Panah Kekasih Karya Gu Long Bagian 9
Tiba tiba terlihat sebuah patung arca yang berdiri ditengah jalan sambil bertolak pinggang, patung itu seolah sedang memandang gusar kearahnya.
Disampingnya terdapat pula sebuah patung bocah, patung bocah yang memandang sambil tertawa, tangan kirinya menuding ke samping, tangan kanannya memegang sebuah papan nama yang bertuliskan: "Jalan didepan buntu, silahkan belok ke kiri." Batu putih dengan huruf hitam, guratan tulisannya amat jelas dan nyata.
Sambil tersenyum Tian Mong-pek menghindari patung patung itu dan meneruskan perjalanannya menuju ke arah depan.
Didepan sana terbentang sebuah sungai dengan arus yang deras, diatas sungai terdapat sebuah jembatan kecil terbuat dari batu granit hitam, tiga huruf besar tertera diatas jembatan: "Lai-ho-kiau" (Jembatan apa daya)
Bab 19. Kebun seratus bunga. Ketika mencoba perhatikan suasana diseputar jembatan Lai-ho-kiau, terasa hawa setan yang menyeramkan menyelimuti tempat itu, coba berganti orang lain, sudah pasti dia akan belok ke kiri sesuai peringatan diatas patung.
Tapi Tian Mong-pek teringat terus dengan perkataan orang berbaju kuning itu, tanpa ragu dia melompat turun dari patung, menyeberangi jembatan Lai-ho-kiau dan menuju ke kota setan yang menyeramkan.
Udara terasa makin dingin, kabut putih menyebar diseg ala penjuru bumi.
Dari balik kabut putih, terkadang muncul satu dua buah patung setan, ada yang berkepala kerbau, ada pula yang berwajah kuda, semua patung itu tampak menakutkan, dilihat dari balik tebalnya kabut, mendatangkan perasaan ngeri bagi siapa pun yang memandang.
Semakin maju ke depan, lapisan kabut tampak makin menebal.
Dengan hati yang teguh Tian Mong-pek melanjutkan perjalanan, dalam waktu singkat dia telah melewati neraka pencabut lidah, neraka minyak mendidih, neraka pencabut hidung, neraka penembus hati dan lain sebagainya.
Tiba-tiba terlihat sebuah patung jaksa berdiri disisi jalan, tangan kirinya memegang pit, sedang tangan kanannya menggenggam pedang, ujung pedangnya menunjuk ke arah sebuah gua disisi kiri jalan.
Tian Mong-pek mencoba memperhatikan tempat itu, tampak suasana dalam gua itu gelap gulita, nyaris susah untuk melihat ke lima jari tangan sendiri, tanpa membuang waktu dia menerobos masuk ke dalam gua.
Angin dingin berhembus kencang didalam gua, menderu dengan tajamnya.
Setelah melewati lubang angin, didepan terbentang dua buah tebing, satu mengarah ke kiri, yang lain mengarah ke kanan.
sebuah patung setan perempuan beranak sembilan berdiri persis ditengah kedua jalan itu, sembilan patung bayi menggelendot disekeliling patung setan tadi, ada yang membawa siepoa, ada pula yang membawa keleningan.
Tian Mong-pek merandek sejenak, karena tak nampak petunjuk jalan, buru-buru dia belok ke jalan sebelah kiri.
Baru berjalan duya langkah, ia merasa udara dalam gua itu makin lama makin panas, makin lama panasnya bagaikan berada dalam tungku api.
Dengan keringat yang bercucuran, tak tahan pemuda itu membuka bajunya, ketika mencoba menengok ke dua sisi dinding tebing, tampak permukaan batu sudah berubah merah kehitaman, seakan setiap saat dapat membara.
Ia merasakan sekujur badannya seolah berada dalam bara api, jilatan hawa panas kian lama kian sukar ditahan, mendadak satu ingatan melintas lewat.
"Aduh celaka!" pekiknya dihati, secepat kilat dia melompat mundur sejauh lima depa.
Pada saat itulah, dari permukaan tanah dimana barusan ia berdiri terjadi satu ledakan keras diikuti menyemburnya bara api, coba ia tidak segera mundur, niscaya tubuhnya sudah tertelan oleh lidah api.
Begitu cepat kobaran api itu menjalar, sebentar kemudian seluruh permukaan tanah sudah dilapisi lautan api.
Cepat Tian Mong-pek membalikkan tubuh sambil kabur keluar, meski begitu, tak urung bajunya tertempel oleh berapa titik bintang api.
Tanpa berpaling lagi, dia kabur keluar dari lorong api itu sebelum bisa menghembuskan napas lega.
Setelah merasa bahwa keadaan makin lama semakin tak beres, pemuda itu sadar kalau dirinya telah salah jalan, begitu berhasil menenangkan hati, diapun mulai melakukan pemeriksaan dengan lebih seksama.
Ternyata dugaannya benar, ditangan seorang bayi yang berada dipunggung patung setan perempuan berputra sembilan, terlihat sebilah pedang pendek sepanjang tujuh inci, ujung pedang menunjuk ke arah lorong bukit sebelah kanan.
Diam diam ia menghela napas, pikirnya: "Sama sekali tak kusangka, lembah kaisar betul-betul berbahaya sekali, setengah langkah pun tak boleh salah langkah, bila salah jalan, niscaya keselamatan jiwanya terancam." Berpikir begitu, tanpa terasa ia merasa semangatnya mengendor separuh bagian.
Belum lagi masuk ke dalam lembah, ternyata keadaannya sudah begitu berbahaya, entah mara bahaya apa lagi yang menantinya didalam lembah nanti" Dengan kemampuannya seorang, rasanya tidak mudah untuk menghadapi semua rintangan.
Dengan tenang ia berdiri didepan patung, memandangn ya berapa saat, makin dipandang ia semakin merasa bahwa semua benda yang berada disekitar sana, diatur begitu hebat, begitu pas, pada hakekatnya bagaikan hasil karya para dewa.
Keanehan patung manusia, kengerian alat jebakan , keseraman suasana, nyaris telah mengubah satu impian buruk menjadi suatu kenyataan.
Entah berapa banyak beaya, pikiran dan tenaga yang telah dikorbankan untuk membangun semua peralatan itu, entah berapa banyak kecerdasan dan rancangan yang harus digunakan untuk menciptakan semuanya.
Bila ingin menggunakan tenaga satu orang untuk berhadapan dengan gabungan kecerdasan, keuangan serta pengalaman yang terbentang didepan mata sekarang, kecuali harus memiliki kepintaran serta ilmu silat yang luar biasa, dituntut pula satu keberanian yang melebihi siapapun.
Setelah berdiri tenang berapa saat, mendadak pemuda itu berpekik nyaring lalu menyusup masuk ke dalam lorong, seketika ia merasa hawa panas yang menyengat hilang lenyap tak berbekas, sebagai gantinya hembusan angin dingin terasa menderu dan menyayat tubuh.
Deruan angin dingin itu terdengar bagaikan suara teriakan ditengah medan pertempuran, membuat lorong gua yang gelap itu terasa makin menakutkan dan diselimuti hawa pembunuhan.
Perasaan Tian Mong-pek memberitahu kepadanya bahwa dalam lorong itu pasti terdapat pula jebakan .
. . . . .. sedari dulu, kebanyakan jago silat berilmu tinggi pasti memiliki insting yang peka.
Justru karena memiliki kepekaan yang luar biasa, mereka baru berhasil menangkan pelbagai pertarungan, lolos dari pelbagai bencana.
Dengan sangat hati-hati Tian Mong-pek menelusuri lorong itu, berjalan sambil memperhatikan gerak gerik disekelilingnya.
Mendadak dari dinding sisi kiri berkumandang suara aneh, diikuti segulung desingan angin tajam membelah angkasa.
Begitu tajam suara desingan itu, seakan ada sebatang tombak ditangan seorang jago lihay sedang menusuk tubuhnya.
Tian Mong-pek segera bergeser berapa depa ke samping, belum sempat berdiri tegak, dari dinding sebelah kanan kembali terdengar suara gemerutuk, dari balik kegelapan lagi lagi muncul sebatang tombak panjang.
Ditengah kegelapan, terlihat setitik cahaya berkelebat lalu hilang lenyap kembali.
Dengan andalkan ketajaman pendengarannya, secara beruntun Tian Mong-pek berhasil menghindari dua bokongan, hatinya tambah heran bercampur terkejut, pikirnya: "Jangan-jangan jalan inipun salah?" Baru saja ingatan itu melintas, dari arah depan lorong tiba tiba muncul dua titik cahaya lentera, cahaya itu bergerak dari kejauhan yang semakin mendekat.
Tampaknya cahaya lentera itu merupakan sorot mata dari sesosok binatang aneh yang terbuat dari kayu dan besi, bukan saja bermata lentera, pada mulutnya tersisip pula sepucuk surat.
Tak tahan Tian Mong-pek ambil surat itu dan membaca isinya: "Atas perintah Kokcu, hutan tombak dapat diabaikan." Biarpun hanya tulisan yang singkat, namun cukup membuat pemuda itu tercengang.
"Begitu hebatkah kokcu lembah kaisar sehingga dia tahu kalau aku berada di sini?" Perlahan ia mendongakkan kepalanya, namun lagi-lagi dia dibuat terkesiap.
Makhluk aneh terbuat dari kayu dan besi itu mendadak menggerakkan matanya sambil memperdengarkan suara ringkikan perlahan, menyusul kemudian kepalanya menerobos ke bawah ketiak pemuda itu.
Mimpi pun Tian Mong-pek tidak menyangka kalau makhluk aneh itu ternyata merupakan makhluk asli, belum sempat berpikir lebih jauh, tubuhnya sudah terangkat dan didudukkan keatas punggungnya.
Makhluk aneh ini meski berbentuk bebal, ternyata gerakan tubuhnya cepat bagaikan angin bahkan amat stabil, ketika menarik tubuhnya sambil mundur, gerak mundurnya sama cepat seperti gerakan disaat maju.
Sementara Tian Mong-pek masih terperanjat, tubuhnya telah berada diluar gua, kini dia baru dapat melihat dengan jelas, ternyata seluruh tubuh makhluk aneh itu berwarna merah darah, bentuknya menyerupai singa tapi bukan singa, mirip kuda tapi bukan kuda.
Waktu itu, si makhluk aneh sudah mengangkat kepalanya sambil melotot kearahnya, tak kuasa Tian Mong-pek melompat turun dan serunya sambil tertawa: "Terima kasih telah dihantar." Makhluk aneh itu manggut-manggut sambil bergerak mundur, tak lama kemudian tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
Diam-diam Tian Mong-pek menghela napas, pikirnya: "Ternyata pemilik lembah kaisar memang manusia luar biasa, kalau tidak, bagaimana mungkin dia mampu memelihara makhluk aneh yang begitu cerdas?" Ketika memandang ke depan, terlihat sebuah bukit berbentuk golok terbentang didepan mata, bebatuan cadas diatas bukit itu berjajar bagai hutan.
Didepan bukit golok, berdiri sebuah patung hakim, hakim itu menggenggam pedang, ujung pedang menunjuk ke arah bukit.
Tian Mong-pek ragu sesaat, tapi dengan cepat dia bergerak menuju keatas bukit.
Tampak sepanjang jalan berjajar patung patung berwajah seram, bergigi taring.
Mendadak, dari balik hutan batu muncul sesosok manusia.
Betapapun besarnya nyali Tian Mong-pek, tak urung bergidik juga hatinya hingga bulu kuduk pada berdiri, tanpa sadar tubuhnya meluncur turun ke bawah bukit.
Saat itulah, dari atas puncak bukit terdengar seseorang tertawa keras sambil mengejek: "Hahaha, manusia bernyali kecil macam begitupun berani menyatroni lembah kaisar?" Kontan Tian Mong-pek merasa emosinya terbakar, teriaknya penuh amarah: "Hmm, kalau penghuni lembah kaisar tak lebih hanya bangsa kurcaci yang mampunya bersembunyi dibalik kegelapan, mengundang aku kemaripun, belum tentu aku mau datang." Sambil mengumpat gusar, dia melongok keatas, ternyata dipuncak bukit golok berdiri seorang kakek bongkok yang berambut putih dan wajah penuh cambang.
Kakek bungkuk itu mendengarkan umpatan itu hingga selesai, setelah itu sahutnya sambil tertawa nyaring: "Hahaha, biarpun nyalimu kecil, ternyata mulutnya sangat tajam, bagus, kemarilah, mari kita berbincang bincang." Tian Mong-pek tertawa dingin.
"Sauya ogah melayani manusia kurcaci yang bisanya hanya menakuti orang dari balik kegelapan, minggir kamu, biarkan aku lewat!" Tiba tiba kakek bungkuk itu membentak keras, suaranya nyaring bagaikan guntur membelah bumi, sambil melompat bangun, bentaknya: "Bocah keparat, kurangajar benar kau ini, sudah tahu siapakah lohu?" Orang ini bukan saja memiliki suara yang keras bagai geledek, perawakan tubuh pun tinggi kekar bagaikan malaikat langit, sangat menggetarkan hati.
Sambil busungkan dada Tian Mong-pek menyongsong kedatangan orang itu, ketika sepasang mata saling beradu, dia tetap melotot tanpa berkedip, bentaknya gusar: "Peduli amat siapa dirimu, cepat minggir." Sambil bertolak pinggang kakek bungkuk itu menatapnya berapa saat, tiba tiba sambil tertawa dan duduk kembali, katanya: "Tidak gampang untuk melepaskan dirimu lewat." "Tidak gampang" Memangnya kau menantang berkelahi?" tegur pemuda itu marah.
"Diantara kita berdua tak punya dendam sakit hati, kenapa harus berkelahi?" "Lantas apa maumu?" tanya Tian Mong-pek tertegun.
"Berani bertaruh denganku?" "Huh, berkelahi saja tidak takut, masa takut untuk bertaruh?" "Hahaha, bagus sekali!" seru kakek bungkuk itu sambil tertawa nyaring, "bila kau menangkan taruhan ini, lohu segera akan melepaskan dirimu, sebaliknya bila lohu yang menang, kau harus segera merangkak balik." "Bagaimana kita bertaruh?" Berkilat sepasang mata kakek bungkuk itu.
"Aku akan mengajukan tiga pertanyaan, bila dapat menjawab, anggap kau yang menang, kalau tak sanggup menjawab, kau akan dianggap kalah." "Baik, kita tetapkan dengan sepatah kata ini." "Bertepuk tangan saja sebagai tanda jadi." Tanpa banyak bicara Tian Mong-pek segera bertepuk tangan dengan kakek itu.
Mendadak kakek bungkuk itu mendongakkan kepalanya dan tertawa nyaring, serunya sambil bertepuk tangan: "Dasar bocah goblok, dasar bocah goblok." "Siapa yang kau anggap sebagai bocah goblok?" teriak Tian Mong-pek gusar.
"Kaulah si bocah goblok itu, masa tidak kau lihat kalau taruhan ini tidak adil" Kalau aku kalah tak bakal berbuat apa apa, sebaliknya kalau kau yang kalah bakal pulang merangkak." "Aku tak bakal kalah." Tukas pemuda itu dingin.
Kakek bungkuk itu agak melengak, tapi kemudian katanya lagi sambil tertawa: "Baiklah, tampaknya kau sangat percaya diri, dengarkan baik baik, pertanyaan pertama adalah: ada berapa banyak kancing dipakaian yang kau kenakan?" Mimik mukanya penuh senyuman, lagaknya amat bangga, karena dia telah memakai pertanyaan yang amat sederhana itu untuk menjatuhkan banyak jago silat, berhasil menangkan setiap taruhan.
Perlu diketahui, pakaian ketat yang dikenakan waktu itu selalu dilengkapi dengan kancing dalam jumlah banyak, dari luar hingga ke dalam bisa dihiasi berpuluh biji kancing, tentu saja tak bakal ada orang yang memperhatikan jumlah kancing dari pakaian yang dikenakan.
Siapa sangka paras muka Tian Mong-pek sama sekali tak berubah, setelah berpikir sejenak segera jawabnya: "Jumlah kancing dipakaianku adalah satu kali lipat dari setengah jumlah kancing yang berada ditubuhmu." Kakek bungkuk itu melongo, tak tahan tanyanya: "Berapa banyak kancing dari setengah yang kau kenakan"' "Ini pertanyaanmu yang ke dua?" tegas Tian Mong-pek.
"Bagus sekali," diam diam kakek bungkuk itu berpikir, "kalau kulanjutkan pertanyaan ini, jawaban bocah itu pasti satu kali lipat dari setengah atau setengah dari satu kali lipat .
. . . . .." Cepat dia ambil keputusan dan tak mau terperangkap oleh pertanyaan itu, jawabnya keras: "Bukan." "Kalau bukan pertanyaan, hitung saja sendiri, tentu akan kau peroleh jawabannya." "Aku tak bakal menghitung, anggap saja kau yang menang." "Apa pertanyaanmu yang kedua?" "Tunggu dulu," seru kakek bungkuk itu sambil goyang tangannya, "biar lohu pikirkan dulu." Sesudah berpikir pulang pergi, tiba-tiba satu ingatan melintas lewat, dengan girang pikirnya: "Aaah, sudah ada, aku akan bertanya kepadanya" "berapa berat isi otaknya?", jika jawabannya adalah satu kali lipat dari setengah isi otaknya, akan kubelah otaknya untuk diperiksa .
. . . .." Makin dibayangkan, dia merasa makin girang, akhirnya tak tahan tertawa terbahak-bahak.
"Kau tampaknya begitu bangga, sudah diperoleh pertanyaannya?" tegur pemuda itu.
"Tentu saja," sahut kakek bungkuk itu tertawa, "aku ingin bertanya, berapa berat otakmu?" "Lebih enteng satu kati dari otakmu." Lagi-lagi kakek bungkuk itu tertegun, teriaknya kemudian penuh amarah: "Memangnya aku harus menimbang berat otakku" Bukan begitu" Bukan begitu?" Saking mendongkol dan gusarnya, nyaris dia tak sanggup berkata kata.
Siapa tahu Tian Mong-pek hanya tersenyum sambil menjawab: "Tak perlu menimbang otakmu pun, aku sudah tahu." Mendongkol, gusar, keheranan bercampur geli berkecamuk dibenak kakek bungkuk itu, teriaknya: "Bagus, aku sendiripun tak tahu berapa berat otakku, darimana kau bisa tahu?" "Kau ingin tahu?" "Betul, aku ingin tahu, otakku .
. . . . . . .." Belum selesai ia bertanya, Tian Mong-pek telah menukas: "otakmu satu kati lebih berat dari otakku." "Kentut busuk!" umpat kakek bungkuk itu gusar.
"Hahaha, kalau tak percaya, belah saja benakmu dan timbang otakmu, tapi kalau sudah percaya, minggir sana, beri aku jalan lewat." Sampai lama sekali kakek bungkuk itu berdiri tertegun, tiba tiba ia tertawa keras: "Hahaha, bagus .
. . . .. bagus . . . . . .." Diiringi gelak tertawanya yang memekak telinga, kakek itu melompat pergi dari sana.
Memandang bayangan punggungnya yang makin menjauh, pikir Tian Mong-pek: "Kakek ini pastilah tokoh pertama yang paling susah dihadapi seperti yang dikatakan cianpwee berbaju kuning.
Tapi menurutku, dia tidak terlalu susah untuk dihadapi."
Ketika berhasil mengalahkan kakek bungkuk yang suka bertaruh itu secara gampang, pemuda ini merasa bangga sekali, ia pun melompat turun dari bukit golok dan melanjutkan perjalanan ke depan.
Setelah berjalan kurang lebih dua tombak, jalanan kembali bercabang dua, ditengah jalan itu terlihat sebuah liang yang cukup dalam, karena tertutup kabut, tidak jelas seberapa dalam liang tersebut.
sebuah patung hakim bercambang berdiri menengadah disisi liang, tangan sebelah membelai jenggot, tangan yang lain memegang pedang, tapi ujung pedang justru menunjuk ke bawah tanah.
"Masa aku harus melompat masuk ke dalam liang itu?" pikir Tian Mong-pek tertegun.
Mendadak dari bawah liang berkumandang suara pekikan setan yang amat nyaring.
Tian Mong-pek segera merentangkan lengannya sambil melompat masuk ke dalam liang itu.
Dari balik kegelapan segera terdengar seseorang membentak nyaring: "Bocah muda, cukup pemberani, cukup penurut." "Siapa disitu?" bentak Tian Mong-pek, dia mencoba periksa sekeliling tempat itu, tapi dalam liang dipenuhi patung manusia yang dililit patung ular, sama sekali tak tampak bayangan manusia.
Hembusan angin di dasar liang itu sangat kencang, lapisan kabut lebih tebal, empat penjuru dipenuhi bayangan setan, dia tak tahu bayangan setan itu beneran atau hanya bayangan manusia, pemuda ini mulai menyesal, mengapa tidak menyediakan korek api dalam sakunya.
Yang paling dia kuatirkan adalah bila salah jalan, melakukan perjalanan dalam kegelapan semacam ini sudah pasti membawa resiko besar, sekalipun ada petunjuk jalan, dalam kegelapan begini, mana mungkin ia dapat membacanya" Kalau sampai salah langkah, apa jadinya nanti?" Berpikir sampai disitu, tanpa terasa keringat dingin mulai membasahi tangannya.
Mendadak . . . . . .. "Kraaak!" diiringi suara lirih, patung-patung di empat penjuru mulai bergerak.
sebuah patung tiba tiba berlompatan menuju ke hadapan Tian Mong-pek, patung ini dibuat dari batu gips, tingginya delapan depa, berambut abu-abu, alis mata abu-abu, wajah, hidung, mata, pakaian, semuanya berwarna abu-abu .
. . . . . .. Walaupun berada dibalik kegelapan, namun siapa pun pasti tahu kalau patung itu bukan manusia hidup, tapi "dia" justru bertingkah laku seperti orang hidup, gerakan tubuhnya ringan dan lincah, sama sekali tidak menimbulkan suara.
Dengan kening berkerut, Tian Mong-pek membentak nyaring: "Setan iblis, mundur kau!" Ditengah bentakan nyaring, sepasang tangannya diayunkan berbareng melepaskan satu pukulan.
Deruan angin serangan yang dahsyat seketika terlontar keluar, jika "dia" adalah sebuah patung, niscaya tubuhnya akan hancur berantakan termakan serangan itu.
Siapa tahu, ketika angin pukulan itu tiba dihadapan patung tersebut, mendadak patung itu menggetarkan tubuhnya, angin serangan yang maha dahsyat itupun bagaikan kerbau tanah liat tercebur ke laut, hilang lenyap tak berbekas.
Peluh dingin semakin membasahi tubuh Tian Mong-pek, kembali bentaknya: "Sebetulnya kau ini manusia atau setan?" Patung itu tertawa terkekeh, sahutnya sepatah demi sepatah kata: "Hahaha, menurutmu, memangnya aku mirip manusia?" Nada suaranya tinggi, tajam, melengking.
Memang sama sekali tak membawa hawa manusia.
"Hmm, sekalipun kau setan, aku orang she-Tian tetap akan berduel melawanmu." "Hahaha, tak perlu duel lagi, kalau kau berani meraba hidungku, akan kuanggap kau adalah seorang enghiong hohan." Suara tertawanya yang aneh menyeramkan, bikin hati bergidik, bulu kuduk bangun berdiri.
Tertegun juga hati Tian Mong-pek, dia tak menyangka kalau patung itu menantangnya untuk meraba hidungnya, biar nyalinya sekeras baja pun, tak urung pemuda ini dibuat serba salah .
. . . .. "Berani tidak" Berani tidak?" ejek patung itu sambil tertawa aneh.
Tiba-tiba satu ingatan melintas lewat, seolah menyadari akan sesuatu, pikir Tian Mong-pek: "Ternyata lagi-lagi si tua bungkuk yang bikin ulah." Maka sahutnya lantang: "Siapa bilang tak berani?" "Ayoh, dicoba!" mendadak patung itu melejit ke tengah udara.
Tian Mong-pek tak mau kalah, tiba tiba dia bersalto di tengah udara, dengan kepala dibawah kaki diatas, ia menyelinap ke belakang patung itu dan sahutnya sambil tertawa keras: "Aku sudah datang!" Ternyata dugaannya tidak salah, benar saja, dibelakang patung itu berdiri si kakek bungkuk, sepuluh jari tangannya yang tajam bagai kaitan menancap dalam-dalam di pinggang patung tinggi besar itu.
Si kakek memang memiliki kekuatan lengan yang luar biasa, bukan hal yang sulit baginya untuk mengangkat patung itu.
Biarpun dia membuat patung itu dapat bergerak dan melompat, namun tak pernah membiarkan patung tadi menyentuh tanah, itulah sebabnya sewaktu bergerak, sama sekali tidak menimbulkan suara.
Karena hal itu pula, angin pukulan yang dilancarkan Tian Mong-pek berhasil dia punahkan.
Kini, setelah rahasia penyamarannya terbongkar, kakek bungkuk itu tertawa terbahak-bahak, sambil melepaskan patung tersebut, tegurnya: "Bocah muda, ternyata kau memang bernyali, cara inipun gagal membuat dirimu ketakutan." "Sudah, tak usah banyak bicara, ayoh bawa kemari!" "Apanya yang bawa kemari?" tanya si kakek keheranan.
"Kepalamu!" sambil berkata, pemuda itu mulai meraba kepala kakek itu.
"Hei, mau apa kau?" teriak kakek bungkuk itu dengan wajah berubah.
"Mau apa" Tentu saja meraba hidungmu!" jawab Tian Mong-pek sambil tertawa.
"Siapa yang berani meraba hidungku"' teriak kakek bungkuk itu semakin marah.
"Bukankah kau sendiri yang berkata begitu" Yaa sudahlah, bila kau ingin menjilat ludah sendiri, anggap saja tak pernah bicara, akupun tak ingin meraba hidungmu lagi!" Sambil mengebaskan ujung bajunya, tanpa melirik lagi, diiringi tertawa dingin pemuda itu beranjak pergi.
"Berhenti!" tiba tiba kakek bungkuk itu membentak nyaring.
Sepasang lengannya direntangkan, rambutnya berdiri semua bagaikan landak, bentaknya penuh amarah: "Siapa bilang aku adalah orang yang suka menjilat ludah sendiri?" "Kalau memang tak ingin menjadi orang yang menjilat ludah sendiri, ulurkan kepalamu, biar kuraba hidungmu." sahut Tian Mong-pek ketus.
"Lohu suruh kau meraba hidung patung itu." "Hmm, tadi, patung itu yang berbicara" Atau kau yang mengatakan?" ejek Tian Mong-pek sambil tertawa dingin.
Sampai lama sekali kakek bungkuk itu termangu, tiba tiba ia menghela napas panjang, sekujur tubuhnya terasa lemas.
"Betul, lohu yang mengatakan." sahutnya kemudian.
Sambil tersenyum, Tian Mong-pek segera menggapai kearahnya: "Kemari, cepat kemari!" Kakek bungkuk itu mundur berulang kali, sambil menjura berulang kali, pintanya: "Saudara cilik, asal kau tidak meraba hidung lohu, urusan yang lain pasti akan kukabulkan." "Kan bukan aku yang minta diraba." Kembali dia melanjutkan perjalanan.
Tiba tiba pandangan matanya jadi kabur, kakek bungkuk itu sudah melayang turun dihadapannya dan membujuk sambil tertawa paksa: "Lohu punya sebilah pedang bagus, bagaimana kalau kuhadiahkan untukmu?" "Siapa yang pingin pedangmu?" Kakek bungkuk itu gelengkan kepalanya, kembali ia membujuk sambil tertawa: "Kalau begitu, bagaimana kalau lohu temani kau masuk ke dalam lembah?" "Siapa yang butuh ditemani?" Kakek bungkuk itu segera menghela napas panjang, keluhnya: "Masa kau bersikeras ingin meraba hidungku" Masa kau paksa lohu jadi orang yang jilat ludah sendiri" Aaai, saudara cilik, jangan kelewat kejanu" Mendengar ucapan itu, Tian Mong-pek jadi kegelian, tak tahan ia tertawa terbahak.
"Hahaha, bila kau adalah orang yang terbiasa menjilat ludah sendiri, kalau bukan sudah turun tangan membunuhku, pasti telah pergi dari sini, masa masih bertahan ditempat ini?" "Ah, jadi kau percaya kalau aku bukan orang yang biasa menjilat ludah sendiri?" "Tentu saja bukan!" Kakek bungkuk itu segera mendongakkan kepala dan tertawa terbahak.
Tiba tiba ia berhenti tertawa, dengan alis mata berkenyi t dan menghela napas panjang, ujarnya: "Mending kau raba saja hidungku ini!" "Kenapa?" tanya Tian Mong-pek tercengang.
Kembali kakek bungkuk itu menghela napas.
"Selama hidup, lohu selalu menepati setiap ucapan yang kukatakan, tapi kali ini kau tidak menyalahkan aku, ini membuat lohu merasa tak tenang, II kecuali kau .
. . . . .. "Kalau begitu kuharap kau menjawab satu pertanyaanku, anggap saja aku telah meraba hidungmu.
Bagaimana?" tukas Tian Mong-pek.
"Sungguh?" teriak kakek bungkuk itu kegirangan, "saudara cilik, kau benar-benar orang baik, apapun pertanyaanmu, asal lohu tahu, pasti akan kujawab." "Ternyata orang ini berjiwa terbuka, ramah, bahkan sifat kekanak kanakannya belum hilang." Pikir Tian Mong-pek, "aku percaya pertanyaanku pasti akan dijawab dengan jujur." Maka dengan wajah serius, tanyanya: "Tahukah siapa majikan panah kekasih" Apa kegunaan dan kehebatan dari senjata rahasia beracun ini?" "Apa itu panah kekasih?" kakek bungkuk itu balik bertanya dengan kening berkerut, "lohu sama sekali tak tahu." "Bukankah kau adalah anggota lembah kaisar" Masa tidak tahu senjata rahasia beracun macam apa panah kekasih itu?" "Memang apa hubungan panah kekasih dengan lembah kaisar?" tanya kakek bungkuk itu keheranan.
Tian Mong-pek agak tertegun, katanya kemudian dengan nada dalam: "Apakah kau yakin, semua orang yang berada dalam lembah kaisar tak ada hubungannya dengan panah kekasih?" Kakek bungkuk itu menggeleng.
"Sebagian besar penghuni lembah kaisar adalah makhluk aneh, kejadian aneh seperti apapun sanggup mereka lakukan, lohu tidak tahu, juga tak yakin." Tian Mong-pek tertegun berapa saat, serunya sambil menjura: "Terima kasih banyak!" Dia percaya orang tua ini tak bakal berbohong, karenanya ia segera balik badan siap pergi.
Siapa tahu kakek bungkuk itu kembali berseru: "Tunggu sebentar!" Sewaktu Tian Mong-pek berpaling, ia saksikan kakek itu berjalan maju dua langkah kemudian membuka lantai yang berada dibawah patung orang jahat dililit ular batu itu.
"Kraaak!" dari balik dinding liang muncul sebuah pintu rahasia.
"Lewat sini lebih dekat, kau masuk lewat sini saja!" seru kakek bungkuk itu.
Tanpa ragu kembali Tian Mong-pek menjura mengucapkan terima kasih, kemudian cepat menyusup masuk ke balik pintu.
Dibalik pintu rahasia merupakan sebuah lorong yang sangat panjang, kedua sisi dinding tergantung lentera tembaga.
"Saudara cilik, perbesar nyalimu, pergilah segera!" terdengar kakek bungkuk itu berteriak mengingatkan.
Menyusul kemudian..... "Kraak!" pintu rahasia itu kembali tertutup rapat.
Tian Mong-pek sama sekali tak berpaling, sambil melanjutkan langkahnya dia berpikir: "Orang tua ini minta aku perbesar nyali, jangan-jangan didepan sana bakal terjadi sesuatu yang menakutkan?" Tapi ia sudah mengambil keputusan untuk mempercayai orang tua itu, apapun yang bakal terjadi dalam lorong rahasia, tak akan membuatnya menyesal, semisal terjadi sesuatu pun, dia akan menganggapnya sebagai nasib sendiri.
Makin ke depan lorong itu semakin menurun ke bawah, tidak jelas berapa panjang lorong rahasia itu, ketika Tian Mong-pek coba memeriksa sekitar situ, terlihat lentera yang menerangi kedua dinding lorong tampak bersih dan rapi, sudah jelas tempat itu seringkali dilalui orang.
Pemuda ini memang tak ingin menyusup masuk secara diam diam, maka dia sengaja memperberat langkah kakinya.
Langkah berat itu seketika menimbulkan suara pantulan, mendadak dari tempat kejauhan terdengar seseorang menegur: "Siapa yang berani sembarangan menelusuri lorong rahasia ini?" "Aku!" jawab Tian Mong-pek lantang.
Tampaknya orang itu agak tertegun, berapa saat kemudian ia baru berteriak gusar: "Siapa kau" Memangnya kau tidak tahu, lorong rahasia ini khusus digunakan untuk siapa?" "Aku tidak tahu!" Tampaknya orang itu sekali lagi tertegun, sampai lama sekali tak kedengaran suaranya.
Setelah hening sampai lama sekali, suara teriakan itu kembali berkumandang: "Peduli siapapun dirimu, akan kuhitung sampai angka ke tiga, kalau tetap tidak kembali, jangan salahkan kalau nona mu bertindak keji." "Hahaha, ternyata kau seorang wanita, kenapa caramu bicara persis seperti jeritan kuntilanak yang sedang menangis, betul betul bikin hati muak." "Baik, tertawalah, akan kulihat sampai kapan kau bisa tertawa?" Biarpun sedang tertawa keras, Tian Mong-pek tak berani bertindak gegabah, diam-diam ia mempersiapkan diri menghadapi segala yang tak diinginkan.
Tiba tiba terdengar orang itu kembali membentak nyaring: "Siau-hong, gigit orang itu!" "Hahaha, Siau-hong" Ternyata kau bernama Siau-hong?" kembali Tian Mong-pek mengejek sambil tertawa keras, "tak kusangka kaupun pintar menggigit orang." Baru selesai dia bicara, dari depan sana muncul dua buah lentera besar.
Begitu lampu bersinar, Tian Mong-pek segera tahu kalau makhluk aneh menyerupai singa itu akan muncul kembali.
Betul saja, belum habis dia berpikir, diiringi teriakan marah, makhluk aneh itu sudah muncul dihadapannya.
Dibawah sinar lentera, dapat dilihat kalau makhluk aneh itu memiliki bulu panjang bagaikan jilatan api, semuanya berdiri tegak.
Lidahnya menyerupai lidah ular berbisa, ekornya seperti tiang bendera, sepasang mata yang besar mengawasi Tian Mong-pek dengan amat garang.
Tian Mong-pek tahu, makhluk aneh itu dapat bergerak cepat bagai hembusan angin, bisa diduga kekuatannya luar biasa, ia tak berani bertindak gegabah, sambil menghimpun tenaga dalamnya, dia bersiap siapa menghadapi segala kemungkinan.
Siapa tahu, setelah mengawasi Tian Mong-pek berapa saat, makhluk aneh itu manggut-manggut berulang kali, bagaikan bertemu orang yang dikenal, bulu serta ekornya segera menunduk rata.
"Hahaha, Siau-hong, ternyata kau kenal dengan aku?" seru Tian Mong-pek tertawa geli.
Makhluk aneh itu kembali manggut-manggut, lalu mundur bagaikan hembusan angin.
Tian Mong-pek tidak berayal lagi, dia ikut bergerak ke depan, diujung lorong terdapat lagi sebuah pintu tembaga yang setengah terbuka.
Dari luar pintu, terdengar seseorang bertanya dengan suara kasar: "Siau-hong, sudah kau gigit mampus orang itu?" II "Jangan lagi digigit hingga mampus, sambung seorang yang lain dengan nada lembut, "biarpun dia seorang jago lihay kelas satu pun, jangan harap bisa menahan serangan Siau-hong." Baru selesai pembicaraan itu, Tian Mong-pek sudah menerjang keluar dari pintu.
Diluar pintu merupakan sebuah kebun bunga yang amat luas, kebun itu dikelilingi tanah perbuatan, aneka bunga tumbuh dalam kebun itu, bukan saja indah bahkan menyiarkan bau harum semerbak.
Berada dalam kebun itu, pemuda itu merasa dirinya seolah terperosok ditengah samudra bunga.
sebuah jalanan kecil beralas batu granit putih membentang jauh ke depan,
Sebuah jalanan kecil beralas batu granit putih membentang jauh ke depan, diantara pagar yang terbuat dari anyaman bambu, berdiri belasan orang gadis berbaju merah, ada yang membawa cangkul, ada yang membawa tempat air, mereka sedang sibuk merapikan dan mengairi tanaman.
Seorang perempuan tinggi besar, beralis tebal, bermata besar, bentuknya menyerupai malaikat raksasa, sedang berjongkok sambil membelai bulu harus Siau-hong, makhluk aneh itu.
Ketika menyaksikan kemunculan Tian Mong-pek, kawanan gadis berbaju merah itu serentak menjerit kaget, begitu pula dengan pemuda itu, ia termangu berapa saat.
Kini, dia telah berganti pakaian dengan mengenakan baju serba hitam, biarpun terbuat dari bahan sederhana, namun potongannya pas sekali dengan bentuk tubuhnya, menampilkan semua bagian badannya yang penuh vitalitas.
Apalagi sepasang matanya yang menyimpan daya tarik, dimana tatapan matanya bergeser, seketika membuat puluhan gadis berbaju merah itu jadi terpesona, jadi mabuk kepayang.
Untuk berapa saat, puluhan pasang mata menatap wajahnya tanpa berkedip.
Tian Mong-pek jadi keheranan, pikirnya: "Masa wajahku aneh?" Mendadak terdengar suara bentakan nyaring, perempuan tinggi besar itu melompat bangun sambil membentak: "Hei, siapa kau" Datang dari mana?" "Aku datang dari tempatku muncul." Sahut Tian Mong-pek ketus.
"Hahaha, bagus sekali, bocah busuk, kau berani bicara kasar didepan aku Hoa Toa-koh?" Tian Mong-pek tidak menggubris teriakan itu, ia berpaling ke arah seorang nona berbaju merah yang berada disampingnya, lalu tanyanya sambil tersenyum: "Tolong tanya nona, apakah tempat ini lmebah kaisar?" Melihat senyuman pemuda itu, merah padam selembar pipi si nona, sahutnya dengan kepala tertunduk: "Betul, tempat ini adalah lembah kaisar." Dalam pada itu, kawanan gadis lainnya telah maju mengerubung, ada yang tertawa cekikikan, ada pula yang bertanya: "Ei, siapa yang kau cari?" Gugup juga Tian Mong-pek setelah dikerumuni begitu banyak gadis cantik, tanpa sadar ia mundur dua langkah.
Ditengah suara merdu gadis gadis itu, mendadak terde ngar bentakan keras bagai guntur membelah bumi bergema membelah angkasa, Hoa Toa-koh merentangkan sepasang lengannya, membuat empat nona yang berada disisi kiri kanannya segera jatuh terjungkal.
Suara tertawa seketika terhenti.
Sambil bertolak pinggang, bentak Hoa Toa-koh penuh amarah: "Dasar budak busuk, memangnya kalian belum pernah melihat lelaki" Enyah semuanya!" Tampaknya kawanan gadis berbaju merah itu takut sekali terhadap Hoa Toa-koh, begitu mendapat bentakan, dengan wajah pucat pias, seperti kawanan burung yang ketakutan, langsung melarikan diri ke empat penjuru.
"Berhenti!" kembali Hoa Toa-koh menghardik.
Betul saja, kawanan nona berbaju merah itu seketika berhenti.
"Susun barisan seratus bunga, kurung bajingan ini, tanpa perintah, siapapun dilarang bicara, apalagi sembarangan bergerak!" Kawanan gadis berbaju merah itu menyahut, serentak mereka memencarkan diri membentuk sebuah barisan, tapi tak tahan mereka melirik juga wajah pemuda itu.
Dengan mata melotot besar seperti mata macan, tegur Hoa Toa-koh: "Selama belasan tahun terakhir, kebun bunga ini tak pernah dikunjungi lelaki muda, tahukah kau karena apa?" Seakan baru sadar, pikir Tian Mong-pek: "Ternyata kebun ini tak pernah dikunjungi lelaki muda, tak aneh jika kawanan gadis itu memandang aku bagaikan melihat makhluk aneh." Sementara dia masih berpikir, kembali Hoa Toa-koh membentak: "Sudah kau dengar perkataan lo-nio?" "Kau bertanya mengapa kebun bunga ini tak pernah dikunjungi lelaki muda bukan?" ucap Tian Mong-pek ketus.
"Benar." Tian Mong-pek tertawa dingin.
"Tentu saja lelaki tak mau memasuki kebun yang hanya dihuni kaum wanita, apanya yang aneh." sahutnya.
"Kentut," Hoa Toa-koh makin gusar, "tak sedikit lelaki bau yang ingin masuk kemari, tapi mereka tak berani, sebab setiap lelaki yang berani datang kemari, tak satupun bisa kembali dalam keadaan hidup." "Benarkah begitu?" ejek Tian Mong-pek sambil tertawa dingin.
Begitu selesai bicara, dia sudah melambung ke udara setinggi tiga tombak, lalu setelah berjumpalitan berapa kali, dia sudah meluncur turun di belakang bunga mawar, gerakan tubuhnya cepat dan gesit bagaikan seekor burung.
"Bocah keparat, hebat kamu, jangan kabur!" teriak Hoa Toa-koh gusar.
Terdengar Tian Mong-pek tertawa keras dari kejauhan: "Hahaha, lelaki sejati enggan bertarung melawan kaum wanita, sauya tak sudi berkelahi dengan kaum wanita macam kalian." "Kau anggap sanggup kabur dari sini?" dengus Hoa Toa-koh sambil tertawa dingin.
Sambil memberi tanda, teriaknya: "Budak sekalian, cepat kejar, kalau sampai ia berhasil kabur dan ketahuan nona, siapa yang mau tanggung jawab?" Kawanan gadis berbaju merah itu menyahut, serentak mereka melakukan pengejaran.
Terlihat Siau-hong, si makhluk aneh itu tetap mendekam ditanah bagaikan seekor kucing manja, sama sekali tak bergerak.
Melihat itu, Hoa Toa-koh segera bertepuk tangan sambil berseru: "Siau-hong, cepat kejar orang itu, gigit dia!" Tapi siau-hong sama sekali tak bergerak, dia tetap mendekam manja.
"Baik," umpat Hoa Toa-koh gusar, "lihat saja siapa yang akan memberi makan dirimu besok." Dengan perasaan apa boleh buat, terpaksa dia melakukan pengejaran seorang diri.
Tian Mong-pek berlarian menelusuri jalan kecil ditengah kebun, sudah sekian lama dia berlari, namun yang terlihat hanya lautan bunga yang tak berujung, nyaris tak terlihat ujung dari kebun itu.
"Masa kebun ini begitu luas?" pikirnya dengan perasaan kaget, cepat dia menentukan arah kemudian melanjutkan larinya.
Siapa tahu, meskipun sudah berlarian cukup lama, namun yang terlihat tetap lautan bunga.
Tian Mong-pek segera menghentikan langkahnya dan berpikir: "Aah benar, sudah pasti kerumunan bunga ini ada yang tak beres!" Baru dia berpikir sampai disitu, dari kejauhan sudah terdengar teriakan dari Hoa Toa-koh: "Kebun bunga ini diatur menurut peta Sian-thian-tay-khek-toh, kau anggap bisa kabur dari sini?" Tian Mong-pek tercekat, tiba tiba ia mendengar ada suara ujung baju terhembus angin berhembus dari belakang tubuhnya, sewaktu berpaling, ia jumpai seorang nona berbaju merah telah muncul dihadapannya.
Gadis itu bersanggul tinggi, dengan tatapan lembut dia awasi wajah Tian Mong-pek berapa kejap, lalu teriaknya keras: "Lebih baik segera menyerahkan diri, kalau tidak nona akan mencabut nyawamu." Walaupun ucapannya galak, namun mimik muka serta nada suaranya tidak sebanding.
"Jadi nona ingin bertarung melawan diriku?" tanya Tian Mong-pek sambil tersenyum.
"Walaupun aku tak ingin bertarung melawanmu, tapi.....
lihat serangan!" Cangkul bunga dalam genggamannya segera dihantamkan keatas kepala Tian Mong-pek.
Dengan cekatan pemuda itu putar badan, meloloskan diri dari ancaman tersebut.
"Aku tak bisa berlembut lembut dalam melancarkan serangan, kau harus berhati hati." Kembali nona berbaju merah itu berbisik.
Tubuhnya berputar, cangkul bunga dalam genggamannya menciptakan selapis cahaya tajam.
"Aku akan berhati hati." Sahut Tian Mong-pek, dia hanya menghindar tanpa membalas.
Sambil menghela napas, kembali gadis berbaju merah itu berkata: "Jurus seranganku ini hasil ciptaan kokcu kami, perubah annya banyak dan cepat, bila kau tidak berusaha membalas, maka .
. . . . .." Belum selesai ia berkata, mendadak terdengar seseorang membentak nyaring: "Siau-lan, apakah bajingan itu berada disana?" Berubah paras muka nona berbaju merah itu, begitu melihat kemunculan Hoa Toa-koh diiringi empat orang nona berbaju merah, bergegas dia membentak nyaring dan melancarkan serangan bertubi tubi.
Terdengar Hoa Toa-koh membentak nyaring: "Mawar, botan kalian berempat segera maju bersama, Toa-koh akan mengawasi dari tepi arena." Ke empat orang nona berbaju merah itu serentak menggerakkan paculnya dan maju bersama melancarkan serangan.
Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam waktu singkat, lima batang cangkul mengerubuti Tian Mong-pek secara bersama.
Sungguh hebat serangan gabungan dari lima orang nona berbaju merah yang namanya memakai nama bunga itu, jurus serangan mereka dahsyat, dibalik mencongkel, membabat, menggaet, memukul, terselip jurus serangan yang mematikan.
Bukan saja jurus serangannya hebat, kerja sama mereka pun luar biasa.
Puluhan jurus telah berlalu, hingga kini Tian Mong-pek masih belum melancarkan serangan balasan, pikirnya sambil menghela napas: "Keampuhan lembah kaisar memang tak boleh dipandang ringan, hanya cukup berapa orang gadis pun, mereka sudah cukup menjadi musuh paling tangguh yang pernah kuhadapi." Terdengar Hoa Toa-koh berseru sambil tertawa keras: "Budak sekalian, ayoh perketat serangan, keparat itu sudah tak berdaya melancarkan serangan balasan, tiga gebrakan kemudian, bajingan ini .
. . . . . .." "Tiga gebrakan kemudian, aku akan membuat senjata kalian berlima terlepas dari genggaman!" sela Tian Mong-pek ketus.
Ditengah ucapan, tiba tiba dia melepaskan satu pukulan.
Jurus serangan ini memiliki perubahan yang tak terhingga, walaupun hanya satu jurus, namun cukup membuat ke lima cangkul itu kalut tak karuan.
"Jurus kedua!" kembali Tian Mong-pek menghardik.
Tangan kanannya menggiring ke samping lalu membalik ke atas, tahu tahu ia sudah mencengkeram cangkul milik si bunga Botan dan digunakan untuk menghantam senjata dari si bunga Mawar.
"Traaang!" ditengah dentingan nyaring, tangan kiri berputar balik, mencengkeram cangkul milik Tang-cing (Holly = sejenis tumbuhan berdaun hijau) yang berada dibelakang dan membetotnya keatas.
Tang-cing tak mampu menahan senjatanya, cangkul itu terlepas dan menghantam pergelangan tangan Tu-kuan (Azalea = sejenis tanaman dengan bunga aneka warna), begitu pergelangannya kesemutan, senjata milik tu-kuan pun terlepas.
"Jurus ke tiga!" kembali Tian Mong-pek berseru.
Ditengah bentakan, ia gunakan kesempatan itu memegang pergelangan tangan Siau-lan, si bunga anggrek, kemudian tangan kanannya menyodok keluar, membentur ujung cangkul milik botan dan mawar.
Sebetulnya pergelangan tangan kedua orang itu sudah kesemutan karena benturan tadi, kini, setelah dibentur Tian Mong-pek dengan gerakan perlahan, senjata mereka berdua seketika terlepas dan jatuh ke tanah.
"Kau pun lepas tangan!" kata Tian Mong-pek tersenyum.
Baru saja dia akan memperkencang tangannya, cangkul ditangan Siau-lan sudah terjatuh ke tanah, jatuh dengan begitu saja.
Tian Mong-pek tertegun, ia berpaling, tampak Siau-lan dengan wajah jengah sedang menatapnya dengan termangu.
Tergerak hati Tian Mong-pek, cepat dia kendorkan jari tangannya, tapi tangan Siau-lan masih terangkat dihadapannya, seolah menunggu disentuh pemuda itu.
Untuk sesaat ke lima orang nona berbaju merah itu hanya berdiri mematung, sorot mata mereka hanya mengawasi pemuda itu dengan pandangan bodoh.
Tian Mong-pek jadi gelagapan sendiri, untuk sesaat diapun tak tahu apa yang harus dilakukan.
Sementara itu Hoa Toa-koh sudah dibuat ketakutan setengah mati, mendadak dia kabur ke luar sambil menjerit: "Celaka, ada lelaki bau berilmu tinggi!" Langkah kakinya bebal, tubuhnya berat, ternyata walaupun dia menjabat seorang congkoan dalam kebun seratus bunga, namun sama sekali tak mengerti ilmu silat, itulah sebabnya ia tak berani turun tangan.
Begitu mendengar jeritan itu, botan, tong-cing, mawar dan tu-kuan segera ikut melarikan diri terbirit-birit.
Hanya Siau-lan seorang masih berdiri tak bergerak, tapi wajahnya telah berubah, dengan suara gemetar bisiknya: "Kau....
cepat kau kabur..... kalau tidak . . . . . .." "Aku sedang mencari majikan tempat ini, kenapa harus kabur?" jawab Tian Mong-pek.
"Majikan tempat ini sangat membenci lelaki, siapa pun dilarang menginjakkan kaki dalam kebun seratus bunga, lebih baik cepatlah kabur!" "Justru kau yang harus kabur .
. . . .. kata pemuda itu. Siau-lan menggeleng. "Aku tidak masalah, tapi .
. . . . . .." Belum selesai ia berkata, dari kejauhan sudah terdengar seseorang membentak nyaring: "Siapa yang berani bikin onar disini?" Paras muka Siau-lan semakin berubah, bisiknya gemetar: "Kau tak mau kabur?" Sambil tersenyum Tian Mong-pek menggeleng.
Akhirnya sambil menghentakkkan kakinya karena kesal, seru Siau-lan: "Kau.....
kau....." Saking paniknya, air mata jatuh bercucuran, mendadak ia balik tubuh dan kabur dari situ.
Bab 20. Lembah Kaisar. Tian Mong-pek memandang hingga tubuh yang lemah lembut dan gemetar itu lenyap dari balik pepohonan, kemudian ia baru berpaling dan berdiri tenang disana.
Terdengar Hoa Toa-koh berteriak dari kejauhan: "Itu, berada disana, entah apakah sudah kabur dari situ?" "Aku masih menunggu disini." Jawab Tian Mong-pek dengan suara dalam.
Biarpun suaranya rendah tapi penuh tenaga, sepatah kata demi sepatah tersiar hingga tempat kejauhan.
Tampak sesosok bayangan manusia meluncur datang dengan kecepatan tinggi, orang itu mengenakan kopiah emas, berbaju ringkas dan mengenakan sebuah ikat pinggang terbuat dari emas.
Dia..... tak lain adalah Siau Hui-uh! Sebenarnya Tian Mong-pek sudah menduga, dia bakal bertemu Siau Hui-uh ditempat itu, tapi dia tak menyangka kalau pertemuan itu akan terjadi tiba tiba, terlebih tak menyangka akan bertemu ditempat tersebut.
Sebaliknya Siau Hui-uh pun tidak menyangka bakal bertemu Tian Mong-pek disitu, matanya terbelalak lebar, tubuhnya berdiri kaku, untuk sesaat tak mampu berbuat apa-apa.
Dalam pada itu Hoa Toa-koh telah menuding kearah Tian Mong-pek sambil mengumpat: "Bocah busuk itulah orangnya, dia berani menerjang masuk kebun bunga, II bahkan menjatuhkan senjata milik Siau-lan sekalian .
. . . .. Setelah bicara setengah harian, dia baru sadar kalau mimik muka Siau Hui-uh tidak beres.
Biar dia lebih bodoh, biar dia tak tahu perasaan cinta, kini dia sudah merasa kalau antara nonanya dengan si bocah busuk pasti mempunyai suatu hubungan khusus.
Itulah sebabnya ucapan yang sampai setengah jalan tidak dilanjutkan lagi, biarpun masih menuding pemuda itu, tapi matanya memandang Siau Hui-uh dengan mendelong, mulutnya ternganga, dia hanya berdiri macam orang bodoh.
Sampai lama kemudian, Siau Hui-uh baru menegur: "Kenapa kau muncul disini?" sedemikian lirih suara itu, nyaris hanya dia sendiri yang mendengar, tapi Tian Mong-pek mendengar dengan jelas sekali.
"Aku . . . . . .." tiba tiba ia teringat dendam kesumat yang membara didadanya, cepat dia telan kembali ucapan semula dan ganti membentak: "Memangnya aku tak boleh kemari?" Siau Hui-uh tertegun.
"Siapa bilang kau tak boleh kemari, aku toh hanya bertanya." "Bertanya apa" Buat apa banyak bertanya?" Tian Mong-pek tertawa dingin.
Sekali lagi Siau Hui-uh tertegun, perasaan sedih terlintas diwajahnya, tapi dia paksakan diri untuk tertawa.
"Baiklah, aku tak akan bertanya, aku .
. . . . . .." "Tidak bertanya pun tak boleh." Teriak pemuda itu, dia memang berniat cari gara gara, tak heran sikap maupun ucapannya sama sekali tak pakai aturan.
Siau Hui-uh semakin terbelalak, serunya keheranan: "Kau .
. . . . . kau . . . . . . " Dia sangka Tian Mong-pek sedang sakit, tapi diapun enggan menanyakan hal ini.
Hoa Toa-koh yang berdiri disisinya kontan berteriak: "Nona, bocah busuk ini pasti sudah terserang penyakit sinting, tak heran ucapannya ngaco belo." "Enyah kau dari sini!" bentak Siau Hui-uh sambil menarik muka, "siapa suruh kau cerewet disini?" Hoa Toa-koh adalah orang yang paling setia, selama hid up ia tak pernah ditegur apalagi dimaki, tak heran perempuan itu tertegun sesaat kemudian sambil menangis terisak, kabur dari tempat itu.
Perlahan Siau Hui-uh berpaling, ditatapnya pemuda itu dengan lembut, lalu ujarnya: "Apakah kau ada masalah" Katakanlah padaku masalahmu .
. . . .." Tatapan mata yang lembut dan sendu, ucapan yang lembut dan hangat, membuat Tian Mong-pek menghela napas dalam hati, namun wajahnya tetap kaku, sedingin salju.
Kembali Siau Hui-uh menghela napas panjang.
"Bicaralah!" dia memohon.
"Aku hanya bisa bicara setelah bertemu ayahmu nanti!" jawab Tian Mong-pek ketus.
"Ayahku" Mau apa kau bertemu dia orang tua?" tanya Siau Hui-uh keheranan.
"Tentu saja ada urusan." Il "Boleh saja bila kau ingin bertemu dia orang tua, kata Siau Hui-uh setelah menghela napas, "tapi sayang....
aaai, sayang dia orang tua sedang menutup diri, tak mau bertemu siapapun." "Ajak saja aku ke tempat ia menutup diri, aku pasti dapat memanggilnya keluar." "Kau suruh aku melakukan perbuatan apapun pasti akan kulakukan, tapi soal II I C C C C I C C Gadis itu menggeleng berulang kali, katanya: "Bagaimanapun aku tak bisa memenuhi keinginanmu." "Keberatanpun aku tetap akan menjumpainya!" teriak Tian Mong-pek lantang.
Dada Siau Hui-uh mulai berombak, setelah tersengkal berapa saat, tiba tiba teriaknya: "Sudah berulang kali aku mengalah, kenapa setiap kali kau berusaha menganiaya aku, kau....
kau..... kau . . . . . .." Sesungguhnya gadis ini bersifat temperamen, saat ini rasa sedih, tertekan, marah bercampur aduk, sambil membanting kopiah emas yang dikenakan, untuk sesaat dia tak tahu harus bicara apa.
"Hmm, aku hanya seorang manusia kasar, mana berani menganiaya Siau kiongcu?" sinding pemuda itu dingin.
"Tian Mong-pek!" jerit Siau Hui-uh, "Kau sangka.....
kau sangka aku..... aku takut padamu?" Biarpun berusaha menahan lelehan air matanya, tak urung menetes juga butira air mata dipipinya.
Tian Mong-pek segera melengos, dia tak tega menyaksikan kesedihan gadis itu, ujarnya dingin: "Bukankah tempat ini merupakan wilayah kekuasaan Siau kiongcu" Masa kau takut kepadaku?" "Baik, tempat ini memang merupakan wilayah kekuasaanku, aku....
aku akan . . . . . . .." Tiba tiba dia mengayunkan kepalannya, menonjok tubuh pemuda itu.
Diam-diam Tian Mong-pek menggigit bibir menahan rasa sedih dihatinya, teriaknya keras: "Jadi Siau kiongcu ingin berkelahi" Baik, akan kulayani tantanganmu." Dia angkat tangannya melakukan tangkisan.
Siau Hui-uh merasa hatinya sakit bagaikan diiris-iris, dengan wajah basah oleh air mata, secara beruntun dia melancarkan tiga serangan berantai, meski dibuat sakit perasaan hatinya, serangan tetap dilakukan tanpa kekuatan penuh.
Siapa sangka ilmu silat yang dimiliki Tian Mong-pek sudah bukan seperti dulu lagi, selewat tiga jurus, ia telah berhasil menutup semua gerak serangan dari Siau Hui-uh, hanya saja perasaan hatinya sekarang hanya ada kesedihan, tiada api amarah barang sedikitpun, karena itu serangannya sama sekali tak ganas.
Tiba tiba Siau Hui-uh menarik kembali serangannya, dengan air mata bercucuran katanya: "Tak heran kau datang menganiaya aku, ternyata kau....
kau telah belajar II ilmu silat yang hebat diluaran .
. . . . . .. "Siau kiongcu terlalu memuji." "Biarpun ilmu silatmu lebih tinggi pun aku tidak takut." Jerit Siau Hui-uh.
Sementara mengucapkan berapa patah kata, secara beruntun dia kembali melancarkan empat buah pukulan berantai, semua serangan menggunakan jurus yang aneh dengan perubahan luar biasa, membuat putih bunga di empat penjuru jatuh berguguran.
Ditengah putih bunga yang beterbangan, tiba-tiba terlihat sesosok bayangan manusia meluncur tiba, gerakan tubuh orang itu lebih ringan dari guguran bunga.
Belum sampai melayang turun, orang itu sudah berseru sambil tertawa: "Hui-uh, kata Hoa Toa-koh, kau telah kedatangan tamu agung, kenapa kalian malah saling bertempur?" Begitu mendengar ucapan tersebut, tiba tiba Siau Hui-uh menutupi wajah sendiri dengan tangan, lalu menangis tersedu-sedu.
Tak ada jago didunia ini yang tiba tiba menghentikan serangannya, bahkan menutup wajah dengan tangan sendiri.
Padahal saat itu Tian Mong-pek sedang melepaskan satu serangan, tampaknya sulit bagi pemuda itu untuk menarik kembali ancamannya.
Disaat yang kritis itulah terdengar seseorang menjerit kaget, sesosok bayangan manusia langsung meluncur dan menghantam lengan pemuda itu.
Menggunakan tenaga tangkisan, Tian Mong-pek menarik kembali serangannya.
Saat itulah Siau Hui-uh sudah menubruk ke dalam pelukan orang itu dan menangis tersedu-seduh.
"Bibi, aku . . . . .. aku . . . . .. sedih sekali . . . . . . .." Orang itu adalah seorang wanita berusia empat puluh tahunan, tinggi badan lima depa, meski wajahnya tampak sayu namun lamat lamat masih terlihat kecantikannya dimasa muda dulu.
Sambil menepuk bahu Siau Hui-uh, hiburnya: "Hui-uh, sayang, jangan menangis." Tiba tiba ia berpaling ke arah Tian Mong-pek dan bentaknya: "Kau benar-benar ingin melukainya?" Sejujurnya, Tian Mong-pek tidak berniat untuk melukai Siau Hui-uh, dia hanya tidak menyangka kalau perempuan itu akan menarik kembali serangannya disaat ia menyerang sehingga untuk berapa saat tak mampu menarik kembali ancamannya.
Walaupun begitu, dia tak sampai mengutarakan keluar kejadian yang sebenarnya.
Dengan pandangan tenang, ditatapnya perempuan setengah umur itu sekejap, kemudian katanya dingin: "Kalau benar kenapa" Kalau tidak benar kenapa pula?" "Bagus sekali." Tiba tiba sekulum senyuman tersungging di bibir perempuan berjubah putih itu.
Dia serahkan Siau Hui-uh yang sedang menangis tersedu itu ke tangan Hoa Toa-koh, kemudian baru putar badan memandang Tian Mong-pek.
Pemuda itu balas menatapnya, tampak perempuan itu dengan senyuman dikulum mengawasi dirinya tak berkedip.
Tian Mong-pek segera tahu kalau perempuan berjubah putih itu pasti memiliki ilmu silat yang tinggi, bahkan pasti akan mengajaknya bertempur.
Perlu diketahui, berkelahi dengan orang terbagi menjadi empat tingkatan.
Tingkatan ke empat yakni tingkat terendah, terdiri dari orang yang bertarung tanpa memandang apapun, pada hakekatnya orang semacam ini hanya bisa menyerang secara ngawur tanpa pedulikan keadaan lawan.
Tingkat ke tiga merupakan orang yang hanya memperhatikan wajah musuh, atau bagian yang bakal diserang, orang semacam ini biasanya tak akan sadar bila musuh telah menyarangkan pukulannya.
Orang sejenis ini hanya tahu menyerang, tak tahu bertahan, bila tak bisa menangkan musuh dengan kekuatan, bisa dipastikan dia bakal kalah.
Tingkat ke dua merupakan orang yang mengawasi terus gerakan sepasang kepalan lawan, hanya sayangnya mereka hanya tering at kalau musuh punya kepalan untuk menyerang, tapi lupa kalau sepasang kaki pun bisa menyarangkan serangan mematikan.
Tingkat pertama merupakan orang yang mengawasi sepasang bahu lawan, sebab baik lawan akan menyerang dengan kepalan atau tendangan, bahunya pasti akan bergerak lebih dulu.
Orang semacam ini tahu menggunakan tehnik dengan tenang mengatasi gerak, pandai melihat situasi, termasuk jago silat berilmu tinggi.
Tapi jagoan yang benar benar lihay, pasti akan mengawasi sepasang mata lawan, bukan saja dari tatapan mata lawan bisa menilai tinggi rendahnya kepandaian lawan, bahkan bisa menggunakan tatapan matanya untuk memecah nyali musuh, membuat lawan keder sebelum bertempur.
Kini, Tian Mong-pek serta perempuan berjubah putih itu saling berhadapan tanpa bergerak, sorot mata mereka berdua saling menatap, bening dan bersinar bagaikan bintang kejora, sama sekali tak berkedip.
Mereka berdua sadar, begitu dirinya berkedip, pihak lawan segera akan manfaatkan kesempatan itu untuk menyerang, begitu kehilangan posisi, musuh pasti akan meneter habis-habisan.
Sekonyong-konyong selembar daun hay-tong sebesar cawan melayang turun dari udara, meluncur dengan sangat cepat, tapi begitu tiba ditengah arena dimana Tian Mong-pek dan perempuan berbaju putih itu berdiri, tahu-tahu gerakannya terhenti.
Sorot mata kedua orang jago itu seketika berkedip, dan pada saat yang bersamaan, mereka berdua telah melancarkan serangan.
"Blaaam!" diiringi benturan keras, tubuh kedua orang itu segera berpisah, daun yang melayang turun tadipun terhajar rebuk jadi debu dan lenyap terhembus angin.
Tian Mong-pek tidak ragu lagi, secepat kilat dia melancarkan tujuh buah serangan.
Sepasang tangannya, sebentar mengepal, sebentar merenggang, semua serangan dilancarkan dengan kekuatan yang mampu membelah bumi, tapi bergerak enteng dan lincah, ketat berlapis lapis.
Perlu diketahui, aliran silat yang digunakan saat ini merupakan aliran martil langit, sedangkan ilmu pukulan yang digunakan diperoleh dari manusia berbaju kuning, karena itu satu keras satu lembut, satu positip satu negatip, gabungan kedua kekuatan itu menimbulkan daya penghancur yang mengerikan.
selewat tujuh jurus, perasaan kaget bercampur heran terlintas di wajah perempuan berjubah putih itu.
Diantara guguran bunga, terlihat dua sosok bayangan manusia saling menyambar saling menyerang.
Dari balik suara isak tangis, terdengar angin pukulan tajam yang membelah angkasa.
Perempuan berjubah putih itu bukan saja sempurna tenaga dalamnya, jurus serangan yang digunakan pun sakti dan aneh, serangan yang mencakup kekuatan positip maupun negatip, ilmu pukulan itu sangat cocok untuk mematahkan ancaman lawan.
Tapi tiga gebrakan kemudian, jurus serangan yang digunakan Tian Mong-pek bukan saja berhasil menembusi pertahanan lawan, bahkan secara persis menutup semua gerak serangannya hingga punah dengan begitu saja.
Puluhan gebrakan kemudian, perempuan berbaju putih itu tetap gagal menempati posisi diatas angin, bukan hanya perempuan itu yang kaget, Siau Hui-uh sendiripun ikut tercengang, dengan wajah basah oleh air mata, dia mengikuti jalannya pertarungan dengan tertegun, untuk sesaat dia lupa untuk melerai.
Kini semua bunga yang tumbuh di empat penjuru telah berguguran, porak poranda oleh angin pukulan kedua orang itu.
Entah sejak kapan, dari balik bebungahan terlihat berdiri kakek bungkuk itu, dengan mata yang tajam dia mengikuti gerakan jurus serangan yang digunakan Tian Mong-pek.
Puluhan gebrakan kembali lewat, mendadak perempuan berjubah putih itu bersuit nyaring, sepasang kepalannya berubah jadi cakar, bagaikan iblis wanita dari langit tingkat sembilan, dia menerkam dengan ganasnya.
Jurus serangan yang digunakan makin lama berubah semakin aneh dan sakti, sepuluh jari tangannya bagaikan sepuluh bilah pedang tajam melancarkan belasan jurus ganas.
Tiba tiba Tian Mong-pek memperlambat gerakan tubuhnya, kemudian lambat laun ia berhenti tak bergerak, dengan andalkan jurus pukulan yang rapat dia lindungi seluruh badan, biarpun ancaman dari perempuan itu ibarat hujan badai, tak setitik air pun berhasil menembusi pertahanannya.
Sepasang mata kakek bungkuk itu terbelalak makin lebar, mimik mukanya tampak dicekam rasa heran dan kaget yang bukan kepalang.
Mendadak Tian Mong-pek melangkah maju, tangan kanannya membabat ke bawah, begitu serangan itu dilancarkan, anak muda itu ibarat naga sakti yang terbang di langit, susah diraba arah sasarannya.
Perempuan berjubah putih itu berpekik nyaring, dia mundur berapa langkah.
saat itulah kakek bungkuk itu melompat masuk ke tengah arena, satu gulungan angin pukulan memisahkan kedua orang itu.
"Berhenti semua!" bentaknya.
Cepat Tian Mong-pek tarik kembali serangannya sambil mundur, sedang perempuan berjubah putih itu menerjang maju sambil menjerit: "Lo-liok, tak ada urusan denganmu, cepat minggir." Kakek bungkuk itu merentangkan sepasang tangannya, dengan mata mendelik serunya: "Siapa bilang tak ada urusannya denganku" Akulah yang menghantar bocah ini masuk, masa aku tak boleh ikut campur?"
"Siapa bilang tak ada urusannya denganku" Akulah yang menghantar bocah ini masuk, masa aku tak boleh ikut campur?" Perempuan berjubah putih itu tertegun, tampamya dia agak jeri terhadap kakek ini, sambil mundur berapa langkah, ujarnya tergagap: "Kau yang menghantar masuk orang ini?" "Liok-siok," seru Siau Hui-uh pula keheranan, "kau kenal dengan dia?" "Memang dikolong langit hanya kau seorang yang kenal dia?" kakek bungkuk itu balik bertanya.
Merah padam selembar wajah Siau Hui-uh, tersipu-sipu dia tundukkan kepalanya.
Sambil menatap Tian Mong-pek, kembali kakek bungkuk itu berkata: "Anak muda, lohu sengaja menghantarmu kemari, sebetulnya berniat agar kau II menemani keponakanku ke dua .
. . . . .. "Kau suruh dia menemani Hui-uh?" sela perempuan berjubah putih itu tercengang.
Kakek bungkuk itu tidak menggubris, lanjutnya: "Biarpun wataknya agak jelek, sesungguhnya dia sangat baik, itulah sebabnya aku suruh kau bicara terus terang, tak mungkin dia tak pedulikan dirimu." "Oh, ternyata begitu." Batin Tian Mong-pek seolah baru sadar.
Terdengar kakek bungkuk itu berkata lagi: "Tapi aku lihat nyalimu kelewat besar, masa dalam lembah kaisar berani sembarangan berkelahi dengan orang?" "Peduli berada dimana pun, asal ada orang berniat aniaya aku dan menantang aku berkelahi, aku tak pernah akan mundur barang selangkah pun." Sahut Tian Mong-pek gusar.
Berkilat mata kakek bungkuk itu, serunya sambil tersenyum: "Bagus sekali, memang anak muda harus berhati keras, tapi lohu ingin bertanya .
. . . . . . .." Sambil menarik muka, tegurnya keras: "Siapa yang mengajarkan ilmu silat kepadamu?" "Bukan urusanmu." Biarpun kakek ini berwajah lembut, suaranya justru lebih keras dari geledek, tapi Tian Mong-pek tidak merasa takut, malah suara jawabannya jauh lebih keras.
Kakek bungkuk itu tertegun.
ll "Kau kenal dengan Hui-uh, seharusnya kenal juga dengan lohu.....
"Siapa bilang aku kenal dia?" potong Tian Mong-pek gusar.
Tampak sekujur tubuh Siau Hui-uh gemetar keras, serunya dengan suara terbata: `Km1 .
. . . U mujamt . . . . .W Setelah menghentakkan kakinya berulang kali, tiba tiba ia balik badan dan lari meninggalkan tempat itu.
Dengan gemas perempuan berbaju putih itu melotot sekejap kearah Tian Mong-pek, lalu melotot pula kearah kakek bungkuk itu, kemudian ia baru mengejar Siau Hui-uh.
Dengan napas tersengkal, Hoa Toa-koh menyusul dari belakang.
Dalam pada itu si kakek bungkuk dengan kepalan digenggam kencang kembali membentak keras: "Bocah muda, berani benar kau menganiaya anggota keluarga Siau, lohu akan suruh kau merasakan bagaimana kalau disiksa." Tanpa berubah paras mukanya, jawab Tian Mong-pek ketus: "Mengingat kau telah menunjukkan jalan untukku, biarlah aku mengalah tiga jurus untukmu." "Bocah keparat, kau berani mengalah tiga jurus untukku?" seru kakek bungkuk itu gusar, "semua orang anggota persilatan akan ketakutan setengah mati setelah melihat lohu marah, apa yang kau andalkan sehingga tidak takut?" "Memangnya kau memiliki empat buah tangan?" "Kentut, siapa bilang aku bertangan empat?" "Kau maupun aku hanya memiliki dua tangan yang sama, kenapa aku harus takut?" Kakek bungkuk itu menatapnya berapa saat, tiba tiba ia tertawa tergelak.
"Hahaha, bocah muda, kau memang bernyali, aku ingin berkenalan denganmu." Satu ingatan segera melintas dalam benak Tian Mong-pek, serunya lantang: "Tentu saja aku bernyali, berjalan maju dua puluh langkah dengan mata terpejam, kepala tertunduk pun aku berani, masa urusan lain tidak berani?" Kakek bungkuk itu tertegun, tapi segera jawabnya sambil tertawa keras: "Hahaha, anak kecil berusia tiga tahun pun berani melakukan hal seperti itu, apanya yang aneh dengan ucapanmu itu?" "Huh, kalau tidak berani yaa sudahlah, buat apa menakuti orang dengan ucapan membual," kata pemuda itu dingin, "sepintas lalu, caraku ini memang kelihatan gampang, padahal .
. . . .. hehehe, bahaya sekali." Kembali kakek bungkuk itu tertegun, tapi sejenak kemudian ia sudah tertawa keras.
"Bocah muda, kau banyak akal bulus, pasti sedang merencanakan sesuatu, hahaha, lohu tak bakal masuk perangkap!" Tian Mong-pek mendongakkan kepala sambil tertawa dingin tiada hentinya, ia tidak lagi menengok kearah lawannya.
Melihat sikap pemuda itu, kakek bungkuk itu jadi naik pitam, teriaknya gusar: "Kau sangka aku benar-benar tak berani?" "Hmm, hmmm .
. . .
Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
. . .." Kakek bungkuk itu segera berpikir: "Sekalipun harus pejamkan mata, aku tak akan kuatir kena bokongan, akan kulihat permainan busuk apa lagi yang hendak dilakukan bocah busuk ini .
. . . . . .." Berpikir sampai disitu, dia tidak ragu lagi, setelah bersalto di udara, dengan kepala dibawah, tangan menggantikan kaki, dia mulai bergerak maju sambil berseru: "Lihatlah anak muda, satu, dua .
. . . . .." Benar saja, selangkah demi selangkah dia berjalan maju.
Tian Mong-pek menyapu sekejap sekeliling tempat itu, mendadak ia bergeser ke samping kemudian melesat pergi.
Sementara itu si kakek bungkuk masih maju terus sampai dua puluh langkah, kemudian baru melompat bangun dan serunya seraya tertawa keras: "Anak muda, kau kalah .
. . . . . .." Belum habis dia berkata, mendadak dijumpai kalau bocah muda itu sudah lenyap.
Oo0oo Tian Mong-pek tak berani menelusuri jalan beralas batu granit, dia menerobos maju melewati bunga dan pepohonan.
Dalam tujuh, delapan lompatan kemudian, didepan sana terlihat sederet dinding pagar dengan atap bangunan dibaliknya.
Baru saja dia akan melompati pagar dinding, tiba tiba dari bawah pagar terdengar seseorang memanggil: Il "Kongcu .
. . . . . .. Dengan hati terkejut Tian Mong-pek berpaling, ia jumpai Siau-lan sedang bersembunyi disudut pagar sambil menggapai kearahnya, dari balik matanya yang bening, terlintas perasaan gelisah, takut dan cinta yang kental.
Karena tak tega, pemuda itu menghampirinya sambil bertanya: "Ada apa?" "Kau hendak ke mana?" tanya Siau-lan sambil menatap bodoh.
"Mencari tempat kokcu kalian menutup diri." Berubah paras muka Siau-lan.
"Aaai, biarpun kau....
kau berhasil menemukan, belum tentu dia orang tua bersedia menjumpaimu, lagipula .
. . . . .. mungkin malah akan mendatangkan bencana kematian." Lalu dengan nada kuatir dan penuh perhatian, pintanya: "Aku mohon, jangan ke sana!" "Jangan kuatir," hibur Tian Mong-pek sambil tersenyum, "aku membawa tanda pengenal dari kokcu kalian, dia pasti akan menjumpai aku." "Kalau memang membawa tanda pengenal, kenapa tidak kau tunjukkan" Mereka pasti akan membawamu ke sana, buat apa harus banyak urusan?" kata Siau-lan keheranan.
Tian Mong-pek menghela napas sambil menggeleng.
"Ada banyak masalah yang tak mungkin kau pahami." Katanya.
Siau-lan manggut-manggut, tapi setelah termenung sesaat kembali ujarnya sambil menggeleng: "Tidak, aku paham, sewaktu masih kecil dulu, aku pernah mendengar orang bercerita, sewaktu Han Sim pergi menjumpai Lau Pang, dia pun enggan menunjukkan tanda pengenal pemberian Thio Liang, kau.....
kau sama seperti Han Sim, hanya dikarenakan gengsi dan harga diri bukan?" Ditatapnya pemuda itu dengan penuh rasa kagum.
Tak tahan Tian Mong-pek tertawa geli.
"Hahaha, mereka adalah enghiong sejati, masa aku bisa dibandingkan mereka?" "Tidak, kalian semua sama." Tegas Siau-lan, tiba tiba tubuhnya gemetar keras.
Dia genggam tangan pemuda itu erat-erat, lalu katanya: "Penjaga dalam lembah kaisar memang tak banyak, tapi setiap jalan yang dilalui bisa menyampaikan berita." Kelihatannya dia kelewat tegang, maka setelah mengatur napasnya yang terengah, lanjutnya: "Asal kau tidak menginjak jalanan berlapis batu granit, lurus saja ke depan, kau akan melihat sebuah bangunan kamar yang paling indah .
. . . . . . .." Bersinar sepasang mata Tian Mong-pek, tak tahan selanya: "Disitukah kokcu kalian menutup diri?" Siau-lan menengok sekejap sekeliling tempat itu, lalu dengan tegang mengangguk.
Tiba-tiba Tian Mong-pek menghela napas panjang, ujarnya: "Mengapa kau beritahukan rahasia itu kepadaku?" "Karena kau seorang enghiong, tentu saja aku harus membantu." "Kau.....
aai, terima kasih banyak." "Sekarang, pergilah cepat!" bisik Siau-lan sambil lepaskan genggamannya.
Dengan wajah lebih teguh, gadis itu ulapkan tangannya berulang kali, tambahnya: "Asal kau selalu teringat akan diriku, lain waktu pasti akan berjumpa lagi." Diam-diam Tian Mong-pek menghela napas, tidak berani berpaling lagi, ia tinggalkan tempat itu dengan cepat.
Ia merasa, walaupun gadis itu polos bahkan bersifat kekanak-kanakan, namun hatinya jujur dan baik.
Sebaliknya Siau-lan meski merasa sedih menyaksikan bayangan punggung pemuda itu lenyap dikejauhan, namun diapun merasa riang, sebab dia telah membantu seorang enghiong dan melakukan perbuatan yang berharga.
Ia merasa dirinya sudah lebih dewasa, lebih teguh hatinya daripada dulu.....
Mendadak terdengar suara bentakan nyaring, kakek bungkuk itu sudah muncul sambil berteriak: "Siau-lan, apakah kau berjaga terus disini" Melihat pemuda itu lewat dari tempat ini?" "Tidakl" sahut Siau-lan menggeleng.
"Bocah keparat, lohu akan berjaga jaga disini." Seru kakek bungkuk itu kemudian sambil tertawa.
Dalam pada itu Tian Mong-pek telah melompati dinding pagar, kini dihadapannya terbentang sebuah tempat yang indah, sungai kecil dengan air yang jernih, bebatuan yang teratur rapi, aneka bunga dan pohon yang terawat indah, hakekatnya tempat itu menyerupai surga dunia.
"Wah, sungguh indah, tak salah kalau lembah kaisar cocok untuk tempat tinggal seorang kaisar." Demikian Tian Mong-pek berpikir.
Ia tak berani melalui jalan berlapis granit, karena itu hanya bergerak diatas tanah berumput, setelah berjalan sesaat, diam diam ia mengeluh.
Ternyata bangunan yang berada disekitar tempat itu indah dan megah, bukan cara yang mudah untuk menentukan bangunan mana yang terindah diantara semua bangunan itu.
Bersembunyi dibalik pepohonan, dia mencoba memeriksa sekeliling tempat itu.
Terlihat sebuah bangunan indah berada ditepi jalan, didirikan ditengah pepohonan bambu yang rimbun.
"Tempat ini begitu sepi dan hening, sudah pasti bangunan ini yang dimaksud." Pikir Tian Mong-pek lagi.
Dengan gerakan ringan dia menyusup ke dalam hutan bambu, tapi baru bergerak dua langkah, mendadak dari balik bangunan terdengar seseorang menegur: "Siapa yang datang" Cepat kemari, temani aku berbincang bincang." Tian Mong-pek merasa terkesiap, secepat kilat dia mundur dari situ, pikirnya: "Sungguh berbahaya!" Baru saja dia memasuki hutan bambu, orang dalam bangunan telah mendengar suara langkahnya, ini membuktikan kalau ketajaman pendengaran orang itu sungguh luar biasa.
Kembali ia berjalan berapa saat, kini muncul sebuah bangunan loteng ditepi tanah perbukitan, bangunan yang begitu indah tak kalah dengan sebuah istana kaisar.
"Sudah pasti bangunan ini." Diam diam Tian Mong-pek menghembuskan napas lega.
Kali ini dia lebih berhati-hati, bukan saja melangkah perlahan, bersuara pun tak berani.
Didepan bangunan loteng itu merupakan sebuah hutan pohon siong, dia melewati hutan itu, melewati pagar bambu dan terlihatlah sebuah serambi panjang yang berliku liku tembus kearah sebuah pintu.
Dengan penuh keyakinan Tian Mong-pek mendekati pintu itu, membukanya dan menerobos masuk ke dalam.
Dibalik pintu merupakan sebuah kebun bunga, suasana amat hening tak nampak sesosok bayangan manusiapun, dalam keadaan begini, Tian Mong-pek tak berminat menikmati semua kemewahan itu, kembali dia membuka sebuah pintu dan masuk ke dalam.
Dia menembusi berapa buah bilik tanpa penghuni, makin ke dalam, ruangan makin sedikit tapi perabot dan dekorasinya makin indah dan megah, biar istana kaisar pun belum tentu bisa menangkan keindahan tempat ini.
Sewaktu memasuki ruangan ke lima, ia saksikan ke empat dinding ruangan itu tergantung cermin tembaga yang berkilat, disisi cermin terdapat sebuah pintu lagi yang ditutup dengan tirai terbuat dari untaian mutiara.
Ditengah ruangan tersedia semeja hidangan dan arak, terdapat dua buah bangku, dua perangkat sumpit dan cawan, hidanganpun masih mengepul panas, jelas belum lama ditata diatas meja.
Sementara Tian Mong-pek masih terkejut bercampur keheranan, "Kraaak!" pintu yang baru saja dilalui menutup dengan sendirinya, tertutup oleh selapis cermin tembaga yang besar.
Sekarang pemuda itu baru tahu, meski bangunan itu sunyi tak tampak seorangpun, namun semua gerak geriknya tak pernah lolos dari pengawasan penghuni rumah itu.
Setelah terjadi perubahan itu, dia malah merasakan ketenangan yang luar biasa, diam diam pikirnya sambil tertawa dingin: "Kedatanganku memang bertujuan untuk beradu nyawa, mau persiapkan permainan setan apa pun, jangan harap bisa menakuti diriku." Suasana waktu itu sangat hening, sedemikian sepinya hingga dengus napas sendiripun dapat terdengar jelas.
Sengaja ia memperberat langkahnya, berjalan menuju ke pintu bertirai untaian mutiara itu.
Belum sempat dia menyentuh tirai tadi, mendadak dari balik pintu berkumandang suara tertawa ringan.
Suara tertawa itu lembut, merdu, genit dan merangsang birahi, seketika Tian Mong-pek menghentikan langkahnya.
Terdengar orang yang berada dibalik tirai kembali berkata: "Tian Mong-pek, begitu kau memasuki lembah, aku sudah tahu kalau kau pasti akan datang mencariku." Ucapannya lebih merdu merayu, penuh mengandung daya pikat yang luar biasa.
Tergerak pikiran Tian Mong-pek, segera tegurnya nyaring: "Kau adalah Siau Man-hong?" Kembali orang itu tertawa cekikikan.
"Siapa lagi kalau bukan aku" Duduklah dulu diluar sana, aku telah siapkan hidangan untukmu, sebentar aku akan keluar untuk menemanimu." "Siapa yang kesudian kau temani?" umpat Tian Mong-pek gusar, langsung dia singkap tirai dan menerjang masuk.
Terdengar orang dibalik tirai kembali tertawa cekikikan.
Tian Mong-pek yang menerjang masuk, tiba tiba mundur kembali dengan gelagapan, untuk berapa saat ia berdiri mematung.
Terdengar perempuan itu kembali berkata sambil tertawa cekikian: "Kau ini memang keterlaluan, bukankah sudah kubilang, jangan masuk kemari, kau justru nekat saja, hati hati, nanti kulaporkan kepada ji-moay!" Walaupun masih berdiri dengan penuh kegusaran, kini paras muka Tian Mong-pek telah berubah jadi merah padam, untuk sesaat tak mampu mengucapkan sepatah katapun.
Ternyata ruangan dibalik tirai merupakan kamar tidur seorang wanita, bau
Ternyata ruangan dibalik tirai merupakan kamar tidur seorang wanita, bau harum semerbak terendus dari tempat itu.
Siau Man-hong sedang berdiri didepan pembaringan, tampaknya ia baru selesai mandi, waktu itu dengan tubuh bugil sedang mengeringkan butiran air ditubuhnya dengan selembar handur warna merah.
Perempuan itu benar-benar memiliki kecantikan yang luar biasa .
. . . . .. Rambut yang hitam terurai, mata yang genit dan bibir yang kecil merekah.....
Tubuh yang putih mulus, dengan paha yang indah, payudara yang montok .
. . . . .. Hampir setiap jengkal tubuhnya dipenuhi keindahan dan rangsangan seorang wanita, penuh kegairahan yang membangkitkan birahi syawat .
. . . .. Sewaktu Tian Mong-pek menerjang masuk tadi, sambil menjerit Siau Man-hong membalikkan badannya.
Mereka berdua segera saling berhadapan, saling bertatap muka.
Walaupun Tian Mong-pek segera melompat keluar, namun dalam waktu yang sesaat ia sudah menyaksikan semuanya dengan jelas, untuk pertama kalinya pemuda itu menyaksikan keindahan tubuh seorang gadis yang sedang bugil.
Kontan saja jantungnya berdebar keras, dorongan birah i tiba tiba muncul didalam tubuhnya, rangsangan yang paling purba, dia merasa sulit mengendalikan diri, sulit untuk tidak melototkan matanya, sulit untuk tidak menatap keindahan tubuh si nona yang sedang bugil.
Tirai untaian mutiara bergoyang kencang .
. . . . .. Lamat lamat berendus bau harum yang memabukkan dari balik tirai itu.
Cepat Tian Mong-pek membalikkan tubuh dan sekuat tenaga menghantam cermin tembaga itu, "blaaam!" hanya terdengar suara getaran keras, ternyata cermin itu sama sekali bergeming.
Siau Man-hong yang berada dibalik tirai kembali tertawa ringan, katanya: "Cermin tembaga ini terbuat dari tembaga berusia ribuan tahun, kerasnya melebihi baja, biar tenaga dalammu sepuluh kali lipat lebih hebat pun, jangan harap bisa menghancurkan benda tersebut." "Sebetulnya apa mau mu?" tanya Tian Mong-pek gusar.
"Mau apa aku" Itu mah tergantung dirimu sendiri." Kata Siau Man-hong sambil tertawa genit, ditengah suara tertawa, ia sudah muncul dari balik tirai dan berdiri dihadapan pemuda itu.
Kini tubuhnya yang semula bugil telah tertutup dengan selembar kain sutera tipis, tapi tubuhnya yang putih, lekukan badan yang indah serta payudara yang montok, masih dapat terlihat dengan sangat jelas.
Cepat Tian Mong-pek melengos kearah lain, tapi dari balik cermin tembaga di empat penjuru, segera tampil bayangan tubuh Siau Man-hong, tubuh merangsang dengan senyuman menawan.
Sambil membentak gusar, ia putar badan seraya melepaskan satu pukulan.
Dengan cekatan Siau Man-hong menggoyangkan pinggulnya dan menghindar dari serangan tersebut.
Kembali ujarnya sambil tertawa: "Ruang rahasia ini dibuat dengan rancangan luar biasa, kecuali aku, tak ada orang kedua di dunia ini yang mampu membukanya, jika kau membunuhku, II kau sendiripun tak bisa keluar, waktu itu .
. . . . .. Sesudah mengerling genit, tambahnya: "Waktu itu, kau bakal menemani aku mati bersama disini, hingga ribuan tahun kemudian, ketika orang menemukan jenasah kita berdua, tahukah kau, apa yang mereka pikirkan?" "Kau .
. . . .. kau . . . . . .." Tian Mong-pek semakin gusar.
Siau Man-hong tertawa terkekeh-kekeh.
"Mereka pasti mengira kita adalah sepasang kekasih yang sehidup semati, bukankah kita makin penasaran dibuatnya?" Tian Mong-pek melengak berapa saat, biarpun dia memiliki sepasang kepalan baja, memiliki nyali sekeras besi, tapi terhadap gadis ini boleh dibilang kehabisan daya, yang bisa dia lakukan hanya menghela napas panjang.
"Kenapa menghela napas" Kita toh belum mati!" kata Siau Man-hong sambil tertawa.
"Antara kita berdua tak ada dendam tak ada sakit hati, kenapa kau harus menyusahkan aku?" "Aduh mak, siapa yang menyusahkan dirimu?" teriak Siau Man-hong, "bukankah aku mengundangmu makan hidangan lezat, minum arak wangi, bahkan aku menemani sendiri, masa beginipun disebut menyusahkan?" Ia duduk dibangku dihadapannya, kemudian serunya sambil menggapai: "Kemari! Masa kau takut?" "Apa yang kutakuti" Apa yang kutakuti?" batin pemuda itu sambil mengepal tinjunya.
Cepat dia putar badan, mengambil tempat duduk, kemudian sambil menggerakkan sumpit dan mengangkat cawan serunya: "Kau sangka aku tak berani makan?" Begitu selesai bicara, dia langsung makan minum dengan lahapnya.
Siau Man-hong membelalakkan matanya memperlihatkan rasa kaget bercampur tercengang, serunya: "Masa kau tidak kuatir arak dan hidangan itu sudah dicampuri racun jahat, yang bisa menewaskan dirimu seketika?" "Hahaha, biar harus mati pun, aku ingin jadi setan kekenyangan." Kembali Siau Man-hong mengerling nakal, bisiknya sambil tertawa genit: "Apa kau tidak takut hidangan dan arak itu sudah dicampuri obat perangsang, sehingga setelah makan, kau bakal.....
kau bakal . . . . .." Ditatapnya wajah pemuda itu dengan manja, kemudian tambahnya: "Bakal bagaimana, semestinya kau sudah tahu bukan?" Tian Mong-pek tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha.... jika hidangan ini benar benar sudah dicampuri obat perangsang, setelah kumakan, seharusnya kaulah yang bakal takut, apa yang harus kutakuti?" Merah padam selembar wajah Siau Man-hong, tanpa sadar ia termangu dibuatnya.
Untuk pertama kali ini dia telah bertemu dengan lelaki yang dapat membuatnya termangu, mengawasi cara Tian Mong-pek bersantap, tiba tiba saja ia merasa malu, jengkel, panik bercampur mendongkol.
Menyaksikan sikap gadis itu, diam-diam Tian Mong-pek merasa geli, sengaja dia tidak menengok kearahnya bahkan caranya bersantap makin rakus dan lahap, serunya berulang kali: "Arak wangi! Hidangan lezat!" Lama sekali Siau Man-hong termangu, tiba tiba biji matanya berputar, lagi-lagi dia tertawa merdu.
Tian Mong-pek sama sekali tak menggubris, bahkan semakin bersikap acuh, akhirnya gadis itu tak tahan, tegurnya: "Hei, tahukah kau, apa yang sedang kutertawakan?" "Oh, rupanya kau sedang tertawa" Aku tidak tahu." Setelah angkat kepala dan menatap gadis itu berapa kejap, pujinya sambil mengangguk: "Ehm, ternyata sewaktu tertawa, kau tampak lebih manis." Siau Man-hong betul-betul mendongkol, saking jengkelnya, sepasang gigi sampai saling beradu, teriaknya: "Aku mentertawakan ketololanmu, ternyata sama sekali tak sadar, baik, akan kuberitahu secara terus terang .
. . . . . .." Sambil menarik muka, dia tarik kembali senyumannya, lalu dengan lantang berkata: "Racun yang kucampur ke dalam arak dan hidangan itu meski tak sampai membuat nyawamu hilang, tapi disaat kau kehilangan seluruh tenaga badanmu, waktu itu .
. . . . . .." Dia tertawa dingin berulang kali, tambahnya: "Waktu itu, aku dapat menyiksamu, mencincang tubuhmu hingga hancur berkeping, akan kusuruh kau tersiksa, menderita sepanjang masa, kemudian baru perlahan-lahan mampus." Tian Mong-pek tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, bisa menikmati racun ganas semacam ini, hitung-hitung aku memang bermulut hokki, apalagi bisa mati ditangan seorang wanita secantik dirimu, ehmm .
. . . .. kematianku tidak terhitung sia sia." Bukan saja gelak tertawanya makin nyaring, pemuda itupun semakin lahap menyikat hidangan yang disediakan.
Perubahan sikap semacam ini sungguh diluar dugaan siapa pun, meski Siau Man-hong memiliki daya pikat yang luar biasa, walaupun ia cerdas dan banyak akal, tapi setelah berjumpa dengan lelaki yang tidak takut langit, tak takut bumi semacam ini, tak urung dia kehabisan daya juga.
Dalam pada itu, walaupun dalam penampilan Tian Mong-pek bersikap sangat tenang, sesungguhnya dihati kecil ia merasa terperanjat, pemuda itu tak tahu racun macam apa yang telah dicampurkan ke dalam hidangan yang tersedia, hanya saja dia tak ingin pihak lawan mengetahui kekuatirannya, itulah sebabnya perasaan tersebut tak ditampilkan pada wajahnya.
Dengan mata terbelalak besar, Siau Man-hong mengawasi pemuda itu makan minum, tidak jelas apa yang sedang dipikirkan waktu itu.
Tiba tiba dilihatnya Tian Mong-pek meletakkan sumpitnya ke meja dan mulai menyeka mulut.
"Sudah selesai makannya?" gadis itu segera menyindir sambil tertawa dingin.
"Hahaha, kenyang, kenyang, hidangan yang cukup mengenyangkan!" "Bagaimana rasanya kini?" kembali Siau Man-hong bertanya sambil tertawa dingin, "tanganmu sudah mulai gatal" Mulai linu" Kesemutan" Ruas tulangmu mulai kaku" Hm! Kalau ingin hidup, cepat berlutut dan minta ampun." Tian Mong-pek tertawa.
"Tanganku tidak linu, badanku juga tidak kesemutan, aku bahkan merasa sangat nyaman, selama hidup belum pernah aku merasakan kenyamanan seperti ini." "Maut sudah didepan mata, kau masih berani membantah?" "Hahaha, biar mati harus menjadi setan romantis, rasanya menarik juga bagiku." Tian Mong-pek tertawa tergelak.
"Apa maksudmu?" Sengaja Tian Mong-pek mengawasi tubuh gadis itu dari atas hingga ke bawah, lalu sambil tertawa terkekeh-kekeh katanya: "Masa kau belum tahu apa yang akan kulakukan?" Sekarang dia sudah tahu kalau Siau Man-hong adalah seorang gadis yang senang berlagak pintar dan sengaja menonjolkan kecantikan wajah dan keindahan tubuhnya, padahal dia sama sekali tidak jalang, tidak porno dan bukan perempuan nakal.
Karena itulah dia sengaja bersikap begitu, berniat menakuti lawannya terlebih dulu.
Kendatipun begitu, Tian Mong-pek merasa was-was juga, dia kuatir perempuan itu justru menyerahkan tubuhnya, mau diajak bermain cinta dengannya.
Terlihat Siau Man-hong termangu berapa saat, kemudian serunya agak tergagap: "Apa maksudmu" Aku tidak mengerti." Dalam hati kembali Tian Mong-pek berpikir: "Thian, tolonglah aku, jangan biarkan dia menyanggupi permintaanku itu." Sedang diluaran, serunya lagi dengan nada lembut: "Masa kau tidak paham" Cepat kemari, ayoh layani aku!" Dengan cepat Siau Man-hong melompat bangun, teriaknya sambil menutupi tubuhnya dengan pakaian: "Kau .
. . . . . .. kau . . . . . .. berani kau maju lagi?" Ternyata seperti apa yang diduga Tian Mong-pek, perempuan itu memang menganggap kecantikan wajahnya, keindahan tubuhnya dan kepintaran otaknya sudah merupakan modal yang cukup untuk menaklukan kaum lelaki, selama ini dia tak pernah pandang sebelah mata pun terhadap setiap pria di dunia ini.
Begitu mengetahui kalau Tian Mong-pek memasuki lembah kaisar, dia pun segera memancing pemuda itu agar datang ke tempat tinggalnya, dia berniat mempermainkan anak muda itu habis habisan kemudian baru mempermalukan dirinya.
Dia sangka Tian Mong-pek sama seperti lelaki lain, dengan mudah akan terjatuh ke dalam cengkeramannya, saat itu, dia pun dapat membeberkan semua kelemahan dan kejelekan Tian Mong-pek dihadapan Siau Hui-uh dan mempermalukan dirinya.
Siapa sangka apa yang kemudian terjadi sama sekali diluar dugaan, bukan saja niatnya tak kesampaian, bahkan kini, ia justru terancam oleh keinginan pemuda itu.
Tian Mong-pek bertambah senang setelah melihat rasa takut diwajah perempuan itu, rayunya lembut: "Mau kan begituan dengan ku?" "Kau.....
berani kau menyentuh tubuhku .
. . . . . . . . .." Tian Mong-pek bangkit berdiri, selangkah demi selangkah ia berjalan mendekat, bahkan sambil rentangkan sepasang tangannya ia membujuk: "Kemarilah, jangan takut, tak bakal ketahuan orang lain." II "Dasar budak.....
budak yang tak tahu malu .
. . . . . .. umpat Siau Man-hong II gemetar, "kau.....
kau . . . . . . . .. Selama hidup, belum pernah ia berbuat begituan dengan siapa pun, hingga kini dia masih berstatus perawan, tak heran kalau gadis itu mulai gelagapan.
"Aku tak tahu malu?" Tian Mong-pek tertawa cekikikan, "bukankah kau pun ingin berbuat begini?" Sambil berteriak keras, Siau Man-hong balik badan lalu kabur masuk ke dalam ruangan, tapi Tian Mong-pek sudah menubruk ke depan, sambil menggigit bibir dia peluk bahu gadis itu.
Untuk sesaat Siau Man-hong seolah lupa kalau dia memiliki ilmu silat, dia lupa untuk melakukan perlawanan, malah pintanya dengan gemetar: "Aku mohon, jangan .
. . . .. jangan . . . . . .
Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
.." Dalam perkiraan Tian Mong-pek, gadis itu bakal mengajaknya berkelahi, siapa sangka bukan saja tidak melawan, perempuan itu justru menunjukkan sikap yang begitu lemah.
Kini anak muda itu jadi gelagapan sendiri, dia tak tahu haruskah sandiwara ini dilanjutkan" Mendadak dari luar cermin tembaga terdengar suara orang menggedor pintu.
"Ada . . . . .. ada orang datang, cepat .
. . . .. cepat lepaskan aku." Pinta Siau Man-hong lirih.
Tian Mong-pek berpikir sejenak, jawabnya kemudian sambil tertawa: "Tak usah kuatir, kecuali kau, bukankah tak ada orang yang bisa membuka pintu rahasia itu" Kau sendiri yang berkata begitu bukan?" "Aku mohon, asal kau bebaskan diriku, apa pun yang kau minta pasti akan kukabulkan." Tian Mong-pek jadi kegirangan, tapi diluaran dia sengaja berkata sambil menghela napas: "Baiklah, karena kau ngotot tak mau, aaai! Asal kau ajak aku pergi ke tempat ayahmu menutup diri, aku segera akan membebaskan dirimu." Tiba-tiba Siau Man-hong menghela napas sedih, bisiknya pula: "Aaai, aku tak berdaya memenuhi permintaanmu itu, apa boleh buat .
. . . .. baiklah, akan kupersembahkan tubuhku untukmu .
. . . . . .." Bukannya berusaha kabur, gadis itu malah merangkul tubuh Tian Mong-pek erat erat lalu membaringkan diri ke atas ranjang.
"Mampus aku!" pekik Tian Mong-pek dihati, dia semakin tak tahu bagaimana harus bersikap, yang dilakukan sekarang hanya berdiri kaku bagaikan patung.
Terdengar Siau Man-hong tertawa terbahak-bahak, ejeknya: "Setan hidung belang, kenapa malah ketakutan?" Sambil melompat turun dari pembaringan, kembali ujarnya sambil tertawa terkekeh: "Coba kau berlagak lebih mirip, aku pasti akan percaya.
Sayang kau bukan setan hidung belang, jadi mau berlagak pun tidak mirip." "Siapa bilang aku bukan setan hidung belakang" Aku....
aku....." "Sejak kau memeluk bahuku tadi, aku sudah tahu kalau kau sedang II bersandiwara, sela Siau Man-hong sambil tertawa, "terlalu banyak setan hidung bangor yang kujumpai, mana ada yang lemah lembut macam kau?" Tian Mong-pek tertawa getir, setelah menghela napas bisiknya dihati: "Sudahlah!" Dia balik ke bangkunya dan duduk termangu.
Sambil tertawa kembali ujar Siau Man-hong: "Sekarang, sandiwaramu sudah terbongkar, mau apa kau?" "Aku hanya merasa penasaran." Tiba tiba Siau Man-hong berjalan menghampirinya, setelah menepuk bahu pemuda itu, ujarnya: "Kau tak usah menghela napas, ayoh jalan, akan kuhantar kau ke tempat ayahku menutup diri." "Apa.....
apa kau bilang?" Siau Man-hong tertawa.
"Kau adalah lelaki pertama yang dapat membuat aku gelagapan dan panik, bukan saja aku mulai menyukaimu, bahkan mulai mengagumi dirimu." "Sungguhkah perkataanmu itu?" "Kali ini, bukan saja aku akan lepaskan dirimu, bahkan akan mengabulkan permintaanmu dengan menghantar kau ke tempat tujuan, tapi bila kita bertemu lagi kelak, aku tetap akan mengajakmu untuk berduel." Sekali lagi Tian Mong-pek tertegun, tiba tiba teriaknya: "Sekalipun kau menghantar aku, tak bakal aku berterima kasih padamu, kau.....
tahukah kau, mengapa aku datang kemari?" "Aku tidak butuh rasa terima kasihmu, juga tak ambil peduli apa maksud kedatanganmu, asal urusan yang kukehendaki, aku tak ambil peduli dengan urusan lain."
Bab 21. Berulang kali ketimpa hujan angin.
"Bagaimana kalau kedatanganku membawa niat jahat?" tanya Tian Mong-pek.
"Sekalipun kedatanganmu membawa maksud jahat, bakal ada orang lain yang akan menghadapimu, toh aku tak berniat mencelakaimu, jadi terserah apa yang hendak kau lakukan, pokoknya aku tak ambil peduli." "Benar benar seorang perempuan keras kepala." Batin Tian Mong-pek sambil menghela napas.
Terlihat Siau Man-hong menggerakkan cermin tembaga itu berulang kali, dua belah pintu pun segera terbuka, bau harum berhembus keluar ditengah goyangan tirai untaian mutiara.
Bersama dengan terendusnya bau harum, sesosok bayangan manusia menerobos masuk, langsung menubruk ke hadapan Tian Mong-pek dan memeluknya erat-erat.
"Paman . . . . . . .." bisknya gemetar.
Dalam sekilas pandang, Tian Mong-pek segera dapat melihat jelas bayangan tubuhnya, apalagi mendengar suaranya yang penuh kegelisahan bercampur kegembiraan yang meluap.
Dia tahu, gadis itu tak lain adalah Kiong Ling-ling, gadis lemah bernasib tragis.
Ditepuknya bahu gadis cilik itu, sambil menghela napas sapanya: "Ling-ling, lama tak bertemu, baik-baikkah kau?" Kiong Ling-ling mengangguk perlahan.
"Terima kasih paman," sahutnya, "penghidupan Ling-ling cukup baik .
. . . . .." Tiba tiba dia melepaskan pelukannya, mundur berapa langkah dan bertanya: "Paman, kau baik-baik bukan?" Sekarang Tian Mong-pek baru merasa, walau hanya berpisah berapa bulan, gadis lemah ini bukan saja telah tumbuh dewasa, bahkan diapun mengalami banyak perubahan.
Wajahnya yang semula pucat, kini sudah tampak rona merah, sepasang matanya yang dulu penuh kehampaan dan kepedihan, kini mulai memercikkan sinar kehidupan.
Gadis itupun tumbuh lebih tinggi, lebih montok .
. . . .. Tiba tiba Tian Mong-pek menjadi sadar mengapa gadis itu melepaskan pelukannya secara tiba tiba, mengapa gadis itu mundur tanpa alasan.....
rupanya ia merasa sudah tumbuh dewasa, sudah sepantasnya memberikan batasan antara lelaki dan wanita.
Terdengar Siau Man-hong tertawa ringan, tegurnya: "Ling-ling, jadi kau yang mengetuk pintu tadi?" "Benar, Ling-ling yang mengetuk pintu." Jawab Kiong Ling-ling sambil tundukkan kepala .
"Selama ini kau menjaga didepan pintu?" kembali Siau Man-hong bertanya.
Kiong Ling-ling hanya mengangguk, tidak menjawab.
Sambil tersenyum Siau Man-hong melirik Tian Mong-pek sekejap, kemudian serunya: "Coba lihat, betapa perhatiannya keponakan wanitamu kepadamu, kuatir aku mencelakaimu hingga selama ini berjaga terus didepan pintu." Diam diam Tian Mong-pek menghela napas, sekulum senyuman tersungging dibibirnya, dengan lembut ia berkata: "Ling-ling, kau tak usah kuatir, paman pasti akan menjaga dirimu." "Ling-ling tahu." Tian Mong-pek menatap dalam dalam gadis itu, dalam hati dia berdoa, mengharapkan kebahagiaan untuk kehidupan masa depannya.
Kemudian ia membalikkan badan sambil berseru: "Ayoh jalan." Siau Man-hong seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya dengan langkah lebar dia keluar dari pintu.
Memandang bayangan punggung kedua orang itu lenyap dibalik tirai, dua baris air mata tiba tiba meleleh dari mata Kiong Ling-ling, mengalir hingga ke ujung bibir.
Dia sangat berharap sang "paman" akan bertanya lebih banyak, siapa tahu "paman" nya berlalu dengan terburu-buru, seakan sikapnya begitu dingin, begitu asing.
Untung saja dibalik tubuhnya yang sendiri, terdapat hati yang teguh, biarpun dia haus akan belaian kasih, namun dia lebih suka hidup kesepian, daripada merengek belas kasihan orang.
Mimpipun Kiong Ling-ling tidak menyangka kalau kepergian Tian Mong-pek kali ini membawa tekad untuk beradu nyawa, dia sudah tak pelit untuk menghadapi kematian, rela mengorbankan nyawa demi membalas sakit hatinya.
Dia sengaja meninggalkan tempat itu dengan terburu-buru, karena ia memang tak memiliki keyakinan untuk menangkan pertempuran hari ini, dia tak tega menyaksikan Kiong Ling-ling sekali lagi hidup terlunta-lunta.
Oleh sebab itu dia sengaja berlagak dingin, hambar dan berlalu dengan tergesa, dengan begitu, meski akhirnya dia kalah dan tewas, Kiong Ling-ling masih ada kesempatan untuk hidup terus dalam lembah kaisar.
Setelah melalui serambi yang berliku, tiba tiba dari balik hutan pohon siong melompat keluar sesosok bayangan manusia yang menghadang jalan pergi pemuda itu.
"Aku berada disini." Ujar orang itu dingin.
Dia adalah seorang lelaki berbaju sutera halus yang berperawakan tinggi, mukanya yang tampan kelihatan pucat, senyuman yang congkak dan sinis menghiasi ujung bibirnya, seakan dia tak memandang sebelah mata pun terhadap orang lain.
Sesudah memandang Tian Mong-pek sekejap, kembali tegur orang itu: "Masih kenal dengan aku?" "Hun-ho si pembesar berpipi licin Hoa Hui, tentu saja aku kenal dirimu." Jawab Tian Mong-pek sambil tertawa dingin.
Tapi begitu teringat akan kematian Kiong Gim-bit si pedang sakti berujung seribu, hawa amarah kontan berkobar didada pemuda itu, teriaknya keras: "Aku hanya tidak menyangka, kau masih punya muka untuk berjumpa dengan aku." Hijau membesi selembar wajah Hoa Hui, teriaknya gusar: "Apa kau bilang?" "Menganiaya kaum lemah, melukai orang dengan siasat busuk, masa kau tidak tahu akan perbuatan yang telah kau lakukan" Buat apa aku harus membicarakan lagi?" kata Tian Mong-pek gusar.
Hoa Hui menutup rapat mulutnya, tidak bicara sepatah kata pun, tapi napsu membunuh telah menyelimuti wajahnya.
Tiba-tiba Siau Man-hong tertawa ringan, sambil menghadang didepan Tian Mong-pek, katanya: "Siau-hui, sejak kapan kau telah kembali" Kenapa tidak mengabari aku, hingga aku bisa menyambut kedatanganmu?" "Sejak tadi aku sudah kembali," sahut Hoa Hui sambil tertawa dingin, "tapi kau justru sedang berkasak kusuk dengan bajingan ini dalam ruang rahasia, mungkin kau sudah melupakan kehadiran aku yang menjadi suamimu." "Apa kau bilang?" Tian Mong-pek semakin berang.
Sekali lagi Siau Man-hong menghadang sambil merentangkan tangannya, masih dengan senyuman diwajah, ujarnya perlahan: "Siau-hui, kau sendiri yang berkata begitu, nanti jangan melupakannya." "Tentu saja aku tak akan melupakan." Teriak Hoa Hui.
"Baik, menanti aku balik lagi, akan ku .
. . . . .." "Mau kemana kau?" tukas Hoa Hui sewot.
"Akan kuajak dia bertemu ayah." "Tunggu dulu, selama ada aku disini, dia tak bakal pergi ke mana pun." Siau Man-hong segera tersenyum.
"Aku sengaja akan membawanya pergi, masa kau akan menjagal diriku?" katanya.
Hoa Hui tertegun, tiba tiba perasaan takut dan kaget terlintas di wajahnya .
. . . . . . .. Saat itu matahari senja telah condong ke barat, suasana remang remang mulai menyelimuti serambi panjang yang berliku itu.
Dari ujung serambi panjang, tiba tiba muncul sesosok bayangan manusia, bayangan semu menyerupai sukma gentayangan.
Bayangan itu bergerak sangat lamban, tanpa menimbulkan sedikit suara pun, ketika muncul dari balik kegelapan, terlihat paras mukanya yang putih pucat bagai mayat.
Sepasang matanya yang bersinar tajam, mengawasi terus wajah Hoa Hui tanpa berkedip, tatapan itu tidak menunjukkan perasaan apapun terkecuali ketenangan yang menakutkan.
Hoa Hui tak bisa tenang, tak mampu mengendalikan gejolak perasaannya, dengan suara keras dia berteriak: "Kau.....
kau belum mati" Ke .
. . . .. kenapa kau bisa muncul disini?" Kiong Ling-ling tidak menjawab, dia hanya mengawasinya dengan tenang.
"Aku yang membawanya kemari." Ujar siaumahong.
"Apa?" berubah paras muka Hoa Hui, "kau membawa pulang cucu perempuan dari musuh besarku?" "Oh, rupanya kau yang telah membunuh kakeknya?" tegur Siau Man-hong dengan kening berkerut, "mengapa kau membunuhnya" Aai, bencana yang kau buat benar-benar kelewat banyak." Belum selesai ia berkata, Kiong Ling-ling telah melewati dia dan Tian Mong-pek dan tiba dihadapan Hoa Hui, tatapan matanya tetap kosong, mimik mukanya tetap tenang.
Tak kuasa Hoa Hui mundur setengah langkah, sambil menatap Siau Man-hong, teriaknya keras: "Daripada kau membawanya pulang, lebih baik bawa pulang berapa ekor ular berbisa." Jangan lagi menanggapi, melirik kearah Hoa Hui pun tidak, Siau Man-hong menggandeng tangan Kiong Ling-ling sambil katanya lembut: "Ling-ling, sayang, tak usah bicara dengan dia, mari kita pergi ke tempat bibi ke dua." Dengan kaku Kiong Ling-ling mengangguk, sahutnya: "Aku tahu, sekarang aku masih belum mampu mengalahkan dirimu, tapi suatu saat, aku pasti akan membalas dendam." Paras muka Hoa Hui berubah hebat, belum sempat ia berbuat sesuatu, Kiong Ling-ling sudah membalikkan badan dan beranjak pergi dari situ.
"Aaai, bocah ini . . . . . .." sambil gelengkan kepala, Siau Man-hong menghela napas panjang.
"Dasar budak goblok," seru Hua Hui sambil mengawasi bayangan punggung Ling-ling yang menjauh dan tertawa dingin, "kau kira aku bakal menunggu terus" Memangnya aku tak bisa menjagalmu lebih dahulu?" "Coba kau ulangi sekali lagi," bentak Tian Mong-pek gusar, "sekarang juga aku akan menjagal dirimu." Kontan Hoa Hui mendongakkan kepala dan tertawa seram.
"Jangan kau sangka karena ada yang membantumu maka kau bisa pentang cakar semau sendiri," teriaknya, "terhadap bajingan macam dirimu, sauya tak pernah memandangnya didalam hati." "Kau .
. . . . .. kau . . . . . .." saking gusarnya, Tian Mong-pek tak sanggup melanjutkan perkataannya, dia menggeser tubuhnya dan menerjang ke hadapan lawan.
Dengan cepat Siau Man-hong menarik tangannya sambil berkata: "Kau jadi tidak pergi menjumpai ayahku?" Tian Mong-pek menghembuskan napas panjang, menenangkan kembali dadanya yang berombak, sekuat tenaga dia melengos kearah lain untuk tidak memandang lagi kearah Hoa Hui.
"Ayoh kita berangkat." Katanya kemudian dengan suara berat.
Kini, Siau Man-hong baru berpaling kearah Hoa Hui dan berkata: "Sekarang aku akan mengajaknya pergi, bila kau berniat menghalangi lagi, segera ada orang yang bakal mendapat malu." `Pergilah!" ujar Hoa Hui kemudian setelah menghembuskan napas panjang.
Siau Man-hong tersenyum, katanya: "Tunggu aku disini, segera aku akan kembali." Dia ajak Tian Mong-pek menembusi hutan pohon siong, menelusuri jalan beralas batu granit dan meninggalkan Hoa Hui yang masih berdiri diujung serambi sambil menyusun rencana keji.
Sepanjang perjalanan tak terlihat sesosok bayangan manusia pun, permukaan jalan tetap bersih dan licin, tampaknya sepanjang jalan jarang dilewati orang.
Tiba-tiba Tian Mong-pek menguatirkan keselamatan Kiong Ling-ling, dia menghentikan langkahnya.
"Tak usah kuatir," terdengar Siau Man-hong berkata sambil tertawa, "ada jimoay yang melindungi, siapa berani menganiaya dirinya?" Diam diam Tian Mong-pek menghela napas, pikirnya: "Perempuan ini memang sangat pintar, ternyata dia dapat menebak jalan pikiran orang." Karena itu diapun melanjutkan kembali langkahnya.
Siau Man-hong tidak bicara lagi, dengan mulut membungkam dia berjalan disamping Tian Mong-pek.
Kendatipun perempuan ini dapat menebak jalan pikiran orang, dia tak ingin orang mengetahui jalan pikiran sendiri.
Bangunan rumah dikedua sisi jalan makin lama semakin jarang, akhirnya jalan itu tiba diujungnya.
Tiba tiba dari arah belakang terdengar seseorang berteriak keras, suaranya melengking tajam, menusuk pendengaran: "Man-hong, bawa kembali bocah keparat itu." Berubah paras muka Siau Man-hong, bisiknya: "Sudah datang!" Cepat dia tarik tangan Tian Mong-pek sambil serunya: "Cepat, jangan biarkan terkejar dia." "Kau tidak takut .
. . . . .." "Aku sudah menyanggupi permintaanmu, biar harus mati pun tetap akan membawamu ke sana." Sementara Tian Mong-pek masih termangu, ia sudah ditarik memasuki hutan pohon siong disisi jalan, setelah melalui hutan, didepan mata terbentang sebuah aliran sungai dengan air yang jernih serta berapa buah gunun- gunungan yang indah.
Air itu mengalir dari atas bukit, mengalir turun bagaikan seutas tali surga, suara gemericik yang bersahutan, mendatangkan suasana damai dihati.
Sambil menunjuk ke arah sebuah bangunan loteng kecil dibalik gunung- gunungan, ujar Siau Man-hong: "Ayahku berada disana, cepatlah pergi, biar aku yang menghadapi .
. . . . . .." Belum selesai berkata, dengan kecepatan tinggi ia sudah tinggalkan tempat itu.
Memandang bayangan punggungnya yang menjauh, diam diam Tian Mong-pek menghela napas, pikirnya: "Seorang wanita yang sangat aneh." Tidak membuang waktu lagi, diapun mengayunkan langkah menuju ke arah bangunan itu.
Tampak bangunan loteng itu memiliki bentuk atap persegi delapan, dipandang dari luar menyerupai sebuah pavilion, tampak pintu dan jendela tertutup rapat.
Ketika diamati lebih seksama, pemuda itu baru tahu kalau bangunan loteng ini didirikan menempel dengan dinding bukit, sebuah tirai tampak menutupi balik pintu dan sama sekali tak terdengar suara apa pun.
Bangunan itu sangat indah, pemandangan alam disekelilingpun mempersona hati, sayang pemuda itu tak berkesempatan untuk menikmati semuanya.
Tantangan The Dare 2 Aku Menggugat Akhwat Dan Ikhwan Karya Fajar Agustanto Perawan Lembah Wilis 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama