Ceritasilat Novel Online

Larung 1

Larung Karya Ayu Utami Bagian 1


t ahun 1985 P ukul 5:12 Siapakah yang menentukan jam kematian
ses eo rang" Selalu ada aroma perjalanan pada rel dan subuh. Lampu sisa malam pada tembok muram dan tepi jalan. Kuning, semakin padam oleh langit yang bangkit.
Dan inilah yang terjadi setiap dini sebagaimana terjadi jam lima ini:
Ketika bau hangat matahari telah tercium di timur laut, sebelum warna terangnya terpantul pada atmosfir, burung benc" segera menghentikan tur malamnya lalu menyusup ke sebuah ceruk yang tak diketahui cahaya. Dengarlah, kita hanya menangkap sisa-sisa gema triolnya, tinggi dan jauh, lalu hilang dalam warna hitam di balik
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
gedung dan pepohonan. Ada makhluk-makhluk, seperti kelelawar, yang tidak menyukai terang.
Tetapi burung dandang-haus tetap berkitar-kitar meski fajar akan segera menelanjangi segala yang muncul dari permukaan bumi ke dalam cahayanya yang congkak. Orang menyebut kehadirannya tanda buruk. Dan kita tahu, jika bunyinya masih terdengar, getir yang tinggi namun tidak jauh, kita tahu bahwa ia telah mencium bau kematian di dekatnya (di dekat kau dan aku, yang mend engar nyanyin ya). Maka ia tidak pergi ke dalam gelap sebab ia tahu matahari tak mampu mengusir maut. Terang tidak mengal ahkan kematian.
Dan inilah yang terjadi pada setiap subuh yang tak diketahui orang:
Ketika burung dandang hinggap pada nok di bub ungan, dan di rumah itu seseorang mati dini hari dengan dada membiru, maka kita tahu bahwa sebelumnya telah terj adi pertempuran roh-roh malam, dan badan halusnya men inggalkan raganya untuk ikut berlaga, tetapi ia telah kalah dalam perang itu dan tak bisa kembali. Maka raga itu tetap kosong ketika pertempuran selesai dan arwah yang menang melayang-layang, pulang sebelum fajar. Tetapi ia kalah dan mati dalam siat wengi. Duh, jasad yang kasat, berunt unglah mata yang masih bisa menyaksikan cahayacahaya roh berlesatan di bawah langit ketika pertarungan itu sedang terjadi sebab mereka yang eling akan melafalkan ayat-ayat kursi dengan khusyu pada lantai yang anyep agar jangan ada kekuatan halus menghirupnya ke dalam senyap. Ada makhl uk-makhluk, seperti kelelawar, yang
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
hidup dalam gelap dan tak menyukai terang.
Tetapi subuh adalah saat menjelang cahaya lewat dan gelap lari ke barat. Di sana ada aroma keberangkatan, aroma perhentian, dan bau asap pertama: pada subuh ada perjal anan yang tak habis-habis.
K eretaku berhenti di stasiun Tulungagung. Aku datang untuk membunuh nenekku.
Tetapi seperti ada tenaga angin yang menahan kereta ini dari kecepatan wajarnya.
Ritme gerit roda pada sambungan rel yang melambat memb uatku terjaga. Gerak itu rasanya selalu sama sejak aku kecil: terdiri dari tujuh ketukan dan pada hitungan keempat jatuh hentakan terkuat, berasal dari gerus roda di bawah kursiku dengan samb ungan rel. Dan goncangan pada gerb ong yang membuat bahuku berayun kanan-kiri, juga gemretuk gelas pada meja dan sendok logam pada piring aluminium, serta ngilu menahan kencing, bau mulut yang lama mengatup adalah rasa yang abadi setiap perj alanan.
Dari kaca jendela terpantul cahaya stasiun kecil itu, terpendar dalam serat-serat gelas yang melingkar. Aku tak bisa ingat lagi kapan terakhir aku di sini. Kabupaten pasti telah memerintahkan pengecatan baru-baru ini: warna putih dan biru pada tembok dan tiang-tiang seperti masih meruapkan bau turpentin pada orang-orang yang terkantuk di peron pada bangku-bangku Fuji Film, yang sebagian bangkit melihat keretaku dan salah satunya,
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
seorang ibu tua, tiba-tiba telah berdiri di depanku untuk menggantikan tempat aku duduk sebab kereta Matarmaja ini akan melanj utkan rute ke Blitar. Dalam perjalanan kita bertemu orang yang takkan kita kenal lagi.
Tetapi wanita itu lalu berlari mengejarku sambil berseru mas, mas, ketika aku hampir sampai di pintu peron sebab aku cuma membawa sebuah tas. Aku berbalik ke arahnya dan setelah ia di hadapanku dari suara dan rautn ya aku tahu ia lebih muda daripada yang kukira sebelumnya.
Anak ketinggalan buku alamat, ujarnya menyodorkan agend aku. Tetapi tangan itu lebih tua daripada wajahnya.
Aku mengutuki keteledoranku. Tapi itu bukan sekadar alamat.
Ketika ia menunduk ke arah jari-jarinya yang menggenggam notesku, aku melihat kupingnya yang berada di depan mataku. Duh, relung, setiap telinga adalah labirin dengan bulu-bulu kecil. Dan kuping, sahabatku, adalah tubuh kita yang tak pernah menjadi tua. Tulang yang tetap rawan sampai kelak tiada. Lihatlah ulirnya, cupingnya, debu bercampur minyak di sana yang menimbulkan bau bantat yang gurih, dan liang gelap itu, di mana ada cairan lumas yang melindungi gendang yang lunak, dan gemuk itu mengeluarkan bau pahit yang sengak sehingga serangga tak mau pergi ke sana. Liang vagina mengingatkan aku pada jaringan seperti malam tempat hidup pertama dilentuk, bau asam yang menanti basa mani, lembab dan hangat, tapi lorong telinga mengingatkan aku pada kematian: sebuah akhir yang tak selesai.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Ibu, pucuk daun kupingmu runcing seperti mamb ang. Aduh, terima kasih banyak, Bu.
Ya, ya& Anak menjenguk simbah di sini" Tetapi peluit berbunyi dengan hembusan beberapa nada seperti dalam minor yang disonan dan ia segera pergi. Bagaimana Ibu bisa tahu" kataku dalam sendiri. Aku ke sini untuk memb unuh nenekku. Tapi ada angin dingin yang bertiup dari luar seperti menahanku dari gerbang.
Kereta berangkat ketika itu, saat kulihat ia masih berdiri dalam wagon yang sambungannya bergerit-gerit, gerbong demi gerbong membikin rangkaian yang bergerak dalam gertak-gertak mula yang lambat dan berat, lalu makin gegas, makin lekas: kereta pergi ke arah timur, sep erti hendak menyusul pagi. Lonceng-lonceng peron, suara pengumuman yang rutin. Stasiun adalah mesin arloji mekan ik setiap hari: ada yang selalu kembali pada jalur, plat-plat logam, tuas-tuas yang menggerakkan gir, roda, dan genta-genta kecil.
Aku bukan orang yang percaya takhayul, rasanya. Tapi siapakah perempuan tua itu yang lari dari gerbong mengemb alikan buku alamat" Barangkali ia hanyalah sebuah firasat. Bahwa aku telah ketinggalan atau suatu kekuatan telah membikin tertinggal dalam kereta notes adres yang tanpanya aku akan gagal memb unuh nenekku dalam perjal anan kali ini. Dan ibu tua itu barangkali adalah pertanda bahwa aku harus menyelesaikan rencana itu.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Dari pintu stasiun bermunculan wajah-wajah berminyak tuk ang becak yang bersaing penumpang dan lupa pada bau ketiak, mbok pedagang jeruk, juga penjaga peron yang tak peduli.
Mas Becak, (Mas Becak yang ngantuk), bawa aku ke Pengi napan Wigati di jalan Agus Salim, tetapi pernahkah Mas melihat hantu"
Ya. Ia bercerita sambil mengayuh perlahan: Seorang pemuda turun dari kereta sebelum subuh. Penumpang terakhir sebelum sepur berikutnya. Ia minta diantar ke gang Lor, kira-kira hisapan satu klobot jauhnya dari stasiun. Anak itu nampak biasa saja, tetapi ia masuk ke rumah dan tak keluar lagi hingga suara adzan membangunkan saya dari tidur menunggu dalam becak. Lalu saya bercerita pada ibunya yang keluar pagi-pagi untuk menyapu ratan dan membakar daun-daun kering: anak Ibu belum membayar ongkos becak saya. Lalu ibu itu menangis mendengarnya dan bercerita pada saya bahwa anaknya tergilas kereta api tujuh hari lalu dan mereka hampir-hampir tak bisa menguburnya karena tubuhnya telah menjadi serpih-serpih daging dan penggali makam merasa sia-sia telah membuat lubang sepanjang dua meter. Lalu ibu itu berhenti menangis dan berkata, syukurlah, anakku telah pulang hari ini.
Apakah ia berbau" Siapa" Si anak. Tidak sama sekali. Aneh, hantu biasanya berbau, anyir atau harum (hanya
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
yang masih hidup yang berbau apek). Barangkali Mas pilek pagi itu. Apakah si ibu menggantikan ongkos becak" Ia menggantikan tujuh kali ongkos pulang pergi. Sayang, kalau anaknya mati empat puluh hari sebelumnya, Mas akan mendapat ganti empat puluh kali. Tapi, pada hari keempat puluh umumnya arwah yang mati telah sungguh-sungguh meningg alkan dunia, ke surga atau ke neraka, tak ada yang tahu. Ia tak akan pulang pada hari keempat puluh.
Tapi, betismu sungguh mengkal. Berbuah-buah dengan keras dan indah, seperti patung beton cor yang diciptakan seniman realisme sosialis. Apakah perut Mas juga berbuah-buah" Ndak tahu, katanya. Saya tidak pernah melihat, saya tidak punya pengilon.
Tapi Mas punya istri"
Istri saya sudah lama mati.
Ia mati sebelum bilang apa-apa tentang perut Mas" Kalau lonte-lonte di tepi rel itu, apa komentar mereka tentang perut Mas"
Ia tertawa. Waktu itu juga ada yang mati ketabrak sepur.
Kasihan, betapa hidup ini penuh dengan cerita orang yang mati.
Mas bade tindak pundi mawon" lalu ia seperti mengalihkan pembicaraan.
Aku arep mateni simbahku. Aku mau membunuh nenekku.
Lho, kenapa" p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Tidak apa-apa. Dia terlalu bawel aja, dan dia sudah waktunya meninggal.
Setelah itu kami tidak bicara lagi.
Inilah nenekku: Ia sudah begitu tua. Seperti sudah bukan manusia bukan perempuan bukan lelaki, seperti bekas manusia. Zombi atau mumi, barangkali. Jika engkau melihat tangannya yang sedang dijulurkan di atas perdu teh-tehan pada saat berjemur pukul sepuluh pagi, kau akan merasa bertemu tokek raja yang kulitnya bukan keriput melainkan keras dan berserat seperti batang kayu, berbelang tua dan muda oleh pigmen yang tak lagi rata. Tubuhnya seperti telah koma sehingga hanya otot-otot tak sadar saja yang bekerja, bernafas, membuang keringat, kencing, dan tai. Aku merasa hanya kepalanya saja yang masih hidup. Tapi lihatlah wajah itu, pelupuk yang menyisakan celah sempit saja bagi pupiln ya mengintip dunia, dan bagi dunia matanya hanya nampak sebagai keler eng hitam dengan lapis-lapis katarak seperti langit malam yang pudar oleh kabut. Dan kalau aku memb uka kelopaknya untuk meneteskan pirenoksin pada perm ukaan yang lunak itu, maka albumennya (aku selalu membayangkan mata sebagai telur) telah penuh dengan pembuluhpembuluh lelah sehingga kita lupa pada warna putih.
Aku yang merawatnya. Inilah yang kukerjakan saban pagi: mendudukkan tubuh ringannya pada kursi roda dan
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
membawanya ke kamar mandi, lalu kubasuh dengan air hangat serta sabun non-deterjen. Dua atau tiga kali seminggu kusandarkan ia di kloset dan kubersihkan kotorannya yang tak lancar sebab metabolisme yang lamban. Bau yang disimpan lama dalam lembab. Tai yang tak liat. Tidak coklat tidak hitam melainkan bau. Badannya kukeringkan dengan handuk lalu kubopong kembali ke ranjang, kubedaki bagai bayi celah-celah kulitnya. Aku obati ulkus bernanah pada tumit dan tulang ekornya, juga borok yang memperlihatkan ujung iga kanan seperti cula yang tak jadi tumbuh, jaringan kulit yang terkikis oleh beban tubuh sebab ia berbaring dengan posisi yang hampir selalu sama bertahun-tahun. Simbah, tidakkah tubuhmu lupa pada rasa sakit" Begitulah ia tiap-tiap hari di hadapanku, sebelum waktunya berjemur pukul sembilan hingga sepuluh: telanjang tanpa daging. Teronggok pada kasur. Dada yang panjang susut, puting yang kaku, tak tersisa seglendir kelenjar pun di dalamnya, segalanya telah menjadi pipih, tempat ayahku yang mati pernah menyusu. Jembut putih pada labia yang menghitam.
Sebelum kukenakan pakaiannya serta kusisir rambutn ya yang panjang dan telah begitu jarang, aku selalu berlama-lama menyaks ikan lekuk-lekuk tulang belakang di bawah kulit punggungnya, begitu jelas seperti pipa udara yang telah menghisap jutaan debu, ruas-ruas vertebra itu melengkung ke kanan depan. Rangkamu tanpa kalsium, condong hampir melingkar, seperti mencari aroma tanah dan tak siapa pun bisa menegakkannya kembali. Belulang yang menunggu punah.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Setiap kali aku berhubungan dengan tubuh yang masai tanpa daya itu, menyentuh permukaannya yang kesat, kelaminnya yang menyisakan lembab, jemariku, diriku adalah kelunakan dua siput bugil yang tak jantan tak betina, dengan tubuh warna dodol yang berlumur lendir, ketika birahi menggeliatkan jaringan yang semula pipih pada tanah, sebelum berbelitan dalam persetubuhan yang lamban dan menjijikkan dari dua moluska dengan sungutsungut halus. Lihatlah, kawan, betapa ganjil keintiman antara sepasang makhluk hermafrodit yang memualkan mulut. Pandanglah keind ahan yang lahir dari kejijikan. Bukankah hidup adalah kutukan.
Dan sembari aku membacakan koran pagi, ia selalu bicara kepadaku dengan leher yang berteriak tetapi suara seperti derit yang keruh. Hanya bau tajam salak alum, sepat, yang keluar dari mulutnya seperti berasal dari sesuatu yang busuk di rongga perutnya. Enzim dan liur yang tak lagi jernih. Cuma daun telinga yang tak menjadi tua.
Larung, ia selalu memanggil setelah menatapi aku lama. Larung. Anak lanang. Dengan matanya yang hanya hitam (kadang aku teringat mata kera). Anak lanang, persis bapakmu, persis mbah kakungmu. Nenekku hanya mau aku yang mengurus. Ia cepat merajuk jika pembantu atau perawat, bahkan ibuku, menantunya, yang meladeni. Atau, barangkali ia hanya menghargai keturunan laki-laki. Atau, ia hanya mencintai laki-laki. Siapakah aku bagi dia: cucu, anak, suami"
Setiap kali aku menatap mata yang menatap aku itu,
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
aku adalah monyet betina yang menyusui dan mata itu milik bayiku ketika mulutnya mencucup ujung susuku dan tangann ya memijat dan telinganya mencari-cari detak jantungku yang memberinya keten angan. Marilah, aku adalah ibu yang tahu, dekap dan degupku menyamankan, serta bulu-buluku melindungi sosok rentanmu.
Tapi tubuh nenekku menyimpan rahasia. Kekuatan yang jauh lebih berat daripada timbangannya. Seseorang yang mampu melihat aura akan bisa menyaksikan prana hitam di sekelilingnya. Bukan jingga, putih, atau nila, melainkan sinar hitam. Seperti lubang gelap pada galaksi, itu adalah energi sesuatu yang mati. Bintang masif yang semula hidup tetapi kemudian padam dan gerak matinya menghasilkan ruang gravitasi tempat cahaya pun surut sehingga tak ada terang di sana. Lama-lama aku tahu bahwa ia seharusnya sudah lama mati. Tetapi rahasia membuat organ-organ tubuhnya tidak berhenti berdenyut.
Dan orang bisa melihat pancar rahasia itu dalam kekejian yang aneh pada dirinya. Kukatakan demikian, sahab atku, karena sosok dan odornya telah begitu menyedihkan sehingg a tak seorang pun sanggup membencinya. Nenekku adalah siksaan bagi yang mel ihatn ya, tapi kau akan merasa berdosa jika memalingkan wajah dari dia. Atau menutup hidung di dekatnya. Setiap yang bertatapan dengan nenekku tak bisa melarikan diri dan akan mengalami yang takterkatakan: semacam gangguan jiwa bahwa alam tak punya tujuan.
Ia adalah makhluk yang dari mulutnya yang tremor
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
keluar kotoran dan kekejian. Inilah kekejian nenekku: katakata. Kata-katanya melukai, tetapi engkau tak bisa menyerangnya karena benci. Kau hanya bisa menganiaya dirimu sendiri sebagai proyeksi dari luap keinginanmu membunuh dia. Aku mengingatnya, setelah ia menghunjamk an serapahn ya, ibuku menusuk pergelangan tangan sendiri dengan garpu suatu kali, dan menusuk juga dengan garpu lehernya kali lain. Dan Simbah hanya memandangnya, ia bagai selembar cermin yang memantulkan niat jahat Ibu. Sebab, itulah yang Ibu ingin lakukan padanya.
Aku mengingatnya, setengah berbaring pada kasur pada tumpukan bantal di punggung, ketika perawat yang terakhir masuk ke kamarnya, memperkenalkan diri di muka ranjang. Perawat yang keseratus lima puluh. Seratus empat puluh sembilan suster telah datang lalu pergi dengan takut dan benci selama tujuh tahun itu. Aku mel ihat dengan mataku yang tak nampak, sisi belakang per empuan muda itu, seragam putihnya, rambut-rambut halus lehernya, betisnya yang lurus, bekas luka, barangkali terpanggang knalpot, sol sepatu. Tak kulihat rautnya. Tapi kulihat wajah nenekku yang bersandar di hadapannya, matanya yang gelap dan kelopaknya yang penuh lipit, cahaya suram. Jarak membuat ia amat kecil seperti bukan berasal dari dunia ini sementara daun kupingnya nampak menonjol sebab telinga selalu mencolok pandanganku bet ap apun kecil dan sederhana. Tangan nenekku terlipat pada pangkuan, urat-urat yang melebar. Tubuh yang lama bengkok membuat kepalanya seolah tumbuh dari
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
tengah-tengah rusuk. Ia menatap gadis itu seperti seekor kukang.
Tapi mulutnya seperti ubur-ubur, mengembang dan mengatup dalam gelombang pelan, menyimpan racun. Lalu aku melihat, kata-kata kotor muntah dari perutnya, dari hatinya yang telah mati dijalari sirosis, seperti cairan jorok yang penuh gumpalan bekas makanan dan gelembung gas bau, menyemburi seragam bersih perawat itu sehingga ia terjengat satu ubin ke belakang, hampir terjerembab. Ia tak berani menggerakkan tangan untuk menutup telinga, ia ingin melarikan diri oleh rasa ngeri dan jijik, tetapi cahaya lampu membuat tangan nenekku menjelma bayangan hitam yang mencekalnya pada tempat itu. Lihatlah kaki-kaki kurus gadis itu gemetar, seperti menahan kencing, seperti merasak an hawa neraka dari suhu badan perempuan tuaku yang luka dan perkasa. Lalu, ketika amarahnya dari rasa sakit yang panjang itu telah selesai, di lantai tersisa air liur yang asam dan lekat seperti ampas persetubuhan.
Lama-lama aku tahu ia telah lama mati.
Sayup-sayup pernah kudengar orang membaca lontar di kebun belakang (cahaya samar pada kelir, blencong yang kerlip-kerlip). Sebuah kisah tua tentang rangda yang mengh irup darah, satu janda dari Jirah dengan payudara menjuntai dalam belang putih hitam, yang membangunkan orang-orang mati yang masih segar dan menggiring mereka dari kuburan ke pertapaan untuk
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
diolah sebagai perhiasan, bukan makanan. Mayat yang membusuk merek a tinggalkan bagi anjing dan burung nasar. Jenazah dibariskan dan orang-orang mati itu menangis ketika tiba giliran disembelih untuk aksesori. Air mata mereka menetes sampai ke tanah tetapi butirbutir itu hilang sebab bumi Jirah yang haus segera menyerapnya. Lalu Ni Rangda keluar dari biliknya, telah mengenakan pending dari paru-paru, anting limpa, dan usus dijadikan kalung bergulung-gulung, kancing bola mata. (Para muridnya telah mencuci organ-organ itu dari darah, seperti Ibu membersihkan isi perut ayam, sehingga aku bisa melihat gelembung-gelembung alveoli pada pleura yang keunguan, usus yang krem oleh lemak, simpul-simpul limfa seumpama bros, juga empedu yang hijau bagus, mata yang seperti telur asin.) Demikian ia berdandan di antara sesaji. Tetapi nenekku berkata kepadaku (nenekku ataukah Ni Rangda yang berkata kepadaku"): Diamlah, Nak. Jangan benci. Sebab dendam menyelamatkan kita dari dendam yang lain, kematian mengh idupkan kita dari kematian yang akan datang. Kejahatanku mengusir orang-orang yang mengutuki kita.
Ketika itu aku masih amat kecil. Sebab ayahku masih hidup. Nenek tidak kelihatan masih muda.
Tiga bulan setelahnya, aku mendengar suara burung dandang berkitar-kitar di bubungan, dan pagi-pagi buta orang-orang berk umpul di pelataran rumah. Mereka menget uk pintu dan memb awa ayahku ke luar rumah, tanpa obor, hanya sentir yang cahayanya rapuh. Aku melihat ia menjauh, semakin kecil ke dalam gelap. Tetapi
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
bayangannya semakin besar sebelum pudar, seperti molekul-molekul ketika sebuah benda padat menjadi gas. Lalu Simbah menjauhkan aku dari Ibu yang menangis. Ia menutup segala jendela dan berkata, Lupakanlah.
Bapakmu mati oleh dendam orang-orang yang membaw an ya.
Namun nenekku berhasil mengusir mereka yang datang lagi untuk mengambil kami semua. Ia mengenyahk an orang-orang yang mengepung hanya dengan berdiri di depan pintu, memand ang ke arah laut. Sejak itu kutahu ia menyimp an rahasia dalam tubuhnya. Aku tak pernah bertemu Ayah sejak ia digiring pergi, juga jenazahnya, tetapi nenekku selalu ada padaku. Ia tak pernah muda, dari dulu.
Tidak. Simbahmu pernah muda. Begitu ibuku berkata waktu aku tanya. Ia adalah wanita yang kuat, cerewet, dan pongah. Ia luar biasa berani dan tak pernah merasa salah.
Kapan ia lahir" kubertanya.
Ketika waktu belumlah sesuatu yang linear, melainkan sebuah siklus yang terus-menerus. Pada masa orang mencatat hari dan wuku weton namun umur bukan hal yang penting (sebab hari adalah sesuatu yang berulang-ulang namun usia tidak). Pada suatu Selasa Pahing sebelum sensus yang pertama. Tapi tanggal berapa yang tercantum di KTP-nya" Tanpa tanggal, hanya tahun: 1900. Sebab ia tengah merasakan sakit payudara yang tumbuh ketika Perang Puputan terjadi di sebelah barat dan timur dan
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
orangtuanya diam-diam mengutuki diri sebab mereka tak pernah menc oba melawan tentara Belanda seperti orangorang dari Badung dan Tabanan. Dan 1900 juga angka yang gampang. Barangkali ia lahir tujuh atau sepuluh tahun sebelumnya. Tapi tahun 1800-an adalah waktu yang tak terbayangkan. Ia selalu mengaku berasal dari kasta ksatriya Gianyar yang kawin lari dengan seorang pedagang candu Belanda dan kabur ke pulau Jawa untuk menghindari kemarahan keluarg a. Suaminya, si pria putih, masuk kamp tahanan ketika Jepang berkuasa, lalu ia kawin lagi dengan seorang gerilya republik dan melahirkan ayahmu pada 1944. Bapakmu menikah dengan aku ketika kami berdua umur tujuh belas dan kamu lahir tahun 1960.
Simbah masih melahirkan pada usia empat puluh lima"
Barangkali lima puluh. Ia kuat sekali.
Sebab ia mendapatkan kekuatannya bukan dari dunia manus ia, melainkan dari alam gaib yang syirik. Gunung dan makam manakah di Jawa dan Bali yang tak ia kunjungi untuk berilmu" kata ibuku dingin, namun aku mer asa ada sesuatu yang tidak dingin. Apakah mencari ilmu sesuatu yang salah" lalu aku bertanya. Tidak, kata Ibu, tetapi tubuhnya penuh susuk, hatinya berisi jopajapu, dan pikirannya hanya mantra. Ia pernah menelan tujuh puluh tujuh gotri untuk kekebalan. Ibu tidak pernah melihatnya sendiri, bukan" aku menegur. Memang, tetapi tidak ingatkah kamu bahwa ia suka mandi keramas tujuh kali semalam" Ya, tapi kukira itu karena malam
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
begitu gerah. Aku lebih ingat, setelah mandi, kutangnya hitam dan ia mengenakannya terbalik, yang depan di belakang. Teteknya panjang.
Ia tidak mengenakannya terbalik bantah Ibu. Ia sedang mengancingkan kait korsetnya. Setelah terpasang, ia memut arnya kembali lalu memampatkan susunya ke dalam kapn ya. Begitu cara perempuan mengenakan kutang torso tanpa bantuan.
Tapi apakah kamu lupa ia juga beberapa kali melarang kita menyalakan listrik dan lampu sehari semalam bukan pada hari Nyepi; itu dinamakan pati-geni, salah satu syarat yang harus dilakoni jika memiliki isim. Ya, kalau itu aku ingat meski aku tak tahu namanya dan gunanya. Lalu ibuku berkata: Simbah seharusn ya sudah meninggal dalam kecelak aan tiga belas tahun yang lalu. Bisnya tabrakan dengan truk pasir dan masuk jurang di sekitar Alas Roban. Rusuk si supir hancur di dalam paru-parunya, seluruh penumpang tewas, kecuali dia: nenek berusia delapan puluh tahun yang tak lecet sekulit ari pun padahal ia duduk agak di depan. Nak, simbahmu tak bisa mati sebelum susuk dan gotri itu dikeluark an dari badannya, dan jampi-jampi dilepas dari mulutnya. Ia tak bisa mati meskipun telah lama mati. Ia adalah mayat hidup yang akan bernafas lebih lama daripada kamu sebab jika ia mati ia pasti pergi ke neraka sebelum meniti sepert ujuh tipis rambut. Dan kamu perlu tahu, dosa musyriknya bukan tanpa tumbal. Tak ada laki-laki berumur panjang di dekatnya: suami-landanya, kakekmu, ayahmu, mereka cepat mati. Kamu masih muda.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Ibu, tidakkah Ibu membenci Simbah karena ia yang memberi aku nama"
Aku ingin menamaimu Begawan. Tapi namaku sudah Larung. Itu nama perempuan. Namaku Larung Lanang.
Nak, tidakkah kamu yang takut mengakui bahwa sepant asnya Simbah meninggal"
Aku tidak takut. Aku tidak takut mengakui bahwa ia sudah tak patut hidup. Tapi siapakah yang harus bertanggung jawab atas konsekuensi pikiran itu"
Apakah aku juga yang harus membunuh Simbah, Ibu"
Kamu gila, Larung! Aku gila, katamu. Sebab aku minum haloperidol. Ibu, Ibu waras tapi tak bisa menyelesaikan persoalan. Aku gila, katamu, tapi aku tak pernah mengeluh.
Ibu tidak ingin kamu punya pikiran seperti itu. Dan kamu tak akan bisa membunuh Simbah.
Ibu ingin aku membunuh Simbah dan aku bisa.
Esoknya aku memandikan nenekku seperti biasanya jika aku di rumah. Seperti biasa ia selalu menatapi aku seperti menikmati kemudaan yang bukan miliknya lagi sebab ia bercerita dengan matanya. Hanya mata. Pagi itu aku menem aninya berjemur sebab hari itu Minggu. Simbah, seperti apa rasanya menjadi tua"
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Kamu tak akan pernah tahu sampai kamu sendiri menga laminya. (Katarak itu seperti langit yang keruh.)
Apakah itu membuat Simbah ingin hidup terus atau merasa sedang menunggu saatnya ajal"
Bibirnya mencong dan bergetar. Kamu tak akan tahu.
Ketika orang menjadi tua maka keindahan pergi ke luar dirinya. Pada saat itulah kita tahu rasanya memiliki mata untuk melihat kecantikan hidup dari luarnya sebab kita telah berjarak dari hidup. Bayi-bayi yang lahir dan tumbuh, anak lelaki yang menyuk ai buah dada serta anak perempuan yang diam-diam memb ayangkan penis pamannya, mereka lincah seperti kijang, mereka menangis dan berkelahi untuk perk ara sepele sebagai latihan (tanpa mereka ketahui) bagi masa dewasa yang tak mereka ketahui, di mana air mata dan kekejaman memang mempunyai alasan. Tapi menjadi tua adalah seperti bayangan yang pelan-pelan terlepas dari layar dan meninggalkan film yang terus berputar sementara ia terhirup ke kursi penonton dan menyaksikan cerita yang berjalan tanpa dirinya di sana lagi. (Sebuah gedung bioskop, Nak, adalah layar lebar yang bercahaya dan ruang pemirsa yang gelap dan luas; kita tahu banyak kursi meski kita tak melihat warnanya.) Ketika orang menjadi tua maka ia menjadi mata. Dan hanya mata. Tak ada lagi saya. Hanya mereka.
Tak ada kamu. Sebab tak ada saya. Tapi Simbah belum tahu rasanya mati"
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Barangkali itu suatu tak ada saya yang mutlak. Kedengarannya indah. (Ia tak takut mati.)
I bu . Simbah tak takut mati, Ibu. Kenapa ia tak mau mati"
Ia tak bisa, Nak. Ia tak bisa sebelum rapalan itu diwariskan pada keturunannya. Dan siapakah anak cucunya yang di dekatnya selain kamu" Kamu sendiri. Tak pernahkah ia membujukmu"
Tidak. Ibu lebih baik kamu mati muda daripada memegang mantra.
Itu sama-sama tidak adil, Ibu.
Aku bekerja sendiri. Aku selalu begitu. Telah kuput uskan untuk memburu rahasia nenekku agar aku bisa mengel uark an jampi-jampi itu dari tubuhnya dan membiarkan nyawan ya pergi. Dan yang pertama kulakukan adalah memeriksa semua dokumen usang dan benda-benda milik nenekku sebab hampir tak ada yang kuingat tentang masa lalunya atau teman-temannya. Dalam memor ik u ia sudah tua, hanya tua, sejak aku bisa mengingat. Tapi dalam lemari pakaiannya tak kutemukan selain lembarlemb ar jarik, stagen, dan pakaian lama dengan bau lerak bercampur kapur barus. Beberapa perca dengan sisa urin tikus atau kecoak. Tak ada kembang kering, sabuk,
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
potongan kulit macan, sobekan isim dan azimat, segala yang bisa kuhubungkan dengan ilmu gaib. Maka kususun kembali kain-kain itu dalam almari.
Hari kedua kudapati dua album dan bundel berkas dal am sebuah boks kardus yang telah dilakban seperti sesuatu yang hendak dilupakan. Kuseret benda itu ke kamar agar aku bisa mengamatinya lebih seksama: album tua dengan sampul batik serta halaman hitam yang perekatnya tak berdaya lagi sehingga di selanya berhambur foto-foto yang telah menjadi sepia. Potret-potret kuno dengan tepi putih yang kadang bergerigi, orang-orang dulu dengan rambut dilumuri cemc eman atau urangaring yang meninggalkan tilas hitam dan bau lemak pada krah, nona rambut kepang dan pemuda jambul, wanita berkebaya serta tuan-tuan bercelana komp rang, pasfoto dengan senyum yang memp erl ihatkan gigi; siapakah mereka" Orang-orang yang mengalami Perang Dunia tanpa mengerti apa yang terjadi di Eropa. Orang-orang yang muncul dari sebuah zaman di mana ada roman dan melankoli. Dan di manakah gambar-gambar itu diambil" Tak ada Bali, dari mana nenekku datang. Tentu tak ada, itu adalah sebuah masa ketika fotografi hanyalah milik para kolonialis, para naturalis, zoolog, antropolog, atau juru potret petualang yang ingin menunj ukkan gambar eksotis perempuan Asia telanjang. Tapi juga tak ada Belanda pedagang candu yang menjadi suami pertama nenekku. Tentu tak ada, perkawinannya kemudian dengan seorang pejuang membuat dia menghapus jejak-jejak penjajah dari albumnya.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Kebanyakan foto itu seperti diambil setelah 1945, bahkan 1950. Hampir tiada bukti dari hidupnya sebelum bertemu kakekku. Potretnya pun tidak banyak. Itu bukan albumnya, melainkan milik suaminya. Hanya ada tiga buah foto nenekk u. Sebuah potret tunggal studio pada kertas fiber yang mungkin sekali berasal dari masa hidupnya bersama si pria belanda. Ia nampak agak muda di sana, seperti dalam usia pertengahan tiga puluh, mengenakan kebaya noni dan duduk berlatar tirai bledru dalam pose separuh badan. Ia tidak cantik, tapi daging membuat siapapun cukup menarik. Dan di bawahnya, pada tepi putih, tercantum sebuah kata: Adnjani. Ya, Tuhan. Itukah namanya yang tak pernah kuketahui" Sebab bagiku namanya Simbah. Nama itu men anggalkan petunjuk kasta sebab ia telah mengkhianati orangtuanya.
Foto kedua dicetak dengan mutu lebih rendah, warnanya memudar dalam bercak-bercak seperti peri transparan. Ia berdiri berdua dengan seorang perempuan pasti temannya berlatar gordin lipit. Ia mengenakan kebaya Jawa dengan sanggul tradis ional (simbah hampir selalu berkebaya, bar angk ali karena itu ia senantiasa nampak tua dalam memorik u), sementara kawannya memakai rok dan blus warna terang. Di balik potret itu aku bisa melihatnya sebab ia tak lagi menempel pada lembar album tertulis dari tangannya: Njani dan Soeprihatin, Photo Studio Liek Kono Djogja, 1941.
Foto ketiga diambil tak kurang dari Februari 1961, barangkali awal 1962, sebab di sana telah ada diriku
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
dalam posisi duduk dalam genggaman Bapak yang satu telapaknya menyangga bok ongk u dan satu lagi menahan bahuku, seperti menjunjung aku kepada kamera, sebab setiap bayi sulung adalah tanda kejantanan. Lihat, betapa mungil dan tak berdosa wajahku dan betapa lebar dan sombong senyum ayahku. Ia mengenakan pakaian dinas upacara meski bagiku tak ada kegagahan pada tubuhnya, tubuh tentara zaman itu, yang kurus kecil. Dia seorang bintara, dengan lambang tiga sudut di pundak bajunya. Ketika meninggal pangk atnya pembantu letnan. Dalam potret studio itu hanya aku dan ayah yang menatap lensa. Ibu, nenek dan kakek dari kedua pihak melihat padaku dengan gembira. Akulah fokus dalam gambar yang antusias itu, orok yang bikin gemas, namun sejak aku bisa mengingat aku tak pernah merasa sebegitu berharga hingga kini Simbah membuatku merasa berarti dengan mengurus dia.
Album kedua lebih merupakan kenangan keluarga dan foto-foto dinas ayahku. Ayah ditugaskan ke Denpasar pada tahun 1962. Simbah ikut. Aku tak tahu apakah itu kali pertamanya kembali ke Bali setelah ia melarikan diri dulu. Tak pernah kupikirkan. Tapi aku tak akan tertarik pada foto duet Simbah dan temannya seandainya tak kutemukan pada halaman hampir terakhir album kedua gambar perempuan yang sama: Suprihatin. Wanita itu muncul kembali dalam ruang tamu, duduk di sebelah jendela sehingga cahaya menerangi setengah wajahnya yang bercakap dengan ibuku. Hitam-putih. Aku
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
masih mengenalinya meski ia telah menua. Tapi kini ia mengenakan kebaya. Siapakah dia, kawan nenekku sejak mana"
D an wanita inilah yang kucari di kota kecil ini. Kugenggam buku alamatku yang tadi hampir hilang dalam kereta. Aku merasa bodoh dan aneh juga dingin sebab bisa begitu ceroboh padahal hampir setahun aku menelusur untuk catatan tentang tempat tinggalnya di desa Lebuh di kaki gunung Watuangkara. Soeprihatin, karib Adnjani. Setah un aku mencari.
Saya memang tidak buru-buru memburu alamatnya karena saya berharap sakit Simbah makin parah dan ia mati sementara itu. Mati sendiri.
Tetapi Mas Becak tidak menyahuti ceritaku. Ia diam, hanya menimbulkan bunyi kerat karat dari gerak kakinya mengayuh engkol pada jalan yang landai, lalu lenguh mendorong pada permukaan yang nanjak. Ia tak mau menunggu setiba di losmen dan memintaku membayar saat itu juga sebelum aku masuk untuk membangunkan penjaga pintu. Lalu kukatakan padanya jangan takut, sebab aku bukan hantu pria yang tergilas sepur, tetapi wanita yang sedang kucari barangkalilah hantu. Sudah hantu, atau sejak dulu. Kusentuh lengannya yang dingin kena angin sebab jemariku hangat oleh kempitan ketiak. Rasakan, Mas, tubuhk u memiliki temperatur. 37 o Celcius. Dan aku mempunyai uang untuk
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
membayar jasa becakmu. Setelah itu ia pergi ke arah alun-alun barangkali untuk tidur sejenak. Tapi betismu sungguh indah, berbuah-buah, lembab oleh keringat. Dakim u serbuk tembaga yang asam.
Lalu, waktu matahari telah terbit dan aku sudah berbaring sesaat, aku berjalan ke resepsion dan menelepon sebab di kamar tak ada pesawat bahkan air hangat. Ibu, apakah Simbah masih tidur dan hidup" (Sebab aku berharap ia tiba-tiba mati. Mati sendiri. Sehingga aku tak perlu menanggung pekerjaan ini.) Tidak, Nak. Dia sudah bangun. Sebentar lagi dia mulai mencari kamu. Kamu ke mana dan sedang apa" Bilang padanya aku tak lama lagi. (Tapi kalau ia mau melepas nafasnya dengan suka rela, aku lebih senang untuk tidak mengerjakan pekerjaan ini.) Dengarlah, Nak, dia mulai ngompol dan memaki.
Aku mendengarnya, Ibu. Tanpa kau beri tahu. Aku mencium pesing kata-kata kotor yang selama ini membuatku istimewa karena tak pernah ditujukan padaku. Di manakah batas sikap kasar dan sopan-santun" Bukan pada subyek melainkan pada obyek sebab ia membikin aku berharga dengan menjadikan yang lain berbeda dari aku. Tapi barangk ali Simbah tidak menjadikan aku lebih baik daripada yang lain, melainkan yang lain lebih buruk daripada aku. Betapa anehnya ukuran, di manakah kita melet akk an patokan"
Karena pagi ini ia belum juga mati, maka aku menyewa motor ojek untuk mengantarku. Dukuh Lemah Tulis, Desa Lebuh, Kecamatan Watuangkara, sekitar 100 km di utara Tulungagung.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Namun hujan tiba-tiba, begitu deras, sehingga matahari tak jadi terbit. Pagi berhenti di tengah jalan. Lalu Mas Ojek membatalkan perjalanan sebab ia takut masuk angin.
Saya kira tukang ojek tak bisa masuk angin kataku. Bukankah kedap angin adalah syarat kedua, SIM-C adalah syarat ketiga, dan miskin adalah syarat pertama" Awalnya saya kira juga gitu ia menjawab. Tapi kawan saya Tukijo meninggal karena kemasukan angin-duduk sehabis narik hujan-hujan. Badannya biru dan kaku, ia tak bisa bernafas sebelum berpulang. Saya tak mau mati katanya. Kasihan Tukijo. Tetapi Ibu mau Simbah mati. Lagi pula Lebuh bukan desa yang bersih ia mencoba memb antah dengan kejujuran yang aneh. Pada masa lalu wabah penyakit bertiup dari sana. Banyak orang mencari ilmu di pegun ungannya. Tanah ini tua, memendam para pemberontak kerajaan kuno, Kedhiri, Dhaha, dan Jenggala, menyuburkan desa itu dengan tenaga buruk. Tidak pernah Mas mendengar tentang pembantaian di tahun enam enam" Itu bukanlah suatu kebetulan bagi daerah ini.
Ia mengusulkan agar kami menanti terang. Maka kubil ang, aku kemari untuk melawan alam mengapa kamu menganjurkan kita menyesuaikan diri.
Lalu aku mengeluarkan SIM-A, uang empat puluh ribu, dan sebilah pisau yang selalu kuasah dari tas sabuk sebab KTP-ku telah jadi jaminan di losmen. Duit dan kartu penge m udi kuserahkan padanya, tetapi pisau itu kugenggam saja, ujungnya belum menunj uk padanya.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Tunggu saja di lobi losmen, kataku. Saya kembali dua jam lagi. Nama saya Larung. Larung Lanang. Ia tak bicara lagi waktu aku mengambil honda-bebeknya lalu berangkat.
Aku bukan orang yang percaya takhayul rasanya, tetapi dalam angin aku seperti mencium bau nenekku. Bau yang tak luntur oleh hujan. Bukankah aroma adalah sesuatu yang merayap ke atas seperti gas sementara hujan menghunjam ke bawah" Tetapi bau ini tak terbilas air yang jatuh dengan angin. Ia tidak pula meruap dari permukaan bumi seperti harum tanah basah melainkan datang dari dimensi yang lain dari materi air sehingga hujan tidak bisa mengalahkannya. Aku merasa dingin dan nenekku ada di dekatku, namun kutahu tak siapa pun membonceng di belakangku. Ia terasa dekat, seperti bayang-bayang, meski tidak di belakang, tidak di depan, tidak di samping, tidak di atas, tidak di satu tempat pun. Tapi aku mencium baunya.
Bau nenekku tidak satu. Pada awalnya ia hadir sebagai kapur mentol dalam cupu hitam dengan lubang-lubang di ujungnya. Bison atau Strong Girl merkn ya. Dengan ini kamu bisa bernafas lebih dalam, Nak. Kamu bisa menghirup udara sejuk hingga dasar paru-paru. Kamu akan merasa segar seperti eukaliptus dan umurmu akan panjang seperti ringin. Lalu aku menempelkan hidungku pada titik-titik lubang itu dan menyedot aroma mint yang selenting. Segar yang dingin. Tetapi mint tidak selalu sejuk, kemudian
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
kutahu melalui bau koyo nenekku. Gambar unta merknya. Salonpas. Benda itu terdiri dari dua lapis, yang pertama putih dan lekat, yang kedua bening dan ungu gelap. Lembar putih mengandung mentol yang panas yang ditempelkan pada punggung leher dan dahi Simbah, tetapi lembar transparan itu kupakai untuk melihat dunia, lalu segalanya menjadi kombinasi ungu dan hitam yang tak akan kau temui pada malam maupun pagi. Sejak itu aku mencium bau berdenting pada semua yang ungu dan bening. Tetapi di perjalanan ini tak ada warna itu.
Bau nenekku juga datang dari almari dan lantai kamar mandi. Bau batik, lerak, mori, dan malam. Minyak cemceman yang penguk, serbuk cat rambut. Bigen. Lalu, semakin aku dewasa semakin aku bisa mengendus sel-sel tubuhnya. Ketombe, keringat yang mengendap bersama asam, lemak, segala tai dan leleran badan. Bakteri dan fungi. Juga yodium untuk membersihkan kulit, karbol untuk menyiram kencing dan kopet dari ubin. Koridor rumah sakit geriatri.
Aku seperti mencium bau nenekku mengiringi perjalananku, melalui jalan-jalan semak menanjak. Aku mendengar matanya memanggil. Larung, anak lanang, persis bapakmu, persis mbah kakungmu. Maafkan aku, Simbah. Engkau, ataukah hujan angin, yang membuatku menggigil"
Dari jauh kulihat pohon-pohon karet dalam hutan yang ranum. Hijau yang kebiruan. Awan-awan yang diam. Lalu aku masuk ke dalamnya, ke sebuah perkampungan yang jarang dan kabut masih sering lewat dan aku berhenti di
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
sebuah alamat. Di mana hujan tidak berhenti.
Rumah itu terletak dua meter lebih tinggi daripada jalan. Kutuntun sepeda motorku lewat undak-undakan tanah sebab aku mulai takut jika suatu kekuatan mencuri kend araan itu (bukankah aku hampir kehilangan buku alamat"). Tidakkah simbah ada di sini dan berkata: Nak, menjadi tua adalah menjadi mata, dan hanya mata, melihat tanpa berada. Lalu di serambi muka rumah itu aku menjadi begitu gentar sebab bau nenekku bertambah tajam, seakan tangan-tangan asap yang menyusup keluar dari ruang dalam. Dari sumur di belakang.
Seseorang keluar dari samping.
Pria atau wanitakah engkau" Ternyata bibirnya sumbing.
Dalemipun Ibu Suprihatin"
Ia mengangguk lalu mengantarku masuk tanpa pertanyaan, seperti telah biasa, seperti tak ada yang asing. Aku ingin bertanya tetapi kelihatannya pemuda itu takkan menj awab. Hanya arah jempolnya yang menjadi penunjuk. Tetapi jari-jarinya menekuk kaku ke arah dalam, seperti sarafnya mengkerut oleh entah racun apa. Aku tiba di sebuah bilik gelap yang menghadap ke pelataran timur.
Di tempat ini aku melihat matahari terbit setiap hari, demikian perempuan tua itu bersuara dari sudut yang berlawanan. Tapi barangkali ia tidak sedang bicara kepadaku.
Aku mendapat kesan ia seorang dukun. Laku si asisten membawaku ke kamar ini menunjukkan bahwa ia biasa
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
menerima tamu tak dikenal yang datang untuk konsultasi. Dan wanita tua itu lihat, begitu tuanya pula ia tidak punya keheranan atau kecurigaan pada mata dan suaranya akan kehadiranku di kamarn ya tiba-tiba. Dan memang demikian yang dikatakan Pak Sembodo, orang kesembilan setengah, orang terakhir, yang kutanyai setelah setahun menelusuri alamat ibu tua Suprihatin ini.
Baiklah kuceritakan dulu bagaimana aku akhirnya bertem u Pak Sembodo. Aku mendapat jejaknya dari orang pertama yang tak kuketahui siapa namun kuketahui alamatn ya, di Jalan Sanggabuana kota Bogor, yaitu bekas tempat tinggal kakak ipar cucu dari sepupu perempuan itu. Alamat itu kudapat dari secarik surat tua yang agaknya dititipkan Suprihatin kepada nenekku namun tak pernah ia kirimkan entah mengapa, yang kutemukan bersama album-album tua Simbah. Dari penghuni rumah itu aku mendapat alamat orang kedua. Begitu seterusnya hingga giliran ke delapan, yaitu orang yang tubuhnya terdiri dari satuan-satuan dan kidal. Hampir seluruh organ badannya hanya satu-satu. Matanya satu, sebelah kiri. Kupingnya satu, kiri. Sebuah tangan kiri dan kaki kiri. Buah pelirku juga cuma di kiri, sebiji, katanya sambil terkekeh. Mau lihat"
Kubilang, terima kasih, tapi saya belum pernah tahu cacat apakah yang seperti ini. Begitu kekiri-kirian.
Ia jawab, aku tidak cacat. Cuma, aku ini kira-kira setengah. Dan menawari aku secangkir teh. Ini Tong Tjie, bikinan Tegal. Wangi mlati.
Maka ia adalah orang yang ketujuh setengah. Sebab ia
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
kira-kira setengah. Biji pelirnya ungu dan tanpa jahitan di tengah-tengah.
Ia buyut Suprihatin. Ada yang bilang bahwa ia adalah tumbal bagi pesugihan pendahulunya. Tetapi ia tidak perc aya. Mbelgedhes, katanya. Orang-orang yang meminta kaya atau awet muda ke gunung Kawi bisa saja menyebabkan keturunannya cacat atau mati. Tapi aku tidak cacat. Lalu ia lebih semangat bercerita kenapa kiri lebih baik ketimbang kanan, dan kenapa pembagian vertikal lebih masuk akal ketimbang horizontal. Kalian mengajar tabik dengan tangan kanan dan menyebutnya sopan, tetapi manusia cukup dengan sisi kirinya saja sebab jantung ada di dada kiri dan cebok lebih penting ketimbang salaman, sebab yang pert ama adalah demi kebersihan dan yang terakhir adalah demi basa-basi. Jangan membagi langit dan bumi tetapi bagilah kanan dan kiri sebab kaki tak bisa berjalan tanpa kepala namun kepalamu juga akan njeblug keracunan jika tak ada dubur dan liang kemih untuk membuang kotoran. Atas dan bawah adalah bagian yang tak terpisahkan, tetapi kanan dan kiri bisa hidup sendiri-sendiri. Jika kamu memisahkan lapis atas dan bawah, kamu menguraikan. Namun jika kamu memilahkan kanan dari kiri, kamu mengg and akan. Begitu bedalah logika sintagmatik dan paradigmatik.
Percayalah, protozoa membelah diri ke arah samping. Dan reproduksinya yang baik adalah yang sebelah kiri.
Tapi, kataku, bagaimanakah kita bisa membedakan kanan dan kiri tanpa kita tahu mana yang depan mana belakang" Aku tak tahu di mana wajah protozoa.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Bagaimana Anda tahu"
Sudahlah, katanya. Jangan dibikin rumit. Lalu ia memberiku alamat baru milik kangmasnya yang lebih tahu tentang Suprihatin, karib nenekku.
Lalu aku berpamitan: Terima kasih. Tehnya sedap sekali.
Dan inilah keluarga orang yang kedelapan setengah. Rumah mereka di desa Gandul, tak terlalu jauh dari Jakarta. Gerbangnya ada di perkampungan, berhimpitan dengan rumah dan pagar penduduk sekitar. Bedanya, pintu halaman itu digembok dan memiliki bel sementara pada tempat tinggal yang lain bel ada di samping pintu ruang depan. Setelah aku memijit tombol, seorang anak membukakan gerendel tanpa bicara. Lalu aku menjawab padahal dia tidak bertanya: saya mau ketemu Bapak. Anak itu seperti bajang yang bisu. Ia membawaku menelusuri gang dengan lompat-lompat seperti terwelu lantas baru kutahu bahwa tanah mereka begitu luas, sekitar lima hektar, di balik mulut gerbang yang di perkampungan. Kemudian aku bertemu sang Bapak di pendopo dan ia menyilakan aku duduk lalu menyodorkan secarik kertas yang baru saja ia tuliskan:
Di tempat ini orang tidak bicara. Cuma anjing yang bersuara!
Aku diam sebentar. Aku mengerti. Lalu kutulis di kertas yang sama: Tapi saya mendengar suara burung.
Lalu ia memperbaiki: Di tempat ini orang tidak bicara. Cuma anjing/burung yang bersuara.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Aku membaca catatan itu dan menjawabnya: Bukankah kita sedang bicara meski tak bersuara"
Kuserahkan balasanku dan ia manggut-manggut tetapi seperti tidak menemukan jawaban.
Setelah lama menunggu, kutarik kembali kertas itu dan kukoreksi sebab aku tahu apa yang ia maksud:
D i tempat ini orang tidak bersuara dan anjing tidak berbicara .
(Setahuku anjing menggonggong.)
Ia membacanya dan setuju lalu setelah itu kami bercakap-cakap dengan tulisan.
Aku punya pita suara, tulisnya, namun istriku tidak. Begitu pula anak-anakku yang empat belas orang. Yang tad i membukakan gerbang adalah si bungsu. Istriku kehilangan pita suaranya ketika menikah denganku, entah mengapa. Dan ia melahirkan anak-anak yang tak memiliki pita suara. Adakah orang yang mengira semua itu sebagai tumbal karena seorang moyang di masa lalu memegang ilmu" tanyaku. Mbelgedhes, tulisnya. Orang-orang yang meminta kaya atau awet muda ke makam bisa saja menyebabkan ketur unannya cacat atau malang. Tetapi kami tidak cacat ataupun sial melainkan sebaliknya. Aku amat mencintai istriku serta anak-anakku. Karena itu aku melupakan pita suaraku dan membangun sebuah negeri yang penghuninya tidak berlisan melainkan bertulisan. Orang percaya bahwa kemampuan bicara ada di otak tengah dan kemampuan visual di otak belakang, tapi kataku kemahiran visual dan kecakapan bahasa menjadi satu dalam tulisan. Maka, di sini huruf tidak
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
melambangkan bunyi namun menggambarkan pengertian, sehingga tak ada ejaan. Babi tidak terurai dalam b-a ba b-i bi tetapi merujuk langsung pada binatang itu. Nam un tak ada babi di sini. Bau, tau! Cinta tidak terbuat dari c-i-n cin t-a ta melainkan mengacu pada konsep dan perasaan itu. Tidak ada alfabet. Yang ada kata-kata seperti piktograf. Anak-anak tidak diajar membuat kata dari huruf-huruf, melainkan mengasosiasikan kata dengan makna. Mereka bukan belajar menulis melainkan menggambar kata dan kalimat. Begitulah, sebab kami telah melupakan pita suara.
Indah sekali, sahutku terharu. Tetapi, zaman sekarang orang memang sudah mulai meninggalkan pita kaset dan menggantinya dengan cakram. Tidak bisakah Anda mencangk okkan piringan digital sebagai penukar pita suara untuk seluruh keluarga"
Tetapi ia menjadi agak marah. Kamu tidak mengerti anatomi sama sekali! tulisnya dengan tinta hijau. Ia selalu memegang bolpen empat warna, agaknya untuk men unj ukkan emosinya. Merk Bic.
Sebetulnya aku tersinggung oleh kata-katanya sebab aku belajar di fakultas kedokteran dan faham betul anatomi manusia karena aku pernah memotong-motong tidak cuma satu orang, sebagian organnya kurajang halus. Tetapi aku membutuhkan alamat kawan nenekku sehingga aku tidak membantah kali ini. Lagi pula aku cuma punya tinta biru, dan kutulis maafkan saya. Ia memberi aku alamat Bapak Sembodo, cucu tertua Suprihatin sebab seluruh anaknya telah mendahului dia.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Dari Bapak Sembodo, Bambang Sembodo katanya, aku mend apatkan alamat ini, yang hampir hilang di kereta tadi. Juga keterangan bahwa neneknya adalah pawang hujan yang amat ampuh. Eyang adalah salah satu pawang yang paling sering dipakai Presiden untuk acara kenegaraan, ujarnya dengan bangga yang kebanyakan (barangkali kes omb ongan itu yang membuatnya sedari tadi menj engk elkan). Karena itu desanya telah dialiri listrik sementara desa-desa sekitarnya gelap gulita. Sayang dia menolak telepon. Katanya, terlalu banyak teknologi akan mengurangi ilmunya. Luar biasa, sahutku, saya baru tahu Indonesia punya presiden. Saya bahkan baru tahu bahwa Indonesia adalah negara. Tapi ketika itu aku sudah mendapatkan alamat Eyang Suprihatin.
W anita ini adalah pawang. Demikianlah, seperti kata Pak Sembodo, Bambang Sembodo. Tetapi ia pasti tidak sekadar pawang yang mengusir hujan dengan asap rokoknya. Ia seorang dukun dengan ilmu yang amat tingg i. Menahan hujan hanyalah salah satu kekuatannya. Ia men guasai ilmu kelabu, yaitu semacam campuran dari sihir hitam dan sihir putih. Barangkali ia meladeni santet tetapi juga membikin tawar teluh. Ilmu simbahku tak sepertujuhbelasnya. Tetapi kenapa ia membiarkan huj an menyus ahkan perjalananku" Aku mulai khawatir jika sesungguhnya ia tak setuju dengan keputusanku menyelesaikan hidup Simbah.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Di tempat ini aku melihat matahari terbit setiap hari demikian perempuan tua itu kembali bersuara dari sudut yang berlawanan muncul dari sela hutan, berkilau seperti pinggan kuningan, tempat orang meletakkan bokor dan cupu sirih. Kali ini ia pasti bicara kepadaku. Mbah, lihatlah pagi ini matahari batal terbit. Tapi dengan tenang ia mengambil bungkus rokok dari sisip tali kutangnya, menyalakan sebatang, dan menghisap pelan-pelan. Lalu, pada asap yang ketiga aku sungguh melihat hujan pergi ke tempat lain dan matahari pun terbit, seketika besar meski pucat, terselubung jejak-jejak mendung. Rokoknya Retjo Pentung. Aroman ya menimpa bau nenekku yang jadi hilang. Aku gemetar sebentar.
Luar biasa. Eyang, seseorang yang bisa menghentikan hujan pada nafas ketiga tentu mengetahui kenapa saya datang ke sini.
Ketika itu cahaya matahari menelusup bilik dan aku mulai bisa melihat rautnya. Aku masih mengenali wajah itu, paras dalam foto yang telah kehilangan daging. Namun tulang rawan dan geliginya bertahan sebab itulah yang membedakan orang dari orang lain karena semua tengkorak adalah sama. Hidung, moncong, serta lekuk kupingnya masih menyisakan identitas. Tetapi rahangnya telah menyus ut.
Ya, ia menjawab tanpa beranjak. Simbahmu tidak terlalu beruntung, katanya. Tetapi ia tidak meneruskan kenapa. Kami dulu seperguruan, lanjutnya lalu berhenti lagi. Ketika kami mulai menyadari bahwa manusia tak bisa selamanya muda dan bahagia, ilmuku segera kutujukan
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
bagi orang lain. Dengan begitu aku bertahan. Kini umurku seratus dua puluh tiga.
Tapi kamu, bukan ibumu, yang menginginkan Adnyani mati.
Itu tidak betul! Mungkin, sahutnya, tapi aku ini jarang salah. Kemarilah, Nak, katanya lagi. Kemarilah, sebab aku sudah tak bisa melihat.
Aku mendekat dan menatap anak matanya yang telah pucat, kontras dengan bibirnya yang berwarna jingga hitam karena kapur sirih dan tembakau. Kulambailambaikan tanganku di wajahnya tetapi ia tetap menoleh ke tempat aku bicara tadi. Aku menjadi sedih entah mengapa, barangkali karena ia seperti tak merasakan kedekatanku, barangkali aku teringat nenekku yang masih bisa hanya melihat. Eyang, ini saya, ada di hadapanmu. Tak bisakah nafasmu menggema pada telapakku agar engkau merasakan aku"
Nak, kenapa kau membenci simbahmu" Tidak. Sama sekali tidak.
Kenapa kau ingin dia mati"
Tidakkah ia sendiri merasa sakit" Semua orang muak padanya, kecuali saya. Bagaimana kalau saya mati lebih dulu" Tidakkah orang-orang akan menguburnya hiduphidup dengan kebencian"
Kalau bukan karena kekuatannya, kamu dan ibumu sudah mati lama. Tewas bersama ayahmu.
Saya tak mengerti maksud Eyang.
Tapi kau bisa merasakannya, bukan" Ketika kau
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
kanak-kanak, orang-orang menaikkan orang-orang lain ke dalam truk dan membawa mereka ke tempat tak ada jalan kembali. Truk-truk itu datang dari pulau Jawa. Aku tak mengerti. (Aku seperti tak ingin mengerti.) Ia diam. Sebentar.
Kalau begitu, tunggulah sebentar sebab mereka hanya datang dalam gelap.
Siapa" Mereka. Haruskah kita menanti sampai malam" (Aku teringat ojekku.)
Ia terdiam. Tidak sebentar.
Tidak perlu. Sebab mereka ada di tempat di mana cahaya tak sampai.
Tapi siapa mereka" Kelelawar; aku dibawa ke sebuah gua kelelawar. Melalui tempat yang sesekali aku menghirup sesuatu yang tengik dari nenekku yang membuatku bergidik dan sedih pada saat bersamaan.
Kami berjalan bertiga. Aku, ia, dan Muluk, asisten yang menjumpaiku pertama kali. Si pemuda membopong wanita tua yang buta itu di punggungnya. Begitu ringan melalui hutan jati seperti jika aku menggendong simbahku dari kamar mandi. Aku melihat kesetiaan pada matanya sebab aku melihat mataku di sana, seolah permukaan danau yang gelap, dan di kedalaman buramnya ada misteri: pengabdian yang tak berdasar kepada sang nenek.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Ketaatan yang memualkan tetapi indah. Ketegangan antara kebenc ian dan kerelaan, yang padaku sedang memuncak dengan keput usanku untuk mengakhiri hidup nenekku. Muluk, kawan, kapank ah engkau akan melakukan yang kulakukan sebab itulah nasib kita"
Gua itu terletak di sebuah celah antara lembah dari sebuah bukit. Agak menjorok ke dalam. Di antara semak pakis dan tumbuhan berspora yang berbau pahit segar. Daun-daun berjuntai dengan ujungnya yang kuncup bergulung seperti janin. Dingin, lembab, begitu aku turun. Di bawah mengalir kali, Lembu Peteng, yang kedungnya bers ilang dengan sebuah sungai kecil yang datang dari bawah tanah, dari dalam gua. Gelap. Ada saat pasang ketika gua ini diluapi air, katanya, menjebak makhluk yang tak bisa merayap ke dalam corong di langit-langit atau bergelantung pada stalaktit. Tetapi setelah bahaya berlalu, gampingnya menjadi licin dan bersih seperti marmer muda, sebab air menyapu lumut dan ganggang yang berakar pada lumpur yang mengendapi batu kapur tua.
Katanya: sungai gua itu masuk kembali ke bawah tanah dan bermuara langsung di sebuah gonggo besar di samudra selatan. Lalu kudengar suaranya bergaung, perempuan tua itu: Orang-orang yang membunuh ayahmu, Nak. Orang-orang yang sama. Mereka membawa siap apun yang mereka kira musuh, hidup ataupun mayat, wanita ataupun pria, dengan kepala, tanpa, ataupun hanya kepala, dan menj ebloskannya ke sebuah nganga tanah di tenggara yang bawahnya adalah aliran sungai
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
ini, sejalur dengan Brantas. Demikian tubuh-tubuh yang dilemparkan ke dalam lubang itu akan tergulung arus menuju laut lepas. Yang masih hidup akan mati dalam perjalanan, tercekik ombak dalam, sehingga saat muncul di muara semua hanyalah bangkai yang gemb ung dan pasi. Anyir meski tak lagi berdarah. Ketika itu tahun 66, tetapi mengingat angka tahunnya pun orang di sini gentar, apalagi hal kecil tentang siapa saja tetangga yang dibunuh, dan apakah wajahnya utuh. Masa itu amat menger ikan. Sebab sepas ukan malaikat maut turun ke bumi menjelma manusia, namun tak kita kenali yang mana. Kita hanya tahu ketika mereka telah menggiring kita ke muka lubang, wajah mereka yang gelap dan mata yang hilang. Tak seorang pun bisa kita percaya, kekasih kita, bahkan diri kita sendiri. Sebab saat itu hanya dengan menunjuk orang lain kita bisa menyelamatkan diri, memindahkan maut atas kepala kita ke atas kepala orang. Tetapi begitu pun kita menjadi cemas: tidakkah raga kita telah dirasuki el maut, membawa kiamat bagi orang yang kita akrab" Dan bagaim ana kau bisa yakin, Nak, bahwa ayahmu tidak bernasib sama dengan orang-orang yang dilempar ke dalam lorong sungai gorong" Dan bagaimana kita bisa yakin bahwa terowong itu tidak bermuara ke neraka, sebab tak ada yang benar di antara yang berseteru, hanya ada pemenang dan pecundang dari kaum yang sama bengis. Cepat atau lambat, semuanya akan masuk neraka, tempat lidah para penipu diiris tipis-tipis.
Tidak adakah cerita yang lebih menggembirakan ketimb ang itu, Eyang"
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Kelelawar gua ini, Nak, adalah kisah yang mengharukan. Tajamkahlah indramu, rasakanlah kehadiran mereka, ratusan bahkan ribuan, bergantung pada ceruk langitlan git gua. Rasakan detak jantungnya yang kecil dan tubuhnya yang panas. Kau tak bisa melihatnya, sebab cahaya tak masuk ke sini. Kalaupun sinar menyelinap, mulut-mulut liang bertab uran di langit gua ini seperti bintang banyaknya. Seperti biduk dan segala rasi. Di baliknya adalah lekuk-lekuk yang rumit. Di sanalah mereka tinggal, ribu-ribu, seperti manusia dalam gang bersama kota besar.
Tahu kamu siapa mereka" Yang bener aja. Tentu nggak.
Mereka adalah orang-orang yang dikalahkan. Tetapi mereka tidak mati sebab mereka memiliki mimpi malam hari. Janganlah kau tertawa dan menganggapnya sebagai ked unguan yang puitis. Tak banyak orang mendengar cerita ini:
Orang-orang menyebutnya gadis bercadar. Ia hidup beratus tahun yang lalu di sini, pada abad 11, di wilayah Dhaha sesaat sebelum kerajaan itu terpecah menjadi dua, Kedhiri di barat dan Jenggala di timur. Ia berkelana dari satu hutan ke hutan lain sebab ia melawan Erlangga dan mencari Durga yang sembunyi pada kulit pohon-pohon tua. Ringin, kepuh, dan randu adalah yang paling disukai Sang Btari.
Tetapi gadis itu, sosoknya tak pernah nampak, meski dari celah dinding bambu anyam orang-orang desa melihat
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
bayangnya lewat. Langkahnya melayang, gemulai seperti macan kumbang, gemric ing gelang roceh di mata kakinya. Kainnya lurik gelap. Orang-orang mengetahui kedat angannya sebab ia menebarkan harum cempaka di muka jalan, tetapi meninggalkan bau mayat setelah lewat.
Ada yang bersumpah, dialah Ratna Manjali yang berkhianat pada suami serta Prabu Erlangga, lalu bercadar agar tak dikenali. Tapi tak ada yang bisa membuktikan. Ada pula yang mengatakan bahwa ia seorang wanita biasa yang dikutuk karena sebuah dosa sehingga memiliki kumis dan rambut di dadanya. Maka ia men gudungi seluruh tubuhnya dengan cita kelam karena aib. Barangkali dia adalah Ratna Manjali yang kualat terhadap suami dan sang raja. Tapi apa kesalahannya"
Ketika kemunculannya menjadi desas-desus, pagipagi anak petani mencari di jalan setapak embun air mata yang telah menyusuri tubuhnya, di balik jubah, sebelum jatuh ke tanah pada malam hari dan tersisa seperti bulir-bulir raksa: indah, tak men guap, beracun. Jangan kau hirup. Ia hanyalah bukti. Ia hanya kilap. Anak-anak akan membawanya pada daun keladi, perak di atas hijau bledru. Mereka serahkan kepada para tetua yang akan menjadikannya nasihat bagi para istri dan anak gadis tentang pengkhianatan:
Duh, ingatlah betapa cantik Dewi Uma, perhiasan Btara Siwa. Namun begitu ia bersetubuh dengan penarik sampan, meski tanpa birahi, meski dia lakukan untuk menyusul suaminya di seberang bengawan, menuntaskan kerind uann ya, terkutuklah Uma menjadi raksasa yang
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m


Larung Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuhnya ditumb uhi bulu-bulu, merah dan hitam. Ia menjadi malu dan marah sehingga menyelinap dalam gelap di makam-makam, menyembunyikan rupanya yang buruk pada hari yang padam. Tetapi dahinya bertanduk. Sebab kesucian wanita lebih berharga daripada apapun. Bahkan daripada asmara pada suaminya.
Maka Uma menjelma Durga, yang dipuja perempuan teluh.
Dan para perempuan tenung ini, mereka begitu perkasa. Di pinggir kerajaan Dhaha, di dukuh Jirah, seorang janda sedang dendam. Calon Arang guru ilmu hitam. Muridnya satriya perawan, berpayudara gagah laksana mata angin: Lendi, Larung, Gandi, Guyang, Weksirsa, dan Mahisawadana; tangkas laksana mata panah. Hanya dua yang kelak tak setia. Namun sang Janda murka. Sebab ia janda dan anaknya dara tanpa pelamar, sebab inilah kemalangan perempuan: tanpa lelaki, sebab nilai perempuan diciptakan oleh lelaki. Ratna Manjali, putri rupawan itu, sia-sia.
Pergi Calon Arang memuja Durga di kubur tua, begitu tua sehingga pohon nangka dan asam di sana berbuah amat gurih sebab mereka menghisap sari-sari mayit manusia. Tetapi Sang Btari muncul dari serat akar randu, dari pecahan biji-biji kapuk, dari helai-helai daun seperti lebah yang berdengung sebelum memb entuk sosok yang agung. Hitam. Dikabulkannya kemarahan Calon Arang. Lalu dari segala kerat kayu sayap-sayap serangga menggumam, seperti rayap seperti walang, dan dari segala makam larva bergeliat ke permukaan, dari makhluk-makhluk yang
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
sekarat. Angin dipenuhi hama dengan duri pada kakinya. Di luar gerbang istana Erlangga, orang-orang tak henti mati. Jenazah bertump uk. Udara busuk. Manusia akan mati sebelum menguburk an sesam anya.
Tetapi kedengkian perempuan sihir menjadi tawar oleh pria begawan. Tua dan tenang. Dengan gelung dan janggut. Putih. Barangkali kelabu. Mpu Baradah bermurid Mpu Bahula. Disuruhn ya pendeta muda itu menikahi Ratna Manjali untuk meredam amarah ibunya. Sebab wanita memb awa petaka, tetapi lelaki menyelamatkannya.
Tetapi setelah wabah berhenti bersama padamnya murka Janda Jirah, Mpu Baradah membunuh wanita tua itu pada bayang pohon waru. (Ketika itu ilmu putih menjadi hitam. Sebab orang-orang bisa melihat siat wengi yang paling dahsyat di langit malam. Seperti percikan bola api dari mulut Smeru.)
Dua murid Calon Arang, Weksirsa dan Mahisawadana, lalu bersujud pada Sang Mpu. Ruwatlah kami dalam sunyim u yang suci. Namun Gandi, Guyang, Lendi, dan Larung memilih mati. (Tetapi mereka tidak mati, melainkan memiliki mimpi malam hari.)
Tetapi Manjali menangis. Meski para pujangga tak pernah mencatat air matanya, sebab mereka hanya menulis dengan lontar dan arang kemiri. Meski Bahula, suaminya, mengh ibur: Nenek sihir itu pantas mati.
Tetapi Manjali menulis dengan air matanya. Sebuah cerita yang terserap serabut kertas. Tak lagi terbaca. Ibuku kedengkiannya tidak datang dari kosong. Seperti manusia tidak datang dari kosong, melainkan dari sebuah
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
isi yang tak berawal, seperti bilangan: di mana batasnya" Ibuku kedengkiannya tidak datang dari kosong. Tapi dari sebuah nilai yang panjang. Prasangka yang tua dan melelahkan.
Suamiku, kenapa kubiarkan engkau menikahi aku" Agar segala hama dan serangga berduri lenyap dari bumi. Tidakkah kau senang menatap sawah yang ranum seperti tubuhm u"
Maka Manjali pergi pada suatu malam. Meninggalkan suaminya dalam kelambu. Pergi kepada Gandi kepada Guyang, kepada Lendi kepada Larung. Kepada jejak-jejak ibunya.
Tetapi waktu, barangkali kutuk, mengubah tubuhnya pelan-pelan. Memakan kecantikannya. Mereka bercerita tentang bulu-bulu yang mulai menumbuhi kulitnya yang menghitam, tubuhnya yang mengkerut, di balik jubahnya yang berkibar, sebelum angin, angin yang sama, membuatnya compang-camping. Ia kehilangan tubuhnya yang ramping. Dan ia telah menjadi sama seperti yang lain ket ika sampai dalam gua di mana jejak-jejak ibunya tersimpan pada koral dan langit-langit. Di sana berdiam ribuan yang dikalahk an para mpu. Ia masuk ke dalam mimpi malam hari. Dan bernyanyi dengan suara hidung. Kita bisa mendengar gaungn ya berdengung.
Tapi orang-orang tak pernah lagi menemukan butirbutir air matanya di jalan setapak.
Sepi. Sesekali burung kecil seperti tak berwarna melintas keluar masuk di antara stalaktit yang masih menetes.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Kisah itu meninggalkan sedih yang aneh dalam hatiku, seperti sesuatu yang tak asing dalam hidupku, barangkali di masa lampau, barangkali dalam hidup lalu, tetapi gua ini semakin jelas dalam mataku. Dasarnya merupakan lapisan koral warna kapur dan kerikil bersudut banyak yang menyakitkan saraf kaki. Landai itu adalah jalur sungai yang sedang surut. Bebatuannya yang bersih men and akan air deras kerap membasuhnya dan aku tidak bertanya akankah banjir datang sewaktu-waktu sebab aku percaya wanita itu.
Tetapi, sesungguhnya bagaimana aku bisa percaya bahwa wanita ini tidak akan menjebakku ke ujung karang dan menjorokk an aku ke sungai bawah tanah, temp at ombak dalam masuk ke rongga mulut untuk menggemb ungkan paru-paru dan membusukk an organ-organ" Bagaimana aku bisa percaya bahwa ia setuju dengan rencanaku" Bagaimana aku bisa yakin bahwa ia tidak sedang membela sahabatnya yang kuingin bunuh, nenekku"
Apa yang sesungguhnya sedang kujalankan" Tetapi apapun aku sudah berada dalam sebuah jebakan. Seperti pertaruhan pertama adalah ketika hidup ini dimulai. Maka aku melangkah untuk menghadapi kematian, kematianku atau nenekku.
Di tengah ada parit yang tergenang meski tak pasang dan di permukaannya batu-batu besar berjungutan, licin, rumit, dan berlumpur. Muluk dan wanita tua itu mengajakku menempuh gerowong yang menanjak di balik sebuah karang liar berbentuk arca kepala Gajah Mada yang telah kehilangan hidung. Pemuda itu tangkas bagai
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
kera. Telapak kakinya yang kapalan memancal liak-liuk gamping yang amat licin dan bersalut lempung. Aku telah menanggalkan sepatu dan menambatkannya pada tas pinggang namun berulang kali tergelincir dalam ekspedisi yang telah memak an setengah jam, sehingga aku hampir tak percaya bahwa kulakukan perjalanan payah ini demi membunuh nenekku. Namun sudah terlambat untuk membatalkannya sebab aku telah setahun mencari dan terlibat dengan orang-orang yang mengantarku sampai ke sini. Keberhasilanku akan menjadi penghargaan atas jerih payah mereka. Kematian Simbah akan menjadi prestasi bersama, sebab jika mereka bersedia membantuku, bukankah ini rencana bersama" Atau sebalikn ya. Semua ini adalah konspirasi yang berakhir pada kemat iank u send iri. Aku barangkali berada dalam pertaruhanku yang terakhir.
Mau apa kita dan masih lamakah" akhirnya kutaksabar.
Tenang, Nak. Sebab kita hanya akan pergi ke undak terendah kegelapan di mana udara arwah belumlah begitu pekat sehingga kau masih cukup lega bernafas. Karena itu bernafaslah selagi masih bisa. Sesuatu, orang menyebutnya Gusti Allah, memberi kita hidup yang pertama. Namun ada makhluk-makhluk yang menyamarkan kita dari malaikat pencabut nyawa. Di sini ada. Meski tak hampa udara.
Lalu sisa perjalanan menjadi suwung yang mendengung di telinga, tetapi Eyang Suprihatin membuatku tenang sekaligus cemas dengan cara yang tak bisa kumengerti. Sebegitu tergant ungkah aku pada nenekku
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
selama ini sehingg a kini aku merasa mendapat pengganti yang seband ing" Tapi bagaimana aku bisa yakin bahwa mer eka ia dan nenekku tak sedang merencanakan sesuatu atas dirik u" Ada rasa ingin kembali ke luar gua, meyakink an diri bahwa terang masih ada di sana, tetapi ada tenaga yang mend orongku seperti angin ke jalan buntu. Lorong menanjak semakin gelap lagi apek. Pesing dan sangit datang dari arah depan, sepertinya aku sedang mend ekati Simbah yang terbaring di salah satu ceruk karang hitam. Terasa dia ada di sana, lebih dulu, dalam ukuran yang berbeda, menantiku seperti bayangan yang siap menerkam, atau merengkuhku ke dalam bagian tubuhnya.
Di sini. Kami berhenti di sebuah rongga seperti dalam lengkung telulang rusuk yang hitam oleh daging dan darah yang mengental oleh udara lembab. Bau fosfor dan nitrogen menyadarkan diriku bahwa tiga kami tidak send iri di sini, sebab ada makhluk yang mengintai dari tempat mereka melekat di dinding, ratus-ratus, halus dan berdenyut seperti pembuluh nadi. Gigi-gigi kecil dan runcing. Ia menyuruh asistennya memadamkan nyala kecil senter, lalu aku menjadi seperti dia, tanpa mata, dan kawan sudah lama kau tak kusapa kau akan tahu betapa peka telinga dan kulit kita ketika mata kita tiada. Betapa peka dan tak berdaya.
Ia menyuruhku duduk sementara ia sendiri bersila di suatu tempat. Diamlah, katanya, diam, jangan bersuara sebelum aku mengizinkan, sebab tempat ini bukan milik
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
manusia karena mereka tidak membangunnya, tetapi ia tidak berdiam melainkan melafalk an suatu gumam panjang-panj ang dalam suara krura, mantra yang kadang lamat, kadang kuat, kadang lumat dalam karang yang berlumut. Aku merasakan alam berubah, sebuah rasa yang janggal sebab diriku menjelma patung yang beku, pejal bagai batu, pori-poriku tua dan keras, lendir tubuhku dihisap badan gua yang menjadi hidup oleh lembab diriku, lalu denyut pada dinding rongga semakin kuat hampir berhembus-hembus. Mereka mend esis, mencicit, mengeluarkan bau: jantung-jantung kecil itu. Lalu aku menjadi amat sepi lagi asing sebab aku bukanlah bagian dari dunia bayang-bayang ini. Pekat, siapakah aku. Bukan subyek, bukan obyek, melainkan cuma sebuah asing. Siapakah mereka, kegelapan itu, yang pada momen ini hidup lebih daripada aku. Aku rasanya mau lepas, atau telah kering.
Setelah keterasingan yang menyedot itu, sesuatu terjadi, seperti ajal yang datang tiba-tiba. Cahaya bunga api mencerc ah, entah dari mana, seperti bara yang nyala namun tak menerangi. Satu, dua, kemudian kilat-kilat kecil membersit ke segala arah, dari asal yang tak kuketahui, seperti serpihan banaspati. Sisa tempat itu tetap gelap namun aku mendengar, dengan telingaku yang semakin sensitif ini, aku mendengar wanita tua itu melompat dari tempatnya semadi, bukan Muluk yang muda lagi cekatan melainkan nenek itu. Ia seperti menangkap sesuatu bersama hela nafasnya, lalu selama beberapa menit kudengar ia meloncat di antara api-api, sehingga
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
aku lupa pada matanya yang buta. Setelah itu senyap sama sekali. Satu jam, dua jam, lima jam, aku tak tahu berapa lama dan aku tak berani bertanya (untuk pertama kalinya dalam lima belas tahun ini aku tidak berani), namun aku merasa akan tertidur, seperti kekurangan oksigen, aku menguap.
Sesuatu mengejutkanku dari mimpi tak nyenyak. Gelombang sayap yang berkepak, seperti ombak dari tempat yang tinggi, seperti kepala dari lidah banjir yang tak diketahui. Pada kubah di atas wajahku, berpuluhpuluh sayap terbuka, diikuti beratus-ratus, ribu-ribu, seperti rent etan domino jatuh dari banyak arah yang tak berlanggaran dan tak putus-putus meluruhkan dinding, aku meringkuk melindungi kepalaku dari lapisan yang runtuh bersama bau binatang liar dan jeritan soprano. Gemuruh, gemrutuk. Kelelawar berpusar-pusar memasuki lorong-lorong ke luar, menciptakan angin yang sengit dan berserat debu guano, bersusulan menyambut hawa malam yang telah tercium ke dalam gua.
Selama beberapa saat di telingaku hanya gaung langitlangit yang jatuh, sesaat aku merasa satu-satunya manusia di sini, sesaat aku merasa bukan manusia sebab antara manusia dan bukan menjadi tak penting. Namun aku melihat percik bara sekali lagi. Kali ini lebih besar, lebih kuning, sekilas menerangi serpih-serpih tahi lawar yang jadi terang, kemud ian pecah ke dalam sirat-sirat jingga putih, lalu tawar, dan kudengar nafas keras wanita tua. Setelah itu sepi kembali, seperti pengang sehabis ledakan,
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
cuma rombongan kecil hewan yang mengalir di lorong seperti arus yang telah cair.
Akhirnya ia mengizinkan aku bicara. Katanya dengan agak letih: Itu yang terakhir. Sudah selesai. Sudah magrib. Aku telah mengalahkan sahabatku.
Lalu ia mencari tanganku dan aku menjulurkannya dan dalam gemetar lelah ia menuang pada genggamku bulir-bulir kasar yang kukira batu namun dalam sorot kecil senter kutahu bahwa itu adalah sejumlah cupu yang tak kutahu dari mana datangnya. Seukuran kancing dan berwarna timah buram tetapi dari permuk aannya yang bertonjolan kutahu ada ukiran, barangkali tulisan, barangkali kutuk, di sana. Katanya: Jangan bertanya sebab jawaban membuatmu tak percaya. Lalu ia menjawab keraguanku: Muluk, abdiku yang baik, kamu tak perlu mengerjakan ini demi aku, sebab aku akan pergi sendiri kala saatku tiba.
Ia bicara kepadaku. Cupu itu ada enam jumlahnya, untuk kau jajarkan pada tubuhnya, dari dada hingga pusar, yang akan membuat pintu arwahnya terbuka. Nak, kau punya enam kesemp atan untuk menyesal nanti, sebelum ia sungg uh mati. Suaranya seperti terserap dinding yang telah mulai ditinggalkan.
Dalam jalan pulang kawanan berikutnya lepas dari atap gua membentuk angin gasing yang ujungnya menembus rute kami sehingga lorong itu dipenuhi kelepak sayap berjari-jari, gema suara yang tak terdengar, cakar-cakar yang berhamp iran, suhu badan-badan yang hangat, dan bulu-bulu. Di dasar, air sudah meninggi.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Gua ini kota kalong. Sekarang adalah jam sibuk para kelelawar. Muluk tertawa dan berbicara untuk pertama kalinya: Saya biasa ke sini, mencari pupuk tahi kalong. Kalau Mas ingin jamur tahi sapi, ada di dekat parit di pinggir hutan jati. Saya memakannya hampir tiap hari. Itu membuat saya tertawa dengan dalam, bersedih dengan dalam.
Saat kami keluar dari mulut batu kutemukan kembali pemand angan yang telah lama kutinggalkan, seperti penglihatan di masa lalu yang jauh.
Senja yang selesai, kulihat jejaknya di barat, seperti panas arang yang disapu pande gamelan ke ujung tungku ketika krewang usai ditempa; dari bale terdengar orangorang menyesuaikan nada, sekali lagi, untuk terakhir kalinya, sebelum segalanya dikemasi dan hawa menjadi sunyi, selain sisa hangat unggun dan tetesan tembaga. Tetapi di langit ribuan kelelawar berhambur perlahan dari tempat yang tersembunyi di ketinggian, dan kita tahu bahwa sebuah dunia yang berbeda dari kita dimulai pada malam hari. Sebuah peradaban dari makhluk-makhluk yang tidak diketah ui, yang memiliki buah dada, sejumput rambut, dan mengarungi langit dalam kawanan dengan kepak sayap yang lambat-lambat yang membedakannya dari banyak burung-burung siang.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
sengaja tak kuambil kereta malam sebab aku takut tertidur, tetapi cahaya matahari akan membuatku senantiasa terjaga bahwa di leherku aku mengalungi kantong berisi cupu, enam buah jumlahn ya, jangan sampai hilang, sebab kuharap ini bisa menyeles aikan waktu nenekku. Dia sudah saatnya mati. Dalam gelap banyak hal terjadi tanpa kita ketahui.
Sebagian kesulitan telah kuselesaikan. Tukang ojek yang marah karena sepeda motornya kupinjam lebih dari semalam memanggil teman-temannya yang berdarah panas. Mereka telah berjaga di muka gang. Tetapi sejak mula kutahu ia akan naik darah maka kupetik lebih dulu jamur tahi kuda di lereng gua kelelawar. Sejenis psilocybe, mungkin subaeruginascens, yang lebih dahsyat daripada jamur tahi sapi. Ia memberimu halusinasi yang tidak
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
sepi, semacam komposisi termurah untuk teler. Kuminta juru masak losmen meramunya dengan telur dadar dan rajangan bawang sementara aku meminta maaf dengan baik-baik sambil membelikan tiga botol Bintang. Lalu aku cepat-cepat pergi ketika badan mereka mulai gerah sebab setelah mereka sungguh-sungguh mabuk kita tak tahu apa yang akan terjadi. Barangkali sekarang mereka menjadi garang atau menjadi lucu aku tak tahu.
I buku menyambut di ruang tamu dan bertanya dengan gelisah apakah aku bertemu seekor trenggiling.
Dari mana Ibu tahu, kataku. Ibu tak tahu ke mana aku pergi.
Ia nampak agak cemas. Simbahmu mengigau begitu. Orang-orang kampung menganggapnya tanda buruk. Sebab binatang itu berkaki empat namun tubuhnya bersisik seperti ular.
Maka aku tertawa. Orang-orang kampung itu pun berbetis busik, mengapa mereka membenci ular. Adakah tanda lain yang lebih buruk" Aku bertatapan dengan seekor trenggiling ketika aku merunduk mengumpulkan jamurjamur yang berakar pada tinja di tepi bukit, makhluk itu memandangku sesaat lalu beringsut menyus up ke balik belukar dekat kakiku. Tapi semua tanda adalah buruk. Lalat hijau yang muncul di malam hari, kelelawar, mimpi tentang gigi yang patah, trenggiling, ular kesasar, semua adalah alamat sial. Adakah yang lebih malang daripada mencoba membacanya sebagai tanda buruk" Ibu cuma lelah karena tak ada aku di sini untuk mengurus Simbah.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Ia diam. Ke mana kamu sebenarnya, Nak"
Ibu tak pernah heran sebelum ini, kenapa sekarang Ibu bertanya-tanya"
Aku ini cemas. Dan kau lupa minum obat"
Ibuku tak tahu ke mana aku pergi. Aku memang biasa bekerja sendiri. Lagi pula perempuan lebih banyak khawatir daripada mendengarkan, kecuali dua nenek itu, mereka begitu perkasa. Barangkali semua perempuan menjadi perk asa ketika mereka tua dan tak punya payudara. Dan lelaki akan seperti balon yang kisut, mereka masih memiliki syahwat pada matanya dan mani dalam zakarnya namun tanpa tenaga untuk memancarkannya. Kempes, biarkan menetes. Biarkan mengalir. Kenapa manusia menjadi tua"
Kenapa manusia menjadi tua, sakit, sebelum mati dan busuk"
Sebab tubuh mencintai kehidupan maka ia melawan maut dengan rasa sakit.
Kelak akan kukalahkan tubuhku sebelum uzur mengambil harga diriku. Kelak akan kukalahkan segala rasa sakit sebelum ia mencampakkanku pada sia-sia. Hidup bukan menunda kematian, melainkan memutuskannya. Akan kup ut usk an kematianku jika sampai waktunya. Tetapi waktuku belum tiba. Melainkan waktu nenekku. Lihatlah tubuhnya yang terbaring sebagaimana kini aku menat apnya dari kerkah pintu, gelap yang vertikal
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
dan sempit, sedikit kuning lampu di sana, cahayanya jatuh pada kasur yang mendatar, memotong warna hitam. Pada warna ranjang yang tak memberi harapan kulihat tubuh nenekku, tapak kakinya, jari tangannya, dadanya, tak kudapati kepalanya. Ketika aku mendekat, jarak membuat celah pintu melebar kawan, kau tahu betapa jarak menciptakan tipuan optikal dan kudapati wajah Simbah meski bayangan di lehernya telah memisahkan kepala dari tubuhnya. Ia tidur, tidak mati. Ia perlu aku, untuk mati.
Ia membutuhkan aku untuk menyelesaikan waktunya sebab ia tak sanggup mengalahkan tubuh masai yang begitu perkasa itu. Raga yang tak mau menyerah. Maka akan kutunjukkan baktiku dengan mengalahkannya kepada maut. Simbah, sebentar lagi kujajar cupu-cupu ini pada permukaan tubuhmu, tetapi sungg uhkah engkau mencintai kehidupan begitu rupa"
Ia merasakan gerak pintu yang mengubah cahaya. Kepalanya menoleh dan kulihat matanya terbuka mendapati aku mendekatin ya. Ia tersenyum sebagai bayi. Siapakah aku bagi dia: cucu, anak, suami" Telah tiga malam tak kucium baumu. Tapi kini kucium bau bangkai.
Ada tikus mati di atas plafon. Barangkali makan racun.
Barangkali bukan tikus tapi kucing. Kucing tua tahu saatnya ajal dan ia akan menyendiri dalam tapa untuk mati.
Betul, namun tak satu pun bisa menghilangkan bau bangkain ya sendiri.
Ada apa di lehermu, Nak"
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Tangannya seperti hendak meraih, tetapi tremor menjat uhkan jari-jari itu kembali pada kasur. Aku menggenggam erat telapaknya. Kutaktahu gemetarkah aku karena pertan yaannya. Tapi jantungku, debarnya, merasakan pada dadaku benturan halus biji-biji cupu yang tergantung dalam kantong. Aku tidak menjawab, hanya menatap, dan meneduhkan mataku dengan senyum. Ingin aku mencium dahimu yang kaku. Simbah, sungguhkah engkau menc intai kehidupan begitu rupa" Kamu mengalungi apa, Nak"
Simbah, saya pulang. Saya baru pulang. Ia menatap kantong di leherku tanpa menggerakkan kepalan ya. Anak matanya yang melirik ke bawah menyisakan warna putih yang tak lagi putih.
Dalam perjalanan, tas kalung begini lebih aman darip ada dompet saku untuk menyimpan dokumen dan uang.
Ya, sahutnya dengan suara bergetar. Dompet kamu meletakk annya di bokong. Tetapi ini kamu letakkan di antara dada dan leher. Hidup, Nak, berpusat dalam rerusuk. Bukan di pantat. Betul sekali membawa barang berharga dalam kantong kalung. Dompet copet bisa mencomotnya diam-diam. Tapi jambret harus melangkahi dulu mayatmu sebelum mengambil benda ini.
Kamu memang anak pintar. Anak pintar satu-satunya.
Saya bukan lagi anak-anak.
Aku duduk di kursi di samping ranjangnya. Pembantuku masuk dan bukaan pintunya melebarkan cahaya
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
dalam ruangan. Setelah ia meletakkan kopi susu buatku di meja segera nenekku mengusir dia dengan ketus, ia enyah cepat-cepat dan menutup pintu, mengembalikan cahaya seperti semula di mana aku dan nenekku hanya berdua di sebuah ruang di mana kaki-kaki ranjang tak nampak. Hanya aku dan bidang datar yang mengambang, di atasnya nenekku berb aring.
Ia mengatupkan kelopak matanya, seperti ingin tidur seperti ingin tenang seperti ia biarkan telapaknya dalam genggamku. Aku merasa bersalah. Merasa bersalahkah aku"
Aku tidak boleh merasa bersalah. Apa salahku" Salahmu adalah engkau berdusta.
Kenapa tidak kau katakan pada wanita tua itu apa yang tersimpan dalam kantongmu" Sebab kau mau membunuhnya diam-diam. Pengecut.
Tidak, aku bukan pengecut melainkan seorang yang memiliki hati. Sebab hanya para terhukum mati yang berhak mengetahui saat eksekusi.
Bukankah keputusanmu untuk mengakhiri hidupnya adalah sebuah hukuman mati" Sebab hukuman mati tak pernah ditent ukan oleh diri sendiri. Ingatlah ia bukan kata kerja refleksif.
Adakah kematian yang ditentukan oleh diri sendiri" Semua maut adalah hukuman mati. Tetapi kematiannya akan menjadi sejenis bunuh diri karena aku adalah dia dan dia adalah aku. Dan siapakah engkau, suara-suara yang merag ukanku" Akukah engkau, engkaukah aku" Sebagaimana engkau adalah aku dan aku adalah engkau
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
meski kau menyangkalku, aku dan simbah adalah aku. Keputusanku adalah keputusannya, yaitu keputusanku. Aku.
Jika demikian, kenapa tak kau beritahukan padanya kematiann ya"
Sebab pengetahuanku adalah miliknya juga, yaitu penget ahuanku. Apa yang kuketahui adalah apa yang dia ketahui yaitu apa yang kuketahui.
Jika demikian, kenapa tak kau ulangi kisah perjalananmu padanya seperti kau mengulang memori"
Aku tidak perlu bicara pada diri sendiri, tolol. Dan, persetan, jangan ribut! Tidakkah kau lihat dia terlelap" Lihat matanya, lihat senyumnya, ia seperti bayi. Tegakah kau membangunkannya"
Untuk menyatakan kematiannya.
Simbah sungguhkah engkau mencintai kehidupan begitu rupa"
Matanya terpejam semakin dalam. Pelan-pelan mulutnya terbuk a. Aku tidak mencium abab mulutmu, tetapi aku mencium bau bangkai. Sudah berapa hari binatang itu mati" Simbah, tahukah engkau telah berapa lama binatang itu mati di atas tempatmu tidur"
Engkau tidak menjawab. Lihatlah, tidurmu begitu cepat lelap.
Jika kususun cupu-cupu ini di dadamu, dari jantung hingga tepi pusarmu, akan terbangunkah engkau sebelum mati"
Pupil matamu tidak bergerak.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Tetapi cahaya dalam ruangan bergerak. Terang melebar dan bayang-bayang memanjang. Gelap kehilangan intensit as. Sesuatu telah membuka pintu. Ibu, mau apa engkau, kenapa kau ganggu aku"
Rawonnya sudah panas, Nak. Nasinya juga. Ibu, aku muak dengan daging hitam pagi-pagi begini. Mengi ngatkan aku pada sesuatu yang busuk. Sama tauge dan telur asin.
Ibu, pernahkah Ibu memikir ulang segala hal dari awal. Lakukanlah maka kau akan menyadari bahwa segalanya adalah ganjil dan betapa menjijikkan masakan yang kita makan sehari-hari. Juga rawon dengan kluwek, kemangi, dan sambal. Begitu kotor seperti comberan. Dan betapa aneh bahwa aku memangg ilmu Ibu. I-bu, I-b-u, bunyi macam apakah itu. Tidakkah lucu bahwa temanku bernama Doni, Do-ni, apakah do apakah ni dan mengapa menjadi Doni. Nama lengkapnya donidanardono, betapa janggal. Dan ada binatang yang disebut kuda, ku-da, ku-da. Atau bandot, ban-dot. Ban. Dot. Bunyi-bunyian itu apa yang memb uatnya berarti" Kenapa tak kupanggil engkau dengan bunyi yang lain sama sekali, semisal Ngungo, atau Mishumay, atau Paramben, atau Nyonyo, atau Capcay.
Dan Ibu, apakah itu telur asin" Tak pernahkah kau sadari kembali betapa ganjilnya makanan itu. Telur kok asin" Dan bau. Tetapi kita menyebutnya gurih, sebab ada sesuatu yang menjijikk an dan keji di sana. Padanya ada kematian yang tidak hitam (seperti telur seribu tahun) melainkan kuning dan putih dalam cangkang
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
yang kehijauan. Kematian seo rang bayi itik. Dan proses kejam yang kita lakukan terhad apnya, memeramnya dengan garam dan abu selama empat belas hari, bukanlah pembunuhan biasa melainkan pengol ahan keji yang mengubah keutuhan fisik makhluk yang sesungguhnya mempunyai kesadarannya sendiri. Dan, ketah uilah ibuku, kesadaran hanya ada karena tubuh. Apakah kau kira kau akan memiliki kesadaran yang sama seandainya kau hanya bisa melihat tiga warna, atau seandainya kau bisa meresap ke dalam tembok seperti air" Telur yang hidup itu, meskipun ia encer dan berbeda dari kita, memil iki pengal aman dan reaksinya sendiri berdasarkan komposisi kimiawinya. Tak bisakah kau bayangkan apa yang dirasakan kuning telur itu, barangkali horor dan perih, atau suatu kengerian yang tak terbayangkan sama sekali, ketika butir-butir lumer garam yang menembus pori-pori cangkang pelan-pelan mengubahnya menjadi sejenis protein yang asin, bau, dan kaku.
Dan tauge sadarkah kau apa itu tauge. Kecambah adalah jabang tanaman, seorang bayi tumbuhan. Tidakkah kau punya kecenderungan pedofilia, memakan tak hanya daun muda tetapi juga anak-anak di bawah umur. Dan tak pernah kau pikirkan bahwa pepohonan pun merasa sakit. Mereka merintih tetapi kita tak mendengarnya. Tumbuhan tidak merasa sakit, tolol.
Siapakah kau. Kau tak pernah tahu. Kau bukan tumbuhan.
Kau juga bukan pohonan. Kau bukan apa-apa selain sok bersimpati pada segala makhluk. Perasaan lembutmu
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
dibikin-bikin. Mari bertaruh! Tumbuhan tidak merasa sakit sebab ia tidak memerlukannya. Takut dan sakit hanya dibutuhkan makhluk-berpindah seperti manusia dan hewan yang bisa berjalan, berlari, berkelit. Gentar adalah alarm tubuh, per angk at yang hanya tersedia bersama kapasitas menghindari bahaya. Juga pedih, ngilu. Tumbuhan tak menghindari ancaman sebab ia merekat diam-diam. Sebab ia tak punya tangan untuk melawan dan tak berkaki melainkan berakar maka ia mengolah bahaya dalam kebisuan sampai batas hidup, tetapi ia tidak merasa sakit. Jika rasa sakit tak perlu ada, maka ia tak ada, kataku. Tubuh, kawan, hanyalah mekanisme. Kita mengiranya sebagai rasa sakit padahal itu hanyalah tanda bahaya. Kita mengiranya sebagai nafsu dan cinta padahal gairah hanyalah isyarat kematian, seperti kerlip baterai yang habis minta diganti. Perasaan, kawanku, hanyal ah tanda-tanda dari seperangkat alat dari sengkarut mekanism e bernama hidup. Betapa bodohnya kita.
Betapa bodohnya engkau. Kataku: tumbuhan merasa sakit. Karena itu ia mengubah warna daun menjadi merah di musim gugur seperti memar sebelum membiarkannya jatuh satu satu seperti gigil di musim beku. Itulah keindahan yang terjadi dari rasa sakit. Dan kau, siapa kau, suarasuara yang meragukanku, kau tak lebih dari komposisi protein, lemak, karbohidrat, air dan tai. Asin dan bau.
Apa kamu tidak lapar, Larung"
Ibu, hanya dubuk yang menjadi berselera karena hawa bangkai. Sebab mereka mempunyai enzim yang amat kuat
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
dalam lambungnya untuk mengalahkan kuman dalam jasad busuk. Daging rusak, Ibu, tak hanya digerogoti belatung dari telur serangga yang kasat, putih gemuk gemuk, tetapi juga bibit penyakit yang bening dan tak nampak. Kristal-kristal kecil yang lunak.
Salah, kau! Tak cuma dubuk. Buaya pun menyukai bangkai busuk. Mereka memeram mangsanya di dasar sungai beberapa hari sebelum menyantapnya. Mayat tiga hari dalam air dan lumpur, betapa empuk betapa gemuk.
Bodoh. Ada perbedaan besar antara buaya dan dubuk. Dubuk memakan sisa bangkai karena mereka culas dan enggan berburu, mereka menunggu sisa atau merebutnya dari binatang lain. Tetapi buaya menyantap bangkai lama sebab begitulah cara mereka memepes makanan: dalam air dan bumbu humus. Buaya memas ak, tetapi dubuk bermalas-malas.
Nanti dagingnya dingin. Kamu pingin makan sekarang atau nanti"
Aku kepingin mati. Tetapi kini suara Simbah menyentak tiba-tiba: Biarkan anak itu! Dan jangan ganggu tidurku. Ia tidak membuka matanya.
Lalu kulihat sesaat ibuku bersungut-sungut. Ia menutup pintu, mengembalikan kami ke dalam gelap. Terima kasih, Ibu. Nanti kupanaskan sendiri rawon
itu. Kudekap kantong di dadaku, memastikan bahwa
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
cupu-cupu itu masih di dalamnya. Ibu, sejujurnya engkau akan bersyukur jika Simbah tak ada lagi. Tiada beban dalam rumah ini, dan Ibu bisa berkata kepadaku: carilah istri dan bangunl ah rumahtanggamu sendiri. Ibu akan bahagia melihat aku mapan dan Ibu akan memanggilku Begawan seperti sejak semula Ibu ingin menyebutku begitu. Tapi, Simbah sungg uhkah engkau mencintai kehidupan begitu rupa"
Jawablah tidak, Simbah. Jawablah bahwa engkau membenci hidup. Engkau telah muak dengan rasa sakit dan memb utuhkan seseorang untuk menyelesaikannya. Aku akan melakukannya karena sayang padamu. Untuk kebah agiaanmu. Kau adalah kek asihk u selama ini.
Aku selalu bekerja sendiri. Inilah yang kukerjakan setelah ibuku pergi ia nyekar ke makam ibunda kandungnya di Pekalongan, diiringi pembantuku. Aku duduk di sebuah kursi yang tak semua kakinya sama panjang, di samping ranjang Simbah, dan mengingat bahwa telah dua malam tidurku tak nyenyak sebab begitu cemas akan kehilangan keenam cupu sebelum kujajarkan mereka di tubuh nenekku agar nyawanya lepas. Syukurlah Ibu pergi sehingga aku bisa bekerja sendiri. Tetapi aku ngantuk.
Simbah, aku yang ngantuk kenapa engkau yang tidur" Engkau seharusnya bukan tidur melainkan mati. Lihatlah, engkau telah membusuk.
Kubawakan bagimu cermin agar engkau bisa melihat
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
jasad dirimu. Namun uap nafasmu mengaburkan sosokmu dari jernih kaca. Kulihat dadamu turun naik dan telunjuktelunjukmu berked ut. Engkau hanya tidur, belum mati. Jika kau mati nanti, sebentar lagi, kau bisa melihat wajahmu pada cermin. Sebab tiada lagi embun nafas yang menguapi kaca ini. Semuanya akan jadi bening. Ketika tubuhmu telah dingin.
Maka perkenankan aku letakkan pada dadamu cupu kesatu.
Dengan tangan yang gemetar. Kutatap wajahmu yang tak tahu, bolehkah kututup hidupmu. Gentar aku karena pertent angan, gairah serentak lemas oleh rasa salah, tujuan yang mencemaskan, seperti sebuah titik di mana keberhasilan tak lain dari kegagalan, kesalahan adalah pengorbanan yang tulus. Aku di sebuah noktah untuk menyadari bahwa kematian tak punya jalan kembali. Tercapai atau tak tercapai, hasilnya kehilangan. Namun aku tak mau gagal.
Cupu kesatu telah kuletakkan. Satu sesal telah kukal ahk an. Untuk membunuh Simbah aku masih punya lim a kesempatan untuk menyesal dalam satu hari ini. Tet api untuk tidak memb unuhnya aku hanya punya satu pen yesalan untuk seumur hidup. Maka kuputuskan yang pertama.
Tapi keinginan untuk menyelesaikan ini membuat tubuhk u bergetar. Saraf mataku tak lagi menerjemahkan wajahmu yang tak tahu itu dengan rasa haru melainkan sebagai kecemasan hebat agar wajah itu tetap tak tahu. Jangan sampai kau terjaga sebelum kuderet semua cupu pada busung yang gering. Jangan sampai matamu terbuka
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
sebel um nyawamu terhirup keluar. Jangan sampai engkau membalik tubuhmu telungkup, menumpahkan biji-biji cupu, menindih untuk menaklukkan mereka, lalu mengutuk aku dengan sumpah yang keluar dari balik geligi yang rapuh oleh karang. Jika engkau terjaga sebelum mati, kau takkan mengerti bahwa aku mencintaimu. Maka matilah, dan engk au akan tahu.
Ia masih diam saja. Dengan tanganku yang gentar kupungut dari dalam kantong satu per satu biji-biji cupu dan kususun di pertemuan rusuk-rusuknya dengan tanganku yang gentar. Tetapi jemariku begitu menggigil oleh panik seperti dingin angin sebelum salju mengh embus diam-diam dari wajah yang bisa terjaga biarpun dalam sepertiga detik sisa waktu. Pejam matanya tiba-tiba menjadi teror, gelombangnya menggunc ang lenganku dalam tremor yang tak terkontrol, melepask an cupu kelima dari telunjuk dan bujari. Aku begitu cemas melihat biji itu jatuh, berpantul pada ubin yang gelap dalam lompat kecil-kecil yang semakin kecil sebelum menghilang ke bayang bawah ranjang. Tak kudengar lagi bunyi pletikn ya.
Aku hampir memekik tetapi itu akan membangunkannya. Sesaat aku dalam kebimbangan parah sebab aku teramat khawatir jika ia terjaga dan meruntuhkan jajaran empat cupu yang telah kususun hati-hati padahal aku harus menemukan yang jatuh dan bagaimana jika butir batu itu hilang. Haruskah kusimpan kembali keempat cupu yang lain sebelum mencari yang jatuh agar seandain ya terjaga ia tak mengerti apa yang terjadi. Mungkin perlu kuikat
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
tangan dan kakinya agar sekalipun terbangun ia tak bisa berbuat apa-apa. Aku dalam kebimbangan hebat yang begitu sekejap tetapi aku harus memutuskan dalam waktu yang singkat maka kujumputi yang empat pada dadanya, dengan sesal dan sesak, namun lebih baik gagal satu hari daripada gagal selamanya. Aku merangkak di bawah ranjang di mana ia tetap tidur.
E ntah berapa lama aku mencari, barangkali setengah hari barangkali satu setengah hari. Barangkali ini telah dini ketika aku mendapatkan cupu yang hilang itu pada sepotong ubin yang retak. Patahan yang menghentikan gerak.
Saat kukembali kepada nenekku kulihat ia telah mati. Seperti telah tiga hari kutinggalkan dia. Kutemukan belatung mulai merubung. Berekor-ekor, putih yang kotor, merayap dengan geliat ruas-ruas yang sintal sebab mereka hanyalah nutrisi, tak berkaki, cuma makhluk perut dan mulut yang meraup daging mati, juga daging yang tak berdaya walau tak mati, serta dubur yang menyisakan tilas benang-benang halus tahi larva. Seperti sisa sarang labalaba jejak makhluk yang merayap ke kasur itu menjalini tubuh Simbah. Seperti jaring usang yang berdebu pada mayat kering.
Belatung yang lucu. Mereka tak beda dengan ulat, cuma tidak vegetarian. Lihatlah mereka berjalan-jalan di tempat tidur. Tolol dan buta. Dan menjijikkan.
Tetapi mereka bukan dari tubuh nenekku. Kemudian kulihat mereka berjatuhan dari langit-langit. Satu-satu
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
menggumpal seperti biji kedelai ketika jatuh, lalu mengenyal kembali dalam sesaat, menampakkan bentuknya yang lunak. Dan nenekku tidak bereaksi pada butir-butir renik pemakan daging yang mendarat padanya. Barangkali ada yang telah jatuh ke dalam mulutnya yang men ganga. Pada rambutnya yang telah jarang.
Lalu, kawan, betapa belatung itu menenangkan aku sebab mereka memberi tahu bahwa Simbah takkan terjaga oleh cupu-cupu yang akan kujajarkan pada dadanya sebagaim ana ia tak terjaga oleh larva-larva yang berjatuhan pada tubuhnya dari bangkai entah binatang apa di atas tempat ia lelap. Aku tak perlu cemas ia akan terusik. Tidurnya begitu nyenyak dan ia akan mati dalam keheningannya. Maka dengan tanganku yang lebih tenang kususun kembali cupu-cupu itu, kali ini dengan tanganku yang lebih tenang. Kulepas satu demi satu kesempatan untuk menyesal.
T etapi pada cupu keenam pada sesal penghabisan aku seperti melihat matanya tiba-tiba membuka, pada titik di mana tak ada jalan kembali. Atau tak ada jalan sama sekali. Aku seperti melihat ia bercerita, dengan matanya, tidak dengan mulutnya. Lihat, mata itu berbicara kepadamu seperti bius.
Kau bukan cucuku, Larung. Kau adalah anak yang dipungut dari orang tua yang punya keturunan gila. Seperti Karna yang dibuang Kunti dalam suatu nasib sedih, engkau tumbuh sebagai satria yang dikhianati. Kau bukan cucuku, karena itu aku menc intaimu.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Engkau larung, engkau arung, masih ingatkah kau pada malam yang keruh seperti mataku kini, ketika aku memandang ke arah laut.
Simbah mengusir orang-orang yang datang kembali untuk mengambil kami semua.
Jangan panggil aku Simbah lagi. Sebab aku telah tak bernama dan tak berkata. Tetapi aku pernah memandang ke arah laut. Dan kau pernah begitu mungil dan tak berdaya. Kau pernah begitu gembira.
Masih ingatkah kau pada senja ketika aku mengajarimu memakan serangga. Lalu mereka berkata, lihatlah, nenek sihir itu sedang mengajari cucunya ngeleak. Tetapi orangorang kampung pun makan larva dan laron, apa mereka tak tahu. Dan ketika itu Gunung Agung baru saja meletus, memanggang manusia dan binatang-binatang suci ke dalam api dan jelaga. Kau begitu mungil dan orang-orang begitu miskin serta kelaparan. Kau seumpama Sidharta yang tumbuh di sebuah pekarangan, di luarnya orang-orang menderita, kau tidak tahu. Hanya lotus dan harum cempaka kau kenali. Maka marilah, kataku, menatap tanah.
Lalu kuajari engkau mencari pada senja gundukan kecil kumbang merah yang muncul dari dalam tanah. Di Jawa orang menyebutnya lonte, atau sonte, betina ranum yang segera dibuahi ratusan jantan begitu ia mentas ke permuk aan. Maka seroklah mereka semua seribu jantan dan satu betina dan kumpulkan di dalam stoples sebelum digoreng dalam minyak mendidih dengan tepung dan garam. Juga kuajari engkau menadahi laron dari nyala lampion, lalu mengayaknya pada tampah hingga sayapnya
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
patah, sebelum menyangrainya dalam wajan berasap. Lalu kita mencium baunya yang langu menyengat. Tidakkah liurmu memban yak"
Masih ingatkah kau ketika engkau memakan larva pertamam u" Juga pada senja, kita mengeduk di antara rerumput enam ekor uret. Bulat dan putih seperti gajih. Begitu lunak dan bersih. Jangan tunggu lagi, kata kita, sebab ia belum bertai. Jangan tunggu sampai ia menjelma kumbang badak yang keras dan bersembunyi di pucuk nyiur. Maka dengan gembira kita tusuki mereka dengan lidi, lalu membakarnya dengan api dari arang kelapa, dan menjadik annya lauk bagi nasi mengebul dengan kecap, tiga untukmu tiga untukku, di dekat dapur.
Tetapi ibumu marah. Katanya, jangan mengajari bayiku makan binatang yang menjijikkan.
Lalu kataku padanya, tak ada yang menjijikkan di dunia ini sebagaimana tak ada yang salah tak ada yang benar. Sebagaimana belatung akan memakan kita ketika kita tak lagi berdaya, maka kita pun memakan mereka. Engkau mendengarnya dan mengerti. Ibumu tidak.
Masih ingatkah kau percakapan kita, ketika kau pernah begitu gembira. Kau bertanya kenapa kita mempunyai kata untuk ulat dan belatung, juga uget-uget, tetapi tak mempunyai kata yang sepadan dengan larva. Barangkali, Nak, kataku. Orang Jawa memberi nama khusus bagi segala anak binatang dan semua bunga bebuahan yang mereka lihat. Kita menyebut gogor maupun cemeng, tobil maupun sawiyah, sebagaimana kita menyebut ulat bagi bayi serangga pem akan daun serta singgat bagi pemakan daging
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
dan busukan. Tetapi kita tidak mempunyai yang sepadan dengan larva untuk merujuk pada kategori metamorfosa. Sebab, Nak, kanak-kanak adalah sebuah keberadaan yang berdiri sendiri, terpisah dari kedewasaan. Ia bukan sekadar bagian dari proses menjadi matang, sebab apakah kematangan itu jika bukan proses menjadi mati" Kanak-kanak adalah dunia mandiri, dengan bahasanya sendiri. Ia bukan persiapan menuju sebuah puncak sebab puncak itu tak ada. Masa adalah jutaan kepisahan, bukan kelanggengan. Karena itu, biarkan menjadi indah sebelum ia berubah. Tapi kau tak mengerti.
Lalu kau bertanya kenapa kupu-kupu begitu cantik sem ent ara lalat kotor dan menjijikkan. Apakah karena yang satu makan sayur dan yang satu makan daging ketik a mereka masih bayi" Tapi kataku yang salah adalah ibum u. Sebagaim ana orang-orang awam lainnya, ibumu tak bisa memis ahkah rasa terancam dari kebencian. Sebab kejijikan datang dari rasa takut. Diam-diam manusia gentar pada belatung karena binatang kecil itu memakan daging kita. Lalu ibumu menyebutnya jorok. Tapi tak ada yang menjijikkan di dunia ini, kataku, jika kita tahu memisah antara bahaya dan benci.
Maka, masih ingatkah kau, aku ajari engkau bernyanyi di pekarangan, bukan pada senja melainkan pada pagi. Kuajari engkau mengagumi keket dengan sebuah lagu. Kupukupu yang lucu, ke mana engkau terbang, hilir mudik menc ari, bunga-bunga di taman. Kini, nyanyikanlah sekali lagi. Sekali lagi.
Cupu-cupu yang lucu. p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
T ahun 1964, ingatkah kau, jauh sebelum aku memandang ke arah laut, ketika kau belum punya rasa takut. Kita menempati sebuah rumah, tempat putraku orang yang kau panggil bapak diperintahkan tinggal. Ia masih begitu muda, pangkatnya pembant u letnan, paku satu di bahunya, tubuhn ya ramping. Kita datang dari Jawa, ke Bali, dengan truk dan feri, ketika ia bergabung dengan Batalyon 741 di Kuta. Ia begitu muda, kau begitu gembira. Tapi bagiku, kau tak tahu, betapa telah lama aku meninggalkan pulau kanak-kanakku. Setengah abad kubiarkan masa lalu itu larut bersama kut ukan sebab pada masa gadisku aku meninggalkan puri dan orangtuaku demi seorang Belanda petualang. Kini aku kembali, meski hanya di selatan, mesk i hanya ke arah kelod. Aku telah tua, dan seluruh keluargaku telah moksa bersama kegeraman mereka.
Kuingat kau, begitu kecil untuk jatuh cinta. Tetapi orang dewasa sering lupa anak kecil bisa juga kasmaran. Mereka umumnya naksir yang jauh lebih besar. Kau juga begitu, terhadap gadis kecil Cina, ayahnya berdagang beras dari jatah bantuan yang diterima pasukan tentara tempat bapakm u bergabung orang yang kau panggil bapak. Hahaha, kau bertemu Siok Hwa karena ayahmu begitu dekat dengan ayahnya. Mereka bekerja sama dalam bisnis beras itu, ketika negeri ini paceklik, tak ada panen, hanya subsidi bahan pokok murah bagi pegawai negeri dan militer. Mereka tentu saja menghem atnya, lalu menjual sisanya kepada orang-orang yang tak kebagian jatah, dan mendapat untung, dan membeli lagi. Itulah salah satu
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
kerja ayahmu. Ia mengump ulkan dari anggota yang lain yang juga mau menjual beras, dan menyalurk annya ke toko ayah Siok Hwa. Dari modal berasnya sendiri, ia bisa mendapat untung dua kali lipat. Sebab ia membeli sekilo 30 perak dan toko itu menjualnya dengan harga normal, 130 perak, lalu labanya dibagi dua. Dari beras anggota yang lain, ia mendapat uang jasa sebagai perantara. Aku pun membeli, dari simpananku, satu dua karung untuk dititipkan ke toko Kembodja milik ayah Siok Hwa.
Toko itu terletak di perempatan, amat dekat dari kompleks kita. Tidakkah memorimu buram. Kau sering berm ain ke sana dan membiarkan Siok Hwa mengasuhmu dalam tangannya yang lembut seperti berembun. Kau empat tahun, dia sembilan tahun. Tapi dari matamu aku tahu kau jatuh cinta waktu melihatnya pertama kali. Ia duduk di belakang laci, sedang menghitung dengan sempoa, dengan jari-jarinya yang kecil dan kukunya yang dadu. Dan biji sempoa itu hitam bulat-bulat. Kau menunjukkan coklat yang kau hendak bayar kepadanya. Ia, yang semula menunduk, menatapmu, seketika tersenyum sebab kau begitu mungil, muncul dari balik stoples gula-gula. Dan di matamu ia begitu cantik, bukan" Ia baru mandi sore. Segar seperti hujan. Kau bisa menghirup lembab sabun dari kulitnya. Pipinya merah dan bibirnya mungil basah seperti bawah lidah. Rambutnya tidak setebal ijuk, tetapi itu membuatnya nampak lembut. Ia mengh adiahimu satu permen kelinci. Sejak itu kau selalu pingin kembali.
Perjodohan Busur Kumala 6 Kekaisaran Rajawali Emas Pendekar 4 Alis I Karya Khu Lung Tawanan Azkaban 6

Cari Blog Ini