Ceritasilat Novel Online

Badai Di Siauw Lim Sie 3

Badai Di Siauw Lim Sie Lanjutan Tatmo Cauwsu Karya Sin Liong Bagian 3


tempat tersebut. Pendeta itu mungkin berusia empat puluh
tahun lebih, kepalanya botak dan di depannya tampak
mangkok Pan-uh, yaitu mangkok yang khusus untuk
meminta derma, Juga ditangan kirinya memegang bokkie
dan ditangan kanan pemukulnya, yang tengah diketuknya
136 perlahan-lahan, mulutnya juga
perlahan membaca Liamkeng.
komat-kamit dengan Ketika rombongan orang-orang itu akan lewat,
sipendeta telah membuka sepasang matanya yang sejak tadi
terpejamkan dia juga telah berkata dengan suara yang sabar,
diiringi oleh senyumnya: "Tuan-tuan yang berhati
dermawan tentu tidak keberatan untuk memberikan derma
satu atau dua taii perak kepada Siauwceng (pendeta
miskin)" Belasan orang itu hanya melirik saja, mereka mendengus
dan tidak memperdulikan si pendeta,
Sipendeta mengawasi sambil senyum pada rombongan
orang yang hendak memasuki perkampungan itu. ia mengetuk2 perlahan bokkie ditangannya, mulutnya juga
berkata "Hanya derma yang sedikit dari tuan-tuan, namun
besar artinya buat Siauwceng tidakkah menaruh hasrat
untuk bermurah hati memberikan derma?"
Memang belasan orang itu tidak mau mengacuhkan
sipendeta, mereka melarikan kuda memasuki perkampungan itu. Namun mata sipendeta tiba-tiba bersinar waktu melihat
seorang wanita dan seorang anak lelaki terikat di seekor
kuda, yang dalam keadaan tidak berdaya. Melihat keadaan
wanita dan anak itu yam terikat seperti itu. sipendeta telah
dapat menarik kesimpulan bahwa wanita, anak kecil itu
merupakan manusia-manusia yang tidak berdaya dan
menjadi tawanan dari belasan orang-orang yang bersama
mereka. Sipendeta juga telah melihat wajah dari belasan
orang tersebut yang bengis, dan keadaannya memperlihatkan bahwa mereka bukanlah manusia baikbaik.
137 "Tahan..... tunggu dulu!" tiba tiba pendeta itu telah
berseru dengan suara yang nyaring.
Waktu itu, dua orang yang berada didekat sipendeta,
telah mendelik sambil tetap duduk dipunggung kuda
masing-masing. "Pendeta jembel, mau apa kau banyak rewel?" bentak
mereka hampir berbareng, dengan sikap tidak senang.
Pendeta itu tetap duduk ditempatnya, namun dia
tersenyum ramah, katanya sabar "Sudah menjadi peraturan
Siauwceng, setiap orang yang ingin memasuki
perkampungan ini harus memberi derma satu tail untuk
Siauwceng, kalian berjumlah belasan orang berarti harus
memberi derma belasan tail perak. Bagi siapa yang tidak
mau memenuhi peraturan Siauwceng, maka orang itu tidak
boleh memasuki perkampungan ini!"
"Pendeta edan!" teriak orang itu dengan mendongkol.
"Aturan dari mana engkau pergunakan, sehingga setiap
orang yang ingin memasuki perkampungan ini harus
memberi derma satu tail untukmu?"
"Itulah peraturan Siauwceng dan tidak ada seorangpun
yang boleh membangkang, karena jika memang ada orang
yang tidak mau memenuhi peraturan Siauwceng, hmm,
hem, sulit bagainya untuk pergi kesorga kelak di akhir
kematiannya" Walaupun berkata begitu, muka sipendeta berseri-seri,
dia bersenyum ramah dan juga sikapnya sabar sekali.
Belasan orang itu mengerti, bahwa sipendeta ini yang
memakai jubah putih, dan tampak mukanya segar memerah
itu, tanpa memelihara kumis atau jenggot, merupakan
pendeta bukan sembarangan, tubuhnya yang tegap itu
memiliki tenaga yang kuat. Dengan sengaja menyebut138
nyebut peraturan seperti itu tampaknya sipendeta memang
tengah mencari-cari urusan dengan mereka.
Malah salah seorang dari belasan orang itu, yang
rupanya menjadi pemimpin mereka telah memberi isyarat
kepada dua kawannya yang berada didekat sipendeta.
Kedua kawannya itu mengerti apa yang harus mereka
lakukan, karena keduanya telah melompat turun dari atas
kuda masing-masing dengan ringan sekali, tubuh mereka
bagaikan dua ekor burung rajawali, belum lagi kedua kaki
mereka hinggap diatas tumpukan salju, sepasang tangan
mereka masing-masing telah bergerak akan mencengkeram
pundak dan batok kepala sipendeta yang gundul pelontos
itu. Sipendeta sama sekali tidak berusaha mengelakkan
serangan kedua orang itu, dia tetap duduk ditempatnya
dengan tenang, dan ketika serangan hampir tiba, dia telah
mengangkat kedua tangannya, dengan masih mencekal
bokkie dan pemukulnya itu, dia mengambil sikap seperti
memberi hormat. Dia juga telah mengucapkan kebesaran
Sang Budha. Luar biasa kesudahannya, karena kedua orang yang
menyerang sipendeta itu malah telah mengeluarkan suara
jeritan, waktu sepasang tangan mereka hampir tiba
disasaran. mereka merasakan adanya tenaga menolak yang
kuat sekali dan tubuh mereka telah terpental dan tergulingguling ditumpukan salju sejauh empat tombak lebih.
Kawan-kawannya yang lain jadi terkejut waktu melihat
nasib kedua kawan mereka itu.
Mereka telah melompat turun dari kuda masing-masing
dan berdiri mengelilingi sipendeta dengan sikap
mengancam. Waktu itu merekapun telah membentak
bengis: "Pendeta keparat yang hendak mencari mampus!".
139 Ada juga yang membentak: "Kau belum mengetahui
siapa adanya kami, hei pendeta gundul keparat!"
Tapi pendeta berjubah putih itu tetap membawa sikap
yang tenang. "Sudah Siauwceng katakan tadi, siapa saja
yang tidak mau memenuhi peraturan yang telah Siauwceng
adakan, niscaya tidak akan dapat memasuki perkampungan
ini!" "Peraturan gila!" teriak beberapa diantara mereka.
"Apakah pintu perkampungan ini milik nenek moyangmu
pendeta gundul, sehingga engkau hendak menarik pajak
satu tail untuk setiap orang yang hendak memasuki
perkampungan ini?" Pendeta berjubah putih itu tetap membawa sikap yang
tenang, dia berdiam diri saja sambil bersenyum-senyum.
Sama sekali dia tidak memberikan jawaban,
Waktu itu, orang yang menjadi pemimpin dari
rombongan orang tersebut telah menghampiri dengan
langkah lebar, dia marah sekali. Begitu menghampiri dekat,
kedua tangannya bergerak dengan cepat dan kuat sekali
menghantam kearah dada dan kepala sipendeta.
Namun pendeta berjubah putih itu sama sekali tidak
bangkit dari tempat duduknya. Dia meruang mengetahui
bahwa gempuran kedua kepalan tangan orang ini kuat
sekali, karena belum lagi tiba serangannya, angin pukulan
menderu-deru kuat sekali. Pendeta itu hanya merangkapkan
kedua tangannya sambil memuji kebesaran Sang Budha.
Suatu peristiwa yang sangat aneh lelah terjadi lagi.
Walaupun pendeta itu tidak menangkis atau membalas
menyerang, namun diwaktu itu orang yang menjadi
pemimpin rombongan dari belasan orang tersebut, telah
melompat-lompat sambi! menarik pulang kedua tangannya,
karena dia menderita kesakitan bukan main, dia seperti juga
140 memukul baja atau lempengan besi yang kuat sekali,
bagaikan sekujur tubuh pendeta itu dilindungi oleh selapis
dinding yang tidak tampak!
Dengan muka merah padam, orang yang menjadi
pemimpin rombongan orang itu, yang lengah menderita
kesakitan, telah membentak: "Pendeta keparat, ilmu
siluman apa yang telah engkau pergunakan?"
Pendeta itu telah tersenyum sabar, katanya: "Omitohud!
Sebagai pengikut Hudcouw yang setia, mana mungkin
Siauwceng mempergunakan segala ilmu siluman!"
"Siapa sebenarnya kau, pendeta keparat?" bentak orang
yang jadi pemimpin rombongan orang-orang tersebut,
dengan suara yang bengis.
"Siauwceng Wan Sin Hweshio" menyahuti pendeta itu.
"Hmm, apakah engkau tidak mengetahui tengah
berhadapan dengan siapa?" bentak orang itu lagi. "Kau
berani berlaku kurang ajar mencari urusan dengan kami,
apakah engkau tidak sayang akan batok kepalamu?"
"Oh, oh, tentu saja Siauwceng sayang kepala Siauwceng
ini" menyahuti Wan Sin Hweshio. "Dan lagi pula, tentu
saja Siauwceng mengetahui tengah berhadapan dengan
siapa karena memang Siauwceng masih memiliki sepasang
mata yang bisa melihat dengan jelas, bahwa kalian adalah
manusia-manusia biasa seperti juga halnya dengan
Siauwceng. Benarkah dugaan Siauwceng bahwa kalian ini
adalah manusia-manusia juga"
Bukan main mendongkol dan murkanya orang yang
menjadi pemimpin dari belasan orang itu. Dia telah
membentak menyeramkan: "Kami adalah orang-orang immo-kauw! Kau tahu Im-mo-kiuw" Kau pernah
mendengarnya"."
141 Orang yang-meijadi pemimpin dari belasan Oraag
tersebut menduga, begitu dia menyebut Im-mo-kauw tentu
pendeta ini akan gemetar ketakutan. Tapi kenyataan bahwa
pendeta itu malah telah merangkapkan kedua tangannya,
dia menyebut akan kebesaran Sang Buddha, baru kemudian
berkata "Omitohud! Omitohud! Rupanya kalian orangorang dari Im-mo-kauw. Lalu, jika sekarang Siauwceng
telah mengetahui bahwa kalian adalah orang-orang Im-mokauw. lalu kenapa?"
Muka orang yang menjadi pemimpin belasan orang itu
telah berobah mukanya semakin merah padam, bahkan
telah berkata dengan suara yang lebih bengis: "Tidak ada
seorang-pun yang berani membentur kami dapat hidup
terus! Hmm, dengan adanya engkau yang demikian kurang
ajar, tidak hujan tidak angin telah berani untuk mencari
urusan dengan kami, maka tahukah kau apa hukuman yang
akan kau terima dari kami?"
"Hukuman" Omitohud! Siancai! Siancau. Memangnya
Siauwceng bersalah apa, sehingga harus menerima
hukuman?" kata sipendeta dengan suara yang sabar.
"Siauwceng tidak merasa melakukan dosa dan perbuatan
yang melanggar hukum, mengapa harus menerima
hukuman?" Ditanggapi begitu terus menerus oleh si pindeta, Wan
Sin Hweshio dan belasan orang itu semakin lama jadi
semakin mendongkol dan murka, mereka telah mencabut
senjata masing masing. Ada yang mencekal pedang, ada
yang mencekal golok mereka. Semuanya bersiap untuk
menyerang. Sedangkan sipendeta tetap berlaku tenang dan duduk
diam ditempatnya, hanya bola matanya yang telah memain.
"Ai, ai, mengapa kalian ingin main-main dengan segala
macam barang permainan anak2 seperti itu, bisa-bisa nanti
142 tangan kalian terkilir...." suara sipendeta sangat sabar, dan
diapun telah tersenyum-senyum, sama sekali dia tidak
memperlihatkan perasaan jeri atau gentar menghadapi
ancaman belasan orang yang telah mengepungnya dengan
mencekal senjata tajam seperti itu.
Dikala itu, Auvvyang Toanio dan Sung-jie yang berada
diatas kuda dalam keadaan terikat bukan main kuatirnya,
mereka kuatir kalau2 pendeta ini dicelakai oleh belasan
orang itu. Sedangkan orang yang jadi pemimpin dari
belasan orang tersebut, telah mencabuti pedangnya, dimana
dengan pedangnya itu dia maju untuk menikam kepada
sipendeta sambil bentaknya: "Pendeta keparat, kami bukan
sedang bergurau denganmu!"
Pedangnya itu menyambar dengan cepat sekali, dan jika
memang mengenai sasarannya, tentu pada dada sipendeta
itu akan berlubang. Namun Wan Sin Hweshio malah
membawa sikap yang tenang bagaikan tidak melihat
datangnya serangan pedang yang meluncur ke dadanya, dia
hanya sambil tertawa telah mengangkat pengetuk
bokkienya dan kemudian mengetuk perlahan pedang orang
itu. "Tringgg!", pedang itu terbentur perlahan, namun
kesudahannya hebat, dimana pedang itu telah terlepas dari
cekalan tangan orang tersebut, terpental cukup jauh,
menancap di tumpukan salju.
"Ai, ai, mengapa pedang itu kau buang?" tanya Wan Sin
Hweshio sambil memperlihatkan sikap terheran-heran.
Sedangkan waktu itu, belasan orang lainnya telah
menerjang maju dengan senjata tajam, mereka menyerang
dengan hebat, menyerang berbagai jurusan dari bagian
anggota tubuh yang mematikan Wan Sin Hweshio.
143 Dengan demikian, berarti Wan Sin Hwe jhio terancam
bahaya yang tidak kecil, karena dia dalam keadaan duduk
bersila, sedangkan serangan datang dari berbagai jurusan.
Namun kenyataannya Wan Sin Hweshio dengan mudah
dan perlahan-lahan menggerak gerakkan penggetok
bokkienya, sehingga terdengar suara "tring, tring, tring",
beberapa kali, disusul oleh suara jerit kesakitan dari belasan
orang itu, karena pedang dan golok mereka telah terpental
oleh ketukan pemukul bokkie itu. Pedang mereka itu
terlontarkan dan terlepas dari cekalan, menancap
ditumpukan salju.

Badai Di Siauw Lim Sie Lanjutan Tatmo Cauwsu Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Belasan orang itu telah melompat mundur dengan wajah
yang berobah pucat. Dengan adanya peristiwa itu, dengan
sendirinya membuktikan bahwa pendeta ini memang benarbenar bukan pendeta sembarangan, memiliki kepandaian
yang hebat sekali. Setelah saling pandang satu dengan yang lainnya,
belasan orang itu saling melompat keatas kuda mereka,
untuk melarikan kuda mereka berlari meninggalkan
sipendeta. Namun sipendeta sama sekali tidak mau melepaskan
orang-orang itu melarikan diri. Dia telah berseru. "Ai, ai,
kalian hendak pergi kemana" Sudah Siauwceng katakan,
sebelum memberikan satu tail seorangnya kepada
Siauwceng, siapapun juga tidak diperbolehkan untuk
memasuki perkampungan itu!"
Pendeta itu, Wan Sin Hweshio, bukan hanya berkata
saja, karena diapun telah menggerakkan bokkie dan
pemukulnya, yang digerak-gerakkannya dengan perlahan.
Namun dari bokkie dan pemukulnya itu berkesiuran
angin yang kuat sekali. Dan yang luar biasa, belasan ekor
kuda itu tahu-tahu menekuk kaki empat mereka, telah
144 ngusruk, sehingga penunggangnya jadi terlempar ambruk di
atas tumpukan salju. Waktu belasan ekor kuda itu telah bisa
berdiri pula, belasan orang itu belum bisa melompat berdiri.
Dengan gusar, belasan orang merangkak bangun,
mereka saling mengawasi satu dengan yang lainnya,
kemudian orang yang menjadi pimpinan mereka telah
berkata: "Baiklah pendeta keparat, kami akan selalu ingat
pelajaran hari ini, kamipun akan ingat baik-baik gelaranmu,
yaitu Wan Sin Hweshio! Hemmmm, kelak kita akan
bertemu pula!" Dan dia telah mengambil kudanya,
menuntunnya. Dia bukan bermaksud hendak memasuki perkampungan
itu lagi, melainkan mengambil kejurusan lainnya, karena
dia batal memasuki perkampungan itu, Demikian juga
halnya dengan kawan2nya, yang telah mengambil kuda
mereka, melompat keatas kuda masing-masing, untuk
meninggalkan tempat itu. Mereka tidak ingin memaksa
masuk ke dalam kampung itu, karena mereka tidak mau
berurusan dengan pendeta yang liehai itu.
Salah seorang diantara mereka telah menuntun kuda
dimana Auwyang Toanio dan Sung-jie terikat.
Tapi pendeta itu waktu melihat belasan orang tersebut
hendak pergi, telah berkata: "Jika masuk tidak boleh tanpa
membayar, pergipun tidak boleh tanpa membayar?" nyaring
sekali suara sipendeta, sedangkan belasan orang itu jadi
menoleh ke arahnya memandang dengan bengis dan salah
tingkah. "Sesungguhnya apa yang kau kehendaki"' bentak yang
menjadi pemimpin mereka. "Siauwceng menghendaki seorangnya kalian memberikan derma satu tail, tidak lebih juga tidak kurang."
menyahuti pendeta itu. 145 Bola mata orang-orang itu jadi mencilak-cilak murka,
namun mereka menyadari tidak mungkin mereka
memberikan perlawanan. Wan Sin Hweshio telah menunjuk kepada Ouwyang
Toanio dan Sung-jie, katanya: "Jika memang kalian tidak
memiliki uang untuk di dermakan kepada Siauwceng, maka
mendermakan manusia pun juga Siauwceng tidak keberatan
untuk menerimanya! Kalian tinggalkan wanita dan anak
kecil itu, dan kalian boleh angkat kaki pergi meninggalkan
tempat ini...." Muka belasan orang itu jadi berobah lagi. Mereka
marah, penasaran, jeri dan kuatir menjadi satu. Sekarang
mereka baru mengetahui bahwa pendeta ini ternyata
mengincar kedua orang tawanan mereka. Dengan mencari
cari urusan pada mereka, ternyata itu bermaksud merebut
kedua orang tawanan mereka.
Tapi orang yang menjadi pemimpin belasan orang
tersebut, yang ternyata merupakan orang-orang Im-mokauw, telah menggelengkan kepalanya. Katanya dengan
suara nyaring: "Kami telah menjalankan tugas Kauwcu
kami. Kedua orang ini, ibu dan anak, memiliki urusan
sangat penting sekali dengan Kauwcu kami. Jika memang
engkau menghendaki kedua orang ini, terlebih baik kau
bicara langsung saja dengan Kauwcu kami, karena kami
sama sekali tidak berani lancang menyerahkan begitu saja
kedua orang ini padamu"
"Jika kalian tidak mau mendermakan uang juga
keberatan untuk mendermakan kedua orang itu?" tanya
Wan Sin Hweshio. Dia bertanya begitu, namun suara dan
sikapnya tetap sabar, hanya matanya saja yang telah
memancarkan sinar yang tajam.
146 Orang-orang Im-mo-kauw tersebut yang telah
mengetahui bahwa Hweshio ini memiliki kepandaian yang
tinggi dan bukan menjadi tandingan mereka, telah ciut
nyalinya, tapi yang yang jadi pemimpinnya segera merogoh
saku, dia mengeluarkan lima belas tail perak, dilemparkan
di dekat pan-ku sipendeta.
"Kami mendermakan uang saja. Kami berjumlah lima
belas orang, maka kami menderma lima belas tail!"
katanya. "Kurang!" sahut sipendeta.
"Kurang?" tanya pemimpin rombongan orang Im-mokauw tersebut sambil mengerutkan alisnya. "Bukankah
engkau sendiri yang mengatakan bahwa kami seorangnya
harus mendermakan satu tail perak" Kami semuanya
berjumlah lima belas orang, bukankah kami harus
menderma lima belas tail perak?"
Wan Sin Hweshio menggeleng. "Bukan!" sahutnya.
"Jumlahnya kurang" katanya kemudian.
"Mengapa kurang" Kau hitung sendiri, kami semuanya
berjumlah lima belas orang"
"Benar, tapi tadi Siauwceng harus mengeluarkan tenaga,
lihatlah.... pemukul bokkie Siauwceng telah gempal, untuk
memperbaikinya tentu harus mengeluarkan biaya dua belas
tail. Lalu ujung jubah Siauwceng telah kotor, jika harus
dicuci, tentu harus mengeluarkan biaya cucinya dua tail
perak. Kemudian tadi Siauwceng telah mempergunakan
tenaga yang cukup banyak, sehingga agar pulih kembali
tenaga Siauwceng, maka harus makan yang banyak. Untuk
membeli makanan Siauwceng tidak cukup enam tail perak!
Nah, dengan demikian kalian harus menambah dua puluh
tail perak lagi, untuk menutupi semua ongkos-ongkos yang
harus dikeluarkan oleh Siauwceng....."
147 Muka pemimpin rombongan orang-orang Im-mo-kauw
itu berobah merah, karena dia mengetahui bahwa alasan
yang dikemukakan oleh si pendeta hanyalah dicari-cari.
-o0od0wo0o- Jilid: V NAMUN belum lagi ia sempat untuk berkata-kata,
waktu itu Wan Sin Hweshio telah berkata lagi: "Dan, jika
kalian tidak mau mengeluarkan uang, kalian merasa berat
untuk mengeluarkan sejumlah uang yang cukup besar itu,
maka serahkan saja wanita dan anak kecil itu pada
Siauwceng, maka uang yang dua puluh tail perak, ditambah
dengan lima , belas tail perak ini, boleh kalian ambil
kembali! Satu cie atau satu bun juga kalian tidak perlu
keluarkan uang lagi, dan kalian boleh angkat kaki
meninggalkan tempat ini!"
"Wan Sin Hweshio!" bentak orang yang menjadi
pemimpin orang-orang Im-mo-kauw itu. "Kau terlalu
mendesak kami, engkau terlalu mengada-ada. Sesungguhnya, maksudmu tentunya hanya menginginkan
kedua orang tawanan kami ini, bukan"!"
"Oh tidak, tidak.... Siauwceng hanya memberikan jalan
keluar saja, jika memang kalian setuju ya syukur, jika tidak,
itu terserah pada kalian....!"
Orang2 Im-mo-kauw mendongkol dan gusar, tapi
mereka mendongkol dan gusar tanpa berdaya. Karena
mereka telah mengalami, bahwa mereka tidak mungkin
berhasil menghadapi sang pendeta yang tampaknya
memang mempunyai kepandaian yang tinggi. Tapi
sekarang yang mempersulit mereka, Hweshio itu
148 sesungguhnya bukan menghendaki uang mereka, hanya
menginginkan Auwyang Toanio dan Sung-jie.
"Wan Sin Hweshio, sesungguhnya kau berasal dari
pintu perguruan mana, sehingga kau demikian kurangajar
ingin mencari urusan dengan kami dari Im-mo-kauw?"
"Omitohud. Siancai! Siancai! Sesungguhnya Siauwceng
merupakan seorang murid yang tidak berarti dari Siauw
Lim Sie!" Mendengar keterangan sipendeta, muka semua orang
Im-mo-kauw telah berobah, mereka saling pandang satu
dengan yang lainnya. "Hm, kiranya murid Siauw Lim Sie, yang mulai terkenal
sekarang ini dan pintu perguruan yang dibangun oleh Tat
Mo Cauwsu itu pendeta dari India?"
Wan Sin Hweshio tersenyum, dia mengangguk
perlahan, sahutnya: "Ya, tidak salah, tidak salah, memang
suhu kami yang mulia itu berasal dari India"
"Lalu, apakah sebagai seorang beribadah yang saleh dan
alim, kau pantas mengganggu kami"!" tanya pemimpin
rombongan orang2 Im-mo-kauw. "Atau memang Siauw
Lim Sie telah menganggap dirinya sebagai satu-satunya
pintu perguruan yang terhebat di daratan Tionggoan ini"!"
Wan Sin Hweshio telah tersenyum. "Oh, sekali-sekali
tidak berani Siauwceng berkata begitu! Mengenai
kepandaian dan ilmu, sepanjang usia tidak akan selesai
dipahami, begitu juga seumur hidup, kita tidak akan selesaiseiesai dan habis mempelajari ilmu! Itulah sebabnya, tidak
kami kenal perkataan yang "terhebat" atau yang "tertinggi".
Kami hanya mengetahui "kebajikan" dan "Kemuliaan
dalam jiwa yang bersih"
149 "Jika demikian, antara kami Im-mo-kauw dengan Siauw
Lim Sie memang tidak tersangkut urusan dan permusuhan,
mengapa tampaknya kau men-cari2 urusan dengan kami"!"
tanya pemimpin Im-mo-kauw.
"Siauwceng bukan men-cari2 urusan, tapi dalam urusan
ini memang sudah menjadi peraturan Siauwceng, siapa
yang hendak memasuki perkampungan ini harus
memberikan derma satu tail, dan tadi kalian juga telah
merusak pemukul Bokkie Siauwceng. Bagus Siauwceng
hanya meminta pengganti rugi yang ringan, sebab
walaupun telah diperbaiki pemukul Bok kie ini, tohk kelak
Siauwceng tetap akan menerima teguran dari suhu"
Pemimpin orang2 Im-mo-kauw tersebut telah tertawa
dingin. "Siauw Lim Sie yang baru dibangun dan berdiri di
daratan Tionggoan, dan juga dibangun oleh cakal bakalnya
yang berasal dari India, yaitu Tat Mo Cauwsu. Lalu
mengapa seorang pendeta yang seharusnya saleh, bisa
memiliki peraturan yang demikian kurang ajar, yaitu
meminta derma secara paksa". Apakah ini merupakan suatu
perbuatan yang pantas". Menurut yang sering kali dengar,
Tat Mo Cauwsu yang berasal dari India itu,, berusaha
untuk membangun sebuah pintu perguruan yang bersih dan
lurus, yang mengharuskan setiap muridnya menjadi
manusia-manusia yang saleh dan baik. Apakah kau tidak
kuatir kalau perbuatanmu ini kelak kami laporkan kepada
suhumu itu"!" Wan Sin Hweshio tertawa, dia berkata dengan suara
yang sabar sekali: "Apa yang di lakukan oleh Siauwceng ini
atas ijin dari suhu kami. Karena itu, walaupun kalian
hendak melaporkan kepada suhu kami, apa yang perlu
dikuatirkan"!" "Oh, jika demikian nama besar Tat Mo Cauwcu yang
di-puja2 oleh orang2 Kangouw ternyata merupakan nama
150 kosong belaka. Kami mendengar bahwa Tat Mo Cauwcu
merupakan seorang guru besar yang berdiri digaris keadilan,
kebajikan dan perikemanusiaan! Namun siapa tahu,
sekarang ini ternyata Siauw Lim Sie yang baru saja
dibangunnya itu ternyata telah mengeluarkan seorang
murid seperti kau, Wan Sin Hweshio"
"Siauwceng hanya meminta derma, bukan meminta
untuk kalian memaki-maki dan menyindir suhu Siauwceng,
jika memang kalian masih tetap dengan sikap kalian, hem,
hmm tentu Siauwceng tidak akan segan-segan mengambil
tindakan tegas! Im-mo-kauw memang merupakan sebuah
perkumpulan yang sangat ternama, tapi ternamanya itu
dalam dunia yang gelap dan kotor, hampir seluruh anggota
Im-mo-kauw selalu melakukan kejahatan. Soal itu memang
Siauwceng telah lama mendengarnya, baru hari ini
Siauwceng bisa bertemu langsung dengan orang-orang Immo-kauw dan Siauwceng juga telah membuktikan bahwa
kalian bukanlah manusia-manusia baik, karena kalian main
serang dan main pergunakan senjata tajam untuk
membinasakan sesama manusia! Sekarang lihat saja, wanita
yang harus dikasihani itu dan anak kecil yang belum
mengerti urusan, tapi mereka telah diikat begitu rupa!
Apakah perbuatan itu pantas" Atau memang kalian
menganggap perbuatan dan tindakan seperti itu adalah
perbuatan para Hoan (orang-orang gagah)?"
Muka orang yang jadi pemimpin rombongan orang2 Im
mo-kauw itu telah berobah merah. Tapi karena mengetahui
Wan Sin Hweshio seorang pendeta yang memiliki
kepandaian sangat tinggi, dengan sendirinya mereka
walaupun gusar tidak berani menerjang maju.
"Bagaimana tentang penawaran Siauwceng memberikan
derma uang atau memang derma manusia?" tanya Wan Sin
Hweshio.

Badai Di Siauw Lim Sie Lanjutan Tatmo Cauwsu Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

151 "Kami memilih memberikan derma uang!" menyahuti
orang yang jadi pemimpin rombongann orang2 Im-momauw itu. Dia pun telah merogoh sakunya dan
mengeluarkan dua puluh tail perak, dilemparkan lagi uang
itu kedekat Wan Sin Hweshio.
Tapi pendeta itu kembali menggelengkan kepalanya.
"Kurang!" katanya.
"Kurang lagi"!"
"Jelas kurang!" menyahuti Wan Sin Hwe shio.
"Mengapa kurang" Bukankah engkau sendiri yang
meminta agar ditambah dua puluh tail"!" tanya orang yang
jadi pemimpin Im-mo-kauw itu gusar bukan main, sampai
dadanya seperti mau meledak.
Wan Sin Hweshio tersenyum. "Tentu saja kurang.....
karena tadi Siauwceng telah menceritakan asal-usul
Siauwceng, untuk itu kalian harus membayar lima puluh
tail perak. Tidak mudah orang mengetahui riwayat dan asal
usul Siauwceng, maka lima puluh tail merupakan
pembayaran yang murah sekali. Ditambah lagi dengan
bercapai lelahnya bergoyangnya mulut Siauwceng ini, yang
sejak tadi bercerita! Bukankah seorang dalang saja dari
pertunjukkan wayangpun harus menerima upah yang cukup
tinggi" Demikian juga untuk pekerjaan comblangpun selalu
menerima imbalan yang sangat tinggi" Bukankah mereka
bermodalkan mulut yang terus menerus bergoyang" Sama
halnya dengan Siauwceng yang sejak tadi berbicara dengan
mulut tiada hentinya bergoyang. Harus di tambah dengan
lima puluh tail lagi! Jadi kalian harus menambah seratus tail
perak!" "Itulah suatu hal yang keterlaluan sekali" teriak orang
yang jadi pemimpin itu. "Kau terlalu mendesak kami"
152 Dan setelah berkata begitu, dia memutar kudanya untuk
dilarikan meninggalkan tempat itu.
Namun Wan Hweshio telah berkata dingin "Hendak
pergi kemana kau"!"
Membarengi dengan itu, tangan kanannya bergerak, dan
"wutttt" segera juga serangkum angin yang kuat sekali
menyambar orang itu. Tidak ampun lagi orang tersebut
merasakan tubuhnya seperti diterjang kuat sekali oleh sesuatu yang seberat gunung, mungkin, ribuan kati yang
menghantam tubuhnya, tubuhnya itu telah tersungkur jatuh
dari atas kuda sambil mengeluarkan jeritan kaget.
Kawan-kawannya jadi terkejut, mereka semua telah
melompat turun dari kuda masing-masing. Dengan
mengeluarkan suara bentakan bengis dan kalap, orang yang
jadi pemimpin diri rombongan orang-orang Im-mo-kauw
tersebut telah menerjang kepada Wan Sin Hweshio
"Pendeta keparat, engkau keterlaluan sekali....!" Kedua
kepalan tangannya bergerak beruntun untuk memukul.
Tenaga yang dipergunakannya juga sepenuhnya.
Demikian juga belasan orang Im-mo-kauw yang lainnya
telah melompat menerjang kepada Wan Sin Hweshio.
Gerakan merekapun nekad sekali.
Sedang Wan Sin Hwoshio dengan tenang duduk
ditempatnya, sama sekali ia tidak berkisar dari tempatnya
itu, dan hanya setiap kali orang-orang itu memukul,
pendeta tersebut selalu mengucapkan perkataan "Omitohud!" Dan memang luar biasa cara pendeta itu menyambut
pukulan-pukulan dari orang itul sebab setiap kali orangorang Im-mo-kauw tersebut memukul, mereka yang
menghantam, mereka sendiri yang kesakitan, Sedangkan
153 sipendeta yang dipukul itu, malah tetap duduk tenangtenang ditempatnya.
Tapi orang-orang Immo-kauw ini memang penasaran
sekali, mereka tetap menyerang dengan pukulan yang
bertubi-tubi. Akibat dari kalapnya mereka, justru ke palan tangan
mereka sendiri yang telah memerah bengkak besar sekali,
sebab setiap kali mereka memukul, seperti juga mereka
memukul tembok besi atau baja.
Setelah berulang kali dipukul dan selalu mengucapkan
perkataan "Omitohud!", maka suatu kali Wan Sin Hweshio
telah berkata: "Siauw-ceng kira telah cukup....
Omitohud.....!" Dan setelah berkata begitu, sipendeta memejamkan
kedua matanya ia mengempos semangat dan hawa murni
ditubuhnya. Sekali mengeluarkan perkataan "Omitohud!"
lagi, maka waktu tujuh orang Im-mo-kauw menghantamnya dengan kuat, diwaktu itu juga tujuh
tangan tersebut berbunyi "kreeeekkkkk", karena ketujuh
tangan itu, yang menghantam ke tubuh Wan Sin Hweshio
telah menjadi patah tulangnya, mereka pun telah melompat
mundur dengan muka pucat serta meringis, merintih
kesakitan. Beberapa orang sisanya lagi telah menyerang penasaran,
mereka bukan mengalami patah tulang, hanya tubuh
mereka telah terpental sendirinya, waktu ambruk
terbanting, tulang didada mereka telah tergeser, dan
mereka, memuntahkan darah segar, sebab mereka telah
terluka didalam yang cukup parah!
Rupanya Wan Sin Hweshio memang memiliki
kepandaian yang hebat sekali, walaupun dia itu tidak
memberikan perlawanan dan hanya berdiam diri duduk
154 dengan bersila menerima pukulan-pukulan itu, namun
lawan-lawannya itu telah berhasil dirubuhkan tanpa
menggerakkan kedua tangannya!
Belasan orang-orang Im-mo-kauw tersebut pun tahu diri,
jika memang mereka berlaku nekad terus, berarti mereka
yang akan mengalami bencana lebih hebat, karenanya,
mereka setelah saling pandang dengan meringis, kemudian
mementang langkah seribu, melarikan diri dari tempat itu
tanpa memperdulikan lagj kuda2 mereka maupun pedang
golok mereka. Setelah orang-orang Im-mo-kauw itu melarikan diri,
dengan tertawa kecil sang pendeta telah melompat berdiri,
dengan langkah perlahan dan sabar, Wan Sin Hweshio
menghampiri Auwyang Toanio dan Sung-jie yang masih
terikat disalah seorang kudanya orang2 Im-mo-kauw.
Wan Sin Hweshio segera membukakan ikatan pada diri
ibu dan anak itu. Setelah bebas Auwyang Toanio mengajak anaknya
untuk berlutut di hadapan Wan Sin Hweshio untuk
menyatakan terima kasihnya.
Namun Wan Sin Hweshio telah menyingkir. "Jangan
nyonya dan engko kecil berterima kasih kepada Siauwceng,
tapi bersyukurlah pada kebesaran Sang Budha yang telah
memayungi diri kalian itu" kata Wan Sin Hweshio sambil
tersenyum. Kemudian pendeta ini telah menanyakan sebabsebabnya mengapa ibu dan anak bisa di tawan oleh orangorang Im-mo-kauw tersebut:
Auwyang Toanio segera menceritakan awal peristiwa
tertangkapnya mereka oleh orang-orang Im mo-kauw,
dimana Auwyang Toanio menceritakannya mulai dari
155 dikeroyoknya suaminya oleh orang-orang Im-mo-kauw,
sampai akhirnya dia bersama puteranya harus melarikan
diri ikut dengan Tong Miauw Liang, yang akhirnya pun
tidak diketahui jejaknya. Dan bagaimana mereka telah
ditangkap oleh belasan orang Im-mo-kauw.
Mendengar bahwa Sung-jie adalah putera dari Auwyang
Fung Tang, Wan Sin Hweshio merangkapkan kedua
tangannya, dia memuji kebesaran Sang Budha.
"Siapa sangka, seorang putera dari seorang pendekar
besar di jaman ini, Auwyang, Fung Tang, harus hidup
terlunta-lunta diliputi oleh ketakutan dan kesengsaraan
dikejar-kejar manusia-manusia rendah seperti orang Im-mokauw, Tok Liong Pian, Ming Kang Hweshio dan lainlainnya.... Ai, ai, sekarang kalian ibu dan anak ingin pergi
kemana?" Auwyang Toanio memang tengah bingung, karena dia
tidak tahu harus pergi kemana. Lebih 2 lagi pedang Thiam
Sim Kiam pun telah tidak berada ditangannya dan sekarang
ini entah berada dimana. Maka dia juga telah menceritakan
kesulitannya itu, yang tidak mempunyai tujuan.
Wan Sin Hweshio menghela napas. "Jika kalian
memang merasa terancam oleh manusia2 jahat dan rendah
seperti Tok Liong Pian, Ming Kang Hweshio dan orang2
Im-mo-kauw, lebih baik kalian ikut Siauwceng ke Siauw Sit
San. Disana nanti akan Siauwceng pertemukan dengan
suhu kami, menceritakan kesulitan kalian, sehingga nanti
Cauwsu kami bisa memberikan petunjuknya"
Auwyang Toanio menjadi girang mendengar dirinya
akan diajak ke Siauw Lim Sie, segera juga dia berlutut lagi.
Tapi kembali Wan Sin Hweshio menghindarkan diri.
Begitulah mereka bertiga telah berangkat.
156 Sekali lihat saja, waktu pertama kali melihat Sung-jie,
Wan Sin Hweshio telah melihat ada sesuatu kelainan didiri
Sung-jie, dibandingkan dengan bocah-bocah seusia
dengannya. Karena itu Wan Sin Hweshio, selain menolongi ibu dan
anak itu, juga mengandung maksud lain, yaitu ingin
mengajak Sung-jie dan ibunya untuk menemui Tat Mo
Cauwsu, gurunya. Menurut Wan Sin Hweshio, jika saya
Sung-jie memperoleh didikan dan bimbingan yang baik,
tentu kelak Sung-jie akan menjadi seorang pendekar yang
luar biasa. Wan Sin Hweshio sendiri bersedia untuk
mendidiknya. Tapi karena Sung-jie belum tentu bersedia
menjadi murid pendeta, tentu sulit baginya untuk
mengambil Sung-jie menjadi muridnya. Setidak-tidaknya,
jika ia ingin menurunkan kepandaiannya kepada Sung-jie,
dimana mereka tidak terikat hubungan guru dan murid,
beiarti juga harus seijin dari gurunya, yaitu Tat Mo
Cauwsu. Begitulah, dengan didampingi oleh Wan Sin Hweshio,
Auwyang Toanio dan Sung-jie melakukan perjalanan tanpa
memperoleh kesulitan lagi. Memang sering juga mereka
dikejar oleh orang-orang Im-mokauw, namun beberapa kali
Wan Sin Hweshio selalu dapat memukul mundur orang2
Im-mo-kauw dan yang lain2nya itu.
Namun disebabkan Auwyang Toanio dan Sung-jie ikut
Wan Sin Hweshio dan orang2 Im-mo-kauw telah
mengetahui Wan Sin Hweshio adalah murid Siauw Lim
Sie, maka seketika itu juga didalam kalangan Kangouw
tersiar luas, bahwa pedang Thiam Sim Kiam yang berada
ditangan Auwyang Toanio, tengah berada dalam perjalanan
ke Siauw Lim Sie. Dan tentu saja mulut2 usil dalam rimba persilatan
menyatakan, bahwa Wan Sin Hweshio sengaja mengajak
157 Auwyang Toanio ke Siauw Lim Sie, karena pedang Thiam
Sim Kiam itu akan dimiliki dan diserakahi oleh orang-orang
Siauw Lim Sie. Dengan demikian, tentu orang-orang Kang ouw
semuanya juga tidak mau berdiam diri. Mereka yang
memang mengincer pedang mustika itu, dengan berbagai
cara dan usaha, telah beberapa kali menghadang Wan Sin
Hweshio bertiga ditengah perjalanan. Namun disebabkan
kepandaian Wan Sin Hweshio memang telah mencapai
tingkat yang paling tinggi, dengan mudah ia memukul
mundur musuh-musuhnya itu.
Akhirnya, Auwyang Toanio bersama Sung-jie dan
didampingi Wan Sin Hweshio telah tiba di Siauw Sit San,
dipuncak gunung tersebut berdiri megah sekali kuil yang
baru saja selesai pembangunannya, dimana dindingnya dan
catnya juga masih baru dan bersih sekali. Kuil itu dengan
angker berdiri megah disisi air terjun yang selalu
mengalirkan airnya yang terjun menimbulkan suara yang
berirama seperti juga irama musik yang mengisi
ketenteraman disekitar tempat itu.
Samar-samar juga dari dalam kuil terdengar suara
pendeta yang tengah membaca Liam-kheng, dan juga
bunyi2an Bokkie mengiringi pendeta-pendeta yang tengah
membaca Liam-kheng. Kuil Siauw Lim Sie memang merupakan sebuah kuil
yang baru saja selesai pembangunannya. Belum lagi lebih
dari lima tahun. Kuil ini dibangun oleh Tat Mo Cauwsu,
seorang pendeta Budha yang datang dari Thiam-tiok
(India), dimana Tat Mo Cauwsu memang memiliki
kepandaian yang tinggi dan disamping memang mengerti
ilmu silat, pun pandai mengajar agama Budha, pengikutnya
dengan cepat berjumlah banyak. Namun Tat Mo Cauwsu
dalam menerima murid-murid Siauw Lim Sie selalu
158 menelitinya baik-baik. Selain harus memiliki otak yang
terang, gemar dengan ilmu silat dan tekun mempelajari
ilmu silat. Disamping itu juga harus pada memiliki
kesabaran dan jujur, welas asih dan pemurah. Bagi
seseorang yang telah diterima menjadi murid Siauw Lim
Sie harus mencukur rambut, guna menjadi seorang pengikut
Sang Budha, untuk menjadi hweshio.
Begitu ketatnya Tat Mo Cauwsu dalam memiliki caloncalon muridnya, sehingga dia selalu memiliki calon murid
yang baik dan merupakan "bibit unggul". Tidak terlalu
mengherankan jika Siauw Lim Sie memiliki murid rnurid
yang trampil, selain memiliki sifat yang saleh dan alim, pun
juga memiliki kepandaian silat yang luar biasa. Walaupun
baru lima tahun berdirinya atau selesainya kuil Siauw Lim
Sie dibangun, namun kenyataannya nama pintu perguruan
yang baru ini cepat sekali tersiar dalam dunia Kangouw.
Dan demikian cepat pula orang menaruh hormat pada
kebesaran Siauw Lim Sie, terutama sekali pada Tat Mo
Cauwsu, yang memang telah dianggap sebagai: seorang
guru besar, yang ilmu silatnya telah mencapai puncak


Badai Di Siauw Lim Sie Lanjutan Tatmo Cauwsu Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesempurnaan, sulit untuk, diukur pula. Disamping itu,
telah selesai di bangunnya kuil Siauw Lim Sie ini, dalam
waktu waktu senggangnya Tat Mo Cauwsu juga
menuliskan kepandaiannya dalam sejilid kitab. Setiap
harinya, Tat Mo Cauwsu mengisi lima belas huruf
dikitabnya itu, dimana Tat Mo Cauw si bermaksud agar
ke!ak kitab yang di tulisnya itu jika telah selesai, akan
merupakan kitab pelajaran ilmu silat yang lengkap dari
seluruh kepandaian yang dimilikinya.
Dengan menulis kitab itu, Tat Mo Cauwsu yang
menghendaki agar ilmu silatnya kelak tidak ikut
termusnahkan dengan kematiannya. disebabkan usia tua.
Kitab yang ditulis oleh Tat Mo Cauwsu itu yang kelak akan
159 di kenal sebagai kitab ilmu silat yang paling hebat dalam
kalangan Kangouw, didalam sepanjang jaman sejarah
persilatan didaratan Tionggoan. Kitab tersebut dibagi dua,
yaitu "Kiu Im Cin Keng" dan "Kiu Yang Cin Keng." Itulah
dua kitab pusaka yang benar2 hebat, dan siapa saja yang
bisa menyelami makna dan arti dari Kiu Im Cin Keng dan
Kiu Yang Cin Keng, pasti memiliki kepandaian yang
sempurna dan sulit sekali ditandingi.
Memang Tat Mo Cauwsu telah membatasi, dia hanya
menulis lima belas huruf saja setiap harinya dan itupun
memiliki arti dan makna yang sangat luas untuk setiap
hurufnya. Bagi seseorang yang masih memiliki kepandaian
sedang-sedang saja, tentu sulit menyelami makna dan arti
dari tulisan di kitab tersebut.
Dengan demikian, Kiu Yang Cin Keng dan Kiu Im Cin
Keng merupakan kitab silat yang akan menjadi kitab
pusaka, yang walaupun isinya singkat, namun didalamnya
memuat kepandaian-kepandaian yang lurus dan bersih.
Baik ilmu mempergunakan senjata tajam, maupun melatih
tenaga dalam, semuanya lurus, jauh dari kesesatan.
Sebagai seorang Guru Besar, dengan sendirinya Tat Mo
Cauwsu juga disegani oleh orang2 Kangouw, karena boleh
dikata nama besar Tat Mo Cauwsu telah menggetarkan
Rimba Persilatan. Di samping itu, juga tidak kurang orang-orang yang
menaruh iri dan dengki kepada pendeta asal India ini.
Karena banyak juga tokoh2 Kangouw yang merupakan jago
jago yang memiliki kepandaian tinggi dan sempurna,
merasa tidak senang Tat Mo Cauwsu mendirikan sebuah
pintu perguruan ilmu silat yang baru didaratan Tionggoan,
karena telah bertambah dengan munculnya aliran baru itu.
160 Memang waktu pembukaan dan peresmian kuil Siauw
Lim Sie, Tat Mo Cauwsu telah mengundang tokoh-tokoh
Kangouw didaratan Tionggoan ini, dalam kata
sambutannya Tat Mo Cauwsu telah menjelaskan, maksud
dan tujuannya yang utama adalah menyiarkan pelajaran
agama Budha, dimana dia akan berusaha untuk menyiarkan
agama Budha itu sebaik mungkin didaratan Tionggoan.
Itulah sebabnya Tat Mo Cauwsu telah membangun kuil
Siauw Lim Sie tersebut. Sama sekali tidak terkandung
maksud bagi Tat Mo Cauwsu dengan mendirikan kuil
Siauw Lim Sie untuk menancapkan kaki dan menjagoi
kalangan Kangouw dengan pintu perguruannya itu.
Tetapi etikat baik dari Tat Mo Cauwsu tersebut memang
diragukan oleh tokoh-tokoh Kangouw.
Mereka malah mencurigakan bahwa Tat Mo Cauwsu
hendak menerima sejumlah murid2, dan kelak akan
diperalatnya untuk menimbulkan huru-hara di daratan
Tionggoan. Jelasnya, Tat Mo Cauwsu merupakan seorang pendeta
India, walaupun dia berusaha bagaimana keras sekalipun
untuk mendatangkan perbaikan dalam kalangan Kangouw
di daratan Tionggoan, tokh dia tetap dicurigakan ingin
melakukan sesuatu yang tidak baik.
Sedangkan Tat Mo Cauwsu sendiri memang
berpendirian bahwa yang diutamakan adalah penyiaran
pelajaran agama Budha. Memang sebagai seorang yang
memiliki kepandaian sangat tinggi dan juga boleh dibilang
sudah tidak ada tandingannya lagi dalam kalangan
Kangouw, sehingga dikalangan 'Rimba Persilatan' Tat Mo
Cauwsu memperoleh gelar sebagai seorang Guru Besar,
maka diapun jelas harus mewariskan kepandaian silatnya
itu pada murid-muridnya. 161 Memang Tat Mo Cauwsu memiliki pandangan yang
jauh sekali. Garu Besar ini beranggapan, jika seseorang
hanya mengkhususkan diri mempelajari agama, tanpa
merawat kesehatan tubuh mereka dan tidak mempelajari
ilmu silat, maka agama yang dianutnya itupun sulit untuk
dilindungi jika se-waktu2 terdapat maksud2 yang tidak baik
dari suatu golongan. Dengan memiliki ilmu silat yang
sempurna bukan berarti ilmu silat itu akan dipergunakan
sebagai perisai atau senjata dari agama tersebut, melainkan
juga untuk melindungi saja. Ilmu silat itu tidak akan
dipergunakan jika memang Siauw Lim Sie tidak menerima
gangguan dari luar. Seperti yang telah terjadi pada diri Wan Sin Hweshio,
dimana dia menghadapi serangan orang-orang Im-mokauw, yang berjumlah cukup banyak itu. Sama sekali Wan
Sin Hweshio tidak pernah membalas menyerang. Dia hanya
berdiam diri. Namun karena pendeta ini memang telah
memperoleh gemblengan yang baik dan juga memiliki
kepandaian yang tinggi, dengan sendirinya, tanpa
membalas, tokh dia telah berhasil merubuhkan lawanlawannya yang menyerang dirinya. Itulah sebabkan setiap
tenaga serangan yang mengincar Wan Sin Hweshio, akan
terbalik lagi menghantam penyerangnya. Dengan demikian,
Wan Sin Hweshio tidak pernah membalas menyerang, dia
hanya melindungi diri, dan dengan melindungi dirinya,
mengandalkan lwekang dan ilmu silat yang tinggi, Wan Sin
Hweshio sebagai seorang pendeta Agama Buddha tidak
perlu menjadi sasaran ejekan dan korban dari keganasan
manusia-manusia rendah dari Im-mo-kauw itu.
Memang cita-cita Tat Mo Cauwsu sangat luhur sekali.
Dan siapa yang duga, bahwa akhirnya Siauw Lim Sie
merupakan sebuah pintu perguruan silat yang paling lurus,
162 bersih dan paling nomor satu sepanjang jaman Rimba
Persilatan di daerah Tionggoan!
Keberhasilan Siauw Lim Sie dalam melahirkan murid2
pandai yang akhirnya bisa mengangkat naik nama harum
Siauw Lim Sie di kalangan Kangouw, terdapat satu sebab
lagi. Umumnya murid2 Siauw Lim Sie terdiri dari para
pendeta. Mereka selain membaca kitab2 suci agama, juga
mereka hanya Liamkheng, dan menghabiskan waktu
mereka untuk berlatih lwekang dan ilmu silat mereka.
Setiap kali ada kesempatan mereka juga telah memiliki ilmu
silat yang telah mereka pelajari. Dengan demikian, maka
setiap kesalahan dalam latihan mereka, dapat diketahui
dengan segera dan mereka bisa memperbaikinya. Dan
dengan ketekunan, dalam ketenteraman penghidupan sehari2 sebagai seorang pendeta, dengan sendirinya setiap
murid Siauw Lim Sie memperoleh hasil latihan yang lurus
bersih dan tinggi mencapai puncak kesempurnaan!
Ditambah lagi dengan pelajaran agama Budha, yang
umumnya memiliki makna yang sangat tinggi untuk arti
penghidupan dan kehidupan manusia didunia ini, dengan
demikian, dari pelajaran agama yang mereka anut itu bisa
ditarik segi-segi yang menguntungkan untuk pelajaran ilmu
silat, khususnya untuk latihan tenaga dalam atau Lwekang
mereka. Tidak jarang pula terjadi dijaman-jaman berikutnya
murid Siauw Lim Sie bisa mencapai tingkat yang "setengah
dewa". Namun justru disaat "lahir"nya kuil Siauw Lim Sie
inilah terdapat banyak pertentangan yang bermunculan, dan
juga pergolakan yang hebatpun timbul didunia Kangouw.
Badai yang tidak kecilpun menderu-deru mengamuk hebat
di Siauw Lim Sie. HANYA disebabkan Tat Mo Cauwsu seorang India
yang datang ke daratan Tionggoan, disamping itu juga
163 memperoleh julukan sebagai Guru Besar dalam kalangan
Kangouw, maka membuat banyak tokoh-tokoh persilatan
didaerah Tionggoan yang merasa iri dan merasa tidak
senang padanya. Pertama-tama, seorang asing seperti Tat
Mo Cauwsu, yang diakui sebagai seorang Guru Besar,
kedua, karena banyak tokoh silat didaratan Tionggoan yang
merasakan bahwa kepandaian mereka sesungguhnya tidak
berada disebelah bawah kepandaian Tat Mo Cauwsu,
karenanya banyak yang penasaran dan telah mendatangi
Siauw Lim Sie, untuk menantang Tat Mo Cauwsu pie hu
(mengadu kepandaian). Tat Mo Cauwsu sendiri tidak pernah melayani
tantangan yang diberikan oleh tokoh-tokoh rimba persilatan
itu, selalu ditolaknya dan Tat Mo Cauwsu berusahamenyadarkan mereka dari pandangan2 yang keliru. Namun
ada juga beberapa orang yang terlalu mendesak, malah
dengan kasar main serang, walaupun Tat Mo Cauwsu
umumnya hanya berkelit atau mengelakkan diri tanpa
membalas, tokh orang2 itu mengalami cidera sendiri oleh
tenaga pukulan mereka yang berbalik menghantam kepada
mereka sendiri! Dengan demikian orang yang semula merasa penasaran
akhirnya harus mengakui bahwa kepandaian Tat Mo
Cauwsu memang benar benar luar biasa dan memang
selayaknya dia dijuluki sebagai seorang Guru Besar,
kedudukan yang memang berimbang dengan kepandaian
yang dimiliki oleh cakal bakalnya Siauw Lim Sie tersebut,
Bukan hanya golongan putih saja yang memusuhi dan
merasa penasaran pada Tat Mo Cauwsu, karena tokoh2
dari golongan Sia (sesat) juga banyak yang. mendatangi Tat
Mo Cauwsu untuk mengukur ilmu. Namun disebabkan
memang Tat Mo Cauwsu merupakan seorang yang telah
memiliki kepandaian yang mencapai puncak 164 kesempurnaan, semua orang2 yang ingin "mencoba"
kepandaiannya itu dapat dihalaunya tanpa Tat Mo Cauwsu
memberikan perlawanan. Hanya dengan cara menerima
serangan lawan atau juga dengan kebutan tangan yang
perlahan, dia selalu berhasil merubuhkan lawan-lawannya.
Dengan demikian Tat Mo Cauwsu semakin dihormati,
karena jika tidak dalam keadaan terpaksa sekali, dia tentu
takkan mempergunakan ilmu silatnya untuk bertempur.
Selalu pula Guru Besar itu berusaha mengelakkan
pertempuran. Ber-angsur2, orang2 yang menyatroni Siauw Lim Sie
semakin sedikit, karena jarang sekali ada orang yang berani
memandang rendah pada Tat Mo Cauwsu. Walaupun
masih ter dapat manusia2 berhati dengki dan iri pada Tat
Mo Cauwsu, tokh mereka tidak berani memperlihatkan
secara berterang. Walaupun demikian, tokh memang
kenyataan yang ada memperlihatkan bahwa masih banyak
sekali orang-2 di Rimba Persilatan daratan Tionggoan yang
menaruh perasaan tidak senang pada Tat Mo Cauwsu baik
dari golongan Putih maupun dari golongan Hitam, hanya
mereka sementara ini belum berani membentur Siauw Lim
Sie, yang namanya semakin menjulang ke puncak
keagungan, sebagai kuil yang menyiar luaskan Agama
Budha, disamping juga kepandaian ilmu silat aliran bersih
dan lurus.... Wan Sin Hweshio merupakan salah seorang murid Tat
Mo Cauwsu yang nomor kedua puluh tujuh. Dan murid ini
memang memiliki kecerdikan yang agak luar biasa,
disamping sangat cerdas sekali dapat menerima setiap
pelajaran dengan baik dan cepat. Disamping itu Wan Sin
Hweshio juga sangat tekun mempelajari ilmu dan pelajaran
agama, sehingga dia merupakan Hweshio yang taat sekali
dan salah disamping alim.
165 Kemajuan yang diperoleh Wan Sin Hweshio
menggembirakan Tat Mo Cauwsu. Terutama sekali, Wan
Sin Hweshio Juga memiliki sikap yang jujur, sopan dan
hormat kepada orang2 yang tingkatannya lebih tua darinya,
terutama sekali kepada guru dan para suhengnya.
Dalam usia tiga puluh tahun lebih saja,. Wan Sin
Hweshio telah berhasil mewarisi seluruh kepandaian Tat
Mo Cauwsu, dan selama lima tahun itu dia telah
memperdalam ajaran agamanya dengan tekun sekali,
Untuk menambah pengalaman dan pengetahuan, Tat
MoCauwsu sengaja perintahkan muridnya yang satu ini
untuk turun gunung mengembara, guna melakukan
perbuatan2 mulia membela orang2 yang lemah dalam
kesulitan, disamping itu yang paling utama adalah
menyiarkan agama mereka. Dengan mengembaranya Wan Sin Hweshio,. yang
selalu melakukan perbuatan2 mulia, maka nama Siauw Lim
Sie pun semakin dihormati oleh orang-orang Rimba
Persilatan. Tapi tidak diduga, secara kebetulan Wan Sin Hweshio
telah bertemu dengan Auwyang Toanio dan Sung-jie, disaat
mana ibu dan anak ini tengah ditawan oleh orang2 Im-mokauw. Pendeta ini tertarik sekali lihat Sung-jie, maka
disamping dia menolongi ibu dan anak itu, karena mereka
mendengar bahwa Auwyang Toanio bersama anaknya itu
tidak memiliki tempat berlindung dan juga Sung-jie anak
Auwyang tersebut, tampaknya memiliki kelainan dari
anak2 biasanya, yaitu memiliki bakat dan tulang yang
bagus, Wan Sin Hweshio jadi menyukainya dan
mengajaknya ke Siauw Lim Sie, untuk menghadap pada
Tat Mo Cauwsu, guna meminta ijin dari gurunya agar Wan
Sin Hweshio diperbolehkan mendidiknya
166 Selama dalam perjalanan memang Wan. Sin Hweshio
sering menyinggung pada Auwyang Toanio dan Sung-jie,
apakah Sung-jie tak berhasrat dan tertarik untuk mengikuti
jalan yang telah di tempuh oleh Wan Sin Hweshio, yaitu


Badai Di Siauw Lim Sie Lanjutan Tatmo Cauwsu Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mensucikan diri untuk menjadi seorang hweshio.
Namun Auwyang Toanio dalam suatu kesempatan telah
menjelaskan kepada Wan Sin Hweshio, dia bukan tidak
iklas atau rela mengijinkan anaknya mencukur rambut
mensucikan diri menjadi seorang Hweshio tapi yang
membuat ganjalan dihatinya, justeru putera tunggalnya itu
memiliki sebuah "tugas" yang cukup berat, yaitu sakit hati
ayahnya belum lagi dapat diselesaikan, mungkin setelah
anak itu dewasa kelak, dia akan mencari lawan-lawan
ayahnya yang telah mencelakai ayahnya itu, dengan
demikian, dalam hati yang terdapat bara dan dendam sakit
hati yang mendalam seperti itu, jelas Sung-jie tidak sesuai
untuk mencukur rambut mensucikan diri menjadi seorang
hweshio. Alasan yang dikemukakan oleh Auwyang Toanio
memang dapat diterima oleh Wan Sin Hweshio. Maka
Wan Sin Hweshio hanya ingin meminta izin dari gurunya,
yaitu Tat Mo Ca uwsu, agar dia diperbolehkan untuk
mendidik Sung-jie, walaupun mereka tidak terikat
hubungan guru dan murid. Perjalanan yang mereka lakukan memang tidak terlalu
cepat, namun akhirnya tokh mereka telah tiba di Siauw Lim
Sie. Tat Mo Cauwsu pun berkenan untuk menerima ibu dan
anak itu. Mendengar cerita Auwyang Toanio mengenai
nasib dari keluarganya, Tat Mo Cauwsu yang telah
menerima mereka di ruang samadhinya, telah
merangkapkan sepasang tangannya. Pendeta yang angker
167 dan agung itu, dengan kumis dan jenggotnya yang tebal
telah memuji akan kebesaran Sang Buddha.
"Janganlah Hujin (nyonya) terikat oleh api dendam,
yang akan membakar dirimu sendiri" kata Tat Mo Cauwsu.
"Janganlah Hujin mendidik anak ini dalam suasana seperti
itu, dan janganlah mengobarkan percikan api dendam pada
diri anak Hujin, niscaya bisa membuat anak itu sendiri yang
terbakar oleh api itu. Kemungkinan besar, jika maksud
hatinya yang dikendalikan oleh dendamnya tidak
memperoleh penyaluran yang wajar, akan membuat putera
Hujin menderita dan sengsara. Omitohud! Sang Buddha
telah memberikan sinar kebajikan dan welas asih, jauhilah
diri dari segala perbuatan yang bisa menyeret kita ke
neraka!" Dan Tat Mo Cauwsu menghela napas.
Auwyang Toanio telah menunduk, wanita ini belum
bisa menerima keseluruhan makna perkataan Tat Mo
Cauwsu, karena memang telah menjadi tekadnya, untuk
menyelamatkan Sung-jie dari tangan orang2 Im-mo-kauw
mencari guru yang pandai dan memiliki kepandaian yang
tinggi untuk mendidik anaknya itu, agar memiliki
kepandaian yang tinggi, dan di harapkan oleh Auwyang
Toanio, puteranya tersebut kelak dapat juga membalaskan
sakit hati suaminya, yang menjadi ayah dari anaknya
tersebut, yang terbinasa ditangan orang2 Im-mo-kauw.
Memang soal kematian Auwyang Fung Tang belum
diketahui dengan pasti, namun sebagian terbesar,
kesempatan hidup sudah tak ada lagi buat Auwyang Fung
Tang. Karena diwaktu Auwyang Toanio mengajak Sung-jie
untuk ikut Tong Miauw Liang menyingkirkan diri dari
rumah mereka, waktu itu Auwyang Fung Tang tengah
dikepung hebat oleh orang2 Im-mo-kauw yang berjumlah
sangat banyak sekali, dan juga memang Auwyang Fung
168 Tang walaupun saat itu masih bisa memberikan
perlawanan, tokh dalam keadaan terluka parah.
Tat Mo Cauwsu telah menghela napas lagi dia
memandang pada Sung-jie dengan sorot mata penuh welas
asih, tanyanya: "Anak, apakah engkau tidak tertarik untuk
mensucikan diri menuntut penghidupan yang tenteram dan
tenang sebagai seorang pendeta?"
Sung-jie tidak bisa segera menyahuti, dia hanya melirik
kepada ibunya, diwaktu mana Auwyang Toanio juga
tengah mengawasi padanya. keduanya saling pandang
sejenak, namun akhirnya anak kecil itu telah menekuk
kedua kakinya, berlutut dihadapan Tat Mo Cauwsu,
katanya: "Harap Taisu mau membimbing Sung-jie,, agar
dapat membalas sakit hati ayah"
Tat Mo Cauwsu menghela napas. "Omitohud!
Omitohud! Siancai! Siancai. Tahukah engkau nak, jika
engkau mempelajari ilmu silat hanya sekedar untuk
dipergunakan kelak melakukan balas sakit hati dan
menuruti dendam dihatimu, tidakkah itu akan menyiksa
dirimu sendiri" Dan tahukah engkau nak, dengan selalu
menuruti dendammu, berarti engkau telah melupakan
banyak hal, yaitu kebajikan dan keadilan, karena
disembarang waktu, tentu engkau hanya dipengaruhi
dendammu itu" Betapa tololnya manusia yang mau
dikendalikan oleh api dendam dan sakit hatinya,
Engkaupun selalu akan mati-matian berjuang mempelajari
kepandaianmu hanya sekedar untuk dipergunakan kelak
membalas dendam. Dengan demikian engkau telah
melupakan banyak hal seperti kebajikan dan perbuatanperbuatan mulia lainnya, yang sesungguhnya jauh lebih
berharga dari persoalan dendam pribadi itu sendiri, karena
engkau masih dapat melakukan banyak hal yang bisa
169 membawa keberuntungan umumnya" untuk manusia banyak Sung-jie terkejut mendengar perkataan Tat Mo Cauwsu
seperti itu, usianya masih terlampau kecil, namun dia
menduga tentu dirinya telah salah bicara, maka katanya
"Jika memang Sung-jie bicara salah, harap Taisu
memberikan penjelasan. Sung-jie mohon agar dibimbing
dan diberi petunjuk"
Tat Mo Cauwsu bersenyum, dia bilang dengan suara
yang sabar dan penuh kasih sayang: "anak, sekarang
usiamu masih terlalu kecil dan belum banyak yang bisa kau
pikirkah dan kau terima untuk dicernakan oleh pikiran
seorang anak seperti kau. Hanya saja, Lolap hendak
beritahukan agar kalian bisa hidup dengan baik dikali ini,
janganlah memikirkan dahulu persoalan sakit hati atau juga
urusan yang tidak menyenangkan yang telah menimpa
keluaga kalian! Sekarang kalian boleh tinggal di kuil Siauw
Lim Sie ini, dibawah bimbingan muridku, Wan Sin, dan
jika memang nanti usiamu telah dewasa, dimana engkau
mulai mengerti urusan di waktu itu Lolap akan
mengajakmu untuk bercakap-cakap lagi membicarakan
persoalan bencana yang telah menimpa keluarga kalian"
Wan Sin Hweshio mendengar perkataan gurunya seperti
itu jadi girang, karena secara tidak langsung Tat Mo
Cauwsu telah memperkenankan Wan Sin Hweshio
membimbing Sung-jie, dan memperbolehkan ibu dan anak
itu tinggal di Siauw Lim Sie. Segera juga Wan Sin Hweshio
memberikan isyarat agar ibu dan anak itu memberikan
hormat dan mengucapkan terima kasih.
Auwyang Toanio mengajak Sung-jie berlutut dihadapan
Tat Mo Cauwsu untuk menyatakan terima kasih mereka.
Kemudian mereka pun rnengundurkan diri.
170 Namun sebelum keluar dari kamar samadi itu, Tat Mo
Cauwsu masih sempat memberikan sedikit petunjuk pada
Wan Sin Hweshio, agar selama mendidik Sung-jie, Wan
Sin Hweshio harus dapat membuka alam pikiran anak itu,
agar dapat menggembleng anak itu dengan baik sehingga
memiliki pikiran yang luas, tidak cupat dan hanya
dipengaruhi oleh dendamnya belaka.
Wan Sin Hwesbio memberikan janjinya dan kemudian
mengundurkan diri. Selama berdiam di Siauw Lim Sie, Auw yang Toanio
dan anaknya memperoleh sebuah kamar dibelakang kuil.
Mereka ibu dan anak membantu untuk mengambil air yang
diangkut dari samping gunung di air terjun itu, untuk di
bawa ke tempat penampungan air di kuil itu. Mengambil
kayu bakar dan Auwyang Toanio sendiri juga membantu
untuk memasak makanan para pendeta Siauw Lim Sie.
Sung-jie jika sore hari memperoleh bimbingan dan
didikan agama dari Wan Sin Hweshio dimana Sung-jie
memperoleh didikan yg cukup tinggi dari Wan Sin
Hweshio, karena dia telah dapat menangkap arti dan makna
dari setiap ujar2 Sang Budha yang diajarkan oleh Wan Sin
Hweshio. Setelah satu tahun berdiam dikuil tersebut, Wan Sin
Hweshio mulai menurunkan pelajaran dasar ilmu silat
aliran Siauw Lim Sie. Demikian juga Sung-jie atau
Auwyang Sung, mulai mempelajari Ginkang maupun ilmu
pukulan yang sederhana, sebagai dasar pertama dimana dia
harus memupuk diri lebih dulu sebelum menerima pelajaran
yang lebih berat dari pelajaran ilmu silat Siauw Lim Sie.
Yang menggembirakan Wan Sin Hweshio, Sung-jie
merupakan seorang anak yang cerdas sekali dan memiliki
bakat yang benar2 baik. Apa yang diduga semula memang
171 tidak meleset dan anak itu memang merupakan bahan yang
baik sekali, untuk mempelajari ilmu silat Siauw Lim Sie.
Tat Mo Cauwsu yang menerima laporan Wan Sin
Hweshio mengenai perkembangan dan kemajuan yang
telah dicapai Sung-jie, telah merasa gembira juga. Hanya
Tat Mo Cauwsu telah menekankan agar Wan Sin Hweshio
berusaha untuk dapat membimbing Sung-jie dengan baik,
agar anak itu tidak merupakan anak macan yang
memperoleh sayap, yang kelak hanya akan menimbulkan
kerusuhan didalam kalangan Kangouw, bahkan akan
membawa nama buruk Siauw Lim Sie
Wan Sin Hweshio memberikan janjinya, karena diapun
bertekad untuk membimbing Sung-jie dengan sebaik
mungkin, terutama sekali dalam hal pelajaran agama, yang
setiap hari, disore hari, Sung-jie harus mempelajarinya
selama dua jam. Walaupun dia tidak mencukur rambut dan
menjadi pendeta, anak itu tokh akan terpupuk jiwa dan
pikirannya, sehingga tidak akan terpengaruh oleh yang
sesat. Dengan demikian tentu akan membawa Sung-jie ke
jalan yang baik, lurus dan penuh kebajikan. Mengenai
persoalan dendam dan sakit hati ayah Sung-jie terhadap
orang2 Im mo-kauw tidak pernah disinggung oleh Wan Sin
Hweshio karena sipendeta bermaksud jika memang Sung-jie
telah berusia sepuluh tahun atau lebih, barulah urusan itu
akan dibicarakan lagi bersama-sama anak yang tersebut,
untuk membuka alam pikiran Sung-jie, agar jangan sampai
dipengaruhi oleh dendamnya belaka. Memang persoalan
sakit hati dengan Im-mo-kauw itu kelak suatu saat pasti
akan diselesaikan dan harus dibereskan oleh Sung-jie,
namun tentu saja harus mencari orang2 yang tersangkut,
dan itupun bukan hanya sekedar untuk melampiaskan
dendam, melainkan untuk kebaikan manusia umumnya,
dimana orang2 Im-mo-kauw merupakan manusia2 rendah
172 dan busuk yang selalu melakukan perbuatan2 yang tidak
terpuji dan segala jenis kejahatan telah mereka lakukan
seperti membunuh, merampok dan memperkosa, sehingga
Im-mo-kauw merupakan sebuah perkumpulan dari orang2
Liok-lim (rimba hijau). Maka jika kelak memang Sung-jie mencari mereka
untuk menumpas, itu bukan hanya sekedar diiringi oleh
dendam dan sakit hati, namun untuk melaksanakan tugas
sebagai manusia yang mementingkan kemuliaan dan
kebajikan. Tetapi Wan Sin Hweshio juga menyadari, bahwa ia
memiliki tanggung jawab yang besar, Jika sampai dia salah
dalam mentrapkan penggemblengan pada anak itu,
sehingga kelak anak tersebut hanya menuruti kata hatinya,
berarti didalam kalangan Kangouw akan timbul kerusuhan
yang tidak kecil, yang akan ditimbulkan oleh Sung-jie.
Karena itu, Wan Sin Hweshio dalam memberikan
petunjuk kepada Sung-jie, jauh lebih hati2 dibandingkan
jika dia memberikan petunjuk kepada murid-muridnya yang
memang telah mencukur rambut. Sejauh itu memang Wan
Sin Hweshio telah menerima delapan orang murid. Mereka
terdiri dari orang2 yang usianya tidak sama, yaitu ada yang
berusia telah dua puluh tahun lebih, tapi juga terdapat yang
baru belasan tahun. Namun memperoleh perhatian
istimewa adalah Sung-jie.
Hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun
telah lewat dengan pasti dan tetap, sehingga dua tahun lagi
telah berlalu, dimana Sung-jie, walaupun tidak resmi menjadi murid Wan Sin Hweshio, tokh dia memperoleh
bimbingan yang jauh lebih istimewa dari murid2 resmi Wan
Sin Hweshio. 173 DENGAN memakai baju panjang yang bewarna hijau,
dan sepatu yang beralas tebal, tampak seseorang tengah
berjalan dengan langkah yang perlahan diluar
perkampungan Shiung-kua-cung, sebuah perkampungan
yang tidak begitu besar. Sebentar-sebentar, orang tersebut
telah memandang sekelilingnya.
Baju panjang yang lebar dan tampaknya kebesaran itu
menutupi seluruh tubuhnya, namun ketika terhembus oleh
siliran angin yang cukup keras waktu orarg tersebut berhenti
di bawah sebatang pohon yang rindang, segera terlihat
keadaan orang tersebut agak luar biasa, yaitu sepasang
tangannya seperti kosong dimana lengan bajunya itu
berkibar-kibar tipis. Karena memang orang tersebut tidak
memiliki dua pasang tangannya.
Mukanya yang kurus memanjang, dengan rambut yang
tersisir tidak begitu rapih, ada anak rambut yang turun
menutupi keningnya dan juga dengan mata yang tidak
bersinar guram sekali, orang tersebut telah memandang
kesekitarnya dengan sikap yang berduka sekali. Telah dua
tahun lebih dia berkelana tanpa arah dan tujuan, terlebih
lagi dengan keadaan bercacad seperti itu, tanpa memiliki


Badai Di Siauw Lim Sie Lanjutan Tatmo Cauwsu Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedua tangannya, dimana dia tengah mencari dua orang
yang sama sekali tidak diketahui jejaknya, namun selama
itu pula dia tidak berhasil dengan usahanya. Kumis dan
jenggotnya yang tipis bergerak perlahan terhembus
dipermainkan oleh siliran angin dan juga bajunya yang
kebesaran dan panjang itu, berwarna hijau tampak berkibar
kibar. Beberapa kali orang ini telah menghela napas dalamdalam dengan muka yang tetap berduka sekali.
Setelah berdiam diri beberapa saat, akhirnya orang ini
melanjutkan perjalanannya lagi dia melangkah per-lahan2
memasuki perkampungan itu.
174 Perkampungan yang kecil dan memiliki penduduk tidak
begitu padat, hanya sekali-sekali dia berpapasan dengan
penduduk kampung itu, orang ini telah menghampiri
sebuah warung teh. Pemilik kedai teh tersebut ternyata seorang wanita tua
yang usianya mungkin telah enam puluh tahun lebih,
keadaannya miskin sekali. Waktu melihat wajah tamunya
ini, segera disambutnya dengan senyuman yang ramah.
"Silahkan Toaya...... silahkan duduk!" katanya
mempersilahkan dengan sikap yang ramah sekali. "Apakah
Toaya ingin minum teh" Kami memiliki teh dari Wang-ciu
yang sangat harum sekali!"
Orang yang memakai jubah warna hijau itu telah
mengangguk dengan perlahan, dia du duk berdiam diri saja.
Wanita tua pemilik warung teh tersebut telah
menyediakan sepoci teh yang masih hangat dan sebuah
cawan dihadapan orang itu, dan tamu tersebut telah
mengangguk kepada wanita itu, mulutnya dimonyongkan
kearah poci, seperti juga meminta wanita tua itu
menuangkan teh tersebut untuknya.
Wanita tua pemilik warung tersebut jadi heran melihat
sikap orang ini, yang merupakan tamu satu-satunya disaat
itu. Namun dia seorang yang ramah, maka tanyanya:
"Apakah ada sesuatu yang kurang, Toaya....."!"
Lelaki yang berkumis tipis itu telah menggeleng
perlahan, mulutnya kembali dimonyongkan kearah poci
teh, mulutnya memperdengarkan suara "'uh, uh, uh, uh"
beberapa kali. Ternyata dia seorang yang gagu tidak bisa
bicara. Dan maksudnya dengan monyongkan mulut itu,
agar pemilik warung teh itu menolongi dia menuangi teh itu
kedalam cawan, kemudian orang itupun telah
175 memonyongkan mulutnya kepada kedua lengannya,
dimana lengan jubahnya itu bergerak-gerak kosong.
Pemilik warung teh tersebut segera mengetahui bahwa
tamunya itu seorang yang bercacad. Selain gagu, juga tidak
memiliki kedua tangannya.
Dengan perasaan iba dan berkasihan, pemilik warung
teh itu telah menuangkan teh kedalam cawan, malah dia
telah mengangkatkan cawan teh itu mendekati kebibirnya
tamu tersebut. Tamu itu telah mengangguk seperti juga ingin
mengucapkan terima kasih, dia telah meneguk teh itu, dan
telah menghabiskan satu cawan. Wanita tua tersebut
menambahkan teh kedalam cawan, kemudian meletakkan
didepan tamunya. Dengan perasaan iba, wanita tua tersebut
bertanya: "Sesungguhnya.... apakah Toaya tengah
melakukan perjalanan ke kampung ini mencari seseorang
kenalan atau. sahabat"!"
Orang itu mengangguk perlahan. Dan dia menggerak2kan mulutnya perlahan2, seperti juga dia
menghendaki dengan mimik mulutnya itu, wanita tua itu
dapat menangkap apa yang dimaksudkannya.
Wanita itu telah memperhatikan. Sulit buat dia
menangkap maksud orang tersebut. Tapi setelah diulangi
terus menerus, akhirnya dari mimik orang itu, wanita tua
tersebut bertanya: "Apakah Toaya hendak memesan makanan"!"
Tamu itu menggeleng. "Lalu..... apa"!" tanya wanita tua itu semakin bingung.
Tamu itu telah berkata "aah, uuh, uhhh", tapi tidak juga
dimengerti oleh wanita tua ter sebut.
176 Waktu itu, wanita tua itu telah mengambil kursi dan
duduk dihadapan tamunya. Karena memang tidak terdapat
tamu lainnya, dapat dia melayani tamu yang seorang ini dengan sabar. Sedangkan lelaki berpakaian jubah warna hijau
yang keadaannya bercacad itu, telah mulai menggerakgerakkan mulutnya itu.
Akhirnya wanita itu telah bisa menangkap juga arti dari
gerakan mulut tamunya ini.
"Apakah Toaya ingin meminjam alat tulis?" tanya
wanita tua tersebut, sambil bertanya begitu, dia juga telah
melirik kepada lengan baju tamunya, yang kosong itu.
Dihatinya dia berpikir, bagaimana mungkin tamunya ini
meminjam alat tulis, sedangkan dia tidak memiliki kedua
tangannya. Namun tamu itu telah mengangguk.
Agar tidak mengecewakan tamunya ini, wanita tua
tersebut telah pergi keruangan dalam, dia membawa keluar
alat-alat tulis, kemudian diletakkan dihadapan tamunya.
Wanita tua itu juga telah menggosokkan bak, dan
kemudian membuka pitnya. Setelah siap, tamu itu memberi
isyarat agar pit (alat tulis Tionghoa) itu diletakkan atau
lebih tepat diselipkan dimulutnya. Waktu wanita tua
menyelipkan pit itu dimulut tamunya, segera pit itu digigit.
Ternyata tamu ini telah menulis dengan mempergunakan
mulutnya. Dengan cara demikian, memang jauh lebih mudah
untuk mengetahui maksud dari tamu tersebut, karena
dengan menulis diatas kertas, ia bisa mengutarakan maksud
hatinya. Tamu itu telah menulis diatas kertas dengan huruf-huruf
yang tidak begitu bagus: "Apakah nyonya mengetahui
177 perihal dua orang yang bernama Auwyang Toanio dan
Sung-jie"!" Wanita tua itu berpikir sejenak, kemudian dia
menyahuti: "Ya, ya, dikampung ini memang ada seorang
anak yang bernama Sung-jie, tapi tidak ada yang bernama
Auwyang Toanio.... Apakah Toaya mencari anak itu"!"
Muka lelaki berjubah hijau tanpa kedua lengan itu telah
mengangguk dengan wajah berseri-seri, kemudian dia
menulis lagi: "Tolong ajak aku pergi menemui anak itu...!"
Nyonya tua itu mengangguk, dia bersedia untuk
menolong tamunya ini. "Baiklah...." katanya. "Mari kau akan kuantarkan
menemui anak itu. Mereka tinggal tidak jauh dari warungku
ini, hanya terpisah empat rumah!"
Tamu itu menulis diatas kertas menyatakan terima
kasihnya, dan kemudian mengikuti wanita tua itu pergi
kerumah dari anak yang bernama Sung-jie itu.
Memang ada seorang anak lelaki bernama Sung-jie,
seorang anak lelaki yang berusia dua belas tahun. Namun
waktu melihat anak itu, lelaki berjubah hijau itu menggeleng2kan kepalanya untuk memberitahukan pada wanita
tua itu, bahwa anak tersebut bukan yang di maksudkan.
Wanita tua itu termenung sejenak, sampai akhirnya dia
berkata: "Selain dari anak ini tidak ada lagi anak lelaki yang
bernama Sung-jie dikampung ini"
Dengan wajah guram, orang yang memakai jubah warna
hijau tersebut telah kembali ke warung wanita tua tersebut,
sedangkan wanita tua itu masih menemaninya dengan sabar
Tamu itu telah menulis lagi diatas kertas, "Atau
memang nyonya mengetahui perihalnya Im-mo-kauw"!"
178 Wanita tua itu bilang: "Im-mo-kauw" Nama itu baru
pertama kali ini kudengar.....!"
Tamu itu menghela napas lagi, dia telah menganggukangguk, dan menulis lagi: "Tolong nyonya mengambilkan
uangku disaku, untuk membayar teh yang telah kuminum
ini.....'' Wanita tua itu telah merogoh saku baju orang itu, dan
segera mengeluarkan beberapa tail perak.
"Berapa"!" tulis tamu itu lagi.
"Hanya tiga cie." menyahuti wanita tersebut.
"Ambillah satu tail....." tulis lelaki itu lagi diatas kertas.
"Ini terlalu banyak, Toaya.
banyak!" kata wanita tua itu.
Lebihnya terlampau Tetapi tamu itu telah menggeleng-gelengkan kepalanya
dan memberi isyarat agar wanita tua itu tidak menolak
pemberiannya. Sedangkan sisa uang dari tamu tersebut
telah di masukkan kedalam sakunya lagi oleh pemilik
warung teh tersebut. Dengan langkah yang gontai, lelaki berpakaian baju
hijau itu telah meninggalkan warung arak, sikapnya begitu
lesu, wajahnya guram dan memancarkan kedukaan.
Wanita tua pemilik warung teh itu hanya berdiri
didepan warungnya mengawasi kepergian tamunya yang
bercacad dan harus dikasihani nasibnya.
Ternyata lelaki yang memelihara kumis dan jenggot
yang tipis memanjang itu, dengan jubah panjang warna
hijau tersebut dan sepasang tangan yang buntung serta
gagu, tidak lain dari Tong Miauw Liang, yang telah disiksa
oleh Tok Liong Pian Kwee Cai In.
179 Memang, setelah gagal menemui Auwyang Toanio dan
Sung-jie dengan diantar oleh Say Ong Kiam Kwie Bun
Hosiang, Tong Miauw Liang segera kembali ke kuilnya
Tong Kak Taisu, dan kemudian pamitan, karena ia angin
mencari jejak Auwyang Toanio, yang di duga tentunya
telah diculik oleh orang2 Im-mo-kauw. Selama dua tahun
lebih Tong Miauw Liang mengembara, namun tidak juga ia
peroleh hasil yang dikehendakinya. Dia tetap ssaja tidak
berhasil mencari jejak Auwyang Toanio dan juga anaknya
Sung-jie. Semakin dipikirkan olehnya, Tong Miauw Liang
semakin berduka. Dia sebagai seorang adik seperguruan
dari Auwyang Fung Tang, yang diduga olehnya telah
terbinasa ditangan orang2 Im-mo-kauw itu, telah dimintai
bantuannya untuk melindungi isteri dan putera-nya itu.
Bukan saja dia gagal melindungi, sehingga pedang Thiam
Sim Kiam terpisah dari tangan Auwyang Toanio, juga ibu
dan anak itu tidak diketahuinya berada dimana. Sedangkan
dirinya sendiri sekarang telah menjadi seorang manusia
bercacad, yang gagu dan tidak memiliki kedua tangannya
lagi. Tong Kak Taisu telah menawarkan padanya, pedang
Thiam Sim Kiam bersedia dikembalikan jika saja Tong
Miauw Liang berhasil berjumpa dengan orang yang
dimaksudkan oleh Auwyang Fung Tang, seseorang yang
harus dijumpainya di Kangciu, namun sejauh itu, tidak ada
seorangpun yang dijumpai oleh Tong Miauw Liang, seperti
yang dimaksudkan oleh Auwyang Fung Tangt Karena itu,
dia telah meninggalkan Kangciu dan mengembara. Dengan
tujuan untuk mencari jejak Auwyang Toanio dan Sung-jie,
Tong Miauw Liang telah mengembara ke berbagai
kampung dan kota. Hasilnya tetap nihil.
180 Ketika Tong Miauw Liang ingin meninggalkan
perkampungan kecil itu, dan waktu sampai dipintu
kampung itu, tiba2 dia telah dihadang oleh seseorang, yaitu
seorang lelaki bertubuh tinggi besar, memiliki muka yang
kejam dengan pakaian atasnya yang terbuka, sehingga
tampak dadanya yang berotot, ditangannya mencekal
sebatang golok yang sudah karatan. Orang itu melompat
keluar dari balik gerombolan pohon yang cukup lebat,
diapun telah membentak: "Berhenti!"
Tong Miauw Liang mengawasi orang bertubuh tinggi
besar itu dengan sorot mata yang dingin.
"Hemmm, kau sayang jiwa atau harta" Jika memang
tidak ingin pergi menghadap Giam Lo Ong, cepat serahkan
harta bendamu!" bentak lelaki bermuka bengis dengan
golok yang telah karatan diacungkan kedepan muka Tong
Miauw Liang. Tong Miauw Liang melihat, bahwa orang yang
menghadangnya ini, yang tentunya seorang perampok,
merupakan seorang yang memiliki tubuh yang tinggi besar,
namun dilihat dari gerakannya, dia tidak memiliki
kepandaian yang berarti. "Uh,uh,uh,uh," dari mulut Tong Miauw Liang telah
keluar suara2 seperti itu, karena dia tidak bisa berkata kata.
Perampok itu tertawa ber-gelak2 dengan suara yang
nyaring, dia bilang deagan suara yang keras dan nyaring:
"Hahahaha, seorang gagu! Nah, kau serahkan harta
bendamu, aku mau berkasihan kepadamu, untuk
membebaskan engkau dari kematian"
Tapi Tong Miauw Liang menggeleng-gelengkan
kepalanya dan pundaknya di gerak2kan, dia ingin
mengartikan bahwa dia tidak memiliki harta atau benda
yang berarti. 181 Tapi perampok itu telah berkata dengan bengis: "Kau
tidak mau memberikan barang-barangnya" Atau memang
ingin kugeledah"!"
Tapi Tong Miauw Liang tetap menggelengkan
kepalanya berulang kali dan kemudian dia telah
menggerakkan pundaknya lagi, lalu memutar tubuhnya
untuk meninggalkan tempat tersebut.
"Hei, hendak pergi kemana kau"!" bentak perampok
bertubuh tinggi besar itu dengan suara yang bengis dan
goloknya yang karatan itu telah bergerak, membacok
kearah pundak Tong Miauw Liang.
Walaupun kedua tangannya telah buntung dan lidahnya
telah dipotong sehingga dia menjadi gagu, namun Tong
Miauw Liang bisa berkelit dengan gesit. Kegesitan kedua
kakinya itu sama sekali tidak berkurang, dan diwaktu itu


Badai Di Siauw Lim Sie Lanjutan Tatmo Cauwsu Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga golok telah menyambar lewat disisi pundaknya, dan
tampak dia telah melompat kesamping, lalu menggerakkan
kaki kanannya untuk menendang pergelangan tangan dari
perampok tersebut. Gerakan yang dilakukan oleh Tong
Miauw Liang sangat cepat sekali, sehingga perampok itu
tidak keburu menarik pulang kembali goloknya, yang telah
tergetar oleh tendangan Tong Miauw Liang.
Perampok yang bertubuh tinggi besar tersebut jadi
terkejut juga melihat gerakan yang begitu cepat dan kuat
sekali dari kaki Tong, Miauw Liang, karena waktu itu dia
sama sekali tidak menyangka bahwa orang yang gagu ini
bisa menendang pergelangan tangannya.
Namun, dia hanya tertegun sejenak, kemu dian dengan
murka dia telah mengeluarkan suara bentakan yang sangat
keras sekali dan goloknya telah menyambar lagi dengan
cepatt akan membacok kearah leher Tong Miauw. Liang.
182 Tapi Tong Miauw Liang cepat berkelit ke samping, dia
telah menendang lagi arah pinggang lawannya.
Tapi kali ini karena perampok itu telah bersiap-sedia
untuk menghadapi tendangan lawannya, dia telah
melompat dengan gesit sekali, dimana tangannya telah
bergerak lagi goloknya telah menyambar kembali kearah
pinggang Tong Miauw Liang.
Tong Miauw Liang mengeluarkan suara "Ah, ah, uh,
uh" kemudian dia telah melompat tinggi sekali, dua tombak
lebih, tahu-tahu kedua kakinya itu telah menendang dengan
tendangan berantai, malah mengenai tepat kepala
perampok itu, yang seketika itu pula pandangan matanya
jadi ber-kunang2, goloknya telah terlepas dari cekalannya
dan tubuhnya berjumpalitan diatas tanah.
Ketika dia merangkak bangun, di lihatnya Tong Miauw
Liang tengah melangkah untuk meninggalkan tempat
tersebut. Sama sekali Tong Miauw Liang tidak
memperdulikannya lagi. Waktu itu siperampok itu sendiri tidak mengerti,
mengapa orang gagu itu memiliki gerakan yang gesit.
Semula dia menduga orang gagu itu adalah calon korban
yang sangat empuk, tapi kenyataannya ia kena ditendang
sampai tujuh keliling. Tong Miauw Liang melanjutkan perjalanan tanpa
memperdulikan perampok itu, karena Tong Miauw Liang
menyadarinya bahwa perampok tersebut hanyalah
perampok yang tidak memiliki arti apa-apa, mungkin hanya
buaya darat dikampung tersebut, karena walau pun dia
mempergunakan golok yang telah karatan itu sebagai
senjatanya, tokh kenyataannya perampok itu memang tidak
memiliki ilmu atau kepandaian mempermainkan senjatanya
tersebut. 183 Tong Miauw Liang melakukan perjalanan dengan perlahan2 dan setelah mencapai belasan lie, dia beristirahat
lagi. Waktu itu ia tiba didekat sebuah tegalan, yang
rumputnya tumbuh cukup tinggi. Dia menghampiri
sebatang pohon, dan duduk mengasoh dibawah pohon
tersebut. Dengan hati yang berduka, Tong Miauw Liang masih
memikirkan kemana dia harus mencari jejak Auwyang
Toanio dan Sung-jie. Jika memang dia belum dapat
menemui jejak kedua orang itu. walaupun harus berkelana
sepuluh tahun atau lebih, tentu akan dilakukannya. Karena
itu dia telah berkeputusan untuk mencari terus kedua orang
itu. Sedang Tong Miauw Liang duduk terpekur ditempat itu,
dibawah siliran angin yang menerpa mukanya, dan juga
dilihatnya rumput yang tengah berkibar-kibar dipermainkan
hembusan angin, dari arah kanannya, dibalik sebatang
pohon yang cukup besar, tampak berjalan mendatangi
seseorang. Tong Miauw Liang memperhatikan orang itu, yang
memakai baju warna kuning. Dan, setelah orang tersebut,
yang merupakan seorang lelaki berusia tiga puluh tahun
lebih, menyoren sebatang pedang panjang dipinggangnya,
berdiri dekat Tong Miauw Liang, mengwaasi Tong Miauw
Liang beberapa saat, baru dia menegur: "Engkaukah tadi
yang telah menghajar Sie toa?"
Tong Miauw Liang berdiri, dia bersuara: "Ah, ah, uh,
uh" dan meng-geleng2kan kepalanya. Maksudnya dia ingin
menyatakan bahwa dia tidak mengerti apa yang
dimaksudkan oleh lelaki berbaju kuning itu.
Sedangkan orang berbaju kuning itu telah tertawa
dingin, katanya dengan tawar: "Hm benar engkau! Menurut
184 keterangan Sie-toa, kau memang seorang yang gagu dan
kulihat enngkau pun tidak memiliki kedua tangan, dengan
demikian berarti kau merupakan seorang yang bercacad,
yang seharusnya tidak punya guna. Maka sampai Sie-toa
tidak berdaya untuk merubuhkan dirimu, merupakan hal
yang aneh dan luar biasa sekali"
Dan setelah berkata begitu, lelaki berbaju kuning itu
telah memperlihatkan sikap yang bengis. "Sekarang aku
hendak bertanya kepadamu, apakah engkau tidak mau
menyerahkan uang dan barang-barangmu"!"
Tong Miauw Liang segera mengerti, bahwa lelaki baju
kuning ini tentunya sahabat dari perampok yang telah
dirubuhkannya belum lama yang lalu. Dan mungkin lelaki
baju kuning ini hendak mengadakan pembalasan padanya.
Tapi Tong Miauw Liang tetap bersikap tenang, dia hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya saja.
"Baik, engkau rupanya memang mau mempermainkan
aku atau memang pura-pura gagu"!" kata orang berbaju
kuning itu, tangannya cepat sekali telah mencabut
pedangnya, dimana tampak pedangnya itu berkilauan
terang menyilaukan mata. "Kau mau menyerahkan uang dan barang barangmu
atau tidak" Atau memang batang lehermu ini hendak
dipisahkan dari tubuhmu!"
Sambil membentak begitu, pedangnya
dilintangkan dileher Tong Miauw Liang.
itu telah Tong Miauw Liang melangkah mundur tiga tindak ke
belakang, dengan bersuara "Ah, "ah, uh, uh" kemudian
hendak memutar tubuhnya guna meninggalkan lelaki
berbaju kuning. -o0od0wo0o185 Jilid: Vl MELIHAT sikap Tong Miauw Liang, juga melihat
bahwa Tong Miauw Liang hanya seorang bercacad tidak
memiliki kedua tangannya, orang berbaju kuning dalam
satu dua kali serangan tentu dia bisa merubuhkan Tong
Miauw Liang. Maka begitu melihat Tong Miauw Liang
memutar tubuh untuk berlalu, segera dia menggerakkan
pedangnya untuk menikam punggung Tong Miauw Liang.
Tong Miauw Liang mendengar berkesiuran angin
serangan. Walaupun dia telah bercacad tidak memiliki
kedua tangannya, toh dia masih memiliki pendengaran
yang tajam, juga tubuhnya bisa bergerak dengan gesit.
Ginkang-nya tidak lenyap, kedua kakinya masih utuh.
Maka tubuhnya itu dengan gesit sekali telah menyingkir ke
samping untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang
orang berbaju kuning itu.
Tiga kali beruntun orang berpakaian baju kuning itu
menikam dan menusuk, dan selama itu pula dia gagal
dengan serangannya, karena Tong Miauw Liang dapat
menghindarkannya dengan mudah.
Karena tidak memiliki sepasang tangannya maka Tong
Miauw Liang tiadak bisa memberikan perlawanan. Yang
dipikirkannya jalan satu-satunya ialah menyingkirkan diri.
Setelah menghindarkan lagi dua tikaman dari orang berbaju
kuning itu, Tong Miauw Liang kemudian menjejakkan
kedua kakinya, tubuhnya telah mencelat ke tengah udara
dan melambung tinggi sekali, lalu dia mengerahkan
Ginkang nya untuk melarikan diri.
Orang berbaju kuning itu mengeluarkan bentakan
bengis, dia mengejar. 186 Malah pedangnya itu telah berkelebat lagi, menyerang
dengan tikaman yang mematikan kepunggung Tong Miauw
Liang, Kali ini terpaksa Tong Miauw Liang harus
menghindarkan diri dengan bungkukkan tubuh membarengi
dengan itu, Tong Miauw Liang berusaha dengan
mempergunakan kaki kanan nya menendang pergelangan
tangan orang berbaju kuning itu. Namun tendangannya
gagal, sebab lawannya itu telah keburu menarik pulang
tangannya, dan pedangnya tahu-tahu telah menabas dengan
cepat sekali keperut Tong Miauw Liang. Serangan yang kali
ini datangnya begitu cepat, sehingga angin dari pedang
tersebut berkesiuran kuat sekali.
Tong Miauw Liang tidak bisa menghindarkan diri dari
mata pedang itu, karena jika ia berkelit kesamping, tentu
mata pedang akan menyambar terus. Maka jalan satusatunya untuk menyelamatkan dirinya, Tong Miauw Liang
telah membuang dirinya ke tanah dan bergulingan beberapa
kali. Orang yang berpakaian baju kuning itu telah
memperdengarkan suara ketawa dingin, ia pun membentak:
"Sesungguhnya aku tidak berselera dan tidak sampai hati
harus membinasakan seorang manusia bercacad seperti
engkau. Lebih bijaksana jika memang engkau menyerahkan
uang dan barangmu, jangan sampai memaksa
mempergunakan kekerasan ku harus turunkan tangan
kematian" Tong Miauw Liang telah melompat bangun namun
diwaktu itu dia sudah tidak mau me layani orang itu, sekali
lagi dia telah memu tar tubuhnya untuk berlari.
Namun orang berbaju kuning itu telah mengejar lagi
dengan menggerakkan pedang nya manikam beberapa kali.
187 Begitulah, mere ka berdua telah saling kejar ditegalan
rumput yang tumbuh cakup tinggi itu.
Tapi yang membuat Tong Miauw Liang jadi sibuk
sekali, orang berbaju kuning ini rupanya memang memiliki
ilmu pedang yang lumayan, walaupun gerakkan tubuh
Tong Miauw Liang sangat gesit, tokh kenyataannya orang
berbaju kuning itu selalu dapat mengejar dan
menyerangnya, lama kelamaan membuat Tong Miauw
Liang jadi terdesak sekali. Coba jika memang kedua
tangannya itu tidak buntung, jelas dia bisa memberikan
perlawanan dan mungkin dalam beberapa jurus saja dia
akan dapat merubuhkan lawannya tersebut.
Dengan mati-2an Tong Miauw Liang mengandalkan
kegesitan tubuhnya berkelit kesana dan kemari tidak
hentinya, sedangkan orang berbaju kuning itu telah
menyerang bertubi-tubi tidak hentinya, dengan cepat
belasan jurus telah lewat dan tubuh Tong Miauw Liang
telah terluka di dua tempat, yaitu di paha kiri dan di dekat
pundaknya. "Apakah kau tetap keras kepala tidak mau menyerahkan
barang dan uangmu?" bentak orang berbaju kuning itu
Tong Miauw Liang hanya me-lompat2 kesana kemari
menghindarkan diri dari tikaman2 pedang orang berbaju
kuning itu, dan tengah mencari kesempatan untuk dapat
meloloskan diri. Sayang sekali, orang berbaju kuning itu
telah mempergunakan pedangnya dengan gencar menikam
dan menabas kearah Tong Miauw Liang, sehingga Tong
Miauw Liang sama sekali tidak memperoleh kesempatan
untuk melarikan diri, menghindarkan diri dari orang
tersebut. Diam-diam Tong Miauw Liang berpikir keras jika
memang dia berhasil menjauhi diri dari orang berbaju
188 kuning tentu kesempatan itu bisa dipergunakan untuk
melarikan diri. Dia telah beberapa kali berusaha untuk
mendesak orang berbaju kuning itu dengan tendangan
berantainya, namun karena memang lawannya mempergunakan pedang, jelas kakinya itu menendang
leluasa, beberapa kali kakinya hampir tertabas pedang.
Dengan sendirinya Tong Miauw Liang pun tidak
memperoleh kesempatan untuk menyingkirkan diri.
Tong Miauw Liang sambil menggelakkan diri dari
serangan-serangan yang dilancarkan oleh lawannya, dia
berpikir keras berusaha untuk menyelamatkan diri. Namun
bukanya memperoleh kesempatan meloloskan diri, malah
dia telah tertikam lagi dua kali.
Begitulah, tubuh Tong Miauw Liang telah berlumuran
darah. Sedangkan orang berbaju kuning itu menyerang
semakin hebat, karena memang semangatnya terbangun
melihat bahwa Tong Miauw Liang telah terluka seperti itu,
dan dia yakin dalam waktu yang singkat tentu dia akan
berhasil merubuhkannya. Keadaan Tong Miauw Liang waktu itu terancam sekali,
sekali saja jika dia lengah dan gagal menghindarkan diri
dari sambaran pedang lawannya, dia bisa tercelaka seketika
itu juga. Orang berbaju kuning itu beberapa kali telah menyerang
semakin hebat, dan telah mengeluarkan tenaga yang
sekuatnya untuk menggerakkan pedangnya, menikam dan
menabas. Walaupun usahanya selalu gagal dengan
tikamannya itu, toh dia selalu menyerang kembali lebih
ganas. Waktu keadaan Tong Miauw Liang tengah terancam
kematian, tiba-tiba dikejauhan terdengar suara bokkie
diketuk dengan perlahan. 189 Namun suara yang bening itu, bagaikan menyelusup
kedalam telinga, bening dan tajam, perlahan namun jelas.


Badai Di Siauw Lim Sie Lanjutan Tatmo Cauwsu Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Disusul kemudian tampak tengah mendatangi seorang
pendeta berjubah putih, dengan wajah yang dihiasi oleh
senyuman. Itulah seorang pendeta berusia antara tiga
puluhan tahun lebih, sikapnya sabar sekali. .
Malah ketika melihat pertempuran yang pincang tengah
berlangsung, dia telah berkata dengan suara yang sabar:
"Mengapa harus bertempur seperti itu." Ohhhhh alangkah
memalukan sekali.... memalukan sekali menyerang orang
yang tidak bersenjata!"
Muka orang berbaju kuning jadi berobah merah, dia
telah menahan gerakkan pedangnya dan kemudian
memutar tubuhnya untuk mengawasi pendata tersebut.
"Pendeta busuk, siapa kau, mengapa kau hendak
mencampuri urusan kami" Atau memang engkau pun
hendak mampus diujung pedang-ku?" bentak orang berbaju
kuning itu dengan kasar. "Siancai! Siancai! Sungguh galak sekali! Sungguh galak
sekali!" berkata pendeta tersebut.
Tapi orang berbaju kuning itu telah menghampiri si
pendeta, katanya "Jika memang engkau hendak
mencampuri urusanku, nih, kuhadiahkan dua tikaman
padamu!" tahu-tahu pedang orang berbaju kuning itu telah
menyambar akan menikam pada si pendeta.
Namun pendeta itu dengan sabar dan tenang telah
menantikan tibanya mata pedang itu, dengan cepat dia telah
merangkap kedua tangannya, pemukul bokkienya telah
diketuk kan pada pedang sibaju kuning, yang terketuk
dengan perlahan, namun kesudahannya pedang itu jadi
patah! 190 Orang berbaju kuning itu jadi mengawasi tertegun
dengan mata terpentang lebar-lebar. "Kau.... kau...."
katanya tergagap. Hweshio itu tersenyum sabar. "Sekarang pergilah Siecu,
diwaktu-waktu mendatang kau harus merobah kelakuanmu,
karena jika memang kebetulan bertemu dengan orang yang
memiliki kepandaian tinggi, suatu kali kelak tentu jiwa
siecu bisa terancam kematian" sabar sekali suara si pendeta,
Sedangkan orang berbaju kuning itu, yang mengetahui
bahwa pendeta tersebut bukanlah seorang pendeta
sembarangan dan memiliki kepandaian yang tinggi, telah
membuang pedangnya yang buntung, dan memutar
tubuhnya, kemudian berlari dengan secepat-cepatnya
meninggalkan tempat tersebut.
Tong Miauw Liang ketika melihat bahwa dirinya telah
ditolong oleh pendeta itu, dia menghampiri, membungkukkan tubuhnya memberi hormat.
Dia pun telah bersuara "ah,ah,ah,ah,ah," beberapa kali.
Pendeta itu telah mengawasi Tong Miauw Liang
beberapa saat, kemudian katanya: "Siancai! Rupanya Siecu
seorang yang malang nasibnya. Apakah Siecu memang
tidak bisa bicara?" Tong Miauw Liang telah membuka mulutnya, maka
terlihat lidahnya yang telah terpotong pendek, sehingga dia
tidak bisa bicara. Dan pendeta itu telah menganggukangguk beberapa kali dengan wajah memancarkan sinar
menaruh belas kasihan pada Tong Miauw Liang Dan
pendeta tersebut juga telah melihat bahwa kedua tangan
Tong Miauw Liang telah buntung, maka dia berkata lagi
dengan suara yang perlahan mengandung perasaan iba:
"Siancai! Siancai! Sungguh keterlaluan sekali perampok
191 tadi. Ternyata Siecu tidak memiliki kedua tangan! Entah
bencana apa yang telah terjadi pada diri Siecu?"
Tapi karena Tong Miauw Liang tidak bisa bicara, dia
hanya bisa bersuara "ah, ah. uh, sih, uh," Si pendeta pun
menghela napas dalam-dalam.
"Apakah ada suatu yang bisa Siauwceng bantu untuk
"Siecu?" tanya si pendeta.
Tong Miauw Liang membungkukkan tubuhnya lagi
seperti juga ingin mengucapkan terima kasih pada si
pendeta yang telah menjadi'penolongnya.
Si pendeta telah berkata dengan sabar: "tidak perlu Siecu
banyak peradatan seperti ini. Mari Siecu ikut bersama
Siauwceng, tentu dalam perjalanan Siecu tidak akan
diganggu oleh sebangsa manusia busuk seperti orang tadi!"
Tong Miauw Liang girang, mukanya berseri-seri, dia
mengangguk-angguk beberapa kali, dan juga telah
membungkukkan tubuhnya untuk menyatakan terima
kasihnya. Si pendeta juga girang, karena lihat bahwa Tong Miauw
Liang memang bersedia untuk ikut bersamanya.
Begitulah, Tong Miauw Liang telah
perjalanan ber-sama2 dengan pendeta tersebut.
melakukan Sepanjang dalam perjalanan si pendeta telah bercerita,
bahwa dia adalah pendeta dari Siauw Lim Sie yang tengah
melakukan pengembaraan untuk mencari pengalaman dan
tambahan pengetahuan. Dengan berkelana, berkata si
pendeta, dia ingin mengalami betapa sulitnya hidup dengan
hanya mengandalkan derma dan belas kasihan dari orang2
yang mau memberikan sekedar derma padanya. Dengan
menderita dan bersengsara menurut si pendeta, tentu dia
akan jauh lebih tabah imannya, sehingga pelajaran Agama
192 Buddha yang telah dipelajarinya itu bisa lebih teguh dan
kuat lagi diresapinya. Mengetahui bahwa pendeta ini berasal dari Siauw Lim
Sie, Tong Miauw Liang agak terkejut. Karena diapun sering
mendengar akhir-akhir ini mengenai kehebatan Siauw Lim
Sie, yang memiliki murid-murid itu yang pandai dan selalu
bertindak diatas kebajikan. Juga mengenai cikal bakal dari
Siauw Lim Sie, yaitu Tat Mo Cauwsu, yang merupakan
seorang Guru Besar ilmu silat didaratan Tionggoan ini.
telah sering didengar oleh Tong Miauw Liang. Maka dalam
suatu kesempatan, ketika mereka singgah di sebuah kuil tua
yang sudah tidak terurus, dengan sebatang kayu di gigit
dimulutnya dia menulis diatas tanah, menceritakan
pengalaman dan riwayatnya sampai bercacad begitu, dia
menulis banyak sekali, dan si pendeta, yang ternyata
bergelar Wan Tang Hweshio, telah membacanya dengan
teliti. Diakhirnya Tong Miauw Liang menulis juga, bahwa dia
bermaksud untuk ikut si pendeta ke Siauw Lim Sie, untuk
hidup dengan tenteram dikuil itu, karena dia bermaksud
utuk berguru di Siauw Lim Sie.
Dengan keadaan tubuhnya yang bercacad seperti itu, dia
hendak mempelajari ilmu silat tingkat tinggi Siauw Lim Sie,
sehingga kelak biarpun dia telah bercacad, bisa memiliki
kepandaian khusus yang tinggi, yang bisa dipergunakan
untuk membela diri jika dia mengembara lagi untuk
mencari jejak Auwyang Toanio dan Sung-jie.
Waktu Wan Tang Hweshio melihat ditulisnya nama
Auwyang Toanio dan Sung-jie, dia terkejut. Segera katanya
"Apakah Auwyang Toanio dan Sung-jie yang kau
maksudkan itu adalah ibu dan anak yang telah mengalami
bencana pada keluarga mereka" Tong Siecu?"
193 Tong Miauw Liang juga terkejut, dia menulis di atas
tanah dengan huruf-huruf yang tidak begitu bagus, yang
bunyinya antara lain: "Apakah Taisu mengetahui perihal
mereka" Suami Auwyang Toanio adalah Auwyang Fung
Tang" Wan Tang Hweshio mengangguk. "Benar. Mereka kini
berada di Siauw Lim Sie, mereka terlindung dan tidak
kurang suatu apapun juga"
Bukan main gembiranya Tong Miauw Liang diapun
telah menulis di atas tanah, agar dirinya segera diajak ke
Siauw Lim Sie, sebab Tong Miauw Liang ingin cepat-cepat
bertemu dengan Auwyang Toanio dan Sung-jie.
Wan Tang Hweshio juga tidak keberatan. Dia merasa
iba dan berkasihan melihat keadaan Tong Miauw Liang.
Terlebih lagi setelah dia membaca cerita mengenai riwayat
orang she Tong ini, yang harus bercacad disebabkan tugasnya untuk melindungi Auwyang Toanio dan Sung-jie,
sedangkan ibu dan anak itu sekarang ini telah berada di
Siauw Lim Sie. Begitulah, Wan Tang Hweshio telah mengajak Tong
Miauw Liang melakukan perjalanan ber-sama2 menuju ke
Siauw Lim Sie. Waktu Tong Miauw Liang riba di Siauw Lim Sie, dia
memperoleh kenyataan Auwyang Toinio dan Sung-jie
memang berada dalam keadaan sehat dan tidak kurang
suatu apapun juga. Dia bersyukur kepada Thian bahwa ibu
dan anak ini telah dipayungi dan dilindungi. Dingin
demikian, berarti Sung-jie terhindar dari gangguan orangorang Im-mo-kouw maupun orang2 lainnya yang
memusuhi Auwyang Fung Tang. Terlebih lagi dengan
beradanya di Siauw Lim Sie, maka jeias keselamatan ibu
194 dan anak ini terjamin sekali, sebab seiuruh pen deta Siauw
Lim Sie umumnya memiliki kepandaian yang tinggi.
Tong Miauw Liang menyatakan kepada Wan Tang
Hweshio, bahwa dia bermaksud untuk mencukur rambut
dan masuk mensucikan diri menjadi hweshio di Siauw Lim
Sie. Keinginannya itu telah disampaikan Wan Tang
Hweshio kepada Tat Mo Cauwsu, dan diluluskan.
Maka dengan melakukan upacara semestinya, Tong
Miauw Liang menjalankan upacara cukur rambut, dan dihari2 selanjutnya dia telah menjadi pendeta Siauw Lim Sie.
Walaupun sepasang tangannya buntung dan lidahnya
telah dipotong hingga menjadi gagu selamanya, dia tokh
menjadi pendeta yang tekun sekali mempelajari ajaranajaran Sang Budha. Bahkan atas bimbingan dan petunjuk
dari Wan Tang Hweshio, dia telah memperoleh latihan
ilmu silat yang khusus untuknya, yaitu beberapa macam
ilmu silat yang mengandalkan sepasang kaki. Juga Ginkang
yang luar biasa tingginya telah diwariskan kepadanya.
(Kelak Tong Miauw Liang dalam Rimba Persilatan
dikenal sebagai seorang tokoh terkemuka yang memiliki
kepandaian luar biasa tingginya, yaitu Jie Lay Hiap Khek,
seorang tokoh dengan cacad kedua tangan yang tiada dan
gagu, namun kepandaian ilmu tendangan berantainya luar
biasa dan sulit ditandingi. Jie Lay Hiap Khek pun dikenal
oleh orang-orang Kangouw diwaktu-waktu mendatang
dengan sebutan Mie Seng Hweshio, namun karena cacad
tubuhnya itu, dimana dia tidak memiliki sepasang tangan
dan juga gagu, maka orang-orang Kangouw lebih kenal
dengan julukannya Jie Lay Hiap Khek.)
Auwyang Toanio yang telah mengetahui perihal pedang
Thiam Sim Kiam jatuh ditangan Tong Kak Taisu dan Say
Ong Kiam, maka telah menganggap urusan itu habis
195 sampai disitu, karena Tong Miauw Liang telah membuat
seluruh catatan apa. yang pernah dialaminya itu,
menyebutkan juga bahwa Tong Kak Taisu hanya
menyimpan pedang itu, menanti sampai kelak Sung-jie
telah dewasa, anak itu boleh mengambilnya dari tangan si
pendeta. Untuk hari-hari selanjutnya, Tong Miauw Liang, yang
telah memakai gelarnya yang baru, yaitu Mie Seng
Hweshio dan menjadi murid dari Wan Tang Hweshio, yang
merupakan murid nomor kedua puluh sembilan dari Tat
Mo Cauwsu, telah mempelajari ajaran agama Buddha dan
ilmu silat kelas tinggi. Waktu2nya habis untuk latihan2
yang dilakukannya dengan giat dan tekun sekali.
-o0od0wo0oSUNG-JIE atau Auwyang Sung ternyata seorang anak
yang cerdas sekali dan memperoleh kemajuan yang pesat.
Dalam waktu lima tahun, dia telah menjadi seorang anak
yang gesit dan memiliki ilmu pukulan yang hebat sekali.
Karena selama lima tahun itu, Sung-jie telah berhasil
mewarisi seluruh kepandaian Wan Sin Hweshio, hanya
yang kurang adalah latihan dan pengalaman disamping
tenaganya yang masih terlalu kecil, sebab waktu itu usianya
baru jalan sepuluh tahun.
Wan Sin Hweshio yakin, jika memang Sung-jie mau
mempelajari dengan giat dan tekun seluruh kepandaian
yang telah diwarisinya itu, kelak Sung-jie tentu akan
menjadi seorang pendekar yang sulit dicari tandingannya.
Selama lima tahun itu, dia juga banyak menerima
petunjuk langsung dari Tat Mo Cauwsu, karena Guru Besar
itu menyukainya. Memang benar Sung-jie bukan cucu
murid resmi Tat Mo Cauwsu, karena dia bukan murid
196 resmi Wan Sin Hweshio, namun anak ini memang memiliki
bakat dan tulang yang bagus.
Tat Mo Cauwsu yang mengetahui hal itu, telah
menurunkan beberapa macam kepandaian khusus padanya,
disamping telah memberikan petunjuk2 yang berharga,
dimana Sung-jie dalam usia sepuluh tahun itu telah menjadi
seorang anak yang memiliki kepandaian cukup tinggi.
Auwyang Toanio sendiri tetap membantu di dapur dan
juga mengambil kayu bakar, di mana dia telah menumpang
di Siauw Lim Sie bersama puteranya, dengan demikian ia
hanya bisa membantu tenaga, untuk memasakkan santapan
dari para pendeta kuil tersebut.
Waktu telah beredar terus, selama itu Auwyang Toanio
hanya mengharapkan Sung-jie cepat2 meningkat dewasa,
dimana kelak dia akan menceritakan selengkapnya
mengenai bencana yang telah menimpa keluarga mereka,
menceritakan bagaimana orang2 Im-mo-kauw telah
mencelakai ayah Sung-jie, dan bagaimana mereka akhinya
ter-lunta2 dan juga pedang mustika Thiam Sim Kiam harus
lenyap dari tangan mereka, yang sekarang disimpan di
tangan Tong Kak Taisu. Tapi Auywang Toanio tidak menyangka sama sekali,
justeru selewatnya lima tahun itu, badai mulai menerjang
Siauw Lim Sie, karena boleh dibilang, seluruh orang2
Kangouw di daratan Tionggoan mengetahui bahwa Auwyang Toanio dan puteranya, Sung-jie, berada di Siauw Lim
Sie. Bahkan jago2 Rimba Persilatan menduga pedang


Badai Di Siauw Lim Sie Lanjutan Tatmo Cauwsu Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thiam Sim Kiam masih berada ditangan mereka.
-o0od0wo0o- 197 PAGI ITU udara masih dingin, cahaya matahari juga
bersinar belum begitu terik. Pohon-pohohpun masih
digelayuti oleh butir-butir embun, dan burung-burung masih
berkicau dengan riang menyambut tibanya sang pagi...
Disebuah jalan kecil di perut gunung Hoa-san, tampak
seorang tengah melakukan perjalanan. Tapi keadaan orang
itu agak luar biasa, karena cara berpakaiannya tidak
bersamaan seperti penduduk daratan Tionggoan, bahkan
muka orang itupun tidak seperti muka orang-orang
Tionggoan umumnya, karena dia memiliki mata yang biru,
hidung yang mancung sekali, dan jenggot serta kumis yang
tebal sekali. Dialah seorang pendeta dengan kepala yang
botak, seorang pendeta asing, yang jika dilihat dari cara
berpakaiannya, dimana jubahnya itu memanjang disebelah
kanan, dan berwarna kuning gading, dialah seorang pendeta
dari Thian-tiok (India). Melakukan perjalanan di jalan kecil di perut gunung
Hoasan tidak mudah, karena disamping jalan yang kecil itu,
tampak mulut jurang yang sangat lebar dan dalam sekali,
jika sampai seseorang tergelincir dan terjerumus masuk ke
dalam jurang, niscaya akan membawa kematian untuknya.
Karenanya, jarang sekali orang melakukan perjalanan
mengambil jalan kecil di perut gunung Hoasan tersebut.
Namun yang menakjubkan, pendeta asing itu
melakukan perjalanan dengan tenang, sama sekali dia tidak
memperoleh kesulitan. Juga langkah kakinya sangat ringan
sekali dia telah melakukan perjalanan itu tanpa menoleh
kiri kanan, dan kedua kakinya itu melangkah ringan
bagaikan tubuhnya terapung-apung dan sepasang kakinya
tidak menginjak tanah Hal itu membuktikan bahwa Pendeta asing ini memiliki
Ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang benar-benar telah
mencapai tingkat yang sempurna sekali.
198 Waktu si pendeta tengah melakukan perjalanan seorang
diri, dalam ketenangan dan kesunyian pagi seperti itu, tibatiba dia mendengar suara menggeram yang menyeramkan
sekali suara menggeram dari seekor binatang buas. Malah
pendeta itu, yang mungkin berusia telah enam puluh tahun
lebih, menahan langkah kakinya mengerutkan sepasang
alisnya. Dia mengawasi sekelilingnya.
"Suara geraman itu seperti juga suara harimau!"
pikirnya kemudian. Dan baru saja pendeta tersebut berpikir begitu, diujung
jalan kecil itu, dari arah depannya, tampak berlari-lari
seekor harimau, yang tubuhnya belang-belang loreng dan
berlari buas cepat sekali menghampirinya!
Pendeta asing itu bukannya terkejut malah tersenyum.
"Akh, dipagi seperti ini. kau hendak mengajak Lolap untuk
main-main" katanya dengan suara yang perlahan.
Dan pendeta tersebut telah berdiri diam ditempatnya
dengan sikap yang tenang menantikan tibanya harimau itu.
Sedangkan binatang buas tarsebut telah menghampiri
dengan berlari cepat sekali, dan dalam waktu yang dekat
telah menghampiri di depan si pendeta. Dengan diiringi
oleh suara geramannya yang sangat menyeramkan, dimana
suara geramannya itu seperti menggetarkan tempat tersebut,
tubuh harimau itu telah melompat ketengah udara
menerkam si pendeta dengan ganas sekali dan sepasang
kaki depannya terjulurkan dengan kuku-kukunya yang
runcing tajam itu. Si pendeta telah tersenyum dan mengawasi saja harimau
yang tengah menerkam kepadanya. Setelah dekat, hanya
terpisah setengah tombak, dengan gesit sekali si pendeta
telah memiringkan tubuhnya melompat ke samping.
199 Harimau itu menubruk tempat kosong. Tapi binatang
buas tersebut penasaran sekali gesit dan buas
mementangkan mulutnya memperlihatkan taring-taring
yang runcing tajam harimau itu memutar tubuhnya,
mendekam dengan kedua kaki depan tertekuk, kemudian
dia melompat lagi menerjang kepada si pendeta.
Terkaman harimau itu bukan terkaman biasa saja,
karena harimau itu sangat besar, hampir dua kali besarnya
tubuh manusia, maka sampokan kakinya sangat kuat sekali.
Waktu terkaman kedua kali ini dihindarkan si pendeta juga
dengan mudah dan harimau itu jadi menubruk tempat
kosong, kaki depan sebelah kiri telah menyampok sebuah
batu gunung yang menonjol berukuran cukup besar. Batu
itu terlepas dan menggelinding jatuh ke dalam jurang.
Si pendeta asing telah tersenyum ketika menyaksikan hal
itu, katanya: "Sahabat, tampaknya engkau sangat lapar
sekali. Demikian ganas dan juga bengis sekali"
Harimau itu seperti mengerti dirinya diejek, karena itu
dengan menggerung keras, harimau itu kembali dengan
penasaran menerkam diri si pendeta.
Kali ini pendeta asing tersebut tidak berusaha
menghindarkan diri. Hanya waktu harimau itu menubruk
kepadanya, pendeta itu telah menekuk kedua kakinya,
dimana tubuhnya jadi berjongkok, dan kedua tangannya
diulurkan keatas. Tahu2 si pendeta telah berhasil
menangkap kedua kaki depan harimau tersebut.
Harimau tersebut belum lagi mengetahui apa apa, ketika
tubuhnya telah dilontarkan oleh si pendeta ke-tengah2
mulut jurang itu, tubuh binatang buas tersebut melambung
di tengah udara, dan meluncur turun masuk kedalam
jurang. Hanya suara aumnya saja yang keras memenuhi
sekitar tempat itu, gerungan yang membawa kematian
200 untuknya, karena binatang buas tersebut terbanting didasar
jurang. Pendeta asing itu telah tersenyum, dengan jari
telunjuknya dia menjentik-jentik jubahnya, seperti hendak
membersihkan debu yang melekat dijubahnya. Lalu
melanjutkan perjalannya lagi.
Namun berjalan beberapa langkah, tiba2 si pendeta
mendengar suara bergemuruh dari arah atasnya. Si pendeta
telah mengangkat kepalanya, dia memandang keatas.
Hatinya jadi terkejut, karena dari atas telah menggelinding
sebungkah batu berukuran besar, menggelinding ke bawah,
ke jurusannya. Tapi si pendeta ini memang benar-benar memiliki
ginkang yang sempurna, walaupun ia terkejut, toh dia tidak
menjadi gugup. Melihat batu itu menggelinding ke arahnya
dan jaraknya juga tidak jauh lagi, hanya tinggal beberapa
tombak, pendata asing tersebut menjejakkan kedua kakinya.
Tubuhnya seperti juga melesatnya anak panah yang
terlepas dari busur, telah melayang ke depan sejauh enam
tombak. Waktu kedua kakinya hinggap menginjak tanah,
dia menjejak lagi, tubuhnya melesat lagi enam tombak
lebih, begitu dia mengulangi sampai empat kali, untuk
menjauhi tempat yang akan ditimpa oleh jatuhnya batu
besar itu. Si pendeta memang berhasil menghindarkan diri dari
timpahan batu besar itu, yang telah terbanting keras
menggetarkan, tempat disekitar itu dan juga batu itu telah
menggelinding terus masuk ke dalam jurang.
Si pendeta menghela napas dalam-dalam, dan kemudian
mengangkat kepalanya mengawasi ke atas.
201 Dilihatnya, sesosok tubuh manusia berdiri di ujung batu
gunung yang menonjol di sebelah atas, yang kala itu tengah
tertawa ber-gelak2. "Hebat" Hebat?" memuji orang diatas
itu. "Harimau hanya dilumpuhkan dengan menggerakkan
kedua tangan belaka, dan batu besar hanya dielakkan
dengan lompatan-lompatan saja! Itulah kepandaian yang
telah sempurna!" Pendeta asing itu merangkapkan sepasang tangannya,
dia telah berkata. "Sesungguhnya ada urusan apakah Siecu
menjatuhkan batu besar itu, yang pasti akan mencelakai
Lolap, kalau saja Lolap tidak keburu menyingkir?"
Orang di atas tebing itu, yang berdiri di tepian batu
gunung yang menonjol, adalah seorang lelaki bertubuh
tinggi kurus seperti galah, mukanya pun kurus dengan
sepasang mata yang cekung. Waktu itu, dia telah melompat
turun, tangan kanannya memegangi topi copio (topi bulat
yang melesak) diatas kepalanya, dan waktu tubuhnya
melayang ringan sekali ke bawah, diapun memperdengarkan suara tertawanya yang panjang.
Pendeta asing itu terkejut juga, dia melihat Ginkang
orang ini tinggi sekali, karena tubuhnya itu melayang ringan
sekali, seperti juga meluncurnya daun kering. Malah setiap
kali ada batu yang menonjol, orang itu telah menotol
dengan ujung kakinya, tubuhnya meluncur ke bawah
semakin cepat. Tadi dia melompat turun dari ketinggian
empat puluh tombak, dan tidak mudah orang yang
berkepandaian tanggung-tanggung melompat dengan cara
seperti itu, sebab salah-salah tubuhnya bisa terbanting
binasa hancur di jalan kecil tersebut.
Tetapi orang bertubuh tinggi kurus seperti galah itu
dengan ringan dan cepat sekali telah tiba di hadapan si
pendeta. 202 Pendeta asing itu sesungguhnya tengah mendongkol
karena mengetahui orang didepannya yang menggelindingkan batu ini. Tapi pendeta itu telah berdiam
diri mengawasi dengan tajam
Orang bertubuh tinggi kurus itu telah berkata sambil
tertawa-tawa "Hoanceng (pendeta asing), rupanya
merupakan orang baru di daerah ini, bukan?"
Pendeta asing itu telah merangkapkan
tangannya memuji akan kebesaran sang buddha.
sepasang "Omitohud! Omitohud!" katanya. "Memang tepat apa
yang dikatakan oleh Siecu. Siapakah Siecu dan mengapa
hendak mencelakai Lolap"',
"Hahahahaha," tertawa bergelak-gelak orang bertubuh
kurus tinggi seperti galah itu. "Mencelakaimu, Hoanceng"
Hahahaha, sama. sekali tidak! Aku hanya tertarik melihat
kau memiliki ginkang yang tinggi sekali, dimana seekor
harimau yang begitu besar telah kau hadapi dengan mudah
dan kau berhasil melumpuhkannya, lalu melontarkan
kedalam jurang dengan mudah! Dengan demikian telah
memperlihatkan bahwa engkau merupakan Hoanceng yang
memiliki kepandaian yang sangat tinggi sekali! Memang
batu tadi sengaja kugelindingkan kebawah, namun itu
hanya untuk membuktikan sampai berapa jauh ginkang
yang luar biasa itu, membuat aku jadi kagum Luar biasa
dan menakjubkan sekali"
Muka pendeta asing itu telah berobah, ia lalu berkata:
"Apakah dengan bergurau seperti itu Siecu anggap lucu?"
Orang bertubuh tinggi kurus itu telah tertawa terbahakbahak lagi, kemudian dia menyahuti: "Memang aku hanya
bermaksud untuk bergurau, karena aku yakin, bahwa
seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan ginkang yang
203 sempurna seperti kau, tentu tidak mungkin akan mampus
Pedang Keramat Thian Hong Kiam 2 Candika Dewi Penyebar Maut I X Piramida Kematian 1

Cari Blog Ini