Ceritasilat Novel Online

Panah Kekasih 1

Panah Kekasih Karya Gu Long Bagian 1


Angin utara berhembus kencang, salju turun dengan derasnya membuat seluruh langit berwarna kelabu, udara terasa dingin membeku.
Ditengah hujan salju yang amat deras, terlihat seekor kuda dilarikan kencang memasuki kota Poo-ting.
Derap kaki kuda yang ramai menimbulkan percikan bunga salju yang berhamburan sepanjang jalan kota.
Mendadak diiringi suara ringkikan panjang, kuda itu berhenti berlari, berhenti persis disisi sebuah bangunan rumah yang luas dan megah.
Diatas pintu gerbang yang berwarna hitam, dibawah tetesan air beku dari wuwungan rumah, tertancap sebuah panji besar beralas hitam dengan gambar seekor singa merah, berkibar kencang terhembus angin.
Crang yang berada diatas kuda itu segera melompat turun dari kudanya, tanpa mengetuk pintu, tanpa berteriak memanggil, ia menjejakkan ujung kakinya ke tanah dan segera melayang masuk ke dalam halaman rumah.
"Saudara Say, kau ada di mana?" teriaknya sambil membersihkan jenggot dari bunga salju.
"Siapa?" dari balik ruang tengah bergema bentakan nyaring.
Pintu gedung segera dibuka lebar, secerca cahaya lentera menyinari permukaan halaman yang penuh salju.
Seorang lelaki berwajah merah bermantel halus melangkah keluar dengan tindakan lebar.
Begitu melihat sang pendatang, berkilat sepasang matanya, dengan lantang bentaknya: "Tham samko, kenapa kau muncul disini" Cepat masuk, minumlah dua cawan arak hangat lebih dahulu" Wajahnya kelihatan girang dan nadanya jauh lebih halus.
"ham Siau-hong berdiri mematung dengan wajah murung, sahutnya dengan berat: "Saudara Say, apakah kau telah menerima Si-sin-tiap (surat undangan dewa kematian)?" Tampak tubuh lelaki bermuka merah itu bergetar keras, dengan wajah berubah ia mendongakkan kepala memandang sekejap ke luar ruangan, seakan sedang memeriksa apakah disekitar wuwungan rumah ada manusia atau tidak.
Kembali "ham Siau-hong berkata: "Walaupun tempat ini gelap tanpa rembulan, namun hari ini adalah saat bulan purnama, saat undangan dewa kematian dan panah kekasih berulah, bila ditempat saudara Say tak ada kejadian apa apa, sekarang juga aku akan merangkat ke Bang-tok-shia untuk periksa keadaan disitu!" Lelaki bermuka merah itu mengerutkan sepasang alis matanya yang tebal kemudian sahutnya: "Saudara Iham, tak seorangpun bisa menduga ditempat mana Undangan malaikat kematian akan muncul.
apakah kau tidak merasa lelah dengan berlarian tanpa tujuan?" "ham Siau-hong menghela napas panjang.
"Aaai, semenjak Sam-siang thayhiap Jay Peng tewas diujung panah kekasih, kami empat bersaudara telah bersumpah akan melacak jejak undangan maut dan panah kekasih ini hingga tuntas, sekalipun harapan untuk itu amat tipis, namun kami tetap akan berusaha dengan sepenuh tenaga, paling tidak demi menjaga kelestarian umat persilatan di dunia ini" Lelaki berwajah merah itu tertunduk lesu, ia nampak sedih sekali.
'II "Saudara Say, jaga dirimu baik baik, aku harus segera pergi kata "ham Siau-hong lagi sambil menjura.
"Iham samko, tunggu sebentar!" Namun "ham siau-hong telah melesat dan melompat keluar dari halaman rumah.
Menyusul kemudian terdengar suara derap kaki kuda yang santer berkumandang menjauh dari situ.
Dengan satu gerakan cepat lelaki berwajah merah itu melompat ke depan pintu gerbang, mengawasi bayangan manusia dan derap kuda yang makin menjauh tiba tiba sekilas perasaan sedih melintas di wajahnya, gumamnya: "Nama besar Jin-gi suhiap (empat pendekar kesetiaan) ternyata memang bukan nama kosong belaka" "ham Siau-hong melarikan kudanya sangat kencang, dia bergerak menuju ke kota Bong-tok.
"ak selang berapa saat kemudian hutan diluar kota telah muncul di depan mata, walaupun ditengah kegelapan malam namun cahaya lampu tampak bersinar terang dari balik sebuah bangunan ditengah hutan.
Cahaya yang terang hampir menyinari seluruh permukaan salju dan ranting dahan pepohonan.
Diam diam "ham Siau-hong menghembuskan napas lega, sekilas senyuman muncul diujung bibir, pikirnya: "Ternyata watak It-kiam-ceng-ho-suo (Pedang yang me ng-getarkan utara sungai) sama sekali tidak berubah, walau sudah menjelang tengah malam, ia masih menggelar pesta pora bersama teman temannya, tak heran kalau gedung bangunannya masih bermandikan cahaya lampu" Biarpun ditengah hembusan angin dingin, secerca perasaan hangat muncul dari lubuk matinya.
Setelah melompat turun dari kudanya, ia berlari menuju pintu gerbang dan menggedornya.
Ternyata pintu hanya dirapatkan tanpa dikunci, satu ingatan cepat melintas lewat, segera teriaknya nyaring: "Thio-heng, siaute "ham Siau-hong datang berkunjung!" Suasana tetap hening, tiada suara jawaban yang terdengar kecuali tumpukan salju diatas dahan yang berguguran, biarpun ruang gedung bermandikan cahaya, ternyata tak terdengar sedikit suara pun.
Zercekat perasaan "ham Siau-hong, buru buru dia menerjang masuk ke ruang dalam.
Dibawah cahaya lentera, suasana tetap hening, sepi, tak nampak sesosok bayangan manusia pun.
Yang terdengar hanya kertas jendela yang gemerisik terhembus angin kencang.
"ham Siau-hong semakin terkesiap, tubuhnya mulai gemetar keras, selangkah demi selangkah dia memasuki halaman depan, mendekati ruang utama dan membuka pintu perlahan.
Suasana didalam ruang tengah terasa jauh lebih terang, seorang kakek berjenggot panjang duduk disebuah bangku terbuat dari kayu cendana, bangku itu berada tepat ditengah ruangan.
Angin kencang berhembus lewat, mengibarkan jenggot panjang kakek itu, namun suasana tetap hening, tak ada suara, tak ada gerakan tubuh.
"Thio toako, kau.........." jerit "ham Siau-hong keras.
"iba tiba pandangan mata serta jeritannya menjadi kaku, membeku keras, ia saksikan diatas dada kakek itu telah tertancap dua batang panah pendek sepanjang lima inci, sebatang panah merah membara bagaikan darah panas dari kekasih dan sebatang panah lain berwarna hitam pekat bagai biji mata seorang kekasih.
Sepasang panah itu menancap berjajar diatas ulu hatinya.
Ketika dicabut keluar, terlihat diatas panah pendek itu tertera berapa huruf yang kecil lagi lembut: "Panah Kekasih!" Sekalipun jenggot panjang kakek itu masih berkibar terhembus angin, namun wajahnya telah dingin kaku bahkan memperlihatkan mimik yang menakutkan, seolah olah menjelang kematiannya ia telah menyaksikan sesuatu ancaman horor yang mengerikan.
Dalam waktu singkat "ham Siau-hong merasakan hawa dingin muncul dari telapak kakinya dan menusuk ulu hatinya, ia berdiri mematung, sementara air mata jatuh bercucuran.
Thio toako, siaute datang terlambat..........
II gumamnya. Belum selesai ia berkata, mendadak dari belakang tubuhnya terdengar seseorang tertawa dingin.
"Siapa bilang terlambat" Kau masih bisa menyusulnya!" Dengan perasaan tercekat "ham Siau-hong membalikkan tubuhnya, tampak selembar kertas merah melayang datang dan tepat terjatuh dihadapannya.
Ketika ia sambar kertas tadi, ternyata undangan itu kosong tanpa tulisan, yang tertera hanya lukisan sebuah tengkorak yang sedang menyeringai.
Undangan berwarna merah dengan lukisan tengkorak berwarna hitam, hanya sepasang kelopak mata tengkorak itu yang memancarkan warna kehijau hijauan.
"ham Siau-hong gemetar keras, tanpa sadar ia mundur sempoyongan.
Kembali terdengar suara tertawa dingin bergema dari belakang tubuhnya, cepat ia membalikkan badan, tampaklah sepasang mata berwarna hijau menyeramkan sedang mengawasi tubuhnya tanpa berkedip.
Kecuali sepasang mata berwarna hijau itu, dia seakan tak bisa melihat apa apa lagi.
Karena pada saat itulah sepasang anak panah pendek berwarna merah dan hitam telah menghujam di ulu hatinya tanpa menimbulkan sedikit suarapun.
Sepasang panah itu muncul tanpa disangka, persis seperti kerlingan mata dari sang kekasih, yang membuat kau tak bisa menyangka dan kau terpaksa harus menerimanya dengan perasaan lega.
Co0oo oo0oo Matahari senja telah tenggelam dibalik bukit, cahaya sore menyinari seluruh jagad, menyoroti pula kuil "aer-si (kumbum) di propinsi Cing-hay yang sudah tersohor diseantero jagad.
Disisi selatan aula utama, di sebuah tanah lapang yang luas, tampak manusia berjejal amat ramai, mereka datang untuk menyaksikan upacara tar ian memuja dewa yang segera akan dilakukan pengikut agama Lhama.
Sekeliling tanah lapang itu bertebar bangunan kuil berwarna kuning emas, kawanan lautan manusia itu nyaris mengelilingi seluruh halaman kuil.
Dalam ruang aula yang luas dan lebar, dengan alas permadani berwarna merah darah, berdiri berjajar sepuluh orang lhama berjubah kuning, perpaduan warna merah dan kuning yang mencolok membuat suasana disitu terasa jauh lebih ceria.
Ditengah kerumunan manusia yang sedang bergembira, selain kelompok pendeta lhama itu, terdapat pula seorang kakek berjubah ungu, berjenggot panjang, berdiri ditengah kerumunan orang banyak, berdiri dengan wajah keren penuh wibawa, penampilannya tak ubahnya seperti bangau ditengah kerumunan ayam.
Sementara itu, suara musik yang sederhana tapi aneh berkumandang memenuhi udara, diikuti kemudian tampak empat belas orang lhama berjubah kuning, dengan membawa alat musik seperti tambur dan kencrengan munculkan diri dengan sangat teratur.
Baru saja sinar mata kakek berjubah ungu itu berkilat, tiba tiba dari belakang tubuhnya terdengar seseorang menegur: "Apa benar yang ada didepan adalah Gui Cu-im, Sui Jiko dari Jin-gi-su-hiap (empat pendekar kebajikan dan kesetiakawanan)?" Ketika Gui Cu-im berpaling, ia jumpai seorang kakek berkopiah kain sedang berjalan menghampirinya, mendekat sambil menyingkirkan kemurunan orang disekelilingnya.
"Ma-koan heng" seru kakek berjubah ungu itu sambil menggenggam tangannya, "kenapa kau bisa muncul disini?" "Kebetulan saja siaute hendak menuju ke dataran Tionggoan, karena itu melewati tempat ini" sahut kakek itu tertawa, "tapi....
apa pula sebabnya Gui jiko datang kemari" Bikin aku bingung saja" Dalam pada itu ditengah tanah lapang yang berlapis bebatuan sebesar telur bebek telah muncul empat orang bertopeng setan cilik, topeng berwarna kuning dan hijau, mereka mulai melakukan tarian yang bebal mengikuti suara irama musik.
Gui Cu-im menyapu sekejap sekeliling arena, kemudian katanya sambil tertawa: "Sudah lama aku dengar kalau kaum lhama di wilayah sini memiliki kepandaian silat yang tak terkirakan hebatnya, sudah lama aku pengen melihatnya, selain itu........" Setelah menarik kembali senyumannya dia melanjutkan: "Akupun ingin memeriksa, apakah undangan kematian dan panah kekasih yang sudah menjadi wabah penyakit mematikan bagi umat persilatan, telah menyebar pula sampai disini" Berubah hebat paras muka kakek berkopiah kain itu.
"Biarpun tinggal jauh diluar perbatasan, namun dari perbincangan para jago dan pengembara sempat kudengar juga kisah tentang undangan maut serta panah kekasih.
"ak disangka kedatangan Gui jiko adalah lantaran urusan ini.
Masa sih surat undangan dan anak panah itu benar benar menakutkan?" Saat itu, setan setan cilik yang berada di tengah lapang telah melompat balik ke dalam aula, sementara empat orang manusia tinggi besar seperti malaikat raksasa dengan wajah kuning mas dan jubah berwarna biru mulai menari nari, semakin gencar suara irama yang berbunyi, mereka mencak mencak makin keras.
Ditengah suara tambur dan gembrengan yang memekikkan telinga itulah Gui Cu-han menghela napas panjang, ujarnya dengan suara berat: "Sepanjang hidup belum pernah siaute dengar tentang senjata rahasia yang begitu misterius dan menakutkan seperti panah kekasih, tapi dalam kenyataan, tak sampai setengah tahun sudah ada puluhan orang jago kenamaan yang tewas diujung panah tersebut, dan anehnya, hingga sekarang tak seorang manusia pun di kolong langit yang mengetahui asal usul senjata itu" "Aaah, hanya dua batang panah pendek pun bisa menimbulkan horor sehebat ini" Satu kejadian yang sungguh diluar dugaan, mungkinkah ujung panah itu beracun" Mungkinkah racun jahat itu tak bisa dipunahkan" Sekalipun senjata rahasia itu amat beracun pun, semestinya jago yang berilmu tinggi masih mampu mnghindarinya, kenapa tak seorang pun bisa berkelit?" Ketika ke empat kim-kong mundur, sekarang yang muncul adalah empat orang dengan topeng setan bengis berbentuk binatang, ada yang berkepala kerbau ada pula yang berkepala rusa, mereka menari dengan kalapnya, seperti orang kesurupan saja.
Sambil menghela napas kembali Gui Cu-im berkata: "Aku sendiripun dibuat tak habis mengerti, tahukah kau jagoan senjata rahasia beracun nomor wahid di kolong langit, Tong bersaudara dari Siok-tiong pun telah menemui ajalnya oleh panah kekasih pada tiga bulan berselang.
Dalam dunia persilatan bukannya tak ada orang yang bisa memunahkan racun jahat itu, sayang yang mampu hanya satu orang saja.
Bila tiga jam setelah terkena panah itu sang korban segera dihantar ke rumah orang tersebut, ditanggung dalam sepuluh hari, kesehatannya akan pulih kembali.
Sayangnya jejak panah kekasih sukar dilacak, hari ini berada di timur, mungkin esok sudah dibarat, akhirnya sampai sekarang hanya tiga sampai lima orang saja yang berhasil tertolong nyawanya" Kakek berkopiah kain itu menghela napas sedih, kedua orang itupun saling bertatap muka tanpa berbicara lagi.
Sementara itu suara tambur dan gembrengan sudah makin lirih, senja lewat malampun menjelang tiba, dibalik kegelapan malam yang mencekam terlihat bulan purnama muncul dari balik awan.
Dibawah cahaya rembulan yang redup, ditengah irama musik yang berat, empat orang bertopeng tengkorak muncul ditengah ruang aula sambil menggotong sebuah kotak kayu, ditengah kotak terdapat sebuah patung manusia yang dibuat seakan siap menerima hukuman pacung.
Begitu kawanan manusia bertopeng tengkorak munculkan diri, tarian pemujaan berlangsung makin memuncak, irama musik pun berubah jadi makin lambat dan berat.
Waktu itu, walaupun Gui Cu-im dan kakek berkopiah itu sedang sedih dan risau memikirkan keselamatan dunia persilatan, tak urung mereka menengok juga ke tengah aula.
Dari balik ruangan kembali berjalan keluar empat orang kim-kong, delapan belas Lohan, dewa II kerbau, dewa menjangan serta `dewa lainnya ditambah dua orang kakek bertopeng yang muncul sambil menggandeng lima orang bocah yang mengenakan topeng juga.
Setelah rombongan `manusia' tadi, dibelakangnya mengikuti seorang berkepala kerbau berjubah berkilat yang berdandan sebagai Ciang-mo goansui (Jenderal penakluk iblis), Pada bagian kepalanya terdapat sepasang tanduk dari emas yang berkilauan, sementara ditangannya menggengam sebilah golok baja yang sangat mencolok mata.
Dalam waktu singkat suara musik ditabuh makin kencang, kawanan iblis dan setan pun menari makin menggila, sementara ke empat setan tengkorak dengan membawa kotak kayu perlahan lahan berjalan menuju ke hadapan sekawanan lhama yang berdiri dengan wajah serius.
Bersamaan dengan itu, puluhan batang obor diangkat bersama sama dari empat penjuru, menerangi ruang tengah.
Berbareng dengan berkilaunya cahaya obor, tiba tiba dari balik mata ke empat tengkorak itu memancarkan sinar kehijau hijauan yang menyeramkan.
Irama musik ditabuh semakin keras, ciang-mo goansui membalik tubuh sambil berjalan menuju ke depan kotak kayu, dengan sekali tebasan golok, boneka berbentuk manusia itu sudah dibacok hingga terbelah jadi dua.
Zempik sorak segera bergema menggetarkan udara.
Mendadak Sui Cu-im merasakan hatinya bergetar keras, ternyata disaat golok itu berkilat tadi, ia telah menyaksikan selembar kartu undangan berwarna merah darah tertempel diatas boneka manusia itu.
Setelah menyapu sekejap sekeliling ruangan, tanya pemuda itu: "Lim-heng, sudah mendapat berita tentang ayahku?" Dengan kening berkerut Lim Luan-hong menghela napas.
"Aku telah menaruh perhatian khusus tentang masalah ini" sahutnya, "kemarin Lau-san-sam-gan (tiga angsa liar dari bukit Lau-san) lewat disini, mereka bertiga baru datang dari wilayah Ciat-tang, disitu pun tak ada orang yang pernah bertem u atau mengetahui jejak ayahmu, tapi di bawah bukit Thian-tay-san mereka justru bersua dengan Say-sang-taihiap (pendekar dari luar perbatasan) Lok Tiau-yang serta seorang Bu-tong tojin berusia muda yang terburu buru sedang menuju selatan, kelihatannya mereka sedang bergerak menuju ke arah bukit Gan-tong-san" Pemuda itu mengalihkan pandangannya keluar jendela, lalu katanya lagi: "Hubungan persahabatan antara Lok tayhiap dengan paman ke empatku sangat akrab, sejak kematian paman ke empat, dia pasti akan melakukan suatu tindakan" Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya: "Yang kau maksud sebagai Lau-san-sam-gan apakah ke tiga saudara keluarga Ho yang tersohor dalam dunia persilatan karena mengandalkan pedang berkait itu" Mengapa mereka bertiga melakukan perjalanan terburu buru" Apa tujuannya?" "Mereka sedang terburu buru pulang ke rumah!" "Semua sudah pulang, semua sudah pulang .
. . . . . .." gumam pemuda itu setelah termangu sesaat.
Kembali Lim Luan-hong menghela napas.
"Kalau tidak pulang lantas mau apa" Sejak Gui jihiap tewas di Cinghai, Tham samhiap tewas di Po-teng, Ch suhiap tewas di Diam-sui-cing, hampir semua jago persilatan tahu kalau nyawa mereka sudah berada diujung tanduk, bahkan pertemuan besar Hoa-tiau-tayhwee yang setiap tahun pasti diselenggarakan Hoa-san-jit-ing (tujuh kepodang dari bukit Hoa-san) pun dibatalkan untuk tahun ini, aaaai! Mong-pek, terus terang kukatakan, kalau bukan lantaran ingin mempertahankan tempat ini sebagai ajang pertukaran berita antar sesama anggota persilatan, akupun sudah berniat mengundurkan diri dari keramaian dunia" Pemuda itu tertawa dingin tanpa menjawab, sekilas cahaya kegagahan melintas diwajahnya.
Lim Luan-hong memandang pemuda itu sekejap, tiba tiba bisiknya: "Mong-pek, kuanjurkan kau untuk sedikit menutup diri pada saat seperti ini, menurut pantauan situasi saat ini, tampaknya panah kekasih bukan disebar oleh satu orang saja, yang lebih menakutkan lagi adalah kau sama sekali tak dapat menduga manusia mana yang didalam sakunya menyimpan senjata rahasia yang sangat menakutkan itu, siapa tahu dia adalah orang yang berada disampingmu, siapa tahu juga dia adalah .
. . . . . . .." Dengan kening berkerut pemuda itu tertawa keras, ujarnya: "Hahahaha .
. . . .. siapa tahu aku Tian Mong-pek pun memiliki sepasang anak panah kekasih .
. . . . .. saudara Lim, kau harus hati hati, cepat ambilkan arak untukku" Gelak tertawa itu seketika memancing perhatian banyak orang, hampir sebagian besar pengunjung berpaling ke arahnya, dalam keadaan begini Lim Luan-hong hanya bisa tertawa getir, cepat dia perintahkan orang untuk menyiapkan arak.
Setelah berhenti tertawa, kembali Tian Mong-pek mengalihkan pandangan matanya ke bayangan punggung sang kakek yang duduk disudut loteng, tanyanya lagi: "Siapa orang itu?" Berubah wajah Lim Luan-hong, belum sempat menjawab, kakek disudut loteng telah menegur: "Hei bocah cilik, masa kau tidak kenal aku?" Suaranya kering, tak bertenaga, seolah orang yang baru sembuh dari sakit parah.
Tian Mong-pek tertegun, sahutnya: "Aku merasa sangat asing!" Kakek disudut loteng meletakkan kembali cawannya sambil perlahan berpaling, tampak mukanya kurus kering dengan sepasang mata tak bersinar, berapa lembar jenggot menghiasi dagunya.
"Bocah cilik, kalau berbicara sedikitlah menghormati orang lain, sekalipun kau memiliki seorang ayah yang baik, bukan berarti kau boleh pentang cakar unjuk taring terhadap orang lain, membuat muak orang yang melihat saja" Berubah paras muka sebagian besar pengunjung yang memenuhi ruang loteng.
Tian Mong-pek menarik muka sambil bangkit berdiri, tampaknya ia dibuat sewot oleh perkataan itu.
Buru buru Lim Luan-hong menarik ujung bajunya sambil berbisik ketakutan: "Mong-pek, buat apa mencari gara-gara, cepat duduk!" Dari mimik muka serta nada suaranya, jelas dia menaruh rasa jeri dan sungkan terhadap kakek sederhana itu.
Berkilat sepasang mata Tian Mong-pek, tegurnya ketus: "Hei orang tua, kaupun harus belajar menghormati orang lain, sekalipun usia mu sudah lanjut, bukan berarti memiliki suatu kelebihan yang bisa dibanggakan atau disombongkan didepan orang" Beberapa kali Lim Luan-hong menarik ujung bajunya, namun pemuda itu seakan tidak merasa.
Terdengar kakek disudut loteng itu tertawa dingin.
"Anak pintar, berani amat kau memberi pelajaran kepadaku, memang kau sangka dikemudian hari tak bakal mohon bantuanku?" Selesai berkata kembali ia berpaling, mengangkat cawannya dan tidak lagi memandang ke arah Tian Mong-pek.
Melihat itu Lim Luan-hong menghela napas panjang, bisiknya: n "Mong-pek, tahukah kau, ulahmu telah membuat kesalahan besar terhadap dia orang tua .
. . . . . .. Belum selesai perkataan itu, mendadak terdengar seseorang membentak merdu: -- Ayah, siapa yang ingin memberi pelajaran kepada kau orang tua?" Sesosok bayangan manusia berkelewat lewat secepat hembusan angin, tahu tahu diatas loteng telah muncul seorang gadis cantik bergaun merah yang membungkus rambutnya dengan kain merah pula hingga sekilas tampak bagai segumpal bara api.
Dengan matanya yang bening dia memperhatikan sekejap wajah Tian Mong-pek, kemudian bentaknya: "Jadi kau orangnya?" Melihat orang yang muncul hanya seorang gadis, dengan kening berkerut Tian Mong-pek duduk kembali di bangkunya.
"Nah begitu baru benar Mong-pek" bisik Lim Luan-hong, "buat apa musti menyakiti hati orang .
. . . . . .." Siapa tahu belum habis dia berkata, kembali Tian Mong-pek telah bangkit berdiri sambil berteriak: "Betul, memang aku orangnya, memang hanya ayahmu yang boleh mengumpat orang sesukanya sementara orang lain tak boleh berbicara?" Dasar wataknya temperamen, apa yang dipikir langsung saja diungkap keluar.
Berkenyit sepasang alis mata gadis berbaju merah itu, katanya sambil tertawa dingin: "Sudah kuduga pasti kau!" Sembari berkata, dia melangkah maju menghampiri Tian Mong-pek.
Biarpun sebagian besar pengunjung yang berada dalam ruang loteng kenal baik dengan Tian Mong-pek, saat ini ternyata mereka hanya berpeluk tangan belaka.
Dengan wajah berubah buru buru Lim Luan-hong berseru: "Nona Chin .
. . . . . . .." Ketika nona berbaju merah itu menghentikan langkahnya, kembali Lim Luan-hong berkata: "Chin lo-sianseng, saudara Tian adalah putra dari Gip-si-uh (Hujan mendadak) Tian Huan-uh, Tian tayhiap, sebetulnya peristiwa hari ini hanya urusan kecil, buat apa .
. . . . .. aaai!" Ternyata kakek disudut loteng itu acuh tak acuh, jangan lagi menyahut, berpaling pun tidak.
Sambil tertawa dingin Tian Mong-pek segera berkata: "Biarpun aku tak suka berurusan dengan kaum wanita, akan tetapi...." "Akan tetapi kenapa?" tukas si nona berbaju merah.
"Akan tetapi bila kau berani maju selangkah lagi ke hadapanku, hari ini aku akan mewakili angkatan tua untuk memberi pelajaran kepadamu" Il "Bagus, bagus....
seru nona berbaju merah itu sambil tertawa dingin, ia maju selangkah lalu II bentaknya, "akan kulihat sampai dimana kehebatanmu .
. . . . . . .. "Tunggu sebentar!" tiba tiba Lim Luan-hong membentak nyaring.
Ketika semua orang berpaling, tampak ia sedang menunjuk ke arah sepasang lian yang tergantung diatas dinding tanpa bicara.
Nona berbaju merah itu mendongak dan melihat sejenak, kemudian katanya dingin: "Ingin berkelahi silahkan keluar, Hmm, hmmm, apa apaan itu, memangnya hanya lantaran sepasang lian itu, lantas aku jadi keder dan ketakutan" Dimana nona ingin berkelahi, disana aku akan turun tangan, siapa berani mencampuri urusanku?" Berubah paras muka semua orang, tapi Lim Luan-hong sambil menahan diri kembali berkata: "Nona Chin, tahukah kau, siapa yang telah menulis sepasang lian itu?" "Bu-lim-tee-it-hiap .
. . . . .. Hmm, Hmm, besar amat lagaknya, siapa itu .
. . . . . .." Kakek kurus kering yang duduk dipojok loteng itu tiba tiba berpaling, tegurnya dengan wajah berubah: "Ki-ji, jangan kurangajar, karena disini terdapat tulisan berharga dari tayhiap, lebih baik kau segera duduk kembali!" Nona berbaju merah itu agak tertegun, tapi akhirnya dengan wajah mendongkol ia melotot sekejap ke arah Tian Mong-pek.
"Sudahlah, cukup, cukup" ujar Lim Luan-hong kemudian sambil tertawa, "biarlah hari ini siaute jadi bandar dan mentraktir kalian semua dengan secawan arak" Sementara itu si nona berbaju merah itu sudah balik ke sisi ayahnya dengan mulut cemberut, sambil menghentakkan kakinya ia berseru jengkel: II "Kecuali kau tidak turun dari loteng ini .
. . . . . . . . .. "Kalau begitu lebih baik sekarang saja........" sela Tian Mong-pek dengan kening berkerut.
Sekonyong-konyong dari kejauhan terdengar seseorang menjerit kaget: "Tu lo-sianseng .
. . . . .. Tu Lo-sianseng . . . . . .. kau berada dimana?" Menyusul kemudian suara lain berteriak pula dengan nada keras: "Tian kongcu .
. . . . .. Tian kongcu . . . . .. kau berada dimana?" Tian Mong-pek tercekat, begitu pula semua pengunjung yang berada dalam ruangan, tanpa terasa serentak bangkit berdiri, terlihat dari balik gelagah yang bergelombang bagai ombak, meluncur datang dua orang pemuda berpakaian ringkas dengan kecepatan tinggi.
Rupanya kedua orang itu telah menggunakan ilmu meringankan tubuh Cao-siang-hui (terbang diatas rumput) untuk meluncur diatas hutan gelagah.
"Lau-san-sam-gan . . . . .." kenapa . . . . . . . .." jerit Lim Luan-hong kaget.
Belum selesai pertanyaan itu diucapkan, mendadak orang disebelah kiri sudah terjatuh ke bawah gelagah.
Lim Luan-hong berkerut kening, belum sempat melakukan sesuatu, terlihat orang disebelah kanan telah meluncur datang dengan sepenuh tenaga, tapi tampaknya diapun sudah kehabisan kekuatan sehingga kecil kemungkinan untuk mencapai bangunan loteng.
Tiba tiba tampak bayangan manusia berkelebat lewat, hampir bersamaan waktu Tian Mong-pek dan gadis berbaju merah itu melesat ke depan, tampak nona berbaju merah itu mengayunkan tangannya, sebuah angkin sepanjang tiga tombak telah melesat ke depan dengan kecepatan tinggi.
Tian Mong-pek merentangkan sepasang lengannya sambil meluncur keluar, ujung kakinya menutul pelan diujung gelagah lalu melayang sejauh berapa tombak di udara.
Terlihat sepasang lutut pemuda berbaju ringkas itu jadi lemas, kebetulan Tian Mong-pek tiba ditempat sambil menyambar lengannya, sayang orang itu ibarat batu berat yang dijatuhkan dari atas, badannya langsung meluncur ke bawah dengan cepat.Baru saja Tian Mong-pek terkesiap, tiba tiba terlihat seutas angkin merah menyambar tiba, tanpa berpikir panjang lagi dia sambar angkin itu sambil melambung ke udara, kemudian sambil mengempit lengan pemuda berpakaian ringkas tadi, ia berputar satu lingkaran di udara dan ibarat seekor burung elang, terbang balik ke dalam ruang loteng.
Para jago menyaksikan semua adegan itu dengan hati berdebar, akhirnya tak tahan merekapun bersorak sorai.
Nona berbaju merah itu mendengus, sindirnya: "Kalau tak punya kemampuan, buat apa musti jual lagak!" Ia tarik kembali angkin nya lalu dililitkan kembali dipinggang.
Tian Mong-pek tertegun. Dalam pada itu Lim Luan-hong telah memayang pemuda berpakaian ringkas itu sambil bertanya: "Saudara Kun-hiap, urusan apa yang membuatmu gugup dan gelagapan?" Gin-gan (angsa liar perak) Ho Kun-hiap, pendekar ke tiga dari Lau-san-sam-gan menghembuskan napas panjang, lalu dengan wajah kuatir bercampur panik tanyanya: "Mana yang bernama Tian kongcu" Mana yang bernama Chin Siu-ang lo-sianseng?" Tergerak hati Tian Mong-pek, cepat sahutnya: "Cayhe lah Tian Mong-pek, ada urusan apa Ho tayhiap......." Belum selesai dia berkata, Ho Kun-hiap telah cengkeram bahunya sambil berbisik gemetar: "Tian......
heng, Tian kongcu, ayahmu...........
II "Kenapa dengan ayahku?" tanya Tian Mong-pek terperanjat.
~Tian locianpwee terluka parah, nyawanya diujung tanduk......" Suasana dalam ruangan pun jadi kalut dan gempar, dengan perasaan amat kaget bentak Tian Mong-pek: "Siapa yang melukainya.........." "Pa.......panah kekasih!" Sambil berteriak keras Tian Mong-pek roboh terjungkal ke tanah.
Lim Luan-hong segera menahan bahunya agar tidak sampai terjerembab, terlihat sebuah tangan yang lembut menghantarkan secawan arak hangat ke hadapannya, kemudian terdengar Chin Ki, si nona berbaju merah itu berbisik: "Suruh dia meneguk habis dulu arak itu!" Ho Kun-hiap memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian ujarnya: "Walaupun Tian locianpwee sudah terkena panah kekasih, namun beruntung ia sudah tiba diluar kota dan segera ditemukan cayhe, selisih jarak dari sini paling tak sampai dua jam, bila dapat segera menemukan Chin Siu-ang lo-sianseng, bisa jadi jiwanya bakal tertolong, tapi sayang tadi jiko telah pergi mencari Chin lo-sianseng dan ternyata tidak ada ditempat......." Bicara sampai disitu napasnya tersengkal dan segera terhenti, walau begitu, diam diam Lim Luan-hong menghembuskan napas lega.
Terdengar Chin Ki si nona berbaju merah itu berseru: "Tidak masalah, ayahku berada disini" "Dimana?" seru Ho Kun-hiap kegirangan.
Sewaktu Lim Luan-hong mendongakkan kepalanya, ia saksikan kakek kurus itu sedang berdiri disamping pagar sambil memandang Tian Mong-pek dengan pandangan dingin, teringat akan perkataan Chin Siu-ang tadi, diam diam ia jadi bergidiik sendiri.
Dengan satu lompatan, Ho Kun-hiap telah berdiri dihadapan kakek ceking itu, segera sapanya: "Apakah cianpwee adalah Chin lo-sianseng?" "Benar" jawab kakek itu dingin.
Dengan perasaan girang Ho Kun-hiap kembali berseru: --locianpwee, harap kau........." Belum selesai ia berkata, sambil menengok kearah Tian Mong-pek, kakek ceking itu tertawa dingin lalu balik kembali ke tempatnya semula dan mulai minum teh tanpa bicara.
Menyaksikan tingkah laku kakek itu, Ho Kun-hiap tertegun, tanpa terasa ia berpaling memandang Lim Luan-hong.
Dalam pada itu Tian Mong-pek telah mendusin kembali.
Terdengar Lim Luan-hong berkata: "Chin lo-sianseng, selamatnya satu nyawa ibarat menaiki tujuh tingkat candi stupa, apalagi Tian locianpwee pun seorang pendekar yang berjiwa ksatria dan suka menolong orang lain......." "Hmm, bukankah putra Tian Hua-uh berada disini?" tukas Chin Siu-ang ketus, "siapa suruh kau mewakilinya berbicara?" Tian Mong-pek tercekat, sekarang dia baru tahu kalau kakek kurus ceking itu tak lain adalah si tabib sakti Chin Siu-ang, satu-satunya tabib dikolong langit dewasa ini yang sanggup memunahkan racun panah kekasih.
Agak bimbang seperti orang kehilangan ingatan dia bangkit berdiri.
Sambil menghela napas ujar Lim Luan-hong: "Mong-pek, cepat minta maaf kepada Chin lo-sianseng bahwa tadi kau telah........." Sementara itu sambil menyeka peluh yang membasahi jidatnya kembali Ho Kun-hiap berseru panik: "Hingga sekarang, dua jam sudah lewat, menolong orang bagaikan menolong api, kalau tidak segera berangkat bisa terlambat semua" Chin siu-ang tertawa dingin.
Tiba tiba Ho Kun-hiap membentak nyaring: "Sebetulnya kau akan berangkat atau tidak?" Diam diam Chin Ki menghela napas, bisiknya: ~ayah....-- "Jangan banyak bicara!" tukas si kakek cepat.
Berkerut sepasang alis mata Ho Kun-hiap, serunya lagi: "Kalau tidak segera berangkat, jangan salahkan kalau aku Ho Kun-hiap akan bersikap kurangajar!" Chin Siu-ang tertawa dingin.
"Bila kau berani menyentuh seujung jariku, mulai saat ini tak ada manusia lagi di dunia ini yang bisa memunahkan racun dari panah kekasih" Ho Kun-hiap seketika menghentikan langkahnya setelah mendengar ancaman itu, sementara para jago lain hanya saling berpandangan tanpa bicara, siapa pun tahu, kemungkinan besar mereka akan menjadi giliran berikut dari panah kekasih, oleh sebab itu tak seorang pun berani banyak bicara.
Tiba tiba terdengar suara orang berjalan naik ke atas tangga loteng kemudian seseorang dengan suara merdu berseru: "Tian kongcu, ayah suruh aku menghantar ikan segar" Seorang pemuda basah kuyup berlarian keatas diikuti seorang gadis berbaju hijau dibelakangnya, nona itu mengenakan sepatu berwarna hijau dan membawa dua ekor ikan segar.
Rupanya jago ke dua dari Lau-san-sam-gan yakni Ciong-siau-gan (angsa liar penembus awan) Ho Kun-kiat yang tadi tercebur ke dalam air telah diselamatkan oleh Tu Kuan, si nona berbaju hijau itu.
Terlihat Tu Kuan berdiri kebingungan sewaktu melihat suasana ditempat itu, sedang Ho Kun-kiat segera berteriak: "Losam, sudah kau temukan Chin lo-sianseng?" Chin Siu-ang mendengus dingin, ujarnya: "Walaupun aku memiliki kemampuan untuk memunahkan racun, namun tidak mempunyai kewajiban untuk selamatkan nyawa orang.......
ehmm, dua ekor ikan segar ini lumayan juga, Ki-ji, bawa pulang untuk teman arakku" Melotot sepasang mata Tu Kuan, serunya: "Kedua ekor ikan ini tidak kujual, ayah suruh aku........." Tian Mong-pek menghela napas panjang, ujarnya perlahan: "Chin lo-sianseng, tadi.....
akulah yang salah" Kepalanya tertunduk dengan wajah merah padam, sepasang tangannya gemetar keras.
Dalam keadaan begini, dia merasa mendongkol bercampur sedih, namun tak bisa berbuat apa apa.


Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kini perhatian semua orang yang hadir dalam ruangan, bersama-sama dialihkan ke wajah Chin Siu-ang dan menanti jawabannya.
Masih dengan wajah yang kaku ujar Chin Siu-ang: "Ki-ji, bawa pulang ke dua ekor ikan segar itu" Agak bingung Tu Kuan melirik Tian Mong-pek sekejap, lalu menyerahkan ke dua ekor ikan itu ke tangan Chin Ki.
"Terima kasih" bisik Chin Ki dengan wajah semu merah.
Tiba tiba Tu Kuan membalikkan badan kemudian lari turun dari loteng itu dengan langkah cepat, melihat pendekar pujaan hatinya harus menelan penghinaan, diam diam ia turut mengucurkan air mata.
Chin siu-ang mendongak memandang sekejap keadaan cuaca, lalu katanya dingin: "Bila anak kecil ingin minta maaf kepada cianpwee, paling tidak harus berlutut dan menyembah tiga kali" Kembali suasana jadi heboh, bahkan ada diantara para jago merasa jengkel dan tak suka hati, namun tak seorangpun berani bersuara.
Dua bersaudara Ho mengepal sepasang tinjunya kencang kencang, sepasang matanya melotot besar menahan emosi.
Lim Luan-hong tahu akan watak Tian Mong-pek, kalau suruh pemuda itu berlutut, mungkin jauh lebih sulit daripada memenggal kepalanya, apalagi disaat dan situasi seperti ini.
Belum lagi dia berbuat sesuatu, tiba tiba terlihat Tian Mong-pek menggigit bibir sambil menghampiri Chin Siu-ang dengan langkah lebar, kemudian jatuhkan diri berlutut dan menyembahnya sebanyak tiga kali.
Suasana dalam ruang loteng hening bagaikan di kuburan, terdengar...
"Duuk, duuk, duukk....!" tiga kali, sambil berlutut Tian Mong-pek menyembah dan tidak berdiri lagi, terlihat tetesan air mata jatuh berlinang membasahi lantai.
Perlahan Lim Luan-hong membangunkan pemuda itu, sedang dua bersaudara Ho mengawasi Chin Siu-ang tanpa berkedip, andaikata sorot mata mereka dapat membunuh, mungkin saat ini tubuh Chin Siu-ang sudah tercincang hingga hancur berkeping.
Tampak kakek itu perlahan-lahan mengangkat cawan air tehnya dan meneguk sekecap, tiba tiba serunya sambil membalikkan badan: "Ayoh berangkat!" Dengan langkah lebar dia berjalan menuruni anak tangga bambu.
Diiringi suara helaan napas lega, kawanan jago ikut menuruni anak tanggal, dalam waktu singkat terlihat ada puluhan buah sampan kecil bergerak menuju ke arah balik gelagah yang lebat.
Cahaya matahari dimusim gugur menembusi daun jendela, menyinari sebuah pembaringan berkelambu kain sutera halus.
Dibalik kelambu berbaring seorang kakek berambut putih dengan mata tertutup rapat, cahaya yang redup menyinari dua batang panah pendek yang menancap diatas bahunya dan memantulkan sinar kebiru biruan yang menggidikkan.
Didepan pembaringan terdapat sebuah teko tembaga dengan air yang dibiarkan menetes ke bawah, berpuluh pasang mata sama-sama tertuju ke arah benda itu dan mengawasinya tanda berkedip.
Disamping pembaringan berdiri seorang pendekar berbaju ringkas, dia tak lain adalah Cuan-hun-gan (angsa liar penembus awan) Ho Kun-hiong, salah satu diantara Lau-san-sam-gan.
Disampingnya berdiri dua orang, seorang berwajah lebar bertelinga besar, bertubuh gemuk dan memancarkan sinar merah dengan mata yang sipit, alis mata yang lembut, dia bukan lain adalah hartawan paling kaya dari kota Hangciu, orang menyebutnya sebagai See-ou-liong-ong (raja naga dari telaga barat) Lu Tiang-lok.
Disampingnya adalah seorang sastrawan setengah umur bermuka bersih tanpa janggut, yang berdiri sambil menggoyangkan kipasnya, biarpun orang ini berdandan sastrawan, padahal dia tak lain adalah congpiautau perusahaan ekspedisi Sam-seng-piuawkiok dari wilayah Kanglam, orang menyebutnya sebagai Thian-kiau-seng (bintang langit) Sun Giok-hud.
Senjata kipasnya merupakan senjata khusus untuk menotok jalan darah orang.
Lebih kedepan berdiri seorang lelaki dan seorang perempuan, yang lelaki berwajah kuning seperti orang berpenyakitan, sementara yang perempuan cantik jelita dengan mata yang jeli dan bening, mereka bukan lain adalah Kim-giok-siang-hiap (sepasang pendekar mas dan kumala), Kim-bin- thian-ong (raja langit berwajah emas) Li Koan-eng dan Giok-kwan-im (kwan-im kumala) Tan Cia-li.
Masih ada dua orang lagi, seorang tinggi kekar berdada lapang penuh otot dan seorang kecil ceking tinggal kulit pembungkus tulang, dua orang itu satu positip satu negatip, satu keras satu lembut namun berdiri bersanding.
Yang tinggi besar datang dari selatan, orang menyebutnya Thiat-ciong (tombak baja) Yo Seng, sedangkan yang kurus kecil adalah jago yang sangat ahli dalam ilmu menotok jalan darah, Pit-sang-seng-hoa (ujung pit tumbuh bunga) Seebun Ho.
Mereka bertujuh sama-sama berkumpul didalam ruangan dengan wajah serius dan tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Butiran air didalam teko tembaga setetes demi setetes perlahan-lahan meleleh ke bawah, bersama dengan menetesnya butiran air, nyawa sang kakek yang berbaring diatas ranjang pun ikut semakin memudar.
Wajahnya yang pucat kaku, kini semakin putih tanpa rona darah.
Akhirnya See-ou-liong-ong tak kuasa menahan diri, setelah mendeham, katanya: "Ho tayhiap, apakah saudara saudaramu tahu tempat ini?" Sambil menghela napas Ho Kun-hiong manggut-manggut.
"Kenapa bisa begitu tidak kebetulan" teriak si tombak baja Yo Seng, "Kenapa disaat dibutuhkan, si tua bangka Chin justru sedang keluar rumah" Seebun Ho hanya memandang sekejap ke arahnya dengan sinar mata dingin, sementara Kwan-im kumala Tan Cia-li segera berkata: "Bagaimana kalau kita cabut dulu ke dua batang anak panah yang tertancap ditubuh orang tua itu?" "Kalau sampai terjadi apa-apa, siapa yang mau tanggung jawab?" tanya Li Koan-eng sambil berkerut kening.
"Aaai, masa aku yang musti bertanggung jawab......" "Makanya, lebih baik tutup mulutmu" tukas Li Koan-eng ketus.
Tiba tiba si Bintang langit Sun Giok-hud membuka matanya, lalu sambil bertepuk tangan berseru: "Itu dia, sudah datang........" Terdengar suara langkah kaki yang ramai bergema dari jauh makin mendekat, Tian Mong-pek dengan wajah pucat pandangan kosong berlari masuk ke dalam ruangan sambil menerjang ke samping ranjang, karena tergopoh gopoh ia menumbuk teko tembaga itu hingga terguling.
Lim Luan-hong, Ho Kun-kiat serta Ho Kun-hiap mengintil dibelakangnya.
"Lotoa, apakah masih sempat?" Ho Kun-kiat segera bertanya.
Sementara Lim Luan-hong menarik tangan Tian Mong-pek sambil berbisik: "Perlahan sedikit, jangan sampai kau kagetkan dia orang tua" "Rasanya masih belum terlambat" terdengar Ho Kun-hiong menyahut.
Mendengar itu, semua orang merasakan semangatnya bangkit kembali.
Tiba tiba terdengar seseorang berkata dengan suara dingin dari luar pintu: "Silahkan kalian semua menunggu diluar!" Bersamaan dengan berkumandangnya ucapan tersebut, Chin Siu-ang berjalan masuk ke dalam ruangan.
Tanpa sadar semua jago menyingkir ke samping memberikan sebuah jalan lewat, dengan langkah lebar Chin Siu-ang menghampiri samping ranjang seraya berkata: "Aku minta saudara semua jangan bersuara, lebih baik lagi kalau tutup daun jendela itu rapat rapat" Ho Kun-hiong segera menutup rapat semua jendela.
Chin Siu-ang menggulung ujung baju nya memperlihatkan sepasang tangannya yang kurus kering, biar kurus dan berwarna kuning kepucat pucatan, namun dalam pandangan semua orang, sepasang lengan itu justru merupakan benda yang tak ternilai harganya pada saat itu.
Dengan gerakan cepat ia melepaskan pakaian yang dikenakan Tian Hua-uh, lalu memegang nadi pada pergelangan tangannya dan memperhatikan denyut nadi dengan seksama.
Semua orang yang hadir dalam ruangan sebisa mungkin menahan napas, jangan lagi bersuara, bernapas keras keras pun tak berani, semua pandangan mata seolah sudah tertumpu pada sepasang tangannya dan mengikuti semua gerak tangannya ke mana pun pergi.
Tiba tiba ia menghentikan gerak tangannya, semua orang merasa tercekat, detak jantung seolah mau melompat keluar saking kagetnya.
"Hari ini, pada saat apa dan dimana kalian menjumpai dirinya?" terdengar Chin Siu-ang bertanya perlahan.
"Kurang lebih dua jam berselang" jawab Ho Kun-hiong, "kami bersaudara menemukan tubuh dia orang tua di belakang ruang sembahyang kuil Boat-siang-sie sebelah barat kota, saat itu dia orang tua sudah terluka oleh anak panah, darah yang mengalir pun belum mengering........." "Coh......" tiba tiba Chin Siu-ang menarik kembali tangannya lalu beranjak keluar dari pintu ruangan.
Tian Mong-pek membentak nyaring, dia melompat ke depan sambil menghadang di depan pintu.
"Mau apa kamu?" tegur Chin Siu-ang dengan kening berkerut.
Sambil menggigit bibir menahan gejolak emosi dan menundukkan kepalanya, jawab Tian Mong-pek: II "Lu.....luka aa......ayahku.........
Rasa sedih, gusar dan mendongkol yang berkecamuk jadi satu nyaris membuatnya tak sanggup berbicara.
"Racun yang dilumurkan diujung sepasang panah kekasih ini boleh dibilang tiada duanya di kolong langit, cukup racun diujung panah hitam saja sudah merangkum empat puluh lima jenis racun dari yang berhawa negatip sampai yang berunsur lembut.........." kata Chin Siu-ang menerangkan.
Kemudian sambil bergendong tangan dan berjalan mondar mandir, lanjutnya: "Sementara racun yang dilumurkan diujung panah merah terdiri dari tiga puluh enam jenis racun bersifat positip dan berunsur keras, ini berarti pada ujung ke dua jenis anak panah itu terdiri dari sembilan kali sembilan, delapan puluh satu jenis racun paling ganas di kolong langit.
Satu jenis saja dari kedua jenis racun itu sudah cukup membuat berjuta orang mati, apalagi ketika dua unsur racun itu saling berkaitan dan saling menunjang, unsur positip yang bersatu dengan unsur negatip membuat keganasan racun yang terkandung tak terkirakan" Walaupun semua orang tidak paham mengapa secara tiba tiba dia menyampaikan uraian tersebut, namun tak seorangpun diantara mereka yang buka sua ra atau komentar.
Sesudah berhenti sejenak, kembali Chin Siu-ang melanjutkan: "Sekalipun begitu, bila kalian terkena racun dari panah tersebut dan bukan terkena di ulu hati dan didalam tiga jam berhasil menemukan lohu, aku yakin pasti dapat selamatkan nyawa kalian semua, hehehe...
mungkin hal ini termasuk hokki kalian, karena kebetulan hidup di kota yang sama denganku, kalau tidak......
hmm, hmm..... biarpun kolong langit amat luas, jangan lagi menemukan orang yang mampu memunahkan racun itu, mungkin yang bisa mengenali jenis racun racun itupun tak banyak" Diam diam para jago merasa bergidik bercampur tercekat, masing masing mulai menguatirkan keselamatan sendiri, karena siapa pun tak bisa meramalkan, kapan undangan dari dewa kematian akan dihantar ke tangan mereka.
Lim Luan-hong mendeham berapa kali, lalu katanya: "Itu berarti Tian locianpwee masih ada harapan untuk diselamatkan nyawanya?" Sambil senyum tak senyum Chin Siu-ang melirik sekejap ke arah Tian Mong-pek, lalu sahutnya: "Seharusnya masih tertolong, hanya sayang......." "Hanya sayang kenapa?" tanya Tian Mong-pek dengan badan bergetar dan suara gemetar.
"Sayang kau sudah kurangajar terlebih dulu kepada lohu, gara gara ingin menghukum dan memberi peringatan kepadamu, maka aku telah datang terlambat, kini racun ganas sudah menyerang ke dalam ulu hati, rasanya tak tertolong lagi" Ucapannya disampaikan dengan nada dingin, tajam dan hambar, tapi justru seakan sebatang panah tajam yang dingin dan menggidikkan yang langsung menembusi tenggorokan Tian Mong-pek lalu menghujam di hatinya.
Setetes air kembali mengalir keluar dari teko tembaga dan lenyap dibalik permukaan air di ember sebelah bawah, mendadak Tian Mong-pek merasakan sorot matanya jadi buram, kemudian kobaran api amarah mencorong keluar dengan tajamnya, sambil membentak marah secepat kilat tangannya menggenggam bahu kakek ceking itu, tegurnya dengan gemetar: "Kau.....
kau........" Telapak tangannya berputar, kali ini dia tempeleng wajah Chin Siu-ang.
Baru sampai setengah jalan, sebuah tangan lain telah menyambar tiba, mencengkeram pergelangan tangannya.
Paras muka Chin Siu-ang sama sekali tak berubah, dia seolah yakin kalau tempelengan tersebut tak bakal mengenai wajahnya.
Ketika Tian Mong-pek berusaha meronta untuk melepaskan diri dari cengkeraman, terdengar seseorang berkata pelan: "Tian si-heng, orang yang telah mati tak akan bangkit kembali....." Sambil membentak gusar Tian Mong-pek berpaling, tampak Pit-sang-seng-hoa Seebun Ho berdiri kaku dihadapannya sambil berkata lebih jauh: "Apa gunanya kau menyusahkan Chin lo-sianseng?" "Betul" sambung See-ou-liong-ong Lu Tiang-lok pula, "apa gunanya kau menyusahkan Chin lo-sianseng" Karena gemuk maka sewaktu menganggukkan kepala, daging lebih dibawah dagunya ikut bergetar keras.
Sepasang pendekar emas dan kumala berdiri pula dengan wajah serius, meski begitu, tidak nampak rasa sedih atau terharu barang sedikitpun.
Perlahan Tian Mong-pek melepaskan tangannya sambil mundur selangkah, dengan mata berwarna merah perlahan dia awasi sekejap wajah rekan rekan ayahnya semasa hidup dulu.
\\oo hmm, demi dendam pribadi menyebabkan orang lain kehilangan nyawa........
II sambil mengendalikan gejolak emosinya ia berkata dengan suara dalam, "apakah manusia semacam ini pantas disebut seorang pendekar?" Lu tiang-lok mendeham sambil menunduk, Li Koan-eng serta Tan Cia-li menghindari tatapan matanya, Seebun Ho berdiri dengan wajah kaku, Thian-kiau-seng Sun Giok-hud berkilat matanya, entah apa yang sedang dia pikirkan, hanya si tombak baja Yo Seng serta tiga jago dari keluarga Ho saja yang menunjukkan perasaan sedih bercampur geram.
Dengan air mata mengembang dalam kelopak matanya, Tian Mong-pek berpaling mengawasi wajah orang orang itu, ia merasa betapa rendah dan hinanya mereka.
"Aku tahu, kalian bukan sahabat karib ayahku, tidak pernah juga menerima budi kebaikan dari ayahku, walau begitu, sebagai seorang pendekar, seharusnya kalian tampil ke depan untuk menegakkan keadilan" nada suaranya makin lama semakin emosi, "tapi kenyataannya sekarang, kalian hanya memikirkan kepentingan sendiri, kuatir tak ada yang mau menolong ketika dirinya terkena panah kekasih, perbuatan kalian......
perbuatan kalian........" Saking emosinya, ucapan tersebut tak sanggup diselesaikan, air mata bercucuran semakin deras, membuat anak muda itu tak sanggup berkata kata lagi.
Tombak baja Yo Seng menghela napas panjang.
Sebaliknya Chin Siu-ang tertawa dingin, ejeknya: "Lantas apa yang hendak kau lakukan terhadap lohu?" "Aku akan menyiarkan kebusukan hatimu itu ke selu ruh kolong langit, biarpun memiliki ilmu pertabiban yang hebat, tapi kau tak lebih hanya manusia berdarah dingin yang tak berbudi dan tak punya hati...." Dengan cepat Seebun Ho maju selangkah, menghadang dihadapan chiusiuang, tukasnya: "Mau apa kau?" Sun Giok-hud yang berada disisinya, ikut menimbrung sambil tertawa ringan: "Perkataan Tian si-heng tak lebih hanya ucapan orang emosi, tak bisa dianggap sungguhan, apalagi siapa sih manusia dalam dunia persilatan saat ini yang tidak menaruh hormat dan kagum akan kehebatan ilmu pertabiban Chin lo-sianseng" Tian si-heng bukan orang bodoh, mana mungkin
dia akan bersikap kurangajar terhadap Chin lo-sianseng?" "Memang begitu, memang begitu........" sambung Lu Tiang-lok sambil bertepuk tangan, "tentang kematian yang menimpa Tian lo-enghiong, aku rasa sebagai sesama saudara, kita harus sumbangkan tenaga untuk membantunya" "ian Mong-pek menggigit bibirnya kencang kencang, pertama kali ini dia saksikan wajah asli dari kawanan pendekar yang mengaku berjiwa ksatria, untuk pertama kali pula dia melihat jelas kebusukan hati manusia demi kepentingan pribadi.
Perlahan Ho Kun-hiong menghampirinya dan berbisik dengan kepala tertunduk: ~ Tian sauhiap..........." Belum selesai dia bicara, mendadak dari kejauhan terdengar suara orang berteriak keras: "Chin Siu-ang........
Chin Siu-ang..........." Teriakan itu rendah dan berat namun menusuk pendengaran, ketika pertama kali berkumandang, suara itu masih berasal dari tempat yang jauh, tapi ketika berkumandang untuk kedua kalinya, suara itu sudah begitu dekat, bisa dibayangkan betapa cepatnya gerak tubuh orang itu.
Semua orang terkesiap, dengan kening berkerut tanya Tan Cia-li: "Siapa orang itu?" "Kau bertanya kepadaku, lantas aku musti bertanya kepada siapa?" sahut Li Koan-eng ketus.
"Aku..... aku toh tidak bertanya kepadamu........." Terdengar angin berdesing di luar jendela, tahu tahu kertas jendela bergetar hingga robek, lalu seseorang berteriak nyaring: "Apakah Chin Siu-ang tinggal disini?" Suaranya nyaring bagai gempa, sangat memekakkan telinga.
Chin Siu-ang melirik "ian Mong-pek sekejap, lalu menyahut: "Benarl" Daun jendela kembali bergetar hingga muncul sebuah lubang besar, seorang lelaki berbaju perlente dengan wajah penuh cambang dan mata besar, sambil bermandikan keringat dan membopong seorang gadis berbaju hijau yang tak sadarkan diri, melompat masuk ke dalam ruangan.
Dengan perawakan tubuhnya yang tinggi besar, deng an sekali langkah orang itu sudah melewati jendela dan masuk ke dalam ruangan.
Matanya yang hijau menyapu sekejap sekeliling ruangan, lalu dengan suaranya seperti geledek tegurnya: "Siapa yang bernama Chin Siu-ang" Aku Go Jit telah menempuh perjalanan sejauh dua ratus li untuk datang menyambang" Sekali lagi semua orang terperanjat, siapa pun tak menyangka Mo-siau-to (golok tanpa sarung) Go Jit yang merupakan salah satu diantara tujuh orang kenamaan dalam dunia persilatan saat ini, bisa muncul disana secara tiba tiba.
"idak menunggu jawaban orang lain, pendekar penyamun nomor wahid dikolong langit, jago golok nomor satu dalam dunia persilatan ini sudah menghampiri Chin Siu-ang sambil menegur lebih jauh: "Tentunya kau yang bernama Chin Siu-ang bukan" Zubuh istriku sudah terkena panah kekasih dua jam berselang, apakah kau sanggup menolong jiwanya?" Semua perkataannya merupakan pertanyaan, namun tidak menunggu orang lain menjawab, dia telah menerjang ke depan ranjang, memandang sekejap tubuh yang berbaring disana dan berseru lagi: "Singkirkan!" Kepada Chin Siu-ang katanya pula: "Saudara Chin, cepat! Kalau kau gagal selamatkan jiwanya, jangan harap orang yang berada dalam ruangan ini bisa keluar dalam keadaan hidup" Si tombak baja Yo Seng mendengus dingin, tiga bersaudara Ho berkerut kening, sedang Tian Mong-pek segera menghadang didepan ranjang sambil membentak: "Siapa berani mengusik ketenangan jenasah ayahku?" Mo-siau-to si golok tanpa sarung mendelik besar, sambil menyerahkan tubuh si nona berbaju hijau ke tangan Chin Siu-ang, ujarnya bengis: "Selembar nyawanya harus ditukar sepuluh lembar nyawa kalian!" Lalu sambil mendelik ke arah Yo Seng, terusnya: ~ Apakah kau si anak jadah yang barusan mendengus?" "Apa kau bilang?" teriak tombak baja Yo Seng gusar.
Belum selesai bentakan itu diucapkan, sebuah pukulan kilat dari Mo-siau-to sudah menyambar tiba.
Serangan itu sederhana dan tak ada keanehan, tapi kecepatannya membuat orang sulit untuk bersiap sedia, Yo Seng hanya merasa ada bayangan pukulan berkelebat lewat, tahu tahu pipinya sudah kena ditempeleng sementara iga kirinya kena satu tendangan.
"weessssl" tubuhnya yang tinggi besar kontan mencelat keluar dari jendela.
Selesai melancarkan tendangan, Mo-siau-to sama sekali tidak memandang lagi untuk kedua kalinya, kini dia menatap sekejap Lau-san-sam-gan, tiba tiba ia berbalik menuju ke depan "ian Mong-pek sambil menjengek: "Tidak boleh diusik?" "Iidak!" jawab "ian Mong-pek sambil busungkan dada.
Kiu-lian-huan Lim Luan-hong yang selama ini berdiri disudut ruangan tanpa bicara, kini tak tahan menghela napas panjang, ia segera pejamkan matanya.
Ia tahu Go Jit adalah seorang jagoan yang bertemperamen tinggi, bukan saja emosinya tinggi bahkan kasar, kalau bukan lantaran itu, tak mungkin orang persilatan menyebutnya sebagai "golok tanpa sarung, sekali sentuh pasti terluka" Biarpun ia tak tega menyaksikan peristiwa tragis bakal terjadi didepan mata, akan tetapi diapun merasa tak punya kemampuan untuk mencegahnya.
Berhadapan dengan musuh tangguh, "ian Mong-pek tetap berdiri sambil busungkan dada, ia sama sekali tak gentar maupun ketakutan.
Mendadak Mo-siau-to menarik kembali sorot matanya yang tajam, wajah yang semula dingin membeku pun sirna seketika, ujarnya perlahan: "Apakah orang yang sedang tidur diranjang adalah "ian Hua-uh?" "idak menunggu orang lain menjawab, kembali dia anggukkan kepalanya berulang kali sambil bergumam: "Panah kekasih......
panah kekasih........" Sambil mendongak, diapun berseru lantang: "Baik, aku tak akan mengusik jenasah ayahmu, jagalah layonnya baik baik" Diam diam Lim Luan-hong menghembuskan napas lega.
"iba tiba terdengar Chin Siu-ang berseru sambil menghela napas panjang: "Masih bisa ditolong, masih bisa ditolong, tapi......." "Tapi apa?" bentak Mo-siau-to.
"Saat ini racun baru akan menyerang ke ulu hatinya" ujar Chin Siu-ang dengan nada dingin, "itu berarti tubuhnya tak boleh bergerak lagi, pertama kau harus dapatkan dulu ranjang itu, dengan tubuh berbaring diranjang, ia baru tak akan bergerak!" "ian Mong-pek mengepal sepanjang tinjunya kencang kencang, dengan geram teriaknya: "Kau tua bangka celaka........" Dengan wajah tak berubah, kembali Chin Siu-ang berkata: "Berulang kali pemuda itu membuat pikiranku kalut, khususnya dia, harus segera diusir keluar dari sini" Lau-san-sam-gan serentak memandang "ian Mong-pek sekejap, kemudian memandang pula kearah Go Jit, kemudian setelah menghentakkan kakinya dengan gemas, mereka jatuhkan diri berlutut dan menyembah tiga kali ke arah jenasah diatas ranjang, kemudian serentak mereka beranjak pergi dari situ dengan melompati jendela, bahkan si tombak baja Yo Seng pun ikut dibopong pergi.
Mo-siau-to berdiri mematung berapa saat, akhirnya ia berkata perlahan: "Bopong tubuh ayahmu, segera pergi dari sini" Biarpun ucapan tersebut disampaikan perlahan lagi berat, sorot matanya sama sekali tidak memandang kearah "ian Mong-pek, namun perkataan itu justru mengandung kekuatan yang begitu dahsyat dan menakutkan.
Dengan kepala tertunduk Lim Luan-hong menghampiri ranjang, tampak "ian Mong-pek berdiri dengan air mata berlinang, tetes demi tetes membasahi lantai.
Dia menyapu sekejap wajah semua orang yang hadir disitu, lalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun membalikkan badan, membopong tubuh ayahnya dan beranjak pergi dari situ.
Makin cepat langkah kakinya diayun, makin deras air mata meleleh membasahi pipinya, membasahi pula dada ayahnya yang mulai mendingin dan kaku.
Dada yang dingin, air mata yang dingin, namun dibalik dadanya justru menggelora api dendam yang membara.
"ak seorangpun jago yang berada dalam ruangan, berani memandang kearahnya walau sekejap pun.
Tampak Chin Siu-ang membaringkan nona berbaju hijau itu keatas ranjang, sorot mata Mo-siau-to yang tajam menatap terus wajah si nona yang cantik namun pucat pias bagai kertas, dengan suara yang lembut bagai hangatnya angin musim semi, ia berbisik: "Sisi, jangan takut, jangan takut, kau segera akan sembuh......" Co0oo Diluar serambi, didepan aneka bebungahan yang tumbuh indah, Chin Ki berdiri sambil bersandar pagar, ia membiarkan angin berhembus lewat, sementara matanya yang bening memandang tumbuhan bambu dikejauhan, seolah banyak masalah yang mengganjal hatinya.
Suara langkah yang ramai menyadarkan kembali gadis itu dari lamunan, ketika berpaling, ia saksikan "ian Mong-pek berlalu dari hadapannya dengan langkah lebar.
Menyaksikan tubuhnya yang dingin kaku, tak tahan nona itu menghela napas sedih, bisiknya: -I - Tian....kongcu........" Mendadak matanya bertatapan dengan sinar api dendam yang membara dari "ian Mong-pek, bara api yang membuatnya bergidik dan merinding.
Dalam pandangan Tian Mong-pek saat ini hanya ada kobaran api dendam, ia seolah tidak melihat apa apa, dia hanya tahu menerjang keluar dari serambi itu dengan langkah lebar, langkah kalap.
Mengawasi bayangan punggungnya yang menjauh, entah mengapa, dua titik air mata jatuh meleleh membasahi wajah Chin Ki.
Selama ini, Lim Luan-hong hanya mengikuti jauh di belakang Tian Mong-pek, ketika lewat disisi gadis itu, tak tahan ia berhenti sejenak, menghela napa s dan bertanya: "Nona Chin, kesedihan apa yang mengganjal hatimu?" "Apa urusannya dengan dirimu?" sahut Chin Ki sambil membesut air matanya dan berteriak keras.
Kemudian ia membalikkan tubuh dan lari menelusuri serambi.
Lim Luan-hong menggigit bibirnya sambil tertunduk lesu.
Dari ujung serambi sebelah lain, terdengar seseorang berteriak keras: II "Saudara Lim, saudara Luan-hong........
Tampak Thian-kiau-seng Sun Giok-hud diikuti See-ou-liong-ong Lu Tiang-lok menyusul datang dengan langkah lebar.
"Apakah "ian si-heng telah pergi?" terdengar Lu Tiang-lok berteriak keras.
Dengan kening berkerut Lim Luan-hong manggut manggut.
"iba disisinya, Lu Tiang-lok kembali menghela napas panjang, katanya: "Sungguh tak kusangka, dengan usianya yang masih begitu muda, ternyata punya temperamen yang begitu tinggi, ditinjau dari situasi hari ini......." "Ditinjau dari situasi hari ini, seandainya kau atau aku yang mengalaminya, aku yakin keadaan kita pun sama saja" tukas Lim Luan-hong dingin.
Sun Giok-hud tersenyum, selanya: "Maksud saudara Lu, tak disangkal lagi "ian si-heng sudah terikat dendam kesumat yang amat dalam dengan Chin lo-sianseng, dengan wataknya yang ceroboh dan berangasan, kami kuatir dia bakal datang lagi untuk mencari balas" Baru berbicara sampai disitu, dengan cepat Lu Tiang-lok menimpali lagi: "Padahal saat ini panah kekasih telah menjadi wabah dalam dunia persilatan, kita sendiri pun tak tahu kapan bakal mendapat giliran....." Setelah mendeham berulang kali, lanjutnya: "Apa jadinya bila Chin lo-sianseng tertimpa suatu halangan atau musibah?" "Cleh karena itu maksud dari Lu-heng adalah berharap kita semua dapat tampilkan diri untuk melindungi Chin lo-sianseng" sambung Sun Giok-hud, "tentu saja masalah ini bukan khusus diterapkan untuk menghadapi saudara Tian, tapi lebih bersifat berjaga jaga secara umum, terlebih untuk menghadapi mereka yang menggembol panah kekasih, tapi berhubung kekuatan yang kita miliki sangat minim.........." Sambil manggut manggut Lu Tiang-lok menambahkan: "Begitulah maksud kami yang sebenarnya, untuk menanggulangi semuanya ini, maka siaute bertekad akan menyebar undangan untuk mengumpulkan jago jago tangguh yang akan melakukan perlindungan secara bergilir.........." Sun Giok-hud tersenyum, katanya pula: "Dan menurut maksud Lu-heng, sekalipun kita bakal melakukan penjagaan secara bergilir, paling tidak harus ada satu orang diantara kita yang menjadi komandannya, siaute sendiri sangat sibuk, saudara Lu juga mempunyai sanak keluarga yang kelewat banyak, hanya Lim-heng seorang yang masih hidup santai dan banyak waktu senggang......." Sesudah tersenyum penuh arti, terusnya: "Apalagi kau masih bujangan, tentu paling tepat bila Lim-heng lah yang menjadi komandan kami semua" Berulang kali dia menyatakan kalau apa yang disampaikan merupakan maksud orang lain, padahal maksud dari siapa sebenarnya, bukan hanya dia sendiri yang tahu, orang lain pun mengetahuinya dengan jelas sekali.
Lim Luan-hong tidak mengucapkan sepatah kata pun, namun jantungnya terasa berdebar keras, pikirnya: "Jangan jangan orang ini sudah tahu kalau aku menaruh perasaan terhadap Chin Ki?" Lu Tiang-lok berdiri sambil menggesek telapak tangannya, ketika sampai lama tidak mendapat jawaban dari Lim Luan-hong, tak tahan kembali ujarnya: "Masalah ini menguntungkan bagi semua pihak, bagi Lim-heng sendiripun tak ada ruginya, Lim-heng, harap kau menerima tawaran tersebut!" Lim Luan-hong tertunduk sambil berpikir sesaat, kemudian sahutnya perlahan: -I-- Tak masalah bagi siaute untuk menerima tawaran itu......
II "Bagus, bagus sekali" tukas Lu Tiang-lok sambil bertepuk tangan tertawa keras, "kalau begitu kita tentukan dengan sepatah kata ini, masalah beaya, tentu saja siaute yang akan memikul semuanya" "iba tiba ia berhenti tertawa, dengan kening berkerut ujarnya lebih lanjut: "Sebetulnya siaute berniat ikut mengurusi layon dari "ian lo-enghiong, tapi sayang masih ada urusan penting yang harus kuselesaikan saat ini.........
aaai, aku rasa arwah Tian lo-enghiong di alam baka tentu tak akan menyalahkan aku" Lalu dengan senyuman menghiasi bibirnya, ia menjura berulang kali sambil menambahkan: "Sekarang juga siaute akan pergi menyelesaikan masalah membagi undangan ke seluruh dunia persilatan, nama pengundang tentu saja tercantum nama Lim-heng, Sun-heng, Seebun-heng serta suami istri dari keluarga Li.......
hahahaha...... bisa dibayangkan, kali ini pertemuan tersebut pasti akan menjadi satu pertemuan paling akbar bagi dunia persilatan" Ditengah gelak tertawa nyaring, kembali ia menjura lalu tergesa gesa meninggalkan tempat itu.
Baru sirap gelak tertawa dari serambi sini, dari ujung serambi seberang terdengar pula suara gelak tertawa nyaring, Mo-siau-to sambil mengelus cambangnya berseru lantang: "Betul betul tabib sakti berilmu tinggi, dalam waktu singkat telah berhasil selamatkan nyawa seseorang" Sambil menarik lengan Lim Luan-hong, katanya lebih lanjut sambil tertawa tergelak: "Mari, mari, aku Go Jit akan mentraktir kalian semua dengan tiga cawan arak" "Apakah luka yang diderita hujin telah sembuh?" tanya Sun Giok-hud sambil tersenyum.
Sambil tertawa tergelak Go Jit manggut manggut.
II "Kalau begitu, boanpwee sekalian patut memberi selamat sebanyak tiga cawan arak.........
seru Sun Giok-hud cepat. Tiga cawan arak putih, satu gundukan tanah baru.
Matahari senja telah tenggelam dibalik bukit, kegelapan malam mulai menyelimuti angkasa, Tian Mong-pek telah menyulang kuburan baru dihadapannya dengan secawan arak.
Pepohonan nan hijau, rerumputan setinggi dada bergoyang terhembus angin, menimbulkan suara gemerisik bagai tangisan setan malam.
Suasana disekeliling tempat itu hening, sepi, tak terlihat bayangan manusia lain, kecuali dua orang kakek beruban yang berdiri dibelakang nya sambil berlinang air mata.
Ia berdiri kaku sambil memegang cawan, perasaan hatinya kalut dipenuhi rasa duka yang tak terlukis dengan kata, orang yang berbaring tenang dibalik kuburan baru sekarang, selama hidupnya berjuang dan berjuang demi ditegakkannya keadilan dan kebenaran, tapi kini .
. . . .. Ia mengangkat kepalanya, mengeringkan isi cawan pertama, arak putih yang pedas mengalir masuk melalui gusi giginya yang berdarah, lalu dia lempar cawan kosong itu sekuat tenaga ke tengah udara, sementara dalam hati berdoa: "Balas dendam! Balas dendam! Balas dendam!" Ia telah menggunakan thema dendam sebagai umpan bagi dirinya, tiga cawan arak dingin yang diteguknya telah mendidihkan darah dendam yang mengalir dalam dadanya, membuat api dendam semakin membara, membuat seluruh tubuhnya makin panas, makin mendidih, membuat seluruh tubuhnya yang semula dingin kaku, kini jadi panas menyengat.
Dia membiarkan air mata yang hangat mengembang dalam kelopak matanya lalu meleleh tanpa suara .
. . . . . .. Mendadak, dari balik kaburnya mata karena air mata, ia saksikan ada sesosok manusia berbaju hitam yang berperawakan kecil langsing, tanpa menimbulkan suara bergerak dibalik kegelapan, munculkan diri di belakang kuburan.
Bayangan manusia yang bergerak bagai sukma gentayangan itu membuat orang tua dibelakang tubuhnya menjerit kaget lalu rubuh ke tanah.
"Siapa?" hardik Tian Mong-pek dengan suara rendah.
Bayangan manusia berbaju hitam itu berdiri dengan ujung baju lengannya berkibar terhembus angin, wajahnya pucat pasi tiada rona merah, biji matanya yang hitam berkilat bagai cahaya bintang, meskipun tubuhnya kurus kering, namun kecantikan wajahnya bagai bidadari langit, bidadari yang belum tersentuh oleh kehidupan keduniawian.
Ternyata bayangan manusia itu adalah seorang wanita, Tian Mong-pek berkerut kening.
Tampak perempuan itu mengangkat tangannya yang kurus lagi pucat, perlahan dijulurkan keluar dari balik baju, ternyata ia memegang ketiga buah cawan arak itu.
Kemudian sambil menatap kearah sang pemuda, sepatah demi sepatah ia berkata: "Kau yang membuang cawan cawan arak ini?" Dalam waktu sekejap Tian Mong-pek merasakan hatinya bergidik, rasa seram timbul dari dasar hatinya, seingat dia, ke tiga cawan arak itu dibuangnya ke arah yang berbeda, apalagi membuangnya dengan penuh rasa benci dan dendam, tapi kenyataannya sekarang, ke tiga cawan arak itu justru berada dalam genggaman perempuan itu.
Meski ngeri perasaan hatinya, ia tetap menjawab dengan mantap: "Betul!" Perempuan berbaju hitam itu berjalan menuju ke depa n kuburan, terlihat dia mengebaskan bajunya, cawan cawan arak itu sudah diletakkan kembali ke tanah, sementara tatapan matanya beralih dari wajah Tian Mong-pek ke arah kuburan.
Tian Mong-pek tak dapat menyaksikan raut mukanya, terdengar perempuan itu berkata: "Kau telah mati, kau telah mati .
. . . . . .." "Hujin, apakah kau datang untuk melayat mendiang ayahku?" tegur sang pemuda.
Seolah tidak mendengar, kembali perempuan berjubah hitam itu berkata: "Kenapa begitu awal kau sudah mati" Kenapa tidak kau biarkan aku saksikan sendiri kematianmu" Tidak kau biarkan aku mendengar sendiri rintihanmu menjelang ajal .
. . . . . . .." Walaupun suaranya lembut, namun ucapan tersebut mengandung rasa benci dan dendam yang mendalam.
Gusar Tian Mong-pek mendengar ucapan perempuan itu, dengan mata memerah, bentaknya: "Meskipun ayahku telah meninggal, aku tak akan membiarkan orang lain bicara sembarangan di depan kuburan dia orang tua" Perempuan berjubah hitam itu sama sekali tak bergerak, angin malam berhembus lewat mengibarkan bajunya, seakan bukan hanya bajunya, tubuh yang kurus ceking pun seolah ikut melayang karena hembusan.
Dengan tangan yang lembut, kembali perempuan itu meraba batu nisan didepan kuburan, entah tangannya yang dingin atau batu nisan itu yang dingin, terdengar ia berkata lebih jauh: "Aku tahu, sampai mati pun kau tak bakal berani menjumpai aku...." "Kalau kau punya dendam dengan mendiang ayahku, datang saja mencari balas denganku" teriak Tian Mong-pek gusar, "kami turun temurun keluarga Tian, ta k pernah mengenal kata jeri atau takut" Tiba tiba perempuan berbaju hitam itu membalikkan badan, sinar matanya bening tapi dingin, sekulum senyuman pedih tersungging diujung bibirnya, meski dibawah cahaya rembulan tak nampak kerutan diwajahnya, namun secara lamat lamat bisa diduga berapa besar usianya.
Biarpun jalannya waktu telah merenggut pergi masa muda dan remajanya, namun tak dapat merampas sisa sisa kecantikan wajahnya.
Kecantikan wajahnya sangat mengejutkan, bahkan terselip daya kekuatan memikat yang luar biasa.
Ditatapnya wajah Tian Mong-pek sekejap, kemudian sambil tertawa sendu ia bertanya: "Kini ayahmu telah meninggal, kenapa ibumu tidak ikut datang?" Tian Mong-pek tertegun, biarpun ia merasa pertanyaan itu muncul secara mendadak dan aneh, tak urung jawabnya juga: "Ibuku sudah meninggal sejak sembilan belas tahun berselang.....
kalau kau datang untuk melayat ayahku, aku merasa amat berterima kasih sekali, kalau tidak .
. . . . . . .." Pada hakekatnya perempuan berjubah hitam itu sama sekali tidak memperhatikan ucapannya, kembali dia menyela: "Ternyata ayahmu tidak kawin lagi" Bicara sampai disitu, ia berhenti dan membungkam.
Perasaan sangsi bercampur curiga berkecamuk dalam benak Tian Mong-pek, ia tak bisa menebak perempuan seperti sukma gentayangan ini sebenarnya musuh atau sahabatnya, tak tahan kembali tanyanya: "Siapa kau sebenarnya" Apa tujuan kedatanganmu?" Perempuan berjubah hitam itu tidak menjawab, tiba tiba ia mendongak dan bertanya: "Ayahmu telah mati, apakah kau ingin membalaskan sakit hatinya?" "Tentu saja!" biarpun merasa keheranan, jawab Tian Mong-pek setelah tertegun sesaat.
Baru selesai ia berkata, sambil tertawa dingin tiba tiba perempuan berjubah hitam itu melancarkan satu pukulan ke arah tubuhnya.
Pukulan itu lembut bahkan sangat lambat, diiringi kibaran ujung bajunya, gerakan tersebut sungguh indah tak terkirakan.
Dengan kening berkerut Tian Mong-pek membentak: "Jika kau......." Siapa tahu baru ucapan tersebut meluncur keluar, tangan yang indah itu tahu tahu sudah berada diatas jalan darah Ing-hio-hiat ditubuhnya.
Dalam terkejutnya cepat dia tekuk pinggang sambil menyongsong datangnya ancaman itu, dengan jurus Lo-cik-lui-ting (dengan gusar menghantam guntur) dengan posisi menyerang ia gunakan untuk pertahanan.
"wesssl" satu pukulan kencang dilontarkan ke depan, siapa tahu meski gempuran tersebut sangat hebat, entah kenapa ternyata meleset ke tempat kosong, sementara pukulan lawan yang lembut dan lambat itu justru tak beralih dari posisi semula.
Sekali lagi ia terkesiap, cepat kepalannya ditarik sambil menekuk sikut, lalu sambil miringkan bahu mundur selangkah, kembali dia lepaskan tiga pukulan secara beruntun.
Sayang semua serangannya kembali mengenai sasaran kosong, biarpun dia telah berganti lima jenis ilmu gerakan tubuh, jalan darah pentingnya tetap berada dibawah bayangan ancamannya.
Dia seolah telah mengendus bau kematian yang menggidikan, bau kematian yang terpancar dari balik telapak tangannya yang kurus kering, sambil menggertak gigi sepasang kepalannya dilontarkan bersama, langsung menggempur iga kiri kanan musuh.
Jurus serangan ini bukan untuk melindungi diri, tapi berniat melukai musuh, jurus beradu jiwa dengan lawannya.
Siapa sangka perempuan berjubah hitam itu tertawa dingin, tangannya menggapai perlahan, belum sempat sepasang tinjunya meluncur ke depan, tubuhnya sudah terpelanting hingga roboh terjungkal ke lantai.
"Hmm, hanya andalkan ilmu silat semacam inipun ingin balas dendam?" ejek perempuan berjubah hitam itu sambil tertawa dingin.
Dia kebas ujung bajunya sambil mundur sejauh tujuh depa, kemudian tubuhnya bersandar disisi batu nisan, seolah kuatir terbang terhembus angin malam.
Tian Mong-pek rentangkan tangannya melepaskan diri dari papahan kedua orang tua yang berusaha membangunkan dirinya dari lantai, setelah menghimpun tenaga, diiringi bentakan nyaring tubuhnya kembali menerjang ke muka.
Gara gara bersikap gegabah, ia kena dipecundangi orang, maka kali ini serangannya dilakukan dengan persiapan lebih matang, serangan demi serangan dilancarkan mengandalkan ilmu silat warisan keluarga, hampir semuanya merupakan pukulan keras.
Terdengar angin pukulan menderu deru, bukan saja membuat seluruh tubuh perempuan berjubah hitam itu terkurung dibalik bayangan kepalannya, bahkan pohon dan dedaunan yang berada disekeliling tempat itupun tergetar keras.
Perempuan berjubah hitam itu sama sekali tidak melancarkan serangan balasan, sepasang tangannya malah terkulai ke bawah, membiarkan ujung bajunya nyaris menempel permukaan tanah, tapi anehnya, bayangan pukulan yang sedemikian hebatnya itu tak satupun berhasil menyentuh ujung bajunya.
Empat puluh gebrakan kemudian, Tian Mong-pek mulai terkejut bercampur ngeri.
Tiba tiba terdengar perempuan berbaju hitam itu tertawa dingin, ujung bajunya menggulung ke atas mencengkeram lutut kiri anak muda itu lalu menariknya ke belakang, untuk kedua kalinya Tian Mong-pek jatuh terjungkal.
Ketika ia mencoba mendongak, tampak perempuan berbaju hitam itu masih mengawasinya dengan pandangan dingin.
"Hmm, ilmu silat bapaknya jelek, tak disangka kemampuan putranya jauh lebih parah .
. . . .." ia menegur dingin.
Dengan sekali jumpalitan, Tian Mong-pek melompat bangun dari tanah dan melambung, dengan tangan kanan membabat, tangan kiri menjotos, sepasang kakinya melancarkan pula tendangan berantai.
Kali ini dalam satu gebrakan dia telah gunakan empat jurus serangan, membiarkan pertahanan bagian bawahnya sama sekali terbuka.
Baginya dia hanya ingin menyarangkan satu serangannya saja ke tubuh lawan, sementara keselamatan jiwanya sama sekali tak dipikirkan.
Berkilat sepasang mata perempuan berbaju hitam itu, dia seakan memuji akan keberanian anak muda itu.
Tampak tubuhnya bergerak ke samping, lagi lagi sebuah pukulannya membuat tubuh Tian Mong-pek terkapar ditanah.
Dasar bandel dan keras kepala, begitu jatuh cepat cepat Tian Mong-pek melompat bangun lagi, bentaknya: "Kalau kau tak mampu membunuh aku, hari ini akulah yang akan membunuhmu" Diiringi bentakan nyaring, bagai sapi gila kembali pemuda itu meluruk maju ke muka.
Semakin keras tubuhnya terbanting, semakin nekad pemuda itu menyerang, boleh dibilang dia seakan sudah lupa dengan keselamatan jiwa sendiri.
Sambil berkelit dari setiap serangan yang ditujukan ke tubuhnya, perempuan berbaju hitam itu kembali berkata sambil tertawa dingin: "Kalau aku ingin membunuhmu, memang kau sangka saat ini masih bisa hidup?" Secara beruntun kembali Tian Mong-pek melancarkan tiga pukulan berantai, teriaknya keras: "Kau telah membunuh ayahku dan aku tak dapat balas dendam, lebih baik bunuhlah aku sekalian" "Huh, siapa bilang aku telah membunuh ayahmu?" tukas perempuan itu dingin.
Tian Mong-pek tertegun hingga tubuhnya sedikit merandek, terdengar perempuan itu berkata lebih lanjut: "Dengan ilmu silat macam begini, ditambah watak yang tempereamen, masih ingin membalas dendam" Hmm, jangan mimpi disiang hari bolong" Ucapan tersebut ibarat lecut yang menghajar lubuk hati Tian Mong-pek, seketika membuat dia tertegun, berdiri termangu-mangu dan akhirnya sambil memeluk batu nisan kuburan ayahnya, ia mulai menangis tersedu-sedu.
Seluruh rasa mendongkol, rasa jengkel dan sedihnya nyaris ditumpahkan keluar, dia ingin menuntaskan seluruh perasaan hatinya melalui tangisan itu.
Entah sudah berapa lama dia menangis ketika terasa ada sebuah tangan mengelus bahunya dengan lembut, kemudian terdengar perempuan berbaju hitam itu berkata sambil menghela napas: "Seorang lelaki sejati, apa lagi yang ditangisi?" Tian Mong-pek segera menggigit bibir sambil menghentikan isak tangisnya, dengan tangan ia seka air mata yang membasahi wajahnya.
"Nah! Begitu baru betul" kata perempuan itu lembut, "begitu baru mencerminkan putra keluarga Tian, kalau memang tak takut menghadapi pelbagai masalah, apa lagi yang kau kuatirkan" Masa tak ada urusan yang tak bisa diselesaikan" Apalagi musuh besar ayahmu toh bukan benar benar iblis jahat yang ampuh" Perlahan-lahan Tian Mong-pek bangkit berdiri, ia merasa pikirannya amat kalut, perempuan itu sebentar menunjukkan rasa benci yang begitu dalam terhadap ayahnya, sebentar lagi malah menganjurkan dia untuk membalaskan dendam bagi kematiannya, sejenak menghina dan mempermainkan dirinya, sejenak kemudian begitu lembut dan sayang kepadanya, apa yang terjadi" Apa tujuannya berbuat begitu" Embun pagi telah membasahi tanah pekuburan, membasahi pula wajah serta pipinya.
Perempuan itu memandang sekejap wajahnya, kemudian berkata: "Barusan, aku hanya berniat menjajalmu, ingin tahu apakah kau punya tekad serta keberanian untuk balas dendam" Tian Mong-pek mendongak memandang awan yang bergerak di angkasa, pelbagai ingatan berkecamuk jadi satu, katanya kemudian: "Walaupun aku punya keberanian, apalagi tekad, tapi apa mau dibilang kalau aku tak punya tombak tanpa bayangan, gendawa bertali busur empat" Ke mana aku musti belajar ilmu silat yang sanggup menandingi kehebatan ilmu silat panah kekasih?" Sungguh aneh, dihadapan perempuan yang sesungguhnya masih sangat asing baginya ini, dia telah mengungkap rahasia hatinya yang selama ini enggan diungkap dihadapan orang lain.
Perempuan berbaju hitam itu tertawa ringan.
"Bertemu yang keras, hancurkan dengan tombak tanpa bayangan, gendawa dengan empat tali busur memang susah dilawan, tapi memang ada panah yang telah dilepas dapat balik sendiri" Selama ini, orang persilatan hanya tahu kalau dalam Bu-lim hanya ada tujuh orang ternama berilmu sakti, padahal mereka lupa kalau masih banyak orang tak bernama yang memiliki ilmu silat jauh lebih hebat dari mereka!" Tergerak hati Tian Mong-pek setelah mendengar perkataan itu.
Terdengar perempuan berbaju hitam itu berkata lebih jauh: "Bila kau ikuti aku, aku pasti akan mengajarkan ilmu silat yang tangguh kepadamu, agar kau dapat membalas dendam!" Walaupun langit diselimuti kegelapan malam, walau awan hitam menggelayut di angkasa, akan tetapi ucapan tersebut bagaikan lentera yang menerangi jagad, membuat pikiran dan perasaan Tian Mong-pek jadi terang benderang.
Tapi ingatan lain segera melintas lewat, ujarnya dengan nada berat: "Kau punya dendam dengan ayahku, lebih baik aku kehilangan ke empat anggota badanku dan tak mampu bergerak daripada mempelajari ilmu silat darimu" "Bila aku punya dendam dengan ayahmu, buat apa menawarkan bantuan untukmu?" Tian Mong-pek termenung berapa saat, katanya kemudian: "Tapi tadi kau telah bersikap tidak hormat kepada mendiang ayahku .
. . . .. bila kau memang menginginkan aku belajar silat darimu, buktikan dulu ketulusan hatimu, menyembahlah didepan kuburan ayah" Perkataan itu diucapkan tegas dan tandas, seolah orang lain harus minta bantuannya bila ingin ia belajar silat.
Mula mula perempuan berbaju hitam itu tertegun, kemudian serunya sambil tertawa dingin: "Minta aku menyembah didepan kuburan ayahmu" Hmm, hmm, sekalipun ayahmu yang minta aku .
. . . . . . . . .." "Jangan kurangajar lagi terhadap ayahku" bentak Tian Mong-pek gusar, "kau yang telah bersikap tidak sopan lebih dulu kepada ayahku tadi, mengingat kau ingin bantu aku membalas dendam, kali ini aku tak akan beradu nyawa lagi denganmu, tapi kalau berharap aku menjadi anak murid seseorang yang pernah bersikap kurangajar kepada ayahku, hmmm! Jangan harap" Bicara sampai disitu ia segera balik badan dan menggapai ke arah dua orang kakek yang berdiri dibelakangnya seraya berseru: "Ayoh kita pergi!" Tanpa berpaling lagi, dengan langkah lebar ia beranjak pergi dari situ.
Tiba tiba terdengar helaan napas panjang berkumandang dari arah belakang, seru perempuan itu: "Kembali!" "Mau apa kembali?" "Aku tidak berniat mengajarkan ilmu silat kepadamu, aku hanya ingin membawa kau pergi mencari seseorang yang memiliki ilmu silat jauh diatas kemampuanku, aku.....aaaai! aku paling banter .
. . . .. aaai! Hidup pun sudah tak lama lagi, mana mungkin bisa mengajarkan ilmu silat kepadamu?" Wajahnya yang pucat semakin memucat, pucat karena kepedihan hati yang luar biasa.
Tian Mong-pek memandangnya termangu, ditengah malam yang begitu sendu, tiba tiba muncul perasaan tak tega dihati kecilnya, dia merasa tak tega untuk membangkang perkataan perempuan itu.
"Maksudmu..... kau..... hidupmu sudah tak lama lagi?" ia bertanya agak tertegun.
Dengan sedih perempuan itu mengangguk, tiba tiba senyuman kembali menghiasi bibirnya.
"Sekalipun hidupku sudah tak lama lagi, itupun baru akan kulakukan setelah berhasil menemukan seorang guru yang baik untukmu, bila harapanku telah terkabulkan, mau mati pun tidak masalah" Ucapan terakhir hanya diutarakan dengan bibir bergetar pelan, sama sekali tak kedengaran sedikit suara pun.
Dalam keadaan begini Tian Mong-pek tak tahu haruskah merasa terharu, bersedih hati" Atau tetap merasa mendongkol terhadap sikap kurang sopan perempuan itu dihadapan kuburan ayahnya tadi.
Setelah termenung cukup lama, akhirnya ia berbisik: "Cianpwee .
. . . . . .." Perubahan sebutan ini seketika disambut perempuan itu dengan senyuman yang lembut dan hangat.
Pada saat itulah mendadak perempuan itu melesat maju ke muka dan menggenggam pergelangan tangan Tian Mong-pek.


Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemuda itu mencoba meronta namun gagal, tahu tahu badannya sudah terseret ke balik kegelapan di samping kuburan.
Dalam keadaan terkejut, dua orang kakek beruban itu buru buru ikut berlarian menuju ke balik kegelapan.
"Kenapa . . . . . . .." belum sempat Tian Mong-pek menegur, perempuan itu telah menutup mulutnya sambil berbisik: "Ada orang datang!" Dengan tangan sebelah menutup mulut Tian Mong-pek, tangan yang lain menarik pergelangan tangan pemuda itu, meski tindakannya sedikit kelewatan, namun terhitung sesuatu yang wajar wajar saja.
Maka dengan suara lirih pemuda itu berbisik: "Siapa yang datang" Apakah .
. . . . . .." "Saat ini sudah menjelang tengah malam, lagipula tempat ini terpencil dan jauh dari jalan raya, bisa diduga orang itu bukan dari golongan lurus .
. . . . . . .." Belum selesai ia berkata, kembali terdengar suara derap kaki kuda yang berat berkumandang tiba, sekarang Tian Mong-pek baru merasa amat kagum, ternyata perempuan aneh ini bukan saja memiliki ilmu silat yang tinggi, ketajaman mata serta pendengarannya pun luar biasa.
Terdengar suara derap kaki kuda itu bergema semakin dekat, menyusul kemudian terdengar suara seorang perempuan menghela napas sedih.
Semakin dekat suara derap kaki kuda.
semakin terdengar jelas suara pembicaraannya.
"Apakah fajar segera akan menyingsing" Aaai.....
aku benar-benar merasa berat hati untuk meninggalkan kau, kenapa malam selalu begitu pendek?" Tian Mong-pek segera berkerut kening, pikirnya: "Ternyata mereka adalah sepasang kekasih yang sedang mengadakan pertemuan!" Terdengar suara seorang lelaki menyahut sambil tertawa: "Angin emas hanya sekali bertemu embun kemala dimusim gugur, dan itu sudah merupakan sesuatu yang luar biasa, meski kita tak dapat bertemu setiap malam, toh bukan berarti pertemuan kita hanya terjadi setahun sekali" "Kalau benar benar hanya bertemu setahun sekali, mungkin aku sudah mati lantaran kesal!" suara perempuan itu kedengaran lembut, manja dan penuh cinta, "tahukah kau bagaimana perasaanku selama mendampinginya" Biarpun orang lain menyebut kami sebagai sepasang pendekar emas dan kumala, namun........aaai, siapa pula yang tahu betapa muak dan sebalku terhadapnya!" Mendengar itu, Tian Mong-pek terperanjat, pikirnya: "Ternyata perempuan itu adalah Giok Kwan-im Tan Cia-li!" Tak tahan dia segera melongok keluar, ingin tahu siapa gerangan lelaki itu.
Tiba tiba terdengar perempuan itu berkata lagi: "Kalau tidak salah kau pernah bilang, asal punya empat puluh laksa tahil perak, kita dapat membeli sepasang panah kekasih, aaai.....
sekarang aku benar-benar sedang membutuhkan sepasang panah kekasih, kemudian........." Bicara sampai disitu iapun berhenti secara mendadak, namun Tian Mong-pek merasa amat tercekat, begitu keras jantungnya berdebar seolah mau melompat keluar dari rongga dadanya.
Sambil menahan napas ia mendengarkan lebih jauh, mendengarkan lebih seksama.
Terdengar lelaki itu berkata: "Walaupun aku tahu kalau panah kekasih dapat dibeli, namun belum tahu bagaimana caranya membeli, hanya saja........." Setelah tertawa terkekeh, lanjutnya: "Tapi kalau kau menginginkan panah kekasih, aku bisa menghadiahkan sepasang untukmu!" Untuk kesekian kalinya Tian Mong-pek terkesiap, ia merasa tangan yang sedang menggenggam dirinya ikut gemetar pula.
"Kau mempunyai panah kekasih?" tampaknya Tan Cia-li merasa terperanjat pula.
"Tentu saja!" II "Kalau kau memiliki panah kekasih, cepat berikan sepasang untukku, aku pasti.........
nada suaranya kedengaran makin manis dan manja.
"Pasti kenapa?" tanya lelaki itu sambil tertawa ringan.
II "Malam berikutnya, aku pasti akan menuruti semua kemauanmu....
Kata berikutnya tak terdengar jelas, karena tercampur dengan suara tertawa yang amat jalang.
Saat itu kedua orang tersebut sudah mendekati tanah kubur, bahkan sudah hampir melewatinya.
Tian Mong-pek merasakan hawa amarahnya berkobar, kalau bukan ingin menunggu ucapan berikutnya, kalau bisa dia ingin menghajar ke dua orang itu hingga terjungkal dari atas kuda.
"Cepat katakan, cepat katakan.....
darimana kau peroleh panah kekasih itu" Aku janji akan lebih...........
cepat beritahu kepadaku" Tan Cia-li masih tetap merengek dengan manja.
Dari balik kegelapan malam, terlihat seekor kuda hitam muncul dari balik tanah pekuburan, diatas pelana duduk sepasang laki perempuan, Giok Kwan-im Tan Cia-li duduk bersandar dalam pelukan seorang lelaki bermantel hitam, saat itu dia sedang mendongakkan wajahnya menatap lelaki itu dengan mesra.
Sayang posisi Tian Mong-pek tertutup oleh kuburan sehingga sulit baginya untuk melihat jelas paras muka kedua orang itu.
Terdengar lelaki itu tertawa bangga, sambil membelai bahu Tan Cia-li, katanya: "Kau ingin tahu darimana aku dapatkan sepasang panah kekasih ini" Kalau begitu aku beritahu, panah kekasih itu berasal dari pundak kakek Tian yang dicabut Chin Siu-ang lalu diletakkan diatas meja, ketika itu semua orang sedang dicekam emosi sehingga sama sekali tidak menaruh perhatian ketika aku menyambarnya" Diam diam Tian Mong-pek menghela napas penuh kekecewaan, sementara Tan Cia-li menghela napas pula karena kecewa.
"Apa gunanya kalau Cuma memiliki sepasang panah kekasih?" ujarnya lesu, "bukan saja kita tak tahu bagaimana cara penggunaannya, kita pun sama sekali buta dengan rahasia dibalik benda itu" "Untuk menghadapi orang lain mungkin saja tidak berguna" kata lelaki itu sambil tertawa, "tapi kalau dipakai untuk menghadapi suamimu, lebih dari cukup.
Asal menunggu sampai dia tertidur nyenyak lalu kau hujamkan sepasang panah kekasih ini di ulu hatinya....hahaha.....
manusia mana dikolong langit yang bakal tahu kalau itu hasil perbuatanmu........." Angin malam berhembus lewat, tiba tiba kake berambut putih yang bersembunyi dibalik semak bersin berulang kali, lelaki bermantel hitam itu segera menghentikan perkataannya, sementara Tian Mong-pek segera pasang mata lebih seksama, dia berharap lelaki itu segera berpaling untuk melakukan pemeriksaan.
Siapa tahu orang itu sama sekali tidak menolah, malah sambil menutup wajahnya dengan ujung baju, ia meloncat turun dari pelana kuda dan kabur ke balik kegelapan, dalam waktu sekejap bayangan tubuhnya telah lenyap dikejauhan sana.
Tan Cia-li tidak ambil diam, dia ikut mencemplak kudanya keras keras, diiringi ringkikan panjang, kuda pun berlarian cepat meninggalkan tempat itu.
Sambil membentak, Tian Mong-pek melompat bangun dari tempat persembunyiannya.
"Mau apa kau?" tegur perempuan berbaju hitam itu.
"Lelaki laknat perempuan cabul bersekongkol ingin mencelakai suami sendiri, perbuatan ini sungguh laknat dan bedebah......." "Jadi kau merasa tidak terima dan ingin menegakkan keadilan?" "Benar" Kontan perempuan berbaju hitam itu tertawa dingin.
"Urusan sendiri saja belum beres, masih ingin mencampuri urusan orang lain?" Tian Mong-pek tertegun, katanya kemudian dengan suara berat: "Sekalipun Kim-bin-thian-ong Raja langit berwajah emas Li Koan-eng bukan termasuk manusia baik, akan tetapi diapun bukan manusia jahat yang berhati keji, masa aku harus berpeluk tangan membiarkan dia mati ditangan lelaki laknat dan perempuan cabul itu?" "Kedua orang itu sudah tahu kalau rahasia mereka telah terbongkar, mana berani melanjutkan rencananya untuk melakukan pembunuhan, dalam keadaan begini, mungkin ada orang lain ingin mencelakai orang she-Li itupun, mereka berdua akan melindunginya habis habisan, sebab mereka pasti kuatir kalau hutang itu ditagihkan kepada mereka berdua" Biarpun suaranya tetap lambat, namun nadanya diliputi gejolak emosi yang meluap, dari balik matanya yang bening pun terpancar sinar kebencian yang mendalam.
Untuk sesaat Tian Mong-pek merasa tindak tanduk perempuan aneh ini sama sekali diluar nalar, dia tak tahu orang ini termasuk perempuan lurus yang sesat" Atau perempuan baik yang keji" Dia bahkan merasa antara dirinya dengan perempuan itu seolah terikat satu hubungan yang aneh, sedang setiap ucapannya selalu memiliki daya pikat yang membuat orang susah membantah.
Co0oo Malam selalu lebih pendek daripada pagi hari, matahari telah muncul diufuk timur, diluar kota Hangciu terlihat seorang nelayan yang mengenakan topi anyaman bambu, berjalan perlahan sambil mendorong sebuah kereta gerobak.
Topi anyaman bambu itu dikenakan rendah rendah, biarpun cahaya matahari dimusim semi terasa sejuk, namun paras muka orang itu justru tampak murung dan gelap, kerutan dibalik ujung bibirnya seakan menyimpan banyak sekali kejadian masa silam.
Sorot matanya memandang empat penjuru dengan hambar, seolah tak satupun persoalan dunia yang bisa membangkitkan rasa gembiranya, dia seakan tidak mengenal indahnya kehidupan, atau mungkin dia sudah jemu dengan segala macam kehidupan" Sebaliknya nona berbaju hijau yang berjalan disampingnya justru memiliki sepasang mata yang bening, celana hijaunya yang setengah terjinjing memperlihatkan kaki kecilnya yang putih, membuat termangu siapa pun yang melihatnya.
Dibawah sinar matahari musin semi, ia merasa seluruh tubuhnya dipenuhi tenaga, satu perbedaan yang mencolok dan bertolak belakang dengan kondisi kakek disampingnya.
Dengan langkah cepat ia berjalan dan berjalan terus, mendadak sambil menghentikan langkahnya dan berpaling, ia bertanya: "Ayah, semua barang dagangan sudah habis terjual, kita akan pergi ke mana?" "Pulang" sahut sang ayah tanpa berpaling.
"Kusangka....... kusangka ayah akan berkunjung ke rumah Tian kongcu, bukankah semalam ayah bilang, dirumah Tian kongcu mungkin ada orang yang terluka, karena itu kau baru bersedia menahan rasa mendongkolmu terhadap tua bangka Chin.
Apakah sekarang kita tidak seharusnya menghantar dua ekor ikan segar lagi ke sana" Bukankah ikan segar paling baik untuk orang yang terluka?" Nelayan tua itu termenung berapa saat, tiba tiba ujarnya dengan suara berat: "Tu Kuan, apakah kau sudah melupakan perkataan dari ayahmu" Jangan mencampuri urusan orang lain, Tian kongcu tak lebih hanya salah satu langganan kita yang baik, mengerti?" "Mengerti!" dengan wajah lesu dan sedih Tu Kuan, si nona berbaju hijau itu menundukkan kepalanya.
Nelayan tua itu menghela napas panjang.
"Baguslah kalau sudah tahu" Dia mengangkat wajahnya, dengan mata yang sipit dipandangnya sekejap sinar matahari diufuk timur, kemudian gumamnya: "Cuaca bagus, cuaca bagus, inilah cuaca bagus untuk tangkapan yang banyak" Lalu kepada Tu Kuan yang tertunduk lesu, tambahnya: "Kuan-ji, kalau lelah, naiklah keatas gerobak, biar aku mendorongmu.
Biar aku sudah tua, masih cukup kuat untuk mendorongmu" Tu Kuan kembali menggeleng.
Pada saat itulah terlihat ada sebuah kereta yang tertutup rapat berlarian kencang keluar dari kota, kereta itu dilarikan amat kencang.
Cepat nelayan tua itu berseru: "Kuan-ji cepat menyingkir" Saat itu Tu Kuan sedang tertunduk macam orang kehilangan sukma, sampai kereta hampir menumbuk badannya, ia baru menyingkir dengan gelagapan.
Terdengar suara ringkikan panjang sang kuda, diantara balik tirai terlihat sepasang mata yang jeli dan tajam melongok keluar, ternyata sepasang mata Tian Mong-pek.
Ketika melihat kehadiran Tu Kuan disana, pemuda itu seolah ingin menyapa, namun kereta kuda kembali melintas dengan cepatnya.
Tiba tiba terdengar perempuan berbaju hitam yang duduk bersila disampingnya berseru tertahan: "Dia.....
apakah dia" Kenapa bisa berada disini?" Baru pertama kali ini Tian Mong-pek mendengar perempuan itu bertanya dengan keheranan, tak tahan tanyanya: "Siapa dia?" "Itu tadi, si kakek nelayan, dia seperti seseorang yang dahulu, dahulu sekali pernah kujumpai, hanya aku tak tahu benarkah orang itu atau bukan?" "Kalau menunggang kuda, kita bisa melihat lebih banyak, kalau naek kereta, sudah pasti banyak yang tak jelas" Tian Mong-pek mendongak memandang sekejap wajah perempuan itu, tampak rambutnya telah beruban semua, kerutan wajah yang tidak terlihat karena tertutup kegelapan malam, kini tertera semua dengan amat jelasnya, tubuh yang kurus kering membuat penampilannya kelihatan jauh lebih tua, hanya sepasang matanya yang terang benderang bagaikan dua buah bintang kejora dilangit yang gelap.
Maka pemuda itupun menunduk kembali dan tidak banyak bicara.
Kereta kuda bergerak tiada hentinya, selewat tengah hari pun tak tampak ada tanda tanda untuk berhenti beristirahat, tak tahan Tian Mong-pek berseru: "Cianpwee.....
hujin...... sebenarnya kita akan ke mana?" Mendengar pertanyaan itu, tiba tiba perempuan berbaju hitam itu naik pitam, sambil mengetuk lantai kereta dengan tangannya yang kurus, serunya berulang kali: "Jangan bertanya, tak usah bertanya, ikuti saja aku, tak bakal aku mencelakaimu, tak bakal membuatmu kecewa......." Begitu marah, dadanya yang kurus mulai naik turun, napasnya jadi tersengkal sengkal.
Tian Mong-pek berkerut kening, dia seperti meradang, tapi akhirnya sambil menghembuskan napas panjang katanya: "Baiklah, aku tak akan bertanya lagi!" Rupanya dia teringat kembali dengan perkataan perempuan itu semalam, dia seolah sudah tahu kalau saat hidupnya semakin pendek, karena itu ia ingin menyelesaikan semua tugasnya secepat mungkin.
Untuk sesaat pemuda itu jadi termangu, entah mengapa, tiba tiba saja muncul perasaan sedih dan ibanya terhadap perempuan asing ini.
Cahaya senja telah sirap, malam hari pun menjelang tiba, selewat Kong-sin-kiau, suasana disekeliling tempat itu semakin sepi dan jauh dari keramaian.
Tian Mong-pek berusaha untuk tidak bertanya, namun tidak menutupi rasa keheranannya, ia tak tahu dirinya hendak dibawa ke mana.
Selewat tengah malam, akhirnya sang kusir yang tak sabar, tiba tiba tanyanya: "Didepan sana adalah bukit Mok-kan-san, tak bisa lagi dilalui dengan kereta, hujin, sebenarnya kau hendak ke mana?" "Kalau memang tak bisa dilewati dengan kereta, kau boleh pulang"sahut perempuan itu sambil turun dari kereta.
"Siapa yang boleh pulang?" tanya Tian Mong-pek melengak.
Perempuan itu tertawa. "Tentu saja sang kusir kereta" jarang sekali ia tersenyum, tapi begitu tertawa, terasa kelembutan dan kehangatan terpancar dari balik wajahnya.
Dengan penuh rasa keheranan Tian Mong-pek turun dari kereta, baru akan mengeluarkan uang untuk membayar, perempuan itu telah menyodorkan sekeping emas kepada sang kusir, kemudian menarik pemuda itu dan diajak beranjak pergi.
"Kita sudah sampai tempat tujuan?" tanya Tian Mong-pek dengan kening berkerut.
"Mumpung tengah malam, kita segera lewati bukit Mok-kan-san...." "Melewati bukit Mok-kan-san malam ini juga?" "Kenapa" Kau tak kuat berjalan?" Sambil menggigit bibir Tian Mong-pek siap berang, tapi perempuan itu kembali berkata dengan lembut: "Besok, setibanya di kota An-kit kau bisa beristirahat sejenak, apa salahnya kita bersusah payah dulu sekarang" Langkah kakinya sangat enteng, dalam waktu sekejap ia sudah melesat sejauh puluhan tombak, Tian Mong-pek yang mengintil di belakangnya diam diam menghela napas panjang.
Gara gara dendam kesumat yang tak terbalas, kini dia harus mengikuti seorang wanita asing meninggalkan Hangciu kota kelahirannya, bukan saja kini dia tak tahu akan ke mana, bahkan siapa nama perempuan itupun tidak diketahui, sebenarnya apa yang sedang dilakukan" Untuk apa dia melakukan kesemuanya ini" Bukit Mok-kan-san terlihat tinggi dan curam ditengah kegelapan malam, tanpa mengucapkan sepatah kata pun Tian Mong-pek mengintil di belakang perempuan itu bergerak cepat menelusuri jalan setapak.
Angin malam berhembus sepoi, mendatangnya rasa dingin menggigil, rembulan berbentuk bulan sabit tampak bersinar cerah di angkasa.
Mendadak perempuan itu menghentikan langkahnya sambil berseru: "Aneh, sungguh aneh" Sambil menunjuk rembulan yang bergelayut di angkasa kembali dia berkata: "Apakah ayahmu terkena panah kekasih pada dua hari berselang?" Tian Mong-pek segera mengerti apa yang dimaksudkan, dengan wajah berubah serunya pula: "Aneh, dua hari berselang bukan bulan purnama, kenapa bisa muncul panah kekasih?" Selama ini pikirannya tertutup oleh kesedihan dan rasa dendam yang membara, baru sekarang dia teringat akan masalah ini: "Sejak panah kekasih muncul dalam dunia persilatan, ayah adalah korban pertama yang jatuh bukan pada saat bulan purnama......
tapi anehnya pada hari yang sama, istri kesayangan Mo-siau-to terkena pula panah kekasih diluar kota Hangciu..........." Setelah berhenti sejenak, lanjutnya dengan suara berat: "Dibalik kejadian ini pasti terselip suatu rahasia besar, jangan jangan......
panah kekasih itupun palsu?" "Kehadiran panah kekasih telah menggetarkan kolong langit, tidak aneh bila muncul panah-panah palsu, selain itu, bila ada orang yang dekat dengan ayahmu, dengan membawa dua batang panah kekasih yang diperoleh dari tubuh orang lain, kemudian menggunakan kesempatan disaat ayahmu tak siap.......aaai, seandainya peristiwa itu sama seperti kejadian yang dirancang laki perempuan semalam, bukankah semuanya akan terjadi?" Tian Mong-pek berdiri kaku, gumamnya: "Crang yang dikenal......
orang yang dikenal........" Tiba tiba teriaknya keras: "Siapakah orang itu" Kenapa aku tak dapat menduganya?" " Thian itu maha adil, orang jahat tak akan lolos dari hukuman.....
II ujar perempuan itu sambil memandang tanah perbukitan dikejauhan.
Baru saja perkataan itu selesai diucapkan, tiba tiba dari balik pepohonan ditengah kegelapan malam terdengar seseorang tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha..... Thian maha adil, orang jahat tak akan lolos dari hukuman.....
perkataan hujin memang hebat dan sangat tepat" Suara gelak tertawa itu amat keras dan nyaring hingga menembusi keheningan malam, ucapan orang itupun tajam bagaikan suara genta, membuat gendang telinga terasa bergetar.
Dengan perasaan terperanjat Tian Mong-pek berpaling, tampak dari balik pepohonan berjalan keluar lima orang manusia.
Crang pertama berbaju indah dengan perawakan tinggi besar, diatas kepalanya ia mengenakan sebuah kopiah yang aneh sekali bentuknya, dalam tiga langkah lebar dia telah tiba dihadapan Tian Mong-pek.
Dari nada suara serta langkah kakinya yang begitu cepat, bisa diduga kalau orang ini memiliki ilmu silat yang sangat tinggi.
Dibawah cahaya rembulan, terlihat orang itu memiliki wajah persegi yang sangat lebar dengan telinga besar, mulut lebar dan mata besar, penampilannya gagah dan kuat.
Biarpun Tian Mong-pek sudah lama berdiam di wilayah Kanglam, namun ia tak berhasil menebak asal usul orang ini.
Terlihat orang itu memandang Tian Mong-pek sekejap, kemudian dengan sikap yang sangat hormat menyembah dihadapan perempuan berbaju hitam itu sambil berkata: "Hong Ku-bok menjumpai sam-hujin" Saat ini, bukan saja ia sudah tak tertawa lagi, sikapnya nampak begitu menghormat seakan seorang menteri yang bertemu dengan permaisuri.
Dalam pada itu ke empat lelaki berbaju perlente lainnya sudah berlutut ditempat kejauhan.
"Hong Ku-bok, mau apa kau datang kemari?" terdengar perempuan itu menegur dengan nada ketus.
Hong Ku-bok, lelaki tinggi besar itu perlahan-lahan bangkit berdiri, dengan kepala tetap tertunduk sahutnya: "Berhubung hujin pergi tanpa pamit, bukan saja Cukong merasa amat kuatir, hamba pun ikut menguatirkan kejadian ini" Perempuan berbaju hitam itu segera mendengus dingin.
Kembali Hong Ku-bok berkata sambil tertawa: "Oleh sebab itu cukong perintahkan hamba untuk datang mencari hujin, hamba sekalian tahu akan tabiat hujin yang tak tahan menghadapi keramaian duniawi, oleh sebab itu hamba bersama Thiat-sik sekalian berempat telah menanti hujin di empat puncak bukit sekeliling kota Hangciu......."
"Darimana kalian bisa tahu kalau aku berada di Hangciu?" tegur perempuan itu lagi.
"Hamba sekalian hanya menduga .
. . . . .." Belum habis perkataan itu, tiba tiba perempuan itu mengayunkan telapak tangannya dan menampar wajah orang itu, hardiknya: "Menduga" Kurangajar, kepergian ku pun jadi bahan dugaan kalian?" Biarpun darah membasahi ujung bibir Hong Ku-bok, ia tetap berdiri dengan wajah tersenyum, jangan lagi membantah, menyeka darah dibibir pun tak berani.
"Tertawa! Kau masih bisa tertawa" Apa lagi yang kau tertawakan?" kembali perempuan itu membentak, sebuah tempelengan kembali mendarat di pipi Hong Ku-bok, membuat darah yang meleleh semakin banyak.
Bende Mataram 10 Filosofi Kopi Karya Dewi Dee Lestari Menuntut Balas 21

Cari Blog Ini