Ceritasilat Novel Online

Pertapa Cemara Tunggal 3

Satria Gendeng 21 Pertapa Cemara Tunggal Bagian 3


menjalani tapa.
Seperti juga Peri Taring Emas, Kaladewa berhasil mengusir Siluman Ular dari Sumut Maut berbisa. Mulai saat itu pula, dia menjalani masa sepuluh purnama kedua.
Setelah menyelesaikan tapa kedua, kesaktian
Kaladewa makin hebat saja. Belum lagi jika dia telah mendapatkan kesaktian
barunya. Tinggal tersisa masa tapa sepuluh purnama
terakhir untuk Kaladewa. Tapi itu harus dijalaninya di Hutan Pemantingan. Di
sana, dia sama sekali tak
mendapat halangan siapa pun.
* * * Pengemis Arak selesai menceritakan perihal
Kaladewa yang diketahuinya pada Satria Gendeng.
"Kau pernah berurusan langsung dengannya,
Pak Tua?" tanya Satria.
Pengemis Arak mendelik tiba-tiba.
"Kau bercanda"! Aku justru telah mendengar
cerita tentang Kaladewa itu ketika umurku masih
sekelingking, aku masih bocah waktu itu, masih ingusan sama sekali!"
Satria pun tak bisa tidak menjadi terperangah. Kalau Pengemis Arak yang sudah bulukan itu
saja telah mendengar Kaladewa ketika masih bocah,
berapa umur Kaladewa sendiri"
"Kau tahu," tambah Ki Dagul. "Pada masa itu, nama Kaladewa menjadi momok amat
menakutkan. Bahkan mungkin, gurumu sendiri, si Dongdongka
telah mendengar nama mengerikan Kaladewa sewaktu dia masih muda!"
Satria makin terperangah-perangah. Dalam
dirinya, mencuat pertanyaan yang agak meragukan,
mungkinkah dia mampu menghadapi Kaladewa jika
suatu saat nanti dia terpaksa berurusan" Sementara, tanpa pernah diketahui dan disadari, Kaladewa
sendiri tengah menanti kedatangannya di Hutan
Pemantingan....
Satria mendadak tersadar oleh keluhan Ludah Darah dan Hantu Wajah Batu. Sungguh, cerita
Ki Dagul tentang Kaladewa telah membuat dia melupakan kedua orang itu. Padahal waktu untuk mereka sangat sempit.
"Lalu bagaimana dengan mereka, Orang Tua?"
susulnya pada Ki Dagul.
Pengemis Arak menggeleng perlahan. Wajahnya kehilangan harapan sama sekali.
"Lupakan mereka," katanya lamban.
"Apa"!" sentak Satria, tak percaya.
Ki Dagul menatap mata Satria tepat ke manik-maniknya. Lalu katanya dengan nada yang demikian pekat. "Kalau kau menyangka bisa menolong mereka, kau keliru sama sekali, Cah Buduk. Dua orang
sial ini tak bisa lagi ditolong. Mereka terkena pukulan Kaladewa yang paling
mematikan. Selama ini,
tak ada yang bisa mengobatinya. Bahkan tidak juga
tabib sakti sejenis gurumu, Tabib Sakti Pulau Dedemit!" "Jadi, kita hanya akan melihat mereka mati secara perlahan...," gumam
Satria, tak sadar.
"Tidak," tandas Pengemis Arak.
Satria mengangkat pandangannya ke arah
Pengemis Arak. Dia belum menangkap sama sekali
maksud perkataan terakhir tadi. Sebelum otaknya
sendiri mencoba mencari tahu, segesit gerakan siluman tua, Pengemis Arak merebut Kail Naga Samudera dari ikat pinggang Satria Gendeng.
Srat! "Pak Tua, apa-apaan kau ini"!"
Teriakan tak mengerti Satria Gendeng hanya
disambut oleh bunyi menggelegar memangkas udara
ketika tangan Ki Dagul menyabetkan Kail Naga Samudera ke arah Ludah Darah.
Cletar! Dalam sekejapan mata, leher Ludah Darah
terpenggal seketika. Kepalanya terpisah!
Satria Gendeng melotot! Mulutnya ternganga.
"Kau sudah gila, Orang Tua"!" serunya nyaris memekik.
Pengemis Arak seperti tak peduli. Dia seolah
tahu apa yang sedang dilakukannya, kendati di mata pendekar muda di dekatnya tindakan itu benarbenar sinting dan tak bisa diterima akal sehat.
Cletar! Lecutan kedua terdengar. Kail Naga Samudera membelah udara kembali. Sasarannya kali ini
adalah leher Hantu Wajah Batu. Satria Gendeng berusaha mencegah, namun dia terlambat. Jika saja
tak sempat terperangah, tentunya dia bisa lebih cepat dari gerakan tangan Ki Dagul.
Dan kepala Hantu Wajah Batu pun menggelinding.... Tak lama setelah itu, Satria menjadi berang
bukan main pada Pengemis Arak. Matanya meradang. Rahangnya mengejang.
Di kepalanya, hanya menggelegak pikiran untuk menghajar Pengemis Arak.
"Tak perlu kau lakukan itu, Cah Buduk!" ma-ki Ki Dagul, mencegah Satria.
"Berpikirlah sedikit!
Kalau kau menjadi mereka, tentu kau pun akan berterima kasih dengan tindakanku. Mereka akan lebih
sudi mati seperti itu, ketimbang mati perlahan-lahan dengan cara amat menyiksa!"
Panas di diri Satria perlahan surut. Alasan
yang dikemukakan Pengemis Arak jelas bisa diterima. Satria pun baru menyadari hal itu kemudian
* * * Seperti telah diceritakan Ki Dagul pada Satria
Gendeng, Kaladewa atau Pertapa Karang Wesi adalah seorang sesepuh kalangan sesat dunia persilatan. Namanya belakangan ini tak banyak terdengar.
Itu sebabnya dia tak begitu dikenal oleh pendekar
maupun orang persilatan sebaya Satria Gendeng.
Beberapa kalangan tua, seperti Ki Dagul atau Dongdongka sudah cukup mengenal nama Kaladewa. Lebih dari itu, julukannya bahkan pernah menjadi
momok menggetarkan nyali dalam diri masingmasing. Jika sesepuh sesat yang lama menghilang bagai terperam bumi itu muncul kembali, tentu dari
kalangan tua pula yang banyak dikejutkan. Terhitung Pengemis Arak sendiri.
Bagi Ki Dagul, menjadi tanda tanya besar alasan Pertapa Karang Wesi menciptakan bibit kegemparan dengan muncul kembali dan menelan tumbal
nyawa Ludah Darah dan Hantu Wajah Batu. Apakah
ada niat untuk menambah kesaktian kembali" Atau
dia ingin menaklukkan dunia persilatan di bawah telapak kakinya dengan seluruh kesaktian yang telah
didapatnya selama ini"
Di dunia ini, kenapa begitu banyak manusia
yang tak pernah puas mengumbar nafsu liarnya"
Dugaan kuat tentang munculnya kembali Pertapa Karang Wesi telah menguras seluruh perhatian
Pengemis Arak. Tua bangka itu jadi tak terlalu pedu-li dengan persoalan lain.
Bahkan dia nyaris tidak la-gi memusingkan urusannya dengan Satria. Dari sana, bisa terlihat bagaimana sungguh-sungguhnya Ki
Dagul menanggapi persoalan terakhir. Pada kenyataannya, dia memang sejenis orang yang paling sulit untuk peduli pada urusan
orang lain. Kalaupun dia
mengamuki Satria Gendeng karena menyangka telah
membunuh seorang sahabatnya, itu adalah peristiwa langka yang terjadi pada dirinya. Lalu, jika persoalan kematian seorang
sahabatnya menjadi terlupakan karena kemunculan kembali Pertapa Karang
Wesi, tentu Ki Dagul menganggapnya sebagai satu
perkara genting.
Selesai menguburkan jenazah Ludah Darah
dan Hantu Wajah Batu, Satria dan Ki Dagul terpaku
diam di bawah naungan sebatang pohon rindang.
"Kenapa kita jadi terdiam seperti ini, Orang
Tua?" usik Satria. "Bukankah waktu akan terus menggilas selama kita berdiam
diri" Itu artinya kita sengaja membodohi diri...."
"Tutup bacotmu! Tahu apa kau dengan urusan ini?" semprot Pengemis Arak.
"Lantas bagaimana dengan persoalan kita?"
"Persoalan kita yang mana?"
Satria menghembuskan napas. Bodohnya dia,
makinya pada diri sendiri. Bukankah sebelumnya
dia setengah modar terbirit-birit menghindari manusia buluk peminum satu ini. Sekarang entah kenapa
malah dia mengungkit-ungkitnya.
"Bukankah kau sebelumnya mengejarngejarku karena mengira aku telah membunuh
Jenggot Perak?"
"Aku menuduhmu seperti itu?" tanya Ki Dagul lagi, pilon. Lalu cepat dia teringat
kembali. "O, ya!
Kalau begitu, bagaimana dengan urusan kita, hah?"
"Itulah yang aku hendak tanyakan."
"Ayo, bertanyalah!"
"Apakah kau tak merasa curiga bahwa lelaki
berbaju merah yang bertemu denganmu di tempat
Jenggot Perak, lalu pembunuhan Jenggot Perak
sendiri, serta kematian dua orang yang baru kita
kubur satu sama lain saling berhubungan?"
"Hop hop... pertanyaanmu terlalu panjang untuk otak manusia buluk macam aku!"
"Maksudku, apa mungkin semua itu berhubungan satu dengan yang lain?"
"Menurutmu sendiri?"
Ki Dagul malah balik bertanya.
"Itulah yang ingin kugali, Orang Tua...."
"'Itulah yang membuat aku kesal! Kau bertanya seolah tahu dengan pasti, padahal aku sendiri tidak tahu menahu!"
"Aku bukannya tahu dengan pasti, Orang
Tua. Aku hanya menduga."
"Kenapa kau bisa menduga begitu?"
"Sebelumnya aku sempat bertanya sedikit banyak pada lelaki naas di salah satu kuburan itu,"
lanjut Satria sambil melirik makam Ludah Darah.
"Apa katanya?"
Satria mengingat-ingat.
"Apa katanya"!" desak Ki Dagul, tak sabar.
"Tak begitu jelas. Tapi aku mendengar dia
menyebut-nyebut tentang lelaki berpakaian merah di
tengah Hutan Pemantingan...."
"Apa dikatakan juga lelaki kunyuk berpakaian
itu membawa kipas lipat?"
"Kira-kira begitu...."
"Jangan kira-kira!"
"Iya, dia mengatakan begitu!"
"Apa lelaki itu bergaya seperti perawan" Apa
rambutnya panjang" Apa pakaiannya begitu necis"
Apa...." "Hoi hoi! Bagaimana seorang yang sekarat bi-sa menjelaskan sejelas
itu"!"
"Kalau begitu, memang benar dia orangnya!"
tebas Ki Dagul, peduli setan dengan ucapan Satria
terakhir. "Lantas apa lagi keterangan yang kau dapat" Apa Kaladewa disinggungsinggung?" serbu Ki Dagul kembali.
Satria berjalan mondar-mandir. Mata kelabu
sayu milik Ki Dagul mengikuti. Kepalanya pun turut
menggeleng ke sana kemari.
"Cepat! Ayo cepat!" sewot orang tua berotak soak itu.
"Ya, aku ingat. Lelaki malang itu pun mengatakan tentang seorang tinggi besar. Seperti Bima kalau tak salah, kendati itu
diucapkannya dengan
amat samar...."
"Itu dia!"
Satria tersentak oleh teriakan mendadak Ki
Dagul. Belum lagi tangannya menuding ke depan
batang hidung Satria Gendeng seperti berniat menjotosnya. "Maksudmu, itukah orang yang kau maksud"
Kaladewa?"
"Iya! Pertapa Karang Wesi! Cilaka tiga belas...." SEMBILAN MALAM akhirnya mengendap perlahan. Segenap margasatwa menyambutnya. Gelap menebar dari arah timur. Sedangkan matahari terlelap di seberang sana. Di antara derik jangkrik yang mulai mela-tai malam, di antara desah
angin basah dan bisik
dedaunan, sesosok bayangan melintas di tengahtengah Hutan Pemantingan.
Ditingkahi suara lolongan anjing hutan, sosok
bayangan tadi terus bergerak menuju satu arah, lebih masuk ke pusat hutan keramat itu.
Bulan tanggung di atas sana menyiramkan
sinarnya di pucuk-pucuk pepohonan. Lebatnya Hutan Pemantingan tak memberi banyak kesempatan
bagi sinar rembulan untuk menyelinap ke bawah.
Namun keadaan itu tidak membuat sosok tadi mengalami kesulitan berarti. Dia menembus Hutan Pemantingan seolah dengan mata terpejam.
Cara bergeraknya pun teramat lincah dan gesit seakan memperdayai malam, mempecundangi
kegelapan Dilihat dari bentuk bayangannya, orang itu
tidak memiliki tubuh yang besar dan tegap. Malah
bisa disebut agak kekurusan. Mengenakan pakaian
yang rapat di bagian atas, dan melebar di bagian
bawah. Kepalanya mengenakan penutup.


Satria Gendeng 21 Pertapa Cemara Tunggal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suatu saat, sosok bayangan itu berhenti sejenak. Saat lain, tubuhnya melenting ringan ke atas
dahan pohon setinggi belasan tombak. Di atas sana,
dia seperti memperhatikan sesuatu ke bawah, tepatnya sedang mengawasi keadaan sekitar. Tampak jelas dia tengah mencari-cari.
Ketika sesuatu atau seseorang yang dicarinya
ditemukan, dia pun menukik turun, lalu melanjutkan pencarian ke arah yang dituju sebelumnya.
Sampai akhirnya dia tiba di pusat hutan yang
ditujunya. Dia menghentikan langkah kembali. Untuk beberapa saat, sosok tadi hanya berdiri seakan
mengendusi jejak-jejak pada udara yang dihirupnya.
Kepalanya mengangguk lamat kemudian.
Sepasang tangannya mengepal liat-liat.
Gemeretak tulang menyelinap.
Di antara sehimpun bebunyian malam, dia
menggeram. Kental nada mengancam.
"Saatnya akan tiba di mana kau akan melunasi hutangmu padaku...."
Dan ketika dia melangkah mendekati bagian
kegelapan yang disirami sinar rembulan, wajah
orang itu pun tampak. Dia adalah lelaki tua yang
beberapa waktu lalu bertemu dengan Satria Gendeng. Lelaki tua yang mengaku sebagai kuncen penunggu hutan keramat.
Masih di bawah cahaya remang, wajahnya
mengeras. Tubuh membatu. Ditatapnya rerimbunan
pekat di atas. Matanya berbinar-binar memancarkan
api dendam. Di pekatnya pemandangan di atas, dia
seperti menemukan gambaran wajah seseorang yang
demikian dibencinya.
Penggambaran paras pada wajahnya sungguh
bertolak belakang dengan beberapa waktu lalu manakala Satria Gendeng menemuinya. Tampaknya,
pendekar muda Tanah Jawa telah terlalu tergesagesa mempercayai mentah-mentah segala ucapannya. * * * Kembali pada Satria Gendeng dan Ki Dagul.
Pasangan berbeda usia itu kali ini terlihat sedang berjalan beriringan menuju Hutan Pemantingan. Setelah adu mulut dan tarik urat, keduanya
akhirnya sepakat untuk mencari tahu lebih dahulu
ke Hutan Pemantingan. Urusan mereka sendiri bisa
dibereskan belakangan. Itu pun setelah berhasil
membujuk Ki Dagul dengan susah payah.
Menurut Satria, hal terpenting bagi mereka
saat itu adalah mencari tahu ada apa sebenarnya di
balik semua kejadian dan kegemparan belakangan
yang terjadi di dunia persilatan. Mereka harus mengetahui dengan jelas apa hubungan antara kematian
Jenggot Perak, lelaki berpakaian merah, dan ributribut mengenai benda pusaka Pertapa Cemara
Tunggal yang tak kunjung mereda. Untuk itu, mereka harus mendatangi Hutan Pemantingan dan menemukan keterangan di sana. Satria berharap, Kaladewa bisa menjadi kunci pemecahannya. Kendati
begitu, dia sama sekali tak berharap, berurusan
dengan manusia sesat yang mungkin sudah menjadi
manusia setengah siluman itu. Bukannya dia pengecut. Hanya saja, dia merasa tak ada gunanya sama
sekali berurusan dengan seseorang tanpa alasan jelas. Apalagi jika itu menyangkut nyawa.
Belum lagi mereka tiba di tepi Hutan Pemantingan, dua kelebat bayangan melesat dari arah
samping. Di depan Satria Gendeng dan Pengemis
Arak, tahu-tahu saja telah berdiri dua orang tua
bangka berpenampilan memuakkan.
"Kita bertemu lagi, Cah Ganteng," seru salah seorang di antaranya.
Mereka adalah dua tokoh sesat sakti yang
masih saja ngotot mengejar-ngejar Satria Gendeng,
Rase Betina, dan Kepala Baja dari Utara.
"O, jangan lagi...," keluh Satria.
Lain lagi Pengemis Arak. Menyaksikan wajah
kedua penghadangnya, manusia butut itu jadi cemberut. "Mau apa kedua tikus ini menghadang kita"!"
gerutunya. "Kau kenal mereka, Orang tua?" tanya Satria.
Ki Dagul mencibir, sampai bibir bawahnya
tergantung-gantung.
"Sudah lama aku mengenal mereka. Dan asal
kau tahu saja, kedua tikus ini adalah orang-orang
yang paling bikin aku mulas dengan tingkah mereka...." "Apa kabar, Pengemis Arak?" sapa Rase Betina berbasa-basi di ujung
ucapan Ki Dagul.
"Selama ini aku baik-baik saja. Namun ketika
melihat kalian, mendadak saja aku menjadi tak sehat," ketus Ki Dagul.
Rase Betina tertawa.
"Tawamu pun membuat aku mual. Rase Betina," sambar Ki Dagul kembali.
"Sudah cukup basa-basi ini!" jegal Kepala Ba-ja dari Utara. Lelaki tua berwatak
panas itu rupanya
tak begitu suka dengan acara buang-buang waktu
antara Rase Betina dan Pengemis Arak.
"Kalau begitu, kenapa kalian tidak cepat menyingkir saja dari hadapanku. Kalian tahu bukan,
jika aku -si Pengemis Arak mulai naik darah- maka
kalian akan merasakan bagaimana tak enaknya bila
kepala pindah ke dengkul...."
"Kau terlalu besar mulut, Pengemis Arak!"
sambar Kepala Baja dari Utara, berang. "Serahkan pemuda itu pada kami, cepat!"
sambungnya. Ki Dagul melirik Satria Gendeng.
"Apa urusanmu dengan dua tikus ini, Gendeng"!" tanyanya.
"Mereka memaksaku menyerahkan benda pusaka milik Pertapa Cemara Tunggal."
"Kalau begitu serahkan saja! Suruh mereka
menelannya!"
Satria merengut.
"Bagaimana aku bisa menyerahkannya kalau
benda itu saja tidak pernah ada padaku?"
"Tidak ada?"
"Astaga, apa kau lupa kejadian yang menimpa
sahabatmu, Jenggot Perak?"
"Jenggot Perak" Bukankah dia sudah mati?"
Astaga.... Satria mengurut dada. Otak manusia buluk
satu ini rupanya sedang jalan-jalan ke pantat.
"Maksudku, bukankah aku dituduh telah merebut benda pusaka Pertapa Cemara Tunggal dan
membunuh Jenggot Perak."
"Ya, dan urusan kita belum selesai. Kau masih punya hutang nyawa padaku karena membunuh
Jenggot Perak!"
"Tunggu dulu! Kau telah kuberi tahu sebelumnya bahwa semua itu cuma fitnah. Aku tak pernah membunuh Jenggot Perak dan aku pun tak
pernah memiliki benda pusaka Pertapa Cemara
Tunggal!" "O, jadi maksudmu kau mau mengatakan
bahwa benda pusaka itu sebenarnya tak pernah ada
padamu" Ah, kenapa kau jadi berbelit-belit begitu.
Kau pikir otakku sudah begitu kopong?"
"Hei, kenapa kalian tidak tutup mulut saja
dan segera menyerahkan benda pusaka itu!" penggal Kepala Baja dari Utara, tak
sabaran. Dan lagi-lagi Pengemis Arak melirik Satria
sambil menukas.
"Sudah, serahkan saja apa yang mereka minta. Biar urusan memuakkan dengan mereka segera
selesai!" Satria menarik napas. Dia jadi pegal hati sendiri dengan ketumpulan otak Ki Dagul. Percuma saja
dia berbicara panjang lebar padanya untuk menjelaskan duduk perkara sebenarnya.
"Jadi kau tak mau menyerahkannya?" susul
Ki Dagul, tak memberi kesempatan pada Satria
Gendeng untuk sedikit bernapas lega.
"Itu artinya kita akan menghadapi mereka,
bukan" Bagus kalau begitu. Aku juga sebenarnya
ingin sekali memindahkan kepala mereka ke dengkul sejak dulu. Bagaimana menurutmu?"
Satria mengangkat bahu.
Pengemis Arak berjingkat girang.
"Kita hajar mereka!"
Dengan badan membungkuk seperti seorang
jawara hendak menumpas habis begal kampung,
Pengemis Arak maju beberapa langkah ke depan.
Wajahnya menantang dua penghadang di depan.
"Tunggu!"
Seruan membahana terdengar dari satu arah.
Dari arah yang sama, seseorang melesat di udara
dan hinggap tak jauh dari tempat Satria Gendeng.
Satria mengenali orang itu.
"Ki Kuncen...."
Tanpa mempedulikan Pengemis Arak yang
mencak-mencak karena kaget, lelaki pendatang yang
tak lain orang tua yang mengaku sebagai kuncen
penunggu Hutan Pemantingan Keramat langsung
berseru pada Satria Gendeng.
"Cepatlah kau pergi ke tengah Hutan Pemantingan di dekat pohon jati raksasa paling besar! Biar mereka aku hadapi!"
Sesaat Satria hanya bisa terdiam. Dia tak habis mengerti dengan maksud Ki Kuncen. Namun apa
salahnya menerima uluran tangan seseorang, pikirnya. Bukankah dia sebenarnya memang tak berselera berurusan dengan Rase Betina dan Kepala Baja
dari Utara"
Satria pun menyingkir.
"Hei, aku ikut!"
Di belakangnya, Pengemis Arak mengekori
sambil berteriak-teriak tak karuan. Hilang entah ke mana nafsunya untuk
memindahkan kepala dua
penghadang mereka ke dengkul.
Sepeninggalan Satria dan Ki Dagul. Ki Kuncen
berdiri mengamati gerak-gerik dua orang di depannya. Dia tak ingin Rase Betina dan Kepala Baja dari Utara berniat mengejar.
Tentu saja tindakannya
membuat berang pasangan tua bangka itu.
"Kau sudah mencari penyakit telah menghadang kami seperti ini," ancam Kepala Baja dari Utara. Marah besar dia. Itu
terlihat jelas dari pancar bo-la matanya. Sudah berhari-hari lamanya dia dan
Rase Betina mengejar-ngejar Satria Gendeng. Beberapa kali mereka sempat memergoki, namun lepas
kembali. Kini ketika kesempatan itu mereka miliki
lagi, malah ada seorang yang telah lancang turut
campur. Bagi Rase Betina atau Kepala Baja dari Utara
sendiri, lelaki tua berblangkon dan berpakaian Jawa itu sama sekali tak mereka
kenal. Sepanjang hidup
mereka yang panjang dan sudah bergelimang darah
di dunia persilatan, tak pernah sekalipun keduanya
berurusan dengan orang itu. Itu sebabnya, mereka
menganggap remeh Ki Kuncen dan menganggapnya
hanya tengah mencari mampus. Menurut mereka,
siapa yang tak kenal dengan julukan besar Rase Betina atau Kepala Baja Dari Utara" Bahkan Pengemis
Arak saja pun patut memperhitungkan kedigdayaan
mereka berdua. Begitu pikir keduanya, menyombong. Begitu pulakah kenyataan sebenarnya"
"Menyingkir dari jalan kami!" hardik Rase Betina dengan suara nyaring
melengking. Bersamaan
dengan itu, tangannya dikebutkan cepat, memperdengarkan deru santer yang terdengar keras hingga
di tempat Ki Kuncen sendiri.
Wrrr! Serangkum angin pukulan teramat kuat pun
memburu ke arah Ki Kuncen. Kekuatannya menyebabkan debu dan pasir berpusing membentuk pusaran besar memanjang ke arah sasaran. Rantingranting pohon pun terpatah dan ikut dalam pusingan pusarannya.
Ki Kuncen hanya tersenyum samar. Tak bergemik dia dengan tangan bersedekap di dada.
Dan ketika angin pukulan berkekuatan puting beliung itu benar-benar menimpa sekujur tubuhnya, Ki Kuncen pun masih tetap diam. Sikapnya
itu benar-benar hendak memperlihatkan tantangan
terhadap kesaktian Rase Betina yang sudah demikian kesohor di dunia persilatan.
Saat itu, tak tampak Ki Kuncen menjadi surut
kendati hanya setengah telapak kaki. Padahal kekuatan angin pukulan Rase Betina dapat merobohkan
sebatang pohon beringin raksasa dalam sekejap mata! Lebih memukau lagi, seluruh pakaian Ki Kuncen
pun tidak bergemik sedikit jua. Kain batik yang menyelimuti bagian pinggang hingga ke batas lutut sama sekali tak memperlihatkan geletaran. Sementara
sebelumnya, hembusan angin malam saja sudah
cukup untuk membuatnya melambai.
Sebentuk unjuk kekuatan tingkat tinggi!
Seolah di sekujur badan Ki Kuncen ada benteng teramat kokoh kasat mata.
Kenyataan itu memaksa pemilik angin pukulan membelalak. Belum pernah ada seorang pun
yang sanggup menghadapi angin pukulan puting be

Satria Gendeng 21 Pertapa Cemara Tunggal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

liungnya dengan cara begitu rupa.
Kepala Baja Dari Utara pun tak luput dari keterkejutan. Pikiran angkuhnya buyar seketika. Tak
bisa lagi dianggapnya si pengacau sebagai keong siput yang mencari mampus karena telah mencampuri urusan mereka. Tidak lagi. Sekarang, justru mereka harus berpikir beberapa kali untuk bisa memenangkan pertarungan dengannya.
"Kalian memainkan permainan anak-anak
padaku," ejek Ki Kuncen dengan senyum tak padam.
"Keparat! Dia akan menjadi penghalang besar
untuk kita. Kita bisa kehilangan pemuda itu...," desis Rase Betina.
"Tapi aku belum mampus. Tak akan kuberdiam diri hanya karena pukulan jarak jauhku dimentahkan," kata Rase Betina lagi, berkeras hati.
"Kau terima ini!"
Berkawal pekikan lantang. Rase Betina menepukkan telapak tangan kuat-kuat dl atas kepala.
Suara yang dihasilkan mengguntur, meruntuhkan
dedaunan. Dari sela-sela telapak tangannya menyemburat pijaran api kebiruan.
Rase Betina tengah menyiapkan pukulan
'Halilintar biru'. Satu ajian sesat yang berbau maut.
Di dunia persilatan hampir segenap kalangan mengetahuinya. Dan hanya pada kala-kala tertentu saja
Rase Betina akan mengerahkannya. Mengeluarkan
ajian andalan berarti wanita tua sakti ini memang
tak ingin main-main lagi dengan lawan.
Untuk satu ancaman ini, lagi-lagi Ki Kuncen
hanya menanggapi dengan senyum samar.
"'Halilintar Biru'...," gumamnya menilai. Dengan amat mudah dia menduga. Jika
kalangan persilatan lain justru akan mengejang tegang mengetahui
dirinya akan menghadapi ajian itu, Ki Kuncen malah
memperlihatkan wajah meremehkan.
"Pertimbangkan dulu jika hendak melepaskan
ajianmu itu padaku!" serunya pada Rase Betina.
"Peduli setan!"
Di ujung jawaban. Rase Betina benar-benar
melepaskan 'Halilintar Biru'-nya. Kedua tangannya
menyentak ke depan dengan telapak tangan terbuka
lebar-lebar. Dari telapak tangannya yang sudah sejak awal membersitkan cahaya kebiruan, melesat
seberkas cahaya biru berbentuk gerigi memanjang.
Laksana kilat menyambar.
'Halilintar Biru' terumbar.
Menanduk liar. Dalam hitungan kedipan mata saja, ujung cahaya biru menyilaukan dari telapak tangan Rase Betina sudah memangsa sepasang dada Ki Kuncen.
Zasss! Lalu terpecah letusan teramat menggemuruh.
Pada kejap yang sama, tubuh Ki Kuncen terhempas
cepat laksana sebatang kayu kering sejauh puluhan
tombak ke belakang. Sekujur badannya dari kepala
hingga ujung kaki menjadi berbinar kebiruan. Empat batang pohon seukuran pelukan tangan bertumbangan dan terbakar terhajar hempasan tubuh
Ki Kuncen yang terus menyala-nyala.
Riuh menjangkit.
Menggebah nyali penghuni rimba.
Menyaksikan keadaan korbannya, Rase Betina tertawa terkikik-kikik tiada putus. Dia merasa
kemenangan telah ada dalam genggaman. Dia telah
demikian yakin lawannya akan menjadi sebongkah
daging gosong ketika hempasan tubuhnya terhenti.
Sayang itu keliru sama sekali.
Sebab, sejak awal hempasan tubuh Ki Kuncen, telah terjadi satu keanehan yang luput oleh
pengamatan Rase Betina. Lelaki tua berblangkon itu
memang terhempas, tapi tubuhnya tetap pada posisi
semula! Lelaki berpakaian Jawa itu memang terkepung cahaya biru, tapi tak ada secuil pun bagian
tubuhnya yang terbakar seperti nasib empat batang
pohon yang terhantam hempasan dirinya!
Rase Betina dan pasangannya baru menyadari kemudian setelah hempasan Ki Kuncen terhenti.
Lelaki tua itu kini berdiri di atas kedua kakinya tanpa kurang apa-apa.... Hanya
saja, dari sekujur permukaan kulitnya mengepul asap keputihan tipis.
"Kau tidak bisa berharap banyak dengan
ajianmu itu," kata Ki Kuncen tenang.
Rase Betina tercengang-cengang. Begitu pun
Kepala Baja Dari Utara. Jelaslah sudah bagi mereka
berdua kini, lawan tidak bisa mereka tandingi. Bahkan meski nanti menggabungkan kesaktian bersama-sama. Tiba-tiba, terbersit ketakutan dalam diri masing-masing. Pikiran pecundang pun menjangkit di
benak mereka. Mereka harus menyingkir! Lari menyelamatkan diri.
Sebelum keduanya sempat melaksanakan
niat itu, mendadak saja senyum samar di bibir Ki
Kuncen berubah kesan. Terkandung kekejian yang
semula tak pernah nyata.
"Bersiaplah untuk mampus...," desisnya dengan sinar mata berapi.
Rase Betina dan Kepala Baja dari Utara saling
pandang. Mereka sama-sama menyadari sekaligus
merasakan bahaya maut siap mendatangi mereka.
Pikiran sebelumnya untuk menyingkir dari hadapan
lawan tak begitu bisa diharapkan ketika lawan sendiri bersiap untuk melepas serangan balasan.
Hanya ada satu pilihan untuk mereka.
"Aku bukan seorang pengecut," desis Kepala
Baja dari Utara seraya membuka jurusnya. Dikatakan kalimat itu sekadar untuk membakar keberanian yang nyaris mengkerut.
"Kita gabung kekuatan. Rase Betina!" serunya pada pasangannya.
Rase Betina pun menanggapi seruan pasangannya dengan turut membuka jurus baru. Sekali
ini, dia harus memompa seluruh kesaktian pamungkasnya. Kepala Baja dari Utara melakukan hal yang
sama. "Heaaa!"
"Hiph!"
Dua teriakan santer dari dua kerongkongan
berbeda menyatu ditingkahi dengus angin gerakan
keduanya. Setiap gerakan, selalu dibayangai suara
menggidikkan. Di lain pihak, Ki Kuncen pun membuka jurusnya. Satu kakinya terangkat perlahan, tertekuk
lalu tertahan di depan dada. Sepasang tangannya
terjulur ke depan. Jemarinya membentuk patuk
ular. Manakala kedua tangannya beringsut dalam
gerak berirama, terlintaslah desis seperti keluar dari moncong seribu ekor ular.
Menyaksikan gerak lawan, Kepala Baja dari
Utara menghentikan kembangan jurusnya. Ada yang
melintas di kepalanya begitu saja. Sesuatu diingatnya. Dan itu adalah ingatan yang sebenarnya telah
lama terpendam.
"Astaga, kau lihat gerakannya Rase Betina!"
bisiknya dengan wajah tak luput dari keterpanaan.
"Ya, mengingatkan aku pada seorang tokoh
yang menakutkan ketika kita masih ingusan, bukan?" balas Rase Betina. Tanpa disadari, dia pun turut menghentikan gerak
kembangan jurusnya.
"Gerakan itu mirip sekali dengan gerakan Pertapa Siluman Ular"!"
"Bagaimana mungkin dia masih hidup" Semestinya dia sudah berusia terlalu tua untuk penampilannya sekarang...," timpal Rase Betina.
Bisik-bisik pasangan itu entah bagaimana tertangkap telinga Ki Kuncen, kendati jarak antara mereka terbilang jauh. Dan lagi, tersamarkan pula oleh suara mendesis tinggi dari
setiap gerakan tangannya. "Kalian terkejut?" tukas KI Kuncen. Lalu sambungnya,
"Ya, akulah Siluman Ular dari Sumur Maut Berbisa!"
"Omong kosong! Sepanjang pengetahuanku,
Siluman Ular tidak seperti dirimu!" sambar Rase Betina, antara keterkejutan
mendengar pengakuan Ki
Kuncen dengan ketidakpercayaan.
Mata Ki Kuncen saat itu terlihat seperti merah
menyala. Meninju nyali kedua lawan.
"Peduli setan apakah kalian percaya atau tidak, yang jelas hari ini kalian akan mengalami nasib buruk...."
Belum lagi selesai perkataannya, tubuh Ki
Kuncen yang kini mengaku sebagai Siluman Ular,
tokoh pertapa sakti golongan hitam, secepat kelebatan malaikat maut meluruk ke arah Rase Betina dan
Kepala Baja dari Utara.
Kedua tangannya mematuk ke depan. Mencecar. Bagai ada ribuan siluman ular di sepasang tangannya yang membentuk ribuan bayangan. Di selasela bayangan, mengepul asap kehijauan tipis. Mengembang seperti gelombang.
Sekejapan mata. Rase Betina dan Kepala Baja
dari Utara harus siap menyambut datangnya serangan. Sebagai dua tokoh kawakan, mereka biasa
menghadapi serangan secepat apa pun. Ibaratnya,
bayangan pun dapat mereka elakkan. Namun belum
pernah mereka menyaksikan bagaimana cepatnya
lawan mereka kali ini. Tubuhnya seolah-olah telah
berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Lalu tiba-tiba saja sudah di depan mata.
Kendati sudah berusaha menghindar, tetap
saja kecepatan patokan tangan lawan sanggup mengejar. Deb! Tangan lelaki tua itu bahkan sanggup tetap
mengancam meski Rase Betina dan Kepala Baja dari
Utara merenggangkan jarak untuk memecahkan
perhatian lawan.
Rase Betina dan Kepala Baja dari Utara makin terkesiap. Keduanya lebih terkesiap lagi manakala jarak antara keduanya sudah merenggang cukup jauh, tubuh lawan perlahan-lahan terbagi dua
dalam bayangan setiap geraknya. Sampai akhirnya
Rase Betina dan Kepala Baja dari Utara benar-benar
menghadapi dua lawan!
Ketika itulah mereka mulai menyadari kesalahan. Keliru jika mereka menganggap pengakuan
lawan sebelumnya cuma omong kosong. Sebab dari
kabar burung yang pernah mereka dengar, salah satu kesaktian Siluman Ular adalah kemampuannya
menciptakan wujud kembar!
"Dia benar-benar Siluman Ular, Nyai!" teriak
Kepala Baja dari Utara di antara kepungan patukan
tangan lawan yang berusaha dimentahkan dengan
susah payah. "Lari! Kita tak akan sanggup menghadapinya!"
seru Rase Betina seraya mengempos tubuh jauhjauh ke belakang. Pada jarak yang cukup jauh, dia
pun berbalik dan mengerahkan ilmu lari cepatnya.
Kepala Baja dari Utara menyusul kemudian.
SEPULUH PADA pertengahan malam, Satria Gendeng
dan Pengemis Arak sampai juga di tengah Hutan
Pemantingan. Sampai saat itu, belum juga mereka
menemukan pohon jati raksasa seperti dikatakan lelaki tua penunggu hutan keramat itu. Mereka harus
mencarinya lebih dahulu. Mencari dalam kegelapan
pekat yang hampir menyeluruh seperti mereka alami
bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi ketika awan
mulai berarak mengerumuni rembulan.
"Sial, di mana pohon jati raksasa itu," gerutu Ki Dagul. Sudah kegelapan begitu
pekat, matanya pun sudah terlalu rabun. Bagaimana dia tak jadi
mangkel. "Aku pun sedang mencarinya, Orang Tua...
sedang mencarinya," ucap Satria dari atas batang sebuah pohon tua yang menjulang
di dekat Pengemis Arak. Dengan melepaskan pandangan, matanya
mencari-cari ke segenap penjuru.
"Bagaimana, sudah kau temukan?" tanya Ki
Dagul. "Belum. Sabarlah!"
"Ah, kalau aku semuda kau, tentu aku sudah
menemukannya sejak tadi. Dasar kau saja...."
"Itu dia!" seru Satria kemudian.
Pengemis Arak mendongak.
"Bagus! Seberapa jauh lagi dari tempat ini"!"
susulnya "Kira-kira tiga ratus langkah!"
"Tak begitu jauh. Kalau begitu cepatlah kau
turun! Aku sudah tak betah di tempat ini."
Satria melompat turun, tepat di sisi Pengemis
Arak. Tanpa dikomandoi lagi, keduanya segera melangkah kea rah pohon jati raksasa tadi.
"Apa kau melihat ada keanehan di sana?"
tanya Ki Dagul.
Satria menggelengkan kepala.
"Entahlah. Keadaan terlalu gelap," jawabnya.
Keduanya terus melangkah. Sampai berjarak
lima puluh langkah lagi dari pohon jati raksasa, ti-ba-tiba Satria menghentikan
ayunan kakinya. Matanya mengawasi tajam. Wajahnya terlihat membatu. "Ada apa lagi" Kenapa kau berhenti sebelum
kita tiba di sana?" Ki Dagul pun jadi sewot.
"Apa kau tak mendengar sesuatu, Orang
Tua?" bisik Satria, teramat halus. Seakan dia tak ingin ada satu pasang telinga
pun mendengar uca

Satria Gendeng 21 Pertapa Cemara Tunggal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pannya. Pengemis Arak terdiam sambil memasang
pendengaran tajam-tajam.
"Suara apa lagi" Aku tak mendengar apa-apa.
Yang kudengar cuma jangkrik melulu," gerutu orang tua pemabuk itu dengan wajah
sebal. Satria sendiri tetap yakin dia telah mendengar
sesuatu. Jelasnya bukan suara jangkrik seperti kata Ki Dagul. Bukan pula suara
desah angin malam.
Suara yang didengarnya sama sekali bukan dari suara-suara wajar dalam hutan.
Telinganya menangkap bunyi halus menyerupai desisan. Bukan dari seekor ular. Ini lebih halus dan melintas cepat di
belakang mereka berdua seakan ada sesuatu berkelebat.
"Ah, barangkali cuma telingamu saja yang
mulai tak beres!" sangkal Ki Dagul. Bibirnya mencibir. Dilanjutkan dengan
menenggak tuak.
"Sudah cepat kita jalan lagi. Aku penasaran
sekali sebenarnya ada apa di dekat pohon jati raksa-sa itu. Apa di sana ada
hajatan dedemit atau apa.
Pokoknya cepat!" oceh Ki Dagul lagi setelah didahului sendawa berkepanjangan.
"Ssst!" sergah Satria. Orang tua keropos ini memang brengsek, makinya dalam
hati. Padahal dia
sendiri masih berusaha mewaspadai keadaan yang
dianggapnya cukup mencurigakan.
Kecurigaan itu terbukti pula akhirnya hanya
berjarak tiga empat tarikan napas kemudian. Sebentuk suara lain mencelat seketika dari arah pohon jati raksasa. Mengguntur.
Sekuat salakan belasan petir
yang menyatu! Ki Dagul dibuat hampir melompat karenanya.
"Kunyuk, suara apa itu"!" semprotnya cepat dengan mata membelalak-belalak.
Satria Gendeng sendiri bukannya tak terperanjat. Namun dia memang lebih siap menghadapi
setiap kemungkinan dibanding Ki Dagul. Dia hanya
mempersiapkan kesiagaan dan kewaspadaan. Dilepasnya pandangan menghunus ke arah sumber suara. Kala berikutnya, bukan lagi suara yang muncul melainkan seberkas cahaya bercampur asap, debu, dan pasir memenuhi udara. Berkas cahaya itu
melebar, berwarna kuning menyilaukan. Terangnya
bahkan mencapai pertengahan batang jati raksasa.
Dua kali dengan kali itu Ki Dagul dibuat
hampir melompat kaget.
"Apa lagi itu"!" semburnya.
Kejutan berikutnya berupa tawa hingarbingar yang melantakkan suasana malam. Asalnya
dari sumber yang sama dengan gemuruh serta cahaya tadi. "Ha ha ha ha!"
Samar-samar dari layapan asap tersembul
bayangan aneh. Bayangan seorang tinggi besar dengan seorang lain bersila di atas kepalanya. Mereka
tak lain Kaladewa dan Kasindra, lelaki berpakaian
merah. "Kalian datang tepat pada waktunya!" gelegar suara Kaladewa menyambut
kedatangan Satria
Gendeng dan Pengemis Arak yang masih terbengong
-bengong. Bagi Pengemis Arak, pemandangan yang disaksikannya mungkin tak terlalu mengejutkan. Dia
termasuk tokoh tua yang sudah kenyang makan
asam garam. Tapi kalau dia sekarang bertemu juga
dengan Kaladewa, seorang datuk sesat yang sudah
menjadi momok menakutkan ketika dirinya sendiri
masih ingusan, itu tentu lain soal. Selama hidupnya yang sudah buluk dan bau
tanah, Ki Dagul tak pernah sekali pun menyaksikan langsung Kaladewa,
manusia yang sudah dianggap sebagian besar sebagai setengah siluman. Sampai matanya mendelik sekarang menyaksikan wujud Kaladewa yang cuma
diketahuinya dari cerita, Ki Dagul tetap masih tak
bisa percaya dia telah bertemu langsung dengan
manusia mandraguna itu.
"Di antara mereka, siapa yang bernama Kaladewa itu, Orang Tua?" bisik Satria Gendeng. Na-danya tergetar. Tak bisa
dipungkirinya kemunculan
manusia setengah siluman itu telah membuat nyalinya sedikit menggelepar.
Pertanyaan Satria Gendeng sama sekali tak
mendapat jawaban. Sebaliknya, Pengemis Arak sibuk terbengong. Terpana dia dengan wajah seorang
tersedak tulang sebesar pergelangan tangan.
"Orang Tua!" bentak Satria.
"Hah"! Hah"! Hah"!"
"Yang mana di antara mereka yang kau kenal
sebagai Kaladewa?"
"Aku tak mengenal Kaladewa. Aku hanya
mendengar ceritanya!"
"Terserah kau. Yang aku ingin tahu, di antara
mereka, siapa menurutmu yang kau yakini Kaladewa?" "Bukan lelaki berpakaian merah itu... Lelaki berpakaian merah"! Hei,
bukankah dia yang telah
menemuiku waktu itu?"
"Diakah orangnya?"
"Kau tuli" Aku sudah bilang begitu, bukan?"
"Jadi, orang tinggi besar itulah Kaladewa?"
ucap Satria, setengah menduga, setengah bertanya.
Di seberang sana, dua lelaki bersikap ganjil
mulai mempersempit jarak dengan Satria dan Ki Dagul. Kaladewa melangkah beberapa tindak ke muka.
"Kalian datang tepat pada waktunya...," sam-butnya layaknya gemuruh gempa.
Kasindra menyentak tubuh. Berjumpalitan
dia di udara, lalu menjejakkan kaki di samping Kaladewa. Dengan senyumnya yang kegenit-genitan
menyebalkan, dia berkata, "Kita bertemu lagi, Orang Tua!" Ki Dagul cuma
meringis. Kasindra melangkah tiga tindak ke depan.
"Perlu kuperkenalkan kepada kalian. Inilah
guruku, Kaladewa.... Inilah hari terakhir guruku
menjalani tapa terakhirnya di Hutan Pemantingan.
Selama puluhan purnama, tugasku hanyalah menunggunya dan menjaga agar tak seorang pun mengusik tapanya. Namun, beberapa hari lalu, aku sengaja merencanakan agar beberapa orang datang ke
tempat ini. Termasuk kau, Orang Tua. Serta yang
terpenting pendekar muda kita, Satria Gendeng...."
Satria mengerutkan kening.
"Jadi maksudmu, kau telah mengatur semua
ini. Kau sengaja memancing kami agar tiba di tempat ini?" ucapnya.
"Benar!" Kasindra tertawa. "Kuangkat dongeng rakyat tentang Pertapa Cemara
Tunggal yang memberikan benda pusaka pada seseorang di dunia
persilatan..."
"Isapan jempol belaka. Begitu kau hendak katakan tentang benda pusaka itu?"
"Ya. Cuma isapan jempol belaka. Aku pula
yang telah membunuh Jenggot Perak. Aku yang menyebarkan berita bohong itu. Aku yang menyebarkan fitnah bahwa kau telah membunuh Jenggot Perak dan membawa lari benda pusaka dari Pertapa
Cemara Tunggal...."
Satria menggeleng-gelengkan kepala dengan
wajah geram. "Apa tujuanmu dengan semua ini?"
"Tujuanku?" Kasindra menoleh pada gurunya.
Dengan senyum puas tak lekang dari bibirnya, dia
berkata lagi. "Guruku ini membutuhkan satu syarat untuk
menyempurnakan tapa akhirnya guna mendapatkan
ajian yang tak pernah dimiliki siapa pun...."
Satria menunggu kelanjutan ucapan Kasindra. "Syarat itu adalah dirimu, Satria Gendeng! Guruku membutuhkan darahmu.
Darah yang telah tercampur satu cairan langka dasar terdalam Laut Selatan. Bukankah kau yang hanya memiliki darah
itu?" Darah" Satria bergidik. Sejak awal dia sudah berharap akan berurusan
dengan manusia setengah
siluman Kaladewa. Sekarang, dia tak lagi bisa
menghindari. Kaladewa sendiri punya alasan yang
kuat untuk membunuhnya!
"Kau bisa menyerahkan darahmu dengan suka rela jika kau pikir percuma untuk menghadapi
guruku," kelakar Kasindra sama sekali tak terdengar lucu. Kaladewa menyambutnya
dengan tawa terba-hak. "Untuk orang sesat seperti kalian, aku tak pernah bisa
berdamai!" tandas Satria mendesis pa-dat kegusaran.
"Kalau begitu, kau harus menghadapiku,
Anak Muda!" hardik Kaladewa, sangar.
Ki Dagul menelan ludah.
Satria Gendeng memperlihatkan wajah mengeras. "Bersiaplah!" gelegar suara Kaladewa lagi seraya melangkah ke depan. "Kau
akan kulumat habis, Anak Muda!"
"Tak semudah itu!"
Sahutan terdengar. Tapi bukan keluar dari
tenggorokan Satria Gendeng atau Pengemis Arak.
Melainkan datang dari seseorang yang sudah turut
pula hadir di tempat itu.
Ki Kuncen, alias Siluman Ular telah berdiri di
belakang Ki Dagul. Ki Dagul yang masih terhitung
tokoh kawakan pun masih sempat dibuat terperanjat oleh kedatangannya yang tak terduga sama seka-li.
"Aku Siluman Ular akan bersedia dengan senang hati bertarung untuk anak muda ini...," lanjut Ki Kuncen.
Kaladewa menatap Siluman Ular dengan tatapan tak percaya. Terakhir kali dia bertemu Siluman
Ular masih berpenampilan menjijikkan. Seluruh tubuhnya dipenuhi sisik dan lendir. Lalu kenapa sekarang berubah sama sekali"
"Kau heran dengan keadaanku sekarang, Kaladewa" " ujar Siluman Ular, menangkap tanda
tanya pada sinar mata Kaladewa. "Sejak kau mengusir dan mempecundangiku dari
Sumur Maut Berbisa, aku pergi tanpa tujuan. Lalu aku tiba ditepi Hutan Pemantingan. Di sana aku
tinggal. Selama aku
tinggal, aku pun mencoba menyempurnakan tapaku
hari demi hari. Kau tahu kenapa aku bertapa" Aku
berusaha untuk menyembuhkan kutukan yang menimpa diriku hingga membuat aku menjadi berlendir
dan bersisik. Di Sumur Maut Berbisa kau telah
menggagalkan tapaku hingga aku harus mengulanginya dari awal. Kini, setelah aku mengulang tapaku di tepi Hutan Pemantingan,
aku berhasil menge-nyahkan kutukan itu. Tapi, aku masih punya satu
urusan denganmu! Kau harus membayar perbuatanmu waktu itu padaku. Itu sebabnya aku tak cepat-cepat minggat dari tepi Hutan Pemantingan
hingga banyak penduduk menyebutku kuncen hutan keramat ini...." Siluman Ular mengakhiri ceritanya. "Bedebah!" maki
Kaladewa, merasa urusannya mendapat halangan lain yang terbilang berat.
"Kau gusar Kaladewa" Ya, aku memang sengaja menanti kesempatan ini. Aku tahu, aku tak
akan mampu menghadapimu sendiri. Namun jika
aku bersekutu dengan pendekar muda ini untuk
menghadapimu, kau jangan berharap banyak untuk
bisa unggul. Setidaknya, kau harus mengadu jiwa!"
ledek Siluman Ular.
Mendengar segala ucapan Siluman Ular, terbangkitlah kemurkaan Kaladewa.
Dia mendengus, layaknya seekor naga.
"Kalau begitu, kalian berdua akan segera
mampus!" tandasnya dengan nada menukik.
Kemurkaannya itu membangkitkan pula kesaktian yang selama ini telah mendarah daging dalam dirinya. Bangkit laksana gelegak angkara, memadati sekujur tubuhnya. Dan entah bagaimana,
tubuhnya perlahan-lahan terapung setinggi satu
tombak dari tanah!
Tak cuma itu, seluruh permukaan kulitnya
mendadak berpendar merah bara. Udara sekitarnya
terbakar hingga membentuk jilatan-jilatan berwarna
api! Dari sedekapnya, mendadak sontak tangannya terbuka ke depan. Dua jari telunjuknya tertuding ke arah Satria dan Siluman Ular. Seketika itu
pula membersit cahaya memanjang berwarna-warni.
Mirip juluran pelangi sebesar jari. Namun lebih banyak warna. "Hati-hati, Anak Muda!" seru Siluman Ular memperingati. Dia hendak berucap lebih
jauh, namun cahaya milik Kaladewa telah lebih dahulu
menghujam dadanya.
Seperti hendak menangkap cahaya tadi, telapak tangan disatukan Siluman Ular di depan dada,
tempat menjepit cahaya lawan.
Saat yang sama, Satria Gendeng pun mengalami hal serupa. Pendekar muda itu meraung liar
merasakan siksaan teramat sangat yang serasa hendak menghanguskan isi dadanya.
Dengan tubuh bergetar, Siluman Ular mencoba mengarahkan pendekar muda itu.
"Lawan dengan pengerahan tenaga murnimu.
Atur peredaran darahmu hingga mengalir ke dada
lebih kuat!"
Satria Gendeng kendati merasakan sakit luar
biasa, masih sempat menangkap ucapan Siluman
Ular. Dia pun cepat bersedekap. Dikerahkannya seluruh hawa murni dan mengatur peredaran darah.
Perlahan, dalam getaran yang kian memuncak tubuh Satria Gendeng dan Siluman Ular pun
mengepulkan asap. Perlahan-lahan pula, cahaya
warna-warni milik Kaladewa terdesak mundur.
Pada puncaknya, Satria dan Siluman Ular


Satria Gendeng 21 Pertapa Cemara Tunggal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sama-sama melepaskan raungan menggempakan.
"Heaaa!"
Dentuman maha hebat tercipta. Bersamaan
dengan itu, juluran cahaya milik Kaladewa membuyar terserpih-serpih.
"Bangsat!" raung Kaladewa.
Bermandi keringat, Siluman Ular tersenyum
sinis. Kaladewa tak puas hingga di situ. Dia menggerakkan tubuh seperti seekor naga mengibaskan
ekor. Kedua tangannya menyapu membentuk gerakan sayap. Tak ada dua kejapan mata, dari badan Kaladewa yang masih tetap mengapung dengan pendaran merah menyala, keluar bayangan hitam teramat
besar. Wujudnya menyeramkan, namun sulit ditentukan. Membesar dan membesar. Teramat cepat,
wujud hitam itu menerkam. Hanya saja, cuma Satria
Gendeng yang menjadi sasaran.
Siluman Ular terkesiap. Sebagai golongan hitam, mungkin dia tak begitu peduli pada keselamatan seorang pendekar golongan lurus seperti Satria
Gendeng. Namun sebagai seteru Kaladewa, dia tak
akan sudi membiarkan Kaladewa mencapai tujuannya. Bayangan hitam itu adalah wujud yang belum
sempurna dari kesaktian baru Kaladewa. Jika arahnya menuju Satria Gendeng, itu berarti Kaladewa
hendak berusaha langsung menghisap darah si pendekar muda! "Hindari bayangan hitam itu, Anak Muda!" se-ru Siluman Ular.
Satria Gendeng meski terpana, sempat pula
dengan gerakan teramat refleks mengerahkan peringan tubuhnya. Dia berjumpalitan berkali-kali ke belakang. Bayangan hitam mengejarnya lebih cepat.
Menghindar lebih jauh, sudah terlambat.
Satria pun seperti tertelan bayangan hitam
milik Kaladewa. Kejap itu pula, badannya mengejang. Wajahnya mengeras dengan garis-garis teramat
miris. Bola matanya membalik ke atas.
"Bhuaaa!"
Siluman Ular tak bisa mendiamkan kejadian
itu. Dia melepas hantaman jarak jauh berupa bolabola tenaga sakti berwujud gasing asap. Namun ketika menghantam tubuh Kaladewa, bola-bola asap
berpusing itu terpantul balik dan menghantam pemiliknya sendiri.
Ki Dagul makin terpaku di tempatnya. Mulutnya menganga makin lebar. Masih untung kalau tak
ada yang menetes.
Sementara itu, Satria Gendeng mulai menggeliat-geliat. Dia merasakan tubuhnya seperti hendak
dipreteli oleh sebentuk kekuatan tak terbendung.
Tulang-belulangnya berdenyut-denyut dan seakan
hendak meledak segera.
Ketika otot lehernya mengejang dan menggelembung melepas teriakan mengenaskan yang menjangkau sudut-sudut Hutan Pemantingan, tubuhnya
sudah tersuruk di atas lutut. Darah mulai merembes
dari seluruh pori-pori kulitnya. Anehnya, setiap tete-san darah tidak terjatuh
ke tanah, melainkan melesat lurus di dalam bayangan hitam yang terhubung
ke badan Kaladewa!
Setelah terpental berkali-kali karena benturan
tenaga saktinya sendiri, Siluman Ular menjadi nekat
menyaksikan detik-detik menegangkan itu. Apalagi
ketika dia menyaksikan tetes-tetes darah Satria
Gendeng mulai terserap di permukaan kulit Kaladewa. Tak berpikir dua tiga kali, Siluman Ular melompat dalam raungan mengguruh. Diterjangnya Kaladewa sepenuh kekuatan. Belum sempat mencapai
tubuh manusia setengah siluman itu, Siluman Ular
sudah terpental lebih sengit ke belakang.
Keadaan Satria Gendeng makin genting.
Darah hampir membasahi seluruh permukaan kulitnya. Dan benteng pertahanannya pun
makin menipis. Pada puncak seluruh siksaan menggila itu, sebentuk keajaiban terjadi. Dari satu sudut Hutan Pemantingan yang
demikian gelap, tahu-tahu
mencelat satu cahaya putih teramat kecil. Tak ada
yang memperhatikan kejadian itu, bahkan Kaladewa
sendiri. Cahaya putih kecil seperti kunang-kunang itu
melesat masuk ke dalam mulut Satria Gendeng yang
tengah terbuka melepas raungan. Melalui tenggorokannya, cahaya tadi terus melayap masuk ke dalam
tubuhnya. Detik berikutnya, bukan lagi darah yang
keluar dari seluruh pori-pori kulit pendekar muda
Tanah Jawa itu, melainkan sudah berganti dengan
bayangan putih samar.
Membersit cepat dan memangkas begitu saja
bayangan hitam milik Kaladewa. Dengan kecepatan
tak terperikan, bayangan putih samar dari dalam
tubuh Satria berbalik menerkam tubuh Kaladewa.
Seketika tubuh mengapung Kaladewa terpental pesat ke belakang. Sebelum sempat menghantam pohon jati raksasa, tubuhnya mendadak pupus seolah
ada pintu gaib menelannya.
Alam mendadak sunyi.
Antara sadar dan tidak, Satria merasakan ada
seseorang keluar dari dalam dirinya. Seorang wanita cantik yang sulit terperikan
pesonanya.... SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.
com/DuniaAbuKeisel
Ladang Pertarungan 2 Penelitian Rahasia 8 Jurus Lingkaran Dewa 1 Karya Pahlawan Menuntut Balas 14

Cari Blog Ini