Ceritasilat Novel Online

Hijaunya Lembah Hijaunya 10

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 10


Kabuyutan ini?" bertanya Mahisa Ura.
Ki Bekel menggeleng. Jawabnya, "Aku tidak melihat
sesuatu." "Baiklah Ki Bekel," jawab Mahisa Ura, "kami besok
akan mohon diri. Mudah-mudahan kita akan menemukan
sesuatu." "Tetapi kenapa kalian tiba-tiba saja menjadi tergesa-gesa
meninggalkan padukuhan ini," bertanya Ki Bekel.
"Sebenarnya aku akan berada ditempat ini lebih lama
lagi. Tetapi agaknya sesuatu telah memaksa kami untuk
pergi meskipun kita untuk selanjutnya akan tetap
berhubungan," jawab Mahisa Ura.
Demikianlah maka di hari berikutnya, maka Mahisa
Ura, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah minta diri
kepada Ki Bekel dan para bebahu padukuhan itu. Dengan
sengaja Mahisa Ura mengatakan, bahwa ia telah
berhubungan dengan seseorang yang tinggal di padukuhan
di ujung Kabuyutan itu. Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Wajahnya menjadi
tegang sesaat. Tetapi ia pun kemudian tersenyum sambil
bertanya, "Kenapa kalian memilih untuk bergeser ke arah
Utara?" Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Bagaimana
juga, jantung Mahisa Ura memang terasa berdebar-debar.
Namun demikian ia menjawab, "Sudah aku katakan Ki
Jagabaya. Seseorang telah menyatakan keinginannya untuk
melihat barang-barang kami."
"Apakah orang orang padukuhan ini tidak ada lagi yang
ingin membeli barang-barang dagangan Ki Sanak?"
bertanya Ki Jagabaya. "Aku sudah berada ditempat ini beberapa hari. Jika ada,
maka aku kira mereka sudah menghubungi kami sampai
hari ini," jawab Mahisa Ura.
Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Tetapi ia pun
tersenyum lagi sambil menjawab, "Mungkin seseorang
sedang mengumpulkan uangnya atau mungkin ada sebabsebab
lain." Mahisa Ura pun kemudian menjawab, "Aku tidak akan
berada ditempat yang terlalu jauh. Jika uang itu benar telah
terkumpul, maka kami masih tetap berada di Kabuyutan
ini. Jika pada suatu saat kami akan meninggalkan
Kabuyutan init maka kami akan melaporkannya kepada Ki
Bekel di sini." Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Mungkin aku akan mendapat kesempatan untuk menengok
kalian." "Terima kasih Ki Jagabaya. Kami akan tetap menunggu.
Kami akan berada di padukuhan itu untuk tiga atau ampat
hari saja. Kecuali jika terjadi perkembangan yang
menguntungkan dari perdagangan kami," jawab Mahisa
Ura. Keduanya kemudian terdiam. Sementara itu Ki Bekelpun
yang berkata, "Nah, segalanya terserah kepada kalian,
kapan saja kita kalian kehendaki, maka kalian akan dapat
kembali ke banjar ini dan mempergunakan bilik itu untuk
waktu yang tidak terbatas."
Dengan demikian, maka Mahisa Ura, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah meninggalkan padukuhan itu dan pergi
ke padukuhan di Ujung Kabuyutan, justru yang oleh Ki
Jagabaya disebut sebagai daerah yang sangat berbahaya.
Ketika mereka sampai di tengah bulak diluar padukuhan
yang-telah mereka tinggalkan, maka Mahisa Murti pun
bertanya, "Apakah yang akan kita lakukan, jika ternyata
kita tidak diterima untuk bermalam di banjar itu?"
Mahisa Ura tiba-tiba saja tersenyum. Katanya,
"Bukankah kita tidak mempunyai niat buruk?"
"Apakah kita akan menjelaskan persoalan yang kita
hadapi kepada orang-orang padukuhan yang belum pernah
kita kenal sama sekali?" bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Tentu tidak. Tetapi jika kita tidak dibenarkan untuk
bermalam di banjar, kita akan mencoba mencari tempat di
banjar padukuhan yang lain. Bahkan mungkin kita akan
berhubungan dengan Ki Buyut. Tetapi seandainya kita
benar-benar tidak mendapat tempat dimanapun, bukankah
kita terbiasa tidur dimanapun juga?"
Mahisa Pukat mengangguk-angguk pula. Katanya, "Kau
benar. Kita dapat bermalam dimana saja."
Mahisa Murti pun mengangguk-angguk juga sambil
mengayunkan langkahnya satu-satu. Katanya, "Ya. Kita
bukan saudagar-saudagar besar. Kita tidak lebih dari
pengembara." Mahisa Ura dan Mahisa Pukat pun kemudian telah
tertawa tertahan. Demikianlah ketiganya berjalan ke arah yang tidak
dikehendaki oleh Ki Jagabaya. Tetapi mereka memang
sudah bertekad untuk melakukannya justru untuk
memancing sikap Ki Jagabaya yang menurut ketiga orang
itu, memang memerlukan perhatian yang khusus.
Beberapa saat lamanya mereka berjalan. Mereka justru
telah melintasi beberapa buah padukuhan. Tetapi mereka
memang berniat untuk berada di padukuhan di ujung
Kabuyutan. Namun ketiga orang itu tiba-tiba saja telah merasa
terganggu bahwa ketika mereka sampai ke bulak yang
terakhir sebelum mereka memasuki padukuhan yang berada
di ujung Kabuyutan, maka mereka telah merasa bahwa
seseorang atau lebih telah mengamati mereka dari jarak
yang agak jauh, di antara yang tumbuh subur di sawah.
Sekali-sekali mereka melihat seseorang berada di pematang
beberapa puluh langkah dari jalan yang mereka lalui.
Namun kadang-kadang orang itu tidak dapat mereka lihat
lagi. "Apakah kau melihatnya?" bertanya Mahisa Murti
kepada Mahisa Pukat. Mahisa Pukat mengangguk-angguk sambil menjawab,
"Ya. Aku melihatnya. Justru menarik sekali." Lalu ia pun
berpaling kepada Mahisa Ura, "Kau melihatnya."
"Justru sekarang orang itu nampak di pematang," jawab
Mahisa Ura. Sementara justru berpaling meskipun dengan hati-hati,
agar tidak mengejutkan dan disadari oleh orang yang di
pematang itu. "Ya," desis Mahisa Murti, "orang itulah yang aku
maksud." Mahisa Ura mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Mungkin orang itu pula yang telah mengawasi kita pada
saat kita datang kepadukuhan pertama."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Dalam pada itu Mahisa Ura pun menjawab, "Agaknya
memang ada hubungannya dengan Ki Jagabaya meskipun
dalam dua kemungkinan yang bertolak belakang. Mungkin
orang itu adalah orang yang memang dipasang ojeh Ki
Jagabaya, tetapi mungkin Ki Jagabaya benar bahwa kita
seharusnya tidak usah pergi ke tempat ini."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun Mahisa Pukat pun berkata, "Biar sajalah. Jika
orang itu ingin mengganggu kita, kita akan mencekiknya
sampai hitam matanya hilang."
"Ah, kau," desis Mahisa Murti.
Mahisa Ura tersenyum. Katanya, "Kita akan menunggu
apa yang akan terjadi dengan kita kelak."
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi
langkah mereka rasa-rasanya menjadi semakin berat ketika
mereka mendekati padukuhan di ujung Kabuyutan.
"Sebelah padukuhan itu adalah batas antara dua
Kabuyutan," berkata Mahisa Ura.
"Ya. Tugu batas itu," jawab Mahisa Murti kemudian.
Perlahan-lahan mereka maju semakin dekat. Namun
akhirnya Mahisa Ura berkata, "Mau tidak mau kita akan
pergi ke rumah Ki Bekel untuk menyatakan keinginan kami
bermalam di padukuhan ini."
"Ya," sahut Mahisa Pukat, "marilah. Kita langsung
pergi ke rumah Ki Bekel. Mudah-mudahan ia berada di
rumah." Demikian ketiga orang itu pun telah pergi langsung ke
rumah Ki Bekel. Untunglah bagi mereka, bahwa Ki Bekel
masih ada di rumah. Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
mengerutkan kening ketika mereka kemudian ditemui oleh
Ki Bekel. Ternyata Ki Bekel masih muda juga seperti tamutamunya.
Ki Bekel yag berwajah cerah itu tersenyum. Seolah-olah
ia mampu membaca perasaan tamu-tamunya. Karena itu
maka katanya, "Akulah Bekel di padukuhan ini. Mungkin
aku masih terlalu muda menurut Ki Sanak. Tetapi
sebenarnyalah aku memang Bekel di padukuhan ini."
"O, maaf Ki Bekel," berkata Mahisa Ura, "kami
memang heran melihat bahwa Ki Bekel masih terlalu muda
untuk jabatan yang sedang Ki Bekel pangku sekarang."
"Satu gambaran yang salah tentang seorang Bekel,"
berkata Ki Bekel, "seolah-olah jika kita mendengar tentang
seorang Bekel, kita membayangkan seorang yang sudah
berjanggut dan berkumis putih, berjalan terbongkokbongkok
batuk." "Ah," Mahisa Ura menjawab, "Bukan begitu Ki Bekel.
Tetapi aku kira seorang Bekel yang muda pun wajar sekali."
Ki Bekel tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia
berkata, "Baiklah. Mungkin kita memang mempunyai
gambaran masing-masing."
Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
tersenyum pula. Sementara itu, Ki Bekel yang masih muda
itu-pun bertanya, "Apakah keperluan Ki Sanak datang ke
padukuhan ini" Menurut penglihatanku Ki Sanak bukan
orang padukuhan ini, karena aku mengenal setiap orang di
sini." Mahisa Uralah yang menjawab, "benar Ki Bekel. Kami
adalah tiga bersaudara yang mengembara sambil
melakukan jual beli beberapa jenis benda. Kami bermaksud
melakukan jual beli itu di padukuhan ini apabila ada yang
berminat. Dengan demikian, apabila diijinkan kami mohon
untuk dapat menginap di banjar barang satu dua malam."
"Ooo," Ki Bekel mengangguk-angguk. "apa yang kalian
jual belikan?" "Wesi aji dan batu permata serta batu akik dan
sebangsanya," jawab Mahisa Ura.
"Batu?" Ki Bekel bertanya, "batu permata memang
mempunyai nilai yang tinggi untuk diperjual belikan. Tetapi
batu akik adalah permainan orang-orang yang khusus
karena sulit untuk memberi penilaian atas kegunaannya."
"Kami juga membawa batu permata," berkata Mahisa
Ura, "jika Ki Bekel ingin melihat, kami dapat
menunjukkannya." "Ah," berkata Ki Bekel, "aku bukan seorang Bekel yang
kaya. Memang ada niat untuk membeli batu permata.
Tetapi aku sekarang tidak mempunyai uang untuk itu.
Tetapi entahlah orang-orang lain dari padukuhan ini. Tetapi
menurut penilaianku, orang-orang dari padukuhan ini
bukan orang-orang kaya. Meskipun demikian aku tidak
tahu jika ada di antara mereka yang telah menabung,
sehingga jika Ki Sanak akan mencoba aku tidak
berkeberatan memberikan kesempatan kepada Ki Sanak
menginap barang satu dua malam di banjar."
"Terima kasih Ki Bekel," jawab Mahisa Ura, "aku dan
kedua adik kami mengucapkan terima kasih atas
kesempatan ini. Mudah-mudahan kami mendapat
kesempatan untuk dapat melayani kebutuhan penghuni
padukuhan ini." Ki Bekel pun kemudian memanggil seorang
pembantunya dan berkata, "Bawa ketiga orang ini ke
banjar. Mereka minta ijin untuk bermalam. Beritahukan
kepada orang-orang padukuhan ini, bahwa jika mereka
memerlukan wesi aji, batu permata dan batu akik, maka
mereka dapat berhubungan dengan ketiga orang yang
bermalam di banjar ini."
Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
kemudian minta diri. Diantar oleh pembantu Ki Bekel,
mereka bertiga pergi banjar padukuhan.
"Ki Bekel masih sangat muda," berkata Mahis Ura
kepada orang yang mengantarkannya.
"Ya." jawab orang itu, "Ki Bekel yang sekarang belum
lama menggantikan Ki Bekel yang terdahulu."
"Ooo," Mahisa Ura mengangguk-angguk, "bagaimana
dengan Ki Bekel yang dahulu?"
"Ki Bekel telah meninggal," jawab pembantu itu, "Ki
Bekel yang sekarang adalah menantunya, karena Ki Bekel
tidak mempunyai anak laki-laki."
Mahisa Ura mengangguk-angguk. Katanya, "Agaknya
anak muda ini memang pantas menjadi seorang Bekel.
Nampaknya ia cerdas dan tangkas."
Pembantunya itu mengiakannya. Katanya, "Ya. Ki
Bekel yang sekarang memang lebih trampil dari Ki Bekel
yang terdahulu. Ki Bekel yang terdahulu adalah orang yang
sederhana dan lugu. Ia tidak banyak berbuat sesuatu selain
melakukan apa yang selalu dilakukan oleh para Bekel
sebelumnya. Tetapi Ki Bekel yang sekarang telah
melakukan hal-hal yang terasa baru dan segar meskipun ia
selalu memanggil orang-orang tua untuk diajak berbicara."
Mahisa Ura masih mengangguk-angguk. Dengan nada
datar ia menyahut, "Mudah-mudahan ia berhasil dalam
tugasnya." Pembantu Ki Bekel itu tidak menjawab. Mereka berjalan
saja menyusuri jalan padukuhan. Ketika seorang muncul
dari regol halaman rumahnya, maka pembantu Ki Bekel itu
berkata, "Mereka adalah saudagar permata dan wesi aji.
Mereka akan berada di banjar untuk satu dua malam. Nah,
apakah kau memerlukan wesi aji atau permata?"
"Ah," Mahisa Ura menyela, "kami bukan saudagar.
Kami hanya pedagang yang tidak berarti. Kami akan
mencoba melayani kebutuhan beberapa jenis batu. Bukan


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanya permata, tetapi juga jenis batu akik yang ujudnya
menarik tetapi harganya sangat murah. Bahkan jika sesuai,
akan dapat memberikan pengaruh bagi pemakainya."
Orang itu mengangguk-angguk. Namun katanya,
"Menarik sekali. Tetapi sayang, aku tidak mempunyai
simpanan uang untuk membelinya."
Pembantu Ki Bekel itu tersenyum. Katanya, "Mulailah
menabung sedikit demi sedikit. Pada saatnya kau akan
dapat membeli jenis bebatuan atau wesi aji."
Orang itu tersenyum. Jawabnya, "Kita sama-sama tahu,
apakah kita mungkin akan dapat menabung."
"Ya," pembantu Ki Bekel itu mengangguk-angguk.
Tetapi kemudian katanya, "Namun di padukuhan ini aku
kira ada juga satu dua orang yang akan membelinya."
"Mungkin," jawab orang itu, "Mudah-mudahan barang
dagangan kalian akan dapat laku di sini."
"Mudah-mudahan," berkata Mahisa Ura, "tetapi
seandainya tidak seorang pun yang membeli barangbarangku,
kita pun tidak apa apa. Satu keuntungan sudah
aku dapatkan. Mempunyai sahabat-sahabat baru di
padukuhan ini." "Ya," pembantu Ki Bekel itu menyahut, sementara
orang yang keluar regol itu pun mengangguk-angguk pula.
Demikianlah, maka sejak dari itu Mahisa Ura dan kedua
orang yang diakunya sebagai adiknya itu telah berada di
banjar padukuhan di ujung Kabuyutan, yang justru menjadi
tempat yang disebut sangat berbahaya oleh Ki Jagabaya di
padukuhan yang baru saja mereka tinggalkan. Di tempat itu
Mahisa Ura mengharap akan dapat mengetahui keadaan di
sekitarnya lebih cermat lagi.
Namun setelah mereka berada di padukuhan itu, sama
sekali tidak ada tanda-tanda sebagaimana dikatakan oleh Ki
Jagabaya. Penghuni padukuhan itu nampaknya tidak
merasakan tekanan ketakutan sama sekali. Jalan-jalan
disekitar padukuhan itu pun nampaknya tidak menjadi sepi.
Orang lewat pun nampaknya seperti juga jalan-jalan di
padukuhan-padukuhan yang lain. Bahkan jalan-jalan di
bulak panjang pun dilewati orang yang pergi dan pulang
dari pasar. Dengan demikian maka pertanyaan pun semakin
mendesak di hati Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Apakah maksud Ki Jagabaya memberikan
peringatan kepada mereka untuk tidak pergi ke daerah
Utara itu. Di hari kedua setelah mereka bertiga berada di banjar
padukuhan di ujung Kabuyutan itu, maka mereka bertiga
pun telah minta diri kepada penjaga banjar untuk melihatlihat
keadaan disekitar padukuhan itu.
"Kapankah kalian akan kembali?" bertanya penunggu
bajar itu. "Siang nanti," jawab Mahisa Ura.
"Jadi apa jawabku jika ada orang yang menanyakan
kalian untuk melihat wesi aji atau batu akik?" bertanya
penjaga banjar itu pula. "Sore nanti aku ada di banjar. Pagi ini aku ingin
mencari kemungkinan pemasaran di padukuhan-padukuhan
lain," jawab Mahisa Ura.
Penjaga banjar itu tidak bertanya lagi. Tetapi ia pun
berpesan, "Jangan kembali terlalu malam."
"Kenapa?" bertanya Mahisa Ura curiga.
"Tidak apa-apa. Jika kalian datang terlalu malam, maka
aku tidak akan dapat menunggu oleh-oleh yang mungkin
kau bawa," jawab penjaga itu.
Mahisa Ura dan kedua orang yang diakuinya sebagai
adiknya itu menarik nafas dalam-dalam. Bahkan dengan
nada rendah Mahisa Ura berdesis, "Aku kira ada sesuatu
yang sejalan dengan peringatan Ki Jagabaya."
"Peringatan apa?" bertanya penjaga banjar itu.
"Tidak apa-apa," jawab Mahisa Ura.
Penjaga itu termangu-mangu. Namun kemudian justru
Mahisa Pukatlah yang bertanya, "Jangan tidur jika kami
belum datang. Kami akan membawa oleh-oleh bagimu."
Penjaga banjar itu tersenyum. Katanya, "aku menunggu.
Tetapi jika kalian tidak membawa apa-apa, kalian tidak
boleh mempergunakan pekiwan."
"Baik," jawab Mahisa Pukat, "kami akan membawa
oleh-oleh yang tentu kau sukai."
Penjaga banjar itu tertawa. Tetapi ia tidak menjawab
lagi. Demikian, maka Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat itu pun telah meninggalkan padukuhan itu. Mereka
menyusuri jalan menuju ke arah Utara. Dengan demikian
maka mereka telah memasuki Kabuyutan tetangga.
Tetapi karena ketiga orang itu tidak menunjukkan.sijkap
maupun pakaian yang menarik perhatian, maka tidak;ada
orangang memperhatikan mereka secara khusus.
Namun dalam pada itu, Mahisa Ura, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat merasa perlu untuk selalu berhati-hati karena
ketika mereka datang ke Kabuyutan itu, dan ketika mereka
berpindah dari padukuhan yang satu ke padukuhan di ujung
Kabuyutan itu telah diikuti oleh mungkin seorang, mungkin
lebih. Sementara itu, Mahisa Ura mulai memperhatikan tandatanda
dari lingkungan yang mereka lewati. Ketika mereka
mendekati sebuah hutan yang dipisahkan dari sebuah
padang rumput dan kemudian padang perdu dari daerah
padukuhan dan pategalan, maka Mahisa Ura merasakan
dengan ketajaman penggraitannya, bahwa ia pernah
melewati tempat itu. "Kita melingkari ujung hutan itu," berkata Mahisa Ura.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengangguk.
Mereka mulai yakin bahwa Mahisa Ura telah menemukan
sesuatu yang dapat dipergunakannya sebagai petunjuk.
Demikianlah mereka bertiga berjalan meninggalkan jalan
yang menghubungkan padukuhan yang satu dengan
padukuhan yang lain.Mereka telah mengikuti sebuah jalan
yang lebih kecil. Namun mereka pun telah memilih jalan
yang lebih kecil lagi, bukan yang menuju ke pategalan,
tetapi menuju ke pinggir hutan.
Tidak banyak orang yang pergi ke hutan. Hanya mereka
yang mempunyai kepentingan yangsangat mendesak.
Beberapa orang memang pergi kehutan untuk mendapatkan
jenis dedaunan yang dapat dipergunakannya sebagai obat,
atau jenis kayu yang khusus yang diketahui berada di hutan
itu. Itu pun dilakukan oleh beberapa orang yang akan dapat
melawan jika mereka diserang oleh binatang buas yang ada
di hutan itu. Tetapi di padukuhan yangterakhir ketiga orang
itu sama sekali tidak pernah mendengar ada bahaya lain
yang dapat mengancam orang-orang yang datang kehutan
itu kecuali binatang buas.
Ketika mereka sudah berada disisi lain dari hutan itu,
maka tiba-tiba saja Mahisa Ura tertegun. Sejenak ia
memandang ke arah sesuatu.
"Apa yang menarik perhatianmu?" bertanya Mahisa
Murti. Mahisa Ura memandang ke arah sebuah gumuk kecil.
Dengan suara bergetar ia berkata, "Sebuah batu besar diatas
gumuk kecil itu. Kau lihat batu itu berwarna hijau?"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Hampir diluar sadarnya Mahisa Murti berdesis, "Sejenis
batu akik raksasa." Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk, "Menarik
sekali. Kenapa tidak seorang pun yang mengambilnya?"
Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
"Aku pernah melihatnya, tetapi tentu dari sisi yang lain.
Bentuknya agak berbeda dan latar belakang penglihatanku
pun berbeda." "Kita lingkari batu itu," berkata Mahisa Murti,
"kemudian kita akan mendekat dan melihat, apakah benar
batu itu sejenis batu berharga yang cukup keras atau
bukan?" Ketiga orang itu pun kemudian berjalan melingkari batu
yang dari jauh nampaknya ke hijau-hijauan itu. Bahkan
dicahaya matahari nampak berkilat dalam warna yang
kadang-kadang nampak gelap, tetapi kadang-kadang
nampak sedikit cerah. Dengan mengungkapkan seluruh ingatannya Mahisa Ura
mencoba mengenang apa yang pernah dilihatnya, sehingga
tiba-tiba saja ia berhenti. "Di sini. Aku pernah berdiri di
sini." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Dengan nada datar Mahisa Murti bergumam,
"Akhirnya kau ingat kembali apa yang pernah kau lupakan
itu." Mahisa Ura mengangguk-angguk. Katanya, "Aku telah
menemukan kembali ingatanku. Aku tentu akan dapat
membawa kalian menuju ke pintu gerbang perguruan yang
kau cari itu." "Ya," Mahisa Murti mengangguk-angguk, "kita akan
membicarakan cara yang paling baik untuk melakukan
sesuatu atas perguruan itu."
"Sementara kita belum menentukan sikap, maka
sebaiknya kita melihat-lihat batu yang aneh itu. Memang
sangat menarik bahwa batu itu masih tetap berada disitu,"
berkata Mahisa Pukat. "Aku tidak berkeberatan," berkata Mahisa Ura, "tetapi
untuk sementara batu itu jangan dipindahkan atau jangan
dirubah letaknya. Aku masih memerlukannya untuk selalu
mengingat lingkungan ini sebagaimana pernah aku lihat."
"Baiklah," berkata Mahisa Pukat, "mungkin kita
memerlukan batu itu, tetapi mungkin juga tidak. Tetapi
seandainya kita ingin mengambilnya, apakah tidak ada
orang, atau padukuhan atau Kabuyutan yang akan merasa
kehilangan?" "Kita pun perlu berbicara dengan orang-orang
Kabuyutan sebelah menyebelah. Mungkin seorang, atau
satu lingkungan, memang merasa memilikinya. Jika
demikian, maka kita harus menempuh jalan yang wajar
sehingga tidak akan timbul persoalan di kemudian hari
dengan orang atau lingkungan yang merasa berhak,"
berkata Mahisa Ura. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Mahisa Murti
berkata, "Apakah mungkin peringatan Ki Jagabaya ada
hubungannya dengan batu itu?"
"Mungkin," jawab Mahisa Ura, "ia mencurigai setiap
orang asing yang memasuki Kabuyutan ini. Apalagi setelah
Ki Jagabaya itu mendengar bahwa kita adalah pedagang
batu akik." "Tetapi satu atau dua orang telah mengawasi saat itu
kita memasuki Kabuyutan ini," berkata Mahisa Pukat,
"sejak Ki Jagabaya belum mengetahui bahwa kita adalah
pedagang jenis batu-batuan."
"Mungkin yang mengawasi kita waktu itu orang-orang
Ki Jagabaya tetapi mungkin juga orang lain," jawab Mahisa
Murti, "Mungkin sekelompok orang tidak menyukai orangorang
baru yang memasuki lingkungan Kabuyutan ini."
Mahisa Ura menganggpk-angguk. Jawabnya, "Memang
mungkin. Karena itu, jika kita ingin mendekati batu itu, kita
harus berhati-hati. Mungkin tidak akan terjadi sesuatu.
Tetapi mungkin seperti yang kau katakan, ada pihak-pihak
yang sedang mengamati kita. Mereka adalah orang-orang
yang merasa berkepentingan dengan batu itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Dengan nada datar Mahisa Murti berkata, "Tidak ada
salahnya untuk selalu berhati-hati."
Mahisa Ura masih ingin menyahut. Namun mereka
tertegun ketika mereka melihat beberapa orang yang
muncul di kejauhan. "Kau lihat, sekelompok orang datang mendekati kita,"
berkata Mahisa Ura. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Memang ada semacam kecurigaan bahwa orangorang
itu datang dalam hubungannya dengan rencana
mereka melihat batu berwarna hijau itu.
Namun orang-orang yang datang itu mengenakan
pakaian yang sangat sederhana dan sama sekali tidak
membawa senjata. Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka seorang di
antara mereka mendekati Mahisa Ura sambil bertanya, "Ki
Sanak. Apa yang kalian lakukan di sini?"
"Tidak apa-apa," jawab Mahisa Ura, "kami hanya
melihat-lihat. Tetapi Ki Sanak ini akan pergi ke mana?"
"Kami akan pergi ke hutan," jawab orang itu, "seorang
keluarga kami sakit. Kami harus mencari sehelai daun
pandan eri sungsang."
"Pandan eri sungsang," desis Mahisa Ura, "apakah
mungkin akan kalian dapatkan di hutan itu?"
"Tentu," jawab orang itu, "kami sudah pernah
mengambilnya sebulan yang lalu, ketika seseorang
menderita sakit serupa."
Mahisa Ura mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Silahkan Ki Sanak. Mudah-mudahan yang sakit itu lekas
sembuh." "Terima kasih," jawab orang itu. Tetapi orang itu tibatiba
saja telah bertanya lagi, "Apakah Ki Sanak tertarik
kepada batu hijau itu?"
Mahisa Ura termangu-mangu. Namun katanya, "Batu
itu memang agak lain dengan batu kebanyakan. Kebetulan
saja kami melihatnya ketika kami berjalan-jalan sekarang
ini." "Nampaknya Ki Sanak bukan orang padukuhan di
dekat tempat ini" Bukan pula orang Kabuyutan dari kedua
Kabuyutan yang bertetangga itu," berkata orang yang akan
pergi ke hutan itu. "Bukan Ki Sanak," jawab Mahisa Ura, "kami adalah
tamu di padukuhan di ujung Kabuyutan sebelah. Kami
sedang melihat-lihat dan tanpa kami sengaja, kami telah
sampai ditempat ini."
"Batu itu memang menarik," berkata orang itu, "Tetapi
tidak seorang pun yang dapat mendekatinya. Gumuk kecil,


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempat batu itu penuh dengan berbagai jenis ular. Dari yang
kecil sampai yang sebesar paha Ki Sanak. Karena itu, maka
orang-orang sebelah menyebelah tempat ini tidak ada yang
berani mengambilnya, bahkan menyentuhnya."
"Ular," desis Mahisa Murti.
"Ya Ular," jawab orang itu, "Banyak sekali. Seorang
yang pergi ke gumuk itu akan digigit tiga empat ekor ular
sekaligus." Mahisa Ura mengangguk-angguk. Tetapi diluar
kehendaknya ia telah berpaling kepada Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, karena Mahisa Ura mengetahui bahwa
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memiliki benda-benda
yang dapat menjadi penangkal bisa yang betapapun
tajamnya. Namun sejenak kemudian Mahisa Ura itu pun
menjawab. "Terima kasih atas peringatan Ki Sanak. Kami
akan memperhitungkan semua kemungkinan," Mahisa Ura
berhenti sejenak, lalu, "Tetapi Kabuyutan yang manakah
yang seharusnya memiliki gumuk tempat batu itu?"
Orang-orang itu termangu-mangu sejenak. Seorang di
antara mereka kemudian menjawab, "Kedua Kabuyutan itu
merasa berhak. Tetapi atas kesepakatan mereka, biarlah
batu itu tetap berada ditempatnya."
Mahisa Ura mengangguk-angguk. Sementara itu salah
seorang dari orang-orang itu berkata, "Kami akan
melanjutkan perjalanan Ki Sanak."
"Silahkan," jawab Mahisa Ura, "semua pesan Ki Sanak
akan kami perhatikan."
Demikianlah maka orang-orang itu pun telah
meneruskan perjalanan memasuki hutan. Mereka agaknya
memang akan mencari daun pandan berduri sungsang.
Namun agaknya mereka memerlukan beberapa orang
kawan agar mereka tidak menjadi korban binatang buas.
Sepeninggal orang-orang itu, maka Mahisa Murti pun
berkata, "marilah akan melihat-lihat batu itu. Mungkin
memang banyak terdapat ular yang berbahaya. Tetapi kita
dapat berhati-hati. Kadang-kadang ular tidak dengan serta
merta menyerang jika kita tidak mengganggunya. Bahkan
mungkin ular-ular itu akan menyingkir."
"Kalian mempunyai penangkal racun dan bisa. Tetapi
bagaimana dengan aku?" bertanya Mahisa Ura.
"Kita bergantian," berkata Mahisa Pukat, "aku dan
Mahisa Murti akan naik ke gumuk itu. Kemudian aku akan
turun, dan kau dapat mempergunakan penangkal bisa
milikku jika memang diperlukan."
Mahisa Ura mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Mudah-mudahan warna hijau itu bukan sekedar warna
lumut atau sejenisnya yang danat memantulkan cahaya
matahari." "Mungkin dapat juga demikian," sahut Mahisa Murti,
"tetapi sebaiknya kita mendekatinya apapun yang akan kita
ketemukan." Ketiga orang itu pun kemudian berjalan menuju
langsung ke gumuk kecil itu. Namun perasaan yang aneh
telah menggetarkan dada mereka. Ada sesuatu yang rasarasanya
menghambat langkah-langkah mereka.
Namun ketiga orang itu berjalan terus. Bahkan Mahisa
Ura pun berkata, "Agaknya kita sudah dipengaruhi oleh
pesan orang-orang itu. Aku merasa berdebar-debar."
"Ya," jawab Mahisa Pukat, "aku pun berdebar-debar.
Tetapi ini adalah satu pendadaran, apakah jiwa kita cukup
kuat menghadapi pengaruh pesan orang-orang itu."
"Tetapi kita jangan terlalu berprasangka. Mungkin
memang ada pengaruhnya. Mungkin batu itu benar-benar
batu berharga. Tetapi mungkin juga batu itu tidak berharga
sama sekali. Tetapi kita pun jangan mengabaikan pesan
orang-orang itu. Mungkin orang-orang itu dengan jujur
memberitahukan kepada kita, bahwa di gumuk itu memang
banyak terdapat ular berbisa."
Mahisa Ura mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Kita akan memperhatikan semua pesan dan kita akan
melihat semua kemungkinan."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Dan sejenak kemudian maka mereka bertiga telah menjadi
semakin dekat dengan gumuk kecil itu. Dengan demikian
maka batu yang kehijau-hijauan itu pun menjadi semakin
jelas. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mengenal jenis
bebatuan sebagaimana dipelajarinya dari ayahnya sekilas
melihat bahwa batu itu memang memiliki ciri-ciri sebagai
batu akik raksasa. Tetapi mereka masih harus mendekat
dan melihatnya dengan teliti.
Namun mereka pun tidak mengabaikan pesan orangorang
yang baru saja mereka jumpai, bahwa di gumuk itu
banyak terdapat ular berbisa.
Karena itulah maka ketika mereka sudah berada
beberapa langkah saja dari gumuk itu, mereka pun telah
berhenti. "Aku akan melihatnya," berkata Mahisa Murti.
"Aku bersamamu," sahut Mahisa Pukat. Lalu katanya
kepada Mahisa Ura, "kau tunggu di sini. Nanti kau akan
mendapat giliran." Mahisa Ura menarik nafas. Tetapi ia menyadari bahwa
ia tidak memiliki penangkal bisa sebagaimana Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah mulai memanjat gumuk kecil itu. Mereka
menyibakkan rerumputan dan batang-batang ilalang.
Mereka pun menyusup di antara semak-semak yang
rimbun. Sementara itu, mereka dengan hati-hati
memperhatikan apakah mereka menjumpai ular yang
berbisa. Mahisa Pukat tertegun ketika ia melihat seekor ular
berleher merah tiba-tiba saja telah menelusur didepan kaki
mereka. Tetap ular itu tidak menggigitnya. Bahkan
berpaling pun tidak. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Bahkan ia
pun berdesis, "Agaknya di gumuk ini memang banyak
terdapat ular." "Kita baru melihat seekor," jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk. Katanya, "Ya. Baru seekor.
Tetapi tidak mustahil bahwa di gumuk seperti ini memang
terdapat beberapa ekor ular."
Mahisa Murti pun mengangguk-angguk. Tetapi ternyata
bahwa ketika melangkah semakin mendekati batu berwarna
hijau itu, mereka telah melihat lagi seekor ular yang lebih
besar. Tetapi ular tidak berwarna merah di lehernya, tetapi
ular itu berwarna kehitam-hitaman.
"Bandotan," desis Mahisa Murti, "ular yang paling
berbisa." Mahisa Pukat mengangguk. Tetapi ia pun menyahut,
"Ular itu juga tidak terlalu buas."
Mahisa Murti mengangguk kecil. Ular bandotan itu pun
sama sekali tidak menghiraukan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat yang berdiri diam. "Marilah," berkata Mahisa Murti kemudian.
Batu hijau tinggal beberapa langkah saja dari keduanya.
Namun tiba-tiba saja mereka telah dikejutkan suara-suara
hentakan dibawah gumuk kecil itu.
Keduanya dengan serta merta telah berpaling. Mereka
melihat disela-sela daun perdu dan semak-semak, Mahisa
Ura sedang bertempur melawan beberapa orang. Dalam
penglihatan sekilas, maka nampaknya Mahisa Ura benarbenar
berada dalam kesulitan. "Kita turun," geram Mahisa Murti.
Keduanya pun kemudian berlari menghambur,
menerobos semak-semak turun kembali.
Keduanya datang tepat pada waktunya. Hampir saja
Mahisa Ura berhasil ditangkap, dan bahkan mengalami
nasib yang buruk sekali. Kedatangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
benar-benar merubah keseimbangan. Mahisa Ura seakanakan
telah terlepas dari maut ketika beberapa orang yang
mengeroyoknya telah berpaling kepada Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat yang datang, dan langsung menyerang
membadai. "Terima kasih," desis Mahisa Ura.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Namun mereka justru sedang memperhatikan orang-orang
yang telah bertempur melawan Mahisa Ura.
Mereka adalah orang-orang yang mengenakan pakaian
yang aneh. Mereka mempergunakan ikat kepala untuk
menutup wajah-wajah mereka, sedangkan yang mereka
kenakan selain celana hitam, ikat pinggang yang besar, juga
kain panjang yang dililitkan di pinggang.
"Siapakah kalian?" bertanya Mahisa Murti.
"Kami adalah penunggu batu hijau ini," jawab salah
seorang di antara mereka, "dalam ujud kami yang biasa,
kami adalah ular-ular belang dan ular bandotan."
Mahisa Pukatlah yang menyahut, "Adalah ada di antara
kalian ular Dakgrama yang berleher merah. Aku baru saja
menemuinya." "Aku adalah ular Dakgrama," jawab salah seorang yang
mengenakan tutup muka itu.
"Tetapi lehermu tidak merah," jawab Mahisa Pukat
sambil bertempur. "Persetan kau," geram orang itu, "jika aku berujud ular,
maka leherku memang merah."
Mahisa Pukat justru tertawa. Katanya, "Kalian memang
dungu. Kebanyakan orang lebih takut kepada seekor ular
daripada seseorang seperti kalian ini. Karena itu, jika kalian
adalah ular-ular penunggu gumuk itu, maka kembalilah
dalam ujudmu semula. Kami tentu akan ketakutan dan lari
menjauh." Orang-orang itu terdengar mengumpat. Namun mereka
tidak berubah ujud. Mereka masih saja seperti semula dan
bertutup wajahnya dengan ikat kepala yang berwarna
kehitam-hitaman. "Nah," berkata Mahisa Pukat kemudian, "ternyata
kalian adalah pembual-pembual yang tidak berarti. Kalian
kira kami percaya bahwa ular-ular penunggu gumuk itu
dapat beralih ujud menjadi seperti kalian ini?"
Kemarahan orang-orang bertutup wajah itu justru
memuncak. Karena itu maka mereka pun menyerang
semakin garang. Ternyata ada satu dua orang di antara mereka yang
benar-benar memiliki kemampuan ulah kanuragan,
sementara yang lain adalah orang-orang yang sekedar
memilikinya secarik saja.
Menghadapi orang-orang yang memang memiliki sedikit
ilmu, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura
harus berhati-hati. Jumlah lawan ternyata terlalu banyak.
Dengan demikian maka arena pertempuran telah
berubah menjadi tiga lingkaran. Mahisa Ura melawan
beberapa orang, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
masing-masing juga melawan beberapa orang.
Dalam pada itu, Mahisa Murti yang bertempur dengar,
tangkasnya menjadi heran melihat cara Mahisa Pukat
menempatkan dirinya. Beberapa kali ia terdesak mundur.
Bahkan kadang-kadang Mahisa Pukat seakan-akan tidak
mampu lagi mempertahankan diri.
Namun Mahisa Murti pun menarik nafas melihat
permainan Mahisa Pukat. Tanpa disadari ia berhasil
memancing lawan-lawannya untuk mendesaknya terus,
sehingga beberapa langkah Mahisa Pukat telah naik keatas
gumuk kecil itu. Sekali-kali Mahisa Pukat telah berlari-lari
mengelilingi semak-semak, seakan-akan ia sudah tidak lagi
mempunyai keberanian menghadapi lawan-lawannya.
Mahisa Uralah yang kurang mengerti, apa yang telah
terjadi dengan Mahisa Pukat. Menurut penglihatannya,
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti memiliki kemampuan
yang serupa. Namun ternyata Mahisa Pukat telah terdesak
beberapa langkah dan bahkan sudah naik pula ke gumuk
kecil. Namun beberapa saat kemudian, setelah mereka
melingkari beberapa buah semak-semak, serta setiap kali
Mahisa Pukat berhasil dicegat oleh lawan-lawannya
sehingga tidak dapat melingkar-lingkar lagi, maka seorang
lawannya telah terpekik keras sekali. Dengan serta mereka
ia pun berteriak, "Ular. Aku telah menginjak dan digigit
ular." Mahisa Pukat tertawa. Katanya, "Nah, bukankah kalian
adalah penunggu gerumbul dan gumuk ini. Bukankah
kalian adalah ular-ular belang dan ular bandotan?"
Tidak ada seorang pun yang menjawab. Bahkan tiba-tiba
seorang lagi telah terpekik pula karena kakinya juga telah
menginjak ular dan digigitnya pula.
Mahisa Pukat tertawa semakin keras. Ternyata bahwa
lawan-lawannya yang lain telah menjadi ketakutan dan
berlari menghambur turun dari gumuk kecil itu. Sementara
kedua orang yang digigit ular itu pun berusaha untuk turun
pula dengan tergesa-gesa.
Tetapi Mahisa Pukat tidak dapat tertawa terlalu lama.
Ternyata orang-orang yang melarikan diri itu telah
bergabung dengan kawan-kawannya yang bertempur
dengan Mahisa Murti dan Mahisa Ura.
Karena itu, maka Mahisa Pukat pun harus segera turun
pula dari gumuk itu dan berusaha untuk membantu Mahisa
Ura dan Mahisa Murti. Sementara itu, kedua orang yang telah digigit ular itu
pun berusaha untuk mengobati diri mereka sendiri.
Ternyata orang-orang yang menyebut dirinya ujud dari ularular
penunggu gumuk itu agaknya memiliki kemampuan
untuk mengobati serangan racun dan bisa.
Meskipun demikian, kedua orang itu sudah tidak dapat
lagi untuk ikut bertempur. Mereka harus duduk dengan
tenang agar obat mereka mampu melawan kerasnya bisa
ular yang ada di gumuk kecil itu.
Namun dalam pada itu, salah seorang di antara mereka
berkata, "Luar biasa. Kenapa anak itu sama sekali tidak


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

takut kepada ular yang berkeliaran di gumuk itu."
"Memang aneh. Nampaknya ia pun tidak digigit ular
sebagaimana kita alami," desis yang lain.
"Memang mungkin. Kebetulan ia tidak menginjak ular.
Tetapi bahwa anak itu tidak merasa takut itu pun tentu ada
alasannya," berkata yang pertama.
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, "Memang
tentu ada sebabnya. Dua orang di antara mereka berani
naik keatas gumuk, sementara yang seorang menunggu
dibawah. Agaknya kedua orang yang berani naik keatas
gumuk itu memang mempunyai bekal tertentu. Mungkin
mereka adalah orang-orang yang kebal akan bisa ular."
Yang pertama mengangguk-angguk pula. Dengan nada
datar ia berkata, "Ya. Tetapi bagaimana dengan kita"
Apakah kita akan mampu bertempur membantu kawankawan
kita?" "Kita harus menunggu agar obat kita tidak sia-sia. Baru
kemudian kita akan menentukan sikap," jawab kawannya.
Namun mereka memang tidak dapat berbuat sesuatu.
Jika mereka melibatkan diri kedalam pertempuran,
mungkin terjadi gejolak didalam darah mereka, sehingga
bisa ular yang mengalir dari luka tidak dapat dijangkau
sepenuhnya oleh penawarnya. Karena itu, mereka harus
menunggu untuk beberapa saat. Tetapi dalambeberapa saat
memang dapat terjadi perubahan didalam petempuran itu.
Sebenarnya pertempuran yang terjadi itu pun menjadi
semakin kacau. Ketika orang-orang yang menghambur dari
atas gumuk itu melibatkan diri kedalam lingkaran
pertempuran di antara kawan-kawan mereka melawan
Mahisa Ura dan yang melawan Mahisa Murti, maka
Mahisa Pukat pun telah datang pula menyusup ke arena.
Karena Mahisa Pukat menganggap bahwa Mahisa Murti
memiliki ilmu yang lebih tinggi dari Mahisa Ura, maka
Mahisa Pukat pun telah memasuki putaran pertempuran
antara beberapa orang bertutup wajah itu melawan Mahisa
Ura. Mahisa Murti sendiri memang tidak merasakan tekanan
yang terlalu berat dari orang-orang yang datang menyerang
dalam kelompok yang semakin besar itu. Mahisa Murti
memiliki kecepatan gerak yang tinggi, dan ilmunya pun
menjadi semakin lengkap karena Pangeran Singa Narpada
yang tertarik kepada kedua kakak beradik itu telah
memberikan ilmunya pula. Sebaliknya, Mahisa Ura memang merasa sedikit
mengalami kesulitan ketika beberapa orang dari gumuk itu
telah berlari-lari turun dan bergabung dengan kawankawannya
yang bertempur bersamanya.
Namun kehadiran Mahisa Pukat ternyata telah
memperingan tugasnya menghadapi orang-orang bertutup
wajah itu.Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin
seru. Orang-orang bertutup wajah itu telah mengerahkan
segenap kemampuan mereka. Namun ternyata mereka
menghadapi lawan yang sulit untuk ditundukkan.
Memang satu hal yang sulit untuk dimengerti. Mereka
berada dalam satu kelompok yang cukup banyak untuk
melawan tiga orang. Tetapi ternyata bahwa yang tiga orang
itu benar-benar orang pilihan, sehingga yang sekelompok
itu bahkan mulai terdesak karenanya.
"Siapa yang berani bertempur diatas gumuk itu," tibatiba
saja Mahisa Pukat berteriak, "jika kalian mengaku
sebagai penunggu bukit, maka kalian tentu berani
melakukannya, karena kalian tidak akan takut digigit ular.
Bukankah menurut kalian ular-ular itu sebenarnya adalah
kalian sendiri." "Persetan," geram salah seorang di antara mereka yang
bertutup wajah, "apapun katamu, maka kau akan mati di
sini." "Begitu mudahnya," desis Mahisa Pukat, "seharusnya
kau mampu melihat keadaanmu dan kawan-kawanmu.
Karena itu, menyerah sajalah. Kita dapat berbicara dengan
baik. Jika kalian berkeberatan melihat kehadiran kami di
sini, maka katakan saja berterus terang, apa sebabnya."
"Persetan," geram orang bertutup wajah itu, "Tidak ada
pembicaraan. Kalian akan mati. Itu saja."
"Jangan terlalu garang Ki Sanak," jawab Mahisa Pukat,
"kegarangan kalian tidak lebih dari satu lelucon saja. Tetapi
jika kalian keras kepala, maka kami akan menjadi garang
pula." "Jika kau akan menyerang, menyeranglah. Kami akan
mencincang kalian sampai lumat," bentak orang bertutup
wajah itu. Tetapi belum lagi mulutnya terkatup, maka
seorang di antara kawannya bagaikan terlempar dari arena
pertempuran melawan Mahisa Murti. Yang terdengar
kemudian adalah suara Mahisa Murti, "Satu orang
kawanmu terlempar keluar dari arena. Satu demi satu akan
terjadi seperti itu. Apakah kau tidak akan menyadari
keadaan." Orang-orang bertutup wajah itu terdiam. Meskipun
mereka masih bertempur terus, namun mereka tidak dapat
selalu mengelak dari kenyataan yang terjadi. Bagaimanapun
juga, mereka harus mengakui keunggulan ketiga orang yang
seakan-akan sama sekali tidak mengalami kesulitan
melawan mereka seluruhnya.
Sementara itu, Mahisa Pukat bertempur seolah-olah
seenaknya saja. Sekali ia bergeser mendekati Mahisa Ura,
namun kemudian ia berada dekat dengan Mahisa Murti.
Namun demikian, Mahisa Pukat dianggap oleh orang-orang
bertutup wajah itu sebagai seorang yang paling berbahaya di
antara ketiga orang lawan mereka.
Dalam pada itu, sebagaimana dikatakan oleh Mahisa
Murti, maka seorang lagi di antara orang-orang bertutup
wajah itu telah terlempar jatuh. Tetapi orang itu masih
mampu berusaha untuk bangkit. Namun adalah malang
baginya, karena tiba-tiba saja ia pun telah terdorong dan
jatuh terjerembab ketika seorang kawannya yang terlempar
telah menimpanya. "Setan," geram orang itu.
"Maaf Ki Sanak," yang menjawab adalah Mahisa Pukat
yang ternyata telah melemparkan salah seorang lawannya.
-ooo0dw0oooKolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoy o Conv erter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : Uploader di Indozone : Din o
--ooo0dw0ooo- Jilid 030 Catatan: Dalam jilid ini, pada buku aslinya ada ketidakurutan
cerita, sehingga dicoba mengurutkan cerita. Mudahmudahan
tidak justru malah mengganggu.
----------------------------------------------------------------------------ORANG-ORANG bertutup wajah itu pun kemudian
benar-benar menyadari bahwa mereka tidak akan dapat
berbuat banyak menghadapi ketiga orang itu. Karena itu,
maka mereka pun telah mengambil satu keputusan. Dengan
isyarat yang tidak diketahui oleh ketiga orang lawan
mereka, maka mereka pun siap untuk menarik diri.
Dua orang yang tidak dapat ikut bertempur karena
gigitan ular dikaki, serta beberapa orang yang telah
terlempar dari pertempuran sehingga tubuh mereka rasarasana
tidak lagi mampu untuk bangkit, telah bersiap-siap
pula. Bahkan mereka dengan diam-diam telah menyelinap
kebalik semak-semak, tetapi tidak di atas gumuk, karena
diatas gumuk itu terdapat banyak ular yang berkeliaran.
Beberapa saat kemudian, maka terdengar isyarat yang
sebenarnya. Orang-orang bertutup wajah itu tidak
menunggu lebih lama lagi. Mereka pun segera berloncatan
meninggalkan medan. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura tertegun
sejenak. Memang ada niat mereka untuk mengejar dan
menangkap salah seorang di antara mereka. Tetapi niat itu
urung karena tiba-tiba saja mereka telah dikejutkan oleh
suara tertawa yang meledak-ledak.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura saling
berpandangan. Namun mereka menyadari, bahwa suara itu
tentu dilontarkan oleh seseorang yang berilmu tinggi.
"Berhati-hatilah," bisik Mahisa Ura.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk. Namun
mereka pun justru telah berpencar dan berdiri pada jarak
beberapa langkah. Suara tertawa itu masih terdengar. Semakin lama seakanakan
menjadi semakin keras dan mengguncang jantung.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai mengetrapkan
ilmunya untuk melawan suara itu. Mahisa Ura pun telah
mengerahkan daya tahannya agar ia tidak terseret ke dalam
pengaruh suara yang menggetarkan itu.
Namun agaknya suara tertawa itu demikian tajamnya
menusuk kedalam jantung, sehingga terasa betapa perasaan
pedih bagaikan menusuk-nusuk.
Tetapi kekuatan ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
mampu membetengi jantung mereka dengan sebaikbaiknya.
Agak berbeda dengan Mahisa Ura yang agaknya
memang mengalami kesulitan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun melihat kesulitan
yang dialami oleh Mahisa Ura meskipun belum jelas.
Karena itu, maka seperti berjanji maka mereka pun telah
bergeser saling mendekat.
Mahisa Murti pun yang mula-mula berdiri menempelkan
punggungnya pada punggung Mahisa Ura, sementara
Mahisa Pukat berdiri tegak membelakangi mereka berdua.
Mahisa Ura memang tidak tahu maksud Mahisa Murti.
Ia bahkan mengira bahwa Mahisa Murti menjadi sangat
berhati-hati sehingga mereka pun harus berdiri saling
membelakangi. Demikian juga Mahisa Pukat yang berdiri
membelakangi mereka berdua.
Namun dalam pada itu, di luar sadarnya, maka tertawa
orang yang tidak dilihat itu tidak lagi terasa terlalu tajam
menusuk jantung. Pada sentuhan tubuhnya dengan tubuh
Mahisa Murti seolah-olah terjadi arus getaran yang
melintas. Mahisa Ura tidak menyadari apa yang terjadi.
Namun justru karena itu Mahisa Murti mengalami sedikit
kesulitan. Ia harus mengerahkan segenap kekuatan yang ada
didalam dirinya berlandaskan pada ilmunya untuk
melindungi jantungnya sendiri dan mengalirkan kekuatan
pada tubuh Mahisa Ura yang tidak dengan sengaja
menyesuaikan dirinya. "Salah sendiri," berkata Mahisa Murti didalam hatinya.
"Seharusnya ia berterus terang apa yang hendak
dilakukan." Namun Mahisa Murti masih ingin menjaga,
agar Mahisa Ura tidak merasa dirinya menjadi terlalu kecil.
Ternyata Mahisa Murti tidak harus berjuang dengan
segenap kemampuannya terlalu lama. Sejenak kemudian,
maka suara tertawa itu pun mulai mereda, sehingga sejenak
kemudian, maka Mahisa Murti pun telah bergeser setapak
maju, sehingga punggungnya tidak lagi bersentuhan dengan
punggung Mahisa Ura. "Apa yang terjadi," desis Mahisa Ura.
Ketika Mahisa Pukat kemudian memutar tubuhnya,
maka dilihatnya Mahisa Ura bagaikan bermandi keringat.
Tetapi ketika ia memandang wajah Mahisa Murti, maka
wajah itu pun nampaknya basah pula. Bahkan di keningnya
keringat masih nampak mengalir dan menitik satu-satu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti
bahwa Mahisa Murti sudah mengerahkan segenap ilmunya
untuk melindungi dirinya sendiri dan Mahisa Ura di luar
sadar, sehingga Mahisa Ura tidak dengan sengaja
menempatkan diri dalam dukungan arus kekuatan ilmu
Mahisa Murti. "Kita masih harus menunggu," desis Mahisa Murti,
"agaknya seseorang ingin berbicara dengan kita."
Mahisa Ura mengangguk. Namun masih terasa nafasnya
yang seakan-akan menjadi sesak.
Tetapi suara tertawa itu sudah tidak terdengar lagi.
Sehingga perlahan-lahan keadaan Mahisa Ura pun menjadi
wajar lagi sebagaimana sebelum dadanya merasa dihentakhentak
oleh suara tertawa itu. Sedangkan Mahisa Murti pun telah mengusap
keringatnya yang mengembun dikeningnya.
"Kau tentu letih?" desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian jawabnya, "Aku memang merasa letih. Tetapi
kini tidak lagi. Aku harap dalam keadaan seperti itu, kau
dapat membantuku." "Apa yang kalian bicarakan?" bertanya Mahisa Ura.
Mahisa Murti menarik nafas panjang. Katanya, "Tidak
apa-apa. Suara tertawa itu benar-benar menggetarkan
jantung." "Ya. Aku merasa jantungku bagaikan terlepas dari
tangkainya," jawab Mahisa Ura.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya menganggukangguk
saja. Namun mereka pun tidak kehilangan
kewaspadaan. Karena itu, maka mereka masih tetap
menunggu, apa yang akan terjadi.
Untuk beberapa saat mereka tidak mendengar suara
apapun juga. Karena itu, maka Mahisa Murti pun berteriak
tanpa mempergunakan dorongan kekuatan ilmunya, "He,
siapa yang telah mencoba menakut-nakuti kami dengan
suara gunturnya?" Tidak terdengar jawabnya. Untuk beberapa saat mereka
menunggu. Namun Mahisa Pukat yang tidak telaten
berteriak pula, "He, kenapa kau bersembunyi" Takut"
Kemarilah. Kita akan berhadapan sebagai laki-laki."
Masih tidak terdengar jawaban. Karena itu, maka
Mahisa Ura lah yang berteriak, "He, kemarilah. Kita akan


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbicara. Apakah sebenarnya yang kau kehendaki?"
Ternyata terdengar jawaban. Suaranya mengumandang
bagaikan berputar-putar di relung-relung hutan, "Siapakah
kalian?" Pertanyaan itu memang hanya pendek. Tetapi rasarasanya
dada ketiga orang itu telah dihentakkan oleh satu
kekuatan yang luar biasa. Mahisa Ura lah yang mengalami
kesulitan untuk melindungi jantungnya dari cengkaman
goncangan yang tajam itu. Bahkan hampir saja Mahisa Ura
itu mengaduh. Untunglah bahwa ia masih mampu bertahan
dan dengan susah payah berusaha untuk tetap pada
keadaannya. Mahisa Murti lah yang sempat menekan dadanya untuk
memberikan kesan yang sebagaimana terasa oleh Mahisa
Ura. Meskipun sebenarnya Mahisa Murti dapat menangkis
serangan itu dan melepaskan diri dari cengkaman
goncangan pada isi dadanya.
Ketika Mahisa Pukat melihat sikap Mahisa Murti, maka
ia pun berusaha untuk berbuat serupa. Ia sadar, bahwa
meskipun Mahisa Ura mungkin dapat melihat kelebihan
mereka, tetapi jangan membuat orang itu merasa sangat
kecil dan tidak berarti. Yang kemudian menjawab pertanyaan itu adalah Mahisa
Murti, "Kami adalah tiga orang pengembara. Kami adalah
pedagang batu akik dan wesi aji. Mungkin kau tertarik,
kenapa kami bertiga telah berusaha mendekati batu hijau
itu. Justru kami adalah pedagang batu akik, maka batu
hijau itu sangat menarik perhatian kami. Menurut dugaan
kami, batu itu adalah batu akik raksasa. Kami memang
ingin berhubungan dengan orang yang mempunyai
wewenang atas batu itu. Mungkin kami akan membelinya
dengan harga yang pantas."
Sekali lagi terdengar suara tertawa. Suara itu memang
bagaikan mengguncang jantung. Karena itu, maka dengan
serta merta, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
berdiri melekat pada Mahisa Ura meskipun saling beradu
punggung. Namun baik Mahisa Murti maupun Mahisa
Pukat telah saling bersentuhan, sehingga yang kemudian
membantu Mahisa Ura, bukannya hanya Mahisa Murti,
tetapi juga Mahisa Pukat, sehingga dengan demikian, maka
Mahisa Murti tidak berada pada keadaan yang sangat
melelahkan. "Jika terjadi sesuatu, maka aku akan membutuhkan
kekuatan lahir dan batin untuk mengatasinya," berkata
Mahisa Murti didalam hatinya.
Tetapi suara tertawa itu tidak berkepanjangan.
Sementara itu Mahisa Ura pun tidak merasa sangat
terhimpit oleh suara tertawa yang segera berhenti.
"Kalian adalah anak-anak muda yang perkasa," berkata
suara itu, "kalian tidak hancur oleh suaraku. Tetapi apakah
dengan demikian kalian merasa bahwa kalian akan mampu
mengelakkan diri jika aku menghendaki kematianmu."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya kepada Mahisa Pukat, "orang itu tentu
memiliki ilmu yang tinggi."
"Apaboleh buat," berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun kemudian
tiba-tiba saja ia menengadahkan kepalanya sambil berkata,
"Marilah, datanglah. Dengan demikian kita akan dapat
berbicara panjang. Mungkin kita tidak akan mengalami
salah paham. Katakan apa yang kau kehendaki. Mungkin
bukan merupakan masalah bagi kami."
"Sudahlah," terdengar suara itu menggelepar dengan
melontarkan getaran menggelisahkan, "pergi sajalah.
Jangan berbuat sesuatu. Karena aku tidak akan
membiarkan siapapun juga yang menaruh minat untuk
kepentingan apapun atas batu itu. Batu itu sama sekali
bukan batu yang berharga. Tetapi aku senang kepada batu
itu. Karena itu, pergilah. Aku akan dapat melakukan apa
saja yang aku inginkan atas kalian. Mungkin suaraku
kurang meyakinkan kekuatan ilmuku, karena kalian
ternyata memiliki daya tahan yang tinggi. Tetapi aku masih
mempunyai seribu cara lain yang akan dapat aku
pergunakan." Mahisa Murti menggeretakkan giginya. Tetapi ia masih
menahan diri sehingga ia menjawab dengan suara
wajarnya, "Kau sama sekali tidak dapat menakut-nakuti
kami." Yang terdengar adalah suara tertawa. Dengan demikian
maka baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat dengan
serta merta telah bergeser surut dan berdiri melekat tubuh
Mahisa Ura. Meskipun suara tertawa itu cukup menggetarkan
jantung, tetapi tidak terlalu lama. Beberapa saat kemudian
suara tertawa itu pun telah berhenti.
Yang terdengar adalah kata-kata orang yang tidak dapat
mereka lihat itu, "Kalian memang luar biasa. Aku tidak
akan berbuat apa-apa jika kau tidak memanjat gumuk itu.
Tetapi jika kalian berusaha untuk menyentuh batu
kehijauan itu, maka aku akan melakukan sesuatu yang
mungkin tidak pernah kalian duga sebelumnya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi bimbang.
Mereka dapat saja naik ke gumuk itu dan melihat-lihat batu
hijau itu tanpa merasa takut. Tetapi bagaimana dengan
Mahisa Ura. Jika Mahisa Ura itu mereka tinggalkan, maka
mungkin sekali ia akan mengalami serangan yang langsung
menikam jantungnya dengan suara tertawa dan getaran
kata-kata orang yang tidak kelihatan itu.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berdesis,
"Apakah yang sebaiknya kita lakukan?"
"Bagaimana menurut pertimbanganmu?" bertanya
Mahisa Ura. "Orang itu sangat berbahaya bagi kita," desis Mahisa
Murti. "Apakah kita tidak mempunyai jalan untuk
memecahkan gangguan ini?" bertanya Mahisa Pukat.
"Orang itu mampu menyerang dari jarak yang tidak kita
ketahui seperti sekarang ini," jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa
Mahisa Murti masih menjaga perasaan Mahisa Ura agar ia
tidak merasa terlalu kecil sehingga justru akan
menumbuhkan keinginan berbuat yang aneh-aneh untuk
menutupi kekecilannya. Karena itu, makai Mahisa Pukat pun akhirnya berkata,
"Marilah. Kita untuk sementara dapat meninggalkan
tempat ini. Mungkin pada kesempatan lain kita akan dapat
melihat batu itu lebih dekat."
Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
"Marilah. Mungkin besok kita akan kembali."
Ketiga orang itu pun kemudian bergeser menjauhi
gumuk kecil itu. Namun sementara itu, sikap Mahisa Ura
menjadi agak berubah. Agaknya ia mulai mencoba
mengenali apa yang telah terjadi sebenarnya dan apa yang
telah dilakukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Karena itu, ketika mereka menjauhi tempat itu, Mahisa
Ura sempat berdesis, "Ada sesuatu yang harus kita
bicarakan." Mahisa Murti ingin bertanya. Tetapi kemudian terdengar
lagi suara tertawa itu. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendekati
Mahisa Ura, tiba-tiba saja Mahisa Ura berkata, "Jangan
sentuh aku. Biarlah aku melihat kenyataan tentang diriku
dan tentang diri kalian berdua."
"Mahisa Ura," desis Mahisa Murti, "apa maksudmu?"
"Aku akan menjajagi kemampuan sendiri dalam
keadaan seperti ini," jawab Mahisa Ura.
Sementara itu suara tertawa itu pun terdengar
mengumandang membentur dinding hutan dan memantul
dengan getaran yang mengguncang dada.
"Jangan menunjukkan kelemahan di hadapan orang
itu," berkata Mahisa Murti, "cepat, pegang tanganku dan
tangan Mahisa Pukat. Kita akan berdiri saling
membelakangi." "Tidak," jawab Mahisa Ura, "aku akan melihat ke
diriku sendiri." Ketika Mahisa Murti bergeser maju, maka Mahisa Ura
pun telah bergeser surut. Namun ternyata bahwa getaran
yang mengguncang dadanya terasa menyesakkan nafasnya.
Tulang-tulangnya terasa bagaikan terlepas dari sendisendinya.
Tubuh Mahisa Ura bergetar bagaikan kedinginan.
Namun ketika ia hampir terjatuh, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, cepat meloncat mendekat dan dengan cepat
mereka telah berdiri saling membelakangi.
"Tahankan," desis Mahisa Murti, "kau tidak boleh jatuh
dibawah pengaruh suara itu. Hentakkan kekuatanmu
terakhir, sebelum kami berdua dapat membantumu. Jangan
terlalu berpegang pada harga diri."
Mahisa Ura tidak menjawab. Ia menghentakkan
kekuatannya yang terakhir untuk tetap tegak. Sementara
itu, ia telah dengan sadar menyesuaikan diri dengan arus
kekuatan yang mengalir dari tubuh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, sehingga dengan demikian, maka segala
sesuatunya berjalan jauh lebih rancak dari yang pernah
terjadi. Karena itu, dengan cepat pula ketahanan yang mengalir
dari kemampuan ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah melindungi jantung Mahisa Ura, sehingga tidak
menjadi beku karenanya. Untuk beberapa saat mereka berdiri dalam keadaan yang
bagaikan membeku. Namun kemudian Mahisa Murti
berkata, "Aku akan menjawabnya jika orang itu berbicara."
Tidak ada jawaban. Mahisa Pukat mengangguk kecil
meskipun Mahisa Murti membelakanginya. Sementara
Mahisa Ura semakin menyadari apa yang sebenarnya
terjadi. "Kalian ternyata bijaksana," sebenarnyalah terdengar
suara orang yang tidak menampakkan dirinya itu, "selamat
jalan. Mudah-mudahan kalian menyadari, bahwa kalian
tidak perlu kembali."
Mahisa Murtilah yang kemudian benar-benar menjawab,
"Terima kasih atas pujian itu Ki Sanak. Tetapi dengan
terpaksa aku beritahukan, mungkin aku akan kembali. Atau
barangkali kau memandang perlu untuk memindahkan atau
menyembunyikan batu itu, lakukanlah."
Ternyata bahwa Mahisa Murti mampu mengimbangi
getar suara orang yang tidak menampakkan dirinya itu.
Sementara Mahisa Ura bertahan dengan bantuan Mahisa
Pukat. Namun apa yang dilakukan oleh Mahisa Murti itu benarbenar
mengejutkan. Baik bagi Mahisa Ura, maupun bagi
orang yang telah berusaha menakut-nakutinya.
Orang yang menyerang Mahisa Murti, Mahisa Pukat
dan Mahisa Ura dengan getar suaranya itu sama sekali
tidak mengira, bahwa anak-anak muda itu ternyata juga
mampu melontarkan kekuatan ilmunya lewat getar
suaranya. Bahkan ternyata bahwa kemampuan Mahisa
Murti sama sekali tidak berada dibawah kemampuan orang
yang tidak menampakkan diri itu.
Sementara itu, Mahisa Ura pun mengerti, bahwa
ternyata kedua orang anak muda itu memang memiliki ilmu
yang sangat tinggi. Ia pernah diselamatkan dari bisa ular
yang tajam. Menurut dugaannya pada saat itu, kebetulan
saja keduanya memiliki benda yang dapat menjadi
penangkal bisa ular. Tetapi ketika Mahisa Ura itu
mengalami serangan lewat getar suara maka ia pun
menyadari, bahwa kedua anak muda itu memang bukan
orang kebanyakan. Apalagi ketika ternyata Mahisa Murti
mampu melepaskan serangan pula dengan cara yang sama
sebagaimana oleh orang yang tidak menampakkan dirinya
itu. Tetapi Mahisa Ura tidak sempat berbuat sesuatu. Yang
terjadi kemudian adalah semacam pertempuran antara
orang yang tidak nampak itu melawan Mahisa Murti. Getar
suara mereka mengumandang berbenturan di udara.
Terdengar suara tertawa. Tetapi suara tertawa itu terasa
telah berubah. Suara tertawa itu bukan ungkapan dari
kegembiraan dan kebanggaan. Tetapi semata-mata untuk
melontarkan getaran suara yang menyerang mereka yang
mendengarnya. Telapi Mahisa Murti, Mahisa Pakal dan Mahisa Ura
sama sekali tidak mengalami kesulitan karena serangan itu.
Bahkan Mahisa Murti kemudian berkata dengan nada
suaranya yang menghunjam ke dada orang yang tidak
dilihatnya itu "Suaramu tidak berarti sama sekali bagi kami. Tetapi
hari ini kami memang tidak ingin berkelahi. Mungkin besok
atau lusa aku akan kembali. Kita akan menentukan,
siapakah di antara kita yang memiliki kelebihan dalam
permainan ilmu seperti ini."
Suara tertawa itu mereda. Yang kemudian terdengar
adalah jawaban orang itu, "Aku akan menunggu anak
muda. Tetapi aku percaya bahwa kalian adalah orang-orang
linuwih. Meskipun demikian, jangan terlalu cepat
berbangga. Kalian belum melihat jenis-jenis kemampuan
ilmu yang dapat aku tunjukkan kepadamu dan langsung
menjerat lehermu, sehingga kalian tidak akan mampu
berbuat sesuatu selain menangis menyebut nama ibu
bapamu." Mahisa Murtilah yang tertawa. Suaranya menghentak
tajam, sehingga mengejutkan orang yang tidak dilihatnya
itu. "Baiklah. Besok kita akan bertemu. Jika kau akan
memindahkan batu itu lakukanlah malam nanti," berkata
Mahisa Murti kemudian. Beberapa saat kemudian, tempat itupun menjadi sepi
lengang. Tidak terdengar lagi suara orang itu tertawa. Suara
orang, berteriak dan tidak lagi udara digetarkan oleh
benturan ilmu yang nggegirisi.
"Marilah kita pulang," berkata Mahisa Murti.
Ketiga orang itu pun kemudian meninggalkan tempat itu,


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali ke banjar padukuhan tempat mereka bermalam.
Namun belum lagi mereka jauh, mereka melihat beberapa
orang keluar dari hutan sambil membawa beberapa helai
dedaunan, tetapi dari arah yang lain.
"Orang-orang yang mencari daun pandan dengan duri
sungsang itu," desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun katanya
kemudian, "Perhatikan wajah-wajah mereka. Mungkin
pada suatu saat kita harus mengenali mereka seorang demi
seorang." Mahisa Ura dan Mahisa Pukat pun kemudian mencoba
memperhatikan orang-orang itu. Tetapi ternyata bahwa
mereka telah berbelok menyusuri rerumputan dan perlu
menghindari ketiga orang yang sebenarnya sedang
menunggu mereka. "Mereka tentu orang-orang yang khusus," berkata
Mahisa Murti, "agaknya mereka memiliki satu cara untuk
menyelamatkan diri dari getaran-getaran suara yang
menghentak-hentak di dalam dada."
"Bukankah kekuatan getar suara itu dipengaruhi oleh
jarak pula?" bertanya Mahisa Pukat, "barangkali mereka
berada di tempat yang cukup jauh ketika terjadi benturan
getar suara itu. Nampaknya mereka telah keluar dari hutan
ini dari arah yang bukan tempat mereka memasuki hutan
itu." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Memang mungkin
orang-orang itu berada di jarak yang jauh sehingga getar
suara yang saling berbenturan itu tidak terlalu berpengaruh
sebagaimana atas Mahisa Ura yang berdiri terlalu dekat
dengan sumber kekuatan yang menggetarkan udara itu.
Namun dalam pada itu, di perjalanan kembali ke Banjar,
Mahisa Ura pun berkata, "Kalian telah mempermainkan
aku." "Kenapa?" bertanya Mahisa Murti.
"Kalian berlaku seakan-akan kalian tidak memiliki
kemampuan sejajar dengan kemampuanku. Ternyata
bahwa kalian memiliki bekal ilmu yang sangat tinggi,"
berkata Mahisa Ura. "Tidak begitu," jawab Mahisa Murti, "kita akan selalu
bekerja bersama-sama. Kita adalah tiga orang bersaudara."
"Tanpa kau, kami tidak akan menemukan apa-apa
dalam perjalanan ini," desis Mahisa Pukat. Lalu katanya
pula, "Karena itu, marilah kita berbuat wajar saja. Kita
bersama-sama mengemban tugas. Bagaimana sebaiknya
harus kita lakukan agar tugas itu dapat kita selesaikan."
"Kalian berdua yang mengemban tugas dari Kediri,"
jawab Mahisa Ura. "Tetapi akan memberikan arti pula bagi Singasari,"
jawab Mahisa Pukat. Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Sambil
menundukkan kepalanya ia berdesis, "Ternyata aku selama
ini merupakan orang dungu yang tidak tahu diri. Kau
mentertawakan aku sambil memeras keteranganku untuk
kepentinganmu." "Mahisa Ura," berkata Mahisa Murti kemudian, "aku
sudah mengira jika kau akan mengalami goncangan jika
kau mengetahui keadaanku dan Mahisa Pukat yang
sebenarnya. Sejak berangkat aku sudah berada dalam
kedudukan yang sulit karena anggapan dan penilaianmu
yang salah terhadap kami. Tetapi kami tidak ingin
menyakiti hatimu. Itulah sebabnya sepanjang perjalanan
kami berusaha untuk menyasuaikan diri. Namun tiba-tiba
kami dihadapkan kepada satu keadaan yang memaksa kami
untuk berbuat sesuatu."
"Kenapa kalian tidak melakukannya sejak permulaan,"
desis Mahisa Ura. "Sudahlah," berkata Mahisa Pukat, "kenapa hal seperti
ini dapat menjadi persoalan yang nampaknya bersungguhsungguh,
Mahisa Ura. Kami tidak bermaksud buruk. Itu
saja. Mungkin yang kami lakukan tidak sesuai dengan jalan
pikiranmu. Tetapi sekali lagi aku ingin meyakinkan, bahwa
kami tidak bermaksud buruk. Kami lakukan semuanya bagi
kepentingam tugas-tugas kita."
Mahisa Ura termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Aku harus
malu kepada diriku sendiri. Apakah dalam keadaan seperti
ini aku masih akan dapat berada di antara kalian berdua."
"Sudah aku katakan," berkata Mahisa Murti, "apa yang
dapat kami lakukan dan tidak dapat kau lakukan Tetapi
sebaliknya ada yang dapat kau lakukan, tetapi tidak dapat
aku lakukan." Mahisa Ura pun kemudian mengangguk-angguk. Namun
kemudian katanya, "Terserah kepada kalian. Apakah kalian
masih memerlukan aku atau tidak."
"Jika kami tidak memerlukanmu, maka aku kira, sejak
semula kami akan berangkat sendiri," jawab Mahisa Pukat.
"Dan untuk selanjutnya aku tidak lebih dari sekedar
penunjuk jalan," gumam Mahisa Ura seolah-olah ditujukan
kepada diri sendiri, "aku kira aku akan dapat menjadi
pelindung kalian, kerena kalian masih sangat muda.
Namun yang sebenarnya, akulah yang harus berlindung
kepada kalian." "Kita adalah tiga orang bersaudara," desis Mahisa
Murti, "kau ingat. Kita sudah menyesuaikan nama kita.
Karena itu, maka kita akan berjalan terus bersama-sama.
Menyelesaikan tugas kita bersama-sama, atau kita akan
mati bersama-sama dalam tugas ini, karena kemungkinan
itu akan dapat terjadi atas kita."
"Baiklah," berkata Mahisa Ura, "aku akan mencoba
menyisihkan perasaan malu di dalam hatiku. Aku akan
meneruskan tugas ini seperti apa yang kau katakan. Apapun
yang terjadi. Juga sengatan perasaanku sendiri."
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti pun saling
berpandangan sejenak. Namun mereka pun menarik nafas
dalam-dalam. Dengan nada datar Mahisa Murti pun
berkata, "Terima kasih. Kita akan melupakan semua
kesulitan perasaan di dalam diri kita sendiri. Kita akan
menghadapi tugas kita dengan wajah tengadah."
Mahisa Ura tidak menjawab. Mereka berjalan ke arah
jalan yang lebih besar untuk menuju ke padukuhan serta
meninggalkan lingkungan hutan dan padang perdu. Ketika
mereka berpaling, maka mereka masih melihat batu
berwarna hijau itu di tempatnya.
Namun ketiganya menjadi berdebar-debar ketika mereka
melihat seorang laki-laki yang sudah lewat pertengahan
abad. Rambutnya beberapa helai yang terjurai dibawah ikat
kepalanya sudah mulai berwarna rangkap. Namun
tubuhnya masih nampak kekar dan tegap. Di lehernya
tergantung berbagai benda keramat. Sedangkan di
tangannya tergenggam sebatang tongkat yang agak panjang
dan bersisik. Tongkat itu berkepala sebutir batu sebesar
genggaman tangan dan berwarna kehijau-hijauan, dalam
cengkeraman tangan seekor naga yang terbuat dari logam
berwarna kekuning-kuningan. Sekaligus ketiga orang yang
berpapasan dengan orang itu menganggapnya bahwa logam
itu tentu emas. Ketika orang itu berpapasan dengan Mahisa Murti,
Mahisa Pukat dan Mahisa Ura, maka orang itu sempat
menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun
tersenyum pula sambil mengangguk. Tetapi baik orang itu,
maupun ketiga orang yang menyatakan diri bersaudara itu
pun tidak mengucapkan pertanyaan.
Namun demikian orang itu lewat, maka Mahisa Murtipun
berpaling sambil berbisik, "Aku curiga kepada orang
itu." "Ya," sahut Mahisa Ura dan Mahisa Pukat hampir
berbareng. "Mungkin orang itu dengan sengaja berjalan ke arah
yang berlawanan dengan kita," berkata Mahisa Pukat,
"orang itu tentu ingin lebih memperhatikan kita, seorang
demi seorang." "Dari sorot matanya nampak bahwa orang itu memiliki
ilmu yang tinggi," berkata Mahisa Murti, "Namun
beruntunglah kita, bahwa dengan demikian kita dapat
mengenalinya." "Mungkin memang dengan sengaja ia ingin bertemu
dengan kita dengan lebih terbuka," berkata Mahisa Ura.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Dengan nada datar Mahisa Pukat pun berkata, "Kita akan
bertemu lagi." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Gumamnya, "Ya,
mudah-mudahan kita mendapat kesempatan itu."
Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Agaknya akulah yang menyebabkan kalian menunda
pertemuan kalian dengan orang-orang itu."
"Bukankah kita tidak tergesa-gesa?" sahut Mahisa
Murti. Mahisa Ura mengangguk lemah.
Demikianlah maka mereka bertiga pun kemudian telah
kembali ke banjar. Tidak ada kesan apapun yang mereka
dapatkan dari orang-orang padukuhan itu. Namun dari
penunggu banjar, Mahisa Murti mendapat suguhan sikap
yang buram. Dengan nada rendah orang itu berkata, "Aku
menunggu kalian datang. Tetapi kalian tidak membawa
oleh-oleh. Karena itu, seperti yang aku katakan, kalian tidak
boleh mempergunakan Pakiwan. Dan aku pun tidak mau
mengatakan siapakah tamu yang mencari kalian hari ini
meskipun mungkin akan mendatangkan keuntungan bagi
kalian." "Ah," desah Mahisa Murti, "sayang sekali kami telah
melupakannya. Tetapi ada sesuatu yang menarik bagimu
meskipun bukan oleh-oleh."
"Apa?" bertanya penjaga banjar itu.
"Kau dapat menukarkannya dengan oleh-oleh. Bahkan
kau akan sempat memilih bagi kesenangan anak-anakmu,"
berkata Mahisa Murti kemudian.
"Apa itu?" desak penjaga banjar itu.
"Tetapi, siapakah tamu yang mencari kami?" bertanya
Mahisa Murti tiba-tiba. "Ah. Kau belum memberikan apapun juga kepadaku
sebagai pengganti oleh-oleh." gumam penunggu banjar itu.
Mahisa Murti tertawa. Diambilnya beberapa keping
uang sambil berkata, "Selama aku berada di banjar ini,
belum ada seorang pun yang membeli barang-barangku.
Tetapi aku harus sudah mengeluarkan uang untukmu."
"Seseorang yang mengail harus lebih dahulu
menyediakan umpan," jawab penunggu banjar itu,
"semakin besar ikan yang ingin ditangkap semakin besar
umpan yang harus disediakan."
"Luar biasa," desis Mahisa Murti sambil tertawa.
Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun tertawa juga. "Kau
benar-benar seorang yang pantas dihormati. Tetapi
siapakah yang telah mencari kami."
"Aku tidak akan mengatakannya," jawab penunggu
banjar itu. Mahisa Murti menimang beberapa keping uang
ditangannya sambil bertanya, "Siapakah yang mencari
kami?" Penjaga banjar itu mengamati uang di tangan Mahisa
Murti itu sambil menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
Mahisa Murti telah membuka kantong ikat pinggangnya
yang besar sambil berdesis, "Baiklah, jika kau tidak mau
mengatakannya, oleh-oleh ini akan aku simpan lagi."
"Tunggu," minta penunggu banjar itu, "jangan kau
simpan lagi. Aku akan mengatakannya jika yang itu kau
berikan kepadaku sebagai pengganti oleh-oleh."
Mahisa Murti tersenyum. Diacungkannya tangannya.
Tetapi ketika orang itu siap menerimanya, Mahisa Murti
tidak segera melepaskan uang itu. Tetapi sekali lagi ia
bertanya, "Siapa yang datang kemari?"
"Berikan uang itu," bentak penunggu banjar.
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, "Jangan membentak.
Tetapi jawab pertanyaanku, siapa yang mencari aku" Orang
padukuhan ini yang ingin membeli batu-batu berharga atau
batu akik atau wesi aji?"
Karena Mahisa Murti belum juga melepaskan uangnya,
maka orang itu pun kemudian menyerah dan menjawab,
"Yang mencari kalian adalah seorang pembeli yang
mempunyai banyak sekali uang."
"Ya, siapa?" Mahisa Murti pun menjadi tidak sabar.
Orang itu terdiam sejenak, lalu katanya, "Ki Jagabaya
dari padukuhan di ujung lain dari Kabuyutan ini."
"O," Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia
sudah menduga bahwa pada suatu saat Ki Jagabaya itu
akan mencarinya. "Tetapi apakah ia akan membeli sesuatu itulah yang
meragukan," desis Mahisa Murti, "Ki Jagabaya tidak akan
membeli apapun juga."
"Ah kau," sahut penunggu banjar itu, "Ki Jagabaya
adalah orang yang sangat kaya," orang itu terdiam sejenak,
lalu tiba-tiba, "he, manakah uang itu?"
Mahisa Murti tersenyum. Tetapi ia belum melepas uang
itu, "Apakah benar Ki Jagabaya itu kaya raya?"
"Berikan uang itu," geram penunggu banjar itu.
"Kau belum menjawab pertanyaanku," berkata Mahisa
Murti. "Ya," penunggu banjar itu hampir berteriak, "ia adalah
orang yang kaya raya."
Mahisa Murti tertawa. Katanya, "Jangan marah. Inilah
oleh-oleh yang aku janjikan itu."
Mahisa Murti pun kemudian memberikan beberapa
keping uang kepada penunggu banjar itu. Namun ia pun
masih bertanya, "Darimana kau tahu bahwa Ki Jagabaya
itu kaya raya, sedangkan tetangga-tetangganya tidak pernah
mengatakannya demikian."
"Huh," penunggu banjar itu mencibirkan bibirnya, "ia
memang pintar berpura-pura. Ia membuat dirinya sebagai
seorang yang tidak lebih dari orang kebanyakan. Tetapi ia
menyimpan banyak harta benda di tempat lain. Di


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padukuhan ini terdapat seorang dari isteri-siterinya. Dengan
susah payah ia merahasiakan isterinya itu dari isteri tuanya,
karena Ki Jagabaya takut dicekik oleh mertuanya jika
rahasianya itu terbuka."
"O, dan Ki Jagabaya bertahan sampai saat ini sehingga
rahasianya tidak diketahui oleh mertuanya?" bertanya
Mahisa Murti. "Orang-orang padukuhan ini tidak sampai hati
memberitahukan rahasia itu meskipun ada beberapa orang
yang mengetahuinya. Dengan demikian akan dapat timbul
persoalan-persoalan yang dapat mengganggu ketenangan
padukuhan-padukuhan di Kabuyutan ini. Jika demikian Ki
Buyut akan dapat menjadi marah sekali dan mengambil
langkah-langkah yang mengejutkan, karena kami sudah
memahami sifat dan tabiat Ki Buyut itu."
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Ketika ia
memandang wajah Mahisa Pukat dan Mahisa Ura memang
timbul kesan yang agak aneh.
"Baiklah," berkata Mahisa Murti kemudian, "aku
mengucapkan terima kasih atas keteranganmu. Nah, kau
sekarang dapat membeli oleh-oleh menurut kesukaanmu
sendiri." Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Aku akan pergi melihat adu gemak."
"Ah," desis Mahisa Murti, "apakah uang itu akan kau
pergunakan untuk bertaruh?"
"Apa salahnya" Uang ini adalah uangku sendiri," jawab
penunggu banjar itu. Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Uang itu
memang uangmu sendiri. Tetapi untuk selanjutnya aku
tidak akan memberimu uang lagi."
"Kenapa?" bertanya penunggu banjar itu, "jika kau
tidak mau memberi uang lagi, maka kalian tidak akan dapat
mempergunakan pakiwan."
"Itu satu pemerasan. Aku akan melaporkan kepada Ki
Bekel," jawab Mahisa Murti dengan sungguh-sungguh.
Wajah orang itu pun menjadi tegang. Dengan serta
merta ia pun kemudian berkata, "Jangan. Jangan kau
laporkan kepada Ki Bekel. Aku tidak bersungguh-sungguh."
Mahisa Murti pun kemudian tersenyum. Katanya, "Jika
kau tidak bertaruh, mungkin aku akan memberikan uang
lagi. Bukankah uang itu lebih baik kau pergunakan untuk
membelikan makanan anak-anakmu."
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku
tidak akan bertaruh."
Sementara orang itu kemudian meninggalkan ketiga
orang itu, maka Mahisa Murti pun berkata, "Bagaimana
tanggapanmu terhadap Ki Jagabaya."
Mahisa Pukat tiba-tiba saja tertawa kecut sambil berkata,
"Agaknya dugaan kita keliru. Ki Jagabaya tidak berpijak
kepada persoalan-persoalan yang sedang kita hadapi. Tetapi
ia sekedar ketakutan jika rahasia tentang dirinya itu kita
dengar di sini." Mahisa Ura pun tersenyum. Katanya, "Kitalah yang
melihatnya terlalu besar kepada persoalan yang terlalu
khusus pada Ki Jagabaya."
"Baiklah. Aku kira Ki Jagabaya masih akan kembali
kemari," berkata Mahisa Murti. "Sebaiknya kita beristirahat
barang sebentar." Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura itu pun
kemudian telah membersihkan dirinya di pakiwan. Mereka
pun kemudian duduk di serambi banjar. Pada kesempatan
itu, maka Mahisa Ura pun berkata, "Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, aku ingin menyatakan sebuah pikiran.
Jangan dianggap bahwa aku tersinggung oleh sikap kalian
dan aku tidak akan melibatkan diri pada persoalanpersoalan
yang sedang kita hadapi bersama. Tetapi aku
ingin menyatakan dengan jujur, bahwa aku akan dapat
menjadi penghambat langkah-langkah kalian."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Tetapi batu hijau itu sama sekali bukan tujuan perjalanan
kita. Karena itu maka kita akan dapat menundanya. Yang
penting, kita akan pergi ke sebuah padepokan dari orangorang
bertongkat itu." Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat memotong, "He,
bukankah orang yang kita jumpai tadi juga bertongkat" Di
ujung tongkat terdapat sebuah batu hijau dalam genggaman
kuku-kuku yang kuat. Apakah dengan demikian berarti
bahwa ada hubungan antara batu hijau itu dengan tongkattongkat
para penghuni padepokan yang agaknya sudah
tidak terlalu jauh lagi."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Ya.
Orang yang kita jumpai itu pun bertongkat. Aku tidak tahu,
apakah tongkat itu memiliki arti dan nilai yang serupa
dengan tongkat-tongkat dari orang-orang yang telah
tertangkap di Kediri itu."
"Agaknya kita akan dapat berhubungan dengan orang
bertongkat yang tadi kita jumpai jika kita mendekati lagi
batu hijau itu," berkata Mahisa Pukat.
"Ada dua kemungkinan," berkata Mahisa Murti, "kita
mendekati batu itu lagi, atau kita akan pergi ke padepokan
orang-orang bertongkat itu."
Mahisa Pukat dan Mahisa Ura termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian Mahisa Pukat pun berkata, "Jika orang
bertongkat yang kita jumpai itu adalah salah seorang di
antara penghuni padepokan yang kita cari, maka kita tentu
sudah dikenalnya, sehingga orang itu tentu akan dapat
bertindak lebih dahulu atas kita. Orang itu serba sedikit
telah mengetahui kemampuan kita, karena kita sudah
menjawab kekuatan getar suaranya dengan kekuatan yang
sama atau yang mirip dengan kekuatan itu."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Hal itu
memang harus dipertimbangkan. Mungkin kita akan
menjumpai satu sambutan yang sangat menyakitkan hati."
"Karena itu, maka kalian dapat menyelesaikan orang
yang kita jumpai di sekitar batu hijau itu," berkata Mahisa
Ura, "besok aku akan berada di banjar ini. Pergilah kalian
ke batu hijau itu. Dengan demikian maka kalian tidak perlu
memikirkan aku lagi. Kalian akan dapat berbuat sesuai
dengan keadaan yang kalian hadapi. Beruntunglah kalian
jika kebetulan bertongkat itu ada hubungannya dengan
padepokan yang hendak kita datangi."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Dengan nada berat Mahisa Murti berkata,
"Apakah kau tidak ingin menyaksikan apa yang terjadi?"
"Tetapi itu akan mengganggu pemusatan kemampuan
kalian menghadapi orang itu, karena kalian masih harus
melindungi aku," jawab Mahisa Ura.
"Sebenarnya kau akan dapat melindungi dirimu
sendiri," berkata Mahisa Pukat, "kau akan dapat berusaha
untuk membangunkan daya tahan dengan kekuatan ilmu
yang ada padamu." Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian sambil menggeleng ia berkata, "Tidak ada waktu
lagi untuk mempelajarinya. Aku tahu bahwa kau ingin
memberikan petunjuk kepadaku, bagaimana aku harus
melakukannya. Tetapi dengan demikian maka segalanya
akan terhambat sementara belum tentu bahwa aku akan
dapat melakukan sesuatu sebagaimana kalian kehendaki.
Karena itu, maka biarlah aku tinggal di banjar ini. Agaknya
aku memang tidak kalian perlukan dalam tugas ini. Dalam
langkah-langkah yang lain, aku akan tetap menyertai
kalian." Mahisa Pukat dan Mahisa Murti saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata,
"Baiklah. Kau dapat tinggal di banjar ini. Jika pada satu
saat aku pergi ke gumuk itu dan tidak kembali, maka tolong
sampaikan hal itu kepada kakang Mahisa Bungalan di
Singasari. Dan biarlah kakang Mahisa Bungalan
melaporkannya ke Kediri."
"Ah, jangan berkata begitu," sahut Mahisa Ura, "aku
yakin bahwa kalian akan dapat menyelesaikan tugas kalian
dengan sebaik-baiknya."
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah memutuskan untuk kembali ke gumuk kecil itu.
Mereka harus bertemu dengan orang yang telah
menyerangnya lewat getaran suaranya. Menurut dugaan
mereka, maka orang tua yang membawa tongkat itulah
agaknya yang telah menyerang mereka dengan kekuatan
ilmunya lewat getaran suaranya.
Ketika malam kemudian menyelimuti padukuhan itu,
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membenahi
diri lahir dan batin. Ditunggui oleh Mahisa Ura keduanya
berusaha untuk menggali semua kemampuan di dalam diri
mereka. Baik yang telah mereka terima dari ayahnya,
maupun yang telah mereka warisi dari Pangeran Singa
Narpada. Dengan landasan ilmu-ilmu itu, maka Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat benar-benar telah menjadi anak
muda yang jarang ada bandingannya.
Lewat tengah malam barulah keduanya selesai dengan
samadi mereka. Karena itu, mereka pun mulai dengan
menyiapkan senjata mereka yang paling menakutkan
lawan. Pisau-pisau kecil yang jumlahnya cukup banyak,
yang kemudian diselimutkan pada sarung-sarungnya yang
terdapat melingkar di ikat pinggang.
Sentuhan pisau-pisau kecil itu akan dapat berakibat
sangat buruk bagi lawan-lawannya, karena pisau-pisau itu
adalah pisau yang sangat beracun.
Di samping pisau-pisau kecil itu, maka keduanya telah
membawa sepasang pisau belati yang agak panjang,
sehingga dengan sepasang pisau belati itu, keduanya akan
mampu melawan segala jenis senjata dalam ujud
kewadagan. Namun apabila keduanya harus melayani
senjata yang tidak kasat mata, maka keduanya telah siap
sepenuhnya. Ketika semuanya sudah dipersiapkan, maka Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat itu pun menyempatkan diri untuk
beristirahat sepenuhnya. Mereka pun kemudian berbaring
dan mencoba untuk tidur dengan nyenyak.
Yang ternyata tidak dapat segera tertidur adalah justru
Mahisa Ura. Kecuali merenungi dirinya sendiri, ia pun
menjadi gelisah karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
yang muda itu akan memasuki suatu arena yang mungkin
akan berhadapan dengan orang yang sudah sangat
berpengalaman. Bahkan menurut dugaan Mahisa Ura,
orang yang telah menyerang mereka dengan getar suaranya
itu tidak sendiri. Orang-orang yang bertutup wajah, bahwa
orang-orang yang mengaku akan mencari daun pandan
berduri sungsang, tentu kawan-kawan orang yang
bertongkat itu. Sampai saatnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bangun
di dini hari, Mahisa Ura benar-benar tidak tidur barang
sekejapun. Sambil tersenyum Mahisa Murti pun kemudian berkata,
"Sudahlah. Jangan terlalu risau."
"Kalian akan menghadapi lawan yang berat," berkata
Mahisa Ura, "orang itu tentu tidak sendiri."
"Kami sudah memperhitungkannya. Tentu jumlah
mereka tidak akan lebih banyak dari jumlah pisau-pisau
kami," jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Memang
hatinya digelitik untuk ikut bersama kedua orang itu. Tetapi
dengan demikian ia mungkin akan dapat menjadi beban.
Mungkin salah seorang dari kedua orang anak muda itu
akan lebih banyak memperhatikannya sehingga ia akan
tidak dapat memusatkan nalar budi serta ilmunya untuk
menghadapi lawannya. Karena itu, Mahisa Ura tetap pada sikapnya. Ia tidak
akan pergi bersama kedua orang anak muda itu.
"Mudah-mudahan mereka tidak salah mengerti. Mudahmudahan
mereka tidak menganggap bahwa aku adalah
pengecut yang tidak berani memasuki arena perjuangan
yang sangat berat," berkata Mahisa Ura didalam hatinya.
Namun, sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat mengerti sepenuhnya bahwa Mahisa Ura telah
merasa dirinya terlalu kecil. Bukan karena ketakutan.
Karena itu, maka keduanya sama sekali tidak memaksa
agar Mahisa Ura ikut bersama mereka.
Ketika matahari mulai memanjat langit, maka Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat pun minta diri. Mereka akan
mulai dengan perjalanan mereka yang berbahaya.
Tetapi mereka telah bertemu lagi dengan penunggu
banjar itu di regol. Sekali lagi penunggu banjar itu berkata,
"Jika kau pergi, maka kau harus membawa oleh-oleh. Baik
juga seperti yang kemarin kau lakukan."
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, "Kau jangan
memeras kami he?" Penunggu banjar itu mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia pun tersenyum sambil berkata, "Aku mainmain.
Jangan kau laporkan kepada Ki Bekel."
"Jadi kau tidak bersungguh-sungguh?" bertanya Mahisa
Murti. "Tidak. Tetapi jika kau memang ingin memberi, aku
juga tidak berkeberatan," jawab orang itu.
Mahisa Murti tertawa. Tetapi ia tidak menjawab.
Tetapi penunggu banjar itulah yang kemudian bertanya,
"Apa yang harus aku katakan, jika Ki Jagabaya itu datang
lagi?" "Kakang Mahisa Ura ada di banjar," jawab Mahisa
Murti. "O," penunggu banjar itu mengangguk-angguk.
Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu
pun meninggalkan banjar. Mereka akan mengulangi
perjalanan mereka kemarin, menuju ke gumuk kecil tempat
batu hijau itu mereka ketemukan.
Bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak
menemui kesulitan untuk menemukan kembali batu hijau
yang berada di gumuk kecil itu.
"Marilah, kita akan melihat," berkata Mahisa Murti,
"kita tidak perlu menunggu, apakah orang itu ada di sekitar


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempat ini atau tidak."
Mahisa Pukat mengangguk. Katanya, "Marilah. Jika
mereka tidak ada ditempat ini, maka satu kesempatan bagi
kita untuk mengetahui apakah batu itu batu berharga atau
bukan. Jika mungkin ada pecahan-pecahan kecil dari batu
itu, akan dapat kita bawa untuk kita pelajari."
"Seandainya ada pecahan-pecahan batu itu, tetapi
kitalah yang tidak sempat keluar dari gumuk itu?" bertanya
Mahisa Murti. "Kepala kita akan diletakkan di dekat batu hijau itu,"
jawab Mahisa Pukat. Mahisa Murti tertawa. Mahisa Pukat pun kemudian
tertawa juga. Dengan langkah tetap keduanya telah mendekati gumuk
kecil itu dan bahkan keduanya telah naik pula. Namun
dalam pada itu Mahisa Murti sempat mengingatkan, "Di
gumuk itu memang terdapat beberapa ekor ular yang
berbisa." Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya,
"Meskipun ular itu tidak berbahaya bagi kami, tetapi jika
ular-ular itu menggigit maka perjalanan kita memang akan
terhambat. Setidak-tidaknya kita harus melepaskan gigitan
ular itu." Mahisa Murti mengangguk kecil. Katanya, "Karena itu,
kita memang harus berhati-hati."
Demikianlah maka keduanya pun melangkah semakin
mendekati batu yang berwarna kehijauan itu. Sementara
itu, mereka pun telah bersiap untuk mempertahankan diri
jika tiba-tiba mereka mendapat serangan dengan getar
suara. Setiap langkah, rasa-rasanya telah meningkatkan
ketegangan di hati kedua anak muda itu. Meskipun mereka
menjadi semakin dekat, ternyata mereka belum mendapat
serangan sebagaimana mereka perhitungkan.
Namun demikian, ketika keduanya semakin dekat
dengan batu hijau itu Mahisa Murti memperingatkan,
"Mungkin mereka akan mempergunakan cara lain."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia pun menduga
bahwa ada sesuatu yang akan terjadi. Bukan sekedar
getaran suara yang dilontarkan dari tempat yang
tersembunyi, karena ternyata usaha yang demikian akan
sia-sia saja. Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
justru termangu-mangu. Namun kemudian keduanya pun
melanjutkan langkah mereka mendekati batu hijau itu.
Tetapi belum lagi mereka menggapai dan meraba batu
yang berwarna kehijauan itu, maka mereka telah dikejutkan
oleh satu ledakan yang bagaikan mencuat dari dalam bumi.
Segumpal api tersembul dari bawah rerumputan dan batang
ilalang yang kering. Kemudian dengan cepat api itu
menjalar di sekelilingnya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang terkejut.
Tetapi sebelum mereka menyadari apa yang terjadi, api itu
dengan cepat telah menjalar melingkari batu berwarna hijau
itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat berbuat
lain. Mereka harus berbuat sesuatu karena api pun
kemudian telah mengepung mereka.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
justru termangu-mangu. Mereka berusaha untuk mengerti
apa yang tengah terjadi. "Kita terjebak kedalam perangkap api," berkata Mahisa
Murti. "Api ini telah mengepung kita. Demikian cepat sehingga
kita tidak dapat menghindarinya," sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Murti pun kemudian berdesis, "Kita amati watak
api yang mengepung kita. Nampaknya api ini bukan api
yang sewajarnya." Mahisa Pukat mengangguk-angguk, ia pun yakin bahwa
api yang mereka hadapi adalah salah satu kekuatan ilmu
dari orang-orang yang tidak mereka kenal.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
masih menunggu. Api itu pun semakin lama menjadi
semakin besar melingkari kedua orang anak muda itu.
Bahkan api itu pun telah merambat semakin lama menjadi
semakin menebar, sehingga lingkaran pun justru menjadi
semakin sempit. Asap yang mengepul telah memenuhi udara. Rasarasanya
nafas Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi
semakin sesak. Bahkan pandangan mereka pun menjadi
semakin kabur karena asap yang membuat udara menjadi
semakin pekat. Untuk beberapa saat kedua anak muda itu bertahan.
Tetapi semakin lama udara yang mereka hirup pun telah
penuh dengan asap ilalang yang terbakar sementara
pandangan mereka memang semakin menjadi gelap karena
asap yang semakin kelabu.
Batu yang berwarna hijau itu pun seakan-akan menjadi
kabur pula tertutup oleh asap yang kehitaman dan
menyesakkan nafas mereka.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah terbatukbatuk
kecil. Dunia bagaikah menjadi semakin sempit dan
panas api pun mulai terasa menyentuh tubuh mereka.
"Mahisa Pukat," desis Mahisa Murti, "kita harus
berbuat sesuatu." "Apakah kita akan meyakinkan bahwa api ini benarbenar
mampu membakar tubuh kita?" bertanya Mahisa
Pukat. Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Tetapi api itu
rasa-rasanya semakin menyempit dan hampir menjerat
tubuh mereka berdua di dekat batu yang berwarna hijau itu.
Namun dalam pada itu, maka Mahisa Murti pun
berkata, "Marilah. Kita akan memadamkan api ini."
"Biarlah aku mencobanya sendiri," jawab Mahisa
Pukat, "jika yang melakukan ini hanya seorang, maka kita
pun harus mengukur kemampuan kita seorang demi
seorang. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sekali ia
terbatuk oleh asap yang terhisap lewat lubang hidungnya.
Namun kemudian katanya, "Baiklah. Lakukanlah sendiri,
kecuali jika bantuanku diperlukan."
Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun ia pun segera
mempersiapkan diri untuk melepaskan ilmunya melawan
api yang sudah menjadi semakin sempit pula. Bahkan
seakan-akan tidak lagi memberikan ruang gerak bagi kedua
anak muda itu. Mahisa Pukat pun kemudian telah memusatkan nalar
budinya. Ia tidak mengetrapkan ilmu pamungkasnya dalam
ujudnya yang keras. Tetapi Mahisa Pukat yang telah
berhasil meluluhkan ilmunya dengan ilmu yang diwarisinya
dari Pangeran Singa Narpada, telah mengetrapkan ilmunya
dalam ujudnya yang lunak. Mahisa Pukat tidak melepaskan
ilmunya yang mampu membakar segala sesuatu yang
disentuhnya, tetapi ia justru telah melepaskan ilmunya
untuk melawan panasnya api itu dengan cara yang
sebaliknya. Dengan cara itu maka benturan yang terjadi
justru telah menghisap kekuatan ilmu lawannya dan
menghapusnya sebagaimana dapat dilakukannya dalam
benturan kekuatan dengan wadagnya, sehingga selapis demi
selapis kekuatan lawan itu akan terhisap dan hapus dari
padanya. Beberapa saat lamanya Mahisa Pukat memusatkan
kemampuan ilmunya pada lawannya terhadap api yang
menjadi semakin sempit. Panasnya api yang memancar
menjilat dan menelan segalanya itu, tiba-tiba saja telah
membentur satu kekuatan lain. Bukan dengan keras
menolaknya, tetapi justru bagaikan menghisapnya.
Perlahan-lahan panasnya api itu pun mulai menyusut,
ditelan oleh kekuatan lain yang perlahan-lahan bagaikan
melunakkannya. Mahisa Pukat seakan-akan telah
menaburkan udara yang dingin beku. Lebih dingin titik-titik
embun di malam bediding. Lebih basah dari semburan
hujan yang bercampur prahara di musim basah.
Itulah sebabnya, maka api yang betapapun panasnya itu
mulai pudar. Perlahan-lahan lidah api yang meronta-ronta
itu pun mulai menyusut dan akhirnya gelang api itu pun
tidak lagi menyempit, bahkan perlahan-lahan telah melebar
kembali. Mahisa Murti memperhatikan perlawanan ilmu Mahisa
Pukat yang mampu mengatasi kekuatan ilmu seseorang
yang tidak dikenalnya. Tetapi yang dengan semena-mena
telah menyerangnya bahkan agaknya orang itu benar-benar
ingin membunuhnya. Ketika api itu mulai menyusut, maka Mahisa Murti pun
melihat abu yang berserakan di atas gumuk kecil itu.
Rerumputan dan batang-batang ilalang pun telah hangus
dan tidak berbekas, keculai tinggal abu yang berhamburan.
"Api itu bukan bayangan semu. Tetapi api itu benarbenar
api yang mampu membakar sampai hangus," berkata
Mahisa Murti kepada dirinya sendiri.
Tetapi Mahisa Murti pun sadar, jika hal itu bukan api
yang sebenarnya, dan tidak mampu membakar rerumputan
dan batang-batan ilalang, maka cara untuk melawannya
pun harus berbeda pula. Namun api yang sebenarnya itu pun telah dapat diatasi.
Meskipun dengan demikian Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat harus lebih berhati-hati menghadapi seseorang yang
bukan sekedar mampu menampilkan serangan dengan api
yang semu. Api yang membakar rerumputan, batang-batang ilalang
dan gerumbul-gerumbul perdu di gumuk kecil itu pun
semakin lama menjadi semakin kecil dan akhirnya mulai
padam. "Bagus," desis Mahisa Murti, "kau mampu
menjinakkannya dan menguasainya. Api itu telah padam."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia memang
melihat api itu telah padam. Tetapi gumuk itu menjadi
bagaikan gundul. Dengan demikian Mahisa Pukat dapat
membayangkan, betapa dahsyatnya api yang telah
menyerangnya bersama Mahisa Murti. Namun Mahisa
Pukat ternyata mampu mengatasinya.
"Apakah kau membiarkan aku melawannya seorang
diri?" bertanya Mahisa Pukat.
"Apakah kau tidak merasakannya demikian?" Mahisa
Murti justru ganti bertanya.
"Ya. Aku hanya ingin meyakinkannya," jawab Mahisa
Pukat. Mahisa Murti pun kemudian mendekatinya sambil
berdesis, "Kita akan menghadapi serangan berikutnya."
"Ya," berkata Mahisa Pukat, "aku sudah siap."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun ia pun telah
bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Sebenarnyalah bahwa sejenak kemudian telah terdengar
suara yang menggelepar menggetarkan udara. "Kalian
memang luar biasa anak-anak muda. Kalian mampu
melawan aji Gelap Ngamparku, dan kini kalian mampu
melawan panas apiku. Bahkan kalian berhasil
memadamkannya dengan membekukan udara tanpa
membekukan darahmu sendiri."
"Terima kasih atas pujian itu," jawab Mahisa Pukat
dengan kekuatan getar suara yang seimbang dengan
kekuatan ilmu orang yang tidak dilihatnya itu.
"Aku memang sudah mengira bahwa kalian akan
datang lagi hari ini," berkata suara itu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun
ternyata bahwa ia telah meningkatkan kemampuan ilmunya
dan melepaskan jawaban yang menggelapar. "Jika
demikian, maka marilah sambutlah kedatanganku dengan
beradu dada." "Apakah kalian berdua tidak mampu menemukan aku?"
bertanya orang itu. Pertanyaan itu memang menghentak perasaan Mahisa
Pukat dan Mahisa Murti. Namun dalam pada itu dengan
cepat Mahisa Pukat menemukan jawabnya, "Aku belum
berusaha menemukanmu. Aku tidak ingin mempersulit diri
dengan memusatkan indera pengamatanku untuk
menemukanmu. Aku masih menghargaimu sebagai seorang
laki-laki yang akan dengan sendirinya menghadapi dengan
jantan orang yang dianggap lawannya."
Getar suara Mahisa Pukat menjadi semakin berat dan
menghentak di dada orang yang tidak dilihatnya.
Sementara itu Mahisa Murti memberikan isyarat agar
Mahisa Pukat memancing lawannya dalam pembicaraan
yang lebih panjang. Mahisa Pukat pun mengerti isyarat itu. Bahkan Mahisa
Pukat pun mengerti bahwa Mahisa Murti akan berusaha
untuk menemukan arah dari getar suara orang itu yang
terasa melingkar-lingkar.
Ternyata orang itu masih menjawab, "Jangan
menyembunyikan kelemahanmu. Kau tidak akan mampu
menemukan aku. Meskipun kau memiliki kemampuan
mengimbangi kemampuanku di satu segi ilmu, namun
kalian masih sangat muda sehingga pengalaman kalian
bagiku tidak berarti apa-apa."
Mahisa Pukat justru tertawa. Katanya, "Baiklah.
Bersembunyilah terus. Dengan cara yang demikian
mungkin kau memang akan dapat menyelamatkan
nyawamu meskipun kau harus mengorbankan harga
dirimu." "Tutup mulutmu anak iblis," bentak orang itu, "kau kira
aku tidak dapat menyumbat mulutmu itu he?"
"Silahkan. Lakukanlah jika kau mampu. Kau tahu,
bahwa aku dapat mengimbangi semua ilmumu, selain ilmu
bersembunyimu yang licik itu," jawab Mahisa Pukat.
Terdengar gemertak gigi. Demikian kuatnya dilontarkan
dengan dorongan ilmu yang menghentak pula sehingga
suaranya bagaikan bumilah yang menjadi retak.
Namun gemertak gigi itu telah disumbat oleh getar suara
tertawa Mahisa Pukat bagaikan menggetarkan langit.
Berkepanjangan, gelombang demi gelombang melanda


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lawannya seperu arus ombak yang datang susul menyusul
menghantam pantai. Sebenarnyalah orang yang tidak menampakkan dirinya
itu harus meningkatkan daya tahannya. Ia tidak mengira
bahwa anak-anak muda itu memiliki daya lontar yang
sangat mendebarkan jantungnya.
Dengan demikian, maka orang itu telah memutuskan
perhatiannya kepada daya tahannya. Setiap kali suara
tertawa Mahisa Pukat telah mulai menyusup daya tahannya
itu dan menyentuh isi dadanya sehingga mulai
mempengaruhi pernafasannya.
Karena itulah, maka ada bagian yang mulai terasa lemah
pada orang itu. Ia tidak lagi mampu membagi
kemampuannya untuk bertahan dan untuk tetap
mengaburkan sumber suaranya dalam getar suara yang
berputaran. Itulah sebabnya, maka perlahan-lahan tetapi pasti,
Mahisa Murti akhirnya dapat menemukan arah sumber
kekuatan ilmu Gelap Ngampar itu.
Mahisa Murti itu pun kemudian menarik nafas dalamdalam.
Suara itu ternyata tidak bersumber dan hutan di
sebelah gumuk itu. Tetapi justru dari sebuah gerumbul di
bawah gumuk yang telah terbakar itu.
Mahisa Pukat menangkap isyarat yang kemudian
diberikan oleh Mahisa Murti. Karena itu, maka ia pun telah
mengurangi tekanannya dan bahkan suara tertawanya pun
mulai berhenti. "Apakah kau masih tetap bersembunyi," bertanya
Mahisa Pukat. Masih terdengar jawaban, "Pengecut yang licik. Cari aku
jika kau memang mampu."
Mahisa Pukat tertawa pendek. Jawabnya, "Kau akan
melihat satu kenyataan pahit tentang dirimu sendiri."
Untuk beberapa saat tidak terdengar jawaban, tetapi
jawaban Mahisa Pukat itu benar-benar menggelisahkan
orang yang bersembunyi di dalam gerumbul itu.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti telah memberikan
isyarat pula dimana orang itu berada. Dengan mengikuti
arah pandangan mata Mahisa Murti, maka Mahisa Pukat
pun kemudian dapat menentukan, dimana orang itu
bersembunyi. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah berdiri tegak
menghadap ke arah gerumbul yang dipergunakan oleh
orang yang tidak menampakkan diri itu bersembunyi.
Sikap itu ternyata benar-benar telah menggelisahkan
orang yang bersembunyi itu. Sikap Mahisa Pukat
menyatakan, bahwa anak muda itu benar-benar telah
mengetahui, dimana ia bersembunyi dan dari
persembunyiannya dapat melihat dengan jelas kedua anak
muda yang berada di atas gumuk yang telah menjadi
gundul itu. "Ki Sanak," berkata Mahisa Pukat, "marilah. Sebelum
kau yakin bahwa aku telah mengetahui dimana kau
bersembunyi, keluarlah atas kehendakmu sendiri. Jangan
menunggu aku membakar persembunyianmu dengan
kekuatan yang mungkin mampu mengimbangi
kekuatanmu." Orang itu benar-benar menjadi gelisah. Kedua orang
anak muda itu menurut perhitungannya benar-benar anak
muda yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Berdua
mereka tentu merupakan kekuatan yang sangat sulit untuk
diatasi. "Diluar dugaan," berkata orang itu kepada diri sendiri.
Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan yang ada di
hadapannya. Justru karena itulah, maka ia harus berpikir masakmasak,
langkah apakah yang sebaiknya diambil dalam
keadaan yang sangat gawat itu.
Untuk beberapa saat orang itu hanya berdiam diri saja.
Tetapi nalarnya sedang bergejolak mencari keluar dari
keadaannya yang sulit. Anak-anak muda itu ternyata
memiliki kemampuan diluar dugaannya.
Sementara itu, terdengar Mahisa Pukat telah berkata
selanjutnya, "Dengar Ki Sanak. Aku tidak mempunyai
waktu banyak. Marilah, apa yang akan kita lakukan, biarlah
segera kita lakukan."
Sejenak Mahisa Pukat menunggu. Namun tiba-tiba saja
terdengar suara tertawa berkepanjangan sambil berkata di
antara getar suara tertawanya itu, "Anak-anak muda.
Ternyata kalian memiliki sesuatu yang dapat kalian
banggakan. Tetapi apa yang kalian miliki itu sama sekali
tidak banyak berarti bagiku. Meskipun demikian, maka aku
masih memberi kalian kesempatan untuk meninggalkan
tempat itu." Tetapi jawab Mahisa Pukat sangat menyakitkan hati.
Katanya, "Aku tidak akan memanfaatkan kesempatan yang
kau berikan itu Ki Sanak. Aku tidak memerlukannya, aku
justru memerlukan kau."
Namun suara tertawa itu masih saja berkepanjangan.
Katanya, "Baiklah. Jika kalian berkeras untuk melakukan
apa yang kau inginkan, aku tidak berkeberatan. Kau dapat
melihat batu itu. Tetapi jangan disentuh apalagi dirusakkan.
Akulah pemilik batu itu."
Mahisa Pukat tertegun sejenak, ia pun kemudian
berpaling ke arah Mahisa Murti sambil berdesis perlahan,
"Apa maksudnya."
"Kita akan menunggu," jawab Mahisa Murti.
Kedua anak muda itu pun kemudian berdiri tegak
menghadap ke arah gerumbul tempat orang yang tidak
dikenal itu bersembunyi. Gerumbul itu memang terletak
tidak terlalu dekat, meskipun masih dalam jangkauan suara
yang dilambari ilmu oleh kedua belah pihak.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menunggu. Namun sejenak kemudian, maka kedua anak
muda itu melihat sesuatu bergerak pada gerumbul itu.
Namun tiba-tiba saja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
terkejut. Dari gerumbul itu meloncat seekor harimau yang
besar berbulu loreng. "Harimau," geram Mahisa Murti.
Mahisa Pukat seakan-akan telah membeku. Ia tidak
mengira bahwa yang akan keluar dari gerumbul itu adalah
seekor harimau. Namun kedua anak muda itu dengan cepat telah
berusaha untuk mengamati ujud yang dilihatnya. Ternyata
mereka tidak menemukan sesuatu yang tidak wajar pada
harimau itu. Harimau itu menurut penglihatan mereka
benar-benar seekor harimau. Bukan suatu ujud yang semu.
"Menurut pengamatanku, harimau itu wajar," desis
Mahisa Murti. "Inilah yang mungkin kurang dapat kita pahami,"
berkata Mahisa Pukat, "kita masih sulit untuk menentukan,
apakah harimau itu bukan harimau jadi-jadian."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Kita
dapat membedakan apakah ujud itu ada sebenarnya atau
tidak. Tetapi kita memang tidak dapat mengerti, ujud yang
sebenarnya ada itu apakah ujud jadi-jadian atau bukan."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"orang itu sempat mengejutkan kita. Dengan demikian ia
mempunyai waktu sekejap lebih banyak dari kita. Dan
waktu itu dapat dipergunakannya sebaik-baiknya untuk
melarikan diri." "Satu kelengahan, sehingga kita tidak akan dapat
mengejarnya lagi," berkata Mahisa Murti. Namun
kemudian katanya, "Tetapi kita harus meyakinkan, apakah
didalam gerumbul itu tidak ada lagi seorang pun."
"Marilah," berkata Mahisa Pukat.
Keduanya kemudian justru telah menuruni gumuk kecil
itu dan pergi ke gerumbul yang mereka duga menjadi
tempat persembunyian orang yang telah menyerang mereka
dengan ilmunya yang tinggi tanpa menampakkan dirinya.
Sambil melangkah, Mahisa Pukat berkata,
"Sepengetahuan kita, seekor harimau jadi-jadian hanya
dapat ada di malam hari. Jika benar orang itu tentu
memiliki sejenis ilmu tentang harimau jadi-jadian yang lain
dari yang pernah kita dengar sebelumnya, yang dapat
merubah dirinya menjadi seekor harimau jadi-jadian di
siang hari dan di panasnya matahari."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun keduanya
tidak berbicara lagi. Mereka pun bergegas pergi ke gerumbul
yang mereka yakini menjadi tempat orang itu bersembunyi.
Ketika mereka sampai kegerumbul itu, maka mereka pun
mendekati dengan hati-hati. Dengan kemampuan ilmu
mereka, maka mereka pun segera mengetahui, bahwa di
dalam gerumbul itu tidak lagi terdapat apapun juga, apalagi
seseorang. Karena itu, maka keduanya pun segera menyibakkan
gerumbul itu untuk melihat apa yang dapat mereka
ketemukan yang mungkin akan dapat memberikan jawaban
atas pertanyaan Mahisa Pukat tentang seekor harimau jadijadian
di siang hari. Tetapi mereka benar-benar tidak menjumpai apapun
juga. Apalagi seseorang. Mereka pun tidak menemukan
pertanda apapun juga yang dapat membantu mereka
menjawab pertanyaan tentang harimau jadi-jadian itu.
Karena keduanya yakin, bahwa orang yang bersembunyi di
dalam gerumbul itu telah melarikan diri dalam ujud seekor
harimau. Itulah kelebihannya," desis Mahisa Murti, "kita
tidak akan dapat melakukannya. Menjadi ujud apapun
tidak." Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Kita telah
kehilangan. Tetapi biar sajalah. Ia tentu akan kembali jika
kita berbuat sesuatu atas batu hijau itu."
Tumbal Asmara Buta 1 Pedang Siluman Darah 8 Pembalasan Dewi Bunga Kematian Badminton Freak 1

Cari Blog Ini