Wiro Sableng 064 Betina Penghisap Darah Bagian 1
SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Sumber : Kitab 212 Bastian
Tito Scan dan editing : syauqy_arr@yahoo.co.id
KARYA 1 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id 1
DUA ORANG penunggang kuda itu menuruni lembah Batusilang dengan cepat. Di
sebelah depan adalah seorang lelaki berdestar hitam, berpakaian sederhana dan
berusia sekitar 40 tahun.
Di belakangnya mengikuti lelaki muda berpakaian bagus yang di kepalanya ada topi
tinggi berwarna merah dengan pinggiran kuning, emas, pertanda dia adalah seorang
berpangkat. Dua kuda tunggangan melewati sebuah telaga kecil dan akhirnya sampai di hadapan
sebuah rumah berdinding kayu beratap rumbia.
"Ini tempatnya," kata lelaki berdestar hitam seraya hentikan kudanya. Lalu dia
melompat turun sementara yang satu lagi memandang berkeliling dan tetap di atas
punggung kudanya.
Orang berdestar melangkah menuju pintu rumah dan mendorong daun pintu yang
ternyata tidak dikunci. Terdengar suara berkereketan. Orang itu masuk ke dalam.
Tak lama kemudian dia keluar lagi.
"Rumah ini kosong. Dia masih belum datang rupanya."
Orang berpakaian bagus di atas kuda mengangguk. Dia memandang lagi berkeliling.
"Kalau memang belum datang aku bisa menunggu, Turangga. Sekalian kita bisa
istirahat. Yang aku kawatirkan dia benar-benar tidak datang. Kau tertipu, aku
tertipu!" "Saya yakin dia pasti datang Tumenggung Purboyo. Silahkan Tumenggung turun dan
masuk ke dalam. Menunggu sambil istirahat."
Orang yang dipanggil dengan sebutan Tumenggung itu turun dari kudanya. Dia
melangkah ke pintu hendak masuk ke dalam rumah. Namun langkahnya tertahan karena
saat itu di bibir lembah terdengar suara ringkik kuda. Tumnggung Purboyo dan
Turangga berpaling, memandang ke arah Timur lembah Batusilang. Di kejauhan
kelihatan seekor kuda putih berlari menuruni lembah. Penunggarignya seorang
berpakaian ungu.
"Ia datang Tumenggung." kata Turangga gembira.
KARYA 2 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
"Hemm..." bergumam Tumenggung Purboyo. Wajahnya juga tampak berseri. "Dia
menepati janji. Tidak sia-sia kita meninggalkan Kotaraja jauh-jauh sampai di
sini." "Tadipun saya sudah bilang. Dia pasti datang."
"Sekali lagi aku ingatkan padamu Turangga. Jaga rahasia ini baik-baik. Tidak
satu orangpun boleh tahu. Kedua orang tuaku. Orang-orang Istana, apalagi
tunangan dan calon mertuaku! Kalau kejadiari ini sampai bocor, aku cuma ingin
membunuh satu orang. Kau!"
Turangga menyeringai. "Saya sudah mengabdi lebih dari dua puluh tahun pada
keluarga Tumenggung. Masakan saya hendak membocorkan rahasia" Dulupun saya
pernah muda Tumenggung."
Penunggang kuda yang datang dari arah Timur lembah itu semakin dekat. Tumenggung
Purboyo mengangkat kepalanya sedikit. "Hemm... Orangnya masih jauh. Tapi bau
wewangiannya sudah tercium sampai ke sini."
Turangga ikut-ikutan menengadahkan kepala dan menghirup dalam-dalam. Memang
benar. Dia juga dapat mencium wanginya tubuh orang yang datang itu.
Kuda putih akhirnya sampai di depan rumah dan berhenti di hadapan kedua lelaki
itu. Tumenggung Purboyo terkesiap untuk beberapa saat lamanya. "Turangga tidak
berdusta. Gadis ini benar-benar luar biasa. Tak pernah aku melihat dara secantik
ini. Ah, kalau saja aku belum bertunangan pasti aku tak akan ragu mengambilnya
sebagai istri!" begitu Tumenggung ini membatin.
Di sana, di atas kuda putih duduk seorang dara berwajah cantik sekali. Tubuhnya
yang putih mulus terbungkus oleh pakaian berwarna ungu. Rambutnya yang panjang
berhias sebuah pita juga berwarna ungu. Lalu pada lehernya melingkar sehelai
selendang lagi-lagi berwarna ungu.
Sepasang mata sang Tumenggung tak berkesip memperhatikan dara itu mulai dari
kepala sampai ke kaki.
Sadar kalau dia membuat orang menunggu lama, Tumenggung Purboyo membuka topinya
dan memberi penghormatan dengan menganggukkan kepala.
"Maafkan, saya sampai lupa mempersilahkan turun dan masuk ke dalam rumah."
KARYA 3 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Dara di atas kuda
tersenyum. Senyumannya seperti panah asmara yang datang menyambar membuat
Tumenggung Purboyo tambah blingsatan sementara Turangga tertegak sambil
membasahi bibirnya dengan ujung lidah berulang kali. Lalu Turangga cepat-cepat
membuka pintu sementara dara berbaju ungu turun dari kudanya dibantu oleh
Tumenggung Purboyo.
"Perjalanan yang begini jauh pasti tidak menyenangkan. Ditambah dengan keadaan
di sini. Rumah kayu buruk ini tidak pantas untuk seorang cantik jelita seperti... Ah,
maafkan saya. Saya belum tahu namanya."
Dara itu kembali tersenyum.
"Saya datang tidak bernama. Dan akan pergi tidak bernama..."
Dalam herannya Tumenggung Purboyo cepat-cepat berkata. "Kalau begitu biar saya
panggil Dewi saja" Boleh...?"
"Kalau itu memang cukup pantas mengapa tidak boleh?" Suara sang dara seindah
bulu perindu, menyejukkan hati Tumenggung Purboyo tapi sekaligus juga membakar
panas darah di tubuhnya. Dia mengikuti gadis itu melangkah menuju ke pintu. Di
ambang pintu si gadis berhenti dan memandang ke dalam.
Rumah papan itu berlantai kayu hitam dan sangat bersih. Di sebelah kiri ada
sebuah meja diapit dua buah kursi. Di atas meja terdapat seperangkat tempat
minum. Lalu di bagian tengah terletak sebuah ranjang dengan tilamnya yang indah
dan bantal-bantal yang empuk. Semua ini telah disiapkan Turangga sehari
sebelumnya. "Maafkan kalau keadaan dan isi rumafi ini tidak berkenan di hall Dewi," kata
Tumenggung Purboyo. Hidungnya mencium dalam-dalam. Bau wangi tubuh dan pakaian
si gadis membuatnya ingin menerkam gadis itu saat itu juga.
"Saya suka semua yang ada di sini..." kata si gadis seraya melangkah masuk ke
dalam. "Saya gembira mendengar hal itu," kata Tumenggung Purboyo dan mengikut masuk.
Gadis berbaju ungu sesaat masih memandang sekeliling kamar lalu dia duduk di
tepi ranjang. Jantung Tumenggung Purboyo seperti berhenti berdetak.
"Dewi tentu haus. Biar saya ambilkan minuman."
KARYA 4 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
"Tidak usah. Saya tidak punya waktu banyak. Tapi saya berjanji akan memberikan
kepuasan pada Tumenggung. Siapa tahu lain kali Tumenggung mau lagi bertemu
dengan saya..."
"Melihat keadaan Dewi, terus terang tiap haripun saya ingin bertemu. Hanya saja
keadaan memaksa saya harus mengatur waktu sebaik-baiknya.
"Saya mengerti," kata Dewi. "Apakah Tumenggung tidak akan menutupkan pintu?"
"Ah, saya lupa." Tumenggung Purboyo cepatcepat menutup pintu.
"Apakah pembantu Tumenggung di luar sana bisa dipercaya?"
"Dewi tak usah takut. Turangga bersedia mati jika saya suruh. Dia sangat
setia..." "Sekarang hanya kita berdua di kamar ini. Tidakkah Tumenggung hendak memeluk
saya?" tanya gadis berpakaian serba ungu. Senyumnya membuat sang Tumenggung seperti
dibuai ayunan sorga. Segera saja dia melangkah ke hadapan si gadis. Kedua
tangannya merangkul erat punggung gadis itu. Hidungnya menyelusur di lehernya
yang putih jenjang dan harum.
"Saya tidak menyangka kalau orang yang bernama Tumenggung Purboyo ini masih
begini muda dan gagah. Tadinya saya mengira pasti sudah tua renta tapi masih
genit dan suka daun muda..." Si gadis terdengar tertawa perlahan. Lalu balas
merangkul tubuh lelaki itu.
"Saya tidak cukup pantas untuk gadis secantik Dewi," kata Tumenggung Purboyo
pula. "Tolong bukakan pakaian saya," bisik si gadis.
Tumenggung Purboyo merasakan sekujur tubuhnya bergetar panas. Cepat-cepat kedua
tangannya meluncur ke bagian depan tubuh sang dara. Tidak terlihat oleh
Tumenggung Purboyo gadis itu tampak tersenyum aneh. Lalu kedua tangannya yang
merangkul perlahan-lahan bergerak ke atas. Bersarnaan dengan itu terjadi
perubahan aneh pada sepuluh jari tangannya yang halus bersih. Dari ujung-ujung
jari mencuat keluar kuku-kuku panjang berwarna merah. Pada ujung-ujung kuku
terdapat sebuah lobang kecil sebesar lobang jarum.
Sepuluh jari tangan itu terus bergerak ke atas, mencapai bahu dan kini bergeser
ke arah leher Tumenggung Purboyo pada saat dia tengah sibuk membuka kancingkancing pakaian ungu sang dara.
Mendadak ada suara tertawa aneh menggidikkan. Gerakan tangan Tumenggung Purboyo
KARYA 5 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id tiba-tiba terhenti. Bukan
oleh suara tawa itu. Tapi oleh sepuluh kuku panjang berlubang yang mencengkeram
dan menusuk dalam di batang lehernya. Darah muncrat! Kedua mata sang Tumenggung
mendelik. Dia merasa darah di sekujur tubuhnya seperti disedot. Satu jeritan
keras menggeledek keluar dari mulut Tumenggmg ini. Lalu tubuhnya mendadak sontak
lemas seperti tidak bertulang lagi. Ketika cengkeraman pada lehernya lepas,
tubuhnya tak ampun lagi jatuh terbanting ke lantai kayu hitam!
Di luar rumah, begitu mendengar teriakan tumenggung Purboyo kagetnya Turangga
bukan kepalang. Tanpa pikir panjang lagi dia segera melabrak dan menjebol pintu.
Begitu pintu terpentang segera dia melompat masuk. Begitu masuk begitu kedua
kakinya seperti dipantek ke lantai. Sekujur tubuhnya bergetar ketakutan. Mata
melotot dan muka seputih kertas.
Di lantai di hadapannya tergeletak sosok tubuh Tumenggung Purboyo. Pada lehernya
yang berlumuran darah kelihatan lobang-lobang mengerikan. Kedua matanya
terbeliak. Di dekat ranjang tegak gadis cantik berbaju ungu itu yang sekarang di
mata Turangga seperti telah berobah menjadi setan yang mengerikan!
Gadis itu tegak dengan baju tersingkap hingga payudaranya kelihatan menyembul.
Dia berdiri sambil menyeringai dan menjilati jari-jari tangannya kanan kiri yang
bersimbah darah.
Wajahnya yang cantik penuh noda darah terutama di bagian mulut. Ketika
menyeringai gigi-giginya yang sebelumnya putih kini tampak merah oleh lapisan
darah! "Ya Tuhan, apa yang terjadi! Manusia atau ibliskah yang berdiri di
depanku ini?" kata Turangga dalam hati.
"Kacung Tumenggung yang setia. Apa yang kau saksikan?"
Tentu saja Turangga tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Ketika dilihatnya gadis
berbaju ungu itu bergerak mendekatinya tanpa pikir panjang lagi Turangga segera
putar tubuh dan menghambur ke luar kamar. Di belakangnya terdengar sang dara
keluarkan suara tertawa melengking lalu melompat mengejar.
Turangga lari ke kudanya. Dia berlaku cerdik. Dia tidak lari mendaki ke arah
tebing lembah yang terbuka melainkan menyusup ke bagian lembah yang ditumbuhi
pepohonan dan semak belukar lebat yaitu di sebelah belakang rumah kayu.
KARYA 6 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
"Lolos..." desis berbaju ungu. Walaupun bisa tapi dia tidak berusaha mengejar. Dia
melangkah ke arah kuda putihnya. Dari mulutnya masih terdengar suara tertawa
melengking tinggi mengerikan.
*** KARYA 7 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id 2
MINUM air jahe hangat dan manis malam-malam dingin begitu terasa nikmat sekali.
Sementara menunggu datangnya minuman itu Wiro menyantap singkong rebus. Sambil
mengunyah dia memandang berkeliling. Saat itu di kedai kecil di pinggiran desa
itu hanya ada tiga orang tamu.
Pertama dirinya sendiri lalu seorang lelaki separuh baya yang duduk sambil
mengangkat kaki seenaknya, lalu seorang tamu lagi yang duduk menunduk,
mengenakan pakaian seperti jubah. Di kepalanya ada semacam kerudung hingga
wajahnya tidak kelihatan.
Pemilik kedai yang merangkap pelayan datang membawakan air jahe hangat dan
meletakkan minuman itu di atas meja di depan Wiro. Tak sabar menunggu dinginnya
minuman Wiro menuangkan air jahe itu di atas tadah. Ketika dia hendak memegang
tadah murid Eyang Sinto Gendeng ini jadi kaget. Tadah itu bergerak dan bergeser
ke kiri hingga tak terpegang.
"Ah, mungkin mataku yang sudah lamur!" kata Wiro menyalahi dirinya sendiri.
Diulurkannya tangannya kembali untuk memegang tadah berisi jahe itu. Hampir
tersentuh tibatiba kembali tadah itu bergerak. Kali ini berpindah ke kanan.
Gerakan tadah ini berpindah cukup cepat namun air jahe di atasnya sama sekali
tidak bergoyang apalagi tumpah!
Wiro mernandang berkeliling. Pandangannya kemudian tertuju pada pemilik kedai.
"Ada apa 'Den?" tanya pemilik kedai itu melihat tamunya seperti bingung.
"Tidak. Tidak ada apa-apa..." jawab Wiro. Dia memandang lagi berkeliling.
Diperhatikannya tamu yang duduk angkat kaki di sebelahnya. Orang ini asyik
menghirup kopi dan mengunyah pisang goreng. Wiro berpaling ke kanan. Tamu
berkerudung itu juga tampak asyik menyantap makanannya lalu menghirup kopinya
kuat-kuat hingga mengeluarkan suara.
"Brengsek! Apa sebenarnya yang terjadi di tempat ini" Ada setan yang jahil
mengganggu tamu?" Karena jengkel merasa dipermainkan Wiro keluarkan ucapan.
"Setan konyol, aku makan dan minum membayar. Jadi jangan berani mempermainkan.
Jika mau ikut minum silahkan-KARYA
8 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id duduk unjukkan diri.
Jangan mengganggu seperti ini!"
"Eh, Raden bicara apa dan sama siapa?" tanya pemilik kedai.
Wiro garuk-garuk kepala. "Tidak... Saya tidak bicara apa-apa..." jawab Wiro.
Pemilik kedai jadi heran. "Jangan-jangan tamu satu ini otaknya kurang beres.
Sejak masuk tadi dia sudah cengar-cengir cengengesan. Sebentar-sebentar garukgaruk kepala. Kini malah ngomong sendirian!"
Wiro duduk tak berkesip memandangi tadah berisi air jahe itu. Dia melirik pada
minuman dalam gelas. "Coba kupegang gelasnya. Apa bisa bergerak juga," kata
pemuda ini dalam hati. Lalu tangan kanannya diulurkan. Hanya sedikit saja lagi
jari-jarinya akan menyentuh badan gelas, tibatiba gelas berisi air jahe hangat
itu bergerak menjauh! Berubahlah paras Pendekar 212.
"Ada orang pandai mempermainkanku. Tapi siapa...?" Dua tamu yang ada di situ
jelas tidak bergerak asyik dengan makanan dan minuman masing-masing. Si pemilik
kedai juga tengah mengangkat gorengan pisang dari kuali besar. "Setan... Janganjangan benar-benar ada setan di kedai ini!" Wiro gigit bibirnya. Dia memandang
lagi pada air jahe di atas tadah. "Coba kutipu,"
katanya dalam hati. Kedua tangannya pura-pura diturunkan ke bawah. Tapi baru
sampai di pinggang dengan cepat diangkatnya kembali. Sekaligus bergerak ke arah
tadah di atas meja. "Biar kupecahkan sekalianl" kata Wiro dalam hati saking
jengkelnya. Namun tiba-tiba sekali tadah itu melayang ke atas mengarah muka Wiro. Air jahe
hangat di atasnya menyiprat membasahi seluruh wajah sang pendekarl Mata disiram
air jahe hangat tentu saja sakitnya bukan kepalang! Wiro sampai terpekik dan
terlompat dari duduknya. Dua tamu di samping kirinya sampai ternganga karena
kaget sedang tamu satunya lagi hanya menoleh sedikit lalu meneruskan meneguk
kopinya.
Wiro Sableng 064 Betina Penghisap Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada apa Raden?" tanya pemilik kedai. Ketika dilihatnya muka Wiro basah dan
pemuda ini menggosok-gosok kedua matanya tiada henti. Sedang di lantai tadah
gelas pecah berantakan. "Ah, itulah Raden. Minuman masih panas sudah mau
diminum. Mbok ya sabar ditunggu sampai dingin..."
"Mbok sabar... Mbok sabar!" gerutu Wiro dalam hati. "Mukaku serasa tebal, mataku
pedas KARYA 9 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id enak saja bicara mbok...
mbok." Pemilik kedai itu tidak memperhatikan Wiro karena salah satu tamunya telah
berdiri dan membayar. Selesai melayani tamunya pemilik kedai bertanya. "Mau
tadah baru lagi Den"
"Tidak usah!" jawab Wiro. "Biar panas-panas aku sanggup menenggak air jahe ini!"
