Satria Gendeng 05 Perempuan Pengumpul Bangkai Bagian 2
Peluh merembes deras. Pakaian mereka dibanjiri. Rahang keduanya seperti hendak retak oleh tekanan kegeraman. Bergemeletuk
dalam. Wajah keduanya terbakar.
Tergarang darah mereka.
Oleh pengerahan tenaga melebihi batas.
Krrt! Seluruh mata penonton tak berani berkedip, takut kehilangan kesempatan besar
itu. Mereka menyipit-nyipitkan mata, khawatir senjata pusaka yang begitu diminati banyak kalangan persilatan akan terputus menjadi dua. "Kheeeaaaal"
"Khuuuaaaa!"
Masing-masing lawan mulai pula melontarkan teriakan. Seperti hendak terputus
urat leher keduanya.
Lalu.... Krrak!
Panggung yang dibangun kokoh mulai
tertular getaran tubuh si pendekar muda dan
si tua terkutuk. Gemeretak ramai bersambungan, lamat lalu meruyak hebat. Sampai
diakhiri oleh suara bergemuruh bagai terjadi
gempa. Saat yang sama, panggung roboh berkeping-keping. Debu mengepul tinggi. Serakan-serakan kayu beterbangan menggila. Bagai ada angin puting beliung melanda.
Beberapa pecahan kayu melesat deras
menuju siapa pun atau apa pun. Pepohonan
yang kebetulan menghadang arahnya, langsung tertembus. Malang untuk orang-orang di
sekeliling panggung yang tak cukup sigap
menghadapi kejadian itu.
"Huaaa!"
Lima orang tertembus pecahan kayu.
Dua menembus di kepala. Tiga lainnya di dada! Mereka ambruk kehilangan nyawa. Korban jatuh untuk yang kesekian.
Sementara di tengah kancah pertarungan, dua sosok yang petarungnya tak
nampak. Debu tebal-tinggi menutupi. Mereka
tentu di dalamnya. Entah dibagian mana.
Sementara sisa-sisa derak pecahan kayu yang
jatuh masih terdengar.
Ketika debu mulai merayap turun kembali ke haribaan bumi, mulai nampak sosok
dua manusia tangguh itu. Keduanya masih
tak beranjak dari tempat semula. Hanya kini
tak lagi berada di atas panggung. Melainkan,
di atas bumi. Sebagian tubuh mereka sudah
melesak masuk. Satria Gendeng sebatas lutut. Sedangkan lawannya sebatas paha.
Para pendekar seperti tak begitu peduli
pada kejadian hancurnya panggung barusan.
Mereka mulai tegang kembali mengikuti adu
tenaga dalam di kancah pertarungan. Setidaknya, mereka merasa ditakjubkan oleh kenyataan yang tergelar di sana. Batas melesaknya tubuh dua petarung, memperlihatkan
tingkat tenaga dalam yang mereka miliki. Jika
Ki Ageng Sulut lebih dalam melesak, itu artinya Satria berada pada pengerahan tenaga
dalam di atas Sawannya!
Seorang pemuda bau kencur mengungguli tenaga dalam si Iblis Dari Neraka" Tak
ada seorang pun yang tak menganggap itu kejadian luar biasa.
Sewaktu panggung hancur lebur, Nini
Jonggrang terhenyak. Keasyikannya mempermainkan nyali murid bandelnya terpancung seketika. Dia menyumpah-nyumpah sewaktu sebilah potongan kayu melesat melewati hidungnya bengkoknya.
Sekarang, nenek tua itu pun dipaksa tak
berkedip menyaksikan pertarungan. Dia menyumpah-nyumpah lagi. Lebih kotor dari sebelumnya. Kalau semula dia hanya terkejut
karena ulah kayu yang tak permisi lewat di
depan hidung, sekarang dia terkejut bercampur gusar. Bagaimana mungkin, Ki Ageng Sulut pasangan bejatnya di masa muda dahulu
dapat kedodoran menghadapi tenaga dalam si
bocah bau kencur"
Nini Jonggrang pun dipersilakan terbengong-bengong, tanpa ada larangan untuk
berhenti menyumpah!
Kembali ke kancah adu tenaga dalam.
Seluruh bagian Kail Naga Samudera mulai mengepulkan asap. Berwarna putih kehitaman. Jenuh. Banyak hati semakin tercekam. Akankah senjata pusaka melegenda itu
akan terputus" Akankah tiba riwayatnya berakhir" "Khiaaaa!"
Banyak hati kini diciutkan oleh teriakan
garang dari kerongkongan si pendekar muda
pusat kekaguman mereka. Hati sebanyak itu
makin menciut menyaksikan bagaimana tubuh pemuda itu mendadak mencelat dari
tempatnya melesak.
Melayang deras, memanfaatkan tenaga
tarikan lawan. Lawan tua bangkanya dikejutkan. Dia
segera memutuskan tenaga tarikan. Setelah
itu, dialihkannya tenaga dalam kebagian bawah tubuhnya. Kalau tetap terjepit bumi, maka keadaannya bisa disebut terjepit pula. Lawan akan segera memanfaatkan. Apalagi kini
dia telah meluncur deras.
Sekejapan berikutnya, tubuh Ki Ageng
Sulut mencelat pula.
Namun, usaha si tua bangka keji sudah
terlambat. Bukan karena dia kurang cepat.
Melainkan karena lawan mudanya telah memanfaatkan tenaga tarikan Ki Ageng Sulut tadi ditambah pengalihan tenaga dalam untuk
melakukan lompatan.
Di udara, Satria Gendeng menerkam tubuh lawan. Posisinya memang berada di atas angin.
Tak heran.... Dash! Satu kakinya bersarang di dada Iblis Dari Neraka. Begitu tubuh lawan terdorong keras di angkasa, tangan pemuda itu menyentak kuat-kuat. Srrrrtt! Kail Naga Samudera pun dapat direbut!
Senjata pusaka itu kembali ke tangan pemiliknya.... * * * Peribahasa 'di atas langit masih ada langit' sudah tak asing lagi bagi kalangan dunia
persilatan. Setiap orang persilatan, tersohor
atau tidak akan menyadari bahwa ilmu kanuragannya tak selalu menjadi yang paling hebat. Satu saat, akan ditemukan juga orang
berilmu kanuragan lain di atas mereka. Cepat
atau lambat. Tapi dalam perkara si pemuda tanggung
bau kencur, Nini Jonggrang mentah-mentah
tak bisa menerima peribahasa itu. Menurut
pikirannya, orang yang dapat mengatasi kesaktian Ki Ageng Sulut alias Iblis Dari Neraka
sepantasnya orang berusia lebih tua. Setidaknya sebaya dengan Ki Ageng Sulut sendiri.
Seumur hidupnya yang panjang seperti uluran benang layangan, tak pernah didengarnya
orang begitu mudah mencapai kesaktian tertentu. Butuh waktu lama dalam hitungan puluhan tahun untuk bisa menandingi kesaktian si Iblis Dari Neraka. Itu pun tak menjamin seseorang dapat dengan mudah mengunggulinya. Yang disaksikannya sekarang justru bertolak-belakang, bahkan jungkir balik sama
sekali dari semua pemikirannya itu. (itu pun
kalau benar si perempuan tua sinting masih
bisa berpikir sehat!)
"Tak habis aku mengerti, pemuda hijau
yang jakunnya mungkin baru 'membenjol'
kemarin, bisa-bisanya mempecundangi si Sulut," rutuk Nini Jonggrang dalam hati. Tak puas-puasnya dia mengutuki Satria.
Dan si Truna Buluk tak akan sehebat itu
mendidik seorang murid dalam waktu satudua tahun. Jadi, kenapa bocah ini bisa begitu
hebat?" sambungnya, menyebut-nyebut nama
Truna, nama lain Dedengkot Sinting Kepala
Gundul pemberian Pertapa Sakti Gunung Sewu, (Seperti diketahui pada episode sebelumnya : "Iblis Dari Neraka", bahwa Nini
Jonggrang dan Dongdongka adalah saudara
seperguruan yang kemudian menjadi seteru).
Sejenak, Perempuan Pengumpul Bangkai
itu melirik Tresnasari yang masih terpaku ketakutan. Bibirnya mencibir.
"Sementara aku saja tak akan mungkin
mendidik murid kualat ini sampai sedemikian
hebat hanya dalam waktu dua tahunan. Sial,
kenapa aku jadi malah memuji murid si Truna Buluk. Memang sial! Memang sial!"
Nenek penganut ilmu sesat itu menghentak-hentakkan kaki ke bumi, diselingi dengan
semburan-semburan ludahnya.
"Cuah! Cuah! Cuah!"
Kemudian dia mulai ingat lagi pada
Tresnasari. Diliriknya perempuan cantik berkulit masih agak memucat karena selama dua
tahun belakangan, dia hampir-hampir tak
pernah mendapatkan sinar matahari. Tepatnya ketika dia terpaksa berguru di dasar jurang Gunung Sumbing (Baca kembali episode
: "Kail Naga Samudera").
"Jadi, bagaimana mungkin kau bisa
mengalahkan dia, murid kualat! Kalaupun
kau menjalankan tugasku, rasanya tetap tak
akan membawa hasil. Tapi, hey...."
Dua bola mata menyeramkan Nini
Jonggrang mendadak berbinar. Kelopaknya
membesar. Bibirnya menyeringai. Ada sebetik
akal licik dalam benaknya saat itu.
"Selama ku kuntit keluar dari keraton,
tampaknya aku menemukan bahwa kau memendam rasa suka pada pemuda sialan itu,
bukan" Hik hi hi! Atau malah lebih dari itu"
Lebih, kau mengerti maksudku" Maksudku,
kau tentu mencintai pemuda itu bukan" Jangan menyangkal! Aku tahu tingkah perempuan yang sedang dilanda kasmaran! Aku
sendiri juga pernah muda, hik hi hi!"
Tubuh bungkuk Nini Jonggrang terguncang-guncang, digempa tawa gelinya.
"Dan, aku bisa lihat juga kalau murid si
Truna Buluk itu pun mencintaimu juga! Ini
baru akal bagus! Baru ini akal bagus! Hik hi
hi!" Perempuan tua sesat itu mengusapusapkan telapak tangannya. Bibir kendornya
terus menyeringai.
"Baiklah, kau tentu masih ngeri aku
menghukum mu, bukan" Sekarang, kau tak
perlu takut. Aku tak akan menghukum mu.
Sebab, aku 'membutuhkan' kau memanfaatkan mu. Hi hi hi!'
Nini Jonggrang bergerak cepat, menyambar tubuh Tresnasari. Dibopongnya sang
murid. Setelah itu, dia melesat bagai setan.
Mayangseruni baru tersadar ketika Nini
Jonggrang telah menghilang dari tempatnya.
"Tressnaaa!!" pekiknya melengking.
"Jangan tinggalkan aku lagi!!!!"
Baru saja Mayangseruni bertemu dengan
saudara kembarnya. Bahkan dia belum lagi
cukup puas menikmati kemiripan wajahnya
dengan Tresnasari. Lalu, nenek tua menyeramkan sudah merenggut saudara kembarnya
yang telah sekian lama dinanti dan dicari.
Kerinduan kasih seorang saudara kembar yang tak ingin lebih lama menyiksa dirinya, menyebabkan Mayangseruni merasa
kalau belahan nyawa dirinyalah yang baru saja dilarikan Nini Jonggrang.
Di tempat yang sama pada sudut berbeda, Satria mengurungkan niat untuk melabrak lawannya kembali begitu mendengar
lengkingan Mayangseruni. Terutama karena
Mayangseruni menjeritkan nama Tresnasari,
gadis dambaan yang baru saja dijumpainya
kembali. Nyalang dia melepas pandangan ke asal
Satria Gendeng 05 Perempuan Pengumpul Bangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jeritan. Sekelebatan, masih sempat disaksikannya seorang nenek tua bungkuk melarikan sesosok tubuh di pundaknya.
"Tresna..." bisiknya menduga, galau.
Konsentrasi tarungnya jadi kacau balau seketika itu juga. Cepat digenjotnya tubuh, meninggalkan Ki Ageng Sulut yang tersuruksuruk mencoba bangkit.
"Apakah terjadi sesuatu pada Tresna,
Mayang?" tanya Satria setibanya di tempat
kejadian. Mayangseruni, gadis yang sesungguhnya
bersifat lembut meskipun telah mempelajari
seni bela diri itu terseguk kecil. Dia hendak
menangis, tapi ditahan. Air mata menggenangi bawah matanya. Satu bulir tak urung bergulir di pipi. "Tresna dilarikan oleh nenek tua," lapor Mayangseruni tercekat-cekat.
"Keparat!" maki Satria.
Satria menggenjot tubuh, menguras segenap kemampuan peringan tubuhnya. Pikirnya, tentu penculik kekasihnya itu belum
pergi terlalu jauh. Sayang, sampai cukup lama mengejar, buruannya tak juga terlihat.
Kendati pemuda tangguh bertekad. baja itu
tetap ngotot meneruskan pengejaran. Dia memang bukanlah seorang yang mudah putus
asa. Namun, toh tak bisa dipungkiri kalau
buruannya memang sudah tak terkejar.
Satria menghentikan pengejaran dengan
perasaan kacau-balau tak karuan. Seperti juga dirasa oleh Mayangseruni, Satria merasakan kehilangan yang menyalip dan mengirisngiris hatinya. Belum lagi cukup waktu dia
melepas kerinduan dengan Tresnasari, gadis
itu sudah harus terlepas lagi dari genggaman
cintanya.... Lunglai, Satria kembali ke tempat semula. Setibanya di sana, Ki Ageng Sulut sudah
tak ditemukan lagi. Tua bangka sesat itu pun
telah menyingkir dengan memanfaatkan kesempatan. * * * 7 KURANG lebih dua puluh tahun lalu,
Nyai Cemarawangi adalah seorang janda kaya
dari Kadipaten Kudus. Hampir seluruh warga
kadipaten mengenalnya. Bukan saja karena
wanita itu seorang janda kembang pengundang 'kumbang-kumbang' jantan, juga terkenal karena kedermawanannya. Mendiang
suami pertamanya meninggalkan warisan
yang melimpah kepada Nyai Cemarawangi.
Harta itu kerap kali dipakai Nyai Cemarawangi untuk menolong rakyat yang tertindas.
Sebagai 'kembang' Kadipaten Kudus,
Nyai Cemarawangi tak hanya berwajah cantik.
Dirinya dilengkapi pula dengan kulit kuning
langsat, pinggul berlekuk padat, dada sekal,
leher jenjang, serta betis dan paha yang segar
sempurna. Kesempurnaan wajah dan tubuh itu telah memancing banyak lelaki untuk meminangnya. Berpuluh-puluh orang lelaki tak
pernah cocok di hatinya. Yang datang, entah
tua bangka yang nyaris pikun namun punya
harta tak habis dipakai tujuh turunan, entah
para pemuda ningrat, entah ningrat tua yang
mencari istri kelima atau kesebelas. Banyak
juga perjaka tulen yang belum tersenggolsenggol perempuan. Mereka bahkan terbilang
tampan, baik, dan berbudi pekerti.
Lagi-lagi, Nyai Cemarawangi menolak
dengan halus. Menurutnya, mereka semua
belum cocok baginya. Bagaimana lelaki dambaan yang bisa menggantikan tempat mendiang suaminya, hanya dia yang tahu.
Tentu saja hal itu malah tambah memancing rasa penasaran banyak lelaki yang
meminatinya. Suatu hari, datang seseorang melamar
Nyai Cemarawangi. Orang itu bernama Artapati. Memang jodoh tak bisa diduga datangnya. Nyai Cemarawangi langsung bersimpati
ketika bertemu untuk pertama kalidengannya. Janda kembang itu memberi kesempatan
pada peminangnya untuk saling mengenal
terlebih dahulu.
Sebagai seorang lelaki, Artapati memang
memiliki segala hal yang didamba kebanyakan perempuan. Memiliki tubuh yang lebih
besar dan tinggi dari kebanyakan ukuran tubuh orang biasa. Bentuk badannya kekar berotot. Dadanya bidang mengembung, ditumbuhi bulu lebat. Lehernya besar, mengimbangi kekarnya bagian tubuh yang lain. Wajahnya, meski tergolong biasa-biasa saja. Namun, tetap menarik dengan sinar mata tegas
serta tajam. Dengan dagu perseginya klimis.
Semenjak itu, Artapati sering berkunjung ke tempat Nyai Cemarawangi. Entah satu purnama sekali, atau sepekan sekali. Hal
itu berlangsung hingga enam purnama.
Perlahan-lahan, Nyai Cemarawangi semakin dekat dengan peminangnya. Sedikit
demi sedikit, dia pun mencoba menilai pribadi
Artapati. Meski tak secara keseluruhan, namun sudah cukup banyak yang diketahuinya
tentang orang itu. Dianggapnya Artapati adalah seorang lelaki sejati yang patut menjadi
suaminya. Waktu demikian cepat menanam benihbenih asmara di hati si janda kembang. Simpatinya kini telah berubah menjadi cinta. Pada purnama keenam itulah, Nyai Cemarawangi memutuskan untuk menerima lamaran Artapati. Padahal tanpa diketahui oleh Nyai Cemarawangi sendiri, Artapati adalah lelaki
dengan dua kepribadian. Dia akan bersikap
layaknya seorang lelaki sejati di hadapan Nyai
Cemarawangi. Namun sesungguhnya, dalam
tingkah laku dan sikapnya itu tersembunyi
serigala haus darah.
Artapati sendiri sudah sejak lama mengincar Nyai Cemarawangi. Karena kecantikannya, karena tubuhnya, namun yang paling menggiurkan dari semua itu adalah harta
melimpah warisan suami terdahulunya.
Dan pernikahan pun berlangsung delapan purnama setelah perkenalan pertama mereka. Artapati telah memasang jerat yang demikian sempurna terhadap Nyai Cemarawangi. Dua tahun kemudian, Nyai Cemarawangi mengandung. Selama setengah tahun
belakangan, sifat-sifat asli suaminya mulai
mengapung ke permukaan. Dia sering mengasari Nyai Cemarawangi. Sering pula mabukmabukan selama berhari-hari. Berjudi menjadi makanan sehari-hari. Harta Nyai Cemarawangi diporotnya terus dari hari ke hari.
Namun, cinta memang aneh. Tabiatnya
'makhluk' penghuni hati itu sulit sekali dimengerti. Setiap orang sulit menentukan apa
maunya cinta. Meski sifat-sifat asli Artapati
telah ditelan bulat-bulat oleh Nyai Cemarawangi, perempuan cantik itu tetap mencintainya. Apa pun yang terjadi, tak bisa dipungkiri cinta terhadap diri suaminya telah menguasai. Lalu bayi dalam kandungannya pun lahir. Dua orang perempuan kembar yang diberi
nama Tresnasari dan Mayangseruni. Pada
usia satu tahun kedua bayi kembar itu, bencana datang. Sepasukan perampok mengobrak-abrik rumah Nyai Cemarawangi dan
menguras hartanya.
Tak hanya sampai di situ, para perampok lalu membakar rumah Nyai Cemarawangi
pula. Dalam keadaan panik, Nyai Cemarawangi hanya sempat menyelamatkan satu
orang putrinya, yakni Tresnasari.
Tanpa diketahui oleh Nyai Cemarawangi,
dalang perampokan itu sebenarnya adalah
suaminya sendiri. Dia terlibat hutang amat
besar di meja judi. Untuk membayarnya, Artapati tak akan mungkin sanggup. Untuk
meminta harta istrinya, Artapati tak yakin
Nyai Cemarawangi akan memberikan. Keputusasaan itu menyebabkan dia bergabung
dengan gerombolan perampok.
Sewaktu perampokan berlangsung, Artapati mengenakan penutup wajah. Mengetahui seorang anaknya terperangkap dalam rumah terbakar, ikatan batin antara anak dengan ayah menyentuh perasaannya. Diselamatkannya anak itu. Dibawanya pergi dan
diserahkan kepada suami-istri saudagar yang
tak pernah dikarunia anak di Kadipaten Kudus. Pada sang Saudagar, Artapati tak lupa
menceritakan tentang asal-usul bayi yang diberikan. Dia pun memberi satu tanda mata
pada sang bayi. Sebuah kalung dengan mata
logam berlambang Kerajaan Demak beraksara
Arab. Kalung itu adalah satu-satunya harta
peninggalan Nyai Cemarawangi, peninggalan
dari mendiang suami pertamanya.
Sejak saat itu, Artapati tak pernah terlihat lagi. Dia terus bergabung dengan gerombolan perampok. Sampai akhirnya dia sendiri
menjadi pemimpin gerombolan perampok
yang menamakan diri Laskar Lawa Merah
atau Panji Prajurit Siluman. Namanya diganti
menjadi Dirgasura.
Sementara anak yang diberikan kepada
saudagar Kudus adalah Mayangseruni. Dan
kalung yang diberikan sebagai tanda mata itu
pula yang akhirnya menjadi penyebab pertemuan kembali Mayangseruni dengan ayahnya. ( Untuk mengetahui tentang sepak terjang
Laskar Lawa Merah, bacalah episode sebelumnya : "Geger Pesisir Jawa"!).
Mayangseruni selesai menceritakan tentang asal-usulnya pada Satria. Saat itu keduanya berkuda dalam perjalanan menuju Tanjung Karangbolong. Satria bermaksud menemui gurunya, Dongdongka dan Ki Kusumo
untuk menanyakan tentang Nini Jonggrang.
Menurut Satria, tentu sesepuh dunia persilatan tanah Jawa seperti Dongdongka sudah
banyak tahu tentang tokoh seangkatannya.
Tentu pula dia atau Ki Kusumo bisa memberi
pertimbangan ke mana hendak memburu si
Perempuan Pengumpul Bangkai itu, penculik
Tresnasari. Mata Mayangseruni tampak menahan
genangan bening. Wajahnya murung.
Satria menghela napas perlahan. Ingin
dihiburnya gadis itu. Sayang, betapa sulitnya.
Sulit karena Satria merasa menjadi seorang
pembunuh ayah seorang gadis selembut
Mayangseruni. Terasa ada beban melebihi
gunung karang. Bahkan untuk bicara saja teramat sulit. Satria berusaha juga, meski bagaimana.
"Aku benar-benar meminta kesediaanmu
memaafkan ku, Mayang...," mulai Satria. Ma-ta bergaris tegarnya terjatuh ke
bawah. Se- perkasa bagaimanapun batinnya, dia tak kuasa untuk menatap langsung ke mata berkaca-kaca Mayangseruni. Menatap matanya,
membuat Satria makin merasa bersalah.
"Karena kau telah membunuh ayahku?"
tanya Mayangseruni.
Satria mengangguk.
Giliran Mayangseruni yang menarik napas. "Kau tak perlu meminta maaf, Satria...,"
desahnya, tulus. Tak ada kesan hendak menyindir. Satria terpancing. Bagaimana mungkin
seseorang dapat dengan mudah mengatakan
seperti itu pada si pembunuh ayah kandungnya" Satria tak habis pikir. Ditatapnya gadis
itu sesaat, melempar pertanyaan tak terucap.
Kendati sebelumnya dia begitu sulit melakukan. "Karena, kalau aku menjadi dirimu, aku pun akan melakukan tindakan yang
sama," kata Mayangseruni kembali. "Maksudku, sudah sepantasnya ayahku mendapat hukuman
Satria Gendeng 05 Perempuan Pengumpul Bangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setimpal. Mungkin dengan begitu, beban dosanya akan sedikit berkurang di hadapan
Gusti Yang Agung nanti...," tambahnya tersendat oleh geletar halus. Dia hampir tak kuasa membendung tangis.
Satria trenyuh. Betapa mulianya hatimu,
Mayangseruni. Puji Satria membatin. Seandainya semua wanita memiliki hati seperti dirimu, tentu bumi akan menjadi sejuk dan
damai. Dan bulir bening itu akhirnya terjatuh
juga di pipi si gadis.
Satria menjulurkan tangan dan menghapusnya. "Terima kasih, Satria," ucap Mayangseruni, risih seraya bergegas menyapu kembali
air matanya. Kau tahu, Satria. Sewaktu bertemu dengan ayahku, aku seperti dilimpahi keberkahan besar dari Gusti Yang Agung. Betapapun
dia seorang kepala begal, betapapun bejatnya
dia, betapapun dia akan dibakar di neraka,
dia tetap ayahku. Darah dan daging ku adalah bagian dari dirinya. Tak bisa ku pungkiri,
jalinan batin antara aku dan ayahku membuat aku merasakan kedamaian. Kendati saat
itu aku tahu kalau Ayah adalah seorang yang
kejam. Hingga kini, tak pernah aku mengerti
hal itu...," tutur Mayangseruni, terkadang me-lamat sendu.
"Pertemuan itu, meski hanya semalam,
benar-benar membuat aku seperti lahir kembali...." sambungnya. "Dan aku ingin merasakan saat-saat seperti itu lagi jika
telah berte-mu dengan saudara kembar ku, Tresnasari
atau bertemu dengan ibuku yang selama ini
tak pernah kukenal dekat."
Mayangseruni memutus ucapan. Ditariknya napas beberapa kali. Pekat. Kental.
Seolah seluruh duka terbawa.
"Sewaktu berada di tenda Ayah malam
itu, Ayah menceritakan seluruhnya. Aku melihat matanya berkaca-kaca. Mata seorang
begal bengis yang sulit dipercaya akan membendung air mata. Dia pun berkata bahwa dia
menyesali seluruh perbuatannya telah menelantarkan aku, Tresna dan Ibu. Dia menyesal.
Di lain sisi, dia pun merasa telah terlambat....
Aku baru hendak mengatakan bahwa tak
pernah ada kata terlambat untuk bertobat,
ketika kau datang melabrak."
Satria makin merasa bersalah.
"Tapi, tetap aku tak ingin menyalahkanmu. Semua yang sudah berlalu, kuanggap
selesai. Kita tak bisa menyalahkan ketentuan
nasib, bukan" Sekarang ini, aku hanya ingin
berkumpul kembali dengan saudara kembar
ku, Tresna dan ibuku."
Nyai Cemarawangi" Bisik Satria dalam
hati. Haruskah kuberi tahu Mayangseruni kalau ibunya telah tiada" Apa bedanya diberi
tahu atau tidak" Toh dia tetap akan mengetahuinya cepat atau lambat" Bukankah malah
sebaiknya diberi tahu kini, agar dia tak terlalu berharap lagi"
"Tentang ibumu, Mayang," mulai Satria, memberanikan diri untuk memberi tahu. Kalimatnya tak dilanjutkan. Dia ragu.
"Oh, iya. Aku heran, kalau ternyata Dirgasura adalah ayahmu, kenapa dia tak mengakui Nyai Cemarawangi dan Tresnasari ketika aku dan mereka berurusan tanpa sengaja
dengan Dirgasura di hutan perbatasan Ketawang-Jogoboyo" Waktu itu, salah seorang
anak buah ayahmu mati terbunuh di tangan
Tresnasari." Satria mengalihkan pembicaraan.
(Mengenai kejadian tersebut, bacalah episode pertama : "Tabib Sakti Pulau Dedemit"!).
"Ya, ayahku sempat menceritakan pertemuannya dengan Ibu dan Tresnasari. Saat
itu, Ayah justru mengenali Ibu. Namun, ibulah yang tak mengenali Ayah. Selama menjadi
Pemimpin Gerombolan Laskar Lawa Merah,
penampilannya memang banyak berubah.
Menurutnya, dia berpura-pura tak mengenali
Ibu. Ayah bahkan berusaha agar Ibu tak
mengenalinya dengan cara menunjukkan sikap permusuhan. Mungkin dia begitu malu...," tutur Mayangseruni.
Satria mengira gadis itu telah terkena
pancingannya untuk mengalihkan pembicaraan. Sayangnya tidak.
"Jadi, bagaimana dengan ibuku" Bukankah kau barusan hendak mengatakan sesuatu tentang beliau?" tanya Mayangseruni.
Satria terdiam.
Mayangseruni menunggu.
"Ibumu, Nyai Cemarawangi sebenarnya...." Satria ragu. "Sebenarnya kenapa, Satria?" desak
Mayangseruni. "Sebenarnya dia telah meninggal dunia,"
kata Satria akhirnya.
Mayangseruni terdiam. Wajahnya beku.
Beberapa saat begitu. Sampai dia terisak tertahan-tahan. Mayangseruni tak sanggup lagi
membendung tangis. Dia menghentikan langkah kuda. Dari atas pelana, gadis itu turun.
Membalikkan badan, dia menangis. Bahunya
terguncang. Satria menyusul turun dari punggung
kuda. Di dekat Mayangseruni, dia malah menjadi serba salah Apa yang mesti diperbuat"
Sampai Mayangseruni menghambur ke dadanya dan menumpahkan tangis, Satria masih saja serba salah....
Ketika tangis Mayangseruni semakin pekat, barulah Satria sadar untuk memberinya
pelukan hangat. Yang menghibur, yang menenteramkan, Meski kepedihan tak bisa disingkirkan. Juga balasan lembut di rambut legam tergerai Mayangseruni.
Angin mendesah, mencoba turut menghibur sebuah hati.
Juga mentari jingga di batas cakrawala
sana. "Kakaaaaang Suluuuut!"
Nini Jonggrang memeluk Ki Ageng Sulut,
merangkulnya kuat-kuat, menciumi pipinya
bertubi-tubi, mengguncang-guncangkannya,
lalu hendak diputar-putarnya pula. Untung Ki
Ageng Sulut cepat-cepat berontak.
"Aku masih terluka dalam, Jonggrang.
Jangan macam-macam!" hardiknya, gusar.
"Urusan luka, soal belakang. Yang jelas,
aku sudah begitu kangen padamu, Kaaaang!"
rayu Nini Jonggrang kembali, mendayu-dayu,
mengambil hati Ki Ageng Sulut.
Perempuan dan lelaki berusia alot itu
bertemu di sebuah bangunan tua, bekas candi. Pertemuan kembali setelah sekian puluh
tahun terpisah.
Ki Ageng Sulut mendengus sambil menaiki tangga terseok-seok. Luka dalam akibat
tendangan Satria Gendeng masih mendekam
cukup parah di bagian dadanya.
"Kita tidak muda lagi, Jonggrang. Bukan
waktunya lagi kita bermesra-mesra seperti
itu. Aku muak" gerutunya serak.
Nini Jonggrang menanggapinya dengan
tawa terkikiknya.
"Apa salahnya orang sebangkotan kita
bermesra-mesraan"! Apa salahnya, hik hi hi!
Peduli setan pada dunia, peduli setan pada
manusia, peduli setan pada setan, hik hi hi!"
Di belakang Ki Ageng Sulut, nenek jelek
itu melangkah mengekori.
Sampai di dalam ruang bangunan, si Iblis Dari Neraka duduk bersila. Wajahnya sudah demikian pucat. Darah sudah mengering
di sebagian kerah jubah pendeknya.
"Aku tak habis mengerti, kenapa kau bisa dipecundangi oleh bocah ingusan itu, Kang
Sulut" Seperti menyaksikan singa dikalahkan
seekor anak kucing, hik hi hi!" mulai si nenek peot lagi, tak puas menggoda.
Mata Ki Ageng Sulut yang baru saja terpejam, membuka kembali. Bola matanya berkilat-kilat. Semakin gusar saja dia.
"Aku hendak memulihkan luka dalamku,
Jonggrang. Jangan usik aku!" bentaknya.
"Kau jangan mengalihkan pembicaraan."
"Aku tidak mengalihkan pembicaraan.
Lukaku cukup parah. Tenaga tendangan bocah keparat itu hampir-hampir membuat isi
dadaku berantakan...."
"Hik hi hi, akhirnya kau mengakui juga
kehebatan bocah ingusan itu."
"Sudah, diamlah!"
"Hm hm hm, kalau saja aku masih muda, sudah ku gaet bocah itu. Kujadikan lelaki
simpanan ku!"
"Kubilang diam!"
"Tapi, apa salahnya kalau setua ini aku
memacarinya" Siapa tahu aku bisa sedikit
awet muda" Hik hi hi!"
"Diam! Diam! Diaaaam!"
Ki Ageng Sulut tak tahan lagi. Dia bangkit dengan wajah garang. Tangannya menghentak ke depan. Seketika itu juga menyemburlah gulungan udara berhawa panas yang
menghasilkan asap putih pekat bergulung.
Gulungan hawa panas itu menerjang Nini
Jonggrang. Wrrr! Si Perempuan Pengumpul Bangkai tak
menghentikan kikik ketawanya. Enteng, dia
mengangkat kedua telapak tangannya yang
telentang. Wsss! Gulungan hawa panas dari tangan Ki
Ageng Sulut seketika itu berubah arah. Semula menerkam lurus, kini membelok liar ke
langit-langit bangunan.
Brrr! Begitu ujung gulungan hawa panas menerkam langit-langit batu candi, bagian itu
pun hancur-lebur menjadi debu panas, mengeluarkan asap tebal.
Nini Jonggrang menggeram. Gusar pada
perbuatan Ki Ageng Sulut pada dirinya. Matanya memelototi lelaki tua itu sangar-sangar.
Di lain sisi, Ki Ageng Sulut terbatukbatuk. Darah termuntah keluar dari mulutnya. Kental. Warnanya sudah menghitam. Dia
terlalu memaksakan diri mengerahkan kesaktian pada saat menderita luka-dalamnya. Gelagatnya, luka dalam itu menjadi makin parah. "Mampuslah kau!" maki si Perempuan Pengumpul Bangkai.
Terbungkuk-bungkuk dia melangkah keluar. Langkahnya terbanting-banting. Kedongkolannya membengkak di tenggorokan.
Sepeninggalan Nini Jonggrang, Ki Ageng
Sulut jatuh tersungkur di atas lututnya. Di
dekap dadanya yang terasa panas dan sesak.
Tak lama kemudian, Nini Jonggrang sudah masuk lagi.
"Sekarang, kau jangan banyak mulut!
Biar aku bantu kau menyalurkan hawa murni
ke tubuh soak mu itu!" umpatnya ketus. Padahal. sebelumnya dia yang kelewat
banyak mulut pada Ki Ageng Sulut. Dasar perempuan
sesat sinting! Bibir kendornya manyun kian
kemari. Orang yang melihatnya pasti khawatir
kalau-kalau bibir itu lepas.
Sebelum memulai penyaluran hawa
murni, masih juga Nini Jonggrang menjotos
kepala Ki Ageng Sulut geram-geram. Kalau
saja lelaki tua keji itu tidak dalam keadaan
payah, sudah terjadi perang besar di dalam
candi! * * * "Aku sengaja menemuimu karena satu
keperluan!"
Mulut ceriwis Nini Jonggrang mulai berkicau kembali, selesai disalurkannya hawa
murni ke tubuh Ki Ageng Sulut. Kakek telengas itu kini sudah agak segar. Dia masih bersila. Nini Jonggrang sendiri sedang sibuk
mondar-mandir seperti seorang mandor kerupuk. "Kau tak bertanya?" susul si Perempuan Pengumpul Bangkai.
"Bertanya apa?"
Nini Jonggrang melotot. "Ya, bertanya
apa keperluan yang ku maksud, Tolol!"
Satria Gendeng 05 Perempuan Pengumpul Bangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Ageng Sulut malah mendengus.
"Ya, sudah! Aku juga tak butuh perhatianmu! Jelasnya, aku punya rencana. Kau
harus setuju pada rencanaku. Kalau tidak, ku
mampusi kau sekarang juga."
"Jangan banyak bicara, Jonggrang. Katakan saja apa rencanamu!"
"Bagus! Kau tentu sedang berusaha
memaksa Kusumo untuk membantu mengobati penyakitmu, bukan?"
"Ya, lalu?"
"Sementara aku sedang berusaha untuk
membalas sakit hatiku pada si Truna yang telah melaporkan perbuatan buruk ku pada
Pertapa Sakti Gunung Sewu hingga aku dihukum bertahun-tahun dalam goa "Aku bosan
mendengar cerita tentang hukuman dari gurumu itu, Jonggrang! Tak perlu kau ulang lagi!" "Cerewet kau! Nah, maksudku kita bisa bekerja sama lagi untuk mencapai
tujuan masing-masing!"
"Bagaimana caranya?"
"Caranya?"
Nini Jonggrang terkikik. Suara tawa melengkingnya menyesaki ruangan candi yang
pengap dan lembab.
"Kau tahu, bocah ingusan yang bertarung dengan kau sebenarnya murid kesayangan si Truna!"
"Urusan Truna keparat itu adalah urusanmu! Lalu apa hubungannya denganku!
Kau keparat sekali, Jonggrang!"
"Sabar, Tolol! Aku belum memberi tahu
semuanya padamu!"
"Apa yang belum kau beri tahu!"
"Bahwa bocah ingusan itu pun murid
Kusumo!! Hik hi hi! Kau terkejut?"
Mata Ki Ageng Sulut menyipit. Kini, dia
mulai bisa mengendusi apa maksud Nini
Jonggrang. Bibirnya menyeringai, memberi
satu penghargaan pada rencana si nenek peot
jelek. "Hik hi hi! Aku senang kalau wajahmu seperti itu! Kau jadi lebih
ganteng!" Kunyuk buduk seantero jagat juga tahu,
kalau Ki Ageng Sulut tak mungkin bisa dibilang ganteng! "Cepat katakan padaku, apa rencanamu
sebenarnya, Jonggrang!" buru Ki Ageng Sulut.
Dia bangkit bersemangat dari silanya.
Bukannya cepat memberi tahu, si Perempuan Pengumpul Bangkai malah terkikik
kembali, riuh rendah.
"Cepat, Jonggrang!"
"Iya iya! Sini kau!"
Nini Jonggrang menyeret Ki Ageng Sulut
layaknya kambing congek ke sudut ruangan
yang gelap. Si perempuan tua bangka sesat
berbisik di telinga Ki Ageng Sulut. Padahal
apa perlunya" Toh tak ada yang mendengarkan mereka. Bodohnya, Ki Ageng Sulut mau
saja melakoni tingkah gila si nenek jelek.
"Sat sut sat sut!"
Ki Ageng Sulut mengangguk-angguk
mendengar penuturan Nini Jonggrang di telinganya. Bibirnya makin memperlihatkan seringai. Matanya berkilat-kilat senang.
Nini Jonggrang lagi-lagi terkikik. Tak
berhenti sampai dia jatuh tertidur karena
pegal tertawa....
* * * 8 SATRIA dan Mayangseruni tiba di Tanjung Karangbolong siang itu. Dongdongka dan
Ki Kusumo menyambut mereka dengan sukacita. "Kakek!"
Satria menghaturkan sembah pada Ki
Kusumo yang tengah duduk di balai. Juga
pada si Dedengkot Sinting Kepala Gundul,
guru gendengnya yang sedang menggelantung
seperti kelelawar di langit-langit gubuk. Kakinya diikat oleh seutas getah pepohonan kering, setebal benang namun lebih getas. Untuk
menggantung kelereng saja tak bisa.
Dedengkot dunia persilatan tanah Jawa
itu cengengesan menyaksikan muridnya kembali. "Aku sedang melatih ilmu peringan tu-buhku," akunya pada Satria, meskipun
sang murid sama sekali tidak bertanya. "Maksudku, jangan sampai kawan gadismu menganggapku sinting. Jelek-jelek, aku tetap ingin jadi manusia. Tak ingin menjadi
'kalong'. Sebab
cuma kalong yang tidur menggelantung seperti ini...," lanjutnya lagi, menjelaskan panjang-pendek.
Memangnya siapa yang bertanya"
Dongdongka turun. Kakinya tetap dibiarkan diatas. Tangannya yang justru dijadikan tumpuan di lantai tanah gubuk. Tangannya itu dipakai untuk berjalan mendekati Satria. Satria dan Mayangseruni bingung. Bagaimana cara berbicara dengan orang tua
yang sedang jungkir balik" Mau ikut-ikutan
jungkir balik, tidak lucu. Tidak jungkir balik, apa kesannya tidak sopan" Jelekjelek, Dongdongka itu orang tua yang sepatutnya dihormati. Kesintingannya bolehlah dikesampingkan dulu. "Kenapa kau cepat kembali" Kenapa pula kau bawa kawan gadismu ini ke tempat
kami" tanya si sesepuh bertabiat sintingsintingan. Satria serba salah untuk menjawabnya.
Dia masih bingung mau ikut jungkir balik
atau tidak. Akhirnya dia cuma bisa berjongkok sambil memiring-miringkan kepala.
Mayangseruni jadi latah ikut-ikutan. Si pemuda satria baru mau membuka mulut. Belum-belum, mulut Dongdongka mulai berkicau kembali. "Coba ku tebak! Kau mau minta restu
dari aku dan Kusumo, bukan?"
"Restu" Restu untuk apa, Kek?"
Masih dengan kepala terbalik, Dongdongka melirik Satria. Lalu berganti ke
Mayangseruni. Kembali ke Satria, lalu
Mayang lagi. Begitu sampai beberapa kali.
Mengikuti bola mata si tua itu, Satria jadi
pusing sendiri.
"Kau siapa" Eit, tak usah dijawab. Aku
belum pikun-pikun benar. Kalau tak salah,
kau gadis yang kutemui dulu ketika Cah
Gendeng muridku ini terkena panah anak
buah Dirgasura kunyuk itu, bukan" (Baca episode:" Kail Naga Samudera"!).
Dirgasura Kunyuk" Satria meringis. Kacau balau, keluhnya. Dia jadi tak enak hati
pada Mayangseruni. Pasalnya, gurunya menyebut ayah gadis itu seenak udel.
Mayangseruni mengangguki ucapan Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Bukankah kau hendak meminta restu
untuk menikahi Cah Ayu ini?" tembak Dongdongka, bikin Satria malu hati pada Mayangseruni. Malu bukan main. Merah padamlah
wajahnya. Saat itu, Satria cuma berharap
Mayangseruni tak menyaksikan perubahan
rona wajahnya. Malunya bisa dua kali lipat!
"Bukan itu, Kek," sangkal Satria cepat-cepat.
"Bukan?" Kerut di kening Dedengkot
Sinting Kepala Gundul bertambah. Dia menggenjot tangan sekali. Posisinya kini sudah waras. Setelah berbalik, dia langsung duduk
bersila. "Jadi apa maksudmu datang ke sini?"
"Aku hendak minta pertimbangan Kakek
Dongdongka dan Kakek Kusumo."
Satria ikut bersila di depan Dongdongka.
Mayangseruni turut pula. Disusul Ki Kusumo.
Orang tua berkaki baja itu merasa tak enak di
atas balai sementara Dongdongka berada di
bawah. "Kau bicara sepotong-sepotong. Bikin
aku pegal mendengarkannya rutuk Dongdongka. Tresna diculik, Kek.... "
"Tresna diculik?" sela Ki Kusumo. Dari nada suara nya terdengar kalau orang tua
itu cukup terkejut. Mustahil orang tua itu tak
terkejut, kalau dia sendiri menyangka
Mayangseruni adalah Tresnasari.
"Jadi siapa gadis ini?" lanjut Ki Kusumo, terheran-heran.
"Tresna siapa?" terabas Dongdongka.
Kepala Satria celingukan bergantian ke
arah Ki Kusumo dan Dongdongka. Pertanyaan
siapa yang mesti dijawab dahulu" Karena Satria tak cepat-cepat menjawab pertanyaan
Dongdongka, Mayangseruni mencoba mengambil alih. "Saudara kembar ku, Kek." jawab
Mayangseruni cepat-cepat, menjawab pertanyaan Dongdongka. Sekaligus menjawab keheranan Ki Kusumo.
Saat yang sama, Satria juga menyahut.
"Dia kekasihku, Kek."
Dongdongka cemberut,
Jadi benar yang mana" Tresna itu saudara kembarnya Cah Ayu ini, atau kekasihmu, Cah Gendeng?"
Satria manyun. Tangannya menggarukgaruk kepala tak gatal. Mulai kumat lagi kesintingan orang tua ini, gerutunya sebal.
Untung Ki Kusumo cepat-cepat menengahi. Kalau tidak, urusan baru akan selesai
sampai tengah malam nanti!
"Boleh aku bicara sebentar pada murid
kita, Panembahan?"
Kepala klimis Dongdongka mengangguk.
Wajahnya sendiri masih tetap asam.
Ki Kusumo mengajak Satria dan
Mayangseruni keluar gubuk.
"Bilang pada muridmu itu, Kusumo! Masih muda jangan banyak bengong. Begitu jadinya kalau kebanyakan bengong. Ditanya
begitu, jawabnya begini," rutuk Dongdongka sewaktu Satria, Ki Kusumo dan
Mayangseruni melangkah keluar.
Si pendekar muda cuma bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Di luar, Ki Kusumo mencoba menegaskan maksud kedatangan Satria.
"Kau katakan tadi Tresna diculik?" tanyanya.
Satria mengangguk.
"Seorang nenek. Aku tak begitu jelas melihatnya. Mungkin Mayang tahu, tambah Satria. Tanpa diminta, Mayangseruni pun memaparkan ciri-ciri nenek tua buruk rupa yang
telah membawa lari Tresnasari. Seusai mendengar penuturan gadis itu, Ki Kusumo menarik napas dalam-dalam. Ada keresahan tersembunyi di antara desah napasnya.
"Kenapa, Kek?"
"Itu si Jonggrang!" teriak Dongdongka. Si manusia buluk satu itu sudah pula
berdiri di pintu gubuk. Ki Kusumo mengangguk-angguk, membenarkan Dongdongka.
"Ya, dia memang Nini Jonggrang, si Perempuan Pengumpul Bangkai...."
Dedengkot Sinting Kepala Gundul tergopoh-gopoh mendekat.
"Kau bertemu dengan si Jonggrang tengik itu, Cah Ayu?" tanyanya pada Mayangseruni. Wajahnya seperti baru saja dilanda angin ribut. Mayangseruni baru hendak menyahut,
tapi nasibnya sama seperti Satria sebelumnya. Belum-belum, Dongdongka sudah berkicau lebih dahulu kepada Satria.
"Ah sekarang baru aku ingat!" sentak si tua bangka buluk sambil menjitak kepala
gundulnya. "Beberapa waktu lalu Jonggrang
pernah mengancam mu, Cah Gendeng! Tapi,
kulihat sampai sekarang kau masih tampak
sehat-sehat saja. Artinya, Jonggrang itu cuma
main gertak sambel! Ah, dasar biang sambel!"
Lalu, tanpa menambah 'ba' atau 'bu' lagi, Dedengkot Sinting Kepala Gundul ngeloyor, masuk kembali ke dalam gubuk.
Tobat tobat! * * * Dasar jurang Gunung Sumbing.
Nini Jonggrang membawa muridnya
kembali ke sana. Dalam keadaan masih tertotok, Tresnasari direbahkan di atas tumpukan
Satria Gendeng 05 Perempuan Pengumpul Bangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kerangka manusia yang banyak bertebaran di
sepanjang dasar jurang.
Siang waktu itu. Seperti hari-hari biasa,
tak ada beda antara siang dan ma lam di
tempat tersebut. Kabut sepanjang waktu terus mengendap-endap seperti intaian segerombolan makhluk penghuni alam kegelapan.
Hawanya dingin dan lembab. Bau bangkai
memadati hampir seluruh sudut.
"Kau murid kualat. Tak akan lagi kubiarkan kau membangkang perintahku," kata
si Perempuan Pengumpul Bangkai. mengumbar kekesalannya pada Tresnasari.
"Seandainya kau tahu apa yang akan
kulakukan terhadap dirimu, tentu kau akan
menangis mengiba-iba padaku, hik hi hi!"
Melangkah tertatih-tatih. Nini Jonggrang
mendekati tumpukan kerangka manusia di
sudut lain. Di atasnya, nenek tua menyeramkan itu duduk bersimpuh terbungkukbungkuk. Beberapa saat, dia terdiam.
Suara hembusan angin terpantul pantul.
merayapi permukaan dinding jurang. Terbentuklah gema lamat menyeramkan, Sebentar
sunyi, sebentar terdengar.
Kala berikutnya, Nini Jonggrang mulai
mengangkat tangan. Telapak tangannya disatukan. Matanya perlahan terpejam. Waktu
terus merayap. Kemudian, bibir berkerut-merut dan tak
kunjung kering dari lendir kental berkomatkamit. Nadanya naik-turun. Sebentar meninggi, sebentar melandai. Bisikan dari bibirnya seolah-olah menunggang gema desis angin. Mata berkelopak kendor dan berbiji besar itu mendadak terbuka lebar.
Membeliak, Lenguhnya serak.
Tangannya terangkat tinggi-tinggi ke
atas. Menggapai-gapai seakan hendak menarik runtuh mulut jurang. Terdengar lagi jampi-jampi dari bibirnya. Bisikan-bisikan sesamar kabut. Sulit tertangkap maksudnya.
Melantun.... Menanjak tinggi.
Lalu menukik. Melambat. Lalu memburu. Menipis. Lalu memekat. Tubuh Tresnasari bergetar. Ada suatu
kekuatan kasat mata yang menggempagempakannya. Entah kekuatan dari mana.
Derak suara benturan tulang-belulang terjangkit mengawal suara-suara ganjil dari kerongkongan si Perempuan Pengumpul Bangkai. Apa yang terjadi berikutnya adalah hal
yang serba sulit dipercaya.
Badan Tresnasari terangkat perlahan.
Tetap dalam keadaan terbaring lurus serta
kaku. Terangkat dan terangkat. Meninggi dan
semakin tinggi.
Setelah mencapai ketinggian dua tombak, tubuh gadis yang tak sadarkan diri itu
mulai berputar lambat. Mula-mula berputar
menyamping, hingga kakinya mengarah ke
Nini Jonggrang. Kemudian arah putarannya
berubah. Tegak lurus. Hingga tubuh gadis itu
tegak menghadap si nenek jelek dalam keadaan mengapung di angkasa.
"Buka matamu" perintah Nini Jonggrang dalam satu seruan serak. Terpecah. Tak
kentara. Kedua kelopak mata berbulu lebat dan
lentik Tresnasari membuka. Tidak. Lebih tepatnya, mendelik dengan tiba-tiba. Tak ada
tanda-tanda kehidupan pada mimik pucatnya. Yang pekat terlihat hanya bias-bias daya
tenung. "Sekarang dengarkan apa kataku dan jalankan!" Nini Jonggrang berseru lagi.
"Kau adalah murid setia si Perempuan
Pengumpul Bangkai. Kau juga abdi setia ku.
Sebagai murid, kuperintahkan kau untuk
membunuh seorang pendekar muda bernama
Satria. Ingat, Satria! Bunuhlah dia seperti kau menghabisi seekor kera tak
berguna! Penggal
kepalanya dan persembahkan padaku. Hiburlah aku, gurumu. Hiburlah aku, si Perempuan Pengumpul Bangkai, penganut ilmu sesat, ratu tenung tanah Jawa!"
Kalimat-kalimat penuh hawa magis Nini
Jonggrang terpancung sesaat. Sementara jarijari berkuku hitam panjang yang terangkat
tinggi bergetar terus.
"Dan mulai kini, kau adalah seorang perempuan sesat! Sesat! Seperti sesatnya Sang
Iblis Durjana!!!!"
Dan melengkinglah kikik Nini jonggrang.
Mencelat-celat dari satu sudut dinding jurang
ke sudut lain. * * * 9 Heaaa! Heaaa!!"
Satria menggebah kuda tunggangannya
dengan kecepatan menggila. Di belakangnya,
Mayangseruni mengikuti. Dua kuda jantan
mereka menciptakan kepulan debu yang
membubung pekat ke angkasa.
Tujuan Satria dan Mayangseruni adalah
Gunung Sumbing, tempat kediaman si Perempuan Pengumpul Bangkai, Nini
Jonggrang. Ki Kusumo telah memberi tahu
Satria perihal tempat nenek penganut ilmu
sesat itu selama tahun-tahun terakhir.
Sedang Dongdongka, seorang yang semestinya lebih tahu dari Ki Kusumo segala
sesuatu yang berkaitan dengan Nini
Jonggrang, malah lebih suka meneruskan
'tidur kalong'nya di langit-langit gubuk!
Kalau tak begitu, bukan Dedengkot Sinting Kepala Gundul!
Butuh perjalanan beberapa hari untuk
berkuda dari Tanjung Karangbolong ke Gunung Sumbing. Jarak sejauh itu, tak dipedulikan oleh Satria. Kalau perlu menempuh perjalanan sebulan pun, akan dilakoni. Yang ada
dalam benaknya cuma satu tekad untuk menyelamatkan permata hatinya, gadis yang
menitipkan cinta pertama pada si jejaka berjiwa satria. Sebenarnya, Satria tak begitu setuju
Mayangseruni ikut serta. Dia khawatir akan
terjadi hal-hal tak diinginkan terhadap diri
saudara kembar Tresnasari itu. Apa mau dikata, justru Mayangseruni sendiri yang memaksa untuk ikut, Bahkan meski sudah turun larangan dari mulut Satria, dia tetap bersikeras. Menurutnya, keselamatan Tresnasari
juga menjadi tanggung jawabnya sebagai saudara kandung. Satria menyerah. Dia terpaksa membiarkan gadis itu menyertainya ke Gunung Sumbing. Lagi pula, dia tak akan tahan kalau sekiranya si ayu itu merajuk. Baginya, rengekan
perempuan selembut Mayangseruni lebih ampuh melantak hatinya daripada siksaan keras
seorang algojo bengis.
Apakah nanti malah tak akan merepotkan atau Mayangseruni mendapat musibah, adalah persoalan belakangan. Toh, nasib
manusia bukanlah ditentukan manusia lainnya. Cuma Tuhan pemilik hak mutlaknya.
Hari demi hari perjalanan berkuda berlalu. Beberapa kali sepasang muda-mudi itu
harus singgah di kota kadipatenan yang dilewati untuk mengganti kuda dan membeli beberapa keperluan. Mereka jelas perlu mengganti kuda. Sekuat apa pun binatang tunggangan, tak akan sanggup diajak berlari terus-menerus dalam kecepatan tinggi. Untuk
menempuh jarak yang demikian jauh pula.
Bayangkan saja, mereka harus menempuh lebih dari setengah jarak utara-selatan tanah
Jawa! Halang-rintang yang mereka hadapi pun
tak sedikit. Dua kali mereka dibegal. Dua kali
pula mereka membuat pontang-panting kawanan begal itu. Tiga kali mereka harus berjalan kaki ke kota kadipaten berikutnya, karena kaki kuda tunggangan mengalami cedera. Serta halangan-halangan lain. Kecil atau
besar. Menyusahkan sekali atau sedikit menyusahkan. Keduanya tak pernah menyerah. Apalagi
sampai membatalkan perjalanan. Keduanya
pada dasarnya adalah dua sosok manusia
berhati baja. Tahan banting. Tak lekang oleh
panas, tak lapuk oleh hujan. Dan satu hal
yang terus membakar semangat keduanya
agar tetap menggebu-gebu, cinta.
Satria mendapat dorongan semangat dari cintanya pada sang kekasih. Di lain pihak,
Mayangseruni mendapatkan kobaran semangat dari cintanya pada seorang saudara kembar. Ya, cinta terkadang mampu menjelma
menjadi api semangat yang menyala-nyala!
Hari itu Satria dan Mayangseruni tiba di
Kadipaten Wadaslintang. Kuda mereka melewati satu lembah rumput berbukit. Di tengah
jalan, mereka melihat seseorang sedang duduk berteduh di atas batu sebesar kepala. Di
dekatnya tumbuh pohon kamboja yang besar
berdaun rindang.
Anehnya. orang itu duduk diam dengan
kepala tertunduk dalam. Mengenakan caping
yang semestinya dilepas jika memang berniat
berteduh dan sedikit berangin-angin mengeringkan keringat.
"Bagaimana kalau kita bertanya dulu
pada orang itu arah Kadipaten Wadaslintang,
Satria?" usul Mayangseruni.
Sudah waktunya mereka mengganti kuda dan menyiapkan perbekalan baru lagi.
Meski sedikit curiga dengan orang itu,
Satria mengangguk menyetujui.
Mayangseruni hendak menggiring langkah kudanya ke arah orang di bawah pohon.
Satria mencegahnya.
"Biar aku saja," kata si pemuda.
Satria turun dari kuda. Dia mendekat.
"Maaf, Kisanak," tegurnya.
Tak ada jawaban. Orang yang ditegur tetap diam. Bergeming pun tidak. Satria mengulang tegurannya. Sekali. Dua kali. Belum
juga ada tanggapan.
Kecurigaan Satria makin menanjak naik.
Ada yang tak beres, duganya yakin. Apa
mungkin dia sedang tertidur karena kelelahan" Duga sisi lain hatinya.
Hati-hati, dihampirinya orang itu lebih
dekat. Tiba di sampingnya, disentuhnya bahu
orang itu. Begitu tersentuh, orang itu malah jatuh
tersungkur ke depan. Satria makin curiga. Di
balikkannya badan orang itu. Terkesiaplah
Satria demi menyaksikan bagian wajahnya.
Orang itu ternyata telah menjadi bangkai. Wajahnya sudah membusuk dan dipenuhi ulatulat kecil yang berpesta-pora memakan dagingnya! Menemukan lobang sebesar kepalan
tangan di dada kiri mayat, Satria menilai
orang itu mati karena kehilangan jantung.
Dengan kata lain, ada orang yang telah membunuhnya. Dengan cara di luar batas peri
kemanusiaan. Mayangseruni hampir saja memekik.
Satria pun sempat dibuat bergidik. Pendekar muda itu tersurut mundur beberapa
tindak ke belakang.
"Perbuatan biadab siapa ini?" desis Satria geram.
Mendadak kuda Satria meringkikringkik liar. Kaki depannya menendangnendang. Ada sesuatu telah mengusik naluri
hewannya, sekaligus membuatnya demikian
gelisah. Bahkan mungkin takut.
Tingkah serupa terjadi pula pada kuda
tunggangan Mayangseruni. Mayangseruni
mencoba mengendalikannya. Tak berhasil.
Kuda malah semakin jalang. Seakan-akan
tuannya hendak dilontarkan dari punggung.
Satria Gendeng 05 Perempuan Pengumpul Bangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jika perlu, diinjak-injak pula dengan keempat
kakinya. "Lompat Mayang!" seru Satria memperingatkan. Turut sadar pula dia bahwa kuda
Mayangseruni tak mungkin dijinakkan. Ketakutan yang mengusiknya terlalu kuat.
Mayang mencelat turun. Gerakannya indah, meski posisinya di atas punggung kuda
terbilang sulit.
Bersamaan dengan melompatnya
Mayangseruni dari punggung kuda, ketika itu
pula si binatang tunggangan mengejang, ambruk ke tanah menebar debu. Beberapa saat
tubuhnya tersentak-sentak kuat, menggeliatgeliat, setelah itu kaku.
Kejadian serupa menimpa pula kuda Satria. Kejadian itu mengingatkan Satria Gendeng pada kejadian tempo hari, ketika untuk
pertama kali berjumpa kembali dengan Bagaspati. Kuda Bagaspati pun mengalami nasib
serupa. Seorang yang diyakini Satria menjadi
dalangnya adalah Nini Jonggrang.
"Nini Jonggrang," bisik Satria, tak begitu yakin. Mungkinkah kematian kuda
mereka kali ini perbuatan orang yang sama"
Mayangseruni terpaku menatapi bangkai
dua ekor kuda. Sedangkan Satria sibuk menebar pandangan siaga ke sekitar. Mungkin
saja dia salah menduga tentang Nini
Jonggrang. Namun, dia tak mungkin keliru
bahwa semua kejadian itu didalangi seseorang. Sepanjang pandangannya terlepas, tak
ada satu pun dapat dicurigai. Tak ada satu
manusia pun. Bahkan Satria juga tak menyaksikan seekor binatang pun. Yang ada
cuma gelaran lembah berumput pendek.
Bodoh, umpat Satria pada diri sendiri.
Kalaupun ada tempat persembunyian di daerah terbuka seperti itu ya cuma di atas pohon
Kamboja! Pikiran Satria tadi pun diimbangi oleh
getaran dalam hati kecilnya. Getaran yang
memperingatkan akan satu bahaya di atas
pohon. Bulu kuduknya merinding. Waswas,
Satria menengadahkan kepala.
Puncak kecurigaan si pemuda berjiwa
satria meletup manakala dari atas pohon
Kamboja menukik satu bayangan. Secepat kilat. Menuju kepala Satria!
Wrrr! Telinga tajam terlatih Satria menangkap
suara halus mengancam.
Menggiring kabar kematian.
Menerkam bersama hawa maut.
Satria Gendeng terkesiap. Sepersekian
kedip terasa seluruh jaringan saraf di tubuhnya menyentak seketika. Ototnya menegang.
Gerak refleks yang telah begitu terlatih menyebabkan dia melempar tubuh secepat kilat
ke sisi. "Haih!"
Satria berhasil bangkit tanpa kekurangan apa-apa lima depa dari tempat semula.
Kuda-kuda langsung terbentuk. Wajahnya
mengeras, beriring serbuan pandangannya ke
arah kelebatan bayangan tadi.
Dua tindak dari pohon Kamboja besar,
ditemukannya seseorang berdiri tegak. Kejang. Bagai cara berdiri mayat hidup.
Dua kali pendekar muda itu dipaksa
terkesiap. Begitupun Mayang.
Mereka menyaksikan seseorang yang sebenarnya amat sulit mereka percayai. Tresnasari. Kedua muda-mudi itu tak percaya pada
penglihatan mereka karena Tresnasari tidak
seperti yang mereka kenal sebelumnya.
Mata gadis itu memancarkan hawa kematian, dan permusuhan. Wajahnya dingin.
Tak ada sedikit pun mimik muka yang menunjukkan kalau dia mengenali Satria dan
Mayangseruni. Hal paling mengejutkan bagi
kedua muda-mudi itu, di tangan Tresna terdapat benda hampir membusuk. Sewaktu diperhatikan ternyata sepotong jantung manusia. "Tresna...," desis Satria dan Mayangseruni berbarengan. Keduanya saling
menatap. Tengkuk mereka merinding. Terasa desir kengerian di diri masing-masing.
"Apa yang telah terjadi pada dirinya, Satria?" tanya Mayang cemas kelewat batas.
"Apakah dia telah membunuh orang itu dengan cara keji" Bagaimana mungkin dia melakukannya?"
Satria tak menjawab. Bukan tak ingin,
melainkan tak bisa. Bagaimana dia tahu apa
yang telah terjadi pada diri gadis pujaannya
setelah dilarikan oleh seorang nenek beberapa
hari lalu"
Mencari penjelasannya pada keadaan diri Tresna pun mustahil.
"Tresna" Apakah kau mengenali kami?"
tanya Satria, ragu. Sebab dia melihat sinar
permusuhan makin menyala-nyala pada sepasang bola mata gadis itu. Suatu yang tentu
saja tidak wajar. Biasanya, Satria menemukan bersit kegembiraan di mata gadis itu jika
Tresnasari berjumpa dengan dirinya. Atau sedang bersama dengannya.
Tanggapan Tresna lagi-lagi tidak seperti
biasa. Gadis itu menyeringai. Seringai itu sendiri seolah bukan lahir dari dirinya.
Mayangseruni kian cemas pada keadaan
saudara kembarnya. Dia mencoba mendekat.
Satria menahan.
"Biar aku yang mencoba," kata si pendekar muda.
Hati-hati, Satria lalu mendekat. Perlahan. Langkahnya satu-satu, seakan sedang
berjalan di tepi tebing rapuh. Matanya terus
menentang tatapan bengis Tresnasari.
Baru tiga langkah, Satria dipaksa memenggal langkah oleh tawa Tresnasari. Terkikik. Melengking tinggi. Tak juga seperti tawa
Tresnasari yang dikenalnya. Satria ragu meneruskan langkahnya. Apa yang sesungguhnya telah terjadi padamu, Tresna" keluh Satria membatin. Saat berikutnya, ada bisikan dari hati
kecil Satria. Bisikan itu memperingatinya
akan bahaya lain sedang mendatangi dirinya.
Satria siaga. Matanya tak ingin dibiarkan terlepas dari Tresna. Dia sadar, perasaannya juga mengingatkan kalau Tresnasari
kekasihnya dapat menerjangnya setiap saat
dengan serangan yang teramat kejam. Namun
peringatan dari hati kecilnya bukan tentang
bahaya dari diri Tresnasari.
Karena khawatir Tresnasari menyerangnya, akhirnya Satria cuma bisa mempertajam pendengarannya. Tanpa berkedip, lamat-lamat, mulai didengarnya seliweran angin
dari arah selatan.
Wsss! Sebisa-bisanya Satria Gendeng berjumpalitan ke arah samping. Dia tak perlu melihat apa atau siapa yang memburu ke arahnya. Seliweran angin tajam yang sekelebatan
tertangkap telinganya sudah cukup baginya
untuk menilai berapa besar bahaya yang datang. "Hiaaa!"
Sapuan angin kencang terasa berseliwer
satu jengkal di sampingnya. Begitu Satria
berhasil menguasai keseimbangan badannya
kembali, disaksikannya seorang nenek tua
sudah berdiri di dekat Tresnasari.
Entah bagaimana, tahu-tahu si nenek
tua sudah tiba di sana. Satria maupun
Mayangseruni tahu pasti nenek tua itu tak
bersembunyi di atas pohon Kamboja. Kemungkinan besar dia sebelumnya bersembunyi di kejauhan. Lalu datang dengan mengerahkan ilmu peringan tubuhnya untuk tiba
di sana. Sungguh satu tingkat peringan tubuh
yang demikian sempurna. Kesempurnaan itu
menyebabkan kedatangannya seperti angin.
Tanpa diketahui, kecuali setelah dia tiba.
Siapa dia"
Siapa lagi kalau bukan Nini Jonggrang.
Satria langsung yakin kalau perempuan
tua yang sedang dihadapi kini adalah Nini
Jonggrang, perempuan sesat yang diceritakan
Ki Kusumo dan Dongdongka sebelum dia dan
Mayangseruni berangkat ke Gunung Sumbing. Kedua gurunya itu bercerita bahwa Nini
Jonggrang mempunyai dendam pribadi dengan Dongdongka.
Setelah Truna, nama panggilan Dongdongka dari Pertapa Sakti Gunung Sewu melaporkan seluruh sepak terjang Jonggrang,
Truna pun diperintah untuk membawa wanita
itu pulang ke Gunung Sewu.
Truna berhasil menjalankan perintah
eyang gurunya itu, dibawa kembali ke Gunung Sewu. Meski untuk itu dia harus bertarung habis-habisan menghadapi persengkongkolan Nini Jonggrang dan Ageng Sulut.
Bahkan Truna hampir saja kehilangan nyawa.
Di Gunung Sewu, Jonggrang menerima
hukuman dari Pertapa Sakti Gunung Sewu.
Dia dikurung dalam goa di sekitar lereng gunung itu selama lima tahun. Goa itu dinamakan Goa Kelelawar. Tempat bersarangnya kelelawar. Di dalam goa, keadaannya selalu
lembab pengap karena kurang aliran udara,
dan menebar bau busuk sepanjang waktu.
Tempat yang tak akan didiami oleh manusia
waras, karena terlalu menyiksa.
Untuk menjaga agar Jonggrang tidak
melarikan diri selama menjalani hukuman,
Pertapa Sakti Gunung Sewu untuk sementara
mengunci seluruh kesaktiannya, sampai masa hukuman perempuan itu selesai.
Selama lima tahun itu, Jonggrang benarbenar tersiksa. Kecantikan yang selama ini
diagung-agungkan lenyap ditelan waktu. Kelembapan goa menyebabkan sekujur kulitnya
ditumbuhi jamur-jamur dan penyakit kulit.
Rambutnya kotor menggumpal. Sementara selama itu pula dia tak pernah terkena sinar
matahari. Ketika pertama kali keluar dan terkena sinar matahari, penglihatannya menjadi
rusak. Tak ada lagi sebutan Jonggrang yang
cantik molek bagi dirinya, seperti lima tahun
lalu. Tak tersisa lagi kecantikan pada wajah
dan tubuhnya. Setiap lelaki yang menyaksikannya akan meringis jijik. Seolah dirinya tak
kurang menjijikkan dari seonggok bangkai.
Dendam pun lalu tersulut dalam diri
Jonggrang terhadap Truna.
Sejak saat itu, dia berkeliling tanah Jawa mencari seorang guru yang bisa mengajarinya ajian sesat. Suatu hari dia bertemu
dengan perempuan tua yang tak pernah bisa
mati. Karena menganut ajian. Di adalah dukun tenung yang sudah berusia hampir empat ratus tahun. Dari perempuan tua itu,
Jonggrang mempelajari ajian-ajian sesat seperti keinginannya selama ini.
Satu syarat puncak dalam menganut
ajian sesat yang dipelajari, Jonggrang diharuskan mengumpulkan sembilan ratus sembilan puluh sembilan bangkai. Bangkai-bangkai
itu harus pula hasil pembunuhan langsung
tangan Jonggrang sendiri.
Setiap kali berhasil melakukan beberapa
pembunuhan, Jonggrang memanfaatkan aliran sungai untuk membawa bangkai-bangkai
itu ke tempat si dukun tenung perempuan.
Kejadian itulah yang pernah disaksikan Bagaspati ketika masih kecil
(Tentang bayangan masa kecil Bagaspati,
bacalah episode sebelumnya: "Iblis Dari Neraka"!). Sejak saat itu, dunia
persilatan tanah Jawa digemparkan. Julukan disematkan un-tuknya Perempuan
Pengumpul Bangkai!
Selesai mendalami seluruh ajian sesatnya, Nini Jonggrang mulai melaksanakan
niatnya untuk membalas dendam. Namun,
hingga kini, tak pernah sekali pun dia mela
Satria Gendeng 05 Perempuan Pengumpul Bangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kukannya. Penghalangnya cuma satu, dia tak
pernah bisa mengalahkan rasa cinta di hatinya terhadap Truna. Hingga kini.
Dendam dan cinta bertarung dalam dirinya. Selama bertahun-tahun dia tak bisa
berbuat apa-apa.
Sampai dia mendengar kalau Truna atau
Dongdongka memiliki murid. Melalui muridnya itu, dia hendak membalas dendam! Melalui Satria.... * * * Satria tersentak dari lamunannya ketika
Nini Jonggrang memperdengarkan tawa terkikik melengking. Seperti tawa yang diperdengarkan Tresnasari sebelumnya.
"Kaukah bocah yang telah mempecundangi Sulut itu" Hi hi, tak kusangka, setelah kulihat dari dekat, ternyata kau ganteng
juga," koar Perempuan Pengumpul Bangkai,
menggidikkan. "Apa yang telah kau lakukan pada dia,
Nek?" tanya Satria.
Nini Jonggrang melirik Tresnasari di sebelahnya. "Kau mau tahu" Gadis ini telah menjadi
pengikut ku. Dia akan melaksanakan apa saja
kehendak dan perintahku."
"Nenek Laknat!"
"Aku suka kau menyebutku begitu, Cah!
Hi hi hi!"
Satria menggeram.
"Apa maumu sebenarnya dengan menahan dia?" susul Satria.
"Apa mauku" Dengar baik-baik, Cah!"
tandas Nini Jonggrang. Wajahnya berubah
keras, bengis sekaligus mengancam. "Asa!
kau tahu saja, Sulut tak akan bisa kau kalahkan dengan begitu mudah kalau saja dia
tak sedang dirongrong penyakitnya!"
"Apa urusannya denganku, sehingga
menahan dan mempengaruhi gadis yang dekat denganku"!"
Nini Jonggrang terkikik.
"Akhirnya kau akui juga kalau kau dekat
dengan gadis ini."
"Jangan banyak bicara, Nek. Katakan,
apa urusannya penyakit tua bangka itu dengan diriku dan Tresna?"
"O, jadi perempuan ini bernama Tresna"'
ledek Nini Jonggrang, kucing-kucingan.
Satria mulai geram. Namun diusahakan
untuk tetap menahan amarahnya yang bergeliat hendak menjangkit. [
"Hi hi hi, kau tadi bertanya apa" Kau ingin tahu kenapa gadis ini harus mengalami
nasib seperti sekarang?"
Satria mendengusi pertanyaan berteletele Nini Jonggrang. Toh, sudah jelas dia memang menanyakan itu. Bahkan sudah pula
diulanginya. Dasar nenek busuk, umpatnya
membatin. Sementara, Mayangseruni mendekatinya. Di sisi Satria, gadis itu berdiri. Garisgaris ketakutan tampak jelas di wajahnya.
Mungkin, itu pula alasan dia mendekati Satria, berharap bisa mendapatkan sedikit ketenangan bila berdiri di dekat pendekar muda
gagah itu. "Kau jangan berlagak tolol! Senjata pusaka di pinggangmu itu bisa dijadikan obat
untuk menyembuhkan penyakitnya!" bentak
Nini Jonggrang garang.
Satria melirik Kail Naga Samudera di
pinggangnya. Menurut Dedengkot Sinting Kepala Gundul, senjata pusaka yang begitu diminati oleh setiap kalangan persilatan itu telah berjodoh dengan dirinya.
Dengan senjata itu, dia dapat berbuat
banyak dalam menjalankan tugas suci mulia
menegakkan keadilan.
Namun, Satria juga sadar apa artinya bila orang yang dicintainya harus menderita karenanya" "Jadi kau menginginkan benda pusaka ini?"
"Jelas, Tolol!'
Satria meloloskan benda itu dari ikat
pinggangnya. Mayangseruni menyaksikan dengan kelopak mata menyipit dan alis bertaut Dia tak
percaya kalau Satria sudi menyerahkan benda itu kepada si nenek sesat. Apa jadinya dunia persilatan jika senjata pusaka itu dikuasai orang bertabiat iblis"
Mungkinkah Satria lu-put menyadari hal itu"
"Asal kau membebaskan pengaruh jahatmu terhadap gadis itu," aju Satria, memberikan syarat saat memegang Kail Naga
Sa- mudera di depannya.
"Satria...." Mayangseruni memperingati.
Satria meliriknya.
"Aku mencintai Tresna, Mayang. Aku tak
mungkin membiarkan dia menjadi manusia
tak berhati seperti itu," ucapnya, seolah mengeluh.
Mayangseruni tersentuh. Betapa besar
cintanya pada Tresnasari. Diam-diam,
Mayangseruni menjadi iri.
"Tapi, apa kau sadar...."
"Diam kau, Cah Perempuan!" hardik Nini Jonggrang, memangkas peringatan
Mayangseruni pada Satria.
"Kau mau aku melepaskan pengaruh tenung ku pada gadis ini" Hi hi hi! Baik, kau
akan mendapatkannya. Namun, ada satu syarat lagi sebelum itu kulakukan," sambung Ni-ni Jonggrang.
Satria menanti.
"Aku ingin, kau menggantikan tempat
gadis ini"!"
Bulu-bulu halus di tengkuk Satria meremang kuat mendengar perkataan terakhir si
Perempuan Pengumpul Bangkai. Menggantikan tempat Tresnasari" Desis batinnya. Apakah itu berarti dia menyerahkan jiwanya untuk dikuasai oleh perempuan tua tukang tenung itu" Mayangseruni makin dilanda kecemasan. Tanpa sadar dia mendekap pangkal
lengan Satria. Kekhawatiran yang teramat dalam menyusup ke dalam relung benaknya.
Apakah artinya itu" Mengapa dia begitu khawatir dengan si pendekar muda, Mayangseruni sendiri belum cukup memahami.
Manakala Satria dengan mantap tanpa
perubahan mimik mengangguk, menyanggupi
syarat Nini Jonggrang, Mayangseruni tak kuasa lagi menahan gemuruh hatinya.
"Tidak, Satria. Jangan kau lakukan itu!"
Kelopak bawah matanya membendung
garis bening. Tak lama genangan itu jatuh
bergulir. Diam-diam pula, meruyak kembali
rasa iri Mayangseruni terhadap saudara kembarnya. Bagaimana mungkin Satria rela berkorban untuk Tresnasari" Mengorbankan satu-satunya yang dimiliki" Jiwanya....
Nah lo, nah lo! Bagaimana jadinya itu"
Benar tuh, si Satria Gendeng bakal dikuasai oleh tenung Nini Jonggrang"
Ah, masa'"
Terus, Ki Ageng Sulut bisa menguasai
Kail Naga Samudera kembali" Ah, masaaaa'"
Rencana si nenek jelek bau juga bakal
berjalan" Apa jadinya kalau si tua bangka
sinting Dongdongka tahu" Wuih seru sekali!
Ah, masaaaaa'"
SELESAI Ikuti Kelanjutannya dalam episode:
"Kiamat di Goa Sewu"
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Elang Terbang Di Dataran Luas 7 Pendekar Bodoh 3 Setan Selaksa Wajah Rajawali Emas 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama