Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say Bagian 10
"Oooh...! Bukankah pedang itu adalah pedang mestika penghancur sang surya?" seru Toan Hong ya tercengang.
"Tempo dulu ketika sucouw-mu bertanding ilmu silat melawan diriku di istana belakang negeri Tay li, pedang yang dipergunakan juga pedang mestika ini, sungguh tak nyana senjata ini telah jatuh ke tanganmu..." Ia tertawa terbahak-bahak dan melanjutkan : "Apakah kau sudah mempelajari ilmu pedang penghancur sang surya"..." "Ilmu silat yang dimiliki sucouw-ku tiada taranya di kolong langit, aku sebagai seorang manusia yang bodoh mana sanggup menandingi kehebatan sucouw- ku" Kalau boleh dibilang berhasil kupelajari, itu pun hanya kulitnya saja..." "Bagus! Itulah jiwa besar pendekar pedang," puji kaisar dari negeri Tay li ini sambil acungkan jempolnya.
Dari dalam saku ia segera ambil keluar sebilah pisau belati, setelah diayunkan ke tengah udara, ujarnya lagi sambil tertawa : "Pedang mestikamu amat tajam dan luar biasa, biarlah aku gunakan badik Han Giok ini untuk melayani dirimu!" Semangat Pek In Hoei segera berkobar, ia merasa bahwa dirinya bisa bergebrak melawan Toan Hong ya dari negeri Tay li yang namanya amat tersohor di kolong langit, kejadian itu pasti akan menggemparkan seluruh jagad, pedangnya segera dibabat ke depan, cahaya tajam memancar keluar memenuhi seluruh jagad.
Toan Hong ya terkejut, badannya dengan cepat bergerak, badik Han Giok dalam genggamannya dibabat tiga kali ke depan, desiran tajam segera menderu-deru mengelilingi seluruh tubuhnya.
Pek In Hoei memandang pertempuran kali ini jauh lebih penting dari jiwa sendiri, ia tahu menang kalah dari pertarungan ini menyangkut kehidupan selanjutnya dari dirinya.
Menghadapi musuh yang amat tangguh ia tak berani maju menyerang secara gegabah, pedang mestika penghancur sang surya-nya diputar melindungi keselamatan badan, ia cuma berharap lima puluh jurus dengan cepat berlalu dan pertempuran diselesaikan secara baik.
"Ehmmm, ilmu silat tidak jelek..." Pek In Hoei merasakan pedangnya bergetar keras, seolah-olah termakan oleh suatu benturan yang hebat, hampir saja ia tak sanggup menguasai diri, hatinya bergidik, cepat-cepat ia keluarkan jurus "Liat Jiet Bun Ciong atau panas terik ke bumi untuk membabat kaisar.
"Oooo... rupanya kau sudah mewarisi seluruh kepandaian silat milik Cia Ceng Gak..." seru Toan Hong ya.
Seakan-akan ia mengetahui bahwa dirinya tak memiliki kekuasaan untuk bertanding menghadapi serangan tersebut, tiba-tiba badannya melayang ke tengah udara, tangannya digetarkan dan badik Han Giok secara tiba-tiba meluncur ke depan.
"Aduuuh...!" teriak Pek In Hoei menjerit kesakitan dan tubuhnya segera terjatuh ke atas tanah.
Para jago yang hadir di situ tak seorang pun yang melihat jelas apa sebenarnya yang telah terjadi, mereka hanya melihat Pek In Hoei memegangi pinggangnya dengan kesakitan, gagang badik muncul di luar dan keringat dingin mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya.
"Kau...!" jerit Ouw-yang Gong dengan wajah berubah.
Tubuhnya segera meloncat maju ke depan dan mencengkeram gagang badik itu untuk dicabut keluar.
Siapa tahu lengannya mendadak jadi kaku dan tak sanggup meneruskan gerakan itu.
Terdengar Sang Kwan Cing berseru : "Jangan sentuh dia!" Kemudian sambil berpaling ke arah Toan Hong ya ia menambahkan : "Sungguh tak nyana kau gunakan ilmu Hoei San Jiu untuk membunuh dirinya!" "Hmmm...! hanya luka sekecil itu dalam pandangan ayahmu tidak terhitung seberapa..." "Bagus! Kiranya memang kau sengaja meninggalkan kesulitan bagi ayahku, aku sungguh tak pernah mengira kalau seorang Toan Hong ya yang terhormat bakal menggunakan tubuh seorang boanpwee untuk mewujudkan cita-citanya..." Toan Hong ya sama sekali tidak menggubris ucapan itu, sambil putar badan serunya : "Kembali ke istana!" Delapan orang pria berbaju putih itu segera menggotong tandu dan siap untuk berangkat.
Ouw-yang Gong merasa amat gusar, ia tidak rela membiarkan musuhnya berlalu dengan begitu saja, jari tangannya segera berkelebat siap menotok ketiak kaisar itu.
"Kau mau apa?"" bentak Toan Hong ya secara tiba- tiba sambil menoleh ke belakang.
Ouw-yang Gong melongo, ia merasa hatinya tercekat dan tak berani melanjutkan kembali serangannya, tangan yang masih berada di tengah udara tetap berhenti kaku di situ, untuk beberapa saat ia tak tahu jari tangannya mesti ditarik balik atau melanjutkan kembali serangannya.
"Biar aku yang minta pelajaran darimu..." bentak Sang Kwan Cing sambil maju ke depan.
"Sayang kekuatanmu masih terpaut amat jauh, aku tak sudi turun tangan melawan dirimu!" sahut Toan Hong ya sambil geleng kepala.
Sang Kwan Cing tertawa dingin.
"Hmm, lebih baik kau tak usah jual lagak aku tidak percaya segala tahayul..." Badannya menerjang ke depan dan jari tangannya segera berkelebat menotok tubuh kaisar itu.
Dengan enteng Toan Hong ya mengigos ke samping, sambil mendengus dingin serunya : "Put Jie, hajar dia!" Soen Put Jie adalah seorang bodoh, mendapat perintah ia segera meloncat ke depan sambil berteriak : "Suhuku suruh aku menghajar kau..." Kepalan yang amat besar itu bagaikan titiran air hujan segera melepaskan pukulan-pukulan yang gencar.
Sang Kwan Cing teramat gusar, ia membentak keras dan melancarkan pula sebuah serangan : "Manusia goblok, kau cari mati rupanya..." Blaaam...
serangan tersebut dengan telak bersarang di tubuh Soen Put Jie, tapi musuhnya cuma gontai sebentar dan sama sekali tidak terluka, bahkan sambil meraung keras ia maju ke depan sambil meninju.
Sang Kwan Cing berkelit ke samping ketika jotosan musuh hampir mengenai tubuhnya, telapak kanan berkelebat laksana kilat dan segera menghajar wajah Soen Put Jie.
Plooook... terdengar benturan nyaring memecahkan kesunyian, Soen Put Jie mundur dengan sempoyongan dan hampir saja roboh terjengkang ke atas tanah, sambil berteriak kesakitan dan memegang pipi kirinya yang bengkak ia berseru : "Suhu bajingan perempuan ini menggaplok pipiku..." "Tidak mengapa, hajar lagi dirinya." "Aku tidak berani!" seru Soen Put Jie ragu-ragu.
"Kurang ajar! Aku suruh kau gampar pipi kirinya, ayoh cepat gampar pipinya..." Soen Put Jie meraung keras, dia segera putar telapaknya dan menggaplok pipi kiri Sang Kwan Cing.
Baru saja gadis itu akan gerakkan lengan untuk menangkis, tiba-tiba tangannya jadi kaku dan tak sanggup diangkat lagi.
Ploook...! dengan telak gaplokan itu bersarang di atas pipinya.
Sang Kwan Cing meraung dan menangis, sambil memegang pipinya ia lari menuju ke dalam selat.
Tiba-tiba... dari tengah udara berkumandang datang suara gelak tertawa yang mengundang nada gusar : "Toan Hong ya kau berani datang kemari menganiaya orangku..." belum habis ia berkata tampak sesosok bayangan manusia munculkan diri di situ.
Tampaklah seorang kakek tua berjenggot putih sambil menarik tangan Sang Kwan Cing muncul di sana,ia melirik sekejap ke arah Pek In Hoei lalu dengan wajah berubah hebat tertawa dingin.
Badannya berkelebat ke depan, sekali hantam Soen Put Jie menggeletak di atas tanah, gerakan yang demikian cepatnya ini membuat Toan Hong ya yang ada di situ jadi terperanjat.
"Haaaah... haaaah... haaaah... Sang Kwan In, ilmu silatmu hebat juga," serunya.
"Hmmm! Apakah kau juga ingin turun tangan?" tantang Sang Kwan In sinis.
Senyuman yang menghiasi bibir Toan Hong ya seketika lenyap tak berbekas.
"Lebih baik lain kali saja.
Sekarang aku tak ada waktu," ia tertawa bangga dan masuk ke dalam tandunya, di tengah tepukan nyaring delapan orang pria berbaju putih itu segera angkat tandu itu dan berlalu dari sana.
Menyaksikan berlalunya kaisar itu, Sang Kwan In menghela napas panjang, katanya : "Ceng jie, cepat bopong Pek In Hoei masuk ke dalam kamar obatku, kalau terlambat darah yang mengalir akan semakin banyak dan aku tak akan mampu menyelamatkan jiwanya lagi." "Ayah..." seru gadis itu tertegun.
"Aku hendak menyelamatkan dirinya, kau tak usah banyak bertanya lagi..." Badannya berkelebat pergi, dan lenyaplah tubuh si jago tua itu.
..... Asap dupa mengepul ke angkasa...
dalam ruangan tampak bayangan manusia bergerak ke sana kemari.
Dengan tenang si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei berbaring di sisi tungku, badik tajam itu masih menembusi pinggangnya, sementara wajahnya masih pucat pias bagaikan mayat, bibirnya hijau membiru, kematian menyelimuti wajahnya...
Di antara semua orang yang hadir, Ouw-yang Gong lah yang paling tegang, bibirnya bergetar namun tak sepatah kata pun sanggup diucapkan, ia genggam tangan Pek In Hoei erat-erat sedang air mata mengucur keluar membasahi pipinya.
"Bagaimana keadaannya kongcu" Tolong beritahulah kepadaku..." "Lebih baik kau keluar dulu, aku pasti akan berusaha keras untuk menyelamatkan jiwanya..." sahut Sang Kwan In dengan wajah serius.
"Tidak!" seru Ouw-yang Gong sambil geleng kepala.
"Aku ingin mendampingi dirinya asal ia menemui suatu celaka maka aku si ular asap tua segera akan bunuh diri di hadapannya..." "Aku minta kau segera keluar dan jaga di depan pintu..." ujar Sang Kwan In lagi dengan alis berkerut, "sebelum memperoleh ijin khusus dariku, siapa pun dilarang masuk kemari termasuk pula semua orang yang ada di dalam selat Seng See Kok ini." Ouw-yang Gong si ular asap tua ragu-ragu sejenak, akhirnya ia menghela napas panjang.
"Baiklah! Kokcu, aku serahkan keselamatan jiwanya kepadamu!" Bagaikan seorang yang menderita sakit parah, dengan langkah yang hebat ia berjalan keluar dari ruangan itu dan lenyap di balik pintu.
Sang Kwan In menghela napas panjang, serunya sambil menoleh : "Anak Cing!" "Ayah, kita akan mulai sekarang juga?" tanya Sang Kwan Cing sambil masuk dengan membawa sebuah bungkusan.
"Bersiap-siaplah dengan obat penahan darah, aku segera akan turun tangan mencabut keluar pisau belati ini..." Sebagai seorang ahli dalam ilmu pertabiban, dia menyelami arti pentingnya obat penahan darah, sedikit salah saja dalam tindakannya mencabut pisau belati itu berarti kematian yang mengerikan bagi Pek In Hoei, maka dengan wajah serius ia tarik napas panjang, tangannya perlahan-lahan menggenggam gagang pisau belati itu lalu dicabut keluar.
Begitu pisau belati itu tercabut, darah segar segera menyembur keluar bagaikan pancuran air, Sang Kwan Cing bertindak cepat, ia tutup mulut luka itu dengan tangan kanan lalu dibubuhi selapis serbuk halus untuk menghentikan pendarahan.
Sekujur badan si anak muda itu bergetar keras setelah ia jatuh tak sadarkan diri.
"Ayah... kenapa kau?" mendadak Sang Kwan Cing menjerit kaget.
Air muka Sang Kwan In berubah hebat, sekujur tubuhnya gemetar keras dan ia mengeluh penuh penderitaan, dicekalnya gagang pisau belati itu lalu ditatap tajam-tajam, gumamnya dengan suara gemetar : "Thian Seng See...
Thian Seng See." "Ayah, apa yang kau maksudkan dengan pasir bintang langit itu?" jerit sang dara.
Sang Kwan In tertawa getir : "Sungguh keji hati Toan Hong ya, ia tahu bahwa aku telah berhasil meyakini ilmu cakar Jit Ciat Jiau, itu berarti ia tak akan bisa menandingi diriku lagi, maka di atas gagang pisau belati itu ditaburi dengan selapis serbuk beracun yang berasal dari wilayah See Ih...
meskipun serbuk pasir bintang langit ini tidak sampai mematikan diriku, tapi benda beracun itu membuat aku tak bisa berlatih silat paling telat selama tiga tahun, padahal janji kami untuk berduel tinggal satu tahun..." "Ooooh, jadi ayah telah berjanji untuk duel dengan Toan Hong ya setahun kemudian..." "Aaaai...!" Sang Kwan In menghela napas sedih, "ayahmu telah beberapa kali bertempur melawan tanpa berhasil menentukan siapa menang siapa kalah, oleh sebab itu setiap lima tahun kami bertanding satu kali, sekarang waktunya hingga hari pertandingan itu tinggal setahun, sungguh tak nyana ia telah menggunakan cara yang begini rendah untuk membokong diriku..."
"Bukankah tenaga dalam yang dimilikinya amat tinggi" Mengapa ia gunakan cara yang begini tak tahu malu..." tanya Sang Kwan Cing dengan nada tercengang.
Sang Kwan In menggeleng. "Sebetulnya orang ini ramah dan berhati bajik, sayang ia terlalu gila hormat dan kedudukan hingga akhirnya amat membenci diriku, setiap saat dia ingin membinasakan diriku...
tapi... aaaai! kalau dibicarakan yang sebetulnya kesalahan memang terletak pada diriku sendiri!" "Sebenarnya apa yang telah terjadi?"" "Tentang peristiwa ini akan kuceritakan di kemudian hari saja, sekarang cepatlah undang datang ke-empat pelindung hukum dari selat kita, kemungkinan besar si nenek berhati keji itu segera akan datang kemari..." Air muka Sang Kwan Cing berubah hebat, buru-buru ia keluar dari ruangan itu.
Tidak selang beberapa saat, kemudian dari luar muncul empat orang kakek berbaju abu-abu dan masing-masing segera menempati satu sudut dalam ruangan itu.
"Aaaaai....! Aku sudah terkena serbuk pasir Bintang Langit yang amat lihay dari wilayah See Ih, terpaksa janji pada setahun kemudian harus kubatalkan, Liuw Koei hui mungkin sebentar lagi akan muncul di sini, aku tak mungkin bertempur sendiri melawan dirinya karena itu harap untuk sementara waktu kalian berempat berjaga-jaga di sini, jangan sampai membiarkan nenek kejam itu bikin keonaran lagi..." Ia merandek sejenak, kemudian sambil mencabut keluar pedang mestika penghancur sang surya milik Pek In Hoei, katanya lagi : "Inilah pedang mestika penghancur sang surya, benda keramat dari partai Thiam cong kalian.
Dahulu karena aku sudah membantu suhu kalian Cia Ceng Gak lolos dari jebakan permaisuri Liuw, maka sejak itulah Toan Hong ya serta Liuw Kui hui amat mendendam terhadap diriku..." Kiranya ke-empat orang kakek tua itu adalah anak murid dari Cia Ceng Gak, murid tertua Lio Heng, murid ke-dua Tan Po Ceng, murid ke-tiga Gan Hay Beng serta murid ke-empat Tiong Yan.
Berhubung Sang Kwan In pernah menyelamatkan jiwa guru mereka Cia Ceng Gak, maka sejak suhunya itu lenyap tak berbekas, mereka segera menggabungkan diri dengan pihak Seng See Kok sambil secara diam-diam mengadakan penyelidikan atas kematian guru mereka.
Setelah partai Thiam cong terbasmi dari muka bumi, ke-empat orang ini merasakan tenaga bantuan yang mereka butuhkan semakin minim ditambah pula sebab-sebab kematian Cia Ceng Gak belum ketahuan, terpaksa sambil menahan diri, mereka bersembunyi di dalam selat Seng See Kok, setiap kali ada waktu luang segera digunakan oleh beberapa orang itu untuk membicarakan soal pembalasan dendam.
Kali ini Pek In Hoei muncul di wilayah selatan sambil menentang para partai persilatan yang ada di sekitar situ untuk bertemu di dalam selat Seng See Kok, Sang Kwan In merasa inilah kesempatan baik untuk mengadakan hubungan dengan si anak muda ini maka di situlah suatu rencana untuk mendatangkan pemuda itu di dalam selatnya.
Dalam pada itu, ke-empat orang tua tadi telah jatuhkan diri berlutut dan menjalani penghormatan besar setelah menjumpai pedang sakti penghancur sang surya.
"Kok cu!" terdengar Tiong Yan bertanya, "Benarkah Pek In Hoei adalah putra Pek Tiang Hong susiok kecil kami..." "Sedikit pun tidak salah," sahut Sang Kwan In membenarkan, "sejak partai Thiam cong dibasmi orang, hanya dia seorang yang bersumpah untuk membalas dendam sakit hati itu, Pek Tiang Hong bisa mempunyai seorang putra macam dia, arwahnya di alam baka pun bisa beristirahat dengan tenang..." Pada saat itulah tiba-tiba dari tempat kejauhan berkumandang datang suara suitan panjang yang tinggi melengking, suitan itu bergeletar membelah bumi, dalam sekejap mata telah berada di depan mata dan menggoncangkan seluruh ruangan.
"Aaah! Dia datang lagi," gumam Sang Kwan In, "Cia Ceng Gak bisa mendapat rasa cinta dari seorang perempuan semacam ini, hidupnya boleh dibilang patut merasa bangga...! cuma sayang pikiran Liuw Koei hui (permaisuri) terlalu picik dan jiwanya sempit, rasa kesal dan dendamnya malahan ditumpukkan semua ke atas tubuhku, kejadian ini jauh berada di luar dugaan Cia Ceng Gak..." Suara suitan mendadak sirap di luar ruangan, terdengar suara bentakan keras bergema di angkasa : "Siapa di situ?" Liuw Koei hui tertawa dingin.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... dan kau sendiri siapa" berani mencampuri urusan dari Liuw Koei hui itu berarti mencari kematian bagi diri sendiri." "Ooooh...
jadi kau toh yang bernama Liuw Koei hui?" Hii...
kok menggelikan sekali haaaah...
haaaah... haaaah..." Di luar ruangan segera terjadi suara bentrokan- bentrokan yang amat nyaring, angin pukulan menderu-deru, bentakan nyaring menggema di angkasa, makin bertarung semakin sengit sehingga seluruh permukaan bergetar keras.
Sang Kwan In gelengkan kepalanya berulang kali, ujarnya : "Ilmu silat yang dimiliki Liuw Koei hui makin lama semakin tinggi, rupanya kepandaian silat yang ia miliki telah memperoleh kemajuan yang amat pesat!" Dari luar ruangan tiba-tiba terdengar suara dengusan berat, suara perempuan mendadak berhenti dan agaknya salah seorang di antaranya terluka parah.
Lewat beberapa saat kemudian terdengar Ouw-yang Gong meraung gusar teriaknya : "Perempuan bajingan, rupanya kau sealiran dengan bangsat she Toan itu." "Hmmm! Aku adalah gundiknya, kau mau apa?" jawab Liuw Koei hui sambil tertawa dingin.
Blaaam! Pintu ruangan terpentang lebar, Liuw Koei hui dengan rambut terurai sepanjang dada menyusup masuk ke dalam ruangan, sementara Ouw-yang Gong dengan pakaian menggelembung besar mengejar dari belakang.
Perempuan itu menyapu sekejap keadaan di seluruh ruangan, lalu ejeknya sinis : "Sang Kwan In, rupanya kau telah mengundang begitu banyak jago pembantu?"" Sang Kwan In tertawa getir.
"Kau mendesak diriku terus menerus, sebenarnya mau apa?" "Mau apa" Di mana Cia long ku?" teriak Liuw Koei hui sambil tertawa dingin, "kalau kau tidak serahkan keluar, aku pasti akan membinasakan dirimu." "Cia Ceng Gak sudah mati!" "Aku tidak percaya, kecuali ada orang membuktikan bahwa ia benar-benar sudah tiada.
Aku tidak percaya kalau orang yang memiliki ilmu silat begitu tinggi bisa mati..." Tiba-tiba wajahnya menunjukkan rasa penuh penderitaan, dua butir air mata mengucur keluar membasahi pipinya, dengan jari tangan yang kuat ia tarik rambut sendiri sekeras-kerasnya tapi air mukanya tidak nampak kesakitan, malahan sambil tertawa terbahak-bahak ia menari-nari di dalam ruangan itu.
"Ceng Gak...! Ooooh Cia Long..." teriaknya, "bila kau benar-benar mati berilah kabar kepadaku, jangan biarkan aku menderita seorang diri...
biarlah aku mengikuti dirimu kembali ke alam baka..." Dengan sorot mata penuh kegusaran ia melirik sekejap ke arah Sang Kwan In lalu hardiknya kembali : "Tempo dulu kalau bukan kau yang bikin gara-gara, Cia Ceng Gak tak akan meninggalkan diriku.
Kematian Cia long pasti ada sangkut pautnya dengan dirimu, ini hari aku bersumpah akan membinasakan dirimu untuk membalas sakit hati ini..." "Cia Ceng Gak adalah seorang jago pedang yang amat lihay," ujar Sang Kwan In sedih, "tapi karena dibodohi oleh Toan Hong ya, ia telah kesemsem untuk hidup royal di istana negeri Tay li, setiap hari kerjanya hanya bersenang-senang dengan dirimu sehingga hampir saja masa depannya hancur.
Coba pikirkan baik-baik, ketika Toan Hong ya mempersembahkan dirimu untuk Cia Ceng Gak tempo dulu sebenarnya karena persoalan apa" Bukankah kau berusaha keras untuk mengurung Cia Ceng Gak di dalam istana dan melarang dia untuk berlatih silat hingga seluruh tenaga murninya hampir punah" Kalau kau mencintai dirinya dengan segenap hati, tidak semestinya kau bersikap demikian terhadapnya!" "Aku serta Cia Ceng Gak rela mengorbankan diri sampai titik darah penghabisan, asal kami berdua dapat hidup berdampingan secara harmonis, apa salahnya kalau kami mati pula secara bersama..." "Bujuk rayu memang tempat yang ideal untuk bersenang-senang tapi justru karena perbuatanmu itu, tenaga dalam hasil latihannya selama sepuluh tahun telah musnah..." "Omong kosong! Selama manusia dapat bersenang- senang kita harus puaskan diri, peduli amat dengan tenaga dalam atau tidak..." Tanpa terasa dalam benaknya terbayang kembali raut wajah Cia Ceng Gak yang tampan, ia teringat kembali ketika mereka bermain petak di dalam kebun, menikmati rembulan di gardu...
berjalan-jalan di atas jembatan...
satu demi satu terlintas kembali dalam benaknya.
Kiranya ketika Cia Ceng Gak serta sutenya Pek Tiang Hong berpesiar ke negeri Tay li, dalam suatu kesempatan ia telah berkenalan dengan Toan Hong ya, maka di dalam istana negeri Tay li mereka selalu membicarakan soal ilmu silat.
Waktu itu usia Toan Hong ya masih muda, ia menganggap ilmu silat yang dimilikinya nomor wahid di kolong langit, ketika melihat kelihayan Cia Ceng Gak, timbullah rasa dengki dalam hati kecilnya.
Sebagai seorang yang cerdik dan licik, setelah berpikir beberapa saat lamanya muncullah satu akal dalam benaknya, dia ingin menggunakan perempuan untuk melemahkan tubuh lawannya.
Maka sambil menahan rasa sayang ia berikan selir kesayangannya untuk jago lihay ini.
Menjumpai raut muka Liuw Koei hui yang begitu cantik jelita,Cia Ceng Gak jadi kesemsem dibuatnya, sedang Liuw Koei hui sendiri juga terpikat hatinya oleh ketampanan orang, maka setiap hari kerja mereka pun hanya bersenang-senang belaka, Pek Tiang Hong disuruh pulang ke gunung sedang ia sendiri hidup di istana negeri Tay li dengan penuh kesenangan.
Setahun telah lewat dengan cepatnya, dalam waktu selama ini ilmu silatnya tak pernah dilatih, tubuhnya jadi kurus dan kisut.
Suatu ketika Sang Kwan In sahabat karib Cia Ceng Gak mendengar akan berita ini, ia segera berangkat ke negeri Tay li dan memaki sahabatnya itu habis- habisan.
Cia Ceng Gak mendusin dari kesilafannya dan malam itu pula berlalu dari istana mengikuti sahabatnya.
*** Bagian 28 TOAN HONG YA setelah mendapat laporan mengenai peristiwa ini jadi amat gusar, diam-diam ia mendendam terhadap diri Sang Kwan In yang telah menghancurkan rencana besarnya, sedangkan Liuw Koei hui membenci karena orang itu telah melarikan kekasihnya.
Dalam keadaan sedih bercampur dendam berangkatlah perempuan ini tinggalkan istana untuk mencari jejak Cia Ceng Gak, siapa tahu jago pedang ini telah insyaf akan kesalahannya, setiap kali berjumpa dengan Liuw Koei hui ia tentu berusaha menghindar atau main bentak, tak perlu diajak perempuan itu bercakap-cakap.
Dalam gusarnya entah dari mana dia pelajari ilmu silat aneh, setelah tidak berhasil menemukan jejak Cia Ceng Gak maka tiap setengah tahun ia pasti datang ke selat Seng See Kok untuk menantang Sang Kwan In berduel.
Dalam pada itu Sang Kwan In menghela napas panjang ketika menyaksikan perempuan itu menunjukkan rasa sedih dan murungnya, sambil geleng kepala ia berkata : "Liuw Koei hui, manusia hidup di kolong langit hanya sekejap mata, kau berhasil mendapatkannya juga jadi tanah, kehilangan dirinya juga jadi tanah, apakah kau tak dapat melupakan diri Cia Ceng Gak?" Sekujur badan Liuw Koei hui gemetar keras, ia mendusin dari sintingnya dan berdiri termangu-mangu, sejenak kemudian dengan wajah gusar teriaknya : "Sang Kwan In, kau suruh aku lepas tangan?" "Aku hanya menasehati dirimu cepat-cepatlah mendusin, jangan selalu terjerumus dalam kenangan manis yang telah berlalu, sebab itu hanya akan menyusahkan dirimu sendiri, mau percaya atau tidak terserah dirimu sendiri..." "Hmmm! Kentut busuk..." dengus Liuw Koei hui.
Sambil berseru tubuhnya bagaikan sukma gentayangan menubruk ke depan.
Ouw-yang Gong membentak keras, dari belakang tubuh perempuan itu dia lancarkan sebuah totokan kilat.
Liuw Koei hui sama sekali tidak gentar, bukannya mundur dia malah maju ke depan, telapaknya berputar menghantam tubuh kakek konyol itu.
Serangan ini amat luar biasa, Ouw-yang Gong segera merasakan bayangan telapaknya laksana runtuhnya bukit menerobos masuk ke dalam, dengan tiada kenal belas kasihan ia hantam dadanya.
Si ular asap tua jadi terperanjat, cepat hunweenya ditotok ke arah sikut Liuw Koei hui, sama sekali tidak gentar kemudian menggunakan kesempatan di kala perempuan itu menarik kembali lengannya ia meloncat mundur lima langkah ke belakang.
Tujuan Liuw Koei hui memang bukan Ouw-yang Gong, setelah kakek konyol itu terdesak mundur dengan tangkas ia menyusup ke depan menghampiri Sang Kwan In.
Empat orang kakek dari partai Thiam cong yang duduk di empat penjuru sudut ruangan jadi terperanjat ketika melihat kehebatan ilmu pukulan orang.
Lio Hong segera meloncat ke depan, sambil melancarkan babatan hardiknya : "Liuw Koei hui, harap segera mundur!" Walaupun mereka sudah tua tapi beberapa orang itu tahu bahwa Liuw Koei hui adalah bekas pacar suhunya, maka tak seorang pun yang berani bersikap kurang ajar terhadap perempuan itu.
Tapi Liuw Koei hui tidak mengetahui akan hal ini, melihat Liok Hong mengirim serangan babatan ke arah tubuhnya, ia segera mendengus dingin.
"Hmmm! Apakah kalian berasal dari partai Thiam cong?" tegurnya.
"Benar!" jawab Gan Hay Beng sambil menyodok kepalan kanannya ke arah perut lawan.
"Memandang di atas wajah mendiang guru kami, harap Liuw Koei hui suka mundur dari selat Seng See Kok!" Liuw Koei hui menjengek dingin.
"Hmmm! Kalian belum mampu menandingi diriku, memandang di atas wajah Cia Long kuampuni jiwa kalian semua.
Hmmm! Apa kau masih berani turun tangan keji kepadaku diriku..."
LENGAN kiri dan kanan dipentang berbareng sambil melancarkan dua pukulan gencar, Gan Hay Beng serta Liok Hong segera merasakan sekujur tubuhnya gemetar, mereka terhajar sampai mundur dua tindak ke belakang.
Tiong Yan meraung gusar, teriaknya : "Datang-datang kau lantas menganiaya Sang Kwan kongcu, sebenarnya apa maksudmu..." Terdorong oleh angin pukulan yang sangat berat Liuw Koei hui terdesak mundur satu langkah ke belakang, hatinya tercengang, ia tak tahu apa sebabnya ilmu silat yang dimiliki Tiong Yan jauh lebih lihay daripada tiga orang kakek yang lain.
Haruslah diketahui ketika ke-empat orang kakek itu sedang belajar ilmu silat dahulu, Cia Ceng Gak mendidiknya secara dari bawah menuju ke atas, makin kecil semakin sempurna tenaga dalamnya.
Tiong Yan adalah murid yang paling disayang di antara ke-empat orang itu, lagi pula dia paling rajin berlatih, maka dari itu kepandaian silatnya jauh lebih hebat setengah tingkat daripada yang lain.
Sementara itu Liuw Koei hui mencak-mencak karena kegusaran, teriaknya : "Bagus sekali, kalian orang-orang dari partai Thiam cong pun hendak menganiaya diriku..." Dari dalam sakunya dia ambil keluar sebuah angkin yang ditengkuk-tengkuk, dalam suatu getaran yang ringan ikat pinggang itu segera menari di tengah udara...
Terkesiap hati Thiam cong Su Loo empat kakek tua itu tatkala dilihatnya ikat pinggang yang di tangan perempuan itu bergetar lurus bagaikan tongkat sakti, mengertilah beberapa orang itu bahwa tenaga lweekang yang dimiliki Liuw Koei hui telah mencapai kesempurnaan.
Ouw-yang Gong selama ini membungkam tiba-tiba mencaci maki dengan nada keras : "Nenek bajingan...
perempuan jelek... wajahmu betul- betul lebih jelek dari kentut busuk..." Berkerut sepasang alis Liuw Koei hui mendengar makian itu, wajahnya berubah jadi sedih sambil menoleh tanyanya : "Benarkah aku sangat jelek?" "Haaaah...
haaaah... haaaah... wajahmu begitu jelek hingga persis seperti burung gagak...
kalau dibandingkan dengan perempuan lain yang begitu cantik jelita...Oooh...
wajahmu nampak lebih peyot dan lebih jelek hingga melebihi ibunya siluman babi..." "Omong kosong," hardik Liuw Koei hui nyaring, "mulutmu sangat kotor, kuhajar remuk mulutmu yang usil itu..." Sambil putar badan ikat pinggangnya dengan cepat berubah jadi sekilas cahaya merah langsung membelenggu tubuh Ouw-yang Gong dan disentaknya ke belakang.
Tidak ampun tubuh kakek tua itu tertarik dan terbelenggu hingga sama sekali tak dapat berkutik.
Dengan hati terkejut Ouw-yang Gong berteriak keras : "Aduh...
nenek moyangku.. ilmu siluman apa yang kau miliki..." Plook! Liuw Koei hui menggaplok pipi kakek konyol itu keras-keras, bentaknya : "Coba ulangi kata-katamu barusan, katakan kalau aku jelek." "Nenek peyot yang jelek dan tak punya lubang pantat kau berani memukul diriku..." Liuw Koei hui tiba-tiba berdiri tertegun, lalu sahutnya : "Dari mana kau bisa tahu kalau aku tak punya...?" Nah! Coba lihatlah sendiri..." Dasar otaknya memang tidak waras, terutama setelah ditinggalkan Cia Ceng Gak, dalam sedihnya perempuan ini semakin sinting dan perbuatan apa pun dapat dilakukan olehnya.
Kadangkala ia mendusin seperti orang biasa, kadangkala sinting melebihi orang gila.
Setelah dimaki oleh Ouw-yang Gong barusan, ia jadi amat gusar hingga kesadarannya mulai mengabur, dalam sintingnya ia benar-benar lepas celana dan perlihatkan lubang pantatnya kepada semua orang.
Empat kakek dari partai Thiam cong belum pernah menjumpai pertarungan semacam ini, melihat perempuan itu lepas celana mereka jadi ketakutan dan masing-masing berebut untuk kabur dari dalam ruangan itu.
Ouw-yang Gong sendiri pun jadi amat gelisah, teriaknya sambil goyangkan tangannya berulang kali : "Jangan lepas celana...
Jangan lepas celana..." "Apa?" Kau tidak jadi melihat lubang pantatku?""..." seru Liuw Koei hui dengan mata melotot.
Ouw-yang Gong semakin gelisah, dalam keadaan begini ia kehabisan daya dan cuma bisa berdiri dengan mulut melongo.
Sang Kwan In bisa merasakan situasi yang semakin kalut, tiba-tiba menghardik keras : "Liuw Koei hui, kau sudah edan..." Bentakan ini menggunakan ilmu raungan singa yang amat hebat, suara bentakan itu bagaikan guntur yang membelah bumi di siang bolong.
Sekujur badan Liuw Koei hui gemetar keras dan sadarlah ia dari sintingnya.
Liuw Koei hui tertegun lalu dengan gusar membentak : "Bangsat, kesemuanya ini gara-gara kau si telur busuk tua..." Dalam malu dan gusarnya cepat-cepat pakaiannya dikenakan kembali, lalu melemparkan tubuh Ouw- yang Gong ke depan hingga menumbuk di atas dinding tembok keras-keras.
Tidak berhenti sampai di situ saja, ikat pinggangnya kembali berkelebat menyambar sepasang kaki Ouw- yang Gong, sekali sentak tubuh kakek tua itu kembali melayang di tengah udara.
Si kakek konyol itu tak menyerah dengan begitu saja, huncweenya segera berkelebat langsung dihantam ke atas batok kepala Liuw Koei hui.
Perempuan itu tertawa dingin, ejeknya : "Aku mau bunuh dirimu hingga mati...
aku mau siksa tubuhmu lebih keji daripada digorok dengan pisau..." Ikat pinggangnya berputar beberapa kali, dalam waktu singkat ia sudah gulung seluruh tubuh Ouw- yang Gong kencang, sekali menyentak badannya mencelat ke udara.
"Sungguh lihay... " teriak Ouw-yang Gong.
Rupanya Liuw Koei hui memang menyiksa kakek tua itu habis-habisan, ikat pinggangnya diputar sedemikian rupa sehingga tubuh Ouw-yang Gong berputar di udara dengan kencangny...
"Oooh..." Ouw-yang Gong mendengus berat, tiba-tiba ia muntah darah segar, begitu pening kepalanya hingga kakek ini jadi bingung di manakah ia berada saat itu.
"Lepaskan dia..." mendadak terdengar bentakan yang keras berkumandang di angkasa.
Cahaya pedang yang tajam dan menyilaukan mata melintas lewat.
Creet! Ikat pinggang di tangan Liuw Koei hui putus jadi dua bagian sementara badan Ouw-yang Gong meluncur keluar dari ruangan itu.
Liuw Koei hui terperanjat, ia angkat kepala dan memandang ke arah mana berasalnya cahaya pedang tadi.
Terlihatlah seorang pemuda berwajah dingin dengan mencekal sebilah pedang berdiri di hadapannya,air muka orang itu pucat pias tak bercahaya, sekilas memandang siapa pun tahu bahwa pemuda ini baru saja sembuh dari sakit.
"Siapa kau?"" tegur Liuw Koei hui dengan nada tercengang.
"Pek In Hoei!" jawab orang itu sambil tertawa.
"Ilmu silat yang kau miliki mirip sekali dengan kepandaian yang dimiliki Toan Hong ya..." Dalam pada itu air muka Liuw Koei hui berubah hebat, ia bergumam seorang diri : "Pedang penghancur sang surya...
pedang penghancur sang surya...pedang itu miliki Cia long ku!" Sejak munculnya pedang mestika itu, wajah Liuw Koei hui berubah hebat bibirnya jadi pucat pias sementara air mata jatuh bercucuran membasahi pipinya, ia merintih penuh penderitaan, rambutnya berdiri kaku bagaikan jarum.
Dengan wajah murung bercampur sedih ia maju selangkah ke depan, teriaknya keras : "Kekasih Cia...
Kekasih Cia... pedangmu..." mendadak ia berteriak kalap, "pedang itu milik kekasih Cia, Pek In Hoei! Dari mana kau dapatkan pedang itu?" Pek In Hoei tertegun, dengan pandangan tercengang ditatapnya wajah Liuw Koei hui yang sinting dan tidak waras otaknya itu, kemudian jawabnya dingin : "Pedang itu milik Su-couw-ku!" "Sekarang...
sekarang dia berada di mana?" tanya Liuw Koei hui dengan badan gemetar keras.
Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tertegun, ia tak mengira orang itu mengajukan pertanyaan semacam itu, bagaikan hatinya tergodam oleh martil besar tubuhnya yang kekar gemetar keras, terbayang kembali pemandangan di kala ia temukan pedang mestika itu.
Ditariknya napas panjang-panjang untuk menekan golakan hati yang kencang, serentetan sorot mat yang dingin dan tajam memancar keluar dari balik matanya.
"Aku sendiri pun tak tahu sekarang ia berada di mana!" jawab pemuda itu kemudian sambil menggeleng.
Dengan amat sedih Liuw Koei hui menghela napas panjang, ia memandang wajah Pek In Hoei yang tampan dengan terpesona lalu menangis tersedu- sedu, rasa sedih yang tertumpuk dalam dadanya selama banyak tahun dilampiaskan keluar semua.
Beberapa saat kemudian ia berhenti menangis, suasana berubah jadi hening dan tak kedengaran sedikit suara pun...
Lama...lama sekali... akhirnya Ouw-yang Gong pertama-tama yang tak sanggup menahan diri, ia mendengus dingin lalu dengan telapaknya yang besar menyeka noda darah yang mengotori ujung bibirnya, wajah Liuw Koei hui ditatap dengan penuh kemarahan, begitu sorot matanya terbentur dengan mata perempuan itu ia berseru tertahan dan segera melengos kembali ke arah lain seolah-olah kakek itu telah melihat sesuatu yang mengerikan.
Liuw Koei hui mendengus gusar, tegurnya dengan suara benci : "Apa yang kau dengusi?"" Ouw-yang Gong tertegun lalu tertawa paksa : "Aku...
aku..." Mendadak kakek itu teringat kembali bahwa barusan ia hampir mati di tangan perempuan gila ini, hawa gusar serta rasa bencinya segera muncul kembali dalam hatinya, kontan ia memaki : "Nenek jelek sialan, kau adalah barang rongsokan dari mana yang dibuang oleh orang lelaki...
bangsat! Kenapa amarahmu mesti dilampiaskan kepada aku si ular asap tua?" Perempuan bajingan kali ini kau sudah tepat menemukan pasanganmu, aku tak punya apa- apa kalau kau suka kawin dengan diriku berarti siap- siaplah menahan lapar!" Dengan pandangan benci Liuw Koei hui melotot sekejap ke arahnya, kalau Ouw-yang Gong adalah sebatang besi mungkin sedari tadi sudah ditelan bulat.
Ouw-yang Gong terperanjat, teriaknya : "Oooh...
nenekku! kau jangan cabut jiwa tuaku ooo..." Ia sendiri pun tidak tahu apa sebabnya Liuw Koei hui bisa begitu menakutkan bagi dirinya, membuat ia tak kuasa menahan diri, sambil berteriak kakek itu putar badan dan tiba-tiba kabur keluar.
"Kembali! bentak Liuw Koei hui.
Ouw-yang Gong gemetar keras, tanpa sadar ia menghentikan langkah tubuhnya dan berdiri kaku.
"Apa yang hendak kau lakukan?" "Aku melarang kau untuk keluar dari sini." "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... perempuan siluman rupanya kau benar-benar hendak menelan aku si ular asap tua..." seru Ouw-yang Gong sambil tertawa seram.
Liuw Koei hui tertawa dingin, sorot matanya yang tajam bagaikan pisau belati menatap wajah Pek In Hoei tak berkedip sementara Ouw-yang Gong betul- betul tak berani keluar dari ruangan itu.
"Haaaah... haaaah... haaaah... Pek In Hoei serahkan pedang mestika penghancur sang surya itu kepadaku," seru Liuw Koei hui sambil ketawa keras.
"Kau mau apa?" tanya Pek In Hoei.
"Pedang itu milik kekasihku, harap kau suka kembalikan kepadaku..." Pek In Hoei merasa agak kasihan melihat keadaan orang yang begitu tergila-gila oleh sucouwnya, diam- diam ia menghela napas gelengkan kepalanya.
"Pedang mestika dari partai Thiam cong selamanya tak akan dibiarkan terjatuh ke tangan orang lain..." "Aku toh istrinya Cia Ceng Gak, masa juga dianggap sebagai orang luar"..." seru Liuw Koei hui tertegun.
"Aaaa..." Sang Kwan In menghela napas panjang.
"Liuw Koei hui, kenangan manis selama dua puluh tahun telah berlalu bagaikan impian, yang sudah lalu biarlah lalu, kenapa kau mesti mengenangkan terus di dalam hati...?"Maksudmu aku bukan istrinya Cia Ceng Gak..." Sang Kwan In menggeleng.
"Cinta kasih yang bukan muncul dari hati yang suci hanya mirip telaga yang tenang, meskipun sebutir batu bisa mengakibatkan riak yang keras tapi itu hanya akan berlangsung sebentar saja menjadi tenang kembali dan kenangan tetap tinggal kenangan, sedikit pun tak akan meninggalkan bekas apa pun jua!" "Jadi kalau begitu kau maksudkan Cia long sama sekali tidak mencintai diriku?" tanya Liuw Koei hui dengan badan gemetar.
Sang Kwan In menghela napas panjang.
"Napsu birahi hanya akan membakar badan, ketika itu Cia Ceng Gak hanya ingin melampiaskan napsu birahinya belaka, dalam hati kecilnya benar-benar tiada rasa cinta yang mendasari.
Waktu itu kalian berdua memang tiap hari terjerumus dalam permainan cinta yang hangat dan mesra tetapi setelah salah satu pihak menemukan bahwa dirinya sama sekali tidak mencintai pihak lawan, maka hubungan cinta yang tidak sempurna ini segera akan berantakan..." Liuw Koei hui terkesiap.
"Aku percaya bahwa aku benar-benar mencintai dirinya, aku rasa kau tentu mengetahui bukan semua peristiwa dari permulaan hingga akhirnya?"" Aku bisa tergila-gila kepadanya itu membuktikan bahwa aku betul-betul mencintai dirinya dengan setulus hati..." "Kau sama sekali tidak mencintai dirinya dengan setulus hati," kata Sang Kwan In sambil tertawa getir.
"Tapi cintamu muncul karena kau membutuhkan sesuatu darinya, atau lebih tegasnya lagi kau hanya membutuhkan birahi! Napsu birahi telah membakar hangus hatimu,Liuw Koei hui, bukankah ucapanku tidak salah?"?" "Aku..." seru Liuw Koei hui tertegun.
Kembali Sang Kwan In geleng kepala.
"Selama hidup di istana negeri Tay li, setiap hari kau hanya dirundung oleh kesepian, lama kelamaan dalam hati kecilmu timbul suatu kebutuhan yang merangsang hatimu, maka setiap hari kau berharap bisa memperoleh seorang pria yang dapat memberi kegembiraan serta hiburan bagimu.
Sejak Cia Ceng Gak masuk ke dalam istana Tay li, kau mulai kehilangan martabatmu serta gengsimu sebagai seorang perempuan, kau berusaha keras untuk mendapatkan hatinya, karena itu kecuali kau gunakan badanmu serta daya pikatmu untuk merangsang orang, kau sama sekali tidak mengerti akan arti cinta yang sebenarnya, yang kau butuhkan hanya napsu birahi dan bukan cinta yang senjati..." "Apakah birahi bukan satu bagian dari penghidupan?" tanya Liuw Koei hui tercengang.
"Oooh... antara cinta murni dan napsu birahi tentu saja bedanya amat jauh, meskipun di dalam perjalanan hidup seorang manusia membutuhkan ke-dua-duanya tetapi cinta yang murni keras bagaikan batu emas yang sukar dibelah sebaliknya napsu birahi lebih banyak kerugiannya daripada keberuntungan, kerugian yang bisa memusnahkan diri sendiri..." "Hmmm!" tiba-tiba Liuw Koei hui mendengus.
"Pandangan yang picik! Andaikata setiap orang mempunyai jalan pikiran semacam kau, suami istri yang ada di kolong langit bisa pensiun dari pekerjaan rutin mereka! Mungkin ucapanmu itu bisa membohongi seorang gadis yang tak tahu urusan, untuk menakuti diriku...
Ooooh salah alamat..." Sang Kwan In menghela napas panjang.
"Aaai... hubungan antara suami dan istri hanya dilakukan secukupnya, dalam kitab Thian Li Keng pernah dikatakan : 'Kalau istri mencintai sang suami maka mereka harus saling hormat menghormati, saling percaya mempercayai, dalam setiap tindakan harus dipikirkan dulu matang-matang, jaga baik-baik kesehatan sang suami, terlalu mengumbar napsu birahi hanya akan menghancurkan tubuh sendiri, ingat...
ingat...' oleh sebab itu, bila seseorang betul amat mencintai suaminya, maka tidaklah pantas kalau yang diburu setiap harinya hanya hubungan seks di atas ranjang..."
Seolah-olah baru mendusin dari impian, mendadak Liuw Koei hui dapat memahami sampai di manakah kesucian dari cinta sejati, dengan penuh penderitaan dia memandang atap ruangan, lama sekali tertegun lalu baru bergumam seorang diri : "Jadi kalau begitu aku telah mencelakai dirinya..." "Tentu saja," jawab Sang Kwan In sambil tertawa dingin.
"Hampir saja kau hancurkan seluruh kekuatan tubuhnya, andaikata secara diam-diam aku tidak menempuh bahaya menyusup ke dalam istana Tay li, saat itu mungkin Cia Ceng Gak sudah hancur di tanganmu tanpa kau ketahui!" Dalam hati kecil Liuw Koei hui tiba-tiba muncul kembali rasa bencinya walau ia mengerti bahwa perkataan dari Sang Kwan In amat tepat, tetapi setelah ia teringat kembali bahwa kepergian Cia Ceng Gak adalah lantaran bujukan Sang Kwan In, seluruh kegusaran serta kemurungan yang bertumpuk dalam hatinya selama banyak tahun ini segera dilampiaskan ke tubuh orang itu, dia ingin sekali hantam membinasakan orang she Sang Kwan tersebut.
Liuw Koei hui berteriak keras, ancamnya : "Sang Kwan In, kau anggap aku tak dapat membinasakan dirimu?" Sekujur tubuh Sang Kwan In gemetar keras, sahutnya : "Tentu saja kau sanggup, dan sedari dulu aku telah menduga sampai di sini..." dia tarik napas dalam- dalam, "Cuma kali ini...
mungkin aku akan mengecewakan dirimu..." Dalam pada itu Liuw Koei hui telah dapat melihat bahwa semangat tubuh Sang Kwan In amat lemas dan layu, sinar matanya pudar dan seakan-akan sedang menderita luka yang amat parah, dalam hati ia merasa terkejut, sambil maju ke depan tegurnya : "Kenapa kau?" "Aku sudah terkena pasir Thian Seng See, sekarang sudah tak ada kekuatan untuk bertempur dengan dirimu..." "Oooh...
serbuk pasir Bintang Langit adalah benda milik keluarga Toan dari negeri Tay li, siapa yang telah menggunakan benda beracun itu untuk mencelakai dirimu?" "Toan Hong ya takut aku mengalahkan dirinya dan merebut kedudukan sebagai jago nomor satu di wilayah selatan, karena itu secara diam-diam ia telah menggunakan siasat licik untuk membuyarkan hawa murniku, agar aku tak dapat menggunakan tenaga dalamku selama tiga tahun..." seru Sang Kwan In dengan gusar.
Ucapan itu sangat mengejutkan Liuw Koei hui.
"Aaah masa perbuatan Toan Hong ya?" serunya tidak percaya.
"Dia bukanlah manusia semacam itu..." Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei yang selama ini membungkam diri, tiba-tiba mendengus dingin dan berkata : "Toan Hong ya adalah seorang manusia yang rendah dan tak tahu malu, ketika bergebrak melawan diriku ia telah mengeluarkan ilmu berpusingnya yang mana hampir saja merengut selembar jiwaku, aku tahu tujuan orang ini tidak terletak padaku, pada gagang pisau Han Giok tersebut telah ia bubuhi selapis serbuk pasir bintang langit yang tak berwujud dan tak berbau.
Waktu itu Sang Kwan Kokcu tidak siaga, ketika badik tadi dicabut keluar dari badanku, tanpa sadar ia telah keracunan..." Dengan pandangan penuh kebencian Liuw Koei hui melotot sekejap ke arah Pek In Hoei, lalu ejeknya dengan suara dingin : "Dengan kedudukan apa kau hendak berbicara dengan diriku..." Pek In Hoei tertegun, kemudian dengan penuh kegusaran teriaknya : "Sekalipun kau adalah sahabat sucouwku tapi maaf aku tak dapat menghormati dirimu lagi.
Liuw Koei hui sekarang juga harap kau enyah dari sini, kalau tidak jangan salahkan kalau aku tak akan bersikap sungkan-sungkan lagi terhadap dirimu..." "Bocah cilik, kau berani bersikap kurang ajar terhadap diriku..." hardik Liuw Koei hui penuh kegusaran.
Saking marahnya ikat pinggang yang berada di dalam genggamannya segera diayun ke muka, sementara telapak kanannya ditabok ke tubuh musuh.
Dengan tangkas Pek In Hoei meloncat ke samping, pedangnya berkelebat ke atas lalu membabat di tengah udara.
Dalam pada itu telapak tangan Liuw Koei hui sedang menyongsong ke muka, melihat ancaman yang datang dari ujung pedang lawan ia terkesiap, cepat- cepat perempuan itu tarik kembali tangannya sambil mundur ke belakang.
"Hmmm," Pek In Hoei mendengus dingin.
"Rupanya ilmu silat yang kau miliki cuma begitu saja..." Meskipun luka parah yang dideritanya belum sehat benar-benar dan hawa murninya tak berani disalurkan, tetapi ilmu pedang penghancur sang surya telah dikuasai benar-benar, walau cuma kebasan yang enteng tetapi mendatangkan kelihayan yang ada di luar dugaan.
Ilmu silat yang dimiliki Liuw Koei hui memang lihay dan ampuh, tetapi setelah berjumpa dengan serangan yang begitu mengerikan, tanpa sadar perempuan ini dibikin kelabakan juga.
Pedang di tangan Pek In Hoei bagaikan seribu ular yang licin berkelebat maju ke depan di kala tubuh Liuw Koei hui mundur ke belakang, perempuan ini semakin ketakutan hingga secara beruntun ia mundur beberapa langkah ke belakang.
Dengan hati tercekat bercampur gusar, Liuw Koei hui membentak keras : "Bajingan cilik, kau berani menganiaya diriku..." Kesadarannya saat itu telah pulih kembali, ia tahu bahwa luka parah yang diderita Pek In Hoei belum sembuh dan ia tak dapat mengerahkan tenaga dalamnya, sambil tertawa dingin sepasang telapaknya segera bergetar melancarkan serangan secara berbareng.
Angin pukulan menggulung bagaikan bukit, tajam bagaikan pisau.
Pek In Hoei merasakan mulut lukanya amat sakit, pedang dalam genggamannya tak bisa digunakan sehebat semula lagi, hatinya tercekat dan di dalam hati pikirnya : "Ilmu telapak yang dimiliki Liuw Koei hui amat aneh serangannya yang amat kuat, dalam keadaan luka parah seperti ini aku tak akan bisa bertahan terlalu lama, setiap saat mulut lukaku bisa pecah kembali..." berpikir sampai di situ ia membentak keras, pedangnya laksana kilat berkelebat ke arah depan.
Liuw Koei hui terkesiap tanpa terasa ia teringat kembali akan diri Cia Ceng Gak tatkala masih berada di dalam istana negeri Tay li, begitu gagah dan keren, pemuda di hadapannya sekarang tidak kalah dengan kegagahan kekasihnya dahulu.
Sedikit pikiran bercabang, lengannya telah terkena satu tusukan yang telak, darah segar mengucur keluar membasahi tubuhnya.
"Ooooh..." Liuw Koei hui berseru tertahan, "Kau...
kau..." "Aku harap kau segera enyah dari sini!" hardik Pek In Hoei ketus.
Liuw Koei hui memeriksa mulut luka di atas lengannya, setelah tahu bahwa luka yang dideritanya hanya luka kulit luar yang amat enteng, ia tertawa seram, serunya dengan penuh kegusaran : "Sucouw-mu pun tak berani bersikap begini kurang ajar terhadap diriku, kau sebagai seorang angkatan muda berani tak pandang sebelah mata terhadap diriku...
kurang ajar!" Rupanya ia merasa amat sedih, dengan benci tambahnya : "Sebelum kuhancur-lumatkan tubuhmu jadi beberapa bagian, rasa dendam dan benciku terasa belum terlampiaskan." Tiba-tiba dari luar ruangan berkumandang datang suara gelak tertawa yang amat nyaring, bergema di tengah malam suaranya mengguncangkan seluruh dinding ruangan, air muka Sang Kwan In seketika berubah jadi pucat pias bagaikan mayat, dengan sinar mata ketakutan ia melongok keluar ruangan.
"Oooh... Toan Hong ya telah datang!" bisik Liuw Koei hui lirih.
Sedikit pun tidak salah, bersamaan dengan sirapnya gelak tertawa itu sesosok bayangan manusia muncul di depan pintu, tampak Toan Hong ya dalam pakaian kebesarannya dengan senyum licik menghiasi bibirnya selangkah demi selangkah berjalan masuk ke dalam.
Buru-buru Liuw Koei hui jatuhkan diri berlutut di atas tanah, serunya : "Yang Mulia ban swie...
ban ban swie." "Haaaah...
Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
haaaah... haaaah... bagus, rupanya kau masih belum melupakan diriku," ujar Toan Hong ya sambil tertawa tergelak.
"Budi kebaikan Yang Mulia kepada kau yang rendah sudah banyak tak terhingga, mana berani hamba melupakan diri Yang Mulia..." "Ehmm, kau boleh bangkit berdiri!" "Terima kasih Yang Mulia!" sahut Liuw Koei hui sambil bangkit berdiri, dengan tangan lurus ke bawah dan kepala tertunduk ia mundur ke samping.
Haruslah diketahui meski negeri Tay li punya nama tak berkekuasaan, tapi peraturan dalam keluarga Toan amat ketat, hubungan antara junjungan dengan bawahan masih dipertahankan hingga kini.
Sekali pun Liuw Koei hui ketika itu telah bebas dari belenggu keraton, namun setelah kemunculan Toan Hong ya di situ, tanpa sadar ia pun memberi penghormatan sebagaimana layaknya.
Dalam pada itu Toan Hong ya telah melirik ke arah Liuw Koei hui, lalu tegurnya : "Mau apa kau berada di sini?"" "Aku..." mendadak sekujur badan Liuw Koei hui gemetar keras.
Toan Hong ya tertawa seram.
"Apakah mereka telah menganiaya dirimu?"" Berada di hadapan Toan Hong ya ternyata Liuw Koei hui tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun, penghidupannya selam banyak tahun di dalam istana Tay li tanpa terasa telah menciptakan rasa jeri dan takut yang tak terhingga terhadap junjungannya ini, setiap kali perempuan itu bertemu dengan Toan Hong ya, ia tentu merasa dirinya rendah dan tak berani memandangnya secara langsung.
Dengan suara dingin terdengar Toan Hong ya berkata kembali : "Keluarga Toan kami turun temurun hidup dalam kemegahan, belum ada suatu partai dalam dunia persilatan yang berani memandang enteng keluarga Toan kami.
Sekarang kau mendapat penghinaan di tempat ini, tentu saja aku Toan Hong ya aku..." "Hey manusia she Toan, rupanya kau hendak merampok di kala terjadi kebakaran..." sindir Sang Kwan In sambil tertawa dingin.
"Hmmm! Kematianmu sudah berada di ambang pintu, kau masih berani menyindir diriku...
benar-benar manusia tak sadar diri..." Ia mendengus dingin, sorot matanya dialihkan ke atas wajah Liuw Koei hui dan menambahkan : "Apakah kau inginkan aku yang mengambil keputusan bagimu..." "Terserah kepada Yang Mulia, aku yang rendah mengucapkan banyak terima kasih atas budi kebaikan Hong ya..." Kembali ia hendak jatuhkan diri berlutut tapi dengan cepat Toan Hong ya telah berseru mengucapkan terima kasihnya lalu mengundurkan diri ke belakang.
Sementara itu Toan Hong ya telah alihkan sinar matanya ke atas Pek In Hoei, sambil tertawa dingin jengeknya : "Hmmm...
kau belum modar?" Dengan penuh kebencian Pek In Hoei melotot sekejap ke arah Toan Hong ya, lalu jawabnya : "Hmmm...! Badik Han Giok mu masih belum mampu untuk mencabut jiwaku..." hawa amarah bergelora di dalam dadanya, telapak kanan segera didorong ke muka sambil menggetarkan ujung badannya.
"Aku ingin minta petunjuk darimu, ayoh silahkan turun tangan!" Toan Hong ya melengak, ia tidak menyangka kalau watak si anak muda ini begitu keras kepala, dalam keadaan terluka parah ia masih menantang dirinya bertempur.
Sambil tertawa terbahak-bahak segera katanya : "Haaaah...
haaaah... haaaah... bocah keparat, takabur amat kau ini! Dalam keadaan luka kau masih berani keras kepala main tantang, hmm! Kau anggap aku orang she Toan adalah manusia apa, aku tak akan menggunakan kesempatan seperti ini untuk turun tangan terhadap dirimu.
Haaah... haaah... menunggu kesehatanmu sudah pulih kembali seperti sedia kala, aku pasti akan mencari dirimu..." Ia maju ke depan dengan langkah lebar kepada Sang Kwan Kokcu tegurnya : "Sang Kwan In bagaimana dengan urusan kita berdua?" "Coba kau lihat, apakah aku mampu untuk turun tangan?" Toan Hong ya pura-pura menunjukkan wajah kaget, dengan suara keheranan tanyanya lebih jauh : "Kenapa" Apakah Sang Kwan heng sedang menderita sakit?" "Hmmm! Pada gagang badik Han Giok kau telah membubuhkan serbuk pasir bintang langit, siasat licik semacam ini sungguh jauh di luar dugaanku.
Mulai detik ini selama tiga tahun wilayah selatan tak akan ada orang yang sanggup memperebutkan kedudukan jago nomor wahid lagi dengan dirimu..." "Ooooh...
Toan Hong ya berseru keheranan.
"Betulkah telah terjadi peristiwa semacam ini" Meskipun serbuk pasir Thian Seng Soe adalah benda pusaka milik keluarga Toan kami, tapi aku Toan Hong ya tidak nanti akan melakukan perbuatan semacam itu...
Ehmmm sekarang aku telah teringat, perbuatan ini pastilah hasil karya dari muridku yang goblok itu, beberapa hari berselang ia pernah menggunakan badik Han Giok-ku untuk membakar pasir bintang langit...
pastilah begitu." "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... apa gunanya kau bermain sandiwara di hadapanku" Jalan pikiranmu mungkin bisa mengelabui orang lain, tapi jangan harap bisa mengelabui sepasang mataku..." "Jadi kalau begitu Sang kwan heng benar percaya bahwa perbuatan ini adalah suatu kesengajaan..." "Aku percaya dengan ketajaman mataku, apa yang pernah kulihat dan kudengar sudah cukup untuk membuktikan bahwa kau berbuat demikian..." jawab Sang Kwan In dengan wajah sinis.
"Apa yang pernah kau lihat?" bentak Toan Hong ya.
"Dengan mata kepala sendiri aku pernah melihat kau gunakan Liuw Koei hui untuk mencelakai Cia Ceng Gak, aku masih ingat ucapanmu terhadap Liuw Koei hui pada saat itu..." Air muka Toan Hong ya berubah hebat : "Urusan yang kau ketahui terlalu banyak, aku tak boleh membiarkan dirimu hidup terlalu lama di kolong langit..." Diam-diam Sang Kwan In merasa hatinya tercekat, tetapi di luaran tetap ia bersikap tenang, sambil mendengus dingin katanya : "Aku sudah tahu bahwa kau tak akan membiarkan aku tetap hidup di kolong langit, cuma usahamu itu sia-sia belaka.
Sebab sejak aku mengetahui akan peristiwa itu, maka semua kejadian yang kuketahui telah kucatat di dalam sejilid kitab ilmu silat, asal kau berani turun tangan terhadap diriku maka kejadian itu akan diumumkan oleh seseorang kepada khalayak ramai, agar semua orang kangouw mengetahui akan tabiatmu dan keluarga Toan selamanya dicemooh orang..." "Siapakah orang itu?" tanya Toan Hong ya dengan wajah serius.
"Orang itu bukan lain adalah orang yang ingin kau celakai, coba pikirkanlah kecuali Cia Ceng Gak siapa lagi yang hendak kau lenyapkan" Mungkin dalam hati kecilmu sudah mengerti..." "Dia belum mati?" teriak Toan Hong ya dengan sepasang mata terbelalak lebar.
"Meskipun dia masih hidup keadaannya tidak jauh berbeda dengan keadaan orang mati..." Toan Hong ya menghela napas panjang, hatinya terasa agak lega, katanya seram : "Sekarang aku sudah mendapatkan satu akal untuk menghadapi dirimu, Sang Kwan In! Lima puluh ribu orang yang berada di dalam selat Seng See Kok, malam ini jangan harap ada yang bisa keluar dari sini, bila aku orang she Toan tidak berhasil melenyapkan dirimu, malam ini aku betul-betul akan merasakan makan tak enak tidur tak nyenyak..."
Ia tertawa tergelak, kepada Liuw Koei hui ujarnya : "Sekarang kau boleh membalas dendam waktu itu andaikata tiada Sang Kwan In maka Cia Ceng Gak tak akan meninggalkan dirimu, kalau kau hendak mencari bibit penyakitnya maka keparat tua inilah yang paling menjemukan..." "Benar! Aku harus membinasakan dirinya untuk membalas dendam..." sahut Liuw Koei hui sambil menggertak gigi.
Sesudah menjerit lengking bagaikan orang kalap, perempuan itu meloncat ke muka, sepasang lengannya direntangkan dan langsung mencengkeram tubuh Sang Kwan In.
"Hmmm, lebih baik tenangkan dulu hatimu!" dengus Pek In Hoei dengan suara dingin.
Pemuda ini menyadari bahwa ketika itu Sang Kwan In sama sekali tak bertenaga untuk angkat tangannya, jelas serangan kalap dari Liuw Koei hui susah untuk dihindari.
Pedangnya segera berkelebat membabat punggung perempuan itu secara sadis.
Sreeet...! Sepasang lengan Liuw Koei hui hampir saja mengenai tenggorokan dari Sang Kwan In, pada saat yang amat kritis itulah desiran angin tajam menyapu datang dari belakang punggungnya, membuat perempuan itu tercekat hatinya dan buru-buru menyingkir ke samping.
Pek In Hoei tak mau memberi kesempatan bagi lawannya untuk pergi ganti napas, lengannya kembali bergerak cepat, tiba-tiba ujung pedangnya dari arah bawah menyusup ke atas dan langsung menotok telapak tangan lawan.
Serangan macam ini sungguh berada di luar dugaan Liuw Koei hui, ia tarik telapaknya sambil menyusup mundur lagi ke belakang, tapi waktu sudah tak mengijinkan, telapaknya tahu-tahu tertusuk telak dan darah segar mengucur keluar membasahi seluruh lengannya.
"Hmmm!" setelah dua kali beruntun Liuw Koei hui terluka di ujung pedang lawan, hawa gusar yang bergelora di dalam hatinya sukar tertahan lagi, sambil memandang telapak tangannya yang berlumuran darah ia berteriak keras.
Air muka Toan Hong ya berubah hebat, serunya : "Kau boleh mundur dari sini, sakit hati ini biarlah aku yang membalaskan bagimu." Liuw Koei hui gelengkan kepalanya, "andaikata aku tak bisa membunuh sendiri bajingan ini, hamba bersumpah tak akan keluar dari selat Seng See Kok ini lagi.
Tadi ia telah melukai lengan kiriku dan sekarang ia lukai lagi telapakku, sakit hati ini selamanya tak akan beres sebelum aku berhasil menghancur-lumatkan tubuhnya..." "Perempuan edan!" maki Pek In Hoei dengan gusarnya, "kalau kau masih saja tak tahu diri, jangan salahkan kalau aku akan turun tangan keji terhadap dirimu..." Liuw Koei hui betul-betul sudah dibikin gusar bercampur mendongkol hingga sukar untuk mengendalikan diri lagi, sekujur badannya gemetar keras, sambil meraung kalap ia memandang sekejap ke arah Toan Hong ya tanyanya : "Bolehkah aku membinasakan dirinya?"" "Kau tak akan sanggup!" jawab Toan Hong ya sambil geleng kepala.
Sorot matanya beralih ke atas wajah pemuda itu, dengan wajah dilapisi napsu membunuh, kaisar she Toan ini tertawa dingin, telapak kanannya perlahan- lahan diangkat ke atas lalu berjalan menghampiri si anak muda itu.
Pek In Hoei tercekat hatinya, sambil mencekal pedang ia berdiri tegak tak berkutik, katanya : "Bagus sekali, mari kita berduel untuk menentukan siapa bakal hidup dan siapa bakal mati..." "Hmmmm! Dalam seranganku ini akan kucabut selembar jiwamu..." bentak Toan Hong ya dengan wajah menyeramkan.
Telapak kanannya diayun ke tengah udara, serentetan cahaya tajam yang amat menyilaukan mata segera meluncur ke depan membuat Pek In Hoei tak sanggup untuk membuka matanya.
"Aaaah... ilmu pukulan penembus awan!" seru Sang Kwan In dengan wajah berubah hebat.
Blaaam...! Pek In Hoei segera merasakan tenggorokannya jadi anyir badannya mundur tujuh delapan langkah ke belakang dengan sempoyongan, ia mendengus kesakitan dan berteriak : "Sungguh licik perbuatanmu!" Belum habis ia berseru, darah segar telah muncrat keluar dari mulutnya, tidak ampun lagi tubuhnya roboh tak sadarkan diri di atas tanah.
Belum sampai satu jurus Pek In Hoei telah roboh tak sadarkan diri, kejadian ini amat mengejutkan hati Sang Kwan In sehingga air mukanya berubah hebat, saking gelisahnya ia ikut muntah darah segar.
"Aaaai... takdir... takdir... Thian rupanya memang sudah akan mencabut jiwaku..." gumamnya dengan wajah sedih.
Sementara itu Ouw-yang Gong yang selama ini membungkam diri ikut mengucurkan air mata ketika menyaksikan si anak muda itu roboh terluka, serunya keras-keras : "In Hoei...
In Hoei... ayoh bangkit dan pertahankan diri!" Dengan wajah penuh penderitaan ia menarik lengan Pek In Hoei, tapi pemuda itu sudah jatuh tak sadarkan diri, wajahnya pucat bagaikan mayat, darah kental masih mengucur keluar membasahi bibirnya, keadaan pemuda ini tidak jauh berbeda bagaikan orang mati.
"Aku akan membalaskan dendam bagimu," teriak si kakek konyol itu dengan badan gemetar keras, "Pek In Hoei, aku akan mati bersama-sama dirimu..." Dengan sedih ia tertawa keras, huncwee gedenya dicabut keluar dari pinggangnya, dengan sepasang mata melotot besar ia lancarkan sebuah totokan ke atas tubuh kaisar itu.
"Huuh... setan mulut usil, kau masih bukan tandinganku...
lebih baik tak usah mencari penyakit bagi diri sendiri," ejek Toan Hong ya sambil geserkan badannya ke samping.
Serangan yang dilancarkan Ouw-yang Gong semakin gencar, makinya kalang kabut.
"Kentut busuk ibumu yang ke-tujuh puluh dua kalinya.
Huuh... kau sendiri kaisar apa" Kaisar yang lebih bau dari kentut anjing, sejak dilahirkan aku sudah mempunyai jiwa bajingan, aku paling suka mencari gara-gara dengan orang berpangkat macam dirimu!" Tokoh sakti yang usil mulut ini adalah seorang jago yang amat setia kawan, selama hidupnya ia hanya merasa amat cocok dengan Pek In Hoei seorang, setelah dilihatnya sahabat karibnya ini terancam bahaya ia jadi lupa keadaan, ia lupa kalau musuhnya amat lihay.
Yang terpikir olehnya hanyalah adu jiwa dengan Toan Hong ya.
Apa daya kekuatan mereka tak seimbang, sekalipun serangan yang dilancarkan amat dahsyat namun setiap kali Toan Hong ya berhasil menghindarinya, cukup dengan kelitan yang amat enteng.
Lama kelamaan Ouw-yang Gong jadi penasaran juga, bentaknya dengan marah : "Eeei...
bangsat yang dipelihara anjing, kenapa kau tidak melancarkan serangan balasan?" "Haaaah...
haaaah... haaaah... asal aku turun tangan, maka jiwamu bakal melayang!" "Aaaai...
sudah, sudahlah!" mendadak Ouw-yang Gong menghentikan gerakan tubuhnya di tengah udara dan menghela napas panjang.
"Aku toh bukan tandinganmu, kenapa mesti bertempur lebih jauh" Lebih baik aku mati di hadapanmu saja." Ia pandang sekejap ke arah Pek In Hoei dalam-dalam dan menambahkan : "Pek In Hoei, aku berangkat duluan!" Watak si ular asap tua yang amat setia kawan ini terlalu berangasan, habis berkata dia segera ayunkan huncweenya menghantam ke atas batok kepala sendiri.
"Hmm," tiba-tiba Toan Hong ya mendengus dingin.
"Aku tak akan membiarkan kau terlalu keenakan." Jari tangannya laksana kilat menotok ke tengah udara, segulung desiran angin tajam tanpa menimbulkan sedikit suara pun langsung menghajar jalan darah penting di atas lengan Ouw-yang Gong, begitu cepat dan tepat serangan itu membuat orang sama sekali tak menyangka.
Sementara itu si ular asap tua hanya merasakan lengannya mendadak jadi kaku, sebelum ingatan ke- dua sempat berkelebat di dalam benaknya huncwee gede itu sudah terjatuh ke atas tanah.
Dengan penuh kebencian ia melotot sekejap ke arah Toan Hong ya lalu katanya : "Kau mau apa?" "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... aku hendak suruh kau memandang sepasang mataku." Ouw-yang Gong melengak, tanpa sadar dialihkan sorot matanya ke atas sepasang mata pihak lawannya, mendadak sekujur tubuhnya gemetar keras, sikap sedih, gusar serta takut matinya lenyap tak berbekas dan sebagai gantinya rasa girang menghiasi seluruh wajahnya.
Dari sorot mata lawannya yang amat tajam itu, Ouw- yang Gong merasa seakan-akan telah menemukan sesuatu yang sudah lama hilang dari pandangannya dan kini ia muncul kembali di depan matanya, selangkah demi selangkah tubuhnya maju ke depan, ia menyebut lirih nama seorang perempuan, nama yang selamanya tak akan dilupakan olehnya.
Ia semakin mendekati lawannya agar bisa melihat lebih jelas lagi benda di balik sorot mata lawannya itu.
"Di dalam mataku terdapat 'dia', dalam matamu terdapat aku, kau dapat menemukan 'dia' bila kau masuk ke dalam sini, marilah..." bisik Toan Hong ya dengan suara tenang.
"Malaikat yang agung akan memberikan apa yang kau inginkan..." Keadaan Ouw-yang Gong pada saat ini jauh lebih mirip sesosok mayat hidup yang tak bernyawa lagi, tubuhnya selangkah demi selangkah maju ke depan semakin menghampiri tubuh Toan Hong ya.
"Ular asap tua!" Sang Kwan In segera menghardik, "Kau telah terkena ilmu pembetot sukmanya!" Tapi Ouw-yang Gong sudah tidak mendengar lagi suara bentakan dari Sang Kwan In, sepasang matanya terpusat di atas mata lawannya, sementara sang lawan bergerak kian mendekat.
Di atas wajahnya sudah tak nampak kesedihan, kegusaran atau pun penderitaan, yang ada tinggal senyuman.
Senyuman yang terlalu dipaksakan.
Toan Hong ya tertawa terbahak-bahak, katanya : "Dalam kerajaan yang dikuasai malaikat ketenangan kau akan melupakan semua kebencian, kejahatan serta rasa dendam, yang aku butuhkan hanyalah peristirahatan yang tenang tenang...
peristirahatan yang kekal..." "Benci...
dendam... budi... ketenangan..." gumam Ouw- yang Gong dengan suara lirih.
Ketika tubuhnya tiba pada jarak dua langkah di hadapan Toan Hong ya, tiba-tiba tubuhnya gemetar semakin keras.
Toan Hong ya tahu bahwa daya ingatannya telah kabur, tanpa terasa sambil tertawa katanya lagi : "Semua benda-benda seperti itu sudah tak ada gunanya lagi bagimu, hanya hidup tenang di dalam kebun kegembiraanlah yang akan memberikan kepuasan serta kehangatan dalam hidupmu, di sana kau akan mendapatkan wanita cantik, intan permata, emas perak, arak wangi serta makanan lezat yang tak akan didapat di tempat lain..." "Hmmm..." mendadak Ouw-yang Gong mengerang keras, di saat Toan Hong ya berada dalam keadaan tidak bersiap sedia itulah mendadak ia meloncat ke depan, sepasang telapaknya laksana kilat melancarkan serangan babatan ke depan.
Blaaaam.... di tengah udara terjadi ledakan dahsyat yang menggetarkan seluruh permukaan, tubuh Toan Hong ya mencelat sejauh setengah tombak lebih dan roboh di atas tanah, sedang Ouw-yang Gong sendiri pun jatuh di atas tanah.
"Hmmm!" ke-dua orang itu sama-sama mendengus dingin lalu muntah darah segar, sesaat kemudian Toan Hong ya perlahan-lahan bangkit berdiri dan melotot sekejap ke arah Ouw-yang Gong dengan penuh kegusaran.
Sekujur tubuh si kakek konyol itu gemetar keras, diam-diam hatinya merasa tercekat, bisiknya : "Kau...
kau masih sanggup berdiri?" Toan Hong ya tertawa dingin, sambil menyeka noda darah yang membasahi ujung bibirnya ia berseru : "Aku terlalu menilai rendah dirimu, aku tak menyangka kau bisa berlagak seolah-olah terkena ilmu pembetot sukmaku dan membokong diriku di kala aku tidak siap.
Untung reaksiku sangat cepat...
kalau tidak dua pukulan dahsyatmu barusan pasti telah menyelesaikan jiwaku..." "Maknya, kau betul punya jiwa seperti kura-kura bangsat! Aku si ular asap tua mengira perbuatanku ini pasti akan berhasil membalaskan sakit hati Pek In Hoei, tak nyana kau si anak kura-kura mempunyai nasib yang begitu mujur, sudah terkena dua pukulan pun hanya menderita luka enteng, agaknya usahaku cuma sia-sia belaka, takdir telah menetapkan bahwa aku tak bisa membalas sakit hati ini lagi! Aaai...
ke- dua pukulan itu pun merupakan takdir, seandainya Sang Kwan Kokcu tidak menghardik sehingga pikiranku sadar kembali, dari mana aku bisa menghadiahkan dua buah bogem mentah kepadamu" Sayang kekuatan tubuhku masih belum cukup untuk membinasakan dirimu, kesempatan yang baik ini harus dibuang dengan percuma!" "Huuh...
peristiwa itu hanya bisa dianggap sebagai keteledoranku hingga terkena bokonganmu, cuma kesempatan baik seperti itu hanya ada satu kali saja, sekarang kau tak akan mampu untuk menciptakan kesempatan sebaik itu lagi!" ***** Bagian 29 TENTANG soal itu aku sendiri pun tahu," sahut Ouw- yang Gong sambil tarik napas dalam-dalam, "Aku pun tahu bahwa ilmu kepandaianku belum dapat menandingi dirimu, bila turun tangan lagi berarti aku mencari penyakit buat diri sendiri.
Nah! Sekarang kau boleh mulai turun tangan, aku tak akan memberikan perlawanan." "Hmmm! Rupanya kau masih tahu akan diri sendiri, tapi...
kau mesti tahu bahwa serangan yang akan kulancarkan sebentar lagi bukan permainan kanak- kanak, aku bisa membinasakan dirimu dalam sekali pukulan dan kau pun jangan menganggap aku hendak melampiaskan rasa mendongkolku, aku hanya ingin memberi sedikit kelihayan padamu!" "Apa yang hendak kau lakukan?" seru Ouw-yang Gong dengan mata terbelalak lebar.
"HAAA... haaa... haaa.... acara bagus masih ada di belakang, perlahan-perlahan kau akan mengetahui sendiri," sorot matanya mengerling sekejap ke arah Liuw Koei hui dan menambahkan.
"Totoklah dahulu jalan darah Kie-kan, Cie-ti serta Ci-Hu tiga buah jalan darahnya." Liuw Koei hui mengiakan dan segera meloncat maju ke depan, sepasang tangannya bergerak cepat, dalam sekejap mata beberapa buah jalan darah di atas tubuh si kakek konyol itu sudah tertotok.
Toan Hong ya memandang wajahnya dengan sorot mata mengerikan, ia berkata : "Untuk sementara waktu bangsat tua itu aku serahkan kepadamu, setelah kubunuh semua orang yang ada di sini, bawalah bangsat tua ini ke dalam keratonku, aku hendak baik-baik mendidiknya." "Hamba terima perintah!" sahut Liuw Koei hui sambil memberi hormat.
Toan Hong ya alihkan sinar matanya memandang sekejap wajah Sang Kwan In, lalu katanya : "Sekarang apa yang hendak kau katakan lagi?" "Hmmm! Kau hendak bacok silahkan bacok, mau bunuh silahkan bunuh, aku orang she Sang Kwan sama sekali tidak gentar, tapi aku hendak memberitahu dulu kepadamu, dalam selat Seng See Kok ini jago lihay amat banyak dan tersebar di empat penjuru, gampangan kau datang kemari dan belum tentu bisa tinggalkan tempat ini dengan seenteng mungkin sebelum berhasil keluar dari sini kau telah mati dulu di atas genangan darah." "Haaaah...
haaaah... haaaah... kiranya kau masih ingin mengandalkan empat orang kakek tua dari Partai Thiam cong itu untuk melindungi dirimu, hmmm, Sang Kwan In! Terus terang kuberitahukan kepadamu, ketika aku datang tadi putrimu serta ke-empat orang kakek tua tadi sudah mengalami nasib yang sama, mungkin pada saat ini mereka masih tertiup angin di tempat semula." "Kau telah turun tangan keji terhadap mereka?" tanya Sang Kwan In dengan nada sedih.
Toan Hong ya gelengkan kepalanya.
"Sewaktu datang kemari tadi aku tidak mempunyai rencana demikian, maka hanya kutotok jalan darah mereka, tetapi keadaan yang terbentang di depan mata saat telah memaksa diriku untuk merubah semua rencanaku, karena engkau kemungkinan besar semua orang akan mati terbunuh konyol! "Orang she Toan, sekalipun aku telah berubah jadi setan pun akan mencekik dirimu sampai mati!" sumpah Sang-kwan In dengan penuh kemarahan.
"Hmm.... Hmm.... mungkin kau tak akan memiliki kemampuan sampai sebesar itu !" Dengan pandangan licik ia menatap wajah Sang- kwan In lalu tertawa terbahak babak tapi ketika sampai di tengah jalan mendadak suara tertawanya sirap, wajahnya berkerut kencang dan memandang atas wuwungan rumah dengan mata terbelalak, dengan kaget bercampur gugup ia mundur selangkah ke belakang.
Di atas tiang penglari tampaklah sesosok bayangan hitam berdiri disitu, meskipun hanya bayangan punggungnya saja yang kelihatan secara, tetapi bayangan itu amat dikenal oleh Toan Hong ya.
Sekujur tubuhnya gemetar keras, bisiknya lirih : "Kau...
kau... Cia..." Tiba-tiba orang itu menoleh, selembar wajah yang mengerikan terbentang nyata di depan mata, sorot mata orang itu tajam seakan-akan baru datang dari akhirat, dengan suara yang dingin bagaikan sukma gentayangan orang itu berkata: "Orang she-Toan, kau tak akan menyangka bukan kalau aku masih hidup di kolong langit?" "Siapa kau?" bentak Toan Hong ya setelah menenteramkan hatinya.
' - "Aku adalah malaikat sukma..
seorang manusia yang telah terbuang dari dunianya, aku pun sesosok sukma yang penuh dengan hutang darah, aku datang ke dunia ini untuk menagih hutang-hutang darahku dengan beberapa orang, kau adalah manusia pertama yang akan kucari" Suara itu terlalu dikenal olehnya, meskipun sudah terpaut banyak tahun tetapi Toan Hong ya segera kenali siapakah orang itu setelah mendengar suaranya.
Dengan penuh ketakutan ia mundur satu langkah ke belakang, bisiknya: "Kau...
kau masih hidup?" "Aaa...
kau... adalah Ceng Gak! tiba-tiba Liuw Koei Hui menjerit lengking...
Cia Ceng Gak, kau benar-benar belum mati!' Dengan pandangan dingin orang itu menyapu sekejap ke arahnya, kemudian berkata: "Badan kasar Cia Ceng Gak telah binasa, yang ada hanyalah sukmanya yang selalu akan gentayangan di kolong langit, kejadian yang menimpa dirimu memang patut dikasihani tapi sayang cinta sepihakmu hanya suatu impian belaka, akhirnya toh nihil yang kau peroleh!" "Ceng Gak! kau masih ingat akan diriku?"" Cia Ceng Gak menghela napas panjang.
"Terhadap siapa pun aku masih ingat dengan jelas, terutama sekali terhadap kau dan Toan Horg ya, tiap hari aku selalu terkenang dan tak pernah melupakannya...." "Sungguh?" jerit Liuw Koei Hui kegirangan, "Jadi kalau begitu penantianku selama beberapa tahun tidaklah sia-sia belaka!" "Kau telah menunggu dengan sia-sia" tukas Cia Ceng Gak ketus.
"Cia Ceng Gak yang ada sekarang sudah bukan pemuda tampan pada masa yang silam lagi, wajahku memuakkan hati setiap orang, siapa yang berani hidup bersama dengan diriku lagi." "Aku....." Ketika sorot matanya bertemu dengan raut wajah lawannya yang begitu mengerikan, ucapan selanjutnya tak sanggup diteruskan lagi.
Walaupun orang jelek banyak terdapat di kolong langit tetapi tak seorang manusia pun yang mempunyai raut wajah sejelek Cia Ceng Gak saat ini.
Tatkala dilihatnya Liuw Koei Hui jadi ketakutan sehingga tak berani meneruskan kembali kata- katanya, Cia Ceng Gak segera tertawa dingin dan berkata : "Huuh...
yang kau sukai hanyalah raut wajah yang tampan, dan kini raut wajah tampan yang selama ini kau idam-idamkan telah musnah berantakan, aku tiada berharga untuk kau cintai lagi..." Mendadak ia menghela napas panjang, tambahnya : "Siapa yang tahu bagaimana kejadian hingga wajahku jadi hancur dan musnah hingga berubah jadi begini?" Toan Hong ya tersentak kaget dan menunduk dengan penuh ketakutan, keringat dingin mengucur keluar menghabisi seluruh tubuhnya, meskipun batinnya suruh ia berusaha untuk tenangkan hatinya, tetapi jantungnya tetap berdebar dengan amat keras.
"Beritahukan kepadaku, siapa yang telah menghancurkan raut wajahmu...
terdengar Liuw Koei Hui berseru dengan nada sedih.
"Setelah kuberitahukan kepadamu, apa yang hendak kau lakukan" Apakah kau dapat membalaskan sakit hatiku...
"Tentu saja, sekalipun orang yang paling akrab dengan diriku aku pasti akan membinasakan dirinya di hadapanmu juga..." "Oooo.
Kalau begitu kau benar-benar masih mempunyai rasa cinta terhadap diriku..." seru Cia Ceng Gak, ia melirik sekejap ke arah Toan Hong-ya lalu menambahkan, "Orang itu bukan lain adalah manusia yang berada di depan matamu..." Dengan hati terkesiap Toan Heng-ya angkat kepalanya, saking takut dan kedernya tak sepatah yang sanggup diucapkan keluar.
Sedang Liuw Koei Hui sendiripun merasa kejadian ini sedikit berada di luar dugaannya ia jadi gelagapan dan tak tahu apa yang mesti dilakukan.
"Orang she Toan," seru Cia Ceng Gak dengan suara berat.
"Beranikah kau mengakui akan kejadian ini?" "Kenapa aku mesti takut untuk mengakuinya?" balas Toan Hong-ya dengan suara gemetar.
Dalam pada itu Liuw Koei Hui telah berhasil menenangkan hatinya, dengan sinar mata penuh keheranan ia memandang wajah Toan Hong ya tajam-tajam, perasaan hatinya jadi kalut dan sukar dilukiskan dengan kata-kata mendadak sambil berlutut ia berkata : "Sri Baginda, kenapa kau mencelakai Ceng Gak dengan cara begitu keji"..." Toan Hong-ya menghela napas panjang.
"Sejak aku berikan dirimu kepada Cia Ceng Gak, dalam hati kecilku telah mengambil keputusan untuk menjodohkan kalian berdua hingga bisa hidup rukun hingga akhir tua nanti, siapa tahu Sang-kwan In keparat tua ini telah menghasut Ceng Cak hingga hubungan kalian jadi berantakan tak karuan, dalam sedih dan sakit hatiku akhirnya aku bersumpah untuk menemukan kembali Cia Ceng Gak guna diserahkan kembali kepadamu, bila ia tak mau kembali ke sisimu terpaksa akan kumusnahkan raut wajahnya yang tampan itu, dalam keadaan demikian terpaksa aku harus bertindak keji..." "Ku? berbuat demikian memang demi kebaikanku," kata Liuw Koei Hui hambar, "Mana mungkin aku menyalahkan dirimu dan menganggap budi sebagai dendam, Hong ya! Hamba tiada sesuatu apapun yang bisa kuberikan kepadamu untuk membalas budi kebaikanmu itu, maka harap kau suka menerima tiga buah penghormatanku sebagai tanda rasa baktiku terhadap dirimu..." "Tak usah banyak adat!" buru-buru Toan Hong-ya maju mencegah.
Baru saja tangannya menyentuh lengan perempuan itu.
Tiba-tiba Liuw Koei Hui dengan menggunakan gerakan tangan yang cepat dan aneh mencengkeram tengkuk Toan Hong-ya lalu dicekiknya dengan sekuat tenaga...
"Kau... jerit Toan Hong-ya dengan suara gemetar.
Begitu kencang cekikan itu hingga membuat pernapasan kaisar dari negeri Tayli ini terhenti sejenak, di saat yang kritis itulah timbul sesuatu kekuatan dalam tubuhnya untuk menyelamatkan diri, sekuat tenaga dia hantam tubuh Liuw Koei Hui.
Blaam...! dalam jarak yang begitu dekat, pukulan tersebut dengan telak bersarang di atas tubuh lawannya.
Dengan penuh kesakitan Liuw Koei Hui menjerit ngeri, darah segar muncrat keluar dari ujung bibirnya, ia mendengus penuh kebencian, serunya : "Hong-ya, sikapmu terhadap diriku terlalu baik, tetapi aku tak bisa menerima kebaikanmu itu, kau berani menghancurkan hidup Ceng Gak maka terpaksa akupun harus mencekik dirimu sampai mati!" Mati-matian ia cekik tengkuk kaisar itu membuat tubuh Toan Hong-ya jadi sempoyongan, matanya jadi berkunang-kunang dan dadanya terasa amat sesak, akhirnya ia tak tahan dan roboh ke atas tanah.
Tetapi sesaat sebelum menghembuskan napasnya yang penghabisan, rupanya Toan Hong-ya merasa tidak rela mati dengan begitu saja, telapaknya direntangkan lebar, ke-lima jarinya bagaikan pisau belati ditusuk ke atas dada Liuw Koei hui hingga tembus pada punggungnya.
Perempuan itu menjerit ngeri, badannya kejang dan darah segar muncrat keluar membasahi seluruh lantai, melayanglah jiwa selir dari negeri Tayli ini dalam keadaan mengerikan.
Air muka Toan Hong-ya sendiri pun berkejut kencang, sepasang matanya melotot bulat-bulat, kakinya menjejak lantai dan kaisar dari negeri Tayli inipun menghembuskan napasnya yang penghabisan.
Sang-kwan in diam-diam menghela napas panjang, sambil menggeleng katanya : "Hukum alam selalu akan menimpa mereka yang bersalah, sungguh tak nyana seorang kaisar dari suatu negeri harus menemui ajalnya dalam keadaan yang begini mengenaskan...
Ceng Gak-heng sakit hatimu akhirnya terbalas juga..." "Dia telah mati...." ujar Cia Ceng Gak sedih.
Tiba-tiba terdengar Liuw Koei Hui merintih rupanya ia belum putus nyawa, dengan wajah dihiasi senyuman ia nampak mendongak lalu berbisik dengan air mata bercucuran: "Ceng Sak, aku telah membalaskan sakit hatimu..." "Benar kau terlalu mencintai diriku, aku merasa menyesal terhadapmu..." Liuw Koei Hui menghembuskan napas panjang, katanya lagi : "Sekarang aku baru tahu arti sebenarnya dari cinta, cinta dapat menimbulkan keberanian bagi seseorang, dapat pula menghilangkan kejantanan seseorang, aku bisa melakukan suatu pekerjaan yang menggirangkan hatimu, sekalipun harus ditukar dengan kematian bagiku..." Dengan suara mirip mengigau ia melanjutkan : "Mungkin aku akan berangkat lebih dahulu daripada mu, aku akan mengakhiri perjalananku di dalam dunia ini, aku akan menantikan kedatanganmu di tempat yang jauh, di situ akan kubangun sebuah kebun bunga yang indah, seindah kebun bunga di istana negeri Tayli, setelah kau menyusul diriku nanti, kita akan tinggal di tempat itu, selamanya tak akan keluar lagi....
benar, akan kucarikan pula beberapa orang dayang keraton untuk melayani dirimu, agar kau bisa merasakan kehidupan yang penuh kebahagiaan." Ditatapnya wajah Cia Ceng Gak dengan sorot mata penuh rasa cinta, lalu tambahnya : "Sekarang aku tidak takut lagi dengan raut wajahmu, apa salahnya wajah yang bagus atau jelek" Yang kubutuhkan hanya hatimu, asal hatimu baik...." "Kau sangat baik..." Tiba-tiba Liuw Koei Hui tertegun sejenak seperti telah teringat akan suatu persoalan, ia tertawa sedih dan berkata kembali : "Kau" kenapa tidak memanggil namaku" Bukankah kau paling suka dengan namaku..." Ucapannya terputus dan napasnya mendadak memburu, sikap Cia Ceng Gak nampak sangat gelisah hingga keringat dingin mengucur keluar hingga membasahi tubuhnya, ia tetap tak menjawab.
Liuw Koei Hui semakin tertegun, dengan napas terengah-engah serunya : "Paa...
panggillah aku...." Tapi ia putus asa, sebelum ia mendengar jawaban diri pihak lawan napasnya telah putus.
Sesaat sebelum menghembuskan napasnya yang penghabisan wajahnya nampak terkilas beberapa buah pertanyaan yang mencurigakan hatinya, tapi pertanyaan itu selamanya tak akan terjawab, sebab ia telah mati/ Memandang jenazah Liuw Koei Hui yang membujur di atas lantai, Cia Ceng Gak berkata dengan suara gemetar : "Maafkan daku! terpaksa aku harus berbuat demikian, kalau tidak maka seluruh penghuni selat Seng See Kok bakal musnah....
Aaai! aku tahu bahwa perbuatanku menipu cinta kasihmu adalah suatu perbuatan yang salah..." Secara beruntun Toan Hong ya serta Liuw Koei hui telah meninggal dunia, kejadian ini membuat suasana dalam ruangan berubah jadi sunyi senyap tak kedengaran sedikit suarapun.
Lama sekali.... Sang-kwan In baru buka suara dan berkata : "Saudara Ceng Gak, kau tak usah bersedih hati! Liuw Koei Hui bisa mati dalam keadaan tenang sudah merupakan suatu kejadian yang membahagiakan dirinya.
Siapa yang bisa menghindari kematian" cuma waktunya saja yang berbeda..." "Ayah!" mendadak orang itu berseru.
Sang-kwan In hampir saja berdiri kaku, ia tak percaya ucapan itu bisa muncul dari mulut Cia Ceng Gak, dengan penuh kecurigaan ia berpaling keluar pintu kemudian berkata : "Saudara Ceng Gak, kau..." "Ayah...
aku adalah Cing Cing..." Mendadak Cia Ceng Gak putar badan dan menarik wajahnya, segera muncullah raut wajah Sang-kwan Cing yang cantik.
Sang-kwan In semakin melengak, ia berseru : "Cing-jie, dari mana bisa kau"..." Dengan air mata bercucuran Sang-kwan Cing menjawab : "Setelah jalan darah ananda tertotok oleh Toan Hong- ya, diam-diam aku kerahkan tenaga untuk membebaskan pengaruh totokan tersebut.
Untung Toan Hong-ya agak ringan turun tangan terhadap diriku.
Setelah jalan darahku bebas, tanpa sengaja di atas lantai aku telah menemukan sejilid kitab kecil yang jatuh dari saku Toan Hong-ya, dalam kitab tersebut tercatat semua kisah kejadiannya dengan Cia Ceng Gak.
"Karena keadaan ayah amat berbahaya, aku segera membebaskan Thiam-cong Su Loo dan ajak mereka berunding, tiba-tiba kami mendapat satu akal, dengan cara ini aku hendak menakuti Toan Hong-ya, maka segera kucari sebuah topeng kulit..." "Bocah durhaka!" damprat Sang-kwan In dengan wajah berubah hebat, "Tahukah kau bahwa perbuatanmu itu sudah mencelakai dua lembar jiwa manusia..." hingga suara pun bisa kau tirukan sedemikian tepat, aku tidak habis mengerti sedari kapan kau pelajari begitu banyak kepandaian..." Yang berbicara bukan aku, empek Tiong Yan lah melayani tanya jawab itu sambil bersembunyi di atap rumah, karena itulah aku tak berani meloncat turun ke bawah.
Kemunculan aku yang mendadak rupanya sangat mengejutkan hati Toan Hong ya serta Liuw Koei Hui hingga mereka sama sekali tidak mengetahui akan penyaruanku...
" Diam-diam Sang kwan In menghela napas panjang, katanva kemudian :
"Kematian dari Toan Hong ya tak usah kita sesalkan, yang patut dikasihani adalah Liuw Koei Hui, kehidupannya selama ada di dunia amat payah dan penuh penderitaan, meskipun pikirannya terlalu picik tapi selama hidupnya amat jarang melakukan kejahatan, perbuatanmu yang telah membohongi dia tentu akan membuat sukmanya di alam baka jadi tak tenteram..." "Ananda tahu bahwa perbuatan ini amat bersalah terhadap Liuw Koei Hui...
" sahut Sang kwan Cing sambil tundukkan kepalanya.
"Aku tidak pantas menggunakan cara seperti ini untuk membohongi cinta kasihnya, untuk menebus dosaku ini ananda rela jadi anak angkatnya, akan kukubur jenazahnya secara layak dan menjaga pusaranya...
" Sang kwan In masih ingin mengucapkan sesuatu lagi, pada saat itulah empat kakek tua dari partai Thiam cong telah melangkah masuk ke dalam ruangan, Tiong Yan langsung minta maaf kemudian ujarnya dengan gelisah : "Sang kwan Kokcu, apakah Pek In Hoei bisa mati?" Sang Kwan In tidak menjawab, ia periksa nadi si anak muda itu lalu menghela napas panjang, katanya kemudian setelah memandang jenazah dari Toan Hong ya.
"Jarang sekali ada orang yang sanggup menerima pukulan penebus awan itu, dalam lukanya Pek In Hoei harus menerima pula sebuah pukulan berat dari ilmu sakti itu.
Sebenarnya ia bakal mati binasa, tapi menurut denyutan nadinya barusan aku rasa ia berada dalam keadaan normal, mungkin tiada persoalan atas dirinya..." Thiam cong su loo sama-sama menghembuskan napas lega, kerutan dahi yang semula menghiasi wajah mereka kian lama kian bertambah tawar, ketegangan pun semakin mengendor.
"Ayah," tiba-tiba Sang Kwan Cing berseru, "bagaimana caranya untuk memunahkan serbuk racun pasir bintang langit..." "Tad ada cara lain kecuali menelan obat penawar khusus dari serbuk racun itu..." jawab Sang Kwan In sambil geleng kepala.
Sang Kwan Cing segera lari ke sisi mayat Toan Hong ya dan menggeledah sakunya, tidak lama kemudian dari dalam saku kaisar itu ia temukan sebuah botol porselen serunya : "Ayah, coba lihat apakah ini?" Sang Kwan In menerimanya dan dicium sebentar, kemudian menjawab : "Nak, inilah obat pemunah dari pasir bintang langit, ilmu silat yang kumiliki tak akan punah lagi!" Ia merandek sejenak, lalu sambungnya : "Su loo, tolong bimbinglah Pek In Hoei masuk ke dalam kamarku, di situ aku memiliki beberapa macam obat mujarab yang bisa memulihkan kesehatannya dengan cepat..." Bicara sampai di situ dari dalam botol porselen tadi diambilnya beberapa butir pil berwarna hijau dan segera ditelan, setelah bersemedi beberapa waktu hingga keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya, sambil meloncat bangun ia berseru : "Aku sudah sembuh!" Sang Kwan Cing menghembuskan napas lega, katanya : "Ayah, betulkah kau akan membangun kembali partai Thiam cong di dalam wilayah selatan..." "Tentu saja! Antara partai Thiam cong dengan selat Seng See Kok kita mempunyai hubungan yang sangat erat, bagaimana pun juga aku harus bantu mereka untuk membangun kembali partai Thiam cong yang telah musnah..." "Waaaah...
kalau begitu nasib selat Seng See Kok kita jadi amat mengenaskan..." "Kenapa?" "Bangkitnya partai Thiam cong di wilayah selatan berarti punahnya selat Seng See Kok kita, julukan sebagai partai nomor wahid di wilayah selatan pasti akan terjatuh ke tangan orang lain..." "Haaaah...
haaaah... haaaah... kau betul-betul bocah dungu yang belum tahu keadaan, ayoh berangkat! Aku harus segera menyembuhkan luka yang diderita Pek In Hoei, bila terlambat mungkin ilmu silatnya bakal punah!" *** Pagi yang cerah menyelimuti bukit Thiam cong yang megah, sinar matahari yang berwarna keemas- emasan memancar ke seluruh pelosok bukit tersebut.
Berita tentang bangkitnya kembali partai Thiam cong di wilayah selatan akhirnya tersebar pula di seluruh dunia persilatan, walaupun pelbagai partai telah memperoleh surat undangan tapi tak seorang wakil pun yang hadir dalam perayaan tersebut, kejadian ini mencemaskan hati semua orang yang tergabung dalam partai Thiam cong...
Murid partai Thiam cong yang telah menyembunyikan diri tak seorang pun yang hadir pula saat itu, sepanjang jalan gunung menuju ke kuil Sang Cing Koan dipenuhi oleh jago-jago lihay selat Seng See Kok yang pada waktu itu di bawah pimpinan Sang Kwan In telah menggabungkan diri dengan pihak partai Thiam cong.
Atas permohonan dari Pek In Hoei, akhirnya Sang Kwan In menjabat sebagai wakil ketua dari partai tersebut, sedang Thiam cong Su Loo menjabat sebagai empat pelindung hukum, hanya Pek In Hoei seorang yang tidak ikut menduduki jabatan berhubung persoalannya masih menumpuk.
Taaaang...! suara genta bergema memenuhi angkasa membelah jalan gunung yang sunyi...
Dengan wajah sedih Pek In Hoei berdiri di sisi meja abu Sucouwnya, ia merasa kecewa bercampur kesal karena tak seorang wakil pun dari pelbagai perguruan yang diundang ikut hadir di dalam upacara besar ini.
"Tak usah dipikirkan lagi," kata Sang Kwan In dengan wajah serius.
"Kita tetap melangsungkan upacara ini tepat pada waktunya..." Pek In Hoei mengangguk.
"Bila partai yang mendapat undangan tidak hadir dalam upacara ini, itu berarti bahwa mereka tidak pandang sebelah mata pun terhadap partai Thiam cong kita, mulai hari ini mereka pun bukan sahabat dari partai Thiam cong..." "Setiap partai semuanya tahu sampai di manakah kesukarannya untuk mendirikan partai, tak ada suatu perguruan pun yang tidak mengalami kesulitan di kala membangun perguruannya.
Apa yang mesti kita pikirkan tentang sedikit penghinaan ini?" kata Sang Kwan In sambil tertawa getir, "Aku percaya dengan mengandalkan wajahku ada beberapa perguruan pasti akan hadir dalam upacara ini." "Aku rasa itu terlalu dipaksakan, yang kuharapkan adalah kehadiran mereka secara sukarela." "Haaaah...
haaaah... haaaah... mungkin saja mereka tidak datang karena merasa malu sebab mereka pernah menderita kekalahan di tanganmu, tapi aku percaya jiwa mereka tak akan sesempit itu, lagi pula di kemudian hari mereka masih membutuhkan kita..." Belum habis perkataan itu diucapkan, dari luar pintu terdengar suara teriakan keras berkumandang datang : "Loei Peng dari partai Kilat telah tiba..." Buru-buru Pek In Hoei munculkan diri untuk menyambut kehadiran orang itu, terlihat Loei Peng dengan wajah dihiasi senyuman muncul di depan pintu didampingi dua orang jago lihaynya, sikap serta tingkah laku orang ini wajah dan sedikit pun tidak memikirkan masalah yang telah lampau.
"Pek sauwhiap, ini hari aku harus memberi selamat kepadamu!" terdengar Loei Peng berseru sambil tertawa terbahak-bahak.
"Aaaah, mana... mana... " jawab Pek In Hoei sambil tersenyum, "Siauw te bisa mendapat kunjungan dari Loei heng, hal ini sudah cukup membuat hatiku merasa amat berterima kasih..." Dari luar kembali terdengar seorang anggota partai Thiam cong berseru lantang : "Ku Lok dari benteng Leng Cian Poo tiba..." "Sheng Kong dari selat Leng In Kok..." Sesaat kemudian hampir separuh dari partai besar di wilayah selatan telah hadir di atas gunung Thiam cong, semua tamu segera dipersilahkan masuk ke dalam ruang tengah.
Selama ini tak seorang pun di antara para jago itu yang mengungkap kembali peristiwa bentrokan mereka dengan Pek In Hoei bahkan menganggapnya tak pernah terjadi peristiwa semacam itu.
Tentu saja hal ini disebabkan mereka memandang di atas wajah Sang Kwan In, sebagai seorang jago lihai dalam dunia persilatan, meskipun terhadap orang ini mereka merasa mendongkol dan benci namun di luaran mereka bersikap ramah dan berkawan, karena mereka tahu memusuhi Sang Kwan In berarti mencari penyakit buat diri sendiri.
Taaang! Taaang! Taaang! kembali terdengar suara genta dipalu nyaring...
suasana di tengah ruangan segera berubah jadi amat hening.
Diiringi nyanyian doa, dari ke-dua belah sisi ruangan muncullah dua puluh empat orang toosu dengan membawa obor besar, di belakang barisan toosu itu muncullah Sang Kwan In diiringi Thiam cong Su loo dengan membawa sebuah hioloo.
Setibanya di tengah ruangan, orang-orang itu berhenti dan menghadap ke meja sembahyang.
Terdengar seorang menghardik keras : "Pasang Hio!" Dengan sikap yang amat hormat Sang Kwan In mempersembahkan hioloo tadi ke meja abu sucouw mereka kemudian jatuhkan diri berlutut dan menjalani penghormatan besar sebanyak tiga kali, ujarnya : "Anak murid angkatan ke-tiga puluh empat partai Thiam cong pay, Sang Kwan In untuk sementara waktu akan menjabat sebagai ketua, sejak kini tecu rela mengabdi dan menyumbang tenaga serta pikiran demi kejayaan partai Thiam cong..." Haruslah diketahui meskipun Sang Kwan In bukan murid Thiam cong, tapi ia menaruh budi yang besar terhadap partai tersebut.
Sejak Thiam cong pay dimusnahkan secara diam-diam ia seringkali berunding dengan Thiam cong Su loo untuk melakukan pembalasan dendam, ia rela melepaskan perguruannya demi menuntut balas bagi kematian anak murid partai Thiam cong yang terbunuh.
Oleh sebab itulah Thiam cong Su Loo lebih penuju kalau Sang Kwan In untuk sementara waktu menjabat sebagai ketua partai.
Walau begitu, kejadian ini segera mengemparkan seluruh hadirin yang mengikuti jalannya upacara tersebut, tak seorang pun di antara mereka yang tahu secara bagaimana Sang Kwan In menjabat sebagai ketua partai Thiam cong.
Dalam pada itu selesai Sang Kwan In berdoa, serentetan suara kembali berkumandang di angkasa : "Persembahkan korban!" Empat orang murid partai menggotong seekor kambing putih berjalan masuk ke dalam ruangan setelah meletakkan binatang itu di depan meja abu Sang Kwan In segera cabut keluar pedang penghancur sang surya dari sarungnya, sekali tebas laksana kilat ujung pedang telah menembusi perut kambing korban tadi.
Darah segera muncrat ke empat penjuru dan cahaya pedang itu segera sirap kembali di balik sarung...
Taaang...! Untuk ke-tiga kalinya genta dibunyikan, pertanda ucapan pembukaan partai Thiam cong telah mendekati akhir.
Mendadak... dari pintu bawah bukit itu berkumandang datang suara bentakan keras.
"Empat orang Nio Nio dari keraton keluarga Toan di negeri Tayli datang berkunjung!" Mendengar seruan itu, semua hadirin dalam ruangan jadi tertegun, sebab menurut peraturan Bu lim pembalasan dendam macam apa pun tidak diperkenankan dilakukan di saat orang lain sedang melakukan upacara hikmat, tapi sekarang pihak keluarga Toan dari negeri Tayli telah melanggar peraturan tersebut, itu berarti bahwa pihak mereka telah bersumpah untuk membasmi partai Thiam cong dari muka bumi.
Air muka Sang Kwan In berubah hebat, katanya : "In Hoei, hadapi mereka!" Pek In Hoei tertawa dingin dan mengangguk, sahutnya : "Barang siapa berani bikin onar di bukit Thiam cong pada hari ini, maka aku si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei terpaksa akan gunakan selembar jiwaku sebagai taruhan untuk menghancurkan orang itu." Badannya laksana kilat meluncur keluar dari ruangan dan menuju ke kaki bukit, di situ ia jumpai empat orang wanita cantik berpakaian berkabung dengan air mata bercucuran berdiri angker di sana, ke-empat orang itu adalah para selir dari Toan Hong ya.
Ketika menjumpai kehadiran Pek In Hoei di hadapan mereka, ke-empat orang perempuan itu segera maju selangkah ke depan.
"Ada urusan apa kalian berempat datang mengunjungi gunung Thiam cong kami?"" tanya Pek In Hoei sambil menahan hawa gusarnya.
Perempuan cantik yang berdiri di tengah menyahut sambil menyeka air mata yang membasahi pipinya : "Tentu saja untuk menyampaikan ucapan selamat kami!" "Huuuh, sialan!" Air muka perempuan itu segera berubah hebat : "Aaaaa...! sombong amat partai Thiam cong kalian, baru saja meresmikan diri dalam dunia persilatan sikap kalian sudah begitu tak pandang sebelah mata terhadap orang Bu lim, aku adalah Nio Nio keraton tengah In Cioe Sim, untuk membalas dendam suamiku terpaksa kami datang berkunjung dengan mengenakan pakaian berkabung!" "Kalau begitu silahkan menunggu di kaki bukit sana, besok kita bicarakan lagi!" kata Pek In Hoei sambil tertawa dingin.
"Hmmm... Hmmm... kau anggap urusan bisa beres dengan begitu gampang" Hanya dua tiga patah kata saja maka kami lantas bisa diusir pergi?" "Lalu apa yang kau kehendaki?" hardik Pek In Hoei dengan wajah berubah hebat.
"Aku hendak membalas dendam bagi kematian Sri Baginda," jawab In Cioe Sim dengan suara penuh kebencian.
"Hmmm! Toan Hong ya modar di tangan Liuw Koei hui, kalau kalian mau balas dendam cari saja perempuan itu, kenapa mesti datangi bukit Thiam cong kami?" "Enak benar ucapanmu," bentak In Cioe Sim dengan gusar, "Siapa tidak tahu kalau Liuw Koei hui adalah orang dari keluarga Toan kami" Cintanya terhadap Sri Baginda melebihi cinta kami semua, mana mungkin ia celakai junjungannya" Sekarang kucari adalah Pek In Hoei, sebab dialah pembunuh sebenarnya dari Toan Hong ya!" "Hmmm! Aku tak ingin menyusahkan kalian, di saat upacara pembukaan partai Thiam cong baru dilangsungkan, aku tak ingin menodai tanah suci sini dengan genangan darah, aku pun mengerti akan maksud hati kalian..." Perempuan yang memakai pakaian berwarna putih itu mendadak membentak keras : "Suami pun kami sudah tak punya, apa artinya tetap hidup di kolong langit" Lebih baik kau menyingkir saja, ini hari bila kami tak berhasil membunuh Pek In Hoei, aku bersumpah tak akan pulang..." Sambil melancarkan sebuah serangan ke depan, bentaknya : "Minggir!" Dengan gesit si anak muda itu bergeser ke samping, serunya marah : "Kalau kalian pengin mati, aku Jago Pedang Berdarah Dingin pasti akan penuhi keinginan kalian itu!" "Kau..." Rupanya ke-empat orang perempuan itu tak pernah menyangka kalau Jago Pedang Berdarah Dingin yang tersohor akan kelihayannya di wilayah selatan bukan lain adalah pemuda tampan di hadapan mereka, seketika ke-empat orang itu mundur dua langkah ke belakang, dengan pandangan gusar mereka menatap wajah pemuda itu tanpa berkedip.
Sesaat kemudian In Cioe Sim cabut keluar pedangnya dan berseru : "Adik-adikku sekalian mari kita turun tangan, dialah yang sedang kita cari..." Empat bilah pedang segera bergeletar di angkasa bagaikan sambaran kilat, sebagai selir kesayangan Toan Hong ya, ilmu silat yang mereka miliki amat lihay, begitu pedang dicabut dengan tangkas ke- empat orang itu segera mengurung musuhnya rapat- rapat.
Pek In Hoei gerakkan badannya melancarkan sebuah pukulan ke depan, katanya : "Sikap kalian begitu kurang ajar dan tak tahu diri, jangan salahkan kalau aku akan usir kalian turun gunung!"
Baru saja Pek In Hoei hendak turun tangan, mendadak dari tengah udara berkumandang datang suara dengusan berat, sesosok bayangan manusia meluncur masuk ke dalam kalangan dengan cepatnya.
"Haaaah... haaaah... haaaah... In Hoei!" seru orang itu, "serahkan saja ke-empat nenek busuk itu kepada aku si ular asap tua." Ouw-yang Gong sambil menghisap huncweenya dalam-dalam melirik sekejap ke arah empat perempuan itu katanya lagi : "Perempuan sialan dari mana yang berani mengacau di sini" Waaah...
kebetulan sekali, memangnya aku si ular asap tua sedang merasa gatal tangan tak sangka kalian datang menghantar diri...
Hmmm ayoh, siapa duluan yang hendak maju?" Mendadak air muka In Cioe Sim berubah hebat, serunya tertahan : "Aaah, kau!" Agaknya Ouw-yang Gong sendiri pun menjadi tertegun setelah menatap wajah perempuan itu, dengan wajah terharu ia tuding In Cioe Sim sambil menegur : "Bukankah kau she In?" Sekujur badan In Cioe Sim gemetar keras, biji matanya yang hitam bulat memancarkan cahaya yang sukar dimengerti oleh orang lain, bibirnya berubah jadi pucat, sambil mundur dua langkah ke belakang serunya : "Kau...
kau adalah engkoh Ouw-yang." "Oooh...
adik Cioe Sim... adik Cioe Sim..." ia tarik napas panjang-panjang.
"Bukankah kau telah lenyap tak berbekas" Kenapa bisa berada di sini..." "Engkoh Ouw-yang, kau masih ingat dengan diriku..." "Aaaai...
mana bisa aku lupakan dirimu?" sahut Ouw- yang Gong sambil menghela napas, "Apakah kau sudah lupa ketika kita berdua duduk di kebun tembakau" Kau petikkan daun tembakau terbaik bagiku lalu memanggangnya di atas api unggun, kemudian masukkan ke dalam mangkok huncweeku, waktu itu aku belum punya kantong huncwee, setiap hari aku tentu mencuri huncwee ayahku untuk mengisap..." "Bagus betul daya ingatmu," ujar In Cioe Sim dengan badan gemetar keras.
"Aku sendiri pun sudah lupa akan kejadian itu, ternyata kau masih ingat dengan begitu jelas, aku ingat waktu itu kau lebih besar empat tahun dariku..." "Betul! Haaaah...
haaaah... haaaah...
Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku masih ingat, ketika celanamu terlepas tempo dulu, di atas pantatmu terdapat sebuah tahi lalat warna merah, ayahku pernah bilang kau punya Hok-Kiem In Eng besar di kemudian hari, dan mungkin punya rejeki untuk jadi selir kaisar..." Walaupun usia In Cioe Sim sudah mendekat setengah abad, namun ketika didengarnya Ouw-yang Gong secara terang-terangan menceritakan perbuatannya membuka celana ketika masih kecil dulu, tak urun merah jengah juga seluruh wajahnya, sambil tersipu menunduk serunya : "Keadaanmu masih juga seperti dulu..." Ouw-yang Gong adalah seorang kakek yang periang, ia tak pernah mengindahkan tata susila atau pun aturan, setelah terjerumus di dalam kenangan lama ia tak ambil peduli apakah di situ ada orang lain atau tidak, apalagi terhadap ucapan dari In Cioe Sim barusan, lebih tak diperhatikan lagi, terdengar ia kembali bergumam : "Aku masih ingat ketika masih kecil kau seringkali berkata bahwa kau ingin kawin dengan aku tapi ayahmu tidak pandang sebelah mata terhadap kami yang kerjanya hanya bertani, ketika ayahku menggoda kita ternyata kau menangis dan berkata bahwa selama hidup kau akan menantikan diriku, aaai...
waktu itu kita memang masih terlalu kecil, kita hanya tahu main bersama, tapi tak tahu suka dukanya manusia hidup di dunia..." Ia melirik sekejap ke arah In Cioe Sim dengan pandangan penuh rasa cinta, kemudian sambungnya lagi : "Aku masih masih ingat ketika suatu hari diam-diam kau berkata kepadaku dengan suara setengah berbisik, "Engkoh Ouw-yang, setelah kita dewasa nanti kau jangan kawin gadis lain yaah!" ketika itu aku merasa amat senang bermain dengan dirimu, maka aku lantas menjawab 'tentu saja', aku hanya akan mengawini adik Cioe Sim!" kenangan ini terbayang dalam benakku setiap kali suasana sedang tenang dan hening, aku selalu terbayang kembali kenangan manis di kala kita masih kecil..." In Cioe Sim merasa amat terharu, katanya dengan suara gemetar : "Tapi menanti kita telah dewasa semua, malahan hubungan kita terasa lebih asing..." "Tidak jadi soal, suatu hari secara diam-diam aku merangkuk ke jendela kamar tidurmu, aku ingin panggil kau untuk keluar bermain, tapi aku tahu secara diam-diam kau sedang menangis," dengan sedih kakek konyol itu menghela napas, "Siapa tahu keesokan harinya kau dikabarkan lenyap tak berbekas, ayahmu bersikeras menuduh akulah yang telah menyembunyikan dirimu, memaksa aku secara diam-diam harus minggat dari rumah..." "Aku tahu malam itu ayah menghajar dirimu habis- habisan," ujar In Cioe Sim sambil menangis terisak, "dalam sedihnya diam-diam aku minggat dari rumah dan menanti dirimu dalam ruang kuil di ujung dusun, di situ kita sering bermain maka aku pikir kau tentu ke situ, siapa tahu sampai malam ke-dua kau belum juga datang, dalam lapar dongkolnya aku tak berani pulang ke rumah, seorang diri bersembunyi dalam kuil sambil menangis tersedu, akhirnya Toan Hong ya lewat di situ, ia bawa aku pulang ke negeri Tayli, menanti aku sudah dewasa maka aku lantas dikawini sebagai Nio Nio istana tengah..." Walaupun kejadian itu hanya serupa kenangan masa silam, tapi diucapkan oleh dua orang tua yang telah lanjut usia hal ini cukup menggetarkan hati semua orang, tiga orang perempuan yang lain segera jadi murung dan ikut sedih oleh kejadian tersebut.
Terdengar In Cioe Sim menghela napas panjang, lalu berkata kembali : "Walaupun aku sudah menikah dengan Toan Hong ya tapi hatiku sama sekali tidak mencintai dirinya.
Pengalaman yang menimpa kami beberapa orang sama mengenaskannya, kini tak ada orang yang bisa kami tumpang lagi, dalam sedihnya menggunakan kesempatan di kala dalam istana sedang dilangsungkannya rapat, diam-diam kami ngeloyor datang kemari..." "Toan Hong ya benar-benar bukan mati di tangan kami..." seru Ouw-yang Gong sambil gelengkan kepalanya.
"Aaaai... tapi orang dari keluarga Toan bersikeras menuduh Pek In Hoei lah yang telah melakukan pembunuhan ini, sebab tenaga dalam yang dimiliki Liuw Koei hui masih terpaut jauh kalau dibandingkan dengan kepandaian silat dari Toan Hong ya, bila Liuw Koei hui ingin membinasakan dirinya hal ini merupakan suatu kejadian yang tak mungkin terjadi..." Ouw-yang Gong menghela napas panjang.
Malaikat Berdarah Biru 2 Apa Yaa Karya Dzyemtri Muharram Cewek 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama