Ceritasilat Novel Online

Hijaunya Lembah Hijaunya 2

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 2


sebagaimana putut itu sendiri.
Ketika keempat orang itu keluar dari pintu ke pendapa,
mereka melihat empat orang berdiri berurutan seorangseorang.
Sementara itu langit telah menjadi semakin terang.
Meskipun demikian, dari atas pendapa, orang-orang
yang keluar dari ruang dalam itu tidak segera dapat
mengenali keempat orang itu seorang demi seorang. Dalam
pakaian yang kusut dan ikat kepala yang asal saja membelit
kepala, maka keempat orang itu memang tidak mudah
dikenalinya. Namun dalam pada itu, keempat orang yang berada di
halaman dalam keremangan fajar itu segera dapat
mengenali orang-orang yang berada di pendapa, yang
diterangi oleh sisa cahaya obor yang kemerah-merahan.
Yang tidak dapat dielakkan lagi adalah pengenalan mereka
atas Panembahan Bajang yang kerdil. Kemudian mereka
pun telah menjadi berdebar-debar ketika ternyata diantara
orang-orang yang keluar dari ruang dalam itu terdapat
seorang yang mereka cari. Pangeran Lembu Sabdata.
Namun demikian Pangeran Singa Narpada yang berdiri
di paling depan tidak segera langsung mempersoalkan
hadirnya Pangeran Lembu Sabdata dan pusaka yang
mereka cari itu. Bahkan dengan suara lantang ia masih berkata,
"Panembahan Bajang. Apakah kau benar-benar sudah
melupakan tingkah lakumu itu, atau sekedar ingin
membersihkan dirimu, sehingga kau tidak lagi mau datang
mengunjungi kami berbicara tentang keris yang kau bawa
itu" Waktu yang kau janjikan telah lewat dua putaran
musim, sehingga menurut pendapatmu, kau benar-benar
tidak lagi bermaksud mengembalikannya. Padahal keris itu
mempunyai nilai yang tidak terhingga bagi kami."
"Ki Sanak," bertanya Panembahan Bajang yang
kebingungan. "Siapakah sebenarnya kalian" Dan apakah
sebenarnya yang ingin kalian lakukan atasku" Sebenarnya
kalian dapat berterus terang saja tanpa memberikan
persoalan yang berbelit-belit yang justru tidak aku ketahui
ujung pangkalnya." Orang yang berdiri di paling depan diantara empat orang
yang berada di halaman itu berkata, "Apakah sebaiknya
begitu?" "Ya. Dengan demikian aku menjadi jelas. Apa yang
akan aku lakukan menjadi jelas pula. Kau tidak usah
berteka-teki dengan menyebut persoalan-persoalan yang
tidak pernah terjadi," jawab Panembahan Bajang.
"Jika demikian yang kau kehendaki, baiklah
Panembahan," jawab orang yang berdiri di paling depan.
"Ternyata Panembahan adalah orang yang cukup
bijaksana. Karena itu, kami mohon maaf, bahwa kami tidak
langsung berterus-terang. Sekarang aku akan berterus
terang." "Ya. Berterus teranglah," berkata Panembahan Bajang.
"Tetapi apakah Panembahan tidak akan marah kepada
kami?" bertanya orang yang berdiri di paling depan.
"Aku memang sudah marah," jawab Panembahan
Bajang. "Tetapi jika kalian menjadi jujur dan berkata terus
terang, aku akan menjadi lebih senang."
Orang yang berdiri di paling depan dari keempat orang
yang memasuki padepokan itu tidak segera menjawab.
Sementara itu beberapa orang cantrik yang mendengar
pembicaraan yang ribut itupun telah turun pula ke halaman.
Dari jarak beberapa puluh langkah mereka menyaksikan
dengan hati yang tegang. Bahkan ada satu dua diantara
mereka yang bergeser mendekati pendapa.
Langit telah menjadi semakin terang. Wajah-wajah dari
keempat orang itupun menjadi semakin jelas. Tetapi orangorang
di pendapa itu memang tidak menduga sama sekali
bahwa keempat orang itu telah dipimpin oleh Pangeran
Singa Narpada. Dalam pada itu, sejenak kemudian maka
Pangeran Singa Narpada itupun berkata, "Baiklah
Panembahan. Jika kami harus berterus terang, maka kami
akan berterus terang Panembahan, sebenarnya
persoalannya tidak terletak kepada Panembahan."
"Lalu apa yang ingin kalian lakukan sebenarnya?"
bertanya Panembahan Bajang. "Kalian tidak boleh berbuat
seperti orang gila disini."
"Maaf. Yang sebenarnya ingin kami temui sekarang ini
adalah justru Pangeran Lembu Sabdata," jawab Pangeran
Singa Narpada. Jawaban itu memang sangat mengejutkan. Kata-kata
yang diucapkan dengan jelas dan tidak terlalu keras itu
terdengar seperti ledakan petir di telinga orang-orang
padepokan itu. Sementara itu Pangeran Lembu Sabdata yang disebut
namanya justru bergeser maju. Dengan kerut di keningnya,
ia berusaha mengamati orang-orang yang berdiri di
halaman itu. Jantung Pangeran Lembu Sabdata bergetar semakin
cepat. Oleh cahaya pagi yang semakin terang, ia melihat
dengan jelas siapakah yang berdiri di hadapannya itu.
"Kakangmas Pangeran Singa Narpada," desis Pangeran
Lembu Sabdata. Nama itupun telah menggetarkan jantung Ki Ajar
Bomantara dan Panembahan Bajang. Karena itu, maka Ki
Ajar pun telah bergeser maju pula.
Namun mereka tidak akan dapat mengingkari kenyataan
itu. Pangeran Singa Narpada telah berada di padepokan
mereka dalam usahanya mencari Pangeran Lembu Sabdata
dan pusaka yang telah hilang dari gedung perbendaharaan
berupa sebuah mahkota. "Luar biasa," desis Ki Ajar, "Ternyata Pangeran adalah
seorang yang memiliki ketajaman nalar budi dan
pengamatan. Tentu tidak seorang pun yang mengira, bahwa
Pangeran akan dapat menemukan Pangeran Lembu
Sabdata di tempat ini."
"Ki Ajar," berkata Pangeran Singa Narpada, "Kerja
yang kami lakukan bukan kerja yang mudah. Kami telah
berusaha dengan susah payah, sehingga akhirnya kami
menemukan yang kami cari di tempat ini. Meskipun wajah
Pangeran Lembu Sabdata sudah berubah, tetapi bentuk
yang sebenarnya tetap kami kenali."
"Baiklah kakangmas," berkata Pangeran Lembu
Sabdata, "Ternyata seperti kata Ki Ajar, kakangmas
memang seorang yang luar biasa, sehingga kakangmas
dapat menemukan aku disini meskipun aku
mempergunakan penyamaran dengan membiarkan wajahku
dikotori oleh jambang, janggut dan kumis. Namun
demikian, apakah yang sebenarnya kakangmas kehendaki
dengan mencari aku sampai ke tempat ini?"
"Adimas Pangeran Lembu Sabdata," berkata Pangeran
Singa Narpada, "Mungkin jawaban atas pertanyaan itu
telah kau ketahui." "Baiklah kakangmas," berkata Pangeran Lembu
Sabdata, "Tetapi aku masih juga ingin bertanya, apakah
yang akan kakangmas lakukan sekarang?"
"Adimas Lembu Sabdata," berkata Pangeran Singa
Narpada, "Aku ingin mempersilahkan adimas kembali ke
istana. Sri Baginda ternyata merasa sangat rindu kepada
adinda." "Jangan membujuk aku seperti membujuk anak-anak,"
sahut Pangeran Lembu Sabdata, "Tetapi berkatalah terus
terang sebagaimana yang sebenarnya."
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Namun katanya kemudian, "Aku harus membawamu
kembali menghadap Sri Baginda adimas."
"Aku sudah mengerti. Tetapi cara apakah yang akan
kakangmas tempuh sekarang?" bertanya Lembu Sabdata.
"Tergantung atas sikapmu," jawab Pangeran Singa
Narpada. "Jika kau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan
dengan niatku, maka sudah barang tentu aku tidak akan
berbuat apa-apa." "Jika aku menolak?" bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
"Apakah kau akan menolaknya?" Pangeran Singa
Narpada ganti bertanya. "Kakangmas pun seharusnya tidak usah bertanya.
Kakangmas tentu tahu, bahwa sikapku tidak akan lain
daripada itu." jawab Pangeran Lembu Sabdata.
"Jadi kau benar-benar menolaknya?" bertanya Pangeran
Singa Narpada. "Ya. Sudah tentu, karena kakangmas tidak akan dapat
berbuat apa-apa disini. Aku sekarang bukan aku yang
dahulu. Aku sudah masak untuk berdiri tegak sekarang ini,"
jawab Pangeran Lembu Sabdata.
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak.
Diamatinya orang-orang yang ada di sekitarnya. Ia tahu
bahwa tidak banyak cantrik yang terdapat di padepokan itu
selama ia mengamati padepokan itu. Agaknya Ki Ajar
memang tidak menerima terlalu banyak orang di
padepokannya yang memang tidak begitu besar.
"Pangeran," berkata Ki Ajar kemudian, "Sikap kami
sudah jelas meskipun seandainya Pangeran membawa
pasukan segelar sepapan."
"Kami datang hanya berempat," jawab Pangeran Singa
Narpada. Ki Ajar termangu-mangu sejenak. Seolah-olah ia tidak
percaya bahwa Pangeran Singa Narpada benar-benar hanya
berempat. Namun menurut perhitungan nalarnya, seorang
Pengeran Singa Narpada tentu tidak akan berbohong.
Namun bahwa Pengeran itu dapat mencapai
padepokannya dan sekaligus berhasil memancing Pangeran
Lembu Sabdata keluar, tepat pada saat Penembahan Bajang
ada di padepokan itu merupakan satu keberhasilan yang
mengagumkan. Sementara itu Pangeran Singa Narpada seolah-olah
dapat membaca kebimbangan di hati Ki Ajar. Karena itu
maka katanya, "Ki Ajar. Aku masih berpegang kepada
martabat kesatrianku. Aku masih menghargai kata-kataku.
Aku memang hanya berempat."
Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah
Pangeran. Aku mengerti. Karena itu, maka kedatangan
Pangeran akan kami terima dengan senang hati. Apapun
yang ingin Pangeran lakukan atas kami. Karena
sebenarnyalah bahwa kami akan tetap berpegang kepada
keyakinan kami." "Ki Ajar," berkata Pangeran Singa Narpada, "Aku,
masih ingin sedikit berbicara. Kenapa kau masih juga selalu
mengganggu kedudukan Kediri. Jika kau tidak sependapat
dengan sikap Kediri terhadap Singasari, sebenarnya kau
dapat menempuh jalan lain. Mungkin kau dapat berbicara
dengan Sri Baginda. Tetapi cara yang kau tempuh ini
adalah cara yang paling kasar. Setelah kau gagal
memperalat Adimas Kuda Permati, maka kini kau dengan
kekuatan kepribadianmu kau pengaruhi Adimas Lembu
Sabdata sehingga ia tidak lebih dari seekor lembu yang telah
dicocok hidungnya. Ia tidak mempunyai sikap sendiri
sehingga kau dapat memperalatnya sebagaimana Adimas
Kuda Permati, karena sebenarnyalah bahwa kau sendiri
tidak akan mungkin dapat menguasai tahta sesuai dengan
martabatmu." Wajah Ki Ajar menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia
berkata, "Jangan terlalu sombong Pangeran. Kau tidak
lebih dari aku. Jika aku dapat mengalahkan kekuatan Kediri
dengan cara apapun juga, maka akulah yang berkuasa.
Tetapi kau masih menghormati keturunan Raja-raja di
Kediri. Karena itu, maka sama sekali tidak memperalat para
Pangeran. Aku justru menyediakan diri untuk menjadi
alatnya." "Kami bukan anak-anak lagi Ki Ajar," berkata Pangeran
Singa Narpada. Namun dalam pada itu, Pangeran Lembu Sabdata pun
menyahut, "Kakangmas masih saja menghina aku.
Kakangmas mengira bahwa aku tidak lebih pandai dari
seekor kerbau. Bukankah itu sangat menyakitkan hati"
Tetapi tidak apa. Kami akan memberi kesempatan kepada
kakangmas menghina aku untuk yang terakhir kalinya,
karena sejak hari ini kakangmas tidak akan dapat
melakukannya lagi." "Jangan berkata begitu," sahut Pangeran Sing Narpada,
"Justru aku masih menawarkan sekali lagi kepadamu.
Marilah kita menghadap Sri Baginda dengan cara yang
baik. Kita akhiri kemelut di Kediri dengan cara yang baik
pula. Dengan demikian maka kita akan mempunyai
kesempatan untuk membangun Kediri yang besar dan kuat.
Kediri yang besar dan kuat, yang kemudian akan menjadi
kurus dan kering karena dihisap oleh Singasari," sahut
Pangeran Lembu Sabdata. Lalu katanya kemudian,
"Sudahlah kakangmas. Hati kita tidak akan bertemu karena
kita berdiri berseberangan. Sekarang kita akan mengambil
langkah-langkah sesuai dengan keyakinan kita masingmasing.
Kakangmas akan menangkap aku dan aku tidak
mau ditangkap." Wajah Pangeran Singa Narpada menegang. Rasarasanya
ia ingin mengoyak mulut Pangeran Lembu
Sabdata. Namun Pangeran Singa Narpada masih selalu
ingat apa yang pernah terjadi atas dirinya pada saat ia
membawa Pangeran Lembu Sabdata sebagai tangkapan.
Justru ia sendiri telah ditangkap sebagaimana Pangeran
Lembu Sabdata. Karena itu, maka menghadapi anak muda itu harus
sangat berhati-hati. Ia tidak boleh terbunuh dalam benturan
yang akan terjadi. Sementara itu Pangeran Lembu Sabdata masih juga
berkata, "Kakangmas, sekali lagi aku peringatkan, bahwa
Lembu Sabdata sekarang bukan lagi Lembu Sabdata
beberapa saat yang lalu. Jika aku dahulu hanya dapat
menundukkan kepala dan mungkin menangis jika
kakangmas marah kepadaku, apalagi memukulku, maka
sekarang tentu akan berbeda."


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku mengerti Adimas," sahut Pangeran Singa Narpada
yang merasa sangat tersinggung. Namun ia masih tetap
pada sikapnya, "Aku memang mengira bahwa selama ini
adimas telah ditempa oleh Ki Ajar Bomantara agar Adimas
dapat menjadi alat yang baik, sebagaimana seekor kerbau
jantan yang kuat dan tidak akan mengecewakan jika
dipergunakan untuk menarik bajak sebagaimana Adimas
Pangeran Kuda Permati."
"Kakangmas," geram Pangeran Lembu Sabdata,
"Kakangmas sudah cukup menghina aku. Karena itu, kita
tidak usah banyak berbicara lagi. Sekarang tunjukkan
kepadaku nama yang besar Kakangmas seperti yang pernah
Kakangmas miliki. Apalagi nama yang besar itu masih
Kakangmas miliki di hadapanku. Atau sebenarnyalah nama
besar itu hanya sekedar kebetulan, karena sebenarnyalah
Kakangmas tidak sepantasnya memilikinya."
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi jika ia terpancing, maka ia akan kehilangan
perhitungan. Di tempat itu ada Panembahan Bajang dan Ki
Ajar Bomantara. Karena itu sudah sewajarnyalah bahwa ia
harus melawan salah seorang diantara mereka. Biarlah
Pangeran Lembu Sabdata mencoba kemampuan puncak
ilmu Mahisa Murti atau Mahisa Pukat yang telah
disadapnya sampai tuntas.
Bahkan dengan demikian maka jika dalam, pertempuran
itu Pangeran Lembu Sabdata gagal ditangkap hidup-hidup,
tetapi harus mengalami nasib yang lebih buruk, maka bukan
dirinyalah yang menjadi penyebab. Sementara itu untuk
menghukum orang-orang Singasari maka Sri Baginda tentu
akan berpikir dua tiga kali. Karena itu maka Pangeran
Singa Narpada pun menjawab, sekaligus untuk
mengimbangi sikap Pangeran Lembu Sabdata yang
sombong, katanya, "Adimas, apakah benar Adimas
sekarang pantas untuk berhadapan dengan aku" Apakah
dalam waktu singkat Adimas sudah mampu meningkatkan
ilmu demikian tinggi?"
"Apapun yang terjadi atas diriku, Kakangmas tidak usah
mempersoalkannya. Tetapi kehadiranku di padepokan ini
telah membuat aku menjadi seorang yang tentu pantas
untuk berdiri berhadapan dengan Kakangmas," jawab
Pangeran Lembu Sabdata. "Aku mengerti," Pangeran Singa Narpada menganggukangguk.
Lalu, "Tentu Adimas telah ditempa oleh Ki Ajar
Bomantara sehingga Adimas merasa bahwa Adimas pantas
untuk berhadapan dengan aku."
"Ya," jawab Pangeran Lembu Sabdata, "Tetapi itu tidak
penting. Yang penting bahwa aku akan mampu
membuktikan bahwa Kakangmas Singa Narpada bukan
orang yang harus paling ditakuti di seluruh Kediri."
Betapa jantung Pangeran Singa Narpada bergejolak
mendengar kata-kata Pangeran yang masih jauh lebih muda
daripadanya itu. Tetapi ia masih sadar, bahwa ia harus
lebih tenang menanggapinya. Katanya dengan nada yang
pasti, "Adimas Lembu Sabdata. Dalam kesempatan ini aku
datang berempat. Disini ada orang-orang tua yang
barangkali lebih pantas aku layani daripada kau yang masih
sangat muda. Karena itu, seandainya kau merasa dirimu
mampu melawan aku karena tuntunan Ki Ajar Bomantara,
maka biarlah aku mencoba melawan gurumu. Jika aku
kalah, maka aku telah salah menilaimu. Tetapi menurut
perhitunganku, aku akan lebih pantas bermain-main dengan
orang-orang tua. Disini ada anak-anak muda yang lebih
pantas melayanimu." "Gila," Pangeran Lembu Sabdata hampir berteriak, "itu
adalah sesuatu yang sangat licik. Kau hindari kekuatan
yang kau kira tidak akan kau lawan."
"Jangan terlalu sombong Adimas. Bukan karena Adimas
menganggap aku lebih rendah dalam tataran ilmu dengan
Adimas, tetapi bahwa Adimas telah menganggap guru
Adimas lebih rendah martabat ilmunya dari Adimas
sendiri." Wajah Pangeran Lembu Sabdata menjadi merah. Tetapi
dengan nada sangat marah ia menggeram. "Jangan
mengambil keuntungan dengan sifat-sifat licik, seperti itu.
Kakangmas, hadapi aku."
Tetapi Pangeran Singa Narpada yang berhasil menekan
perasaannya itu tersenyum. Katanya," bermain-mainlah
dengan anak-anak muda itu Adimas."
Kemarahan Pangeran Lembu Sabdata tidak tertahankan
lagi. Tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang dengan
sepenuh tenaganya. Tetapi Pangeran Singa Narpada yang telah memiliki
perbendaharaan pengalaman yang tiada taranya itu sama
sekali tidak terkejut mengalami serangan itu. Dengan
tenang ia bergeser sehingga serangan itu sama sekali tidak
menyentuhnya. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat lah yang hampir
tidak dapat menahan diri. Hanya karena ia masih
menghormati kakaknya Mahisa Bungalan, maka Mahisa
Pukat tidak segera menerkam Pangeran Lembu Sabdata.
Dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada telah berdiri
kembali di tempatnya. Dengan lantang ia berkata, "Ki Ajar,
urusan ini adalah urusanku dengan Ki Ajar. Serahkan
kembali Mahkota yang kau curi dan sekaligus aku akan
mengambil adikku." "Pangeran," berkata Ki Ajar, "Aku setuju bahwa
persoalan ini adalah persoalan orang-orang tua. Biarlah
yang muda bermain dengan anak-anak muda pula. Tetapi
jika anak-anak muda yang kau bawa itu terbunuh disini, itu
bukan salahku, melainkan karena kesombonganmu dan
kesombongan mereka semata-mata."
"Apapun yang terjadi atas diri kami masing-masing
adalah akibat dari tingkah kami sendiri. Tetapi sebaliknya
apa yang akan terjadi atas diri kalian adalah karena tingkah
kalian pula. Nah, siapakah yang akan turun ke arena" Jika.
kalian menurunkan dua orang, maka kami pun akan
melayaninya dengan dua orang. Tetapi jika kalian akan
hadir bertiga di arena, maka kami akan turun bertiga pula."
Ki Ajar mengerutkan keningnya. Kemudian
dipandanginya Panembahan Bajang sambil berkata,
"Apakah kau akan ikut serta atau tidak?"
"Aku sudah berada disini. Aku akan ikut bermain-main.
Biarlah mereka mengenal orang yang disebut Panembahan
Bajang," jawab orang Kerdil itu.
"Jika demikian, kita akan turun masing-masing bertiga,"
berkata Pangeran Singa Narpada.
"Berempat," terdengar satu suara. Putut padepokan
itulah yang melangkah maju sambil memandang wajah Ki
Ajar, seolah-olah minta ijinnya.
"Bagus," berkata Ki Ajar, "Kau selesaikan anak-anak
muda itu bersama Pangeran Lembu Sabdata."
Putut itupun menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
iapun melangkah ke halaman memisahkan diri sambil
berkata, "Aku tidak akan memilih lawan. Siapa yang
datang, maka aku akan menyelesaikannya."
Mahisa Bungalan pun berpaling kepada dua adiknya
sambil berdesis, "Salah seorang diantara kalian. Pergilah."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan.
Mereka masing-masing ingin bertempur melawan Pangeran
Lembu Sabdata. Namun akhirnya Mahisa Murti lah yang mengalah.
Sambil menarik nafas dalam-dalam ia keluar dari uruturutannya
melangkah mendekati putut yang terpercaya di
padepokan itu. Sementara itu Mahisa Pukat pun segera bersiap-siap
pula. Ia yakin, bahwa ialah yang akan melawan Pangeran
Lembu Sabdata. Namun dalam pada itu. Pangeran Lembu Sabdata pun
berkata kepada Ki Ajar, "Guru, biarlah aku menyelesaikan
Kakangmas Singa Narpada. Dengan demikian tidak ada
lagi kebanggaan yang dapat diteriakkannya ke seluruh
penjuru Kediri, seolah-olah ia adalah orang yang paling
berharga di tanah ini."
Namun Mahisa Pukat lah yang menjawab, "Jika kau
berhasil, maka Pangeran Singa Narpada bukan saja tidak
akan meneriakkan lagi kebanggaan atas dirinya. Tetapi ia
memang tidak akan dapat lagi berbuat demikian."
"Diam," geram Pangeran Lembu Sabdata, "Kau jangan
ikut campur. Anak-anak ingusan seperti kau tidak pantas
ikut mencampuri persoalan-persoalan yang besar seperti ini.
Kau hanya pantas untuk dicekik dan dilempar ke luar
dinding padepokan." Tetapi Mahisa Pukat justru tertawa. Katanya, "Siapakah
yang akan dapat mencekik aku dan melemparkan aku
keluar dari padepokan ini" Para cantrik yang menyaksikan
pembicaraan ini dengan wajah yang kosong" Atau
barangkali Panembahan Bajang, atau Ki Bomantara" Aku
adalah orang yang tidak terkalahkan lawanku. Bahkan
Pangeran Singa Narpada pun mengakui, bahwa aku adalah
orang terkuat diantara empat orang yang datang di
padepokan ini." "Jangan gila," desis Mahisa Bungalan.
Tetapi mahisa Pukat hanya tertawa saja. Bahkan
katanya, "Nah Pangeran Lembu Sabdata. Jika kau ingin
disebut orang yang memiliki kelebihan dari sesama, maka
kau harus berani melawan aku."
Darah Pangeran Lembu Sabdata telah mendidih
karenanya. Namun terdengar Ki Ajar Bomantara justru
tertawa. Katanya, "Aku senang melihat sikapmu anak
muda. Sayang bahwa kau datang untuk melawan kami. Jika
kau datang untuk mengunjungi kami dalam suasana
persahabatan, aku merasa senang sekali dengan sikap
jenakamu itu." Wajah Mahisa Pukat menjadi tegang. Namun Pangeran
Singa Narpada pun kemudian berkata, "Sudahlah. Biarlah
anak-anak muda bergurau. Turunlah ke halaman. Kita akan
bermain-main menurut cara orang tua."
"Ya," sahut Panembahan Bajang. "Kita sudah terlalu
lama berbicara. Marilah kita mulai, mumpung hari masih
panjang." "Turunlah," sahut Pangeran Singa Narpada, "Biarlah
kita mulai secepatnya, agar pekerjaan kita segera selesai,
siapapun yang akan keluar hidup dari arena ini."
Panembahan Bajang pun telah turun pula ke halaman.
Katanya, "Aku tidak akan dapat memilih lawan. Hanya
seorang diantara kalian yang tersisa. Apakah orang itu
memadai untuk melawan aku?"
"Entahlah Panembahan," jawab Mahisa Bungalan,
"Tetapi marilah kita coba. Nanti jika ternyata kita tidak
sesuai, kita akan mengadakan pertukaran lawan."
Panembahan Bajang tiba-tiba saja telah tertawa
berkepanjangan. Katanya, "Kau juga cukup jenaka. Tetapi
baiklah, kita akan mencobanya, meskipun nampaknya kau
masih terlalu muda untuk melawanku."
Mahisa Bungalan pun telah melangkah mendekatinya.
Sementara itu wajah Pangeran Lembu Sabdata menjadi
sangat gelap. Ia merasa terhina bahwa ia harus melawan
Mahisa Pukat. Namun kekecewaannya itupun ingin
dikerahkannya kepada anak muda itu. Ia merencanakan
untuk menghancurkan Mahisa Pukat dalam sekejap,
sehingga dengan demikian Pangeran Singa Narpada akan
mengakui, bahwa ia memang seorang yang memiliki ilmu
yang sangat tinggi. Dengan demikian, maka masing-masing
telah mendapat lawannya. Ki Ajar yang kemudian juga
turun ke halaman telah berhadapan pula dengan Pangeran
Singa Narpada. "Pangeran," berkata Ki Ajar, "Pangeran adalah seorang
prajurit. Karena itu, maka kemampuan Pangeran yang
paling berharga adalah justru dalam perang antara dua
kelompok prajurit yang bertempur dalam gelar. Tetapi
untuk bertempur seorang lawan seorang seperti ini, agaknya
Pangeran masih harus berguru tiga atau empat tahun lagi."
"Sayang, aku terlambat melakukannya," jawab Pangeran
Singa Narpada, "Dalam waktu tiga atau empat tahun lagi,
maka segalanya sudah berubah di Kediri jika mahkota itu
masih tetap disini. Karena itu, biarlah aku menghadapimu
dengan apa adanya. Menang atau kalah bagiku tidak
penting. Tetapi aku sudah berusaha berbuat sebaik-baiknya
menurut kemampuanku."
"Pangeran," berkata Ki Ajar, "Aku sangat menghargai
Pangeran yang sangat ikhlas melakukan pengabdian bagi
Kediri. Jika ada sepuluh orang saja di Kediri sebagaimana
Pangeran, maka nasib Kediri tentu akan berubah."
"Terima kasih Ki Ajar. Tetapi jangankan sepuluh orang.
Jika benar penilaian Ki Ajar atasku, maka yang seorang ini
pun akan kau bunuh pula."
"Ah," desah Ki Ajar, "Jangan mengungkit perasaan
belas kasihanku Pangeran. Jika demikian tentu aku tidak
akan sampai hati membunuhmu."
"Aku memang berusaha Ki Ajar," jawab Pangeran Singa
Narpada, "Bukankah dengan demikian akulah yang akan
berhasil membunuhmu."
Ki Ajar mengerutkan keningnya. Namun iapun segera
tersenyum. Katanya, "Marilah, kita akan dapat
memulainya Pangeran."
Pangeran Singa Narpada tidak menjawab. Tetapi iapun
segera bersiap. Sementara itu, Mahisa Murti dan Putut yang terpercaya
dari padepokan itu telah mulai terlibat dalam perkelahian.
Putut itu adalah orang yang paling dekat dengan Ki Ajar di
padepokan itu, sehingga ilmunya telah manjadi mumpuni.
Sementara itu, beberapa orang cantrik yang ada di
halaman itu berdiri termangu-mangu. Tidak ada perintah Ki
Ajar bagi mereka untuk melibatkan diri. Bahkan
nampaknya Ki Ajar sudah bertekad untuk bertempur
seorang melawan seorang. Dengan demikian maka para cantrik itupun hanya
berdiri saja mengamati keadaan. Sambil berdebar-debar
para cantrik itu menyaksikan empat lingkaran pertempuran
di halaman itu. Saudara tertua mereka, Putut yang paling


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terpercaya itu melawan seorang anak muda, sebagaimana
Pangeran Lembu Sabdata. Sedangkan Panembahan Bajang
pun telah mulai dengan melepaskan ilmunya dengan hatihati.
Sedangkan Ki Ajar sendiri harus bertempur
menghadapi Pangeran Singa Narpada.
Dalam pada itu mereka yang telah terlibat ke dalam
pertempuran itu, masih belum sampai pada mengerahkan
kemampuan mereka sepenuhnya. Mereka masih berusaha
untuk menjajagi kemampuan lawan masing-masing.
Nampak agak berbeda dengan yang lain, Pangeran
Lembu Sabdata yang merasa terhina karena mendapat
lawan yang dianggapnya tidak cukup pantas baginya, telah
berusaha untuk mengerahkan ilmu dan menyelesaikan
pertempuran itu dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Tetapi lawannya adalah Mahisa Pukat, yang telah
pernah menyelesaikan laku dan mencapai ilmu puncaknya
pula. Karena itu maka yang dihadapi oleh Pangeran Lembu
Sabdata itu bukannya Mahisa Murti atau Mahisa Pukat
sebagaimana pernah dikenalnya. Pangeran Lembu Sabdata
salah menilai kemungkinan yang dapat terjadi pada
seseorang. Ia lupa tentang dirinya sendiri, bahwa pada
saatnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu memiliki
kelebihan pula daripadanya. Tetapi karena Pangeran
Lembu Sabdata merasa telah meningkatkan ilmunya
sampai ke puncak setelah ia ditempa oleh Ki Ajar
Bomantara, maka ia menganggap bahwa anak-anak muda
itu tidak berarti apa-apa lagi baginya.
Namun ternyata bahwa Pangeran Lembu Sabdata telah
dikejutkan oleh kenyataan, bahwa Mahisa Pukat tidak
dapat dilumpuhkannya pada benturan-benturan pertama.
Namun ternyata bahwa Mahisa Pukat pun harus
mengakui kemampuan Pangeran Lembu Sabdata. Agaknya
Pangeran Lembu Sabdata telah menyadap ilmu sampai ke
puncak kemungkinannya pula.
Dengan demikian, maka Pangeran Lembu Sabdata pun
tidak lagi menahan diri. Keinginannya untuk
menghancurkan lawannya dalam waktu dekat telah
mendorongnya untuk menghentakkan ilmunya dan
menumpahkannya dalam serangan-serangannya yang cepat
dan berat. Tetapi yang terjadi tidak seperti yang diharapkannya.
Lawannya ternyata tidak segera dapat dilumpuhkannya.
Mahisa Pukat ternyata mampu mengimbangi kecepatan
geraknya. Bahkan, dengan perhitungan yang cermat, maka
Mahisa Pukat pun telah didorong pula oleh kemudaannya
untuk menunjukkan kepada lawannya, bahwa tidak dapat
di perlakukan sekehendak hati Pangeran Lembu Sabdata.
Karena itulah, maka Mahisa Pukat pun telah bersiap
untuk pada satu saat membenturkan kekuatannya melawan
serangan-serangan Pangeran Lembu Sabdata yang datang
membadai. Pangeran Lembu Sabdata yang belum menyadari
kemungkinan yang dapat terjadi, masih saja berusaha untuk
menghancurkan lawannya dengan serta merta.
Tetapi, ketika dengan segenap kekuatannya Pangeran
Lembu Sabdata menyerang Mahisa Pukat yang nampak
agak terbuka pertahanannya, ternyata telah membentur satu
kekuatan yang tidak diduganya. Mahisa Pukat tidak
berusaha menghindari serangan itu. Namun ia justru telah
berusaha menangkisnya dengan membenturkan
kekuatannya pula melawan kekuatan Pangeran Lembu
Sabdata. Benturan itu ternyata telah menimbulkan akibat yang
sangat mengejutkan. Mahisa Pukat telah terdorong be
berapa langkah susut. Hampir saja ia kehilangan
keseimbangannya. Namun dengan susah payah ia berhasil
bertahan dan tidak jatuh tertelentang. Namun dalam pada
itu. Pangeran Lembu Sabdata pun telah terpental pula be
berapa langkah. Bahkan karena keyakinannya akan
kemampuannya. Pangeran Lembu Sabdata tidak mengira
bahwa kekuatannya akan membentur kekuatan yang
seimbang. Karena itulah maka ia pun telah kehilangan
kewaspadaan. Setelah terhuyung-huyung sejenak, maka
iapun telah jatuh di tanah. Namun demikian ia terguling,
maka iapun dengan cepat telah melenting berdiri dan
bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Namun bahwa ia terjatuh di tanah itu telah merupakan
satu peringatan yang keras. Dengan demikian bahwa
perhitungannya atas kekuatan lawannya ternyata kurang
cermat, sehingga ia telah jatuh berguling di tanah.
Untuk mengatasi gejolak perasaan didalam dirinya,
Pangeran Lembu Sabdata itu telah berkata lantang, "Jangan
kau anggap bahwa kau mampu mengimbangi kekuatanku.
Ternyata bahwa aku telah melakukan satu kesalahan
sehingga aku terjatuh. Bukan karena kelebihanmu atas
aku." Mahisa Pukat yang berdiri tegak menyahut, "Pangeran.
Bukankah aku tidak berkata apapun juga tentang keadaan
Pangeran" Aku memang tidak menganggap bahwa aku
mempunyai kelebihan. Aku juga tidak pernah menganggap
ringan lawan-lawanku meskipun seandainya ia tidak
berdaya sama sekali. Aku menghargai lawan-lawanku
sehingga dengan demikian aku tidak akan mengalami
goncangan sebagaimana Pangeran alami."
"Tutup mulutmu," geram Pangeran Lembu Sabdata,
"Kau jangan menjadi sombong karenanya."
"Aku tidak pernah menyombongkan diri," jawab Mahisa
Pukat, "Tetapi jika peristiwa seperti yang baru saja ini
terjadi, sama sekali bukan karena kesombonganku. Tetapi
justru karena kelengahan Pangeran dan barangkali juga
karena kemampuanku yang memadai."
Pangeran Lembu Sabdata mengumpat kasar Kata-kata
Mahisa Pukat itu membuat telinganya menjadi merah.
Ternyata anak muda itu benar-benar anak yang sangat
sombong. Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan lah yang
berdesis, justru disela-sela perlawanannya terhadap
Panembahan Bajang. Katanya, "Kau memang sombong
Pukat." "Tidak," Panembahan Bajang lah yang menyahut, "Aku
senang mendengar kelakarnya. Tentu Pangeran Lembu
Sabdata pun senang mendengarnya. Anak itu tidak berniat
untuk menyombongkan diri. Tetapi kebiasaannya bergurau
membuatnya seolah-olah ia adalah anak yang sangat
sombong." Pangeran Lembu Sabdata mengerutkan keningnya.
Sementara itu Panembahan Bajang pun masih berkata,
"Karena itu, Pangeran jangan menanggapinya dengan hati
yang panas." Pangeran Lembu Sabdata tidak menjawab. Tetapi ia
merasa bahwa Panembahan Bajang telah
memperingatkannya, agar hatinya tidak menjadi gelap
karena kemarahan yang tidak tertahankan. Sementara itu,
lawannya telah dengan sengaja membuatnya marah dengan
kata-katanya yang dapat membakar jantung.
Karena itu, maka Pangeran Lembu Sabdata telah
berusaha untuk mengekang diri, agar ia dapat menanggapi
lawannya dengan sikap yang tenang.
Dengan demikian, maka keduanya telah berhadapan
pula dengan sikap yang lebih hati-hati. Pangeran Lembu
Sabdata yang telah menjajagi ilmu lawannya, tidak dapat
mengingkarinya, bahwa anak muda yang dihadapinya
memang mempunyai kemampuan yang tinggi.
Karena itu, maka pertempuran yang kemudian terjadi,
dilandasi oleh perhitungan-perhitungan yang lebih matang,
bukan sekedar didorong oleh kemarahan yang meluap-luap.
Sementara itu, ternyata bahwa pertempuran antara Putut
yang terpercaya dari padepokan Ki Ajar melawan Mahisa
Murti menjadi lebih bersungguh-sungguh. Putut itu bukan
seorang yang kurang dapat mengendalikan diri seperti
Pangeran Lembu Sabdata. Tetapi ia adalah orang yang
telah terlatih menghadapi segala macam keadaan. Cara
hidupnya yang lebih banyak ditempa oleh tata kehidupan
yang keras di padepokan, ternyata mempunyai pengaruh
pula didalam dirinya. Sehingga dengan demikian, maka
nampaknya ia lebih masak dari Pangeran Lembu Sabdata.
Karena itu, Mahisa Murti pun menghadapinya dengan
sangat berhati-hati. Setiap langkahnya diperhitungkannya
dengan cermat. Sementara Putut itu sendiri, nampaknya
tidak tergesa-gesa dan tidak menghentak-hentak. Satu-satu
langkahnya nampaknya diperhitungkannya pula dengan
sungguh-sungguh. "Ternyata orang ini memiliki kemampuan yang
mantap," berkata Mahisa Murti didalam hatinya.
Sementara itu, Mahisa Bungalan telah berhadapan
dengan seorang yang bertubuh kerdil, tetapi mampu
bergerak dengan kecepatan yang luar biasa Tubuhnya
seolah-olah tidak berbobot sama sekali. Dengan cepat orang
kerdil itu melenting, namun kemudian kedua kakinya
bagaikan berakar dalam menusuk ke pusat bumi.
"Kau lucu sekali," desis Mahisa Bungalan, "kau
mengingatkan aku kepada sesuatu." berkata Mahisa
Bungalan. "Aku tahu," jawab Panembahan Bajang. "Aku tidak
akan marah jika kau sebutkan saja dengan terus terang."
Mahisa Bungalan meloncat menghindar ketika
Panembahan Bajang itu menerkamnya.
"Apakah kau mengetahui, apakah kira-kira yang akan
aku katakan," bertanya Mahisa Bungalan.
"Aku tahu pasti. Kau akan mengatakan, bahwa kau
teringat kepada seekor kera," jawab Panembahan Bajang.
Mahisa Bungalan tertawa. Tetapi suara tertawanya tibatiba
saja terputus. Panembahan Bajang, yang kerdil itu
menyambarnya. Hampir saja menyambar kepalanya.
Tetapi Panembahan Bajang pun kemudian tertawa pula.
Katanya, "Bukankah begitu?"
"Bukan aku yang menyebutnya. Tetapi kau sendiri,"
berkata Mahisa Bungalan. "Kau bukan orang yang pertama mengatakan aku seperti
itu," berkata Panembahan Bajang. "Di kaki Gunung
Semeru aku pernah dikatakan pula sebagai seekor kera.
Caraku berkelahi dan malahan katanya rupaku juga."
"O," desis Mahisa Bungalan, "Dan kau tidak marah?"
"Tidak," jawab Panembahan Bajang. "Tetapi entahlah,
bahwa akhirnya aku membunuhnya. Ia mati karena aku
mencekiknya." Panembahan Bajang berhenti sejenak. Lalu
katanya sambil bergeser ke samping, "Tetapi seandainya ia
tidak mati tercekik, mak a aku akan dapat membunuhnya dengan cara tersendiri.
Dari manapun juga atau dimanapun juga ia bersembunyi."
"Jika demikian, maka untuk menghindarkan diri dari
kemungkinan itu, maka aku harus membunuhmu," berkata
Mahisa Bungalan. "O, lucu sekali," jawab Panembahan Bajang. Lalu
katanya, "Sampai sekarang Panembahan Bajang belum
pernah dibunuh orang. Jika kau berhasil membunuhku, itu
adalah satu kelainan. Tetapi yang biasa terjadi Panembahan
Bajang akan membunuh musuh-musuhnya dengan cara
apapun juga." "Apakah kau kira sudah ada orang yang pernah
membunuhku sebelumnya?" bertanya Mahisa Bungalan.
Sekali lagi Panembahan tertawa. Tetapi ternyata ia harus
melenting beberapa langkah surut ketika dengan garangnya
Mahisa Bungalan menyerangnya.
"Uh," desis Panembahan Bajang. "Kekuatanmu
melampui kekuatan seekor gajah," lalu katanya, "Tetapi
kau memang lucu seperti anak muda yang bertempur
melawan Pangeran Lembu Sabdata. Sedangkan anak muda
yang bertempur melawan Putut itu nampaknya agak
pendiam." Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti tidak terlalu banyak
berbicara. Bukan saja karena ia sendiri memang tidak
terlalu banyak berbicara, lawannya pun agaknya seorang
yang bersungguh-sungguh menghadapi satu persoalan.
Karena itu, maka keduanya pun bertempur dengan
sangat berhati-hati. Keduanya menanggapi perkembangan
keadaan dengan cermat dan dengan perhitungan yang
mapan, agar tidak membuat kesalahan.
Keduanya menyadari, bahwa kesalahan sedikit saja yang
diperbuat, akan dapat menjerumuskan mereka ke dalam
kesulitan yang berkepanjangan. Bahkan mungkin akan
dapat menyeretnya ke dalam lingkaran maut.
Setingkat demi setingkat, mereka meningkatkan ilmu
mereka. Seperti seseorang yang menyeberangi sebatang
sungai, mereka menjajagi kedalamannya setapak demi
setapak. Katanya, "Benar-benar bukan anak muda kebanyakan.
Agaknya memang tidak perlu aku berpura-pura. Tetapi aku
pun tidak perlu mengatakan sebab yang sebenarnya. Yang
dapat aku katakan sekarang adalah, bahwa aku ingin
membunuh kalian. Tidak lebih dan tidak kurang."
"Baiklah," jawab Mahisa Murti, "Jika demikian, maka
kami berdua wajib membela diri. Bahkan jika dalam
keadaan membela diri itu kami harus membunuh, maka
kami tidak akan menyesal, karena kau pun telah berniat
untuk membunuh kami."
"Jika demikian, maka kita tidak usah banyak berbicara,"
berkata orang bertubuh kecil itu, "Jalan ini tidak terlalu
sering dilalui orang. Tetapi sekali-kali dalam saat seperti ini
kadang-kadang ada juga orang lewat. Orang yang keluar
masuk padukuhan itu. Karena itu, marilah kita memasuki
pategalan sebelah, agar aku dapat membunuh kalian
dengan tenang." "Gila," geram Mahisa Pukat, "Kau ingin menggiring
kami seperti seekor lembu yang dibawa ke tempat
penjagaan" Tetapi baiklah. Mungkin akibatnya akan
berbeda, karena dengan "
Orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi katanya,
"Kalian masih terlalu muda untuk dapat mengalahkan aku,
meskipun kalian berdua. Tetapi sebaiknya memang kita


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

coba sebelum aku benar-benar membunuhmu. Membunuh
orang yang berani melawan memberikan kepuasan
tersendiri daripada membunuh seorang pengecut yang
menyerahkan lehernya."
-ooo0dw0ooo Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoy o Conv erter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : Uploader di Indozone : Din o
--ooo0dw0ooo- Jilid 025 NAMUN ternyata bahwa keduanya menjadi semakin
berhati-hati, karena rasa-rasanya mereka tidak pernah
sampai ke batas. Seberapa pun mereka meningkatkan ilmu
mereka, maka lawannya masih saja mampu membuat
keseimbangan. Dengan demikian maka baik Putut dari padepokan itu,
maupun Mahisa Murti menyadari, bahwa yang mereka
hadapi adalah orang yang memiliki ilmu sampai ke puncak.
Dengan demikian maka pertempuran antara keduanya
pun semakin meningkat pula. Keduanya ternyata telah
mulai melepaskan kemampuan ilmu mereka. Mereka telah
melewati benturan-benturan kekuatan wantah mereka.
Bahkan mereka telah menjajagi batas tertinggi kekuatan
cadangan didalam diri masing-masing. Namun agaknya
mereka masih berada diatas tingkat batas kemampuan
kekuatan cadangan itu. Karena itu, maka ternyata bahwa mereka pun segera
tenggelam dalam benturan ilmu dalam tataran tertinggi.
Ki Ajar sempat melihat benturan-benturan yang terjadi.
Dengan demikian maka jantungnya menjadi berdebardebar.
Anak-anak muda yang datang ke padepokan itu
benar-benar anak-anak muda yang sudah siap. Tentu
demikian pula dengan orang-orang yang lebih tua.
Sebagaimana didengarnya, Pangeran Singa Narpada adalah
seorang yang pilih tanding. Seolah-olah kekuatan Kediri
tergantung di pundaknya. Jika Pangeran Singa Narpada
dapat dikalahkannya, maka Kediri akan menjadi lumpuh
dan kehilangan tumpuan. Dengan demikian, maka pertapa yang berusaha untuk
mengendalikan perjalanan dan perputaran kejadian di
Kediri itu, harus menghadapi lawannya dengan sangat
berhati-hati pula. Tetapi yang dicemaskan oleh Ki Ajar yang pertama-tama
justru Pangeran Lembu Sabdata. Ia kurang menghargai
kemampuan lawannya yang ternyata berilmu sangat tinggi.
Namun bahwa ia telah terlempar jatuh dalam satu
benturan, adalah merupakan satu kesalahan dari lawannya.
Seandainya lawannya mampu menyembunyikan
kemampuannya yang sebenarnya sehingga Pangeran
Lembu Sabdata tetap pada sikapnya, namun tiba-tiba
dengan menghentakkan puncak ilmunya lawannya itu
menyerang, maka Pangeran Lembu Sabdata akan
mengalami kesulitan. Bahkan mungkin lawannya akan
segera dapat menyelesaikan pertempuran itu.
"Untunglah bahwa lawannya sempat
memperingatkannya," berkata Ki Ajar didalam hatinya.
Sebenarnyalah, bahwa Pangeran Lembu Sabdata
kemudian telah menghadapi lawannya dengan sikap yang
berubah. Ia tidak dapat lagi menganggap bahwa lawannya
sama sekali tidak sepantasnya untuk menghadapinya.
Ternyata bahwa lawannya memiliki bekal ilmu yang sangat
tinggi. Pangeran Lembu Sabdata yang terlalu cepat ingin
menyelesaikan pertempuran itu telah dengan cepat pula
sampai ke tataran tertinggi ilmunya. Ia tidak mempunyai
pertimbangan-pertimbangan lain kecuali menghancurkan
lawannya. Kemudian satu keinginan Pangeran Lembu
Sabdata adalah berhadapan dengan Pangeran Singa
Narpada. Tetapi ternyata bahwa Pangeran Lembu Sabdata telah
membentur kemampuan Mahisa Pukat. Sehingga dengan
demikian, maka ia tidak dapat segera menyelesaikannya
dan mengambil-alih perlawanan terhadap Pangeran Singa
Narpada. Bahkan pertempuran yang terjadi antara Pangeran
Lembu Sabdata dan Mahisa Pukat itu semakin lama
menjadi semakin seru. Mahisa Pukat benar-benar seorang
yang mampu memancarkan ilmu yang diwarisinya dari
ayahnya. Dengan demikian maka Pangeran Lembu Sabdata yang
telah menyadap ilmu dari Ki Ajar dalam laku yang berat
itu, harus menghadapi satu kenyataan, bahwa ia bukannya
satu-satunya orang yang mampu meningkatkan ilmunya
sampai ke puncak. Mahisa Pukat yang diduganya masih
saja pada tataran ilmu yang dahulu, ternyata telah
meningkat pula menjadi seorang yang tangguh tanggon.
Pangeran Lembu Sabdata itu mengumpat didalam hati.
Tetapi ia tidak dapat sekedar mengumpat-umpat saja.
Tetapi ia harus mengerahkan kemampuannya untuk
mengatasi lawannya. Serangan-serangannya yang datang membadai dengan
kekuatan ilmunya, ternyata mampu dihindari, dan bahkan
dalam benturan-benturan yang terjadi, ternyata bahwa ilmu
Pangeran Lembu Sabdata tidak lebih baik dari ilmu Mahisa
Pukat. Yang masih saja terdengar suara tertawanya adalah
Panembahan Bajang. Sekali-sekali ia menyerang dengan
caranya. Loncatannya yang panjang seakan-akan
membuatnya berputaran di sekitar lawannya. Semakin lama
semakin cepat. Suara tertawanya terdengar berputaran
sebagaimana tubuhnya yang kerdil.
Namun Mahisa Bungalan tidak terpengaruh karenanya.
Ia berusaha untuk tetap pada alas perlawanannya yang
mapan, sehingga karena itu, maka ia tidak banyak
menghiraukan tingkah Panembahan Kerdil itu.
Namun suara tertawa Panembahan Bajang itu rasarasanya
telah mengetuk-ngetuk telinganya menembus ke
dalam dadanya. Meskipun Mahisa Bungalan sama sekali tidak
memperhatikannya, namun suara tertawa itu memang
sangat mengganggunya. Getaran-getaran suara tertawa itu
menggelitiknya sehingga Mahisa Bungalan telah
menghentakkan daya tahannya untuk menghapuskan
pengaruh itu sama sekali.
Ternyata bahwa Mahisa Bungalan adalah seorang yang
memiliki ilmu yang mapan. Getaran-getaran yang
dilontarkan oleh ilmu Panembahan Bajang lewat getaran
suaranya itu, akhirnya mampu diserap dan seakan-akan
tidak terjadi sesuatu. Suara tertawa itu masih terdengar,
tetapi sama sekali tidak mempengaruhi lagi jantung Mahisa
Bungalan. Ternyata getaran suara tertawa yang dilandasi kekuatan
ilmu Panembahan Bajang itu bukan saja berpengaruh atas
Mahisa Bungalan. Tetapi Panembahan Bajang sengaja
melontarkannya untuk mengetuk setiap isi dada.
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti pun merasakan
pengaruh itu pula. Sebagaimana Pangeran Lembu Sabdata
dan Putut dari padepokan itu. Namun karena mereka
dipisahkan oleh jarak yang tidak melekat sebagaimana jarak
Panembahan Bajang dan Mahisa Bungalan, maka ketukan
getaran suara tertawa itu tidak terlalu banyak mengganggu
mereka. Meskipun demikian, mereka memang harus
berusaha untuk melepaskan pengaruh getaran itu dari
dalam diri mereka. Panembahan Bajang pun akhirnya menyadari, bahwa
suara tertawanya tidak mempunyai pengaruh apapun juga
atas Mahisa Bungalan. Karena itu, maka iapun kemudian
berkata, "Kau memang luar biasa. Tetapi kau harus ingat,
bahwa aku adalah Panembahan Bajang yang memiliki
seribu macam ilmu. Yang kau dengar tadi baru permulaan
dari ilmu yang disebut Gelap Ngampar. Jika aku
melepaskan seluruh kekuatan ilmu Gelap Ngampar, maka
aku kira jantungmu tidak akan dapat bertahan."
"Aku akan menggeser arena ini," jawab Mahisa
Bungalan. "Untuk apa?" bertanya Panembahan Bajang.
"Aku akan mendekati Pangeran Lembu Sabdata," jawab
Mahisa Bungalan, "Jika isi dadaku rontok, maka biarlah isi
dada Pangeran Lembu Sabdata juga rontok."
"Kau salah," Panembahan Bajang tertawa. Tetapi
serangannya tidak mengendor. Lalu katanya ketika ternyata
Mahisa Bungalan sempat menghindar. "Pangeran Lembu
Sabdata memiliki penangkal dari ilmu ini."
"O," sahut Mahisa Bungalan, "Jika Pangeran Lembu
Sabdata dapat menghindarkan diri dari ilmu itu, maka akupun
akan dapat menghindari pula, karena ilmu Gelap
Ngampar bukan ilmu yang asing bagiku."
"Persetan," geram Panembahan Bajang. "Kau jangan
menakut-nakuti aku. Bagimu lebih baik bertempur
berhadapan dengan aku, daripada kau harus mati di
pembaringanmu karena ilmuku."
"Apa maksudmu?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Itulah agaknya maka kau tidak mengenal takut. Bukan
karena kau seorang pemberani, tetapi karena kau tidak
mengetahui bahayanya, sebagaimana seorang anak-anak
yang baru dapat berjalan sama sekali tidak takut kepada
seekor harimau yang garang," jawab Panembahan Bajang.
Mahisa Bungalan tidak segera dapat menjawab.
Panembahan Bajang itu meloncat menyerang, Ketika
Mahisa Bungalan berhasil mengelak, maka Panembahan
Bajang itu meloncat lagi dengan cepatnya, berkisar dan
berputar di sekeliling Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan dengan hati-hati berkisar. Tetapi
kemudian ia sempat berkata, "Itukah caramu untuk
menghina aku?" "Sama sekali tidak," jawab Panembahan Bajang.
Agaknya Panembahan Bajang masih akan menjawab.
Tetapi Mahisa Bungalan lah yang kemudian menyerang.
Namun Mahisa Bungalan masih belum mengerahkan
kemampuannya sampai ke puncak, sebagaimana
Panembahan Bajang. Sementara itu, Pangeran Singa Narpada dan Ki Ajar
Bomantara telah semakin dalam memasuki pertarungan
ilmu yang nggegirisi. Keduanya ternyata benar-benar orang
yang berilmu tinggi. Pangeran Singa Narpada adalah
seorang prajurit yang dengan segenap hati menyerahkan
diri ke dalam pengabdian bagi kepentingan Kediri menurut
keyakinannya, yang telah mendalami segala macam ilmu
dari beberapa macam cabang perguruan. Bukan sekedar
mengenal, tetapi ia sudah menghayatinya sampai
kemampuan puncaknya. Pangeran Singa Narpada sadar,
bahwa ia harus mempunyai bekal yang cukup bagi tugastugasnya
mengabdi kepada Kediri. Sedangkan Ki Ajar Bomantara adalah seorang pertapa
yang menghabiskan waktunya sebagian besar untuk
menekuni ilmunya yang dikembangkannya dengan tekun
dan bersungguh-sungguh. Yang telah berusaha membentuk
Pangeran Kuda Permati menjadi seorang prajurit linuwih
dan kemudian juga Pangeran Lembu Sabdata. Namun yang
ternyata bahwa Pangeran Lembu Sabdata masih belum
sampai pada tataran kemampuan yang tertinggi dari ilmu
yang pernah dituangkan oleh Ki Ajar.
Semula Ki Ajar Bomantara tidak mencemaskannya
ketika ia melihat siapa yang akan melawannya. Tetapi
ternyata anak muda yang bernama Mahisa Pukat itu adalah
anak Mahendra yang telah mewarisi puncak
kemampuannya, sehingga berhadapan dengan anak muda
itu Pangeran Lembu Sabdata telah membentur kekuatan
yang tidak dapat diabaikan. Bahkan dengan sikapnya yang
angkuh, telah membuatnya terlempar dari arena.
Yang bertempur dengan sungguh-sungguh dan
perhitungan-perhitungan yang cermat adalah Mahisa Murti
dan Putut terpercaya dari padepokan Ki Ajar itu. Langkahlangkah
mereka merupakan pertarungan perhitungan yang
jika terjadi sedikit saja kesalahan dalam penilaian tataran
ilmu maupun langkah-langkah yang diambil, maka
akibatnya akan menjadi sangat gawat.
Tetapi baik Putut terpercaya dari padepokan Ki Ajar
Bomantara itu, maupun Mahisa Murti, agaknya telah
terlatih dengan mapan, sehingga se demikian jauh mereka
tidak membuat kesalahan-kesalahan yang berarti.
Namun justru karena itu, maka pertempuran diantara
keduanya kemudian nampaknya tidak terlalu sengit.
Keduanya tidak terlalu banyak menyerang. Tetapi
keduanya baru akan menyerang jika mereka melihat
kemungkinan-kemungkinan keterbukaan pada pertahanan
lawan. Itupun ternyata bahwa keduanya belum ada yang
berhasil melukai bahkan menyentuh pun tidak, kecuali
benturan-benturan yang memang sering terjadi diantara
keduanya. Dalam pada itu, maka Putut itupun telah meningkatkan
ilmunya semakin tinggi menggapai puncaknya. Dengan
demikian terasa oleh Mahisa Murti, getaran-getaran yang
seakan-akan telah menyengat dan menyusup ke dalam
dirinya, sehingga terasa arus yang menjalar lewat nadi-nadi
darahnya menusuk jantung.
"Bukan main," geram Mahisa Murti, "ilmu iblis ini
mampu merambat dan menggigit jantung."
Namun Mahisa Murti pun mampu mengerahkan daya
tahannya. Ia berusaha membentengi dirinya dari
kemungkinan yang lebih buruk dari getaran-getaran yang
meloncat lewat benturan-benturan yang terjadi, kemudian


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merayap melalui saluran darahnya menyerang jantung.
Untuk beberapa saat lamanya, Mahisa Murti mampu
bertahan. Tetapi Putut itu masih selalu meningkatkan
kekuatan daya serangnya. Ketika ia tidak mampu lagi
melampaui kecepatan Mahisa Murti, maka dipusatkannya
serangan-serangannya lewat ilmunya yang aneh itu.
Namun Mahisa Murti pun telah berjuang pula
mengatasinya. Dikerahkannya kemampuan ilmunya untuk
meningkatkan daya tahannya, sehingga dengan demikian
terjadi benturan-benturan ilmu diantara keduanya.
Bagaimanapun juga, sulit bagi Putut itu untuk
mengalahkan Mahisa Murti. Daya tahan Mahisa Murti
akhirnya mampu menahan serangan-serangan yang aneh
melalui sentuhan tubuh dan benturan kekuatan itu.
Namun dengan demikian, ketika Putut itu menyadari,
bahwa ia tidak mampu lagi menyerang lewat sentuhan itu,
maka iapun berusaha untuk melepaskan ilmunya yang lain.
Dengan mengerahkan ilmunya, dari tubuh Putut itu terasa
seakan-akan memancar panas yang membakar udara di
sekitarnya. Sekali lagi Mahisa Murti terdesak. Ia merasa udara itu
bagaikan uap air yang mendidih, sehingga dengan
demikian, maka beberapa kali Mahisa Murti memang harus
berloncatan menghindar. Namun akhirnya Mahisa Murti sadar, bahwa ia tidak
akan dapat terus menghindarkan diri. Ia harus langsung
menusuk ke pusat sumber panas itu. Jika ia mampu
mencapai sebab dari panasnya udara, maka ia akan dapat
meredakannya. Karena itu, maka untuk beberapa saat lamanya Mahisa
Murti berusaha untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Sambil meloncat menghindar ia memusatkan segenap
kemampuan daya tahannya agar ia tidak hangus ditelan
oleh panasnya udara. Dengan demikian, setelah Mahisa Murti benar-benar
bersiap menghadapi lawannya, tiba-tiba saja ia justru
menyuruk ke dalam lingkungan panasnya udara itu.
Dengan segenap kemampuan daya tahannya, serta dengan
segenap kemampuan ilmunya. Mahisa Murti telah
menyerang Putut yang memiliki ilmu yang nggegirisi itu.
Serangan itu memang mengejutkan. Putut yang merasa
dirinya terlindung oleh panas itu tidak menyangka sama
sekali bahwa serangan Mahisa Murti datang demikian cepat
dan dengan tenaga yang sangat besar oleh dorongan
ilmunya. Sementara itu Mahisa Murti sendiri merasa kulitnya
dibakar oleh panasnya udara. Namun ia masih berhasil
menghentakkan tenaganya. Justru karena lawannya tidak
menduganya sama sekali, maka kaki Mahisa Murti sempat
memasuki lingkaran pertahanan Putut itu dan mengenai
dadanya. Terdengar Putut itu mengaduh tertahan. Justru karena ia
tidak siap, maka iapun telah terlempar beberapa langkah
dan terbanting jatuh. Sementara itu, Mahisa Murti pun hampir saja jatuh di
atas kedua lututnya pula. Panasnya udara hampir tidak
tertahankan. Namun serangannya yang tiba-tiba dan
berhasil menjatuhkan lawannya, maka rasa-rasanya udara
yang panas itupun segera menyusut.
Tahulah Mahisa Murti, bahwa usahanya berhasil. Jika ia
dapat merusakkan pemusatan nalar budi lawannya, maka
lawannya tidak akan sempat melepaskan ilmunya yang
dapat membakar udara di sekitarnya.
Karena itu, maka Mahisa Murti tidak mau terlambat.
Dengan cepat ia berusaha untuk mengatasi perasaan
nyerinya karena udara yang panas. Namun udara yang
sejuk yang dibawa angin telah membuatnya mendapatkan
kesegaran baru. Dalam pada itu, Putut yang jatuh terguling itupun
berusaha untuk segera bangkit. Dadanya terasa sesak oleh
serangan Mahisa Murti. Bukan serangan dengan tenaga
kewadagan sewajarnya. Tetapi dilambari dengan kekuatan
ilmunya yang mapan dan disadapnya dari ayahnya sampai
tuntas. Sementara itu, Mahisa Murti tidak mau didera kembali
oleh panasnya api yang membakar udara. Karena itu,
demikian Putut itu berdiri, maka Mahisa Murti pun telah
menyerangnya kembali. Dengan serangan itu, maka Putut itupun tidak sempat
membangunkan ilmunya yang mampu membakar udara.
Dengan demikian maka keduanya pun telah bertempur
dengan serunya dengan saling membenturkan kekuatan
ilmunya yang disalurkan lewat tenaganya.
Namun sekali lagi terasa oleh Mahisa Murti, kekuatan
getaran ilmu lawannya telah meloncat dan menelusuri urat
darahnya sampai ke jantung. Namun sekali lagi Mahisa
Murti dapat mengatasinya sehingga ia dapat mengabaikan
serangan ilmu yang aneh itu.
Sementara itu Pangeran Lembu Sabdata yang telah
beberapa kali membentur kekuatan Mahisa Pukat, akhirnya
benar-benar menyadari dengan siapa ia berhadapan. Betapa
ia melepaskan kekuatan ilmunya, namun Mahisa Pukat
masih saja mampu mengimbanginya.
"Anak iblis," geram Pangeran Lembu Sabdata.
Namun ia tidak cukup mengumpat-umpat saja. Ternyata
serangan-serangan Mahisa Pukat pun kemudian telah
datang bagaikan angin pusaran. Membelit, memutar dan
kemudian bagaikan meremas sasarannya dengan pusaran
yang dahsyat. Pangeran Lembu Sabdata termangu-mangu menghadapi
kenyataan itu. Namun ia tidak dapat berdiam diri saja.
Karena itu, maka ia telah berusaha untuk memecahkan
pusaran yang mengelilingi tubuhnya dan membuatnya
pening itu. Sebenarnyalah bahwa Pangeran Lembu Sabdata
memiliki alas ilmu yang sama dengan Putut padepokan itu.
Karena itu, maka iapun telah berusaha untuk
mempergunakan ilmu yang sama pula.
Dalam cengkaman putaran ilmu Mahisa Pukat, maka
Pangeran Lembu Sabdata telah menggerakkan ilmunya
sebagaimana Putut itu mampu memanasi udara di
sekitarnya. Mahisa Pukat terkejut ketika ia merasa udara semakin
lama menjadi semakin panas. Semula Mahisa Pukat agak
kebingungan, apakah yang menyebabkannya. Namun
akhirnya iapun menemukan sumbernya. Tentu Pangeran
Lembu Sabdata yang berdiri sambil menyilangkan
tangannya di dadanya. Mahisa Pukat bergeser agak menjauh. Tetapi seperti
Mahisa Murti, maka iapun telah mengerahkan segenap
kemampuan daya tahannya, agar jantungnya tidak meledak
oleh panasnya udara. Namun kekuatan pancaran udara panas itu mampu
menerobos daya tahannya dan menyakitinya, sehingga
Mahisa Pukat pun kemudian harus bergeser semakin jauh.
Tetapi yang kemudian memburunya adalah Pangeran
Lembu Sabdata. Ia merasa bahwa dengan ilmunya itu, ia
mampu mengatasi perlawanan Mahisa Pukat.
Tetapi karena Mahisa Pukat juga dari guru yang sama
dengan Mahisa Murti, maka iapun mempunyai jalan
pikiran yang sama pula dengan Mahisa Murti. Ketika ia
sadar, bahwa sumber panas yang memancar itu adalah
Pangeran Lembu Sabdata, maka iapun berniat untuk
menghancurkan sumbernya sama sekali.
Namun agak berbeda dengan Mahisa Murti. Mahisa
Pukat menyadari bahwa ada beban yang harus dipikulnya.
Sejauh mungkin ia jangan sampai membunuh lawannya,
karena jika terjadi demikian, mungkin Sri Baginda akan
menganggapnya bersalah. Karena itu, maka Mahisa Pukat harus bertempur lebih
berhati-hati daripada Mahisa Murti.
Meskipun demikian, Mahisa Pukat tidak ingin dirinya
sekedar menjadi sasaran. Karena itu, maka iapun kemudian
telah berusaha untuk tiba-tiba menyerang lawannya dengan
mengesampingkan perasaan nyeri yang membakar
tubuhnya. Seperti Mahisa Murti, maka usahanya pun berhasil.
Mahisa Pukat sempat menyusup dan menembus pertahanan
Pangeran Lembu Sabdata. Betapapun perasaan panas
menghalanginya, namun Mahisa Pukat dapat mengenai
pundak lawannya sehingga Pangeran Lembu Sabdata
terdorong surut beberapa langkah.
Mahisa Pukat tidak melepaskan kesempatan itu.
Meskipun ia masih merasakan kulitnya bagaikan
dipanggang di atas bara, tetapi ia telah memburu lawannya
dan menyerangnya sekali lagi.
Pangeran Lembu Sabdata berusaha untuk menghindari
serangan-serangan itu. Namun dengan demikian pemusatan
nalar budinya pun telah dikoyakkan oleh serangan-serangan
Mahisa Pukat itu. "Anak setan," Pangeran Lembu Sabdata mengumpat.
Namun ia benar-benar tidak dapat mengatasi seranganserangan
Mahisa Pukat. Dengan demikian, maka Pangeran Lembu Sabdata harus
melepaskan pemusatan nalar budinya, sehingga ia tidak
dapat mempertahankan serangan panasnya atas lawannya.
Mahisa Pukat memang yakin, bahwa lawannya itu tidak
akan mampu mempertahankan serangannya. Ternyata
bahwa udara pun semakin lama menjadi semakin sejuk
kembali. Apalagi angin bertiup agak kencang, sehingga
perasaan nyeri pun semakin berkurang pula.
Sementara itu, Mahisa Bungalan yang bertempur
melawan Panembahan Bajang, semakin lama menjadi
semakin cepat pula. Ternyata bahwa Panembahan Bajang
juga seorang yang memiliki kekuatan yang luar biasa.
Meskipun tubuhnya kerdil, tetapi serangannya bagaikan
benturan kekuatan himpitan gunung anakan.
"Untunglah kau cekatan," berkata Panembahan Bajang
sambil berloncatan. Ternyata ia memang seorang yang
banyak berbicara, "Jika tidak, kau tentu sudah lumat
tersentuh tanganku."
Namun Panembahan Bajang tidak sempat berbicara
lebih panjang ketika Mahisa Bungalan kemudian
menyerangnya dengan lontaran kaki menyamping.
"Uh," berkata Panembahan Bajang. "Kau jangan mainmain.
Aku sudah memasuki kekuatan ilmuku yang aku
andalkan. Jika kau masih saja berkelakar dengan tata
gerakmu, maka kau akan menyesal, karena tiba-tiba saja
terasa bahwa jantungmu telah aku rontokkan."
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi ia telah
bersiaga sepenuhnya untuk mengatasi keadaan.
Sebenarnya bahwa Panembahan Bajang telah
meningkatkan ilmunya sampai ke tataran tertinggi. Ketika
perkelahian itu menjadi semakin sengit dan masih belum
ada tanda-tanda siapakah yang akan mendesak lawannya,
maka Panembahan Bajang mulai menjadi jemu. Karena
iapun kemudian mampu bergerak semakin cepat, sementara
kekuatannya itupun bagaikan menjadi berlipat.
Mahisa Bungalan harus menyesuaikan diri. Menghadapi
lawan yang telah benar-benar menjadi masak, Mahisa
Bungalan harus memeras segenap kemampuan yang ada
didalam dirinya. Namun karena pengalaman dan bekal
Mahisa Bungalan yang berlimpah tertimbun didalam
dirinya, maka ia mampu mengimbangi lawannya. Sebelum
Mahisa Bungalan berguru kepada Mahisa Agni, maka ia
memang sudah memiliki bekal ilmu dari ayahnya. Bahkan
sudah sampai pada tataran tertinggi pula. Namun ia
mencapai puncak ilmunya justru pada saat ia berguru
kepada Mahisa Agni. Namun sebagai seorang yang
memiliki pandangan yang luas didasari pengalaman yang
bertimbun di dalam dirinya, maka kedua ilmu itu telah
luluh sehingga dengan demikian beberapa unsurnya yang
berbeda justru dapat saling mengisi dan melengkapi.
Dengan demikian ilmu yang dimilikinya justru menjadi
semakin mapan dan kaya. Dengan bekal itulah, maka Mahisa Bungalan telah
menghadapi tingkat kemampuan Panembahan Bajang yang
semakin memuncak. Bahkan dalam beberapa hal, Mahisa Bungalan ternyata
harus dengan sangat berhati-hati melihat permainan ilmu
Panembahan Bajang yang kadang-kadang sangat
mengejutkan. Loncatan-loncatan yang tiba-tiba, kadangkadang
memang membuat Mahisa Bungalan berusaha
untuk mengambil jarak. Tetapi itu bukan berarti bahwa
Mahisa Bungalan telah terdesak.
Bahkan Mahisa Bungalan pun telah mulai memanjat
pula pada kemampuan tertingginya. Hampir diluar
sadarnya, Mahisa Bungalan telah meningkatkan
kemampuannya mendekati puncak kemampuan yang
jarang ada duanya. Aji Gundala Sasra.
Tetapi Mahisa Bungalan masih belum ingin melepaskan
kemampuan puncaknya itu. Ia masih berusaha untuk
mengatasi lawannya dengan ilmunya pada tataran tertinggi.
Tetapi jika tidak perlu sekali, maka ia tidak akan
melepaskan ilmu puncaknya itu.
Namun dengan demikian, maka pertempuran antara
kedua orang itu menjadi semakin cepat dan keras.
Panembahan Bajang nampaknya tidak lagi mengekang
dirinya. Bahkan, akhirnya Panembahan Bajang yang
menjadi marah karena lawannya tidak segera dapat
diatasinya itu, telah mulai melepaskan ilmu pada tataran
tertingginya pula. Dalam saat-saat serangan Mahisa
Bungalan yang perkasa datang membadai, maksud
Panembahan Bajang yang yakin akan dapat mengalahkan
lawannya yang masih jauh lebih muda daripadanya itu
justru telah terdesak. Pada saat Panembahan Bajang
menghindari serangan Mahisa Bungalan, maka Mahisa
Bungalan tidak membiarkannya.
Ia pun telah sampai pada tataran tertinggi sehingga
geraknya menjadi semakin cepat dan mengejutkan. Ketika


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Bungalan kemudian memburunya, maka
Panembahan Bajang harus beringsut lagi menghindar.
Namun Mahisa Bungalan tidak ingin melepaskannya.
Sekali lagi telah melancarkan serangan dengan segenap
kekuatannya didorong oleh tenaga cadangan dan lambaran
ilmunya. Serangan itu datang demikian cepatnya, sehingga
Panembahan Bajang tidak sempat menghindarinya. Karena
itu, maka Panembahan Bajang telah berusaha untuk
melindungi dirinya dengan menangkis serangan itu.
Yang terjadi adalah satu benturan yang keras. Dua
kekuatan pada tataran tertinggi dari ilmu yang dahsyat telah
saling berbenturan. Dengan demikian, maka akibatnya pun
telah mengejutkan kedua belah pihak.
Ternyata Mahisa Bungalan yang mengenai Panembahan
Bajang yang sengaja menangkis serangan itu, merasa
bagaikan menghantam dinding baja. Karena itu, maka ia
justru terdorong surut beberapa langkah. Hampir saja ia
kehilangan keseimbangan dan jatuh berguling. Untunglah,
ia cepat menguasai diri dan berdiri tegak diatas kedua
kakinya. Namun sementara itu Panembahan Bajang sendiri telah
terdorong pula oleh kekuatan Mahisa Bungalan. Tubuhnya
yang kerdil itu bagaikan terlempar. Namun Panembahan
Bajang itu dengan tangkasnya justru telah melenting dan
berputar sambil berguling diatas tanah. Dengan serta merta
iapun telah meloncat berdiri dan siap menghadapi segala
kemungkinan. Pada saat itu Mahisa Bungalan telah tegak pula dengan
kokohnya. Bahkan demikian Panembahan Bajang tegak,
Mahisa Bungalan telah bersiap untuk menyerangnya.
Namun ternyata Panembahan Bajang tidak ingin didahului
lagi oleh Mahisa Bungalan. Dengan cepat Panembahan
Bajang menggerakkan tangannya, membuka telapak
tangannya menghadap ke arah Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan terkejut. Namun iapun segera
menyadari, bahwa Panembahan Bajang telah sampai ke
puncak kemampuannya. Pada saat yang demikian, seakan-akan dari telapak
tangan Panembahan Bajang telah meloncat petir yang
menyambar Mahisa Bungalan.
Namun Mahisa Bungalan yang sangat berhati-hati
menghadapi lawannya yang kerdil itu, sempat melihatnya.
Karena itu, maka iapun telah sempat meloncat
menghindar. Namun Panembahan Bajang tidak
menghentikan serangannya hanya pada serangan yang
pertama. Iapun telah menyusul serangan yang pertama
dengan serangan berikutnya, sehingga Mahisa Bungalan
harus berloncatan dengan cepat untuk selalu menghindari
serangan itu. Sementara itu, Pangeran Singa Narpada terlibat ke
dalam pertempuran yang sengit pula melawan Ki Ajar
Bomantara. Ternyata pertapa itu benar-benar seorang yang
memiliki ilmu yang sangat tinggi sehingga Pangeran Singa
Narpada benar-benar harus berhati-hati menghadapinya.
Banyak persoalan yang harus dipecahkan dalam
pertempuran itu, sehingga Pangeran Singa Narpada yakin,
bahwa ia tidak sekedar dapat mempergunakan wadagnya,
ilmu dan kemampuannya, tetapi juga otaknya.
Yang dilakukan Ki Ajar memang banyak mengandung
kemungkinan. Karena itu, Pangeran Singa Narpada harus
dengan cepat memecahkan kemungkinan-kemungkinan itu
sehingga sampai pada satu kesimpulan sebelum mengambil
sikap. Dengan demikian maka pertempuran antara keduanya
menjadi sulit untuk diterka. Kadang-kadang yang tidak
terduga-duga telah terjadi. Tetapi sebaliknya yang
diperkirakan akan terjadi, justru tidak.
Namun dalam pada itu, Ki Ajar harus bekerja sebaikbaiknya
untuk menghadapi Pangeran Singa Narpada. Ia
harus yakin, bahwa ia akan memenangkan pertempuran.
Seandainya ia sendiri pada saat itu tidak bertemu dengan
Pangeran Singa Narpada, maka Pangeran Lembu Sabdata
lah yang harus melakukan untuknya.
Karena itu, menurut perhitungannya, maka Pangeran
Singa Narpada yang langsung menghadapinya itu, pada
suatu saat akan dihancurkannya.
Tetapi Pangeran Singa Narpada sudah tentu tidak akan
membiarkan dirinya digulung oleh kemampuan dan ilmu
Ki Ajar. Karena itu, maka apapun yang terjadi,
dihadapinya dengan hati yang tabah. Ketabahan hati
seorang Senapati Agung yang pantang menyerah.
Tetapi Ki Ajar dengan penuh keyakinan telah menekan
lawannya. Ia harus menunjukkan kepada murid-muridnya
di padepokan itu, juga kepada muridnya yang khusus
Pangeran Lembu Sabdata, bahwa Pangeran Singa Narpada
bukan apa-apa baginya. Dengan perhitungan yang cermat, Ki Ajar berusaha
untuk selalu berada selapis diatas tataran kemampuan
lawannya. Demikian Pangeran Singa Narpada berusaha
mengimbangi Ki Ajar dengan meningkatkan ilmunya, maka
Ki Ajar sudah selapis pula di atasnya.
Karena itulah, maka Pangeran Singa Narpada harus
bekerja keras untuk dapat bertahan terhadap lawannya.
Dalam kesempatan yang terbuka, maka serangan Ki Ajar
memang datang bagaikan badai. Menerjang dengan
kekuatan yang tidak terlawan, sehingga setiap kali Pangeran
Singa Narpada memang terdesak surut.
Untuk mengimbangi tingkat ilmu lawannya, Pangeran
Singa Narpada berusaha untuk sampai kepada tingkat
tertinggi kemampuannya ilmu kewadagannya. Dengan
demikian ia mampu bergerak dengan kecepatan yang
hampir tidak kasat mata. Dengan kecepatan gerak itu
Pangeran Singa Narpada berusaha, untuk mengurangi
tekanan Ki Ajar yang terus semakin berat.
Namun ternyata bahwa Ki Ajar masih belum sampai ke
puncak. Ketika Pangeran Singa Narpada mengerahkan
kemampuannya dan menitik beratkan perlawanannya
kepada kecepatan gerak, maka Ki Ajar itu tertawa.
Katanya, "Kau akan mencoba untuk mengatasi kecepatan
gerakku Pangeran." Pangeran Singa Narpada tidak menjawab. Namun ia
sadar, bahwa dalam keadaan yang demikian, maka Ki Ajar
itu tidak sekedar bergurau. Ia akan mampu untuk berbuat
lebih banyak lagi dari yang dilakukannya.
Sebenarnyalah ternyata bahwa Ki Ajar telah
meningkatkan pula kecepatan geraknya, sehingga Pangeran
Singa Narpada tidak berhasil mengatasinya dengan
bertumpu kepada kecepatannya.
Dengan demikian maka akhirnya Pangeran Singa
Narpada pun telah meningkatkan ilmunya pula tidak
sekedar pada puncak kemampuan kewadagannya. Dengan
memusatkan nalar budinya, maka iapun telah merambah
dalam kemampuan ilmunya yang dilambarinya dengan
ungkapan tenaganya yang paling dalam, yang disadapnya
dari kekuatan alam yang melingkunginya.
Demikianlah, maka Pangeran Singa Narpada telah
menggeram bagaikan seekor singa. Dengan menghentikan
semua daya ungkapnya atas kemampuannya untuk
menyadap kekuatan dari alam sekitarnya, maka Pangeran
Singa Narpada telah mengisi semua tatageraknya dan daya
tahannya dengan kekuatan-kekuatan yang hanya dapat
disadapnya lewat laku yang rumit dan berat.
Karena itulah maka kekuatan dan daya tahan Pangeran
Singa Narpada benar-benar sampai pada satu tataran diluar
jangkauan nalar dan pikiran wantah.
Ki Bomantara terkejut melihat perubahan yang terjadi
pada Pangeran Singa Narpada. Ketika terjadi benturan
kekuatan meskipun tidak langsung, namun Ki Ajar telah
mendapat kesan, bahwa kekuatan Pangeran Singa Narpada
telah menjadi berlipat ganda.
Ki Ajar Bomantara menarik nafas dalam-dalam. Bahkan
kemudian katanya, "Tingkah laku Pangeran lelah
mempercepat penyelesaian. Pangeran telah memamerkan
satu kekuatan yang luar biasa. Yang tidak dapat aku lawan
dengan kemampuan wajar dan tenaga cadangan yang
tersedia didalam diriku. Karena itu, maka biarlah kita
mempertemukan ilmu kita masing-masing. Justru karena
aku tidak ingin menjadi korban karena ilmu Pangeran,
biarlah ilmukulah yang melumatkan Pangeran."
Pangeran Singa Narpada pun menjadi semakin berhatihati.
Ia sadar apa yang akan terjadi. Karena itu maka
sebelum ia dilumatkan, maka ia harus membangunkan
seluruh kekuatannya. Namun demikian, maka sejenak kemudian, Ki Ajar
benar-benar melakukan apa yang dikatakannya. Dengan
ilmunya yang mampu membangunkan kekuatan yang
disadapnya dari luar dirinya, maka iapun bagaikan
memiliki kekuatan raksasa. Bahkan lebih dari itu, maka
tiba-tiba saja udara di sekitar Ki Ajar itupun menjadi
hangat. Bukan saja hangat, tetapi semakin lama menjadi
semakin panas. Ilmu yang dilepaskan oleh Ki Ajar adalah sejenis ilmu
yang telah diteruskannya kepada Pututnya dan kepada
Pangeran Lembu Sabdata, sehingga keduanya mampu
membangunkan ilmu seperti itu. Namun yang ternyata
keduanya membentur kekuatan yang mampu
mengimbanginya. Sebenarnyalah bahwa Putut terpercaya dari padepokan
itu tidak sempat melepaskan ilmu puncaknya yang dapat
membakar udara di sekitarnya. Memang tataran
kemampuan pemusatan nalar budi untuk melepaskan ilmu
itu berbeda dari gurunya. Karena itu ketika ia terlibat dalam
pertempuran pada jarak pendek, Putut itu benar-benar tidak
mempunyai kesempatan. Sementara itu Mahisa Murti telah
pula mengerahkan ilmunya yang menggetarkan yang
disadapnya dari gurunya yang juga adalah ayahnya.
Hampir berbareng Pangeran Lembu Sabdata juga mulai
digetarkan oleh kemampuan lawannya. Anak muda yang
dikiranya tidak akan mampu bertahan sepenginang.
Namun ternyata bahwa Pangeran Lembu Sabdata tidak
banyak mendapat kesempatan untuk memenangkan
pertempuran itu. Bahkan pada tataran terakhir, ternyata
Mahisa Pukat benar-benar mampu mengimbanginya.
Namun yang nampak mulai terdesak adalah justru Putut
terpercaya diantara para murid Ki Ajar Bomantara.
Perlahan-lahan ia merasakan betapa lawannya masih
mampu meningkatkan ilmunya selapis, meskipun sangat
tipis. Tetapi kelebihan selapis tipis itu belum menentukan
apakah Putut itu akan dapat dikalahkan oleh lawannya.
Jika lawannya membuat kesalahan sedikit saja, maka
mungkin yang terjadi adalah sebaliknya. Mungkin yang
ilmunya kalah selapis tipis itu akan berhasil menyelesaikan
pertempuran dengan kemenangan.
Namun Mahisa Murti pun bertempur dengan sangat
cermat. Ia tidak mau membuat kesalahan barang sedikit
pun. Jika lawannya dengan serta merta meloncat menjauh
untuk mengambil jarak, maka iapun dengan cepat
memburunya, sehingga ilmu yang dilontarkan itu tidak
sempat memanaskan tubuhnya.
Dengan demikian, maka yang dipergunakan oleh Putut
itu adalah ilmunya yang mempergunakan ujud wadagnya
untuk melawan Mahisa Murti. Sekali-sekali Putut itu
mampu juga mengerahkan kemampuannya dan mendesak
lawannya. Mahisa Murti lah yang kemudian merasa bahwa ia telah
terlalu lama mengerahkan segenap kemampuannya, namun
tidak berhasil mengalahkan lawannya. Sementara itu,
Mahisa Murti pun menyadari, jika ia dipaksa untuk
mengerahkan kemampuannya dalam tataran itu untuk
beberapa lama lagi, maka kemampuannya pun akan segera
susut. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian telah
sampai kepada satu keputusan untuk mengakhiri
pertempuran. Untuk beberapa saat, para cantrik yang menyaksikan
pertempuran itu masih menganggap bahwa kemampuan
ilmu kedua orang itu seimbang. Desak mendesak, serang
menyerang, meskipun Putut terpercaya itu memang lebih
sering bergeser menjauh. Para cantrik itu juga melihat, bahwa keduanya telah
sering tersentuh oleh serangan-serangan lawannya. Sekalisekali
mereka berdesah. Namun kemudian mereka-pun
telah bertempur bagaikan putaran angin pusaran.
Dalam kesadaran bahwa tenaganya sudah sampai ke
batas, sehingga Mahisa Murti merasa bahwa tataran
kekuatannya mulai pada titik menurun, maka Mahisa Murti
pun segera mengambil sikap.
Sementara itu Putut yang berusaha untuk mengambil
jarak itu merasa heran, bahwa pada saat Mahisa Murti tidak
memburunya. Putut itu mengira, bahwa kecepatan
geraknya tidak lagi terjangkau oleh kemampuan Mahisa
Murti, yang diperhitungkan oleh lawannya,
kemampuannya memang mulai menurun.
Karena itu, maka kesempatan itu telah dipergunakannya
sebaik-baiknya. Putut itu mampu mengerahkan ilmunya
untuk melepaskan pancaran panas pada udara di
sekelilingnya. Namun pada saat yang bersamaan Mahisa Murti
ternyata telah membangunkan puncak ilmunya pula.
Sebagaimana diwariskan oleh ayahnya, maka Mahisa Murti
akan mampu melepaskan ilmu yang sulit dicari
imbangannya. Dalam waktu yang melampaui batas kecepatan anganangan
para cantrik yang menyaksikan pertempuran itu,
maka keduanya telah mampu melepaskan ilmu masingmasing.
Putut itu benar-benar telah membakar udara di
sekitarnya. Sementara itu, Mahisa Murti pun telah
membentangkan tangannya, kemudian bersilang dan ketika


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terasa udara panas mulai menyentuhnya, maka Mahisa
Murti dengan perhitungan yang matang, telah meloncat
justru memasuki lingkungan udara panas itu.
Kulit dagingnya memang terasa bagaikan dibenam
dalam api. Namun Mahisa Murti harus meyakinkan
dirinya, bahwa ia harus melakukannya apapun yang terjadi.
Betapa terasa kulitnya terkelupas oleh panasnya api,
namun akhirnya tangan Mahisa Murti berhasil menyentuh
tubuh Putut terpercaya di padepokan itu, yang menjadi
tetua para cantrik yang telah memiliki pula puncak
kemampuan dari cabang perguruan Ki Ajar Bomantara.
Dua ilmu yang nggegirisi telah membentur sasaran
masing-masing. Ilmu yang dilontarkan oleh Putut itu benarbenar
telah membakar tubuh Mahisa Murti sehingga di
beberapa bagian tubuh itu benar-benar telah terkelupas.
Namun dalam pada itu, tangan Mahisa Murti dalam
puncak ilmunya telah menghantam, kening Putut yang
terpercaya itu. Benturan ilmu pada sasaran masing-masing itu bagaikan
telah mengguncangkan padepokan itu. Perhatian orangorang
yang ada di halaman itu, bahkan yang sedang
bertempur sekalipun telah tertarik pada peristiwa yang
dahsyat itu. Yang kemudian mereka lihat adalah, dua sosok tubuh
yang kemudian terbaring diam.
Beberapa orang cantrik dengan serta merta telah
berloncatan mendekat. Namun dalam pada itu terdengar
suara Mahisa Bungalan, "Jangan kalian nodai sifat kesatria
dari dua orang yang telah bertempur mempertaruhkan
nyawa mereka. Biarlah mereka tetap dalam keadaannya."
Para cantrik itupun tertegun diam. Namun yang
terdengar kemudian adalah suara Ki Ajar, "Kau
mencemaskan kejujuran para cantrik. Mereka tidak akan
mencekik kawanmu seandainya mereka masih hidup.
Tetapi jika itu membuat kau menjadi ragu-ragu akan
kejujuran kami, maka biarlah keduanya tetap dalam
keadaannya. Tetapi jika kawanmu itu kemudian mati
kehausan seandainya ia masih hidup, jangan menyesal.
Cantrik-cantrikku tentu bermaksud menolongnya jika kau
tidak mencurigainya."
"Ia tidak memerlukan pertolongan," jawab Mahisa
Bungalan, "Terima kasih."
"O," geram Panembahan Bajang sambil bertempur.
"Kau dapat juga mengucapkan terima kasih."
Mahisa Bungalan tidak menyahut. Namun keduanya
bertempur semakin dahsyat.
Loncatan api yang memancar dari telapak tangan
Panembahan Bajang masih menyambar-nyambar,
sementara Mahisa Bungalan masih saja harus meloncat
menghindar. Untunglah bahwa ancang-ancang
Panembahan Bajang pada saat melontarkan ilmunya dapat
dibaca oleh Mahisa Bungalan sehingga ia mampu untuk
meloncat menghindar. Tetapi sudah tentu bahwa ia tidak
akan membiarkan dirinya menjadi sasaran ilmu
Panembahan Bajang. Namun sementara itu, Ki Ajar pun telah berteriak
kepada para cantrik, "Biarkan kedua orang itu dalam
keadaannya." Tetapi dalam pada itu, serangan-serangan Ki Ajar pun
telah datang membadai. Dengan kemampuan ilmunya yang
dapat membakar udara di sekitarnya, ia selalu memburu
Pangeran Singa Narpada. Dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada mengalami
sedikit kesulitan dengan lawannya. Daya tahan Pangeran
Singa Narpada memang cukup tinggi, jauh lebih tinggi dari
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi ilmu yang disadap
dari panasnya api itupun dilontarkan oleh Ki Ajar
Bomantara. Bukan oleh Pututnya yang terbaring diam di
samping tubuh Mahisa Murti.
Namun sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, maka Pangeran Singa Narpada menganggap
bahwa ia akan dapat memadamkan ilmu itu pada
sumbernya. Karena itu, dengan mengerahkan daya
tahannya maka Pangeran Singa Narpada telah menyusup
pertahanan Ki Ajar Bomantara untuk langsung berusaha
memadamkan ilmu itu. Usaha Pangeran Singa Narpada untuk menyusup
memang berhasil. Tetapi ternyata kematangan ilmu Ki Ajar
membuatnya jauh lebih baik dalam ungkapan ilmu
puncaknya itu. Karena itu serangan Pangeran Singa
Narpada memang harus dihindarinya. Namun pada saatsaat
ia berloncatan menghindar, ternyata bahwa
serangannya dengan ilmu puncaknya itu tidak mengendor.
Udara masih tetap panas bagaikan membara, sehingga
setiap kali, maka Pangeran Singa Narpada harus mencari
kesempatan untuk berloncatan menjauh.
Ki Ajar Bomantara tertawa. Katanya, "Pangeran. Kau
adalah orang yang ditakuti di seluruh Kediri. Pangeran
Kuda Permati pun merasa segan terhadapmu. Namun
menurut perhitunganku, maka kau memang memiliki ilmu
setingkat dengan Pangeran Kuda Permati, atau katakanlah
kematangan ilmumu selapis lebih tinggi. Tetapi
kemampuan memecahkan persoalan dengan otaknya,
Pengeran Kuda Permati jauh lebih baik dari padamu. Dan
kini kau berhadapan dengan guru Pangeran Kuda Permati.
Nah, kau sudah dapat mengira-irakan akhir dari
pertempuran ini." Jantung Pangeran Singa Narpada berdenyut semakin
cepat. Namun ia tidak dapat ingkar bahwa kemampuan
ilmu Ki Ajar benar-benar nggegirisi. Jika ia harus bertempur
dengan cara itu untuk seterusnya, maka iapun pada
akhirnya akan menjadi arang dan debu.
Namun Ki Ajar memang seorang yang memiliki
kemampuan bagaikan tanpa batas.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat masih bertempur
melawan Pangeran Lembu Sabdata. Ia berhasil mendesak
lawannya, tetapi ia masih selalu dibayangi oleh keraguraguan,
bahwa Pangeran Singa Narpada menghendaki
apabila mungkin menangkap Pangeran itu hidup-hidup.
Karena itu, maka dengan mengerahkan segenap
kemampuan yang ada padanya, Mahisa Pukat telah
berusaha mendesak Pangeran Lembu Sabdata untuk sampai
pada satu keadaan yang tidak dapat diatasi lagi atau sampai
pada suatu keadaan yang lemah sekali oleh keletihan.
Namun tidak mudah bagi Mahisa Pukat untuk
melakukannya. Pangeran Lembu Sabdata juga seorang
yang memiliki ilmu yang cukup tinggi serta perhitungan
yang mapan. Karena itu, maka menanggapi seranganserangan
Mahisa Pukat pada jarak yang pendek itu, iapun
telah berusaha untuk membuat jebakan-jebakan yang dapat
membuat jarak antara dirinya dengan Mahisa Pukat. Tetapi
Mahisa Pukat tidak mau kehilangan. Ia mampu bergerak
secepat lawannya, serta mampu mengurangi langkahlangkah
yang diambilnya. Karena itu, maka Pangeran
Lembu Sabdata tidak pernah berhasil memisahkan Mahisa
Pukat dengan jarak dari dirinya.
Yang menjadi semakin seru adalah pertempuran antara
Ki Ajar Bomantara melawan Pangeran Singa Narpada.
Ilmu Ki Ajar seakan-akan memancar dari dirinya tanpa
jarak waktu sekejap pun dari saat yang dikehendakinya.
Meskipun ia harus berloncatan menghindari dan
menangkis serangan lawan, tetapi serangannya itu masih
tetap mencengkam dan membakar udara di seputarnya
bagaikan bara api tempurung.
Beberapa kali Pangeran Singa Narpada harus meloncat
menjauh. Ia harus memecahkan ilmu lawannya yang
nggegirisi itu. Dalam pada itu terdengar suara tertawa Ki Ajar
Bomantara sambil berkata, "Pangeran. Jangan menyesal.
Pangeran lah yang telah memasuki padepokan. Jika
kemudian Pangeran akan terbakar hidup-hidup disini,
adalah karena pokal Pangeran sendiri. Dengan demikian
maka Pangeran sudah memetik hasil pekerjaan Pangeran
sendiri." Pangeran Singa Narpada tidak menjawab. Tetapi ia telah
digiring oleh Ki Ajar ke sudut halaman. Jika Pangeran
Singa Narpada tidak lagi mampu menjauhi lawannya, maka
ia tentu akan terbakar hangus karena ilmu Ki Ajar yang
nggegirisi itu. Suara Ki Ajar masih terdengar menggetarkan udara
halaman padepokan itu. Selangkah demi selangkah ia
bergeser maju, sementara Pangeran Singa Narpada harus
berloncatan mengambil jarak. Meskipun demikian
Pangeran Singa Narpada itu masih juga berusaha untuk
menyusup di panasnya ilmu Ki Ajar dan dengan segenap
kekuatan yang ada padanya menyerang lawannya. Namun
Ki Ajar mampu menghindari serangan-serangan itu, atau
menangkisnya. Kadang-kadang Pangeran Singa Narpada memang
bergerak terlalu cepat, sehingga Ki Ajar tidak dapat
menghindari serangan itu, dan terpaksa menangkisnya.
Tetapi dalam udara yang panas, maka kemampuan
Pangeran Singa Narpada seakan-akan telah menyusut,
karena sebagian besar kemampuannya diterapkan untuk
melindungi dirinya dengan mempertebal daya tahannya.
Namun begitu, terasa kulitnya kadang-kadang masih
terkelupas juga. "Sudahlah Pangeran," berkata Ki Ajar, "Sebaiknya
Pangeran menghentikan saja perlawanan ini dan mati
dengan tenang. Karena dalam keadaan seperti ini, sudah
tidak ada lagi jalan kembali bagi Pangeran selain kematian.
Tetapi bukanlah pada saat terakhir Pangeran masih dapat
memilih jalan kematian yang paling baik?"
Hati Pangeran Singa Narpada bagaikan menyala
mendengar kata-kata itu. Karena itu, maka akhirnya
Pangeran Singa Narpada sampai pada suatu pertimbangan
untuk dengan kemampuannya yang terakhir merebut
kemenangan. "Tetapi apakah aku harus mempergunakan ilmu itu?"
berkata Pangeran singa Narpada di dalam hatinya.
Tetapi memang tidak ada jalan lain. Meskipun Pangeran
Singa Narpada merasa segan, namun ia memang berada
dalam satu keharusan, meskipun hal itu masih juga belum
menjamin bahwa ia akan dapat memecahkan ilmu
lawannya yang luar biasa itu.
Untuk sejenak Pangeran Singa Narpada sengaja
menjauhi lawannya yang berusaha mendesaknya. Namun
sebenarnyalah ia tengah mengambil ancang-ancang. Ia
berusaha untuk dapat mengetrapkan ilmunya, meskipun
pada saat itu ilmu itu jarang dikenal.
"Ilmu ini agak licik," berkata Pangeran Singa Narpada
didalam hatinya. Namun kemudian dibantahnya sendiri,
"Kenapa licik?"
Akhirnya Pangeran Singa Narpada memutuskan, bahwa
ia harus mempertahankan hidupnya. Karena itu, maka
tidak ada jalan lain untuk berusaha, selain mempergunakan
ilmunya itu, yang mungkin akan dapat menolongnya atau
memperpanjang perlawanannya.
Sejenak kemudian, maka Pangeran Singa Narpada pun
telah bersiap dengan ilmunya yang jarang sekali hadir
didalam unsur tata geraknya dalam pertempuran yang
betapapun dahsyatnya. Ketika Ki Ajar dengan kemampuannya membakar udara
di sekitarnya maju selangkah lagi, maka Pangeran Singa
Narpada pun telah berusaha meningkatkan daya tahannya
untuk mengatasi udara panas itu. Dengan kecepatan yang
hampir tidak dapat dilihat, maka Pangeran Singa Narpada
pun telah meloncat menyerang lawannya.
Ki Ajar masih sempat menghindari serangan itu tanpa
melepaskan pancaran panasnya. Namun ternyata Pangeran
Singa Narpada tidak segera bergeser menjauh. Tetapi sekali
lagi ia menyerang dengan cepatnya. Kakinya terlontar
mengarah lambung. Demikian cepatnya serangan itu, sehingga Ki Ajar tidak
sempat menghindar, tetapi ia harus menangkisnya
sebagaimana selalu dilakukannya.
Sebuah benturan yang keras telah terjadi. Namun
Pangeran Singa Narpada tidak dapat bertahan terlalu lama
karena udara panas. Ia harus melenting menjauh untuk
mendapatkan kesegaran baru karena dengan demikian ia
terhindar dari panasnya udara.
Namun sekejap kemudian, diluar dugaan, maka
Pangeran Singa Narpada telah menyerang lagi dengan
loncatan yang panjang mengarah ke dada. Demikian tibatiba,
sehingga sekali lagi Ki Ajar harus menangkisnya.
Kembali terjadi sebuah benturan yang keras. Namun
kembali Pangeran Singa Narpada harus berloncatan
menjauh. Ki Ajar masih juga tertawa. Katanya, "Marilah
Pangeran. Kerahkan semua ilmu dan jimat. Ternyata
bahwa orang terbaik di Kediri sebentar lagi akan terkapar
mati di padepokan terpencil ini meskipun bagi satu
pengabdian. Tetapi ternyata pengabdian itu akan sia-sia."
Belum lagi Ki Ajar terdiam, Pangeran Singa Narpada
sekali lagi menyerang. Serangannya sangat rendah. Kakinya
yang mendatar mengarah ke perut lawan.
Sekali lagi Ki Ajar terkejut, sehingga Ki Ajar tidak
menghindari serangan itu, tetapi memukul kaki Pangeran
Singa Narpada dengan pukulan menyamping. Tetapi
Pangeran Singa Narpada justru telah berputar setengah
lingkaran. Dan bertumpu pada kakinya yang kemudian
diletakkan, maka kakinya yang lain telah menyambar pula
lambung lawannya. Sekali lagi Pangeran Singa Narpada gagal mengenai
sasaran karena Ki Ajar telah menangkisnya dengan sikunya
sambil memiringkan tubuhnya dengan agak merendah.
Pangeran Singa Narpada masih akan menyerang lagi.
Tetapi udara panas serasa mencekiknya, sehingga ia harus
meloncat surut. Namun ternyata bahwa Ki Ajar tidak ingin


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melepaskannya. Sebagaimana Pangeran Singa Narpada,
maka lawannya itupun ingin dengan cepat
mengalahkannya. Karena itu, ketika Pangeran Singa Narpada meloncat
surut, maka Ki Ajar pun telah memburunya.
Tetapi ada sesuatu yang terasa agak lain pada dirinya. Ia
merasa bahwa tenaganya tidak sekuat pada saat-saat
sebelumnya, sehingga ia tidak mampu bergerak secepat
Pangeran Singa Narpada. "Aku belum merasa mengerahkan tenaga melampaui
daya dan kekuatan yang ada padaku," berkata Ki Ajar itu
didalam hatinya, "Sehingga menyusutkan kemampuanku."
Namun karena itu, maka ia tidak sempat menyerang
Pangeran Singa Narpada dengan serta merta. Pangeran
Singa Narpada sempat meloncat lagi menjauhinya.
Ki Ajar mengerutkan keningnya. Namun iapun
kemudian telah berusaha mendekati lawannya lagi. Ia
sadar, bahwa Pangeran Singa Narpada berusaha untuk
melepaskan diri dari cengkaman hawa panas.
Pangeran Singa Narpada yang telah mendapat
kesempatan menyegarkan tubuhnya, telah bersiap pula.
Namun udara panas yang dilontarkan oleh Ki Ajar itu rasarasanya
telah mulai menyusup ke dalam kulit dagingnya
dan menyakitinya. Tetapi ia tidak boleh berhenti. Ia harus
bertempur sampai selesai, siapapun yang ternyata kemudian
harus mati. Namun dalam pada itu, justru Pangeran Singa Narpada
lah yang kemudian memasuki lingkaran udara panas di
sekitar lawannya. Sekali lagi ia menyerang dengan
garangnya meskipun ia harus menyeringai menahan panas.
Ki Ajar masih sempat menghindar. Namun sekali lagi ia
merasa bahwa ada sesuatu yang kurang pada dirinya. Ia
tidak dapat bergerak secepat yang dikehendaki, sehingga
hampir saja serangan Pangeran Singa Narpada itu benarbenar
mengenainya. Namun demikian serangan itu luput dari sasaran, maka
Pangeran Singa Narpada telah berputar dan mengayunkan
kakinya mendatar. Betapa terasa panasnya udara yang
menggigit tubuhnya, namun ternyata bahwa serangannya
itu cukup berbahaya sehingga Ki Ajar harus menangkis
serangan yang tidak lagi sempat dihindarinya itu.
Terasa dorongan serangan itu hampir saja
membantingnya jatuh ketika serangan itu membentur
tangannya yang menangkis serangan itu, terasa kekuatan
Pangeran Singa Narpada seakan-akan telah bertambahtambah.
Tetapi Pangeran Singa Narpada pun harus segera
menghindar ketika udara panas hampir saja mengelupas
kulitnya. Namun, sebenarnyalah Ki Ajar merasa sangat heran
tentang dirinya sendiri. Kemampuannya terasa menjadi
susut. Kemampuannya tidak lagi sebagaimana saat-saat ia
mengerahkan pada puncak ilmunya. Bahkan tulangtulangnya
serasa menjadi semakin lemah dan tidak lagi
mampu mendukung gejolak kekuatan ilmunya.
"Apa yang telah terjadi?" bertanya Ki Ajar itu kepada
diri sendiri. Tetapi jawabannya tidak segera didapatkannya. Ia harus
bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya
yang terasa semakin menyusut.
Dalam pada itu, maka Pangeran Singa Narpada pun
mulai melihat perubahan pada lawannya. Ki Ajar tidak lagi
mampu bergerak cepat dan bahkan terasa oleh Pangeran
Singa Narpada, kemampuan Ki Ajar membakar udara di
sekitarnya pun menjadi susut. Meskipun udara masih terasa
panas, tetapi seorang yang memiliki ilmu yang tinggi
segalanya sudah susut, sehingga akhirnya semuanya akan
larut dan habis sama sekali.
Serangan-serangan Pangeran Singa Narpada pun
semakin lama menjadi semakin sering. Betapa kulitnya
benar-benar menjadi terkelupas oleh panasnya udara, justru
dalam benturan-benturan yang terjadi.
Namun demikian, maka ilmunya ternyata mampu
mengatasi kesulitan yang hampir tidak teratasi.
Meskipun demikian, Pangeran Singa Narpada masih
merasa seakan-akan ia tidak lagi bertempur dengan jujur.
"Aku telah dengan bersembunyi mengurangi daya
kekuatan ilmunya," berkata Pangeran Singa Narpada.
Namun kemudian dijawabnya sendiri. "Seperti ilmu
yang lain yang dapat dianggap pula licik. Melontarkan
udara panas tidak lebih baik dari ilmu yang aku
pergunakan." Demikianlah pertempuran itu berlangsung semakin lama
semakin nampak bahwa telah terjadi perubahan yang
terhitung cepat pada diri Ki Ajar. Kekuatannya dan
kemampuannya telah menyusut melampaui kewajaran jika
ia mengerahkan kemampuan ilmunya. Bahkan semakin
lama semakin jelas, bahwa Ki Ajar mengalami kesulitan
untuk melawan dan menghindari serangan-serangan
Pangeran Singa Narpada berikutnya.
Dalam keadaan yang sulit itulah Pangeran Singa
Narpada berusaha untuk menekannya semakin berat dan
bahkan kemudian untuk mengakhirinya sama sekali.
Sementara itu, Ki Ajar pun menyadari keadaannya.
Tiba-tiba saja ia berteriak lantang, "Kau licik Pangeran.
Kau mempergunakan ilmu iblis itu. Kau telah menghisap
kekuatanku di setiap sentuhan. Ilmu yang tidak pantas
dipergunakan oleh para kesatria, apalagi kesatria dalam
jabatan tertinggi sebagaimana Pangeran Singa Narpada."
Wajah Pangeran Singa Narpada menegang. Tuduhan itu
membuatnya agak kebingungan. Ilmu itu memang ilmu
yang jarang sekali terdapat pada saat itu.
Tetapi ia masih selalu bertanya, "Kenapa licik?"
Untuk beberapa saat Pengeran Singa Narpada termangumangu.
Bahkan ia melangkah surut ketika Ki Ajar
mendekatinya. Udara panas masih terasa. Tetapi sudah
jauh susut dari semula. "Kenapa kau sampai hati mempergunakan ilmu iblis itu
Pangeran?" bertanya Ki Ajar. Wajahnya mulai menjadi
pucat dan darahnya pun seakan-akan telah terhisap dalam
setiap sentuhan dengan tubuh Pangeran Singa Narpada.
Jantung Pangeran Singa Narpada berdenyut semakin
cepat. Namun kemudian katanya, "Ki Ajar, kenapa kau
sebut ilmu itu licik?"
"Kau curi kekuatanku dengan langkah yang tidak
tangguh tanggon" Perbuatanmu tidak ubahnya dengan
perbuatan seorang pencuri yang dengan bersembunyi
mengambil milik orang lain," berkata Ki Ajar.
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian iapun menjawab, "Ki Ajar. Dalam
pertempuran kita mempergunakan senjata apa saja yang
kita punya. Aku tidak menyerangmu dari belakang. Aku
juga tidak menyerangmu pada saat kau tidur. Tetapi kita
berhadapan dan saling melepaskan ilmu. Aku bersedia akan
menekan ilmu yang kau anggap licik ini jika kau juga tidak
mempergunakan ilmu pemanasmu. Bukankah ilmu juga
ilmu yang licik karena kau tidak memberi kesempatan
kepada lawanmu dalam suasana yang sama?"
"Persetan," geram Ki Ajar yang dengan tiba-tiba saja
telah menyerang Pangeran Singa Narpada.
Pangeran Singa Narpada tidak sempat menghindar.
Tetapi ia telah mempersiapkan diri sepenuhnya. Dengan
mengerahkan daya tahannya ia melindungi dirinya dari
panasnya api yang terpencar dari sisa ilmu Ki Ajar
Bomantara. Sementara itu, iapun telah menangkis serangan
itu, sehingga telah terjadi benturan diantara keduanya.
Ki Ajar memang sudah menjadi terlalu lemah. Dalam
benturan itu Ki Ajar telah terlempar dan jatuh berguling di
tanah. Sementara itu sentuhan itu sendiri telah menghisap
sebagian dari kekuatan Ki Ajar pula.
Apalagi Pangeran Singa Narpada tiba-tiba saja telah
menemukan kekuatan dan ketabahan di hatinya, sehingga
ia tidak lagi terpengaruh oleh pendapat, bahwa ilmunya
adalah ilmu yang licik. Karena itu, ketika ia melihat Ki Ajar berusaha untuk
bangkit maka dengan segenap kekuatan yang ada padanya,
maka iapun telah menyerang,. Dengan sepenuh kekuatan
yang ada didalam dirinya dialasi dengan tenaga cadangan
dan kekuatan ilmunya, maka Pangeran Singa Narpada telah
meloncat menyimpang dengan kaki lurus mendatar. Satu
serangan yang langsung mengarah ke dada lawannya yang
baru saja sempat berdiri tegak.
Sekali lagi terjadi benturan. Kaki Pangeran Singa
Narpada telah mengenai sasarannya. Dengan derasnya
bagaikan prahara, serangan Pangeran Singa Narpada serasa
telah meremukkan dada Ki Ajar yang telah kehilangan
sebagian besar dari kekuatannya. Udara panasnya tidak lagi
dapat menahan serangan Pangeran Singa Narpada yang
meluncur dengan kekuatan yang tidak terkirakan besarnya
itu. Terdengar Ki Ajar mengaduh tertahan. Rasa-rasanya
ujung gunung karang telah menghantam dadanya. Igaiganya
telah berpatahan dan isi dadanya bagaikan telah
rontok dari tangkainya. Terasa nafas Ki Ajar menjadi sesak. Matanya menjadi
kabur dan ia benar-benar telah kehilangan keseimbangan.
Ki Ajar seakan-akan telah terlempar jatuh dan terbanting
di tanah. Sejenak ia masih menggeliat, bahkan berusaha
untuk bangkit. Namun sejenak kemudian pernafasannya
pun bagaikan telah tersumbat.
Untuk beberapa saat Ki Ajar justru terdiam. Ia masih
berusaha untuk mengerahkan sisa kemampuannya dengan
memperbaiki pernafasannya. Dipejamkannya matanya dan
dikerahkannya daya tahannya.
Untuk beberapa saat, ia terbaring diam, sementara
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu mengamatinya.
Tetapi Pangeran Singa Narpada tidak melepaskan
kewaspadaan sama sekali. Ia sadar, dengan siapa ia
berhadapan. Sejenak kemudian ternyata bahwa Ki Ajar masih sempat
memperbaiki keadaannya. Pernafasannya dapat berjalan
lebih baik dan darahnya pun mengalir dengan wajar.
Karena itu, maka iapun telah membuka matanya dan
dengan sisa tenaganya telah bangkit berdiri.
"Luar biasa," geram Pangeran Singa Narpada. Ia tidak
dapat berlaku licik dengan menyerang lawannya yang
sedang berusaha untuk memperbaiki keadaannya tanpa
mampu untuk melawannya. Baru ketika Ki Ajar berdiri tegak, Pangeran Singa
Narpada berkata, "Kau masih akan bertempur Ki Ajar."
Ki Ajar itu memandang wajah Pangeran Singa Narpada
dengan sorot mata penuh dengan dendam dan kebencian.
Dengan suara bergetar ia berkata, "Bagi kita Pangeran,
akhir dari perkelahian adalah kematian. Sebelum salah
seorang diantara kita mati, maka pertempuran ini masih
belum berakhir." "Kau tidak mau menyerah?" bertanya Pangeran Singa
Narpada. Yang terdengar adalah suara tertawa iblis dari mulut Ki
Ajar. Tetapi usahanya untuk mempengaruhi orang-orang
yang ada di sekitarnya dengan getaran suara tertawanya
tidak berlaku bagi Pangeran Singa Narpada. Meskipun rasarasanya
kulit Pangeran Singa Narpada telah terkelupas di
beberapa bagian dan perasaan nyeri mencengkamnya,
namun ia masih mampu melawan ilmu Gelap Ngampar
yang sudah menjadi semakin lemah.
Namun ternyata bahwa pelepasan ilmu itu telah
mempengaruhi keadaan tubuh Ki Ajar itu sendiri.
Tubuhnya yang benar-benar telah menjadi sangat lemah,
ternyata tidak mampu lagi menjadi alas lontaran ilmunya
yang dipaksakannya. Karena itu, maka darahnya yang
sudah mengalir wajar itupun tiba-tiba bagaikan terhenti,
sementara pernafasannya pun menjadi bagaikan tersumbat.
Tetapi rasa-rasanya Ki Ajar itu sendiri tidak mau
mengakui kenyataan tentang dirinya. Ketika ia melihat
Pangeran Singa Narpada masih berdiri tegak, maka iapun
menghentakkan ilmunya dengan segenap daya lontar yang
seharusnya diberikan. Tetapi keadaan wadag serta alas
kemampuan ilmunya telah tidak ada sama sekali, sehingga
karena itu, maka lontaran ilmunya tidak ada lagi yang
mendukungnya. Dalam keadaan yang demikian, ternyata ilmu itu sendiri
telah menghisap semua sisa tenaga dan kekuatan wadag
yang ada didalam diri Ki Ajar, sehingga tiba-tiba saja terasa
darahnya bagaikan mengering dan pernafasannya pun
terputus. Terdengar teriakan mengerikan. Satu pemberontakan
terhadap kenyataan yang terjadi atas dirinya.
Namun hentakan itu justru mempercepat penyelesaian.
Darah Ki Ajar pun telah berhenti mengalir ketika
jantungnya berhenti berdetak. Nafasnya seolah-olah telah
membeku dan sebenarnyalah Ki Ajar telah kehilangan
semua kesempatan. Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Ia
melihat Ki Ajar itu seakan-akan telah membunuh dirinya
sendiri tanpa disadarinya. Satu peristiwa yang sulit untuk
dimengerti. Karena Ki Ajar adalah seorang pertapa yang
berilmu sangat tinggi yang seharusnya mempunyai nalar
yang mapan dan pengamatan yang tajam tentang
keadaannya. Tetapi ternyata Ki Ajar benar-benar telah kehilangan
nalar budinya. Ia tidak mampu mengendalikan diri dan
telah terjerumus ke dalam jebakan perasaannya sendiri.
Kematian Ki Ajar telah menggemparkan hati para
cantrik di padepokan itu. Bagi mereka Ki Ajar adalah
puncak dari segala-galanya. Karena kematiannya bagi
mereka bagaikan kiamat rasanya. Apalagi Putut yang
terpercaya yang setiap kali Ki Ajar tidak ada di padepokan
seolah-olah telah menggantikan kedudukannya telah tidak
ada pula beberapa saat sebelumnya.
Terasa padepokan itu benar-benar bagaikan dicengkam


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh suasana yang menakutkan bagi para cantrik. Yang
masih bertempur kemudian adalah Panembahan Bajang
melawan Mahisa Bungalan. Dan Pangeran Lembu Sabdata
masih harus bertempur melawan Mahisa Pukat. Namun
dalam pada itu, Pangeran Lembu Sabdata sebenarnya
sudah tidak memiliki kemungkinan apapun juga. Hanya
karena Mahisa Pukat ingin menangkapnya hidup-hidup,
maka ia masih bertempur dengan hati-hati.
Sementara itu Pangeran Singa Narpada sendiri tubuhnya
dirasakan bagaikan remuk didalam dan kulitnya rasarasanya
terkelupas oleh udara panas. Namun ia tidak
tinggal diam. Ketika ia melihat lawannya benar-benar telah
mati, maka ia merasa berkewajiban untuk menolong dirinya
sendiri dan Mahisa Murti yang terkapar berbareng dengan
Putut padepokan itu. Dengan sisa tenaganya Pangeran Singa Narpada pun
berjalan tertatih-tatih mendekati tubuh yang terbaring diam.
Namun ketika ia berjongkok di samping Mahisa Murti,
iapun menarik nafas dalam-dalam. Mahisa Murti ternyata
masih tetap hidup. Yang terjadi padanya adalah
sebagaimana terjadi pada Pangeran Singa Narpada sendiri.
Kekuatan ilmu Putut yang memiliki ilmu sebagaimana Ki
Ajar itu sendiri telah membakar kulit daging Mahisa Murti
sehingga membuatnya beberapa saat menjadi pingsan.
Tetapi lambat laun oleh udara yang segar dan angin yang
mengalir, maka Mahisa Murti pun telah mendekati
kesadarannya kembali. Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Putut,
kepercayaan Ki Ajar itu telah terbunuh. Ia tidak dapat
bertahan ketika Mahisa Murti mempergunakan kekuatan
ilmu puncaknya yang diterimanya dari gurunya yang
adalah ayahnya sendiri. Dalam pada itu, yang dapat dilakukan oleh Pangeran
Singa Narpada adalah menunggu Mahisa Bungalan
menyelesaikan pertempuran itu. Ternyata Panembahan
Bajang adalah seorang yang luar biasa. Dengan lontaran
petirnya yang menyambar-nyambar. Namun Mahisa
Bungalan mampu berloncatan bagaikan burung sikatan.
Bahkan sekali-sekali, Mahisa Bungalan masih mampu
menyusup diantara lontaran-lontaran petir dari tangan
Panembahan Bajang dan mengenainya dengan seranganserangan
yang garang dan dilandasi dengan kekuatan ilmu
yang mendebarkan. Mahisa Bungalan memiliki dasar ilmu
ayahnya dan pamannya Mahisa Agni. Kemudian
menyelesaikan sampai pada ilmu puncaknya pada Mahisa
Agni yang memberinya kemampuan untuk melontarkan
ilmu Gundala Sasra. Sebenarnya bahwa dalam keadaan yang terdesak oleh
lontaran-lontaran petir dari tangan lawannya, maka Mahisa
Bungalan tidak mempunyai pilihan lain daripada
mempergunakan ilmu puncaknya. Ia harus berusaha untuk
mendapat kesempatan barang sekejap. Kemudian
melepaskan ilmu Gundala Sasra itu.
Karena itulah, maka Mahisa Bungalan pun telah
memperhitungkan keadaan dengan sangat cermat. Ia sadar,
bahwa ia tidak akan dapat menunggu bantuan dari
siapapun juga karena harga dirinya. Mereka sudah
menyatakan diri untuk berhadapan dan bertempur seorang
melawan seorang. Sehingga dengan demikian, maka
mereka tidak akan saling membantu, apapun yang akan
terjadi, sebagaimana para cantrik juga tidak berbuat
sesuatu. Namun sebenarnyalah bahwa para cantrik itu
memang tidak akan banyak mempengaruhi pertempuran
jika mereka terpaut terlalu banyak dengan mereka yang
terlibat ke dalam pertempuran itu.
Dalam pada itu, Pangeran Lembu Sabdata memang
terpengaruh oleh keadaan yang berkembang dalam
pertempuran itu. Ia melihat Ki Ajar yang terbanting dan
kemudian terbaring diam. Sedangkan Putut yang terpercaya
di padepokan itu, tidak mampu mengalahkan lawannya.
Bahkan keduanya telah terbaring pula di arena. Sementara
itu, Panembahan Bajang pun tidak dapat dengan segera
menghancurkan lawannya. Bahkan ternyata Panembahan Bajang itu tidak lagi dapat
ingkar dari kenyataan. Lawannya yang masih muda itu
masih belum sampai ke puncak ilmu tertingginya.
Lawannya yang masih muda itu masih akan dapat
melakukan sesuatu yang dapat mengejutkannya.
Sementara itu Panembahan Bajang pun menyadari,
bahwa ia tidak lagi mempunyai kawan yang akan dapat
saling membantu, sementara ia sadar, bahwa lawan Ki Ajar
yang sudah bebas itu sedang berusaha untuk memperbaiki
keadaannya. Jika kekuatannya sebagian menjadi pulih
kembali dan ia tidak bertahan pada harga dirinya dan
bertempur berpasangan dengan lawannya yang muda itu,
maka keadaannya akan menjadi sangat sulit.
Karena itu, ketika ia tidak lagi berpengharapan, maka
Panembahan Bajang itupun telah mengambil sikap.
Ketika Mahisa Bungalan sedang mencari kesempatan
untuk melepaskan ilmu puncaknya, maka Panembahan
Bajang pun telah menentukan langkahnya sendiri. Ia tidak
menghiraukan lagi Pangeran Lembu Sabdata yang menjadi
murid dan harapan bagi Ki Ajar untuk dapat
memperalatnya. Dengan demikian, ketika kesempatan itu terbuka, maka
dengan serta merta dan tidak terduga, maka Panembahan
Bajang itu telah meloncat justru menjauh.
Mahisa Bungalan terkejut. Ia memang berusaha
mengejar. Tetapi yang sekejap telah memberi kesempatan
kepada Panembahan kerdil itu untuk mendahului
meninggalkan padepokan itu.
Seperti belalang Panembahan itu meloncat keatas
dinding halaman, namun sejenak kemudian ia telah hilang
di pategalan diluar dinding halaman. Sementara Mahisa
Bungalan bertengger diatas dinding sambil mengamati
pategalan itu, maka Panembahan Bajang telah menyusup di
antara pepohonan. Yang nampak oleh Mahisa Bungalan
hanya daun-daun yang terguncang, sementara Panembahan
kerdil itu sendiri ternyata telah terlindung oleh dedaunan
dan gerumbul-gerumbul. Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar,
bahwa ia tidak dapat menyusul Panembahan kerdil itu.
Karena itu, maka Mahisa Bungalan tidak berusaha untuk
mengejar dan menangkapnya.
Bahkan meskipun Panembahan Bajang telah berada pada
satu titik yang jauh, masih terdengar suaranya menggelepar,
"Tunggu. Aku akan membunuhmu dari padepokanku. Kau
tidak akan dapat bersembunyi dimanapun juga. Nyawamu
ada di tanganku." Mahisa Bungalan menggeram. Ia sama sekali tidak
gentar mendengar ancaman itu. Namun ia sangat kecewa
bahwa ia telah kehilangan seorang lawannya yang mungkin
akan dapat menjadi semacam bara didalam sekam yang
pada suatu saat akan dapat membakar lingkungannya.
Tetapi hal itu sudah terjadi. Panembahan Bajang telah
terlepas. Namun tiba-tiba saja Mahisa Bungalan teringat kepada
Maut Di Udara 3 Joko Sableng Jejak Darah Masa Lalu Senjata Rahasia Cassie 3

Cari Blog Ini