Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pengejar Nyawa 3

Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung Bagian 3


Di atas bukit kecil ini dibangun dua deret rumah gubuk, keduanya dibangun dari papan-papan yang bersambung satu sama lainnya, bentuknya tidak genah dan miring serta reot, terang di sini merupakan daerah miskin yang dihuni oleh para gelandangan di pinggir kota Kilam.
Semakin heran dan tak mengerti Coh Liu-hiang
dibuatnya. "Di tempat seperti ini, adakah seseorang yang bisa dia temukan?"
Setelah tiba di bawah bukit, kembali Sim San-koh bertanya kepada seorang perempuan yang berperut besar. Kali ini lapat-lapat Coh Liu-hiang ada mendengar ia bertanya demikian: "Sun Hak-boh apakah tinggal di atas sana" Yaitu siucay tukang gambar itulah?"
Nyonya berperut besar itu menggeleng-gelengkan kepala, sebagai jawaban bahwa ia tidak tahu, namun seorang anak tanggung di sampingnya segera berteriak: "Sun-siucay yang dikatakannya itu bukan lain adalah Sun-lothau itulah."
Baru sekarang nyonya itu tertawa, katanya; "Oh, jadi kau hendak mencari Sun-lothau" Dia tinggal di rumah ketujuh di atas sana, di muka rumahnya ada tergantung kerai berbentuk Pat-kwa, gampang sekali ditemukan."
Orang macam apa pula Sun-siucay itu" Kenapa Sim San-koh harus menemukan dia"
Mungkinkah ada tokoh-tokoh lihay yang menyembunyikan diri di daerah miskin di pinggir kota Kilam ini"
Coh Liu-hiang berputar ke samping rumah nomor tujuh yang dimaksud. Dari sebuah lobang jendela kecil yang terletak di samping rumah, ia melongok ke dalam. Tampak seorang kakek ubanan yang berbadan bungkuk sedang duduk di pinggir meja reot. Penerangan di dalam gubuk itu remang-remang, namun kentara jelas si orang tua ini hidup dalam kemelaratan, seolah dia sudah tidak menaruh minat akan kehidupan manusia umumnya. Dengan tenang ia duduk di tempatnya, seolah-olah sedang menunggu waktu menjelang ajalnya saja.
Kakek tua laksana sebatang lilin di tengah hamparan hujan badai ini, memangnya kenapa bisa menimbulkan perhatian Sim San-koh" Sungguh Coh Liu-hiang tidak habis mengerti. Waktu ia terheran-heran itulah Sim San-koh sudah menyingkap kerai melangkah masuk. Sekilas ia menjelajahkan pandangannya, lalu me
ngerut kening, katanya: "Apa kau ini Sun Hak-boh, Sun-siucay?"
Roman muka si kakek tetap kaku tidak menunjukkan perubahan rasa hatinya, katanya kaku:
"Iya, aku memang Sun Hak-boh, tanya nasib dua tail, soal jiwa satu tail."
Semakin dalam kerut alis Sim San-koh, katanya: "Yang kucari adalah guru gambar Sun-siucay, bukan ahli nujum."
Sun Hak-boh menyahut tawar: "Aku inilah guru lukis Sun-siucay, namun sejak dua puluh tahun yang lalu aku sudah mengalihkan objekku. Kalau nona hendak bergambar, tentunya sudah terlambat dua puluh tahun."
Baru sekarang kerut alis Sim San-koh menjadi longgar, katanya: "Ganti objek atau tidak bukan soal, asal kau betul adalah guru gambar dua puluh tahun yang lalu, memang kaulah yang kucari-cari."
Sembari bicara, dari dalam lengan bajunya ia mengeluarkan gulungan sebuah lukisan, terus dibeber di atas meja di depan Sun Hak-boh. Dengan tajam ia menatap Sun Hak-boh, katanya dengan nada berat: "Kutanya kau, apakah gambar lukisan ini hasil karyamu" Siapa pula orang yang kau gambar ini?"
Ingin Coh Liu-hiang ikut melihat gambar lukisan itu, sayang penerangan di dalam rumah rada gelap, bayangan Sim San-koh justru menghalangi gambar lukisan itu, maka nihillah niat hatinya.
Yang dapat dilihat adalah selebar muka Sun Hak-boh yang tetap pucat kosong, sedikit pun ia tidak menunjukkan mimik mukanya, seperti tidak berperasaan sama sekali. Seumpama seorang pikun, seolah-olah tinggal raga kasarnya itulah yang masih bertahan tanpa sukma dan jiwa.
Hakekatnya sorot matanya tak pernah me
mandang ke arah gambar lukisan itu. Dengan hambar dan pandangan kosong ia menatap lurus ke depan. Dari pandangan hambar dan kosong itu, sepatah demi sepatah ia berkata: "Aku tidak tahu siapa yang menggambar lukisan ini, dari mana pula aku bisa tahu siapa yang digambar di dalam lukisan itu."
Sekali berdiri Sim San-koh menjinjing baju di depan dadanya, katanya gusar: "Kenapa kau tidak tahu" Di atas gambar ini terang ada tanda tangan namamu."
"Lepaskan tanganmu, memangnya matamu picak, tidak melihat kalau aku ini seorang buta?"
Seperti mukanya mendadak ditampar orang, lekas Sim San-koh melepaskan tangannya, teriaknya: "Kau... jadi apa pun kau tidak bisa melihatnya lagi?"
"Kalau mataku masih bisa melihat, memangnya kenapa aku harus menyimpan alat lukisanku"
Menggambar adalah jiwaku, sudah lama aku kehilangan jiwa, yang duduk di sini bukan lain adalah seonggok mayat belaka."
Lama sekali Sim San-koh menjublek di tempatnya, pelan-pelan ia menggulung pula gambar lukisan itu. Namun baru setengah saja, tiba-tiba ia meletakkan kembali lukisan itu di atas meja, katanya keras: "Walau kau tidak bisa melihat lukisan gambar ini, tapi mungkin kau masih ingat kepadanya. Dia seorang perempuan cantik, masihkah kau ingat kapan kau pernah melukis seorang perempuan cantik?"
"Sekarang walau aku ini seorang tua renta yang miskin dan picak, tapi dua puluh tahun yang lalu, aku Sun Hak-boh adalah tokoh yang kenamaan."
Rona wajahnya nan hambar kosong itu secara aneh memancarkan cahaya cemerlang yang sekejap saja, cahaya yang bangga seolah-olah menghidupkan kembali jiwa dan sukmanya.
Katanya lebih lanjut: "Dua puluh
tahun yang lalu, orang sering membandingkan aku sebagai Co Cut-hin, seperti Go To-cu, entah putri-putri bangsawan dari kalangan apa pun dalam dunia, sama berebut minta aku menggambarkan lukisan mereka. Entah berapa banyak perempuan-perempuan cantik yang pernah kulukiskan....."
"Tapi yang satu ini jauh berlainan.... kau harus percaya kepadaku. Walau berapa banyak perempuan jelita yang pernah kau lukis, melulu dia inilah pasti tidak akan pernah kau lupakan.
Peduli siapa pun, bila pernah melihat raut wajahnya, selama hidupnya tentu tidak akan melupakannya."
Sun Hak-boh menepekur sebentar, mendadak ia bertanya: "Gambar lukisan yang kau maksud apakah lebar dua kaki panjang tiga kaki" Apa orang yang kulukis itu mengenakan pakaian hijau dengan pripit biru, di bawah kakinya mendekam seekor kucing hitam......" entah kenapa nada suaranya semakin gemetar dan akhirnya tak kuasa meneruskan kata-katanya.
Sebaliknya Sim San-koh berjingkrak senang, katanya: "Tidak salah, memang gambar itulah.
Aku tahu kau pasti tidak akan melupakannya, tentunya kau pun ingat siapakah perempuan cantik yang kau lukis ini?"
Kini sekujur badan Sun Hak-boh yang gemetar, rona wajahnya yang hambar dan kosong kelihatan amat takut dan jeri, katanya dengan suara serak: "Jadi dia yang kau tanyakan.... dia yang kau tanyakan.... aku.... aku tidak ingat siapa dia.... aku tidak pernah mengenalnya."
Kedua tangannya berpegangan di tepi meja, meja sampai berkeriut keras ikut gemetar.
Dengan sempoyongan ia coba berdiri di atas kakinya, lalu dengan terhuyung-huyung hendak lari ke luar pintu.
Cepat Sim San-koh menariknya, lalu menekannya duduk kembali di kursinya semula, katanya bengis: "Kau pernah melihatnya, bukan" Kau pun masih mengingatnya, bukan?"
"Nona, kumohon kau lepaskan aku saja..... Seorang tua miskin yang tidak berguna seperti aku ini, di sini aku menunggu ajal dengan tenang, kenapa kau harus memaksaku?"
"Sret!", Sim San-koh mencabut badik serta mengancam tenggorokannya, ancamnya bengis:
"Tidak kau katakan, biar kubunuh kau!"
Bergetar sekujur badan Sun Hak-boh, akhirnya ia berteriak keras: "Baik, akan kukatakan, dia..... dia bukan manusia, dia adalah iblis perempuan!"
Mengintip sampai di sini, hati Coh Liu-hiang pun diliputi perasaan heran dan tertarik akan persoalan ini. Siapakah perempuan di atas lukisan itu" Apa pula sangkut-pautnya dengan Sim San-koh" Kedatangannya semula hendak menyelidiki berita Suhengnya Cou Yu-cin, memangnya kenapa pula tanpa kenal jerih-payah mencari seorang pelukis rudin yang sudah tua renta ini dan dengan mengancam menanyakan asal-usul perempuan di atas gambar lukisan itu"
Memangnya perempuan itu punya sangkut-paut dengan suatu rahasia yang menyebabkan Cou Yu-cin dan lain-lainnya menghilang"
Kini si pelukis mengatakan tidak mengenal perempuan itu setelah berselang dua puluh tahun kemudian. Kenapa kelihatannya dia amat menakutinya" Apa benar dia seorang iblis perempuan"
"Iblis perempuan?" terdengar Sim San-koh menjengek hidung. "Perempuan secantik ini mana bisa dikatakan iblis perempuan?"
"Tidak salah, memang dia teramat cantik. Selama hidupku betapa banyak perempuan cantik yang pernah kulihat, namun tiada seorang pun yang bisa dibandingkan dengan dia. Kecantikan orang lain paling-paling bikin pandanganmu kabur, namun kecantikannya bisa membikin kau gila, sehingga kau rela mengorbankan segala milikmu termasuk jiwa ragamu sendiri. Tidak banyak yang kau harapkan, cukup untuk dapat melihat senyum tawanya belaka."
Walaupun dia sedang melukiskan betapa cantiknya sang bidadari, namun suaranya kedengaran sember dan bergetar ketakutan, seolah-olah memang sering terjadi banyak korban yang ingin melihat senyum tawanya saja.
Diam-diam Coh Liu-hiang menghela napas, pikirnya: "Kalau terlalu ayu memang ada kalanya bisa berubah menakutkan, namun selama hidupku ini kenapa belum pernah aku berjumpa dengan perempuan cantik yang bisa membuat hatiku takut?"
Sementara itu terdengar Sun Hak-boh sedang menutur lebih lanjut: "Waktu aku melihatnya, sudah tentu aku pun amat kaget dan merasa lemas sekujur badanku berhadapan dengan kecantikannya. Waktu itu aku belum berupa buruk seperti sekarang, kalau tidak mau dikata sebagai pemuda ganteng cakap, pernah beberapa gadis terkena penyakit rindu oleh karena aku, namun aku anggap hal itu seperti sepele saja. Tapi dia..... di hadapannya, seolah-olah berubah menjadi budaknya, ingin rasanya kupersembahkan segala milikku kepadanya."
Sim San-koh mengangkat alis, katanya, "Apa benar di dunia ini ada perempuan secantik itu?"
"Orang yang belum pernah melihat rupanya, memang sukar mempercayainya. Lukisan itu, aku yakin karyaku ini cukup bernilai, namun mana aku mampu melimpahkan mimik wajahnya nan asli memabukkan setiap orang yang melihatnya, tindak-tanduknya...., boleh dikata aku hanya bisa melukis seperseribu dari segala kesempurnaan dirinya."
"Dia mencarimu hanya untuk supaya kau lukis?"
"Ya. Setelah bertemu aku, lantas dia minta supaya dibuatkan empat lembar lukisan dirinya.
Aku menghabiskan waktu tiga bulan lamanya. Kuperas segala daya cipta, keringat, keahlianku, akhirnya berhasil dengan sukses."
Mendadak terkulum senyuman bangga di ujung mulutnya, katanya kalem: "Dalam tiga bulan ini setiap hari setiap saat aku berhadapan dengan dia..... tiga bulan ini sungguh merupakan hari-hari bahagia selama hayatku, tapi tiga bulan kemudian dia....." Sampai di sini, senyuman di ujung mulutnya tiba-tiba sirna, roman mukanya kembali mengunjuk rasa takut yang tak terperikan.
Kembali sekujur badannya gemetar dan berkeringat dingin.
Tak tahan tertawa Sim San-koh: "Tiga bulan kemudian bagaimana?"
"Tiga.... tiga bulan kemudian, malam setelah aku menyelesaikan keempat lembar lukisan itu, dia menyiapkan meja perjamuan. Dia sendiri yang melayani aku makan-minum sehingga serasa arwahku terbang ke awang-awang. Karena dicekok arak terus-menerus, memangnya kondisi badanku sudah teramat lelah setelah memeras keringat selama tiga bulan, beberapa cangkir saja aku lantas jatuh mabuk. Waktu aku siuman, baru aku tahu, dia..... dia....." kalamenjing di lehernya naik-turun menelan ludah, sepatah demi sepatah kata-katanya keluar dari tenggorokannya yang tersendat: "Ternyata kedua biji mataku sudah dia korek keluar dengan kekerasan."
Mendengar sampai di sini, Sim San-koh di dalam rumah dan Coh Liu-hiang di luar sana sama berjingkrak kaget. Lama kemudian Sim San-koh baru menarik napas panjang, katanya: "Kenapa dia berbuat demikian?"
Sun Hak-boh tertawa rawan, sahutnya: "Karena aku pernah melukis dirinya, dia tidak suka aku melukis bagi perempuan lain lagi."
Biasanya Sim San-koh sering berlaku kejam membunuh orang tanpa berkesip, tapi begitu mendengar kekejaman perempuan yang telengas ini, tapak tangannya sampai berkeringat, gumamnya: "Iblis perempuan.... memang dia betul iblis perempuan."
"Sudah kukatakan dia adalah iblis perempuan. Siapa pun yang memilikinya, pasti akan mengalami bencana. Nona, kau.... untuk apa kau cari dia" Gambar lukisan ini cara bagaimana pula bisa terjatuh ke tanganmu?"
