Ceritasilat Novel Online

Hijaunya Lembah Hijaunya 3

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 3


Mahisa Murti yang dalam keadaan gawat, serta Mahisa
Pukat yang masih bertempur melawan Pangeran Lembu
Sabdata. Karena itu, betapapun beratnya, maka ia harus
melepaskan Panembahan Bajang dan kembali ke halaman
padepokan. Yang pertama-tama dilihatnya adalah Mahisa Murti.
Sementara itu Pangeran Singa Narpada berkata, "Ia masih
dapat bertahan. Meskipun keadaannya lemah sekali, tetapi
ia mempunyai kemampuan dengan daya tahannya."
"Aku akan mengobatinya," berkata Mahisa Bungalan.
"Hati-hatilah. Bukankah kau memerlukan air?" bertanya
Pangeran Singa Narpada, "Sementara itu Pangeran Lembu
Sabdata masih bertempur."
"Aku berharap Mahisa Pukat dapat menguasainya,"
berkata Mahisa Bungalan. "Tetapi mungkin ia juga akan berusaha melarikan diri,"
berkata Pangeran Singa Narpada.
Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun dalam pada
itu, keadaan Pangeran Singa Narpada sendiri sudah
menjadi semakin baik. Karena itu, maka katanya,
"Pangeran dapat menjaganya agar tidak melarikan diri,
sementara aku akan mengambil air."
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun
kemudian iapun mengangguk. Jawabnya, "Baiklah. Aku
akan mengawasi adimas Lembu Sabdata sekaligus adikmu
ini. Cepatlah mencari air untuk mencairkan obat yang kau
tentu membawanya." "Apakah Pangeran tidak membawa?" bertanya Mahisa
Bungalan. "Aku juga membawanya," jawab Pangeran Singa
Narpada, "Tetapi aku tidak dapat meninggalkannya selagi
kau masih bertempur. Mungkin seseorang akan berbuat
curang, sementara itu aku yakin, bahwa keadaannya tidak
membahayakan jiwanya. Keadaannya disebabkan hanya
karena sengatan udara panas yang terasa sangat nyeri
seperti yang terjadi atas kulitku."
Mahisa Bungalan pun kemudian telah meninggalkannya,
sementara Pangeran Singa Narpada telah bangkit
mendekati arena untuk mengawasi keadaan agar Pangeran
Lembu Sabdata tidak sempat melarikan diri. Namun iapun
harus mengawasi Mahisa Murti yang terbaring diam, agar
tidak diciderai oleh orang-orang padepokan itu yang putus
asa karena kematian Ki Ajar.
Sebenarnyalah para cantrik telah menjadi berputus asa.
Mereka sudah tidak mampu berpikir, apa yang sebaiknya
mereka lakukan. Yang mereka lihat kemudian adalah
Pangeran Lembu Sabdata yang masih bertempur melawan
seorang anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi.
Sedangkan menurut penglihatan para cantrik, sekali-sekali
Pangeran Lembu Sabdata ternyata telah terdesak surut.
Tetapi Pangeran Lembu Sabdata telah terjebak ke dalam
satu keadaan yang jauh dari impiannya. Ia berharap untuk
dapat mengenakan sebuah mahkota yang menjadi tempat
bersemayam wahyu keraton, sehingga dengan demikian,
maka ia akan memerintah Kediri. Bahkan kemudian Kediri
akan tegak kembali dan memaksa Singasari untuk tunduk
kepadanya dan menjadi tidak lebih dari sebuah pakuwon
lagi. Tumapel. Namun, impian itu telah larut dengan terbunuhnya Ki
Ajar Bomantara. Bahkan terbunuhnya Ki Ajar Bomantara tidak lagi
sekedar membuatnya kehilangan semua harapan. Tetapi
pengaruh kejiwaan yang mencengkamnya pun perlahanlahan
telah menjadi kabur. Kematian Ki Ajar, Putut kepercayaan Ki Ajar dan
kemudian bahwa Panembahan Bajang telah meninggalkan
arena, merupakan goncangan-goncangan yang sulit untuk
diatasinya. Sementara itu, Mahisa Pukat masih berusaha untuk
menekannya. Dan Pangeran Lembu Sabdata pun masih
bertempur melawannya. Meskipun Mahisa Pukat menjadi
heran, bahwa telah terjadi sesuatu pada lawannya itu. Cara
bertempur Pangeran Lembu Sabdata pun tidak lagi teratur
dan mencerminkan kemampuan seorang berilmu tinggi.
Tetapi gerak Pangeran Lembu Sabdata menjadi kasar dan
kadang-kadang telah kehilangan pegangan.
Untuk beberapa saat Mahisa Pukat menjadi bingung.
Justru karena itulah maka ia harus menyesuaikan diri
dengan keadaan lawannya yang terasa menjadi asing.
Mahisa Pukat semakin bingung ketika kemudian
Pangeran Lembu Sabdata itu tertawa. Semakin lama
menjadi semakin keras dan berkepanjangan. Bahkan
kemudian Pangeran Lembu Sabdata itu seakan-akan tidak
lagi menghiraukannya. Mahisa Pukat menghentikan perlawannya. Dalam
kebingungan ia melihat Pangeran Lembu Sabdata itu
menurut penglihatan telah kehilangan kesadarannya.
Dengan wajah yang tegang Mahisa Pukat memandang
Pangeran Singa Narpada yang gelisah. Pangeran Singa
Narpada pun tidak segera menangkap persoalan yang
dihadapinya. Namun sikap Pangeran Lembu Sabdata itu benar-benar
membuat jantungnya berdebar-debar.
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan telah kembali
berjongkok di samping Mahisa Murti. Sesaat perhatiannya
sepenuhnya tertuju kepada Mahisa Murti yang dalam
keadaan parah meskipun menurut pengamatan Pangeran
Singa Narpada tidak membahayakan jiwanya.
Dengan mencairkan obat yang dibawanya, maka Mahisa
Bungalan berusaha untuk meningkatkan daya tahan Mahisa
Murti, yang berhasil minum beberapa teguk, sehingga untuk
sementara keadaannya akan berangsur menjadi baik,
sebelum ia akan mendapat pengobatan yang sesungguhnya
serta kemampuannya untuk melakukan samadi serta
memperbaiki pernafasannya.
Namun ketika ia melihat Mahisa Murti menjadi
berangsur baik serta berusaha memperbaiki pernafasannya
sambil berbaring, Mahisa Bungalan mendengar suara
tertawa Pangeran Lembu Sabdata. Suara tertawa yang aneh
dan sangat menarik perhatiannya.
Mahisa Bungalan yang mulai memperhatikan sikap
Pangeran Lembu Sabdata pun menjadi heran. Sikap
Pangeran Lembu Sabdata yang terlepas dari pengaruh
kejiwaan Ki Ajar Bomantara yang terbunuh itu menjadi
sangat asing baginya. "Mahisa Murti," berkata Mahisa Bungalan, "usahakan
mengatur pernafasan sebaik-baiknya. Obat itu akan
membantu meningkatkan daya tahanmu. Aku akan melihat
keadaan Pangeran Lembu Sabdata sejenak."
Mahisa Murti menyeringai menahan pedih di tubuhnya.
Namun kemudian katanya, "Silahkan kakang."
Mahisa Bungalan kemudian meninggalkan Mahisa Murti
yang terbaring diam. Selangkah demi selangkah ia
mendekati Pangeran Singa Narpada yang termangu-mangu.
Sementara Mahisa Pukat pun menjadi bingung melihat
keadaannya. "Pangeran," desis Mahisa Bungalan, "Apa yang telah
terjadi dengan Pangeran Lembu Sabdata?"
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun
kemudian katanya, "Agaknya ia telah terlempar kembali ke
dalam keadaannya yang menyedihkan. Syarafnya telah
tercengang lagi. Dan agaknya ingatannya mulai kabur."
"Lalu, apakah sebaiknya yang kita lakukan?" bertanya
Mahisa Bungalan. "Aku akan berusaha untuk menekan salah satu pusat
syarafnya. Dalam keadaan yang demikian ia tidak akan
dapat melawan. Aku mengharap ia akan kehilangan
kesadarannya dan tertidur beberapa lama," jawab Pangeran
Singa Narpada. Mahisa Bungalan tidak menjawab. Sementara itu
Pangeran Singa Narpada pun telah melangkah
mendekatinya sambil berkata kepada Mahisa Pukat,
"Lepaskan. Biarlah aku yang menghadapinya."
Mahisa Pukat pun kemudian melangkah menjauh,
sementara Pangeran Singa Narpada dengan hati-hati
mendekatinya. Pangeran Lembu Sabdata memandanginya dengan
tegang. Namun kembali terdengar suara tertawanya. Tidak
terlalu keras. Bahkan justru seperti seekor kuda yang
meringkik. Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Namun ia tidak ingin membiarkan keadaan Pangeran
Lembu Sabdata itu berkepanjangan. Karena itu, maka
Pangeran Singa Narpada itupun dengan tiba-tiba telah
meloncat sambil menangkap tengkuk Pangeran Lembu
Sabdata. Dalam keadaannya Pangeran Lembu Sabdata sama
sekali tidak mengelak. Ketika tangan Pangeran Singa
Narpada menekan salah satu pusat syarafnya, maka tibatiba
saja terasa matanya menjadi kabur. Bahkan akhirnya
Pangeran Lembu Sabdata itupun bagaikan telah tertidur di
tangan Pangeran Singa Narpada.
Sejenak kemudian, maka halaman padepokan itu telah
menjadi sepi. Para cantrik benar-benar tidak tahu lagi, apa
yang akan terjadi atas diri mereka. Sementara itu, mereka
melihat tiga orang yang berdiri dengan tegang di hadapan
mereka. Namun dua orang diantara mereka, telah mendekati
seorang yang terbaring diam karena keadaan tubuhnya yang
lemah setelah mengerahkan tenaga melawan Putut yang
terpercaya di padepokan Ki Ajar itu, serta telah terkena
ilmunya yang membakar udara sekelilingnya.
Mahisa Bungalan dan Mahisa Pukat telah berusaha
untuk mengangkat Mahisa Murti dan menempatkannya di
tempat yang lebih baik di serambi sebuah pondok yang ada
di padepokan itu. "Bagaimana keadaanmu?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Aku sudah merasa semakin baik," jawab Mahisa
Murti, "Meskipun aku masih merasa sangat lemah."
"Obat itu akan dapat membantumu," berkata Mahisa
Bungalan. Mahisa Murti mengangguk. Sementara itu Mahisa Pukat
berdesis, "Ternyata kemampuan orang itu melampaui
kemampuan Pangeran Lembu Sabdata. Sebenarnya aku
akan dapat lebih cepat mengalahkannya. Tetapi aku masih
berusaha untuk dapat membiarkannya hidup."
"Ya," jawab Mahisa Bungalan, "Pangeran Lembu
Sabdata nampaknya diselimuti oleh pengaruh kejiwaan Ki
Ajar. Setelah Ki Ajar terbunuh, goncangan-goncangan
jiwanya tidak dapat ditahankannya lagi. Apalagi ketika
Panembahan Bajang pun meninggalkannya sendiri."
"Bagaimana keadaannya sekarang?" bertanya Mahisa
Murti. "Ia tertidur karena sentuhan tangan Pangeran Singa
Narpada," jawab Mahisa Bungalan, "Tetapi jika nanti ia
sadar kembali, maka ingatannya tidak akan lengkap."
"Dan bagaimana keadaan lawanku itu?" bertanya
Mahisa Murti pula. "Ia sudah benar-benar mati," jawab Mahisa Bungalan,
"Kau telah membunuhnya, meskipun keadaanmu sendiri
cukup parah. Tetapi justru di bagian luar tubuhnya,
sehingga keadaanmu tidak berbahaya bagi keselamatanmu,
meskipun nampaknya sangat parah."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
sebenarnyalah ia merasa tubuhnya semakin segar. Ia sudah
berhasil memulihkan pernafasannya dan aliran darahnya
pun sudah menjadi wajar kembali.
Dalam pada itu, maka Mahisa Bungalan pun kemudian
berkata kepada Mahisa Pukat, "Kawani Mahisa Murti. Aku
masih mempunyai pekerjaan bersama Pangeran Singa
Narpada. Aku akan meletakkan Pangeran Lembu Sabdata
yang tertidur itu di sini pula."
Mahisa Pukat mengangguk. Katanya, "Baiklah kakang.
Agaknya kakang masih akan berusaha untuk menemukan
sesuatu di padepokan ini."
Dalam pada itu, maka Mahisa Bungalan pun kemudian
berkata kepada Mahisa Pukat, "Kawani Mahisa Murti. Aku
masih mempunyai pekerjaan bersama Pangeran Singa
Narpada." Mahisa Bungalan mengangguk kecil. Jawabnya, "Ya.
Mudah-mudahan. Jika kita berhasil, maka kita telah
menyelesaikan tugas ini dengan tuntas."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Desisnya,
"Silahkan kakang. Biarlah aku menjaga Mahisa Murti dan
Pangeran Lembu Sabdata yang tertidur itu. Mudahmudahan
para cantrik yang kebingungan itu tidak menjadi
gila untuk merebut Pangeran Lembu Sabdata."
Mahisa Bungalan pun kemudian meninggalkan Mahisa
Pukat yang duduk di bibir amben di serambi, sementara
Mahisa Murti masih berbaring karena tubuhnya yang
lemah. Sejenak kemudian, Mahisa Bungalan telah membawa
tubuh Pangeran Lembu Sabdata yang tertidur dan
meletakkannya di sebelah Mahisa Murti.
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa
Narpada masih mempunyai satu tugas yang tidak kalah
pentingnya. Mereka harus menemukan mahkota yang telah
hilang dari gedung perbendaharaan.
Berdua Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan
telah memasuki halaman padepokan itu lebih dalam lagi.
Mereka memang telah melihat dengan ketajaman
penglihatan batin mereka, bahwa mahkota yang dianggap
dapat menjadi tempat bersemayam wahyu keraton itu
berada di padepokan itu. Tetapi keduanya harus mencari, di barak yang manakah
mahkota itu disimpan. Keduanya yakin, bahwa mereka
tidak akan dapat menanyakan kepada para cantrik. Mereka
menganggap bahwa para cantrik tidak akan dapat


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberikan petunjuk juga tentang mahkota itu, karena Ki
Ajar tentu merahasiakannya. Mungkin Pangeran Lembu
Sabdata mengetahuinya, tetapi pada saatnya ia sadar, ia
tidak akan dapat berbicara tentang mahkota itu dengan
wajar, karena goncangan-goncangan jiwani yang tidak
teratasi. Sementara itu, keduanya masih harus bersikap hati-hati.
Meskipun para cantrik nampaknya kebingungan dan tidak
berbuat apa-apa, namun mungkin sekali mereka akan
melakukan sesuatu diluar dugaan.
Dengan memperhatikan keadaan di padepokan itu,
Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan telah
memasuki barak demi barak yang dianggapnya mungkin
sekali untuk menyimpan benda-benda berharga. Namun
mereka tidak segera dapat menemukan yang mereka cari.
"Apakah kita akan menunggu Pangeran Lembu
Sabdata?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Tidak ada gunanya. Ia tidak akan dapat memberikan
keterangan apapun juga," jawab Pangeran Singa Narpada.
"Jadi kita harus mencarinya" Mengulangi memasuki
barak demi barak sekali lagi?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Apa boleh buat," jawab Pangeran Singa Narpada.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun
bersama Pangeran Singa Narpada ia memasuki sekali lagi
barak demi barak. Mereka harus memperhatikan setiap sudut dengan
seksama. Memperhatikan setiap benda yang ada didalam
setiap bilik. Mungkin benda yang sangat berharga itu telah
dikaburkan dengan benda-benda lain yang ada di
padepokan itu. Satu-satu mereka memasuki bilik yang ada di barakbarak
di padepokan itu. Memeriksa dengan seksama,
bahkan kadang-kadang mereka harus membongkar geledeggeledeg
bambu dan peti-peti yang tertutup rapat.
Tetapi mereka tidak menemukannya.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Seakan-akan ingin mengendapkan perasaannya yang
bergejolak. "Baiklah kita beristirahat Pangeran," berkata Mahisa
Bungalan yang melihat wajah Pangeran Singa Narpada
penuh ketegangan. Pangeran Singa Narpada mengangguk. Katanya, "Jika
perlu, kita harus melihat sekali lagi dengan penglihatan
batin kita. Mungkin dengan demikian kita akan mendapat
petunjuk letak benda keramat itu."
"Ya," jawab Mahisa Bungalan, "Aku sependapat.
Tetapi kita harus beristirahat dahulu. Kita akan berbicara
dengan para cantrik untuk membuka hati mereka yang
seakan-akan telah membeku."
"Baiklah," Pangeran Singa Narpada mengangguk.
Sejenak kemudian keduanya telah kembali ke serambi
tempat Mahisa Pukat menunggui Mahisa Murti dan
Pangeran Lembu Sabdata yang masih tertidur. Namun
sementara itu, Mahisa Murti telah bangkit duduk di bibir
pembaringan bersama Mahisa Pukat.
"Bagaimana keadaanmu?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Keadaanku menjadi berangsur baik, kakang," jawab
Mahisa Murti, "Mudah-mudahan tidak terlalu lama lagi
akan segera pulih kembali."
"Kita tidak tergesa-gesa," berkata Mahisa Bungalan
kemudian, "Kita masih belum menemukan yang kita cari."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Dengan
demikian aku mendapat kesempatan untuk beristirahat."
"Ya, beristirahatlah. Kami akan berbicara dengan para
cantrik yang tidak tahu apa yang harus diperbuat," berkata
mahisa Bungalan kemudian.
"Pangeran Singa Narpada yang gelisah, nampaknya
tidak berminat sama sekali untuk berbicara dengan para
cantrik. Karena itu maka dibiarkannya saja Mahisa
Bungalan pergi sendiri menemui para cantrik yang
berkumpul di sudut halaman tanpa mengetahui apa yang
harus dilakukan." Ketika Mahisa Bungalan mendekati mereka, maka rasarasanya
darah mereka jadi membeku. Mereka menjadi
ketakutan jika Mahisa Bungalan, yang telah mampu
mengalahkan Panembahan Bajang, itu akan berbuat sesuatu
atas mereka. Tetapi Mahisa Bungalan tidak berbuat apa-apa. Ia hanya
ingin berbicara serba sedikit dengan para cantrik itu.
Mula-mula cantrik-cantrik itu menjadi ragu-ragu untuk
menanggapi sikap Mahisa Bungalan. Namun Mahisa
Bungalan bagi mereka nampaknya sama sekali tidak
menakutkan. Bahkan dengan nada ramah ia bertanya,
"Apakah kalian para cantrik dari padepokan ini?"
Para cantrik itu masih ragu-ragu. Namun Mahisa
Bungalan mempertegas pertanyaannya, sehingga kemudian
salah seorang diantaranya para cantrik itu memberanikan
diri untuk menjawab, "Ya Ki Sanak. Kami adalah para
cantrik dari padepokan ini."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi ia
bertanya sekali lagi, "Apakah kalian sudah melihat apa
yang terjadi?" "Ya Ki Sanak," jawab cantrik itu lagi.
Mahisa Bungalan masih mengangguk-angguk. Lalu
katanya, "Sekarang pemimpin padepokan ini dan seorang
pembantunya telah terbunuh. Sementara itu Pangeran
Lembu Sabdata menjadi tawanan kami."
Para cantrik itu hanya dapat saling berpandangan.
Mereka memang tidak dapat berbuat apa-apa. Sementara
itu Mahisa Bungalan berkata seterusnya, "Nah, siapakah
diantara kalian yang tidak mau menerima keadaan seperti
ini" Siapakah diantara kalian yang merasa wajib untuk
berbuat sesuatu bagi padepokan?"
Tidak seorang pun yang menjawab. Karena itu, maka
Mahisa Bungalan berkata. "Para cantrik. Ketahuilah,
bahwa yang kami lakukan adalah atas nama kekuasaan
negara Kediri. Ki Ajar Bomantara telah melakukan
kesalahan yang sangat besar terhadap Kediri, sehingga ia
harus ditangkap. Tetapi sayang, bahwa ia sama sekali
menolak untuk ditangkap, sehingga akhirnya kami berusaha
untuk memaksanya. Tetapi kami gagal dan Ki Ajar itu
terbunuh." Para cantrik hanya dapat menundukkan kepalanya saja.
"Ki Ajar telah dibunuh oleh Pangeran Singa Narpada
karena ia menentang perintah penangkapan atas dirinya
dan bahkan ia telah melawan," berkata Mahisa Bungalan
selanjutnya. Jantung para cantrik menjadi semakin berdebaran.
"Nah," berkata Mahisa Bungalan seterusnya,
"Sekarang, apa yang akan kalian lakukan?"
Para cantrik itu saling berpandangan. Seorang diantara
mereka memberanikan diri untuk menjawab, "Kami tidak
mengerti, apa yang baik kami lakukan dalam keadaan
seperti ini." Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Lalu
katanya, "Kami tidak akan menganggap kalian ikut
bersalah sebagaimana pemimpin padepokan kalian. Karena
itu, kalian akan tetap dapat melakukan pekerjaan kalian,
memelihara padepokan ini apabila kalian masih ingin
melakukannya. Atau jika kalian ingin kembali ke rumah
kalian masing-masing, maka kalian bebas melakukannya.
Karena kalian bukan tawanan kami."
Para cantrik itu tidak segera menjawab. Mereka benarbenar
tidak tahu lagi, apa yang sebaiknya mereka lakukan.
Mahisa Bungalan lah yang kemudian justru memberikan
pendapatnya, "Para cantrik. Jika kalian memang mencintai
padepokan ini, maka kalian dapat tinggal disini,
meneruskan pekerjaan kalian sehari-hari. Tanah pertanian
kalian akan tetap menghasilkan, dan padepokan ini akan
tetap terpelihara. Tetapi padepokan ini tidak lagi dihuni
oleh seorang pertapa yang memiliki kelebihan dari orang
lain karena Ki Ajar telah terbunuh. Namun demikian,
mungkin salah seorang yang tertua diantara kalian akan
dapat menjadi pemimpin disini bukan untuk
mengembangkan kanuragan, tetapi untuk mengembangkan
tanah pertanian yang sampai saat ini terpelihara dengan
baik." Para cantrik tidak menjawab. Tetapi beberapa orang
diantara mereka mengangguk-angguk.
"Nah, para cantrik," berkata Mahisa Bungalan
selanjutnya, "Sekarang kalian mempunyai tugas untuk
menyelenggarakan sebaik-baiknya mayat pemimpin kalian
yang dengan terpaksa sekali terbunuh di pertempuran ini."
Para cantrik itu masih saja termangu-mangu, sehingga
Mahisa Bungalan pun berkata lebih tegas, "Nah, bangunlah
dari mimpimu yang buruk itu. Lakukan. Mayat itu sudah
terlalu lama membeku di tempatnya."
Para cantrik itu seakan-akan memang terbangun dari
sebuah angan-angan yang sangat buruk. Merekapun
kemudian melangkah dengan hati yang kosong ke tempat
pemimpin mereka terbaring diam.
Sementara itu, Pangeran Lembu Sabdata masih saja
tertidur. Sedangkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat duduk
termenung di bibir amben di serambi.
Mahisa Bungalan pun kemudian mendekati Pangeran
Singa Narpada yang gelisah sambil berkata, "Mereka sudah
melakukannya." Pangeran Singa Narpada mengangguk. Katanya, "Tetapi
aku tidak dapat melepaskan sekejap pun kegelisahan
tentang benda yang masih belum kita ketemukan itu."
"Tetapi kita tidak harus memaksa diri," jawab Mahisa
Bungalan. Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Namun mereka pun sempat melihat keadaan Pangeran
Lembu Sabdata. "Ia masih akan tertidur untuk waktu yang cukup lama,"
berkata Pangeran Singa Narpada.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia merasa
bertanggung jawab atas Pangeran yang dengan susah payah
dicari di seluruh Kediri itu.
Beberapa saat, Pangeran Singa Narpada duduk pula di
amben itu, sementara Mahisa Bungalan berjalan hilir mudik
di halaman samping sambil mengamati kerja para cantrik
yang menjadi sibuk. Namun Pangeran Singa Narpada tidak dapat
menyingkirkan kegelisahannya barang sekejap. Karena itu,
bagaimanapun juga, Pangeran Singa Narpada berniat untuk
mencari benda keramat itu sampai ketemu, baru mereka
akan memikirkan yang lain-lain.
"Baiklah Pangeran," berkata Mahisa Bungalan, "Kita
akan mencari benda itu dengan cara yang lain. Kita tidak
hanya akan sekedar memasuki bilik demi bilik di setiap
barak, tetapi kita akan memperhatikan suasana didalam
bilik-bilik itu. Kita akan mempergunakan penglihatan batin
kita untuk mencari pusaka yang hilang itu. Tetapi seperti
Pangeran, aku pun yakin bahwa pusaka itu ada didalam
padepokan ini." Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya,
"Baiklah. Kita akan mencarinya tidak sekedar dengan
penglihatan mata wadag kita."
Demikianlah, keduanya telah mengulangi sekali lagi
mencari pusaka yang dianggap mampu menjadi wadah
wahyu keraton Kediri itu.
Mahisa Pukat lah yang mendapat tugas untuk
mengamati keadaan di halaman padepokan, serta
mengamati Pangeran Lembu Sabdata yang masih tertidur.
"Jika sewaktu-waktu ia terbangun, maka segalanya
terserah kepadamu," berkata Mahisa Bungalan, "Tetapi
satu hal yang harus kau perhatikan, bahwa Pangeran
Lembu Sabdata tidak lagi menguasai kesadaran dan
ingatannya sepenuhnya."
Sementara itu, maka Mahisa Bungalan dan Pangeran
Singa Narpada telah mengerahkan kemampuan mereka
untuk mengamati keadaan satu tempat dengan
mempergunakan penglihatan batin. Mereka memang
mendapat kesulitan untuk melakukannya. Tetapi karena
mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi, maka
betapapun sulitnya, namun mereka pun akhirnya berhasil
melakukannya. Sekali lagi mereka memasuki bilik demi bilik. Tetapi
mereka tidak sekedar mengamati benda-benda yang ada
didalam bilik itu. Tidak sekedar membuka peti-peti kayu
atau geledeg-geledeg bambu.
Namun mereka memang tidak segera menemukannya.
Tetapi ternyata bahwa kemampuan mereka menangkap
dari mahkota yang mereka cari dengan pengamatan batin
mereka, maka akhirnya keduanya merasakan, bahwa
mereka telah berada tidak terlalu jauh dari benda yang
mereka cari. "Jantungku berdebar-debar," berkata Mahisa Bungalan,
"Agaknya ini merupakan satu pertanda."
"Ya," jawab Pangeran Singa Narpada, "Aku pun
merasakan sesuatu yang asing. Tetapi agaknya getaran yang
asing itu adalah satu bukti bahwa pusaka yang keramat itu
berada disini." "Didalam bilik ini," berkata Mahisa Bungalan.
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun
kemudian desisnya, "Ya. Didalam bilik ini atau di bilik
sebelah." Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun mereka
terlalu yakin akan sentuhan halus dari pengamatan jiwani
Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa Narpada dengan
getar benda pusaka yang mereka cari itu.
Dengan demikian maka keduanya telah memeriksa isi
bilik itu dengan teliti. Tidak ada sudut yang terlampaui.
Amben yang ada didalam bilik itupun telah diangkat dan
diletakkan miring. Geledeg bambu didalam bilik itupun
telah digeser. Namun mereka tidak menemukan yang
mereka cari. "Kita lihat bilik sebelah," berkata Pangeran Singa


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Narpada. Keduanya pun kemudian telah pergi ke bilik sebelah.
Tetapi seperti di bilik yang terdahulu, mereka tidak
menemukan apapun juga. Dalam pada itu Mahisa Bungalan berkata, "Ada sesuatu
yang aneh. Benda itu tentu ada disini."
Pangeran Singa Narpada pun menjadi jengkel. Namun
mereka tidak berhenti mencari. Mereka memasuki bilik
demi bilik yang menurut pendapat mereka menjadi tempat
penyimpanan benda keramat itu. Namun benda itu tidak
mereka ketemukan. Ketika gejolak perasaan memuncak, maka Mahisa
Bungalan berusaha mempertajam penglihatan batinnya.
Getaran yang menyentuh tali perasaannya yang paling
halus, terasa semakin tajam. Dan yakinlah Mahisa
Bungalan, bahwa ia berada dekat dengan benda yang
dicarinya. Dalam pada itu, ketika sekali lagi ia mengamati bilik itu,
terasa sesuatu menarik perhatiannya. Tiba-tiba saja ia
berkata kepada Pangeran Singa Narpada, "Tunggu disini
sebentar Pangeran." "Ada apa?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi dengan
tergesa-gesa ia telah pergi ke bilik sebelah.
Tetapi tidak lama kemudian iapun telah kembali.
Kemudian katanya, "Dinding ini telah menarik
perhatiannya. Ketika aku melihat sisi sebelah, aku semakin
yakin, bahwa dinding ini bukan dinding kebanyakan. Tetapi
didalam dinding ini terdapat rongga."
"Maksudmu dinding ini rangkap?" bertanya Pangeran
Singa Narpada. "Ya. Dan ada ruang diantara kedua helai dinding yang
rangkap itu," jawab Mahisa Bungalan.
Pangeran Singa Narpada tidak menunggu lebih lama
lagi. Iapun kemudian telah mendekati dinding kayu dari
bilik itu. Merabanya, namun kemudian siap untuk
memecahkannya. "Tunggu Pangeran," desis Mahisa Bungalan, "Jangan
dengan cara itu. Jika ada sesuatu yang berharga dibalik
dinding itu, mungkin akan menjadi rusak karenanya jika
kayu yang pecah itu akan runtuh ke dalam rongga itu."
Pangeran Singa Narpada mengurungkan niatnya.
Namun iapun kemudian telah mengambil cara lain. Ia tidak
memukul dinding kayu itu sehingga pecah. Tetapi Pangeran
Singa Narpada telah mengerahkan kekuatannya untuk
melepaskan kepingan papan dari dinding itu dengan hatihati.
Terdengar papan itu berderak. Sehelai papan telah patah.
Ketika kemudian Pangeran Singa Narpada melepaskan
papan kedua, maka kedua orang itu terkejut bukan
kepalang. Ternyata diantara dua helai dinding yang
berongga itu terdapat sebuah benda yang bercahaya
bagaikan matahari. Pangeran Singa Narpada justru bagaikan membeku.
Dipandanginya benda itu tanpa berkedip untuk beberapa
saat. Namun kemudian, Pangeran Singa Narpada itupun
telah jatuh pada lututnya.
Mahisa Bungalan pun kemudian berlutut pula ketika
Pangeran Singa Narpada telah menyembah benda itu.
Benda yang ternyata adalah Mahkota Kediri yang hilang,
yang menurut kepercayaan beberapa orang di Kediri,
Mahkota itu akan dapat menjadi tempat bersemayam
wahyu keraton. Betapa gejolak perasaan Pangeran Singa Narpada
melihat benda yang harus diketemukannya itu. Rasarasanya
dadanya justru menjadi sesak oleh kebanggaan
yang meledak karena tugas yang dibebankan kepadanya
ternyata telah berhasil. Dengan sangat berhati-hati, Pangeran Singa Narpada
telah melangkah memasuki rongga itu. Ketika ia
mengamati tempat itu dengan saksama, maka ternyata
bahwa ada beberapa helai papan yang memang lepas dan
yang merupakan pintu untuk masuk keluar ruang sempit
itu. "Bukan main," desis Pangeran Singa Narpada, "Ki Ajar
mempunyai cara sangat cermat untuk menyembunyikan
mahkota ini." "Ya." Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.
"Meskipun tempat ini tersembunyi, namun tempat ini
terlalu bersih. Agaknya setiap hari tempat ini telah
dibersihkan dengan cermat."
Pangeran Singa Narpada mengangguk. Katanya, "Tugas
kita telah selesai."
Tetapi Mahisa Bungalan menggeleng. Jawabnya,
"Belum Pangeran. Tugas ini baru selesai, jika Mahkota itu
dan Pangeran Lembu Sabdata telah berada di Kediri.
Bukankah masih banyak kemungkinan yang dapat terjadi di
perjalanan kembali ke Kediri. Mungkin Panembahan
Bajang akan menghubungi mPu Lengkon yang dapat saja
berubah pikiran. Atau mungkin langkah-langkah lain yang
dapat diambil. Atau bahaya yang lain lagi, yang tidak kita
perhitungkan sebelumnya."
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "Kau benar Mahisa Bungalan. Aku tergesa-gesa
menjadi gembira. Sudah terlalu lama jantungku merasa
tertekan karena hilangnya benda itu dan hilangnya pula
Pangeran Lembu Sabdata. Ketika aku mendapatkan
keduanya disini, seolah-olah aku merasa, bahwa tugas yang
sangat menekan perasaan itu sudah selesai." Pangeran
Singa Narpada berhenti sejenak, lalu, "Tetapi ternyata kau
telah memperingatkan aku, agar aku tetap bersiaga
menghadapi segala kemungkinan."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Mereka
seharusnya berusaha secepatnya mengamankan benda yang
sangat berharga itu. Namun mereka terbentur pada
kenyataan tentang Mahisa Murti yang keadaannya cukup
parah meskipun tidak berbahaya.
Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun kemudian
berkata, "Pangeran. Bagaimana menurut Pangeran, apakah
kita akan segera meninggalkan padepokan ini?"
"Sebenarnya hal itu akan lebih baik," jawab Pangeran
Singa Narpada, "Tetapi bagaimana dengan adikmu?"
"Itulah yang menjadi pikiranku," jawab Mahisa
Bungalan. "Biarlah kita menunggu sampai keadaannya berangsur
baik," berkata Pangeran Singa Narpada.
"Bukankah itu akan sangat berbahaya?" bertanya
Mahisa Bungalan. "Tetapi kita tentu tidak akan dapat meninggalkan
adikmu itu," jawab Pangeran Singa Narpada.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun
kemudian katanya, "Aku akan menanyakannya kepada
anak itu. Apakah ia sudah mampu berjalan."
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Lalu,
"Tetapi jangan kau paksa ia berjalan jika keadaannya
memang belum mengijinkan."
Mahisa Bungalan pun kemudian meninggalkan bilik itu
untuk melihat keadaan Mahisa Murti. Namun ternyata
bahwa dalam waktu pendek, anak muda itu masih belum
akan dapat meninggalkan padepokan itu.
Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun kemudian
berkata kepada diri sendiri. "Apa boleh buat. Kami masih
harus tinggal setidak-tidaknya semalam lagi. Besok Mahisa
Murti baru mungkin dapat berjalan meninggalkan tempat
ini. Jika malam nanti ternyata sesuatu akan terjadi atas
kami maka itu merupakan akibat yang harus diterimanya."
Hari itu juga para cantrik dari padepokan itu telah
menyelenggarakan penguburan mayat para pemimpin
mereka, sementara di padepokan itu ada beberapa orang
yang justru telah membunuh pemimpin mereka itu, tinggal.
Tetapi para cantrik itu tidak dapat berbuat sesuatu selalu
menerima keadaan itu. Namun sudah tidak ada niat sama sekali para cantrik itu
untuk berbuat sesuatu. Orang-orang yang berada di
padepokan mereka adalah orang-orang yang pilih tanding.
Bahkan para cantrik itu tidak tahu, bahwa orang-orang yang
berada di padepokan mereka itu telah membongkar dinding
salah sebuah bilik dan menemukan yang mereka cari di
rongga antara kedua helai dinding itu.
Dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada, Mahisa
Bungalan dan kedua adiknya memutuskan untuk tinggal
semalam lagi di padepokan itu. Mereka sama sekali tidak
mengatakan sesuatu tentang rencana mereka kepada para
cantrik, sehingga para cantrik tidak tahu apa yang akan
mereka lakukan. Yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan kepada para
cantrik itu adalah, "Lakukan apa yang harus kalian
lakukan. Jika kalian harus menanak nasi, maka lakukanlah,
agar kalian tidak menjadi kelaparan. Jangan hiraukan kami.
Kami akan mengurus diri kami sendiri dan Pangeran
Lembu Sabdata." Para cantrik itu tidak menjawab. Tetapi mereka mencoba
untuk dapat melakukan pekerjaan mereka sehari-hari
meskipun dengan penuh kebimbangan dan keragu-raguan.
Ketika malam tiba, maka menjadi tugas Mahisa
Bungalan dan Mahisa Murti untuk bergantian mengamati
keadaan, sementara Mahisa Murti diminta untuk tidak
memikirkan apapun juga dan berusaha untuk beristirahat
sebaik-baiknya agar besok mereka benar-benar dapat
meninggalkan tempat itu. Sementara itu Pangeran Singa
Narpada bertanggung jawab atas benda pusaka yang telah
mereka ketemukan kembali, sehingga karena itu, maka
Pangeran Singa Narpada telah berada bersama benda yang
bernilai tidak terkirakan itu di rongga diantara kedua helai
dinding bilik itu bersama Pangeran Lembu Sabdata yang
dibuatnya tetap tertidur nyenyak.
Mahisa Bungalan dan Mahisa Pukat hampir tidak dapat
memejamkan mata sepanjang malam, karena mereka
merasa bertanggung jawab terhadap keadaan. Namun
ternyata bahwa malam itu tidak ada sesuatu yang terjadi.
Ketika fajar menyingsing, maka Mahisa Murti pun telah
terbangun. Keadaan tubuhnya telah menjadi jauh lebih
baik. Dibantu oleh obat yang diminumnya, sehingga ketika
Mahisa Bungalan melihatnya, sambil tersenyum Mahisa
Murti berkata, "Aku sudah menjadi baik."
"Justru setiap saat keadaanku akan bertambah baik,"
berkata Mahisa Murti. "Apakah kau sudah dapat berjalan jauh?" bertanya
Mahisa Bungalan. "Tentu," jawab Mahisa Murti, "Sudah tidak terasa apaapa
lagi. Memang mungkin masih ada perasaan nyeri yang
kadang-kadang menyerang tulang-tulangku. Tetapi hanya
kadang-kadang dan mudah sekali untuk mengatasinya."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya,
"Syukurlah. Kita harus mengambil langkah-langkah yang
cepat, karena benda itu adalah benda yang sangat
berharga." "Aku akan dapat berjalan sampai berapa hari sekalipun.
Justru setiap saat akan bertambah baik," berkata Mahisa
Murti. Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Iapun kemudian
berbicara dengan Pangeran Singa Narpada, bahwa mereka
sudah dapat melakukan perjalanan kembali ke Kediri.
Namun Pangeran Singa Narpada justru berkata, "Kita
harus sangat berhati-hati."
"Ya," jawab Mahisa Bungalan, "Aku menyadari. Tetapi
untuk berada terlalu lama disini, keadaannya akan sangat
berbahaya pula." Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk.
Namun agaknya Pangeran Singa Narpada terbentur pada
perhitungan bahwa menempuh perjalanan di siang hari
akan mengundang persoalan pula karena mereka membawa
mahkota yang sangat berharga, meskipun mahkota itu akan
dibungkus sekalipun. Karena itu maka Singa Narpada itupun kemudian
berkata, "Manakah yang lebih baik bagi kita. Apakah kita
akan tinggal disini hari ini dan berangkat menjelang senja,
atau kita akan berada di perjalanan siang ini?"
Mahisa Bungalan termangu-mangu. Ia tidak segera dapat
menjawab pertanyaan itu. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
saling berpandangan. Merekapun tidak mengerti, manakah
yang lebih baik dilakukan.
Namun akhirnya Mahisa Bungalan pun berkata, "Kita
akan meninggalkan padepokan ini, tetapi kita tidak
melakukan perjalanan. Kita akan berhenti di hutan
perburuan yang tidak terlalu jauh dari tempat ini."
Pangeran Singa Narpada termenung sejenak. Namun
kemudian katanya, "Aku sependapat. Kita akan berada di
hutan itu. Baru menjelang senja kita berjalan. Esok pagi,
jika matahari terbit, kita mencari tempat untuk
bersembunyi." "Kita berjalan di malam hari," berkata Mahisa
Bungalan, "Bukankah begitu maksud Pangeran?"
"Ya. Bukankah untuk sementara cara itulah yang kita
anggap paling aman. Sementara itu, kita masih harus
membawa Pangeran Lembu Sabdata yang pada saat-saat
tertentu akan dapat membuat kesulitan."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya,
"Baiklah. Kita akan mencoba melakukannya. Tetapi
sampai saat ini Pangeran Lembu Sabdata masih belum
bangun." "Aku akan membangunkannya. Biarlah ia makan dan
minum. Baru kita akan berangkat," berkata pangeran Singa
Narpada. Sebenarnyalah kemudian Pangeran Singa Narpada telah
menyentuh tengkuk Pangeran Lembu Sabdata yang
perlahan-lahan terbangun dari tidurnya. Namun demikian
ia membuka matanya dan bangkit untuk duduk, rasarasanya
ia sama sekali tidak melihat orang-orang yang ada
di sekitarnya. Ia sama sekali tidak menghiraukan siapapun


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga. Dengan pandangan kosong ia menatap celah-celah
pintu yang terbuka. Tetapi seakan-akan tidak nampak
apapun di hadapannya. "Berilah ia makan," berkata Pangeran Singa Narpada
kepada Mahisa Pukat. Mahisa Pukat pun kemudian mengambil nasi di
belakang. Seorang cantrik dengan tergesa-gesa telah
menyediakannya meskipun lauknya tidak lebih dari ikan air
yang ditangkap di belumbang.
Dengan pandangan yang tidak mengandung makna
apapun, Pangeran Lembu Sabdata memperhatikan orangorang
di sekitarnya. Namun kemudian nalurinya telah
mendorongnya untuk menyuapi mulutnya karena perutnya
terasa lapar. Setelah Pangeran Lembu Sabdata makan dan demikian
pula yang lain-lain, maka mereka pun telah minta diri
kepada para cantrik untuk meninggalkan padepokan itu.
Para cantrik itu melihat, bahwa keempat orang itu telah
membawa Pangeran Lembu Sabdata dan sesuatu yang
dimaksudkan ke dalam sebuah selongsong sehingga tidak
terlihat oleh mereka. Tetapi tidak seorang pun diantara para cantrik yang
berani menanyakannya. Mereka menganggap bahwa
keempat orang itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi,
sehingga pemimpin padepokan itu, yang mereka anggap
orang yang tidak terkalahkan, ternyata telah terbunuh oleh
seorang diantara mereka. Pangeran Lembu Sabdata pun
tidak mampu melawan kehendak mereka, dan saudara
mereka yang tertua, Putut yang terpercaya itupun telah
terbunuh pula. Karena itu, maka para cantrik itu hanya dapat
memandangi saja keempat orang yang meninggalkan
padepokan itu bersama Pangeran Lembu Sabdata yang
seakan-akan sudah tidak lagi memiliki kehendak. Ia tidak
lebih dari sesosok tubuh yang terdiri dari tulang dan
dagingnya. Namun yang sama sekali tidak, lagi memiliki
kesadaran tentang adanya.
Demikianlah maka keempat orang itupun kemudian
telah meninggalkan padepokan itu sambil membawa
Pangeran Lembu Sabdata. Mereka berjalan menyusuri jalan
sempit di tengah-tengah tegalan. Namun yang kemudian
telah meninggalkan jalan itu setelah mereka terlepas dari
tatapan mata para cantrik.
Seperti yang mereka rencanakan maka mereka telah
mengambil jalan setapak menuju ke hutan perburuan.
Mereka akan berada di hutan itu sampai senja turun. Baru
mereka akan melanjutkan perjalanan.
Demikian berhati-hatinya Pangeran Singa Narpada,
karena ia telah membawa dua macam benda yang sangat
berharga. Satu diantaranya adalah sesosok tubuh yang
seakan-akan telah kehilangan jiwa, dan satu lagu sebuah
pusaka yang sangat dikeramatkan di Kediri.
Melewati jalan sempit mereka menuju ke hutan
perburuan untuk tinggal di hari itu. Mereka harus berusaha
beristirahat sebaik-baiknya karena malam nanti mereka
akan menempuh perjalanan.
Karena Pangeran Lembu Sabdata tidak mengerti
keterangan tentang kepentingan mereka di hutan itu, maka
Pangeran Singa Narpada telah memaksanya untuk tidur
dengan menyentuh tengkuknya sebagaimana telah
dilakukannya di padepokan.
"Aku tidak dapat tidur meskipun malam nanti harus
berjalan semalam suntuk," berkata Mahisa Pukat.
"Kau harus menjaga tubuhmu. Mungkin kau memang
sudah terlatih untuk melakukan kerja yang keras. Tetapi
selagi ada kesempatan jangan kau hamburkan tenagamu
tanpa arti." Mahisa Pukat tidak membantah. Ia mengerti maksud
kakaknya. Namun rasa-rasanya memang menjemukan
sekali untuk menunggu tanpa berbuat apa-apa. Apalagi
untuk tidur dalam keadaan seperti itu.
Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat melihat seekor
burung terbang rendah menyambar sesuatu pada dahan
sebatang pohon. Burung alap-alap.
"Apa yang disambar burung alap-alap itu?" bertanya
Mahisa Pukat didalam hatinya. Namun tiba-tiba saja ia
berkata, "Aku akan berburu."
Mahisa Bungalan memandanginya dengan kerut di
kening. Dengan nada datar ia bertanya, "Kau akan berburu
tanpa busur dan anak panah?"
Mahisa Pukat menarik nafas. Memang sulit untuk
berburu tanpa busur dan anak panah. Ia tidak dapat
menerkam binatang buruannya, karena biasanya seekor
binatang mempunyai alat penciuman dan pendengaran
yang tajam. Sebelum ia mencapai seekor rusa yang sedang
minum di sebuah mata air, maka binatang itu tentu sudah
terkejut dan lari. Tetapi Mahisa Pukat pun kemudian berkata, "Aku akan
membuat lembing." Mahisa Bungalan memandanginya dengan tajamnya.
Lalu katanya, "Kau akan membuang tenaga tanpa arti apaapa.
Aku tahu, kau hanya sekedar ingin mengusir
kejemuan. Tetapi kita tidak sedang duduk kesepian tanpa
berbuat apa-apa. Kita harus menyimpan tenaga kita untuk
menghadapi satu kemungkinan yang mendebarkan. Satu
kemungkinan yang tidak pernah kita duga sebelumnya."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun
akhirnya ia menurut pesan kakaknya. Ia tidak berbuat apaapa
dan duduk saja dalam kejemuan.
Hari itu orang-orang yang berada didalam hutan itu
berusaha untuk dapat beristirahat dengan sebaik-baiknya,
karena malam harinya mereka akan menempuh perjalanan
panjang. Ketika senja turun, maka orang-orang didalam hutan
itupun telah mempersiapkan diri. Mereka makan bekal yang
masih ada pada mereka, sebelumnya mereka mulai dengan
perjalanan. Sementara itu Pangeran Singa Narpada telah
membangunkan Pangeran Lembu Sabdata dan dengan cara
khusus memaksa Pangeran Lembu Sabdata untuk makan.
Menjelang gelap, maka sekelompok kecil orang-orang
itupun telah meninggalkan hutan perburuan. Mahisa Murti
telah nampak semakin baik. Bahkan tidak lagi nampak
tanda-tanda bahwa ia baru saja mengalami kesulitan pada
tubuhnya menghadapi ilmu yang ganas.
Meskipun kemudian jalan setapak yang mereka lalui
benar-benar menjadi gelap, tetapi orang-orang yang sudah
terbiasa dengan pengembaraan itu sama sekali tidak
mengalami kesulitan. Bahkan Pengeran Lembu Sabdata yang tidak
sepenuhnya menyadari dirinya sendiri, secara naluriah
dapat juga menempuh jalan yang terbentang di hadapan
mereka, meskipun kadang-kadang memang menimbulkan
kesulitan juga bagi Pangeran Singa Narpada yang harus
selalu mengamati keadaannya.
Namun demikian, perjalanan mereka tidak mengalami
hambatan yang berarti. Mereka dapat maju sesuai dengan
kemungkinan yang dapat mereka capai. Sementara itu,
jalan-jalan yang sepi memberikan mereka keleluasaan untuk
bergerak tanpa menarik perhatian orang lain.
Tetapi mereka masih harus menghindari kemungkinan
melintasi gardu-gardu perondaan, agar tidak menimbulkan
persoalan dengan anak-anak muda yang bertugas.
Namun mendekati tengah malam, ternyata sesuatu telah
terjadi atas sekelompok kecil orang-orang yang menempuh
perjalanan itu. Rasa-rasanya di langit tidak ada mendung.
Udara bersih dan bintang nampak bergayutan di langit.
Namun tiba-tiba beberapa langkah dari mereka telah
meledak suara petir yang memekakkan telinga. Lidah api
menjilat di langit dan menghantam sebatang pohon gayam
yang tumbuh di pinggir jalan.
Orang-orang yang sedang berjalan itu terkejut bukan
kepalang. Bahkan Pangeran Lembu Sabdata pun terkejut
pula dan hampir saja ia melarikan diri, jika Mahisa
Bungalan tidak cepat menangkapnya.
"Apa yang terjadi?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia berdesis, "Panembahan Kerdil itu. Ia telah
mengancam untuk menyerang aku dari jarak jauh. Agaknya
ia telah melakukan rencana itu. Dengan kemampuan ilmu
yang lembut didalam dirinya ia telah berusaha untuk
menyerangku." Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun
sebelum mereka beranjak dari tempatnya, maka sekali lagi
terdengar suara petir mengguncang tanah tempat mereka
berpijak, dan menyambar sisa pohon gayam yang sedang
terbakar. "Gila," geram Mahisa Bungalan, "Dikiranya ilmu
setannya itu dapat menakut-nakuti aku."
"Lalu apa yang dapat kau lakukan. Panembahan Kerdil
itu tidak ada disini sekarang," berkata Pangeran Singa
Narpada. "Hanya orang yang lemah hati dan ketakutan sajalah
yang akan dapat dikenai iblis yang licik itu, karena ia tidak
berani beradu dada. Aku harus bertahan, agar aku tidak
menjadi cemas dan pribadiku tidak terpengaruh oleh
kekuatan pribadinya," sahut Mahisa Bungalan.
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Sementara
itu Mahisa Bungalan berkata, "Kita berjalan terus. Jangan
hiraukan permainan iblis itu."
Tetapi Pangeran Singa Narpada bertanya, "Mahisa
Bungalan. Apakah kita akan dapat melawannya?"
"Tanpa melawan, kita tidak akan dicelakainya," jawab
Mahisa Bungalan. Tetapi Pangeran Singa Narpada nampak ragu-ragu.
Sekilas di pandanginya pohon gayam yang terbakar itu.
"Kita tidak boleh ragu-ragu," berkata Mahisa Bungalan,
"Marilah. Akulah yang akan dikenainya. Bukan orang lain.
Karena itu biarlah ia mengenaiku jika ia mampu."
Pangeran Singa Narpada masih termangu-mangu.
Karena itu sekali lagi Mahisa Bungalan berkata tegas,
"Jangan ragu-ragu. Jika kita ragu-ragu, maka kita telah
memberi kesempatan kepada Panembahan Kerdil itu untuk
mengenaiku." "Aku tidak ragu-ragu tentang kemampuanmu untuk
melepaskan diri dari arah serangan licik Panembahan
Bajang itu. Yang aku pikirkan, apakah kita akan melawan
atau tidak," jawab Pangeran Singa Narpada.
Mahisa Bungalan belum sempat menjawab, ketika
beberapa langkah dari Pangeran Singa Narpada, tanah
bagaikan meledak oleh sambaran lidah api dari udara. Debu
dan kerikil berhamburan sementara tanah pun menjadi
bagaikan digali setinggi paha dengan lingkaran yang lebih
luas dari sebuah sumur. "Gila," geram Mahisa Bungalan, "Panembahan licik
yang dungu itu hanya akan menghambur-hamburkan
tenaga saja." "Kita akan melawannya," berkata Pangeran Singa
Narpada. "Bagaimana caranya?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Marilah. Kita mencapai tempat yang sunyi," berkata
Pengeran Singa Narpada. Mahisa Bungalan tidak menjawab. Ia mulai mengerti,
cara apakah yang akan ditempuh oleh Pangeran Singa
Narpada. Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun
mengangguk-angguk sambil mengamati Pangeran Lembu
Sabdata yang seolah-olah tidak tahu tentang apa yang
terjadi. Ketika sekali lagi petir meledak di sisi lain dari Mahisa
Bungalan, maka mereka pun mulai melanjutkan perjalanan.
Tetapi seperti yang dikehendaki Pangeran Singa Narpada,
mereka telah berusaha untuk mendapatkan tempat yang
sepi, dibalik gumuk padas yang tidak terlalu besar, namun
cukup terlindung. Ketika sekali lagi terdengar ledakan, maka bebatuan
diatas bukit kecil itupun telah pecah berserakan. Namun
orang-orang yang ada di sekitarnya sama sekali tidak
menghiraukan. "Mahisa Murti dan Mahisa Pukat," berkata Pangeran
Singa Narpada, "Jagalah Pangeran Lembu Sabdata baikbaik.
Jangan kau sakiti meskipun barangkali ia akan sangat
menjengkelkan. Aku dan Mahisa Bungalan akan melawan
serangan-serangan gila dari Panembahan Bajang."
Pangeran Singa Narpada tidak perlu menjelaskan.
Namun kedua orang adik Mahisa Bungalan itupun telah
mengetahui apa yang akan dilakukan oleh kedua orang itu.
"Kita dapat melihat cahaya Teja sebagaimana dilihat
oleh Panembahan Bajang. Kita pun tentu akan dapat
melawan serangan-serangannya yang curang ini," berkata
Pangeran Singa Narpada kemudian.
Mahisa Bungalan segera tahu apa yang harus dilakukan.
Karena itu, maka kedua orang itupun segera mencari
tempat untuk duduk sambil menyilangkan tangannya.
Kepalanya menunduk dan sambil memejamkan matanya,
keduanya telah memusatkan nalar budi. Meskipun mereka
tidak pernah melakukannya sebelumnya. Tetapi mereka
yakin bahwa mereka akan dapat melawan kekuatan batin
Panembahan Bajang. Sesaat kemudian, sekali lagi terdengar ledakan yang
dahsyat. Sebongkah batu padas yang terletak hanya tiga
langkah di belakang Mahisa Bungalan telah pecah.
Gumpalan-gumpalan kecil batu padas itu telah terlempar
berhamburan. Punggung Mahisa Bungalan pun telah
tertimpa pula oleh pecahan-pecahan batu padas itu. Namun
Mahisa Bungalan sama sekali tidak menghiraukannya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat duduk menunggui
Pangeran Lembu Sabdata yang ternyata duduk juga di
sebuah batu padas. Kedua adik Mahisa Bungalan itu
memang telah berusaha untuk menghadapi seranganserangan
itu dengan tabah. Mereka tidak terpengaruh oleh
suaranya yang dahsyat dan kekuatannya membelah


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bebatuan dan bahkan membakar sebatang pohon yang
besar. Seperti yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan,
mereka tidak boleh jatuh ke dalam pengaruh kepribadian
Panembahan Bajang yang kuat, agar mereka tidak akan
dapat dicelakainya dengan serangan-serangannya yang licik
itu. Dalam pada itu, Pangeran Lembu Sabdata sama sekali
tidak terpengaruh karenanya. Sekali-sekali ia memang
terkejut. Namun kemudian tidak menghiraukannya lagi.
"Mudah-mudahan orang itu tidak membuat aku
pening," berkata Mahisa Pukat.
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa
Narpada telah dengan segenap kemampuannya berusaha
untuk melawan serangan-serangan Panembahan Bajang
yang licik. Keduanya telah dengan tulus dan segenap nalar
budinya, memanjatkan permohonan kepada Yang Maha Agung
untuk melindunginya dan mencegah seranganserangan
yang bakal datang. Demikian dalam dan kuatnya kedua orang itu
memohon, maka ternyata pengaruhnya mulai terasa. Ketika
sekali lagi terjadi ledakan, maka ledakan itu menjadi
semakin jauh. Bahkan ledakan itu menjadi semakin kecil
dan seakan-akan tidak lagi mampu berteriak menghentak
dengan kekuatan raksasa. Sementara itu di padepokannya sendiri, Panembahan
Bajang duduk menghadapi lampu yang tengah menyala. Di
dalam sebuah nampan di hadapannya terletak beberapa
macam reramuan yang dipergunakannya untuk
melakukannya serangan-serangannya. Sebuah perapian
dengan bara yang memerah memancarkan kemerahan yang
menghentak hentak di dada Panembahan Kerdil itu.
"Setan," Panembahan itu menggeram, "liat juga nyawa
orang ini." Untuk beberapa saat Panembahan Bajang itu berjuang
dengan alas ilmu yang dimilikinya untuk menghancurkan
lawannya. Beberapa butir telur masih ada di sisinya.
Dengan wajah yang tegang, maka diambilnya lagi sebutir
telur dan dimasukkannya ke dalam bara api yang merah
menyala. Terdengar telur itu meledak. Sanggar Panembahan
Bajang itupun bagaikan meledak pula. Cahaya petir
memancar didalam sanggar itu. Namun hanya sekilas.
Kemudian bilik itu menjadi sepi kembali.
Namun ketika Panembahan Bajang melihat lampu
minyaknya masih menyala, maka iapun mengumpat tidak
habis-habisnya. "Apalagi yang kurang," desis Panembahan Bajang.
Sekali lagi ia menghentakkan ilmunya. Diucapkannya
berbagai mantera. Diperciknya nampan di hadapannya
dengan air bunga. Kemudian, sekali lagi ia mengambil
sebutir telur dan dimasukkannya ke dalam bara yang
kemerahan. Seperti yang telah berulang kali terjadi, maka telur itupun
telah meledak. Cahaya lidah api memancar
menyilaukan. Hanya untuk sesaat. Namun bilik itupun
kemudian menjadi sepi. Namun lampunya tetap menyala.
"Gila," geram Panembahan Bajang. "Apakah ada iblis
yang melindunginya. Telah beberapa butir telur aku
ledakkan, tetapi nampaknya serangan-seranganku tidak
mengenainya." Dengan kemarahan yang menghentak-hentak jantung,
maka Panembahan Bajang itu menjadi semakin dalam
mengungkap ilmunya. Ia berharap bahwa ia akan mampu
mengatasi keliatan nyawa orang yang telah
mengalahkannya dalam olah kanuragan.
"Aku harus membunuhnya," geram Panembahan
Bajang. "Meskipun seandainya ia berperisai ilmu yang
betapapun kuatnya." Karena itulah, maka Panembahan Bajang tidak mau
berhenti sebelum lampunya padam yang memberikan
isyarat bahwa orang yang dikehendakinya sudah terbunuh.
Dua tiga kali lagi ia mencoba, namun lampu itu masih
tetap menyala. Bahkan Panembahan Bajang pun merasa
bahwa serangannya menjadi semakin lama semakin lemah.
Kemarahan yang tidak tertahankan, akhirnya memaksa
Panembahan Bajang untuk sampai ke puncak kedalamnya.
Sejenak ia memandang lampu yang masih menyala itu.
Kemudian iapun telah menaburkan reramuan ke dalam
bara yang menyala. Baunya semerbak memenuhi
sanggarnya, sementara itu, maka Panembahan Bajang itu
telah memusatkan segenap nalar budinya, segenap
kemampuan ilmunya dan segenap kemungkinan yang dapat
dilakukannya. Dengan tangan gemetar Panembahan Bajang telah
mengambil sebutir telur. Tetapi telur itu tidak segera di
masukkan ke dalam bara api sebagaimana telah
dilakukannya. Tetapi telur itu telah diusapnya dengan
semacam serbuk yang berwarna kekuning-kuningan.
Kemudian dengan sepucuk duri dari sebatang daun pandan
sungsang, maka ia telah menusuk kulit telur itu sehingga
membuat sebuah lubang yang kecil tanpa meretakkan kulit
telur itu memanjang. Panembahan Bajang memandang telur itu dengan
tatapan mata yang bagaikan menyala sebagaimana bara api
di hadapannya. Lubang yang sangat kecil yang dibuatnya
dengan duri pandan itupun kemudian diletakkannya di
mulutnya. Dengan kekuatan yang khusus maka ia telah
menghembus telur itu. Memang tidak ada perubahan pada telur itu menurut
ujud lahiriahnya. Tetapi ia sudah menghembuskan
kemungkinan yang terakhir yang dapat dilakukannya. Telur
itu akan memiliki kekuatan yang berlipat ganda dari yang
pernah diledakkannya sebelumnya. Dengan landasan ilmu
puncaknya, maka ia akan menggempur sasarannya dengan
kekuatan terakhirnya. Satu lingkungan yang luas akan
dikenainya dengan ilmu puncaknya. Bukan sekedar
selingkar sumur atau lebih sedikit. Tetapi ia akan
menghancurkan daerah seluas ara-ara.
"Dengan kekuatanku terakhir ini, maka gunungan-pun
akan runtuh," geram Panembahan Bajang.
Sejenak kemudian, maka iapun telah duduk dengan
penuh kesungguhan menghadapi perapiannya. Lampunya
masih tetap menyala sementara telur yang khusus itupun
telah dipersiapkannya sebaik-baiknya.
Sementara itu, jauh dari padepokan Panembahan
Bajang, Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan
masih tetap duduk sambil menyilangkan tangannya di dada.
Mereka merasakan hentakan-hentakan kekuatan di dada
mereka jika terdengar ledakan yang dahsyat di sekitar
tempat mereka. Sementara itu, Pangeran Lembu Sabdata
yang seolah-olah tidak tahu menahu tentang kemungkinan
yang paling buruk yang dapat terjadi atasnya itupun tidak
menghiraukannya. Jika terjadi ledakkan maka iapun
terkejut. Namun setelah itu, seakan-akan ia tidak pernah
mendengar apapun juga. Sejenak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memandangi
Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan yang
sedang memusatkan daya kemampuan mereka. Demikian
bersungguh-sungguh dan mengerahkan segenap
kemampuan dan ilmu yang ada didalam diri mereka
sehingga keduanya telah menjadi terengah-engah. Bahkan
dengan ketajaman penglihatan seorang yang berilmu tinggi
seperti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka mereka telah
melihat seakan-akan asap mengepul dari ubun-ubun kedua
orang itu. "Mereka benar-benar sampai ke puncak," desis Mahisa
Murti. "Ya. Segala sesuatu mungkin dapat terjadi. Tetapi
kemampuan mereka meraba dengan ujung indera peraba di
hati mereka, maka mereka mengetahui bahwa mereka akan
mengalami serangan yang luar biasa."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun
sebenarnyalah di hatinya, sebagaimana juga di hati Mahisa
Pukat, telah terjadi satu gejolak yang seakan-akan
memberikan petunjuk kepada mereka bahwa sesuatu akan
terjadi. Karena itu, maka Mahisa Murti itupun kemudian
berkata, "Marilah, kita ikut bersama mereka."
"Apa yang dapat kita lakukan?" bertanya Mahisa Pukat.
"Apa saja. Tetapi kita tentu akan dapat membantu
memperkuat pertahanan kakang Mahisa Bungalan dan
Pangeran Singa Narpada," jawab Mahisa Murti.
"Lalu bagaimana dengan Pangeran Lembu Sabdata"
Jika kita membiarkannya, maka mungkin ia akan sampai
kemana-mana. Atau bahkan mungkin Pangeran Lembu
Sabdata dapat mencelakai kita," berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Pangeran Singa Narpada telah
menidurkannya dalam saat-saat tertentu. Apakah kita juga
dapat melakukannya"."
"Kita tentu dapat melakukannya karena hal itu sudah
kita pelajari. Tetapi apakah nanti kita tidak dianggap
bersalah oleh Pangeran Singa Narpada?" bertanya Mahisa
Pukat. Sejenak Mahisa Murti merenung. Namun kemudian
katanya. "Asal pada saatnya kita dapat membangunkannya
maka aku kira, Pangeran Singa Narpada tidak akan
menyalahkan kita." Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Baiklah, Kita akan mencoba, Semuanya kita lakukan
dengan niat yang baik-baik."
Demikianlah, maka Mahisa Murti pun kemudian telah
membuat Pangeran Lembu Sabdata tertidur sebagaimana
dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada, sementara kedua
anak muda itu telah menempatkan diri mereka untuk
bersama dengan Pangeran Singa Narpada dan Mahisa
Bungalan, mengatasi segala macam kemungkinan yang
akan dapat menyerang mereka lewat laku yang tidak wajar.
Setelah mengamati tempat mereka yang menurut
perhitungan mereka tidak akan didatangi oleh seorang pun,
maka keduanya pun telah duduk pula di tempat yang
terpisah serta memusatkan nalar budi, mengembangkan
kemampuan dan tenaga yang dapat mereka lepaskan dari
himpunan kekuatan menurut laku ilmu yang telah mereka
sadap dari ayah mereka. Keduanya memang tidak begitu
mengerti tentang kekuatan kelam yang dapat melontarkan
serangan dari jarak jauh. Namun keduanya yakin, bahwa
dengan pemusatan nalar budi, memanjatkan doa dan
permohonan perlindungan kepada Yang Maha Agung
dalam ujud perisai kekuatan yang menyelubungi keduanya
dan lingkungannya. Untuk beberapa saat keduanya duduk dalam samadi.
Namun terasa di hati mereka, getaran-getaran yang
berulang kali seakan-akan telah mengguncang ketahanan
samadi mereka. Namun justru karena itu, maka keduanya
menjadi semakin dalam menukik ke alam samadi dalam
hubungan tegak antara keduanya dengan penciptanya.
Sebenarnyalah bagi mereka yang tidak terlibat ke dalam
samadi itu akan melihat, bahwa kedua orang anak muda
itupun benar-benar telah tenggelam ke dalam satu keadaan
yang sangat bersungguh-sungguh.
Untuk beberapa saat, kesenyapan telah mencengkam
tempat itu. Namun sementara itu di tempat lain.
Panembahan Bajang pun telah sampai ke dalam puncak
laku bagi puncak kekuatannya.
Beberapa saat Panembahan Bajang masih menimang
telurnya didalam genggaman sementara iapun telah
memusatkan segenap kemampuannya. Perapian di
hadapannya telah memancarkan cahaya merah dari dunia
kekelaman hati Panembahan Bajang. Sementara beberapa
jenis serbuk telah diusapkan pada telurnya yang telah
dihembusnya dengan kekuatan ilmu sebagai pertanda akan
dilepaskannya kemampuannya yang sulit dicari
bandingnya. Telur itu akan dimasukkannya ke dalam perapian dan
akan terjadi satu ledakan yang maha dahsyat. Sanggar itu
akan terguncang. Namun tidak akan terjadi apapun juga
didalam sanggar itu. Setelah ledakkan itu berhenti, maka
udara didalam sanggar itu akan menjadi segar kembali.
Panembahan Bajang akan dapat menghirup
kemenangannya, karena lampu itu tentu sudah padam.
Sejenak Panembahan Bajang masih mengucapkan
beberapa kalimat mantra. Kemudian tangannya mulai
bergerak mengembang Telur itupun digerakkan melingkar
beberapa kali, kemudian perlahan-lahan telur itupun
dimasukkan ke dalam api perapian yang nyalanya kemerahmerahan
bagaikan warna darah yang memancar dari luka.
Ketika telur itu dilepaskannya, maka seperti yang sudah
dilakukannya, maka telur itupun jatuh ke dalam api dan
meledak. Demikian pula telurnya yang terakhir itu. Ketika
telur itu jatuh ke perapian, maka telah terjadi ledakan yang
sangat dahsyat. Ledakkan bagaikan tujuh petir yang
menyambar bersama-sama. Sanggar Panembahan Bajang
itu telah berguncang dengan dahsyatnya. Asap mengepul
memenuhi ruang sanggar itu.
Sementara itu, di sebuah gumuk batu padas, telah terjadi
sesuatu yang mendebarkan. Sesuatu seakan-akan telah
terjatuh dari langit. Tetapi benda itu tidak meledak,
melainkan seakan-akan telah menyemburkan api tegak
lurus ke langit. Cahayanya menyilaukan mata, namun tidak
terlalu lama. Cahaya itupun kemudian seakan-akan telah
pudar, sementara benda yang terjatuh dari langit itupun
telah terhisap kembali ke arah semula ketika benda itu
jatuh. Pada saat yang demikian itulah, maka sanggar
Panembahan Bajang bukan saja telah terguncang. Tetapi
sanggar itu benar-benar seakan-akan telah meledak. Segala
isinya telah terlempar dan dindingnya pecah berserakan.
Para cantrik dari padepokan itu terkejut. Ledakkan itu
terlalu keras dan terlalu besar dari yang selalu mereka


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengar jika Panembahan Bajang melontarkan ilmunya.
Karena itu, maka para cantrik pun telah berlari-larian ke
sanggar yang telah berserakan itu.
"Apa yang terjadi?" bertanya para cantrik itu diantara
sesamanya. Tetapi tidak ada seorang pun yang mampu memberikan
jawabannya. Mereka hanya mendengar ledakkan yang
terlalu dahsyat. Kemudian mereka melihat sanggar itu telah
berserakan. "Panembahan ada dimana?" bertanya seorang cantrik.
Yang lain pun termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja
mereka melihat asap yang mengepul diantara reruntuhan
sanggar itu. "Api?" Seorang cantrik berteriak.
Sebenarnyalah, perapian dan lampu minyak yang ada
didalam sanggar itu telah menjilat reruntuhan yang
menimpanya. Seorang cantrik yang cekatan telah meloncat ke arah itu
untuk memadamkannya. Namun tiba-tiba saja cantrik itu
memekik tinggi. "Panembahan," suaranya melengking.
Beberapa orang cantrik yang lain pun berlarian
mendekat. Mereka tidak menghiraukan ketika kaki mereka
tersandung batang-batang kayu yang berserakan.
Dengan menyingkirkan pecahan-pecahan kayu dan
bambu maka mereka telah mengangkat tubuh yang
terbaring diam. Betapapun besar kuasa ilmu Panembahan
Bajang, namun dalam keadaan yang demikian, maka
Panembahan tidak lebih sesosok tubuh yang terbaring diam.
Dengan kecemasan yang mencengkam jantung, para
cantrik itu telah membawa tubuh yang membeku itu di
serambi barak yang berada di dekat sanggar. Sedang yang
lain memadamkan sisa api yang masih mengepul. Namun
ketika tubuh itu terbaring menelentang, maka para cantrik
itu melihat bahwa Panembahan Bajang telah meninggal.
Pada saat yang demikian itulah, maka sanggar
Panembahan Bajang bukan saja telah terguncang. Tetapi
sanggar itu benar-benar seakan-akan telah meledak, segala
isinya telah terlempar dan dindingnya pecah berserakan.
Betapa kesedihan telah mencengkam jantung para
cantrik. Panembahan Bajang bagi mereka adalah orang
yang baik. Mereka berharap untuk dapat meneguk sejemput
ilmu dari Panembahan yang baik menurut penilaian
mereka. Namun tanpa mereka ketahui sebabnya, maka
Panembahan Bajang itu telah terbunuh.
Sebenarnyalah bahwa ternyata Panembahan Bajang yang
telah melontarkan kemampuan ilmu puncaknya untuk
menghancurkan orang yang telah mengalahkannya dalam
olah kanuragan, telah membentur kekuatan jiwani yang
tidak tertembus. Ternyata bahwa Pangeran Singa Narpada,
Mahisa Bungalan dan yang kemudian juga Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat telah berhasil membangun perisai yang
sangat kuat. Mereka ternyata telah menghubungkan diri me
reka dengan lindungan Yang Maha Agung, sehingga
betapapun kuatnya ilmu Penembahan Bajang yang mampu
menghancurkan bukit batu, ternyata ilmu itu tidak dapat
menghembus perlindungan Yang Maha Agung itu.
Bahkan kekuatan ilmu itu telah memental kembali dan
meledak justru di tempat ilmu itu dilontarkan.
Hanya karena Panembahan Bajang termasuk seorang
yang luar biasa sajalah maka Panembahan Bajang tidak
menjadi lumat, sehingga tubuhnya justru masih utuh.
Namun Panembahan Bajang telah mati.
Sementara itu jauh dari padepokan Panembahan Bajang,
empat orang masih dalam pemusatan kemampuan mereka.
Namun didalam tahap terakhir, terasa oleh mereka, bahwa
getaran-getaran yang rasa-rasanya telah mengguncangkan
samadi mereka telah susut dan akhirnya pudar sama sekali.
Isyarat jiwani itu telah membuat keempat orang itu
perlahan-lahan melepaskan pemusatan ilmu mereka.
Mereka mulai mengendorkan ketegangan yang mencekam
jiwa mereka. Apalagi untuk beberapa saat lamanya mereka
tidak lagi mendengar ledakan-ledakan yang dapat
memecahkan selaput telinga mereka.
Hampir bersamaan mereka telah melepaskan samadi
mereka. Namun baru kemudian Pangeran Singa Narpada
dan Mahisa Bungalan mengetahui bahwa Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat pun telah melakukannya pula.
"Kita bersama-sama telah mampu melawan kekuatan
Panembahan Bajang," berkata Mahisa Bungalan.
"Serangan-serangan itu telah berhenti," berkata Mahisa
Murti. Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Namun perhatiannya tertuju kepada Pangeran Lembu
Sabdata yang terbaring diam.
"Aku terpaksa membuatnya tidur," berkata Mahisa
Murti, "Aku tidak tahu apa yang sebaiknya kau lakukan
atas Pangeran Lembu Sabdata pada saat aku dan Mahisa
Pukat ingin ikut membantu melawan kekuatan
Panembahan Bajang yang nggegirisi itu."
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata anak-anak muda itu benar-benar telah dibekali
dengan ilmu yang mapan. Mahisa Murti telah mampu
dengan tidak membahayakan seseorang membuatnya tidur
nyenyak sebagaimana dapat dilakukan oleh Pangeran Singa
Narpada. Dalam pada itu, maka Mahisa Murti pun berkata,
"Baiklah Pangeran. Aku akan membangunkannya. Jika
perlakuanku atas Pangeran Lembu Sabdata tidak berkenan
di hati Pangeran, aku mohon maaf."
"Tidak. Aku tidak sedang menyesali perbuatanmu,
tetapi aku justru mengagumimu. Kau dan Mahisa Pukat
yang masih terlalu muda itu ternyata telah mampu
menunjukkan satu tingkat kemampuan yang sangat tinggi."
"Jangan memuji Pangeran," jawab Mahisa Murti, "Apa
yang aku lakukan tidak berarti apa-apa."
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian katanya, "Bangunkan Pangeran Lembu Sabdata.
Kita masih mempunyai tugas yang berat."
Mahisa Murti pun kemudian membangunkan Pangeran
Lembu Sabdata yang tertidur nyenyak. Yang tidak
mengetahui apa yang telah terjadi di sekitarnya. Bahkan
seandainya Pangeran Lembu Sabdata itu tidak tertidur,
iapun tidak menyadari apa yang telah terjadi.
Sejenak kemudian, kita mereka telah yakin bahwa sudah
tidak terjadi ledakan-ledakan yang agaknya memang
ditujukan kepada mereka, maka Pangeran Singa Narpada.
Mahisa Bungalan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
melanjutkan perjalanan bersama Pangeran Lembu Sabdata.
Dalam pada itu, maka malam pun menjadi semakin
larut. Namun mereka yang menempuh perjalanan itu sama
sekali tidak berniat untuk berhenti, karena justru mereka
lebih baik berjalan malam hari.
Namun tiba-tiba saja Mahisa Bungalan itupun berkata,
"Aku ingin singgah di padepokan Panembahan Bajang."
Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya.
Namun kemudian katanya, "Kita membawa sesuatu yang
sangat berharga." "Aku ingin meyakinkan, apa yang telah terjadi. Aku
tidak tahu kenapa tiba-tiba saja serangan-serangannya
terhenti. Apakah Panembahan Bajang mengira bahwa aku
sudah mati" Selebihnya aku ingin mendengar janjinya,
bahwa ia tida akan melakukan serangan licik seperti itu,"
jawab Mahisa Bungalan. "Tetapi baiklah kita mengembalikan benda ini dan
menitipkan Pangeran Lembu Sabdata di Kediri," berkata
Pangeran Singa Narpada. "Agaknya akan makan waktu terlalu lama. Dalam
kesempatan itu Panembahan Bajang mungkin telah
melakukan serangan-serangan yang lebih dahsyat lagi,
sementara kita kurang mengerti apa yang sebaiknya kita
lakukan untuk melawan," berkata Mahisa Bungalan,
"Meskipun baru saja kita dapat menghindarkan diri, namun
dalam hal seperti ini, kita harus mengakui bahwa
Panembahan Bajang memiliki kemampuan lebih tinggi
daripada kita semua. Karena itu, aku harus berhadapan
langsung dengan orang itu dan memaksanya mengucapkan
janji bahwa ia tidak akan melakukannya lagi atas taruhan
kemampuannya. Ia harus mengatakan bahwa jika ia sekali
lagi menyerangku, maka serangan itu akan mengenai
dirinya sendiri." "Apakah kau yakin bahwa ia akan benar-benar berjanji
dan janji itu akan berarti?" bertanya Pangeran Singa
Narpada. "Kita akan memaksanya untuk mengucapkan janji
didalam sanggarnya, di hadapan para cantriknya dan atas
nama sumber ilmu yang disadapnya," jawab Mahisa
Bungalan. Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun
Mahisa Bungalan itupun berkata, "Pangeran. Aku merasa
tidak tenang sebelum aku bertemu dengan Panembahan
Bajang. Aku akan bertemu dan menyelesaikan persoalanku
sampai tuntas. Jika perlu, maka aku akan membunuhnya,
sehingga bagiku persoalan dengan orang itu sudah selesai."
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Tetapi ia
melihat kesungguhan memancar di wajah Mahisa
Bungalan. Karena itu mengingat bahwa Mahisa Bungalan
dan kedua adiknya sudah bekerja keras untuk
membantunya menemukan benda yang paling berharga
bagi Kediri, serta menemukan Pengeran Lembu Sabdata,
maka Pangeran Singa Narpada pun merasa wajib untuk
membantu dan memenuhi keinginan itu.
Karena itu, maka katanya, "Baiklah Mahisa Bungalan.
Kita akan singgah sebentar. Mudah-mudahan kita tidak
terhambat karenanya."
Dengan demikian, maka mereka pun telah berusaha
untuk mencari arah. Sekali mereka pernah mengunjungi
satu tempat, mereka akan dapat mencarinya dengan ancarancar
alam yang dapat dilihat dim alam hari. Jangankan
tempat yang pernah mereka lihat, sedangkan tempat yang
baru mereka kenal dengan ancar-ancar pun akan dapat
mereka ketemukan. Meskipun dengan demikian, maka perjalanan mereka
akan menjadi bertambah jauh, tetapi Mahisa Bungalan
telah membulatkan tekadnya untuk datang ke padepokan
Panembahan Kerdil itu. Tetapi padepokan itu tidak dapat mereka capai malam
itu juga. Karena itu, maka ketika matahari mulai menerangi
langit di dini hari, mereka harus menyesuaikan diri.
"Jalan terlalu sepi," berkata Pangeran Singa Narpada,
"Biarlah kita meneruskan perjalanan."
Mahisa Bungalan mengangguk. Namun diluar sadarnya
ia berpaling ke arah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari, agaknya
kakaknya ingin bertanya kepada mereka, apakah mereka
telah lelah. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun bergumam,
"Kami masih dapat berjalan sampai tiga hari tiga malam
lagi." "Sombongmu," desis kakaknya.
Mahisa Murti pun berpaling kepadanya. Namun Mahisa
Pukat justru tersenyum karenanya.
Dalam pada itu, Mahisa Murti masih sempat juga
mengamati Pangeran Lembu Sabdata. Namun agaknya
Pangeran Lembu Sabdata sama sekali tidak menghiraukan,
apa yang sedang dilakukannya. Ia berjalan saja seakan-akan
tanpa jiwa. Namun sama sekali tidak terbayang keletihan
pada langkahnya atau pada bayangan di wajahnya. Ia
berjalan saja seperti tidak melakukan apa-apa.
Dengan demikian, maka meskipun matahari kemudian
terbit, mereka masih tetap berjalan. Mereka telah
menyempatkan diri untuk membersihkan wajah mereka dan
membenahi pakaian mereka, sementara Mahkota yang
dibawa oleh Pangeran Lembu Sabdata telah dibungkus
sedemikian rupa sehingga tidak menarik perhatian, seolaholah
yang dibawa bungkusan barang yang tidak berharga
sebagaimana sering dibawa oleh para perantau.
Ternyata bahwa ketahanan tubuh mereka sangat tinggi.
Meskipun mereka semalaman telah melakukan kerja dan
perjalanan yang berat, namun mereka masih mampu
berjalan dengan langkah yang segar, seakan-akan baru saja
mereka mulai dengan perjalanan mereka. Bahkan Pangeran
Lembu Sabdata yang seakan-akan tidak menyadari apa
yang sedang dilakukan itupun berjalan dengan langkah
tetap sambil menundukkan wajahnya.
Di siang hari mereka berhenti sejenak untuk melepaskan
haus dan membeli makanan serta bakal di perjalanan. Kadangkadang mereka memang jemu untuk saling berbicara,
tetapi tidak ingin membiarkan mulut mereka berhenti
bergerak, karena itu, maka Mahisa Pukat telah membeli
makanan yang dapat dipergunakan untuk mengusir
kejemuan di perjalanan jika mereka letih berbicara.
Ternyata bahwa mereka benar-benar tidak mengenal
letih. Mereka berjalan terus sampai akhirnya menjelang
senja mereka telah mendekati padepokan Panembahan
Bajang. "Apakah kita akan terus memasuki padepokan itu?"
bertanya Mahisa Pukat. Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun akhirnya ia
berhasil mengendalikan perasaannya dan berkata, "Kita
akan beristirahat sejenak sebelum kita memasuki padepokan
itu. Aku ingin memasuki padepokan dengan langkah yang
segar." Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
mengerti bahwa Mahisa Bungalan ingin mempersiapkan
dirinya sebaik-baiknya untuk menghadapi Panembahan
Bajang. Jika perlu tentu dengan perang tanding.
Demikianlah maka orang-orang yang mendekati
padepokan itu telah memasuki sebuah hutan kecil untuk
beristirahat.

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beberapa saat mereka berada didalam hutan kecil itu.
Setelah Mahisa Bungalan benar-benar merasa tubuhnya
segar, maka iapun berkata, "Marilah. Kita akan memasuki
Padepokan itu." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian
mempersiapkan diri, sementara Pangeran Singa Narpada
tidak mempunyai rencana lain dari memberikan
kesempatan kepada Mahisa Bungalan untuk menyelesaikan
persoalannya yang tersisa dengan Panembahan Bajang.
Karena itu, maka mereka pun telah meneruskan
perjalanan mereka langsung menuju ke padepokan yang
sudah ada di depan hidung mereka meskipun malam telah
turun. Dengan langkah tetap Mahisa Bungalan berjalan di
paling depan ketika mereka memasuki regol.
Tetapi langkah mereka tertegun ketika mereka melihat
kesibukan di padepokan itu. Dengan ragu-ragu mereka
perlahan-lahan melangkah setapak demi setapak di halaman
padepokan. Seorang cantrik yang melihat kehadiran mereka dibawah
cahaya obor regol padepokan itupun dengan tergesa-gesa
menyongsong mereka. Sambil mengangguk hormat ia
berkata, "Marilah, silahkan Ki Sanak. Apakah kalian
mempunyai satu keperluan atau hanya sekedar ingin
singgah karena kalian kemalaman. Atau kalian memang
sudah mendengar tentang Panembahan Bajang dan datang
untuk memberikan penghormatan?"
Mahisa Bungalan menjadi bingung. Tetapi iapun
kemudian menjawab, "Kami ingin bertemu dan berbicara
dengan Panembahan Bajang."
"O." cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. "Siapakah
kalian?" "Kami adalah sahabat-sahabatnya," jawab Mahisa
Bungalan. Cantrik itu memandang Mahisa Bungalan dengan
tajamnya. Namun kemudian dengan nada rendah ia
berkata, "Panembahan Bajang telah meninggal."
"O." Mahisa Bungalan benar-benar terkejut, bukan
sekedar dibuat-buat. "Kenapa?"
Cantrik itupun kemudian berceritera tentang sanggar
yang meledak tanpa diketahui sebabnya.
Mahisa Bungalan lah yang kemudian termangu-mangu.
Kemudian iapun berpaling ke arah Pangeran Singa
Narpada ketika Pangeran Singa Narpada kebetulan
berpaling pula kepadanya. Seolah-olah mereka telah
bersepakat untuk mengatakan, bahwa ledakan itu tentu
merupakan kegagalan Panembahan Bajang dalam bermainmain
dengan ilmunya. Namun dalam pada itu, baik Mahisa Bungalan maupun
Pangeran Singa Narpada telah berkata didalam hatinya,
"Untunglah Panembahan Bajang mempergunakan ilmu
kasarnya. Jika ia mempergunakan ilmunya yang lebih
halus, mungkin ilmu itu akan berhasil menyusup ke dalam
otaknya dan membuatnya gila."
Tetapi ternyata bahwa ilmunya yang kasar itu tidak
dapat menembus perisai yang telah dibuat bersama-sama
dalam empat kekuatan yang pasrah kepada Yang Maha
Agung, sehingga justru kekuatan itu telah melenting
kembali mengenai dirinya sendiri.
Untuk beberapa saat Mahisa Bungalan masih termangumangu.
Namun kemudian katanya kepada Pangeran Singa
Narpada, "Kita ikut berbela sungkawa. Tetapi maaf Ki
Sanak, kami tidak dapat singgah. Ada sesuatu yang ingin
lakukan, yang seharusnya diketahui oleh Panembahan
Bajang. Tetapi karena Panembahan Bajang sudah tidak ada
lagi, maka biarlah kami melakukannya sendiri."
"Jadi kalian tidak singgah dan menunggu sampai mayat
Panembahan diselenggarakan?" bertanya cantrik itu.
"Maaf Ki Sanak. Kami agak tergesa-gesa. Mungkin
kelak jika tugas kami sudah selesai, maka kami akan
singgah di padepokan ini," jawab Mahisa Bungalan.
"Baiklah Ki Sanak," berkata cantrik itu, "Kami sangat
mengharapkan kedatangan kalian. Tetapi apakah kalian
tidak singgah barang sejenak. Hari sudah malam. Jika Ki
Sanak memerlukan bermalam disini, kami tidak
berkeberatan." "Terima kasih," jawab Mahisa Bungalan, "Kami
terpaksa meneruskan perjalanan kami."
"Jika demikian silahkan Ki Sanak," berkata cantrik itu.
Dengan demikian, maka kelima orang itupun telah
melanjutkan perjalanan mereka, meninggalkan padepokan
itu. Dengan saling berdiam diri, kelima orang itu berjalan
dalam gelapnya malam. Yang tidak terduga ternyata telah
terjadi. Panembahan Bajang telah meninggal. Tidak ada
penjelasan dari cantrik di padepokan itu. Namun yang
diketahui oleh cantrik itu bahwa sanggar Panembahan
Bajang telah meledak. Keempat orang yang telah berusaha melawan kekuatan
Panembahan Bajang itu menghubungkan perjuangan
mereka dengan kemungkinan terjadinya ledakkan itu.
Tatapi tidak seorang pun diantara mereka yang dapat
mengatakan, bahwa meledaknya sanggar Panembahan
Bajang itu adalah karena kekuatan berempat telah berhasil
mencorong kembali kekuatan ilmu Panembahan Bajang.
Namun dalam pada itu, maka Pangeran Singa Narpada
pun telah berkata, "Kita sudah terlalu lama berjalan.
Menurut pendapatku, apakah tidak sebaiknya kita
beristirahat barang sejenak."
Mahisa Bungalan tidak berkeberatan. Karena itu. maka
ketika mereka sampai pada sebuah ara-ara perdu, maka
mereka pun telah mencari tempat untuk dapat beristirahat.
Beruntunglah mereka karena ternyata tidak jauh dari
tempat itu mengalir sebatang sungai kecil, namun yang
airnya cukup jernih. Sementara itu. di padepokan Panembahan Bajang para
cantrik dengan wajah yang murung telah menjadi sibuk.
Tidak ada diantara mereka yang tahu pasti, apa yang telah
terjadi. Namun pemimpin padepokan mereka, yang mereka
anggap sebagai seorang yang baik telah pergi meninggalkan
mereka. Namun dalam pada itu. selagi para cantrik merasa
kehilangan pegangan, seseorang telah memasuki halaman
padepokan itu. Dengan langkah yang sangat cepat, orang
itu bagaikan tidak menyentuh tanah.
Seorang cantrik dengan tergesa-gesa telah mendekati
orang yang datang itu. Dengan hormat cantrik itupun
kemudian menganggukkan kepalanya dalam-dalam.
"Selamat datang mPu," berkata cantrik itu.
"Apa yang terjadi," bertanya orang yang baru datang
itu, "hatiku merasa sangat cemas. Aku tidak tahu kenapa
tiba-tiba saja aku didera oleh suatu keinginan untuk
mengunjungi padepokan ini. Dimana Panembahan mu
yang kerdil itu." Cantrik itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
dengan suara yang bergetar menyahut, "MPu, Panembahan
sudah meninggal." "Meninggal?" MPu Lengkon terkejut. "Kenapa?"
Cantrik itupun kemudian menceriterakan apa yang telah
terjadi dengan Panembahan Bajang, sehingga akhirnya iapun
meninggal. mPu Lengkon menjadi tegang. Kemudian katanya, "Aku
ingin melihat tubuh Panembahan."
Cantrik itupun kemudian mengantar mPu Lengkon
melihat tubuh Panembahan Bajang yang pada beberapa
bagian terdapat semacam luka dan memar karena tertimpa
bagian-bagian dari atap sanggarnya yang runtuh oleh satu
ledakan yang sangat dahsyat dan mengejutkan.
Sejenak mPu Lengkon memperhatikan keadaan tubuh
Panembahan Bajang. Berdasarkan atas kenyataan yang
diamatinya serta beberapa keterangan yang didengarnya
dari beberapa orang cantrik padepokan itu, maka mPu
Lengkon dapat mengambil satu kesimpulan, meskipun ia
tidak dapat mengatakan kesimpulan itu kepada para murid
Panembahan Kerdil itu. "Ternyata Panembahan Bajang telah dihancurkan oleh
ilmunya sendiri yang membantu kekuatan yang tidak dapat
ditembusnya," berkata mPu Lengkon didalam hatinya
sendiri. Karena itu, maka mPu Lengkon pun telah berusaha
untuk mencari, siapakah kira-kira orang yang mampu
mengembalikan kekuatan ilmu Panembahan Bajang yang
dahsyat itu. Meskipun mPu Lengkon sendiri tidak pernah
merasa takut kepada kekuatan ilmu Panemhahan Bajang,
namun menurut penilaiannya, kemampuan ilmu
Panembahan Bajang adalah sangat nggegirisi. Karena itu,
jika ada orang yang mampu melawannya dan bahkan
melontarkan kembali sehingga membunuhnya, tentu orang
itu memiliki kemampuan yang tidak dapat dijajagi.
Namun mPu Lengkon tidak membayangkan sama sekali,
bahwa satu kekuatan yang dibangun atas empat
kemampuan yang tinggi telah mendorong kembali serangan
Panembahan Bajang. Empat orang yang sebenarnya tidak
memiliki kemampuan untuk mengatasi kekuatan
sebagaimana dilontarkan oleh Panembahan Bajang, namun
karena kebulatan hati mereka tertuju kepada Yang Maha
Agung untuk mendapatkan perisai perlindungan, maka
ternyata bahwa kekuatan mereka berempat dapat
melontarkan kembali serangan Panembahan Bajang kepada
dirinya sendiri. mPu Langkon pun hanya dapat menarik nafas dalamdalam.
Tetapi ia tidak dapat memberikan petunjuk apapun
kepada para cantrik, karena peristiwa yang terjadi itu
merupakan peristiwa yang gelap.
"Mungkin Panembahan Bajang telah membentur
kekuatan para kesatria di Kediri," berkata mPu Lengkon
kepada diri sendiri. Lalu, "Karena di Kediri tentu terdapat
banyak kekuatan yang dapat mengimbangi kekuatan
Panembahan Bajang. Dan tentu akan terjadi hal yang
mungkin sama jika aku melakukan serangan-serangan
tersembunyi sebagaimana dilakukan oleh Panembahan
Bajang." Namun dalam pada itu, mPu Lengkon tidak segera
meninggalkan tempat itu. Ternyata kehadirannya telah
memberikan sedikit ketenangan kepada para cantrik. karena
ternyata mPu Lengkon telah ikut membantu memecahkan
persoalan-persoalan yang dihadapi para cantrik untuk
menyelenggarakan mayat Panembahan Bajang.
"Aku akan berada disini sampai semuanya selesai,"
berkata mPu Lengkon yang menjadi iba melihat keadaan
para cantrik yang kebingungan.
Sementara itu, maka mereka yang berjalan menuju
Kediri tengah beristirahat di sebuah ara-ara perdu. Ternyata
bahwa ketika mereka sempat duduk, justru terasa bahwa
mereka memang sudah mulai letih.
Demikianlah maka Mahisa Bungalan pun telah berkata
kepada kedua adiknya, "beristirahatlah. Mungkin kalian
ingin tidur barang sekejap. Kita akan bergantian berjagajaga."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera mencari
tempat. Sekilas mereka melihat Pangeran Lembu Sabdata
duduk bersandar sebongkah batu padas. Tatapan matanya
yang kosong terlempar jauh kekeramangan malam.
Namun keduanya sama sekali tidak berbuat sesuatu,
karena di tempat itu pula ada Pangeran Singa Narpada.
Segala sesuatunya tentu akan dilakukan oleh Pangeran
Singa Narpada itu bagi kepentingan adiknya yang kurang
menyadari apa yang telah terjadi atas dirinya itu.
Namun dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada tidak
membuat adiknya tertidur. Dibiarkannya Pangeran Lembu
Sabdata duduk merenungi gelapnya malam sebagaimana
hatinya yang gelap. Tetapi dengan demikian maka
Pangeran Singa Narpada harus mengawasinya terusmenerus
agar adiknya itu tidak hilang tanpa diketahui
kemana perginya. Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pun telah mendapatkan tempat untuk berbaring. Ternyata
sisa malam tinggal beberapa saat saja. Namun keduanya
memang sempat memejamkan matanya dan tidur sejenak.
Tetapi mereka pun segera terbangun ketika langit
menjadi terang. Berdua mereka pergi ke sungai yang airnya
meskipun sedikit tetapi jernih. Keduanya sempat mandi dan
membersihkan dirinya, sehingga dengan demikian maka
tubuh mereka pun terasa menjadi segar setelah mereka
sempat tidur beberapa kejap.
Setelah keduanya, barulah Pangeran Singa Narpada dan
Mahisa Bungalan yang turun ke sungai. Pangeran Singa
Narpada telah mengajak Pangeran Lembu Sabdata dengan
cara yang khusus untuk ikut pergi ke sungai dan
membersihkan dirinya pula.
"Meskipun kemudian mereka telah selesai mandi dan
membersihkan diri," namun mereka tidak segera
meninggalkan tempat itu. Mereka tidak tergesa-gesa
melanjutkan perjalanan justru di siang hari. Mereka
berusaha untuk menghindarkan diri sejauh-jauhnya dari
perhatian orang banyak, bahwa mereka telah membawa
sesuatu yang sangat berharga. Apalagi sikap Pangeran
Lembu Sabdata yang tentu menumbuhkan beberapa
pertanyaan dan kemudian menarik perhatian orang yang
melihatnya. Karena itu, maka sebagaimana mereka rencanakan
sebelumnya, bahwa mereka akan lebih banyak berada di
jalan-jalan justru di malam hari.
"Jadi kita akan berada di tempat ini sampai senja?"
bertanya Mahisa Pukat. "Seharusnya memang demikian," jawab Mahisa
Bungalan, "Tetapi kita akan melihat suasana. Mungkin kita
akan berangkat lebih cepat."
"Lalu apa yang akan kita kerjakan selama kita
menunggu matahari turun" Berbaring, tidur lagi atau apa?"
desak Mahisa Pukat.

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Bungalan menyadari bahwa kedua adiknya akan
menjadi jemu menunggu tanpa berbuat apa-apa. Karena itu,
maka katanya, "Nah, jika demikian apa yang sebaiknya
kalian lakukan" Mungkin mencari ikan di sungai kecil itu
dengan membendungnya atau apa?"
Mahisa Murti lah yang menjawab, "Aku barangkali
Mahisa Pukat akan melihat-lihat lingkungan diluar hutan
perdu ini." Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun
katanya, "Kami berada di tempat ini untuk menghindarkan
diri dari persoalan-persoalan yang dapat timbul. Karena itu,
maka sebaiknya kalian pun tidak keluar dari ara-ara perdu
ini." "Kami tidak akan berbuat apa-apa," jawab Mahisa
Murti, "hanya sekedar melupakan kejemuan. Seandainya
ada pasar atau kedai atau orang-orang yang berjualan, maka
kami memang ingin membeli makanan."
Mahisa Bungalan memang tidak akan membiarkan
keduanya menjadi sangat gelisah karena mereka harus
menunggu tanpa berbuat apa-apa. Karena itu, maka Mahisa
Bungalan itupun kemudian bertanya kepada Pangeran
Singa Narpada. "Bagaimana menurut pertimbangan
Pangeran?" "Biarlah mereka pergi. Agaknya mereka benar-benar
telah dewasa dalam sikap dan tingkah laku, bukan saja
ilmunya. Karena itu, kami percaya bahwa mereka akan
dapat menempatkan diri sebaik-baiknya, dan tidak akan
berbuat sesuatu yang dapat merugikan perjalanan kita,"
jawab Pangeran Singa Narpada.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Baiklah. Pangeran Singa Narpada pun tidak berkeberatan.
Tetapi hati-hatilah."
Mahisa Murti mengangguk kecil. Sementara itu, bersama
Mahisa Pukat keduanya telah meninggalkan hutan perdu
itu turun ke sebuah jalan kecil yang menuju ke sebuah
padukuhan. "Mudah-mudahan kita menemukan pasar," berkata
Mahisa Pukat. "Untuk apa?" bertanya Mahisa Murti.
"Rasa-rasanya aku ingin makan sesuatu yang lain dari
yang selalu kita makan selama ini," berkata Mahisa Pukat.
"Ah, kau," desis Mahisa Murti, "Apakah yang kita
makan selama ini kurang baik?"
"Jangan berpura-pura. Jika kita menemukan jenis
makanan yang sudah lama tidak kita jumpai, maka kau
menyadarinya," jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tertawa. Tetapi ia tidak membantah.
Agaknya benar juga bahwa mereka menjadi jenuh dengan
makanan yang seadanya dan minum dengan meneguk air
dari belik. Sebenarnyalah, akhirnya keduanya telah menemukan
sebuah pasar yang meskipun tidak begitu besar, tetapi
didalamnya terdapat beberapa buah kedai makanan.
"Nah," berkata Mahisa Pukat. "Kita dapat-memilih.
Jika kita sudah kenyang, maka kita akan dapat membeli
untuk kakang Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa
Narpada." Mahisa Murti tidak menjawab, namun iapun telah
menuju ke sebuah pintu kedai yang terbesar diantara kedai
yang ada di warung itu. Ketika mereka kemudian duduk, maka didalam kedai itu
telah lebih dahulu duduk beberapa orang yang sedang
menikmati minuman panas dan makanan.
Tidak ada orang yang memperhatikan kedatangan kedua
anak muda itu. Ketika mereka mendengar langkah mereka
memasuki pintu kedai, mereka hanya sekedar berpaling.
Kemudian perhatian mereka kembali kepada minuman dan
makanan yang sudah tersedia.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah telah memesan
minuman dan makanan pula. Sejenak kemudian, maka
mereka pun telah sibuk menikmatinya, sehingga karena itu,
maka keduanya seperti orang-orang lain tidak
menghiraukan ketika ada seorang lagi memasuki warung
itu. Seorang yang bertubuh kecil kekurus-kurusan telah
duduk tidak terlalu jauh dari Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Tongkatnya yang panjang pun kemudian
disandarkannya pada dinding warung itu.
Orang bertubuh kecil itupun kemudian sebagaimana
orang-orang lain juga memesan minuman dan makanan.
Seolah-olah tanpa menghiraukan orang lain, maka orang
itupun kemudian minum dan makan dengan asyiknya.
Tetapi sekali-sekali orang itu berusaha untuk dapat
memandang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sama
sekali tidak memperhatikannya. Bahkan agaknya orang itu
kemudian menjadi sangat tertarik kepada kedua orang anak
muda itu. Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih
sibuk dengan minuman dan makanan mereka. Karena itu,
mereka sama sekali tidak tahu, bahwa orang yang bertubuh
kecil itu, perlahan-lahan tanpa dilihat oleh orang lain telah
menyentuh tongkat panjangnya yang tersandar di dinding.
Tiba-tiba saja tongkat panjangnya itu mulai bergeser dan
roboh menimpa pundak Mahisa Pukat. Adalah diluar
dugaan bahwa tongkat yang kecil itu terasa di pundak
Mahisa Pukat bagaikan robohnya sebatang pohon kelapa.
Diluar sadarnya, karena yang terjadi itu sama sekali
tidak disangkanya, Mahisa Pukat telah mengaduh sambil
meloncat berdiri. Mahisa Murti pun terkejut pula. Tongkat yang
dikibaskan dari pundak Mahisa Pukat itu hampir saja
menimpanya. Namun tongkat itu telah terjatuh dan
menimpa tempat duduk yang terbuat dari bambu.
Seisi kedai itu terkejut bukan buatan. Bahkan orangorang
yang duduk di ujung tempat duduk bambu itupun
telah jatuh terlentang menimpa dinding kedai itu, karena
tempat duduk dari bambu yang tertimpa oleh tongkat
panjang itu menjadi roboh.
Orang-orang itupun kemudian tertatih-tatih berdiri.
Beberapa orang menjadi marah. Tanpa memikirkan sebab
dan terjadinya mereka memaki orang yang membawa
tongkat itu. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menilai
peristiwa yang terjadi itu bukannya sekedar satu kebetulan
sebagaimana orang-orang lain menganggap. Beberapa
orang marah karena orang, bertubuh kecil itu dianggap
tidak berhati-hati dengan tongkatnya. Namun mereka tidak
berpikir sama sekali, bahwa tongkat itu pada keadaan wajar
tentu tidak akan dapat merobohkan tempat duduk yang
meskipun terbuat dari bambu tetapi cukup kuat sebagai
tempat duduk bagi beberapa orang.
Orang bertubuh kecil itu ternyata, tidak menjawab sama
sekali yang diperhatikannya adalah justru Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Sementara itu, dengan mengerahkan
daya tahannya, Mahisa Pukat berusaha mengatasi rasa
sakitnya. Tulangnya terasa bagaikan retak. Tetapi karena
kemampuannya serta ketahanan tubuhnya yang tinggi,
maka lambat laun ia berhasil menguasai perasaan sakitnya.
Tetapi Mahisa Pukat tidak menunjukkan bahwa rasa
sakitnya itu telah dapat diatasinya. Ia masih saja
menyeringai dengan memegang pundaknya dan bahkan
kemudian iapun telah mengaduh pula beberapa kali.
Orang bertubuh kecil itupun kemudian mengambil
tongkatnya yang telah merusakkan salah satu tempat duduk
dikedai itu. Dilemparkannya beberapa keping uang kepada
pemilik warung itu, kemudian tanpa mengucapkan kata
apapun juga, ia telah melangkah keluar.
Beberapa orang yang masih ada didalam kedai itu masih
saja mengumpat-umpat. Apalagi yang telah terjatuh karena
tempat duduknya rusak tertimpa tongkat panjang itu.
Sementara itu, Mahisa Murti telah berbisik, di telinga
Mahisa Pukat, "Bagaimana?"
"Tidak apa-apa," jawab Mahisa Pukat.
"Kau nampak kesakitan," berkata Mahisa Murti.
"Aku sengaja berbuat begitu. Mungkin masih akan ada
kelanjutannya. Mudah-mudahan tidak akan mengganggu
perjalanan kita, apalagi dengan mahkota dan Pangeran
Lembu Sabdata," jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun kemudian ia
berdesis. "Apalagi sebabnya orang itu berbuat demikian
atas kita?" "Entahlah," sahut Mahisa Pukat, "Tetapi kita memang
harus berhati-hati. Mudah-mudahan, sekali lagi mudahmudahan,
tidak akan mengganggu perjalanan kita. Kakang
Mahisa Bungalan tentu akan menyalahkan kita."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun iapun
kemudian mengambil uangnya dan memberikannya kepada
pemilik kedai itu sesuai dengan makanan dan minuman
yang telah mereka habiskan.
Keduanya pun kemudian keluar dari kedai itu dengan
penuh kewaspadaan. Mereka yakin bahwa orang bertubuh
kecil itu tidak akan membiarkannya pergi begitu saja.
"Kemana orang itu," desis Mahisa Pukat.
"Entahlah," sahut Mahisa Murti, "Tetapi kita tentu
akan bertemu lagi. Kita tidak usah susah-susah
mencarinya." "Orang itu tentu akan datang menemui kita. Mungkin
dengan sikap yang ramah, tetapi mungkin dengan wajah
yang garang dan menantang kita untuk berkelahi tanpa
sebab." "Tetapi ia baik terhadap pemilik kedai itu. Ia
memberikan ganti pada ambennya yang rusak dan
barangkali makanan yang tumpah dengan beberapa keping
uang yang tentu lebih banyak dari nilai barang-barang itu
yang sebenarnya," berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Marilah, tetapi kita tidak dapat langsung kembali ke
tempat kakang Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa
Narpada." Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka berdua pun
kemudian meninggalkan tempat itu. Tetapi mereka tidak
langsung menuju tempat kakaknya menunggu.
Sebenarnyalah sebagaimana dikatakan oleh Mahisa
Murti, mereka memang tidak usah mencari orang bertubuh
kecil dan bertongkat panjang itu. Ketika keduanya keluar
dari padukuhan, maka mereka telah melihat orang bertubuh
kecil dan bertongkat panjang itu duduk dibawah sebatang
pohon gayam yang besar sambil memeluk tongkatnya.
"Itulah," berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Orang itu memang sedang mencari persoalan. Tetapi tentu
bukannya satu kebetulan. Orang itu tentu mempunyai
kepentingan dengan kita dan mungkin dengan kakang
Mahisa Bungalan atau Pangeran Singa Narpada."
Mahisa Murti tidak menjawab, sementara Mahisa Pukat
mulai Iagi meraba-raba pundaknya sambil menyeringai,
seolah-olah pundaknya itu menjadi sangat sakit, atau
tulangnya menjadi retak karenanya.
Beberapa saat kemudian, keduanya menjadi semakin
dekat dengan orang yang duduk dibawah pohon gayam itu.
Mahisa Murti pun kemudian berdesis, "Hati-hatilah.
Mungkin ia seorang laki-laki. Tetapi mungkin ia seorang
yang licik dan menyerang dengan tiba-tiba saja tanpa
memberi isyarat lebih dahulu."
Meskipun Mahisa Pukat masih saja menyeringai
menahan sakit, namun ia telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Sebenarnyalah ketika mereka melewati orang yang
duduk itu, ternyata orang itu telah menyilangkan
tongkatnya melintang jalan. Meskipun panjang tongkat itu
tidak selebar jalan yang dilalui oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, namun keduanya telah berhenti.
Dengan nada datar Mahisa Murti bertanya, "Apa
maksudmu menghalangi langkahku Ki Sanak."
Orang itupun kemudian bangkit berdiri. Diamatinya
Mahisa Pukat yang masih memegangi pundaknya.
Kemudian dengan nada datar ia bertanya, "Apakah
pundakmu terasa sakit?"
"Apakah maksudmu dengan menyakiti aku Ki Sanak?"
bertanya Mahisa Pukat, "Tulangku serasa patah dan
tanganku seakan-akan tidak mampu bergerak sama sekali."
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi kau
telah membuat aku menjadi heran. Meskipun kau
mengatakan bahwa tulang-tulangmu terasa sakit, tetapi kau
masih mampu berdiri tegak dan berjalan meninggalkan
kedai itu." "Jadi, bagaimana seharusnya menurut nalarmu?"
bertanya Mahisa Pukat, "Apakah aku harus mati?"
"Seandainya kau tidak mati, maka kau harus menjadi
lumpuh atau sama sekali tidak dapat keluar dari kedai itu,"
jawab orang itu. "Kenapa" Bukankah tongkatmu tidak lebih dari
sebatang tongkat kecil dan panjang" Apakah dengan
tongkat itu kau memang terbiasa membunuh orang atau
membuatnya lumpuh dan tidak berdaya seperti aku?"
bertanya Mahisa Pukat. "Kau masih dapat berjalan sampai ke tempat ini. Karena
itu aku menunggumu. Kau harus ditimpa tongkat ini sekali
lagi agar kau benar-benar menjadi lumpuh atau mati."
berkata orang bertubuh kecil itu.
"Ah." desah Mahisa Pukat, "Apakah kau sampai hati
berbuat demikian terhadapku" Apakah sebenarnya salahku
dan apakah sebenarnya persoalan yang ada diantara kita?"
"Kenapa kau tanyakan persoalan yang ada diantara
kita?" orang itu justru bertanya, "Jika aku ingin membunuh
seseorang maka aku tidak pernah berpikir apakah aku
mempunyai persoalan dengan orang itu atau tidak."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
"Ki Sanak. Marilah kita berterus terang. Apakah maumu


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebenarnya, agar semuanya menjadi jelas. Kau sudah
menyakiti pundak saudaraku. Sekarang kau berniat untuk
membunuh kami. Aku yakin bahwa yang kau katakan itu
bukannya yang sebenarnya. Mungkin kau memang ingin
membunuh kami, tetapi tentu ada persoalan yang
mendorong melakukannya. Tidak seperti yang kau katakan,
bahwa hal itu kau lakukan karena kau ingin
melakukannya." Orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. Katanya,
"Ternyata kalian memang bukan orang kebanyakan.
Kecuali itu tidak hancur, kau pun menangkap persoalan
diantara kita dengan sikap dewasa."
"Apapun menurut penilaianmu," desis Mahisa Murti.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya
kedua anak muda itu berganti-ganti.
Untuk beberapa saat kedua belah pihak saling berdiam
diri. Seakan-akan kedua belah pihak sedang menjajagi
kemungkinan yang ada didalam diri mereka. Terutama
orang bertubuh kecil itu. Dengan cermat ia melihat pundak
Mahisa Pukat yang masih saja dipeganginya seakan-akan
pundak itu masih terasa sakit.
Namun tiba-tiba saja orang bertubuh kecil itu berkata,
"Anak muda. Jangan berpura-pura. Aku tahu, kau sudah
berhasil mengatasi perasaan sakitmu. Dengan demikian
maka kau tentu seorang anak muda yang pilih tanding.
Tetapi justru karena itu maka keinginan untuk membunuh
dan saudaramu menjadi semakin mendesak."
"Itu bukan soal," jawab Mahisa Pukat sambil
melepaskan pundaknya, "Tetapi bahwa kau tahu aku
berhasil mengatasi perasaan sakitku merupakan satu
kemampuan penglihatan yang luar biasa. Sekali-sekali aku
juga ingin memujimu, meskipun pujian yang keluar dari
mulutku tidak akan lebih berarti dari pujian yang keluar
dari mulutmu." Orang bertubuh kecil itu mengerutkan keningnya.
Namun iapun kemudian menarik nafas dalam-dalam.
"Tepat," jawab Mahisa Murti, "Apalagi membunuh
seseorang yang sombong dan terlalu yakin akan
kemampuannya. Seseorang yang akan dibunuh, tetapi
kemudian justru berhasil membunuh lawannya itu akan
dapat memberikan kepuasan lebih besar daripada
membunuh seseorang yang sekedar memberikan
perlawanan pada saat ia akan dibunuh."
"Hem," orang itu menggeram. Tetapi ia menahan
gejolak didalam hatinya. Bahkan dengan nada datar ia
berkata, "Kalian benar-benar lepas dari dugaanku. Yang
aku hadapi sekarang bukan anak-anak muda sebagaimana
aku lihat. Tetapi marilah, mumpung masih ada waktu. Aku
masih mempunyai tugas yang lain. Aku masih harus
membunuh tujuh orang lagi, karena diantara sepuluh orang
yang harus aku bunuh, aku baru berhasil membunuh satu
orang. Sekarang aku akan membunuh dua orang lagi."
"Kenapa baru seorang?" bertanya Mahisa Pukat.
"Yang aku jumpai memang baru seorang," jawab orang
bertubuh kecil itu. "Beruntunglah bahwa sekarang aku
menjumpai dua orang sekaligus. Jika aku dapat menjumpai
lima atau tujuh orang yang lain sekaligus, pekerjaanku akan
semakin cepat, karena aku akan dapat membunuh mereka
bersama-sama dalam satu saat seperti yang akan aku
lakukan atas kalian."
Tetapi Mahisa Murti justru tertawa karenanya. Lalu
katanya, "Kau memang aneh. Kau sendiri mengatakan,
bahwa sebaiknya kita tidak usah berpura-pura, meskipun
kau tidak akan mengatakan sebab yang sebenarnya. Tetapi
kau masih mengigau saja seperti seorang yang sakit panas."
Orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi tiba-tiba iapun
tersenyum juga. Katanya, "Aku lupa bahwa aku
berhadapan dengan anak-anak muda yang telah dewasa.
Tetapi baiklah. Aku sekarang bersungguh-sungguh. Jika
kalian memang jantan, marilah kita benar-benar pergi ke
pategalan itu." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi
mereka pun kemudian melangkah ke pategalan bersama
orang yang bertubuh kecil itu.
-ooo0dw0oooKolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoy o Conv erter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : Uploader di Indozone : Din o
--ooo0dw0ooo- Jilid 026 DEMIKIAN mereka sampai di pategalan, maka merekapun
segera mencari tempat yang paling baik untuk
bertempur. Karena tujuan mereka pergi ke pategalan itu
adalah untuk berkelahi. Dibawah sebatang pohon sukun mereka telah
menemukan tempat yang lapang. Mereka tidak
menghiraukan tanaman jagung muda yang tumbuh dengan
suburnya. Hijau daunnya tidak melemahkan hasrat mereka
yang ingin mengadu kemampuan ilmu mereka yang tinggi.
Meskipun sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
hanya sekedar berusaha membela diri saja.
Sejenak kemudian, maka orang-orang yang akan
bertempur itu telah bersiap. Orang bertubuh kecil itu telah
siap mempergunakan tongkatnya, sementara Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat telah menyiapkan pedang pendek
mereka, jenis senjata yang dapat mereka bawa dibawah
kain panjang mereka. Orang bertubuh kecil yang telah siap untuk menyerang
itupun masih sempat berkata, "Salah seorang diantara
kalian telah dapat merasakan betapa tongkatku memiliki
kekuatan yang sulit untuk dilawan. Itupun belum lagi
tersalur, kekuatan ilmuku. Kalian dapat membayangkan,
jika tongkat aku ayunkan langsung mengenai tubuh kalian."
Mahisa Pukat yang telah dikenai tongkat itupun
mengerutkan keningnya. Dipandanginya Mahisa Murti
sekilas, namun kemudian iapun memandang orang
bertubuh kecil itu sambil menjawab, "Ki Sanak. Pundakku
yang dikenai tongkatmu memang sakit. Itupun belum kau
saluri kekuatan ilmu dan tidak langsung kau ayunkan ke
tubuhku. Namun sementara itu aku pun juga tidak siap
mengalami benturan dengan tongkatmu sehingga aku pun
belum mempersiapkan daya tahanku dengan melambari
ilmuku untuk melawan tongkatmu."
Orang bertubuh kecil itu menarik nafas dalam-dalam.
Katanya hampir bergumam, "Kalian memang anak-anak
yang sombong. Tetapi sebentar lagi kalian akan merasakan
betapa kesombongan kalian telah menjerumuskan kalian ke
dalam kesulitan." "Sombong atau tidak sombong kami sudah terjerumus ke
dalam kesulitan," jawab Mahisa Murti. Lalu, "Karena itu,
marilah kita bertempur. Siapakah yang terbukti akan mati
disini." Orang bertubuh kecil itupun kemudian bergeser setapak
sambil mengayunkan tongkatnya. Perlahan-lahan namun
terasa bahwa tongkat itu benar-benar berbahaya jika
mengenai tubuh mereka. Karena itu, maka baik Mahisa Murti maupun Mahisa
Pukat menyadari, bahwa mereka harus berusaha selalu
menghindari sentuhan tongkat panjang orang bertubuh kecil
itu. Karena sentuhannya benar-benar akan dapat
memecahkan tulang-tulangnya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itupun kemudian
merenggang. Mereka akan langsung menghadapi orang
bertubuh kecil itu berpasangan. Dengan memutar pedang
pendek masing-masing keduanya berusaha untuk berada di
tempat yang seberang-menyeberangi orang yang bertubuh
kecil itu. Dengan demikian maka keduanya akan dapat
memecah perhatian orang bertubuh kecil yang bertongkat
panjang itu. Sejenak kemudian, maka tongkat itu mulai terayun.
Namun kedua orang anak muda itu telah bersiap
sepenuhnya. Mereka telah bertekad untuk menghindari
benturan sejauh dapat mereka lakukan karena agaknya
orang bertubuh kecil itu selain mampu mempergunakan
tenaga-tenaga cadangannya sebaik-baiknya, iapun memiliki
kemampuan menyerap kekuatan dari alam sekelilingnya,
sehingga dengan demikian, maka tongkatnya memiliki
kekuatan yang luar biasa.
Tetapi kedua orang anak muda itupun telah dibekali
dengan ilmu yang lengkap. Karena itu, baik Mahisa Murti
maupun Mahisa Pukat sama sekali tidak menjadi gentar
melihat sikap lawannya. Ketika tongkat panjang itu terayun
Piala Api 4 Pendekar Bayangan Sukma 9 Racun Kelabang Putih Putri Randu Walang 1

Cari Blog Ini