciptaan Rusdi ini berhasil mem389
buat kami terlibat diskusi hangat. Mana yang perlu: budi
pekerti ketimuran atau ketaatan yang kukuh pada hukum"
Setelah lelah berdebat tanpa kesudahan, kami akhirnya
beranjak pulang. "Hei" hei" jangan bubar dulu, aku mau
menyampaikan sesuatu yang penting nih," kata Rusdi.
"Halah, apa lagi, paling pantun lagi kan?" goda Topo.
"Aku janji, ini bukan soal pantun. Ini soal nasionalisme.
Tidak lama lagi sepuluh November. Yok, kita bikin sesuatu
menyambut Hari Pahlawan. Kalau perlu kita adakan upacara
bendera. Gimana" Gimana?" Dia mengedarkan pandangannya
kepada kami. "Apa" Upacara bendera?" tanya Topo mengerutkan kening.
Kalau saat ini aku sedang menginjak tanah Indonesia,
dengan gampang aku akan bilang, "tidak mau". Aku kurang
suka dengan baris berbaris dan upacara seremonial semacam
ini. Tapi anehnya, begitu tanah yang aku injak bukan bumi
pertiwi, rasa enggan itu menguap seperti diusir angin musim
dingin. Jauh dari tanah air malah membuat rasa nasionalisme
di hatiku bergolak. Dan saat ini, menyeruak rasa yang sangat
aneh: aku rindu upacara bendera! Entah kawan-kawanku
merasakan hal yang sama, yang jelas kami semua akhirnya
serempak mengangguk setuju dengan ide Rusdi ini.
"Wah mantap! Tos dulu kita yuk," teriak Rusdi senang.
Kami menyatukan tangan bersama di meja pancake itu.
390 "Tapi di mana dan bagaimana?" tanya Raisa.
"Tenang semua. Coba dengar ideku ini. Kita bisa mengadakan di depan gedung balai kota. Di sana sudah ada tiang
bendera dan ada lapangan untuk upacara. Memang agak
dingin di outdoor, tapi sekali-sekali kita tahankanlah dingin
ini demi upacara Hari Pahlawan ini," ujar Rusdi. Aku curiga,
jangan-jangan dia telah merencanakan upacara ini sejak kami
tiba di Saint-Raymond. Aku menggeleng-geleng dan mengacungkan jari.
"Rus, itu terlalu biasa. Aku usul kita bikin sekalian yang
benar-benar monumental. Bagaimana kalau di puncak tertinggi Saint-Raymond" Namanya Mont Laura. Baru kemarin
aku meliput para atlet ski lokal yang meluncur turun dari
puncaknya. Ada dataran di puncak bukit itu yang sering
dipakai untuk kegiatan pramuka, lengkap dengan tiang
bendera. Dan ada jalan mobil sampai pinggang bukit sehingga
tidak terlalu terjal untuk mendaki," kataku.
Mata teman-temanku berbinar-binar.
"Tidak jauh dari lapangan di bukit itu ada aula kayu. Kalau
kedinginan kita bisa menghangatkan diri sambil membakar


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jagung dan menyeduh kopi dengan cokelat panas. Sedap,
kan?" "Eh, sekalian kita sudah berkumpul di upacara itu, kenapa
kita tidak mengundang teman-teman Kanada, orangtua angkat, dan kalau perlu walikota serta tokoh masyarakat di sini?"
sambar Topo. "Ah mana mungkin mereka tertarik upacara di puncak
bukit, pada musim dingin pula," tukas Sandi.
391 "Kita bikin mereka tertarik. Misalnya kita adakan pertunjukan seni buat warga kota ini, dalam rangka menyambut Hari
Pahlawan?" bela Topo.
"Sekalian aja kita bikin pameran budaya dan pameran
makanan tradisional, gimana?" sumbang Dina.
"Aku bisa nyiapin beberapa makanan, mulai mi goreng,
nasi goreng, rendang, bakso, sayur lodeh, aku sudah punya
resepnya kok," tambah Raisa.
Tahu-tahu, berbagai ide deras berloncatan keluar dari kirikanan. Kami tidak jadi beranjak pulang dan berdiskusi tentang
apa aja yang bisa kami lakukan untuk acara ini.
"Iya, dan kita semuanya nanti berpakaian daerah."
"Supaya lebih heboh, nanti semua anak Kanada kita ajak
juga menari atau menyanyi bareng."
"Iya, pakai tari Indang saja pasti rame. Kita latih para bulebule juga."
"Aku nyiapin kostum dan desain panggung."
"Aku nyiapin daftar lagu dan tari."
"Urusan konsumsi aku yang atur."
"Biar nggak mahal, kita ajak orangtua angkat kerja sama,
terus tiketnya kita jual, kan judulnya bisa: e Festival de la
Culture et de la Gastronomie d"Indon"sienne74."
"Wah, iya, iya, itu bagus banget."
Pertunjukan Budaya dan Festival Makanan Indonesia.
392 "Pasti laku." "Nanti kita umumkan dan liput di TV."
"Juga di koran lokal."
"Wah, rame ini, tapi jangan lupa, ya inti acara ini tetap
menyambut Hari Pahlawan. Bendera sudah aku siapkan sejak
dari Jakarta. Tinggal aku cuci dan setrika lagi nanti. Biar
harum mewangi," kata Rusdi dengan wajah berbinar.
Kami langsung sibuk menyusun detail rencana besar ini.
Tanggal sepuluh November jatuh pada hari Jumat, hari orang
bekerja, sehingga kami sepakat upacara akan diundur satu
hari. Rumah orangtua angkat Raisa yang berada di tengah
kota akan jadi posko kami. Latihan nyanyi dan tari diadakan
di aula sekolah "cole Secondaire Louis-Jobin. Sedangkan
urusan masak-memasak akan diadakan di rumah masingmasing. Sebuah rencana dadakan yang membuat kami tidak
sabar menunggu hari H-nya.
Kalau grup kami punya rencana besar bersama, aku pribadi
punya rencana yang lebih besar. Rencana sangat spesial.
Masalahnya, entah kapan aku berani melakukannya.
Baru saja kami ikut latihan pertama tari Indang, aku
dan Rusdi langsung mendapat perhatian istimewa dari Raisa.
Bukan karena dia sangat suka kepada aku atau Rusdi. Tapi
justru karena kami sangat tidak disukainya. Tepatnya dia
tidak menyukai kekakuan badan kami kalau menari dan
393 suara kami yang parau mengerikan kalau menyanyi. Karena
melihat cacat lahir kami ini, Raisa memberi latihan khusus
buat kami di rumahnya, di Avenue Saint-Maxime. "Selain
latihan bersama anak Kanada dan Indonesia, kalian berdua
harus ke rumahku untuk latihan tambahan," kata Raisa tegas.
Rusdi mengeluh panjang-pendek dan merasa dihukum dengan
latihan tambahan ini. Sebaliknya, tak sepotong keluhan pun
terlompat dari mulutku. Malah hatiku senang tidak kepalang.
Artinya aku akan lebih sering bertemu Raisa. Sayangnya tidak
bisa eksklusif, selalu ada Rusdi di antara kami.
"Aduh kalian itu ternyata masih pakai jam Indonesia. Jam
karet," gerutu Raisa di hari pertama latihan.
"Maaf banget Raisa, aku ada liputan penting sampai sore
tadi balai kota," bela diriku. Aku melihat ke Rusdi, ingin tahu
apa pembelaannya. "Aku tadi ke kantor Alif dulu menunggu dia yang tidak selesai juga," balas Rusdi menyeret-nyeretku. Aku mendelikkan
mata dan dia tidak peduli.
"Sudahlah, sekarang kita latihan tari Indang dulu," kata
Raisa antara kesal dan pasrah dengan alasan kami.
Maka duduklah kami bertiga di lantai berlapis ambal tebal
bercorak Turki. Raisa dengan luwes memperlihatkan bagaimana setiap
gerakan harus dilakukan dengan koordinasi yang baik, antara
lengan, jari, leher, dan musik. Giliran aku dan Rusdi mengikuti
bersama-sama, kepala kami saling beradu. Tapi dengan telaten
Raisa mengulang dan membetulkan gerakan kami. Setiap
394 dia membetulkan gerakan kami, semakin kagum aku dengan
kesabarannya. Setelah susah payah latihan beberapa hari, aku dan Rusdi
bisa juga mengikuti aba-aba Raisa dengan baik. Tari Indang
kini sudah bisa kami tarikan tanpa bertabrakan kepala. Aku
ingin menggunakan kesempatan ini untuk memberikan pujian
khusus untuk Raisa. Dengan berdebar-debar, aku tatap gadis
berkilau ini dan aku tembakkan pujian itu, tepat saat Rusdi
sedang ke toilet. "Raisa, sudah seumur-umur ini aku selalu gagal kalau belajar
kesenian, apalagi namanya seni tari. Tapi sekarang lumayan
bisa sedikit-sedikit. Kalau tidak dengan kesabaran kamu, aku
tentulah tidak akan pernah bisa. Terima kasih ya. Cara orang
sini bilang, you are the best!" kataku sambil mengacungkan
jempol setinggi kepala. Di luar dugaanku, gadis periang ini berubah raut mukanya.
Ada rona merah terbit di pipinya dan dia mengulum senyum
tersipu. Tapi itu hanya sekejap, dan dia segera bisa menguasai
penampilannya. "Ah bisa aja kamu Lif, ini kan supaya kita nanti bisa tampil
dengan baik" "Suit...suit, baru aku tinggal sebentar, kalian berdua sudah
berbalas pantun. Serasi sekali kalian ini," seru Rusdi yang tibatiba sudah kembali ke tempat kami latihan. Kali ini aku yang
tersipu. Mulutku sudah membuka untuk membalas ejekan
Rusdi, tapi yang keluar hanya igauan yang tidak jelas.
Aku lirik dengan sudut mata, Raisa tampaknya pura-pura
tidak mendengar. Tapi semu merah di wajahnya masih kentara.
395 Di perjalanan pulang, Rusdi menyikutku di rusuk. "Kalian
tadi berdua tampaknya bisa jadi pasangan yang cocok ya.
Kamu naksir dia ya" Pakai merayu dengan puja-puji segala,"
ejek Rusdi. "Apa sih. Urus dulu tari yang diajarkan tadi, baru komentar," sanggahku sambil melempar pandangan ke parkiran
sepedaku. Wajah Rusdi muncul di depan mukaku, dengan senyum
lebar. Sambil terkekeh dia kembali bertanya, "Jadi benar, kamu naksir Raisa?"
Aku diam saja, tapi bibirku mengulum senyum. Rusdi
berjingkrak-jingkrak di atas salju tebal, seperti baru saja
memenangkan undian berhadiah.
"Jangan bilang siapa-siapa ya," kataku ketika kami berpisah
di bawah lampu jalan di perempatan Rue Saint-Joseph. Rusdi
tidak menjawab, hanya ketawanya saja yang terdengar bergulung-gulung.
396 Merah Putih di Jantungku erbuk-serbuk salju yang hinggap di dekat jendelaku
berkilau gemerlap, seperti serakan berlian berukuran mungil yang disiram cahaya matahari pagi yang lembut. Melihat
pagi seperti ini, orang dari negara tropis seperti aku gampang
tertipu. Walau matahari bersinar cemerlang, tapi suhu udara
di luar rumah tetap saja masih berkisar nol sampai minus.
Ini hari bersejarah, karenanya aku dan teman-teman akan
memakai baju bersejarah. Ketika aku buka lemari baju, baju
itu telah memancarkan pamornya yang berwibawa bahkan
ketika masih terbalut kantong plastik. Telah tiga negara aku
jalani dengannya, telah beberapa tetes air mata dan peluh buat
negara kami tumpahkan di atasnya. Inilah Attire One kami:
Seragam Garuda. Jas berkelir biru tua dilengkapi aksesori
heroik: logo garuda di atas latar merah putih menempel
di dada, peneng nama dan provinsi asal. Jas ini dipertegas
dengan kemeja putih bersih, peci beludru hitam dengan badge
garuda emas tersemat mengilat di ujungnya, serta sehelai dasi
merah marun membebat leher. Bawahannya adalah pantalon
biru senada, kaus kaki gelap, dan si Hitam, yang aku semir
lagi sampai mendapat kilapnya yang terbaik. Seragam Garuda
sekarang telah siap. Begitu badanku dibungkus Seragam Garuda ini, aku merasa
397 spiritku membumbung tinggi seperti burung garuda, aku bukan
lagi Alif pribadi, tapi aku adalah manusia untuk kepentingan
kolektif, aku merasa menjelma menjadi serdadu bangsa, anak
bangsa, Pemuda Garuda. "Wow" wow"." seru Franc melihat aku mematut diri
di depan kaca. Dia selalu terkagum-kagum setiap kami anak
Indonesia mengenakan seragam "sakral" ini. Teman-teman
Kanada tidak punya seragam grup, bahkan sehelai kaus pun
tidak. Tapi hari ini dia tidak mau ketinggalan, Franc dengan
penuh semangat memakai kemeja batik Yogya pemberianku.
Bersama Ferdinand dan Mado kami sampai di puncak
Mont Laura ketika matahari telah naik setinggi penggalahan.
Mata kami dengan leluasa bisa melihat ke kaki bukit, tempat
Saint-Raymond tampak seperti rumah-rumahan monopoli
yang bersalut salju. Kota mungil semakin indah dipandang
dari ketinggian karena dipeluk oleh Sungai Sainte-Anne yang
meliuk-liuk melingkarinya.
Berkali-kali aku membetulkan syal untuk menahan angin
gunung yang bertiup dingin. Mengikuti tips Franc supaya tidak
gemetaran kedinginan, aku berjalan hilir mudik dengan cepat
dan langkah panjang-panjang. Gerakan badan yang konsisten
rupanya menaikkan panas badan. Karena itulah bule-bule
berjalan selalu lebih cepat dibanding dengan orang Indonesia
yang mungkin terbiasa berjalan santai sambil menikmati alam
dan semilir angin tropis.
Embusan angin gunung ini dengan mudah aku lupakan
begitu melihat kanan temanku telah berkumpul dibalut Seragam Garuda. Lihatlah kami bertujuh, para Pemuda Garuda.
398 Gagah dan cantik dibalut jas biru berlogo lambang negara.
Peci-peci hitam kami kontras dengan suasana puncak Mont
Laura yang putih dan beku. Angin gunung berdesir-desir
menerpa wajah kami, tapi tak seorang pun mengeluh kedinginan. Mungkin karena kami merasa hati kami hangat oleh
semangat Hari Pahlawan. "Ayo, Rusdi, sudah saatnya," kataku begitu melihat walikota sudah datang, menggenapi hadirin yang sudah berbondong-bondong sampai lebih dulu. Di antara tamu yang
kami undang adalah para homologue kami, orangtua angkat,
teman-teman kami di kantor, beberapa guru dan murid "cole
Secondaire Louis-Jobin, serta aparat polisi dan wakil dari
pemadam kebakaran yang diundang khusus oleh Rusdi dan
Rob. Rusdi melangkah tegap ke depan. Derap langkahnya di atas
es terdengar mantap. Mukanya penuh wibawa. Pin garuda di
ujung pecinya berkilauan dijilat sinar matahari. Yang paling
mentereng adalah kacamata hitam besar yang baru dibelinya
di Montreal. Dia kini bagai Bung Karno gadungan. Sejak di
Kanada dia kerap memakainya, katanya karena matanya silau
oleh putihnya salju. Yang jelas, Rusdi versi hari ini berbeda
sekali dengan Rusdi yang aneh dan suka berpantun yang aku
kenal pertama kali di Cibubur. Kini, dengan beberapa teriakan
lantang dia mengatur kami berbaris rapi.
Masing-masing sudah tahu tugasnya. Aku dengan lantang
membaca kata per kata Preambul UUD 45 dan Pancasila. Bulu
kudukku berdiri merasakan sensasi ganjil karena membaca
UUD 45 dan Pancasila di negara asing, di lingkungan asing,
399 di atas bukit bersalju. Ada rasa bangga yang menggelora,
tapi juga menerbitkan beberapa pertanyaan. Ketika berbicara
tentang kemerdekaan, apakah negaraku selama ini sudah
merdeka hakiki, ketika bicara kesejahteraan, apakah rakyat
sudah sejahtera, ketika bicara hak asasi, apakah sudah tegak di
bumi pertiwi" Suaraku yang parau terdengar melantun-lantun
di puncak Mont Laura ini. Suasana begitu hening, hanya
ditingkahi oleh suitan angin dan kelepakan kertas yang aku
pegang. "Pengibaran Sang Saka Merah Putih, diiringi oleh lagu
Indonesia Raya!" teriak Rusdi yang merangkap pembaca
susunan acara. Suaranya yang parau dan lantang bagai merajai
tempat ini, menekan segala bunyi lain yang ada. Dina dan
Ketut segera maju ke dekat tiang dan membentangkan bendera
siap untuk dikerek. Bersamaan dengan itu, Raisa dengan pipi
merah jambu, tampil ke depan dengan anggun, mengayunkan
jemarinya yang dibalut sarung tangan putih, mengambil nada
dan mengajak kami menyanyikan Indonesia Raya.
Pelan-pelan tangan Dina dan Ketut mulai menarik tali
bendera, melepaskan Sang Merah Putih berkibar lepas. Raisa
pun telah menganggukkan kepala mengomandoi kami mulai
bernyanyi. Tangannya telah mengapung di udara. Tapi entah
Keris Pusaka Sang Megatantra 9 A Little White Lie Karya Titish Ak Pahlawan Harapan 1

Cari Blog Ini