Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 5

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 5


berdiam diri seandainya yang datang itu benar-benar Ki Tambak
Wedi, Sidanti, dan Argajaya,
"Marilah, Kita melihat apa yang terjadi. Mudah-mudahan kita
tidak terlambat." Mereka bertiga pun segera pergi meninggalkan gunung
Gowok. Tetapi mereka tidak berada dalam kesiagaan sepenuh
Ki Sumangkar yang merasa mempunyai tanggung jawab
sepenuhnya atas Ki Tambak Wedi, sehingga setiap saat ia
seakan-akan tidak pernah terpisah dari kudanya.
Dengan tergesa-gesa mereka menuju langsung ke induk
kademangan untuk mencari arah suara panah sendaren itu.
Menurut pengamatan Ki Tanu Metir, maka suara itu bersumber
dari sebelah Utara, tidak terlampau jauh dari induk kademangan.
"Mereka memang berani," gumamnya di dalam hati. "Mereka
berani melakukan perbuatannya itu dekat sekali dengan induk
kademangan. Mungkin mereka sengaja memancing beberapa
orang peronda dan kemudian membunuhnya. Tetapi mereka
tidak tahu bahwa di sini telah hadir Adi Sumangkar yang akan
dapat mengimbangi ketangguhan Ki Tambak Wedi."
Ketika mereka kemudian memasuki induk kademangan, maka
mereka melihat prajurit-prajurit Pajang dan anak-anak muda
Sangkal Putung telah berada di gardu masing-masing, serta
yang lain telah menuntun, kuda-kuda mereka. Setiap saat
mereka akan dapat melakukan apa saja, untuk kepentingan
kademangan itu. "Di manakah Angger Widura?" bertanya Ki Tanu Metir kepada
salah seorang prajurit pengawal kademangan.
"Ki Widura sudah berangkat, Kiai. Berkuda bersama beberapa
orang prajurit. Kami telah mendapat perintah untuk bersiap.
Setiap saat para prajurit berkuda itu harus berangkat
membantunya apabila diperlukan."
"Kita mengambil kuda-kuda kita," berkata Swandaru
kemudian sambil berlari ke belakang rumahnya, ke kandang
kuda. Agung Sedayu dan Ki Tanu Metir pun kemudian
menyusulnya. Secepat-cepatnya mereka mempersiapkan kudakuda
yang masih berada di kandang. Kuda Ki Demang Sangkal
Putung. Tetapi kuda itu hanya dua ekor, sehingga Swandaru
sendiri akhirnya mencari seekor kuda yang lain. Ketika di
halaman kademangan ia melihat segerombol anak-anak muda
Sangkal Putung, dan ada satu dua di antaranya yang menuntun
kuda-kuda mereka, maka segera kuda itu dipinjamnya.
*** "Aku sangat memerlukan segera," katanya.
Swandaru itu terkejut ketika ia mendengar seseorang
bertanya, "Kau akan pergi ke mana Swandaru?"
Suara itu adalah suara ayahnya, Ki Demang Sangkal Putung.
"Aku harus pergi juga ayah. Mungkin aku dapat bertemu
dengan Sidanti." "Sendiri?" "Tidak, bersama Kakang Agung Sedayu dan Kiai Grinsing."
Ki Demang Sangkal Putung memandang ke arah yang
ditunjuk oleh Swandaru di sisi regol kademangan. Remangremang
dilihatnya dua orang yang memegangi kendali dua ekor
kuda telah siap menanti. "Kuda-kuda itu kuda kita?" bertanya ayahnya.
"Ya, tetapi hanya ada dua ekor. Aku sendiri terpaksa
meminjam kuda ini." "Hathatilah," berkata ayahnya, "kau belum mengenal tabiat
kuda ini. Tetapi yang lebih berbahaya lagi adalah Ki Tambak
Wedi dan kedua orang kawannya itu."
"Aku bersama guru," sahut Swandaru. Ki Demang Sangkal
Putung mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melangkah di
belakang Swandaru ketika Swandaru pergi mendapatkan
gurunya. "Ki Sumangkar belum ada di sini," berkata Ki Demang itu.
"Angger Widura berangkat tanpa orang tua itu. Hanya beberapa
orang prajurit pilihan yang memang telah disiapkannya saja yang
pergi bersamanya. "Adi Sumangkar telah pergi langsung mendapatkan tamunya,"
sahut Kiai Gringsing. "Oh, sokurlah," gumam Ki Demang itu seakan-akan kepada
diri sendiri. "Baiklah, kami segera minta diri," berkata Kiai Gringsing
kemudian. Maka mereka bertiga itu pun segera meninggalkan halaman
kademangan. Ketika mereka telah berada di jalan yang
membelah induk Kademangan Sangkal Putung, maka segera
mereka memacu kuda-kuda mereka. Semakin lama semakin
cepat. "Kita kemana guru?" bertanya Swandaru. "Apakah kita
menyusur jalan ini lalu berbelok ke Utara?"
"Ya. Kita telusuri jalan ini. Sebelum kita sampai ke ujung
kademangan, kita berbelok ke utara. Mungkin Angger Widura
mengambil jalan lain. Tetapi itu tidak penting. Setelah kita
berada di bulak, maka kita akan segera mengetahui, di mana
terjadi perkelahian itu."
Swandaru tidak menjawab. Dan kuda-kuda mereka pun
berpacu semakin cepat. Angin malam yang sejuk mengusap wajah-wajah yang tegang
itu. Semakin cepat kuda-kuda mereka berpacu, maka dingin
malam semakin tajam, maka dingin malam semakin menyengat
kulit. Tetapi karena ketegangan hati yang semakin tajam, maka
dingin itu pun tidak begitu terasa lagi.
Dalam berpacu kuda terdengar Kiai Gringsing berkata, "Aku
tidak mendengar tanda-tanda berikutnya."
"Ya," sahut Agung Sedayu, "mungkin Paman Widura atau Ki
Sumangkar telah berada di antara mereka. Atau bahkan
keduanya." "Mudah-mudahan tidak demikian," berkata Kiai Gringsing.
"Sumangkar cukup cepat bertindak. Agaknya Angger Widura pun
tidak akan terlambat pula."
Kedua anak-anak muda itu pun kemudian terdiam. Mereka
berusaha memacu kuda mereka semakin cepat.
Sementara itu Sumangkar pun sedang memacu kudanya,
lewat jalan sempit di antara tanaman-tanaman pategalan yang
sedang menghijau. Ia tahu tepat dari manakah arah suara panah
sendaren itu. Karena itu, maka ia langsung dapat menuju ke
tempat itu. Di bulak yang tidak terlampau luas, di samping
sebuah tegalan yang agak rimbun.
"Setan-setan itu pandai memilih tempat untuk mencegat para
peronda," desis Sumangkar di dalam hatinya. "Mereka pasti
bersembunyi di pategalan itu, lalu dengan tiba-tiba menyergap
para peronda. Untunglah bahwa salah seorang di antara mereka
masih sempat memberikan tanda sampai tiga kali berturut-turut."
Orang tua itu sama sekali tidak menghiraukan lagi titik-titik
embun di dedaunan yang tersentuh bajunya. Betapa dingin
malam itu, namun baju Sumangkar menjadi basah. Basah oleh
keringat dan basah oleh embun.
Ternyata perhitungan Sumangkar sama sekali tidak salah. Di
ujung pategalan yang rimbun di seberang bulak, lima orang
peronda telah bertemu dengan Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan
Argajaya yang masih saja berkeliaran membawa dendam yang
membara di hatinya, seperti hantu yang setiap kali bangkit dari
kuburnya untuk menghisap darah orang-orang yang masih
hidup. Pertemuan itu begitu tiba-tiba, sehingga hampir-hampir para
peronda tidak sempat memberikan tanda-tanda itu. Untunglah
bahwa salah seorang dari padanya dengan cepat mampu
menjauhkan dirinya di atas punggung kudanya. Dengan
kemungkinan yang ada ia sempat melepaskan tiga buah anak
panah sendaren. Selebihnya, ia harus berkelahi dengan
pedangnya. Tetapi lawan mereka sama sekali tidak seimbang. Sidanti dan
Argajaya. Meskipun demikian, kuda-kuda mereka sekedar dapat
membantu mereka. Kecepatan kakkaki kuda mereka sajalah
yang mampu menyelamatkan mereka dari tangan Sidanti dan
Argajaya. Agaknya Ki Tambak Wedi masih terlampau malas
untuk berbuat sesuatu. Bahkan sambil berdiri bersandar sebatang pohon nangka ia
berkata lantang, "Sidanti, jangan segera kau bunuh kelinckelinci
itu. Biarlah kita pergunakan mereka sebagai umpan. Aku ingin
kawan-kawan mereka segera datang membunuh dirinya di sini.
Aku mengharap Widura sendirilah yang datang. Aku ingin
melihat bagaimana Untara menangisi mayat pamannya itu. Ia
pasti akan diberitahu seandainya pamannya itu benar-benar
terbunuh." Sidanti dan Argajaya tidak menjawab. Tetapi mereka senang
mendengar rencana Ki Tambak Wedi. Bahkan orang yang
melepaskan panah sendaren itu pun seolah-olah diberinya
kesempatan sebelum ia melibatkan diri dalam perkelahian itu
pula. Ki Tambak Wedi melihat Sidanti berkelahi melawan tiga orang
lawannya, sedang Argajaya melawan dua orang. Betapa kelima
prajurit itu mengerahkan segenap kecakapan dan kemampuan
yang ada padanya, namun mereka sama sekali tidak mampu
berbuat sesuatu. Meskipun kuda-kuda mereka menyambar
bergantganti, tetapi mereka masih mendengar Sidanti tertawa
dan berkata, "He, hathati. Kudamu dapat terperosok ke dalam
parit." Prajurit-prajurit itu menggeram, tetapi mereka menyadari,
dengan siapa mereka sedang berkelahi, dan mereka masih juga
mendengar Sidanti berteriak, "Jangan mati dulu karena pokalmu
sendiri. Kami ingin menjadikan kalian umpan untuk mengundang
kawan-kawanmu yang kami ingini."
Sama sekali tidak terdengar jawaban. Prajurit-prajurit itu
berkelahi semakin sengit. Tetapi lawan mereka terlampau lincah.
Bahkan apa yang dikatakan Sidanti benar-benar terjadi, Salah
seekor dari kuda-kuda itu terperosok ke dalam parit, sehingga
penunggangnya pun terpelanting jatuh.
"He, apakah kau sudah berputus asa dan mencoba
membunuh dirimu?" bertanya Sidanti.
Prajurit itu tidak menjawab. Tetapi ia menyeringai menahan
sakit di punggungnya. Ki Tambak Wedi masih berdiri saja bersandar pohon nangka.
Ia mengharap Widura datang sendiri ke arena perkelahian itu,
sehingga ia akam dapat membunuhnya.
"Aku sudah jemu membunuh kelinckelinci yang tidak berarti
itu," gumamnya. "Aku ingin membunuh orang-orang yang
dianggap penting di Sangkal Putung, Widura dan Demang itu
pula." Ki Tambak Wedi berhenti sejenak. Diangkatnya kepalanya.
Katanya kemudian, "Nah, aku mendengar derap beberapa ekor
kuda, Mudah-mudahan Widura ada di antara mereka."
Dalam keremangan malam, akhirnya Ki Tambak Wedi lihat
iring-iringan kuda mendekatinya. "Hem," desisnya, "mereka
terlampau sombong. Mereka datang dalam jumlah yang
terlampau kecil. Tidak sampai sepuluh orang."
Sidanti dan Argajaya pun sempat melihat kuda-kuda yang
menjadi semakin dekat. Memang yang datang ilu tidak sampai
berjumlah sepuluh orang. "Mereka memang terlampau sombong," sahut Sidanti.
"Ada kemungkinan bahwa mereka tidak tahu, bahwa kitalah
yang berada di sini," berkata Argajaya.
"Mungkin. Mungkin mereka menyangka bahwa yang di sekitar
Sangkal Putung hanyalah beberapa orang perampok atau
pencuri ayam," sahut Ki Tambak Wedi kemudian.
Orang tua itu pun kemudian melangkah maju. Dilihatnya
Sidanti dan Argajaya yang masih saja berkelahi melawan prajurit
peronda itu. "Guru," bertanya Sidanti, "apakah aku harus mengakhiri
perkelahian. Bukankah mereka telah melihat dan mengetahui
bahwa kawan-kawannya berada di sini?"
Ki Tambak Wedi merenung sejenak. Kuda-kuda yang
mendatangi itu menjadi semakin dekat.
Ki Tambak Wedi berpaling ketika ia mendengar seekor lagi
jatuh terperosok. Dan seorang prajurit lagi terpelanting jatuh di
seberang parit dan terlempar ke dalam pategalan yang
ditumbuhi oleh bermacam-macam tanaman itu. Tetapi belum lagi
orang itu sempat berdiri, maka kuda yang ketiga telah jatuh pula.
Kali ini tidak tergelincir ke dalam parit, tetapi kaki depannya
ternyata telah disentuh oleh tombak Argajaya.
Tiba-tiba terdengar suara Ki Tambak Wedi lantang,
"Selesaikan mereka."
Sementara itu kuda-kuda yang lain telah menjadi terlampau
dekat. Ki Tambak Wedi membiarkan kuda-kuda itu memencar.
Sebagian meloncati parit dan berada di tengah-tengah sawah
yang becek. Yang lain berputar dari arah seberang
menyeberang. Ki Tambak Wedi berdiri tegak, di tengah-tengah jalan di ujung
pategalan yang rimbun. Dalam keremangan malam, ia melihat
seseorang yang memimpin prajurit-prajurit Pajang itu. Orang itu
adalah Widura. "Kau, Widura," desis Ki Tambak Wedi.
Widura mengerutkan keningnya. Katanya lantang,
"Menyerahlah Tambak Wedi. Lepaskan perkelahian antara
muridmu dengan prajurit-prajuritku itu."
"Jangan mimpi. Sidanti harus membunuhnya segera."
"Tidak terlampau mudah. Mereka adalah prajurit pilihan."
"Oh, itukah prajurit-prajurit Pajang pilihan" Tiga ekor kuda
mereka telah tidak dapat dipergunakan lagi. Yang dua jatuh di
parit, agaknya kakkakinya terkilir. Meskipun kuda-kuda itu
sempat bangun, tetapi kuda-kuda itu tidak akan dapat
dipergunakan lagi. Yang seekor sebentar lagi akan mati di
tengah jalan itu." Widura tidak segera menjawab. Tetapi ia mencoba melihat
keadaan. Namun malam yang gelap tidak memberinya
kesempatan untuk memperhatikan perkelahian itu dengan
seksama. Apalagi ia harus selalu waspada, bahwa setiap saat Ki
Tambak Wedi dapat saja melepaskan gelang-gelangnya.
Mungkin ke arahnya, tetapi mungkin juga ke arah prajuritprajuritnya.
Widura mengangkat dahinya ketika ia mendengar Ki Tambak
Wedi berkata, "Mungkin kau tidak dapat melihat perkelahian itu
dengan jelas Widura, sebab kami berada di tempat yang agak
gelap. Tetapi kami dapat melihat kau dan orang-orangmu lebih
jelas karena kau berada di tempat yang terbuka."
Widura menggeram, dan sekali lagi ia berkata lantang,
"Hentikan perkelahian dan menyerahlah."
"Jangan sombong," sahut Ki Tambak Wedi. Sebentar lagi


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang-orangmu akan mati, kau pun akan mati pula. Aku ingin
melihat Untara yang perkasa itu menangisi mayatmu. Dan aku
ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh Kiai Gringsing
apabila ia datang pula kemari bersama Untara dari Jati Anom."
Widura terdiam sejenak. Ternyata berita kedatangan Kiai
Gringsing masih belum didengar oleh Ki Tambak Wedi yang
berada di dalam persembunyiannya.
"Ayo Widura," berkata Ki Tambak Wedi itu kemudian.
"Kenapa kau masih diam saja. Sudah aku katakan, aku tidak
akan menyerah. Aku ingin membunuhmu dan menggantungmu
di ujung Kademangan Sangkal Putung. Aku ingin
memperlihatkan bahwa inilah seorang yang diserahi pimpinan
tertinggi prajurit Pajang di Sangkal Putung."
Widura masih berdiam diri. Tetapi ia menjadi heran. Panah
sendaren yang berdesing tiga kali berturut-turut dirasanya cukup
dapat didengar dari seluruh induk kademangan. Tetapi ia masih
belum melihat Ki Sumangkar hadir di tempat itu. Menurut
perhitungannya, dimana pun Sumangkar berada, maka ia pasti
sudah sampai di tempat itu dan berbuat sesuatu. Karena itu ia
hanya membawa sepuluh orang prajurit pilihan.
Sejenak timbul kecurigaannya kepada orang tua, adik
perguruan Patih Mantahun dari Jipang itu. Apakah sebenarnya ia
dapat dipercaya" Apakah sengaja ia memperlambat
kedatangannya dengan perhitungan-perhitungan tertentu" Kalau
ia telah hadir, maka pasti sudah melibatkan dirinya melawan Ki
Tambak Wedi, tetapi ternyata Ki Tambak Wedi masih berdiri
hebas. Namun bagaimanapun juga ia harus bertindak. Ia tidak boleh
membiarkan orang-orang itu berbuat sekehendak hatinya.
Apalagi ia masih melihat orang-orangnya yang terdahulu
melakukan perlawanan yang gigih. Bahkan terlampau gigih
meskipun Widura tidak dapat melihat dengan jelas. Dua di
antara mereka masih berada di atas punggung kuda, sedang
yang lain berkelahi di atas tanah.
"Aku tidak boleh menunggu mereka binasa," pikir Widura,
karena itu maka hadir atau tidak hadirnya Sumangkar, ia harus
bertindak. Namun ia harus memberi isyarat kepada prajurit
penghubungnya untuk melepaskan tanda setiap saat, apabila
Sumangkar benar-benar tidak hadir. Bahkan Widura itu
mengharap, Kiai Gringsing, Swandaru, dan Agung Sedayu dapat
menangkap isyarat panah sendaren itu pula, sehingga apabila
demikian, maka kemungkinan terbesar iblis-iblis itu tidak akan
dapat lolos lagi. Tetapi ia memerlukan waktu untuk itu. Sekarang, pada saatsaat
yang genting itu, ia harus sudah dapat mengambil sikap
untuk menghadapi Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya.
Sesaat Widura memandang ke arah prajurit-prajuritnya yang
bertebaran di segala arah. Ia harus segera memberikan abaaba,
dan prajurit-prajuritnya segera akan berbuat sesuatu,
sementara itu salah seorang dari mereka harus melepaskan
panah-panah sendaren. Ketika Widura hampir meneriakkan aba-aba, tiba-tiba ia
mendengar Ki Tambak Wedi berkata "He, Sidanti. Kenapa kau
tidak segera menyelesaikan yang lima orang itu bersama Angger
Argajaya. Di sini telah hadir permainan-permainan yang baru,
yang akan lebih mengasyikkan dari yang lima itu."
Tetapi Sidanti tidak segera menjawab. Bahkan nafasnyalah
yang mengalir semakin cepat dari lubang-lubang hidungnya.
"Sidanti," teriak Ki Tambak Wedi kemudian "bunuh saja
mereka itu." Masih belum terdengar jawaban. Dalam kegelapan mereka
masih saja bertempur berputaran. Bahkan sekalsekali mereka
menyusup ke dalam pategalan yang rimbun, kemudian terjadi
perkelahian di antara tanaman-tanaman yang berjajar sebagai
pagar pategalan itu. Sejenak kemudian mereka muncul lagi. Dua orang prajurit
yang masih berada di punggung kudanya bahkan merasa
canggung. Kuda-kuda mereka selalu terhalang oleh pepohonan.
"Setan benar kedua orang itu," berkata mereka di dalam hati.
"Mereka berusaha menyeret perkelahian ke dalam pategalan,
sehingga kuda-kuda ini tidak bisa bergerak lagi."
Karena itu, maka tanpa berjanji mereka pun segera
berloncatan dari kuda-kuda mereka, dan langsung melibatkan
diri dalam perkelahian yang berputar-putar itu.
"Sidanti," terdengar Ki Tambak Wedi berkata, "apa kau sudah
menjadi gila, he?" Tetapi Sidanti tidak menjawab. Bahkan kemudian Ki Tambak
Wedi melihat Sidanti itu terdesak beberapa langkah surut.
Namun sesaat kemudian Argajaya-lah yang terpaksa meloncatloncat.
"Kenapa kau, he?" berteriak Ki Tambak Wedi pula.
"Guru," sahut Sidanti, "ada yang tidak wajar di sini.
Ki Tambak Wedi tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia
meloncat mendekati Sidanti yang hampir-hampir saja kehilangan
kesempatan untuk melawan serangan lawannya. Dan inilah yang
tidak masuk ke dalam akalnya. Lawannya tiba-tiba menjadi
sangat garang. Salah seorang dari mereka mampu berloncatan
seperti burung sikatan. Sekalkali menyerangnya, dan tiba-tiba
saja orang itu telah menyelamatkan prajurit-prajurit yang hampir
mati karena tombak Argajaya. Bahkan seandainya orang itu
berkelahi seorang diri, mungkin Sidanti dan Argajaya justru tidak
dapat melawannya lagi. Karena orang itu masih berhasrat ingin
menyelamatkan kawan-kawannya, maka Sidanti dan Argajaya
masih sempat memberikan perlawanan serba sedikit. Namun
mereka benar-benar berada di dalam kesulitan. Dan kesulitan itu
kemudian dapat dilihat oleh Ki Tambak Wedi.
Tambak Wedi yang mempumyai pengamatan yang jauh lebih
tajam dari murid-muridnya dan Argajaya segera melihat ketidak
wajaran itu. Meskipun di dalam gelap karena bayangan
rimbunnya dedaunan, namun ia segera dapat melihat, siapakah
yang berdiri di hadapannya dengan ikat kepala yang menutup
sampai di kening. Karena itu maka segera ia berteriak lantang,
"Minggir Sidanti, apakah kau sudah buta. Untung kau belum
mati. Biar aku selesaikan orang ini. Bunuh saja yang lain secepat
kau mampu melakukan."
Namun pada saat itu, Widura ternyata mencoba mengambil
kesempatan. Ia tidak mau terlambat. Karena itu maka segera
kudanya melangkah maju. Tetapi sulitlah baginya untuk
berkelahi di antara pagar pategalan itu dengan kudanya. Karena
itu maka segera ia pun meloncat turun diikuti oleh beberapa
prajuritnya. "Sidanti," panggil Widura, "kau masih ingin melakukan perang
tanding?" Sidanti menggeram. Tetapi ia terdiam ketika ia mendengar
gurunya berkata, "Apa kerjamu he bunglon busuk?"
Yang terdengar adalah suara tertawa yang bernada tinggi.
"Tutup mulutmu!" teriak Ki Tambak Wedi. Tetapi suara
tertawa itu masih terdengar, dan di antara suara itu terdengar
kata-kata, "Aku di sini, Angger Widura."
"Oh," Widura menarik nafas dalam-dalam. Suara itu adalah
suara Sumangkar. "Aku juga baru saja tiba di tempat ini," terdengar suara itu
pula. Aku mencoba mengambil kesempatan ketika aku melihat
salah seorang prajurit Pajang terbaring di pategalan ini. Agaknya
ia pingsan ketika ia terlempar dari kudanya."
"Apakah Kiai tidak berkuda?" Widura sempat bertanya. Dalam
pada itu, ia melihat Ki Tambak Wedi telah menyerang
Sumangkar dengan garangnya. Di dalam kegelapan ia melihat
bayangan orang-orang tua itu berloncatan dengan cepatnya.
Dan Sumangkar masih memerlukan menjawab, "Aku
tinggalkan kudaku di sebelah pategalan ini. Aku ingin mengintai
lebih dahulu. Tetapi ternyata aku hampir terlambat."
Widura tidak bertanya lagi. Bukan waktunya untuk bercakapcakap.
Kini ia melihat Sidanti berdiri tegak dan telah bersiap
untuk melawannya. Sedang Argajaya masih terlampau sibuk
berkelahi. Tetapi, kini lawannya justru bertambah ringan,
meskipun jumlahnya bertambah banyak. Karena seorang di
antaranya, yang telah menumbuhkan keheranannya, kini sudah
mendapat lawan sendiri. Sumangkar yang sudah harus
bertempur melawan Ki Tambak Wedi. Karena itulah, maka kini ia
mampu menghadapi lawan-lawannya sendiri dan lawan-lawan
Sidanti sekaligus. Empat orang. Sedang Sidanti harus
berhadapan dengan Widura. Tetapi ternyata Widura itu tidak
sendiri. Ia datang bersama beberapa orang prajurit, justru
prajurit-prajurit pilihan.
Namun, Widura masih saja berdiri dengan tegangnya di tepi
jalan di ujung pategalan itu. Dalam keremangan malam
dilihatnya Sidanti sudah siap untuk menghadapinya. Meskipun
demikian Widura berusaha apabila mungkin untuk menangkap
mereka tanpa perkelahian dan korban meskipun harapan itu
sangat tipis baginya. Karena itu, maka sekali lagi ia berkata lantang, "Kau tidak
akan dapat berbuat apa-apa lagi. Gurumu sudah terikat oleh
sebuah perkelahian yang seimbang dengan Ki Sumangkar.
Kawanmu yang seorang itu, yang menurut pendengaranku
adalah pamanmu, Argajaya, harus berkelahi matmatian pula
melawan keempat orang prajurit itu. Sekarang kau harus
berhadapan dengan aku. Tetapi aku datang bersama sepuluh
orang prajurit pilihan. Apakah kau tidak lebih baik menyerah saja
sebelum kami mendapat kesan yang lebih buruk lagi tentang kau
dan guru serta pamanmu" Dengan demikian tanggung jawabmu
atas segala perbuatanmu itu akan menjadi lebih ringan."
Yang terdengar kemudian adalah anak muda itu menggeram.
Dengan darah yang mendidih sampai ke ubun-ubunnya ia
menjawab kasar, "Jangan banyak berbicara saja. Ayo Widura,
berbuatlah sesuatu. Kalau kau ingin menangkap Sidanti dengan
cara yang licik itu, segera lakukanlah. Aku sudah menyangka
bahwa kau tidak akan berani berbuat secara jantan. Kau tidak
dapat mengalahkan aku dalam perang tanding. Sekarang kau
datang beramaramai dengan pengawalmu itu. Tetapi aku tidak
akan dapat kau takut-takuti seperti perempuan cengeng."
"Kau terlalu diburu oleh nafsu yang tidak terkendali Sidanti."
"Jangan banyak bicara. Ayo, aku sudah siap."
Widura mengerutkan keningnya. Ia sudah mengira bahwa
anak itu benar-benar keras kepala seperti gurunya.
"Kau keras kepala."
"Majulah bersama. Jangan hanya sepuluh orang. Seluruh
kekuatan yang ada di Sangkal Putung, prajurit-prajurit Pajang
dan anak-anak mudanya yang bengal. Aku tidak akan gentar."
"Apakah itu sudah menjadi keputusanmu?"
"Ya. Aku bukan Widura yang licik dan pengecut. Aku ingin
berbuat jantan. Kalau kau hanya berani berkelahi dengan cara
itu, ayo lekas lakukanlah."
Widura mengerutkan keningnya. Wajahnya menjadi kian
tegang. Ia merasa kata-kata Sidanti sengaja diucapkan untuk
memanaskan hatinya sehingga ia mendapat kesempatan untuk
melawannya seorang lawan seorang. Tetapi kali ini Widura tidak
ingin terbakar oleh kata-kata lawannya. Maka jawabnya, "Aku
adalah seorang pemimpin prajurit dalam suatu kesatuan yang
bulat. Tugasku adalah tugas anak buahku dan sebaliknya. Maka
tugas kami bersama-sama pulalah untuk menyelesaikan
pengkhianatanmu. Masalah ini bukan masalah pribadi yang
harus diselesaikan secara pribadi."
"Setan!" geram Sidanti. "Kenapa kau hanya berbicara saja"
Aku menjadi muak mendengarnya. Apakah perwira Wira
Tamtama Pajang hanya mampu berbicara dan berkelahi
beramaramai?" "Baiklah Sidanti," jawab Widura dalam nada yang berat.
Dugaannya sama sekali tidak salah, bahwa Sidanti tidak akan
dapat dijinakkannya. Dengan demikian, maka Widura itu pun melangkah maju
semakin dekat. Dengan tangannya maka diberinya prajuritprajuritnya
isyarat. Sebagai prajurit-prajurit pilihan, di bawah
pimpinan Widura langsung, maka mereka hanya memerlukan
waktu yang sangat pendek untuk segera menebar dan menutup
kemungkinan perlawanan yang berarti bagi Sidanti.
Sidanti yang melihat kilatan ujung senjata dari segala pihak
segera menempatkan dirinya dalam kewaspadaan tertinggi. Ia
mengharap bahwa pepohonan dan pagar pategalan itu dapat
membantunya. Ketika ia memandang dengan sudut matanya,
maka dilihatnya Argajaya telah berhasil mendesak keempat
lawannya sehingga keempatnya harus berjuang sekuat tenaga
mereka untuk bertahan dan menghindari sambaran ujung
tombak pendek orang kedua dari Menoreh itu. Sedang di tempat
lain, gurunya bertempur matmatian melawan Sumangkar.
Namun, dalam sekilas, Sidanti tidak dapat melihat, siapakah
yang berada dalam keadaan lebih baik dari mereka berdua itu.
"Kau tidak akan mendapat bantuan dari siapa pun," geram
Widura. "Persetan!" teriak Sidanti.
"Aku memberi kesempatan terakhir."
Sidanti tidak menjawab. Tetapi matanya seolah-olah menyala
karena kemarahannya. Widura yang melihat keempat prajuritnya terdesak melawan
ketangkasan Argajaya, maka segera dilepaskannya dua
orangnya untuk membantu keempat kawannya. Sedang sisanya
segera bergerak mendekati Sidanti dari arah yang berbedabeda.
Tetapi, bagi Sidanti tidak ada seleret pikiran pun untuk
menyerahkan diri. Kalau Widura berhasil menangkapnya, maka
ia hanya akan menangkap mayatnya. Dengan demikian, maka
Sidanti itu pun menjadi seolah-olah wuru. Tidak ada
pertimbangan lain soal itu kecuali mati.
Tetapi, agaknya gurunya, Ki Tambak Wedi mempunyai
perhitungan tersendiri. Sambil bertempur ia melihat apa yang
telah dihadapi oleh Argajaya dan Sidanti. Ia melihat bahwa
keadaan Argajaya tidak begitu membahayakan. Meskipun
demikian dua orang baru yang ditempatkan Widura untuk
melawan orang itu, agaknya akan segera mengganggu
keseimbangan. Tetapi yang membuat ia cemas adalah Sidanti.
Orang tua itu menyadari, bahwa untuk melawan Widura seorang
diri, Sidanti belum pasti akan dapat memenangkannya meskipun
ilmu Sidanti bertambah maju. Apalagi kini ia harus menghadapi
Widura itu bersama delapan orang prajurit pilihan. Suatu
kekuatan jauh di luar kemampuan Sidanti untuk
mengimbanginya. Sedang Ki Tambak Wedi sendiri telah terikat dalam
pertempuran melawan Sumangkar, yang sama sekali tidak
diduga-duganya akan berada di Sangkal Putung.
Itulah sebabnya, maka Ki Tambak Wedi berusaha untuk
memecahkan persoalan yang dihadapinya dengan secepatcepatnya.
Sambil berkelahi ia masih sempat melihat apa yang


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilakukan. oleh Argajaya dan Sidanti. Ia melihat Widura telah
siap untuk berbuat sesuatu atas Sidanti. Meskipun tampaknya
Sidanti tidak ingin mundur karena kekerasan hatinya, tetapi bagi
Ki Tambak Wedi perbuatan itu sama sekali tidak akan berarti
apa-apa. Seandainya Sidanti terbunuh, maka kematiannya
benar-banr kematian yang sia-sia.
Karena itu, sebelum Sidanti terlibat dalam perkelahian yang
sangat berbahaya baginya, Ki Tambak Wedi harus mengambil
suatu sikap. Dan sikap itu ternyata kemudian, ketika di pategalan itu
terdengar suitan nyaring. Itu adalah aba-aba yang diberikan oleh
Ki Tambak Wedi. Sidanti sendiri terkejut mendengar aba-aba itu. Terasa untuk
sejenak jantungnya meronta. Sebagai seorang laklaki yang
keras hati, tanda-tanda itu telah memperkecil arti kejantanannya.
Namun sejenak kemudian terasa suatu sikap baru di dalam
dirinya. Sikap yang hampir-hampir tidak dipikirkan sebelumnya.
Yaitu menghindar untuk sementara.
"Menghindar bukan berarti mengaku kalah," kata Sidanti di
dalam hatinya. Ketika sekali lagi ia mendengar suara gurunya bersuit
nyaring, maka ia telah memutuskan untuk menerima keadaan
itu, betapa pedih terasa di dadanya. Tetapi anak muda itu
bertekad untuk suatu saat dapat berbuat sesuatu. Ia ingin
menebus segala kegagalan yang pernah dialaminya dalam
petualangannya di sekitar Gunung Merapi ini.
Tetapi Widura ternyata dapat menangkap isyarat yang
diberikan oleh Ki Tambak Wedi. Widura mengerti bahwa Ki
Tambak Wedi ingin melepaskan dirinya. Karena itulah maka
ketika terdengar suitan Ki Tambak Wedi untuk kedua kalinya,
maka suitan itu seolah-olah aba-aba yang diberikannya kepada
Widura untuk mulai menyerang Sidanti.
Sidanti yang sudah siap untuk menyingkir, masih sempat
melihat para prajurit Pajang berloncatan dari beberapa arah.
Tetapi untunglah bahwa Sidanti telah memperhitungkan keadaan
pategalan itu sejak lama, Karena itu, maka segera ia menyelinap
di antara pepohonan dan rimbunnya daun-daun perdu di dalam
pategalan itu. Anak muda itu menyelinap di antara gerumbulgerumbul
salak yang tumbuh liar, di samping batang-batang
melandingan dan pohon buah-buahan.
Melihat sikap itu, Widura mengumpat di dalam hatinya. Tetapi
dengan prajurit-prajuritnya ia berusaha untuk mengejarnya.
Bukan saja Sidanti, tetapi juga Argajaya dan Ki Tambak Wedi
sendiri. Namun mengejar orang-orang yang cukup berilmu itu di
dalam pategalan yang rimbun dan cukup pepat oleh tumbuhtumbuhan
perdu dan pohon buah-buahan, di malam yang gelap
adalah pekerjaan yang cukup sulit. Itulah sebabnya, maka baik
Widura sendiri, Sumangkar, maupun para prajurit Pajang
terpaksa mengumpat di dalam hati masing-masing. Setelah
sekian lama mereka berkejaran, namun mereka tidak berhasil
menangkap ketiga orang ini.
Sesaat kemudian, mereka masih mendengar suara suitan Ki
Tambak Wedi di kejauhan. Widura, Sumangkar, dan para prajurit
dapat mengerti, bahwa suitan itu adalah tanda-tanda yang
diberikan oleh Ki Tambak Wedi. Namun demikian tanda-tanda itu
tidak segera dapat dipecahkan oleh Widura maupun oleh
Sumangkar. Mereka hanya dapat mengerti maksudnya, tetapi
mereka tidak dapat mengerti arti yang sebenarnya.
Akhirnya, Widura terpaksa menghentikan pengejarannya.
Widura menyadari bahaya yang dapat timbul, apabila
pengejaran itu dilakukan terus. Widura mencemaskan para
prajuritnya, apabila tiba-tiba saja satu demi satu mereka akan
ditemui oleh Ki Tambak Wedi. Dalam kejar-mengejar hal yang
demikian itu akan mungkin terjadi. Apalagi Ki Tambak Wedi
mampu membunuh orang dari kejauhan dengan gelang-gelang
besinya. Seandainya kali ini pun Ki Tambak Wedi membawa
banyak gelang-gelang besi itu, maka akibatnya akan sangat
berbahaya. Seandainya ia kehabisan gelang-gelang besinya,
maka kecakapannya membidik itu akan dapat juga dipergunakan
dengan benda yang ditemuinya di sembarang tempat. Batu-batu
misalnya atau apa saja. Sejenak kemudian Sumangkar, Widura, dan para prajuritnya
telah berkumpul kembali. Meskipun tidak ada yang terbunuh,
namun peronda yang pingsan karena terlempar dari punggung
kudanya, ternyata mengalami luka yang cukup parah.
Punggungnya terantuk segumpal padas yang tajam. Seorang
lainnya yang bertempur melawan Argajaya terluka di pelipis dan
yang seorang lagi di lengannya. Untunglah bahwa luka-luka itu
bukan luka yang parah. Meskipun demikian, mereka harus
segera mendapat perawatan. Sumangkar segera memberi
mereka obat yang dapat menawarkan mereka dari gigitan
warangan yang mungkin diberikan pada ujung tombak Argajaya.
"Tubuhku terasa panas sekali," prajurit-prajurit yang terluka itu
mengeluh. Sumangkar mengerutkan keningnya. Katanya kemudian,
"Nah, aku memang menyangka, bahwa ada racun warangan
betapapun lemahnya di ujung tombak Argajaya. Untunglah
bahwa racun itu belum mencengkaram jantungmu, sehingga
berhenti berdenyut."
Prajurit-prajurit yang terluka itu tidak menyahut. Dengan
susah payah mereka diangkat oleh kawan-kawan mereka untuk
dibawa ke kademangan. "Selama ini kita tidak melihat Kiai Gringsing," gumam Widura
di sepanjang jalan menuju ke halaman Kademangan Sangkal
Putung. Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya
ia pun mengharap Ki Tanu Metir untuk segera datang sebelum
mereka kehilangan ketiga orang buruan itu. Tetapi agaknya Ki
Tanu Metir memerlukan waktu untuk menyusulnya.
"Aku sebenarnya mengharapkannya," berkata Widura
kemudian. "Aku juga," sahut Sumangkar. "Apabila Kiai Gringsing hadir
dalam pertempuran ini, maka aku kira Ki Tambak Wedi akan
dapat ditangkap, mati atau hidup."
"Ya, itulah sebabnya aku mengharapkannya. Tetapi ternyata
ia tidak datang. Kehadirannya bersama Swandaru dan Agung
Sedayu akan sangat berarti dalam pertempuran ini."
"Ya," Sumangkar menyahut, "aku kira ketiganya akan datang
juga. Tetapi mereka memerlukan waktu."
"Waktu telah cukup panjang."
"Belum cukup bagi mereka," Sumangkar berhenti sejenak,
lalu katanya kemudian, "Aku bersama mereka di Gunung Gowok
ketika para peronda melemparkan panah sendaren."
"Oh." "Aku segera meninggalkan mereka dengan kudaku. Tetapi
mereka tidak membawa seekor kuda pun."
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya, "Apakah kalau
mereka berjalan cepat-cepat, masih juga belum sampai di
tempat perkelahian itu?"
"Belum Ngger. Mereka masih harus melintasi bulak dan
pategalan. Jarak antara Gunung Gowok sampai ke ujung
pategalan tempat perkelahian itu cukup panjang."
"Mungkin mereka dapat singgah di kademangan untuk
mengambil beberapa ekor kuda."
"Itu pun memerlukan waktu. Mereka harus menyiapkan kudakuda
mereka, kemudian menyusul kita kemari."
"Apabila demikian kita harus bertemu mereka di jalan kembali
ini." "Juga belum pasti. Kiai Gringsing dapat mengambil jalan yang
lain karena mereka tidak tahu, jalan manakah yang kita lalui."
Widura terdiam. Memang hal-hal yang serupa itu dapat
terjadi. Ia menyesali bahwa ia tidak berhasil menahan ketiga
orang itu agak lama untuk memberi kesempatan Kiai Gringsing
hadir di tempat itu. Dengan demikian maka kemungkinan yang
terbesar adalah Ki Tambak Wedi akan dapat ditangkap, hidup
atau mati. Tetapi, kini mereka telah berhasil melepaskan dirinya.
Dan semua perbuatan-perbuatannya masih akan dapat diulangi.
Dengan merucutnya Ki Tambak Wedi, maka bahaya masih saja
setiap saat menerkam kademangan ini dan seperti yang
dikatakan oleh Ki Tambak Wedi, kademangan-kademangan
lainnya akan dapat menjadi pelepasan kesal dan dendam orangorang
yang licik itu. Terutama yang telah membuat hubungan
kurang baik dengan salah seorang dari mereka adalah
Prambanan. Dalam pada itu, Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya
berdiri di pategalan itu di ujung yang lain. Dengan wajah yang
seolah-olah menyalakan kemarahannya, setiap kali terdengar Ki
Tambak Wedi menggeram. "Kenapa kita tidak tahu bahwa Sumangkar, bunglon gila itu
berada di sini?" desis Ki Tambak Wedi.
Sidanti dan Argajaya tidak menjawab. Seharusnya merekalah
yang melontarkan pertanyaan itu kepada Ki Tambak Wedi.
Namun bagi keduanya, hal itu sudah bukan merupakan
pertanyaan lagi. Setiap hari mereka hanya berusaha
menyembunyikan diri saja. Mereka tidak ingin dikenal sebagai Ki
Tambak Wedi, Sidanti dan Argajaya. Sebab apabila demikian,
maka Sangkal Putung akan meningkatkan kewaspadaan mereka
semakin tinggi. Para peronda akan memperlengkapi diri dengan
syarat-syarat perlawanan yang cukup bagi mereka. Itulah
sebabnya, maka hubungan mereka hampir terputus sama sekali
dengan orang-orang di sekitar tempat mereka bersembunyi.
Hanya sekalsekali mereka mendatangi satu dua rumah dengan
menutup muka mereka agar tidak seorang pun yang dapat
mengenal. Mereka hanya memerlukan makan dan sekedar bekal
untuk segera menghilang lagi ke dalam hutan-hutan yang tidak
terlampau lebat di sekitar Kademangan Sangkal Putung, untuk
setiap saat muncul dan mencegat para peronda. Dengan tidak
segan-segan mereka membunuh prajurit-prajurit yang tentu tidak
akan mampu melawan mereka bertiga, meskipun seandainya
jumlah prajurit itu berlipat tiga dari jumlah mereka. Apalagi hanya
dua sampai lima orang. "Sekali lagi tercoreng arang di wajah kita," gumam Ki Tambak
Wedi dengan nada yang terlampau dalam. "Sumangkar telah
turut serta menghalang-halangi kesenangan kita."
"Ya," sahut Sidanti. "Apakah kita akan tinggal diam untuk
seterusnya." Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya.
"Kita harus menebus semua kekalahan ini," geram Sidanti.
"Sidanti," berkata Argajaya kemudian, "kau masih memiliki
kemungkinan itu. Bukankah kau putera Kakang Argapati. Kepala
Tanah Perdikan Menoreh?"
"Ya, aku adalah putera dari Menoreh," sahut Sidanti.
"Bukankah begitu guru?"
Ki Tambak Wedi menganggukkan kepalanya. Tetapi
tampaklah ia agak ragu. "Bukankah guru sendiri sering mengatakan demikian?"
"Ya," sahut Ki Tambak Wedi.
"Kita harus menebus segala kekalahan," sekali lagi Sidanti
menggeram. Tetapi Ki Tambak Wedi tidak segera menanggapi anganangan
Sidanti tentang tanah perdikannya. Tampaklah orang tua
itu kini dicengkeram kebimbangan.
"Apakah kita akan membiarkan diri kita dihinakan begini jauh
guru?" Ki Tambak Wedi masih berdiam diri. Matanya memandang
jauh menembus gelapnya malam, seolah-olah ia ingin melihat
apakah yang tersimpan di balik layar yang hitam pekat.
"Bagaimaua guru?" bertanya Sidanti. "Bagaimanakah
pertimbangan guru tentang hal ini?"
Ki Tanbak Wedi menarik nafas da!am-dalam. Dihirupnya
udara malam yang dingin sebanyak-banyaknya, seakan-akan
orang tua itu ingin mendinginkan dadanya yang sedang
membara. "Ya, Kiai," terdengar Argajaya menyambung. "Sidanti adalah
putera Kakang Argapati. Aku pun tidak rela melihat putera
Kakang Argapati itu dihinakan orang di lereng Merapi ini."
Perlahan-lahan Sidanti dan Argajaya melihat Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ternyata jawabannya
masih melontarkan keragu-raguannya, "Mungkin demikian,
Ngger." "Kenapa Kiai ragu-ragu," bertanya Argajaya. "Apakah Kiai
ingin berbuat lain, atau mempunyai perhitungan lain?"
Ki Tambak Wedi belum menjawab.
"Kiai," berkata Argajaya, "Sidanti adalah putera seorang yang
bukan saja mempunyai wewenang tertinggi di daerahnya, tetapi
ayah Sidanti adalah seorang yang pilih tanding. Aku tidak tahu,
siapakah yang lebih tua di dalam umur dan ilmu dengan Ki
Tambak Wedi sendiri, tetapi setidak-tidaknya Kakang Argapati
akan menjadi seorang yang dapat dihadapkan baik melawan
Sumangkar maupun Ki Tanu Metir seandainya mereka bersamasama
berada di daerah ini. Jati Anom atau Sangkal Putung.
Kakang Argapati akan dapat bersama-sama dengan Kiai,
berhadapan dengan siapa pun di sekitar lereng Merapi ini."
Ki Tambak Wedi sekali lagi mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Bukankah begitu?" bertanya Argajaya.
"Ya, Ngger," jawab Ki Tambak Wedi pendek.
"Tetapi kenapa Kiai menjadi ragu-ragu?"
"Sebenarnyalah bahwa aku ragu-ragu," desis Ki Tambak
Wedi. "Kenapa?" "Apakah Argapati dapat mengerti, apa yang sebenarnya
terjadi atas puteranya?"
"Kenapa tidak?" sahut Argajaya. "Aku akan menjadi saksi.
Aku melihat sendiri, betapa perlakuan orang-orang Pajang
sangat menyakitkan hati."
(***) Buku 29 KI TAMBAK WEDI perlahan-lahan memalingkan wajahnya.
Dipandanginya muridnya yang berdiri tegang di sampingnya.
"Benarkah begitu Sidanti?" tiba-tiba Ki Tambak Wedi bertanya.
Sidanti menjadi heran mendengar pertanyaan itu, maka ia
pun bertanya pula, "Apakah maksud Kiai?"
"Apakah benar bahwa perlakuan prajurit-prajurit Pajang
sangat menyakitkan hati?"
"Apakah Guru tidak merasakan betapa kita harus mengalami
penghinaan ini?" jawab Sidanti. "Kita harus bersembunyi dan
selalu menghindarkan diri" Kita selalu dikejar-kejar seperti
orang-orang buruan?"
"Apakah kita bukan orang-orang buruan Sidanti?"


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sama sekali tidak diduganya bahwa Ki Tambak Wedi akan
bertanya demikian sehingga sejenak justru Sidanti terbungkam.
Ditatapnya saja wajah gurunya tanpa berkedip untuk beberapa
lama. Terasa sesuatu berdesakan di tenggorokannya, tetapi
tidak sepatah kata pun yang dapat meloncat ke luar.
"Marilah bersama-sama kita kenang," berkata Ki Tambak
Wedi. "Apakah yang telah pernah terjadi dengan dirimu Sidanti.
Semula kau telah mendapat kesempatan yang baik di dalam
lingkungan keprajuritan Pajang seperti yang diinginkan oleh
ayahmu." "Lalu aku terlempar keluar," potong Sidanti.
"Ya." "Aku menyadari kesalahan itu, tetapi bukankah Guru saat itu
tidak mencegah aku, bahkan seolah-olah membenarkan
sikapku." "Ya. Karena itulah aku menjadi ragu-ragu untuk datang
kepada ayahmu. Kau dan aku bersama-sama telah berbuat
kesalahan-kesalahan. Kau tidak menjadi seorang anak yang baik
menurut kudangan ayahmu. Sedang aku adalah seorang yang
diserahi dan dipercaya untuk membawamu sesuai dengan jalan
yang diingini oleh ayahmu, Argapati. Tetapi yang terjadi adalah
seperti sekarang ini."
Sidanti menjadi terdiam pula. Meskipun demikian gelora di
dalam dadanya tidak juga mereda. Apalagi yang dapat
dilakukannya, kalau tidak menghadap ayahnya dan mengatakan
segala kesulitannya. "Aku yakin ayah akan mengerti," berkata Sidanti kemudian.
"Ya, aku juga yakin," sahut Argajaya. "Aku adalah saksi yang
dapat memperkuat keterangan-keterangan Sidanti dan
keterangan-keterangan Kiai. Aku akan dapat berkata tentang
apa yang aku dengar dan aku lihat di sini."
"Tentang Ki Tanibak Wedi yang memberontak terhadap
kekuasaan Pajang?" potong Ki Tambak Wedi.
Argajaya mengerutkan keningnya. Tiba-tiba suaranya
menurun rendah, "Apakah Kiai menyesal?"
Ki Tambak Wedi terperanjat pula mendengar pertanyaan itu.
Tiba-tiba ia menengadahkan dadanya sambil berkata, "Tidak.
Aku sama sekali tidak menyesal. Apa yang terjadi atas diriku dan
padepokanku adalah akibat dari usahaku untuk menangkap
keinginan dan cita-cita. Cita-cita tentang masa depan muridku,
pewaris ilmuku, dan masa depan perguruanku. Aku tidak akan
menyesal." "Jadi kenapa Kiai menjadi ragu-ragu," desak Argajaya.
Ki Tambak Wedi tidak segera menyahut. Sekali lagi sorot
matanya terlontar ke dalam kegelapan malam. Sejenak ia
berdiam diri. Yang terdengar hanyalah desah nafasnya yang
panjang. Argajaya dan Sidanti pun sejenak terdiam. Mereka menunggu
sikap Ki Tambak Wedi. Ketika mereka melontarkan pandangan
mata mereka ke kejauhan pula, maka mereka melihat keredipan
beribu-ribu kunang-kunang yang hinggap di dedaunan padi yang
hijau. Sejenak mereka dicengkam oleh kediaman yang tegang.
Meskipun udara malam terlampau dingin, tetapi dada mereka
serasa mendidih. Berturut-turut mereka mengalami kekalahankekalahan
yang sangat menyakitkan hati. Perhitunganperhitungan
yang kurang cermat, dan persoalan-persoalan
pribadi yang sangat mengganggu. Kadang-kadang terbersit pula
penyesalan di dalam diri Sidanti, bahwa ia telah membawa
Sekar Mirah ke dalam padepokan gurunya, sehingga akibatnya
sama sekali tidak pernah dibayangkannya.
"Alap-alap itulah yang gila. Sayang aku tidak mendapat
kesempatan untuk mencincangnya sampai lumat," katanya di
dalam hatinya yang pepat.
Dalam pada itu terdengar Argajaya berkata, "Sebaiknya Kiai
tidak usah ragu-ragu. Aku tahu benar sifat Kakang Argapati. Ia
seorang yang keras hati. Seorang yang mempunyai harga diri,
dan seorang yang disuyuti oleh reh-rehannya."
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
ia bergumam, "Aku merasa bahwa aku belum dapat
menempatkan Sidanti sewajarnya, apalagi sesuai dengan
keinginan ayahnya." "Tetapi itu tidak dapat ditentukan oleh Kiai dan Sidanti sendiri.
Keadaan lingkungan Sidanti ternyata tidak memungkinkan. Dan
ini bukan kesalahan Sidanti."
Sekali lagi Ki Tambak Wedi terdiam, ia pun merasakan bahwa
kegagalan rencananya sebagian terletak pada kesalahan
muridnya. Ternyata gadis Sangkal Putung itu telah memecahkan
hubungan yang memang kurang baik antara orang-orangnya
dengan orang-orang Jipang. Tetapi ia tidak menumpahkan
kesalahan itu kepada muridnya meskipun pernah juga
disinggungnya. Sekali lagi keheningan telah merayapi suasana. Yang
terdengar hanya derik bilalang di kejauhan. Sekalsekali
terdengar angin semiut menggerakkan dedaunan.
Tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu mengangkat wajahnya.
Telinganya yang tajam telah menangkap sesuatu.
"Derap beberapa ekor kuda," desisnya.
Sidanti dan Argajaya pun segera mendengar derap kakkaki
kuda. Semakin lama semakin dekat.
"Apakah orang-orang itu telah menemukan jejak kita dan
mengejarnya kemari?" gumam Argajaya.
"Tidak mungkin," sahut Ki Tambak Wedi.
"Apakah ada orang lain?"
"Mungkin sekali," berkata Ki Tambak Wedi pula. "Mungkin
mereka adalah peronda-peronda yang lain, yang terlambat
datang menyusul kawan-kawannya."
"Mari kita lihat," geram Sidanti.
"Menjemukan," sahut Ki Tambak Wedi.
Tetapi Sidanti tidak menghiraukannya. Beberapa langkah ia
maju dan melihat lepas ke bulak yang terbentang di hadapan
pategalan itu. "Tiga eleor kuda," desisnya.
Ki Tambak Wedi yang semula tak acuh, kemudian melangkah
pula dan berdiri di belaksng Sidanti bersama Argajaya.
"Ya, tiga ekor kuda. Mereka adalah peronda-peronda yang
lain yang menyusul Widura, tetapi mereka berselisih jalan.
Widura mengambil jalan di sebelah Barat, orang-orang itu
mengambil jalan di sebelah Timur."
"Kita apakan orang-orang itu, Guru?" bertanya Sidanti.
"Biarkan saja," sahut Ki Tambak Wedi.
"Tidak. Aku ingin berbuat sesuatu untuk mengurangi
kepepatan dada ini supaya tidak meledak."
"Akan kau apakan mereka itu?"
"Bunuh." Ki Tambak Wedi tidak menyahut. Dipandanginya saja
bayangan yang samar-samar semakin lama semakin dekat.
"Di simpang tiga itu, mereka akan berbelok ke Barat
seandainya mereka mempunyai perhitungan yang tepat atas
panah-panah sendaren yang tadi dilepaskan oleh orang-orang
Pajang." "Mereka harus dihentikan."
"Terlambat. Mereka sudah mendekati simpang tiga itu."
"Tetapi guru dapat berbuat sesuatu atas mereka. Guru dapat
melepaskan gelang-gelang itu. Satu saja untuk orang terdepan.
Kalau guru segan membunuh kelinci baiklah guru menjatuhkan
kudanya saja. Biarlah mereka itu menjadi urusanku."
Ki Tambak Wedi menggeram.
"Cepat, Guru, mereka sudah menjadi semakin dekat. Apabila
mereka telah berbelok ke Barat, maka mereka akan terlepas."
"Kau terlampau cengeng Sidanti. Kau hanya sekedar ingin
membunuh." "Cepat, guru." Ki Tambak Wedi tidak dapat menolak permintaan muridnya.
Memang terasa sekali betapa ia memanjakan Sidanti. Jauh
melampaui sikap seorang guru terhadap muridnya. Hampir
setiap keinginan dan permintaan muridnya dipenuhinya,
meskipun kadang-kadang bertentangan dengan keingiannya
sendiri. Karena itu maka Ki Tambak Wedi itu pun segera mengambil
sebuah gelang-gelangnya. Ketika orang-orang berkuda itu
hampir sampai di simpang tiga di pinggir pategalan itu, maka
terdengarlah angin berdesis. Sebuah gelang-gelang telah
meluncur dengan kecepatan yang tidak dapat diikuti dengan
mata. Tetapi alangkah terkejut mereka bertiga ketika mereka
melihat bayangan terdepan itu dengan sigapnya memiringkan
tubuhnya. Kemudian memutar kudanya sehingga kuda itu
hampir-hampir jatuh terguling. Terdengar suaranya meringkik
keras dan kuda itu sejenak berdiri dengan kedua kaki
belakangnya. Kedua penunggang yang lain hampir-hampir saja tidak
berhasil menguasai kuda-kuda mereka dan hampir saja
membentur kuda yang paling depan. Untunglah mereka pun
cukup sigap, meskipun kuda-kuda itu terdorong beberapa
langkah melampaui kuda yang pertama.
Ki Tambak Wedi justru terdiam tegak seperti patung melihat
korbannya yang gagal. Gelang-gelangnya yang terlepas dari
tangannya hampir tidak pernah lepas dari sasaran. Apalagi
sekedar prajurit-prajurit peronda. Sedang Widura sendiri pasti
tidak akan mampu menghindarkan diri dari senjatanya itu.
Tetapi kali ini ia telah gagal mengenai sasarannya.
"Siapa setan itu?" desisnya.
Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya kemudian melihat
ketiga penunggang kuda itu meloncat turun.
"Aku harus mengenal siapakah mereka itu," desis Ki Tambak
Wedi. "Ya," sahut Sidanti pendek.
Ternyata jarak mereka masih cukup jauh untuk mengenali
wajah seseorang di dalam malam yang gelap. Meskipun
bayangan ketiga orang yang berdiri di tempat terbuka itu menjadi
semakin jelas, tetapi bentuk sesungguhnya masih belum dapat
dikenalnya. "Aku akan melepaskan satu kali lagi," berkata Ki Tambak
Wedi. "Mudah-mudahan aku segera dapat mengenalnya."
Sesaat kemudian Ki Tambak Wedi pun telah bersiap dengan
sebuah gelang-gelang besinya. Kini ia sengaja berdiri di ujung
pategalan untuk dapat dilihat oleh ketiga orang yang berdiri
mematung di simpang tiga.
Tetapi Ki Tambak Wedi tidak menunggu mereka mendekat
atau melarikan diri. Sekali lagi terdengar udara malam seolaholah
menyibak. Sebuah gelang-gelang telah meluncur dengan
cepatnya. Kini tidak mengarah kepada orang yang pertama,
tetapi kepada sasaran yang lain.
Namun usaha Ki Tambak Wedi untuk mengetahui orangorang
yang datang itu ternyata berhasil. Orang yang pertama,
yang mampu menghindari lontaran gelang-gelang itu, ternyata
tidak membiarkan gelang-gelang Ki Tambak Wedi menyambar
orang lain. Ketika gelang-gelang itu meluncur beberapa
cengkang daripadanya, mengarah kepada orang yang berdiri di
sampingnya, terdengar ledakan yang keras memecah sepinya
malam. Ledakan sebuah cambuk bertangkai pendek tetapi
berjuntai panjang. Cambuk itu seakan-akan telah mengait
gelang-gelang itu, sehingga tiba-tiba saja gelang yang meluncur
itu melenting keatas, dan jatuh beberapa langkah dari mereka.
"Setan itu hadir pula," terdengar Ki Tambak Wedi
menggeram. "Kiai Gringsing," desis Sidanti.
"Siapakah orang itu?" bertanya Argajaya.
"Kiai Gringsing yang bersama-sama dengan kedua muridnya
telah melindungi Sekar Mirah di padepokan Tambak Wedi.
Bukankah Paman telah mengenai pula kedua muridnya itu. Yang
seorang gemuk bernama Swandaru dan yang seorang Agung
Sedayu." "Oh, anak-anak gila itu datang pula kemari," Argajaya pun
menggeram pula. "Kebetulan sekali," desis Sidanti. Kemudian kepada gurunya
ia berkata, "Kita selesaikan saja mereka, Guru."
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Dilihatnya kedua
murid Kiai Gringsing sudah mulai menambatkan kuda-kuda
mereka pada batang perdu di tepi jalan, sedang Kiai Gringsing
berdiri tegak melindungi mereka dengan cambuknya di tangan.
"Lihat," gumam Ki Tambak Wedi, "mereka telah
menambatkan kuda-kuda mereka. Sebentar lagi mereka datang
ke mari. Gelang-gelangku tidak kuasa menahan mereka, selama
Kiai Gringsing itu masih saja menggenggam senjatanya yang
gila itu." "Kita tunggu mereka di sini," sahut Sidanti. "Kita sama-sama
bertiga." "Apakah kau yakin bahwa kau akan dapat membunuh
mereka?" bertanya Ki Tambak Wedi.
"Guru justru memperkecil hati kami."
"Bukan maksudku. Tetapi cobalah berpikir dengan otakmu.
Jangan diburu-buru oleh nafsu dan perasaanmu saja. Kau pasti
sudah tahu keseimbangan yang bakal terjadi seandainya kita
harus berkelahi. Setidak-tidaknya perkelahian ini tidak akan
berakhir sampai fajar. Sampai orang-orang Sangkal Putung
sempat melihat kita dan mereka pasti akan mengejar kita seperti
mengejar tupai. Di siang hari, di antara Sumangkar dan Kiai
Gringsing, Widura, Swandaru, dan Agung Sedayu beserta
pasukannya, kita tidak akan banyak mendapat kesempatan. Baik
untuk melakukan perlawanan maupun kemudian untuk
menyingkir." Sidanti tidak menjawab, tetapi terdengar ia menggeram.
"Apakah kau dapat mengerti?" bertanya gurunya.
Betapa beratnya, namun Sidanti itu menjawab, "Ya, Guru."
"Nah, kalau begitu kita tidak boleh berbuat sebodoh itu. Kita
mempunyai nalar dan perhitungan. Apakah kau mengerti?"
Sekali lagi Sidanti menjawab, "Ya, Guru."
Meskipun Ki Tambak Wedi tidak mengatakan, tetapi jelas bagi
Sidanti dan Argajaya, bahwa Ki Tambak Wedi ingin menghindari
perkelahian dengan ketiga orang itu. Perkelahian yang sama
sekali tidak menguntungkan dipandang dari segala segi.
"Nah, marilah. Sebelum mereka semakin dekat. Kita
menghilang ke dalam pategalan."
Betapa sakit hati Sidanti, seolah-olah keadaan yang
ditemuinya di saat-saat terakhir sengaja menghinanya,
merendahkannya dan membuat dadanya pedih. Berturut-turut ia
mengalami kegagalan. Bahkan kegagalan yang mutlak. Di saat
terakhir, ketika ia ingin melepaskan himpitan perasaannya yang


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyesak, malahan dijumpainya Kiai Gringsing, Agung Sedayu,
dan Swandaru, yang justru membuat luka di hatinya semakin
parah. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Diikutinya saja gurunya
yang menyusup ke dalam rimbunnya tanaman pategalan.
Meskipun kadang-kadang kulitnya tergores dari duri pelepah
salak dan kadang-kadang duri daun nanas, tetapi sama sekali
tidak dihiraukannya. Dengan nada yang berat ia bertanya, "Ke mana lagi kita akan
pergi, Guru?" Ki Tambak Wedi tidak segera menjawab. Ia berjalan saja
dengan tergesa-gesa menyusup di antara rimbunnya dedaunan
tanpa menghiraukan pertanyaan muridnya.
Sikap Ki Tambak Wedi itu mengherankan Sidanti dan
Argajaya. Seorang yang selama ini tidak mengenal gentar dan
takut, tiba-tiba meninggalkan lawan yang telah berdiri di hadapan
hidungnya dalam keadaan yang seimbang. Bahkan seolah-olah
seperti seseorang yang sedang ketakutan dikejar hantu.
Meskipun Ki Tambak Wedi sudah mengatakan alasanalasannya,
namun masih juga terasa, betapa pahitnya keadaan
yang disuapkan ke mulut mereka tanpa dapat memuntahkannya.
Lari dengan tergesa-gesa meninggalkan lawan.
Tetapi baik Sidanti maupun Argajaya sudah tidak bernafsu
lagi untuk bertanya. Diikutinya saja kemana Ki Tambak Wedi itu
pergi. Semakin lama semakin dalam tenggelam masuk ke
jantung pategalan yang gelap dan rimbun itu.
Sementara itu Ki Tanu Metir dan kedua muridnya masih saja
berdiri di hadapan ujung pategalan. Orang tua itu cukup berhatihati.
Ia tahu benar bahwa yang melepaskan gelang-gelang besi
itu pasti Ki Tambak Wedi. Tidak ada orang lain yang mampu
melontarkan senjata serupa itu dengan kekuatan yang luar
biasa. "Kenapa kita tidak segera mendekat?" bertanya Swandaru.
"Jangan, Ngger," berkata Ki Tanu Metir, "kita harus berhatihati."
"Apakah kita akan menunggu mereka mendatangi kita?"
"Apabila mungkin."
Swandaru mengerutkan keningnya. Hampir tidak sabar ia
menunggu terlampau lama. Ingin ia segera meloncat dan
menerkam Sidanti atau pamannya, Argajaya. Tetapi gurunya
masih juga berdiri mematung dengan cambuk di tangannya.
Ketika sejenak kemudian gurunya masih juga belum beranjak
maka terdengar Agung Sedayu bertanya pula, "Apakah yang
harus kita tunggu, Guru" Mereka agaknya tidak akan maju lagi.
Miereka juga menunggu kita."
"Aku bercuriga," desis Ki Tanu Metir, "Ki Tambak Wedi yang
semula telah berdiri di tempat yang agak terbuka, tiba-tiba
lenyap di dalam gelapnya bayang-bayang pategalan. Aku
sangka, bahwa mereka sengaja memancing kita. Tetapi ingat,
setiap saat gelang-gelangnya itu dapat menyambar. Mungkin
aku, mungkin Angger Agung Sdayu dan mungkin Angger
Swandaru. Kalau ia ingin bertempur dengan jantan, maka Ki
Tambak Wedi tidak akan menghilang. Tetapi ia justru akan maju
bersama murid-muridnya."
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Gurunya akan mampu menghindar atau menangkis
serangan Ki Tambak Wedi itu. Tetapi bagaimana dengan kedua
mereka itu" Sekali dua kali Ki Tanu Metir dapat membantu
mereka, tetapi seandainya serangan itu datang beruntun dengan
sasaran yang berbeda, maka keadaannya akan menjadi sulit.
Mungkin pada suatu saat, gurunya akan menjadi terlampau
sibuk dan tidak berhasil menyelamatkan salah satu dari ketiga
sasaran itu. Karena itu maka baik Agung Sedayu maupun Swandaru tidak
bertanya lagi. Mereka dapat mengerti sepenuhnya, kenapa
gurunya menjadi terlampau hathati, bukan untuk kepentingan Ki
Tanu Metir sendiri, tetapi justru untuk kepentingan kedua
muridnya itu. Tetapi setelah beberapa lama mereka berdiri mematung,
mereka masih belum melihat seorang pun yang mendekati
mereka. Bahkan di antara gelapnya bayangan rumpun salak dai
pohon-pohon buah-buahan di pategalan itu, mereka sama sekali
tidak melihat gerak apa pun. Mati.
Dalam keheningan malam terdengar suara Ki Tanu Metir
perlahan-lahan, "Aku tidak melihat gerak sama sekali."
"Ya," sahut Agung Sedayu.
"Aku kira mereka bersembunyi di balik dedaunan," desis Ki
Tanu Metir. "Atau melarikan diri," sambung Swandaru.
Ki Tanu Metir tidak menjawab, tetapi kemungkinan itu
memang dapat terjadi. Mungkin Ki Tambak Wedi melihat, bahwa
mereka tidak akan dapat berbuat banyak terhadap mereka
bertiga, sehingga tidak ada gunanya lagi untuk melawan.
"Tetapi mereka sengaja mencegat kita," berkata Agung
Sedayu kemudian. "Mungkin mereka belum mengetahui, siapakah kita. Mungkin
mereka menyangka bahwa kita adalah prajurit-prajurit peronda
saja, sehingga mereka mencoba membunuh. Tetapi setelah
mereka mengetahui siapakah kita bertiga, maka niat itu
diurungkannya," jawab Ki Tanu Metir.
"Bukan sekedar diurungkannya," sahut Swandaru, "tetapi
mereka merasa bahwa niat itu tidak akan dapat dilakukan.
Daripada mereka justru tertangkap atau mati di pategalan ini,
maka lebih baik bagi mereka untuk melarikan diri."
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sebenarnyalah demikian. Tetapi orang tua itu tidak
mengatakannya. "Lalu, sekarang bagaimana?" desis Agung Sedayu.
"Kita kejar," sahut Swandaru.
"Sangat berbahaya bagi kalian. Ki Tambak Wedi sangat licik
dan curang. Ia menyerang dari jarak jauh dengan tiba-tiba.
Mungkin dari balik gerumbul, mungkin dari atas dahan pohon
buah-buahan yang cukup besar," potong Ki Tanu Metir.
"Lalu apakah yang akan kita kerjakan?" bertanya Swandaru
kepada gurunya. "Tunggu sebentar. Mungkin ada perkembangan baru."
?"Kalau tidak?" desak anak yang gemuk itu.
"Kita terpaksa harus sangat berhathati. Kita tidak dapat
berbuat dengan tergesa-gesa."
"Jadi kita biarkan mereka melarikan diri?"
Ki Tanu Metir tidak segera menjawab. Ditatapnya pategalan
yang berwama kelam itu, seolah-olah ingin dilihatnya segenap isi
yang ada di dalamnya. Ingin dilihatnya tiga orang yang sedang
mengendap-endap menyembunyikan dirinya, tetapi siap untuk
menyerang dengan licik dan curang.
"Bagaimana, Guru?" bertanya Swandaru.
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat
merasakan betapa dendam membara di dada muridnya itu.
Sidanti telah pernah membuat keluarganya pening karena
hilangnya Sekar Mirah. Hampir-hampir ibunya menjadi putus asa
dan ayahnya kehilangan akal. Tetapi orang tua itu tidak dapat
membiarkan muridnya diseret oleh arus perasaannya sehingga
menghilangkan sendsendi perhitungan yang wajar.
Tiba-tiba Ki Tanu Metir itu bergumam, "Kalau saja pamanmu
Sumangkar hadir di sini."
"Kenapa?" "Kami akan dapat menangkap iblis itu. Bahaya yang kami
hadapi tidak akan begitu mengkhawatirkan."
"Tetapi paman Sumangkar tidak hadir di sini."
"Aku heran, kenapa mereka tidak berada di sini. Juga angger
Widura tidak ada di sini." Orang tua itu berhenti sejenak, lalu
diteruskannya, "Mungkin mereka berada di ujung pategalan yang
lain. Suara panah sendaren yang kita dengar tidak berasal dari
sini, tetapi berasal dari ujung pategalan yang lain."
"Apakah mereka berada di sana?" bertanya Agung Sedayu.
"Mungkin." "Licik," desis Swandaru. "Agaknya ketiga orang itu telah
menghindar pula dari tempatnya semula."
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia
berkata, "Sangat berbahaya untuk mendekati pategalan itu.
Justru karena Ki Tambak Wedi yang licik dan memiliki
kecakapan membidik. Kelak, kalau Angger Agung Sedayu dapat
memanfaatkan kecakapannya, maka aku kira kau tidak akan
kalah dari Ki Tambak Wedi.
Swandaru berpaling ke arah saudara seperguruannya.
Sekilas diingatnya saat-saat Agung Sedayu menunjukkan
kecakapan memanah di muka banjar kademangan. Namun tibatiba
terdengar anak yang gemuk itu berdesis, "Tetapi Ki Tambak
Wedi tidak mempergunakan anak panah dan busur."
"Angger Agung Sedayu pun mampu berbuat seperti itu,"
sahut Ki Tanu Metir, "tetapi angger Agung Sedayu masih harus
melatih mempergunakan segenap tenaga cadangan yang ada di
dalam dirinya, supaya kekuatan lemparannya menjadi semakin
besar. Apabila latihan itu sudah mendekati kesempurnaannya
kelak, maka ia tidak akan kalah dari Ki Tambak Wedi. Angger
Agung Sedayu dapat melempar dan mengenai batu yang
sedang dilontarkan di udara. Apalagi mengenai tubuh sebesar
tubuh-tubuh kita ini."
Swandaru mengangguk-angguk-anggukkan kepalanya. Ia
percaya pada keterangan itu. Memang, Agung Sedayu
mempunyai kecakapan membidik yang luar biasa.
Namun tiba-tiba tersentak Swandaru itu bertanya,
"Bagaimana dengan Ki Tambak Wedi?"
Sekali lagi Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Lalu
katanya lambat, "Terpaksa, Ngger."
"Terpaksa kita lepaskan?"
Ki Tanu Metir menganggukkan kepalanya.
"Bagaimana mungkin Kiai," sahut Swandaru. "Kita sudah
berdiri berhadapan. Kita akan mendapat kesempatan yang baik.
Di saat-saat yang lain kita belum pasti akan menemukan
kesempatan yang serupa ini, atau bahkan karena kelicikannya
kita akan dapat ditelannya."
"Berbahaya, Ngger, berbahaya bagimu dan bagi Angger
Agung Sedayu. Kalau aku yakin mampu melindungi kalian dari
gelang-gelang besi itu, maka aku tidak akan berkeberatan.
Tetapi bagaimana kalau aku gagal" Apakah aku harus
mengorbankan murid-muridku" Di dalam pategalan itu akan
terasa lebih gelap lagi daripada di tempat yang terbuka. Mata Ki
Tambak Wedi adalah mata yang sangat tajam, setajam hidung
serigala." Swandaru tidak menjawab, tetapi terdengar ia menggeram.
Bukan saja Swandaru Geni, tetapi juga Agung Sedayu menjadi
sangat kecewa. Tetapi mereka dapat mengerti alasan gurunya.
Alasan keselamatan, justru keselamatan mereka sendiri.
Sejenak mereka berdiri diam sambil memandangi pategalan
yang kelam itu. Sejenak mereka membiarkan diri mereka disapu
oleh angin malam yang dingin. Lamat-lamat terdengar cengkerik
dan bilalang berderik bersahut-sahutanan.
"Kita tidak dapat berdiri saja di sini semalam suntuk," berkata
Ki Tanu Metir kemudian. Swandaru dan Agung Sedayu serentak berpaling ke arah
gurunya. Mereka seakan-akan baru saja terbangun dari tidur
mereka yang dibayangi oleh mimpi yang mengecewakan.
"Kita teruskan perjalanan. Mungkin kita bertemu dengan
pamanmu Sumangkar dan Angger Widura."
Ki Tanu Metir tidak menunggu jawaban kedua muridnya.
Perlahan-lahan ia melangkah mendekati kudanya, diikuti oleh
murid-muridnya. "Marilah," berkata orang tua itu sambil meloncat keatas
punggung kudanya. "Kalian berada di depan. Kita akan berbelok ke barat. Kalau
Tambak Wedi itu masih ada di sudut pategalan itu, ia akan
melempar punggung kita. Biarlah aku yang berada di paling
belakang." Kedua muridnya itu pun segera meloncat ke punggung kuda
masing-masing. Sejenak kemudian mereka telah menghadap ke
Barat. Mereka akan segera memacu kuda mereka menyusur
jalan yang membujur tidak jauh dari pategalan itu. Tetapi jarak
antara pategalan dan jalan itu menjadi semakin lama semakin
jauh. Sehingga lemparan Ki Tambak Wedi sudah tidak akan
terlampau berbahaya lagi, seandainya ia masih juga ingin
menyerang sambil bersembunyi di pategalan itu.
Sejenak kemudian suara kakkaki kuda itu telah membelah
sepi malam. Berderap melepaskan debu yang putih. Angin yang
silir terasa menyusup kulit. Dingin. Namun panas di dalam dada
mereka telah menghangatkan seluruh tubuh.
Mereka tidak memerlukan waktu yang lama untuk sampai ke
ujung pategalan yang lain. Tetapi mereka sama sekali tidak
menemukan seorang pun di sana. Meskipun demikian orang tua
itu bergumam, "Di sini aku melihat bekas pertempuran."
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mereka melihat batang-batang padi yang terinjak
kakkaki kuda. Mereka melihat rerumputan yang bosah-baseh.
"Agaknya terjadi perkelahian kecil di sini," desis Ki Tanu Metir,
"tetapi tidak terlalu lama. Entahlah, mungkin terjadi juga
perkelahian di dalam pagar pategalan itu."
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Lalu
bagaimana dengan kita?" bertanya Agung Sedayu.
"Menurut perhitunganku, Angger Widura dan Adi Sumangkar
telah sampai ke tempat ini, dan Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan
Argajaya melarikan diri, justru ke arah Timur."
"Ya, arah yang terlindung," sahut Swandaru.
"Tak ada pekerjaan lain," gumam Ki Tanu Metir, "kita akan
kembali ke kademangan."
Kedua muridnya tidak segera menyahut.
"Mungkin kita akan dapat mendengar beberapa persoalan
yang terjadi di sini," berkata Ki Tanu Metir pula.
Kedua muridnya pun mengangguk-anggukkan kepala
mereka. Terdengar Agung Sedayu berdesis, "Marilah, Guru."
Mereka bertiga segera meninggalkan tempat itu. Mereka
mencoba untuk mengikuti jejak kakkaki kuda yang terdahulu.
Mereka menyangka, bahwa jejak itu adalah jejak kakkaki kuda
Widura dan beberapa orang prajurit pilihan, mungkin bersama
Sumangkar pula. Tetapi malam masih gelap, sehingga mereka akhirnya tidak
telaten lagi memperhatikan jejak-jejak kuda itu.
"Kita cari jalan memintas. Kita akan sampai juga ke
kademangan." gumam Ki Tanu Metir.
"Jalan inilah yang terdekat Kiai," sahut Swandaru.
"Oh." Dan kuda itu berderap terus. Tetapi kini menjadi semakin


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat. Mereka tidak menghiraukan lagi, apakah jejak-jejak kaki
kuda-kuda yang terdahulu itu menempuh jalan lain.
