Ceritasilat Novel Online

You Are My Happines 7

You Are My Happines Karya Baskoro Bagian 7


Ketika akhirnya kami menemukan satu bangku yang terbuat dari semen di taman itu, kami langsung mendudukinya. Untungnya posisi bangku itu gak dipinggir jalan, tapi agak ke bagian dalam taman, dan teduh. Gue menoleh, melihat cewek di samping gue ini, dan tersenyum. Dia sedang makan gula-gula kapasnya dengan cara memegang tangkainya di satu tangan dan diambil sedikit demi sedikit dengan tangan yang lainnya. Senyumnya gak pernah hilang. Rambutnya yang merah kecoklatan sedikit berkibar tertiup angin, dan memperlihatkan lehernya yang putih yang dihiasi oleh kalung bebatuan berwarna hitam.
Dia menyandarkan kepalanya ke bahu gue, sambil tetap memakan gula-gula kapasnya sedikit demi sedikit. Gue tertawa pelan.
Gue : enak" Dia mengangguk-angguk sambil tetap menyandarkan kepalanya di bahu gue, dan masih gak berhenti mencubit gula-gula kapasnya itu sedikit demi sedikit.
Gue : masak" Dia menegakkan tubuhnya, dan kemudian mencubit kecil gula-gula kapasnya itu, dan membawanya ke mulut gue. Gue membuka mulut, dan memakan cubitan kecil gula-gula kapas yang hanya bertahan sedetik di dalam mulut gue sebelum akhirnya hilang. Dia kemudian asik kembali dengan gula-gula kapasnya itu, dan bersandar ke bahu gue seperti sebelumnya. Kemudian gue mendengar dia berkata dengan lembut.
Anin : mas& Gue menoleh ke Anin, sementara dia masih bersandar di bahu gue.
Gue : hm" Anin : kalo nanti kita nikah, jangan berubah ya. Gue : maksudnya berubah"
Anin : ya kan banyak tuh cerita-cerita, ada yang pas pacaran sweet banget, begitu nikah berubah jadi cuek atau kasar. Jangan kayak gitu ya"
Gue : hehe iyaa, janji deh. Emang aku ada tampang galak ya" Anin : yee gak sadar tampang. Mukamu itu muka galak banget tau mas. Gue : trus kok kamu mau"
Anin : dodol sih soalnya. *gue tertawa*
Gue : nanti kalo kita nikah, kamu mau tinggal dimana" Anin : ya ikut suami lah.
Gue : kalo aku harus kerja offshore" Anin : ya ngikut aja jadi putri duyung
*Anin masih bersandar di bahu gue dan mencubiti gula-gula kapasnya dengan santai* Gue : seriusan nih&
Anin : ya nunggu dirumah dong, toh kamu pasti pulang ke rumah kan. *gue menunduk memandangi kaki gue dan tersenyum*
Gue : bukan pulang ke rumah sih, pulang ke kamu.
Kemudian Anin menegakkan tubuhnya, dan memandangi gue dengan serius, tapi sambil tetep ngemilin gula-gula kapasnya. Kami berdua berpandangan, dan rasanya kami memikirkan hal yang sama. Gue memiringkan kepala dengan tampang menyadari sesuatu. Gue : rumah kita dimana ya"
Secepat kilat Anin menyambar sambil menggerakkan tangkai gula-gula kapas yang ada di tangannya. Wajahnya menunjukkan kemenangan.
Anin : NAH. Itu yang aku pikirin juga.
Gue segera meraih kepala Anin dan merangkulnya, mendekapnya ke dada gue dengan gemas. Kami tertawa cekikikan bersama, yang dihiasi dengan daun-daun berguguran di belakang kami.
Anin : mas.. Gue : ya"
Anin : di hubungan kita, kalo kamu punya satu kesempatan satu kali aja untuk kembali ke masa lalu, apa yang mau kamu lakuin"
Gue tersenyum, dan merangkul Anin, menariknya semakin mendekat dengan gue.
Gue : kalo aku punya satu kali kesempatan untuk kembali ke masa lalu, yang aku lakuin adalah lebih bersyukur atas kamu. Semua yang udah terjadi itu yang terbaik buat kita, kalo kita merubah-rubah malah nanti jadi bukan yang terbaik buat kita. Jadi satu-satunya yang bisa kita lakuin adalah bersyukur.
Gue menoleh ke Anin. Gue : alasan kita berdua duduk disini sekarang adalah karena kita masih saling mendoakan, sampe hari ini.
Anin tersenyum dan menyandarkan kepalanya ke dada gue, sementara gue merangkul bahunya.
PART 108 Handphone yang gue letakkan di meja kerja gue, mendadak bergetar. Gue yang sedang mengerjakan sesuatu di komputer di sisi meja yang lain, berputar dan melirik isi layar. Ada Line dari Anin. Gue tersenyum, dan membalas chat itu sejenak, sebelum kembali tenggelam di pekerjaan gue. Secangkir kecil teh panas yang masih mengepul ada di samping komputer. Gue menyeruput teh itu, dan bibir gue langsung terbakar karenanya. Sambil sedikit menggerutu gue letakkan kembali cangkir itu, dan menjilati bibir atas gue.
Hari itu masuk minggu kedua gue di ibukota tanpa Anin. Kemana Anin" Dia di Mumbai, India. Ngapain di India" Kerja. Kerja dimana" Di perusahaan manufaktur multinasional. Gue juga gak tau kalo dia melamar di perusahaan itu, tau-tau ikut seleksi, dan berhasil. Gue bahagia dia bisa mulai merasakan cita-citanya terwujud, keliling dunia gratis. Jadilah kami LDR lagi setelah 2 bulan bersama. Yah, umur-umur segini emang rawan LDR. Untungnya selisih waktu Jakarta- Mumbai gak lama, cuma Mumbai lebih cepet 1,5 jam dari Jakarta.
Hari itu pekerjaan gue cukup padat, ada beberapa appointment yang harus gue penuhi, dan kesemuanya di luar kantor. Mau gak mau gue harus berkutat dengan kemacetan ibukota. Siang hari, di sela-sela padatnya jadwal gue itu, gue sempatkan diri makan siang. Kalo gak makan bisabisa jadi mumi gue. Akhirnya semua jadwal appointment gue itu berakhir jam 5 sore, tepat waktu pulang kantor, meskipun gue gak pernah pulang kantor sesuai jadwal. Di lift yang menuju ke lantai dimana kantor gue berada, mendadak handphone di kantong celana gue berdenting. Ternyata ada BBM, dari Tami.
Tami : tapir, lo dimana" Gue : kantor lah. Kenapa" Tami : kelar jam berapa lo" Gue : gak tau, kalo bisa ya jam 5 Tami : kantor lo di Sudirman kan" Gue : iye kenapa"
Tami : samperin gue di Senayan City ya! Gue : emang gue taksi apa. Lo ngapain di Sency"
Tami : cari brondong. Ya jalan laaah. Pake nanya lagi lo kayak pembantu baru. Gue : sendirian"
Tami : iye sendirian, makanya gue minta temenin lo.
Gue : wnpr" Tami : apaan tuh" Gue : wani piroooo
Tami : lo emang kambing dah. Ayolaaah kesini temenin gue. Gue : iyaaiyaa ntar pulang kantor gue kesitu iyaaaa Tami : nah gitu, katanya sayang ama gue. Gue : dih delusional.
Gue segera merapikan berkas-berkas yang ada di meja gue, dan menyelesaikan beberapa pekerjaan sebelum gue cabut dari kantor. Kelar semuanya, gue segera menuju ke Sency. Sesampai di parkiran gue BBM Tami.
Gue : lo dimana" Tami : di depan Sbux. Gue bergegas menuju lantai dimana Starbucks. Celingukan sesaat, gue menemukan satu makhluk yang sangat familiar buat gue berdiri di samping tanaman artifisialnya Starbucks. Dia berambut bergelombang sebahu, dan memakai kaos, bercelana jeans dan membawa ransel kulit kecil. Dia menoleh ke arah gue sambil menghisap lollipop di mulutnya. Anak ini, umur udah 23 tahun tapi tampang masih kayak umur 18, pikir gue geli. Gue bergegas mendekatinya, dan dia menyambut gue dengan ngegablok lengan gue.
Tami : TAPIR! *gue menggosok-gosok lengan sambil menyeringai* Gue : apaan sih mukul-mukul, dikira ini pohon pisang apa. *Tami meringis jail, sambil menarik lollipopnya keluar* Tami : Anin mana" Gak sama Anin lo"
*gue menggeleng pelan* Gue : enggak di India dia. Tami : ngapain" Main film"
Gue : kerja lah dodol Tami : kerja dimana kok sampe di India gitu" Acha acha acha *Tami menggerakkan kepalanya kayak orang India yang agak sarap* Gue : kalo mau gituan jangan disini napa, malu nih gue. Tami : GI-TU-AN" GI-TU-AAAAN"
Gue : gue tinggal brapa bulan tambah mesum ya otak lo. *Tami ketawa cekikikan*
Tami : eh tadi Anin kerja dimana" Lo belum jawab kan. Gue : di ******
Tami : wah kereeeen. Kok bisa sih"
Gue : hokinya dia gede kali. Dah ah yuk jalan, mao kemana lo" Tami : muterin aja.
Gue : lo disini dari jam berapa" Tami : jam 3an kali. Lupa gue.
Gue dan Tami berjalan-jalan mengelilingi seisi mall itu. Beberapa kali dia keluar masuk tenant brand-brand tertentu, tapi keluar lagi dengan tangan kosong. Sesekali dia memanggil gue untuk menanyakan pendapat gue tentang pilihannya. Sering gue isengin dia dengan cara berhenti mendadak sewaktu dia ngomong ke gue tapi melihat ke arah lain, dan dia dongkol bukan main sewaktu mendapati gue gak disampingnya tapi berdiri agak jauh di belakang sambil cengengesan.
Gue : lo di Jakarta tinggal dimana" Tami : di rumah bokap, di Tanah Kusir.
Gue memandangi Tami lekat-lekat, dan ternyata Tami paham apa yang mengganjal di pikiran gue. Dia kemudian tertawa kecil dan mengangguk.
Tami : iya, bokap nyokap jadi cerai. Untungnya istri bokap yang baru sayang banget sama gue. Mau gue musuhin juga gimana rasanya. Lagian gue juga harus bisa nerima keadaan. Mau digimanain lagi sih.
Gue : lo udah bilang nyokap lo kan"
Tami : tentang apa" Tentang ini" Oh iya pasti udah dong, gila aja gue gak bilang nyokap.
Gue : trus nyokap" Tami : awalnya sih gak setuju, gue disuruh di Bogor aja. Tapi setelah gue bujuk dan gue kasih pertimbangan gue sendiri, nyokap bisa nerima dan ngijinin gue tinggal di rumah bokap. *gue tersenyum*
Gue : it must be hard being you. *Tami tertawa*
Tami : hidup gak akan lunak buat kita, kan" Gue : hu-uh.
Tami : untungnya ada lo. Thank you ya. Gue : kenapa gue"
Tami : lo berarti buat gue, bahkan diluar perkiraan lo sendiri. Gue tersenyum.
PART 109 Ketika itu hari Sabtu sore, gue sedang menyapu balkon apartemen sambil sesekali memandangi awan gelap yang bergulung-gulung datang menuju kemari. Akhir-akhir ini emang pembagian musim agak kacau. Waktu yang seharusnya udah masuk pancaroba malah bergeser menjadi puncak musim hujan. Weekend begini emang waktunya bebersih rumah, karena gue tinggal sendirian disini, sementara kakak gue udah pindah ke rumah barunya di daerah Taman Mini sana. Kelar nyapu balkon, gue bersantai-santai di sofa depan TV sambil baca majalah dan ngupil. Hari itu gue emang agak jarang komunikasi sama Anin, karena dia lagi berdinas ke New Delhi sampai minggu depan, sementara kantornya di Mumbai. Gue melirik jam dinding di atas TV, pukul 4 sore, berarti di Delhi pukul setengah 6 sore.
Sewaktu gue bersantai-santai sambil membaca majalah di tangan gue, mendadak handphone yang gue letakkan di meja berdenting. Gue bergeser untuk melirik layar di handphone gue itu, ternyata BBM dari Tami. BBMnya singkat, seperti biasa.
Tami : tapir, lo di apartemen"
Gue : iya, kenapa" Tami : Gue di McD nih, keujanan.
Gue : buset, ngapain lo sampe keujanan di McD" Tami : panjang ceritanya. Lo bisa jemput gue"
*gue berpikir sejenak sambil melihat langit gelap di jendela samping gue* Gue : iya tunggu aja disitu, jangan keujanan lagi. Lo dimananya" Di McD nya kan" Tami : iya.
Gue : oke, wait. Gue segera menyambar kunci mobil dan dompet, kemudian turun menuju parkiran basement. Karena itu hari Sabtu sore, maka macet luar biasa segera memenuhi rute dari apartemen gue menuju McD yang dimaksud. Dari yang normalnya hanya 5-7 menit, jadi 30 menit. Sesampai di McD gue melihat seorang cewek berdiri di pintu depan McD, sambil menenteng satu travelbag berwarna hitam. Mukanya kusut. Gue membuka jendela dan memanggilnya. Sontak dia berlari menuju mobil gue, dan langsung duduk di kursi penumpang di samping gue, sambil membisu memandangi hujan. Gue merasa aneh.
Gue : kenapa lo" Kok gak masuk ke McD aja, malah ujan-ujanan diluar" Tami : gak punya duit.
Jawabannya dingin. Seketika gue sadar, pasti ada sesuatu yang buruk terjadi sama Tami. Gue memperhatikan kondisinya yang kacau, basah dan bingung, sementara matanya sembab, seperti habis nangis cukup lama. Gue melirik travelbag yang ada di pangkuannya, travelbag hitam yang basah, dan juga berisi cukup banyak. Gue meraih pegangan travelbag itu dan memindahkannya dari pangkuan Tami ke jok belakang. Gue kemudian bertanya dengan lembut.
Gue : mau ke apartemen gue dulu"
Tami mengangguk, tapi tetap membisu dan pandangannya menerawang. Gue segera menjalankan mobil menuju arah pulang. Sesampai di apartemen, Tami berdiri dengan bingung di ruang tengah. Gue tersenyum.
Gue : duduk aja, anggep aja rumah lo sendiri. Badan lo basah semua kan" Gih sono mandi dulu, gue ambilin handuknya. Tas lo basah semua tuh, nanti kalo udah lo keluarin barangbarangnya, bilang gue, ntar gue keringin tas lo.
Tami memandangi gue sejenak, kemudian mengangguk tanpa ekspresi. Gue masuk ke kamar mencari handuk, kemudian menyerahkannya ke Tami yang duduk di sofa.
Gue : nih handuknya. Oya, kran shower yang berfungsi yang atas. Yang bawah mah rusak. Tapi air panasnya ada kok. Gih mandi sono, ntar keburu masuk angin.
Tami masuk ke kamar mandi, dan gue bergegas ke dapur untuk membuatkannya minuman panas. Ketika gue membuka lemari persediaan, gue berpikir sejenak mengenai minuman apa yang akan gue buatkan untuk Tami. Akhirnya gue memilih teh. Sambil mengaduk-aduk teh itu gue berpikir sendiri, ada apa dengan Tami sebenarnya. Gue membuka kulkas, dan mencari makanan yang bisa gue suguhkan. Masih ada roti keju, untungnya, yang kemudian gue masukkan microwave sebentar.
Setelah beberapa saat, gue liat Tami keluar dari kamar mandi, dan langsung menuju kamar yang memang gue peruntukkan buat Tami. Gue melanjutkan nonton TV, sebelum gue mendengar Tami memanggil pelan.
Tami : Bas. Gue menoleh ke arah pintu kamar Tami dimana dia memunculkan kepalanya dari dalam. Gue : ya"
Tami : baju gue basah semua.
Gue langsung beranjak menuju kamar gue, membuka lemari pakaian dan mencari kaos beserta hoodie berwarna hitam milik gue. Langsung gue serahkan kaos dan hoodie itu ke Tami.
Gue : nih. Celananya ada"
*Tami menggeleng dengan muka memelas* Tami : basah juga.
Gue : bentar. Gue kembali ke kamar, dan mencari celana training milik gue yang berwarna abu-abu. Mending celana training lah, anget dan ukurannya bisa sesuai sama ukuran pinggang Tami yang kecil karena elastis, pikir gue. Kemudian gue serahkan itu ke Tami sambil tersenyum.
Gak lama kemudian Tami udah duduk di sebelah gue di sofa, sambil memakai hoodie dan training, kepalanya tertutup. Gue menyodorkan teh panas dan roti keju yang masih hangat ke Tami, dan Tami menyambutnya dengan meminum teh itu perlahan. Gue memperhatikan Tami, kayaknya dia udah gak sekacau tadi. Mungkin ini waktunya gue bertanya, pikir gue.
Gue : lo kenapa" Tami memandangi gue lekat-lekat, dan meminum tehnya sekali lagi sebelum berkata perlahan ke gue.
Tami : gue kabur dari rumah Bas.
PART 110 Gue menegakkan badan, dan memandangi Tami yang memegang cangkirnya dengan kedua tangan. Bagian lengan hoodie gue ditarik sampai menutupi setengah dari telapak tangannya, sehingga cuma jemarinya yang terlihat.
Gue : lo kabur dari rumah" kenapa" Tami : Gue gak tahan aja sama bokap gue. Gue : emang ada apa" Gue boleh tau" *Tami menghela napas*
Tami : sejak bokap nikah lagi, istri bokap yang baru seperti bener-bener ngontrol bokap. Dan bokap juga nurut banget sama dia. Bokap jadi jauh sama gue, padahal dulu bisa dibilang gue deket banget sama bokap. Terakhir kemarin, bokap mulai main tangan. Gue ditampar garagara gue ngebantah omongan bokap dan nyalahin istri barunya.
Gue : terus gimana ceritanya lo bisa sampe di McD deket sini"
Tami : awalnya gue berniat pulang ke Bogor, trus dari situ gue pingin langsung ke Manado ke rumah nyokap. Tapi bokap tau kalo gue mau kabur ke Manado, makanya semua kartu ATM dan kartu kredit gue diambil lagi sama bokap, biar gue gak bisa kemana-mana. Gue : trus"
Tami : ya trus gue nekat pergi tadi pagi, sementara gue cuma punya duit 50 ribu perak di dompet. Akhirnya cuma bisa sampe McD doang deh hahaha.
Gue memandangi Tami yang tertawa dengan tawa dipaksakan. Gue gak bisa ikut tertawa, gue merasakan apa yang dirasakan Tami. Pandangan gue menerawang ke langit senja yang bergerak menuju malam, sambil menggigit jempol gue. Kemudian gue menoleh lagi ke Tami. Gue : trus, rencana lo setelah ini mau ngapain"
*Tami terdiam, memandangi TV dan kemudian menggelengkan kepala sambil memejamkan mata*
Tami : entahlah, gue gak tau kemana lagi gue harus pergi.
Gue : lo gak telepon nyokap"
Tami : tadinya gue kepikiran gitu, mau telepon nyokap. Tapi gue urungkan, takut ntar nyokap panik disana. Gue mau cari cara dulu lah buat pulang ke Manado, nanti biar gue tautau nongol disana. Haha.
Gue : ya kalo lo telpon nyokap kan seenggaknya lo bisa dapet kiriman duit. Tami : mau dikirim kemana" ATM kan udah diambil bokap. Gue : oh iyaya.
Gue mengetuk-ngetukkan jari di meja, dan berpikir. Gak terasa ternyata hari udah malam, dan gue belum bikin makan malam. Akhirnya gue memutuskan masak nasi goreng aja lah, yang simple tapi kenyang. Tami memandangi gue masak dengan takjub, gak nyangka dia kalo gue bisa masak. Kelar makan, Tami beristirahat di sofa, sementara gue duduk di karpet sambil membelakangi Tami. Tangan gue memegang sekaleng bir non alkohol, yang gue minum pelanpelan.
Tami : lo sering minum gituan ya"
*gue tersenyum dan memandangi kaleng di genggaman gue*
Gue : ah enggak, gue minum ginian paling sebulan sekali. Kebetulan aja lo liat gue lagi minum ini.
Tami : kalo bisa sih jangan samasekali.
Gue : kadang-kadang gue minum ginian, meskipun non alkohol, buat menenangkan pikiran gue. Kalo lagi ruwet, these crap just feel like my small escapes.
Tami : berarti lo sekarang lagi ruwet dong pikirannya. Gue : yah gitulah.
Tami : gara-gara gue kan"
Gue : iyalah, menurut lo gara-gara apa lagi" Nasi goreng tadi" Hahaha. Tami : maaf ya gue udah ngebawa masalah ke hidup lo. *gue menghela napas*
Gue : udahlah, masalah lo masalah gue juga. *gue meneguk kaleng bir*
Gue dan Tami menghabiskan waktu cukup lama dalam kebisuan, sampe akhirnya gue sadar kalo udah pukul 22.30. Gue melihat jam, kemudian menoleh ke Tami di belakang gue, ternyata dia tertidur di sofa. Wajahnya yang mungil terlihat damai, nafasnya lembut beraturan. Gue harap, di dalam mimpinya dia bisa berbahagia, melupakan segala hal di dunia yang telah menyakitinya. Gue tersenyum dan memiringkan kepala. Betapa banyak bebannya, pikir gue. Kalo gue ada di posisinya, entah gue sanggup menjalaninya atau enggak.
Gue beberes kamar yang akan ditempati Tami, menyiapkan selimut tebal yang gue lipat, dan kemudian menyalakan AC, sekedar agar udara menjadi nyaman. Gue kemudian keluar kamar, beberes dapur sedikit, sambil sesekali menoleh ke Tami yang masih terlelap di sofa. Gue tersenyum. Gue mematikan lampu dan kemudian berdiri di samping sofa dimana Tami tidur. Gue mengangkat tubuh Tami yang kecil dengan lembut, dan membawanya ke kamar yang udah gue persiapkan.
Di kamar, gue letakkan Tami ke kasur perlahan, kemudian menyelimutinya dengan lembut. Gue kemudian mematikan lampu utama dan menyalakan lampu tidur di samping tempat tidurnya. Sebelum gue menutup pintu kamar dari luar, gue tersenyum dan berbisik.
Gue : goodnight, strong woman.
PART 111 Begitulah. Hari-hari gue di yang biasanya sendirian di apartemen itu sekarang berubah sejak kehadiran Tami yang mengungsi untuk sementara di situ. Ketika gue bangun pagi, dan kemudian berjalan keluar kamar menuju dapur, gue melihat meja makan sudah tersedia sarapan telur omelette dan daging asap. DI atas meja itu juga gue mendapati ada secangkir kopi yang masih panas. Mata gue yang baru terbuka separuh, menjadi terbuka sepenuhnya ketika gue melihat ada cewek sedang menjemur handuk di balkon.
Sejenak gue lupa siapa cewek asing yang ada di balkon, tapi ketika dia berbalik, barulah gue ingat kalo Tami nginep disini. Gue yang masih mengantuk, cuek aja ngeloyor ke kamar mandi, kebelet pipis soalnya. Keluar dari kamar mandi, gue mendapati Tami udah duduk di sofa sambil menonton TV. Dia duduk bersila di sofa sambil bersandar ke belakang dan menyeruput sesuatu dari cangkir. Rambutnya juga masih acak-acakan, pertanda dia belum lama bangun tidur. Gue mengambil cangkir kopi dari meja yang tadi gue liat, kemudian duduk di sampingnya. Pandangan gue masih kosong, karena masih ngantuk. Gue baru tersadar lagi ketika Tami mulai berbicara.
Tami : udah gue buatin sarapan tuh. *gue menyeruput kopi sambil ngantuk*
Gue : iye gue udah liat tadi. *gue menoleh ke Tami* nemu bahan-bahannya dimana lo" Tami : tadi pagi gue geledahin dapur lo. Emang dapur cowok beneran ya, gak ada apa-apa. *gue tertawa kemudian menyeruput kopi lagi*
Gue : iya lah, lo mengharapkan apa dari dapur gue" orang gue juga jarang masak dirumah, kebiasaan beli. Paling gue masak kalo lagi mood aja.
Tami : untung masih ada makanan beku tuh didalem kulkas. Gue : itu udah 2-3 bulan kali gak gue sentuh.
*Tami menoyor kepala gue*
Tami : makanya dimasak daripada keburu expired. *Tami mendengus*
Tami : kalo sarapan biasanya sarapan apa lo"
Gue : biasanya sih bikin roti *gue menyeruput kopi* tapi kalo weekend biasanya turun ke warung bubur di depan apotik situ.
*Tami tertawa* Tami : sekarang ada yang masakin sarapan buat lo ya" Hahaha. *gue menghapus bekas kopi di bibir menggunakan jempol* Gue : ya kan gue gak minta.
Tami : iiih bilang makasih dikit apa gimana kek! *gue tertawa*
Gue : iya, makasih dikit. Tami : kok ada dikitnya"
Gue : lah barusan lo yang nyuruh bilang makasih dikit kan" Yaudah gue bilang makasih dikit .
*Tami mulutnya berbusa* Tami : eh tadi malem gue kayaknya ketiduran di sofa, kok bisa sampe kamar ya" Gue : *menyeruput kopi* lo salto kali dari sofa sampe kamar. Hebat loh bisa tepat di kasur. Tami : lo bawa gue ke kamar ya"
Gue : lo bego apa pura-pura bego apa menuju bego" Iyalah gue yang bawa lo ke kamar. Gue biarin diluar pagi-pagi jadi kerupuk ntar.
Tami : lo gak ngapa-ngapain gue kan" Gue : boleh milih yang lain gak"
Gue memandangi cewek kecil di samping gue ini, dan kemudian menggelengkan kepala pelan sambil tersenyum tipis. Hidup gue emang kadang-kadang bikin skenario sendiri. Tapi gue merasa hidup gue luar biasa. Contohnya ya sekarang ini. Mungkin Tuhan memang sudah mengklasifikasikan gue sebagai salah satu dari orang-orang yang dianugerahi pengalaman yang seperti roller coaster. Salah satunya yang akan gue jalani sebentar lagi.
Di apartemen ini, kami sering mengepel dan menyapu bersama. Kadang-kadang berbagi tugas, gue yang cuci piring atau dia yang masak, dan sebaliknya. Soal cuci baju, untung gue langganan laundry, jadi kami gak perlu cuci baju. Pernah sekali juga dia membersihkan kamar mandi, padahal belum kotor. Menurut gue, Tami ini anaknya rajin. Suka mengerjakan pekerjaan rumah. Satu sisi baru dari Tami yang baru gue ketahui sekarang. Dulu gue pikir Tami anaknya manja dan cuek, ternyata persepsi gue itu salah.
Pagi hari, beberapa hari setelah itu di hari kerja.
Gue sedang bersiap-siap merapikan kemeja dan rambut gue di kaca wastafel kamar mandi. Karena pintu kamar mandi terbuka, gue bisa melihat Tami keluar kamar lewat pantulan kaca. Mukanya masih setengah sadar, nyawanya belum terkumpul semuanya kayaknya. Dia menguap dan merapikan rambutnya yang acak-acakan. Gue tertawa geli melihat bentuknya pagi itu. Emang udah bukan hal aneh lagi gue melihat tampang Tami sewaktu bangun tidur. Tapi setiap kali gue melihat muka Tami yang setengah sadar itu, setiap kali pula gue tertawa. Gue menyapanya sambil tetap bercermin.
Gue : good morning, ice princess.
Tami melihat gue di kamar mandi dengan tatapan kosong. Mukanya bloon bener dah ah. Sesaat kemudian gue udah kelar bersiap-siap dan melewati Tami yang masih berdiri setengah sadar di lorong. Sambil melewati Tami, gue meniup matanya agak kencang, dan itu membuat Tami kaget. Refleks dia menepuk punggung gue agak keras, dan gue tertawa cekikikan.
Di kantor, ketika gue sedang mengerjakan sesuatu di komputer, mendadak handphone gue berdenting. Gue melirik sebentar, ternyata ada BBM. Dari Tami.
Tami : Bas, barusan ada tamu, nitipin barang. Gue : dari siapa"
Tami : katanya dari Tante Ratna. Gue terkesiap, dan menegakkan badan. Gue : siapa yang nganterin" Tami : cewek, namanya Sophia.
Gue menutupi mata dengan kedua telapak tangan. Mampus gue.
PART 112 Gue duduk terhenyak di kursi sambil memejamkan mata. Sesekali gue menarik-narik bibir gue lembut, dan menghela napas panjang. Sesuatu yang udah gue perkirakan, memang akhirnya terjadi. Kondisi gue waktu itu bak buah simalakama. Gak bisa dipungkiri, ada sesuatu yang lain yang membuat gue melakukan ini semua. Tapi hidup ini adalah pilihan. Pada akhirnya gue harus memilih. Gue membuka mata dan melihat beberapa rekan kerja gue di seberang ruangan, tersenyum dan tertawa satu sama lain. Saat ini senyum gue lenyap entah kemana, dan gue bertekad mengembalikan lagi senyum yang hilang. Gue gak boleh lari, gue harus menyelesaikan semua ini.
Sore hari, gue mengetuk pintu apartemen gue, dan 3 detik kemudian pintu terbuka. Gue melihat Tami, wajahnya risau. Gue gak perlu bertanya lebih lanjut tentang sebab wajah itu. Kami berdua sudah saling paham dalam diam. Gue tersenyum kecil dan masuk ke dalam, melepas sepatu, dan kemudian menjatuhkan diri ke sofa sambil memejamkan mata. Tami kemudian duduk di sebelah gue. Gue membuka mata, dan melihat wajahnya semakin risau.
Tami : maafin gue ya, Bas. Gue bener-bener bawa masalah buat lo.
Gue memandangi Tami dengan mata sayu dan senyum yang lemah, kemudian menempelkan telunjuk di bibir gue sendiri. Menyuruhnya diam.
Gue : jangan terlalu menyalahkan diri lo sendiri. Tami mulai gusar. Dia mulai panik dan suaranya agak meninggi.
Tami : ya kalo gue gak kabur dari rumah, dan gak minta tolong lo untuk jemput gue, lo gak bakal kena masalah kayak gini. Kalo gue gak lama-lama disini, lo juga gak bakal kena masalah kayak gini. Kalo gue gak egois trus ngabarin nyokap gue, lo gak bakal kena masalah kayak gini. Ini semua salah gue Bas! Salah gue!
Tami kemudian berdiri dengan emosional, dan berjalan cepat menuju kamarnya. Gue bisa menebak apa yang akan dia lakukan. Setelah berpikir beberapa saat, gue berdiri dan menyusulnya, kemudian gue berdiri bersandar di kusen pintu, memasukkan satu tangan gue ke kantong celana sementara tangan yang satu menggosok-gosok bibir dengan jempol. Gue melihat Tami mengeluarkan travelbag hitamnya, dan memasukkan baju-bajunya ke dalam tas.
Gue menunggu beberapa saat, kemudian maju dan memegang pergelangan tangan Tami yang sedang memasukkan barang-barangnya ke tas. Gue berusaha memasang ekspresi wajah sekalem mungkin, dan tersenyum tipis.
Gue : tunggu. Sabar. Jangan gegabah. Tenangin dulu pikiran lo. Ikut gue sini.
Gue mengajak Tami ke depan TV, duduk di sofa. Gue melihat Tami di samping gue duduk dengan lutut yang saling menempel dan kedua tangan diatas paha, seolah-olah penjahat yang tertangkap basah dan merasa sangat bersalah. Gue sebagai manusia yang mempunyai perasaan, pastilah merasa sangat iba akan kondisinya, meskipun gue tau posisi gue sekarang serba salah.
Tami kemudian menutup mukanya dengan kedua tangan, dan mulai menangis perlahan. Gue merasa sangat bersalah. Ya, gue tau gue salah menampung Tami disini. Tapi gue tau persis dia gak punya siapapun di Jakarta sini karena keluarganya hanya sedikit. Gue juga tau persis sifatnya dia yang gak mau merepotkan orang lain, kecuali dia sangat terpaksa membutuhkan bantuan, seperti waktu di McD beberapa hari lalu.
Dia masih Tami seperti yang gue kenal sejak 5 tahun lalu. Dia masih Cumi Tukang Nyatet yang mau berbagi bangku dengan pengemis untuk makan bersamanya. Dia masih seorang Tami yang rela panas-panas jalan dari kampus ke kosan setiap hari gara-gara gak mau ngerepotin temennya. Dia masih seorang Tami yang keras, bawel, perhatian tapi kesepian di dalam hatinya. Dan sekarang gue tau dia berada di salah satu titik terendah di kehidupannya, dan dia gak punya apapun atau siapapun untuk dijadikan perlindungan. Bahkan untuk sekedar berlindung dari air hujan, secara harfiah.
Gue : lo gak salah Tam. Lo gak minta untuk ada di posisi seperti ini. Gue juga paham lo pingin menjaga perasaan nyokap lo, karena gue tau itu satu-satunya hal paling berharga yang masih lo punya. Liat gue, Tami.
*Tami menoleh, memandangi gue dengan air mata yang masih mengalir*
Gue : gue tau apa yang lo rasain sekarang. Gue tau apa beban lo, meskipun gue gak ikut menanggung itu sedikitpun. Hidup memang kadang gak adil buat kita, tapi setidaknya buat sekarang, ijinkanlah gue berbuat sesuatu untuk membuat lo merasa dunia menjadi sedikit lebih ramah untuk lo.
Tami : tapi gara-gara gue ini, lo bakal kena satu masalah besar Bas, gue tau itu! Lo juga pasti tau itu!
Tami menutupi mukanya dengan kedua tangan, dan dia menangis lagi. Kali ini lebih keras. Gue menepuk-nepuk pundaknya untuk menenangkan, meskipun gue rasa itu percuma.
Gue : kadangkala orang harus berkorban untuk menolong sesama kan" Di saat itulah gue berharap dunia menjadi sedikit lebih adil buat kita.
Tami masih menangis, tapi lama-kelamaan tangisnya mereda. Ketika dia sudah mulai tenang, dia membuka kedua tangannya yang sedari tadi menutupi muka, kemudian memandangi TV yang mati. Pandangannya kosong, tapi matanya bengkak parah. Hidungnya memerah. Gue mengguncangkan pundaknya, bermaksud menenangkan.
Gue : ketika ada seseorang yang sudah lo kenal selama bertahun-tahun, lari dari rumah, kehujanan di jalan dan kedinginan, apa yang bakal lo lakuin"
Tami : sama seperti yang lo lakuin&
Gue : nah kan" Tami : tapi kan seharusnya seseorang itu sadar diri dan gak kelamaan numpang disini, itu kesalahan gue!
Tami mulai menangis lagi, perlahan. Gue menepuk pahanya, tersenyum dan memiringkan kepala gue.
Gue : lo yang paling tau tentang keadaan lo sendiri. Dengan semua keadaan lo kemaren, dan apa yang ada di pikiran lo dan apa yang jadi motivasi lo, sekarang beri gue satu, satu aja, solusi yang masuk akal. I would be gladly accept it, then.
Gue kemudian bangkit dan membuatkan Tami segelas teh panas, sekedar untuk menghangatkan hati dan pikirannya yang kacau. Sebenarnya gue juga membutuhkan, bahkan mungkin dengan dosis lebih, tapi nevermind lah. Dengan wajah yang sedikit membengkak, dan mata yang sembab akibat menangis terlalu lama, Tami meniup-niup tehnya.
Tami : gue bakal disamping lo menghadapi masalah yang bakal lo hadapi ini, Bas. Gue janji.
*gue tersenyum lembut, dan mengangguk miring* Gue : terimakasih.
Gue berjalan ke arah pintu balkon, dan bersandar di kusen pintu sambil berkacak pinggang, memandangi senja di Jakarta yang mulai datang. Gue menghela napas.
Gue : gue tau gue harus melalui badai dulu sebelum melihat pelangi.
Meskipun gue membelakangi Tami tapi gue bisa merasakan dia tersenyum kecil di belakang gue sambil memegang cangkir teh panas buatan gue tadi.
Tami : I owe you so much, you bloody risk-taker.
Gue tersenyum kecil, kemudian menghela napas melalui mulut dan memandangi langit senja.
PART 113 Ketika gue sedang bersiap-siap untuk tidur, mendadak handphone gue berbunyi. Gue melihat identitas penelepon, dan sebuah nomor asing, bukan dari Indonesia. Gue langsung menebak, pasti ini Anin, telepon dari India. Seketika gue lemas, dan pasrah apa yang akan terjadi. Gue bangkit, dan duduk di tepi tempat tidur, kemudian mengangkat telepon itu.
Gue : halo" Anin : Siapa cewek yang ada disana" *gue menghela napas berat*
Gue : Tami. Anin : hmm, bagus ya. Aku kerja diluar negeri, kamu malah tinggal berdua sama cewek. Gue : dengerin dulu dek. Ceritanya panjang. Dia nginep disini juga gara-gara kepepet kok. Anin : kepepet gara-gara kangen kamu"
Gue : bukan, dia kabur dari rumah& Anin : terus apa urusanmu"
Gue : dia butuh tempat tinggal sementara sebelum ke rumah mamanya di Manado, dek. Dia ga punya duit, ATMnya disita sama papanya. Dia banyak masalah dirumah, dan gak tahan, trus nekat keluar dari rumah.
Anin : kenapa kamu gak bilang sama aku"
Gue : aku pasti bilang ke kamu kok, tapi kemaren-kemaren aku pikir itu belum tepat waktunya. Soalnya aku tau kamu pasti marah tentang ini, dan aku belum siap menghadapi itu. Anin : dan nunggu aku tau dari orang lain" Tau dari Sophia" Nunggu sampe keluargaku tau semuanya" Iya"
*gue kaget, dan kemudian memegangi kepala* Gue : Semua udah tau"
Anin : menurutmu" *gue menghela napas berat* Gue : iya aku tau aku salah, dek. Aku gak bilang kamu dulu. Tapi tolong ngertiin posisiku juga dek, aku gak bisa ngebiarin temen yang udah aku kenal bertahun-tahun kesusahan, padahal dia minta tolong ke aku. Posisiku sekarang serbasalah dek. Kalo boleh sekarang aku minta kamu untuk ngijinin Tami ada disini untuk sementara, sampe dia bisa nemuin langkah selanjutnya, entah itu pulang ke Manado atau pulang kerumah.
Anin : kamu minta aku mikirin Tami, tapi kamu gak mikir aku" Bener amat kamu jadi cowok ya"
Gue : tunggu& bukan itu maksudku. Bukan mikirin Tami, tapi tolong pikirin posisiku dek. I have no choice.
Anin : and I don t think you need a choice.
Gue : aku boleh punya kesempatan lagi untuk jelasin semuanya ke kamu dek" Anin : jangan panggil aku dek .
Gue : kenapa" Anin : I m not belong to you for any longer. Gue : maksudnya"
Anin : kamu denger kan" Kecuali kamu budeg. *ada keheningan beberapa saat*
Anin : kita putus. *telepon ditutup* Gue membisu cukup lama di pinggir tempat tidur itu. Gue bertopang dagu, dan memandangi dinding kamar yang gelap, disinari oleh cahaya lampu kota Jakarta yang masuk dari jendela kamar. Pikiran gue benar-benar kacau, gak bisa mencerna satu akal sehat sedikitpun. Rasanya seluruh dunia menjadi gelap dan menciut, menghimpit gue. Napas gue terasa berat, dan dada gue sesak. Gue mencoba menelpon nomor asing tadi. Sekali, dua kali, tiga kali hingga tujuh kali, gak ada jawaban. Gue merasa semuanya berakhir malam itu.
Gue gak mempedulikan apa yang terjadi di sekitar gue, dan hanya duduk di tempat yang sama entah berapa lama. Buat gue waktu terasa berhenti. Gue baru sadar bahwa ada dunia yang harus gue jalani, ketika Tami membuka pintu kamar gue, dan menyalakan lampu. Wajahnya risau, dan sedih, bercampur menjadi satu. Gue yakin rasa bersalahnya mencapai puncaknya waktu itu. Tami duduk bersimpuh di hadapan gue yang duduk di tepi tempat tidur, sambil memegangi kedua tangan gue.
Tami : gue denger semuanya Bas. Maafin gue. maafin gue. *gue masih membisu*
Tami : ini semua salah gue. Ini salah gue. Kenapa gue harus kesini, kenapa gue memilih mengganggu hidup lo. Seandainya gue gak dateng kesini, lo pasti baik-baik aja Bas. Maafin gue.
*Tami mulai menangis perlahan*
Tami : Gue bakal pergi dari sini besok pagi, Bas. Tapi gue bakal tetep ngebantu lo jelasin semuanya ke Anin dan keluarganya. Gue gak bakal lari. *sesenggukan* Maafin gue ya Bas, maafin gue banget. Lo cowok terbaik yang pernah gue tau, tapi gue malah bawa malapetaka ke hidup lo. Maafin gue.
Gue memandangi Tami yang menangis bersimpuh di kaki gue, dan gue menarik napas panjang. Gue memegangi tangan Tami, dan kemudian menariknya berdiri. Dengan bahasa tubuh, gue menyuruhnya duduk di samping gue di tepi tempat tidur.
Tami : gue emang cewek pembawa sial.
Gue menoleh, memandangi Tami yang masih berurai air mata. Wajahnya memerah, dan kusut. Sangat kusut. Salah satu tangannya menutupi mulutnya. Gue meraih tangannya yang lain, dan memegangnya dengan kedua tangan gue.
Gue : Tami& *dia menoleh sambil menangis dan menutupi mulutnya*
Gue : apa yang ada di dalam pikiran lo waktu lo ngebantuin nulisin catetan kuliah gue jaman dulu"
Tami terdiam dan memandangi gue, tangisnya agak mereda. Mungkin dia gak menyangka ada pertanyaan semacam itu ditengah situasi kritis seperti sekarang. Dia terdiam cukup lama, sampe gue mengangkat alis, pertanda gue masih menunggu jawabannya.
Tami menggeleng pelan, dan menghapus airmata di pipi dengan buku jarinya. Kemudian dia menjawab dengan suara parau.
Tami : gak ada, gak ada alasan untuk itu. Iseng aja gue pengen ngebantuin nyatetin lo. Gue tersenyum.
Gue : seperti itulah alasan gue ngebantu lo sekarang. Buat gue, menolong seseorang itu gak perlu alasan. Meskipun pasti ada yang salah mengerti niat baik kita, tapi buat gue menolong seseorang itu anugerah. Gue bersyukur masih diberi kemampuan oleh Tuhan untuk menolong lo.
Tami : tapi gara-gara lo nolongin gue yang bodoh ini, lo jadi kena akibatnya Bas.
Tami menangis lagi. Tapi kemudian kali ini giliran gue yang menghapus airmata di pipinya dengan jempol gue.
Gue : selalu ada balasan bagi setiap perbuatan baik, Tami. Gue percaya itu. Percayalah, selalu ada balasan bagi orang baik. Gue tau Tuhan gak menutup mata-Nya untuk lo. Tuhan akan selalu memberikan jalan keluar bagi umat-Nya yang memohon petunjuk. Lo cewek yang baik, Tami. Bahkan salah satu cewek paling lembut hatinya yang pernah gue liat, meskipun luarnya keras. Lo akan menuai hasil dari apa yang udah lo tanam selama ini. Tami : kenapa lo malah ngomongin gue" Lo lebih membutuhkan pertolongan daripada gue. Gue tersenyum, dan menggeleng pelan.
Gue : gue cuma lagi menjalani takdir gue. Kita tunggu aja kemana ini akan membawa gue.
Gue kemudian menoleh ke jendela dimana pemandangan langit malam tersaji di depan mata gue. Ya, malam itu gue tau kalo gue sedang menjalani takdir yang sudah digariskan oleh-Nya, dan gue menunggu kemana ini akan membawa gue. Yang gak gue tahu, ternyata penentu takdir gue terentang sejauh puluhan ribu kilometer dari tempat gue berpijak.
PART 114 Gue berdiri di hadapan satu bangunan besar berwarna gelap, yang memiliki pintu kayu berwarna cokelat gelap dengan kaca yang menjulang tinggi. Setelah mengunci pintu mobil, gue memasuki bangunan itu dengan mantap. Sesampai di dalam gue celingukan, mencari spot yang bisa gue tempati, yang kira-kira cukup jauh dari pusat kerumunan. Setelah menemukan spot yang gue cari, waiter pun dengan sigap mendatangi gue dan bertanya pesanan. Gue memesan minuman dan sedikit camilan, kemudian menunggu sambil mengetikkan sesuatu di handphone.
Gue : gue udah sampe nih. Setelah beberapa saat, balasan pun muncul di handphone gue. & . : ok. Gw udah deket kok.
Bener aja, gak lama kemudian gue melihat sosok yang gue tunggu keluar dari mobilnya, dan berjalan menuju ke pintu masuk. Cuma butuh waktu sesaat baginya untuk menemukan gue di sudut. Gue tersenyum sewaktu dia mendatangi gue, dan kemudian duduk di hadapan gue. Setelah dia menyelesaikan pesanannya, barulah kami mulai berbicara.
Sophia : oke, gue hari ini mau kesini ketemu lo, karena gue masih berharap ada penjelasan masuk akal dari lo tentang semua ini.
Gue menyilangkan jemari gue didepan wajah, dan otak gue mulai memilah-milah gue harus bercerita mulai dari mana. Akhirnya mulailah gue bercerita secara runtut. Gue : & ..jadi gitu ceritanya. That s all. Sekarang lo tau semua yang terjadi kemaren. *Sophia menghela napas*
Sophia : kalo gue berpikir dari sisi mbak Anin, gue masih menyalahkan lo. Gue : iya gue tau kok.
Sophia : & .tapi kalo gue mendengarkan kata hati gue sendiri, apa yang lo lakuin kemaren itu menurut gue udah bener. Gue juga akan berbuat yang sama seandainya ada di posisi lo. Sayangnya& .
Gue : sayangnya& . Sophia : sayangnya dunia ini bukan melulu tentang diri kita. Sekarang gue tanya ke lo. Gue : apa"
Sophia : Tami suka sama lo kan"
Gue : ya, gue rasa begitu. *gue terdiam sejenak* & bahkan mungkin lebih dari itu. Sophia : lo juga merasakan hal yang sama"
Gue terdiam mendengar pertanyaan Sophia ini. Gue menyandarkan punggung ke belakang, dan kemudian mengetuk-ngetukkan jari ke meja untuk beberapa waktu. Kentara sekali kalo gue sedang bimbang. Anak TK pun tau itu.
Gue : entahlah& Sophia : jawab aja pertanyaan gue. Ini pertanyaan simple, jawabannya cuma ya atau enggak . Dan gue gak menerima jawaban entahlah .
*Sophia mencondongkan badannya kedepan, memandangi gue tajam* Sophia : so, what say you"
Gue : gue bohong kalo gue ngomong enggak .
*Sophia kemudian menyandarkan punggungnya lagi ke belakang dengan tatapan merendahkan*
Sophia : ternyata lo sama aja kayak cowok-cowok dimanapun. Percuma mbak Anin ngebangga-banggain lo didepan keluarga gue, tapi akhirnya mereka tau lo yang sebenarnya kayak apa. Dan kayaknya gue udah buang-buang waktu ada disini. Udah ya, gue cabut dulu.


You Are My Happines Karya Baskoro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sophia mengeluarkan selembar uang 50 ribuan, dan meletakkannya di atas meja. Kemudian dia meraih tasnya, dan berdiri. Dengan sigap memegangi tangannya.
Gue : tunggu, dengerin gue dulu&
Sophia : lepasin gak" Atau gue teriak nih" *gue memandangi Sophia dengan tajam*
Gue : are you here for judging me, or listening to me"
Kata-kata gue keluar dengan suara yang tajam, dan serius. Jarang sekali gue mengeluarkan suara semacam itu kecuali kalo emosi gue bener-bener memuncak. Dan sepertinya itu cukup berhasil membuat Sophia mendengarkan gue, dan kembali duduk.
Gue : gue tau sekarang semuanya udah terlambat. Tapi gue pingin lo tau kalo gue mencintai kakak lo itu sampe sekarang. Sampe detik ini. Dan seandainya gue melihat ada kesempatan kembali, even a slightest one, gue akan menempuh itu buat kembali kepadanya. Sophia : kalo gitu kenapa lo melakukan hal seperti kemarin"
Gue : kenapa gue harus gak mendengarkan hati nurani gue"
Sophia : kalo gitu sekarang lo menerima akibat dari mendengarkan hati nurani lo sendiri. Gue : mungkin sekarang gue menerima akibat dari perbuatan gue kemarin. Tapi kalo gue boleh bertanya ke lo sendiri, sebagai Sophia, bukan sebagai adeknya Anin, layakkah gue nyari jalan kembali ke dia"
Sophia : gue gak tau, gue gak berhak memutuskan. Gue bukan Tuhan. Gue : so why you play like God, then"
Sophia terdiam. Gue mencoba menguasai diri gue sendiri yang sudah diliputi emosi. Sophia meminum minumannya yang masih bersisa banyak, mungkin untuk menenangkan dirinya sendiri. Kemudian dia mencondongkan badan kedepan, dan bertanya dengan serius. Sophia : lo mau gue melakukan apa sekarang"
Gue mencondongkan badan kedepan, sehingga kepala kami berdua saling berhadapan sangat dekat. Gue bahkan bisa merasakan hembusan napasnya.
Gue : do me a favour. Sophia : apa" Gue : kasih tau gue tentang segala kegiatan Anin disana, biar gue bisa mempersiapkan langkah gue. Gue gak mau gagal lagi kali ini. Kalo ini gagal, habislah kesempatan gue.
Sophia menarik diri ke belakang, dan kemudian memandangi gue dengan aneh. Dia melipat kedua tangannya di meja.
Sophia : lo mau ngelakuin apa"
Gue menarik diri juga ke belakang, bersandar di kursi dan melipat tangan di dada. Untuk sejenak gue memandangi jalanan yang macet melalui jendela besar di seberang gue, kemudian gue menoleh kembali ke Sophia dengan senyum tipis.
Gue : gue mau ke Mumbai. Sophia terbelalak.
PART 115 Beberapa hari setelah gue ketemu Sophia. Di rumah, gue duduk di depan TV sambil memainkan handphone gue di tangan. Gue lagi memikirkan kemungkinan untuk pergi ke Mumbai dan ketemu Anin disana. Gue samasekali belum pernah ke India, dan gue gak punya bayangan akan seperti apa kota Mumbai dan segalanya. Gue hanya berbekal informasi yang gue dapatkan di internet, termasuk alamat kantor Anin disana. Segala yang bisa gue dapatkan sudah gue catat di notes kecil milik gue. Tapi gue belum menceritakan rencana gue ini, kecuali ke Sophia.
Tami udah kembali ke rumahnya beberapa hari lalu, dan sekarang gue sendirian lagi disini. Gue beranjak dari sofa dan membuka kulkas, menemukan sekaleng minuman bersoda yang kemudian gue buka. Sambil berdiri di balkon dan memandangi jalanan dibawah, gue meneguk sedikit demi sedikit dari kaleng itu. Begitu banyak yang harus gue lakukan dan gue alami dalam waktu singkat. Sekali lagi gue harus berpacu dengan waktu, sebelum semua terlambat.
Gue merogoh kantong celana, dan mengambil handphone. Gue mencari satu nama, dan tanpa pikir panjang gue menelponnya. Menunggu beberapa saat, terdengar suara cewek di ujung sana.
Gue : halo, Sophia" Sophia : iya, kenapa" Gue : gue ganggu lo" Sophia : enggak, kenapa"
Gue : lo dimana" Ada acara gak hari ini"
Sophia : gue dirumah, tapi ntar sore mau pergi. Kenapa sih nanya-nanya mulu" Gue : *gue menceritakan rencana gue*
Sophia : hmmm, gila juga lo. Tapi gue dukung dah. Gue : lo bisa bantuin gue"
Sophia : bantuin gimana maksudnya" Gue : temenin gue lah.
*sunyi sejenak* Sophia : iya gue temenin. Trus gimana sekarang" Gue : nah gitu kan cantik. Gue jemput lo gimana" Sophia : gombal aja lo. Gak usah jemput gue.
Gue : trus" Sophia : gue yang kesana.
Gue : kalo gini lo cocok deh ikut Putri Indonesia.
Sophia : serah lo dah. Siap-siap lo, awas kalo gue sampe sana lo belom ngapa-ngapain. Gue : iyaa baweeel. Thanks yak.
Sophia : oke sama-sama. Gue langsung masuk kedalam, kemudian mandi dan bersiap-siap. 2 jam kemudian gue dan Sophia udah berada di dalam mobil milik Sophia, dan meluncur menuju salah satu mall. Gue yang nyetir waktu itu. Tanpa menoleh ke Sophia, gue bertanya pelan.
Gue : menurut lo, rencana gue ini bakal lancar gak" Sophia : gak tau, tapi masuk akal sih. kalo menurut gue. *gue mengangguk-angguk pelan*
Sophia : lo yakin mbak Anin bakal luluh lagi dengan rencana lo itu" *gue menoleh ke Sophia*
Gue : menurut lo gimana"
Sophia terdiam, dan memandangi jalanan di hadapannya. Cukup lama. Kemudian gue dengar dia berbicara lagi.
Sophia : kalo menurut gue selama ini sih, mungkin mbak Anin mau. Mungkin. *gue menggosok salah satu mata dengan jempol*
Gue : Anin pernah cerita apa aja ke lo tentang kami berdua" *Sophia tertawa kecil dan menunduk, memainkan handphone di tangannya* Sophia : lo beruntung banget bisa dapet mbak Anin dan bisa pertahanin dia cukup lama. Gue : kenapa"
Sophia : banyak banget kenalan keluarga gue dan keluarga mbak Anin yang minta anaknya dijodohin ke mbak Anin. Dari dulu, sejak jaman dia masih SMA. Dan setau gue selama 22 tahun gue kenal mbak Anin, dia orangnya susah banget dideketin cowok. Diantara gue, mbak Anin dan Shinta, dia yang paling susah.
*Sophia terdiam sejenak* Sophia : & ..kalo gue sih yang paling gampang& . *gue tertawa kecil*
Gue : lo punya cowok"
Sophia : iya, punya. Kenapa" Maaf ya kesempatan lo udah tertutup Gue : don t you ever think about it.
*Sophia tertawa* Sophia : Mbak Anin kayaknya bener-bener sayang sama lo. Gue juga heran, padahal lo itu ganteng ya pas-pasan, gak putih-putih amatGue : ini kenapa jadi gue yang dibully sih" *Sophia tertawa lebih keras dan menepuk bahu gue* Sophia : hahahaha gak gak gak, becanda doang gue. Gue : yang mana yang becanda" Semuanya" Sophia : lo mau yang mana"
Gue : & & Di mall itu kami langsung menuju ke sebuah jewellery dan Sophia dengan antusias melihat-lihat seluruh etalase yang ada disitu. Para staf toko langsung mengerubungi kami, gara-gara Sophia antusias banget nanya-nanya. Ini yang mau beli siapa, yang semangat siapa, pikir gue gemas. Gue mencari-cari cincin yang pas, sementara Sophia mencari di sisi yang lain. Gue menemukan beberapa pilihan yang bagus, dan gue panggil Sophia.
Gue : Pi& *Sophia menoleh dan menghampiri gue* Gue : ini gimana" Yang paling bagus yang mana"
Sophia meneliti satu per satu, dan itu lama. Sampe bosen gue nungguin. Akhirnya pilihan dia jatuh di satu cincin platinum yang bertatahkan berlian kecil-kecil diatasnya. Gue tersenyum melihat pilihannya, karena diam-diam gue juga memilih itu. Gue sekali lagi menanyakan pendapatnya, dan pada akhirnya kami sepakat memilih cincin itu.
Esoknya, ketika gue sedang di mobil untuk menuju ke salah satu kantor mitra kerja gue, mendadak handphone gue berbunyi. Gue melihat identitas penelepon, ternyata dari Sophia. Gue angkat itu telepon.
Gue : halo" Sophia : halo" Lo dimana" Gue : lagi nyetir di jalan, kenapa" *Sophia terdiam cukup lama* Gue : halo" Ada apa, Pi"
Mendadak gue harus ngerem karena mobil depan gue juga ngerem mendadak. Sialan, untung gak karambol. Salah gue juga sih, telepon sambil nyetir. Gara-gara itu untuk beberapa detik gue lupa kalo gue sedang menunggu jawaban dari Sophia. Baru gue membuka mulut untuk menanyakan ulang, terdengar suara Sophia dari ujung sana.
Sophia : gue ada berita buruk buat lo& .
PART 116 Sophia : gue ada berita buruk buat lo& . Gue : berita buruk apaan emang" Sophia : lo mau ke Mumbai kapan"
Gue : besok gue mulai siap-siap ngurusin ijin sama dokumen. Kalo bisa sih weekend gue udah disana. Kenapa emang"
Sophia : kayaknya lo harus ngebatalin rencana lo itu deh. *gue mulai gemes*
Gue : lah iyak kenapa emangnyaaaa Sophia : mbak Anin mau ke Eropa 3 hari lagi. Gue : Eropa" 3 hari lagi" Berapa lama"
Sophia : nah itu, gue yang belum tau. Tapi katanya lama.
Gue terdiam, dan pikiran gue kacau. Gue bingung harus gimana. Kemacetan di depan gue semakin menjadi-jadi, dan gue semakin gak konsen. Gue menarik napas.
Gue : Eropanya kemana dia"
Sophia : ke beberapa negara kayaknya, makanya lama. Gue belom dikasih tau mau kemana aja disana.
Gue : dia ngomong ke lo nya kapan"
Sophia : barusan aja. Makanya gue langsung telpon lo.
Gue menggosok-gosok bibir dengan jari. Kalo udah gaya kayak gini artinya gue lagi bingung, dan berpikir keras. Tapi kali ini gue beneran gak bisa mikir apa-apa. Lagi bumpet semuanya.
Gue : nanti gue telpon lo lagi ya, gue lagi gak bisa mikir ini. Lagian gue masih di jalan. Sophia : oke.
Malamnya, ketika gue udah pulang ke apartemen, gue telepon Sophia sambil bersantai di sofa depan TV. Dengan sebotol minuman ion di tangan, gue menunggu jawaban panggilan telepon itu. Gue harus menunggu cukup lama sampe akhirnya terdengar suara cewek di ujung sana. Sophia : halo"
Gue : halo" Gue ganggu gak nih"
Sophia : enggak, gue abis mandi nih. Tadi gue tunggu lo nelpon, kirain mau telpon siangsiang gitu, ternyata malem.
Gue : iya sorry, gue baru punya waktu sekarang nih. Jadi gimana" Sophia : gimana apanya"
Gue : ya lo ceritain dululah tadi Anin ngomong apa aja. Sophia : ya udah gitu aja kayak yang tadi pagi gue kasih tau. *pandangan gue menerawang ke langit malam*
Sophia : terus lo mau ngapain sekarang"
Gue : lo coba cari tau dulu deh Anin di Eropa mau kemana aja. Sophia : tadi udah gue tanyain sih.
*gue menegakkan badan* Gue : terus" Sophia : belom dijawab sama mbak Anin.
Gue menjatuhkan badan lagi ke belakang, sambil menutupi mata dengan punggung tangan. Di pikiran gue udah membayangkan akan beratnya perjuangan gue kedepan. Belum lagi masalah ijin, dan yang paling penting, biaya. Duit darimana gue jalan-jalan ke Eropa" Kerja juga barusan aja, apalagi kemaren barusan beli cincin untuk Anin. Kepala gue bener-bener jadi pusing secara harfiah gara-gara memikirkan ini semua.
Sophia : kalo menurut gue sih lo kejar itu mbak Anin ke Eropa sebelum telat. Gue : telat kenapa emang"
*Sophia diam sesaat* Sophia : aslinya gue gak mau ngomongin ini ke lo, tapi karena gue salut sama perjuangan lo. Gue ceritain aja deh. Gue : ada apa emang"
Sophia : ada yang deketin mbak Anin, bule Amerika. Kebetulan kantornya sama-sama di India. Mbak Anin di Mumbai, dia di Delhi.
*gue terbengong-bengong* Gue : kok lo gak bilang ke gue dari dulu"
Sophia : lah ngapain" Dulu kan gue sebel sama lo. Deket lagi juga baru kemarin pas beli cincin.
Gue : iya juga sih. Gue beranjak ke dapur, membuka kulkas dan mencari makanan. Perut gue lapar, karena memang gue belum sempet makan malam, dan kebetulan gak ada makanan dirumah. Jadilah gue cuma bisa mencari-cari camilan di kulkas, sambil tetap memegang handphone. Sophia : jadi gimana" Lo mau nyusul gak"
Gue : ke Eropa" Sophia : gak, ke Klender. Iyalah ke Eropa. Gue : gue masih belum yakin, ini worth it apa enggak. Sophia : taunya kalo itu worth it atau enggak darimana" Gue : entahlah, mungkin gue harus bertanya lagi ke hati gue sendiri. Sophia : ada satu lagi yang belum gue bilang ke lo& . Gue : apa lagi"
Gue berjalan lagi ke sofa, dan menjatuhkan diri perlahan ke sofa yang empuk itu, sambil tetap menunggu jawaban dari Sophia.
Sophia : mbak Anin beberapa hari yang lalu curhat ke gue, katanya dia kangen lo. Gue duduk tegak mendengar itu, dan gue bertanya ke Sophia, secara perlahan.
Gue : lo serius" Sophia : iya gue serius. Makanya gue mau nemenin lo cari cincin kan. Gue : kalo gitu lo cari tau sekarang, kemana Anin mau pergi di Eropa. Sophia : lo mau nyusul kesana"
Gue tersenyum kecil. Gue : apa lagi" PART 117 Gue sedang berada di Kedutaan Besar Belgia untuk mengurus visa Schengen. Visa Schengen adalah visa yang bisa dipergunakan di beberapa negara di Eropa yang masuk dalam daftar Schengen Agreement. Cukup lama gue bernegosiasi dengan pegawai kedutaan, untuk mendesak agar visa gue jadi dalam waktu yang cepat, karena gue sedang dikejar waktu. Gue pernah mendengar, visa Schengen bisa diurus dengan cukup cepat, meskipun dokumen yang dibutuhkan memang ribet.
Singkatnya, akhirnya dalam waktu 9 hari gue bisa mendapatkan yang namanya visa, dan akhirnya beres semua urusan gue. Satu yang belum gue selesaikan adalah bilang ke kedua orang tua gue tentang ini. Akhirnya di suatu malam sepulang kerja, gue menelepon nyokap. Gue : halo" Mamah"
Nyokap : halo, kenapa nak"
Gue : apa kabar mah" Sehat-sehat kan semuanya"
Nyokap : alhamdulillah, kamu apa kabar nak" Kok lama gak telepon mamah. Gue : hehehe iya maaf mah, akhir-akhir ini emang lagi sibuk banget. Mamah dimana ini" Nyokap : dirumah aja, kenapa"
Gue : mau cerita banyak nih. Nyokap : yaudah cerita aja nak
Gue cerita panjang lebar soal semuanya. Nyokap kaget bukan main dan sedikit marah waktu tau gue udah gak sama Anin, dan semakin kesel waktu gue kasih tau sebabnya. Tapi akhirnya nyokap bisa memahami alasan gue, meskipun nyokap tetep kesel. Iya, maaf ya mah.
Nyokap : terus sekarang kamu mau ngapain"
Gue : kalo mamah, kira-kira akan melakukan apa kalo ada di posisiku"
Meskipun lewat telepon, gue bisa merasakan nyokap tersenyum disana mendengar pertanyaan gue.
Nyokap : ya kamu taulah, kamu anak mamah. Sifatmu persis kayak mamah. Jadi" Gue : jadi" Jangan pernah nyerah kan mah"
*nyokap tertawa* Nyokap : iya.
Gue tertawa mendengar itu. Dukungan orang tua emang satu hal terpenting yang gue butuhkan. Tapi untuk lebih meyakinkan hati gue, sepertinya gue perlu menanyakan sesuatu lagi ke nyokap. Gue : mah, mamah beneran dukung aku"
Nyokap : emang mamah keliatan becanda"
Gue : bukan itu masalahnya mah. Kan belum tau disana mau berapa lama dan berapa biayanya yang dikeluarin pas disana, dan yang paling penting hasilnya belum tau akan jadi gimana. Kalo misalnya, misalnya nih ya mah, disana gak dapet apa yang jadi tujuan, gimana"
Nyokap : kamu lebih percaya usaha menentukan hasil akhir, atau sebaliknya" Gue : ya yang pertama sih mah.
Nyokap : nah makanya itu. Mamah tau kamu anaknya selalu ngotot kalo pengen sesuatu. Dari dulu, dari kamu kecil, kalo minta apa-apa pasti ngotot sampe dapet. Dibilang manja sih iya&
*nyokap berhenti sesaat* Nyokap : & .tapi mamah tau, kamu orangnya gak gampang nyerah. Kamu masih sayang Anin kan"
Gue : iya& . Nyokap : kalo gitu kejarlah, mamah papah disini mendukung. Kakak-kakakmu juga pasti dukung. Soal uang jangan dipikirin, itu urusan mamah.
Gue : tapi kan banyak banget mah&
Nyokap : mamah lebih seneng duit habis tapi impian tercapai daripada punya duit tapi gak punya impian. Semuanya berawal dari mimpi kan"
Gue : iya mah : ) Nyokap : mamah tau persis gimana besarnya rasa sayangmu ke Anin, meskipun kamu gak pernah cerita ke mamah. Mamah tau apa peran Anin buat hidupmu. Kamu bakal semakin jatuh kalo kamu gak berusaha ngejar Anin lagi.
Gue : & .kok, mamah tau"
Nyokap : & ..karena kamu anak mamah.
Waktu itu pingin rasanya gue menangis di kaki mamah, di kaki kedua orang tua gue. Tangisan syukur, sesal dan haru bercampur jadi satu. Betapa beruntungnya gue memiliki orang tua seperti beliau berdua, yang selalu mendukung setiap langkah gue, selama itu benar. Betapa beruntungnya gue, memiliki orang tua yang bisa menuntun gue dari jauh, tapi gak mengekang alam pikiran gue, sehingga gue bisa bebas menentukan imaji gue akan dunia. Betapa beruntungnya dan bangganya gue, menjadi anak mereka. Diam-diam, dalam hati gue berjanji kepada beliau berdua, gue gak akan pernah menyerah meraih sesuatu.
Keesokan harinya, gue mengurus ijin kantor, dan boss gue yang jumlahnya 3 biji itu bertepuk tangan waktu gue menceritakan alasan gue ijin kantor selama beberapa waktu. You got balls, young man, katanya. Gue tersenyum mendengar itu. Teman-teman kantor gue juga takjub mendengar gue akan menghilang selama beberapa waktu dengan alasan yang gue kemukakan. Bang Arsyad menepuk bahu dan kemudian merangkul gue dengan akrab.
Bang Arsyad : seandainya gue bisa balik muda lagi& ..
2 hari kemudian, ketika gue sedang beberes rumah karena akan gue tinggalkan dalam waktu yang gak bisa gue perkirakan, gue teringat sesuatu. Satu hal lagi yang harus gue lakukan sebelum pergi. Gue mengambil handphone dan menelpon seseorang.
Gue : halo" Tami : halo" Napa pir" Gue : lo dimana"
Tami : gue dirumah. Kenapa emang" Gue : bisa ketemu" Gue mau cerita. Tami : iya bisa kok, mau cerita apa"
Gue : panjang ceritanya. Gue jemput lo sejam lagi gimana" Tami : oke, lo tau kan rumah gue"
Gue : kasih tau alamatnya lah, gue kan belom pernah kesana. Tami : hahaha iyaa ntar alamatnya gue BBM yak.
Sejam kemudian gue udah di mobil, menuju rumah Tami. Selama berkutat dengan kemacetan menuju kesana, pikiran gue dipenuhi dengan pertanyaan akan ngomong gimana nanti ke Tami. Gue menghela napas, berdoa supaya semua lancar-lancar aja.
PART 118 Gue membuka handphone, untuk mencari alamat rumah Tami yang tadi udah dikirim lewat BBM. Rupanya alamat itu pun belum cukup buat gue untuk menemukan rumah tersebut. Gue masih harus beberapa kali nanya orang yang lewat dan tukang ojek yang mangkal untuk menemukan gang rumah Tami. Setelah setengah jam berputar-putar nanya kesana kemari, akhirnya gue menemukan gang rumah Tami dan mulai mengurutkan deretan rumah sambil memperhatikan nomor rumah-rumah itu.
Mobil gue kemudian berhenti di sebuah rumah cukup besar dengan halaman yang rapi, bercat krem dan berpagar tinggi berwarna hitam. Gue BBM Tami.
Gue : udah didepan nih. Rumah lo beneran nomor 23 kan" Tami : iya bener. Tunggu bentar yak.
Gue : oke. Gak lama kemudian dari jendela mobil gue bisa melihat Tami keluar dari pintu garasi. Setelah menutup pagar dan menguncinya, Tami masuk ke mobil, sambil tersenyum ke gue. Gue pun membalas senyumannya.
Gue : hai. Tami : hai. *Tami memperhatikan wajah gue dengan seksama* Gue : kenapa"
Tami : muka lo kayaknya capek banget. *gue tertawa*
Gue : iya bener. Bukan muka doang sih. Ya hati, ya pikiran, ya fisik. Capek semua. Tami : mau kemana kita"
Gue : lo udah makan siang"
*Tami menggeleng sambil cemberut manja*
*gue tersenyum ke Tami sambil memasukkan gigi persneling* Gue : gimana kalo kita pulang ke kampung lo sebentar"
Kemudian kami sudah berada di sebuah restoran khas Manado di daerah Hang Lekir. Tami antusias banget meneliti makanan yang ada disana. Darah Manado nya meluap-luap disana. Hahaha. Iya lah dia apal banget soal makanan Manado, dan dia kuat banget makan makanan pedas. Beberapa kali dia menertawakan muka gue yang memerah dan bersimbah keringat garagara menahan rasa pedas, sementara dia masih cengar-cengir aja makan makanan yang sama.
Selesai makan, dia meminum es teh nya dan kemudian melipat tangannya di meja sambil memandangi gue yang sedang asik mengorek sisa-sisa makanan dengan tusuk gigi. Pandangannya membuat gue bertanya duluan sambil tetap menutupi mulut dengan satu tangan, sementara tangan yang lain mengorek-ngorek sela-sela gigi dengan tusuk gigi. Gue : hm"
Tami : jadi, apa yang mau lo ceritain ke gue"
Gue berhenti mengorek gigi, sambil meminum sisa-sisa es teh gue yang udah memasuki gelas ketiga. Gue melap mulut dengan tisu, sambil berpikir harus mulai darimana pembicaraan ini. Setelah diam beberapa detik, akhirnya gue menjawab.
Gue : gue bakal pergi jauh buat beberapa waktu. Tami : kemana"
Gue : Eropa. Tami : ngapain"
Gue memandangi Tami sambil sedikit memiringkan kepala dan mengetuk-ngetukkan ujung jari ke meja. Setelah menghela napas panjang, gue memutuskan menceritakan semuanya ke Tami.
Gue : & .jadi gitu ceritanya. Gue memutuskan untuk ngejar impian gue.
Selama gue bercerita itu sesekali Tami memandangi arah lain. Kentara sekali dia sedang berusaha menenangkan hati dan pikirannya. Mungkin butuh banyak waktu baginya untuk mencerna segala omongan gue siang itu. Ketika gue udah selesai bercerita pun dia masih terdiam dan sesekali memandangi arah yang lain, meskipun dia tau kalo gue menunggu tanggapannya.
Kemudian Tami menarik kursinya maju, semakin menempel ke meja, dan dia melipat tangannya diatas meja sambil memandangi gue serius. Raut wajahnya tenang, sampe-sampe gue gak bisa menebak gimana kondisi emosinya waktu itu, apakah senang, sedih, marah dan sebagainya. Gue justru paling takut menghadapi seseorang yang ada di dalam kondisi seperti ini. Tenang tanpa ekspresi, tapi ini justru calm before the storm.
Tami : Bas. Gue : ya"
Tami : menurut lo, 5 tahun itu lama gak"
Pikiran gue langsung melayang ke hubungan gue dan Anin yang udah berjalan 5 tahun. Gue tersenyum kecil, sambil memandangi tisu di hadapan gue dan memain-mainkannya.
Gue : iyalah lama. Kalo anak kecil udah waktunya masuk TK tuh. Tami mencondongkan tubuhnya ke depan dan tersenyum samar.
Tami : & .dan gitu juga hubungan seseorang.
Gue : maksud lo antara gue dan Anin" Iya sih, memang banyak banget yang terjadi dan banyak banget pengaruhnya ke gue selama 5 tahun ini. Dan itu yang jadi alasan gue kenapa gue bertekad ngejar dia.
Tami : & .dan gitu juga perasaan seseorang.
Gue terdiam. Gue mulai bisa merasakan kemana arah omongan Tami ini. Sesuatu yang udah gue takutkan selama beberapa waktu belakangan ini. Sesuatu yang siap meletus bagaikan gunung api.
Gue : maksud lo antara lo dan gue"
*Tami tertawa lembut sambil sedikit menarik tubuhnya ke belakang* Tami : emang ada siapa lagi disini"
Gue menarik napas panjang sambil menyandarkan tubuh ke belakang. Kemudian gue berkata dengan pelan dan sangat berhati-hati.
Gue : Tami, apa yang lo maksud itu- *Tami langsung memotong*
Tami : iya, itu. Lo gak salah mengira. Gue : selama itu"
Tami tersenyum, bahkan sedikit lebih lebar daripada sebelumnya. Sampe kemudian gue menyadari bahwa senyumnya itu gak wajar. Benar aja, ada setitik air mata lembut mengalir di pipinya. Tapi dia tetap tersenyum, tanpa berusaha menghapus air matanya itu.
Tami : iya, gue udah mencintai lo selama 5 tahun.
Gue merasakan efek dari kata-kata mencintai lo yang selama ini belum pernah sekalipun dia katakan ke gue, entah itu untuk cowok lain, apalagi untuk gue. Tapi kali ini gue benar-benar melihat sisi lain dari Tami yang selama ini dipendamnya dengan begitu sempurna.
Gue : dengan semua keadaan kemaren dan keadaan sekarang ini" Tami mengangguk lemah sambil tersenyum dan mengedipkan mata.
Tami : mengenal lo dan memiliki lo di samping gue selama 5 tahun ini adalah 5 tahun paling menyenangkan di hidup gue.
*Tami menghela napas sesaat dan menghembuskannya lewat mulut* Tami : & .walaupun selama 5 tahun itu gak sedetikpun gue punya kesempatan untuk memiliki hati lo.
PART 119 Gue memandangi Tami dengan termangu-mangu. Meskipun gue telah lama mengantisipasi hal semacam ini, tapi tetep aja gue terkejut ketika dihadapkan dengan kondisi seperti ini. Gue memperhatikan cewek didepan gue. Tami, seorang cewek tertangguh yang pernah gue kenal. Cewek cuek yang hanya memiliki sedikit teman selama kuliah, karena sifatnya yang keras, yang mungkin terbentuk oleh beban hidupnya selama ini. Cewek cantik yang banyak membuat penasaran cowok-cowok, meskipun gak ada satupun yang bisa mendapatkan hatinya. Cewek galak, tapi sangat memperhatikan orang lain, dengan caranya sendiri, tentu saja. Dan buat gue, salah satu orang terbaik yang pernah ada di hidup gue.
Sekarang dia menangis di hadapan gue, tapi tetap dengan senyum mengembang di bibirnya. Barusan aja dia mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya ke gue. Perasaan yang sesungguhnya udah lama gue ketahui, dan dia juga tahu bahwa gue tahu, dan hanya kami simpan dalam diam. Setangguh-tangguhnya dia sebagai seorang manusia, tetap ada bagian dari hatinya yang rapuh. Ada masanya dia sekeras baja, ada masanya dia rapuh bagaikan kertas basah.
Gue memanggil pelayan, dan meminta bill. Setelah menyelesaikan pembayaran, gue meraih tangan Tami yang masih duduk membisu di hadapan gue, dan menggandengnya menuju mobil. Gue kemudian membawa dia ke sebuah taman yang berjarak gak begitu jauh dari tempat kami makan. Gue turun duluan, dan kemudian membukakan pintu mobil untuknya. Gue menggandengnya keluar, dan menuju ke salah satu sudut taman yang teduh dan sepi. Gue duduk dibawah salah satu pohon rindang, beralaskan rumput, dan menyuruhnya untuk duduk juga dengan bahasa tubuh. Gue kemudian menoleh ke Tami yang duduk di samping gue dengan membisu.
Gue : lo tau, kenapa lo mau menunggu gue selama itu" Tami menoleh memandangi gue, dan kemudian menggeleng pelan.
Tami : gue gak menunggu lo. Gue hanya menikmati mencintai lo. Karena gue tau lo gak akan pernah jadi milik gue. Tapi bahkan mencintai lo dari jauh aja udah cukup buat gue. Gue : meskipun lo melewatkan beberapa orang yang mungkin sebenernya lebih baik dari gue"
Tami tersenyum dan kemudian mencabuti rumput di sekitar kakinya secara lembut.
Tami : gue merasa aman kalo ada lo. Gue : maksud lo"
*Tami menghela napas dan menghembuskannya melalui mulut* Tami : gue merasa beberapa tahun terakhir ini dunia jadi gak ramah buat gue, seperti yang lo bilang beberapa waktu lalu. Gue merasa kesepian kemanapun gue pergi, karena gak ada yang bisa memahami kenapa gue berlaku seperti itu. Kadang-kadang yang gue butuhkan adalah penerimaan, bukan paksaan tentang bagaimana gue harus berlaku. Dan gue bisa mendapatkan itu dari lo. *Tami diam sejenak* & .dan vice versa.
Gue membetulkan posisi duduk gue, dan kemudian gue mendengar Tami berbicara lagi.
Tami : gue merasa aman kalo disamping lo, karena lo yang paling tau apa yang gue butuhkan, dan apa yang mungkin terbaik buat gue.
*Tami menoleh ke gue dan tersenyum*
Tami : dan gue merasa aman kalo melihat lo sehat-sehat aja dan ada di sekitar gue. Gue mencintai lo bukan karena gue ingin memiliki lo, tapi gue mencintai lo karena gue bersyukur atas lo. Seandainya suatu hari nanti gue menemukan pengganti lo, atau siapapun yang kelak akan jadi pendamping hidup gue, hal pertama yang gue lakukan adalah ngenalin dia ke lo. Gue : kenapa"
*Tami mengelus pipi gue, dan tersenyum*
Tami : karena disamping orang tua gue, lo-lah pahlawan di hidup gue& Gue : gue gak merasa melakukan sesuatu yang berharga di hidup lo. Tami : seorang pahlawan gak akan ngebangga-banggain apa yang udah dia lakukan kan" Gue tertawa, dan kemudian membersihkan rerumputan yang menempel di celana jeans gue.
Tami : lo mungkin heran, kenapa ada cewek bodoh yang mau nunggu seseorang selama 5 tahun dan melewatkan banyak hal di sekelilingnya kan"
Gue : bukan gitu maksud gue&
Tami : lo mau tau alasannya" Gue : apa alasannya"
*Tami menggeleng* Tami : gue gak pernah menemukan alasan yang tepat kenapa gue mencintai lo. Meskipun gue berusaha bertanya dan bertanya terus ke hati gue selama ini. Tapi pada akhirnya gue menyadari& .
*Tami terdiam sejenak dan menghapus air matanya yang mengalir lagi*
Tami : & .bahwa lo adalah hal terbaik yang pernah gue cintai selama ini, dan gue gak butuh alasan apapun untuk mencintai lo. Gue lebih memilih bersyukur atas hadirnya lo di hidup gue, daripada gue harus memungkiri perasaan gue ke lo.
Gue : karena itu lo bisa bertahan selama ini" *Tami mengangguk-angguk pelan*
Tami : gue tau lo masih jadi milik seseorang, meskipun sampe hari ini, lo masih jadi milik seseorang. Sekeras apapun gue berusaha, itu gak akan merubah keadaan dan posisi gue di hati lo. Jadi satu-satunya yang masih tersisa untuk gue adalah bersyukur atas lo, dan mencintai lo selama yang gue bisa&
*Tami menarik napas* Tami : & sampai nanti hati gue memutuskan gue harus berhenti menyimpan nama lo.
Gue terdiam, bener-bener gak bisa berkata apa-apa. Gue gak pernah menyangka bahwa perasaan Tami ke gue telah tumbuh sedemikian dalam. Gue kemudian berpikir, betapa rumitnya perjalanan cinta manusia. Seandainya gue bisa memutar waktu kembali ke masa lalu, mungkin gue akan mengurangi intensitas hubungan gue ke Tami, tapi itu berarti akan mengurangi kebahagiaannya juga. Sampai kemudian gue sadar, bahwa apapun yang telah terjadi hingga hari ini adalah hal yang terbaik yang sudah digariskan oleh Sang Pencipta.
Tami : Seandainya gue boleh memilih pasangan hidup, sekali dalam seumur hidup gue, tanpa ragu gue bakal memilih lo. Tapi sayangnya lo terlalu indah buat gue& *Tami menoleh ke gue sambil tersenyum cantik*
Tami : & .lo bagaikan mimpi buat gue. Dan sekarang waktunya gue bangun dari mimpi, dan menjalani kehidupan nyata.
Gue tersenyum ke Tami, dan kemudian mendongak, memandangi pohon di atas kepala gue. Sambil mendongak, gue bertanya sesuatu ke Tami.
Gue : Tami& Tami : ya"
Gue : seberapa besar cinta lo ke gue"
Gue menurunkan kepala, dan kemudian memandangi Tami di sebelah gue. Dia tersenyum. Tami : sebesar hidup gue.
PART 120 Gue : lo mencintai gue sedemikian besar, padahal lo tau gue masih jadi milik orang lain" *Tami mengangguk*
Gue : lo gak takut perasaan lo itu bakal mempengaruhi kehidupan lo kedepannya" Tami : ya, kadang-kadang gue berpikir kayak gitu. Kalo nanti kelak gue punya cowok pengganti lo, kadang-kadang gue juga takut bakal nyakitin dia karena masih ada lo di dalam hati gue&
*Tami menoleh ke gue* Tami : & .tapi gue juga bertekad, kelak nanti pada saat gue punya pendamping hidup, gue udah melupakan lo.
*gue menarik napas dan menghembuskannya lewat mulut* Gue : kadangkala, gue bingung batas antara cinta dan obsesi& *gue menoleh ke Tami*
Gue : & .lo gak terobsesi sama gue kan"
Tami memandangi gue, kemudian tertawa kecil sebelum membuang pandangannya ke arah lain. Gue menanti jawabannya sambil mencabuti rumput di sekitar jangkauan tangan.
Tami : & ya gue rasa ada sebagian itu di perasaan gue ke elo. *Tami menoleh ke gue*
Tami : kadang-kadang rasa cinta dan rindu gue sedemikian besarnya ke lo, sampe gue takut sendiri kalo mungkin gue terobsesi sama lo.
Gue : when was that"
Tami : when you re not around, I guess.
Gue : itu mungkin terjadi cukup sering ya setahun terakhir ini.
Tami : iya sejak lo lulus duluan dan ninggalin gue membusuk di kampus sendirian. *kami berdua tertawa*
Gue mendekap kedua lutut dan kemudian menoleh ke Tami. Ternyata dia mendongak sambil tersenyum, memandangi langit cerah di sela-sela dedaunan. Entah kenapa gue merasakan wajahnya damai, seolah semua beban yang dipanggulnya hilang menguap di siang hari itu. Mungkin beban terbesarnya adalah menanggung perasaan yang tak terucapkan. Mungkin.
Gue : sebenernya gue salah satu beban terbesar lo kan" *Tami menggeleng pelan*
Tami : kalo gue menganggap lo sebagai beban hati gue, terus apalagi yang tersisa buat gue"
Gue : tapi ini kan gak adil buat lo.
Tami : awalnya gue terus-terusan berpikir kayak gitu. For a years, maybe. Tapi akhirnya gue sadar, di ketidakadilan itulah gue bisa mencintai lo dengan seluruh perasaan yang gue punya.
*Tami menghela napas* Tami : seandainya gue berada di posisi layaknya cewek pada umumnya, mungkin gue gak akan memandang lo seindah ini lagi. Mungkin gue akan menggerutu tentang sifat-sifat buruk lo, atau apapun yang gak gue suka. Tapi karena lo begitu gak terjangkau buat gue, jadi gue bisa mencintai lo dengan kesempurnaan lo itu. Kesempurnaan yang gue ingin liat, pastinya. *gue memandangi Tami dengan serius*
Gue : gue gak sempurna, Tam. Samasekali gak sempurna. Gak ada manusia yang sempurna.
Tami : gue gak ngomong lo sempurna bagaikan dewa. Gue ngomong lo sempurna, dengan ukuran gue, manusia yang gak sempurna. Gue memandang kesempurnaan lo lewat ketidaksempurnaan gue.
Tami meluruskan kedua kakinya diatas rumput, kemudian membersihkan rerumputan yang menempel di kedua sisi betisnya. Dia menoleh lagi ke gue, dan gue menyadari bahwa matanya berkaca-kaca lagi. Sepertinya air matanya akan segera jatuh lagi.
Tami : kenapa ada cowok seperti lo, Bas" Kenapa harus ada cowok se sweet, care dan warmseperti lo" Dan kenapa harus gue yang mengalami seperti ini" Gue : gue cuma melakukan apa yang kata hati gue perintahkan untuk lakukan. I m a perfectionist, remember"
*gue menggelengkan kepala*
Gue : dan gue gak menyangka bahwa gue jadi satu beban buat lo, gue memohon maaf dengan seluruh hati gue untuk itu.
Tami : lo bukan beban buat gue, Bas. Lo malaikat buat gue. Gak terhitung berapa kali lo membantu gue bangkit lagi sewaktu gue jatuh. Lo inget waktu lo begadang buat nulis tugas tulis tangan, sekaligus nulisin buat gue"
*gue tertawa* Gue : iya inget. Ya mau gimana lagi, waktu itu lo kan lagi sakit, apalagi itu tugas semesteran. Gak ngumpulin tugas bisa-bisa gak dapet nilai lo.
Tami : apa yang tujuan lo waktu ngebantuin gue itu" *gue terdiam sejenak kemudian menggeleng* Gue : gak ada, gue cuma ngebantu lo aja kok. Tami : jujur aja ke gue.
Gue tersenyum, kemudian berpikir selama beberapa waktu. Gue sedang mencoba melihat kembali apa yang jadi kebahagiaan sejati gue waktu itu. Setelah terdiam beberapa saat, gue akhirnya tersenyum, dan memahami apa yang jadi tujuan gue waktu itu.
Gue : gue cuma pingin liat senyum lo.
Tami tersenyum cantik, dan kemudian dengan satu gerakan yang gak gue duga samasekali, dia mencium pipi gue lembut. Gue bener-bener terpaku, samasekali gak menduga bahwa Tami akan mencium gue. Sebuah ciuman pertamanya, setelah 5 tahun berjuang memendam perasaan. Ketika Tami menarik diri, gue menoleh ke arahnya dan melihat dia masih tersenyum sambil berkaca-kaca.
Tami : lo memang malaikat buat gue.
Tami meraih tangan gue, dan membawanya ke pangkuannya. Kemudian gue mendengar dia berbicara dengan suara lembut sambil menunduk. Rambutnya jatuh menutupi kedua sisi pipinya.
Tami : lo kejarlah Anin, Bas. Pergilah. Gue ikhlas. Gue tau apa yang jadi mimpi lo selama ini, dan gue tau itu bukanlah gue. Pergilah, dapetin impian lo itu, jangan pernah nyerah, seperti apa yang selalu lo ajarkan ke gue selama ini.


You Are My Happines Karya Baskoro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Air mata Tami jatuh di atas punggung telapak tangan gue yang dia taruh di pangkuannya. Dia masih menunduk, dan sedikit sesenggukan.
Tami : sementara itu, gue akan tetap disini, mencintai lo, dengan segenap hati gue yang masih tersisa.
PART 121 Gue memandangi bangunan kampus di hadapan gue melalui kaca depan, sambil menyandarkan tubuh di setir. Baru kali ini gue ke Trisakti, melihat langsung dari dalam sebuah kampus yang jadi ikon perjuangan mahasiswa menuntut reformasi 1998. Gue melirik jam tangan, kemudian mengambil handphone di dekat persneling mobil.
Gue : gue udah di parkiran nih. Sophia : oke tunggu bentar yak. Gue : lama gak"
Sophia : paling sampe besok. Gue : sial.
20 menitan kemudian, gue melihat Sophia berjalan keluar dari gedung, melewati kanopi dan menuju mobil gue. Dandanannya persis Anin sewaktu kuliah. Hobinya pake kemeja yang digulung lengannya sedikit, sehingga memperlihatkan aksesoris tangan yang dia pake. Gue tanpa sadar tersenyum melihat Sophia, kadang dia mirip Shinta, kadang dia mirip Anin. Sebenernya cocok kalo kembar tiga, pikir gue geli. Sophia masuk mobil dan memandangi gue dengan aneh. Sophia : kenapa"
*gue tertawa kemudian menggeleng* Gue : gakpapa, inget Anin aja kalo liat lo. Sophia : lo orang kesekian yang bilang gitu. *gue tersenyum dan memasukkan gigi persneling* Gue : semoga aja bukan yang terakhir. Sophia : *nyubit gue*
Hari itu gue emang sengaja jemput Sophia, soalnya ada beberapa hal yang harus gue bicarakan berdua dengannya. Dan waktu untuk berbicara berdua itu bisa gue dapatkan sewaktu kami terjebak macet di tol menuju ke rumah Sophia di daerah Cibubur sana.
Gue : & .jadi jelas kan ya" Gue butuh bantuan lo. Don t miss it. Sophia : gue dapet apa"
Gue : iye ntar gue oleh-olehin gantungan kunci.
Sophia : ih gantungan kunci doang, gamau! Lagian gue kan udah korban pulsa banyak weeee
Gue : lo maunya apa" Gantungan kepala" Soal pulsa ntar gue ganti dah, lagian kan pake internet.
Sophia : ya apa gitu kek yang keren-keren. *gue menoleh ke Sophia*
Gue : lo lupa" Sophia : apa" *gue menghela napas panjang*
Gue : gue aja belum tau gue bakal terdampar dimana aja.
*Sophia menyandarkan tubuh kebelakang dan memandangi jalanan didepan sambil menyilangkan tangan di dada*
Sophia : iya juga ya. Keesokan harinya, di siang hari, gue udah berada di Terminal 2D Soekarno Hatta dan berpamitan dengan nyokap dan kedua kakak gue. Banyak banget yang diucapkan nyokap waktu itu, semacam wejangan, jadi sepertinya gak perlu gue tuliskan disini ya. Setelah sejam nyokap dan kakak-kakak gue mengantar, kemudian mereka pulang. Pesawat gue masih 4 jam lagi, dan masih ada waktu 2 jam lagi sebelum check inkeberangkatan. Dengan menggendong rucksack kanvas berwarna coklat tua, gue berjalan-jalan di sepanjang terminal, setelah dari toilet sebentar.
Ketika gue sedang berputar-putar itu, handphone di tangan gue berdenting. Gue melihat siapa yang ngechat, dan ternyata Tami.
Tami : lo dimana" Gue : udah di airport, terminal 2D. Kenapa emang" Tami : gue dibelakang lo.
Seketika gue menoleh, dan melihat Tami agak jauh di belakang gue, sambil memandangi gue dan memegang handphone. Gue berbalik, dan menghampiri Tami. Gue memegang kedua bahu Tami sambil bertanya-tanya.
Gue : lo ngapain sampe sini Tami" Sama siapa lo kesininya" Tami : ya nganter lo lah, sendirian gue naik taksi.
Gue kemudian mengajak Tami duduk di salah satu bangku. Yang terjadi diantara kami justru kebisuan. Sambil memainkan tali rucksack yang gue letakkan diantara kedua kaki, gue memandangi langit cerah di hadapan kami.
Gue : sebenernya lo gak perlu melakukan ini. Tami : apa" Nganterin lo"
Gue : iya, jadinya ngerepotin lo kan. Jauh-jauh dari Tanah Kusir kesini naik taksi, belom lagi nanti pulangnya. Berat di ongkos itu mah.
*gue menoleh* Gue : mending jangan kesorean dari sini, macet ntar. Tami : iyaaa, gue tau.
Setengah jam kami berbicara, meskipun cuma sedikit-sedikit, tapi tatapan matanya sudah mengatakan segalanya. Dan gue paham itu. Gue melihat jam, dan sudah pukul 14.45. Kami berdua bangkit dari duduk, dan gue menggendong tas ransel di punggung. Kami berdiri berhadap-hadapan.
Gue : gue pergi dulu ya. *Tami meninju dada gue pelan*
Tami : iya, semoga lo mendapatkan apa yang jadi mimpi lo disana, Jagoan. *gue tersenyum kecil*
Gue : semoga. Entah kemana ini akan membawa gue. *Tami menarik kedua shoulder straps tas gue lembut*
Tami : kemanapun lo pergi, inget kalo doa gue selalu bersama lo. Take care, you don t even know where you heading to. Kejarlah mimpi lo, sebelum semuanya terlambat. Kebahagiaan terbesar gue adalah melihat lo bahagia ketika lo bisa meraih mimpi lo itu.
Gue : ketika mimpi gue itu ternyata menyakiti lo, bukannya itu berarti gue egois" *Tami tersenyum*
Tami : dulu lo pernah bilang ke gue, hidup itu tentang pilihan dan kompromi kan" *gue tersenyum dan mengangguk kecil*
Tami : kita berdua sama-sama udah dewasa, dan kita udah memilih jalan ini, yang sebenernya secara gak sadar udah kita pilih dari dulu. Lo memilih menapaki jalan lo, dan gue memilih untuk mengikuti jalan yang lo tapaki, meskipun itu membawa gue ke suatu tempat antah berantah yang bukan dunia gue. All I ve got to do is praying, hope that someday the sun will set for me.
Gue : can I offer you a hug" Tami : can I have your hug"
Ketika matahari sudah mulai terbenam, gue berada di atas pesawat Emirates yang menuju ke arah barat, puluhan ribu kilometer jauhnya. Di saat itulah gue merasa burung besi yang gue tumpangi itu bukan hanya membawa gue secara fisik, tapi sekaligus juga membawa mimpi gue ke terbang ke angkasa.
Dan secara ironis, membawa kesedihan bersamanya.
PART 122 Out of Nowhere
Penumpang disebelah gue adalah ibu-ibu setengah baya yang cukup ribet. Ibu ini bernama Nyonya Renee, berkewarganegaraan Belgia, dan tinggal di Brussels. Dia ke Indonesia karena ada urusan bisnis yang harus dia kerjakan di Bali. Dia di Indonesia selama 3 minggu. Hebat ya Nyonya Renee ini, bisa cerita ke gue sedemikian lengkapnya, padahal gue gak berniat mengorekngorek kehidupan pribadinya. Yah anggap aja nambah temen baru deh.
Di atas pesawat itu gue membekali diri dengan sebuah novel pemenang penghargaan Pulitzer karya Edward P. Jones yang berjudul The Known World. Sambil sesekali ngemil camilan yang gue beli di airport tadi, gue terbenam dalam bacaan gue ini hingga akhirnya transit di Dubai. Di Airport Dubai yang terkenal sangat megah itu gue kesasar. Bayangin aja ada mall segede gaban di dalem airport. Gue menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan mengelilingi toko dan berhenti di coffee shop beberapa waktu. Selama 9 jam gue berada di Dubai, dan keinginan untuk keluar dari airport dan menjelajahi Dubai semakin menggila. Sampe akhirnya gue menepuk pipi sendiri dan mengingatkan diri sendiri bahwa ada tujuan yang lebih besar lagi.
Ketika gue udah kembali mengudara menuju benua Eropa, gue tersenyum sendiri mengingat pengalaman gue beberapa bulan lalu ketika mendaki Aconcagua. Bedanya waktu itu gue transit di Doha, dan menuju ke benua Amerika Selatan. Gue menoleh dan membuka sedikit penutup jendela disebelah kepala gue, dan memandangi langit hitam. Betapa banyak yang gue alami di hidup akhir-akhir ini. Rasanya pingin gue pergi ke suatu tempat yang sunyi dan terpencil, kemudian menghabiskan waktu sendiri disana untuk menjernihkan hati dan pikiran.
Kemudian gue teringat akan Tami, sosok cewek yang telah hadir di hidup gue selama 5 tahun terakhir. Berawal dari sapaan mendadaknya ketika gue ketiduran di kelas waktu awal kuliah dulu, hingga sebuah pelukan terakhir sebelum gue melangkah masuk ke dalam ruang check in di airport. Jika gue bisa memutar sedikit waktu, gue ingin kembali sebelum gue berangkat tadi, untuk mengucapkan terimakasih atas segala yang sudah dilakukan Tami untuk gue. Untuk mengucapkan terimakasih atas pengorbanan hatinya, dan yang terpenting, untuk menegaskan kata maaf yang tak terucap.
Jika Tami memandang gue sebagai malaikatnya, pahlawannya, dan apapun itu, gue akan dengan tegas menunjuk Tami lah pahlawan dan malaikat yang sebenarnya. Jika ada yang memandang gue sebagai seseorang yang berhati teguh, Tami adalah sebuah tebing karang yang tak tergoyahkan. Gue sadar, bahwa gue bukanlah apa-apa dibandingkan dengan pencapaian yang telah Tami lakukan. Entah itu untuk kehidupan pribadinya, keluarganya, hingga hatinya. Di tengah carut marut suasana hati dan kehidupan pribadinya dulu, dia masih bisa menemukan keindahan dari menolong sesama. Seakan senyum sesama adalah dunia pelariannya. Sebuah sisi termanis kehidupan yang bisa ditemukan olehnya.
Gue gak henti-hentinya bersyukur kepada Tuhan, karena di hidup gue telah hadir 3 wanita luar biasa yang telah membentuk gue sampe dengan detik ini. Pertama tentu saja nyokap gue, yang paling besar jasanya dari semua orang yang pernah ada di hidup gue dan dengan sifat-sifat beliau yang diturunkan ke gue. Kedua adalah Anin, seorang wanita nyaris sempurna, yang mungkin menjadi impian semua orang, dan dengan cinta tulus dan murninya kepada seseorang yang telah dia pilih. Ketiga adalah Tami, sebuah kutub yang berlawanan dengan Anin. Sebuah batu karang yang teguh dan dingin, namun tetap memancarkan cinta dengan caranya sendiri. Satu kesamaan yang bisa gue tarik dari kedua wanita luarbiasa ini, yaitu konsistensi dan loyalitas.
Keduanya mungkin punya sifat yang sangat berlawanan. Anin yang supel, ramah dan menyenangkan, sementara Tami dengan sifat dingin, misterius dan kerasnya. Tapi ketika mereka berdua telah membuka hatinya, mereka menunjukkan ruang rahasia terdalam di hatinya, satu bagian paling berharga di jiwanya. Dan gue mendapatkan kehormatan untuk itu. Beberapa waktu terakhir ini, gue merasa gue berada di persimpangan paling menentukan di hidup gue. Sebuah kepingan puzzle terakhir. Sebuah bidak catur yang harus gue mainkan dengan tepat, agar semua berakhir dengan baik.
Mendadak gue merasa sangat merindukan Anin. Sosok yang selama ini selalu berada di hati gue, dan sekarang berada sangat jauh dari tempat seharusnya dia berada. Jika ada yang bertanya, apa yang ada di dalam diri Anin yang gue rindukan, gue akan menjawab, jiwanya. Kecantikannya suatu saat pasti akan memudar, fisiknya yang sempurna suatu saat pasti akan mengecil dan bungkuk, senyumnya yang cantik juga pasti akan berubah menjadi keriput. Tapi tidak dengan jiwanya. Gue harap jiwanya akan tetap selalu indah, selalu cantik, dan selalu hidup di dalam jiwa gue.
Gue merasakan rapuhnya perasaan gue semenjak Anin pergi. Gue merasa bukan menjadi gue yang dulu. Pertamanya gue merasa wajar ketika seseorang baru putus cinta, pasti akan merasakan hal yang sama seperti gue. Tapi lama kelamaan gue menyadari bahwa gue bagaikan orang yang melangkah tanpa arah, tanpa tujuan. Gue merasa seperti membutuhkan bintang utara untuk menunjukkan arah kemana gue harus melangkah.
Dan Anin adalah bintang utara gue.
Ketika gue melangkah keluar dari pesawat melewati garbarata, dan akhirnya memasuki bangunan airport, gue tahu bahwa disinilah perjuangan gue dimulai. Di Brussels, ibukota Belgia, sebuah negara di bagian Barat Laut Eropa, penentuan akhir dari hidup gue dimulai.
PART 123 Brussels Airport:
Sesuai kebiasaan gue ketika sampai di suatu negara, hal pertama yang gue lakukan adalah membeli nomor provider setempat. Provider yang gue pilih di Belgia ini adalah Proximus. Kabarnya provider satu ini adalah yang terbaik di Belgia. Untung proses pembelian nomor baru ini gak begitu ribet seperti di Argentina. Gue mengenakan jaket tebal yang gue bawa dari Indonesia, dan membaca sebuah buku panduan. Gue mendongak dan celingukan mencari LED sign dan sebuah papan kaca bertuliskan WELCOME TO THE STATION OF BRUSSEL NATIONAL AIRPORT . Di stasiun itu untungnya ada mesin penjual tiket otomatis yang bisa pake kartu kredit.
Gue mencari-cari stasiun tujuan gue di tombol yang ada, dan akhirnya menemukan Gare de Bruxelles Central atau Brussel Centraal. Akan lebih baik kalo gue berada di tengah kota, dan dari situ gue mulai menjelajahi negara ini. Ketika melihat tarif tiket kereta yang seharga 8.50 euro, gue menggelengkan kepala dan secara otomatis mengkonversikan kedalam mata uang rupiah. Mahal ternyata, sehingga gue mulai saat itu gak akan mengkonversikan apapun ke rupiah. Takut makan ati.
Kereta yang akan gue tumpangi menuju Brussel Centraal ini ternyata ada beberapa kali dalam sejam, jadi gue gak perlu lama-lama menunggu. Diatas kereta pun terasa nyaman dan lapang.
Gue mengganti nomor handphone, dan hal pertama yang gue lakukan adalah menghubungi Sophia.
Gue : Pi, gue udah di Brussel nih.
Gue membetulkan ransel kanvas gue di pangkuan, dan gak lama kemudian datang balasan dari Sophia.
Sophia : sekarang lagi dimana lo"
Gue : di kereta, dari airport mau ke Gare de Bruxelles Central. Disono jam berapa" Sophia : jam 8 malem, lo"
Gue : jam 2 siang. Sophia : lo udah makan"
Gue : belom. Ntar aja di Brussel gue cari makan. Duh perhatiannya lo ama gue : ) Sophia : eh kampret, gue tanyain udah makan apa belom sekali aja langsung senengnya kayak dapet lotere lo.
Gue : ya wajar lah, udah lama gue gak ditanyain gitu sama kakak lo. Tapi sama lo juga boleh deh.
Sophia : kasian amat si lo. Gue : emang.
Sophia : jadi gimana"
Gue : ya lo liat lah Anin pergi kemana aja. Tanyain gih. Sophia : iye gue tanyain.
Gue : oke, gue tunggu secepatnya. Sophia : mau gak yaaaaa& .. Gue : & &
Akhirnya kereta gue sampai di stasiun tujuan, yaitu Gare de Bruxelles Central. Gue bergegas keluar dari kereta dan mencari jalan menuju pintu keluar. Ketika keluar dari pintu, gue terkejut karena hawa dingin yang menerpa tubuh gue. Sambil menahan dingin, gue melangkah menuju salah satu sudut, dan mengeluarkan sarung tangan, dan mengancingkan jaket gue. Dengan memasukkan kedua tangan ke kantong jaket dan berkacamata hitam, gue berjalan menuju ke salah satu pusat destinasi di Brussel, yaitu Grand Place.
Jalur terdekat menuju Grand Place adalah menyeberangi Rue de la Madeleine dan memasuki jalan kecil diantara bangunan dan menuju Rue de la Colline. Dari Rue de la Colline gue bisa langsung sampai di Grand Place. Siang itu cukup ramai, dan sepertinya selalu ramai. Gue memandangi deretan toko sambil berjalan diatas trotoar. Sambil sesekali menarik napas di hidung gue yang berair, gue berjalan cukup cepat.
Rue de la Madeleine: Setelah melewati berderet-deret toko, akhirnya gue berbelok ke kiri dan sampailah gue di Grand Place atau Grote Markt. Sebuah pelataran yang sangat luas, yang dikelilingi oleh bangunanbangunan tinggi dan megah. Grand Place ini sudah ada selama seribu tahun. Gue memandangi Grand Place dengan takjub, meskipun suasana ini sedikit terganggu oleh banyaknya turis yang juga berada disitu.
Grand Place: Gue berdiri di salah satu sudut Grand Place sambil membuka roti sandwich yang tadi gue beli di Rue de Madeleine. Sambil mengunyah, gue mengeluarkan handphone, melihat apakah Sophia udah menjawab. Dan ternyata udah.
Sophia : lo dimana" Gue gondok melihat chat Sophia itu, dan memutar bola mata ke atas. Ini anak, dimintain tolong nanyain, malah balik nanya. Gue ketikkan balasan chat tersebut.
Gue : di hati lo yang terdalam. Sophia : ish, seriusan. Lo dimana" Gue : di Brussels.
Sophia : tau ah males. Gue : hahahaha gitu aja ngambek neng, gue di Grand Place nih, di depan Town Hall. Kenapa why selalu always"
Sophia : gue tadi udah nanya mbak Anin, dia emang lagi di Brussels sekarang. Gue jadi semakin bersemangat mendengar berita dari Sophia itu.
Gue : Anin beneran masih di Brussels kan" Beneran" Sekarang dia dimana" Tanyain alamatnya dong, ya"
Sophia : bentar, denger dulu& Gue : apaan"
Sophia : mbak Anin emang masih di Brussels sekarang. Gue : trus"
Sophia : & .tapi nanti malem dia ke Berlin, 2 hari disana.
Begitu gue membaca kata Berlin itu, gue mengulang kata "Ber-lin" tanpa suara dan mendongak memandangi Town Hall megah di hadapan gue dengan kosong. Rasanya kemegahan bangunan itu hilang gak berbekas.
PART 124 Gue : serius dia ke Berlin"
Sophia : iya, dia ke Berlin ntar malem, masak gue boong sih. Gue : lo udah nanya alamat kantornya dia yang disini" Atau hotelnya gitu" Sophia : Dia di Marriott Brussels, alamatnya di Rue Auguste Orts.
Gue langsung celingukan mencari orang yang bisa gue tanyai letak jalan Auguste Orts itu. Akhirnya gue menemukan seorang pedagang souvenir agak jauh dari gue, yang gue bisa memastikan bahwa dia orang Brussels asli. Gue dekati pria setengah baya itu, dan bertanya dengan bahasa Inggris.
Gue : maaf, dimana letak Rue Auguste Orts itu ya" *dia tersenyum ramah kemudian menunjuk ke satu arah didepan kami* Pedagang : oh ke arah sana, melewati Rue au Beurre, setelah anda sampai di Scientastic Museum Bourse de Bruxelles, jalan didepan anda adalah Rue Auguste Orts. Gue : apa cukup jauh dari sini"
Pedagang : oh tidak, tidak, hanya 10 menit berjalan dari sini. *gue mengangguk dan tersenyum*
Gue : oke, terimakasih banyak. *pedagang itu membungkuk*
Pedagang : you re most welcome, Sire.
Gue langsung melesat berlari menyeberangi Grand Place yang luas itu, kemudian mengamati sekeliling dalam sekejap, dan menemukan Rue au Beurre. Gue berlari kecil melewati Rue au Beurre, hingga beberapa orang memperhatikan gue karena sebegitu kentaranya diantara para turis yang sedang berjalan. Ransel gue yang berat waktu itu seperti tidak terasa, karena terburuburunya gue waktu itu. Yang gue rasakan justru tapak kaki gue seperti berdebam diatas jalan yang terbuat dari batu tersebut.
Gue merasakan jalan itu panjang sekali, seperti tak berujung. Tepat waktu ketika gue ingin berhenti mengambil napas, gue melihat ujung Rue au Beurre itu, dan melihat sebuah jalan. Gue berhenti tepat di bawah palang nama jalan diatas kepala, dan tertulis Rue de Tabora. Lalu dimana Rue Auguste Orts" Rasa bingung dan panik segera melanda, pertama karena gue gak bisa menemukan Rue Auguste Orts, kedua karena gue takut kalo tersesat. Gue mulai gak percaya sama pedagang souvenir tadi.
Gue menarik napas, mencoba mengatur kembali ritme napas, dan berpikir lebih jernih. Setelah beberapa waktu gue ingat bahwa tadi pedagang itu mengatakan satu hal lagi . setelah anda sampai di Scientastic Museum Bourse de Bruxelles, jalan didepan anda adalah Rue Auguste Orts.
Seketika gue menyadari bahwa gue belum melihat apa yang disebut Scientastic Museum itu. Entah gue terlewat, atau memang belum sampai pada tempatnya. Waktu itu gue samasekali gak kepikiran untuk mengecek handphone kembali. Pikiran gue hanyalah segera menemukan hotel yang dimaksud. Gue kemudian berjalan kembali ke arah Grand Place sedikit, untuk melihat kembali apakah gue sudah melewati Scientastic Museum. Ternyata sepanjang yang gue lihat, belum ada tanda-tanda eksistensi Scientastic Museum.
Gue kemudian berjalan menyeberangi Rue de Tabora, dan tiba di sebuah jalan kecil, yang setelah gue baca palang namanya adalah Rue de la Bourse (Beurstraat). Pastilah Scientastic Museum itu berada di jalan ini, berarti gue belum melewatkannya, pikir gue lega. Setelah menarik napas, gue kemudian berlari lagi menyusuri Rue de la Bourse, melesat lebih cepat dari sebelumnya. Beberapa menit kemudian gue telah sampai di ujung jalan Rue Auguste Orts, dan berdiri sambil bernapas lega. Rue Auguste Orts ini ternyata gak lurus persis di ujung Rue de la Bourse, tetapi gue harus menyeberang Anspachlaan dan berjalan beberapa puluh meter ke selatan baru menemukan Rue Auguste Orts.
Gue kemudian berlari lagi menyusuri Rue Auguste Orts, dan akhirnya menemukan hotel yang dimaksud. Gue mengatur napas, kemudian masuk ke lobby hotel tersebut dengan sedikit goyah. Gue melangkah masuk ke lobby yang mewah dan didominasi cahaya berwarna kuning tersebut. Setelah celingukan sebentar, gue menemukan meja resepsionis yang terbuat dari marmer hitam, dan berhadapan dengan seorang wanita berambut pirang yang tinggi dan berwajah cantik. Dia tersenyum dan memiringkan kepala ke gue.
Petugas : good afternoon, Sir. Welcome to Brussels Marriot Hotel. Can I help you" *gue berpikir sejenak*
Gue : Yeah. Maaf, bisakah saya meminta sedikit informasi dari sini" Saya tau kalo informasi customer adalah hal yang paling penting, but I need that now. Petugas : as long as we can help, Sir.
*gue mencondongkan badan ke depan sambil melipat tangan di atas marmer hitam* Gue : disini ada tamu yang bernama Anindya Putri" She s Indonesian.
*petugas itu kemudian melihat data di komputer sebentar, dan memandangi gue lagi* Petugas : Yes we are, Sir. But I m afraid that Ms. Anindya has been check out recently. Gue : berapa lama dia disini"
Petugas : 3 hari, Pak. Gue terdiam cukup lama, dan akhirnya setelah gue sadar kembali, gue mengucapkan terima kasih kepada petugas resepsionis itu, dan berjalan keluar hotel dengan gontai. Di luar hotel gue mengambil handphone dari kantong, dan berniat mengabari Sophia. Ternyata masih ada chat dari Sophia yang belum gue baca.
Sophia : Lo ngapain ke hotel" Mending gak usah deh. Gue takutnya mbak Anin udah check out, soalnya kan malem ini dia berangkat ke Berlin.
Gue mengerang membaca chat Sophia itu dan kemudian berjongkok saking keselnya. Coba gue baca dari tadi. Sampe gue menyadari bahwa ada beberapa orang yang memperhatikan tingkah gue itu. Karena malu, gue buru-buru masuk ke restoran fastfood McDonalds yang terletak disamping Marriott. Beberapa waktu kemudian gue udah duduk di sebuah meja kecil untuk 2 orang, yang terletak di samping jendela. Sambil melihat jam dibalik jaket, gue chat Sophia.
Gue : pi& *agak lama sebelum Sophia menjawab* Sophia : ya" Gue ngantuk nih. Gue : disana jam berapa emang" Sophia : hampir jam 11.
Gue menghirup kopi panas yang tadi gue pesan, dan mengunyah beberapa batang french fries. Gue memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di samping gue, melewati Rue Auguste Orts yang ternyata indah. Tadi sewaktu datang gue gak sempet memperhatikan, karena terburu-buru.
Gue : menurut lo gue harus ngapain"
Sophia : lo udah sampe sana, masak mau nyerah"
Gue : dia di Berlin, Piii. Ber-Lin. B-E-R-L-I-N. Artinya nyebrang negara noh disono, masuk ke negaranya Hitler. Sophia : ya terus"
Gue : beyond my imagination.
Sophia : kenapa" Lo ragu" Baru mulai udah ragu" Cemen ah lo. Gue : Duit Piii, duiiit. Mahal tau.
Sophia : Duit bisa dicari, tapi lo sendiri kan yang bilang kalo mbak Anin cuma satu" Gue : iya sih&
Sophia : yaudah kejar sana. Kalo lo ragu-ragu, buka ransel lo sekarang. Gue : hah" Buka ransel"
Sophia : iya buka ransel lo, dan liat apa yang lo bawa jauh-jauh dari Indonesia buat mbak Anin.
Seketika itu barulah gue inget, kalo gue dari Indonesia memang membawa cincin yang gue peruntukkan buat Anin. Gue membuka ransel, merogoh salah satu bagian terdalamnya, dan menemukan sebuah tempat cincin yang berlapis kain beludru berwarna biru tua. Gue membuka tutupnya, dan tampaklah cincin platinum bertatahkan berlian yang berkilau dengan indah. Sesuatu yang menjadi salah satu pendorong gue melakukan perjalanan hingga kemari. Gue : iya juga ya pi&
Sophia : nah, makanya jangan nyerah. Jalan lo masih panjang. Gue : terus kabarin gue ya.
Sophia : iya, tapi kalo malem gue tidur.
Gue : iya beres, kalo gak urgent-urgent amat gue gak bakal gangguin lo kalo malem deh. Sophia : yaudah gue tidur dulu yak.
Gue : oke. Gue kemudian menghirup kopi gue, dan memejamkan mata. It s a long way to back home.
PART 125 Gue melangkah keluar dari restoran fastfood itu ketika hari sudah mulai gelap. Selama gue di dalam McDonalds itu gue lebih sering memejamkan mata, beristirahat. Gue baru sadar kalo gue baru tiba siang tadi setelah 24 jam lebih melakukan perjalanan dari Indonesia dan belum beristirahat sedikitpun, malah langsung lari-larian melintasi Brussels. Ketika gue duduk, baru terasa lah rasa jetlag yang lumrah terjadi. Pusing dan mengantuk. Karena itu tadi gue berusaha menguranginya dengan meminum kopi, sambil sesekali memejamkan mata.
Gue berjalan keluar dan melintasi malam di Brussels. Sempat terpikir oleh gue untuk langsung menuju Gare de Bruxelles Central lagi, dan mencari kereta ICE Bahn menuju ke Berlin. Gue berjalan di sepanjang trotoar yang diterangi dengan toko-toko ala Eropa di kanan kirinya, hingga gue merasakan pusing yang cukup hebat. Gue limbung, dan kemudian cepat-cepat mencari tempat untuk duduk beristirahat. Akhirnya gue menemukan sebuah bangku di depan taman, entah di jalan apa, dan duduk disana.
Gue duduk di bangku taman itu hanya dengan diterangi lampu kota berwarna kuning, dengan siluet bangunan toko di belakangnya. Gue letakkan tas ransel disamping, dan menunduk sambil memasukkan kedua tangan gue ke kantong jaket. Gue kedinginan, dan rasa-rasanya napas yang gue hembuskan mengeluarkan uap air yang terlihat oleh mata. Barangkali hidung gue pun sudah memerah, karena waktu itu hidung gue berair lagi. Gue mengeluarkan handphone di kantong, dan bingung kepada siapa gue harus menceritakan ini. Sophia tidur, sementara gue gak mungkin chat nyokap, karena itu hanya akan membuat beliau khawatir. Gue mengurungkan niat itu, dan mengerang ketika melihat indikator baterai handphone gue berwarna merah.
Gue mematikan handphone untuk menghemat baterai, dan memakai kupluk berwarna hitam yang gue bawa dari rumah. Mendadak gue merasa sangat merindukan rumah gue, kamar gue di kota asal gue. Tempat yang nyaman dan selalu bisa mengerti apapun keadaan gue. Sementara sekarang, gue berada 11.000 kilometer jauhnya dari rumah, dan sendirian dalam keadaan kedinginan dan lelah. Gue harus beristirahat, pikir gue. Besok gue akan menyusul ke Berlin, tapi malam ini gue akan beristirahat.
Gue bangkit dari duduk, kemudian berjalan menyusuri jalan entah apa namanya, hingga ke ujung. Celingukan sebentar, gue menemukan sebuah palang nama jalan di sisi lain, bertuliskan Rue de La Fourche. Gue menyusuri jalan itu, dan masih mendapati deretan toko-toko khas Eropa disana. Jika gue berada di situasi yang lain, mungkin gue akan sangat menikmati ini. Tapi sekarang kondisinya benar-benar berbeda. Gue gak bisa menemukan kesenangan disitu.
Di ujung Rue de La Fourche, gue berbelok ke kanan, dan menemukan sebuah jalan yang dipenuhi dengan caf" dan restoran-restoran bergaya khas Eropa. Sangat indah. Gue melirik ke papan nama jalan, bertuliskan Rue des Bouchers. Sambil menggendong ransel dan memasukkan kedua tangan ke kantong jaket, gue berjalan menyusuri Rue des Bouchers.
Rue des Bouchers: Gue hanya melewati jalan itu, meskipun sering berhenti untuk menikmati momen-momen yang ada. Agak lebih jauh gue berjalan, akhirnya gue menemukan sebuah hotel di jalan itu. Tanpa pikir panjang lagi gue berbelok dan memesan satu kamar di hotel yang ternyata bernama H"tel des Galeries. Gue masuk kamar, dan mencharge handphone gue yang sekarat, kemudian langsung menjatuhkan diri ke ranjang.
Gue terbangun ketika hari sudah mulai terang tanah, dan segera masuk ke kamar mandi. Gue belum membersihkan diri lebih dari 2 hari, dan badan gue terasa berat. Setelah mandi dan bersiap-siap, gue menghubungi Sophia, satu-satunya orang yang tau keadaan gue disini sejak awal.
Gue : pi. Sophia : woi, gimana kabar lo disana" Lo dimana sekarang"
Gue : iya tenang, gue barusan mandi, tadi malem gue tidur cukup kok. Ini mau jalan lagi. Sophia : lo mandi dimana" Tidur dimana"
Gue : hotel lah, masak lo kira gue mandi di kamar mandi umum trus tidur di mesjid. Sophia : di daerah mana"
Gue : gak tau, pokoknya masih di Brussels aja. Sophia : oh kirain udah di Pamulang lo.
Gue tertawa geli sendiri membaca jawaban gue yang asal-asalan dan gue bisa merasakan gimana gondoknya Sophia membaca jawaban gue itu.
Sophia : tadi gue di chat mbak Anin. Gue : terus"
Sophia : katanya dia ada semacam seminar gitu di Berlin, hari ini sampe sore dia di seminar itu, besok siang udah kelar katanya.
Gue : di Berlin nya dimana"
Sophia : di Estrel Convention Centre, tapi nginepnya dimana gue gak dikasih tau. Gue : lo gak nanya"
Sophia : udah tapi gak dijawab.
Gue : jangan-jangan dia udah curiga"
Sophia : kayaknya gak mungkin deh. Nyaris gak mungkin mbak Anin ngira kalo lo bakal nyusul kesono.
Gue : iya juga sih. Gue mengenakan jaket, kemudian check out dari hotel dan kembali menjelajahi jalanan Brussels. Gue mencari informasi tentang kereta ICE yang menuju Berlin melalui internet. Akhirnya gue menemukan jadwal keberangkatan ICE dari Gare de Bruxelles Midi. Satu-satunya jalan yang aman ya naik kereta dari Gare de Bruxelles Central ke Gare de Bruxelles Midi. Setelah melalui perjalanan yang cukup jauh, gue akhirnya sampe di Gare de Bruxelles Midi, dan membeli tiket kereta ICE Bahn ke Berlin via Koln.
Gue duduk di bangku sambil menunggu kereta gue, dan mencoba menghubungi Sophia. Gue menyumpal mulut gue dengan lollipop, telinga gue dengan earphone iPod, dan berjaket. Ransel gue letakkan diantara kaki.
Gue : pi, gue ke Berlin siang ini. Sophia : naik apa"
Gue : naik kereta, ICE Bahn via Koln. Sophia : mahal gak tuh"
Gue : 160 euro. Sophia : 160 euro tuh berapa rupiah" Gue : au dah males konversiin. Jangan ditanya. Sophia : berangkat jam berapa"
*gue melihat jam* Gue : jam 14.25 ntar, sampe Berlin jam 9 malem. Sophia : lama juga ya, mbak Anin keburu udah di hotel tuh. Gue : lo tau hotelnya dia dimana"
Sophia : gak tau, dia daritadi gak jawab chat gue lagi. Sibuk kali. Lo liat aja Path nya, dia kan suka check in gitu.
Gue : & .gue gak punya Pathnya. Sophia : yah elo& ..
Beberapa jam kemudian gue udah duduk di dalam kereta menuju Berlin. Kereta peluru itu melesat menuju ke arah Timur. Ke tempat dimana gue berharap bisa bertemu dengan seorang wanita yang masih dan akan selalu gue cintai.
PART 126 Gue turun dari kereta dan menyusuri Berlin Hauptbahnhof atau Berlin Central Station kemudian naik bus jurusan Potsdamer Platz Brandenburger Tor. Selama di bus menuju Potsdamer Platz itu gue bengong memandangi kota Berlin sewaktu malam. Kemudian gue menyadari bahwa kaca bus yang gue tumpangi basah oleh titik-titik hujan. Gue mengancingkan jaket, memasang kupluk hitam gue, dan memakai sarung tangan. Gue menyesal kenapa gak bawa jaket waterproof yang biasa gue pakai ketika mendaki gunung.
Gue turun di Potsdamer Platz setelah melewati Brandenburger Tor. Gue berjalan menyusuri Leipzigerstrasse, sambil memasukkan tangan ke kantong jaket dan sedikit menggigil kedinginan. Gue lapar. Kemudian gue menyadari melupakan satu hal esensial, SIM card untuk handphone. Gue kemudian mencari Wi-Fi yang bisa gue pergunakan. Ngabarin Sophia jam segini juga percuma soalnya di Indonesia pasti pagi-pagi buta, dan dia pasti masih tidur.
Gue lapar, dan gak lama kemudian gue menemukan gerai McDonalds lagi di subway station samping Leipziger Platz. Gue merasa gak ada pilihan lain selain makan fastfood tersebut, karena disamping gue udah lapar banget, sekaligus untuk menghemat biaya. Disitu gue makan dengan lahap, sekaligus memanfaatkan toilet dan colokan listrik yang ada. Setelah makan, gue menyadari bahwa gerai itu gak buka 24 jam, melainkan tutup 3,5 jam lagi. Lumayanlah bisa tidur 3,5 jam, pikir gue. Toh tadi di kereta juga gue tidur terus.
Tas ransel kanvas gue letakkan di kursi bagian dalam sehingga gue pikir cukup aman, kemudian gue lipat jaket di atas meja. Yang gue lakukan setelah itu adalah tidur dengan berbantalkan jaket yang cukup tebal. Buat sebagian orang, tidur di restoran fastfood adalah hal yang biasa. Tapi kali ini agak tidak biasa soalnya gue tidur di restoran fastfood, di negeri orang pula, dan sendirian.
Sekitar jam setengah 2 pagi gue keluar dari restoran itu, dan kemudian berjalan ke arah Timur, menyusuri Leipzigerstrasse. Dengan udara basah yang sangat dingin, napas gue mengeluarkan uap air, dan hidung gue mulai berair. Gue berjalan cukup cepat, agar hangat, tapi ternyata itu cukup menguras tenaga gue. Waktu itu kadang-kadang gue ingin menangis, sambil sesekali menyapu hidung yang berair. What the hell I m doing here, gitu pikir gue waktu itu. Akhir dari perjalanan gue ini masih gelap, segelap jalanan dan langit malam di hadapan gue.
Selama satu setengah jam gue berjalan menyusuri Leipzigerstrasse itu, akhirnya gue sampai di jembatan. Gue celingukan mencari identitas dari sungai gelap di hadapan gue, dan ternyata itu adalah Sungai Spree yang terkenal itu. Menurut cerita yang pernah gue baca, Martin Bormann, sekjen Partai Nazi itu juga ditembak dan jatuh di Sungai Spree. Gue berjalan ke tepi pagar di sepanjang sungai itu, dan berpegangan di pagar sambil menggigil kedinginan. Selama beberapa waktu gue berada di posisi yang sama. Gue kedinginan, dan kesepian.
Gue kemudian mencari tempat duduk, dan cukup lama menghabiskan waktu di tepi sungai Spree itu, sampai sebuah denting handphone menyadarkan gue dari lamunan. Suara denting handphone itu terasa begitu indah di telinga gue. Akhirnya ada seseorang yang bisa gue ajak bicara. Gue merogoh tas mencari handphone, dan kemudian melihat layar. Gue tersenyum lebar melihat nama Sophia tertera disana. Belum pernah gue sebahagia ini melihat nama seseorang di handphone, nama Anin sekalipun. Sophia : Bas, lo dimana"
Gue : gue di pinggir sungai Spree, di Berlin. Sophia : lo ngapain disana"
Gue : entahlah, cuma ngabisin waktu sampe pagi dateng. Gue gak punya tujuan kemanamana disini.
Sophia : ya ampun kasian amat sih lo. Pasti lo kedinginan ya disana" Gue : banget.
Sophia : astaga& Gue : lo ada informasi apa yang baru buat gue"
Sophia : nah itu, tadi barusan gue liat di Path, mbak Anin tadi malem update check in di hotel, tapi yang gue perhatiin itu caption dibawahnya.
Gue : apa tulisannya"
Sophia : ready for morning flight. Gue : kemana?"
Sophia : itulah. Sampe sekarang belum dijawab.
Gue menutup mata dengan sebelah tangan, dan kemudian melanjutkan pembicaraan gue dengan Sophia hingga matahari terbit. Dinginnya luar biasa di pagi hari itu. Sambil chat Sophia gue berputar-putar sekedar agar badan jadi hangat. Gue kemudian berjalan ke seberang sungai dan menemukan sebuah rotisserie yang baru akan buka, dan gue segera menyela ke dalam. Gue membeli roti dan kopi untuk menghangatkan badan dan perut gue setelah semalaman dihajar udara dingin.
Budi Kesatria 10 Spring In London Karya Ilana Tan Macan Macan Betina 2

Cari Blog Ini