Ceritasilat Novel Online

For Better Or Worse 4

For Better Or Worse Karya Christina Juzwar Bagian 4


Mata Ernest berbinar-binar. Beneran, Mami" Nggak harus nunggu Minggu"
Nggak usah, Kak. Yuk, buruan! sahutku tanpa menatap wajahnya. Aku menghindarinya karena mataku yang terus terasa panas siap menumpahkan air mata. Aku mengambil boneka milik Emilia dan menjejalkannya ke dalam tas. Pikiranku bertambah keruh. Aku melihat ke sana kemari, memikirkan apa lagi yang harus aku bawa.
t . c Setelah packing secepat kilat, aku menaruh seluruhnya di dalam mobil. Sekarang tinggal menggiring anak-anak untuk masuk. Untung mereka sudah selesai mandi, lebih tepatnya Emilia yang baru selesai mandi. Aku meninggalkan pesan dan sejumlah uang kepada Mbak Nani.
Mbak Nani, kami mau menginap di rumah Bu Jeni. Tolong jaga rumah, ya.
Bapak gimana, Bu" Aku terdiam. Lalu, aku berkata tanpa menatap wajah Mbak Nani yang kebingungan, Bilang saja yang sebenarnya.
Bu" Panggil Mbak Nani lagi. Aku yang sudah di dalam mobil, membuka kaca lebar-lebar. Hati-hati, ya, Bu.
Wajah Mbak Nani terlihat prihatin. Aku yakin dia bisa merasakan ada yang tak beres denganku. Aku tersenyum kecut sembari mengangguk, kemudian bergegas membawa pergi mobilku menjauh dari rumah yang sudah tidak mendapat tempat di hatiku.
Mobil city car pink milikku menyusuri sebuah perumahan dengan perlahan. Di dalam mobil suasana sedikit sepi karena Emilia tertidur setelah setengah jalan sebelumnya dia terus menerus mengoceh serta bernyanyi tiada henti. Begitu aku menghentikan mobilku tepat di depan rumah berpagar putih, aku menekan klakson dua kali dan Kak Jeni keluar dari rumah.
Saking kuatnya ikatan batin kami, Kak Jeni pun sudah merasakan ada yang tidak beres. Raut wajahnya tegang dan gelisah, terutama ketika melihat kedatanganku yang tiba-tiba bersama anak-anak dan begitu banyak tas.
Tepat saat mobil berhenti, Emilia langsung terbangun dan segera berlari ke dalam setelah menyadari bahwa dirinya sudah berada di rumah tantenya. Dia berteriak begitu melihat
t . c tante kesayangannya. Tante Jeniii! Emili datang! Pelukkk!
Kak Jeni memeluknya erat. Halo, Sayang! Waduh kamu tambah besar aja! Bisa encok, nih, Tante gendong kamu! Kak Jeni menggendongnya dan menciuminya bertubi-tubi. Emilia tertawa kegelian sambil nemplok bak koala. Setelah puas menciumi Emilia, Kak Jeni menggandeng tangan Ernest dan mereka masuk ke dalam. Emilia dan Ernest berebutan cerita kepada tante yang funky dan gaul itu. Aku menyusul di belakang mereka.
Anak-anakku memang akrab dan sangat dekat dengan tante mereka karena sering menginap di sini. Apalagi, Kak Jeni memelihara banyak hewan yang disukai anak-anak, seperti ikan, burung, dan kura-kura. Tak hanya itu, halaman di belakang rumah Kak Jeni juga cukup luas sehingga mereka bisa bermain sepuasnya dibandingkan dengan rumah kami yang mungil. Sifat Kak Jeni yang hangat dan penyayang membuat siapa pun yang berada di dekatnya bisa merasa betah.
Mbak Isah, asisten Kak Jeni, menurunkan tas-tas dan menaruhnya di kamar tamu yang selalu disediakan oleh Kak Jeni ketika aku atau anak-anak datang menginap. Jeinita dan Jessie langsung mengajak Emilia dan Ernest ke belakang untuk memberi makan ikan.
Aku sedikit bersyukur mereka mau bermain dengan sepupu mereka. Dengan begitu, aku bisa sendirian. Aku duduk bersila di ranjang berukuran king size dan termenung di sana. Tanganku sibuk memijat pelipisku yang berdenyutdenyut.
Pemandangan di kedai kopi itu terus menghantuiku. Mataku panas, tetapi aku tidak bisa menumpahkan air mataku pada saat aku begitu ingin menangis. Tak lama kemudian, pintu kamar diketuk dari luar. Kak Jeni muncul dari balik pintu.
t . c Anak-anak" tanyaku. Kak Jeni duduk di sebelahku. Lagi di kolam ikan. Tuh, suaranya, kan, kedengaran. Nggak usah dipikirin dulu, ada Jessie dan Jeinita yang jagain.
Aku mengangguk. Kak Jeni meneliti wajahku sebelum akhirnya bertanya, Ada yang mau kamu ceritain, Jul"
Kupandangi wajah lembut kakakku satu-satunya. Aku senang bisa ada di sini, Kak.
Dia mengambil bantal dan memeluknya. Aku juga. Rumah jadi ramai. Kak Markus, kan, lagi ke Jerman selama beberapa minggu. Rumah jadi lebih ramai kalau ada kamu dan anak-anak.
Aku tertawa kecil. Jessie dan Jeinita nggak kurang ramai apa"
Kak Jeni memukul bantal yang dipeluknya. Duh, July ... kamu kayak nggak pernah remaja aja. Mereka sudah sibuk di kamarnya masing-masing. Pura-pura budek. Mamanya ditinggalin aja sendirian. Mereka mana mau peduli. Sudah keasyikan dengan dunia mereka sendiri.
Aku membuang muka ke arah jendela. Di kejauhan terlihat langit yang berwarna abu-abu. Aku teringat kembali dengan kejadian tadi pagi menjelang siang. Hatiku juga jadi kelabu. Beberapa kali aku menghela napas seakan aku kehabisan oksigen.
Jul" panggil Kak Jeni lagi karena aku tak kunjung bicara.
Aku menoleh. Tatapanku yang kosong pastilah yang membuat kening Kak Jeni mengernyit. Kepalaku menunduk menatap jari-jari yang menghiasi tangan yang kurus kering. Jari kurus seperti tengkorak itu perlahan aku pijat, juga telapak tanganku yang sepertinya sekarang tak lagi berdaging.
Jul" Aku mendengar suara Kak Jeni lagi. Ngomong,
t . c dong .... Aku tahu kamu pasti lagi ada masalah. Setidaknya, keluarin biar kamu lega. Tangannya membelai pundak dan punggungku.
Aku memberanikan diri menatap Kak Jeni dengan mataku yang berkaca-kaca. Genangan yang sudah berkumpul di ujung mataku akhirnya tumpah juga. Aku lihat Martin ... sedang berduaan sama perempuan.
Mata Kak Jeni meloncat keluar. Kamu serius, Jul" Mereka berada di kedai kopi ..., suaraku terdengar datar dan menggantung. Satu per satu air mataku mulai turun di pipi. ... dan mereka ... terlihat sangat mesra ....
Wajah Kak Jeni berubah prihatin. Duduknya bergeser hingga tepat berada di sampingku dan perlahan mulai memijat bahuku lembut. Kakak nggak nyangka .... I m so sorry, Jul. Kamu yakin" Mungkin ... mereka hanya meeting kerjaan atau ....
Di sela tangis aku tertawa dengan miris dan kering. Aku lihat mereka tertawa, Kak, dan mereka begitu dekat ... akrab .... Aku nggak mungkin salah lihat! Aku lihat tangan perempuan itu ... megang-megang Martin .... Suaraku melambat dan tersendat, sedangkan tanganku sibuk menghapus air mata di pipi.
Setelah sekian lama, baru kali ini aku lihat Martin tertawa begitu lebar. Padahal, di rumah ... dia nggak pernah tertawa dan selalu marah-marah .... Kerongkonganku tercekat. Ada biji kedondong yang menyumbatnya. Wajahku sekarang memerah. Kemudian, air mataku keluar begitu deras hingga aku tersedu-sedu. Bahuku berguncang tanpa bisa kuhentikan.
Kak Jeni mendekapku. Napasku masih tersengal-sengal akibat tangis dan rasa sakit yang begitu hebat.
Tubuhku jadi lemas. Kak Jeni menyuruhku tiduran. Aku meluruskan kakiku, sedangkan mataku menatap langit-langit kamar. Dadaku masih terasa sesak dan napasku terengaht . c engah. Air mataku turun lagi. Aku berguling ke kanan dan membuat tubuhku bergelung seperti posisi janin di dalam rahim. Kak Jeni tidak beranjak dari sisiku. Dia terus menemaniku hingga air mataku habis dan aku tertidur karena kelelahan menangis.
Mamiii .... Suara kecil yang menggemaskan berbisik di telingaku. Suaranya terdengar lirih. Dia memanggilku apa" Mami" Sejak kapan aku punya anak bersuara seperti peri atau malaikat" Ah, aku pasti bermimpi.
Mamiii .... Bangunnn ....
Hmmm, kedengarannya seperti nyata. Aku menggerakkan kepalaku, lalu meringis. Duh, kepalaku langsung berdenyut kencang begitu aku menggesernya. Mataku terus terpejam karena kelopak mataku masih terlalu berat untuk kubuka.
Mamiii ... Emili udah mau bobok. Mami, kok, nggak bangun-bangun, sihhh ....
Setelah itu, aku mendengar suara yang lebih berat, Jangan ganggu Mami dulu .... Mami lagi nggak enak badan, Emili. Yuk, bobok di kamar Kak Jessie ....
Suara peri itu menghilang. Aku paksakan diri untuk membuka mata. Kamar remang-remang, tetapi suara pintu yang baru saja tertutup menunjukkan tanda-tanda ada seseorang yang keluar dari kamar. Sepertinya, aku tidak bermimpi. Berarti tadi memang ada Emilia yang masuk kemari dan berbisik di telingaku. Setelah itu, aku melihat gerakan sekelebat di dalam kamar. Perlahan aku bangun, lalu duduk di pinggir ranjang. Lampu kecil dinyalakan. Nggak lanjut tidur aja, Jul"
Rupanya ada Kak Jeni. Aku mengusap wajahku. Kemudian, menggerakkan leherku yang terasa kaku.
t . c Terdengar bunyi gemeretak ketika memiringkannya. Jam berapa" Suaraku terdengar serak. Jam delapan.
Malam" Kak Jeni tertawa kecil. Iya. Masa jam delapan pagi" Aku masih terduduk di pinggir ranjang ketika Kak Jeni menyodorkanku segelas air putih. Aku menyambar dan meneguknya sampai habis. Aku juga mengucek-ngucek mataku.
Sana, cuci muka dulu. Mata kamu udah bengkak kayak ikan mas koki.
Dengan terseok-seok aku pergi ke kamar mandi. Aku membasuh wajahku hingga berkali-kali. Ketika aku melihat ke cermin, bentuknya masih sama, bengkak dan mataku jadi sipit. Sebelum keluar, aku membasuhnya sekali lagi. Kak Jeni masih menungguku.
Tadi Emili, ya, yang bangunin aku" He-eh.
Mereka belum tidur" Baru akan tidur. Mereka tidur di kamar Jessie. Jessie nggak keberatan"
Nggaklah. They will be okay. Kakak-kakaknya pasti bisa ngelonin mereka. Kamu tenangin diri aja dulu di sini.
Aku mengangguk. Kemudian, aku mengecek ponselku yang aku matikan sedari siang. Ada dua SMS yang masuk. Keduanya dari Paula. None of them from Martin. Yeah, you bet.
Mungkin dia belum pulang atau bisa jadi dia tidak akan pulang dan tidak sadar bahwa kami sudah tidak berada di rumah. Lagi pula, untuk apa dia menghubungiku" Dia pasti sedang berasyik-masyuk dengan kekasih barunya. Hatiku teriris jika memikirkan itu.
Dadaku langsung terasa sakit lagi. Aku segera
t . c mengalihkan perhatianku dengan bertanya kepada Kak Jeni, Kak, bisa tolong kerokin aku" Badanku nggak enak banget.
Tentu saja. Kak Jeni keluar memanggil Mbak Isah, yang kemudian datang membawakan minyak kayu putih, balsam, dan uang logam. Kami sama-sama tak banyak bicara ketika Kak Jeni dengan tekun mengerok diriku.
Merah banget, Jul! Kak Jeni nyeletuk. Kamu lagi sakit, ya"
Dari kemarin malam memang udah nggak enak badan, sahutku sambil meringis.
Kak Jeni menyelesaikannya, kemudian membalur punggungku dengan minyak kayu putih. Tubuhku terasa lebih ringan daripada sebelumnya.
Makan dulu, ya. Aku menolak. Nggak, ah. Nggak lapar.
Lapar nggak lapar, ya, harus makan, Jul. Perut kamu jangan sampai kosong. Nggak usah nyari penyakit. Aku bersikeras. Nggak, ah, Kak.
Dasar keras kepala, gerutu Kak Jeni. Dia keluar dari kamar. Tak lama berselang dia kembali dengan membawa segelas susu. Minum ini. I don t take no, katanya tegas.
Akhirnya, aku menerimanya dan meneguk susu itu sedikit demi sedikit.
Sudah ada telepon" tanya Kak Jeni perlahan. Dia menunggu sampai aku menghabiskan susu hingga tandas. Aku menggeleng samar.
Yang sabar, ya. Tenangin diri dulu. Besok kita bicarakan lagi kalau kamu mau dengan pikiran dan hati yang lebih tenang.
Mana bisa tenang setelah aku melihat bukti nyata begitu! celetukku ketus dan langsung menyesalinya. Tak seharusnya aku ketus terhadap Kak Jeni. Jadi, aku memilih
t . c diam karena kemarahan masih bersarang di hatiku. Kemarahan yang bisa meluap kapan saja dan mengenai siapa saja yang berada di dekatku.
Sepertinya, Kak Jeni cukup mengerti. Kita bicarakan besok, ya, Jul. Sekarang yang terpenting adalah istirahat. Lagian, kamu juga lagi sakit. Sebentar Kakak ambilin obat untuk kamu, kata Kak Jeni dengan sabar.
Sepeninggal Kak Jeni, aku malah merenungi sosoknya. Aku salut dan takjub melihat Kak Jeni yang merespons masalahku dengan baik. Dia tidak marah-marah dan tampak sabar. Kalau aku menjadi dirinya, aku tidak akan tega melihat adikku diperlakukan semena-mena. Mungkin Martin akan kulabrak detik itu juga.
Aku mengubur wajahku dengan kedua tangan. Ini seperti mimpi dan aku seperti takut bangun. Suamiku sudah selingkuh. Martin sudah mengkhianati pernikahan kami.
Jauh di lubuk hati, aku ingin meyakini bahwa aku salah dan ini hanya mimpi buruk. Kalau aku bangun, semua akan kembali seperti semula. Sayangnya, aku tak perlu bangun karena aku tidak tidur. Inilah kenyataan yang sesungguhnya.
Sampai pukul 12.00 malam, aku masih belum bisa tidur dan hanya bisa berguling-guling di ranjang. Aku mendengar ponselku bergetar. Di layarnya tertulis nama ... Martin. Telapak tanganku seketika dingin, seakan aku sedang menggenggam balok es. Aku menunggunya sampai berhenti bergetar, lalu mematikannya. Aku terlalu sakit hati untuk mendengar suaranya dan terlalu kecewa untuk mencari jalan keluar atas segala masalah ini.[]
t . c eesokan harinya, Kak Jeni berbaik hati mengantarkan kedua buah hatiku ke sekolah. Tadinya aku sempat menolak dan ngotot untuk tetap mengantar mereka sendiri, tetapi Kak Jeni lebih ngotot. Dia mengambil kunci mobil yang ada di genggaman tanganku, menaruhnya di meja, kemudian mendorong tubuhku dengan lembut masuk ke dalam kamar. Kamu yakin, Kak"
Ngomong apa, sih, kamu" Sudah, kamu istirahat saja dulu. Jangan khawatir soal anak-anak. Nanti aku juga yang jemput. Kamu nggak apa-apa, kan, sendiri di sini"
Aku menggeleng sambil menyunggingkan sedikit senyum agar Kak Jeni tidak terlalu khawatir. Dia menatapku dengan saksama. Aku kenal arti tatapan itu.
Tenang aja, Kak, aku nggak bakal berbuat macammacam.
Atau, mikir macam-macam. Kak Jeni mengangkat telunjuknya. Setelah itu, dia melangkah maju dan mengecup pipiku.
Yang kuat, ya. Diiringi keriuhan anak-anakku dan anak-anak Kak Jeni, mobil berderu pergi.
t . c Setelah mereka pergi, aku duduk sendirian di ruang keluarga. Kebetulan sekali, suaminya Kak Jeni, Markus, sedang ada pekerjaan ke luar negeri. Jadi, aku bisa lebih leluasa di rumah ini. Aku mengambil majalah yang tergeletak di bawah meja kecil dan membacanya sekilas saja. Sulit buatku untuk berkonsentrasi. Baru membuka beberapa lembar, aku sudah menaruhnya lagi. Aku memutuskan pergi ke kolam ikan yang teduh dan duduk di sana. Namun, hanya bertahan sebentar karena udara mulai terasa panas. Aku pun bergegas masuk sampai langkahku terhenti oleh Mbak Isah. Bu, ada yang cari Ibu.
Perasaan cemas tiba-tiba menyergapku. Sekelebat di benakku muncul wajah seseorang yang kemungkinannya paling besar akan mencariku di sini. Benar saja. Sosok yang paling ingin aku hindari, sekarang muncul di hadapanku.
July" Martin tampak menyusul di belakang Mbak Isah. Dengan amat sadar diri, Mbak Isah lekas masuk ke dapur dan meninggalkan kami berdua saja.
Aku mundur beberapa langkah guna menjaga jarak dengan Martin. Aneh sekali, saat ini aku sama sekali tak ingin berada dekat-dekat dengan suamiku sendiri. Kedua tanganku yang berada di samping badan mengepal kuat. Mau apa kamu kemari"
Martin tertawa kebingungan. Mau apa" Ya, cari kamu dan anak-anak. Mbak Nani bilang kamu ada di rumah Kak Jeni. Aku telepon kamu kemarin tidak diangkat sama sekali.
Cari aku" Cari anak-anak" Kamu yakin" Memangnya kamu masih butuh kami"
Keningnya berkerut. Maksud kamu apa" Kok, ngomongnya begitu"
Aku dan anak-anak di sini dulu. Nggak tahu sampai
t . c kapan. Martin bertolak pinggang. Raut wajahnya bingung bercampur marah. Dia menggelengkan kepala. Kok, nggak ngomong dulu" Kenapa tiba-tiba" Kamu kenapa, sih"
Pertanyaan Martin dijawab oleh air mata yang tiba-tiba meleleh dengan sendirinya di pipiku. Buru-buru aku menghapusnya. Keterlaluan! Air mata ini susah banget komprominya! Aku tidak mau menangis, aku tidak boleh! Aku harus kuat menghadapi ini!
Kamu membuat aku bingung, Jul. Sudahlah, jangan aneh-aneh. Ayo, pulang.
Aku tertawa hambar. Hatiku nelangsa. Dia bingung" Aku aneh" Ha! Perpaduan yang menarik, bukan" Dia masih beruntung hanya bingung. Sementara aku" Aku tidak hanya bingung, tidak hanya aneh, tetapi sakit, kecewa, marah, dan sedih!!!
Tanganku bersidekap di depan dada. Aku membiarkan air mataku turun terus karena sudah tidak mungkin aku cegah. Aku menatapnya dari balik tirai air mataku.
Bingung" Kamu bingung, Tin" Kemudian, aku tertawa miris. Sekarang coba jelasin ke aku karena aku juga bingung dan kecewa dengan apa yang kamu lakukan di kedai kopi kemarin siang. Bersama perempuan itu.
Martin terkejut. Raut wajahnya seketika berubah. Rasanya aku bisa melihat wajahnya sekarang berubah menjadi semerah tomat. Andai saja aku punya tomat segerobak, pasti aku akan dengan senang hati membuatnya semakin merah dengan melemparkan seluruh tomat ke wajah yang munafik itu.
Dia terlihat menelan ludah dengan gelisah. Sikap dinginnya mulai mencair berganti dengan kecemasan. Jul .... Aku ... bisa jelaskan ....
Jelaskan apa" Apa, Tin" Kalau aku mesti maklum dengan yang aku lihat itu" Oh! Atau, kamu akan menyuruh
t . c aku diam karena aku nggak ngerti, nggak akan pernah ngerti, begitu"
Ini bukan seperti yang kamu sangka ..., Martin mulai kehilangan suaranya. Mukanya memelas, tetapi aku tidak. Rasanya aku tidak pernah sedingin ini dengan orang lain, apalagi orang yang begitu dekat dengan diriku selama hampir sepuluh tahun.
Pulanglah, Tin. Kami akan baik-baik saja tanpa kamu. Seperti kamu yang pasti juga akan baik-baik saja tanpa kami, sahutku dingin.
Jangan berbicara seperti itu, Jul.
Aku tertawa kering. Oh, begitu, ya" Jadi, aku harus berbicara seperti apa" Oh, nggak apa-apa, Tin, bawa saja perempuan kamu itu masuk ke dalam rumah kita dan kita semua akan bahagia . Begitu"
Martin berusaha membela diri meskipun tidak semantap sebelumnya. Aku kerja dengannya. Proyek yang aku bilang itu, aku kerjakan bersamanya ....
Tawaku meledak semakin keras bersamaan dengan tanganku yang sibuk menghapus air mata di pipi. Oh, begitu, ya, caramu kerja" Dengan bermesraan seperti itu" Sementara tangannya menggerayangi badan kamu?"" aku berteriak. Emosiku sudah tak bisa dibendung.
Dulu kamu pernah menuduhku sudah mengkhianati kamu dan mengorbankan pernikahan kita sewaktu aku kerja dengan Vincent. Kamu ingat itu" Look who s talking now. Kamu menelan ludah kamu sendiri!!!
Martin mendekatiku, mencoba membujukku. Jul, please ....
Buat apa kamu mohon sama aku" LAKI-LAKI BERENGSEK! Pulang saja sana! Aku nggak mau lihat kamu lagi! teriakku dengan sangat kencang sampai tenggorokanku terasa sakit.
Martin terperenyak mendengar ucapanku. Tubuhnya
t . c membeku. Tanpa menoleh lagi, aku meninggalkannya serta mengurung diriku di kamar. Beberapa saat setelah terduduk lemas di ranjang, aku masih tidak percaya bahwa aku sudah seberani dan selantang itu kepada Martin. Aku merasa seperti bukan diriku sendiri.
Aku merebahkan tubuhku di ranjang, memandang langitlangit kamar dan teringat cerita Kak Jeni kemarin malam. Ernest sempat curhat kepadanya. Kata Ernest, aku berubah, sudah tidak seperti Mami yang dulu, yang baik, sabar, dan suka tertawa.
Suka marah-marah, jelas Ernest. Mami juga suka bengong dan jarang sama-sama aku lagi.
Semalam aku terdiam begitu Kak Jeni menyampaikan isi hati Ernest kepadaku. Hatiku semakin terisi penuh oleh rasa bersalah.
Kamu biasanya sabar dan hampir tidak pernah marah, terutama ke Ernest dan Emili, kata Kak Jeni. Aku tidak membantah karena Ernest sepenuhnya benar. Aku berubah karena hati dan pikiranku sudah terisi begitu banyak rasa marah dan kecewa.
Aku bangun untuk mencari tahu apakah Martin sudah pulang atau masih bertahan dengan cara mengintip melalui jendela kamar. Aku melihat pemandangan baru.
Di dekat mobil berwarna silver itu Martin sedang berbincang dengan Kak Jeni. Aku mengawasinya dengan jantung berdebar. Tidak terlihat emosi yang meluap-luap dari pembicaraan yang berlangsung di antara keduanya, tetapi aku menangkap raut wajah keduanya sangat serius. Sayang, aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.
Aku memperhatikan keduanya bergantian. Kak Jeni tidak terlihat emosi walaupun gerakan mulutnya sangat tegas. Sementara itu, Martin terlihat agak risau dan ... ah! Aku menjauhi jendela. Aku tidak sudi melihatnya. Sudah cukup aku menatap dan memakinya hari ini. Sekarang aku hanya
t . c tinggal menunggu Kak Jeni mendatangiku.
Benar saja. Begitu aku mendengar mobil Martin menderu pergi, tak lama, kemudian gagang pintu kamar bergerak dua kali, menyusul ketukan pelan. Jul" Ini Kakak. Buka pintunya.
Aku membuka kuncinya. Berbeda dengan yang aku lihat tadi sewaktu dirinya berbicara dengan Martin, saat ini wajah Kak Jeni penuh kekhawatiran. Kamu nggak apa-apa"
Aku memijat tengkukku yang sangat berat dan tidak menjawab pertanyaannya. Kakak ngomong apa sama dia" Dia ngomong apa ke kamu" Kak Jeni bertanya balik. Nggak bisa ngomong apa-apa. Tidak berkutik. Tentu saja dia membantah. Dia hanya bilang itu rekan kerjanya. Kak Jeni menghela napas. Lalu, kamu bilang apa" Aku bilang berengsek dan mengusirnya.
Kak Jeni hampir tersedak ludahnya sendiri. Kamu bilang apa"
Kakak dengar, kan, aku memakinya, lalu aku usir dia pergi dan aku nggak mau lihat mukanya lagi.
Dan, dia nggak marah" tanya Kak Jeni masih sedikit takjub dan kaget.
Memangnya dia berhak marah" Dia memang salah, kok. Dia memang berengsek, ketusku. Terus, tadi dia ngomong apa sama Kakak"
Dia mau jelasin ke kamu semuanya. Dia, sih, nggak membantah. Tapi, dia bilang sangat menyesal.
Aku mendengus. Aku mengusap wajahku yang polos dan pucat. Menyesal" Yakin" Menyesal karena ketahuan" Kalau nggak ketahuan, nggak akan nyesal, kan"
Martin bilang dia menyesal karena sudah .... Kak Jeni mengangkat bahunya. Kamu tahulah ....
Sudah terlambat, Kak. Kak Jeni terdiam. Kakak bawa makanan, tuh. Makan
t . c dulu, yuk. Baru saja aku hendak menolaknya ketika Kak Jeni berkata lagi, Aku nggak mau dengar kamu bilang nggak. Pokoknya, kamu harus makan. Kamu pilih, mau makan sendiri atau disuapi seperti anak kecil.
Dengan pasrah akhirnya aku membuntuti Kak Jeni ke ruang makan. Kami sama-sama terdiam. Bubur ayam yang lezat ini sangat sulit untuk aku telan. Aku memaksakan tiga sampai empat suap guna menenangkan hati Kak Jeni. Namun, sumpah, semua makanan yang masuk ke dalam mulutku ini tidak ada rasanya sama sekali. Aku menatap bubur yang mulai mencair itu dan tiba-tiba saja air mataku keluar. Aku menelengkupkan kepalaku di meja, lalu menangis sesenggukan.
July .... Kak Jeni membelai rambut serta punggungku. Bahuku naik-turun. Aku menangis hingga kehabisan napas dan mau tak mau aku mengangkat kepala, serta mengusap wajah yang sudah belepotan dengan air mata.
Aku ke kamar dulu. Sori, buburnya nggak aku habisin. Nggak apa-apa. Kak Jeni memaklumiku.
Aku menuju kamar tidur dan kembali meringkuk di ranjang. Pada saat seperti ini yang aku inginkan adalah adanya mesin waktu, yang bisa membawaku melompat beberapa tahun ke depan sehingga aku tidak perlu merasakan sakit yang teramat sangat ini.
Sekali lagi aku merepotkan Kak Jeni dengan menitipkan anak-anak kepadanya. Aku harus keluar rumah. Aku harus melakukan hal lain daripada menangis serta berbaring terus di atas ranjang karena semua akan terasa sia-sia. Kak Jeni tidak bertanya apa-apa selain berkata, Go. But please, just don t do anything stupid.
Seperti apa" t . c Balas dendam dengan Martin. Balas dendam dengan diri sendiri atau meniru tingkah laku Martin yang tidak terpuji, ujar Kak Jeni setengah menyindir sekaligus mengandung sejuta makna.
Haha. Aku tertawa garing. Aku nggak sedepresi itu kali, Kak. Lagian, mana ada, sih, laki-laki yang mau sama perempuan yang sudah punya dua anak" sahutku merendah.
Banyak. Apalagi perempuannya cantik kayak kamu. Sayang aja muka kamu lagi bengkak karena kebanyakan menangis, goda Kak Jeni sambil menuangkan air ke dalam botol untuk dia bawa nanti menjemput anak-anak serta keponakannya. Pergilah, Jul. Kamu butuh refreshing.
Aku pergi dengan tujuan yang tidak pasti. Aku tidak tahu ke manakah aku akan pergi. Pokoknya, pergi. Keluar dari rumah. Aku harus membersihkan pikiranku, sekaligus mencari ide apa yang harus aku lakukan untuk hidupku ke depannya.
Hidup" Hidup apa" Aku menarik napas yang terasa berat. Hidupku sudah hancur berantakan. Aku tidak bekerja, dua anak yang masih kecil-kecil, dan suami yang selingkuh. Kurang merana apa hidupku"
Aku membawa mobilku menembus jalanan yang cukup lancar sampai melintasi sebuah mal. Spontan aku membelokkan mobilku ke dalam. Setelah mengambil karcis, aku melirik ke jam yang terletak di dasbor mobil. Baru pukul 10.00 pagi. Tepat waktu jam buka mal. Tempat parkir pun masih kosong melompong.
Aku keluar dari mobil dan masuk ke mal. Dingin yang menyergap membuatku menyadari bahwa aku hanya memakai celana pendek dan kaus. Rambutku yang panjang hanya aku ikat asal membentuk kucir kuda. Kakiku hanya mengenakan sandal wedges sederhana berwarna putih. Aku memeluk diriku sendiri serta berjalan tanpa tujuan yang pasti.
t . c Setelah naik lewat eskalator tiga lantai, lalu turun lagi tiga lantai tanpa hasil yang berarti, aku berlabuh di sebuah salon yang juga masih sepi pengunjung. Aku sering datang ke salon yang harganya cukup terjangkau ini. Sekarang aku mau creambath. Karena sepi, dengan cepat aku dilayani. Enak sekali. Rasanya aku bisa dipijat berjam-jam. Aku memejamkan mataku serta menikmati tekanan lembut di seluruh kepala dan juga pundakku. Juga ketika kepalaku diguyur air hangat bergantian dengan air dingin, terasa nikmat. Rambutku yang tadinya lepek jadi jauh lebih ringan.
Begitu aku keluar dari salon, mal sudah lebih ramai. Aku tidak punya tujuan lain, hingga berlabuh dan duduk di foodcourt yang sepi.
What a nice surprise ....
Semula aku tidak sadar bahwa suara itu ditujukan kepadaku sampai sebuah bayangan menutupiku serta suara tadi terdengar lebih dekat, tepatnya di sampingku. Can I join you"
Aku pun mengangkat wajah dan sosok Vincent sudah berdiri dengan senyum lebar.
Hai ..., sahutku agak terkejut. Aku sungguh tidak menyangka bisa melihatnya di sini, di dalam mal. Vincent memakai pakaian kerja yang rapi. Namun, di pundaknya tersampir tas olahraga yang lumayan besar. Dia tidak jauh berbeda dari yang aku lihat kali terakhir.
Senang melihat kamu lagi, Jul, ujar Vincent dengan nada suara yang terdengar tulus. Vincent sudah duduk di depanku setelah aku mengizinkannya untuk duduk bersamaku.
Senang bertemu lagi sama kamu, Vin. Apa kabar" Baik. Masih nge-gym. Tapi, sekarang lagi semangat pagi. Kalau sore, sudah keburu malas.
Aku tersenyum, teringat dengan kebiasaannya untuk pergi ke gym sore hingga malam hari ketika aku masih
t . c menjadi sekretarisnya. Bagaimana dengan kamu"
Aku mengangkat bahuku malas-malasan. Masih sama seperti dulu.
Aku baru menyadari bahwa Vincent sedang menatapku. Lekat seperti hendak mengorek isi hatiku. Merasa jengah ditatap seperti itu, aku membuang muka, pura-pura asyik memperhatikan kios-kios makanan beraneka ragam.
Kamu yakin" Nada suara Vincent sepertinya tidak percaya.
Aku menahan napas. Duh, jangan lagi, dong ... bisikku dalam hati. Lantas, aku memberikan senyum kepada Vincent agar dia mengerti bahwa aku baik-baik saja, dalam arti aku tidak mau diganggu ataupun ditanya macam-macam. I m fine, Vin.
Vincent terdiam. Dia masih memandangiku dengan raut wajahnya yang lebih serius. You don t look so good, Jul. Nggak apa-apa. I m okay.
Wajah kamu mengatakan berbeda, July, Vincent berkata tajam. Seketika aku terdiam. Tentu saja. Vincent tidak bodoh. Dia pasti sudah menafsirkan bahwa aku sedang ada masalah, apalagi dengan masalahku yang dulu dan aku juga melupakan wajahku yang sedang bengkak seperti ikan mas koki.
Aku menggelengkan kepala dan cepat-cepat berdiri. Vin ..., sudahlah. Nggak usah urusin masalahku. Aku pergi dulu.
Akan tetapi, Vincent menarik tanganku cukup kuat sehingga mau tak mau tubuhku berputar lagi ke hadapannya. Setidaknya, kamu bisa cerita sama aku ... sebagai temanmu, July.
Mulutku terkatup rapat. Aku hampir menumpahkan isi hatiku kepadanya ketika akal sehatku kembali bekerja. Sekali sentakan, aku menarik kembali tanganku. Terima kasih atas
t . c tawarannya, tetapi aku rasa nggak perlu.
Dengan cepat aku pergi meninggalkan Vincent sebelum aku ... tergoda untuk mencurahkan isi hatiku kepadanya atau bahkan tergoda kepadanya. Ternyata, peringatan Kak Jeni tepat sekali. Jangan-jangan Kak Jeni cenayang yang bisa membaca masa depan. Aku bergegas kembali ke mobil ketika lagi-lagi aku mendengar suara Vincent.
July. Aku menoleh dengan cepat begitu namaku dipanggil. Aku langsung marah. Are you stalking me?""
Mendengar nada suaraku yang galak serta penuh kemarahan ternyata tidak membuat Vincent jadi menciut. Dia malah mendekatiku dengan tenang. Nope. I m not. Itu mobilku. Kamu pasti kenal. Mobil kita parkir berdekatan.
Bolak-balik aku memandangi mobil Vincent dan pemiliknya. Aku jadi merasa tidak enak sudah menuduhnya yang bukan-bukan. Sori ..., aku pulang dulu.
Jul, please" I hate to see you like this .... Kamu bisa cerita sama aku. Sekali lagi Vincent menarik tanganku. Namun, kali ini bukan lenganku yang dia tangkap, melainkan telapak tangan yang dia genggam dengan lembut.
Lepasin, Vin ..., aku berkata perlahan. Aku menggerakkan tanganku untuk menariknya, tetapi genggaman tangan Vincent terlalu erat dan aku jadi tidak berdaya.
Not until you tell me what happened to you. Suara Vincent terdengar tegas.
Dadaku jadi sesak. Dengan sekuat tenaga dan kemarahan yang masih terkumpul di dalam hati aku berhasil mengentakkan tanganku hingga tangan Vincent terlepas. Nggak ada apa-apa! Aku cuma lagi sial karena menangkap basah suami yang selingkuh!
Apa" Vincent berdesis dengan mata menyipit. Aku kaget sendiri. Tanpa kusadari aku sudah
t . c menjelaskan semuanya kepada Vincent. Just ... leave me alone! seruku dengan keras, lalu menangis setelah itu. Dengan kalut aku mencari kunci mobilku di dalam tas. Entah konspirasi apa yang sedang terjadi, kunci itu seperti terkubur di dasar tas dan sulit sekali ditemukan. Begitu aku menemukannya, Vincent malah menarik kunci mobilku.
Vincent! Balikin! Aku mencoba meraihnya. Namun, tangan Vincent yang panjang teracung ke atas membuatku sulit untuk menjangkaunya.
Balikin! Berengsek! Aku mengentakkan kakiku layaknya anak kecil. Mata Vincent sedikit melebar begitu mendengarku mengumpat. Ya, ya, silakan pada kaget. Seluruh dunia harus tahu dan kaget bahwa July, si perempuan baik-baik, lemah lembut, dan penuh senyum ini ternyata bisa mengumpat. Aku tidak peduli, toh, nyatanya aku yang hidupnya lurus-lurus saja tetap saja diselingkuhi.
Rasa lelah dan sedih yang tiba-tiba menyergap, membuat sedetik kemudian kemarahanku menguap. Kepalaku lunglai ke bawah. Aku menunduk dan menutup wajah dengan kedua tanganku. Aku menangis entah untuk kali kesekian ratus. Aku pun tidak menolak ketika Vincent memelukku erat, yang membuat tangisku semakin deras.[]
t . c amu ngapain, Jul?""
Kak Jeni mengaum. Rumah ini langsung bergaung memantulkan gema suaranya. Jessie, Jeinita, Emilia, dan Ernest yang sedang asyik bermain di ruang belakang bahkan sampai menoleh mendengar suara teriakan Kak Jeni. Pisau yang hendak dia pakai untuk mengoles roti terhenti di udara. Dia tidak jadi mengoleskan roti tersebut dengan selai.
Kurang kencang, Kak. Sekalian aja kasih tahu mereka semua. Aku menggerakkan dagu ke arah anak-anak dengan sinis. Kak Jeni membalasnya dengan mencibir serta ngedumel panjang lebar.
Aku jadi sedikit menyesal sudah menceritakan kejadian tadi pagi kepadanya bahwa aku bertemu dengan Vincent, serta curhat kepadanya.
Kakak sudah bilang apa tadi pagi" Pasti nggak didengerin, ya" Capek, deh, ngomong panjang lebar begitu. Kuping, tuh, dipake! Kamu bisa khilaf, Julyyy ..., seru Kak Jeni dengan gemas. Aku mendelik. Siapa juga yang nggak dengerin" Kalau aku sampai nggak dengerin Kak Jeni, aku pasti sudah kawin lari sama Vincent!
Khilaf apanya" Orang nggak terjadi apa-apa. Tenang,
t . c dong, Kak. Kami hanya bicara aja. Kakak aja, nih, yang pikirannya macam-macam. Aku gantian ngomel.
Eh, siapa tahu dia memanfaatkan kesepian dan kesedihan kamu dengan perlahan masuk ke dalam kehidupan kamu. Get it"
Aku berdecak kesal. Dahulu ketika Vincent mendekatiku di kantor juga aku sudah sadar betul soal itu. Saat ini aku memang lagi marah, kecewa, dan sedih karena mendapati Martin selingkuh, tetapi aku masih sadar sepenuhnya. Persoalan cinta dan hubungan asmara tak terlintas di kepalaku, terlalu rumit dan bikin sakit. Banyak hal penting lainnya untuk dipikirkan, misalnya soal anak-anak.
Pokoknya, Kak Jeni tenang saja. Hubunganku dengan Vincent sebatas teman aja. Terserah seperti apa perasaannya, yang penting aku nggak akan tergoda. Titik.
Kak Jeni memandangku seolah tidak percaya dengan perkataanku. Dia baru saja hendak meneruskan perdebatan kami ketika bunyi ponsel berdering begitu keras. Aku pun merogoh tasku.
Begitu melihat siapa yang menelepon, aku menaruh ponsel begitu saja di meja dan membiarkannya berdering hingga berhenti.
Martin, ya" tanya Kak Jeni penuh selidik. Tangannya sibuk mengoleskan selai ke roti, tetapi matanya tak lepas dariku. Aku mengangguk malas.
Tadi dia juga nelepon kemari, lanjut Kak Jeni. Rasanya kuping dan tandukku naik begitu mendengar Kak Jeni bertutur sangat santai. Dia ngomong apa, Kak" Kok, Kakak nggak kasih tahu aku"
Nanyain kamu, nanyain anak-anak. Katanya, dia kangen sama anak-anak.
Aku tertawa sinis. Kangen" Please, deh! Ke mana aja dia dari kemarin-kemarin"
Dia bilang mau kemari. Hari ini.
t . c Tawaku menghilang dari wajahku begitu cepat. Aku menatap Kak Jeni sangat tajam. Terus Kakak ngizinin"
Tatapan Kak Jeni menyiratkan do-you-need-to-askabout-that" Bibirnya melengkung ke bawah. Bagaimanapun, dia, kan, papinya anak-anak, July Bernadeth. Mereka sudah lima hari nggak ketemu. Papinya anak-anak yang selingkuh ..., imbuhku sinis. July .... Kak Jeni memperingatkanku.
Mereka bermesraan, Kak! seruku sangat jengkel. Sumpah, kalau aku membayangkannya sekali lagi, aku bakal muntah di tempat! Benar, membayangkannya membuatku mual. Dan, sekarang bisa-bisanya dia bilang kangen" Kemarin-kemarin dia ngapain aja" Pernah ngerasa kangen dan butuh" Kami ditelantarin, Kak! Seenaknya aja!
Kak Jeni menghela napas. Kakak tahu Martin salah. Tapi, Kakak rasa kalian harus mulai berbicara. Berdua saja. Udah sering! Nggak ada gunanya.
Cobalah bicara sekali lagi.
Soal apa lagi" Untuk mengatakan kepadanya bahwa apa yang dia lakukan itu salah" Atau, oh, aku yang salah, seperti biasa" Benteng di hatiku terbangun semakin tinggi.
Kak July sudah selesai mengoleskan semua selai di roti dan menumpuknya dengan rapi. Kalian menikah, kan, bukan baru kemarin, July. Setidaknya, bicarakan daripada diamdiaman seperti anak kecil musuhan. Keluarkan isi hati kalian satu sama lain. Komunikasikan keinginan satu sama lain. Kalau perlu marah-marah dan bentak-bentak, silakan, asal masalah selesai. Jangan kayak begini. Diam-diaman dan nggak mau mendengarkan.
Jadi, sekarang Kakak belain Martin" Aku cemberut dan keki setengah mati. Kemarahanku mulai menggelegak lagi. Kalau Kakak belain dia, so I m in a wrong side. No, I m not on his side. Selingkuh itu salah, dosa.
t . c Martin sudah jahat sama kamu, July. Melukai hati kamu dan memorak-porandakan keluarga. Tapi, apakah kamu mau hidup kamu menggantung seperti ini terus" Mau" Nasib kamu dan anak-anak luntang-lantung begini"
Dengan sedikit enggan aku mengakui Kak Jeni benar. Aku menggeleng.
Nah! Jadi, bicaralah, Jul. Terserah hasilnya seperti apa nanti. Yang penting bicarakan dulu.
Mulutku sudah terbuka untuk membantah, tetapi tatapan Kak Jeni yang tajam seperti mau bilang, don t you dare to talk back! membuatku kembali mengatupkan mulut. Sudahlah. Percuma aku meneruskan debat ini. Lebih baik aku menurut saja.
Lima hari sudah berlalu sejak fakta itu terungkap dan Martin masih gigih meneleponku. Aku tetap tak menghiraukannya. SMS dari Martin datang bertubi-tubi, tetapi tak satu pun kubalas. Isinya segala macam, mulai meminta maaf, mengatakan bahwa dirinya kangen diriku, kangen anak-anak, dan meminta kami untuk kembali ke rumah. Bukannya membuatku luluh, aku jadi semakin naik darah.
Bayangan Martin dengan perempuan itu membuatku hampir gila. Kata maaf sepertinya belum tercetak di hatiku. Entah untuk sementara atau untuk selamanya.
Tepat pada pukul 5.00 sore Martin benar-benar datang ke rumah Kak Jeni. Senyumnya begitu lebar saat menggendong Emilia yang berteriak girang menyambut papinya.
Papi, kok, udah lama nggak kelihatan" Emili, kan, kangen ....
Papi sibuk, Sayang .... Papi juga kangen sama Emili. Ugh, aku mau muntah mendengarnya.
Main sama Emili, ya! t . c Martin mencium pipi gembul Emilia. Oke, deh! Bentar, ya, Papi ngomong sama Kakak dulu.
Martin menoleh ke Ernest yang sedari tadi diam saja memperhatikan mereka berdua. Dia menurunkan Emilia dan mendekati Ernest. Dia jongkok di depannya. Aku mengawasi keduanya diam-diam. Pembicaraan mereka tidak bisa kudengar karena terlalu pelan.
Ernest membuatku waswas. Anak itu sadar bahwa di keluarganya sedang ada masalah. Dia pernah melihat aku bertengkar dengan papinya, juga menyaksikan papinya mengeluarkan kemarahannya kepadanya atau adiknya tanpa alasan yang jelas. Jauh berbeda dengan Emilia yang memang belum mengerti apa-apa.
Martin memegang pundak Ernest serta mengusap punggungnya. Raut wajah keduanya begitu serius, seolah yang aku lihat adalah pembicaraan antara dua orang dewasa. Gerakan mulut Ernest yang terus-menerus membuatku tahu bahwa dia sedang mengeluarkan isi hatinya kepada Martin. Sepertinya, emosi Ernest juga sedang meluap karena Ernest sampai tersengal-sengal. Martin juga terlihat terus menganggukkan kepalanya.


For Better Or Worse Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu, aku terkesiap ketika melihat jari Martin menghapus air mata yang sudah mengalir di pipi Ernest. Aku memejamkan mataku karena tidak sanggup melihat Ernest menangis.
Tawa Emilia membuatku membuka mata. Pembicaraan di antara Ernest dan papinya berakhir dengan masuknya Emilia di tengah-tengah mereka yang membuat keduanya tertawa. Sepertinya, masalah yang mengganjal antara Ernest dan papinya sudah selesai. Aku pun bisa meninggalkan mereka dengan tenang dan kembali mengurung diri di kamar.
Aku menunggu cukup lama dengan kesabaran yang mulai menipis sampai aku mendengar ketukan pintu. Pasti Kak Jeni yang mau mengabarkan bahwa Martin hendak pulang. Pintu
t . c yang tadinya terkunci aku bentangkan lebar. Mataku pun ikutan melebar melihatnya.
July .... Aku mendengus. Sudah ketemu anak-anak, kan" Pulang saja. Tanganku spontan bergerak ingin menutup pintu kembali, tetapi tangan Martin menahannya.
Jul, please .... Dengarkan aku ....
Kami bertatapan satu sama lain dalam konteks yang berbeda. Mata Martin mengisyaratkan permohonan maaf, sedangkan mataku penuh kemarahan yang tak mau memberikan celah maaf sedikit pun.
Sejenak aku menyadari sesuatu dan memperhatikannya. Martin terlihat lebih kurus padahal baru lima hari tidak bertemu. Apakah kejadian ini begitu memengaruhi dirinya" Aku mengencangkan rahangku. Baguslah kalau dia memang sadar bahwa apa yang diperbuatnya sudah membuat keluarganya sendiri jadi berantakan dan hidup semua orang jadi sengsara, termasuk dirinya!
Aku memberanikan diri melihat ke matanya langsung. Sinar matanya meredup, seolah dia tidak punya gairah hidup lagi
Jul, sampai kapan pun aku akan terus memohon kepada kamu. Aku akan terus berusaha mendapatkan maaf dari kamu ....
Mataku menatapnya kosong. Wajahnya seperti menjelma menjadi layar besar yang membentangkan momen-momen dalam hidup kami silih berganti. Semuanya berputar ulang, mulai dari pacaran hingga dua orang malaikat kecil mengisinya. Napasku mulai terasa sesak. Aku memejamkan mataku untuk menghilangkan bayangan itu dari wajah Martin.
Jul, kamu berhak marah sama aku. Marahlah, Jul! Aku benar-benar khilaf ... aku bodoh!
Ketika aku tersadar bahwa Martin sudah berjalan
t . c mendekatiku, refleks aku mundur beberapa langkah menghindarinya. Namun, Martin berhasil menangkap tanganku serta menarikku mendekati dirinya.
Lepasin! Tamengku yang begitu kuat melapisi diriku bernama kemarahan dan kecewa membuatku sanggup mendorongnya dengan keras hingga tangannya terlepas.
Martin terus memohon kepadaku. Babe ... please .... Kamu harus tahu aku sangat, sangat menyesal.
So that s it" Setelah semua yang kamu lakukan telah menyakitiku dan anak-anak, kamu merasa menyesal dan meminta maaf saja cukup, begitu menurutmu" potongku tajam.
Jul, aku memang sudah melakukan kesalahan yang sangat besar .... Aku sadar apa yang aku lakukan salah dan aku sudah menyakiti kalian .... Aku sangat minta maaf, sungguh ....
Baru sekarang kamu minta maaf" Baru sekarang kamu sadar, ha?"" Omong kosong! Dulu kamu telantarin kami! Kamu nggak peduli, cuek! Kamu nggak anggap anak kamu! Nggak anggap istri kamu! Mestinya kamu mikir dulu sebelum pamer pacar baru!
July .... Pergi sana! Pergi!!!! Aku berteriak kalap. Aku memberanikan diri maju dan memukulnya bertubi-tubi dan tak henti menghunjam dadanya. Martin membiarkannya saja. Dia terdiam kaku berdiri di depanku serta menerima pukulan yang terus menyerang dadanya dengan pasrah.
Kamu jahat! Kamu tega! Sialan! Berengsek! Berengsek kamu, Martin!!! Kamu benar-benar keterlaluan!!!
Aku terus memaki dan memukul. Aku melampiaskan semuanya, mengeluarkan kekecewaan yang hampir menjadi batu sampai aku kelelahan dan berhenti, lalu menangis. Itu adalah tangis yang paling keras dan paling memilukan yang pernah aku rasakan.
t . c Tubuhku terhuyung dan malah jatuh ke pelukan Martin. Dia mendekap tubuhku erat, sangat erat hingga seluruh tubuhnya ikut terguncang oleh tangisanku yang tersedu-sedu.
Maafin aku, Jul ... maafin aku ... maafin aku ... maafin aku .... Suara Martin serak. Dia juga ikut menangis di telingaku. Aku tidak bisa berkata apa-apa selain meratapi hidupku yang seperti bunga layu, dengan kelopak yang berguguran satu per satu.[]
t . c ku masuk ke kamar Jessie yang remang-remang. Emilia dan Ernest sudah sama-sama terbaring di ranjang berukuran queen dengan nyaman. Pendingin udara di dalam kamar membuatku menggigil. Aku berjingkat di karpet berwarna ungu, warna kesukaan Jessie. Perlahan aku menghampiri ranjang.
Aku harus sedikit lincah karena menghindari berbagai benda yang berserakan di atas kasur. Hhh ... berantakan sekali. Ada buku, krayon, mainan, hingga majalah. Sampaisampai tanpa sengaja aku menginjak sebuah karyon yang lalu berderak patah.
Begitu sampai di pinggir ranjang, aku berjongkok. Keduanya terlihat begitu pulas. Aku membetulkan bed cover yang acak-acakan dan menutupi tubuh keduanya hingga bahu. Setelah itu, aku mengecup kening masing-masing dan berdiri untuk mengambil remote AC serta menaikkan suhunya agar tidak terlalu dingin.
Mami" Suara Ernest terdengar.
Aku menoleh kaget. Aku melepaskan gagang pintu yang sudah aku genggam dan berjingkat mendekati ranjang kembali. Aku duduk di bawah dengan dagu bertumpu pada kasur.
t . c Kok, nggak tidur" bisikku perlahan. Udah, kok. Tapi, bangun waktu Mami masuk. Aku meringis penuh sesal. Sori, ya. Padahal, Mami udah pelan-pelan.
Ernest menggeleng. Nggak apa-apa. Sebenarnya, Mami nggak berisik, kok.
Aku mengelus rambutnya. Mau tidur sama Mami" Ernest sedikit ragu, tetapi dia lekas menggeleng. Nanti nggak ada yang nemenin Emili.
Aku terharu. Di tengah kehidupan keluarga kami yang tercerai-berai seperti ini Ernest tak kehilangan hatinya yang emas. Spontan aku memajukan wajah untuk bisa mengecup hidung mungilnya yang mancung. Aku mengusapnya dengan telunjukku sambil menghela napas sekaligus tersenyum pilu. Hidung Martin, begitulah aku menyebutnya setiap kali aku melihat hidung anak sulungku ini. Saking miripnya, semua orang, termasuk aku mengatakan bahwa Ernest adalah jelmaan kecil dari Martin. Hampir seluruh wajah Martin diambil oleh Ernest, bentuk mata, bibir, hidung serta dagunya, sedangkan wajah Emilia mengambil rupa wajahku.
Mami mau tidur di sini" bisik Ernest menyadarkanku dari lamunan.
Aku menggeleng. Nggak, ah. Entar Mami jatuh. Nggak muat.
Kami terkikik geli. Lalu, senyum di bibir Ernest memudar. Dia menatapku penuh rasa ingin tahu. Mami, kenapa, sih, Papi nggak tinggal sama kita"
Bibirku yang tadinya melengkung ke atas perlahan membentuk garis lurus. Aku terdiam menatap mata kecil yang penuh rasa ingin tahu itu. Sebelum aku bisa menjawabnya, Ernest sudah bertanya kembali, Mami dan Papi udah nggak sayang lagi, ya" Makanya, nggak satu rumah lagi ....
t . c Aku mengusap kening, kemudian rambutnya dan menatapnya dengan sendu. Masih sayang, kok, Kak. Sayang itu nggak pernah bisa hilang meskipun kita udah berusaha untuk menghapusnya. Tapi, Mami dan Papi sedang ada masalah yang harus diberesin. Untuk sementara, lebih baik berpisah dulu ....
Masalahnya itu akan bisa selesai, nggak" Aduh, ini anak kritis banget, sih.
Doakan bisa selesai, ya, Kak.
Ernest menunduk dengan sedih. Wajahnya terlihat murung. Jadi, nggak pasti selesai, dong ....
Aku mengecup keningnya, lalu menatap langsung ke matanya. Pasti selesai. Oke"
Emilia bergerak, memutar tubuhnya ke arah tembok. Dengkuran halus yang perlahan terdengar menandakan bahwa dia masih tertidur dengan nyenyak. Aku pun mengusap kepala Ernest. Tidur, ya. Besok, kan, sekolah.
Ernest mengangguk dan menarik bed cover hingga menutupi dadanya. Aku sudah berdiri ketika Ernest berbisik memanggilku kembali. Mamiii ....
Kenapa, Kak" Mami marah sama Papi" Papi bilang Mami lagi marah banget sama Papi ....
Aku tersenyum kecil. Boleh nggak kalau Mami marah" Boleh, sih, tapi jangan lama-lama .... Papi, kan, udah minta maaf ....
Aku tersenyum. Dunia anak kecil adalah dunia yang sederhana. Kesalahan dibayar dengan permintaan maaf maka selesailah sudah. Oke, deh, sahutku pendek. Kalau aku, boleh nggak marah sama Papi" Aku tertegun, teringat dengan pembicaraan antara Ernest dan papinya tadi siang. Aku tak bisa mendengarnya, tetapi saat itu raut wajah Ernest memang tampak berbeda. Kakak
t . c marah sama Papi" Sekarang udah nggak. Habis, Papi udah minta maaf dan bilang Papi sayang banget sama aku, Emili, dan Mami. Terus, Papi bilang apa lagi" Aku jadi penasaran. Ernest berpikir sejenak sebelum berbisik kembali. Papi juga bilang kalau Papi salah dan sudah bikin Mami sedih. Ini soal yang Papi marah-marah waktu itu, ya"
Aku memilih untuk tidak menjawab dan mengajukan pertanyaan lain. Jadi, Kakak udah maafin Papi"
Udah. Habisnya, masa kita marah lama-lama sama orang yang kita sayangi. Kayak aku, nggak bisa marah lamalama sama Emili walaupun dia nakal atau ke Mami juga. Orang, kan, nggak ada yang sempurna. Ya, kan, Mami"
Aku tertegun dan tidak memercayai pendengaranku. Jika Tuhan memasang rahangku dengan mur, pasti saat ini rahangku sudah copot dan berserakan di lantai.
Tadi ... Kakak ngomong apa" Aku mencoba menyakinkan diriku lagi bahwa aku tidak benar-benar tuli.
Maksudku, setiap orang, kan, pasti punya salah, nggak benar terus.
Sekarang aku terpana. Mataku juga tak berkedip. Bagaimana ucapannya bisa begitu dewasa, sih" He is only eight!
Mami, kok, ngelihatin aku kayak gitu" tanya Ernest polos. Aku menggeleng dan menyeringai. Nggak ... habis Mami kagum sama kata-kata Kakak ....
Emang kenapa kata-kataku, Mam" Salah, ya" Ernest bertanya sambil menguap lebar.
Aku menggelengkan kepala. Bukannya salah. Mami baru sadar kakak ternyata udah besar. Kakak pintar banget. Ernest terlihat bangga. Iya, dong ....
Mami bangga sama Kakak. Ernest tersenyum lebar. Benar, Mam"
t . c Aku mengangguk penuh haru. Benar, dong. Sekarang bobok, ya.
Oke. Setelah keluar dari kamar, aku masih saja memikirkan kata-kata yang diucapkan oleh Ernest. Aku bahkan masih melamun setiba di ruang makan. Kelakuanku yang bengong begitu membuat Kak Jeni yang sedang mengupas buah di ruang makan menegurku, Jul ....
Ha" Kak Jeni menghentikan gerakan memotongnya. Kok, ngelamun" Kamu nggak apa-apa, kan"
Oh, nggak, kok. Udah pada bobok, kan"
He-em. Aku menjawab Kak Jeni seadanya. Di benakku masih terbayang Ernest yang sedang mengucapkan kata-katanya yang yahud .... Salah. Bukan yahud, melainkan super itu.
Kak Jeni berhenti memotong-motong buah yang sudah terkupas. Jul"
Suara Kak Jeni kembali memecah lamunanku. Aku menoleh. Ya"
Kamu mikirin apa, sih" Sampai bengong begitu" Aku menggeleng dengan tak pasti. Nggak ada .... Kalau kamu ngomongnya nggak ada, biasanya selalu ada yang dipikirin.
Aku mencibir. Sok tahu, ih!
Eh, aku, tuh, bukannya sok tahu, tapi aku hafal kebiasaan kamu itu. Oh, ya, kamu belum cerita ke Kakak soal pertemuan kamu dengan Martin tadi sore.
Benar juga. Saat Martin datang, Kak Jeni juga sedang keluar untuk bertemu klien asuransinya. Lalu, sedari tadi kami sama-sama disibukkan oleh anak masing-masing hingga tak punya waktu untuk bicara.
t . c Jadi" Lagi-lagi Kak Jeni membuyarkan lamunanku. Aku membuang napas sembari mencomot jeruk sunkiest yang sudah dipotong oleh Kak Jeni. Aku sesap air jeruk sebelum memakannya habis, lalu membuang kulitnya. Jadi ..., tidak ada apa-apa.
Kak Jeni melirikku tajam. Apa maksud kamu nggak ada apa-apa"
Maksudku ... aku hanya bisa ... marah, ngomel-ngomel, dan nangis. Dia juga nangis. That s it.
Tadi siang aku dan Martin memang tidak berkesempatan untuk berbicara dari hati ke hati secara verbal. Aku dan Martin hanya berbicara melalui air mata. Ketika dia siap untuk mengatakan sesuatu, aku keburu memintanya pergi. Sejenak Martin sempat bertahan karena banyak yang ingin dia ucapkan.
Akan tetapi, aku tetap bersikukuh untuk tetap memintanya pergi. Martin pun menyerah dengan menuruti permintaanku dan akhirnya pulang dengan lesu. Aku menatap kepergiannya dari jendela kamar.
Begitulah pertemuan sore itu berakhir. Tanpa menyelesaikan apa-apa. Sekarang, saat merenungi masalah ini kembali, hati dan pikiran jadi makin mumet.
Kak .... Hm" Sedikit banyak, aku meragukan pertimbanganku ini. Karena itu, aku ingin minta pendapat Kak Jeni. Apakah aku bisa mempertimbangkan untuk ... cerai"
Reaksi Kak Jeni betul-betul berlebihan. Dia sampai terbatuk-batuk mendengar perkataanku dan hampir memuntahkan jeruk yang sedang dikunyahnya. Matanya melotot lebar hingga seperti mau menelanku bulat-bulat. Kamu serius"
Aku mengangkat bahu. Aku sempat memikirkannya, tapi aku, kok, ngerasa ragu ....
t . c Kak Jeni menggelengkan kepala, lalu meneguk air putih untuk menenangkan dirinya.
Lalu, apa yang membuat kamu jadi ragu"
Benakku bak pertunjukan bioskop. Di dalam teater yang gelap itu aku menonton sendiri seperti apa hidupku dan seperti apa sosok Martin yang aku kenal selama ini, hingga kemesraan yang dia pamerkan dengan teman perempuannya itu.
Aku mengenal Martin dari salah satu teman kantorku, yang tanpa sengaja mencomblangiku. Pada saat itu aku baru putus dari Vincent dan tidak begitu berniat untuk mencari pacar karena berpisah dari Vincent adalah keputusan yang paling berat yang pernah aku ambil. Rasanya masih saja membekas dan susah untuk hilang.
Hingga pada suatu hari aku harus lembur karena atasanku memintaku untuk tinggal, sedangkan dia mengadakan meeting di kantor. Sebagai sekretarisnya, tentu saja aku harus tinggal. Aku baru angkat kaki dari kantor pukul 8.00 malam. Jodi, salah satu korban yang harus ikut lembur meeting mengajakku pulang bersama.
Tentu saja aku mau. Kalau sudah pulang agak malam, terkadang aku malas menggunakan taksi, apalagi bus. Ajakan Jodi jadi kesempatan yang tak bisa aku lewatkan. Sementara buat Jodi, lembur sudah menjadi makanan sehariharinya sebagai seorang finance manager di perusahaan tempatku bekerja.
Temenin aku makan dulu, ya. Lapar, nih! Kirain udah kenyang ngelihatin duit, selorohku. Jodi meringis. Yang ada enek, Jul! Lha, duit bukan duitku!
Aku tertawa. Tapi, traktir, ya. Siiip, deh!
t . c Aku sudah mengenal Jodi cukup lama karena dia salah seorang teman Kak Jeni. Dia juga yang berjasa memasukkanku ke perusahaan ini setelah aku lulus kuliah. Aku menganggapnya seperti kakakku sendiri. Meskipun kerjanya selalu di bawah tekanan karena mengurus keuangan perusahaan, tetapi dia menjadi contoh karyawan yang patut ditiru, tidak membawa stres pekerjaan ke dalam dirinya sendiri. Malah selama aku mengenalnya, aku tidak pernah melihatnya bete atau suntuk atau badmood karena tekanan serta tumpukan pekerjaan.
Jadi, gimana" Udah ketemu yang baru" Apa" Kerjaan"
Jodi kebingungan. Bukan! Kok, kerjaan" Emangnya kamu mau keluar"
Gantian sekarang aku yang nyengir lebar. Hehehe, nggak, kok. Kalau yang kamu maksud pacar, belum. Cari, dong!
Aku mendelik. Nyari pacar, tuh, bukan kayak nyari tukang bakso, kali.
Ponsel Jodi berdering. Dia segera mengangkatnya serta berbicara untuk beberapa saat. Setelah menutupnya, tiba-tiba dia menjentikkan jari dengan semangat. Matanya juga melebar serta menatapku penuh arti. Sepertinya, dia mendapatkan sebuah ide yang hebat.
Aku mau jodohin kamu! Ck. Standar amat, sih, idenya. Aku memutar bola mataku. Ini bukan zamannya Siti Nurbaya, Jodi! Namanya Martin. Jomlo, mapan, dan tampan. Ih, kedengerannya kamu, deh, yang naksir dia. Jodi memberikanku tatapan yang kejam. Sembarangan! Aku masih suka yang namanya perempuan, tahu! Aku tertawa geli.
Serius, Jul, aku rasa dia orang yang tepat untuk kamu.
t . c Aku hanya menggelengkan kepala. Kami sampai di restoran yang sedari tadi disebut-sebut oleh Jodi. Ternyata, ketika kami berdua memasuki restoran tersebut, Jodi yang berjalan di depanku menuju arah seorang laki-laki yang sudah menunggu di salah satu meja. Laki-laki itu ... tampan. Titik.
Konyolnya, aku malah menatapnya hingga tak berkedip, dari ujung kepala hingga ujung kaki dan baru tersadar ketika Jodi menjawil tanganku. Si tampan itu mengenalkan diri sebagai ... Martin.
Aku kembali melongo. Martin" Jadi, ini Martin yang tadi disebut-sebut Jodi"
Betul sekali. Dia adalah Martin yang beberapa menit lalu Jodi sebut sebagai orang yang ingin dia jodohkan kepadaku. Begitu kami bersalaman, tanganku seperti terkena setrum yang menerbangkan ribuan kupu-kupu di perutku. Saat itu juga aku tahu bahwa dia sudah menarik perhatianku atau hatiku. Ya, mungkin keduanya. Kupu-kupu yang menggeliat di perutku hingga terasa geli itu juga ikut berbisik bahwa dialah sosok yang akan mengisi hari-hariku selanjutnya.
Tanpa aku sadari hubungan kami mengalir begitu saja. Setelah malam yang penuh ketidaksengajaan itu, ada malammalam berikutnya. Kali ini hanya berdua tanpa si makcomblang Jodi. Aku mengira Martin adalah sosok yang begitu serius, ternyata tidak juga. Dia memang serius akan tujuan hidupnya. Namun, dia menjadi orang yang menyenangkan lebih daripada perkiraanku.
Perbincangan di antara kami berdua tidak pernah berakhir dengan kekakuan atau diam yang aneh. Hanya ada tawa yang mengisi tanpa henti. Aku dan dia melebur begitu saja. Hobi kami yang sama, yaitu nonton film, menjadikan kami seolah sudah saling mengenal sejak lama.
Aku semakin yakin ketika Martin mengungkapkan perasaannya bahwa dia ingin menjalin hubungan yang serius. Dia juga mengatakan bahwa dia sudah menyukaiku sejak kali
t . c pertama bertemu. Hatiku seperti disadarkan waktu bersalaman sama kamu, Jul. Aku nggak tahu, sepertinya saat itu ada yang ngebisikin hatiku bahwa aku harus selalu bersamamu .... Matanya membelaiku lembut. Aku terenyuh.
Hatiku berdegup kencang karena jadi teringat dengan apa yang aku rasakan saat itu juga. Bahwa, aku merasakan hal yang sama.
Satu tahun kemudian, Martin memegang kata-katanya. Dia mengikatku dengan pernikahan dan tidak sedikit pun aku merasa menyesal. Aku melewati sebuah pernikahan yang menyenangkan dan membahagiakan. Bagiku saat itu Martin adalah paket lengkap yang didambakan oleh setiap wanita.
Sampai saat takdir berputar. Kini aku tak yakin apakah perasaanku masih sama seperti dahulu.
Aku sungguh-sungguh merindukan masa lalu.
Julyyyy ..., kalau sekali lagi kamu melamun, Kakak kasih hadiah, nih!
Aku melirik ke Kak Jeni yang sedikit keki melihatku asyik melamun. Bibirnya yang tebal manyun hebat. Aku menyahutinya. Apa" Payung cantik"
Nggak punya payung, adanya piring.
Aku mendengus serta tertawa garing mendengar kekonyolan Kak Jeni. Kakak tadi nanya apa" Aku lupa.
Apa yang membuat kamu jadi ragu, mau cerai atau nggak"
Aku mengangkat bahu serta mengusap wajahku. Nggak tahu ... mungkin Ernest.
Alis Kak Jeni bertaut. Ernest" Memangnya dia ngapain"
Aku pun bercerita apa yang anak lelakiku katakan
t . c barusan kepadaku. Reaksi Kak Jeni tidak jauh berbeda dariku. Dia menganga. Ernest ngomong begitu" Sumpah, Jul"
Sumpah sampai tujuh turunan. Jariku mengacung membentuk huruf v. Namun, tiba-tiba Kak Jeni seperti mendapatkan pencerahan. Dia tersenyum. Kakak senang Ernest berkata seperti itu.
Kenapa" Karena, July Bernadeth ... mau nggak mau kamu harus belajar dari anak berumur 8 tahun itu. Percaya atau nggak, itu adalah suara Tuhan yang berbicara melalui anak kamu, loh ....
Mataku berkedip berkali-kali memandangi Kak Jeni yang sekarang mulai memotong-motong apel. Dia sudah terlihat lebih santai, tetapi aku tidak. Perkataannya membuatku merinding.
Aku tidur dulu, Kak, kataku tiba-tiba sambil berdiri dari kursi makan.
Jul" Kak Jeni memanggilku. Aku menoleh. Ya" Pikirkan seribu kali dulu sebelum kamu memutuskan untuk bercerai. That s a big decision. Jangan sembarangan memutuskan, ya.
Aku mengangguk.[] t . c anganku menggenggam erat ponsel dan menunggu sampai nada sambung yang sedang berbunyi itu diangkat. Aku menunggu dengan gelisah dan tak sabar karena sambungan itu tak diangkat-angkat.
Halo" Akhirnya, teleponku dijawab juga olehnya. Pol" Hai, Jul. Dari mana aja lo" Suara Paula terdengar khawatir serta jengkel.
Nggak dari mana-mana, kok ....
Gue udah mulai mikir jangan-jangan lo pindah ke luar negeri, terus lupa, deh, sama kita-kita.
Gerutuan Paula membuatku tertawa. Sejak aku tinggal di rumah Kak Jeni, aku memang sengaja mengasingkan diri dari siapa pun. Jauh amat sampai ke luar negeri. Ngomongngomong, lo ada di rumah"
Ada. Ke sini, dong. Gue tunggu, ya! Nggak usah. Gue udah ada di depan.
What" Suara Paula melengking. Nenek dodol! Kenapa nggak masuk aja, sih"
Aku lekas turun dari mobil. Paula sudah menunggu sambil berkacak pinggang. Dia mengenakan pakaian senam
t . c berwarna biru muda yang serasi atasan serta bawahan. Pakaian senam itu memperlihatkan lekuk tubuh Paula yang indah akibat dipahat setiap hari dengan yoga dan pilates.
Kurang kerjaan amat, sih, lo. Ngapain pakai nelepon segala"
Gue pikir lo nggak ada di rumah. Habis, rumah lo sepi. Aku cepat-cepat beralasan sebelum Paula ngomel panjang lebar.
Yoyo, kan, lagi sekolah. Makanya sepi. Paula menjajari langkahku masuk ke dalam. Dari samping, aku bisa merasakan bahwa dia memandangiku lekat. Mau yoga"
No. Mau curhat, desahku sambil melempar tubuh ke sofa.
Oke. Gue akan selalu siap mendengarkan lo. Bagaimana rumah"
Sucks. Segitu parahnya" Aku menyilangkan kakiku. Tanpa sadar aku menggoyang-goyangkannya maju-mundur. Jelas-jelas menunjukkan kegelisahan yang sedang aku rasakan. Paula ikut merasakannya.
Are you okay" Kata-kata Paula malah membuatku tertawa. Ya, aku menertawakan hidupku yang seperti benang kusut. Hidup gue ternyata hancur banget, ya, Pol. Kok, perasaan isinya masalah melulu. Lo ngitungin nggak berapa kali gue curhat sama lo selama beberapa bulan terakhir ini" Curhatannya isinya masalaaah melulu.
Hidup itu emang harus ada masalah, July. Kalau nggak, mana seru. Hidup lo bakal terlalu lempeng, lurus, dan rata kayak dadanya Kate Hudson.
Mau tak mau aku ngakak mendengar perumpamaan ekstrem Paula. Setelah itu, aku tidak mau menunggu lama
t . c untuk segera meminta pendapat darinya. Gue mau tanya ... hm ... soal masa lalu lo. Keberatan nggak, Pol"
Wajah Paula berubah serius ketika aku menyebutkan masa lalu. Nggak, kok, Jul. Go ahead.
Bagaimana lo bisa yakin ketika mengambil keputusan untuk bercerai, Pol"
Paula hampir menjawab pertanyaanku ketika dia mengangkat tangannya dan menunjukku. Wait. Apakah ini ada hubungannya dengan lo"
Jawab dulu. Aku bersikeras.
Mata Paula menyipit, tetapi seketika dia menundukkan kepalanya dan menatap jemarinya. Karena gue tahu dia nggak bisa diharapkan lagi. Bahkan, dia nggak merasa menyesal telah melakukan ... apa pun yang sudah dia lakukan kepada gue.
Aku jadi sedikit menyesal dan merasa bersalah karena membuat Paula mengorek lagi masa lalunya yang kelam. Aku tahu Paula pasti tidak nyaman dan langsung berdampak ke diriku juga. Aku cepat-cepat meminta maaf kepadanya. Sori, ya, Pol, kalau ....
Buru-buru Paula mengangkat tangannya. Don t be. Nggak usah sungkan. Gue aja yang memang nggak akan pernah terbiasa ..., ucapannya menggantung.
Lalu, Paula melanjutkannya. Dia sadar, kok, kalau dia sudah menyakiti gue, tapi dia nggak pernah merasa bersalah dan menyesal. Jadi, kalau lo tanya kenapa gue bisa mengambil keputusan cerai dengan begitu yakin, ya, karena itu. Untuk apa gue terus bergantung dan berada bersamanya terus kalau dia sendiri selalu menjadikan gue samsak tinju tanpa merasa bersalah" Kalau sekarang gue masih sama dia, gue yakin gue nggak mungkin masih hidup.
Aku termangu mendengar cerita Paula. Sebenarnya, aku sudah tahu apa yang terjadi dengan pernikahan Paula yang penuh drama menyakitkan itu. Namun, baru kali ini aku
t . c mengetahui apa yang sesungguhnya dia rasakan dari perceraian tersebut.
Paula meluruskan kakinya. Gue tahu bahwa sedari awal sebenarnya pernikahan gue, tuh, bermasalah. Gue buta karena cinta. Setelah gue sadar dan gue lihat ke belakang, dia memang nggak pernah memperlakukan gue dengan baik. Itu adalah bibit-bibit dari KDRT yang dia lakukan. Dia nggak pernah menghargai gue. Dia selalu menganggap dirinya sempurna dan tak terbantahkan.
Aku mengangguk. Gue ngerti. Dia cuma salah satu orang gila yang kebetulan hidup di dunia ini ....
... yang apesnya, gue malah sempat kecebur dan berenang bersamanya. Paula menambahkannya dengan menirukan gerakan berenang gaya bebas. Kok, nanyanya begituan" Ada apa, sih"
Aku menyadari bahwa Paula belum tahu sama sekali mengenai apa yang terjadi antara Martin dan diriku. Namun, boro-boro menceritakannya, aku malah menangis. Loh, loh .... Jul" Kok, malah nangis"
Sebulan yang lalu, gue menangkap basah Martin lagi berduaan sama perempuan dan mereka lagi .... Aku berdeham sebentar sementara mata Paula melebar hingga hampir meloncat keluar. ... bermesraan ....
APA?"" Paula berteriak hingga suaranya bergema ke seluruh penjuru rumah.
Ssst! Spontan aku mendiamkannya.
Biarin! Nggak ada orang di rumah! serunya galak. Dia selingkuh dari lo, Jul"
Aku mengedikkan bahu. Yang gue lihat, ya, begitu. Paula masih melongo dan menggelengkan kepala. Apa yang lo lihat sebenarnya, Jul"
Aku menceritakannya dengan singkat. Mereka begitu akrab dan duduk sampai menempel. Terus, tangan
t . c perempuannya terus menggerayangi Martin, di tangan, di kaki .... Seketika aku langsung merinding dan mual membayangkannya.
Reaksi Martin" Tertawa aja. They were really like a happy couple, Pol.
Tanpa aku duga reaksi Paula meluap. Dia marah. Sialan benar laki-laki! Berengsek! Apa sih maunya mereka?"" Gue benar-benar nggak nyangka!
Paula sampai harus menenangkan dirinya sendiri dengan berjalan-jalan di sekeliling sofa. Setelah dirinya tenang, dia pun kembali duduk. Sekarang cerita. Gue mau dengar semuanya.
Aku pun bercerita kepada Paula. Detail. Lengkap. Aku mencurahkan semuanya. Reaksi Paula pun beragam. Terlihat dari raut wajahnya yang berganti-ganti dari manyun, berkerut, mendelik, menganga. Ya, Paula seekspresif itu karena dia sungguh-sungguh tidak menyangka apa yang dilakukan oleh Martin.
Setelah aku selesai bercerita, kemarahan Paula sudah menguap. Dia menunjukkan simpatinya yang lebih mendalam. Paula memelukku. Sumpah, gue maunya nggak percaya kalau semua itu terjadi kepada lo, Darl. Me too ....
I m so sorry .... Untuk sesaat kami terdiam. Sibuk dengan pikiran sendirisendiri. Tak lama kemudian, rumah Paula kedatangan tamutamu yang ternyata adalah murid kelas yoga. Paula buruburu membukakan pintu.
Gue lupa kasih tahu lo, Jul ... hari ini gue ada kelas. Yoga"
Yoga, tapi kelas khusus pengajar. Kelas untuk trainertobe, jelas Paula.
t . c Aku baru tahu bahwa Paula menerima kelas untuk menjadi guru. Gue baru dengar. Baru, ya"
Baru berjalan beberapa bulan, sih. Tempat kursus gue emang bisa ngeluarin sertifikat untuk pengajar.
Aku mengangguk. Kemudian, muncullah empat orang perempuan yang menyapaku dengan senyum hangat sebelum masuk ke dalam studio.
Lo mau nunggu sebentar" Tunggu aja, ya. Kita lanjut ngobrol lagi kalau kelas udah selesai.
Begitu Paula berdiri, tiba-tiba aku mendapatkan pencerahan. Spontan aku ikutan berdiri. Pol, can I join"
The class" Paula menunjuk ke studionya dengan raut bingung.
Aku mengangguk dengan penuh keyakinan. Bimbing gue jadi guru yoga.
Paula terkesima. Sedetik kemudian wajahnya melembut. Lo yakin"
Pertanyaan Paula membuatku semakin yakin. Sekali lagi aku mengangguk. Gue harus lakukan ini. Mungkin ini sesuatu yang bisa gue lakukan, jaga-jaga kalau gue ....
Aku tercekat, tetapi justru Paula yang meneruskannya, ... bakalan cerai"
Aku meneguk ludah. Paula mendekatiku serta memelukku. Lo sendiri belum bisa mengucapkan kata itu. Lo pasti belum yakin.
Akhirnya, aku mengakuinya. Lo benar, Pol. Gue memang belum yakin.
Lo udah bicara sama Martin"
Dengan jujur aku menggeleng. Belum dan gue nggak mau.
Paula menghela napas. Meskipun gue benci banget lo udah disakiti sama Martin, tapi lo nggak bisa diam aja seperti ini, Jul. Lo harus ngomong. Lo berdua harus menggali
t . c perasaan masing-masing. Setelah itu, baru lo bisa mengambil keputusan.
Aku memutar bola mataku. Really, Pol" Bukannya lo tadi yang nyebut dia berengsek" Kok, lo jadi satu kubu sama Kak Jeni, sih" sahutku gemas. Somehow aku merasa, kok, mereka tidak mendukungku, ya"
Paula bisa membaca pikiranku. Gue itu bukannya ngebelain Martin. Gue dukung lo, Jul. Gue tahu lo udah disakiti. Tapi, ini demi kebaikan lo dan anak-anak. Menggantung seperti ini mana enak, Jul"
Gue tahu. Aku menggerutu.
Trust me, lo nggak bakal bisa mengambil keputusan kalau lo belum bicara sepatah kata pun dengannya. Sekarang ini lo mengambil keputusan berdasarkan emosi semata, Jul. Ingat, cerai itu keputusan yang besar. Pikirin, deh, dampak ke depannya, terutama untuk lo dan anak-anak.
Iya. Aku tahu. Saking besarnya, aku sampai tidak bisa memutuskan karena hati dan pikiranku terus bergumul.
Setelah pulang dari rumah Paula, aku mendapatkan Martin sudah berada di rumah Kak Jeni. Mbak Isah yang memberitahuku ketika aku bertanya mengenai anak-anak. Lagi di dalam sama papinya, Bu.
Aku sedikit terkejut karena tidak melihat mobil terparkir di depan rumah. Yang ada malah sebuah motor yang terlihat asing terparkir di dalam garasi.
Aku menghela napas. Percuma saja menghindar. Toh, dia sudah berada di dalam dan aku juga sudah masuk. Aku segera mencari Emilia dan Ernest. Dan, betul saja. Aku menemukan mereka sedang asyik bermain di belakang dengan papinya ... dan Kak Markus. Surprise. Ternyata, Kak Markus baru saja kembali dari Jerman.
Kak Markus! Aku menyapanya.
t . c Kak Markus, yang sedang berbincang dengan Martin, segera berdiri dan menyambutku. Hai, Jul-Jul. Dia memelukku hangat.
Baru sampai" Kak Markus mengangguk. Baru aja. Kamu baik-baik aja"
Giliranku yang mengangguk.
Tapi, kamu kurusan, Jul, ujar Kak Markus pelan. Aku tersenyum simpul. Sori, ya, jadi ngerepotin Kak Jeni dan Kak Markus.
Kemudian, Kak Markus memelukku lagi sambil berbisik, Tinggallah di sini sesukamu kalau kamu butuh waktu lebih banyak untuk berpikir.
Thanks, ya, Kak. Kakak beres-beres dulu, ya. Kak Markus pamit, lalu naik.
Aku dan Martin bertatapan. Mata dan bibirnya samasama tersenyum menyapaku. Aku tersenyum singkat, kemudian bergegas memanggil anak-anak untuk mendekat.
Mami bawa apa" Suara Emilia yang lucu menggemaskan membuatku jadi tertawa. Matanya memang selalu awas dengan apa pun yang aku bawa pulang. Tuh, ada kue dari Tante Paula.
Mau! teriak Emilia spontan. Dia dan Ernest langsung berkerumun di meja makan. Potongan kue cokelat bekas kue ulang tahun Yoyo terlihat menggiurkan. Aku memberikan masing-masing potongan berukuran sedang kepada Emilia dan Ernest. Mereka langsung menyantapnya dengan lahap.
Tiba-tiba mataku menangkap sosok Martin yang duduk terdiam di sofa. Emilia duduk di sampingnya sembari menyantap kue cokelatnya. Dengan ragu aku menawarkan kepada Martin. Tin, kamu mau"
Sorot mata Martin yang semula cemas terlihat begitu
t . c lega. Senyum hangat dilemparkannya kepadaku. Boleh. Thanks, ya.


For Better Or Worse Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tante Jeni ke mana, Kak" Aku bertanya kepada Ernest yang duduk tepat di sebelahku ketika aku menyadari bahwa Kak Jeni tidak tampak di sekitar rumah.
Pergi lagi habis jemput kita semua tadi. Kak Jessie dan Kak Jeinita ada di mana" Ada di kamar.
Sudah pada mandi" Keduanya mengangguk dengan mulut yang berlepotan cokelat. Emilia segera menyahut, Aku tadi mandi sama Mbak Isah.
Aku tersenyum. Kemudian, aku meninggalkan mereka bertiga saja sementara aku pergi mandi karena sudah lengket akibat peluh sehabis yoga. Begitu selesai, aku kembali turun. Aku mendapatkan ketiganya kembali bermain di belakang. Jessie dan Jeinita sudah ikut bergabung bersama mereka. Aku mengamati mereka dari ruang makan. Mataku tidak tertuju kepada anak-anakku, tetapi kepada Martin.
Untuk seorang lelaki berumur 40 tahun, Martin jauh terlihat lebih muda daripada usianya. Aku selalu menyukai setiap sudut dari dirinya sejak pertemuan kami kali pertama atas jasa Jodi.
Hidungnya mancung, kulitnya bersih, dan matanya berwarna kecokelatan. Senyumnya juga selalu meneduhkan. Dahulu tubuhnya lebih berisi dan berbentuk dengan dada yang bidang dan lengan yang kekar karena dia rajin bermain futsal.
Sekarang fisik Martin jauh lebih kurus, terutama setelah ... aku memejamkan mataku. Garis rahangnya jadi terlihat lebih jelas. Aku selalu suka matanya yang mengecil ketika dia tertawa, terkadang juga melirikku jenaka. Atau, ketika jemarinya yang besar dan hangat menyentuh kulitku. Jul"
t . c Wajahku memerah karena malu. Bagaimana tidak" Ketika aku sedang melamunkan dirinya, Martin malah sudah berdiri di dekatku. Aku jadi salah tingkah. Sial! Buat apa aku harus memikirkannya sampai sedetail itu"
Hm" Aku mau pulang. Aku mengangguk. Oke. Martin bukannya pergi, malah duduk di sebelahku. Kapan kamu akan pulang ke rumah"
Aku bisa menangkap dengan cepat bahwa pandangan mata Martin ketika mengajukan pertanyaan itu kepadaku bukan penuh paksaan, melainkan penuh permohonan. Aku pun mengatakan yang sebenarnya. Aku nggak tahu ....
Kekecewaan sekali lagi menyelimuti matanya. Meskipun begitu, dia tetap mengangguk. Sepertinya, dia cukup paham bahwa aku masih butuh waktu. Martin pun pamit, Aku pulang dulu. Kamu take care, ya, Jul.
Martin berdiri. Aku pun ikut berdiri serta bertanya karena mendadak aku teringat sesuatu. Pulang naik apa" Aku nggak lihat ada mobil di luar ....
Martin tersenyum. Motor.
Aku termangu. Motor" Lalu, ke manakah mobilnya" Mobilnya"
Aku sudah menjualnya. Aku terdiam saking terkejutnya. Dijual" Martin menjual mobilnya" Benakku seperti kaset yang di-rewind saat Martin memintaku untuk menjual mobilku yang akhirnya tidak jadi dia lakukan. Permintaan itu menguap begitu saja. Buatku bukanlah kenangan yang menyenangkan karena aku ingat kala itu kami bertengkar hebat ketika Martin memintanya. Untuk apa"
Martin memakai jaketnya yang berwarna hitam. Untuk kamu dan anak-anak. Untuk kita. Aku tidak begitu butuh.
t . c Pakai motor, kan, bisa. Lagi pula, menghemat dan bisa menabung.
Aku kembali terpaku. Martin melambaikan tangannya dan berjalan keluar. Kata-katanya masih terngiang di telingaku. Sekarang perasaanku jadi bercampur aduk. Hatiku yang membeku perlahan menghangat mendengar penuturan Martin barusan. Namun, mengingat pengkhianatannya, sedih dan kecewa kembali meresap ke dalam hati.
So quiet as the north pole.
Aku menoleh ketika mendengar Kak Jeni berkata soal North Pole, tetapi entah ditujukan kepada siapa. Apakah Kak Jeni lagi ngomongin tentang Sinterklas" Buat apa" Natal juga masih jauh. Sementara itu, di ruangan hanya ada kami berdua.
Kakak ngomong sama siapa" Aku bertanya sambil plirak-plirik di sekeliling ruangan, takut-takut Kak Jeni sedang mengigau atau meracau.
Ya, sama kamu. Emangnya sama kursi" seru Kak Jeni sewot, tetapi mampu memancing senyumku.
Nah, gitu! Senyum! Gigi kamu itu perlu sinar matahari atau udara.
Aku tambah tertawa hingga terbahak-bahak. Terkadang Kak Jeni memang bisa sangat konyol.
Kamu diam aja dari tadi, Jul. Kak Markus udah tidur"
Kak Jeni berdecak, tambah sewot. Iya, udah tidur. Udah, deh, jangan ngalihin pembicaraan.
Aku memajukan tubuhku untuk mengambil stoples berisi kue keju. Setelah membuka tutupnya dan mengambil sebuah kue yang langsung aku kunyah, aku tersadar bahwa aku tidak begitu berselara sehingga aku menaruhnya kembali. Sebagai gantinya, aku menyeruput teh manis hangat yang
t . c masih mengepul panas yang dibuatkan oleh Kak Jeni.
Aku mendekatkan bibirku ke cangkir warna hitam itu. Rasa hangat langsung mengalir di dalam tubuhku.
Setelah menarik kakiku ke atas sofa dan memeluknya, Tadi Martin datang ....
Aku tahu. Kak Markus yang ngomong.
Aku menghela napas dan menatap layar televisi yang menayangkan kuis. Dia menjual mobilnya, Kak.
Mulut Kak Jeni membulat. Oh, ya" Jadi, dia datang naik apa"
Motor. Apakah alasannya tepat kenapa dia bisa sampai menjual mobil"
Dia bilang, dia melakukannya untuk aku dan anak-anak. Uangnya dia tabung.
Bukan untuk kepentingan yang lain"
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Sebenarnya, aku sempat terpikir akan hal itu mengingat dahulu Martin sempat ngotot ingin menjual mobilku karena ingin menjalankan bisnis. Itu juga sudah nggak jelas juntrungannya. Nggak tahulah, Kak.
Kamu bisa tanya lagi, kok, nanti waktu dia datang kemari.
Aku sudah mengambil keputusan.
Kak Jeni menoleh dengan penuh rasa ingin tahu. Suaranya terdengar waswas. Keputusan apa"
Aku harus melakukan sesuatu. Aku lagi mendalami yoga agar ilmunya bisa aku pakai untuk mengajar.
Kak Jeni mengecilkan volume televisi. Wajahnya berubah tegang. Apakah itu artinya ... kamu ....
Mengerti apa yang dimaksud Kak Jeni, aku memberikan jawabannya dengan menggeleng. Aku belum memutuskan apa pun, Kak.
t . c Ada kelegaan di wajah Kak Jeni. Baguslah. Tapi, Kakak mendukung apa pun yang mau kamu kerjakan. Ngajar yoga sepertinya cocok untuk kamu.
Aku berdiri serta memeluknya. Thanks, Kak. []
t . c ku duduk di atas matras yoga berwarna pink, yang dipilihkan Emilia untukku ketika kami membelinya di department store. Lotus pose dengan cara duduk dengan kedua kaki yang disilangkan satu sama lain ternyata tidak mampu membuatku tenang dengan pikiran yang berantakan seperti ini.
Aku membuka mata dan melihat Paula di depan melakukan hal yang sama. Bedanya, mata Paula terpejam rapat. Udara panas yang ada di luar membuat suasana di dalam ruang yoga terasa seperti sauna. Panas dan keringat sudah asyik mengucur di seluruh tubuhku. Kipas angin gantung yang tertambat di langit-langit sepertinya tidak terlalu banyak membantu.
Aku menghela napas. Aku memejamkan mataku kembali dan mencoba berkonsentrasi dengan mengatur napasku secara perlahan, tetapi tidak bisa. Aku kembali membuka mataku.
Kenapa lo nggak kasih dia kesempatan kedua" Paula perlahan membuka matanya. Dia memandangku lewat kaca besar yang terpampang di hadapannya. Apa"
t . c Dalam waktu singkat aku sudah berdiri dan duduk di sebelah Paula yang menatapku kebingungan.
Kenapa dulu lo nggak kasih dia kesempatan kedua, Pol" Aku mengulangi pertanyaan. Mataku menatap ke mata Paula sangat dalam. Paula tersenyum dan membebaskan dirinya dari posisi yoganya.
Karena .... Paula menghela napas yang panjang. Aku bisa melihat matanya yang berkaca-kaca. ... gue udah kasih dia kesempatan kedua, ketiga, keempat ... udah nggak kehitung lagi, Jul. Tapi, kesempatan-kesempatan itu nggak bikin dia berubah.
Aku tercekat mendengarnya. Paula menaruh telapak tangannya di lenganku. Gue ngerasa setiap orang mempunyai kesempatan untuk memperbaiki diri. Harus ada kesempatan lain. Tapi, sayangnya dia nggak pernah mau mengambil kesempatan itu.
Aku belum bisa berkata apa-apa. Aku mematung sekaligus berpikir.
Paula meneruskan perkataannya. Dia memang nggak mau mengubah dirinya sendiri, Jul. Dia nggak pernah berkeinginan untuk memperbaiki dirinya, sekaligus ..., Paula menekankan kata terakhirnya, dia nggak pernah merasa menyesal. Karena itu, gue mengambil keputusan untuk bercerai. Gue berhak untuk hidup nyaman dan tenang, yaitu dengan tidak bersamanya lagi. Memang terkadang mengambil keputusan yang terburuk terkadang akan membuat hidup kita lebih baik, Jul.
Aku termenung, lalu bertanya kepadanya, Menurut lo, gue harus memberikan kesempatan itu kepada Martin"
Paula mengangkat bahunya. You know him better than I do.
Aku jadi frustrasi karena aku juga sama sekali tidak tahu apa yang harus aku putuskan. Semuanya tampak abu-abu di kepalaku.
t . c Paula menepuk lenganku dan dia berdiri. Sementara itu, aku masih terdiam dalam posisi yang sama, duduk bersila di lantai kayu. Ternyata, dia hanya mengambil air minum. Paula kembali duduk di sampingku.
Kalau gue mau egois, ya, Jul, gue bakal nyuruh lo cerai karena Martin sudah bermain api. Mengkhianati lo. Dia nggak mandang lo sebagai istri yang sudah melahirkan dua anak dan sudah setia berada di sampingnya. Gue ngerti banget posisi lo. Gue sendiri marah banget, apalagi lo"
Paula melanjutkannya, Tapi ..., ada banyak hal yang harus lo pikirkan. Salah satunya anak-anak. Jika lo sampai bercerai, yang akan lebih susah menerima hal itu adalah anak-anak, bukan lo. Lo bisa menemukan pengganti lain yang mungkin bisa memperlakukan lo dengan lebih baik, tapi anak-anak" Martin akan tetap jadi Papi mereka. Coba bayangin gimana perasaan mereka kalau harus tinggal di dalam dua rumah dan melihat kenyataan kedua orangtuanya nggak akan pernah bersama lagi"
Gimana dengan Doni" tanyaku menyebut nama mantan suaminya. Paula hanya mengedikkan bahunya. Dia nggak peduli sama sekali, even to Yoyo. Mungkin dia sudah nggak menganggap kami ada lagi. So, Yoyo juga nggak merasa berat-berat amat pisah sama papanya.
Gimana kalau gue salah mengambil keputusan, Pol" tanyaku dengan putus asa.
Ikuti kata hati lo, Darl.
Ngikutin hati gue" Tiap kali gue ingat kejadian itu, hati gue langsung marah. Rasanya gue pengin teriak aja.
Paula tertawa, memperlihatkan giginya yang putih. Kalau itu, namanya emosi. Bukan hati. Makanya, harus dipikirin matang-matang. Memutuskannya, kan, nggak seperti asal milih telur di pasar. Hati lo harus tenang, begitu juga pikiran lo. Pikirkan juga segala kemungkinannya. Jadi, lo nyaranin gue untuk memaafkan dia" Untuk
t . c kembali lagi ke dia"
Well ... gue nggak bilang begitu. Gue menyarankan lo memikirkannya matang-matang. Bukan karena emosi semata. Percaya kata hati lo.
Kalau kata hati gue salah" tanyaku dengan sedikit putus asa.
Paula menyilangkan kakinya. Hati itu nggak pernah salah. Mungkin awalnya akan terlihat salah. You will feel bad about it. Tapi, semakin kamu menjalaninya, trust me, that s the best decision you ve ever made.
Spontan aku mengangguk, seperti tersihir oleh kata-kata Paula. Entah mengapa, perlahan hatiku menghangat mendengar penuturannya. Hatiku berdesir, seolah ikut menyetujui ucapan Paula.
Paula menarikku untuk berdiri. Yuk, lanjut lagi pelajarannya.
Setelah pulang dari latihan di rumah Paula, aku menjemput anak-anak di sekolah. Hari ini Kak Jeni berhalangan karena harus menemui salah seorang klien asuransinya. Emilia maupun Ernest agak terkejut melihat aku sudah menunggu di depan gerbang.
Kirain Tante Jeni yang jemput. Tante Jeni mana"
Aku mengambil tas Emilia untuk membawakannya. Hari ini Tante Jeni libur dulu. Mami yang jemput karena Mami mau ajak Kakak dan Emili makan di luar.
Horeee!!! Emilia bersorak dengan girang. Mami juga punya kejutan.
Apa itu" tanya Ernest dengan penuh minat. Mataku menyipit jenaka. Kalau dikasih tahu, nggak bakal jadi kejutan, dong!
t . c Ernest meringis menyadarinya. Dia diam saja, tetapi terlihat tidak sabar menunggu kejutan apa yang akan aku berikan kepada dia dan adiknya.
Aku mengendarai mobilku menuju restoran, yang sebenarnya menjadi kesukaan keluarga kecilku ini. Bukan restoran mewah, melainkan sebuah restoran bakmi yang sangat enak.
Sudah sampai, seruku begitu mobil sudah terparkir rapi. Emilia dan Ernest berebut keluar dari mobil mungil ini. Aku menggandeng mereka masuk ke dalam. Agak ramai sehingga aku membawa mereka naik ke lantai atas karena pasti lebih sepi. Begitu sampai di atas, dia sudah menunggu. Anak-anak juga langsung menyadari ada seseorang yang menyambutnya.
Papiii!! Emilia berseru. Dia berlari menyerbu Martin yang langsung menggendongnya. Sesaat keduanya dipenuhi canda dan tawa perbincangan singkat yang seru. Kemudian, aku merasakan tanganku digenggam oleh jemari kecil. Aku menoleh dan Ernest sedang menatapku lekat dan senyum kecil yang tersungging di bibirnya.
Jadi, ini kejutannya"
Aku tersenyum, menggerakkan daguku menyuruh Ernest untuk mendatangi papinya. Ernest berjalan ke arah Martin yang sudah berjongkok menunggunya, sementara lengan Emilia masih melingkari leher papinya.
Ernest memeluk Martin sebentar. Aku tidak bisa mendengar apa yang Martin katakan kepada mereka, tetapi Emilia dan Ernest langsung duduk di tempat yang sudah disediakan. Setelah itu, Martin mendekatiku. Ada yang berbeda dengan dirinya. Ah, aku baru sadar dia sudah memotong rambutnya. Membuat dia jadi terlihat lebih segar. Hai.
Aku mengangguk. Hai. Senang melihatmu, Babe.
t . c Mulutku mengatup rapat mendengar Martin yang spontan memanggilku dengan kata itu, Babe. Sudah lama aku tidak mendengar suara lembutnya memanggilku dengan panggilan sayang itu. Aku sedikit jengah karena situasi di antara kami berdua masih belum selesai. Namun, aku berusaha memperlihatkan suasana hati yang normal saja. Thanks, ya, sudah mau menyisihkan waktu. Nggak masalah. Mereka juga kangen sama kamu. Kamu mau makan bareng"
Aku ragu, tetapi aku menolaknya. Nggak usah, deh. Kalian bertiga aja. Have fun, ya.
Aku mohon. Aku memberanikan menatap manik mata Martin yang berada di balik lensanya. Aku menatap anak-anak bergantian dengan Martin. Gabung, ya, Jul. Aku kangen kamu.
Dadaku berdegup kencang. Hatiku bingung, memutuskan apakah aku ingin bergabung atau tidak.
Aku menggeleng. Thanks, tapi kalian saja, ya. Martin sepertinya terlihat kecewa, tetapi aku berusaha mengabaikannya dan melambaikan tangan untuk pamit, lalu segera pergi dari sana.
Jul. Aku berhenti dan menengok. Martin berjalan mendekati. Dia mengeluarkan sesuatu dari kantong celana jinnya. Ini. Apa itu"
Lihat saja. Aku membuka lipatan kertas yang disodorkan oleh Martin. Setelah melihat isinya, aku mengangguk serta tersenyum.
Kamu nggak perlu melakukan ini, tapi thanks. Aku hargai banget.
Aku ingin kamu percaya lagi ... kepadaku. Ini mengawali semuanya ....
t . c Aku mengangguk kecil, kemudian menyerahkan lipatan kertas itu lagi kepadanya, tetapi Martin menolaknya. Kamu simpan saja.
Aku menarik kembali tanganku. Aku pergi dulu. Aku jemput mereka dua jam lagi di mal. Aku menunjuk sebuah mal yang memang jaraknya sangat dekat dengan restoran tersebut.
Oke. Aku berjalan menjauhi Martin dengan hati tak keruan.
Kak Jeni masuk ke dalam kamar pada waktu yang tidak tepat, yaitu ketika aku sedang melamun menatap secarik kertas yang tidak aku lepaskan sedari tadi. Sekarang kertas itu sudah lecek. Dia pasti akan mengajukan berjuta pertanyaan melihat aku hanya diam bengong tanpa melakukan apa-apa.
Semedinya kelamaan. Semedi memang mesti lama. Kalau cuma sebentar, nggak bisa dapat ilhamnya, sahutku.
Kak Jeni tertawa ngakak. Kamu, tuh, kadang kalau ngomong suka ngasal.
Aku hanya tersenyum singkat. Mata Kak Jeni tertuju pada kertas yang aku pegang. Dia menggerakkan kepala menujuk dengan dagunya pada kertas lecek itu. Kertas apaan, sih, dari tadi dipelototin melulu" Daripada menjelaskannya susah payah, berhubung aku juga sedang malas bicara, aku pun menyodorkannya kepada Kak Jeni. Melihat isinya, kening Kak Jeni berkerut. Lalu, tanpa berkata apa-apa dia mengembalikan kertas tersebut.
Itu foto kopian buku tabungannya. Dia nunjukin uang yang masuk dari hasil menjual mobilnya yang dia tabung. Iya, aku tahu, Jul.
t . c Aku nggak tanya ke Martin. Dia berinisiatif memberikannya sendiri.
That s good. Permulaan yang bagus. Jadi, aku mesti gimana, Kak"
Nggak perlu nanya apa-apa lagi, dong. Kamu udah tahu apa yang harus kamu lakukan. Iya, kan"
Rahangku membeku. Pertanyaan yang sudah menunggu tinggal aku lontarkan ke Kak Jeni menguap begitu saja, menyisakan diriku yang hanya bisa termangu. Sebelum keluar, Kak Jeni sempat mengedipkan matanya kepadaku seakan ingin menguatkan diriku.[]
t . c esekali aku melihat ke arah arloji di tanganku, bergantian dengan pintu restoran yang segaris lurus dengan arah pandangku. Waktu menunjukkan pukul 6.30 malam. Meskipun janjiannya pukul 7.00 malam, aku sudah gelisah sampai ke ubun-ubun. Dudukku sangat tidak nyaman seperti ada ratusan paku tertancap di kursi yang kududuki. Tanganku bergerak resah, dari mengetuk-ngetukkan jari di atas meja, menaruhnya di pangkuan, sampai memainkan ponsel. Semua sudah dilakukan.
Kebangetan, deh. Mengapa aku jadi seperti ini, sih" Kayak sedang menanti kencan pertama saja. So silly and stupid! Aku terus mengutuki diriku sendiri dalam hati. Tarikan dan embusan napas menemani kesendirianku yang dilanda kegelisahan. Es lemon tea yang aku pesan sejak awal sudah habis, bahkan es batunya pun ludes. Aku memanggil pelayan dan memesan satu gelas lagi.
Lima menit berlalu, tetapi belum ada tanda-tanda kehadiran ataupun kabar darinya. Aku sudah kebelet karena kebanyakan minum. Maka, aku pun pergi ke toilet sekalian mematut diriku di cermin. Aku merasa sudah cukup oke dengan blus cantik dengan corak bunga-bunga serta celana jin, sekaligus flat shoes berwarna hitam.
t . c Begitu aku keluar dari kamar mandi, kakiku terhenti. Aku segera tahu bahwa yang sedang berdiri di dekat pintu masuk adalah dirinya. Matanya sedang mencari-cari, sedangkan aku masih membeku di posisiku berdiri. Akhirnya, matanya berhasil menangkap sosokku. Dia tersenyum. Tanpa sadar kami berdua sama-sama bergerak. Kami menuju satu titik hingga kami berdua berdiri berhadapan.
Kamu cantik banget. Potong rambut" tanyanya dengan lembut. Matanya menatapku terpesona.
Hmmm, sapaan yang pintar. Aku mengangguk sementara tanganku mengusap rambutku sendiri yang sekarang tinggal sebahu. Kemarin tiba-tiba saja aku ingin memotongkan rambutku. Tidak ada maksud apa-apa, hanya ingin penampilan baru yang segar. Sekaligus membuang kesialan yang sudah menimpaku bertubi-tubi. Aku sempat ragu karena jarang sekali nekat memotong pendek rambutku yang selama ini selalu tergerai panjang sepunggung.
Aku suka. Cocok sekali dengan kamu, ucap Martin dengan tulus.
Aku tersenyum. Duduk, yuk.
Sekali lagi kami berhadapan dengan tangan bertumpu di meja. Melihatku diam saja, Martin pun memulainya, Kamu bilang ada yang ingin kamu bicarakan denganku.
Aku mengangguk. Semula aku mengira dirinya akan tenang bahkan sedikit cuek dan santai. Ternyata, dia terlihat begitu gelisah. Berulang-ulang dia menggosok-gosokkan kedua tangannya satu sama lain, kemudian menggosoknya ke celana. Jarinya juga sesekali mengetuk-ngetuk meja.
Kamu mau pesan makanan dulu" Aku menawarkannya.
Kamu sudah mau makan" Martin bertanya balik. Aku mengangguk sambil menyahut, Aku lapar. Senyum tersungging di bibirnya. Kalau begitu, mari kita pesan.
t . c Kami lalu sibuk memilih makanan dan kekakuan di antara kami perlahan mencair. Bahkan, kami melupakan sejenak tujuan kami kemari. Kami malah asyik berbicara mengenai makanan. Setelah piring kami bersih, aku pun segera memulainya.
Tin, alasan aku meminta kamu untuk bertemu di sini ... karena ... hm & . Aku bedeham, membersihkan kerongkonganku serta mengusir rasa gugup yang mulai merayap menaiki perutku. Sesaat aku berdoa supaya tidak muntah karena perutku mulai mual. Aku jadi menyesal, mengapa juga nggak membahas ini dulu baru makan"
Aku ingin berbicara mengenai hubungan kita. Aku, kamu, anak-anak .... Perkataanku mengambang. & mengenai kita untuk ke depannya.
Martin meremas tangannya dan menyahut tanpa basabasi, Aku ingin kembali, Jul. Aku ingin kamu dan anak-anak pulang. Aku ingin kita berkumpul lagi.
Tanganku mengelilingi gelas dan memutarnya dengan tak tentu. Lidahku kelu.
Aku rasa aku belum sempat menjelaskan segalanya kepada kamu.
Aku mengangguk dengan ragu. Aku tidak tahu apakah mendengar semuanya menjadi ide yang bagus, tetapi tetap saja aku ingin mendengarkan penjelasan dari mulutnya langsung. Baiklah. Sekarang ... aku mau mendengar semuanya.
Martin berdeham setelah membasahi bibirnya dengan gelisah. Aku ... minta maaf, entah untuk kali keberapa. Aku minta maaf atas apa yang telah terjadi ....
Tidak termaafkan, Tin. Kamu benar, Jul. Martin mengakuinya. Perbuatanku tidak termaafkan. Aku ingin sekali mencari alasan kenapa aku bisa seperti itu, tapi ... aku tak bisa menemukan satu alasan pun yang membuat perbuatanku dulu terasa benar.
t . c Aku ingin menyalahkan keadaan, tapi seharusnya tidak. Seharusnya, aku bisa mengontrol diriku sendiri ....
Martin terdiam sejenak. Aku sungguh menyesal. Dengan sangat, Jul. Aku .... Martin menunduk. Sebelumnya, aku menangkap mata Martin yang berkacakaca.
Siapa perempuan itu"
Martin mengangkat kepalanya dan menjawab pertanyaanku dengan gugup. Kami sempat bekerja sama untuk proyek yang pernah aku katakan kepada kamu. Dia juga yang mendanai sebagian proyek itu.
Siapa yang maju duluan"
Martin menelan ludah. Dia. Kesalahan terbesarku adalah tidak menghindarinya. Aku membiarkannya saja. Tapi, sumpah, July, aku nggak ada apa-apa sama dia.
Aku menelan ludah. Jantungku berdebar kencang, Sudah berapa kali kalian ... bertemu"
Susah sekali menanyakan hal itu dengan blak-blakan karena dengan setiap kata yang keluar dari mulutku, aku merasakan sengatan di dada.
Wajah Martin memerah sewaktu menjawabnya. Tiga kali. Selama ini memang dia yang bersikap begitu, sedangkan aku .... Martin menghela napas. Aku juga nggak tahu kenapa aku tidak menjauh, malah membiarkan diriku larut di dalamnya.
Apakah kalian ... sudah ... having sex" badanku merinding ketika menanyakan ini.
Martin terkejut dengan pertanyaanku. Dia menatapku lebih dalam. Tidak, July. Sama sekali tidak. Sekali pun, tidak! jawabnya sungguh-sungguh.
Aku sedikit lega mendengarnya. Somehow, aku merasa bisa percaya dengan ucapannya yang satu ini. Apakah ... kamu ... punya perasaan kepadanya"
t . c Martin menatapku begitu lekat. Dia menjawab dengan mantap, Tidak.
Pendekar Pengejar Nyawa 3 Pendekar Naga Putih 37 Keturunan Datuk Datuk Persilatan Betina Penghisap Darah 1

Cari Blog Ini