Lalu saking jengkelnya Wiro teguk air jahe dalam gelas yang masih panas.
Mulutnya sampai ternganga kepedasan dan lidahnya terjulur-julur. Dari dalam
sakunya dikeluarkannya uang pembayar makanan dan minuman lalu diulurkannya. Tapi
orang kedai tidak mau menerimanya. Wiro jadi tambah mengkal.
"Tidak mau dibayar?" bentaknye sambil mengusap mata kirinya yang masih terasa
perih. "Anu Den..."
"Anu... anu! Anumu nanti aku guyur sama air jahe panas baru tahu! Ayo ambil
uangnya!" "Anu Den. Tidak perlu. Sudah dibayar."
"Sudah dibayar" Siapa yang membayar" Jangan main-main!" kata Wiro dengan keras.
"Itu, tamu berjubah tadi..." menjawab pemilik kedai.
Wiro berpaling ke kanan. Tamu yang duduk di situ sudah tidak ada lagi. "Berjubah
dan pakai kerudung itu?"
"Betul Den."
Wiro garuk-garuk kepalanya. "Wajahnya tak sempat kulihat. Kenalpun rasanya aku
tidak. Mengapa dia membayarkan makanan dan minumanku" Aneh!"
"Tamu tadi, kau kenal padanya" Sering mampir ke kedai ini?" tanya Wiro.
Orang kedai menggeleng. "Baru sekali ini saya melihatnya Den."
"Situ tadi sempat lihat wajahnya?" tanya Wiro pula.
"Hanya sekilas. Wajahnya seram amat..."
"Seram bagaimana?"
"Mukanya seperti tengkorak dan sangat hitam. Kedua matanya sangat cekung..."
"Jangan-jangan dia memang setan!" kata Wiro.
"Apa kata Raden, Setan" Puluhan tahun berjualan di sini belum pernah ada setan
di sekitar KARYA
10 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id sini Den. Tapi... Raden
mungkin betul. Orang tadi mungkin setan... atau hantu..."
"Coba perlihatkan uang bayarannya tadi," kata Wiro.
Orang kedai keruk saku pakaiannya. Ketika tangannya diulurkan dan genggamannya
dibuka, pucatlah wajahnya melihat apa yang ada ditangannya. Bukan sekeping uang
logam. Tapi sebuah batu kecil!
Tubuh pemilik kedai itu kini tampak gemetaran.
Jelas dia sangat ketakutan. Dengan suara terputus-putus dia berkata. "Maafkan,
saya tidak menerima tamu lagi. Saya harus menutup kedai ini cepatcepat sebelum
setan tadi kembali lagi!"
Wiro geleng-geleng kepala. "Kalau begitu ambil saja uang ini. Sekalian bayaran
makanan dan minuman orang berjubaah tadi. Sialan! Malah kini aku yang
membayarkan! Dasar setan!"
Wiro meletakkan uangnya di atas meja lalu cepat-cepat setengah berlari dia
berkelebat ke jurusan perginya orang berjubah tadi. Tak lama berlari Wiro
berhasil mengejar orang berjubah itu. Tapi aneh, tinggal dalam jarak sekitar
lima tombak, bagaimanapun dia mempercepat larinya mengejar tetap saja dia tidak
dapat mendekati orang itu. Wiro kerahkan tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh
serta ilmu larinya. Dia hanya mampu maju mendekat sekitar empat tombak setelah
itu tidak mampu berbuat apa-apa lagi.
"Saudara berjubah! Hai! Tunggu dulu! Berhenti!" Wiro berteriak memanggil.
Matanya memperhatikan kedua kaki orang di depannya. Ternyata kedua kaki itu
menjejak tanah. Bergerak seperti melangkah tapi memiliki kecepatan seperti orang
berlari! "Ah dia manusia biasa juga.
Bukan setan!" kata Wiro melihat kenyataan itu.
Orang yang dipanggil acuh saja. Jangankan berhenti, berpalingpun tidak.
"Sialan!" maki Wiro dalam hati. Dia mempercepat larinya. Tetap saja dia tidak
dapat memperpendek jarak. Dia mencari akal. "Biar kubuat marah dia!" Lalu
kembali Wiro berteriak.
"Manusia jahat penipu! Membayar dengan batu! Mengapa pergunakan ilmu untuk
menipu orang kecil!"
Orang di depan Wiro keluarkan suara tawa mengekeh. Lalu tubuhnya lenyap. Wiro
hentikan lari. Memandang berkeliling. Hatinya mulai was-was. "Kalau benar tadi
itu bukan manusia tapi KARYA
11 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id setan, mati aku dicekiknya
di tempat sunyi ini!" Lalu Wiro bersiap membentengi diri dengan pukulan sakti.
Baru saja kumandang suara tawa itu lenyap dalam kegelapan malam, tiba-tiba satu
benda melayang turun dari atas cabang sebuah pohon. Wiro menyingkir namun benda
yang jatuh itu cepat sekali mendekap leher dan dagunya. Dia merasa seperti ada
satu sosok tubuh yang menduduki bahunya. Wiro membungkuk, berusaha membantingkan
sosok tubuh yang menduduki bahu dan memagut lehernya itu. Namun tubuh itu
laksana lengket jadi satu dengan tubuhnya.
"Keparat sialan!" maki Pendekar 212. Dia kerahkan tenaga dalam lalu menggebuk ke
belakang. Dia sengaja lepaskan pukulan sakti dalam jurus yang bernama "dibalik
gunung memukul halilintar.''
*** KARYA 12 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id 3
PUKULAN ukulan yang bisa menghancurkan tembok batu itu mengeluarkan suara
menderu. Namun bukan saja pukulan itu tidak mengenai sasaran orang yang mendekam
dibahunya, malah lengan kanannya kena ditangkap. Belum sempat Wiro, membuat
gerakan susulan untuk melepaskan cekalan orang samb,il menghantam dengan tangan
kiri, mendadak lengannya ditarik keras ke depan. Tubuhnya ikut terseret. Kalau
dia tidak ikuti daya tarik seretan itu dan jatuhkan diri di tanah lalu
bergulingan, niscaya Wiro akan terbanting dada atau muka lebih dulu mencium
tanah! Dengan cepat Wiro bangkit berdiri. Begitu berdiri satu sosok tubuh tahu-tahu
sudah tegak di depannya. Serta merta dia hendak menghantam. Orang didepannya
keluarkan suara tertawa mengekeh. Seperti mengenali suara tawa itu, Wiro tarik
pulang tangannya yang barusan hendak memukul. Kakinya menyurut satu langkah.
"Siapa kau!" bentak Pendekar 212.
"Anak goblok! Kalau musuh beneran yang membokongmu, pasti kau sudah mampus dari
tadi!" Orang di depannya menanggalkan jubah di tubuhnya. Di balik jubah itu kini
kelihatan satu tubuh kurus tinggi mengenakan kebaya dalam dan panjang dekil.
Wiro keluarkan seruan tertahan.
Tapi dia belum pasti. Tempat itu gelap sekali. Ketika orang di hadapannya
melemparkan kerudung yang menutupi wajahnya baru sang pendekar benarbenar
mengenali dan berteriak.
"Eyang Sinto Gendeng!"
Ternyata orang itu adalah guru Pendekar 212 sendiri. Nenek sakti dari Gunung
Gede bernama Sinto Gendeng. Wiro cepat hendak jatuhkan diri memberi
penghormatan. Si nenek tertawa dan tarik pemuda itu hingga dia kembali berdiri.
"Guru, maafkan murid. Says tidak tahu kalau..."
"Anak setan! Dirimu sudah kumaafkan!"
KARYA 13 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
"Jadi Eyang rupanya yang tadi mempermainkan tadah minuman di kedai itu!"
Si nenek menyeringai.
"Nek, kau muncul secara mendadak lengkap dengan segala keanehanmu. Tentu ada
sesuatu..."
"Nah otakmu ternyata masih jalan. Dengar, memang ads satu hal penting yang ingin
kubicarakan denganmu. Kau sudah dengar kegegeran yang terjadi dalam rimba
persilatan sejak tiga bulan terakhir ini?"
"Banyak yang terjadi Eyang. Kegegeran yang mans maksud Eyang?" tanya Wiro.
"Sompret! Kau masih bisa bertanya. Apa saja yang kau lakukan selama ini"
Bertualang mencari anak perempuan orang"!" Sepasang mata Sinto Gendeng tampak
berkilat-kilat.
Wiro garuk-garuk kapalanya. Kalau tidak benarbenar ads satu peristiwa besar
pasti gurunya tidak semarah itu. Untuk beberapa saat lamanya pemuda ini hanya
bisa tertegak dengan mulut terkancing.
"Kau masih ingat kakek konyol peminum tuak yang bergelar Dewa Tuak?"
"Tentu saya ingat kakek satu Itu Eyang. Ada apa dengan dirinya. Apakah dia sudah
mendahului kita?" tanya Wiro.
"Anak setan! Enak saja kau menyebut orang sudah mati!" bentak Eyang Sinto
Gendeng marah. "Orang tua itu bakal mengalami kesulitan dan malu besar. Gara-gara perbuatan
murid tunggalnya. Gadis Anggini itu!"
Pares Wiro jadi berubah. "Kesulitan dan malu besar. Ah... Agaknya sesuatu sudah
terjadi atas diri gadis itu. Eyang, maafkan saya ... Apakah, maksud Eyang apakah
gadis itu tahu-tahu bunting"'
Hampir si nenek hendak menampar muka muridnya itu.
"Kau benar-benar anak setan! Dari mana kau punya pikiran murid Dews Tuak
bunting! Kau yang membuatnya bunting" Edan!"
"Lalu, lalu apa yang sebenarnya telah terjadi Eyang"'
KARYA 14 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
"Anggini telah menjadi iblis doyan darah! Dia membunuh dimana-mana lalu
menghisap darah korbannya!"
"Ya Tuhan!" mengucap Wiro. "Saya memang mendengar tentang munculnya seorang
gadis yang dijuluki Betina Penghisap Darah. Saya tengah menyelidiki manusia satu
itu. Murid tidak tahu kalau Betina penghisap Darah adalah Anggini, murid Dews
Tuak! Bagaimana saya bisa mempercayai hal ini"!"
"Kau tak perlu mempercayainya. Bukti-bukti sudah lebih dari cukup. Banyak orang
yang mengenali dirinya. Sekarang yang kau lakukan adalah mencarinya lalu
menyeretnya ke hadapan Dewa Tuak untuk menerima hukuman. Kalau sampai orangorang rimba persilatan yang turun tangan kau tahu sendiri akibatnya. Mereka akan
membunuh gadis itu sampai lumat daging dan tulang-tulangnya.
Sesaat Wiro terdiam. "Saya tidak habis pikir. Gadis yang begitu baik. Murid yang
sangat cerdas dan periang. Bagaimana tahu-tahu berubah menjadi mahluk haus
darah" "Banyak hal yang bisa membuat manusia berubah. Aku akan menemui Dewa Tuak. Kau
pergi mencari gadis itu..."
Wiro tegak termangu-mangu.
"Anak setan! Kau dengar ucapanku tidak?"
"Saya dengar Eyang. Saya akan mencarinya sampai dapat." Jawab Wiro.
"Tapi ingat satu hal! Jangan kau main gila!"
"Main gila bagaimana maksud Eyang?" tanya Wiro pula.
"Aku tahu gadis itu punya hati terhadapmu dan cantik. Dan kau sendiri... He...
he... he... Coba katakan bagaimana perasaanmu terhadapnya!"
Wiro jadi salah tingkah.
"Saya sudah sangat lama tidak bertemu. Dia memang cantik. Saya sangat menghormat
Dewa Tuak. Bagaimana mungkin..."
"Anak pandir! Selama laut masih biru dan gunung masih hijau tak ada yang tidak
mungkin di dunia ini! Karena itu aku ingatkan padamu. Jika kau mengambil
keputusan terhadap gadis itu KARYA
15 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id jangan sampal hatimu
mendua. Apalagi sampai kau sempat dirayunya. Sekali kau bisa dikuasainya berarti
ajalmu sudah di mata. Kau dengar itu!"
"Saya dengar Eyang," jawab Wiro.
"Sudah! Aku pergi sekarang. Aku akan menemui tua bangka peminum tuak itu!"
"Eyang, saya ada usul..." Wiro berkata cepat ketika dilihatnya si nenek hendak
berkelebat pergi.
"Kalau usulmu masuk akal coba katakana!"
"Bagaimana kalau saya yang pergi menemul Dewa Tuak dan Eyang yang mencari
Anggini." Kedua mata Sinto Gendeng membeliak seperti hendak melompat dari rongga matanya
yang sangat cekung. Wajahnya yang angker seperti tengkorak itu kelihatan tambah
menggidikkan. "Usulmu usul kurang ajar!" kata si nenek. Tangannya bergerak hendak menampar
muka muridnya itu.
Wiro tak berusaha menghindari tamparan itu. Dia tetap tegak tak bergerak, hanya
air mukanya saja yang kelihatan tersenyum.
"Maafkan saya Eyang. Bukan maksud saya mengajari..." katanya.
Si nenek tarik tangannya, tak jadi menampar. "Sudah, pergi sana! Makin lama kau
petatang-peteteng di hadapanku, makin gatal tanganku hendak menamparmu!"
"Saya pergi Eyang..." kata Wiro sambil membungkuk.
Ketika dia hendak melangkah pergi terdengar si nenek memanggil.
"Ada apa Eyang...?"
"Kau punya duit?"
"Maksud Eyang?"
"Maksudku kau punya bekal uang...?"
"Engg... ada Eyang."
"Anak sombong! kalau kau tak punya uang bilang saja! Jangan sok!" Dari balik
pakaian dekilnya si nenek keluarkan sebuah kantong kecil terbuat dari kain.
Kantong itu dilemparkannya ke arah Wiro. Terdengar suara berdering. Mau tak mau
Wiro segera menanggapi kantong itu.
KARYA 16 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Ketika kantong berada
dalam genggamannya, sang guru sudah tak ada lagi di tempat itu!
"Mulutnya konyol, tapi hatinya baik dan polos..." kata Wiro. Sambil menimangnimang kantong berisi uang itu pendekar 212 berpikir. Apa betul Anggini murid
Dewa Tuak yang cantik dan yang dikenalnya sangat baik itu tiba-tiba telah
berubah menjadi makhluk doyan darah hingga dijuluki Betina Penghisap Darah"
Kalau bukan gurunya yang memberi tahu, sulit baginya mempercayai. Wiro menarik
nafas panjang. Malam mulai dingin. Pendekar ini akhirnya tinggalkan tempat itu.
*** KARYA 17 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id 4
RIMBA belantara itu sunyi senyap, redup menggidikkan. Mencari seorang manusia di
tempat seperti itu sama saja dengan mencari seekor semut di rerumputan. Setelah
setengah harian berkeliaran dalam rimba akhirnya wajah seram Eyang Sinto Gendeng
yang tegang menggidikkan kelihatan menyeringai. Dia mendongakkan kepala beberapa
lama, mencium dalam-dalam lalu tertawa mengekeh.
"Dewa Tuak! Aku sudah dapat mencium harumnya bau tuakmu. Buat apa masih
berseMbunyi" Hik...hik.... hik!"
Belum habis si nenek tertawa tiba-tiba dari atas sebatang pohon besar melayang
jatuh sebuah benda bulat panjang. Ternyata benda ini adalah sebuah tabung bambu
sepanjang tiga kaki.
Tabung bambu ini jatuh demikian rupa dengan bagian bawahnya melesat ke arah
batok kepala si nenek. Jelas ini merupakan satu serangan yang mematikan!
Di dalam tabung bambu itu menebar bau sangat harum dari tuak yang memenuhi
Wiro Sableng 064 Betina Penghisap Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tabung sampai ujung teratas. Walau penuh tapi ketika melayang jatuh isinya tidak
sedikitpun muncrat atau tumpah ke luar. Berarti orang yang melemparkan tabung
bambu berisi tuak itu benar-benar memiliki kepandaian luar biasa!
"Walah! Belasan tahun tidak bertemu malah kini mau menghancurkan kepalaku!
Sungguh keterlaluan!" berteriak Sinto Gendeng. Dia miringkan kepala serta
bahunya sedikit. Begitu tabung lewat disampingnya segera ditangkapnya. Kepala
ditengadahkan sambil menempel ujung bambu sebelah atas ke bibirnya. Lalu
cegluk... cegluk si nenek meneguk tuak dalam bambu berlelehan membasahi dagu dan
pakalannya. "Ah, tuak setan ini makin nikmat saja dari tahun ke tahun! Pasti diramu dengan
daun ganja!"
Sinto Gendeng teguk lagi tuak dalam bambu sampai mukanya yang menyeramkan
seperti tengkorak itu kelihatan menjadi merah. Tubuhnya terasa panas dan kedua
lututnya mulai KARYA
18 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id bergetar.
"Gila! Masakan aku bisa mabuk hanya minum beberapa teguk minuman setan ini"!"
kata si nenek. Lalu dia memandang berkeliling. "Dewa Tuak! Kalau belum juga kau
menampakkan diri kupecahkan tabung bambu keparat ini!" Sinto Gendeng berteriak
mengancam. Saat itu di atas pohon meledak suara tawa bergelak.
"Tua bangka bodoh! Sudah tahu tidak tahan minuman keras mengapa kau meneguknya
dengan rakus"!"
Suara itu juga datang dari atas pohon. Lalu terdengar suara dedaunan pohon
berkeresek. Bersamaan dengan itu sesosok tubuh melayang turun sambil terus
mengumbar suara tawa.
Di lain kejab sosok tubuh itu sudah berdiri terbungkuk-bungkuk di hadapan Sinto
Gendeng. Dia ternyata seorang kakek-kakek berjanggut putih sepanjang dada. Pakaiannya
kain biru yang di-selempangkan seperti pakaian seorang Biksu. Dipunggungnya
tergantung sebuah tabung bambu berisi tuak yang bentuknya sama dengan tabung
bambu yang saat itu dipegang Sinto Gendeng.
"Sinto, lama tidak bertemu ternyata kau tambah jelek saja!" si kakek yang bukan
lain adalah tokoh sakti bergelar Dewa Tuak itu angkat bicara lalu tertawa
mengekeh. "Nasibmu tidak lebih baik, Dewa Tuak!" menyahuti Sinto Gendeng. "Tubuhmu semakin
reot dan tampangmu tambah peot! Tua bangka sepertimu ini seharusnya sudah
dijadikan umpan cacing di liang kubur! Hik...hik....hik...."
Kakek nenek tokoh dunia persilatan itu sama-sama tertawa. Si kakek hentikan
tawanya lebih dulu. "Sebaiknya kau jangan terlalu banyak minum tuak kayangan
itu. Aku tidak kawatir kalau kau sampai mabuk Sinto. Tapi yang aku takutkan
nanti kau bisa ngompol terus-terusan tujuh hari tujuh malam!" Dewa Tuak ulurkan
tangannya mengambil tabung bambu.
"Ala, minuman busuk begini saja, siapa yang mau minum terlalu banyak!" Sinto
Gendeng lemparkan tabung bambu yang dipegangnya. Tabung itu melesat melintang ke
arah si kakek, kedua kakinya agak tersurut sedikit. Tapi dadanya selamat dari
hantaman tabung bambu miliknya sendiri.
Kalau ada orang pandai ke tiga yang menyaksikan kejadian itu, maka dia akan
segera memak-KARYA
19 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id lumi bahwa tenaga dalam
dan kepandaian si nenek tidak berada di bawah Dewa Tuak, malah mungkin sedikit
lebih tinggi. Kalau sebelumnya Dewa Tuak melemparkan tabung bambu dari atas
pohon dalam keadaan membujur ke bawah maka tadi si nenek melemparkan tabung
bambu yang sama dalam keadaan melintang dan tuak di dalamnya sedikipun tidak
tumpah! Dewa Tuak tancapkan ujung tabung bambu sebelah bawah ke tanah, lalu dia melompat
dan duduk di ujung tabung bambu sebelah atas. Begitu duduk terdengar bagian
bawah perutnya berbunyi! Buuttttt! Si kakek kentut!
"Sekarang mari kita bicara. Ada keperluan apa kau mencariku Sinto?" bertanya
Dewa Tuak. "Tunggu!" Sepasang mata Sinto Gendeng melotot tak berkesip memandang Dewa Tuak.
Kakek ini seperti hendak ditelannya. "Kau barusan kentut di mulut tabung berisi
tuak itu. Sebelumnya aku sudah meneguk minuman celaka itu. Apakah sebelumnya kau juga
sering kentut di mulut tabung"!"
Dewa Tuak tertawa bergelak. "Apa perlu kujawab"!" katanya menyahuti.
"Kurang ajar! Kakek setan! Kau memberi aku minum tuak yang sudah kau kentuti!"
Marah Sinto Gendeng bukan alang kepalang. Dia menyumpah-nyumpah sambil meludah
berulang kali. Lalu tubuhnya berkelebat seraya kirimkan satu hantaman ke arah Dewa Tuak. Angin
hantaman itu dahsyatnya bukan main. Dewa Tuak tahu betul kalau si nenek kini
benar-benar marah. Dia cepat menyingkir sambil cepat-cepat mencabut tabung bambu
menyambut serangan Sinto Gendeng.
Si nenek ternyata hanya melakukan serangan tipuan. Karena begitu lawan berkelit,
serangannya berubah dan kini menjarah ke arah perut Dewa Tuak.
Bukkk! Byuuur! Dewa Tuak terpental dan jatuh duduk di tanah, tersandar ke sebatang pohon.
Sebaliknya Sinto Gendeng tegak terhuyung-huyung sambil mengusapi muka
tengkoraknya yang basah kuyup oleh semburan tuak kayangan yang tadi disemburkan
si kakek. Dewa Tuak tahu betul. Jika tadi si nenek benar-benar menyerangnya saat itu pasti
perutnya KARYA 20 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id sudah bobol dihantam
pukulan dan nyawanya tak akan tertolong. Sebaliknya Sinto Gendeng juga
menyadari. Kalau si kakek sungguhan membalas serangannya dengan semburan tuak,
saat itu pasti mukanya sudah hancur dan nyawanya putus!
Dewa Tuak tarik nafas panjang lalu tertawa gelak-gelak. Sehabis tertawa dia
teguk tuaknya dan memandang pada Sinto Gendeng. "Dua tua bangka edan bercanda
dalam rimba belantara.
Padahal mungkin ada satu perkara besar yang harus dihadapi!"
"Syukur kita sama-sama tahu diri!" kata Sinto Gendeng sambil terus mengeringkan
mukanya yang basah kuyup. "Apa yang kau ucapkan tadi memang betul. Ada satu
perkara besar yang sedang aku hadapi!"
"Ah!" Dewa Tuak menggeser duduknya hingga lebih enak bersandar ke batang pohon
di belakangnya. "Katakan apa perkara besar itu sahabatku!"
"Sebelum aku menyampaikan aku ingin bertanya lebih dulu. Aku tidak melihat
Anggini muridmu. Bagaimana keadaannya dan dimana dia saat ini?"
"Anak itu, dia kuharap baik-baik saja..."
"Kuharap katamu" Berarti dia tidak ada bersamamu?"
"Betul Sinto, dia pergi sekitar empat bulan lalu...."
"Kau tahu pergi ke mana?"
"Katanya ingin menyambangi beberapa sahabatnya. Siapa tahu mungkin juga dia
tengah mencari muridmu yang sableng itu!"
"Tidak... Dia tidak mencari Wiro. Tapi tengah melakukan sesuatu yang telah
menggegerkan rimba persilatan. Empat bulan lalu dia meninggalkanmu. Jika
dihitung-hitung memang cocok waktunya dengan semua apa yang terjadi!"
"Eh, kau bicara apa ini Sinto" Apa yang telah dilakukan muridku Anggini?"
"Kau pernah mendengar manusia berjuluk Betina Penghisap Darah yang gentayangan
sejak tiga bulan lalu di mana-mana" Melakukan pembunuhan lalu menghisap darah
korbannya secara keji!"
"Aku memang sudah mendengar kemunculan manusia biadab itu. Lalu apa hubungan
KARYA 21 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id keparat itu dengan muridku
Anggini?" bertanya Dewa Tuak.
"Betina Penghisap Darah ternyata adalah Anggini! Muridmu sendiri!"
Terbeliak mata Dewa Tuak. Kalau saat itu ada petir menyambar di depan hidungnya
mungkin tidak akan seperti itu dia terkejut.
"Kau tidak sedang sinting Sinto?"
"Sialan! Siapa yang sinting!"
"Kau juga tidak ngaco atau bicara dusta"!"
"Edan! Aku tidak mabok! Mana mungkin ngaco dan dusta!"
"Kau tidak memfitnah"!"
"Sompret kau Dewa Tuak!"
"Lalu bagaimana kau bisa mengatakan Betina Penghisap Darah itu adalah muridku?"
"Beberapa tokoh silat mengatakan begitu. Dua diantaranya melihat sendiri. Yang
terakhir seorang pembantu Tumenggung di Kotaraja menceritakan ciri-ciri Betina
Penghisap Darah itu.
Semua cocok dengan ciri-ciri muridmu. Wajahnya, pakaiannya. Semuanya! Nah kau
mau bilang apa lagi"!"
Dewa Tuak seperti dihenyakkan ke tanah. Untuk beberapa lamanya dia duduk
terdiam. "Kalau bukan kau sendiri yang datang membawa berita ini dan mengatakannya
padaku, aku tak bakalan percaya," berucap Dewa Tuak. Suaranya perlahan dan
bergetar. "Apa yang terjadi dengan anak itu...?"
"Aku kawatir dia telah terperangkap dalam satu ilmu sesat. Ilmu yang
mewajibkannya harus membunuh dan menghisap darah manusia. Setahuku korbankorbannya hanya orang-orang tertentu. Para bangsawan, para pejabat, tokoh-tokoh
silat. Umumnya semua mereka itu masih muda-muda. Lelaki atau perempuan..."
"Gusti Allah..." Dewa Tuak mengucap. Dia memandang pada Sinto Gendeng. "Apa yang
harus kulakukan Sinto" Dunia persilatan pasti mengutukku habis-habisan. Maluku
hendak disembunyikan kemana?"
"Kau harus mencari anak itu. Membuatnya bertobat lalu menghukumnya. Kalau tidak
kau KARYA 22 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id sendiri yang turun tangan,
maka pembalasan orang-orang persilatan akan sangat mengerikan. Aku tak bisa
membantumu Dewa Tuak."
"Apakah dia demikian saktinya hingga tak seorangpun selama tiga bulan ini
sanggup menga-lahkannya?"
"Bekal ilmu silat dan kesaktian yang kau berikan padanya sudah cukup membuat dia
menjadi seorang tokoh muda yang disegani. Apalagi kalau dia mendapat tambahan
ilmu setan yang sulit dipercaya kehebatannya! Lihat saja, mengapa dia harus
minum darah setiap korban yang dibunuhnya" Pasti itu menjadi salah satu
keharusan jika dia ingin menguasai terus ilmu yang climilikinya!"
"Anggini..." Dewa Tuak menyenut nama murianya dengan nada penuh penyesalan.
Perlahan-lahan kakek ini berdiri. Dari balik pakaian birunya dikeluarkannya
sebuah benda lalu dia berkata pada Sinto Gendeng.
"Sahabatku, kau menjadi saksi tunggal. Aku bersumpah akan mencari anak itu dan
membunuhnya. Jika dalam tempo empat puluh hari aku tidak berhasil melakukannya
atau aku sampai dikalahkannya, aku lebih baik memilih mati dari pada harus
menanggung malu yang menyengsarakan!"
Habis berkata begitu Dewa Tuak masukkan benda yang dipegangnya ke dalam mulut.
Sinto Gendeng hendak mencegah tapi terlambat.
"Dewa Tuak! Apa yang kau telan itu"!"
"Racun kematian!" jawab Dewa Tuak dengan tegar, "Racun itu akan bekerja pada
hari ke empat puluh satu dari sekarang. Jika aku tidak berhasil mencari anak
itu. Atau berhasil tapi tak sanggup meringkus dan membunuhnya, maka pada hari ke
empat puluh satu aku sudah pasrah menemui kematian."
"Jangan tolol! Aku tahu kau pasti memiliki obat penangkal racun itu di balik
pakaianmu. Ayo lekas kau telan obat penangkal itu!"
Dewa Tuak menggeleng.
"Aku sudah memutuskan lebih baik mati di hari ke empat puluh satu itu. Dari pada
menanggung malu besar!"
KARYA 23 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
"Tua bangka bodoh! Mengapa kau jadi begini tolol dan ikut-ikutan sesat?"
"Terus terang aku sudah terlalu lama hidup di dunia ini. Usiaku sudah lebih dari
delapan puluh tahun. Buat apa menghabiskan sisa hidup dengan menanggung malu"
Lebih baik mati berkalang tanah!"
Sinto Gendeng terdiam. Dia tidak bisa menyalahkan Dewa Tuak kalau sampai berbuat
seperti itu. "Kau sendiri apa yang hendak kau lakukan Sinto" Sebagai salah seorang sesepuh
dunia persilatan yang ikut menentukan hitam putihnya masa depan dunia
persilatan, apakah kau tidak akan turun tangan?"
"Aku lebih banyak memandang pada persahabatan kita. Lagi pula tua bangka
sepertiku ini sepantasnya tidak boleh terlalu banyak mengurusi masalah dunia.
Aku sudah minta muridku Wiro Sableng untuk mencarinya lalu membawanya padamu.
Hanya itu yang bisa kulakukan..."
"Terima kasih sahabat...." kata Dewa Tuak. Kedua matanya tampak berkaca-kaca.
"Di ujung usiaku ini, sebetulnya aku ingin menghabiskan sisa hidupku dengan
tinggal di satu tempat yang sunyi dan tenang. Namun nasibku mengatakan lain..."
Dewa Tuak menarik nafas dalam.
Sinto Gendeng mengangguk-angguk. "Kita memang hidup di dunia ini," katanya.
"Tapi kehendak Tuhan lebih banyak menentukan dari kemauan kita sendiri!"
Dewa Tuak ambil tabung bambu yang dipangkuannya. Isi tabung itu diteguknya
sampai habis. Seperti belum puas diambilnya tabung satu lagi yang tergantung di
punggungnya. Lalu isi tabung inipun ditenggaknya sampai habis. Perutnya tampak
melembung. Sekujur tubuh terutama mukanya kelihatan merah seperti udang rebus.
Kedua matanya juga tampak merah sekali.
Perlahan-lahan kakek ini berdiri.
"Kita berpisah di sini Sinto. Kalau umur sama panjang aku merasa senang dapat
bertemu denganmu lagi..."
"Itu juga menjadi keinginanku. Selesaikan urusanmu dengan baik."
Dewa Tuak mengangguk. Sekali dia berkelebat dirinyapun lenyap dari tempat itu.
*** KARYA 24 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id 5
ROMBONGAN orang-orang yang berburu itu memacu kuda masing-masing menuju ke
Timur. Di satu tempat, sebelum memasuki hutan sasaran, Kepik Kuntolo hentikan kuda
seraya mengangkat tangan memberi tanda.
Pangeran Panji Kenanga dan orang-orang yang ada di belakang penunjuk jalan itu
segera hentikan kuda.
"Ada apa Kepik?" tanya Pangeran Panji Kenanga seraya membetulkan letak busur dan
kantong panah di pinggangnya.
"Saya mengusulkan sebaiknya kita tidak memasuki hutan ini. Tapi mencari hutan
lain saja Pangeran."
"Heh"!" Pangeran Panji merasa heran mendengar ucapan pembantunya itu. "Alasan
apa kau berkata begitu Kepik?"
"Saya baru ingat Pangeran. Pihak Istana telah menetapkan kawasan hutan Kemikir
ini sebagai daerah berbahaya tingkat tiga."
"Daerah berbahaya tingkat tiga. Hemm...Aku baru mendengarnya. Apa yang telah
terjadi" Ada bahaya apa dalam rimba belantara ini yang membuat wajahmu kulihat jadi
berubah pucat!"
"Hutan Kemikir diketahui sebagai salah satu daerah gentayangannya mahluk yang
dijuluki Betina Penghisap Darah!"
"Ah...! Itu rupanya yang ada dalam benakmu! Cerita isapan jempol begitu siapa
yang mau percaya?" Pangeran Panji lalu tertawa gelak-gelak. Anggota rombongan
lain yang terdiri dari tiga orang pengawal dan tiga orang kawan-kawan sebaya
sang Pangeran ikut-ikutan tertawa.
Salah seorang kawan Pangeran Panji berkata. "Akan kita lihat! Kalau benar ada
mahluk itu dalam hutan sana, apakah dia sanggup menahan panah dan tombak
Pangeran Panji Kenanga!"
"Kudengar..." kata salah seorang kawan sang Pangeran yang lain, "Makhluk
berjuluk seram KARYA
Wiro Sableng 064 Betina Penghisap Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
25 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id itu adalahseorang gadis
cantik jelita. Nah, kita muda-muda dan gagah semua. Masakan tidak satupun yang
akan ditaksirnya?"
Kembali tempat itu menjadi ramai oleh gelak tawa semua orang kecuali Kepik
Kuntolo yang kelihatan tetap tegang.
"Kepik," kata Pangeran Panji Kenanga pula. "Hutan Kemikir diketahui paling
banyak babi hutannya. Nah apa bukan ini hanya siasat para pejabat tertentu di
Istana yang tidak mau orang lain masuk kemari dan menghabisi babi-babi hutan itu
hingga mereka takut nanti tidak kebagian lagi"!"
Kepik Kuntolo tidak menjawab. Yang menyahuti malah Jaka Dolok, salah seorang
pemuda sahabat sang Pangeran. "Apa yang Pangeran katakan itu mungkin benar.
Sudahlah, mengapa kita harus berlama-lama di tempat ini. Biar aku yang duluan
masuk ke dalam hutan. Kalau bertemu gadis jelita itu akan aku suruh dia tolong
memasakkan hasil buruan kita!"
Pangeran Panji tertawa. Digebraknya kudanya mengikuti Jaka Dolok. Yang lain-lain
segera pula bergerak. Kepik Kuntolo sesaat merasa bimbang. Akhirnya diapun
mengikuti rombongan itu masuk ke dalam hutan.
Setelah beberapa lama jauh masuk ke dalam hutan dan masih belum menemui binatang
buruan, Pangeran Panji berkata. "Aneh, pada kemana semua babi di hutan ini"
Satupun tak kelihatan mata hidungnya..."
Baru saja sang Pangeran berkata begitu tibatiba lapat-lapat terdengar suara
perempuan me-nyanyikan pantun.
Hutan Kemikir banyak babinya
Babi diburu diambil dagingnya
Kasihan babi mahluk tak berdosa
Hendak melawan tak punya daya
Kalau dibiarkan pemburu bersuka-suka
Pesta mereka tak akan pernah berhenti
Kutolong babi dari derita
Biarlah pemburu kuhukum mati
KARYA 26 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
"Eh, nyanyian itu seperti ditujukan pada kita?" ujar Pangeran Panji seraya
memandang pada orang-orang dalam rombongannya. Yang dipandangi tenang-tenang
saja malah ada yang tersenyum sementara Kepik Kuntolo tampak gelisah. "Kita
harus mencari tahu siapa perempuan yang menyanyi itu."
"Suaranya merdu. Orangnya pasti ayu!" kata Jaka Dolok. "Ayo kita mencarinya."
Joko Dolok kembali memimpin rombongan memasuki hutan lebih jauh ke dalam. Kini
rombongan itu bergerak ke arah datangnya suara nyanyian tadi. Kepik Kuntolo yang
mati ketakutan menunggangi kudanya paling belakang. Sekali-sekali dia menoleh ke
belakang, merasa seolah-olah ada orang atau pandangan mata yang mengikuti gerak
gerik rombongan itu.
Tujuh ekor kuda tunggangan mendadak menunjukkan sikap aneh. Binatang-binatang
ini seperti tak mau melangkah maju. Dari mulut mereka keluar suara mendesis.
Lalu. satu demi satu mereka mulai meringkik.
"Tenang! Tenang...!" kata Pangeran Panji menenangkan kudanya sambil mengusap
leher binatang Itu. Yang lain-lain melakukan hal yang sama hingga tujuh ekor
kuda tunggangan itu kembali tenang dan berhenti meringkik tetapi tetap saja tak
mau bergerak. Tiba-tiba terdengar Jaka Dolok berseru sambil menunjuk ke depan dan hentikan
kudanya. "Lihat!"
Semua anggota rombongan sama hentikan kuda dan memandang ke arah yang ditunjuk.
Di atas cabang terpendek sebatang pohon kelihatan duduk seorang gadis berwajah
cantik sekali mengenakan pakaian ungu. Sehelai selendang yang juga berwarna ungu
tergelung di lehernya. Dia duduk bersandar ke batang pohon sedang kedua kakinya
dilunjurkan sepanjang cabang yang didudukinya. Suara nyanyiannya sirap dan kedua
matanya memandang ke arah lain seolah tidak mau memperhatikan ke datangan
rombongan Pangeran Panji. Yang mengherankan Pangeran Panji dan kawan-kawannya
ialah ketika melihat di bawah cabang pohon di mana sang dara duduk, berkeliaran
lebih dari selusin babi hutan dan anak-anaknya yang gemukgemuk. Binatang ini
berkerumun di bawah pohon seolah-olah binatang peliharaan yang menunggu tuannya.
"Kepik Kuntolo!" kata Pangeran Panji pada penunjuk jalan. "Ini orangnya yang kau
sebut KARYA 27 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Betina Penghisap Darah
itu?" "Saya... Saya tidak dapat memastikan Pangeran." jawab Kepik Kuntolo karena
melihat kecantikan si gadis seperti itu hatinya tentu saja bimbang untuk
memastikan bahwa gadis itu adalah mahluk jahat penghisap darah yang selama ini
dikabarkan gentayangan di hutan Kemikir.
Pangeran Panji tersenyum. Dia memandang pada Jaka Dolok dan berkata dengan suara
perlahan. "Memang terasa aneh kalau ada gadis secantik ini berada dalam rimba
belantara. Lalu babi-babi hutan itu seperti binatang peliharaannya. Berkeliaran
di bawah pohon tempat dia duduk.
Apa pendapatmu Jaka?"
"Saat ini yang ingin kulakukan ialah menyapa dirinya lalu berkenalan. Setelah
itu... He.... he... he. Kalau aku yang mendapatkannya lebih dulu jangan kalian mengiri." Jaka
Dolok kedipkan matanya. Kudanya dimajukan sampai ke bawah pohon. Binatang ini
tidak mau bergerak. Dengan susah payah akhirnya Jaka Dolok berhasil juga membuat
kuda ini maju beberapa langkah. Kini kepala Jaka Dolok tepat berada di depan
cabang pohon tempat dara berbaju ungu duduk.
"Gadis cantik di atas pohon. Namaku Jaka Dolok. Katakan siapa namamu, mengapa
berada di rimba ini. Apakah babi-babi hutan ini peliharaanmu. Lalu yang paling
penting apakah aku boleh berkenalan denganmu?"
Si gadis yang sejak tadi memandang ke arah kejauhan palingkan kepalanya. Dia
memandang ke bawah. Jaka Dolok kini dapat melihat wajah itu sepenuhnya. Benarbenar cantik sekali hingga dia jadi terkesiap. Namun dalam terpesona begitu
pemuda ini melihat ada kilatan sinar aneh pada sepasang mata sang dara.
"Hai...!" kata Jaka Dolok. Dia coba tersenyum. Tangan kanannya diulurkan ke atas
hendak meraba betis si gadis yang tersembul putih dan mulus. Si gadis angkat
kakinya hingga tangan Jaka Dolok hanya meraba cabang pohon.
"Para pemburu telah tiba. Saat hukuman dijatuhkan!" Gadis di atas pohon
terdengar berkata.
"Eh, aku bertanya. Kau malah bicara apa?" kembali Jaka Dolok membuka mulut.
"Pertanyaanmu banyak sekali! Gerakan tanganmu tidak sopan! Pergilah!" kata gadis
KARYA 28 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id berpakaian ungu di atas
cabang pohon. Tiba- tiba kaki kanannya borgerak cepat sekali.
Wuuut! "Jaka awas!"teriakPanji Kenanga yang melihat apa yang terjadi dari kejauhan.
Bukkk! Teriakan itu terlambat sebagaimana terlambatnya Jaka Dolok menghindarkan
kepalanya dari tendangan kaki gadis di atas pohon. Tubuhnya terpental sewaktu
kepalanya dihantam tendangan dan terkapar jatuh satu langkah dari hadapan
rombongan Pangeran Panji. Tujuh ekor kuda meringkik keras. Tubuh Jaka Dolok
tidak berkutik lagi. Kepalanya sebelah kanan hancur mengerikan!
"Gadis keparat! Apa yang kau lakukan terhadap temanku"!" teriak Panji Kenanga
marah. "Kau sudah melihat sendiri, mengapa masih bertanya?" menyahuti si gadis di atas
pohon. Mendengar jawaban itu kemarahan Pangeran Panji jadi menggelegak. Dicabutnya
tombak besi yang tersisip di kantong pada leher kudanya. Seniata ini kemudian
digebukkannya ke arah si gadis.
Traakk! Hantaman tombak besi hanya mengenai cabang pohon hingga berderak patah. Sedang
si gadis sendiri saat itu sudah melompat dari duduknya. Tubuhnya melayang ke
atas. Begitu turun kakinya menendang lagi. Kali ini tombak di tangan Pangeran
Panji yang jadi sasaran hingga senjata itu mental. Selagi sang Pangeran
merasakan pedas pada telapak dan jari-jari tangan kanannya, dari atas tiba-tiba
dara berbaju ungu itu melayang turun. Kedua tangannya meluncur ke arah batang
leher Pangeran Panji.
"Pangeran awas!" teriak tiga pengawal dan dua temannya berbarengan.
"Astaga! Lihat! Sepuluh jarinya mengeluarkan kuku panjang merah!" salah seorang
anggota rombongan kembali berteriak.
Saat itu Pangeran Panji telah siap mencabut golok yang tersisip di pinggangnya.
Namun dia hanya sempat memegang gagang senjata ini. Sepuluh kuku merah yang ada
lobang-lobangnya menancap di tenggorokannya. Tubuhnya terangkat ke atas.
Pangeran Panji berteriak keras.
KARYA 29 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Matanya membeliak.
Lidahnya terjulur. Darah mengucur deras dari sepuluh lobang pada lehernya yang
ditembus sepuluh kuku merah. Tapi lebih banyak lagi darah yang tersedot lewat
ujung-ujung kuku berlubang itu!
Pangeran Panji hanya mampu menggeliat-geliat beberapa saat. Tubuh itu kemudian
tampak terkulai. Ketika cengkeraman dilepas, tubuh Pangeran Panji jatuh ke bawah
dan menyangsang diatas serumpunan semak belukar. Untuk kesekian kalinya kudakuda yang ada disitu mengeluarkan suara ringkikan keras.
"Dia... dia benar-benar mahluk berjuluk Betina Penghisap Darah itu..." kata
Kepik Kuntolo, dengan suara gemetar dan muka pucat. Karena tidak dapat lagi
menahan rasa takutnya penunjuk jalan ini putar kudanya dan menghambur lari dari
tempat itu. Dua orang pemuda kawan Pangeran Panji yang ada dalam rombongan sebenarnya juga
sudah dilanda rasa takut. Namun salah seorang dari mereka masih berusaha
berteriak pada tiga orang pengawal agar segera membunuh gadis berpakaian ungu
itu. Tiga pengawal segera menghunus senjata. Dua mencabut golok, satu menyiapkan
tombak. Mereka melompat turun dari kuda masing-masing.
Gadis berbaju ungu berdiri dengan kaki terkembang. Mulutnya dan lidahnya sibuk
menjilaii kedua tangannya yang berlumuran darah.
Dua golok dan satu tombak berkelebat. Si gadis keluarkan suara tertawa panjang.
Tubuhnya berputar membelakangi ke tiga penyerang. Tiga orang pengawal menyangka
gadis itu hendak melarikan diri. Tapi mereka tersentak kaget begitu laksana
kilat kaki kanan lawan melesat menghantam kepala mereka satu persatu. Ketiganya
mencelat dan terhempas di tanah saling tindih. Masing-masing mengeluarkan suara
erangan pendek. Tangan atau kaki mereka menggeliat sesaat setelah itu ketiganya
tak bergeming lagi!
Dua orang pemuda yang ada di tempat itu putus nyali mereka. Tidak tunggu lebih
lama keduanya sepera memutar kuda untuk melarikan diri. Gadis berpakaian ungu
tertawa melengking.
"Kalian mau lari kemana"!" teriaknya. Tubuhnya melesat ke atas cabang pohon.
Tepat paaa saat aua pemuda berkuda lewat di bawahnya, dia melompat turun. Kaki
kanan menendang, KARYA
30 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id tangan kiri memukul.
Bukkk! Pemuda di sebelah kanan hancur dadanya dan remuk jantungnya. Darah membersit
keluar dari tubuhnya yang melayang terpental. Pemuda kedua siap menerima
kematian begitu jotosan tangan kanan gadis berbaju ungu menderu ke arah batok
kepalanya. Tiba-tiba terdengar suara orang berteriak.
"Anggini! Jangan!"
Sebutan nama itu tidak mengejutkan si gadis. Yang membuat dia kaget adalah keras
dan membahananya suara teriakan tadi pertanda orang yang berteriak memiliki
tenaga dalam sangat tinggi. Suara teriakan itu membuat gadis berpakaian ungu
tarik pulang serangannya. Pemuda di atas kuda sadar kalau dirinya diselamatkan
oleh teriakan yang tiba-tiba tadi, secepat kilat menggebrak kudanya dan lari
dari tempat itu.
Seorang pemuda berpakaian dan berikat kepala putih berkelebat muncul di antara
tebaran mayat. Dia memandang pada gadis berbaju ungu dengan rasa tidak percaya.
Tengkuknya bergidik ketika melihat kedua tangan gadis itu berlumuran darah.
Darah juga kelihatan menempel di mulut dan wajahnya
"Anggini! Kenapa kau lakukan ini semua"!"
"Siapa kau!" bentak gadis berbaju ungu. Kedua matanya memandang tak berkesip.
"Ah, kau tak mengenali diriku lagi" Aku Wiro. Murid Eyang Sinto Gendeng dari
Gunung Gede. Gurumu Dewa Tuak dan guruku saling bersahabat. Kita memang sudah
sangat lama tidak pemah bertemu!"
Mulut yang berlumuran darah itu kelihatan menyeringai. "Untung kau datang
sekarang. Kalau tadi-tadi selagi aku masih haus pasti darahmu akan kuminum! Tapi lain
kali, jika kau berani muncul lagi di hadapanku akan kuhisap seluruh darah yang
ada ditubuhmu!"
Habis berkata begitu gadis berbaju ungu ini berpaling pada belasan ekor babi
hutan dan anak-anaknya yang masih berkerumun di bawah pohon, Aneh, binatangbinatang itu sama sekali seperti tidak terusik oleh apa yang terjadi di tempat
itu. KARYA 31 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
"Kalian sudah selamat! Pergilah!" berkata gadis berbaju ungu lalu lambaikan
tangannya. Ada satu gelombang angin menyapu tubuh babi-babi hutan itu. Serentak,
seperti tersadar binatang-binatang itu keluarkan suara melenguh lalu lari
beriringan masuk ke dalam bagian hutan yang lebih lebat.
Si gadis melirik ke arah pemuda di sampingnya. Tubuhnya bergerak dan tahu-tahu
dia sudah berkelebat dari tempat itu.
"Anggini! Tunggu!" teriak Wiro sambil mengejar.
Satu gelombang angin sedingin es menghantam Pendekar 212. Wiro berseru kaget dan
cepat menyingkir. Sambaran angin dingin yang masih sempat menyapu tubuhnya
sebelah kanan membuat dia menjadi kaku beberapa saat dan tidak mampu meneruskan
mengejar! *** KARYA 32 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id 6
PENDEKAR 212 kerahkan tenaga dalam yang mengandung hawa panas ke bagian tubuhnya
yang kaku dilanda pukulan hawa dingin tadi.
"Luar biasa!" katanya dalam hati. "Eyang mewariskan pukulan angin es padaku.
Tapi untuk menundukkan musuh dengan pukulan itu membutuhkan waktu. Sebaliknya
Anggini mampu melakukannya dengan sangat cepat. Dewa Tuak setahuku tidak
memiliki ilmu pukulan hawa dingin seperti itu. Pasti gadis ini mempelajarinya
dari orang lain!" Wiro garuk-garuk kepala. Dia menghela nafas ketika
memperhatikan mayat-mayat yang bergelimpangan di tanah. "Heran, kenapa gadis itu
berubah menjadi ganas dan jahat" Apa yang dialaminya?" Wiro melangkah mendekati
mayat pengawal yang saling tumpang tindih.Kembali dia memperhatikan mayat sang
Pangeran. "Yang satu ini kelihatannya bukan pemuda sembarangan." Wiro membungkuk
dan menarik kalung yang masih melingkar di leher yang hancur mengerikan itu.
Ketika diperhatikan-nya kalung itu terkejutlah murid Sinto Gendeng.
Dia mengenali kalung seperti itu hanya dimiliki dan dipakai oleh putera-putera
Istana. "Pemuda satu ini pasti seorang Pangeran...." kata Wiro. "Sri Baginda tentu tidak
akan tinggal diam. Anggini pasti akan dikejar sampai ke ujung dunia sekalipun.
Dan Dewa Tuak akan terseret-seret.... Apa yang yang sekarang harus kulakukan"
Mengurusi mayat-mayat sebegini banyak" Biar setan-setan hutan saja yang mengurus
mereka!" kata Wiro lalu tinggalkan tempat itu. Rasa penasaran membuat dia
bergerak ke arah lenyapnya Anggini tadi. Dia mencoba untuk mengejar gadis itu
walau sadar kalau saat itu si gadis sudah berada jauh.
*** KARYA 33
Wiro Sableng 064 Betina Penghisap Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id BERITA yang disampaikan
Kepik Kuntolo dan pemuda kawan Pangeran Panji yang selamat membuat geger Istana.
Sri Baginda langsung memanggil beberapa Perwira Tinggi. Dua orang tokoh silat
Istana yang kebetulan sedang mengadakan pertemuan di Istana ikut mendampingi
para Perwira Itu. Mereka adalah Ki Ageng Timur yang dikenal dengan gelar Si
Gelang Setan dan Ki Sambar Tringpali berjuluk Si Cangklong Maut. Kedua tokoh
silat Istana ini sama berusia di atas 70 tahun dan telah mengabdi lebih dari 40
tahun hingga mereka sangat disegani baik di dalam maupun di luar Istana.
Abdi Jalakdiri, pemuda teman Pangeran Panji yang berhasil lolos dari tangan
Betina Penghisap Darah, melaporkan bahwa dia sempat menyaksikan munculnya
seorang pemuda berambut gondrong, berpakaian dan berikat kepala putih. Pemuda
ini memanggil Betina Penghisap Darah dengan nama Anggini. Sedang si pemuda
sempat didengarnya memperkenalkan diri sebagai Wiro. Jelas kedua orang itu
saling mengenal.
"Satu bernama Anggini. Satunya lagi Wiro," mengulang Sri baginda lalu berpaling
pada dua orang tokoh silat Istana. "Kalian pernah mendengar nama-nama itu?"
"Dalam dunia persilatan hanya ada satu orang bernama Wiro," kata Ki Sambar
Tringgali. Dia digelari Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Murid tunggal seorang nenek
sakti di Gunung. Gede. Setahu saya dia tidak termasuk kelompok orang jahat. Tapi
manusia bisa saja berubah."
"Aku minta kalian menangkap orang itu. Tangkap hidup-hidup. Seret ke hadapanku.
Bunuh di tempat kalau dia melawan!"
"Akan kami lakukan Sri Baginda," kata Ki Sambar Tringgali alias Si Cangklong
Maut. Lalu disedotnya cangklongnya (pipa) dalam-dalam.
"Bagaimana dengan si pembunuh sendiri. Gadis dajal berjuluk Betina Penghisap
Darah itu! Namanya sudah diketahui. Anggini. Apa diantara kalian ada yang kenal atau tahu
menahu tentang dirinya?"
"Saya tidak berani memastikan. Tapi dari ciri-ciri warna pakaian yang
dikenakannya saya bisa menduga. Saya harap tidak meleset," menjawab Ki Ageng
Timur alias Si Gelang Setan. Di KARYA
34 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id pinggangnya tergantung
lima buah besi pipih tajam berbentuk gelang yang menjadi andalannya dan membuat
dia menyandang gelar yang angker itu. "Sri Baginda ingat pada seorang tokoh
silat disegani bernama Dewa Tuak?"
"Tentu saja. Orang tua itu pernah beberapa kali membantu Kerajaan menghadapi
kaum pemberontak dan para penyerang dari seberang. Apa hubungan Dewa Tuak dengan
Anggini?" "Gadis penghisap darah itu adalah murid Dewa Tuak," jawab Ki Ageng Timur.
Terkejutlah Sri Baginda mendengar hal itu. "Dunia benar-benar telah berubah!"
katanya. "Yang putih dan baik bisa berubah menjadi hitam dan jahatl Kalian harus mencari
gadis itu. Memandang diri Dewa Tuak kita seharusnya tidak boleh bertindak keras. Tapi
Darah Dan Cinta Di Kota Medang 13 Pendekar Rajawali Sakti 170 Siluman Bukit Tengger Bencana Patung Keramat 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama