Ceritasilat Novel Online

Hijaunya Lembah Hijaunya 3

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 3


memiliki barang-barang berharga y ang dibawanya, maka ia
akan segera menjadi sasaran perampokan.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Mahisa Murti pun
kemudian berkata pula: "Inilah orang -orang y ang telah
menjadi kaki tangan pemilik kedai itu."
"Aku tidak mengira," berkata Ki Bekel: "orang itu
menurut pengenalan kami sehari-hari adalah orang yang baik.
Ia adalah orang y ang sering membantu kesulitan orang lain.
Semula kami menganggapnya orang y ang terlalu baik.
Hidupnya sendiri termasuk sangat sederhana. Tetapi ia tidak
merasa sayang untuk memberi bantuan kepada orang-orang
yang sangat membutuhkan. Ternyata kebaikan hatinya itu
sekedar untuk menutupi kejahatan-kejahatan yang sering
dilakukannya." "Begitulah Ki Bekel," sahut Mahisa Pukat: "keenam
orang ini adalah orang-orang y ang juga cukup berbahaya.
Tanpa pemilik kedai itu, maka keenam orang itu dapat saja
menjadi semakin liar jika mereka benar-benar tidak
dikendalikan." Ki Bekel m engangguk-angguk. Sementara Mahisa Pukat
berkata: "Kami serahkan keenam orang ini kepada Ki Bekel."
Ki Bekel masih mengangguk-angguk. Sementara Mahisa
Pukat berkata selanjutnya: "Kami y akin, bahwa mereka telah
melakukan kejahatan-kejahatan sampai ke tempat yang jauh.
Beberapa padukuhan telah menjadi garang dan bahkan orangorangnya
hampir menjadi buas karena lingkungannya yang
terlalu sering diganggu oleh kejahatan. Ketika seorang yang
merasa dirinya memiliki ilmu kembali ke padukuhannya
setelah beberapa lama meninggalkan padukuhannya itu, maka
ia menjadi sangat marah karena kejahatan-kejahatan yang
sering terjadi di padukuhannya itu. Karena itu maka ia telah
memimpin tetangga-tetangganya untuk menemukan pelaku
kejahatan itu. Tetapi karena untuk beberapa lama mereka
tidak menahan diri, maka akibatnya mereka pun menjadi
buas. Mereka tidak lagi m ampu m engendalikan diri. Orang
yang disangkanya telah melakukan kejahatan telah
diperlakukan diluar batas kemanusiaan."
"Sangat meny edihkan," desis Ki Bekel.
"Ya. Mungkin satu dua orang pengembara yang lewat di
padukuhan itu di malam hari, tidak lagi mendapat ampun
meski pun mereka benar-benar tidak bersalah," berkata
Mahisa Pukat. "Sedangkan bertindak sendiri k epada orang -orang y ang
benar-benar melakukan kejahatan pun tidak dibenarkan,"
berkata Ki Bekel: "apalagi kepada setiap orang y ang mungkin
sama sekali tidak bersalah."
"Ya. Mungkin seseorang yang tergesa -gesa memanggil
dukun bay i di tengah malam karena isterinya akan
melahirkan. Jika ia jatuh ke tangan orang-orang yang menjadi
buas itu, maka ia akan menjadi korban. Isterinya yang
melahirkan pun akan menjadi korban y ang sama sekali tidak
berdosa," berkata Mahisa Pukat.
Ki Bekel m engangguk-angguk. Katanya: "Jika demikian,
kami mengucapkan terima kasih atas tindakan yang telah
kalian lakukan terhadap para perampok sehingga setidaktidaknya
akan akan mengurangi kemungkinan buruk yang
terjadi di padukuhan ini dan padukuhan-padukuhan di
sekitarnya." "Mungkin mereka masih mempunyai kawan-kawan y ang
lain," berkata Mahisa Murti kemudian, "karena itu, terserah
kepada Ki Bekel untuk mendapat keterangan selengkaplengkapnya
dari keenam orang itu."
"Kami akan membawa mereka ke banjar. Kami akan
memaksa mereka untuk berbicara. Jika mereka berkeberatan,
kami m empunyai cara untuk m emaksa mereka," berkata Ki
Bekel. Kulit keenam penjahat itu meremang. Sementara itu
Mahisa Pukat pun berkata: "Sebaiknya kalian berkata terusterang
tentang diri kalian dan tentang apa y ang pernah kalian
lakukan. Dengan demikian, maka kalian y ang sudah berada di
tangan Ki Bekel itu tidak akan mengalami perlakuan yang
kasar. Bukankah kalian lebih senang untuk mengalami
perlakuan yang lunak dan baik" Semuanya tergantung kepada
kalian." Keenam orang itu menjadi semakin gelisah. Tetapi Ki
Bekel berkata: "Jika kalian tidak menyulitkan kami, maka
kami pun tidak akan menyulitkan kalian."
Keenam orang itu hanya menunduk saja.
Sementara itu Mahisa Murti telah melaporkan juga,
bahwa pemilik kedai itu justru telah terbunuh.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Katanya:
"Kematian telah mengakhiri tingkah lakunya yang sama sekali
tidak kam i duga." Nampaknya orang itu memang sangat berbahaya,"
berkata Mahisa Murti kemudian: "sehingga tingkah lakunya
itu sudah membakar perasaanku. Aku tidak sempat lagi
mengekang diriku sendiri ketika pedangku menghunjam
didadanya." "Apaboleh buat," berkata Ki Bekel: "jika ia memang
bersalah, maka ia harus memetik buah dari perbuatanperbuatannya
sendiri." "Aku terpaksa melakukannya Ki Bekel," berkata Mahisa
Murti. "Aku k ira itu adalah akhir yang paling baik buat orang
itu," berkata Ki Bekel: "karena dengan demikian ia t idak akan
dapat berbuat kejahatan lagi. Bukan hanya dipandang dari
satu sisi. Tetapi dengan demikian tidak akan ada orang lain
lagi y ang akan mengalami kesulitan dalam perjalanan jika
mereka melewati padukuhan ini."
"Ki Bekel," berkata Mahisa Pukat kemudian: "jika Ki
Bekel memeriksa orang-orang itu, aku mohon Ki Bekel
bertanya kepada mereka, sampai kemana saja mereka
melakukan kejahatannya itu. Di sebuah padukuhan yang agak
jauh, orang-orang padukuhan justru menjadi buas seperti yang
kami katakan tadi. Karena dengan demikian m aka Ki Bekel
akan dapat memberikan kabar tentang penangkapan para
perampok itu , meski pun y ang paling berhak mengadili adalah
Ki Buyut yang mempunyai lingkungan sampai kedaerah ini."
"Aku akan berbicara dengan Ki Buyut," berkata Ki Bekel:
"tetapi jika keputusan hukuman dikuasakan kepadaku, maka
aku akan m elakukannya, m eski pun orang-orang padukuhan
ini masih belum kehilangan akal dan menjadi buas seperti
padukuhan y ang kau katakan itu."
"Mudah-mudahan padukuhan itu pun segera dapat
menjadi tenang kembali jika mereka tahu bahwa para
perampok telah ditangkap. Kecuali jika dengan jujur
perampok-perampok itu merasa tidak pernah merampok
sampai kepadukuhan itu," berkata Mahisa Pukat kemudian.
"Aku akan berbicara dengan mereka sebelum mereka
sampai ketangan Ki Buyut," berkata Ki Bekel, "namun jika ada
diantara mereka y ang tidak berkata dengan jujur, maka orang
itu tidak akan pernah berbicara dengan Ki Buyut. Apalagi
memutuskan perkaranya."
Kata -kata Ki Bekel itu memang sangat mendebarkan,
karena dapat mempunyai arti yang lain. Arti y ang tidak kalah
garangnya dengan sikap orang -orang padukuhan yang sudah
menjad agak jauh itu. Tetapi bagaimana pun juga masih lebih baik jatuh
ketangan Ki Bekel itu daripada langsung jatuh ketangan
rakyat. Namun tiba -tiba saja seseorang diantara orang-orang
yang menyaksikan pertempuran itu dari persembuny iannya
sempat berteriak: "Serahkan mereka kepada kami."
"Jangan begitu," berkata Ki Bekel: "kita memiliki
paugeran untuk meny elesaikan orang -orang seperti keenam
orang itu." "Kami tidak sabar menunggu. Apalagi jika akhirnya
orang-orang itu dilepaskan begitu saja. Mereka akan
mendendam kepada kami," berkata orang itu.
0oo0dw0oo0 (Bersambung ke jilid 88) Conv er by Editing: MCH Pdf ebook : Dan HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 88 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : MCH dan Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 088 "TENTU TIDAK. Kami tidak akan melepaskan orang itu
begitu saja. Kami tentu akan menuntut kepada Ki Buyut agar
orang-orang itu dihukum sesuai dengan kesalahan yang
mereka lakukan.," sahut Ki Bekel.
Orang itu termangu-mangu. Namun di wajahnya masih
menyala dendam di hatinya.
Tetapi Ki Bekel kemudian berkata: "Aku tidak akan
menunda-nunda. Sekarang juga kita akan pergi ke rumah Ki
Buyut dan memberitahukan apa yang telah terjadi."
Orang-orang itu terdiam. Namun seorang diantar a orangorang
yang tidak sempat berpikir terlalu jauh itu berteriak:
"Sudahkan Ki Bekel. Sebaikny a Ki Bekel memang memberikan
laporan kepada Ki Buyut. Supaya lebih cepat, m aka Ki Bekel
sebaiknya pergi berkuda saja bersama beberapa orang
pengawal. Siapa tahu, bahwa dengan tertangkapnya keenam
orang itu serta terbunuhnya seorang y ang justru adalah
pemimpinnya, maka masih ada orang -orang yang tersisa
sehingga mereka akan dapat menumpahkan dendamnya
kepada Ki Bekel." Ki Bekel mengerutkan keningnya. Namun katanya: "Aku
memang akan pergi menemui Ki Buyut. Tetapi tidak hanya
dengan pengawal. Tetapi keenam orang itu akan aku bawa."
Orang itu mengusulkan agar Ki Bekel serasa salah itu
kemudian berkata: "Orang-orang itu harus diadili disini.
Mereka adalah orang-orang padukuhan ini m eski pun jarang
bergaul dengan para tetangga."
"Keenam orang ini bukan orang padukuhan ini.," berkata Ki
Bekel. "Dua orang dari padukuhan sebelah," jawab salah seorang
diantara orang-orang padukuhan itu, "aku mengenali m ereka.
Ampat orang dari padukuhan ini. Tetapi m ereka bukan orang
asli dari padukuhan ini. Mereka hanya berada di rumah
sepekan sekali." " Itulah," berkata Ki Bekel, "pekerjaannya telah
membuatnya asing dengan orang lain."
Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu. Namun
kemudian seorang diantara mereka berkata: "Sudahlah.
Sebaiknya Ki Bekel pergi melaporkan kepada Ki Buyut. Biarlah
kami menjaga orang-orang itu."
Tetapi Ki Bekel menggeleng. Katanya: "Aku akan membawa
mereka. Ki Buyut tidak perlu datang kemari untuk mengadili
orang-orang itu disini."
"Biarlah mereka diadili disini," berkata seseorang y ang
berdiri di belakang; "Tidak," jawab Ki Bekel tegas.
Namun nampaknya orang-orang padukuhan itu merasa
tidak puas. Mereka mendendam orang-orang y ang telah
membuat tatanan padukuhan mereka menjadi porak poranda.
Mereka telah membuat padukuhan mereka dijauhi oleh orangorang
dari padukuhan lain. Jalan-jalan menjadi semakin sepi.
Bukan hanya satu padukuhan y ang mereka huni, tetapi
beberapa padukuhan di sekitarnya. Satu lingkaran besar
daerah y ang dijamah oleh tangan-tangan jahat dari orangorang
itu. Ki Bekel y ang juga melihat ketidak puasan itu menjadi
cemas. Orang-orang padukuhannya biasanya adalah orangorang
y ang patuh kepadanya. Patuh kepada perintahnya.
Tetapi dendam yang telah m embakar jantung mereka telah
membuat mereka menjadi keras. Bahkan mungkin mereka
akan melakukan perlawanan terhadap Ki Bekel.
Karena, itu , maka tiba-t iba saja Ki Bekel pun berkata: "Ki
Sanak, Aku harap Ki Sanak bersedia pergi ke rumah Ki Buyut.
Ki Sanak akan menjadi sak si utama dalam persoalan ini,
karena Ki Sanak adalah orang y ang m engalami perampokan,
namun sekaligus orang y ang telah berhasil m enangkap para
perampok." Mahisa Murti ternyata tanggap akan maksud Ki Bekel.
Dengan demikian maka orang-orang padukuhan itu tentu
akan segan m emaksa Ki Bekel dan saksi-saksi y ang langsung
menangkap para perampok itu untuk meny erahkan mereka.
Karena itu, betapa pun ia ingin melanjutkan perjalanan
dengan segera, namun Mahisa Murti tidak dapat menolak
permintaan Ki Bekel. Tetapi meski pun demikian maka Mahisa
Murti itu pun berkata: "Aku akan berbicara dengah saudarasaudaraku."
"Aku minta dengan sangat," berkata Ki Bekel, "tanpa kalian,
Ki Buyut akan dapat menarik arti y ang berbeda dari yang
sebenarnya. Kalian harus m enjelaskan apa yang telah terjadi.
Kal ian harus berterus-terang bahwa seorang diantara mereka,
justru pemimpinnya telah terbunuh."
Mahisa Murti mengangguk kecil. Katanya: "Aku akan
meyakinkan saudara-saudaraku."


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Murti memang berbicara dengan Mahisa Pukat,
Mahisa Semu dan Wantilan. Mereka memang tidak ingin
menolak permintaan Ki Bekel. Apalagi m ereka pun tanggap
akan latar belakang dari permintaan Ki Bekel itu.
Namun dalam pada itu Mahisa Amping pun bertanya:
"Kakang Mahisa Murti tidak minta pendapatku" "
"O, ya," jawab Mahisa Murti.
"Aku tidak berkeberatan. Ki Bekel memang memerlukan
sak si. Jika orang-orang itu ditinggal disini, maka nasib mereka
akan terancam," berkata Mahisa Amping.
"Sst. Dari mana kau tahu"," bertanya Mahisa Pukat.
"Wajah-wajah orang -orang padukuhan itu telah
menyatakan sikap mereka," jawab Mahisa Amping.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk sambil menepuk kepala
anak itu sambil berkata: "Kita akan ikut bersama Ki Bekel."
Ternyata seperti yang diperhitungkan oleh Ki Bekel, orangorang
padukuhan itu memang merasa segan merampas orangorang
y ang ternyata adalah perampok-perampok.
Karena itu, maka Ki Bekel pun kemudian berkata: "Marilah
anak-anak muda. Kita akan melakukan tugas ini dengan cepat.
Kita akan langsung ke rumah Ki Buyut."
Orang-orang padukuhan itu m emperhatikan Ki Bekel dan
keenam orang itu berganti-ganti. Keenam orang itu m emang
tidak akan m ungkin melarikan diri jika anak-anak muda itu
mengikuti mereka pergi ke rumah Ki Bekel.
Namun kekecewaan nampak m embayang di wajah-wajah
mereka. Mereka ternyata benar-benar ingin membuat
perhitungan dengan para perampok itu.
Namun y ang dikatakan oleh Ki Bekel k emudian: "Seorang
diantara para penjahat itu terbunuh. Namun bagaimana pun
juga kita tidak akan dapat membiarkan mayat itu terkapar di
situ. Karena itu, kalian berkewajiban meny elenggarakan mayat
itu, sementara kami pergi ke rumah Ki Buyut."
Tidak ada yang menjawab. Betapa pun orang-orang
padukuhan itu menjadi kecewa, namun mereka harus
menerima keputusan Ki Bekel.
Demikianlah, m aka sejenak kemudian, Mahisa Murti dan
saudara-saudaranya telah berangkat ke rumah Ki Buyut
bersama dengan beberapa orang bebahu. Keenam orang
perampok itu sama sekali tidak mengalami perlakuan khusus.
Tangan mereka sama sekali tidak diikat. Apalagi kaki mereka.
Mereka dapat berjalan bebas beriringan. Namun justru di
depan Ki Bekel yang berjalan bersama beberapa bebahu.
Kemudian dibelakang mereka adalah Mahisa Murti dengan
saudara-saudaranya. Keenam orang perampok itu memang merasa gelisah
bahkan ketakutan. Jika ki Buyut telah kehilangan
kesabarannya, maka mereka tentu akan mengalami nasib
buruk sekali. Sementara itu Ki Bekel lah yang justru merasa khawatir
terhadap para perampok yang berjalan berkelompok di depan.
Karena itu maka ia pun telah berbisik: "Apakah mereka tidak
akan melarikan diri" "
"Sejak semula mereka sudah meny erah. Jika ia ingin
melarikan diri tentu dilakukannya," berkata Mahisa Murti.
"Tetapi niat itu mungkin baru saja timbul. Jika mereka
berlari memencar, maka tentu ada diantara mereka yang
sempat luput dari kejaran kita," berkata Ki Bekel pula.
"Aku kira mereka tidak mempunyai keberanian untuk
melakukannya," jawab Mahisa Murti.
Ternyata perhitungan Mahisa Murti itu tepat. Meski pun
keenam orang itu seakan-akan bebas berjalan tanpa kekangan
apapun, namun mereka memang tidak berani melarikan diri.
Bagi mereka anak-anak muda itu adalah anak-anak muda yang
memiliki ilmu y ang sangat tinggi. Ternyata mereka telah dapat
mengalahkan pimpinan mereka, yang sehari -hari
menampakkan diriny a sebagai seorang pemilik kedai yang
sederhana, baik hati dan sangat ramah.
Meski pun demikian, perjalanan mereka telah menarik
perhatian beberapa orang padukuhan y ang mereka lewati.
Tetapi baik Ki Bekel, mau pun para bebahu tidak meny ebut
tentang para perampok ini.
Ketika seseorang mengenal bahwa y ang lewat itu adalah Ki
Bekel dari padukuhan sebelah maka ia pun telah bertanya: "Ki
Bekel nampaknya sedang menuju ke rumah Ki Buyut" "
"Ya," jawab Ki Bekel.
"Begitu banyak orang y ang menyertai Ki Bekel," berkata
orang itu y ang merasa heran melihat sebuah iring-iringan.
"Ada per soalan diantara keluarga mereka "jawab Ki Bekel,
"mereka memerlukan pendapat Ki Buyut.
"Begitu gawatnya sehingga Ki Bekel tidak dapat
menyelesaikan per soalan itu"," bertanya yang lain.
Ki Bekel merasa bahwa orang itu tentu sudah mulai merasa
curiga. Tetapi Ki Bekel justru tersenyum sambil berkata: "Ada
yang harus diputuskan oleh Ki Buyut."
Orang-orang padukuhan itu tidak bertanya lagi. Sementara
iring-iringan itu berjalan terus.
Namun para perampok itu menjadi semakin cemas. Jika
ada diantara m ereka y ang m engetahui bahwa m ereka adalah
perampok-perampok y ang selama itu mengganggu di bulakbulak
panjang dan bahkan didekat padukuhan-padukuhan,
maka persoalannya tentu akan menjadi gawat. Orang-orang
yang tidak mengenal anak-anak muda y ang telah
menangkapnya tidak akan mudah dikendalikan sebagaimana
orang-orang padukuhan y ang dipimpin oleh Ki Bekel itu.
Tetapi Ki Bekel memang tidak ingin terjadi keributan di
perjalanan. Karena itu, maka ia tetap merahasiakan
tawanannya. Bersama para bebahu Ki Bekel selalu
mengatakan bahwa orang-orang itu mempunyai per soalan
yang khusus sehingga harus menghadap Ki Buyut untuk
mendapatkan peny elesaian.
Kedatangannya di rumah Ki Buyut memang telah
mengejutkan Ki Buyut. Apalagi ketika Ki Bekel mengatakan
apa yang scbenarnya telah terjadi, serta siapa y ang telah
dibawanya menghadap Ki Buyut itu.
"Jadi orang-orang ini adalah perampok-perampok y ang
selama ini menghantui lingkungan kita"," bertanya Ki Buyut.
"Ya Ki Buyut. Seorang diantara mereka, justru
pemimpinannya, telah terbunuh. Seorang pemilik kedai yang
mempergunakan kedainya untuk menjebak orang-orang yang
akan dijadikan korbannya dengan memberikan isyarat kepada
orang-orang yang telah siap melakukan perampokan," berkata
Ki Bekel. Ki Buyut mengerutkan keningnya. Dengan nada dalam ia
bertanya: "Kenapa orang itu harus dibunuh" "
"Tidak dengan sengaja," jawab Ki Bekel, " orang itu adalah
orang yang berilmu tinggi, sehingga sulit untuk
menangkapnya tanpa membunuhnya. Apalagi orang itu
agaknya memang telah memilih mati daripada tertangkap
hidup-hidup." Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya: "Nampaknya
perampok-perampok ini menjadi sangat jinak. Menilik dan
tindakan-tindakannya, maka mereka adalah orang-orang yang
ganas dan keji." "Mereka memang orang-orang yang ganas dan bahkan liar
Ki Buyut. Tetapi dengan kehadiran anak-anak muda yang
telah m enangkapnya, maka mereka tidak berani berbuat apaapa,
sehingga mereka menjadi sangat jinak." Ki Bekel berhenti
sejenak, lalu katanya pula: "Tetapi sepeninggal anak-anak
muda ini maka mereka memerlukan pengawasan y ang sangat
ketat." Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya: "Aku mengerti.
Karena itu, maka aku akan memerintahkan para pengawal
Kabuyutan untuk mengikat mereka sampai saatnya mereka
ditentukan hukuman mereka."
"Kami mohon ampun," tiba -tiba orang yang tertua diantara,
para perampok itu memohon dengan nada y ang rendah.
"Kami akan melihat, mengumpulkan keteranganketerangan
dan saksi -saksi tentang kalian," berkata Ki Buyut,
"baru kami akan m enentukan hukuman apa y ang sebaiknya
kami berikan kepada kalian. Tetapi betapa pun berat hukuman
kalian, namun kalian tidak akan aku serahkan kepada orangorang
padukuhan untuk membantai kalian."
Para perampok itu hanya dapat m enundukkan kepalanya,
sementara Ki Buyut dan Ki Bekel m asih berbincang tentang
mereka. Namun kemudian para perampok itu pun telah
diserahkan kepada pimpinan pengawal Kabuyutan yang
disertai oleh Ki Jagabaya. Mereka telah meny iapkan sebuah
ruangan khusus untuk menahan keenam orang y ang ternyata
adalah perampok-perampok y ang selama itu ditakuti.
Ki Bekel dan para bebahu yang kemudian minta diri
ternyata tertahan untuk beberapa saat ketika Ki Buyut m inta
mereka bersama anak-anak muda itu untuk menikmati
suguhan yang telah dihidangkan.
Baru kemudian, mereka akan dilepaskan meninggalkan
Kabuyutan kembali ke padukuhan.
Namun ternyata sesuatu telah terjadi. Orang-orang y ang
mendengar tentang peny erahan keenam orang perampok itu
telah berceritera kepada orang-orang y ang mereka temui. Juga
pejalan-pejalan yang melalui padukuhan induk Kabuyutan itu.
Enam orang perampok yang sering m engganggu daerah yang
luas di Kabuyutan itu dan bahkan Kabuyutan disekitarnya
telah tertangkap. Di padukuhan sebelah, orang-orang yang mendengarnya
telah menjadi marah. Seorang diantara mereka berkata:
"Tentu Ki Bekel y ang membawa para perampok tadi telah
berbohong. Meski pun kami telah merasa curiga bahwa ia
bersama dengan beberapa orang telah pergi menemui Ki
Buyut." "Ki Bekel telah melindungi para perampok," sahut y ang
lain. "Kita laporkan saja kepada Ki Bekel padukuhan kita
sendiri," berkata yang lain lagi, "jika Ki Bekel kita bersedia
menemui Ki Bekel padukuhan di ujung Kabuyutan itu, maka
mereka memiliki kedudukan setingkat."
"Tidak. Ki Bekel kita tentu sependapat dengan Ki Bekel
padukuhan di ujung Kabuyutan itu. Mereka tentu
berkeberatan jika para perampok itu diserahkan kepada kita,"
berkata orang y ang pertama. Lalu katanya: "Kita akan
bertindak sendiri." "Bertindak apa"," bertanya kawannya: "perampokperampok
itu telah berada di rumah Ki Buyut."
"Ki Bekel itu kita tangkap. Demikian juga beberapa orang
bebahu y ang meny ertainya. Jika para perampok itu tidak
diserahkan kepada kita, maka Ki Bekel tidak akan kita
lepaskan." " Itu akan berarti perang," berkata orang yang lebih tua dari
mereka. "Perang bagaimana"," bertanya orang yang pertama.
"Jika Ki Bekel ujung Kabuyutan itu ditangkap disini, m aka
orang-orangnya tentu akan meny erang padukuhan ini. Jika
terjadi perang dan jatuh korban, maka yang dianggap bersalah
oleh Ki Buyut tentu kita," berkata orang itu.
"Kita menahan Ki Bekel," berkata orang pertama, "kita akan
mengancam, jika orang -orang padukuhan itu m eny erang kita,
maka Ki Bekel akan kita selesaikan bersama para bebahu.
Tetapi jika para perampok itu diserahkan kepada kita, maka Ki
Bekel dan para bebahu akan kami serahkan kembali dengan
selamat kepada rakyatnya."
"Bagaimana jika Ki Buyut yang bertindak"," bertanya y ang
lebih tua itu. "Sama saja. Ki Buyut tentu tidak akan berani mengambil
cara yang keras. Ki Buyut tentu memilih meny erahkan keenam
perampok itu kepada kita. Persoalannya kemudian akan
segera selesai," berkata orang y ang pertama.
Orang yang lebih tua itu termangu-mangu. Tetapi
sebenarnyalah bahwa ia tidak setuju dengan cara yang
dikatakan oleh orang itu. Dengan demikian akan dapat
menimbulkan dendam dikemudian hari. Orang-orang dari
padukuhan di ujung Kabuyutan akan dapat mengambil
langkah yang sama dalam per soalan y ang m ungkin berbeda.
Demikian pula Ki Buyut. Sedangkan Ki Bekel padukuhan itu
akan mengalami kesulitan, karena apa y ang dilakukan oleh
orang-orangnya itu sama sekali diluar pengetahuannya.
Tetapi nampaknya orang -orang padukuhan itu telah
sepakat melakukannya. Mereka akan m encegat Ki Bekel yang
membawa para perampok itu dan m enangkapnya. Kemudian
menyembuny ikannya. Mereka selanjutnya akan mengancam
Ki Buyut untuk meny erahkan para perampok itu kepada
mereka. Sementara itu, Ki Bekel dan beberapa orang y ang
bersamanya telah selesai menikmati hidangan y ang diberikan
oleh Ki Buyut. Ki Buyut masih m engucapkan terima kepada
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya y ang telah berhasil
menangkap para perampok itu.
"Seorang diantara m ereka telah menjalani hukumannya,"
berkata Ki Buyut. Lalu katanya pula: "Apa boleh buat. Yang
terjadi adalah diluar kehendak kalian. Namun kalian telah
menyerahkan para perampok itu kepadaku dan tidak
mengambil langkah-langkah sendiri."
" Itu adalah kewajiban kami Ki Buyut," berkata Ki Bekel.
Namun kemudian katanya: "Tetapi sudah waktunya kami
mohon diri. Terima kasih atas segala sesuatunya. Kami
serahkan orang-orang jahat itu kepada kebijak sanaan Ki
Buyut." "Baiklah," berkata Ki Buyut: "pada saatnya kami akan
memanggil kalian dalam rangka pemeriksaan orang-orang
itu." "Tetapi kami mohon maaf Ki Buyut. Kami nanti sudah
meninggalkan Kabuyutan ini," berkata Mahisa Murti.
"Ke mana"," bertanya Ki Buyut.
"Melanjutkan pengembaraan kami," jawab Mahisa Murti.
Ki Buyut ternyata tidak dapat menahan para pengembara
itu untuk meninggalkan padukuhan di ujung Kabuyutan itu.
Karena itu maka Ki Buyut pun berkata: "Baiklah anak-anak
muda. Ki Buyut dan para bebahu akan dapat menjadi saksi
tentang mereka mewakili kalian. Jika kalian akan meneruskan
pengembaraan kalian, kami hanya dapat mengucapkan
selamat jalan." Demikianlah, maka Ki Bekel pun telah minta diri pula.


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Murti dan saudara-saudaranya masih berjalan seiring
dengan Ki Bekel. Meski pun mereka akan melanjutkan
perjalanan mereka, namun Mahisa Murti m engajak saudarasaudaranya
untuk lebih dahulu pergi ke padukuhan di ujung
Kabuyutan itu. Meski pun hanya sekedar lewat. Rasa-rasanya
ada sesuatu yang kurang wajar akan dapat terjadi.
Mahisa Amping y ang berjalan diantara mereka berkata:
"Apakah kita akan meninggalkan padukuhan ini sekarang" "
"Ya," jawab Mahisa Murti.
"Bagaimana dengan orang -orang y ang mendendam,"
bertanya Mahisa Amping. "Mudah-mudahan tidak ada y ang mendendam," jawab
Mahisa Murti, "semua orang bersyukur karena penjahat itu
telah tertangkap. Pada saatnya tentu akan terungkap, siapakah
yang berdiri bersama mereka. Apakah masih ada orang-orang
lain yang terlibat dalam kegiatan perampokan dan
penyamunan itu." Mahisa Amping mengangguk-angguk kecil. Namun ia
merasa yakin bahwa tentu ada orang-orang y ang tidak puas
dengan sikap Ki Bekel. Mereka menghendaki para tawanan itu
untuk-mereka adili beramai-ramai setelah gagal berusaha
menghancurkan mereka di medan, karena mereka tidak
pernah menemukan kelompok perampok itu sendiri.
Dengan tenang Ki Bekel pun berjalan di bulak-bulak
panjang yang sudah dianggapnya bersih. Tidak ada lagi
kejahatan y ang akan mengganggu perasaan mereka. Bukan
hanya saat itu, tetapi juga di hari-hari berikutnya.
Namun dalam pada itu, sekelompok orang dari satu
padukuhan ternyata benar-benar telah menjadi marah kepada
Ki Bekel y ang telah m embohongi mereka. Orang-orang yang
dibawanya ketika ia berangkat menuju ke rumah Ki Buyut
bukan orang-orang yang sedang mencari pengadilan di rumah
Ki Buyut karena mereka sedang berselisih diantara saudara
sendiri. Tetapi mereka itu adalah perampok-perampok yang
paling jahat yang berkeliaran di bulak-bulak panjang.
Seorang pengamat telah melihat, bahwa Ki Bekel dan
beberapa orang pengiringnya sedang menuju ke padukuhan
mereka. Karena itu, maka mereka pun segera bersiaga. Mereka
benar-benar akan menangkap Ki Bekel.
Ki Bekel sendiri tidak akan mereka apa-apakan. Tetapi
mereka ingin menukar Ki Bekel dengan para tawanan itu.
Ki Bekel sama sekali tidak menduga bahwa orang-orang
padukuhan itu telah menjadi marah kepadanya. Karena itu,
maka Ki Bekel itu pun berjalan saja tanpa curiga.
Tetapi ketika perjalanan iring-iringan kecil itu sampai ke
depan reg ol banjar padukuhan, maka beberapa orang telah
menghentikannya dan berkata: "Ki Bekel. Kami persilahkan Ki
Bekel dan yang lain singgah di banjar barang sejenak."
Ki Bekel menggeleng sambil tertawa: "Terima kasih Ki
Sanak. Kami harus segera pulang. Ada sesuatu y ang harus
kami lakukan di padukuhan kami."
"Sebentar saja Ki Bekel. Jika Ki Bekel belum singgah barang
sebentar, maka kami belum akan memberikan jalan kepada Ki
Bekel," berkata seorang yang mewakili kawan-kawannya.
Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ki
Bekel tidak dapat mengelak lagi. Ia pun telah memberi isyarat
kepada para bebahu y ang berjalan bersamanya serta kepada
Mahisa Marti dan saudara-saudaranya untuk singgah barang
sejenak. Tetapi demikian m ereka memasuki halaman banjar, m aka
gerbang itu pun telah ditutup. Seorang yang mewakili kawankawannya
segera meloncat berdiri di pendapa, sementara
kawan-kawannya y ang lain telah m engepung halaman banjar
itu. "Apa sebenarnya y ang kalian lakukan"," bertanya Ki Bekel.
Orang y ang mewakili kawan-kawannya itu pun segera
berterus terang tentang niatnya.
"Karena itu Ki Bekel. Ki Bekel jangan salah paham. Kami
sama sekali tidak m endendam kepada Ki Bekel. Kami akan
segera membebaskan Ki BekeL demikian para tawanan itu
diserahkan kepada kami."
"Tetapi kalian telah melanggar hubungan baik antara
padukuhan ini dengan padukuhanku. Apalagi kami tinggal
dalam satu Kabuyutan," geram Ki Bekel.
"Jangan cemas Ki Bekel. Kami tidak akan berbuat apa -apa
terhadap Ki Bekel," berkata orang yang mewakili kawankawannya
itu. Namun Ki Bekel ternyata telah menjadi sangat marah atas
perlakuan y ang liar itu terhadap diriny a.
Namun dalam pada itu, selagi mereka diliputi oleh suasana
yang panas, maka Mahisa Murti berkata: "Berilah jalan kepada
kami untuk keluar dari halaman ini atau kami akan melakukan
sesuatu yang akan membuat kalian meny esal."
Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu sejenak.
Namun orang yang berdiri di pendapa itu berkata lantang:
"Apa y ang dapat kau lakukan" Jika kau membuat satu
pengeram-eram, lakukan jika kau mampu."
Wajah Mahisa Murti memang menjadi panas. Sikap orangorang
padukuhan itu m emang tidak pada tempatnya. Karena
itu maka ia pun telah m emikirkan kemungkinan y ang dapat
dilakukan untuk membuat orang-orang padukuhan itu
mengerti bahwa mereka tidak dapat memperlakukan orang
lain sekehendak hatinya sendiri.
Tetapi pernyataan Mahisa Murti itu telah m engejutkan Ki
Bekel. Betapaun ia marah kepada orang-orang yang telah
memperlakukannya dengan kasar, namun tiba -tiba saja
terbayang, apa y ang dapat dilakukan oleh anak muda itu.
Karena itu, maka ia pun telah berkata kepada Mahisa
Murti: "Apa yang akan kau lakukan" "
"Tergantung kepada sikap mereka," jawab Mahisa Murti.
"Aku benci sekali kepada sikap mereka. Tetapi jangan
perlakukan mereka seperti pemilik kedai y ang berilmu sangat
tinggi itu," berkata Ki Bekel, "bagaimana pun juga aku tidak
akan mengobarkan permusuhan antara kedua padukuhan
kami." "Tetapi apakah Ki Bekel akan menerima sikap mereka itu?"
bertanya Mahisa Murti pula.
"Jika kau akan melakukan sesuatu, hati-hatilah. Jangan
sampai jatuh korban y ang akan dapat membuat kami saling
mendendam. Jika demikian maka persoalannya akan
berkepanjangan," berkata Ki Bekel.
"Jadi apa y ang akan Ki Bekel lakukan" Jika Ki Bekel marah
karena perlakuan mereka, apa yang akan Ki Bekel lakukan
terhadap mereka"," desak Mahisa Murti.
Ki Bekel memang menjadi bingung. Sementara itu, orang
yang berdiri di pendapa itu berkata: "Ki Bekel. Kami mohon Ki
Bekel dapat mengerti. Kami mohon Ki Bekel tinggal di banjar
ini untuk satu dua hari sampai orang-orang itu diserahkan
kepada kami." "Tetapi dalam waktu satu dua hari, orang-orangku tentu
telah berdatangan," geram Ki Bekel, "perang akan terjadi."
"Tidak Ki Bekel. Tidak akan terjadi apa-apa. Ki Buyut pun
tidak akan berbuat apa-apa. Kami akan m engatakan kepada
mereka, bahwa jika mereka melakukan tindakan y ang lain
kecuali m eny erahkan tawanan itu, m aka Ki Bekel akan kami
habisi. Tetapi kami tidak bersungguh-sungguh Ki Bekel. Kami
hanya sekedar ingin memaksa Ki Buyut menyerahkan orangorang
itu," berkata orang yang berdiri di pendapa itu.
"Kau kira aku dapat membiarkan diriku kau perlakukan
seperti itu" Kau kira aku m enerima nasib buruk yang belum
pernah aku impikan sebelumnya"," bertanya Ki Bekel.
"Lalu sekarang apa y ang akan Ki Bekel lakukan"," bertanya
orang y ang berdiri di pendapa itu.
"Pulang," jawab Ki Bekel.
"Kami telah menutup pintu regol," berkata orang y ang
berdiri di pendapa itu. "Aku akan membukanya," berkata Ki Bekel.
"Tidak mungkin," orang y ang berdiri di pendapa itu
berteriak. Ki Bekel ternyata tidak menghiraukannya lagi. Ia pun
kemudian berkata kepada para bebahu dan kepada Mahisa
Murti dan saudara-saudaranya: "Mari. Kita pulang."
"Tidak," teriak orang yang di pendapa itu.
Tetapi Ki Bekel berjalan terus menuju ke r egol halaman
banjar itu. Regol itu memang tertutup. Tetapi Ki Bekel seakanakan
tidak melihat bahwa regol itu memang tertutup.
Karena itu, maka Ki Bekel itu melangkah teru, diikuti oleh
para bebahu dan anak-anak muda yang menyertainya.
Beberapa orang y ang berada di regol menjadi bingung.
Sementara orang y ang berdiri di pendapa telah berteriak:
"Jangan biarkan Ki Bekel pergi."
Beberapa orang memang telah berdiri menghalangi langkah
Ki Bekel. Tetapi Ki Bekel berjalan terus. Ki Bekel bahkan telah
mendorong orang-orang yang menghalanginya itu sehingga
justru mereka telah menyibak.
Tetapi orang yang di pendapa itu berteriak: "Jangan
lepaskan. Jangan lepa skan."
Orang itu sendiri telah berlari mendahului Ki Bekel dan
berdiri di tengah-tengah pintu regol halaman sambil berteriak
kepada kawan-kawannya: "Pegang orang itu. Jangan biarkan
pergi." Tetapi Ki Bekel berjalan terus. Seorang yang berusaha
memegangi tangannya telah dikibaskannya. Sedangkan orang
lain y ang mencobanya telah dibentak: "Jangan halangi aku."
Orang itu termangu-mangu. Namun Ki Bekel telah
mendorongnya pula sehingga orang itu justru hampir terjatuh.
"Tahan orang itu. Tahan orang itu," orang y ang berdiri di
regol itu berteriak-teriak.
Namun setiap kali Ki Bekel t elah m endorong orang-orang
padukuhan itu untuk menyibak.
Orang yang berdiri di pintu gerbang itu kemudian
berteriak: " Jika kita kehilangan orang itu, maka para
perampok itu tidak akan jatuh ke tangan kita."
Beberapa orang memang bergerak maju. Tetapi Ki Bekel
sama sekali tidak m engurungkan niatnya. Ia melangkah terus
menuju ke pintu gerbang. Akhirnya Ki Bekel berhadapan dengan orang y ang berdiri di
depan pintu gerbang yang berusaha untuk menahannya.
"Beri aku jalan," berkata Ki Bekel.
"Tidak," berkata orang itu: "Ki Bekel tidak boleh
meninggalkan tempat ini."
"Aku akan keluar dari regol ini. Dengar. Jika terjadi apa -apa
dengan aku disini, maka akan terjadi perang. Dengar dan
yakni itu. Banyak orang akan mati dan sebab kematian itu
adalah kau. Dengan demikian maka tidak ubahnya dengan kau
membunuh orang -orang y ang m ati itu. Kau akan membawa
beban itu sepanjang umurmu.," berkata Ki Bekel.
Wajah orang itu menjadi sangat tegang. Sementara Ki Bekel
melangkah maju lagi sambil berkata: "Cepat. Buka pintu itu.
Jika pada saatnya aku belum sampai ke padukuhan, maka
orang-orangku akan mencariku. Mereka datang dalam sebuah
iring-iringan sambil membawa senjata."
"Sudah aku katakan. Mereka tidak akan berani berbuat apaapa.
Jika mereka tidak m au m enurut kata-kataku, maka Ki
Bekel akan menjadi taruhan," berkata orang itu.
"Jika kau bunuh aku, maka seisi padukuhan ini akan mati.
Orang-orangku akan mengamuk Dan dengan demikian maka
kau telah membunuh puluhan orang yang tidak bersalah,"
berkata Ki Bekel. "Tidak. Tidak," orang itu berteriak.
Tetapi Ki Bekel berteriak lebih keras: "Buka pintu itu."
Orang itu terdiam. Dipandanginya wajah Ki Bekel
sementara Ki Bekel pun memandanginya dengan tajam.
Ternyata orang itu tidak kuasa menentang wibawa Ki Bekel.
Akhirnya ia pun bergeser kesamping sambil mengangkat
selarak pintu sehingga pintu regol itu terbuka.
Namun demikian Ki Bekel lewat, maka orang itu pun telah
menutup pintu itu kembali sambil b erkata lantang: "Ki Bekel
sudah meninggalkan tempat ini. Kita akan menawan orangorangnya."
Para bebahu itu memang tertegun. Sementara itu Ke Bekel
yang sudah berada di luar telah m engetuk pintu itu keraskeras.
"Buka pintu itu. Buka pintu itu," teriak Ki Bekel.
Tetapi.orang itu tetap berdiri di tengah-tengah pintu y ang
sudah diselarak kembali, itu .
"Tangkap mereka," teriak orang itu tanpa menghiraukan
ketukan-ketukan yang semakin keras.
Suasana memang m enjadi tegang. Ternyata ketika mereka
sudah tidak lagi melihat Ki Bekel, maka mereka pun mulai
terpengaruh lagi oleh orang y ang berdiri di depan pintu.
Orang-orang yang ada di halaman itu mulai bergeser
mengepung para bebahu serta Mahisa Murti dan saudarasaudara.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun Mahisa
Pukat lah y ang kemudian tidak sabar lagi m elayani tingkah
laku orang-orang padukuhan itu.
Karena itu maka ia pun telah berteriak: "Beri kami jalan "
"Hanya kepada Ki Bekel kami tunduk. Tetapi jangan mimpi
bahwa kau pun mempunyai pengaruh sebesar Ki Bekel," teriak
orang y ang berada di pintu itu.
"Baik," sahut Mahisa Pukat, "jika demikian, kami akan
membuat jalan sendiri "
Mahisa Murti menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tidak
sempat berbuat sesuatu. Mahisa Pukat telah berlari
memisahkan diri. Orang-orang y ang m engepungnya m emang
mencoba menghalanginya. Tetapi Mahisa Pukat, bergerak
terlalu cepat menembus kepungan itu.
Demikian Mahisa Pukat berdiri bebas, sementara beberapa
orang memburunya, maka Mahisa Pukat telah melakukan
sesuatu diluar dugaan orang-orang padukuhan itu.
Dengan lantang Mahisar Pukat telah berkata: "Jika kalian
tidak mau membuka pintu itu, maka aku akan membuat pintu
sendiri." Demikianlah sebelum orang-orang, sempat m emburunya,
maka Mahisa Pukat telah menghentakkan ilmunya. Dengan
sepenuh tenaga dan kemampuan ilmunya, maka Mahisa Pukat
telah meloncarkan serangan ilmunya ke dinding halaman
banjar itu beberapa langkah dari pintu.
Seleret sinar telah meluncur dari telapak tangan Mahisa
Pukat yang dikembangkannya menghadap ke dinding. Sejenak
kemudian m aka dinding di sebelah pintu itu bagaikan telah
meledak.

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Adalah tidak m asuk akal, ketika dinding itu pun kemudian
telah runtuh pada bagian atasnya. Tetapi Mahisa Pukat tidak
berhenti. Sekali lagi ia meluncurkan kekuatan ilmunya. Sekali
lagi dinding itu bagaikan m eledak dan sisa dibagian bawah
dari dinding y ang runtuh itu pun telah runtuh pula.
Dengan demikian maka dinding halaman itu telah
menganga. Tidak kalah lebarnya dari pintu regol yang masih
tertutup dan diselarak itu.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, maka Mahisa Pukat pun
berkata: "Marilah, kita keluar lewat pintu ini. Cepat."
Beberapa saat para bebahu termangu-mangu. Namun
ketika Mahisa Murti mulai bergerak, maka para bebahun itu
pun telah mengikutinya. Tidak seorang pun yang mengganggu mereka melangkahi
reruntuhan dinding halaman. Orang-orang padukuhan yang
berkumpul di halaman itu hanya dapat memandangi m ereka
dengan wajah y ang tegang. Orang y ang masih berdiri di pintu
gerbang itu pun bagaikan m embeku ditempatnya. Tidak ada
lagi keberanian untuk mencegah orang-orang itu keluar dari
halaman banjar. Ki Bekel y ang sudah ada diluar pun menjadi keheranan
melihat apa yang terjadi. Ia memang melihat seorang dari
antara anak muda itu bertempur dengan pemilik k edai itu. Ia
melihat betapa ilmu y ang tinggi telah saling berbenturan.
Namun Ki Bekel itu masih juga heran melihat dinding
halaman banjar yang cukup tebal itu diruntuhkan.
Sejenak kemudian, maka Ki Bekel itu pun melihat para
bebahu keluar dari halaman melewati reruntuhan dinding itu.
Demikian pula anak-anak muda yang telah menangkap para
perampok yang telah berada di rumah Ki Buyut.
Mahisa Murti y ang terakhir keluar dari halaman itu, ketika
ia berada diatas reruntuhan itu berkata: "Kamilah y ang telah
menangkap para perampok itu. Kami tidak berniat untuk
menghakimi mereka karena sudah ada orang yang berwenang
melakukannya. Kalian yang selama ini t idak mampu
menangkapnya dengan sombong telah menyatakan diri untuk
menjadi hakim. Bercerminlah di belumbang. Lihat wajah
kalian. Seharusnya kalian malu melakukan hal seperti ini."
Tidak seorang pun y ang menjawab. Tetapi orang-orang
yang berada di halaman banjar itu memang sempat melihat ke
diri mereka sendiri. Betapa mereka dengan sombong ingin
memaksa Ki Buyut meny erahkan para perampok y ang sudah
tertangkap itu, sementara mereka sendiri tidak mampu
melakukannya. Tiba-tiba seorang yang sudah agak lanjut usia mendekati
orang yang berdiri di regol: "Kau harus menemui Ki Bekel itu.
Nanti atau besok. Kau harus minta maaf kepadanya.
Sebenarnya bersama-sama dengan anak-anak muda itu Ki
Bekel mampu berbuat banyak. Menghancurkan banjar ini,
bahkan seisi padukuhan. Tetapi mereka tidak melakukan apaapa
meski pun Ki Bekel itu menjadi sangat marah karena
kalian telah menghinanya.
Orang y ang berdiri di reg ol itu masih saja membeku,
sehingga orang yang agak lanjut usianya itu membentak: "Kau
dengar" " Orang itu terkejut. Dengan gagap ia berkata: "Ya, ya Kiai.
Aku akan menghadap Ki Bekel."
"Kau juga harus menghadap Ki Bekel kita sendiri. Kau
harus berterus-terang agar tidak terjadi salah paham. Jika
terjadi salah paham, dan terjadi permusuhan antara
padukuhan ini dan padukuhan di ujung Kabuyutan itu, maka
kau dapat menduga sendiri-dengan kekuatan ilmu seperti itu,
berapa puluh orang y ang. dapat disapunya dengan ilmunya,"
berkata orang tua itu. Orang itu memang menjadi ngeri. Karena itu maka katanya:
"Aku akan menemui Ki Bekel kita sendiri. Aku akan
memberikan laporan dan menghubungi Ki Bekel di ujung
Kabuyutan." "Sekarang aku akan pulang. Kalian sudah m engalami satu
peristiwa y ang tidak akan pernah kalian lupakan sepanjang
umur kalian. Pengalaman ini tentu akan sangat berharga bagi
kalian," berkata orang tua itu.
Orang tua itu tidak menunggu jawaban. Ia pun telah keluar
dari halaman banjar melewati reruntuhan dinding halaman
yang telah dir obohkan oleh Mahisa Pukat itu.
Sementara itu, Ki Bekel diujung bulakan itu telah
meneruskan perjalanan mereka diiringi oleh Malhesa Murti
dan saudara-saudaranya dan para bebahu.
"Kalian memang luar biasa," berkata Ki Bekel, "ilmu apa
sa ja y ang telah kalian miliki?"
Baik Mahisa Mufti mau pun Mahisa Pukat tidak menjawab.
Mereka berjalan saja disebelah Ki Bekel dengan kepala
tunduk. "Baiklahh," berkataKi Bekel. "Apa y ang telah kalian lakukan
telah banyak m emberikan pemecahan. Orang-orang itu akan
berpikir ulang jika mereka benar-benar ingin berselisih
dengan pudukuhan kita," Ki Bekel berhenti sejenak lalu
berkata, "mereka akan menjadi jera."
Demikianlah maka iring-iringan kecil itu telah k eluar dari
padukuhan y ang hampir saja. menjeratnya itu. Namun dengan
peristiwa itu, telah membuat padukuhan itu jera tanpa
mendendamnya. Tetapi Ki Bekel itu kemudian dengan nada dalam berkata:
"Sebenarnya aku ingin mohon kalian bersedia tinggal di
padukuhan kami. Daripada mengembara, maka kalian tentu
akan lebih baik menetap. Lebih-lebih bagi kanak-kanak."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya: "Kami
memang mengembara. Tetapi bukan berarti bahwa kami tidak
mempunyai tempat tinggal. Meski pun hanya sebuah
padepokan kecil, t etapi ada tempat untuk kami berhinggap."
"Oo," Ki Bekel mengangguk-angguk, "maaf. Tetapi kami
ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian dengan cara
kami jika kalian tidak tergesa-gesa m eninggalkan padukuhan
kami." Tetapi Mahisa Murti menjawab: "Terima kasih Ki Bekel.
Kami ingin meneruskan perjalanan kami. Kami ingin segera
kembali ke sebuah padepokan kecil y ang ditunggui oleh ay ah
kami." "Tetapi sebentar lagi kalian juga akan mencari tempat
untuk bermalam," berkata Ki Bekel, "mungkin di banjarbanjar
padukuhan. Mungkin bahkan di tempat terbuka atau di
gubug di tengah sawah. Meski pun kalian telah terbia sa
melakukannya, apa salahnya jika malam ini kalian bermalam
di banjar padukuhan kami."
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Sementara itu
maka hari pun telah berjalan semakin jauh. Matahari telah
turun semakin rendah di ujung Barat.
Ketika Mahisa Murti berpaling kepada Mahisa Amping,
maka rasa-rasanya anak itu telah memohon kepadanya, agar
mereka bermalam di banjar padukuhan saja daripada di
tempat terbuka. Apalagi beberapa lembar awan kelabu telah
membayang di langit. Sebagai pengembara, maka hujan atau tidak, panas
matahari y ang membakar di siang hari atau angin pusaran
yang bertiup keras, tidak akan menjadi alasan untuk
menghentikan pengembaraan itu. Tetapi Mahisa Amping
masih belum begitu menyadari hal itu. Nampaknya ia masih
menganggap bahwa bermalam di banjar akan lebih baik
daripada bermalam di tempat terbuka atau di gubug di tengah
sawah. Apalagi Ki Bekel agaknya telah minta dengan sungguhsungguh
agar m ereka berlima bersedia bermalam di banjar
padukuhan itu. Tetapi Mahisa Murti pun kemudian telah memandang
Mahesa Pukat y ang juga termangu-mangu. Nampaknya
Mahisa Pukat juga memperhatikan Mahisa Amping yang kecil
itu. Karena itu, maka akhirnya Mahisa Murti pun berkata:
"Baiklah Ki Bekel. T etapi kami hanya sekedar bermalam saja
di padukuhan Ki Bekel. Besok pagi-pagi kami akan
meneruskan perjalanan kami."
"Baik, baik anak-anak muda," berkata Ki Bekel y ang
menjadi gembira, "kami hanya ingin mengucapkan terima
kasih. Aku dan para bebahu. Mungkin satu dua orang tua di
padukuhan kami." Demikianlah, maka malam itu, Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
bermalam di banjar padukuhan. Ternyata orangorang
padukuhan itu telah m enghormati m ereka dengan cara
mereka masing-masing. Beberapa orang telah datang
memperkenalkan diri. Sedang yang lain telah mengantar
makanan dan minuman. Bahkan ada y ang membawa dengan
jodang beberapa jenis makanan ke banjar.
Ki Bekel yang adil di banjar itu sambil t ersenyum berkata
kepada Mahisa Murti: "Nah, bukankah kita tidak perlu
menyediakan apa -apa bagi kalian" Semua datang sendiri.
Bahkan cukup untuk-makan bersama dengan orang-orang
yang berdatangan untuk mengucapkan selamat kepada
kalian." Mahisa Murti tersenyum. Ia memang melihat ucapan
terima kasih y ang tulus dari orang -orang padukuhan itu.
Sementara itu ia melihat Mahisa Amping menjadi gembira
diantara orang -orang y ang m embawa makanan dan berbagai
macam buah-buahan. Namun dalam pada itu, orang-orang padukuhan itu selain
bergembira sebagai pernyataan terima kasih mereka kepada
anak-anak muda y ang telah berhasil menangkap para
perampok y ang bukan saja selalu mengganggu ketenangan
orang-orang yang menempuh perjalanan, juga kegelisahan
orang-orang y ang tidur di malam hari, maka mereka pun
merasa telah terlepas dari beban tuduhan melindungi
perampok-perampok itu, karena sebagian dari para perampok
itu ternyata tinggal di padukuhan mereka.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata mempunyai
banyak kesempatan untuk berbincang dengan Ki Bekel. Bukan
sa ja tentang para perampok itu, tetapi juga arah perjalanan
yang bakal ditempuh oleh Mahisa Murti dan saudarasaudaranya.
"Jika kalian m engikuti jalan ini, maka kalian akan sampai
ke sebuah padang perdu y ang gersang. Dahulu di padang
perdu itu terdapat satu daerah y ang subur. Namun berhubung
dengan kesalahan y ang pernah dilakukan oleh orang-orang
dari padukuhan yang subur itu, maka daerah itu pun telah
dikutuk sehingga m enjadi kering. Bendungan yang ada, yang
mengangkat air ke sawah-sawah, telah dipecahkan sehingga
tanah pun menjadi gersang," berkata Ki Bekel.
"Tanah y ang gersang itu sampai sekarang masih juga
dibiarkan gersang"," bertanya Mahisa Murti.
"Tidak seorang pun berminat untuk memperbaiki
bendungan itu, karena mereka m enganggap kutukan seorang
Mpu yang sakti itu akan tetap berlaku. Semua usaha tidak
akan membawa hasil sama sekali," berkata Ki Bekel.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sesuatu nampak
terbersit di wajahnya. Sekilas ia memandang Mahisa Pukat.
Namun keduanya tidak mengatakan sesuatu.
Sementara itu Ki Bekel pun berkata lebih lanjut: "Tanah
yang kering itulah yang disebut Tanah Panawijen. Tanah yang
pernah dihuni oleh seorang Mpu yang sakti, yang disebut Mpu
Purwa." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak terkejut.
Mereka sudah memperhitungkan arah perjalanan mereka.
Namun demikian, keduanya mengangguk-angguk kecil.
Ternyata mereka telah mengambil arah yang benar meski pun
mereka harus melingkar-lingkar.
Gunung Kawi telah memberikan petunjuk arah, ke m ana
mereka harus pergi sehingga mereka pada suatu saat akan
sampai ke Panawijen. Meski pun Panawijen sekarang sudah
tidak lagi seperti Panawijen beberapa puluh tahun y ang lalu.
Kering dan gersang. mPu Purwa y ang kehilangan satu-satunya
anak gadisnya tidak dapat mengendalikan dirinya sehingga ia
telah mengutuk bukan saja Akuwu Tunggul Ametung yang
telah mengambil Ken Dedes itu, tetapi juga orang-orang
Panawijen yang dianggap tidak mau melindungi anak gadisnya
telah dikutuknya pula. Malam itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah banyak
mendapat petunjuk, ke mana mereka harus pergi jika m ereka
memang akan mengunjungi Panawijen.
"Selama ini jalan menuju ke Panawijen menjadi semakin
sepi karena para perampok y ang sering mengganggu. Apalagi
Panawijen sendiri sudah tidak menarik untuk dikunjungi.
Sebuah kehidupan baru telah tumbuh di padang Karautan
yang pernah m enjadi padang yang diselimuti oleh ketakutan
dan kengerian ketika Ken Arok masih berkeliaran di padang
itu, sebelum ia menjadi Akuwu di Tumapel dan kemudian
menaklukkan Kediri," berkata Ki Bekel.
Mahisa Murti m engangguk-angguk. Tetapi ia sama sekali
tidak mengatakan bahwa ia ingin menuju ke Panawijen.
Demikianlah maka malam itu banjar padukuhan di ujung
Kabupaten itu menjadi ramai. Hampir semalam suntuk orangorang
padukuhan datang dan pergi. Ada yang memang ingin
mengucapkan terima kasih kepada anak-anak muda itu. Tetapi
ada y ang sekedar ingin ikut duduk-duduk sambil makan dan
minum karena orang itu tidak banyak menaruh perhatian
terhadap para perampok itu sebelumnya. Orang itu tidak
mempunyai apa pun yang akan dapat dirampok oleh
perampok-perampok itu. Sedangkan yang lain adalah orangorang
y ang sekedar ingin menonton kesibukan di banjar.
Baru menjelang dini banjar itu menjadi sepi.
"Maaf anak-anak m uda," berkata Ki Bekel, "di banjar ini
anak-anak muda justru tidak dapat beristirahat. Tetapi itu
adalah ucapan terima kasih dari para penghuni padukuhan ini
dengan tulus." "Tidak apa -apa Ki Bekel. Aku senang menerima pernyataan
mereka. Masih ada waktu untuk beristirahat," jawab Mahisa
Murti. "Silahkan anak muda. Silahkan berist irahat. Aku tidak akan
meninggalkan banjar ini. Aku pun akan tidur disini di sisa
malam ini agar aku besok dapat m engucapkan selamat jalan
kepada kalian," berkata Ki Bekel.
Mahisa Murti pun kemudian dipersilahkan beristirahat di
serambi banjar. Meski pun sebuah bilik y ang sederhana, tetapi
itu adalah yang terbaik y ang ada di banjar itu.


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Semu yang sudah terkantuk-kantuk harus
mendukung Mahisa Am ping y ang sudah tertidur di pendapa.
Ternyata anak-anak muda itu sempat beristirahat dengan
ny enyak meski pun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
dapat tidur sepenuhnya. Bagaimana pun juga mereka harus
berhati-hati. Meski pun pintu bilik itu sudah diselarak dari
dalam, tetapi kemungkinan-kemungkinan buruk dapat saja
terjadi. Namun sampai menjelang matahari terbit tidak terjadi
sesuatu. Anak-anak muda itu pun kemudian segera
membenahi diri dan bersiap-siap untuk meneruskan
perjalanan. Tetapi mereka m asih harus singgah sebentar di pendapa
untuk makan pagi sebelum m ereka meninggalkan banjar itu.
Ki Bekel masih berkali -kali mengucapkan terima kasih. Bukan
sa ja karena anak-anak muda itu telah berhasil menangkap
perampok-perampok, tetapi juga karena sikap anak-anak
muda itu. Ketika Mahisa Murti dan saudara-saudaranya kemudian
meninggalkan padukuhan itu, maka mereka memandang jalan
yang terbujur dihadapan mereka dengan hati y ang semakin
terang. "Kita sudah m emasuki jalan yang membentang menuju ke
Panawijen," berkata Mahisa Murti.
"Apakah padepokan itu berada di Panawijen"," bertanya
Mahisa Semu. "Tidak. Dari Panawijen kita akan singgah sebentar di bekas
padang Karautan y ang mengerikan. Tetapi justru sekarang
sudah menjadi lebih baik karena sudah dihuni orang. Tanah
pertanian sudah dibuka pula karena orang-orang itu sempat
menaikkan air," jawab Mahisa Murti.
"Kita akan singgah di kedua tempat itu"," bertanya
Wantilan. Mahisa Murti mengangguk. Katanya: "Kami sebenarnya
membawa sebuah pesan. Kami sudah menjadi ragu-ragu,
apakah kami harus menyampaikan pesan itu. Tetapi aku dan
Mahisa Pukat akhirnya memutuskan untuk singgah di lereng
Gunung Kawi untuk menyampaikan pesan yang pernah kami
terima dari seorang y ang kami hormati."
Mahisa Semu dan Wantilan mengangguk-angguk. Mereka
sempat memandang puncak Gunung Kawi yang menjadi
ancar-ancar perjalanan mereka menuju ke Panawijen.
"Memang masih jauh," berkata Mahisa Pukat, "tetapi
perjalanan ini harus kita tempuh."
"Aku senang melihat-lihat tempat-tempat yang terasa
asing," berkata Mahisa Am ping.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tersenyum. Sementara itu
Mahisa Semu dan Wantilan nampaknya lebih memperhatikan
arah perjalanan mereka yang menurut orang-orang
padukuhan menuju ke daerah yang ger sang yang dikenal
sebelumnya dengan nama Panawijen, satu padukuhan yang
subur. Namun yang terjadi kemudian telah membuat keadaan
yang sebaliknya. Ketika mereka melewati tengah hari, maka kegersangan
tujuan mereka m ulai terasa. Air menjadi semakin sulit dan
sawah pun nampak semakin kering. Kotak-kotak sawah tidak
lagi ditanami padi. Tetapi ditanami dengan palawija.
"Apakah di daerah yang nampaknya semakin miskin ini ada
juga kedai"," desis Mahisa Pukat ketika matahari mulai
condong. "Mudah-mudahan," berkata Mahisa Murti, "agaknya
Mahisa Amping sudah menjadi lapar."
"Tidak," ternyata Mahisa Amping memperhatikan
pembicaraan itu, "aku tidak lapar dan tidak haus."
Tetapi Mahisa Semulah y ang menyahut: "Akulah y ang
lapar. Nanti j ika ada kedai, kau tentu tidak akan m akan dan
tidak akan minum." "Meski pun tidak lapar dan tidak haus, aku dapat juga
makan dan minum," sahut Mahisa Amping.
Yang m endengar kata-kata itu tertawa. Bahkan Wantilan
pun telah berkata pula: "Ternyata kita mempunyai banyak
persamaan, Amping." Mahisa Amping hanya mengerutkan keningnya saja. Tetapi
ia tidak menjawab. Padukuhan-padukuhan berikutnya memang nampak lebih
miskin dari padukuhan-padukuhan yang telah m ereka lewati.
Tanaman y ang tumbuh di halaman pun nampaknya tidak
tumbuh dengan subur. Namun di padukuhan itu ternyata
terdapat banyak pohon kelapa yang nampaknya mampu
mengatasi kekurangan air y ang meski pun tidak mutlak, tetapi
sudah mulai mempengaruhi tata kehidupan orang-orang
padukuhan. "Tetapi masih juga ada sumur," desis Mahisa Semu.
"Lihat, betapa panjang senggotannya," gumam Mahisa
Pukat. "Agaknya sumur-sumur pun cukup dalam," sahut Wantilan.
Namun demikian, ketika mereka memasuki sebuah
padukuhan yang nampak masih lebih baik dari daerah di
sekitarnya, mereka menemukan sebuah kedai.
Sambil makan dan minum, m eski pun sangat sederhana
karena kedai itu hanyalah sebuah kedai y ang kecil, Mahisa
Murti dan saudara-saudaranya mengetahui, bahwa di
padukuhan itu terdapat sebuah mata air.
"Tetapi tidak begitu besar sehingga tidak dapat membantu
air di sawah," berkata pemilik kedai - itu.
"Di daerah ini mata air sangat berharga sekali," desis
Mahisa Pukat. "Orang-orang padukuhan ini menganggap bahwa mata air
itu keramat," berkata pemilik kedai itu.
Pemilik kedai kecil itu pun kemudian menceriterakan
bahwa sumber air itu terletak di sebuah hutan kecil di tengahtengah
padukuhan ini. Hanya ada beberapa pohon. Tetapi
pohon-pohon raksasa. Diantara pohon-pohon raksasa itu
terdapat sebuah mata air yang tidak begitu besar. Sebuah
belumbang y ang bening. Air belumbang itu memang
melimpah ke sebuah parit yang dibuat oleh orang-orang
padukuhan itu dan dialirkan ke bulak sebelah padukuhan itu.
Namun hanya dapat mengairi beberapa bau. Itu pun
pembagian air dilakukan dengan sangat ketat. Ki Bekel
langsung mengawasi pembagian air di musim kemarau.
"Apakah air itu mengalir sepanjang tahun"," bertanya
Mahisa Murti. "Ya. Meski pun di musim kering airnya susut. Tetapi di
musim hujan, air itu bertambah besar," jawab pemilik kedai
itu. Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun ia pun
kemudian bertanya: "Apakah di lereng Gunung Kawi hutan
masih lebat" " Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Katanya: "Ya. Di
lereng Gunung Kawi, hutan masih lebat."
"Bagaimana daerah ini dapat demikian ger sang"," bertanya
Mahisa Murti pula. "Kutuk seorang Mpu atas Panawijen," jawab pemilik kedai
itu. "Tetapi sebaliknya, Padang Karautan dapat m enjadi tanah
pertanian yang subur dan menjadi daerah pemukiman yang
baru," desis Mahisa Pukat.
"Padang Karautan telah dibelah dengan sebuah susukan
yang mengantar air ke segenap genggam tanah di padang itu,"
berkata pemilik kedai itu.
"Kenapa daerah ini tidak membuat bendungan seperti
orang-orang yang kemudian tinggal di Padang Karautan","
bertanya Mahisa Murti. "Kami tidak berani melanggar kutuk mPu Purwa.
Bendungan y ang pernah dipecahkannya, tidak akan dapat
dibangun lagi," jawab pemilik kedai itu.
"Di tempat lain, d i bawah bendungan y ang lama," berkata
Mahisa Murti. Tetapi pemilik kedai itu menggeleng. Katanya: "Kami sudah
mempunyai air y ang tidak pernah kering."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun kemudian ia
masih juga berkata: "Airmu hanya dapat m engairi beberapa
bahu tanah. Tidak cukup untuk mengairi seluruh tanah
persawahan di padukuhanmu. Jika kalian membangun
bendungan ber sama-sama dengan beberapa Padukuhan yang
lain, maka kekeringan di daerah ini akan dapat diatasi. Kalian
tidak boleh m eny erah karena kekeringan di Panawijen yang
mengakibatkan tanah ini kering, karena kalian akan dapat
membangun bendungan lain. Daerah ini akan m enjadi subur
seperti padang Karautan tanpa melanggar kutuk mPu Purwa.
Padang Karautan yang semula kering dan ger sang dapat
menjadi subur, apalagi daerah ini."
Pemilik kedai itu termangu-mangu. Namun kemudian ia
pun menjawab: "Apa day aku. Mungkin jika kalian bertemu
dengan Ki Bekel, maka pendapat kalian itu akan dapat
diwujudkan." "Kau sajalah yang berbicara dengan Ki Bekel dari padukuhanmu
ini," sahut Mahisa Murti, "kami hanya pengembara yang
lewat. Tidak lebih."
Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
menjawab. Dalam pada itu, m eski pun m akanan dan m inuman y ang
ada hanya sederhana, namun kelima orang itu makan sampai
cukup kenyang. Mereka masih duduk-duduk beberapa saat
menunggu makanan mereka mengendap di perut mereka.
Baru kemudian kelima orang itu bersiap-siap untuk
melanjutkan perjalanan. Namun Mahisa Murti sempat juga bertanya: "Apakah jalan
ini menuju ke Panawijen" "
"Ya. Bukankah kalian memang menuju ke Panawijen","
bertanya pemilik kedai itu.
"Maksudku, apakah jalan y ang menuju ke Panawijen ini
melewati hutan kecil yang kau katakan itu"," bertanya Mahisa
Murti pula. "Tidak melewati hutan kecil di tengah-tengah padukuhan
ini. Tetapi dari jalan ini kalian dapat melihat hutan kecil yang
kami keramatkan itu. Terutama sumber airnya," jawab pemilik
kedai itu, "karena itu, maka hutan kecil dan mata air itu kami
lindungi. Kami membuat dinding di sekitarnya. Hanya ada
satu pintu pada dinding yang mengelilingi hutan itu."
"Apakah sumber air itu juga diambil untuk minum","
bertanya Mahisa Pukat. "Jika sumur-sumur kami menjadi kering di musim kering
yang panjang, kami memang m engambil air di sendang itu.
Tetapi jarang terjadi sumur-sumur kami kering meski pun
sumur-sumur kami cukup dalam," jawab pemilik kedai itu
pula. Anak-anak muda itu tidak bertanya lagi. Mereka minta diri
untuk meneruskan perjalanan. Mereka menyusuri jalan
padukuh-an itu menuju ke arah Panawijen.
"Apakah Panawijen masih jauh"," bertanya Mahisa
Amping. "Tidak terlalu jauh," jawab Mahisa Murti.
"Apakah kau sudah letih"," bertanya Mahisa Pukat.
"Tidak. Aku tidak pernah merasa letih," jawab Mahisa
Amping. Mahisa Pukat tersenyum. Katanya: "Bagus. Kau jangan
cepat menjadi letih."
Sementara itu, maka mereka pun telah sampai k e tengahtengah
padukuhan itu. Mereka sudah melihat, beberapa puluh
patok dari jalan padukuhan itu, dinding y ang mengelilingi
sebuah hutan kecil. Tetapi didalamnya terdapat beberapa
pohon raksasa. Sejenis pohon beringin dan pohon ny amplung.
Tetapi diantara beberapa pohon raksasa itu, terdapat pohon
cangkring y ang nampaknya sudah sangat tua sehingga
batangnya sudah menjadi sangat besar. Duri-duri raksasa
melekat pada pangkal batang cangkring raksasa itu.
"Apakah kita akan mulai"," bertanya Mahisa Pukat. Mahisa
Amping nampak termangu-mangu. Sambil tertawa Wantilan
bertanya: "Apakah kau menjadi ketakutan?"
Mahisa Am ping menarik nafas dalam-dalam. Ternyata anak
itu jujur atas perasaannya tentang hutan kecil itu.
"Rasa-rasanya tengkuk ini meremang," jawab anak itu.
"Kita tidak akan memasuki dinding itu. Tetapi aku hanya
akan melihat dari luar pintu," desis Mahisa Pukat.
Sebenarnyalah mereka memang melangkah mendekati
dinding y ang mengelilingi hutan kecil itu. Ketika mereka
melihat sebuah reg ol, maka mereka pun telah
menghampirinya. Regol itu m emang tidak tertutup. Karena itu, maka k etika
mereka menjengukkan kepalanya lewat pintu regol itu, maka
mereka memang melihat tidak terlalu jauh dari reg ol itu
sebuah sendang. "Mata air itu ada didalam sendang," desis Mahisa Pukat.
"Ya," jawab Mahisa Murti.
Mahisa Amping memang ikut menjengukkan kepalanya.
Namun ia berdesis: "Mengerikan."
Mahisa Semu ternyata juga merasakan kengerian itu. Meski
pun ia tidak m enjadi ketakutan, tetapi ia berkata: "Meski pun
hutan ini tidak lebih luas dari beberapa kotak sawah, tetapi
suasananya justru lebih mendebarkan jantung daripada
sebuah hutan yang besar."
"Justru hutan ini sempit," berkata Mahisa Murti, "di hutan
yang luas dan besar, maka pepohonan itu tidak akan nampak
seperti raksasa-raksasa y ang mengerikan. Justru karena di
sekitarnya terdapat pohon-pohon kecil di halaman rumah
orang, maka pohon-pohon itu kesannya menjadi berbeda."
>>> Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Mereka melihat
bahwa Ki Bekel telah mulai mendengarkan kata-kata m ereka.
Karena itu maka Mahisa Murti pun kemudian berkata: "Ki
Bekel. Jika Ki Bekel berhasil, maka Ki Bekel telah berbuat
sesuatu yang sangat berarti bagi anak cucu."
"Lalu, hutan ini akan kehilangan arti," berkata Ki Bekel.
"Tidak. Hutan ini akan tetap mengairi sejauh dapat
dijangkaunya. Setidak-tidaknya landasan kesejahteraan
padukuhan ini tidak akan hilang. Apa pun yang terjadi dengan
bendungan itu, maka hutan ini merupakan jantung dari
kehidupan seluruh padukuhan ini," jawab Mahisa Murti.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya: "Baiklah anakanak


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muda. Aku akan memikirkannya. Pada dasarnya aku
sependapat dengan pikiran kalian. Namun dalam
pelaksanaannya, masih banyak y ang harus diperhatikan."
"Aku mengerti Ki Bekel. Tetapi aku juga mengerti, bahwa Ki
Bekel bukannya orang yang mudah meny erah sebelum
berjuang," berkata Mahisa Murti.
Ki Bekel tersenyum. Katanya: "Aku memang tidak
menggantungkan diri k epada m impi itu. Aku bukannya orang
yang kelaparan." Mahisa Murti m engangguk-angguk sambil menjawab: "Ya.
Namun justru karena itu, maka Ki Bekel dapat bekerja dengan
tenang." "Baiklah anak muda," berkata Ki Bekel: "aku akan berbicara
dengan dua orang Bekel dari dua padukuhan yang sangat
menderita. Penghuninya sangat miskin dan bahkan kadangkadang
penghuni padukuhan itu telah dianjurkan untuk
merantau dan mengembara sambil m inta belas kasihan orang
di sepanjang perjalanan mereka."
Mahisa Murti mengangguk-angguk, sementara Mahisa
Pukat berkata: "Asal mereka masih mensisakan sedikit
kemauan untuk menjadi orang -orang y ang mempunyai harga
diri, maka mereka tentu akan bersedia bekerja membangun
bendungan itu tanpa melawan kutuk mPu Purwa."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya: "Aku akan
mencoba. Tetapi t itik berat sasaran air yang m ungkin akan
naik itu adalah kedua padukuhan y ang sangat miskin itu."
"Ya. Dengan demikian m aka Ki Bekel telah berbuat baik
kepada sesama. Mereka tidak akan pernah melupakan jasa Ki
Bekel itu sepanjang hidupnya. Bahkan anak cucunya," berkata
Mahisa Pukat. " Itu tidak penting. Yang penting sesama penghuni
padukuhan di satu Kabuyutan, mereka benar -benar dalam
keadaan yang pahit."
"Semakin banyak orang y ang bersedia turun ke sungai akan
menjadi semakin baik selagi kita masih mempunyai sisa waktu
beberapa bulan sebelum musim hujan datang. Bahkan
seandainya musim ini masih belum terwujud, m aka m usim
kering yang akan datang, kerja itu dapat dilanjutkan. Asal saja
diperhitungkan bahwa bahan-bahan yang telah tersedia tidak
dihanyutkan air hujan," berkata Mahisa Pukat.
Ki Bekel ter senyum. Katanya: "Aku akan melakukannya.
Tetapi sebagian besar hasilnya ditujukan bagi orang lain."
"Bagi satu keluarga besar yang disebut manusia," desis
Mahisa Murti. "Aku berjanji untuk melakukannya," berkata Ki Bekel
kemudian. Demikianlah, m aka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
telah minta diri. Mereka segera melangkah ke pintu gerbang
dan melangkah keluar dari hutan kecil yang dikeramatkan itu.
Mahisa Amping nampak tegang menunggu Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat keluar dari lingkungan hutan kecil yang
dilingkari oleh dinding y ang dipergunakan sebagai pertanda
bahwa tempat itu telah dikeramatkan.
"Apa yang ada didalam"," bertanya Mahisa Amping.
"Tidak ada apa-apa. Hutan dengan pohon-pohon raksasa,"
jawab Mahisa Murti. "Tidak ada binatang buas"," bertanya Mahisa Am ping.
"Binatang buas tidak dapat hidup di tempat sesempit itu.
Tidak ada makanan bagi binatang buas di hutan kecil itu,"
jawab Mahisa Pukat. "Ular"," bertanya Ampng pula.
"Juga tidak. Meski pun dibawah pohon-pohon raksasa itu
masih ditumbuhi gerumbul-gerumbul liar. Namun tidak ada
ular apalagi ular yang besar di hutan itu. Belumbangnya sering
dipergunakan untuk mandi, sehingga belumbang itu nampak
bersih dan terpelihara rapi. Meski pun di sekitarnya terdapat
pohon-pohon raksasa, tetapi daun-daun keringnya tidak
nampak m engotori lingkungan belumbang itu," jawab Mahisa
Murti. Mahisa Amping m engangguk-angguk. Katanya kemudian:
"Beruntunglah bahwa tidak ada sesuatu terjadi disini sehingga
kita tidak perlu berhenti lagi disini. Apalagi bermalam."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ter senyum. Katanya: "Hari
ini kita akan mencapai setidak-tidaknya mendekati Panawijen
yang gersang itu." Mahisa Amping mengangguk-angguk. Tetapi ia pun
kemudian bertanya: "Apa y ang akan kita temukan di
Panawijen" " Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata: "Bukan
apa-apa. Hanya sekedar satu peringatan atas kita, bahwa apa
yang kita lihat itu tidak langgeng adanya. Panawijen, Padang
Karautan, Pakuwon Tumapel, Kediri yang pernah besar dan
lain -lainnya." Mahisa Amping mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
menjawab sama sekali. Demikianlah, maka kelima orang itu pun telah m enyusuri
jalan y ang menuju ke Panawijen. Sebuah daerah yang ger sang,
yang pada suatu saat pernah menjadi daerah y ang subur dan
sejahtera. Seperti y ang dikatakan oleh Mahisa Murti, maka m ereka
pun menjadi semakin dekat dengan Panawijen. Mereka
berharap bahwa hari itu mereka dapat sampai ke bekas
padukuhan itu. Ketika kemudian senja turun, maka kelima orang itu benarbenar
telah sampai ke Panawijen. Di sepanjang jalan m ereka
melihat padukuhan-padukuhan yang gersang. Semakin dekat
dengan Panawijen, maka padukuhan-padukuhan pun nampak
semakin kering. Bahkan kemudian yang nampak adalah
padukuhan-padukuhan y ang sudah tidak berpenghuni lagi.
"Ke mana para penghuni padukuhan ini"," bertanya Mahisa
Amping. "Mereka telah mencari tempat baru untuk dihuni," jawab
Mahisa Murti. "Mereka tinggalkan tanah warisan nenek moyang mereka","
bertanya Mahisa Amping pula.
"Apa salahnya"," bertanya Mahisa Murti.
"Mereka tidak menghargai warisan itu sehingga mereka
sampai hati meninggalkannya," desis anak itu.
Mahisa Pukat tertawa. Sambil m enempuk bahu anak itu ia
bertanya: "Siapa yang mengatakan kepadamu tentang hal itu"
" "Aku pernah mendengar orang berkata demikian. Bahkan
ada orang yang bersedia mati kelaparan di rumah peninggalan
nenek moy angnya," jawab anak itu.
Mahisa Pukat tertawa. Katanya: "Menghormati peninggalan
orang tua adalah satu perbuatan yang sangat terpuji. Tetapi
seseorang harus melihat kenyataan. Seseorang tidak boleh
menyiksa diri hidup dalam kesulitan karena daerahnya
menjadi gersang. Harus ada usaha untuk memulihkan
keadaan tanah itu atau jika hal itu tidak mungkin dilakukan,
seseorang harus mempunyai keberanian membuka daerah
baru. Bukan sekedar keberanian. Tetapi juga kesediaan untuk
bekerja keras membangun daerah baru yang dibukanya itu.
Meski pun seseorang memiliki keberanian untuk membuka
daerah baru, tetapi malas bekerja, maka ia tentu tidak akan
berhasil. Berapa pun tanah yang akan dimilikiny a di daerah
yang baru dibuka itu atau betapa pun suburnya tanah itu."
Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Ia hanya mengerti
sebagian saja dari pembicaraan Mahisa Pukat itu. Tetapi ia
tidak bertanya lebih jauh.
Demikianlah maka kelima orang itu telah berada di
Panawijen. Yang mereka lihat kemudian adalah sebuah
padang perdu y ang luas. Ma sih tersisa pepohonan yang agak
besar. Tetapi daunnya nampak kekuning-kuningan.
"Kita akan bermalam di sini," berkata Mahisa Murti.
Memang bukan persoalan bagi m ereka. Apakah mereka akan
bermalam di Panawijen atau di tempat lain, di banjar
padukuhan atau di pategalan.
Namun yang membuat Mahisa Amping agak kecewa
adalah, di Panawijen mereka tidak menemukan air. Meski pun
mereka melihat bekas parit y ang cukup besar. Tetapi parit itu
sudah lama mengering. "Kita tidak akan menemukan air disini," berkata Mahisa
Murti. Mahia Amping tidak m enjawab sama sekali betapa pun ia
ingin mengatakannya, bahwa besok pagi-pagi mereka perlu
mandi. Apalagi ketika Mahisa Murti berkata: "Kita tidak tahu,
berapa jauh kita akan mendapatkan air," ia berhenti sejenak,
lalu: "tetapi dari Panawijen kita akan menyusuri jalan menuju
ke padang Karautan yang sekarang telah menjadi ramai.
Pa dang yang sangat luas itu sekarang telah berpenghuni.
Beberapa padukuhan telah t erbentuk di padang itu, diantara
bulak-bulak persawahan. Meski pun demikian padang
Karautan itu masih belum seluruhnya dihuni. Ma sih ada
tempat bagi mereka y ang ingin membuka daerah baru di
padang Karautan meski pun daerah y ang tinggal agak
menjorok ke padang rumput y ang kemudian berbatasan
dengan padukuhan-padukuhan y ang memang sudah ada sejak
sebelum padang Karautan dibuka."
Mahisa Amping hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi
Mahisa Semu dan Wantilan pun telah mengangguk-angguk
pula. Demikianlah malam itu Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
telah bermalam di tempat terbuka di bekas
padukuhan y ang bernama Panawijen.
Namun dalam pada itu, ketika y ang lain telah tertidur
ny enyak Mahisa Murti berkata: "Kita masih mempunyai
hutang." "Hutang apa"," bertanya Mahisa Pukat.
"Pesan Kiai Patah y ang harus kita bawa ke padukuhan
Banyusasak y ang terletak di pinggir jalan diantara Padang
Karautan dan Singasari," jawab Mahisa Murti.
"Di tepi jalan dari padang Karautan yang menuju ke
Singasari," sahut Mahisa Pukat.
"Apa bedanya"," bertanya Mahisa Murti.
"Hanya pada tekanannya. Ungkapanku mempunyai
pengertian masih dekat dengan padang Karautan," jawab
Mahisa Pukat. Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya: "Kau benar."
Mahisa Pukat tersenyum. Katanya: "Nah, besok kita akan
menuju ke padang Karautan. Baru di hari berikutnya kita
mencari padukuhan Banyusasak."
"Kenapa baru di hari berikutnya" Bukankah perjalanan ke
Pa dang Karautan tidak perlu ditempuh dalam sehari","
bertanya Mahisa Murti. "Mungkin kita perlu b eristirahat di padang Karautan. Kita
dapat melihat perkembangan lingkungan itu," jawab Mahisa
Pukat. "Apakah ada yang menarik"," bertanya Mahisa Murti.
"Aku belum tahu," jawab Mahisa Pukat, "tetapi nampaknya
daerah y ang baru tumbuh dan berkembang itu akan sangat
menarik perhatian." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya: "Baiklah.
Mungkin ada y ang perlu kita lihat. Setidak-tidaknya
bendungan yang ada di sebelah padang Karautan itu."
"Sekarang, siapakah y ang akan tidur lebih dahulu","
bertanya Mahisa Pukat. "Kau sajalah. Jika aku sudah m engantuk sekali, maka kau
akan aku bangunkan," berkata Mahisa Murti kemudian.
Mahisa Pukat m engangguk kecil. Kemudian ia pun telah
mencari tempat untuk berbaring.
Malam itu, tidak terjadi sesuatu yang dapat m engganggu
rencana perjalanan kelima orang itu. Mahisa Pukat memang
dibangunkan ketika Mahisa Murti ingin tidur. Namun
kemudian tidak ada apa -apa lagi. Ketika matahari mulai
membayang menjelang fajar, maka mereka berlima telah
terbangun. Namun mereka tidak mempunyai kesempatan
untuk mandi, karena di Panawijen sulit untuk m endapatkan
air. "Kita akan m eneruskan perjalanan," berkata Mahisa Murti
kemudian setelah mereka membenahi diri.
Kelima orang itu pun segera bersiap. Sebelum matahari
terbit, mereka sudah mulai dengan perjalanan mereka.
"Tempat y ang sangat bagus untuk berlatih," gumam Mahisa
Amping. Mahisa Murti tersenyum. Sambil menepuk pundak anak
itu, ia berkata: "Latihan-latihanmu akan kau lakukan nanti di
padang Karautan. Kita mempunyai waktu cukup."
Mahisa Amping tidak menjawab. Tetapi ia berjalan saja
sambil memandang lurus ke depan.
Perjalanan mereka memang cukup panjang. Hampir
sampai ke tengah hari mereka belum menemukan sehelai
paritpun. Apalagi sebuah kedai.
Namun beberapa lama kemudian, mereka mulai
mengharapkan dapat menemukan air. Mereka mulai m elihat
pepohonan y ang hijau, sehingga mereka menduga, bahwa
mereka telah sampai ke tempat yang berair.
Sebenarnyalah, mereka pun kemudian telah memasuki
daerah y ang semakin subur. Mereka melihat sebuah pategalan
yang meski pun tidak terlalu rimbun, tetapi ditumbuhi oleh
beberapa jenis pepohonan buah-buahan.
Seperti yang mereka duga, maka mereka pun kemudian
telah menemukan sebuah parit yang meski pun kecil, tetapi
airnya yang bening telah memberikan kesempatan kepada
mereka untuk mencuci muka, tangan dan kaki mereka,
sehingga mereka pun merasakan tubuh mereka menjadi segar.
Setelah sempat membersihkan diri, maka mereka pun
mulai menapakkan kaki mereka di daerah yang pernah disebut
padang Karautan. Sebuah padang y ang garang, gersang dan
kering. Apalagi ketika di padang itu masih dihuni seorang yang
sangat ditakuti. Ken Arok. Namun y ang kemudian mampu
mengangkat dirinya m enjadi Akuwu di Tumapel dan bahkan
seorang Maharaja di Singasari.
Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah sampai ke
padukuhan y ang pertama mereka jumpai. Padukuhan yang
memang tidak begitu besar. Tetapi padukuhan itu nampaknya
cukup memberikan kehidupan bagi penghuninya.
Disebelah padukuhan itu terbentang sawah y ang nampak
hijau. Agaknya air y ang dinaikkan dengan bendungan telah


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mampu menggapai daerah itu.
Tetapi mereka masih belum sampai ke jantung padang
Karautan y ang m enurut pendengaran mereka sudah m enjadi
semakin subur. Karena itu, maka kelima orang itu pun telah melangkah
memasuki daerah yang luas, yang telah benar-benar berubah.
Seperti y ang m ereka duga, maka semakin mereka mendekati
sungai, maka daerahnya pun menjadi semakin subur.
Padukuhan-padukuhan telah semakin berkembang. Sehingga
mereka pun kemudian telah m elewati padukuhan-padukuhan
yang terhitung besar. Di pusat perkembangan padang Karautan, terdapat sebuah
pasar y ang ramai. Meski pun semakin siang pasar itu menjadi
sepi, namun jelas dapat dilihat bahwa pasar itu adalah pasar
yang besar, y ang ramai di pagi hari.
Namun kelima orang pengembara itu masih menjumpai
beberapa buah kedai yang masih terbuka. Karena itu, m aka
mereka pun sempat singgah di kedai itu.
Sambil lalu, Mahisa Pukat pun telah bertanya kepada
pemilik kedai itu: "Apakah padukuhan Banyusasak masih jauh
dari tempat ini" "Banyusasak"," bertanya pemilik kedai itu.
"Ya. Banyusasak," jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengerutkan dahinya, sementara Mahisa
Pukat telah menggamitnya.
Mahisa Amping m emang menjadi agak bingung. Tetapi ia
sa dar, bahwa ia tidak boleh berbicara tentang latihan yang
akan dilakukan. Namun seingatnya, Mahisa Murti mengatakan
bahwa padang Karautan adalah tempat y ang baik sekali untuk
dipergunakan sebagai tempat latihan.
Namun dengan demikian Mahisa Murti telah teringat akan
janjinya sehingga ia pun kemudian m enjawab: "Terima ka sih
Ki Sanak. Kami ingin m eneruskan perjalanan agar jarak ke
Banyusasak itu menjadi semakin pendek."
"Tetapi kalian akan bermalam di perjalanan. Bukankah
lebih baik bermalam disini"," bertanya pemilik kedai itu.
"Kami akan kehilangan waktu. Sore ini kami masih akan
dapat m enempuh perjalanan beberapa ribu patok lagi," jawab
Mahisa Murti. Pemilik kedai itu menarik nafas dalam-dalam. Hampir di
luar sadarnya pemikk kedai itu bertanya: "Tetapi, jika aku
boleh mengetahui, apakah kalian keluarga Kyai Nagateleng?"
"Bukan," jawab Mahisa Muiti, "kami mendapat pesan dari
seseorang untuk disampaikan kepada Kiai Nagateleng. Orang
yang memberikan pesan itulah yang termasuk keluarga Kiai
Nagateleng." Orang itu mengangguk-angguk. Katanya: "Sebenarnyalah
aku ingin memberikan kehormatan kepada kalian. Meski pun
kalian bukan keluarga Kiai Nagateleng, tetapi dengan tidak
langsung kalian m empunyai sangkut paut dengan orang tua
ku. Kiai Nagateleng adalah orang yang sudah sangat tua, tetapi
masih sangat dihormati. Seorang yang baik bagi semua orang."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya: "Terima kasih
Ki Sanak. Tetapi kami adalah perantau y ang sudah terbia sa
berada di m ana saja di segala waktu. Karena itu, seandainya
aku harus bermalam di udara terbuka pun tidak merupakan
sesuatu y ang baru bagi kami. Jika ada gubug di tengah sawah,
tentu merupakan sesuatu yang sangat baik bagi kami."
Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Katanya: "Jika
demikian apa boleh buat. Tetapi sebenarnyalah Kiai
Nagateleng memang seorang yang pantas dihormati oleh siapa
pun juga." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun Mahisa Pukat
pun kemudian bertanya: "Apakah di padepokan Kiai
Nagateleng terdapat banyak murid-muridnya" "
"Tidak terlalu banyak. Tetapi seperti Kiai Nagateleng
sendiri, murid-muridnya terhitung orang -orang y ang baik,"
jawab pemilik kedai itu. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi Kiai Patah y ang
pernah berpesan kepada anak-anak muda itu sama sekali tidak
pernah menyebut-ny ebut tentang sebuah padepokan.
Demikianlah, sejenak kemudian, kelima orang itu pun telah
minta diri untuk meneruskan perjalanan di sisa hari itu.
Semula pemilik kedai itu m enolak untuk dibay ar oleh k elima
orang itu. Tetapi Mahisa Murti telah m eninggalkan uang di
dalam mangkuknya yang menurut perhitungannya tidak akan
jauh dari perhitungan harga makanan dan minuman mereka.
Malahan mungkin lebih dari y ang seharusnya.
Karena itu, ketika Mahisa Murti dan saudara-saudaranya
sudah berjalan menjauh, pemilik kedai yang membenahi
mangkuk-mangkuknya terkejut, bahwa di mangkuk anak
muda itu terdapat uang. Tetapi ia tidak dapat
mengembalikannya, karena anak-anak muda itu sudah
menjadi semakin jauh. Mereka pun tentu menolak seandainya
ia berlari-lari menyusul mereka.
Sebenarnyalah Mahisa Murti dan saudara-saudaranya
sudah meninggalkan padukuhan itu. Semakin lama menjadi
semakin jauh. Bahkan mereka telah melewati padukuhanpadukuhan
yang lain di padang Karautan yang memang telah
menjadi ramai. Namun sebenarnyalah mereka sempat juga mengambil
jalan kecil yang menuju ke lereng sebuah bukit kecil yang
jarang dilalui orang. Mahisa Murti sengaja menempuh jalan
itu untuk memberi kesempatan kepada Mahisa Amping untuk
berlatih sebagaimana dijanjikannya. Sejak semula Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat memang sepakat untuk bermalam di
Padang Karautan y ang telah menjadi daerah yang
berpenghuni. Padang Karautan bukan lagi padang yang
nampak bagaikan tanpa tepi sampai menyilang cakrawala,
tetapi kini sudah menjadi padang hijau y ang terhambar luas di
seling oleh padukuhan-padukuhan y ang subur.
Tetapi diantara semuanya itu, masih ada juga sebuah bukit
kecil yang ger sang, karena letaknya di daerah y ang agak tinggi.
Namun nampaknya ada usaha orang-orang y ang tinggal di
Pa dang Karautan itu untuk menanami bukit itu dengan
pepohonan y ang akan dapat menjadikan sebuah hutan kecil
diatas bukit itu. Hutan yang akan sangat berarti bagi
kehidupan di sekitar bukit kecil itu.
Di sebuah tempat yang agak rata di bukit kecil itu. Mahisa
Murti telah mengajak saudara-saudaranya untuk berhenti.
Mereka berteduh dibawah pohon yang cukup rindang meski
pun hanya ada dua tiga batang.
"Sebentar lagi matahari akan sampai ke cakrawala," berkata
Mahisa Murti, "tetapi kita masih mempunyai waktu untuk
berlatih. Terutama Mahisa Amping. Aku sudah mengatakan
bahwa Padang Karautan m erupakan tempat yang baik untuk
berlatih. Tidak kalah dengan Panawijen. Bahkan disini kita
tidak akan terlalu sulit mencari air. Dibawah bukit ini terdapat
sebuah parit kecil. Mahisa Amping berdiri tegak sambil bertolak pinggang
memandangi langit y ang menjadi semakin kemerah -merahan.
"Nah," berkata Mahisa Murti, "kau m endapat kesempatan
untuk berlatih." "Bagus," desis Mahisa Amping: "aku akan berlatih sampai
gelap." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah
memanggil Mahisa Semu dan Wantilan. Dengan nada rendah
Mahisa Murti berkata: "Kita akan berbicara. Biarlah Mahisa
Amping berlatih." Demikian Mahisa Amping m eny iapkan dirinya dan mulai
berlatih maka Mahisa Murti pun berkata: "Ada sedikit hal yang
ingin aku beritahukan kepada kalian."
"Tentang apa"," bertanya Wantilan.
"Barangkali kami belum pernah mengatakan kepada kalian
bahwa kami akan singgah di rumah seseorang y ang bernama
Kiai Nagateleng," berkata Mahisa Murti.
Mahisa Semu dan Wantilan mengangguk-angguk.
Sementara itu Mahisa Murti berkata selanjutnya: "Menurut
pesan seseorang kami harus bertemu dengan orang itu yang
rumahnya berada di Banyusasak. Namun yang menurut
pemilik kedai itu, Kiai Nagateleng mempunyai sebuah
padepokan y ang terletak di arah belakang padukuhan
Banyusasak." "Apakah ada sesuatu yang agak khusus"," bertanya Mahisa
Semu. "Kami harus menyampaikan satu kata sandi y ang tidak
kami ketahui artinya. Mungkin artinya baik bagi kita atau
mungkin juga dapat m enghambat. Tetapi m enilik orang yang
memberikan pesan itu kepada kami, maka pesan itu tidak
akan mungkin berarti buruk bagi kita. Orang yang
memberikan pesan untuk menyampaikan kata-kata sandi itu
orang y ang sangat baik kepada kami berdua," berkata Mahisa
Murti kemudian. Lalu katanya pula: "Meski pun demikian,
kami ingin mengharap kalian tidak ikut memasuki padepokan
itu. Kalian dapat m enunggu kami beberapa puluh patok dari
padepokan. Besok, sebelum tengah hari kita akan sampai ke
padepokan itu. Jika tidak ada sesuatu y ang sangat penting,
maka kami akan segera dapat meninggalkan padepokan itu.
Menurut orang y ang memberikan pesan kepada kami, katakata
sandi hanyalah sekedar pertanda bahwa kami benarbenar
telah bertemu dengan orang itu. Tetapi aku kira ada arti
lain, sehingga karena itu, maka jika sampai senja kami tidak
datang lagi kepada kalian, maka kalian harus meninggalkan
tempat kalian. Kalian agar kembali ke tempat ini untuk
menunggu kedatangan kami sehari semalam. Jika kami tidak
datang, maka agaknya ada sesuatu y ang menghambat
perjalanan kami." "Jika demikian, apa yang harus aku lakukan"," bertanya
Mahisa Semu. "Kau harus meneruskan perjalanan m enuju ke padepokan
yang pernah aku katakan kepada kalian. Kalian harus
menemukannya dan mengatakan tentang perjalanan kami dan
mengatakan di mana kami untuk y ang terakhir kalinya
bersama dengan kalian" berkata Mahisa Murti.
Wajah Mahisa Semu dan Wantilan memang menjadi
tegang. Namun Mahisa Murti berkata: "Tetapi jangan cemas.
Orang y ang m emberi pesan kepada kami adalah orang yang
sangat baik. Karena itu, kami pun telah memperhitungkan
bahwa pesannya itu pun tentu tidak akan mempunyai arti yang
kurang baik bagi kami."
"Mudah-mudahan," sahut Wantilan, "mudah-mudahan
justru akan memberikan kebaikan y ang lebih besar kepada
kalian." Mahisa Murti mengangguk sambil menjawab: "Mudahmudahan.
Kami pun berharap demikian."
Demikianlah, maka setelah Mahisa Murti memberikan
pesan pesannya, maka perhatian mereka pun mulai tertuju
kepada Mahisa Amping. Ternyata keringatnya telah
membasahi seluruh tubuhnya. Anak itu merasa bahwa
saudara-saudaranya tidak memperhatikannya, justru karena
mereka bercakap-cakap saja diantara m ereka. Tetapi Mahisa
Amping tidak menghiraukannya. Ia merasa bahwa olah
kanuragan itu adalah untuk kepentingannya sendiri.
Diperhatikan orang atau tidak, maka ia pun telah berlatih
dengan bersungguh-sungguh."
Namun akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
bangkit dan mulai melihat latihan y ang dilakukannya. Bahkan
Mahisa Pukat pun telah m endekatinya sambil melihat setiap
unsur gerak y ang telah diungkapkan oleh anak itu.
Ternyata Mahisa Amping juga memiliki day a tangkap yang
tinggi. Anak itu memang termasuk dengan cepat m enguasai
unsur -unsur gerak yang pernah diberikan oleh Mahisa Murti
atau Mahisa Pukat. Dalam usia kanak-kanaknya Mahisa Aping
telah menguasai beberapa unsur gerak yang terhitung mulai
rumit dan memiliki sifat ganda, meski pun masih sangat
terbatas. Beberapa kali Mahisa Pukat sempat membetulkan
kesalahan-kesalahan y ang dibuat oleh anak itu. Namun pada
umumnya, Mahisa Amping telah melakukan dengan benar.
Bahkan menjelang senja Mahisa Pukat pun berkata: "Aku
akan memasuki latihan-latihanmu."
Mahisa Amping mengerti, bahwa Mahisa Pukat akan
memberikan latihan langsung dalam sebuah perkelahian.
Karena itu, m aka Mahisa Amping telah m eloncat mundur,
bersiaga sepenuhnya untuk menghadapi Mahisa Pukat yang
akan terjun ke dalam latihan anak itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Mahisa Pukat pun
telah menuntun Mahisa Amping dalam latihan langsung
sebagaimana sering dilakukannya. Beberapa kali tangan
Mahisa Pukat sempat meny entuh tubuh anak itu. Mahisa
Pukat dengan sengaja menyakiti tubuh kecil itu, meski pun
terbatas. Namun dengan demikian maka Mahisa Amping telah
menjadi semakin bersungguh-sungguh.
Tetapi Mahisa Pukat tidak m elakukan latihan terlalu lama.
Beberapa saat kemudian, maka langit telah m enjadi semakin
gelap, sehingga Mahisa Pukat pun memutuskan untuk
berhenti berlatih. Mahisa Amping y ang kecil itu pun telah bergeser surut.
Nafasnya telah m enjadi terengah-engah. Kulitnya terasa sakit
di beberapa tempat. Tetapi Mahisa Amping menganggap bahwa latihan-latihan
yang demikianlah yang memberinya kepuasan. Bahkan ia
merasa bahwa ia dapat melakukan latihan lebih lama lagi,
bahkan di dalam gelap sekalipun.
"Sudah cukup," berkata Mahisa Pukat, "kau tidak boleh
memaksa diri sehingga menjadi t erlalu letih," berkata Mahisa
Pukat y ang mengajak Mahisa Amping untuk mengatur
pernafasannya beberapa saat.
Baru sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat telah
membawa Mahisa Amping pergi ke sebuah sungai kecil di
bawah bukit itu untuk mandi.
Ketika malam menjadi semakin malam, maka Mahisa Pukat
dan Mahisa Amping telah berada bersama-sama dengan ketiga
orang yang lain di tempat y ang telah mereka pilih untuk
bermalam. Pagi-pagi benar, sebelum matahari terbit, semuanya telah
bersiap untuk menempuh perjalanan m enuju k e Banyusasak.
Seperti yang dikatakan oleh pemilik kedai itu, m aka mereka
akan singgah sebentar di padepokan Kiai Nagateleng untuk


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyampaikan pesan Kiai Patah yang meski pun jarang
mereka singgung dalam pembicaraan mereka di sepanjang
perjalanan, namun mereka tidak pernah melupakannya.
Seperti yang dikatakan pula oleh pemilik kedai itu, m aka
perjalanan ke Banyusasak memang cukup panjang. Tetapi
ketika matahari hampir mencapai puncaknya, mereka pun
telah menjadi semakin dekat dengan padukuhan itu. Ketika
mereka bertanya kepada seseorang y ang sedang mengairi
sawahnya, maka orang itu menjawab: "Kalian masih akan
melalui tiga bulak lagi. Maka padukuhan berikutnya adalah
Banyusasak." "Apakah itu berarti bahwa Banyusasak telah dekat","
bertanya Mahisa Amping. "Ya," jawab orang itu.
"Terima kasih," Mahisa Amping mengangguk dalam-dalam.
Sambil tersenyum maka Mahisa Murti pun telah
mengucapkan terima kasih pula.
Ketika mereka melanjutkan perjalanan, maka Mahisa
Pukat- pun berkata: "Kita akan berhenti di padukuhan itu jika
di padukuhan itu ada k edai. Selain kita sudah m erasa lapar,
maka kita akan dapat berbicara serba sedikit tentang orang
yang kita cari. Mungkin, kita akan mendapat keterangan yang
lebih jelas dari pemilik kedai itu..."
Mahisa Murti sependapat dengan Mahisa Pukat untuk
berhenti. Bukan sekedar, karena mereka lapar, tetapi m ereka
memang ingin mendapat beberapa keterangan tentang Kiai
Nagateleng. Demikianlah, ketika mereka sampai ke padukuhan, maka
mereka pun telah berhenti di sebuah kedai y ang cukup besar.
Setelah memesan m akanan dan m inuman, maka m ereka pun
telah bertanya tentang seseorang y ang bernama Kiai
Nagateleng dari padukuhan Banyusasak.
Pemilik kedai itu nampak ragu-ragu. Namun sebelum ia
menjawab, maka seseorang y ang duduk di sudut kedai itu
telah bangkit dan m endekati Mahisa Murti sambil bertanya:
"Apakah kalian mencari padepokan Kiai Nagateleng" "
"Ya Ki Sanak," jawab Mahisa Murti.
Orang itu ter senyum. Dengan ramah ia berkata kepada
pemilik kedai itu: "Sudahlah.. Biarjah aku y ang m emberikan
keterangan tentang Kiai Nagateleng."
Pemilik kedai itu m asih saja nampak ragu-ragu. Tetapi ia
pun kemudian telah bergeser meninggalkan Mahisa Murti.
"Anak muda," bertanya orang itu, "apakah anak muda ingin
menghadap Kiai Nagateleng" "
"Ya Ki Sanak," jawab Mahisa Murti.
"Bagus," sahut orang itu. Lalu katanya: "Memang sudah ,
banyak anak-anak muda y ang datang m engabdi, kepadanya.
Mereka telah berada di padepokan Kiai Nagateleng untuk
menimba berbagai macam ilmu sehingga demikian mereka
dianggap cukup dan selesai, maka mereka akan menjadi
seorang yang pilih tanding. Orang yang disegani dan ditakuti
oleh banyak orang," Mahisa Murti t ermangu-mangu mendengarkan keterangan
itu. Demikian pula saudara-saudaranya. Ada sesuatu yang
terasa kurang mapan. Orang itu bahkan dianggap tidak
sepantasnya untuk m engucapkan kebanggaan yang berkesan
satu kesombongan atas sebuah padepokan y ang seharusnya
dihormati. Tetapi orang itu kemudian berkata: "Aku juga murid dari
padepokan yang dipimpin oleh Kiai Nagateleng itu."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara orang itu
berkata: "Nah, jika kalian akan pergi, maka aku akan bersedia
menunjukkan jalannya."
"Apakah masih jauh"," bertanya Mahisa Murti.
"Tidak. Tidak jauh dari tem pat ini. Di padukuhan sebelah
ada sebuah simpang ampat. Nah, kalian akan berbelok ke kiri,"
jawab orang itu. Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Menurut seorang
yang ditemuinya di tengah-tengah sawah, mereka masih akan
melalui tiga bulak lagi, barulah mereka sampai ke padukuhan
Banyusasak. Tetapi orang itu mengatakan bahwa mereka
sudah akan sampai di padukuhan yang mereka cari di sebelah
bulak berikutnya. Tetapi Mahisa Murti tidak segera menyatakan keraguraguannya.
Bahkan ia pun kemudian mengangguk-angguk
sambil berkata: "Terima ka sih Ki Sanak. Dari kedai ini, kami
akan langsung pergi ke padepokan itu. Tetapi apakah
padepokan itu masih jauh dari padukuhan sebelah" "
"Masih agak jauh. Tetapi jalannya tidak terlalu sukar.
Kal ian ikuti saja jalan dari simpang ampat itu. Maka sebelum
matahari turun, kalian sudah akan sampai," jawab orang itu.
Sekali lagi Mahisa Murti termangu-mangu. Menurut petani
yang dijumpainya sedang mengairi sawah itu, jaraknya tidak
jauh. Hanya beberapa ratus patok.
Tetapi Mahisa Murti m asih berdiam diri. Bahkan ia telah
memberi isy arat kepada Mahisa Pukat untuk tidak
mempersoalkannya. Demikianlah, setelah mereka selesai makan dan minum,
maka mereka pun telah minta diri untuk melanjutkan
perjalanan. Sementara itu orang yang menunjukkan letak
padepokan Ki Nagateleng itu pun dengan ramah mengucapkan
selamat jalan. "Jangan keliru Ki Sanak. Jika Ki Sanak sampai ke simpang
ampat di padukuhan sebelah, maka kalian harus berbelok ke
kiri," jawab orang itu.
Tetapi diluar dugaan Mahisa Amping telah bertanya:
"Apakah padukuhan sebelah padukuhan Banyusasak" "
Orang itu memang menjadi agak bingung. Namun akhirnya
ia menjawab: "Ya. Banyusasak ujung."
Mahisa Amping nampaknya masih akan bertanya lagi,
tetapi Mahisaa Murti pun kemudian berkata: "Marilah. Selagi
masih siang." Tidak seorang pun y ang bertanya lagi. Mereka pun
kemudian telah melanjutkan perjalanan.
Namun agaknya bukan hanya Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat saja yang m elihat kejanggalan dari keterangan orang
yang nampaknya justru terlalu ramah. Orang y ang terlalu
ramah kadang-kadang memang mempunyai pamrih.
Dalam keragu-raguan Mahisa Semu telah bertanya:
"Apakah ada lebih dari satu padukuhan yang bernama
Banyusasak" " "Entahlah. Tetapi kita dapat bertanya jika kita jumpai di
padukuhan sebelah. Mungkin keterangan orang di kedai itu
benar dan keterangan petani itu k eliru. Tetapi mungkin juga
dapat sebaliknya." Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak
menjawab. Demikianlah mereka telah berjalan menyusur jalan menuju
ke Singasari. Setelah melewati sebuah bulak yang tidak begitu
panjang, m aka m ereka telah mendekati sebuah padukuhan.
Dalam kebimbangan, maka ketika mereka melihat seseorang
yang bekerja di sawah, maka Mahisa Murti pun telah berhenti
dan bertanya: "Apakah padukuhan itu padukuhan
Banyusasak?" Petani itu menggeleng. Jawabnya: "Dua bulak lagi. Baru
kalian akan sampai ke Banyusasak."
"Terima kasih Ki Sanak," jawab Mahisa Murti. Mereka pun
menjadi semakin bimbang akan kebenaran ceritera orang yang
ada di kedai itu. Mereka lebih percaya kepada dua orang
petani yang sedang bekerja di sawah.
Namun mereka berlima telah meneruskan perjalanan.
Jalan y ang mereka lalui bukan jalan yang sepi. Bahkan sekalisekali
m ereka telah bertemu dengan orang berkuda. Bahkan
pedati yang mengangkat hasil bumi dari satu padukuhan
dibawa ke padukuhan yang lain.
Tetapi justru karena itu, maka Mahisa Murti telah
mempunyai minat untuk melihat padepokan yang dikatakan
oleh orang yang ada di dalam kedai itu.
Dengan demikian, maka ketika sampai ke padukuhan
terdekat, kemudian sebuah simpang ampat, Mahisa Murti
memang menjadi ragu -ragu.
"Apakah kita akan berbelok" Kita tahu bahwa orang itu
berbohong. Tetapi aku justru ingin tahu apakah maksudnya,"
desis Mahisa Murti. Tiba-tiba saja Mahisa Amping telah menyahut: "Aku setuju.
Kita melihat padepokan itu."
Ternyata y ang lain pun sependapat. Mereka sadari bahwa
yang akan mereka lakukan adalah sesuatu yang berbahaya.
Karena itu maka Mahisa Murti pun telah minta agar m ereka
semuanya berhati-hati. Mungkin mereka harus berbuat
sesuatu untuk melindungi keselamatan-mereka.
"Bahkan mungkin kita tidak sempat melakukannya."
berkata. Mahisa Murti. "Kita akan berhati-hati," sahut Wantilan.
Demikianlah mereka berlima memang sepakat untuk
singgah di padepokan y ang disebutnya sebagai padepokan Ki
Nagateleng. Apalagi ketika mereka sampai di padukuhan itu, ternyata
orang y ang ada di kedai itu sudah berjongkok di pinggir
simpang ampat, diatas sebuah batu.
"Kita bertemu lagi Ki Sanak," sapa orang itu. Mahisa Murti
mengangguk hormat. Dengan hati-hati ia bertanya: "Kau lebih
dahulu sampai disini?"
Orang itu tersenyum. Katanya: "Ya. Aku m engambil jalan
pintas melalui pematang dan tanggul parit itu."
Mahisa Murti m engangguk kecil. Namun ia pun kemudian
bertanya: "Apakah simpang ampat ini yang kau maksud" "
"Ya. Simpang ampat ini. Marilah, aku antarkan kalian
sampai ke padepokan," berkata orang itu.
"Sebenarnya Ki Sanak tidak usah melakukannya. Kami
akan dapat melakukannya sendiri, karena jalannya sudah
jelas," berkata Mahisa Murti, "atau mungkin jika Ki Sanak
masih mempunyai tugas yang lain, maka biarlah kami berjalan
sendiri." Orang itu ter senyum. Katanya: "Sebenarnya aku m emang
masih mempunyai tugas tertentu. Tetapi agaknya kalian
memang pantas dihormati sehingga aku m emutuskan untuk
mengantar kalian sampai ke padepokan."
Demikianlah, maka kelima orang itu telah berjalan
mengikuti orang yang dijumpainya di kedai itu. Namun
kecurigaan Mahisa Murti dan saudara -saudaranya m embuat
mereka menjadi semakin berhati-hati. Bahwa orang itu telah
menunggunya di simpang ampat membuat kelima orang itu
semakin curiga. Beberapa saat lamanya mereka berjalan m enyusuri jalan
yang tidak terlalu ramai. Mereka melintasi beberapa bulak
yang terhitung lengang. Mahisa Murti dan saudara-saudaranya berjalan dengan
penuh kewaspadaan. Mereka memang sampai ke satu
kesimpulan, bahwa orang itu adalah salah seorang dari:
segerombolan perampok yang m emancingnya melalui jalanjalany ang sepi di bulak-bulak panjang. Kemudian kawankawan
mereka telah siap-menunggu untuk meny ergapnya.
Tetapi dugaan mereka ternyata salah. Mereka berjalan terus
menuju ke sebuah padepokan yang agak terpisah dari
padukuhan-padukuhan yang telah m ereka lewati. Padepokan,
itu berada di ujung sebuah bulak yang sangat panjang.
Kemudian di sebelah bulak persawahan itu terdapat padang
perdu dan padang rumput. Lewat jalan setapak m ereka akan
sampai ke sebuah padepokan tidak terlalu jauh dari sebuah
hutan y ang memang agaknya tidak terlalu luas meski pun
merupakan hutan yang nampaknya cukup garang.
" Itulah padepokan kami," berkata orang itu. "Kiai
Nagateleng telah memilih tempat, y ang agak terpisah, tidak
terlalu banyak terganggu dan tidak pula m engganggu orang
lain." Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil. Katanya: "Sebuah
padepokan yang asri."
"Kiai Nagateleng adalah seorang y ang sangat
memperhatikan keindahan. Ia bukan saja seorang yang sangat
tertib. Tetapi juga seorang y ang memegang teguh paugeran
yang sudah dibuatnya di padepokannya," berkata orang itu.
"Tetapi apakah Kiai Nagateleng dapat menerima kehadiran
kami dengan baik"," bertanya Mahisa Murti.
"Tidak ada y ang pernah ditolaknya. Setiap orang y ang ingin
mengabdi kepadanya tentu diterimanya dengan tangan
terbuka. Kiai Nagateleng tidak akan m embeda-bedakan, siapa
pun yang menjadi muridnya diperlakukannya sama," berkata
orang itu. Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi kecurigaan masih
sa ja mencengkam jantungnya. Firasatnya memang
mengatakan bahwa ia tidak sedang menuju ke padepokan Kiai
Nagateleng yang sebenarnya.
Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah melintasi
padang perdu dan padang rumput. Dihadapan mereka pun
kemudian berdiri sebuah regol y ang tidak terlalu besar.
"Marilah," berkata orang itu, "kita sudah sampai ke
padepokan Kiai Nagateleng."
Mahisa Murti pun kemudian telah memberikan isyarat
kepada Mahisa Pukat agar mereka menjadi lebih berhati-hati.
Sementara itu Mahisa Pukat pun telah m emberi isy arat pula
kepada Mahisa Semu dan Wantilan.
Kelima orang itu pun kemudian telah memasuki reg ol
padepokan yang terpencil itu. Demikian mereka masuk, maka
mereka memang melihat sebuah pertamanan y ang cukup
terpelihara. Meski pun taman itu kurang serasi, tetapi
tanaman-tanaman y ang terdapat di taman itu tumbuh dengan
subur. Orang itu kemudian telah membawa kelima orang tamu ke
sebuah gardu yang terdapat di pinggir halaman y ang luas.
Katanya kemudian: "Tunggulah disini. Aku akan
menyampaikannya kepada Kiai Nagateleng."
"Terima kasih," jawab Mahisa Murti.
Mereka berlima pun kemudian duduk di gardu itu. Namun
mereka pun segera melihat beberapa orang cantrik yang
nampaknya sedang berjaga-jaga. Ternyata m ereka membawa
senjata telanjang seperti para prajurit y ang berjaga-jaga di
halaman istana. Mahisa Amping diluar dugaan berdesis: "Penghuni
padepokan ini ternyata kurus-kurus."


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sst," desis Mahisa Pukat.
Namun Mahisa Amping justru berkata: "Lihat orang-orang
yang berjaga-jaga itu. Semuanya kurus."
Diluar sadarnya, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya
telah memperhatikan orang-orang yang berjaga-jaga di
halaman itu. Ternyata mereka memang bertubuh kurus.
Mereka tidak mencerminkan orang-orang y ang memiliki
ketegaran untuk memancarkan kebesaran nama Kiai
Nagateleng. Tetapi Mahisa Murti pun kemudian berkata: "Jangan kau
katakan kepada siapa pun juga."
"Tetapi setiap orang tentu akan mengetahui dengan
sendirinya," jawab Mahisa Amping.
"Ya. Tetapi mereka pun akan tetap berdiam diri. Apalagi
selagi mereka ada di padepokan ini," desis Mahisa Murti.
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Katanya: "Baiklah.
Aku tidak akan mengatakannya lagi."
Kelima orang itu pun kemudian telah berdiam diri. Tetapi
diluar sadarnya, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya itu
telah memperhatikan setiap orang y ang ada di halaman.
Semuanya m emang m enunjukkan betapa m ereka m engalami
kesulitan lahir dan batin. Selain tubuh mereka y ang kurus,
wajah mereka pun memancarkan tekanan jiwani yang mereka
alami. Sejenak kemudian, maka orang yang mengantarkan kelima
orang itu memasuki padepokan telah datang lagi bersama
dengan beberapa orang. Dengan ramah orang itu
mempersilahkan kelima orang itu masuk ke padepokan.
"Kiai Nagateleng ada di bangsal kecil di bagian belakang
dari padepokan ini," berkata orang itu.
Mahisa Murti pun kemudian telah memberi isy arat kepada
saudara-saudaranya untuk mengikutinya. Namun saudarasaudaranya
itu pun mengerti bahwa m ereka harus menjadi
semakin berhati-hati. Karena itu, hampir diluar sadar, m aka Mahisa Semu dan
Wantilan telah meraba hulu pedangnya.
Sejenak kemudian, mereka pun telah melintas di sisi
bangunan induk. Demikian mereka memasuki seketheng,
maka mereka pun telah terkejut. Mereka melihat beberapa
orang y ang sedang berlatih. Namun para pelatihnya tidak
sekedar memberikan petunjuk dan contoh tentang unsurunsur
gerak ilmu kanuragan, tetapi para pelatihnya ternyata
telah menggenggam cambuk.
Ketika kelima orang itu lewat di serambi bangunan induk
padepokan itu, mereka telah melihat dua orang yang
dicambuk dengan kerasnya. Seorang diantara mereka
terhuyung-huyung dan jatuh pingsan.
Mahisa Amping tiba -tiba saja berhenti. Dengan wajah y ang
tegang ia melihat salah seorang pelatih itu telah meny iramkan
air ke wajah orang y ang pingsan itu sambil membentak kasar:
"Ay o bangkit."
Mahisa Amping menarik nafas dalam-dalam. Sementara
Mahisa Pukat telah menggamitnya sambil berdesis.:
"Marilah." Orang y ang mereka temui di kedai itu pun berkata: "Mereka
adalah orang-orang baru. Mereka perlu diperkenalkan dengan
ketertiban atas paugeran yang telah mereka terima sebagai
sy arat saat mereka m enyatakan diri memasuki padepokan ini
dan mengabdikan diri kepada Kiai Nagateleng."
Kelima orang itu tidak menjawab. Tetapi m ereka berjalan
terus mengikuti orang itu. Sementara di belakang mereka
beberapa orang bersenjata mengikuti mereka.
Ketika mereka berlima kemudian menyusup diantara dua
bangunan di padepokan itu, m ereka telah m emasuki sebuah
halaman yang tidak terlalu luas. Tetapi sekali lagi mereka
terkejut. Di halaman itu terdapat ampat buah patok kayu.
Pa da keempat patok kayu itu terdapat masing -masing seorang
yang diikat, y ang nampaknya bukan baru saja hal itu
dilakukan atas mereka. Bahkan mungkin telah lebih dari
sehari penuh dibawah teriknya matahari.
"Mereka adalah orang-orang y ang m elakukan pelanggaran
berat. Mereka y ang berusaha untuk keluar dari padepokan
ini." berkata orang yang mengantarkan kelima orang itu.
"Apakah seseorang tidak boleh keluar dari padepokan ini?"
Ladang Pertarungan 3 Pendekar Naga Putih 24 Macan Tutul Lembah Daru Mrs Mcginty Sudah Mati 2

Cari Blog Ini