Ceritasilat Novel Online

Kelelawar Tanpa Sayap 6

Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying Bagian 6


"Dimana kau sembunyikan golok itu?" tanya si Kelelawar sambil tertawa.
Ucapan yang dingin, senyuman yang menyeramkan, jarak diantara mereka berdua pun begitu
dekat, tanpa sadar perasaan ngeri yang mencekam hati Lau Ci-he makin membara.
Untuk sesaat ia berdiri tertegun, membelalakkan sepasang matanya tanpa menjawab.
"Jawab!" hardik Kelelawar.
Kerutan wajahnya yang dalam bagai parutan, dalam waktu singkat mengejang keras.
Kalau memang dia pandang begitu penting golok Kelelawar, mengapa waktu itu dia hadiahkan
kepada orang lain" Hanya terpaut sepuluh tahun, tapi semua keputusan telah berubah, semua pandangan telah
berganti arah, bagi seseorang yang pernah menjadi orang idiot, perubahan watak bukanlah
suatu kejadian yang aneh dan patut diherankan.
Dengan termangu Lau Ci-he mengawasi Kelelawar, ia tidak menjawab tapi sorot matanya
mendadak memancarkan sinar yang sangat aneh.
Terdengar si Kelelawar kembali berkata:
"Kalau tidak segera kau jawab, jangan salahkan bila aku bertindak keji!"
Baru selesai ia berkata, sekonyong-konyong Lau Ci-he menjerit keras:
"Sebenarnya siapa kau?"
Sebuah pertanyaan yang sangat aneh.
"Kelelawar tanpa sayap!"
jawab sang Kelelawar setelah tertegun sejenak.
"Bukan, kau bukan, aku tahu kau bukan!" jerit Lau Ci-he semakin keras.
Si Kelelawar tidak menjawab, dia hanya tertawa dingin tiada hentinya.
Terdengar Lau Ci-he berkata lagi:
"Kau berhasil menirukan suaranya, kaupun berhasil menirukan semua tingkah laku dan gerak
geriknya, tapi ada satu hal yang tak mungkin bisa kau pelajari, meniru dengan cara apa pun
kau tak akan mampu menirukannya"
"Apa itu?" "Mata, matamu masih bernyawa, sedang si Kelelawar adalah orang buta!"
"Kau keliru besar!" tangan kanan si Kelelawar bagaikan sebuah gagang golok segera menekan
disisi mata kirinya, sebiji bola mata segera meloncat keluar dari balik kelopak.
Dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan kanannya dia jepit bola mata itu, kemudian
didekatkan ke wajah Lau Ci-he.
Kelopak mata bekas bola mata disebelah kiri kini muncul sebuah lubang hitam yang besar,
dari balik lubang tadi terbesit cahaya fosfor yang aneh, seakan ada seakan tak ada,
khususnya biji mata yang terjepit dijari tangannya, benda itu nampak menggidikkan hati.
Tampaknya biji mata itu dipenuhi dengan tenaga kehidupan, cahaya hijau yang menyeramkan
memancar kian kemari, seolah sedang menatap Lau Ci-he, seolah hendak menerobos ke dasar
tubuh gadis itu. Lau Ci-he merasakan bulu kuduknya bangun berdiri, kalau bisa dia ingin sekali melengos
kearah lain, tapi sayang ke lima jari tangan si Kelelawar yang mencengkeram tengkuknya
seolah telah berakar, dia sama sekali tak sanggup menggerakkan kepalanya,.
Walaupun perasaan ngeri dan takut telah mencekam perasaan hatinya, hal itu tidak membuat
cahaya keheranan yang terpancar jadi pupus, tiba tiba teriaknya keras:
"Bagaimana dengan mata kananmu" Apakah dapat dilepas juga sekehendak hati?"
Kontan si Kelelawar menarik muka.
"Tidak mampu bukan?" ejek Lau Ci-he, "kau tidak seharusnya berada begitu dekat dengan
diriku!" Si Kelelawar tidak bersuara.
Kembali Lau Ci-he berkata:
"Daya ingatku tidak sejelek apa yang kau bayangkan, biar si Kelelawar sudah berubah jadi
abu pun, aku tetap dapat mengenalinya"
II "Omong kosong bentak si Kelelawar sambil tertawa dingin.
Tak disangkal, apa yang diucapkan Lau Ci-he memang omong kosong, bila seseorang telah
berubah jadi abu, bagaimana mungkin dapat dikenali lagi"
Tapi Lau Ci-he berkata lagi sambil tertawa dingin:
"Aku hanya ingin tegaskan kepadamu, tak mungkin aku tak dapat mengenali si Kelelawar!"
"Kau benar benar amat membencinya?"
Lau Ci-he tertawa, suara tertawanya tak berbeda seperti seorang sinting, tak waras
otaknya. Kelelawar mulai mengernyitkan alis matanya, untuk sesaat dia tak tahu harus berbuat
bagaimana. "Kau betul betul sedang omong kosong" ejek Lau Ci-he lagi.
Setelah berhenti sejenak, dengan napas tersengkal tanyanya:
"Katakan kepadaku, bagaimana keadaan si Kelelawar sekarang" Kalau aku merasa puas, golok
itu akan kuserahkan, kalau tidak, biar apa pun yang hendak kau lakukan terhadap diriku,
jangan harap golok itu bisa kau temukan!"
"Oya?" "Keliru besar jika kau menganggap aku kemaruk dengan harta karun itu, aku sengaja
menyimpan golok itu karena suatu hari nanti, aku siap mengembalikan kepadanya, langsung
disodokkan keatas tenggorokannya!"
"Kau bicara jujur?"
"Seharusnya kau sudah mendengar"
"Kau benar benar tidak takut mati?" si Kelelawar semakin mengencangkan ke lima jari
tangannya. "Sejak dulu, nyawaku sudah mati separuh, aku hidup tak lebih seperti sesosok mayat
berjalan!" jerit Lau Ci-he.
"Kau benar benar ingin barter denganku?" desak si Kelelawar sambil berkerut kening.
"Hmm, inilah satu satunya kesempatan yang kau miliki" ujar Lau Ci-he sambil tertawa
dingin. Akhirnya si Kelelawar mengaku:
"Walaupun dia belum mati, namun kehidupannya tak berbeda seperti mati"
"Tetap seorang idiot?"
"Rasanya dia sudah tak punya harapan lagi"
"Bagus, bagus sekali!" Lau Ci-he segera tertawa tergelak, tertawa nyaring.
"Sekarang tiba giliranmu, katakan, dimana kau simpan golok itu?" tanya si Kelelawar.
Masih tertawa nyaring, tanya Lau Ci-he:
"Sebenarnya siapa kau" Mengapa menyaru jadi Kelelawar" Kenapa kau menginginkan golok
Kelelawar itu?" Si Kelelawar mendengus gusar, sambil menarik wajahnya kembali ia menghardik:
"Kau sembunyikan golok itu dimana?"
"Hahaha, walaupun kau cerdas, sayang tetap tertipu!" ejek perempuan itu sambil tertawa
tiada hentinya. "Apa?" Kelelawar segera memperkencang cengkeramannya.
Kontan gelak tertawa Lau Ci-he terputus ditengah jalan, dengan susah payah ia terengah
engah, katanya: "Golok itu tergantung diatas dinding kamarku, sebetulnya kau tak usah bersusah payah!"
"Oya?" Kelelawar menghembuskan napas lega.
Dengan mata melotot Lau Ci-he mengawasi wajah si Kelelawar, ujarnya lagi:
"Sekarang kau boleh bunuh aku!"
"Ternyata kau memang seorang wanita yang amat cerdas"
"Justru karena cerdas, aku tahu kalau kau tak akan membiarkan aku tetap hidup"
"Sayang perasaan dendam yang berkecamuk dalam pikiran dan hatimu kelewat kental, kalau
tidak, mungkin kau sudah menemukan rahasia diatas golok itu"
"Mungkin saja benar"
Kelelawar tidak bicara lagi, diapun tidak melakukan gerakan apa pun.
Sambil tertawa kata Lau Ci-he:
"Kau tak usah banyak pikir, cara apa yang kau anggap bisa membuat kematianku terasa
nikmat, lakukan saja dengan cara tersebut"
"Hahaha, menganggap mati bagai pulang ke rumah, kagum, sungguh kagum!" puji Kelelawar
sambil tertawa. "Jika kau tidak segera turun tangan, jangan salahkan kalau aku akan mulai memaki"
"Kalau aku membunuhmu, perasaan hatiku tentu akan merasa amat sedih, namun kalau tidak
membunuhmu pun hatiku akan bertambah pedih!"
"Hahaha, Kelelawar yang tulen tak akan bersikap ragu macam perempuan!" ejek Lau Ci-he
tertawa keras. Tiba tiba Kelelawar mengebaskan tangannya, seluruh tubuh Lau Ci-he pun mencelat ke
belakang. Saat itulah sekilas cahaya bianglala berkelebat membelah bumi, cahaya golok!
Tubuh Lau Ci-he yang terpental seketika berubah jadi kaku, kemudian terbanting keras keras
diatas genting rumah. Sekilas bianglala berwarna darah segar memancar ke empat penjuru!
Golok Kelelawar telah disarungkan kembali, diujung mata golok tak ternoda setetes darah
pun. Golok itu memang sebilah golok mestika!
Menyusul kemudian, tubuhnya yang ceking berjumpalitan di udara dan meluncur masuk melalui
lubang diatas genting. Cahaya lentera dalam ruangan belum padam, dengan cepat si Kelelawar memandang sekejap
sekeliling tempat itu, akhirnya ia berhenti menatap diatas dinding sebelah kanan.
Sebilah golok tergantung disana, panjang lagi sempit, berbentuk setengah busur, pada
gagang pedang terukir seeekor Kelelawar besar yang sedang mementangkan sayap.
Golok Kelelawar! Dengan langkah cepat si Kelelawar maju menghamiri.
Golok tergantung disana, sama sekali tidak menimbulkan suara, bila dia benar benar
Kelelawar tanpa sayap, sekalipun memiliki pendengaran yang tajam pun jangan harap bisa
mendengar kalau golok tersebut tergantung disitu.
Lalu siapakah dia" Dengan langkah cepat si Kelelawar berjalan menuju ke bawah dinding, menurunkan golok
Kelelawar yang tergantung dan mencabut dari sarungnya.
Dibawah sinar lentera, golok mustika itu memancarkan cahaya yang menggidikkan, ketika
matanya tertuju keatas golok, sekilas cahaya seakan memancar pula dari balik matanya.
Kemudian dia pun memperdengarkan suara tertawa, tertawa penuh kebanggaan.
Ditengah gelak tertawa, "Triiingl" dia sarungkan kembali goloknya, bila ia tidak buta,
sudah pasti dapat dilihat kalau golok itu bukan golok Kelelawar palsu.
Setelah golok disarungkan, dia pun melangkah keluar dari pintu ruangan.
Terdengar suara benturan aneh, tahu tahu dinding ruangan merekah dan muncul sebuah lubang
besar berbentuk manusia, dari lubang itulah si Kelelawar melangkah keluar.
Suasana diseputar ruangan amat hening, tak ada orang lagi yang datang menghadang.
Dalam perkampungan itu hanya ada empat orang, dan sekarang mereka telah berubah jadi orang
mati. Rembulan sudah tinggi di angkasa, cahaya rembulan terasa lebih pucat, lebih dingin
menggidikkan. Oo0oo Bab l6. Rahasia. Si Kelelawar berjalan dibawah cahaya rembulan, wajahnya tampak semakin pucat, pada
hakekatnya seperti dilabur dengan bubuk putih.
Ia berjalan menembusi pintu kamar, menuruni anak tangga, menelusuri jalan setapak menuju
ke luar halaman. Ia berjalan dengan begitu santai, setiap langkahnya selalu berpijak pada bebatuan, sama
sekali tak berbeda dengan langkah manusia normal.
Biarpun mata sebelah kirinya adalah mata palsu, namun mata kanannya sudah jelas tak ada
masalah. Kalau dibilang dia adalah orang buta, maka lebih tepat kalau dikatakan dia hanya setengah
buta. Tapi rahasia ini sudah terkubur bersama jenasah Lau Ci-he, siapa lagi yang bakal tahu"
Kalau dia bukan Kelelawar tanpa sayap, lalu siapakah dia"
Bebatuan memantulkan cahaya yang redup saat tertimpa sinar rembulan, sekilas memandang,
bebatuan itu mirip batu permata yang bertaburan.
Langkah kaki Kelelawar amat ringan, dia seakan kuatir kalau pijakan kakinya merusak dan
menghancurkan batu permata itu.
Berjalan sejauh setengah tombak, ia telah tiba ditengah kebun bunga, tiba tiba langkah si
Kelelawar berubah jadi sangat berat.
Bebatuan yang terpijak seketika hancur jadi bubuk, bersamaan waktu diapun menghentikan
langkahnya. Ia berhenti secara tiba tiba.
Ia mendongakkan kepala memandang sekejap keadaan cuaca, tiba tiba ujarnya:
"Walaupun aku tidak buta sungguhan, bukan Kelelawar tanpa sayap yang asli, namun ketajaman
pendengaranku amat luar biasa"
Dibawah cahaya rembulan dan taburan bintang, walaupun dia seolah sedang bergumam seorang
diri, namun tak diragukan, perkataan itu tertuju untuk orang lain, diucapkan karena ada
tujuan. Suasana disekeliling tempat itu amat hening, hanya suara dedaunan yang bergoyang terhembus
angin, tiada suara manusia, tiada jawaban.
Kembali si Kelelawar menanti berapa saat, kemudian ujarnya lagi sambil tertawa dingin:
"Kau masih tak ingin menampakkan diri" Apakah aku harus memaksamu untuk keluar?"
Baru selesai ia berkata, dari balik semak disisi kiri muncul tubuh seseorang.
Seorang tua berbaju hitam, wajahnya penuh keriput, kulit mukanya bagai disayat dengan
pisau, rambutnya yang telah beruban tampak berkibar dimainkan hembusan angin malam.
"Kau?" seru si Kelelawar kemudian agak tertegun.
"Kau kenal aku?" balas kakek berbaju hitam itu tertegun.
"Ong Bu-shia!" Ternyata kakek berbaju hitam itu tak lain adalah Ong Bu-shia, si Bu-shia beracun!
Ditatapnya si Kelelawar berapa saat, kemudian katanya:
"Kalau kau dikatakan buta, mungkin demikian pula dengan diriku"
Si Kelelawar tertawa dingin.
"Jangan beritahu kepadaku kalau kau tidak mendengar semua pembicaraan dari Lau Ci-he"
Ong Bu-shia tertawa. "Kalau begitu aku perlu beritahu kepadamu bahwa sejak setengah jam berselang aku telah
bersembunyi dibalik pepohonan, semua pembicara an yang kalian langsungkan telah kudengar
dengan sangat jelas"
"Tidak bagus!" seru Kelelawar.
"Sebelum menemukan jejak persembunyianku, kau memang tidak bagus, tapi sekarang akulah
yang tidak bagus" "Ucapan tidak bagus yang kuutarakan tadi memang khusus tertuju untuk dirimu"
"Terima kasih!"
Kembali si Kelelawar tertawa seram.
"Sejak kapan kau belajar sopan dan tahu adat"
"Kalau tahu adat, watak jadi tak aneh, bukan begitu?"
Si Kelelawar mengangguk, katanya sambil tertawa seram:
"Apakah kau ingin bermusuhan dengan aku?"
"Hubungan kita ibarat air sungai tidak melanggar air sumur, kenapa harus beradu jiwa"
"Seharusnya memang begitu" suara tertawa si Kelelawar kedengaran makin menyeramkan,
"sayang kedatanganmu kelewat awal, tadi, kau memang tidak seharusnya mendengarkan
pembicaraan itu" "Tapi daya ingatku selama ini memang kurang begitu bagus" ujar Ong Bu-shia sambil tertawa
serak. "Justru aku kebalikannya!"
Sekali lagi Ong Bu-shia tertawa parau, tidak menjawab.
Si Kelelawar berkata lebih jauh:
"Daya ingat yang terlalu baik bukanlah suatu kejadian yang patut dibanggakan"
"Itu tergantung terhadap siapa kita berhadapan"
"Bagaimana kalau terhadap diriku?"
"Tidak" "Apa hubunganmu dengan keluarga Lau?" tiba tiba si Kelelawar bertanya.
"Musuh besar!" sahut Ong Bu-shia dengan suara berat.
"Musuh besar" Apa pula yang terjadi?" kembali si Kelelawar tertegun.
"Kau pernah mendengar tentang Tui-hun-cap-ji-sat di mulut lembah Sat-hau-ko?"
"setahuku, nama besar Cap-ji-sat memang luar biasa" si Kelelawar manggut manggut.
"Tentunya kau pun tahu kalau Siau Jit dan Lau Ci-he bekerja sama membantai mereka semua?"
"Soal ini aku kurang tahu" Kelelawar menggeleng, "apakah terjadi baru baru ini?"
"Pada dua tahun berselang"
"Hahaha, kelihatannya kabar berita ku kurang tajam"
"Ini disebabkan masalah semacam ini bagimu hanya masalah kecil, lagipula tak ada
hubungannya dengan dirimu"
"Memang ada hubungannya dengan kau?"
"Lotoa dari cap-ji-sat adalah murid putraku"
II "Ooh, kalau itu mah ada kaitan hubungan yang dekat . . . . . ..
"Didalam kenyataan, putraku memang telah mewariskan berapa jurus ilmu kepadanya"
"Berarti urusan jadi serius"
"Karena itulah putraku tak bisa berpangku tangan saja atas terbunuhnya mereka"
Si Kelelawar termenung dan berpikir sejenak, kemudian ujarnya:
"Aku tak tahu sampai dimana kemampuan ilmu silat yang dimiliki putramu, setahuku, ilmu
pedang pemutus usus milik Siau Jit luar biasa hebatnya"
"Kalau bukan karena menggampangkan masalah, semisal mereka bertarung hingga sama sama
mampus pun, kejadian ini tak akan menjadi masalah"
"Oh, jadi Siau Jit tidak mati tapi putramu justru tewas diujung pedangnya"
"Kenyataan memang begitu!" sahut Ong Bu-shia sambil menarik muka.
"Konon kau hanya berputra satu?"


Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itupun kenyataan"
"Karena itu kau pergi mencari Siau Jit untuk membuat perhitungan, tentu saja Lau Ci-he pun
tak bisa dilepaskan dengan begitu saja"
"Itulah sebabnya malam ini aku datang kemari"
"Kau bukan termasuk orang yang memandang enteng segala persoalan, bukan orang yang suka
bekerja tanpa perencanaan bukan?"
Tidak menunggu Ong Bu-shia menjawab, kembali si Kelelawar melanjutkan:
"Tentunya kau pun tak akan berkelit dari yang berat mencari yang enteng dengan memilih
milih patner tandingan bukan?"
Ong Bu-shia hanya tertawa dingin tanpa menjawab.
Maka si Kelelawar berkata lebih lanjut:
"Oleh karena itu orang pertama yang harus kau cari ad alah Siau Jit, bukan Lau Ci-he"
"Aku telah mencari Siau Jit" jawab Ong Bu-shia dingin.
"Apakah pertarunganmu di rumah makan Thay-pek-lo?" tanya si Kelelawar sambil tertawa.
Ong Bu-shia menatap tajam wajah si Kelelawar, namun ia tidak menjawab.
Si Kelelawar berkata lebih lanjut:
"Pertarunganmu di rumah makan Thay-pek-lo telah menggetarkan seluruh jagad, tapi pada
akhirnya kau termakan satu tusukan Siau Jit hingga terpaksa harus menjebol tembok untuk
melarikan diri, bukan begitu?"
"Tajam juga kabar beritamu" dengus Ong Bu-shia.
"Padahal kemenangan yang diperoleh Siau Jit pun nyaris, pedang miliknya memiliki ukuran
satu meter lebih tiga inci, kau terluka diujung pedangnya karena sudah bertindak kelewat
ceroboh, kau telah mengabaikan ukuran pedangnya yang tiga inci itu!"
Dengan pandangan keheranan Ong Bu-shia menatap wajah si Kelelawar, dia merasa heran,
darimana si orang buta ini bisa mengetahui begitu banyak tentang kejadiannya.
Terdengar si Kelelawar berkata lagi:
"Ukuran yang tiga inci itu tak cukup untuk merenggut nyawa, pikiran dan perasaanmu jadi
kalut lantaran kau jarang terluka, jarang melihat ada begitu banyak darah yang bercucuran,
kau sangka lukamu sangat parah maka segera ambil keputusan untuk melarikan diri, kau tak
ingin mengambil resiko, karena itu kau berharap menyembuhkan dulu lukamu sebelum mengambil
tindakan lain" "Hmm, tampaknya kau tahu amat jelas" Ong Bu-shia mendengus dingin.
Tiba tiba si Kelelawar menggeleng, katanya:
"Padahal andaikata kau lanjutkan pertarungan waktu itu, belum tentu kau tak mampu membunuh
Siau Jit, paling tidak, untuk beradu nyawa pasti bukan masalah"
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya:
"Biarpun ilmu pedang pemutus usus milik Siau Jit luar biasa, namun berbicara tentang
tenaga dalam, kau masih satu tingkat mengungguli dirinya"
Ong Bu-shia termenung tanpa menjawab.
"Tapi dengan pergi dari situ, kekalahan sudah pasti berada dipihakmu" kata si Kelelawar
lagi. "Aku tinggalkan medan pertarungan bukan berarti aku kalah, dalam satu pertarungan mati
hidup, sebelum ditentukan siapa hidup siapa mati, darimana bisa ditetapkan siapa unggul
siapa asor?" "Aku bilang kau kalah karena kematian mu sudah pasti!"
"Bukankah sampai sekarang aku masih hidup segar bugar?" jengek Ong Bu-shia sambil tertawa
dingin. "Tidakl" si Kelelawar tertawa seram, "kau tidak seharusnya melepaskan pukulan itu, tapi
memang tak bisa disalahkan, disaat seseorang berniat melarikan diri, tentu saja dia akan
mengutamakan kecepatan gerak, sedang apa akibatnya, mana mungkin bisa ia pertimbangan
dengan lebih seksama?"
"Aku tidak mengerti apa yang sedang kau bicarakan" sela Ong Bu-shia.
"Kau seharusnya mengerti" sekali lagi si Kelelawar menggeleng, "kadangkala memiliki ilmu
silat terlalu baik bukanlah satu kejadian yang menyenangkan, karena bukan setiap masalah
dapat diselesaikan dengan ilmu silat, seringkali otak diperlukan, namun biasanya makin
licik seseorang, ilmu silatnya pasti makin cetek, karena dia selalu akan menggunakan
kelicikannya untuk menambal kelemahannya dalam ilmu silat, tentu saja diluar itu pasti
ada, hanya jumlahnya tidak banyak"
Ong Bu-shia hanya mendengarkan, tidak menimbrung.
Si Kelelawar berkata lebih lanjut:
"Ilmu silat yang kau miliki seharusnya masih berada diatasku, maka dari itu selama berada
dihadapanku, lebih baik tak usah bermain akal akalan"
"Bisa kulihat kalau kau memang seorang yang licik"
Kelelawar tidak menanggapi, ia balik kembali ke pokok pembicaraan, katanya:
"Ketika ujung pedang sepanjang tiga inci menembusi perutmu, luka tersebut sesungguhnya
sangat ringan, namun setelah melepaskan pukulan diatas dinding, dapat kupastikan luka mu
bertambah parah" Ong Bu-shia tidak menjawab, dia hanya tertawa dingin.
Kembali si Kelelawar berkata:
"Dibawah ujung pedang pemutus usus milik Siau Jit, tak pernah ada korban yang lolos dalam
keadaan hidup, hal ini dikarenakan arah yang ditusuk selalu bagian yang mematikan, ketika
pedangnya menusuk bagian yang mematikan, sekalipun tidak sampai menyebabkan kematian, luka
tersebut pasti tidak ringan. Jika pengalamannya cukup dan waktu itu dia melakukan
pengejaran, tak mungkin kau masih bisa hidup sampai hari ini"
"Begitukah kenyataannya . . . . .." dengus Ong Bu-shia sambil tertawa dingin.
"Jago kawakan macam kau ternyata melakukan kesalahan yang begitu besar, aku ikut sedih
untuk dirimu" tukas Kelelawar, "malam ini kau sengaja datang kemari, bukankah tujuanmu
adalah membunuh Lau Ci-he lebih dulu kemudian baru mengajak Siau Jit untuk berduel?"
Kembali Ong Bu-shia membungkam, tidak menjawab.
Si Kelelawar meneruskan kata-katanya:
"Setelah terperosok dalam kondisi semacam ini, kau memang seharusnya bertindak demikian,
tapi sayang waktu yang kau pilih sangat tidak tepat, saat ini adalah saatmu yang paling
apes!" "Sudah selesai semua omong kosongmu?" kembali Ong Bu-shia tertawa dingin.
"Aku tidak omong kosong, masa aku tidak jelas manusia macam apakah dirimu itu?"
"Kau . . . . . .."
Kembali si Kelelawar menukas:
"Jika lukamu tidak terlampau parah, tak nanti untuk menghadapi seorang Lau Ci-he pun harus
menunggu kesempatan dengan bersembunyi dibalik semak belukar, kaupun tak mungkin baru
munculkan diri setelah kugertak, terlebih tak mungkin mau bicara omong kosong dengan
diriku" Paras muka Ong Bu-shia berubah makin tak sedap dipandang.
"Andaikata aku bertemu kau didepan pintu sana, mungkin masih ada peluang untuk
dirundingkan" kata si Kelelawar lagi, "tapi sekarang, mau tak mau aku harus mencabut
nyawamu!" Kemudian dengan sepatah demi sepatah kata dia menambahkan:
"Karena terlalu banyak yang telah kau ketahui!"
"Apa yang kuketahui?"
"Paling tidak kau sudah tahu kalau aku bukan orang buta beneran, kaupun tahu kalau aku
bukan Kelelawar tanpa sayap yang sesungguhnya"
"Soal ini . . . . . . ..
"Tahukah kau cara apa yang paling manjur untuk membuat seseorang tetap tutup rahasia?"
tanya Kelelawar sambil tertawa seram, setelah berhenti sejenak sambungnya, "membunuhnya
agar dia tetap membungkam terus!"
Ong Bu-shia tutup mulutnya rapat rapat.
Kelelawar mendongak memandang cuaca, katanya kembali:
"Waktu sudah bertambah larut!"
Baru bicara sampai disitu, tampak pepohonan bergoyang, dengan sekali lompatan Ong Bu-shia
telah munculkan diri, katanya:
"Baiklah, mari kita selesaikan urusan ini dengan mengandalkan kepandaian masing masing"
"Biarpun ilmu pukulan dan tendanganku terhitung cukup baik, namun ilmu golokku jauh lebih
bagus!" "Hmm, sudah kuduga, kau memang tak becus!"
Kelelawar tertawa tergelak.
"Hahaha, percuma kau gunakan taktik semacam itu untuk membangkitkan amarahku, bila aku
becus, tak nanti akan menyamar menjadi orang lain!"
"Siapa kau sebenarnya" Sebutkan namamu!" bentak Ong Bu-shia gusar.
"Bukankah kau mengatakan aku tak becus?"
"Katakan!" Ong Bu-shia makin naik pitam.
"Sebentar lagi kau bakal mampus, apa gunanya menanyakan persoalan ini?" sembari berkata si
Kelelawar meloloskan sepasang goloknya dan diayunkan ke kiri kanan membentuk cahaya tajam.
Cahaya golok yang berkilauan terasa menusuk pandangan mata, menyaksikan hal itu, kembali
berubah paras muka Ong Bu-shia.
Sambil menuding lawannya dengan senjata, seru si Kelelawar:
"Sudah lama kudengar orang berkata bahwa Bu-shia beracun pandai mencabut nyawa orang,
konon setiap jago akan berubah wajah bila mendengar namamu, hahaha... bagus, hari ini aku
ingin menjajal sampai dimana kehebatanmu itu"
"Manusia pengecut yang beraninya hanya sembunyikan kepala bagai kura kura, kau tak pantas
menjadi lawan tandingku"
"Sayang mau tak mau kau harus turun tangan juga saat ini, lihat senjata . . . . . .."
Diiringi bentakan keras, sepasang goloknya diayun ke depan menciptakan dua gulungan cahaya
tajam yang segera mengurung Ong Bu-shia ditengah kepungan.
Tergopoh gopoh Ong Bu-shia melompat mundur.
Dalam waktu sekejap saja, tempat dimana ia berdiri telah berubah bentuk, semua ranting dan
dahan pohon yang berada disitu telah terpapas gundul oleh babatan sepasang golok lawan.
Tidak sampai disitu saja, si Kelelawar berikut sepasang golok Kelelawar nya merangsek
lebih kedepan, bagaikan kebasan sayap, sepasang golok itu kembali membabat dan menyambar
ke bawah. Golok kiri dengan tujuh belas gerakan, golok kanan delapan belas gerakan, semasa masih
ditengah udara, dia telah melancarkan tiga puluh lima bacokan maut, semuanya tertuju ke
bagian tubuh yang mematikan.
Begitu cekatan tangan kanannya melancarkan serangan, sementara kelincahan tangan kirinya
sedikitpun tidak kalah dengan kemampuan tangan kanannya.
Dalam keadaan begini Ong Bu-shia hanya bisa menghindar, gerakan tubuhnya jelas terlihat
tidak selincah dan segesit waktu bertarung melawan Siau Jit.
Bila dibandingkan si Kelelawar, jelas terlihat kalau ia ketinggalan jauh.
Kelelawar pun melihat akan hal ini, sepasang goloknya diputar makin kencang, ia semakin
mendesak Ong Bu-shia dengan serangkaian serangan maut.
Dimana goloknya menyambar lewat, "kraaakl" batang pohon sebesar mulut cawan langsung
tertebas kutung, dari sini dapat dibayangkan betapa tajamnya mata golok Kelelawar itu.
Menghadapi ratusan bacokan maut itu terpaksa Ong Bu-shia harus berkelit kian kemari, tak
lama kemudian wilayah seluas tiga tombak telah berubah menjadi sebidang tanah kosong,
semua ranting dan dahan pohon yang tumbuh disana nyaris sudah terbabat kutung dan
berserakan diatas permukaan tanah.
Sekalipun tidak sampai terluka, bukan pekerjaan yang gampang untuk menghindari serangan
dari sepasang golok yang ganas dan tajam itu, kini ia sudah terperosok dalam posisi
terdesak hebat, yang bisa dilakukan hanya menghindar dan berkelit, sama sekali tak ada
kemampuan untuk menangkis.
Berapa ratus gebrakan kemudian, Ong Bu-shia sudah bermandikan peluh, dia semakin keteter.
Si Kelelawar melanjutkan serangan gencarnya, tiba tiba ia berseru:
"Ke mana kau simpan ilmu pukulanmu yang pernah menggetarkan seantero jagad?"
Ong Bu-shia sama sekali tidak menjawab, dengan langkah kiu-kiong, ia menghindar berulang
kali dari ancaman bacokan.
"Paling banter juga sama sama satu bacokan, buat apa kau harus membuang waktuku?" kata si
Kelelawar lagi. Ong Bu-shia masih tidak menjawab, menggunakan kesempatan disaat lawannya sedang bicara,
dia menggerakkan kepalannya melancarkan satu serangan balasan.
Bagaimana pun juga dia adalah jago dari kawanan jago lihay, begitu melihat datangnya
kesempatan, peluang itu segera dimanfaatkan.
Kelelawar tertawa dingin, sepasang goloknya disilang didepan dada melindungi badan, begitu
serangan balasan dari Ong Bu-shia gagal menembusi pertahanannya, kembali dia putar
senjatanya, golok kiri membacok menyilang sementara golok kanan membacok masuk lewat celah
celah gempuran Ong Bu-shia.
Sesungguhnya kepandaian silat yang dimiliki Ong Bu-shia sangat tangguh, tapi menghadapi
gencaran lawan, mulut lukanya yang baru merapat kembali merekah, rasa sakit hingga merasuk
tulang membuat gerak serangannya jadi melambat, otomatis terbuka celah dalam sistim
pertahanannya. Merasakan gelagat yang tidak menguntungkan, buru buru dia melompat mundur, secara tepat ia
berhasil menghindari ancaman tersebut.
Kepalan serta tendangan kakinya tersohor karena keras melebihi baja, sayang senjata yang
dihadapi adalah golok Kelelawar yang luar biasa tajamnya, lagipula jurus golok yang
Kepalan serta tendangan kakinya tersohor karena keras melebihi baja, sayang senjata yang
dihadapi adalah golok Kelelawar yang luar biasa tajamnya, lagipula jurus golok yang
dihadapi pun sangat aneh dan canggih. Setiap bacokan yang dilepaskan mengubah senjata
tersebut seakan sebuah mata bor, mata bor yang dengan cepat menembusi semua pertahanannya.
Andaikata Ong Bu-shia nekad menggunakan kepalannya untuk menangkis, setiap saat
kemungkinan besar dia akan saling membentur dengan mata golok.
Tak bisa diragukan, si Kelelawar bukan lantaran ingin menghadapi kepalannya maka ia
menggunakan ilmu golok semacam itu, tapi ilmu golok mana dalam dunia persilatan yang
memiliki kehebatan seperti ini"
Sementara pelbagai ingatan melintas dalam benaknya, kembali ia mundur sejauh tiga langkah,
mendadak satu ingatan melintas lewat, segera teriaknya:
"Ilmu yang kau gunakan bukan ilmu golok, melainkan ilmu pedang!"
Sinar mata si Kelelawar semakin menggidikkan, permainan golok pun makin gencar dan cepat.
Sambil mengigos kian kemari, kembali seru Ong Bu-shia:
"Mampu menggunakan ilmu pedang sebagai ilmu golok, bahkan bergerak begitu cepat dan
lincah, dapat dipastikan kau adalah seorang jago silat kelas satu"
Kelelawar tidak menjawab, sepasang goloknya berputar sambil membabat.
Sambil menghembuskan napas panjang, ujar Ong Bu-shia lagi:
"setahuku, dalam dunia persilatan hanya ada seorang yang menggunakan ilmu pedang semacam
ini!" Segulung angin berhembus lewat, mengibarkan rambutnya yang telah beruban, membawa pula
suara ringkikan dan derap kuda dari kejauhan.
Sinar mata Kelelawar makin menggidikkan, gerak serangan goloknya makin lambat, gerakan
yang melambat itu entah karena mendengar suara derap kaki kuda atau karena terpeng aruh
oleh ucapan terakhir Ong Bu-shia.
"Coba kau dengar suara derap kaki kuda itu" kembali Ong Bu-shia berkata sambil melambatkan
pula gerak serangannya, "ada orang sedang menyusul kemari, bisa jadi dia adalah Siau Jit!"
"Kalau benar dia, lantas kenapa?"
"Bicara dari ilmu silat yang kau miliki, mustahil dapat membunuh aku sebelum kedatangan
mereka, begitu orang orang itu muncul, meski mungkin aku tak bisa lolos dari sini, kau
sendiripun belum tentu bisa lolos, bagaimana kalau kita barter saja?"
"Katakan!" "Kita mengambil jalan masing masing dan anggap tak pernah terjadi peristiwa ini, aku pun
tak akan membongkar rahasiamu itu!"
"Jadi kau sudah tahu siapakah aku?"
"Kecuali . . . . . . .." baru sepatah kata itu diucapkan, cahaya golok telah berkembang didepan
mata, gerak serangan si Kelelawar yang terhenti tadi tiba tiba berkembang makin ganas.
Tubuhnya berikut golok telah menyatu jadi satu dan meluncur maju, segumpal bola cahaya
tahu tahu sudah menerkam tubuh Ong Bu-shia.
Gerakan ini sama sekali diluar dugaan siapa pun, sebab dari gerakan yang melambat nyaris
berhenti, tahu tahu berubah secepat anak panah yang terlepas dari busur.
Setiap jengkal pori pori tubuhnya seolah ikut bergerak, setiap inci kekuatan yang dimiliki
seakan sudah dipergunakan hingga maksimal.
Bila Ong Bu-shia memperhatikan wajahnya, dia pasti akan melihat kalau musuhnya sedang
bersiap melancarkan gempuran dengan sepenuh tenaga.
Sayang yang dia saksikan hanya wajah si Kelelawar, perubahan mimik muka yang tersembunyi
dibalik wajah itu sama sekali tak terlihat olehnya.
Disaat dia merasakan gelagat tidak beres, musuh sudah mulai bergerak!
Tak tahan lagi Ong Bu-shia menjerit kaget, cepat tubuhnya mundur dari situ, sekali lompat
ia sudah mundur sejauh dua tombak, sayang kini punggungnya sudah menempel diatas dinding
rumah. Sambil tetap menempel diatas dinding, dia melambung dan bergerak naik ke atas.
Tapi gerakan tubuh si Kelelawar jauh lebih cepat lagi.
Begitu tubuhnya sampai, bacokan golok pun mengikuti, "Sreeet, sreeet!" dalam waktu singkat
dia telah melepaskan seratus dua puluh tujuh bacokan berantai, tak satu pun dari bacokan
itu memiliki sudut yang sama, semua serangan seolah sudah terbentuk sebuah jaring golok
yang sangat rapat. Bagaimana pun Ong Bu-shia berusaha menghindarkan diri, ia tetap gagal melepaskan diri dari
kepungan jaring golok yang begitu rapat.
Dalam keadaan begini, dia hanya bisa sembunyikan kepala, menarik dada, menggunakan
sepasang lengannya melindungi diri, dengan gerakan tubuh Yau-cu-huan-si (belibis membalik
badan), "Lei-hi-to-ceng-po" (ikan leihi meletik diatas ombak) dalam waktu sekejap ia telah
berganti dengan dua puluh tujuh macam gerakan untuk meloloskan diri, pada hakekatnya ia
harus berjumpalitan terus ditengah udara.
Luka pada lambungnya makin merekah, darah segar mulai mengucur keluar membasahi seluruh
pakaiannya. Kini seluruh tubuhnya telah berubah jadi merah membara, merah karena kucuran darah yang
makin deras. Darah itu bukan hanya mengucur dari luka lamanya, bahkan berasal dari puluhan mulut luka


Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baru, dari seratus dua puluh tujuh bacokan yang dilancarkan Kelelawar, paling tidak ada
sepertiga nya bersarang telak ditubuh orang itu.
Ong Bu-shia menjerit kaget, meraung gusar, mendadak suaranya terputus ditengah jalan, lalu
tubuhnya jatuh terjerembab, roboh terkapar diatas tanah.
Tusukan telak yang bersarang diperutnya mendatangkan luka yang amat serius, bukan hanya
darah yang menyembur keluar, bahkan usus dan isi perutnya ikut berhamburan.
Sambil tertawa dingin ejek si Kelelawar:
"Kalau Siau Jit memiliki pedang pemutus usus, maka aku mempunyai golok pemutus usus!"
Berbareng dengan teriakan itu, dia bergerak mundur.
Kini ia sudah mundur sejauh tiga tombak, tiada setetes noda darah pun yang melekat diatas
sepasang goloknya. Tak diragukan lagi setiap golok Kelelawar merupakan benda mustika yang tiada taranya,
walau digunakan untuk membunuh namun tidak akan menodainya.
Dengan cepat ia sarungkan kembali sepasang goloknya, lalu mementangkan kedua belah ujung
bajunya, dengan satu lompatan ia sudah melambung ke udara dan melewati wuwungan rumah.
Pada saat itulah Siau Jit, Lui Sin dan Han Seng telah melompati pagar tembok, melayang
masuk ke tengah halaman. Mereka semua sempat terkejut oleh suara teriakan kaget dan raungan gusar Ong Bu-shia,
walaupun tidak tahu kalau berasal dari Ong Bu-shia, mereka pun tidak punya bayangan kalau
suara itu berasal dari Kelelawar.
Siau Jit hanya ingin menolong orang secepatnya, sepanjang jalan dia larikan kudanya
kencang kencang. Kuda itu mereka beli ditengah jalan tadi, setelah berlarian sekian lama, binatang
tunggangan itu sebenarnya sudah keletihan, tapi begitu dijepit kuat kuat, otomatis mereka
pun berlari makin cepat. Bagai anak panah yang terlepas dari busur, kuda itu berlari kencang langsung menerjang
dinding pagar, disaat itulah tiba tiba Siau Jit melejit ke tengah udara.
Lui Sin dan Han Seng yang menyusul dari belakang segera ikut melompat keatas dinding pagar
sambil mencabut keluar senjata masing masing.
Siau Jit yang berada diatas dinding pagar ikut meloloskan pedangnya, dengan kecepatan
tinggi dia meluncur ke bawah, bergeser menuju ke arah berasalnya suara teriakan tadi.
Kemudian diantara ranting dan dahan pohon yang berserakan, ia temukan tubuh Ong Bu-shia
yang tergeletak bersimbah darah.
"Siapa disitu?" bentaknya sambil maju mendekat, tapi ia sontak berdiri tertegun setelah
melihat wajah orang itu. Lui Sin dan Han Seng segera menyusul tiba dibelakang Siau Jit, baru akan mengajukan
pertanyaan, Siau Jit sudah menjulurkan tangannya sambil berbisik:
"Ambilkan obor!"
Han Seng menyahut sambil menyulut opor, setelah melihat dengan jelas wajah sang korban,
dia pun menjerit: "Ong Bu-shia?""
"Betul, memang dia!" sahut Siau Jit sambil menerima obor itu.
"Kenapa bisa tergeletak disini?" tanya Lui Sin.
Siau Jit hanya termenung tanpa menjawab.
"Siapa pula yang memiliki kepandaian silat begitu hebat sehingga berhasil membunuhnya
disini?" ujar Han Seng pula.
"Kelelawar!" "Aaah betul, pasti perbuatan Kelelawar!"
"Tapi . . . . . . .." tiba tiba Lui Sin membungkam.
Waktu itu Siau Jit sedang menempelkan tangannya untuk memeriksa dengus napas Ong Bu-shia.
Napasnya sangat lemah, tapi tetap masih hidup, cepat Siau Jit menancapkan pedangnya ke
tanah dan menyerahkan obor ke tangan Han Seng.
Setelah itu dia tempelkan sepasang tangannya diatas khi-bun-hiat ditubuh Ong Bu-shia dan
menyalurkan hawa murninya.
"Mau apa kau?" tak tahan Lui Sin bertanya, "buat apa kau menolong orang jahat itu?"
Siau Jit tidak menjawab. Han Seng yang berada disisinya segera menjelaskan:
"Siau kongcu pasti berusaha mengorek keterangan dari mulutnya, siapa tahu mendapat
petunjuk lain" Tiba tiba terdengar Ong Bu-shia merintih kemudian perlahan lahan membuka matanya.
Sorot matanya sayu tak bercahaya, ia menatap Siau Jit sekejap, akhirnya berbisik:
"Palsu..... palsu . . . . .. palsu ....."
Walaupun suaranya parau, namun masih kedengaran dengan jelas.
"Apa maksudmu palsu?" desak Siau Jit gelisah, "maksudmu si Kelelawar itu palsu?"
Ong Bu-shia tidak menjawab, ia pejamkan mata dan menghembuskan napasnya yang terakhir.
Perlahan Siau Jit menarik kembali tangan nya, untuk sesaat ia duduk bersila disana dengan
wajah tertegun, sama sekali tak bergerak.
Lui Sin menunggu berapa saat, akhirnya tak tahan ia berseru:
"Apa maksud ucapannya itu" Mana mungkin si Kelelawar itu palsu?"
Bagai mendusin dari impian, sahut Siau Jit:
"Seandainya palsu pun tak ada yang perlu diherankan"
"Ooh?" "Coba bayangkan saja, bukankah Kelelawar itu sama sekali tidak mirip orang buta?"
Lui Sin termenung sambil membayangkan, sahutnya kemudian:
"Kalau dibicarakan sekarang, rasanya dugaanmu memang benar"
"Fajar itu, ketika kita mengejarnya dijalan raya, dia kabur menembusi hutan dan tiba
ditepi sungai, akhirnya ia berhasil melompat naik keatas sampan dan lenyap dibalik
ketebalan kabut" "Betul, memang begitu"
"Ketika berlarian menembusi pepohonan dengan kecepatan tinggi, bahkan kita pun harus
berhati hati agar tidak sampai bertumbukan dengan pepohonan, tapi dia seakan serba tahu,
bukan saja dapat berlari kencang bahkan sama sekali tidak bertumbukan dengan pepohonan,
padahal pohon kan tak mungkin bisa bersuara memberi peringatan, selain itu tak ada orang
kedua yang memberi petunjuk, kalau dibilang ia orang buta beneran, siapa pun sulit untuk
percaya" "Ehm, masuk akal juga . . . . . .." Lui Sin mulai mengelus jenggot, "kenapa selama ini aku tak
pernah berpikir sampai ke situ?"
"Orang yang bersangkutan pasti bingung, tapi penonton bisa melihat lebih jelas. Waktu itu
pada hakekatnya aku sudah lupa kalau dia adalah orang buta, yang kupikirkan saat itu hanya
bagaimana menghadangnya serta mencari tahu kabar berita tentang nona Lui"
"Betul, memang begitu"
"Mungkinkah ucapan dari Ong Bu-shia tadi bermaksud begitu?" sela Han Seng.
"Rasanya memang begitu. Jagoan ampuh semacam dia, walaupun sudah terluka parah dan
nyawanya diambang kematian, namun hingga detik terakhir pikirannya masih tetap terang
benderang, lagian kita toh sedang membicarakan masalah si Kelelawar"
"Masalahnya sekarang adalah kenapa dia pun datang kemari?" ujar Han Seng.
"Aku rasa dia datang dengan maksud ingin membunuh Lau Ci-he"
"Apakah diantara mereka terkait masalah dendam atau permusuhan?"
"Secara dipaksakan boleh dibilang begitu"
"Tampaknya saudara Siau amat jelas dengan kejadian ini?"
"Betul, aku rasa salah satu alasannya adalah ingin membuat perhitungan bagi kematian
Tui-hun-cap-ji-sat" Lotoa dari Tui-hun-cap-ji-sat tak lain adalah anak murid dari Ong Sip-ciu.
"Bukankah Ong Sip-ciu adalah putra Ong Bu-shia?" tanya Han Seng, "berarti pertarungan
kalian waktu itu . . . . . . . .."
"Benar, dia sedang membuat perhitungan untuk Tui-hun-cap-ji-sat"
"Kalau begitu kedatangan Ong Bu-shia mencari Lau Ci-he bukannya sama sekali tak ada
alasan" "Benar, tentu saja dia telah menyelidiki dengan jelas tentang sebab musabab kematian Ong
Sip-ciu" "Kalau begitu aneh sekali, seharusnya dia bereskan dirimu terlebih dulu"
"Satu satunya penjelasan dalam hal ini adalah luka yang ia derita dalam pertarungan di
rumah makan Thay-pek-lo jauh lebih parah daripada apa yang kita bayangkan"
"Tapi ketika melarikan diri, dia tidak tampak seperti menderita luka parah"
Berkilat sepasang mata Siau Jit.
"Masalahnya justru muncul setelah dia menggempur dinding tembok dengan pukulannya"
"Aaah, pasti begitu!" seru Lui Sin.
"Oleh karena dia tahu luka yang dideritanya bertambah berat dan susah disembuhkan dalam
waktu dekat, hal ini memaksa ia harus bertindak dengan mencari sasaran yang paling enteng
untuk dibereskan terlebih dulu, kemudian baru mencari saudara Siau untuk ditantang
berduel" "Mungkin saja memang begitu"
"Ketika tiba disini, secara kebetulan ia bertemu Kelelawar dan mengetahui rahasia si
Kelelawar, itulah alasan mengapa si Kelelawar harus menghabisi nyawanya untuk
menghilangkan saksi!"
"Sangat masuk akalkah analisamu itu?"
"Aku rasa sangat masuk akal" tanpa terasa Han Seng manggut manggut.
"Biarpun Ong Bu-shia membawa luka, andaikata jago yang dia jumpai bukan jago hebat macam
Kelelawar, rasanya dia pun sulit untuk dibunuh"
Han Seng mengangguk berulang kali.
"Betul, andaikata lukanya sangat parah, mana mungkin ia berani datang kemari untuk mencari
Lau Ci-he" Kendatipun ilmu silat yang dimiliki perempuan ini masih belum sebanding dengan
Siau-heng, dia pun bukan termasuk jago sembarangan"
"Apa mau dibilang ia justru bertemu Kelelawar, boleh dibilang ia memang sedang sial" ujar
Lui Sin sambil tertawa. Siau Jit tidak tertawa, sebaliknya malah menghela napas panjang.
"Aaai, begitu pula dengan Lau Ci-he, walaupun malam ini dia bisa lolos dari tangan Ong
Bu-shia, pada akhirnya toh susah juga menghindari Kelelawar"
Lui Sin berhenti tertawa, serunya:
"Lalu kita . . . . . . . .."
"Aku yakin kedatangan kita sudah terlambat, kalau tidak, seharusnya Lau Ci-he sudah
munculkan diri saat ini, tak mungkin perkampungan itu begitu tenang"
Mau tak mau Lui Sin harus setuju dengan pendapat ini.
Kenyataan membuktikan bahwa dugaan Siau Jit tidak keliru, setelah menemukan ke empat
jenasah dari Lau Ci-he sekalian, mereka bertiga merasa masgul, murung dan sedih.
Untuk sesaat mereka hanya bisa duduk diatas genting sambil termangu, duduk mematung tanpa
bergerak. Dibawah sinar rembulan yang sendu, tampak paras muka ke tiga orang itu pucat bagai kertas.
Akhirnya Siau Jit yang buka suara lebih dulu, sambil menggeser jenasah Lau Ci-he, ujarnya
sambil menghela napas: "Walaupun kedatangan kita sedikit terlambat, namun sesungguhnya telah berusaha semaksimal
mungkin" "Aaai, seandainya si Kelelawar tidak membantai kuda kuda tunggangan kita, sejak tadi kita
sudah tiba disini" ucap Lui Sin uring uringan.
Siau Jit tertawa getir. "Justru karena dia sudah memperhitungkan kalau kita mungkin akan mencari sampai disini,
maka kuda kuda tunggangan kita dihabisi dulu nyawanya"
"Aku tak habis mengerti, atas dasar apa dia memperhitungkan sampai ke sini" Bila dia pun
tahu kalau Hong-ji telah meninggalkan catatan, tidak seharusnya dia biarkan kita pun ikut
membaca ke tiga nama diatas panggung itu"
"Justru hal semacam inilah yang paling menakutkan dari dirinya, ketika ia tahu kalau kita
berhasil menemukan lorong rahasia bawah tanah di kuil Thian-liong-ku-sat, sudah pasti
mempertimbangkan pula setiap kemungkinan yang mungkin terjadi, mempertimbangkan petunjuk
apa yang mungkin ditinggalkan nona Hong, atau dia telah teledor dengan suatu tempat, suatu
masalah. Oleh sebab itu dia bunuh kuda tunggangan kita lebih dahulu, agar ia bisa berebut
satu langkah didepan kita dan menemukan Lau Ci-he lebih dulu!"
"Tapi mengapa dia harus membunuh Lau Ci-he?" tanya Han Seng keheranan, "atau jangan jangan
gadis itupun mengetahui suatu rahasia besar dari dirinya"'
"Bila demikian kejadiannya, tak mungkin Lau Ci-he bisa hidup melewati hari ini"
"Itulah masalahnya, kenapa dia harus menghabisi nyawanya?"
"Setelah berpikir pulang pergi, aku rasa hanya ada satu kemungkinan!"
"Apa?" "Golok Kelelawar!"
Han Seng tidak habis mengerti, begitu pula Lui Sin, maka Siau Jit menjelaskan lebih jauh:
"Kelelawar memiliki tiga belas bilah golok Kelelawar, dua belas diantaranya telah
dihadiahkan untuk dua belas orang gadis yang paling dia sukai"
"Hal ini kita sudah tahu"
"Mengapa harus membuat tiga belas bilah golok Kelelawar" Aku yakin tak mungkin masalahnya
hanya untuk barang kenangan, dibalik ke tiga belas bilah golok Kelelawar itu pasti
tersimpan suatu rahasia besar"
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya:
"Mungkin menyangkut sejumlah harta karun, menurut cerita orang persilatan, sesungguhnya
Kelelawar adalah keturunan dari suatu keluarga persilatan, keluarga itu kaya raya dan
memiliki harta yang mampu menandingi harta sebuah negeri"
II "Ehm, aku pernah dengar cerita tentang hal itu Lui Sin manggut manggut.
"Mustahil baginya untuk selalu menggembol seluruh harta kekayaannya yang begitu banyak
kesana kemari, sebagai orang cerdas dia pasti akan mencari sebuah tempat yang aman dan
rahasia untuk menyimpannya, besar kemungkinan ke tiga belas bilah golok Kelelawar itu
punya hubungan yang erat dengan harta karun itu"
Tanpa terasa Lui Sin dan Han Seng menganggukkan kepala.
Kembali Siau Jit melanjutkan:
"Aku pernah melihat golok Kelelawar milik Lau Ci-he, selama ini dia selalu menggantungnya
diatas dinding dalam kamar tidurnya, tapi sekarang, benda itu sudah lenyap"
"Jika Kelelawar itu adalah Kelelawar tanpa sayap yang sebenarnya, tidak mungkin dia akan
minta balik golok golok Kelelawar yang telah diberikan kepada orang lain pada sepuluh
ll tahun berselang kata Lui Sin.
"Dan satu hal lagi" sambung Han Seng, "mana mungkin seseorang yang sudah berubah jadi
orang idiot, pada sepuluh tahun kemudian sembuh kembali seperti orang normal. Kalau
dipikirkan, hal ini pun patut dicurigai!"
Siau Jit segera tertawa. "Bicara sampai disini, kita semua nyaris yakin kalau si Kelelawar tanpa sayap yang muncul
sekarang, seratus persen adalah gadungan" katanya.
"Tapi siapa pula Kelelawar tanpa sayap gadungan ini?"
Siau Jit tidak menjawab bahkan membungkam dalam seribu bahasa, tampaknya ia sudah
terjerumus dalam pemikiran yang mendalam.
Apa yang sebenarnya sedang ia pikirkan"
Baru saja Lui Sin ingin bertanya, Han Seng telah menarik tangannya dan memberi tanda agar
dia tidak bersuara. Dari perubahan mimik muka Siau Jit, dapat terlihat dengan jelas bahwa pemuda itu memang
sedang memikirkan sesuatu, dan saat seperti ini kurang cocok untuk mengganggunya sehing ga
memutuskan jalan pemikirannya.
Bab 18. Kembali ke kuil. Tiga bilah golok Kelelawar berjajar menjadi satu, tampak bentuknya persis sama satu dengan
lainnya. Dengan pandangan tajam si Kelelawar menatap ke tiga bilah golok itu tanpa berkedip, tiba
tiba ujarnya: "Tang-shia, coba kau lihat, dimana letak perbedaan dari ke tiga bilah golok itu?"
"Berbicara dari soal ukuran, bentuk maupun bobot, hampir semuanya sama tanpa perbeda an,
satu satunya yang berbeda pada ke tiga golok ini rasanya hanya pada gambar yang terukir
dipelindung tangan berbentuk Kelelawar itu"
"Tahukah kau kalau ukiran itu bukan gambar melainkan huruf sansekerta?"
"Aku hanya tahu kalau huruf yang terukir pada golok Kelelawar milikku adalah huruf "Po"
(mustika)" "Dari golok yang kuperoleh dari tangan si Kelelawar, huruf sansekerta yang tertera disitu
adalah huruf Si (kuil), kita pernah beranalisa bahwa rangkaian huruf tersebut merupakan
petunjuk dimana harta karun itu disimpan, bila ke tiga belas tulisan yang tertera pada
tiga belas bilah golok Kelelawar disatukan maka akan tercipta sebuah kalimat yang
menunjukkan tempat penyimpanan itu"
"Karena itulah kau berupaya dengan segala cara untuk memancing si Kelelawar mau mengaku,
kepada siapa saja ke dua belas bilah golok itu diberikan?" sambung Suma Tang-shia.
"Padahal hal ini bukanlah satu pekerjaan mudah, hingga sekarang, kita hanya mampu
mendapatkan tiga bilah diantaranya"
"Bila ditambahkan golok milik Hek Botan dan Pek Huyung, paling juga baru lima bilah,
sekalipun kita dapat merangkai ke lima huruf itu, belum tentu huruf huruf tadi dapat
dirangkai menjadi sebuah kalimat yang dapat kita pahami artinya"
"Aku rasa tiga bilah pun sudah lebih dari cukup" tukas si Kelelawar cepat.
"Oya?" "Coba kau periksa, huruf apa yang tertera pada golok Kelelawar milik Lau Ci-he?"
Sekarang Suma Tang-shia baru memperhatikan dengan seksama ukiran huruf Sansekerta yang
terukir diatas golok tersebut.
Kemudian dengan suara tercengang teriaknya:
"Aaah, ternyata huruf Liong (naga)"
"Benar, memang huruf Liong. Tang-shia, sekarang kau sudah mengerti bukan?"
Tanpa berbicara Suma Tang-shia mengangguk.
Kembali si Kelelawar berkata:
"Bila dugaan kita tak salah maka bila ke tiga belas huruf yang tertera pada golok
Kelelawar itu dirangkai jadi satu, maka semestinya kalimat yang dirangkai adalah . . . . ..
mestika disimpan di ..... kuil naga"


Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kelihatannya memang begitu"
"Didalam kenyataan, manusia semacam Kelelawar memang luar biasa senangnya dengan segala
macam bangunan kuil, mungkin dia anggap melakukan perbuatan rahasia didalam sebuah kuil
jauh lebih leluasa dan sukar ditemukan orang lain. Tapi bangunan kuil semacam kuil Thianliong-ku-sat (kuil naga langit) semuanya berjumlah tiga belas buah yang tersebar di utara
sebanyak enam buah dan wilayah selatan sebanyak tujuh tempat, bukan satu pekerjaan yang
gampang untuk melacak setiap bangunan kuil tersebut"
"Tentu saja sulit"
"Dapat menemukan kuil Thian-liong-ku-sat sesungguhnya merupakan hasil ingatanmu yang luar
biasa, setelah dibebaskan oleh si Kelelawar ternyata kau masih dapat berjalan balik ke
tempat penyekapanmu, hal ini merupakan sebuah kejutan. Hanya sayangnya, walaupun kita
pernah menaruh curiga kalau harta karun itu kemungkinan besar disimpan dalam kuil Thianliong-ku-sat, namun setelah digeledah sekian lama, hasilnya tetap nihil. Gara gara itulah
kita jadi kepikiran untuk mengumpulkan kembali ke tiga belas bilah golok Kelelawar"
Setelah tertawa getir, lanjut si Kelelawar:
"Kalau ingin melacak arti kalimat itu dari dua bilah golok saja, sudah jelas hal ini
mustahil bisa berhasil"
"Setelah huruf po (mustika) mustinya huruf ciong (disimpan), setelah huruf Si (kuil)
semestinya huruf wan (halaman), kini kita peroleh lagi huruf Liong (naga), itu berarti
diatasnya adalah huruf Thian (langit)..."
"Betul, dan sekarang paling tidak kita berani memastikan kalau harta karun itu tersimpan
didalam kuil naga langit (thian-liong-si)"
"Tapi huruf Liong bisa dimaksudkan semacam benda mustika, mungkin juga nama sebuah tempat,
dibawah huruf itu belum tentu huruf Si (kuil) dan diatasnya belum tentu huruf Thian
(langit)" Si Kelelawar menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya:
"Bukannya tanpa alasan kita merasa begitu yakin"
Suma Tang-shia tidak bicara, ia termenung.
Si Kelelawar segera menjelaskan:
"Aku percaya kaupun tak akan menyangkal kalau si Kelelawar telah mengobarkan banyak
pikiran, tenaga serta harta untuk membangun kerajaannya dalam kuil Thian-liong-ku-sat,
padahal dia hanya seorang buta, jadi tak mungkin dia membangun kesemuanya itu dengan
andalkan tenaganya seorang diri. Bisa jadi untuk membangun semuanya itu, dia telah
melibatkan banyak tukang serta tenaga kerja, namun ketika bangunan itu selesai dibangun,
dia pun membantai habis semua pekerja itu untuk menghilangkan saksi. Tapi pernahkah di
kota ini terjadi kehebohan karena lenyapnya sejumlah besar tukang bangunan" Walaupun
mereka mungkin diundang bekerja dengan bayaran tinggi atau ada juga yang datang secara
sukarela, masa lenyapnya orang orang itu tak sampai menimbulkan kehebohan" Sudah jelas
pembangunan dalam kuil Thian-liong-ku-s at telah melalui sebuah perencanaan yang masak,
manusia sepintar Kelelawar seharusnya tak akan mengulang sebuah pekerjaan yang sama"
Setelah menghela napas tambahnya:
"Padahal sejak awal kita seharusnya sudah berpikir sampai ke situ, tapi kita tidak
melakukannya" "Karena selama ini kita selalu menempatkan si Kelelawar sebagai orang idiot hingga hampir
saja lupa kalau dia sesungguhnya adalah orang buta"
"Betul, betul!"
"Sekalipun kita sudah pastikan kalau harta karun itu tersimpan dalam kuil Thian-liongku-sat pun tak ada gunanya, bukankah nyaris kita sudah bongkar seluruh bangunan kuil itu
tanpa hasil?" Setelah menghela napas panjang, kembali Suma Tang-shia melanjutkan:
"Bila harta karun itu betul betul tersimpan dalam kuil Thian-liong-ku-sat, seharusnya
benda mustika itu telah berhasil kita temukan"
"Jika harta itu bisa ditemukan segampang itu, si Kelelawar tak usah menggunakan banyak
waktu, pikiran dan tenaga untuk menciptakan ke tiga belas bilah golok Kelelawar itu"
Mau tak mau Suma Tang-shia harus sependapat dengan perkataan itu.
Setelah tertawa getir, ujar si Kelelawar:
"Tampaknya, walaupun kita tak usah mendapat semua dari ke tiga belas bilah golok Kelelawar
itu, paling tidak berapa bilah yang terakhir harus kita dapatkan, dengan begitu harta
karun baru bisa kita peroleh"
Suma Tang-shia hanya tertawa hambar, tidak menjawab.
Maka si Kelelawar berkata lebih lanjut:
"Walau begitu, asal kita sudah bisa memastikan kalau tempat yang dimaksud adalah kuil
Thian-liong-ku-sat, seharusnya persoalan ini bisa diselesaikan jauh lebih mudah"
"Kalau soal itu mah tergantung bagaimana nasib dan rejeki kita"
"Bukankah nasib kita selama ini baik sekali?"
"Hingga detik ini memang masih terhitung sangat bagus"
"Seandainya Siau Jit sekalian pergi mencari Hek Botan dan Pek Hu-yung, ini berarti dalam
tiga sampai lima bulan mereka tak akan kembali kemari, cukup waktu bagi kita untuk
bertindak" Tiba tiba sinar mata tajam yang menggidikkan memancar keluar dari mata kanannya, ia
melanjutkan: "Siapa tahu pada malam ini juga kita sudah berhasil mendapatkan harta karun itu"
"Malam ini?" "Dalam melaksanakan pekerjaan semacam ini, terkadang sedetik pun tak boleh terlambat"
"Kalau toh Siau Jit baru bakal kembali berapa bulan lagi, rasanya kita pun tak usah
kelewat terburu-buru"
"Jerih payah selama sepuluh tahun, Tang-shia, masa sampai sekarang pun kau belum bisa
merasakan perasaan hati ayahmu?"
Ternyata kepada Suma Tang-shia, si Kelelawar menyebut diri sebagai ayah, kalau dia bukan
Suma Tionggoan, lalu siapa lagi"
Suma Tang-shia menghela napas panjang.
"Aaai, aku tahu, kau sudah tak kuasa menahan diri"
Si Kelelawar tertawa, lanjutnya:
"Sekarang, aku bahkan mempunyai satu firasat, kali ini si Kelelawar pasti akan membantu
kita untuk menemukan tempat penyimpanan harta karun itu"
"Kelelawar?" "Kali ini kita harus menggunakan segenap kemampuan untuk memaksa semua ingatan dan
kesadarannya pulih kembali"
"Mungkinkah?" "Aku mempunyai berapa cara yang selama ini tak pernah kugunakan, karena kuatir jika tak
tahan dia bakal tewas seketika, tapi sekarang aku tak ambil peduli lagi, cara cara itu
harus dicoba" "Jika si Kelelawar benar benar mampus . . . . .."
"Sejak dulu orang ini sudah pantas mati, masih beruntung dia bisa mendapat tambahan hidup
selama belasan tahun"
Suma Tang-shia terbungkam.
Sambil menyeringai seram kembali Kelelawar berkata:
"Sekalipun harta karun itu tidak tersimpan dalam kuil Thian-liong-ku-sat, kitapun tak usah
kuatir, sampai waktu kita masih bisa mencari ke sepuluh orang gadis yang lain dan
mengumpulkan golok golok Kelelawar milik mereka"
Suma Tang-shia tertawa getir.
Jika Kelelawar mati, sekalipun berhasil menemukan Hek Botan dan Pek Hu-yang, paling banter
juga hanya menambah dua bilah golok Kelelawar, sisanya yang delapan bilah akan dicari
kemana" Kelelawar tidak menaruh perhatian atas perubahan wajah Suma Tang-shia, katanya lebih jauh:
"Bawalah golok golok itu dan ikut aku menuju kuil Thian-liong-ku-sat"
"Tidak, lebih baik aku tetap tinggal disini" tampik Suma Tang-shia sambil menggeleng.
"Kalau tidak mau yaa sudah, toh perjalanan kali ini belum tentu akan memperoleh hasil"
Dengan sedih Suma Tang-shia membalikkan badan, bergeser dari tempat duduknya dan menggeser
kembali meja rias itu ke tempat semula.
Kemudian dia mengambil lagi buku yang tergeletak dimeja dan membacanya kembali.
Menyaksikan tingkah laku gadis itu, si Kelelawar hanya menggeleng sambil menghela napas,
setelah memungut kembali ke tiga bilah golok Kelelawar, dia melompat keluar lewat jendela.
Bagai hembusan segulung angin, sekejap mata bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
Dengan cepat cahaya lentera yang bergoyang pun menjadi tenang kembali.
Walaupun Suma Tang-shia memegang buku, tatapan matanya tak pernah dialihkan keatas buku
tersebut. Lama sekali ia duduk termangu, kemudian sambil menghela napas tiba tiba katanya:
"Kenapa kau belum turun juga?"
Baru selesai ia berkata, terdengar suara lirih diatas genting lalu terlihat sesosok
bayangan manusia menerobos masuk lewat jendela.
Seorang gadis muda. Ciu Kiok! Dia melayang turun dihadapan Suma Tang-shia, dengan sepasang matanya yang sayu dia awasi
perempuan itu tak berkedip.
Dari balik pupil matanya, terpancar perasaan ngeri, seram, disamping perasaan heran dan
ragu yang besar. Paras mukanya pucat pias bagai kertas, tubuhnya yang lemah bagai rumput dimainkan angin
musim gugur, seakan tenaga untuk berdiri pun tak ada.
"Kenapa kau datang kemari?" tegur Suma Tang-shia sambil meletakkan kembali bukunya.
ll "Inilah hari pertama aku tinggal dalam perkampungan Suma-san-ceng . . . . .. nada suara Ciu
Kiok kedengaran gemetar. "Karena itu kau tak bisa tidur bukan?" tukas Suma Tang-shia.
"Semula aku ingin jalan jalan ditengah halaman, siapa tahu ketika membuka pintu,
kusaksikan ada sesosok bayangan manusia meluncur melewati pagar langsung menuju kemari"
"Dari bentuk tubuhnya yang mirip Kelelawar, kau sangka Kelelawar datang menyerang, maka
cepat kau menyusul kemari, maksudnya ingin memperingatkan aku"
Ciu Kiok gigit kencang bibirnya tanpa menjawab.
Sambil menghela napas ujar Suma Tang-shia:
"Tentu saja kau tahu bahwa ilmu silatmu cetek dan bukan tandingan Kelelawar, bila sampai
ketahuan maka nyawamu pasti akan melayang"
Ciu Kiok masih membungkam.
Suma Tang-shia berkata lebih jauh:
"Kau tentu tahu juga bahwa nasib baik seseorang tidak selalu berulang, bila sampai bertemu
Kelelawar lagi, besar kemungkinan nyawa mu bakal dicabut!"
Ciu Kiok makin kencang menggigit bibir.
"Tapi kau tetap nekad datang kemari, kenapa?" tanya perempuan itu.
Bibir Ciu Kiok yang digigit mulai terluka, darah mulai meleleh keluar.
Suma Tang-shia segera mewakilinya untuk menjawab:
"Karena kau tak bisa berpeluk tangan membiarkan jiwaku terancam, kau berharap bisa
menyumbangkan sisa tenaga mu untuk bantu aku"
Ciu Kiok masih membungkam.
Suma Tang-shia menghela napas panjang.
"Orang dari golongan pendekar memang tetap berjiwa pendekar, sekarang kau sudah tahu kalau
aku satu komplotan dengan Kelelawar, menyesalkah kau dengan apa yang telah kau lakukan?"
"Tidak!" teriak Ciu Kiok, "walaupun aku salah menilai orang, tapi tak pernah menyesal
dengan apa yang telah kulakukan!"
"Bagus, anak baik!"
"Aku tahu, hidupku tak bakal lama lagi, tapi ada berapa hal tolong jawablah sejujurnya,
agar aku bisa mati dengan mata terpejam!"
"Tanyalahl" "Kelelawar tadi apakah bukan Kelelawar tanpa sayap yang sesungguhnya?"
"Benar" "Siapa sebenarnya orang itu?"
"Ayahku!" "Suma Tionggoan" Bukankah dia sudah mati?"
"Aku yang mengatakan kalau dia sudah mati, sedang kalian percaya kalau dia sudah mati
karena kalian percaya dengan perkataanku"
"Jadi selama ini kau selalu berbohong!"
"Benar" "Apa tujuanmu?"
"Harta karun milik Kelelawar!"
"Jadi apa yang kalian bicarakan tadi memang kenyataan?"
"Betul, semuanya!" Suma Tang-shia mengangguk, "apalagi yang ingin kau ketahui?"
"Dendam sakit hati apa yang sudah terjalin antara siocia kami dengan kalian?"
"Sama sekali tak ada"
"Lantas mengapa kalian berbuat begitu?"
"Ketika awal kejadian, aku sama sekali tak tahu, kalau tidak, aku pasti akan mencegahnya"
"Bohong, kau bohong!" jerit Ciu Kiok seperti orang kalap.
Suma Tang-shia tidak menyangkal, ia membungkam.
Sambil menggigit bibir kembali Ciu Kiok bertanya:
"Kau telah membohongi siau kongcu, apakah kau tidak menyesal" Tidak malu?"
Suma Tang-shia tertawa hambar.
"Apa pun yang kulakukan sekarang, tak ada satu pun yang dapat kurasakan lagi, sebab sejak
sepuluh tahun berselang, perasaanku telah kaku, membeku, telah hilang lenyap"
Ciu Kiok menatap tajam wajah Suma Tang-shia, sesaat kemudian teriaknya lagi:
"Kau sedang berbohong lagi, aku dapat melihatnya"
"Hanya masalah ini saja yang ingin kau ketahui?" tukas Suma Tang-shia tiba tiba.
"Sekarang kau boleh turun tangan membunuhku"
"Tidak" Suma Tang-shia menggeleng, "bila aku ingin membunuhmu, sudah kulakukan sewaktu kau
terjatuh diatas atap rumah tadi"
Setelah menghela napas panjang, lanjutnya:
"Bahkan asal aku buka suara, biar kau mempunyai sepuluh lembar nyawa pun bakal mati semua"
Ciu Kiok tertegun, berdiri terperangah.
"Sekarang kau boleh tinggalkan tempat ini" kata Suma Tang-shia lagi sambil mengebaskan
bajunya. "Tinggalkan tempat ini?" untuk kesekian kalinya Ciu Kiok tertegun.
"Kau adalah anak baik, karena itu nasibmu akan selalu baik, andaikata kedatanganmu bukan
bersamaan dengan suara mesin rahasiaku berbunyi, tak nanti kehadiranmu bisa mengelabuhi
dia, tak mungkin kau bisa hidup sampai sekarang"
Dengan ragu dan tak habis mengerti Ciu Kiok mengawasi Suma Tang-shia.
Perempuan itu berkata lebih lanjut:
"Menurut kau, bagaimana aku bisa mengetahui kehadiranmu" Karena aku telah melihat bayangan
tubuhmu!" "Bayangan?" "Sewaktu kau melompat naik ke atap rumah tadi, sinar rembulan membiaskan bayangan tubuhmu
diatas tiang yang berada diluar jendela"
Lagi lagi Ciu Kiok tertegun.
"Ilmu meringankan tubuh yang kau miliki cukup bagus" kata Suma Tang-shia lagi, "hanya
sayang pengalamanmu dalam dunia persilatan tidak cukup, mencuri angin tidak mencuri
rembulan, mencuri hujan tidak mencuri salju, kau pasti pernah mendengar kata kata ini
bukan?" Ciu Kiok tetap membungkam.
"Sekarang kau boleh pergi dari sini" sekali lagi Suma Tang-shia mengebaskan ujung bajunya.
"Apakah kau tidak kuatir aku bocorkan rahasia ini kepada Siau kongcu?"
Suma Tang-shia tidak menjawab.
Tiba tiba Ciu Kiok berseru lagi:
"Pasti hal ini merupakan satu perangkap, kau pasti sedang mempersiapkan satu perangkap
busuk lagi?" Suma Tang-shia tertawa hambar.
"Kalau sudah tahu begitu, kau seharusnya cepat cepat pergi mencari Siau Jit dan
memberitahukan rahasia ini kepadanya, agar dia tahu diri dan menghindar dari bencana itu"
Dengan termangu Ciu Kiok mengawasi Suma Tang-shia, sesaat kemudian kembali ia bertanya:
"Kau benar benar membiarkan aku pergi dari sini?"
"Tentu saja" buku itu. "Kau jangan menyesal nantinya" seru Ciu Kiok.
Suma Tang-shia kembali menghela napas, untuk kesekian kalinya dia memungut
Suma Tang-shia tidak ambil peduli lagi, tatapan matanya kembali dialihkan keatas buku.
Ciu Kiok segera membalikkan tubuh dan membuka pintu, tapi hampir pada saat bersamaan ia
menjerit keras! Seseorang berdiri didepan pintu bagaikan mayat hidup, tiga bilah golok Kelelawar
tergantung dipinggangnya, orang itu tak lain adalah Kelelawar tanpa sayap gadungan yang
belum lama tinggalkan tempat itu.
Kelihatannya ia sudah cukup lama berdiri disana, ketika pintu terbuka, ia segera membuka
mulutnya sambil tertawa menyeringai.
Selama hidup belum pernah Ciu Kiok saksikan senyuman sedemikian seram dan menakutkannya,
dia pun belum pernah merasakan ketakut an yang luar biasa seperti saat ini.
Setelah lama tertegun, ia berpaling kearah Suma Tang-shia dan tiba tiba serunya:
"Ternyata kau sudah mempersiapkan segalanya, suruh aku tinggalkan tempat ini sebenarnya
suruh aku cepat cepat masuk kubur!"
Untuk sesaat Suma Tang-shia tampak terkejut, tapi akhirnya dia hanya bisa menghela napas.
Belum selesai suara helaan napasnya, tenggorokan Ciu Kiok telah digorok hingga putus,
tubuhnya terjerembab ke lantai.
Begitu cepat Kelelawar mencabut goloknya, begitu cepat melancarkan serangan dan begitu
cepat menyarungkan kembali senjata pembunuhnya.
Ketika golok itu disarungkan, tak setetes darah pun yang melekat, ia segera bungkukkan
badan untuk membangunkan mayat Ciu Kiok, lalu didudukkan diatas bangku.
Suma Tang-shia duduk kaku, sama sekali tak bergerak.


Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah mendudukkan mayat Ciu Kiok, Kelelawar baru menegur:
"Mengapa kau tidak menghalangi?"
"Jika aku mampu menghalangi, pasti sudah kuhalangi" jawab perempuan itu hambar.
"Kali ini, kujamin dia tak bakalan bisa hidup terus"
"Nasib seseorang memang tak selamanya baik terus"
"Kalau sudah memahami teori tersebut, kenapa kau masih tetap membebaskan dia?"
"Kalau memang Siau Jit baru balik setelah tiga sampai lima bulan lagi, biar kubebaskan
dirinya pun tak akan berpengaruh apa apa bagi kita bukan?" ujar Suma Tang-shia hambar.
"Tapi harta karun dalam kuil Thian-liong-ku-sat . . . . . . .."
"Bukankah sudah pasti?"
"Paling tidak, mungkin dia bisa merusak rencana kita untuk mengambil harta karun"
"Aku tidak pernah mempertimbangkan sampai ke situ"
"Benar benar tak pernah?"
"Bohong!" sikap Suma Tang-shia masih begitu santai.
"Saat ini bukan saat untuk berbelas kasihan" ujar Kelelawar sambil menghela napas, "belas
kasihan terhadap musuh sama artinya bersikap kejam terhadap diri sendiri"
Suma Tang-shia tidak bicara lagi, ia terbungkam.
"Sudah begitu banyak orang yang terbunuh, kenapa musti sedih karena membunuh seorang lebih
banyak?" ujar Kelelawar lagi.
Tanpa bicara Suma Tang-shia mengangguk.
"Sebenarnya kenapa kau?" tegur Kelelawar lagi sambil menatap tajam wajah putrinya, "urusan
telah berkembang jadi begini, masa kau masih belum dapat bersikap lebih tegas dan kejam?"
Kembali Suma Tang-shia hanya tertawa hambar tanpa menjawab.
"Cepat kau singkirkan jenasah itu dari ruanganmu, jangan membuat masalah lagi" perintah
Kelelawar. Begitu selesai bicara kembali ia berkelebat keluar dari pintu kemudian merapatkannya
kembali. Suma Tang-shia masih duduk tak bergerak ditempat semula, entah berapa lama sudah lewat, ia
baru bangkit berdiri dan berjalan menuju ke bawah dinding sebelah kanan.
Sebilah pedang tergantung diatas dinding, pedang mustika penuh bertaburkan permata.
Perlahan dia menurunkan pedang itu kemudian berjalan balik ke tempat semula, duduk
kembali, setelah itu baru mencabut keluar pedang miliknya.
Pedang itu panjangnya satu meter dan bening bagai air danau, dibawah timpaan cahaya
lentera, tampak sinar bening membias ke mana mana.
Setelah mencabut pedangnya, ia letakkan kembali sarung pedang itu lalu mengambil pedang
lain dan disarungkan ke sarung pedangnya semula.
Kemudian sekali lagi dia mengambil kitab itu, kali ini sinar matanya benar benar tertuju
diatas buku. Dia tampak membaca dengan serius, membaca dengan penuh perhatian.
Suasana dalam ruangan pun pulih dalam keheningan yang luar biasa, tentu saja Ciu Kiok
sudah tak bisa merecoki atau mengganggu ketenangan Suma Tang-shia lagi.
Darah segar masih meleleh keluar dari luka di leher Ciu Kiok, meleleh ke bawah, membasahi
seluruh pakaiannya. Apakah pemandangan semacam ini pun terhitung aneh"
Oo0oo Satu li dari situ, tiga ekor kuda sedang berlarian kencang, Siau Jit berada dibarisan
paling depan. Hembusan angin telah mengacaukan rambutnya, membuat pikiran dan perasaannya ikut kalut.
Jalan raya membentang menembusi pepohonan, rembulan yang pucat masih tergantung jauh di
angkasa. Dibawah cahaya rembulan, tidak sulit bagi mereka untuk mengenali jalanan disitu.
Lui Sin dan Han Seng mengikuti dari belakang, setelah berlarian berapa saat, Lui Sin tak
kuasa menahan diri lagi, tanyanya:
"Kenapa jalanan ini seperti sebuah jalanan yang tak ada habisnya?"
"Karena kau sedang risau dan gelisah" jawab Han Seng.
"Apakah masih jauh?"
"Setelah keluar dari hutan dan berjalan setengah li lagi, seharusnya kita sudah tiba di
perkampungan Suma-san-ceng"
Tiba tiba Lui Sin seperti teringat sesuatu, kembali ujarnya:
"Ciu Kiok masih tertinggal dalam perkampungan Suma-san-ceng, mungkinkah keselamatannya
terancam?" "Seharusnya tidak, sebelum rahasia ini terbongkar, seharusnya dia aman disana"
Lui Sin menghela napas panjang.
"Aaai, bocah yang patut dikasihani, aku benar-benar menguatirkan keselamatan jiwanya"
"Hingga kini, semua peristiwa yang berlangsung masih merupakan sebuah teka teki, mau
kuatir pun tak ada gunanya" ujar Han Seng.
"Aaai, aku hanya berharap apa yang mengganjal dihati kita hanya kecurigaan tanpa dasar,
aku berharap dalam kenyataan bukanlah seperti apa yang kita duga"
"Aku pun berharap begitu" akhirnya Siau Jit ikut buka suara.
Sementara pembicaraan berlangsung, ke tiga ekor kuda tunggangan itu sudah menerjang keluar
dari hutan. Bab l9. Air mata darah untuk sahabat dekat.
Malam yang panjang belum mencapai diujungnya, langit gelap gulita bagai tinta bak,
rembulan yang condong ke langit barat, seolah setiap saat bakal tanggal dari langit dan
jatuh ke bawah. Suasana didalam ruangan terasa begitu hening, sepi, cahaya lentera begitu redup, bayangan
manusia pun begitu sendu.
Sinar mata Suma Tang-shia masih tertuju diatas bukunya, masih tetap dengan gayanya, sama
sekali tak bergoyang maupun berubah.
Dia sama sekali tak tahu sekarang waktu sudah menunjukkan pukul berapa, dia pun tak tahu
apa yang tertulis pada buku yang dibaca.
Sinar matanya membeku diatas buku, meski memandang dengan begitu serius, dalam kenyataan
tak sepatah kata pun yang masuk ke dalam benaknya.
Benak perempuan itu tidak kosong melompong, justru pikirannya sedang bergolak, menggelora
tiada habisnya. Tatapan kosong hanya pada sepasang matanya, tentu saja dia bukan orang buta, tapi
keadaannya saat ini tak jauh berbeda dengan orang buta.
Daun jendela masih terbuka, angin malam berhembus masuk membawa bau harum bunga Kui
(Osmanthus), membawa pula nyanyian pedih dari serangga.
Dia seakan tidak ambil peduli, tidak menaruh perhatian, hingga mendengar suara derap kaki
kuda yang bergema terbawa angin, tubuhnya baru gemetar, gemetar keras sekali.
Dia seakan baru merasakan dinginnya hawa malam dimusim gugur, merasakan mengigilnya tubuh.
Derap kaki kuda bergema makin dekat, lalu diiringi ringkikan panjang berhenti tak jauh
dari situ, setelah itu suasana kembali terjerumus dalam keheningan yang luar biasa.
Keheningan yang mencekam, sedemikian hening sampai serangga pun tak berani melanjutkan
lantunan lagunya yang sendu.
Dan pada saat itulah Suma Tang-shia menghela napas panjang.
Belum selesai suara helaan napasnya, suara ujung baju tersampok angin telah bergema tiba.
Akhirnya Suma Tang-shia mengalihkan tatapan matanya, dari atas buku bergeser kearah pintu,
suara ujung baju yang tersampok angin berhenti dipintu luar.
Menyusul kemudian tiga kali suara ketukan pintu bergema.
"Siapa?" sapa Suma Tang-shia sambil membenahi rambutnya yang kusut.
"Siau Jit!" "Kau, Siau kecil?"
"Didampingi Lui Sin dan Han Seng"
"Jadi mereka semua telah datang?"
"Kenapa toaci belum tidur?"
"Mungkin sedang menanti kedatangan kalian"
"Oh?" nada suara Siau Jit kedengaran sangat aneh.
"Pintu tidak terkunci, dorong saja dan silahkan masuk ke dalam"
lanjut Suma Tang-shia. "Maaf kalau mengganggu!" Siau Jit menyahut sambil mendorong daun pintu.
Cahaya lentera segera memancar diwajah Siau Jit, tampak rambutnya sudah kusut terhembus
angin, namun ia sama sekali tak letih, dibalik matanya seolah memancarkan perasaan apa
boleh buat, semacam perasaan pedih yang tak terlukis dengan perkataan.
Disaat melihat Suma Tang-shia, dia pun melihat mayat Ciu Kiok yang terduduk di bangku.
Paras mukanya sama sekali tak berubah, dia hanya menghela napas sambil melangkah masuk ke
dalam. Lui Sin dan Han Seng pun telah melihat jenasah Ciu Kick, tanpa sadar serentak mereka
memburu masuk dan menghampirinya.
Darah yang meleleh dari mulut luka Ciu Kiok dibagian leher telah berhenti, cepat Lui Sin
periksa dengus napas dayang itu, tapi paras mukanya kontan berubah jadi hijau membesi.
Berbicara dari pengalaman yang dimiliki, tentu saja diapun sudah melihat kalau Ciu Kiok
telah tewas, namun tak urung dia tetap memeriksa dengus napasnya.
Dalam keadaan seperti ini, dia sama sekali tidak merasa kalau tingkah lakunya sama sekali
tak berguna dan sangat menggelikan.
Tanpa terasa Han Seng ikut memegang pergelangan tangan kanan Ciu Kick. Tapi ia segera
menyentuh tangan yang dingin kaku, akhirnya sambil gelengkan kepala dan menghela napas,
gumamnya: "Tidak tertolong lagi!"
Dengan wajah hijau membesi Lui Sin maju selangkah, tapi ia segera dicegah Siau Jit.
"Duduk!" kata Suma Tang-shia.
Siau Jit ambil tempat duduk lebih dulu, melihat itu Lui Sin dan Han Seng duduk disamping
kiri kanannya. Suma Tang-shia menyapu sekejap para tamunya, lalu berkata:
"Kalian bertiga datang ditengah malam buta begini, maaf kalau dayangku sudah istirahat
sehingga tak ada yang sediakan minuman, mohon maaf yang sebesarnya"
"Tidak masalah . . . . . . .." sahut Siau Jit.
Perlahan Suma Tang-shia alihkan pandangan matanya ke wajah Siau Jit, sapanya sambil
menghela napas: "Siau kecil . . . . . .."
"Toacil" Siau Jit seperti ingin mengucapkan sesuatu, tapi akhirnya niat itu diurungkan.
"Siapa yang telah membunuh Ciu Kiok?" sela Lui Sin tiba tiba.
"Akul" Paras muka Lui Sin berubah hebat, belum sempat ia mengucapkan sesuatu, Siau Jit telah
menukas: "Toaci menggunakan pedang, sedang bekas luka di leher Ciu Kiok adalah luka golok"
Mendengar itu kembali Suma Tang-shia menghela napas.
"Siau kecil, terkadang kau kelewat sembrono, tapi terkadang kau pun sangat teliti"
"Untung saat dia sembrono tidak terlalu banyak" sindir Lui Sin sambil tertawa dingin.
"Bagiku, hal itu sudah merupakan satu ketidak beruntungan, suatu keadaan yang tidak baik
bagiku" "Jadi sebetulnya siapakah pembunuhnya?" desak Lui Sin lagi.
Belum sempat Suma Tang-shia menjawab, Lui Sin telah bertanya kembali:
"Apakah si Kelelawar?"
Akhirnya Suma Tang-shia mengangguk.
"Siapa pula si Kelelawar itu?" desak Lui Sin lebih jauh.
"Kelelawar adalah Kelelawar"
"Yang kutanyakan adalah Kelelawar tanpa sayap gadungan itu?" teriak Lui Sin lagi tertawa
dingin. "Menurut apa yang kuketahui, Kelelawar tanpa sayap h anya ada satu orang"
"Sampai saat seperti inipun kau masih ingin membohongi kami" Apakah kau tidak tahu kalau
Ong Bu-shia belum mati, dia telah memberitahukan semua rahasia itu kepada kami?"
"Sungguh tak disangka Lui lo-enghiong pandai pula berbohong" ujar Suma Tang-shia sambil
tertawa hambar. Lui Sin tertegun. Setelah tertawa lanjut Suma Tang-shia:
"Sayangnya Lui lo-enghiong tidak terbiasa bicara bohong, karena itu walaupun saat bicara
tampak serius dan bersungguh sungguh, sayang tidak terlalu mirip"
Lui Sin mendengus dingin.
Suma Tang-shia berkata lebih jauh:
"Sang pembunuh adalah seorang jago kawakan yang amat teliti dan hati hati, sekalipun Ong
Bu-shia belum mati, aku percaya dia sudah tak sanggup banyak bicara, selain itu
sesungguhnya Ong Bu-shia sama sekali tidak tahu apa apa"
Lui Sin hanya mendengus tanpa bicara, Siau Jit segera mewakilinya:
"Sewaktu menemukan Ong Bu-shia, dia memang sudah kritis dan hampir mati"
"Ong Bu-shia adalah seorang jago kawakan dengan tenaga dalam amat sempurna, selama ia
masih bernapas, hal itu sudah lebih dari cukup"
"Dia hanya mengucapkan kata palsu sebanyak tiga kali"
"Walau hanya sepatah kata palsu pun sudah lebih dari cukup, tentunya kalian tak susah
untuk mengartikan" "Ehml" Suma Tang-shia menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya:
"Siau kecil, selama ini aku selalu mengaku bahwa kau adalah seorang yang sangat pintar"
"Sayang masih kalah jauh bila dibandingkan toaci"
Suma Tang-shia tertawa lebar.
"Jika aku adalah orang pintar, tak nanti akan bersahabat begitu akrab dengan dirimu"
Sambil menarik kembali senyumannya, ia menambahkan:
"Sekarang persoalan ini telah berkembang jadi begini, aku rasa kita pun tak usah bicara
yang tak berguna lagi"
Tanpa bicara Siau Jit manggut manggut.
Kembali Suma Tang-shia melanjutkan:
"Jaring hukum langit memang susah ditembus oleh mereka yang bersalah, kalau dibilang
kejadian ini bukan kemauan takdir, rasanya susah untuk dijelaskan, tapi kalau dibilang
kemauan langit, jika diteliti kembali, rasanya hal ini seperti mencari kematian untuk diri
sendiri" "Lagi lagi omong kosong" tukas Lui Sin.
"Betul, tapi omong kosong itupun hanya segitu saja"
"Kalau begitu jawab lah berapa pertanyaanku secara terus terang" bentak Lui Sin.
"Siapa sebenarnya Kelelawar" Mengapa dia membunuh Lui Hong" Bagaimana duduk perkara
sesungguhnya?" "Kau jawab dulu ke tiga pertanyaan itu"
"Malam ini kalian bisa muncul lagi ditempat ini, aku percaya dalam hati kalian pasti sudah
ada perhitungan, sementara apa yang harus kujawab rasanya telah kujawab semua"
"Omong kosong, omong kosong" teriak Lui Sin makin sewot.
Siau Jit menghela napas, tiba tiba tanyanya:
"Mengapa toaci harus membunuh Ciu Kiok?"
"Ia menjumpai Kelelawar masuk ke dalam bangunan loteng ini"
"Kalau begitu dia pasti menyusul kemari karena ingin menolong toaci, siapa sangka kejadian
sesungguhnya sama sekali diluar dugaannya....."
Suma Tang-shia mengangguk.
"Dia memang seorang gadis yang baik, sayang orang baik biasanya berumur pendek" katanya.
"Yang lebih disayangkan lagi adalah walau toaci tak ingin dia mati, pada akhirnya kau
tetap tak berdaya mencegahnya"
"Kau anggap hatiku begitu baik, begitu mulia?"
"Jika toaci kejam dan jahat, bisa saja kau tipu kami agar masuk ke dalam hutan bambu,
dengan bahan peledak yang terpasang dalam hutan bambu itu, sudah cukup membuat kami mati
berulang kali" Tergerak hati Lui Sin dan Han Seng, mau tak mau mereka harus mengakui bahwa apa yang
dikatakan Siau Jit memang satu kenyataan.
Suma Tang-shia terbungkam.
"Aku tahu sesungguhnya toaci adalah orang yang baik sekali hatinya" kembali Siau Jit
berkata, "atas musibah yang menimpa toaci . . . . .."
"Tak usah dilanjutkan lagi" tukas Suma Tang-shia sambil mengebaskan ujung bajunya.
"Kalau begitu siaute hanya ingin menanyakan satu hal kepada toaci, mau dijawab atau tidak,
kami segera akan pergi tinggalkan tempat ini"
"Saudara . . . . . . .." Lui Sin tampak gelisah.
"Bila ingin mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, kita bisa tanyakan hal ini kepada
Kelelawar tanpa sayap gadungan, dan sepantasnya hanya bertanya kepada dia" tukas Siau Jit.
Lui Sin mengerutkan alis matanya yang tebal, namun akhirnya mengangguk.
Maka Siau Jit bertanya lebih lanjut:
"Toaci, sekarang ke mana perginya Kelelawar tanpa sayap gadungan itu?"
"Apa rencana kalian?"
"Puluhan lembar nyawa anggota Tin-wan piaukiok, Lau Ci-he berempat . . . . . . .."
"Kau ingin menuntut keadilan dari si Kelelawar?"
"Betul!" jawaban Siau Jit sangat tegas.
"Kau anggap aku bakal memberitahukan hal ini kepada kalian?" kembali Suma Tang-shia
bertanya. Siau Jit menghela napas, belum sempat mengucapkan sesuatu, Suma Tang-shia telah berkata
lagi: "Semua yang hendak kusampaikan telah selesai kuucapkan, tinggal satu yang belum
kukatakan!" "siaute siap mendengarkan"
"Mulai malam ini, hubungan kita berdua putus sampai disini!"
Siau Jit tertegun. Dengan gerakan cepat Suma Tang-shia telah meloloskan pedang miliknya.
Pedang yang telah keluar dari sarungnya bergetar di angkasa, dibawah pantulan cahaya
lentera tampak sekilas cahaya yang menyilaukan mata.
Serentak Lui Sin dan Han Seng ikut meloloskan senjata, mereka siap siaga menghadapi segala


Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemungkinan. Siau Jit tidak meloloskan pedangnya, ia berkata:
"Toaci, walaupun kita sudah bukan teman lagi, aku tak bakal menganggap kau sebagai
musuhku, pertemuan malam ini kita sudahi sampai disini saja, siaute mohon diri"
"Saudara Siau, ini . . . . . . .." Lui Sin berteriak cemas.
Siau Jit ulapkan tangannya sambil menukas:
"Jangan kuatir cianpwee, cayhe sudah mempunyai perhitungan"
Lui Sin berkerut kening, tapi akhirnya dia menurut:
"Baik, aku turuti perkataanmu"
Bicara sampai disitu, ia segera berjalan mendekati mayat Ciu Kiok dan siap membopongnya.
Saat itulah Suma Tang-shia telah menyentil pedangnya, "Nguuung!" dengungan nyaring b ergema
memekikkan telinga, dengan gerakan refleks Lui Sin melompat mundur.
"Untuk memasuki bangunan loteng ini memang gampang, tapi bukan urusan gampang lagi bila
ingin tinggalkan tempat ini!" seru perempuan itu.
"Maksud toaci . . . . . . .."
"Terobos dulu pedangku ini!"
"Selain cara itu . . . . . .."
"Tak ada pilihan lain!" jawaban Suma Tang-shia amat serius.
Kembalu Lui Sin mendengus.
"Hmm, sudah lama aku orang she-Lui ingin menjajal sampai dimana kehebatan ilmu pedang
Tui-mia-kiam dari keluarga Suma"
"Makanya inilah kesempatan baik untukmu, jangan kau lepaskan dengan begitu saja . . . . . .."
"Kau tak usah kuatir!"
Kembali Suma Tang-shia mengalihkan pandangan matanya ke wajah Siau Jit, serunya:
"Cabut keluar pedang pemutus usus mu!"
Dengan cepat Siau Jit menggeleng.
"Toaci, diantara kita berdua seharusnya masih tersedia jalan lain"
"Sebenarnya ada, hanya sayang kalian menerjang masuk kemari, jadi tak mungkin bisa
dibicarakan jalan lain, aku percaya kau pasti paham bukan"
Siau Jit terbungkam. Han Seng yang selama ini hanya berdiam diri, tiba tiba ikut menimbrung:
"Nona pun seorang yang tahu urusan dan mengerti keadaan, kalau memang tidak tersangkut
dalam urusan ini . . . . . .."
"Siapa bilang aku tidak tersangkut dalam peristiwa ini?" tukas perempuan itu cepat.
"Aku yakin kematian yang menimpa rombongan pengawal barang dari Tin-wan-piaukiok sama
sekali tak ada sangkut pautnya dengan nona"
"Itu memang kenyataan"
"Yang mencincang tubuh Hong-ji dan menggorok leher Ciu Kick pun bukan nona"
"Inipun kenyataan"
Tapi dengan nada dingin perempuan itu menambahkan:
"Walaupun semua kejadian tak ada kaitannya dengan aku, namun aku bersikeras tetap ingin
mencampurinya. Meski hal tersebut sukar dipahami, tapi aku percaya kalian tentu bisa
memahaminya bukan?" Kontan Han Seng terbungkam.
Sambil menyilangkan pedangnya didepan dada, kembali Suma Tang-shia berkata:
"Seharusnya saat ini aku sudah tidak berada disini, aku tetap disini karena memang sengaja
hendak menunggu kedatangan kalian"
ll "Aaai, ternyata toaci pun seorang yang cerdas Siau Jit menghela napas panjang.
"Begitu juga dengan kau" kata Suma Tang-shia dengan suara berat, "bisa sampai disini
sebelum fajar menyingsing, membuktikan bahwa aku tidak salah melihat"
"Ucapan terakhir Ong Bu-shia menjelang ajalnya sangat membantu kami"
"Sejak awal, peristiwa ini memang mengandung banyak titik kelemahan, sekalipun tak ada
petunjuk dari Ong Bu-shia, cepat atau lambat kalian toh tetap akan datang kemari"
"Mungkin saja" Siau Jit seperti ingin mengucapkan sesuatu, tapi kemudian diurungkan.
Perlahan-lahan Suma Tang-shia mengalihkan pandangannya ke ujung pedang, ujarnya lagi
dingin: "Pedang adalah benda yang tak kenal belas kasihan, aku harap kau lebih berhati hati"
Bahkan nama panggilan pun kini telah dirubah.
Siau Jit menghela napas, ujarnya:
"Biarpun pedang tak kenal belas kasihan, namun manusia punya perasaan, kalau tidak, tak
nanti toaci akan peringatkan aku agar berhati hati"
"Aku tak lebih hanya suruh kau hati hati"
Begitu selesai bicara, ia sudah bangkit berdiri, udara seputar sana pun seketika
diselimuti hawa pembunuhan yang kental.
Mimik muka Siau Jit ikut berubah jadi serius dan berat.
Berkilat sinar mata Lui Sin, serunya:
"Saudara Siau, apa yang harus kami lakukan?"
Belum lagi Siau Jit menjawab, Suma Tang-shia telah berkata lebih dulu:
"Bukan dia yang akan memutuskan apa yang harus kalian lakukan!"
"Lalu siapa?" "Aku! Pedang dalam genggamanku!"
Tiba tiba ia membentak keras:
"Lihat pedang!"
Mendadak tubuhnya melambung sambil menerjang ke depan.
Belum lagi serangannya tiba, hawa pedang yang kuat telah menyelimuti seluruh ruangan,
seketika cahaya lentera ikut padam.
Serangan itu terdiri dari tiga gerakan, masing masing menusuk Siau Jit, Lui Sin dan Han
Seng. Hampir setiap tusukan yang dilakukan cepat lagi telengas, yang diancampun tempat mematikan
ditubuh ke tiga orang itu.
Tusukan untuk Siau Jit terarah ke jantungnya, tusukan untuk Lui Sin diarahkan ke
tenggorokan, sementara tusukan untuk Han Seng tertuju ke ujung antara kedua alis matanya.
Semula pedang Siau Jit masih berada dalam sarung, namun dengan gerakan cepat tahu tahu
sudah dicabut keluar dan menangkis tusukan yang terarah ke jantung itu.
"Triiiing!" percikan bunga api memancar ke empat penjuru disaat kedua bilah pedang itu
saling membentur, andaikata Siau Jit tidak menghindar atau menangkis, niscaya tusukan itu
akan menembusi jantungnya.
Pada saat yang bersamaan, Lui Sin dan Han Seng telah menangkis pula ancaman yang tertuju
ke arahnya. Sambil merangsek maju, teriakan Han Seng:
"Dengan tiga melawan satu, biar kami berhasil merobohkan diri pun tidak dianggap sebagai
kemenangan yang sah, bahkan orang persilatan pasti akan menuduh kami sebagai orang dewasa
tak tahu diri yang pandainya menganiaya anak perempuan . . . . .."
Suma Tang-shia tertawa dingin, tukasnya:
"Pertarungan pada malam ini hanya diketahui kita berempat, buat apa kau ngaco belo omong
kosong!" "Kalau begitu biar aku orang pertama yang akan menghadapi dirimu!" bentak Han Seng
nyaring. Pedangnya segera dikembangkan, diantara kilauan cahaya perak, secara beruntun dia
lancarkan belasan tusukan ke tubuh perempuan itu.
Dengan cekatan Suma Tang-shia bergerak kian kemari, sambil berkelit ejeknya:
"Bagaimana kalau kau kalah?"
"Biar harus gadaikan nyawa pun aku tetap akan turun tangan!"
"Baikl" seru Suma Tang-shia.
Ia bergerak cepat, "Triiing, triiing, triiiing!" secara beruntun dia sambut tiga buah
serangan dari Han Seng sembari melancarkan satu serangan balasan, arah yang diserangpun
posisi titik kelemahan dari sistim pertahanan Han Seng, yang mau tak mau harus dilindungi.
Han Seng terkesiap, buru buru dia melompat mundur.
Menggunakan kesempatan itu Suma Tang-shia merangsek maju, secara beruntun dia lancarkan
tiga tusukan yang semuanya tertuju ke satu sasaran yang sama.
Untuk kesekian kalinya Han Seng mundur.
Suma Tang-shia sama sekali tidak mengendorkan serangannya, kembali dia lancarkan tiga
belas tusukan, dalam waktu singkat seluruh tubuh Han Seng sudah terbungkus dalam lapisan
cahaya lawan, serangan itu diakhiri dengan sebuah tusukan kilat yang langsung menusuk
ujung alis matanya. Han Seng segera mencongkel pedangnya keatas menyongsong datangnya ancaman itu, siapa tahu
serangan maut dari Suma Tang-shia itu hanya serangan kosong.
Ketika Han Seng mencongkel pedangnya ke atas, mendadak ia berganti gerakan, tahu tahu ia
tusuk ketiak kiri Han Seng, dimana pedangnya tak mungkin bisa dipakai untuk menangkis.
"Triiing!" ternyata ujung pedang itu menusuk diatas mata golok lawan.
Rupanya Lui Sin yang menyaksikan datangnya bahaya segera melancarkan satu bacokan yang
persis menerima datangnya tusukan ke arah tubuh Han Seng itu.
Berubah hebat paras muka Han Seng, sambil menghentakkan kakinya dia langsung mundur.
Lui Sin segera menggantikan posisinya maju menyerang, golok emasnya menciptakan segulung
angin serangan menyapu kaki Suma Tang-shia dari bawah.
Serangan golok belum tiba, Suma Tang-shia sudah melambung ke udara dan melompat naik
keatas bangku. Dibawah berkelebatnya sinar golok, bangku itu seketika hancur berantakan, tapi disaat
cahaya serangan itu menggulung tiba, tubuh Suma Tang-shia telah melambung kembali ke
udara, lalu sambil berputar bagai roda kereta, ia menyelinap ke belakang Lui Sin dan turun
dipunggung bangku yang lain.
Tanpa mengubah gerak serangan goloknya, Lui Sin bergerak cepat dengan ikut menggelinding
ke arah sana. Walaupun posisinya saat itu membelakangi Suma Tang-shia, namun dari desingan angin, ia
sudah tahu ke arah mana perempuan itu bergerak.
Tapi baru saja tubuh berikut goloknya menggelinding kearah bangku itu, tiba tiba saja ia
menghentikan semua gerakannya.
Rupanya jenasah Ciu Kiok berada dibangku itu, andaikata ia melanjutkan serangan, niscaya
bacokan goloknya akan menghajar jenasah tersebut.
Begitu ia berhenti sejenak, Suma Tang-shia berikut pedangnya telah meluncur balik.
Selisih jarak kedua orang itu sangat dekat , bagaimana pun reaksi yang bakal dilakukan Lui
Sin, tampaknya sudah berada dalam perhitungan dan target perempuan itu, tusukan pedang
yang dilancarkan persis mengarah titik kelemahan itu.
Cahaya pedang berkilat cepat, buru buru Lui Sin menangkis dengan goloknya, sementara
langkah tubuhnya mundur sejauh setengah tombak.
Bacokan golok itu gagal membendung seluruh serangan pedang lawan, kendatipun dia mundur
tepat waktu, tak urung pakaian dibagian dadanya tersambar juga hingga robek panjang.
Suma Tang-shia sama sekali tidak melakukan pengejaran, dengan pedang disilangkan didepan
dada, ia tatap Siau Jit dengan pandangan dingin.
Dipihak lain, Lui Sin sudah siap menerjang maju lagi setelah mundur dan memutar goloknya,
tapi pada saat bersamaan Suma Tang-shia telah berpaling, tegurnya sambil menatap tajam
wajah lawan: "Kau sudah kalah, mau apa sekarang?"
"Hmm, mencari kemenangan dengan menggunakan akal licik, tidak terhitung kepandaian
sesungguhnya" dengus Lui Sin. Suma Tang-shia tertawa dingin.
"Hmm, mencari kemenangan dengan menggunakan akal licik, tidak terhitung kepandaian
sesungguhnya" dengus Lui Sin.
Suma Tang-shia tertawa dingin.
"Ilmu silat, tenaga dalam serta kecerdasan otak merupakan berapa syarat yang tak boleh
kurang bagi seorang jagoan" katanya.
"Walaupun pedangmu berhasil merobek baju dibagian dadaku, toh aku belum mati!" kata Lui
Sin lagi sambil tertawa dingin.
Suma Tang-shia menatap tajam wajah Lui Sin, tiba tiba pergelangan tangan kanannya diputar,
"sreeet, sreeet, sreeet!" ia lancarkan tiga tusukan ke udara kosong, lalu katanya:
"Bagaimana kalau kutambahi dengan tiga tusukan ini?"
Menyaksikan hal itu, berubah hebat paras muka Lui Sin.
Terdengar Suma Tang-shia berkata lebih lanjut:
"Bila kulancarkan ke tiga tusukan ini, Siau Jit pasti akan ikut campur, karena menusuk
sama seperti tidak melakukannya, maka aku urungkan niatku itu!"
"Sekarang sudah tiba giliranku" kata Siau Jit tiba tiba sambil melangkah maju.
"Kita tak boleh . . . . . . . . .."
Belum selesai Lui Sin berseru, Suma Tang-shia telah berpaling kearah Han Seng sambil
berkata: "Apakah perkataan kau orang she-Han masih masuk hitungan?"
Sebelum Han Seng menjawab, Siau Jit telah menyela:
"Sebagai orang persilatan, setiap patah kata yang telah diucapkan, tak akan bisa ditarik
lagi" "Perkataan saudara Siau benar sekali" mau tak mau Han Seng menyahut.
Kemudian kepada Suma Tang-shia ujarnya:
"Kepandaian silat maupun kecerdasan nona masih jauh diatas kemampuan kami, aku orang
she-Han harus menerima kekalahan ini tanpa membantah lagi"
"Ilmu pedang yang kau pelajari adalah ilmu pedang adu nyawa, tapi dalam pertarungan tadi
kau sama sekali tak berniat untuk adu jiwa, otomatis semua titik kelemahan pun terlihat
jelas, dalam hal ini aku yakin kau pasti lebih tahu"
Il "Sungguh tajam penglihatanmu Han Seng menghela napas, "aku rasa biar musti beradu nyawa
pun, aku masih bukan tandingan nona"
Suma Tang-shia tertawa dingin.
"Paling tidak kau dapat menguras tenagaku sehingga disaat bertarung melawan golok emas,
aku tak dapat meraih kemenangan semudah itu"
Setelah berhenti sejenak, tambahnya:
"Oleh karena itu aku tetap harus berterima kasih kepadamu"
katanya. Han Seng menghela napas panjang, walaupun kekalahannya disebabkan ia tak tega, namun dalam
kenyataan dia benar benar tak sanggup untuk melancarkan serangan adu jiwa.
Kepada Lui Sin kembali Suma Tang-shia berkata:
"Perasaan anda pun kurang ganas dan telengas. Aku tak habis mengerti dengan cara apa
kalian berkelana dalam dunia persilatan dimasa lalu, tapi untuk jagoan macam kalian, aku
rasa lebih baik tetap tinggal dirumah saja, karena berkelana dengan pikiran semacam ini
hanya bikin orang kuatir saja"
Lui Sin mendengus tapi ia tidak menjawab.
Maka sambil tertawa Suma Tang-shia berkata lebih jauh:
"Manusia kasar yang semberono dan berangasan macam kau, bila tak ada pedang perak yang
selama ini memperhatikan dirimu, aku yakin sejak lama nyawamu sudah melayang"
"Lebih baik kau tak usah banyak bicara" seru Lui Sin gusar.
"Aku tahu, apa yang kuucapkan memang sampah dan omong kosong, karena kau bukan saja sudah
ternama dalam dunia persilatan, bahkan dapat hidup hingga sekarang"
Kepada Siau Jit katanya kemudian:
"Ilmu pedangmu cukup telengas, perasaan hatimu juga cukup keras dan tegas, semestinya aku
tak perlu banyak omong kosong lagi denganmu"
"Toaci . . . . . . .."
"Rubah panggilanmu!" tukas Suma Tang-shia.
Siau Jit menghela napas tanpa menjawab.
Kembali Suma Tang-shia berkata:
"Bagaimana kalau kita bertaruh?"
"Bertaruh apa?" Lui Sin mewakili Siau Jit bertanya.
"Jika Siau Jit menang, aku tak akan bicara apa apa lagi, sebaliknya kalau kalah, kalian
harus sudahi sampai disini saja!"
"Ini tidak adil"
"Kalau aku sudah jadi orang mati, apa lagi yang bisa kukatakan?"
Lui Sin tertegun. Sambil tertawa dingin seru Suma Tang-shia:
"Aku sangka kau bukan orang yang goblok, tak disangka kau tidak memahami maksudku"
Lui Sin terbungkam tidak bicara.
Kembali Suma Tang-shia berpaling kearah Siau Jit sambil bertanya:
"Kau mau bertaruh tidak?"
"Apakah aku bisa tidak bertaruh?"
"Tidakl" sahut perempuan itu tertawa.
Senyumannya lebih dingin dan beku daripada salju, begitu juga nada ucapannya, begitu
selesai bicara, pedangnya telah bergerak melancarkan serangan.
Cahaya pedang berkilauan dibawah sinar lentera, bagai sambaran petir langsung menusuk
tenggorokan lawan. Siau Jit segera menangkis dengan pedangnya, jurus dan gerakan yang dia lakukan tidak lebih
lambat dari Suma Tang-shia, begitu pedangnya menyambar, perubahan jurus pun dilakukan
silih berganti, "Triiing, triiing, triiing" dalam waktu singkat ia sudah menyambut
sembilan belas jurus serangan lawan.
Sungguh hebat gerak serangan dari Suma Tang-shia, jurus yang satu lebih cepat daripada
jurus yang lain, begitu kuat dan hebatnya kekuatan tubuh perempuan ini, bukan saja membuat
Lui Sin dan Han Seng terperanjat, Siau Jit sendiripun sempat dibuat tercengang.
Pemuda itu tak berani gegabah, namun ia hanya bertahan tanpa melakukan serangan balik.
"Triing, triiing" dentingan nyaring berkumandang tiada hentinya, serangan yang dilancarkan
Suma Tang-shia telah mencapai puncak kehebatannya, dalam sekejap mata ia sudah melancarkan
seratus tujuh puluh dua tusukan.
Setiap tusukan mengandung kekuatan yang mampu mencabut nyawa Siau Jit.
Dengan cepat lawan cepat Siau Jit hadapi setiap serangan yang tiba, ketika mencapai jurus
ke seratus tujuh puluh satu, dia sudah tak mampu mempertahankan diri lagi.
Satu tusukan kilat dari Suma Tang-shia langsung tertuju ke ulu hati anak muda itu.


Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak disangkal lagi gerak serangan yang dia lakukan jauh lebih cepat daripada Siau Jit,
walaupun selisih tidak banyak, namun sudah lebih dari cukup.
Siau Jit sadar kalau dia tak akan mampu mempertahankan diri, tangkisan pedangnya juga tak
bakal berhasil, cepat dia melompat mundur.
Suma Tang-shia tidak berhenti sampai disitu, dengan gerak serangan tak berubah, ia
menyusul dari belakang. Bicara tentang ilmu meringankan tubuh, sudah jelas kemampuannya masih diatas Siau Jit,
akibatnya walaupun pemuda itu sudah mengubah gerakan tubuhnya dengan belasan ilmu, ia
masih gagal melepaskan diri dari kejaran lawan.
Namun pemuda itu tidak putus asa, kembali ia berganti dengan tiga gerakan badan dan
akhirnya berhasil juga meloloskan diri.
"Toaci" serunya kemudian, "kepandaian ilmu pedangmu sangat hebat, jauh melebihi
kemampuanmu dimasa lampau, siaute benar benar merasa kagum!"
Suma Tang-shia tertawa dingin.
"Jika kau tetap tidak membalas, tak usah tiga ratus gebrakan pun kau pasti akan terluka
diujung pedangku!" katanya.
"Aku percaya!" Sementara pembicaraan masih berlangsung, kedua orang itu kembali bertarung ratusan
gebrakan. "Bila kau mampu menyambut Tui-mia-samrkiam dari keluarga Suma, aku tak akan banyak bicara
lagi!" seru perempuan itu.
Tubuhnya yang dilapisi cahaya pedang segera melambung ke udara, pedang yang berada dalam
genggaman pun tiba tiba berubah jadi ratusan bilah pedang yang secara bersama menusuk
tubuh Siau Jit. Berkilat mata Siau Jit melihat hal itu, pedangnya cepat berubah, secara beruntun dia
mengubah diri sebanyak tujuh kali.
Dengan gerakan pertama dari tujuh jurus Toan-ciong-jit-si, dia patahkan serangan jurus
pertama dari Tui-mia-kiam yang dilakukan Suma Tang-shia.
Kembali Suma Tang-shia melambung ke udara, dari s ana ia mengubah gerakan tubuhnya tiga
kali dan berganti jurus tiga kali.
Selapis jaring pedang yang rapat segera tersebar keluar dari tubuhnya, mengurung sekujur
badan Siau Jit. Bersamaan waktu Siau Jit ikut berganti jurus serangan, selain menyerang diapun bertahan,
tiga gerakan dari ilmu pedang Toan-ciang-jit-si dilancarkan dengan gencar untuk
membuyarkan kurungan jaring pedang lawan.
Suma Tang-shia membentak nyaring, bayangan pedangnya ditarik lalu secepat kilat menusuk
keluar. Kali ini dia hanya melancarkan sebuah tusukan, namun dibalik tusukan itu justru terkandung
perubahan yang amat rumit, luar biasa hebatnya!
Lui Sin dan Han Seng yang mengikuti jalannya pertarungan dari sisi arena pun tak dapat
melihat arah mana yang menjadi sasaran.
Begitu juga dengan Siau Jit, ia tak bisa meraba bagian mana yang bakal diserang perempuan
itu, empat jurus pertahanan segera dilancarkan.
Dalam empat jurus tadi tersimpan dua puluh delapan jenis perubahan, namun tetap gagal
membendung tusukan maut dari Suma Tang-shia.
Tusukan itu bagai air raksa yang tersebar di lantai, dengan kecepatan tinggi menyusup
masuk melalui posisi yang sama sekali tak terduga.
Cepat Siau Jit melancarkan lagi dua gerakan serangan, satu gerakan dengan tujuh perubahan,
dua gerakan dengan empat belas kemungkinan, hingga perubahan ke empat belas ia baru
mendengar suara "Triiingl , hampir pada saat bersamaan ia dapat melihat dengan jelas kalau
tusukan dari Suma Tang-shia sedang diarahkan ke tenggorokannya.
Tusukan pedang itu pada akhirnya terhadang oleh perubahan terakhir dari enam jurus
serangannya, sekalipun gagal menghadangnya namun arah sasaran terlihat jelas.
Dengan gerakan spontan Siau Jit menggetarkan pedangnya, jurus terakhir dari Toan-ciangjit-si pun dengan cepat dilancarkan.
Jurus serangan ini tetap mengandung tujuh jenis perubahan.
Perubahan pertama, pedang telah mengunci datangnya serangan, perubahan kedua menempel
diatas mata pedang lawan, perubahan ketiga, sebuah tangkisan yang membuat senjata Suma
Dalam Derai Hujan 5 Goosebumps - 5 Kutukan Makam Mummy Jahanam Bermuka Dua 1

Cari Blog Ini