Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 24

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 24


membentaknya, "Kau tetap di situ."
"Baik, baik. Aku akan tetap di sini." Swandaru berdiri di
tempatnya sambil berpaling. Dipandanginya orang-orang yang
ada di dalam rombongannya termasuk para penyamun.
Katanya kemudian, "Jika kami membawa orang-orang ini
dengan paksa tanpa salah, apakah kira-kira kami akan datang
kemari dan menyerahkan orang-orang ini kepada para
pengawal di sini" Kami menganggap bahwa orang-orang ini
semula tidak akan pernah mempunyai niat untuk memutar
balikkan keadaan. Tetapi kecurigaan Ki Sanak yang berterusterang
itu memang menimbulkan suatu ilham kepada mereka,
untuk memutar-balikkan keadaan seperti yang dikatakannya."
Para prajurit itu mengerutkan keningnya.
"Nah, apakah keuntungan kami dengan membawa orangorang
Cupu Watu ini kemari dalam keadaan luka dan payah,
dan kemudian menyerahkannya kepada kalian" Jika kami
ingin membinasakan mereka, kami pasti sudah
melakukannya." Keterangan Swandaru itu memang masuk akal. Satu dua
orang dari mereka mulai mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi prajurit yang sudah terlanjur membentak-bentak itu
masih juga berkata, "Itu pun omong kosong. Kalian tentu
dapat mengambil keuntungan dengan melakukan hal yang gila
itu. Kalian dapat melepaskan tanggung jawab kalian. Dan
kalian mengharap bahwa kami akan dengan begitu saja
memberikan hukuman kepada orang-orang yang kau sebut
penyamun itu tanpa memeriksanya dengan teliti."
Tetapi Swandaru masih tersenyum. Katanya, "Semula aku
memang bingung, bagaimana mengatakan yang sebenarnya
kepada kalian. Kalian tidak percaya kepada Kiai Gringsing,
tidak pula percaya kepada ayahku, Ki Demang di SangKal
Putung. Namun tentu aku mempunyai suatu bukti yang dapat
kalian lihat. Tidak begitu jauh dari tempat ini. Kami baru saja
bertempur. Di sana masih ada beberapa sosok mayat yang
tergolek yang sebenarnya akan kami serahkan pula kepada
kalian di sini untuk mendapat perawatan yang sewajarnya."
"Mayat siapa?" bertanya prajurit itu.
"Para penyamun dan seorang lagi adalah seorang dari
antara orang yang akan melintasi Alas Tambak Baya ini. Jika
benar kami membawa orang-orang ini dari Cupu Watu, maka
bekas pertempuran itu pasti tidak ada. Jika kalian melihat
tempat itu, maka kalian akan dapat mengambil kesimpulan.
Bukan saja perkelahian itu sendiri tetapi lebih dalam daripada
itu adalah latar belakang dari pertempuran yang terjadi itu, dan
kenapa para penyamun berusaha untuk menutup jalan menuju
ke Mataram. Bukan saja jalan perdagangan, tetapi juga arus
orang yang ingin menetap di tlatah yang kini sedang tumbuh
itu." Para prajurit itu mendengarkan keterangan Swandaru
dengan dahi yang berkerut-merut. Mereka mulai mempercayai
keterangan orang-orang yang mereka curigai itu. Bahkan
prajurit yang mula-mula menyangkal keterangan Kiai
Gringsing itu pun mulai mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dalam pada itu, selagi persoalan yang timbul pada mereka
itu masih belum terpecahkan sepenuhnya, mereka mendengar
derap kaki-kaki kuda di dalam lebatnya Alas Mentaok.
Gemanya seakan-akan bergulung-gulung datang dari segala
arah. Namun bagi mereka yang memiliki pendengaran yang
tajam segera mengerti, dari manakah kuda-kuda itu datang.
Sejenak kemudian sebuah iring-iringan prajurit memasuki
halaman barak itu. Agaknya yang berkuda paling depan
adalah pemimpin dari prajurit-prajurit itu.
"Nah, ia datang," berkata prajurit yang langsung minta
keterangan kepada Kiai Gringsing, "ialah yang akan
menentukan apakah kita dapat mempercayai kalian."
Kiai Gringsing pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun ia pun kemudian tersenyum ketika orang yang
berkuda di paling depan itu terkejut melihatnya. Kemudian
dengan bergegas-gegas ia meloncat turun dan berkata, "Kiai,
kaukah itu Kiai Truna Podang, eh, Kiai Gringsing."
"Ki Wanakerti," desis Kiai Gringsing, "aku dan muridmuridku
bersama Ki Sumangkar dan Ki Demang Sangkal
Putung sedang mengalami pemeriksaan yang teliti. Aku
senang melihat ketelitian para prajurit Mataram."
Ki Wanakerti pun kemudian menyambut tangan Kiai
Gringsing dan Ki Sumangkar. Dengan wajah yang cerah ia
memandang kepada Agung Sedayu dan Swandaru, "Kalian
benar-benar memenuhi undanganku."
Agung Sedayu dan Swandaru pun menganggukkan kepala
mereka. Sambil tersenyum Agung Sedayu yang selama itu
hanya mendengarkan perdebatan adik seperguruannya itu
berkata, "Kami datang ke barak ini tidak dengan kami
sengaja." "Kenapa?" Ki Wanakerti mengerutkan keningnya.
Sambil menunjuk orang-orang yang ada di sekitarnya ia
berkata, "Kami mengantarkan mereka ini."
Ki Wanakerti memandangi mereka dan kemudian para
prajurit. Dilihatnya wajah para prajurit yang ada di sekitarnya
menjadi berkerut-merut. "Apa yang sudah terjadi?" ia bertanya.
Para prajurit itu tidak segera menyahut, sehingga Kiai
Gringsing-lah yang berkata, "Tidak terjadi apa-apa di sini. Aku
baru saja datang." Ki Wanakerti memandang Kiai Gringsing sejenak,
kemudian kembali kepada wajah para prajurit yang tunduk.
"Apakah telah terjadi salah paham?" Ki Wanakerti bertanya.
"Tidak. Tidak terjadi apa-apa. Aku baru akan mulai
menceriterakan apa yang terjadi."
Para prajurit itu terdiam bagaikan patung yang membeku,
sedang penyamun yang telah berusaha memutar-balikkan
keadaan itu menjadi semakin gemetar. Ia merasa bersalah
dua kali lipat, sehingga karena itu, tubuhnya yang lemah
menjadi semakin lemah. "Marilah, aku persilahkan kalian masuk ke dalam gardu
yang jelek ini," berkata Wanakerti kemudian.
"Tetapi gardu ini jauh lebih baik dari gardumu di Alas
Mentaok, di daerah yang berhantu itu."
Ki Wanakerti tertawa. "Marilah," sekali lagi
mempersilahkan. "Maaf Ki Wanakerti," berkata Kiai Gringsing, "aku datang
bersama beberapa orang dalam kedudukan yang berbedabeda."
"O, siapa?" Kiai Gringsing memandang orang-orang yang ada di
sebelah-menyebelah Agung Sedayu dan Ki Demang Sangkal
Putung. Kemudian katanya, "Aku mempunyai ceritera yang
menarik tentang mereka."
"Tetapi marilah, kami persilahkan kalian duduk. Marilah aku
persilahkan Ki Demang di Sangkal Putung."
Mereka pun saling berpandangan. Dan Kiai Gringsing pun
kemudian berkata, "Marilah. Marilah, Ki Demang," namun
kemudian ia berkata kepada Ki Wanakerti, "Ki Wanakerti, kami
akan memenuhinya, tetapi bagaimana dengan tawanan kami
ini?" "Tawanan?" "Mereka adalah para penyamun yang telah mencoba
menghentikan perjalanan kami."
Para penyamun itu menjadi semakin gemetar. Kini mereka
tidak berani lagi membuat ceritera palsu itu, karena agaknya
Ki Wanakerti sudah mengenal orang bercambuk itu dengan
baik. "Jadi kalian menawan penyamun sekian banyaknya?"
bertanya Wanakerti kemudian.
"Bukan semuanya. Yang lain adalah korban-korban mereka
yang belum sempat mereka binasakan."
Ki Wanakerti memandang penyamun-penyamun itu dengan
tajamnya. Lalu katanya kepada prajurit-prajuritnya, "Awasi
mereka. Bawa mereka ke serambi dan biarlah yang lain
beristirahat." Para prajurit itu mengangguk. Katanya, "Baiklah. Kami akan
mengurusnya." Demikianlah maka Kiai Gringsing dan rombongannya
kemudian dipersilahkan masuk ke dalam gubug itu. Setelah
saling bertanya tentang keadaan masing-masing sejenak,
maka Kiai Gringsing pun kemudian menceriterakan tentang
orang orang yang telah ditawannya itu.
Ki Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
berkata, "Baiklah, aku memang mendapat tanggung jawab di
daerah ini. Kami akan mengurusnya sebaik-baiknya."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Demikian pula di luar sadarnya yang lain pun menganggukangguk
pula. "Ada beberapa orang terpaksa terbunuh di dalam
perkelahian. Tetapi sayang, bahwa kami tidak dapat
menangkap puncak dari kekuatan mereka," berkata Kiai
Gringsing kemudian. "Siapakah orang itu?" bertanya Wanakerti.
"Akulah yang ingin bertanya, apakah di daerah ini ada
seseorang yang menyebut dirinya seorang panembahan."
"Panembahan siapa?"
"Ia menyebut dirinya panembahan tidak bernama."
Ki Wanakerti mengerutkan keningnya. Namun sejenak
kemudian ia pun menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya,
"Aku belum pernah mendengar."
"Tentu namanya yang sebenarnya tidak disebutkannya,"
berkata Kiai Gringsing kemudian.
"Tetapi, apakah orang itu dapat lolos dari tangan Kiai dan
kawan-kawan Kiai ini?"
"Ya." Ki Wanakerti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tentu
bukan orang kebanyakan jika ia dapat melepaskan diri dari
tangan Kiai." Kiai Gringsing mengangguk. Katanya, "Orang itu memang
perlu mendapat perhatian. Aku sudah mencoba
mendengarkan keterangan tawanan-tawanan itu. Tetapi tidak
seorang pun yang dapat mengatakan sesuatu tentang
panembahan tidak bernama itu."
"Baiklah. Kami akan mencoba mendapat keterangan dari
mereka, meskipun sudah tentu keterangan itu tidak akan
memuaskan." "Tetapi hal itu dapat kau pergunakan sebagai bahan yang
cukup penting di daerah tugasmu sekarang ini."
"Ya. Jika orang itu dapat lolos dari tangan Kiai, maka kami
di sini, para prajurit, perlu mempertimbangkan. Mungkin pada
suatu saat ia akan datang dan melepaskan dendamnya
terhadap para prajurit. Karena itu, kami harus bersiap
menghadapinya, meskipun akan terlampau berat."
"Ada suatu hal yang dapat kau jadikan dasar perhitungan
menurut pengamatanku, Ki Wanakerti," berkata Kiai Gringsing
kemudian. "Meskipun ada satu dua orang yang menonjol di
antara mereka, namun kekuatan mereka sama sekali tidak
seimbang yang seorang dengan yang lain. Ada di antara
mereka yang mampu meloloskan diri dari tangan kami, tetapi
ada yang hampir tidak berarti. Justru kebanyakan dari mereka
adalah orang-orang kasar yang tidak mempunyai dasar ilmu
apa pun selain kekasarannya itu. Sedangkan para prajurit,
meskipun di antaranya tidak ada yang mampu mengimbangi
Ki Gede Pemanahan, namun hampir semuanya memiliki
kemampuan dan ilmu yang sejajar, sehingga apabila terpaksa
kalian harus berhadapan dengan mereka, maka kalian dapat
membentuk kelompok-kelompok yang kuat."
Ki Wanakerti mengangguk-angguk. Katanya, "Aku harus
sudah menyusunnya. Dan kelompok-kelompok itu harus
meyakinkan. Jika kita meronda di sekitar tempat ini dan di
jalan menuju ke luar, kami harus melepaskan kelompokkelompok
itu." "Ya," sahut Kiai Gringsing, lalu ia pun bertanya, "sampai ke
mana saja para pengawal tanah Mataram ini meronda?"
"Kami tidak keluar terlalu jauh dari Alas Tambak Baya.
Sebenarnya kami tidak ingin memasuki hutan ini karena hutan
ini dapat menimbulkan persoalan. Hutan ini bukan bagian
tersendiri dari Alas Mentaok. Tetapi hutan ini adalah hutan
yang terpisah dan berdiri sendiri. Orang-orang Pajang akan
dapat mempersoalkannya jika mereka menyadari akan hal ini.
Tetapi kami terpaksa memasuki hutan ini karena para
penyamun dan orang-orang yang tidak senang melihat
Mataram berkembang berusaha untuk menghentikan arus
manusia yang dapat membuat Mataram menjadi semakin
ramai. Bahkan jalur-jalur perdagangan hampir berhenti sama
sekali. Karena itu, kami mengirimkan beberapa orang untuk
mengawasi hutan ini, dan saat ini kebetulan akulah yang
sedang bertugas di sini." Ki Wanakerti berhenti sejenak, lalu,
"Tetapi tugas kami belum memenuhi keinginan kami. Ternyata
arus manusia dan arus perdagangan masih belum dapat pulih
kembali. Setiap kali masih saja ada orang yang hilang dan
pedagang yang mengalami perampokan."
"Dan sekarang Ki Wanakerti mengetahui, bahwa orangorang
yang berada di mulut lorong ini sebenarnya adalah
mereka itu. Orang-orang yang berjualan dan beberapa orang
yang tampaknya sebagai petani-petani yang sedang
beristirahat itu." "Itulah kebodohan kami. Kami sama sekali tidak
memperhitungkan mereka. Apalagi penjual makanan itu."
"Ialah pemimpin dari setiap perampokan itu. Dan orang itu
pulalah yang menyebut dirinya panembahan tidak bernama
itu." Ki Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya ketika
Kiai Gringsing menceriterakan para penyamun itu lebih jauh
lagi. "Sokurlah. Aku baru saja datang dari meronda di daerah
Barat sambil mengantarkan tiga orang pedagang sampai ke
daerah peronda gardu berikutnya di pintu Alas Tambak Baya.
Jika saat itu akulah yang berjumpa dengan panembahan tidak
bernama itu, maka aku dan sekelompok pasukanku akan
binasa. Tetapi kini aku akan membentuk kelompok-kelompok
yang Kiai maksudkan itu."
"Ya, hati-hatilah. Mungkin kekalahannya kali ini akan
merangsang orang itu untuk melakukan perbuatan yang lebih
jauh lagi." "Tetapi kami dapat tidur nyenyak selama Kiai ada di sini."


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak akan berhenti di sini. Aku sedang mengantar Ki
Demang Sangkal Putung ke Menoreh."
Ki Wanakerti mengerutkan keningnya. Dipandanginya Kiai
Gringsing dan kawan-kawannya dengan heran.
"Jadi Kiai tidak sedang pergi ke Mataram?" bertanya Ki
Wanakerti. Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
"Tidak. Kali ini kami akan pergi ke Menoreh."
"Kenapa Kiai tidak singgah sebentar dan menemui Raden
Sutawijaya. Ia tentu senang sekali menerima kunjungan Kiai di
saat seperti ini. Sebenarnyalah bahwa Kiai dan kedua murid
Kiai itu sudah ditunggu."
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Pada suatu saat kami
akan singgah. Mungkin setelah kami kembali dengan selamat
dari Menoreh. Apabila kami dapat menyelesaikan tugas kami
dengan baik, maka kami akan mendapat kesempatan barang
sehari dua hari untuk singgah."
Ki Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
ia bertanya pula, "Berapa hari Kiai berada di Menoreh?"
"Kami tidak dapat mengatakannya. Tetapi kami harus
secepatnya kembali ke Sangkal Putung. Ki Demang tidak
dapat meninggalkan tugasnya terlampau lama bersama-sama
dengan anak laki-lakinya sekaligus."
Wanakerti masih mengangguk-angguk.
"Nah, salamku kepada Raden Sutawijaya dan kepada Ki
Lurah Branjangan." "Ki Lurah Branjangan?"
"Ya. Aku bertemu dengan Ki Lurah pada perhelatan
perkawinan Untara." "O. Ia memang mendapat tugas untuk datang saat itu."
"Dan ia pun mengalami sesuatu yang dapat dijadikan
bahan pembicaraan dengan Raden Sutawijaya dan Ki Gede
Pemanahan. Sedang kini, kau di sini menghadapi hal yang
hampir serupa." Ki Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku
sudah mendengar ceritera Ki Lurah Branjangan."
"Dan kini Ki Lurah Branjangan harus mendengar pula
ceriteramu." "Ya," sahut Ki Wanakerti, "semua pemimpin dari tanah
Mataram harus mendengarnya. Tetapi ada satu yang sama
dari ceriteraku dan ceritera Ki Lurah Branjangan."
"Apa?" "Bahwa baik peristiwa di Jati Anom dan Banyu Asri itu, mau
pun peristiwa di Alas Tambak Baya, bahkan di Alas Mentaok
ketika Kiai Damar dan Kiai Tapak Jalak masih merajalela,
selalu muncul beberapa orang bercam-buk dan seorang yang
bersenjata Trisula yang aneh. Kini orang itu muncul pula di
sini. Malahan bersama Ki Demang Sangkal Putung."
"Ah," desah Kiai Gringsing, "itu hanya suatu kebetulan.
Tentu ada berpuluh-puluh peristiwa yang telah terjadi dan
ditangani sendiri oleh Ki Gede Pemanahan dan Raden
Sutawijaya." "Tentu. Tetapi justru peristiwa yang tidak kalah besar telah
dengan kebetulan kalian selesaikan. Dan sudah barang tentu
Ki Gede Pemanahan akan mengucapkan terima kasih kepada
kalian." "Lain kali kami akan singgah. Tetapi kali ini kami terpaksa
sekali meneruskan perjalanan, karena perjalanan kami kali ini
adalah perjalanan yang sangat penting bagi kami dan
terutama bagi Swandaru."
Ki Wanakerti tidak dapat menahan lebih lama lagi. Kiai
Gringsing dan kawan-kawannya tidak mau tinggal lebih lama
lagi di gardu itu. Tetapi alasan mereka dapat dimengerti oleh
Ki Wanakerti, sehingga Ki Wanakerti tidak menahan lebih
lama lagi. "Kami mengucapkan selamat jalan. Tetapi yang telah
terjadi merupakan peringatan bagi kami. Ternyata bahwa di
hutan ini ada kekuatan yang tidak dapat kami anggap ringan.
Bahkan yang sebenarnya adalah jauh lebih besar dari
kekuatan kami seorang demi seorang."
"Ingat, Ki Wanakerti. Berapa orang yang mempunyai
kekuatan yang tidak terduga itu. Kiai Damar, Kiai Telapak
Jalak, orang-orang yang menyerang Jati Anom dan sekarang
dua orang lagi. Meskipun dari yang dua itu seorang telah
terbunuh, namun masih ada seorang lagi yang mungkin dapat
mencari kawan baru yang memiliki kekuatan serupa. Tetapi
mungkin juga orang yang menyebut dirinya panembahan tidak
bernama itu justru termasuk orang terpenting dari lingkungan
yang masih merupakan rahasia bagi Mataram."
"Ya. Aku segera menyampaikannya kepada Ki Gede
Pemanahan. Segera setelah kami menyadari, kami akan
membentuk beberapa kelompok pengawal untuk menghadapi
setiap kemungkinan."
"Baiklah. Kami akan segera mohon diri. Terserahlah orangorang
yang datang bersama kami. Baik para penyamun mau
pun orang-orang yang sebenarnya ingin pergi ke Mataram itu.
Selebihnya kami serahkan juga mayat-mayat yang masih
berserakan di hutan itu. Kami harap mayat-mayat itu dapat
diselenggarakan seperlunya."
"Baik, Kiai. Kami mengucapkan terima kasih, tentu Raden
Sutawijaya menunggu kedatangan kalian di Mataram."
Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya. Tetapi ia pun
segera minta diri bersama Ki Sumangkar, kedua muridmuridnya,
dan Ki Demang Sangkal Putung. Mereka ingin
segera sampai ke tempat tujuan, setelah perjalanan mereka
terganggu beberapa lamanya. Dan mereka pun menyadadari
bahwa mereka akan bermalam di perjalanan.
Tetapi bagi mereka, bermalam di mana pun juga bukan
merupakan persoalan lagi, karena mereka sudah
membiasakan diri bertualang, selain Ki Demang Sangkal
Putung. Demikianlah, maka Kiai Gringsing bersama rombongan
kecilnya itu pun segera meninggalkan gardu yang ternyata
dipimpin oleh Ki Wanakerti itu. Beberapa orang pengawal
memandang mereka dengan hati yang berdebar-debar.
Hampir saja timbul salah paham di antara mereka. Jika terjadi
sesuatu, maka Ki Wanakerti tentu akan sangat marah kepada
mereka Tetapi ketika Ki Wanakerti sempat berceritera tentang Kiai
Gringsing dan rombongan kecilnya, maka para pengawal itu
hanya dapat mengusap dadanya. Nama Kiai Gringsing
memang pernah mereka dengar. Tetapi mereka tidak berpikir
jauh. Seandainya terjadi sesuatu, bukan Ki Wanakerti marah
kepada mereka, tetapi Ki Wanakerti akan merenungi mayatmayat
mereka yang berserakan seperti mayat penyamun itu.
"Jadi mereka itulah yang disebut orang-orang bercambuk
itu, Ki Wanakerti?" bertanya seorang pengawal.
"Ya. Bukankah kalian melihat senjata orang-orang itu
adalah hanya sehelai cambuk."
"Tetapi cambuk itu mampu membunuh. Mampu membelah
lambung." "Itulah keahlian mereka. Cambuk itu berkarah besi baja
yang tipis, hampir tidak terlihat. Jika mereka menghendaki,
maka tarikan yang khusus dari permainan cambuknya akan
menyobek daging. Tetapi jika mereka tidak menghendaki,
maka dengan cara yang hanya dapat dipelajari dalam waktu
yang lama, maka bekas lukanya pun seakan-akan tidak lebih
parah dari lecutan cambuk gembala kambing."
Para prajurit Mataram itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Itulah agaknya yang membuat luka-luka yang
berbeda-beda pada para penyamun itu pada tubuh mereka.
Ternyata bahwa Kiai Gringsing dan kedua muridnya benarbenar
menguasai permainan cambuk mereka dengan baik.
Dalam pada itu, maka Ki Wanakerti pun segera
memerintahkan pengawal-pengawal itu untuk
menyelenggarakan mayat para penyamun yang terbunuh.
Tetapi sehubungan dengan keterangan Kiai Gringsing bahwa
masih ada seorang yang perlu mendapat perhatian, orang
yang menyebut dirinya panembahan tidak bernama itu, maka
Ki Wanakerti pun telah membagi anak buahnya menjadi dua
kelompok. Yang separo tinggal di gardu dan yang lain pergi ke
bekas arena perkelahian itu untuk mengubur mayat-mayat
yang masih berhamburan. Sementara itu, Kiai Gringsing bersama kedua muridnya, Ki
Demang Sangkal Putung, dan Ki Sumangkar, telah menjadi
semakin jauh terbenam ke dalam hutan yang lebat meskipun
tidak begitu luas. Namun mereka masih harus melintasi hutan
yang lebih besar lagi, yaitu Alas Mentaok yang sedang dibuka
untuk menjadi suatu daerah yang ramai dan dinamai Mataram
di bawah pimpinan Raden Sutawijaya.
Tetapi pembukaan hutan itu tidak dapat berlangsung
secepat dikehendaki oleh orang-orang Mataram. Banyak
rintangan yang harus dihadapi. Namun satu demi satu
rintangan-rintangan itu dapat di atasinya.
Demikianlah ketika malam tiba, Kiai Gringsing dan
rombongan kecilnya masih belum menyeberangi Kali Praga.
Mereka sengaja bermalam di sebelah Timur sungai di sebuah
padang perdu tidak begitu jauh lagi dari tepian.
Setelah mengikat kuda-kuda mereka, maka mereka pun
mencari tempat yang baik dan tidak berbahaya, karena
kadang-kadang ular banyak berkeliaran di padang perdu.
Tetapi karena di dekat Kali Praga, tanahnya berpasir, maka
agaknya ular tidak begitu senang tinggal di daerah itu.
"Bagaimana kita besok menyeberang?" bertanya Swandaru
kepada Kiai Gringsing. "Kita bergeser sedikit ke Selatan. Di jalur jalan
perdagangan antara sebelah Barat dan sebelah Timur sungai
itu pasti terdapat tempat penyeberangan."
"Jalur jalan yang mana yang Guru maksud?" bertanya
Swandaru pula. "Sudah sejak beberapa waktu yang lalu, hubungan antara
daerah di sebelah Barat dan di sebelah Timur berlangsung
dengan ramainya. Meskipun pada waktu-waktu yang lampau,
pusat perdagangan di sebelah Timur Kali Praga berpusat di
ujung Selatan, di daerah Kademangan Mangir dan sekitarnya.
Kemudian daerah Pliridan yang lewat jalur yang agak sulit
menghubungkan daerah itu dengan daerah Prambanan lewat
jalan Selatan, dan yang akhir-akhir ini mulai ramai pula jalan
tembus di Hutan Tambak Baya dan Hutan Mentaok. Namun
yang kemudian terhenti karena para penyamun itu."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Agung
Sedayu pun bertanya, "Apakah hanya ada sebuah tempat
penyeberangan?" "Tentu tidak. Di musim kering, kita dapat menyeberang
tanpa perahu meskipun agak berbahaya di daerah yang agak
ke Utara. Tetapi lebih baik kita menyeberang di daerah
penyeberangan itu dengan getek. Apalagi kini kita membawa
beberapa ekor kuda."
Kedua anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Bagi Sumangkar, jalan ke Menoreh itu sama sekali
tidak menjadi persoalan. Ia sudah sering menyeberangi
sungai-sungai yang besar di sebelah Timur, dan ia pun pernah
juga menyeberangi Sungai Praga bersama Sekar Mirah
seperti juga Agung Sedayu dan Swandaru. Namun pada saat
itu mereka memang tidak membawa kuda.
Namun bagi Ki Demang, menyeberangi Kali Praga itu
masih juga menjadi pikirannya. Tetapi untunglah bahwa bukan
musimnya Kali Praga menjadi besar dan apalagi banjir.
Demikianlah, maka malam itu mereka bermalam di sebelah
Kali Praga. Ternyata tempat itu merupakan tempat yang
tenang dan tidak berbahaya sama sekali.
Meskipun demikian, mereka tidak kehilangan
kewaspadaan. Berganti-ganti mereka berjaga-jaga. Meskipun
tampaknya tempat itu tidak berbahaya, tetapi tidak seorang
pun yang mengetahui apa yang tersembunyi di balik
dedaunan dan pepohonan. Di setengah malam pertama, Kiai Gringsing mendapat
giliran bersama Swandaru, sedang di setengah malam kedua
Ki Sumangkar berjaga-jaga bersama Agung Sedayu dan Ki
Demang Sangkal Putung. Demikianlah, ketika fajar menyingsing di Timur, mereka pun
segera berkemas. Mereka membersihkan diri di Kali Praga
dan kemudian menyusur ke Selatan.
Semakin dekat dengan laut Selatan, maka Kali Praga itu
tampaknya menjadi semakin lebar dan dalam. Airnya tidak
mengalir deras lagi. Tetapi rasa-rasanya sungai itu menjadi
bertambah garang. Karena masih terlampau pagi, maka belum banyak orang
yang menyeberang di seberangan Kali Praga itu. Tetapi sudah
ada satu dua getek yang menyusur tepian sebelahmenyebelah.
Kiai Gringsing dan kawan-kawannya pun kemudian
memanggil sebuah getek untuk menyeberang. Mereka berlima
dan kuda-kuda mereka. Mula-mula pemilik getek itu dan seorang kawannya tampak
ragu-ragu. Bahkan kawannya itu hampir saja tidak bersedia.
Namun Kiai Gringsing dengan hati-hati mencoba memberikan
kesan, bahwa mereka adalah orang-orang yang sedang dalam
perjalanan yang jauh. "Apakah tidak pernah ada orang berkuda menyeberang
sungai ini?" bertanya Kiai Gringsing.
"Ada juga, Ki Sanak. Tetapi akhir-akhir ini kami melihat
kesibukan yang meningkat di Mataram. Para pengawal
menjadi terlampau sibuk. Beberapa orang kadang-kadang
tampak mengawasi tempat ini. Bahkan kadang-kadang
mereka duduk hampir sehari penuh di tepian."
"Apakah salahnya?"
"Tidak apa-apa, Ki Sanak. Tetapi jika kami menyusur
sungai ini lebih ke Selatan. Maka kami melihat kesibukan yang
serupa. Tetapi bukan pengawal dari Mataram. Mereka adalah
pengawal dari kademangan di tlatah Mangir."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Apakah terjadi
sedikit ketegangan antara Mataram yang sedang tumbuh ini
dengan Mangir" Tetapi Kiai Gringsing tidak bertanya lebih lanjut. Ia purapura
tidak memperhatikan persoalan pengawal dari Mataram
dan pengawal-peengawal Kademangan Mangir.
"Ki Sanak," berkata pemilik getek itu, "ternyata bukan saja
di sebelah Timur sungai. Tetapi di sebelah Barat sungai ini
pun tampak kegiatan para pengawal yang meningkat.
Sebelumnya kami hampir tidak pernah melihat seorang


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengawal pun dari Tanah Perdikan Menoreh yang sampai ke
tepian Kali Praga. Tetapi kini sekali dua kali kami melihat
pengawal-pengawal berkuda seakan-akan mengawasi daerah
penyeberangan ini. Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Betapa
hatinya berdebaran, namun sama sekali tidak berkesan apa
pun di wajahnya. Bahkan ia masih juga bertanya, "Jadi di
sebelah Barat sungai ini, sudah termasuk daerah kekuasaan
Tanah Menoreh." "Ya. Tanah Perdikan Menoreh terbentang dari ujung
Selatan sampai ke Utara. Agak panjang, meskipun tidak
terlampau melebar ke Barat. Namun Tanah Perdikan
Menoreh, termasuk daerah yang luas. Tetapi di dalam daerah
yang luas itu, beberapa bagian terdiri dari bukit-bukit yang
tandus, meskipun bagian yang lain adalah dataran yang
subur." Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia sebenarnya sudah
memahami daerah Tanah Perdikan Menoreh itu. Bukit-bukit
yang keras membentang ke Utara. Namun di sebelah Timur
dari bukit-bukit padas itu adalah tanah yang subur.
"Ki Sanak," bertanya Kiai Gringsing kemudian, "apakah
dengan demikian berarti kegiatan perdagangan lewat daerah
penyeberangan ini menjadi susut?"
"Tidak," pemilik getek itu menggeleng, "tetapi aku kenal
hampir semua pedagang yang sering lewat daerah ini. Aku
mengenal mereka seorang demi seorang dengan baik. Dan
kami memang agak ragu-ragu melihat Ki Sanak serombongan
kecil ini, karena Ki Sanak bukan pedagangpedagang
yang kami kenal itu. Apalagi ujud dan sikap kalian
memang bukan sikap yang sering kami jumpai di dalam
penyeberangan ini." Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ternyata para pemilik
getek di daerah penyeberangan ini mempunyai pandangan
yang tajam terhadap orang-orang yang lewat.
"Mereka setiap hari melihat orang-orang yang kemudian
mereka kenal itu menyeberang. Bahkan sikap dan kebiasaan
mereka. Mungkin barang-barang yang mereka bawa," berkata
Kiai Gringsing di dalam hatinya.
"Ki Sanak," katanya kemudian, "sebaiknya Ki Sanak tidak
ragu-ragu. Kami memang orang-orang yang jarang sekali
lewat daerah ini. Tetapi bukan berarti bahwa kami tidak
pernah sama sekali lewat. Mungkin kecurigaan Ki Sanak atas
kami beralasan. Namun sebenarnyalah kami adalah orangorang
yang ingin berkunjung kepada sanak saudara kami
yang kebetulan tinggal di Menoreh. Di Tanah Perdikan
Menoreh." Pemilik getek itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sejenak mereka merenung. Namun kemudian pemilik getek
itu mengangguk-anggukkan kepalanya, "Baiklah. Marilah Ki
Sanak naik." Kiai Gringsing dan kedua muridnya, Ki Sumangkar dan Ki
Demang Sangkal Putung pun kemudian naik ke atas getek
bersama dengan kuda-kuda mereka. Sejenak kemudian maka
getek itu pun mulai bergerak dan melintas arus Kali Praga
yang tidak begitu deras. Di tengah-tengah sungai, Kiai Gringsing masih sempat juga
bertanya, "Apakah Ki Sanak pernah mendapat kesulitan dari
orang-orang yang menyeberang?"
Tukang getek itu tidak segera menyahut. Dipandanginya
wajah kawan-kawannya sejenak. Tampaklah keragu-raguan
membayang di tatapan mata mereka.
Namun pemilik getek itu akhirnya menjawab, "Pada
umumnya tidak, Ki Sanak."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Kemudian katanya
pula, "Aku dapat menangkap keteranganmu. Pada umumnya
memang tidak. Tetapi dengan demikian kadang-kadang kau
pernah juga mendapat kesulitan itu."
Dengan ragu-ragu orang itu mengangguk.
"Apakah yang pernah terjadi?" bertanya Kiai Gringsing
pula. "Jika Ki Sanak tidak berkeberatan, aku ingin mendengar
ceritera dan pengalaman Ki Sanak selama menjadi tukang
getek ini." Orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera
menjawab. "Ki Sanak," berkata Kiai Gringsing, "aku memang orang
yang jarang sekali menyeberang. Karena itu aku dan kawankawanku
ingin berhati-hati, barangkali tiba-tiba saja kami
dihadapkan pada suatu persoalan yang tidak kami duga-duga
sebelumnya." Tukang satang itu menelan ludahnya. Namun kemudian
katanya, "Tidak banyak kesulitan yang pernah aku alami di
sini. Hanya memang pernah terjadi, seorang penumpang
getek ini berbuat kasar terhadap penumpang yang lain.
Bahkan merampas segala barang-barang yang mereka bawa."
"O, mereka adalah penyamun."
"Ya. Mereka telah menyamun semua barang-barang milik
para penumpang. Bahkan salah seorang telah mereka
lukainya." Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dan Ki Sumangkar
yang selama itu mendengarkan ceritera itu pun bertanya, "Ki
Sanak saat itu menyeberangkan para penumpang itu dari sisi
Timur ke Barat atau sebaliknya."
"Aku membawa mereka dari sisi Barat ke Timur. Begitu
getek kami merapat di tepian, orang itu pun segera meloncat
dan lari menghilang di dalam semak-semak. Kami sama sekali
tidak dapat berbuat apa-apa. Apalagi orang itu bersenjata."
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi Agung Sedayu masih bertanya, "Apakah
penyamun itu hanya seorang" Dan berapa orangkah yang
telah dirampas barangnya?"
"Ya. Penyamun itu hanya seorang. Waktu itu semua
penumpang getek ini adalah enam orang."
"Semuanya laki-laki?"
"Ya, Semuanya laki-laki. Tetapi mereka tidak dapat berbuat
apa-apa. Seorang yang lambat memberikan barangbarangnya
telah dilukainya dengan senjatanya itu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi menurut
dugaannya orang itu adalah penyamun biasa. Bukan golongan
orang-orang yang mendapat tugas untuk memagari Mataram.
Meskipun demikian kemungkinan itu pun dapat juga terjadi,
betapa pun kecilnya. Sejenak kemudian mereka pun tidak lagi berbicara untuk
beberapa saat. Swandaru duduk dibibir getek sambil
memandangi air yang berwarna coklat keputih-putihan. Sekalisekali
tanpa disadarinya tangannya menyentuh air yang agak
keruh itu. Namun tiba-tiba saja terasa bulu-bulunya meremang ketika
ia melihat sesuatu yang hanyut di dalam air yang keruh itu.
Tidak terlalu cepat, karena arus air Kali Praga semakin dekat
dengan muaranya menjadi semakin lamban, sekali-sekali
tampak sesuatu itu mengambang di atas air, namun sekalisekali
hilang di bawah permukaan.
"Guru," terdengar suaranya bergetar, "Lihat."
Semua orang berpaling ke arahnya.
"Lihat," ia mengulangi sambil menunjuk kepada benda yang
terapung itu. "Uh," Ki Demang berdesah, sementara Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. "Apakah hal itu sering terjadi?" bertanya Kiai Gringsing
kepada tukang getek itu. Tetapi wajah tukang getek itu pun menjadi tegang.
Jawabnya, "Akhir-akhir ini kadang-kadang memang terdapat
mayat yang hanyut di Kali Praga. Dua hari yang lalu, kami
melihatnya pula." "Sebelum dua hari yang lalu, apakah hal yang serupa
pernah terjadi?" Tukang getek itu menggelengkan kepalanya. Tetapi ia
berkata, "Hampir sebulan yang lalu. Tetapi aku tidak
melihatnya sendiri."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi berbagai
pertanyaan menyentuh dasar hatinya.
"Apakah mungkin pula penyamun seperti yang pernah
terjadi di sini?" desis Agung Sedayu. Tetapi tiba-tiba saja ia
bertanya, "Apakah di sebelah Utara terdapat pula tempat
penyeberangan?" "Ya, tetapi agak jauh."
"Apakah mungkin mayat-mayat itu hanyut dari tempat itu?"
Pemilik getek itu tidak menyahut. Tetapi dilayangkannya
tatapan matanya menyusur sungai yang panjang dan luas itu.
"Jika pada suatu ketika hal itu menjalar kemari," tukang
getek yang lain bergumam, "kami akan kehilangan mata
pencaharian, karena tidak ada lagi orang yang mau
menyeberang." Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia
bertanya, "Apakah mayat itu dibiarkannya saja hanyut?"
"Apakah yang dapat kita lakukan?"
"Apakah tidak ada yang mengambilnya dan
menguburkannya baik-baik."
Pemilik getek itu merenung sejenak, lalu, "Ada juga niat
kami melakukannya. Tetapi kami tidak tahu sebab kematian
orang itu. Bagaimana jika ada penyakit yang menular?"
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Bahkan Swandaru pun ikut mengangguk-angguk pula.
Ternyata para tukang getek di Kali Praga itu pun sudah
mempunyai pertimbangan yang jauh.
Sambil memandangi mayat yang terapung-apung itu,
Agung Sedayu berkata pula, "Memang ada juga bahayanya
jika terjadi ada penyakit menular di padukuhan-padukuhan
sebelah-menyebelah sungai ini. Tetapi apakah mungkin
seseorang yang meninggal karena penyakit menular
dilemparkan be-gitu saja ke dalam sungai?"
"Tentu kami tidak mengetahui dengan pasti. Tetapi
kemungkinan itu memang ada. Orang-orang yang terkena
penyakit menular kadang-kadang diasingkan sehingga tidak
ada orang yang mengurusinya. Mungkin ia mati selagi ia
berada di tepi sungai ini, atau sebab-sebab yang lain,
sehingga ia ter-jerumus masuk ke dalamnya."
Agung Sedayu masih mengangguk-angguk meskipun rasarasanya
masih saja ia ingin mendengar penjelasan orang itu.
Namun demikian ia tidak bertanya lagi.
Tetapi dalam pada itu Kiai Gringsinglah yang bertanya, "Ki
Sanak. Memang mungkin penyakit menular itu menghantui
kalian di sini. Tetapi apakah ada alasan lain daripada penyakit
menular itu?" Pemilik getek itu menggelengkan kepalanya. Katanya,
"Tidak. Tidak ada alasan apa pun."
Kiai Gringsing memandanginya dengan tajamnya, lalu, "Ki
Sanak. Aku minta maaf kalau kali ini aku salah menebak.
Tetapi menurut dugaanku, memang ada persoalan lain yang
membuat kalian di sini ragu-ragu untuk mengambil mayatmayat
itu." Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, "Menurut
dugaanku, kalian selain takut akan kemungkinan penyakit
menular itu kalian juga takut terlibat pada suatu tindakan
kejahatan apabila kalian mengambil mayat itu, karena kalian
menduga bahwa di bagian atas dari padukuhan di pinggir
sungai ini telah terjadi kerusuhan. Agar kalian tidak terseret
dalam suatu persoalan yang kalian tidak tahu-menahu, maka
kalian lebih baik sama sekali tidak campur tangan. Bukankah
begitu?" Pemilik getek itu mengerutkan keningnya. Sejenak ia diam
mematung. Namun sejenak kemudian ia berkata dengan
suara gemetar, "Tidak. Tidak. Aku tidak mengatakan begitu."
"Tetapi apakah kau menganggap bahwa tidak ada
perasaan itu di dalam hatimu?"
Pemilik getek itu tidak segera menyahut. Namun kemudian
ia berkata, "Kita sudah sampai."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Mereka
memang sudah sampai di seberang.
"Terima kasih," berkata Kiai Gringsing, "kami akan
melakukan perjalanan di daerah Menoreh. Tetapi beritahukan
kepada kami, apakah pernah kau lihat sesuatu terjadi di
daerah ini" Misalnya kekerasan dan semacamnya yang dapat
kau lihat dari getekmu?"
Orang itu menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tidak."
"Benar?" Orang itu memandang ke sekitarnya. Rasa-rasanya ada
sesuatu yang membayangi perasaannya. Namun kemudian ia
berkata, "Tidak. Tidak ada sesuatu yang pernah terjadi.
Daerah itu diawasi dengan saksama oleh para pengawal
Tanah Perankan Menoreh. Seperti yang aku katakan, setiap
kali ada peronda yang lewat di daerah ini."
"Terima kasih," sahut Kiai Gringsing.
Setelah memberikan upah penyeberangannya, maka
mereka berlima pun naik ke tepian sebelah Barat sambil
menuntun kuda mereka. Kemudian setelah mereka berada di
tempat yang datar, mereka pun segera melanjutkan perjalanan
mereka di atas punggung kuda.
Jalan yang mereka lalui adalah jalan yang rata. Berbeda
dengan perjalanan mereka selama di hutan Tambak Baya dan
Mentaok, mereka pun tidak menemui hambatan-hambatan.
Kuda-kuda mereka dapat berlari meskipun tidak terlalu
kencang karena berbagai macam pertimbangan. Agar tidak
menumbuhkan kecurigaan mereka berusaha untuk tidak
menarik perhatian dan berbuat sesuatu yang asing.
"Daerah ini masih tetap subur dan tenang," berkata
Swandaru. "Ya. Seperti ketika kita meninggalkannya," sahut Agung
Sedayu. "Tetapi ada juga bedanya," berkata Kiai Gringsing,
"ternyata Menoreh menganggap perlu meningkatkan
pengawasannya di sepanjang Kali Praga. Tentu hal itu
dilakukannya bukan tanpa alasan."
Ki Sumangkar-lah yang menyahut, "Ya. Tentu ada
alasannya. Tetapi menurut pendapatku, hal itu bukan timbul
karena persoalan yang terjadi di Menoreh sendiri."
"Ya. Aku sesuai. Menoreh tidak mau menjadi tempat
pelarian, atau alas dan sarang dari orang-orang yang menjadi
buruan di Mataram dengan berbagai alasan," sahut Kiai
Gringsing. "Itulah alasan yang tepat," Ki Demang yang selama itu


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdiam diri itu menyahut, "aku pun sama sekali tidak akan
membiarkan daerahku menjadi tempat persembunyian orangorang
buruan dari tlatah di sekitar Sangkal Putung."
"Yang menjadi persoalan kemudian," berkata Kiai
Gringsing, "apakah Menoreh sudah mencium persoalan
orang-orang yang berusaha memagari Mataram, atau
Menoreh sendiri tidak senang melihat Mataram berkembang."
"Tentu bukan," Swandaru-lah yang menyahut. "Menoreh
tidak akan mengambil sikap demikian."
Kiai Gringsing memandang Swandaru sejenak. Namun ia
pun kemudian tersenyum. Katanya, "Tentu. Ki Gede Menoreh
tidak akan mengambil sikap demikian. Ki Gede Menoreh
adalah orang yang berjiwa besar. Apalagi ia yakin akan
perkembangan daerahnya sendiri. Tetapi Ki Gede Menoreh
tidak berdiri sendiri."
"Maksud Guru orang-orang yang ada di sekitarnya"
Pembantunya atau pelaksana di padukuhan-padukuhan
apalagi yang jauh dari padukuhan induk?"
Kiai Gringsing memandang Swandaru sejenak. Kemudian
kepalanya terangguk kecil sambil menjawab, "Semuanya baru
merupakan dugaan. Mungkin benar dan mungkin sama sekali
tidak benar. Seperti di Pajang, ada perwira-perwira yang
dengan keras menentang perkembangan Mataram, sedang
yang lain masih dapat menilai keadaan dengan tenang."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya,
"Memang mungkin."
"Orang-orang di sebelah sungai ini mempunyai kepentingan
langsung dengan perkembangan Mataram," berkata Ki
Sumangkar kemudian. "Ada yang merasa beruntung apabila di
seberang Timur sungai menjadi ramai. Tetapi ada yang
merasa disaingi. Semula orang-orang di sebelah Selatan Alas
Mentaok mengambil bahan-bahan keperluan sehari-hari di
sebelah Barat Kali Praga. Tetapi jika Alas Mentaok sudah
menjadi ramai dan menjadi sumber bahan-bahan yang
serupa, maka hal itu akan menjadi persaingan yang berat bagi
daerah seberang sungai. Orang-orang di sekitar Alas Mentaok
tidak perlu lagi menyeberangi Kali Praga untuk mendapat
bahan keperluannya yang sebelumnya harus dibelinya dari
daerah Menoreh." "Tetapi tentu bukan atas persetujuan Ki Gede Menoreh,"
sahut Swandaru. "Tentu tidak," berkata Sumangkar selanjutnya, "dan sikap
itu adalah sikap yang mencerminkan kekerdilan pikiran. Tetapi
ada saja orang yang berpikiran kerdil serupa itu."
Swandaru merenung sejenak. Tetapi ia tidak segera
menjawab. "Tetapi," Kiai Gringsing-lah yang berbicara kemudian,
"orang-orang yang mempunyai pandangan jauh justru akan
menyambut perkembangan Mataram dengan senang hati,
karena perkembangan Mataram tentu akan menumbuhkan
kemungkinan-kemungkinan baru meskipun ada juga persaingan
yang akan timbul. Tetapi Mataram pasti memerlukan
banyak hal yang tidak dapat dihidupinya sendiri, sehingga
harus ada hubungan timbal-balik yang saling menguntungkan
dengan daerah di sekitarnya. Jika Mataram akan membuka
tanah pertanian yang luas, sehingga mereka tidak
memerlukan padi dari Menoreh, namun Mataram harus
mengambil ternak dan barangkali barang pecah belah,
jembangan, kendi, mangkuk, dan gerabah lainnya."
Swandaru mengangguk-angguk. Bahkan Agung Sedayu
dan Ki Demang pun mengangguk-angguk pula. Mereka dapat
mengerti, bahwa goncangan yang dapat timbul karena
lahirnya daerah baru itu, apabila tidak dilandasi dengan
prasangka, akan tidak menumbuhkan pengaruh buruk.
Bahkan apabila kedua belah pihak berbuat dengan jujur, maka
akan dapat menimbulkan hubungan yang menguntungkan.
"Tetapi apakah hubungan yang demikian dapat dijalin
antara Mataram dengan Menoreh," pertanyaan itu masih juga
sering timbul. Apalagi pertanyaan yang serupa, "Bagaimana
dengan Pajang?" Sejenak kelima orang berkuda itu saling berdiam diri.
Matahari yang menjadi semakin tinggi memancarkan
cahayanya yang cerah di langit yang bersih. Di hadapan
mereka terbentang tanah persawahan yang subur dan luas.
Tetapi sebentar lagi, di seberang Kali Praga itu pun akan
terdapat tanah persawahan yang serupa.
Dalam pada itu, ternyata perjalanan mereka telah menarik
perhatian beberapa orang petani yang sedang bekerja di
sawah. Meskipun mereka sering juga melihat orang-orang
berkuda yang lewat jalan itu, tetapi kelima orang berkuda yang
lewat itu pasti bukan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Meskipun demikian, para petani itu segera tidak
menghiraukannya lagi. Bukan hal yang aneh jika orang-orang
itu adalah orang-orang yang sekedar melintas, atau
seandainya mereka ingin berkunjung kepada sanak
kadangnya yang tinggal di Menoreh pun, bukannya suatu hal
yang mengherankan. Namun demikian, rasa-rasanya ada juga pertanyaan yang
tumbuh di hati mereka sehubungan dengan perkembangan
keadaan terakhir. Terutama di seberang Kali Praga yang
sedang tumbuh menjadi suatu negeri yang ramai.
Demikianlah Kiai Gringsing bersama rombongan kecilnya
berkuda di sepanjang bulak yang panjang. Meskipun tidak
terlalu cepat tetapi kuda mereka itu pun berlari, sehingga
mereka tidak memerlukan waktu yang terlalu lama untuk
mencapai kademangan induk Tanah Perdikan Menoreh.
"Apakah perjalanan ini masih panjang?" bertanya Ki
Demang. "Kita mengharap sebelum tengah hari kita sudah akan
sampai," jawab Kiai Gringsing, "asal tidak ada gangguan apa
pun di perjalanan." Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Dalam
pada itu, ia pun memperhatikan daerah yang masih agak
asing baginya, meskipun ia pernah lewat sepintas ketika ia
masih muda. Hanya lewat daerah ini ketika ia sedang
menempuh perjalanan yang jauh bersama ayahnya dahulu,
ketika ayahnya mengunjungi orang yang sangat dihormati di
sebelah Barat pegunungan Menoreh. Orang itu adalah kakek
ayahnya yang tinggal di lingkungan keluarga neneknya.
Karena itulah ia hampir tidak dapat mengenali lagi tlatah
Menoreh yang berkembang dengan pesatnya itu. Hutan-hutan
menjadi semakin sempit dan jarang. Sedang sawah dan
pategalan menjadi semakin luas.
Tetapi Menoreh sekarang rasa-rasanya menjadi semakin
cantik dengan tanamannya yang hijau terbentang sampai ke
kaki pebukitan. Dalam pada itu, Kiai Gringsing dan rombongan kecilnya
maju terus. Semakin lama semakin dekat dengan padukuhan
induk. Di sepanjang jalan, mereka tidak banyak berbicara
tentang apa pun juga. Bahkan tentang perjalan-an itu sendiri.
Semakin dekat dengan padukuhan induk Tanah Perdikan
Menoreh, Swandaru-lah yang menjadi semakin berdebardebar.
Bahkan kadang-kadang terlontar pertanyaan di dalam
hatinya, "Apakah Pandan Wangi masih ingat kepadanya?"
"Tentu," pertanyaan itu dijawabnya sendiri, "sebagai
seorang yang setia, ia tidak boleh mengingkari janji yang
pernah diucapkannya." Ia merenung sejenak, lalu, "Kecuali
jika Ki Gede Menoreh tidak telaten lagi menunggu karena
justru Ki Gede-lah yang menganggap aku telah ingkar."
Swandaru mengerutkan keningnya. Dan dipersalahkannya
dirinya sendiri. Bahkan gurunya. Ia terlalu lama berada di Alas
Mentaok, melayani hantu-hantu yang berkeliaran. Kemudian
perkawinan Untara dan segala macam persoalan yang
menghambat perjalalannya. Meskipun ia hanya terhambat
beberapa saat saja, rasa-rasanya ia benar-benar terganggu.
Bukan hanya Swandaru sajalah yang menjadi cemas.
Bahkan Kiai Gringsing pun mulai berpikir juga. Pandan Wangi
adalah seorang gadis yang mekar. Jika ia menganggap
Swandaru terlalu lama melupakannya, dan bahkan ia
menganggap bahwa Swandaru tidak akan datang kembali ke
Tanah Perdikan Menoreh, maka ia pun tidak terikat lagi.
"Apakah yang akan terjadi jika kini Pandan Wangi telah
bersuami?" pertanyaan itu pun tumbuh pula di dalam hati Kiai
Gringsing. Namun demikian mereka berjalan terus. Mereka harus
membuktikannya lebih dahulu, apakah memang demikian,
atau hal itu hanyalah semata-mata angan-angan mereka saja.
Kelima orang itu menjadi termangu-mangu ketika mereka
melihat debu yang mengepul di jalan berbatu-batu di hadapan
mereka. Beberapa ekor kuda berlari-lari berlawanan arah
dengan rombongan kecil itu.
"Para pengawal," desis Kiai Gringsing.
"Apakah mereka dapat menghalangi perjalanan kita?"
bertanya Ki Demang. "Mungkin tidak. Kita akan berkata berterus terang."
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
tidak mengatakan sesuatu lagi. Meskipun demikian keningnya
berkerut juga ketika para pengawal Tanah Perdikan itu
menjadi semakin dekat. Dugaan mereka tentang orang-orang berkuda itu ternyata
tepat. Yang datang itu adalah beberapa orang pengawal
berkuda. Empat orang. Mereka adalah anak muda yang belum
pernah dikenal oleh Kiai Gringsing dan kedua muridnya.
Ketika kuda-kuda itu menjadi semakin dekat, seorang
pengawal yang ada di paling depan mengangkat tangannya
dan sekaligus menarik kekang kudanya, sehingga keempat
pengawal itu pun segera berhenti. Demikian pula Kiai
Gringsing dan iring-iringan kecilnya pun telah berhenti pula.
Anak muda yang agaknya memimpin keempat pengawal itu
maju beberapa langkah. Kemudian dengan nada datar ia
bertanya, "Siapakah kalian?"
Kiai Gringsing-lah yang menjawab, "Kami adalah orangorang
Sangkal Putung." "Sangkal Putung?" pemimpin pengawal itu mengulang.
Agaknya ia belum pernah mendengar nama Sangkal Putung.
"Ya. Sangkal Putung," sahut Ki Demang, "apakah Ki Sanak
belum pernah mendengarnya?"
Pengawal itu menggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku
belum pernah mendengar."
"Sangkal Putung adalah sebuah kademangan di sebelah
Timur Alas Tambak Baya. Masih agak jauh. Masih melintasi
daerah Prambanan dan menyeberangi Kali Wedi."
Anak muda itu menggelengkan kepalanya. Namun
kemudian ia berdesis, "Di seberang Alas Tambak Baya.
Bukankah Alas Tambak Baya itu terletak di sebelah Timur
Alas Mentaok." "Ya," sahut Swandaru.
"Jadi kalian datang dari jauh?"
"Ya. Kami datang dari jauh."
"Apakah keperluan kalian."
Kiai Gringsing-lah yang kemudian menyahut, "Kami akan
menghadap Ki Gede Menoreh."
"Menghadap Ki Gede?" bertanya pemimpin pengawal itu
hampir di luar sadarnya. "Ya, kami adalah sahabat-sahabat Ki Gede Menoreh.
Sudah lama kami tidak bertemu. Itulah sebabnya dari jauh
kami perlukan datang kepadanya."
Pemimpin pengawal itu menjadi ragu-ragu. Sejenak ia
berpikir. Lalu dengan nada yang masih tetap ragu-ragu ia
bertanya, "Siapakah nama Ki Sanak?"
"Namaku Kiai Gringsing," jawabnya. Kemudian sambil
menunjuk Ki Sumangkar ia pun memperkenalkannya, "Ini Ki
Sumangkar. Kami berdua pernah tinggal di Tanah Perdikan
Menoreh beberapa lama bersama kedua anak-anak kami ini.
Sedang yang seorang ini adalah Ki Demang di Sangkal
Putung." "O," pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun sebelum ia berkata sesuatu, salah seorang dari
pengawal yang masih muda itu mendesak maju sambil
berkata, "Jadi Ki Sanak ini Agung Sedayu dan Swandaru"
Dan Kiai ini adalah Kiai Gringsing?"
Kiai Gringsing memandang anak muda itu sejenak. Tetapi
ia belum mengenalnya. Ketika ia berpaling kepada Agung
Sedayu dan Swandaru, kedua muridnya itu pun
menggelengkan kepalanya. "Tentu kalian tidak mengenal aku," berkata pengawal yang
masih muda itu. "Aku hanya seorang dari antara sekian
banyaknya anak-anak muda Menoreh yang waktu itu ikut
bertempur melawan pasukan Sidanti dan guru-nya."
"O," Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya,
"saat itu kau sudah ikut?" bertanya Kiai Gringsing kemudian.
"Ya. Aku sudah ikut berlari-lari sambil membawa senjata
meskipun di paling belakang. Aku ikut bersama pasukan Ki
Gede Menoreh menyingkir dari induk Tanah Perdikan ini.
Tentu aku dan orang-orang yang waktu itu ikut di dalam
pasukan pengawal Ki Gede Menoreh mengenal Kiai."
"Tidak semua," sahut pemimpin pengawal itu, "aku belum
begitu mengenalnya."
"Kau tidak berada di induk pasukan waktu itu. Kau berjuang
di tempat lain dalam kelompok-kelompok kecil."
Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, "Ya. Kami agak terpisah dari induk
pasukan dan kami waktu itu harus mengambil sikap sendiri
menghadapi Sidanti. Tetapi karena Ki Gede Menoreh tetap
bertempur, kami pun tetap berjuang."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya pula
sambil berkata, "Dan kita sekarang bertemu lagi. Sudah cukup
lama kami tidak menginjakkan kaki kami di atas Tanah
Perdikan ini. Itulah sebabnya kami memerlukan da-tang untuk
sekedar menengok Ki Gede Menoreh."
Para pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Pemimpin pengawal itu pun kemudian berkata, "Jika benar
kalian adalah orang-orang yang pernah membantu perjuangan
Ki Gede, maka kedatangan kalian pasti akan sangat
menyenangkah hatinya di saat-saat seperti ini."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Dan sebelum ia
bertanya Swandaru telah mendahului, "Kenapa dengan saat
seperti ini?" Pemimpin pengawal itu memandang Swandaru. Sejenak.
Lalu jawabnya, "Sejak pertempuran yang menentukan itu, dan


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sejak Ki Gede menjadi cacat, kesehatannya berangsur-angsur
turun. Meskipun hasrat Ki Gede untuk tetap melaksanakan
tugasnya terlampau besar, namun agaknya pertempuran yang
terjadi di saat terakhir itu mempunyai akibat yang parah di
bagian dalam tubuhnya, sehingga lambat laun, kesehatannya
menjadi semakin buruk."
"O," Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, "jadi
bagaimana dengan Ki Gede sekarang?"
"Ki Gede masih tetap melakukan tugasnya. Tetapi
sebenarnyalah ia sudah harus beristirahat," pengawal itu
berkata selanjutnya. "Selain keadaan kesehatannya,
sebenarnyalah usia Ki Gede memang sudah menjadi semakin
tua." "Belum terlalu tua," sahut Kiai Gringsing, "umurnya kira-kira
sebaya dengan umurku. Tetapi benturan kekuatan yang terjadi
di saat terakhir melawan Ki Tambak Wedi memang sangat
berpengaruh. Ternyata Ki Gede tidak dapat sembuh
sepenuhnya." Pengawal itu mengangguk-angguk. Suaranya menjadi
dalam, "Ya. Dan kedatangan kalian akan membuatnya
gembira." "Tetapi," tiba-tiba saja Swandaru menyela, "apakah tidak
ada orang lain yang dapat membantunya?"
"Setiap orang dengan sepenuh hati membantunya. Tetapi,
tidak semua orang harus bertanggung jawab atas Tanah
Perdikan ini." "Maksudku apakah tidak ada anggauta keluarganya yang
ikut memikul beban tanggung jawab itu. Ki Argajaya misalnya."
Pengawal itu mengerutkan keningnya. Justru mereka
menjadi semakin percaya kepada Kiai Gringsing dan
rombongan kecilnya karena ternyata Swandaru mengenal Ki
Argajaya pula. "Tentu Ki Argajaya membantunya," jawab pengawal itu
kemudian, "tetapi Ki Gede-lah yang harus mempertanggungjawabkannya.
Dan ia masih tetap melakukannya."
"Apakah Ki Argajaya benar-benar sudah baik?"
Pengawal itu memandang Swandaru sejenak. Lalu, "Ya. Ki
Argajaya benar-benar sudah menjadi baik. Ia benar-benar
menyadari kesalahannya di waktu lampau. Dan kini ia
menebus kesalahannya itu dengan kerja, ia telah membuat
bendungan dan memperbaiki saluran air hampir di seluruh
daerah Tanah Perdikan ini."
"Sokurlah," Kiai Gringsing pun berdesis.
"Nah," tiba-tiba suara pengawal itu meninggi, "marilah. Kita
tidak akan berbicara di tengah jalan begini sampai sehari
penuh. Marilah, kami antar kalian menghadap Ki Gede. Akhirakhir
ini Ki Gede jarang keluar."
"Marilah," jawab Kiai Gringsing, "aku pun ingin segera
bertemu dengan Ki Gede."
Demikianlah kuda-kuda mereka pun segera bergerak.
Tetapi sebenarnya masih ada satu soal yang tersangkut di hati
Swandaru. Pengawal-pengawal itu sama sekan tidak
menyebut anak gadis Ki Gede Menoreh.
"Kenapa?" bertanya Swandaru kepada diri sendiri.
"Mungkin pengawal itu lupa saja menyebut bahwa gadis itu
mampu juga membantu ayahnya di dalam menjalankan
tugasnya. Karena ia memiliki kelebihan dari gadis-gadis
kebanyakan. Atau barangkali gadis itu sudah tidak ada di
Tanah Perdikan ini dan pergi mengikuti seseorang di tempat
yang lain?" Dada Swandaru menjadi berdebar-debar. Tetapi ia agak
malu untuk menanyakannya. Dan ia mengumpat-umpat di
dalam hatinya, kenapa Agung Sedayu juga tidak bertanya
sesuatu, apalagi tentang Pandan Wangi.
Tetapi Agung Sedayu benar-benar tidak menanyakan
tentang sesuatu. Sekali ia memandang wajah Swandaru yang
tegang. Namun kemudian ia pun memandang ke kejauhan,
memandang pepohonan yang hijau dan burung yang
beterbangan di langit. Swandaru pun kemudian mendekatinya sambil menggamit
Agung Sedayu ia bertanya, "He, apakah kau tidak ingin
mengetahui tentang sesuatu di Menoreh ini?"
Agung Sedayu memandang Swandaru sesaat. Namun ia
pun kemudian mengerti apa yang dimaksudkan oleh anak
yang gemuk itu. Sorot matanya yang bagaikan menyala dan
wajahnya yang tegang penuh keragu-raguan, namun agak
kemerah-merahan. Karena itu justru ia ingin mengganggunya. Sambil
menggeleng Agung Sedayu menyahut acuh tidak acuh,
"Tidak. Aku tidak ingin mengetahui apa pun tentang Tanah
perdikan Menoreh." Swandaru menggeram. Sementara itu kuda-kuda mereka
berjalan terus mendekati induk Tanah Perdikan Menoreh.
"Kau tidak ingin bertanya tentang keadaan Ki Gede
Menoreh, atau Ki Argajaya atau anak laki-lakinya itu, atau apa
pun lainnya?" Sekali lagi Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya masih
dengan acuh tidak acuh, "Tidak ada yang menarik perhatianku
di Menoreh. Aku sudah mendengar ceritera tentang Ki Gede,
tentang adiknya dan tentang orang-orang di sekitarnya.
Apalagi yang ingin aku tanyakan."
"O, kau memang pemimpi. Ternyata kau tertidur di
perjalanan. Kau tidak tahu apa yang sedang terjadi sekarang.
Dan kau masih saja terkantuk-kantuk di atas punggung kuda."
Swandaru berhenti sejenak, lalu, "Bangun, bangunlah Kakang
Sedayu. Lihat, kita berada di atas Tanah Perdikan Menoreh."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya, "Ya. Aku
tahu bahwa kita berada di atas Tanah Perdikan Menoreh. Aku
mendengar seluruh percakapan Guru dengan anak-anak
muda pengawal Tanah Perdikan itu, aku mendengar
semuanya. Justru karena itu aku tidak perlu bertanya lagi.
Kaulah yang agaknya tertidur di perjalanan. Dan jika ada yang
ingin kau tanyakan kenapa kau tidak bertanya sendiri?"
"Persetan," Swandaiu masih saja menggeram. Tetapi ia
tidak menyahut. Namun ketika ia melihat Agung Sedayu
tersenyum maka ia pun mendekat semakin rapat dan berbisik,
"Awas jika kelak kita kembali ke Sangkal Putung. Kau akan
mengalami nasib yang jelek."
Agung Sedayu tidak dapat menahan hati lagi. Betapa pun
juga ia menahan, namun ia pun tertawa pula.
Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang berpaling
mendengar suara tertawa Agung Sedayu yang tertahan-tahan.
Sekilas mereka melihat wajah Swandaru yang buram, namun
mereka tidak bertanya sesuatu karena mereka tahu bahwa
Agung Sedayu sedang mengganggu Swandaru.
Demikianlah, mereka semakin lama menjadi semakin dekat
dengan induk Tanah Perdikan Menoreh. Sedang hati
Swandaru pun menjadi semakin berdebar-debar karenanya.
Ketika mereka lewat di jalan berdebu tidak jauh dari sebuah
hutan sempit yang menjadi salah satu daerah perburuan, hati
Swandaru bergetar. Bahkan di luar sadarnya ia berkata
kepada diri sendiri, "Apakah Pandan Wangi masih sering
berburu. Di hutan itulah ia kadang-kadang berburu. Tetapi
kadang-kadang di hutan yang membujur di ujung Selatan dari
Tanah Perdikan ini. Jika ia berburu di hutan itu, dan kebetulan
melihat iring-iringan ini, ia pasti akan mendekat."
Tetapi ternyata tidak ada seorang pun yang tampak keluar
dari hutan itu. Pepohonan yang hijau bagaikan membeku.
Bahkan angin pun seolah-olah telah berhenti bertiup.
"Sepi," desah Swandaru di dalam hatinya. Namun, katanya
kemudian, "Hutan itu tidak hanya seluas sepatok sawah. Jika
ia berada di tengah-tengah atau bahkan di sisi seberang, ia
tentu tidak akan melihat iring-iringan ini."
Tetapi Swandaru tidak mengatakannya kepada siapa pun.
Ketika ia melihat Agung Sedayu memandang ke kejauhan
tanpa berkedip, ia pun mengumpat di dalam hatinya.
Tetapi Agung Sedayu tidak menghiraukannya. Ia
mengagumi perkembangan Tanah Perdikan Menoreh. Yang
dilihatnya kini jalur-jalur air yang lebih baik dari yang pernah
dilihatnya dahulu. Sawah pun rasa-rasanya menjadi semakin
subur dan luas. Ia tidak melihat lagi padang perdu yang kering
di pinggir hutan. Namun padang perdu itu telah menjadi tanah
pategalan dan padang-padang alang-alang pun sudah
menjadi sawah. Hutan rasanya menjadi sempit, dan lereng
pegunungan menjadi hijau.
Ternyata Tanah Perdikan ini menyimpan banyak sekali
kemungkinan. Jika Mataram kelak berkembang, daerah ini
pun akan berkembang juga. Mataram dan Menoreh akan
dapat saling mencukupi kebutuhan. Betapa pun juga, Mataram
akan menjadi negeri yeng ramai, yang memerlukan banyak
sekali kebutuhan-kebutuhan yang tidak dapat dicukupinya
sendiri. Tanah perluasan dari Alas Mentaok yang ditebanginya
tentu tidak akan dapat menjadi tanah persawahan yang cukup
luas untuk menampung kebutuhan orang-orang yang mengalir
membanjiri negeri itu. Kebutuhan akan ternak, kain tenun, dan
alat-alat kebutuhan sehari-hari pasti harus didatangkan dari
daerah di sekitarnya. Dan Menoreh akan dapat menampung
kebutuhan-kebutuhan itu, di samping daerah-daerah yang lain.
Kademangan Mangir, Prambanan, dan bahkan mungkin
sampai juga ke daerah Jati Anom dan Sangkal Putung.
Agung Sedayu terkejut ketika terasa pundaknya digamit
oleh Swandaru. Ketika ia berpaling, Swandaru berkata,
"Apakah kau masih ingat bahwa hutan itu merupakan hutan
perburuan?" "Ya," sahut Agung Sedayu.
Swandaru mengerutkan keningnya. Jawab Agung Sedayu
ternyata terlampau pendek. Karena itu maka Swandaru-lah
yang kemudian berkata pula, "Orang-orang Menoreh senang
sekali berburu." "Ya. Orang-orang Menoreh suka sekali berburu," jawab
Agung Sedayu pendek. Swandaru menggeram. Tetapi ia tidak berkata apa pun
juga. Ia tahu Agung Sedayu sengaja mengganggunya.
Meskipun Agung Sedayu tahu bahwa Swandaru ingin
mempercakapkan seorang gadis Menoreh yang suka berburu,
tetapi Agung Sedayu dengan sengaja tidak menanggapinya.
Swandaru pun kemudian terdiam. Tetapi sekali-sekali ia
masih memandang wajah Agung Sedayu. Wajah yang sangat
menjengkelkan sekali, karena terbayang senyum kecil di
bibirnya. Tetapi Swandaru pun pura-pura tidak menghiraukannya
lagi. Dipercepatnya kudanya meninggalkan Agung Sedayu,
melampaui gurunya dan Ki Sumangkar serta Ki Demang
Sangkal Putung. Katanya, "Aku ingin berbicara dengan para
pengawal yang di depan itu."
Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya sambil
menyahut, "Berbicaralah. Kau tentu akan banyak bertanya
tentang tanah ini." Swandaru tersenyum. Tetapi ketika ia berpaling dan
dilihatnya Agung Sedayu tertawa, maka senyumnya pun
segera lenyap dari bibirnya.
Sejenak kemudian Swandaru telah berkuda di antara para
pengawal yang masih sangat muda itu. Mereka asyik
berbicara tentang Tanah Perdikan Menoreh. Tentang Ki Gede
dan keluarganya. Tetapi seperti ketika ia bercakap-cakap
dengan Agung Sedayu, maka para pengawal itu pun sama
sekali tidak menyinggung Pandan Wangi.
"Kenapa sebenarnya dengan Pandan Wangi?" bertanya
Swandaru di dalam hatinya. "Tidak seorang pun yang
menyebutkan namanya. Apakah ia sudah tidak berada di
Tanah Perdikan ini lagi?"
Tetapi ia masih tetap malu untuk bertanya tentang gadis itu.
Demikianlah mereka menjadi semakin dekat, dan dada
Swandaru pun menjadi semakin berdebar-debar. Bahkan
kemudian timbul kecemasan di dalam hatinya bahwa
kunjungannya bersama ayahnya kali ini justru akan
menumbuhkan kekecewaan yang amat sangat.
Ketika mereka memasuki daerah induk Tanah Perdikan,
maka Swandaru telah berada di samping Agung Sedayu.
Sekali-sekali dilihatnya orang-orang Menoreh yang bekerja di
sawah dan ladang, berhenti bekerja sejenak untuk
memperhatikan iring-iringan itu. Tetapi karena tampaknya
bahwa para penga-wal tidak bersiaga, mereka pun tidak
mencurigai orang-orang berkuda yang memasuki induk tanah
mereka. Sebenarnya bukan saja Swandaru yang menjadi berdebardebar
ketika mereka memasuki induk Tanah Perdikan. Kiai
Gringsing dan Sumangkar pun menjadi berdebar-debar pula.
Sudah cukup lama mereka tidak bertemu dengan Ki Gede
Menoreh yang ketika ditinggalkan dalam keadaan yang masih
belum pulih kembali. Ki Demang pun menjadi berdebar-debar justru karena ia
belum pernah bertemu dengan Ki Gede Menoreh dan ketika
sekali ia datang, ia telah membawa suatu keperluan yang
penting. Sebagai seorang pemimpin di daerahnya, Ki Demang
merasa kagum juga melihat tata susunan Tanah Perdikan
Menoreh. Meskipun Sangkal Putung tidak kalah subur dan
hijau, namun Menoreh memiliki ragam yang lebih banyak, dari
Sangkal Putung. Menoreh masih mempunyai daerah hutan
yang lebat di lereng-lereng bukit, tetapi juga hutan-hutan
perburuan yang lebih kecil. Pegunungan yang seakan-akan
memagari Tanah Perdikan yang besar ini. Lebih besar dari
Sangkal Putung, meskipun sebagian merupakan daerah yang
tandus dan berbatu-batu padas.
Ki Demang mengerutkan keningnya ketika ia melintasi
regol induk kademangan. Dilihatnya beberapa orang Menoreh
yang berada di dalam halaman rumah masing-masing berdiri
memandangi iring-iringan itu. Mereka menjadi bertanya-tanya
pula, siapakah orang-orang yang datang diantar oleh para
pengawal itu. Seorang anak muda yang berdiri di simpang tiga
memandang iring-iringan itu dengan saksama. Bahkan
kemudian ia menggamit seorang yang sudah setengah umur
yang berdiri di sampingnya sambil memanggul cangkul, "He
Paman. Apakah Paman masih mengenal orang itu?"
"Siapa?" bertanya orang setengah umur itu.
"Ketika daerah ini dikacaukan oleh Ki Tambak Wedi dan
Sidanti. Bukankah orang-orang itu pada saat itu ada di Tanah
Perdikan ini pula. Bukankah gembala itulah yang telah


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membantu Ki Gede membinasakan Ki Tambak Wedi dan
pasukannya." Orang setengah umur itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, "Ya. Aku ingat sekarang. Orang itu
dengan kedua anak-anaknya. O, mereka datang kembali. Ki
Gede tentu senang sekali menyambut kedatangan mereka."
Anak muda itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya
pula. Lalu katanya, "Aku akan memberitahukan kepada
kawan-kawanku yang dahulu ikut bersama pasukan Ki Gede
Menoreh. Mereka tentu senang mendengar kedatangan anakanak
muda itu. He, siapakah nama anak-anak muda itu?"
Orang setengah umur itu menggelengkan kepalanya. Lalu
katanya, "Kedatangannya memang menyenangkan sekali.
Mereka sempat melihat Menoreh bangkit kembali, setelah
dilanda oleh badai yang hampir saja menghanguskan Tanah
Perdikan ini." Anak muda kawannya berbicara itu masih menganggukangguk.
Ditatapnya iring-iringan itu sampai hilang di kelokan
jalan. Kemudian ia pun berdesis, "Ya. Ia ikut memadamkan api
yang membakar Tanah Perdikan Menoreh. Dan kini ia melihat
Menoreh menjadi hijau kembali."
Anak muda itu tidak menunggu jawaban, ia pun segera
meloncat berlari-lari mencari kawan-kawannya. Ia ingin
mengabarkan bahwa anak-anak muda yang dahulu ikut
bertempur di pihak mereka melawan Sidanti dan Ki Tambak
Wedi, kini datang lagi ke Menoreh bersama beberapa orang.
Dalam pada itu, iring-iringan itu telah menyusuri jalan
padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Ketika mereka
lewat di depan banjar kademagan, Kiai Gringsing dan kedua
murid-muridnya tersentuh juga hatinya.
Sejenak kemudian maka regol halaman rumah Ki Gede
Menoreh pun sudah tampak di hadapan mereka. Mereka tidak
lagi melihat orang-orang bersenjata berkeliaran. Yang mereka
lihat adalah orang-orang yang berjalan tergesa-gesa
memanggul cangkul atau alat-alat pertanian yang lain.
Seorang anak muda memanggul bajak di pundaknya dan
memegangi tali pengikat dua ekor lembu yang berjalan
berlawanan arah. Anak muda itn hanya memandangi iringiringan
itu sejenak. Namun ia pun tidak memperhatikannya
lagi. Kiai Gringsing memandang pagar-pagar batu di sebelahmenyebelah
jalan. Pagar batu itu sudah ada sejak ia berada di
Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi pagar-pagar itu agaknya
baru saja diperbaharui. "Tanah ini tampaknya tenang sekali," berkata Kiai Gringsing
kepada para pengawal. "Ya. Tanah ini memang tenang," jawab pengawal itu. "Di
induk Tanah Perdikan ini tidak terasa adanya gejolak yang
menyentuh daerah di pinggir Kali Praga, meskipun satu dua
orang mempercakapkan juga."
"O," sahut Kiai Gringsing, "sebenarnya aku ingin
mendengar ceritera tentang Kali Praga itu."
Pengawal itu mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Biarlah
Ki Gede sajalah yang menceriterakan."
Kiai Gringsing tidak bertanya lagi. Kini mereka benar-benar
telah berada di regol halaman rumah Ki Gede Menoreh.
Yang ada di regol itu hanyalah seorang penjaga yang
duduk di gardu sambil terkantuk-kantuk. Seorang pengawal
Tanah Perdikan yang juga masih muda.
"Baru sejak beberapa hari regol ini ditunggui oleh seorang
pengawal," berkata pengawal berkuda itu, "sebelumnya tidak
seorang pun yang menjaga halaman ini, karena memang tidak
pernah terjadi sesuatu."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
ia tidak menjawab. "Siapa?" bertanya penjaga regol itu.
Seorang pengawal berkuda menyahut, "Apakah kalian tidak
mengenal mereka lagi?"
Penjaga itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia memang
tidak segera ingat, siapakah orang-orang yang disebut itu.
"Kau sudah ikut di dalam pergolakan beberapa waktu yang
lampau melawan Sidanti?"
"O, aku ingat sekarang. Ya, aku ingat. Marilah, silahkan.
Kebetulan sekali, Ki Gede ada di rumah sekarang. Baru saja
Ki Gede pulang dari daerah sebelah Utara yang baru saja
longsor." "He?" Kiai Gringsing mengerutkan keningnya.
"Tidak apa-apa. Hanya sebuah guguran padas yang tidak
seberapa. Yang agak mengganggu adalah karena longsoran
batu-batu padas itu telah menutup sebuah jalur air yang agak
besar, sehingga beberapa kotak sawah diancam oleh bahaya
kekurangan air. Tetapi untunglah bahwa kesulitan itu segera
dapat diatasi." Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
ia tidak bertanya lebih lanjut.
"Apakah Ki Gede Menoreh pergi bersama anak gadisnya?"
bertanya Swandaru, tetapi hanya di dalam hatinya.
Demikianlah maka para pengawal dan iring-iringan kecil itu
pun segera turun dari kuda mereka ketika mereka telah
memasuki halaman. "Sampaikan kepada Ki Gede, bahwa ada serombongan
tamu dari seberang Kali Praga," berkata salah seorang
pengawal berkuda itu kepada penjaga regol.
Penjaga itu pun segera bergegas pergi ke belakang lewat
longkangan gandok. Disampaikannya kabar kedatangan Kiai
Gringsing itu kepada seorang pelayan yang
melangsungkannya kepada Ki Gede Menoreh.
"Siapa?" bertanya Ki Gede Menoreh.
"Tamu dari seberang Kali Praga."
Ki Gede Menoreh termangu-mangu sejenak. Menurut
pengertiannya seberang Kali Praga kini lahir sebuah daerah
baru yang mulai ramai, dan disebut Mataram.
Karena itu, ia pun menjadi berdebar-debar, justru dalam
keadaan terakhir yang meragukan itu.
"Silahkan mereka duduk di pendapa," berkata Ki Gede,
"sebentar lagi aku akan menemuinya."
Pelayan itu pun kemudian dengan tergesa-gesa
mempersilahkan Kiai Gringsing dan kedua muridnya, Ki
Sumangkar dan Ki Demang Sangkal Putung duduk di
pendapa, sementara Ki Gede Menoreh sedang membenahi
pakaiannya, memperbaiki lipatan ikat kepalanya dan
membetulkan kamusnya yang agak miring.
Dengan hati yang berdebar-debar ia melangkah ke pintu
depan. Ia tidak banyak berhubungan dengan Mataram yang
baru tumbuh selama ini. Perlahan-lahan Ki Gede Menoreh membuka pintu pendapa.
Dari sela-sela daun pintu ia melihat beberapa orang duduk di
atas sehelai tikar pandan.
Dada Ki Gede Menoreh berdesir. Ketika seorang tua yang
duduk di antara mereka berpaling oleh derit pintu, maka Ki
Gede Menoreh yang berdiri bertelekan sebuah tongkat itu
berkata lantang di luar sadarnya, "Kiai, kaukah itu Kiai?"
Kiai Gringsing pun berlonjak berdiri. Bergegas-gegas ia
mendapatkan Ki Gede Menoreh dengan wajah yang cerah.
Seakan-akan dua orang sahabat yang sudah bertahun-tahun
tidak pernah bertemu. Dengan senyum yang lebar Kiai Gringsing mengguncangguncang
tangan Ki Gede Menoreh sambil berkata, "Ki
Argapati, kau tampak semakin sehat dan muda."
Ki Gede Menoreh tertawa. Jawabnya, "Aku menjadi
semakin tua dan lemah. Tetapi aku gembira sekali Kiai datang
ke Tanah Perdikan ini. Tanah Perdikan yang semakin lama
semakin tidak terurus."
Keduanya pun kemudian melangkah ke pendapa kembali.
Kiai Gringsing membimbing Ki Gede Menoreh yang berjalan
bertelekan tongkatnya, sedang yang lain-lain pun telah berdiri
pula. Sejenak Ki Gede Menoreh memandang Swandaru dan
Agung Sedayu sejenak sambil masih saja tersenyum.
Kemudian Ki Sumangkar pun menganggukkan kepalanya
sambil berkata, "Akhirnya kami datang juga Ki Gede."
"Tentu, tentu. Aku yakin bahwa kalian tentu akan datang,"
Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Ketika tatapan
matanya bertemu dengan pandangan Ki Demang, ia
mengerutkan keningnya. Seakan-akan ia bertanya, siapakah
orang yang masih belum dikenalnya ini.
Kiai Gringsing yang menyadarinya segera berkata, "Ki
Argapati, inilah Ki Demang di Sangkal Putung."
"O," kening Ki Gede Menoreh berkerut. Namun kemudian ia
pun mengulurkan tangannya sambil berkata, "Aku senang
sekali Ki Demang datang berkunjung ke Tanah Perdikan ini.
Aku mengucapkan selamat datang."
"Terima kasih, Ki Gede," jawab Ki Demang, "kami memang
memerlukan datang mengunjungi Ki Gede. Aku sudah banyak
mendengar tentang Ki Gede, tetapi aku belum pernah bertemu
muka. Itulah sebabnya, maka pada suatu kesempatan aku
ingin sekali dapat menghadap Ki Gede Menoreh."
"Ah," Ki Gede berdesah, "kini, setelah Ki Demang melihat
orangnya, tentu Ki Demang menjadi kecewa. Orangnya tidak
lebih dari orang cacat seperti ini."
"Ah, tentu tidak Ki Gede. Aku bangga dapat bertemu
dengan Ki Gede Menoreh, dan aku pun kagum melihat Tanah
Perdikan ini. Tanah Perdikan yang luas dan subur, dipagari
oleh pegunungan. Sawah yang luas dihiasi dengan hutanhutan
yang masih membuka kesempatan perkembangan baru
di atas Tanah Perdikan ini."
Ki Gede Menoreh tertawa. Katanya kemudian, "Terima
kasih. Dan sekarang kami persilahkan kalian duduk."
Mereka pun duduk kembali di atas tikar pandan yang putih.
Sambil memandang Agung Sedayu dan Swandaru bergantiganti,
maka Ki Gede Menoreh pun bertanya, "Bagaimana aku
harus memanggil kalian" Gupala dan Gupita atau nama yang
lain itu?" Kedua anak-anak muda itu tersenyum. Katanya,
"Terserahlah kepada Ki Gede."
Ki Gede Menoreh tertawa. Katanya, "Nama mana yang kau
pilih" Atau kau sudah membuat nama lain lagi?"
Keduanya tertawa. Tetapi keduanya tidak menjawab.
Demikianlah mereka duduk kembali dalam satu lingkaran.
Mereka membicarakan tentang keselamatan mereka masingmasing.
Kemudian mulailah Ki Gede Menoreh menceriterakan
perkembangan Tanah Perdikannya.
"Atas pertolongan Kiai dan murid-murid Kiai itu, kini Tanah
ini menjadi semakin baik."
"Kenapa pertolonganku?" bertanya Kiai Gringsing. "Ki
Argapati-lah yang memiliki kemampuan yang luar biasa.
Dalam waktu yang terhitung singkat, Tanah ini telah menjadi
pulih kembali." "Bukan pekerjaan yang sulit. Jika saat itu, Tanah ini benarbenar
hangus dibakar oleh api pertentangan yang memalukan
di antara keluarga sendiri itu, maka tidak ada orang yang akan
mampu membangun Menoreh. Siapa pun. Dan sekarang,
ternyata kami di sini masih mendapat kesempatan itu.
Meskipun demikian, aku yang menjadi semakin tua dan
lemah, hampir tidak dapat berbuat apa-apa."
Kiai Gringsing tertawa. Katanya, "Jika seperti ini, Ki
Argapati masih menyebut tidak dapat berbuat apa-apa, tentu
Ki Argapati mempunyai cita-cita yang jauh lebih tinggi dari
yang kita lihat ini. Mudah-mudahan di masa mendatang,
angkatan yang bakal menggantikan para pemimpin di Tanah
Perdikan ini mampu membangun Menoreh lebih baik lagi."
Ki Argapati tertawa. Katanya, "Tentu, Kiai. Cita-cita pada
umumnya mendahului ujud pencapaian kita. Dan kami
memang bercita-cita. Tentu bukan kami, juga Kiai dan setiap
orang bercita-cita."
"Aku sudah tua."
"Ah," Ki Gede Menoreh tertawa, "aku pun sudah tua. Tetapi
apakah cita-cita kita dapat dibatasi oleh ketuaan kita?" lalu
sambil berpaling kepada Ki Demang, "Bukankah begitu, Ki
Demang?" Ki Demang tertawa pula. Katanya, "Ya. Cita-cita kita
mengatasi umur kita sendiri karena angkatan yang bakal
datang akan melanjutkan dan mewujudkan cita-cita itu. Citacita
kita ternyata akan berkembang terus. Apalagi mengenai
suatu daerah seperti Tanah Perdikan Menoreh. Dari ang-katan
yang satu kepada angkatan yang kemudian."
Kiai Gringsing tertawa. Dipandanginya kedua muridnya
sejenak. Lalu katanya, "Ki Demang benar. Cita-cita kita adalah
cita-cita buat masa depan angkatan sesudah kita. Tentu kita
tidak sekedar hidup untuk kita sendiri. Jika kita memanjakan
kamukten buat diri kita sendiri, memanjakan segala macam
nafsu badani, kita memang akan kehilangan masa depan
anak-anak kita." Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang
Argapati pun tersenyum pula, katanya, "Demikianlah aku
berusaha membuat Menoreh menjadi harapan bagi masa
mendatang." Hampir di luar sadarnya Agung Sedayu berpaling pada
Swandaru. Sedang ketika Swandaru pun memandanginya,
maka cepat-cepat ia memalingkan wajahnya sambil
mencibirkan bibirnya. Namun dalam pada itu, Swandaru masih
saja digelut oleh pertanyaan, di mana Pandan Wangi"
Apalagi ketika beberapa saat kemudian, setelah mereka
berbicara kian kemari, seorang pelayan perempuan
menghidangkan minum dan makanan buat tamu-tamu Ki
Gede Menoreh itu. Yang menghidangkan minum dan
makanan itu sama sekali bukan Pandan Wangi.
Di luar kebiasaan yang pernah dilihat oleh Swandaru.
Apabila ada tamu yang dihormati, maka biasanya adalah
Pandan Wangi sendiri yang menghidangkan suguhan bagi
mereka. Namun yang menghidangkan adalah seorang
pelayan saja. Dengan wajah yang berkerut, Swandaru mencoba
memandang ke halaman di sekitar pendapa itu. Tetapi ia tidak
melihat seorang pun kecuali beberapa orang pekerja yang
lewat melintasi halaman itu.
Ternyata orang-orang tua yang sedang bercakap-cakap
tentang berbagai masalah itu seakan-akan tidak teringat lagi
kepada anak-anak muda itu. Mereka mempunyai keasyikan
sendiri, hingga seolah-olah Swandaru yang gelisah dan Agung


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sedayu itu tidak ada di antara mereka.
Agung Sedayu dan Swandaru terkejut ketika mereka
melihat seorang anak yang masih sangat muda melintas di
atas punggung kuda di halaman. Ketika ia melihat beberapa
orang tamu di pendapa, maka ia pun dengan tergesa-gesa
menarik kekang kudanya dan meloncat turun. Kemudian
dengan tergesa-gesa pula dituntunnya kudanya ke belakang.
Swandaru mengerutkan keningnya melihat anak muda
yang tampan itu. Namun ia menarik nafas dalam-dalam ketika
Agung Sedayu berbisik di telinganya, "Bukankah itu anak Ki
Argajaya." Swandaru menarik nafas dalam-dalam, "Ya, ia adalah
putera Ki Argajaya."
Swandaru itu tiba-tiba bergeser setapak maju. Agung
Sedayu tersenyum melihat wajahnya yang tegang. Sekilas
Swandaru yang kebetulan tidak mendengarkan percakapan
orang-orang tua itu karena kuda yang melintas di halaman,
mendengar Ki Argapati menyebut nama anak gadisnya,
Pandan Wangi. "Apa yang dikatakannya?" bisik Swandaru kepada agung
Sedayu. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dan ia bertanya
kembali, "Tentang apa?"
"Tadi, baru saja."
"O, tentang kuda itu."
"Bukan tentang kuda."
"Tentang apa?" "Sesudah membicarakan masalah kuda."
"Ah, aku tidak mendengarnya. Aku baru memperhatikan
kuda yang melintas di halaman itu."
"Ah kau," Swandaru menggeram. Namun sekali lagi ia
mendengar Ki Argapati menyebut nama Pandan Wangi.
"Ia sedang berburu," berkata Ki Argapati, "ia mengantarkan
seorang tamu pula." Swandaru tertarik sekali kepada pembicaraan itu. Dan
apalagi ketika Argapati mengatakan, "Sebenarnya masih ada
sangkut pautnya juga. Anak muda itu masih kadang sendiri.
Tetapi sudah agak jauh. Ia adalah salah seorang pada garis
keluarga ibu Pandan Wangi."
Kiai Gringsing ternyata menaruh perhatian juga kepada
ceritera itu. Maka ia pun bertanya, "Jadi, Ki Gede sekarang
sedang menerima tamu juga di rumah ini?"
"Ya. Kadang sendiri. Dan bukan dari jauh."
"Dari mana?" "Dari daerah Tempuran."
"Tempuran?" "Ya, sebuah daerah kecil di sebelah Utara Tanah Perdikan
ini." Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
Ki Sumangkar-lah yang kemudian bertanya, "Apakah tamu Ki
Gede itu juga baru saja datang?"
"Tidak. Sudah dua malam mereka bermalam di tempat ini.
Ayah, ibu, dan seorang anak laki-laki yang sekarang sedang
pergi berburu bersama Pandan Wangi."
Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya seperti
juga Kiai Gringsing. Tanpa dikehendakinya sendiri ia
memalingkan wajahnya memandang Swandaru. Ternyata
wajah Swandaru menegang. Ada sesuatu yang bergetar di
dalam hatinya. Jika yang pergi berburu bersama Pandan
Wangi itu meskipun masih keluarga tetapi sudah jauh, maka
dapat tumbuh persoalan yang dapat mengganggu
perasaannya. Tetapi Swandaru tidak dapat mengatakannya kepada siapa
pun bahkan ia berusaha sejauh-jauhnya menyimpan perasaan
itu di dalam sudut hatinya yang paling dalam. Bahkan apabila
mungkin menghilangkan sama sekali kesan yang dapat timbul
di wajahnya. Selain Swandaru, sebenarnya Agung Sedayu pun menjadi
tegang pula. Meskipun ia tidak langsung tersangkut, tetapi
rasa-rasanya adalah juga keberatannya mendengar
keterangan Ki Gede Menoreh.
"Siapakah sebenarnya anak muda itu," Agung Sedayu
bertanya kepada diri sendiri.
Ada berbagai dugaan yang melintas di benaknya, bahkan
ia sudah membayangkan peristiwa-peristiwa yang akan
terjadi. "Mungkin kami terlalu lama membiarkan Ki Argapati
menunggu," berkata Agung Sedayu di dalam hatinya pula.
Demikianlah, selagi gambaran yang beraneka ragam
mengganggu orang-orang yang sedang dijamu oleh Ki
Argapati itu, terutama Swandaru, Ki Demang dan Kiai
Gringsing, di hutan perburuan, Pandan Wangi berpacu di atas
punggung kudanya mengikuti jejak seekor rusaDengan susah
payah ia menunggu tidak begitu jauh dari sebuah sumber air
yang menurut dugaannya menjadi tempat minum binatangbinatang
buruannya. Tetapi agaknya arus angin tidak
menguntungkan ketika tiba-tiba saja angin berubah arah.
Ketika seekor rusa sedang berjalan perlahan-lahan mendekati
sumber air itu, maka oleh angin yang berganti arah itu,
dihanyutkannya bau manusia, sehingga rusa itu pun segera
lari terbirit-birit. Betapa kuda Pandan Wangi berlari kencang, namun kuda
itu sudah tidak akan mungkin lagi dapat menyusul rusa itu,
karena rusa itu segera pula menghilang di antara gerumbulgerumbul
perdu. Alangkah kecewanya Pandan Wangi. Buruannya ternyata
sama sekali tidak dapat ditangkapnya.
Dalam pada itu, kawannya berburu, selain beberapa orang
pengiring, adalah masih ada sangkut paut kekeluargaan
meskipun agak jauh. Tetapi ternyata anak muda itu tidak
dapat membantu sama sekali. Justru kadang-kadang ia telah
mengganggu Pandan Wangi. Setiap kali ia berteriak-teriak
memanggil kawan-kawannya dan Pandan Wangi.
"Sayang sekali," desis Pandan Wangi. Ia masih maju
beberapa puluh langkah lagi dengan kudanya. Namun ketika
ia kemudian berpaling, ia sudah tidak melihat saudaranya itu.
"Kemana ia pergi?" bertanya Pandan Wangi di dalam
hatinya. Dan sejenak kemudian Pandan Wangi pun mendengar
suaranya bergema, "Pandan Wangi, Pandan Wangi, di mana
kau?" Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Dengan kesal
ia berbalik untuk mengambil anak muda yang berteriak-teriak
di dalam hutan, meskipun sekedar hutan buruan. Namun di
dalam hutan buruan itu benar-benar masih terdapat beberapa
ekor harimau. Ketika Pandan Wangi mendekat, ia masih sempat
mendengar seorang pengawal berkata, "Marilah, kita
menusulnya." "Jangan terlampau cepat."
"Pandan Wangi memburu seekor rusa. Jika kita tidak cepat,
kita akan kehilangan jejak."
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia
menjawab, ia melihat Pandan Wangi datang
menyongsongnya. "Pandan Wangi, kenapa kau selalu meninggalkan aku?"
"Kita berburu di hutan," jawab Pandan Wangi.
"Aku belum pernah berburu seperti caramu."
"O, kau pernah juga berburu?"
"Tidak, maksudku aku tidak pernah berburu di hutan begini.
Kadang-kadang aku memang pergi menyumpit. Tetapi hanya
sekedar mencari burung-burung kecil. Burung tilang, podang,
dan sebagainya." Pandan Wangi tersenyum. Tetapi ia pun berkata, "Tidak
ada bedanya. Kau dengan sumpit, aku memakai panah.
Sedang yang aku kejar berlari kencang sekali, yang kau kejar
tidak." "O, kau sangka kecepatan terbang burung podang kalah
cepat dengan lari seekor rusa."
"Tidak, memang tidak. Tetapi kau tidak pernah menyumpit
burung yang sedang terbang. Sedang pemburu di hutan,
kadang-kadang ia harus memanah buruannya yang sedang
berlari." "Memanah sambil naik kuda?" bertanya anak muda itu.
"Ya, berkuda sambil melepaskan anak panah."
"Bagaimana mungkin. Dengan tangan kirimu kau
memegang busur, sedang tangan kananmu menarik anak
panahnya." "Maksudmu kendali?"
"Ya." "Aku sering melepaskan kendali sama sekali karena
kudaku ini sudah terlampau jinak dan penurut. Tetapi kadangkadang
aku menjepitnya dengan lutut."
"Berbahaya sekali."
"Tidak. Mungkin apabila kita naik seekor kuda yang nakal.
Tetapi kudaku sangat baik kepadaku."
Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian ia pun bertanya, "Kau dapatkan rusa itu?"
"Tidak," sahut Pandan Wangi.
"Kita membuang-buang waktu."
"O, kau tidak senang berburu di hutan yang sejuk ini?"
Anak muda itu ragu-ragu sejenak, lalu, "Senang, senang
sekali." Pandan Wangi menjadi heran. Anak muda itulah yang
mengajaknya berburu. Tetapi ternyata ia tidak begitu tertarik
pada perburuan lagi ketika mereka sudah berada di hutan.
"Rusa itu terkejut mendengar suaramu berteriak-teriak itu,"
berkata Pandan Wangi kemudian. "Kita harus diam, supaya
seekor binatang tidak segera melarikan diri sebelum kita
sempat membidiknya."
Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
nafasnya menjadi terengah-engah. Agaknya berburu di hutan
dengan naik di punggung kuda kurang menyenangkan.
Meskipun demikian ia tidak mau mengatakan berterus terang.
Pandan Wangi agaknya dapat membaca isi hatinya.
Karena itu maka ia pun berkata, "Apakah perburuan ini kita
akhiri sekian saja?"
"Jangan. Berburulah sehingga kita mendapatkan seekor
binatang buruan." "Dan kau akan tetap berteriak-teriak mengusir binatang
yang sedang aku bidik?"
"Tidak. Aku akan diam saja."
Pandan Wangi termenung sejenak Tetapi kegairahannya
untuk berburu terus telah turun sama sekali.
"Teruskanlah Pandan Wangi," berkata anak muda itu
selanjutnya. "Kenapa kau termenung."
"Aku tidak bernafsu lagi. Marilah kita kembali ke rumahku.
Ayah sudah menunggu."
"Bukankah ayahmu sudah mengetahui bahwa kau berburu
bersama aku" Ia tidak akan mencarimu. Agaknya ia percaya
kepadaku." "Maksudmu?" bertanya Pandan Wangi.
"Maksudku, ayahmu tidak akan mencemaskan kau selama
kau pergi bersamaku. Aku akan melindungimu dan
membawamu pulang dengan selamat."
"O," suara Pandan Wangi bernada tinggi, namun kemudian
merendah, "ya. Tentu Ayah akan percaya bahwa aku akan
selamat sampai di rumah."
"Karena itu jangan tergesa-gesa pulang. Kita teruskan
perburuan ini, aku tidak akan memanggilmu lagi." Tetapi
kemudian, "Meskipun demikian, aku harus selalu
mengawasimu karena aku harus melindungimu."
"Aku sudah lelah sekali," berkata Pandan Wangi, "aku ingin
keluar dari hutan ini."
"Tidak. Kita akan berburu bersama-sama."
Pandan Wangi menjadi agak bingung menanggapi sikap
anak muda itu, tetapi sambil tersenyum ia berkata, "Marilah
kita keluar dahulu dari hutan ini. Jika kita akan berburu lagi,
kita akan melakukannya."
Pandan Wangi tidak menunggu jawabannya. Ia pun
kemudian menggerakkan kudanya mendahului menuju ke luar
hutan. Anak muda itu tidak dapat berbuat lain daripada
mengikutinya bersama beberapa orang pengiring Pandan
Wangi. Meskipun ia agak kecewa, karena Pandan Wangi
nampaknya tidak lagi berminat meneruskan perburuan ini
karena sikapnya. Sejenak kemudian mereka pun telah sampai ke pinggir
hutan. Rasa-rasanya seperti seseorang yang baru saja
muncul dari dalam goa yang lembab, terasa betapa sejuknya
udara terbuka di luar hutan perbmuan itu, meskipun juga
terasa panas matahari yang bagaikan menyengat wajah
dedaunan yang hijau segar.
Tetapi angin yang lemah membuat udara di pinggir hutan
itu tetap sejuk. Suara gemerisik yang menyentuh telinga,
membuat hati bagaikan dibelai oleh bisikan-bisikan yang
lembut. Belum lagi Pandan Wangi turun dari kudanya, dilihatnya
debu yang mengepul di kejauhan, dilemparkan oleh kaki
beberapa ekor kuda yang berlari di sepanjang jalan berdebu.
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia pun segera
mengerti bahwa mereka adalah beberapa orang peronda yang
sedang nganglang di sepanjang jalan Tanah Perdikan
Menoreh yang terutama di bagian Selatan dan Timur, mulai
tersentuh oleh persoalan-persoalan yang dapat menimbulkan
kegeli-sahan rakyatnya. Para peronda berkuda yang berlari di sepanjang jalan itu
pun agaknya dapat melihat Pandan Wangi. Sejenak mereka
berbicara di antara mereka. Namun kemudian salah seorang
dari mereka mengacu-acukan tangannya.
Pandan Wangi memandangi mereka dengan heran. Ia tidak
segera mengerti maksudnya. Namun ia pun tidak segera
berbuat sesuatu. Ternyata beberapa ekor kuda itu pun berhenti sejenak.
Kemudian mereka berbelok ke arah Pandan Wangi yang
memandangi mereka dengan hati yang berdebar-debar.
"Pandan Wangi," salah seorang dari para peronda itu
berkata meskipun ia belum dekat benar, "apakah kau tidak
ingin segera pulang?"
Pandan Wangi tidak segera menjawab. Ditunggunya orang


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu menjadi semakin dekat dan baru kemudian ia bertanya,
"Kenapa tergesa-gesa pulang?"
Para peronda itu pun kemudian berhenti beberapa langkah
dari Pandan Wangi. Wajahnya tampak aneh dan tanpa sebab
orang itu tersenyum-senyum sendiri.
"Ada apa?" Pandan Wangi bertanya pula.
"Seharusnya kau pulang."
"Ya, ada apa?" gadis itu menjadi jengkel.
"Ada tamu di rumahmu."
"Ah, apa salahnya ada tamu. Ayah terlalu sering menerima
tamu dari mana saja."
"Tetapi sekali ini tamu ayahmu agak lain. Tamu yang tentu
tidak kau duga akan datang hari ini."
Pandan Wangi memandang orang itu dengan heran. Dan
sekali lagi ia mendesak, "Siapakah tamu Ayah kali ini?"
"Tamu Ki Gede datang dari seberang Kali Opak. Bahkan
dari seberang Alas Mentaok, dari seberang Alas Tambak
Baya." "Siapa, siapa?"
"Dari seberang Candi Prambanan. He, kau pernah lihat
candi itu" Candi yang sangat indah?"
Pandan Wangi tidak segera menangkap maksud para
pengawal itu. Karena itu ia masih saja berdiri termangumangu.
Sedang para pengawal itu masih saja tersenyumsenyum.
"Apakah kalian mendapat perintah dari Ayah untuk
menyusul aku?" "Tidak. Tidak," jawab para pengawal itu, "aku hanya melihat
tamu-tamu itu, dan kebetulan aku melihat kau di sini."
"Siapakah sebenarnya tamu itu?" Pandan Wangi menjadi
jengkel. Tetapi para pengawal itu masih saja tersenyum-senyum.
Sedangkan Pandan Wangi menjadi semakin jengkel
karenanya, sehingga ia berkata, "Jika kalian tidak segera
mengatakan siapa tamu itu, aku akan mengejutkan kuda
kalian dan kalian akan dibawanya berlari sambil melonjaklonjak.
Jika ada di antara kalian yang terlempar karenanya, itu
bukan salahku." "Jangan. Jangan," para pengawal itu hampir berbareng
menyahut. "Jika demikian, sebut tamu itu."
"Tamu itu datang dari Sangkal Putung. Ki Demang Sangkal
Putung bersama puteranya yang gemuk itu. Kau sudah
mengenalnya bukan?" "He," sekilas terpancar kegembiraan dimata Pandan Wangi.
Namun kemudian ia berusaha menghapus kesan itu dan
berkata, "Aku tidak kenal mereka."
"He," salah seorang pengawal itu pun menyahut, "kau tidak
kenal mereka" Dua anak muda yang pernah berada di Tanah
Perdikan ini pada saat tanah ini dibakar oleh api kedengkian
dan iri hati?" "Cukup." "Maaf, Pandan Wangi. Bukan maksudku mengingatkan
pertentangan yang pernah terjadi. Tetapi aku ingin
mengingatkan kau pada kedua anak-anak muda itu. Yang
seorang gemuk namun tampan. Dengan wajah yang agak ke
kanak-kanakan. Sedang yang lain sedang dan agak lebih
bersungguh-sungguh."
"Aku tidak ingat mereka lagi. Dan aku tidak sempat
mengingatnya," lalu ia pun berpaling kepada anak muda yang
diajaknya berburu. "Marilah apakah kau masih ingin berburu?"
Anak muda itu meniadi heran. Ia tidak mengerti perubahan
sikap yang tiba-tiba saja. Karena itu ia tidak segera menjawab.
"Katakan, apa keinginanmu sekarang?" bertanya Pandan
Wangi. Anak muda itu tidak mengerti maksud Pandan Wangi yang
sebenarnya. Sekenanya saja ia menjawab, "Apakah kita
sebaiknya pulang saja?"
"Ah," Pandan Wangi berdesah, "jika kita harus pulang,
sama sekali bukan karena ada tamu itu. Tetapi karena kaulah
yang ingin pulang." Anak muda itu menjadi semakin bingung, sedang para
pengawal itu pun masih saja tersenyum-senyum.
"Pergilah. Jika kalian mempunyai kewajiban, lakukanlah.
Jangan mengganggu aku lagi. Aku masih ingin berburu dan
masih ingin berbuat apa saja sebelum aku pulang, dan kapan
aku akan pulang tergantung kepadaku. Ada atau tidak ada
tamu." "Baiklah," jawab peronda itu sambil menganggukkan
kepalanya. Lalu katanya, "Kami memang akan melanjutkan
tugas kami mengelilingi daerah Selatan ini sampai ke Kali
Praga. Dan aku pun tidak mendapat perintah dari Ki Gede
agar menjemputmu. Aku tidak tahu, pembicaraan apakah
yang sedang berlangsung, tetapi aku melihat wajah-wajah
yang buram. Mula-mula Ki Gede akan memerintahkan adikmu
sepupu untuk menjemputmu, tetapi tiba-tiba niat itu dibatalkan.
Adikmu sepupu telah ada di regol ketika Ki Gede berteriak
dengan nada yang tinggi."
Wajah Pandan Wangi menegang. Lalu dengan cemas ia
bertanya, "Apa yang dikatakan Ayah ?"
"Aku tidak tahu. Mungkin adikmu itu berbuat kesalahan,
atau apa pun. Tetapi Ki Gede agaknya marah sekali."
Wajah Pandan Wangi menjadi semakin tegang. Dan tibatiba
saja ia berkata, "Aku akan pulang."
"Ki Gede tidak menunggu kau. Justru sebaiknya kau
menunggu perintahnya."
"Sudah aku katakan. Terserah kepadaku. Apakah aku akan
pulang atau tidak." "Baik, baik." "Pergi. Cepat pergi."
Para peronda itu pun kemudian meninggalkan Pandan
Wangi. Tetapi mereka masih saja tersenyum-senyum. Namun
salah seorang dari mereka berkata, "Kau sudah keterlaluan.
Bagaimana jika Pandan Wangi tergesa-gesa pulang dan
bertanya tentang ceriteramu itu kepada Prastawa."
"Tidak apa-apa. Prastawa akan menjadi kebingungan.
Tetapi Pandan Wangi akan segera tahu, bahwa kita
berbohong." "Dan besok jika kita bertemu dengan gadis itu, kita akan
dilabraknya." "Besok ia pasti sudah lupa. Anak yang gemuk itu akan
sangat menarik perhatiannya."
"Tetapi jika ia masih ingat akan kelakarmu ini, terserahlah
kepadamu. Mungkin kepalamu akan dikerawunya dengan
ampas kelapa." Kawannya justru tertawa. Tetapi suara tertawanya terputus
ketika ia mendengar derap kuda berlari kencang. Ketika ia
berpaling dilihatnya Pandan Wangi dan tamunya itu berpacu
pulang diikuti oleh beberapa orang pengiring.
"Tentu ia menyangka sesuatu telah terjadi. Ia pasti mengira
bahwa terjadi perselisihan antara tamunya dan ayahnya
tentang dirinya." Kawannya tersenyum. Lalu, "Kita memang harus berhatihati
besok, jika ia masih mengingatnya."
Para pengawal itu melanjutkan perjalanan mereka. Namun
mulailah mereka merasa cemas. Jika tiba-tiba saja Pandan
Wangi berbuat sesuatu di rumahnya, siapakah yang harus
bertanggung jawab" Dan hampir di luar sadarnya pengawal
yang mencoba mengganggu Pandan Wangi itu berkata hampir
kepada diri sendiri, "Tetapi, jika Pandan Wangi langsung
marah-marah di rumahnya dan berbuat di luar dugaan karena
sifatnya yang keras, dan agak seperti seorang laki-laki itu,
siapakah yang dapat dipersalahkan?"
"Kau, kau," kawannya menudingnya, "kau memang kurang
berhati-hati. Kau kurang menempatkan diri apabila kau
berhasrat bergurau. Persoalan ini bagi Pandan Wangi bukan
persoalan kecil. Sekian lamanya ia menunggu, tiba-tiba saja ia
dihadapkan pada suatu persoalan yang tidak diinginkannya."
"Aku tidak mengatakan apa-apa tentang anak muda
Sangkal Putung itu."
"Tetapi kau sengaja memberikan gambaran yang salah
pada Pandan Wangi." "Dan kau tidak mencegahnya. Sekarang kau menyalahkan
aku pula." Kawannya tidak menjawab. Ia menjadi kasihan juga melihat
wajah pengawal yang merasa terdorong terlampau jauh itu.
"Aku akan kembali. Mungkin sesuatu akan terjadi."
Tetapi kawannya menggeleng, "Kami sedang menjalankan
tugas. Jika selama kita di perjalanan kembali terjadi sesuatu di
sini, dosa kita akan bertambah-tambah. Bukankah kadangkadang
di daerah ini timbul sesuatu yang tidak dapat kita
mengerti, yang sampai saat ini masih merupakan teka-teki"
Meskipun kita mengetahuinya bahwa persoalan yang
sebenarnya tidak terjadi di Menoreh, tetapi di daerah di
seberang Kali Praga, namun sentuhan peristiwa itu di daerah
Menoreh tidak dikehendaki oleh Ki Gede. Dan jika kita tidak
bertindak tegas sejak permulaan, maka semakin lama
persoalannya akan menjadi semakin sulit dipecahkan dan
semakin sulit diatasi."
Pengawal yang merasa menyesal atas kelakarnya yang
berbahaya itu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih berkata,
"Aku menjadi gelisah sekarang."
"Salahmu." "Bagaimana jika aku kembali seorang diri, dan kalian
meneruskan tugas kita."
"Terserah kepadamu."
Orang itu merenung sejenak, lalu, "Biarlah aku terus
bersama kalian. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa.
Tolong bantulah aku berdoa."
Kawan-kawannyalah yang kemudian tersenyum. Tetapi
karena mereka tidak sampai hati melihat kegelisahan dan
kecemasan yang mencengkam jantung kawannya itu, hampir
berbareng kawan-kawannya menjawab, "Baiklah. Kami akan
berdoa, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa."
Pengawal yang sedang menyesal itu memandangi wajah
kawan-kawannya berganti-ganti. Tetapi ia tidak mengatakan
apa-apa lagi. Sementara itu, Pandan Wangi berpacu kembali ke induk
Tanah Perdikan Menoreh. Tiba-tiba saja hatinya menjadi
gelisah. Ia memang dicemaskan oleh ceritera pengawai itu,
seakan-akan telah terjadi sesuatu di rumahnya. Seolah-olah
kedatangan tamu-tamu ayahnya dari Sangkal Putung itu
membawa persoalan yang kurang menyenangkan.
Karena itu, ia hampir tidak menghiraukan lagi anak muda
yang berburu bersamanya, yang masih ada hubungan darah
dengan keluarganya meskipun sudah agak jauh.
"Pandan Wangi," anak muda itu memanggilnya, "jangan
terlalu cepat." Pandan Wangi tidak menghiraukannya. Ia masih saja
berpacu lewat jalan berdebu.
Beberapa orang petani yang melihat Pandan Wangi
bergegas pulang itu mengerutkan keningnya. Namun seorang
anak muda yang lewat di pematang berkata kepada petani itu,
"Pandan Wangi tergesa-gesa pulang karena ada tamu di
rumahnya. He, apakah Paman tidak melihat iring-iringan orang
berkuda lewat jalan di sebelah Utara itu" Mereka datang dari
Sangkal Putung." Petani itu menggeleng. "O, jika Paman melihatnya, Paman tidak akan heran lagi.
Tamu itu adalah anak muda yang beberapa saat yang lalu ada
di Tanah ini, ketika Tanah ini dibakar oleh pertentangan antara
Ki Argapati dan Ki Argajaya bersama Sidanti."
"O," petani itu mengangguk-angguk.
"Bukankah Paman ikut dalam pertempuran-pertempuran
yang terjadi saat itu?"
"Ya. Pertentangan itu kini sudah kita lupakan."
"Tentu. Tetapi bahwa anak muda itu pernah di sini itulah
yang aku ingat. Dan anak muda itu memang mempunyai
persoalan tersendiri dengan Pandan Wangi."
Petani itu tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya ia berkata, "Pantas Pandan Wangi tidak sabar lagi."
Dan ketika petani itu mengangkat wajahnya, dilihatnya
debu yang meloncat ke udara dilemparkan oleh kaki-kaki kuda
yang berlari kencang. Di regol padukuhan induk, Pandan Wangi mengurangi
kecepatan derap kudanya. Bahkan sejenak ia menjadi raguragu.
Apakah ia akan langsung pulang ke rumahnya atau akan
singgah dahulu di mana pun juga untuk menge-tahui keadaan
di rumahnya. Apakah benar tamu-tamunya itu datang dari
Sangkal Putung, atau pengawal itu keliru menjawabnya.
Pandan Wangi mengerutkan keningnya ketika seorang
anak muda di regol padukuhannya tertawa tanpa alasan
sambil memandanginya. "He, kenapa kau tertawa?" bertanya Pandan Wangi.
"Tidak apa-apa. Tetapi pulanglah. Ada tamu yang
membawa oleh-oleh yang sangat menarik."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia sadar bahwa
anak muda itu sengaja mengganggunya. Karena itu maka ia
pun berpura-pura tidak mengetahuinya dan bertanya lebih
lanjut, "Siapa tamu itu?"
"Aku kurang tahu. Tetapi yang aku ketahui mereka datang
dari jauh dan membawa oleh-oleh buatmu. Khusus buatmu."
"Terima kasih. Aku akan melihat tamu yang membawa
oleh-oleh itu." Anak muda di regol pedukuhan itu tidak menyahut lagi.
Dipandanginya saja Pandan Wangi yang maju perlahan oleh
keragu-raguan. "He, siapakah sebenarnya orang yang selalu disebut-sebut
itu Pandan Wangi?" bertanya anak muda yang berburu
bersama Pandan Wangi itu.
"Aku tidak tahu," jawab Pandan Wangi.
"Mustahil. Aku menangkap kesan yang aneh pada setiap
orang yang memberitahukan tentang tamu itu. Mereka
tertawa-tawa seperti orang kesurupan, dan bahkan ada yang
mirip-mirip dengan orang gila." Anak muda itu berhenti
sejenak, lalu, "Dan sikapmu sendiri menjadi aneh. Tentu kau
sudah tahu siapakah tamumu itu."
"Aku tidak tahu."
"Setidak-tidaknya kau dapat menduga, siapakah tamumu,
yang oleh anak muda di regol ini disebut membawa oleh-oleh
yang sangat menarik buatmu."


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pandan Wangi tidak menyahut.
"Tentu kau tidak berkeberatan mengatakan kepadaku,
siapakah tamumu itu. Apakah yang mereka maksudkan
adalah keluargaku?" Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
"Tentu tidak. Kau tidak datang hari ini. Kau sudah ada
dirumahku. Dan mereka tidak mengatakan apa-apa tentang
kedatanganmu, karena tetangga-tetanggaku belum
mengenalmu dengan baik."
"Aku pernah datang ke rumahmu sebelumnya."
"Tetapi sudah lama sekali."
Anak muda itu tidak menyahut lagi. Tampaklah keningnya
berkerut-merut. Ia mencoba untuk mengetahui siapakah tamu
Ki Gede Menoreh kali ini, yang agaknya lebih penting dari
dirinya sendiri. Tetapi tidak seorang pun yang dapat
memberitahukan kepadanya. Karena Pandan Wangi sendiri
tidak mau menyebut tamunya, maka para pengiringnya pun
tentu tidak akan mau mengatakannya.
"Aku akan langsung pulang," tiba-tiba saja Pandan Wangi
berdesis. Anak muda yang bersamanya itu tidak mengerti
maksudnya. Kenapa Pandan Wangi harus berkata demikian.
Jika ia tidak pulang ke rumah, maka ke mana saja ia akan
pergi. Demikianlah maka mereka pun langsung menyelusur jalan
induk Tanah Perdikan Menoreh.
Meskipun masih juga ragu-ragu, namun Pandan Wangi
langsung menuju ke regol rumahnya. Ketika ia akan
memasuki regol itu, tiba-tiba saja berkata, "Kemarilah."
Anak muda yang berburu bersamanya itu menjadi heran.
Tetapi Pandan Wangi berkata sekali lagi, "Marilah kita
bersama memasuki regol itu. Jangan terlalu lambat. Kita
langsung masuk ke longkangan samping dan berhenti di
belakang." "Kenapa?" "Ikut kataku." Anak muda itu tidak sempat bertanya lagi. Pandan Wangi
sudah mempercepat lagi derap kudanya dan memberi isyarat
agar anak muda itu berkuda di sampingnya.
Sambil menengadahkan wajahnya Pandan Wangi
memasuki halaman rumahnya bersama anak muda itu. Sama
sekali tidak berpaling ke pendapa dan langsung menuju ke
longkangan samping. "Itulah Pandan Wangi," berkata Ki Argapati.
"Ya," jawab Kiai Gringsing.
Tetapi orang-orang yang berada di pendapa itu menjadi
heran. Pandan Wangi berpaling pun tidak.
"Tentu ia belum tahu bahwa ada tamu di pendapa ini."
Kiai Grlngsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang Sangkal
Putung mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun dalam pada itu, terasa sesuatu berdesir di dada
Swandaru. Ia belum mengenal anak muda itu. Meskipun ia
sudah mendengar bahwa anak muda itu masih ada sangkutan
darah pada garis keturunan ibu Pandan Wangi. Namun
sikapnya agak memanaskan hatinya. Apalagi Pandan Wangi
sendiri sama sekali tidak berpaling dan tidak menghiraukan
kehadirannya. Tetapi ia pun mencoba menghibur dirinya sendiri dengan
kalimat yang dikatakan oleh Ki Argapati, "Tentu ia belum tahu
bahwa ada tamu di pendapa ini."
"Tetapi anak muda yang lebih dahulu berpacu melintasi
halaman ini melihat bahwa kami duduk di sini dan dengan
tergesa-gesa turun," berkata Swandaru di dalam hatinya pula.
Tidak ada yang dapat dimintainya pertimbangan. Agung
Sedayu tentu hanya akan mengganggunya saja.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu pun menjadi heran
melihat sikap Pandan Wangi. Apakah mungkin Pandan Wangi
tidak melihat tamu-tamu yang ada di pendapa, ini atau ia
memang mengalami perubahan selama ini"
Namun sikap itu memang menimbulkan berbagai
pertanyaan di hati anak-anak muda yang sedang duduk di
pendapa itu bersama Ki Gede Menoreh.
Dalam pada itu Pandan Wangi yang terus saja membawa
kudanya ke longkangan langsung pergi ke belakang
rumahnya. Dengan tenangnya ia meloncat turun dan
menambatkan kudanya pada sebatang pohon. Tanpa
menghiraukan apa pun juga, maka Pandan Wangi pun
langsung masuk ke bagian belakang rumahnya itu.
Anak muda yang pergi berburu bersamanya itu pun
mengikutinya saja. Ia sama sekali tidak mengerti maksud
Pandan Wangi. Sedang ia masih belum mendapat
kesempatan untuk bertanya lebih lanjut.
Di bagian belakang dari rumahnya itu Pandan Wangi
bertemu dengan adik sepupunya, dan langsung saja ia
bertanya, "Kenapa ayah marah?"
Prastawa memandang Pandan Wangi dengan heran.
Tetapi sebelum ia menjawab Pandan Wangi mendesaknya,
"Kenapa" Apakah tamu-tamu di pendapa itu membawa berita
buruk atau penghinaan terhadap kita di sini?"
"Aku tidak mengerti," Prastawa terheran-heran.
"Kenapa ayah marah" Kenapa?"
"Paman Argapati sama sekali tidak marah."
"He?" Pandan Wangi mengerutkan keningnya, lalu, "Tetapi
kenapa kau dipanggilnya setelah kau sampai di regol halaman
pada saat kau akan memanggil aku pulang?"
"Aku tidak mengerti. Aku tidak akan memanggil kau pulang.
Kami di sini mengetahui bahwa kau tidak akan berburu terlalu
lama. Karena itu, kami sama sekali tidak bermaksud
memanggil kau pulang."
Pandan Wangi menjadi agak bingung. Tetapi ia masih
mendesaknya, "Aku tidak peduli, tetapi kenapa ayah marah
dan pembicaraan antara ayah dan tamu-tamu di pendapa itu
tidak berlangsung dengan baik?"
"Tidak ada yang marah. Mereka berbicara dengan baik.
Ketika kami menghidangkan makanan dan minuman,
semuanya tertawa-tawa dengan cerah. Tidak ada apa-apa.
Sungguh, tidak ada apa-apa dengan tamu-tamu itu."
"Jadi, kau tidak dipanggil ayah ketika kau akan memanggil
aku pulang?" "Aku tidak akan memanggil kau pulang."
Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Dicobanya
mengingat wajah para pengawal itu. Dan tiba-tiba ia
menggeram, "Gila, Mereka pasti membohongi aku. Mereka
sengaja menggangguku. Awas, jika besok aku bertemu lagi,
aku pilin telinganya sampai putus. Jika tidak ada orang gila itu,
aku tentu masih belum pulang saat ini."
Prastawa memandang Pandan Wangi dengan heran. Lalu
ia pun bertanya, "Apakah sebenarnya yang telah terjadi?"
"Tidak apa-apa. Tidak apa-apa."
Pandan Wangi pun kemudian membanting dirinya duduk di
atas sebuah amben bambu. Dipandanginya adik sepupunya
itu sejenak namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam,
menyesali ketergesa-gesaannya. Bahkan kemudian ia berkata
di dalam hati, "Tentu orang-orang menyangka, bahwa aku
tergesa-gesa pulang karena tamu-tamu itu."
Dalam pada itu, anak muda yang pergi berburu
bersamanya menjadi sangat heran akan tingkah laku Pandan
Wangi. Karena itu, setelah Pandan Wangi agak tenang dan
duduk di amben bambu ia mencoba bertanya, "Pandan Wangi,
apakah yang sebenarnya telah terjadi?"
Pandan Wangi memandanginya sejenak, lalu, "Tidak ada
apa-apa yang terjadi."
"Tetapi tampaknya kau menjadi bingung."
Pandan Wangi mengangguk kecil, lalu, "Ya, aku menjadi
bingung karena para pengawal itu telah memperolok-olokkan
aku. Awas, jika aku bertemu mereka besok."
Anak muda itu masih tetap tidak mengerti. Dan tanpa
disadarinya ia telah bertanya, "Siapakah tamu-tamu itu,
Pandan Wangi?" Pandan Wangi memandang anak muda itu sejenak, lalu,
"Bertanyalah kepada Prastawa."
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Sambil
Budha Pedang Penyamun Terbang 21 Kumbang Datang Di Fajar Pagi Karya Rugyinsun Bara Maharani 16

Cari Blog Ini