Ceritasilat Novel Online

Samurai Pengembara 8 2

Shugyosa Samurai Pengembara 8 Bagian 2


langan kedamaiannya. Para prajurit dan samurai bersikap saling curiga. Mereka
menatap orang-orang di sekitarnya dengan penuh selidik. Pos-pos penjagaan
semakin banyak didirikan. Setiap orang yang lewat kini diperiksa secara seksama.
Lolosnya Saburo Mishima dari Kamakura serta para ninja menghilang dari
pengepungan, menjadikan Nobunaga marah. Ia memerintahkan penjagaan atas istana kini dilipatgandakan.
Nobunaga berbaring di samping Naoko sambil
membelai-belai tubuh wanita itu. Sesekali ia mencium Naoko dengan penuh gairah.
"Aku tidak menduga di istana ini ada orang yang bi-sa mengkhianatiku," kata
Nobunaga berbisik. "Tetapi bagaimana aku mengetahuinya" Di istana ini terdapat
hampir delapan ratus dayang-dayang, seribu pengawal, dan tiga ratus pelayan.
Tidak mengherankan apabila satu di antara mereka bisa menjadi pengkhianat.
Bukankah begitu?"
"Ya," jawab Naoko. "Kita sekarang harus lebih hati-hati. Selama ini kita tidak
pernah menduganya, bukan?"
"Benar."
Naoko mendesis ketika Nobunaga menciumi dadanya. "Apakah engkau mengetahui siapa kira-kira yang
mengkhianatiku?" tanya Nobunaga tanpa menghentikan aksinya. "Biasanya perempuan lebih peka terhadap pengkhianatan."
"Aku harus berhati-hati menjawabnya."
"Kenapa?"
"Aku takut kalau menuduh tanpa pembuktian."
"Kepadamu aku tak pernah meminta pembuktian."
"Tetapi kali ini berbeda."
"Apa maksudmu?"
"Kita berhadapan dengan nyawa manusia."
Nobunaga membelai paha Naoko. Tangannya dengan lembut menjalar ke atas.
"Pengkhianat itu telah menyebabkan aku kehilangan banyak prajurit. Dia harus memperoleh hukuman." "Karena itulah aku tak ingin mempengaruhimu untuk suatu hukuman yang bisa keliru."
Nobunaga tersenyum, kemudian merayap naik untuk menciumi leher kekasihnya. Tangannya kini membelai tubuh Naoko, kemudian
menarik pakaiannya. Lelaki itu paling senang menelanjangi tubuh wanita itu.
"Engkau semakin lama semakin pintar," kata Nobunaga sambil tersenyum. "Aku takut suatu saat engkau akan mengkhianatiku...."
Naoko langsung mencium bibir Nobunaga agar lelaki itu tak dapat melanjutkan bicara. Ciuman itu demikian panjang hingga Nobunaga
tak dapat berbuat
lain kecuali menikmatinya. Mereka berpagut dan ber-cumbu seperti dua ekor ular
direjam birahi.
*** Mayumi tiba-tiba tersentak bangun. Ia melihat prajurit Oda Nobunaga mengamuk di
desa-desa para ninja. Mereka membakari rumah-rumah, menghancurkan tanah
pertanian, serta mengobrak-abrik perkebunan. Gambaran itu sama mengerikannya seperti ketika dulu Nobunaga menghancurkan para
ninja. Tiba-tiba mata Mayumi terbelalak, ia menyaksikan
Kumiko, ninja yang disuruh memperingatkan para nin-ja, bertemu ninja berpakaian
serba merah. Mereka
berhadapan sejenak, lalu mulai saling mencabut senjata. Kumiko menerjang dengan
tebasan pedang melintang, tetapi dengan gesit ninja merah itu meloncat menghindar, kemudian
menyerang dengan ninjato.
Keduanya kembali berhadapan, mata mereka menatap
setiap gerak lawan. Kemudian seperti dua bayangan berkelebat, mereka kembali
terlibat dalam pertarungan seru. Keduanya bergerak seperti iblis, masing-masing
menggunakan seluruh ilmu yang mereka miliki untuk menggempur lawan.
Setelah pertarungan berjalan satu jam, mulai terlihat ninja merah berada di atas
angin. Beberapa kali senjatanya berhasil melukai Kumiko. Darah segar mengalir
dari beberapa bagian tubuh Kumiko.
"Kumiko... hentikan! Lari! Larii! " desis Mayumi seperti orang mengigau. "Larii! "
Tetapi apa yang diinginkan Mayumi tidak terjadi.
Kumiko tetap bertahan. Bahkan ia mulai menyerang
ninja merah dengan segenap kekuatannya. Walaupun
gerakannya mulai terlihat lamban, namun ia tampak tidak berniat meninggalkan
tempat itu. "Larii! "
Sebuah tebasan pedang yang kuat membuat Kumiko menjerit, seluruh tubuhnya bergetar, darah menyembur dari perutnya. Ia
terhuyung-huyung sebentar, lalu ambruk ke tanah.
Takeshi memandangi Mayumi beberapa saat, membiarkan gadis itu melihat dengan kemampuan paranormalnya. Ketika Mayumi mulai sadar, Takeshi segera memegang bahunya.
"Apa yang engkau lihat?" Takeshi bertanya.
"Penyerbuan Oda Nobunaga atas rumah-rumah para ninja," jawab Mayumi dengan wajah pucat. "Mereka telah membakari rumah-rumah
petani di hutan."
"Itu sudah kita pikirkan."
"Kumiko tewas."
Takeshi terperanjat, "Apa?"
"Seorang ninja merah telah menghadangnya. Saya
melihat mereka bertarung di tepi hutan Umagi. Kumiko tewas."
Takeshi terdiam. Wajahnya disaput perasaan sedih
yang mendalam. "Kita sebaiknya bicara dengan Sabu-ro," akhirnya Takeshi berkata
datar. *** Mereka duduk melingkari api. Semua tertunduk dengan wajah muram. Saburo yang lengannya masih dibebat duduk memimpin pertemuan itu.
"Kita tidak tahu dari mana ninja merah itu," kata Takeshi sambil menambah kayu
bakar di atas api.
"Dan kita tidak akan pernah tahu karena tak melihat sendiri...."
"Kita memang tidak tahu," sahut Mayumi dengan
nada rendah. "Tetapi kalau kalian mempercayai penglihatanku, kita sekarang tahu
bahwa ada kelompok
ninja yang berada di belakang gerakan Nobunaga. Kurasa itu yang lebih penting
daripada mempersoalkan dia berasal dari mana."
"Kalau begitu apa yang harus kita lakukan?" tanya Nane.
"Apa pendapatmu, Saburo?"
Saburo diam. Lalu berkata dengan suara penuh aksentuasi, "Kita harus memberitahukan soal ini pada Yang Mulia Imagawa. Betapa
pun kematian Kumiko
terjadi ketika dia menjalankan perintah suci. Dia harus dikuburkan secara
terhormat. Harus ada di antara kita yang mencari di mana mayatnya untuk
dikuburkan."
Takeshi segera menyahut, "Biar aku yang pergi"
"Kukira bukan engkau, Takeshi," potong Saburo.
"Engkau dibutuhkan di sini."
Mayumi menimpali, "Biarlah saya yang pergi."
"Kukira engkau pun jangan. Kita akan membutuhkan dirimu untuk mengetahui sesuatu yang tak dapat kita ketahui."
Nane berkata, "Saya yang akan pergi."
"Ya, kurasa engkau," jawab Saburo. "Engkau dapat
menguburkan mayat Kumiko secara terhormat. Lakukan upacara sekadarnya."
"Akan kulakukan."
"Lalu apa yang akan kita lakukan?" Takeshi bertanya. "Kita akan kembali ke Kamakura," jawab Saburo.
"Kembali ke Kamakura?"
"Benar."
Semua orang saling berpandangan. Wajah mereka
diselimuti tanda tanya.
"Kita akan memecah rencana Oda Nobunaga," kata
Saburo bersungguh-sungguh. "Kekecewaan Nobunaga
atas kegagalannya menindas para ninja, pasti akan memperkuat keinginannya untuk
menyerang Mayeda.
Di sisi lain, siapa pun yang berada di kelompok ninja merah, juga akan
mempersiapkan diri melakukan perlawanan. Kita akan berada di Kamakura untuk
lebih mengacaukan kekuatan Nobunaga. Apa pun yang akan
terjadi di sana, pasti akan memberikan keuntungan pada kita. Selain itu, aku
harus menemukan putra
Ashikaga."
"Apakah engkau masih yakin putra Ashikaga berada
di Kamakura?"
"Ya. Naluriku mengatakan begitu."
"Bagaimana kalau tidak?"
"Aku tidak memastikan dia berada di sana. Aku
hanya mengatakan bahwa menurut perasaanku dia
berada di Kamakura."
"Kalau benar, aku benar-benar mengaguminya."
"Tugasmu, Takeshi, untuk menyelamatkannya."
"Aku akan merasa memperoleh kehormatan untuk
menyelamatkan putra Ashikaga."
"Baiklah kalau begitu, mari kita atur pembagian tu-gasnya."
*** KERBAU MENGAMUK
MATAHARI bersinar lembut. Daun-daun prem memantulkan cahaya perak di atas tanah. Angin menerpa de-daunan seperti hembusan
gadis-gadis remaja. Para petani berjalan ke sawah sambil memanggul cangkul,
langkah mereka terlihat tenang seakan tengah menikmati keindahan pagi hari.
Kerbau-kerbau digiring para petani untuk membajak sawah. Binatang itu melangkah sambil menikmati hangatnya sinar matahari.
Bulu-bulu di atas kulitnya tampak meremang, sedang kakinya sudah dilumuri
lumpur. Kojiro berjalan sambil membawa cambuk dari ranting pohon petai Cina. Sesekali ia menyabetkan ranting itu ke kaki kerbau di
sebelahnya. Bapa Lao yang berjalan di belakang iring-iringan kerbau itu asyik
berbincang-bincang dengan dua orang petani. Mereka tampak akrab dan sudah lama saling mengenal.
Sawah yang mereka tuju berada di lereng bukit. Da-ri jauh terlihat seperti
irisan-irisan pisang yang ber-tingkat-tingkat. Untuk menuju sawah itu, mereka
harus melewati jalan setapak di tepi sungai kecil berair jernih. Bahkan ikanikan di dalamnya tampak berenang. Sinar matahari memantulkan cahaya perak di
atas arus sungai yang mengalir menuju Kamakura.
Sambil berjalan menuju ke sawah, Bapa Lao berbincang-bincang dengan kedua petani di sebelahnya.
"Saya mendengar, sekarang Yang Mulia Nobunaga
sedang mengadakan persiapan untuk mengirim bantuan untuk Hosokawa," kata Bapa Lao tanpa tekanan.
"Apakah benar persiapan itu?"
"Ya, saya dengar begitu," jawab Asada, petani yang bertelanjang dada. "Siang
malam para samurai berlatih di Sekigahara, mereka seperti tengah melakukan
persiapan untuk suatu peperangan besar."
"Saya sendiri tidak tahu apa yang akan mereka lakukan," sahut Sutomi, petani yang memanggul cangkul. "Menangkap Saburo Mishima yang sudah terkepung pun mereka tidak becus."
Bapa Lao terperanjat, "Saburo Mishima?"
"Ya."
"Bekas panglima Ashikaga?"
"Benar."
"Dia terkepung" Apa maksudnya?"
Sutomi menceritakan tentang pengepungan yang dilakukan para samurai terhadap Saburo di Kamakura.
Bapa Lao mendengarkan dengan penuh perhatian.
Sembari mendengarkan, benaknya terus berputar.
"Akhirnya panglima perang itu lolos," Sutomi meng-akhiri ceritanya. "Siapa pun
yang menyelamatkannya, buktinya para murid Yagyu itu tak becus menangkapnya."
"Benarkah dia diselamatkan oleh ninja?"
"Katanya begitu."
"Apakah itu berarti Saburo Mishima telah bersekutu dengan ninja?"
"Tampaknya begitu. Kalau tidak, mana mungkin para ninja itu menyelamatkan nyawanya?"
Bapa Lao mengangguk-angguk. Di benaknya terbayang bagaimana serunya pertarungan itu.
Tetapi kenapa ninja"
"Kenyataannya, sampai sekarang Oda Nobunaga tidak berhasil menangkap Saburo, juga putra Ashikaga.
Saya pikir semua itu berkat kehebatan Saburo. Kalau tidak, sudah pasti mereka
telah tertangkap. Dan kalau benar dia bersekutu dengan ninja, berarti sekarang
Saburo tengah menggalang kekuatan untuk melawan Nobunaga." Asada menyahut, "Ya, saya pikir memang demikian.
Bagaimanapun kedatangan Saburo di Kamakura dapat
dipastikan sebagai langkah penyelidikan terhadap kekuatan lawan."
"Sungguh berani dia memasuki sarang musuh."
"Itulah kehebatannya."
Bapa Lao bertanya, "Tetapi mungkinkah dia berhasil merebut kembali kekuasaan Ashikaga?"
Sutomi dan Asada saling berpandangan. "Mungkin
saja," jawab Asada. "Siapa pun tahu, rakyat Owari sebenarnya tidak menyukai Oda
Nobunaga. Kalau mereka tahu bahwa Saburo bakal memimpin perlawanan
terhadap shogun, pasti banyak yang mau bergabung
dengannya."
"Kenapa mereka mau berpihak pada Saburo?"
"Terus terang saja, Bapa," kata Sutomi bersungguh-sungguh. "Sejak pemerintahan
Nobunaga, rakyat selalu jadi korban. Tanpa juntrungan, pajak tanah dinaikkan,
sehingga petani mengalami kesukaran. Pajak bangunan juga dinaikkan. Rupanya
Nobunaga membiayai
kekuatan militernya dengan membebankan biayanya
kepada rakyat. Sejak dia menguasai Kamakura, hampir lima puluh ribu samurai diaktifkan sebagai prajurit. Hidup mereka dibebankan
pada petani dan pedagang. Berbagai pajak diciptakan untuk membiayai tentara
itu...." Asada menambah, "Karena selalu ditekan, sebenarnya banyak rakyat yang tidak menyukai Nobunaga.
Apalagi dia senang mengadakan pesta. Biaya pesta itu pun dibebankan pada kami."
"Repotnya, kalau ambisi Nobunaga untuk menaklukkan Suruga, Nino, Mikawa, dan Suruga benar-benar dilaksanakan, pasti akan terjadi peperangan yang panjang. Ini akan sangat
menguras kekayaan rakyat.
Selain banyak yang gugur, harta benda pun akan ter-kuras habis."
"Apakah memang Oda Nobunaga ingin menaklukkan propinsi-propinsi itu?"
"Ya, itu maunya."
Asada menambah, "Tetapi saya dengar, semua itu
akibat hasutan wanita simpanannya."


Shugyosa Samurai Pengembara 8 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, ya?"
"Ya. Naoko namanya. Dia dulu seorang geisha."
Bapa Lao hanya mendesah. Ia terus berjalan di
samping kedua petani itu.
"Tampaknya keadaan akan kian memburuk," kata
Bapa Lao datar. "Perang selalu membuat rakyat seng-sara."
"Itulah yang kami rasakan sekarang, Bapa."
"Harusnya ada yang berusaha mencegah."
"Harapan kami sebenarnya adalah Saburo Mishima." Bapa Lao mengangguk-angguk.
Tiba-tiba Kojiro berlari ke arah mereka.
"Bolehkah saya naik ke punggung kerbau?"
Asada menjawab, "Boleh saja. Naiklah."
Kojiro dengan suka cita segera meloncat ke punggung kerbau. Ia tampak gembira sekali.
"Hai," panggil Asada. "Kau boleh menaiki kerbau
itu, tetapi jangan mengganggunya."
"Apa maksudnya?"
"Jangan kaumasuki pasir di telinganya...."
Asada dan Sutomi tertawa serentak.
Bapa Lao bertanya, "Kenapa kalian berkata begitu?"
Asada menjawab, "Beberapa bulan lalu kerbau itu
dimasuki pasir oleh anak saya, binatang itu mengamuk, menghancurkan hampir semua
rumah di desa kami." *** Naoko duduk di kereta yang ditarik empat ekor kuda.
Perempuan itu membuka foudral untuk menikmati pemandangan dari jendela. Matanya bersinar-sinar menyaksikan panorama pagi yang
mempesona. Burungburung belibis beterbangan di atas sawah, sementara kerbau-kerbau tengah
membajak tanah.
Di depan kereta tampak dua samurai pengawal menunggang kuda. Di belakangnya ada dua puluh samurai berbaris. Iring-iringan itu menyusuri jalan dengan gagah. Para petani atau
pejalan kaki yang kebetulan berada di dekatnya langsung bersujud ketika kereta
tersebut lewat.
"Negeri ini benar-benar indah," kata Naoko pada
dayang-dayangnya. Dua wanita yang setia menemaninya mengiyakan sambil tersenyum. "Setiap kali aku keluar dari istana, rasanya
aku tak ingin kembali. Keadaan di luar benar-benar membuat hatiku terpikat."
"Benar, Tuan Putri."
"Aku jadi ingat kampung halamanku."
"Benarkah begitu?"
"Ya, sawah-sawah, kerbau, petani, dan lumpur. Semua mengingatkan aku pada masa kecilku."
"Saya pikir hanya hamba yang merasakannya."
Naoko membuka tirai jendela.
"Pengawal!"
Salah seorang pengawal yang berjalan di samping
kereta mendekat.
"Suruh kusir berhenti."
"Baik, Tuan Putri."
Kereta berhenti, Naoko turun dari kereta. Sinar matanya terlihat berbinar-binar,
ia seperti mendapatkan kegembiraan yang luar biasa. Dengan suka cita wanita itu
turun ke anak sungai yang berair jernih, kemudian mulai membasuh wajahnya.
"Benar-benar menyegarkan," kata Naoko pada kedua dayang-dayangnya. "Dulu ketika masih kecil, aku paling senang bermain air di
sungai." "Benarkah, Tuan Putri?"
"Ya, benar. Bahkan aku sering seharian di sungai
untuk mencari ikan."
"Untuk apa?"
"Untuk lauk-pauk."
"Ah, Tuan Putri...."
"Sungguh," sahut Naoko mencoba meyakinkan kedua dayang-dayangnya. "Kemiskinan membuat aku
harus mencari lauk-pauk di sungai agar dapat makan ikan. Kalian tentu tidak
membayangkan bahwa aku
dulu hidup miskin."
"Kami tak pernah memikirkannya."
"Pada saat itulah aku merasakan kepedihan sebagai orang miskin. Karena itu aku
bersumpah untuk berjuang bagaimanapun caranya untuk menjadi kaya. Selama
bertahun-tahun aku telah merasakan menjadi
orang yang tertindas."
"Kini Tuan Putri telah menjadi kaya raya."
"Ya," sahut dayang yang satu. "Dan berkuasa...."
Naoko tersenyum, wajahnya memancarkan kebahagiaan. "Aku jadi mabuk," katanya lunak. "Ternyata bukan kekayaan yang membuatku
bahagia sekarang ini, tetapi kekuasaan. Aku mabuk kekuasaan. Dan aku
akan menggapainya dengan segala cara."
Tiba-tiba salah seorang pengawalnya berteriak, "Tuan Putri!"
Naoko menoleh, "Ada apa?"
"Celaka! Ada kerbau mengamuk!"
"Apa?"
"Sebaiknya Tuan Putri segera kembali ke kereta,
ada kerbau mengamuk!"
Dengan bergegas Naoko kembali ke kereta. Wajahnya tampak pucat. Dua orang dayang-dayangnya tergopoh-gopoh membantu wanita itu naik ke dalam kere-ta. Para pengawalnya langsung
bersiap siaga di sekeliling kereta untuk menjaga segala kemungkinan.
Dari arah utara, tampak orang-orang berteriak sambil mengejar seekor kerbau.
Binatang itu masih berka-lung tali besar di lehernya, ia terus berlari sambil
mendengus-dengus. Selain bertubuh besar dan kuat, kerbau tersebut memiliki
tanduk yang melingkar mengerikan. Sinar matanya memerah sementara hidungnya mendengus-dengus. Dengan ganas ia berlari menyeruduk ke kanan ke kiri.
"Awas! Kerbau mengamuk! Kerbau mengamuk!"
Dua orang petani yang berusaha menangkap, terpental ke udara akibat hempasan tanduk kerbau itu.
"Lindungi Tuan Putri!" perintah kepala pengawal
Naoko. Tapi terlambat. Seperti seekor banteng, binatang itu menyeruak ke tengah
pengawal dan mencerai beraikan mereka. Para samurai itu belum sempat menggunakan
pedang mereka ketika binatang tersebut menyeruduk dinding kereta. Terdengar
suara berderak, kusir kereta itu terpental karena terkejut. Keempat kuda penarik
kereta itu terkejut, lalu mulai berlari meninggalkan pa-ra pengawalnya. Para
dayang-dayang menjerit-jerit ketakutan.
Naoko membuka tirai jendela di belakangnya, wajahnya seketika pucat pasi ketika melihat kerbau ganas itu berlari mengejar
kereta. Binatang itu mendengus-dengus sambil terus mencoba menyeruduk keretanya. Dua pengawal yang menunggang kuda berusaha
mengejar binatang itu. Mereka berusaha menaklukkannya. Tetapi tanpa diduga, binatang itu berbalik, la-lu menyeruduk binatang
mereka. Terdengar jeritan
nyaring ketika tubuh mereka terpental jatuh. Sesudah menjatuhkan kedua pengawal
itu, kerbau tersebut
kembali mengejar kereta Naoko.
Pengawal berkuda itu berdiri dengan marah, "Bunuh binatang itu!" suaranya menggeram antara malu dan marah. "Selamatkan Tuan
Putri Naoko!"
Serentak kesepuluh samurai itu berlari mengejar
kerbau itu. Tetapi jarak mereka sudah terlalu jauh, sementara kecepatan mereka
berlari tak sebanding dengan kecepatan lari binatang tersebut.
"Tolooong!" Kedua dayang-dayang mulai melongokkan kepala ke jendela sambil berteriak-teriak. Wajah mereka pucat karena
ketakutan. "Tolooong!"
Sekali lagi tanduk kerbau itu membentur dinding
kereta, terdengar suara berderak hingga kereta itu ber-goncang. Ketiga wanita
itu langsung menjerit-jerit ketakutan. Beberapa orang yang tengah melintasi
jalanan itu justru berlari ketakutan menghadapi kekacauan itu. Seorang pemuda
yang gagah berani berusaha menghentikan kereta itu, tetapi justru terseret
kereta dan akhirnya terpental. Belum lagi ia sempat bangun, kerbau itu
menanduknya hingga tewas.
Kaki-kaki kuda itu terus menderap ke depan. Debu
berkepul ke udara. Jerit ketakutan terus terdengar dari kedua dayang-dayang itu.
Sesuatu yang tidak terduga tiba-tiba terjadi, Bapa Lao berdiri menghadang laju
kereta. Sinar matanya menatap dengan tenang ke arah binatang-binatang
yang berlari kencang ke arahnya.
"Minggiir, Bapa!" teriak orang-orang di sekitarnya.
"Minggiir cepaat!"
Bapa Lao tetap berdiri dengan tenang, seakan ingin menyerahkan nyawa pada derap
kaki kuda dan kerbau gila itu. Tetapi sinar mata pendeta itu tetap tenang, tak
ada pancaran rasa takut sedikit pun.
"Pendeta itu mau bunuh diri," jerit salah seorang dayang-dayang itu. "Dia
menghadang kereta ini!"
Naoko berdiri dengan susah payah untuk melongok
di jendela. Ia melihat Bapa Lao berdiri tegak di tengah jalan.
"Dia pasti mati!"
Dayang-dayang itu menjerit ketika sambil menutupi wajah mereka dengan tangan
ketika kuda-kuda menerjang Bapa Lao. Tapi dugaan mereka meleset. Pendeta
itu melompat ke kanan, lalu dengan kecepatan yang sukar dipercaya dengan mata,
lelaki itu tiba-tiba telah melompat di atas punggung kerbau liar itu. Binatang
tersebut mendengus, ia mencoba melemparkan pendeta itu dari punggungnya, tetapi
Bapa Lao seperti seekor lintah yang menempel erat. Betapa pun kerbau itu
menggoncang-goncang tubuhnya, berputar-putar, berusaha menjatuhkannya, namun Bapa Lao tak goyah
sedikit pun. Bahkan dengan sekali totok, binatang itu tiba-tiba terhuyunghuyung, lalu roboh. Bapa Lao tampak mendekatkan wajahnya ke telinga binatang
itu. Ia menyedot sesuatu.
Sebelum orang-orang di sekitar tempat itu menyadari apa yang sudah terjadi, dengan kecepatan yang sukar dipercaya, Bapa Lao
telah mengejar kereta. Pendeta itu berlari kemudian menghentikan lari kuda
kereta itu dengan melompat ke atas punggung kuda.
Kereta berhenti. Naoko dan kedua dayang-dayang
itu bernapas lega. Mereka merasakan tubuhnya berkeringat dingin. Napasnya tersengal-sengal karena ketakutan.
Naoko turun dengan wajah pucat pasi. Ia menoleh
ke belakang, terlihat para pengawalnya sedang berlarian menuju ke arahnya.
"Apa Tuan Putri tidak terluka?" terdengar suara pimpinan pengawal bertanya pada
dayang-dayang. Napasnya tampak terengah-engah.
"Tidak apa-apa," jawab dayang-dayang Naoko.
"Syukurlah, saya sudah khawatir sekali."
"Semua berkat pendeta itu."
Pimpinan pengawal itu masih dengan napas tersengal mendekati Bapa Lao.
"Siapa pemilik kerbau itu?" suara pimpinan pengawal itu garang. Tampak sekali ia ingin menutupi rasa malunya di depan Naoko.
"Usado-san," tiba-tiba terdengar suara Naoko memanggil pimpinan pengawal itu.
Usado segera membungkuk hormat di depan Naoko.
"Biar aku bicara dengan pendeta itu."
"Baik, Tuan Putri."
Naoko berjalan mendekati Bapa Lao yang kini berdi-ri di depan kereta. Dari
belakang terlihat Kojiro berlari mendekat diikuti Asada dan Sutomi.
Naoko bertanya, "Siapa namamu?"
Bapa Lao membungkukkan badan, "Saya Lao, Tuan
Putri. Orang memanggil saya Bapa Lao."
"Bapa Lao, saya mengucapkan terima kasih padamu
karena telah menyelamatkan diriku."
Bapa Lao membungkuk, "Kebetulan saya berada di
tempat ini hingga dapat menyelamatkan Tuan Putri."
"Kalau saja tidak ada Bapa, saya tidak tahu apa
yang akan terjadi dengan kami. Mungkin saja kami tidak akan tertolong. Atau
paling tidak, kami pasti celaka."
"Dewa masih melindungi Anda."
"Bagaimana pun engkau telah menyelamatkan diriku. Hal ini nanti akan aku ceritakan pada Yang Mulia Oda Nobunaga. Mungkin
beliau akan memberimu hadiah atas jasamu ini. Tetapi sebelum itu, biarlah aku
memberikan hadiah terlebih dulu padamu sebagai ucapan terima kasihku padamu."
"Sebenarnya, saya tidak mengharapkan apa-apa...."
"Saya tahu, engkau tidak menginginkan hadiah atas jasamu. Tetapi sudah
sepantasnya saya memberikan-nya. Karena itu katakan sejujurnya, apa yang kauinginkan."
Bapa Lao diam agak lama. Tiba-tiba seperti teringat sesuatu, ia berpaling pada
Kojiro. "Kalau Tuan Putri memaksa, bolehkah saya memohon pekerjaan?"
"Apakah engkau ingin bekerja di istana?"
"Tidak, Tuan Putri."
"Lalu?"
"Kebetulan saya mempunyai seorang murid yang
bengal. Namanya Koyama. Dia sudah beberapa tahun
ini mengikuti saya pergi. Rasanya sudah tiba saatnya untuk melepaskannya agar
memperoleh pengalaman
baru. Dengan demikian pikirannya akan berkembang."
"Maksudmu?"
"Bila Tuan Putri berkenan, biarlah murid saya bekerja untuk Anda."
"Dia bisa bekerja apa?"
"Terus terang, dia belum bisa bekerja apa-apa."
"Jadi pekerjaan apa yang harus kuberikan padanya?" "Apa saja."
"Apa saja" Contohnya?"
"Misalnya, jadikan dia pembawa sandal Tuan Putri."
"Pembawa sandal?"
"Benar. Biarlah dia belajar dari bawah. Dengan begitu, kelak, bila ia sudah
memperoleh kesempatan yang lebih baik, dia akan dapat menghormati pekerjaan
orang lain yang tidak berharga sekalipun."
Naoko menatap kedua dayang-dayangnya. Lalu menjawab, "Baiklah. Biarlah dia ikut dengan kami. Kurasa saya dapat memberikan
pekerjaan itu."
"Terima kasih, Tuan Putri."
Beberapa saat sesudah Kojiro pergi mengikuti iring-iringan Naoko itu, Bapa Lao
tersenyum, ingat bagaimana tadi memasukkan pasir di telinga kerbau itu.
*** SEBUAH UJIAN NOBUNAGA duduk di ruang pertemuan itu sambil menatap Koyama yang duduk bersimpuh di lantai. Agak lama Nobunaga mengamati anak
lelaki di depannya.
Meskipun hanya berpakaian sederhana dan rambutnya hanya disisir biasa, namun anak itu membuatnya terkesan. Selain lugu, sinar
mata anak itu memantulkan kecerdasan yang memikat.
Dari cerita Naoko tentang peristiwa penyelamatan
itu, Nobunaga kagum pada keberanian pendeta Budha yang menyelamatkan Naoko.


Shugyosa Samurai Pengembara 8 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Betapa pun ia merasa
berterima kasih. Maka ketika wanita itu membawa
Koyama, Nobunaga dengan gembira menerimanya.
"Namamu Koyama?"
"Benar, Yang Mulia."
"Asalmu dari mana?"
"Fugi, Yang Mulia. Desa kecil yang pinggiran Owari."
"Selama ini kau hidup dengan pendeta Budha?"
"Benar, Yang Mulia."
"Di mana orang tuamu?"
"Tidak tahu, Yang Mulia."
"Bagaimana kau tidak tahu orang tuamu sendiri?"
"Sejak kecil hamba sudah diasuh oleh Bapa Lao."
"Rumahmu?"
"Tidak tahu, Yang Mulia."
"Apakah orang tuamu tidak pernah menemuimu lagi?" "Tidak, Yang Mulia. Saya dengar mereka meninggal
akibat sakit kolera."
Nobunaga mengangkat alis ketika mendengar nama
penyakit mengerikan itu disebut. Ia lalu ingin meng-akhiri tanya jawab itu
secepatnya. "Baiklah. Kau sekarang bekerja di lingkungan ista-na, menjadi pembawa sandal.
Kau bersedia?"
"Hamba bersedia, Yang Mulia."
"Kemana pun junjunganmu pergi kau harus ikut.
Setia selalu di dekatnya, mengerti?"
"Mengerti, Yang Mulia."
"Kau harus bisa dipercaya."
"Baik, Yang Mulia. Hamba akan melaksanakan tugas hamba sebaik-baiknya."
Seusai pertemuan, Koyama mulai bekerja. Setiap
saat ia berada di samping Naoko dengan membawa
sandal wanita itu. Benar-benar suatu pekerjaan yang membosankan. Pekerjaannya
hanya membawa sandal!
Setiap kali Naoko ingin memakai sandal, Koyama segera membungkuk dan meletakkan
sandal yang dikehendaki wanita itu di samping kakinya.
Setiap pagi, Koyama bangun sebelum matahari terbit. Sesudah mandi dalam udara yang sangat dingin, ia duduk di depan pintu kamar
Naoko dengan berbagai
sandal di tangannya. Biasanya pada pagi hari, Naoko akan berjalan-jalan di
taman. Kadang sendirian, ka-dang dengan Nobunaga. Pada saat seperti itu, Koyama
berjalan tiga meter di belakang mereka, sambil membawa sandal.
Berhari-hari Koyama melawan perasaan bosan dalam hatinya. Ia menekan perasaan. Satu hal yang
menghiburnya, sebagai pembawa sandal, ia selalu ber-dekatan dengan majikannya,
sehingga banyak yang
dapat ia dengar tentang persoalan-persoalan istana.
Bagi Naoko sendiri, Koyama tampak seperti anak
yang manis. Karena itu ia tak begitu risau membicara-kan hal-hal rahasia di
depannya. Menurut pikirannya, Koyama tidak tahu apa-apa, dan tak punya kepentingan apa pun dengan persoalannya.
Suatu pagi ketika Koyama mengikuti junjungannya,
ia mendengar pembicaraan rahasia.
"Saya dengar sekarang Tokugawa tengah membangun benteng di tepi perbatasan Owari, di tepi Sungai Otani?" Naoko bertanya
pada Nobunaga yang berjalan di sampingnya.
"Saya mendengar juga berita itu."
"Bukankah itu sangat berbahaya?"
"Entahlah. Saya belum melihat bahayanya. Benteng
itu memang menjadi pertahanannya, tetapi sebagai penguasa Mikawa, Tokugawa
memang berhak membuatnya. Kita tidak dapat melarangnya."
"Tetapi engkau harus berhati-hati. Untuk apa Tokugawa mengeluarkan biaya besar
kalau tidak punya
maksud-maksud tertentu. Siapa tahu dia akan melakukan penyerangan ke Owari."
"Jangan cemas. Tokugawa seorang jenderal yang
baik, hanya itu."
Pagi yang lain ia mendengar perbincangan lain.
"Hampir sebulan Hosokawa melakukan pengepungan," kata Naoko. "Tetapi tidak pernah ada tindakan.
Saya tidak tahu kenapa kita harus membuang-buang
biaya untuk suatu pengepungan yang tak kunjung selesai."
"Hosokawa akan membuat Mayeda kehabisan bahan makan dan prajuritnya patah semangat. Sesudah itu dia akan menghantamnya
dengan serbuan besar-besaran. Seorang militer, betapa pun membutuhkan
kesabaran untuk mengatur strategi."
"Tetapi bagaimana kalau hal yang sebaliknya terja-di?"
"Maksudmu?"
"Mayeda justru kian kuat menghimpun pasukan.
Betapapun Hosokawa adalah pasukan pengepung yang
jauh dari pusat logistik, justru dia yang kemungkinan kehabisan bahan makanan
serta kehancuran semangat...."
"Kau benar. Kalau begitu hari ini saya akan kirim
kurir khusus untuk menjumpainya."
Sore hari ketika Naoko dan Nobunaga duduk di tepi taman, Koyama mendengar
pembicaraan mereka.
"Seharusnya penaklukan Suruga tidak perlu terlalu lama, kita kemudian dapat
menaklukkan propinsi-propinsi lain sebelum mereka jadi lebih kuat."
"Jangan cemas. Kemenangan itu membutuhkan kesabaran." "Tetapi kesabaran bisa menjadi keterlambatan."
"Engkau kelihatan sudah tidak sabar?"
"Memang benar. Aku merasa terlalu lama menunggu impianku menjadi kenyataan."
"Impian apa?"
"Impian, engkau menjadi penguasa tunggal negeri
ini, dan aku menjadi shogunatari."
"Akan tiba saatnya. Akan tiba saatnya. Percayalah."
Dari pembicaraan-pembicaraan yang didengar, tibatiba Koyama mengetahui banyak hal. Di matanya, Nobunaga tampak seperti orang
bodoh yang ingin menja-di kaisar, sementara Naoko adalah wanita ambisius yang
mulai kehilangan kesabaran.
*** Malam hari, suara jangkrik terdengar dari sela-sela ilalang. Udara mengantarkan
kedinginan yang membekukan pori-pori kulit. Koyama meringkuk di depan pintu salah satu bangunan di
samping kamar Naoko. Tubuhnya melingkar seperti ular. Beberapa kali tangannya
terulur untuk memukul nyamuk yang mengerubu-tinya.
Orang-orang sudah banyak yang terlelap di ranjang.
Sementara para pengawal terlihat duduk di gardu sambil minum sake. Istana
Kamakura tampak sunyi.
Tiba-tiba Koyama merasakan bahunya ditepuk. Beberapa kali ia menepis tepukan tangan itu.
"Koyama," terdengar suara berbisik di telinganya.
"Bangun."
Lamat-lamat Koyama mengenali suara panggilan
itu, ketika ia bangun, matanya terbeliak melihat. Bapa Lao tersenyum padanya.
Mereka saling berpelukan untuk melepaskan kerinduan. Ini adalah saat pertama
kali mereka bertemu setelah perpisahan. Pendeta itu memberi isyarat agar mereka
berbicara berbisik.
"Bagaimana keadaanmu?"
"Baik. Saya dalam keadaan baik. Bagaimana dengan Bapa?"
"Kaulihat sendiri. Aku tidak kurang sesuatu pun."
"Saya sering memimpikan Bapa."
"Kau sekarang bertambah gemuk."
"Ya, habis tidak ada pekerjaan lain kecuali makan dan membawa sandal."
"Bagaimana dengan pekerjaanmu?"
Koyama dengan senang hati menceritakan pekerjaannya. Apa saja yang dilakukan di istana itu diceri-takan pada Bapa Lao.
Termasuk pembicaraan-pembicaraan rahasia yang didengarnya. Pendeta itu senang mendengarnya.
"Itu sebabnya engkau kusuruh bekerja di sini," kata Bapa Lao penuh tekanan. "Aku
tahu engkau dapat menjadi mata-mata yang baik."
"Jadi Bapa sudah merencanakan ini semua?"
"Ya."
"Termasuk kerbau mengamuk itu?"
"Benar."
"Saya tidak menduganya."
"Itulah taktik," kata Bapa Lao tersenyum. "Nah, sekarang kau mengerti kenapa
harus tinggal di sini, bukan?"
"Saya mengerti."
"Bila saatnya tiba, kau akan memiliki peran yang
besar dalam peralihan kekuasaan nanti. Karena itu, engkau harus sabar menjalani
tanggung jawabmu di
sini." "Saya sebenarnya sudah bosan menjadi pembawa
sandal." "Seharusnya kau berpikir sebaliknya, dengan menjadi pembawa sandal, engkau akan selalu berada di dekat junjunganmu. Dan dari
sana semua informasi
bermuara. Kau harus mampu menaklukkan kebosananmu. Anggaplah ini latihan kesabaran untukmu."
"Baiklah."
"Mulai sekarang, kau harus memasang mata dan telinga untuk menyadap semua persoalan di istana. Aku akan secara berkala datang
menemuimu."
"Baik, Bapa."
Bapa Lao tersenyum. Lelaki itu menepuk bahu
Koyama, lalu pergi. Dalam sekejap tubuhnya lenyap di balik bangunan-bangunan
istana. Koyama terdiam. Ia mulai menyadari apa rencana
Bapa Lao atas dirinya.
*** Suatu pagi Nobunaga mengumpulkan para panglima
perangnya. Termasuk kelima murid perguruan Yagyu.
Naoko berada di sampingnya. Wanita itu duduk diam seakan perempuan tak berdaya.
Di dekat dayang-dayang Naoko, duduk Koyama sambil menundukkan
kepala. "Aku ingin kalian mendengarkan pemikiranku," kata Nobunaga menggema. "Sesudah persiapan-persiapan yang kita lakukan, aku merasa kita sekarang sudah siap bertempur. Karena itu
setelah merenungkan, aku memutuskan tujuh hari dari sekarang kita akan berangkat
menjalankan rencana penaklukan. Kita
akan bergerak membantu Hosokawa-san menaklukkan
Suruga, sesudah itu kita akan terus menghantam Mikawa, Totomi, Hamamatsu,
Shinano, Mino, dan Omi.
Lima propinsi itu harus kukuasai dalam waktu enam bulan. Sesudah itu kita akan
merencanakan penyerangan ke Kyoto."
Nobunaga diam sesaat, ia seakan ingin melihat
reaksi pengikutnya. Tetapi ketika semua orang di
ruangan itu diam, Nobunaga melanjutkan, "Penyerbuan ini jelas bukan tugas yang ringan. Karena itu kuminta kalian mempersiapkan
pasukan sebaik-baiknya. Demikian pula cadangan makanan serta obat-obatan harus disediakan. Kuminta dewan logistik mulai berangkat tiga hari
lagi untuk mempersiapkan gudang serta tempat-tempat yang akan kita gunakan
sebagai tempat istirahat."
"Apakah Yang Mulia akan memimpin sendiri penyerbuan ini?"
"Benar. Aku sudah terlalu lama tinggal di istana, aku ingin tahu apakah tangan
serta pikiranku masih dapat digunakan di medan perang."
"Tetapi apakah hal itu tidak berbahaya?"
"Bahaya adalah induk semangku," potong Nobunaga penuh tekanan. "Sejak kecil aku selalu berada dalam bahaya, karena itu
kalian tidak perlu meri-saukannya. Sebelum kalian memegang pedang, aku
sudah berada di tengah peperangan."
"Bagaimana dengan pengawalan istana?"
"Karena penyerbuan ini akan memakan waktu lama
dan melelahkan, aku ingin seluruh kekuatan mengikutiku. Istana akan dikawal tiga
ratus samurai pilihan.
Kita akan membuat musuh kita sibuk sehingga mereka tak akan sempat memikirkan istana yang kita
tinggalkan."
Semua orang diam. Nobunaga kemudian menguraikan secara panjang lebar tentang strategi pertempuran
yang akan dilaksanakan. Para panglimanya mendengar dengan penuh perhatian.
Sesekali mereka bertanya, namun lebih banyak diam sambil mengagumi kecerdasan
junjungannya. Koyama duduk membisu. Tetapi benaknya menampung semua perbincangan itu.
Sesudah menguraikan semua rencananya, Nobunaga menghela napas panjang. Ia mengangkat cawan, lalu meneguk isinya.
"Kalian sudah siap?"
Para panglimanya serentak menjawab, "Siap, Yang
Mulia." "Kalau begitu pertemuan bubar."
*** Malam. Udara dingin seperti es. Angin membawa bau
buah prem. Di langit sesekali terlihat kelelawar terbang rendah membawa buahbuahan. Koyama masih terjaga. Ia duduk sambil bersandar
di dinding. Matanya menatap langit yang menghampar dengan bintang-gemintang.
Tiba-tiba telinganya mendengar suara langkah kaki di samping kamar Naoko, lalu
sekelebat bayangan menyusup ke dalam kamar
itu. Pada mulanya Koyama akan berteriak, namun mulutnya segera ditutup dengan
tangan, kemudian ia berjalan mengendap-endap mendekati dinding kamar. Da-ri
sebuah lubang kecil, ia mengintip.
Di tengah kamar itu, tampak seorang ninja merah
duduk di depan Naoko.
"Sebentar lagi perang akan dikobarkan," kata Naoko dalam nada rendah. "Yang
Mulia Nobunaga dan semua pengikutnya akan mulai meninggalkan istana, karena itu
Kamakura akan kosong. Saat itulah kita akan bergerak."
"Baik."
"Kita tidak boleh kehilangan kesempatan. Tak ada
lagi saat yang lebih baik untuk melaksanakan rencana kita."
"Kita akan siap pada saatnya."
"Apakah kau sudah mengetahui dari pihak mana
ninja yang kaubunuh itu?"
"Hingga saat ini belum. Tetapi tampaknya dia bergerak tidak sendirian, karena
ketika saya akan mengge-ledah tubuhnya seperti yang Anda perintahkan,
mayatnya telah hilang."
"Kita tidak tahu dia berada di pihak mana, tetapi mudah-mudahan tidak akan
merepotkan kita."
"Mengenai hal itu jangan terlalu dicemaskan."
"Baiklah. Sekarang pergilah sebelum Yang Mulia
Nobunaga datang."
Ninja itu membungkuk kemudian menyelinap pergi.


Shugyosa Samurai Pengembara 8 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menjelang dini hari, ketika Bapa Lao datang, Koya-ma menceritakan semua yang
dialaminya hari itu.
"Kalau begitu kau harus lebih berhati-hati," kata Bapa Lao sesudah mendengar
semua cerita Koyama.
"Perang besar akan terjadi, dan peralihan kekuasaan akan berlangsung dengan
banyak hal tak terduga."
"Apakah saya sebaiknya pergi dari sini?"
"Tidak. Kau tetap di sini."
"Bagaimana kalau perang benar-benar terjadi?"
"Jangan gelisah. Aku punya rencana."
*** MEDAN PERTARUHAN
DI TEPI perbatasan Owari dengan Suruga, terletak Sungai Amagi yang luas. Sungai
tersebut menjadi batas dua wilayah yang saling bermusuhan. Selain berair deras,
dinding sungai itu sangat curam. Banyak batu-batu
besar di tengah sungai, sehingga sepintas tampak seperti tubuh kura-kura raksasa
yang tengah berenang.
Sungai Amagi memang tampak mengerikan. Namun
demikian karena perdagangan antar dua propinsi itu berjalan baik, di atas sungai
tersebut dibangun sebuah jembatan gantung dari bambu yang panjangnya hampir dua
ratus meter. Kecuali disangga tiang bambu yang menjulang di kedua sisi sungai,
jembatan tersebut hanya mengandalkan tali yang menghubungkan dari
satu sisi ke sisi lainnya. Selain jembatan gantung, terdapat air terjun yang
curam di dinding sungai itu. Air terjun ini berjumlah tujuh buah. Airnya
mengalir ke bawah seperti selendang sutera putih yang melambai-lambai. Pada pagi
hari air terjun itu tampak memukau karena banyak burung beterbangan di
sekitarnya. Jembatan tersebut menjadi salah satu keunikan bagi Owari maupun Mino. Orangorang yang berdatangan
dari jauh, pasti ingin mengunjungi jembatan Amagi. Selain untuk menyaksikan
keindahan jembatan itu, orang dapat menyaksikan kerajinan keramik, tatami, atau
buah-buahan yang banyak dijual di tepi jembatan.
Siang itu keadaan di tepi jembatan Amagi sangat
ramai. Orang-orang hilir mudik menyaksikan pemandangan elok di sekitarnya. Dengan kimono warna-war-ni serta payung kertas
berbagai rupa, orang-orang menikmati pemandangan sambil berbincang-bincang.
Yoshioka duduk menunggu dagangannya. Sejak pagi
ia duduk di tepi jembatan itu dengan enam buah tatami yang terlipat. Sudah enam
hari ia berjualan tatami di tempat itu. Karena di tempat itu berdatangan orangorang dari berbagai daerah, Yoshioka dapat mendengarkan berbagai pembicaraan menarik. Di tempat itu pula ia mengetahui bahwa
Saburo hampir saja ter-bunuh di tangan empat pendekar Yagyu. Demikian pula
tentang persiapan Oda Nobunaga menyerang Suruga.
Berita-berita itu didengarnya, lalu disimpan dalam hati.
"Sudah ada yang laku?" tanya seorang pedagang
sandal di samping Yoshioka.
"Belum satu pun."
"Akhir-akhir ini memang sulit. Sejak Yang Mulia
Oda Nobunaga mempersiapkan penyerbuan ke Suruga,
keadaan semakin memburuk. Perang ini hanya menyusahkan rakyat."
"Aku juga merasakannya."
"Dulu ketika Yang Mulia Ashikaga memerintah
Owari, tak pernah keadaan seburuk saat ini. Tidak ada perang sehingga rakyat
bisa bekerja dengan tenang.
Tapi sekarang, benar-benar menyakitkan. Belum lagi pajak semakin membubung
tinggi." Sudah hampir tiga bulan Yoshioka berpisah dengan
Saburo. Ia tak tahu apa yang dialami Saburo sesudah berhasil menyelamatkan
Imagawa. Tetapi yang jelas, selama tiga bulan itu dirinya hidup mirip pengemis.
Bi-la dagangannya tidak terjual, Yoshioka terpaksa meminta belas kasihan para
pemilik kedai agar memberi-nya sesuap nasi. Kehinaan itu terpaksa ia lakukan
untuk bertahan hidup. Untung hal itu tidak setiap hari terjadi. Meskipun sedikit
hampir dapat dipastikan pasti ada tatami yang terjual. Yoshioka tetap bertahan,
karena ia telah berjanji dengan Saburo untuk bertemu di tempat itu tiga bulan
sejak mereka berpisah.
"Ayahmu belum datang?" tanya penjual sandal itu.
"Belum."
"Jangan-jangan terjadi sesuatu dengannya."
"Entahlah."
"Kau harus mulai belajar melupakannya. Siapa tahu terjadi sesuatu dengannya, kau
harus siap."
"Ya, saya tahu."
"Kau tak punya saudara?"
"Tidak."
Penjual sandal itu mendengus. Lalu diam.
Biasanya pada siang hari, kurir Nobunaga sampai
di tepi jembatan itu dalam perjalanan ke Suruga. Mereka akan istirahat, makan,
minum, dan beristirahat.
Sesudah cukup istirahat, mereka akan melanjutkan
perjalanan. Di saat-saat seperti itu, Yoshioka menggunakan kesempatan untuk
mendengarkan pembicaraan
mereka. Biasanya para kurir itu berbicara seperti orang mabuk, sehingga soal
yang seharusnya mereka rahasiakan keluar begitu saja.
Yoshioka bersandar di pohon menunggu pembeli. Ia
menutupi wajahnya dengan topi jerami.
Di tengah jembatan bambu, Saburo Mishima tengah
berjalan menuju ke wilayah Owari. Seperti biasa, Saburo melakukan perjalanan
dengan menyamar sebagai ronin. Kumis dan cambangnya telah dicukur sehingga ia
tampak lebih muda. Tetap dengan sikap waspada, ia menuju ke kedai sake.
Pelayan segera menghidangkan sake untuk Saburo.
"Apakah engkau melihat anak kecil yang berjualan
tatami?" Saburo bertanya.
"Siapa?"
"Kalau tidak salah namanya Kojiro."
"Dia selalu ada di sini. Biasanya pada siang hari dia muncul untuk minta minum
di sini. Tunggu saja, nanti dia pasti datang."
"Saya akan menunggu."
"Anakmu?"
"Bukan."
"Untuk apa mencari dia?"
"Saya masih punya hutang padanya."
"Oh."
Saburo menatap jalanan di depannya. Tetapi karena orang-orang hilir-mudik, ia
tak dapat melihat kemungkinan adanya Yoshioka. Pada saat itu dari arah Kamakura terdengar suara derap kaki kuda. Ada sepuluh penunggang kuda menuju ke tepi
jembatan. Dari pakaiannya dapat diketahui bahwa mereka adalah prajurit Oda
Nobunaga. Kesepuluh penunggang kuda itu berhenti di depan
kedai tempat Saburo minum. Mereka turun lalu bergegas menuju ke kedai itu.
Seperti binatang kehausan, mereka segera mencari tempat duduk meskipun dengan
mengusir beberapa orang yang sudah lebih dulu duduk di tempat itu. Sikap mereka
kasar dan beringasan.
Pasukan Nobunaga itu dipimpin oleh Nagasi, salah
seorang murid Yagyu. Laki-laki bermata satu itu meletakkan senjatanya di meja,
lalu memesan minuman.
Pelayan dengan tergopoh-gopoh menghidangkan minuman dan makanan. Kesepuluh orang itu makan dengan lahap.
"Hei, kalian tahu," kata salah seorang prajurit Nobunaga lantang. "Sebentar lagi
Yang Mulia Nobunaga akan lewat tempat ini menuju Suruga. Dia akan memimpin
serbuan besar-besaran. Bila perang besar terjadi, kalian akan membutuhkan
perlindungan kami.
Maka layani kami dengan baik."
Pelayan dengan takut menghidangkan makanan
yang ia miliki.
"Beruntung tempat ini tidak kami jadikan basis pertahanan," kata prajurit muda
itu lagi. "Kalau kami jadikan pusat pertahanan, kami berhak merampasnya
dari kalian."
"Oh, jangan, Tuan. Kasihanilah saya."
"Karena itu layani kami dengan baik."
"Baik, Tuan."
Saburo pelan-pelan berdiri, lalu berjalan untuk
membayar minuman. Sesudah itu dengan hati-hati ia meninggalkan kedai itu.
Sesampainya di luar, Saburo berjalan untuk mencari Yoshioka. Sesaat sesudah Saburo pergi, Yoshioka sampai di
kedai itu. Seperti biasa, setiap kali kurir Nobunaga datang, ia selalu berpurapura minta air minum di kedai itu untuk mendengarkan pembicaraan mereka.
"Saya minta minum," kata Yoshioka.
Pelayan segera mengambilkan air putih untuknya.
"Terima kasih," kata Yoshioka datar. Ia meneguk
minumannya. Sesudah minum, Yoshioka bermaksud
duduk di depan kedai.
"Hei," tiba-tiba pemilik kedai memanggilnya.
Yoshioka menoleh. "Anda memanggil saya?"
"Ya."
"Ada apa?"
"Apa namamu Kojiro?"
"Benar. Kenapa?"
"Tadi ada shugyosa mencarimu, katanya dia memiliki hutang padamu."
Seketika wajah Yoshioka bersinar-sinar, "Oh, ya"
Siapa?" "Entahlah. Baru beberapa menit lalu dia pergi,
mungkin mencarimu."
"Terima kasih. Saya akan mencarinya."
Tiba-tiba salah seorang prajurit Nobunaga berseru,
"Hei, jembel!"
Yoshioka tak menghiraukannya, dia terus berjalan
keluar. "Hei, Jembel!" sekali lagi prajurit itu memanggil. Yoshioka tetap tak
menghiraukan, tetapi sikapnya menjadikan prajurit itu marah. Tanpa diduga lelaki
itu melompat, lalu mencengkeram leher Yoshioka. "Hei, jembel busuk, jangan purapura tuli, aku memanggilmu!"
Yoshioka terperanjat, "Anda memanggil saya...."
"Ya."
Kemudian dengan kasar ia menarik Yoshioka ke
arah tempat duduknya.
"Beri aku topi jeramimu. Kau tahu udara panas,
aku perlu pelindung kepala...."
Yoshioka mencoba menguasai diri, "Maaf, topi ini tidak saya jual."
Prajurit itu merasa sangat tersinggung, "Aku tidak akan membeli. Aku minta!"
"Saya sendiri membutuhkannya."
"Dasar jembel!"
Dengan kasar lelaki itu mengambil topi dari kepala Yoshioka, lalu memakainya.
Kemudian tanpa belas kasihan ia meletakkan kaki ke pantat Yoshioka kemudian mendepaknya.
"Anak tolol!" sergahnya geram. "Pergi sana!"
Yoshioka jatuh di depan kedai. Ia berdiri sambil
membersihkan debu di pakaiannya. Saat ia akan pergi, pandangannya tertumbuk pada
badan prajurit tadi
yang berdiri tegak di hadapannya.
Wajah bulat prajurit itu menatapnya.
"Siapa namamu?" prajurit tersebut bertanya.
"Kojiro."
"Kojiro... aku seperti mengenalmu."
Yoshioka membungkuk, lalu berusaha meninggalkan tempat itu. Tetapi tanpa diduga, prajurit tersebut menarik lengannya dengan
kasar. "Jangan pergi kamu!" bentaknya menakutkan. "Siapa orang tuamu?"
Yoshioka gugup. Ia belum pernah disiapkan menghadapi situasi itu.
"Kau anak Saburo Mishima!"
"Bu... kan."
Prajurit itu menyeringai, "Aku ingat sekarang. Jangan coba-coba menipuku. Aku
dulu adalah pengawal istana. Ya, aku mengenalmu. Namamu Kojiro, dan kau adalah
anak Saburo Mishima."
Tanpa menunggu lagi, Yoshioka mengangkat kaki lalu menginjak kaki prajurit itu. Karena kaget prajurit tersebut mengaduh, lalu
melepaskan pegangannya pada
tangan Yoshioka. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Yoshioka, ia
lari meninggalkan kedai itu.
Prajurit itu menyumpah-nyumpah, "Dasar jembel
busuk. Aku tidak akan melepaskan dirimu!"
Tiba-tiba Nagasi berseru, "Hei, Toba, ada apa?"
"Anak itu adalah Kojiro, anak Saburo Mishima!"
Tanpa menunggu penjelasan lagi kesembilan orang
yang duduk di kedai itu berlarian keluar, lalu tanpa diperintah, mereka segera
mengejar Yoshioka.
Yoshioka berlari kencang, sementara para prajurit itu pun tak mau kehilangan
buronan mereka. Kejar-mengejar terjadi sehingga tempat itu menjadi hiruk pi-kuk.
Beberapa orang yang tertabrak para prajurit Nobunaga menyumpah-nyumpah sambil
menjerit tidak senang. Yoshioka berlari kencang, ia menelusup-nelusup di antara orang-orang
yang tengah berbelanja.
Tetapi seperti serigala mengejar kelinci, para prajurit itu terus memburunya.
Sinar mata mereka terlihat ber-nyala-nyala, mulutnya mendengus-dengus seakan
ingin memuntahkan kemarahannya.
Suatu saat Yoshioka berhasil bersembunyi di belakang gerobak sampah.
"Di mana?" salah seorang prajurit bertanya.
"Tadi dia di sini," jawab temannya.
"Dia pasti bersembunyi."
"Ya. Kalau kutangkap, kepalanya akan kupenggal
dengan tanganku sendiri."
Mereka mulai mencari dan seseorang melihat Yoshioka. "Itu dia!"
"Di mana?"
"Di belakang gerobak! Cepat tangkap!"
Yoshioka meloncat, kemudian berlari ke arah jembatan. Kesepuluh prajurit itu segera menghambur mengejarnya.
"Dia menuju jembatan!"
"Bodoh! Kita akan lebih mudah menangkapnya!"
"Cepat tangkap! Jangan banyak bicara!"
Para prajurit itu berlari sambil mendorong orangorang di sekitarnya. Mereka terus mengejar Yoshioka yang berlari sekuat tenaga
agar tidak tertangkap.
Jembatan gantung dari bambu itu bergoyang-goyang ketika kejar-kejaran itu terjadi di sana. Beberapa orang yang tengah
menikmati pemandangan dari jembatan itu seketika menjerit-jerit ketakutan. Tapi
kesepuluh prajurit itu tak peduli. Mereka terus mengejar dengan emosi meluapluap. Jarak mereka kian lama kian dekat. Yoshioka mulai kehabisan napas. Ia sesekali
menoleh, dan pengejarnya tampak kian dekat saja. Kian dekat.
Yoshioka menoleh. Di belakangnya, kira-kira dua
meter, seorang prajurit Nobunaga mengejarnya sambil tersenyum menyeringai.
"Berhenti kamu bocah siluman!"
Yoshioka sudah membayangkan tertangkap ketika


Shugyosa Samurai Pengembara 8 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia mendengar suara berderak, pengejarnya jatuh terja-jar di atas jembatan bambu
itu. Ia menoleh, matanya terbeliak melihat Saburo berdiri tegak menghadang pa-ra
prajurit Nobunaga.
"Paman Saburo!"
"Lekas pergi dari sini, biar aku menghadang mereka." "Mereka bersepuluh."
"Jangan hiraukan! Cepat pergi!"
Yoshioka berbalik, lalu setengah berlari ia menuju ke arah Suruga.
Prajurit yang terjatuh berdiri dengan susah payah.
Ia tampak menyumpah-nyumpah. Saat ia berdiri, seketika wajahnya pucat ketika
melihat Saburo Mishima menghadang di tengah jembatan itu.
"Saburo!"
Saburo diam membisu.
Prajurit itu menoleh ke belakang, menanti temantemannya datang.
"Dia Saburo!" kata prajurit itu lantang. "Dia telah membuatku jatuh dan menyuruh
anaknya menyeberangi jembatan."
Tanpa banyak bicara para prajurit itu mulai mengepung. Mereka mencabut pedang sambil bergerak
mendekati musuh. Seperti biasa, mereka mulai berteriak-teriak.
"Kita bunuh dia!"
"Akan kupenggal kepalanya!"
"Jangan biarkan dia lolos!"
"Kita cincang dia!"
Sebelum mereka menyadari apa yang terjadi, Saburo telah menerjang dengan sabetan pedangnya. Terdengar suara berderak dan darah memancar di udara ketika tiga orang pertama
menjerit lalu menggelepar sekarat.
Jembatan bambu itu terayun-ayun karena terjangan itu. Melihat teman-temannya tewas, tiga orang menerjang Saburo, tetapi
mereka hanya menyerahkan nyawa. Saburo berkelit sambil berjongkok ketika pedang
musuh mendesis. Terdengar suara berdencing
saat pedang mereka beradu. Kemudian dengan gerakan yang sukar dipercaya, panglima Ashikaga itu telah menikam dan mengayunkan
pedang ke punggung ketiga musuhnya. Terdengar jeritan melengking saat ketiga
prajurit itu ambruk di jembatan.
Enam orang telah tewas, kini tinggal empat orang.
Nagasi maju ke depan dengan marah.
"Rupanya engkau harus mati di tanganku," kata
Nagasi penuh percaya diri. "Aku murid ketiga perguruan Yagyu akan memenggal
kepalamu."
"Aku merasa memperoleh kehormatan bisa meninggal di tanganmu."
"Setelah dirimu, aku akan membunuh anakmu."
"Aku percaya dia akan memperoleh kematian secara
mudah." Nagasi mendesak Saburo ke belakang. Kemudian
murid Yagyu tersebut mulai memasang kuda-kuda.
Kedua kakinya ditekuk lalu pedangnya diletakkan melintang di depan matanya.
Saburo segera menghadapi dengan mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, siap
mengayunkan dengan kekuatan penuh.
Saat kedua pendekar itu bersiap, tiga prajurit lainnya mengepung di belakang
Nagasi. Mereka siap menyerang apabila Nagasi gagal membunuh Saburo.
Ketegangan terjadi. Pagi yang tadi ramai, kini dilipu-ti kesunyian yang
mengerikan. Semua orang tahu pertarungan hanya akan berhenti saat salah satu
pihak telah menjadi mayat. Orang-orang berdesakan di pinggir jembatan untuk
menonton pertarungan itu.
Seseorang berteriak, "Aku berani bertaruh sepuluh yen untuk kemenangan Nagasi.
Siapa berani melawanku?"
"Aku berani lima belas yen untuk Nagasi."
"Lima yen untuk Saburo!"
Tiba-tiba di pinggir jembatan itu terjadi keramaian saat orang-orang berebut
bertaruh untuk pertarungan tersebut.
Nagasi menerjang ke arah Saburo dengan ayunan
pedangnya. Terdengar suara pedang mereka beradu,
disusul jeritan melengking ketika Saburo melompat ke kanan lalu menikam salah
seorang samurai pengikut Nagasi. Samurai itu mendekap dadanya, tubuhnya
limbung, lalu jatuh dari jembatan, tubuhnya seperti sepotong daun melayang ke
arah sungai. Sesaat sesudah temannya tewas, dua lainnya segera menerjang, tetapi dengan
kegesitan luar biasa, Saburo berbalik dan melakukan tebasan mendatar. Kedua
samurai itu menjerit sesaat sesudah merasakan perutnya robek. Darah menyembur
dari lukanya. Kini tinggal Nagasi.
"Engkau memang hebat," kata Nagasi sambil memasang kuda-kuda. "Tetapi engkau bukan tandinganku."
"Aku ingin membuktikannya."
"Kuharap kau rela bila aku memenggal kepalamu."
"Itu suatu kehormatan buatku."
Nagasi tiba-tiba menerjang dengan ganas, pedangnya mendesis-desis seperti lidah ular mengejar mangsa. Sesekali terdengar suara
pedang beradu. Pertarungan itu terjadi dalam irama yang cepat, sehingga sering
hanya tampak sebagai bayangan. Jembatan itu ti-ba-tiba terasa sempit, tidak
cukup untuk memberi ke-leluasaan bergerak bagi kedua pendekar tersebut.
Saburo meletakkan pedangnya tegak lurus di depan
wajahnya, ia siap menggunakan ayunan mematikan.
Nagasi segera mengubah jurusnya. Ia kini menekuk
kaki kanannya, sementara kaki kirinya lurus ke belakang. Keduanya seperti patung
beku. Mata mereka
menatap tajam, mencoba mencari kelemahan lawan.
Tiba-tiba dengan diiringi teriakan nyaring, keduanya bertemu dalam tebasantebasan pedang yang mengerikan. Mereka seakan menjadi satu, saling menikam dan menebas dengan kejam.
Dalam sebuah hentakan yang kuat, tubuh mereka
tiba-tiba berpisah. Nagasi mendekap dadanya, sebuah luka kecil membuat kimononya
robek. Sementara Saburo terluka di lengannya. Keduanya mengetahui kekuatan
mereka berimbang. Kini tinggal siapa yang lebih cepat menebas lawan atau menang dalam taktik.
Nagasi terus mendesak Saburo, matanya kini menyala seperti api. Ia merasakan ketidaksabaran untuk segera memenggal kepala
Saburo. Dengan penuh kewaspadaan ia berjalan mendesak, kemudian dengan
gerakan yang cepat dan kuat, Nagasi mulai menyerang lawan. Saburo mengelak, lalu
mengirimkan serangan ke perut musuh. Terdengar suara pedang berdenting,
mengeluarkan pijar api. Lalu mereka sama-sama melompat untuk memasang kuda-kuda.
Baru sedetik Saburo berhenti, Nagasi telah menyerang sambil membungkuk, ia mengirimkan tebasan ke kaki Saburo. Untung Saburo
waspada, ia segera melompat sambil mengayunkan pedangnya. Nagasi menangkis, lalu menikam jantung Saburo, tetapi dengan kecepatan yang luar biasa
Saburo telah melompat
mundur sambil berpegangan pada tali jembatan itu.
Jembatan bambu tersebut bergoyang-goyang. Nagasi menggunakan kesempatan untuk menebas tangan
Saburo yang berpegangan pada tali. Saburo menarik tangannya sehingga pedang
murid Yagyu itu memo-tong tali jembatan. Sesuatu yang mengerikan terjadi,
jembatan itu bergoyang keras, dan kini jadi miring.
Saburo dan Nagasi berusaha mengatasi keadaan dengan berpegangan pada tali. Mereka tetap berdiri saling mengancam. Kini serangan
hanya bisa dilakukan sekali-sekali, itu pun sambil berpegangan pada tali te-mali
di jembatan itu. Keadaan ini sesungguhnya mengerikan, tetapi bagi orang-orang
yang menonton, justru terasa menegangkan.
"Dua puluh lima yen untuk Nagasi!" teriak seorang penonton sambil mengacungkan
uangnya. "Tiga puluh yen untuk Nagasi."
"Lima belas untuk Saburo."
Pertaruhan rupanya tetap berpihak pada Nagasi.
Semua orang terkesan dengan kekuatan permainan
pedangnya. Sekali lagi Nagasi menerjang, Saburo mengelak dengan berguling-guling pada bambu jembatan itu, tetapi dengan cerdik Nagasi
menebas tali pengikat bambu
jembatan tersebut. Saburo tersentak ketika menyadari bambu-bambu itu berjatuhan
ke sungai, ia segera berguling dan berpegangan pada tali lainnya. Tetapi seperti
taufan, serangan Nagasi terus mengejarnya. Bambu-bambu berjatuhan, sementara
mereka terus bergulingan dalam pertarungan antara hidup dan mati.
"Kali ini kau pasti mati!" teriak Nagasi. Dengan kekuatan penuh ia menebas tubuh
Saburo. Tetapi dengan gesit Saburo menghindar. Pedang
Nagasi menebas tali hingga jembatan itu kehilangan penggantungnya, tubuh Saburo
seketika melorot ke
bawah menggelantung pada tali jembatan. Pada saat itu Nagasi meniti tali
jembatan untuk mengejarnya.
"Kau sekarang mati!" kata Nagasi sambil mengayunkan pedangnya ke arah leher Saburo.
(Bersambung ke buku kesembilan.)
*** Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Document Outline
MAYEDA TERGUNCANG ***
*** *** SEBUAH RENCANA ***
*** *** PERBINCANGAN DI ATAS BUKIT *** ***
PERSIAPAN *** ***
PENCARIAN *** ***
PERTARUNGAN ***
KETIDAKSABARAN NOBUNAGA *** ***
HUTAN KOSONG ***
*** *** KERBAU MENGAMUK *** ***
SEBUAH UJIAN ***
*** *** *** MEDAN PERTARUHAN ***
Pedang Kiri 15 Pendekar Rajawali Sakti 213 Gadis Serigala Pendekar Bodoh 17

Cari Blog Ini