Raja Petir 14 Ajian Duribang Bagian 2
berikan kedudukan yang tinggi padamu, sebagai pemimpin punggawa-punggawa inti," lanjut Prabu Lokawisesa. Laga Lembayung
memberanikan diri mengangkat sedikit kepalanya. Kemudian berkata dengan sopan-santun yang tinggi.
"Maafkan hamba, Yang Mulia. Rasanya hamba
tak pantas menerima pujian. Apalagi jabatan yang seperti Paduka janjikan," ucap
Laga Lembayung hati-hati. "Hamba rasa, hamba tak patut disejajarkan dengan
punggawa-punggawa yang telah puluhan tahun
berbakti di Suraloka ini. Terlebih untuk berdiri sama tinggi dengan ayah hamba,
dan Maha Patih Gempita.
Hamba merasa malu sekali, Yang Mulia."
Prabu Lokawisesa tersenyum mendengar ucapan Laga Lembayung. Begitu juga Patih Sodrana. Dirinya begitu bangga melihat anaknya bersikap rendah hati di hadapan Prabu
Lokawisesa. Ternyata begitu juga sikap Maha Patih Gempita
atas ucapan Laga Lembayung. Maha Patih Kerajaan
Suraloka itu tampak tersenyum. Tapi senyumnya
terkesan dibuat-buat. Seperti tak senang dengan pujian Prabu Lokawisesa dan jawaban Laga Lembayung.
Terlebih dengan keinginan Prabu Lokawisesa yang
bermaksud memberi kedudukan pada putra Patih Sodrana sebagai pimpinan punggawa-punggawa inti.
Mungkin sikap Maha Patih Gempita yang seperti itu
karena dirinya sampai saat ini belum dikarunia seorang anak pun. "Aku tambah bangga dengan sikapmu yang
rendah hati, Laga. Namun kuharap kau tidak berkeberatan jika aku ingin menyaksikan kepandaian yang
kau miliki," ucap Prabu Lokawisesa sesaat setelah memandangi wajah tampan Laga
Lembayung. "Kalau Yang Mulia menginginkan hal itu, hamba dengan senang hati akan mematuhinya," jawab La-ga Lembayung tegas. "Tapi
sebelumnya hamba meng-haturkan sembah maaf seandainya Yang Mulia tidak
berkenan dengan apa yang hamba perlihatkan. "
Kembali Prabu Lokawisesa tersenyum mendengar ucapan putra Patih Sodrana itu. Langkah kakinya pun tercipta mendekati Laga
Lembayung. "Mari kita ke taman belakang istana. Tak sabar rasanya hati ini ingin
menyaksikan kebolehanmu, La-ga," ucap Prabu Lokawisesa seraya menyentuh bahu
Laga Lembayung. Lalu mengajaknya berjalan beririn-gan. Dengan langkah takuttakut, Laga Lembayung
mengikuti langkah kaki Prabu Lokawisesa. Sementara
Patih Sodrana dan Maha Patih Gempita bergegas mengikuti langkah Prabu Lokawisesa dan Laga Lembayung
yang berjalan menuju taman belakang istana. Sebuah
taman yang cukup luas.
"Ayo mulailah, Laga," perintah Prabu Lokawisesa setelah sesaat menempati
kursinya. Laga Lembayung melangkah lebih ke tengah.
Pemuda itu berdiri tegak lalu memberi hormat. Sebelum memperlihatkan kepandaian
yang diperoleh selama tujuh tahun perantauannya.
Sebuah kuda-kuda kokoh diciptakan Laga
Lembayung dengan sempurna. Sementara tangannya
bergerak melipat-lipat, kaku, namun terlihat begitu lincah. Kadang melipat, di
lain waktu menohok, menangkis dan menebas dengan telapak tangan kanan
bergantian dengan tangan kiri. Semua gerakan itu dilakukan dengan cepat. Tapi
tidak terdengar bunyi yang mengiringi gerakan Laga Lembayung. Itulah jurus
tangan kosong 'Menentang Ombak Meredam Debur'.
Prabu Lokawisesa tersenyum bangga menyaksikan gerakan-gerakan cepat yang disuguhkan Laga
Lembayung, Seperti gerakan seorang penari. Puji Pra-bu Lokawisesa dalam hati.
Lelaki berusia lima puluh lima tahun yang
menduduki singgasana tertinggi di Kerajaan Suraloka itu terns memperhatikan
dengan seksama setiap gerakan yang dilakukan putra tunggal Patih Sodrana itu.
Mata Prabu Lokawisesa seolah tak berkedip. Sementara lidahnya berdecak-decak penuh kekaguman.
Seperti halnya Prabu Lokawisesa, Patih Sodrana pun memendam perasaan yang sama. Tapi perasaan itu tidak ditunjukkan ketika dilihatnya Maha Patih Gempita menunjukkan
sikap kurang senang dengan apa yang dilakukan putranya.
"Hei"!"
Tiba-tiba Prabu Lokawisesa terpekik melihat
kehebatan yang dipertontonkan Laga Lembayung, yang
memainkan ilmu 'Kijang Emas'.
Tubuh putra Patih Sodrana itu melejit bagaikan
terbang. Gerakannya begitu cepat, melesat dari pohon ke pohon. Sebuah penguasaan
ilmu lari cepat dan ilmu meringankan tubuh tingkat sempurna. Apalagi ketika
tubuh Laga Lembayung dengan ringan mendarat pada
sebuah ranting pohon yang hanya pantas dihinggapi
seeker burung merpati. Ranting pohon itu hanya melengkung sedikit dari kedudukannya, yang bergerakgerak seperti tergesek hembusan angin. Kemudian dari tempat bertenggernya, Laga
Lembayung kembali melayang seraya berputar dua kali. Dan mendarat tanpa
menimbulkan suara di tempat semula dia berdiri.
"Hebat!" puji Prabu Lokawisesa. Mendadak Prabu Lokawisesa bangkit dari duduknya.
Dan berjalan cepat ke arah Laga Lembayung. Patih Sodrana dan
Maha Patih Gempita yang menyaksikan perbuatan junjungannya, bergegas bangkit dan berjalan ke arah Laga Lembayung.
"Tidak percuma kau mengembara selama tujuh
tahun lebih, Laga. Ilmu yang kau miliki begitu hebat,"
puji Prabu Lokawisesa.
Laga Lembayung tertunduk.
"Kurasa masih ada kepandaian lain yang kau
miliki," duga Prabu Lokawisesa seraya memegang bahu Laga Lembayung.
Laga Lembayung mengangkat kepalanya sedikit, lalu mengangguk.
"Ada, Yang Mulia," ucap Laga Lembayung perlahan. "Apa nama ilmu itu?" tanya
Prabu Lokawisesa.
"Sebuah ajian, Yang mulia," jawab Laga Lembayung polos. Sebenarnya pemuda itu
tak ingin mem- beritahukan ilmu andalannya. Tapi karena Prabu Lokawisesa yang meminta, Laga Lembayung tak kuasa
menolaknya. "Sebuah ajian?" ulang Prabu Lokawisesa. "Apa namanya?"
'"Ajian Duribang'."
'"Ajian Duribang'," ulang Prabu Lokawisesa tegas.
Patih Sodrana dan Maha Patih Gempita pun
menyebutkan nama itu. Namun ucapan mereka hanya
tercetus dalam hati.
"Kau bersedia memperlihatkannya padaku, Laga?" pinta Prabu Lokawisesa.
"Untuk Yang Mulia, apa pun akan hamba lakukan," jawab Laga Lembayung mantap.
"Lakukanlah," putus Prabu Lokawisesa.
Laga Lembayung menjauh dua langkah dari
sang Prabu. Demikian pula Prabu Lokawisesa, untuk
memberi tempat pada Laga Lembayung memperlihatkan kemampuannya. Laga Lembayung tak ingin
mengecewakan lelaki yang begitu dihormatinya. Setelah dilihatnya sang Prabu duduk di tempatnya semula, ajiannya segera disiapkan.
Pemuda itu membentuk kuda-kuda rendah
yang kokoh. Kedua tangannya terlipat di depan dada.
Seiring dengan matanya yang terpejam, mulut Laga
Lembayung bergerak-gerak seperti tengah berdoa. Namun sesaat itu tangan kirinya bergerak melakukan
pukulan dengan telapak tangan terbuka.
"Hiaaa...!"
Bresssh...! Sebuah sinar kemerahan melesat dari telapak
tangan Laga Lembayung. Begitu cepat menghantam
sebatang pohon sebesar dua kali pelukan orang dewasa. Bunyi seperti bara tercelup air terdengar jelas. Pohon yang terhantam 'Ajian
Duribang' tingkat pertama itu masih tetap berdiri tegak. Tapi pada bagian batang
pohon itu tampak bercak-bercak kemerahan pada setiap satu jengkal tangan lelaki
dewasa. Prabu Lokawisesa kelihatan tidak tertarik dengan pukulan yang terangkum dalam 'Ajian Duribang'.
Pukulan tangan kiri Laga Lembayung itu dilihatnya tidak bisa menumbangkan pohon
besar itu. Laga Lembayung maklum dengan sikap Prabu Lokawisesa. Dengan tenang, dihampirinya sang Prabu.
"Ampun, Yang Mulia. Kalau Yang Mulia berkenan, hamba ingin Yang Mulia menyaksikan keadaan
pohon yang terkena pukulan hamba dari dekat," ucap Laga Lembayung hati-hati.
Prabu Lokawisesa tanpa diminta dua kali segera bangkit dan beranjak lebih dahulu menuju pohon
yang terkena pukulan Laga Lembayung. Sedangkan
Patih Sodrana dan Maha Patih Gempita tergopohgopoh mengikuti dari belakang.
"Setiap jengkal batang pohon ini berwarna merah, Yang Mulia. Artinya, jika ada angin yang bertiup maka pohon besar ini akan
tumbang," jelas Laga Lembayung.
Prabu Lokawisesa tertegun mendengar penjelasan Laga Lembayung.
"Mari kita saksikan dari kejauhan saja, Yang
Mulia," ajak Laga Lembayung seraya mempersilakan Prabu Lokawisesa.
Diikuti Patih Sodrana dan Maha Patih Gempita,
Prabu Lokawisesa meninggalkan pohon itu. Dan kembali ke tempat duduknya. Tetapi baru saja Prabu Lokawisesa duduk, pohon sebesar dua pelukan tangan
lelaki dewasa itu runtuh menjadi beberapa bagian.
Bruk! Bruk...! Bunyi berisik akibat runtuhnya pohon itu
membuat hati Prabu Lokawisesa senang. Ucapan Laga
Lembayung benar adanya. Sang Prabu gembira melihat
kedahsyatan ilmu putra Patih Sodrana itu.
Sementara Laga Lembayung sudah bersiap
memamerkan 'Ajian Duribang' tingkat terakhir. Sasarannya kali ini sebongkah batu besar yang berada di bawah pohon beringin.
Gerakan dasar seperti pada 'Ajian Duribang'
tingkat pertama dilakukan Laga Lembayung. Setelah
memantapkan pemusatan pikiran, Laga Lembayung
menarik napas dalam-dalam. Kemudian....
"Hiaaa...!"
Glarrr...! Batu besar itu hancur berkeping-keping ketika
dua telapak tangan Laga Lembayung menghentak dengan kuat, dan selarik sinar merah melesat cepat
menghantam batu besar itu.
Prabu Lokawisesa, Patih Sodrana dan Maha Patih Gempita tampak kagum dengan kedahsyatan ilmu
yang dikerahkan Laga Lembayung. Kekaguman sang
Prabu bertambah ketika menyaksikan kepingan batu
itu menjadi merah seperti bara dan mengepulkan asap tipis. "Hamba kira hanya itu
yang hamba dapat selama tujuh tahun dalam pengembaraan, Yang Mulia.
Hamba harap Yang Mulia tidak kecewa dengan apa
yang hamba tunjukkan tadi," ucap Laga Lembayung seraya bersimpuh di hadapan sang
Prabu. Prabu Lokawisesa tersenyum melihat kerendahan hati pemuda itu.
"Aku mengagumi kepandaianmu, Laga. Semoga ilmu itu dapat kau tempatkan pada tempat yang
benar. Dan kau persembahkan untuk kewibawaan Kerajaan Suraloka," ujar Prabu Lokawisesa.
Laga Lembayung menganggukkan kepala mendengar petuah Prabu Lokawisesa.
"Akan hamba junjung tinggi apa yang menjadi
harapan Yang Mulia," ucap Laga Lembayung. Kemudian beringsut mendekati Patih
Sodrana. Suasana hening sesaat. Pada saat berikutnya,
Patih Sodrana membungkukkan tubuh sebagai tanda
hormat yang dalam.
"Maafkan hamba, Yang Mulia," ucap Patih Sodrana sopan.
Prabu Lokawisesa menatap wajah Patih Sodrana. "Ada apa, Paman Patih" Sepertinya ada sesuatu
yang hendak kau bicarakan padaku?" tanya sang Prabu, seolah mengetahui isi hati
Patih Sodrana. "Betul, Yang Mulia. Menurut putra hamba, sepulangnya menuntut ilmu, dalam perjalanan dia menemukan delapan lelaki berpakaian prajurit Kerajaan Suraloka. Kedelapan lelaki
itu ditemukan sudah menjadi mayat. Dugaan hamba mereka adalah prajuritprajurit kerajaan yang hamba utus untuk menjemput
kedatangan Laga Lembayung."
Terhenyak hati Prabu Lokawisesa mendengar
penuturan Patih Sodrana. Tatapan matanya tertuju tajam ke wajah patih
kepercayaannya itu.
"Namun menurut perkiraan hamba, kematian
mereka disebabkan oleh sekelompok pembegal yang
selalu memburu harta kekayaan. Bukan karena halhal yang bermaksud merongrong ketenteraman Kerajaan Suraloka," lanjut Patih Sodrana. "Laporan hamba ini semata demi
pertimbangan kita agar tidak lengah dengan keadaan di sekeliling wilayah
kerajaan."
"Ada betulnya perkiraan Patih Sodrana, Yang
Mulia," timbal Maha Patih Gempita untuk menutupi keterkejutannya dengan berita
yang dibawa Patih Sodrana. "Kematian delapan prajurit kerajaan itu bisa ja-di
karena perbuatan pembegal-pembegal yang gila har-ta. Namun begitu, kita harus
tetap waspada. Kalau
perlu kita usut kediaman pembegal-pembegal itu. Dan kita musnahkan mereka."
"Baiklah. Kita pikirkan masalah itu nanti. Patih Sodrana dan Laga Lembayung,
kembalilah ke kepatihan. Begitu juga denganmu, Paman Maha Patih Gempita. Aku akan kembali ke tempatku," perintah Prabu Lokawisesa.
Patih Sodrana, Laga Lembayung, dan Maha Patih Gempita tidak membantah. Setelah memberi hormat, mereka berlalu dari tempat itu.
*** 7 Hari-hari berlalu dengan tenang di lingkungan
Kerajaan Suraloka. Prabu Lokawisesa telah menganggap kematian delapan prajurit utusan Patih Sodrana
karena perbuatan orang-orang yang hanya senang
memburu harta atau segala bentuk kekerasan. Kematian delapan prajurit kerajaan itu tidak ada sangkut pautnya dengan rencana
Raja Petir 14 Ajian Duribang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk merongrong kewibawaan kerajaan, kewibawaan Prabu Lokawisesa.
Tak terasa lima belas hari sudah Laga Lembayung tinggal di kepatihan. Hatinya senang karena
seluruh penghuni kerajaan, terlebih Prabu Lokawisesa, begitu menaruh hormat dan
perhatian padanya. Semua itu disebabkan sikap Laga Lembayung, yang pandai menempatkan diri pada setiap tingkatan manusia
yang berada di lingkungan Kerajaan Suraloka.
Selama lima belas hari keberadaannya di kepatihan, banyak sudah cerita pengalaman yang dipaparkan Laga Lembayung kepada ayahnya. Termasuk pertemuannya dengan seorang tokoh muda digdaya. Siapa
lagi kalau bukan Jaka Sembada yang bergelar Raja Petir. Dan kekasihnya yang
bernama Mayang Sutera alias Dewi Payung Emas.
Patih Sodrana menaruh simpati atas cerita Laga Lembayung mengenai Raja Petir. Dan mengakui kalau dia pernah mendengar kabar tentang sepak terjang tokoh muda itu, yang selalu
berpihak di jalan kebenaran. Kabar itu didengar Patih Sodrana ketika dia melintasi Desa Blambangan yang masih termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan Suraloka.
Patih Sodrana menginginkan anaknya meniru jejak Raja Petir. Hadir di tengah
manusia sebagai sosok yang selalu menjunjung
tinggi kebenaran dan menyingkirkan kelaliman.
Tetapi ketenangan hati Laga Lembayung dan
Patih Sodrana tiba-tiba saja terusik. Itu terjadi pada hati ketujuh belas Laga
Lembayung tinggal di kepatihan. Kabar tentang kematian Punggawa Adikara
menggema ke seluruh pelosok istana dan kepatihan,
serta rumah-rumah prajurit Kerajaan Suraloka.
Kematian Punggawa Adikara yang memimpin
pemanah kerajaan, membuat Prabu Lokawisesa seperti
disengat binatang berbisa. Beliau menyempatkan diri melihat langsung mayat
Punggawa Adikara. Ditemani
pengawal-pengawal setianya Prabu Lokawisesa mengunjungi rumah duka keluarga Punggawa Adikara.
Demikian pula Patih Sodrana dan Maha Patih Gempita. Mayat Punggawa Adikara terbujur kaku. Pada
persendian tubuh lelaki yang sudah mengabdi selama
puluhan tahun itu tampak tanda kemerahan yang begitu jelas. Pikiran Prabu Lokawisesa langsung menerawang pada kedahsyatan ilmu
yang pernah dipamerkan
Laga Lembayung tujuh belas hari yang lalu. Tanda
kemerahan pernah dilihatnya pada sebatang pohon
yang terkena pukulan 'Ajian Duribang'.
"Bagaimana hal ini bisa terjadi, Paman Patih?"
tanya Prabu Lokawisesa pada Maha Patih Gempita.
Wajah Maha Patih Gempita tampak sedikit gugup ketika sekonyong-konyong pertanyaan itu terlontar untuknya. "Hamba tak tahu pasti kejadiannya, Yang Mulia. Hamba baru tahu setelah wakil Punggawa Adikara datang ke kediaman hamba,
dan mengabarkan kematian Punggawa Adikara," jawab Maha Patih Gempita setelah berhasil menenangkan
kegugupannya. "Dan kau, Patih Sodrana?"
Tatapan mata Prabu Lokawisesa langsung memandang lurus wajah Patih Sodrana.
"Seperti Maha Patih Gempita, hamba pun tak
tahu persis kejadian yang dialami Punggawa Adikara,"
jawab Patih Sodrana sopan.
Prabu Lokawisesa mengangguk. Kemudian tatapannya beralih pada mayat Punggawa Adikara yang
terbujur kaku. Tatapan matanya tak lepas memandang
tanda merah yang terdapat pada persendian tubuh
Punggawa Adikara.
"Paman patih, apakah kalian tahu arti tanda
merah di persendian tubuh Adikara?" tanya Prabu Lokawisesa pada Maha Patih
Gempita dan Patih Sodrana.
Sesaat Maha Patih Gempita dan Patih Sodrana
membiarkan pertanyaan sang Prabu. Suasana sejenak
menjadi hening.
"Maafkan hamba, Yang Mulia. Juga kau, Patih
Sodrana," ucap Maha Patih Gempita memecah keheningan. "Menurut hemat hamba,
kematian Punggawa Adikara disebabkan oleh pukulan maut yang disertai
pengerahan 'Ajian Duribang'."
Ucapan Maha Patih Gempita membuat hati Patih Sodrana terkejut bukan main. Namun, lelaki itu berusaha menenangkan hatinya.
Patih Sodrana tidak
menyalahkan ucapan Maha Patih Gempita. Tandatanda kematian yang ada pada tubuh Punggawa Adikara telah menunjukkan kebenarannya.
Kematian punggawa Kerajaan Suraloka itu disebabkan oleh pukulan maut yang disertai pengerahan
'Ajian Duribang'.
Sementara keluarga almarhum Punggawa Adikara diam saja mendengar ucapan Maha Patih Gempita. Mereka telah menyerahkan persoalan ini pada
pembesar-pembesar kerajaan itu.
"Menurutmu bagaimana, Paman Patih Sodrana?" tanya Prabu Lokawisesa kemudian.
"Hamba sependapat dengan Maha Patih Gempita," jawab Patih Sodrana dengan berat hati.
"Hm...," gumam Prabu Lokawisesa perlahan.
"Kita putuskan perkara ini setelah pemakaman Adikara."
Setelah berkata demikian, Prabu Lokawisesa
segera bangkit dari duduknya, dan pergi meninggalkan rumah duka. Tak lupa kepada
istri dan anak-anak
Punggawa Adikara sang Prabu mengucapkan kata-kata
bijaksana yang berupa nasihat, agar selalu tabah dan mengikhlaskan kepergian
Punggawa Adikara sebagai
kodrat yang telah digariskan Sang Pencipta.
*** Setelah pemakaman Punggawa Adikara dilaksanakan dengan cara kebesaran, Prabu Lokawisesa
mengundang pembesar-pembesar kerajaan untuk
membicarakan kematian yang tidak wajar ini. Di sebuah ruang pertemuan yang mewah, tampak pejabatpejabat tinggi kerajaan dan Maha Patih Gempita serta Patih Sodrana telah siap
mendengarkan keputusan
yang akan diambil Prabu Lokawisesa.
"Penyebab kematian Punggawa Adikara telah
sama-sama kita ketahui," ucap Prabu Lokawisesa, memulai keputusannya. "Sebuah
pukulan maut yang disertai ilmu 'Ajian Duribang' telah mengakhiri hidup punggawa
yang telah puluhan tahun menanamkan ja-sanya pada kerajaan. Sepengetahuanku,
ilmu dahsyat itu hanya dimiliki putra Patih Sodrana, yakni Laga
Lembayung. Namun begitu, aku tidak ingin menjatuhkan tuduhan tanpa alasan kepada putra Patih Sodrana. Barangkali saja ada orang lain yang memiliki ilmu
sejenis, dan melakukan hal keji itu untuk mengkambinghitamkan Laga Lembayung."
Hening sejenak mewarnai pertemuan itu. Wajah-wajah pejabat tinggi yang hadir terlihat dibalut ke-tegangan. Terlebih wajah
Patih Sodrana. Meski dia yakin betul kalau Laga Lembayung tidak membunuh
Punggawa Adikara."
"Untuk melahirkan keputusan yang seadiladilnya, maka kuminta yang hadir di sini untuk mengajukan pendapat masing-masing," ujar Prabu Lokawisesa lagi.
Keheningan kembali meliputi. Dan pecah ketika
Maha Patih Gempita membuka percakapan seraya
memberi penghormatan pada Prabu Lokawisesa.
"Ampun, Yang Mulia. Bukannya hamba lancang
menguraikan pendapat, tapi ini semata untuk kepentingan kerajaan dan keputusan yang akan diambil,"
ucap Maha Patih Gempita perlahan, namun terdengar
begitu mantap. "Ya. Uraikan pendapatmu, Paman Patih," perintah Prabu Lokawisesa,
Maha Patih Gempita kembali memberi hormat
"Menurut hamba, kematian Punggawa Adikara
memang disebabkan oleh 'Ajian Duribang'. Seperti juga hamba ketahui bahwa ilmu
itu hanya dimiliki putra
Patih Sodrana, yakni Laga Lembayung. Jadi pendapat hamba, alangkah baiknya jika
putra Patih Sodrana untuk sementara ditempatkan pada sebuah ruangan
khusus yang dijaga ketat oleh para prajurit terpilih."
Merah padam wajah Patih Sodrana mendengar
uraian Maha Patih Gempita. Tubuhnya seketika bergetar. Namun Patih Sodrana mencoba menahan kemarahannya. Lelaki setengah baya itu duduk dengan tenang, berusaha menanggapi uraian Maha Patih Gempita dengan pikiran jernih.
"Uraianmu cukup masuk akal, Paman Maha
Patih Gempita," ucap Prabu Lokawisesa menimpali ucapan Maha Patih Gempita.
"Bagaimana dengan yang lain" Silakan menyangkal pendapat Paman Maha Patih
Gempita jika di antara kalian ada yang tidak sependapat"
Kesunyian kembali merambah ruang pertemuan. Tak ada seorang pun yang berbicara. Tidak juga Patih Sodrana.
"Bagaimana denganmu, Paman Patih Sodrana?"
tanya Prabu Lokawisesa penuh wibawa.
Patih Sodrana mengangkat wajahnya sedikit.
Dengan tatapan mendung, diperhatikannya wajah
tampan Prabu Lokawisesa.
"Maafkan hamba, Yang Mulia," sembah Patih Sodrana dengan suara parau. "Menurut
hemat hamba, apa yang terbaik adalah keputusan yang dikeluarkan
Yang Mulia. Itulah suara hati hamba, Yang Mulia."
"Baiklah," tukas Prabu Lokawisesa setelah mendengar ucapan Patih Sodrana.
"Karena aku tak ingin memutuskan perkara ini dengan sebelah pihak,
maka aku ingin Laga Lembayung hadir di tengahtengah pertemuan ini. Aku ingin tahu pendapatnya
tentang penempatannya di sebuah ruangan khusus
dan dijaga prajurit-prajurit pilihan."
Memang, setiap mengambil keputusan, Prabu
Lokawisesa tidak pernah meminta pendapat penasihat
kerajaan. Karena di Kerajaan Suraloka, jabatan penasihat dirangkap oleh maha
patih, dalam hal ini Maha Patih Gempita.
"Pengawal! Perintahkan Laga Lembayung untuk
menghadap," perintah Prabu Lokawisesa.
Seorang pengawal setia sang Prabu bergegas
meninggalkan ruang pertemuan setelah memberi sembah sebagai tanda hormat. Dan tak lama kemudian,
sosok gagah putra Patih Sodrana hadir di hadapan
Prabu Lokawisesa. Tatapan mata yang hadir di ruang
pertemuan pun langsung tertuju pada wajah tampan
Laga Lembayung.
"Ampun, Yang Mulia. Hamba menghadap," ucap Laga Lembayung seraya memberi hormat.
Prabu Lokawisesa segera berbicara setelah Laga
Lembayung memberi hormat.
"Kematian Punggawa Adikara menurut kami
yang hadir di ruangan ini adalah akibat pukulan dahsyat yang dilancarkan dengan
pengerahan 'Ajian Duribang'. Setahu kami, ajian tersebut hanya kau yang
memiliki, Laga. Maaf, bukan aku menuduhmu melakukan kekejian itu. Namun bukti-bukti telah memberatkan dirimu. Untuk itu aku mengundangmu ke tengah-tengah kami untuk memberikan tanggapan atas
kematian Punggawa Adikara, sekaligus pembelaan dirimu," ujar Prabu Lokawisesa dengan berwibawa.
Laga Lembayung menundukkan kepala dalamdalam. Pemuda ini tak segera memenuhi keinginan
sang Prabu. Pikirannya disibukkan oleh kematian
Punggawa Adikara yang meninggalkan bukti yang sama jika 'Ajian Duribang' digunakan untuk membunuh
manusia. Tanda kemerahan pada persendian itu kuncinya. Apakah ada orang lain yang mempunyai ilmu
yang berakibat sama" Atau ada orang lain yang memiliki 'Ajian Duribang'"
"Laga Lembayung," panggilan sang Prabu terdengar begitu lembut. "Kematian
Punggawa Adikara mungkin disebabkan 'Ajian Duribang'. Tapi mungkin
juga disebabkan oleh ilmu lain yang menimbulkan akibat yang sama dengan 'Ajian
Duribang'. Jadi, mungkin ada orang lain selain dirimu yang menguasai 'Ajian
Duribang'. Karena itu, kami semua sependapat untuk
sementara waktu menempatkan dirimu di sebuah
ruangan khusus yang dijaga prajurit-prajurit pilihan, sampai pembunuh itu
tertangkap atau ada seseorang
yang mengakui perbuatan keji itu. Berbicaralah, Laga.
Apalah kau setuju dengan pendapat itu" Aku, Paman
Maha Patih Gempita dan juga ayahmu telah sepakat
dengan keputusan itu."
Laga Lembayung mengangkat wajahnya perlahan. Kemudian dengan tenang ditatapnya wajah-wajah
lelaki yang hadir di ruangan itu. Tatapan mata Laga Lembayung berhenti di wajah
ayahnya cukup lama.
Dan Patih Sodrana membalas tatapan Laga Lembayung. Tatapan lelaki setengah baya itu seperti sebuah danau tenang yang
menyimpan ketabahan hati,
Pandangan Laga Lembayung kemudian beralih ke wajah Prabu Lokawisesa. Hanya sesaat mata bening Laga Lembayung menatap wajah sang
Prabu. Saat berikutnya kepala Laga Lembayung kembali tertunduk.
"Maafkan hamba, Yang Mulia. Bukannya hamba membantah ucapan Yang Mulia, tapi ucapan hamba sekarang hanya untuk mewakili hati nurani yang
selalu menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran. Jujur hamba katakan kalau
hamba tak pernah melakukan kekejian yang tengah dibicarakan. Memang pada
waktu kejadian itu terjadi, hamba tidak sedang berada di tempat. Jadi
kemungkinan tuduhan itu jatuh pada
hamba sangat memungkinkan. Terlebih kematian
Punggawa Adikara memiliki tanda-tanda yang sama jika kematian itu disebabkan oleh 'Ajian Duribang' yang hamba yakini hanya hamba
yang memiliki."
Suasana hening seketika. Laga Lembayung menatap wajah-wajah di sekelilingnya dengan berbagai
macam perasaan.
"Berdasarkan keyakinan hati hamba, hamba
tak pernah melepaskan pukulan yang disertai pengerahan 'Ajian Duribang' setelah hamba mempertunjukkannya di hadapan Yang Mulia. Namun untuk kedamaian dan ketenteraman seluruh penghuni Kerajaan
Suraloka, hamba menjunjung tinggi keputusan Yang
Mulia untuk menempatkan hamba di sebuah ruangan
khusus yang dijaga prajurit-prajurit pilihan. Hal ini hamba lakukan sebagai
darma bakti hamba pada Yang
Mulia Prabu Lokawisesa," lanjut Laga Lembayung dengan nada suara yang gamblang.
Semua yang hadir pada pertemuan itu terbawa
Raja Petir 14 Ajian Duribang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanyut oleh kata-kata yang terangkai rapi dari mulut putra Patih Sodrana.
Demikian pula Patih Sodrana.
Sungguh dia terharu dengan ucapan putranya. Lelaki
setengah baya itu bangga dengan sikap ksatria Laga
Lembayung. Setelah mendengar keputusan Laga Lembayung, Prabu Lokawisesa memutuskan pertemuan
selesai. Dan Laga Lembayung dibawa ke ruang khusus
sesuai dengan keputusan sang Prabu.
*** 8 Patih Sodrana kembali kehilangan putra tunggalnya. Pertama ketika Laga Lembayung berangkat
menuntut ilmu. Kedua ketika Laga Lembayung menjalankan keputusan yang ditetapkan sang Prabu. Meski
Patih Sodrana diperkenankan menjenguk anaknya,
namun ketidakpuasan tetap merambah hatinya. Hatinya tetap merasakan kehilangan.
Ketidakpuasan Patih Sodrana membuatnya
memutuskan untuk menyelidiki kematian Punggawa
Adikara. Maka hari ini Patih Sodrana datang menghadap Prabu Lokawisesa untuk meminta izin melihatlihat keadaan di luar kerajaan. Permohonan Patih Sodrana dikabulkan sang Prabu.
Tanpa ditemani orang-orang kepercayaannya,
Patih Sodrana pergi ke luar kepatihan. Namun belum
jauh meninggalkan gapura kehormatan, dua orang
muda datang mendekatinya.
"Maaf, Kisanak. Apakah bangunan megah itu
Istana Kerajaan Suraloka?" tanya anak muda berpakaian kuning keemasan yang tak
lain Jaka Sembada.
Di sebelah lelaki berpakaian kuning itu berdiri
sosok dara jelita berpakaian jingga. Dialah Mayang Sutera atau Dewi Payung Emas.
Patih Sodrana tidak segera menjawab pertanyaan anak muda itu. Tatapannya tertuju ke wajah
dan sekujur tubuh Jaka.
"Betul sekali, Anak Muda. Bangunan megah itu
memang Istana Kerajaan Suraloka, Apakah kalian berdua ini hendak mengunjungi istana itu?" tanya Patih Sodrana sambil menunjuk
bangunan Istana Kerajaan
Suraloka. "Betul sekali, Ki," jawab Mayang tegas.
"Hm...," Patih Sodrana menggumam perlahan.
"Kalau boleh kutahu, siapa yang akan kalian kunjungi?" tanya Patih Sodrana lagi.
"Sahabat kami, Ki" jawab Jaka.
"Sahabat kalian" Siapa namanya?"
"Laga.... Laga Lembayung," kembali Mayang menjawab pertanyaan Patih Sodrana.
Ada bias keterkejutan tersirat di wajah tua Patih Sodrana. Jaka dan Mayang bukannya tidak menangkap gurat keterkejutan di wajah Patih Sodrana,
namun Jaka tidak ingin mengetahuinya.
"Apakah kalian berdua teman seperguruan Laga Lembayung?" ucap Patih Sodrana menyelidiki. Pertanyaannya terkesan mencurigai
Jaka dan Mayang.
Jaka dan Mayang sama-sama menggelengkan
kepala. Kemudian Jaka menceritakan perkenalannya
dengan Laga Lembayung. Dari mulai pertolongan yang
diberikan Laga Lembayung pada Mayang, hingga pertarungannya dengan puluhan lelaki gerombolan Macan
Hutan Lindung. Patih Sodrana tertegun sesaat setelah mendengar cerita Jaka Sembada.
"Maaf, Ki. Kalau boleh kami tahu, siapakah Kisanak ini sesungguhnya?" tanya Jaka hati-hati.
Patih Sodrana tersenyum mendengar pertanyaan Jaka. "Untuk apa kau mengetahui siapa diriku, Anak
Muda?" balas Patih Sodrana.
"Aku heran Kisanak terkejut sewaktu kusebutkan nama Laga Lembayung," tukas Jaka.
Patih Sodrana kembali tersenyum. Dia sudah
dapat mengambil kesimpulan bahwa dua anak muda
di hadapannya itu adalah orang-orang yang pernah di-ceritakan Laga Lembayung.
Dialah Jaka Sembada atau
Raja Petir, dan Mayang Sutera.
Patih Sodrana lalu menyentuh bahu Jaka.
"Laga Lembayung adalah putra tunggalku,
Anak Muda," jelas Patih Sodrana.
"Jad.... Kisanak adalah Patih...."
"Ya. Aku Patih Sodrana," potong ayah Laga Lembayung, "Kalian berdua pasti Jaka
dan Ma-yang, bukan?"
"Gembira sekali kami dapat bertemu denganmu, Paman Patih," ucap Jaka mengubah panggilannya.
Patih Sodrana tidak menimpali ucapan Jaka.
"Laga telah menceritakan padaku tentang perkenalan kalian. Namun sayang kalian tidak dapat menemuinya sekarang," ucap Patih Sodrana sedikit parau.
Jaka dan Mayang terkejut mendengar nada bicara Patih Sodrana.
"Ada apa dengan Laga Lembayung, Paman Patih?" tanya Mayang ingin tahu.
Patih Sodrana menatap wajah Mayang dan Jaka bergantian. "Secara kasar kukatakan bahwa anakku tengah
ditawan," jawab Patih Sodrana.
Kedua anak muda itu tampak terkejut mendengar jawaban Patih Sodrana.
"Siapa yang menawan Laga, Paman Patih?"
tanya Jaka penasaran.
"Kuasa Hukum Kerajaan." Jaka dan Mayang tidak melanjutkan pertanyaannya. Hati
mereka sibuk mereka-reka kesalahan yang telah dilakukan Laga
Lembayung. "Dugaanku ada seseorang yang telah memfitnah Laga," ucap Patih Sodrana.
"Maksud Paman Patih?"
Patih Sodrana menceritakan dengan terperinci
mengenai kematian Punggawa Adikara. Juga penyebab
kematian itu, yang bertalian erat dengan ilmu yang
dimiliki Laga Lembayung.
"Maaf, Paman Patih. Apakah Paman yakin bukan Laga yang melakukan pembunuhan itu?" tanya Jaka. "Yakin sekali, Jaka. Aku
tahu persis perangai putra tunggalku," sahut Patih Sodrana.
Jaka seketika menatap wajah Mayang. Keduanya menduga kalau di Kerajaan Suraloka telah terjadi sesuatu yang tidak beres.
"Maaf, Paman Patih. Kalau Paman Patih yakin
dengan pendapat Paman, saya mencoba untuk menarik kesimpulan bahwa ada duri dalam daging di Kerajaan Suraloka ini. Jika Paman Patih menginginkan,
kami ingin membantu menyelidiki keadaan di sekitar
Kerajaan Suraloka," ucap Jaka mengajukan keinginannya.
Patih Sodrana tentu saja gembira dengan keinginan Jaka. Hatinya merasa senang atas bantuan cuma-cuma dari tokoh muda digdaya itu.
"Keinginanmu sangat menggembirakan hatiku,
Jaka. Aku juga senang kalau dalam penyelidikanmu
itu kau tinggal di kediamanku, di kepatihan. Aku akan memintakan izin pada Yang
Mulia Prabu Lokawisesa,"
sambut Patih Sodrana dengan wajah dihiasi kebahagiaan. Jaka dan Mayang menyerahkan segalanya kepada Patih Sodrana. Juga ketika dirinya dibawa menghadap Prabu Lokawisesa. Jaka
dan Mayang menurut
saja. *** Malam merangkak perlahan. Langit tampak dipenuhi awan pekat yang berarak. Hawa dingin menyebar di sudut-sudut kepatihan. Malam sebentar lagi
akan dirambah hujan. Tiga orang prajurit jaga yang
bertugas di kediaman Patih Sodrana merasakan hawa
dingin yang menusuk kulit. Terlihat dari cara mereka berdiri yang merapat ke
dinding. Tangan mereka dide-kapkan di dada.
"Akan turun hujan deras," gumam salah seorang penjaga.
Seiring dengan selesainya ucapan penjaga itu,
hujan pun turun mengguyur bumi Kerajaan Suraloka.
Suara guntur terdengar saling bersahutan.
Glar! Glegarrr...!
Grudug... gruduk...!
Pada saat guntur menggelegar tampak tiga sosok bayangan hitam muncul dengan melenting-kan
tubuh dari balik rerimbunan pohon. Cepat dan gesit
ketiga sosok bayangan itu melenting. Tahu-tahu sudah mendarat tanpa suara di
hadapan tiga penjaga yang
tengah merasakan hawa dingin menggigit
Glegar! Grudug... grudug...!
Bersamaan dengan suara guntur yang menggelegar, ketiga sosok bayangan itu menyerang tiga penjaga dengan totokantotokannya. Tuk! Tuk! Tuk! "Aaakh!"
Pekik kesakitan terdengar berturut-turut, namun jeritan yang keluar dari mulut penjaga tertutup suara guntur yang
menggelegar. Hingga tak seorang
pun yang mendengarnya. Termasuk Patih Sodrana,
Jaka dan Mayang yang tengah berada di kamar masing-masing. Kemudian tubuh ketiga sosok bayangan itu melenting ke wuwungan, tepat di atas kamar Patih Sodrana tidur. Ringan tiga sosok tubuh itu mendarat di wuwungan kamar Patih
Sodrana. Dan dengan segenap
keahliannya, mereka memasuki ruangan tidur Patih
Sodrana. Namun sayang, salah seorang di antara mereka
bertindak ceroboh. Sebuah genteng yang sengaja disingkapnya terlepas dari tangan. Dan jatuh menimbulkan suara berisik. Patih Sodrana yang memang belum
terlelap mendengar suara itu.
"Siapa di atas"!" bentak Patih Sodrana. Bersamaan dengan selesainya ucapan Patih
Sodrana, tiga sosok tubuh itu meluruk dari wuwungan rumah. Ketiga sosok berpakaian hitam itu langsung menyerang
Patih Sodrana dengan senjata masing-masing.
Tiga buah arit membabat ke arah leher, perut,
dan paha Patih Sodrana. Cepat dan keras serangan gelap itu. Namun Patih Sodrana
bukanlah lelaki tua yang menjabat sembarang patih. Dia juga memiliki ilmu silat
yang patut dibanggakan. Buktinya, hanya dengan
sekali gerakan saja tiga serangan maut itu berhasil dielakkan.
Tiga sosok tubuh berpakaian hitam dan penutup kepala hitam itu tidak merasa heran melihat Patih Sodrana mampu menghindari
serangan mereka. Ketiganya segera menghentikan serangan. Mata ketiganya
yang berada di balik topeng hitam, memandang remeh
Patih Sodrana. "Kau harus mampus sekarang juga, Sodrana!"
bentak salah seorang sosok bertopeng dengan suara
berat dan kasar.
"Siapa kau" Apa yang ingin kau lakukan di sini?" tanya Patih Sodrana geram.
"Kau akan mampus, Sodrana! Jadi, tak perlu
tahu siapa kami!" bentak sosok bertubuh pendek.
"Kurang ajar!" maki Patih Sodrana.
"He he he...!"
Salah seorang sosok bertopeng itu terkekeh. Lalu meloncat menerjang Patih Sodrana dengan senjatanya yang berupa arit. Suara angin berkesiutan mengiringi tibanya serangan
sosok itu. "Heaaa...!"
Bet! Bet! "Hits!"
Patih Sodrana berkelit lincah ketika senjata
orang bertopeng berkelebat mencecar lambung dan lehernya. Di tengah kelitannya, Patih Sodrana yang cerdik segera berpikir kalau
bertarung di kamarnya adalah suatu kebodohan. Ruangan kamarnya memang tidak sempit, tapi untuk menghadapi keroyokan tiga sosok bertopeng itu rasanya dia
tidak menemui keleluasaan bergerak. Maka Patih Sodrana segera memutuskan untuk
bertarung di luar kamar. Dengan perhitungan cukup
matang, Patih Sodrana menghentakkan kaki kuatkuat. Tubuh lelaki setengah baya itu seketika melesat ke wuwungan yang dibobol
tiga tamu tak diundang itu.
"Hiaaa...!"
Cepat dan gesit gerakan yang dilakukan Patih
Sodrana. Hingga dalam waktu singkat telah berada di wuwungan rumahnya. Tiga
sosok bertopeng itu pun
segera mengejar buruannya.
Pertarungan berlanjut di luar rumah Patih Sodrana. Dan rupanya Jaka dan Mayang telah turut terlibat dalam pertarungan. Setelah keduanya mendengar suara ribut-ribut di dalam
kamar Patih Sodrana, keduanya segera berlari menuju asal suara. Dan ketika
orang-orang yang bertarung itu berlari ke atas wuwungan, Jaka dan Mayang segera
mengejarnya. "Siapa mereka, Paman Patih?" tanya Jaka ketika ada kesempatan untuk bertanya.
"Entah. Yang jelas kita harus menangkap mereka hidup-hidup," jawab Patih Sodrana.
Patih Sodrana tak lagi memperhatikan Jaka ketika salah seorang lawan mengibaskan sesuatu dari
balik pakaian hitamnya.
"Jangan sombong kau, Sodrana! Bagaimana
mungkin kau dapat menangkap kami hidup-hidup, Terimalah ini! Hih!"
Wesss...! "Awas, Ki!" teriak Jaka saat melihat puluhan benda pipih meluncur deras ke arah
Patih Sodrana. Jaka menduga benda pipih itu adalah puluhan
jarum yang mengandung racun ganas. Terbukti dari
bau amis yang menyertai datangnya senjata rahasia
itu. Jaka tak ingin melihat Jarum-jarum itu menembus
tubuh Patih Sodrana. Maka, segera saja disajikan pukulan jarak jauhnya sesaat
setelah memberi peringatkan pada Patih Sodrana.
"Hih!"
Raja Petir 14 Ajian Duribang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wusss...! Prat! Prat..! Puluhan jarum beracun terpental balik terhalau
serangkum angin keras yang keluar melalui pukulan
jarak jauh Raja Petir.
Tiga sosok berpakaian hitam dengan topeng hitam yang menutupi wajah tampak terkejut dengan kehebatan lelaki muda berpakaian kuning keemasan itu.
Senjata rahasia mereka terpental balik mengancam keselamatan mereka sendiri.
Dengan geram, ketiga sosok itu menghentak kaki dengan keras. Tubuh ketiganya
melenting ke udara, menghindari jarum-jarum beracun. "Kurang ajar!" maki salah seorang sosok berpakaian hitam itu.
Ketiga sosok itu mendarat ringan di tanah becek. Hujan memang mulai reda sesaat setelah pertarungan di luar kediaman Patih Sodrana dimulai. Beberapa lamanya enam sosok tubuh
itu tampak saling
memandang. Sesaat kemudian, ketiga lelaki berpakaian serba hitam itu kembali menyerang. Kali ini serangan mereka terpecah
menjadi tiga. Masing-masing
saling berhadapan dengan satu lawan.
"Hati-hati, Mayang." ucap Jaka memperingatkan kekasihnya.
Mayang tak membalas ucapan Jaka. Gadis itu
kelihatan sibuk menghadapi lawannya yang bertubuh
gempal. "Hiaaa...!"
Bet! Bet! "Hop!"
Sambaran senjata sosok berpakaian hitam yang
menjadi lawan Mayang terarah ke bagian tubuh yang
mematikan. Serangan itu begitu cepat, dan disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi. Angin berkesiutan
meningkahi serangan sosok bertubuh gempal itu.
Mayang meladeni serangan-serangan itu dengan ketenangan yang luar biasa. Pengalamanlah yang
mengajari dara jelita itu untuk selalu tenang dalam menghadapi setiap
pertarungan. Maka dengan ketenangannya, Mayang berhasil
mengelakkan serangan sosok berpakaian hitam itu.
Namun begitu, Mayang juga menemui kesulitan saat
dia harus melancarkan serangan balasan. Sosok bertubuh gempal itu memiliki kegesitan yang patut diacungkan jempol. Setiap kali serangan Mayang datang, saat itu pula lawannya
berhasil mengelak. Bahkan
memberikan serangan balasan yang tak dapat diduga
datangnya. "Mampus kau!" bentak sosok bertubuh gempal itu.
Bet! Sebuah sampokan senjata ke arah dada
Mayang dilancarkan sosok bertubuh gempal dalam
rangkaian serangan balasan.
Mayang terkejut bukan main. Tapi berkat kewaspadaannya, Mayang segera menangkis serangan
itu dengan payungnya yang masih menutup.
Trang! "Akh...!"
"Ukh...!"
Pekik tertahan terdengar berturut-turut. Bersamaan dengan itu dua tubuh terhuyung-huyung sejauh dua langkah ke belakang. Sosok bertubuh gempal terhuyung seraya memegang
tangannya yang bergetar
dan terasa linu. Begitu juga Mayang Sutera.
Hebat juga tenaga dalam orang ini. Puji Mayang
dalam hati. Gadis itu merasa tenaga dalamnya tak
berbeda jauh dengan sosok bertubuh gempal itu. Di
saat Mayang dan lawannya masih merasakan nyeri
pada tangannya. Tiba-tiba....
"Aaa...!"
Pekik kematian membubung tinggi ke langit.
Sosok berpakaian hitam yang menjadi lawan Patih Sodrana tersungkur di tanah dengan tenggorokan tertembus arit miliknya sendiri.
Kejadian itu begitu cepat berlangsung. Saat sosok berpakaian hitam yang menjadi lawan Raja Petir
menghantamkan senjatanya ke arah ulu hati, Jaka
menangkis dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
Senjata yang berada di tangan penyerang Jaka langsung terpental deras dan menghantam tenggorokan
lawan Patih Sodrana yang tengah berada di udara. Sedangkan lawan Jaka harus
merasakan sakit yang hebat pada pergelangan tangannya.
Sosok bertubuh gempal, lawan Mayang, terkejut menyaksikan kematian temannya. Sementara yang
seorang lagi terkulai di tanah. Sosok itu tiba-tiba bergerak hendak melarikan
diri. Namun Mayang telah lebih dulu dapat membaca maksud lawan. Saat itu juga
Mayang mengejar sosok bertubuh gempal dengan senjata yang sudah terhunus.
"Hiaaa...!"
Bret! "Aaa...!"
Senjata Mayang yang berupa payung kecil berukuran runcing membabat telak punggung sosok bertubuh gempal itu. Pekik kesakitan terdengar. Dan tubuh sosok terbungkus pakaian
hitam itu roboh dengan punggung mengucurkan darah.
Tiga sosok berpakaian hitam yang mengenakan
selubung kepala hitam itu kini tergeletak tanpa daya.
Seorang di antaranya telah menjadi mayat. Patih Sodrana dengan kegeraman yang luar biasa menghampiri
lawan-lawan yang sudah tidak berdaya itu.
Bret! Bret! Bret!
Dengan kasar Patih Sodrana menarik kain penutup wajah tiga orang berpakaian hitam itu
"Heh"!"
Patih Sodrana terkejut melihat salah seorang
yang ingin membunuhnya ternyata seorang perempuan. Begitu juga Jaka dan Mayang. Saat itulah tiba-tiba.... "Eugkhh...!"
"Eugkhh...!"
Dua orang tamu tak diundang itu terkulai. Mati. Rupanya mereka membunuh diri untuk menjaga kerahasiaan penyamarannya. Dari mulut kedua orang itu menyebar bau amis.
"Dia tewas karena menggigit pil yang diletakkan di mulutnya. Pil beracun ganas,"
ucap Jaka. "Pasti ada seseorang yang mengutus mereka.
Dan menyuruh mereka melakukan bunuh diri daripada harus membongkar rahasia," duga Patih Sodrana.
Jaka dan Mayang membenarkan dugaan Patih
Sodrana. Malam semakin larut. Suara-suara serangga
terdengar jelas, karena hujan telah berhenti. Sementara Patih Sodrana dan Jaka
sibuk menyingkirkan
mayat-mayat itu. Patih Sodrana berniat melaporkan
kejadian ini pada Prabu Lokawisesa.
*** 9 Prabu Lokawisesa murka mendengar kabar
yang disampaikan Patih Sodrana. Kemurkaannya bukan saja karena ada orang yang bermaksud melenyapkan nyawa Patih Sodrana. Tapi lebih jauh disebabkan ada orang-orang yang bermaksud merongrong
kewibawaan kerajaan. Dan mempertimbangkan kejadian yang menimpa Patih Sodrana, Prabu Lokawisesa
menitahkan untuk memperketat penjagaan di sekitar
istana dan kepatihan. Seluruh prajurit jaga dari semua kesatuan harus
meningkatkan kewaspadaan.
Di hati Prabu Lokawisesa terbersit suatu kesimpulan kalau yang membunuh Punggawa Adikara
bukanlah Laga Lembayung. Namun sang Prabu belum
ingin mengeluarkan Laga Lembayung dari ruang khususnya. Beliau ingin melihat perkembangan keadaan
lebih dulu. Di saat penjagaan ketat yang dilakukan pihak
kerajaan, Jaka dan Mayang memohon pada Patih Sodrana untuk menyelidiki peristiwa itu di luar istana.
Karena menurut Jaka, bukan mustahil orang-orang
dekat sang Prabu yang melakukan semua itu. Dan bukan mustahil pula mereka sedang menyusun kekuatan
di luar kerajaan. Untuk kemudian menyerbu dan
menggulingkan kedudukan sang Prabu.
Merasa alasan yang diberikan Jaka cukup diterima, Patih Sodrana mengijinkan Jaka dan Mayang
melakukan penyelidikan di luar istana. Namun Patih
Sodrana menginginkan Jaka untuk secepatnya melaporkan hasil penyelidikannya. Terutama yang berhubungan dengan rencana untuk merongrong wibawa kerajaan. Tentu saja Jaka dan Mayang menyanggupi
permintaan Patih Sodrana. Pada hari itu juga kedua
pendekar muda itu meninggalkan kepatihan.
"Dari mana kita memulai penyelidikan ini, Kakang?" tanya Mayang ketika keduanya sudah berada di luar kepatihan.
"Kau ingat desa yang membatasi kotaraja?" Ja-ka balik melontarkan pertanyaan
pada gads jelita berpakaian jingga itu.
"Desa Magetan yang Kakang maksud?" duga
Mayang. "Betul."
"Dan hutan lindung di desa itu yang menjadi
sasaran penyelidikan kita?" duga Mayang lagi.
"Pikiran kita sama," ucap Jaka seraya tersenyum dan memegang pinggang Mayang.
"Ah, Kakang," ujar Mayang malu-malu seraya menyentuh tangan kekasihnya.
"Ayo kita mulai penyelidikan ini! Hop!"
Tubuh Jaka melesat cepat meninggalkan
Mayang. Gadis jelita berpakaian jingga itu sesaat terperangah menyaksikan
tindakan Jaka. Namun sesaat
berikutnya Mayang sudah menghentakkan kaki menyusul kekasihnya. Mereka saling berkejaran. Dan beberapa saat kemudian, kedua
anak muda itu sudah
berlari sejajar.
Kedua pendekar muda yang disegani di dunia
persilatan itu mengerahkan ilmu lari cepat dan meringankan tubuh. Maka tak heran
jika hanya dalam waktu singkat mereka sudah tiba di tepi hutan lindung.
"Sepertinya tidak ada kegiatan di dalam hutan
sana, Kakang," duga Mayang.
"Kita harus waspada. Mungkin kegiatan mereka
di ujung hutan lindung sebelah sana," jawab Jaka Belum lagi hilang gema suara
Jaka, tiba-tiba
dua sosok tubuh meluruk dari atas sebatang pohon
besar yang berdaun rimbun. Dua sosok lelaki bertubuh kekar itu langsung memberikan pukulan dan tendangan yang mengandung tenaga dalam tinggi.
"Hiaaa...!"
Bet! Bet! Dua serangan berturut-turut mencecar dada
dan perut Jaka serta Mayang. Namun serangan itu
hanya membentur angin ketika Jaka dan Mayang berkelit lincah. Kemudian menghentakkan kakinya melakukan lompatan ke belakang untuk mengatur jarak
"Hei! Mengapa Kisanak berdua menyerang kami" Apa alasannya?" tanya Jaka tak mengerti.
"Aku ingin membuat kalian jadi bangkai!"
"Hiaaa...!"
Lelaki bertubuh tinggi besar yang sebelah matanya ditutup bahan kulit berwarna hijau lurik kemba-li bergerak hendak
menyerang Jaka dan Mayang, tapi.... "Tahan, Kisanak!" bentak Jaka menggelegar.
Lelaki tinggi besar itu seketika menghentikan
gerakannya. "Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian.
Bertatap muka pun baru kali ini. Kenapa kalian begitu memusuhi kami" Adakah
perbuatan kami yang meru-gikan Kisanak berdua?" tanya Jaka tenang.
"Kita memang baru kali ini bertatap muka.
Anak Muda!" hardik lelaki tinggi kekar yang berkumis seperti sapu ijuk. "Tapi
aku menginginkan nyawamu!"
"Kau boleh saja menginginkan nyawa kami. Tapi apa alasannya" Ah, perkenalkan dulu. Namaku Jaka," ucap Jaka lagi, tanpa terpancing kata-kata kasar yang dilontarkan lelaki di
hadapannya. 'Tanpa kau sebut pun aku sudah tahu nama
lengkapmu. Jaka Sembada alias Raja Petir. Huh! Kau
ingin menyombongkan julukanmu heh"! Dengar, Bocah! Meski julukanmu sering disebut-sebut tokoh persilatan, namun aku Naga Mata Tunggal dan kawanku
Bajing Ireng, tidak takut pada julukanmu!" tukas lelaki yang mengaku berjuluk
Naga Mata Tunggal.
"Ayo bersiaplah, Raja Petir! Jangan sia-siakan hidupmu yang hanya satu kali!"
ujar rekan Naga Mala Tunggal yang tak lain Bajing Ireng.
Lelaki berpakaian hitam yang berjuluk Bajing
Ireng dan Naga Mata Tunggal mengatur kedudukan.
Keduanya meloloskan senjata masing-masing. Naga
Mata Tunggal mengeluarkan sepasang bola duri berantai panjang yang dililitkan di pinggang. Sedangkan Bajing Ireng meloloskan golok
pendek yang bagian depannya bergerigi mirip gigi bajing.
Jaka dan Mayang kelihatan tidak merasa gentar melihat senjata yang terhunus di tangan Naga Mata Tunggal dan Bajing Ireng.
Namun dengan waspada dua
pendekar muda itu memperhatikan lawan-lawannya
yang bergerak memperagakan jurus dasar andalannya.
"Hiaaa...!"
Wuk! Wuk! Mendadak Naga Mata Tunggal memutar bola
durinya dengan diiringi pekik yang cukup keras. Bola duri itu berputar cepat di
atas kepala Naga Mata Tunggal. Lalu....
"Haaat...!"
Wuuuk! Bola duri yang dihubungkan dengan rantai baja
itu berkelebat ke atas kepala Raja Petir. Tokoh muda yang matang pengalaman itu
tentu tidak membiarkan
serangan Naga Mata Tunggal. Hanya dengan merendahkan tubuhnya, serangan bola duri itu luput. Namun bola duri yang lainnya sudah berkelebat mence
Raja Petir 14 Ajian Duribang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
car bagian bawah tubuh Jaka.
Wuuuk! "Uts!"
Jaka cepat menghentakkan kakinya kuat-kuat.
Tubuh pemuda itu melenting indah ke udara. Pada
saat itu, dua sosok tubuh tiba-tiba melesat dari atas pohon besar yang lain.
Kedua sosok berpakaian hijau dan coklat itu langsung melancarkan pukulan dahsyat
ke tubuh Jaka. "Hiaaa...!"
"Heaaat..!"
Jaka terkejut menyaksikan kenyataan yang
ada. Pada saat tubuhnya berada di udara, dua serangan berturut-turut mengancamnya. Itu cukup menyulitkannya untuk menghindari serangan yang datang
begitu mendadak. Tak ada pilihan lain, dia harus menangkis serangan-serangan
itu. Seketika itu juga Jaka mengangkat tangan melindungi bagian tubuh yang menjadi incaran lawan.
Tak pelak lagi, dua benturan keras terdengar berturut-turut. Plak! Plak!
"Heh"!"
Jaka tampak terkejut merasakan tenaga dalam
lawan. Kekuatan tenaga dalam itu tidak terpaut jauh dengan yang dimilikinya. Dua
lelaki berpakaian hijau dan coklat pun terperangah menyaksikan kekuatan
tangan Jaka. Keduanya merasakan linu pada tangannya. 'Tidak percuma kau berjuluk Raja Petir, Anak
Muda" Ternyata julukanmu bukan omong kosong,"
ucap lelaki berpakaian hijau setelah berhasil meredam linu yang mendera
tangannya. "Kalau orang lain yang menerima 'Pukulan
Maut Sepasang Iblis Api' maka tangan orang itu akan matang seperti ayam
panggang. Tapi ternyata bagimu
tidak. Raja Petir. Kau memang tokoh yang hebat!"
"Ya. Kau memang hebat. Raja Petir. Namun
sayang kehebatanmu akan terbungkam kedahsyatan
ilmu-ilmu Sepasang Iblis Api. Ha ha ha...!" timpal lelaki berpakaian coklat.
Dua lelaki berjuluk Sepasang Iblis Api itu tertawa keras. Begitu juga Naga Mata Tunggal. Rupanya
mereka bersekongkol untuk melenyapkan Jaka dari
rimba persilatan. Sementara, Jaka sekilas melirik ke arah pertarungan Mayang
Sutera dengan Bajing Ireng.
"Perempuan itu kekasihmu. Raja Petir?" tanya lelaki berpakaian coklat yang
berambut merah.
Jaka tidak menjawab pertanyaan lelaki itu. Pemuda itu mengkhawatirkan keselamatan Ma-yang. Entah mengapa tiba-tiba perasaan Jaka dilanda kegelisahan. "Ha ha ha.... Mengapa
kau bengong seperti ma-can ompong, Raja Petir"! Apakah kau gentar menghadapi kami?" ejek lelaki berpakaian hijau yang juga berambut merah. Rupanya,
itulah yang menyebabkan
mereka mendapatkan julukan Sepasang Iblis Api.
"Hentikan kesombongan kalian, Sepasang Iblis
Api," ucap Jaka tegas. "Aku bukan gentar pada kalian.
Tapi aku tidak yakin kalian dapat mengalahkanku."
Merah padam wajah Sepasang Iblis Api mendengar ucapan Jaka. Maka saat itu juga....
Prok! Prok! Prok!
Tepukan tangan yang cukup kuat dilakukan lelaki berpakaian hijau. Suara tepukan itu menggema
dan memantul-mantul. Dan seiring dengan lenyapnya
suara itu, tiga sosok bayangan berkelebat cepat dan mendarat di sisi kanan
Sepasang Iblis Api.
Jleg...! *** 10 Tiga sosok lelaki berpakaian putih berdiri tegak
dengan sorot mata tajam menatap wajah Jaka.
"Aku orang pertama dari Tiga Hantu Putih,"
ucap lelaki tinggi kurus.
"Aku orang kedua."
"Dan aku orang ketiga."
Suara perkenalan itu didengar Jaka dengan jelas. Sementara tatapan matanya menyelusuri tubuh ti-ga lelaki berpakaian putih
itu. Corak pakaian mereka sama persis.
"Karena kehadiranmu di rimba persilatan, tokoh-tokoh golongan hitam selalu gagal setiap kali ingin mereguk keinginannya.
Sekarang juga kau harus
mampus!" ucap orang pertama dari Tiga Hantu Putih.
"Ya. Kau harus mampus!" sambut orang kedua dan ketiga
Menegang otot-otot Jaka mendengar ucapan lelaki di hadapannya.
"Kalian boleh saja mempunyai keinginan membunuhku. Tapi sebelumnya aku ingin tahu, apakah
perbuatan kalian ini ada sangkut-pautnya dengan kejadian di Istana Suraloka?" tanya Jaka.
"Untuk apa kau tahu itu, Bocah!" bentak lelaki pertama dari Sepasang Iblis Api.
"Naga Mata Tunggal! Kau bantu Bajing Ireng
membekuk gadis liar itu. Biar kami berlima yang meringkus dan mencabut nyawa Raja Petir!" ujar lelaki itu lagi. Naga Mata Tunggal
langsung mencelat mematuhi ucapan orang pertama Sepasang Iblis Api.
Sepeninggal Naga Mata Tunggal, orang pertama
Sepasang Iblis Api memberi aba-aba untuk segera
menggempur Raja Petir. Maka saat itu juga Tiga Hantu Putih langsung bergerak
mengurung Jaka. Begitu pula Sepasang Iblis Api.
"Hiaaat...!"
"Haaat..!"
Orang ketiga Tiga Hantu Putih serta orang kedua Sepasang Iblis Api bergerak melancarkan serangan. Angin berkesiutan mengiringi serangan keduanya yang langsung menggunakan
senjata yang berupa keris panjang dan sebatang pedang.
Raja Petir tentu saja tidak menganggap remeh
serangan kedua lawannya yang dilancarkan secara
bersamaan. Sebelum senjata-senjata itu merejam tubuhnya, Jaka telah lebih dulu bergerak lincah dengan jurus 'Lejitan Lidah
Petir'. Bet! Bet! Serangan gencar yang dilancarkan lelaki berambut merah dan lelaki berpakaian putih menemui
tempat kosong. Tubuh Jaka dengan mengerahkan jurus 'Lejitan Udah Petir' begitu sukar untuk ditembus senjata. Rasa penasaran dua
lelaki itu membuat mereka terus melancarkan serangan. Malah serangannya
kali ini dibantu rekan-rekannya yang lain. Maka pertarungan satu lawan lima pun
tak dapat dihindarkan la-gi.
Lima lelaki itu menyerang Jaka dari berbagai
arah. Tanpa memberi kesempatan pada Jaka untuk
memberikan serangan balasan. Senjata-senjata mereka yang berupa keris dan pedang
terus berkelebat mencecar bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Keparat! Maki Jaka dalam hati. Aku harus
menggelar 'Aji Bayang-bayang'.
Sementara Jaka sibuk melayani lima pengeroyoknya, Mayang Sutera pun menghadapi hal yang
sama. Naga Mata Tunggal dan Bajing Ireng begitu sulit
ditundukkan. Meskipun gadis itu telah mengeluarkan
senjatanya yang berupa payung namun Naga Mata
Tunggal begitu sulit didekati. Sebab, senjatanya mam-pu menjangkau jarak jauh.
Pada pertarungan satu lawan dua ini Mayang
kelihatan terdesak. Kedudukan Mayang terus tergempur mundur hingga tepi hutan lindung terlampaui.
"Haaat..!"
Trang! Wut! Dengan gencar Naga Mata Tunggal dan Bajing
Ireng melancarkan serangan-serangannya. Mau tak
mau Mayang terus bergerak mundur untuk menghindari keganasan serangan lawan. Meski sesekali gadis itu berusaha menangkis
serangan lawan yang terlalu
cepat datangnya dan mengarah ke jantung.
Bunyi berdentangan dan percik bunga api tak
dapat dihindari. Mayang masih berusaha memberikan
perlawanan gigih. Senjatanya yang berupa gelanggelang emas yang terselip di balik bajunya telah dikeluarkan untuk menjaga jarak
pertarungan. Gelanggelang emas yang dilempar Mayang melesat cepat
mencecar tubuh Bajing Ireng dan Naga Mata Tunggal.
Singgg...! "Uts!"
"Ops!"
Naga Mata Tunggal dan Bajing Ireng berlompatan sesaat setelah senjata Mayang melesat ke arah mereka. Senjata itu memang
berhasil dihindari kedua lawan Mayang. Namun gelang-gelang itu seperti mempunyai mata. Senjata itu kembali meluncur ke arah
pemiliknya. Tap! Tap! Mayang menangkap senjata miliknya dan bermaksud melemparnya kembali. Tapi bukan main terkejutnya gadis cantik itu ketika tiba-tiba saja dari atas kepalanya bertebaran
jaring-jaring yang mengurung
geraknya. Wrrr! Wrrr...! Mayang berusaha mendobrak jaring itu dengan
senjatanya. Namun jaring itu lebih cepat menutupi tubuh Mayang. Apalagi jaring
itu tidak cuma satu. Jaring-jaring lain berjatuhan menutupi tubuh gadis itu.
Dua belas lelaki berpakaian hitam yang masing-masing memegang ujung jaring kelihatan saling berputar. Akibatnya, tubuhnya
semakin terjerat. Gadis itu sedikit pun tidak mampu menggerakkan tubuhnya,
sebab kedua belas lelaki itu mempererat pegangannya pada tali jaring.
"Ha ha ha...!"
Naga Mata Tunggal dan Bajing Ireng tertawa
terbahak-babak menyaksikan lawannya terkurung dalam jaring. Kemudian mereka mendekati tubuh
Mayang yang sudah tidak berdaya.
"Ha ha ha.... Kau sesungguhnya amat cantik.
Tapi sayang kau terlalu galak," ucap Naga Mata Tunggal dengan genit
"Cuh!"
Mayang meludahi tubuh Naga Mata Tunggal.
Namun sasaran yang dituju lebih dulu menghindar.
"Sudah kukatakan kau itu galak! Sekarang kau
tahu sendiri akibatnya. Sebentar lagi dirimu akan di-pasung!" tukas Naga Mata
Tunggal menakut-nakuti Mayang membelalakkan matanya mendengar
ucapan Naga Mata Tunggal.
"Kubunuh kau jika aku berhasil lepas dari sini!"
ucap Mayang geram.
"Ha ha ha.... Siapa yang bisa menolongmu,
Anak Manis" Kekasihmu pun kurasa tidak mungkin.
Untuk menghadapi Sepasang Iblis Api dan Tiga Hantu
Putih saja dia tak akan sanggup, mana mungkin dia
bisa mengeluarkan mu dari kekuasaan kami?" kilah Bajing Ireng sambil
membusungkan dada. "Sayang aku tak punya kuasa untuk memperlakukanmu seenak perutku. Kalau tidak...."
"Lelaki bejat!" maki Mayang yang sudah dapat membaca arah bicara Bajing Ireng.
"Ha ha ha...," Bajing Ireng tertawa lepas mendengar makian Mayang.
"Ayo kita bawa dara nakal ini ke hadapan Yang
Mulia," perintah Naga Mata Tunggal.
Belasan lelaki yang memegang tali jaring segera
bergerak menarik tubuh Mayang. Sementara gadis
cantik kekasih Raja Petir itu dengan terpaksa melang-kahkan kaki terseok-seok.
*** Sementara Mayang Sutera telah berhasil ditawan Naga Mata Tunggal dan Bajing Ireng, tidak demikian halnya dengan Jaka Sembada. Lelaki muda yang
berjuluk Raja Petir itu terlalu sukar untuk ditaklukkan Sepasang Iblis Api dan
Tiga Hantu Putih. Meskipun ke-lima pengeroyoknya telah mengeluarkan segenap kemampuan mereka.
"Kau memang tangguh. Raja Petir! Tapi mampukah kau menghadapi 'Ajian Iblis Api'. Ayo Darga! Kerahkan ajian itu!" ajak
orang pertama Sepasang Iblis Api.
Lelaki berambut merah yang bernama Darga
segera menuruti perintah itu. Langkah kakinya ditarik mundur. Sesaat setelah
membaca mantera-mantera,
tangannya menghentak keras ke depan.
"Haiiit...!"
"Haaat...!"
Dua pekikan keras terdengar bersamaan. Dan
dua hentakan tangan terlihat. Maka, dua gumpalan sinar merah pekat meluncur
deras ke arah Raja Petir.
Wesss! Wesss! Melihat serangan lawan, Jaka segera memapaki
dengan 'Pukulan Pengacau Arah'. Angin bergulung tercipta dari telapak tangan
Jaka yang terbuka. Angin itu meluruk cepat menghadang sinar merah pekat milik
Sepasang Iblis Api.
Wrrr...! Glarrr! Ledakan seperti guntur terdengar seketika ketika segulungan angin ciptaan Jaka dan dua gumpalan
sinar merah pekat berbenturan di udara. Tubuh Sepasang Iblis Api terhuyung tiga langkah ke belakang. Sedangkan Jaka hanya
terdorong satu langkah.
Sepasang Iblis Api terlihat saling berpandangan. Mereka tak menyangka kalau serangannya dengan mudah dapat dipatahkan lawan. Tatapan mata
Sepasang Iblis Api kemudian beralih ke wajah-wajah
Tiga Hantu Putih. Lalu mata orang pertama Sepasang
Iblis Api mengerling. "Mulai!"
Wesss! Wesss....!
Werrr! Werrr...!
Seiring dengan teriakan orang pertama Sepasang Iblis Api, bertebaranlah senjata-senjata rahasia yang berupa lempengan
logam pipih beracun milik Sepasang Iblis Api dan gumpalan serbuk putih beracun
Tiga Hantu Putih.
Jaka tidak menyangka dengan apa yang dilakukan lawan. Cepat Raja Petir bergerak melentingkan tubuhnya ke belakang. Dan
ketika menjejak tanah, tubuhnya kembali melenting. Senjata lawan yang berupa
lempengan logam pipih tidak menemui sasaran. Sedangkan gumpalan serbuk putih
beracun menimbulkan ledakan ketika menyentuh tanah.
Blers! Blers! Udara di sekitar tempat meledaknya gumpalan
serbuk putih itu dipenuhi asap berwarna putih. Bau
anyir tercium begitu menyengat.
Jaka yang mengetahui siasat licik lawannya segera mengacaukan asap putih yang menghalangi pandangan matanya. Dan bukan main terkejutnya Jaka
Raja Petir 14 Ajian Duribang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketika melihat lawan-lawannya sudah tidak berada di tempat. Mereka telah
menghilang entah ke mana.
Jaka cemas melihat kenyataan ini. Apalagi ketika mendatangi tempat Mayang bertarung. Di sana tidak dijumpainya siapa pun,
sehingga kecemasannya
semakin bertambah.
Setelah berpikir sesaat, akhirnya Jaka memutuskan untuk mencari Mayang di dalam hutan lindung. Pemuda itu yakin kalau Mayang masih hidup.
Maka, seketika itu pula tubuh Raja Petir melesat cepat menuju hutan lindung.
Apakah Raja Petir berhasil menemukan Mayang
Sutera" Siapa tokoh yang berdiri di balik penawanannya" Dan, bagaimana nasib
Laga Lembayung" Serta
apa yang terjadi di Kerajaan Suraloka"
Untuk mendapatkan jawaban pertanyaanpertanyaan itu, silakan simak serial Raja Petir berikutnya dalam episode "Api di
Suraloka".
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Kidung Senja Di Mataram 2 Pendekar Kembar 1 Dendam Asmara Liar Petaka Kerajaan Air 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama