Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Ceritasilat Si Walet Hitam karya Kho Ping Hoo ini merupakan rangkaian SERIAL SI TERATAI MERAH (Ang-Lian Li_Hiap) ke 2... admin ambil dari http://indozon e.net/ yg dipost enci alysa.... thank to alysa.....
01.01. Anak Perempuan Semata Wayang
Sang waktu berlalu amat cepatnya, tanpa terasa oleh siapapun juga. Segala sesuatu ikut berputar, dan hanyut
dalam aliran waktu, yang terus bergerak maju tanpa ada kekuasaan yang dapat menghentikannya.
Tak terasa, duapuluh tahun telah lewat dan mari kita menjumpai kembali pasangan-pasangan para pendekar
perkasa dengan keluarga mereka itu.
Di lereng Gunung Bong-ke-san terdapat sebuah dusun yang disebut Pek-se-chung atau Dusun Pasir Putih,
karena di dusun ini memang terdapat banyak sekali pasir yang keputih-putihan dan mengkilap bagaikan perak
apabila tertimpa sinar matahari. Menurut dongengan para penduduk dusun yang telah berusia lanjut, pasir-pasir
itu dulu dimuntahkan oleh Gunung Bong-ke-san itu.
Akan tetapi biarpun banyak bagian dusun itu tertutup pasir, namun tanahnya subur sekali karena selain tanah
yang baik, juga dari lereng gunung itu keluar mata air Sungai Han-kiang yang memuntahkan airnya ke Sungai
Yang-ce-kiang. Oleh karena ini maka biarpun dusun itu hanya ditinggali oleh beberapa puluh keluarga saja,
namun nampaknya mereka hidup cukup makmur dari hasil pertanian yang mereka garap secara sederhana.
Di tengah kampung Pek-se-chung, tinggal seorang setengah tua yang gagah perkasa dan disegani oleh semua
penduduk kampung sebagai seorang pendekar yang baik budi dan dermawan, dan bahkan semua penduduk
kampung itu mengangkat dia sebagai kepala kampung mereka. Pendekar ini adalah Nyo Tiang Pek, seorang
tokoh persilatan yan terkenal sekali namanya di dunia kang-ouw, karena dia bukan lain adalah murid terkasih
dari Kang-lam Taihiap Kam Hong Tie yang namanya telah menggemparkan empat penjuru dunia.
Biarpun usianya telah empatpuluh tahun, namun Nyo Tiang Pek masih nampak gagah dan tampan. Tubuhnya
tinggi tegap dan tindakan kakinya jelas menunjukkan bahwa dia memiliki kepandaian tinggi dan tenaga yang
kuat sekali. Di samping kegagahannya sendiri, Nyo Tiang Pek juga mempunyai seorang isteri yang bukan orang
sembarangan pula, karena isterinya yang bernama Coa Giok Lie ini juga memiliki ilmu silat tinggi, terutama
kepandaian gin-kangnya (ilmu meringankan tubuh), karena nyonya Nyo Tiang Pek ini adalah murid Song Cu
Ling yang berjuluk Dewi Tanpa Bayangan, seorang tokoh besar dunia kang-ouw yang namanya sudah
membuat bulu tengkuk para penjahat berdiri saking ngeri dan takutnya!
Selain pandai ilmu silat biarpun tidak sepandai suaminya, Coa Giok Lie juga ahli dalam hal pekerjaan kerajinan
tangan, menabuh yang-kim dan meniup suling! Hal ini tidak mengherankan, karena sesungguhnya Coa Giok Lie
ini masih berdarah bangsawan tinggi, yakni dari seorang pangeran!
Nyo Tiang Pek hanya mempunyai seorang anak tunggal, maka tidak mengherankan apabila Lee Ing sangat
dimanja ayah-bundanya. Juga bukan hal yang aneh apabila gadis ini berwajah manis karena ayahnya tampan
dan ibunya cantik jelita, serta memiliki kepandaian silat yang luar biasa berkat latihan-latihan yang diberikan
dengan sungguh hati oleh Nyo Tiang Pek dan Coa Giok Lie.
Kepandaian Lee Ing dalam hal ilmu pedang demikian maju dan lihai sehingga jangankan ibunya, bahkan
ayahnya sendiri di waktu berlatih melawan dia, diam-diam merasa kagum karena sukar baginya untuk
mengalahkan puterinya ini! Akan tetapi, sebagai seorang yang bijaksana, Nyo Tiang Pek tidak mau memujimuji kepandaian Lee Ing, bahkan sering memberi nasihat demikian.
"Ing-ji, kepandaian silat yang kaumiliki ini masih jauh untuk dapat dikatakan sempurna. Ketahuilah bahwa di
dunia ini banyak sekali orang-orang pandai yang memiliki kepandaian luar biasa. Dulu ketika ayahmu ini masih
muda dan sering merantau, tidak terhitung banyaknya orang pandai yang telah mengalahkan ayahmu, maka
sikap yang paling tepat ialah merendahkan diri dan jangan menjadi sombong. Oleh karena kesombongan dan
pikiran yang menganggap diri sendiri terpandai hanya akan mendatangkan malapetaka belaka."
Lee Ing merasa tidak puas mendengar ucapan ayahnya ini. Maklumlah, ia semenjak kecil tinggal di dalam
sebuah kampung yang hanya mempunyai penduduk paling banyak seratus orang dan semua pehduduk
kampung itu menaruh hormat yang tinggi sekali kepada ayahnya dan menganggap kepandaian Nyo Tiang Pek
seakan-akan kepandaian seorang dewa.
Hal ini adalah karena dulu ketika Nyo Tiang Pek belum lama tinggal di situ, seorang diri saja Nyo Tiang Pek
dengan dibantu Coa Giok Lie telah memukul hancur sejumlah besar perampok yang hendak mengganggu
kampung Pek-se-chung. Kini mendengar bahwa di dunia kang-ouw banyak sekali terdapat orang-orang pandai
yang dapat mengalahkan ayahnya, hati dara muda itu merasa tidak puas.
"Ayah," katanya dengan alis dikerutkan, "kepandaian ayah sudah demikian tinggi dan lihai, mungkinkah di
dunia ini ada orang yang dapat mengalahkan ayah" Siapakah orang itu, ayah?"
Nyo Tiang Pek tak dapat menahan geli hatinya dan ia tertawa lebar. "Lee Ing, kau seperti seekor katak di
dalam sumur saja." "Eh, ayah. Benar-benarkah aku begitu buruk hingga kau anggap aku seperti seekor katak?" tanya Lee Ing
dengan mulut cemberut. Ketawa Nyo Tiang Pek makin lebar, memang kebahagiaan pendekar ini hanya terletak dalam diri puterinya
yang tunggal dan sangat dicintanya, dan dara muda ini pandai sekali berjenaka dan membuat ayahnya
tertawa geli. "Bukan begitu maksudku, Lee Ing. Kau begini cantik jelita seperti ibumu, masa aku menyamakan kau seperti
katak" Maksudku ialah bahwa pandanganmu sangat sempit dan pengetahuan serta pengalamanmu amat
dangkal seperti pandangan seekor katak dalam sumur yang menganggap bahwa sumur itu adalah dunia satusatunya di mana tidak ada lain mahluk yang lebih kuat dan berkuasa melebihi dia sendiri.
"Ketahuilah, anakku, di antara pendekar silat, tak terhitung banyaknya yang memiliki kepandaian amat lihai.
Diantara mereka ialah Ang
Lian Lihiap si Teratai Merah yang memiliki ilmu pedang Sian-liong-kiam-sut, seorang
pendekar wanita yang menjadi kawan baikku. Sayang sekali kau belum pernah bertemu dengan dia yang
sebetulnya menjadi kakak seperguruan ibumu sendiri.
"Dan diantara pendekar pria, harus disebut bahwa suami Ang Lian Lihiap yang bernama Lo Cin Han dan
berjuluk Hwee-thian Kim-hong (Burung Hong Terbang ke Angkasa) memiliki kepandaian yang lebih hebat lagi,
karena dia adalah murid dari Beng San Siansu, seorang pertapa setengah dewa. Apalagi setelah kedua suami
isteri mendapat latihan terakhir dari Beng San Siansu hingga keduanya kini telah mewarisi ilmu pedang Hwiesian-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Dewa Terbang) maka kurasa ilmu pedang mereka untuk masa ini sukar
sekali dicari tandingannya."
Diam-diam Lee Ing merasa penasaran sekali, karena ayahnya telah memuji-muji orang lain sedemikian rupa.
"Ayah, kau sendiri disebut Kim-jiauw-eng (Garuda Berkuku Emas), mengapa kau puji-puji orang lain setinggi
langit" Apakah kau pernah dikalahkan oleh suami isteri yang memiliki kepandaian Kiam-sut itu?"
Nyo Tiang Pek tertawa lagi dan ketika ia teringat akan kedua suami isteri yang dipuji-pujinya itu, terkenanglah
ia akan pengalaman-pengalamannya ketika ia masih berkumpul dengan mereka berdua. Pengalamanpengalamannya di waktu muda.
"Tidak, Ing-ji, aku, tak pernah bertempur melawan mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah kawankawan baikku yang boleh dibilang telah menjadi saudara-saudaraku. Bahkan mereka adalah kawan baik
ibumu pula dan tentang hal ini boleh kautanyakan kepada ibumu, tentu dia akan bercerita panjang lebar
tentang mereka berdua dan yang benar-benar harus dikagumi karena mereka lihai dan berbudi agung sekali."
Lee Ing masih merasa penasaran. Ia ingin sekali bertemu muka dengan orang-orang yang dipuji ayahnya itu
untuk mencoba kepandaian mereka. Akan tetapi ia tidak berani menyatakan pikiran ini, oleh karena biarpun ia
dimanja, terhadap ayahnya ia mempunyai hati segan dan takut. Maka untuk mengalihkan percakapan mereka
ia berkata. "Ayah, telah lama aku tidak melatih Gin-san-ciang-hwat. Marilah kau memberi petunjuk kepadaku."
Mereka memang sedang bercakap-cakap di dalam kebun belakang rumah mereka, maka Nyo Tiang Pek lalu
menghampiri sebatang pohon yang tak begitu besar. Ia berdiri kira-kira setombak jauhnya dari pohon itu, lalu
berkata. "Tenagamu dalam mempergunakan Gin-san-ciang (Tangan Bubuk Perak) sudah cukup besar, akan tetapi
gerakanmu yang masih canggung. Kaulihatlah baik-baik, untuk dapat mempergunakan Gin-san-ciang dengan
tepat, kaki kiri harus ditekuk ke bawah dan kaki kanan diluruskan ke depan, tenaga dikumpulkan ke ujung
kepalan, Seranganmu harus dilakukan dengan tipu gerakan, Raja Monyet Memetik Buah, kaulihatlah!"
Setelah berkata demikian, Nyo Tiang Pek, melakukan gerakan, itu dan ketika kedua tangannya terulur dan
mendorong ke arah pohon, terdengar suara keras dan batang pohon itu menjadi patah.
Lee Ing lalu mencoba dan menuruti gerakan ayahnya. Beberapa kali ia melakukan gerakan itu, akan tetapi
pohon itu hanya terguncang-guncang saja dan tidak dapat menjadi patah.
"Salah, salah! Pukulanmu terlampau keras, akan tetapi tidak tajam. Jangan menggerakkan kedua kepalan
dengan berbareng karena tenaga itu akan menjadi terlalu besar dan paling banyak kau hanya akan
mendorong lawan dan membuatnya jatuh terguling saja, akan tetapi tidak akan dapat melukainya. Kepalan
kanan harus bergerak dulu, lalu dengan cepat dan tepat disusul gerakan lengan kiri sehingga tenaga pukulan
itu akan menggunting lawan." Nyo Tiang Pek memberi petunjuk.
Setelah berkali-kali mencoba akhirnya patahlah batang pohon itu oleh pukulan Gin-san-ciang dari Lee Ing
sehingga dara muda itu berjingkrak-jingkrak girang.
"Ayah, apakah Ang Lian Lihiap dapat menahan pukulan kita ini?" tanyanya.
Ayahnya mengerutkan jidat mendengar ini. Anaknya ini walaupun hanya seorang wanita, akan tetapi memiliki
bakat yang baik sekali dan berotak cerdas hingga mudah saja mempelajari ilmu-ilmu silat yang tinggi, akan
tetapi, mendengar pertanyaan ini, ia hanya tersenyum dan menjawab,
"Pohon tidaklah sama dengan manusia yang dapat bergerak, dapat berkelit dan dapat menangkis serangan
pukulan. Lagi pula, Ang Lian Lihiap adalah seorang pendekar wanita yang, menjadi kawan baik kita, kau tidak
mempunyai alasan untuk memukulnya dengan Gin-san-ciang kita!"
Lee Ing juga tersenyum dan memandang wajah ayahnya yang gagah.
"Ayah, mari kita pergi menemui ibu karena aku ingin sekali mendengar ceritanya tentang Ang Lian Lihiap!"
Sambil menggandeng tangan ayahnya, Lee Ing menarik tangan orang tua itu dan berlari-lari mencari ibunya
yang sedang menyulam di ruang dalam.
"Ibu, ibu?" ceritakanlah tentang pendekar wanita yang ditakuti ayah!"
Coa Giok Lie mengangkat muka memandang. Ternyata nyonya ini masih nampak cantik jelita dan mempunyai
gerakan yang lemah gemulai, menunjukkan bahwa ia adalah seorang wanita terpelajar. Bibirnya yang masih
merah itu tersenyum manis dan matanya yang jeli berseri.
"Lee Ing, jangan kau nakal! Pendekar wanita yang mana yang ditakuti ayahmu?"
Nyo Tiang Pek juga tertawa. "Selain ibumu, tidak ada pendekar lain yang kutakuti!" katanya jenaka.
Giok Lie mengerling kepada suaminya sambil cemberut sedangkan Lee Ing memandang kedua orang tuanya
dengan gembira. Hubungan yang penuh kasih dan bahagia antara, ayah dan ibunya inilah yang memberi dia
watak yang jenaka dan gembira pula.
"Ibu, tadi ayah memuji-muji seorang pendekar wanita yang bernama Ang Lian Lihiap. Katanya pendekar
wanita itu lebih gagah daripada ayah atau ibu, dan aku tidak percaya!" katanya sambil memegang lengan
ibunya dengan sikap manja.
Mendengar nama ini, Giok Lie lalu menunda kain yang sedang disulamnya dan ia memegang tangan anaknya,
lalu berkata dengan wajah sungguh-sung guh.
"Ing-ji, kau harus percaya. Dan kau harus memandang tinggi kepada Ang Lian Lihiap, karena sebenarnya dia itu
masih twa -ie mu sendiri." (Twa-ie adalah kakak ibu atau uwa).
Kemudian ia menceritakan riwayatnya di waktu masih muda dan diceritakan pula bahwa Ang Lian Lihiap yang
bernama Han Lian Hwa adalah sucinya (kakak seperguruan) dan bahkan telah menjadi cicinya sendiri. Ia
menceritakan kegagahan-kegagahan Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong hingga Lee Ing mendengarkan
dengan hati tertarik sekali.
Diam-diam gadis ini merasa kagum kepada kedua suami isteri pendekar itu dan ingin sekali ia bertemu dengan
mereka, terutama sekali untuk membuktikan kegagahan mereka yang dipuji-puji kedua orang tuanya itu.
Setelah selesai bercerita, baik Giok Lie maupun suaminya terkenang dan rindu sekali kepada Ang Lian Lihiap
dan suaminya, hingga Giok Lie berkata kepada Tiang Pek.
"Aku merasa rindu sekali kepada mereka itu. Dimanakah sekarang mereka berada dan mengapa tak pernah
memberi kabar?" Sambil berkata demikian , karena teringat akan Han Lian Hwa yang dikasihinya, kedua mata
Giok Lie yang bagus itu menjadi basah.
Nyo Tiang Pek menghela napas. "Aku sendiripun sangat rindu dan ingin berjumpa dengan Cin Han. Dulu pernah
aku mendengar bahwa mereka telah pindah ke Tit-lee. Pada dewasa ini, dengan adanya bahaya penyerbuan
tentara di mana-mana terjadi kekacauan maka aku tidak tahu lagi di mana adanya mereka itu."
Pada saat itu, tiba-tiba dari luar terdengar suara orang memanggil-manggil.
"Chung-cu (pak lurah), celaka, beberapa orang kawan-kawan kita sedang dikejar?kejar tentara kerajaan!"
teriak orang itu setelah Nyo Tiang Pek berlari keluar.
Nyo Tiang Pek dengan tenang bertanya, "Dimanakah mereka itu?"
"Itu di sana di ladang sebelah selatan. Ada tujuh orang berpakaian tentara hendak menangkapi orang-orang
muda di dusun kita, dan mereka sekarang sedang berkelahi!"
Nyo Tiang Pek lalu berlari keluar, diikuti oleh Giok Lie dan Lee Ing yang tidak mau ketinggalan. Ketika mereka
tiba di tempat itu, benar saja mereka melihat sebelas orang pemuda kampung yang sedang berkelahi
melawan tujuh orang yang berpakaian tentara kerajaan. Biarpun pemuda-pemuda itu hanya petani-petani
biasa, namun sedikit banyak mereka telah mendapat latihan ilmu membela diri dari Nyo Tiang Pek, maka
dengan tongkat, cangkul, dan pisau mereka mempertahankan diri dari serangan tentara yang bersenjata golok
dan yang mengerti ilmu silat cukup baik itu.
Akan tetapi, para petani itu terdesak hebat, bahkan seorang di antara mereka telah mendapat luka di
pundaknya yang mengalirkan darah dan membasahi pakaiannya. Nyo Tiang Pek marah sekali dan hendak
bertindak, akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara kaki kuda mendatangi dan seorang perwira yang cakap dan
gagah cepat melompat dari atas kudanya dan tubuhnya melayang ke tempat pertempuran.
Gerakan ini adalah gerak melompat Naga Sakti Menembus Awan yang dilakukan dengan baik sekali hingga
Nyo Tiang Pek menjadi kagum juga. Begitu perwira itu menggerakkan kaki tangannya, maka robohlah ketujuh
tentara yang mengamuk itu, sedangkan para petani lalu mengundurkan diri dengan takut.
"Kamu ini sungguh orang-orang kurang ajar yang memalukan sekali!"
Perwira itu mendamprat kepada para anak buahnya yang ketika melihat bahwa yang datang adalah perwira
yang tinggi kedudukannya, lalu diam tak berani berkutik sedikitpun.
"Bagaimanakah bunyi perintah yang ditugaskan kepada kalian" Kalian harus membujuk dan mencari pemudapemuda yang dengan suka rela mau membantu pertahanan kita untuk mengusir musuh dan dilatih menjadi
tentara. Bukan sebagai orang-orang tawanan yang ditangkap dengan paksa. Kalian sungguh membikin malu
kepadaku, dan awas, kalau lain kali aku melihat kalian melakukan perbuatan yang kejam ini aku takkan
memberi ampun lagi. Sekarang, pergilah kembali ke markasmu!"
Bagaikan anjing-anjing kena pukul menyembunyikan ekor di bawah perut, para perajurit itu sambil tundukkan
kepala memunguti golok-golok mereka yang tadi terlepas ketika perwira itu mengamuk dan mereka lalu pergi
dari situ dengan tindakan kaki lemas.
Perwira muda itu lalu menjura kepada para pemuda yang masih berdiri di situ dan berkata, "Saudara-saudara
harap suka memaafkan anak buahku yang kasar. Kalau saudara-saudara tidak suka membantu kerajaan,
maka kamipun takkan memaksa."
Melihat sepak terjang dan mendengar ucapan perwira itu, Nyo Tiang Pek menjadi tertarik sekali dan ia lalu
menghampiri perwira itu. Ternyata perwira itu masih muda sekali dan pakaiannya yang indah membuat ia
nampak gagah. Sebatang pedang yang gagangnya memakai pita kuning emas tergantung di pinggangnya.
Ketika melihat Nyo Tiang Pek, perwira itu sambil tersenyum lalu menjura memberi hormat yang dibalas dengan
sepatutnya oleh Tiang Pek.
"Ciang-kun sungguh gagah dan berbudi. Kalau tidak menjadi halangan, sudilah mampir di pondok kami untuk
bercakap-cakap," kata Tiang Pek.
Perwira itu balas memandang. "Mohon tanya, siapakah lo-peh (paman) ini?" tanyanya dengan sikap hormat.
"Aku adalah Nyo Tiang Pek yang menjadi Chung-cu dari kampung ini dan siapakah nama ciang-kun (panglima)
yang mulia?" "Aku yang muda bernama Lui Tik Kong."
Pada saat itu Lui Tik Kong melihat Lee Ing dan dadanya berdebar aneh. Niatnya hendak menolak undangan
Nyo Tiang Pek segera ia batalkan dan ia berkata lagi. "Nyo Chung-cu sungguh baik hati, dan tentu saja aku
tidak berani menolak undanganmu."
Maka perwira muda itu lalu pergi bersama Nyo Tiang Pek ke rumah kepala kampung itu, sedangkan Lee Ing
dan ibunya telah pulang terlebih dulu untuk mempersiapkan segala keperluan menyambut seorang tamu.
"Perwira itu cakap dan gagah," kata Coa Giok Lie di tengah jalan tanpa disengaja.
"Ah, gagah juga gagahnya sendiri, siapa yang peduli akan kegagahan orang lain?"
Tiba-tiba Lie Ing menjawab hingga dengan heran nyonya itu berpaling dan memandang muka anaknya.
Kemudian ia tertawa, tapi Lee Ing cemberut dan berkata, "mengapa ayah mengundang segala macam perwira
ke rumah kita" " "Hush, jangan kau berkata demikian, Ing-ji. Ayahmu memang suka berkenalan dengan orang-orang gagah dan
kaulihat dari gerakan pemuda tadi bahwa ia tentulah murid seorang pandai."
Akan tetapi Lee Ing makin cemberut ketika ia berkata, "Apakah hebatnya gerakan itu" Ibu atau aku dapat
melakukannya dengan lebih baik lagi."
Ibunya tersenyum. "Jangan kau sombong, nak!"
Mereka lalu menuju ke ruang belakang dan Coa Giok Lie membantu pelayannya dan sibuk menyiapkan
hidangan di dapur hingga terpaksa dan mau tidak mau Lee Ing lalu membantu ibunya.
Sementara itu, Nyo Tiang Pek melayani tamunya di ruang depan dan bercakap-cakap dengan tamunya yang
muda dalam suasana gembira sekali. Jarang nampak Nyo Tiang Pek segembira itu, oleh karena selama tinggal
di kampung jarang ia bertemu dengan orang yang pandai dan banyak pengalaman seperti perwira muda ini.
Selain pandai silat dan banyak pengalamannya ternyata Lui Tik Kong perwira muda itu, pandai pula bicara
hingga Nyo Tiang Pek makin merasa suka dan kagum kepadanya. Pemuda ini menceritakan keadaan di kota
raja dan bicara tentang keadaan negara serta pertahanannya sebagai seorang ahli perang yang pandai.
01.02. Kerinduan Dua Sahabat
"Suku bangsa Turki makin berani dan kurang ajar," kata Lui Tik Kong ketika menceritakan keadaan dan bahaya
yang mengancam pemerintah Tang, "mereka telah bersekutu dengan banyak suku bangsa, dan kelompok yang
tidak mau bersekutu dengan mereka, mereka taklukkan. Kini mereka bahkan telah berani menyerbu dan
bergerak masuk ke dalam tembok besar, merampok dan membunuh, bahkan banyak sekali bangsa kita (Han)
diculik untuk dijadikan budak. Kabarnya suku-suku bangsa lain sudah ditaklukkan oleh mereka.
"Raja yang kini memimpin mereka adalah Jingar Khan yang selain kejam dan ganas, juga memiliki kepandaian
tinggi sekali. Oleh karena inilah, maka kaisar lalu memberi perintah untuk memperkuat barisan kita dan untuk
berjaga-jaga sambil menarik sebanyak mungkin barisan sukarela terdiri dari orang-orang gagah untuk mengusir
musuh yang makin lama makin kurang ajar itu. Bahkan kini banyak sekali mata-mata musuh yang terdiri
orang-orang dari Han yang berkhianat karena pengaruh harta, berkeliaran di seluruh negeri."
Nyo Tiang Pek merasa terkejut sekali. "Sudah demikian hebatkah keadaannya?"
Lui Tik Kong menghela napas. "Memang kelihatannya tidak terjadi sesuatu, akan tetapi sebenarnya keadaan
dewasa ini berbahaya. Terutama oleh karena Jingar Khan cedik sekali. Dengan pengaruh emas dan harta
benda, ia menyuruh anak buah dan mata-matanya untuk membujuk orang-orang gagah di kalangan kang-ouw
untuk membantunya." Pada saat itu hawa udara amat panasnya dan Lui Tik Kong yang mengenakan pakaian perwira yang tebal,
merasa panas sekali hingga peluhnya mengucur membasahi mukanya. Melihat keadaan pemuda ini, Nyo Tiang
Pek lalu berkata, "Lui-ciangkun, kalau kau merasa panas, tanggalkanlah baju luarmu yang tebal itu. Di sini kau tak perlu merasa
sungkan dan malu." Lui Tik Kong adalah seorang perajurit yang jujur dan oleh karena sikap tuan rumah yang peramah ini, ia tidak
merasa sungkan lagi. Sambil berkata "maaf"! ia tanggalkan baju luarnya hingga kini hanya mengenakan baju
yang berlengan pendek sebatas siku.
Baru saja lengan tangannya yang kuat itu nampak oleh Nyo Tiang Pek, orang tua ini segera berseru kaget
sambil memandang ke arah lengan tangan Lui Tik Kong. "Lui-ciangkun, kau terluka hebat!"
Lui Tik Kong terkejut sekali dan membuat gerakan dengan tangannya, akan tetapi tiba-tiba Nyo Tiang Pek
sudah berada di depannya dan memegang tangan kanannya.
"Ah, benar! Kau telah terkena pukulan Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah) yang berbahaya sekali. Lihat
lenganmu ini!" Dengan masih heran Lui Tik Kong memandang lengannya sebelah kanan berwarna merah kehitam-hitaman
Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan ketika ia menyentuh dengan tangan kirinya, hampir ia menjerit karena sakit sekali.
"Kau tadi telah berkelahi dengan siapa?" tanya Nyo Tiang Pek sambil memandang tajam.
Lui Tik Kong mengingat-ingat lalu menghela napas. "Benar, tadi sebelum aku mendengar tentang
kekurangajaran anak buahku, aku bertemu dengan dua orang to-kouw (pendeta wanita) di tengah jalan. Oleh
karena aku amat terburu-buru, maka kudaku kujalankan cepat sekali sehingga debu mengebul dan mengenai
tokouw-tokouw itu. Seorang di antaranya yang berusia kurang lebih empatpuluh tahun, berkata, "Perwira
kurang ajar." "Tentu saja aku lalu melompat turun dari kudaku untuk melihat siapa orangnya yang memaki, akan tetapi
ketika melihat bahwa mereka adalah dua orang to-kouw, aku lalu minta maaf. Tidak tahunya seorang
diantaranya yang menegur tadi lalu mengayun tangan hendak menamparku. Aku lalu menangkis dengan
lengan kanan dan hanya merasa betapa lenganku lemas sekali. Mereka saling pandang dan pergi sambil
tertawa." Nyo Tiang Pek mendengarkan dengan penuh perhatian, kemudian ia bertanya, "Apakah seorang diantara
mereka adalah seorang to-kouw yang sudah berusia limapuluh tahun lebih, bertubuh tinggi kurus dan
mempunyai tahi-tahi lalat di ujung hidungnya?"
Lui Tik Kong, memandang heran. "Betul, betul. Bagaimana lopeh dapat mengetahuinya" Dan bagaimana pula
lopeh dapat melihat bahwa aku menderita luka?"
"Ah, aku tahu sekarang. Dia itu tentu Hek Li Suthai si Iblis Wanita dari San-tung dan to-kouw yang lebih muda
dan yang melukaimu dengan pukulan Ang-see-ciang itu kalau bukan adik seperguruannya tentulah muridnya."
"Benar dugaanmu, lopeh. To-kouw yang muda itu menyebut guru kepadanya."
"Sudahlah, sekarang kau jangan banyak bergerak dan duduklah dengan tenang. Aku hendak menyembuhkan
lukamu!" Pada saat itu, Coa Giok Lie dan Lee Ing keluar membawa hidangan untuk tamu mereka. Mema ng, biarpun
keturunan bangsawan, akan tetapi setelah berpuluh tahun tinggal bersama dengan orang-orang kampung yang
menuntut penghidupan sederhana, Coa Giok Lie melemparkan semua peraturan-peraturan tentang sopan
santun dan yang mengikat kaum wanitanya sehingga membuat mereka itu menjadi serba canggung.
Menurut pendapatnya setelah ia hidup dengan tenteram dan leluasa diantara para petani sederhana, segala
peraturan yang mengikat itu hanya menimbulkan pusing saja. Maka ia tidak merasa keberatan untuk menemui
tamu laki-laki yang muda itu, bahkan tidak keberatan pula kalau Lee Ing ikut mengeluarkan hidangan.
Kedua ibu dan anak inipun terkejut ketika mendengar tentang luka yang diderita Lui Tik Kong.
"Lee Ing, coba kau ambilkan gin-ciam (jarum perak) di kantong obat dalam kamarku," Nyo Tiang Pek menyuruh
anaknya. Lee Ing lalu pergi dengan cepat mengambil jarum itu, bahkan tidak lupa sekalian membawa sebungkus obat
bubuk putih yang diberikan kepada ayahnya.
Baru terbukalah mata Lui Tik Kong bahwa ia berhadapan dengan keluarga yang mengerti ilmu silat bahkan
menur ut pandangan mata Nyo Tiang Pek yang sangat tajam sehingga sekelebat saja telah dapat mengetahui
bahwa ia terluka menimbulkan dugaan dalam pikirannya bahwa orang tua ini tentulah seorang ahli.
Nyo Tiang Pek adalah seorang ahli Gin-san-ciang atau Tangan Bubuk Perak, maka tentu saja ia tahu akan
segala ilmu pukulan tangan yang telah dilatih secara mujijat itu, dan dapat pula menyembuhkannya. Dengan
gerakan cepat akan tetapi tepat dan tenang, ia memberi tusukan tiga kali pada lengan tangan Lui Tik Kong di
sekeliling luka yang hanya merupakan garis merah itu.
Lui Tik Kong merasa sakit. Kemudian, Nyo Tiang Pek menggunakan tenaga pukulan Gin-san-ciang dari tangan
kirinya untuk menotok dan menepuk lengan itu dan aneh, dari bekas lubang di kulit lengan yang tadi tertusuk
jarum, mengalir keluar darah-darah hitam.
Nyo Tiang Pek mengulangi tepukan dan totokannya sampai darah yang mengalir keluar menjadi merah yang
berarti bahwa racun pukulan Ang-see-ciang telah dikeluarkan habis.
Setelah itu barulah ia menggunakan obat bubuk putih itu untuk digosok-gosokkan pada bekas luka tusukan
jarum peraknya. Lui Tik Kong merasa betapa lengannya telah sembuh kembali karena rasa sakit dan baal telah
lenyap. Sambil memandang tajam ia bertanya, "Sesungguhnya siapakah Nyo Chung-cu (Pak Lurah Nyo) ini" Dan
mengapa diam di dusun yang terpencil ini kau bersembunyi, padahal kau memiliki ilmu kepandaian tinggi?"
Nyo Tiang Pek tersenyum dan memandang wajah yang cakap itu. "Lui-ciangkun, aku adalah orang biasa saja,
seorang kepala kampung yang hidup sederhana. Hanya saja, tentang Ang-see-ciang aku mempunyai sedikit
pengetahuan. Marilah kita makan hidangan seadanya, maklum di dusun kami tidak dapat menghidangkan
makanan lezat." Lui Tik Kong makin merasa suka dan kagum. Ia diam-diam menduga bahwa tuan rumahnya tentulah seorang
pendekar gagah yang mengasingkan diri. Juga, karena Nyo Tiang Pek memperkenankan bahkan mengajak
isteri dan anaknya makan bersama, pemuda she Lui ini mendapat kesempatan baik untuk mengagumi
kecantikan Lee Ing yang benar-benar telah membetot semangatnya.
Ketika Nyo Tiang Pek bertanya tentang suhunya, ia memberi tahu bahwa suhunya bernama Kong Sin Ek yang
berjuluk Ciu-sian atau Dewa Arak.
Mendengar ini, bukan main girang hatinya Nyo Tiang Pek dan Coa Giok Lie. Nyo Tiang Pek demikian gembira
sehingga ia berdiri dan menepuk-nepuk bahu Lui Tik Kong sambil berkata,
"Ah?"! Tak kusangka sama sekali bahwa kau adalah murid Setan Arak itu! Ha-ha-ha! Ketahuilah, ciang-kun,
Kong Sin Ek adalah seorang sahabat baikku dan ketika masih muda kami berdua berjuang bersama. Ah, ah,
sungguh tak kusangka! Di manakah adanya suhumu itu" Ah, kalau saja kau beritahu kepad anya bahwa kau
telah bertemu dengan Kim-jiauw-eng Nyo Tiang Pek, tentu dia akan merasa girang sekali."
Mendengar bahwa kepala kampung yang berdiri dihadapannya ini adalah si Garuda Kuku Emas, Lui Tik Kong
merasa terkejut sekali. Pernah ia mendengar dari suhunya akan pendekar gagah ini, bahkan di dunia kangouw, nama Kim-jiauw-eng telah terkenal dan disegani, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu menjatuhkan diri
berlutut di depan Nyo Tiang Pek.
"Teecu bermata buta dan tidak melihat Gunung Thai-san di depan mata. Mohon cianpwe sudi memberi maaf."
Nyo Tiang Pek mengangkat bangun pemuda itu dan tertawa senang.
"Lui-ciangkun, tidak usah memakai segala macam peradatan. Kim-jiauw-eng yang kaudengar namanya itu
hanyalah kepala kampung yang hidup sederhana dengan anak isterinya. Biarlah selanjutnya kausebut aku
lopeh saja karena, telah lama aku tidak pernah memperlihatkan diri di dunia kang-ouw dan telah hampir lupa
olehku sebutan Kim-jiauw-eng itu."
"Lui-ciangkun, hal yang terpenting belum kaukatakan. Di manakah sekarang adanya sahabat kami Kong Sin Ek
itu?" tiba-tiba Coa Giok Lie bertanya dengan suaranya yang halus merdu.
Lui Tik Kong agak terkejut mendengar pertanyaan ini akan tetapi ia dapat menekan perasaan hatinya dan
berkata, "Pehbo, hal ini sungguh menyedihkan hati. Suhu telah meninggal dunia kira-kira dua tahun yang lalu."
Tiba-tiba terdengar mangkok jatuh dan mangkok itu pecah ketika membentur lantai. Kiranya Nyo Tiang Pek
merasa demikian kaget dan sedih hingga tak terasa pula ia melempar mangkok yang sedang dipegangnya.
Juga Coa Giok Lie tidak dapat menahan air matanya yang mengucur keluar.
Lee Ing yang belum pernah kenal dengan Kong Sin Ek si Dewa Arak hanya memandang dengan heran dan ikut
berduka melihat kedua orang tuanya.
Setelah menghela napas berkali-kali, Nyo Tiang Pek bertanya, "Lui-ciangkun, di mana meninggalnya sahabatku
itu dan kenapa" Usianya kukira belum melebihi enampuluh tahun."
"Beliau meninggal di daerah utara karena serangan penyakit jantung," kata Lui Tik Kong dengan singkat.
Karena kedukaan ini, pembicaraan tidak dapat berjalan lancar dan Lui Tik Kong lalu berpamit untuk kembali ke
markasnya yang berada di Le-hu-tin, yakni sebuah perkampungan yang dijadikan markas di daerah
pegunungan Bong-ke-san dan di mana Lui Tik Kong menjadi perwira memegang pucuk pimpinan yang bertugas
bergerak di daerah pegunungan itu. Ia berjanji hendak mengunjungi lagi keluarga Nyo yang peramah itu.
Seperginya Lui Tik Kong, Nyo Tiang Pek dan Coa Giok Lie masih berduka dan akhirnya nyonya itu berkata
kepada suaminya, "Beginilah jadinya kalau kau terlalu malas untuk menghubungi kawan-kawan kita, sehingga sampai mereka
matipun kita tidak mengetahuinya! Suamiku, apakah kau tidak teringat akan kebaikan mereka" Terutama
kebaikan enci Lian Hwa dan koko Cin Han" Sudah tiba waktunya untuk mencari dan memberi kabar tentang
kita kepada mereka itu."
Nyo Tiang Pek mengangguk-angguk. "Memang benar kata-katamu itu. Akan tetapi keadaan sekarang begini
kacau, dan aku tidak tega meninggalkan kau berdua saja dengan Lee Ing."
"Eh, eh, ayah aneh sekali. Bahaya apakah yang dapat mengancam kita" Ibu dan aku bukanlah anak-anak kecil
yang lemah, kami berdua dapat menjaga diri."
Ucapan yang gagah ini hanya disambut dengan dingin oleh Nyo Tiang Pek yang sedang berduka.
"Kau tahu apa! Orang-orang jahat yang li hai dan yang dulu pernah dilukai oleh ayahmu ini, bany ak sekali.
Mereka ini sewaktu-waktu tentu takkan dapat melupakan sakit hati dan berusaha membalas dendam. Oleh
karena inilah maka aku tidak pernah pergi jauh dan lama meninggalkan kalian."
"Kalau begitu," kata Giok Lie. "Lebih baik kau membuat surat dan menitipkannya kepada si A-kwi karena
kabarnya seringkali pergi ke selatan dan bahkan sampai ke Tit-lee."
Nyo Tiang Pek menepuk pahanya. "Lagi-la gi kau benar, isteriku. Mengapa aku begitu bodoh dan p elupa" Akwie adalah seorang pedagang keliling, tentu mudah baginya untuk menjadi utusanku menghubungi Cin Han."
Dengan setengah berlari Nyo Tiang Pek lalu pergi ke kamarnya untuk menulis surat kepada Cin Han dan Lian
Hwa, suami-isteri pendekar yang menjadi kawan baiknya itu. Melihat sikap Nyo Tiang Pek yang agaknya
bergembira seperti anak kecil, Giok Lie saling pandang dengan Lee Ing sambil tersenyum geli.
"Y" Di pinggir jalan raya sebelah barat di kota Tit-lee, terdapat sebuah rumah gedung yang kuno dan besar. Tidak
saja semua penduduk kota Tit-lee, bahkan banyak orang-orang luar kota mengenal baik gedung ini, bukan
karena kebagusan gedungnya, akan tetapi karena yang tinggal di gedung ini ialah sepasang suami isteri
pendekar besar yang namanya sangat tersohor.
Mereka ini adaiah Hwee-thian Kim-hong Lo Cin Han dan isterinya, yakni Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa. Nama
kedua pendekar ini telah dikenal oleh hampir semua tokoh persilatan di dunia kang-ouw, karena di waktu
muda, kedua orang ini telah menggemparkan dunia persilatan dengan sepak-terjang mereka yang gagah
perkasa, di samping perjuangan Nyo Tiang Pek si Garuda Kuku Emas, Kong Sin Ek si Dewa Arak, Pek Siong
Tosu, Biauw In Suthai dan masih banyak orang gagah lain lagi.
Semenjak Lo Cin Han dan Han Lian Hwa terangkap menjadi sepasang suami isteri yang saling mencinta,
mereka menuju ke Kim-ma-san di mana bertapa Beng San Siansu pencipta ilmu-ilmu pedang Hwie-liong-kiamsut (Ilmu Pedang Naga Terbang) yang menjadi suhu Lo Cin Han. Dan kedua suami isteri ini menerima latihan
lagi, yakni ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut yang berdasar Hwie-liong-kiam-sut dan Sian-liong-kiam-sut
digabung menjadi satu. Oleh karena itu, kepandaian mereka meningkat hebat dan setelah dua tahun kemudian
mereka turun dari Kim-ma-san, mereka merupakan sepasang pendekar pedang yang tak terlawan.
Di dalam perkawinan mereka, sepasang pendekar pedang ini mendapat seorang putera yang diberi nama Lo
Sin. Anak ini cerdik seperti ayahya dan berwatak keras gembira seperti ibunya, hingga ia mewarisi ilmu
kepandaian ayah ibunya. Ketika Lo Sin masih kecil dan baru mulai berlatih gin-kang (ilmu meringankan tubuh), ia mendapat latihan
secara istimewa oleh kedua orang tuanya yakni ayah dan ibunya menangkap beberapa ekor burung walet
yang dapat terbang dan bergerak cepat sekali. Di dalam sebuah kamar yang tertutup rapat hingga tidak
terdapat lubang bagi burung-burung itu untuk meloloskan diri, mereka melatih putera tunggal ini untuk
menangkap burung-burung yang gesit sekali itu.
Dengan latihan ini, Lo Sin memiliki kecepatan yang melebihi burung walet dan sekali tubuhnya bergerak, maka
burung yang hendak terbang itu kalah cepat dan dapat tertangkap dengan mudah, yakni setelah anak itu
berlatih sampai dua tahun lebih.
Karena latihan ini, maka Lo Sin menjadi suka sekali kepada burung walet yang berbulu hitam, bermata merah,
dan halus sekali bulunya itu hingga ia seringkali bermain-main dengan burung walet hitam. Bahkan saking
sukanya kepada burung walet hitam, ia minta kepada ibunya supaya dibuatkan mainan dari kain berupa
seekor burung walet hitam.
Ketika ia telah menjadi seorang pemuda dewasa, ikat kepalanya pun dihias dengan seekor burung walet hitam
yang terbuat dari sutera hitam dan untuk menyenangkan hati putera yang tercinta itu, Han Lian Hwa membuat
mainan itu dengan kedua tangannya sendiri dan menghias mainan itu dengan mata terbuat daripada dua butir
mutiara yang cemerlang dan patuknya terbuat daripada emas tulen.
Dengan mengenakan pakaian serba hitam atau kadang-kadang berwarna serba biru dan kepalanya terhias
burung walet hitam itu, Lo Sin yang bertubuh tinggi tegap dan berwajah tampan dan gagah itu nampak benarbenar mengagumkan karena gagah sekali.
Lo Cin Han yang memiliki darah perantau, seringkali mengajak puteranya itu merantau untuk menghadapi
pengalaman-pengalaman berbahaya dan untuk mendidik puteranya itu mengulurkan tangan memberi
pertolongan kepada sesama hidup yang menderita kesukaran sebagaimana layaknya seorang pendekar yang
berkepandaian tinggi. Oleh karena ini, nama Lo Sin yang muda dan gagah perwira itu segera menjadi terkenal
sekali dan pakaiannya serta hiasan burung walet hitam itu membuat ia diberi julukan Ouw-yan-cu atau si
Walet Hitam. Di samping kepandaiannya dalam hal bersilat, juga pemuda itu mendapat pelajaran membaca dan menulis dari
kedua orang tuanya, karena ayahnya ada lah seorang terpelajar dan pandai dalam ilmu kesusast eraan. Maka,
setelah menjadi dewasa, Lo Sin dapat disebut bun-bu-cwan-chai, yakni seorang pemuda yang memiliki
kepandaian bu (kegagahan) dan bun (kesusasteraan).
Akan tetapi ada sebuah hal yang memusingkan kepala Han Lian Hwa dan Lo Cin Han, yakni kekerasan kepala
putera mereka itu. Karena pada waktu itu Lo Sin telah berusia sembilanbelas tahun lebih, maka kedua orang
tuanya membujuknya untuk suka dicarikan jodoh. Akan tetapi, dengan tegas sekali pemuda itu menolak,
bahkan ketika Cin Han mengeluarkan kata-kata keras untuk menegurnya yang dianggap tidak mentaati
kehendak orang tua, pemuda itu menjadi marah dan diam-diam lari minggat.
Akan tetapi, belum sampai satu bulan, pemuda itu telah pulang kembali dan berlutut di depan kedua orang
tuanya sambil minta ampun. Kedua orang tua yang amat mencinta puteranya itu hanya saling pandang dan
menggelengkan kepala, akan tetapi semenjak itu mereka tidak mau membongkar-bongkar lagi urusan kawin.
Telah lama Cin Han dan Lian Hwa terkenang kepada Nyo Tiang Pek dan Coa Giok Lie, akan tetapi karena
mereka tidak tahu di mana tempat tinggal kedua sahabat baik itu mereka hanya sering membicarakan tentang
mereka dengan kenang-kenangan manis. Pertemuan mereka dengan Nyo Tiang Pek dan isterinya terjadi ketika
Lo Sin baru berusia empat tahun dan semenjak itu mereka tidak pernah bertemu muka atau mendengar kabar
tentang Nyo Tiang Pek. Hanya mereka tahu bahwa Nyo Tiang Pek mempunyai anak perempuan, karena ketika mereka bertemu pada
penghabisan kali, anak Nyo Tiang Pek telah berusia dua tahun lebih.
Kalau mereka membicarakan tentang kawan-kawan itu, seringkali Lian Hwa berkata kepada suaminya,
"Alangkah baik dan senangnya kalau Sin-ji dapat dijodohkan dengan anak perempuan Nyo-twako."
Cin Han tertawa. "Memang hal itu baik sekali, akan tetapi bagaimana kalau puteri mereka itu terlahir buruk
rupa?" Lian Hwa menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak mungkin! Anak Giok Lie tidak mungkin buruk rupa! Dan
tentang kegagahan, kurasa Nyo-twako dan Giok Lie takkan begitu bodoh untuk membiarkan mereka tidak
berkepandaian. Pendeknya, kalau aku dapat berbesan dengan mereka, hatiku akan merasa puas sekali."
"Kau memang benar, akupun akan merasa senang sekali dapat berbesan dengan Nyo-twako yang gagah."
Akan tetapi, karena mereka tidak pernah menyangka bahwa Nyo Tiang Pek kini tinggal di lereng sebuah bukit
yang terasing daripada dunia ramai, tentu saja mereka tidak pernah dapat mendengar sesuatu tentang si
Garuda Kuku Emas itu. 02.03. Akal Licik Perwira Tampan
Pada suatu hari, Lian Hwa dan Cin Han duduk di ruang depan dan bercakap-cakap tentang keadaan negara di
waktu itu. Mereka membicarakan tentang kekurangajaran suku bangsa Turki yang mengacau di berbagai batas
negara dan Cin Han merasa marah sekali mendengar bahwa banyak orang-orang Han telah diculik oleh
mereka itu untuk dijadikan pekerja paksa.
"Agaknya kita berdua tidak boleh tinggal diam lebih lama lagi dan harus bertindak membantu usaha
pemerintah membasmi bangsat-bangsat itu!" kata Lian Hwa penuh semangat.
Nyonya ini ternyata masih saja berhati keras dan membenci segala kejahatan. Sebenarnya, Lian Hwa dan Cin
Han pada hakekatnya tidak begitu suka dengan kaisar dan para pembesar yang pada dewasa itu kurang
bijaksana dalam menjalankan pemerintahan. Korupsi dilakukan di segala bidang, sedangkan kehidupan rakyat
jelata banyak yang menderita sengsara.
Akan tetapi, mendengar tentang penyerbuan musuh-musuh asing dari luar tembok besar itu, mereka merasa
penasaran juga dan timbul niat mereka hendak membasmi musuh itu.
"Kalau kaisar tidak lekas insyaf dan cepat memperkuat barisan pertahanannya, maka keadaan akan menjadi
berbahaya sekali," kata Cin Han. "Memang akupun bermaksud untuk menghajar mereka, sekalian kita mencari
kawan lama kita, terutama Nyo-twako dan adik Giok Lie."
"Harap jiwi maafkan aku apabila kedatanganku ini mengganggu. Benarkah di sini rumah Hwee-thian Kim-hong
dan Ang Lian Lihiap?"
Terkejutlah Cin Han dan Lian Hwa mendengar julukan mereka disebut oleh orang itu. Serentak mereka berdiri
dan dengan hati-hati sekali serta dengan pandangan mata penuh selidik, Cin Han bertanya,
"Siapakah saudara ini dan ada perlu apa mencari mereka?"
"Aku yang rendah bernama Gu Ma Kwi dan biasa disebut A-kwi saja, dan kedatanganku ialah membawa
berita dari Garuda Kuku Emas."
Mendengar ini, bukan main girang rasa hati suami isteri itu. Cin Han hampir saja memeluk orang itu, akan
tetapi ia hanya memegang tangan A-kwi dan ditariknya ke dalam.
"Saudara yang baik, masuklah!"
Mereka lalu masuk ke dalam dan A-kwi dihujani pertanyaan oleh Lian Hwa dan Cin Han. Bahkan dari kedua
mata Lian Hwa mengeluarkan dua titik air mata karena girang dan terharu. Kemudian ia berteriak-teriak ke
arah belakang rumah. "Sin-ji! Sin-ji?"! Lekas kau kemari!"
Lo Sin yang sedang duduk di ruang belakang mendengar teriakan ibunya, cepat lari keluar.
"Sin-ji, lihat! Nyo-pekhumu mengirim berita!"
Lo Sin sudah seringkali mendengar tentang Nyo Tiang Pek yang dipuji-puji oleh kedua orang tuanya maka
iapun ikut bergirang. A-kwi memang mendapat pesan dari Nyo Tiang Pek supaya dalam mencari Cin Han dan Lian Hwa, ia
menggunakan nama julukan mereka agar kedua kawannya itu akan percaya penuh. Setelah menyampaikan
salam dan memberitahukan bahwa keadaan keluarga Nyo dalam selamat, A-kwi lalu mengeluarkan sepucuk
surat dari buntalannya. Cin Han menerima surat itu dengan berdebar girang, kemudian setelah ia membuka surat itu, Lian Hwa tidak
mau ketinggalan karena ingin tahunya. Nyonya ini berdiri di belakang suaminya yang duduk di kursi membaca
surat itu dan iapun ikut membaca. Bahkan Lo Sin juga ingin sekali ikut membaca, maka ia pun berdiri di
sebelah ibunya, mencuri lihat dari balik pundak ibunya.
Surat Nyo Tiang Pek panjang lebar. Pertama-tama ia menceritakan tentang keadaan keluarganya, bahwa ia
kini diangkat menjadi lurah dari kampung Pek-se-chung dan bahwa puterinya yang bernama Nyo Lee Ing kini
telah dewasa. Kemudian ia menanyakan keselamatan keluarga Lo dan menyatakan kerinduan hatinya dan hati
isterinya untuk bertemu muka. Pada akhir surat, tak lupa Nyo Tiang Pek bertanya tentang berita yang
diterimanya, yakni mengenai kematian Kong Sin Ek.
Wajah Cin Han dan Lian Hwa tadinya berseri-seri membaca perihal keadaan keluarga Nyo itu, akan tetapi
ketika mendengar tentang berita kematian Kong Sin Ek, tiba-tiba mereka menjadi terkejut dan berduka.
Juga Lo Sin yang sudah kenal baik kepada Kong Sin Ek si Dewa Arak, berseru, "Kong lopeh meninggal" Ah,
tidak mungkin! Bukankah ia tinggal di utara dan keadaannya baik saja?"
Juga Cin Han merasa ragu-ragu dan kurang percaya, demikian Lian Hwa. Karena mereka selalu mengadakan
kontak dengan Kong Sin Ek maka andaikata kakek yang gagah itu menderita sakit, sebelum meninggal tentu
ia akan memberi kabar. Bahkan dua tahun yang lalu, seorang diri Lo Sin pernah mengunjungi Dewa Arak itu
yang berada dalam keadaan sehat.
"Ayah, biarlah besok anak pergi mengunjungi dan menengok orang tua itu," kata Lo Sin.
Kedua orang tuanya menyetujui dan mereka menjadi agak tenang kembali.
Karena berita dari Nyo Tiang Pek ini benar-benar menggirangkan hati mereka, maka A-kwi lalu mendapat
pelayanan yang manis dan ramah, bahkan untuk kehormatan pesuruh ini, Cin Han lalu menyuruh pelayan
membeli hidangan-hidangan yang lezat dan arak yang wangi.
Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sudah tentu saja A-kwi merasa bersyukur sekali, dan ketika pihak tuan rumah menanyakan perihal si Garuda
Kuku Emas, ia menceritakan keadaan mereka dengan sejelas-jelasnya.
"Bagaimana wajah puteri mereka yang bernama Lee Ing?"
A-kwi tersenyum. "Pohon yang baik tentu menghasilkan kembang yang indah," katanya dengan lidah terlepas
karena pengaruh arak wangi yang membuat watak penyair timbul dalam hatinya. "Kalau Nyo-siocia
diumpamakan bunga, maka ia adalah bunga mawar yang harum dan indah."
Lian Hwa tertawa. "Mengapa bunga mawar dan bukan bunga botan" Bunga mawarkan banyak durinya dan
berbahaya?" A-kwi tertawa mendengar kejenakaan nyonya rumah ini. "Memang itulah yang kumaksudkan. Pedangnya
merupakan durinya yang berbahaya!"
Mendengar ini Cin Han dan Lian Hwa merasa girang sekali karena mereka dengan mudah dapat menduga
bahwa gadis itu selain cantik tentu memiliki kepandaian tinggi dan mahir bermain pedang. Lian Hwa
tersenyum-senyum dan menambahkan arak pada cawan tamunya dan diam-diam Cin Han yang melihat sikap
isterinya ini maklum bahwa tentu isterinya ini makin tebal niatnya untuk menjodohkan Lo Sin dengan puteri
Nyo Tiang Pek. Mereka berdua ini tidak memperdulikan sama sekali sedikit tambahan di surat Nyo Tiang Pek yang
mengabarkan bahwa Hek Li Suthai yang berjuluk San-tung Mo-li atau Iblis Wanita dari San-tung itu kini telah
turun gunung bersama seorang muridnya! Baik Lian Hwa maupun Cin Han tahu akan maksud pemberitahuan
dari Nyo Tiang Pek ini karena mereka berdua juga mengenal bahwa Hek Li Suthai adalah murid dari Lian Bwee
Niang-niang atau yang berjuluk Sin-kun Mo-li (Iblis Perempuan Kepalan Dewa), seorang pertapa wanita yang
berada di Gunung Ho-mo-san yang dulu pernah bentrok dengan mereka.
Mereka dapat menduga bahwa Hek Li Suthai tentu turun gunung untuk mencari musuh-musuh gurunya dan di
antara musuh-musuhnya itu ialah mereka sendiri! Akan tetapi, dengan kepandaian seperti yang mereka miliki,
kedua suami isteri yang perkasa ini sedikitpun tidak merasa takut.
Apalagi pada saat itu perasaan mereka telah penuh dengan rasa gembira dan kuatir, gembira karena dapat
mendengar berita tentang Nyo Tiang Pek dan kuatir karena memikirkan keadaan Kong Sin Ek.
"Y" Pada keesokan harinya, Lo Sin lalu berangkat menuju ke Gunung Pek-ma-san, yakni tempat di mana Kong Sin
Ek tinggal selama berpuluh tahun semenjak ia mengundurkan diri dari kalangan kang-ouw.
A-kwi juga berpamit hendak kembali ke kampungnya, dan Lian Hwa setelah mengadakan peru ndingan dengan
suaminya, berkata kepada pedagang keliling itu,
"Saudara Gu Ma Kwi, karena kau telah kenal baik dan tahu akan keadaan Nyo twako maka kuanggap sebagai
orang sekeluarga sendiri. Sekarang aku mohon kepadamu untuk menjadi orang perantaraan dalam
menyampaikan lamaran kami. Harap kau sudi menyampaikan hormat kami kepada keluarga Nyo serta surat
kami ini, dan dengan lisan hendaknya kau suka menyampaikan lamaran kami, yakni untuk menjo dohkan
putera kami yang telah kau lihat kemarin dengan puteri Nyo twako!"
Wajah A-kwi berseri. "Ah, kehormatan besar sekali yang jiwi jatuhkan kepadaku yang rendah! Tentu saja aku
merasa girang sekali karena memang puteramu itu sesuai sekali apabila menjadi pasangan Nyo-siocia yang
cantik jelita!" Suami-isteri itu merasa girang sekali dan mereka selain memberi sepucuk surat yang panjang lebar kepada
Nyo Tiang Pek, juga memberi hadiah-hadi ah berharga kepada pedagang keliling itu.
Dengan naik seekor kuda yang bagus pemberian Cin Han. Gu Ma Kwi atau A-kwi kembali ke Pek-se-chung
dengan cepat untuk menyampaikan warta girang ini. Oleh karena ia menunggang kuda yang dapat berlari
cepat dan tidak menunda perjalanannya, maka dalam waktu sepuluh hari ia telah tiba di kaki Gunung Bong-kesan. Akan tetapi, tiba-tiba ketika ia tiba di kaki gunung, ia ditawan oleh serombongan tentara kerajaan. Memang
pada waktu itu, siapa saja yang dicurigai, lalu ditawan untuk diperiksa. Hal ini terjadi oleh karena banyak
mata-mata bangsa Turki yang berkeliaran di mana-mana.
Kebetulan sekali bahwa yang berada di markas tentara adalah perwira muda Lui Tik Kong sendiri. Pemuda ini
semenjak mendapat penyerangan gelap dari to-kouw yang melukainya dengan pukulan Ang-see-ciang,
menjadi sangat curiga dan melakukan penangkapan-penangkapan serta pemeriksaan keras.
Ketika mendengar bahwa ada seorang laki-laki yang tertawan dan dicurigai, lalu mengadakan pemeriksaan
sendiri. Ia memerintahkan kepada anak buahnya agar supaya tawanan itu dibawa menghadap. Dengan tubuh
menggigil karena ketakutan A-kwi menghadap Lui-ciangkun.
"Kau orang mana, datang dari mana, hendak ke mana?" tanya Lui Tik Kong sambil memandang tajam.
"Hamba bernama Gu Ma Kwi, tinggal di dusun Pek-se-chung di lereng bukit itu dan hamba baru datang dari Titlee," jawabnya dan dengan suara gemetar menceritakannya bahwa dia menjadi utusan Nyo Tiang Pek untuk
mengunjungi keluarga Lo di kota itu.
Mendengar bahwa orang ini adalah suruhan Nyo Tiang Pek, legalah hati Lui Tik Kong, akan tetapi ia tidak
menyatakan perasaannya itu. Kini timbul perasaan ingin tahu di dalam hatinya dan secara iseng-iseng
memeriksa bungkusan yang terbawa di atas kuda A-kwi. Diantara sekalian barang hadiah yang diberikan oleh
Lian Hwa dan Cin Han kepada pesuruh itu, terdapat sesampul surat.
Tik Kong merasa tertarik dan setelah memerintahkan supaya A-kwi dibawa mundur, ia membuka dan
membaca surat itu. Alangkah terkejutnya ketika membaca bahwa keluarga Lo yang agaknya menjadi sahabat
baik Nyo Tiang Pek, telah mengajukan lamaran untuk Nyo Lee Ing, gadis yang menjadi kenangannya itu.
Lui Tik Kong menggigit-gigit bibir dengan perasaan tidak karuan. Diam-diam ia jatuh hati terhadap Nyo Lee Ing,
maka tentu saja ia merasa kuatir dan menyesal sekali melihat gadis itu kini dilamar orang.
Sebenarnya perwira muda she Lui ini bukanlah seorang manusia baik-baik, akan tetapi ia amat cerdik dan
pandai sekali membawa diri hingga siapa saja yang belum mengenal dasar wataknya yang buruk, tentu akan
tertipu oleh gerak-geriknya yang sopan santun dan tutur katanya yang halus oleh karena selain memiliki
kepandaian silat yang tinggi, Tik Kong juga telah mempelajari ilmu surat dengan baiknya.
Kini menghadapi persoalan yang membahayakan rencananya untuk mempengaruhi Nyo Tiang Pek dan
mendapatkan Nyo Lee Ing, ia putarputar otak mencari jalan. Akhirnya ia mendapatkan sebuah jalan yang
cerdik sekali akan tetapi teramat keji. Ia diam-diam memberi tahu kepada anak buahnya bahwa tawanan itu
benar-benar adalah seorang mata-mata Turki dan memerintahkan agar orang itu dibunuh.
Kemudian ia menggunakan kepandaiannya menulis dan segera menyalin surat dari Cin Han untuk Tiang Pek
itu. Ia tiru gaya tulisan Cin Han dan tidak merobah model surat, hanya di bagian pelamaran ia tiadakan dan
sebaliknya ia tambahkan bahwa putera Lo Cin Han yang bernama Lo Sin telah mempunyai seorang isteri.
Pada keesokan harinya, ia sendiri membawa bungkusan pakaian dan barang-barang A-kwi dan memasukkan
kembali surat Cin Han ke dalam bungkusan itu, lalu pergi ke kampung Pek-se-chung di lereng bukit.
Bukan main kagetnya Nyo Tiang Pek dan Coa Giok Lie ketika mendengar penuturan perwira muda itu.
"Kemarin sore, anak buahku menolong seorang bernama Gu Ma Kwi yang dikeroyok oleh perampok. Anakanak buahku dapat menolong barang-barang yang dibawa oleh orang itu, akan tetapi tidak dapat menolong
jiwanya karena ia telah menderita luka parah ketika pertolongan tiba. Dia telah tewas dan kami telah
mengubur jenazahnya. Oleh karena sebelum mati ia meninggalkan pesan bahwa isi bungkusan ini harus
diantar ke sini, maka aku sendiri lalu membawa bungkusan ini untuk dihaturkan kepada lopeh," kata Tik Kong
dengan wajah memperlihatkan kedukaan.
"Memang dia adalah utusan kami untuk mengunjungi seorang sahabat baikku di Tit-lee," kata Tiang Pek dan ia
bersama isterinya segera membuka bungkusan itu. Ketika melihat sesampul surat dari Lo Cin Han, mereka
merasa girang sekali. "Isteriku, kita harus memberitahukan hal ini kepada keluarga A-kwi, dan oleh karena kecelakaan yang
menimpa diri pedagang yang bernasib buruk itu terjadi pada waktu ia menjadi utusan kita, maka sudah
seharusnya kita memberikan semua barang berharga yang agaknya pemberian keluarga Lo kepada keluarga
A-kwi, juga kita sendiri harus menjamin kehidupan keluarganya."
Giok Lie setuju dengan pikiran suaminya ini. Kemudian mereka berdua lalu membaca surat dari Cin Han dengan
girang sekali. Melihat surat yang panjang lebar ini, Giok Lie hampir tidak dapat menahan keharuan hatinya. Ia
berteriak memanggil puterinya dan ketika Lee Ing muncul dari belakang hingga Tik Kong buru-buru menjura
memberi hormat dengan dada berdebar girang, Giok Lie berkata.
"Ing-ji, lihat ini, pamanmu Lo Cin Han mengirim surat!"
Mereka bertiga dengan asyiknya lalu bersama membaca surat dari Cin Han yang sebetulnya ditulis oleh
perwira muda yang duduk di depan mereka dan pura-pura tidak tahu apa-apa itu, bahwa keadaan kawan baik
mereka itu dalam selamat, bahkan mereka kini telah mengawinkan putera tunggal mereka.
"Sayang kita tidak dapat datang menghadiri perkawinan Lo Sin," demikian kata Tiang Pek dan diam-diam Giok
Lie merasa agak kecewa di dalam hatinya, alangkah baiknya kalau Lo Sin putera Cin Han itu dijodohkan
dengan Lee Ing. Ah, mengapa mereka saling berpisah demikian lama dan jauhnya hingga dia tidak mempunyai
kesempatan untuk mengusahakan perjodohan puteri mereka"
Lui Tik Kong memang sering berkunjung ke situ dan bercakap-cakap dengan Nyo Tiang Pek dengan gembira.
Kini Nyo Tiang Pek tiada hentinya bercakap-cakap tentang Lo Cin Han dan Lian Hwa dan di depan Lui Tik Kong
ia memuji-muji kedua kawannya itu, bahkan menceritakan riwayat mereka.
Diam-diam hati Tik Kong bercekat cemas karena tidak disangkanya sama sekali bahwa kemarin malam ia telah
merampas dan mengubah surat yang ditulis oleh Hwee-thian Kim-hong dan berani menewaskan utusan Ang
Lian Lihiap. Kalau ia tahu, belum tentu ia berani bertindak sejauh itu, akan tetapi sekarang ia tidak dapat
mundur lagi. Ia harus bertindak terus, bahwa ia harus melanjutkan rencananya dengan cepat sebelum Nyo Tiang Pek
sempat bertemu dengan suami isteri pendekar itu. Oleh karena pikiran-pikiran ini sangat menekan hatinya, Tik
Kong tidak dapat bercakap-cakap dan tak lama kemudian ia minta diri.
Dua hari kemudian, Tik Kong menyuruh seorang perajurit tua yang menjadi orang kepercayaannya untuk
menjadi perantara dan meminang Lee Ing. Pinangan ini walaupun amat menyenangkan hati Tiang Pek, akan
tetapi pendekar ini tidak mau menerima begitu saja sebelum mendapat persetujuan dari isterinya. Maka ia lalu
memanggil isterinya untuk merundingkan soal lamaran ini.
"Lebih baik kita minta kepada Lui-ciangkun supaya bersabar dan jawaban atas pinangannya kita putuskan tiga
hari kemudian." Tiang Pek setuju akan maksud dan kehendak isterinya itu maka ia lalu minta kepada utusan itu agar
disampaikan kepada Lui-ciangkun bahwa jawabannya akan diberikan tiga hari kemudian dan minta ia supaya
utusan itu suka datang lagi waktu itu.
Setelah perajurit tua itu pergi, Nyo Tiang Pek lalu merundingkan hal peminangan itu dengan isterinya.
"Menurut pandangan dan pikiranku, Lui Tik Kong cukup gagah, tampan dan berbudi. Aku setuju sekali
memberikan anak kita kepada pemuda gagah itu."
Akan tetapi Giok Lie berpendapat lain. "Hal ini terserah saja kepadamu, akan tetapi, aku sendiri tidak begitu
suka kepada sikap lemah lembut dari seorang pemuda, oleh karena sikap ini meragukan dan suka
menyembunyikan watak aseli dari pemuda itu. Aku lebih suka kalau Ing-ji mendapat jodoh seorang pemuda
yang berwatak polos dan jujur seperti kau, tanpa banyak lagak sopan yang dibuat-buat!"
"Ha-ha-ha! Mana di dunia ini ada pemuda lain yang sehebat suamimu ini?" Tiang Pek berkelakar. "Isteriku yang
manis, anak kita itu sudah cukup dewasa, usianya sudah tujuhbelas tahun lebih. Lihatlah kepada Cin Han dan
Lian Hwa, diam-diam mereka itu sudah
mempunyai anak mantu dan mungkin sebentar lagi mereka akan
menimang-nimang cucu mereka! Bukankah mereka itu berbahagia sekali" Aku merasa iri hati kepada mereka
maka janganlah kita ketinggalan! Kita juga mempunyai anak dan kita juga sudah ingin mempunyai cucu!"
Giok Lie menghela napas. "Sayang sekali tidak dari dulu kita berhubungan dengan mereka. Kalau saja cucu
yang akan mereka timang-timang itupun menjadi cucu kita pula, alangkah akan bahagianya!"
Mendengar ucapan ini, untuk sejenak Tiang Pek termenung dan hatinya terpukul. Memang, kalau seperti katakata isterinya itu, iapun akan merasa puas dan senang sekali. Ia tidak akan meragukan kegagahan dan
kebaikan putera Cin Han. Akan tetapi, putera tunggal Cin Han dan Lian Hwa sudah beristeri, maka tidak perlu
hal itu dipikir lebih jauh.
"Isteriku, hal itu tidak perlu dibicarakan lagi, oleh karena menyimpang daripada kenyataan dan hanya akan
menjadi mimpi buruk belaka! Kurasa kita tidak keliru memilih apabila kita memberikan anak kita kepada Lui Tik
Kong. Ingatlah, ia telah dilukai oleh Hek Li Suthai yang memusuhi kita, dan hal ini saja sudah menjadikan
alasan cukup bahwa pemuda itu segolongan dengan kita."
"Nanti dulu, suamiku. Kau berbicara seakan-akan kau sendiri yang hendak kawin! Sudah lupakah kau kepada
pikiran dan pendapat Lee Ing" Dia seoranglah yang harus memutuskan, dan tidak baik kalau kita
memaksanya." Nyo Tiang Pek tertawa, "Ha, ha, biarpun hatinya setuju, tidak mungkin dia mau mengaku! Coba kau panggil dia
kemari." 02.04. Kekerasan Hati Ayah dan Anak
Ketika itu Lee Ing sedang pergi ke rumah keluarga A-kwi yang berada dalam kedukaan besar berhubung
dengan kecelakaan yang menimpa diri A-kwi. Dengan hati sangat terharu dan penuh iba, Lee Ing menghibur
mereka, bahkan berjanji bahwa dia akan membasmi perampok-perampok yang telah menjatuhkan tangan
kejam terhadap A-kwi. Ketika mendengar dari seorang tetangga bahwa ibunya mencari, ia lalu segera pulang dan mer asa heran
melihat bahwa ayah dan ibunya telah menantinya di ruang dalam dan pada wajah mereka nampak
kesungguhan seakan-akan sedang menghadapi urusan besar.
"Lee Ing," kata Giok Lie, karena Nyo Tiang Pek menyerahkan urusan ini ke tangan isterinya untuk menghadapi
puteri tunggal mereka. "Tahukah kau, berapa sekarang usiamu?"
Dara jelita itu memandang kepada ibunya dengan mata dilebarkan, lalu ia tertawa manis. "Eh, eh, tiada hujan
tiada angin, datang-datang ibu bertanya tentang usiaku. Apakah ibu sendiri telah lupa?"
Giok Lie tertawa pula melihat kejenakaan anaknya, lalu dengan gerakan halus dan penuh sayang ia pegang
tangan anaknya. "Dengarlah baik-baik, anakku, dan jangan bersikap seperti seorang anak kecil. Sekarang kau telah berusia
tujuhbelas tahun dan kau tahu, apa artinya itu bagi seorang gadis remaja. Orang hidup tidak akan terlepas
daripada kewajiban yang mengikat, yakni tali perjodohan. Belum lama tadi telah datang orang yang
maksudnya hendak melamarmu."
Tiba-tiba wajah gadis itu menjadi pu?cat dan ia melangkah mundur dua tindak sambil membetot tangannya
yang dipegang oleh ibunya. "Apa?"" Tidak?" aku tidak mau," katanya.
Melihat sikap anaknya yang seakan-akan seekor burung murai menghadapi ular yang hendak menyerangnya,
Tiang Pek tertawa bergelak.
"Ha-ha! Ing-ji, mengapa begitu penakut" Kawin bukanlah hal yang harus ditakuti. Hal itu merupakan saat yang
paling bahagia bagi seorang manusia hidup."
Lee Ing hanya geleng-geleng kepala sambil tundukkan mukanya yang menjadi merah.
"Ing-ji, terus terang saja kuberitahu padamu bahwa kau dipinang oleh Lui-ciangkun untuk menjadi isterinya.
Bagaimana pikiranmu, nak?"
Lee Ing tundukkan kepalanya makin dalam tanpa berani menjawab karena malu.
"Ing-ji, menurut pendapat ayahmu, pemuda itu cukup baik dan cukup gagah. Kau takkan kecewa menjadi
isterinya," kata Tiang Pek dengan suara membujuk.
Tiba-tiba Lee Ing mengangkat mukanya dan memandang wajah ayahnya dengan berani. "Tidak, ayah. Aku
tidak mau. Aku tidak mau menjadi isterinya, tidak mau menjadi isteri orang, tidak mau berpisah dari kalian
berdua." Ucapan yang keras ini merupakan letupan yang mengejutkan Tiang Pek dan mengherankan Giok Lie.
"Apa maksudmu" Mengapa kau menolaknya" Kurang apakah dia itu?" tanya Tiang Pek yang juga memiliki
watak keras. "Aku?" aku hanya mau menjadi isteri seorang seperti?" kau, ayah!"
Tiang Pek dan Giok Lie saling pandang dan tiba-tiba keduanya tertawa bergelak?gelak dengan hati geli. Tiang
Pek gunakan jari telunjuknya menuding Giok Lie dan tangan kirinya dikepalkan lalu tinju itu diamangamangkan kepada isterinya, sedangkan suara ketawanya belum juga lenyap.
"Ah, kau?" tentu kau yang mengajari dia!"
Tapi Giok Lie geleng-geleng kepala dan berkata kepada Lee Ing. "Ing-ji, jangan kau bicara tidak karuan dalam
saat seperti ini. Betapapun juga, akhirnya kau terpaksa harus kawin. Kami tidak akan memaksamu menerima
pinangan Lui Tik Kong, akan tetapi kalau kau menolak, kau harus menggunakan alasan-alasanmu, jangan asal
menolak dengan keras kepala saja!"
"Dia?" dia harus lebih dulu kalahkan aku!" akhirnya Lee ing menjawab.
Tiang Pek merasa penasaran dan tidak senang. Ia maklum bahwa biarpun kepandaian Lui Tik Kong cukup
tinggi, akan tetapi agaknya tidak mungkin baginya akan dapat mengalahkan anaknya yang ia tahu sangat
lihai, apalagi setelah Lee Ing kini melatih ilmu pukulan Gin-san-ciang. Maka ia anggap ini hanya sebagai alasan
anaknya untuk menghina dan memandang rendah Lui Tik Kong belaka.
"Lee Ing!" katanya dengan suara keras. "Jangan kau bersifat sombong dan menganggap diri sendiri paling
pandai. Apa kaukira yang terpenting di dunia ini hanya kepandaian silat tinggi" Apa artinya kepandaian tinggi
kalau hatinya tidak bersih"
"Kalau kau menolak karena kau dasarkan atas ciri-ciri dan cacad yang ada pada diri Lui-ciangkun, aku masih
dapat mempertimbangkannya, akan tetapi kalau hanya berdasar bahwa kau memiliki ilmu kepandaian yang
lebih tinggi dari padanya, hal itu menunjukkan betapa sombongnya kau ini! Aku tidak suka mempunyai anak
yang bersikap sombong!"
Lee Ing memandang kepada ayahnya dengan wajah mengandung penasaran dan kedua matanya terbelalak,
kemudian setelah ayahnya berhenti berkata-kata, ia membalikkan tubuh dan tanpa berkata sesuatu ia berlari
masuk ke dalam kamarnya. Terdengar isak tertahan ketika ia berlari tadi.
"Sabarlah, sabarlah!" kata Giok Lie. "Mengapa ayah dan anak sama-sama keras kepala dan bersitegang seperti
kerbau terluka" Kita sedang merundingkan hari kemudian anak kita dan mencarikan jalan baik untuk hidupnya
mengapa harus ribut-ribut seperti orang-orang memperebutkan warisan?"
Nyo Tiang Pek menghela napas. "Hm, melihat lagak anak kita itu, aku jadi teringat kepada Ang Lian Lihiap.
Keras hati dan tidak mau kalah oleh siapapun juga!"
Giok Lie tersenyum. "Tidak aneh, karena memang jarang sekali aku dapat melupakan bayangan Lian Hwa cici
dari ingatanku, dan?" aku senang kalau Lee Ing mempunyai persamaan dengan dia. Sudahlah, hal itu kita
undurkan dulu saja."
"Bagaimana nanti kalau suruhan Lui-ciangkun datang minta keputusan?"
"Bilang saja terus terang bahwa anak kita belum sanggup mengikat diri dengan perjodohan dan kalau suka
bersabar, biarlah dia menanti satu-dua tahun lagi."
"Hm, agaknya kalau perlu dalam waktu setahun dua tahun itu, Lui-ciangkun harus menerima pelajaran silat
yang lebih tinggi untuk dapat mengalahkan Lee Ing," kata Tiang Pek.
Giok Lie tidak menjawab, hanya lalu pergi ke kamar anaknya untuk menghibur hati Lee Ing.
Lee Ing semenjak kecilnya sangat dimanja, maka sedikit perlakuan keras dari ayahnya itu sangat menyakiti
hatinya. Ketika ibunya memasuki kamarnya, gadis itu rebah telungkup di atas pembaringan sambil menahan
tangisnya hingga tubuhnya bergoyang-goyang.
"Ing-ji, sudahlah jangan kau marah. Ayahmu bermaksud baik dan sama sekali tak akan memaksamu kalau
kau tidak setuju." Mendengar kata-kata ibunya, Lee Ing lalu bangun duduk dan berkata sambil mengeringkan air matanya, "Ibu,
aku akan mengetok kepala perwira kurang ajar itu!"
Ibunya memandangnya heran. "Eh, eh, apa salahnya Lui-ciangkun maka kau hendak mengetok kepalanya?"
"Mengapa ia berani melamarku?"
"Ing-ji, jangan kau bersikap begitu. Apa salahnya orang meminang" Diterima atau tidak, itu tergantung yang
dipinang. Peminang bukan orang jahat yang memaksa, jangan kau persalahkan kepadanya."
"Bagaimanapun juga, dialah yang menjadi biang keladi hingga ayah marah kepadaku," kata Lee Ing sambil
merengut. Ibunya tersenyum dan menganggap bahwa anaknya ini terlalu manja dan bahwa kemarahan terhadap Lui Tik
Kong ini hanya gertak sambal belaka. Maka ia lalu menghibur hati Lee Ing hingga tak lama kemudian timbul
kembali sinar gembira pada wajah dara itu.
"Y" Giok Lie sama sekali tidak pernah menyangka bahwa bentakan-bentakan Tiang Pek siang tadi telah menggores
dan melukai hati Lee Ing, karena pada dasarnya gadis ini memiliki perasaan halus yang mudah tersinggung.
Rasa marahnya kepada Lui Tik Kong juga tidak mudah dihilangkan dengan hiburan demikian saja, maka
biarpun di depan ibunya ia memperlihatkan muka gembira, namun di dalam hatinya ia telah mengambil
keputusan untuk menyerbu dan memberi hajaran kepada perwira muda itu.
Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Malam hari itu, bulan memancarkan sinarnya dengan penuh hingga keadaan menjadi terang dan indah.
Diantara cahaya bulan sesosok bayangan yang gesit sekali gerakannya berkelebat di bawah pohon-pohon dan
berlari cepat sekali. Bayangan ini adalah seorang gadis bertubuh kecil langsing dan berpakaian ringkas. Pedang tergantung di
pinggang dan rambutnya yang hitam tebal itu diikat dengan serangkai mutiara putih di atas kepala dan
ujungnya berjuntai ke belakang dan bergerak-gerak di punggungnya dengan lucu. Gadis ini adalah Lee Ing
yang diam-diam meninggalkan rumahnya dan menuju ke benteng yang menjadi markas tentara kerajaan di
bawah pimpinan Lui Tik Kong.
Benteng itu dilingkungi tembok yang tebal dan tinggi, akan tetapi dengan gerakan yang ringan cepat bagaikan
seekor burung murai terbang. Lee Ing menggenjot tubuhnya ke atas tembok sambil menghunus pedangnya
untuk bersiap sedia. Dara muda ini biarpun telah mewarisi kepandaian yang tinggi, ia belum mempunyai
pengalaman apa-apa, hingga ia berlaku sembrono dan tidak hati-hati.
Ketika ia melompat ke atas tembok, tiba-tiba ia melihat bayangan beberapa orang di dalam markas. Ia lalu
berjongkok di atas tembok itu sambil memegang pedangnya erat-erat di tangan kanan. Matanya tajam
memandang ke arah bayangan orang-orang yang berdiri dan bercakap-cakap di pintu benteng itu.
Mereka ini adalah anggauta-anggauta tentara yang bermalam dan karena tiada sesuatu yang dikerjakan
mereka lalu mengobrol di pintu benteng.
Biarpun belum berpengalaman, namun Lee Ing mempunyai kecerdikan dan ketabahan. Pula ia berhati keras
hingga tidak suka akan segala hal yang dilakukan dengan sembunyi, maka ia lalu berdiri lagi di atas tembok
sambil berteriak nyaring.
"Hai, para penjaga yang doyan mengobrol!"
Lima orang penjaga itu terkejut sekali dan mereka menengok. Untuk sesaat mereka mencari-cari dengan mata
mereka karena tidak menyangka bahwa orang yang berseru itu berdiri di atas tembok yang tinggi itu.
Kemudian seorang di antara mereka melihat Lee Ing yang berdiri di atas tembok dengan tangan kiri bertolak
pinggang dan tangan kanan melintangkan pedang di depan dadanya. Ia lalu berseru sambil menuding dan
semua kawannya kini melihat gadis itu. Mereka lalu beramai mencabut senjata dan lari menghampiri ke arah
tembok. "Hai, iblis wanita dari mana dan apa maksudmu maka berani datang ke benteng kami?" tegur mereka.
"Jangan banyak cakap yang tak berguna!" Lee Ing menjawab. "Lekas beritahukan kepada perwira gadungan
Lui Tik Kong untuk segera keluar dan naik ke sini, kalau benar-benar ia seorang laki-laki gagah!"
"Eh, bocah galak! Kau turunlah dan kami cukup jantan untuk melayanimu!" berkata seorang di antara kelima
penjaga itu yang telah melihat kecantikan Lee Ing di bawah sinar bulan purnama. Kata-katanya ini diucapkan
sambil tertawa-tawa, maka bukan main marahnya Lee Ing.
"Bangsat rendah, kalian mencari penyakit sendiri!" Sambil berkata, tubuhnya yang langsing itu menyambar
turun dengan cepatnya bagaikan menyambarnya burung rajawali ke arah orang itu.
Bukan main kagetnya lima orang penjaga itu. Mereka lalu angkat senjata untuk mengeroyok Lee Ing, akan
tetapi tubuh Lee Ing yang menyambar turun dengan gerakan Naga Hitam Terjun ke Laut ini bagaikan kilat
menyambar mereka dan tiba-tiba saja mereka berlima merasa betapa pedang gadis itu menyambar tanpa
dapat dikelit atau ditangkis lagi.
Untungnya bahwa Lee Ing tidak berhati kejam dan sengaja pegang pedangnya dengan
dibalikkan hingga bukan tajam pedang yang membabat, akan tetapi muka pedang yang datar dan licin digunakan untuk
menampar. Namun, karena pedang itu terbuat daripada baja keras dan tenaga Lee Ing sangat besar, lima
orang penjaga yang kena tampar kepala, tangan, dan pipi mereka itu, berkaok-kaok kesakitan dan lari
tunggang-langgang bagaikan orang takut diserang setan.
Lee Ing tertawa geli dan kembali mencelat naik ke atas tembok dan berdiri menanti seperti tadi.
Lima orang penjaga itu cepat berlari ke dalam benteng dan sebentar saja puluhan orang perajurit berlari keluar,
mengiringkan seorang perwira muda yang memegang pedang. Perwira muda ini bukan lain adalah Lui Tik Kong
sendiri yang mengira bahwa to-kouw yang mengganggunya dulu itu telah datang menyerbu. Maka alangkah
heran dan terkejutnya ketika melihat bahwa yang berdiri di tembok dengan sikap tenang dan gagah itu bukan
lain ialah Lee Ing, nona cantik jelita yang menjadi gadis impiannya dan yang telah dipinangnya.
Ia segera menjura dari bawah tembok. "Ah, tidak tahunya Nyo-siocia yang malam-malam datang berkunjung.
Sungguh merupakan kehormatan besar sekali. Silakan turun, nona, dan marilah kita bicara dengan baik di
ruangan tamu kalau nona mempunyai urusan dengan kami."
"Cis! Siapa mempunyai urusan dengan kau untuk dibicarakan pada malam hari! Kau telah berlaku lancang
sekali, kaukira kau ini orang macam apakah" Kalau memang kau berkepandaian, kau naiklah ke tembok ini!"
Lui Tik Kong masih belum mengerti mengapa nona manis itu datang-datang telah begitu marah, akan tetapi
karena ia dihina di depan anak buahnya ia merasa malu sekali.
"Jadi kau hendak bicara di atas tembok ini saja, Nyo-siocia" Baiklah! Agaknya tembok ini belum begitu tinggi
untukku!" Sambil berkata demikian, Lui Tik Kong lalu menggerakkan tubuhnya dan melompat ke atas dengan gerakan
Burung Hong Naik Sorga. Gerakannya cukup indah dan ringan hingga anak buahnya bersorak memuji. Akan
tetapi Lee Ing tersenyum mengejek.
"Baru memiliki kepandaian sebegitu saja, kau telah anggap cukup untuk berani menghinaku?"
Mereka kini berdiri berhadapan di atas tembok yang lebarnya hanya satu setengah kaki. Kembali Lui Tik Kong
menjura dan memainkan senyum manis di bibirnya.
"Maafkan aku, siocia. Sungguh mati aku tidak mengerti maksudmu. Kekurangajaran apakah yang telah
kulakukan maka siocia marah-marah kepadaku?"
"Apa yang telah kaulakukan siang tadi" Kau telah berani sekali mengutus orang untuk?" untuk melamarku!"
Lui Tik Kong tercengang. "Eh?" urusan ini?" eh, mengapa nona menjadi marah-marah" Apakah utusanku mengeluarkan kata-kata
kurang ajar dan menyinggung hatimu" Nona, aku meminangmu karena?" aku cinta padamu."
"Bangsat kurang ajar!" Wajah Lee Ing memerah, karena biarpun ucapan Lui Tik Kong itu takkan terdengar oleh
para tentara yang berdiri agak jauh di bawah tembok, namun selama hidupnya belum pernah ia mendengar
seorang pemuda menyatakan cinta hatinya terhadap dia, maka rasa malu dan jengah membuatnya menjadi
marah sekali. "Apa salahku maka kau marah-marah, nona?" tanya Tik Kong.
"Cabutlah pedangmu dan coba lawanlah pedangku kalau kau memang orang gagah dan jangan banyak
cakap!" Lui Tik Kong merasa penasaran sekali. Ia sendiri memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, maka tentu saja
ia tidak akan takut kepada Lee Ing yang belum pernah dilihat kepandaiannya.
Pula, ia dapat meraba maksud gadis ini. Agaknya karena menerima pinangannya, gadis ini sengaja hendak
mencoba kepandaiannya. Ia tahu bahwa banyak gadis kang-ouw yang selalu ingin mengukur kepandaian
calon suaminya. Maka sambil tersenyum ia lalu mencabut pedangnya.
"Aku hanya taat pada permintaanmu dan bersedia mengiringi kehendakmu, nona," katanya.
"Hah! siapa mau mengobrol denganmu" Lihat senjata!" Lee Ing lalu mengirim serangan dan ketika Lui Tik Kong
menangkis, pemuda ini menjadi pucat karena pedangnya terpental dan hampir saja terlepas dari pegangan!
Kini maklumlah ia bahwa tenaga lweekang dari dara muda ini hebat sekali dan gerakan pedangnya pun
demikian cepatnya. Diam-diam ia menjadi jerih, maka segera melepaskan ikat pinggangnya dari kain tebal dan
memegang ikat pinggang ini di tangan kiri.
Inilah keistimewaan Lui Tik Kong, ia dapat memainkan pedang di tangan kanan dan ikat pinggang dari kain di
tangan kiri. Ikat pinggang ini, walaupun hanya terbuat daripada kain, akan tetapi berbahaya sekali. Kepandaian
ini ia dapatkan dari Kong Sin Ek si Dewa arak yang amat terkenal namanya oleh karena senjatanya berupa
baju luar yang terbuat dari kain kasar pula!
Setelah mengeluarkan ikat pinggangnya, barulah Lui Tik Kong dapat mengimbangi serangan Lee Ing. Akan
tetapi bertempur di atas tembok itu jauh bedanya dengan bertempur di atas tanah, oleh karena mereka tidak
dapat bergerak dengan leluasa, sedangkan dalam hal ginkang, pemuda itu masih jauh di bawah Lee Ing
tingkatnya! Maka Tik Kong lalu melompat turun sambil berseru.
"Nyo-siocia, di atas tembok kurang leluasa, silakan turun dan kita bermain-main di atas tanah."
"Kaukira aku takut?" kata Lee Ing yang menyambar turun pula dan sebelum kakinya menginjak tanah,
pedangnya telah diputar dan menyerang ke arah leher Tik Kong dengan gerak tipu Han-ya-pok-cui atau Burung
Gagak Menyambar Air. Tik Kong cepat mengebut dengan kain di tangan kirinya dan membalas menyerang dengan hebat. Pemuda ini
ketika melihat betapa serangan-serangan Lee Ing bukan dilakukan secara main-main, akan tetapi dengan
sengit dan bersungguh-sungguh, menjadi terkejut dan penasaran. Iapun menjadi sengit dan menyerang sama
hebatnya! Di dalam hatinya, Lee Ing memuji kepandaian perwira muda ini yang memang cukup tinggi, akan tetapi entah
mengapa, ia tidak suka kepada Tik Kong yang bersikap sopan-santun dan lemah lembut itu. Maka sekarang
ketika melihat betapa pemuda itu belum juga dapat dikalahkannya, ia merasa malu dan penasaran maka ia
lalu menggerakkan pedangnya lebih cepat pula dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya.
Pada suatu saat, ketika Lee Ing menyerang dengan sebuah tusukan ke arah dada, Tik Kong mengelak ke
samping dan menggerakkan kain di tangan kirinya. Kain ini tiba-tiba menjadi lemas dan membelit pedang gadis
itu dengan erat. Lee Ing terkejut sekali dan sebelum Tik Kong sempat menusuk dengan pedang, baru saja pemuda itu
mengangkat tangan kanan untuk mengirim serangan balasan sambil menahan pedang lawan dengan kainnya,
tiba-tiba Lee Ing menggerakkan tangan kiri memukul ke depan sambil berseru nyaring. Ternyata bahwa dalam
marahnya, gadis ini telah menggunakan pukulan Gin-san-ciang dengan tangan kiri ke arah pundak kanan Tik
Kong yang tak menyangka sama sekali.
02.05. Dua Musuh Orang Tua
Hal ini tidak mengherankan oleh karena jarak antara kepalan Lee Ing dan pundaknya masih jauh, maka tanpa
mengelak pun kepalan gadis itu takkan sampai ke pundaknya. Tidak tahunya kelihaian pukulan Gin-san-ciang
justeru kalau kepalan tangan yang memukul itu tidak mengenai sasaran, oleh karena pukulan ini dikerahkan
dengan sinkang istimewa hingga angin pukulan itulah yang menyerang hebat.
Tik Kong tiba-tiba merasa pundaknya sakit sekali dan sambil berteriak keras ia melepaskan pedangnya sambil
melompat mundur dan terhuyung-huyung dengan wajah pucat. Lee Ing baru ingat bahwa ia telah kesalahan
tangan melukai pemuda itu.
Tadinya ia hanya ingin mengetok kepala pemuda itu untuk memberi malu dan memberi hajaran, tidak ia
sangka bahwa Tik Kong benar-benar lihai hingga terpaksa ia menggunakan Gin-san-ciang untuk
merobohkannya. Lee Ing maklum bahwa hal ini tentu akan terdengar oleh ayahnya dan ia pasti akan
mendapat marah, maka ia lalu melompat ke atas tembok dan menghilang keluar, akan tetapi bahkan terus lari
turun gunung. Sambil berlari ia berpikir. Ke mana ia akan pergi" Mau pulang takut dimarahi ayahnya, tidak pulang, pergi
kemanakah" Tiba-tiba ia teringat kepada Ang Lian Lihiap di Tit-lee. Lebih baik ia pergi ke sana untuk melihat
keadaan mereka dan untuk mencoba kepandaian suami isteri pendekar yang amat tersohor dan sering dipujipuji ayahnya itu. Lee Ing tak perlu kuatir akan biaya perjalanan, oleh karena selain memakai perhiasan daripada emas di
dadanya, juga gadis ini mempunyai pengikat rambut dari mutiara putih yang mahal harganya. Ia menjual
perhiasannya dan dengan uang hasil penjualan itu ia dapat membiayai penginapan dan makan. Bahkan ia
membeli beberapa stel pakaian untuk pengganti dan pakaian itu dibungkusnya merupakan b untalan besar
yang diikat pada punggungnya.
Pada masa itu, biarpun pada umumnya kaum wanita jarang keluar pintu, akan tetapi banyak juga wanitawanita gagah melakukan perjalanan seorang diri atau berkawan, yang umumnya disebut wanita-wanita kangouw atau banyak juga pendeta-pendeta wanita yang disebut to-kouw. Akan tetapi, jarang sekali ada wanita
kang-ouw yang semuda dan secantik Lee Ing hingga tentu saja ia menimbulkan perhatian dan keheranan di
tiap kampung dan kota yang dilewatinya.
Beberapa hari kemudian, ia tiba di sebuah dusun yang hanya terpisah sejauh sehari perjalanan dari Tit-lee, dan
oleh karena hari telah mulai gelap ketika ia memasuki dusun itu, ia lalu mencari tempat penginapan. Akan
tetapi, di dusun yang kecil dan jarang kedatangan orang luar dusun itu, tentu saja ia tidak berhasil
mendapatkan sebuah rumah penginapan.
Akhirnya Lee Ing melihat sebuah kuil pendeta wanita di luar kampung, maka ia segera mengetuk pintu kuil
yang tertutup. Seorang nikouw (pendeta wanita yang berkepala gundul) muda menyambutnya dan
menanyakan maksud kedatangannya.
Lee Ing mengangkat tangan memberi hormat.
"Aku yang muda mohon diberi kesempatan bermalam untuk malam ini di sini, dan tentu saja aku bersedia
mengganti kerugian."
Nikouw itu tersenyum dan wajahnya yang berkepala gundul itu terbayang kemanisan seorang wanita cantik,
hingga Lee Ing dapat menduga bahwa kalau kepala yang gundul itu ada rambutnya yang hitam dan panjang
tentu nikouw itu menjadi seorang wanita yang cantik.
"Li-enghiong janganlah berlaku sungkan. Silakan masuk dan pinni kebetulan masih mempunyai sebuah kamar
kosong di belakang."
Lee Ing menghaturkan terima kasih dan setelah menjura kepada meja sembahyang di depan sebuah patung
Dewi Kwan Im yang berada di ruang depan, ia lalu mengikuti nikouw itu ke belakang dan ternyata bahwa
kamar itu cukup bersih, walaupun sangat sederhana.
Malam itu Lee Ing tidur nyenyak karena sehari penuh ia telah berjalan kaki tanpa berhenti. Sebelum ia jatuh
pulas, lapat-lapat ia mendengar suara seorang laki-laki tertawa hingga ia menjadi heran sekali mengapa dalam
sebuah kuil wanita terdapat suara laki-laki.
Akan tetapi ia terlampau letih untuk memperhatikan hal ini dan ia menduga bahwa suara itu tentu suara
seorang nikouw wanita yang memiliki suara parau dan besar seperti laki-laki. Oleh karena ini, tanpa curiga ia
tidur pulas. Akan tetapi, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia bangun dan hendak melanjutkan perjalanannya di kala
fajar baru saja menyingsing karena bermaksud supaya bisa, sampai di Tit-lee sebelum gelap, ia melihat
bayangan seorang laki-laki berkelebat keluar dari kamar besar tengah kuil.
Lee Ing menjadi marah sekali dan menyangka bahwa laki-laki itu tentu seorang pencuri. Dengan sekali
lompatan saja ia telah melampaui laki-laki itu dan mengirim tendangan ke arah lutut orang itu.
Laki-laki ini ternyata seorang yang masih muda dan berwajah tampan juga. Karena tendangan Lee Ing yang
cepat mengenai lututnya, ia berteriak kesakitan dan roboh tidak dapat bangun kembali, hanya memegangmegang kakinya sambil mengaduh-aduh dan memanggil.
"Aduh, tolong?" toanio?", tolonglah?"!"
Tiba-tiba kamar besar dari mana laki-laki tadi keluar, terbuka pintunya dan seorang wanita yang berpakaian
sebagai seorang to-kouw (pendeta wanita pemeluk Agama To) yang rambutnya riap-riapan ke belakang keluar
dengan tindakan cepat. Wanita ini berusia tigapuluh tahun lebih akan tetapi wajahnya masih tampak cantik,
sedangkan sepasang matanya galak dan genit.
Melihat betapa laki-laki kekasihnya itu dilukai orang, ia menjadi marah dan menuding kepada Lee Ing sambil
memaki. "Perempuan rendah dari manakah berani menghina orang?"
Lee Ing yang tadinya sudah marah karena menyangka bahwa laki-laki itu seorang
dan gerakan cepat, ia melompati tembok rendah yang mengelilingi gedung keluarga Lo
di bagian belakang. Ia masuk ke dalam kebun di belakang gedung itu dan dengan berani menghampiri gedung dari belakang. Ia
merasa heran mengapa gedung itu sunyi sekali, apalagi setelah ia berhasil masuk ke dalam gedung, yakni di
bagian belakangnya, ia makin heran karena tak seorangpun pelayan nampak di situ.
Tentu saja ia tidak tahu bahwa pada malam hari itu Han Lian Hwa dan Lo Cin Han, sepasang suami isteri
pendekar ini sengaja menyuruh semua pelayan keluar dari gedung itu oleh karena mereka berdua tengah
menanti kedatangan tamu-tamu istimewa yang siang tadi telah mengirim kartu nama bergambarkan tangan
hitam dan tengkorak. Juga Lo Sin tidak nampak karena pemuda ini belum kembali dari perjalanannya menuju
ke tempat kediaman Kong Sin Ek si Dewa Arak.
Lee Ing dengan hati-hati sekali menuju ke ruang tengah, lalu bersembunyi di balik sebuah pintu belakang dan
mengintai ke ruang tengah. Ternyata ruang itu luas sekali dan dipasangi lampu teng yang amat terang.
Di sudut terdapat sebuah meja bundar besar dan di belakang meja itu duduk dua orang berdampingan,
seorang wanita yang sangat cantik dan seorang laki-laki yang gagah sekali. Mereka berdua duduk tanpa
mengeluarkan suara sedikitpun dan mereka memandang ke arah pintu depan yang terbuka lebar, seakan-akan
mereka siap menanti datangnya tamu-tamu agung.
Lee Ing melihat bahwa wanita dan laki-laki itu usianya sebaya dengan ayah ibunya, dan melihat kecantikan
wanita itu dan kegagahan yang pria, mudah saja baginya untuk menduga bahwa mereka ini tentulah Ang Lian
Lihiap Han Lian Hwa dan Hwee-thian Kim-hong Lo Cin Han. Lee Ing memandang kagum sekali dan seketika itu
juga lenyaplah niatnya hendak mencoba kepandaian mereka.
Wajah dan sikap kedua orang itu sudah cukup untuk menundukkan wataknya yang keras hati dan ingin
mencoba setiap orang. Diam-diam ia memandang dengan penuh segan dan hormat, dadanya berdebar girang,
akan tetapi ia tidak berani keluar oleh karena jika ia keluar secara tiba-tiba tentu mereka ini akan
menganggapnya kurang ajar.
Tiba-tiba Lee Ing menjadi takut kalau sampai ketahuan kedatangannya. Ia merasa betapa ia telah berlaku
lancang sekali, berani datang ke tempat Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong seperti seorang maling.
Bagaimana kalau mereka berdua ini mengetahui bahwa ia adalah puteri Nyo Tiang Pek, sahabat baik mereka"
Ah, mereka tentu akan mencelanya dan ia akan membikin malu nama orang tuanya.
Memikir demikian, Lee Ing cepat mengeluarkan sebuah saputangan yang lebar dan menggunakan saputangan
lebar ini untuk mengikat rambut kepalanya dan menutup sebagian mukanya sebelah bawah agar jangan
sampai terlihat dan dikenal mukanya, kalau sampai terjadi mereka tahu akan kedatangannya.
Akan tetapi, melihat betapa kedua orang itu sama sekali tidak bergerak dan hanya mencurahkan perhatian ke
pintu depan, Lee Ing menjadi heran sekali. Ia lalu mengambil keputusan hendak meninggalkan tempat itu
secara diam-diam, akan tetapi pada saat itu terdengar suara Cin Han berkata dengan halus kepada isterinya.
"Nah, mereka akhirnya datang juga."
Lee Ing terkejut dan mengintai kembali ke ruang itu. Tiba-tiba dari pintu depan berkelebat bayangan orang dan
tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang to-kouw yang bukan lain adalah Hek Li Suthai dan muridnya, Bi Mo-li
yang dijumpainya di kuil pagi tadi.
Lee Ing menjadi tertarik sekali karena ia segera dapat mengerti bahwa to-kouw yang lihai itu sengaja datang
mencari musuh-musuhnya dan suami isteri pendekar itu telah siap menanti kedatangannya.
"Selamat malam, Hek Li Suthai," kata Ang Lian Lihiap kepada tamunya dengan suara yang merdu dan
terdengar gagah. Hek Li Suthai tertawa haha-hihi dan suara ketawa itu bergema memenuhi ruangan itu, Lee Ing terkejut sekali
karena suara ketawa ini mengandung getaran yang mendebarkan dadanya. Ia maklum bahwa to-kouw itu
hendak memamerkan khikangnya dan sengaja mendemonstrasikan ketawanya itu, maka buru-buru Lee Ing
mengatur napasnya untuk menolak getaran itu.
"Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong. Alangkah lamanya pinni menunggu-nunggu datangnya saat
pertemuan ini." "Hek Li Suthai, sudah sempurna benarkah kini pelajaranmu dari Sin-kun Moli Lan Bwee Niang-niang?" terdengar
Cin Han berkata dengan suaranya yang sabar tapi berpengaruh itu.
"Tentu saja, mengapa tidak?" jawab Hek Li Suthai dengan senyum sindir. "Kalian tentu telah maklum akan
maksud kedatangan pinni, bukan?"
Ang Lian Lihiap bangun berdiri dan Lee Ing melihat bahwa potongan tubuh pendekar wanita itu hampir sama
dengan ibunya, akan tetapi sikap Ang Lian Lihiap ini lebih gagah oleh karena ibunya mempunyai sikap lemah
lembut dan halus gerak-geriknya.
"Hek Li Suthai, siapa yang tidak ketahui maksudmu yang buruk" Semenjak dulu, gurumu yang selalu mencari
permusuhan dan agaknya kini kaulah yang melanjutkan usaha buruk itu. Akan tetapi, ketahui lah bahwa kami
selamanya takkan takut menghadapi kalian, oleh karena kami yakin bahwa kami berada di pihak benar.
Sekarang kau sudah tiba di sini dan aku sebagai tuan rumah akan menyambutmu sepantasnya. Katakanlah,
apa kehendakmu?" Lee Ing merasa kagum sekali mendengar kata-kata ini dan melihat sikap Ang Lian Lihiap. Benar patut disebut
pendekar wanita yang gagah perkasa! Ia memandang dengan dada makin merasa tegang dan tertarik.
"Hm, kau masih sombong dan keras seperti dulu," kata Hek Li Suthai. Kemudian ia berpaling kepada Bi Mo-li
dan berkata. "Kaulawanlah dia!"
Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bi Mo-li mencabut keluar pedang dan kebutannya, akan tetapi karena ia maklum bahwa ia berhadapan dengan
Ang Lian Lihiap yang tersohor akan kelihaiannya, ia tidak berani berlaku sombong, bahkan lalu menjura dengan
hormat dan berkata. "Lihiap, mohon pengajaran sedikit."
Ang Lian Lihiap tersenyum. "Kau tenangkanlah hatimu dan majulah, aku telah siap."
Akan tetapi pendekar wanita ini sama sekali tidak mengeluarkan pedangnya yang terkenal, yakni Kong-hwakiam, pedang pemberian suaminya ketika mereka masih bertunangan dulu. Bahkan pakaian pendekar wanita
ini tidak leluasa sekali karena jubahnya yang berwarna putih itu panjang sekali dan juga lengan bajunya
panjang sampai menutupi kedua tangannya.
"Lihiap, harap suka keluarkan senjatamu!" kata Bi Mo-li yang masih berlaku sungkan karena jerih.
Sekali lagi Ang Lian Lihiap tersenyum dan tampak oleh Lee Ing betapa manisnya wajah pendekar wanita itu
jika tersenyum. "Gurumu sengaja menyombong dan menyuruh kau maju melawanku, maka kalau aku
mempergunakan senjata berarti aku kurang hormat dan tidak suka menerima maksud baiknya itu."
Kata-kata ini walaupun diucapkan dengan halus, akan tetapi merupakan sindiran tajam kepada Hek Li Suthai.
"Bi-niang (si Cantik), jangan banyak tingkah. Seranglah dia!" kata Hek Li Suthai sambil memandang ke sana ke
mari agaknya mencari tempat duduk di ruang yang luas itu.
Cin Han dapat menduga maksud tamunya. Ia lalu menyambar sebuah bangku yang berada di dekatnya, lalu
mengayunkan bangku itu ke arah Hek Li Suthai sambil berkata. "Hek Li Suthai, kau duduklah!"
Bangku itu berkaki tiga dan dilempar perlahan oleh Cin Han, yakni nampaknya saja perlahan, karena
sesungguhnya bangku itu meluncur cepat ke arah to-kouw tua itu dengan ketiga kakinya di depan dan ketiga
kaki itu dengan cepat sekali menyerang merupakan totokan berbahaya, karena sekaligus kaki yang segitiga
kedudukannya itu menyerang jalan darah di ulu hati dan kedua pundak.
Akan tetapi, dengan tenang sambil berkata, "Terima kasih!" Hek Li Suthai menggunakan sebuah jari
telunjuknya menyentil kaki bangku yang menyerangnya itu hingga bangku itu terlempar sambil berputar-putar
ke atas, kemudian jatuh ke bawah dan diterima dengan sebelah tangan, lalu diduduki oleh to-kouw itu,
seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu!
Melihat pertunjukkan yang hebat dari kedua ahli itu, Lee Ing di tempat persembunyiannya menahan napas
saking kagumnya! 03.06. Untung ?". Tidak Tertangkap.
Sementara itu, mendengar perintah gurunya, Bi Mo-li lalu bergerak dan menyerang hebat dengan gerakan
berbareng, yakni dengan pedang di tangan kanan menyabet leher dan kebutan di tangan kiri menotok iga!
Tapi, dengan sedikit gerakan tubuh Ang Lian berhasil menghindarkan diri dari serangan ini.
Bi Mo-li maju menyerang lagi dan kini mengeluarkan seluruh kepandaiannya, dan menggunakan tipu-tipu yang
paling dahsyat dalam ilmu silatnya.
Akan tetapi, tiba-tiba sambil berseru nyaring, tubuh Ang Lian Lihiap lenyap dan tahu-tahu berada di belakang Bi
Moli. Ang Lian Lihiap menggerakkan kedua tangan menyentuh pundak kanan kiri lawannya dari belakang dan
tiba-tiba kedua senjata Bi Moli terlepas dari pegangan dan jatuh di atas lantai.
Bi Mo-li tak kuasa memegang kedua senjatanya lagi karena sentuhan pada kedua pundaknya itu membuat
kedua lengannya menjadi kaku dan terasa lumpuh! Segera, ia melompat mundur dengan wajah pucat dan
menjura kepada Ang Lian Lihiap sambil berkata.
"Pengajaran lihiap telah kuterima dan terima kasih!" Ia lalu maju dan memungut kedua senjatanya dengan
wajah berubah merah. Hek Li Suthai menjadi merah mukanya karena malu. "Dungu!" ia memaki muridnya. "Mudah saja diperdayakan
dengan pertunjukan gin-kang sebegitu saja!"
Muridnya tidak berani membantah dan hanya mundur berdiri di pinggir dengan kepala tunduk.
"Ang Lian Lihiap, keluarkanlah senjatamu dan jatuhkanlah pinni!" katanya sambil melangkah maju dan
mengeluarkan siang-kiam (sepasang pedang) yang berkilauan dan kedua pedang ini mengeluarkan sinar yang
berlainan. Pedang kiri mengeluarkan cahaya hijau dan pedang kanan mengeluarkan cahaya hitam. Inilah
sepasang pedang ular hijau dan hitam yang ampuh!
Tiba-tiba Cin Han tertawa dan berkata kepada isterinya, "Kau beristirahatlah dan biarkan aku mencoba
kehebatan Hek Li Suthai!"
Ang Lian Lihiap tersenyum dan berkata. "Suamiku ini memang selalu ingin merasai lebih dulu jika ada sesuatu
yang baru dan aneh datang kepada kami. Kau hadapi dia baik-baik Hek Li Suthai!" Lalu ia pergi duduk di
tempatnya tadi, menonton suaminya yang kini telah maju ke muka menghadapi Hek Li Suthai.
"Pedangmu sungguh hebat," kata Cin Han dan tangan kanannya bergerak.
Hampir tak dapat diikuti oleh mata Lee Ing gerakan tangan Hwee-thian Kim-hong ini, dan tahu-tahu Cin Han
telah mencabut pedangnya yang mengeluarkan cahaya putih berkilauan, karena yang dipegangnya ini adalah
Sian-liong-kiam. "Sian-liong-kiam di tanganmu juga pedang bagus. Mari, kaumajulah!" Kata Hek Li Suthai, akan tetapi sambil
berkata demikian ia mendahului lawannya menyerang dengan ganas.
Cin Han maklum akan kelihaian lawann ya, maka iapun tidak mau berlaku lambat atau sungka n lagi, dan
mengeluarkan kepandaiannya. Ia mainkan pedangnya dalam ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut atau
gabungan dari ilmu pedang isterinya seperti yang diciptakan oleh suhunya.
Pertempuran ini bukan main hebatnya hingga Lee Ing merasa pandangan matanya kabur dan kepalanya
menjadi pening. Ia melihat betapa gerakan kedua pedang di tangan Hek Li Suthai luar biasa sekali dan amat
sukar diduga perubahannya, juga to-kouw tua itu memiliki gin-kang yang tinggi hingga tubuhnya berkelebat ke
sana ke mari bagaikan seekor burung garuda menyambar-nyambar dari setiap jurusan.
Akan tetapi, gerakan Cin Han tenang dan bertenaga. Agaknya pendekar itu tak banyak bergerak, berdiri di
tengah-tengah dengan kedua kaki tetap dan setiap gerakannya mengeluarkan tenaga besar hingga anginnya
sampai terasa oleh Lee Ing di tempat persembunyiannya.
Kalau Hek Li Suthai boleh diumpamakan sebagai seekor garuda sakti yang menyambar-nyambar dari segala
jurusan dengan cepat sekali. Cin Han adalah sebagai seekor ular naga sakti yang melingkar di tengah dan
menjaga diri dari serangan garuda itu sambil mengebut-gebutkan ekor dan membalas menyerang dengan
kepalanya. Pertarungan yang sengit dan mati-matian ini tak dapat diketahui oleh Lee Ing siapa yang menang dan siapa
yang terdesak, hanya dapat dirasai oleh kedua orang yang sedang bertempur itu, dah tentu saja dapat dilihat
dan diketahui oleh Ang Lian Lihiap. Setelah bertempur limapuluh jurus, tahulah Hek Li Suthai bahwa ilmu
pedang Cin Han benar-benar, merupakan tembok baja yang tidak mungkin ditembus, dan terutama karena
tenaga Cin Han yang luar biasa, membuat ia tidak berdaya sama sekali.
Makin lama ia makin merasa dingin karena gerakan pedang Cin Han mendatangkan hawa dingin yang luar
biasa dan Lee Ing juga merasa akan serangan hawa dingin ini hingga bibirnya menggigil.
Memang ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut mempunyai dua bagian, yakni bagian menyerang dan
mempertahankan. Bagian menyerang disebut gerakan Naga Sakti Mandi di Api dan jika dimainkan, maka
gerakan pedang ini mengeluarkan hawa panas akan tetapi kehebatannya juga luar biasa sekali. Sebaliknya
bagian kedua adalah gerakan Naga Sakti Mandi di Air dan digunakan untuk bertahan, dan apabila gerakan ini
dimainkan, maka keluarlah hawa dingin dari gerakan pedang itu. Inilah kemujijatan Hwie-sian-liong-kiam-sut.
Cin Han memang sengaja mendemonstrasikan bagian mempertahankan diri, yakni Naga Sakti Mandi di Air,
maka percuma saja bagi Hek Li Suthai walaupun ia kini telah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian,
karena sedikitpun ia tidak dapat menembus benteng pertahanan Cin Han yang luar biasa itu. Akhirnya ia tidak
tahan pula, maka ia lalu melompat mundur sambil berkata.
"Cukup! Pinni telah merasakan kelihaian Hwee-thian Kim-hong dan memang kepandaianmu luar biasa. Akan
tetapi, oleh karena pinni telah sampai di sini, akan sia-sialah perjalananku apab
ila belum mencoba kepandaian
Ang Lian Lihiap." Ang Lian Lihiap mendongkol sekali, sungguhpun bibirnya tersenyum. To-kouw ini perlu diberi pelajaran, pikirnya.
Ia lalu berdiri dan menghampiri Hek Li Suthai, menggantikan Cin Han yang sudah mundur dan duduk kembali di
bangkunya. "Hek Li Suthai, kau sungguh tak mengenal kemurahan hati suamiku. Jangan kau menyesal kalau pedangku tak
bermata!" Sambil berkata demikian, pendekar wanita itu mencabut pedangnya dari punggung dan kembali
terlihat sinar berkelebat ketika pedang Kong-hwa-kiam dicabut!
"Nah, kau bersiaplah dan rasai seranganku!"
Setelah berkata demikian tubuh Ang Lian Lihiap berkelebat dan lenyap terbungkus sinar pedangnya yang
dimainkan dalam gerakan Naga Sakti Mandi di Api! Hek Li Suthai terkejut sekali dan iapun memperlihatkan
ginkangnya yang tidak rendah, maka kedua wanita yang bertempur itu lenyap dari pandang an mata dan yang
tampak hanyalah sinar pedang mereka.
Kalau tadi Lee Ing merasa pening melihat pertempuran antara Hwee-thian Kim-hong dan Hek Li Suthai, kali ini
matanya menjadi berkunang dan terpaksa ia meramkan mata beberapa kali agar sinar pedang jangan terlalu
menggelapkan pandangannya.
Betapapun tinggi ilmu gin-kang Hek Li Suthai namun menghadapi Ang Lian Lihiap yang sudah mendapat latihan
ginkang dari Song Cu Ling si Dewi Tanpa Bayangan, ia kalah jauh. Apalagi karena Ang Lian Lihiap memainkan
Hwie-sian-liong-kiam-sut bagian menyerang, maka baru bertempur tigapuluh jurus saja, Hek Li Suthai telah
merasa bingung sekali. Muka menjadi pucat dan keringat memenuhi kulit tubuhnya karena panasnya hawa
yang keluar dari gerakan pedang Ang Lian Lihiap.
Bukan main rasa kagum di hati Lee Ing melihat permainan pedang Ang Lian Lihiap, dan ia terpaksa membuka
sapu tangan yang tadi digunakan untuk menutupi mukanya karena iapun merasa panas.
"Sudah puaskah kau, Hek Li Suthai?" tiba-tiba terdengar suara Ang Lian Lihiap yang merdu dan tiba-tiba
sebatang pedang di tangan kanan Hek Li Suthai terlempar dan jatuh di atas lantai menerbitkan suara nyaring
sedangkan lengan tangan to-kouw itu mengalirkan banyak sekali darah merah oleh karena Kong-hwa-kiam
telah digunakan oleh Ang Lian Lihiap untuk menggurat luka di kulit lengan itu dari siku sampai ke pergelangan
tangan. Luka yang sengaja dibuat hanya untuk memberi hajaran ini dirasakan lebih perih daripada bacokan pedang
pada lehernya, maka dengan muka pucat sekali karena menahan marah. Hek Li Suthai memungut pedangnya
tanpa memperdulikan darah yang mengalir dari luka di kulit lengannya dan yang menetes-netes di atas lantai.
"Ang Lian Lihiap, Hwee-thian Kim-hong, terima kasih atas kebaikanmu dan kelak kita tentu bertemu pula!" Ia
lalu memberi tanda kepada muridnya dan keduanya lalu melompat dari situ.
Lee Ing juga hendak pergi dari tempat itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Cin Han berkata. "Orang yang
bersembunyi di balik pintu, kau keluarlah!"
Kalau pada saat itu ada petir menyambar kepalanya, belum tentu Lee Ing akan merasa sekaget itu. Ia cepat
menggunakan saputangannya menutupi mukanya lagi dan melompat pergi secepat mungkin.
"Hai, kau hendak lari ke mana?" terdengar Cin Han membentak, dan Lee Ing dengan takut dan gugup sekali
mempercepat larinya, keluar dari gedung itu dan lari ke kebun belakang.
Ketika ia tiba di bawah sebuah lentera yang dipasang di pojok kebun, tiba-tiba ada angin menyambar dari
belakang dan tahu-tahu Cin Han telah berdiri di depannya dengan pedang Sian-liong-kiam di tangan. Bukan
Menuntut Balas 23 The Wednesday Letters Karya Jason F.wright Kite Runner 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama