Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 21

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 21


mereka yang telah menjadi gila, akan mengadakan perlawanan
terus." Ki Muni berhenti sejenak. "Lalu setelah fajar menyingsing,
aku ingin mendengar suara tangis Pandan Wangi, menangisi
mayat ayahnya." "Seandainya benar Argapati mati," sahut Ki Wasi, "hal itu pasti
akan dirahasiakan untuk sementara."
Ki Tambak Wedi menganggukkan kepalanya. "Ya. Pasti.
Tetapi kita harus berusaha untuk selalu mendengar berita
tentang Ki Argapati. Apakah sampai saat ini masih ada petugas
sandi yang berada di dalam desa itu?"
"Ya," sahut Argajaya, "masih ada dua orang kita di dalam
desa itu. Keduanya adalah penduduk desa itu sendiri. Mereka
tidak akan mudah keluar dari desa itu. Sehingga mereka hanya
akan dapat memberikan isyarat-isyarat saja tentang keadaan di
dalam." "Tetapi kita sulit untuk mengerti isyarat itu," jawab Sidanti.
"Kita tidak sempat membuat persetujuan, apakah yang akan
dilakukan dan tanda-tanda apakah yang akan diberikan
seandainya Argapati meninggal atau ada orang lain yang ikut
campur di dalam peperangan ini."
Argajaya tidak menjawab. Tetapi hal tersebut adalah memang
benar. Ki Tambak Wedi pun kemudian hanya dapat menganggukanggukkan
kepalanya. Memang sulit baginya untuk dapat
mengetahui keadaan di dalam lingkaran pering ori itu. Tetapi ia
tidak segera menjadi putus asa. Kedua orang itu pasti akan
menemukan akal untuk menyampaikan berita terutama berita
terpenting dari dalam, seandainya mereka benar-benar tidak
dapat lolos lagi dengan cara apa pun.
Dalamn pada itu, ketika pasukan Tambak Wedi ditarik dari
sekitar tempat pemusatan pengawal Tanah Perdikan Menoreh,
maka para penghuni desa itu pun merasa seolah-olah mereka
dapat mulai bernafas lagi. Tetapi itu bukan berarti bahwa bahaya
yang sebenarnya telah lenyap. Mereka menyadari, bahwa di
siang hari pun kemungkinan yang sama akan dapat terjadi.
Bahkan mungkin pada saatnya Ki Tambak Wedi akan
menyerang desa itu di siang hari.
Pandan Wangi, yang telah berada di samping ayahnya,
melaporkan semua yang terjadi. Ternyata bahwa pasukan
kakaknya, Sidanti, hanya sekedar membuat suatu gerakan untuk
mengetuk ketabahan hati para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh. *** Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
perlahan-lahan, "Sidanti menuggu berita kematianku."
Pandan Wangi tidak segera menyahut, tetapi kepalanya
tertunduk dalam-dalam. "Tetapi aku heran bahwa Sidanti tidak benar-benar
menyerang malam ini," gumam Ki Argapati kemudian. "Berita
tentang lukaku yang parah pasti telah sampai kepada mereka."
Pandan Wangi kemudian menganggukkan kepalanya pula.
Jawabnya, "Kita memang menyangka bahwa Kakang Sidanti
akan mempergunakan kesempatan ini."
"Ternyata serangan itu tidak dilakukannya," sambung
ayahnya. "Dengan demikian kita akan dapat mengambil
kesimpulan, bahwa Ki Tambak Wedi pasti memperhitungkan
kemungkinan lain yang dapat terjadi."
Pandan Wangi sekali lagi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ternyata perhitunggan ayahnya sesuai dengan
perhitungan Samekta dan para pemimpin yang lain. Bahkan
Kerti yang kemudian kembali ke desa itu pun mengatakan
serupa itu pula. "Wangi," berkata ayahnya, "agaknya Ki Tambak Wedi telah
mencium hadirnya orang bercambuk itu di tlatah Menoreh. Aku
tidak tahu, dalam bentuk apakah gambaran Ki Tambak Wedi itu,
apakah ia memang sudah mengenalnya atau pernah mendengar
namanya atau mungkin ia hanya menduga-duga, tetapi aku kira
Ki Tambak Wedi memperhitungkan hadirnya kekuatan yang lain
di atas tanah perdikan ini. Ketika kami bertempur di bawah
Pucang Kembar, dan Ki Tambak Wedi berhasil melukai aku
agaknya memang telah terjadi sesuatu yang tidak terduga-duga.
Tambak Wedi yang menunggu kehadiran orang-orangnya yang
memang sudah dipersiapkan menjadi kecewa. Bahkan yang
datang hanyalah seorang yang telah terluka parah. Inilah
agaknya yang menahan Ki Tambak Wedi untuk bertindak malam
ini. Agaknya ia perlu menjajagi apa yang ada di dalam
lingkungan pertahanan ini."
Pandan Wangi masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dan ayahnya meneruskannya, "Tetapi hathatilah selanjutnya.
Sebab sebagaimana kau ketahui, bahwa tidak ada kekuatan apa
pun di luar kekuatan kita sendiri. Aku berterima kasih bahwa aku
telah diselamatkan oleh obat yang diberikannya. Tetapi
seandainya Ki Tambak Wedi tidak ragu-ragu dan menyerang
malam tadi, mungkin kita sudah terpecah menjadi kepingankepingan
yang sama sekali tidak berarti lagi." Ki Argapati
berhenti sejenak, lalu, "Namun sekarang kita pun masih harus
berprihatin. Kalau daya kemampuan obat ini kemudian lenyap,
maka tidak akan ada seorang pun yang dapat melanjutkan
pengobatan atas lukaku. Aku tidak dapat membayangkan,
apakah yang akan terjadi kemudian. Mungkin aku dapat
mencoba mencari dedaunan yartg dapat menolong. Tetapi aku
bukan seorang yang mempelajari ilmu pengobatan dengan baik.
Karena itu keragu-raguan Ki Tambak Wedi harus kita
manfaatkan. Pasukan berkuda itu mungkin dapat membantu.
Mereka harus berbuat dan mencoba menghilangkan jejak
mereka supaya mereka tidak dikenal sebagai orang-orang
Menoreh. Dengan demikian, maka Ki Tambak Wedi akan tetap
menganggap bahwa memang ada kekuatan lain yang hadir di
atas Tanah Perdikan ini untuk mengimbanginya. Aku mempunyai
pikiran, bahwa beberapa orang dari pasukan berkuda itu supaya
mempergunakan cambuk yang panjang juntainya, tetapi
bertangkai pendek. Aku mengharap, pasukan itu dapat
menimbulkan persoalan baru bagi Ki Tambak Wedi, sementara
kita menunggu, apakah sebenarnya yang dikehendaki oleh
orang-orang bercambuk itu."
Pandan Wangi mengangguk-angguk pula. Ia mengerti
maksud ayahnya. Sebelum ayahnya mampu berbuat sesuatu,
ayahnya akan mengaburkan perhitungan Ki Tambak Wedi
dengan caranya. Orang-orang bercambuk itu agaknya telah
menumbuhkan pikiran baru pada ayahnya. "Mudah-mudahan Ki
Tambak Wedi pernah mendengar tentang orang-orang
bercambuk itu," katanya di dalam hati.
"Panggillah Samekta," berkata Ki Argapati kemudian.
"Baik, Ayah," jawab Pandan Wangi yang kemudian
melangkah pergi meninggalkan ruangan itu. Tetapi Pandan
Wangi tidak pergi sendiri. Ia masih selalu berusaha menghindari
pertemuan seorang diri dengan Wrahasta. Sehingga karena itu,
maka disuruhnya seorang pengawal untuk menyampaikan
pesannya kepada Ki Samekta.
Samekta mendengarkan cara Ki Argapati itu sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti maksud
Ki Gede Menoreh. Namun ia bertanya, "Tetapi Ki Gede,
bagaimanakah sikap orang bercambuk itu sendiri" Apakah
Gupala, Gupita, dan orang yang diakuinya sebagai ayahnya itu
tidak merasa terlanggar haknya?"
"Mudah-mudahan tidak, Samekta. Aku mengharap
seandainya demikian, mereka akan menemui aku."
Sekali lagi Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya.
Setelah berdiam sejenak ia berkata, "Kami akan mencoba Ki
Gede. Aku akan membuat agar empat orang di antara mereka,
menjadi bayangan dari orang-orang bercambuk itu. Mudahmudahan
hal ini justru tidak menumbuhkan persoalan baru bagi
Menoreh." Demikianlah maka Samekta mencoba untuk memenuhi cara
yang harus ditempuhnya menurut petunjuk Ki Gede Menoreh,
untuk menunda gerakan Ki Tambak Wedi sampai pada suatu
saat Ki Argapati telah menjadi berangsur baik, maka ia harus
mengaburkan perhatian Ki Tambak Wedi dengan gelar sandi,
seakan-akan ada unsur kekuatan baru yang harus
diperhitungkan setidak-tidaknya oleh Ki Tambak Wedi.
Maka ketika malam kemudian mendekat, maka pasukan
berkuda yang dipimpin Wigatri telah bersiap pula. Demikian
mereka mendengar laporan bahwa pasukan Sidanti bergerak
seperti malam kemarin mendekati desa, maka pasukan berkuda
itu dilepas oleh Samekta dengan tugas yang khusus. Sekali lagi
Samekta berpesan, jangan menimbulkan korban yang tidak
berarti. Baik bagi anggauta pasukan berkuda itu sendiri, maupun
pada sasaran yang akan dituju.
Samekta sendiri bersama Wrahasta dan Pandan Wangi
berdiri tegak di muka regol desa untuk melihat obor-obor yang
seolah-olah merayap mendekati mereka. Tetapi seperti malam
yang lampau obor-obor itu berhenti pada jarak yang tidak
terlampau dekat dalam gelar yang sama seperti yang pernah
terjadi. "Mereka masih belum akan menyerang," desis Samekta. "Itu
hanya sekedar pameran kekuatan."
Wrahasta menganggukkan kepalanya. Jawabnya, "Aku juga
menyangka demikian. Tetapi kemungkinan yang lain dapat
terjadi. Apakah paman Kerti sudah siap di tempatnya?"
"Ya. Ia telah pergi ke desa sebelah."
Kemudian mereka pun terdiam. Ki Argapati pun telah
mendengar laporan, bahwa pasukan Sidanti telah datang untuk
kedua kalinya. Dan bahwa pasukan Menoreh pun telah siap
menghadapi segenap kemungkinan.
Namun seperti malam yang telah lewat, pasukan Sidanti itu
tidak segera berbuat sesuatu. Mereka berada dalam jarak yang
tetap sambil duduk-duduk dan bahkan ada yang terkantukkantuk
bersandar sebatang pohon atau saling bersandar
punggung. Samekta dan para pemimpin yang lain pun kemudian masuk
ke dalam regol desa dan setelah sekedar memeriksa
pasukannya, maka mereka pun segera kembali ke tempat
pimpinan. Namun tampak di wajah-wajah mereka, sesuatu yang
menegang di dadanya. Para pemimpin itu tidak dapat
melepaskan diri dari ingatan mereka tentang pasukan berkuda
yang sudah harus mulai melakukan tugas mereka.
Sejenak kemudian mereka terkejut ketika seorang pengawal
dengan teresa-gesa masuk ke rumah itu. Dengan tergesa-gesa
pula ia berkata, "Ki Samekta, aku, eh, para pengawas
mendengar suara titir di kejauhan. Kami melihat warna semburat
merah di langit." "Kebakaran maksudmu?"
Pengawal itu mungangguk, "Ya."
Sejenak para pemimpin itu saling berpandangan. Segera
mereka mengetahui, bahwa Wigatri telah berbuat sesuatu.
"Dari arah mana kau melihat api itu?"
"Di padukuhan induk."
Samekta menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Wigatri masih
juga dibakar oleh darah mudanya. Agaknya pasukan berkuda itu
langsung membuat huru-hara di padukuhan induk, atau
padukuhan-padukuhan lain dekat padukuhan induk.
"Mereka adalah anak-anak yang berani," gumam Wrahasta.
Samekta menganguk-anggukkan kepalanya. Keberanian
anak-anak muda itu memang tidak disangsikan lagi. Namun
yang masih perlu ditekankan kepada Wigatri adalah
pertimbangan di samping luapan perasaan yang hampir tidak
terkendali. "Marilah kita melihat," desis Samekta. "Dan Ki Argapati pun
harus segera mendengar laporan ini pula."
Sejenak kemudian maka Samekta, Wrahasta, Pandan Wangi,
dan beberapa orang pemimpin yang lain pun segera keluar regol
untuk melihat apa yang terjadi, sedang seorang penghubung
telah langsung pergi melaporkan kepada Ki Argapati.
Ketika para pemimpin pasukan Pengawal Tanah Perdikan
Menoreh melihat langit yang diwarnai oleh nyala api, serta suara
titir yang seolah-olah memekik-mekik, maka terasa dada mereka
pun tergetar. "Rumah siapakah yang telah menjadi korban pertama ini?"
desis Samekta. "Wigatri tahu benar, siapakah yang masih harus mendapat
perlindungan, dan siapakah yang benar-benar telah berkhianat,"
sahut Wrahasta yang masih dialiri oleh darah mudanya pula.
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sejenak
ia tidak menyahut. Yang dipandanginya kini adalah obor-obor
yang menjadi gelisah pula. Agaknya api dan suara titir itu telah
menarik perhatian pasukan Sidanti yang sedang mengepung
padesan itu. "Apakah yang sudah terjadi?" bertanya Ki Tambak Wedi.
"Kebakaran," jawab Argajaya. "Tetapi titir itu adalah pertanda
bahwa daerah itu dilanda oleh bahaya"
Ki Tambak Wedi menggeram. Tetapi ia tidak segera
mengambil kesimpulan. "Kita harus melihat apa yang telah terjadi," berkata Sidanti.
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
ia tidak segera terpengaruh oleh keadaan itu. Sebagai seorang
yang cukup berpengalaman ia mampu mengendalikan diri dan
berbuat dengan kepala yang dingin.
"Kita harus segera menarik pasukan ini," tiba-tiba Ki Muni
memotong dengan nafas tersengal-sengal, "aku melihat api dan
mendengar suara titir."
"Kami telah melihatnya pula," sahut Argajaya.
"Kalau begitu, kita harus segera kembali. Kita harus segera
melawan serangan yang membabi buta itu."
"Tunggu," potong Ki Tambak Wedi, "jangan seperti anak-anak
kehilangan makanan." Ki Tambak Wedi berhenti sejenak, lalu,
"Kita tetap di sini. Perintahkan dua orang untuk melihat apa yang
telah terjadi." "O, jadi kau menunggu seluruh padukuhan induk menjadi
karang abang?" teriak Ki Muni.
"Cepat!" Ki Tambak Wedi seolah-olah tidak mendengar suara
Ki Muni. "Kemudian mereka harus datang kemari lagi. Berkuda."
Sejenak kemudian maka dua orang anak buah Sidanti
meninggalkan pasukannya untuk kembali ke pedukuhan induk.
Mereka harus melihat apa yang telah terjadi. Dan mereka pun
harus segera kembali, bahkan berkuda.
Dengan demikian, maka keduanya segera berlarlari kecil
memintas persawahan. Berlarlari sepanjang pematang dan
meloncat parit-parit kecil. Sementara itu di kejauhan masih
dilihatnya warna merah menjilat langit.


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Samekta dan para pemimpin pasukan pengawal Tanah
Perdikan Menoreh masih berada di tempatnya. Mereka rnenjadi
berdebar-debar ketika mereka melihat, sama sekali tidak ada
perubahan pada gelar lawannya. Betapa gelisah obor-obor yang
melingkari padesan itu, namun obor itu tidak beranjak dari
daerah lingkarannya. "Apakah Ki Tambak Wedi sama sekali tidak memperhatikan
kebakaran itu?" desis Wrahasta.
"Ki Tambak Wedi adalah orang yang cukup berpengalaman"
sahut Samekta. "Mungkin ia sedang menimbang-nimbang.
Mungkin ia sedang memerintahkan satu dua orang untuk melihat
apa yang sedang terjadi. Atau masih ada kemungkinankemungkinan
yang lain. Tetapi aku yakin, bahwa yang terjadi
akan berpengaruh pada lawan kita."
Wrahasta tidak menjawab. Tetapi tatapan matanya seolaholah
menyala memandangi obor-obor yang masih saja berada di
kejauhan. "Kita tidak perlu menungguinya di sini," berkata Samekta
kemudian. "Kami akan mendapat laporan segera apabila terjadi
perubahan keadaan. Di tengah-tengah sawah itu bertebaran
para petugas sandi yang akan dapat memberitahukan setiap
gerakan lawan." Wrahasta menganggukkan kepalanya. "Baik. Sementara kita
menunggu perkembangan keadaan."
Samekta dan para pemimpin yang lain pun segera masuk dan
kembali ke tempat pimpinan. Sementara para petugas tetap
mengawasi keadaan dengan saksama.
Di luar padesan itu, agak di kejauhan, Ki Tambak Wedi
menunggu orang-orangnya dengan gelisah. Sementara itu Ki
Muni menggerutu tidak habis-habisnya. Sedang Sidanti,
Argajaya, dan Ki Wasi duduk merenung sambil sekalsekali
mengawasi warna merah di langit.
Ketika mereka telah hampir kehilangan kesabaran, maka
terdengarlah derap dua ekor kuda mendekat. Semakin lama
semakin dekat. Ternyata mereka adalah dua orang petugas
yang telah dikirim oleh Sidanti untuk melihat keadaan.
"Apa yang telah terjadi?" bertanya Sidanti tidak sabar.
"Sebuah serangan dari sepasukan berkuda," jawab salah
seorang dari mereka. "Pasukan berkuda?" tanya Argajaya meloncat berdiri.
"Siapakah mereka itu?" desak Sidanti.
"Kami tidak dapat menyebutkan, siapakah mereka itu. Hampir
semua dari mereka memakai secarik kain putih di lehernya, dan
bahkan sebagian untuk menutup wajah mereka sehingga hanya
mata mereka sajalah yang tampak."
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya, sedang Sidanti dan
Argajaya menggeram hampir bersamaan.
"Jangan terkejut," Ki Tambak Wedi berkata dengan nada
datar. "Dalam keadaan yang sulit, orang-orang Menoreh pasti
telah membuat permainan yang memuakkan."
"Dalam sekaratnya Argapati masih dapat membuat onar,"
sahut Ki Muni. "Tetapi bukankah Argapati telah mati. Kalau tidak semalam
maka pasti siang tadi. Bukankah begitu Ki Muni?" sahut Sidanti
yang mulai menjadi jengkel terhadap orang yang banyak bicara
itu. Mata Ki Muni terbelalak mendengar kata-kata Sidanti itu.
Hampir saja ia berteriak, tetapi ketika dilihatnya Ki Tambak Wedi
maka maksudnya itu pun diurungkannya.
"Siapa tahu," ia bergumam. "Tidak seorang pun mengerti apa
yang sebenarnya telah terjadi dengan Argapati. Mungkin ia
memang sudah mati sekarang."
"Kita tidak berbicara tentang kemungkinan," sahut Sidanti,
"kita sekarang berbicara tentang semua persoalan yang benarbenar
terjadi dan telah terjadi." Lalu kepada kedua orang
berkuda itu ia bertanya, "Apakah yang dapat kau katakan
tentang mereka itu?"
Kedua orang itu termenung sejenak, katanya, "Mungkin
bukan sesuatu yang penting untuk diketahui, tetapi yang kami
dengar pada mereka, adalah sesuatu yang tidak lazim terjadi di
atas Tanah Perdikan Menoreh ini."
"Apa, apa yang kau dengar itu?"
"Di antara mereka terdapat beberapa orang yang bersenjata
cambuk. Demikian keterangan yang aku dengar dari mereka
yang melihat langsung orang-orang berkuda itu."
Hampir bersamaan Ki Tambak Wedi, Argajaya, dan Sidanti
terloncat maju. Dan hampir bersamaan pula mereka bertanya,
"Orang bercambuk?"
"Ya," jawab orang itu. Tapi ia sendiri menjadi heran. Kenapa
Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya terperanjat mendengar
keterangannya. "Apakah kau berkata sebenarnya?" bertanya Sidanti.
"Demikianlah menurut pendengaranku. Aku sendiri tidak
sempat menyaksikan. Ketika aku sampai di tempat itu mereka
telah pergi sambil meninggalkan api."
Ternyata berita itu bagi Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan
Argajaya adalah berita yang mendebarkan jantung. Meskipun
mereka belum dapat meyakinkan perasaan mereka, tapi
tanggapan mereka atas berita itu langsung meloncat ke
peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di seberang alas
Mentaok. Dua orang yang bertugas melihat keadaan dan
mengabarkanya itu menjadi semakin heran. Agaknya senjata
cambuk itu benar-benar telah menarik perhatian. Bahkan
seorang yang telah hampir mumpuni seperti Ki Tambak Wedi
pun masih juga terkejut mendengar berita tentang cambuk itu.
Sementara itu Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya saling
berpandangan sejenak. Meskipun mereka tidak mengucapkan
kata-kata, tetapi seolah-olah mereka telah berbicara panjang
lebar tentang segala macam kemungkinan.
Dan sejenak kemudian Ki Tambak Wedi bertanya, "Apakah
yang sudah dilakukan oleh orang-orang yang bersenjata cambuk
itu" Apakah mereka membunuh lawan-lawannya atau membuat
para peronda ketakutan?"
Salah seorang dari kedua petugas itu menjawab, "Tidak, Kiai.
Mereka tidak berbuat apa-apa. Memang mereka berkelahi
sejenak. Hanya sejenak, karena kemampuan mereka seolaholah
tidak terlawan, sedang senjata mereka yang aneh itu
terlampau liar. Tetapi mereka tidak membunuh seorang pun.
Mereka hanya membakar dua buah gubug kecil yang sudah
hampir roboh, sebuah gardu, dan dua buah kandang kuda yang
kosong, karena kuda-kudannya telah dikumpulkan dan dipakai
oleh pasukan kita." Sekali lagi Ki Tambak Wedi menggeram. Mereka tidak melihat
apa yang telah terjadi. Tetapi gambaran itu samakin
mendekatkannya kepada suatu dugaan tentang seseorang yang
paling dibencinya selama ini, sejak ia berada di Tambak Wedi.
Bahwa orang-orang yang bersenjata cambuk itu tidak melakukan
pembunuhan dan sekedar membakar barang-barang yang tidak
penting seolah-olah sengaja dipilihnya, semakin menguatkan
dugaannya atas sifat dan watak orang ttu.
"Apakah pasukan kecil yang telah aku persiapkan di Pucang
Kembar juga telah dibinasakan oleh orang yang bersenjata
cambuk itu?" pertanyaan itu telah tumbuh di hati Ki Tambak
Wedi. Sedang Sidanti dan Argajaya seolah-olah telah dicengkam
oleh suatu perasaan yang tidak menentu.
Dengan demikian maka sejenak para pemimpin dari pasukan
yang menentang kekuasaan Argapati itu terdiam dalam
cengkaman yang menggelora.
"Aku tidak tahu, apakah yang sebenarnya telah terjadi?"
bertanya Ki Muni. "Kenapa berita tentang orang-orang yang
bersenjata cambuk itu tampaknya terlampau membingungkan,
bahkan mencemaskan?"
Ki Tambak Wedi berpaling. Katanya, "Pada saatnya kau akan
tahu bahwa pengetahuanmu tentang obat-obatan itu sama sekali
tidak berarti dibandingkan dengan orang yang bersenjata
cambuk itu." "He, siapakah orang itu?"
"Belum pasti. Tetapi sebaiknya kau dan Ki Wasi pada saatnya
berkenalan dengannya."
Ki Wasi mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia pun
bertanya, "Siapakah orang itu?"
Tetapi Ki Tambak Wedi menggelengkan kepalanya. "Aku
tidak tahu. Semuanya masih sekedar dugaan. Kalau aku telah
melihat sendiri, maka semua akan menjadi jelas."
"Tetapi bagaimana Ki Tambak Wedi akan melihat mereka"
Apakah gerakan mereka dapat diduga sebelumnya?" bertanya Ki
Wasi kemudian. Pertanyaan itu memang sulit untuk dijawab. Meskipun
demikian Ki Tambak Wedi berkata, "Kita harus berusaha.
Tepatnya aku akan berusaha supaya suatu ketika aku dapat
bertemu dengan mereka di mana pun."
Ki Wasi mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara itu Ki
Muni maju beberapa langkah. "Ki Tambak Wedi, tidak seorang
pun di dunia ini yang dapat melampaui kepandaian Ki Muni
dalam hal obat-obatan. Mungkin aku tidak dapat mengalahkan Ki
Tambak Wedi dalam olah kanuragan. Tegasnya kalau kita
berkelahi dengan pedang, maka aku pasti akan kalah. Tetapi
aku punya cara lain untuk mengalahkan lawanku. Ilmu itu tidak
akan dapat dilawan. Seperti ilmu obat-obatan yang aku miliki.
Aku menguasai segala macam racun dan penawarnya, segala
macam dedaunan dan akar-akaran, bisa ular, kumbang,
kemladean, kadal hijau berleher merah, semut salaka, laba-laba
hijau bergelang perak, dan segala macam binatang. Tidak ada
seorang pun yang mampu menguasai ilmu seperti itu."
"Kita tidak perlu segala macam ilmu tetek bengek itu," potong
Sidanti dengan kesalnya. "Aku memerlukan kekuatan yang dapat
mengalahkan orang-orang yang bersenjata cambuk itu. Habis
perkara. Aku tidak peduli dengan apa ia melawan. Dengan
pedang, dengan tombak, atau dengan mulutnya."
Wajah Ki Muni itu serasa disengat oleh api. Sejenak ia berdiri
tegak di tempatnya, seperti tonggak yang mati. Betapa dadanya
menggelora, namun mulutnya serasa terkunci.
Ki Tambak Wedi menjadi berdebar-debar juga mendengar
kata-kata Sildanti yang terlampau tajam itu, sehingga ia
mencoba untuk menenangkan gelora di dada Ki Muni. "Jagalah
sedikit perasaanmu Sidanti. Kita masih belum tahu pasti siapa
orang itu. Kegelisahanmu terlampau berlebih-lebihan sehingga
kau tidak sadar lagi apa yang kau ucapkan."
Sidanti sudah hampir membuka mulutnya, namun Ki Tambak
Wedi segera mendahului, "Tetapi yang penting sekarang mana
yang pertama-tama harus kita lakukan."
Ki Muni masih mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Tetapi ia
memang tidak dapat berbuat apa-apa, selagi Ki Tambak Wedi
masih ada di dekatnya. Ia merasa cukup mampu untuk
membungkam mulut Sidanti yang menyakitkan hati itu, tetapi
terhadap Ki Tambak Wedi ia merasa sama sekali tidak akan
mampu mengimbanginya. Itulah sebabnya ia terpaksa
minyimpan segala macam perasaan di dalam dadanya.
Namun di dalam hatinya ia bergumam, "Pada suatu saat anak
itu pasti akan berlutut sambil minta maaf kepadaku, apabila aku
dapat membuktikan, bahwa dengan ilmuku aku mampu
membunuh siapa pun juga dari kejauhan. Kalau benar ada
orang-orang bercambuk itu, aku dapat menggendamnya
sehingga tanpa sesadarnya mereka akan datang kepadaku.
Mudah-mudahan hatinya tidak berlapis baja, sehingga hal itu
mungkin aku lakukan. Sesuatu yang tidak akan terjadi pada
Argapati yang berhati teguh itu."
Berita tentang orang-orang yang bersenjata cambuk itu
benar-benar mencapai sasarannya. Ternyata sejak saat itu,
maka pertimbangan Ki Tambak Wedi menjadi semakin jelimet. Ia
tidak dapat berbuat dengan tergesa-gesa dan tidak dapat
terlampau percaya bahwa Ki Argapati benar-benar akan mati.
"Setan bercambuk itu adalah dukun yang hampir tidak ada
duanya," desisnya. "Kalau benar-benar ia berada di Menoreh,
maka keadaan akan menjadi lain. Aku harus lebih berhathati."
Sidanti yang duduk di sampingnya tidak menyahut. Namun
kerut-merut di keningnya membayangkan betapa hatinya
bergolak dengan dahsyatnya.
"Aku harus berusaha melihat, apakah dugaanku benar,"
berkata Ki Tambak Wedi. "Kalau kita hanya ditakut-takuti oleh
bayangan kita sendiri, maka kita adalah orang yang paling bodoh
di muka bumi ini." Demikianlah Ki Tambak Wedi benar-benar bertekad untuk
dapat melihat sendiri, siapakah orang yang bersenjata cambuk
itu. Dengan demikian maka di malam berikutnya ia tidak ikut
bersama-sama pasukan Sidanti yang masih berusaha
menurunkan ketabahan para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh dengan mengepung pusat pertahanannya. Pasukannya
kali itu dipercayakannya kepada Sidanti dan Argajaya,
didampingi oleh Ki Wasi dan Ki Muni beserta beberapa orang
yang datang dari luar Tanah Perdikan Menoreh.
Ki Tambak Wedi sendiri telah menyusup ke tempat yang
mungkin akan didatangi atau dilewati pasukan berkuda yang
semalam telah membakar beberapa buah kandang dan gardu.
Mungkin mereka akan kembali lagi atau pergi ke daerah di
sekitarnya. Sebelum itu Ki Tambak Wedi telah memerlukan menemui Ki
Peda Sura untuk meyakinkan pendengarannya tentang lawan Ki
Peda Sura. "Seorang anak muda," jawab Ki Peda Sura. Sebenarnya ia
tidak senang untuk menyebutnya karena harga dirinya.
"Apakah Ki Peda Sura dapat mengenal cirinya?"
"Tidak ada kekhususannya. Ia adalah seorang anak muda
yang mengagumkan. Lebih tangkas dari Pandan Wangi,
sehingga mereka berdua berhasil melukai aku."
"Apakah kau dapat menyebutkan sesuatu yang aneh atau
yang agak lain dari para pengawal tanah perdikan?"
"Aku yakin ia bukan anak tanah perdikan ini."
"Apakah jenis senjatanya?"
Ki Peda Sura tidak segera menjawab. Sebenarnya terlampau
berat untuk menyebutkan bahwa anak muda itu bersenjatakan
cambuk. Hanya sekedar cambuk.
Tetapi karena Ki Tambak Wedi telah mendesaknya, maka
mau tidak mau ia mengatakannya juga, "Memang aneh. Senjata
anak muda itu adalah sebuah cambuk. Cambuk yang berjuntai
panjang dan bertangkai pendek."
Dada Ki Tambak Wedi berdesir mendengar jawaban itu.
Keyakinannya tentang lawannya yang paling diseganinya di


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seberang Alas Mentaok menjadi semakin nyata terbayang di
kepalanya. Karena itu, maka tiba-tiba orang tua itu menggeram.
"Apakah kau pernah melihat atau mendengar sesuatu tentang
orang yang bersenjata cambuk itu?" bertanya Ki Peda Sura.
Ki Tambak Wedi tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi ia
justru minta diri dan berkata, "Aku akan melihat, apakah yang
sebenarnya sedang kita hadapi ini. Apakah kita sedang
berhadapan dengan kelinci atau dengan harimau loreng."
Ki Peda Sura yang masih belum sembuh benar heran
mendengar kata-kata itu. Tetapi ia tidak sempat bertanya
sesuatu karena Ki Tambak Wedi segera pergi meninggalkannya.
Tetapi sayang bahwa malam itu Ki Tambak Wedi tidak
bertemu dengan orang-orang berkuda dan yang di antara
mereka itu bersenjata cambuk. Ternyata orang-orang berkuda itu
telah menempuh jalan yang lain sama sekali dari jalan yang
diduga oleh Ki Tambak Wedi. Orang-orang berkuda itu sama
sekali tidak menimbulkan kerusakan dan bencana apa pun.
Mereka hanya mendatangi beberapa gardu. Membentak para
peronda yang sebenarnya mereka ketahui dengan pasti, bahwa
orang-orang itu berpihak kepada Sidanti, tetapi mereka sama
sekali tidak dilukainya. Seperti pada saat ia datang dengan tiba-tiba, maka dengan
tiba-tiba pula mereka pergi sambil meninggalkan getar yang
meledak dari ujung-ujung cambuk mereka.
"Beberapa orang bersenjata cambuk," bisik para peronda itu.
Kawannya menganggukkan kepalanya sambil meraba
lehernya. "He, apakah lehermu ini tidak putus?"
"Kenapa?" bertanya yang lain.
"Seharusnya mereka menyembelih kita seperti menyembelih
kambing. Tetapi mereka pergi tanpa berbuat sesuatu."
Keheranan yang ternyata merata di beberapa gardu yang
lain. Agaknya orang-orang berkuda dan bercambuk itu telah
mendatangi beberapa buah gardu berturut-turut.
Sebenarnyalah bahwa orang-orang berkuda itu telah
mendapat pesan dari Ki Argapati untuk tidak membunuh apabila
tidak terpaksa. Mereka yang menyaksikan kehadiran orangorang
berkuda itu harus dibiarkan hidup supaya mereka dapat
berceritera tentang apa yang dilihatnya. Tentang orang-orang
berkuda dan tentang orang-orang yang bersenjata cambuk.
Ketika laporan itu sampai ke telinga Ki Tambak Wedi, maka
kemarahannya pun meluap sampai ke ubun-ubun. Memang
terlampau sulit baginya untuk menjelajahi daerah seluas Tanah
Perdikan Menoreh untuk berusaha bertemu dengan orang-orang
berkuda yang mempunyai tujuan tidak menentu itu.
"Aku akan menjelajahi daerah ini malam nanti dengan kuda
pula. Aku akan menyilang semua jalan dan lorong-lorong," ia
menggeram. "Aku ikut pergi bersama Guru," minta Sidanti.
"Kau tetap berada di pasukanmu. Kalau desa itu tidak kita
kepung mungkin pasukan berkuda itu pun tidak bergerak,"
berkata Ki Tambak Wedi kemudian. "Kau tidak usah
mencemaskanku. Aku pasti bahwa seandainya dugaan kita
benar, yang pergi bersama orang-orang berkuda itu bukan yang
tua. Tetapi anak-anak yang masih sepanas nafas mudamu."
Demikianlah maka pada malam berikutnya, Ki Tambak Wedi
benar-benar pergi seorang diri di atas punggung kuda,
menyelusuri jalan dan lorong, untuk menemukan serombongan
pasukan berkuda yang berkeliaran di Tanah Perdikan Menoreh
di malam hari. Tetapi usaha Ki Tambak Wedi itu tidak segera
dapat berhasil karena ada beratus-ratus jalan silang menyilang
di atas Tanah Perdikan Menoreh.
Namun sementara itu kekuasan Argapati benar-benar telah
terkurung dalam daerah yang sangat sempit. Di siang hari
pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh kadang-kadang
dapat berhubungan dengan padesan-padesan di sekitar tempat
mereka bertahan. Namun semakin lama orang-orang di padesan
itu pun menjadi semakin ketakutan. Orang-orang Sidanti selalu
mengancam siapa saja yang berhuhungan dengan para
pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Apa lagi bagi mereka yang
bersedia memberikan perbekalan. Meskipun demikian, masih
juga ada orang-orang yang dengan beraninya berusaha
membantu para pengawal yang seolah-olah terkurung dalam
pemusatan pasukannya. Sementara itu luka Ki Argapati sendiri menjadi semakin
berangsur berkurang. Tetapi betapa lambatnya perkembangan
kesehatannya, karena obat yang diterimanya dari orang
bercambuk itu seolah-olah sudah tidak dapat membantunya
sama sekali. Kekuatannya menjadi hambar setelah berharhari
melekat di atas luka. Namun luka itu kini tidak lagi berbahaya
bagi jiwanya. Luka itu kini telah menjadi luka biasa, karena
racunnya telah menjadi tawar. Meskipun demikian, luka biasa
yang sekian panjang dan dalamnya di dada adalah luka yang
terlampau parah. Persoalan-persoalan itu, tentang luka, tentang bahan
makanan yang menipis, tentang kesempatan bergerak yang
semakin sempit, dan tentang berbagai macam hal, selalu
menimbulkan masalah bagi para pemimpin pasukan pengawal
tanah perdikan. Setiap hari mereka berusaha mencari
pemecahan yang paling baik yang dapat dilakukan. Tetapi
mereka masih belum menemukan jalan yang lurus dan lapang.
Yang dapat mereka lakukan adalah mengatasi kesulitan buat
sementara dan sementara. Namun apa yang didengar oleh Argapati, dapat memberinya
sedikit harapan. Ternyata beberapa petugas sandinya telah
menangkap hasil usahanya, gelar sandi. Orang-orang di seluruh
Menoreh kini membicarakan orang-orang berkuda, dan orangorang
yang ada diantara mereka, yang mempergunakan cambuk
sebagai senjata menonjolkan senjata-senjata cambuk itu,
sehingga benar-benar berkesan pada orang-orang yang
melihatnya dan bahkan mengalami sekali dua kali disengat oleh
ujung senjata yang aneh itu. Tetapi kesan mereka pada
umumnya adalah menganggap orang-orang berkuda dan
terutama orang yang bersenjatakan cambuk itu terlampau aneh.
Ternyata berita tentang orang-orang bercambuk itu benarbenar
telah merata sebelum Ki Tambak Wedi berhasil
menemukan mereka pada suatu saat. Hampir saja Ki Tambak
Wedi menjadi jemu. Namun adalah tugasnya untuk berusaha
memecahkan teka-teki tentang orang-orang berkuda itu.
"Kalau aku tidak segera berhasil menemukan mereka, aku
harus berada di mulut sumbernya, sehingga aku dapat melihat
mereka keluar dari padesan itu dan mengikuti sampai jarak yang
cukup, meskipun dapat berakibat mereka membatalkan
perjalanan mereka apabila mereka merasa seseorang mengikuti
mereka," berkata Ki Tambak Wedi dalam hatinya. Memang agak
sulit baginya untuk mengikuti mereka dengan berkuda pula
tanpa diketahui oleh orang-orang berkuda itu sampai jarak yang
cukup jauh dari padesan tempat pasukan pengawal yang masih
setia kepada Argapati itu bertahan. Tetapi apabila tidak ada jalan
lain yang dapat dipilih, maka jalan itu pun akan dilalukannya.
Sudah tentu Ki Tambak Wedi tidak akan menghentikan orangorang
berkuda itu selagi mereka masih berada di sekitar
pemusatan pasukan Menoreh itu. Sebab dengan demikian,
mereka masih akan dapat memberikan tanda-tanda sandi untuk
mengundang orang-orang tua yang mungkin berada di tempat
itu, terutama orang bercambuk itu.
Tetapi ternyata berita tentang orang-orang yang bersenjata
cambuk itu tidak hanya menggelisahkan Ki Tambak Wedi saja.
Pada saat Ki Tambak Wedi berusaha matmatian untuk
menjumpai mereka, maka di sebuah gubug terpencil, di sudut
desa yang kecil, dua orang anak muda sedang duduk
menghadapi seorang tua yang duduk tepekur di atas sehelai
tikar yang dibentangkan di atas jerami kering.
"Kami juga telah mendengar, Guru," berkata salah seorang
anak muda yang menyebut dirinya bernama Gupita.
"Hampir setiap mulut mengatakan tentang serombongan
orang-orang berkuda dan bersenjata cambuk," sambung yang
lain, seorang anak muda gemuk bulat, dan menamakan dirinya
Gupala. Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Apakah kita terpaksa melibatkan diri kita dengan langsung ke
dalam persoalan ini?"
"Kita tidak akan dapat tinggal diam, Guru," sahut Gupita. "Kita
akan berkepentingnn langsung. Apakah kita dapat melihat
Sidanti dan Ki Tambak Wedi menguasai daerah ini?"
Orang tua itu tidak segera menjawab. Dan Gupita
melanjutkannya, "Kalau kali ini mereka berhasil, maka mereka
akan menginginkan lebih banyak lagi."
"Mereka akan melintasi alas Mentaok, Guru. Prambanan akan
terancam dan Sangkal Putung adalah pancadan yang paling
baik untuk pergi ke Pajang."
"Ya. Ya," jawab orang tua itu, "kalian benar."
"Adalah kuwajiban kita untuk berbuat sesuatu di sini."
Orang tua itu masih mengangguk-snggukkan kepalanya.
Namun kemudian ia berkata, "Tetapi aku menyesal, cara yang
ditempuh oleh Argapati itu seolah-olah telah menyudutkan kita
ke dalam persoalan ini. Apa pun yang akan kita lakukan, kesan
yang didapat oleh Ki Tambak Wedi adalah bahwa orang-orang
yang bersenjata cambuk itu telah ikut serta secara langsung.
Mungkin Argapati menganggap dan memperhitungkan, bahwa Ki
Tambak Wedi pun pernah mendengar dan mengenal orangorang
yang bersenjata cambuk. Sekalipun cara ini dipakai oleh
Ki Argapati untuk memaksa oang-orang bercambuk yang
sesungguhnya untuk tampil di arena."
Kedua anak-anak muda yang bernama Gupita dan Gupala itu
pun menundukkan kepalanya dalam-dalam. Mereka menyadari
kebenaran kata-kata gurunya. Tetapi dorongan di dalam hati
mereka sendiri menghendaki, agar mereka secara langsung ikut
serta di dalam persoaan ini. Apalagi anak muda yang gemuk itu,
yang merasa langsung terancam apabila Sidanti benar-benar
dapat menguasai tanah perdikan yang besar ini.
Namun mereka tidak berani menekankan pendapat mereka.
Mereka pun menyadari bahwa gurunya itu sebenarnya condong
kepada sikapnya pula. Tetapi sebagai orang tua, gurunya pasti
jauh lebih berhathati daripada mereka sendiri.
"Sekarang kita tidak dapat menghindar lagi," berkata orang
tua itu selanjutnya, "sehingga mau tidak mau kita harus
menentukan sikap." "Apakah yang akan kita lakukan, Guru?" bertanya Gupita.
"Kita terpaksa melibatkan diri kita. Meskipun demikian kita
tidak akan berbuat tergesa-gesa," jawab gurunya.
"Tetapi keadaan telah memanjat semakin panas. Kalau
malam yang pertama sejak Argapati terluka itu, Ki Tambak Wedi
mengambil langkah yang benar maka Ki Gede Menoreh pasti
akan menjadi semakin parah. Bukan saja lukanya tetapi juga
kedudukannya." Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Kita
sudah tentu tidak akan membiarkannya. Aku melihat keraguTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
raguan sikap Tambak Wedi pada malam itu, menilik gelar yang
dipergunakan, sehingga aku pasti bahwa Tambak Wedi tidak
akan segera berbuat sesuatu. Kegagalan Tambak Wedi di
Pucang Kembar pasti diperhitungkannya juga. Kemudian
kekalahan Ki Peda Sura dan tanda-tanda lain yang dapat
menghambat maksud Ki Tambak Wedi, ditambah kecerdasan
berpikir orang-orang Argapati dengan membentuk pasukan
berkuda itu. Apalagi Argapati telah membuat tiruan dari orangorang
yang bersenjata cambuk seperti kita. Sekaligus ia
mendapat dua keuntungan. Ia dapat membuat Ki Tambak Wedi
semakin ragu-ragu dan memaksa kita untuk tampil."
Kedua anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi mereka tidak segera menyahut.
"Sekarang," berkata orang tua itu, "kita harus mulai. Tetapi
kita tidak akan dapat dengan serta-merta datang menemui
Argapati. Kita harus menilai suasana lebih dahulu, sementara Ki
Tambak Wedi jangan sampai melihat lebih dahulu, bahwa kita
sebenarnya hadir di sini."
"Tetapi bagaimanakah kalau Ki Tambak Wedi itu segera tahu
bahwa orang-orang berkuda itu sama sekali bukan orang-orang
yang dibayangkannya" Bukankah dengan demikian ia akan
segera menyerang Ki Argapati?" bertanya Gupita.
"Mungkin," jawab gurunya. "Kita pun tidak akan menunda
terlampau lama. Dalam pada itu, obat yang kita berikan kepada
Ki Argapati itu pun pasti sudah hambar. Ia memerlukan obat
baru. Mudah-mudahan tidak ada orang lain yang mencampur
obat itu dengan jenis obat-obatan yang lain yang dapat
memperlemah daya penyembuhnya atau bahkan saling
memunahkan. Dan mudah-mudahan tidak pula disusupi oleh
obat dari Ki Wasi atau lebih-lebih lagi Ki Muni."
"Jadi, apakah kita akan menemui Ki Argapati untuk
menyerahkan obat itu?" bertanya Gupala.
"Ya," jawab gurunya, "tetapi kita memerlukan cara yang tidak
terlampau kasar." "Maksud Guru?" "Salah seorang dari kita harus dapat melihat suasana lebih
dahulu, supaya kita tidak menemukan kesulitan. Kita minta
waktu kepada Argapati kapan ia dapat menerima kita. Kalau
tidak, mungkin kita akan berurusan dengan para peronda dan
para pengawal. Apabila demikian keadaan kita akan dapat
menjadi sulit, sebab mereka sama sekali belum mengenal kita."
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan
sejenak kemudian Gupala berkata, "Baiklah. Aku akan nencoba
mencari kesempatan untuk bertemu dengan Ki Argapati."
"Jangan kau, Gupala."
"Kenapa Guru?" "Bentuk tubuhmu terlampau mudah untuk dikenal. Setiap
orang akan mengatakan bahwa satu di antara orang-orang
bercambuk itu bertubuh gemuk bulat. Nah,setiap orang akan
segera mengenal siapa kau sebenarnya."
"Bukankah kita tidak berkeberatan, Guru, seandainya Ki
Tambak Wedi segera mengetahui?"
"Sementara ini jangan. Aku sebenarnya senang juga melihat
Tambak Wedi kebingungan. Semalam aku melihat ia berpacu
dengan kudanya seperti orang gila. Mungkin ia ingin
membuktikan dengan mata kepalanya sendiri, siapakah
sebenarnya orang-orang bercambuk itu. Kalau ia segera
menemukan kepastian karena orang-orangnya mengenalmu,
maka ia akan segera menentukan sikap. Apa pun yang akan
dilakukannya." Gupala menarik nafas dalam-dalam. Tanpa disengajanya, ia
memandangi anggauta badannya. Tangannya yang sebesar


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pering petung, kakkakinya dan jarjarinya. "Hem," ia menarik
nafas dalam-dalam. "Jadi, Kakang Gupita lagi yang mendapat kesempatan. Kali ini
seperti waktu yang terdahulu?"
*** Gurunya tersenyum, dan Gupita pun tersenyum.
"Baiklah," Gupala seakan-akan mengeluh.
"Lain kali kau akan mendapat kesempatan pula dalam tugas
yang yang lain." Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun sorot
matanya membayangkan hatinya yang kecewa.
"Kapan aku harus membawa obat itu, Guru?" bertanya
Gupita, "Segera. Tetapi kau harus berusaha, bahwa kau akan
bertemu dengan Ki Argapati sendiri. Aku akan mengawasi kau
dari kejauhan bersama Gupala."
"Tetapi," tiba-tiba Gupala memotong, "Ki Argapati justru
pernah mengenal aku."
"Tetapi bukan petugas sandi Ki Tambak Wedi. Kalau salah
seorang dari mereka melihat kau dan mengatakannya kepada Ki
Tambak Wedi, maka segera Ki Tambak Wedi yakin, bahwa
orang bercambuk yang gemuk bulat itu adalah kau. Sudah tentu
bersama kita semua."
Gupala tidak segera menyahut. Tetapi ia tidak mengerti
kenapa gurunya berkeberatan. Bukankah pada saatnya nanti Ki
Tambak Wedi akan tahu juga bahwa mereka berada di Tanah
Perdikan Menoreh ini bersama-sama"
Namun demikian Gupala memang harus mematuhinya.
Sehingga betapa ia berkeinginan untuk berperanan, namun niat
itu harus disimpannya saja di dalam hati.
Maka setelah menyediakan beberapa jenis obat-obatan yang
akan dapat menolong Ki Argapati dari lukanya yang parah, maka
Gupita pun segera harus berangkat. Gurunya memberinya
beberapa macam pesan apabila ia menghadapi kesulitan.
Sementara ia mendekati padesan tempat pemusatan pasukan
Tanah Perdikan Menoreh, gurunya dan Gupala akan
mengawasinya dari kejauhan.
"Kalau kau benar-benar tidak dapat mengatasi kesulitan yang
datang dengan tiba-tiba, maka panggillah kami dengan ledakan
cambukmu," pesan gurunya. "Kami tidak akan terlampau jauh
daripadamu." "Baik, Guru," jawab Gupita yang segera minta diri kepada
gurunya dan kepada adik seperguruannya.
Dengan hathati Gupita, gembala yang bersenjata cambuk itu
pun segera pergi mendekati padukuhan tempat pemusatan para
pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kali ini ia tidak
membawa seekor kambing pun. Ia harus dapat menerobos
masuk dan menyerahkan obat itu kepada Ki Argapati sendiri
sambil membicarakan kemungkinan, bahwa gurunya akan
datang sendiri untuk menemui Ki Argapati.
Di padukuhan yang dilingkari dengan pohon pering ori, para
pemimpin pasukan pengawal selalu dipeningkan oleh kesulitankesulitan
yang setiap saat timbul. Kekurangan makanan telah
mulai membayang, meskipun di lumbung masih ada persediaan.
Namun persediaan itu telah menipis. Sedang tidak seorang pun
dari orang-orang padukuhan itu yang dapat keluar untuk
menggarap sawah mereka, karena dengan demikian akan dapat
membahayakan kedudukan para prajurit. Yang mereka harapkan
adalah bantuan bahan makanan dari daerah di sekitar desa itu,
yang kini semakin ketat diawasi oleh orang-orang Sidanti yang
agaknya lebih leluasa berkeliaran hampir di seluruh daerah
tanah perdikan ini. Selain masalah-masalah yang tumbuh pada lingkungan
pasukan itu sendiri, maka Pandan Wangi juga dibebani oleh
persoalan pribadi yang kadang-kadang membuatnya kehilangan
akal. Sebagai seorang gadis, kadang-kadang Pandan Wangi
mengurung dirinya di dalam biliknya sambil menangis.
Pertanyaan Wrahasta benar-benar telah membuatnya cemas.
Tetapi sampai begitu jauh, ia sama sekali tidak berani
mengatakannya kepada ayahnya. Sehingga kegelapan hati itu
disimpannya sendiri di dalam dadanya.
Masalah-masalah yang menyangkut Tanah Perdikan
Menoreh dapat diperbincangkannya dengan banyak orang.
Betapapun berat, namun agak lapanglah rasa dadanya, karena
beban itu ditanggungkan oleh orang-orang lain pula. Tetapi
beban perasaannya yang satu ini sama sekali harus dipikulnya
sendiri. Tidak ada kawan untuk berbagi. Ayahnya juga tidak.
Karena luka ayahnya sendiri masih cukup parah, sedang
obatnya pun telah hampir punah daya penyembuhnya. Dengan
demikian ia tidak sampai hati untuk menambah beban perasaan
Argapati yang sedang disaput oleh keprihatinan itu.
Untuk sementara yang dapat dilakukan oleh Pandan Wangi
adalah selalu berusaha untuk menghindari pertemuan seorang
dengan seorang dari Wrahasta. Setiap kali ia selalu berusaha
untuk berada di dekat Kerti atau Samekta, bahkan pemimpin
pasukan yang lain kecuali Wrahasta, meskipun ia berusaha
sedapat-dapat dilakukan, untuk tidak menimbulkan kesan yang
menyakitkan hati pada anak muda yang bertubuh raksasa itu.
Sebenarnyalah bahwa Wrahasta selalu mencari kesempatan
untuk dapat menemui Pandan Wangi seorang diri. Namun
usahanya itu masih belum pernah berhasil. Setiap kali pasti ada
orang lain di antara mereka. Dan orang lain itu rasa-rasanya
benar-benar mengganggunya.
Di siang hari, Pandan Wangi lebih banyak bersama-sama
dengan pamomongnya yang tua, Kerti. Hampir setiap saat Kerti
selalu dibawanya. Meskipun tidak jelas, tetapi Pandan Wangi
telah membayangkan kesulitannya kepada orang tua itu. Tetapi
di malam hari, Kerti selalu berada di desa sebelah untuk
memimpin pasukan yang mengawal keluarga dalam
pengungsian. "Apakah Paman Kerti harus bertugas di sana setiap malam?"
bertanya Pandan Wangi ketika mereka bersama-sama berdiri di
mulut regol. Kerti menganggukkan kepalanya sambil menjawab "Ya, aku
harus pergi ke sana."
"Apakah tidak dapat secara bergilir, orang lain yang harus
memimpin pasukan itu?"
"Tentu saja dapat," jawab Kerti, "tetapi kini masih belum
waktunya." Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
menengadahkan wajahnya, dilihatnya matahari sedang
memanjat langit. Cahayanya masih belum terlampau panas,
namun kecerahan sinarnya membuat dedaunan seakan-akan
ikut bersinar. Namun Pandan Wangi itu tiba-tiba menarik nafas dalamdalam.
Ia tidak sempat menikmati cahaya pagi yang segar ini
sepuas-puasnya seperti ketika tanah perdikan ini masih belum
dibakar oleh api kedengkian dan nafsu. Ketika itu, apabila ia
berpakaian seperti yang dikenakannya kini, adalah saat-saat
yang menyenangkan. Karena dengan pakaian ini ia pasti berada
di padang perburuan bersamn Kerti dan satu dua pengawal.
Tetapi kini tidak. Kalau kali ini ia berada di padang perburuan,
adalah perburuan yang paling buas yang dikenalnya. Berburu
sesamanya, manusia. Angan-angan itu telah membuat Pandan Wangi menjadi
semakin muram. Dengan mata yang sayu ditatapnya sinar
matahari yang jatuh di atas rerumputan liar di tanah persawahan
yang tidak sempat disentuh oleh tangan.
"Tanah itu benar telah kering," desisnya.
Kerti berpaling. Ia mendengar suara Pandan Wangi, tetapi ia
tidak segera menyahut. Tetapi tiba-tiba Pandan Wangi itu mengangkat wajahnya.
Sesuatu telah menyentuh hatinya lewat telinganya. Suara
seruling. Mula-mula Pandan Wangi ragu-ragu atas pendengarannya
sendiri. Di dalam keadaan serupa ini, apakah ada seseorang
yang sempat meniup serulingnya" Apalagi suara itu datang dari
arah luar benteng bambu berduri yang meugelilingi desa itu.
Tiba-tiba teringat olehnya seorang gembala yang biasa
bermain-main dengan serulingnya. Ia pernah menemui gembala
itu bermain seruling di muka pasukan pengawal tanah perdikan
ini yang sudah dalam kesiagaan tertinggi sewaktu masih berada
di induk tanah perdikan. Gembala itu bermain dengan
nyamannya seolah-olah tidak terjadi sesuatu di sekitarnya.
Kini, ia mendengar suara seruling itu pula. Juga di hadapan
hidung para pengawal yang sedang dalam kesiagaan tertinggi.
Dalam kebimbangan itu Pandan Wangi berpaling,
memandangi wajah Kerti. Sekilas Pandan Wangi melihat kening
orang tua itu bergerak-gerak. Dan tanpa disadarinya ia bertanya,
"Apakah Paman Kerti mendengar sesuatu?"
Kerti mengangguk ragu. Namun ia menjawab, "Aku
mendengar suara seruling dari balik rerungkudan di tengahtengah
sawah yang tidak digarap itu."
"Ya, aku mendengarnya pula," berkata Pandan Wangi
kemudian. "Aneh," desis Kerti.
Pandan Wangi tidak segera menyahut. Didengarkannya
suara seruling itu dengan seksama. Semakin lama rnenjadi
semakin nyata mengalun bersama angin yang berhembus dari
Utara. Kadang-kadang meninggi, kemudian turun merendah,
seperti kegelisahan yang sedang merayap di hati Pandan Wangi.
"Gembala itu pula," berkata Pandan Wangi lambat.
"Gembala yang mana Wangi?"
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
datar ia menjawab, "Paman Samekta pernah melihatnya."
"Lalu?" "Apakah Paman Kerti tidak melihatnya ketika aku
menjumpainya di pinggir padukuhan induk tanah perdikan ini,
dahulu?" Kerti mengerutkan keningnya.
"Mungkin Paman memang tidak ada waktu itu. Tetapi seperti
sekarang, ia bersenandung dengan serulingnya di depan hidung
para pengawal. Aku mencurigainya waktu itu. Aku sangka ia
adalah salah seorang petugas sandi Kakang Sidanti."
"Sekarang pun kau harus mencurigainya."
Kerti menjadi heran ketika ia melihat Pandan Wangi
menggelengkan kepalanya. "Aku tidak akan dapat
mencurigainya lagi, Paman."
"Kenapa?" "Orang itulah yang bernama Gupita, yang telah
membebaskan aku dari tangan Ki Peda Sura."
Wajah Kerti yang tua itu rnenjadi semakin berkerut-kerut.
Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
bergumam seolah-olah kepada diri sendiri, "Jadi orang inilah
yang kau katakan itu Wangi?"
"Ya, Paman." Kerti terdiam sejenak. Sekilas melonjak di dalam
kenangannya, seseorang yang gemuk bulat memberikan obat
kepada Ki Gede Menoreh, dan ternyata obat itu telah
menolongnya. Anak muda yang gemuk bulat itu juga bersenjata
sebuah cambuk yang berjuntai panjangg dan bertangkai pendek,
seperti yang pernah diceriterakan oleh Pandan Wangi tentang
seorang gembala yang bernama Gupita, yang telah menolong
melepaskannya dari tangan Ki Peda Sura.
"Ternyata ceritera tentang orang-orang bercambuk itu telah
berkembang di Tanah ini," gumam Kerti.
"Ya, apalagi setelah di antara pasukan berkuda itu terdapat
juga beberapa orang bercambuk," jawab Pandan Wangi.
Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak
segera menjawab. Di dalam dadanya telah bergulat beberapa
macam pendapat tentang orang yangg menyebut dirinya Gupita
itu. Ia dapat mengerti bahwa Pandan Wangi tidak akan dapat
mencurigainya, tetapi ia tidak dapat menolak seluruh pendapat
Wrahasta yang dengan hathati menanggapi peristiwa itu. Tidak
mustahil bahwa Sidanti telah membuat gelar sandi seperti yang
dilakukan oleh Ki Argapati dengan menempatkan seseorang
untuk dengan sengaja menghubungi Pandan Wangi dan
menolong membebaskannya dari tangan Ki Peda Sura.
"Tetapi," katanya di dalam hati, "Ki Gede mempercayainya."
Namun segera timbul persoalan di dalam dirinya. "Apakah benar,
bahwa Gupita dan Gupala itu bersumber pada satu keluarga
atau suatu perguruan" Apakah mereka tidak justru berdiri
berseberangan dengan berebut ciri dari manusia bercambuk itu,
namun sebenarnya mereka semuanya sama sekali bukan orang
yang dimaksud oleh Ki Argapati. Atau bahkan semuanya telah
dipersiapkan dengan cermat oleh Ki Tambak Wedi" Namun jika
demikian, maka Ki Argapati itu pasti sudah tidak akan dapat
tertolong lagi. Obat itu pasti akan mempercepat kematiannya.
Namun justru obat itu ternyata bermanfaat baginya."
Pertanyaan yang bersimpang siur telah mengganggu jantung
Kerti. Semuanya dapat terjadi. Semuanya dapat keliru, tetapi
mungkin juga semua tanggapan Ki Argapati dan Pandan Wangi
tentang orang-orang bercambuk itu benar. Dan apakah kira-kira
sikap Wrahasta terhadap orang itu nanti apabila ia
mendengarnya juga" Kerti tersedak dari angan-angannya ketika ia mendengar
suara Pandan Wangi, "Apa yang akan kau lakukan?"
Ketika Kerti mengangkat wajahnya dilihatnya dua orang
pengawal dengan tombak di tangan telah berdiri beberapa
langkah di belakangnya. "Aku mendengar suara seruling," sahut pengawal itu hampir
bersamaan. "Lalu?" desak Pandan Wangi.
"Kami ingin melihatnya. Terlampau mencurigakan bahwa ada
seseorang bermain seruling di tengah-tengah sawah yang kering
itu." "Aku juga mendengar," berkata Pandan Wangi. "Biarlah aku
dan Paman Kerti sajalah melihatnya."
Kedua pengawal itu saling berpandangan sejenak. Bahkan
Kerti pun rnenjadi termangu-mangu. Sehingga salah seorang
dari pengawal itu berkata, "Apakah tidak terlampau berbahaya
apabila kalian berdua yang pergi melihatnya."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Di pandanginya
wajah kedua pengawal yang berdiri tegak itu. Kemudian
berpindah kepada wajah Kerti yang tegang.
Sejenak kemudian terdengar suara Pandan Wangi, "Apakah
perbuatan yang serupa yang akan kalian lakukan tidak
berbahaya bagi kalian?"
"Bukan begitu," jawab salah seorang dari kedua pengawal itu.
"Betapapun juga bahaya itu akan menimpa kami, tetapi kami


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidaklah sepenting kalian berdua bagi tanah perdikan ini."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ia terdiam
mendengar jawaban pengawal itu. Begitu besar pengorbanan
yang disediakan untuk kepentingannya dan kepentingan Tanah
ini. Tidak dihiraukannya lagi, apakah yang akan terjadi atas diri
mereka sendiri." "Kita akan pergi bersama-sama," berkata Pandan Wangi
kemudian. Kedua pengawal itu masih ragu-ragu. Namun salah seorang
dari mereka akhirnya berkata, "Kalau memang itu yang kau
kehendaki, baiklah. Kami akan melakukanya."
Maka pergilah mereka berempat dengan hathati kearah
suara seruling yang masih saja mengalun di sela-sela desir
angin yang berhembus di antara dedaunan. Daun rerumputan
yang liar dan batang-batang ilalang yang menjadi semakin tinggi.
Para peronda di gardu melihat keempatnya berjalan semakin
lama semakin jauh. Beberapa orang menjadi cemas dan berbisik
di antara mereka, "Kenapa Ki Kerti dan Pandan Wangi pergi
juga." Kawannya menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "EntahIah.
Tetapi meskipun ia seorang gadis. Pandan Wangi mempunyai
kelebihan dari kita semua. Bahkan Ki Kerti dan Ki Samekta tidak
dapat menyamainya. Ternyata pada saat ia berkelahi melawan
Ki Peda Sura." Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sebenarnyalah bahwa Pandan Wangi adalah seorang gadis
yang luar biasa. Meskipun demikian, kepergiannya itu telah membuat para
pengawal menjadi cemas. Sehingga dengan demikian maka
tanpa mereka kehendaki dan tanpa berjanji mereka telah
bersiap, berdiri berjajar di muka gardu di regol desa. Setiap saat
mereka siap untuk meloncat ke arah suara seruling di balik
ilalang itu. Dari sela-sela rerumputan yang meninggi, gerumbul-gerumbul
perdu yang liar, para peronda masih melihat bagian kepala
Pandan Wangi dan ketiga kawannya berjalan semakin jauh.
Sedang suara seruling yang melonjak-lonjak itu pun masih juga
menyentuh telinga mereka.
Orang-orang di depan gardu itu menahan nafas mereka
ketika mereka melihat Pandan Wangi berhenti. Agaknya Pandan
Wangi telah menjumpai sumber suara seruling itu.
Sebenarnyalah bahwa kini Pandan Wangi telah berdiri
beberapa langkah di belakang seorang anak muda yang duduk
di bekas pematang yang kering sambil meniup serulingnya.
Agaknya ia begitu asyik bermain sehingga kehadiran orangorang
yang mendekatinya itu tidak dapat menggangunya.
Meskipun Pandan Wangi telah berdiri beberapa langkah di
belakangnya, namun anak muda itu masih saja berlagu dengan
kesungguhan hatinya. Kerti berdiri termangu-mangu di belakang Pandan Wangi.
Kalau anak muda ini yang dimaksud oleh Pandan Wangi,
bersama-sama mengalahkan Ki Peda Sura, maka adalah
mustahil, bahwa ia tidak mendengar kehadiran mereka
berempat. Berbeda dengan tanggapan Pandan Wangi. Gadis itu yakin,
bahwa gembala yang meniup seruling itu pasti sudah
mendengar kehadirannya, tetapi sengaja ia berbuat seolah-olah
tidak mengetahui kedatangannya.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sikap anak muda
yang meniup seruling itu terasa lain di dalam hatinya. Kalau
selama ini ia selalu dihadapkan kepada ketegangan, kecemasan
dan berbagai macam perasaan yang membuatnya terlampau
lelah lahir dan batin maka, sikap gembala itu memberinya
suasana yang berbeda. Terasa bahwa gembala itu sengaja ingin
bergurau seperti kebiasaan anak yang pernah dilihatnya.
Gembala itu kadang-kadang bersikap seperti seorang gembala
yang dungu, yang membuat Samekta kebingungan menjawab
pertanyaan-pertanyaannya ketika mereka bertemu setelah ia
dicegat oleh orang-orang liar yang berpihak kepada Sidanti.
Sepercik kesegaran melonjak di dalam hati Pandan Wangi
yang seolah-olah selama ini menjadi kering. Timbullah niatnya
untuk menanggapi sikap gembala yang pura-pura tidak tahu
kehadirannya itu. Karena itu maka tiba-tiba ia berpaling. Sambil
meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya, Pandan Wangi
melangkah perlahan-lahan menjauhi gembala yang sedang
bersenandung dengan serulingnya itu.
Kerti dan kedua pengawal yang datang bersamanya menjadi
bingung. Tetapi mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun
karena Pandan Wangi masih tetap meletakkan telunjuknya di
muka bibirnya yang terkatup rapat-rapat.
Kerti dan kedua pengawal itu pun berjalan pula sambil
kebingungan di belakang Pandan Wangi.
Namun tiba-tiba langkah mereka tertegun ketika tiba-tiba
suara seruling itu berhenti. Tetapi sebelum mereka berpaling
Pandan Wangi telah berkata lantang, "Mari Paman, kita tidak
akan mengganggu orang yang sedang terlampau asyik bermain
dengan serulingnya. Kita tidak akan mematahkan arus perasaan
yang sedang terungkap lewat nada-nada. Begitu mencekam
seperti batu karang dibelai angin pegunungan."
"Maafkan aku," tiba-tiba terdengar gembala itu berkata,
"maafkan aku. Aku tidak mendengar kehadiran Tuan-tuan di
sini." Namun suara Pandan Wangi masih tetap lantang, "Kita sama
sekali tidak cukup berharga untuk dapat mematahkan kidung
yang syahdu itu." "Bukan, bukan maksudku."
Tetapi Pandan Wangi tidak berhenti. Ia masih terus
melangkah meskipun perlahan-lahan. Sedang kedua pengawal
tanah perdikan yang mengikutinya berjalan dengan penuh
kebingungan. Sekalsekali mereka berpaling. Dilihatnya
gembala yang meniup seruling itu melangkah tergesa-gesa di
belakangnya. Namun Kerti yang tua segera tanggap atas keadaan itu.
Karena itu, maka tanpa dikehendakinya ia menarik nafas dalam
sekali. Pandan Wangi masih juga melangkah menuju ke padesan
kembali diikuti oleh ketiga kawan-kawannya. Sedangkan
gembala yang baru saja bersenandung dengan serulingnya itu
masih saja mengikutinya dari belakang sambil berkata, "Maafkan
aku. Bukan maksudku untuk mengabaikan kedatangan Tuantuan.
Sebenarnya aku memang tidak mengetahuinya."
"Bohong!" jawab Pandan Wangi. "Kalau kau tidak mengetahui
kedatangan kami, kenapa kau sekarang dapat mengikuti kami."
"Aku mendengar kalian berbalik meninggalkan aku. Sebelum
itu aku benar-benar tidak mendengarnya."
"Aku tidak percaya. Kau sengaja mengabaikan kedatangan
kami." "Sungguh mati."
"Dan sekarang, apakah alasanmu mengikuti aku" Ini adalah
daerah kami." "Aku akan minta maaf," jawab gembala itu, lalu, "dan aku
akan menawarkan sebuah ceritera yang sangat menarik. Sama
menariknya dengan ceritera Arjuna Wiwaha."
Langkah Pandan Wangi tertegun sejenak. Tanpa sesadarnya
ia memandangi wajah Kerti yang tua. Tanpa sesadarnya pula
Kerti yang tua itu tersenyum.
Sepercik warna merah membayang di pipi Pandan Wangi.
Tiba-tiba ia menundukkan kepalanya. Sesuatu terasa berdesir di
dadanya. Kini gembala yang menamakan dirinya Gupita itu telah berdiri
di hadapan Pandan Wangi dan Kerti. Sambil membungkukkan
kepalanya dalam-dalam ia berkata, "Maafkan aku, Kiai."
Kerti tidak menyahut, tetapi ia berpaling kepada Pandan
Wangi. Namun Pandan Wangi masih menundukkan kepalanya.
Sedang kedua pengawal yang ikut bersama mereka itu pun
menjadi bingung. Apakah sebenarnya yang telah terjadi"
Tiba-tiba terdengar suara Pandan Wangi lirih, "Silahkan,
Paman. Aku hanya mengantarkan Paman mencari suara
seruling itu. Kalau Paman memang mencurigainya, silahkan
Paman bertanya dan memeriksanya."
Kerti menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba terbayang
di rongga matanya seorang anak muda yang bertubuh raksasa,
yang selama ini telah menggelisahkan dada Pandan Wangi.
Sebagai seorang yang telah cukup berpengalaman, segera Kerti
menarik garis yang akan bersilang di antara mereka.
Tanpa sesadarnya orang tua itu menggelengkan kepalanya.
Namun diangkatnya wajahnya ketika ia mendengar gembala itu
bertanya, "Kenapa Kiai mencurigai aku?"
Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia harus berbuat
sesuai dengan keadaan yang menyudutkankannya saat itu untuk
menolong Pandan Wangi. "Ya, anak muda," berkata Kerti. "Adalah mencurigakan sekali,
bahwa dalam keadaan yang demikian kau bersenandung
dengan serulingmu di muka regol desa kami."
"Apakah aku telah melanggar suatu peraturan di daerah ini?"
bertanya gembala itu. "Memang tidak ada peraturan yang melarang seseorang
membunyikan seruling di sini. Tetapi bahwa ada juga yang
melakukanya adalah menarik sekali."
"Apakah anehnya, Kiai. Aku berjalan lewat jalan di depan kita
itu. Karena aku merasa lelah, aku beristirahat di tempat yang
teduh sambil membunyikan seruling untuk melupakan
kesibukanku seharhari."
Sekali lagi Kerti menarik nafas dalam-dalam. Ia telah cukup
tua untuk menangapi persoalan itu. Karena itu maka katanya
kemudian, "Sebaiknya kau mengatakan, apakah maksudmu
dengan perbuatanmu itu. Aku pernah mendengar ceritera
tentang kau, Ngger, bahwa kau adalah seorang gembala yang
bernama Gupita, bukankah begitu" Yang pernah bertempur
melawan Ki Peda Sura untuk menolong membantu Angger
Pandan Wangi membebaskan dirinya dari tangan hantu itu.
Dengan demikian, maka akan sangat menarik sekali ceritera
Angger yang menurut penilaianmu sendiri sama menariknya
dengan Arjuna Wiwaha. Atau barangkali harus ditegaskan,
Arjuna Wiwaha yang mendapat hadiah seorang bidadari karena
jasa-jasanya bagi bumi ini?"
"Ah," gembala itu berdesis. Ketika ia memandang Pandan
Wangi dengan sudut matanya maka dilihatnya gadis itu masih
saja menundukkan kepalanya. "Maaf Kiai. Ceriteraku
sebenarnya sama sekali tidak menarik. Aku hanya ingin
memaksa Kiai dan Tuan-tuan yang lain terhenti. Sebab
sebenarnya aku memang mempunyai sebuah ceritera meskipun
tidak akan dapat memikat perhatian."
Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, "Kami
sudah menyangka. Karena itu kami mencari suara serulingmu.
Kehadiranmu pasti bukan tanpa maksud. Bukankah begitu?"
"Begitulah. Tetapi kenapa Tuan-tuan begitu saja akan
meningalkan aku sebelum bertanya sesuatu kepadaku hanya
karena aku terlambat menyapa Tuan-tuan?"
"Ah," Kerti berdesah, "bertanyalah kepada Angger Pandan
Wangi." "Kenapa kepadaku," dengan serta-merta Pandan Wangi
menyahut. "Bukankah Angger yang memerintahkan kepada kami untuk
meninggalkannya." "Ah," Pandan Wanglah yang kemudian berdesah "Pamanlah
pemimpin rombongan kami. Aku hanya tunduk kepada
perintah Paman." Kerti tersenyum di dalam hati. Sambil menganggukanggukkan
kepalanya ia berkata, "Baiklah, biarlah aku yang
menyusun alasan." Kerti berhenti sejenak, lalu, "Begini anak
muda. Sebenarnyalah bahwa kami sudah tahu. Seandainya kami
melangkah pergi, kau pasti akan menyusul kami. Bukankah
begitu" Ternyata dugaan kami benar seluruhnya. Dengan sertamerta
kau mengikuti kami. "Meskipun semula kau berpura-pura tidak mengetahui
kehadiran kami. Nah, begitulah kira-kira."
Kini wajah gembala itulah yang sejenak menjadi kemerahmerahan.
Namun sejenak kemudian ia segera dapat menguasai
parasaannya dan berkata, "Baiklah, aku tidak akan menyangkal."
"Nah, sekarang apa ceriteramu itu?" bertanya Kerti.
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebelum ia
menjawab pertanyaan itu tiba-tiba matanya terlempar kepada
seseorang yang dengan tergesa-gesa datang ke arah mereka.
Seorang anak muda yang bertubuh raksasa bersama dua orang
pengawal. Dada Kerti berdesir ia melihat Wrahasta datang. Orang tua itu
mendapat firasat bahwa masalah yang akan terjadi di antara
mereka, bukanlah sekedar persoalan-persoalan yang
menyangkut masalah Tanah Perdikan ini dalam segala segi
hubungannya. Tetapi masalahnya akan menyentuh hati anak
muda yang bertubuh raksasa itu, sebagai persoalan pribadi,
meskipun dapat dibentuk menurut kepentingannya, sebagai
persoalan Tanah ini. Tetapi Kerti tidak mengucapkannya dalam kalimat-kalimat.
Namun pandangan matanya yang buram agaknya telah berhasil
menyentuh perasaan Pandan Wangi.
Sebelum Wrahasta itu mendekat, ia sudah bertanya lantang
"He, kenapa kau berada di situ, Pandan Wangi?"
Pandan Wangi tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah
Wrahasta dengan tajamnya. Namun karena jarak mereka masih
agak jauh, maka ditunggunya saja Wrahasta itu mendekat.
"Kenapa, Pandan Wangi?" desak Wrahasta.
Pandan Wangi masih belum menjawab. Sekalsekali
disentuhnya wajah Kerti dengan sudut matanya. Tampaklah
wajah orang itu menyorotkan kecemasan hatinya.
Langkah Wrahasta semakin lama menjadi semakin cepat.
Beberapa langkah dari Pandan Wangi, sekali lagi ia bertanya,
"Kenapa kau berada di sini?"
"Aku menunggu kau mendekat Wrahasta. Aku tidak dapat
berteriak sekeras kau."
"Hem," Wrahasta berdesah, "apakah kau tidak mempunyai
kerja yang lain dari mengurusi seseorang macam anak itu?"
Terasa sesuatu bergetar di dada Pandan Wangi. Tetapi ia
tidak segera menjawab. Ditunggunya Wrahasta semakin dekat,
dan yang kemudian berhenti beberapa langkah di hadapannya.
Tetapi setelah berada di antara Pandan Wangi, Kerti, dan
Gupita, Wrahasta tidak lagi bertanya kepada Pandan Wangi.
Ditatapnya wajah Gupita tajam-tajam. Kemudian meloncatlah
pertanyaannya, "Kaukah orang yang membunyikan seruling itu?"


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, Tuan," jawab Gupita.
"Kenapa?" Gupita menjadi bingung mendapat pertanyaan itu. Ditatapnya
wajah Pandan Wangi sekilas, kemudian Kerti, para pengawal
dan yang terakhir Wrahasta.
"Mengapa kau berada di tempat ini?"
"Kebetulan sekali, Tuan. Hanya kebetulan saja aku berada di
tempat ini." Sebelum Wrahasta bertanya lebih banyak lagi. Pandan Wangi
memotongnya, "Wrahasta, anak muda inilah gembala yang
pernah aku ceriterakan kepada ayah."
Wrahasta mengerutkan keningnya. Tanpa disangkasangkanya
ia menjawab, "Aku sudah menduga."
"Apakah kau sudah tahu atau mengenal circirinya."
"Tidak. Tetapi bahwa kau memerlukan turun sendiri ke
tengah-tengah bulak untuk menyongsongnya, tentu orang ini
adalah seseorang yang pantas mendapat kehormatan."
Jawaban itu telah menggoncangkan dada Pandan Wangi.
Sebagai seorang gadis, maka langsung ia dapat menangkap
maksud kata-kata Wrahasta itu. Namun dengan demikian getar
di dadanya justru serasa membungkam mulutnya. Sejenak ia
berdiri mematung dengan jantung yang berdentangan.
Kerti yang tua menarik nafas dalam-dalam. Dugaanya tidak
akan terlampau jauh berkisar dari sasaran. Sementara Gupita
sendiri berdiri dengan gelisahnya. Di wajahnya membayang
keheranan dan kecemasan menghadapi sikap Wrahasta itu.
Karena tidak seorang pun yang menjawab kata-katanya,
maka Wrahasta berkata pula, "He anak muda. Apakah kau tidak
berpikir bahwa kehadiranmu di daerah ini dapat menumbuhkan
kecurigaan pada kami?"
Gupita tidak segera menyahut. Namun wajahnya kini menjadi
kian bersungguh-sungguh. "Apakah kau kira bahwa permainan serulingmu itu hanya
sekedar dapat memikat hati gadis-gadis dan tidak
menumbuhkan persoalan pada para pengawal?"
Sekali lagi getar yang tajam tergores di mata Pandan Wangi.
Tetapi ia masih saja terbungkam, dan Kerti pun masih belum
dapat menyesuaikan dirinya dengan pembicaraan itu.
"Tuan," Gupita-lah yang kemudian menjawab, "bukan
maksudku untuk berbuat yang bukan-bukan. Sudah tentu bahwa
aku bukan sekedar kebetulan sepenuhnya berada di tempat ini.
Tetapi benar-benar suatu kebetulan bahwa Tuan-tuan inilah
yang datang melihat seseorang yang dengan serulingnya berada
di depan regol desa ini."
"Nah, kau sudah mulai berubah. Ternyata bahwa di dalam
dirimu tersimpan persoalan yang kau selimuti dengan berbagai
macam dalih dan sikap yang pada saatnya akan terungkap satu
demi satu. Nah, sekarang sebutkan, kenapa kau berada di
tempat ini" Meskipun aku tahu bahwa kau akan dapat menyebut
seribu macam alasan, namun aku akan mencoba
mendengarnya." Gupita mengerutkan keningnya. Orang yang bertubuh
raksasa ini tidak dapat ditanggapinya dengan sikap yang anehaneh.
Ia harus bersungguh-sungguh, namun ia tidak akan dapat
melanggar pesan gurunya, bahwa ia harus berusaha bertemu
dengan Ki Argapati. Tetapi kehadiran orang ini telah membuat rencananya
menjadi kabur. Pada saat Pandan Wangi datang kepadanya,
karena suara serulingnya, ia telah berbesar hati, bahwa ia akan
mendapat jalan yang cukup lancar. Tetapi ternyata kini ia
berhadapan dengan sikap yang lain.
Sekilas disambarnya wajah Pandan Wangi. Ia mengharap
gadis itu mengambil sikap sebagai seorang puteri Kepala Tanah
Perdikan, dan memberinya jalan yang lurus untuk menghadap
ayahnya. Tetapi agaknya Pandan Wangi hanya menundukkan
kepalanya saja. Gadis itu ternyata tidak berbuat sesuatu, seolaholah
Wrahasta-lah yang paling berkuasa di dalam lingkungan
para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Sejenak suasana menjadi hening. Hanya nafas mereka
sajalah yang terdengar memburu dari lubang-lubang hidung.
Wrahasta berdiri dengan sorot mata yang memancarkan
kecurigaan dan bahkan kebencian kepada orang yang belum
dikenalnya itu. "Cepat, katakan," Wrahasta menggeram, "kenapa kau berada
di tempat ini dalam keadaan yang panas ini?"
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Betapapun sulitnya tetapi
ia harus tetap berusaha untuk dapat menghadap Ki Argapati
sesuai dengan pesan gurunya.
"Katakan!" berteriak Wrahasta,
"Baiklah," jawab Gupita yang tidak akan dapat menghindar
lagi. Tetapi sekali lagi ia terperosok ke dalam keadaan yang
semakin sulit. Anak muda itu sama sekali tidak mengerti apa
yang tersimpan di dalam hati Wrahasta. Ia sama sekali tidak
memperhitungkan kemungkinan yang lain daripada kecurigaan
seorang pengawal atas kehadirannya di tempat yang tidak
sewajarnya. Dan ia dapat mengerti. Karena itu, maka ia
mencoba mencari alasan lain, yang menurut perhitungannya
tidak akan dapat disangkutkan dengan kemelutnya keadaan,
dengan pertentangan yang terjadi antara Ki Argapati dan
puteranya Sidanti. Tetapi jawabnya ternyata telah membuat telinga Wrahasta
menjadi merah. Berkata gembala itu, "Sebenarnya
kedatanganku sama sekali tidak bersangkut paut dengan
keadaan tanah perndikan ini. Aku hanya ingin menemui
seseorang yang pernah aku kenal. Beberapa kali kami telah
bertemu sebelumnya. Karena aku tidak berani mendekati regol
desa yang agaknya dijaga kuat maka aku berusaha
memanggilnya dengan suara serulingku. Ternyata ia benarbenar
datang." Jawaban itu benar-benar mengejutkan. Bukan saja dada
Wrahasta yang terbakar oleh perasaannya sebagai seorang lakilaki
muda, tetapi juga Kerti, para pengawal dan bahkan Pandan
Wangi sendiri. Kerti yang tua itu dan Pandan Wangi, menjadi
sangat cemas. Mereka dapat menduga, apa yang akan menyala
di hati Wrahasta. Dugaan mereka itu ternyata tepat. Wrahasta yang wajahnya
menjadi merah padam itu terbungkam sesaat. Ia tahu pasti
bahwa yang dimaksud Gupita itu adalah Pandan Wangi.
Melihat sikap orang-orang Menoreh itu Gupita menjadi
bingung. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa usahanya
menghindari masalah yang dianggapnya dapat mengganggu
rencananya itu agaknya telah menumbuhkan persoalan yang
lebih rumit. Sejenak kemudian sambil menggeretakkan giginya Wrahasta
berkata lantang, "Kau kira apa he, gadis ini" Apa kau kira
sebegitu rendah dan bersedia secara sadar menghubungi
seorang gembala yang tidak punya sangkan paran macam kau?"
Wrahasta berhenti sejenak untuk mengatur getar darahnya,
kemudian, "Ternyata kau tidak lebih dari orang-orang liar yang
telah mencegat Pandan Wangi di perjalanan meskipun caramu
lain. Kau mengelabuinya dengan macam-macam perbuatanmu
untuk membuat Pandan Wangi menjadi kagum. Kau bersepakat
dengan Peda Sura agar kau dapat menimbulkan kesan yang
baik dari Pandan Wangi dan menganggapmu sebagai seorang
pahlawan. Tetapi justru karena itu, kau adalah orang yang jauh
lebih berbahaya dari laklaki yang kasar dan buas itu, tetapi juga
lebih licik. Adalah lebih baik bertempur beradu dada, daripada
mempergunakan cara seperti yang kau lakukan itu. Apalagi
dengan demikian kau akan mendapatkan rahasia dan
keterangan mengenai apa pun juga di dalam daerah tertutup
kami ini." Tuduhan itu benar-benar tidak disangka-sangka oleh Gupita
sehingga ia menjadi semakin bingung. Sejenak ia masih saja
berdiri termangu-mangu. Ia tidak tahu, apakah yang sebaiknya
dilakukan, karena ia sama sekali tidak menyangka akan
menghadapi masalah serupa itu.
Namun sebelum Gupita menyadari keadaannya, ia semakin
terkejut ketika ia mendengar Wrahasta berkata lantang, "Kau
menjadi tawananku." Gupita tersentak. Wajahnya menegang sejenak. Namun
kumudian dicobanya untuk menekan perasaannya. Dengan
gemetar ia berkata, "Apakah salahku?"
"Kau berada di daerah terlarang. Apa pun alasanmu."
"Tetapi aku mempunyai alasan. Aku tidak akan mencampuri
persoalan tanah perdikan ini. Persoalanku adalah persoalan
pribadi yang sama sekali tidak bersangkut paut dengan soal apa
pun." "Bohong, bohong!" Wrahasta menjadi semakin marah. Justru
persoalan pribadi itulah yang telah membakar jantungnya. Tetapi
ternyata hal itu sama sekali tidak disadari oleh Gupita yang
kebingungan. "Jangan mencoba melawan. Jangan kau sangka bahwa
karena kau telah berhasil mengalahkan Ki Peda Sura, maka
kami akan menjadi ketakutan. Kami, para pengawal tahu benar,
bahwa semua itu hanyalah sebuah permainan yang sama sekali
tidak menarik. Dan kami pun tahu benar banwa dengan demikian
kau akan mendapatkan keuntungan yang berganda, kau akan
mendapatkan rahasia yang diperlukan oleh Sidanti dari dalam
lingkungan kami, dan sekaligus kau akan mendapatkan seorang
gadis yang masih terlampau hijau. Pandan Wangi memang tidak
akan berprasangka apa pun, karena hatinya yang masih
terlampau bersih. Ia bersikap terlalu jujur terhadap siapa pun.
Tetapi sayang, bahwa suatu ketika ia terperosok dalam suatu
pertemuan dengan seorang semacam kau."
Gupita menjadi semakin bingung. Sekilas dicobanya untuk
memandang wajah Pandan Wangi, tetapi ia tidak dapat melihat
kesan yang tersirat pada wajah itu. Ia hanya melihat wajah gadis
itu pun menjadi tegang. Kemudian ditatapnya wajah Kerti yang
tua. Wajah itu pun menjadi tegang pula. Namun seperti pada
wajah Pandan Wangi, ia tidak dapat mengerti, apakah yang
sebenarnya bergolak di hati orang tua itu.
Dada Gupita menjadi semakin berdebar-debar ketika ia
mendengar Wrahasta berkata lantang, "Ikutilah kami. Jangan
mencoba melawan perintah ini. Aku tidak bermain-main. Dalam
keadaan serupa ini, kesalahan yang kecil sekalipun dapat
menyeret kami ke neraka. Karena itu, kami tidak dapat bersikap
lain terhadapmu." Darah Gupita serasa bergolak di dalam jantungnya. Sikap
Wrahasta benar-benar tidak menyenangkannya. Tetapi
meskipun demikian ia masih mencoba untuk mengerti.
Ditrapkannya keadaan yang dihadapi oleh Wrahasta itu pada
dirinya sendiri. Apakah yang akan dilakukannya seandainya ia
menjadi pengawal tanah perdikan yang kemelut, dan menjumpai
seseorang yang mencurigakan seperti dirinya itu"
"Aku hanya dapat mengharap bantuan Pandan Wangi,"
katanya di dalam hati. "Sikap pemimpin pengawal yang bertubuh
raksasa itu adalah wajar."
Tetapi dalam pada itu, Pandan Wangi sendiri mengalami
kesulitan yang tiada taranya. Ia tahu benar, mengapa Wrahasta
bersikap terlampau keras terhadap gembala itu. Laklaki muda
yang bertubuh raksasa itu tidak hanya sekedar bercuriga
terhadap Gupita, tetapi dadanya telah dibakar oleh perasaan
cemburu. Karena itu, maka gadis itu tidak dapat segera
mengambil sikap. Kalau ia mencoba untuk melindungi Gupita,
maka api yang menyala di dada Wrahasta pasti akan semakin
berkobar. Sikap itu akan menjadi minyak yang terpercik ke
dalam api di dalam dada raksasa muda itu. Tetapi untuk
membiarkan Gupita menjadi tawanan Wrahasta, agaknya
perasaannya pun terasa terlampau berat.
Dalam kesulitan itu tanpa disadarinya, dipandanginya wajah
Kerti seakan-akan ia minta bantuan kepada pemomongnya itu.
Kerti menarik nafas. Pandangan mata Pandan Wangi itu ternyata
telah menyentuh hatinya. Karena itu, maka kemudian ia
melangkah maju sambil berkata, "Angger Wrahasta, serahkan
gembala ini kepadaku. Aku memang sudah berpendirian serupa.
Sebelum Angger datang, maka gembala ini sudah menjadi
tawananku, maksudku, tawanan kita. Aku berhasrat untuk
membawanya kepada Ki Samekta, atau bahkan langsung Ki
Argapati. Sebab di Pucaang Kembar, Ki Argapati memamg
sudah berhubungan dengan seorang anak muda yang bernama
Gupala yang barangkali ada bersangkut paut dengan Gupita ini."
"Ya, ya," sela Gupita. "Gupala adalah adikku."
Wrahasta mengerutkan keningnya. Tetapi perasaannya
sebagai seorang anak muda agaknya lebih tebal menyelimuti
pertimbangannya, sehingga ia menggeram.
"Ia harus berkata sebenarnya. Aku tidak berhasrat
membawanya kepada siapa pun juga. Aku ingin memaksanya
untuk mengakui, bahwa sebenarnya ia adalah petugas sandi
Sidanti." "Tidak. Sama sekali tidak," bantah Gupita.
"Diam!" bentak Wrahasta. Lalu, "Sekali lagi aku katakan, kau
adalah tawananku." Gupita masih akan menjawab, tetapi sebelum mulutnya
terbuka, maka ia melangkah surut. Ujung pedang Wrahasta yang
besar dan panjang itu telah menyentuh dadanya.
"Jangan banyak bicara!" Wrahasta hampir berteriak. "Ayo
berjalanlah!" Sorot mata Gupita tiba-tiba menyala. Tetapi dengan sepenuh
tenaganya ia mencoba menekan perasaan yang bergolak di
dalam dadanya. Yang penting baginya adalah kesempatan untuk
memasuki pusat pertahanan para pengawal dan kemudian
berusaha bertemu dengan Ki Argapati. Tetapi apabila ia
mengadakan perlawanan, maka jalan untuk menghadap Ki
Argapati akan menjadi semakin jauh."
*** Buku 40 KARENA itu, maka timbullah niatnya untuk berkata langsung
saja berterus terang. Ia harus mengatakan, bahwa ia mendapat
tugas untuk menemui Ki Argapati. Bahkan ia menyesal, bahwa ia
menunda-nunda untuk mengatakannya, sehingga keadaan
menjadi semakin memburuk.
"Cepat," bentak Wrahasta sambil menekankan pedangnya,
"ayo berjalanlah!"
"Aku akan mengatakannya," berkata Gupita. "Aku akan
mengatakan keperluanku sebenarnya."
"Aku tidak bertanya kepadamu sekarang. Berjalanlah."
Gupita menarik nafas. Tidak ada yang dapat dilakukan kecuali
menurut perintah itu. Perlahan-lahan ia melangkahkan kakinya
menuju ke mulut desa. Sedang Wrahasta kemudian berjalan
dibelakangnya sambil menekankan ujung pedangnya.


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kerti menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang
Pandan Wangi, maka dilihatnya tubuh gadis itu gemetar. Betapa
dahsyatnya pergolakan yang terjadi di dada gadis itu. Ia merasa
berada dalam simpang jalan yang kedua-duanya akan
membawanya ke dalam kesulitan. Kalau ia membiarkan
Wrahasta berbuat sesuka hatinya, maka ia merasa bersalah
terhadap gembala yang telah menyelamatkannya itu. Tetapi
setiap sikap yang seolah-olah berpihak kepadanya, akan
mendorong Wrahasta menjadi semakin kehilangan nalarnya.
"Angger Pandan Wangi," bisik Kerti, "cara yang sebaikbaiknya
adalah menyampaikannya kepada Ki Argapati. Ki
Argapati akan bersikap. Kau dapat meminta ayahmu untuk
memanggil gembala itu langsung."
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia
berdesis, "Itu adalah jalan yang paling baik Paman. Tetapi aku
tidak tahu, apakah ayah akan mendengarkan kata-kataku."
"Ayahmu telah mengenal Gupala yang memberikan obat
kepadanya. Ia pasti akan mempertimbangkannya dengan baik
apabila kau katakan bahwa Gupita adalah kakaknya."
Pandan Wangi mengangguk-angguk, "Baik, Paman, aku akan
menghadap ayah." Pandan Wangi, Kerti, dan dua orang pengawal yang datang
bersamanya segera melangkah kembali ke regol halaman. Di
muka mereka, Wrahasta mendorong-dorong punggung Gupita
dengan ujung pedangnya diikuti oleh kedua pengawalnya.
"Cepat, jangan berbuat sesuatu yang dapat memaksa aku
menghunjamkan ujung pedang ini ke punggungmu."
Gupita tidak menyahut. Tetapi ia memang tidak berhasrat
untuk melawan. Ia masih berpengharapan untuk mendapat
kesempatan bertemu dengan Ki Argapati. Kalau ia tidak
membuat para pengawal itu semakin marah maka para
pengawal itu pun pasti tidak akan berlaku berlebih-lebihan.
Namun Gupita itu memang sama sekali tidak tahu, apakah
yang telah mendorong Wrahasta berlaku sedemikian kasarnya
terhadapnya. Para pengawal yang berada di regol desa, kini telah berdiri
berdesak-desakan. Beberapa orang yang tidak bertugas
sekalipun ingin melihat, apa yang sedang terjadi. Mereka saling
bertanya dan berbisik-bisik ketika mereka melihat Wrahasta
membawa seseorang menuju ke arah mereka.
"Siapakah orang itu?" desis seseorang.
"Orang itulah yang membunyikan seruling di balik gerumbulgerumbul
itu." "Memang mencurigakan."
Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka
menjadi semakin tegang ketika mereka melihat Wrahasta
mendorong orang itu dengan pedang terhunus. Sementara para
pengawalnya, Pandan Wangi, dan Kerti berjalan di belakang.
Ketika Wrahasta menjadi semakin dekat, maka para
pengawal di muka regol itu pun bersibak, untuk memberi jalan
kepada pemimpin pengawal yang bertubuh raksasa itu.
Di hadapan para pengawal itu Wrahasta berhenti sesaat
sambil berkata, "Orang ini adalah petugas sandi yang dikirim
oleh Sidanti untuk mengamat-amati pertahanan kita di siang hari.
Nanti malam mereka akan datang lagi. Pada suatu saat, apabila
mereka sudah tahu pasti tentang keadaan kita, maka mereka
tidak akan sekedar menakut-nakuti kita dengan obor-obor
mereka. Mereka pasti akan benar-benar menusuk pertahanan ini
dengan perhitungan yang telah matang."
"Kau keliru," sahut Gupita, "aku akan menjelaskan."
"Diam!" bentak Wrahasta. "Aku tidak memerlukan segala
macam dongengan khayal itu. Aku ingin tahu keadaanmu
sebenarnya. Dan kau harus mengatakan, siapakah sebenarnya
kau." "Aku akan mengatakan, tetapi aku sama sekali bukan orang
Sidanti," jawab Gupita.
"Bohong!" teriak Wrahasta, yang tiba-tiba telah mengacukan
pedangnya di hadapan hidung Gupita.
Gupita tidak menyahut lagi. Ia harus menahan hati, untuk
menemukan kesempatan yang baik. Ia percaya bahwa orangorang
Menoreh adalah orang-orang yang memiliki harga diri
yang tinggi, dan mereka bukan termasuk orang-orang yang
menyukai kekerasan. Karena itu, Gupita masih mempunyai
harapan, bahwa ia akan dapat mengatakan yang sebenarnya
kepada para pengawal itu.
Namun hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat
Pandan Wangi berjalan dengan tergesa-gesa masuk ke dalam
regol tanpa berpaling lagi kepadanya. Hampir saja ia berteriak
memanggil, namun niatnya itu segera diurungkannya, supaya ia
tidak menambah persoalan lagi. Agaknya memang orang yang
bertubuh raksasa inilah yang kini mendapat kekuasaan untuk
berbuat apa saja yang dianggapnya perlu untuk melindungi
Tanah ini. Tanpa disadarinya, tangan Gupita itu meraba-raba kantong
bajunya. Di dalamnya terdapat sebungkus obat obatan yang
harus diserahkannya kepada Ki Argapati.
"Hem," ia menarik nafas dalam-dalam, "aku mempunyai
sekedar bukti. Mudah-mudahan mereka dapat
mempercayainya." Gupita itu sama sekali tidak melawan ketika ia didorong
masuk ke dalam regol dan dibawa oleh Wrahasta dengan
beberapa orang pengawal menuju ke sebuah halaman rumah
yang agak luas. Rumah yang selama ini dipergunakan oleh para
pemimpin pengawal sebagai pusat pimpinan mereka.
Samekta yang berada di rumah itu terkejut melihat Wrahasta
membawa seseorang masuk ke halaman. Apalagi ketika ia
melihat, orang yang dibawa itu adalah gembala yang pernah
dikenalnya, Gupita. Dengan tergesa-gesa Samekta turun dari pendapa menemui
Wrahasta di halaman sambil bertanya, "Dari mana kau bawa
anak muda itu?" "Aku menemukannya di muka regol. Aku yakin sekarang,
bahwa orang ini memang seorang petugas sandi yang sengaja
dikirim oleh Sidanti."
Samekta menarik keningnya. Ketika ia memandang
berkeliling, dilihatnya Kerti berjalan memasuki regol itu pula. Ia
mendapat pesan dari Pandan Wangi, supaya ia berusaha
melindungi Gupita sebelum ia dapat bertemu dengan ayahnya Ki
Argapati. "Aku mendapatkannya di depan regol," berkata Kerti sambil
melangkah mendekat. Samekta menjadi bingung. Keduanya mengatakan
kepadanya, bahwa mereka masing-masinglah yang
mendapatkan Gupita itu. "Tetapi Paman Kerti tidak berbuat apa-apa. Seperti orang
yang kena tenung ia berdiri saja seperti patung. Akulah yang
menangkapnya." Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Samekta
memandangi wajah Kerti, tetapi Kerti tidak menyahut. Karena itu
maka Samekta pun kemudian bertanya kepada Wrahasta,
"Apakah yang dilakukannya?"
Pertanyaan itu telah membingungkan Wrahasta, sehingga
sejenak ia tidak menyahut. Yang terdengar adalah suara Kerti,
"Bersenandung dengan serulingnya itu."
Samekta mengerutkan keningnya, Dan Kerti berbicara terus,
"Aku dan Angger Pandan Wangi tertarik akan suara seruling itu.
Ketika aku melihatnya, maka aku dapati Angger Gupita.
Sebelum kami sempat berbuat sesuatu, maka datanglah Angger
Wrahasta." "Adalah mencurigakan sekali bahwa seseorang datang ke
tempat ini sekedar untuk bersenandung," sahut Wrahasta
kemudian. "Ia pasti mempunyai tugas yang jauh lebih penting
daripada bermain seruling di tempat yang berbahaya itu. Hanya
orang-orang gila sajalah yang tidak tahu, bahwa daerah ini
adalah daerah garis perang."
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang tidak
akan masuk di akal, apabila Gupita datang tanpa maksud. Tetapi
maksud kedatangannya itulah yang harus diketahuinya.
Sebelum Samekta berbuat sesuatu, tiba-tiba terdengar suara
Wrahasta lantang, "Periksa, apakah ia menyembunyikan
senjata." Perintah itu telah mengejutkan. Bukan saja Gupita, tetapi juga
Samekta, apalagi Kerti, sehingga dengan serta-merta ia berkata,
"Tunggu. Kita belum bertanya sesuatu kepadanya."
"Kita akan bertanya," potong Wrahasta, "tetapi kita harus
yakin bahwa ia tidak akan berbahaya lagi. Karena itu, orang ini
harus dilihat, apakah ia membawa senjata yang tersembunyi."
Kerti masih akan menjawab, tetapi niatnya diurungkan ketika
ia merasa seseorang menggamitnya. Ternyata orang itu adalah
Samekta sendiri. Ketika Kerti sedang memandangi wajahnya,
maka Samekta itu pun mengedipkan matanya, seolah-olah ia
memberikan isyarat, "Biarlah apa saja yang akan dilakukannya."
Kerti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia berbisik, "Aku
terpaksa berterus-terang kepadamu. Aku mendapat perintah dari
Pandan Wangi untuk melindungi anak muda itu."
"Di mana Pandan Wangi sekarang?" bertanya Samekta
perlahan-lahan. "Ia pergi ke ayahnya. Ia tidak dapat mencegah Wrahasta
menangkap laklaki muda itu. Agaknya perasaan cemburunya
jauh lebih besar dari kecurigaannya sebagai seorang pemimpin
pengawal." Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat kini
Wrahasta berdiri bertolak pinggang di hadapan Gupita.
Beberapa orang pengawal telah mengerumuninya untuk mulai
melihat apakah ia tidak bersenjata.
"Hem," Samekta berdesah, "anak muda yang bertubuh
raksasa itu telah menimbulkan kesulitan baru pada kita yang
sedang terdesak ini. Melihat sikap dan tingkah lakunya, aku
yakin, anak itu bukan berpihak kepada Sidanti."
"Aku juga berpendirian begitu, meskipun kita masih harus
tetap mencurigainya," sahut Kerti. "Namun tingkah laku
Wrahasta sudah agak berlebih-lebihan."
"Biarkanlah, apa yang akan dilakukannya, asal ia tidak
bernafsu untuk membunuhnya."
Sementara itu, beberapa orang pengawal telah mulai
melakukan tugasnya. Sementara terdengar suara Wrahasta
lantang, "Buka bajunya."
Gupita mengerutkan dahinya. Ia terpaksa berkata, "Tuan, di
dalam baju ini tersimpan sesuatu yang sangat berharga.
Berharga bagi aku dan berharga bagi kalian."
"Omong kosong. Justru usahamu untuk menipu kami itulah
yang memaksa kami semakin bernafsu untuk melihatnya."
Kemudian kepada para pengawal ia berteriak, "Cepat, buka
bajunya!" Ketika para pengawal mulai meraba tubuhnya, tiba-tiba
Gupita itu melangkah surut sambil berkata, "Aku dapat membuka
bajuku sendiri. Aku akan membukanya dan menunjukkannya
kepada kalian, apakah yang aku bawa."
Para pengawal yang telah mulai mengulurkan tangannya itu,
terpesona sesaat, sehingga mereka berdiri saja mematung.
Mereka tidak berbuat sesuatu ketika Gupita mengambil
bungkusan dari kantong bajunya.
"Lihat," katanya, "inilah sesuatu yang aku katakan itu. Ini
adalah obat untuk Ki Argapati seperti obat yang pernah
diterimanya dahulu. Di antara para pengawalnya pasti tahu,
bahwa seorang anak muda yang bertubuh gemuk dan bernama
Gupala telah memberi obat kepadanya ketika ia terluka di
Pucang Kembar. Bertanyalah kepada Ki Gede apakah katakataku
itu mengandung kebenaran." Gupita berhenti sejenak,
lalu, "Nah, siapakah di antara kalian yang melihat, apa yang
terjadi di Pucang Kembar itu?"
Tanpa sesadarnya Kerti melangkah maju sambil berkata,
"Akulah saksinya. Aku melihat apa yang telah terjadi itu, dan aku
membenarkannya." Sepercik warna merah telah membakar wajah Wrahasta.
Namun kemudian ia berkata, "Kenapa bukan anak yang gemuk
itulah yang saat ini datang kemari" Kenapa kau" Ki Argapati
memang pernah berkata bahwa seseorang, anak yang gemuk itu
telah datang kepadanya di Pucang Kembar. Tetapi bukan kau.
Dan kau dapat membuat ceritera tentang anak muda yang
bernama Gupala, kemudian kau menyebut dirimu dengan nama
yang mirip nama anak yang gemuk itu. Tetapi apa buktimu
bahwa kau mengenal apalagi saudara anak yang gemuk itu.
Obat itu sama sekali bukan jaminan. Justru aku bercuriga,
apakah obat itu bukan racun yang dapat membakar luka Ki
Argapati dan membuatnya cidera."
Dada Gupita bergolak karenanya. Obatnya tidak dapat
menolongnya, dan bahkan keterangan Kerti itu pun sama sekali
tidak dihiraukannya. Karena itu, maka sejenak Gupita menjadi
bimbang. Apakah ia harus mempertahankan dirinya dengan
kekerasan. Mungkin ia dapat melepaskan dirinya dan lari lewat
regol padesan. Apabila ia sudah berada di luar, maka ia akan
bebas. Tetapi sekali lagi niat itu diurungkannya. Dengan demikian ia
akan membuat jarak menjadi semakin jauh. Dan ia tidak yakin,
apakah ia dapat melarikan diri, menyusup sekian banyak
pengawal di padesan ini. Perlahan-lahan Gupita menarik nafas. Ia masih mencoba
memandang ke sekelilingnya, apakah ia dapat menemukan
Pandan Wangi. Tetapi ia sekali lagi menjadi kecewa. Pandan
Wangi tidak ada di antara orang Menoreh yang
mengerumuninya. Meskipun demikian, ia masih mempunyai
harapan, bahwa orang tua yang bernama Kerti itu pada saatnya
akan memberinya jalan mengghadap Ki Argapati.
Sementara itu, Pandan Wangi melangkah. Cepat-cepat dan
bahkan hampir berlarlari ke tempat peristirahatan ayahnya. Ia
harus segera menyampaikan apa yang telah terjadi, supaya
ayahnya dapat menolong gembala yang telah
menyelamatkannya dari tangan Peda Sura itu.
Tetapi alangkah kecewa gadis itu. Ketika ia menengok bilik
ayahnya, ternyata ayahnya sedang tidur dengan nyenyaknya.
"Kau, Nini," desis seseorang. Ternyata Pandan Wangi terkejut
sehingga hampir saja ia meloncat.
"Oh," ia menarik nafas. Ternyata suara itu adalah suara
perempuan tua pemilik rumah.
"Ki Argapati baru saja dapat tidur. Tubuhnya agak menjadi
panas lagi. Menurut keterangannya, obat pada lukanya sudah
hampir menjadi tawar. Kalau ia tidak segera mendapat obat yang
baru, maka keadaannya akan dapat menjadi berbahaya, Ngger."
Wajah Pandan Wangi menegang. Tetapi sebelum ia berkata


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesuatu perempuan tua yang membantu melayani ayahnya itu
berkata, "Biarlah ayah beristirahat. Bukankah kau juga akan
beristirahat. Kalau ayah terkejut dan terbangun, maka badannya
akan menjadi semakin terasa sakit."
Sejenak Pandan Wangi terpukau di tempatnya dalam
kebingungannya. Tetapi kemudian ia menganggukkan
kepalanya. Perlahan-lahan ditinggalkannya pintu bilik ayahnya
menuju ke dalam biliknya sendiri. Dengan dada yang berdebardebar
ia masuk, kemudian meletakkan dirinya di
pembaringannya. Tetapi dengan demikian ia menjadi semakin gelisah. Apakah
yang kira-kira kini dilakukan oleh Wrahasta atas gembala yang
bernama Gupita itu" Dalam kegelisahannya itu, Pandan Wangi berbaring sejenak,
kemudian bangkit berdiri. Melangkah hilir-mudik sambil
meremas-remas jarjari tangannya sendiri. Sekalkali dirabanya
hulu pedangnya. Tetapi Pandan Wangi tidak dapat mengambil
kesimpulan sesuatu. Di halaman pusat pimpinan pasukan pengawal Menoreh,
Gupita dilingkari oleh beberapa pengawal yang bersenjata. Di
tangannya masih tergenggam sebungkus obat dari gurunya yang
harus diserahkan kepada Ki Argapati. Tetapi ternyata pemimpin
pengawal yang bertubuh raksasa itu tidak mau mempercayainya,
sehingga dengan demikian Gupita merasa, bahwa ia benarbenar
berada di ambang pintu kesulitan.
"Kenapa Pandan Wangi sama sekali tidak berpengaruh atas
anak buah ayahnya?" pertanyaan itu melonjak di dalam dada
Gupita. Ia sama sekali tidak dapat mengerti, bahwa Pandan
Wangi sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu, dan bahkan
meninggalkannya. Gupita terkejut ketika Wrahasta kemudian berkata, "Buka
bajunya. Kenapa kalian berdiri saja mematung."
Para pengawal yang berdiri di seputar Gupita itu pun terkejut
pula. Serentak mereka bergerak. Tetapi sekali lagi mereka
tertegun ketika Gupita berkata, "Sudah aku katakan. Aku akan
membuka bajuku sendiri. Tetapi ingat, aku sudah mengatakan
yang sebenarnya, bahwa bungkusan ini adalah obat untuk
kepala tanah perdikanmu yang terluka itu. Kalau ia terlambat
menerimanya, dan akibat dari kelambatan ini telah
membahayakan jiwanya, itu sama sekali bukan salahku."
Wrahasta mengerutkan keningnya. Sejenak ia terpengaruh
oleh kata-kata Gupita itu.
Lebih-lebih lagi Kerti. Hampir saja ia melangkah maju. Tetapi
sekali lagi Samekta menggamitnya dan berkata lirih, "Kalau kita
berusaha mencegahnya, anak muda itu akan marah. Dengan
demikian pasti akan timbul persoalan di antara kita. Kita tunggu
saja apa yang akan dilakukan, asal tidak membahayakan jiwa
anak muda itu." "Tetapi siapakah yang akan menanggung akibatnya, apabila
obat itu terlambat, apalagi rusak."
Samekta termenung sejenak. Lalu katanya "Kita awasi saja,
apa yang akan dilakukan oleh Wrahasta."
"Kau yang mendapat wewenang memimpin seluruh pasukan
pengawal. Kau bertanggung jawab atas semuanya ini."
Dada Samekta berdesir. Kerti yang tua, yang senang
bergurau itu tidak pernah berkata demikian bersungguh-sungguh
kepadanya. Agaknya ia memang sedang dibingungkan oleh
keadaan yang dihadapinya. Namun demikian Samekta itu
mengangguk dan menjawab, "Baiklah. Aku akan berusaha untuk
menjaga, agar tidak terjadi sesuatu atas anak muda itu dan
obatnya sekali. Bukankah saat ini Pandan Wangi sedang
menghadap ayahnya" Kalau Ki Argapati mempercayainya, maka
gadis itu akan segera datang atas nama Ki Argapati, dan berbuat
atas namanya pula. Tetapi kalau tidak, itu berarti bahwa Ki
Argapati pun meragukan gembala itu, sehingga kita memang
perlu berhathati." Debar di dada Kerti terasa menjadi semakin cepat. Tetapi ia
tidak menjawab lagi. Ia mengerti kesulitan yang dihadapi
Samekta pula. Pemimpin tertinggi pasukan Pengawal itu tidak
ingin mengecewakan Wrahasta, yang tenaganya kini sangat
diperlukan. Tetapi apakah dengan demikian, anak muda yang
membawa obat untuk Ki Argapati itu akan dikorbankan"
Yang diharapkannya segera datang kini adalah Pandan
Wangi. Ia akan dapat menolong Gupita atas nama ayahnya, dan
menyelamatkan obat itu pula.
Tetapi Kerti terkejut ketika ia mendengar Wrahasta berbicara,
"Nah, kalau kau berkata sebenarnya, bahwa obat itu benarbenar
akan dapat menyembuhkan Ki Argapati, cobalah, cicipi
barang sedikit." "Tidak mumgkin," jawab Gupita, "Obat ini adalah obat untuk
luka Ki Argapati. Obat yang harus ditaburkan atas luka itu. Sama
sekali bukan obat untuk diminum atau dimakan, karena obat ini
mengandung racun." "Nah," tiba-tiba Wrahasta berteriak, "kau sekarang sudah
mengaku, bahwa obat yang kau katakan itu adalah racun.
Dengan demikian jelas, bahwa kau benar-benar orang Sidanti
yang akan mencoba membunuh Ki Argapati dengan cara yang
sangat licik setelah kau berhasil mempengaruhi Pandan Wangi."
Wajah Gupita menjadi merah. Hampir-hampir ia kehilangan
akal. Namun dengan sekuat tenaga ia masih berusaha menahan
dirinya. Ia masih mengharap perubahan yang dapat terjadi pada
para pengawal yang mengerumuninya. Terutama Kerti.
Sementara itu Kerti sendiri menjadi sangat gelisah. Pandan
Wangi masih belum nampak datang. Setiap kali ia memandang
ke arah regol halaman menunggu kedatangan gadis itu. Namun
setiap kali yang dilihatnya adalah pengawal-pengawal yang
berdatangan untuk melihat apa yang telah terjadi di halaman itu.
"Nah," berkata Wrahasta kemudian, "sekarang kalau kau tidak
senang orang lain membuka bajumu. Bukalah. Apakah kau
membawa senjata yang kau sembunyikan dengan licik pula?"
Gupita menjadi ragu-ragu. Tetapi ia tidak dapat menolak.
Karena itu, maka dengan hathati disimpannya lagi bungkusan
obat itu di dalam kantong bajunya yang kemudian perlahanlahan
dibukanya. "Aku akan membuka bajuku. Tetapi aku tidak mau
menanggung akibatnya apabila obat itu rusak. Percaya atau
tidak percaya, aku ingin menyerahkan obat itu langsung kepada
Ki Argapati," berkata Gupita.
"Itu tergantung dari keputusamku," sahut Wrahasta, "karena
itu aku ingin melihat apakah kau mampu membuktikan bahwa
dirimu bukan petugas sandi dari Sidanti dan gurunya yang gila
itu." Sesaat kemudian semua mata terpusat kepada Gupita yang
berada di tengah lingkaran manusia. Semua mata mengikuti
gerak tangannya yang dengan enggan telah membuka bajunya
sendiri Tiba-tiba hampir setiap mulut berdesis ketika mereka dengan
terperanjat melihat sesuatu yang melilit pada tubuh Gupita, di
luar ikat pinggangnya. "Cambuk."
"Anak muda itu membawa cambuk," gumam seorang
pengawal yang gemuk. "Ya. Ia membawa cambuk," sahut yang lain.
Meskipun Samekta sudah pernah melihat Gupita membawa
cambuk, tetapi ia mengerutkan keningnya. Cambuk yang
dibawanya kini bukan sekedar cambuk seperti yang pernah
dilihatnya. Cambuk seorang gembala. Tetapi cambuk yang
dilihatnya kini, benar-benar sehelai cambuk yang mendebarkan
jantung. Kerti yang tua mengangguk-anggukkan kepalanya, Tanpa
sesadarnya ia bergumam, "Ya, cambuk semacam itulah yang
pernah aku lihat di Pucang Kembar. Anak muda yang gemuk
dan bernama Gupala membawa cambuk serupa itu pula."
Yang kemudian berdiri mematung adalah Wrahasta. Sejenak
ia terpukau oleh cambuk yang dibawa oleh Gupita. Meskipun
cambuk itu belum terurai, namun terasa bahwa cambuk itu
bukanlah cambuk kebanyakan.
Tetapi lebih dari pada itu, ia telah dibebani oleh berbagai
perasaan yang berbenturan. Sebagai seorang pengawal ia
berdebar-debar karena ia melihat seorang anak muda yang
membawa cambuk. Selama ini ia membuat tiruan dengan
mempersenjatai beberapa orang pengawal berkuda, menjadi
bayangan dari orang-orang yang bersenjatakan cambuk. Seperti
ceritera Ki Gede, seseorang telah ditemuinya di bawah Pucang
Kembar dengan cambuknya, dan yang diceriterakan oleh
Pandan Wangi bahwa seorang anak muda yang bersenjata
cambuk telah menyelamatkannya.
Namun di dalam dadanya itu pula bergolak perasaan
cemburu seorang anak muda yang menggelegak tidak
terkendalikan. Agaknya anak muda inilah yang telah mendapat
pujian dan dikagumi oleh Pandan Wangi justru karena
cambuknya itu. Tiba-tiba kejantanan Wrahasta mendidih di dalam dada yang
serasa telah terbakar itu. Berbagai perasaan yang saling
berbenturan telah menjadikannya semakin bingung, sehingga
sikapnya pun menjadi kabur. Namun harga dirinya sebagai
seorang laklaki telah meledak dengan dahsyatnya.
Maka sejenak kemudian Wrahasta itu pun maju selangkah,
masuk kedalam lingkaran para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh. Dengan bertolak pinggang ia berkata lantang, "He
Gupita. Aku pernah mendengar betapa dahsyatnya cambukmu
itu. Aku pernah mendengar seseorang yang lain, yang
bersenjatakan cambuk, telah menarik kepercayaan Ki Argapati
pula. Bahkan kami semuanya di sini yang mabuk akan ceriteraceritera
kepahlawanan manusia-manusia bersenjata cambuk itu,
telah membuat bayangannya, dengan mempersenjatai beberapa
orang dengan cambuk pula. Maksud kami adalah cukup jelas.
Kami ingin menakut-nakuti Sidanti dengan cambuk itu. Tetapi
kami di sini sama sekali belum mengetahui siapakah sebenarnya
manusia-manusia yang penuh dengan rahasia itu. Apakah kami
tidak justru ditertawakan oleh Sidanti dan gurunya, karena
manusia-manusia bercambuk itu sebenarnya adalah orangorang
mereka." "Kalau juga Gupala yang kau maksud," potong Gupita, "maka
Ki Argapati pasti sudah tidak akan dapat kembali lagi. Dengan
racun yang memperkuat bisa warangan senjata Ki Tambak Wedi
betapapun lemahnya, maka Ki Argapati akan segera meninggal.
Tetapi seperti yang kalian lihat, Ki Argapati masih tetap hidup
sampai saat ini. Apakah dengan demikian kalian masih
meragukan kami" Bahkan sekarang aku datang untuk
memperbaharui obat yang pasti telah tidak mempunyai daya
penyembuh lagi." Wrahasta tidak segera menyahut. Kata-kata itu memang
mengandung kebenaran. Tetapi api kecemburuannya agaknya
telah membuat akalnya menjadi hangus sehingga ia berkata,
"Kenapa bukan Gupala itu yang datang kemari, sehingga salah
seorang dari kami akan segera mengenalnya" Kenapa orang
lain yang bernama Gupita" Mungkin aku dapat mempercayainya
apabila Gupala sendiri datang kemari. Tetapi aku masih belum
mempercayai kau. Kini aku ingin membuktikan apakah kau
benar-benar mampu menolong Pandan Wangi, melepaskannya
dari tangan Ki Peda Sura. Apakah itu bukan sekedar permainan
yang licik untuk menjerat kepercayaan Pandan Wangi terhadap
kau. Dan kau sebenarnya tidak mempunyai sangkut paut apa
pun dengan Gupala. Kalau kau menyebut ciri yang sama,
cambuk itu, maka setiap orang dapat membuat cambuk serupa
itu." Gupita menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi ragu-ragu
menghadapi keadaan itu. Segala macam pertimbangan telah
melingkar-lingkar di kepalanya seperti sifat-sifatnya yang
dibawanya sejak kanak-kanak. Ia mencoba mencari jalan yang
paling baik yang dapat ditempuhnya untuk menghadapi keadaan
ini. Keadaan yang tidak diduga-duganya sama sekali.
Tanpa sesadarnya matanya hinggap pada wajah Kerti yang
tegang. Kemudian dipandanginya Samekta dan para pemimpin
yang lain. Tetapi para pemimpin itu pun telah dicengkam oleh
kebingungan. Mereka tidak dapat mencegah Wrahasta, agar
Wrahasta tidak marah dan menimbulkan kesulitan di antara para
pemimpin itu sendiri. Samekta yang merasa bertanggung jawab
oleh semua peristiwa di dalam lingkungan pagar pering ori itu
pun menjadi semakin bingung. Seperti Kerti maka harapannya
kemudian adalah keputusan Ki Argapati sendiri.
"Cepat!" tiba-tiba Wrahasta berteriak.
Gupita yang masih kebingungan itu pun bertanya, "Apakah
maksudmu sebenarnya?"
"Aku ingin melihat, apakah kau benar-benar dapat
membebaskan Pandan Wangi dari tangan Ki Peda Sura." Dan
Wrahasta itu pun kemudian berteriak kepada para pengawal,
"Beri aku sehelai cambuk yang sering dibawa oleh para
pengawal berkuda. Aku ingin melihat, apakah orang bercambuk
ini benar harus dikagumi. Dan bahwa tidak ada orang lain yang
dapat mempergunakan cambuk sebaik anak ini."
Melihat sikap Wrahasta yang seolah-olah telah kehilangan
kendali itu Kerti dan Samekta menjadi semakin cemas. Untuk
membiarkannya berkelahi melawan anak muda yang bersenjata
cambuk itu pun Samekta harus membuat pertimbangan yang
menegangkan syarafnya. Seandainya Wrahasta dapat
dikalahkan, maka ia akan menjadi semakin bermata-gelap dan
akan mempergunakan kewenangannya untuk menghancurkan
orang itu. Tetapi apabila ia menang, maka ia pun akan dapat
berbuat di luar dugaan. Wrahasta pasti akan menjadi semakin
tidak percaya lagi kepada Gupita, atau justru mempergunakam
kesempatan itu untuk memuaskan hatinya yang sedang dibakar
oleh kecemburuan. Karena itu, maka Samekta segera melangkah maju sambil
berkata, "Sudahlah Wrahasta. Aku kira kau tidak perlu
menitikkan keringatmu untuk masalah-masalah yang tidak
berarti. Biarlah aku menyelesaikan anak ini. Bukan aku sendiri,
tetapi biarlah kita bersama-sama mencari penyelesaian yang
semudah-mudahnya tanpa menyulitkan diri sendiri."
"Tidak," potong Wrahasta tanpa menunggu Samekta selesai
berbicara. "Aku bukan pengecut."
"Memang bukan," jawab Samekta. "Aku sependapat, bahwa
anak muda itu adalah tawanan kita. Kita berhak mendapat
keterangan daripadanya tanpa cara yang begitu sulit. Tidak
sewajarnya bahwa kita, atau salah seorang dari kita harus
Parker Pyne Menyelidiki 3 Pendekar Hina Kelana 18 Geger Di Bukit Seribu Tengkorak Maut 27

Cari Blog Ini