Di sela-sela derap kakkaki kuda itu terdengar suara Ki Tanu
Metir, "Sayang kita terlambat. Seandainya kita datang sebelum
perkelahian itu berakhir, maka kita akan dapat membantu
mereka. Bahkan mungkin kita akan sempat menangkap Ki
Tambak Wedi." Kedua muridnya tidak menyahut, tetapi penyesalan yang
serupa merayapi dada mereka pula. Namun semuanya telah
terjanjur terjadi. Ki Tambak Wedi ternyata masih sempat
melarikan dirinya. Dan petualangannya ternyata masih akan
berkepanjangan. Sementara itu Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya telah
semakin dalam terbenam ke dalam pategalan yang rimbun itu.
Beberapa saat kemudian, ketika mereka yakin bahwa Ki Tanu
Metir dan murid-muridnya sudah tidak mengejarnya lagi, mereka
pun segera berhenti. Meskipun mereka sama sekali tidak
menjadi lelah karena perjalanan yang tidak menyenangkan itu,
namun nafas mereka pun menjadi terengah-engah. Berbagai
perasaan yang bergolak dalam dada merekalah yang
menyebabkan nafas mereka terasa menjadi sesak.
Ki Tambak Wedi berdiri tegak dengan wajah yang berkerutmerut.
Di dalam dadanya bergolaklah berbagai macam
persoalan. Persoalan yang sedang dihadapinya kini, melepaskan
diri dari orang-orang yang sangat dibencinya, Ki Tanu Metir dan
Sumangkar, dan persoalan Sidanti dan Argajaya. Mereka tidak
dapat membiarkan diri mereka hanyut dalam arus ketidaktentuan
dan kembara seperti dirinya sendiri. Kedua orang itu
merasa mempunyai daerah yang cukup mapan Menoreh.
Tetapi setiap kali Ki Tambak Wedi mengenangkan daerah itu,
hatinya menjadi berdebar-debar. Apakah ia akan bersedia
mengikuti keinginan Sidanti dan Argajaya untuk kembali ke
Menoreh dalam keadaannya itu"
Ki Tambak Wedi itu terkejut ketika ia mendengar Sidanti
bertanya, "Bagaimana, Guru" Kita sudah terlampau lama
bergelandangan tidak menentu. Keadaan kita sudah tidak lebih
baik dari seorang pengemis atau seorang pencuri ayam.
Pakaianku sudah tidak mapan lagi dan noda-noda darah ini
masih belum bersih benar. Sobek-sobek oleh goresan pedang
dan duri. Apakah kita masih akan memperpanjang masa-masa
penyiksaan ini" Sedang aku masih mempunyai teman yang
cukup baik untuk berlindung, bahkan untuk pancadan lebih
lanjut?" Ki Tambak Wedi dapat mengerti perasaan muridnya. Ia
adalah anak yang manja, yang telah terbiasa hidup dalam
keadaan yang baik. Meskipun ada juga darah petualangan yang
mengalir di dalam dirinya, namun selama ia masih merasa ada
daerah yang lebih baik bagi dirinya, maka tidak dapat
disalahkannya apabila ia ingin untuk kembali. Tetapi bukan saja
karena itu, bukan saja karena Sidanti tidak tahan lagi mengalami
keadaannya kini. Namun lebih daripada itu ia merasa bahwa ia
akan mampu menyusun kekuatan untuk menebus segala
kekalahan yang pernah dideritanya. Kekalahan yang paling pahit
dalam umurnya yang masih cukup muda itu. Ia telah kehilangan
segalanya yang dicita-citakannya. Kedudukan dan seorang
gadis, Sekar Mirah. "Bagaimana, Guru," desak Sidanti.
Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ternyata
ia tidak dapat berbuat lain, betapapun beratnya. Berat sekali,
dan tidak seorang pun yang dapat ikut merasakan, betapa
hatinya tersiksa karenanya.
Namun Ki Tambak Wedi masih belum segera menjawab.
Dicobanya untuk menenangkan hatinya yang sedang bergelora.
Gelora yang seolah-olah menghantam dinding-dinding
jantungnya dari segala arah. Kekalahan yang dideritanya, dan
Bukit Menoreh yang mendebarkan.
"Apakah ada pilihan lain yang lebih baik, Guru?" bertanya
Sidanti hampir tidak sabar.
Ki Tambak Wedi menggelengkan kepalanya. Desisnya, "Tidak
Sidanti. Aku tidak mempunyai pilihan lain. Padepokanku sendiri
telah hancur menjadi debu. Aku sudah tidak mempunyai
landasan lain yang dapat aku pergunakan untuk memulai setiap
usaha yang akan dapat bermantaat bagimu."
"Kalau demikian, maka tidak akan ada jalan lain kecuali
kembali ke Menoreh," potong Argajaya.
Dengan ragu-ragu Ki Tambak Wedi menganggukkan
kepalanya. "Tidak ada jalan lain."
"Tetapi, Guru masih ragu-ragu," berkata Sidanti.
"Memang tidak ada jalan lain," gumam Ki Tambak Wedi
seolah-olah kepada diri sendiri. "Betapa sulitnya jalan itu, tetapi
harus aku tempuh. Mudah-mudahan semuanya dapat berjalan
dengan baik tanpa ada hambatan."
Sidanti dan Argajaya menjadi heran. Mereka merasakan
sesuatu yang tidak wajar pada Ki Tambak Wedi. Tetapi mereka
akhirnya mengambil kesimpulan bahwa Ki Tambak Wedi sedang
menyesali kegagalannya. Ia merasa bersalah terhadap Ki
Argapati, Kepala Tanah Perdikan Menoreh, bahwa ia tidak
berhasil dengan Sidanti sesuai dengan keinginannya.
"Guru tidak usah merisaukan aku," berkata Sidanti kemudian.
"Ayah harus tahu apa yang terjadi. Ayah tidak akan dapat
berbuat lain. Aku adalah satu-satunya putera laklaki. Dan aku
adalah seorang yang kelak akan mengganti kedudukannya."
Tiba-tiba Ki Tambak Wedi berpaling, seakan-akan
disembunyikannya wajahnya di dalam kegelapan. Terdengar
sebuah keluhan yang panjang meluncur dari hidung orang tua
itu. "Aku menjadi saksi," berkata Argajaya. "Aku dapat
menjelaskan apa yang terjadi."
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
kini ia tidak lagi berdiri menghadap kepada Sidanti dan Argajaya.
Pandangan matanya seakan-akan dilemparkannya jauh-jauh ke
dalam kelamnya malam. "Kegagalan ini tidak akan dapat aku lupakan," keluh orang tua
itu. Dan tiba-tiba seperti orang yang menyesal sekali ia
bergumam, "Perempuan keparat itu adalah sumber dari
kehancuran kita Sidanti. Apakah kata ayahmu tentang
kelakuanmu itu nanti. Tentang usahamu melarikan seorang
gadis?" Sebuah dentangan yang keras menghantam jantung Sidanti.
Ia tidak menyangka bahwa suatu ketika keluhan itu akan keluar
dari mulut gurunya, meskipun gurunya membenarkannya ketika
Sidanti menyatakannya. Bahkan gurunya mengijinkannya ketika
ia mengambil sikap itu. Ketika ia mengambil Sekar Mirah dari
Sangkal Putung. "Kiai," terdengar suara Argajaya dalam anda yang berat,
"Kakang Argapati tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di
Tambak Wedi. Ia tidak tahu bahwa kekalahan Sidanti di Tambak
Wedi bersumber pada perempuan celaka itu."
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
ia tidak yakin akan hal itu. Katanya perlahan, "Mudah-mudahan.
Mudah-mudahan Argapati tidak tahu. Mudah-mudahan ia tidak
mendengar berita apa yang sebenarnya telah terjadi. Tetapi
Argapati bukan anak-anak. Ia adalah seorang yang dapat
disejajarkan dengan Ki Gede Pemanahah, Kiai Gringsing,
Sumangkar, Ki Patih Mantahun, dan beberapa pemimpin Pajang
yang lain." "Tetapi Guru tidak menyebut Ki Tambak Wedi."
Ki Tambak Wedi tidak segera menyahut. Pandangan matanya
masih tersangkut pada kegelapan malam. Sekali ia melangkah
maju, tidak dirasakannya ketika kakinya menginjak duri daun
nanas di bawah telapak kakinya.
Namun akhirnya ia berkata, "Baiklah, Sidanti. Tidak ada jalan
lain. Marilah kita pergi ke Menoreh. Kita melintas Hutan Mentaok
dan kau akan masuk ke tanah perdikanmu sebagai seorang
anak yang pulang kepada ayahnya. Seorang anak yang polah,
dan aku mengharap bahwa Argapati akan menjadi seorang ayah
yang pradah." Sikap Ki Tambak Wedi benar-benar mengherankan Sidanti
dan Argajaya. Tanpa menunggu jawaban apapun, Ki Tambak
Wedi segera melangkahkan kakinya, menembus semak-semak
dan tetumbuhan yang rimbun di pategalan itu.
Sidanti dan Argajaya pun segera mengikutinya. Sejenak
mereka berjalan terloncat-loncat. Keduanya sama sekali tidak
segera dapat bertanya sesuatu oleh kekaburan sikap Ki Tambak
Wedi itu. Tersuruk-suruk mereka menerobos pohon-pohon buahbuahan
yang rendah dan kemudian meloncati batang-batang
tales dan ubi panjang. Disasaknya batang-batang nyidra dan
garul sehingga berserakan terinjak oleh kakkaki mereka.
Mereka sama sekali tidak berusaha untuk menyembunyikan
jejak-jejak mereka. Sekali terbersit pula ingatan di kepala Sidanti untuk
menghindari kemungkinan, orang-orang Pajang akan mengikuti
jejaknya. Tetapi segera teringat olehnya, bahwa kali ini akan
menempuh sebuah perjalanan yang jauh. Melintasi beberapa
kademangan, kemudian Alas Tambak Baya, Mentaok dan
beberapa pedukuhan kecil.
"Menoreh," Sidanti berdesis di dalam hatinya, "tanah yang
telah cukup lama aku tinggalkan untuk merantau. Ketika aku
tinggalkan tanah itu aku telah dibekali oleh ayah dengan citacita.
Tetapi di rantau aku telah menemui kegagalan. Apakah
ayah akan berdiam diri dan berpangku tangan melihat kegagalan
ini" Bukan sekedar kegagalan, tetapi harga diriku telah terinjakinjak
pula di Sangkal Putung dan di Tambak Wedi."
Terdengar anak muda itu menggeram. Dikepalkannya
tinjunya seolah-olah hendak diremasnya leher lawan-lawannya.
Namun yang tergenggam olehnya hanyalah sehelai daun yang
kuning yang direnggutkannya dari sebatang pohon perdu.
Yang terdengar kemudian adalah langkah-langkah mereka
gemerisik menyentuh dedaunan. Kemudian di kejauhan
terdengar suara kokok ayam jantan bersahut-sahutan.
Ketika mereka bertiga, Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan
Argajaya menengadahkan kepala mereka, maka tampaklah
seolah-olah langit di ujung Timur sedang terbakar.
"Fajar," desis Ki Tambak Wedi.
"Ya," hampir berbareng Sidanti dan Argajaya menyahut.
"Apabila pagi menjadi semakin terang, maka kita harus sudah
menjauhi induk kademangan. Mungkin kita harus bersembunyi,
atau berjalan di pategalan supaya tidak menumbuhkan
kecurigaan orang," berkata Ki Tambak Wedi kemudian.
Sidanti dan Argajaya menganggukkan kepala mereka. Tibatiba
saja kini mereka merasa sebagai orang-orang buruan yang
harus meninggalkan tempatnya dengan penuh ketakutan dan
kecemasan. Dengan demikiam maka Sidanti merasa dirinya
semakin parah. Hatinya menjadi semakin sakit.
Langkah mereka bertiga semakin lama menjadi semakin
cepat. Sejenak kemudian mereka telah menyusur pematang
memotong jalan. Ketika fajar menjadi semakin terang, maka
mereka telah memasuki sebuah pedesaan kecil.
"Aku memerlukan ganti pakaian," desis Sidanti tiba-tiba.
"Noda-noda darah yang kehitam-hitaman pada pakaianku akan
menimbulkan kecurigaan."
Gurunya menganggukkan kepalanya. Pakaian mereka benarbenar
telah menjadi lusuh dan kotor. Mereka tak ubahnya
sebagai perantau miskin yang tidak sempat berganti dan
mencuci pakaian yang hanya melekat ditubuh mereka itu saja.
Kotor dan buram. "Hanya bajumu yang perlu diganti," sahut gurunya.
"Aku tidak tahan. Pakaianku telah berbau seluruhnya," jawab
Sidanti. "Suatu penyamaran yang baik. Tidak seorang pun akan
memperhatikan kita."
"Ya," tiba-tiba Argajaya menyambung, "kita tidak akan segera
diperhatikan orang. Orang-orang yang berjumpa dengan kita
pasti akan menyangka bahwa kita adalah perantau-perantau
yang sedang mencari sesuap nasi pada daerah baru yang masih
harus dicari." Sidanti mengerutkan keningnya. Lalu katanya, "Baiklah, aku
akan mencari ganti baju."
Ternyata Sidanti tidak terlampau susah untuk mendapatkan
baju. Dimasukinya saja sebuah rumah yang dilewatinya.
Langsung dimitanya sepotong baju untuknya. Ketika orang yang
mempunyai rumah itu menyatakan keberatannya, maka dalam
waktu sekejap tangannya telah terpilin dan lehernya menjadi
terlampau sakit karena terkaman jarjari Sidanti.
Perjalanan mereka selanjutnya adalah perjalanan tiga orang
perantau miskin yang berpakaian kusut dan kumal. Mereka
berjalan menyusur jalan-jalan yang sepi, sejauh mungkin
bertemu dengan seseorang. Meskipun orang-orang itu tidak
akan dapat mengenal mereka, tetapi setiap tatapan mata seolaholah
melontarkan ejekan yang sangat menyakitkan hati.
Sehingga setiap kali, setiap mereka bertemu dengan seseorang
yang memandangi wajah-wajah mereka dengan heran, Sidanti
selalu saja menjadi marah. Kadang-kadang orang itu dipukulnya
tanpa sebab. "Jangau menuruti kemarahan hati, Sidanti," gurunya sering
memperingatkannya. "Kau akan membuat perjalanan ini menjadi
gagal pula." "Kenapa?" bertanya Sidanti.
"Orang-orang yang kau sakiti akan menaruh banyak sekali
perhatian atas kita. Bukankah dengan demikian kau telah
meninggalkan petunjuk-petunjuk bagi orang-orang yang ingin
mengikuti jejak kita."
"Apa keberatannya" Kita akan pergi ke Menoreh. Sebentar
lagi kita akan berada di antara orang-orang kita sendiri. Di antara
pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang tidak kalah
tangkasnya dari prajurit-prajurit Pajang. Bahkan hampir setiap
laklaki di Menoreh mampu mempergunakan senjata."
"Tetapi sekarang kita belum sampai ke Menoreh. Kita masih
di perjalanan. Kita belum berada di antara para pengawal dan
anak-anak muda Menoreh yang perkasa."
"Apa yang Guru cemaskan?"
"Setan-setan dari Sangkal Putung dapat saja memburu kita.
Sumangkar, Kiai Gringsing, Swandaru, Agung Sedayu, bahkan
mungkin Widura dan prajurit-prajuritnya."
Sidanti tidak menyahut. Tetapi terasa hatinya melonjak.
Benar-benar menyakitkan hati.
"Aku harus menebus segala kekalahan ini. Segala sakit hati
dan segala penghinaan," katanya di dalam hati "Ternyata guru
cukup bijaksana. Tidak ada gunanya aku mati karena terlampau


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keras kepala, tidak melihat kenyataan bahwa perlawananku tidak
berguna. Adalah lebih baik menyingkir untuk datang kembali
dengan membawa kemenangan."
Langkah-langkah mereka pun semakin lama menjadi semakin
cepat. Mereka memilih jalan-jalan pematang dan sidatan-sidatan
kecil. Yang terpateri di dalam kepala Sidanti adalah, secepatcepatnya
sampai ke Menoreh, dan secepat-cepatnya
menghimpun kekuatan untuk kembali membalas sakit hatinya
atas Untara, Agung Sedayu, dan Swandaru. Kemudian akan
digilasnya Sangkal Putung. Apabila mungkin untuk merebut
tanah perbekalan dan sekaligus Sekar Mirah.
Sidanti mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Argajaya
berkata, "Tetapi kita tidak akan dapat memasuki daerah
Menoreh dengan keadaan seperti ini. Aku adalah adik Kepala
Tanah Perdikan dan Sidanti adalah puteranya."
Ki Tambak Wedi tidak menanggapi kata-kata Argajaya.
Meskipun demikian ia dapat mengerti sepenuhnya. Argajaya
ingin perjalanannya tidak terganggu, supaya mereka segera
sampai ke Menoreh. Karena itu maka pakaiannya yang kumal itu
akan menolong mereka, melepaskan dari segenap perhatian
orang yang mungkin akan menghambat perjalanan. Tetapi
Argajaya tidak mau memasuki Tanah Perdikannya dengan
keadaannya. Ia harus masuk ke daereh itu dengan sikap
seorang besar. Orang kedua di Tanah Perdikan Menoreh.
"Ia tidak akan menemu kesulitan apa-apa untuk berbuat
demikian," berkata Ki Tambak Wedi di dalam hatinya. "Di
perjalanan mereka akan mendapatkan apa yang diingininya.
Kalau Argajaya dan Sidanti ingin berganti pakaian yang,
bagaimanapun juga, maka disepanjang jalan pasti telah
disediakan untuk mereka."
Karena Ki Tambak Wedi tidak menyahut, maka Argajaya pun
terdiam pula. Sejenak mereka berjalan sambil berdiam diri.
Meskipun di dalam dada mereka bergolak berbagai macam
perasaan yang kadang-kadang sangat menggefisahkan dan
menyakitkan hati. Namun tiba-tiba kediaman itu dipecahkan oleh pertanyaan
Sidanti kepada Argajaya, "Paman, apakah Paman akan singgah
di Prambanan" Di sana paman akan mendapatkan apa saja
yang Paman kehendaki."
Argajaya mengerutkan keningnya. Di Prambanan ia memang
akan mendapat apa saja yang dikehendaki. Di Prambanan ada
orang-orang yang akan menyambutnya dengan senang hati.
Bahkan para piajurit Pajang pernah berada di pihaknya ketika ia
berkelahi melawan anak-anak muda yang membuatnya marah.
Tetapi seorang dari anak-anak muda yang membuatnya marah
itu, yang menyebut dirinya bernama Sutajia, adalah Sutawijaya.
Ia tidak mampu mengalahkannya, bahkan ia mendapat malu
karenanya. "Para prajurit itu akan berpendirian lain seandainya mereka
mengetahui bahwa anak itu adalah putera Ki Gede Pemanahan,"
desisnya. "Gila, aku tidak mengetahuinya sebelumnya,
seandainya aku tidak mendengar tentang anak itu di padepokan
Tambak Wedi." "Bagaimana, Paman?" bertanya Sidanti.
Argajaya menggelengkan kepalanya. "Tidak. Dalam
keadaanku ini, aku tidak akan singgah di Prambanan."
"Kenapa?" bertanya Sidanti pnla.
Argajaya tidak segera menjawab. Dan Sidantlah yang
menyambung kata-katanya, "Paman akan banyak mendapat
kesempatan. Aku kira anak-anak gila itu sudah tidak berada di
Prambanan lagi. Bukankah mereka berada di Sangkal Putung
bersama gurunya?" "Aku tidak memerlukan Prambanan lagi."
"Paman akan mendapatkan apa saja. Kalau Paman ingin
pakaian maka di Prambanan ada pakaian yang paling baik yang
kita kehendaki. Kalau Paman ingin melepaskan kejengkelan hati,
di Prambanan Paman akan mendapat sasaran. Bahkan aku pun
ingin memutar batang-batang leher sebagian dari anak-anak
muda Prambanan yang sombong seperti yang Paman katakan."
Argajaya tidak menjawab. Tetapi yang terdengar adalah
suara Ki Tambak Wedi, "Kau masih juga ingin membuat
persoalan dengan orang-orang yang sama sekali tidak
bersangkut paut dengan kegagalanmu Sidanti. Dengan demikian
kau akan mempersempit kemungkinan bagi dirimu sendiri. Kalau
kesan terhadapmu baik, maka kau akan banyak mendapat
bantuan dari orang-orang Prambanan apabila kau perlukan.
Tetapi kalau kesan terhadap dirimu jelek, maka Prambanan akan
menjadi musuh yang kuat bagimu. Prambanan akan segera
berdiri berhadapan dengan Menoreh. Meskipun kekuatan
Menoreh berlipat dibandingkan dengan Kademangan
Prambanan, tetapi apabila Prambanan kelak berdiri
berseberangan dengan Menoreh, maka kademangan itu akan
merupakan gangguan yang besar. Tetapi kalau secara perlahanlahan
kademangan itu dapat kau pengaruhi, maka kedudukan
Untara segera akan goyah."
Sidanti ttdak menjawab. Ia dapat mengerti keterangan
gurunya. Meskipun demikian masih juga tumbuh di dalam
dirinya, keinginan untuk melepaskan sakit hatinya. Kepada siapa
pun dan kepada apa pun. Namun dengan sekuat tenaga
ditahankannya. Disimpannya sakit hatinya itu untuk kelak
ditumpahkannya kepada Untara, Agung Sedayu, Swandaru,
Widura, dan Demang Sangkal Putung.
Sekali lagi mereka tenggelam dalam kebisuan. Langkahlangkah
mereka sajalah yang terdengar gemerisik menyentuh
daun-daun kering yang bertebaran di jalan sempit yang mereka
lalui. Sekali dua kali mereka bertemu juga dengan orang-orang
yang memanggul cangkul di bahunya. Tetapi orang-orang itu
sama sekali tidak memperhatikannya.
Perjalanan yang akan mereka tempuh bukanlah perjalanan
untuk sehari itu saja. Tetapi mungkin empat hari atau sepekan.
Mereka harus menembus berbagai macam hutan. Hutan-hutan
yang tidak begitu lebat sampai hutan bebondotan. Hutan yang
paling liar. Besok mereka akan mulai menyeberangi Alas
Tambak Baya, kemudian yang lebih lebat lagi adalah pusat Alas
Mentaok. Sememara itu di Kademangan Sangkal Putung, beberapa
orang sedang berbincang di Kademangan. Widura, Ki Demang
Sangkal Putung, Sumangkar, Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan
Swandaru dan beberapa orang pemimpin yang lain. Berbagai
kemungkinan telah mereka bicarakan. Mereka telah mendengar
pengalaman masing-masing semalam. Dengan bahan itulah
maka mereka mencoba mengurai keadaan.
"Apakah mereka kira-kira masih akan berkeliaran di sekitar
Sangkal Putung ini?" bertanya Ki Demang.
*** Widura mengerutkan keningnya. Dengan nada dalam ia
berkata, "Bukankah Ki Tambak Wedi telah bertemu dengan Ki
Sumangkar dan Kiai Gringsing semalam meskipun tidak dalam
waktu yang bersamaan?"
"Ya," jawab Sumangkar dan Kiai Gringsing hampir berbareng.
"Dengan demikian, maka pandangan Ki Tambak Wedi atas
Sangkal Putung akan segera berubah. Sangkal Putung bukan
lagi sasaran yang terlampau lunak bagi mereka. Tidak lagi
sebagai kandang domba bagi tiga ekor serigala yang paling
buas." Sumangkar dan Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Bahkan Swanderu, Agung Sedayu, Ki Demang
Sangkal Putung, dan orang-orang yang lain pun menganggukanggukkan
kepala mereka pula. Mereka dapat mengerti jalan
pikiran Widura. Bahkan mereka pun dapat menduga, bahwa Ki
Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya pasti harus
mempertimbangkan sekali lagi manfaat mereka untuk berada di
sekitar Sangkal Putung. "Mereka akan segera pergi," Swandaru berkata langsung
seperti apa yang dipikirkannya. "Mereka tidak akan berani lagi
berbuat sesuatu di Sangkal Putung."
"Kita akan berlega hati," desis Ki Demang, "kademangan ini
akan kembali menjadi tenteram. Bahkan seperti saat-saat
sebelum ada kerusuhan yang terjadi antara Pajang dan Jipang.
Kini tidak ada lagi orang-orang yang akan dapat mengganggu
kita." "Aku merasa sayang," sahut puteranya yang gemuk,
Swandaru, "sebenarnya aku masih mengharap mereka berotak
tumpul, dan masih saja berkeliaran di sini, sehingga suatu ketika
kita akan dapat menangkap mereka."
"Mereka bukan keledakeledai yang terlampau bodoh,"
berkata ajahnya. "Mereka adalah orang-orang yang cukup
mempergunakan otaknya, bahkan terlampau cakap, sehingga
menjadi licik karenanya."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang
kemungkinan terbesar yang terjadi adalah, Ki Tambak Wedi,
Sidanti, dan Argajaya akan meninggalkan Sangkal Putung.
"Tetapi apakah kira-kira mereka akan berbuat selicik itu pula
di Jati Anom" Karena mereka menganggap bahwa baik Ki
Sumangkar maupun Kiai Gringsing berada di Sangkal Putung
maka mereka akan segera melakukan pengacauan untuk
menakut-nakuti prajurit Pajang di Jati Anom."
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. "Aku kira tidak,
Ngger. Hal itu tidak akan hanyak bermanfaat bagi mereka.
Kemungkinan yang terbesar, mereka akan segera pergi ke
Menoreh. Sebab Sidanti adalah putera Menoreh."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia
berdiam diri, dan yang lain pun tidak segera menyahut pula. Kini
perhatian mereka melontar ke Perbukitan Menoreh, melintasi
Hutan Mentaok. Tanah Perdikan yang terbentang di sepanjang
pegunungan Menoreh dan dataran di sekitarnya. Membujur dari
Utara ke Selatan. Daerahnya meliputi pegunungan yang
berbatu-batu, tetapi juga melingkupi daerah sawah yang hijau
subur, hutan yang rindang dan yang lebat, bahkan alas pingitan.
Hutan buah-buahan yang dipelihara dengan baik, dilindungi
segala isinya, sampai pada binatang-binatang yang menghuni di
dalamnya. Sidanti adalah putera Kepala Tanah Perdikan yang besar itu.
Putera Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh.
Sejenak mereka yang berada di dalam ruangan itu saling
berdiam diri. Mereka disibukkan oleh angan-angan masingmasing
tentang segala macam kemungkinan tentang Ki Tambak
Wedi, Sidanti, Argajaya, dan bahkan tentang Ki Gede Menoreh.
Apakah kira-kira yang akan mereka lakukan seterusnya"
Seandainya tidak pernah terjadi sesuatu dengan Sidanti dan Ki
Tambak Wedi, maka mereka tidak akan berprasangka apa pun
terhadap Argapati. Tetapi apakah ia akan tetap berdiam diri
seandainya Sidanti mengatakan apa yang pernah dialaminya,
dan bahkan mungkin kuntul dikatakan dandang, dandang
dikatakan kuntul" Yang putih dikatakan hitan yang hitam
dikatakan putih" Dalam kediaman itu terdengar suara Widura, perlahan-lahan,
"Sementara memang kita akan dapat mengambil kesimpulan,
bahwa Sidanti, guru dan pamannya itu akan kembali ke
Menoreh. Tetapi kita tidak akan kehilangan kewaspadaan.
Setiap peronda masih akan dilengkapi dengan panah sendaren
dan kuda." "Tepat, Ngger," sahut Kiai Gringsing "akupun berpendapat
seperti itu. Meskipun kemungkinan terbesar, mereka akan pergi
ke Menoreh, tetapi kita tidak boleh terjebak karena angan-angan
sendiri." Pertemuan itupun kemudian berpendapat serupa. Peronda
masih harus tetap berada dalam kewaspadaan tertinggi.
Dalam pada itu, maka Kiai Gringsing sendiri berpendapat,
bahwa sudah sampai saatnya ia harus mulai dengan sebuah
perjalanan. Namun ia masih harus menunggu perkembangan
keadaan. Ia masih harus tinggal di Sangkal Putung untuk
beberapa hari, untuk meyakinkan dirinya bahwa Ki Tambak Wedi
benar-benar telah meninggalkan kademangan itu dan tidak pergi
ke Jati Anom. Demikianlah setelah pertemuan itu Sangkal Putung sama
sekali tidak mengurangi kesiagaannya. Setiap hari masih saja
dapat dilihat peronda-peronda berkuda dalam jumlah yang cukup
untuk menanggapi keadaan seandainya mereka bertemu
dengan Ki Tambak Wedi. Mereka masih juga selalu berada di
atas punggung kuda dengan bekal panah-panah sendaren.
Setiap saat mereka akan mengirimkan isyarat apabila
diperlukan. Tetapi di harhari berikutnya mereka tidak pernah menjumpai
lagi orang yang selama ini selalu menghantui Kademangan
Sangkal Putung. Sehingga lambat laun, mereka semakin
meyakini, bahwa Ki Tambak Wedi telah pergi meninggalkan
kademangan itu. Meskipun demikian, betapapun Swandaru dan Agung Sedayu
kadang-kadang diganggu oleh kegelisahan tentang padesan di
sepanjang jalan yang akan dilalui oleh Ki Tambak Wedi,
terutanra Prambanan, namun Ki Tanu Metir masih merasa perlu
untuk beberapa lama menunggu.
Ternyata Ki Tanu Metir tidak saja sekedar meyakinkan dirinya
bahwa Ki Tambak Wedi telah tidak ada di Sangkal Putung, tetapi
yang lebih panting baginya adalah membentuk Agung Sedayu
dan Swandaru, sehingga kedua anak-anak muda itu benar-benar
mencerminkan perguruannya. Perlahan-lahan Kiai Gringsing
mencoba untuk membiasakan kedua anak-anak muda itu
mempergunakan senjata sejens senjatanya. Tetapi Ki Tanu Metir
tidak ingin melepas pedang-pedang itu dari lambung muridmuridnya.
Bahkan Kiai Gringsing ingin murid-muridnya dapat
mempergunakan senjata-senjata itu berpasangan.
Itulah sebabnya maka setiap malam Swandaru dan Agung
Sedayu pasti berada di sekitar Gunung Gowok bersama
gurunya, Ki Tanu Metir. Bahkan sekalsekali bersama
Sumangkar dan Widura. Mereka ingin juga menyaksikan
kemajuan kedua anak-anak muda itu. Ingin melihat keduanya
tidak saja memutar pedangnya, tetapi sekalsekali meletingkan
cambuk yang berpangkal pendek tetapi betjuntai cukup panjang,
dan sekalsekali mereka bersenjatakan sebuah cemeti yang
lentur. Sebagai seorang pamau Widura berbangga melihat kemajuan
Agung Sedayu. Kadang-kadang ia menahan tertawanya seorang
diri ketika ia tanpa sesadarnya mengenangkan masa-masa
Agung Sedayu untuk pertama kalinya datang ke kademangan
ini. Kedatangannya benar-benar telah mengejutkannya.
Bagaimana mungkin Agung Sedayu seorang diri berani
menempuh perjalanan di malam hari dari Jati Anom sampai ke
Sangkal Putung.

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun di harhari kemudian, dikenalnya Agung Sedayu itu
seperti pada kanak-anaknya. Penakut yang tidak tanggungtanggung.
Ia takut terhadap apa saja. Terhadap seseorang,
terhadap peristiwa-peristiwa yang dianggapnya terlampau keras
dan terhadap gelap malam. Semuanya itu membuatnya menjadi
seorang anak muda yang lain dari anak-anak muda sebayanya.
"Anak itu hampir membeku dibentak-bentak oleh Sidanti,"
desis Widura di dalam hatinya.
Tetapi Widura tidak pula dapat menyembunyikan
kekagumannya atas kemanakaanya itu. Meskipun ia tidak berani
berbuat sesuatu, meskipun ia tidak mampu untuk berbuat
banyak, namun ia dapat juga mempelajari ilmu tata bela diri.
Ternyata otaknya cukup cerdas, dan cukup- memiliki
kemampuan untuk menerimanya. Bahkan yang tidak disangkasangkanya,
Agung Sedayu mampu menyusun unsur-unsur tata
bela diri di atas rontal.
Akhirnya dinding yang mengungkungnya itu mampu
dipecahkannya. Seperti telur yang sedang menetas, maka
meledaklah dinding yang selama ini mengurungnya di dalam
suasana ketakutan. Seperti anak ayam yang merangkak ke luar
dari pecahan telurnya, Agung Sedayu melihat keadaan di
sekitarnya dalam penilaian yang wajar. Sehingga akhirnya
Agung Sedayu itu seakan-akan dilahirkan kembali. Lahirlah
seorang Agung Sedayu yang sekarang ini.
Widura menarik nafas panjang. Ia terkejut ketika ia
mendengar cambuk yang meledak berturut-turut beberapa kali.
Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya Agung Sedayu
bersama Swandaru sedang berlatih melawan gurunya. Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya melihat kemanakannya
mampu meloncat secepat burung sikatan, tetapi ia kagum juga
melihat tenaga Swandaru sekuat tenaga seekor gajah.
Kedua anak-anak muda itu kini tidak saja bersenjata pedang,
tetapi mereka menggenggam cambuk pula, justru di tangan
kanan dan pedang-pedang mereka di tangan kiri. Pasangan
kedua senjata itu ternyata cukup menggetarkan. Sekalsekali
terdengar cambuk itu meledak, namun sesaat kemudian maka
pedang-pedang mereka telah terjulur lurus langsung mengarah
kedada lawan. "Hem," Widura menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam
hatinya, "Aku sudah tidak akan dapat menyamai anak-anak itu,
Agung Sedayu dan Swandaru memiliki kekhususannya masingmasing,
Agung Sedayu menempatkan kekuatan geraknya pada
kelincahan dan ketangkasannya, sedang Swandaru
mempercayakan kepada tenaganya yang bukan main besarnya.
Namun demikian Swandaru yang gemuk itu mampu juga
bergerak cepat, meskipun memiliki beberapa perbedaan yang
khusus dengan kecepatan gerak Agung Sedayu."
Namun dalam pengamatan Widura, meskipun mereka
berguru kepada seorang guru, tetapi terpengaruh oleh bekal,
darah yang mengalir di dalam tubuh mereka, ternyata Agung
Sedayu masih mempunyai beberapa kelebihan dari saudara
muda seperguruannya. Meskipun agaknya Kiai Gmgsing tidak
membedakan keduanya, tetapi perkembangan mereka sendiri
serta bekal yang mereka bawa sejak mereka berguru kepada
orang tua itulah yang telah menentukan.
Demikianlah yang terjadi beberapa hari kemudian. Ketekunan
Swandaru dan Agung Sedayu ternyata telah banyak bermanfaat
bagi mereka. Harhari yang pendek itu telah mereka pergunakan
sebaik-baiknya. Baik oleh Swandaru dan Agung Sedayu sendiri,
maupun oleh gurunya. Beberapa unsur baru dan bahkan yang
masih dalam penyusunan telah dicobakannya pula.
Karena di harhari itu tidak ada kerja yang lain daripada
memperdalam ilmunya, maka di saat-saat yang pendek itu,
mereka telah mendapatkan beberapa kemajuan yang dapat
memberi kebanggaan kepada mereka. Menambah ketabahan
hati seandainya mereka bertemu dengan bahaya di sepanjang
jalan. Ki Tanu Metir pun merasa, bahwa kini sudah sampai
saatnya kedua muridnya itu dibawanya untuk tnengenal
perjalanan. Tidak seperti anak-anak nakal yang berjalan
sekehendak hati dan berbuat tanpa kendali, tetapi perjalanan itu
akan diawasinya sendiri. "Kita sudah cukup lama meyakinkan diri kita, bahwa agaknya
Ki Tambak Wedi telah benar-benar tidak berada di sekitar
daerah ini, Ngger," berkata Ki Tanu Metir kepada kedua
muridnya. "Karena itu, maka aku kira, kita sudah sampai
waktunya untuk mencoba sebuah perjalanan. Perjalanan yang
akan banyak memberikan pengalaman bagi kalian."
Hati kedua muridnya itu tiba-tiba melonjak. Saat-saat itulah
yang mereka tunggu. Sebuah perjalanan. Bukan sekedar sebuah
perjalanan, tetapi mereka ingin juga mengikuti jejak perjalanan Ki
Tambak Wedi. Mereka ingin tahu apakah yang sudah
dilakukannya di sepanjang jalan dari Sangkal Putung sampai
kebukit Menoreh. "Kita akan berjalan ke Barat," berkata Ki Tanu Metir,
"melintasi Hutan Tambak Baja dan Mentaok yang lebat dan
berbahaya. Tetapi yang lebih berbahaya lagi adalah justru
apabila kita telah lepas dari hutan-hutan itu dan menginjakkan
kaki kita di Tanah Perdikan Menoreh."
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mereka menyadari sepenuhnya apa yang dikatakan
gurunya. Betapa besar bahaya yang akan mereka hadapi di
hutan Mentaok, namun menurut penilaian mereka maka bahaya
itu akan dapat mereka atasi. Seandainya di hutan itu masih juga
ada penyamun-penyamun karena Daruka tidak menepati
janjinya, maka penyamun-penyamun itu pun menurut
perhitungan lahiriah, pasti akan dapat dilawannya. Seandainya
mereka bertemu dengan binatang-binatang buas pun, maka
mereka tidak perlu menjadi gentar.
Tetapi apabila mereka kemudian keluar dari hutan yang lebat
itu dan kemudian menginjakkan kakkaki mereka di telatah
Menoreh, maka yang dihadapinya adalah Ki Tambak Wedi,
Sidanti, dan Argajaya. Bahkan kemungkinan mereka akan
berhadapan juga dengan Argapati yang bergelar Ki Gede
Menoreh. Lalu bagaimanakah dengan pasukan-pasukan
mereka, Pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang perkasa"
Bagaimanapun juga, tetapi dada anak-anak muda itu menjadi
berdebar-debar juga. "Tetapi Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya bertiga berani
juga berada di sekitar Sangkal Putung," desis Agung Sedayu di
dalam hatinya. "Di Menoreh kita akan berbuat serupa dengan
mereka di sini. Sudah tentu tidak dengan kelicikan-kelicikannya
yang tidak berperikemanusiaan."
Kedua anak muda itu kemudian mendengar gurunya berkata,
"Kita tetapkan, kapankah kita berangkat?"
"Terserahlah kepada Kiai," jawab Agung Sedayu.
"Kalian perlu menyiapkan diri."
"Apakah yang harus kami persiapkan?" bertanya Swandaru.
"Diri kalian sendiri. Kalian harus mengatur perasaan dan
nalar. Mempersiapkan segala perhitungan yang mapan Kalian
harus dapat membayangkan apa saja yang kira-kira terjadi di
perjalanan supaya kalian tidak kehilangan akal apabila tiba-tiba
saja kalian menghadapi bahaya yang cukup besar."
"Aku sudah siap sejak lama, Guru," sahut Swandaru.
"Perjalanan ini bukan perjalanan tamasya," berkata gurunya,
"tetapi sebuah perjalanan yang berbahaya. Kau menangkap
rencana perjalanan ini dengan sudut pandangan yang
menyebelah. Kau dilanda oleh kegirangan hati seorang anak
muda. Kau mungkin terlalu berafsu ingin melihat daerah-daerah
yang selama ini belum kalian lihat. Kau mungkin terlalu bernafsu
untuk membuat perhitungan dengan Ki Tambak Wedi. Tetapi
kau tidak memperhitungkan bahaya seperti yang telah aku
katakan. Karena itu, siapkan dirimu dalam kesungguhan."
Kedua anak-anak muda itu sekali lagi menganggukanggukkan
kepalanya. "Yang terpenting dari semuanya dalam mempersiapkan hati
dan nalar adalah, bahwa perjalanan ini jangan dikotori oleh
perasaan-perasaan yang melonjak-lonjak. Jangan diburu oleh
dendam. Tetapi bekalilah dengan maksud yang baik. Kalau
kalian ingin menambah pengalaman, maka pengalaman itu akan
kalian trapkan dalam landasan kebesaran jiwa. Nah, sekarang
bertanyalah kepada diri kalian sendiri, apakah sebenarnya
keinginan yang mendorong kalian untuk melakukan sebuah
perjalanan, dan justru kalian merasa senang apabila perjalanan
itu dilakukan ke Barat" Ke Menoreh?"
Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab. Tetapi mereka
merasakan sentuhan langsung di dalam hati. Bahkan pertanyaan
itu serasa bergulung-gulung bergema di dalam diri mereka, "Ya,
kenapa ke Menoreh?" Tetapi mereka tidak dapat berbohong kepada diri sendiri.
Sebenarnyalah bahwa mereka telah didorong oleh rasa dendam
mereka terhadap Sidanti. Dendam yang bertimbun-timbun. Sejak
Sidanti berada di Sangkal Putung. Baik Agung Swandaru
maupun Swandaru mempunyai persoalannya sendirsendiri.
Beberapa kali Swandaru terpaksa menahan sakit dan malu
karena Sidanti telah beberapa kali menampar pipinya yang
gembung itu. Sedangkan Agung Sedayu mempunyai beberapa
masalah yang tidak juga dapat dilupakan. Bahkan Sidanti telah
hampir berhasil membunuh Untara, kakaknya satu-satunya.
yang kemudian mencapai puncaknya dengan hilangnya Sekar
Mirah. Kedua anak muda itu bersama-sama merasa kehilangan.
"Angger berdua," berkata Ki Tanu Metir kemudian "meskipun
kalian tidak menjawab, tetapi aku dapat ikut merasakannya,
betapa kalian menyimpan persoalan dengan Angger Sidanti."
Agung Sedayu dan Swandaru masih saja berdiam diri.
"Tetapi bukan itulah sebenarnya yang memaksa aku
membawa kalian untuk pergi ke Menoreh. Seandainya demikian,
maka aku akan membawa kalian menunggu saja di Sangkal
Putung atau di Jati Anom. Suatu ketika Sidanti pasti akan datang
lagi." Orang tua itu terdiam sejenak, kemudian, "Tetapi, Ngger.
Justru aku mengira bahwa Angger Sidanti itu akan kembali,
maka aku berhasrat untuk pergi ke Menoreh. Kecuali dengan demikian
Angger berdua mendapat suatu pengalaman yang baik di
sepanjang jalan, pengalaman untuk berbuat baik apabila
diperlukan di sepanjang perjalanan, pengalaman untuk menahan
diri dan menahan nafsu yang mempunyai berbagai macam bentuk, juga untuk
mendapat pengalaman menahan diri dalam perhitunganperhitungan
yang cermat. Menilai persoalan sesuai dengan
kepentingannya. Apakah Angger
mengetahui maksudku?"
Agung Sedayu dan Swandaru masih saja berdiam diri.
Seolah-olah mereka telah membeku meskipun mata mereka
memandangi wajah gurunya.
"Angger," berkata orang tua itu, "kalian harus dapat
menimbang. Kita harus melihat persoalan kita, dan yang lebih
besar daripada itu adalah persoalan Pajang dan Menoreh itu
sendiri. Kita harus dapat mengetahui sikap Argapati yang
bergelar Ki Gede Menoreh. Kita harus dapat menilai dengan
cermat. Seandainya ayah Sidanti itu bersikap lain, maka kita pun
harus bersikap lain. Maksudku, seandainya Argapati tidak
sependapat dengan Sidanti. Tetapi apabila Menoreh bulat-bulat
melawan Pajang, maka kita pun akan menentukan sikap kita.
Ingat, jangan diburu hanya oleh kepentingan sendiri."
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kini ia tahu benar maksud gurunya. Gurunya ingin
mengatakan, bahwa yang mendorong mereka ke Menoreh,
bukanlah kepentingan pribadi mereka, tetapi terutama adalah
kepentingan Pajang dan Menoreh itu sendiri.
Meskipnn tidak dikatakan oleh orang tua itu, namun tampak
pada nada kata-katanya, bahwa Ki Tanu Metir benar-benar
mencemaskan kemungkinan yang paling jelek yang dapat terjadi
antara Pajang dan Menoreh.
"Kita sudah cukup parah," desis orang tua itu kemudian
"apalagi di daerah Selatan ini. Pertentangan antara Jipang dan
Pajang yang berkepanjangan, orang-orang di antara mereka
yang keras kepala tanpa mau melihat kenyataan, kemudian
munculnya orang-orang yang memiliki nafsu pribadi yang
berlebih-lebihan seperti Sidanti dan gurunya Ki Tambak Wedi,
telah banyak merampas tenaga, pikiran, dan bahkan nyawa.
Apakah sekarang kita masih belum sampai saatnya untuk
berbuat lain daripada berkelahi di antara kita" Seandainya Ki
Gede Menoreh nanti benar-benar keblinger, menuruti nafsu
puteranya itu, maka kita harus berprihatin. Karena itu, Ngger,
seandainya kita menjumpai Ki Argapati dalam kebimbangan,
jangan mendorongnya untuk memilih jalan yang menyedihkan
itu. Seandainya di dalam kebimbangannya, kalian bertindak
menurut nafsu pribadi, untuk kepuasan sendiri, maka berarti
kalian telah menjerumuskan Ki Argapati ke dalam bencana.
Bahkan seluruh Pajang mungkin akan terkena sentuhannya."
Agung Sedayu dan Swandaru mengangkat wajahnya.
Tampaklah wajah itu menjadi berkerut-merut. Agaknya mereka
tidak begitu jelas akan maksnd kata-kata gurunya.
"Angger," sambung Ki Tanu Metir, "jelasnya adalah, apabila Ki
Argapati sedang mempertimbangkan tindakan-tindakan yang
diambilnya, maka kalian jangan melepaskan dendam kalian.
Baik terhadap Sidanti maupun terhadap Argajaya. Seandainya
kebimbangan Argapati itu semisal neraca yang seimbang, di
antara sikapnya yang jujur menghadapi kenyataan dan harga
dirinya sebagai seorang ayah, maka sentuhan sedikit saja akan
menyebabkan neraca itu berguncang. Sudah tentu guncangan
yang terbesar kemungkinannya adalah, Argapati akan bersikap
sebagai seorang ayah, karena kita sudah melanggar harga
dirinya pula, hadir di Menoreh tanpa seijinnya. Tetapi kalau kila
biarkan saja ia berada dalam pertimbangannya, mungkin ia akan
bersikap lain. Mungkin pikirannya yang jernih akan menang.
Apabila demikian, maka kita tidak akan berbuat apa-apa. Kita
serahkan persoalannya kepada Argapati. Mungkin dengan
demikian kita tidak mendapat kepuasan pribadi karena kita tidak
dapat bertindak langsung terhadap orang-orang yang kita ingini.
Tetapi itu adalah tindakan yang paling baik bagi Pajang dan juga
bagi Menoreh." Terasa desir yang lembut menyentuh jantung kedua anak
Darah Monster Tiga 1 Raja Petir 07 Dara-dara Pengusung Mayat Romantika Sebilah Pedang 4

Cari Blog Ini