"Gambar lukisan ini adalah milik Toa-suhengku, Cou Yu-cin," sahut Sim San-koh.
Bersinar biji mata Coh Liu-hiang, batinnya: "Ternyata tebakanku tidak meleset, perempuan itu ternyata ada hubungannya dengan Cou Yu-cin."
"Kalau demikian, kenapa tidak kau tanyakan asal-usulnya kepada suhengmu?" tanya Sun Hak-boh.
"Toa-suhengku sudah menghilang."
"Menghilang"..... sebelum menghilang?"
"Dulu sudah tentu pernah kutanyakan, namun dia tidak mau menjelaskan."
"Kalau dia tidak mau menjelaskan, kenapa kau ingin tahu?"
Kata Sim San-koh penasaran, "Selama hidupnya Toa-suheng tidak mau menikah lantaran perempuan ini. Kebahagiaan hidup suhengku boleh dikata terkubur oleh perempuan ini. Setiap waktu, setiap saat, ia selalu merindukannya sehingga lupa makan tidak bisa tidur. Sehari-hari selalu dalam keadaan linglung dan suka mengigau. Selama sepuluh tahun tak pernah kehidupannya berubah. Namun dia sebaliknya tidak pernah menunjukkan perhatiannya kepada suhengku, apa yang dia berikan kepada suhengku melulu penderitaan dan kesengsaraan belaka."
"Kau hendak menemui dia demi kebaikan Toa-suhengmu?"
"Ya!" ujar Sim San-koh kertak gigi dengan penuh kebencian. "Aku membencinya!"
"Kau membencinya lantaran kau sendiri pun mencintai suhengmu" Kalau bukan lantaran dia, mungkin kau sudah menjadi bini Toa-suhengmu, benar tidak?" laki-laki tua yang tidak punya mata ini ternyata dapat menem
busi relung hati orang lain.
Sim San-koh serasa ditusuk jarum. Dengan lemas ia jatuh terduduk, namun lekas ia bangkit kembali, katanya dengan suara ringan: "Aku mencarinya ada sebab lainnya pula."
"Sebab apa?"
"Suatu malam Toa-suheng pernah menerima sepucuk surat. Lalu dia termenung menghadap gambar lukisan ini sampai pagi tanpa tidur. Hari kedua, pagi-pagi benar dia lantas keluar pintu dan tak pernah kembali lagi."
"Tak pernah kembali sejak keluar pintu?"
"Ya, oleh karena itu kupikir menghilangnya Toa-suheng pasti ada sangkut-pautnya dengan perempuan ini. Bukan mustahil surat itu adalah buah permainannya. Jikalau bisa menemukan dia, mungkin aku bisa menemukan Toa-suheng pula."
Lama Sun Hak-boh berdiam diri, lalu katanya pelan-pelan: "Aku tahu namanya adalah Chiu Ling-siok."
Nama Chiu Ling-siok tidak membawa pengaruh apa-apa bagi Sim San-koh, namun amat mengejutkan bagi Coh Liu-hiang yang mengintip di luar jendela. Tiba-tiba dia teringat pada surat yang dia baca dalam buntalan Thiang-ing-cu tempo hari, bukankah tanda tangan penulis surat itu adalah Ling-siok juga" Jadi surat cinta itu ternyata bukan ditujukan kepada Thiang-ing-cu, tapi ditujukan kepada Ling-ciu-cu. Setelah Ling-ciu-cu menghilang, seperti pula Sim San-koh, Thian-ing-cu menaruh curiga kepada penulis surat itu dan ingin mencari jejaknya pula. Karena kesimpulannya ini, tanpa ragu-ragu, cepat Coh Liu-hiang menyelinap masuk lewat jendela.
Serasa kabur pandangan Sim San-koh, tahu-tahu di dalam bilik reot itu sudah bertambah seseorang di hadapannya. Dengan kaget ia mundur mepet ke dinding, bentaknya bengis: "Siapa kau?"
Coh Liu-hiang tersenyum simpul sambil mengawasi muka orang, ujarnya: "Nona tidak perlu kaget. Seperti kedatangan nona, Cayhe pun sedang menyelidiki jejak Chiu-hujin, Chiu Ling-siok itu."
Senyumannya sungguh mengandung tenaga gaib sehingga orang merasa tenteram, terutama kekuatan yang dapat meredakan kekuatiran hati perempuan. Ternyata Sim San-koh mulai tenang, tanyanya: "Untuk apa kau mencari dia?"
Dua kali lirikannya kemudian, segala kewaspadaan terhadap Coh Liu-hiang sudah sirna tak berbekas, namun kedua biji matanya malah membelalak besar. Coh Liu-hiang tahu tatapan mata orang tidak lebih hanya ingin memperlihatkan keindahan matanya saja, jadi tiada rasa gusar atau kekuatiran. Maka dengan tersendat-sendat, sengaja ia berkata, "Karena Cayhe dengan Chiu Ling-siok juga...." Sampai di sini ia sudah melihat jelas gambar lukisan yang dibeber di atas meja.
Seketika mulutnya seperti disumbat, seketika ia berdiri menjublek.
Perempuan dalam lukisan ini alis matanya terang bersinar, sungguh seraut wajah nan ayu, molek laksana hidup, memang bidadari di antara manusia, gambar perempuan ini mirip benar dengan gambar yang pernah dilihatnya di kamar Sebun Jian tempo hari. Kamar yang sederhana itu hanya diisi selembar gambar lukisan perempuan ini, terang betapa rindu dan mendalam kenangannya kepada perempuan ini, sampai sekarang dia hidup sebatang kara tentunya karena perempuan ini pula. Sebaliknya Ling-ciu-cu terima menjadi orang beribadah lantaran dia pula.
Sampai detik ini Coh Liu-hiang sudah tahu ada tiga laki-laki terpincut-pincut sampai lupa daratan dan terima hidup sebatang kara tidak kawin selama hidup, mereka adalah Sebun Jian, Cou Yu-cin dan Ling-ciu-cu.
"Kau kenal dia?" tanya Sim San-koh menatapnya.
"Aku tidak mengenalnya, untung tidak kenal."
Sun Hak-boh berkata, "Aku tak perduli siapa kalian, kalian sama-sama hendak mencari tahu jejaknya. Apa yang kuketahui sudah kuterangkan, bolehlah kalian pergi."
"Di mana dia sekarang?" tanya Sim San-koh.
"Sejak malam itu, aku tidak pernah melihatnya lagi.... atau boleh dikatakan aku tidak pernah mendengar suaranya lagi."
"Kau hanya memberitahu namanya saja, apa sih gunanya?" ujar Sim San-koh penasaran.
"Apa yang kuketahui memang cuma sebanyak itu saja."
Tiba-tiba Coh Liu-hiang menyeletuk, "Katamu kau pernah menggambar empat lembar lukisannya?"
"Ya, empat lembar."
"Apa kau tahu kenapa dia minta kau melukis empat lembar?"
"Waktu itu aku pun heran. Orang lain cukup minta satu lembar saja, kenapa dia sendiri minta empat lembar" Waktu aku sudah menyelesaikan gambar ketiga, akhirnya tak tertahan kutanyakan kepadanya."
"Adakah dia memberitahu kepadamu?" cepat Coh Liu-hiang bertanya.
"Dia memberitahu kepadaku.... karena dia hendak memberikan keempat lembar lukisan itu kepada empat orang laki-laki. Dengan keempat laki-laki itu pernah terjadi.... cinta asmara dan saat itu terpaksa dia harus putus hubungan dengan mereka."
"Dia mencari pelukis ternama sepertimu ini, maksudnya supaya kecantikannya kau lukiskan di atas kertas ini, lalu masing-masing ia bagikan kepada empat laki-laki itu. Dengan demikian, meski ia putus hubungan dengan mereka, mereka toh tidak akan melupakan dirinya. Ingin dia membuat keempat laki-laki itu menderita dan merasa rindu setiap kali melihat gambar lukisannya itu,"
demikian ujar Coh Liu-hiang.
"Perempuan kejam! Maksud tujuannya me
mang terlaksana. Setiap kali Suhengku mengawasi lukisan ini, hatinya menderita serasa seperti diiris-iris sembilu."
"Tiba pada titik persoalannya sekarang: kenapa dia harus putuskan hubungannya dengan mereka?" ujar Coh Liu-hiang.
"Kalau seorang perempuan tanpa kenal kasihan dan tega hati memutuskan hubungannya dengan laki-laki pujaannya, biasanya hanya satu sebab saja."
"Sebab apa?" tanya Coh Liu-hiang.
"Yaitu dia hendak menikah dengan laki-laki lain, laki-laki yang lebih tampan, lebih baik dari keempat laki-laki itu."
"Benar, isi hati perempuan hanya bisa diraba dan diselami oleh perempuan."
"Laki-laki yang mengawininya itu, kalau tidak memegang kekuasaan besar, pasti memiliki ilmu silat tinggi, atau mungkin mempunyai kekayaan harta yang tak ternilai banyaknya."
Sim San-koh tersenyum mengawasi Coh Liu-hiang, lalu menambahkan: "Tentunya mungkin pula laki-laki itu seperti kau yang punya senyuman manis yang menarik sanubari setiap perempuan."
"Nona sekarang pun tergerak dan tertarik?"
Merah jengah muka Sim San-koh, namun matanya menatap lekat-lekat, katanya sambil tertawa genit:
"Untung tidak banyak laki-laki seperti kau dalam dunia ini, harta karun pun belum tentu dipandang oleh dia, maka laki-laki yang mengawininya itu pastilah tokoh Bulim yang punya kedudukan tinggi dan nama besar! Asal kita bisa menemukan siapakah laki-laki itu, tentu dapat menemukan dia."
"Bagus, persoalan ini memang makin menyempit, namun kaum persilatan di Kangouw entah berapa banyak tokoh-tokoh kosen. Menurut pemandanganku, lebih baik nona serahkan gambar lukisan ini kepadaku, tunggu saja di rumah. Setelah aku berhasil mendapat berita yang nyata, pasti akan kuberi kabar kepada nona."
Dengan pandangan genit Sim San-koh melangkah maju menjatuhkan diri di atas badan orang, katanya sambil menatapnya: "Kenapa aku harus menyerahkan kepadamu" Kenapa aku harus percaya kepadamu?"
Berputar biji mata Coh Liu-hiang, tiba-tiba ia membisiki beberapa patah kata di pinggir telinga orang.
Seketika berubah air muka Sim San-koh, kaki tersurut dua langkah, serunya gemetar: "Jadi kau.... kau.... setan jahat ini."
Membalikkan tubuh seperti orang kesurupan setan, segera ia angkat langkah seribu.
Pelan-pelan Coh Liu-hiang menghela napas lega. Segera ia gulung gambar lukisan itu, lalu ia berdiri di depan meja. Tanpa berkedip ia mengawasi Sun Hak-boh. Tatapan matanya yang tajam seolah-olah terasakan juga oleh Sun Hak-boh yang buta ini. Dengan kurang tenteram, ia menggerakkan badan di atas kursi, akhirnya ia berkata: "Kenapa kau tidak segera berlalu?"
"Aku sedang menunggu."
"Menunggu apa?"
"Menunggu keterangan yang masih kau rahasiakan mengenai si... dia itu."
Sesaat Sun Hak-boh terlongong, katanya sambil menghela napas, "Urusan apa pun takkan bisa mengelabuimu, ya?"
"Aku tahu kau pasti membencinya, namun kau tidak suka ada orang yang mencelakai dia. Tapi kalau kau tidak mau membeberkan terus terang apa saja yang kau ketahui mengenai dirinya, mungkin dia benar-benar bakal dibunuh orang."
"Kenapa?" seru Sun Hak-boh kuatir dan berubah roman mukanya.
"Keempat laki-laki yang menerima gambar lukisan itu sekarang sudah mati semua."
"Sudah mati" Bagaimana bisa mati?"
"Walau sekarang aku belum tahu seluk-be
luk kematian mereka, namun aku sudah tahu mereka sama-sama pernah menerima sepucuk surat dari Chiu Ling-siok dan akhirnya menemui ajalnya secara misterius setelah keluar pintu."
"Kau.... maksudmu Chiu Ling-siok yang mencelakai jiwa mereka?"
"Kalau Chiu Ling-siok ingin mereka menderita sakit rindu seumur hidupnya, tentu takkan mencelakai jiwa mereka. Suratnya itu mungkin lantaran dia menghadapi sesuatu kesukaran, minta mereka lekas datang membantu kesulitannya."
"Benar, bila seorang perempuan menghadapi kesukaran, yang diingatnya tentulah laki-laki yang paling baik kepada dirinya, dan hanya orang-orang itu pula yang berkorban dan suka berjuang setia bagi kepentingannya."
"Namun keempat orang itu sudah menemui ajalnya. Orang yang mencabut jiwa mereka, beruntun mencabut jiwa orang lain pula, tujuannya hanyalah untuk menutupi rahasia hubungannya dengan keempat orang itu, berusaha supaya aku tidak melibatkan diri dalam persoalan rahasia ini.
Dari sini dapatlah disimpulkan, kesukaran yang dihadapi pasti belum tertanggulangi, bukan mustahil sekarang dia dalam bahaya."
"Kalau toh persoalan ini begini berbahaya, kenapa kau harus melibatkan diri dalam petualangan ini" Memangnya kau ingin menolong dia?"
"Kalau aku tidak tahu di mana sekarang dia berada, bagaimana bisa menolongnya?"
Sun Hak-boh menepekur sesaat lamanya, katanya pelan-pelan: "Tadi kalian lupa menanyakan sesuatu kepadaku."
"Soal apa?"
"Kau lupa bertanya kepadaku di tempat mana aku menggambar lukisannya."
"Betul, soal ini pun tentu ada hubungannya."
"Lima li ke luar kota terdapat sebuah Oh-i
am! Di sanalah aku membuat lukisan itu. Pemimpin biara itu adalah Siok-sim Taysu, kenalan kentalnya. Tentunya dia tahu di mana sekarang si dia berada."
"Masih ada lagi?" tanya Coh Liu-hiang.
Sun Hak-boh tertunduk tidak bersuara lagi.
Coh Liu-hiang menggulung gambar itu, terus tinggal pergi. Tapi mendadak ia berputar pula dan katanya: "Walau mata sudah buta, namun hati tidak buta. Dengan hati sebagai mata, memangnya kau tidak bisa melukis lagi.... Sun-heng, cobalah kau berpikir dengan cermat, harap jagalah dirimu baik-baik."
Sekilas Sun Hak-boh melengak, seketika alis dan biji matanya yang kosong bergerak-gerak, serunya keras: "Terima kasih akan petunjukmu, harap tanya siapakah nama besarmu?"
Waktu itu Coh Liu-hiang sudah pergi jauh.
Di tempat gelap di luar jendela, tiba-tiba terdengar jawaban dingin seseorang: "Dia she Coh, bernama Liu-hiang."
Waktu Coh Liu-hiang tiba di bawah bukit, dilihatnya sebuah kereta berenda hitam berhenti di depan sana. Kereta tunggangan yang paling umum di kota Kilam untuk menempuh perjalanan jauh dengan cepat. Dirinya memang tidak leluasa mengembangkan ginkang, maka Coh Liu-hiang mendekat dan bertanya: "Apa kereta ini sedang menunggu orang?"
Kusir kereta bermuka bundar, sahutnya sambil berseri tawa: "Memang sedang menunggumu, ayolah berangkat!"
"Tahukah kau ada sebuah Oh-i-am di luar kota?"
"Tepat bila kau mencari diriku untuk mengantarmu ke sana. Kemarin baru saja aku mengantar bini sembahyang ke sana. Silakan naik kereta, tanggung tidak akan kesasar."
Kereta berjalan dengan cepat, di dalam kereta Coh Liu-hiang mulai putar otak memikirkan kembali persoalan ini, kini persoalan
sudah dibikin ringkas dan kuncinya terletak pada: apakah dia bisa menemukan jejak Chiu Ling-siok saja. Yang diketahuinya sekarang tidak lebih hanyalah bahwa Sebun Jian, Cou Yu-cin, Ling-ciu-cu dan Ca Bok-hap sama keluar pintu lantaran surat undangan Chiu Ling-siok. Tapi kenapa Chiu Ling-siok mengundang mereka" Apa benar hendak meminta bantuan mereka" Perempuan seperti dia itu, kesulitan apa pula yang dia hadapi sehingga harus meminta bantuan orang untuk mengatasinya"
Bersambung ke Jilid 5
Jilid 5 Kereta berjalan cukup cepat, namun letak Oh-i-am memang tidak dekat, untung Coh Liu-hiangpun sedang peras otak menerawang, sehingga dalamn perjalanan tidak menjadi gugup.
Akhirnya ia tersentak dari keyakinan berpikir waktu mendengar suara kusir kereta: "Nah, Oh-i-am berada dalam hutan di depan sana, silahkan kau turun saja!"
Di depan sana adalah sebidang hutan Tho, di pinggir sungai terdapat sebuah biara kecil, saat mana menjelang magrib, dari dalam biara lapat-lapat terdengar suara mantra. Agaknya para biarawati sedang sembahyang magrib.
Biara dalam hutan Tho dengan pemandangan alam yang sejuk permai, mamang Siok-sim Taysu itu adalah seorang cendikia, kalau tidak mana mungkin bisa bersahabat kental dengan perempuan secantik Chiu Ling-siok.
Pintu besar biara terpentang lebar, Coh Liu-hiang langsung berjalan masuk, pelita belum dipasang di dalam biara, suara mantra masih terdengar halus tenang. Seorang biarawati berjubah hitam dengan selubung putih sedang berdiri di bawah pohon di bawah teras sana, agaknya sedang mengenang masa silam dan penuh duka cita. Sampai pada keadaan ini, langkah Coh Liu-hiang mau tidak mau diperlambat. Dengan berjinjit Coh Liu-hiang maju mendekat dan coba bertanya: "Apakah Siok-sim Taysu berada di dalam biara?"
Sekilas biarawati itu melirik kepadanya, lalu merangkap tangan di depan dada, katanya: "Pin-ni adalah Siok-sim, entah Sicu datang dari mana" Untuk apa kemari?"
"Sudah lama Taysu melepas diri duniawi, entah masih ingatkah kepada temanmu lama Chiu Ling-siok?"
"Ingat berarti tidak ingat, tidak ingat itulah ingat, kenapa sicu bertanya" Kenapa Pin-ni harus menjawab?"
"Setelah bicara berarti tidak omong, kalau tidak omong berarti sudah bicara, kalau Taysu berkukuh tidak mau bicara, bukankah mirip seperti itu?"
Terunjuk senyum di ujung mulut Siok-sim Taysu, katanya: "Sicu ternyata tahu tentang ajaran Budha"
"Ya, tahu satu dua bait saja"
"Sicu seorang paham, kenapa pula Pin-ni harus menyelesaikan" Kalau Sicu bisa datang kemari tentu kau sudah dapat penjelasan Sun Hak-boh bahwa gambar lukisan Chiu Ling-siok adalah untuk diberikan kepada orang lain sebagai tanda kenangan?"
"Bagaimana kelanjutannya?"
"Ling-siok memang berjodoh dengan Budha, setelah memutuskan tali asmara yang membelenggu dirinya, sedikitpun tiada angan-angannya hidup dalam duniawi, dua puluh tahun yang lalu, di bawah sumpah dan Pn-ni sendiri yang mencukur rambutnya menjadi biarawati"
"Jadi biarawati"....sekarang...."
"Mengandal bakat dan kesadarannya, sudah tentu takkan lama hidup menderita di dalam duniawi."
"Dia.... apakah dia sudah meninggal?"
"Pergi datang, tanpa janggalan....O-mie-to-hud, siancay siancay"
Akibat ini sungguh di luar dugaan Coh Liu-hiang, bagaimanapun tak pernah dia pikirkan bahwa Chiu Ling-siok bukan menikah kepada orang lain, ternyata mencukur rambut menjadi biarawati, tak terduga pula orang ternyata sudah meninggal.
Seketika ia menjublek dan terlongong di tempatnya seolah-olah sekujur badan menjadi lemas tak mampu bergerak.
Siok-sik Taysu tersenyum, ujarnya: "Dari mana sicu datang" Kenapa tidak kembali ke tempat asal?"
Dengan hambar Coh Liu-hiang membalik badan, langsung beranjak keluar, gumamnya:
"Kalau Chiu Ling-siok sudah ajal, memangnya siapa yang menulis surat itu" Memangnya orang lain yang memalsu nama dan tulisannya" Memangnya kematian Cou Yu-cin dan lain-lain hakikatnya tiada sangkut paut dengan dia?"
Sampai sekarang dia belum bisa mendapatkan bukti yang nyata bahwa surat-surat yang diterima oleh Cou Yu-cin berempat adalah tulisan Chiu Ling-siok sendiri. Yang diketahui hanyalah bahwa Sebun Jian, Cou You-cin, Ling Ciu-cu dan Ca Bok-hap berempat semasa hidupnya sama terpincut kepada Chiu Ling-Siok.
Dengan tertawa getir Coh Liu-hiang menggumam: "Tapi itu bukan alasan untuk mengatakan bahwa mereka ajal lantaran dia sekarang, kalau Chiu Ling-siok sudah lama meninggal, aku harus bekerja mulai permulaan pula"
Tatkala itu dia sudah keluar dari bilangan hutan Tho, beberapa langkah kemudian tiba-tiba ia menghentikan langkah, serunya tertahan: "Tidak benar! Urusan ini rada janggal!"
Secara cermat kembali ia menyelusuri lekuk-liku urusan dari semula serta menganalisa dengan kenyataan yang dihadapi, tiba-tiba ia bertepuk tangan, ujarnya: "Siok-sim Taysu tak pernah keluar pintu, darimana ia tahu aku pernah pergi ke tempat Sun Hak-boh" Darimana pula ia bisa tahu dia ada beritahu kepadaku bahwa lukisan itu sengaja hendak dihadiahkan kepada orang lain?". Sebat sekali ia berlari balik menerjang masuk ke dalam biara, tidak kelihatan bayangan orang di bawah pohon.
Suara mantra masih kumandang, waktu Coh Liu-hiang menerjang masuk, para biarawati yang sedang sembahyang malam itu sama tersentak kaget, dengan nanar mata Coh Liu-hiang menjelajah setiap raut muka orang, tak dilihatnya biarawati yang berjubah hitam tadi, segera ia bertanya dengan keras: "Di mana Siok-sim Taysu?"
Seorang biarawati tua menjawab dengan hambar: "Dalam biara kecil ini tiada orang yang dipanggil Siok-sim!"
"Bukankah Siok-sim Taysu ketua dari Oh-i-am?"
"Biara kecil ini dinamakan Tho-am, Oh-i-am terletak di sebelah barat kota, beberapa li lagi harus berputar ke sana"
Jadi biara kecil ini ternyata bukan Oh-i-am" Coh Liu-hiang melenggong, katanya tergagap:
"Tadi ada seorang suhu berjubah hitam yang berdiri di bawah pohon sana, masa dia bukan salah seorang penghuni biara ini?"
Biarawati tua itu menatapnya dengan sorot aneh, seperti mengawasi seorang linglung atau gila, katanya perlahan-lahan: "Seluruh penghuni biara ini sekarang hadir di sini menyelesaikan sembahyang malam, masakah ada orang di bawah pohon sana tadi?"
Coh Liu-hiang berlari-lari ke arah barat, diam-diam ia mengeluh: "Kenapa aku begini ceroboh, kereta besar nan mewah itu, mana mungkin sudi menunggu penumpang di daerah miskin seperti itu" Terang memang dia sedang menunggu aku, sehingga aku gampang terjebak olehnya.
Tujuannya terang supaya aku menyangka Chiu Ling-siok benar sudah mati dan menjerumuskan aku ke jalan lain"
Tatkala itu hari sudah mulai petang, tempat itu sudah jauh dari kota, Coh Liu-hiang kembangkan ilmu entengi tubuhnya, tak lama kemudian dilihatnnya jauh di bawah kaki gunung di depan sana sebuah bayangan tembok biara.
Biara atau kuil yang bobrok dan sudah lama tak terurus lagi, setitik sinar terang kelap-kelip menyendiri di malam gelap, angin menghembus keras menghamburkan dedaunan kering sehingga bunyi keresekan seolah-olah bunyi langkah setan gentayangan yang sedang mencari mangsa. Serasa berdiri bulu kuduk Coh Liu-hiang menghadapi suasana seram ini, seakan-akan setan gentayangan itu sedang menyebul tengkuknya, namun ia tidak berhenti atau putar balik karenanya, seringan burung walet langsung ia melesat ke arah titik sinar pelita itu.
Di pinggir dian kecil, duduk seorang biarawati (nikoh) jubah hitam sedang termangu-mangu, jubahnya sudah banyak berlubang dan kucel, roman mukanya kuning seperti malam, sikapnya linglung seperti orang kesurupan setan.
Coh Liu-hiang batuk-batuk kering lalu tanyanya: "Apakah di sini Oh-i-am?"
"Oh-i-am, sudah tentu Oh-i-am, siapa berani bilang tempat ini bukan Oh-i-am?"
Tak terlihat sikap pura-pura oleh Coh Liu-hiang, tanyanya pula: "Apakah Siok-sim Taysu ada?"
Biarawati itu berpikir sebentar, tiba-tiba ia terkikik geli, sahutnya: "Ada, tentu ada, siapa bilang dia tiada?"
Biara bobrok yang aneh dan ganjil, biarawati yang misterius serta tawanya yang lucu, tak tertahan Coh Liu-hiang merasa bergidik seram, katanya: "Entah sudikah suhu bawa Cayhe menemui Siok-sim Taysu?"
Biarawati itu mendadak berdiri, katanya: "Mari ikut aku!" tangannya terulur mengangkat dian, seperti api setan menyoroti kain gordyn yang sudah luntur warnanya, patung Budha yang sudah kotor dan bercat hitam. Di mana-mana berserakan daun-daun kering, rumput liar tumbuh dengan suburnya, debu dan galagasi. Dengan kaki pincang, satu tinggi yang lain rendah, biarawati itu membawanya melalui pekarangan yang sudah menjadi semak belukar, tak terlihat bayangan seorangpun dalam Oh-i-am ini. Kalau ada tentulah setan atau dedemit yang sedang mengintip kedatangan mereka.
Keadaan belakang jauh lebih gelap, pohon di tengah pekarangan tumbuh dengan daunnya nan lebar, di bawahnya adalah deretan kamar-kamar tempat tinggal, kamar yang paling tengah adalah sebuah ruangan pemujaan. Angin malam menghembus daun jendela yang sudah bobrok sehingga mengeluarkan suara keriat-keriut yang menakutkan, siapapun yang mendengar suara seperti itu di tengah malam buta rata di tempat yang seram seperti itu pula tentulah jantungnya bisa mencelat keluar dari rongga dada saking takutnya.
Tiba-tiba biarawati itu berpaling sambil unjuk seri tawa, katanya: "Tunggulah sebentar"
Coh Liu-hiang mengawasi gelagasi yang memenuhi daun pintu, tak tertahan ia bertanya: "Apa Siok-sim Taysu sedang bersamadi?"
"Bersamadi, tentu sedang bersamadi, siapa bilang dia tidak sedang samadi" sahut biarawati itu tertawa sambil menyiak gelagasi terus berjalan masuk.
Terpaksa Coh Liu-hiang menunggu di luar pekarangan belukar. Di luar jadi semakin gelap gulita, kokok beluk sedang memperdengarkan suaranya seperti pekik setan yang kesusahan, berdiri di bawah pohon, tak terasa berdiri bulu roma Coh Liu-hiang.
Sesaat kemudian, terdengar biarawati itu bersuara dari ruang pemujaan: "Suhu, ada orang menengok engkau, apa kau sudi menemuinya?"
Tak lama kemudian biarawati itu berjalan keluar sambil angkat dian di tangannya, katanya:
"Guruku mengangguk, silahkan kau masuk!"
"Terima kasih!" ujar Coh Liu-hiang berlega hati. Bagaimanapun juga dia benar-benar berharap dapat bertemu muka dengan Siok-sim Taysu. Dengan langkah lebar ia melangkah masuk, sinar dian menyorot masuk dari belakangnya.
"Siok-sim Taysu....Taysu" seru Coh Liu-hiang tidak mendapat jawaban, keadaan ruang pemujaan yang remang-remang berhawa dingin membuat orang mengkirik. Coh Liu-hiang maju dua langkah pula, angin menghembus masuk, tiba-tiba dilihatnya sesosok bayangan melayang di atas, waktu ia angkat kepala mana ada bayangan manusia. Yang dilihat hanyalah seperangkat tulang belulang manusia.
Tengkorak yang lengkap ini bergantung-gantung di atas belandar, bergoyang gontai terhembus angin bau apek dan amis merangsang hidung, tak terasa Coh Liu-hiang sampai terlongong di tempatnya saking kaget.
Tiba-tiba didengarnya biarawati itu terloroh-loroh menggila di depan pintu, teriaknya mencak-mencak sambil tepuk tangan: "Kau sudah melihatnya... kau sudah melihatnya, kenapa kau tidak bicara?"
Tengkorak yang tergantung di atas itu ternyata adalah tulang-tulang Siok-sim Taysu yang ingin ditemuinya. Ternyata orang sudah menggantung bunuh diri, kulit dagingnya sudah menjadi jerangkong.
Biarawati gila itu ternyata tidak mengebumikan jenazahnya, orang malah main tipu dan berkelakar dengan cara sekeji ini, terang biarawati ini seorang gila yang berhati jahat, dan punya tujuan jelek pula. Tawanya yang menggila masih kumandang, biarawati itu masih mencak-mencak dan tepuk tangan, dian di tangannya sudah terbanting pecah. Karena sinar api padam, hawa setan terasa lebih melingkupi sanubarinya.
Tak terasa berkeringat tapak tangan Coh Liu-hiang, setindak demi setindak ia mundur ke arah pintu. Mendadak tengkorak di atas itu menubruk ke arah Coh Liu-hiang. Saking kagetnya serasa copot nyali Coh Liu-hiang, hendak berkelit ingin mengulur tangan meraihnya pula. Tepat pada saat itulah secarik sinar pedang secepat kilat menyelonong turun menembusi tulang-tulang kerangka itu, menusuk dada Coh Liu-hiang. Sungguh cepat dan keji benar tusukan pedang ini.
Hampir saja Coh Liu-hiang tidak mampu berkelit lagi, lekas ia menyedot napas mendekukkan dada. "Cret", ujung pedang menggores koyak baju di depan dadanya. Bersamaan dengan itu berbintik-bintik sinar hitam yang sukar dipandang dengan mata telanjang lagi di malam nan gelap langsung mendorong ke tenggorokan dan beberapa Hiat-to penting di dadanya.
Sesosok bayangan hitam yang lain melambung tinggi ke arah belandar dan "Blum" atap rumah diterjang berlubang besar dan pecah berhamburan, diiringi gelak tawa yang seram dan penuh dendam dan kedongkolan laksana terbang melarikan diri.
Begitu Coh Liu-hiang meluputkan diri dari tusukan pedang ia sudah menduga lawan pasti menyusuli dengan serangan lain yang lebih keji dan mematikan, bersama dengan mendekuk dada segera menjatuhkan diri menggelundung di atas tanah.
Sinar hitam melewat lewat menyerempet mukanya. Sempat pula dilihatnya bayangan hitam yang menjebol atap itu mengenakan pakaian serba hitam, kecepatan gerak tubuhnya laksana setan terbang. Terang orang ini pula yang tempo hari membunuh Thio-jiang-sing-song-kang dan menghilang dengan jinsut di Tay-bing-ouw.
Setelah Coh Liu-hiang melompat bangun dan mengejar ke atas genteng, bayangan orang yang misterius itu sudah tidak kelihatan lagi. Bintang kelap-kelip di angkasa raya, angin menghembus sepoi-sepoi dingin. Berdiri di atas genteng, keringat dingin tanpa terasa sudah membasahi sekujur tubuhnya. Setelah melongo sekian lamanya, ia lompat turun pula ke pelataran, dilihatnya biarawati gila tadi sedang berdiri mematung seperti orang linglung tanpa bergerak, tak bersuara lagi.
Coh Liu-hiang hinggap di depannya, bentaknya bengis: "Siapa orang itu" Apa kau sudah sekongkol sama dia?"
Di kegelapan malam, terlihat muka biarawati itu mengunjuk senyuman aneh, mata dipicingkan, dengan genit mengerling kepada Coh Liu-hiang, katanya cekikikan: "Dia...aku..." tawanya mendadak terputus, sekujur badanpun tiba-tiba gemetar dan kejang , kontan ia terjengkang roboh, terlihat beberapa titik darah mengalir keluar dari tenggorokan dan dadanya.
Ternyata senjata rahasia yang menyerang Coh Liu-hiang tadi melesat keluar pintu dan semuanya mengenai badannya. Lekas Coh Liu-hiang berjongkok memeriksa lukanya, terlihat darah segar yang mengalir keluar sebentar saja berubah warna menjadi hijau mengkilap. Disusul lobang panca indranya sama melelehkan darah segar yang sama.
"Keji benar senjata rahasia ini," gumam Coh Liu-hiang merinding. "Kau..kau pergilah dengan tenang!" Ia maklum terkena senjata rahasia beracun sejahat itu, siapapun takkan mampu menyembuhkannya, kalau reaksi dirinya tadi sedikit terlambat mungkin dirinya sekarang yang rebah sekarat meregang jiwa.
Dada biarawati masih rada hangat dan denyut jantungnya masih terasa, mendadak ia membuka mata mengawasi Coh Liu-hiang, sorot matanya berubah bening dan terang secara menakjubkan.
"Masih ada pesan apa yang hendak kau katakan?"
Bibir biarawati bergerak-gerak, akhirnya tercetus suara lemah dari mulutnya: "Bu...bu..."
"Kau tiada pesan apa-apa bukan?"
Muka biarawati mengjunjuk rasa gelisah, keringat membasahi seluruh kepalanya, tapi meski ia sudah kerahkan setaker sisa tenaganya, tenggorokannya serasa tertutup dan tak mampu mengeluarkan suara lagi.
Akhirnya ia meninggal. Sebelum ajal pikirannya mendadak sadar dan jernih, sebetulnya ia hendak memberi bahan penyelidikan yang amat penting kepada Coh Liu-hiang sayang Coh Liu-hiang tidak tahu.
Waktu Coh Liu-hiang keluar dari Oh-i-am, malam sudah terlambat, perasaanyapun teramat berat, bahan penyelidikan yang terakhir di mana ia mempunyai harapan besar, akhirnya terputus pula.
Batinnya: "Tak heran pembunuh itu tidak takut aku mencari datang ke Oh-i-am, ternyata dia sudah tahu bahwa Siok-sim Taysu sudah mati. Kalau tidak waktu aku berada di luar jendela Sun Hak-boh berjaga-jaga akan perbuatan kejinya, toh akhirnya dia punya banyak kesempatan untuk turun tangan kepadanya untuk menutup mulut Sun Hak-boh"
"Jadi memang dia ingin pinjam mulut Sun Hak-boh mengatakan Oh-i-am lalu memalsu Siok-sim Taysu memancingku ke jalan yang keliru, siapa nyana aku berhasil membongkar tipu muslihatnya. Karena tipu muslihat gagal, dia sudah memperhitungkan aku pasti akan meluruk ke Oh-i-am, maka dia sudah sembunyi di atas belandar lebih dulu waktu aku kurang siaga, melemparkan tengkorak Siok-sim Taysu, berkesempatan turun tangan pula kepadaku"
"Walau kali ini dia gagal pula, namun rencana kerjanya sebetulnya memang cukup cermat.
Tindakannya jauh lebih jahat, asal sedikit aku terlena, sulit aku terhindar dari kekejian tangannya.
Begitu besar dan keras tekadnya merintangi aku melibatkan diri dalam persoalan rahasia ini, tanpa segan-segan membunuh jiwa beberapa orang, dapatlah disimpulkan bahwa urusan yang menyangkut dirinya itu pasti teramat penting dan besar artinya, pasti akan mengejutkan siapapun juga"
Menempuh bahaya, sebetulnya bukan soal apa-apa baginya. Semakin berbahaya urusan, dia malah semakin bergairah dan besar daya tariknya. Mendadak ia menengadah dan tertawa besar, katanya: "Kau dengarkan, perduli siapapun kau, kalau hendak menggertak atau menakuti aku pastilah kau sedang mimpi. Cepat atau lambat pasti aku akan membongkar kedok rahasiamu, kau tidak akan lolos dari tanganku"
Alam belukar jauh dari jejak manusia, lawan misterius bagaikan setan itu entah masih sembunyi di sekitarnya entah mendengar tidak tantangan ini.
Setelah menghentikan tawanya, kembali Coh Liu-hiang tenggelam dalam pikiran. "Sebetulnya apakah yang hendak diucapkan oleh biarawati sebelum ajalnya" 'Bu' yang dia maksudkan tentu tidak berarti 'bukan'?" gumamnya, "Dilihat dari sorot matanya, tentu banyak omongan yang hendak dia katakan, apakah dia maksudkan pembunuh itu she Bu?"
Waktu Coh Liu-hiang kembali ke kota, pasar malam sudah usai. Sungguh penat dan lapar, namun langsung dia menuju ke Kwi-gi-tong.
Orang seperti Chiu Ling-siok tentunya perempuan yang cukup ternama, orang yang mengawininya tentu terkenal juga. Murid Cu-soa-bun cukup banyak dari segala tingkatan, pergaulan merekapun amat luas, bukan mustahil di antara orang-orang mereka ada yang tahu jejak mereka.
Beberapa hari ini, mau tidak mau hatinya ikut gundah dan kurang tentram, tidak pernah terpikir olehnya bahwa diri sendiripun punya pandangan dan pergaulan amat luas, kenapa sebelum ini belum pernah ia mendengar nama Chiu Ling-siok dari mulut orang" Kalau dia sendiri tidak tahu menahu tentang orang itu, orang lain mana mungkin bisa tahu"


Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekonyong-konyong didengarnya dentam kaki kuda yang berlari di jalan raya di belakangnya, disusul suara bentakan nyaring: "Minggir!" baru saja Coh Liu-hiang menyingkir ke pinggir jalan, seeokor kuda sudah berkelebat lewat dari sampingnya. Kuda yang hitam dari kepala sampai ekornya, tiada bulu warna lain kecuali warna hitam yang mengkilap, kilap sinar itu mirip benar dengan cahaya kilauan mutiara hitam.
Mantel hitam di atas kuda melambai-lambai tertiup angin memperlihatkan pakaian ketat warna merah berapi, kuda dan penunggangnya cepat sekali membedal lewat, hampir saja Coh Liu-hiang keterjang jatuh. Bukan saja Coh Liu-hiang tidak jadi marah, malah dia berteriak kejut memuji:
"Sungguh seekor kuda yang amat bagus!"
Seperti pula terhadap perempuan, menilai kuda merupakan keahlian Coh Liu-hiang pula. Ada kalanya begitu dia melihat kuda bagus, hatinya jauh lebih riang gembira dibanding dia melihat perempuan cantik.
Walau hanya sekilas dan dari arah belakang ia melihat bayangan kuda itu, namun ia berani memastikan kuda itu pasti kuda pilihan yang jempol dan bukan mustahil kelahiran dari peranakan naga. Orang yang bisa menunggang kuda seperti itu, tentulah diapun bukan sembarangan tokoh.
"Siapa pula orang itu?" Coh Liu-hiang menggumam seorang diri: "Untuk apa datang di Kilam?"
Perempuan cantik ada kalanya menikah dengan suami bodoh, namun kuda jempolan tak mungkin dimiliki oleh sembarangan orang awam. Kalau kuda bagus memilih majikan, pandangannya jauh lebih tajam dari perempuan cantik memilih calon suaminya, paling tidak dia tidak mudah dibujuk rayu kata-kata manis mulut laki-laki, tak mungkin pula tergila-gila sampai jatuh semaput melihat banyaknya uang emas. Dan tapi bila dia sudah memilih seseorang, jauh lebih setia dari pada perempuan terhadap suaminya" terasa Coh Liu-hiang tertawa geli sendiri.
Dia sembarang waktu selalu mencari kesempatan untuk menghibur hati dan tertawa-tawa, sekaligus untuk mengendurkan urat syarafnya yang selalu tegang beberapa hari ini. Itulah sikapnya sebagai manusia, mungkin itu pula sebabnya kenapa dia selalu bisa hidup dikala menghadapi antara mati dan hidup. Urat syaraf seseorang bila terlalu tegang setiap kali menghadapi bahaya maka bagaimanapun dia akan kehilangan akal sehatnya, entah cara bagaimana harus menghadapinya. Apalagi dia yakin pandangannya pasti tidak salah, karena terhadap perempuan dan kuda, boleh dikata dia mempunyai kewibawaan yang tidak pernah dimiliki oleh orang lain.
Belum lagi tiba Kwi-gi-tong, dari kejauhan Coh Liu-hiang sudah melihat kuda hitam itu. Dia berdiri di bawah lampion yang tergantung di depan pintu Kwi-gi-tong, kepalanya sedang bergoyang turun naik menengadah sambil meringkik pendek.
Tali kendalinya oleh si majikan tidak diikat pada tiang bendera, rupanya tak kuatir kudanya itu bakal dicuri orang, beberapa orang tampak berdiri berkeliling di kejauhan, tiada seorangpun yang mendekatinya.
Tapi ada seorang lagi berjongkok sambil memeluk perut, mulut merintih dan muka berkeringat sambil mengerut kesakitan. Coh Liu-hiang menghampiri serta menepuk pundaknya, katanya:
"Kawan kena disakiti ya?"
"Kuda kurcaci ini galak sekali," sahut orang itu sambil meringis.
"Kembang elok banyak durinya, perempuan cantik seperti pula kuda pantang diganggu.
"Selanjutnya kau harus selalu ingat kata-kataku ini", karena ingin melihat siapa penunggang kuda ini, sembari bicara langsung ia masuk ke dalam rumah.
Waktu itu belum tengah malam, saatnya Kwi-gi-tong paling ramai dikunjungi penjudi, tapi walau sinar lilin terang benderang namun dalam rumah sunyi senyap, Coh Liu-hiang mengkerut kening, segera ia menyingkap kerai terus melangkah masuk.
Tampak puluhan penjudi sama berdiri mepet tembok dengan muka pucat ketakutan, gadis-gadis cantik yang biasanya berlalu lalang segesit burung walet, kini sama berdiri di pinggir dengan badan gemetar.
Waktu ia jelajahkan pandangannya, para laki-laki pelindung sama rebah tak berkutik di atas lantai, memang ada yang tak mampu bergerak, tapi ada pula yang memang tak berani merangkak bangun. Puluhan pasang mata sama menatap ke arah orang yang mengenakan mantel merah.
Dengan tegar dia berdiri di depan meja bundar membelakangi pintu, muka Coh Liu-hiang hanya bisa melihat cambuk panjang di tangannya yang bersinar kemilau, muka orang tidak bisa dilihatnya. Tapi rona muka Leng Chiu-hun dapat dilihatnya jelas.
Muka Leng Chiu-hun seperti tidak berdarah, sorot matanya mengunjuk rasa kaget, gugup dan jera, dengan tajam ia sedang menatap laki-laki bermantel hitam di hadapannya.
Sunyi senyap, tiada suara apapun dalam kamar judi ini, saking tegang jantung serasa hampir meledak, badanpun gemetar, begitu hening serasa sesak napas dan mencekam hati, seumpama anak panah di atas busur yang terpentang, hujan badaipun bakal menerjang tiba.
Tiada seorangpun yang perhatikan Coh Liu-hiang masuk, Coh Liu-hiangpun tidak mengganggu usik orang lain, cuma secara diam-diam ia melangkah ke sana, lalu berdiri di pinggir dengan berdiam diri.
Dari samping sekarang dia dapat melihat muka orang bermantel hitam ini, kiranya seorang pemuda. Mantel hitam itu membungkus badannya yang ramping berpakaian serba hitam, ketat pula. Sabuk hitam, sepatu kulit kuda hitam, sarung tangan kulit sapi hitam, tangannya menggenggam cambuk panjang warna hitam pula, hanya roman mukanya yang kelihatan pucat, pucat yang menakutkan.
Dari samping dapat dilihat jelas oleh Coh Liu-hiang hidung mancung, bibir nan tipis terkatup rapat menggambarkan kekerasan tekadnya, dingin dan kaku. Alisnya lentik tegak ke atas, bulu-bulu alisnya yang hitam menaungi sepasang mata yang melekuk ke dalam, seumpama telaga jernih yang tak kelihatan dasarnya. Tiada seorangpun yang dapat meraba jalan pikiran dan maksud hatinya.
Raut mukanya itu boleh dikata serba sempurna. Pemuda ini boleh dikata tiada satupun cacat pada badannya, keadaan yang serba sempurna ini sungguh membuat jera nyali setiap hadirin.
Dengan menatap orang, agaknya Leng Chiu-hun sedang mempertimbangkan jawaban apa yang akan dia lontarkan. Namun pemuda serba hitam ini sedikitpun tak kelihatan tergesa-gesa, hanya ia balas menatap orang dengan dingin. Akhirnya berkata Leng Chiu-hun perlahan-lahan:
"Kalau tuan ingin berjudi, sudah tentu aku suka mengiringi. Tapi Cayhe mohon tanya dulu siapa nama kebesaran tuan, tentunya tuan tidak sekikir itu untuk memberitahu kepadaku bukan?"
"Aku tidak punya nama!" sahut pemuda itu pendek. Lagu suaranya dingin, tajam dan cekak aos, namun rada berlainan dibanding Tionggoan It-tiam-ang. Kedua lagu suara laksana pisau, cuma pisau Tionggoan It-tiam-ang sudah karatan, pisau pemuda ini justru bisa bikin putus rambut yang disebul di atasnya, nada suara It-tiam-ang bengis dan menyeramkan sementara kata-kata pemuda ini kasar, temberang dan cekatan:
"Kalau tuan tidak sudi memperkenalkan nama besarmu, mungkin...."
"Mungkin kenapa?"
"Menurut kebiasaan di sini, selamanya tidak berjudi dengan orang asing..." Leng Chiu-hun menatap sorot mata si pemuda, lalu tertawa kering dan berkata: "Tapi tuan datang dari jauh, Cayhe tentu tidak akan bikin tuan kecewa"
"Itulah bagus"
"Judi apa yang tuan ingini?"
"Biar judi dadu saja"
"Taruhannya...."
Sekali ulur si pemuda mengeluarkan sebentuk Giok-pit, tampak Giok-pit ini mengeluarkan pancaran sinar hangat, tiada cacad sedikitpun. Sampaipun Coh Liu-hiang selama hidupnya belum pernah ia melihat batu jade sesempurna itu. Sudah tentu Leng Chiu-hunpun seorang ahli dalam menilai sesuatu benda, seketika berkilat sorot matanya, namun mulutnya berkata tawar: "Tuan pasang batu jade ini untuk mempertaruhkan apa?"
"Mempertaruhkan kau!"
Berubah air muka Leng Chiu-hun, serunya tertawa besar: "Bertaruh aku" Aku Leng Chiu-hun masa begitu berharga?"
"Kalau aku menang, maka kau harus ikut aku"
Seperti tenggorokannya mendadak diiris pisau seketika berhenti tawa Leng Chiu-hun, matanya mendelik ke arah batu jade di atas meja, terpancar rasa tamak dan ingin mengangkanginya, lalu ia melirik ke arah dadu di pinggiran sana, mendadak ia menjawab lantang: "Baik! Aku pasang diriku!"
Kata-kata ini seketika menimbulkan keributan pada kamar judi yang hening lelap tadi. Namun Coh Liu-hiang tahu bahwa Leng Chiu-hun berani mempertaruhkan dirinya tentu dalam permainan enam biji dadu ini, dia mempunyai cara atau kepandaian khas yang tidak mungkin dilakukan orang lain, ia yakin dirinya pasti menang.
Tampak sebutir demi sebutir Leng chiu-hun menjumput dadu itu serta dimasukkan ke dalam porselen berbentuk seperti mangkuk, lalu menutupnya pula dengan tatakan bundar, katanya pelan-pelan: "Cara judi dengan dadu banyak macamnya, tuan....."
"Aku pasang yang terkecil, jumlah titik yang paling kecil itulah yang menang"
Leng Chiu-hun tersenyum, ujarnya: "Pasang besar atau kecil sama saja, tuan silahkan!"
Baru saja ia hendak dorong dadu itu kepada orang, si pemuda sudah berkata: "Silahkan kau dulu yang mengocok"
Leng Chiu-hun berpikir sebentar, lalu katanya: "Baik setitik sama...."
"Setitik yang sama dianggap seri!" sambung si pemuda.
"Bagus!" seru Leng Chiu-hun. Begitu tangan terangkat, suara dadu dalam mangkok berkumandang di dalam ruangan judi yang sunyi itu.
Maka Leng Chiu-hun amat prihatin dan tegang, seluruh perhatiannya ia tumplek pada mangkok yang dia kocok terus di pinggir telinganya, dadupun terus berbunyi dan berkerotokan di dalam mangkok, suaranya seolah-olah menyedot sukma setiap hadirin.
Saking tegang serasa sesak napas setiap hadirin. "Brak!" tahu-tahu Leng Chiu-hun sudah menggabrukkan mangkok porselen itu di atas meja.
Puluhan mata serempak menatap ke arah jari-jari tangannya yang putih mulus, pelan-pelan tangannya mulai terangkat membuka tutup, maka tampaklah enam dadu....
Kembali ruang judi digemparkan oleh suara ribut dan bisik-bisik para hadirin. Keenam dadu itu ternyata adalah sama menunjukkan setitik merah, seakan-akan seperti enam tetes darah merah di atas tutup tatakan itu. Enam dadu berarti enam titik, jumlah yang tidak mungkin dikurangi lagi, terang Leng Chiu-hun berada pada posisi yang tak mungkin kalah lagi, ujung mulutnya segera mengunjuk senyuman bangga akan kemenangan.
Coh Liu-hiang membatin: "Kepandaian Leng Chiu-hun mengocok dadu memang hebat, entah dengan cara apa si pemuda bisa mengalahkan dia?"
Sedikitpun si pemuda tidak menjadi keder, sikapnya tetap dingin kaku, katanya dingin:
"Memangnya hebat!"
"Tuan, silahkan!" ujar Leng Chiu-hun.
"Baik!" sekonyong-konyong cambuk panjang di tangannya bagai ular hidup meluncur ke depan seperti memagut. Keruan Leng Chiu-hun kaget, ia kira orang hendak main kekerasan, siapa tahu cambuk yang meluncur bagai kilat itu tiba-tiba berhenti di atas dadu, ujung cambuknya dengan gesit selincah ular hidup menggulung sebutir dadu, seperti mulut ular memagut lalu dilepas pula:
"Serr" dadu itu seketika mencelat terbang lempeng ke depan sana dan "trap" melesak masuk ke dalam dinding yang dikapur putih halus, seluruh dadu itu terporot di atas dinding, yang kelihatan hanya setitik warna merah. Bisa menggunakan lentikan tangan menimpuk dadu terporot ke dalam dinding dan hanya menunjukkan satu titik saja sudah bukan kerjaan yang gampang, mungkin hanya ahli senjata rahasia kelas luhur saja yang mampu melakukan. Si pemuda justru memerlukan cambuk panjang enam kaki untuk membelit dadu lalu melempar, kekuatan pergelangan tangan, ketajaman matanya, benar-benar hebat dan sukar dibayangkan kehebatannya.
Tak tertahan seluruh hadirin sama berseru memuji. Di tengah suara hiruk pikuk kekaguman dan rasa heran itulah dadu kedua kembali tergulung, dengan cara yang sama kembali ditimpukkan, dadu kedua ini tepat melesak masuk mengenai dadu pertama, muka yang menghadap keluar tetap sama, setitik merah pula. Begitulah cambuk itu bergerak melingkar-lingkar turun naik beruntun menggulung sisa dadu yang lain, dadu ketiga didorong dadu keempat dan dadu keempat didorong dadu kelima dan seterusnya sampai keenam dadu semua dilempar ke dalam dinding, yang kelihatan hanya satu titik merah yang rata dengan permukaan dinding.
Keruan terbelalak mata semua hadirin menyaksikan pertunjukkan hebat menakjubkan ini.
Namun sikap si pemuda tak berubah, mimiknya tetap kaku, katanya pelan-pelan: "Enam dadu hanya satu titik, kau kalah!"
Pucat pias selembar muka Leng Chiu-hun, mendadak ia berteriak: "Tidak masuk hitungan, cara seperti itu mana dapat masuk hitungan?"
"Kau hendak mungkir dan main curang?" baru sekarang si pemuda menyeringai.
Cambuk panjangnya kembali terayun terbang bagaikan ular beracun menggulung kearah Leng Chiu-hun. Bagaimanapun juga Leng Chiu-hun bukan seorang lemah, "sreng" tahu-tahu pedangnya sudah terlolos keluar. Siapa nyana cambuk ular itu seakan-akan bernyawa, tahu-tahu bisa menukik merubah arah dan dengan kencang tahu-tahu sudah membelit senjata lawan, sekali tarik dan sendal seketika gaman Leng Chiu-hun mencelat terbang lepas dari cekalan tangannya.
"Clep!" menancap di atas belandar, gagang pedangnya bergoyang-goyang melambaikan kuncir benang sutranya. Lebih celaka lagi raut mukanya yang pucat memutih itu tiba-tiba sudah memetakan sejalur garis merah darah.
"Kau sudah kalah," jengek si pemuda. "Hayo ikut aku pergi!"
Saking kaget dan ketakutan Leng Chiu-hun sampai berdiri menjublek dengan badan lemas lunglai.
Tiba-tiba suara seseorang menyela dengan kalem: "Begitu asyik kalian berjudi, tanganku jadi gatal, marilah biar aku ikut bertaruh!" suaranya halus senyumnya tawar, siapa pula kalau bukan Coh Liu-hiang.
Waktu cambuk terayun menari-nari di tengah udara, mantel itu sedikit terangkat dan tersingkap, sekilas terlihat oleh Coh Liu-hiang lapisan kain merah bagian dalam mantel hitam itu tersulam seekor unta terbang. Jikalau bukan lantaran unta terbang itu, mungkin Coh Liu-hiang tidak akan sudi menampilkan diri.
Semua hadirin sudah melongo dan ciut nyalinya oleh kepandaian silat si pemuda, kini melihat ada orang masih berani hendak bertaruh kepadanya semua sama melototkan mata mengawasi Coh Liu-hiang.
Sebaliknya, Leng Chiu-hun merasa mendapat anugerah dewata yang menolong kesusahannya, seketika mukanya berseri tawa lebar, katanya: "Thio heng ternyata ingin bertaruh juga, sungguh baik sekali, baik sekali"
Setenang lautan samudra, mantep dan teguh tekadnya, sepasang mata si pemuda bagai tajamnya ujung pisau lekat-lekat menatap muka Coh Liu-hiang. Siapapun bila ditatap oleh mata seperti itu mungkin arwahnya bisa copot dari badan kasarnya.
Sebaliknya Coh Liu-hiang bersikap acuh tak acuh seperti tak terjadi apa-apa, katanya berseri tawa: "Tuan datang dari gurun pasir bukan?"
Air muka si pemuda yang dingin dan kaku seketika berubah, tanyanya mendesis: "Siapa kau?"
"Seperti tuan, akupun sudah melupakan namaku"
"Kau hendak pasang judi" baik! Judi apa?"
"Judi dadu, tetap judi dadu, tentunya jumlah sedikit yang menang!"
Reaksi para hadirin sungguh lucu mendengar kata-katanya ini, mereka kira orang ini sudah gila, enam dadu itu kini cuma menunjukkan satu titik,memangnya dia bisa menang"
Agaknya si pemuda tertarik dan merasa senang, sorot matanya bercahaya, tanyanya:
"Taruhanmu....."
"Kalau tuan kalah, sudah tentu mainan batu jade ini menjadi milikku, Leng-kongcupun tak usah ikut kau. Kecuali itu, ingin aku mengajukan beberapa patah pertanyaan kepada tuan!"
Pertaruhan yang ringan dan murah saja, seketika terangkat alis si pemuda, tanyanya: "Kalau kau yang kalah?"
"Kalau aku kalah, akan kujelaskan semua urusan yang ingin benar kau ketahui itu"
Berubah air muka si pemuda, "Dari mana kau bisa tahu hal apa yang ingin kuketahui?"
"Mungkin aku mengetahui"
Lain orang bila kalah taruhannya amat tinggi nilainya, sebaliknya kalau dia sendiri yang kalah hanya kalah omongan saja, malah belum pasti dan baru mungkin saja, pertaruhan seperti ini sungguh tidak adil, semua orang kira si pemuda tentu tidak mau terima meski jelas dia bakal menang.
Tak nyana si pemuda berpikir sebentar, lalu berkata tandas: "Baik, pertaruhan ini jadilah!"
"Aku tahu tuan pasti akan bertaruh!"
"Dadu sudah kutimpukkan, apa kaupun hendak menimpukkan sekali lagi dengan cara yang sama?"
"Tidak perlulah!"
Terasa oleh semua orang bahwa otak orang ini memang tidak normal, dilihatnya ia menghampiri meja judi lain dan mengambil enam butir dadu yang lain.
Dia genggamn keenam biji dadu itu dalam tapak tangan. Leng Chiu-hun serasa seluruh jiwa raganyapun ikut tergenggam dalam tapak orang. Kalau sikap Coh Liu-hiang biasa dan wajar, sebaliknya seluruh badan Leng Chiu-hun sudah dibasahi keringat dingin. Tak tertahan ia berseru memperingatkan: "Thio heng, jangan kau lupa pihak lawan sudah melempar setitik angka saja"
"Aku tahu" ujar Coh Liu-hiang tawar. Segera sebelah tangannya terayun melemparkan sebiji dadu. Semua orang mengira dia hendak menelat perbuatan si pemuda, tapi paling-paling dia hanya bisa mendapat angka sebanding dengan lawan, paling-paling tidak terkalahkan namun toh tidak akan menang. Tapi takjub dan heran pula semua hadirin dibuatnya karena biji dadu itu meluncur amat lambat dan aneh sekali, kalau si pemuda menimpuk dengan ujung cambuknya, sebaliknya ia melontar dengan tangan, betapa besar perbedaan antara pertunjukkan kepandaian ini, kenapa pula Coh Liu-hiang harus mempertunjukkan kejelekan diri sendiri, namun serta melihat dadu yang ditimpukkan itu bergerak lambat di tengah udara seperti terikat benang dan ditarik pelan dalam satu garis datar, sungguh semua orang sama tak mengerti, kenapa dadu itu tidak bisa membelok atau jatuh.
Semua orang memang tidak tahu betapa besar pengerahan lwekang untuk menggerakkan timpukan dadu sekecil itu dengan gerakan lambat yang lempang itu, namun mereka maklum bahwa lambat itu jauh lebih sukar dari pada cepat.
Tatkala dadu kedua i tangan Coh Liu-hiangpun melesat keluar, luncurannya rada cepat sedikit mengejar dadu pertama dan "Trak!" dadu pertama ternyata diterjang pecah hancur. Luncuran biji dadu ketiga lebih cepat sedikit lagi mengejar biji kedua dan "Tras!" sekali lagi dadu keduapun terpukul hancur. Begitulah satu persatu Coh Liu-hiang jentikan dadunya, biji keempat menghancurkan biji ketiga, biji kelima menghancurkan biji keempat dan seterusnya, biji kelima amat cepat dan besar setelah menghancurkan biji keempat terus meluncur menumbuk tembok dan terpental balik, kebetulan kebentur dengan biji keenam yang melesat tiba, kedua biji terakhir ini saling bentur di tengah udara dan hancur bersama.
Enam biji dadu sama hancur menjadi bubuk berhamburan di atas lantai, dan anehnya bubuk dadu itu akhirnya bertumpuk di dalam bidang yang sama sehingga menumpuk tinggi. Sudah tentu semua hadirin dibikin melongo keheranan seakan-akan sedang melihat permainan sulap layaknya.
Coh Liu-hiang menepuk-nepuk tangan, katanya tertawa: "Daduku hancur, setitikpun tiada lagi, tentunya tuan yang kalah"
Tak tahan akhir Leng Chiu-hun berjingkrak kegirangan, serunya bertepuk tangan: "Benar, enam dadu setitikpun tiada lagi, bagus, bagus sekali!"
Seketika pucat muka si pemuda, cara yang digunakan Coh Liu-hiang memang baik dan mengambil keuntungan melulu, namun cara permainannya benar-benar merupakan kepandaian asli dan tulen, sedikitpun tak mungkin secara kebetulan. Apalagi cara yang ia gunakan untuk mengalahkan Leng Chiu-hun juga sama dengan cara nakal-nakalan, mana bisa ia mengatakan kelicikan orang lain" Saat mana mimik wajahnya mirip benar dengan keadaan Leng Chiu-hun waktu kalah tadi, mau mungkirpun tak bisa lagi. Biasanya dia sering permainkan orang sesuka dan seriang hatinya, tak nyana hari ini dia ketemu batunya dan balas dipermainkan orang secara konyol.
Tampak biji matanya yang cekung setenang air laut yang dalam dan mantep kini berubah seperti mega di ujung langit berubah berulang kali terhembus angin lalu dengan bentuk warna warna. Sorot mata yang semula dingin kini memperlihatkan perasaan.
Coh Liu-hiang merasa heran melihat perubahan ini, batinnya: "Kalau matanya itu tumbuh di atas badan perempuan, maka perempuan itu pasti cantik molek, cukup sekali ia mengerling laki-laki akan rela berkorban demi dirinya, sayang sepasang mata yang indah ini dimiliki oleh laki-laki tumbuh di tempat yang tidak benar."
Sesaat lamanya si pemuda baju hitam menjublek, mendadak cambuk panjangnya terayun dan mengamuk seperti orang kesurupan melecuti orang-orang yang menonton di pinggiran. Dalam sekejap saja puluhan orang kena dihajar babak-belur, beramai-ramai mereka keluar menyelamatkan diri, si pemuda masih terus ayunkan cambuk lemasnya, bentaknya bengis: "Pergi!
Semua menggelundung pergi! Satupun tak boleh tinggal di sini!"
Suara hiruk pikuk membuat suasana ruang judi menjadi gaduh, jerit tangis para gadis-gadis pelayan yang berjatuhan dan saling berhimpitan terdengar menyayat hati, malah ada yang berlari keluar sambil merangkak. Keruan berubah air muka Leng Chiu-hun sambil bertanya gusar:
"Orang-orang itu tidak mengusik kau, kenapa kau lampiaskan...."
"Kaupun lekas menggelundung keluar!" damprat si pemuda baju hitam, "menggelinding keluar!"
Darah segar setetes demi setetes mencucur keluar dari muka Leng Chiu-hun, namun mengusappun tidak, dengan melotot ia pandang si pemuda, jengeknya dingin: "Kalau kau tidak mau mengaku kalah di hadapan orang banyak, tentu aku boleh keluar, namun...."
"Tar!" kembali mukanya kena lecutan cambuk. Tapi ia tetap berdiri di tempatnya tanpa bergeming, katanya pula pelan-pelan: "Asal kau ingat, akan datang suatu ketika aku orang she Leng pasti akan menuntut balas berlipat ganda kepada kau"
Kembali cambuk si pemuda terayun, hardiknya: "Cambuk keempat!"
Leng Chiu-hun membanting kaki, sambil kertak gigi ia melangkah keluar.
Tatkala itu seluruh ruangan sudah kosong melompong tidak kelihatan bayangan orang lain kecuali Coh Liu-hiang dan si pemuda baju hitam, agaknya rasa gusar dan penasaran si pemuda masih belum terlampias, kembali ia bikin hancur segala perabot dan gambar lukisan atau pajangan apa saja di atas dinding.
Coh Liu-hiang tetap berdiri di pinggir meja, sambil tersenyum ia mengawasi ulah orang yang mengamuk itu, katanya: "Sekarang semua orang sudah menyingkir, tuan boleh mengaku kalah bukan?"
Pelan-pelan terjulur lemas dan menjuntai ke lantai cambuk panjang si pemuda baju hitam, tampak pundaknya turun naik, lambat laun napasnya mulai normal kembali, dengan suara rendah tertahan akhirnya ia bersuara: "Apa yang ingin kau tanyakan" Lekas katakan!"
Sebentar Coh Liu-hiang termenung, katanya: "Surat yang diterima ayahmu sebelum beliau masuk ke pedalaman, apakah pernah kau melihatnya" Entah apa sebenarnya yang tertulis di atas surat itu?"
Sigak sekali mendadak si pemuda membalik badan, sorot matanya setajam pisau menatap muka Coh Liu-hiang, serunya bengis: "Dari mana kau tahu siapa ayahku" Cara bagaimana kau tahu beliau masuk pedalaman" Bagaimana pula kau bisa tahu sebelum ke pedalaman beliau pernah menerima sepucuk surat?"
"Jangan kau lupa, sekarang akulah yang berhak bertanya kepada kau!"
"Pertanyaan sudah kau ajukan, sekarang akulah yang sedang tanya kepada kau"
"Pertanyaanku belum kau jawab, kenapa kau balas bertanya kepadaku malah?"
"Aku hanya menerima pertanyaanmu, toh tidak berjanji hendak menjawab pertanyaanmu"
Coh Liu-hiang melongong, katanya tertawa: "Selama ini ingin aku melihat siapakah orang yang paling tidak pegang aturan dalam dunia ini, baru hari ini aku benar-benar kebentur"
"Pertanyaan sudah kau ajukan, baru mainan itu boleh kau ambil, orang she Leng pun sudah kulepas pergi, pertaruhan antara kita sudah impas dan lunas, kini tiba saatnya kau menjawab pertanyaanku!"
Kata-kata ini diucapkan seperti poyah renteng meledak, cepat dan gugup, seolah-olah sebelumnya memang sudah dia rencanakan dalam hati, sungguh Coh Liu-hiang tidak pernah menduga pemuda dingin dan angkuh ini ternyata bisa main licin dan licik, ujarnya tertawa getir:
"Kalau aku tidak menjawab pertanyaanmu?"
Hanya sepatah kata jawaban si pemuda: "Mati!"
"Kalau aku tidak mau mati?"
Sungguh lucu dan tepat sekali pertanyaan ini, sejak kecil dan sebesar itu, belum pernah si pemuda menghadapi seseorang dengan sikap yang seperti itu. Sorot matanya yang dingin membeku itu tiba-tiba memancarkan ledakan kembang api, desisnya sadis: "Kalau bukan kau yang mampus biar aku yang mati!" belum lenyap gema suaranya, cambuk panjangnya mendadak menyabet tiba.
Jalur cambuk panjangnya itu seakan-akan membuat banyak lingkaran-lingkaran besar kecil yang tidak terhitung banyaknya, setiap lingkaran cambuknya itu agaknya hampir menjerat leher Coh Liu-hiang. Bahwasanya satupun tiada yang berhasil menjerat.
Seenteng asap mengembang, tahu-tahu Coh Liu-hiang sudah berada di belakang si pemuda, katanya mengolok: "Jikalau aku tidak membiarkan kau cari kematian?"
Sekali raih si pemuda menanggalkan mantel terus dikebutkan, mantel hitam yang lebar itu seketika berkembang dan menungkrup ke arah kepala Coh Liu-hiang seperti segumpal awan, di antara berkelebatnya bayangan hitam tampak terselip tujuh titik sinar bintang dingin. Agaknya si pemuda sudah murka betul-betul serangannya tidak mengenal kasihan lagi, begitu tangan kiri menarik mantel, Chit-sing-ciam yang tersembunyi di gagang cambuknya berbareng merangsek tiba.
Serangan kombinasi ini dinamakan Hun-te-hwie-siang (bintang terbang di bawah mega), ternyata salah satu ilmu tunggal Tay-mo-siu-tiong yang pernah malang melintang di kolong langit, entah berapa banyak tokok-tokoh silat kenamaan yang menemui ajalnya oleh serangan hebat ini.
Tujuh bintik sinar bintang tertekan di bawah gumpalan mega hitam, siapapun jangan harap bisa melihatnya jelas, di saat ia mendengar angin sambaran senjata rahasia musuh untuk berkelitpun sudah terlambat.
Mimpipun Coh Liu-hiang tidak mengira pemuda inipun membekal kepandaian tinggi dan ilmu yang sekeji ini, kesiur senjata rahasia yang menerjang di udara tahu-tahu sudah melesat tiba di depan dada. Kalau dia harus berkelit, terang tak sempat lagi, dalam seribu kesibukannya lekas ia menyedot kulit daging dadanya, secepat anak panah ia menjatuhkan badan terus menggelundung mundur.
Luncuran tujuh bintik sinar bintang itu sendiripun secepat kilat, namun Coh Liu-hiang mundur lebih cepat dari luncuran senjata rahasia itu, tahu-tahu ia sudah mundur mepet dinding, tenaga luncuran senjata rahasia itupun sudah kendor dan jauh lebih lemah. Mendadak ia ulurkan tangannya, seperti menangkap nyamuk ke tujuh bintik bintang hitam itu kena ditangkap olehnya.
Seketika si pemuda bergetar berdiri dengan kesima, teriaknya tak tertahan: "Gerakan badan yang teramat cepat, sungguh hebat Hun-kong-coh-ing (menangkap bayangan membagi cahaya)"
Ditengah suara bentakannya, beruntun ia menyerang dengan lecutan cambuknya tujuh kali.
Ilmu cambuk orang lain biasanya laksana hujan badai, namun lingkaran cambuknya ini justru serapat dan seketat mega mendung sebelum hujan turun sebelum bayu menghembus layu.
Kalau gerak lingkaran cambuk orang entah menyapu miring atau menyodok maju, tapi lingkaran ini justru menggulung datang dari berbagai arah, lingkaran besar membelit hingga lingkaran kecil, di dalam lingkaran kecil masih ada lingkaran lebih kecil lagi, di luar lingkaran besar masih ada lingkaran yang lebih besar pula.
Sekilas pandang seperti ada ribuan lingkaran bayangan cambuk yang berterbangan di tengah udara berlapis bertumpuk, ada yang akan menjirat tangan ada yang akan menjirat kepala, kalau orang biasa tidak bergebrak sama dia hanya melihat bayangan lingkaran cambuknya yang tak terhitung banyaknya itu, mungkin sudah pusing kepala dan jatuh semaput.
Umpamanya Coh Liu-hiang sendiri selama hidupnya belum pernah menghadapi lingkaran-lingkaran aneh seperti itu, namun ia insaf asal satu di antara sekian banyak lingkaran itu menjirat anggota badannya tentu akibatnya amat fatal. Tapi lingkaran besar kecil sekian banyaknya sungguh sulit diraba lingkaran mana yang tulen atau lingkaran yang ini cuma serangan pura-pura belaka. Lingkaran yang berisi atau kosong campur aduk. Secepat kilat sambung menyambung menggulung dirinya, untuk memunahkannya sesulit manjat ke langit.
Sembari berkelit Coh Liu-hiang peras otaknya mencari akal, tiba-tiba dilihatnya di atas meja judi terdapat sebuah bumbung yang berisi batangan bambu kecil panjang satu kaki, batang-batang bambu ini biasanya digunanakan untuk mempermudah dalam pembayaran para penjudi dengan nilai-nilai uang yang tidak sama menurut waris dan panjangnya.
Sekali berkelebat dan jumpalitan sejauh empat tombak, dengan mudah Coh Liu-hiang sudah meraih batang bambu kecil itu, waktu cambuk melingkar datang pula mendadak ia timpukkan sebatang bambu ke dalam lingkaran cambuk. Terdengar "pletek!" kisaran lingkaran cambuk itu dibikin lambat, namun batangan bambu itu patah menjadi dua.
Begitu lingkaran cambuk mematahkan batangan bambu, bayangan lingkaranpun sirna, namun begitu si pemuda kembali menggentak cambuknya, lingkaran-lingkaran yang tak terhitung banyaknya kembali menggulung tiba. Lingkaran demi lingkaran menerjang datang, batangan bambu di tangan Coh Liu-hiang pun sebatang demi sebatang ditimpukkan, setiap batang bambu tepat sekali masuk di tengah-tengah lingkaran cambuk. Maka terdengarlah suara "pletak-pletok"
seperti ledakan poyah, tampak lingkaran cambuk satu demi satu menghilang, batangan bambupun patah satu per satu.
Suara seperti itu enak didengar, namun keadaan pertunjukkannya jauh lebih mengasyikkan.
Kalau dikatakan ilmu cambuk si pemuda boleh menjagoi seluruh dunia, cara Coh Liu-hiang memusnahkannyapun tiada bandingannya di kolong langit.
Maklum begitu ujung cambuk melingkar, kekuatannya sudah terhimpun penuh dan tinggal dimanfaatkan saja, begitu menyentuh sesuatu benda lain atau mendapat perlawanan tenaga luar lainnya kekuatan yang terhimpun itu mau tak mau harus tersalurkan, oleh karena itu begitu batangan bambu tertimpuk masuk maka kekuatan lingkaran cambuk itu pasti menggulungnya sampai patah, setelah batangan bambu dipatahkan kekuatan lingkaran cambuk itupun punah, dengan sendirinya lingkaran itupun sirnalah.
Gampang sekali untuk menerangkan teori ini, namun di saat menghadapi musuh dan bergebrak seru seperti sekarang ini, untuk menjelaskan teori ini, sungguh amat sukar dan tak mungkin dilakukan.
Memang Coh Liu-hiang seorang genius, seorang berbakat untuk mempelajari ilmu silat. Bukan saja setiap ilmu silat yang dia pelajari pasti dapat diyakinkan dengan sempurna, malah pengalaman dan kecerdikan otaknya dalam menghadapi segala bentuk perubahan serangan musuhpun teramat luas jauh melebihi orang lain. Banyak ilmu silat yang jelas takkan mungkin dapat dia pecahkan, serta dia sendiri sudah menghadapinya dalam praktek, sekilas saja secara reflek pasti dapat dia pikirkan cara pemecahannya. Maka sering terjadi seseorang yang sebetulnya membekal ilmu silat yang lebih tinggi dari dia, setelah bergebrak malah dia kena dikalahkan olehnya. Meski dia kalah dengan keheranan dan secara aneh seperti tidak masuk akal, namun semakin aneh semakin mereka tunduk lahir batin. Memang di situlah letak salah satu cacat hati manusia.
Kepandaian Hwie-hoan-tao-goat, Heng-sing-pou-hi (Cincin terbang menjirat rembulan awan berkembang menata hujan) si pemuda baju hitam biasanya malang melintang di gurun pasir selamanya belum pernah mendapat tandingan setimpal, tak nyana secara kenyataan dia menghadapi cara pemecahan yang aneh dan menakjubkan.
Lama kelamaan hatinya jadi gugup dan gelisah, cambuk diputarnya semakin kencang, maka lingkaranpun semakin banyak. Semakin banyak lingkaran, batangan bambu yang ditimpukkanpun semakin banyak juga, sebentar saja batangan bambu Coh Liu-hiang terang akan habis. Sudah tentu si pemuda baju hitam diam-diam girang, batinnya: "Setelah batangan bambumu habis kau gunakan, akan kulihat apa pula yang bisa kau lakukan?"
Tengah pikirannya bekerja, dilihatnya setelah Coh Liu-hiang menimpukkan batangan bambu di tangan kanan, lingkaran cambuknya mematahkan batangan bambu itu, begitu lingkaran lenyap daya kerja lingkaran cambuk yang lain sudah tentu rada tertahan dan menjadi kendor. Ternyata Coh Liu-hiang tidak sia-siakan kesempatan paling baik ini, dengan gerakan Hun-kong-cou-ing kembali ia raut batangan bambu yang sama patah berserakan di lantai itu, dari satu kini menjadi dua, jumlahnya semakin banyak dan takkan putus bahkan lebih banyak dari yang diperlukan.
Gelisah dan gusar pula si pemuda baju hitam, lingkarannya tiba-tiba di kiri, lain kejap sudah di kanan, dari depan lalu berkisar ke belakang, saking dongkolnya malah ada lingkaran cambuknya yang tidak menjirat ke arah Coh Liu-hiang. Tapi walau lingkaran cambuk itu menjurus ke arah satu sudut manapun saja, asal tangan Coh Liu-hiang bergerak, batangan bambunya dengan tepat pasti masuk ke tengah lingkaran cambuknya.
Dasar pembawaan watak si pemuda inipun keras kepala dan kukuh, semakin lihay cara pemunahan lawan, semakin dia nekad dan berjuang mati-matian, tidak mau dia gunakan permainan ilmu cambuk lainnya.
Akhirnya tak tertahan Coh Liu-hiang tertawa geli, serunya: "Apa belum puas kau membuang lingkaran-lingkaran sebanyak ini?"
"Selamanya tidak akan percuma lingkaran yang kubuat ini!" sahut si pemuda kertak gigi.
"Sampai kapan kau hendak menjirat orang dengan lingkaran cambukmu?"
"Sampai kau terjirat mampus!"
"Kalau selamanya aku tidak bisa mati?"
"Selama itu pula aku berusaha menjirat lehermu"
Coh Liu-hiang melengak, katanya kewalahan: "Watak dan kemauan tuan ternyata tidak ubahnya seperti kerbau dungu!"
"Kalau kau tidak sabar menghadapi lingkaran cambukku, lekaslah menggelinding pergi"
"Bagus, sungguh menyenangkan kata-katamu, sampai akupun....."
Di tengah percakapan, lingkaran cambuk tetap bergulung-gulung tiba hendak menjirat badannya. Batangan bambu tetap ditimpukkan memunahkannya. Sampai pada kata-katanya terakhir, tangan Coh Liu-hiang masih menggenggam sepuluhan batang-batang bambu, sekaligus tiba-tiba ia timpukkan bersama, namun tiada satu batangpun meluncur ke tengah lingkaran.
Pertempuran-pertempuran tokoh-tokoh silat tingkat tinggi, mana boleh lena atau meleng" Saking kegirangan, tahu-tahu ujung cambuk si pemuda sudah menjerat leher Coh Liu-hiang, begitu ujung cambuknya melilit, "plok" tahu-tahu muka Coh Liu-hiang berbekas sejalur goresan darah. Meski kena sedikitpun Coh Liu-hiang tidak menjadi gugup, bagai seekor ular atau belut dengan licin dan gesit sekali badannya berputar dengan mudah ia sudah membebaskan diri sekaligus ia jengkangkan badannya ke belakang terus melesat mundur dengan badan menengadah ke atas, tahu-tahu sudah mundur mepet tembok.
Bersambung ke Jilid 6
Jilid 6 "Masih kau ingin lari?" jengek si pemuda baju hitam. Karena berhasil, mana mau ia mengampuni lawannya, lingkaran cambuknya kembali menggulung tiba.
Tepat pada saat itulah sekonyong-konyong selarik sinar pedang laksana kilat melesat masuk dari luar jendela. Sementara cambuk panjang sudah bergulung-gulung menjadi lingkaran, tentunya ujung cambuknya tak kelihatan lagi, namun pedang itu justru cepat dan persis sekali menutul di ujung cambuk, kekuatan gubatan cambuk yang melingkar seketika punah dan menjadi lemas.
Kalau cambuk panjang itu diumpamakan ular, maka tutulan pedang itu telak sekali menusuk pada tempat kelemahan si ular tujuh dim di bawah lehernya.
Kaget gusar dan heran pula si pemuda baju hitam, bentaknya: "Siapa?"
Belum lenyap suaranya, sesosok tubuh orang tahu-tahu sudah melayang masuk lewat jendela hinggap di hadapannya.
Orang ini juga mengenakan pakaian serba hitam membungkus perawakan badan yang kurus dan kencang dan kekar seperti macan kumbang yang baru saja menerobos keluar dari dalam hutan. Seluruh badannya diliputi kekuatan luar biasa, tapi seraut wajahnya kelihatan abu-abu kaku seperti mayat tidak memperlihatkan perasaan hatinya. Terutama sepasang matanya yang tajam dingin menatap orang siapapun dalam pandangannya, laksana seekor ikan yang sudah pasrah nasib untuk disembelih olehnya.
Walau si pemuda tidak tahu bahwa orang yang dihadapi ini adalah pembunuh nomor wahid di Tionggoan It-tiam-ang, namun karena pandangan sorot matanya terasa badannya menjadi risi dan gatal, lekas dia melengos ke arah Coh Liu-hiang, jengeknya dingin: "Ternyata kau sudah menyembunyikan pembantu"
Coh Liu-hiang hanya meraba-raba bekas luka di mukanya, bersenyum tanpa bersuara.
Terdengar si pemuda berbaju hitam mencemooh lagi: "Setelah kalah mengundang bala bantuan, memangnya tokoh-tokoh Bu-lim di Tionggoan begini tak becus dan tak tahu malu?"
It-tiam-ang mendadak menyeringai dingin, jengeknya: "Kau kira dia sudah kalah?"
Si pemuda terloroh dingin, sambil melangkah ujarnya: "Kena sekali lecutanku, memangnya aku yang kalah?"
It-tiam-ang mengerling kepadanya sekali lagi, sorot pandangannya seperti menghina dan tak pandang mata, mendadak ia melangkah maju , menggunakan pedang di tangannya ia menyungkit beberapa batangan bambu yang terputus-putus.
Si pemuda baju hitam tidak tahu permainan apa yang sedang orang lakukan, katanya dingin:
"Jadi kaupun ingin menjajal; seperti perbuatannya tadi?" demikian tantangnya.
"Kau periksa dulu baru buka mulutmu" sekali gentak dan ayun pedangnya batangan bambu itu sama terbang ke depan namun luncurannya tidak cepat.
Tak tahan si pemuda ulur tangan menyambuti, dilihatnya batangan bambu tetap tidak berubah bentuknya, cuma di setiap batangan bambu itu masing-masing menancap bintik-bintik bintang yang bersinar gelap dingin.
It-tiam-ang balas mencemooh: "Lantaran bintik-bintik bintang inilah dia terkena lecutan cambukmu, kalau tidak masakah sekarang kau masih hidup?"
"Kau.....maksudmu demi menolong jiwaku baru dia...."
"Kalau dia tidak berusaha memukul jatuh senjata rahasia itu, seujung bajunyapun jangan harap kau bisa menyentuhnya!"
Bergetar badan si pemuda, batangan bambu di tangannya sama berjatuhan, rona mukanya berubah hijau lalu merah dan akhirnya putih, pelan-pelan sorot matanya beralih ke arah Coh Liu-hiang, katanya gemetar: "Kau....tadi kau ke....kenapa tidak kau katakan?"
"Kan belum tentu senjata rahasia itu mengincar dirimu?"
"Senjata rahasia ini disambitkan dari arah belakangku, sudah tentu sasarannya adalah aku."
"Terkena sekali lecutanmu juga tidak menjadi soal, kenapa aku harus banyak mulut sehingga kau pedih hati?"
Si pemuda berdiri mematung, sekian lama ia menjublek di tempatnya, matanya yang bundar besar itu mulai berlinang air mata, cuma sedapat mungkin ia menahan tetesan air matanya.
Sengaja Coh Liu-hiang tidak mengawasinya, katanya tertawa: "Ang-heng, apakah kau melihat siapa orang yang membokong dengan senjata rahasia itu?"
Sahut It-tiam-ang dingin: "Kalau kau melihatnya, memangnya kubiarkan dia pergi?"
"Aku tahu gerak-gerik orang itu laksana setan, namun sulit memang melihat jelas siapakah dia sebetulnya. Di dalam Bulan di Tionggoan sebetulnya tidak banyak tokoh-tokoh lihay seperti dia itu."
"Aku tahu siapa dia," mendadak si pemuda menyelutuk bicara.
"Kau tahu?" Coh-Lu-hiang tersirap. "Siapa dia?"
Si pemuda tidak bicara lagi, tangannya merogoh kantong mengeluarkan sepucuk sampul surat, katanya, "Inilah surat yang ingin kau lihat, ambillah."
"Terima kasih, terima kasih!" betapa girang hati Coh-Liu hiang.
Si pemuda meletakkan sampul surat itu di atas meja, tanpa berpaling lagi ia tinggal pergi, waktu tiba di luar pintu, kepala tertunduk dan setetes air mata jatuh di atas tanah.
Beberapa malam dan beberapa hari sudah Coh Liu hiang memimpikan untuk mendapatkan surat itu dengan susah payah. Tak nyana surat yang diharap-harapkan itu kini berada di hadapannya, sungguh girang sekali hatinya, jantungnya berdebar-debar, baru saja ia ulurkan tangan hendak menjumput surat itu. Tiba-tiba sinar pedang berkelebat menyontek sampul surat itu.
Tak urung berubah air muka Coh Liu-hiang, katanya tertawa getir, "Apa Ang-heng sedang kelakar dengan aku?" It-tiam-ang meraih sampul surat itu dari ujung pedangnya, sahutnya dingin,
"Kalau kau menginginkan surat ini, kalahkan dulu pedang di tanganku ini."
"Sudah kukatakan aku tidak mau berkelahi dengan kau, kenapa kau selalu mendesakku?"
"Kalau kau sudah bergebrak dengan pemuda itu, kenapa tidak sudi berkelahi dengan aku?"
"Umpama ingin berkelahi, biarlah aku membaca surat itu dulu."
"Setelah bergebrak, kalau aku mati, boleh kau ambil surat ini, kalau kau yang mati, surat ini akan kukubur bersama jenazahmu."
"Baru saja watak kerbau dungu pergi, kini aku berhadapan dengan watak sapi," sekonyong-konyong laksana kilat cepatnya badannya melesat terbang, tangan kiri mencolok biji mata It-tiam ang, sementara tangan kanan merebut sampul surat itu.
Cukup memutar setengah lingkar badannya pedang It-tiam-ang sudah menusuk tiga kali pada tiga sasaran yang berlainan. Selicin belut Coh Liu-hiang membungkuk badan, tahu-tahu badannya menerobos lewat dari bawah sinar pedang, tangan kirinya setengah tergenggam menjojoh lambung It-tiam-ang, tangan kanan tetap bergerak merebut sampul surat itu. Dia bergerak cepat mendesak maju, betapa berbahaya gerakan tubuhnya, betapa cepat dan tangkas sekali cara permainannya, sungguh sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Menghadapi lawan tangguh, seketika bangkit semangat It-tiam-ang. Permainan pedangnya dikembangkan semakin cepat, lebih ganas dan berbahaya.
Tampak sinar pedang berkelebat pergi datang amat cepatnya menjadi tabir cahaya terang, sebentar pedang berubah laksana puluhan batang pedang, ratusan dan ribuan. Setiap batang pedang yang berkilauan itu tidak lepas dari incaran ke tempat mematikan di tubuh Coh Liu-hiang yang dicecar terutama tenggorokannya.
Namun gerak-gerik Coh Liu-hiang gesit keras dan secepat angin lesus berputar, tujuannya hanya ingin merebut sampul surat di tangan It-tiam-ang. It-tiam-ang mengerut kening, ternyata ia masukkan sampul surat itu ke dalam kantongnya.
Dengan baju bagian dada sedikit tersingkap ke kanan, tangan kiri baru saja hendak memasukkan sampul surat itu ke dalam saku bajunya sebelah kanan, mau tidak mau gerakan pedang di tangan kanannya rada terganggu dan pancaran sinar pedang yang rapat dan ketat itu mau tidak mau menjadi sedikit terbuka. Tibalah saatnya sekarang bagi Coh Liu-hiang memperlihatkan kehebatan kepandaiannya, mendadak badannya menerjang masuk, tangan kiri mengunci jalan permainan pedang It-tiam-ang, sementara tangan kanan memegang pergelangan tangan It-tiam-ang yang memegang surat, dalam sekejap mata beruntun ia merubah tujuh macam gerakan tangan.
Karena tangan kanan terkunci dan tak berkutik lagi, It-tiam-ang mundur berulang-ulang, sebaliknya Coh Liu-hiang seperti bayangan mengikuti wujudnya, dia melihat terus sehingga orang mati kutu, tahu-tahu pergelangan tangan terasa linu kemeng, ternyata urat nadinya telah tergencet oleh jari-jari Coh Liu-hiang.
Saking girang baru saja Coh Liu-hiang hendak merebut sampul surat itu, siapa tahu mendadak It-tiam-ang menjentikkan jarinya sambil surat itu seketika melayang jauh ke depan sana. Sudah tentu perubahan yang tak terduga ini membuat Coh Liu hiang kaget, sebab sekali ia melejit memburu ke arah sampul surat itu serta meraihnya, setitik sinar kemilau kembali berkelebat membabat tiba. Betapapun sinar pedang itu jauh lebih cepat dari gerakan orang, tahu-tahu sampul surat itu sudah tertusuk di ujung pedang.
Baru saja ia tarik pedang dan hendak meraih sampul surat itu, sekonyong-konyong Coh Liu hiang melejit ke tengah udara dan mendadak pula jumpalitan ke belakang, tangkas sekali tiba-tiba kedua tapak tangannya menepuk, tahu-tahu sampul surat dan ujung pedang kena tergencet di antara kedua tapak tangannya. Pertempuran ini sudah tentu jauh lebih hebat, lihay dan menakjubkan.
Gerakan pedang It-tiam-ang beruntun berubah tujuh variasi, namun gerak tubuh Coh Liu hiang pun berubah tujuh kali, seluruh badannya seenteng daun pohon bergelantungan di ujung pedang seperti bendera yang melambai mengikuti gerakan pedang lawan.
Tapi dalam keadaan seperti itu, sungguh ia tidak berani menjemput sampul surat itu, karena sedikit ia mengendorkan gencetan tapak tangannya, tajam pedang yang bergerak melebihi kilat, mungkin bakal menembus dadanya.
It-tiam-ang tidak putus asa, badannya bergerak teramat cepat dan gesit sekali, namun bagaimanapun ia bergerak berbagai variasi, jangan harap ia bisa melempar Coh-liu-hiang dari ujung pedangnya. Malah terasa pedangnya semakin bertambah berat kekuatan tenaga yang dia kerahkan pun harus berlipat ganda, tanpa terasa sekujur badan sudah mandi keringat.
Sampai akhirnya pedangnya sudah tak mampu bergerak lagi, terpaksa ia acungkan miring ke atas udara, berat badan Coh-liu-hiang serasa ribuan kati menindih ke atas badannya.
Begitulah yang satu di udara yang lain bercokol di tanah, kedua pihak saling bertahan, kalau pedang itu bukan terbuat dari baja murni pilihan, pedang sakti yang tiada bandingnya, mungkin sejak tadi sudah patah menjadi dua.
Mendadak It-tiam-ang menghardik keras, sekuat tenaga ia mengentak naik pedangnya, mendadak badanpun melambung tinggi ke tengah udara, dari ketinggian ia putar ujung pedangnya ke bawah terus dihunjamkan ke bumi. Kalau ujung pedang menekuk turun dan menusuk ke bawah, sudah tentu tidak mungkin pula mempertahankan diri di ujung pedang lawan. Maka terdengarlah "Pletak", Coh-Liu-hiang terbang miring dua tombak terjatuh di atas tanah, kedua tapak tangannya masih menggencet ujung pedang dan sampul surat itu. Tapi pedang sakti yang terbuat dari baja murni hasil gemblengan seorang ahli pencipta pedang, biasanya dipandang lebih berharga oleh jiwa It-tiam-ang sendiri, akhirnya patah menjadi dua potong.
Pucat pasi muka It-tiam-ang, suaranya gemetar, "Bagus, memang ilmu silat hebat, ginkang yang tinggi dan gerakan badan yang indah!"
Coh Liu-hiang tersenyum, ujarnya, "Ah, Angheng hanya memuji saja!" belum habis kata-katanya seri tawanya mendadak menjadi kaku membeku.
"Tang" kutungan pedang di tangannya jatuh, sedangkan sampul surat itupun rontok berhamburan seperti abu berterbangan, kebetulan angin menghembus masuk dari jendela, seketika cukilan kertas surat itu terhembus hilang terbawa angin.
Ternyata waktu kedua orang mengadu kekuatan tenaga dalam tadi, Lwekang masing-masing disalurkan bergelombang untuk saling mempertahankan diri, jangan kata hanya kertas surat saja, seumpama papan besi atau lembaran bajapun takkan tahan.
It-tiam-ang ikut tertegun, serunya tergagap, "Ini.... ini...."
Coh Liu-hiang menghela nafas, katanya tertawa getir, "Mungkin memang sudah suratan takdirku, aku tidak diijinkan melihat surat ini."
It-tiam-ang melongo sesaat lagi, katanya, "Su... surat itu apa sangat penting?" sebenarnya ia tahu pertanyaannya berlebihan, kalau surat itu tidak penting dan besar artinya, memangnya buat apa Coh Liu-hiang harus berusaha merebutnya dengan mempertaruhkan jiwa, memangnya kenapa pula sekian banyak yang mati lantaran surat itu.
Coh Liu-hiang malah bergelak tertawa, serunya, "Itupun tak apa-apa, sebaliknya aku bikin pedangmu kutung, seharusnya aku minta maaf kepadamu!"
Sesaat lamanya It-tiam-ang berdiam diri, katanya sambil mendongak, "Selama hidup ini bila aku mencarimu lagi untuk berkelahi, pedang inilah contohnya." "Trap," kutungan pedang di tangannya tahu-tahu sudah menancap di atas belandar.
Pada saat itulah tiba-tiba terlihat sesosok bayangan orang meluncur masuk, ternyata pemuda baju hitam tadi itulah, setelah surat tadi hancur, terpaksa Coh Liu-hiang harus mencarinya pula, tak nyana orang telah kembali pula, keruan ia berteriak kegirangan, "Kebetulan kedatangan tuan, ada urusan Cayhee hendak mohon petunjukmu."
Siapa tahu si pemuda baju hitam seakan-akan tidak mendengar seruannya, selebar mukanya mengunjukkan rasa gugup dan kuatir sambil celingukan kian kemari, tiba-tiba ia lari kesana dan menyelinap masuk ke belakang kerai jendela.
Kwi-gi-tong ini dipajang serba mewah dan istimewa, di depan setiap jendela dipasang gantungan kerai warna abu-abu yang tebal. Mungkin lantaran perjudian disini diadakan setiap malam hari supaya sinar lampu tidak menyorot keluar.
Waktu itu hari masih pagi, maka kerai jendela belum ditarik, jadi masih tergulung di samping.
Pemuda baju hitam bertubuh kurus tinggi, kalau dia sembunyi disana, tentu jejaknya takkan ditemukan lagi.
Sekilas pandang Coh Liu-hiang dan It-tiam-ang saling pandang, hati masing-masing merasa heran dan tak habis mengerti. Kenapa setelah pergi si pemuda putar balik" Kenapa pula sedemikian gugup" Wataknya keras berhati tinggi dan angkuh lagi, memangnya ada siapa orangnya yang dapat menakutkan dirinya sehingga perlu menyembunyikan diri"
Tak lama kemudian, dari kejauhan beruntun terdengar suitan bambu, suaranya melengking tinggi dan pendek, sahut menyahut, dalam sekejap saja tahu-tahu sudah berada di sekeliling rumah judi ini. Disusul bau amis yang terbawa angin merangsang hidung. Dari luar pintu melata masuk dua puluhan ular beraneka warnanya, berukuran besar kecil tak merata.
Coh Liu-hiang mengerut kening, sekali lompat ia naik ke atas meja judi dan duduk bersimpuh.
It-tiam-ang pun mengerut alis, dia malah melambung tinggi duduk di atas belandar. Kutungan pedangnya ia cabut terus dilempar ke bawah, seekor ular yang paling besar kontan terpantek di atas lantai.
Ternyata kekuatan ular itu amat besar, mungkin karena kesakitan lidahnya menjulur keluar masuk, badannya menggelepar-gelepar amat kerasnya berdentam di atas lantai, sampai ubin batu yang keras itu pecah dan retak. Tapi tenaga lemparan It-tiam-ang amat keras dan besar, kutungan pedangnya itu ternyata amblas sampai ke gagangnya meski ular beracun itu meronta dan menggelepar sekuat tenaganya, betapapun ia tidak kuasa membebaskan diri. Sementara ular-ular beracun yang lain terus main terjang, ada yang menggigit ekornya, ada yang menggigit badannya, sekejap saja seluruh kulit dagingnya sudah terisap habis sama sekali.
Rasanya mual dan heran pula It-tiam-ang yang duduk di atas belandar, katanya, "Ular ini rada ganjl, darimanakah datangnya?"
Coh Liu-hiang menghela nafas, ujarnya, "Mungkin Ang-heng sudah mencari kesulitan sendiri,"
belum habis katanya dari luar pintu sudah beranjak masuk tiga orang.
Laki-laki yang di tengah bertubuh tegap, pakaian yang dipakainya penuh tambalan, sudah tambalan ditambal lagi, entah berapa kali tambalan sehingga kelihatannya tebal namun dicucinya dengan bersih. Walaupun pakaian yang dipakainya pakaian pengemis, namun sorot matanya bercahaya, memancarkan kilat hijau bengis, sikapnya amat garang dan pongah, seolah olah tidak pandang sebelah mata kepada siapapun juga.
Dua orang lain di belakangnya juga berpakaian serba tambalan, raut mukanya buas dan di atas punggungnya masing-masing menggemblok tujuh delapan karung bagor. Terang mereka adalah murid-murid Kaypang yang berkedudukan paling tinggi.
Tata tertib Kaypang biasanya amat keras dan ketat dalam mengawasi setiap tindak tanduk murid-muridnya, tingkatan satu sama lain dipandang dan dipatuhi dengan hormat, pengemis tinggi besar ini tanpa memikul satu karung bagorpun, paling hanyalah murid kecil yang belum masuk jadi anggota Kaypang. Tapi dari sorot mata dan sikap kedua murid Kaypang berkarung tujuh delapan itu, kelihatannya malah takut dan segan serta menghormat kepada laki-laki ini, bagi pandangan seorang yang kenyang pengalaman Kangouw, sekali pandang saja sudah terasa kesan aneh dan ganjil ini.
Lebih aneh lagi pengemis ini bermuka buas, bengis dan sadis. Malah sudah tergembleng dalam kehidupan melarat dan rudin, sering lantang luntung dalam Bulim, entah dari sudut atau posisi mana kita menilainya, seharusnya kulit dagingnya hitam kasar. Tapi sekujur badannya justru berkulit putih halus laksana bentuk batu jade yang paling sempurna seperti kulit perawan pingitan yang tidak pernah keluar rumah dan merawat badannya dengan baik sampai mengkilap.
Coh Liu-hiang menghela nafas pula, gumamnya, "Kesulitan memang sudah tiba!"
Pengemis tinggi kekar menjelajahkan pandangan matanya yang berkilauan bengis berbentuk segitiga, akhirnya dengan mendelik ia tatap Coh Liu-hiang, katanya gusar, "Keparat, berani kau membunuh ular sakti dari Pun pang, memangnya sudah bosan hidup?"
Baru saja It-tiam-ang hendak menjawab, Coh Liu-hiang sudah keburu berkata, "Pun pang"
Pun Pang yang tuan maksudkan, entah Pang yang mana?"


Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pengemis besar jahat itu menyeringai sadis, bentaknya, "Keparat, memangnya kau picak"
Masakah murid murid Kaypang tidak kau lihat tegas?"
"Murid Kaypang sudah tentu dapat kubedakan, cukup puluhan tahun yang lalu tuan sudah diusir dari Kaypang, kenapa hari ini masih berani kau mengagulkan diri sebagai murid Kaypang?"
Berubah air muka pengemis bengis bertubuh besar itu, mulutnya terpentang lebar terloroh loroh sambil menengadah, serunya, "Tak nyana kau bocah pupuk bawang inipun tahu akan asal usul tuan besarmu?"
"Kalau aku tidak tahu, memangnya siapa akan tahu asal usulmu" Semula kau she Pek, karena perbuatan jahat kelewat batas, kulit badan kau rawat sedemikian bersihnya, maka kawan-kawan di Kangouw sama memanggilmu sebagai Pek-giok mo kay, kau malah merasa bangga dan mengagulkan diri huh. Terakhir dari predikatmu semula kau buang, mengubah nama sendiri menjadi Pek-giok-mo saja." Sehafal mengisahkan asal usul keluarga sendiri Coh Liu-hiang membeber asal usul si pengemis bengis ini.
Bentak Pek-giok-mo dengan beringas, "Bagus sekali, masih ada apa pula?"
"Sepuluhan tahun yang lalu, watak kebinatanganmu mendadak kumat sekaligus kau perkosa dan bunuh tujuh belas perawan tingting di Hon-shu Sohciu. Saking marahnya, Jin-lo pangcu berkeputusan menghukum mati dirimu sesuai dosa-dosamu. Ternyata kau cukup pintar dan tahu diri, siang-siang kau sudah lari dan bersembunyi, karena tidak berhasil membekuk kau, terpaksa dia mengumumkan mengusir kau dari anggota Kaypang."
"Benar, benar sekali," Pek-giok-mo menyeringai sadis, "Cuma sekarang Jin Lothau sudah mampus, Pangcu baru tidak sekolot dan sepicik dia. Dia tahu kalau yang kita hendak angkat diri dan mengembang luaskan kekuasanmu, dia perlu bantuan sepasang tanganku ini, meski Locu tidak sudi menelan pengalaman pahit yang lalu, namun melihat maksud baiknya, terpaksa aku turuti saja kemauannya."
Seruling Perak Sepasang Walet 6 Pendekar Riang Karya Khu Lung Sepasang Pedang Iblis 20

Cari Blog Ini