Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap Bagian 1
?"Bab 1 Novel misteri PENUNGGU JENAZAH karya Abdullah
Harahap Edit teks by Tjareuh"Boelan di upload pertama kali di
http://indozone.net/ Ia dibenci semua orang. Bahkan kekasih yang ia cintai
disingkirkan dengan kejam dari sisinya. Tetapi suatu
waktu, orang-orang itu toh membutuhkan dirinya,
karena mereka tahu kematian adalah sahabatnya
yang terdekat... "Kita mewarisi kutuk yang ditimpakan pada nenek
moyang kita, anakku. Kau ditakdirkan jadi penunggu
jenazah seperti juga telah ditakdirkan padaku, pada
kakekmu, pada moyangmu. Takdir kedua yang harus
kau jalani; membujang seumur hidupmu, atau
isterimu mati ketika kau masih sayang-sayangnya
padanya...." """"""
Apabila ada nama, tempat kejadian ataupun cerita
yang bersamaan, itu hanyalah suatu kebetulan
belaka. Cerita ini adalah fiktif.
"" sumber Ebook DJVU: http://hana-oki.blogspot.com
Sepi menyentak waktu jam dinding berdentang
dengan suara yang mengejutkan. Lebih keras dari
biasa. Meninggalkan gaung memanjang di ruang
depan yang sempit, di mana beberapa orang lelaki
tengah duduk bersila dalam bentuk lingkaran. Gaung
itu seperti bersatu dengan asap dari dupa menyan
yang mengepul di tengah-tengah lingkaran. MeliukIiuk liar, biarpun tidak ada angin yang bertiup. Pintu
terkunci rapat. Demikian pula jendela. Pengap bukan
main. Dan asap menyan yang
bertemperasan di langit-langit ruangan, benar-benar
menimbulkan bau tidak enak. Namun tidak seorang
pun yang bangkit untuk membuka jendela. Agar
hawa segar masuk ke dalam. Apalagi,
menyingkapkan tirai ruang tengah.
Tidak. Tak seorang pun yang bergerak dari tempat
duduknya. Sampai: " ... sudah jam sepuluh," salah seorang di antara
mereka berbisik. Pelan. Tetapi begitu tiba tiba. Semua
kepala tertengadah, menatap orang itu. Berpasangpasang mata memancarkan kecemasan.
"Ya. Sudah jam sepuluh. Mengapa orang itu belum
datang"" keluh laki-laki yang lebih muda di dekat
pintu keluar. Suaranya resah. la bergerak sedikit.
Gelisah. la baru saja akan membuka mulut untuk
meneruskan keluhannya waktu sayup terdengar
gonggongan anjing. Bukan! Bukan gonggongan. Tetapi lolongan. Mula-mula
"rendah. Lalu tinggi. Rendah lagi. Memanjang.
Reflex, mereka saling berpandangan. Dan, seperti
dikomando. pandangan semua laki-laki itu beralih ke
gorden pintu yang menutupi pemandangan ke ruang
tengah. Kain gorden itu bergerak perlahan-lahan.
Nafas-nafas berat seketika meluncur dari mulut salah
seorang di antara mereka. Laki-laki pertama tadi,
yang rambutnya sudah ubanan dan tulang pipinya
kempot dimakan usia. Enggan, ia bergumam:
"Sayang. Anak-anak dan ibunya sudah mengungsi ke
rumah Bu Enjuh..." la menoleh pada laki-laki di dekat
pintu. "Mengapa tak kau buatkan kopi lagi, Parjo""
Yang dipanggil dengan nama Parjo menelan ludah.
Dengan kecut matanya memandangi gelas demi gelas
di depan mereka. Ada yang sudah kosong. Ada yang
masih berisi setengah. Bahkan ada yang penuh. Belum
disentuh sama sekali. Tentunya sudah teramat dingin
karena sudah dihidangkan semenjak lepas isya,
sebelum nyonya rumah hijrah ke rumah sebelah.
"Ah, tak usah repot-repot..." untung ada suara-suara
mendesah. Parjo menarik nafas. Lega.
Lalu sepi lagi. Seseorang yang duduknya paling dekat dengan
pedupaan, menambahkan biji batu-batu menyan
kepedupaan. Berkeratak bunyinya. Berpercik-percik
apinya. Seperti mercon. Meledak-ledak memecah
kesepian yang mencekam di dalam ruangan. Helaanhelaan nafas lagi. Lalu diam.
Suara bergemerasat yang keras terdengar di luar
rumah. Diiringi lolongan anjing yang menyayatkan
hati. Semua kepala tertengadah lagi. Kali ini, menatap
kearah pintu. "Apa itu"" Seseorang berbisik. Gemetar.
"Entah..." rungut Parjo. Kecut.
"Pergilah lihat!" kata laki-laki bertulang pipi kempot
dengan mata marah ke arah Parjo. Yang diperintah
secara halus, menelan ludah. Berkali-kali. Lalu pelanpelan bangkit. Kakinya agak gontai waktu berjalan ke
arah pintu. Di sana, ia tertegun sebentar. Diam.
Mendengarkan. Lantas menoleh ke belakang, pada
orang-orang yang masih duduk bersila di tempat
masing-masing. Mereka juga sama memp erhatikan
dirinya, sehingga dengan rikuh Parjo terpaksa
memutar anak kunci dengan jari jemari gemetar.
Tangannya berkeringat keluar. Dan:
"Hek!" Suaranya seperti tercekik waktu ia tiba-tiba
melompat mundur. Yang lain terperanjat.
"Ada apa"" desah seseorang.
Parjo menghela nalas panjang. "Ah, bukan apa-apa.
Hanya kaget." rungutnya. Lantas berjalan lagi ke
pintu. Ia membukanya lebih lebar.
Dan berpasang-pasang mata di belakangnya, juga
terpentang lebih lebar, malah ada yang seperti mau
terloncat ke luar. Engsel pintu berderit nyaring dan
kemudian terhempas keras, menghantam tembok.
Angin dingin bertiup masuk.
Sesosok tubuh bermuka pucat, berdiri di muka pintu.
la mengenakan celana hitam, kemeja kotak-kotak
berwarna gelap dengan kain sarung yang juga hitam
melingkar dari pundak sampai batas pinggang. la
rupanya tidak mengenakan alas kaki sehingga
langkah-langkahnya tidak terdengar waktu berjalan
ke teras lantas berdiri di pintu waktu Parjo tiba-tiba
membukanya. "Aku Kurdi," gumamnya dengan suara berat.
"Oooo!" cetus Parjo, lalu menyingkir memberi jalan.
"Masuklah, Pak Kurdi. Kami sudah lama menunggu."
Laki-laki setengah umur bermuka pucat itu masuk ke
dalam. Tubuhnya sedang, tidak tinggi, tidak pula
pendek. Tidak gemuk, namun tak bisa dikatakan
"kurus. Gerak-geriknya tenang, bahkan tampak lamban
sehingga ia bukanlah tipe seorang lelaki yang patut
diperhatikan secara khusus. Tetapi ketika bibirnya yang tipis
memperlihatkan seutas senyum kering disertai sinar
mata yang tajam berkilat-kilat, semua orang yang
berada di ruang depan itu seolah-olah melihat
makhluk asing yang kehadirannya tidak boleh
dilepaskan sekejap mata pun jua.
Laki-laki beruban dekat pintu ruang tengah, berdiri
menyongsong. Yang lain mengikuti.
"Kami senang Nak Kurdi datang," ujarnya seraya
menjabat tangan tamu yang datang kemalaman itu.
"Terima kasih. Mana mayatnya""
Orang tua yang rupanya adalah penghuni rumah,
menggerakkan dagu ke arah ruang dalam. "Di sana!"
sungutnya. Menguatkan. "Hem," Kurdi memperhatikan dupa menyan yang
mengebulkan asap diatas tikar pandan. la menghirup
asap menyan itu dengan perasaan nikmat, dan
sepasang matanya yang berkilat-kilat tampak
kesenangan. Angin dingin bertiup semakin kencang
lewat pintu yang menganga.
"Tutupkan, Parjo," kata orang tua tadi dengan muka
memberengut. Parjo bergerak ke pintu dengan malas, dan sebelum
menutupkannya ia sempat meninjau ke luar
Lewat pekarangan sempit berpintu pagar kecil ia melihat
bayangan sesuatu dalam gelap. Sebentuk kereta yang
aneh. Dengan seekor kuda yang berdiri di atas
keempat kaki-kakinya yang kukuh, dengan kepala
tegak, memandang ke arah rumah. Parjo tak dapat
melihat sinar mata kuda itu dalam kegelapan, namun
ia bisa menangkap suara mendengusnya yang keras
dan kering. Tak jauh dari kereta, sesosok makhluk
berbaring di atas tanah berumput. Juga dengan kepala
tegak memandang ke arah rumah. Sinar matanya
tampak samar-samar membentuk sepasang bintikbintik kecil berwarna kuning kemerahan.
"Anjing..." desis Parjo kecut, seraya menutupkan pintu
buru-buru. Berderak bunyinya, karena tergesa-gesa.
Sementara yang lain termasuk Parjo duduk kembali di
tempat masing-masing, Kurdi masuk ke ruang dalam
ditemani oleh tuan rumah. Lewat tirai gorden yang
terbuka sebagian waktu mereka masuk, kedua orang
itu berjalan pelan-pelan ke tengah ruangan yang
diterangi lampu bervoltase kecil. Di antara perabotanperabotan yang disingkirkan ke tepi, tergelar tikar
Iebar di atas mana digelarkan sebuah kasur ukuran
kecil. Selendang batik dari harga murahan menutupi
sesosok tubuh mulai dari ujung kaki sampai ke ujung
rambut. Meskipun lampu ruang tengah cukup untuk menyinari
mayat itu, di sekelilingnya masih dipasang lilin-lilin
yang tinggal puing-puingnya saja lagi, menyala lemah.
Bau menyan campur baur dengan bunga rempahrempah di dekat kepala mayat.
Setelah kumat kamit sebentar, Pak Kurdi memerintah:
"Bukalah." Orangtua itu berjongkok, lalu dengan tangan gemetar
pelan-pelan ia menyingkapkan ujung kain yang
menutupi bagian kepala. Pelan-pelan pula wajahnya
ia tolehkan ke arah lain, dengan mata yang terpejam.
Didekatnya, tamu bermuka pucat itu memandang
kebawah dengan mata terbuka lebar. Mula-mula ia
melihat rambut yang ikal, panjang bergerai, lebat dan
hitam. Disusul oleh dahi yang rekah di bagian pelipis,
meninggalkan bengkak berwarna merah kebirubiruan. Di bawah alis tipis, lentik dan bagus
bentuknya, sepasang mata tampak melotot diantara
kelopak-kelopak yang hancur bercampur darah
mengering. "... terus!" sungut Kurdi waktu gerakan tangan yang
membuka kain penutup agak tersendat.
Orang tua itu terkejut, lantas menyingkapkan kain
"selendang sekaligus sehingga wujud mayat itu
tampak lebih jelas. Orang-orang yang berada di ruang depan sama-sama
menarik nafas lantas sama-sama pula memalingkan
muka dari arah ruang tengah. Orangtua yang
berjongkok di sebelah Kurdi, mulai menangis.
Tersendat-sendat. Di antara suara tangisnya ia
berkata. ".... anak malang. la... ia.... "
Kurdi manggut-manggut. Bergumam:
"Ya. Ya. Aku maklum. Aku belum mengenal menantu
bapak ini. Kalaupun ia pernah bertemu denganku, ia
tak akan kukenali kembali. Wajahnya begitu rusak.
Boleh dikata anggota-anggota tubuhnya hampir
hancur. Anak malang! Hem. Apa yang menyebabkan
ia mati dalam keadaan sedemikian rupa, Pak Marto""
Orangtua yang sudah ubanan itu sesenggukan.
"... nekad!" jawabnya. "Ningsih nekat. Tak bisa
menahan diri. Kami tidak tahu mengapa ia tiba-tiba
menghilang tadi siang dari rumah, lalu sore hari ada
orang mengabari bahwa... bahwa ia... ia..." Pak Marto
tiba-tiba berteriak histeris:
"Mengapa, Ningsih" Mengapa" Mengapa kau lakukan
itu, anakku" Mengapa""
"Apa yang ia lakukan, Pak Marto""
"la... oh!" orangtua itu menahan sedu sedannya.
Suara berat Pak Kurdi memberikan pengaruh aneh
pada dirinya. "la bunuh diri!"
"Bunuh diri""
"Ya. Terjun ke rel pada saat kereta api barang
lewat.... Aduh! Orang itu bilang... ada yang melihat.... melihat
Ningsih berdiri begitu lama di pinggir rel. Mula-mula
disangka mau menyeberang, sampai kereta itu
datang dan Ningsih tiba-tiba berlari ke arah maut itu
datang. la tak sempat terjun ke tengah-tengah rel
ketika tubuhnya disambar oleh lokomotip dan.... "
Kurdi manggut-manggut lagi. Dalam.
"la terhempas ke pinggir rel, begitu" Orang yang
menjemputku ke rumah telah menceritakannya
padaku. Sangat tergesa-gesa, sehingga aku tidak
mendengar seluruh kejadiannya...."
"Ia mati seketika, Kurdi. Lalu kami buru-buru ke sana,
dan...." "Tentu. Tetapi yang ingin kutanyakan, mengapa ia
melakukannya"" Orangtua itu tertengadah, memandangi tamu asing
itu. Matanya tampak tidak senang.
"Anakku telah mati," sungutnya, dingin. "Tak sempat
kami kuburkan hari ini. Lalu kau kami panggil untuk
menjaganya. Itu saja. Jadi..."
Seraya geleng-geleng kepala, Kurdi bergumam:
"Lihatlah pandangan matanya. la mati penasaran.
Karena itulah aku kalian panggil, Pak Marto!" Kurdi
tersenyum renyah. Dan erang kaku:
"Kalian penakut!"
"Nak...."
Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalian penakut. Karena kalian merasa bersalah,
kalian jadi penakut!" Berkata demikian, sepasang mata Kurdi berkilaukilauan di wajahnya yang pucat. Pak Marto
terbungkam, lalu merundukkan kepala dengan patuh,
seolah-olah mengakui tuduhan yang dilemparkan
padanya. "Perempuan ini punya kamar sendiri"" tanya Kurdi
kemudian. Orangtua itu manggut-manggut.
"Tidak bisakah kalian memberi penghormatan
padanya barang sedikit" Baringkanlah anak bapak di
atas ranjangnya sendiri!"
"Pak Marto memandang Kurdi dengan heran. Matanya
beradu dengan sepasang mata yang bersinar ganjil.
Dengan kecut, Pak Marto bangkit lalu memanggil
orang-orang di ruang depan.
Bersama-sama mereka masuk ke dalam. Enggan.
Bersama-sama pula mereka pindahkan mayat yang
sudah rusak wajah dan bagian-bagian tubuhnya itu
ke kamar tidur. Teramat enggan. Selesai melakukan
tugasnya orang-orang itu cepat-cepat berlalu ke ruang
depan. Kepada Parjo yang duduk termangu tanpa ikut
masuk ke dalam, orang-orang itu pamit. Tak lama
kemudian Pak Marto menyusul. la menggamit Parjo,
mengajaknya ke luar seraya menjelaskan:
"Orang itu minta dibiarkan sendirian. la ada di kamar
tidur bersama mayat isterimu."
*** Wajah Kurdi yang pucat diam tak bergerak-gerak
setelah ia mengambil tempat duduk di sebuah kursi
dekat kepala tempat tidur. Dihadapannya, terbaring
mayat yang baru saja dipindahkan dari ruang tengah.
Bagian-bagian wajah yang masih utuh tampak lebih
pucat lagi. Di beberapa tempat malah sudah kebirubiruan, demikian pula sebahagian lehernya yang
jenjang. Seraya bibirnya yang kering kumat-kamit membaca
mantera, perlahan-lahan Kurdi membungkukkan
badannya ke depan. Kain selendang yang menutupi
mayat itu ia singkapkan seluruhnya. Mata Kurdi
terpejam. Mulutnya kumat-kamit lebih cepat.
Terkadang disertai keluhan-keluhan berat dan rintihanrintihan seperti kesakitan. Waktu ia buka matanya
kembali, dua berkas sinar hijau kemerah-merahan
membersit dari sepasang mata Kurdi, menatap
langsung ke arah di mana seharusnya terletak
sepasang mata di wajah mayat yang sudah rusak itu.
Tubuh Kurdi mulai bergetar. Keringat sebesar jagung
membercik dari jidatnya waktu pelan-pelan ia
berbisik: ".... kembalilah. Kembalilah kau. wahai arwah yang
telah pergi!" Sepi sejenak. Kurdi menggeram. "Kubilang, kembalilah! Aku tahu
kau masih gentayangan di sekitar jasadmu. Kau
belum tiba di padang yang semestinya, karena kau
tak rela. Kembalilah, arwah yang telah hilang,
kembalilah!" Sosok tubuh yang hampir hancur di atas kasur
bergerak sedikit. Hanya sedikit.
"Jangan enggan. Kembalilah!" Kurdi membentak
dengan suara kesal. Tiba-tiba, gelembung-gelembung payudara di tubuh
perempuan telanjang yang sudah menjadi mayat itu,
naik turun dengan gerakan-gerakan lambat mulamula, lantas makin lama makin kencang, lambat lagi,
kencang kembali dan setelah helaan nafas berat
terluncur dari bibir pecah-pecah yang sebagian sudah
somplak dagingnya sehingga tampak beberapa buah
gigi bertonjolan ke luar, gerakan naik turun dada
mayat itu mulai teratur. Tanda-tanda kehidupan sudah
terlihat nyata, biarpun anggota-anggota tubuh lainnya
masih diam, tidak bergerak-gerak. Orang-orang yang
telah memandikan mayat itu senja hari-harinya
tampaknya tergesa-gesa atau demikian ketakutan
sehingga pekerjaan mereka tidak sempurna. Darah
kering masih melekat di bahu yang bengkak
kebiru-biruan. Juga dipertengahan lengan kanan yang
hampir putus. Lutut kanan yang pecah, letaknya
menyimpang. Mungkin tidak ada yang teringat untuk
membetulkannya. Mungkin pula karena tulang-tulang
lutut itu sudah hancur berantakan sehingga sukar
membetulkannya dalam posisi semula.
""Anak malang!" desah Kurdi. Serak. Ia menelan ludah.
Dan: ".... mereka benar-benar menterlantarkan engkau.
Tentu kau begitu penasaran, bukan""
Helaan nafas berat keluar dari mulut mayat yang
rusak itu. Dadanya bergelombang. Cepat. Seperti
marah. "Tidak!" gumam Kurdi seraya menyeringai. "Aku tidak
bermaksud menyakiti dirimu."
Wajah mayat yang rusak itu, terangkat dari bantal.
Sekejap cuma, karena kemudian terhempas kembali
dengan keras. Kurdi tertawa kecil. "Tulang lehermu patah" Nah. Jadi, diamlah. Kau tidak
bisa bergerak. Kau akan menurut segala perintahku.
Sekarang jawablah. Siapa namamu, anak manis""
Helaan nafas dari mulut mayat berubah jadi desau
angin. Sayup-sayup terdengar suara memelas. S uara seorang
perempuan. Setengah marah. setengah menangis.
"... Marni..." "Umurmu"" ".... buat apa... kau tahu""
"Harus kuketahui yang sekecil-kecilnya mengenai
mayat-mayat yang kutunggui."
"... tiga puluh tahun, dua bulan dan... dan...."
"Cukup. Tak usah kau sebutkan harinya. Lahirmu""
"Ya"" "Siang" Atau malam""
"... senja." "Patut. Patut matimu penasaran. Orang yang lahir
senja hari seperti kau, umumnya berhati penasaran.
Apa yang terjadi pagi" Mengapa begitu cepat
datangnya malam" Kau tak tahu. Karena kau lahir
senja hari lalu kau ingin tahu. ltulah sifatmu yang
lebih menonjol dari silat-sifat lain. Sangat penasaran,
serba ingin tahu, dan tidak sabaran!"
Dada mayat itu berbuncah-buncah.
Kurdi memperhatikannya. Dan mulutnya tersenyum
senang. "Sifat jelek itulah yang menyebabkan kematianmu.
Benar, bukan"" Suara sayup-sayup itu bersungut-sungut kini:
"He-eh. Lantas apa perdulimu""
Kurdi angkat bahu. "Sudahi pertanyaan-pertanyaanmu, manusia terkutuk.
Sudahilah aku sangat lelah dan kesakitan..." Tubuh
mayat itu bergerak-gerak kekiri kanan menyertai
permintaannya yang teramat memelas. "Aku telah
memenuhi panggilanmu. Karena itu, sudahilah siksaan
ini. Cukuplah sudah siksaan yang kuterima menjelang
saat-saat terakhir hidupku. Jangan tambah-tambah
lagi... Hentikan, hentikan, kau manusia pengabdi
setan. Aku telah datang. Kau tentunya puas, pengabdi
setan. Karena itu, katakanlah sekarang. Maukah kau
menolongku." Kurdi menyeringai lebar. "Tentu," sahutnya.
"Bangkitkan aku kembali. Bangkitkan aku, untuk
membalas sakit hatiku!"
"Sakit hati" Pada siapa kau sakit hati""
"Perempuan laknat itu!"
Alis mata Kurdi yang berbentuk golok. menyipit. "Kau
dimadu"" "Ya. Aku dimadu. Haram jadah benar, aku dimadu.
Perempuan laknat itu telah merenggut
kebahagiaanku. Merenggut cintaku. Merenggut
suamiku. Kemudian merenggut hidupku!"
"la tak bersalah apa-apa terhadapmu," Kurdi
keberatan. "Tak patut aku libatkan dirinya, siapapun
juga perempuan itu...."
"Tolonglah," suara sayup-sayup itu berubah jadi
"jeritan sayup-sayup. "Tolonglah. Kau bangkitkan aku dan
biarkan aku yang melakukannya. Kau tak usah turun
tangan!" "Hem. Caranya""
"Lewat tangan suamiku!"
"Tetapi...." "Demi setan yang kau puja, tolonglah aku!"
Kurdi mengeluh. Lalu terdiam. Lama.
"Bagaimana" Bersediakah kau""
Lama pula baru Kurdi menjawab: "Boleh. Tetapi dengan satu syarat!"
Suara sayup-sayup itu berubah jadi suara tertawa
pahit. Dan: "Terkutuk kau. Najis dirimu Tetapi apa boleh buat. Apa
syaratmu"" "Dari duniamu, kau sudah bisa menebak keinginanku."
"Jadah. Jadah. Seleramu terlaIu rendah. Masihkah
nafsu bejatmu bisa terbangkit melihat keadaan
tubuhku yang begini rusak" Melihat dirimu saja aku
sudah tidak bergairah. Padahal kau manusia yang
utuh. Masih hidup. Dan aku tahu, kau seorang laki-laki
yang bisa memuaskan seorang perempuan, bila saja
yang kau setubuhi perempuan yang masih
bernyawa..." Mayat itu cekikian lewat bibir sobek dan
gigi-gigi depannya yang bertonjolan keluar. "Tidak
jijikkah kau melihatku""
Kurdi tersenyum. Ia meraba kantong kemejanya yang
hitam. Sebuah pisau cukur ia letakkan dipinggir
tempat tidur. Lalu sehelai daun kelapa muda, dan
seutas tali dan pelepah pisang.
"Untuk apa itu""
"Diam sajalah kau," sungut Kurdi. Matanya yang hijau
kemerah-merahan menatap ke bagian mata wajah
mayat. Lama. Tubuh mayat itu tergetar.
Dan suaranya berubah-ubah menyayatkan hati:
"Kau... kau tak serius dengan maksudmu!"
"Mengapa tidak""
"Tetapi aku... aku tidak bergairah!"
"Perduli!" "Aku jijik melihatmu, pengabdi setan. Aku jijik. Aku
hanya mau disentuh oleh suamiku. Aku...."
Kurdi membuka pisau cukur, lalu mulai menyayat urat
nadi lengan kirinya sendiri.
Mayat itu berteriak: "Aku benci melihat darah. Aku benci melihatmu!"
Tetapi tubuh mayat di tempat tidur tidak bergerak
sama sekali untuk melawan, waktu dari urat nadi
Kurdi mengucur darah deras yang oleh Kurdi
kemudian diteteskan tepat di bagian mana jantung
mayat terletak. Payudara perempuan itu naik turun dengan gelisah
ketika darah merah yang segar dan hangat itu
mengenai bagian kulitnya. Terdengar suara seperti
belerang disiram air. Seperti belerang pula, dari
sekujur tubuh mayat berkebul asap putih ke langitlangit, bercampur dengan asap dupa menyan yang
memenuhi empat pojok kamar tidur. Bau tak enak
menusuk hidung, namun Kurdi menghisapnya dengan
perasaan nikmat. Wajahnya yang pucat justru jadi
kemerah-merahan kini, dan tubuhnya mulai basah
"oleh peluh. Ia dengar suara si perempuan yang
memohon: "Jangan...." Tetapi ia tak perduli. "Jangan!" Kurdi tetap tidak perduli. Darah semakin banyak
mengucur. Asap semakin banyak terkepul. Lalu tubuh
mayat di atas tempat tidur mulai berubah wujud.
Bagian-bagian yang telah rusak ditabrak lokomotip
kereta api yang merenggut kematian si perempuan,
kembali dalam wujud semula, yang terbaring di atas
tempat tidur bukanlah lagi sosok tubuh yang
mengerikan, akan tetapi sosok tubuh telanjang
seorang perempuan berwajah manis meskipun tidak
begitu cantik, namun liku-liku tubuhnya di mata Kurdi
tampak begitu indah dan sempurna.
Laki-laki itu mulai mengerang.
Si mayat mengeluh: "Tidak... tidak..." disusul teriakan lengking:
"Tidaaaaaakk!" Ia terus berteriak sementara Kurdi membuka
pakaiannya. Berteriak dan berteriak memilukan selagi
Kurdi naik ke tempat tidur dengan nafsu binatang
meronai wajahnya yang berubah mengerikan. Jeritan
arwah yang kembali menghuni mayat di rumah itu,
terbawa angin lewat celah-celah pintu lewat celahcelah jendela, lewat celah-celah atap. Malam yang
sepi menyentak, jadi terlonjak.
Di rumah sebelah, Pak Marto terloncat dari tempat
duduknya. "... dengar!" gumamnya. Serak. Dengan wajah pucat
pasi. Dan tubuh gemetar. Orang-orang lain di rumah itu, terpaku diam.
"ltu jeritan Marni!" desis Pak Marto.
Di kursinya, Parjo duduk merungkut. Peluh dingin
mengalir dari seluruh pori-pori kulitnya, membasahi
wajahnya, menguyupi pakaiannya. Ketika akhirnya ia
bangkit dengan seluruh tubuh gemetar, dari
Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selangkangannya mengucur air hangat berbau pesing.
Ia kemudian berlari masuk ke salah sebuah kamar
sambil terkencing-kencing, melompat ketempat tidur
di samping salah seorang adiknya yang sedang
berusaha menahan kantuk, lalu merintih dengan suara
ketakutan: "Kau dengar" Kau dengar itu""
Si adik tak menjawab. Dan Parjo menggulung tubuhnya dibawah selimut.
Di ruang tengah, Bu Marto jatuh pingsan dalam
pelukan suaminya. Namun tak seorangpun yang berani keluar rumah,
untuk memastikan suara jeritan itu. Tidak seorang
pun. Di luar, malam semakin kelam. Udara semakin
dingin. Dan angin bertiup kencang. Gersang. Dan
kering! *** Ketika pagi datang, Kurdi meluncur turun dari tempat
tidur. Sesaat, ia berdiri gontai. Sekujur tubuhnya letih, dan
basah oleh peluh. Pelan-pelan ia mengenakan
pakaiannya. Setelah itu duduk di kursi, terpekur.
Kedua telapak tangan menekan di wajahnya yang
pucat. Lengan kirinya yang sebelum naik ke
pembaringan lebih dari dua jam berselang ia balut
dengan daun kelapa muda dan diikat pakai tali
pelepah pisang, bergetar hebat.
"Wahai," keluhnya. Lirih. "Kapan kutuk ini akan
berakhir"" Lantas ia tersedu. Habis tersedu, kedua telapak tangannya ia buka.
Matanya yang berjam-jam sebelumnya berkilau
merah kehijau-hijauan, kini tampak lesu dan pucat.
"Sepasang mata yang bersinar lemah itu, memandang
sosok tubuh yang terbaring di atas tempat tidur.
Sesosok mayat perempuan, dengan wajah hampir
rusak, lengan dan lutut hancur dan darah kering
melekat di sana sini. la tak tahu yang mana darah si
perempuan dan yang mana darahnya sendiri.
Hidungnya mencium bau anyir dari tubuh mayat, dan
bau pengap dari dupa menyan yang memenuhi
ruangan. "Aduh!" desahnya dengan perut melilit. Lalu:
"Aaaghhh!" terbungkuk-bungkuk. Muntah.
Habis muntah, ia terpekur lagi di tempat duduknya.
Wajahnya kian pucat. Matanya kian pucat. Lengan
kirinya jauh lebih pucat. Lengan itu ia gerak-gerakkan
dengan hati-hati. Sementara itu, lengan kanan ia
pergunakan untuk membersihkan darah yang melekat
di sekujur tubuh mayat dengan mempergunakan
sarung hitam miiiknya. Setelah ia rasa cukup bersih,
sarung hitam itu ia belitkan di pinggang. Kain
selendang yang tertumpuk di kaki tempat tidur ia
selimutkan menutupi mayat mulai dari rambut sampai
ke ujung kaki. Kemudian, duduk diam-diam. Menunggu.
""""""
Pintu rumah sebelah baru terbuka ketika matahari
telah muncul di ufuk timur. Pak Marto adalah orang
pertama yang keluar. Tiba di halaman rumahnya
sendiri ia melihat beberapa orang tetangga, telah
menunggu dengan peralatan masing-masing. Mereka
mengangguk pada orangtua yang beruban itu dengan
wajah menyatakan ikut prihatin.
Sementara tetangga-tetangganya sibuk membuat peti
mati di luar, Pak Marto bergegas masuk ke dalam
rumah. Ruang depan kosong. Juga ruang tengah.
Resah, ia masuk ke kamar tidur. Dan melihat Kurdi
masih menunggui mayat dengan kepala menekuk
setengah mengantuk, dan wajah kian memucat.
Langkah-langkah kaki Pak Marto membuat kantuknya
terenggut. Ia mengangkat wajah, mem andang tuan
rumah. "... kau baik-baik saja, Nak Kurdi"" sapa Pak Marto.
Kurdi manggut-manggut. Pak Marto memandang ke tempat tidur. Lantas
menghela nafas. Lega. "Syukurlah" gumamnya.
"Kenapa"" tanya Kurdi.
Pak Marto mengernyitkan kening. "Kami dengar
jeritan Marni tadi malam."
"Oh ya"" desah Kurdi. Seperti orang bodoh. Dan tak
berdosa. Pak Marto duduk di pinggir tempat tidur. Menatap
selendang yang menutupi wajah mayat.
"Mungkin kami begitu ia benci disaat-saat menjelang
kematiannya," ia mengeluh. "Hingga kami dikejarkejar oleh perasaan bersalah. Ah..." la menarik nafas.
Berat. Dan panjang. "Mengapa aku begitu tolol" Marni
sudah mati. Tak mungkin kami mendengar jeritannya
lagi!" "Bapak mengkhayal!" gumam Kurdi.
"Ya. Ya. Aku mengkhayal. Juga isteriku. D an Parjo."
Wajah orangtua itu tampak kebingungan. "Mungkin...
mungkin juga perasaan bersalah itu yang membuat
isteriku begitu lelah sampai pingsan, dan Parjo
terbiritbirit ke kamar sambil terkencing-kencing...."
"Ah"" Kurdi tersenyum. Kecut.
"Anak malang," desah Pak Marto, seperti pada dirinya
sendiri. "Kasihan Marni. Seharusnya, semua ini tidak
terjadi padanya." "Hem"" Kurdi acuh tak acuh.
Dan Pak Marto tak perduli. la terus berkata-kata
"seperti pada dirinya sendiri. Suaranya penuh dengan
penyesalan. "... ia yatim piatu. Masih termasuk sanak keluargaku
sendiri. Ayahnya terbenam di laut waktu perahu
mereka dilanda topan. Nelayan-nelayan lain pulang
tanpa ikan dan tanpa ayah Marni dan dua orang
nelayan lainnya. Murni masih bayi waktu itu. Dan
masih menyusu ketika ditinggal mati pula oleh ibunya
yang meninggal karena busung lapar. Marni lalu kami
ambil. Kami hidupi ia seperti kami menghidupi anakanak kami sendiri. Tetapi kehidupan di pantai semakin
kering. Ikan-ikan semakin habis. Kapal-kapal besar
milik orang-orang asing merampas kehidupan kami.
Lalu pantai di mana kami lahir dan dibesarkan,
terpaksa kami tinggalkan. Bertahun-tahun kami hidup
ditempat ini. Membesarkan anak-anak kami.
Membesarkan Marni, dengan susah payah..."
Pak Marto menggeleng-gelengkan kepala tiba-tiba.
"Sayang" keluhnya. "Semua itu ternyata sia-sia."
"Sia-sia"" Kurdi berminat.
"He-eh.... Setelah Marni tumbuh jadi perawan belasan
tahun, kecantikan wajah dan kemontokan tubuhnya
telah menarik banyak mata laki-laki. Termasuk Parjo
sendiri..." "Parjo suaminya sebelum Marni meninggal .
Begitukah"" "He-eh. Celakanya Parjo anak kandungku sendiri."
"Lho. Apa salahnya""
"Salahnya"" Wajah Pak Marto berubah merah padam.
"Setelah ibunya meninggal, Marni menyusu pada
isteriku!" "Maksud bapak, Parjo dan Marni satu susu""
Orangtua itu tak menjawab. la menggeram, sehingga
giginya bergemeretakkan. "Terlalu benar. Seharusnya tidak kami beritahu pada
anak-anak itu, bahwa mereka bukan saudara
kandung. Seharusnya kami rahasiakan, sehingga
mereka tidak saling jatuh cinta dan lantas...."
"Lantas"" Kepala Pak Marto menekuk. Lesu. Tetapi suaranya
geram dan marah: "Lantas sementara adik-adik mereka ke sekolah...
sementara isteriku ke sawah dan aku ke hutan untuk
menebang kayu... mereka melakukannya. Terkutuk!
Mereka melakukannya!"
"Zinah"" Pak Marto menoleh ke arah Kurdi, sehingga yang
belakangan ini agak terkejut. Sudut-sudut mata Pak
Marto berkilau oleh butir-butir air. Bibirnya kering
waktu bersungut-sungut: "Adakah kata lain yang lebih nista dari itu""
Kurdi angkat bahu. Pak Marto memalingkan muka. Menahan tangis.
"Yah!" keluhnya. Sakit. "Memang itulah kata yang
tepat. Zinah. Zinah. Zinaah!" la tekapkan telapak
tangan ke wajah, lantas mulai tersedu. "Seharusnya
aku membenci mereka. Mengusir mereka. Melupakan
mereka. Tetapi mereka tetap anak-anakku. Yang
seorang lahir dari darah dagingku sendiri. Yang lain
dibesarkan oleh susu isteriku. Kami terlalu mencintai
mereka. Dan terpaksa menutup mata, ketika
mengetahui apa yang mereka lakukan. Sampai
mereka berdua memaksa untuk kawin...!"
"Wah...!" "Begitulah. Petuah apa pun tak masuk di kepala anakanak bodoh ini. Akhirnya mereka lari ke kota lain.
Menikah diam-diam di sana. Pada keluarga dan
tetangga-tetangga yang bertanya-tanya, kami bilang
saja anak-anak itu mencari hidupnya sendiri-sendiri di
kota. Mereka percaya. Dan kami pun percaya, anakanak kami akan hidup tenang dan tenteram. Biarlah
dosa-dosa mereka kami tanggungkan di neraka.
Tetapi,Tuhan juga yang Maha Kuasa...."
Pak Marto menarik nafas. Letih.
"Kutuk itu menimpa rumahtangga mereka," ia
melanjutkan. "Tiga kali Marni bunting. Tiga kali ia
keguguran. Kali keempat, anak mereka lahir dalam keadaan cacat
dan sudah tak bernyawa. Kehidupan ekonomi mereka
seret. Mereka pindah dari satu rumah kontrakan ke
rumah kontrakan lain, dari satu usaha ke usaha lain,
dari satu kota ke kota lain. Selalu gagal. Gagal. Dan
gagal lagi. Dan kesadaran itu perlahan-lahan datang.
Bahwa mereka se-susu. Mereka seharusnya tidak jadi
suami isteri. Dan Parjo mulai berpaling ke perempuan
lain...." "Mengapa Marni sampai mati di sini"" tanya Kurdi.
"la sadar akan dosanya. Tetapi tidak bisa melepaskan
cintanya. Ketika Parjo dan perempuan itu menikah,
Marni kabur ke mari. Parjo ia tinggali surat di mana ia
katakan ia mengancam akan bunuh diri kalau Parjo
tidak menceraikan perempuan madunya. Marni kami
terima baik-baik, dan satu dua kali usahanya untuk
bunuh diri berhasil kami gagalkan. Nasihat-nasihat
kami masuk juga di hatinya. Tetapi..."
Wajah Pak Marto menggambarkan kesedihan
"bercampur kegembiraan.
"... suatu hari, kami dengar Parjo telah punya anak!"
la geleng-geleng kepala. "Akhirnya aku punya cucu.
Tetapi kegembiraan itu, lenyap begitu saja, karena hal
yang sebaliknya justru terjadi pada Marni. la semakin
susah dan pemurung. la tahu, dengan lahirnya anak
itu, cinta Parjo padanya semakin berkurang.
Perempuan madunya itu ia anggap telah merenggut
segala-galanya dari dirinya. Wajahnya begitu polos.
Sikap-sikapnya begitu wajar. Tak tahunya, jiwanya
begitu hancur. Kami tidak menduga apa-apa ketika
kemarin siang ia menghilang dari rumah tanpa ada
yang mengetahui. Kami sangka ia ke sawah untuk
menemani ibunya membersihkan rumput..."
Langkah-langkah kaki di ruangan itu mengejutkan
keduanya. Parjo telah berdiri di samping Pak Marto.
"Mereka sudah siap, ayah." katanya. Laki-laki itu sama
sekali tidak berani memandang mayat di atas tempat
tidur. Ketika salah seorang tetangga menginterlokalnya
kemarin sore dari kantor polisi desa, ia sedang berada
dalam pelukan isterinya di rumah mertua mereka
yang besar dan mewah. Isteri dan mertuanya telah
memberikan segala-galanya pada Parjo. Pekerjaan,
hidup senang, dan anak laki-laki yang mungil. la tahu
cintanya pada Marni telah redup perlahan-lahan.
Tetapi selama ngebut dengan mobil pulang ke
kampung orangtuanya, ia pun tahu cinta Marni justru
kian berkobar didorong oleh kecemburuan dan sakit
hati. Cinta yang berkobar itu telah merenggut nyawa
Marni. Parjo merasa berdosa. Dosa yang lebih besar
dari dosa yang ia perbuat ketika mulai pertama ia
menyetubuhi adik angkatnya itu.
Masih tanpa memandang ke mayat, Parjo kemudian
bergegas ke luar. Kurdi mendengus. Perlahan. Perlahan pula ia berjalan
ke jendela. Jendela itu berhadapan dengan sebuah
lapangan kosong dan ditumbuhi semak belukar. la
melihat kereta kudanya disana. Melihat anjingnya
yang bertubuh besar dan berkulit hitam legam
berkilat-kilat, meringkuk di samping roda kereta.
Seekor kuda tinggi besar dengan kulit berwarna
coklat kehitaman, tengah merumput dengan rakus,
masih mengenakan tali kekang kuda yang
disimpulkan pada cagak kayu di samping tempat
duduk kereta. Kurdi tersenyum. Binatang-binatang itu tadi malam
tentu telah berpindah sendiri dari halaman depan.
"Kawan-kawanku yang baik," gumamnya. Pelan.
Tetapi anjing itu seperti mendengar. Matanya
memandang tuannya di jendela. BerkiIat-kilat.
Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ekornya berkibas ke kiri ke kanan. Kuda itu juga
mendengar. Ia menoleh ke jendela, dan mendengus
dengan keras. Kurdi tersenyum lagi. Lengan kirinya ia acungkan ke
arah matahari terbit sehingga balutan dari daun
kelapa itu berkilau-kilau bersiram mandi matahari.
Beberapa orang tetangga yang bekerja di samping
rumah, melihat apa yang ia lakukan.
Dengan tenang, Kurdi membuka tali pengikat balutan
lengan kirinya. Luka bekas sayatan di urat nadi lengan
kirinya telah mengatup. Dan waktu luka itu ia
hadapkan langsung ke arah matahari, mulutnya
kumat kamit membaca mantera. Hanya dalam
beberapa detik, luka itu perlahan-lahan sirna, lalu
tidak meninggalkan bekas samasekali.
Seorang yang berdiri di dekat peti mati yang hampir
siap, bergumam heran: "Sedang apa orang itu""
""Entahlah," jawab temannya di sampingnya. "Mungkin
si penunggu mayat sedang berdo'a dengan jimat di
tangan." *** Roda kereta berdetak waktu teramuk ke sebuah batu
tepat di depan pintu pekuburan. Kurdi tersentak dari
kantuk yang membuatnya terangguk-angguk
semenjak tadi di tempat duduk. la menggelengkan
kepala. Sepasang matanya yang sempat bersinar
tajam menembus kegelapan malam. Memandang
berkeliling. Gelap semata. Sepi. Menyentak.
Pandangannya kemudian beradu dengan mata besar
berkilat-kilat dari kepala kudanya yang menoleh ke
belakang. Kurdi tersenyum. "Terima kasih, anak baik," ia
bergumam. Kuda itu mendengus. Senang. Kurdi meloncat turun
dan membiarkan tali les berjuntai menyentuh tanah
berbatu. Seekor anjing besar dan hitam, mendekat
dengan mengibas-ngibaskan ekor, lalu lidahnya yang
lembut kemerahan menjilati betis Kurdi yang
telanjang. "Ala, biyung," sungut Kurdi seraya memandangi anjing
itu. "Aku berani bertaruh, kau tak akan sudi masuk ke
dalam," ia tolehkan kepala ke arah pekuburan. Anjing
itu melolong kecil, kemudian meringkuk di samping
roda kereta. Kurdi memeluk-meluk punggung kuda,
kemudian mengusap moncong anjingnya. "Kalian
akan sabar menunggu, bukan""
Sekali lagi ia memandang berkeliling. Setelah merasa
puas, ia lalu memasuki kompleks pekuburan. Dengan
bantuan sinar rembulan dan cahaya bintang
gumintang melangkah tenang-tenang di jalan tikus
yang dibagian kiri dan kanannya dipenuhi gundukangundukan tanah serta batu-batu nisan. Dibantu
ingatannya ketika ikut mengantarkan jenazah yang
dimakamkan tadi siang. Kurdi kemudian tiba di
tempat yang ia tuju. la pandangi gundukan tanah
yang masih baru dengan nisan yang juga baru,
terbuat dari kayu, tak jauh dari kakinya.
Ada suara berkepak tiba-tiba. Kurdi menoleh. Seekor
kelelawar rupanya terkejut oleh kedatangan Kurdi,
lantas terbang dengan suara ribut dari rimbunan
dedaunan sebuah pohon kemboja yang tumbuh
subur. Burung itu seakan-akan melejit ke langit yang
biru, berputar-putar sebentar di atas tempat Kurdi
berdiri, terbang lagi. Kian tinggi, akhirnya hanya
tampak seperti bintik kecil yang seakan-akan
menerobos masuk ke perut rembulan.
Kurdi menghela nafas. la rogo saku kemejanya yang
lebar, mengeluarkan sesuatu yang kemudian ia
letakkan tepat di depan kayu nisan, di atas gundukan
tanah makam. Bau harum yang semerbak menusuk
hidung Kurdi. Ketika mancis ia nyalakan, tampak
bunga rampai beraneka ragam berserakan di sekitar
pedupaan yang barusan ia letakkan.
Dengan mempergunakan ranting-ranting kering yang
juga ia bawa, ia kemudian menyalakan isi dupa.
Cahaya api membersit-bersit. Kuning kemerahan.
Setelah nyala api itu padam, kini tinggal asap putih
berkebul, meliuk-liuk ditiup angin malam yang dingin
menusuk tulang. Sesaat, Kurdi menggigil. la kencangkan kain syaal
tebal yang membelit di leher lalu dengan nikmat
menghirup asap yang berkebul dari pedupaan.
Perlahan-lahan, kepalanya bergeleng-gele ng. Ke kiri
ke kanan. Lama-lama makin cepat, sementara
tangannya terus membubuhkan serbuk halus ke
pedupaan. Bau menyan yang keras dengan cepat
memenuhi udara di sekitar tempat Kurdi duduk
bersila. Matanya terpejam rapat. Dan bibirnya komat"kamit membaca mantera.
Tak lama kemudian, tubuh Kurdi berguncang-guncang
dengan keras. Butir-butir keringat sebesar jagung
mulai membasahi jidatnya. Mantera yang keluar dari
bibirnya kian keras dan nyaring pula: ".... yaa bardaa, ya guruu, ya Marniii...."
Berulang kali ia membacakan mantera yang sama.
Lalu: "Kudatang. Kudatang. Kudatang!"
Asap menyan membubung semakin banyak. Keringat
di wajahnya semakin membanjir. Tubuhnya
bergoyang-goyang, berguncang-guncang, gemetar
dengan hebat sedangkan kedua lengan yang
menekan di dada jadi kaku dan tegang.
Tiba-tiba ia berhenti membaca mantera.
Mata Kurdi pelan-pelan membuka. Kepala ia
tengadahkan. Menatap langsung ke arah rembulan
yang entah semenjak kapan tau-tau telah
bersembunyi di balik awan putih perak yang
mengapas di langit. Sinar lemah dari balik awan itu
beradu dengan sinar tajam yang terpancar keluar dari
sela kelopak-kelopak mata Kurdi yang tidak berkedip
sekejap pun juga. Lama ia bersikap seperti itu, tanpa
bergeming dari duduknya, tanpa mengerdipkan mata,
bahkan tanpa bernafas sama sekali.
Kulit mukanya mulai kemerahan dan terasa panas.
Uap tipis sedikit demi sedikit keluar dari kuit wajah
Kurdi yang basah oleh peluh, beradu dengan asap
menyan yang juga semakin menipis karena Kurdi
tidak lagi mengisi dupa dengan serbuk baru.
"Huuuuu!" Kurdi tiba-tiba mengeluh dengan suara
seperti menangis. la renggutkan wajahnya dari rembulan, menatap ke
tanah makam, tepat ke kayu nisan. Setelah meludah
tiga kali ke kayu nisan itu, matanya kembali
terpejam. Seketika, tubuh Kurdi kembali terguncang.
Dari mulutnya lepas erang yang tersendat-sendat.
"Bangkitlah! Bangkitlah, demi kepuasan hatimu. Demi
cinta kasihku pada tubuhmu yang telah sempat
menyatu dengan tubuhku. Bangkitlah Marni.
Sempurnakanlah kepenasaran jiwamu yang
melayang-layang di langit kelam, yang terlunta-lunta
di alam baka, yang terkapar di tanah kering...
Bangkitlah, Marni. bangkitlah. Lalu cepatlah kau
kembali. Yaa bardaa. Ya guruuu. Marniiiiii!"
Asap menyan telah habis. Tetapi pedupaan itu kini tak
lagi diam. Dupa kecil itu bergoyang pelan-pelan,
pelan, lalu makin keras, kemudian berguling ke sisi waktu
tanah yang penuh oleh bunga rampai tempat dupa
tadi terletak, mulai rekah, kemudian terbongkar
dengan hebat seperti ada pacul dan sekop-sekop
yang tidak terlihat menggerakkan tanah-tanah
makam itu sehingga berhamburan ke sekitarnya.
Pada waktu rembulan keluar dari balik awan,
sinarnya kembali menerangi bumi, menerangi makam
di depan Kurdi. Kayu nisan terbalik, kemudian jatuh
menganga lebar dan hitam tepat
di tempat mana tadi dupa menyan terletak. Lalu suara mendesah mulai terdengar. Bukan dari
mulut Kurdi yang kini mengatup rapat. Tetapi suara
mendesah itu terdengar keluar dari lubang besar itu,
disusul oleh suara tangis yang pilu menyayat,
tersendat-sendat. Suara seorang perempuan!
Sayup-sayup, terdengar suara anjing melolong.
Jerit lengking dari lubang menganga, seketika
menyentak kesepian malam yang menyelimuti
kompleks pekuburan yang besar dan luas itu. Pada
detik yang sama, sesosok makhluk muncul dari dalam
lubang. Sosok tubuh yang terbungkus kain kafan putih
yang telah dikotori tanah. Kain kafan itu robek di sana
sini pada saat tubuh yang terbungkus di dalamnya
bergerak-gerak dengan hebat. Beberapa saat
berikutnya dari bagian atas kain tersembul keluar
sesosok tubuh yang pucat dengan pelipis yang hancur,
sepasang mata terpentang lebar seakan-akan mau
terloncat keluar dari tahanan sisa-sisa kelopak yang
hancur. Kurdi tidak bergerak di tempatnya. Tubuhnya diam.
Kaku. Dan dingin. Hanya mulutnya yang kumat kamit
membaca mantera. la sama sekali tidak melihat
bagaimana makhluk itu kemudian berjalan menjauh
dari tempat itu, dengan langkah-langkah kaki yang
seperti melayang-layang di atas permukaan tanah.
Makhluk itu pun seperti tidak melihat bahkan tidak
perduli pada Kurdi. Berjalan terus, cepat sekali, makin
lama makin jauh, makin lama makin samar dan tibatiba telah lenyap ditelan kegelapan malam.
Angin keras tiba-tiba bertiup dengan kencang. Kurdi
menggigil. Dari kejauhan, lolongan anjing terdengar kembali.
Halus. Menyayat. Lalu tiba-tiba:
".... guuuk, guuuk, guuuk...!" lolongan itu berubah.
Pelan mula-mula lalu makin keras.
Kurdi membuka matanya, terloncat berdiri pada saat
yang sama. la melihat ke lubang menganga, gemetar
sesaat, lalu memandang berkeliling. Yang tampak
hanya gundukan-gundukan tanah, semak belukar,
batu-batu dan kayu-kayu nisan yang berserakan,
pohon-pohon yang berdiri diam dengan rimbunan
dedaunan menunduk menatap bumi dan... kelap-kelip
lampu petromak dikejauhan.
"Hem!" Kurdi memberengut. Lalu merunduk. Matanya
mencari-cari. Kemudian juga tangannya. Tak lama,
tangan itu telah menggenggam pedupaan. Sekali lagi
ia memandang kekejauhan, ke arah kelap-kelip
petromak itu mendatang. Lalu bergegas ia berjalan di
antara batu-batu nisan, meloncati satu dua dari nisan"nisan itu dan dengan cepat telah tiba di pintu makam.
Kudanya mendengus keras dengan salah satu kaki
belakang berdetak-detak dihentak-hentakkan ke
tanah berbatu-batu. Anjing yang tadi meringkuk di
samping roda kereta, menyambut Kurdi di pintu
makam dengan ekor berkibas-kibas tak sabar.
Kurdi menyambar tali les. Tanpa menaiki kereta, ia
menarik tali les itu hati-hati. Kudanya maklum, lalu
berjalan di atas keempat kakinya hampir-hampir
tanpa menimbulkan suara. Roda kereta berputar.
Pelan. Dan anjing itu tak lagi melolong waktu mereka
telah bersembunyi dibalik pepohonan dan semak
belukar yang memenuhi pinggir jalan yang
berseberangan dengan kompleks pemakaman.
Cahaya petromak itu menerangi beberapa sosok
tubuh yang berjalan dengan rapat satu sama lainnya.
Waktu akan memasuki makam, Kurdi mengenal
orang yang berjalan paling depan. la adalah Pak
Marto, yang mendampingi isterinya seraya memeluk
pinggang perempuan itu. Suami isteri yang sudah tua
itu ditemani oleh beberapa orang tetangga dan salah
seorang anak mereka. Lamat-lamat telinga Kurdi menangkap suara tangis si
perempuan yang tersendat-sendat. Lalu suara Pak
Marto yang kesal: "Sudah. Hentikanlah tangismu. Kita telah tiba di
makam..." Justru sesenggukan perempuan itu kian menjadi.
Suaranya kering dan putus asa waktu mengeluh:
"... biarkan aku, pak. Biarkan aku...."
"Wah, kau bikin suasana duka cita jadi kacau.
Tidakkah kau ingin menghormati...."
"Pak! Justru... justru karena aku ingin menghormati
roh Marni, maka kuminta kalian menemaniku ke sini
malam ini. Oh, Pak. Aku mencintai Marni seperti aku
mencintai anak-anak kita yang lainnya. Ia anak baik.
Tetapi bernasib malang..." suara itu kian sayup
setelah sosok-sosok tubuh mereka berjalan di antara batubatu nisan, menimbulkan bayangan-bayangan hitam
memanjang dan menari-nari kian ke mari. Namun
telinga Kurdi yang ditajamkan masih mendengar
keluh kesah si perempuan:
"... aku nyesal, pak. Tak seharusnya anak kita yang
malang itu kita biarkan terbaring sendirian tadi
malam!" "Wah! la kan ditemani Nak Kurdi..."
"Penunggu jenazah itu bukan sanak saudara kita.
Bukan sanak saudara Marni. Pak, aku... oh, pak.
Percayalah, firasat aneh sepanjang hari ini membuat
perasaanku tak enak. Tidakkah kau pernah
memikirkan, dosa-dosa yang telah diperbuat Marni
mungkin membuat rohnya tak diterima oleh bumi"
Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tidakkah..." "Hem!" Ditempat persembunyiannya, Kurdi
mendengus. "Celaka. Apa maunya orang tua itu"
Menemani anaknya tidur di kuburan""
Sambil bersungut-sungut, Kurdi menarik tali les kuda,
kembali ke jalan dan menjauh dari tempat itu.
Setelah merasa aman, ia kemudian naik ke tempat
duduk. Kuda itu berjalan cepat di atas jalanan yang
tak lagi berbatu-batu. Anjingnya berlari-lari mengikuti
dengan lidah terjulur-julur dan ludah berlendir
menetes satu persatu, berpencaran ditiup angin
sebelum jatuh membasahi tanah yang lembab oleh
embun. Dan..., Kurdi menghentikan kereta kudanya waktu
jeritan itu terdengar. Jauh sekali. Tetapi Kurdi bisa mengenal suaranya. Dan malah bisa
"membayangkan, bagaimana ibu Marni yang malang,
jatuh pingsan dalam pelukan suaminya. Bahkan,
mungkin bersama-sama dengan Pak Marto sendiri.
Kurdi tengadah. Menatap rembulan, yang kembali
bersembunyi di balik awan. Lalu, dengan sekali pecut
yang tak terlalu keras, kuda di depan tempat
duduknya berjalan semakin cepat menembus malam yang pekat di
antara pohon-pohon raksasa di kiri kanan jalan...
*** Hartati berbaring gelisah di tempat tidurnya. Bayinya
baru saja tidur di box, setelah menyusu. Entah
mengapa, Hartati lebih senang andaikata bayi itu
tidak tidur saja. Biarlah tangisnya memekakkan
telinga, asal Hartati tidak kesepian. Ah. Seharusnya ia tidur di
rumah orang tuanya saja. Akan tetapi, waktu akan
pulang ke kampung malam kemarin, Parjo sudah
mengatakan bahwa ia akan kembali malam ini
langsung ke rumah mereka. la tak akan lama di
kampung untuk menghadiri pemakaman adiknya
yang bernama Ningsih Sumarni itu. Katanya ia akan
pulang malam ini juga. Tak kuat lama berpisah
dengan Hartati. Apalagi dengan bayi mereka.
Baiklah. Hartati bisa memaklumi perasaan suaminya.
Lebih-lebih setelah Parjo menegaskan dengan katakata:
"Lagipula, Tati, aku tak ingin nantinya suasana
berkabung yang kubawa dari kampung, ikut
mengganggu ketenangan keluargamu."
Kalau memang hanya sekedar itu, memang benar.
Tetapi patutkah Parjo menolak keinginan keluarga
Hartati, agar ada salah seorang diantara mereka, yang
ikut ke kampung untuk menemani Parjo" Hartati
sendiri betapa ingin. la belum pernah bertemu dengan
keluarga suaminya, demikian pula kedua orangtua
Hartati, selama ini, mereka terpaksa menyerah pada
kemauan Parjo. Karena perkawinan laki-laki itu
dengan Hartati tanpa setahu kedua orangtuanya.
Konon, Parjo telah dicalonkan dengan salah seorang
anak famili, dan orang-tua Parjo berulangkali
menekankan agar pilihan Parjo tidak jatuh pada
perempuan lain. Bahkan, persiapan untuk perbesanan
itu telah lama, tinggal menunggu Parjo memberikan
lampu hijau saja. "Selama ini kuulur-ulur waktu saja. Aku tidak setuju
dan tidak mencintai sama sekali calon orangtuaku itu.
Dengan alasan aku belum punya pekerjaan dengan
penghasilan yang bisa menghidupi rumah-tanggaku,
orangtuaku dan besan mereka terpaksa mengalah.
Jadi bisa kau bayangkan bagaimana murkanya
mereka kalau tahu pilihanku telah jatuh pada
perempuan lain," demikian Parjo pernah menjelaskan.
"Lantas, kapan aku kau perkenalkan pada orangtuamu"" tanya Hartati.
"Tunggulah. Semurka-murkanya orang tua, kalau
sudah disodorin cucu, toh akan menyerah juga."
Dan kini, Parjo dan Hartati telah punya bayi. Orangtua laki-laki itu telah punya cucu. Tinggal menunggu
waktu saja. Sampai kesehatan Hartati pulih setelah
melahirkan. Dan bayi mereka cukup kuat, mereka
rencanakan akan berangkat bersama-sama ke
kampung ditemani oleh kedua orangtua Hartati,
bahkan dengan beberapa sanak keluarga lain. Biar
ramai. Biar orangtua Parjo tidak sempat marah dan
bikin ribut sehingga malu sendiri di hadapan sekian
banyak tamu. Yang telah jadi besannya pula lagi. Dan
telah membawa kado yang paling menarik, hadiah
yang tiada duanya dan anak seiring mereka: seorang
cucu yang mungil dan manis seperti ibunya, tetapi tak
seperti ayahnya! "Hartati tersenyum kecut...
Memandang ke box, ia lihat bayinya tertidur dengan
lelap. Betapa nikmat. Makhluk kecil yang polos itu, tidak
tahu apa harus dihadapi orangtuanya. Tidak tahu, apa
yang membuat ibunya malam ini begitu gelisah.
Hartati sendiri memang tidak tahu juga. Mengapa"
Kecewa" Karena sebelum rencana untuk beranjangsana tercapai, telah terjadi musibah yang memilukan
itu" Demikian memliukan, sehingga waktu menerima
interlokal dari kampung, Parjo sampai sempat pingsan
dengan butir-butir air melelehi sudut-sudut matanya!
Apakah arti Nengsih Sumarni buat Parjo" Sekedar
adik" Tetapi Parjo pernah menceritakan, Nengsih atau
Marni itu adalah adik angkat. Pertalian itu tidak wajar.
Tampaknya kalau dihubung-hubungkan dengan
suasana ganjil yang berlangsung selama perkawinan
mereka. Parjo yang suka mengigau waktu tidur.
Menyebut-nyebut nama adiknya, Marni, disertai katakata "kasih" atau "sayang". Yang bila ditanya Hartati
setelah suaminya terbangun, dijawab Parjo dengan
tandas: "Ia anak malang. Ditinggal mati kedua orangtuanya.
Wajar toh kalau tidak saja orangtuaku, tetapi aku
juga mengasihi dan menyayangi Marni""
Demikian merasa wajarnya Parjo, sampai kadangkadang diwaktu mereka berada di meja makan dan
Hartati menghidangkan sesuatu, Parjo tiba-tiba
nyeletuk: "Wah, sayur asam itu kesukaan Marni." Atau, waktu
terbangun karena impian buruk di tengah malam,
Parjo menyentuh pundak Hartati seraya berbisik:
"Marni, Marni sayang. Aku melihat kita...."
Betapa kasihnya Parjo pada Marni. Dan betapa
sakitnya hati Hartati! Suara berderit dari box menyadarkan Hartati dari
lamunannya. Ia menoleh. Melihat bayinya menggeliat,
dan tiba-tiba menangis. Hartati bangkit cepat-cepat
dari tempat tidur. Berjalan ke box, menepuk-nepuk
paha bayi itu dengan lembut dan penuh kasih,
mengusap-usap wajahnya dengan rasa cinta. Tetapi
sang bayi terus menangis. Malah semakin keras.
Kedua kaki dan kedua tangannya menyentaknyentak. Waktu Hartati mengangkatnya, ia lihat kain
lapis kasur box, basah kuyup, dan juga merasakan hal
yang sama di popok anaknya.
"Hussy, pipis saja kok ribut banget!" celetuk Hartati.
la merasa agak tenang setelah memangku bayinya.
Cepat-cepat popok anak itu ia ganti. Meskipun ia ingin
kesepian malam itu diisi oleh tangis anaknya, toh
akhirnya ia tidak sampai hati. la susui juga bayi itu.
Untuk tidak sampai resah sendiri, bayi tidak ia
tidurkan kembali di box, melainkan diatas tempat
tidurnya sendiri. Setelah merasa mulutnya menempel
di puting susu ibunya, sang bayi rupanya merasa
nyaman dan enak, lantas tertidur kembali.
Hartati melepaskan mulut bayi dari puting susu. Lalu
merebahkannya di sampingnya. Ia pandangi bayi itu
berlama-lama. Dan sekali, tercetus tanya dari mulut:
"Sungguh-sungguhkah ayahmu mencintaiku, nak""
Habis berkata begitu, mata Hartati terasa perih. la
memejamkannya. Dan kegelisahan itu kembali
menerpa. Ia coba memejamkan mata. Gagal. Melirik
ke jam antik yang terletak di atas bullot kamar, ia
lihat jam sudah menunjukkan pukul dua lewat tengah
malam. Mengapa Parjo belum kembali" Apakah ia
mengalami sesuatu di jalan" Atau... ya. Barangkali, kematian adik angkatnya
yang bernama Nengsih Sumarni "terkasih" dan
"tersangyang" itu membuat Parjo betah tinggal di
kampung, dan lupa kata-katanya sendiri bahwa ia
tidak bisa berjauhan lama-lama dengan isteri dan
anaknya. Sekujur tubuh Hartati tiba-tiba terasa dingin.
"Hem," ia bergumam sendirian. "Kalau ia tak pulang
malam ini, baiklah. Aku akan nekad menyusulnya
besok. Kalau perlu, anaknya akan kubawa serta. Biar
dia sadar dan...." Dan kecemburuan melecut-lecut hatinya dengan
cepat. Tetapi, bukankah Marni itu adik Parjo" Mengapa ia
harus cemburu" Mengapa Hartati harus didera oleh
prasangka buruk dan takut yang tidak beralasan"
Hartati mengerang sendiri. Hatinya teramat sakit.
Sakit sekali. Celakanya, matanya tidak juga mau
terpejam. Kesal. ia duduk mencangkung di tempat
tidur. Berpikir keras. Dan tiba-tiba tersenyum. Dan
berbisik pada dirinya sendiri. "Bodohnya aku ini. Tentu
saja aku tidak bisa tidur. Bukankah aku harus
membukakan pintu untuk Parjo""
Persis ia habis berkata begitu, terdengar ketukanketukan halus di pintu depan.
Hartati terkejut karena ketukan itu begitu tiba-tiba.
"Parjo!" bisiknya kemudian, lantas meluncur cepatcepat dari tempat tidur, berjalan ke luar kamar dan
bergegas ke ruang depan. Sebelum membuka pintu,
terlebih dahulu ia menekan tombol lampu. Tetapi ia
salah pijit. Yang tertekan adalah tombol lampu ruang
depan di mana ia berada sehingga jadi terang
benderang seketika. Padahal yang ia maksud adalah
menerangi terras di luar. Tetapi apa perdulinya" Yang
penting Parjo telah pulang. Lampu tak akan jadi
persoalan! Ketukan itu tak terdengar lagi.
Sesaat, Hartati ragu. Jangan-jangan, tadi ia salah
dengar. Bukankah kalau pulang ke rumah, selain
mengetuk pintu Parjo selalu memanggil-manggil
"namanya" Barusan, ketukan itu begitu halus, tidak keras seperti
biasa. Tiada suara memanggil. Dan ketukan itu
sendiri, tidak berulang lagi. Atau, memang tidak ada ketukan
sama sekali. "Ah, mungkin suamiku teramat lelah, dan lupa
kebiasaannya..." pikir Hartati.
Pada saat itu, kecemburuan yang tidak beralasan dan
kerinduan yang teramat sangat pada suami, telah
membuat Hartati lupa akan keselamatan dirinya
sendiri. la yakin suaminya telah kembali. la yakin
Parjo yang mengetuk pintu. Dan ia merasa kasihan,
tentulah Parjo teramat lelah sehingga kini hanya
tersandar diam di bendul bagian luar dengan tubuh
lesu, lelah dan kedinginan. Tak ayal lagi, kletak! Kunci
diputarkan. Lalu, brai! Pintu ia buka. Angin dingin menerobos masuk ke dalam. Dingin
sekali. Hartati menggigil. Dan keberaniannya ciut seketika,
waktu ia tidak melihat siapapun di depan pintu,
kecuali sinar lampu yang menerobos keluar
menerangi terras, menjilati vas dan bunga kaktus, lalu
kerikil-kerikil putih kekuningan. Selebihnya, gelap
semata. Gelap gulita. Tidak. Bukan saja kegelapan.
Tetapi juga angin yang teramat dingin itu, menitipkan
semacam bau tak enak. Mula-mula hanya sedikit.
Tetapi setelah ia hirup bau tak enak itu lebih banyak,
perutnya terasa mulas. la mencium bau busuk. Bau
bangkai! Dan sesosok bayangan tau-tau telah berdiri
dihadapannya. Bayangan itu menyeringai. Di mulutnya
yang rusak, dan disepasang mata yang terpentang
lebar, tanpa kelopak, serta pelipis yang hancur....
*** Parjo membelokkan mobil memasuki pekarangan
rumahnya dengan suara ban berdecit nyaring dan
kerikil yang ribut waktu mobil itu berhenti tepat di
depan teras. Sejak ngebut dari kampung selama berjam-jam, Parjo
dihinggapi perasaan ganjil yang tidak menentu.
Kehilangan Marni yang tidak ia sangka-sangka seakan
telah merenggut sebagian jiwanya. Tetapi kematian
adik angkat yang sempat hidup sebagai suami isteri
dengannya, yang begitu mengerikan, membuat Parjo
tidak saja tak sanggup melihat mayat Marni, akan
terapi juga tidak kuat berlama-lama di kampung.
Segera setelah pemakaman selesai, ia langsung
mengebut mobilnya pulang ke kota. Semakin dekat
ke rumah, semakin cepat mobil ia larikan.
Dan anehnya, justru perasaan ganjil itu kian menggila.
Mesin mobil sudah ia matikan. Tetapi lampu depan,
masih ia nyalakan. Lampu mobil yang terang
benderang itu, menangkap sesosok bayangan tubuh
langsing dan padat dengan lekak liku tubuh yang
menggiurkan terbayang di balik kimono tidur yang
tipis, tengah berdiri tegak di ambang pintu.
Parjo berusaha menekan perasaan ganjil yang
menghantuinya semenjak dari kampung, lantas
mematikan lampu dan keluar dari mobil. Lalu berjalan
di atas kerikil dengan suara ribut yang diti mbulkan
oleh sepatunya. Angin malam yang dingin membuat
Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kulit wajah Parjo terasa kaku. la melangkah ke teras,
berjalan ke arah sosok tubuh itu yang masih tetap
berdiri di tempatnya. Terpaku diam, dengan wajah
pucat pasi, dan sepasang mata memandang jauh ke
depan. Teramat jauh. Melewati bahu Parjo, melewati
mobil di depan, melewati pekarangan, melewati
pagar halaman, melewati jalan raya yang sepi,
bahkan seperti melewati kegelapan yang tidak
"bertepi.... Parjo tercengang. la sentuh lengan perempuan itu.
"Tati"" Tak ada sahutan. Bingung, Parjo kemudian menepuk-nepuk pipi Hartati.
Dari menepuk, lantas memeluk. Sambil memeluk,
juga mencium. Barulah kemudian ia merasakan
gerakan pada tubuh si perempuan. Ia harapkan,
gerakan itu adalah gerakan kerinduan. Lengan-lengan
halus mulus yang balas memeluk, dan bibir hangat
berapi yang balas memagut.
Tetapi, yang diperoleh Parjo adalah apa yang sama
sekali tidak ia duga. "Plak!" Sebuah tamparan deras hinggap di pipi Parjo.
Hartati meronta dari pelukan sang suami, dan sambil
menjauh mulutnya melepas cerca:
"Jadah!" "Tati!" Parjo terkejut dan bengong. Ia cepat-cepat
masuk, menutupkan pintu lalu berjalan mendekati
isterinya dengan pikiran bahwa Hartati hanya
bersandiwara, sedang mengajak guyon.
Baru juga selangkah, Hartati
sudah berdesis: "Jadah. Diam di situ. Jangan sentuh aku, laki-laki
berjiwa kotor!" "Heh...." "Apa" Mau merayu" Terkutuk! Pencinta yang palsu
dan menjijikkan! Setelah puas mencicipi tubuhku, kau
lari ke perempuan lain!" perempuan itu mendengus.
Parjo menyadari sesuatu di antara rasa kejut dan
panik yang menyerangnya tiba-tiba. Sesuatu yang
membuat darahnya tiba-tiba dingin. Matanya melihat
tubuh Hartati, namun telinganya menangkap suara Nengsih Sumarni!
Belum juga ia bisa mempercayai penglihatan dan
pendengarannya, tau-tau perempuan itu telah berlari
masuk ke kamar tidur. Waktu keluar, bayi mereka
telah berada di tangan Hartati. Bayi itu terpekik dan
menangis keras karena dibangunkan dengan kasar
dan secara paksa. "Gumpalan daging dan darah kotor inikah yang
mengguna-gunaimu, eh"" jerit si perempuan seraya
mengangkat bayi itu tinggi-tinggi.
Parjo terkesiap. "Jangan sakiti anak itu!" teriaknya,
lalu meloncat ke depan. la berusaha menyambar bayi dari
tangan Hartati, akan tetapi isterinya berkelit dengan
cepat, sambil menjauh, si perempuan tertawa
mengikik, membuat bulu roma di pundak Parjo pada
berdiri. Sesaat ia kehilangan keseimbangan badan,
tetapi waktu melihat bagaimana
Hartati kembali mengangkat bayi yang menangis
menjerit-jerit itu tinggi-tinggi lalu siap untuk
dihempaskan ke lantai, maka Parjo menjadi nekad.
Seraya menerjang, ia tendang salah satu lutut si perempuan.
Hartati terpekik kesakitan.
"Jadah! Jadah! Kau menyiksaku!" ia memaki-maki.
Badannya agak lunglai oleh tendangan itu sehingga
waktu Parjo mengembangkan kedua lengan ke
depan, Hartati tidak sempat lagi mempertahankan
anak yang ia pegang. Parjo telah merenggutnya
seketika, memeluk dan mendekapkannya ke dada
seraya membujuk sang bayi dengan kata-kata manis
dan penuh kasih sayang. Akan tetapi tangis si bayi tidak juga reda. Kulit bayi
itu pucat, dan anggota-anggota tubuhnya melejatlejat keras. Dengan panik Parjo terus membujuknya.
la samasekali tidak memperhatikan bagaimana
Hartati telah berdiri tegak kembali.
Dengan seringai lebar di mulutnya, si perempuan
"mengumpat: "Berikan dia padaku, Parjo. Ia anakku!"
Parjo tak perduli. "Berikan padaku, Parjo. Berikan..." suara si perempuan
melemah kini. Suara yang letih, suara yang minta
dibelas-kasihani. Suaranya yang asli. Parjo
memperhatikan isterinya, ragu-ragu sebentar lalu
kemudian menyodorkan si bayi untuk diambil kembali
oleh Hartati. Si perempuan maju dengan wajah masih
memelas. Namun begitu jari-jarinya menyentuh tubuh
anak itu, seketika seringai di mulutnya melemparkan
bayangan muak yang mengerikan. la cengkeram
salah satu kaki bayi itu, berusaha menariknya, dan
diantara tawanya yang mengikik ia menjerit:
"Lepaskan! Biar kubunuh dia. Lepaskan, Parjo.
Lepaskan!" Parjo tersentak mundur. Malang, salah satu kaki sang bayi masih dibetot oleh
isterinya. Anak itu menjerit lengking oleh siksaan
yang teramat sangat itu. Jeritannya menggugah hati
Parjo sebagai lelaki. Sebagai seorang ayah yang
memiliki naluri untuk membela darah dagingnya.
"Perempuan tak tahu diri!" la bersungut. Bersamaan
dengan itu, kakinya menendang sekali lagi. Pegangan
Hartati mengendur. Parjo menendang sekali lagi.
Pegangan itu lepas kini. Parjo berharap si perempuan
meringkuk atau menjauh kesakitan sehingga ia bisa
berlari ke kamar untuk menyelamatkan si bayi dari
amukan ibunya yang bertingkah laku aneh itu.
Tetapi Hartati masih berdiri tegak di atas kedua
kakinya dengan seringai yang semakin mengerikan di
mulut. Sepasang matanya merah berapi-api. Dengan
kaki terpincang-pincang akibat kena tendang, ia
merangsek ke depan. Kedua lengan terjulur
memperlihatkan jari jemarinya yang dalam keadaan
lain lentik dan manis akan tetapi saat itu di mata
Parjo tampak bagai cakar kera dengan kuku-kuku
panjang yang mengancam. Dalam keadaan panik oleh perubahan yang aneh
pada tingkah laku isterinya, Parjo masih punya
kesadaran untuk berusaha tenang. Sambil mundur
perlahan-lahan menuju ke kamar, ia mencoba
tersenyum. Kaku memang, tetapi bagaimanapun ia
harus tersenyum. "Tati, ada apa dengan kau""
"Hhheeegghhh....!" geram si perempuan.
"Tati, dengarlah. Kau tak sadar dengan apa yang kau
perbuat, bukan""
"Hiii!" "Hartati, sayangku kau...."
"Sayangku! Sayang nenek moyangmu, babi terkutuk!"
jerit si perempuan begitu mendengar ucapan yang
lemah lembut dan penuh rasa sayang keluar dari
mulut Parjo. Seluruh tubuh perempuan itu gemetar
dengan hebat. Peluh tidak saja telah membanjiri
wajahnya, akan tetapi juga menguyupi kimono tidur
yang ia kenakan. Lekak lekuk tubuh yang
menggairahkan terlebih-lebih karena baru melahirkan
anak pertama itu samasekali tidak lagi menarik di
mata Parjo. Perempuan itu tak ubahnya makhluk
yang menteror diri dan bermaksud menciderai bahkan
ingin membunuh anaknya. Anaknya. Darah dagingnya
sendiri! Dalam hati, ia berbisik dengan perasaan ciut: "Kau
kesurupan, sayangku. Kau dimasuki setan... setannya
Nengsih Sumarni." Tiba pada pikiran itu, rasa takut menggerogoti jiwa
Parjo. "Tidaaaak!" ia berteriak. "Kau adalah Hartati. Kau
adalah isteriku. Kau adalah ibu anak ini. Dengar" lni
anakmu, Tati. Ini anakmu. Ingatlah! Ingatlah, Tati ini
anakmu!" "Yiiiieeeee!" Si perempuan memekik lengking lantas
menerkam ke depan. "Reflex saja, Parjo menghindar. Gerakan tubuh si
perempuan demikian keras dan cepat, sehingga
waktu Parjo mengelak, tak ayal lagi Hartati doyong
ke depan, meluncur ke tembok. Terdengar suara
berdebuk yang lembab dan keras, disusul oleh
keluhan lirih, suara tubuh terjerembab jatuh ke lantai.
Dengan dahi remuk oleh hantaman tembok,
perempuan itu masih berusaha berdiri. Darah merah
mengalir dari luka menganga di dahinya, menetes
membasahi kelopak dan membuat bola matanya
semakin menyala-nyala. Parjo menelan ludah. la terpukau diam di tempatnya
berdiri. la ingin lari. Tetapi kakinya bagai terpacak ke
lantai. Ia ingin menjerit minta tolong. Tetapi lidahnya
kelu membatu. Akhirnya, dengan tangan gemetar memeluk bayinya
yang tiba-tiba terdiam dengan tanpa sesuatu sebab,
ia memasrahkan dirinya pada Tuhan. Apapun yang akan
terjadi, ia tampaknya tidak bisa lagi mengelak. la
ingin mencubit pipinya keras-keras untuk meyakinkan
bahwa semua ini hanya impian buruk belaka.
Tetapi tidak saja ia tak ingin melepaskan pelukannya
yang kencang pada tubuh anaknya yang sudah diam
tak bergerak-gerak lagi, akan tetapi juga, karena ia
samasekali tidak bisa menggerakkan apa pun lagi dari
anggota-anggota tubuhnya. Bahkan, bernafas pun
Parjo seperti tidak mampu.
Lalu: "Parjo..." suara Hartati yang memelas, menyentuh
tekak telinganya. Parjo tergugah. "Apa yang terjadi denganku Parjo" Apa, sayangku"
Aku... aku..." tubuh si perempuan lunglai. la berlutut
di lantai, dengan darah yang semakin banyak menetes
memerahi wajahnya, memerahi kimononya,
memerahi ubin. "Parjo. Mendekatlah kemari, suamiku.
lni aku. Hartati! Demi Tuhan. Parjo, ini aku. Hartati.
Mengapa kau memandangku seperti itu...""
Perlahan-lahan kesadaran Parjo muncul kembali.
"Tati..." bisiknya.
"Kemarilah, Parjo. Tolonglah aku."
Parjo melangkah. Berusaha melangkah. Dan ia
berhasil. Satu. Dua. Tiga. Dan ia kini berdiri di depan
isterinya yang masih berlutut di lantai. Pandangan
mata si perempuan sangat memelas. Begitu putus
asa. Begitu kebingungan, seolah-olah rasa sakit yang
tengah ia derita, samasekali tidak ia rasakan. Tangan
si perempuan terangkat. Lemah. Dan gemetar. Pucat.
Jari jemarinya lentik dan lembut. Tak berdaya.
Berusaha membelai paha suaminya, dan berusaha
mendekapnya. Parjo ikut berjongkok. Mereka bertatapan sesaat. Kemudian, pada waktu
yang bersamaan, menatap pula bayi dalam pelukan
Parjo. Anak itu diam. Tiada gerakan sama sekali.
Lengan-lengannya terkulai. Kaki-kakinya terkulai.
Wajahnya masih menekap di dada Parjo. Menekap
rapat, sedari tadi. Demikian rapat, sehingga anak itu
tidak bisa bernafas sama sekali. Seketika, darah Parjo
tersirap. la kembangkan kedua lengannya. Seolaholah ia ingin menempatkan bayi itu di antara dia
dengan isterinya. Untuk mereka bujuk bersama.
Untuk mereka kasihi bersama.
Namun yang keluar dari mulut Parjo, bukan bujukan
sayang. Melainkan: "... mati!" Hartati tengadah. Menatap tajam ke mata suaminya.
"Ya"" suaranya hilang-hilang timbul.
"Anak kita telah mati. Mati oleh tanganku sendiri!"
"Wajah Hartati yang letih dan pucat, mengapas kini.
"Tidak..." desahnya. Lalu: "Tidaaaaak!" jeritnya. Ia
sambar anak itu. la perhatikan dengan sepasang mata
terpentang lebar. Memandang tidak percaya. Mulutnya
menceracau panik: "Anakku, bangunlah. Bangunlah,
nak... ini ayahmu. lni ayahmu, anakku. la telah
pulang. la telah kembali padaku, padamu, pada kita... Anakku,
mengapa kau tak menjawab" Mengapa"
Mengapaaa"" la goncang-goncangkan tubuh bayi yang masih
hangat di tangannya. Diam. Tetap diam. Jangankan
bergerak. Tangis pun tidak. Nafaspun tak lagi terhela.
Parjo berdiri. lni hanya impian buruk, bukan" Tanyanya pada diri
sendiri. Katakanlah. lni hanya impian buruk, bukan"
Hartati mengerang. "Tidak. Tidak mungkin," lalu,
belakang kepalanya ia bentur-benturkan ke tembok.
la benturkan berulang kali, sambil menangis terisakisak. Setelah puas membenturkan kepala ke tembok,
ia peluk bayinya rapat-rapat. Ke dada. Kancing atas
kimononya dibuka. Dadanya segera tersembul keluar.
Keras dan kencang. "Ini, nak. Menyusu-lah. Hayo, jangan menangis lagi
ya. lni, ayo, menyusu-lah..." lantas seraya memaksakan
puting payudaranya masuk ke dalam mulut mayat
bayi itu, ia tertawa. Tertawa terkekeh-kek eh. Habis
tertawa, ia menangis. Puas menangis, ia tertawa.
Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Makin lama, suaranya makin lemah. Makin lama,
tubuhnya makin lemah. Akhirnya, tubuh perempuan
malang itu lunglai. Terjerembab di lantai. Pingsan.
Sekujur tubuh Parjo dingin. Dingin. Teramat dingin.
Lehernya menekuk. Memandang ke bawah. Ke tubuh
isterinya. Ke tubuh anaknya.
Sepi menyentak. Lama. Lalu lagi: "Parjo"" Tubuh isterinya terdiam. Masih bernafas. Akan tetapi,
mulutnya mengatup. "Kang Parjo"" desah itu terdengar lagi. Lirih. Sayupsayup. "Aku di sini, kekasih."
Pelan-pelan Parjo memutar tubuh.
Dan ia melihatnya. "Nengsih...." "Aku bukan adikmu. Aku kekasihmu...."
"Marni...." "Nah, begitu. Aku lebih menyukai kau memanggilku
dengan nama itu. Sekarang, marilah kita tinggalkan
tempat ini, sayangku...."
"Tetapi... tetapi...."
"Mengapa heran" Aku toh selalu menyimpan pakaian
pengantin yang selalu kukenakan pada malam-malam
pertama kita hidup serumah dulu... apakah aku masih
tetap cantik, Parjo""
Perempuan itu berputar-putar. Perlahan sekali
gerakannya, seperti digerakkan oleh gemulainya
angin. Pakaian pengantinnya yang putih gemerlapan,
berkibar lembut kian ke mari. Tubuhnya penuh daya
pesona. Wajahnya yang cantik, tampak amat
cemerlang. Dan sinar ajaib mengelilingi dirinya. Sinar
cinta. Sinar kasih. Parjo menelan ludah. Kekuatan gaib
menarik dirinya untuk mendekati perempuan itu,
berusaha memeluknya. Akan tetapi Marni mundur ke pintu. Parjo tertegun.
Disana, ia menoleh ke belakang. Ia berada antara
sadar dan tidak. la dipengaruhi kemunculan Nengsih
Sumarni. la justru juga melihat, Hartati dan anaknya.
Terbaring diam di lantai.
"Sudahlah, Kang Parjo. Anak itu lebih baik mati,
"daripada hidup terlunta-lunta. Bukankah kita tidak
diperkenankan punya anak selama ini" Biarkan ia,
sayangku. Biarkan ia tidur tenang dan abadi..."
Mata Parjo terpantul ke tubuh Hartati.
"Ah. Kau masih sayang padanya" Jangan
membuatnya cemburu dan kembali sakit hati,
kekasih. Hartati masih hidup. Sayang. la berlaku
bodoh. Syaraf mata dan otaknya rusak. la tidak akan
melihat apa-apa lagi, bila ia sadar. Ia tidak ingat apaapa lagi, bila kesehatannya pulih. la akan
melupakanmu. Melupakan anaknya. Sudahlah, mari
kita tinggalkan tempat terkutuk ini...."
Parjo menoleh ke arah bayangan putih cemerlang di
antara kegelapan itu. "Kau memasuki jasadnya tadi, Marni""
Nengsih Sumarni tersenyum. Lembut sekali. "Aku
hanya meminjamnya sebentar," jawabnya.
Parjo menelan ludah. "Kudengar. Suaramu tadi..."
"Sudah kubilang, aku meminjamnya sebentar. Sayang,
Hartati tak begitu kuat. Aku berhasil menguasainya,
pada saat pertama kali berpandang mata di sini.
Diambang pintu ini. Ia menunggumu waktu itu.
Mengira kau yang pulang dan...."
"Dan kau mendahului aku!"
"Salahkah aku, sayangku"" senyum di bibir merah
merekah itu mengembang. Parjo menarik nafas. Salah, jerit hatinya dengan nyeri.
"Kemana aku akan kau bawa"" tanyanya.
"Kemana" Jauh, sayangku. Jauh. Ke tempat dimana,
kita hanya hidup berdua. Ke tempat di mana, cinta
kita akan abadi selamanya. Tidak ada orang yang
akan melarang kita untuk memadu kasih. Tidak ada
orang yang akan mengurut dada, karena ingat kau dan aku
satu susu, dari seorang ibu.... O, tidakkah semua ini
begitu menyakitkan, Parjo" Tidakkah"" suaranya
berubah kecewa. "Kau lari ke perempuan lain. Aku tak
mampu berpisah denganmu. Tak sanggup melihat kau
dalam dekapan perempuan itu. Lalu aku pergi ke rel
itu. Sudah kau dengar ceritanya, bukan" Sesaat, aku
masih ragu-ragu. Dan ketika kereta api itu datang,
aku tidak terjun ke depan, tetapi juga tidak mau
mundur. Maka aku disambar oleh moncong lokomotip
yang mengerikan itu, dan... dan...."
Sepasang mata perempuan yang masih berputar
melayang-layang itu, berkilat-kilat.
"Sesuatu yang lebih mengerikan telah menimpaku,
kekasih." "Sesuatu yang lebih mengerikan"" Parjo mengulang,
dan tidak sadar ia terus melangkah menembus
kegelapan subuh di luar rumah.
Sepi dan dingin. Tetapi ia tidak merasakannya. la
hanya melihat bayangan kekasihnya yang
mengenakan pakaian pengantin yang cemerlang itu.
Ia mengikutinya, dan tidak teringat samasekali untuk
bertanya lagi, ke mana mereka akan pergi.
Marni merintih. Sedih. Katanya:
"Laki-laki itu telah menjamah tubuhku."
Kecemburuan meledak di dada Parjo. "Laki-laki" Lakilaki yang mana""
Marni tertawa. Kecut. "Ah. Tak usah kau berprasangka
buruk. Aku hanya mencintai dirimu seorang. Hanya
mau dijamah oleh kau seorang. Tetapi laki-laki itu...
aku tidak sanggup melawan kekuatan dahsyat yang
terpancar dari sorot mata, yang mengalir lewat tetestetes darahnya... Lagipula, aku terpaksa menyerah.
Dengan syarat, ia mau membangkitkan aku kembali
untuk bisa menemuimu dan...."
"Siapa laki-laki itu, Marni""
"Kurdi...." Parjo tertegun. Waktu itu, ia tertegun. Tepat di tengah
jalan besar yang lengang, tak jauh dari sebuah
pengkolan. Ada suara mengguruh dari kejauhan. Lalu
sinar lampu yang samar-samar...
"Maksudmu, si penunggu jenazah"" dengus Parjo.
Marni mengangguk. "Tetapi, kapan, Marni" Bukankah kau belum pernah..."
"Malam itu, kekasih. Malam dimana kau tidak mau
melihat jenazahku. Malam dimana kau justru lari
bersembunyi di rumah lain, meninggalkan aku di
kamar. Sendirian, dengan si penunggu jenazah.
Seharusnya kau melindungiku. la tak akan berani
berlaku tak senonoh, andaikata kau ada di dekatku...."
"Bangsat!" Parjo memaki. "Akan kubunuh binatang
itu!" "Kita, sayangku. Kita akan sama-sama membunuhnya.
Arwah kita harus bersatu. Kutuk yang menimpa diri
kita, akan merupakan kekuatan ampuh yang tidak
akan mampu ia tolak...."
"Arwah" Maksudmu, aku...."
Marni mengikik. Dan sinar lampu itu mulai berputar di pengkolan.
Suara mengguruh itu kian menderu, disertai suara
mendecit-decit lengking. Bunyi ban beradu dengan
aspal oleh tekanan kekuatan berlari yang tidak
dikurangi. Parjo mendengarnya, mengetahui bahaya
yang mengancam. Tetapi sesuatu membuat ia tetap tertegun di
tempatnya berdiri. Sesuatu yang mengerikan.
Perwujudan Nengsih Sumarni yang cantik jelita dalam
pakaian pengantin yang berkibar-kibar cemerlang,
tau-tau saja telah berubah jadi
perwujudan mayat Marni yang rusak, terbungkus kain
kafan yang porak poranda.
"lkutlah denganku sekarang, Parjo!" jerit si
perempuan, lengking, disusul oleh tawa mengikik.
Bayangan makhluk itu lenyap. Dan bayan gan lain
muncul. Sebuah benda besar. Besar dan hitam. Tak
ubahnya makhluk raksasa yang kejam dan tidak
kenal ampun. Parjo menjerit. Bunyi rem, terdengar mendecit-decit.
Terdengar suara benturan keras. Dan sebuah truck
pengangkut kayu, tiba-tiba berhenti setelah lebih dulu
menyeret tubuh Parjo yang luluh lantak sepanjang
beberapa meter.... Seseorang melompat turun dari dalam truck. Berlari ke
belakang, dan melihat mayat yang hancur berlumur
darah itu. "Ada apa"" seru seorang lainnya yang ikut turun.
""Celaka...." bisik orang pertama.
Sebuah pintu dari rumah terdekat, dibuka dengan
tiba-tiba. Ada cahaya lampu menerjang ke arah jalan.
"Wah...." dengus orang pertama yang keluar dari truck,
dengan suara cemas. "Ayo, cepat naik kembali. "
Dan begitu mereka telah berada di tempat duduknya
masing-masing, mesin truck kembali menderum. Dan
makhluk raksasa yang besar dan hitam itu, kabur
dengan kecepatan tinggi...
*** Senja baru saja jatuh. Penduduk kampung seperti
biasanya tengah berkumpul dengan keluarga masingmasing. Pak tani baru saja pulang dari sawah, dengan
pacul terpanggul di bahu. Ternak-ternak telah
bermasukan ke kandang. Warung-warung yang masih
buka telah mulai menyalakan lampu. Dan adzan baru
saja hilang dari mesjid, meninggalkan gaung yang
seolah-olah masih menggema di anak telinga. Jalanan
kampung mulai sepi. Hanya satu dua orang yang
masih lalu lalang, dan sekelompok anak-anak muda
tanggung tengah bercengkerama di dekat balai desa.
Seorang perempuan setengah baya dengan suntil di
mulut dan kemben membelit sebatas dada, berseru
memanggil nama beberapa orang anak-anaknya yang
masih main kelereng di depan rumah tetangga.
Temaram pun turun. Lengang sudah jalan, ketika
kereta berbentuk aneh itu muncul memas uki mulut
desa. Meskipun ditarik seekor kuda, jelas itu bukan
kereta atau andong. Karena tempat duduknya hanya
satu, di depan. Seorang laki-laki setengah umur,
mengenakan kemeja gunting cina dan celana katun
warna hitam sampai batas setengah betis dengan
kaki telanjang, duduk kaku diatasnya. Sebelah
tangannya bersembunyi di balik sarung yang
melingkari punggung sampai perut, untuk menahan
udara senja yang teramat dingin. Sebelah tangannya
yang lain, memegang tali les yang menjuntai
seenaknya. Di depannya, kuda besar berkulit hitam legam itu,
berjalan di atas keempat kakinya tanpa tergesa-gesa.
Dibelakang tempat duduknya, di bak kereta, terbaring
diam sebuah peti empat persegi panjang yang lebar
serta panjangnya hampir sama dengan bak kereta.
Peti itu tertutup. Terbuat dari kayu jati yang peliturnya
telah mulai luntur di sana-sini, sehingga tampak kesat
dan kusam. Roda-roda kereta berderak waktu melalui
jalanan berbatu. Dan menimbulkan bunyi lembut yang
aneh ketika berputar di atas jalan bertanah keras dan
licin berdebu. Di antara debu-debu yang beterbangan, berlari-lari
seekor anjing yang juga berkulit legam dan hitam
sebesar anak macan. Ekornya meringkuk di belakang
kedua kaki belakangnya, sementara dari moncongnya
yang bergigi-gigi tajam kekuningan, terjulur keluar
lidah panjang kemerahan yang basah berlendir.
Benar-benar sebuah pemandangan yang tak bisa
dikatakan nyaman. Namun orang-orang hanya
sepintas lalu memperhatikannya. Karena pendatang
berkereta kuda dikawal anjing besar itu, sudah cukup
dikenal oleh seantero penduduk daerah di sekitar itu.
Dan mereka pun sudah tahu maksud kedatangannya
senja hari itu. Acuh tak acuh saja kusir kereta duduk
di tempatnya, dan sang kuda seperti tidak perduli
akan suasana di sekitarnya.
Kereta itu melaju tidak terlalu cepat namun tak pula
lambat, membelah jalan desa, memecah kesepian
senja. Setelah satu belokan, kereta itu kemudian
berhenti di depan sebuah rumah sederhana
berpekarangan sempit. Demikian sempitnya, sehingga
halaman rumah satu-satunya yang masih menerima
kehadiran banyak-orang yang hilir mudik keluar
"masuk, jadi penuh sesak. Orang-orang itu menyingkir
waktu laki-laki bermuka pucat tadi turun dari kereta.
Seseorang datang menyongsong.
"Besar sekali terima kasih kami, Pak Kurdi mau
datang." Kurdi mengangguk seraya tersenyum. Sedikit, cuma.
la masuk ke dalam rumah diikuti pandangan semua
orang. Masih acuh tak acuh. la membalas anggukkan
beberapa orang yang beradu pandang dengannya,
berjalan terus ke ruang tengah di tempat mana
segelintir orang sedang melingkari kain selendang
yang menutupi sesuatu di atas tikar pandan yang
lebar. Kurdi tertegun menatap gundukan berselubung
kain selendang itu. Sepasang matanya mengecil, dan
mulutnya melontarkan desah yang aneh. Setelah
beberapa saat lamanya berlaku demikian, ia
memandangi orang-orang yang duduk
bersila, kemudian bergumam:
"Kalau diperkenankan, biarlah saya hanya sendirian
saja di sini, bersama ayah dari anak ini...."
Orang-orang itu saling bertukar pandang, saling
mengangguk dan kemudian sama-sama berdiri.
Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah semua orang menyingkir, yang duduk bersila di atas
tikar pandan hanyalah seorang laki-laki muda. la
mengenakan pakaian yang letak kancingnya tidak
teratur, dengan kain sarung yang membelit
sekenanya di pinggang. Rambutnya kusut. Matanya
lesu menatap selubung bergunduk di depannya. Dan
wajah itu, tampak kaku. Demikian pula sekujur
tubuhnya. Desah nafasnya menghendus-hendus keras,
menahan emosi yang terpendam.
Dari ruangan dalam, terdengar isak tangis saling
bersahut dengan suara perempuan membujuk-bujuk,
menyabarkan. Dan tentu saja, dengan kata-kata yang
sudah lumrah terdengar: "Sudahlah. Tabahkan hati Neng Yuyu...."
Jadi perempuan yang menangis itu bernama Yuyu.
Orang mudah saja berkata, karena tidak mengalami
sendiri. Tetapi Neng Yuyu tentu saja tidak bisa
menerima kata-kata membujuk itu begitu saja. Tidak.
Karena andaikata orang yang membujuk itu yang
tengah terkena musibah, tentulah ia sendi ri akan
menangis tersendat-sendat, melolong meraung-raung.
Kurdi memandangi laki-laki yang duduk bersila itu
sejenak. Kemudian: "... bagaimana terjadinya""
Laki-laki itu menggeleng. Patah-patah. Tanpa menoleh
pada yang bertanya. "Hem. Kapan mayatnya diketemukan""
"Dua jam yang lalu. Tersangkut di akar kayu di pinggir
sungai." Kurdi manggut-manggut. la maklum, mengapa suara
laki-laki itu begitu sakit, letih dan putus asa.
"Anak ke berapa""
"Empat..." "Ah. Masih ada tiga yang lain, bukan""
Barulah laki-laki itu mengangkat dagu. la memandang
tajam pada tamunya. Yang dipandang, tidak
mengelak. Tidak pula memperlihatkan wajah cerah
atau senyum bersahabat untuk menghibur. Dan lakilaki yang duduk bersila itu, kembali menatap ke
gundukan berselubung kain selendang. Butir-butir air
bening mulai berjatuhan satu persatu dari sudut-sudut matanya.
"Si bungsu yang malang..." ia berdesah. Sakit.
"Boleh aku melihatnya""
Laki-laki itu menatap Kurdi lagi. Lalu, mencondongkan
badan ke depan. Wajahnya kaku, dan tatapan
matanya keras, waktu tangan tangannya yang
gemetar menyingkapkan kain selendang itu.
Sekaligus, seluruhnya. Di depan biji mata Kurdi, tergeletak sesosok mayat
anak kecil berusia kira-kira enam tahun. Berkaki
telanjang. Bercelana pendek, yang masih lembab
bekas basah dan agak kotor oleh lumpur. Demikian
pula kemejanya yang berlengan pendek. Ada sisa-sisa
darah mengering di bagian kerah. Dan warna merah
kehitaman berbentuk lingkaran selebar piring kecil
tempat gelas teh. Hanya sampai di situ saja bagian
tubuh itu. Kurdi menarik nafas. Panjang.
Lalu: "Kau cukup kuat, kulihat. Jadi, aku dipanggil tidak
untuk sekedar menunggui mayat anakmu saja,
bukan"" "Ya..." angguk lelaki itu. Suaranya memelas.
"Kudengar, Pak Kurdi punya ilmu..." ia tengadah,
menatap ke mata tamunya. Mendengar permintaan ayah yang bernasib malang
itu, Kurdi tercenung. Lama berpikir dengan dahi
berkerut. Baru: "ltu bukan pekerjaan yang gampang," gumamnya
dengan suara berat. "Diperlukan ketabahan..."
"Apa yang harus saya lakukan""
Kurdi memandang mayat anak kecil tanpa kepala itu.
Lalu: "Dia yang akan melakukannya."
Ayah yang masih muda itu tercengang. la
memandang ganti berganti. Ke si anak, ke Kurdi, ke
mayat anaknya lagi, ke Kurdi kembali. Beberapa kali
ia menelan ludah. Beberapa kali pula ia menarik
nafas. Panjang. Membuangnya berkali-kali. Teramat
panjang. Pada tarikan nafas yang kesekian, ia basahi
bibirnya yang pucat dan kering, lantas berkata dengan
nada tidak percaya: "Anak ini yang... ah, Pak Kurdi berseloroh."
"Aku bersunguh-sungguh."
"Tetapi...." "Sudah kukatakan, dia yang akan melakukannya.
Tetapi untuk itu, ia perlu bantuan dari seseorang yang
bisa mengerti perasaannya sebagai seora ng anak.
Maka itu aku bilang, diperlukan ketabahan. Yang tidak
"tanggung-tanggung. Adakah orang lain di sini yang
sanggup"" Tanpa berpikir panjang, tuan rumah menjawab
tandas: "Saya bersedia."
Kurdi manggut-manggut. "Memang sebaiknya begitu.
Anak ini tanpa kepala. Tetapi, dalam dadanya masih
tersimpan hati dan jantung. Di situ terletak
perasaannya. Dan perasaan anak ini, hany a bisa
dipertemukan dengan orang yang paling dekat
dengannya. Yakni ibu, atau ayah..." ia memandang
ayah muda yang malang itu dengan tajam. "Kuharap
kau tidak menyesal."
Tatapan itu dibalas tuan rumah dengan bernafsu.
"Demi kesempurnaan jasad anakku, apapun akan
kulakukan!" Kurdi manggut-manggut lagi. Kemudian:
"Suruhlah orang-orang yang tidak berkepentingan
pulang ke rumahnya masing-masing. Yang tinggal,
diharap tidur selekasnya."
Meskipun masih bingung, yang disuruh melakukan
perintah itu dengan cepat. Terdengar suara orang
bergumam ramai di ruang depan, demikian juga di
dapur. Lalu langkah-langkah bergegas, suara-suara
bergumam yang kian menyepi, pintu-pintu kamar
yang ditutup dan nafas lelah tuan rumah waktu
kembali ke dalam dan duduk di samping Kurdi yang
tengah mempersiapkan pedupaan serta menyan.
Sambil membakar kemenyan itu, ia bertanya:
"Siapa nama anak ini""
"Dudung." "Ayahnya""
"Aku" Sumantri."
"Dengan panggilan apa Dudung menyebutnya""
"Bapak." Asap kemenyan mulai mengepul ke atas. Kurdi
menghirupnya dengan lubang-lubang hidung
mengembang, seakan ingin memasukkan asap
menyan itu sebanyak-banyaknya ke dalam dada.
Setelah kumat kamit sesaat, ia memandangi laki-laki
bernama Sumantri itu. Mata Kurdi kelihatan berwarna
kelabu kehitam-hitaman. "Ambil nafas yang panjang."
Sumantri menghirup udara di kamar itu sebanyakbanyaknya.
"Buang sekarang."
Sumantri melepaskan nafas panjang.
"Ambil lagi. Lebih panjang. Dua kali!"
Setelah tarikan nafas yang ketiga, Kurdi kemudian
mengeluarkan pisau cukur dari kantong bawah
kemejanya yang lebar, daun kelapa muda, tali dari
pelepah pisang, yang ia letakkan hati-hati di samping
mayat. Sumantri memperhatikan dengan penuh minat. Ia
lihat Kurdi menghirup asap menyan lagi, lagi dan lagi,
sambil terus kumat kamit membaca do'a-do'a serta
mantera-mantera yang tidak dimengerti oleh
Sumantri. la mendengar kata-kata yang aneh
mengalir keluar dari mulut Kurdi, lalu tubuh dukun
setengah baya itu gemetar perlahan-lahan, makin
lama makin keras disertai dengan percikan-percikan
keringat sebesar butir-butir jagung dari pori-pori kulit
wajahnya. Waktu kumat kamit itu dari mulut Kurdi
didengar sesekali oleh Sumantri kalau namanya dan
nama anaknya disebut-sebut, disertai erang dan rintih
yang silih berganti. Butir-butir keringat semakin
banyak membasahi wajah Kurdi, sampai suatu saat ia
bergumam. Parau suaranya:
"... ikuti ucapanku. Dung, ini aku, bapakmu..."
Sumantri yang dari tadi asyik memperhatikannya,
melongo saja. "Kurdi menyentak: "Ikuti, kubilang!"
"Ya, Pak Kurdi""
"Dung, ini aku, bapakmu."
Sumantri menelan ludah. Lalu: "Dung, ini aku
bapakmu..." "Bangkitlah." Terperangah Sumantri membetulkan letak duduknya
kembali, lantas sambil kepalanya dipenuhi tandatanya oleh maksud si penunggu jenazah, pelan-pelan
ia menggerimit: "... bangkitlah..."
"Lebih keras!" "Bangkitlah!" "Sekarang, pikiranmu pusatkan. Buang jauh-jauh
pikiran lain kecuali untuk berhubungan dengan hati
dan perasaan anak ini. Apapun yang akan terjadi,
jangan sampai kau lupa akan ketabahanmu. Ingat,
dalam pikiran yang akan kau salurkan dalam
perasaanmu, bahwa kau adalah bapaknya, yang mengasihinya yang tetap
menganggapnya sebagai anakmu yang dalam
keadaan hidup..." "Tetapi, anak ini sudah...."
"Kau ingin aku pergi saja"" dengus Kurdi, tersinggung.
Sumantri menelan ludah. "Maafkan saya, Pak Kurdi," rungut Sumantri dengan
suara kering. Tanpa memperdulikan ucapan Sumantri, Kurdi
kemudian kumat kamit dengan kedua ma ta
mengatup rapat. Sesekali ia meludah, ke kiri ke
kanan, sesekali menghembuskan asap menyan ke
arah tubuh mayat terbaring.
Kumat kamit lagi, ia lalu pegang sebelah tangan
Sumantri yang diletakkan di atas dada mayat yang
sudah dingin dari beku itu. Ya, Sumantri yakin dada itu
dingin dan beku karena anaknya telah menjadi mayat
semenjak beberapa jam yang lalu, dan ia pun telah
beberapa kali menyentuhnya.
Tetapi kini. Kini dada mayat itu terasa hangat. Memang masih
diam, tetapi hangat! Sumantri terbelalak, dan hampir saja menarik
tanganya mundur kembali saking kaget, kalau tidak
segera matanya beradu dengan mata Kurdi yang
marah. Dengan menguat-nguatkan hati, Sumantri tetap
meletakkan tangannya di dada mayat anaknya.
Maklum arti pandangan mata si penunggu jenazah
yang dikenal juga punya ilmu gaib itu, Sumantri
kemudian memusatkan pikiran sebulat-bulatnya.
Dengan menarik nafas berulang-ulang seperti yang
diperintahkan Kurdi tadi, pelan-pelan pikirannya mulai
terpusat. Dimatanya terbayang anaknya yang bungsu,
terbaring dalam keadaan tidur yang nyenyak, dengan
dada naik turun teratur. Dudung hidup, anakku hidup,
anakku terkasih, anakku sayang... jerit hati Sumantri.
Pada saat pikiran itu tersalur ke hati Sumantri, samarsamar ia sempat melihat bayangan tangan Kurdi
bergerak mengambil pisau cukur. Lipatan pisau ia
buka tanpa suara. Lalu matanya yang tajam berkilatkilat, ia goreskan ke urat nadi lengan kirinya.
Wajah Sumantri memucat memperhatikan tingkah
laku dukun itu. Tetapi perhatiannya segera tertuju ke
arah darah Kurdi yang mulai mengucur keluar, lantas
menetes jatuh membasahi punggung tangan
Sumantri, meleleh di sana,
menyelusup di antara celah-celah jari, lantas
membasahi dada mayat anaknya. Bau menyan
bercampur bau darah membuat Sumantri merasa
puyeng. Namun ia kuat-kuatkan juga hati, sambil
berpikir-pikir apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Kurdi mendesis perlahan:
"Pikiranmu terpecah, Sumantri!"
Desisan itu memperingatkan Sumantri pada tekadnya
semula. Lantas, pikirannya kembali ia pusatkan pada
anaknya. Ia rasakan darah itu mulai mengaliri dada
mayat itu, membuat warna merah mengorak di sana
sini, seakan menyelusup masuk menembus kulit
mayat dan... Dada mayat itu bergerak. Bergerak!
Hampir saja Sumantri terlonjak. Tetapi ia ingat
kembali tekadnya semula. Lantas, dengan mata
terpejam untuk bisa lebih memusatkan pikiran serta
perasaannya yang agak tergoncang, ia dengar Kurdi
memerintahkan untuk mengucapkan kembali kalimatkalimat tadi:
"Dung, ini aku... bapakmu... Bangkitlah!"
Gerakan-gerakan di dada lebih keras. Tetapi tubuh
mayat itu masih diam. Sumantri mengulang lagi. Kali ini, tanpa ragu-ragu:
"Dung, ini aku, bapakmu. Bangkitlah!"
Dan, tangan si anak mulai ikut bergerak. Demikian
Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
juga kakinya. Seolah-olah menggeliat-geliat. Tak ubah
dengan keadaannya waktu ia dibangunkan dari tidur
yang nyenyak. Hanya bedanya, ia tidak menguap
seperti biasa. Namun Sumantri yang matanya nyalang
terbuka oleh sentuhan-sentuhan kaki yang meIejatlejat dl pahanya, tidak perduli lagi apakah anaknya
menguap atau tidak. Ia tiba-tiba menjatuhkan diri,
memeluk anak itu seraya menangis tersedu-sedu:
"Anakku, anakku, kau hidup, anakku. Kau belum mati,
anakku... ini aku, bapakmu. Dung, ayoh peluk aku,
nak. Peluk bapakmu,... Mari kucium pipimu."
Ketika itulah, ketika akan mencium arah pipi si anak,
mulut Sumantri yang manyun tidak menemukan apaapa, kecuali angin yang dingin, serta dagunya
menyentuh leher yang rata dan berselemak darah
mengering. Rasanya ia ingin jatuh pingsan, tetapi ingatan bahwa
Kurdi hadir di sampingnya segera membuat ia sadar
kembali, bahwa tubuh yang ia pegang adalah tubuh
mayat, bukan tubuh yang hidup sesungguhsungguhnya.
Seraya menarik nafas, ia lepaskan pelukannya di
tubuh mayat itu. "Bantulah ia berdiri," la dengar suara Kurdi.
Setelah menyeka air matanya. Sumantri membantu
anaknya berdiri. Andaikata, ya, andaikata di atas leher
itu masih terdapat kepala, Sumantri pasti sudah
terlepas dari pikiran semula, dan akan mengira
anaknya benar-benar hidup seperti sediakala. Dengan
hati yang hancur, ia gapaikan tangannya ke arah
tangan Dudung yang terangkat seperti minta tolong.
Air mata Sumantri menetes lagi, waktu anak itu
berdiri sempoyongan. Sumantri memegang pinggang
Dudung agar tidak sampai terjatuh.
la kemudian menoleh pada Kurdi. Penunggu jenazah
itu tengah sibuk membalut lengan kirinya dengan
daun kelapa muda yang kemudian ia ikat pakai tali
pelepah pisang. "Biarkan ia," gumam Kurdi.
Hati-hati, Sumantri menarik tangannya dari pinggang
mayat anaknya. Dudung berdiri tegak kini. Tegak diam, seolah-olah
menanti perintah. "Suruh tunjukkan tempat di mana kepalanya ditanam
orang." Sumantri terkesiap. la menatap Kurdi. "Di tanam
orang" Maksud Pak Kurdi...."
"Jangan berlama-lama. Kita harus mengejar waktu
matahari terbit esok hari...!"
"Sumantri mengalihkan perhatiannya ke tubuh
anaknya. Suaranya gemetar waktu bertanya:
"Duh, biyung. Kejam nian orang... duh, biyung. Dimana
gerangan kepalamu tersimpan, anakku""
Tangan kanan itu terangkat, lalu jari telunjuknya
membentuk garis lurus ke arah utara.
"Bisa kau katakan...."
"Tak bisa. Mulutnya ada di kepalanya," potong Kurdi.
Hijaunya Lembah Hijaunya 35 Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Kutukan Ayam 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama