Ceritasilat Novel Online

Imam Tanpa Bayangan 20

Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say Bagian 20


"Aku akan beradu jiwa dengan dirimu..." bentak Pek In Hoei.
Sementara ia bersiap-siap untuk melancarkan tiga jurus pencabut nyawanya, tiba-tiba Cui Tek Li memperdengarkan teriakan yang sangat aneh diikuti tubuhnya mundur ke belakang, ujarnya : "Pek In Hoei, menang kalah di antara kita berdua tak dapat ditetapkan dalam seratus jurus belaka, sekarang aku tak punya waktu untuk ribut-ribut denganmu lebih jauh, terpaksa akan kusuruh ke- empat orang kepercayaanku untuk melayani engkau...!" "Hmmm! Kembali engkau akan gunakan cara yang paling rendah dan tak tahu malu dari Komplotan Tangan Hitam!" seru Pek In Hoei sambil tertawa dingin.
"Terserah apa yang hendak kau katakan, aku sih tak akan ambil peduli dengan ucapan-ucapan itu, bagaimana pun juga pada malam ini engkau tak akan lolos dari cengkeramanku, sekali pun aku tak tahu malu juga tak ada yang tahu..." Belum habis ia berkata, Mao Bong telah berteriak dari luar ruangan kuil itu: "Hey orang she-Pek, kau tak pernah menyangka bukan akan menjumpai keadaan seperti hari ini?" Mao Bong, Thian Goan serta Lan Eng perlahan-lahan munculkan diri dari balik pintu, mereka tertawa dan memandang ke arah si anak muda itu dengan pandangan menghina.
"Mao Bong!" seru Pek In Hoei sambil ayunkan pedang mestika penghancur sang surya-nya, "malam ini engkau pun ak akan lolos dari ujung pedang mestikaku..." "Kentut busuk!" teriak Mao Bong marah-marah, rambutnya berdiri semua bagaikan landak, "kalau aku orang she Mao tidak mampu untuk bereskan seorang bocah cilik macam dirimu, buat apa aku berkeliaran lagi dalam dunia persilatan untuk mencari makan" Heehmmm...
heeeehhmm... Pek In Hoei, kemungkinan besar pada malam ini di kuil Toa-ong-bio bakal bertambah lagi dengan sesosok roh penasaran yang bergentayangan di sini..." "Mao-heng," kata Thian Goan sambil putar pedangnya, "mari kita petik batok kepala keparat cilik ini untuk digunakan sebagai bola sepak...
hanya berbuat demikianlah rasa dendam yang terpancar dalam tubuhku bisa dilenyapkan...
bukankah begitu Mao heng?" "Haaaah...
haaaah... haaaah... sedikit pun tidak salah, sedikit pun tidak salah...
aku memang bermaksud begitu!" Dia berpaling dan memandang sekejap ke Cui Tek Li, kemudian tanya dengan cepat : "Ketua, bila kita berhasil melenyapkan keparat cilik ini apakah ada ang-pao untuk kami bertiga?" "Masih seperti sedia kala, siapa yang berhasil memetik batok kepala keparat cilik ini dialah yang akan mendapatkan barang yang diinginkannya, kalian bertiga boleh berusaha untuk memperebutkan hadiah pertama." "Ketua!" seru Lan Eng tiba-tiba sambil tertawa keras, "aku harap di samping hadiah khusus engkau pun sudi kiranya untuk menambah dengan sebuah barang lain, pedang mestika penghancur sang surya yang dimiliki keparat ini bagus sekali, bagaimana kalau seandainya kita berhasil membinasakan dirinya maka bukan saja mendapat ang-pao, pedang itu pun boleh kita miliki..." "Pedang itu tak boleh kalian miliki..." tampik Cui Tek Li sambil geleng kepala.
"Mengapa?" tanya Lan Eng tertegun.
"Akan kubawa pedang itu untuk diserahkan kepada ibunya, kemudian meletakkannya dalam peti selaksa mestika sebab pedang itu cocok sekali kalau disimpan jadi satu dengan ke-delapan patung kuda Giok-ma itu!" "Haaaah...
haaaah... haaaah... baiklah ketua, kalau memang engkau bermaksud begitu, tentu saja kami tak akan berkata apa-apa lagi." Jago Pedang Berdarah Dingin yang dikepung oleh empat orang jago lihay dalam kalangan dan diolok- olok dengan nada mengejek serta tidak pandang sebelah mata pun terhadap dirinya, hawa amarah kontan berkobar dalam dadanya, hampir saja ia muntah darah saking jengkelnya...
dengan menahan rasa benci tiba-tiba pemuda itu menengadah dan tertawa terbahak-bahak.
Setelah berhenti tertawa, serunya dengan penuh kemarahan : "Ayoh main, siapa yang merasa punya kepandaian silahkan merebut sendiri pedang ini dari tanganku." "Hmmm! aku akan menjajal dirimu lebih dahulu..." dengus Thian Goan dengan gusar.
Orang ini benci sekali terhadap si anak muda ini karena sewaktu berada di bukit Siau-in-san dirinya telah dilukai, bersamaan dengan selesainya perkataan itu sang tubuh ikut menerjang ke muka, tangannya bergeletar dan pedang panjang memutar di udara kemudian menusuk ke tubuh si anak muda itu.
Melihat Thian Goan telah melancarkan serangan, Mao Bong ikut melancarkan pula serangan gencar, serunya kepada Lan Eng : "Jangan biarkan keparat itu punya waktu luang untuk berganti napas, sekali bacok kita bereskan saja keparat ini..." "Huuuh...! Andalkan jumlah banyak untuk merebut kemenangan, kalian bukan terhitung seorang enghiong..." ejek Pek In Hoei sinis.
Berada di bawah kepungan tiga orang jago lihay itu kendati ia sama sekali tidak merasa jeri, akan tetapi daya tekanan yang mendesak dirinya membuat pemuda itu sukar untuk bernapas, ia merasa andaikata pada malam ini seluruh tenaganya tidak dipergunakan maka untuk melarikan diri bukanlah suatu pekerjaan yang gampang.
Apalagi ketika itu Cui Tek Li masih mengawasi jalannya pertarungan dari sudut ruangan, sepasang matanya dengan tajam mengawasi tubuh Pek In Hoei tanpa berkedip, seakan-akan ia hendak telan pemuda itu bulat-bulat.
Setelah meninjau sebentar keadaan situasi yang terbentang di depan matanya, dengan cepat dia mengambil satu keputusan di dalam hati, pikirnya : "Aku harus menggunakan waktu yang paling cepat untuk melancarkan serangan berantai, salah satu di antara ke-tiga orang jago lihay tersebut harus kumusnahkan salah seorang lebih dahulu, dengan begitu posisi yang menguntungkan baru berada di pihakku..." Berpikir sampai di sini ia segera membentak keras : "Sahabat, malam ini aku hendak suruh kalian saksikan sesuatu yang luar biasa..." Cahaya pedang berkilauan dan dari atas langit menerjang ke arah bawah.
Air muka Mao Bong berubah hebat, teriaknya : "Dia mau adu jiwa...
saudara-saudara, perketat serangan, peduli bagaimana pun juga kita tak boleh membiarkan keparat itu merebut posisi yang baik, kalau tidak...Hmmm...
Hmmm... kita bakal terjungkal di tangannya..."
DALAM PERMAINAN ILMU PEDANG rupanya ia memiliki keyakinan yang lumayan, maka sekali memandang ia sudah dapat menebak rencana serta tujuan dari Jago Pedang Berdarah Dingin, oleh sebab itulah buru-buru ia peringatkan Thian Goan serta Lan Eng untuk memperketat serangannya sehingga tidak memberi kesempatan bagi lawannya untuk melancarkan serangan balasan.
Lan Eng tertawa seram, ujarnya : "Jangan kuatir, aku akan tetap menjaga di sudut sebelah sini!" Permainan pedangnya tiba-tiba berubah, dia segera menyumbat sudut bagian tubuhnya, beberapa kali Jago Pedang Berdarah Dingin berusaha menembusi pertahanannya namun setiap kali usahanya itu selalu mengalami kegagalan, dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu silat yang dimiliki Lan Eng sebenarnya sama sekali tidak lemah.
Pek In Hoei terkesiap kembali pikirnya : "Aku harus berusaha keras untuk melenyapkan lebih dahulu salah satu di antara mereka, di antara ke-tiga orang ini ilmu silat yang dimiliki Thian Goan paling lemah...
Ehmm... ! Benar aku harus musnahkan dirinya lebih dahulu, dengan begitu sisanya baru bisa kuhadapi secara baik..." Kembali dia lancarkan sebuah serangan gencar ke arah Lan Eng dengan ilmu pedang penghancur sang surya-nya, tiba-tiba di tengah jalan pedang itu menyeleweng dari arah yang sebenarnya dan menyongsong datangnya tubuh Thian Goan yang kebetulan sedang menerjang ke muka.
Serangan itu cepat dan ganas sekali, sama sekali sulit untuk dihindari atau diegosi.
"Aaaah...!" di tengah udara berkumandang suara jeritan lengking yang menyayatkan hati, diikuti darah segar berhamburan ke atas tanah, membuat ruangan kuil yang sudah menyeramkan itu nampak lebih mengerikan lagi...
Batok kepala Thian Goan yang berlumuran darah menggelinding di atas lantai hingga beberapa tombak jauhnya dari tubuh kasarnya, raut wajah yang penuh berdarah itu nampak menyeringai seram, mendatangkan rasa muak bagi siapa pun yang melihat.
Ia dengan membawa rasa dendam dan benci yang belum sampai dilampiaskan keluar telah pulang ke alam baka dan melapor ke hadapan raja akhirat, ia tak dapat merasakan lagi kehangatan tubuh perempuan, tak dapat menyaksikan gemerlapnya intan permata...
tak dapat menikmati arak dan sayur...
sebentar lagi tubuhnya akan berubah jadi seperangkat tulang belulang tanpa kepala...
Perubahan ini terjadi terlalu cepat dan membuat semua orang sama sekali tak menyangka dan gelagapan, Mao Bong serta Lan Eng sama-sama berdiri menjublak, dalam keadaan begini mereka tak tahu apa yang mesti dilakukan oleh mereka...
Sedangkan Cui Tek Li merasakan hatinya amat sakit sebab kembali ia telah kehilangan seorang pembantu yang diandalkan, ia tak menyangka kalau Thian Goan bakal menemui ajalnya dengan begitu cepat.
Hawa napsu membunuh terlintas di atas wajahnya, dengan air muka berubah hebat bentaknya penuh kegusaran : "Pek In Hoei, engkau sungguh kejam..." Bagian 47 JAGO PEDANG BERDARAH DINGIN Pek In Hoei dengan pedang penghancur sang surya di tangan berdiri angker di tengah ruangan kuil, air mukanya sama sekali tidak menunjukkan perubahan apa pun, sambil memandang kepada Mao Bong serta Lan Eng ujarnya ketus : "Siapakah di antara kalian yang akan maju lebih dahulu?" "Thian Goan berhasil kau bunuh mati, itu bukan berarti bahwa kemenangan pasti berada di pihakmu," teriak Cui Tek Li dengan gusar, "Pek In Hoei, jika aku turun tangan sendiri maka pada malam ini engkau tak akan berhasil dapatkan keuntungan apa-apa..." Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei merasakan jantungnya berdebar keras, ia telah mengetahui sampai di manakah kesempurnaan tenaga dalam yang dimiliki Cui Tek Li, seandainya berduel satu lawan satu kendati dirinya tidak berhasil merebut kemenangan, sedikit banyak ia masih mampu untuk mempertahankan keseimbangan, tetapi sekarang, kecuali Cui Tek Li seorang masih ada Mao Bong serta Lan Eng dua orang jago lihay, dan ilmu silat yang dimiliki ke-dua orang itu pun luar biasa sekali, gabungan dari tiga orang jago pedang kenamaan bisa dibayangkan betapa luar biasanya keadaan itu...
dan tak usah diragukan lagi, dia pasti akan mati konyol di tempat itu...
Berpikir akan untung ruginya,ia tarik napas panjang- panjang lalu berkata setelah tertawa dingin : "Toa Poocu, malam ini aku telah bertekad tak akan tinggalkan tempat ini dalam keadaan hidup, tetapi jika kalian hendak berusah untuk melenyapkan diriku maka pekerjaan tersebut bukanlah suatu pekerjaan yang terlalu gampang, paling sedikit di antara kalian bertiga ada dua orang di antaranya bakal mati konyol..." "Hmmm!" Cui Tek Li mendengus dingin, "kau hendak beradu jiwa dengan kami?"" "Sedikit pun tidak salah, berada dalam keadaan seperti ini terpaksa aku harus beradu jiwa, aku percaya dengan kemampuan yang kumiliki paling sedikit dapat menarik dua kali modal yang harus kukeluarkan, Toa Poocu, bagaimana pendapatmu..." Mao Bong jadi teramat gusar sehingga sekujur badannya gemetar keras, ia getarkan pedang di tangannya dan maju dua langkah ke depan, sambil melotot ke arah Jago Pedang Berdarah Dingin dengan sinar mata penuh kebencian, serunya : "Kami tak akan melepaskan dirimu pergi dari sini dalam keadaan selamat, sekali pun kau bersiap sedia untuk beradu jiwa belum tentu apa yang kau kehendaki bisa terwujud, Pek In Hoei! Ketahuilah bahwa Komplotan Tangan Hitam bukanlah manusia- manusia yang gampang diganggu, kau telah menyalahi kami maka partai Thiam cong kemungkinan besar akan tersapu rata dengan tanah, itulah harga yang harus kamu bayar karena sifatmu yang sudah mencampuri urusan orang lain." "Setelah lewat malam ini jika aku belum mati maka aku pasti akan berkunjung kembali ke Benteng Kiam- poo," seru Pek In Hoei nada menghina, "akan kubasmi kalian anggota dari Komplotan Tangan Hitam dan meratakan Benteng Kiam-poo dengan tanah, waktu itu kalian jangan salahkan kalau aku Jago Pedang Berdarah Dingin tak kenal budi..." Setelah berhenti sebentar, ditatapnya wajah Cui Tek Li dengan pandangan geram, kemudian melanjutkan : "Dan kau, aku tak akan mengingat semua hubungan kita untuk membinasakan dirimu, Cui Tek Li! Engkau adalah otak dari peristiwa pembunuhan terhadap ayahku, engkau adalah musuh besarku yang terutama, Hoa Pek Tuo...
telah menceritakan semuanya kepadaku." "Ooooh...! Engkau telah berjumpa dengan Hoa Pek Tuo..." seru Cui Tek Li dengan wajah tertegun.
"Ehmmmm...! Bukan saja kami telah berjumpa, tetapi kami telah bicarakan termasuk pula banyak rahasia yang menyelimuti hubungan pribadi kalian berdua, ia telah memberitahukan kesemuanya kepadaku.
Pada mulanya aku masih tidak percaya tetapi malam ini setelah kusaksikan dengan mata kepala sendiri semua tingkah lakumu dan ternyata cocok dengan apa yang dia katakan, maka aku percaya bahwa ia sama sekali tidak membohongi aku!" Ia menghembuskan napas panjang, dengan wajah dingin dan memancarkan rasa dendam lanjutnya : "Dia pun telah memberitahukan pula kerja sama antara engkau dengan Hoa Pek Tuo..." Pengalaman yang dimiliki Pek In Hoei pada saat ini boleh dibilang luas sekali, ia telah mengerti bagaimana caranya menggunakan kesempatan yang baik untuk memberikan suatu gertakan batin bagi musuhnya, asal hubungan antara Cui Tek Li dan Hoa Pek Tuo terjadi keretakan karena kesalah-pahaman sehingga tak dapat bersekongkol lagi, itu berarti suatu keuntungan yang amat besar artinya.
Oleh sebab itu dipergunakan suatu siasat yang licik untuk menciptakan rasa gusar, benci dan takut dalam hati Cui Tek Li, agar secara diam-diam dia memaki Hoa Pek Tuo sebagai manusia rendah yang tak tahu malu.
Sedikit pun tidak salah, setelah mendengar perkataan itu air muka Cui Tek Li berubah hebat, ia nampak amat gusar bercampur dendam, dengan sorot mata memancarkan hawa napsu membunuh ia tertawa seram.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... kurang ajar, ia berani mengkhianati aku..." teriaknya, setelah memandang sekejap ke arah Mao Bong tegurnya kembali : "Mao Bong, kapan kau telah berjumpa dengan Hoa Pek Tuo?" "Kemarin malam, Hoa Pek Tuo datang mencari aku dan minta Poocu dalam keadaan bagaimana pun jangan lepaskan Pek In Hoei, ia bilang dirinya mau berangkat ke Benteng Kiam-poo untuk merundingkan sendiri suatu masalah besar dengan Poocu!" "Kenapa ia datang tidak mencari aku?" seru Cui Tek Li tertegun.
Mao Bong berpikir sebentar, lalu menjawab : "Ia tahu bahwa pada saat ini terjadi sengketa dari poocu dengan Perkumpulan Bunga Merah, dia tidak ingin munculkan diri pada saat ini sehingga mengganggu Poocu..." Diliriknya sekejap wajah Jago Pedang Berdarah Dingin, kemudian melanjutkan lebih jauh : "Lagi pula dia tidak ingin bertemu dengan Pek In Hoei dalam keadaan begini..." "Hmmm! Kurang ajar, ia berani main setan di hadapanku," seru Cui Tek Li sambil mendengus dingin, "ia pasti takut berhadapan tiga orang dengan kami berdua sehingga rahasianya terbongkar, omongnya saja enak benar...
bangsat... bangsat..." "Poocu," seru Mao Bong sambil menggeleng, "tidak pantas kalau engkau bentrok muka dengan Hoa Pek Tuo dalam keadaan seperti ini!" Cui Tek Li tertawa dingin.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... aku tahu bahwa antara kamu dengan dirinya mempunyai hubungan persahabatan yang erat, tetapi engkau harus memandang lebih jelas lagi, Hoa Pek Tuo berani meninggalkan kita tanpa memikirkan bagaimana akibatnya, hal ini pastilah dikarenakan hendak mengatur manusia-manusia racunnya yang berada di dalam perkampungan Thay Bie San cung untuk memusuhi kita dari Komplotan Tangan Hitam.
Hmmm! Sedari dulu aku sudah tahu kalau orang itu tidak bisa dipercaya, sedikit pun tidak salah...
ternyata secara diam-diam ia telah mengacau tindak tanduk Komplotan Tangan Hitam kita..." "Poocu lebih baik pertimbangkanlah dahulu keputusanmu itu secara masak-masak..." ujar Lan Eng pula dengan alis berkerut, ia memandang sekejap ke arah Pek In Hoei kemudian menambahkan : "Hati-hati...
kalau musuh sedang menjalankan siasat mengadu domba...
jangan sampai poocu termakan oleh siasatnya..." "Tidak mungkin!" jawab Cui Tek Li sambil menggeleng, "seandainya Hoa Pek Tuo tidak memberitahukan segala sesuatunya kepada Pek In Hoei, dari mana ia bisa tahu akan kesemuanya itu.
Lagi pula urusan itu hanya diketahui olehku dan Hoa Pek Tuo dua orang belaka." Teringat akan kelicikan Hoa Pek Tuo di mana semua rahasia mereka telah dibeberkan kepada Jago Pedang Berdarah Dingin, hawa amarah yang sukar dikendalikan segera membakar hatinya, saking benci dan mendongkolnya hampir saja ia muntah darah.
Menggunakan kesempatan itulah Pek In Hoei berkata kembali : "Mengenai rencana besar Poocu untuk melenyapkan pelbagai partai dari dunia persilatan serta merajai kolong langit, Hoa Pek Tuo telah mengutus orang pula untuk mengabarkan rahasia itu kepada pelbagai partai, saat ini semua aliran sedang mempersiapkan kekuatan intinya untuk bersedia melakukan pertarungan sengit melawan Poocu dan kemudian hari." Dengan andalkan dugaan hatinya yang jitu ia memberikan kegugupan dan ketidak-senangan bagi Cui Tek Li, Poocu dari Benteng Kiam-poo ini, itulah suatu siasat yang paling jitu di dunia kangouw." Selama hidupnya Cui Tek Li seringkali mengadu domba orang, mimpi pun ia tak pernah menyangka kalau pada malam ini bakal jatuh kecundang di tangan Jago Pedang Berdarah Dingin, adu dombanya membuat hawa amarah yang berkobar dalam dadanya sukar dikendalikan lagi, rasa bencinya terhadap Hoa Pek Tuo pun semakin menjadi.
Dengan hati terkesiap Cui Tek Li segera berkata : "Hoa Pek Tuo tidak akur dengan pelbagai partai dan aliran, mana ia berani mengadakan hubungan dengan pelbagai partai..." "Poocu jangan lupa bahwa mata-mata dari perkampungan Thay Bie San cung tersebar di mana- mana," ujar Pek In Hoei dengan nada dingin, "asal Hoa Pek Tuo menggunakan sedikit akal, maka para jago lihay dari perkampungan Thay Bie San cung yang menyusup ke dalam tubuh pelbagai partai itu akan menyebarkan kabar berita itu kepada pelbagai aliran..." "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh..." saking gusarnya Cui Tek Li dengan badan gemetar keras tertawa dingin tidak berhenti, "kurang ajar, ternyata Hoa Pek Tuo berani mengkhianati aku, aku telah dikhianati oleh Hoa Pek Tuo...
bagus, bagus sekali.. Hoa Pek Tuo! Kalau engkau berani datang ke Benteng Kiam-poo maka akan kubunuh dan kucincang tubuhmu jadi berkeping-keping." Ia depak-depakkan kakinya ke atas tanah dengan penuh kemarahan, lalu teriaknya kembali : "Mao Bong, lepaskan merpati dan perintahkan semua saudara kita yang ada di Benteng Kiam-poo untuk menantikan kedatangan Hoa Pek Tuo, asal ia berani memasuki Benteng Kiam-poo maka tangkap dan jebloskan dia ke dalam penjara menunggu aku sudah pulang akan melakukan perhitungan dengan dirinya..." "Poocu, aku harap engkau suka bertindak dengan hati-hati!" kata Mao Bong gelagapan.
Kontan Cui Tek Li melototkan matanya bulat-bulat.
"Aku saja sudah dikhianati olehnya, apa yang mesti kupikirkan lagi..." teriaknya.
Ia tatap wajah Mao Bong dengan penuh kemarahan, senyuman sinis tersungging di ujung bibirnya, lalu menambahkan : "Apakah kau masih belum melupakan kebaikan yang pernah diberikan Hoa Pek Tuo kepadamu" "Poocu, apa maksudmu mengatakan demikian?" seru Mao Bong dengan badan gemetar keras, "aku orang she Mao toh anak buahmu, mana aku berani membangkang dan melawan atasan sendiri" Hanya saja urusan ini luar biasa sekali, sekali salah bertindak maka akan mengakibatkan pertempuran sengit antara Benteng Kiam-poo dengan perkampungan Thay Bie San cung, pada waktu itu bukankah dunia persilatan..."
"Hmmm! aku yakin pihak perkampungan Thay Bie San cung tidak memiliki kemampuan untuk berbuat begitu.
Mao Bong! Kalau memang engkau tak sudi bentrok muka dengan Hoa Pek Tuo, aku tak akan memaksa dirimu, sekarang perintahkan semua saudara dari Komplotan Tangan Hitam untuk berkumpul di Benteng Kiam-poo, aku ada urusan yang hendak disampaikan kepada mereka..." "Poocu," kata Lan Eng dengan wajah tertegun, "apakah Komplotan Tangan Hitam tidak jadi memburu Perkumpulan Bunga Merah dan membasminya dari muka bumi..." Cui Tek Li menggeleng.
"Sekarang semua rahasia dari Komplotan Tangan Hitam telah disebar-luaskan oleh Hoa Pek Tuo dalam dunia persilatan, kita tak bisa tancapkan kaki lagi dalam dunia persilatan, dan semua rencana kita pun hancur berantakan sampai di sini saja.
Aaaai... sungguh tak nyana Hoa Pek Tuo bisa bertindak begitu!" "Poocu, apakah engkau akan tinggalkan usaha yang dibangun dan diperjuangkan dengan susah payah ini?" tanya Lan Eng kembali dengan wajah termangu- mangu.
"Aaaa....! Apa yang bisa kulakukan lagi" Apa dayaku kecuali berbuat demikian" Aku tak dapat membiarkan ke-dua orang anakku mengetahui akan rahasia ini, dan aku pun tak ingin nama besar dari Benteng Kiam- poo musnah karena peristiwa ini..." Dia melirik sekejap ke arah Pek In Hoei dan menambahkan : "Untuk sementara waktu aku akan lepaskan dirimu, aku harus pulang dulu membereskan sedikit persoalan, lain kali kalau engkau sampai terjatuh kembali ke tanganku, maka tiada kebahagiaan dan keuntungan seperti hari ini." "Hmmm! Itu toh urusan di kemudian hari," seru Pek In Hoei sambil mendengus dingin, "jika engkau berani melakukan kejahatan lagi dengan Komplotan Tangan Hitam-mu, maka aku pun tak akan melepaskan dirimu dengan begitu saja..." "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... kita lihat saja nanti," jengek Cui Tek Li sambil tertawa dingin.
"Poocu!" tiba-tiba Mao Bong berteriak sambil ayun pedangnya, "masa kematian dari Thian Goan kita biarkan dengan begitu saja" Andaikata kita tidak melenyapkan bajingan cilik ini pada malam ini, maka kesulitan yang akan kita temui di kemudian hari tentu akan lebih besar..." "Benar Poocu, jangan lepaskan dia," seru Lan Eng pula dengan air muka serius, "aku hendak menagih nyawanya untuk membalas kematian dari Thian Goan, kalau tidak kami dari Komplotan Tangan Hitam merasa tak punya lagi muka untuk berjumpa dengan kawan-kawan Bu-lim di seluruh kolong langit..." "Tentang soal ini..." seru Cui Tek Li dengan alis berkerut, dengan pandangan dingin ia melirik sekejap ke arah Jago Pedang Berdarah Dingin, kemudian melanjutkan : "Baiklah, kalian berdua boleh segera turun tangan untuk melenyapkan dirinya dari muka bumi, jangan biarkan ia lolos dari sini..." "Terima kasih Poocu," jawab Mao Bong sambil memberi hormat, "hamba pasti akan berusaha sekuat tenaga." Sambil tertawa Cui Tek Li mengangguk, sesudah melirik sekejap ke arah Jago Pedang Berdarah Dingin perlahan-lahan ia berjalan keluar dari ruang tengah kuil itu.
Tindakan itu kontan membuat Lan Eng dan Mao Bong jadi geregetan, mereka tetapi menyangka kalau secara tiba-tiba Cui Tek Li bisa mengundurkan diri dari tempat itu.
Keadaan mereka pada saat ini bagaikan menunggang di atas punggung harimau, mau turun tak bisa mau tetap duduk pun sungkan, apalagi mereka tahu bahwa musuhnya adalah Jago Pedang Berdarah Dingin, seketika itu juga membuat ke-dua orang jago lihay dari kalangan hitam ini jadi serba salah, untuk beberapa saat lamanya mereka tak tahu apa yang mesti dilakukan.
Baru saja bayangan punggung dari Cui Tek Li lenyap dari pandangan, terdengarlah suaranya berkumandang datang : "Jika kalian berdua tidak berhasil memenggal batok kepala dari Pek In Hoei, sejak hari ini tak usah datang menjumpai diriku lagi..." Ucapan ini tentu saja berada di luar dugaan ke-dua orang jago lihay itu sehingga mereka semakin tertegun.
Dengan hati tercekat Mao Bong berpikir dalam hatinya : "Tindakan dari Poocu ini bukankah berarti hendak mengorbankan jiwa kami berdua" Terang-terangan ia tahu kalau dengan andalkan kekuatanku serta kekuatan Lan Eng tak mampu menandingi Pek In Hoei, tapi sengaja ia berbuat begitu..." Ia melirik sekejap ke arah Lan Eng, kemudian katanya : "Lan-heng, terpaksa kita harus mengeluarkan segenap tenaga untuk membereskan bajingan ini." "Benar, kalau kita berdua tak mampu untuk menaklukkan keparat cilik ini, maka mulai hari ini kita pun tak usah bertemu dengan orang lagi..." Ia tarik napas panjang-panjang lalu angkat pedang dengan penuh keseriusan, dalam waktu singkat ke- dua orang itu dari arah yang berlawanan telah menerjang ke arah Pek In Hoei.
"Hmmm...! Rupanya kalian berdua benar-benar sudah bosan hidup..." seru si anak muda itu sambil mengegos ke samping.
Ia menyadari bahwa ke-dua orang jago lihay itu bukan manusia sembarangan, untuk melenyapkan mereka berdua dalam waktu singkat jelas bukan suatu pekerjaan yang gampang, diam-diam hawa murninya disalurkan ke ujung pedang sehingga timbullah keluar dengungan nyaring yang memekakkan telinga.
Dalam waktu singkat ke-tiga orang itu sudah saling bergebrak sebanyak dua tiga puluh jurus banyaknya..." Perlahan-lahan Cui Tek Li berjalan keluar dari kuil Toa- ong-bio meninggalkan ke-tiga orang jago yang sedang bertempur sengit, sekilas rasa bangga tersungging di ujung bibirnya...
Belum habis ia melamun, tiba-tiba air mukanya berubah hebat...
karena secara mendadak ia temukan seorang gadis berdiri di bawah sebuah pohon sambil memandang ke arahnya dengan pandangan penuh kegusaran.
Cui Tek Li tertegun, lalu katanya : "It-boen lengcu, kenapa engkau pun datang kemari?" "Hmmm...! Aku sedang menyaksikan permainan setan apakah yang sedang dilakukan oleh manusia yang paling licik di kolong langit pada malam ini..." "Kau maksudkan diriku?" It-boen Pit Giok mendengus dingin.
"Hmmm! Siapa yang licik dialah yang kumaksudkan, apakah toa poocu adalah seorang manusia licik?" katanya.
Cui Tek Li jadi naik pitam, dengan gusar serunya : "Apa yang telah kau lihat" Berani benar mengucapkan kata-kata yang tidak senonoh..." It-boen Pit Giok tertawa dingin.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... aku saksikan kematian dari Thian Goan, menyaksikan pula Mao Bong sera Lan Eng akan mati.
Toa Poocu! Bukankah beberapa orang itu adalah anak buahmu" Kenapa engkau tidak membantu orang sendiri malahan lari keluar seorang diri..." "Hmmm! Itu urusan pribadiku..." "Tentu saja urusan pribadi Komplotan Tangan Hitam kalian, dan dengan diriku sama sekali tak ada hubungannya," jengek gadis itu sinis, "cuma ditinjau dari urusan sekecil ini bisa terlihat betapa bahaya dan liciknya engkau jadi manusia, orang seperti engkau mana mampu untuk merajai kolong langit" Kau cuma pandai melampiaskan rasa dendam pribadi, kau tak pernah menilai sampai di manakah kesetiaan dari anak buahmu, asal seseorang berani membangkang perintahmu maka engkau segera berusaha keras untuk melenyapkan dirinya..." "Apa maksudmu?" Cui Tek Li semakin gusar.
"Hmmm! Gampang sekali, aku lihat engkau menginginkan Mao Bong serta Lan Eng sama-sama menemui ajalnya di tangan Jago Pedang Berdarah Dingin, perbuatanmu ini benar-benar mengagumkan sekali..." "Setelah engkau tahu mau apa..." jengek Cui Tek Li sambil tertawa dingin.
Tiba-tiba It-boen Pit Giok menengadah dan tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... tentu saja tak bisa apa- apa, Mao Bong serta Lan Eng suka mati dengan cara bagaimana mereka boleh mati dengan cara disukainya, apa sangkut pautnya dengan diriku" Cuma, caramu membunuh orang ini dengan cepatnya akan tersiar di kolong langit..." "Tidak salah cara pembunuhanku ini akan segera tersiar di kolong langit," kata Cui Tek Li setelah berpikir sebentar, "It-boen lengcu, aku hendak membubarkan Komplotan Tangan Hitam, selamanya organisasi itu tak akan muncul kembali dalam dunia persilatan..." "Bukankah hal itu dikarenakan putra dan putrimu..." "Dari mana engkau bisa tahu akan rahasia ini?" teriak Cui Tek Li dengan hati terperanjat setelah mendengar perkataan itu.
Senyuman dingin tersungging di ujung bibir It-boen Pit Giok.
"Jangan lupa bahwa anggota Perkumpulan Bunga Merah tersebar di seluruh kolong langit, semua tindak tandukmu ada orang yang telah melaporkan kepadaku, aku pun tahu apa sebabnya engkau tak berani menjumpai orang dengan raut wajah aslimu, hal ini disebabkan karena engkau tak mau kalau sampai putrimu mengetahui bahwa mereka punya seorang bapak yang suka melakukan kejahatan..." "Hmmm...! Tebakanmu cuma benar separuh..." "Kalau begitu biarlah kutebak pula separuh bagian yang lain..." kata It-boen Pit Giok, setelah berpikir sebentar lanjutnya, "bukankah disebabkan karena binimu?" Sekujur badan Cui Tek Li gemetar keras saking kagetnya.
"Aaaah...! Semua rahasiaku telah engkau ketahui..." teriaknya.
It-boen Pit Giok tertawa dingin.
"Meskipun engkau sangat mencintai binimu, tetapi ia selalu tidak puas dengan tingkah lakumu, karena ia telah dirampas dari tangan suaminya dan karena engkau pernah membinasakan suaminya, di hadapanmu ia memang menghormati dan menuruti dirimu tetapi di dalam hati ia sangat membenci dirimu, apalagi sekarang putranya yang berkelana dalam dunia persilatan telah mendatangkan ancaman besar bagimu..." "Ehmmm...
aku pun tahu bahwa dia tidak cinta kepadaku, dan tahu pula kalau ia sangat membenci diriku, peduli bagaimana pun pandangannya terhadap aku, selama hidup aku tak akan menyusahkan dirinya lagi, ketika berada di Benteng Kiam-poo ia mohon kepadaku agar jangan membunuh Pek In Hoei." "dia tidak tahu kalau engkau mengorganisasikan Komplotan Tangan Hitam untuk menguasai kolong langit..?" sela It-boen Pit Giok.
Cui Tek Li menggeleng. "Tidak tahu, aku tak ingin dia mengetahui akan persoalan ini, aku tak rela kehilangan segala-galanya dan tak rela melepaskan mereka...
hal ini aku berani membuktikannya di hadapanmu..." "Hmmm! Tapi Pek In Hoei sudahtahu kala engkau adalah musuh besar pembunuh ayahnya, meskipun engkau mencintai ibunya tetapi setiap saat engkau berusaha untuk mencelakai jiwa pemuda itu, aku tahu tujuanmu bukan lain adalah untuk mengangkangi ibunya, dan melenyapkan ancaman yang membahayakan keselamatanmu..." "Hmmm!" Cui Tek Li mendengus berat, dengan wajah penuh napsu membunuh katanya : "Aku tak akan jeri terhadap Pek In Hoei, asal dia punya kemampuan untuk mencari aku maka pasti aku akan membinasakan dirinya...
Hmmm... bagaimanakah tindakanku" Aku rasa engkau pasti mengetahui lebih jelas..." Blaaaam....! Dari tengah ruang kuil yang sedang berlangsung pertarungan tiba-tiba berkumandang datang suara bentrokan keras, tanpa terasa It-boen Pit Giok serta Cui Tek Li berpaling ke arah pintu kuil.
Tampaklah Lan Eng dengan badan sempoyongan lari keluar dari kuil tersebut, tubuhnya basah kuyup bermandikan darah, rambutnya kusut dan kacau tak karuan, pedang dalam genggamannya tinggal separuh sementara matanya dengan penuh ketakutan melototo ke angkasa, suara btuk tiada hentinya berkumandang memecahkan kesunyian.
Setelah lari maju beberapa langkah lagi ke depan dengan sempoyongan, tiba-tiba ia terjungkal dari atas undak-undakan dan menggeletak tak berkutik lagi, rupanya jago lihay itu telah menemui ajalnya.
"Aaaah...! Lan Eng telah mati..." bisik Cui Tek Li dengan air muka berubah hebat.
"Kejadian ini bukankah berarti bahwa salah satu harapan hatimu telah terpenuhi..." sambung It-boen Pit Giok dengan dingin.
Meskipun Cui Tek Li ada maksud membiarkan Lan Eng serta Mao Bong menemui ajalnya di tangan Jago Pedang Berdarah Dingin, tetapi bagaimana pun juga dia adalah anak buahnya yang telah banyak tahun mengikuti dirinya, karena itu menyaksikan kematian dari Lan Eng, timbullah rasa gusar yang tak tertahan dalam hati kecilnya.
"Siapa yang bilang..." teriaknya.
"Hmmm! Mau apa kau bersikap begitu galak terhadap diriku?" kata It-boen Pit Giok dengan ketus, "Cui Tek Li ketahulah manusia yang paling licik di kolong langit adalah engkau, setiap orang yang tenaganya telah engkau pergunakan tentu kau usahakan pembunuhan terhadap dirinya dengan meminjam tangan orang lain, dan malam ini cara lama tersebut kau pergunakan lagi, apakah aku telah salah bicara..." "Engkau sama sekali tidak salah, yang salah adalah mengapa engkau bertemu dengan aku.
Hmmm... hmmm... secara beruntun anak buahku telah beberapa orang menemui ajalnya, bagaimana pun jug aku harus carikan sedikit pokok untuk membeli peti mati bagi mereka.
Heeeeh... heeeeh... heeeeh... It- boen Pit Giok malam ini adalah saatnya bagi kita untuk membereskan soal hutang piutang antara Komplotan Tangan Hitam dengan Perkumpulan Bunga Merah." "Ooooh! Jadi engkau hendak menantang aku untuk berduel?" jengek It-boen Pit Giok sambil tertawa dingin.
Cui Tek Li segera ayukan tangannya ke depan, di atas telapak kanannya tiba-tiba memancar keluar selapis cahaya terang berwarna hitam, dengan wajah diliputi napsu membunuh ia melotot ke arah It-boen Pit Giok dengan penuh kegusaran, serunya : "Kau anggap aku tak berani melayani dirimu" Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... It-boen Pit Giok, dahulu aku tak ingin bentrok muka dengan dirimu, hal tersebut dikarenakan di belakang tubuhmu masih ada tiga orang yang bertindak sebagai tulang punggungmu, dengan andalkan kekuatan dari Benteng Kiam-poo kami masih belum mampu untuk menghadapinya, akan tetapi sekarang...
ketiga orang telur busuk tua di belakangmu itu sudah tak perlu ditakuti lagi, kenapa aku mesti jeri kepadamu?" It-boen Pit Giok tertawa dingin.
"Kau anggap mereka benar-benar bersumpah tak akan munculkan diri lagi di dalam dunia persilatan?" Perkumpulan Bunga Merah pimpinannya berani menentang Komplotan Tangan Hitam sebagian besar bukanlah dikarenakan jumlah anggota Perkumpulan Bunga Merah jauh lebih kuat dari orang-orang Komplotan Tangan Hitam, yang paling utama adalah takutnya Cui Tek Li terhadap orang dari luar lautan, oleh sebab itu Cui Tek Li selalu berusaha untuk menghindari gadis itu dan tak berani bentrok langsung dengan dirinya, ia takut karena kejadian itu maka akibatnya akan memancing kehadiran dari Hay gwa Sam-sian...
Tetapi bulan berselang secara tiba-tiba Tiga Dewa dari Luar Lautan telah menyatakan bahwa selama hidup mereka akan mengundurkan diri dari dunia persilatan dan tak akan mencampuri urusan dunia persilatan lagi, bahkan segera pulang ke luar lautan dan bersumpah tak akan menginjakkan kakinya di daratan Tionggoan lagi, hal inilah yang membuat rasa takut Cui Tek Li seketika lenyap tak berbekas.
Setelah berdiri tertegun beberapa saat lamanya pemilik dari Benteng Kiam-poo ini segera menukas : "Apakah perkataan mereka ibaratnya kentut busuk..." "Hmmm! Suhu dan supekku bukan manusia semacam itu, meskipun mereka telah bersumpah tak akan menginjakkan kakinya di daratan Tionggoan lagi, tetapi mereka tidak mengatakan bahwa anak muridnya tak boleh munculkan diri dalam dunia persilatan.
Selama aku It-boen Pit Giok masih berada di sini, aku sama saja masih mampu untuk menaklukkan dirimu..." "Haaaah...
haaaah... haaaah..." Cui Tek Li tertawa seram, "dengan andalkan kemampuan yang kumiliki, kenapa aku jeri terhadap budak ingusan macam engkau" Hehhmm...
Heehhmmm... kau jangan terlalu pandang rendah diriku, dayang ingusan, perhitungan sie-poa mu kali ini keliru besar...
di kolong langit langit kecuali tiga orang tua bangka yang tidak mati-mati dari luar lautan, tak ada orang yang kutakuti lagi..." Telapak kanannya berputar di udara dan segera muncullah segulung angin pukulan yang santer dengan dahsyat angin serangan tadi menerjang ke tubuh gadis tersebut.
"Rasakanlah pukulan Tui-hiat-ciang ku..." teriaknya.
Meskipun angin pukulannya yang dipancarkan amat dahsyat, tetapi bila mengenai di tubuh orang sama sekali tidak menimbulkan rasa sakit barang sedikit pun juga, akan tetapi hawa pukulan itu akan memaksa bergolaknya darah dalam tubuh manusia hingga menyebabkan pembekuan dan menggumpal jadi satu.
Namun kelihayannya bukan terletak pada hal itu saja, aliran darah manusia dalam tubuhnya akan mengalir secara terbalik dan tidak sampai setengah jam kemudian dari tujuh lubang inderanya akan mengucur darah hingga akhirnya mati.
Kepandaian tersebut-lah merupakan ilmu telapak andalannya, cuma saja tak pernah dipergunakannya secara sembarangan kecuali telah bertemu dengan musuh tangguh.
Bagaikan selembar daun kering yang melayang di udara, dengan lincah It-boen Pit Giok melayang di udara lalu berkata sambil tertawa : "Ilmu telapak semacam ini belum tentu lihay dan luar biasa..." Di luar saja gadis itu bicara enteng, padahal dalam kenyataan telapak lawan laksana sambaran kilat telah membabat keluar, tubuh Cui Tek Li bagaikan sesosok sukma gentayangan menyusul ke depan, dari telapak ia rubah jadi cengkeraman dan mencakar tubuh gadis itu.
Bagaikan seekor ular lincah It-boen Pit Giok berkelejit dan menghindar ke samping.
"Poocu...!" Tiba-tiba dari balik ruang kuil berkumandang keluar jeritan keras yang mengandung rasa gelisah dan ngeri, Mao Bong dengan sepasang mata memancarkan sinar merah serta wajah memancarkan rasa ketakutan lari keluar dengan sempoyongan, darah segar mengucur keluar dari atas dadanya.
"Hey, jangan lari!" teriak Jago Pedang Berdarah Dingin sambil menyusul dari belakang.
"Mao Bong... Mao Bong..." teriak Cui Tek Li tertegun, dengan cepat ia melayang turun ke atas tanah.
Sekujur badan Mao Bong gemetar keras, teriaknya : "Poocu..." Cepat Cui Tek Li maju menyongsong ke depan, tetapi baru saja tubuhnya bergerak tiba-tiba Jago Pedang Berdarah Dingin sambil ayun pedangnya telah menyerah ke arahnya, hal ini membuat jago lihay dari Benteng Kiam-poo mundur ke belakang dengan ketakutan.
"Apa maksudmu?" bentaknya dengan gusar.
Napsu membunuh terlintas di atas wajah Pek In Hoei, bentaknya : "Mao Bong, apa yang kau katakan tadi apakah sungguh-sungguh terjadi..." "Mao Bong apa yang telah kau katakan kepadanya?" tegur Cui Tek Li dengan wajah tertegun.
Dengan penuh penderitaan Mao Bong mengerang kesakitan, sekujur badannya gemetar keras...
tiba-tiba ia menubruk ke depan sehingga pedang menembusi lambungnya hingga tembus ke belakang, jawabnya dengan suara terpatah-patah : "Poocu, aku...
aku dippaa... dipaksa untuk mengatakan bagaimana ayahnya mati..." Weess...! Cui Tek Li ayun telapaknya menggaplok, Mao Bong jatuh terjengkang ke atas tanah, makinya : "Kau bajingan telur busuk..." Sekujur badan Mao Bong gemetar keras, serunya dengan sedih : "Poocu...
poocu... kau..." Belum habis dia berkata tiba-tiba jago lihay she-Mao itu muntah darah segar, setelah melotot sekejap ke arah Cui Tek Li dengan pandangan dendam, ia hembuskan napasnya yang terakhir dan menyelesaikan perjalanannya yang singkat di alam dunia.
"Cui Tek Li," bentak Pek In Hoei dengan gusar, "sebenarnya bagaimanakah ayahku bisa mati" Ayoh jawab..." "Engkau toh sudah mengetahui kesemuanya, apa yang mesti ditanyakan lagi..." sahut Cui Tek Li dengan hati bergidik.
"Serahkan nyawamu...! Aku tidak akan melepaskan dirimu lagi..." "Hmmm! Aku tidak percaya kalau engkau bisa membunuh aku..." Pada saat ini seluruh benak Jago Pedang Berdarah Dingin telah dibakar oleh hawa amarah yang sukar dikendalikan lagi, dengan penuh kemarahan ia berteriak keras : "Kentut busuk, aku bersumpah akan membinasakan dirimu..." Pedang mestika penghancur sang surya bergeletar di tengah udara menciptakan berkuntum-kuntum bunga pedang, lalu dibacoknya ke atas tubuh Cui Tek Li, saat ini rasa bencinya terhadap pemilik dari Benteng Kiam- poo ini sudah tidak terbendung lagi, serangannya sama sekali tak kenal belas kasihan, jurus-jurus serangan yang ampuh dan ganas dilancarkan berulang kali.
"Pek In Hoei, maaf, aku tak bisa menemani dirimu lagi..." seru Cui Tek Li tiba-tiba sambil berpaling.
Tangannya diayun ke belakang, dan...
Blaaam! Kabut tebal yang menutupi seluruh jagad seketika menyelimuti sekeliling tempat itu membuat bayangan tubuh mereka bertiga tertutup rapat di balik kabut tersebut.
Suasana jadi gelap gulita dan apa pun tidak nampak termasuk pula bintang yang bertaburan di langit, di tengah tebalnya asap ketiga orang itu sama-sama menutup pernapasan dan sedikit suara pun tak berani dikeluarkan...
Jago Pedang Berdarah Dingin merasa di balik asap hitam itu tersiar bau harum yang sangat eneg, ketika dicium lebih keras kepalanya seketika terasa jadi pening, sepasang matanya kontan berubah jadi merah berapi, dengan penuh bernapsu ia mencari bayangan dari musuhnya di balik tebalnya asap...
Tiba-tiba dari samping kiri terdengar suara dengusan napas yang lirih.
Pek In Hoei segera loncat ke depan sambil ayun pedangnya, ia membentak keras : "Cui Tek Li, engkau hendak lari ke mana..." "Aaaaah!...." Dari balik asap yang tebal berkumandang jeritan kaget dari It-boen Pit Giok seolah-olah gadis itu telah berjumpa dengan setan, jeritan itu membuat Pek In Hoei tersentak kaget dan segera tarik kembali pedangnya.
"Nona It-boen, nona It-boen..." serunya.
"Oooh! Engkau telah mengejutkan diriku..." seru It- boen Pit Giok sambil tarik napas panjang.
Perlahan-lahan ia menggeserkan tubuhnya, Pek In Hoei yang berada di balik asap tebal secara lapat- lapat mulai bisa melihat jelas bayangan tubuhnya, ia segea loncat ke depan sambil bertanya : "Ke mana larinya rase tua itu?" It-boen Pit Giok tidak menjawab, tiba-tiba ia menjerit kaget sambil serunya : "Aduh celaka, ia melepaskan kabut pemabok cinta..." Dari balik kabut yang tebal terdengarlah Cui Tek Li tertawa terbahak-bahak, suara tertawanya begitu dingin dan mengerikan bagaikan jeritan setan atau sukma gentayangan, ketika terdengar dalam pendengaran terasa nyeri dan mengakibatkan bulu kuduk pada bangun berdiri.
"Apakah yang engkau tertawakan?" teriak Pek In Hoei.
"Hmmm! Selamanya engkau tak akan berhasil mengejar diriku, Pek In Hoei...
Kabut pemabok cinta yang kubuat sendiri ini tak ada yang bisa mempertahankan diri, baik-baiklah lewatkan malam yang indah ini di sini serta nikmatilah sorga dunia yang belum pernah kau cicipi..." Perkataan itu makin lama semakin lirih dan akhirnya hilang dari pendengaran, beberapa kali Jago Pedang Berdarah Dingin akan melakukan pencarian atas tempat persembunyian dari Cui Tek Li, akan tetapi setiap kali pula dia temu kegagalan, namun pemuda itu tidak putus asa dicarinya sekeliling tempat itu dengan seksama." "Aaaai..!" akhirnya terdengarlah It-boen Pit Giok menghela napas panjang, "engkau tak usah membuang pikiran dan tenaga dengan percuma, setelah kabut pemabok cinta dilepaskan maka gampang sekali membuat perasaan orang jadi keliru, ia bersembunyi di sebelah kiri maka engkau akan mengira di kanan, nasib kita berdua telah ditentukan pada malam ini!"
"Apa maksudmu!" tanya Pek In Hoei tertegun.
"Maukah engkau mengawini diriku sebagai istrimu?" tanya It-boen Pit Giok dengan suara sedih.
"Aku tidak mengerti apa yang sedang kau katakan?" seru Pek In Hoei tertegun, "nona It-boen, mengapa secara tiba-tiba kau ajukan pertanyaan seaneh itu" Aku benar-benar tidak mengerti apa yang hendak kau lakukan..." "Aaaaaai...." kembali It-boen Pit Giok menghela napas sedih, "sekali pun engkau tak mau juga tak bisa, kesemuanya ini Cui Tek Li-lah yang memberikannya kepada kita, kau mau pun aku tak dapat menghindarkan diri lagi, sekali pun kita ada maksud untuk berbuat begitu..." Dari kabut hitam yang menyelimuti tempat itu, secara lapat-lapat Jago Pedang Berdarah Dingin dapat menangkap rambut It-boen Pit Giok yang hitam mulus, pakaiannya yang berwarna hijau serta biji matanya yang bening serta memancarkan rasa cinta yang lembut itu.
Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei merasakan jantungnya berdebar keras, ia merasa segumpal hawa panas yang aneh muncul dari pusarnya dan merambat naik ke atas.
Gejala yang sangat aneh ini membuat hatinya terperanjat, buru-buru ia mundur dua langkah ke belakang, pandangannya jadi gelap akan tetapi raut wajah It-boen Pit Giok yang cantik tak dapat terhapus dari benaknya.
Ia tak habis mengerti apa sebabnya pada malam ini ada gejala aneh yang melekat di benaknya, ia merasa golakan hawa panas dalam tubuhnya berubah jadi suatu tenaga baru dan ia merasa dalam waktu singkat membutuhkan sekali sesuatu untuk melampiaskan tenaganya tadi.
Ia tertegun dan pikirnya di dalam hati : "Apa yang sebenarnya telah terjadi" Apa yang sebenarnya telah terjadi?" Pelbagai ingatan berkelebat dalam benaknya, tanpa sadar keringat dingin telah membasahi seluruh tubuhnya, penderitaan yang dialaminya pada saat ini sukar dilukiskan dengan kata-kata, dan merupakan satu pengalaman aneh yang belum pernah dialami sebelumnya, ia merasa dalam hatinya timbul suatu kebutuhan...
semacam gaya tarik menarik antara lawan jenis yang berbeda...
"Aaaai...! In Hoei kemarilah," It-boen Pit Giok berbisik sambil menghela napas sedih.
Pada saat ini benak Pek In Hoei kosong melompong, ia merasa sepatah kata yang diucapkan It-boen Pit Giok mendatangkan daya tarik yang amat besar sehingga membuat pemuda itu tanpa sadar maju ke depan.
Air muka It-boen Pit Giok berubah jadi bersemu merah, rasa cinta dan birahi terpancar keluar dari balik matanya...
begitu cantik dan ayu mempesonakan hati membuat Pek In Hoei hampir saja tak mampu menguasai diri...
"In Hoei, cintakah engkau kepadaku?" bisik gadis itu dengan suara lembut.
"Aku..." Pek In Hoei termangu-mangu.
Pada saat ini benaknya sudah terpengaruh oleh kebutuhan aneh yang mengganggu jalan pikirannya, ia tak tahu apa yang mesti dijawab, ia memandang ke arah gadis itu dengan sinar mata penuh birahi, ia berharap bisa temukan perbedaan yang menyolok antara pria dan wanita...
ia mengincar bagian terrahasia dari gadis itu.
Empat mata saling bertemu satu sama lainnya, ke- dua belah pihak sama-sama membungkam dalam seribu bahasa...
Tetapi dari balik sorot mata itulah mereka temukan saling pengertian, rasa cinta, saling membutuhkan serta birahi...
ke-dua belah pihak mulai menggeserkan tubuhnya serta berusaha membongkar rahasia yang menyelimuti perasaan aneh dalam tubuh mereka.
Dalam waktu singkat suasana yang diliputi cinta dan birahi menyelimuti ke-dua orang muda mudi ini, mereka saling menyatakan kebutuhan lewat pancaran sinar mata yang aneh...
Perlahan-lahan It-boen Pit Giok meletakkan tangannya yang halus di atas bahu pemuda itu sambil menatap wajahnyaia berbisik : "In Hoei...
kekasihku..." Bau harum yang semerbak berhembus lewat di atas wajah Pek In Hoei dan masuk lewat lubang hidungnya, ia tarik napas panjang-panjang...
bau harum yang aneh dari dari gadis itu memberikan dorongan yang lebih kuat pada tenaga panas dalam tubuhnya, ia gelengkan kepala dan berseru : "Ooooh! Harum sekali..." Ketika rambut yang hitam menyampok wajahnya karena terbawa angin malam, Pek In Hoei merasakan jantungnya berdebar keras, ia jadi mabok oleh cinta dan tanpa sadar menggenggam tangan putih dan halus itu...
kelembutan dan kehalusan tangan gadis itu hampir saja membuat Pek In Hoei jadi kalap dan memeluk tubuhnya erat-erat.
"Jangan berbicara," bisik It-boen Pit Giok dengan lirih, "marilah kita nikmati kehangatan yang sedang kita rasakan sekarang..." "Engkau mabok..." ujar pemuda itu.
It-boen Pit Giok membuka matanya dan tertawa ringan.
"Apakah engkau mendusin..." jawabnya.
Di tengah keheningan, ke-dua orang itu terbawa oleh arus cinta serta birahi yang kian lama kian menebal...
dengan cepatnya mereka terseret ke alam yang lain, saat ini mereka saling membutuhkan, saling memadu cinta...
Perlahan-lahan Pek In Hoei memeluk pinggangnya, It- boen Pit Giok sambil memejamkan mata jatuhkan diri ke dalam pelukannya, sepasang bibir yang merah dan mungil perlahan-lahan diangkat ke atas menyongsong datangnya bibir dari pemuda itu...
Bibir bertemu bibir... hati bertemu hati... sepasang muda mudi itu saling berpelukan dan saling berciuman melepaskan rasa cinta yang tengah bergelora dalam dada mereka...
Pek In Hoei mendekap tubuh gadis itu makin kencang, bisiknya : "Pit-Giok ku sayang..
aku butuh..." "Kau butuh apa?" "Aku butuh itu..." jawab Pek In Hoei tertegun.
"Itu... itu apa?" tanya It-boen Pit Giok sambil membuka matanya dan pipi bersemu merah karena jengah.
"Kau..." Tiba-tiba It-boen Pit Giok teringat sesuatu, ia merasa birahi yang berkobar dalam dadanya tak dapat dikendalikanlagi, ia menjatuhkan diri ke dalam pelukan Pek In Hoei serta ingin sekali cepat-cepat melebur jadi satu dengan pemuda itu.
Pada saat ini dara ayu tersebut telah lupa segala- galanya,lupa kalau dia adalah gadis...
lupa kalau ia masih gadis perawan yang belum pernah dijamah orang...
saat ini kesombongan dan keangkuhannya telah lenyap, pikirannya kosong melompong...
yang ada hanya napsu birahi serta keinginannya untuk sesuatu...
Pakaian satu demi satu ditanggalkan mulai dari pakaian luar...
gaun... penutup dada... celana dan akhirnya gadis itu berada dalam keadaan telanjang bulat...
Pek In Hoei yang di hari-hari biasa selalu berwajah dingin, sinis terhadap gadis, kini telah berubah sama sekali...
bagaikan harimau kelaparan diterkamnya gadis itu...
dijamahnya sekujur badan dara itu...
mulai dari atas kepala...
payudara, perut, lekukan antara paha daam...daam.
Tidak berselang berapa saat, mereka berdua telah berada dalam keadaan bugil...
mereka saling tindih menindih...
saling bergumul dan.. saling bergoyang pinggul...
Gerakan tubuh mereka mula-mula perlahan-lahan lalu bertambah kencang dan akhirnya memburu bagaikan larinya kuda...
Asap hitam yang tebal menutupi seluruh jagad...
tubuh mereka yang saling bergumul mulai lenyap ditelan kegelapan...
yang terdengar tinggal dengusan napas yang memburu...
Keluhan kesakitan... percikan darah membasahi lantai...
rintihan kenikmatan.. serta dengusan napas memburu bercampur aduk menjadi suatu rangkaian peristiwa yang menghangatkan badan...
Kesemuanya tak bisa dicegah lagi, semuanya telah berlangsung dengan cepat.
Mabok... keletihan... kepuasan serta beberapa macam perasaan bercampur baur di atas wajah ke-dua orang muda mudi itu.
Rambut It-boen Pit Giok jadi kusut, pakaiannya sudah tercecer di atas tanah...
ia tertidur dalam pelukan Pek In Hoei dengan penuh kenikmatan serta kepuasan...


Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jago Pedang Berdarah Dingin yang angkuh dan tinggi hati tak dapat tertidur nyenyak...
ia merasa seakan- akan baru saja mengalami satu impian buruk dan sekarang baru saja mendusin dari impian tersebut.
"Aku... mengapa aku begitu tolol" Mengapa kulakukan kesemuanya ini?" Siapa yang salah" Pertanyaan ini sulit untuk dijawab baik oleh Pek In Hoei maupun gadis itu.
It-boen Pit Giok tersadar kembali dari tidurnya ketika mendengar jeritan yang amat keras itu, tatkala ia menyaksikan segala sesuatu yang terbentang di depan mata, sadarlah ia bahwa apa yang telah terjadi...
ia tahu bahwa kemarin malam kesucian dan seluruh tubuhnya telah dipersembahkan untuk pemuda itu.
Dia... adalah kekasih yang dicintainya.
Gadis itu sama sekali tidak merasa menyesal, dia merasa bahwa seorang gadis bilamana dapat memberikan kesucian dan tubuhnya kepada orang yang dicintainya, hal ini merupakan sesuatu yang suci dan murni...
"Kenapa engkau?" bisiknya lirih.
Pek In Hoei tak berani memandang ke arah gadis itu, sambil tundukkan kepala ia menghela napas panjang.
"Kita semua telah bersalah..." katanya.
Air mata mengembang dalam kelopak mata It-boen Pit Giok, katanya dengan sedih : "Kejadian ini tak dapat salahkan dirimu, atau pun salahkan diriku.
In Hoei...! Tahukah engkau apa yang telah dilakukan Cui Tek Li sebelum meninggalkan tempat ini" Kabut tebal yang menyelimuti tempat ini bukan lain adalah bubuk obat pemabok cinta yang mendatangkan birahi bagi siapa pun yang menciumnya, semua orang tak dapat menghindarkan diri dan siapa pun tak akan kuat mempertahankan diri.
Ketika ketemu gejala tersebut, keadaan telah terlambat...
In Hoei, bila engkau benci kepadaku, aku tak akan membuat dirimu malu jadi orang...
aku bisa tinggalkan dirimu dan pergi seorang diri." "Tidak!" seru Pek In Hoei sambil menggeleng, "aku sama sekali tidak membenci dirimu, aku sedang membenci pada diriku sendiri.
Pit-Giok! Peristiwa ini telah terjadi, menyesal pun tak ada gunanya...
aku adalah seorang yang berwatak terbuka, setelah berbuat salah harus dirubah, aku tetap akan bertanggung jawab atas perbuatan ini, aku tak akan membiarkan engkau malu hidup sebagai manusia." "In Hoei!" karena terharunya It-boen Pit Giok melelehkan air mata, "engkau agung...
dan maha besar... selama hidup aku akan selalu mencintai dirimu..." "Criiing...!" tiba-tiba terdengar suara pekikan naga, diikuti cahaya pedang memancar keluar dari pergelangan tangan Pek In Hoei, dengan keren ia pegang pedang mestikanya dan memandang ke angkasa.
"In Hoei, kau..." teriak gadis itu dengan terkejut.
Pek In Hoei menghela napas panjang.
"Aku hendak angkat sumpah di hadapan langit dan bumi, bila tidak kubunuh Cui Tek Li dengan tangan sendiri aku bersumpah tak akan berhenti berusaha.
Pit-Giok, aku hendak menyusul ke Benteng Kiam-poo dan menarik keluar ekor dari si rase tua itu..." "Pergi ke Benteng Kiam-poo" Kau hendak mencari kematian buat dirimu sendiri?" teriak It-boen Pit Giok dengan amat terkejut.
Pek In Hoei menggeleng. "Tidak! Aku hendak mencabut nyawa rase tua itu, aku pergi ke Benteng Kiam-poo untuk membalas dendam, sudah terlalu banyak hutang Cui Tek Li terhadap keluarga Pek kami, ia telah membinasakan ayahku, memperkosa ibuku dan sekarang mencelakai pula dirimu." Dengan sedih ia melanjutkan : "Manusia semacam ini tak boleh dibiarkan tetap hidup di kolong langit, sebab kalau tidak entah berapa banyak orang yang bakal celaka di tangannya lagi?" "Baiklah, mari kita berangkat bersama-sama..." ujar It- boen Pit Giok dengan wajah serius, "tetapi engkau harus mendengarkan perkataan, kalau tidak kita semua bakal jatuh kecundang di dalam Benteng Kiam-poo...
In Hoei aku minta engkau suka mendengarkan perkataan, sekali ini saja..." Sambil tertawa getir Pek In Hoei mengangguk.
"Engkau adalah istriku, tentu saja aku harus mendengarkan perkataanmu," katanya.
Fajar telah menyingsing, ke-dua orang muda mudi itu berjalan di jalanan yang sunyi...
tinggalkan kabut yang tebal dan menuju ke Benteng Kiam-poo...
bayangan tubuhnya kian mengecil hingga akhirnya lenyap di kejauhan...
*** Benteng Kiam-poo Bangunan tersebut masih tetap berada di tempat semula, sungai pelindung benteng, loteng pengamat serta jembatan penyeberang masih tetap seperti sedia kala, sedikit pun tidak berubah.
Dipandang dari luar, bangunan benteng itu memang seperti sedia kala dan sama sekali tak berubah, tetapi sejak Cui Tek Li kembali ke dalam benteng dalam kenyataan Benteng Kiam-poo telah mengalami perubahan yang amat besar, perubahan tersebut mempengaruhi kehidupan dari seluruh anggota benteng tersebut.
Lima hari setelah Cui Tek Li kembali ke bentengnya, ia melakukan persiapan dengan seksama kemudian seorang diri berdiam dalam ruang tengah sambil berjalan mondar mandir seperti sedang memutuskan suatu masalah yang amat besar.
Lama sekali... tiba-tiba dari balik biji matanya yang sadis terlintas hawa napsu membunuh yang tebal, dia menengadah memandang bunga di atas pot lalu berpikir : "Bila seseorang selalu ragu-ragu untuk bertindak atau tidak tega turun tangan secara kejam, maka sepanjang masa dia akan hidup dalam kebimbangan, untuk segala sesuatunya terpaksa aku tak boleh sangsi atau ragu-ragu lagi..." "Pengawal..." akhirnya ia bertepuk tangan dan berteriak.
Kongsun Kie perlahan-lahan tampil ke depan, setelah memberi hormat tanyanya : "Poocu, ada urusan apa?" "Undang Hoa Pek Tuo datang menemui diriku..." "Baik!" Tidak selang beberapa saat kemudian Kongsun Kie mengiringi Hoa Pek Tuo yang licik munculkan diri dalam ruangan itu, Cui Tek Li segera ulapkan tangannya mengundurkan Kongsun Kie.
Setelah dalam ruangan itu tinggal dua orang, Hoa Pek Tuo tertawa mengakak dan berkata :
"POOCU, ENGKAU SUDAH PULANG sebelum saatnya, mengapa tidak beri kabar kepadaku" Aku sudah hampir setengah bulan lamanya menanti di sini...
Hmm... poocu, hasil yang dicapai Komplotan Tangan Hitam dalam dunia persilatan mengagumkan sekali bukan" Bagaimana akhirnya persoalan dengan pihak Perkumpulan Bunga Merah..." "Persoalan antara Komplotan Tangan Hitam dengan Perkumpulan Bunga Merah telah beres..." jawab Cui Tek Li sedikit pun tidak menunjukkan reaksi apa-apa.
"Sudah beres?" seru Hoa Pek Tuo tertegun, "apa yang telah terjadi" Dengan kemampuan poocu untuk memimpin jago, masa urusannya dengan pihak Perkumpulan Bunga Merah bisa...
Heeeeh... heeeeh... heeeeh... Poocu, atau jangan-jangan nasib Komplotan Tangan Hitam untuk kali agak jelek sehingga jatuh kecundang di tangan pihak Perkumpulan Bunga Merah..." "Bukan begitu," Cui Tek Li menggeleng, "dalam suasana yang ramah tamah dan penuh kedamaian ke-dua belah pihak telah setuju untuk menyelesaikan persoalan ini secara baik-baik.
Heeeeh... heeeeh... heeeeh... hasil dari perundingan itu memutuskan bahwa ke-dua belah pihak tak akan munculkan diri kembali dalam dunia persilatan..." "Oooh...! Masa begitu..." Jelas Hoa Pek Tuo merasa bahwa kejadian ini sedikit ada di luar dugaan, ia merasa hatinya agak gemetar sebab tujuan kedatangannya ke Benteng Kiam-poo kali ini adalah untuk menyelidiki secara diam kekuatan dari Benteng Kiam-poo, terjadinya bentrokan antara pihak Komplotan Tangan Hitam serta Perkumpulan Bunga Merah membuat ia merasa bahwa rencana besarnya sudah hampir mencapai pada taraf seperti yang diinginkan, maka ia pun bergirang hati karenanya...
"Poocu!" serunya kemudian sambil tertawa seram, "apakah engkau telah mengesampingkan rencana besarmu untuk menguasai seluruh dunia persilatan..." "Aaaai...!" tiba-tiba Cui Tek Li menghela napas panjang, "aku sudah tidak berani memimpikan cita- cita itu lagi..." "Kenapa?" Napsu membunuh menyelimuti seluruh wajah Cui Tek Li, jawabnya : "Karena ada seseorang yang memiliki ambisi jauh lebih besar daripada diriku, orang itu sudah lama sekali mengincar kedudukan sebagai Bengcu yang menguasai seluruh dunia persilatan, sekali pun aku berhasil mendapatkan kedudukan itu toh akhirnya harus bertengkar dan adu kekuatan sendiri dengan dirinya, oleh sebab itu daripada bermusuhan dengan orang itu terpaksa aku harus melepaskan cita-cita tersebut.
Sambil tertawa getir ia gelengkan kepalanya, lalu menambahkan : "Apalagi di tempat ini masih terdapat banyak orang yang mengkhianati diriku.
Aaaai...! Sungguh tak nyana dengan andalkan kekuatan yang kumiliki dalam dunia persilatan, masih ada juga orang yang berani mengkhianati diriku, Aaaai...! Tahun ke belakang ini memang kurang beruntung begitu, siapa suruh aku terlalu percaya dengan perkataan teman..." "Siapakah orang itu?" seru Hoa Pek Tuo dengan jantung berdebar amat keras, "Siapakah orang yang mempunyai ambisi besar itu" Berani benar ia adu kekuatan dengan poocu." "Hmm! Dengan ketajaman telinga dari engkau Hoa Pek Tuo, masa tidak tahu siapkah orang itu?" Hoa Pek Tuo benar-benar tidak tahu siapakah orang yang mempunyai ambisi besar untuk menguasai seluruh dunia persilatan kecuali poocu dari Benteng Kiam-poo ini, sebab dalam bayangan kecuali Cui Tek Li boleh dibilang tiada orang lain yang memiliki kekuatan sebesar itu.
Seketika itu juga rase tua yang lihay dan cerdik ini jadi kebingungan setengah mati, lama sekali ia baru berseru : "Poocu, aku benar-benar tak bisa menebak." "Hmmm! Hoa heng, seandainya engkau yang menjumpai lawan tangguh seperti ini, bagaimana kamu akan mengatasi masalah ini?" tanya Cui Tek Li sambil tertawa seram, "aku sekali ini memohon petunjuk dari Hoa heng." "Tentang soal ini...
tentang soal ini..." seru Hoa Pek Tuo dengan alis berkerut, setelah mempertimbangkan sebentar ia meneruskan : "Tiada jalan lain, kecuali melenyapkannya dari muka bumi..." "Tepat sekali! Pendapatmu itu bagus sekali dan aku rasa memang hanya itulah satu-satunya jalan yang bisa dilaksanakan..." "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh..." Hoa Pek Tuo tertawa seram, "bila musuh tidak dibunuh maka diri sendirilah yang akan rugi, Poocu! Dalam melakukan segala macam pekerjaan kita harus bertindak cepat sekali, makin cepat makin baik.
Jangan lupa, perkampungan Thay Bie San cung dengan Benteng Kiam-poo adalah satu keluarga..." Cui Tek Li tertawa dingin tiada hentinya.
"Aku memang membutuhkan sekali bantuan dari Hoa heng untuk menyelesaikan banyak persoalan!" katanya.
Hoa Pek Tuo mengangguk. "Seperti ucapanku tadi, serahkan saja semua tugas itu kepada aku orang she-Hoa..." "Peduli pekerjaan apa pun apakah Hoa-heng bersedia membantu diriku?" tanya Cui Tek Li dengan sinar mata berkilat tajam.
Hoa Pek Tuo tertegun, lalu jawabnya : "Tentu saja, asal aku sanggup melakukannya tentu saja tiada perkataan lain lagi.
Hmmm... hmmm... Poocu, asal engkau tidak menganggap aku sebagai orang luar, silahkan sampaikan perintahmu itu..." Cui Tek Li segera menepuk bahu kakek she-Hoa itu, ujarnya : "Hoa-heng, tiada lain yang kuharapkan bantuan darimu, aku cuma berharap agar engkau suka membiarkan anak buahku membelenggu tubuhmu dengan kencang...
dan segala sesuatunya aku telah mengaturnya secara sempurna." "Aku disuruh apa?" seru Hoa Pek Tuo dengan wajah tertegun.
Cui Tek Li tertawa dingin.
"Siasat menyiksa diri!" jawabnya.
Diam-diam Hoa Pek Tuo merasakan hatinya bergidik, ia merasa tingkah laku dari Cui Tek Li pada hari ini jauh berbeda dengan keadaan biasa, dia seorang yang licik pula tentu saja bisa menduga hal-hal yang kurang beres, cuma ia tak tahu permainan apakah sesungguhnya yang sedang disiapkan Cui Tek Li untuk beberapa saat lamanya ia berdiri menjublak.
"Siasat menyiksa diri?" serunya, "poocu gunakan siasat untuk ditunjukkan kepada siapa" Dan apa gunanya pula mengikat diri diriku" Poocu, dapatkah engkau terangkan lebih jauh?" "Untuk menghadapi orang itu terpaksa aku harus menyiksa sebentar diri Hoa-heng, aku harap Hoa-heng suka melakukan suatu tugas rahasia di pihak lawan, engkau boleh bilang saja aku telah menghina dan menyiksa dirimu, maka orang itu pasti akan menerima engkau sebagai pembantunya...Heeeeh...
heeeeh... heeeeh..." "Orang itu berada di mana?" tanya Hoa Pek Tuo setelah tertegun sejenak.
"Orang itu berada dalam benteng ini, ilmu silatnya amat lihay dan ia memaksa diriku untuk berunding secara terbuka, Hoa heng, jika engkau bersedia membantu aku maka laksanakanlah tugas ini sebaik- baiknya...
bersedia bukan?" "Kurang ajar, jadi ia berani datang ke Benteng Kiam- poo?" teriak Hoa Pek Tuo dengan sorot mata tajam, "besar amat nyali bangsat itu, aku orang she Hoa ingin melihat sendiri manusia macam apakah dia..." Ia berhenti sebentar dan melanjutkan : "Poocu, aku bersedia untuk menjumpai orang itu, cuma saja..." "Tentang persoalan lain yang lebih rumit aku bisa menjelaskannya kepadamu," kata Cui Tek Li sambil tertawa ringan, "tapi engkau mesti ingat bahwa orang itu sukar sekali untuk dihadapinya, engkau harus berpura-pura secara serius hingga orang itu sama sekali tidak menaruh curiga, Hoa-heng, sekarang aku hendak menyiksa dirimu sebentar..." Ia bertepuk tangan, Kongsun Kie sambil membawa seutas tali masuk ke dalam.
Hoa Pek Tuo yang cerdik mimpi pun tak pernah menyangka kalau pembalasan bakal datang dengan begitu cepatnya, apalagi kembalinya Cui Tek Li sama sekali tidak menimbulkan suara apa pun, maka ia sama sekali tidak menaruh curiga ke soal yang lain.
"Hoa lo-sianseng," ujar Kongsun Kie sambil memberi hormat, "kesemuanya terpaksa harus dibebankan pada kesuksesanmu..." Hoa Pek Tuo tertawa seram.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... kita latihan dulu, aku tak bisa bermain sandiwara secara baik..." katanya.
Kongsun Kie sama sekali tidak menggubris perkataannya,dengan cepat ia mengikat tubuh Hoa Pek Tuo erat-erat, menanti semuanya telah beres Cui Tek Li ambil keluar seutas tali kulit dan menjeratnya di atas leher kakek licik itu kemudian ditariknya keras-keras.
"Eeei... eeei... apa yang hendak kau lakukan?" teriak Hoa Pek Tuo dengan wajah tertegun.
"Hmmm! Setelah bertemu dengan orang itu, katakan saja kepadanya bahwa aku Cui Tek Li tidak menganggap engkau sebagai manusia, tapi menjiratnya seperti anjing budukan...
ia pasti akan menerima dirimu, dan menyanggupi untuk balaskan dendam bagimu...
Pada saat itulah engkau boleh bumbui ceritamu dengan pelbagai macam kata sehingga ia benar-benar mempercayai dirimu." "Plooook...!" Cui Tek Li ayunkan telapaknya dan mengirim sebuah gaplokan keras ke atas wajah Hoa Pek Tuo, membuat kakek licik itu merasakan kepalanya pusing tujuh keliling dan matanya berkunang-kunang, sebuah bekas telapak tangan yang merah membengkak segera tertera jelas di atas wajahnya.
"Poocu apa yang sedang dilakukan?" bentak Hoa Pek Tuo dengan penuh kegusaran.
Cui Tek Li tertawa dingin.
"Agar siasat menyiksa diri ini bisa berjalan lebih sukses, terpaksa Hoa Pek Tuo harus menahan diri.
Hehhmm... heehhmmmm. Hoa heng, aku hendak menggaplok mukamu sebanyak sepuluh kali, menendang dirimu sebanyak tiga kali agar tubuhmu babak belur dan mengucurkan darah kemudian baru pergi menjumpai orang itu..." Hoa Pek Tuo ketakutan setengah mati, air mukanya berubah hebat, teriaknya: "Aku harus menjumpai siapa" Poocu beritahu dulu kepadaku siapakah orang itu?" "Hmmm! Orang itu bukan lain adalah Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei, orang itu tentu sudah tak asing lagi bukan bagimu..." "Poocu, rupanya engkau ada maksud untuk membereskan jiwaku..." teriak Hoa Pek Tuo dengan tubuh gemetar keras.
Ketika ia menyadari bahwa masuk perangkap, untuk menolong diri sudah tak sempat lagi.
Sungguh tak nyana Hoa Pek Tuo yang seringkali bermain licik akhirnya terjebak pula di tangan orang, bahkan masuk perangkap atas kerelaan dan kemauan sendiri.
Cui Tek Li tertawa dingin, katanya : "Sebenarnya aku memang ingin sekali membinasakan dirimu, tetapi berhubung engkau terlalu licik dan berbahaya maka aku merasa sama sekali tak ada harganya untuk bergebrak melawan dirimu, terpaksa kugunakan sedikit siasat untuk beradu kecerdikan dengan dirimu." "Rupanya engkau membohongi diriku?" teriak Hoa Pek Tuo dengan penuh kegusaran.
"Hmmm! Untuk menipu dirimu adalah suatu pekerjaan yang sulit, sungguh beruntung ini hari pun-poocu berhasil membohongi dirimu sehingga masuk perangkap, Hoa heng! Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei adalah musuh bebuyutanmu, sebentar lagi ia tentu akan berkunjung kemari,maka dari itu aku ingin mempersembahkan dirimu kepadanya sebagai suatu barang hadiah..." Hoa Pek Tuo jadi ketakutan setengah mati sehingga sukma terasa melayang tinggalkan raganya.
"Engkau hendak menghadiahkan diriku kepada Pek In Hoei..." serunya dengan suara gemetar.
"Kenapa engkau mesti tegang dan kaget?"jengek Cui Tek Li sambil tertawa sinis, "toh engkau masih hutang satu nyawa dari ayahnya" Dan sekarang ia datang menagih hutang lamanya, hal itu merupakan suatu kejadian yang jamak dan lumrah sekali dalam kolong langit.
Hehmm... heehmmm... perbuatanku toh tidak lebih cuma mendorong perahu mengikuti aliran air dan menghadiahkan dirimu kepadanya..." "Hmmm! Engkau jangan keburu bangga dan senang hati," teriak Hoa Pek Tuo dengan wajah menyeringai bengis dan menyeramkan, "Pek In Hoei tak akan lepaskan diriku, pun tak akan melepaskan dirimu.
Poocu! Seandainya engkau adalah orang cerdik maka lepaskanlah diriku, mari kita berdua bersatu padu untuk menghadapi dirinya, hanya berbuat begitu saja kita baru akan berhasil membinasakan dirinya..." "Tutup mulut anjingmu!" bentak Cui Tek Li dengan gusarnya, "engkau si rase tua yang tak tahu diri.
Hmmm... sekarang baru tahu apakah yang disebut rasa ngeri dan ketakutan" Hmmm...
apa yang telah kau katakan sewaktu berada di hadapan Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei?"?"" Pucat pias selembar wajah Hoa Pek Tuo setelah mendengar teguran itu, jawabnya : "Itulah dikarenakan engkau mengkhianati diriku lebih dahulu..." "Kentut busuk!" Cui Tek Li ayunkan telapak tangannya dan secara beruntun melancarkan tujuh delapan buah serangan berantai, kemudian dengan penuh kebencian didepaknya tubuh Hoa Pek Tuo sampai jatuh terjungkal di atas tanah, tali kulit yang berada di tangannya segera ditarik keras-keras membuat tubuh Hoa Pek Tuo yang sudah terlempar jauh segera tertarik balik ke tempat semula.
"Aaaauuh...!" Hoa Pek Tuo berteriak keras dan memperdengarkan jeritan ngeri yang menyayatkan hati, darah kental mengucur keluar dari ujung bibirnya, ia membelalakkan matanya lebar-lebar dan teriaknya dengan penuh kegusaran : "Kau...
kau sungguh kejam..." "Hmmm! Aku menginginkan engkau mati..." teriak Cui Tek Li dengan penuh kebencian pula.
Dia ulapkan tangannya dan Kongsun Kie segera menarik tali kulit iut menuju ke arah luar.
Hoa Pek Tuo berpaling ke belakang, jeritnya keras- keras :
"Eeei... engkau hendak membawa aku pergi kemana?" cl mendengus dingin.
"Hmmm! Kemana lagi" Tentu saja menggantung tubuhmu di depan pintu gerbang Benteng Kiam-poo..." ia menjawab.
Dengan rasa takut bercampur jeri Hoa Pek Tuo memaki kalang kabut, suaranya kian lama kian menjauh sehingga akhirnya sama sekali tidak kedengaran lagi.
Seekor rase tua yang licik dan berhati kejam, akhirnya ketemu tandingannya juga, dalam keadaan begini bukan saja ia tak dapat menunjukkan kelicikannya, keganasan serta kekejaman hatinya pun tak dapat diperlihatkan lagi...
Senja telah menjelang tiba, sisa cahaya sang surya masih terpancar di balik gunung dan menyoroti sebagian dari jagad dengan sorot cahaya yang lemah, beberapa ekor burung terbang melintasi atas kepala menuju ke dalam hutan.
Ketika cahaya terakhir dari sang surya telah lenyap di balik gunung, pintu gerbang Benteng Kiam-poo perlahan-lahan terbuka di atas tiang benteng yang kuno tergantung sesosok tubuh manusia terhembus angin malam yang kencang, bayangan itu bergoyang tiada hentinya.
Ketika sorot mata dialihkan ke sebelah barat dari sungai pelindung benteng, tampaklah seorang manusia dengan menunggang seekor kuda berlari mendekati dengan cepatnya, sewaktu tiba di depan pintu benteng tiba-tiba pria itu menghentikan lari kudanya dan goyangkan tangannya ke arah pria yang ada di atas benteng sambil berteriak keras : "Jago Pedang Berdarah Dingin telah datang..." "Sudah tahu..." jawab pria yang ada di atas benteng sambil ulapkan tangannya pula.
"Taaaaaang....! Suara lonceng yang nyaring bergeletar di udara memecahkan kesunyian yang mencekam di senjata itu dan mantulkan suara tersebut hingga ke tempat yang amat jauh...
lama sekali suara tersebut bergema di angkasa sebelum perlahan-lahan sirap dan lenyap kembali dari angkasa...
Dengungan suara lonceng yang berat dan nyaring dengan cepatnya pula menggema hingga suatu daerah sejauh setengah li dari benteng tersebut, suara tersebut tertangkap oleh sepasang muda mudi yang sedang melakukan perjalanan, membuat ke-dua orang itu segera tersadar kembali dari lamunannya dan menyadari bahwa Benteng Kiam-poo yang merupakan pusat kemaksiatan serta kejahatan sudah berada di depan mata.
Sambil mengerutkan dahinya It-boen Pit Giok berkata : "Sungguh cepat kabar berita kedatangan kita tersebar dalam pendengaran mereka...
baru saja kita melewati Kiam-bun-kwan, orang-orang Benteng Kiam-poo sudah mengetahui akan kehadiran kita.
In Hoei! Nasib kita berdua akan ditentukan dalam pertemuan pada hari ini..." "Peduli betapa ketat dan kokohnya pertahanan serta persiapan Benteng Kiam-poo, aku tetap akan menerjang masuk ke dalam," teriak Pek In Hoei dengan penuh kegusaran, "akan kubunuh Hoa Pek Tuo serta Cui Tek Li, sebab aku tak bisa melepaskan ke-dua orang bangsat tua itu." "Apakah engkau tidak mempertimbangkan soal tentang ibumu..." tanya It-boen Pit Giok dengan sedih.
Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei merasakan jantungnya berdebar keras, masalah tersebut merupakan masalah yang paling menyakitkan hatinya, ia benar-benar tak mampu untuk menentukan apakah dia akan membunuh suami ibunya, juga antara Cui Tek Li dengan ibunya pernah mempunyai hubungan dan cinta kasih antara suami dan istri...
Untuk beberapa saat lamanya Pek In Hoei tak dapat menjawab pertanyaan itu, air mata jatuh bercucuran membasahi wajahnya, dengan sedih ia menggeleng dan mulutnya tetap membungkam dalam seribu bahasa...
"Aku sangat memahami keadaan yang sedang kau hadapi," It-boen Pit Giok dengan sedih, "keputusan seperti ini tak dapat ditetapkan oleh sembarangan orang, kecuali engkau melebihi orang lain...
sebab hanya orang yang luar biasa cerdiknya saja yang tahu apa yang mesti dilakukan olehnya..." "Orang cerdik..." gumam Pek In Hoei dengan suara lirih, "dendam atas kematian ayahku tinggi melebihi bukit, aku tak sudi biarkan musuh besarku tetap hidup di kolong langit, apa yang harus kulakukan..." Angin malam diiringi deruan tajam berhembus lewat menggoyangkan rerumputan, derap kaki kuda dengan lirih berlarian di atas tanah lapang melampaui jembatan panjang di atas bukit dan tiba di depan Benteng Kiam-poo yang sunyi dan sepi itu...
Pintu gerbang terbentang lebar, dua sosok bayangan manusia berdiri di sisi.
Pek In Hoei segera berpaling ke arah It-boen Pit Giok dan ujarnya sambil tertawa getir : "Rupanya Cui Tek Li kembali gunakan serombongan anggota Komplotan Tangan Hitam-nya untuk menakut-nakuti kita..." Bersama It-boen Pit Giok pemuda itu loncat turun dari atas kuda, lalu dengan langkah lebar berjalan menuju ke arah pintu gerbang Benteng Kiam-poo.
Kongsun Kie berdiri di samping pintu menantikan kedatangan ke-dua orang itu, dengan pandangan dingin ia awasi terus musuhnya hingga berada di depan mata.
Pada saat itulah ia baru maju ke depan dan menegur : "Pek heng, kenapa hari ini engkau muncul lagi di Benteng Kiam-poo" Apakah tempo hari setelah berhasil keluar dari benteng dalam keadaan selamat maka engkau tidak pandang sebelah mata pun terhadap Benteng Kiam-poo?"?" Dengan pandangan yang sinis ia melirik sekejap ke arah dua baris lelaki kekar yang berdiri di ke-dua belah sisi pintu gerbang itu, lalu sambil tertawa ewa ejeknya : "Kongsun-heng, apakah ini hari aku harus masuk benteng secara kekerasan pula?" "Tidak usah..." Dia ulapkan tangannya mengundurkan dua baris pria yang berada di situ lalu putar badan dan menuju ke Benteng Kiam-poo dengan langkah lebar.
It-boen Pit Giok serta Jago Pedang Berdarah Dingin segera membuntutinya dari belakang.
Tiba-tiba Jago Pedang Berdarah Dingin tertarik oleh sesosok bayangan tubuh yang tergantung di tengah udara, ia dekati orang itu dan dipandangnya sekejap.
Dengan cepat pemuda itu berdiri tertegun, air mukanya berubah hebat, serunya : "Hoa Pek Tuo, kiranya engkau..." Hoa Pek Tuo membuka kembali matanya, siksaan selama dua malam membuat rase tua yang paling suka mencelakai orang dengan kelicikannya itu jadi layu, sinar matanya sama sekali tidak nampak keren atau bengis lagi, dengan mata merah darah dan biji matanya hampir saja melotot keluar, ia menyahut dengan suara serak : "Kau...
kau adalah Pek In Hoei..." "Tidak salah!" jawab Pek In Hoei ketus, "sungguh tak nyana engkau pun akan mengalami hari seperti ini, apa yang telah terjadi" Apakah engkau dipecundangi oleh orang sendiri" Haaaah...
haaaah... haaaah... suatu peristiwa yang sangat memalukan..." "Pek In Hoei, aku tahu bahwa engkau membenci diriku, benci karena aku telah membinasakan ayahmu," ujar Hoa Pek Tuo dengan nada gemetar, "sekarang aku harap engkau suka membinasakan diriku, karena..." Ia berhenti sejenak, dengan sedih hati yang pilu sambungnya : "Aku mati tidak jadi soal, tetapi ada satu hal engkau harus ingat baik-baik..." Membunuh seseorang yang sama sekali tak mampu melakukan pembalasan bukanlah pekerjaan dari manusia bangsa kami, Hoa Pek Tuo! Kuberi satu kesempatan kepadamu...
mari kita tentukan nasib sendiri dalam suatu duel yang adil..." kata Pek In Hoei dingin.
Dalam bayangan benaknya seakan-akan ia terlihat kembali keadaan dari ayahnya yang mati secara mengenaskan di puncak gunung Cing-shia, hampir saja dari matanya menyembur keluar sinar berapi- api...
Criiing! Di tengah dentingan suara yang nyaring, pedang mestika penghancur sang surya telah diloloskan dari sarungnya dan berkelebat di angkasa.
Hoa Pek Tuo gemetar, pintanya : "Aku mohon kepadamu...
bila engkau hendak bunuh aku maka turun tanganlah setelah kuselesaikan perkataanku." Menyaksikan raut wajah lawannya yang begitu mengenaskan, Pek In Hoei mendengus sinis.
"Hmm...! Aku selalu akan memberikan kesempatan kepadamu untuk melangsungkan pertarungan yang adil, aku tetap akan memberi kesempatan kepadamu..." Pedang penghancur sang surya yang berkelebat di angkasa dan tubuh Hoa Pek Tuo yang tergantung di tengah udara segera merosot ke bawah dan jatuh terbanting di atas tanah, setelah mengatur napasnya yang terengah-engah, kakek licik she Hoa itu berkata kembali : "Aku adalah seorang manusia yang sudah mendekati ajalnya, aku harap engkau suka mendengarkan beberapa patah kataku, aku sudah sepantasnya menerima nasib seperti ini karena sudah terlalu banyak perbuatan jahat yang kulakukan, Pek In Hoei! Pusatkanlah perhatian baik-baik, aku ada perkataan yang sangat penting hendak disampaikan kepadamu..." "Hmmm! Kau hendak bermain setan lagi di hadapanku?" Hoa Pek Tuo menggeleng.
"Tidak, kali ini aku bersunguh-sungguh..." "Hmmm! Memandang dirimu adalah seseorang yang sudah hampir menemui ajalnya, aku bersedia mendengarkan perkataanmu..." Hoa Pek Tuo terengah-engah, setelah mengatur pernapasannya ia menjawab lirih : "Meskipun aku ikut ambil bagian di dalam peristiwa pembunuhan terhadap ayahmu, akan tetapi otak dari pembunuhan adalah lain orang." Tiba-tiba ia muntah darah segar, sepasang matanya terbelalak lebar-lebar dan tak mampu meneruskan kembali kata-katanya, napas tiba-tiba jadi putus dan matilah kakek licik yang selama hidupnya sudah terlalu banyak melakukan kejahatan ini.
"Kurang ajar, engkau si bajingan tua yang bikin gara- gara..." bentak It-boen Pit Giok dengan gusar.
Dengan air muka diliputi hawa napsu membunuh gadis itu menerjang ke arah Kongsun Kie, telapak tangannya bergerak cepat dan dalam waktu singkat telah mengirim tujuh delapan buah serangan ke depan.
Kongsun Kie jadi ketakutan setengah mati, ia mundur beberapa langkah ke belakang sambil teriaknya dengan gusar : "Eeeeei...
apa maksudmu begini?" "Sungguh tak nyana engkau bajingan tua pun mempunyai hati yang sangat kejam, terhadap seseorang yang sudah menemui ajalnya pun masih tega melancarkan serangan bokongan dengan jarum beracun untuk membinasakan dirinya.
Hmmm! Apakah engkau takut kalau sampai rahasia kejelekan dari poocu kalian terbongkar..." "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh..." dari balik benteng yang gelap tiba-tiba berkumandang datang suara tertawa dingin yang amat menyeramkan.
"Nona It-boen!" ujar Cui Tek Li sambil perlahan-lahan munculkan diri dari balik pintu gerbang benteng itu.
"Katakanlah! Kejelekan apakah yang pernah aku lakukan sehingga malu bertemu dengan orang" Ayoh jawab...!" It-boen Pit Giok mendengus dingin.
"Hmmm! Mencelakai jiwa orang dengan cara yang keji, hal itu merupakan suatu perbuatan yang sangat memalukan sekali.
Toa-poocu! Engkau tak usah memperlihatkan wajahmu yang sok alim lagi...
sebab tiada seorang manusia pundi kolong langit yang akan percaya dengan dirimu lagi..
semua orang sudah tahu dan kenal akan kelicikanmu..." "Heehhmmm...
ketahuilah tempat ini merupakan daerah terlarang dari Benteng Kiam-poo, aku tidak akan mengijinkan kalian untuk berlagak sok di tempat ini..." "Huuuh...
kalau Benteng Kiam-poo lantas kenapa" Dalam pandanganku Benteng Kiam-poo bukan sesuatu yang luar biasa..." jengek It-boen Pit Giok sinis, "toa-poocu! Engkau jangan harap dengan andalkan Benteng Kiam-poo mu itu maka kami berdua lantas terkurung dan tak mampu meloloskan diri lagi, terus terang kukatakan kepadamu, kalau bukan naga sakti tak akan menyeberangi sungai, asal kulepaskan pemberitaan maka empat penjuru Benteng Kiam-poo akan diserang dari empat penjuru hingga hancur berantakan, kalau engkau tidak percaya maka akan kuperlihatkan sesuatu benda kepadamu..." Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, tiba-tiba ia lepaskan sebuah bom udara ke atas angkasa, dengan diiringi suara ledakan yang keras bom udara itu meletus di angkasa dan memancarkan asap warna hitam yang segera menyebar di seluruh udara.
Bersamaan dengan munculnya asap hitam itu, maka dari empat penjuru sekeliling Benteng Kiam-poo berkumandang pula suara ledakan-ledakan secara berantai, tujuh delapan macam cahaya api yang berwarna-warni berhamburan di angkasa membuat suasana di malam hari itu jadi terang benderang dan menyilaukan mata.
Air muka Cui Tek Li berubah hebat, sambil memandang asap di udara serunya : "Ooooh...! Jadi anak buahmu telah ikut semua." "Barang siapa masuk ke dalam Benteng Kiam-poo, ia bakal mati, karena itu mau tak mau aku harus bikin persiapan," ujar It-boen Pit Giok dengan dingin, asal engkau berani rebut kemenangan dengan andalkan jumlah banyak maka aku akan mengajak kalian untuk beradu jiwa...
di bawah serangan gencar peluru-peluru api dari Perkumpulan Bunga Merah kami, aku percaya tak seorang anggota Benteng Kiam-poo yang berada di sini dapat lolos dalam keadaan selamat..." "Baik! Kita coba lihat saja mana yang akhirnya lebih lihay..." kata Cui Tek Li dengan pandangan dingin.
Sorot matanya yang tajam bagaikan pisau dialihkan ke arah Pek In Hoei kemudian menambahkan : "Pembunuh ayahmu telah mati." "Hmmm! Di luaran sana memang sudah beres, tetapi masih ada satu hal masih belum beres!" jawab Pek In Hoei sambil mendengus.
"Hal yang mana?"?"" tanya Cui Tek Li melengak.
"Masih ada engkau seorang, engkau baru merupakan musuh besar pembunuh ayahku...
Cui Tek Li! Sebenarnya aku masih belum tahu kalau engkau begitu hina dan rendah, tetapi ini hari aku telah membuktikan akan sesuatu!" "Membuktikan apa?" seru Cui Tek Li sambil tertawa dingin tiada hentinya.
Hawa napsu membunuh terlintas di atas raut wajah Pek In Hoei yang tampan.
Dengan penuh kebencian jawabnya : "Aku berhasil membuktikan bahwa engkau adalah seorang telur busuk tua yang jauh lebih rendah derajatnya daripada seekor binatang, bukan saja engkau memiliki hati ular berbisa yang menakutkan bahkan jauh lebih berbisa daripada ular macam apa pun, dunia persilatan bisa porak poranda macam begini kesemuanya bukan lain adalah hasil karyamu seorang..." Setelah memaki pemilik dari Benteng Kiam-poo ini habis-habisan, pemuda itu rasakan hatinya jadi lega dan nyaman tetapi sebaliknya membuat air muka Cui Tek Li berubah jadi tak sedap dipandang, keadaannya jauh lebih parah daripada mulutnya ditampar beberapa kali, wajahnya pucat bagaikan mayat...
"Kau berani memaki diriku secara begini kasar?" teriak Cui Tek Li dengan marahnya.
Pek In Hoei menengadah dan tertawa terbahak- bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... bukan saja aku hendak memaki dirimu, aku pun hendak membinasakan dirimu.
Cui Tek Li! Engkau telah terlalu lama berhutang darah dengan keluarga Pek kami...
hutang tersebut telah kau biarkan berlarut-larut hingga banyak tahun..." "Engkau tak akan kecewa Pek In Hoei," seru Cui Tek Li dengan hawa napsu membunuh menyelimuti pula seluruh wajahnya, "ini hari aku akan memberikan kepuasan bagimu, kita akan melangsungkan duel secara adil dan terbuka...
semua anak buah Benteng Kiam-poo tidak akan munculkan diri untuk membantu aku, engkau boleh berlega hati..." "Criiing...!" desingan pedang yang amat tajam dan tinggi melengking bergeletar di angkasa, Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei menggoncangkan senjatanya membentuk gerakan setengah lingkaran busur di udara, lalu ditujukan ke arah Cui Tek Li, musuh besar pembunuh ayahnya.
"Bersiap-siaplah untuk turun tangan..." ia berkata sambil tertawa sinis.
Cui Tek Li tertawa dingin.
"Legakanlah hatimu, aku tidak akan mencari suatu keuntungan apa pun darimu, engkau gunakan pedang mestika penghancur sang surya sedang aku gunakan pedang mestika bayangan emas, ke-dua belah pihak sama-sama tidak rugi..." "Tangannya digetarkan dan pedang aneh bayangan emas yang tersoren di pinggangnya telah dicabut keluar, ia menggetarkan senjata itu di udara, sekilas cahaya tajam bagaikan mengalirnya air sungai memancar ke empat penjuru.
Ia tarik napas panjang-panjang, dua orang jago lihay itu saling berhadapan sambil bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan.
Siapa pun tidak berani melepaskan setiap gerakan dari pihak lawannya, sebab dalam pertarungan antara dua tokoh maha sakti macam mereka, dalam satu jurus saja kemungkinan besar menang kalah dapat terlihat jelas.
Tiba-tiba dari balik gedung Benteng Kiam-poo yang sunyi berkumandang datang suara ketukan bok-hi yang amat nyaring...
suara ketukan tersebut kian lama kian bertambah nyaring dan kian mendekat di sisi kalangan.
Air muka Cui Tek Li berubah hebat, dengan cepat ia berpaling ke belakang, tampaklah seorang perempuan berusia setengah baya dengan memakai kain berkabung warna putih belacu dan ikat kepala berwarna putih pula dengan mengiringi empat orang hweesio yang tiada hentinya mengetuk bok-hi lambat-lambat mendekati gelanggang pertarungan.
"Hujin, kau..." Pek In Hoei sendiri pun dibikin tertegun oleh kemunculan perempuan setengah baya itu, teriaknya pula : "Ibu!..." "Aku sedang berkabung untuk kematian dari suamiku Pek Tiang Hong..." bisik perempuan itu dengan air mata bercucuran.
"Apa" Kau sudah edan?" "Aku sama sekali tidak gila, selama banyak tahun aku selalu menantikan saat yang baik seperti sekarang ini, dan kini Hoa Pek Tuo telah mati, itu berarti dendam dari Pek Tiang Hong telah terbalas..." "Tetapi Cui Tek Li belum mati..." teriak Pek In Hoei sambil menggertak giginya kencang-kencang.
Sekujur badan perempuan itu gemetar keras.
"Nak, kau..." serunya.
"Aku hendak membalas dendam..." teriak Pek In Hoei dengan sepasang mata berapi-api.
"Aaaai...! Dengan sedih perempuan itu menghela napas panjang, "Nak, apakah engkau tak dapat lepaskan dirinya?" "Hujin, apa sebabnya engkau mintakan ampun bagiku?" sela Cui Tek Li dan sedih, "Pun poocu bukanlah seorang manusia yang suka dikasihani, maksud baikmu biarlah kuterima dalam hati saja.
Heeehhhmmmm... heehhmmm... Pek Tiang Hong bisa mempunyai seorang putra macam ini, ia memang bisa beristirahat dengan tenang di alam baka..." Dengan pandangan dingin ditatapnya Pek In Hoei sekejap, kemudian meneruskan : "Kau memaksa aku untuk turun tangan?" "Tentu saja!" jawab Pek In Hoei dengan tegas, "persoalan ini merupakan persoalan yang kupikirkan siang malam..." Dengan sedih perempuan setengah baya itu menghela napas panjang, katanya : "Nak, apakah engkau tak dapat melepaskan dirinya untuk kali ini saja..." "Ibu, mengapa kau ucapkan kata-kata seperti itu..." teriak Pek In Hoei dengan badan gemetar keras.
Perasaan hati perempuan dewasa ini kacau dan tak menentu, ia sangat berharap agar putra kesayangannya ini bisa membalaskan dendam bagi suaminya yang telah mati Pek Tiang Hong tetapi sebaliknya Cui Tek Li adalah suaminya selama banyak tahun, hal ini membuat ia jadi ragu-ragu dan tak tahu apa yang mesti dilakukan.
Akhirnya ia gelengkan kepalanya.
"Nak, ibu..." Ia tak dapat mengutarakan rasa sedih dan pedih yang mencekam hatinya, dengan sedih ia gelengkan kepala, air mata bercucuran membasahi pipinya, dengan pandangan nyeri ditatapnya wajah Jago Pedang Berdarah Dingin...
"Ibu, kalau ada perkataan utarakanlah keluar," ujar Pek In Hoei dengan air mata bercucuran.
Perempuan itu menggeleng.
"Sekali pun kukatakan, engkau pun tak akan mendengarkan perkataanku...
percuma saja kukatakan..." Walaupun Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei amat membenci Cui Tek Li pemilik dari Benteng Kiam- poo, akan tetapi dia pun seorang anak yang berbakti, ia tak mau menyusahkan atau pun menyedihkan hati ibunya di masa tua, setelah menghela napas panjang katanya dengan wajah serius : "Ibu, aku akan menuruti perkataan..." "Ooooh...! Nak, sungguhkah itu..." "Meskipun bukan engkau yang membesarkan diriku serta merawat aku hingga dewasa, akan tetapi bagaimana pun juga kau adalah ibuku aku tak bisa tidak harus menghormati dirimu.
Ibu utarakanlah perkataanmu itu...
kuturuti permintaanmu itu." Air mata jatuh berlinang membasahi seluruh wajah perempuan setengah tua itu, saking terharunya segera ia menangis tersedu-sedu.
"Aku tak bisa memikirkan kebebasanku seorang sehingga melupakan keadilan," katanya dengan sedih, "Nak, perbuatanmu itu benar, karena tidak sepantasnya kalau ibu menghalangi perbuatanmu itu..." "Ibu! Ananda tak paham dengan perkataanmu itu," kata Pek In Hoei dengan sedih.
"Nak, lakukanlah pembalasan dendam, sukma ayahmu di alam baka pasti akan melindungi dirimu, dalam persoalan ini tiada orang yang mampu menghalangi dirinya, aku pun berharap agar dendam sakit hati dari ayahmu bisa segera dibalas." "Ooooh...! Ibu, terima kasih banyak atas kebesaran jiwamu," seru Pek In Hoei penuh rasa terharu.
"Hujin, kau..." teriak Cui Tek Li pula dengan wajah tertegun.
Perempuan setengah umur itu menghela napas panjang, katanya dengan sedih : "Engkau telah membinasakan suamiku, merebut pula diriku, Cui Tek Li, selama banyak tahun kami dari keluarga Pek sudah cukup bersabar terhadap dirimu, sudah banyak yang kulakukan untuk keluarga Cui kalian, dan ke-dua orang putra-putrimu telah kurawat pula hingga menjadi dewasa..." "Hujin, aku sangat berterima-kasih kepadamu..." bisik Cui Tek Li dengan wajah murung.
"Tek Li, meskipun anakmu bukan dilahirkan olehku, akan tetapi aku tetap mencintai mereka...
tetap menyayangi mereka...
selama banyak tahun antara mereka dengan aku sudah mempunyai hubungan perasaan yang mendalam...
tapi sekarang persoalan telah terjadi, maafkanlah daku! Aku tak dapat merawat mereka lagi..." "Aaaah! Jadi engkau akan pergi?" teriak Cui Tek Li dengan hati terperanjat.
Perempuan itu mengangguk.
"Aku tak dapat berdiam lebih lama lagi dalam Benteng Kiam-poo ini, aku tak ingin menyaksikan tempat yang penuh dengan kesedihan serta kepedihan ini..." Dalam keadaan seperti ini Cui Tek Li tak dapat berbuat apa-apa lagi, setelah ditatapnya wajah perempuan itu dalam hati lalu ujarnya : "Pergilah! Aku pun tak akan menahan dirimu lagi...
anak-anak kita pun telah tumbuh jadi dewasa semua, mereka tidak membutuhkan perawatan serta perlindungan dari kita lagi...
mereka telah dewasa semua..." Bicara sampai di sini dengan pandangan dingin ia melirik sekejap ke arah Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei kemudian menambahkan : "Pek In Hoei, silahkan turun tangan..." "Bersiap-siaplah," seru Pek In Hoei sambil menggetarkan pedangnya, "aku hendak mengandalkan ilmu silat yang murni untuk membinasakan dirimu..." Pada saat ini raut wajah Pek In Hoei telah diliputi oleh hawa napsu membunuh yang menggidikkan hati, ia menghembuskan napas panjang-panjang, tubuhnya mendadak meluncur ke depan, pedang mestika penghancur sang surya dalam genggamannya laksana kilat dibacok ke muka.
Cahaya kilat berkilauan membumbung di angkasa itu, Cui Tek Li pada saat yang bersamaan menggetarkan pula pedangnya...
"Pek In Hoei!" seru pemilik dari Benteng Kiam-poo itu secara tiba-tiba, "hari ini kupenuhi semua harapan dan keinginanmu itu." Tubuhnya bukan menyingkir ke samping, tiba-tiba ia menyongsong datangnya ancaman tersebut.
Dalam pada itu Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei sedang merobah gerakan serangannya dari serangan membabat jadi serangan tusukan, ujung pedang yang tajam langsung menembusi ulu hati Cui Tek Li.
Jeritan ngeri yang menyayatkan hati berkumandang memecahkan kesunyian.
Dengan wajah meringis menahan rasa sakit ia roboh terkapar di atas tanah, kejadiannya sama sekali di luar dugaan semua orang, siapa pun tidak mengira kalau orang she-Cui itu sama sekali tidak menghindarkan diri terhadap ancaman maut itu, sebaliknya malah memapaki dengan tubuhnya.
"Mengapa engkau tidak membalas?" teriak Pek In Hoei dengan penuh kemarahan.
Dengan sedih sekali Cui Tek Li tarik napas panjang.
"Memandang di atas wajah ibumu, aku tidak ingin bergebrak melawan dirimu, selama banyak tahun sudah terlalu banyak budi pekerti dan kebaikan yang dia berikan untuk keluarga Cui kami..." "Tek Li...
Tek Li..." seru perempuan itu sambil menangis terisak.
Cui Tek Li melototkan matanya bulat-bulat, setelah memandang sekejap ke arah perempuan setengah tua itu dengan pandangan lembut, ia berkelejot sebentar dan menghembuskan napas yang terakhir...
Pek In Hoei berdiri termangu-mangu di tempat semula, memandang mayat dari musuh besar pembunuh ayahnya yang terkapar di atas tanah, ia tak tahu apa yang mesti dilakukan segera...
dia pun tidak tahu mesti gembira atau sedih dengan keberhasilannya ini...
Lama sekali ia tertegun...
pada akhirnya didekatinya tubuh ibunya, sambil membimbing ia bangun berdiri, bisiknya lirih : "Ibu, kini semuanya telah selesai...
sekarang mari kita pulang ke rumah kita..." Di atas tanah kini tertinggal tiga sosok bayangan manusia, mereka adalah It-boen Pit Giok, Pek In Hoei serta ibunya...
perempuan setengah baya itu...
dengan kesedihan mereka tinggalkan Benteng Kiam-poo yang sunyi di dalam kegelapan...
Bayangan tubuh mereka bertiga kian lama kian mengecil hingga akhirnya lenyap dari pandangan.
Dengan begitu maka saya pun mengakhiri cerita 'Imam Tanpa Bayangan' ini sampai di sini saja, sampai jumpa di lain kesempatan.
T A M A T Akhenaten Adventure 1 Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni Kapal Gloria Scott 1

Cari Blog Ini